Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

4
Kajian Interkultural Seni Pertunjukan: Semangat dan Perolehan Maknanya Kehidupan seni dewasa ini mulai marak dengan berbagai fenomena kegiatan, yang nampaknya berpotensi cukup kuat untuk membuat dahi berkerinyit. Namun sebelum menyentuh fenomena yang ada sekarang, sebaiknya kita toleh terlebih dahulu salah satu tonggak pembaharuan yang terbungkus dalam peristiwa tari, misalnya, seputar tujuh belas tahun yang lalu. Kita masih ingat dalam Festival Penata Tari Muda tahun 1978, di mana sebagian pesertanya terlihat sudah mulai bengal dan menghentak dengan konsep estetika yang tidak begitu lagi peduli terhadap konvensi tari yang ada. Lihat saja wayang Budha karya teman-teman dari Surakarta dan Badawangnya Endo Suanda, untuk menyebut beberapa nama, yang jauh dari konvensi batasan tari. Lalu tari itu apa jadinya kalau penyajiannya seperti itu. Demikian komentar yang terus bergaung bertahun-tahun, ditimpa dengan beberapa festival serupa, yang menunjukkan progresi gerak menuju ke arah kemapanan bentuk. Di sinilah kekawatiran itu mulai bergayut di antara para pemerhati tari, baik para praktisi maupun, menurut istilah Basiyo, para “pandemen.” Kecenderungan kemapanan bentuk ini tidak diikuti dengan kristalisasi isi, sehingga kenyataan visual yang terjadi di atas pentas adalah garapan teknik tari yang cenderung apik dan tertata rapi, namun tanpa format isi yang memiliki signifikansi makna. Di kalangan akademi orang cenderung menggali kemampuan teknik dalam porsi yang berlebihan, namun tidak menggali realita hidup di dalam kehidupan. Ketimpangan bentuk dan isi ini bagi penggarapnya memberikan kesan terhadap kedalaman dimensi kontekstualnya. Hal ini, di satu sisi memang dirasakan positif, sehubungan dengan meningkatnya teknik individual dengan kenyataan “ruang” yang diciptakannya. Namun spektakulasi yang dimunculkan, terkadang justru malah menjauh dari akar tradisi yang ada. Betapa tidak. Dalam tari klasik Bedhaya misalnya, yang nampak adalah sublimasi kekuatan gerak yang cenderung melembut dalam eksploitasi kekuatan subtil yang dalam, di mana di antara para empu tari Jawa disebut dengan “kothong nanging kebak,” [kosong tetapi penuh]. Di sisi lain kecenderungan yang ada memunculkan kenyataan visualisasi teknik yang nampak mandeg dari upayanya menggali isi. Apalagi masalah konsep dan persepsi kepenarian yang ideal, nampaknya jauh dari jangkauan penggalian para praktisi, baik di luar maupun di kalangan akademisi. Konsep estetika seni dirasakan sangat “berubah,” di mana berbagai kecenderungan muncul dalam sosok-sosok individu, yang merupakan komunitas “senasib sepenanggungan,” dalam ritualisasi diri, terutama dalam menjawab tantangan kehidupan jamannya. Hal ini sangatlah masuk akal bila kita lihat kaitannya dengan permasalahan konteks kehidupan kita, yang sedang memasuki era kehidupan baru, yaitu kehidupan komunitas industri. Nilai-nilai kolektif di masa lalu, pada kenyataannya, memiliki kecenderungan untuk mulai menipis. Kerja mulai harus dihargai setara dengan uang. Pamrih terhadap loyalitas kolektif sudah sangat menurun. Namun di sisi lain dialog antara sub-kultur semakin hari semakin marak terjadi akibat semakin tipisnya batas-batas kisi etnik yang ditunjang oleh kekuatan media telekomunikasi. Fenomena ini sedikit banyak akan memberikan berbagai kemungkinan kecenderungan pengungkapan seni bagi para praktisi maupun pelaku seni, dan tentunya juga memberikan tantangan bagi terbukanya format isi yang melebihi domain genre seni yang bersangkutan.

