Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa ... · PDF fileHubungan penggunaan...

83
Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur Betha Lusiana, Rudy Widodo, Elok Mulyoutami, Dudy Adi Nugroho and Meine van Noordwijk

Transcript of Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa ... · PDF fileHubungan penggunaan...

Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu,

Nusa Tenggara Timur

Betha Lusiana, Rudy Widodo, Elok Mulyoutami, Dudy Adi Nugroho and Meine van Noordwijk

Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu,

Nusa Tenggara Timur

Betha Lusiana Rudy Widodo

Elok Mulyoutami Dudy Adi Nugroho

Meine van Noordwijk

Working Paper nr 59

LIMITED CIRCULATION

Correct citation: Lusiana B, Widodo R, Mulyoutami E, Nugroho DA dan van Noordwijk M. 2008. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Working Paper No. 59. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre. 71 p. Titles in the Working Paper Series aim to disseminate interim results on agroforestry research and practices and stimulate feedback from the scientific community. Other publication series from the World Agroforestry Centre include: Agroforestry Perspectives, Technical Manuals and Occasional Papers. Published by the World Agroforestry Centre ICRAF Southeast Asia Regional Office Jl. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680 PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia Tel: 62 251 625415, fax: 62 251 625416 Email: [email protected] ICRAF Southeast Asia website: http://www.worldagroforestrycentre.org/sea © World Agroforestry Centre 2008 Working Paper nr 59 Photos: RHA Team Maps: RHA Team Geographical data: RHA Team The views expressed in this publication are those of the author(s) and not necessarily those of the World Agroforestry Centre. Articles appearing in this publication may be quoted or reproduced without charge, provided the source is acknowledged. All images remain the sole property of their source and may not be used for any purpose without written permission of the source.

- i -

About the authors Betha Lusiana ([email protected])

Rudy Widodo ([email protected])

Elok Mulyoutami ([email protected])

Dudy Adi Nugroho ([email protected])

Meine van Noordwijk ([email protected])

- ii -

Abstrak

Tulisan ini menyajikan hasil dari suatu ‘penilaian cepat’ mengenai kondisi hidrologis di DAS Talau, Kabupaten Belu di Nusa Tenggara Timur (Indonesia). Tujuan utama studi ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologis DAS Talau dalam memberikan informasi mengenai apa dan dimana sistem pembayaran jasa perlindungan DAS dapat dilakukan.

DAS Talau memiliki iklim yang kering, dengan rata-rata presipitasi (precipitation) tahunan sekitar 1600 mm/tahun. Sekitar 95% curah hujan terjadi dalam kurun waktu 4 bulan pada musim hujan, sehingga sisa bulan lainnya berada dalam kondisi yang kering. Karena itulah, tutupan lahan yang dominan di DAS Talau adalah padang rumput.

Mata air merupakan sumber air utama bagi masyarakat di wilayah ini. Fokus utama studi ini adalah mata air Lahurus, dimana mata air dimanfaatkan oleh masyarakat untuk konsumsi rumah tangga dan irigasi pertanian, serta juga oleh perusahaan air minum negara (PDAM) untuk air minum masyarakat di daerah lain.

Survey pengetahuan lokal pada masyarakat setempat dan para pembuat keputusan sebagai stakeholder di DAS Talau menunjukkan pemahaman hidrologis sebagai berikut:

1. Sensitivitas terhadap variabilitas iklim dan ketidakseimbangan permintaan dan ketersediaan air terutama pada musim kering, yang mengakibatkan:

a. Debit air yang rendah dan kekurangan air pada musim kering baik untuk keperluan rumah tangga (air minum, mencuci, memasak) maupun untuk keperluan pertanian;

b. Kurangnya kemampuan untuk menyimpan air pada musim hujan (ketika air berlebih), dan masalah kekurangan air pada musim kering

2. Erosi tanah yang dapat menambah masalah degradasi

Masyarakat lokal dan para pembuat kebijakan di Talau umumnya sependapat bahwa pengelolaan lahan yang baik perlu dilakukan untuk memperbaiki kondisi tanah dan mengurangi degradasi DAS lebih lanjut. Kegiatan seperti penanaman pohon dan pembuatan lubang angin atau rorak dapat membantu mengatasi permasalahan hidrologi yang mereka hadapi.

Meskipun data debit yang tersedia sangat terbatas, namun pola keseluruhan debit Talau dapat dideskripsikan dalam tiga fase: (1) awal musim hujan dimana terjadi penyimpanan (recharged) air ke dalam tanah, (2) pertengahan musim hujan dimana sebagian besar air hujan dialirkan ke sungai, dan (3) pada saat musim kering dimana debit air sungai (dan juga mata air) merupakan hasil pelepasan air tanah secara bertahap (gradual water release). Analisa data hidrologi dengan menggunakan pendekatan pemodelan di DAS Talau dilakukan dengan mengeksplorasi variasi curah hujan dari tahun ke tahun dan menganalisa hubunganya dengan kondisi hidrologis sungai. Hasil menunjukkan bahwa kemampuan DAS Talau sebagai areal penyangga mengalami penurunan terutama pada tahun-tahun dengan curah hujan yang sangat tinggi sehingga mengakibatkan debit sungai yang tinggi. Kemampuan tanah dalam melepaskan air secara bertahap juga menurun dalam tahun-tahun basah. Dengan demikian, debit sungai di DAS Talau

- iii -

sangat tergantung pada musim. Resiko banjir sangat tinggi terjadi pada pertengahan musim hujan dimana kapasitas tanah sebagai penyimpan air sudah sampai titik jenuh dan air langsung dialirkan secara cepat ke sungai.

Neraca air (water balance) DAS Talau maupun di sub-DAS Lahurus menunjukkan adanya perbedaan antar-musim yang cukup besar. Di daerah ini evapotranspirasi potensial tahunan sebesar 1430 mm atau sedikit lebih rendah dari total curah hujan tahunan (1634 mm). Sedangkan evapotranspirasi aktualnya diperkirakan sebesar 613 mm, jauh lebih rendah dari evapotranspirasi potensial. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan tingkat curah hujan antar musim yang cukup tinggi dan kapasitas simpanan air dalam tanah yang terbatas. Dari perspektif eco-hydrology, menanam pohon di areal tersebut, sebagaimana disarankan oleh masyarakat lokal dan para pembuat kebijakan, tidak akan dapat meningkatkan aliran dasar (low flow/aliran air pada musim kemarau) secara signifikan.

Analisis lebih lanjut mengenai hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan kondisi hidrologis menunjukkan hasil yang kurang lebih sama dengan hasil perhitungan neraca air. Konversi lahan non produktif (didefinisikan sebagai padang rumput dan semak belukar) menjadi areal wanatani atau hutan tidak akan meningkatkan ketersediaan air di musim kering. Namun demikian, menanam pepohonan dapat mengurangi limpasan permukaan dan meningkatkan aliran cepat tanah (soil quick flow). Hal ini berarti kapasitas penyangga DAS meningkat dan di musim penghujan air hujan tidak akan langsung mengalir ke sungai, sehingga resiko banjir secara tiba-tiba (flash flood) berkurang. Jika diasumsikan bahwa meningkatnya limpasan permukaan akan meningkatkan resiko erosi, maka pengurangan limpasan permukaan dapat berpengaruh terhadap berkurangnya erosi sehingga kualitas air dapat meningkat.

Berdasarkan hasil studi dengan menggunakan pemodelan, kami tidak dapat menemukan adanya hubungan sebab akibat antara penanaman pohon dengan peningkatan aliran dasar atau ketersediaan air pada musim kemarau. Mekanisme pembayaran yang langsung didasarkan kepada ketersediaan air pada musim kemarau akibat penanaman pohon tidak dapat diterapkan di DAS Talau. Meskipun demikian, pihak ‘pengguna (buyers)’ dan ‘penyedia (sellers)’ jasa lingkungan di DAS Talau sangat yakin bahwa menanam pohon dapat mengatasi masalah kelangkaan air pada musim kering. Oleh karena itu, perlu ada diskusi untuk menyamakan perspektif, khususnya pada isu mengenai jenis intervensi yang diperlukan dan dampak apa saja yang dapat dicapai agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Pemaparan ini diperlukan untuk memastikan proses negosiasi berlangsung lancar dan pengembangan mekanisme pembayarasan jasa lingkungan dapat berhasil.

Teknik penampungan air (seperti membuat embung) dapat membantu dalam meningkatkan ketersediaan air pada musim kering. Disamping memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, upaya penampungan air dapat memberikan manfaat bagi para pengguna air PDAM. Tambahan suplai air dari penampungan air dapat mengurangi tekanan pemanfaatan air di mata air Lahurus, sehingga memungkinkan adanya tambahan air bagi PDAM.

Penerapan teknik pemanenan air dengan menggunakan ‘embung’ (kolam semi permanen), perlu dilakukan sejalan dengan upaya pengurangan erosi tanah. Penampungan air dengan menggunakan embung akan lebih optimal bilamana erosi tanah dapat ditekan.

- iv -

Berdasarkan hasil studi ini, pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan di DAS Talau dapat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan seperti (i) pemanenan air, misalnya membangun ‘embung’, kolam semi permanen untuk menampung air pada musim basah, (ii) pengelolaan air untuk menghindari terhadinya degradasi tanah (limpasan permukaan, erosi, hilangnya kesuburan tanah) seperti pembangunan teras, rorak dan sistem berbasis pohon, dan (iii) penanaman pepohonan untuk meningkatkan tutupan tanah dan mengurangi degradasi tanah.

Diperlukan adanya upaya pengelolaan lahan yang lebih baik, khususnya di areal dimana limpasan permukaan mencapai 30% dari curah hujan. Hal ini akan dapat memberi manfaat dalam meningkatkan infiltrasi (melalui penanaman pohon) dan dapat meningkatkan debit air serta menambah persediaan air di sumber mata air.

Kata kunci kajian jasa lingkungan, mekanisme imbalan jasa lingkungan, pemodelan hidrologi, Indonesia, pengetahuan lokal, fungsi DAS

- v -

Ucapan terima kasih

Tulisan ini merupakan hasil studi dalam kegiatan‘Equitable Payments for Watershed Services, Phase I: Making the Business Case’, yang merupakan kerjasama antara WWF, CARE dan IIED, didanai oleh DANIDA dan DGIS, dalam kolaborasinya dengan program RUPES.

Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh staf CARE Atambua yang telah membantu dalam kegiatan survey RHA pada bulan September 2006 dan January 2007. Khususnya kepada George M. Manu dan Lusi Jowinstianti atas bantuannya dalam memperoleh data-data sekunder. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada CIFOR atas bantuannya dalam penyediaan data WCMC. Peta BAKOSURTANAL diperoleh atas bantuan BAPPEDA Belu.

- vi -

Daftar isi

Pendahuluan.............................................................................................................................. 1

Metodologi....................................................................................................................... 6 Metode penilaian hidrologi ....................................................................................................... 6

Penutupan/penggunaan lahan di DAS Talau............................................................. 14 Lokasi survei RHA ................................................................................................................. 14 Analisis penutupan lahan ........................................................................................................ 15 Perubahan tutupan lahan ......................................................................................................... 19

Persoalan hidrologis di DAS Talau: Perspektif masyarakat lokal dan pembuat kebijakan ....................................................................................................................... 22

Perspektif dan pengetahuan masyarakat lokal ........................................................................ 22 Persepsi dan pengetahuan masyarakat dan para pembuat kebijakan ...................................... 31

Neraca air DAS Talau .................................................................................................. 39 Iklim di DAS Talau................................................................................................................. 39 Debit sungai dan pola hujan di DAS Talau............................................................................. 40 Kalibrasi model GenRiver ...................................................................................................... 41 Neraca air DAS Talau............................................................................................................. 43 Kondisi hidrologi DAS Talau ................................................................................................. 44

Hubungan penggunaan lahan dengan kondisi hidrologi di DAS Kapuas Hulu..... 46 Analisis perubahan penggunaan lahan berdasarkan pendekatan skenario pemodelan ........... 46 Pengaruh perubahan lahan terhadap neraca air....................................................................... 46 Dampak perubahan penutupan lahan terhadap fungsi DAS ................................................... 48

Kesimpulan ................................................................................................................... 50 Apa yang bisa dijadikan landasan pengembangan imbal jasa lingkungan?............................ 50 Skema imbal jasa lingkungan yang potensial ......................................................................... 51 Upaya ke depan....................................................................................................................... 53 Lampiran 1. Tabel akurasi dari analisa klasifikasi citra Landsat-TM di DAS Talau.............. 54 Lampiran 2. Tahap-tahap dalam parameterisasi model GenRiver untuk mensimulasi kondisi DAS Talau.................................................................................................................. 55 Lampiran 3. Persepsi petani mengenai laju dekomposisi pada beragam spesies, dengan perbandingan pengukuran kimia pada daun............................................................................ 58 Lampiran 4. Jenis pohon yang umum ditanam oleh petani di Lahurus, Belu - Nusa Tenggara Timur ...................................................................................................................... 59 Lampiran 5. Sistem wanatani yang umum ditemukan di Nusa Tenggara Timur.................... 61 Lampiran 6. Curah hujan bulanan (mm)................................................................................. 62 Lampiran 7. Temperatur bulanan (0C) .................................................................................... 63 Lampiran 8. Curah hujan bulanan (mm)................................................................................. 64 Lampiran 9. Debit sungai bulanan (mm) ................................................................................ 65 Daftar pustaka ......................................................................................................................... 66 Daftar istilah ........................................................................................................................... 68

- vii -

Akronim

WWF: World Wild Fund

DANIDA: Danish International Development Agency

IIED: International Institute for Economic and Development

RUPES: Rewarding the Upland Poor for the Environmental Services they provided

BAPPEDA: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Regional Planning and Development Bureau)

RTRWP: Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (Spatial Planning for Provincial Area)

PDAM: Perusahaan Daerah Air Minum (Public Drinking Water Company)

RHA: Rapid Hydrological Appraisal

CIFOR: Center for International Forestry Research

WCMC: Water Conservation Monitoring Centre

BAKOSURTANAL: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (National Coordinating Agency for Surveys and Mapping)

BMG: Badan Meteorologi dan Geofisika (Meteorological and Geophysical Agency)

KIMPRASWIL: Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Settlement and Regional Infrastructure Agency)

- 1 -

Pendahuluan

DAS Talau sebagai lokasi potensial dalam membangun mekanisme imbal jasa lingkungan Adanya peningkatan degradasi fungsi DAS mendorong tumbuhnya kesadaran untuk mengenali kegiatan pelayanan lingkungan yang dapat dilakukan untuk menjaga fungsi DAS tersebut. Pola penggunaan lahan secara signifikan berpengaruh terhadap fungsi DAS seperti kualitas air, debit air, pengendali erosi dan sedimentasi di daerah hilir. Namun demikian, para pengelola lingkungan di daerah hulu seringkali hanya menerima sebagian kecil insentif, sedangkan keuntungan lebih banyak diterima di daerah hilir.

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan DAS mendorong berbagai macam inisiatif untuk melindungi DAS termasuk menyediakan insentif bagi masyarakat di daerah hulu untuk melindungi fungsi DAS tersebut. Landells Mills dan Porras (2002) mengidentifikasi 61 inisiatif dalam mekanisme imbal jasa dalam pengelolaan fungsi DAS, dengan tujuan untuk menjaga debit air pada musim kering, menjaga kualitas air, dan mengontrol sedimentasi. Mekanisme imbal jasa dipandang sebagai pendekatan langsung dalam konservasi DAS dan secara eksplisit menunjukkan adanya kebutuhan untuk menjembatani kepentingan para pemilik lahan dan penerima keuntungan melalui sistem pembayaran kompensasi.

Secara geografis, Kabupaten Belu terletak pada koordinat 124° - 126° Bujur Timur dan 9° - 10° Lintang Utara. Kabupaten ini terletak di bagian timur Propinsi Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Leste. Selat Ombai berada di sebelah utara Belu, sementara di sebelah selatan adalah Laut Timor. Dua kabupaten, Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan berada di sebelah barat Belu.

Luas areal Kabupaten Belu sekitar 2445 km2 dengan populasi penduduk sekitar 39000 jiwa. Pada tahun 2004, Kabupaten Belu terbagi menjadi 12 kecamatan dan 12 kelurahan dan 154 desa. Vegetasi alami yang ada di Kabupaten Belu terdiri dari hutan tropis kering yang didominasi oleh vegetasi savana seperti Corypha utan, Acacia leucophloea, Casuarina sp. dan Eucalyptus alba.

- 2 -

Gambar 1. Lokasi program ‘‘Equitable Payments for Watershed Services’ di Indonesia. Atambua dan Putus Sibau adalah ibukota dari masing-masing Kabupaten Belu dan Kapuas Hulu.

- 3 -

Berdasarkan laporan National Human Development (2004) disebutkan bahwa pada tahun 2002, 42.4 % dari populasi di Kabupaten Belu tidak memiliki akses untuk mendapatkan air bersih. Data terperinci tahun 2001 menunjukkan bahwa hanya sekitar 8% penduduk Belu yang memanfaatkan air dari PDAM, terutama mereka yang tinggal di wilayah Kecamatan Atambua sebagai ibu kota Kabupaten Belu. Ketersediaan air secara kontinyu dalam penyediaan sumber air bersih merupakan hal yang penting di Kabupaten Belu.

Saat ini, sumber air untuk PDAM berlokasi di daerah hulu Belu yaitu di DAS Talau. Program EPWS melihat kondisi saat ini di Belu sebagai suatu peluang untuk membangun sistem imbal jasa, khususnya di areal DAS Talau. Masyarakat lokal yang tinggal di areal mata air di DAS Talau merupakan penyedia jasa yang potensial (seller) yang berperan penting dalam menjaga supplai air dan pemerintah lokal (dalam hal ini PDAM) sebagai buyer atau pemanfaat.

Mekanisme imbal jasa juga berpotensi dalam mengatasi masalah kemiskinan di Belu, Nusa Tenggara. Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menempati peringkat ketiga terendah dalam Human Development Index (HDI) dari 30 propinsi di Indonesia (Laporan Indonesia National Human Development, 2004). Dalam lingkup propinsi, Belu berada di peringkat ke 7 (dari 13 kabupaten kecuali Kupang sebagai ibu kota propinsi), atau 318 (dari 340 kabupaten di Indonesia) dengan perkembangan pembangunan manusia yang cukup rendah. Kondisi ini dapat mencerminkan situasi kehidupan dan penghidupan masyarakat di Kabupaten Belu yang dapat dikategorikan miskin, baik dari segi ekonomi maupun keterbatasan akses terhadap pelayanan kehidupan seperti pelayanan air bersih, dll.

Penilaian kondisi hidrologis Tipe penggunaan lahan dan karakteristik fungsi DAS sangat beragam dan bersifat ‘site spesifik’, sehingga pendekatan secara general untuk memonitor dan mengkaji kondisi biofisik suatu DAS sebelum membangun imbal jasa lingkungan sangatlah penting dilakukan. Penilaian hidrologis perlu dilakukan secara independent dan transparan. Jika tidak, pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan hanya akan didasarkan kepada mitos tentang keterkaitan antara penggunaan lahan dan fungsi hidrologi sehingga solusi yang diperoleh menjadi kurang tepat (Kaimowitz, 2001).

RUPES1 menyarankan tujuh tahapan dalam upaya pengembangan imbal jasa lingkungan (Jeanes, et al., 2006): (1) Scoping (Ruang Lingkup), (2) Awareness (Kesadaran), (3) Identifying Partners (Mengidentifikasi rekanan), (4) Negotiations (Negosiasi), (5) Action Plans (Rencana Kerja), (6) Environmental Services Rewards Support for Actions (Pelaksanaan Imbal Jasa Lingkungan) dan (7) Monitoring (Pengawasan). Tiga tahapan pertama dalam penilaian hidrologis perlu dilakukan pada awal pengembangan imbal jasa lingkungan.

