KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - bi.go.id · Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan...
Transcript of KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL - bi.go.id · Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan...
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
TRIWULAN IV
website : www.bi.go.id email : [email protected]
2014
KAJIAN EKONOMI DAN
KEUANGAN REGIONAL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
VISI BANK INDONESIA :
kredibel dan terbaik di regional
melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta pencapaian
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
MISI BANK INDONESIA :
1. Mencapai stabilitas nilai rupiah dan menjaga efektivitas transmisi
kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang berkualitas;
2. Mendorong sistem keuangan nasional bekerja secara efektif dan efisien
serta mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal untuk
mendukung alokasi sumber pendanaan/pembiayaan dapat berkontribusi
pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional;
3. Mewujudkan sistem pembayaran yang aman, efisien, dan lancar yang
berkontribusi terhadap perekonomian, stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan dengan memperhatikan aspek perluasan
akses dan kepentingan nasional;
4. Meningkatkan dan memelihara organisasi dan SDM Bank Indonesia
yang menjunjung tinggi nilai-nilai strategis dan berbasis kinerja, serta
melaksanakan tata kelola (governance) yang berkualitas dalam rangka
NILAI-NILAI STRATEGIS ORGANISASI BANK INDONESIA :
-nilai yang menjadi dasar Bank Indonesia, manajemen, dan pegawai
untuk bertindak dan atau berperilaku, yang terdiri atas Trust and Integrity,
Professionalism, Excellence, Public Interest, dan Coordination and Teamwork
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xvii
Aktiva Produktif
Adalah penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan
tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran
kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), dan surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Adalah pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bank berdasarkan
risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin
kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah
mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang
diberikan kepada perorangan.
Kualitas Kredit
Adalah penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan
kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5
kualitas yaitu Lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Adalah rasio antara modal (modal inti dan modal pelengkap) terhadap Aktiva
Tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Adalah dana yang diterima perbankan dari masyarakat, yang berupa giro,
tabungan atau deposito.
DAFTAR ISTILAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xviii
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Adalah rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap
dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum
konvensional.
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent).
Inflasi Administered Price
Inflasi yang terjadi pergerakan harga barang-barang yang termasuk dalam
kelompok barang yang harganya diatur oleh pemerintah (misalnya bahan
bakar).
Inflasi Inti
Inflasi yang terjadi karena adanya gap penawaran aggregat and permintaan
agregrat dalam perekonomian, serta kenaikan harga barang impor dan
ekspektasi masyarakat.
Inflasi Volatile Food
Inflasi yang terjadi karena pergerakan harga barang-barang yang termasuk
dalam kelompok barang yang harganya bergerak sangat volatile (misalnya
beras).
Kliring
Adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta
kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang
perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Kliring Debet
Adalah kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan
penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada
penyelenggaran kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang
memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xix
dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit
kerja yang menangani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan
secara nasional.
Kliring Kredit
Adalah kegiatan kliring untuk transfer kredit antar bank yang dikirim langsung
oleh bank peserta ke Sistem Sentral Kliring di KP Bank Indonesia tanpa
menyampaikan fisik warkat (paperless).
Loan to Deposit Ratio (LDR)
Adalah rasio antara jumlah kredit yang disalurkan terhadap dana yang
diterima (giro, tabungan dan deposito).
Net Interest Income (NII)
Adalah antara pendapatan bunga dikurangi dengan beban bunga.
Non Core Deposit (NCD)
Adalah dana masyarakat yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
Dalam laporan ini, NCD diasumsikan terdiri dari 30% giro, 30% tabungan dan
10% deposito berjangka waktu 1-3 bulan.
Non Performing Loans/Financing (NLPs/Ls)
Adalah kredit/pembiayaan yang termasuk dalam kualitas Kurang Lancar,
Diragukan dan Macet
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Adalah suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugian yang mungkin
timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP
ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar
PPAP yang dibentuk. Misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang
Lancar adalah 15% dari jumlah kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi
agunan), sedangkan untuk kredit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah
100% dari total kredit macet (setelah dikurangi agunan).
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Istilah
xx
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Adalah rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total
kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs gross. Semakin
rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ysb.
Rasio Non Performing Loans (NPLs) Net
Adalah rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan
Penyisihan Pengghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Settlement (BI RTGS)
Adalah proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan
seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta
pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Adalah sistem kliring Bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring
kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iii
BUKU Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi Riau ini merupakan
terbitan rutin triwulanan yang berisi analisis perkembangan ekonomi dan
perbankan di Provinsi Riau. Terbitan kali ini memberikan gambaran perkembangan
ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 dengan penekanan
kajian pada kondisi ekonomi makro regional (PDRB dan Keuangan Daerah), Inflasi,
Perbankan dan Sistem Pembayaran, Ketenagakerjaan dan Prakiraan Perkembangan
Ekonomi Daerah pada triwulan I 2015. Analisis dilakukan berdasarkan data laporan
bulanan bank umum, data ekspor-impor yang diolah oleh Kantor Pusat Bank
Indonesia, data PDRB dan inflasi yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Riau, serta data dari instansi/lembaga terkait lainnya.
Tujuan dari penyusunan buku KEKR ini adalah untuk memberikan informasi kepada
stakeholders tentang perkembangan ekonomi dan perbankan di Provinsi Riau,
dengan harapan kajian tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
referensi bagi para pemangku kebijakan, akademisi, masyarakat, dan pihak-pihak
lain yang membutuhkan.
Kami menyadari masih banyak hal yang harus dilakukan untuk menyempurnakan
buku ini. Oleh karena itu kritik, saran, dukungan penyediaan data dan informasi
sangat diharapkan.
Pekanbaru, 20 Februari 2015
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau
Mahdi Muhammad Direktur
KATA PENGANTAR
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kata Pengantar
iv
duduk di rumah memegang amanah
duduk di tanah memegang petuah
duduk di kampung menjadi payung
duduk di banjar bertunjuk ajar
duduk di ladang tenggang menenggang
duduk di negeri tahukan diri
duduk di dusun ia penyantun
duduk beramai elok perangai
apa tanda Melayu bertuah,
tahu berguru pada yang sudah
tahu berbuat pada yang ada
tahu memandang jauh ke muka
apa tanda Melayu terbilang,
dada lapang pandangan panjang
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
iv
HALAMAN
Kata Pengantar ..................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................... iv
Daftar Tabel ......................................................................................................... vii
Daftar Grafik ........................................................................................................ ix
Daftar Gambar...................................................................................................... xiii
Tabel Indikator Ekonomi Terpilih............................................................................ xiv
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................ 1
BAB 1. KONDISI EKONOMI MAKRO REGIONAL .............................................. 8
1.
2.
Kondisi Umum...........................................................................
PDRB Sisi Penggunaan...............................................................
8
9
2.1. Konsumsi ..................................................................... 10
2.2 Investasi ....................................................................... 12
2.3 Ekspor dan Impor ......................................................... 13
2.3.1. Ekspor ................................................................
2.3.2. Impor .................................................................
13
16
3. PDRB Sektoral ........................................................................... 17
3.1. Sektor Pertanian ........................................................... 19
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian .......................... 19
3.3. Sektor Industri Pengolahan ........................................... 20
3.4. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran ...................... 22
3.5. Sektor Konstruksi.......................................................... 23
Boks 1 Perubahan Tahun Dasar PDB/PDRB Berbasis SNA 2008
Boks 2 Prospek Industri Kelapa Sawit Provinsi Riau
DAFTAR ISI
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
v
HALAMAN
BAB 2. PERKEMBANGAN INFLASI DAERAH ................................................... 26
1. Kondisi Umum........................................................................... 26
2. Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy)
2.1. Inflasi Kota.........................................................................
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru..............................................
2.1.2. Inflasi Kota Dumai....................................................
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan............................................
2.2. Disagregasi Inflasi...............................................................
2.2.1.Inflasi Inti (Core)........................................................
2.2.2. Inflasi Volatile Foods.................................................
2.2.3. Inflasi Administered Price..........................................
27
31
31
32
33
34
35
36
37
Boks 3. Dampak Penyesuaian Harga BBM, Tarif Tenaga Listrik, dan harga LPG
12 Kg Terhadap Kinerja Perusahaan
BAB 3. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DAERAH 39
1. Kondisi Umum........................................................................... 39
2. 41
2.1. Perkembangan Bank Umum ... .................................... 41
2.1.1. Perkembangan Jaringan Kantor ...................... 41
2.1.2. Perkembangan Aset ............................................. 41
2.1.3. Kredit ...................................... 42
2.1.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit........... 42
2.1.3.2. Konsentrasi Kredit ................................. 43
2.1.3.3. Penyaluran Kredit UMKM 47
2.1.3.4. Kelonggaran Tarik (Undisbursed Loan) 49
2.1.3.5. Risiko Kredit ... 50
2.1.4. Dana Pihak Ketiga . 52
2.1.5. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR) 55
2.1.6. Profitabilitas ... 55
2.1.6.1. Spread Bunga . 55
2.1.6.2. Pendapatan dan Beban Bunga ... 56
2.2. Perbankan Syariah ......................................................... 58
2.3 Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S) .. 59
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vi
HALAMAN
3.Perkembangan Transaksi Pembayaran............................................. 60
3.1. Kondisi Umum ..................................................... 62
3.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai....................... 62
3.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow-Outflow).... 62
3.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar .. 63
3.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli . 64
3.3. Perkembangan Transaksi Pembayaran Non Tunai . 65
3.3.1. Transaksi Kliring . 65
3.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS) .. 65
BAB 4 KONDISI KEUANGAN DAERAH ........................................................... 68
1. Kondisi Umum .......................................................................... 68
2. Realisasi APBD 2013.................................................................. 69
2.1. Realisasi Pendapatan..................................................... 69
2.2. Realisasi Belanja............................................................. 70
BAB 5 KESEJAHTERAAN DAERAH.................................. ............................ 72
1. Kondisi Umum ....... 72
2. Kemiskinan............ ....... 73
2.1. Penduduk Miskin Riau...................................................... 73
2.2. Garis Kemiskinan Riau ..................................................... 74
2.3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau .................................................................
75
BAB 6 PROSPEK PEREKONOMIAN 77
1. ....... 77
2. Perkiraan Inflasi...... ................ 79
Daftar Istilah xvii
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Daftar Isi
vii
Halaman ini sengaja dikosongkan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
vii
HALAMAN
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan
Dengan Migas (yoy) ........................................................................ 10
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi
Penggunaan Dengan Migas(yoy) ..................................................... 10
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas
Riau (Ribu Ton) .............................................................................. 14
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral
Dengan Migas (yoy,%) ................................................................... 18
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi Sektoral
(yoy,%) (yoy,%) ............................................................................ 19
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau
(dalam Rp Juta) ............................................................................. 40
Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di
Riau Triwulan IV 2014 ..................................................................... 41
Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau
(dalam Rp juta) .............................................................................. 42
Tabel 3.4. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau
(Rp juta) ........................................................................................ 44
Tabel 3.5. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi
Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta) ................. 46
Tabel 3.6. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta) ...................... 47
Tabel 3.7. NPLs Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw IV 2014
Menurut Sektor Ekonomi ................................................................ 48
DAFTAR TABEL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Tabel
viii
Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi
(Rp juta) ........................................................................................ 48
Tabel 3.9. Sebaran Kredit UMKM menurut Jenis Penggunaan
(Rp juta) ........................................................................................ 49
Tabel 3.10. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau ........................................ 51
Tabel 3.11. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau .......................... 51
Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar) ............................... 52
Tabel 3.13. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut
Kepemilikan (Rp juta) .................................................................... 53
Tabel 3.14. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten
di Provinsi Riau .............................................................................. 54
Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama PerbankanSyariah di
Provinsi Riau (Rp juta) .................................................................... 58
Tabel 3.16. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau
(dalam Rp juta) ............................................................................. 60
Tabel 3.17. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau .......................................... 61
Tabel 3.18. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau
Triwulan IV 2014 (dalam Rp miliar) ................................................. 66
Tabel 3.19. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan
IV 2014 ........................................................................................ 67
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2013 dan 2014 ........................ 69
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau
Triwulan IV-2013 dan Triwulan IV 2014 (Rp miliar) ............................ 70
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau
Triwulan IV-2013 danTriwulan IV 2014 (Rp miliar) ............................. 71
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan
Prakiraan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2015 .............................. 78
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan
Inflasi Riau Triwulan I 2015 ......................................................... 79
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
ix
HALAMAN
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%) .... 9
Grafik 1.2. Perkembangan Kredit Durable Goods ................................................ 11
Grafik 1.3. Perkembangan Kredit Multiguna ........................................................ 11
Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan ..................................................... 11
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit Kendaraan Bermotor ....................................... 11
Grafik 1.6. Pergerakan Indeks Keyakinan Konsumen Riau 2011-2014 ................ 12
Grafik 1.7. Realisasi Belanja Pemerintah Daerah 2011-2014 Provinsi Riau ........... 12
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau ......... 13
Grafik 1.9 Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau ....... 13
Grafik 1.10.Perkembangan Penjualan Ritel, Indeks Produksi,
FAI-Sk Kanan Tiongkok ..................................................................... 15
Grafik 1.11. Ekspor CPO dan Turunan Riau ......................................................... 15
Grafik 1.12. Pulp and Paper Riau ........................................................................ 15
Grafik 1.13 Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau ................................. 16
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau ............................ 16
Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Ekspor Migas dan Non Migas Provinsi Riau ..... 16
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau
Menurut Wilayah Tujuan ................................................................ 16
17
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau .......... 17
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi .......................................... 17
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier ......................... 18
Grafik 1.21. Kontribusi Volume Komponen Impor Triwulan IV 2014 ................... 18
Grafik 1.22. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan,
dan Peternakan .............................................................................. 20
Grafik 1.23. Pertumbuhan Subsektor dalam Sektor Pertanian ............................. 20
DAFTAR GRAFIK
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
x
Grafik 1.24. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Provinsi Riau ........... 21
Grafik 1.25 Perkembangan Kredit Sektor Pertambangan Berdasarkan
Lokasi Proyek di Provinsi Riau ......................................................... 21
Grafik 1.26. Perkembangan Konsumsi CPO Dunia .............................................. 22
Grafik 1.27. Perkembangan KapasitasTerpakai Indutri Pengolahan ..................... 22
Grafik 1.28. Perkembangan Harga TBS Domestik dan CPO Global ...................... 22
Grafik 1.29. Perkembangan Ekspor CPO dan Turunan Provinsi Riau .................... 22
Grafik 1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan,
Minuman dan Tembakau di Riau ..................................................... 23
Grafik 1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit ......... 23
Grafik 1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Berdasarkan
Lokasi Bank di Riau 23
Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau ...................................................................... 24
Grafik 1.34. Perkembangan Kredit Konstruksi Lokasi Proyek Riau ........................ 24
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy) ................................ 28
Grafik 2.2. Inflasi dan Sumbangan KelompokBarang
dan Jasa yang di Survey (yoy) ........................................................... 28
Gr afik 2.3. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq) ............. 29
Grafik 2.4. Historis Inflasi selama Tw IV di Provinsi Riau (qtq) .............................. 30
Grafik 2.5. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa
yang di Survei Tw III-2014 di Riau (qtq) 31
Grafik 2.6. Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata
Historis Tw IV (2009-2013) .............................................................. 32
Grafik 2.7. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa
di Kota Pekanbaru Tw IV- 2014 ....................................................... 32
Grafik 2.8. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata
Historis Tw IV (2009-2013) .............................................................. 33
Grafik 2.9. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan
Jasa di Kota Dumai Tw IV-2014 ...................................................... 33
Grafik 2.10. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan
Tw IV-2014 Sumber : BPS, diolah .................................................. 33
Grafik 2.11. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy) ............................................ 34
Grafik 2.12. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy) .................................. 35
Grafik 2.13. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD ............................ 35
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xi
Grafik 2.14. Perkembangan Harga Emas Dunia ................................................... 35
Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Tradables Goods
dan Non Tradable Goods (yoy) ...................................................... 35
Grafik 2.16. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy) ............................. 36
Grafik 2.17. Perkembangan Harga Komoditas Beras dan
37
Grafik 2.18. Perkembangan inflasi Administered Price 38
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau ............................. 41
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok .......... 41
Grafik 3.3. Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%) .......... 45
Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq) ... 45
Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy) ... 45
Grafik 3.6. Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan .......................... 46
Grafik 3.7. Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan .......................... 49
Grafik 3.8. Perkembangan NPL Grossdi Provinsi Riau ......................................... 50
Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Dana ............................................. 54
Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau ............................................... 55
Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang Kredit
dan Deposito 3 Bulan .................................................................... 56
Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar) ........................................ 57
Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar) ................................................ 57
Grafik 3.14. Perkembangan Pendapatan, Beban Bunga serta
Pendapatan Bunga Bersih Bank Umum di Riau .............................. 58
Grafik 3.15. KUR menurut Sektor Ekonomi ........................................................ 61
Grafik 3.16. KUR menurut Jenis Penggunaan ..................................................... 61
Grafik 3.17. Perkembangan Inflow dan Outflow ................................................ 63
Grafik 3.18. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang
Dimusnahkan Terhadap Inflow di Provinsi Riau .............................. 64
Grafik 3.19. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau . 64
Grafik 3.20. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau ............................. 65
Grafik 5.1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin ................. 73
Grafik 5.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin ......................................... 74
Grafik 5.3. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau ...................................... 75
Grafik 5.4. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau .................. 76
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Grafik
xii
Grafik 5.5. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau .................... 76
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan Pengeluaran Dibandingkan
3 Bulan yang Mendatang ................................................................ 78
Grafik 6.2. Perkembangan Harga Minyak WTI .................................................... 78
Grafik 6.3. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau
Triwulan I 2015 .......................................................................................... 80
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
xiii
HALAMAN
Gambar 2.1. Perkembangan Inflasi Riau, Sumatera dan Nasional
dibandingkan dengan Historisnya (yoy).....................................
