KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN … · tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme...
Transcript of KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN … · tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme...
KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN
JASA LINGKUNGAN PENYEDIAAN SUMBERDAYA AIR
(Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat)
NINI SRIANI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN
JASA LINGKUNGAN PENYEDIAAN SUMBERDAYA AIR
(Studi Kasus di Lombok Barat dan Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat)
NINI SRIANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
NINI SRIANI. Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat). Di bawah bimbingan HARYANTO R. PUTRO dan AGUS PRIYONO.
Mata air di hulu DAS Jangkok merupakan pemasok kebutuhan air bersih
bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram dan sebagian wilayah di Kabupaten Lombok Tengah. Kawasan hutan Sesaot merupakan daerah hulu dari DAS Jangkok. Sebagian besar arealnya telah dikelola oleh masyarakat petani hutan dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada areal DAS Jangkok tersebut banyak terdapat permasalahan, antara lain terjadi degradasi lahan, terdapat potensi kerusakan aspek biofisik dan aspek kelembagaan kelompok petani hutan, terjadi penurunan jumlah mata air dan debit rata-rata di Sungai Jangkok, longsor, erosi, sedimentasi dan ancaman terjadi krisis air akibat penurunan debit dan peningkatan kebutuhan air. Masyarakat hulu sebagai penyedia jasa dituntut untuk melindungi tutupan lahan sekaligus harus memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat hilir di Kota Mataram memanfaatkan jasa lingkungan berupa air melalui PDAM. Bentuk kepedulian masyarakat hilir terhadap berharganya air, yang seharusnya dijadikan barang ekonomi, dan pembayaranan terhadap masyarakat hulu, yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah tangkapan air, saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan (PJL). Upaya yang ada di Kabupaten Lombok Barat, yang didukung oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lombok Barat No. 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata, tersebut merupakan salah satu bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan.
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan skema yang baru di Indonesia. Untuk penerapan yang lebih lanjut dibutuhkan pembelajaran meliputi pihak yang terlibat, peran setiap stakeholder, penegakan hukum, peraturan yang ada, dan kesepakatan bersama serta perlu dilihat keberhasilan dari kinerja setiap stakeholder meliputi realita di lapang dan manfaat bagi tiap pihak. Data dikumpulkan melalui metode triangulasi yaitu wawancara, observasi lapang dan penelusuran dokumen. Analisis data menggunakan metode analisis stakeholder dan analisis deskriptif kualitatif.
Stakeholder yang terlibat dalam mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram teridentifikasi sebanyak 18 stakeholder. Mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air yang ada di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram dikelola oleh IMP dan telah memiliki dasar hukum. Mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram termasuk dalam bentuk payments for environmental services (PES) murni dengan memenuhi lima kriteria yaitu transaksi secara sukarela, jasa lingkungan terdefinisi dengan baik, ada pembeli dan penyedia jasa lingkungan, serta penyedia jasa mampu menjamin ketersediaan jasa lingkungan.
Kata kunci: PJL, air, stakeholder, IMP, Lombok
SUMMARY
NINI SRIANI. The Study of Payments for Environmental Services (PES) Mechanism for Water Resources Supply (Case Study at West Lombok District and Mataram City, Nusa Tenggara Barat). Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and AGUS PRIYONO.
The springs at the upper Jangkok watersheds are the supplier of clean water
for West Lombok District, Mataram City and some areas in Central Lombok District society. Sesaot forest area are the headwaters of Jangkok watershed. Most of their area has been managed by farm-forest society with Community Forest Management system (CFM). There are many problems in Jangkok watershed area, such as land degradation, many potential damage of biophysical aspects and institutional aspects of forest community groups, a decreasing of springs number and the lowering of average water debit at Jangkok river, landsliding, erosion, sedimentation and water crisis threathening as the result of water debit decreases and water demand increases. The upstream society as a service providers had been required to protect the land cover and the same time they are has had their lives on. Downstream society in Mataram City utilizing the environment services of water through PDAM. The downstream society moval for water preciousness, which should be used as economic goods, and payments for the upstream society who preserves watersheds in the catchment area, known as the payment for environmental services (PES) mechanism. An efforts in West Lombok District, supported by local regulation West Lombok District No. 4/2007 about management of environmental services for water utilization and tourism, is a form of payment for environmental services mechanisms.
Payment for environmental services mechanisms was a new scheme in Indonesia. For further application, learning is needed for the involved parties, each stakeholder role, law enforcement, regulations and agreements along with the stakeholder succesfullness at the field. This performances included the field realities and each party benefits. The data had been collected by triangulation method : interview, field observation and documents tracking. Stakeholder analysis method and qualitative descriptive analysis had been used for data analysis.
Stakeholder which are involved in PES mechanism for water resources supply in West Lombok District and Mataram City identified as many as 18 stakeholder. PES mechanisms for water resources supply in West Lombok District and Mataram City managed by IMP and it has a legal basis. It is counted as pure PES. Its fulfill five criteria there are voluntary transaction, well-defined environmental service, a buyer and provider of environmental services, and environmental services provider secures environmental service provision.
Keywords: PES, water, stakeholder, IMP, Lombok
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Mekanisme
Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat) adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Maret 2012
Nini Sriani E34070014
Judul Skripsi : Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat)
Nama : Nini Sriani
NIM : E34070014
Menyetujui,
Pembimbing I,
Ir. Haryanto R. Putro, MS. NIP. 196009281985031004
Pembimbing II,
Ir. Agus Priyono, MS. NIP. 196108121986011001
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul Kajian Mekanisme
Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air Studi Kasus di
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana bidang kehutanan di
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Pelaksanaan penelitian hingga penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan
banyak pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna pengembangan skripsi ini. Penulis berharap semoga karya ini
bermanfaat, baik bagi penulis maupun pembaca pada umunya.
Bogor, Maret 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 10 Juli 1988.
Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara
pasangan Bapak Nursalim dan Ibu Samini. Penulis menempuh
pendidikan di TK Dharma Wanita (1993-1995), SDN
Mojokerep 1 (1995-2001), SMPN 1 Kunjang (2001-2004),
dan SMAN 2 Pare (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis
aktif sebagai mahasiswa mayor Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan mengambil minor Arsitektur Lanskap.
Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, Penulis aktif di beberapa
organisasi kemahasiswaan antara lain: Agricampus Bycycle Community (Ability),
Beastudi Etos Bogor Community (BEB-C), Dewan Keluarga Masjid (DKM) Al-
Hurriyah, Forum Silaturahim Mahasiswa (Fosma) ESQ, KPG dan KPF Himpunan
Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova) dan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan tahun 2008-2009 (Bendahara
II). Penulis juga aktif mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Beberapa PKM yang berhasil didanai yaitu PKMK “Pendirian Usaha Jasa Terapi
Bekam bagi Civitas Akademika IPB” (didanai tahun 2008) dan PKMM
“Perintisan Usaha Konservasi Tumbuhan Obat Langka Pule Pandak (Rauvolfia
serpentina Benth.) dengan Teknologi Aeroponik di Kampung Gunung Leutik
Ciampea Bogor” (didanai tahun 2011). Pada tahun 2010 penulis mendapatkan
medali perunggu dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke XXIII
di Bali berkat PKM-GT yang berjudul “Fitpot : Inovasi Kreasi Baru Sistem
Pertanian Terintegrasi Multifungsi dengan Konsep Modern untuk Berbagai Jenis
Lahan”. Penulis mendapatkan hibah dana dari Program Mahasiswa Wirausaha
(PMW) 2010 untuk usaha Es Krim Madu.
Selama masa kuliah penulis mengikuti praktikum lapang yaitu Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Papandayan-Cagar Alam
Leuweung Sancang (2009), Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat Sukabumi (2010) dan Praktek Kerja Lapang dan
iii
Profesi di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi (2011). Kegiatan Lapang
yang pernah diikuti yaitu Kegiatan Ekspedisi Kelompok Pemerhati Goa (KPG)
Hira-Himakova di Goa Cipereuy, Gunung Walat Sukabumi. Penulis juga
terdaftar sebagai asisten Praktikum Dendrologi (2011) dan Fasilitator dalam
Kegiatan PESTANI (Pesta Pertanian) di IPB 2011.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan IPB,
penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Mekanisme Pembayaran
Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat) dibawah bimbingan
Ir. Haryanto R. Putro, MS. dan Ir. Agus Priyono, MS.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan
kesempatan kepada penulis. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan para pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan studi banyak pihak yang
telah membantu. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS
sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, dan
arahan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik
2. Bapak Ir. Edje Djamhuri selaku penguji dalam sidang komprehensif,
Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, M. Sc selaku ketua sidang, Bapak Ir. Edhi
Sandra, MSi selaku moderator dalam seminar yang memberikan saran dan
kritik demi kesempurnaan skripsi ini serta Ibu Dr. Ir. Yeni A. Mulyani,
MSc. selaku pembimbing akademik
3. Emak dan Bapak yang tak lelah memberikan cinta kasih, do’a mustajab
dan dukungan tiada henti. Pak dhe Imam Mahmudi, Kakak-kakak (Zaenal
Fanani dan Umi Mahmudah sekeluarga) dan adikku Ani serta
M.Taufiqurrochman AAZ atas bantuan doa, semangat, dukungan dan
motivasinya
4. Beastudi Etos Republika dan Eka Tjipta Foundation atas bantuan finansial
dan program pengembangan diri yang diberikan selama penulis menempuh
pendidikan
5. Seluruh Dosen dan Staf Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata dan Fakultas Kehutanan serta mamang dan bibi yang membantu
penulis dalam menempuh pendidikan selama di IPB
6. Ibu Titik Sekeluarga atas bantuan kasih sayang, tempat tinggal, semangat
persaudaraan dan rasa kepedulian di Soka 15
7. Seluruh staf di BPDAS Dodokan-Moyosari, SCBFWM, IMP, WWF Nusa
Tenggara, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat,
8. PDAM Menang-Mataram, PT Narmada Awet Muda, Konsepsi dan BLHP
NTB atas bantuan data dan pendampingan selama penelitian
9. Mbak Yunia Muji, Mas Erwien Kusumawan, Saffa dan Zulfan, serta Bibi
Munawaroh atas segala dukungan selama penelitian
10. Keluarga Pak Rahman di Desa Sedau, Keluarga Pak Tirtawan di
Batumekar, dan Keluarga (Alm. Pak Ripaah di Desa Suranadi, serta
Keluarga Pak Ahmad Mulyadi (Ketua Forum Kawasan) di Desa Sesaot
atas bantuan data dan akomodasi selama di lapang
11. Aswan, Nining, Lulu, Andi, Fitri, Jean, Mas Aris, Mba Zi, Mas Bayu, Mas
Jimmo, Mas Marsandi dan Mbak Eliza yang telah membantu pengumpulan
data dan transportasi selama penelitian
12. Keluarga Besar Etos Bogor khususnya Pendamping dan Blue-G (Fauji,
Eko, Nasrul, Uca, Dijah, Desi, Iis dan Indah) atas kebersamaan menimba
ilmu, kasih sayang dan rasa kekeluargaan
13. Keluarga Besar Soka : Bu Nah, Mba Sri, Mba Ane, Mba Miftah, Ana,
Siska, Supe, Bu Janah atas hari-hari indah layaknya di rumah sendiri
14. Teman-teman PMW Es krim Madu (Windy, Hireng, Atik dan R. Pradipta)
atas pengalaman praktek wirausaha kita, semoga kita semua bisa menjadi
pengusaha sukses
15. Teman-teman seperjuangan : Neina, Rakhmi, Irvan, Metha, Tiwi, Piyet,
Jefri, Irham, Sri Gosleana, Resi,Yaser, Brigita, Risa, Diena, Rahmat dan de
Woro, Windu, Bayu serta Retno atas bahan skripsi, saran pendapat dan
motivasinya
16. Teman-teman PKL (Ulfa, Emel, Nurul, Akbar, Juli, Putu), Teman-teman
PPH (Dira, Fidel, Juli, Wina, Kak Age, Septian,Werdi), Teman-teman
PPEH (Nurul, Ana, Surya, Wiwin, Wiwit, Vino), Teman-teman KPG dan
KPF atas pengalaman di lapang yang tak terlupakan
17. Keluarga Besar KSHE KOAK 44 atas suka dan duka yang kita lewati
bersama
18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah
memberikan arahan, bantuan dan motivasi dalam menempuh pendidikan di
IPB.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................................ 3
1.3 Manfaat .......................................................................................................... 3
1.4 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 6
2.1 Jasa Lingkungan Penyediaan Air .................................................................. 6
2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan ....................................................................... 7
2.3 Peraturan Perundangan Jasa Lingkungan ...................................................... 9
2.4 Penelitian Terdahulu .................................................................................... 10
2.4.1 Jasa lingkungan di Pulau Lombok ...................................................... 10
2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan ........................................ 12
2.4.2.1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica ...................... 12
2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten ............................................................ 14
2.4 Analisis Stakeholder .................................................................................... 16
2.5 Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lombok Barat ....................................... 17
2.6 Pajak Ganda (Double Taxation) pada PDAM ............................................. 19
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 21
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................................... 21
3.2 Obyek dan Alat Penelitian ........................................................................... 21
3.3 Jenis Data..................................................................................................... 21
3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................................... 22
3.4.1 Studi literatur ...................................................................................... 22
3.4.2 Observasi lapang dan wawancara ....................................................... 22
3.5 Metode Analisis Data .................................................................................. 24
vii
3.5.1 Analisis keterlibatan stakeholder ........................................................ 24
3.5.2 Analisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan ............................. 26
3.5.3 Analisis untuk mengevaluasi mekanisme yang berjalan .................... 26
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................... 28
4.1 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram ............................................. 28
4.2 DAS Jangkok ............................................................................................... 29
4.2.1 Letak dan luas ..................................................................................... 29
4.2.2 Kondisi geografis ................................................................................ 29
4.2.3 Curah hujan ......................................................................................... 30
4.2.4 Luas dan tata guna lahan .................................................................... 30
4.2.5 Sosial ekonomi penduduk ................................................................... 32
4.3 Penyedia (Providers) Jasa Lingkungan ....................................................... 32
4.4 Pembeli (Buyers) Jasa Lingkungan ............................................................. 34
4.5 Obyek Jasa Lingkungan .............................................................................. 35
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 37
5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Pulau Lombok ..................... 37
5.2 Analisis Stakeholder .................................................................................... 41
5.2.1 Identifikasi stakeholder ...................................................................... 41
5.2.2 Klasifikasi stakeholder ....................................................................... 42
5.2.2 Peranan stakeholder ............................................................................ 46
5.3 Perkembangan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ......................... 49
5.3.1 Mekanisme PJL sebelum adanya peraturan daerah ............................ 49
5.3.2 Mekanisme PJL setelah adanya peraturan daerah .............................. 51
5.3.2.1 Dasar hukum pelaksanaan kegiatan ....................................... 53
5.3.2.2 Institusi Multipihak (IMP) pengelola jasa lingkungan ........... 54
5.3.2.3 Mekanisme pengelolaan jasa lingkungan ............................... 54
5.3.2.4 Implementasi mekanisme PJL ................................................ 57
5.4 Permasalahan dan Rekomendasi PJL Penyediaan Sumberdaya Air ........... 61
5.4.1. Implementasi peraturan daerah .......................................................... 61
5.4.2. Kasus double taxation pada PDAM Menang-Mataram .................... 62
5.4.3. Optimalisasi fungsi IMP .................................................................... 63
5.5 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ................................... 64
vii
viii
5.5.1 Transaksi bersifat sukarela ................................................................. 64
5.5.2 Jasa lingkungan yang terdefinisi dengan jelas .................................... 65
5.5.3 Ada penyedia jasa dan pembeli jasa lingkungan ................................ 65
5.5.4 Penyedia jasa menjamin ketersediaan jasa lingkungan ...................... 66
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................. 67
6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 67
6.2 Saran ............................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 69
LAMPIRAN ......................................................................................................... 73
viii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica ................................................. 14
2 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data .................................................. 23
3 Kepentingan (interest) masing-masing stakeholder .......................................... 25
4 Sebaran tipe penggunaan lahan dan luasan di kawasan DAS Jangkok ............. 31
5 Nama-nama desa di wilayah hulu DAS Jangkok .............................................. 32
6 Nama-nama lembaga masyarakat lokal di kawasan hulu DAS Jangkok .......... 33
7 Beberapa nama mata air yang ada di hulu DAS Jangkok ................................. 35
8 Sumber air baku PDAM Menang-Mataram ...................................................... 36
9 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Lombok Barat ..... 38
10 Stakeholder yang terkait dengan PJL penyediaan sumberdaya air .................. 41
11 Penilaian kepentingan, tingkat kepentingan dan pengaruh ............................. 42
12 Peranan stakeholder ........................................................................................ 47
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1 Bagan kerangka pemikiran penelitian. ................................................................ 4
2 Skema pembayaran jasa lingkungan Costa Rica. .............................................. 13
3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten. ....................... 15
4 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap stakeholder. .................. 25
5 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram. ................................................. 28
6 Tingkat kekritisan di DAS Jangkok .................................................................. 31
7 Diagram matriks minat dan pengaruh dari tiap stakeholder ............................. 45
8 Jumlah pelanggan dan potensi pelanggan PDAM Menang Mataram ............... 47
9 Skema PJL sebelum adanya Peraturan daerah .................................................. 50
10 Skema PJL hulu-hilir sesuai peraturan daerah ................................................ 52
11 Skema PJL di Lombok Barat dan Mataram. ................................................... 53
12 Struktur kepengurusan institusi multipihak. ................................................... 54
13 Mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan. .................. 55
14 Mekanisme proses pengajuan dan penilaian usulan........................................ 56
15 Implementasi PJL di Dusun Lebah suren, Desa Sedau. .................................. 58
16 Implementasi PJL di Forum Ranget, Desa Suranadi. ..................................... 59
17 Implementasi PJL di kelompok tani Mule Paice, Desa Batumekar. ............... 60
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1 Panduan wawancara untuk Masyarakat ............................................................. 74
2 Panduan wawancara untuk Ketua Kelompok Tani ............................................ 75
3 Panduan wawancara untuk Swasta..................................................................... 76
4 Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 ....................... 77
5 Laporan penggunaan dana IMP 2009-2010 ....................................................... 85
6 Dokumentasi penelitian ...................................................................................... 86
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Isu perubahan iklim global dewasa ini menjadi perhatian sebagian besar
negara di dunia. Adanya isu tersebut telah menyadarkan masyarakat dunia
mengenai pentingnya menjaga kelestarian alam. Skema-skema untuk pelestarian
sumberdaya alam seperti Reducing Emissions from Deforestation and Forest
Degradation (REDD), Clean Development Mechanism (CDM), dan Payment for
Environmental Services (PES) terus dikembangkan. Salah satu skema tersebut
yaitu PES, atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama pembayaran jasa
lingkungan (PJL), telah dikembangkan di beberapa negara seperti Costa Rica,
Equador, El Salvador, Vietnam (Wunder et al 2005, Pagiola 2003), Mexico,
Colombia, Venezuela, South Africa (Pagiola 2003) untuk adaptasi perubahan
iklim.
Negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim adalah negara
kepulauan. Indonesia merupakan salah satunya karena sebagian besar wilayahnya
berupa pulau-pulau kecil. Pulau Lombok merupakan pulau di bagian timur
kepulauan Indonesia. Pulau dengan luas 4.738,70 km2 tersebut memiliki diameter
80 km2 dari utara ke selatan dan 70 km2 dari barat ke timur. Karena luas areanya
yang relatif kecil maka Pulau Lombok termasuk pulau yang diprediksikan rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Aspek penting yang mudah terpengaruh
terhadap dampak perubahan iklim adalah aspek ketersediaan air. Pulau Lombok
memiliki sektor penting di bidang pertanian, perikanan dan pariwisata. Ketiga
sektor tersebut sangat membutuhkan air.
Ketersediaan air di Pulau Lombok semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Pulau Lombok mengalami gejala krisis air berkepanjangan, karena terjadi
penurunan debit air dalam kurun waktu 10 tahun (1992-2002). Pada tahun 2003,
diketahui 40 % mata air telah hilang akibat perubahan tata guna lahan menjadi
pertanian dan kerusakan hutan di sekitar Rinjani (Prasetya et al 2009).