Van Noordwijk et al. (2006, 2007) mengidentifikasi kriteria dan indikator dalam mekanisme imbal jasa lingkungan dan kompensasi, yaitu: realistik, sukarela, kondisional, dan berpihak pada kemiskinan (Tabel 1). Kriteria dan indikator tersebut harus dipenuhi agar mekanisme imbal jasa lingkungan dapat sukses dilaksanakan. Laporan ini difokuskan pada tahap I yaitu penilaian

1 RUPES (Rewarding the Upland Poor for the Environmental Services they provide) adalah program pengembangan mekanisme imbal

jasa lingkungan di daerah perhuluan (upland) yang ada di Asia. Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta mengurangi kemiskinan di wilayah upland dengan mendukung kegiatan konservasi di tingkat lokal dan dan global. Lihat http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/networks/rupes

- 4 -

terhadap hubungan yang ‘realistik’ antara penggunaan lahan dengan jasa lingkungan yang memiliki nilai memadai untuk dijadikan basis dalam mekanisme imbal jasa. Pada tahap I juga diperlukan adanya kajian derajat ‘kesadaran’ (awareness) dan ‘pemahaman bersama’ (shared understanding) antara berbagai stakeholder, sehingga terbentuk interaksi nyata dengan kegiatan-kegiatan pada tahapan kedua, yang berlangsung secara paralel, yaitu mempersiapkan fase negosiasi.

Tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologis DAS Talau dari beragam perspektif stakeholder (pengetahuan ekologi lokal, pengetahuan ekologi para pembuat keputusan dan para ahli ekohidrologi) dan menilai apakah pembayaran jasa lingkungan (payment of environmental services atau dalam laporan ini menggunakan istilah PES) layak dan dapat diterapkan di DAS Talau. Sebagai langkah awal dalam menerapkan PES yang bersifat ‘bisnis’, informasi penting yang diharapkan dapat diperoleh adalah di daerah mana dan dalam bentuk seperti apa jasa lingkungan dapat ditemukan, sehingga dapat dikembangkan mekanisme pembayaran yang tepat..

Tabel 1. Tahapan dalam proses pembentukan mekanisme imbalan jasa lingkungan (pembayaran) yang adil yang berbasis pada ‘business case’ dengan mengidentifikasi buyers, sellers dan intermediaries

I. Knowledge to knowledge ( K to K):

Penelusuran awal sistem pengetahuan yang ada: apakah ada hubungan yang realistis yang bersifat sebab akibat antara penggunaan lahan dengan kondisi DAS di hilir (menghindari degradasi? rehabilitasi?), dan apakah terdapat cukup kesadaran (awareness) dan pemahaman bersama (shared understanding) tentang masalah hidrologis yang ada di antara pemangku kepentingan (RUPES tahap 1+2)

II. Actor to actor (A to A)

a. Perlindungan terhadap jasa lingkungan yang bersifat wajib (mandatory), berupa aturan penggunaan lahan yang didasarkan pada posisi suatu daerah (spatially explicit)

b. Adanya pilihan untuk menyusun perjanjian yang bersifat sukarela (voluntary): berusaha mendapatkan gambaran tentang posisi dan pendapat para pemangku kepentingan serta keinginan maupun pilihan mereka, menyusun skenario tentang apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan menduga bagaimana posisi dan pemangku kepentingan tersebut dalam skenario.

c. Membandingkan sikap keingin untuk terlibat atau ‘willingness to engage’ dari pihak buyer (pembeli/pengguna), pihak seller (penyedia) dan pihak intermedier – bersama-sama mendefinisikan ‘the business case’

d. Perbedaan kesejahteraan dan kekuasaan antar pemangku kepentingan menjadikan pentingnya mendapatkan gambaran tentang arti kesetaraan (‘equitabability)’ dalam pengertian lokal.

III. Negosiasi: (K+K A+A) sehingga terjadi hubungan dan keterkaitan antara konsep dengan kegiatan (K to A)

Memfokuskan pada sifat conditionality (quid pro quo) dari perjanjian yang telah disusun, apa yang menjadi kriteria sukses (= pembayaran diberikan) dan adakah mekanisme bagi pihak pengguna/pembeli maupun penyedia untuk belajar dari kesalahan dan melakukan perbaikan secara bertahap

IV. Impelementasi dan pengawasan (monitoring)

- 5 -

Secara lebih rinci tujuan dari kegiatan Penilaian Cepat Hidrologis di DAS Talau, Kabupaten Belu adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi isu penting dalam hidrologi dan permasalahan yang ada 2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk penggunaan lahan atau tutupan lahan di DAS 3. Mengidentifikasi bagian DAS yang memberikan kontribusi terhadap masalah utama 4. Memperkirakan neraca air dalam DAS dan berapa besar pengaruhnya terhadap perubahan

penggunaan lahan 5. Mengidentifikasi opsi terbaik untuk mengatasi persoalan dan isu hidrologis

- 6 -

Metodologi

Metode penilaian hidrologi Kondisi hidrologis DAS Talau dikaji dengan menggunakan metode ‘Rapid Hydrological Appraisal (RHA)’ (Penilaian Cepat Hidrologis = PCH) (Jeanes, 2006). Metode ini dikembangkan untuk mengkaji dan menilai fungsi hidrologis suatu DAS secara cepat, murah dan menyeluruh. Metode ini juga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan gambaran mengenai kesenjangan pemahaman yang mungkin ada di antara para pemangku kepentingan DAS, yakni komunitas lokal, pembuat kebijakan dan kalangan peneliti atau ilmuwan, sebelum kita melakukan kegiatan pengembangan mekanisme jasa lingkungan. Jika tidak ada kesenjangan pemahaman yang cukup besar dan berarti, maka kita dapat memulai kegiatan untuk mengembangkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Jika ada kesenjangan, maka terlebih dahulu kita perlu melakukan kegiatan untuk menjembatani kesenjangan ini.

Kegunaan praktis dari metode PCH adalah dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kriteria dan indikator dari fungsi hidrologis suatu DAS. Ini berarti, ada kejelasan mengenai: (i) apa saja fungsi hidrologis DAS yang ada, (ii) siapa yang memberikan/menjaga/memperbaiki fungsi hidrologis DAS, (iii) bagaimana kondisi fungsi hidrologis DAS saat ini dan (iv) melalui mekanisme apakah pembayaran jasa lingkungan dapat diberikan secara efektif untuk dapat mempertahankan fungsi hidrologis DAS.

PCH di Talau dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

i. Analisis spasial DAS Talau menggunakan citra satelit LANDSAT dan peta-peta lainnya dengan tujuan untuk menyusun peta penutupan lahan, untuk mengetahui kegiatan yang dilakukan penduduk setempat dan untuk kepentingan pemodelan hidrologi DAS.

ii. Mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan DAS Talau, termasuk data iklim, aliran sungai dan peta penutupan lahan.

iii. Survei pengetahuan lokal mengenai fungsi hidrologis DAS, sungai dan pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi DAS yang dimiliki oleh pemangku kepentingan (masyarakat lokal dan pembuat kebijakan) di DAS Talau .

iv. Analisis data hidrologis (aliran sungai, curah hujan)

v. Analisis neraca air (water balance) dan penggunaan air di DAS Talau dengan menggunakan model simulasi GenRiver2.

vi. Analisis skenario menggunakan model GenRiver untuk mengetahui pengaruh perubahan lahan terhadap kondisi dan fungsi hidrologis DAS Talau.

2 GenRiver merupakan model simulasi aliran sungai yang disusun oleh ICRAF. Informasi selanjutnya dapat dilihat di

http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/models

- 7 -

Analisis perubahan penutupan/penggunaan lahan Peta penutupan lahan diperoleh melalui dua cara: (i) analisis citra satelit LANDSAT dan (ii) data sekunder berdasarkan peta penutupan lahan yang telah disusun oleh lembaga lain. Pada cara pertama, dilakukan analisis citra satelit tahun 1999 dan hasil yang diperoleh digunakan untuk memparameterisasi model. Pada cara yang kedua, peta penutupan lahan yang ada digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang sejarah penutupan lahan di DAS Talau.

Klasifikasi citra satelit dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan berbasis objek klasifikasi. Tabel 2 menampilkan penjelasan mengenai data citra satelit dan peta yang digunakan pada analisis ini.

Untuk menduga tingkat ketepatan peta penggunaan lahan secara kuantitatif digunakan metode Kappa pada ArcView. Dalam metode ini informasi dari penutupan lahan dibandingkan dengan titik sampel yang diperoleh di lapangan. Titik-titik sampel diambil pada bulan September 2006 (musim kemarau) pada 8 tipe penggunaan lahan yang berbeda.:

Tabel 2. Deskripsi data yang digunakan dalam klasifikasi lahan di Belu

Sensor/ Platform Deskripsi data

Landsat 7 ETM Scene ID: 110-66

Tanggal pengambilan: 8 September 1999.

Resolusi spasial: 30 m.

Tutupan awan: 1%.

Ketinggian matahari: 57.21

GPS data GPS data, dikumpulkan pada November 2006 (musim kering)

Peta topografi Skala: 1 : 25 000

Sumber: BAKOSURTANAL, 2002

Digunakan sebagai referensi dalam klasifikasi citra

Peta Tata Guna Kesepakatan Hutan (TGHK) Skala: 1 : 100 000

Sumber: Dinas Kehutanan Belu

- 8 -

Gambar 2. Diagram alur analisis penutupan lahan dari citra landsat yang dilakukan pada PCH di DAS Talau (Sumber: Jeanes, et al., 2004).

Hutan adalah wilayah dengan keadaan tutupan lahan yang masih berupa vegetasi pepohonan dengan tutupan lahan yang rapat.

Agroforestri atau wanatani (sistem berbasis pohon), areal yang dikelola (budidaya) oleh masyarakat dengan tanaman pepohonan dan/atau tanaman semusim, bisa terdapat di pekarangan rumah maupun yang berada di wilayah perkebunan, misalnya: kebun campur pekarangan, perkebunan sengon (Paraserianthes falcataria)

Ladang (pertanian lahan kering), lahan yang dikelola oleh petani dan ditanami tanaman semusim yang tidak berkayu dengan jenis tutupan tidak rapat, seperti perladangan.

Semak merupakan tutupan lahan berupa vegetasi rendah dan tidak dikelola oleh manusia, biasanya ditumbuhi oleh tanaman jenis perdu. Semak mudah tumbuh di areal yang terdegradasi.

Padang rumput/alang-alang merupakan tutupan lahan berupa vegetasi rendah dan tidak dikelola manusia, biasanya ditumbuhi jenis rumput-rumputan atau alang-alang. Tampilan lahan hampir menyerupai semak, tetapi tidak ada tanaman perdu/berkayu.

Sawah merupakan lahan yang ditanami padi dan terendam air. Areal ini nampak berwarna biru muda pada citra dengan kombinasi band visible-NIR-MIR.

Perairan adalah kawasan yang dialiri ataupun digenangi air, seperti misalnya danau atau sungai.

Pemukiman, daerah yang terdiri dari kelompok rumah yang dihuni oleh manusia, termasuk jalan.

Delineasi DAS dan sub-DAS Delineasi batas DAS dan sub-DAS dilakukan dengan memanfaatkan data DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topography Mission), yang diperoleh di http://srtm.csi.cgiar.org//. Tabel 3 berisi penjelasan mengenai data-data yang digunakan.

- 9 -

Tabel 3. Data STRM-DEM yang digunakan pada delineasi batas DAS Talau

Jenis Data Posisi Tahun

STRM 90 m DEM strm_61_14 Latitude 7.50 S

Longitude 122.50 E

2004

STRM 90 m DEM strm_62_14 Latitude 7.50 S

Longitude 127.50 E

2004

Gambar 3. Gambaran umum tahapan dalam menyusun fitur hidrologi melalui modul ArcView Hydro (Sumber, Jeanes, et al., 2004).

Catatan: Arah aliran : masing-masing piksel diberi angka yang menunjukkan arah aliran air berdasarkan perbedaan ketinggian piksel tetangganya

Data ketinggian salah : piksel yang diidentifikasi tidak memiliki sel-sel outlet karena merupakan piksel terendah dibandingkan dengan piksel tetangganya

Daerah tampungan aliran: masing-masing piksel diberi angka yang menunjukkan jumlah piksel yang menjadi sumber air yang mengalir ke piksel tersebut

Survei pengetahuan lokal dan analisa stakeholder Tujuan kegiatan survei ini adalah untuk mengeksplorasi pengetahuan masyarakat lokal dan para pembuat kebijakan mengenai isu hidrologi di Kabupaten Belu, khususnya di DAS Talau. Persepsi masyarakat pemanfaat air di daerah perkotaan juga dieksplorasi.

Masyarakat lokal adalah masyarakat yang mengelola lahan mereka dan berinteraksi secara langsung dengan lingkungan sekitar di areal DAS nya. Para pembuat kebijakan baik di tingkat (level) kabupaten maupun propinsi adalah orang-orang dari instansi yang memiliki wewenang untuk mengontrol dan mengelola areal DAS. Kebijakan yang mereka buat memiliki pengaruh yang kuat terhadap kondisi DAS baik sekarang maupun di masa mendatang. Dengan demikian, pengetahuan masyarakat lokal dan para pembuat kebijakan sangatlah penting dipahami dalam keseluruhan studi ini.

Data Ketinggian

Arah Aliran

Daerah Tampungan Aliran

Sebaran Sungai Batas DAS

Data Ketinggian salah

Data Ketinggian Terkoreksi

- 10 -

Kegiatan survei pengetahuan lokal ini dilakukan di Lahurus (Kecamatan Lasiolat) pada bulan September 2006 dan di Kecamatan Tasifeto Timur pada bulan January 2007. Kegiatan survei pengetahuan para pembuat kebijakan dilakukan di Kota Kecamatan Atambua dan Kupang (ibu kota Nusa Tenggara Timur) pada bulan September 2006. Metodologi yang diterapkan dalam survei ini diadaptasi dari pendekatan Sistem Berbasis Pengetahuan (Knowledge Base System) yang dikembangkan oleh Dixon et al. (2001)3.

Identifikasi dan analisa stakeholder dilakukan di tingkat (level) kabupaten dan propinsi, dan dilakukan bersama dengan beberapa staf CARE Internasional yang berbasis di Atambua, para informan lokal, beberapa anggota Forum DAS Kupang4, serta dalam proses wawancara (interview) dengan beberapa institusi pemerintahan. Identifikasi stakeholder dilakukan berdasarkan pada kepentingan dan posisinya. Interview dengan pihak institusi pemerintah dilakukan untuk menggali pemahaman mereka mengenai perubahan tutupan lahan, isu hidrologi dan jasa lingkungan yang ada di DAS Talau.

Data iklim, geologi dan hidrologi DAS Talau Data terkini tentang curah hujan dan aliran sungai di DAS Talau sulit diperoleh dan hanya sedikit yang tersedia. Selama ini tidak ada kegiatan monitoring yang berkelanjutan terhadap kuantitas dan kualitas air di DAS Talau. Ada beberapa data cuaca dan aliran sungai yang berhasil diperoleh, namun hanya untuk lokasi tertentu dan tidak kontinyu. Dengan demikian, informasi mengenai pola spasial dan temporal dari kondisi iklim dan aliran sungai sulit didapatkan.

Kualitas data yang diperoleh cukup lumayan, tetapi memerlukan perbaikan dan pembersihan sebelum dapat dimanfaatkan dalam studi ini. Langkah-langkah persiapan data juga disajikan dalam laporan ini.

Tabel 4. Daftar data iklim, geologi dan aliran sungai yang berkenaan dengan DAS Talau

Data Tahun Sumber Data

Curah hujan harian dari stasiun cuaca: Tasifeto Timur-Wedomu

1989-2002 CARE - Atambua

Curah hujan bulanan dari stasiun cuaca: Sukabitek-Atambua

1978-1995 Dinas Pertambangan Atambua

Iklim

Suhu bulanan dari stasiun cuaca: Sukabitek-Atambua

1978-1993 Dinas Pertambangan Atambua

Peta tanah, skala: 1:250000 - CARE Atambua Geologi dan Tanah Peta geologi, skala: 1:250000 - CARE Atambua

Hidrologi Debit harian dari stasiun pengukuran: Motabuik

1991-1994 Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Bandung

3 Informasi lebih lengkap mengenai pengetahuan lokal dapat dibaca pada Sinclair, FL (1998).

4 Forum DAS adalah suatu forum yang beranggotakan secara pribadi, atau kelompok yang peduli dengan isu-isu pengelolaan dan rehabilitasi daerah aliran sungai. Forum DAS dibentuk oleh WWF Kupang dan BP DAS di Propinsi NTT.

- 11 -

Analisis neraca air (water balance) DAS Talau Pendugaan neraca air pada skala DAS dilakukan dengan menggunakan model GenRiver (Farida dan van Noordwijk, 2004, van Noordwik et. al, 2003), suatu model aliran sungai dan penggunaan lahan. GenRiver merupakan model yang didasarkan pada proses hidrologis dalam suatu bentang lahan, baik itu DAS maupun sub-DAS. Model ini dapat digunakan pada kondisi dimana data hidrologi yang tersedia relatif sedikit. Dengan menggunakan model ini kita dapat melakukan simulasi aliran sungai harian pada berbagai skala, seperti plot, sub-DAS maupun DAS. Pengaruh perubahan lahan terhadap aliran sungai harian juga dapat disimulasikan dengan baik oleh model ini.

Modul inti dari model GenRiver adalah neraca harian di tingkat plot, dimulai dari kejadian hujan serta dipengaruhi oleh kelas penutupan lahan dan jenis tanah. Ada tiga jenis aliran air (yang berasal dari hujan) yang disimulasikan dalam model ini, surface-quick flow atau aliran permukaan yang terjadi pada hari yang sama dengan kejadian hujan, soil quick flow atau aliran tanah yang sampai di sungai sehari setelah kejadian hujan, dan base flow atau aliran dasar (disimulasikan sebagai pelepasan air tanah secara bertahap).

Gambar 4. Diagram alur proses hidrologis dalam model GenRiver

Kegiatan pemodelan dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut:

1. Persiapan data

2. Pemrosesan informasi spasial yang dihasilkan dalam analisis spasial. Pada tahapan ini, berbagai fitur hidrologis ditentukan seperti batas sub-DAS, saluran drainase, jarak (panjang anak sungai sampai ke sungai utama) dan jenis tanah

3. Paramaterisasi model

4. Kalibrasi model dengan data tersedia

5. Skenario perubahan penggunaan lahan

6. Simulasi model pada berbagai skenario penggunaan lahan untuk melihat dampak perubahan lahan terhadap perubahan neraca air

- 12 -

Analisis indikator fungsi hidrologis: kualitas dan kuantitas air Analisis situasi dan kondisi hidrologis DAS Talau didasarkan pada kriteria dan indikator transmisi air (hasil air per curah hujan tahunan), kemampuan menyangga (buffering capacity) kejadian puncak hujan (hubungan antara kejadian puncak aliran sungai dengan kejadian puncak hujan, dikaitkan dengan resiko banjir) dan kemampuan DAS untuk melepasan air tanah secara bertahap pada musim kemarau (Tabel 5). Indikator fungsi DAS ini berkaitan dengan aliran air setelah turunnya hujan. Dalam analisis ini akan dilihat bagaimana hubungan antara penutupan lahan dengan variasi hujan dari tahun ke tahun.

