Kajian Filsafat Ilmu Wali Hakim Terhadap Adholnya Wali Nasab

14
PENETAPAN WALI HAKIM ATAS ADHOLNYA WALI NASAB DALAM PERPEKTIF FILSAFAT ILMU A. LATAR BELAKANG Pernikahan merupakan syariat pertama kali dikenakan pada umat manusia, hal ini terbukti dengan pernikahan nabi adam SAW yang notabene merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Alloh SWT dengan ibu Hawa. Kehalalan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan diikat dengan adanya pernikahan. Sebagaimana diketahui bahwa syahnya suatu pernikahan jika syarat dan rukun pernikahan telah terpenuhi. Salah satu rukun dari syahnya pernikahan adalah adanya wali. Wali sendiri dibagi menjadi 3 yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakam. Wali nasab merupakan wali yang mempunyai hak untuk menikahkan, akan tetapi ada juga wali nasab yang tidak mau menikahkan dikarenakan berbagai alasan yang diutarakan. Wali nasab yang tidak mau menikahkan dinamakan wali yang mogok atau wali adhol. Sebagaimana diatur dalam PMA no 11 Tahun 2007 dan Kompilasi hukum islam bahwa Adholnya wali atau mogoknya wali hanya bias ditetapkan oleh hakim ( hakim Pengadilan Agama ) untuk dilaksanakan pernikahannya dengan wali hakim. Disini penulis berusaha mengupas filsafat ilmu yang dipakai 1

Transcript of Kajian Filsafat Ilmu Wali Hakim Terhadap Adholnya Wali Nasab

PENETAPAN WALI HAKIM ATAS ADHOLNYA WALI NASAB

DALAM PERPEKTIF FILSAFAT ILMUA. LATAR BELAKANGPernikahan merupakan syariat pertama kali dikenakan pada umat manusia, hal ini terbukti dengan pernikahan nabi adam SAW yang notabene merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Alloh SWT dengan ibu Hawa. Kehalalan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan diikat dengan adanya pernikahan.Sebagaimana diketahui bahwa syahnya suatu pernikahan jika syarat dan rukun pernikahan telah terpenuhi. Salah satu rukun dari syahnya pernikahan adalah adanya wali. Wali sendiri dibagi menjadi 3 yaitu wali nasab, wali hakim dan wali muhakam. Wali nasab merupakan wali yang mempunyai hak untuk menikahkan, akan tetapi ada juga wali nasab yang tidak mau menikahkan dikarenakan berbagai alasan yang diutarakan.Wali nasab yang tidak mau menikahkan dinamakan wali yang mogok atau wali adhol. Sebagaimana diatur dalam PMA no 11 Tahun 2007 dan Kompilasi hukum islam bahwa Adholnya wali atau mogoknya wali hanya bias ditetapkan oleh hakim ( hakim Pengadilan Agama ) untuk dilaksanakan pernikahannya dengan wali hakim. Disini penulis berusaha mengupas filsafat ilmu yang dipakai oleh hakim dalam mengabulkan wali hakim bagi wali nasab yang mogok ( wali adhol ).B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah :1. Faktor penyebab terjadinya perpindahan wali nasab kepada wali Hakim ?

2. Pertimbangan ( sisi Filsafat Ilmu ) yang dijadikan pijakan hakim dalam menetapkan wali hakim atas adholnya wali nasab ?C. PEMBAHASAN MASALAH1. Wali Nikah1) Pengertian WaliWali adalah orang yang berhak atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakili. Sedangkan wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak menikahkan seorang perempuan yang diurusnya (maula) apabila ia (wali) sanggup bertindak sebagai wali. Dan apabila karena suatu hal ia tidak dapat bertindak sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.

Menurut Syafii wali merupakan salah satu dari empat hal yang menetapkan adanya pernikahan yaitu wali, kerelaan yang dinikahkan, kerelaan yang menikahi, dua saksi yang adil, serta yang kelima adalah mahar/ maskawin. Sebagimana Syafiiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah sepakat dalam mensyaratkan adanya wali dalam keabsahan pernikahan, dan Hanafiyah berpendapat bahwa pensyaratan wali ini adalah untuk shoghiroh dan kabiroh majnunah sedangkan bagi balighah aqilah baik gadis ataupun janda berhak untuk menikahkan diri mereka selama sepadan / kufu, karena jika tidak sepadan maka wali berhak untuk mem-faskh nikahnya.