Kota Mataram adalah daerah yang penting karena merupakan ibukota
provinsi Nusa Tenggara Barat. Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
2
termasuk ke dalam wilayah daerah aliran sungai (DAS) Jangkok. Ketersediaan air
di Kota Mataram sangat tergantung pada keberadaan mata air di hulu DAS
Jangkok yang terletak di Kawasan Sesaot, Kabupaten Lombok Barat. Mata air
tersebut ada yang berada di dalam kawasan hutan lindung dan ada pula yang
berada di luar kawasan hutan (lahan milik masyarakat). DAS Jangkok
digolongkan ke dalam salah satu DAS prioritas dari 22 DAS yang masuk kategori
kritis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Departemen
Kehutanan (Setiawan et al 2010). Di areal hulu DAS Jangkok banyak terjadi
permasalahan, antara lain ilegal logging dan perambahan hutan baik di dalam
hutan lindung maupun hutan primer, praktek hutan kemasyarakatan (HKm) yang
menyalahi aturan, pembuangan limbah dan sampah ke sungai, serta penggunaan
bahan kimia. Hasil temuan Strengthening Community-Based Forest and
Watershed Management (SCBFWM) tahun 2010 menyebutkan bahwa tingkat
erosi di sungai Jangkok sangat tinggi dengan sedimentasi 773,53 ton setiap
ha/tahun dan tekanan penduduk sangat tinggi yaitu tiap kepala keluarga mengelola
lahan di hutan lindung seluas 0,5 ha. Dengan tingginya tekanan penduduk,
kebutuhan akan penggunaan lahan semakin meningkat baik untuk pemukiman
maupun mata pencaharian mereka. Hal ini menyebabkan jasa lingkungan semakin
berkurang dan semakin berharga. Jasa yang diberikan petani sekitar hutan melalui
penerapan sistem agroforesty dan pengubahan sawah/pekarangan penduduk yang
menjadi daerah resapan air dengan penanaman tanaman keras/berkayu patut
mendapat mengakuan dan imbalan dari pengguna jasa. Hal ini diperkuat dengan
kondisi masyarakat sekitar hutan yang merupakan masyarakat miskin.
Berawal dari kondisi tersebut, timbul inisiasi dari berbagai pihak untuk
melibatkan masyarakat hilir/pengguna jasa agar ikut bertanggung jawab dalam
pelestarian jasa lingkungan khususnya air di daerah Lombok Barat dan Kota
Mataram. Upaya ini mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Barat berupa disahkannya Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2007
tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata di
Kabupaten Lombok Barat. Bentuk kepedulian masyarakat hilir terhadap
berharganya air, yang seharusnya dijadikan barang ekonomi, dan pembayaranan
terhadap masyarakat hulu, yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah
3
tangkapan air, saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan
(PJL). Upaya yang ada di Kabupaten Lombok Barat tersebut merupakan salah
satu bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan
ini akan membuka kesempatan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan di
sekitar kawasan konservasi atau kawasan hutan untuk meningkatkan taraf hidup
mereka. Peluang ini tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dari sisi lain yaitu
dengan adanya peningkatan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat
dalam mengelola dan mengakses sumber daya alam (ICRAF 2005).
Mekanisme PJL di Indonesia telah banyak dilakukan, baik melalui
kerjasama lembaga-lembaga domestik maupun dengan dorongan dan bantuan
lembaga internasional. Meskipun begitu mekanisme ini masih merupakan konsep
yang masih baru di Indonesia, dan sebagian besar dalam tahap pengembangan
konsep dan uji coba implementasi (Prasetyo et al 2009). Sampai saat ini, belum
ada payung hukum yang secara khusus mengatur mekanisme ini. Pelaksanaan
program-program yang telah berjalan masih banyak dijumpai masalah dan
kendala. Oleh karena itu dibutuhkan kajian dari mekanisme-mekanisme yang
telah berjalan untuk pembentukan kebijakan lebih lanjut dengan batasan-batasan
aturan yang jelas dan payung hukum tersendiri mengenai mekanisme ini.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui stakeholder yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa
lingkungan penyediaan air
2. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya
air yang berjalan
3. Mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan air
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan selanjutnya dan sebagai bahan
pertimbangan bagi proses perumusan regulasi, kebijakan dan peraturan
perundangan yang lebih lanjut.
4
1.4 Kerangka Pemikiran
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran penelitian.
Mata air di hulu DAS Jangkok, NTB merupakan pemasok kebutuhan air bersih masyarakat di wilayah Lombok Barat, kota Mataram dan sebagian wilayah di Lombok Tengah
Melihat keberhasilan dari kinerja setiap stakeholder : • Realita di lapang • Manfaat bagi tiap pihak
Terjadi degradasi lahan di areal DAS Jangkok, terdapat potensi kerusakan aspek biofisik dan aspek kelembagaan kelompok petani hutan.
Terjadi longsor, erosi, sedimentasi dan ancaman terjadi krisis air akibat penurunan debit dan peningkatan kebutuhan air.
Organisasi • Pihak yang terlibat • Peran setiap stakeholder • Penegakan hukum
Willingness to Pay (WTP) nilai pembayaran yang bersedia diberikan oleh masyarakat untuk perbaikan lingkungan hulu
Willingness to Accept (WTA) nilai pembayaran yang bersedia diterima oleh masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan
Dibutuhkan suatu mekanisme untuk : Mengurangi kerusakan hutan, memperbaiki kualitas dan kuantitas air dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
PES (Payments for Environmental Services)
Masyarakat hilir atau Pengguna air dari DAS Jangkok
Norma • Peraturan yang ada • Perjanjian yang telah
disepakati bersama
Terjadi penurunan jumlah mata air dan debit rata-rata di Sungai Jangkok, DAS Jangkok sebesar 5,6% setiap tahun.
Masyarakat hulu di sekitar Hutan Sesaot merupakan masyarakat petani hutan yang miskin
Kawasan hutan Sesaot seluas 5.950,18 ha, merupakan daerah hulu dari DAS Jangkok. Sebagian besar arealnya telah dikelola oleh masyarakat petani hutan dengan sistem Hutan Kemasyarakatan (HKm)
5
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka perlu diketahui beberapa hal
diantaranya:
1. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram meliputi hal-hal yang telah disepakati bersama seperti latar
belakang, aturan, isi perjanjian, dasar perhitungan nilai imbal jasa dan
penegakan aturan (monitoring dan evaluasi, pemberian sanksi,
perkembangan, permasalahan dan penyelesaian yang timbul selama
pelaksanaan)
2. Pihak-pihak yang terkait dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan di
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram dalam hal ketepatan dalam
keterlibatan para pihak, sehingga kegiatan yang dilakukan berupa
identifikasi para pihak, peranan, tingkat kepentingan dan pengaruh
3. Bagaimana perkembangan yang telah dicapai hingga saat ini. Apakah telah
ada manfaat yag terasa oleh masyarakat dan lingkungan, sejauh mana
mekanisme ini telah mengakomodasi kepentingan dari stakeholder yang
terlibat.
Oleh karena itu dibutuhkan analisis deskriptif melalui metode triangulasi
(Bachri 2010) yaitu wawancara, observasi lapang dan penelusuran dokumen untuk
mencapai tujuan kesatu dan ketiga. Sedangkan untuk tujuan kedua dilakukan
dengan analisis stakeholder.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jasa Lingkungan Penyediaan Air
Jasa lingkungan didefinisikan sebagai jasa yang diberikan oleh fungsi
ekosistem alam maupun buatan yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara
langsung (tangible) maupun tidak langsung (intangible) oleh para pemangku
kepentingan (stakeholder) dalam rangka membantu memelihara dan/atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat dalam mewujudkan
pengelolaan ekosistem secara berkelanjutan (Suprayitno 2008). Ada empat jasa
lingkungan yang paling banyak dibayarkan (Landell-Mills dan Porras 2002) yaitu
penyerapan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan DAS dan
keindahan lanskap.
Salah satu bentuk jasa lingkungan yang keberadaannya menyangkut hajat
hidup orang banyak adalah air. Pada pengelompokan jasa lingkungan bentuk jasa
lingkungan air termasuk ke dalam jasa perlindungan DAS. Dixon dan Easter
(1986) menyebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara
wilayah hulu (dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan
muara sungai dan wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui
siklus/daur hidrologi/air. Daerah hulu yang biasanya berupa kawasan hutan
berfungsi sebagai penyedia air bagi masyarakat di sekitar kawasan maupun
pengguna air di bagian hilir. Menurut Suprayitno (2008), Pemanfaatan jasa
lingkungan air dari maupun di kawasan hutan telah dilakukan tanpa disadari oleh
masyarakat, serta telah berlangsung baik secara non komersial (digunakan oleh
masyarakat setempat guna keperluan rumah tangga) maupun komersial
(perusahaan air minum, perusahaan air minum dalam kemasan, pembangkit
listrik/hydro-power, perhotelan, perkebunan, dan lain-lain).
Pemanfaatan air di dalam kawasan hutan ataupun hulu yang berkaitan
dengan kelestarian ekosistem kawasan hutan belum diatur dalam regulasi.
Sedangkan untuk pemanfaatan air di luar kawasan hutan ataupun hilir telah ada
beberapa undang-undang dan peraturan. Beberapa peraturan tersebut umumnya
7
belum mengakomodir kepentingan bagi pendanaan untuk kepentingan
pengelolaan dan kelestarian ekosistem hutan di bagian hulu (Suprayitno 2008).
2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan
Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) merupakan pemberian penghargaan
berupa pembayaran, kemudahan dan keringanan kepada pelaku, pengelola,
penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem
(Suprayitno 2008). Pendapat yang lain menyebutkan bahwa PJL adalah suatu
transaksi sukarela yang menggambarkan suatu jasa lingkungan yang perlu
dilestarikan dengan cara memberikan nilai kepada penerima manfaat jasa
lingkungan (Wunder 2005).
Menurut Pagiola (2004) prinsip dari sistem pembayaran jasa lingkungan
sangatlah sederhana yaitu kompensasi yang ditentukan oleh pengguna
sumberdaya untuk menghasilkan jasa lingkungan yang disediakan lingkungan
akan mendorong insentif pengguna sumberdaya untuk melestarikannya. Wunder
(2005) menggambarkan lima kriteria yang relatif sederhana untuk prinsip PJL,
yaitu: 1) transaksi sukarela, 2) jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan baik
untuk ditransaksikan, 3) minimal ada satu pembeli, 4) dengan minimal satu
penyedia, 5) jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan menjamin penyediaan
jasa lingkungan (conditionality).
Menurut Suprayitno (2008) jenis PJL dapat berupa dana kompensasi atau
insentif, dana konservasi, dan dana-dana lainnya untuk kepentingan pengelolaan,
rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan atau ekosistem
tertentu. Sementara itu FAO (2003) diacu dalam USAID (2009) membagi ke
dalam dua tipe skema pembayaran jasa lingkungan. Tipe pertama yaitu PJL yang
berhubungan dengan jasa pasar global atau skala geografi yang sangat luas,
bertujuan menggunakan instrumen pasar untuk membayar jasa yang penggunanya
tidak terbatas pada tingkat lokal, seperti konservasi keanekaragaman hayati,
keindahan alam, penyimpanan karbon dan lain-lain. Tipe kedua yaitu pembayaran
jasa lingkungan dirancang untuk mengkompensasi penghasil dengan
menggunakan pasar lokal, dimana pengguna umumnya terdefinisi dengan lebih
baik dan terbatas pada area geografik tertentu, yang dekat dengan lokasi dimana
penyedia melaksanakan kegiatan produktifnya. Karena pengguna dan penyedia
8
secara geografik dekat antara satu dengan lainnya, maka biaya transaksi minimal
dan aliran informasi menjadi lebih mudah dilakukan oleh pihak yang mengadakan
kesepakatan. Sedangkan menurut Wunder terdapat dua bentuk skema PJL yaitu
user-financed schemes dan government-financed schemes. User-financed schemes
memiliki karakteristik skala kecil, jasa tunggal dan pembeli tunggal, jarang ada
tujuan sampingan, serta fokus. Contoh skema ini adalah skema PJL DAS dan
skema PJL karbon. Government-financed schemes memiliki karakteristik skala
besar, beberapa jasa lingkungan, banyak tujuan (politik), negara bertindak sebagai
pembeli dan kurang fokus. Contoh skema ini adalah PSA Costa Rica, Mexico dan
Agri-envir (Eropa, Amerika, dan Cina). Pembayaran jasa lingkungan dalam
bentuk jasa air dalam DAS termasuk dalam kategori tipe pembayaran kedua ini.
Mekanisme imbal jasa multifungsi DAS menurut Cahyono dan Purwanto (2006)
dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk, yaitu:
a. Kesepakatan yang di atur sendiri
Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa,
biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka,
perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari pemerintah.
Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan
dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaat jasa DAS yang
berada di luar lokasi dengan pemilik lahan yang bertanggungjawab atas
ketersediaan jasa multifungsi DAS.
b. Skema pembayaran publik
Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud menyediakan
landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus menanamkan
investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan
pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak
air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan
dan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan
denda bagi pelanggarnya.
c. Skema pasar terbuka
Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di negara yang
sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau jasa apa saja dari
9
multifungi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang
dapat menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan
penegakan hukum, transparansi, penghitungan secara ilmiah yang akurat dan
sistem verifikasi yang terjamin.
Di Indonesia mulai banyak dikembangkan bentuk-bentuk mekanisme imbal
jasa lingkungan di beberapa daerah. Hal terpenting dalam skema imbal jasa yang
dibuat menurut Setiawan et al (2010) memenuhi empat kriteria yaitu: realistis,
kondisional, sukarela dan berpihak pada yang miskin. Sedangkan menurut BSR
(2007) ada empat prasyarat keberhasilan PJL yaitu:
1. Jasa lingkungan yang benar-banar dipahami oleh seluruh pemangku
kepentingan, serta adanya kemampuan teknis pengelolaannya
2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun
(transparen dan akuntabel)
3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang
kredibel
4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada
keberatan/kritik.
2.3 Peraturan Perundangan Jasa Lingkungan
Peraturan perundangan yang berhubungan dengan PJL di Indonesia menurut
Prasetyo et al (2009) yaitu :
1. UU 23/1997 tentang Lingkungan Hidup, mengatur kewenangan dalam
pengelolaan lingkungan
2. UU 41/1999 tentang Kehutanan dan PP 6/2007, mengatur pengelolaan jasa
lingkungan
3. UU 7/2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, mengatur jasa
lingkungan terkait air
4. Kombinasi ketiga di atas dengan UU 34/2000 dan PP 65/2001 menjadi
dasar bagi PJL di Indonesia
5. MPB/CDM juga merupakan PJL, dan diatur pelaksanaannya dalam UU
17/2004
USAID (2007) mengemukakan bahwa kebijakan pengelolaan lingkungan,
khususnya yang terkait dengan jasa perlindungan fungsi DAS merupakan
10
landasan utama dalam mengembangkan skema pembayaran jasa lingkungan.
Kebijakan pengelolaan lingkungan tersebut antara lain:
1. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah
3. Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah
4. Peraturan Daerah tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan Air Permukaan
5. Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/mbu/2003
Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha
Kecil dan Program Bina Lingkungan
6. Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor: 1451
K/10/Mem/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas
Pemerintahan di bidang Pengelolaan Air Bawah Tanah.
Peraturan daerah mengenai jasa lingkungan terdapat di Kabupaten Lombok
Barat yaitu Peraturan Daerah (Perda) No 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa
lingkungan untuk pemanfaatan air dan objek wisata di Kabupaten Lombok Barat
(Setiawan et al 2010). Perda Jasa Lingkungan Kabupaten Lombok Barat tersebut
mengatur bahwa 75 persen dana jasa lingkungan yang terkumpul akan
dikembalikan ke alam untuk mendukung kegiatan konservasi, rehabilitasi dan
penguatan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar hutan, sedangkan 25 persen akan
dialokasikan bagi pembangunan infrastruktur yang akan dilakukan oleh
pemerintah daerah.
2.4 Penelitian Terdahulu
2.4.1 Jasa lingkungan di Pulau Lombok
Ada beberapa penelitian yang terkait dengan jasa lingkungan di Lombok.
Salah satu penelitian tersebut adalah yang dilakukan WWF Nusa Tenggara
mengenai nilai ekonomi kawasan Rinjani. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
bahwa nilai kawasan Gunung Rinjani senilai Rp. 5,178,159 triliun. Nilai ini
11
merupakan nilai kawasan Gunung Rinjani dari nilai sumberdaya air, pariwisata
dan hutan jika kawasan ini tetap dilestarikan. Kontribusi bagi air irigasi untuk
menunjang pertanian di Pulau Lombok mencapai nilai 5,4 milyar/tahun. Dari
sektor pertanian diperoleh nilai benefit sebesar 386 milyar/tahun. Nilai air ini juga
diperoleh dari perusahaan air mineral Narmada Awet Muda yang memanfaatkan
air langsung dari kawasan Rinjani, yaitu senilai Rp. 1,75 milyar/tahun. Selain itu,
kawasan Rinjani juga memberikan kontribusi bagi nilai pariwisata sebesar Rp.286
milyar/tahun (IMP 2009).
Penelitian selanjutnya adalah studi tentang Willingness to Pay (WTP)
pelanggan PDAM Menang-Mataram yang bekerjasama dengan LP3ES. Hasil
penelitian tersebut menyebutkan bahwa pelanggan PDAM bersedia membayar
sejumlah Rp.1000,00-Rp.5.000,00 untuk dana konservasi daerah hulu. Penelitian
mengenai pembayaran jasa lingkungan di Pulau Lombok dan Sumbawa dilakukan
oleh Latifah et al (2011) dalam program Climate Change Adaption Project atas
kerjasama CSIRO, AUSAID dan Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan
identifikasi praktek-praktek pembayaran jasa lingkungan yang ada di Pulau
Lombok dan Sumbawa yang nantinya dilakukan studi lanjutan untuk menjadikan
pembayaran jasa lingkungan sebagai alternatif strategi adaptasi terhadap
perubahan iklim dan penghidupan masyarakat pedesaan. Hasil penelitian ini
menyebutkan terdapat enam praktek pembayaran jasa lingkungan. Dari enam
praktek tersebut terdapat lima lokasi di Pulau Lombok dan satu lokasi di Pulau
Sumbawa. Praktek pembayaran jasa lingkungan tersebut yaitu di Kabupaten
Lombok Barat, Desa Lendang Nangka, Desa Salut, Desa Genggelang, Desa
Sedau, dan Desa Sabedo.
Penelitian berikutnya adalah penelitian mengenai proses pengembangan
Mekanisme PJL di Indonesia oleh LPM Equator (2011). Pada penelitian ini
disajikan kondisi eksisting mekanisme PJL di tiga lokasi yakni di Lombok,
Lampung dan Kuningan. Penelitian ini menyebutkan belum ada inisiatif PJL di
Indonesia yang bisa dikategorikan PJL murni. Penelitian ini juga menyebutkan
bahwa respon masyarakat mengenai PJL di Lombok Barat cukup bervariasi. Ada
pihak yang keberatan dengan PJL namun lebih banyak yang setuju dan bersedia
untuk membayar lebih. Industri (hotel, restoran dan lain-lain) masih enggan dan
12
keberatan dengan adanya pembayaran tersebut, karena mereka merasa telah
dibebani oleh pajak dan retribusi. Namun demikian nampaknya masih ada
kemungkinan untuk mengembangkan PJL di Lombok Barat melalui tanggung
jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan
2.4.2.1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica
Costa Rica menjadi negara perintis pembayaran jasa lingkungan (PJL) di
dunia. PJL di Costa Rica mulai dikenal tahun 1997 bersamaan dengan disahkan
Undang-Undang Jasa Lingkungan yang mengakui hutan sebagai penyedia jasa
lingkungan. Sebelumnya pemerintah Costa Rica telah menetapkan serangkaian
kebijakan mengenai tata guna lahan, dan kini peraturan mengenai air masih dalam
proses perumusan. Komitmen awal dari pemerintah Costa Rica yaitu
mengalokasikan 5% dari pajak bahan bakar untuk membiayai skema PJL
(Munawir 2006). Undang-undang Kehutanan nomor 7575 menyebutkan empat
jasa lingkungan yang disediakan hutan, yaitu 1) mitigasi terhadap emisi gas rumah
kaca, 2) jasa hidrologis termasuk kuantitas dan kualitas air untuk konsumsi, irigasi
dan penyediaan energi, 3) konservasi keanekaragaman hayati, 4) penyediaan
keindahan bentang alam untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata (Pagiola
2005). Dalam hukum tersebut juga untuk menghimpun dana pembiayaan
kehutanan nasional untuk pembiayaan Fondo Nacional de Financiamiento
Forestal (FONAFIFO) yaitu sebuah lembaga pemerintah yang mengelola
program PJL dan mengelola pendapatan dari pajak bahan bakar serta mengelola
dana multilateral dan bilateral lainnya. Kegiatan konservasi dan perlindungan
ekosistem di Costa Rica pada tingkat nasional difokuskan pada kegiatan
konservasi dengan menggunakan dana dari skema PJL sebesar lebih dari 80%
(Latifah 2011). Skema pembayaran PJL di Costa Rika lebih rigkasnya dapat
dilihat pada gambar 2.