27
DAFTAR GAMBAR
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Daftar Gambar
xiv
Halaman ini sengaja dikosongkan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xv
Tw I Tw II Tw III Tw IV
Indeks Harga Konsumen*) :
- Kota Pekanbaru 111.13 111.89 114.51 119.56
- Kota Dumai 111.27 112.62 115.02 119.60
- Kota Tembilahan 116.05 117.61 120.11 124.06
Laju Inflasi Tahunan (yoy, %) :
- Kota Pekanbaru 7.38 6.17 5.50 8.53
- Kota Dumai 7.26 6.78 5.88 8.53
- Kota Tembilahan 12.59 10.64 8.91 10.06
Pertumbuhan PDRB (yoy %, dengan migas) 3.93 2.90 2.67 1.05
Nilai Ekspor Non Migas (Juta USD) 2,988.85 2,833.27 3,075.96 3,162.66
Volume Ekspor Non Migas (ribu Ton) 4,442.86 4,119.36 4,548.42 5,196.40
Nilai Impor Non Migas (Juta USD) 407.21 351.21 380.77 299.12
Volume Impor Non Migas (ribu Ton) 542.25 585.34 602.44 686.66
INDIKATOR
(dalam Rp juta) Tw I Tw II Tw III Tw IV
Bank Umum
Total Aset 73,201,701 82,036,875 86,572,336 85,652,213
DPK 54,466,287 60,795,211 63,383,834 64,143,197
- Giro 12,556,764 16,863,613 14,828,129 13,723,591
- Tabungan 27,363,917 26,936,859 27,586,835 29,478,220
- Deposito 14,545,606 16,994,736 20,968,870 20,941,386
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 67,020,254 72,391,925 71,441,476 74,731,969
LDR - Lokasi Proyek (%) 123.05 119.08 112.71 116.51
Kredit 48,487,679 50,668,252 50,978,867 52,283,437
- Modal Kerja 14,871,302 15,620,041 15,971,702 16,318,273
- Investasi 15,482,142 16,292,777 16,080,635 16,621,249
- Konsumsi 18,134,236 18,755,434 18,926,530 19,343,915
- LDR (%) 89.02 83.34 80.43 81.51
- NPL (%) 3.32 3.54 3.57 3.46
Kredit UMKM 18,094,921 19,753,458 19,687,770 20,032,690
- Mikro 4,424,699 5,210,241 4,940,401 5,402,536
- Kecil 7,030,433 7,279,402 7,669,811 7,531,647
- Menengah 6,639,789 7,263,815 7,077,558 7,098,507
NPL MKM (%) 5.12 5.82 5.99 5.49
BPR
Total Aset 1,102,376 1,091,313 1,106,417 1,160,162
DPK 748,775 744,336 770,216 809,748
- Tabungan (RpMiliar) 336,569 345,835 352,030 356,075
- Deposito (Rp ) 412,206 398,502 418,186 453,673
Kredit - berdasarkan lokasi proyek 762,700 782,561 815,127 836,111
Rasio NPL 15.47 15.78 15.56 13.75
LDR 101.86 105.14 105.83 103.26
B. PERBANKAN
2014
2014
A. INFLASI DAN PDRB
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Tabel Indikator
xvi
C. SISTEM PEMBAYARAN
I II III IV
247,524 2,250,641 2,610,379 3,154,898
1,884,781 1,135,202 2,330,869 721,361
2,132,305 3,385,843 4,941,248 3,876,259
Pemusnahan Uang (Jutaan lembar/keping) 380,769 317,520 196,336 249,464
Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 73,538 97,703 90,461 104,120
Volume Transaksi RTGS (lembar) 47,244 48,670 48,509 52,078
Rata-rata Harian Nominal Transaksi RTGS (Rp miliar) 1,226 1,656 1,413 1,578
Rata-rata Harian Volume Transaksi RTGS (lembar) 787 825 758 789
Nominal Tolakan Cek/BG Kosong 199,841 251,359 189,004 182,239
Volume Tolakan Cek/BG Kosong 5,522 6,931 5,737 5,415
Rata-rata Harian Nominal Cek/BG Kosong 3,331 4,260 3,150 2,988
Rata-rata Harian Cek/BG Kosong 60 59 60 61
2014
Inflow
Outflow
Posisi Kas Gabungan
INDIKATOR
TABEL INDIKATOR EKONOMI TERPILIH
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
1
I. GAMBARAN UMUM
Kinerja ekonomi Riau pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2014 mencapai
2,62% (yoy), meningkat dibandingkan tahun 2013 yang tercatat sebesar 2,49%
(yoy). Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau secara triwulanan pada
triwulan IV 2014 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan III 2014, yaitu dari
2,67% (yoy) menjadi 1,05% (yoy).
RINGKASAN EKSEKUTIF
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
2
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 juga didorong oleh
pertumbuhan sektor pertanian. Sementara pertumbuhan sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor konstruksi mengalami
perlambatan. Di sisi lain, kinerja sektor pertambangan mengalami kontraksi
yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya.
Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi utamanya disebabkan oleh masih
kuatnya perekonomian domestik yang tercermin dari meningkatnya
pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sementara pertumbuhan investasi
masih tercatat positif meskipun cenderung mengalami perlambatan. Dari sisi
eksternal, membaiknya kinerja ekspor dan menurunnya impor memberikan
kontribusi yang positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi
Riau.
II. ASSESMEN MAKROEKONOMI REGIONAL
Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 dari sisi
penggunaan ditopang oleh pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang
tercatat meningkat dibandingkan triwulan III 2014, yakni dari 7,11% (yoy)
menjadi 8,59% (yoy). Berbeda dengan konsumsi rumah tangga,
perkembangan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah
Tangga (LNPRT) mengalami perlambatan, sementara perkembangan
konsumsi pemerintah masih mengalami kontraksi sebesar 3,25% (yoy). Dari
sisi eksternal, perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan
IV 2014 mengalami penurunan yaitu dari kontraksi sebesar 5,65% (yoy)
pada triwulan III 2014 menjadi kontraksi sebesar 37,93% (yoy). Hal serupa
juga terjadi pada perkembangan impor yang tercatat mengalami kontraksi
sebesar 37,94% (yoy) dari tumbuh sebesar 0,99% (yoy) pada triwulan
sebelumnya.
Dari sisi sektoral, kondisi perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
secara sektoral menunjukkan perkembangan yang kurang
menggembirakan. Hal ini tercermin dari penurunan kinerja sektor utama
dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan dan penggalian
mengalami kontraksi yang lebih dalam pada triwulan laporan, sementara
itu perlambatan terjadi pada sektor industri pengolahan, dan sektor
Pertumbuhan ekonomi Riau di triwulan VI 2014 kembali mengalami perlambatan.
Motor penggerak ekonomi Riau pada triwulan IV 2014 masih berasal dari konsumsi.
Secara sektoral, perlambatan ekonomi utamanya disumbang oleh sektor
pertambangan.
Penurunan pertumbuhan ekonomi didorong oleh melambatnya sektor industri pengolahan dan kontraksi yang lebih dalam pada sektor pertambangan.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
3
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, dan
sektor konstruksi. Sementara. Meningkatnya kinerja sektor pertanian
menahan laju perlambatan pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan
laporan.
III. ASSESMEN INFLASI
Inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy) tercatat sebesar 8,65%, meningkat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,81%. Kondisi
ini sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan
peningkatan dari 4,53% pada triwulan III 2014 menjadi 8,36% pada
triwulan IV 2014. Namun demikian, bila dibandingkan dengan rata-rata
historisnya sejak 2009-2013, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih
tercatat lebih rendah. Dengan perkembangan tersebut, inflasi Riau pada
triwulan IV 2014 masih berada di luar sasaran inflasi nasional tahun 2014
yang ditetapkan sebesar 4,5% ± 1%. Secara tahunan, peningkatan inflasi
Riau disebabkan oleh tekanan dari kelompok administered price. Faktor
yang menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok administered price,
antara lain kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi pada November
2014. Kenaikan tarif dasar listrik (TTL) yang terjadi pada November 2014
dan penyesuaian harga LPG pada September 2014 lalu juga memberi
tekanan terhadap inflasi kelompok administered price.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi masih
terjadi di Kota Tembilahan yaitu mencapai 10,06% (yoy), diikuti oleh Kota
Dumai dan Kota Pekanbaru masing-masing-masing berada pada level yang
sama yaitu 8,53% (yoy). Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut
menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Sumber peningkatan inflasi Riau pada triwulan IV 2014 berdasarkan
kelompok barang dan jasa yang disurvei, berasal dari peningkatan inflasi
kelompok bahan makanan, kelompok transportasi, dan kelompok
makanan jadi
Faktor utama penyebab meningkatnya inflasi Riau pada triwulan IV 2014 didominasi oleh kenaikan BBM
bersubsidi.
Kota Pekanbaru tercatat mengalami inflasi sebesar 8,53% (yoy), Kota Dumai sebesar 8,53% (yoy), dan Kota Tembilahan sebesar 10,06% (yoy).
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
4
IV. ASSESMEN KEUANGAN
Perbankan
Kinerja perbankan Riau pada triwulan laporan relatif lebih baik bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari
pertumbuhan aset perbankan Riau yang mencapai Rp86,81 triliun atau
meningkat dari 7,27% (yoy) menjadi 11,43% (yoy). Sejalan dengan
pertumbuhan aset, kredit perbankan Riau juga tumbuh membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,22% (yoy) menjadi 7,31%
(yoy), atau secara nominal mencapai Rp53,12 triliun. Dana Pihak Ketiga
(DPK) bank umum di provinsi Riau pada triwulan IV tercatat tumbuh
sebesar 15,52% (yoy) menjadi Rp64,14 triliun, meningkat jika
dibandingkan triwulan III yang tumbuh sebesar 11,44 % (yoy).
Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum di Provinsi Riau pada triwulan
laporan tercatat mengalami peningkatan dari 80,43% pada triwulan III
2014 menjadi 81,78%. NPLs kredit bank umum pada periode pelaporan
menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari
3,57% menjadi 3,23%.
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,03 triliun pada
triwulan IV 2014, jumlah ini tumbuh meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 13,51% (yoy) menjadi 13,73%(yoy). Porsi kredit
yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank umum di Provinsi
Riau tercatat stabil dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu sebesar
38,32%. NPL tertinggi pada Kredit UMKM berada pada sektor konstruksi
yaitu sebesar 8,53% yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan
restoran sebesar 6,46% dan sektor jasa-jasa sebesar 5,69%.
Kinerja perbankan syariah pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau
menunjukkan penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan
aset dan dana masih menunjukkan arah negatif dibandingkan periode yang
sama pada tahun lalu, namun pembiayaan masih tercatat tumbuh positif
serta meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pada triwulan IV 2014
aset perbankan syariah terkontraksi sebesar 4,34% (yoy) sehingga menjadi
Penyaluran kredit kepada UMKM tumbuh meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya
Kegiatan usaha perbankan Riau cenderung membaik tercermin dari peningkatan pertumbuhan aset, DPK dan kredit
Intermediasi perbankan mengalami peningkatan disertai dengan meningkatnya kualitas kredit
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
5
Rp 4,89 triliun. Share asset bank umum syariah terhadap aset perbankan
secara keseluruhan pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau adalah sebesar
5,63%, turun jika dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang
mencapai 5,85%. Jumlah bank syariah maupun kantor cabang bank syariah
di Provinsi Riau tidak berubah dibandingkan dengan periode yang lalu,
tercatat beroperasi 13 bank syariah di lingkup wilayah Provinsi Riau yaitu11
bank umum dan 2 BPR.
Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat tumbuh meningkat dari 4,00%
(yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 7,84% (yoy). Peningkatan
pertumbuhan aset didorong oleh adanya peningkatan pada pertumbuhan
dana yang dihimpun yaitu dari 9,66% (yoy) menjadi 12,26% (yoy). DPK yang
dihimpun BPR/S pada triwulan IV 2014 mencapai Rp809,75 miliar. Jumlah
kredit yang disalurkan mencapai Rp836,11 miliar atau tumbuh 11,35%
(yoy), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
7,68% (yoy).