description

interkurtural

Transcript of Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

Page 1: Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

Kajian Interkultural Seni Pertunjukan: Semangat dan Perolehan Maknanya

Kehidupan seni dewasa ini mulai marak dengan berbagai fenomena kegiatan, yang

nampaknya berpotensi cukup kuat untuk membuat dahi berkerinyit. Namun sebelum menyentuh fenomena yang ada sekarang, sebaiknya kita toleh terlebih dahulu salah satu tonggak pembaharuan yang terbungkus dalam peristiwa tari, misalnya, seputar tujuh belas tahun yang lalu. Kita masih ingat dalam Festival Penata Tari Muda tahun 1978, di mana sebagian pesertanya terlihat sudah mulai bengal dan menghentak dengan konsep estetika yang tidak begitu lagi peduli terhadap konvensi tari yang ada. Lihat saja wayang Budha karya teman-teman dari Surakarta dan Badawangnya Endo Suanda, untuk menyebut beberapa nama, yang jauh dari konvensi batasan tari. Lalu tari itu apa jadinya kalau penyajiannya seperti itu. Demikian komentar yang terus bergaung bertahun-tahun, ditimpa dengan beberapa festival serupa, yang menunjukkan progresi gerak menuju ke arah kemapanan bentuk. Di sinilah kekawatiran itu mulai bergayut di antara para pemerhati tari, baik para praktisi maupun, menurut istilah Basiyo, para “pandemen.” Kecenderungan kemapanan bentuk ini tidak diikuti dengan kristalisasi isi, sehingga kenyataan visual yang terjadi di atas pentas adalah garapan teknik tari yang cenderung apik dan tertata rapi, namun tanpa format isi yang memiliki signifikansi makna. Di kalangan akademi orang cenderung menggali kemampuan teknik dalam porsi yang berlebihan, namun tidak menggali realita hidup di dalam kehidupan. Ketimpangan bentuk dan isi ini bagi penggarapnya memberikan kesan terhadap kedalaman dimensi kontekstualnya. Hal ini, di satu sisi memang dirasakan positif, sehubungan dengan meningkatnya teknik individual dengan kenyataan “ruang” yang diciptakannya. Namun spektakulasi yang dimunculkan, terkadang justru malah menjauh dari akar tradisi yang ada. Betapa tidak. Dalam tari klasik Bedhaya misalnya, yang nampak adalah sublimasi kekuatan gerak yang cenderung melembut dalam eksploitasi kekuatan subtil yang dalam, di mana di antara para empu tari Jawa disebut dengan “kothong nanging kebak,” [kosong tetapi penuh]. Di sisi lain kecenderungan yang ada memunculkan kenyataan visualisasi teknik yang nampak mandeg dari upayanya menggali isi. Apalagi masalah konsep dan persepsi kepenarian yang ideal, nampaknya jauh dari jangkauan penggalian para praktisi, baik di luar maupun di kalangan akademisi. Konsep estetika seni dirasakan sangat “berubah,” di mana berbagai kecenderungan muncul dalam sosok-sosok individu, yang merupakan komunitas “senasib sepenanggungan,” dalam ritualisasi diri, terutama dalam menjawab tantangan kehidupan jamannya.

Hal ini sangatlah masuk akal bila kita lihat kaitannya dengan permasalahan konteks kehidupan kita, yang sedang memasuki era kehidupan baru, yaitu kehidupan komunitas industri. Nilai-nilai kolektif di masa lalu, pada kenyataannya, memiliki kecenderungan untuk mulai menipis. Kerja mulai harus dihargai setara dengan uang. Pamrih terhadap loyalitas kolektif sudah sangat menurun. Namun di sisi lain dialog antara sub-kultur semakin hari semakin marak terjadi akibat semakin tipisnya batas-batas kisi etnik yang ditunjang oleh kekuatan media telekomunikasi. Fenomena ini sedikit banyak akan memberikan berbagai kemungkinan kecenderungan pengungkapan seni bagi para praktisi maupun pelaku seni, dan tentunya juga memberikan tantangan bagi terbukanya format isi yang melebihi domain genre seni yang bersangkutan.