Gamb
Pada
secara adm
skema PJL
negoisasi
listrik dan
secara su
FONAFIF
air namun
perusahaa
(buyer), se
jasa lingk
berpartisip
rencana y
berkelanju
praktek-pr
pengelolaa
lingkunga
kesepakata
1 berikut.
ar 2 Skema
a skema PJ
ministratif
L daerah al
dengan FO
n satu peru
ukarela (M
FO semakin
n juga peng
an tersebut s
edangkan m
kungan (se
pasi pada p
yang dibu
utan. Setela
raktek sep
an hutan y
an yang dih
an pembaya
a pembayara
JL di Costa
telah diteta
liran sungai
ONAFIFO.
usahaan air
Munawir 20
n meningkat
gguna air iri
sebagai pem
masyarakat p
eller) atau
program ini
uat oleh r
ah rencana
perti penan
yang berkela
hasilkan da
aran jasa lin
an jasa ling
a Rica besa
apkan pada
i besarnya p
Hingga tah
minum ya
006). Juml
t tiap tahun
igasi dan p
manfaat jas
pengguna l
penerima
i, pemilik l
imbawan b
itu disetuju
naman tana
anjutan lain
apat dipero
ngkungan ai
gkungan Cos
arnya pemb
a program n
pembayaran
hun 2006 te
ang menand
lah kesepa
n, bukan ha
erhotelan (P
sa lingkung
ahan di hu
a insentif
ahan di hu
berlisensi
ui, pemilik
aman kayu
n sehingga
oleh. Ketera
ir di Costa R
sta Rica ( L
bayaran pad
nasional. S
n ditentukan
elah ada em
datangani k
akatan yan
anya perusa
Pagiola 200
gan yang m
ulu DAS se
dari buyer
ulu DAS ha
untuk pen
k lahan haru
u, konserv
pembayara
angan men
Rica ditunju
Latifah 2011
da penyedia
Sedangkan u
n melalui p
mpat perusa
kesepakatan
g dicapai
ahaan energ
05). Perusa
memberi in
ebagai pen
r. Untuk
arus menyia
ngelolaan h
us menerap
vasi hutan
an terhadap
ngenai nilai
ukkan pada
13
).
a jasa
untuk
proses
ahaan
n PJL
oleh
gi dan
haan-
sentif
nyedia
dapat
apkan
hutan
pakan
dan
p jasa
i dan
tabel
14
Tabel 1 Pembayaran jasa lingkungan air di Costa Rica Perusahaan DAS Area
kontrak (ha)
Nilai pembayaran ($/ha/tahun)
Keterangan konntrak
Energia Global Rio Volcan Rio San Fernando
2.000
12 tahun1997, diperbaharui 2002
Platanar Rio Platanar 750 15/30 tahun 1999, diperbaharui 2004, Pemilik tanah tanpa sertifikat dimulai tahun 2000 selama 10 tahun.
CNFL Rio Aranjuez Rio Balsa Lago Cote
4.000 6.000
900
40 40 40
tahun 2000
Florida Ice & Farm
Río Segundo - 45 tahun 2001
Heredia ESPH Río Segundo 1.000 22 tahun 2004 Azucarera El Viejo
Acuífero El Tempisque
550 45 tahun 2004
La Costeña SA Acuífero de Guanacaste
100 45 tahun 2004
Olefinas Acuífero de Guanacaste
40 45 tahun 2004
Exporpac Acuífero de Guanacaste
100 45 tahun 2005
Hidroeléctrica Aguas Zarcas
Río Aguas Zarcas 1.666 30 tahun 2005
Desarrollos Hoteleros Guanacaste
Acuífero de Guanacaste
925 45 tahun 2005
Sumber : Pagiola 2005
2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten
Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan
implementasi dari program PJL di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut
menyebutkan bahwa implementasi PJL di DAS Cidanau dimotivasi oleh
gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan
pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan
ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun
terakhir.
PJL diagggap penting untuk diimplementasikan untuk mengatasi masalah
air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah
kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, implementasi dari program tersebut
tidaklah mudah. PT KTI sebagai perusahaan air siap mendanai implementasi
tersebut sebagai uji coba PJL. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS
Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada
15
pertanian mereka. Dalam pelaksanaannya, dibentuk suatu Forum Komunikasi
DAS Cidanau atau disingkat FKDC yang beranggotakan unsur masyarakat,
pemerintah, LSM, dan swasta. Peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam
implementasi jasa lingkungan antara lain :
1. Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer)
jasa untuk rehabilitasi dan konservasi lahan
2. Mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan
3. Menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau
4. Mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di
DAS Cidanau.
Skema PJL yang terjadi di DAS Cidanau lebih rinci dapat dilihat pada
Gambar 3.
Keterangan : : Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES
: Air dan Pembayarannya
Gambar 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten
(modifikasi dari Budhi et al. 2007).
Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan
dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain
penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian
Kelompok Tani
LP3ES dan Rekonvasi
Bhumi
PDAM
PLN
FKDC
Sektor Swasta
Industri
PT KTI
16
pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi
ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun
ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima
sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa
konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses
dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh
pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.
Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek
pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap stakeholder dapat dikontrol secara
transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat
di uji coba pada skala nasional.
2.4 Analisis Stakeholder
Stakeholder adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi
dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan penerapan sebuah proyek
(Groenendijk 2003). Metode analisis stakeholder digunakan untuk mengetahui
keterlibatan stakeholder meliputi identifikasi, peranan, fungsi dan pengaruh
stakeholder. Analisis stakeholder adalah sebuah proses untuk : 1) menjelaskan
aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh suatu keputusan atau
kegiatan, 2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang dipengaruhi
atau dapat dipengaruhi oleh bagian dari fenomena tersebut (bisa termasuk bukan
manusia atau kesatuan yang tidak hidup dan generasi mendatang), 3) Untuk
mengetahui prioritas individu atau kelompok dalam keterlibatan untuk mengambil
keputusan dan kebijakan (Reed et al 2009).
Reed et al (2009) membagi stakeholder berdasarkan kepentingan dan
pengaruhnya menjadi:
1. Key Player, merupakan stakeholder yang paling aktif dalam pengelolaan
karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar
2. Subject, memiliki kepentingan yang besar tetapi pengaruhnya kecil.
Stakeholder ini mungkin memberikan dukungan tetapi memiliki kapasitas
yang kecil untuk mengubah keadaan. Stakeholder ini dimungkinkan akan
memiliki pengaruh yang jauh lebih besar jika bekerjasama dengan
stakeholder lain
17
3. Context Setter, memberikan pengaruh yang besar, tetapi memiliki
kepentingan yang kecil. Stakeholder kategori ini mungkin akan
memberikan gangguan yang signifikan terhadap suatu sistem pengelolaan.
Sehingga dalam suatu pengelolaan, stakeholder ini harus selalu dipantau
dan harus selalu diatur
4. Crowd, merupakan stakeholder dengan kepentingan dan pengaruh yang
kecil. stakeholder ini akan memperhatikan segala kegiatan yang dilakukan.
2.5 Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Lombok Barat
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P37/2007, Hutan
Kemasyarakatan (HKm) didefinisikan sebagai hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Program ini
merupakan langkah strategis dalam pelestarian hutan sekaligus dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Tujuan HKm adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber
daya hutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Diharapkan penyelenggaraan HKm mampu mengembangkan kapasitas dan
pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara
lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat
untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat.
HKm dapat diterapkan di kawasan hutan Lindung dan hutan Produksi.
Pemilik izin HKm disebut sebagai Izin Usaha Pemegang Hak Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm) yang berada pada hutan lindung. Pemegang
IUPHKm berhak mendapat fasilitasi pendampingan dari pemerintah kabupaten,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan kawasan dan memungut hasil
hutan bukan kayu. Sedangkan di sisi lain Pemegang IUPHKm berkewajiban
melakukan penataan batas areal kerja, menyusun rencana kerja, melakukan
penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, membayar penyediaan sumberdaya
hutan sesuai ketentuan, dan menyampaikan laporan kegiatan pemanfatan hutan
kemasyarakatan kepada pemberi izin.
Sejarah hutan lindung sesaot dimulai sejak zaman penjajahan Belanda.
Masyarakat Desa Sesaot merupakan pendatang yang berasal dari Kabupaten
Lombok Barat dan Mataram (sekarang) serta pendatang dari Karang Asem Bali.
18
Mereka pada awalnya didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai pekerja
dalam reboisasi hutan tutupan (hutan lindung). Pemerintah Belanda memberikan
hak kelola masyarakat dalam bentuk tumpang sari dibawah tegakan pohon kayu-
kayuan. Adanya hak pengelolaan tersebut mendorong masyarakat untuk
membangun rumah tempat berteduh di luar kawasan hutan tutupan. Adanya
insentif yang tinggi dari dalam kawasan hutan merupakan faktor penarik
masyarakat luar mendekat dan berdomisili disekitar hutan (Dipokusumo 2011).
Menurut hasil penelitian Khususiyah et al (2010), Pengelolaan hutan Sesaot
oleh masyarakat dimulai sejak tahun 1957. Pada tahun tersebut, hutan Sesaot
ditanami tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dan buah-buahan oleh
masyarakat setempat sebagai bagian dari program penghijauan. Masyarakat
diperkenankan untuk mengelola tanaman tersebut. Pada tahun 1968-1969,
masyarakat mulai menanam kopi di bawah tegakan pohon penghijauan tersebut.
Agar penanaman kopi ini dikelola dengan baik, pihak kehutanan setempat pada
tahun 1972 membentuk Koperasi Rimbawan yang menaungi pengelolaan kopi
masyarakat. Penanaman dan pemeliharaan kopi ini juga berlanjut hingga tahun
1984-1985. Luas tanaman kopi di hutan Sesaot di tahun tersebut mencapai 1.662
ha sehingga diusulkan sebagai hutan penyangga kopi. Usulan ini mendapat
tanggapan dengan dikeluarkannya SK Gubernur No.140 tanggal 26 Mei 1986
yang juga memuat perjanjian pemeliharaan tanaman kopi di dalam kawasan hutan
lindung. Masyarakat yang memelihara tanaman kopi tersebut dibenarkan untuk
mendapat setengah dari hasil panen tersebut.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat bukan hanya ketika mereka menanam
dan memelihara tanaman kopi saja. Pada tahun 1982, dilakukan program
penghijauan khususnya di wilayah bekas eks-HPH di hutan Sesaot. Tanaman
mahoni, sengon dan lamtoro disertai juga tanaman buah-buahan ditanam melalui
mekanisme banjar harian dan tumpangsari. Bahkan masyarakat menanam pisang
di antara tanaman buah-buahan.
Pada tahun 1995, dikembangkan uji coba pola HKm di atas hutan tersebut
seluas 25 ha. Uji coba tersebut dievaluasi cukup berhasil ditinjau dari aspek
konservasi dan ekonomi sehingga diperluas oleh Pemerintah Kabupaten Lombok
Barat menjadi 236 ha. Hingga hari ini, sekitar 3.857 ha hutan Sesaot dikelola oleh
19
masyarakat dengan pola HKm dimana seluas 185 ha di antaranya telah
mendapatkan izin Usaha Pengelolaan HKm (SK Bupati Lombok Barat No.
2130/65/Dishut/2009) berdasarkan pencadangan areal HKm oleh Menteri
Kehutanan (Kepmenhut No. 445/Menhut-II/2009). Selebihnya, lahan yang
dikelola masyarakat sedang diusulkan untuk mendapatkan izin HKm kepada
Menteri Kehutanan (Surat Bupati Lombok Barat No 522/726/Dishut/2010). Sejak
tahun 1995 hingga sekarang, 6.000 KK atau 18.000 jiwa di kawasan Sesaot
menggantungkan sumber kehidupannya dari pengelolaan kawasan tersebut.
Berdasarkan Dipokusumo (2011), Kelembagaan di HKm hutan Lindung
sesaot berupa Forum HKm. Kelembagaan ini berperan sebagai sumber informasi
pengelola HKm dan advokasi antara masyarakat dengan pihak luar (termasuk
pemerintah). Kelembagaan HKm tersebut belum dapat berfungsi optimal sebagai
wadah yang dapat menjembatani penggarap HKm (pesanggem) dengan pihak luar
termasuk pemerintah. Berbagai informasi berhenti sampai pada tingkat pengurus
kelompok.
Luas HKm Hutan Lindung Sesaot yaitu 211 hektar dengan jumlah petani
pengelola sebesar 1.224 KK yang berlokasi di lima dusun yaitu Dusun Bunut
Ngengkang (Desa Sesaot) seluas 25 hektar, Dusun Pesuren (Desa Lebah
Sempage) seluas 35 hektar, Dusun Kumbi I dan II (Desa Lebah Sempage) seluas
35 hektar, Dusun Lebah Suren (Desa Sedau) seluas 65 hektar dan Dusun Selen
Aik (Desa Sedau) seluas 51 hektar. Dengan demikian, total luas lahan HKm
mencapai 236 ha (Dipokusumo 2011).
2.6 Pajak Ganda (Double Taxation) pada PDAM
Pajak ganda atau double taxation adalah kondisi dimana wajib pajak dikenai
dua atau lebih pajak untuk pendapatan atau modal yang sama. Hal ini terjadi
apabila terdapat dua hukum atau peraturan yang tumpang tindih sehingga
transaksi, modal, atau pendapatan dikenai pajak di kedua peraturan tersebut.
Badan hukum atau perusahaan negara bisa terkena pajak ganda ini, selama badan
hukum atau perusahaan negara membayar pajak terhadap laba dan pemegang
saham juga dikenai pajak sekali lagi. Pajak ganda juga bisa terjadi apabila penjual
dan pembeli dikenai pajak yang sama. Pajak ganda lebih sering terjadi pada
transaksi yang melibatkan dua negara (Saunders 2002).
20
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor
dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat Strategis yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pada pasal 1 ayat 1 huruf g
dan pasal 2 ayat 2 huruf g dinyatakan bahwa salah satu barang kena pajak tertentu
yang bersifat strategis adalah air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh
Perusahaan Air Minum, sehingga dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN). Pajak ganda pada PDAM biasa terjadi pada saat pengadaan pipa dan
meter air (PERPAMSI 2010). PDAM sudah dikenai PPN atas air bersih.
Pengenaan PPN atas Pendapatan Non-air yang jika ditagihkan oleh PDAM kepada
pelanggan berarti terjadi pengenaan pajak ganda. Hal ini tentu saja akan menjadi
beban tambahan bagi pelanggan PDAM.
Pembiayaan pengolahan sumberdaya air, termasuk pada PDAM, ditetapkan
berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumberdaya air agar pelaksanaannya
dilakukan secara wajar untuk menjamin keberlanjutan fungsinya. Jenis
pembiayaan pengelolaan sumberdaya air meliputi biaya sistem informasi,
perencanaan, pelaksanaan kontruksi termasuk didalamnya biaya konservasi
sumberdaya air, operasi, pemeliharaan, pemantauan, evaluasi dan biaya
pemberdayaan masyarakat (Nugroho 2002 diacu dalam Fadillah 2011).
Pendapatan PDAM dihasilkan dari pendapatan penjualan (operasional)
dan pendapatan lain-lain, sementara biaya dapat dikelompokkan menjadi
biaya langsung dan tidak langsung. Menurut Kusuma (2006), yang termasuk
biaya langsung pada proses produksi air PDAM adalah biaya sumber, biaya
pengolahan, biaya transmisi, dan biaya distribusi. Sedangkan biaya tidak
langsungnya adalah biaya administrsi dan umum yang meliputi biaya pegawai,
biaya kantor, biaya penelitian dan pengembangan, biaya instalasi umum,
hubungan langganan, biaya pemeliharaan, serta biaya bank (Ardiansyah 2010).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pengambilan data dilaksanakan di beberapa
lokasi yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan
sumberdaya air antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok
Barat, PDAM Menang-Mataram,WWF Nusa Tenggara, Konsepsi, Desa Sedau,
Desa Suranadi dan Desa Batu Mekar serta dinas yang terkait dengan Pengelolaan
Jasa Lingkungan (BPDAS Dodokan-Moyosari dan BLHP). Penelitian
dilaksanakan pada bulan September-November 2011.
3.2 Obyek dan Alat Penelitian
Obyek penelitian yang dikaji antara lain mekanisme pembayaran jasa
lingkungan yang berlaku dan para stakeholder serta peranan masing-masing
stakeholder yang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram.
Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain tape recorder,
camera digital, panduan wawancara, serta alat tulis.
3.3 Jenis Data
Jenis data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui observasi lapang dan wawancara dengan stakeholder yang
terkait dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air
di Lombok Barat dan Mataram, yaitu : kelompok tani di sekitar kawasan Hutan
Sesaot (diwakili Kelompok Tani Lebah Suren, Forum Ranget, Kelompok Tani
Mule Paice, dan Forum Kawasan), PDAM Menang-Mataram, LSM Konsepsi,
WWF Nusa Tenggara dan Dinas Kehutanan (yang tergabung dalam IMP) serta PT
Narmada Awet Muda. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran
dokumen SOP mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya
air Lombok Barat dan Mataram yang sedang berjalan, undang-undang terkait,
22
buku referensi, jurnal, internet, dan data pendukung lainnya seperti data fluktuasi
debit air dan kualitas air serta data kependudukan dari desa terkait.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi literatur,
observasi lapang dan wawancara. Metode-metode tersebut akan digunakan secara
kombinasi untuk mendapatkan data di semua lokasi penelitian.
3.4.1 Studi literatur
Studi Literatur akan dilakukan melalui penelusuran dokumen perjanjian
mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Lombok
Barat dan Kota Mataram yang sedang berjalan, undang-undang terkait, buku
referensi, jurnal, internet, dan data pendukung lainnya yang berkaitan dengan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan sumberdaya air di Kabupaten Lombok
Barat dan Kota Mataram. Data-data tersebut diantaranya :
1. Penelusuran dokumen mengenai peraturan perundangan secara umum
maupun secara lokal daerah Lombok Barat dan Kota Mataram mengenai jasa
lingkungan penyediaan sumberdaya air
2. Penelusuran dokumen perjanjian kerjasama antara para pihak penyedia
maupun pengguna jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Lombok
Barat dan Kota Mataram
3. Penelusuran dokumen mengenai kondisi mata air maupun aliran air di DAS
Jangkok, Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram
4. Penelusuran dokumen mengenai kondisi sosial dan ekologi masayarakat desa
sekitar Hutan Sesaot
5. Penelusuran dokumen terkait lainnya.
3.4.2 Observasi lapang dan wawancara
Observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui mekanisme
pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok
Barat dan Kota Mataram, para pihak yang terkait serta peranan para pihak tersebut
dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan. Selain itu,
observasi lapang dan wawancara juga dilakukan untuk mengetahui perkembangan
mekanisme pembayaran yang dilakukan. Observasi lapang juga digunakan untuk
23
melihat perubahan yang terjadi setelah adanya mekanisme pembayaran jasa
lingkungan di kawasan tersebut. Wawancara dilakukan secara purposive
sampling pada narasumber yang memiliki peranan penting dalam mekanisme
pembayaran sumberdaya air tersebut. Selain itu, narasumber yang diwawancarai
merupakan pihak yang terlibat dalam perumusan maupun implementasi
mekanisme pembayaran sumberdaya air yang berjalan. Narasumber dipilih
dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme
pembayaran sumberdaya air yang berjalan (key person). Jenis dan metode
pengunpulan data selengkapnya tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data No. Tujuan Data Sumber Data Metode
Pengumpulan Data
1. Mengetahui stakeholder yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air
Keterlibatan para pihak : - Identifikasi para pihak - Tingkat kepentingan
serta pengaruh para pihak
- Peranan para pihak
• Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat
• WWF Nusa Tenggara
• Konsepsi • PDAM Menang-
Mataram • PT Narmada Awet
Muda • SCBFWM • Kelompok Tani
Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan wawancara
2. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan sumberdaya air
Skema PJL di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram : - Latar Belakang adanya
mekanisme PJL - Aturan dan penegakan
aturan mekanisme PJL yang berjalan
- Perkembangan mekanisme PJL yang dilakukan
- Permasalahan yang timbul dan penyelesaian yang diambil
• Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat
• WWF Nusa Tenggara
• Konsepsi • PDAM Menang-
Mataram • PT Narmada Awet
Muda • SCBFWM • Kelompok Tani • Fakultas Pertanian
universitas Mataram • LP3ES
Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan wawancara
3. Mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan air
- Perundangan - Rencana Strategis
lembaga - Kondisi mata air - Kondisi sosial
masyarakat
• IMP • BPDAS Dodokan-
Moyosari • BLHP • Forum Kawasan
Penelusuran dokumen, observasi lapang, dan wawancara
24
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Analisis keterlibatan stakeholder
Analisis terhadap keterlibatan stakeholder dilakukan untuk mengetahui
peran dan fungsi dari masing-masing stakeholder. Keterlibatan stakeholder
tersebut dianalisis melalui metode analisis stakeholder yang dikemukakan oleh
Groenendjik (2003), Reed et al (2009) dan Mayers (2001). Proses indentifikasi
stakeholder merupakan proses awal dalam metode ini. Selanjutnya, dilakukan
pengklasifikasian stakeholder menjadi stakeholder primer, sekunder, dan
eksternal. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan stakeholder
dengan mekanisme yang ada. Stakeholder primer langsung adalah pihak yang
memiliki kepentingan penuh dan menerima keuntungan secara langsung dari
berjalannnya suatu proyek. Selebihnya disebut stakeholder primer tak langsung.
Sedangkan stakeholder sekunder adalah pihak yang tidak terlibat secara langsung
namun menaruh kepentingan pada dampak dari proyek.