Guna mengatasi masalah kekurangan dan kelayakan data yang tersedia, pada tahap awal kalibrasi dan validasi model perlu dilakukan. Model hasil validasi dan kalibrasi ini selanjutnya digunakan untuk melakukan simulasi menggunakan berbagai skenario penggunaan lahan. Karena data erosi hasil pengukuran lapangan tidak tersedia, maka resiko erosi akan dikaji melalui besarnya aliran permukaan. Dalam hal ini diasumsikan bahwa tingkat aliran permukaan yang tinggi akan menyebabkan resiko erosi yang tinggi.

Analisis pengaruh penutupan/penggunaan lahan terhadap neraca air Untuk dapat memahami pengaruh penutupan/penggunaan lahan terhadap neraca air dan aliran sungai, dilakukan simulasi pada berbagai skenario penggunaan lahan dengan menggunakan model GenRiver. Skenario disusun berdasarkan hasil temuan survei pengetahuan lokal. Studi simulasi difokuskan pada daerah (i) DAS Talau dan (ii) sud-DAS Lahurus, karena (i) Lahurus merupakan lokasi mata air, sumber bagi PDAM, sehingga merupakan daerah yang relevan bagi pengembangan PES dan (ii) DAS Talau merupakan lokasi yang ideal bagi kegiatan ‘scaling up´selanjutnya.

- 13 -

Tabel 5 Kriteria dan indikator fungsi hidrologis daerah aliran sungai dan relevansinya bagi multi-pihak di daerah hilir (van Noordwijk, et al., 2004).

Kriteria Indikator Indikator Kuantitatif Karakteristik Alami

Relevansi dengan pengguna dan pihak-pihak lainnya

Transmisi air Hasil air per curah hujan tahunan (TWY)

PAQTWY×

= ,

Q = debit sungai tahunan,

A = luas DAS

P = curah hujan tahunan

Curah hujan

Semua pengguna air, terutama masyarakat di daerah hilir

Kejadian banjir relatif terhadap kejadian hujan (BI)

Avgabs

Avgabs

PAQ

BI_

_1×

−= , dimana

∑ −= )0,max(_ meanAvgabs PPP

∑ −= )0,max(_ meanAvgabs QQQ

BI (Buffering indicator atau indikator penyangga) setelah disesuaikan dengan debit sungai relatif (RBI atau relative buffering indicator)

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛×−=

Avgabs

Avgabs

mean

mean

PQ

QP

RBI_

_1

Buffering peak event (BPE)

)_max()_max(

1mean

mean

PPDailyAQQDaily

BPE−×

−−=

Aliran air sungai yang berasal dari surface quick flow (run off)

Hasil keluaran langsung dari model GenRiver

Menyangga pada kejadian puncak hujan

Aliran air sungai yang berasal dari soil quick flow Hasil keluaran langsung dari model GenRiver

Bentuk lahan, geomorfologi

Masyarakat yang tinggal dan bergantung pada bantaran sungai dan bantaran banjir

Ketersediaan air selama musim kemarau: debit bulanan yang terendah relatif terhadap rata-rata curah hujan bulanan

Pelepasan air secara bertahap

Aliran sungai yang berasal dari slow flow (tiba di sungai > 1 hari setelah kejadian hujan)

Hasil keluaran langsung dari model GenRiver

Jenis tanah

Masyarakat yang tidak memiliki sistem penyimpanan air untuk ketersediaan air pada musim kemarau (‘water reservoir’: misalnya danau, waduk, embung atau tandon air)

Catatan: Q (mm.hari-1) = {[(m3.det-1) x24 jamx3600 det.jam -1]/ [A (km2) x106 m2.km-2)]}x103 (mm..m-1)

- 14 -

Penutupan/penggunaan lahan di DAS Talau

Lokasi survei RHA DAS Talau memiliki luas sekitar 720 km2, terletak di Indonesia dan Timor Leste. Daerah hulu DAS ini terletak di Indonesia dengan luas 562 km2 atau sekitar 78% dari luas keseluruhan DAS dan 23% dari luas Kabupaten Belu. DAS Talau mencakup 5 kecamatan, yaitu Lamaknen, Tasifeto Barat, Tasifeto Timur, Lasiolat dan Atambua – ibu kota Kabupaten Belu (berdasarkan pembagian wilayah tahun 2004). Sungai Talau mengalir ke Selat Ombai di Timur Leste. Anak-anak sungai di DAS Talau memiliki panjang sekitar 7 – 55 km. Untuk kepentingan klasifikasi penggunaan lahan dan model simulasi, daerah Timor Leste diikutsertakan ke dalam analisis.

Gambar 5. Lokasi DAS Talau.

Propinsi Nusa Tenggara Timur

DAS Talau

Kabupaten Belu

- 15 -

Analisis penutupan lahan Hasil klasifikasi citra Landsat tahun 1999 ditampilkan pada Tabel 6 dan Gambar 6. Tingkat ketelitian peta ini (didasarkan pada klasifikasi citra) secara keseluruhan sekitar 76% (lihat Lampiran 1).

Tabel 6. Luasan berbagai sistem tutupan lahan di DAS Belu pada tahun 1999 (berdasarkan klasifikasi citra Landsat)

Tipe penggunaan lahan Luas - km2

(persen luas)

Luas daerah yang masuk wilayah Indonesia - km2 (persen luas)

Hutan 5.9 (0.1) 4.4 (0.1)

Sistem wanatani 47.2 (6.6) 37.6 (6.7)

Ladang 25.1 (3.5) 19.2 (3.4)

Semak 33.0 (4.6) 23.6 (4.2)

Padang rumput 473.0 (65.7) 365.9 (65.0)

Sawah 111.2 (15.4) 92.8 (16.5)

Perairan 1.0 (0.1) 0.6 (0.1)

Pemukiman 23.7 (3.3) 18.6 (3.3)

Total 720.0 562.6

Gambar 6. Peta tutupan lahan DAS Talau berdasarkan klasifikasi citra Landsat tahun 1999.

- 16 -

Padang rumput Sawah

Hutan Pemukiman Ladang

Wanatani Perairan

Gambar 7. Foto berbagai penutupan lahan di Kabupaten Belu

- 17 -

Pada tahun 1999, sistem penggunaan lahan yang dominan di DAS Talau adalah padang rumput dengan luas sekitar 473 km2 atau 66% dari keseluruhan luas DAS. Iklim yang kering karena jarangnya turun hujan dan susunan batuan tanah yang berasal dari kapur menyebabkan tanaman atau pohon sulit tumbuh. Hanya rerumputan yang mampu tumbuh dalam kondisi iklim dan tanah yang cukup ekstrim. Di daerah ini, sistem perladangan berpindah umum dilakukan masyarakat. Dalam sistem ini, lahan sering dibiarkan (bera) hingga lahan dianggap layak untuk dikelola kembali. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan yang nampak seperti padang rumput. Sebagian padang rumput dimanfaatkan penduduk setempat sebagai padang penggembalaan ternak.

Gambar 8. Contoh tanah yang umum dijumpai di DAS Talau, tekstur liat yang keras dipermukaan dengan kedalaman yang rendah.

Hanya sekitar 1% dari luasan area yang ditutupi oleh hutan, terutama di sekitar mata air. Lahan yang diolah sekitar 25% dari DAS dengan 7% berupa sistem wanatani, 3% berupa ladang (upland field), dan 15% adalah areal persawahan.

Sistem penggunaan lahan di Kecamatan Lasiolat dan Tasifeto Timur didominasi oleh perladangan. Petani setempat masih menerapkan cara tebas bakar dan perladangan berpindah serta menanam padi, jagung, kacang dan sayur-sayuran di lahan kering. Jenis pepohonan seperti mangga, nangka, kelapa, jambu mete, kemiri, kapuk, jeruk, dan pinang ditanam secara ekstensif di sekitar mata air.

Sistem penggunaan lahan yang cukup penting di daerah ini adalah sistem mamar (Gambar 9), dimana terdapat kebun yang mirip hutan di sekitar mata air. Masyarakat lokal sangat percaya bahwa mamar berperan penting dalam melindungi debit air di mata air. Dengan demikian, sistem mamar merupakan sistem yang sangat dilindungi. Namun demikian, beberapa jenis tanaman yang bernilai ekonomis dapat dipanen dalam sistem ini, seperti sirih (Piper betle) dan pinang (Areca catechu). Pinang dan sirih digunakan oleh masyarakat lokal untuk menyirih. Pohon buah-buahan seperti mangga, nangka, kelapa, jambu mete, sirih, kapuk (Ceiba pentandra), jeruk, dan pinang dapat juga ditanam di sekitar mata air.

- 18 -

Gambar 9. Hutan dan sistem wanatani yang berada di sekitar mata air, merupakan daerah tertutup dan dianggap ‘suci’. Sistem ini disebut sistem mamar dan merupakan hak ulayat yang dilindungi serta tidak dapat diubah.

Dalam studi hidrologi ini, ada dua sub-catchment di DAS Talau yaitu Lahurus dan Motabuik. Sub-DAS Lahurus merupakan lokasi dimana sumber mata air Lahurus berada dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber air, juga oleh PDAM di Atambua. Sub-DAS Motabuik merupakan catchment yang terletak paling hulu (Gambar 10). Areal ini juga merupakan areal dimana data debit air tersedia. Luasan wilayah DAS Lahurus dan Motabuik sekitar 14 km2 dan 103 km2 (Tabel 7).

Secara umum, sub-DAS Motabuik memiliki pola tutupan lahan yang sama dengan DAS Talau. Namun demikian, Lahurus memiliki tutupan lahan yang lebih tinggi, hal ini kemungkinan disebabkan adanya pengelolaan sumber mata air yang baik.

Gambar 10. Mata air Lahurus, sumber air untuk PDAM di Atambua

- 19 -

Tabel 7. Areal sub-catchment Lahurus dan Motabuik pada tahun 1999 dalam beragam tutupan lahan

Luasan area dalam km2 (Dalam %) Tutupan lahan

Kelas Lahurus Motabuik

Hutan 0.37 (3) 0.65 (0.6)

Wanatani 2.6 (18) 6.1 (6)

Tanaman pangan 1.1 (8) 2 (2)

Semak 0.9 (6) 1.8 (1.7)

Padang rumput 8.3 (58) 66 (64)

Sawah 1 (6) 24.3 (24)

Total 14.3 102.6

Gambar 11. Peta 10 sub-DAS di DAS Talau. Lahurus berlokasi di bagian bawah DAS sedangkan Motabuik terletak di daerah hulu.

Perubahan tutupan lahan Untuk mendapatkan pemahaman umum mengenai perubahan tutupan lahan di areal ini, kami membandingkan peta yang tersedia tahun 1987, 1999 dan 2004. Informasi yang tersedia hanya

- 20 -

informasi tutupan lahan yang tercakup di wilayah Indonesia saja dalam daerah tangkapan (catchment) tersebut. Sebagai catatan, kelas tutupan lahan pada peta tahun 1989 berbeda dari peta tahun 1999 dan 2004. Karena itu perbandingan hanya dapat dilakukan untuk peta tahun 1999 dan 2004. Peta tutupan lahan tahun 1989 digunakan untuk memahami kondisi dan situasi hutan pada saat tersebut. Pada Tabel 8 disajikan ukuran setiap kelas tutupan lahan dan ditunjukkan pada peta dalam Gambar 12.

Pada tahun 1987, tutupan hutan berkisar 15% dari luasan DAS Talau. Pada tahun 1999 berkurang hingga 1% dan tetap stabil sampai 5 tahun kemudian. Pada periode 1999 – 2004, tutupan lahan yang utama adalah semak dan padang rumput yang mencapai 50% dari luasan areal. Dalam periode yang sama, pertanian lahan kering meningkat secara signifikan hingga 250%, terutama di areal yang dekat dengan Atambua (ibu kota Kabupaten Belu). Perbedaan yang menyolok dalam laju perubahan areal pertanian ini terjadi di bagian barat catchment dan ada kemungkinan berkaitan dengan perbedaan kesuburan tanah sesuai dengan batasan-batasan dalam peta tanah.

Tabel 8. Peta tutupan lahan di daerah Talau pada tahun 1987, 1999, dan 2004

(a) Peta tutupan lahan di daerah Talau pada tahun 19871

Kelas tutupan lahan Area (km) %

Hutan basah dataran rendah 27 5

Hutan basah semi-evergreen 37 7

Hutan pegunungan dataran rendah 15 3

Non-forest 466 85

Total 545 100

(b) Peta tutupan lahan di daerah Talau pada tahun 1999 dan 2004

19992 20042 Kelas tutupan lahan

km % Km %

Hutan 7 1 8 1

Sistem berbasis pohon 28 4 31 4

Semak 392 55 401 56

Sawah 14 2 14 2

Lahan kering 87 12 215 30

Lain-lain 22 3 23 3

Tidak ada data (awan, dll) 169 24 27 4

Total 719 100 719 100

Note: 1 Data dari World Monitoring Conservation Centre (WCMC), http://www.wcmc.org.uk. Skala: 1: 1000000 2 Data dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Skala: 1: 250000

- 21 -

Gambar 12. Peta tutupan lahan di DAS Talau pada tahun 1989, 1999 dan 2004.

- 22 -

Persoalan hidrologis di DAS Talau: Perspektif masyarakat lokal dan pembuat kebijakan

Perspektif dan pengetahuan masyarakat lokal

Masyarakat dan Hukum Adat Kelompok etnik yang dominan di Kabupaten Belu adalah suku Tetun (Belu), Dawan (Attoin Metto), Bunak (Marae) dan Kemak. Kelompok etnik ini dibagi lagi menjadi kelompok atau sub kelompok etnik yang lebih kecil. Di areal Lahurus (Kecamatan Lasiolat), suku Leoklaren merupakan sub etnik yang dominan, kemudian juga Astalin dan Leowes. Di Kecamatan Tasifeto Timur, suku Kemak dan Tetun cukup dominan, diikuti oleh suku Leowes dan Meumetan.

Kesukubangsaan memiliki relevansi terhadap kehidupan sehari-hari. Kelompok etnik memiliki hukum yang diterapkan di wilayah mereka untuk mengontrol upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hukum adat di wilayah Belu, terdapat tiga strata hukum yaitu (i) Kneter/Neter – pandangan hidup, (ii) Ktaek/Taek – norma dan (iii) Ukun badu – hukum yang mengatur masalah larangan dan tabu. Interaksi antar manusia dengan alam berdasarkan atas Badu yang merupakan perangkat aturan dalam mengelola sumber daya alam. Dalam hukum badu, sumber daya alam (tanah, air, batu-batuan, pohon besar, pegunungan, dll) ada yang memiliki dan disakralkan. Semua aktivitas yang berkaitan dengan masalah ritual atau sakral harus dilakukan melalui upacara tertentu untuk mendapatkan restu dan menunjukkan rasa hormat. Tanah yang disakralkan biasanya dimiliki secara komunal dan dikelola oleh kelompok etnik yang menguasainya.

Sumber mata air diperlakukan sebagai ‘areal yang dikeramatkan’ dan biasanya dimiliki dan dikuasai oleh kelompok sub-etnik (klan). Klan tersebut memiliki hak untuk mengatur penggunaan mata air dan melindunginya. Hutan di sekitar mata air (mamar; Sumu, 2003) merupakan wilayah yang dilindungi, tidak untuk dimasuki oleh hewan ternak dan tidak boleh ditebang atau mengambil kayu. Namun demikian, anggota klan dapat memanfaatkan beberapa jenis tanaman ekonomis seperti sirih (Piper betle) dan pinang (Areca catechu). Di masa lalu, hanya orang-orang yang termasuk dalam klan yang diijinkan untuk memanfaatkan air dari mata air. Masyarakat dari klan yang lain harus mendapatkan ijin dan membayar denda jika tidak mengikuti aturan tersebut. Namun demikian, hukum adat tersebut kini sudah banyak dilanggar oleh masyarakat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan konflik dalam penggunaan air.

Pola penggunaan lahan Ketersediaan air atau akses masyarakat terhadap air sangat dipengaruhi oleh pola penggunaan lahan dan sistem yang dikelola oleh petani (Gambar 13). Sebagai contoh, padi dan sayuran ditanam ketika petani memiliki jumlah air yang cukup banyak, umumnya dilakukan oleh petani yang dekat dengan sumber mata air atau memiliki sistem irigasi yang baik seperti embung (penampungan air).

- 23 -

Gambar 13. Pola pemukiman di Kecamatan Lasiolat dan Tasifeto Timur (sumber: observasi dan interview dalam survey LEK, September 2006 dan January 2007)

P ola penggunaan lahan disekitar sum ber m ata air

Lahurus

S api, kam bing

P ribadi/ kom unal

P erbuk itan, curam

A lang-alang

T idak ad a

P adanggem bala

T ikus

P ribadi

A gak da tar

P adiB awan gS alakP inangS irih

K ebun

Hutan a dat

B erbuk it

Jam bu air huta nB eringinK elapahuta nB am bu

M ata a ir

M am ar

tikus

P ribadi

D atar

P adi

Irigas isederhana

S aw ah

N ila m erahT ikusanjing, F auna

P ribadiP ribadiP ribadiH utannegara

K epe m ilikanlahan

D atarD atarDataranT inggi, land ai

P erbukitan, c uram

T opografi

Ikan nilam erah

Jagung, K acangpanjang

Rum putB ering inJ am bu aithuta n

V egetasi

Ir igas isederhana

T idak adaM ata airT idak ada

S um ber air

K ola m ikanK ebunhortiku ltu r

P em ukim anH utanP enggunaan Lah an

S api, kam bing

P ribadi/ kom unal

P erbuk itan, curam

A lang-alang

T idak ad a

P adanggem bala

T ikus

P ribadi

A gak da tar

P adiB awan gS alakP inangS irih

K ebun

Hutan a dat

B erbuk it

Jam bu air huta nB eringinK elapahuta nB am bu

M ata a ir

M am ar

tikus

P ribadi

D atar

P adi

Irigas isederhana

S aw ah

N ila m erahT ikusanjing, F auna

P ribadiP ribadiP ribadiH utannegara

K epe m ilikanlahan

D atarD atarDataranT inggi, land ai

P erbukitan, c uram

T opografi

Ikan nilam erah

Jagung, K acangpanjang

Rum putB ering inJ am bu aithuta n

V egetasi

Ir igas isederhana

T idak adaM ata airT idak ada

S um ber air

K ola m ikanK ebunhortiku ltu r

P em ukim anH utanP enggunaan Lah an

Gambar 14. Pola penggunaan lahan di Kecamatan Lasiolat dan Tasifeto Timur. (Sumber: observasi, transect walk dan interview)

- 24 -

Pengetahuan lokal Pengetahuan lokal masyarakat di Kecamatan Tasifeto Timur dan Lasiolat mengenai kondisi lingkungan dan iklim pada prinsipnya menunjukkan kesamaan. Pengetahuan mereka mengenai proses ekologi didasarkan pada pengalaman mereka dalam mengelola lingkungannya dan tidak berkaitan dengan klan.

(a) Musim dan iklim

Pengetahuan lokal mengenai musim dan iklim sangat berkaitan erat dengan pemahaman petani mengenai kalender tanam. Musim hujan sangat singkat (sekitar tiga sampai empat bulan) dan musim kering lebih panjang (sekitar 8 bulan). Pengetahuan ini berpengaruh pada pilihan jenis tanaman yang akan ditanam dan juga waktu tanam.