Keuangan Daerah
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga
akhir tahun 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Realisasi anggaran pendapatan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
mencapai 106,39% atau sebesar Rp7,87 triliun. Sementara, realisasi
anggaran belanjanya tercatat lebih rendah yaitu sebesar Rp5,54 triliun atau
sekitar 62,59% dari total anggaran yang dialokasikan.
V. PROSPEK
Perekonomian Daerah
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2015 secara umum
diperkirakan relatif meningkat dibandingkan triwulan IV 2014.
Pertumbuhan ekonomi Riau secara tahunan diperkirakan berada pada
kisaran 1,5-2,1% (yoy). Sumber pertumbuhan dari sisi penggunaan
diperkirakan masih berasal dari konsumsi domestik, sementara perbaikan
Realisasi alokasi APBD daerah hingga triwulan IV 2014 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
6
kinerja sektor utama diperkirakan akan mendorong pertumbuhan
perekonomian Riau pada triwulan I 2015.
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan
masih ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah
tangga, meskipun diperkirakan tumbuh melambat. Kondisi ini sejalan
dengan perkembangan indeks perkiraan pengeluaran dibandingkan 3
bulan yang akan datang cenderung melambat berdasarkan survei
konsumen Bank Indonesia. Konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan
mengalami kontraksi, terkait dengan realisasi anggaran yang masih minim
di awal tahun, sementara investasi diperkirakan relatif stabil dibandingkan
triwulan sebelumnya. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diperkirakan belum
membaik sejalan dengan penurunan harga komoditas global yang
didorong oleh penurunan harga minyak dunia dan masih terbatasnya
perbaikan perekonomian global.
Sementara itu, kinerja sektor pertanian diperkirakan akan mengalami
perlambatan pada triwulan I 2015 terkait dengan tingkat curah hujan yang
mulai menurun pada bulan Februari-Maret 2015. Di sisi lain,
perkembangan sektor industri pengolahan diperkirakan akan relatif
meningkat sehubungan dengan meningkatnya pasokan bahan baku yang
tercermin dari peningkatan kinerja sektor pertanian pada triwulan IV 2014.
Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa
pertumbuhan ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside
risks). Kondisi ini utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak
produktif yang diperkirakan berpotensi mengakibatkan pertumbuhan
sektor pertambangan migas masih mengalami kontraksi. Di sisi lain, salah
satu faktor yang berpotensi membawa pertumbuhan menyentuh batas atas
(upside risks) adalah potensi pemulihan ekonomi negara mitra dagang
utama Riau dan negara berkembang (emerging market) di kawasan Asia
serta peningkatan harga komoditas internasional yang diperkirakan akan
memberikan spill over positif bagi kinerja ekspor utama Riau.
Prospek perekonomian Riau pada triwulan I 2015 diperkirakan relatif meningkat yakni berada pada kisaran 1,5%-2,1% (yoy).
GE KAJIAN EKONOMI REGIONAL
Ringkasan Eksekutif
7
Inflasi
Inflasi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung
menurun, yaitu berada pada kisaran 6,5-7,5% (yoy). Sedangkan secara
triwulanan, inflasi diperkirakan berkisar (0,50)-0,05% (qtq). Inflasi Riau
pada triwulan I 2015 diperkirakan masih akan berasal dari inflasi
administered price dan inflasi volatile food. Inflasi kelompok administered
price utamanya diperkirakan akibat belum meredanya dampak penyesuaian
harga BBM bersubsidi, terutama pada tarif angkutan. Meskipun demikian,
adanya penurunan harga solar sebesar Rp200 yang mulai diberlakukan
sejak pertengahan Februari 2015 diperkirakan akan menahan laju
peningkatan inflasi pada kelompok ini. Peningkatan inflasi volatile food
diperkirakan bersumber dari rencana kenaikan harga beras di daerah Jawa
sebesar 30% pada akhir Februari. Selain itu, adanya rencana kenaikan HPP
(harga pokok produksi) beras diperkirakan juga akan berkontribusi
terhadap peningkatan inflasi Riau.
Namun terdapat,beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa
inflasi melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain, (i) nilai
tukar rupiah yang kembali terdepresiasi mengingat perbaikan kondisi
perekonomian global yang masih terbatas sehingga akan mendorong
peningkatan inflasi pada barang-barang impor, dan (iii) rencana pemerintah
menaikkan tarif dasar listrik.
Proyeksi inflasi pada triwulan I-20145 diperkirakan mencapai 6,5%-
7,5% (yoy)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
8
1. KONDISI UMUM
Kinerja ekonomi Riau pada tahun 2014 mengalami peningkatan dibandingkan
tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2014 mencapai
2,62% (yoy)1, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang tercatat sebesar 2,49%
(yoy). Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau secara triwulanan pada
triwulan IV 2014 mengalami perlambatan dibandingkan triwulan III 2014, yaitu dari
2,67% (yoy) menjadi 1,05% (yoy).
1 Angka pertumbuhan berdasarkan ADHK 2010. Penjelasan terkait perubahan tahun dasar perhitungan PDRB terdapat pada box 1 buku kajian ini.
Bab 1 KONDISI EKONOMI
MAKRO REGIONAL
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
9
Grafik 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau dan Nasional Secara Tahunan (yoy,%)
Sumber: BPS
Peningkatan ekonomi Riau pada tahun 2014 utamanya disebabkan oleh
meningkatnya kinerja sektor pertanian dan sektor konstruksi. Sementara sektor
industri pengolahan tercatat mengalami perlambatan dibandingkan tahun
sebelumnya. Di sisi lain, sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih
dalam pada tahun 2014. Perkembangan perekonomian Provinsi Riau pada triwulan
IV 2014 tidak jauh berbeda dengan perkembangan total tahun 2014. Pertumbuhan
ekonomi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 juga didorong oleh pertumbuhan
sektor pertanian. Sementara pertumbuhan sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, dan sektor konstruksi mengalami perlambatan. Di sisi lain, kinerja
sektor pertambangan mengalami kontraksi yang lebih dalam dibandingkan
triwulan sebelumnya.
Dari sisi penggunaan, peningkatan ekonomi utamanya disebabkan oleh masih
kuatnya perekonomian domestik yang tercermin dari meningkatnya pertumbuhan
konsumsi rumah tangga. Tingkat inflasi yang relatif menurun hingga awal triwulan
IV 2014 diperkirakan mendorong perbaikan daya beli masyarakat Provinsi Riau.
Sementara pertumbuhan investasi masih tercatat positif meskipun cenderung
mengalami perlambatan. Kondisi ini disebabkan oleh perilaku investor yang bersifat
wait and see untuk melakukan investasi di tahun politik ini. Dari sisi eksternal,
membaiknya kinerja ekspor dan menurunnya impor memberikan kontribusi yang
positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
2. PDRB SISI PENGGUNAAN
Pertumbuhan ekonomi Riau tahun 2014 dan triwulan IV 2014 dari sisi penggunaan
utamanya didorong oleh konsumsi rumah tangga. Meningkatnya pertumbuhan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
10
konsumsi disebabkan karena masih kuatnya optimisme konsumen. Kondisi ini
sejalan dengan tingkat inflasi yang cenderung menurun sejak awal tahun 2014,
sehingga mampu mendorong daya beli masyarakat. Selain itu, membaiknya ekspor
juga menjadi faktor yang menahan laju penurunan pertumbuhan ekonomi Riau
pada tahun 2014.
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Penggunaan (yoy)
Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Tahun 2014 Sisi Penggunaan (yoy)
2.1. Konsumsi
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tercatat
meningkat dibandingkan triwulan III 2014, yakni dari 7,11% (yoy) menjadi 8,59%
(yoy). Meningkatnya konsumsi rumah tangga didorong oleh tingkat keyakinan
konsumen yang masih bergerak di level optimis, meskipun cenderung mengalami
penurunan pada akhir tahun yang disebabkan oleh faktor kenaikan harga BBM
Kategori 2010 2011 2012 2013 2014*Sumber
Pertumbuhan (%)
Konsumsi RT 4,58 7,54 6,74 6,76 7,23 2,04
Konsumsi LNPRT (1,12) 5,96 6,29 8,09 15,53 0,06
Konsumsi Pemerintah 0,11 4,99 0,79 8,75 (3,58) (0,13)
PMTB 4,52 15,93 9,65 5,40 1,62 0,39
Perubahan Inventori (4,67) 97,42 (16,94) (6,98) (3,99) (0,17)
Ekspor Luar Negeri (33,00) 7,80 38,21 (10,46) 2,92 1,16
Impor Luar Negeri 22,74 43,66 13,61 (6,30) (13,01) (0,61)
PDRB 4,94 5,57 3,76 2,49 2,62 2,62
Sumber: BPS, diolah
Ket: *) Data sangat sementara
Kategori Tw I 2014* Tw II 2014* Tw III 2014* Tw IV 2014*
Konsumsi RT 6,46 6,72 7,11 8,59
Konsumsi LNPRT 19,81 20,10 12,88 10,22
Konsumsi Pemerintah (1,68) (3,24) (5,91) (3,25)
PMTB 2,57 2,36 1,09 0,52
Perubahan Inventori 23,13 (13,56) 36,89 3,83
Ekspor Luar Negeri 45,11 41,89 (5,65) (37,93)
Impor Luar Negeri 3,60 (10,22) 0,99 (37,94)
PDRB 3,93 2,90 2,67 1,05
Sumber: BPS, diolah
Ket: *) Data sangat sementara
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
11
bersubsidi. Kondisi ini diperkirakan juga didorong oleh meningkatnya tingkat
konsumsi masyarakat karena faktor libur akhir tahun dan libur sekolah serta
perayaan natal dan tahun baru.
Selain itu, masih kuatnya pertumbuhan konsumsi juga tercermin dari kegiatan
konsumsi yang dibiayai melalui kredit perbankan, khususnya untuk kredit
multiguna, dan kredit durable goods. Peningkatan pada kredit multiguna dan
durable goods diperkirakan sebagai dampak dari faktor musim liburan menyambut
akhir tahun. Namun demikian, kontraksi pertumbuhan penyaluran kredit
perumahan dan kredit kendaraan bermotor menjadi faktor yang menahan laju
pertumbuhan konsumsi, khususnya konsumsi rumah tangga. Penurunan ini
diperkirakan merupakan dampak dari kebijakan Loan to Value (LTV) dan kenaikan
suku bunga perbankan.
Secara tahunan, perkembangan konsumsi rumah tangga Provinsi Riau juga tercatat
mengalami peningkatan. Peningkatan kinerja konsumsi rumah tangga diperkirakan
merupakan dampak dari tingkat inflasi yang cenderung turun hingga awal triwulan
IV 2014. Kondisi ini tentunya mempengaruhi daya beli masyarakat. Meskipun
Grafik 1.2. Perkembangan Kredit Durable
Goods
Grafik 1.3. Perkembangan Kredit Multiguna
Grafik 1.4. Perkembangan Kredit Perumahan
Grafik 1.5. Perkembangan Kredit
Kendaraan Bermotor
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
12
demikian, penurunan harga komoditas ekspor utama Riau sejak pertengahan tahun
2014 diperkirakan menjadi penghambat laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
untuk tumbuh lebih tinggi lagi.
Berbeda dengan konsumsi rumah tangga, perkembangan konsumsi Lembaga Non
Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) mengalami perlambatan. Sementara
itu, perkembangan konsumsi pemerintah masih mengalami kontraksi sebesar
3,25% (yoy). Kondisi ini diperkirakan akibat realisasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD)2 yang mengalami penundaan di awal tahun dan terdapat
perubahan nomenklatur pemerintahan sehingga total realisasi pada akhir tahun
mengalami penurunan yang siginifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini
tercermin dari masih rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah pada akhir
tahun 2014.
2.2. Investasi (PMTB)
Secara tahunan, perkembangan investasi di Provinsi Riau pada tahun 2014
melambat dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 5,40% (yoy) menjadi 1,62% (yoy).
Perlambatan ini diduga akibat perilaku investor yang cenderung menunda investasi
atau wait and see akibat penurunan harga komoditas global, terutama komoditas
ekspor utama Riau. Selain itu, terlaksananya pemilu presiden dan wakil presiden
pada tahun 2014 diperkirakan juga mempengaruhi perilaku investor dalam
melakukan investasi.
2 Penjelasan terkait APBD dapat dilihat pada BAB 4 buku kajian ini
Grafik 1.6. Pergerakan Indeks Keyakinan
Konsumen Riau 2011-2014
Sumber : Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 1.7. Realisasi Belanja Pemerintah
Daerah 2011-2014 Provinsi Riau
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
86,2
76,63
84,17
62,59
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2011 2012 2013 2014
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
13
Perkembangan investasi (PMTB) di Riau pada triwulan IV 2014 juga masih
mengalami perlambatan dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 1,09% (yoy)
menjadi 0,52% (yoy). Kondisi ini diperkirakan karena masih terbatasnya perbaikan
perekonomian global dan rendahnya harga komoditas global sehingga investasi
pelaku usaha relatif terbatas. Perlambatan investasi di sektor migas diduga juga
menjadi pemicu perlambatan ivestasi secara total. Melambatnya investasi di sektor
migas diperkirakan karena sektor ini menjadi semakin kurang prospektif terkait
minimnya penemuan sumur minyak baru yang produktif. Berdasarkan liaison3 Bank
Indonesia sebagian besar pelaku usaha hanya melakukan investasi rutin untuk
maintenance dalam rangka menjaga kualitas produksi. Namun demikian,
pertumbuhan PMA dan PMDN di Provinsi Riau cenderung mengalami peningkatan.
2.3. Ekspor dan Impor
2.3.1. Ekspor
Perkembangan ekspor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mengalami
penurunan yaitu dari kontraksi sebesar 5,65% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi
kontraksi sebesar 37,93% (yoy). Meskipun demikian, perkembangan ekspor luar
negeri Riau masih mengalami peningkatan di tahun 2014 dibandingkan tahun
2013 yang lalu. Perlambatan ekspor Riau pada triwulan laporan diperkirakan
berasal dari perlambatan ekspor migas dan ekspor non migas. Kinerja ekspor migas
Riau diperkirakan juga mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kinerja
sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan laporan. Perlambatan
pertumbuhan ekspor luar negeri non migas Riau pada triwulan laporan
3Survei liaison Bank Indonesia kepada beberapa pelaku usaha di sektor utama Riau
Grafik 1.8. Perkembangan Nilai Realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Riau
Grafik 1.9. Perkembangan Jumlah proyek PMA dan PMDN di Provinsi Riau
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
-100
-50
0
50
100
150
200
250
300
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
yo
y,%
Rp
Tri
liu
n
Nilai PMA Nilai PMDN Nilai (kiri) g. Nilai (RHS)
-20
0
20
40
60
80
100
120
-
20
40
60
80
100
120
140
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
yoy,
%
PMDN PMA Proyek g. Proyek (RHS)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
14
diperkirakan akibat masih belum pulihnya permintaan negara tujuan ekspor utama
Provinsi Riau, seperti Tiongkok dan Jepang.
Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor non migas Riau pada triwulan
laporan didorong oleh penurunan ekspor batubara, karet, pulp dan kertas.