Atribut kunci dari masing-masing stakeholder kemudian diidentifikasi dan
dianalisis. Atribut yang dimaksud adalah kepentingan (interest), pengaruh
(influence) dan nilai penting (importance). Masing-masing stakeholder memiliki
atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis.
Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang
penting untuk diinvestigasi dari stakeholder. Kepentingan ini mendukung tujuan
(stakeholder juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau
kebalikannya (tujuan mekanisme bertolak belakang terhadap kepentingan dari
stakeholder). Kepentingan merupakan tingkat perlu atau tidaknya suatu pihak
dalam sistem. Jika suatu pihak mutlak harus ada maka kepentingannya besar,
begitu pula sebaliknya. Pengaruh (influence) adalah kewenangan stakeholder
untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya
atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif.
Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau
organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat
keputusan dan mengikuti beberapa tindakan. Pengaruh juga bisa diartikan sebagai
tingkatan besarnya kekuatan dalam mendukung atau menghambat sistem.
Kekuatan tersebut dapat berupa hak secara formal dalam hal wewenang sampai
25
kepada aspek informal yang dimiliki pihak tertentu dalam mempengaruhi pihak
lain. Nilai penting (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk
memuaskan kebutuhan dan kepentingan stakeholder pada proyek. Oleh karena itu,
kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan dan kepentingan stakeholder yang
merupakan prioritas dari mekanisme. Atribut-atribut tersebut kemudian disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3 Kepentingan (interest) masing-masing stakeholder Kepentingan Nilai penting Pengaruh
Stakeholder primer Stakeholder 1 ..... Stakeholder n
Stakeholder sekunder Stakeholder 1 ...... Stakeholder n
Keterangan : Diadaptasi dari Mayers (2001) menurut penilaian dengan tingkatan tertentu secara kualitatif.
Kesuksesan sebuah program atau mekanisme sebagian tergantung dari
kebenaran asumsi yang dibuat dari stakeholder yang berbeda, dan resiko yang
dihadapi oleh mekanisme. Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan
dari tiap stakeholder pada sebuah diagram matriks, asumsi terhadap resiko pada
stakeholder dapat teridentifikasi. Posisi dari stakeholder pada kuadran tertentu
mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan dan potensi koalisi
untuk mendukung mekanisme yang ada. Berikut adalah bentuk matriks tersebut
(Gambar 4).
High
Importance
Low Influence High
Gambar 4 Diagram matriks kepentingan dan pengaruh dari tiap stakeholder.
A B
D C
• stakeholder 2
• stakeholder 3
• Stakeholder 5
• stakeholder 1 • Stakeholder 4
26
Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan stakeholder
kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari
masing-masing kotak adalah sebagai berikut :
a) Subject : Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme
tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan
stakeholder tersebut memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi
kepentingan mereka.
b) Key Player : Stakeholder dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang
tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Untuk membentuk kerjasama efektif
dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung
dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan stakeholder ini.
c) Context Setter : Stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak
memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Stakeholder ini dapat menjadi
sumber resiko yang signifikan. Selain itu, dibutuhkan monitoring dan
manajemen dengan hati-hati. Stakeholder ini dapat menghentikan mekanisme
dan perlu diperhatikan.
d) Crowd : Stakeholder pada kuadran ini memiliki pengaruh dan kepentingan
yang rendah terhadap mekanisme. Stakeholder tersebut mungkin memerlukan
monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah. Stakeholder
pada kuadran ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung.
3.5.2 Analisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan
Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian
mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data
(Miles dan Huberman 1992 dalam Agusta 2003), yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data untuk menyederhanakan data,
meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau
bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara
peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.
3.5.3 Analisis untuk mengevaluasi mekanisme yang berjalan
Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan
mengacu pada kriteria pembayaran jasa lingkungan oleh Wunder (2005). Evaluasi
27
ini bertujuan sebagai bahan untuk menentukan kebijakan lebih lanjut dalam
pengelolaan. Evaluasi dilakukan dengan metode triangulasi, yaitu dengan
mengecek kesesuaian antara data yang ada di dokumen kesepakatan, pengamatan
lapang serta wawancara. Hasil dari ketiga hal tersebut kemudian dianalisis secara
deskriptif.
28
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram
Kabupaten Lombok Barat dengan luas wilayah 862,62 Km2 atau 86.262 Ha
terbagi menjadi 10 kecamatan. Terletak antara 115o46’ sampai dengan 11o28’
Bujur Timur, dan 8o12’ sampai dengan 8o55’ Lintang Selatan (BPS dan Bappeda
NTB 2010). Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Utara (KLU)
• Sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok dan Kota Mataram
• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Tengah
• Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
Gambar 5 Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram (Googlemap.com).
Mataram selain dikenal sebagai ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat juga
dikenal sebagai ibu kota Pemda Kota Mataram. Kota Mataram terdiri dari tiga
kecamatan yaitu Kecamatan Mataram, Ampenan dan Cakranegara dengan 23
kelurahan dan 247 Lingkungan. Secara geografis wilayah Kota Mataram
mempunyai luas wilayah 61,30 km2 dengan batas-batas sebagai berikut :
29
• Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat
• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat
• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat
• Sebelah barat berbatasan dengan Selat Lombok
4.2 DAS Jangkok
4.2.1 Letak dan luas
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram termasuk ke dalam wilayah
DAS Jangkok. DAS Jangkok merupakan DAS yang sangat penting di pulau
Lombok. DAS ini berbentuk bulu burung yang mengalir dari hulu Gunung Rinjani
dan bermuara di Selat Lombok dengan aliran perenial. Panjang sungai utama DAS
Jangkok mencapai 47,22 km, dengan luas mencapai 176,06 Km2. Luas tersebut
melewati empat wilayah administratif yakni Kabupaten Lombok Tengah,
Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram serta sebagian kecil wilayah
Kabupaten Lombok Utara (SCBFWM 2010). Berdasarkan toposekuesnya, dibagi
menjadi wilayah bagian hulu, tengah dan hilir. Wilayah bagian hulu berada di
kabupaten Lombok tengah dan sebagian di kabupaten Lombok Barat. Wilayah
bagian tengah berada di di kabupaten Lombok Barat dan wilayah bagian hilir
berada di Kota Mataram.
4.2.2 Kondisi geografis
Jenis tanah yang ada di kawasan DAS Jangkok terdiri dari tiga jenis yakni
jenis entosol, alfisol dan inceptisol. Jenis tanah entisol merupakan jenis tanah
mineral, dengan tanpa atau sedikit perkembangan. Secara umum terdapat pada
topografi berbukit maupun pegunungan dengan kemiringan lereng agak curam
hingga curam. Tekstur tanah beraneka dan pada umumnya berpasir. Jenis tanah
alfisol merupakan jenis tanah yang telah mengalami perkembangan horizon dan
berasal dari batuan kapur keras (Limestone) maupun tuf vulkanis. Solum tanah
dangkal hingga sedang dan mempunyai warna coklat hingga merah. Tekstur tanah
geluh hingga lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila
basah, pH netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorbsi sedang
dan agak peka erosi. Sedangkan jenis tanah inceptisol merupakan jenis tanah
30
aluvial yang berkembang pada zona penggenangan. Jenis inceptisol mempunyai
sifat drainase jelek.
4.2.3 Curah hujan
Iklim di kawasan Gunung Rinjani (wilayah hulu DAS Jangkok) termasuk
tipe iklim C dengan klasifikasi Schmidth Fergusson. Iklim C agak basah dicirikan
dalam satu tahun jumlah bulan kering tiga bulan dan bulan basah delapan bulan.
Hasil pengukuran curah hujan Badan Meteorologi selaparang Mataram periode
tahun 2005-2010 di wilayah Kecamatan Narmada (wilayah Hulu) dan Kecamatan
Ampenan (Wilayah Hilir) menunjukkan perbedaan tingkat curah hujan masing-
masing lokasi. Hasil perhitungan pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, biasanya curah hujan tertinggi terjadi
kebanyakan di wilayah hulu, namun padda tahun 2010 menunjukkan bahwa curah
hujan tertinggi terjadi di wilayah hilir hampir di setiap bulannya, terkecuali pada
bulan Juni dan Agustus yang menunjukkan bahwa tidak adanya hujan yan terjadi
di wilayah hilir (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010).
4.2.4 Luas dan tata guna lahan
Berdasarkan hasil pembaruan data DAS Jangkok (BPDAS Dodokan-
Moyosari 2010) menyebutkan bahwa DAS Jangkok terdiri dari 11 Sub-DAS
(sungai) yakni Sungai Tembiras, Sungai Semotoq, Sungai Bentoyang, Sungai
Jangkok (sungai utama), Sungai Aiknyet, Sungai Bensuwe, Sungai Betung,
Sungai Sekot, Sungai Sesaot, Kali Batu Asak dan Kali Tungtungan (BPDAS
Dodokan-Moyosari 2010). Hulu DAS Jangkok memiliki peranan penting sebagai
cathment area untuk mensuplai kebutuhan air bagi wilayah tengah yang
umumnya penggunaan lahan didominasi oleh persawahan dan wilayah hilir yang
didominasi oleh pemukiman.
Lahan kering masih cukup dominan di kawasan DAS Jangkok. Berdasarkan
data yang diperoleh dari BPS dan Bappeda Provinsi NTB tahun 2010, dapat
digambarkan bahwa sistem penggunaan lahan dikawasan hulu DAS Jangkok
masih didominasi oleh tanah kering yaitu sebesar 16.124 Ha atau sekitar 73 %
dari total penggunaan lahan dikawasan hulu, kemudian disusul dengan sawah
dengan persentase sebesar 11 % dari total penggunaan lahan dikawasan hulu.
31
Penggunaan lahan di kawasan hilir DAS Jangkok sangat berbeda dengan sistem
penggunaan lahan di kawasan hulu dan tengah yang didominasi oleh lahan kering
dan persawahan. Untuk kawasan hilir DAS Jangkok sistem penggunaan lahannya
didominasi oleh lahan pemukiman dan pekarangan. Sebaran tipe penggunaan
lahan dan luasan kawasan DAS Jangkok selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Sebaran tipe penggunaan lahan dan luasan di kawasan DAS Jangkok No Tipe Penggunaan Lahan Luas (Ha) Presentase (%) 1. Hutan lahan kering primer 7.870,11 44,7 2. Hutan lahan kering sekunder 3.808,33 21,6 3. Pemukiman 1.157,82 6,6 4.. Perkebunan 1.485,86 8,4 5. Pertanian lahan kering 808,83 4,6 6. Pertanian lahan kering campuran semak 627,29 3,6 7. Sawah 332,90 1,9 8 Semak / belukar 1.483,47 8,4 9. Tanah terbuka 31,72 0,2 Jumlah 17.606.33 100
Sumber : BPDAS Dodokan Moyosari (2009) diacu dalam BPDAS Dodokan-Moyosari (2010)
Luasan lahan kritis DAS Jangkok menurut BPDAS Dodokan Moyosari
tahun 2009 diacu dalam SCBFWM 2010 belum dominan. Lahan kritis hanya
sebagian kecil dari kawasan DAS Jangkok dan berada di kawasan tengah dan
hilir. Sedangkan kawasan di bagian hulu termasuk tidak kritis dan potensial kritis.
Kondisi tingkat kekritisan DAS Jangkok dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6 Tingkat kekritisan di DAS Jangkok.
32
4.2.5 Sosial ekonomi penduduk
Daerah hulu DAS Jangkok secara administrasi terbagi atas 11 desa. Mata
pencaharian penduduk di kawasan hulu DAS Jangkok adalah di dalam sektor
hutan kemasyarakatan (HKm), agroforestry, perkebunan, peternakan dan sawah.
Daerah tengah DAS Jangkok sebanyak 9 desa. Kawasan tengah DAS Jangkok
digunakan untuk perikanan, pertanian dan hortikultura. Demikian juga dengan
wilayah hilir yang terbagi menjadi 18 desa/kelurahan yang kesemuanya berada di
wilayah Kota Mataram. Kawasan hilir DAS Jangkok ini mata pencaharian
penduduknya di bidang jasa, pertanian, sawah dan hortikultura.
4.3 Penyedia (Providers) Jasa Lingkungan
Penyedia jasa lingkungan adalah pihak yang memiliki peran dalam menjaga
atau melindungi obyek jasa lingkungan. Praktek penggunaan lahan memberi
dampak terhadap kondisi air di hilir, sehingga penjual potensial adalah pemilik
lahan yang ada di hulu (Engel et al 2008). Tidak menutup kemungkinan bahwa
lahan di hulu merupakan milik negara, misalnya saja apabila hulu merupakan
hutan lindung. Seperti yang ada di Lombok Barat ini, daerah hulu merupakan
kawasan hutan Sesaot yang berstatus hutan lindung, maka yang menjadi penjual
atau penyedia jasa lingkungan adalah komunitas lokal yang hidup di sekitar
kawasan tersebut. Wilayah hulu DAS Jangkok terdiri dari 11 desa yaitu tujuh desa
di Kabupaten Lombok Barat, dua desa di Kabupaten Lombok Utara dan satu desa
di Kabupaten Lombok Tengah (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010). Nama-nama
desa yang berada di Hulu DAS Jangkok dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Nama-nama desa di wilayah hulu DAS Jangkok No. Desa/Kelurahan Kecamatan Kabupaten Luas Wilayah (km2) 1. Suranadi Narmada Lombok Barat 892,0 2. Sesaot Narmada Lombok Barat 1214,0 3. Senaru Bayan Lombok Utara 41,6 4. Sedau Narmada Lombok Barat 364,0 5. Mumbul sari Bayan Lombok Utara 25,0 6. Lebah Sempaga Narmada Lombok Barat 838,0 7. Karang Bayan Narmada Lombok Barat 5,8 8. Batu Mekar Lingsar Lombok Barat 11,9 9. Batu Kumbung Lingsar Lombok Barat 28,2 10. Akar-Akar Bayan Lombok Utara 49,0 11. Aik Berik Batukliang Utara Lombok Tengah 41,9
Sumber: BPDAS Dodokan-Moyosari 2010
33
Fungsi kawasan daerah hulu sebagian besar masih berupa kawasan hutan.
Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas (HPH),
hutan produksi biasa, taman wisata alam, taman hutan rakyat dan taman nasional
(Suryandari dan Alviya 2009). Kawasan hutan Sesaot merupakan bagian hulu dari
DAS Jangkok. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.756/Kpts/Um/1982, status
dan fungsi hutan Sesaot adalah hutan lindung. Penunjukan ini didasari atas
pertimbangan hutan ini memiliki fungsi penting sebagai sumber mata air bagi
irigasi pertanian skala besar serta untuk kebutuhan rumah tangga, khususnya di
Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat dan sebagian Kabupaten Lombok
Tengah (Galudra et al 2010).
Masyarakat sekitar hutan Sesaot yang sebagian besar bermata pencaharian
sebagai petani HKm, sehingga dalam menjalankan kegiatan sosial ekonominya
membentuk kelompok-kelompok kecil atau lembaga tingkat lokal. Lembaga-
lembaga tersebut aktif bekerjasama dengan berbagai pihak, antara lain lembaga
pemerintah, LSM, lembaga internasional maupun perusahaan. Kelompok
masyarakat atau lembaga tingkat lokal yang terlibat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan di kawasan hulu DAS Jangkok disajikan pada tabel 6.
Tabel 6 Nama-nama lembaga masyarakat di tingkat lokal Nama Keterangan
Forum Kawasan
Kelompok yang dibentuk untuk mengkoordinasikan dan mendampingi kelompok-kelompok tani HKm dan kelompok tani non-HKm termasuk dalam pengamanan kawasan hutan lindung Sesaot,
Kelompok Wana Dharma Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin
Kelompok Wana Lestari Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin
Kelompok Wana Abadi Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin
Kelompok Mitra Pelestarian Hutan (KMPH)
Wadah organisasi yang bersifat sekunder, merupakan pengembangan dari kelompok usaha bersama, kelompok - kelompok kopi penyangga dan kelompok – kelompok perkebunan lahan milik yang ada di sekitar kawasan Hutan Lindung Sesaot
Forum Ranget Kelompok masyarakat/ kelompok tani yang mengelola lahan HKm izin dan HKm non izin
Kelompok Tani Sinar Harapan Pengembangan ekonomi mikro melalui kios sarana produksi
Kelompok perempuan Ale-Ale
Lembaga yang berfungsi menampung aspirasi dan pengembangan kapasitas kaum perempuan di kawasan sesaot dalam melakukan pengelolaan sumberdaya hutan khususnya di hutan sesaot.
34
Tabel 6 Nama-nama lembaga masyarakat di tingkat lokal (lanjutan) Nama Keterangan
Kelompok tani Cempaka Kelembagaan masyarakat, khususnya kaum perempuan sesaot yang bergerak dalam bidang simpan pinjam dan pengembangan kreatifitas masyarakat.
Kelmpok tani Dahlia Desa Suranadi
Merupakan kelompok yang bergerak dalam bidang pembibitan tanaman kehutanan dan perkebunan
Kelompok tani Hidup Baru
Merupakan kelembagaan yang berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya kaum ibu yang ingin berusaha, dengan lingkup kegatan seperti sinpan pinjam, santunan, dan usaha bakulan.
Kelompok Melati Desa Lembah Sempage
Merupakan kelompok perempuan yang bergerak dalam bidang simpan pinjam dan sebagai pengumpul HHBK dari kawsan hutan lembah sempage
Kelompok Melati Desa Sesaot Merupakan kelompok masyarakat yan bergerak dalam bidang simpan pinjam, dan pengumpuh HHBK khususnya yang berasal dari kawasan hutan sesaot
Kelompok Sanggar Muda Tani Mandiri (Batumekar)
Lembaga yang bergerak dalam bidang pembibitan sampai pemasaran hasil usaha pertanian.
Organisasi Rakyat Darma Utama (Ora Darma)
Lembaga yang bergerak dalam pengelolaan air dengan sistem water meter di desa Batumekar.
Kelompok Masyarakat Peduli Sedau
Merupakan kelompok yang berorientasi pada usaha pembibitan.
Sumber : BPDAS Dodokan-Moyosari 2010
4.4 Pembeli (Buyers) Jasa Lingkungan
Pembeli jasa lingkungan biasanya berasal dari pihak yang memanfaatkan
jasa lingkungan (user financed schemes). Pembeli jasa lingkungan juga bisa
berasal dari lembaga pemerintah maupun lembaga internasional (pada
Government schemes). Pemanfaat jasa lingkungan pada skema pembayaran jasa
lingkungan biasanya adalah dari daerah hilir sungai. Pembeli potensial pada jasa
lingkungan adalah pihak yang bersedia menjaga atau melindungi aliran
keberlanjutan dari jasa lingkungan yang bersangkutan (Engel et al 2008).
Pada skema PJL di kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram yang
menjadi pihak pembeli jasa lingkungan adalah merupakan pihak pemanfaat jasa
lingkungan. Pihak tersebut adalah sebagian besar masyarakat Lombok barat dan
Kota Mataram yang berada di hilir DAS Jangkok. Pada mekanisme yang terjadi
saat ini penerima jasa lingkungan yang telah bersedia membayar adalah pelanggan
PDAM Menang-Mataram. PDAM Menang-Mataram merupakan perusahaan
daerah milik dua pemerintahan, yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kota
Mataram. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1993 disepakati
kepemilikan PDAM secara bersama oleh kedua Pemerintahan dengan proposi
pembagian 65% untuk Kabupaten Lombok Barat dan 35% untuk Kota Mataram.