Dalam pelaksanaannya, seorang wali bisa menikahkan sendiri atau mewakilkan kepada orang lain, atau barangkali pasrah kepada orang lain untuk memilihkan suami sekaligus menikahkannya sebagaimana kutipan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni yang bercerita tentang Ummu Amr yang kemudian dinikahkan dengan Utsman ra. oleh Umar ra.

2) Syarat- Syarat WaliSyarat- syarat wali ialah merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil tidak bisa menjadi wali karena untuk diri mereka sendiri pun mereka tidak berhak menjadi wali. Dalam hal berakal sehat/ kecerdikan terjadi perbedaan antara jumhur syafiiyyah yang tidak mensyaratkannya dengan Syafii, Malik, Asyhab dan Abu Mushab yang berpendapat bahwa kecerdikan (dalam hal maslahah yang meliputi urusan harta, pemilihan suami dan termasuk di dalamnya kesepadanan) menjadi syarat perwalian.[6]Syarat lain selain ketiga syarat tersebut adalah beragama Islam karena non-muslim tidak boleh menjadi wali bagi muslim. Sebagaimana firman Allah:

( (((((( (((((((( (((((((((( (((((( ((((((((((((( ( ((((( (((((((( (((( (((((((((((((( ((((( ((((((((((((((( ((((((( (((((

Artinya : Dan Allah tidak akan sekali- kali memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang- orang mukmin. (QS. An Nisa 141)Adil bukan merupakan syarat wali, karena kedurhakaan selama tidak melampaui batas kesopanan hingga menjadikan tidak tentramnya maula/ orang yang diurusnya sehingga hak perwaliannya menjadi hilang. Begitu juga fasiq tidak menjadi syarat wali karena kefasikan tidak menghalangi seseorang menjadi wali sebagaimana pendapat sebagian besar fuqaha yang membenarkan perwalian orang Fasiq, walaupun ada juga yang menolak dan intiqal kepada wali abad. Dalam hal ini karena kefasikan tidak memutuskan pertalian darah dan waris maka kami lebih memilih pendapat pertama selama tidak sampai pada kekufuran.

3) Macam- Macam Wali Nikaha) Nasab : adalah wali yang memperoleh hak sebagai wali karena adanya pertalian darah. Jumhur sebagaimana Malik dan Syafii mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah dan bukan dari garis ibu.

b) Hakim : adalah penguasa dari suatu negara atau wilayah yang berdaulat atau yang mendapatkan mandat dan kuasa untuk mewakilinya.

c) Muhakam : adalah wali hakim namun dalam keadaan darurat misalnya ketika ada kudeta sehingga tidak ada pemerintahan yang berdaulat sehingga tidak berada di tangan penguasa / sultan. Demikian juga jika maula tidak berada di negaranya sendiri tanpa seorang wali pun yang menyertai sedang negaranya tidak mempunyai perwakilan di negara tersebut.

4) Pindahnya PerwalianHak perwalian karena suatu hal bisa berpindah kepada wali yang lain baik dari nasab (aqrab) ke nasab (sederajat atau abad), maupun dari nasab ke hakim. Dalam hal ini Maliki berpendapat bahwa jika wali dekat tidak ada, maka perwaliannya pindah ke wali jauh, sedangkan Syafii berpendapat bahwa hak perwalian pindah kepada hakim. Perbedaan pendapat ini bersumber pada pembedaan mereka atas apakah tidak adanya wali tersebut sama dengan kematian yang sebelumnya telah disepakati keduanya bahwa jika wali dekat mati perwaliannya pindah ke wali jauh.

Perpindahan wali ini disebabkan antara lain karena ;

a. Ghoibnya wali aqrabDalam hal wali aqrab gaib, tidak ada di tempat dan atau tidak diketahui keberadaannya Hanafi berpendapat bahwa perwalian pindah kepada urutan selanjutnya (wali abad) dan apabila suatu saat aqrab datang, dia tidak dapat membatalkan pernikahan tersebut karena kegaibannya sama dengan ketiadaannya demikian juga Malik. Sedangkan Syafii berpendapat bahwa perwaliannya pindah ke hakim. Dan jika wali aqrab di penjara dan tidak memungkinkan untuk menghadirkannya walaupun jaraknya dekat maka ia dianggap jauh. Demikian juga jika wali dekat tidak diketahui alamatnya walaupun dekat letak tempat tinggalnya. Dalam masalah ghoibnya wali ini kami cenderung mengikuti kedua pendapat tersebut dengan syarat- syarat tertentu yaitu bahwa perwalian bisa pindah kepada wali abad sebagaimana pendapat Malik dan Hanafi jika ada persangkaan yang kuat dari wali- wali selain wali aqrab bahwa wali aqrab akan rela dan tidak berkeberatan. Sedangkan jika persangkaan itu tidak ada atau jika ada kehawatiran tidak relanya wali aqrab, maka perwaliannya pidah ke hakim karena adanya kekhawatiran terjadinya sengketa antar wali.