Page 2: Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

Ilustrasi di atas sengaja diungkit untuk mengingatkan kita pada konteks keberadaan seni pertunjukan kita dalam pluralitas kehidupannya sendiri di atas kemajemukan masyarakat pendukungnya. Semangat dasar yang mesti dimiliki oleh setiap insan peneliti yang mengkaji seni pertunjukan adalah kuriositasnya yang tinggi dalam menggali berbagai kenyataan taksonomi etnik, baik yang berupa kerangka acuan ‘lingkungan hidup’ maupun yang berupa ‘world view’ [pandangan dunia].1 Kenyataan perubahan konsep pemikiran tari di atas terus berlanjut seiring dengan perubahan masyarakat pendukungnya yang sudah mulai menipis kisi-kisi etniknya. Kontak secara alami maupun yang diupayakan dalam berbagai bentuk festival secara lambat pasti akan memberikan pengaruh pada para praktisi seninya. Misalnya saja penyelenggaraannya yang dilakukan di kota besar kadang-kadang akan banyak membentuk sikap baru dalam mematut diri agar “tidak mengecewakan” penyelenggaranya. Pendapat pengamat/peneliti yang jeli mengamati peristiwa ini sebagai bias negatif kadang-kadang dirasakan berbeda dengan pendapat para praktisi seni yang sudah “diarahkan” oleh para “pembinanya.”

Untuk penetapan makna yang terkandung dalam genre tertentu sebelum menggali berbagai masalah yang kompleks yang memberikan ciri khas bagi keberadaannya, diperlukan adanya petikan batasan yang mampu memberikan identifikasi, pemerian, dan penjelasan fenomenanya dalam pandangan interkultural. Di sini mesti dimunculkan adanya ciri-ciri khas yang menunjuk pada sebuah konsep serta memberikan peluang fleksibilitas bagi berbagai persoalan yang ada dalam pengalaman hidup sehari-hari (Hanna, 1980: 17). Lebih jauh Hanna secara tajam memberikan contoh yang menarik kaitannya dengan istilah tari dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakannya, masyarakat awam, sosiolog, dan bahkan para penari kerap kali menggunakan kata ‘tari’ dalam percakapan sehari-hari secara kabur tanpa konotasi yang terurai secara jelas. Banyak peneliti yang sudah memberikan sumbangan pikiran mereka untuk membuat definisi tari seperti yang telah dilakukan dilakukan oleh Kealiinohomoku 1969-1970, Richard Kraus 1969, Kurath 1960, Langer 1953, dan Alan Merriam 1974. Sedangkan yang mengembangkan dan memberikan tekanannya pada kelompok pandangan antropologi adalah Kealiinohomoku, Kurath, Lomax, dan Williams (1980: 17)

Informasi di atas perlu dimunculkan kaitannya dengan urgensi pembatasan tari yang tidak habis-habisnya dikaji oleh para antropolog maupun para peneliti tari. Kajian interkultural sangat diperlukan dalam menggali ciri-ciri umum yang dimiliki oleh tari dalam berbagai fenomena dan masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini juga berguna dalam merumuskan hipotesis, untuk menetapkan rentang variasi fenomena tari beserta komunalitasnya, dan menunjukkan tata hubungan antara berbagai aspek budaya maupun organisasi sosial yang mendukungnya (Ibid: 18). Contoh yang menarik adalah kata ‘tandak’ yang berarti menari namun di Jawa bisa pula menunjuk pada aktivitas ‘ronggeng’ di kalangan masyarakat petani. Istilah ini langsung menunjuk pada strata sosial masyarakat Jawa, dalam hal ini tidak menunjuk pada lingkungan masyarakat kraton. Ada contoh lain yang memberikan makna religi sehingga orang jarang menggunakannya, yaitu kata ‘mataya.’ ‘Mataya’ berarti menari yang bisa didapatkan di

1Taksonomi etnik yang berkaitan dengan ‘lingkungan’ contohnya adalah bagaimana orang Jawa menyebutkan hujan dengan berbagai kategori, semisal: tlethik, kremun, trontong-trontong, udan tekek, udan deres, udan deres pates, trenceng, dsb. Edi Sedyawati dalam “Karya Cipta Seni dan Karya Penelitian,” Paper, 1995, melengkapi taksonomi yang berkenaan dengan ‘pandangan dunia’ dengan klasifikasi musim, pembagian waktu, penilaian mengenai atas-bawah, kiri-kanan, dsb.