35
4.5 Obyek Jasa Lingkungan
Pada kawasan Hutan Sesaot tersebut banyak ditemukan mata air yang
merupakan objek jasa lingkungan pada penelitian ini. Berdasarkan data yang
dihimpun dari Bappeda Provinsi NTB tahun 2005 teridentifikasi sebanyak 20
mata air, tetapi berdasarkan hasil pembaharuan data diperoleh 82 mata air yang
dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih, irigasi pertanian dan untuk pemandian
oleh masyarakat sekitar (BPDAS Dodokan-Moyosari 2010). Beberapa mata air
yang belum termanfaatkan langsung mengalir ke sungai. Beberapa nama mata air
di lokasi penelitian disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Beberapa nama mata air yang ada di hulu DAS Jangkok
No Mata Air Desa Pemanfaatan Saat Ini 1 Sarasuta I Suranadi Sumber air irigasi
2 Sarasuta II Suranadi Air bersih untuk masyarakat di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
3 Saraswaka Suranadi Air bersih untuk masyarakat di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat
4 Pura Lingsar I Lingsar Sumber air irigasi
5 Pura Lingsar II Lingsar Sumber air irigasi
6 Suranadi (Hulu) Suranadi Air bersih untuk masyarakat sekitar, Sumber air irigasi
7 Suranadi (Hilir) Suranadi Sumber air irigasi, permandian/kolam renang
8 Suranadi (Teratai) Suranadi Sumber air irigasi, air bersih untuk hotel/ penginapan
dan tempat rekreasi
9 Ranget I Ranget Air bersih yang dikelola PDAM Giri Menang untuk masyarakat Kota Mataram dan Kab. Lobar
10 Ranget II Ranget Air bersih yang dikelola PDAM Giri Menang untuk masyarakat Kota Mataram dan Kab. Lobar
11 Ranget III Ranget Sumber air irigasi
12 Gandari I Gandari Sebagai sumber air bersih masyarakat sekitar dan permandian umum, mengalir kesungai
13 Gandari II Gandari Sebagai sumber air bersih masyarakat sekitar dan permandian umum, mengalir kesungai
14 Pancor Gading P. Gading Sumber air bersih dan permandian umum masyarakat
15 Temas Temas Hanya dimanfaatkan untuk permandian masyarakat disekitar mata air selanjutnya mengalir kesungai
16 Gandawari Gandawari Permandian umum dan sumber air bersih masyarakat
17 Taman Narmada Narmada Dimanfaatkan untuk taman rekreasi berupa kolam ikan, kolam renang dan sumber air
18 PDAM Menang Montong Sebagai sumber air bersih masyarakat di Narmada serta sebagai sumber air irigasi
19 Kokok Jelateng Sesaot Sumber air irigasi dengan pembuatan bendung dan permandian umum masyarakat
20 Aiknyet Sesaot Sebagai sumber air bersih masyarakat sekitar dan permandian umum
Sumber : Bappeda Provinsi NTB 2005 diacu dalam BPDAS Dodokan-Moyosari 2010
36
Nama-nama mata air di atas adalah yang sebagian besar digunakan oleh
masyarakat. Selain masyarakat lokal, telah terdapat beberapa pengguna komersial
dari mata air di DAS Jangkok. Pengguna tersebut yaitu PDAM Menang-Mataram
yang dimiliki oleh dua pemerintah daerah. Selain itu juga terdapat PT Narmada
Awet Muda yakni perusahaan swasta yang memproduksi air minum dalam
kemasan. Untuk nama mata air yang digunakan oleh PT Narmada Awet Muda
penulis tidak berhasil mendapatkan data. Mata air yang digunakan oleh PDAM
Menang-Mataram sebagai sumber air baku dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8 Sumber air baku PDAM Menang-Mataram No. Sumber Air Desa Kapasitas
Sumber (l/dt) Kapasitas Produksi (l/dt) tahun 2009
1. MA Sarasuta Lingsar 300 71,26 2. MA Saraswaka Lingsar 200 106,20 3. MA Ranget Suranadi 1640 578,42 4. MA Montong Selat 50 26,64 5. MA Orong Petung Sesaot 20 5,30 6. MA Jong Plangka Bentek 50 45,32 7. MA Bangket Bayan 20 25,99 8. MA Mandala Bayan 20 7,62 9. SPL Penimbung Penimbung - 15,57 10. BBI Lingsar - 128,25
Sumber : PDAM 2011
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Pulau Lombok
Adanya inisiatif untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan (PJL)
antara hulu dan hilir bermula ketika pada tahun 1995 LP3ES melakukan
pendampingan untuk program HKm di Lombok. Selama melakukan
pendampingan ke desa-desa, LP3ES menemukan banyak model sederhana
kearifan lokal tentang pembayaran atau berbagi tanggung jawab atas suatu jasa
lingkungan yang dilakukan penduduk di beberapa desa di Lombok. Model
sederhana tersebut seperti PAMDES, BUMDES, PLTMH, dan Subak/Sistem
Pengairan (Latifah et al 2011).
Permasalahan lingkungan yang timbul pada saat itu adalah kondisi
sumberdaya air di Pulau Lombok yang tidak merata serta krisis air yang terjadi
pada musim kemarau. Secara umum terjadi penurunan debit air di Pulau Lombok
dalam kurun waktu 10 tahun (1992-2002). Hal ini ditunjukkan oleh penurunan
debit pada tiga sungai (sebagai indikator) yaitu Sungai Aiknyet, Babak dan
Sesaot. Pada tahun 1992 debit air pada ketiga sungai tersebut secara berurutan
27,30 m3/detik; 8,44 m3/detik dan 16,08 m3/detik dan pada tahun 2002 menurun
menjadi 10,37 m3/detik; 5,68 m3/detik dan 9,096 m3/detik (Markum et al 2004).
Pada tahun 2003, diketahui 40 % mata air telah hilang akibat perubahan tata guna
lahan menjadi pertanian dan kerusakan hutan di sekitar Rinjani (Prasetya et al
2009).
DAS Jangkok adalah salah satu DAS di Pulau Lombok yang masuk ke
dalam DAS prioritas dari 22 DAS yang masuk kategori kritis dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Departemen Kehutanan (Setiawan et al
2010). Padahal fungsi DAS ini adalah mensuplai kebutuhan air untuk 9.697 Ha
sawah di Lombok Barat dan 2.873 ha di Kabupaten Lombok Tengah. Sisanya
dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik warga Kota Mataram (75%) melalui
PDAM Mataram dengan memanfaatkan 4 mata air (Ranget, Montong, Sarasutha
dan Penimbung). DAS Jangkok memiliki sejumlah potensi alam dan pemanfaatan
multi-use oleh masyarakat sekitar maupun pemerintah. Pemanfaatan lahan di
38
kawasan DAS Jangkok bersifat multi-use yakni aktivitas pengelolaan HKm,
perkebunan masyarakat, penambangan pasir dan pariwisata di wilayah hulu,
kemudian aktivitas budidaya pertanian dan perikanan di wilayah tengah dan
aktivitas masyarakat di wilayah perkotaan (wilayah hilir) yang cukup kompleks
seperti budidaya pertanian, perikanan, penambangan pasir, industri dan tempat
pembuangan sampah. DAS Jangkok juga telah mengalami degradasi lahan, erosi,
sedimentasi dan penurunan debit sebesar 5,6 % setiap tahun (SCBFWM 2009).
Oleh karena itu DAS Jangkok dipilih menjadi lokasi implementasi PJL.
Bermula dari berbagai permasalahan lingkungan itulah diinisiasi model
sederhana pembayaran jasa lingkungan dengan mekanisme persaudaran hulu dan
hilir. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Lombok Barat dan Kota
Mataram telah mulai dirintis sejak lama. Tahap perkembangan dari awal hingga
tercapai Mekanisme PJL di Lombok Barat dan Kota Mataram seperti saat ini,
secara ringkas dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9 Sejarah perkembangan mekanisme PJL di Lombok Barat Waktu Kegiatan Hasil
Sebelum Tahun 2001
Pendampingan masyarakat hulu (Ranget dan Lingsar)
Terbentuknya 2 kelompok pelestari air 1. Lingsar (Kel. Banyu Lestari)
Anggota 25 orang, Kelompok bersedia direlokasi dari Zona II dengan ketentuan disepakati bersama dengan PDAM
2. Ranget (Kel. Forum Ranget) Anggota 37 orang, Ada kesepakatan untuk mengkonservasi sumberdaya air
Tahun 2001 Studi yang dilaksanakan oleh WWF NTB mengenai Nilai ekonomi Rinjani
Jumlah nilai bruto sumberdaya air Rinjani: Nilai Aktual: 1.061,8 milyar Nilai Potensial : 11.795,7 milyar
Tahun 2002 Studi awal yang dilaksanakan oleh Konsepsi /LP3ES dan PDAM Menang Mataram mengenai WTP (Willingness to Pay)
Studi tersebut menghasilkan : • Konsumen RT 95 % bersedia membayar dana konservasi air, 3 % tidak bersedia, 2 % tidak tahu/tidak menjawab • Perusahaan (skala kecil) 89 % bersedia membayar dana konservasi air, 11 % tidak bersedia
Agustus 2003 Lokakarya Hasil Studi WTP
Ada rencana aksi bersama dalam mendukung gagasan pengembangan peluang pembayaran air : 1. Pembentukan Working Group (8
stakeholder), audiensi 2. Mengadakan pertemuan untuk menyusun
background paper, draft SKB dan merancang studi banding
39
Tabel 9 Sejarah perkembangan mekanisme PJL di Lombok Barat (lanjutan) Waktu Kegiatan Hasil
September 2003
Pertemuan working group I tentang draft MoU
Terdapat 2 draft yang berasal dari hasil lokakarya dan usulan draft dari Kabag Hukum Pemkot Mataram.
September 2003
Konsepsi berhasil memfasilitasi komunikasi penyelesaian konflik warga Apitaik Lingsar-PDAM Menang-Mataram
Warga Apitaik akan direlokasi dari zone II Mata air Sarasutha ke tempat lain. PDAM membayar sejumlah Rp. 350 juta untuk pengadaan tanah dan pembangunan pemukiman.
Oktober 2003 Studi banding working group ke PDAM Sleman
1.Komitmen pihak-pihak yang berkepentingan Ada 2 pihak yang dapat menghantarkan gagasan PJL ke pihak eksekutif yaitu PDAM Menang dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat 2.Konsultasi Publik
Nopember 2003
Workshop pertama memperkenalkan PES (Payment for Environmental Services)
April 2004 Adanya Pemilihan Umum, pergantian personil pemerintahan dan Perubahan UU Otonomi Daerah
Proses audiensi yang dirintis sebelumnya kembali ke nol. Adanya UU no 32 tahun 2004 tetang Otonomi Daerah sebagai penggganti UU no 22 tahun 2000 semakin membatasi peluang pengembangan MoU sebagai legal basis jasa lingkungan.
April 2004 Proses inisiasi awal pengembangan jasa lingkungan kabupaten Lombok Barat
Kerjasama dengan Dishutbun Lobar, WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, BKSDA, BTNGR
September-Oktober 2004
Pertemuan stakeholder untuk memproses Perda
Bahasan awal pembentukan tim penyusun draft Perda Jasa Lingkungan
September 2004
Workshop Asosiasi Pelanggan
Disepakatinya pembentukan asosiasi pelanggan PDAM sebagai wakil dari masyarakat hilir: • Bentuk organisasi • Struktur organisasi dan pengurus • Adanya AD/ART • Kesepakatan besarnya sumbangan untuk
konservasi air Oktober 2004 Sosialisasi jasa lingkungan
kepada 17 kelurahan di Kota Mataram dan 4 desa di Kabupaten Lombok Barat
Tahun 2005 Pembentukan Tim Penyusun Draft Perda Jasa Lingkungan Kabupaten Lombok Barat (Januari 2005)
SK Bupati Lombok Barat No.660/07/Dishutbun/2005
Tahun 2006 • Deklarasi Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan
• Ujicoba pembayaran jasa lingkungan air untuk Kelurahan Mataram Timur melalui pelanggan PDAM
• Penandatanganan surat kerjasama Air yang telah ditandatangani oleh Pemda Kota/Lobar, DPRD Kota/Lobar, PDAM, private sector, instansi pemerintah, media massa, masyarakat hulu, DFID, WWF, Konsepsi, dan Universitas Mataram untuk membayar jasa lingkungan
40
Tabel 9 Sejarah perkembangan mekanisme PJL di Lombok Barat (lanjutan) Waktu Kegiatan Hasil
Tahun 2007 Pengesahan Perda No.4/2007 tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan Lombok Barat beserta peraturan bupatinya diikuti dengan kampanye dan sosialisasi program PES
Disahkannya dasar legal dari PJL di Kabupaten Lombok Barat. Terpilihnya kepengurusan pertama IMP.
Tahun 2008 Diselesaikannya Kelengkapan Perda Jasa Lingkungan
2 Peraturan Bupati dan 1 Keputusan Bupati : 1. Peraturan Bupati Lombok Barat No.7 Tahun 2009 2. Keputusan Bupati Lombok Barat No. 1072/207/Dishut/2009 3. Peraturan Bupati Lombok Barat No.42 Tahun 2008
Desember 2008 Restrukturisasi kepengurusan IMP
Terpilihnya pengurus IMP kedua
Tahun 2008-2009
Revisi Kelengkapan Perda Jasa Lingkungan yang disesuaikan dengan hasil Rapat Umum IMP
Oktober 2009 Penandatanganan kesepakatan implementasi jasa lingkungan dengan PDAM Menang-Mataram
Dana jasa lingkungan mulai ditarik bulan November 2009
Februari 2010 Uji coba implementasi di hulu
Penanaman seluas 6 ha
Agustus 2010 Implementasi program jasa lingkungan
Di 3 Kelompok yaitu Kelompok Lebah Suren Desa Sedau, Kelompok Mule Paice Desa Batumekar, dan Forum Ranget Desa Suranadi
Sumber: hasil wawancara dan penelusuran dokumen
Pada awal kemunculannya, jasa lingkungan ini diusung oleh beberapa
pihak. Dari hasil wawancara dan penelusuran dokumen secara garis besar terdapat
dua pihak yang mengusung jasa lingkungan sejak tahun 2001. Pihak pertama yaitu
LP3ES/ Konsepsi yang mengusung konsep jasa lingkungan yang berdasarkan
persaudaraan hulu dan hilir. Konsep ini dibangun karena pihak ini telah lama
mendampingi masyarakat hulu. Pihak ini telah berhasil membangun kesadaran
masyarakat hulu akan pentingnya melestarikan hutan dan mengubah beberapa
sawah milik masyarakat yang berada di daerah tangkapan air menjadi pekarangan
yang ditanami dengan pohon. Pihak ini berhasil memberikan mediasi konflik
antara PDAM menang-Mataram dan merelokasi masyarakat hulu yang tinggal di
zona II (sekitar mata air). Pihak ini menggagas pembayaran jasa lingkungan
dengan berlandaskan surat kesepahaman (MoU). Pihak selanjutnya adalah WWF
yang mengusung konsep jasa lingkungan dengan pendekatan regulasi. WWF
41
mengadakan audiensi ke beberapa stakeholder di Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram untuk menghasilkan sebuah peraturan yang berlandaskan hukum.
Berkat pihak inilah berhasil disahkannya Peraturan daerah Kabupaten Lombok
Barat No. 4 tahun 2007.
5.2 Analisis Stakeholder
Analisis stakeholder terkait dengan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram
dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu identifikasi stakeholder, analisis
tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dan pemetaan stakeholder serta
peranan stakeholder.
5.2.1 Identifikasi stakeholder
Hasil identifikasi stakeholder yang terkait dengan pembayaran jasa
lingkungan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram yang
diklasifikasikan ke dalam enam kelompok yakni pemerintah provinsi, pemerintah
Kabupaten/Kota, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan swasta. Stakeholder
yang dicantumkan merupakan stakeholder yang telah terlibat, sedang terlibat
maupun berpotensi untuk terlibat. Hasil identifikasi stakeholder disajikan pada
tabel 10.
Tabel 10 Stakeholder yang terkait dengan PJL penyediaan sumberdaya air No. Nama Lembaga Klasifikasi Keterlibatan 1. BPDAS Dodokan Moyosari Pemerintah Provinsi Belum terlibat 2. SCBFWM Pemerintah Provinsi Belum terlibat 3. BTNGR/BKSDA Pemerintah Provinsi Terlibat 4. BLHP NTB Pemerintah Provinsi Belum terlibat 5. Dinas Pertanian NTB Pemerintah Provinsi Belum terlibat 6. Dinas Kehutanan NTB Pemerintah Provinsi Belum terlibat 7. IMP Pemerintah Kabupaten Terlibat 8. Dinas Perikanan dan Kelautan Lobar Pemerintah Kabupaten Terlibat 9. Dinas Kehutanan Lombok Barat Pemerintah Kabupaten Terlibat 10. Pemkab Lombok barat Pemerintah Kabupaten Terlibat 11. Pemkot Mataram Pemerintah Kota Belum terlibat 12. Universitas Mataram Perguruan Tinggi Belum terlibat 13. BUMN (PDAM Menang-Mataram) Pemerintah
Kabupaten/Kota Terlibat
14. PT Narmada Awet Muda Swasta Pernah Terlibat 15. WWF Nusa Tenggara LSM Terlibat 16. Konsepsi LSM Pernah terlibat 17. Asosiasi Pelanggan PDAM Masyarakat Pernah terlibat 18. Kelompok Tani Masyarakat Terlibat
42
Nama-nama stakeholder tersebut di atas adalah stakeholder baik yang
telah terlibat pada mekanisme saat ini, yang pernah terlibat maupun yang
seharusnya terlibat pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan penyediaan
sumberdaya air. Para stakeholder yang tercantum merupakan stakeholder yang
ditemul di lapang maupun yang disebut responden saat wawancara. Jika ditelusuri
lebih lanjut, akan ditemukan lebih banyak lagi stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya air, karena keterbatasan penulis maka dibatasi menjadi
18 stakeholder.
5.2.2 Klasifikasi stakeholder
Hasil penilaian atribut stakeholder meliputi kepentingan, nilai penting dan
pengaruh berdasarkan hasil observasi, wawancara dan penelusuran dokumen
dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11 Penilaian kepentingan, nilai penting dan pengaruh Stakeholder Kepentingan Nilai
Penting Pengaruh terhadap proyek
Stakeholder Primer Kelompok Tani 1. Menjaga mata air dan
kelestarian hutan 2. Akses sumberdaya air
Tinggi Rendah
Asosiasi Pelanggan PDAM
1.Peningkatan pelayanan pelanggan 2. Ketersediaan air
Tinggi Rendah
PDAM Menang-Mataram
1. Menjaga kualitas dan kuantitas air 2. Akses ke sumberdaya air
Tinggi Tinggi
Institusi Multi Pihak (IMP)
Mengelola dana jasa lingkungan untu kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan
Tinggi Tinggi
PT Narmada Awet Muda(Swasta)
1. Menjaga kualitas dan kuantitas air 2. Akses terhadap air
Tinggi Tinggi
Konsepsi Pendampingan masyarakat desa Sedang Sedang Dishutbun Lobar Konservasi hutan Tinggi Sedang Pemkab Lombok barat 1. Peningkatan PAD,
2. Akses sumberdaya air Tinggi Tinggi
PEMKOT Mataram Akses sumberdaya air Tinggi Tinggi WWF Nusa Tenggara Konservasi hutan dan
keanekaragaman hayati Sedang Sedang
SCBFWM Pembinaan masyarakat sekitar hutan
Sedang Sedang
BPDAS Dodokan-Moyosari
Pengelolaan Wilayah DAS Tinggi Tinggi
Dinas Perikanan dan Kelautan Lombok barat
Pendampingan budidaya air tawar
Sedang Sedang
43
Tabel 11 Penilaian kepentingan, nilai penting dan pengaruh (lanjutan) Stakeholder Kepentingan Nilai
Penting Pengaruh terhadap proyek
Stakeholder Sekunder Dinas Pertanian NTB Pembangunan saluran irigasi dan
pertanian Rendah Sedang
PUSLIDA UNRAM Penelitian dan sarana praktikum Sedang Rendah BLHP Monitoring kualitas air,
Konservasi sumbedaya Sedang Rendah
Dinas Kehutanan NTB Pengelolaan Tahura Sesaot Rendah Tinggi BKSDA Perlindungan Kawasan Sedang Sedang
Keterangan: Diadaptasi dari Mayers (2001) menurut penilaian dengan tingkatan tertentu secara kualitatif.
Penilaian tinggi dan rendahnya tingkat kepentingan dan pengaruh
stakeholder didasarkan pada posisi masing-masing dalam kemitraan. Ada pihak
yang berkepentingan secara legal menurut mandat negara yang dibebankan
sebagai tanggung jawab dan ada juga yang berkepentingan riil terhadap
sumberdaya, baik dalam dalam hal pengelolaan maupun pemanfaatan.
Sebagai faktor penentu IMP dan PDAM Menang-Mataram memiliki kepentingan
dan pengaruh yang tinggi dalam mekanisme PJL. Kepentingannya antara lain
karena keberadaan IMP mutlak diperlukan untuk mengelola dana jasa lingkungan.
IMP memiliki kewenangan sesuai Perda No. 4 tahun 2007, sehingga
pengaruh terhadap berlangsungnya mekanisme PJL cukup tinggi. Demikian pula
dengan PDAM Menang-Mataram sebagai lembaga pengelola air dan penghubung
antara masyarakat pelanggan PDAM dan IMP. Kelompok tani sebagai penyedia
jasa lingkungan memiliki kepentingan yang tinggi untuk melestarikan kawasan
hutan sebagai sumber penghidupan mereka dan untuk akses kebutuhan air. Namun
sayangnya kelompok tani sebagai lembaga informal kecil tidak memiliki
wewenang atas pelaksanaan mekanisme ini. Keberadaan mereka tidak memiliki
kewenangan untuk menentukan pelaksanaan dari program PJL yang berlaku.
Asosiasi pelanggan PDAM awalnya dibentuk atas keinginan dari PDAM Menang-
Mataram untuk memudahkan dalam komunikasi dengan pelanggan.
Kepentingannya tinggi karena mewakili dari masyarakat pelanggan untuk jaminan
ketersediaan air dari hulu. Pada kenyataannya asosiasi ini kurang berpengaruh
karena pengurus terpilih dianggap tidak kompeten oleh PDAM Menang-Mataram.