Penurunan ekspor batubara disebabkan oleh pelaku usaha belum mendapatkan
izin ekspor. Pada triwulan IV 2014, Provinsi Riau tidak mencatatkan ekspor
batubara. Berdasarkan informasi contact liaison, penurunan kinerja ekspor
batubara diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015.
Sementara itu, penurunan ekspor karet disebabkan oleh masih berlanjutnya
penurunan harga karet internasional. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan harga
minyak dunia yang mempengaruhi harga karet olahan (karet sintetis), dalam hal ini
merupakan komoditas substitusi dari karet olahan Riau. Selain itu, kondisi
permintaan dari negara tujuan ekspor utama juga belum mengalami perbaikan,
dalam hal ini yaitu Tiongkok. Hal ini juga tercermin dari pelemahan indeks produksi
Tiongkok pada November 2014. Munculnya eksportir karet baru dari beberapa
negara Indochina seperti Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar serta kondisi
perkebunan karet Riau yang rata-rata telah memasuki usia tua juga mempengaruhi
pernurunan kinerja ekspor karet lokal.
Tabel 1.3. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau (Ribu Ton)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
15
Grafik 1.10. Perkembangan Penjualan Ritel, Indeks Produksi, FAI-Sk Kanan Tiongkok
Sumber: RED Bank Indonesia, Januari 2015
Perkembangan ekspor pulp dan kertas pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami
penurunan, meskipun cenderung mengalami perbaikan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Berdasarkan informasi dari contact liaison, penurunan ekspor pulp dan
kertas pada triwulan laporan disebabkan oleh penurunan produksi akibat
terbatasnya bahan baku produksi. Selain itu, kondisi supply pulp dunia cenderung
mengalami peningkatan, sehingga juga berpengaruh terhadap permintaan ekspor
pulp lokal.
Di sisi lain, kinerja ekspor komoditas unggulan Riau yaitu CPO dan turunannya
mengalami peningkatan pada triwulan IV 2014. Kondisi ini utamanya dipengaruhi
oleh peningkatan ekspor CPO. Penurunan harga komoditas diperkirakan tidak
berpengaruh terhadap kinerja ekspor CPO Riau.
Grafik 1.11. Perkembangan Volume Ekspor CPO dan Turunan Riau
Grafik 1.12. Perkembangan Volume Ekspor Pulp and Paper Riau
Penjualan Ritel
Indeks Produksi
Fixed Asset Investment (FAI) Sk. Kanan
(100,0)
(50,0)
-
50,0
100,0
150,0
200,0
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
I IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIV
200620072008200920102011201220132014
%rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(100,0)
(50,0)
-
50,0
100,0
150,0
200,0
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
800,0
900,0
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
%
rib
u t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
16
Grafik 1.13. Perkembangan Volume Ekspor Batubara Riau
Grafik 1.14. Perkembangan Volume Ekspor Karet Olahan Riau
Dilihat dari negara tujuan ekspornya, volume ekspor non migas Riau secara umum
mengalami perlambatan. Kondisi ini utamanya didorong oleh penurunan volume
ekspor ke Tiongkok dan ASEAN. Pada triwulan IV 2014, volume ekspor ke
Tiongkok, dan ASEAN masing-masing tercatat sebesar 942 ribu ton dan 518 ribu
ton, atau tercatat mengalami kontraksi sebesar 8,02% (yoy) dan 43,73% (yoy).
Sementara ekspor ke MEE dan India masih mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan sebelumnya.
Grafik 1.15. Perkembangan Nilai Ekspor
Migas dan Non Migas Provinsi Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau
Grafik 1.16. Perkembangan Volume Ekspor Non Migas Riau Menurut Wilayah Tujuan
Sumber : Cognos Bank Indonesia, diolah
2.3.2. Impor
Perkembangan impor Riau pada triwulan IV 2014 menunjukkan penurunan yang
siginifikan yakni dari tumbuh 0,99% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi kontraksi
sebesar 37,94% (yoy). Secara tahunan, total impor Riau pada tahun 2014 juga
tercatat mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013, yaitu dari kontraksi dari
sebesar 6,30% (yoy) menjadi kontraksi sebesar 13,01% (yoy). Sumber penurunan
(200,0)
(100,0)
-
100,0
200,0
300,0
400,0
500,0
600,0
700,0
-
200,0
400,0
600,0
800,0
1.000,0
1.200,0
1.400,0
1.600,0
I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV I II IIIIV
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
%
ribu t
on
Vol (kiri) yoy (kanan)
(500,0)
-
500,0
1.000,0
1.500,0
2.000,0
2.500,0
-1,0 2,0 3,0 4,0 5,0 6,0 7,0 8,0 9,0
10,0
I IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIVI IIIIIIV
200620072008200920102011201220132014
%
rib
u to
n
Vol (kiri) yoy (kanan)
500.000,00
600.000,00
700.000,00
800.000,00
900.000,00
1.000.000,00
1.100.000,00
1.200.000,00
1.300.000,00
1.400.000,00
1.500.000,00
400.000,00
600.000,00
800.000,00
1.000.000,00
1.200.000,00
1.400.000,00
1.600.000,00
1.800.000,00
2.000.000,00
1 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2012 2013 2014
Rib
u U
SD
Rib
u U
SD
Total Ekspor (LHS) Ekspor Non Migas (LHS)
Ekspor Migas (RHS)
786 762 1.078 1.034
678 759 766 1.024 967 780 869 942
511 481
787 675 835 818 635
920 598
538 651
990 783 733
842 922
851 662 814
920
691 651
547
518 734
563
600 901
644 585 658
609
573
432 589
759
1.343
1.257
1.433 1.457
1.830 1.657 1.558
1.667
1.525
1.710
2.610 1.988
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Lainnya
MEE
ASEAN
India
Cina
1.667
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
17
impor luar negeri Provinsi Riau pada triwulan laporan diperkirakan merupakan
penurunan impor migas. Sementara kinerja impor non migas Riau pada triwulan
laporan mengalami perlambatan, yang didorong oleh perlambatan komponen
impor barang intermedier.
Grafik 1.17. Perkembangan Nilai Impor Migas Provinsi Riau
Sumber: BPS
Pada triwulan IV 2014, impor barang intermedier Riau tercatat tumbuh sebesar
2,36% (yoy), melambat dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat tumbuh
sebesar 49,29% (yoy). Komposisi impor barang intermedier sebagian besar
didominasi untuk pasokan industri seperti bahan makanan setengah jadi, dan
bahan baku industri. Di sisi lain, pertumbuhan impor barang konsumsi dan barang
modal pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Meskipun pangsa kedua komponen impor tersebut tidak begitu besar,
namun peningkatan impor kedua komponen tersebut diperkirakan menjadi
penahan laju perlambatan pertumbuhan impor non migas pada triwulan laporan.
Grafik 1.18. Perkembangan Volume Impor Barang Modal di Provinsi Riau
Grafik 1.19. Perkembangan Impor Barang Konsumsi
(200)
(100)
-
100
200
300
400
500
600
700
800
-
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014
rib
u T
on
Barang Modal(lhs) yoy (rhs)
(100)
(50)
-
50
100
150
200
250
300
350
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014
rib
u T
on
Barang Konsumsi (lhs) yoy (rhs)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
18
Grafik 1.20. Perkembangan Volume Impor Barang Intermedier
Grafik 1.21. Kontribusi Volume Komponen Impor Triwulan IV 2014
3. PDRB SEKTORAL
Kondisi perekonomian Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 secara sektoral
menunjukkan perkembangan yang kurang menggembirakan. Hal ini tercermin dari
pertumbuhan sektor utama yang tercatat melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Perlambatan terjadi pada sektor industri pengolahan, dan sektor
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, dan sektor
konstruksi. Sementara sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi
yang lebih dalam pada triwulan laporan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Meningkatnya kinerja sektor pertanian menahan laju perlambatan pertumbuhan
ekonomi Riau pada triwulan laporan.
Tabel 1.4. Pertumbuhan Ekonomi Riau Sisi Sektoral Dengan Migas (yoy,%)
(100)
(50)
-
50
100
150
-
100
200
300
400
500
600
700
800
900
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014
rib
u T
on
Barang intermedier (lhs) yoy (rhs)
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
19
Tabel 1.5. Pertumbuhan Ekonomi Riau Triwulanan Sisi Sektoral (yoy,%)
3.1. Sektor Pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian Riau pada triwulan laporan mengalami peningkatan
yaitu dari 4,5% (yoy) menjadi 5,3% (yoy). Peningkatan sektor ini juga terjadi secara
tahunan, yaitu sebesar 4,40% (yoy) pada tahun 2013 menjadi 6,34% (yoy) pada
tahun 2014. Peningkatan bersumber dari meningkatnya produksi sub sektor
tanaman perkebunan yang berasal dari panen tanaman kelapa sawit yang
berlangsung selama triwulan laporan. Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan hasil
tanaman perkebunan tercatat sebesar 8,48% (yoy) atau meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,63% (yoy). Kondisi ini diperkirakan
karena faktor curah hujan yang cukup dan mendukung produktivitas pada triwulan
laporan. Selain itu, survei kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank
Indonesia mengkonfirmasi indikasi peningkatan pada sektor pertanian, perkebunan
dan peternakan yaitu dari 0,81% pada triwulan sebelumnya menjadi 1,63% pada
triwulan laporan.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
20
Grafik 1.22. Perkembangan Usaha Sektor Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan
Grafik 1.23. Pertumbuhan Subsektor dalam Sektor Pertanian
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Sumber : BPS Riau, data sementara
3.2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
Kinerja sektor pertambangan Riau selama tahun 2014 tercatat mengalami kontraksi
sebesar 5,47% (yoy), menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat
mengalami kontraksi sebesar 4,44% (yoy). Sementara, kontraksi sektor
pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 6,4% (yoy),
juga menurun dibandingkan triwulan III 2014 yang tercatat mengalami kontraksi
sebesar 5,4% (yoy). Kontraksi pada sektor pertambangan utamanya didorong oleh
kontraksi pada subsektor migas. Kondisi ini disebabkan karena kinerja lifting
minyak bumi di Riau yang semakin menurun akibat penurunan produktivitas sumur
minyak yang sudah tua dan minimnya penemuan sumur baru yang produktif di
Provinsi Riau.
Selain itu, kontraksi pada sektor pertambangan di triwulan laporan juga
dipengaruhi oleh kinerja pertambangan batubara di Provinsi Riau yang cenderung
menurun akibat terkendalanya izin usaha. Pada triwulan IV 2014 tidak terdapat
ekspor batubara dari Provinsi Riau. Penurunan kinerja batubara diperkirakan masih
akan berlangsung hingga triwulan I 2015. Penurunan kinerja sektor pertambangan
dan penggalian juga dikonfirmasi oleh perkembangan penyaluran kredit kepada
sektor ini yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 10,48% (yoy) pada triwulan
laporan. Penurunan penyaluran kredit berdasarkan lokasi proyek ke sektor
pertambangan dan penggalian telah terjadi sejak akhir tahun 2013. Hal ini
mengindikasikan bahwa perkembangan sektor ini semakin tidak prospektif bagi
investor dan pelaku usaha.
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2010 2011 2012 2013 2014
%
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
21
Grafik 1.24. Perkembangan Volume Lifting Minyak Bumi di Provinsi Riau
Sumber : http://lifting.migas.esdm.go.id
Grafik 1.25. Perkembangan Kredit Sektor Pertambangan Berdasarkan Lokasi Proyek
di Provinsi Riau
3.3. Sektor Industri Pengolahan
Pertumbuhan sektor industri pengolahan dengan migas pada triwulan IV 2014
tercatat melambat signifikan dibandingkan triwulan III 2014 yaitu dari 6,8% (yoy)
menjadi 2,4% (yoy). Sementara pertumbuhan sektor industri pengolahan pada
tahun 2014 juga melambat dibandingkan tahun 2013, yaitu dari 6,95% (yoy)
menjadi 5,63% (yoy). Penurunan diperkirakan terjadi pada industri pengolahan
migas, sementara industri pengolahan non migas diperkirakan melambat.
Penurunan pada industri pengolahan migas disebabkan oleh lifting minyak bumi
yang semakin menurun. Di sisi lain, perlambatan industri pengolahan non migas
diperkirakan karena penurunan harga komoditas global seperti CPO dan karet serta
kondisi permintaan negara tujuan ekspor yang belum membaik sehingga pelaku
usaha masih menahan produksi. Sementara produk industri pengolahan lainnya
seperti pulp dan kertas juga mengalami perlambatan pada triwulan laporan karena
terkendala oleh ketersediaan bahan baku.
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
22
Melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan terkonfirmasi oleh
penurunan kapasitas terpakai sektor industri pengolahan hasil SKDU yang
dilakukan oleh Bank Indonesia. Meskipun demikian, perkembangan sektor industri
pengolahan ke depannya, terutama industri kelapa sawit diperkirakan akan
semakin prospektif seiring dengan semakin meningkatnya konsumsi CPO dunia
pada grafik 1.25. Sementara perkembangan produk turunan CPO diperkirakan juga
mengalami peningkatan, tercermin dari masih dominannya ekspor produk turunan
CPO hingga triwulan laporan.
Grafik 1.26. Perkembangan Konsumsi CPO Dunia
Sumber : Sumber: USDA
Grafik 1.27. Perkembangan Kapasitas Terpakai Indutri Pengolahan
Sumber : Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia
Grafik 1.28. Perkembangan Harga TBS Domestik dan CPO Global
Sumber : Bloomberg, Dinas Perkebunan Riau
Grafik 1.29. Perkembangan Ekspor CPO dan Turunan Provinsi Riau
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
2010 2011 2012 2013 2014Other Singapore Russia Iran
Colombia Egypt Bangladesh United States
Nigeria Thailand Pakistan Malaysia
Europa Union China India Indonesia
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.000
1.100
1.200
1.300
1.400
1.500
1.600
1.700
1.800
1.900
2.000
2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 91011121 2 3 4 5 6 7 8 9101112
2011 2012 2013 2014
US
D/M
T
Rp
/Kg
TBS Domestik (lh) CPO Dunia (rhs)
0
100
200
300
400
500
600
700
800
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2011 2012 2013 2014
Juta
To
n
Vol Turunan Vol CPO
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
23
3.4. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil
dan Sepeda Motor
Dalam perhitungan PDRB dengan tahun dasar 2010, sektor perdagangan, hotel,
dan restoran dibagi menjadi 2 (dua) sektor besar yaitu sektor perdagangan besar
dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor, serta sektor penyediaan
akomodasi dan makan minum. Kontribusi sektor perdagangan besar dan eceran
dan reparasi mobil dan sepeda motor cukup besar terhadap perekonomian Provinsi
Riau pada tahun 2014, yaitu mencapai 0,21%. Perkembangan sektor perdagangan
besar, eceran dan reparasi mobil dan sepeda motor pada triwulan laporan tercatat
melambat yaitu dari 1,4% (yoy) menjadi 0,2% (yoy). Perlambatan ini diperkirakan
karena tingginya inflasi di akhir tahun akibat kenaikan BBM bersubsidi.