Tutupan hutan

Kemiringan

Kelembaban tanah

Jati

Limpasan permukaan

Tanah atas

Kesuburan tanah

Sistem perakaran

Serasah

Mata air

Infiltrasi

Dominasi batuan karst

Evaporasi tanah

Teras

Air tanah

Sistem Naungan

Pelapukan

Erosi

Kedalaman solum

Dominasi lempung

(tanah liat)

Gambar 15. Pengetahuan ekologi lokal mengenai kondisi hamparan di Kecamatan Lasiolat dan Tasifeto Timur (Sumber: LEK Survey)

(b) Hutan, tanaman, dan mata air

Masyarakat lokal sangat percaya bahwa hutan memiliki peran penting sebagai penyedia air di dalam tanah, pengatur air, serta sebagai sumber penghidupan masyarakat. Hutan dikaitkan dengan keberadaan sumber mata air. Kerapatan pohon dan jenis pohon sangat berkaitan dengan ketersediaan air dalam tanah secara signifikan. Pohon memiliki fungsi sebagai penampung air hujan, penjaga air tanah, serta pencegah erosi. Di bawah ini adalah beberapa pernyataan petani yang menunjukkan pengetahuan petani mengenai hubungan pohon dan air.

- 25 -

Berkurangnya luasan hutan menyebabkan aliran air di dalam tanah berkurang

Tajuk pohon mencegah erosi karena tetesan air hujan tidak langsung jatuh ke tanah

Tajuk pohon dapat menahan dan menyerap air hujan, dan mengalirkannya ke dalam tanah

Akar pepohonan menahan air dalam tanah dan menyimpan air di dalam tanah

Serasah dedaunan menjaga kelembaban tanah

Serasah dedaunan membantu proses penyerapan air ke dalam tanah

Masyarakat lokal memiliki pemahaman yang baik mengenai hubungan antara tanaman, tanah dan ketersediaan air. Mereka menyatakan bahwa tanaman yang cocok di daerah mata air adalah tanaman yang memiliki struktur akar yang dalam, sehingga dapat menahan air dalam tanah, seperti kemiri, mahoni, dan pinang. Mereka juga menyebutkan bahwa jati kurang bagus ditanam di sekitar mata air, karena menghisap banyak air dan tidak dapat menahan air baik di akar maupun di batangnya melainkan melepaskannya ke udara.

Jenis tanaman yang memiliki fungsi melindungi mata air adalah kelapa hutan, jambu air hutan, beringin, mahoni, johar, mangga hitam, kelapa, pinang dan kemiri.

Jenis tersebut di atas juga memiliki pengaruh kuat untuk mempertahankan aliran air di mata air jika ditanam di areal yang lebih luas.

Daun jati melepaskan air ke udara.

Air yang diserap pohon jati cukup banyak, namun jati melepaskan air tersebut ke udara, karena itu pohon jati membuat tanah menjadi kering.

Pohon jati tidak dapat ditanam dekat dengan pohon bernilai ekonomi lain karena sangat kompetitif dalam menyerap air.

Kayu putih menyerap air dan melepaskan air ke udara dengan sangat mudah.

Kayu putih memiliki nilai konservasi terhadap air yang rendah.

Akar serabut dapat melindungi tanah dari erosi dan longsor.

Akar serabut dapat menyimpan air dan menahannya dalam akar

Aiwe atau kayu memiliki jenis akar yang berserabut

Akar pohon kelapa berserabut.

Para petani percaya bahwa lahan mereka harus diberakan selama kira-kira tiga tahun setelah dimanfaatkan.Untuk membuat tanah kembali subur, mereka menanam tanaman turi (Sesbania grandiflora) atau lamtoro (Leucena leucocephala) selama masa bera karena kedua jenis tanaman tersebut dipercaya dapat meningkatkan kesuburan tanah. Setelah beberapa tahun, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi untuk menanam padi atau jenis tanaman pangan lain dengan hasil yang baik. Lamtoro dan turi dapat dimanfaatkan juga sebagai pakan ternak.

- 26 -

Gambar 16. Kemiri (kiri), Jati (tengah), dan Mahoni (kanan) memiliki efek yang berbeda untuk melindungi sumber mata air.

(c) Jenis tanah

Pengetahuan lokal mengenai kedalaman tanah, batu-batuan dan kesuburan tanah menjadi basis dalam pengelolaan lahan. Petani memiliki sistem pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tanaman yang berbeda-beda disesuaikan dengan jenis tanahnya.

Masyarakat lokal sudah mengetahui bahwa mengolah tanah secara terus menerus dapat menyebabkan lahan tersebut tererosi dan dapat menyebabkan longsor. Hal ini umumnya terjadi pada lahan miring dengan tutupan lahan yang rendah. Beberapa petani dengan bantuan dari beberapa penyuluhan dan LSM lokal telah mencoba membangun teras batu untuk mencegah terjadinya erosi (Gambar 18).

Tabel 9. Klasifikasi tanah berdasarkan pengetahuan masyarakat lokal

Jenis tanah Rai Mutin Rai Meak Rai Metan

Nama umum Tanah putih (white soil) Tanah merah (red soil) Tanah hitam (black soil)

Warna Putih Coklat, abu kemerahan Hitam kecoklatan

Tekstur Kering, padat Kering, semi padat Lembab, gembur

Kebutuhan pupuk

Perlu pupuk, mengandung kapur

Kebutuhan pupuk tinggi Tidak perlu pupuk

Tanaman Sirih dan labu jepang (Sechtum edule)

Kacang tanah dan jambu mete

Jagung dan ubi

Lokasi Gunung Lakaan, tebing Ladang Sawah

Gambar 17. Pengolahan tanah menggunakan linggis (kiri) di tanah berbatu (kanan) untuk menggemburkan tanah.

- 27 -

Gambar 18. Beberapa contoh erosi tanah dan teras batu

Masalah hidrologi Isu hidrologi yang umum terdapat di kedua kecamatan adalah kekurangan air, yang disebabkan oleh (i) akses untuk mendapatkan air dan (ii) distribusi air (terutama untuk irigasi).

Akses terhadap air sangat erat kaitannya dengan posisi hamparan desa tersebut (Tabel 10A dan 10B). Ada dua kondisi desa: (i) desa yang memiliki akses baik terhadap air dan (ii) desa yang memiliki keterbatasan dalam mengakses air. Desa-desa yang memiliki akses baik umumnya terletak di lembah dan dekat dengan sumber air tersebut, misalnya, Fatulotu, Budaok dan Lakanmau. Desa-desa yang memiliki akses terbatas terhadap air terutama berada di kaki bukit, seperti Maneikun dan Lasiolat. Untuk mendapatkan air, desa-desa ini sangat bergantung pada desa lain yang memiliki mata air. Oleh karena itu, kebutuhan akan infrastruktur seperti pipa air atau bak penampung air (embung) di desa-desa tersebut cukup penting. Dengan demikian, masalah pembagian air terjadi di kedua tipe desa tersebut dan perlu diupayakan pemecahan di kedua lokasi tersebut. Tabel 11 mendeskripsikan beberapa persoalan yang dihadapi oleh masyarakat lokal dengan perspektif gender, akar permasalahan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah. Pengkajian yang lebih detail mengenai kondisi fisik hamparan di Kecamatan Tasifeto Timur disajikan dalam Tabel 12.

- 28 -

Tabel 10. Akses masyarakat terhadap air

A. Kecamatan Lasiolat

Desa Sumber mata air

Lokasi Pipa air minum

Akses terhadap sumber air minum

Akses irigasi

Fatulotu 5 Perbukitan Ya Mudah Mudah

Lakanmau 8 Perbukitan Ya Mudah Mudah

Boudaok 6 Perbukitan Sebagian Mudah Mudah

Maneikun 1 Lembah Ya Sukar Sukar

Lasiolat 3 Lembah Ya Sukar Sukar

Dualasi 2 Lembah Ya Sukar Sukar

Railulun 3 Lembah Ya Sukar Sukar

B. Kecamatan Tasifeto Timur.

Kategori Akses terhadap mata air rendah

Mudah mengakses air, kuantitas cukup

Mudah mengakses air, kuantitas berlebih

Desa Manleten, Sarabau, Fatubaa, Bauho, Sadi

Tulakadi, Silawan, Baudaok, Tialai

Halimodok, Dafala, Takirin, Umaklaran

Sumber air

Pipa, sungai, sumur gali (sebagian)

Mata air, sumur gali, pompa, sungai

Mata air, sumur gali, pipa, sungai

Sumber: LEK Survey (RHA Team, September 2006 dan January 2007)

Konflik penggunaan air muncul di beberapa area, terutama berkaitan dengan persoalan distribusi air ke daerah lain di luar lokasi desa. Sebagai contoh, penggunaan air dari sumber air Lahurus oleh PDAM sebagai sumber air minum untuk daerah Belu dianggap sebagai penyebab kekurangan air oleh masyarakat di sekitar mata air. Gempa bumi yang terjadi tahun 1995 juga menjadi penyebab berubahnya kuantitas dan kualitas air selama beberapa waktu.

Erosi tanah dan rendahnya kesuburan tanah disebabkan oleh kemiringan lahan, jenis tanah, curah hujan yang tinggi, dan berkurangnya tutupan lahan. Ternak lepas juga dipercaya sebagai penyebab hilangnya tutupan tanah dan struktur tanah yang semakin rapuh sehingga mudah tererosi. Persoalah erosi dan longsor di sepanjang bantaran sungai, menyebabkan terjadinya banjir di daerah bantaran sungai dan berdampak terhadap lahan pertanian di sekitar sungai.

Masyarakat di sekitar mata air percaya bahwa mereka perlu melindungi mata air dari ancaman kekeringan. Meskipun belum ada tanda-tanda bahwa hal tersebut akan terjadi, namun masyarakat yakin bahwa hal tersebut akan terjadi suatu saat nanti. Dengan demikian, mereka memiliki keinginan kuat untuk menjaga lahan dan hutan di sekitar mata air. Mereka juga percaya bahwa reforestasi di sejumlah areal terbuka dan tanah kritis, sempadan sungai, serta di lokasi sumber mata air dapat membantu meningkatkan supplai air.

- 29 -

Tabel 11. Masalah hidrologi dan pengelolaan air yang dihadapi oleh masyarakat lokal bedasarkan tipologi masyarakat dan penjelasannya

Akses air mudah Akses air terbatas

Lokasi Lembah atau lereng perbukitan Kaki bukit atau gunung

Gender Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Masalah Erosi tanah

Debit air menurun

Distribusi air yang tidak merata

Debit air menurun

Kesuburan tanah berkurang

Tidak ada sumber air

Erosi tanah dan lahan

Tidak ada sumber air

Erosi tanah dan lahan

Banjir di sungai

Penyebab Tebas bakar

Ternak lepas

Tutupan pohon di hutan dan sekitar mata air berkurang

Distribusi air ke hilir terlalu besar

Jenis tanah

Curah hujan

Perubahan musim yang ekstrim

Tidak ada sumber air – memerlukan upaya dan biaya besar untuk mendapatkan air

Jenis tanah dan kondisi batuan dalam tanah

Yang perlu dilakukan?

Penerapan aturan adat: tanah komunal untuk areal konservasi dan penentuan zonasi konservasi air

Penerapan aturan adat: tanah komunal untuk areal konservasi dan penentuan zonasi konservasi air

Praktek konservasi di ladang dan sawah

Penghijauan pada lahan terdegradasi

Penerapan sistem wanatani di areal perladangan kering

Praktek konservasi di ladang dan sawah

Penghijauan pada lahan terdegradasi

Penerapan sistem wanatani di areal perladangan kering Mencari sumber air alternatif dengan bantuan dari pihak luar

Sumber: observasi dan interview dalam survei LEK (September, 2006 dan January, 2007)

- 30 -

Tabel 12. Karakteristik fisik di Kecamatan Tasifeto Timur

Desa Manleten Sarabau Tialai Dafala Tulakadi Silawan

Topografi Perbukitan

Kemiringan Sedang – curam Sedang – curam Datar – curam Sedang – curam Datar – curam Curam

Sumber air Sumur, mata air di desa lain, air hujan, dan sungai

Mata air, sungai dan air hujan

Mata air, sumur dan sungai

Mata air Mata air, sumur dan sungai

Mata air, sumur dan sungai

Penggunaan lahan

Hutan, kebun campur, kebun, ladang, sawah tadah hujan dan areal pemukiman

Hutan (didominasi oleh kayu putih, jati, cemara), kebun campur, ladang, sawah tadah hujan, semak dan areal pemukiman

Hutan (didominasi oleh kayu putih, cendana, cemara), kebun campur, Kebun, ladang, sawah tadah hujan, semak dan areal pemukiman

Hutan (didominasi oleh kayu putih), cemara, kebun, kebun campur, sawah irigasi, ladang, semak dan areal pemukiman

Jati, kebun campur, ladang, sawah tadah hujan, semak dan areal pemukiman

Hutan, jati, kebun campur, ladang, sawah, semak, dan areal pemukiman

Kekurangan air pada musim kemarau atau musim kering Masalah hidrologi

Pada musim hujan: kekeruhan air

Penyakit: diare dan gatal-gatal

Penyakit: diare dan gatal-gatal

Meandering atau perubahan alur sungai

Berkurangnya debit air pada musim kering

Distribusi air yang tidak merata

Kualitas air rendah

Erosi

Penyebab Penebangan, sistem tebas dan bakar

Penebangan, alih guna lahan, sistem tebas dan bakar

Penebangan, alih guna lahan, cuaca dan iklim, kondisi sungai

Cuaca, alih guna lahan

Penebangan, sistem tebas dan bakar

Penebangan, cuaca dan iklim

Sumber: observasi dan interview dalam survei LEK (September, 2006 dan January, 2007)

- 31 -

Persepsi dan pengetahuan masyarakat dan para pembuat kebijakan

Identifikasi dan analisa stakeholder Analisa stakeholder dilakukan di tingkat (level) kabupaten dan propinsi, dan dilakukan bersama dengan staf CARE International Atambua, informan lokal, beberapa anggota Forum DAS Kupang dan beberapa perwakilan dari institusi pemerintahan lokal. Identifikasi stakeholder dilakukan berdasarkan pada kepentingan dan posisi institusi tersebut. Di level propinsi, pandangan para pihak mengenai jasa lingkungan dan imbal jasa lingkungan dieksplorasi dalam laporan ini.

(a) Stakeholder pada level kabupaten

Institusi lokal yang berkaitan dengan pengelolaan DAS di Kabupaten Belu dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan peran dan interaksinya dengan masyarakat: (i) institusi yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat lokal, (ii) institusi yang tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat, dan (iii) kelompok institusi yang membuat kebijakan.

Kelompok pertama terdiri dari sejumlah institusi teknis yang berperan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber air, seperti PDAM dan Dinas Kehutanan. Kelompok kedua adalah institusi yang tidak memiliki peran dalam pengelolaan DAS, namun mereka terlibat dalam program pengelolaan DAS yang bersifat temporer dan dipimpin oleh institusi lain. Institusi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Dinas Pertambangan, Bapedalda (Badan Pengelola Dampak Lingkungan), Dinas Peternakan, Dinas Pekerjaan Umum, BPMD (Badan Pengembangan Masyarakat Desa), Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Pertanian. Kelompok ketiga merupakan pembuat kebijakan dan pembuat keputusan dalam sejumlah aspek pembangunan seperti DPRD, Pemda, dan Bappeda.

Gambar 19. Analisa stakeholder berdasarkan kepentingan dan peran (Sumber: serangkaian diskusi dengan staf CARE International Atambua Office dan para pihak lain, 2006)

Di Kabupaten Belu, institusi pemerintahan yang memiliki pengaruh kuat terhadap pengelolaan DAS adalah PDAM, Dinas Kehutanan, pemerintah lokal atau Pemda. PDAM bertanggung jawab mengelola sumber air untuk masyarakat umum. Dinas Kehutanan berperan mengelola daerah

- 32 -

konservasi serta melakukan rehabilitasi. Pemerintah setempat di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa memiliki peran penting dalam berkoordinasi dan mengatur pengelolaan DAS di tingkat lokal.

(b) Para pihak di level propinsi

Analisa stakeholder dilakukan di level propinsi untuk memahami peran dan kepentingan berbagai institusi di level propinsi dalam pengelolaan DAS (Tabel 13).

Tabel 13. Peran dan kepentingan para pihak dalam pengelolaan DAS

Para pihak Peran dalam pengelolaan DAS

Pengaruh fungsi DAS terhadap kepentingan pihak

Pengaruh pihak terhadap fungsi DAS

Score

BP DAS Pengontrol dan pendukung

3 5 8

Bappeda Pembuat kebijakan dan pengontrol

3 5 8

Dinas Kehutanan Pengorganisir, Pengontrol, Pembuat kebijakan

3 5 8

Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil)

Pengontrol, pembuat kebijakan, pendukung

3 4 7

Badan Pengelola Dampak Lingkungan (Bapedalda)

Pengontrol, pendukung 3 4 7

Forum DAS Pendukung 4 5 9

Catatan: 1= tidak penting, 2 = kurang penting, 3 = cukup penting, 4 = penting, 5 = sangat penting. Sumber: Interview dan diskusi dengan beberapa anggota Forum DAS Kupang

(c) Pengguna air

Pelanggan PDAM di Atambua menggunakan air dari sumber air Lahurus. Air dimanfaatkan untuk konsumsi rumah tangga dan sejumlah kegiatan industri kecil. Pada musim penghujan, pelanggan PDAM sudah merasa puas dengan pelayanan yang ada. Hampir semua rumah tangga di Atambua memiliki sistem penampungan air yang dimanfaatkan pada musim kering.

Persepsi dan Pengetahuan (a) Level kabupaten

Pada Tabel 15 terangkum berbagai persepsi dan pengetahuan dari para pembuat keputusan di level kabupaten mengenai masalah hidrologi di Kabupaten Belu.

Permasalahan debit air di sumber mata air Lahurus merupakan hal yang diperhatikan oleh sebagian stakeholder. Pada tahun 1983 – 1988 rata-rata debit air Lahurus diperkirakan sebesar 104 l/detik. Pada musim hujan, debit ini dapat meningkat mencapai 140 l/detik. Pada tahun 2005, selama musim kering debit air Lahurus diperkirakan sebesar 42 l/detik (pers. comm. Seksi Sumber Daya Air Dinas Kimpraswil Kabupaten Belu).

- 33 -

Tabel 14. Estimasi jumlah penduduk dan kebutuhan air di Belu.

Tahun Populasi penduduk Kebutuhan air (liter/hari)

1994 68186 4.602.555

2000 77146 5.207.355

2005 87283 5.891.603

2010 98752 6.665.750

Catatan: asumsi kebutuhan air sebesar 67.5 l/hari/orang (Arismunandar dan Ruhijat, 1995)

(b) Level propinsi

Hampir semua stakeholder berpendapat bahwa masalah hidrologi yang utama di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah degradasi lahan yang berkaitan dengan geomorfologi (geologi, soil, dan topografi) pulau Timor yang sangat rentan terhadap erosi. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi lahan yang didominasi oleh semak dan belukar. Topografi yang berbukit-bukit, jenis tanah, perubahan iklim yang ekstrim antara musim kering dan musim hujan, intensitas dan curah hujan yang tinggi pada musim hujan menyebabkan persoalan erosi, banjir, dan kekeringan menjadi semakin berkelanjutan. Sebuah laporan mengenai level erosi di Kabupaten Belu menyatakan bahwa sekitar 77% dari Kabupaten Belu diperkirakan mengalami erosi berat, dan hanya sekitar 2.5% yang mengalami erosi rendah (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan, 2004). Di Kecamatan Tasifeto Timur (merupakan lokasi DAS Talau), diperkirakan erosi terjadi pada sekitar 37% dari luasan area (BAPPEDA, 2005)

Sejumlah aktivitas anthropogenic seperti aktivitas penebangan yang berlebihan, kebakaran, pertambangan yang berlebihan dan tanpa disertai kegiatan reklamasi serta kegiatan pertanian tanpa disertai praktek konservasi juga memperburuk permasalahan yang ada. Sistem ternak lepas juga dianggap sebagai penyebab struktur tanah menjadi rapuh dan mudah tererosi.

