Kajian Implementasi Dan Kebijakan
-
Upload
jarot-mangkubumi -
Category
Documents
-
view
222 -
download
5
description
Transcript of Kajian Implementasi Dan Kebijakan
Kajian Implementasi dan KebijakanPedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana
Mustakim dan Cornelis Novianus
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Keehatan Masyarakat, Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Surat elektronik: [email protected]
Abstrak
Studi lapangan di beberapa tempat baik di Indonesia maupun di luar Indonesia menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraankegiatan gizi dalam kondisi bencana masih banyak terdapat permasalahan yang krusial. Mulai dari penyalahgunaan bahan makanan, penggunaan bahan makanan yang kadaluarsa, penggunaan bantuan makanan yang tidak sesuai dengan usia dan masih banyak lagi. Kejadian bencana seringkali mengakibatkan kondisi dan situasi pangan yang kritis terutama bagi para pengungsi yang mengalami. Hal ini menambah masalah tersendiri dalam kaitannya menjaga kondisi gizi dan kesehatan pengungsi agar tetap terpenuhi kebutuhan gizinya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengkaji implementasi dan kebijakan Pedoman Kegiatan Gizi dalam Penanggulangan bencana. Kajian implementasi kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana disajikan secara deskriptif dan komprehensif berdasarkan hasil studi lapangan yang ada. Kebijakan pedoman ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan konten, konteks, proses dan aktor (Walt & Gilson 1994, Palmer & Short, 1998). Hasil kajian implementasi menunjukkan bahwa penyelenggaraan kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana masih banyak menemukan masalah dan tidak sepenuhnya memenuhi kebutuhan gizi bagi para korban yang mengalami bencana. Pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana masih sangat global dan belum menyesuaikan dengan kondisi geografis Indonesia yang tergolong rawan becana serta belum menempatkan kearifan lokal di dalamnya. Analisis dari sisi konten, konteks, proses dan aktor menjadi temuan yang menjawab bahwa masih banyak korban bencana yang tidak terpenuhi gizi dan kesehatannya DIsarankan agar pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana dapat lebih teknis dan spesifik direvisi sesuai kondisi geografis, kearfan lokal, sosial dan politik.
Kata kunci : Pedoman Kegiatan Gizi, Bencana, Kebijakan
Latar Belakang
Posisi wilayah Indonesia, secara geografis dan demografis rawan terjadinya bencana alam dan
non alam seperti gempa tektonik, tsunami, banjir dan angin puting beliung. Bencana non alam
akibat ulah manusia yang tidak mengelola alam dengan baik dapat mengakibatkan timbulnya
bencana alam, seperti tanah longsor, banjir bandang, kebakaran hutan dan kekeringan. Selain itu,
keragaman sosio-kultur masyarakat Indonesia juga berpotensi menimbulkan gesekan sosial yang
dapat berakibat terjadi konfik sosial.
Segala jenis keadaan darurat secara definisi merupakan suatu hal yang mengancam kehidupan
manusia dan kesehatan masyarakat. Seringkali keadaan darurat menyebabkan kekurangan
pangan, merusak status gizi di komunitas dan kematian yang berlebihan pada seluruh kelompok
usia.
Berdasarkan data Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, pada
tahun 2009 tercatat 287 kali kejadian bencana dengan korban meninggal sebanyak 1.513 orang,
luka berat/rawat inap sebanyak 1.495 orang, luka ringan/rawat jalan 56.651 orang, korban hilang
72 orang dan mengakibatkan 459.387 orang mengungsi. Selanjutnya, pada tahun 2010 tercatat
315 kali kejadian bencana dengan korban meninggal sebanyak 1.385 orang, luka berat/rawat inap
sebanyak 4.085 orang, luka ringan/rawat jalan 98.235 orang, korban hilang 247 orang dan
mengakibatkan 618.880 orang mengungsi. Sementara itu, pada tahun 2011 tercatat 211 kali
kejadian bencana dengan korban meninggal sebanyak 552 orang, luka berat/rawat inap sebanyak
1.571orang, luka ringan/rawat jalan 12.396 orang, korban hilang 264 orang dan mengakibatkan
144.604 orang mengungsi. Dampak bencana tersebut, baik bencana alam maupun konfik sosial,
mengakibatkan terjadinya kedaruratan di segala bidang termasuk kedaruratan situasi masalah
kesehatan dan gizi.