Grafik.1.30. Perkembangan Kredit Perdagangan Besar dan Eceran Makanan, Minuman dan
Tembakau di Riau
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
Grafik.1.31. Perkembangan Kredit Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit
Ket: MK= Modal Kerja, I=Investasi
Grafik.1.32. Perkembangan Kredit Perdagangan Berdasarkan Lokasi Bank di Riau
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
24
Dilihat secara subsektor, perlambatan pertumbuhan sektor perdagangan juga
diindikasikan oleh menurunnya kinerja ekspor dan melambatnya pertumbuhan
penyaluran kredit berdasarkan lokasi bank di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014.
Perlambatan tersebut didorong oleh masih berlanjutnya kontraksi penyaluran kredit
pada subsektor perdagangan besar dan eceran makanan, minuman, dan
tembakau. Pada triwulan IV 2014, jumlah kredit yang disalurkan ke subsektor
perdagangan besar dan eceran makanan, minuman dan tembakau mencapai
Rp2,41 triliun atau turun sebesar 17,08% (yoy). Selain itu, penyaluran kredit ke
subsektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit juga mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan penyaluran kredit terhadap
sektor perdagangan kelapa dan kelapa sawit pada triwulan IV 2014 tercatat
sebesar 14,63% (yoy) atau melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang
tercatat tumbuh sebesar 15,35% (yoy).
3.5. Sektor Konstruksi
Secara umum kegiatan perkembangan sektor konstruksi dalam triwulan laporan
tercatat melambat dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan sektor
konstruksi di Riau mencapai 6,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 7,6% (yoy). Meskipun
demikian, pertumbuhan sektor konstruksi secara total pada tahun 2014 tercatat
mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013.
Grafik 1.33. Konsumsi Semen Riau
Grafik 1.34. Perkembangan Kredit Konstruksi Lokasi Proyek Riau
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia Sumber : SEKDA
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Kondisi Ekonomi Makro Regional
25
Perlambatan pertumbuhan konstruksi pada triwulan laporan diindikasikan dengan
penurunan penyaluran kredit sektor konstruksi berdasarkan lokasi proyek secara tahunan.
Pada triwulan IV 2014 penyaluran kredit konstruksi berdasarkan lokasi proyek tercatat
mencapai Rp1,12 triliun atau mengalami kontraksi sebesar 17,73% (yoy). Meskipun
demikian, pertumbuhan konsumsi semen yang relatif meningkat merupakan faktor
pendorong pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan laporan.
PERUBAHAN TAHUN DASAR PDB/PDRB BERBASIS
SNA 2008
Selama sepuluh tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi pada tatanan global dan
lokal yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Krisis finansial global
yang terjadi pada tahun 2008, penerapan perdagangan bebas antara China-ASEAN
(CAFTA), perubahan sistem pencatatan perdagangan internasional dan meluasnya jasa
layanan pasar modal merupakan contoh perubahan yang perlu diadaptasi dalam
mekanisme pencatatan statistik nasional. Salah satu bentuk adaptasi pencatatan
statistik nasional adalah melakukan perubahan tahun dasar PDB Indonesia dari tahun
2000 ke 2010.
Perubahan tahun dasar PDB/PDRB dilakukan seiring dengan mengadopsi rekomendasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tertuang dalam 2008 System of National
Accounts (SNA 2008 ) melalui penyusunan kerangka Supply and Use Tables (SUT) 2010
sebagai dasar penghitungan PDB menurut tiga (3) pendekatan yaitu pendekatan
produksi, pengeluaran, dan pendapatan. Perubahan Tahun Dasar juga menunjukkan
penghitungan yang lebih akurat terkait level dan struktur ekonomi dengan
memasukkan kegiatan ekonomi baru yang belum dicatat dalam penghitungan
sebelumnya. Manfaat yang ingin diperoleh dari perubahan tahun dasar ini antara lain:
a. Memberikan gambaran perekonomian nasional terkini:
1) Pergeseran struktur ekonomi;
2) Pertumbuhan ekonomi.
b. Meningkatkan kualitas data PDB/PDRB yang dihasilkan;
c. Menjadikan data PDB dapat diperbandingkan secara Internasional.
Sumber data baru untuk perbaikan PDB/PDRB berasal dari data Sensus Penduduk 2010
(SP 2010) dan Indeks Harga Produsen (IHP)/ Producer Price Index (PPI). Adapun implikasi
dari perubahan tahun dasar ini meliputi:
a. Meningkatnya nominal PDB/PDRB, yang pada gilirannya akan berdampak pada
pergeseran kelompok pendapatan suatu negara/wilayah dari rendah, menjadi
menengah, atau tinggi;
b. Akan mengubah indikator makro seperti rasio pajak, rasio hutang, rasio
investasi dan tabungan, nilai neraca berjalan, struktur dan pertumbuhan
ekonomi;
Boks 1
c. Akan menyebabkan perubahan pada input data untuk modelling dan forecasting
Gambar Kerangka Matriks Supply Regional
Terdapat 118 revisi dari SNA sebelumnya dan 44 revisi merupakan revisi utama dalam
SNA2008. Adopsi revisi SNA tersebut meliputi beberapa konsep dan cakupan:
1. Adopsi Cultivated Biological Resources (CBR), Eksplorasi mineral dan evaluasi,
produk original pada karya seni dan sastra, perlakuan software dan database,
serta lisensi sebagai PMTB.
2. Metodologi: Perbaikan metode penghitungan output bank dari Imputed Bank
Service Charge (IBSC) menjadi Financial Intermediation Services Indirectly
Measured (FISIM).
3. Valuasi: Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga dasar/Basic Price
4. Klasifikasi: Update penggunaan klasifikasi KBLI2009 dan KBKI 2010
Tabel Contoh Perbandingan Perubahan Konsep dan Metode SNA sebelumnya vs SNA
2008
10
PDRB (Produksi) = Output dikurangi
Konsumsi Antara
TABEL PENYEDIAAN
Penyediaan Domestik Harga Produsen
TO
TA
L
PEN
YED
IAA
N
TOTAL OUTPUT
Konsumsi Antara
PDRB (Produksi)
KOMPONEN PENGGUNAAN
Konsumsi Rumahtangga
Konsumsi Lembaga Non Profit Melayani
Rumahtangga (LNPRT)
Konsumsi Pemerintah
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB)
Perubahan Inventori
Ekspor
Impor (-)
PDRB (Pengeluaran)
PDRB (Pengeluaran)=Konsumsi
Rumahtangga+ LNPRT+Konsumsi
Pemerintah+PMTB+Perubahan
Inventori+Ekspor-Impor
=
Nilainya sama
Lapangan UsahaK
om
od
iti
Variabel Konsep Lama Konsep Baru
1. Output pertanian Hanya mencakup output pada saat panen.
Output saat panen ditambah nilai hewan dan tumbuhan yang belum menghasilkan.
2. Metode penghitungan output bank komersial.
Menggunakan metode Imputed Bank Services Charge (IBSC) .
Menggunakan metode Financial Intermediation Services Indirectly Measured (FISIM).
3. Valuasi Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga produsen.
Nilai tambah lapangan usaha dinilai dengan harga dasar.
4. Biaya eksplorasi mineral dan pembuatan produk original
Dicatat sebagai biaya antara. Dicatat sebagai biaya antara dan dikapitalisasi sebagai PMTB.
Perbandingan Klasifikasi PDB Menurut Lapangan Usaha
Perbandingan Klasifikasi PDB Menurut Pengeluaran
PROSPEK INDUSTRI KELAPA SAWIT PROVINSI
RIAU
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki perkebunan kelapa sawit
terluas di Indonesia dengan tingkat pertumbuhan luas areal kebun dan produksi yang
meningkat setiap tahunnya.
Hal ini terlihat dari data luas
areal kebun dan produksi
kelapa sawit yang dipublikasi
oleh Dinas Perkebunan
Provinsi Riau. Pada tahun
2010 luas lahan perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Riau
tercatat seluas 2.103.174 Ha
dengan produksi 2.258.553
ton, terus meningkat sekitar
7,39% hingga tahun 2013
menjadi 2.399.172 Ha dengan
produksi 7.570.854 ton. Peningkatan produksi ini didukung oleh harga CPO yang
relatif stabil dipasar internasional sehingga memberikan tingkat profit yang
menguntungkan bagi petani dan produsen. Tahun ini, luas areal perkebunan kelapa
sawit di Provinsi Riau diperkirakan meningkat sekitar 4.000 ha seiring dengan alih
fungsi lahan karet yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan di sektor
perkebunan dan pengolahan kelapa sawit.
Meningkatnya produksi juga diikuti oleh peningkatan permintaan baik dari dalam
maupun luar negeri seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan konsumsi
minyak sawit. Dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti soybean, rapeseed
dan sunflower oil, pangsa konsumsi minyak sawit jauh lebih tinggi bahkan mencapai
41,10% dari total konsumsi dunia. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki kualitas
yang lebih bagus sehingga tidak mengherankan jika palm oil dijadikan sebagai bahan
politik bisnis agar tidak menyaingi minyak nabati lainnya.
Grafik 1
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit
Sumber: Statistik Perkebunan Provinsi Riau
Boks 2
Grafik 2. Konsumsi Minyak Nabati Dunia
Sumber: Oil World, 2014
Sementara itu, sejumlah contact liaison yang bergerak di sektor perkebunan dan
pengolahan sawit menginformasikan bahwa kelapa sawit memiliki nilai keekonomisan
yang tinggi. Saat ini sebagian
besar perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Riau
sudah melakukan hilirisasi
yang tidak hanya berupa CPO
melainkan juga Oleochemical,
Refined, Bleached and
Deodorised Palm Kernel Oil
(RBD PKO), Refined, Bleached
and Deodorised Palm Kernel
Cake (RBD PKC), Biodiesel, Minyak Goreng dan berbagai produk turunan lainnya yang
tentunya memiliki harga lebih tinggi dibandingkan TBS dan CPO. Namun sebagian
besar contact menyatakan lebih tertarik untuk menghasilkan produk turunan selain
biodiesel karena nilai keekonomisannya yang relatif rendah. Hal ini dikonfirmasi oleh
salah satu contact liaison yang menyatakan lebih tertarik mengolah CPO menjadi
produk pangan dan kosmetik, serta melakukan pengembangan biogas sebagai sumber
energi alternatif disamping penggunaan cangkang kelapa sawit yang saat ini menjadi
primadona. Ke depannya, contact juga berencana untuk menghasilkan bahan bakar
dari batang pohon sawit melalui kerjasama dengan Jepang.
Melihat potensi yang dimiliki kelapa sawit maka jelas bahwa industri ini tidak hanya
memberikan manfaat ekonomis melainkan juga manfaat sosial dan lingkungan.
Manfaat ekonomis yang dapat dirasakan oleh sejumlah pelaku usaha yang bergerak
Grafik 3
Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Sumber: GAPKI, 2014
disubsektor usaha ini adalah potensi CPO untuk diolah menjadi berbagai produk bahan
pangan, sumber energi alternatif, kosmetik, dan lainnya. Sementara manfaat sosial
yang dapat diperoleh dari industri ini antara lain adalah peranannya dalam menciptakan
kesempatan kerja, pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan.
Disamping itu, menurut GAPKI (2014) perkebunan kelapa sawit merupakan bagian
penting dari pelestarian siklus karbondioksida (C02), oksigen (O2) dan air (H20).
Kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam menyerap CO2 dan menghasilkan 02
lebih tinggi dari kemampuan hutan primer. Dengan demikian, meningkatkan produksi
kelapa sawit merupakan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan informasi dari Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (GAPKI)
pusat, sehubungan dengan meningkatnya daya beli masyarakat global terhadap CPO
dan produk turunannya, Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa sawit terbesar
akan diuntungkan. Pelaku usaha sawit nasional menargetkan produksi CPO sekitar 33
juta ton, meningkat sekitar 6% dari produksi tahun 2014 sekitar 31 juta ton. Lebih dari
60% dari produksi tersebut akan diekspor untuk target pasar besar dunia seperti India,
Pakistan, Korea Selatan dan beberapa negara di Eropa Timur, sisanya sekitar 10 juta ton
untuk memenuhi konsumsi dalam negeri dengan faktor pendukung adanya komitmen
dari Pertamina untuk menjalankan program biosolar. Searah dengan proyeksi produksi
CPO nasional, beberapa contact liaison di provinsi Riau juga menyatakan produksi CPO
di 2015 akan tetap tinggi seiring dengan mulai berproduksinya beberapa lahan
replantasi yang sudah mulai produksi pada tahun ini sehingga diperkirakan akan
meningkat pada kisaran 2-5%. Faktor pendorong peningkatan lainnya berasal dari
perkembangan harga yang pada awal tahun 2015 ini mulai meningkat, dilihat dari
Grafik 4 Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja
Sumber: GAPKI, 2014
Grafik 5 Kebutuhan CPO untuk Industri Hilir Domestik
Sumber: GAPKI, 2014
kontrak perdagangan di Bursa Malaysia yang mulai bergerak naik sekitar 2,7% atau
sekitar Rp7,83 juta/ton untuk pengiriman bulan Maret dan April 2015.
Disisi lain, GAPKI pusat menyampaikan beberapa tantangan perkembangan kelapa
sawit mulai dari terbatasnya jumlah tenaga kerja terampil dengan kualifikasi khusus di
bidang kelapa sawit, peningkatkan upah tenaga kerja setiap tahun, masalah
pertanahan dan sulitnya ijin usaha, sampai dengan minimnya infrastruktur sarana
prasarana pendukung industri kelapa sawit. Sementara itu, perkembangan industri
kelapa sawit di Provinsi Riau menghadapi sejumlah kendala seperti keterbatasan bahan
baku, masalah Rencana Tata Ruang Wilayah, pencurian buah sawit dan faktor cuaca
yang ekstrim. Hal ini dikonfirmasi salah satu contact liaison yang menginformasikan
bahwa pada tahun 2000an pabrik memiliki kapasitas produksi mencapai 90 ton/jam,
namun seiring dengan semakin bertambahnya kompetitor industri sejenis maka
pasokan bahan baku menjadi berkurang hingga rata-rata kapasitas produksi saat ini
menjadi 60 ton/jam. Selain itu, masalah RTRW menjadi kendala utama bagi sejumlah
perusahaan untuk menambah luas areal kebun sehingga sebagian besar perusahaan
melakukan alih fungsi lahan dari karet ke kelapa sawit. Disisi lain, pencurian buah sawit
dan faktor cuaca yang ekstrim juga menjadi kendala peningkatan produksi. Secara
normal, pabrik dapat mengolah 600 ton TBS/hari namun akibat pencurian tersebut
pabrik hanya dapat mengolah 450 ton TBS/hari. Demikian juga dengan terjadinya
musim trek hingga 2 kali dalam 1 tahun akibat cuaca yang cukup ekstrim. Sebagai
informasi, contact dapat memperoleh hasil TBS mencapai 1000 ton/hari namun karena
terjadinya musim trek maka hasil TBS yang diperoleh hanya berkisar 500-600 ton/hari.