Universitas Mataram menggunakan daerah Sesaot dan DAS Jangkok sebagai
44
lokasi penelitian dan pengabdian masyarakat sehingga memiliki kepentingan yang
cukup dan pengaruh yang ditimbulkan kecil pada mekanisme PJL.
PT Narmada Awet Muda memiliki kepentingan yang tinggi, yakni aksesnya
terhadap mata air sebagai bahan baku produksinya. Perusahaan ini juga memiliki
pengaruh yang tinggi karena merupakan perusahaan besar. Keikutsertaan
perusahaan ini pada mekanisme akan memberikan kontribusi yang besar sebagai
pembeli jasa lingkungan. Namun sampai saat ini perusahaan ini belum
berkontribusi pada mekanisme PJL. Konsepsi dan WWF Nusa Tenggara
merupakan perintis mekanisme PJL yang ada di Lombok Barat. Konsepsi
berperan dalam pendampingan masyarakat dan fasilitasi perizinan HKm. WWF
Nusa Tenggara bergerak dalam bidang konservasi dan pengembangan jasa
lingkungan. Baik Konsepsi maupun WWF NT merupakan LSM berskala lokal
sehingga hanya memiliki pengaruh yang sedang.
SCBFWM, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lombok Barat, dan Dinas
Perikanan dan Kelautan Lombok Barat merupakan unit-unit teknis di lembaga
pemerintahan. Wewenang dan Tugas mereka berada pada lokasi
diselenggarakannya mekanisme PJL ini, sehingga mereka memiliki kepentingan
dan pengaruh yang cukup tinggi terhadap mekanisme PJL ini. Sedangkan
Pemerintah Kota Mataram dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat memiliki
kepentingan yang tinggi karena obyek jasa lingkungan yaitu air yang terkait
mekanisme ini merupakan produk yang strategis bagi masyrakat dan memberikan
pemasukan yang cukup besar bagi kedua pemerintah daerah tersebut. Pengaruh
mereka tinggi karena pemerintah mekanisme PJL ini berlokasi di wilayah
administratif kedua pemerintahan. BPDAS Dodokan-Moyosari memiliki
kepentingan dan pengaruh yang tinggi karena obyek jasa lingkungan adalah air,
apabila berbicara tentang air tentu tidak bisa lepas dari daerah aliran sungai
(DAS). DAS berada dibawah pengelolaan BPDAS.
Pada kelompok stakeholder sekunder terdapat Dinas Pertanian NTB,
Puslida Universitas Mataram, BLHP, Dinas Kehutanan NTB dan BKSDA.
Stakeholder tersebut tidak terlibat langsung dalam mekanisme PJL, namun
menaruh kepentingan pada dampak keberadaan mekanisme PJL. Rekapitulasi dari
45
tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh dari stakeholder dapat dipetakan dalam
matriks berikut (Gambar 7 ).
High
Importance
Low High
Influence
Gambar 7 Diagram matriks minat dan pengaruh dari tiap stakeholder.
Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan stakeholder
kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari
masing-masing kotak adalah sebagai berikut :
a) Stakeholder dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi
memiliki pengaruh yang rendah (Subject). Pada mekanisme PJL
stakeholder yang termasuk Subject adalah Kelompok Tani, Asosiasi
Pelanggan PDAM, Konsepsi dan WWF.
b) Stakeholder dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi
terhadap keberhasilan mekanisme (Key Player). Stakeholder yang
termasuk Key Player adalah PDAM Menang-Mataram, Institusi Multi
Pihak (IMP), PT Narmada Awet Muda (Swasta), Dishutbun Lombok
Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Lobar, SCBFWM, BPDAS
Dodokan-Moyosari, Pemkab Lombok Barat dan PEMKOT Mataram.
• PDAM , IMP, PT Narmada, Pemkab. Lobar, Pemkot Mataram, BPDAS
A
• Kelompok Tani, Asosiasi Pelanggan PDAM
B
• Dishut NTB
• Konsepsi, WWF
• SCBFWM, Dishutbun Lobar, Dinas Perikanan dan kelautan Lobar
D C • Dinas Pertanian NTB, BLHP, Unram
• BKSDA
46
c) Stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki
kepentingan terhadap mekanisme (Context setter). Stakeholder yang
termasuk dalam Context setter adalah Dinas Kehutanan NTB dan BKSDA.
d) Stakeholder pada kuadran ini memiliki pengaruh dan kepentingan yang
rendah terhadap mekanisme (Crowd). Stakeholder yang termasuk dalam
Crowd adalah Dinas Pertanian NTB, Universitas Mataram dan BLHP.
Matriks tersebut dapat menjelaskan posisi stakeholder dalam mekanisme
pembayaran jasa lingkungan. Kelompok Tani, Asosiasi Pelanggan PDAM,
Konsepsi dan WWF sebagai subject harus memiliki inisiatif khusus bila
kepentingan mereka ingin dilindungi. Di sisi lain PDAM Menang-Mataram,
Institusi Multi Pihak (IMP), PT Narmada Awet Muda (Swasta), Dishutbun
Lombok Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Lobar, SCBFWM, BPDAS
Dodokan-Moyosari, Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Pemerintah Kota
Mataram sebagai key player yang menentukan kesuksesan dari berjalannya
mekanisme PJL ini. Stakeholder lainnya harus menjalin kerjasama dan hubungan
baik dengan key player tersebut.
Stakeholder yang berperan sebagai Context setter dalam hal ini Dinas
Kehutanan NTB dan BKSDA, membutuhkan manajemen dan monitoring yang
hati-hati. Stakeholder ini mampu menghentikan mekanisme, sehingga harus
diperhatikan. Sedangkan stakeholder yang menjadi crowd yaitu Universitas
Mataram, Dinas Pertanian NTB dan BLHP bukan merupakan subyek dalam
mekanisme, sehingga hanya dibutuhkan monitoring dan evaluasi dalam prioritas
yang rendah.
5.2.2 Peranan stakeholder
Peranan stakeholder yang wajib ada dalam mekanisme PJL adalah pembeli
jasa lingkungan (buyers) dan penjual/penyedia jasa lingkungan (sellers). Untuk
memungkinkan terjadinya transaksi dibutuhkan fasilitator sebagai penghubung
antara penyedia dan pembeli jasa lingkungan. Peranan yang dibutuhkan
bergantung pada kondisi lokasi PJL. Berikut akan dijelaskan beberapa peranan
stakeholder yang teridentifikasi pada PJL penyediaan air di Kabupaten Lombok
Barat dan Kota Mataram (Tabel 12)
Tabel 12
Penyedia j
Pembeli ja
Perantara/Pembuat KLSM pendPerguruan
1. Pembel
Pem
dari jasa l
dan instan
pembeli j
pelanggan
disajikan p
Gambar
Jum
pelanggan
Kabupaten
jasa ling
228.134.0
Lombok U
020000400006000080000100000120000140000160000180000
Peranan staPerana
jasa lingkunga
asa lingkungan
/ Fasilitator Kebijakan/Perdukung n Tinggi
i jasa lingku
mbeli jasa lin
lingkungan
nsi internasi
asa lingkun
n PDAM da
pada grafik
r 8 Jumlah p
mlah pelangg
n yang terd
n Lombok B
gkungan y
00,00 dari K
Utara. Untu
akeholder an an (providers)
n (buyers)
raturan
ungan (buye
ngkungan d
maupun pe
ional). Pada
ngan adala
an potensi pe
berikut (Ga
pelanggan d
gan PDAM
diri dari 42.
Barat, dan 4
ang terkum
Kabupaten
uk daerah
Poten
) Masyabaru 3 Saat inPembePerhotIMP (IPemeriWWF Univer
ers)
dalam skema
embeli yang
a kasus di K
ah pelangga
elanggan PD
ambar 8).
dan potensi
M Menang-M
.690 pelang
4.811 dari K
mpul pada
Lombok Ba
Kota Mata
nsi pelanggan
Sarakat hulu di
Kelompok) ni: Pelanggan Peli potensial: elan, dan Tem
Institusi Multiintah KabupatNusa Tenggarrsitas Mataram
a PJL bisa m
g lain (biasa
Kabupaten L
an PDAM
DAM di Ka
pelanggan
Mataram tah
ggan dari K
Kabupaten L
a tahun 2
arat dan 21
aram dana j
n Pelangga
Stakeholder i sekitar huta
PDAM MenanPT Narma
mpat Wisata pihak), PDAMten Lombok Bra, konsepsi
m
merupakan
anya dari pe
Lombok Bar
Menang-M
abupaten da
PDAM Me
hun 2010 m
Kota Matar
Lombok Uta
2010 yaitu
.420.000,00
jasa lingku
an
an sesaot (saa
ng-Mataram da Awet M
M Barat
pengguna a
emerintah, L
rat yang me
Mataram. Ju
an Kota Mat
enang Matar
mencapai 6
ram, 20.667
ara. Jumlah
u sebesar
0 dari Kabu
ungan tidak
47
at ini
Muda,
aktual
LSM,
enjadi
umlah
taram
ram
8.168
7 dari
h dana
Rp.
upaten
k bisa
48
dicairkan karena adanya protes dari pihak Kota Mataram mengenai dasar
penarikan yaitu Peraturan Daerah No.4 Tahun 2007 yang merupakan peraturan
daerah Kabupaten Lombok Barat, sehingga peraturan tersebut tidak berlaku di
Kota Mataram.
Terdapat potensi pembeli jasa lingkungan yang cukup besar di Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Mataram. Potensi tersebut antara lain Perusahaan air
dalam kemasan (PT Narmada Awet Muda, PT Metro), Perhotelan, dan tempat-
tempat wisata, maupun perusahaan yang menggunakan air dalam jumlah yang
besar untuk kegiatan komersial. Untuk ketentuan tersebut maka PDAM Menang-
Mataram yang merupakan perusahaan air minum daerah seharusnya menjadi
pembeli jasa lingkungan.
2. Penjual atau penyedia jasa lingkungan
Pada kasus PJL di kabupaten Lombok barat dan Kota Mataram, Penjual jasa
lingkungan adalah kelompok masyarakat di sekitar mata air yang digunakan
sebagai bahan baku oleh PDAM dan penggunaan masyarakat di sekitar Hutan
Sesaot yang menjadi catchment area dari mata air tersebut. Pada implementasi
PJL tahun 2011 dana diberikan kepada 3 kelompok dari 3 desa yang berbeda.
Kelompok tersebut adalah kelompok Lebah Suren dari Desa Sedau
(beranggotakan 80 orang), kelompok Mule Paice dari Desa Batumekar (18 orang),
dan Forum Ranget dari Desa Suranadi (70 orang). Beberapa pihak menyebutkan
bahwa implementasi di kelompok Lebah Suren dan Mule Paice agak kurang tepat.
Hal ini dikarenakan masih banyak kelompok lain yang lokasinya di sekitar mata
air yang digunakan oleh PDAM Menang-Mataram.
3. Fasilitator
Institusi Multi Pihak (IMP) merupakan suatu badan independen mitra
Pemda dalam pengelolaan jasa lingkungan di Kabupaten Lombok Barat yang
anggotanya terdiri dari berbagai pihak (Latifah et al 2011). IMP terbentuk
berdasarkan Perda No 4 tahun 2007 tentang pengelolaan jasa lingkungan untuk
pemanfaatan air dan objek wisata di Kabupaten Lombok Barat. IMP merupakan
forum bersama antara instansi terkait, sektor bisnis, wakil masyarakat setempat,
LSM, akademisi dan Pelanggan PDAM. IMP dalam menjalankan tugasnya
bertanggungjawab kepada Bupati Lombok Barat.
49
Sesuai peranan IMP sebagai mediator, tugas dari IMP sesuai dengan
Peraturan Bupati Lombok Barat No. 7/2009 tentang Susunan Organisasi, Tata
Kerja, Tugas dan Wewenang Institusi Multipihak Lobar adalah: 1) Menyusun,
merancang serta menetapkan rencana strategis serta tata kelola institusi
multipihak, 2) Menjamin pengelolaan, penyaluran serta pembayaran jasa
lingkungan untuk upaya-upaya konservasi serta pemberdayaan ekonomi
masyarakat, 3) Mengawasi serta mengevaluasi pelaksanaan pengelolaan jasa
lingkungan di Lombok barat yang didukung oleh dana jasa lingkungan, 4)
Melaporkan pelaksanaan pengelolaan penggunaan dana pembayaran jasa
lingkungan ke Bupati serta publik.
5.3 Perkembangan Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
5.3.1 Mekanisme PJL sebelum adanya peraturan daerah
Awal tahun 2000, jasa lingkungan merupakan isu yang hangat dibicarakan
di tingkat internasional. Hal ini dipicu karena keberhasilan Costa Rica
menerapkan Undang-Undang Jasa Lingkungan yang mengakui hutan sebagai
penyedia jasa lingkungan pada tahun 1997. Isu ini dirasa sangat sesuai untuk
mengatasi permasalahan krisis dan ketidakmerataan sumberdaya air di Pulau
Lombok serta kemiskinan masyarakat hulu.
Beberapa LSM sekaligus mengusung isu jasa lingkungan di Lombok.
LP3ES beserta Konsepsi mengusung jasa lingkungan untuk dibangun suatu
mekanisme persaudaraan antara hulu dan hilir karena latar belakang LSM tersebut
yang dekat dengan masyarakat. Pada pihak ini, lebih menyoroti pada distribusi
imbal jasa lingkungan. Bagaimana agar masyarakat hilir yang telah menikmati
jasa lingkungan berupa air bersih dengan sukarela memberikan imbalan kepada
masyarakat hulu yang telah menjaga sumber air. Pendekatan yang digunakan
adalah kesadaran masyarakat yang dibangun secara perlahan. Kesepakatan
pembayaran dirancang dengan surat kesepahaman atau MoU.
WWF Nusa Tenggara mengusung jasa lingkungan dengan pendekatan
regulasi. Bagaimana agar jasa lingkungan dapat diterapkan dengan dasar hukum
yang jelas. Kesepakatan pembayaran diatur dengan peraturan daerah. Langkah ini
dirasa sesuai karena untuk memberikan jaminan kepada mekanisme PJL yang
50
tergolong masih baru sehingga dapat diterapkan dalam jangka panjang. Skema
yang terjadi sebelum disahkannya peraturan daerah tentang jasa lingkungan lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9 Skema PJL sebelum adanya Peraturan daerah (Prasetya et al 2007)
LP3ES dan Konsepsi telah berhasil melakukan pendekatan kepada
masyarakat hulu. Hal ini karena LP3ES dan Konsepsi sebelumnya memang telah
melakukan pendampingan HKm sehingga telah memperoleh kepercayaan dari
masyarakat hulu. Secara perlahan usaha yang dilakukan mulai didukung beberapa
pihak. Mulai disusun draft MoU untuk kesepakatan pembayaran jasa lingkungan.
Pada bulan April 2004 terjadi pemilihan umum daerah di Lombok. Pasca
pemilihan umum tersebut, terjadi dua perubahan yang mempengaruhi respon
pemerintah daerah terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan, antara lain:
1. Pergantian anggota legislatif melalui Pemilu 2004 dan mutasi dikalangan
birokrat mengakibatkan proses komunikasi kembali ke titik nol.
2. Munculnya UU no 32 tahun 2004 tetang Otonomi Daerah sebagai
penggganti UU no 22 tahun 2000 semakin membatasi peluang
pengembangan MoU sebagai legal basis jasa lingkungan. Dalam UU
otonomi yang baru, pemerintah daerah tidak dapat mengeluarkan surat
Bestari Rinjani
Payment for Water Service (PWS)
Masyarakat miskin di Kota
Mataram
Masyarakat hulu
Mata air Pelanggan PDAM
Pemerintah Daerah
D a n a k o n s e r v a s i
Independent Body
Skema PJL
Konsepsi
Regulasi imbalan Distribusi imbalan
Pembayaran melalui
komponen tagihan air
PDAM Mengesahkan regulasi daerah
Akomodasi penyusunan regulasi, Studi WTP
Pendampingan
Program pengurangan kemiskinan
Meningkatkan kehidupan masyarakat lokal
51
keputusan seperti SKB (MoU) tanpa didasari dengan adanya Peraturan
Daerah. Di sisi lain, UU tersebut juga tidak memperkenankan pemerintah
daerah melakukan pungutan atau retribusi dan atau dengan nama lain
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.
Berdasarkan kedua hal diatas, maka legal basis bagi pengembangan jasa
lingkungan yang mengkait dua pemda tidak dimungkinkan lagi dengan MoU
bahkan alternatif yang paling memungkinkan adalah melalui inisiatif peraturan
daerah pada kedua pemerintah daerah. Sehingga sampai pada tahap ini LP3ES
dan Konsepsi bekerjasama dengan WWF untuk merintis rancangan regulasi untuk
pembayaran jasa lingkungan.
Kendala yang dialami dalam penyusunan peraturan daerah PJL adalah
belum adanya payung hukum baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai jasa
lingkungan sebelumnya. Regulasi mengenai PJL di tingkat nasional memang
belum ada. PJL hanya disinggung di beberapa perundangan sekilas maupun secara
umum biasanya dikaitkan pada aspek pengelolaan hidup. Misalnya PJL
disinggung pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup khususnya pada pasal 43. Undang-undang ini
menyebut PJL pada bagian instrumen ekonomi lingkungan hidup. Perundangan
lain yang menyinggung mengenai PJL bisa dilihat pada tinjauan pustaka.
5.3.2 Mekanisme PJL setelah adanya peraturan daerah
Sejak tahun 2004, upaya untuk merintis PJL cenderung ke arah penyusunan
regulasi yang sesuai. Sekitar bulan Juni 2004, WWF NT resmi bekerjasama
dengan Konsepsi. LP3ES tidak lagi mengikuti PJL di Lombok karena program-
program di daerah Lombok telah usai dan memutuskan untuk lebih fokus pada
lokasi PJL di DAS Cidanau, DAS Brantas dan DAS Citarum. Setelah mengalami
berbagai proses dan tahapan dihasilkan sebuah skema PJL dengan dasar Peraturan
Daerah Kabupaten Lombok Barat No. 4 tahun 2007 tentang Pengelolaan Jasa
Lingkungan. Setelah resminya peraturan daerah tersebut, Konsepsi tidak lagi
terlibat dalam mekanisme PJL. Ketidakterlibatan ini disebabkan adanya
pergantian personil dan diduga adanya ketidaksepahaman mengenai beberapa
52
keputusan yang digunakan oleh WWF. Skema mekanisme PJL menurut peraturan
daerah No. 4 tahun 2007 tersebut disajikan pada gambar 10.
Gambar 10 Skema PJL hulu-hilir sesuai peraturan daerah di Kabupaten Lombok
Barat dan Kota Mataram (LPM Equator 2011)
Mekanisme PJL yang berjalan di Lombok Barat sesuai dengan peraturan
daerah tersebut tidak hanya mengatur tentang jasa lingkungan air tetapi juga
mengatur tentang jasa lingkungan wisata alam. Walaupun Peraturan daerah
tersebut disoroti banyak pihak masih terdapat banyak kekurangan, namun
kehadirannya telah mendapat apresiasi sebagai peraturan daerah pertama di
Indonesia yang mengatur mengenai jasa lingkungan. Peraturan daerah No. 4 tahun
2007 tersebut terdiri dari ketentuan umum, asas dan tujuan, obyek dan subyek
pembayaran jasa lingkungan, pengelolaan obyek jasa lingkungan, pembayaran
jasa lingkungan, pembagian dan pertanggungjawaban pembayaran, pembinaan
serta pengawasan. Peraturan tersebut pun kemudian dilengkapi dengan dua
Peraturan Bupati dan satu Keputusan Bupati. Namun sayangnya dalam
implementasi dari Peraturan daerah tersebut belum bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Skema mekanisme PJL pun mengalami penyesuaian dengan kondisi dan situasi di
Kabupaten Lombok dan Kota Mataram. Skema yang ditunjukkan di bawah ini
(gambar 11) merupakan skema mekanisme PJL yang berlaku saat ini di
Kabupaten Lombok Barat.
53
Gambar 11 Skema PJL di Lombok Barat dan Mataram (LPM Equator 2011).
Ketentuan mekanisme PJL yang berlaku saat ini meliputi dasar hukum
pelaksanaan kegiatan, tentang Institusi Multi Pihak (IMP) Pengelola Jasa
Lingkungan dan Mekanisme PJL lebih rinci akan dibahas pada bagian
selanjutnya.
5.3.2.1 Dasar hukum pelaksanaan kegiatan
1. Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Jasa Lingkungan yang
disahkan pada bulan Juni 2007 oleh Bupati Lombok Barat, memberikan arahan
dan kebijakan terhadap rancangan Implementasi Pembayaran Jasa Lingkungan
di Kabupaten Lombok Barat
2. Peraturan Bupati Lombok Barat No.7 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi,
Tata Kerja, Tugas dan Wewenang Institusi Multipihak. Ditetapkan di Gerung
tanggal 20 April 2009
3. Keputusan Bupati Lombok Barat No. 1072/207/Dishut/2009, tanggal 27 Mei
2009 tentang Pembentukan Institusi Multipihak Pengelolaan Jasa Lingkungan
Kabupaten Lombok Barat
4. Peraturan Bupati Lombok Barat No.42 Tahun 2008 tentang Obyek, Tarif, Tata
Cara Pembayaran dan Sanksi Administratif.