Salah satu masalah serius yang lazim dihadap pengungsi adalah meningkatnya angka kurang
gizi. Dari data kurang gizi pada pengungsi di berbagai lokasi seperti di Somalia (1980), Ethiopia
(1988-1989), Kenya (1991), Sudan (1988), dan Liberia (1990), diketahui bahwa secara rata-rata
terjadi peningkatan prevalensi kurang gizi sebesar 20% (Latham, 1997).
Masalah lainnya terkait gizi dan kesehatan saat terjadi bencana adalah pelanggaran dalam
pemberian bantuan makanan seperti adanya susu formula untuk semua usia, bubur instan,
minuman ringan untuk berbagai usia. Di Lebanon, studi lapangan saat bencana juga
menunjukkan pelanggaran pedoman dimana terdapat pembagian makanan bayi komersial,
distribusi botol susu oleh LSM lokal dan internasional dan distribusi susu bubuk tanpa campuran.
Hal ini menjadi kekhawatiran bagi seorang Ibu yang minim pengetahuannya dimana disediakn
susu formula yang tidak sesuai peruntukkannya. (Maciaine & Corbett, 2006).
Sebuah survey di Sri Lanka pasca bencana tsunami tahun 2004 menunjukkan bahwa
penyelenggaraan kegiatan gizi yang kurang variatif menyebabkan 70.9% dari anak-anak korban
bencana tidak mendapatkan makanan suplemen yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan gizinya
(Jayatissa, R., et al, 2006). Studi di lapangan yang dilakukan oleh penulis sendiri di jogya tahun
2012 saat erupsi merapi menunjukkan bahwa betapa banyaknya bantuan pangan yang melimpah
namun tidak terkoordinir dengan bak akibat sistem penyelenggaraan kegiatan gizi yang tidak
jelas.
Tujuan dari tulisan ini sendiri adalah untuk mengkaji implementasi dan kebijakan pedoman
kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana di Indonesia seagai upaya untuk terus member
masukan dan memperbaiki sistem yang sudah ada. Kajian implementasi disajikan secara
deskriptif dan komprehensif berdasarkan studi – studi yang ada sedangkan analisis kebijakan
menggunakan pendekatan Walt & Gilson (1994), dan Palmer & Short (1998). Pendekatan yang
dilakukan dalam analisis meliputi analisis yang terdiri dari aspek konten, konteks, proses dan
aktor .
Kajian Implementasi Pedoman Gizi Dalam Penanggulangan bencana
Dalam buku pedoman kegiatan gizi dalam penanggulanga bencana (Kemenkes, 2012) bencana
didefinisikan sebagai rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan manusia baik oleh alam maupun faktor manusia yang mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan dan kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Selain itu, dalam buku The Management of Nutrition in Emergencies, segala macam bentuk
bencana secara definisi adala yang mengncam kehidupan manusia dan kesehatan masyarakat dan
serta seringkali merusak status gizi seseorang dalam sebuah komunitas yang mengalami bencana.
Kejadian bencana baik alam maupun akibat ulah manusia meningkat cukup pesat beberapa tahun
belakangan ini dengan jumlah pertumbuhan pengungsi yang parallel dengan kehilangan anggota
keluarga. Konferensi internasional WHO tahun 1992 cukup banyak memberikan perhatian
terkait gizi pada korban bencana dan pengungsi akibat bencana. Sebagai implikasinya, maka
negara-negara di dunia pun menyesuaikan dengan membentuk payung hukum ataupun pedoman
dalam rangka penyelenggaraan kegiatan gizi dalam situasi bencana.