Untuk mengatasi kendala yang dihadapi tersebut, pada tahun ini Dinas Perkebunan
Provinsi Riau berupaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sawit melalui
pembelian bibit untuk 500 Ha kebun rakyat senilai Rp.9,61 Miliar. Disamping itu,
contact juga menginformasikan bahwa Kementerian Pertanian bekerjasama dengan
Perbankan untuk memberikan fasilitas pembiayaan revitalisasi kebun (revit bun) kepada
petani swadaya. Saat ini, lebih dari 29 petani swadaya di Provinsi Riau telah
mendapatkan fasilitas revit bun dari BRI Agro sekitar Rp.24-51 juta dengan tingkat suku
bunga 12,75%. Revit bun ini merupakan bagian dari inovasi pembiayaan untuk
meningkatkan produktivitas kebun sawit petani.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
26
1. KONDISI UMUM
Perkembangan inflasi Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 berada di luar
perkiraan sebelumnya. Tekanan inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy)1 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Peningkatan inflasi
bersumber dari kelompok administered prices karena kenaikan BBM bersubsidi
yang terjadi pada November 2014 yang lalu. Dengan demikian, inflasi Riau pada
triwulan laporan masih berada di luar sasaran inflasi nasional tahun 2014 yang
ditetapkan sebesar 4,5%±1%.
1 yoy (year on year) atau inflasi tahunan merupakan perbandingan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada bulan laporan dengan IHK di bulan yang sama tahun sebelumnya
PERKEMBANGAN
INFLASI DAERAH
Bab 2
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
27
2. PERKEMBANGAN INFLASI PROVINSI RIAU
Inflasi Riau pada triwulan IV 2014 (yoy) tercatat sebesar 8,65%, meningkat
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,81%. Kondisi ini
sejalan dengan perkembangan inflasi nasional yang juga menunjukkan
peningkatan dari 4,53% pada triwulan III 2014 menjadi 8,36% pada triwulan IV
2014. Namun demikian, bila dibandingkan dengan rata-rata historisnya sejak
2009-2013, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih tercatat lebih rendah. Dengan
perkembangan tersebut, inflasi Riau pada triwulan IV 2014 masih berada di luar
sasaran inflasi nasional tahun 2014 yang ditetapkan sebesar 4,5% ± 1%.
Gambar 2.1. Inflasi Riau dan Nasional Tw IV 2014 dibandingkan dengan Historisnya (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Secara tahunan, peningkatan inflasi Riau disebabkan oleh tekanan dari kelompok
administered price. Faktor yang menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok
administered price, antara lain kenaikan harga BBM bersubsidi yang terjadi pada
November 2014. Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik (TTL)2 yang terjadi pada
November 2014 dan penyesuaian harga LPG pada September 2014 lalu juga
memberi tekanan terhadap inflasi kelompok administered price. Sementara itu,
perkembangan inflasi pada kelompok volatile food juga memberikan kontribusi
positif terhadap peningkatan inflasi. Penyumbang utama kenaikan inflasi volatile
food di akhir tahun bersumber dari komoditas beras dan cabe merah yang
terkendala pasokan. Di sisi lain, relatif stabilnya inflasi core (inti) pada triwulan
laporan ditengah masih kuatnya tekanan eksternal juga menjadi penahan
2 Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dilakukan secara berkala sejak 1 Juli 2014 setiap dua bulan sekali hingga 1 November 2014
Riau
Nasional
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
28
Grafik 2.2. Inflasi dan Sumbangan Kelompok Barang dan Jasa yang di Survei (yoy)
Sumber : BPS, diolah
menurunnya tekanan inflasi Riau pada triwulan III 2014. Kondisi ini didorong oleh
masih berlanjutnya penurunan harga emas dunia.
Bila dilihat dari kota yang disurvei di Provinsi Riau, inflasi tertinggi masih terjadi di
Kota Tembilahan yaitu mencapai 10,06% (yoy), diikuti oleh Kota Dumai dan Kota
Pekanbaru masing-masing-masing berada pada level yang sama yaitu 8,53% (yoy).
Tekanan inflasi pada ketiga kota tersebut menunjukkan peningkatan bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Grafik 2.1. Perkembangan Inflasi di Riau dan Nasional (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan
kelompok barang dan jasa
yang disurvei di Provinsi Riau,
sumber peningkatan inflasi
pada triwulan IV 2014 berasal
dari peningkatan inflasi
kelompok bahan makanan,
kelompok transportasi, dan
kelompok makanan jadi, yaitu
masing-masing menyumbang
sebesar 2,50%, 2,09%, dan
2,02% terhadap inflasi Riau. Peningkatan inflasi terjadi pada hampir seluruh
kelompok inflasi, kecuali kelompok kesehatan dan kelompok pendidikan yang
mengalami penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi tertinggi pada
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
29
triwulan laporan dialami oleh kelompok transportasi yaitu dari 2,62% (yoy) menjadi
12,99% (yoy), diikuti kelompok makanan dari 9,34% (yoy) menjadi 10,41% (yoy)
dan kelompok bahan makanan dari 8,34% (yoy) menjadi 10,14% (yoy). Sebaliknya,
inflasi terendah dialami oleh kelompok pendidikan yaitu sebesar 2,70% (yoy) dari
3,14% (yoy) pada triwulan sebelumnya.
Perkembangan inflasi Riau secara triwulanan menunjukkan tren meningkat bila
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yaitu dari 2,29% (qtq) menjadi 4,26%
(qtq). Angka inflasi Riau pada triwulanan laporan juga lebih tinggi jika
dibandingkan dengan rata-rata historisnya dalam kurun waktu 4 (empat) tahun
terakhir yang tercatat sebesar 1,30% (qtq).
Grafik 2.3. Perkembangan Inflasi Riau Nasional secara Triwulanan (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Meningkatnya tekanan inflasi Riau pada triwulan laporan tidak terlepas dari
meningkatnya harga-harga pada sub kelompok transpor, sub kelompok bumbu-
bumbuan, dan sub kelompok makanan jadi. Dilihat dari komoditasnya, maka
peningkatan utamanya bersumber dari peningkatan harga bensin, cabe merah,
tarif listrik, beras dan nasi dengan lauk.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
30
Grafik 2.4. Historis Inflasi selama Tw IV di Provinsi Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
Namun demikian, penurunan harga daging dan hasil-hasilnya secara umum
menjadi faktor yang menahan laju peningkatan inflasi pada triwulan laporan. Selain
itu, langkah-langkah yang ditempuh TPID di Riau dalam melakukan pengelolaan
ekspektasi harga, sedikit banyak juga mampu meredam inflasi Riau meningkat
pada level yang lebih tinggi lagi. Sinergi antar lembaga/instansi untuk menjaga
distribusi dan kecukupan stok menjadi salah satu kunci utama terjaganya
ekspektasi masyarakat di Provinsi Riau.
Berdasarkan kota yang disurvei di Provinsi Riau, maka inflasi tertinggi terjadi di Kota
Pekanbaru yaitu mencapai 4,41% (qtq), meningkat cukup signifikan dibandingkan
triwulan sebelumnya yang mencapai 2,34% (qtq). Selanjutnya inflasi Kota
Tembilahan dan Kota Dumai tercatat masing-masing sebesar 3,98% (qtq) dan
3,29% (qtq), juga meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tercatat sebesar 2,13% (qtq). Secara umum, perkembangan inflasi ketiga kota yang
disurvei secara triwulanan pada triwulan laporan tercatat lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata historisnya (2009-2013).
Jika dilihat berdasarkan kelompok barang dan jasa yang disurvei, maka kelompok
transpor, komunikasi, dan jasa keuangan tercatat mengalami inflasi tertinggi yaitu
mencapai 10,63% (qtq). Kelompok ini juga memberikan andil terbesar pada
tekanan inflasi triwulan laporan yaitu mencapai 1,69%. Kemudian, kelompok
bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau,
masing-masing tercatat mengalami inflasi sebesar 4,31% (qtq) dan 3,43% (qtq).
Kedua kelompok tersebut tercatat mengalami peningkatan inflasi dibandingkan
triwulan sebelumnya.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
31
Grafik 2.5. Inflasi dan Kontribusi Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa yang di Survei Tw IV 2014 di Riau (qtq)
Sumber : BPS, diolah
2.1. Inflasi Kota
2.1.1. Inflasi Kota Pekanbaru
Pada triwulan IV 2014, Kota Pekanbaru mengalami Inflasi sebesar 8,53% (yoy),
meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang mencapai 5,50% (yoy).
Peningkatan tekanan inflasi terjadi pada seluruh kelompok disagregasinya. Tekanan
inflasi utamanya berasal dari kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November
2014 lalu. Selain itu, kenaikan tarif dasar listrik secara bertahap sejak 1 Juli 2014
hingga akhir tahun juga berkontribusi positif terhadap peningkatan tekanan inflasi.
Tren pelemahan nilai rupiah yang masih berlanjut hingga akhir tahun juga
memberikan tekanan yang berarti terhadap peningkatan inflasi, terutama untuk
komoditas dengan bahan baku tepung. Sebaliknya, penurunan harga emas dunia
merupakan faktor yang menahan laju penurunan inflasi pada triwulan laporan.
Sementara, kondisi pasokan yang belum stabil menyebabkan tekanan inflasi dari
bahan makanan cukup tinggi. Peningkatan inflasi pada bahan makanan bersumber
dari meningkatnya harga beras, cabe merah telur ayam ras dan beberapa jenis
sayur. Terjadinya peningkatan pada komoditas tersebutdiperkirakan tidak terlepas
dari pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, faktor cuaca yang kurang
kondusif di daerah sentra produksi, seperti di daerah Jawa, juga meyebabkan Kota
Pekanbaru kekurangan pasokan.
Dilihat berdasarkan kelompok barang jasa yang disurvei, maka inflasi tertinggi
dialami oleh kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan (13,55%, yoy),
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
32
meningkat siginifikan dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat mengalami
inflasi sebesar 2,94% (yoy). Selanjutnya, diikuti oleh inflasi pada kelompok
makanan jadi (10,88%,yoy) dan kelompok bahan makanan (9,79%, yoy), juga
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi pada ketiga kelompok
barang dan jasa ini tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap inflasi
Pekanbaru pada triwulan laporan.
Sebaliknya, inflasi terendah dialami oleh kelompok pendidikan (2,18%,yoy) dan
kelompok sandang (3,63%,yoy) yang memberikan kontribusi terendah pada
triwulan laporan. Bahkan inflasi pada kelompok pendidikan tercatat mengalami
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya (2,25%,yoy).
Grafik 2.6 Perkembangan Inflasi Kota Pekanbaru dan Rata-rata Historis Tw IV (2009-
2013)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.7. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Pekanbaru Tw IV
2014
Sumber : BPS, diolah
2.1.2. Inflasi Kota Dumai
Sejalan dengan perkembangan inflasi kota Pekanbaru, inflasi kota Dumai juga
mengalami peningkatan dari 5,88% (yoy) menjadi 8,53%(yoy). Peningkatan
tekanan inflasi kota Dumai didorong oleh peningkatan inflasi kelompok bahan
makanan yang berasal dari subkelompok padi-padian, umbi-umbian & hasilnya,
dan bumbu-bumbuan. Dilihat berdasarkan komoditasnya, tekanan inflasi pada
kedua subkelompok tersebut utamanya berasal dari beras dan cabe merah. Kondisi
ini disebabkan oleh kondisi cuaca yang kurang kondusif di daerah sentra pasokan
sehingga mempengaruhi produksi dan kondisi pasokan di Kota Dumai.
Sementara itu, kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan mengalami
inflasi sebesar 10,98% (yoy), meningkat signifikan dibandingkan triwulan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
33
Grafik 2.10. Inflasi Kelompok Barang dan Jasa di Kota Tembilahan Tw IV 2014
Sumber : BPS, diolah
sebelumnya yang tercatat mengalami inflasi sebesar 5,16% (yoy). Berdasarkan
komoditasnya peningkatan inflasi pada kelompok ini didorong oleh kenaikan harga
BBM bersubsidi, dan menyebabkan peningkatan pada tarif angkutan. Selain itu,
masih berlanjutnya kenaikan tarif dasar listrik bertahap hingga triwulan IV 2014
juga memberikan andil terhadap peningkatan tekanan inflasi di Kota Dumai.
Grafik 2.8. Perkembangan Inflasi Kota Dumai dan Rata-rata Historis Tw IV (2009-2013)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.9. Andil Berdasarkan Kelompok Barang dan Jasa di Kota Dumai Tw IV 2014
Sumber : BPS, diolah
2.1.3. Inflasi Kota Tembilahan
Inflasi yang terjadi di Kota Tembilahan
masih tercatat yang paling tinggi di
Provinsi Riau yaitu mencapai 10,06%
(yoy) pada triwulan IV 2014. Searah
dengan dua kota lainnya, tekanan
inflasi Kota Tembilahan pada triwulan
laporan mengalami peningkatan
dibandingkan triwulan sebelumnya.
Berdasarkan kelompoknya, maka
inflasi tertinggi dialami oleh kelompok
bahan makanan, kelompok transportasi dan kelompok perumahan. Inflasi pada
ketiga kelompok tersebut juga tercatat memberikan kontribusi tertinggi terhadap
inflasi kota Tembilahan. Selanjutnya, kelompok kesehatan tercatat mengalami
inflasi terendah dialami oleh Kota Tembilahan, yaitu mencapai 3,13% (yoy) dan
juga tercatat memberikan kontribusi terendah.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
34
Grafik 2.11. Inflasi IHK dan Disagregasi Inflasi (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Dilihat berdasarkan subkelompok, penyumbang inflasi pada kelompok bahan
makanan utamanya berasal dari subkelompok ikan segar, subkelompok
transportasi, subkelompok bumbu-bumbuan dan subkelompok padi-padian, umbi-
umbian & hasilnya. Komoditas penyumbang inflasi dari subkelompok ikan segar
berasal dari udang, sementara penyumbang inflasi pada subkelompok transportasi
berasal dari bensin. Cabe merah dan beras masing-masing menjadi penyumbang
terbesar inflasi pada subkelompok bumbu-bumbuan dan subkelompok padi-
padian,umbi-umbian & hasilnya.
Sebaliknya, deflasi pada subkelompok daging dan hasil-hasilnya serta subkelompok
buah-buahan menahan laju peningkatan inflasi Kota Tembilahan pada triwulan IV
2014. Penurunan tekanan inflasi utamanya terjadi pada komoditas daging ayam
ras, jeruk, dan pisang. Penurunan juga terjadi pada komoditas bawang merah,
kangkung, dan ikan asin dibelah.
2.2. Disagregasi Inflasi3 (yoy)
Peningkatan tekanan inflasi Riau
pada triwulan laporan, utamanya
didorong oleh meningkatnya
tekanan dari kelompok
administered price, yang berasal
dari kenaikan harga BBM
bersubsidi pada 18 November
2014 yang lalu. Selain itu,
peningkatan tekanan inflasi juga
terjadi pada kelompok volatile food (kelompok makanan bergejolak) juga
mengalami peningkatan yang dipicu oleh peningkatan harga bahan makanan
seperti beras dan cabe merah karena keterbatasan pasokan. Sementara, tekanan
inflasi kelompok core (inti) disebabkan oleh kenaikan beberapa harga komoditas
makanan jadi sebagai dampak kenaikan BBM bersubsidi dan pelemahan nilai tukar
rupiah yang masih berlangsung hingga akhir tahun .