Page 3: Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

kalangan ningrat (meski jarang digunakan sehari-hari), namun sekaligus memberikan makna ‘apotheosis’ [manunggaling kawula gusti].2 Juga berkenaan dengan kata ‘ketuk tilu’ yang memiliki konotasi tidak sekedar jenis ensambel musik/karawitan Sunda yang berada pada strata masyarakat petani, tetapi juga sekaligus menunjukkan jenis tarian rakyat yang memiliki berbagai jenis ragam ungkap di berbagai wilayah di tatar Sunda ini. Dalam perkembangan akhir-akhir ini ketuk tilu cukup banyak mewarnai genre lain sebagai sumber inspirasi garap dari para praktisi tari Sunda masa kini.

Di Jepang bila seseorang menyebut suatu jenis tarian dengan ‘odori,’ hal ini sekaligus sudah menunjukkan jenis tarian yang memberikan tekanan geraknya pada kaki. Masyarakat Aborigin di Australia menyebutkan tari yang mengandung muatan makna musik dan tari sekaligus disebut sebagai ‘bongol.' Orang Spanyol menyebutkan tarian yang berkaitan dengan ritus upacara dengan danza; sebaliknya untuk tarian sekuler digunakan kata baile (Royce, 1977: 10).

Masing-masing suku bangsa bisa menyajikan istilah yang menunjuk pada peristiwa tari secara spesifik (dance event) yang sangat bermakna kontekstual. Setidaknya hal ini akan banyak memberikan kontribusi dalam pemerian maupun abstraksi dari suatu peristiwa tari yang sekaligus memilahkannya dalam dua kategori yang disebut ‘konsepsi etik’ (abstraksi dari peneliti/pengamat) dan ‘konsepsi emik’ yang dianalisis dari batasan-batasan masyarakat penuturnya. Secara empiris kedua konsep di atas bisa didapatkan dengan pendekatan holistik; dengan pengertian bahwa cara pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ada. Yang diperoleh sebaiknya merupakan asumsi bahwa secara mendasar dalam konteks sosiokultural tari itu memiliki makna yang mendalam.

Judith Lynne Hanna mencoba lebih jauh membatasi tari sebagai susunan perilaku manusia, yang dari sudut pandang penari, bisa dikatakan memiliki tujuan, dibuat berirama, bersekuen dalam pola budaya tertentu, mengandung gerak tubuh nonverbal yang berbeda dengan aktivitas gerak keseharian, serta memiliki nilai estetik yang ‘inherent’ [melekat]. Apa yang kemudian secara konseptual disebut sebagai tari, perilaku manusia pelakunya mesti mengait aspek-aspek tersebut di atas (Hanna, 1980: 19). Batasan di atas bisa saja dikembangkan lebih jauh, namun sementara bisa pula dijadikan sebagai bahan pijakan untuk kajian tari sebagai suatu ‘event’ yang bermakna bagi masyarakatnya. Tekanan aspek-aspek yang mengait dari ‘event’ tari yang satu mungkin saja berbeda dibandingkan dengan ‘event’ tari yang lainnya. Hal inilah yang justru menjadikan kajian interkultural menjadi menarik. Nilai asosiatif yang muncul bisa saja didekatkan sebagai bandingan konseptualisasi atas suatu fenomena tertentu yang memiliki makna yang serupa. Misalnya saja bentuk tarian Bugaku di Jepang yang salah satunya dipergunakan dalam upacara menyambut terang bulan, secara asosiatif sangat berkaitan erat dengan keakraban hubungannya dengan kosmos yang menyelimutinya, sekaligus mengingatkan kita pada kerangka taksonomi yang berkaitan dengan lingkungan. Pernyataannya diungkapkan secara eksplisit dalam berbagai tampilan arah hadap yang secara utuh merupakan realita kosmos dalam perwujudan arah mata angin.