Semua stakeholder berpendapat bahwa persoalan hidrologi diperburuk oleh adanya ketidakharmonisan antara beberapa institusi pemerintah terkait. Di beberapa institusi, pendekatan yang digunakan dalam mengatasi masalah hidrologi masih bersifat struktural atau menggunakan pendekatan ‘bottom-up’. Semua instansi sepakat bahwa baik pendekatan struktural dan non struktural tetap harus dilakukan untuk mengidentifikasi persoalan dalam mengelola sumber daya alam dan dalam memformulasikan pengelolaan sumber daya air yang baik dan meningkatkan efisiensi penggunaan air. Dengan demikian, pengelolaan DAS terpadu sangat penting serta perlu melibatkan semua pihak yang terkait. Pelibatan masyarakat lokal dalam semua upaya tersebut sangat penting dilakukan.

Masalah polusi air menjadi perhatian bagi Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah - Kimpraswil. Mereka melihat indikasi bahwa sungai dijadikan tempat pembuangan bagi sejumlah masyarakat maupun sejumlah industri. Hasil pemantauan kualitas air yang dilakukan pada Juli – Agustus 2005 dinyatakan bahwa tidak ada satu sungaipun dari sungai yang melintasi daerah perkotaan yang memenuhi klasifikasi air kelas satu dan kelas dua dalam hal kualitas air. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa hanya ada tiga sungai yang memenuhi klasifikasi kelas 3, yaitu sungai Talau, Bawono dan Wolowona (Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai di 10 Kabupaten/Kota pada 11 sungai yang melintasi kota, 2005).

- 34 -

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapedalda. Mereka menyatakan bahwa polusi di sungai dan sumber air disebabkan karena hal berikut:

• Pengelolaan yang buruk di areal sumber air

• Sistem pembuangan limbah dari sektor industri

• Penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk dari aktivitas pertanian

• Kegiatan pertanian tanpa praktek konservasi

• Sistem pembuangan rumah tangga yang buruk (tidak menggunakan ‘septic tank’ sehingga menyebabkan kontaminasi bakteri E. coli)

Tabel 15 dan Tabel 16 merangkum beberapa aktivitas yang dilakukan baik di level kabupaten maupun propinsi dalam mengatasi persoalan hidrologi di Kabupaten Belu.

- 35 -

Tabel 15. Permasalahan hidrologi dalam perspektif para pengambil keputusan di level kabupaten

Persoalan hidrologi Penyebab Upaya penyelesaian masalah Pelaku

Kekeringan pada musim kering

Banjir dan longsor pada musim hujan

Perubahan iklim yang ekstrim

Berkurangnya debit sungai dan mata air

Tebas bakar, ternak lepas

Konflik pemanfaatan air Batas lahan adat dan lahan pemerintah yang jelas

Pengelolaan lahan yang baik Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Kelangkaan air pada musim kering

Berkurangnya areal hutan untuk areal pemukiman (bagi pengungsi Timor Leste)

Perencanaan spasial untuk pemukiman, hutan, areal konservasi tanah dan air

Penanaman pohon mahoni di areal konservasi dan sekitar sumber mata air

Pengelolaan sistem pemanfaatan dan pembuangan air di daerah hulu (pemukiman, areal perdagangan dan industri) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dan kerjasama institusi yang terkait

Badan Pengelolaan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda)

Degradasi lahan Rehabilitasi lahan kritis dan konservasi kawasan lindung, contoh: program GNRHL serta membantu pembangunan bendungan (chek dam) dan penampungan air kecil (embung)

Dinas Kehutanan

Ketersediaan air yang cukup

- Pengembangan kapasitas petani mengenai kecocokan lahan dan teknologi konservasi lahan

Sistem irigasi yang baik

Dinas Pertanian

Erosi

Longsor

Pengurangan debit air

Topografi dan jenis tanah yang menyebabkan laju infiltrasi kecil dan limpasan permukaan yang besar pada musim hujan.

Konversi lahan menjadi lahan pertanian dan pemukiman

Penerapan teknologi konservasi lahan

Rehabilitasi hutan, pinggiran sungai dan perlindungan terhadap sungai

Membangun penampungan air (embung)

Dinas Pekerjaan Umum

Kelangkaan air

Distribusi air

Curah hujan rendah dan berkurangnya tutupan tanah karena meningkatnya populasi

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Dinas Pertambangan melakukan pengelolaan sumber daya air dan hujan dengan mengembangkan sistem tumpang sari (inter cropping), kerjasama yang baik antar sektor

BPMD dan Dinas Pertambangan

- 36 -

Tabel 16. Masalah hidrologi dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dari para pengambil kebijakan

Masalah Penyebab Apa yang perlu dilakukan Aktor yang terlibat

Iklim, intensitas hujan, struktur tanah

Pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tanaman berdasarkan struktur tanah, iklim, dan penerapan teknik konservasi

Pengenalan teknologi konservasi atau sistem wanatani – pemberdayaan masyarakat

Pemda (Desa dan kecamatan), PU/Kimpraswil, BP DAS

Pertanian, PDAM, BPMD

Pengurangan debit

Pengurangan tutupan hutan: penebangan dan tebas bakar

Sistem ternak lepas

Penanaman pada lahan kritis dan terbuka serta sempadan sungai

Zonasi areal produksi dan konservasi

Program penghijauan

Penguatan hukum adat dan formal

Masyarakat lokal, Bappeda, Kehutanan, Pertanian, Peternakan, BP DAS

Distribusi air yang tidak merata

Topografi: beberapa wilayah tidak memiliki sumber air

Pembuatan ‘chek dam’ atau embung, irigasi, perencanaan spasial, pemberdayaan petani dan pengembangan kapasitas, revitalisasi hukum adat (perencanaan spasial)

Bappeda, PDAM, Pemda, Kimpraswil, Pertanian (Irigasi), BPMD

Polusi Perilaku masyarakat Pengaturan pemanfaatan air dan sistem pembuangan air melalui hukum adat dan formal

Pemberdayaan masyarakat

PU, Kehutanan, Ekonomi, BPMD, Hukum., PDAM

Erosi dan longsor

Struktur tanah

Pengelolaan lahan yang buruk

Pengelolaan lahan yang lebih memperhatikan kecocokan jenis tanaman dengan tanah, teknik konservasi, dan sistem wanatani

Pertanian, BP DAS, Kehutanan, BPMD, Bappeda, Pemda

Erosi dan longsor di sempadan sungai

Struktur tanah

Banjir

Rehabilitasi sempadan sungai, teknik konservasi di sepanjang sempadan sungai

Penguatan hukum

PU, BPMD, Pertanian, Bappeda, Pemda

- 37 -

(c) Pelanggan PDAM

Pengguna air mengharapkan adanya suplai air yang kontinyu pada waktu musim kering. Meskipun sebagian dari mereka memiliki penampungan air di tempat tinggalnya, namun jumlahnya masih belum mencukupi terutama pada musim kering.

Tabel 17. Pengguna air di daerah hilir dan harapannya terhadap kualitas air

Kelompok pelanggan PDAM

Pemanfaatan air Harapan (berdasar pada skala prioritas)

Masalah air Sumber air Kesediaan untuk membayar

Rumah tangga (level bawah –sedang)

Konsumsi harian: masak, minum, mandi

Irigasi

Jumlah air Kontinuitas suplai air

Kuantitas air pada musim kering

Pengaturan air

Kualitas air

PAM, Sumur Rendah

Rumah tangga (level sedang – atas)

Konsumsi harian: masak, minum, mandi

Jumlah air

Kontinuitas suplai air

Kualitas air

Menurunnya kualitas air (E. coli dan kapur)

Jumlah air pada musim kering

Pengaturan air

PAM,

Pompa, Sumur, perusahaan air swasta

Rendah ke sedang

Industri kecil Keperluan industri

Konsumsi rumah tangga

Jumlah air dan kontinuitas suplai air

Pengaturan air

Jumlah air pada musim kering

PAM,

Pompa, perusahaan air swasta

Sedang

Sumber: interview dan observasi (LEK Survey, 2006)

Sebagian besar pelanggan PDAM menyatakan bahwa tarif air yang mereka bayar saat ini sudah cukup dan sebanding dengan kualitas pelayanan dan jumlah air yang ada. Namun demikian, masih ada beberapa pelanggan yang menyatakan bahwa tarif air masih terlalu mahal dan mengharapkan adanya peningkatan pelayanan dari PDAM terutama dari segi kontinuitas air pada musim kering.

(d) PDAM sebagai institusi pengelola dan penyedia air

PDAM sangat memperhatikan kritik dari pelanggannya dan terus berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan mereka. PDAM melihat bahwa debit air dari Lahurus saat ini dapat mencapai 40 liter/detik, namun saat ini yang dialirkan kepada pelanggan PDAM sekitar 14 liter/detik. PDAM menyatakan bahwa hal ini disebabkan adanya kebocoran pipa karena rusak atau dimanfaatkan secara ilegal sehingga air yang mengalir ke hilir menjadi berkurang. Adanya sedimentasi dalam pipa saluran juga menambah persoalan tersebut. PDAM memahami akan adanya konflik yang terjadi baru-baru ini sehubungan dengan pemanfaatan sumber air Lahurus oleh PDAM. Mereka harus lebih berhati-hati jika akan meningkatkan jumlah air yang akan diambil dari sumber mata air Lahurus.

Dalam upaya meningkatkan pelayanannya, PDAM melakukan serangkaian kegiatan penyuluhan yang melibatkan masyarakat, seperti membentuk kelompok desa untuk memantau saluran air dan membuat pipa air. Namun hingga saat ini, program tersebut belum berjalan dengan baik. PDAM masih berupaya untuk meningkatkan sistem pendistribusian air dan pengelolaannya.

- 38 -

Proyek pengadaan air dari sumber mata air Lahurus sebenarnya telah dimulai tahun 1998, namun baru dapat direalisasikan pada tahun 2005, dan hal ini merupakan suatu bukti bahwa PDAM terus berupaya meningkatkan pelayanannya baik kepada masyarakat lokal maupun kepada pelanggannya. Pihak PDAM menyatakan bahwa pada saat ini sumber mata air Lahurus masih dalam masa uji coba. Namun demikian, sumber ini telah memberikan keuntungan bagi PDAM. Di masa yang akan datang, PDAM merencanakan suatu program atau mekanisme untuk memberikan imbalan atau benefit bagi masyarakat lokal berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari pelanggan PDAM. PDAM berencana untuk bekerjasama dengan Bappeda sebagai perencana, Kimpraswil sebagai pengembangan infrastruktur, dan Dinas Kehutanan dalam konservasi dan memantau areal sumber air. Mekanisme ini dapat melalui pembayaran langsung atau melalui pendapatan asli daerah dengan aturan yang transparan dan disertai dengan hukum yang formal.

- 39 -

Neraca air DAS Talau

Iklim di DAS Talau Berdasarkan data curah hujan bulanan stasiun Sukabitek tahun 1978 sampai dengan tahun 1993, (tidak ada data pada tahun 1982) dan data stasiun Tasifeto Timur pada tahun 1989 sampai dengan tahun 2002, curah hujan tahunan di Talau bervariasi antara 625 - 1838 mm per tahun dengan rata-rata curah hujan 1634 mm per tahun (Gambar 20). Talau mempunyai perbedaan kondisi musim hujan dan musim kering yang ekstrim, dimana sekitar 95% hujan turun pada November sampai April. Sedangkan pada musim kering total curah hujan bulanan sangat rendah yaitu kurang dari 50 mm per bulan. Suhu udara rata-rata berkisar antara 23-27°C, dengan potensi evapotranspirasi (evapotranspiration) sebesar 1430 mm per tahun (Gambar 21).

Gambar 20. Rata-rata curah hujan bulanan dan suhu udara di DAS Talau dari 1978 – 1993 (Stasiun Klimatologi Sukabitek).

Gambar 21. Curah hujan rata-rata bulanan dan nilai dugaan evapotranspirasi potensial di DAS Talau dari tahun 1978 sampai tahun 1993. Evapotranspirasi potensial bulanan dihitung berdasarkan rumus Thornwaite.

- 40 -

Debit sungai dan pola hujan di DAS Talau Gambar 22 menunjukkan grafik hubungan antara curah hujan dan debit sungai harian di DAS Talau pada tahun 1991 sampai dengan tahun 1994. Sebelum mempergunakan data ini lebih lanjut, terlebih dahulu dilakukan pengujian konsistensi dan sensitivitas data melalui analisis hubungan debit dan aliran sungai. Pada kondisi normal, debit aliran sungai akan sesuai dengan pola curah hujan.

Dari analisis tersebut diketahui bahwa data pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1993 menunjukkan adanya pola aliran sungai yang tidak sesuai dengan pola curah hujan yang turun, dimana debit sungai terendah terjadi pada saat intensitas curah hujan tinggi. Oleh karena itu dalam analisis lebih lanjut, data debit sungai yang dipergunakan adalah data tahun 1994. Data-data di tahun sebelumnya tidak digunakan karena memiliki kualitas yang sangat rendah.

Debit terbesar adalah 35 m3/detik (30 mm) pada bulan Februari dengan curah hujan sebesar 85 mm. Secara umum pola aliran sungai di DAS Talau dapat diuraikan menjadi tiga Tahapan: (i). tahap awal adalah fase penyimpanan air tanah pada awal musim hujan, (ii) paruh waktu kedua musim hujan dimana sebagian besar curah hujan dialirkan ke sungai, dan (iii) musim kemarau dimana sungai dan mata air mendapatkan air melalui pelepasan simpanan air secara bertahap (gradual water release).

Hasil analisis menunjukkan bahwa Sub-DAS Motabuik memiliki kapasitas penyanggaan debit dan penyimpanan curah hujan yang sangat rendah. Debit Sungai dapat meningkat atau menurun dengan cepat sesuai dengan besarnya curah hujan yang turun (Gambar 23 dan Gambar 24). Adanya tahap II dalam pola aliran sungai menunjukkan adanya penggunaan kapasitas simpanan air (water storage capacity) secara penuh. Tahap ini juga menunjukkan bahwa hambatan daya infiltrasi tanah akibat pengurangan kandungan humus dalam tanah belum sampai pada tingkat yang kritis. Sebagian besar penyimpanan air tanah berada di lapisan tanah yang lebih dalam sehingga tidak secara langsung terpengaruh oleh perubahan lahan diatas permukaan tanah sehingga kemungkinan untuk penambahan daya simpanan air sangat terbatas. Meskipun demikian, upaya meningkatkan kapasitas simpanan air permukaan masih mungkin untuk dilakukan.

Berdasarkan ilmu proses hidrologi, dapat diketahui bahwa pada musim hujan, aliran sungai berasal dari aliran permukaan (overland flow) dan aliran air tanah. Aliran permukaan (overland flow) adalah aliran langsung diatas permukaan tanah. Sedangkan aliran air tanah (ground water flow) merupakan aliran air hasil peresapan air hujan. Kecepatan alir kedua aliran ini berbeda dimana aliran permukaan akan mengalir ke sungai dengan cepat setelah hujan turun, sedangkan aliran air tanah akan mengalir ke sungai setelah 1-2 hari. Aliran permukaan dapat mengakibatkan terjadinya kenaikan muka air sungai secara tiba-tiba, meningkatkan erosi dan sedimentasi. Adanya degradasi tanah (lahan kritis) akan menggeser pola pengaliran dan memperbesar aliran permukaan sehingga dapat mempengaruhi kapasitas simpanan air tanah dan kapasitas pengisian air tanah lapisan bawah.

- 41 -

0

10

20

30

40

50

60

70

80

0 365 730 1095 1460

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

River Flow Rainfall

1991 1992 199419930

10

20

30

40

50

60

70

80

0 365 730 1095 1460

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

River Flow Rainfall

1991 1992 19941993

Gambar 22. Pola curah hujan dan debit Sungai Motabuik tahun1990 – 1994

Gambar 23. Kondisi aliran sungai di musim Kemarau (foto: Tim RHA, September 2006)

Gambar 24. Perbedaan kondisi aliran sungai dan tingkat penutupan lahan yang sangat tajam antara musim kemarau September 2006 (kiri) dan musim hujan January 2007 (kanan).

Kalibrasi model GenRiver Neraca air DAS Talau dihitung dengan mempergunakan model GenRiver. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pemodelan tersebut meliputi penentuan input simulasi model (parameterisasi) dan penyesuaian nilai input model (kalibrasi) dengan kondisi setempat. Selengkapnya langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam lampiran 2.

- 42 -

Hasil simulasi GenRiver dapat menangkap pola debit sungai sesuai dengan hasil pengukuran pada tingkat curah hujan di atas 10 mm sampai dengan 70 mm. Hasil belum dapat mendekati hasil pengukuran pada tingkat curah hujan lebih dari 70 mm. Hasil pemodelan memberikan penilaian kuantitas debit sungai yang lebih rendah daripada hasil pengukuran. Kurangnya data yang memadai mempersulit upaya kalibrasi lebih lanjut. Dengan demikian, simulasi beberapa skenario perubahan lahan akan menghasilkan penilaian debit puncak yang lebih rendah dan penilaian aliran lambat (low flow) yang melebihi hasil pengukuran.

Gambar 25. Hidrograf aliran sungai Sub DAS Motabuik tahun 1990 – 1991: pengukuran vs simulasi. Hasil kalibrasi yang menghasilkan trend debit sungai yang sesuai

Gambar 26. Hubungan curah hujan dan debit sungai Motabuik: pengukuran vs. simulasi. Hasil simulasi masih memberikan hasil penilaian lebih rendah pada saat debit puncak dan memberikan nilai aliran lambat lebih rendah daripada hasil pengukuran.

- 43 -

Neraca air DAS Talau Dalam kajian ini, perhitungan Neraca air difokuskan di DAS Talau dan sub DAS Lahurus sebagai lokasi studi.

Gambar 27 menunjukkan bahwa neraca air pada kedua lokasi studi tersebut adalah hampir sama. Pada tingkat curah hujan 1605 mm, sekitar sepertiganya akan diuapkan, sepertiga yang lain diserap dalam tanah dan dialirkan secara perlahan menuju ke sungai. Besarnya limpasan permukaan (run off) di dalam areal tersebut sekitar 22% atau sama dengan 98,000 m3 di dalam sub DAS Lahurus. Besarnya run-off ini sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi yang selanjutnya berdampak pada terjadinya peningkatan sedimen dan penurunan kualitas air. Tingginya persentase run off tersebut menunjukkan adanya masalah erosi sebagaimana disampaikan oleh masyarakat setempat dan para pemangku kepentingan (stakeholders) di lokasi studi.

Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

EvapotranspirasiAliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

EvapotranspirasiAliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

Evapotranspirasi

Gambar 27. Neraca air tahunan di DAS Talau dan Sub DAS Lahurus, nilai merupakan bentuk persentase dari total curah hujan

Tabel 18. Neraca air DAS Talau dan Sub DAS Lahurus, dinyatakan dalam bentuk persentase curah hujan simpanan air bernilai negatif menunjukkan adanya kelangkaan air.