Studi WTP Pelanggan PDAM
Pelanggan PDAM
Rekening daerah Lobar
25 % ke KAS Daerah Kab. Lomnok Barat (Penerimaan Daerah)
75 % untuk upaya konservasi & pengentasan kemiskinan
70% dana untuk program
30% dana untuk operasional: biaya ATK, insentif pengurus, biaya kesekretariatan, biaya negosiasi , dan biaya lain-lain
Konservasi
70%
30%
54
5.3.2.2 Institusi Multipihak (IMP) pengelola jasa lingkungan
Pengelolaan jasa lingkungan di Lombok Barat diserahkan penuh kepada
Institusi Multi Pihak (IMP). IMP merupakan lembaga yang terdiri dari berbagai
institusi. Hal ini bertujuan sebagai peningkatan kapasitas kelembagaan,
transparansi dan meminimalisir konflik. Struktur Kepengurusan IMP sesuai
dengan Peraturan Bupati Lombok Barat No. 7 Tahun 2009 ditunjukkan pada
gambar 12.
Gambar 12 Struktur kepengurusan institusi multipihak.
Implementasi dari struktur tersebut tidak banyak mengalami
penyimpangan. Struktur yang berjalan saat ini belum terdapat manager. Namun
dalam rapat IMP bulan September 2011 keberadaan manager akan segera
diusahakan. Divisi kerjasama dan penggalangan dana kurang berfungsi
sebagaimana mestinya, padahal divisi ini memegang peranan yang cukup penting.
Keberadaan IMP merupakan stakeholder utama keberlangsungan PJL.
Menurut Munawir (2006), keberadaan IMP ini sebagai pengelola dana jasa
lingkungan bukan pengelola jasa lingkungan. Pengelolaan jasa lingkungan
memiliki pengertian lebih luas, sedangkan yang diatur dalam peraturan daerah dan
keputusan bupati tersebut hanya pengelolaan pungutan dana dan distribusinya.
5.3.2.3 Mekanisme pengelolaan jasa lingkungan
1. Pengumpulan dana jasa lingkungan
KETUA
Sekretariat 1. Sekretaris 2.Administrasi Keuangan
Manager
Divisi Database dan Sistem informasi
Divisi Pengelolaan Program
Divisi Kerjasama dan Penggalangan Dana
Dewan Pengarah Pelindung (1 orang) Ketua (1 orang) Sekretaris (1 orang) Anggota (15 Orang)
55
Mekanisme pengumpulan dana jasa lingkungan dilakukan dengan cara IMP
bekerjasama dengan masing masing sektor/lembaga/perusahaan untuk melakukan
pengumpulan dana jasa lingkungan. Sesuai dengan konsep note IMP mekanisme
pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan ditunjukkan pada gambar 13.
Gambar 13 Mekanisme pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan.
2. Penyaluran dana jasa lingkungan
Pengalokasian dana jasa lingkungan didistribusikan menjadi :
a. Dari seluruh dana jasa lingkungan yang terkumpul 75% akan digunakan untuk
upaya upaya konservasi dan pengentasan kemiskinan. 75% dana yang akan
dikelola oleh IMP terdiri dari komponen operasional dan program.
b. Komponen operasional tidak melebihi dari 30% dana yang akan dikelola oleh
IMP, yang terdiri dari biaya ATK, insentif pengurus, biaya kesekretariatan,
biaya negosiasi serta biaya lain yang disepakati. Sedangkan 70% merupakan
dana yang akan dialokasikan ke program.
Penyaluran/pengalokasian dana oleh IMP didasarkan pada rencana kerja
tahunan dan usulan program/kegiatan dari kelompok masyarakat. Pengalokasian
dan rencana pengelolaan dana IMP harus mendapatkan persetujuan dari Badan
Pengarah dan Pengurus.
3. Kriteria lembaga pengusul dan kriteria usulan/proposal
a. Kriteria lembaga pengusul
Lembaga pengusul merupakan lembaga non profit (kelompok masyarakat,
forum dan lembaga kolaborasi) dan lebih diutamakan memiliki wilayah kerja di
Dipungut oleh instansi terkait
Rekening IMP
Obyek Jasa Lingkungan (air)
Disetorkan ke Pemda 25% Kembali ke Alam 75 %
56
sekitar kawasan hutan, areal sumber mata air, pesisir laut dan obyek wisata alam.
Lembaga pengusul dapat juga berasal dari lembaga yang memiliki kesepakatan
kerjasama dengan IMP (Perusahaan, UPT Pusat, PDAM dan sebagainya).
Lembaga tersebut memiliki program program yang bertemakan konservasi,
pelestarian lingkungan dan pengentasan kemiskinan, merupakan lembaga yang
mampu menyediakan sharing sumberdaya, memiliki kelembagaan yang jelas
(aturan internal) dan bersedia membangun sistem keuangan yang jelas dan
transparan.
b. Kriteria usulan / proposal
Usulan/proposal dari kelompok masyarakat harus mendapat rekomendasi
dari pemerintahan desa. Dukungan pendanaan hanya diberikan pada kegiatan
kegiatan yang berkaitan dengan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam dan
pengembangan perekonomiam masyarakat.
4. Alur proses pengajuan dan penilaian usulan program oleh kelompok
masyarakat
Gambar 14 Mekanisme proses pengajuan dan penilaian usulan.
5. Pertanggungjawaban serta transparansi penggunaan dana
Kelompok Masyarakat/Pengusul
Penilaian awal
Ditolak Diterima (dengan atau tanpa Catatan)
USULAN
Rekomendasi Desa
Fasilitasi • Verifikasi • Asistensi • Revisi/
Perbaikan
Penilaian Akhir• Presentasi • Pembahasan
final Ditolak
Diterima
• Pemberitahuan • Agreement
Penyaluran Dana
Monev dan Pelaporan
57
a. Pertanggungjawaban pengelolaan dana jasa lingkungan secara internal akan
dilaksanakan pada periode 1 tahunan dan pada akhir kepengurusan IMP
b. IMP juga mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangannya kepada publik. Pertanggungjawaban ini dilakukan dengan cara
penyampaian informasi neraca keuangan melalui media massa lokal terkemuka
setiap akhir tahun dan diaudit oleh akuntan publik.
5.3.2.4 Implementasi mekanisme PJL
Program Jasa Lingkungan di Lombok Barat terimplementasikan dalam
bentuk program restorasi, usaha simpan pinjam, dan peningkatan kapasitas
kelembagaan kelompok. Tahun 2011 ini ada tiga Kelompok yang memperoleh
pendanaan jasa lingkungan. Ketiga kelompok tersebut yaitu :
1. Kelompok Lebah Suren Desa Sedau
Lebah suren adalah nama salah satu dusun di desa Sedau. Kelompok yang
memperoleh dana Jasa Lingkungan di Dusun Lebah Suren ini adalah Kelompok
yang anggotanya mengelola Hutan Kemasyarakatan di Sesaot. Anggota
Kelompok ini berjumlah 80 orang. Alokasi dana Jasa lingkungan pada kelompok
ini digunakan sebagai berikut:
• Program Pembibitan (60.000 bibit) dan restorasi lahan kritis seluas 25 ha
senilai Rp. 68.115.000,00
• Program peningkatan ekonomi kelompok untuk peningkatan usah kecil dan
simpan pinjam senilai Rp. 15.000.000,00
Program restorasi pada tahap pertama seluas 12,5 ha mengalami kegagalan
karena adanya serangan hama gayas yang menyerang akar tanaman sehingga
tingkat pertumbuhan hanya 40 %. Sedangkan restorasi pada tahap kedua seluas
12,5 ha dilaksanakan pada musim kemarau sehingga sebagian tanaman tidak
tumbuh dengan baik. Harapan dari Kelompok Lebah Suren adalah adanya
pendampingan yang intensif dari IMP. Masyarakat juga membutuhkan
pengetahuan mengenai pengendalian hama penyakit.
58
a. Penanaman tahap 1 b. Penanaman tahap 2
c. Blok penanaman d. Lahan terbuka
Gambar 15 Implementasi PJL di Dusun Lebah suren, Desa Sedau.
Implementasi jasa lingkungan di kelompok Lebah Suren, Desa Sedau
menurut beberapa responden dirasa kurang sesuai. Karena masih banyak
kelompok masyarakat yang lebih dekat dengan obyek jasa lingkungan atau mata
air yang digunakan oleh PDAM menang-Mataram. Di sisi lain pihak IMP telah
bekerjasama dengan masyarakat Sedau untuk melakukan pemetaan lahan kritis
yang ada di Dusun Lebah Suren dan Dusun Selen Aik.
2. Forum Ranget Desa Suranadi
Forum Ranget terletak di dusun Kalimanting, desa Suranadi. Kelompok ini
berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang terdapat di Ranget untuk membantu
masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui program-program
untuk mencapai visi dan misi. Kegiatan yang dilakukan Forum Ranget selama ini
adalah menjaga kelestarian sumber daya alam (hutan/air), meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, mempererat hubungan tali silaturahmi, dan
meningkatkan kualitas sumber manusia melalui berbagai kegiatan. Jumlah
anggota dari kelompok ini adalah 70 orang.
Dana dari Program Jasa Lingkungan pada kelompok ini dialokasikan
sebagai berikut :
59
• Program pembibitan sejumlah 60.000 bibit dengan nilai Rp. 48.844.000,00
• Program peningkatan ekonomi kelompok sejumlah Rp. 10.000.000,00
Forum Ranget adalah kelompok masyarakat yang dibentuk oleh LP3ES dan
Konsepsi, untuk sejak awal aktif dalam kegiatan konservasi mata air. Sehingga
hasil pembibitan dari program jasa lingkungan ini kemudian dibagikan kepada
masyarakat sekitar Desa Suranadi untuk ditanam di pekarangan maupun lahan
garapan HKm. Anggota Forum Ranget ini sebagian besar telah memiliki
pekarangan yang ditanami tanaman berkayu. Lokasi pemukiman dari anggota
Forum ranget ini cukup dekat dengan mata air Ranget yang digunakan oleh
PDAM sebagai sumber air baku.
a. Pembibitan b. Mata air ranget yang digunakan PDAM
c. Sekretariat Forum Ranget d. Hutan lindung ranget
Gambar 16 Implementasi PJL di Forum Ranget, Desa Suranadi.
3. Kelompok Mule Paice Desa Batu mekar
Kelompok Tani Mule Paice terletak di dusun Perabe desa Batu mekar
kecamatan Lingsar. Anggota kelompok berjumlah 18 orang. Kegiatan dari
kelompok Tani ini adalah : menghasilkan produk kopi organik siap saji,
Pembibitan jenis pohon untuk restorasi, melestarikan hutan dan simpan pinjam.
Dana Program Jasa Lingkungan pada Kelompok ini dialokasikan sebagai berikut :
60
• Program pembibitan (3000 bibit) dan restorasi seluas 5 ha dengan nilai Rp.
11.725.000,00
• Program peningkatan kapasitas kelompok ekonomi dengan nilai Rp.
38.275.000,00
a. Program kelompok tani b. Hasil Penanaman
c. Mata air d. Produk kelompok tani
Gambar 17 Implementasi PJL di kelompok tani Mule Paice, Desa Batumekar.
Kelompok Mule Paice Desa Batumekar ini awalnya adalah usaha
keluarga. Sehingga dari 18 orang anggotanya sebagian besar keluarga. Kegiatan
utamanya adalah pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk, dikemas kemudian
dijual. Kelompok ini menampung hasil panen petani HKm di desa Batumekar dan
membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda-pemuda. Pengadaan peralatan
pengolahan kopi atas kerjasama dengan LIPI.
Program untuk ketiga kelompok terebut telah berakhir bulan September
2011. Pada bulan Oktober 2011 lalu Institusi Multipihak (IMP) telah mulai
melakukan verifikasi untuk kelompok yang akan didanai tahun 2012. Kelompok
yang telah pasti memperoleh dana karena lolos verifikasi akhir adalah Kelompok
Sanggar Muda Tani Mandiri dari Desa Punikan Utara dan Kelompok Maju
Bersama dari Desa Punikan Selatan.
61
5.4 Permasalahan dan Rekomendasi PJL Penyediaan Sumberdaya Air
Mekanisme PJL Penyediaan Sumberdaya Air di Kabupaten Lombok dan
Kota Mataram merupakan suatu mekanisme yang kompleks. Berikut merupakan
permasalahan yang terjadi pada lokasi tersebut dan rekomendasi yang dapat
diberikan.
5.4.1. Implementasi peraturan daerah
1. Kurangnya penegakan hukum (Law Enforcement)
Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 tentang jasa
lingkungan dijadikan dasar hukum untuk memberlakukan tarif jasa lingkungan air
dan wisata alam. Implementasi peraturan daerah ini belum dilaksanakan
sepenuhnya. Tarif jasa lingkungan hanya berjalan pada pelanggan PDAM,
sedangkan untuk PDAM sendiri, perusahaan air dalam kemasan dan perhotelan
peraturan ini tidak berlaku. Aturan untuk pungutan pada jasa lingkungan wisata
alam juga belum bisa dilaksanakan. Hal ini diduga karena IMP sebagai lembaga
pengelola dana belum bisa mendapat kepercayaan dari masyarakat maupun
instansi lain. Penyelesaian masalah ini dibicarakan pada rapat IMP bulan
September 2011. Untuk mendapatkan kepercayaan publik, dibutuhkan pemimpin
IMP yang memiliki charisma. Pada rapat tersebut, IMP juga membahas mengenai
masa jabatan personil IMP yang akan segera berakhir Desember 2011.
2. Target pungutan kurang sesuai
Pemberlakuan tarif jasa lingkungan dikenakan kepada semua pelanggan
PDAM Menang-Mataram. Pelanggan PDAM Menang-Mataram tercatat berasal
dari tiga kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok
Utara dan Kota Mataram. Setelah diberlakukan mulai November 2009, terjadi
protes dari pihak Kota Mataram karena peraturan tersebut adalah peraturan
daerah Kabupaten Lombok Barat, sehingga seharusnya tidak berlaku di Kota
Mataram dan Kabupaten Lombok Utara. Menanggapi hal tersebut penarikan dana
jasa lingkungan di Kota Mataram dilakukan hanya sampai bulan Maret 2010.
Dana jasa lingkungan yang terlanjur ditarik masih berada di rekening PDAM
Menang-Mataram.
62
Permasalahan masih berlanjut karena setelah dicermati jumlah pelanggan di
Kota Mataram merupakan 72% dari jumlah pelanggan PDAM keseluruhan.
Pemerintah Kabupaten Lombok Barat merasa keberatan jika masyarakat Kota
Mataram yang menggunakan air dari hulu yang merupakan wilayah Kabupaten
Lombok Barat tidak menyumbang untuk biaya pelestarian sumber air. Konflik
tersebut sempat terjadi beberapa waktu. Penyelesaian konflik yang dilakukan
yaitu diadakan musyawarah antar pemerintah daerah dengan difasilitasi oleh IMP.
Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 7 Oktober 2011 tersebut dihadiri oleh
Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Barat dan Sekretaris Daerah Kota Mataram
beserta Kepala Bagian Hukum masing-masing daerah. Pada pertemuan itu
dihasilkan keputusan bahwa masing-masing daerah akan membiayai pelestarian
lingkungan dengan mengalokasikan beberapa persen dari dividen PDAM.
Pemerintah Kota Mataram tetap tidak setuju terhadap pemberlakuan tarif jasa
lingkungan pada PDAM karena dianggap memberatkan masyarakat.
5.4.2. Kasus double taxation pada PDAM Menang-Mataram
Tarif jasa lingkungan diintegrasikan dengan tagihan pelanggan PDAM
Menang-Mataram. Setiap pelanggan akan membayar Rp. 1000,00 untuk dana jasa
lingkungan. Dana tersebut masuk ke rekening Pemerintah Daerah Lombok Barat
yang kemudian sebesar 75% disalurkan ke IMP untuk pendanaan program
konservasi, peningkatan ekonomi dan penguatan kelembagaan di daerah hulu.
Permasalahan muncul ketika berdasarkan temuan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Denpasar dengan Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) Nomor : 900/PW 22/5/2010 tanggal 12 Oktober 2010
menyebutkan bahwa program jasa lingkungan yang dipungut oleh PDAM telah
terjadi double tax. Double tax tersebut terjadi karena PDAM pada dasarnya telah
memungut pajak air bawah tanah yang ditetapkan dalam perda sebelumnya yakni
Rp. 30,00/m3. Karena itu, PDAM sebagai juru pungut diminta mengembalikan
hasil pungutan retribusi tersebut ke kas daerah. Penyelesaian untuk permasalahan
ini belum berhasil ditemukan.
Rekomendasi dari penulis perlu adanya pemantauan terhadap pajak air
bawah tanah yang dipungut, apakah sampai saat ini telah tersalurkan sesuai
dengan peruntukannya. Pajak air bawah tanah tersebut seharusnya diperuntukkan
63
untuk konservasi daerah mata air. Namun berdasarkan pantauan di lapang dana
tersebut masuk ke pemerintah daerah dan tidak ada pelaporan secara jelas
mengenai penggunaan pajak tersebut. Sedangkan untuk iuran jasa lingkungan
sebaiknya dilakukan perbaikan pada peraturan daerah dan dicari mekanisme
penarikan jasa lingkungan yang lain. Harapan ke depan iuran jasa lingkungan dan
pajak air bawah tanah tersebut dapat dipergunakan untuk kepentingan konservasi
daerah hulu.
5.4.3. Optimalisasi fungsi IMP
Keberadaan IMP merupakan stakeholder utama keberlangsungan PJL.
Menurut Munawir (2006), keberadaan IMP yang ada saat ini sebagai pengelola
dana jasa lingkungan bukan pengelola jasa lingkungan. Pengelolaan jasa
lingkungan memiliki pengertian yang lebih luas, sedangkan yang diatur dalam
peraturan daerah dan keputusan bupati tersebut hanya pengelolaan pungutan dana
dan distribusinya. Menurut responden dari kelompok masyarakat, program yang
diberikan membutuhkan pendampingan dari IMP. Pendampingan ini belum bisa
diakomodasi oleh IMP. Hal ini dikarenakan jumlah personil yang terbatas. Selain
itu personil yang ada juga merangkap jabatan di institusi asal, sehingga memiliki
keterbatasan waktu.
IMP sebagai pengelola jasa lingkungan seharusnya memiliki kewenangan
hingga ke wilayah Kota Mataram, karena pengguna air utama berada di wilayah
Kota Mataram. Kondisi saat ini IMP hanya memiliki wewenang di Kabupaten
Lombok Barat sesuai dengan surat keputusan(SK) Bupati yang menjadi landasan
hukum IMP. Seharusnya IMP dibentuk menggunakan landasan hukum yang lebih
tinggi, seperti pembentukan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) yang
menggunakan SK Gubernur. IMP sebagai pengelola jasa lingkungan seharusnya
memiliki divisi kerjasama dan penggalangan dana yang berfungsi dengan baik,
sehingga secara pro aktif mencari sumber-sumber dana alternatif untuk jasa
lingkungan. Dengan demikian diharapkan mampu menjadi jaminan jangka
panjang keberadaan mekanisme PJL di Lombok. Divisi ini juga diharapkan
mampu bekerjasama dengan beberapa program yang memiliki kegiatan yang
hampir sama di DAS Jangkok. Selama ini dari hasil observasi banyak ditemukan
kegiatan penanaman, pembibitan dan pelatihan industri rumah tangga dari
64
lembaga pemerintah, pihak swasta maupun LSM lain. Kegiatan ini akan lebih baik
dan memberikan dampak yang besar apabila diintegrasikan dengan kegiatan PJL.
Rekomendasi selanjutnya, apabila telah tercapai kerjasama dengan berbagai
pihak, maka dibutuhkan suatu kajian mengenai bentuk pemberian imbal jasa yang
sesuai kepada masyarakat hulu. Hal ini berhubungan dengan peningkatan
kesejahteraan dari masyarakat hulu tersebut. Implementasi tahun 2011 belum
menunjukkan adanya hasil yang signifikan baik untuk tujuan konservasi maupun
peningkatan kesejahteraan. Salah satu bentuk kegiatan yang bisa ditempuh untuk
mencapai kedua tujuan tersebut adalah penanaman lahan HKm dengan jenis
Gaharu (Dipokusumo 2011).
5.5 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Mekanisme PJL di Kabupaten Lombok barat dan Kota Mataram dievaluasi
menurut prinsip-prinsip PJL menurut Wunder (2005) yaitu transaksi bersifat
sukarela, jasa lingkungan yang terdefinisi dengan jelas, ada penyedia jasa
lingkungan dan pembeli jasa lingkungan, dan penyedia jasa menjamin
ketersediaan jasa lingkungan (air).