3 Disagregasi dilakukan dengan pendekatan subkelompok
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
35
2.2.1. Inflasi Inti (Core)
Laju inflasi inti pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan dibandingkan
triwulan III 2014 karena dampak kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu,
pelemahan nilai tukar rupiah yang kembali terjadi pada akhir tahun diperkirakan
memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan inflasi kelompok ini, terutama
bersumber dari bahan baku yang diimpor seperti tepung. Di sisi lain, masih
berlanjutnya penurunan harga emas global yang ditransmisikan ke harga emas
perhiasan domestik menahan laju peningkatan inflasi inti pada triwulan laporan.
Kondisi ini tercermin dari mulai menurunnya inflasi tradables goods4 pada triwulan
laporan. Peningkatan inflasi kelompok non tradable goods5 menjadi faktor yang
mendorong peningkatan inflasi inti Riau pada triwulan laporan.
Grafik 2.12. Perkembangan Inflasi Inti (core) di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Grafik 2.13. Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap USD
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 2.14. Perkembangan Harga Emas Dunia
Sumber : Bloomberg, diolah
Grafik 2.15. Perkembangan Inflasi Tradables Goods dan Non Tradable Goods (yoy)
Sumber : BPS, diolah
4 Tradable goods merupakan barang atau jasa yang dapat diperjualbelikan di lokasi yang berbeda atau berjarak dari lokasi dimana barang atau jasa tersebut dihasilkan 5 Non tradable goods merupakan barang atau jasa yang tidak dapat diperjualbelikan di lokasi yang berbeda atau berjarak dari lokasi dimana barang atau jasa tersebut dihasilkan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
36
Grafik 2.16. Perkembangan Inflasi Volatile Food di Riau (yoy)
Sumber : BPS, diolah
Jika dilihat berdasarkan kota yang disurvei, maka inflasi inti tertinggi terjadi di Kota
Dumai. Inflasi inti yang terjadi di kota ini tercatat cukup tinggi dibandingkan 2 (dua)
kota lainnya, dan menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Peningkatan inflasi inti juga terjadi di Kota Pekanbaru. Sebaliknya,
inflasi inti di Kota Tembilahan cenderung mengalami penurunan.
Secara umum, sumber inflasi inti pada triwulan laporan berasal dari inflasi pada
nasi dengan lauk, kue kering berminyak, dan kue basah yang didorong oleh
kenaikan harga BBM bersubsidi. Selain itu, peningkatan harga kue kering
berminyak dan kue basah juga disebabkan oleh trend pelemahan nilai tukar yang
menjadi penyebab kenaikan harga tepung untuk kedua komoditas tersebut.
2.2.2. Inflasi Volatile Food
Tekanan inflasi yang berasal dari
kelompok volatile food pada periode
laporan mengalami peningkatan yang
berarti dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Meningkatnya tekanan
inflasi volatile food didorong oleh
inflasi yang terjadi pada kelompok
bahan makanan yang utamanya
berasal dari subkelompok padi-padian
dan subkelompok bumbu-bumbuan. Komoditas utama penyumbang inflasi dari
kedua kelompok tersebut ialah beras dan cabe merah. Selain itu, peningkatan
harga pada beberapa jenis ikan segar dan sayuran-sayuran juga mendorong
peningkatan inflasi pada kelompok volatile food. Namun demikian, laju
peningkatan inflasi kelompok volatile food tertahan oleh deflasi yang terjadi pada
subkelompok bumbu-bumbuan yaitu bawang merah, dan daun bawang, dan
subkelompok daging dan hasil-hasilnya yaitu daging ayam ras dan ayam hidup.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
37
Grafik 2.17. Perkembangan Harga Komoditas Beras dan Cabe Merah di Kota Pekanbaru
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Peningkatan tekanan inflasi volatile food terjadi pada seluruh kota yang disurvei
dengan peningkatan tertinggi terjadi di Kota Tembilahan. Sementara penigkatan
terendah terjadi di kota Dumai yang juga mengalami inflasi volatile food terendah
dibandingkan dua kota lainnya.
2.2.3. Inflasi Administered Prices
Inflasi kelompok administered prices Riau pada triwulan laporan kembali
mengalami peningkatan setelah mengalami penurunan pada triwulan sebelumnya.
Jika dilihat dari kota yang disurvei, maka peningkatan inflasi administered price
terjadi pada semua kota yang disurvei di Provinsi Riau. Inflasi administered price
tertinggi dialami oleh Kota Pekanbaru, diikuti oleh Kota Tembilahan dan Kota
Dumai.
Peningkatan tekanan inflasi pada kelompok administered price disebabkan oleh
kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November 2014 yang lalu. Kenaikan ini
terjadi pada komoditas bensin dan solar. Peningkatan tersebut juga berdampak
terhadap penyesuaian tarif angkutan umum, baik darat maupun sungai dan laut.
Selain itu, kebijakan peningkatan tarif dasar listrik yang dilakukan secara bertahap
setiap dua bulan sekali sejak tanggal 1 Juli 2014 juga mendorong peningkatan
inflasi pada kelompok ini. Meskipun demikian, adanya kebijakan pemerintah dalam
penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk LPG 3 kg pada akhir tahun
menahan laju peningkatan inflasi kelompok administered price lebih tinggi.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Inflasi Daerah
38
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi Administered Price (yoy)
Sumber : BPS, diolah
DAMPAK PENYESUAIAN HARGA BBM, TARIF
TENAGA LISTRIK, DAN HARGA LPG 12 KG
TERHADAP KINERJA PERUSAHAAN
Kebijakan Pemerintah Pusat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada tanggal 18
November 2014 yang lalu, telah mendorong kenaikan harga tarif angkutan, diikuti
dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, serta harga beberapa produk industri
lainnya. Selanjutnya memasuki tahun 2015, sejalan dengan semakin menurunnya harga
minyak dunia, pada tanggal 1 Januari 2015 Pemerintah Pusat menurunkan harga BBM
bersubsidi yaitu premium turun menjadi Rp7.600,- dan solar turun menjadi Rp7.250,-.
Penurunan harga BBM berlanjut pada tanggal 19 Januari 2015, harga BBM premium
turun menjadi Rp6.600,- (luar Jawa), Rp6.700,- (jawa & Madura), Rp7.000,- (Bali), dan
harga solar turun menjadi Rp6.400,-.
Di bidang kelistrikan, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 09 Tahun 2014, pemerintah
per 1 Mei 2014 melakukan penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk rumah tangga
besar, kantor pemerintah skala menengah, bisnis skala menengah & besar, dan untuk
industri skala menengah & besar (per 2 bulan sampai dengan November 2014). Selain
harga BBM dan TTL, pemerintah juga menaikkan harga LPG 12 Kg menyusul
meningkatnya harga LPG dp pasar internasional dan penurunan nilai tukar rupiah.
Berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah di tahun 2014 tersebut
memberikan dampak pada peningkatan harga barang dan jasa, yang disebabkan
karena perubahan biaya bahan baku, biaya energi, maupun biaya distribusi. Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau melakukan liaison untuk mendapatkan
informasi singkat dampak penyesuaian harga BBM, TTL, dan LPG tersebut terhadap
kinerja beberapa perusahaan.
Grafik B2.1
Sebaran Responden Grafik B2.2
Respon Penyesuaian Harga BBM
Boks 3
Berdasarkan hasil liaison dengan 15 contact yang mewakili beberapa sektor ekonomi di
Provinsi Riau (Grafik B2.1), diperoleh informasi bahwa secara umum kenaikan harga
BBM pada 18 November 2014
mendorong sebagian besar
perusahaan di Provinsi Riau untuk
menaikkan harga jual dalam
jangka waktu 1 minggu sampai
dengan 1,5 bulan setelah
kenaikan harga BBM (Grafik
B2.2). Namun sebaliknya,
penurunan harga BBM per 1
Januari 2015 relatif tidak disertai
dengan penurunan harga jual.
Hal ini dikonfirmasi oleh sejumlah perusahaan yang bergerak di Sektor Perdagangan,
Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Bangunan. Namun demikian, penyesuaian
harga tersebut relatif tidak berpengaruh terhadap penjualan, daya saing dan rencana
investasi perusahaan melainkan berpengaruh terhadap penurunan margin yang
diperoleh hingga 1-10%. Penurunan margin tersebut disebabkan oleh peningkatan
biaya operasional perusahaan seiring dengan meningkatnya harga BBM (Grafik B2.3).
Di sisi lain, sejumlah contact menginformasikan bahwa kenaikan TTL secara bertahap
per 2 bulan terhitung bulan Mei 2014 tidak berpengaruh terhadap kenaikan harga jual
meskipun kenaikan TTL ini turut menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan biaya
operasional yang pada akhirnya menurunkan margin sekitar 1-5%. Meskipun demikian,
sebagian besar contact menyatakan bahwa kenaikan/penurunan TTL tidak berpengaruh
signifikan terhadap daya saing dan rencana investasi (Grafik B2.5).
Grafik B2.4 Proporsi Biaya BBM dan TTL
Grafik B2.5 Dampak Kenaikan/Penurunan TTL
Grafik B2.3
Dampak Penyesuaian Harga BBM
Sementara itu, dampak penyesuaian kebijakan LPG sangat dirasakan oleh perusahaan
yang bertindak sebagai distributor LPG 12 Kg. Hal ini tercermin dari kenaikan harga
LPG 12 Kg yang berdampak terhadap penurunan permintaan konsumen mencapai 2-
20%. Penurunan permintaan tersebut secara langsung menggerus margin perusahaan
hingga 10%. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti selisih harga antara LPG
12 Kg dan 3 Kg yang cukup signifikan dan disertai pula dengan penambahan kuota
LPG 3 Kg sehingga mengakibatkan konsumen beralih pada penggunaan LPG 3 Kg.
Terkait dengan kebijakan harga BBM yang mengikuti perkembangan harga pasar, 73%
menyatakan setuju sepanjang masih berada dalam rentangan harga yang wajar dan
subsidinya hanya dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah-bawah. Sementara
itu, 60% contact menyatakan tidak
setuju terhadap perubahan TTL
secara otomatis mengikuti
pergerakan inflasi, harga minyak
dunia, dan nilai tukar rupiah
terhadap dollar AS. Hal ini
dikarenakan TTL bukan seharusnya
menjadi prioritas melainkan
pasokan listrik yang memadailah
yang harus dibenahi terlebih
dahulu.
Disamping itu, perubahan TTL tersebut dapat menyulitkan perusahaan dalam
memproyeksikan biaya dan target keuntungan yang diperoleh karena berpotensi
menyebabkan gejolak harga yang cukup tajam. Untuk meminimalisir dampak dari
ketidakpastian harga BBM dan TTL tersebut, sebagian besar contact memutuskan untuk
menentukan harga jual dengan mengikuti perkembangan harga pasar dan
mengoptimalkan penggunaan cangkang kelapa sawit terutama bagi perusahaan di
sektor industri pengolahan untuk dijadikan sebagai sumber energi alternatif.
Grafik B2.6 Respon Kebijakan Perubahan Harga BBM
dan TTL
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
39
1. Kondisi Umum
Perkembangan perbankan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 relatif lebih baik
dibandingkan triwulan sebelumnya. Secara tahunan, pertumbuhan baik aset, dana,
maupun kredit tumbuh lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Kualitas kredit juga
masih relatif stabil, namun kualitas kredit yang disalurkan BPR perlu mendapat
perhatian serius, mengingat tingginya NPL BPR dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir.
Bab 3 PERKEMBANGAN PERBANKAN
DAN SISTEM PEMBAYARAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
40
2. Perkembangan Perbankan Riau
Kinerja perbankan Riau pada triwulan laporan relatif lebih baik bila dibandingkan
dengan triwulan sebelumnya. Hal ini dapat terlihat dari pertumbuhan aset perbankan
Riau yang mencapai Rp86,81 triliun atau meningkat dari 7,27% (yoy) menjadi
11,43% (yoy). Peningkatan aset perbankan utamanya didorong oleh peningkatan
aset bank umum dari 7,31% pada triwulan sebelumnya menjadi 11,44% pada
triwulan laporan.
Sejalan dengan pertumbuhan aset, kredit perbankan Riau juga tumbuh membaik
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 7,22% (yoy) menjadi 7,31% (yoy).
Posisi kredit perbankan Riau pada triwulan IV mencapai Rp 53,12 triliun. Namun,
kredit yang disalurkan oleh perbankan Riau tercatat lebih tinggi bila dilihat
berdasarkan lokasi proyek, yaitu mencapai Rp 74,73 triliun atau tumbuh 10,29%
(yoy). Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan Riau juga tumbuh lebih tinggi yaitu sebesar
15,53% (yoy) dari 11,42% (yoy) pada triwulan sebelumnya. Nilai DPK perbankan
Riau saat ini mencapai Rp 64,95 triliun.
Tabel 3.1. Perkembangan Indikator Perbankan Riau (dalam Rp Juta)
Pertumbuhan kredit yang meningkat lebih besar secara triwulanan dibandingkan
pertumbuhan dana menyebabkan peningkatan LDR perbankan Riau yaitu dari
80,73% menjadi 81,78%. Namun dengan memperhitungkan kredit berdasarkan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
41
Tabel 3.2. Perkembangan Jaringan Kantor Bank Umum di Riau Triwulan IV 2014
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Riau
lokasi proyek, LDR perbankan Riau masih tercatat lebih tinggi yaitu mencapai
115,06%. Sementara itu, risiko kredit yang disalurkan relatif membaik yaitu sebesar
3,39%, dan tercatat masih berada dalam batas aman yang ditetapkan.
2.1. Perkembangan Bank Umum
2.1.1. Perkembangan Jaringan Kantor
Jumlah Bank Umum yang beroperasi di
Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tidak
mengalami perubahan dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu tercatat
sebanyak 49 Bank. Jumlah jaringan
kantor bank umum yang ada di Provinsi
Riau baik Kantor Kas, Kantor Cabang,
Kantor Cabang Pembantu maupun yang
setingkat juga tidak mengalami
perubahan yang siginifikan dibandingkan triwulan sebelumnya.
2.1.2. Perkembangan Aset
Aset bank umum di Provinsi Riau tercatat sebesar Rp 85,65 triliun pada triwulan IV
2014, tumbuh 11,44% (yoy) meningkat dibandingkan triwulan III 2014 yang
tumbuh sebesar 7,31% (yoy). Pertumbuhan aset bank umum didorong oleh
pertumbuhan dana yang dihimpun. Namun demikian, jika dilihat secara triwulanan
aset bank umum justru mengalami kontraksi sebesar 1,06% (qtq).