Talau Lahurus

Annual Musim Hujan

Musim kering

Annual Musim Hujan

Musim kering

Total curah hujan (mm) 1634

Evapotranspirasi (%) 38 30 8 35 29 5

Limpasan permukaan atau runoff(%) 21 20 1 22 21 1

Aliran cepat tanah/soil quick flow(%) 5 5 0 7 7 0

River Flow (debit)

Aliran Dasar atau low flow(%) 36 23 16 36 24 10

Simpanan Air atau water storage(%) 16 -19 13 -11

- 44 -

Gambar 28 menunjukkan hasil perhitungan neraca air di DAS Talau dan Sub DAS Lahurus pada musim hujan dan musim kemarau. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan antara musim kering dan musim hujan yang jelas. Pada saat musim hujan terjadi proses pengisian kapasitas simpan air tanah sebagai persediaan selama musim kemarau. Oleh karena itu, dari hasil neraca air menunjukkan surplus air terjadi pada saat musim hujan dan kelangkaan air terjadi saat musim kemarau (Tabel 18). Besarnya kapasitas air yang tersimpan dalam tanah selama musim hujan diperkirakan sebesar 300 mm, atau sebesar 20% dari curah hujan tahunan.

Simpanan Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

Evapotranspirasi

-300

0

300

600

900

1200

1500

mm Air

35

22

7TALAU LAHURUS

Musim Hujan Musim Hujan

Musim Kemarau Musim Kemarau

Simpanan Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

EvapotranspirasiSimpanan Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

Evapotranspirasi

-300

0

300

600

900

1200

1500

mm Air

35

22

7TALAU LAHURUS

Musim Hujan Musim Hujan

Musim Kemarau Musim Kemarau

-300

0

300

600

900

1200

1500

mm Air

35

22

7TALAU LAHURUS

Musim Hujan Musim Hujan

Musim Kemarau Musim Kemarau

Gambar 28. Neraca air tahunan di DAS Talau dan Sub DAS Lahurus selama musim kemarau dan musim Hujan.

Kapasitas air yang tersimpan dari hasil analisis di atas merupakan total kapasitas simpanan air dalam lansekap yang menentukan volume air yang dapat mengalir pada musim kemarau. Seperti adanya kenaikan debit sungai (overflow) pada paruh kedua musim hujan, menunjukkan bahwa kapasitas simpanan air telah maksimal. Jika analisa ini benar, maka pada kondisi penggunaan lahan seperti sekarang ini tidak terlalu mempengaruhi besarnya aliran musim kemarau. Pengaruh yang lebih besar hanya terjadi pada saat terjadi degradasi tanah lebih lanjut. Pada kondisi tersebut kapasitas penyimpanan air tanah tidak dapat terpenuhi akibat adanya penurunan daya infiltrasi tanah.

Kondisi hidrologi DAS Talau Melalui pendekatan model dapat dipelajari bagaimana pola curah hujan tahunan diterjemahkan menjadi debit sungai. Kapasitas penyanggaan debit (buffering capacity) dan aliran bawah tanah di DAS Talau lebih rendah pada tahun dengan curah hujan yang tinggi yang memiliki konsekwensi terhadap pembuangan air dalam jumlah besar (Gambar 29). Kondisi yang sama dapat terjadi pada kejadian pembuangan air tanah (ground water discharge). Debit air di DAS

- 45 -

Talau bersifat musiman, sehingga memiliki resiko tinggi terjadinya air bah secara tiba-tiba. Kondisi tersebut dapat terjadi pada paruh kedua musim hujan dimana kapasitas simpanan air tanah telah maksimal pada saat curah tinggi tanpa adanya penyangga.

0.25

0.45

0.65

0.85

0.55 0.65 0.75 0.85Total Discharge Fraction

bufferingIndicator

relBufferInd 0.15

0.25

0.35

0.45

0.55

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

OverFlowFrac

bufferingPeak

1

2

3

4

5

6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

C

HighestMonthFrac

0.0

0.2

0.4

0.6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

SlowFlowFrac

lowstMonthFrac

0.25

0.45

0.65

0.85

0.55 0.65 0.75 0.85Total Discharge Fraction

bufferingIndicator

relBufferInd0.25

0.45

0.65

0.85

0.55 0.65 0.75 0.85Total Discharge Fraction

bufferingIndicator

relBufferInd 0.15

0.25

0.35

0.45

0.55

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

OverFlowFrac

bufferingPeak

0.15

0.25

0.35

0.45

0.55

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

OverFlowFrac

bufferingPeak

1

2

3

4

5

6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

C

HighestMonthFrac

1

2

3

4

5

6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

C

HighestMonthFrac

0.0

0.2

0.4

0.6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

SlowFlowFrac

lowstMonthFrac0.0

0.2

0.4

0.6

0.55 0.65 0.75 0.85

Total Discharge Fraction

SlowFlowFrac

lowstMonthFrac

Gambar 29. Grafik Hubungan Indikator Fungsi DAS dengan fraksi debit total (Total Discharge Fraction).

- 46 -

Hubungan penggunaan lahan dengan kondisi hidrologi di DAS Kapuas Hulu

Analisis perubahan penggunaan lahan berdasarkan pendekatan skenario pemodelan Berdasarkan hasil survei Pengetahuan Ekologi Pembuat Kebijakan dan Pengetahuan Ekologi Lokal, dapat diketahui bahwa isu hidrologi yang muncul di DAS Talau adalah (i) kelangkaan air selama musim kemarau dan (ii) erosi akibat terjadinya degradasi lahan.

Sebagian besar stakeholder lokal, kabupaten maupun tingkat provinsi menyatakan bahwa persoalan hidrologi tersebut akibat makin berkurangnya hutan, dan adanya praktek tebas bakar. Upaya untuk memecahkan permasalahan ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan tingkat penutupan lahan melalui penanaman pohon. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan pengembangan skenario penggunaan lahan sebagai berikut:

i. konversi lahan tidak produktif (padang rumput dan semak belukar) menjadi hutan

ii. konversi lahan tidak produktif (padang rumput dan semak belukar) menjadi wanatani

iii. konversi lahan tidak produktif ke dalam sistem pertanian dengan pengelolaan lahan yang baik

Pengaruh perubahan lahan terhadap neraca air Konversi lahan tidak produktif menjadi sistem wanatani akan mengurangi limpasan permukaan sebesar 43- 64%, sedangkan konversi menjadi hutan akan mengurangi limpasan permukaan sebesar 78 - 90%, (Gambar 30 dan Tabel 19). Ini juga berarti adanya pengurangan erosi yang sepadan. Ketika lahan tidak produktif dikonversi ke sistem wanatani atau hutan, maka terjadi peningkatan aliran cepat tanah sekitar 1- 7% dari total curah hujan. Pergeseran limpasan permukaan menjadi aliran cepat tanah tersebut menunjukkan adanya proses aliran air menuju ke sungai yang berlangsung secara berangsur-angsur (lebih dari 1 hari). Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan meningkatnya jumlah penutupan pohon (dalam skala lansekap) dapat mencegah terjadinya banjir besar dalam periode singkat. Meskipun demikian, peningkatan jumlah pohon belum berpengaruh terhadap aliran lambat/dasar pada musim kemarau. Kestabilan aliran lambat/dasar tersebut merupakan petunjuk adanya kondisi hidrologi yang yang masih bagus. Pada kondisi ini, penanaman pohon hanya akan meningkatkan evapotranspirasi.

- 47 -

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Forest

Agroforestry

Base

line

CropFo

rest

Agroforest

Base

line

Crop

mm water

Base flow Soil quick flow Run off Evapotranspiration35353535353535

TALAU LAHURUS

HutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

ganHutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

gan HutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

gan

Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

EEvapotranspirasi

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Forest

Agroforestry

Base

line

CropFo

rest

Agroforest

Base

line

Crop

mm water

Base flow Soil quick flow Run off Evapotranspiration35353535353535

TALAU LAHURUS

HutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

ganHutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

gan HutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

ganHutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

ganHutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

gan HutanAgro

forestry

Baseli

neLah

anpan

gan

Aliran dasar Aliran cepattanah

Limpasanpermukaan

EEvapotranspirasi

Gambar 30. Neraca air DAS Talau dan Sub DAS Lahurus pada penutupan lahan saat ini (baseline) dan pada saat lahan tidak produktif (semak belukar) dirubah menjadi hutan, sistem wanatani (agroforestri), serta sistem pertanian yang dikelola dengan baik.

Tabel 19. Neraca air DAS Talau dan Sub DAS Lahurus pada penutupan lahan saat ini (baseline) dan pada saat lahan tidak produktif (semak belukar) dirubah menjadi hutan dan sistem wanatani (agroforestri), dan pertanian terkelola dengan baik (crop). Nilai merupakan persentase terhadap curah hujan

Talau Lahurus

Hutan Agro-forestri

Baseline Perta-nian

Hutan Agro-forestri

Baseline Perta-nian

Curah hujan 1634

Evapotranspirasi 50 48 37 29 42 42 35 34

Limpasan permukaan/ runoff(%)

2 12 21 35 5 8 22 22

Aliran Cepat Tanah/soil quick flow(%)

11 6 5 2 14 12 7 8

River Flow (debit)

Aliran dasar/ low flow(%)

37 34 36 35 38 37 36 36

- 48 -

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

BaselineAgroforestryForest

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall TALAU

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

BaselineAgroforestryForest

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall

Cumulative river flowAnnual rainfall TALAU

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall

(mm)Cumulative rainfallAnnual rainfall

LAHURUS

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall

(mm)Cumulative river flowAnnual rainfall

Cumulative river flowAnnual rainfall

(mm)Cumulative rainfallAnnual rainfall

(mm)Cumulative rainfallAnnual rainfall

Cumulative rainfallAnnual rainfall

LAHURUS

Gambar 31. Plot debit sungai kumulatif dengan curah hujan kumulatif DAS Talau dan Sub DAS Lahurus pada kondisi sekarang (baseline) dan pada saat lahan tidak produktif dikonversi menjadi hutan, wanatani dan pertanian terkelola dengan baik.

Hubungan antara kumulatif debit sungai dan curah hujan tahunan menunjukkan hubungan peningkatan jumlah pohon secara proposional dengan penurunan debit sungai. Namun tidak terjadi adanya perubahan kualitas aliran. Perubahan yang terjadi adalah perubahan kemiringan grafik, seperti tampak pada bagian terakhir yang merupakan aliran musim kemarau.

Dampak perubahan penutupan lahan terhadap fungsi DAS Tabel 20 menunjukkan perubahan fungsi DAS akibat adanya perubahan tutupan lahan. Penanaman pohon di lahan tidak produktif belum menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap aliran lambat/dasar. Perubahan yang terjadi masih berada dalam jangkauan variasi yang ada seperti pada kondisi penggunaan lahan baseline. Perubahan yang signifikan terjadi pada peningkatan limpasan permukaan. Dengan demikian penanaman pohon berdampak positif dalam usaha mengurangi masalah erosi melalui pengurangan limpasan permukaan.

- 49 -

Tabel 20. Perubahan fungsi DAS yang dinyatakan dalam persentasi terhadap kondisi baseline, angka yang dicetak tebal menunjukkan adanya perubahan yang signifikan

Talau Lahurus

Rata-rata/rata-rata baseline

Rata-rata/rata-rata baseline

(kisaran baseline)/

(rata-rata baseline)

Agro-forestry

Hutan

(kisaran baseline)/

(rata-rata baseline)

Agro-forestry

Hutan

Pengaliran air- TotDischargeFrac (74 - 112) 86 84 (86 - 113) 88 88

BufferingIndic (85 - 122) 107 107 (80 - 114) 110 110

RelBuffering-Indic (82 - 120) 93 89 (76 - 118) 106 107

BufferingPeak (87 - 106) 102 103 (59 - 136) 118 121

HighestMonth-Frac (68 - 158) 103 106 (63 - 173) 107 109

OverlandFlow-Frac (79 - 123) 53 22 (58 - 129) 38 25

Indikator Daya Penyanggaan DAS

SoilQflowFrac (6 - 168) 131 200 (0 - 226) 167 194

SlowFlowFrac1 (75 - 111) 98 102 (82 - 135) 104 106

SlowFlowFrac2 (90 - 109) 81 86 (81 - 119) 100 104

Pelepasan aliran secara bertahap

LowestMonth-Frac (60 - 131) 82 76 (21 - 409) 80 79

- 50 -

Kesimpulan

Apa yang bisa dijadikan landasan pengembangan imbal jasa lingkungan? Ada hal yang menarik di DAS Talau, Belu – Nusa Tenggara Timur, berkaitan dengan definisi hulu dan hilir. Sub-DAS Lahurus sebagai lokasi sumberr air minum bagi warga di Atambua, atau dalam hal ini sebagai penyedia jasa lingkungan ternyata berada di daerah hilir DAS Talau. Sedangkan Atambua sebagai pengguna jasa, berada di daerah hulu DAS Talau. Dengan demikian, secara geografis, definisi hulu dan hilir bagi kedua tempat ini bertolak belakang dengan definisi dalam PES. Dengan demikian, dalam kasus DAS Talau, penggunaan hulu dan hilir perlu diartikan sebagai hubungan fungsional, dan jangan diartikan murni secara geografis.

Mekanisme imbal jasa lingkungan berpotensi untuk dapat dikembangkan di Lahurus. Dalam hal ini, penyedia jasa lingkungan adalah masyarakat Lahurus dan pemanfaatnya adalah PDAM serta pelanggan PDAM di Atambua. PDAM dan pelanggan PDAM berharap agar masyarakat di sekitar Lahurus dapat menjaga sumber mata air dan melakukan aktivitas untuk menjaga ketersediaan air sepanjang tahun, bahkan jika mungkin dapat menambah debit air terutama pada musim kemarau. Harapan peningkatan debit air terutama pada musim kemarau juga merupakan harapan masyarakat di sekitar Lahurus yang juga memanfaatkan sumber tersebut untuk kebutuhan mereka.

Hasil dari analisa skenario menunjukkan bahwa penambahan jumlah pohon di areal Lahurus atau Talau tidak akan menambah debit air pada musim kemarau. Perubahan lansekap seperti melalui upaya reforestasi dan agroforestasi tidak dapat secara substansial menambah debit air pada musim kemarau, karena nampaknya yang menjadi masalah kritis bukanlah (atau belum) persoalan infiltrasi yang dapat mengurangi kapasitas simpanan air. Sebagai konsekuensinya, upaya pengembangan mekanisme imbal jasa menjadi kurang tepat diterapkan di areal ini terutama berkaitan dengan persoalan penambahan debit. Namun demikian, untuk mencegah adanya degradasi yang berkelanjutan upaya tersebut dapat dilakukan sebagai prioritas, mengingat kondisi tanah yang rapuh dan mudah tererosi, juga untuk mengurangi laju infiltrasi.

Di lain pihak, reforestasi dan agroforestasi dapat berpotensi mengatasi persoalan erosi sebagai hasil dari analisa skenario yang menyatakan bahwa penambahan jumlah pohon dapat mengurangi laju limpasan permukaan. Dengan asumsi bahwa laju limpasan permukaan dapat mengakibatkan erosi, mekanisme imbal jasa dikembangkan dengan lebih mengacu pada masalah kualitas air. Namun demikian, diperlukan sejumlah data yang menunjukkan kondisi aktual adanya laju limpasan permukaan dan erosi tanah.

Upaya penampungan air di areal ini dapat membantu meningkatkan ketersediaan air pada musim kemarau. Selain bermanfaat bagi masyarakat lokal, upaya penampungan air ini dapat memberikan manfaat bagi PDAM dan juga pelanggan PDAM. Tambahan suplai air dari tampungan air dapat mengurangi tekanan secara parsial dari mata air Lahurus, juga dapat menjadi tambahan air untuk PDAM.

- 51 -

Upaya menampung air dengan menggunakan ‘embung’ (semi permanen), perlu dilakukan sejalan dengan upaya untuk mengurangi terjadinya erosi. Penampungan air dengan ‘embung’ akan dapat lebih optimal dengan semakin sedikitnya erosi yang terjadi.

Dengan demikian, untuk mewujudkan tujuan dari ‘Equitable Payment for Watershed Services’ dalam upaya konservasi DAS serta upaya pengurangan kemiskinan, pengembangan mekanisme imbal jasa di daerah ini harus dilakukan sejalan dengan kegiatan sebagaimana diuraikan dalam bagian berikut ini.

Skema imbal jasa lingkungan yang potensial

Penyediaan sarana penampungan air Aktivitas menampung air mengacu pada kegiatan penampungan dan penyimpanan air pada musim hujan untuk dimanfaatkan di musim kemarau. Air tersebut dapat dimanfaatkan baik untuk irigasi maupun keperluan rumah tangga. Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, masyarakat menampung air dalam bangunan semi permanen yang disebut ‘embung’. Di beberapa wilayah di Nusa Tenggara Timur, sebuah embung dapat menampung sekitar 30 – 60 Megaliter (30,000 – 60,000 m3) yang dapat memenuhi kebutuhan 100 rumah tangga dalam waktu sekitar sembilan bulan (Naiola, 2007). Embung dengan ukuran tersebut biasanya dibuat menggunakan buldoser. Embung yang berukuran lebih kecil berkapasitas sekitar 150 – 500 m3, biasanya dibuat di dekat lahan pertanian untuk saluran air. Untuk lahan seluas 0.5 ha biasanya memerlukan embung berukuran kira-kira 10 x 5 x 3 = 150 m3 (Purnomo, 1994).

Dalam tulisannya, Agus (2004) dan Purnomo (1994), menyatakan bahwa embung dibangun pada areal cekungan di dalam daerah tangkapan mikro5. Embung sebaiknya dibuat pada lokasi dengan struktur tanah yang tidak memiliki pori besar dan kandungan liatnya tinggi (tanah liat) sehingga air tidak mudah hilang karena adanya perkolasi. Pada tanah yang memiliki porositas tinggi, bagian bawah embung perlu dilapisi dengan plastik atau semen. Embung yang dibangun pada tanah dengan kemiringan sekitar 8 – 30% dapat menampung air secara efisien (melalui limpasan permukaan), tetapi pada tanah dengan kemiringan tinggi dapat menyebabkan erosi sehingga embung akan dipenuhi dengan sedimen. Embung sebaiknya dibangun tidak jauh dari lokasi pemukiman dan lahan pertanian.

Dari perkiraan neraca air Lahurus, sekitar 20% air dari curah hujan tahunan dapat ditampung di sub-DAS ini. Areal tangkapan Lahurus dapat menampung air sekitar 4,000 Megaliter (4 juta m3), yang nilainya setara dengan 135 ha embung dengan kedalaman 3m. Angka ini masih merupakan perkiraan kasar karena belum memperhitungkan tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jarak terhadap lokasi pemukiman dan lahan pertanian.

Penanaman pohon di areal non produktif Tanaman pepohonan ditanam di areal non produktif dengan tujuan untuk mengurangi terjadinya erosi serta memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Manfaat langsung ini dapat

5 Darah tangkapan mikro memiliki luasan area sekitar 500 – 700 ha dengan perbukitan sebagai batas alami. Areal ini menampung

dan membuang air di satu titik melalui sebuah sistem drainase yang kecil (Agus, 2004).