Di Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan tahun 2012 telah menerbitkan Pedoman Kegiatan
Gizi Dalam Penanggulangan Bencana yang menjadi pedoman kegiatan gizi setiap kali terjadi
bencana. Dalam implementasinya ternyata masih seringkali terjadi penyimpangan ataupun
bahkan kesalahan dalam penyelenggaraan kegiatan gizina. Sebagai contoh, pada gempa bumi
tahun 2006 di Yogyakarta, terdapat pelanggaran dalam penyelenggaraan kegiatan gizi yang
dilakukan oleh perusahaan, pemerintahan luar negeri dan juga LSM yakni berupa pendistribusian
makanan tambahan termasuk susu formula melalui tenaga kesehatan dan distribusi botol susu
dan susu bubuk kepada coordinator bencana alam di Bantul. Hal ini melanggara khususnya
dalam tata cara penerimaan bantuan dan peruntukannya (Maciaine & Corbett, 2006). Selain itu,
saat gempa di tasikmalaya tahun 2009, penulis yang ikut dalam tim FKM UI tanggap bencana
melihat bahwa dalam penyelenggaraan kegiatan gizi khususnya pembangunan dapur umum
masih melanggar pedoman yang ada karena dibangun di daerah yang masih rawan ikut terkena
bencana susulan.
Beberapa pelanggaran diatas tentunya hanya sebagai contoh kecil dari kemungkinan masih
banyaknya pelanggaran kegiatan gizi yang terjadi saat bencana. Pedoman yang notabenenya
sudah dibuat cukup komprehensif ternyata masih banyak terjadi pelanggaran dan ketidaksesuaian
di lapangan. Pelanggaran atau ketidaksesuaian yang terjadi pada kegiatan gizi saat bencana
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kurangnya sosialisasi pedoman terebut kepada pihak
terkait, kondisi alam geografis yang tidak memungkinkan hingga dari tenaga kesehatan itu
sendiri yang tidak mengerti ataupun tidak paham dalam konsep kegiatan gizi saat bencana.
Padahal berdasarkan peneitian yang dilakukan oleh Speybraeck N. et al, 2006 mennujukkan
bahwa 80% keberhasilan sebuah program ditentukan oleh SDM atau tenaga kesehatan itu
sendiri. Oleh karena itu dalam hal penyelenggaraan kegiatan gizi tentu dibutuhkan kualifikasi
tenaga kesehatan yang ahli dan memang terlaith dalam situasi bencana.
Analisis Kebijakan (Sisi Konten)
Kebijakan pedoman kegiatan penyelenggaraan gizi dalam penanggulangan bencana adalah
sebuah kebijakan yang patut diapresiasi dan sudah cukup sesuai dalam memenuhi kondisi
Indonesia yang rawan bencana. Pedoman ini berisikan tahapan situasi bencana yang kemudian
dalam setiap tahapan terdapat kegiatan gizi yang dilakukan sehingga dapat dengan mudah
dipahami untuk diimplementasikan. Selain itu, dengan tahapan yang terdiri dari tiga tahap yaitu
pra bencana, bencana dan pasca bencana, tenaga kesehatan atau pihak terkait akan dapat
merencanakan segala sesuatunya dengan lebih baik sehingga kebutuhan gizi bagi korban
bencana dan pengungsi terpenuhi.
Di awal pra bencana kegiatan survey pra bencana menjadi penting untuk menilai bagaimana
status gizi para penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana sehingga dapat disiapkan lebih
awal kebutuhan rencana kontinjensi serta berapa banyak jumlah yang harus disediakan.
Dalam pemenuhuan kebutuhan gizi, pedoman ini juga sudah cukup komprehensif memberikan
gambaran kebutuhan gizi dari masing-masing kelmpok usia termasuk korban bencana atau
pengungsi yang memiliki kebutuhan khusus. Selain itu, dalam beberapa kriteria kelompok umur
kususnya balita dan Ibu hamil dan menyusui terdapat bagian tersendiri yang menjadi acuan
untuk penyelenggaraan kegiatan gizi bagi kelompok tersebut untuk memenuhi kebutuhan gizinya
selama masa bencana.
Dalam tahapan pasca bencana juga sudah cukup baik yaitu dengan kegiatan monitoring dan
evaluasi yang bermanfaat untk menjaga kesinambungan dan memantau kebutuhan pemenuhan
gizi pasca bencana agar tetap terjaga sembari menunggu pemulihan kondisi sarana prasaran
pasca bencana.