b. Perselisihan wali yang kedudukannya samaDalam hal terjadinya perselisihan antar wali (selain wali mujbir) dalam satu thabaqat maka perwaliannya langsung pindah ke hakim. Hal itu tidak lain disebabkan karena fungsi hakim adalah sebagai penengah yang tidak bisa digugat oleh wali- wali yang sedang berselisih disamping posisinya sebagai wali dari perempuan yang tidak punya wali nasab.

c. Walinya AdhalDalam hal adhalnya wali, maka perwalian pindah ke tangan hakim yang dalam prakteknya di Indonesia melalui prosedur penetapan adhalnya wali dari Pengadilan Agama untuk menentukan dibenarkan tidaknya alasan penolakan dari wali karena jika alasannya benar dan dibenarkan oleh pengadilan maka perwaliannya tidak berpindah kepada orang lain karena ia dianggap tidak adhal/ menghalangi. 2. Penetapan Wali Hakim Atas Adholnya Wali NasabWali merupakan salah satu unsur penting dalam suatu akad nikah. Sebagaimana pendapat ulama yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, bahwa suatu pernikahan tidak sah tanpa adanya wali.Kendatipun demikian, dalam kenyataan kadang terjadi bahwa wali, karena alasan tertentu enggan menikahkan anak perempuannya, sedangkan anak perempuan tersebut telah bersikeras untuk tetap menikah dengan calon suami pilihannya. Sehingga untuk bisa tetap melangsungkan pernikahan, calon mempelai perempuan harus mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Agama setempat agar menetapkan adholnya wali serta mengangkat wali hakim untuk menikahkannya.Dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan adholnya wali adalah bukti-bukti serta fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 163 HIR yang menyatakan bahwa : Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