- 52 -

berupa kayu, buah-buahan, kayu bakar serta untuk makanan ternak. Manfaat langsung lain yang dapat diperoleh masyarakat dapat berbentuk ‘pembayaran’ yang diperoleh dari pemanfaat jasa lingkungan demi tujuan untuk mengurangi terjadinya erosi. Keuntungan yang bersifat tidak langsung dapat berupa konservasi tanah serta pepohonan yang dapat membantu mempertahankan kesuburan tanah. Aktivitas yang dapat memberikan manfaat tersebut dapat berupa reforestasi atau agroforestasi. Namun demikian, haruslah dipastikan bahwa jenis tanaman yang ditanam adalah yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi bukan jenis yang dapat menimbulkan masalah lingkungan atau hidrologi yang lebih lanjut. Kriteria di bawah ini perlu diperhatikan dalam memilih spesies pohon yang akan ditanam:

• Tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi air yang sangat sedikit (curah hujan kuran dari 1500 mm tahun-1). Jenis pohon deciduous, yaitu pepohonan yang dapat menggugurkan daunnya pada musim kering, termasuk dalam kategori ini.

• Tanaman penghasil seresah yang baik karena dapat bermanfaat sebagai tanah serta untuk menjaga kesuburan tanah6.

• Pohon penghasil serasah yang lambat lapuk cukup baik untuk penutup tanah, seperti tanaman mahoni (Swietenia macrophylla), kemiri (Aleurites moluccana), durian (Durio zibethinus), nangka (Artocarpus integra), mangga (Mangifera indica). Pohon penghasil serasah yang cepat lapuk sangat baik untuk menjaga kesuburan tanah, seperti lamtoro (Leucena leucocephala), dadap (Erythrina ). Lihat Lampiran 3.

• Jenis pepohonan yang memberi manfaat sebagai kayu bakar, makanan ternak, buah-buahan, dan kayu

• Spesies lokal maupun eksotik yang sudah dikenal oleh petani. Jenis-jenis ini memiliki kemampuan bertahan yang cukup baik (lihat Lampiran 4 dan Lampiran 6)

Berdasar pada kriteria tersebut di atas, jenis pohon yang dapat tumbuh dengan baik di DAS Talau adalah mahoni (Swietenia macrophylla), Syzigium sp, jambu mete (Anacardium occidentale), kemiri (Aleurites moluccana), Gliricidia sepium, Sesbania grandiflora dan Leucaena leucocephala. Kombinasi dari beberapa jenis pohon tersebut dapat meningkatkan sumber penghidupan masyarakat setempat.

Di Lahurus, sekitar 8.3 km2 (55% dari total luasan area) dan 1 km2 (66%) merupakan semak dan tanah terbuka (termasuk juga daerah perbukitan). Area ini merupakan area yang tepat untuk lokasi reforestasi dan agroforestasi. Sebagian dari areal ini sebelumnya merupakan areal ternak dan bekas lahan pertanian. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian area (ground assessment) lebih lanjut.

Waktu yang diperlukan oleh tanaman sebagai penutup lahan untuk mengembalikan kondisi tanah sangat penting diperhatikan. Pada umumnya, diperlukan sekitar 3 – 5 tahun untuk dapat mengembalikan kondisi tanah bagian permukaan. Dengan menerapkan sistem wanatani, diperlukan sekitar 10 tahun. Namun demikian, perlu waktu lebih dari 30 tahun supaya hutan dapat memberikan efek terhadap upaya restorasi tanah di bagian yang lebih dalam.

6 Hairiah, et al. (2004) menguraikan mengenai peran serasah dalam menjaga fungsi DAS yaitu dengan menjaga tanah lapisan atas

tetap tertutup dan meningkatkan porositas tanah. Untuk lebih detilnya, dijelaskan dalam Lampiran 1.

- 53 -

Pengkayaan jenis pohon dalam sistem mamar Beberapa spesies pohon ditanam di areal mamar dengan tujuan untuk melindungi sumber mata air (dengan mengurangi laju limpasan permukaan) dan memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar mata air. Jenis pohon yang ditanam sebaiknya memiliki karakteristik sebagaimana disebutkan di atas, namun bukan termasuk jenis tanaman yang disukai oleh hewan ternak untuk menghindari ternak masuk ke areal mata air.

Jenis pohon yang cocok dengan kategori tersebut adalah mahoni (Swietenia macrophylla), Syzigium sp, jambu mete (Anacardium occidentale), kemiri (Aleurites moluccana), nangka (Artocarpus heterophtllus), mangga (Mangifera indica) dan kombinasi semua jenis tersebut.

Pengelolaan tanah dan lahan Pengelolaan tanah dan lahan memiliki tujuan untuk mengurangi degradasi tanah dengan mencegah erosi dan meningkatkan kemampuan infiltrasi. Contoh aktivitas ini adalah (i) terasering dan (ii) rorak di areal peladangan. Meningkatnya proses infiltrasi dapat secara potensial meningkatkan debit pada saat musim kemarau.

Upaya ke depan Pengelolaan DAS dan sumber air bersifat multi stakeholder dan multi perspektif. Di Kabupaten Belu, meskipun pengelolaan sumber daya alam yang bersifat multi sektor telah dilakukan namun koordinasi masih lemah dan seringkali masih mengabaikan masyarakat lokal. Pemahaman ini disepakati oleh hampir semua stakeholder terkait. Dengan demikian, pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan memerlukan pemahaman bersama dan upaya yang lebih keras dari semua stakeholder yang terkait.

Pengembangan mekanisme imbal jasa lingkungan di masa mendatang harus terpusat pada penguatan kapasitas masyarakat lokal dalam proses negosiasi dengan semua level institusi pemerintah, khususnya agar hukum adat mereka dalam mengelola sumber daya alam mendapatkan pengakuan. Lembaga adat yang ada di Kabupaten Belu sudah cukup kuat dan berpengaruh; sehingga hukum adat yang ada dalam pengelolaan sumber daya alam dapat menjadi pintu masuk dalam membangun mekanisme imbal jasa.

- 54 -

Lampiran 1. Tabel akurasi dari analisa klasifikasi citra Landsat-TM di DAS Talau

Kelas tutupan lahan

Akurasi (%)

Hutan 67

Sistem wanatani 61

Tanaman pangan 98

Semak 80

Padang rumput 98

Sawah 83

Perairan 98

Pemukiman 83

Total 76

- 55 -

Lampiran 2. Tahap-tahap dalam parameterisasi model GenRiver untuk mensimulasi kondisi DAS Talau

Batasan catchment dan panjang sungai Untuk melakukan simulasi DAS Talau, keseluruhan catchment dibagi menjadi 10 sub-DAS. Pada Tabel dalam Lampiran 2.1 diuraikan karakteristik spasial dari ke sepuluh sub-DAS tersebut.

Tabel Lampiran 2.1. Karakteristik spasial dari 10 sub-DAS di DAS Talau

Titik luar Titik sentral DAS

X_coord Y_coord X_coord Y_coord

Luasan Cathment Area

(km2)

Panjang Sungai

(km)

1 731599 9005558 727361 9001435 86.5 7.20

2 722218 8998976 716892 8996655 93.2 21.19

Lahurus 722263 8998976 725459 8997022 14.3 18.43

4 720102 8997375 723980 8994635 28.0 24.58

5 718975 8992267 724853 8987165 87.6 37.84

6 718883 8992267 719074 8985355 60.4 33.45

7 711545 8998665 708777 8994856 64.2 36.18

8 710333 8994801 713869 8988010 71.7 45.74

9 708623 8991769 711139 8982772 88.0 50.87

Motabuik 708247 8989836 704867 8982667 102.6 54.89

Geologi

Gambar Lampiran 2.1. Formasi geologi di DAS Talau

Tanah di daerah Talau terdiri dari batuan seperti silt, coral, filit, kuartize, skiz, pasir alluvium dan napal pasiran dengan bongkah-bongkah asing (bobonaro). Dari hasil survei di sekitar Atambua, permukaan air tanah sekitar 11.2-11.25 m, dengan perkolasi tanah dalam rentang 1.15 x 10-6

- 56 -

sampai 2.8.10-7 m2.hari-1, sedangkan debit air melalui permukaan akuifer sekitar 5 x 10-6 – 1 x 10-7 m2.hari-1 (Arismunandar dan Ruchijat S, 1995).

Tanah Ada sekitar 8 jenis tanah di DAS Talau dengan rata-rata kedalaman mencapai 90 cm dan kedalaman tanah permukaan (top soil) sekitar 20 cm. Tanah didominasi dengan jenis inceptisol dengan lapisan atas tanah yang dangkal dan kedalaman top-soil dan solum dengan tekstur yang moderat (silt). Berdasarkan data ini dan Suprayogo (2003), kami mendapatkan perkiraan jenis tanah yang relevan pada setiap sub-DAS dengan kedalamannya (Tabel Lampiran 2.2.).

Gambar Lampiran 2.2. Distribusi jenis tanah di DAS Talau

Tabel Lampiran 2.2. Parameter tanah di DAS Talau sebagai input untuk model GenRiver, berdasarkan pada peta tanah yang ada dan Suprayogo (2003).

(a) Distribusi tanah di setiap sub-DAS (proporsional)

Sub-DAS Alfisols Andisols Entisols Inceptisols Mollisols Oxisols

A 0.00 0.04 0.00 0.36 0.60 0.00

B 0.04 0.00 0.07 0.82 0.06 0.00

Lahorus 0.00 0.00 0.00 0.67 0.33 0.00

D 0.00 0.00 0.00 0.73 0.27 0.00

E 0.00 0.00 0.06 0.71 0.08 0.14

F 0.00 0.00 0.19 0.79 0.01 0.00

G 0.00 0.00 0.00 0.96 0.00 0.04

H 0.05 0.00 0.00 0.91 0.04 0.00

I 0.00 0.00 0.00 0.93 0.07 0.00

Motabuik 0.13 0.00 0.00 0.87 0.00 0.00

- 57 -

(b) Kedalaman tanah pada tiap jenis tanah

Jenis tanah Kedalaman Solum (cm) Kedalaman top-soil (cm)

Alfisols 150 10

Andisols 150 15

Entisols 90 5

Inceptisols 150 10

Mollisols 170 15

Oxisols 250 5

Tutupan lahan Berdasarkan pada data sekunder dan kondisi tutupan lahan di Talau, beberapa parameter untuk input GenRiver dibuat: (i) BD/BDRef (indikator porositas tanah) (ii) Potensi intersepsi, (iii) Relative Drought Threshold atau ambang batas kekeringan dan (iv) Faktor perkalian evapotranspirasi harian (Tabel Lampiran 2.3.).

Tabel Lampiran 2.3. Input GenRiver dikaitkan dengan kondisi tutupan lahan/penggunaan lahan

(a) Konstanta parameter

Jenis tutupan lahan BD/BDref Potensi intersepsi (mm day-1) Ambang batas kekeringan

Wanatani 0.95 3 0.55

Imperata 1.05 1.5 0.6

Hutan 0.85 4 0.5

Pertanian 1 1 0.7

Pemukiman 1.3 0.05 0.9

Perairan 0 1 0

Sawah 1.1 1 0.8

Semak 1 2.5 0.55

(b) Faktor perkalian bulanan evapotranspirasi

Faktor perkalian potensi evapotranspirasi harian Jenis tutupan lahan Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Wanatani 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6 0.6

Imperata 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5

Hutan 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65 0.65

Pertanian 0.6 0.3 0.3 0.6 0.6 0.6 0.1 0.1 0.4 0.4 0.6 0.6

Pemukiman 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01

Perairan 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7

Sawah 1 1 1 1 1 0.6 0.2 0.2 0.2 0.2 1 1

Semak 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

- 58 -

Lampiran 3. Persepsi petani mengenai laju dekomposisi pada beragam spesies, dengan perbandingan pengukuran kimia pada daun (Sumber: Hairiah K, et al., 2004).

C N L P Rasio Nama lokal

Nama ilmiah Laju dekomposisi (persepsi petani)

% % % % C/N L/N P/N

Lamtoro (leucaena) Leucaena leucocephala Cepat 42.1 3 13 1.94 14 4.3 0.6

Jengkol Pithecellobium jiringa Medium 49.8 3.5 35 2.4 14 10 0.7

Kayu hujan (gliricidia) Gliricidia sepium Cepat 52.9 3.2 32 1.12 17 10 0.4

Jati Thailand (Bangkok teak) Tectona grandis Tidak diketahui 38.7 1.47 22.1 5.7 26 15 3.9

Mahoni (mahogany) Swietenia mahogany Lambat 36.1 1.79 19.7 34.6 20 11 19.3

Ramayana tree Cassia spectabilis Tidak diketahui 41.3 3.35 20.2 6.5 12 6 1.9

Kayu afrika (umbrella tree) Maesopsis eminii Medium 36.8 4.03 14.2 4.9 9 3.5 1.2

Jati putih (white teak) Gmelina arborea Tidak diketahui 45 2.8 28 1.1 16 10 0.4

Mangga (mango) Mangifera indica Lambat 36 2.2 20 3.1 20 10 1.4

Rambutan Nephelium lappaceum Lambat 56.2 2 20 2.4 28 10 1.2

Alpukad (avocado) Persea americana Medium 40.4 1.58 14.7 34.7 26 9.3 22

Durian Durio zibethinus Lambat 35.3 1.75 25.3 2.3 20 14.5 1.3

Nangka (jackfruit) Artocarpus heterophyllus Lambat 45 3.2 32 0.63 14 10 0.2

Gandaria Boea macrophylla Tidak diketahui 48.9 2.8 28 3.3 17 10 1.2

Belinjo Gnetum ngemon Lambat 42.1 2.36 7.3 6.5 18 3.1 2.8

Kemiri (candlenut) Aleurites moluccana Lambat 36.2 2.15 18.3 5.7 17 8.5 2.7

- 59 -

Lampiran 4. Jenis pohon yang umum ditanam oleh petani di Lahurus, Belu - Nusa Tenggara Timur (berdasarkan observasi selama survei pengetahuan lokal dan livelihood)

Jenis pohon

Nama umum Nama ilmiah

Hasil Sistem Nilai ekologi (Pengetahuan lokal) Jarak tanam* Nilai ekonomi

Banyan - Mamar Tidak teratur -

Kemiri Aleurites moluccana

Kayu, buah Agrosilvopastural, mamar

Menahan air

50 pohon/ha

Jambu mete Anacardium occidentale

Buah Agrosilvopastural - 200 pohon/ha

Kelapa Cocos nucifera Buah, kayu, daun Menahan air 50 pohon/ha

Kopi Buah

Agrosilvopastural, mamar

- 500 pohon/ha

Komersial, dikonsumsi sendiri

Gmelina Gmelina arborea Kayu, biji Agrosilvopastural, hutan atau sistem wanatani

- 330 pohon/ha Komersial

Jambu air hutan

Syzigium sp. Kayu, buah Mamar Tidak teratur -

Johar Cassia ciamea Mamar

Menahan air

Tidak teratur -

Kaliandra Calliandra sp. Makanan ternak Agrosilvopastural, hutan, Silvopastural

- Tidak teratur Komersial, dikonsumsi sendiri

Kayu air (Ai we)

Kayu Mamar Menahan air Tidak teratur -

Lamtoro Leucaena leuchocephala

Makanan ternak, kayu bakar dan kayu

Agrosilvopastural, hutan, silvopastural, sistem bera, mamar

Serasah dapat meningkatkan kesuburan tanah

Tidak teratur Komersial, dikonsumsi sendiri

Mahoni Swietenia macrophylla

Kayu, biji Agrosilvopastural, silvopastural, hutan, mamar

Menahan air 330 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Mangga Mangifera indica Kayu, buah Agrosilvopastural, mamar Menahan air 20 – 40 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

- 60 -

Jenis pohon

Nama umum Nama ilmiah

Hasil Sistem Nilai ekologi (Pengetahuan lokal) Jarak tanam* Nilai ekonomi

Mangga hitam Kayu, buah Mamar Menahan air Tidak teratur -

Orange Citrus sp. Kayu, buah Agrosilvopastural, mamar - 200 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Pinang /beetle nut

Areca catechu Makanan ternak, kayu bakar dan kayu, obat dan sirih pinah (chewing gum)

Agrosilvopastural, mamar Menahan air 50 – 100 pohon/ha* Komersial, dikonsumsi sendiri

Pisang Musa sp. Buah, kayu, daun Agrosilvopastural, mamar, sistem bera

- 200 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Sandalwood Santalum album Kayu, biji Agrosilvopastoral - 330 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Sengon Paraserianthes falcataria

Buah, kayu Agrosilvopastural, hutan Melindungi pohon komersial 20 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Sirih Buah, daun untuk obat Agrosilvopastural, mamar - 50 – 100 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Teak Tectona grandis Kayu, biji Hutan Menyerap air dalam jumlah besar dan membuat tanah kering, memiliki pengaruh negatif terhadap sediaan air dalam tanah

330 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Turi Sesbania grandiflora

Makanan ternak, kayu bakar, kayu, bahan makanan.

Agrosilvopastural, mamar, hutan, sistem bera

Serasah dapat meningkatkan kesuburan tanah

100 – 200 pohon/ha Komersial, dikonsumsi sendiri

Wild coconut Buah, kayu, daun Agrosilvopastural, mamar Menahan air Tidak teratur -

- 61 -

Lampiran 5. Sistem wanatani yang umum ditemukan di Nusa Tenggara Timur (Sumber: Roshetko et al., 2002)

Sistem Karakteristik lahan Produk atau hasil Ukuran plot (ha) Masalah Aktivitas potensial

Agro-silvopastoral Cocok dikembangkan di semua kondisi lahan

Tanaman pangan, buah, kayu bangunan, kayu bakar, pakan, pupuk hijau, pupuk kandang, ternak,

Memperbaiki iklim mikro, penahan angin dan api, mencegah erosi, benih

0.5 – 1 Masih kurangnya kemampuan pemilihan jenis dan mengintegrasikan antar jenis

Pelatihan teknis pola tanam

Kunjungan silang

Communal forest atau Hutan keluarga

Cocok dikembangkan di semua kondisi lahan

Kayu banguan, pakan, kayu bakar, pupuk hijau, buah,

Memperbaiki iklim mikro, penahan api dan angin, pangan, benih

0,5 – 1 Masih kurangnya kemampuan pemilihan jenis dan mengintegrasikan antar jenis

Pelatihan teknis pola tanam

Kunjungan silang

Padang penggembalaan Silvo-pastoral

Memerlukan lahan yang luas

Areal penggembalaan, ternak, pakan, pupuk, kayu bakar

Hamparan (diatas 10)

Kualitas dan kuantitas pakan rendah (khusunya pada musim kemarau), ternak mudah terserang penyakit

Pengembangan jenis pohon yang menghasilkan pakan yang berkualitas

Sistem Bera (fallow system)

Cocok dikembangkan di semua kondisi lahan

Tanaman pangan, pakan, ternak, kayu bakar, pupuk kandang dan pupuk organik

0.25 – 0.5

(satu keluarga dapat memiliki 3-7 plot)

Sistem tebas bakar

Hanya jenis tanaman semusim (belum ada jenis pohon)

Pelatihan perencanaan dan pengelolaan kebun

Sistem Amarasi (agri-silviculture)

Memerlukan lahan yang luas

Tanaman pangan, pakan, ternak, kayu bakar, pupuk kandang dan pupuk organik

0.25 – 0.5

(satu keluarga dapat memiliki 3-7 plot)

Sistem tebas bakar

Hanya jenis tanaman semusim (belum ada jenis pohon)

Pelatihan perencanaan dan pengelolaan kebun

Mamar (agrosilvopastoral tradisional)