5.5.1 Transaksi bersifat sukarela
Transaksi sukarela didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang tidak
dipaksakan atau tidak mengikat berdasarkan dari kesadaran masing-masing, yang
terutama dibedakan pada ukuran perintah dan kontrol (Prasetyo et al 2007). Di
Kabupaten Lombok dan Kota Mataram, PJL muncul karena didasari pada
kesadaran masyarakat akan ketersediaan air yang mulai berkurang akibat
degradasi lahan di hulu. Kesadaran ini muncul karena hasil kajian dari LSM
mengenai penilaian sumberdaya dan mengadakan konsultasi publik sehingga
menciptakan pemberdayaan masyarakat. Prasetya et al (2007) menyebutkan
bahwa sulit untuk menerapkan kriteria sukarela sepenuhya terhadap PJL yang
berjalan di Lombok. Pada tahap awal PJL di Lombok ini digunakan dengan teknik
perintah dan kontrol untuk melindungi sumberdaya air dari perambahan dan alih
guna lahan yang bisa dihindari. Terutama untuk daerah-daerah yang masuk ke
zona hutan lindung Gunung Rinjani. Sementara itu untuk sumber air di lahan
65
milik masyarakat dapat dilindungi melalui program pemberdayaan masyarakat
yang akan mengakibatkan perlindungan sumber air masyarakat secara sukarela.
Kesukarelaan juga menjadi agak rancu ketika pada implementasinya
dikenakan tarif yang besarnya tetap tiap bulan dan dikenakan pada semua buyer
berdasarkan Peraturan Bupati Lombok Barat Nomor 42 Tahun 20008 tentang
Penetapan Obyek, Tarif, Tata Cara Pembayaran Jasa Lingkungan dan Sanksi
Administrasi. Penentuan tarif yang dilakukan sesuai dengan hasil studi
Willingness to Pay (WTP) pelanggan PDAM yang dilakukan oleh PDAM
Menang-Mataram dan LP3ES/Konsepsi NTB.
Untuk membangun kesukarelaan dibutuhkan pendekatan terhadap
masyarakat dan sosialisasi yang berkelanjutan. Peraturan juga diperlukan, namun
harus didahului dengan kesadaran masyarakat. Kombinasi antara kesadaran dan
peraturan merupakan stategi yang baik untuk menerapkan PJL.
5.5.2 Jasa lingkungan yang terdefinisi dengan jelas
Jasa Lingkungan yang diperdagangkan pada kasus di Kabupaten Lombok
Barat dan Kota Mataram adalah air. Pada PJL di lokasi ini jasa lingkungan yang
dalam hal ini air bersih dari PDAM tidak dinilai sesuai dengan nilai secara
ekonomi. Nilai air disamaratakan per pelanggan PDAM yaitu Rp. 1000,00. Nilai
ini adalah hasil dari studi WTP. Menurut Prasetya et al (2007) metode
penghitungan air seperti ini dirasa kurang sesuai, dan dibutuhkan suatu revisi
metode pengukuran dari jasa lingkungan atau air yang digunakan. Di beberapa
kasus PJL di Indonesia memang penentuan nilai jasa lingkungan menjadi kendala
tersendiri. Namun hendaknya kendala ini tidak menghalangi dalam penerapan
atau implementasi PJL.
5.5.3 Ada penyedia jasa dan pembeli jasa lingkungan
Pada mekanisme PJL di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram ini
pembeli jasa lingkungan yang utama adalah masyarakat pelanggan PDAM
Menang-Mataram. Sedangkan penyedia jasa lingkungan adalah masyarakat hulu
di sekitar Hutan Sesaot terutama yang berada di sekitar mata air yang digunakan
PDAM sebagai sumber air baku. Sebagain besar masyarakat hulu merupakan
pengelola hutan kemasyarakatan (HKm). Pada implementasi tahun 2011
66
masyarakat yang memperoleh dana ada tiga kelompok dari tiga desa di sekitar
hutan Sesaot, namun disoroti beberapa pihak sasaran ini belum tepat karena masih
banyak masyarakat di sekitar mata air sebagai sumber air baku PDAM yang lebih
tepat memperoleh dana jasa lingkungan tersebut. Pembeli jasa lingkungan saat ini
berasal dari pelanggan PDAM dari Kabupaten Lombok Barat, padahal mayoritas
pelanggan ada di Kota Mataram.
Pada skema PJL di Lombok Barat dan Kota Mataram ini motivasi awal
dari pembeli adalah kesadaran akan krisis air. Sehingga dana jasa lingkungan
diharapkan mampu menjaga mata air sebagai sumber air baku PDAM.
Keberadaan peraturan daerah diharapkan mampu memaksa pembeli potensial
yang ada, namun ternyata menimbulkan permasalahan. Oleh karena itu
dibutuhkan suatu peraturan daerah yang baru
5.5.4 Penyedia jasa menjamin ketersediaan jasa lingkungan
Mekanisme PJL di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram muncul
dikarenakan kebutuhan masyarakat untuk ketersediaan air. Pada kasus ini, PJL
dijalankan dengan asumsi bahwa dengan kondisi hutan atau tutupan lahan yang
baik maka fungsi DAS juga baik. DAS yang berfungsi baik akan terus mensuplai
air bersih yang dibutuhkan masyarakat. Masyarakat hulu yang memperoleh dana
jasa lingkungan diharapkan mampu menjaga atau setidaknya dengan adanya
program PJL menjadi teralihkan dari kegiatan illegal logging. Namun untuk bukti
nyata ketersediaan air belum bisa dilihat langsung pada saat ini. Dibutuhkan
waktu setidaknya 5-10 tahun untuk melihat dampak langsung dari adanya
program PJL ini. Sehingga upaya yang dilakukan oleh penyedia jasa adalah
dengan menjaga tata lingkungan di sekitar mata air dan daerah hutan yang
menjadi tangkapan air.
Berdasarkan kriteria Wunder (2005) tersebut dapat diperoleh bahwa
mekanisme PJL yang berlaku di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram
merupakan mekanisme PJL dengan pendekatan regulasi. Mekanisme ini akan
lebih baik bila disempurnakan dengan pendekatan pasar.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Keterlibatan stakeholder
Stakeholder yang termasuk subject adalah Kelompok Tani, Asosiasi
Pelanggan PDAM, Konsepsi dan WWF. Key Player adalah PDAM Menang-
Mataram, Institusi Multi Pihak (IMP), PT Narmada Awet Muda (Swasta),
Dishutbun Lombok Barat, Dinas Perikanan dan Kelautan Lobar, SCBFWM,
BPDAS Dodokan-Moyosari, Pemkab Lombok Barat dan Pemkot Mataram.
Context setter adalah Dinas Kehutanan NTB dan BKSDA. Stakeholder yang
termasuk dalam Crowd adalah Dinas Pertanian NTB, Universitas Mataram dan
BLHP.
2. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan
Mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air yang ada di Kabupaten
Lombok Barat dan Kota Mataram merupakan jenis user-financed schemes yaitu
pembeli jasa lingkungan berasal dari pemanfaat jasa lingkungan dimana dalam
kasus ini adalah pelanggan PDAM. Sedangkan penyedia jasa lingkungan adalah
kelompok masyarakat yang ada di hulu (Kawasan Hutan Sesaot). Mekanisme
pemungutan dana melalui tarif jasa lingkungan yang dititipkan pada rekening air
pelanggan PDAM sebesar Rp 1000,00. Mediator dalam mekanisme ini adalah
institusi multipihak (IMP) dengan dasar hukum Peraturan Daerah Kabupaten
Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 tentang jasa lingkungan.
3. Evaluasi Mekanisme pembayaran jasa lingkungan
Evaluasi mekanisme PJL berdasarkan kriteria Wunder (2005) bahwa
mekanisme PJL penyediaan sumberdaya air di Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram termasuk dalam bentuk payments for environmental services (PES)
dengan memenuhi 5 kriteria yaitu transaksi secara sukarela, jasa lingkungan
terdefinisi dengan baik, ada pembeli dan penyedia jasa lingkungan, serta penyedia
jasa mampu menjamin ketersediaan jasa lingkungan.
68
6.2 Saran
Untuk mencapai keberhasilan mekanisme PJL di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram khususnya, dan mekanisme PJL di Indonesia secara umum, masih dibutuhkan perbaikan-perbaikan di berbagai bidang. Penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Perlu kajian mengenai efektivitas dan efisiensi dari mekanisme PJL yang
berlaku saat ini
2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai potensi bentuk pemberian
dana jasa lingkungan yang lebih efektif bagi masyarakat hulu
3. Perlu ditinjau kembali peraturan daerah yang ada, sehingga bisa
diimplementasikan lebih optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta I. 2003. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif. Makalah pelatihan metode kualitatif di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Litbang Pertanian Bogor, 27 Februari 2003.
Ardiansyah. 2010. Kajian Kemitraan Pengelolaan Air Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. [skripsi]. Bogor : Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB.
Asdak C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Bachri BS. 2010. Meyakinkan validitas data melalui triangulasi pada penelitian
kualitatif. Jurnal Teknologi Pendidikan 10 (1) : 46-62. [BPDAS Dodokan-Moyosari] Badan Pengelola Daerah aliran Sungai Dodokan-
Moyosari. 2010. Laporan Pembaharuan Data DAS Jangkok. unpublished. [BPS dan Bappeda NTB] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Barat. 2010. Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2010. Mataram : UD Mahisa.
Budhi GS, Kuswanto SA, Iqbal M. 2008. Concept and Implementation of PES
Program in the Cidanau Watershed : A Lesson Learned For Future Environmental Policy. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (1) : 37-55.Crosby, B.L. 1992. Stakeholder Analysis: A vital tool for strategic managers. Technical Notes, No.2. Washington DC : Agency for International Development.
Cahyono SA, Purwanto. 2006. Imbal Jasa Multifungsi DAS untuk Mendukung
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah Seminar Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu, 21 September 2006 di Bogor.
Dipokusumo B. 2011. Model Partisipatif Perhutanan Sosial Menuju Pengelolaan
Hutan Berkelanjutan (Kasus Pembangunan Hutan Kemasyarakatan pada Kawasan Hutan Lindung di Pulau Lombok). [disertasi]. Bogor : Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dixon JA, Easter KW. 1986. Integrated Watershed Management : An Approach
to Resource Management. In. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. London : Westview Press.
70
Engel S, Pagiola S, Wunder S .2008. Designing payments for environmental
services in theory and practice: An overview of the issues. Journal of Ecological economics 65 663-674.
Fadillah N. 2011. Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Air Pada Instalasi
Pengolahan Air di Pdam Bekasi. [skripsi]. Bogor : Program Studi Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Galudra G, Buana Y, Khususiyah N. 2010. Mau Melangkah ke Mana Pengelolaan
Hutan Sesaot?. Brief No. 09. World Agroforestry Centre. Bogor Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools, A Reference Book.
Netherlands: The International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC).
[ICRAF] International Centre for Research in Agroforestry. 2005. Strategi
Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional di Jakarta 14-15 Februari 2005. Editor : Aunul Fauzi, Beria Leimona dan Muhtadi. World Agroforetry Centre (ICRAF). Bogor.
[IMP] Institusi Multipihak. 2009. Bussines Plan : Rancangan Implementasi
Program Jasa Lingkungan dan Kerangka Kerja Institusi Multipihak (IMP). unpublished.
Kusuma NE. 2006. Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Air dan
Kebijakan Tarif Air PDAM Kota Madiun [skripsi]. Bogor : Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Landell-Mills N, Porras I. 2002. Silver Bullet or Fool’s Gold? A Global Review of
Markets for Forest Environmental Services and Their Impact on The Poor. London : International Institute for Environment and Development. IIED.
[LPM] Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Equator. 2011. Laporan Proses
Pengembangan Mekanisme PES. Bogor: LPM Equator. Mayers J. 2001. Power Tools Series. Stakeholder Power Analysis. IIED. London. Markum, Sutedjo EB, Hakim MR. 2004. Dinamika Hubungan Kemiskinan dan
Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau Kecil Kasus Pulau Lombok. WWF Indonesia Program Nusa Tenggara.
Pagiola S. 2003. Can Programs of Payments for Environmental Services Help
Preserve Wildlife?. Workshop on Economic Incentives and Trade Policies. Geneva.
71
Pagiola S. 2004. Can the Poor Participate in Payments for Environmental
Services? Washington : WorldBank.. Pagiola S. 2005. Payments for Environmental Services in Costa Rica. ZEF-
CIFOR workshop: 6 Payments for environmental services in developed and developing countries. Titisee.
[PERPAMSI] Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia. 2010. Peta
Masalah PDAM. Ringkasan Eksekutif. Prasetyo FA, Suwano A, Purwanto, Hakim R. 2009. Making Policies Work for
Payment for Environmental Services (PES): An Evaluation of the Experience of Formulating Conservation Policies in District of Indonesia. Journal of Sustainable Forestry 28: 415-433.
Race D, Millar J. 2006. Training Manual: Social and community dimensions of
ACIAR Projects. Australian Center for International Agricultural Research – Institute for Land, Water, and Society of Charles Sturt University, Australia.
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, morris J, Prell C,
Quinn CH, Stringer LC. 2009. Who’s in and Why? A Typhology of Stakeholder Analysis Methods for Natural Resources Management. Jounal of Environmental Management xxx: 1-17.
[RUPES] Rewards for Use of and shared investment in Pro-poor Environmental
Services scheme. 2010. Where We Work: Brief Profiles of RUPES Action Research Sites. Bogor: RUPES-ICRAF.
Sanim B. 2003. Ekonomi sumberdaya air dan manajemen pengembangan sektor
air bersih bagi kesejahteraan publik. Orasi ilmiah guru besar tetap bidang ilmu ekonomi sumberdaya dan lingkungan, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Saunders J. 2002. Understanding Double Tax Treaties. Journal of International
Trust and Corporate Planning. Vol 9 No 1. [SCBFWM] Strengthening Community-Based Forest and Watershed
Management. 2009. DAS Jangkok, Nusa Tenggara Barat. http://scbfwm.org.id/projectsite/ (7 Juni 2011)
Setiawan E, Asmawan T, Suyanto. 2010. Penilaian Kondisi Daerah Aliran Sungai
dengan Metode PaLA dan Model Flow Persistence. Brief No. 08. World Agroforestry Centre. Bogor.
Sulaiman S. 2005. Pengembangan Jasa Lingkungan di Kabupaten Lombok.
Makalah dalam Lokakarya Nasional : Strategi Pengembangan Pembayaran
72
dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Jakarta 14-15 Pebruari 2005. ICRAFT-Bappenas. Jakarta.
Suprayitno. 2008. Teknik Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam.
Pusdiklat Kehutanan : Bogor. Suyanto S, Khususiyah N. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan
Kemiskinan. Jurnal Agro Ekonomi 24 (1): 95-113. [USAID] United States Agency for American People. 2007. Laporan Studi PES
untuk Mengembangkan Skema PES di DAS Deli, Sumatra Utara dan DAS Progo, Jawa Tengah. Jakarta: ESP-USAID.
[USAID] United States Agency for American People. 2009. Pembayaran Jasa
Lingkungan di Beberapa Daerah Aliran Sungai. Jakarta : USAID Wunder S. 2005. Payments for Environmental Services: Some Nuts and Bolts.
CIFOR occasional Paper No. 42. Wunder S, Bui DT, Ibarra E. 2005. Payment is Good, Control is Better. Bogor :
CIFOR. [WWF] World Wide Fund Indonesia. (2001). Rinjani economic valuation
[Unpublished Rep.]. Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Zaini LA. 2005. Program Pengelolaan Perlindungan Sumber Air Baku PDAM
Menang Mataram, Nusa Tenggara Barat. Makalah dalam Lokakarya Nasional : Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Jakarta 14-15 Pebruari 2005. ICRAFT-Bappenas. Jakarta.
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Panduan wawancara untuk Masyarakat
a. Pertanyaan umum 1. Apakah mata pencaharian utama dan sampingan Bapak/Ibu saat ini? 2. Berapa jumlah tanggungan Bapak/Ibu? 3. Apakah pendidikan terakhir Bapak/Ibu? 4. Berapa penghasilan rata-rata Bapak/Ibu per bulan? 5. Berapa rata-rata pengeluaran Bapak/Ibu sebulan? Untuk keperluan apa? 6. Apakah Bapak/Ibu mempunyai sejumlah lahan? Berapa hektar?
Digunakan untuk apa? Bagaimana status lahan tersebut? b. Pertanyaan terkait mekanisme PJL
7. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jasa lingkungan dari hutan/tegakan berkayu?
8. Bagaimana perilaku bapak/Ibu terhadap mata air dan aliran sungai sekitar rumah Bapak/Ibu?
9. Apakah Bapak/Ibu mengetahui tentang Pembayaran Jasa Lingkungan di desa ini?
10. Apakah Bapak/Ibu menerima sejumlah pembayaran jasa lingkungan? Berapa besar? sejak kapan?
11. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme PJL yang ada saat ini di desa Bapak/Ibu? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan?
12. Apa alasan Bapak/Ibu mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Bapak/Ibu harus lakukan
sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya?
14. Apa hambatan-hambatan yang Bapak/Ibu rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini?
15. Apa harapan Bapak/Ibu ke depannya terhadap mekanisme PJL ini?
75
Lampiran 2 Panduan wawancara untuk Ketua Kelompok Tani
a. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 1. Bagaimanakah pandangan Bapak/Ibu mengenai lingkungan sekitar? 2. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme
PJL yang ada saat ini di desa Bapak/Ibu? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan?
3. Bagaimana latar belakang keterlibatan dan proses keterlibatan kelompok tani ini dalam mekanisme PJL?
4. Apa alasan Bapak/Ibu mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 5. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu mengenai mekanisme PJL? 6. Bagaimana alur mekanisme PJL tersebut berlangsung?
b. Pertanyaan terkait kepentingan 7. Apa yang Bapak/Ibu harapkan dari mekanisme PJL ini? 8. Apa manfaat yang Bapak/Ibu rasakan dari berjalannya mekanisme PJL
ini? 9. Sumberdaya/komitmen apa yang dipunyai Bapak/Ibu untuk bersedia (atau
tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 10. Apakah minat Bapak/Ibu yang mungkin bertentangan dengan mekanisme
ini? 11. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap LSM/pemerintah/swasta?
c. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 12. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam
mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Bapak/Ibu harus lakukan
sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya?
14. Apa saja keuntungan yang Bapak/Ibu rasakan setelah terlibat dalam mekanisme PJL ini?
15. Apa hambatan-hambatan yang Bapak/Ibu rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini?
16. Apa harapan Bapak/Ibu ke depannya terhadap mekanisme PJL ini?
76
Lampiran 3 Panduan wawancara untuk Swasta
a. Pertanyaan umum mengenai sub DAS 1. Apa peran penting sub DAS Jangkok yang Bapak/Ibu ketahui? Apakah
manfaat air dari sub DAS tersebut untuk perusahaan Bapak/Ibu? 2. Dari peran penting tersebut apakah upaya konservasi perlu dilakukan?
Mengapa? 3. Bagaimana menurut Bapak/Ibu mengenai kondisi dari sub DAS Jangkok
saat ini? b. Pertanyaan terkait mekanisme PJL
4. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme PJL? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan?
5. Apa alasan Bapak/Ibu mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 6. Berapakah dana yang Bapak/Ibu keluarkan untuk dana kompensasi PJL
ini? Bagaimana cara penetapan besarnya dana tersebut? Apakah jumlah dana tersebut sesuai dengan keinginan Bapak/Ibu?
c. Pertanyaan terkait kepentingan 7. Apa yang Bapak/Ibu harapkan dari mekanisme PJL ini? 8. Apa manfaat yang Bapak/Ibu rasakan dari berjalannya mekanisme PJL
ini? 9. Sumberdaya/komitmen apa yang dipunyai Bapak/Ibu untuk bersedia (atau
tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 10. Apakah minat Bapak/Ibu yang mungkin bertentangan dengan mekanisme
ini? 11. Bagaimana pandangan Bapak/Ibu terhadap LSM/pemerintah/masyarakat?
d. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 12. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam
mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Bapak/Ibu harus lakukan
sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya?
14. Apa saja keuntungan yang Bapak/Ibu rasakan setelah terlibat dalam mekanisme PJL ini?
15. Apa hambatan-hambatan yang Bapak/Ibu rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini? Solusi apa yang diambil untuk mengatasi hambatan tersebut?
16. Apa harapan Bapak/Ibu ke depannya terhadap mekanisme PJL ini?
77
Lampiran 4 Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat No. 4 Taun 2007
78
79
80
81
82
83
84
85
Lampiran 5 Laporan penggunaan dana IMP 2009-2010
86
Lampiran 6 Dokumentasi penelitian
a. Hulu Sungai Jangkok b. Hilir Sungai Jangkok
c. Mata pencaharian masyarakat HKm d. Kayu bakar untuk dijual
e. Presentasi kelompok pengusul f. Kerjasama Lobar-Mataram
g. Pekarangan warga Suranadi h. Mata air Aik Nyet
87
i. Publikasi Laporan IMP j. Tarif jasling pada rekening air
k. Tarif jasling wisata l. Rapat IMP
m. Proses Monitoring IMP n. Kawasan wisata Sesaot
o. Hasil HKm p. PLTMH di Desa Sedau