Dalam sisi konten, pedoman ini sudah cukp komprehensif dan juga sudah sesuai dengan literatur
panduan yang diterbitkan ole WHO yaitu The Management of Nutrition in Emergencies yang
mengulas secara tuntas kegiatan gizi hingga pemenuhannya pada semua kelompok usia termasuk
kebutuhan makro maupun mikronutrien. Selain itu, pedoman ini juga sudah sesuai dengan
pedoman dalam pelaksanaa survey yang juga diterbitkan oleh WHO yaitu Field Guide on Rapid
Nutrition Analysis in Emergencies, 1995.
Analisis konten menjadi bermasalah ketika dilapangan dikarenakan pedoman yang sudah
komprehensi terabaikan dengan kondisi tenaga kesehatan yang lemah dalam implementasi
pedoman tersebut baik dalam tahap pra bencana, bencana dan pasca bencana sehingga
dibutuhkan semacam sosialisasi dan pelatihan bagi tenaga-tenaga yang memang spesifik
berkaitan dengan kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana. Hal ini juga sesuai dengan apa
yang terjadi pada situasi krisi akibat peperangan di Lebanon dimana pemberian makan jauh dari
ideal, pelanggaran kode etik operasional dan kesalahan pemberian susu formula pada bayi 0-6
bulan (Maciaine & Corbett, 2006).
Oleh karena itu, pedoman yang suda cukup komprehensif ini seharusnya juga diparalelkan
dengan perbaikan yang progresif berdasarkan pengalaman kegiatan gizi dari setiap bencana yang
teah terjadi di Indonesia yang tentu akan menjadi perhatian khusus bagi BNPB, Kemenkes dn
pihak terkait bencana lainnya. Karena dikhawatirkan jika tetap dipertahankan dengan kondisi
demikian akan membuat banyak korban jiwa dan status gizi yang memburuk serta berujung
kematian.
Analisis Kebijakan (Sisi Konteks)
Ditinjau dari segi konteks, tampaknya pedoman ini sudah cukup sesuai untuk memberikan
pedoman secara global dengan kondisi Indonesia yang rawan bencana walau dalam
implementasi di lapangan masih banyak terjadi tumpang tindih dan pelanggaran kegatan gizi.
Faktor konteks dalam hal ini yang menjadi penting adalah geografis dan lingkungan serta
kearifan lokal yang harus menjadi perhatian dalam pedoman ini. Hal ini juga ditunjukkan pada
studi lapangan di Haiti pasca gempa yang memporak porandakan negara ini sehingga sulit untuk
mengadakan penyelenggaraan kegiatan gizi dengan kondisi yang hancur lebur sehingga
dibutuhkan pendekatan kluster gizi dan kulster lainnya dalam penanganan bencana di negara
tersebut.
Pembelajaran dari negara Haiti menjadi sebuah contoh kecil bahwa negara Indonesia yang
cenderung kepulauan dan rawan bencana alam tentu perlu memiliki sebuah pedoman yang
menyesuaikan dengan konteks dari masing-masing daerahnya. Dari sisi tempat atau geografis
misalnya diperlukan tempat untuk penyelenggaraan kegiatan gizi yang tentu saja aman dari
bencana susulan serta layak untuk penyelenggaraan kegiatan gizi.
Dari sisi kearifan lokal (sosial budaya) khsusnya pangan lokal juga dapat dimasukan dalam
pedoman dengan kekhususan konteks yang sulit mendapatkan bahan pangan sehingga
pemenuhan kebutuhan gizi tetap dapat terjamin pada seluruh kelompok usia. Kebutuhan gizi
melalui pangan lokal dalam bencana dapat mengacu pada pedoman gizi umum yang sudah ada
dengan memenuhi nilai gizi sesuai kebutuhan kelompok usia termasuk di dalamnya yang
berkebutuhan atau memiliki kondisi khusus. Selain itu fenomena sosial budaya terutama dalam
ranah tingkat pendidikan menjadi sebuah titik masuk bagi pemerintah untuk dapat mengedukasi
masyarakat setempat agar lebih siap dalam penyelenggaraan kegiatan gizi dalam bencana.