2Ben Suharto menyebutkan bahwa ‘Taya’ bisa berarti ‘Shiwa’ namun juga ‘Buddha’. Ma-taya (‘ma’ merupakan awalan yang menjadikan sebuah kata menjadi kata kerja) menjadikan artinya sebagai menjadi Shiwa atau dengan kata lain menyatu dengan Shiwa/Buddha. Dalam hal ini penyatuan tersebut merupakan tujuan kehidupan insan manusia.

Page 4: Kajian Interkultural Seni Pertunjukan

Permasalahan arah mata angin ini akan banyak mengingatkan kita pada konseptualisasi Srimpi yang juga memiliki nilai simbolik dalam menjaga keseimbangan alam. Lebih jauh lagi Brongtodiningrat, seorang Empu tari dari Yogyakarta, tidak hanya menyebutkannya sebagai simbol arah mata angin, tetapi juga lambang empat anasir yang terdiri dari ‘bumi,’ ‘angin,’ ‘air,’ dan ‘api.’ Masing-masing anasir ini memiliki makna yang sangat kuat kaitannya dengan representasi alam di luar konsep kosmosnya sendiri. Dengan kata lain pembinaan hubungan manusia dengan alam lewat genre tersebut di atas nampaknya memiliki nilai aktualisasi yang abadi dan perlu dilakukan secara terus menerus.

Kalau kemudian dikaitkan dengan aspek batasan yang dihubungkan dengan tujuan, variasi keberadaan tari bisa dilihat dari berbagai segi. Rentang keberadaannya bisa berawal dari kebutuhannya untuk ritualisasi diri (individualistik) dan ritualisasi kelompok (bersifat kolektif) sampai dengan hiburan diri sendiri dan hiburan kelompok. Masing-masing suku bangsa akan sangat berbeda dalam memperlakukan tari dalam tujuan kehidupannya. Bagi masyarakat ‘primitif’ misalnya, tari bukanlah merupakan hiburan semata-mata (baik bagi individu maupun kelompok), namun sudah merupakan kebutuhan ritualisasi diri baik sebagai individu ataupun sebagai bagian dari kelompok yang senasib-sepenanggungan.

Belum lagi kalau kita berbicara tentang makna inherent yang ada baik pada visualisasi motorik lewat analisis kinesiologis serta lewat pendekatan etik maupun emik, kajian interkultural akan sangat bermakna bagi penelusuran akar gerak yang diduga mendapatkan pengaruh dari suatu wilayah tertentu. Konseptualisasi warna yang secara visual dipertunjukkan oleh sebuah genre tertentu akan banyak membantu pula dalam mengidentifikasi strata sosial, apalagi bila dikaitkan dengan kualitas gerak-gerak di luar gerak keseharian.

Dari berbagai contoh di atas bisa dilihat bagaimana permasalahan itu terus-menerus muncul dan bisa berkembang serta terkait dengan berbagai fenomena dalam dimensi pandangan yang berbeda-beda. Pembatasan masalah memang perlu dilakukan, namun pengembangan permasalahan dengan pandangan holistik dalam kajian interkultural juga mesti diupayakan. Kejelian seorang peneliti dalam menangkap perolehan makna akan banyak membantu penetapan batasan masalah yang diajukan. Ajuan berbagai contoh di atas secara implisit sudah mencakup masalah kajian interkultural yang merupakan topik diskusi kali ini. Kalau harus diterapkan di luar genre tari, diharapkan para peneliti bisa membuat analoginya serta mengembangkannya berdasarkan kondisi dan situasi ideal seperti yang kita harapkan bersama.

Jurnal PANGGUNG, No. IX-April 1995