Daerah di sekitar mata air

Buah, sirih, pinang, pakan, kayu bakar, kayu bangunan

0.1 – 1

Pola tanam tidak teratur dan pemilihan jenis tanaman kurang selektif

Pelatihan pola tanam

- 62 -

Lampiran 6. Curah hujan bulanan (mm) Data pada stasiun cuaca Sukabitek

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Des Total

1978 115 387 98 64 178 27 65 9 1 28 56 172 1198

1979 70 105 151 16 152 5 2 0 0 1 14 112 625

1980 242 230 36 50 13 3 0 0 0 76 60 205 912

1981 237 105 115 0 60 0 28 1 13 2 251 249 1060

1982 119 151 152 49 14 0 0 0 0 0 26 252 763

1983 112 341 99 196 38 32 0 0 0 42 72 92 1025

1984 294 243 202 115 53 0 3 0 39 1 25 203 1178

1985 163 176 152 163 30 43 7 0 3 76 104 186 1103

1986 304 208 261 120 1 19 39 0 16 124 109 93 1293

1987 344 236 205 18 32 17 8 0 0 0 90 180 1129

1988 311 120 326 46 4 1 2 0 5 27 369 292 1503

1989 117 109 236 283 83 19 15 10 1 23 40 83 1021

1990 164 101 66 149 71 0 0 0 0 0 17 208 776

1991 133 351 34 91 0 0 8 0 1 0 184 194 996

1992 235 95 118 33 40 3 11 0 6 0 127 187 855

1993 265 155 119 193 16 41 6 1 5 15 42 102 958

1994 337 238 129 58 15 0 0 0 0 0 66 260 1103

1995 283 157 367 173 14 72 6 3 0 13 84 424 1597

Rata-rata 213 195 159 101 45 16 11 1 5 24 96 194 1061

Max 344 387 367 283 178 72 65 10 39 124 369 424 1597

Min 70 95 34 0 0 0 0 0 0 0 14 83 625

- 63 -

Lampiran 7. Temperatur bulanan (0C) Data pada stasiun cuaca Sukabitek

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Dec

1978 26.1 25.5 25.8 24.8 25.5 23.5 23.5 23.5 24.1 25.5 27.1 26.4

1979 26.2 26.2 25.5 24.9 25.9 24.1 23.5 24.8 26.7 27.5 27.4

1980 26.3 25.5 26.2 25.9 25.2 24.1 23.4 24.1 24.2 25.9 27.0 26.7

1981 25.6 25.4 25.3 25.5 25.5 23.9 24.3 23.7 25.7 26.3 27.0 26.0

1982 25.8 25.4 25.1 24.1 23.1 21.6 23.2 23.8 24.6 26.6 27.1

1984 26.0 25.6 25.7 25.4 24.5 23.7 22.2 23.1 25.4 26.1 27.7 26.7

1985 26.5 26.2 26.0 25.3 24.8 23.8 24.2 24.1 24.8 25.8 27.0 26.8

1986 25.8 25.8 25.7 25.5 24.0 24.6 23.7 23.4 24.5 26.2 26.7 26.6

1987 25.8 25.3 25.4 25.2 25.4 24.0 23.1 23.9 24.0 26.3 27.7 26.4

1988 26.2 26.0 26.6 25.1 25.3 22.6 23.9 24.6 25.7 27.2 26.9 25.7

1989 26.1 25.8 25.2 25.5 24.4 23.9 23.6 23.2 24.8 26.6 27.2 27.0

1990 26.0 26.1 25.9 26.0 25.1 22.7 23.1 22.8 23.7 25.8 28.0 26.9

1991 26.3 25.6 27.9 25.4 24.0 22.9 22.5 23.5 24.7 25.6 27.1 26.9

1992 26.1 26.3 25.8 27.6 27.6 28.8

1993 24.2 25.0 24.9 24.3 23.3 23.5 24.9 26.1 27.4 27.1

Rata-rata 26.1 25.7 25.9 25.5 25.1 23.7 23.3 23.6 24.9 26.1 27.2 26.7

Max 26.5 26.3 27.9 27.6 27.6 24.6 24.3 24.6 28.8 27.2 28.0 27.4

Min 25.6 24.2 25.2 24.8 24.0 22.6 21.6 22.8 23.7 24.6 26.6 25.7

- 64 -

Lampiran 8. Curah hujan bulanan (mm) Data pada stasiun cuaca Tasifeto Timur

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Dec Total

1989 207 349 261 249 152 124 70 20 50 15 211 222 1930

1990 296 291 152 156 98 2 20 15 457 1487

1991 216 351 97 267 2 20 146 166 1265

1992 254 340 303 89 95 245 391 1717

1993 478 274 329 197 7 117 198 1600

1994 367 515 307 67 18 20 308 1602

1995 487 308 513 201 53 52 70 330 381 2395

1996 257 14 5 101 441 818

1997 320 701 71 37 178 264 1571

1998 207 279 298 101 105 48 80 52 139 370 211 1890

1999 558 388 205 300 60 108 256 200 2075

2000 395 253 238 97 10 78 88 1159

2001 348 285 365 65 22 229 235 1549

2002 524 118 388 1030

2003 382 630 75 1087

Rata-rata 353 363 247 152 75 43 48 20 51 53 177 282 1545

Max 558 701 513 300 152 124 80 20 52 139 370 457 2395

Min 207 118 71 37 7 2 20 20 50 5 15 88 818

- 65 -

Lampiran 9. Debit sungai bulanan (mm) Data pada stasiun sungai di Motabuik

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ag Sep Okt Nov Dec

1991 375.16 395.19 140.01 66.16 70.05 53.36 54.95 43.23 35.10 35.38 448.05 369.94

1992 12.39 11.70 10.43 10.51 10.93 3.66 3.76 3.28 2.27 1.88 9.05 21.51

1993 57.24 50.64 39.19 47.75 24.44 18.95 19.58 17.93 7.58 7.83 14.16 22.37

1994 78.87 304.51 224.29 56.13 20.08 13.63 10.96 10.27 10.49 11.01 11.15 45.12

- 66 -

Daftar pustaka Agus F and Ruitjer J. 2004. Panen dan konservasi air. World Agroforestry Centre. Agus F and Widianto. 2004. Konservasi Tanah Pertanian Lahan Kering: Petunjuk Praktis.

World Agroforestry Centre, ICRAF South East Asia. 102 pp. Arismunandar and Sjaiful R. 1995. Penyelidikan Potensi Air Tanah Cekungan Atambua Nusa

Tenggara Timur. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral dan Direktorat Geologi Tata Lingkungan. Bandung

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 2004. Profil Lingkungan Hidup Kabupaten Belu.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 2005. Data Pokok Kabupaten Belu.

Biro Pusat Statistika. 2004. National Human Development Report 2004. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP Indonesia. 207 pp.

BPS. 2005. Kabupaten Belu dalam angka 2004. PEMDA, BPS Kabupaten Belu dan Dinas Kimpraswil Kabupaten Belu

Direktorat Jenderal Pemukiman, Prasarana dan Wilayah. 2005. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai di 10 Kabupaten/Kota pada 11 Sungai yang Melintasi Kota.

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan. 2004. Penyusunan data spasial lahan kritis wilayah BPDAS Benain Noelmina, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2004. Collaboration between Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Noelmina with Nusa Cendana University Research Institute.

Dixon HJ, Doores JW, Joshi L and Sinclair FL. 2001. Agroecological Knowledge Toolkit for Windows: methodological guidelines, computer software and manual for AKT5 School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor

Farida and van Noordwijk M. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan Dan Aplikasi Model Genriver Pada Das Way Besai, Sumberjaya. Agrivita Vol. 26: (1)39-47.

Hairiah K, Widianto, Suprayogo D, et al. 2004. Ketebalan seresah sebagai indicator Daerah Aliran Sungai (DAS) sehat (Litter thickness as an indicator of healthy watershed). World Agroforestry Centre. 42 pp.

Jeanes K, van Noordwijk M, Joshi L, Widayati A, Farida and Leimona B. 2006. Rapid Hydrological Appraisal in the context of environmental service rewards. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. 56 p. http://www.worldagoforestrycentre.org/sea/Publications/searchpub.asp?publishid=1438

Kaimowitz, D., 2001. Useful Myths and Intractable Truths: The Politics of the Link between Forests and Water in Central America. , Center for International Forest Research (CIFOR), San Jose, Costa Rica http://www.flowsonline/papers: Kaimowitz 2001 Useful Myths and Intractable Truths.doc.

Landell-Mills N and Porras IT. 2002. Silver bullet or fool’s gold? A global review of markets for forest environmental services and their impact on the poor, Instruments for Sustainable Private Sector Forestry. London: IIED.

Naiola P. 2007. Embung: simple technology for a big problem in NTT. BAKTI News, Vol. 2 (19).

Purnomo E. 1997. Embung, kolam penampung air. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. Instalasi Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Pertanian Wonocolo.

- 67 -

Roshetko J, Mulawarman, Santoso W J, Oka I N. 2002. Wanatani di Nusa Tenggara: Prosiding Loka Karya Wanatani Se-Nusa Tenggara 11 - 14 November 2001, Denpasar, Bali. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry dan Winrock International. p 164

Sinclair FL and Walker DH. 1998. Acquiring qualitative knowledge about complex agroecosystems. Part 1: Representation as natural language. Agricultural Systems 56(3):341 - 363.

Sumu Y. 2003. Mamar, Sistem Wanatani Asli Pulau Timor. SALAM. 4 September 2003. 16 – 18

van Noordwijk M, Farida , Saipothong P, et al.. 2006. Watershed functions in productive agricultural landscapes with trees. In: Garrity DP, Okono A, Grayson M and Parrott S,eds. World Agroforestry into the Future. Nairobi, Kenya. World Agroforestry Centre - ICRAF. P. 103-112.

van Noordwijk M, Farida A, Suyamto DA and Khasanah N. 2003. Spatial variability of rainfall governs river flow and reduces effects on landuse change at landscape scale: GenRiver and SpatRain simulations. MODSIM proceedings, Townsville (Australia) July 2003. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office.

van Noordwijk M, Leimona B, Velarde SJ, Suyanto S, Joshi L and Swallow BM. 2007. Realistic, conditional and voluntary -- but propoor? Criteria and indicators for environmental service reward and compensation mechanisms. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/Publications/searchpub.asp?publishid=1632

Van Noordwijk, M, Agus, F, Suprayogo, D. Hairiah, K., Pasya, G., Verbist, B., dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri Dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) . AGRIVITA VOL. 26: 1-8.

- 68 -

Daftar istilah (Bank) overflow: debit sungai yang melebihi kondisi reguler dimana aliran air yang masuk ke sungai lebih banyak dari yang keluar dan telah melampuai kapasitas simpanan

Aliran cepat tanah (soil quick flow): debit sungai yang terjadi dalam waktu singkat (dalam satu hari) setelah kejadian hujan

Aliran dasar atau aliran bawah (base flow): bagian dari aliran sungai yang dapat mengurangi pelepasan air tanah ke sungai dan biasanya tidak berkaitan dengan kondisi curah hujan.

Aliran puncak (peak flows): aliran maksimum yang melalui anak-anak sungai

Aliran rendah (low flow): aliran melalui anak sungai setelah tidak adanya hujan dalam waktu yang cukup lama

Aliran sungai (streamflow): jumlah aliran air yang mengalir dalam suatu saluran sungai. Penggunaan istilah ini sama dengan istilah debit atau aliran sungai (river flow)

Banjir besar dalam waktu singkat (flash flood): banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan besar dalam periode waktu yang pendek, biasanya kurang dari 6 jam, yang mengakibatkan aliran sungai dan permukaan air meningkat secara cepat.

Evapotranspirasi (evapotranspiration): Proses gabungan evaporasi dari permukaan tanah, perairan terbuka atau air dalam tanaman dan proses transpirasi tanaman

Fraksi debit total (total discharge fraction): total debit sungai per unit hujan, biasanya dinyatakan dalam unit waktu tahunan

Indikator penyangga (buffering indicator) berasal dari rasio aliran sungai diatas rata-rata dan curah hujan di atas rata-rata

Indikator penyangga relatif (relative buffering indicator): fungsi menyangga yang disesuaikan dengan produksi air tahunan relatif

Kapasitas simpanan (storage capacity): kapasitas maksimal air yang tertampung

Kemampuan menyangga (buffering capacity) adalah kemampuan suatu sistem untuk mengurangi dampak dari pengaruh luar terhadap kondisi di dalam (internal properties), seperti pengurangan variasi aliran sungai terhadap variasi curah hujan.

Kemampuan menyangga pada kondisi puncak (buffering for peak events) adalah fungsi ‘menyangga’ yang ditunjukkan terutama pada puncak curah hujan tertinggi

Kualitas air (water quality): karakteristik air secara fisik, biologi atau kimia sesuai dengan penggunaannya

Limpasan permukaan (run off) atau aliran cepat permukaan (surface quick flow): aliran sungai yang berasal dari limpasan permukaan. Aliran terjadi secara cepat pada saat kejadian hujan.

- 69 -

Neraca air (water balance): merupakan perbandingan antara besarnya asupan air hujan (inflow) yang masuk dalam sistem DAS dan keluarannya (outflows) menjadi evapotranspirasi, dan debit aliran sungai

Pelepasan air secara bertahap (gradual water release): pelepasan air tanah secara bertahap pada musim kering

Pembuangan air tanah (ground water discharge): adalah pelepasan air tanah ke permukaan air atau sungai

Perkolasi (percolation): pergerakan air dari bawah ke atas melalui pori-pori tanah dan rekahan batuan

Presipitasi (precipitation): air yang jatuh ke bumi dalam bentuk hujan, salju, dan hujan es

Simpanan air (water storage): Volume air yang masih tertahan di dalam tanah (air tanah), danau atau waduk, sungai dan badan air lainnya

Transmisi air (water transmission): Fungsi hidrologi DAS dalam mengalirkan air mulai dari hujan sampai menjadi aliran sungai

WORKING PAPERS IN THIS SERIES

2005 1. Agroforestry in the drylands of eastern Africa: a call to action 2. Biodiversity conservation through agroforestry: managing tree species diversity within a

network of community-based, nongovernmental, governmental and research organizations in western Kenya.

3. Invasion of prosopis juliflora and local livelihoods: Case study from the Lake Baringo area of Kenya

4. Leadership for change in farmers organizations: Training report: Ridar Hotel, Kampala, 29th March to 2nd April 2005.

5. Domestication des espèces agroforestières au Sahel : situation actuelle et perspectives 6. Relevé des données de biodiversité ligneuse: Manuel du projet biodiversité des parcs

agroforestiers au Sahel 7. Improved land management in the Lake Victoria Basin: TransVic Project’s draft report. 8. Livelihood capital, strategies and outcomes in the Taita hills of Kenya 9. Les espèces ligneuses et leurs usages: Les préférences des paysans dans le Cercle de

Ségou, au Mali 10. La biodiversité des espèces ligneuses: Diversité arborée et unités de gestion du terroir

dans le Cercle de Ségou, au Mali

2006 11. Bird diversity and land use on the slopes of Mt. Kilimanjaro and the adjacent plains,

Tanzania 12. Water, women and local social organization in the Western Kenya Highlands 13. Highlights of ongoing research of the World Agroforestry Centre in Indonesia 14. Prospects of adoption of tree-based systems in a rural landscape and its likely impacts on

carbon stocks and farmers’ welfare: The FALLOW Model Application in Muara Sungkai, Lampung, Sumatra, in a ‘Clean Development Mechanism’ context

15. Equipping integrated natural resource managers for healthy agroforestry landscapes. 16. Are they competing or compensating on farm? Status of indigenous and exotic tree

species in a wide range of agro-ecological zones of Eastern and Central Kenya, surrounding Mt. Kenya.

17. Agro-biodiversity and CGIAR tree and forest science: approaches and examples from Sumatra.

18. Improving land management in eastern and southern Africa: A review of polices. 19. Farm and household economic study of Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor,

Indonesia: A socio-economic base line study of agroforestry innovations and livelihood enhancement.

20. Lessons from eastern Africa’s unsustainable charcoal business. 21. Evolution of RELMA’s approaches to land management: Lessons from two decades of

research and development in eastern and southern Africa 22. Participatory watershed management: Lessons from RELMA’s work with farmers in

eastern Africa. 23. Strengthening farmers’ organizations: The experience of RELMA and ULAMP. 24. Promoting rainwater harvesting in eastern and southern Africa. 25. The role of livestock in integrated land management. 26. Status of carbon sequestration projects in Africa: Potential benefits and challenges to

scaling up. 27. Social and Environmental Trade-Offs in Tree Species Selection: A Methodology for

Identifying Niche Incompatibilities in Agroforestry [Appears as AHI Working Paper no. 9]

28. Managing tradeoffs in agroforestry: From conflict to collaboration in natural resource management. [Appears as AHI Working Paper no. 10]

29. Essai d'analyse de la prise en compte des systemes agroforestiers pa les legislations forestieres au Sahel: Cas du Burkina Faso, du Mali, du Niger et du Senegal.

30. Etat de la recherche agroforestière au Rwanda etude bibliographique, période 1987-2003

2007 31. Science and technological innovations for improving soil fertility and management in

Africa: A report for NEPAD’s Science and Technology Forum. 32. Compensation and rewards for environmental services. 33. Latin American regional workshop report compensation. 34 Asia regional workshop on compensation ecosystem services. 35 Report of African regional workshop on compensation ecosystem services. 36 Exploring the inter-linkages among and between compensation and rewards for

ecosystem services CRES and human well-being 37 Criteria and indicators for environmental service compensation and reward mechanisms:

realistic, voluntary, conditional and pro-poor 38 The conditions for effective mechanisms of compensation and rewards for environmental

services. 39 Organization and governance for fostering Pro-Poor Compensation for Environmental

Services. 40 How important are different types of compensation and reward mechanisms shaping

poverty and ecosystem services across Africa, Asia & Latin America over the Next two decades?

41. Risk mitigation in contract farming: The case of poultry, cotton, woodfuel and cereals in East Africa.

42. The RELMA savings and credit experiences: Sowing the seed of sustainability 43. Yatich J., Policy and institutional context for NRM in Kenya: Challenges and opportunities

for Landcare. 44. Nina-Nina Adoung Nasional di So! Field test of rapid land tenure assessment (RATA) in the

Batang Toru Watershed, North Sumatera. 45. Is Hutan Tanaman Rakyat a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? 46. Socio-Economic aspects of brackish water aquaculture (Tambak) production in Nanggroe

Aceh Darrusalam. 47. Farmer livelihoods in the humid forest and moist savannah zones of Cameroon. 48. Domestication, genre et vulnérabilité : Participation des femmes, des Jeunes et des

catégories les plus pauvres à la domestication des arbres agroforestiers au Cameroun. 49. Land tenure and management in the districts around Mt Elgon: An assessment presented

to the Mt Elgon ecosystem conservation programme. 50. The production and marketing of leaf meal from fodder shrubs in Tanga, Tanzania: A pro-

poor enterprise for improving livestock productivity. 51. Buyers Perspective on Environmental Services (ES) and Commoditization as an approach to

liberate ES markets in the Philippines. 52. Towards Towards community-driven conservation in southwest China: Reconciling state

and local perceptions. 53. Biofuels in China: An Analysis of the Opportunities and Challenges of Jatropha curcas in

Southwest China. 54. Jatropha curcas biodiesel production in Kenya: Economics and potential value chain

development for smallholder farmers 55. Livelihoods and Forest Resources in Aceh and Nias for a Sustainable Forest Resource

Management and Economic Progress. 56. Agroforestry on the interface of Orangutan Conservation and Sustainable Livelihoods in

Batang Toru, North Sumatra. 2008 57. Assessing Hydrological Situation of Kapuas Hulu Basin, Kapuas Hulu Regency, West

Kalimantan. 58. Assessing the Hydrological Situation of Talau Watershed, Belu Regency, East Nusa

Tenggara. 59. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. 60. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.