Alat bukti dalam hal ini berupa bukti surat dan saksi. Bukti surat yang pokok dalam perkara wali adhol adalah surat penolakan pernikahan yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama setempat (P.I). Sedangkan saksi adalah orang-orang yang mengetahui adanya permasalahan tersebut, dan saksi-saksi akan dimintai keterangan mengenai keengganan wali dan juga keadaan kedua calon mempelai.Karena salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah memberikan pelayanan hukum dan keadilan bagi mereka yang beragama Islam, maka dasar dan pertimbangan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara adalah hukum Islam.Dalam menetapkan adholnya seorang wali, Pengadilan Agama melihat alasan penolakan wali tersebut dibenarkan menurut syara atau tidak, selain itu Pengadilan Agama juga mempertimbangkan kemaslahatan dan kemadhorotan yang akan timbul dari putusannya itu.Untuk menetapkan wali hakim sebagai wali nikah dari perempuan yang wali nasabnya adhol, Pengadilan Agama mendasarkan pada Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang wali hakim.Dari dasar dan pertimbangan Pengadilan Agama yang telah diuraikan, terlihat bahwa itu telah sesuai dengan hukum yang berlaku, akan tetapi majelis hakim kurang mendalam dalam mengupas suatu perkara, sehingga putusan Pengadilan Agama tersebut terasa berat sebelah. Hal ini dapat dicermati dalam putusan yang diuraikan alasan-alasan wali, namun seakan alasan-alasan tersebut tidak dipertimbangkan, mengingat dalam keterangan saksi bahwa calon mempelai laki-laki berperangai buruk, namun permohonan tersebut tetap dikabulkan.3. Penetapan Wali Hakim Atas Adholnya Wali Nasab Dalam Perpektif Filsafat IlmuDalam konteks positivisme hukum, adholnya wali nasab harus ditetapkan oleh Pengadilan Agama sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengidap persoalan yang tentu tidak mudah diselesaikan. Indikasi problematis penetapan adholnya wali yang paling menonjol, adalah sebagaimana telah dipaparkan di atas, muncul ketika hakim seolah-olah mengindahkan alasan-alasan yang disampaikan oleh wali tentang keengganannya untuk menikahkan. Mempertimbangkan realitas masyarakat Indonesia yang hidup dengan watak yang religius, maka untuk tetap menjaga sakralitas perkawinan, pertimbangan- pertimbangan hukum yang berasal dari ajaran agama patut digunakan dalam menetapkan wali hakim atas wali nasab yang adhol. Pemikiran yang mendasari pertimbangan ini adalah teori hukum yang dirumuskan oleh aliran Sosiological Jurisprudence yang memberikan perhatian sama pentingnya kepada faktor-faktor penciptaan dan pemberlakuan hukum, yaitu masyarakat dan hukum.Alasan yang dibenarkan oleh hakim dalam menetapkan wali tersebut adhol adalah alasan yang sesuai dengan syara seperti halnya calon pengantin fasiq, murtad dan lain sebagainya. Akan tetapi adakalanya alasan keengganan wali tidak sesuai dengan syara, seperti halnya yang banyak terjadi di daerah jawa adalah dikarenakan petung jawa yang tidak sesuai. Namun demikian hakim tetap memutus menetapkan adholnya wali. Dalam Perpektif filsafat ilmu (ontology) yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu yang berkaitan tentang apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini mencakup masalah realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek / manusia. Implementasi ontologi dalam penetapan wali hakim disini adalah pertimbangan yang dijadikan oleh hakim dalam mengabulkan wali hakim karena alasan adholnya wali tidak sesuai dengan syariat islam didasarkan atas pertimbangan terjadinya hubungan kumpul kebo yaitu hubungan yang terjadi karena tidak adanya ikatan suami istri, pertimbangan kehidupan bermasyarakat keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat dan norma yang berkembang dalam kehidupan masyarakat salah satunya norma agama dan norma susila maka keluarga yang terbentuk dari pernikahan yang syah akan dikucilkan bahkan bias sampai diusir dari lingkungan masyarakat, pertimbangan nasib keturunan yaitu anak yang dilahirkan bukan dari pernikahan yang syah akan mendapat cibiran dari teman dan masyarakat sekitar sebagai anak haram.Berbagai pertimbangan yang dipakai oleh hakim dalam menetapkan adholnya wali meskipun ada yang menganggap bahwa keputusan yang diambil tidak memenuhi unsure keadilan karena dianggap hanya mempertimbangkan dari satu pihak saja, hal ini sudah sesuai dengan kajian filsafat Ilmu yaitu ontology dimana keputusan yang diambil merupakan refleksi dari hubungan Masyarkat (manusia) dan realita .D. PENUTUP1. Wali nikah adalah orang yang berhak dan atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum bagi yang diwakilinya untuk kepentingan dan atas nama yang diwakilinya dalam hal pernikahan. Wali nikah terbagi menjadi nasab, hakim dan muhakam. Berpindahnya wali nasab ke wali hakim di sebabkan 1) Ghoibnya Wali aqrob 2) Perselisihan wali yang berkedudukan sama 3) Adholnya wali2. Dalam konteks positivisme hukum, adholnya wali nasab harus ditetapkan oleh Pengadilan Agama sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Kajian Filsafat Ilmu yang dijadikan pijakan hakim dalam menetapkan keadholan wali adalah 1) ontology dimana keputusan yang diambil merupakan refleksi dari hubungan masyarakat dan realita 2) teori hukum yang dirumuskan oleh aliran Sosiological Jurisprudence yang memberikan perhatian sama pentingnya kepada faktor-faktor penciptaan dan pemberlakuan hukum, yaitu masyarakat dan hukum. DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 19972. Syafii, Al Umm, juz.5, hlm.180 (dasar rujukan Maktabah Syamilah v. 2.01)

3. Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arbaah, j. iv4. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah terj. M Tholib j.7, Bandung: Al-Maarif, Cet.9. 1994

5. Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 20006. R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Karya Nusantara, Bandung, 1979 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm 258

Syafii, Al Umm, juz.5, hlm.180 (dasar rujukan Maktabah Syamilah v. 2.01)

Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arbaah, j. iv, hlm. 51

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah terj. M Tholib j.7, Bandung: Al-Maarif, Cet.9. 1994, hlm. 21-22

Rahmad Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, cet. 1, 2000, hlm. 65

Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.26

Sayyid Sabiq, Op.Cit, h.28

R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan, Karya Nusantara, Bandung, 1979, hlm. 119.

9