Dari segi kesiapan sarana dan prasarana khususnya untuk penyelenggaraan gizi termasuk untuk
pelayanan dan konsultasi gizi di dalamnya serta kesiapan SDM perlu mendapat perhatian khusus,
apakah sudah sesuai untuk penyelenggaraan kegiatan gizi. Hal ini dikarenakan banyak kejadian
bencana kemudian minim sarana prasarana untuk penyelenggaraan kegiatan gizi seperti dapur
umum misalnya. Oleh karena itu, perlu dijelasakan teknisnya dalam pedoman terutama jika
terdapat kondisi khusus seperti minim sarana dan prasarana. Hal ini juga sesuai dalam literatur
yang menyebutkan bahwa terdapat syarat syarat untuk penyimpanan bahan makanan untuk
pemenuhan kebutuhan gizi saat bencana (Walter DJ dalam WHO, 2000).
Diperlukan studi yang lebih komprehensif dalam ranah konteks agar improvisasi yang
berkesinambungan dapat terjadi dalam rangka penyelenggaraan gizi dalam situasi bencana yang
lebih baik kedepannya.
Analisis Kebijakan (Sisi Proses)
Proses penyusunan kebijakan di Indonesia dimainkan oleh dua pihak utama yaitu legislatif dan
eksekutif dengan legislatif diwakili oleh DPR RI dan eksekutif oleh pemerintah RI dalam hal ini
adalah kementerian terkait dan lintas sektoral. Akan tetapii dalam penyusunan kebijakan lainnya
terkadang hanya dimainkan oleh eksekutif saja terutam dalam ranah kebijakan yang bersifat
lebih teknis. Dalam hal ini pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana dibuat oleh
banyak pihak dan lintas sektor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dan
Kementerian Kesehatan memainkan peran penting dalam proses pembuatan pedoman ini.
Pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana dilandasi oleh beberapa Undang-undang
yaitu diantaranya adalah Undang- undang Republik Indonesia No.24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tahun 2008 tentang
penanggulangan bencana, Peraturan Kepala BNPB nomor 7 tahun 2008 tentang pedoman tata
cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan Peraturan kepala BNPB Nomor 6A
tahun 2011 tentang Pedoman penanggulangan dana siap pakai pada status keadaan darurat
bencana. Dengan demikian secara payung hukum, pedoman kegiatan gizi dalam penanggulangan
bencana ini sudah cukup kuat untuk menjadi pedoman.
Analisis Kebijakan (Sisi Aktor)
Ditinjau dari sisi aktor, pedoman ini jika dilihat kembali dari prosesnya melibatkan cukup
banyak aktor sebagaimana sudah dijelaskan dalam analisis proses. Dalam sisi implementasi,
aktor yang bermain dalam pedoman ini lebih banyak dan kompleks, Namun dalam pedoman ini,
telah ditetapkan bahwa BNPB dan BPBD adalah pemain utama atau koordinator utama ketika
terjadi bencana di sutau wilayah. Dengan demikian maka segala urusan terkait kegiatan gizi
dalam penanggulangan bencana harus melalu satu pintu yaitu BNPB/BPBD. Pengalaman di
lapangan sebagaimana sudah dijelaskan dalam paragraph sebelumnya menunjukkan bahwa
terlalu banyak celah dan pemain yang berada dalam suatu penanganan bencana sehingga
sangatlah wajar ketika banyak terjadi pelanggaran di dalamnya. Oleh karena itu BNPB/BPBD
selaku pemain utama harus tegas dan bisa membuat pertemuaan koordinasi agar pedoman ini
dapat dipahami secara komprehensif dan penyelenggaraan kegiatan gizi dalam bencana dapat
berjalan dengan baik.
BNPB selaku focal point tentu tidak bisa bekerja sendiri dalam prosesnya, ada banyak aktor lain
yang secara partisipatif ikut berperang penting dalam pedoman ini. Aktor lainnya adalah Pusat
Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan, Pengelola kegiatan Gizi DInas Kesehatan
Provinsi/Kab/Kota, LSM lokal dan internasional serta masyarakat setempat. Semua aktor
memiliki peran masing-masing dan saling berkoordinasi untuk pemenuhan kebutuhan gizi dalam
bencana. Hal ini juga sesuai dalam literature yang menyebutkan bahwa mekanisme koordinasi
adalah kebutuhan substansi di tingkat nasional, strategi yang akan disusun dalam
penyelenggaraan kegiatan gizi harus efektif dengan melibatkan semua pihak bahkan hingga
tokoh lokal ataupun tradisional serta masyarakat sipil (WHO, 2000).
Kesimpulan
Kesimpulan yang kemudian dapat diambil terkait analisis pedoman kegiatan gizi dalam
penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :
1. Pedoman kegiatan gizi yan dibuat sudah cukup komprehensif dalam rangka pemenuhan
kebutuhan giz bagi para korban bencana dan pengungsi
2. Lampiran daftar contoh menu dan jumlah nilai gizi yang disajikan juga sudah cukup baik
dalam pedoman
3. Pemerintah sudah cukup akomodatif dalam menanggapi kondis Indonesia yang rawan
bencana
4. Pelibatan multi stakeholder dalam kegiatan gizi untuk penanggulangan bencana sangat
penting agar semua dapat berpern secara optimal dalam rangka pemenuhan gizi
5. Pedoman ini sudah memilik payung hukum yang kuat untuk dapat diimplementasikan di
seluruh Indonesia ketika terjadi bencana.
Saran
Saran yang dapat diambil dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut ;
1. Dalam ranah konten diperlukan adanya tambahan substansi terutama kaitannya dengan
nilai nilai kebutuhan gizi
2. Perlu adanya penyesuaian pedoman sesuai jenis bencana yang terjadi mengingat
Indonesia yang hampir seluruh wilayahnya rawan bencana sehingga akan lebih mudah
dipahami
3. Pedoman juga harus mampu menyentuh hingga konteks sosial budaya mengingat
Indonesia memilik keanekaragaman yang cukup variatif sehingga kearifan lokal menjadi
penting untuk dapat diperhatikan atau bahkan hingga ranah pedoman kegiatan gizi dalam
penanggulangan bencana sesuai kearifan lokal.
4. Perlu adanya koordinasi rutin antara seluruh stakeholder terkait dalam rangka
penyusunan rencana kesiapsiagaan sehingga pada saat implementasi berjalan tidak
tumpang tindih
5. Sosialisassi yang massif kepada seluruh stakeholder juga harus dilkukan agar seluruh
elemen terkait paham akan peran masing-masing
6. Monev secara berkala juga perlu dilakukan mengingat seringkali pasca bencana masih
terjadi banyak permasalahan gizi dan kesehatan yang harus ditangani sehingga tidak
ditinggalkan demikian saja
Daftar Pustaka
1. Dolan Carmel dan Mija Ververs 2006. The Haiti Earthquake – Country and Global Level Cluster Coordination Experiences and Lessons Learnt. Issue 39. < http://fex.ennonline.net/39/haiti> [Diunduh pada 11 November 2013].
2. Kementerian Kesehatan RI, 2012. Pedoman Kegiatan Gizi Dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
3. Kementerian Kesehatan, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (mengacu pada standar internasional). Jakarta : Kementerian Kesehatan.
4. Maclaine, Ali dan Mary Corbett, 2006. Infant Feeding in Emergencies : Experiences From Indonesia and Lebanon. Issue 29. < http://fex.ennonline.net/29/infantfeeding> [Diunduh pada 11 November 2013].
5. Simanjuntak, David H. Tanpa Tahun. Waspadai Hidden Hunger pada Pengungsi. Universitas Sumatera Utara.
6. Tanpa Nama, 2007. Nutritional Status of Children and Pregnant and Lactating Women in Relief Camps in Post-Tsunami Sri Lanka. Issue 30. <http://fex.ennonline.net/30/nutritionalstatusofchildren> [Diunduh pada 11 November 2013].
7. WHO, 1995. Field Guide on Rapid Nutritional Assesment in Emergencies. Geneva: WHO.
8. WHO, 2000. The Management of Nutrition in Major Emergencies. Geneva:WHO.