Grafik 3.1. Perkembangan Aset Bank Umum di Provinsi Riau
Grafik 3.2. Perkembangan Pangsa Aset Bank Umum Menurut Kelompok
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Aset Pemerintah Aset Swasta
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
42
Berdasarkan kepemilikannya, maka pertumbuhan aset bank umum pada triwulan
laporan utamanya didorong oleh pertumbuhan aset bank milik pemerintah yaitu
sebesar 14,20% (yoy) sehingga menjadi Rp60,45 triliun. Sementara pertumbuhan
aset bank milik swasta hanya meningkat sebesar 5,32% (yoy), sehingga jumlahnya
mencapai Rp25,20 triliun. Pangsa aset bank umum pemerintah masih tetap
mendominasi dengan share 70,58%, relatif stabil dibandingkan triwulan
sebelumnya.
2.1.3. Kredit
2.1.3.1. Perkembangan Penyaluran Kredit
Kredit yang disalurkan oleh bank umum di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
tercatat sebesar Rp52,28 triliun. Jumlah ini tumbuh sebesar 7,26% (yoy), relatif
stabil jika dibandingkan triwulan III 2014 yang tumbuh sebesar 7,22% (yoy)
Perlambatan penyaluran kredit pada triwulan IV 2014 terjadi pada bank milik
pemerintah yaitu sebesar 7,81 (yoy) dari 8,42% (yoy) di triwulan sebelumnya.
Sedangkan pada bank swasta, pertumbuhan penyaluran kredit justru meningkat
dari 5,11% (yoy) menjadi 6,27% (yoy).
Tabel 3.3. Posisi Kredit Bank Umum Di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
Berdasarkan valutanya penyaluran kredit masih didominasi oleh mata uang rupiah
yaitu mencapai Rp51,14 triliun, tumbuh 7,94% (yoy) namun melambat dari
triwulan sebelumnya (8,33% yoy). Disisi lain, penyaluran kredit dalam mata uang
asing mengalami penurunan sebesar 16,62% (yoy), namun tidak sedalam triwulan
sebelumnya yang tercatat mengalami kontraksi sebesar 29,92% (yoy).
IV I II III IV yoy (%) qtq (%)
A. Kelompok Bank 1. Bank Pemerintah 31.241.365 30.819.077 32.527.892 32.798.861 33.681.037 7,81 2,69 2. Bank Swasta 17.504.103 17.668.602 18.140.360 18.180.006 18.602.399 6,27 2,32
B. V a l u t a 1. Rupiah 47.378.560 47.233.118 49.421.211 50.009.977 51.138.174 7,94 2,26 2. Valas 1.366.907 1.254.562 1.247.042 968.890 1.145.263 -16,22 18,20
T o t a l 48.745.468 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 7,26 2,56
2013 2014 Pertumbuhan Tw IV-2014Keterangan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
43
2.1.3.2. Konsentrasi Kredit
Penyerapan kredit di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 masih didominasi oleh
sektor pertanian dan sektor perdagangan yang memiliki pangsa masing-masing
sebesar 21,78% dan 21,45% dengan nilai kredit masing-masing sebesar Rp 11,39
triliun dan Rp 11,21 triliun. Tingginya penyerapan kredit pada sektor tersebut tidak
terlepas dari masih prospektifnya sektor tersebut di Provinsi Riau. Penyaluran kredit
kepada sektor pertanian didominasi oleh subsektor perkebunan kelapa sawit
dengan pangsa 88,58% dari total kredit sektor pertanian atau sebesar Rp. 10,08
triliun. Sedangkan sektor perdagangan didominasi oleh subsektor perdagangan
eceran makanan, minuman dan tembakau dengan pangsa 21,50% dari total kredit
sektor perdagangan atau sebesar Rp 2,41 triliun. Namun, penyaluran kredit kepada
sektor pertanian dan sektor pedagangan melambat dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Pertumbuhan sektor pertanian melambat dari 16,33% (yoy) pada
triwulan III 2014 menjadi 14,46% (yoy) pada triwulan IV 2014. Sejalan dengan
sektor pertanian, sektor perdagangan juga melambat dari 5,57% (yoy) menjadi
3,46% (yoy).
Pertumbuhan tertinggi penyaluran kredit pada triwulan IV 2014 disumbang oleh
sektor pertambangan yang tercatat tumbuh hingga 30,50% (yoy) dan 38,66%
(qtq). Pertumbuhan tersebut utamanya berasal dari subsektor jasa pertambangan
minyak dan gas bumi yang tercatat tumbuh meningkat sebesar 58,56% (qtq).
Meskipun pertumbuhan pada kredit sektor pertambangan cukup tinggi namun
pangsa kredit pertambangan terhadap total kredit hanya sebesar 0,73% sehingga
andil terhadap pertumbuhan kredit tidak terlalu besar.
Sektor lain yang juga menyerap kredit cukup besar adalah sektor jasa-jasa yaitu
mencapai Rp4,30 triliun dengan share yang meningkat dari 7,93% di triwulan
sebelumnya menjadi 8,53% di triwulan IV 2014. Dari segi pertumbuhan, secara
tahunan sektor jasa-jasa mengalami kontraksi sebesar 7,12% (yoy), namun tumbuh
6,37% (qtq) dibandingkan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, sektor industri
pengolahan tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 16,93% (yoy) dan 7,81%
(qtq), cenderung meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 13,66% (yoy) dan turun sebesar 3,65% (qtq). Penyerapan kredit pada
sektor ini sebagian besar terkonsentrasi pada subsektor industri minyak mentah
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
44
(minyak makan) dari nabati dan hewan yang mengolah hasil dari perkebunan
kelapa sawit yang banyak tersebar di Provinsi Riau, yaitu mencapai Rp 658,28 miliar
atau 32,40% dari total kredit sektor industri pengolahan. Selanjutnya, penyaluran
kredit kepada sektor konstruksi masih menunjukkan kontraksi yaitu sebesar 2,17%
(yoy) namun tidak sedalam kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar
7,79% (yoy). Penyaluran kredit sektor listrik, gas, dan air tumbuh sebesar 19,79%
pada triwulan IV 2014 membaik dibandingkan yang pada triwulan sebelumnya
yang mengalami kontraksi 10,19% (yoy).
Tabel 3.4. Kredit Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Riau (Rp juta)
Berdasarkan jenis penggunaannya, penyaluran kredit pada triwulan IV 2014
sebagian besar disalurkan kepada sektor produktif yaitu mencapai Rp 32,94 triliun.
Sementara penyaluran pada kredit konsumsi sebesar Rp 19,34 triliun. Komponen
kredit produktif terdiri dari kredit modal kerja dan kredit investasi yang masing-
masing memiliki pangsa sebesar 31,21% dan 31,79% dari total kredit yang
disalurkan.
Pertumbuhan kredit modal kerja mengalami sedikit perlambatan dibandingkan
triwulan sebelumnya yaitu dari 7,99% (yoy) menjadi 5,87% (yoy). Di sisi lain,
pertumbuhan kredit investasi menunjukkan peningkatan dari sebesar 5,01% (yoy)
menjadi 8,05% (yoy). Sementara,kredit konsumsi tercatat mengalami perlambatan
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 8,49% (yoy) menjadi 7,77% (yoy)
atau sebesar Rp 19,34 triliun.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
45
Grafik 3.3.Perkembangan Pangsa Kredit Menurut Jenis Penggunaan (%)
Perlambatan pada pertumbuhan Kredit Modal Kerja sebagian besar masih
disumbang oleh subsektor perkebunan kelapa sawit yang tercatat sebesar Rp2,49
triliun yang tumbuh melambat dari 40,54% (yoy) menjadi sebesar 22,18% (yoy).
Selain itu, kontraksi kredit modal kerja pada subsektor perdagangan eceran
berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau juga
mendorong perlambatan penyerapan kredit modal kerja pada triwulan laporan.
Jumlah kredit modal kerja pada subsektor ini tercatat sebesar Rp1,98 triliun atau
tercatat mengalami kontraksi sebesar 14,46% (yoy). Peningkatan kredit investasi
utamanya didorong oleh peningkatan kredit investasi kepada subsector
perkebunan kelapa sawit yang mencapai Rp7,59 triliun atau tumbuh meningkat
dari 14,02% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 14,54% (yoy) pada triwulan IV
2014.
Grafik 3.4. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (qtq)
Grafik 3.5. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Menurut Jenis Penggunaan (yoy)
Realisasi kredit berdasarkan lokasi proyek di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
tumbuh meningkat dibandingkan periode sebelumnya yaitu dari 9,23% (yoy) pada
triwulan III 2014 menjadi 10,29% (yoy). Berdasarkan wilayahnya, penyerapan kredit
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2009 2010 2011 2012 2013 2014
qtq
,%
Modal Kerja (qtq) Investasi (qtq)
Konsumsi (qtq) Total
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
46
paling besar masih terpusat di Kota Pekanbaru yaitu mencapai Rp28,80 triliun,
diikuti oleh Kabupaten Kampar yang mencatatkan serapan kredit hingga Rp8,83
triliun. Penyaluran kredit di Kota Pekanbaru tumbuh stabil yaitu sebesar 7,64%
(yoy). Selanjutnya, penyaluran kredit di Kabupaten Kampar tumbuh 9,38% (yoy),
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 7,15% (yoy). Dilihat
dari pertumbuhannya, penyaluran kredit di Kabupaten Indragiri Hilir mengalami
peningkatan yang signifikan hingga mencapai 239% (yoy) yang utamanya berasal
dari sektor pertanian. Di sisi lain, penyaluran kredit di Kota Dumai kembali
menunjukkan kontraksi yang lebih dalam dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu
sebesar 39,86% (yoy) akibat melambatnya penyaluran kredit sektor perdagangan.
Tabel 3.5. Distribusi Penyaluran Kredit Lokasi Proyek Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau (Rp juta)
Total rekening kredit pada bank umum di triwulan IV 2014 berjumlah 512.588
rekening, meningkat 7.148 rekening dibandingkan periode sebelumnya. Berbeda
dibandingkan triwulan sebelumnya, total rekening UMKM pada triwulan IV 2014
lebih besar dibandingkan jumlah rekening non UMKM. Kenaikan jumlah rekening
berasal dari kategori debitur UMKM yang tumbuh sebesar 3,16% (qtq)
dibandingkan periode sebelumnya atau menjadi 257.386 rekening, sedangkan
rekening non-UMKM mengalami penurunan sebesar 0,28% menjadi 255.202
rekening.
Grafik 3.6.Perkembangan Jumlah Rekening Kredit Perbankan
IV I II III IV yoy (%) qtq (%)
1 Pekanbaru 26.757.453 26.520.104 27.742.506 27.885.963 28.802.595 7,64 3,29
2 Bengkalis 3.785.837 3.771.437 3.947.862 3.891.743 4.017.021 6,11 3,22
3 Dumai 8.300.244 8.359.329 6.708.876 5.478.910 4.991.981 (39,86) (8,89)
4 Indragiri Hilir 2.436.017 2.484.726 6.181.447 6.428.477 8.258.084 239,00 28,46
5 Indragiri Hulu 3.775.862 3.702.339 3.904.106 3.942.846 4.174.278 10,55 5,87
6 Rokan Hulu 3.559.387 3.487.928 3.648.069 3.784.887 3.781.254 6,23 (0,10)
7 Rokan Hilir 2.281.114 2.566.084 2.615.149 2.628.794 2.709.162 18,76 3,06
8 Kampar 8.072.888 8.050.638 8.447.262 8.472.008 8.830.210 9,38 4,23
9 Pelalawan 3.328.846 3.253.929 3.531.341 3.233.269 2.697.431 (18,97) (16,57)
10 Siak 3.094.771 3.051.732 3.226.964 3.238.054 3.851.485 24,45 18,94
11 Meranti 347.921 303.975 339.516 345.026 373.667 7,40 8,30
12 Kuantan Singingi 2.020.429 2.034.995 2.098.826 2.111.501 2.244.801 11,11 6,31
67.760.769 67.587.218 72.391.925 71.441.476 74.731.969 10,29 4,61 Jumlah
Pertumbuhan Tw IV-No Kab./Kota
2013 2014
0%
10%
20%30%
40%50%
60%70%
80%
90%
100%
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013 2014
UMKM Non-UMKM
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
47
2.1.3.3. Penyaluran Kredit UMKM
Total kredit yang disalurkan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
oleh bank umum di Provinsi Riau mencapai Rp20,03 triliun pada triwulan IV 2014,
meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 13,51% (yoy) menjadi
13,73%(yoy). Porsi kredit yang diserap UMKM dari total kredit yang diberikan bank
umum di Provinsi Riau tercatat stabil dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu
sebesar 38,32%. Penyaluran kredit skala usaha mikro memiliki pertumbuhan
tertinggi pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar 25,12% (yoy). Di sisi lain,
perkembangan kredit skala usaha kecil yang memiliki pangsa terbesar kredit UMKM
Riau (37,60%) pada triwulan IV 2014 tercatat melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya.
Selanjutnya, pangsa kredit skala usaha menengah tercatat sebesar 35,43% dengan
nilai kredit mencapai Rp7,1 triliun. Dilihat berdasarkan lokasinya, penyerapan kredit
UMKM di Kota Pekanbaru merupakan yang tertinggi dengan pangsa 57,77% dari
total kredit UMKM yaitu mencapai Rp11,57 triliun. Sementara, perkembangan
kualitas kredit UMKM perlu mendapat perhatian karena meskipun NPL tercatat
membaik dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 5,99% menjadi 5,49%,
namun NPL masih berada di atas batas wajar yang ditentukan BI yaitu sebesar 5%.
Tabel 3.6. Perkembangan Kredit UMKM di Provinsi Riau (Rp juta)
Ket : Kriteria UMKM mengikuti UU No.20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
NPL tertinggi pada Kredit UMKM berada pada sektor konstruksi yaitu sebesar
8,53% yang diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 6,46%
dan sektor jasa-jasa sebesar 5,69%. Dilihat dari pangsanya, sektor Perdagangan,
Hotel dan restoran merupakan sektor yang terbesar dalam penyaluran kredit
UMKM di Riau, sehingga tingginya NPL pada kedua sektor tersebut perlu menjadi
perhatian bagi pihak perbankan.
III IV I II III IV Tw III-14 Tw IV-14 qtq, % Pangsa (%)
Mikro 4.287.628 4.317.958 4.424.699 5.210.241 4.940.401 5.402.536 15,22 25,12 9,35 26,97
Kecil 6.566.675 6.912.290 7.030.433 7.279.402 7.669.811 7.531.647 16,80 8,96 (1,80) 37,60
Menengah 6.490.190 6.384.535 6.639.789 7.263.815 7.077.558 7.098.507 9,05 11,18 0,30 35,43
Kredit MKM 17.344.493 17.614.783 18.094.921 19.753.458 19.687.770 20.032.690 13,51 13,73 1,75 100,00
NPL MKM 5,38% 4,83% 5,13% 5,82% 5,99% 5,49%
Total Kredit 47.548.033 48.745.468 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437
(% terhadap Total Kredit) 36,48% 36,14% 37,32% 38,99% 38,62% 38,32%
yoy,% Tw IV- 2014 Skala Usaha
2013 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
48
Tabel 3.7. NPLs Kredit UMKM di Provinsi Riau Tw IV 2014 Menurut Sektor Ekonomi
Dilihat secara sektoral, penyerapan kredit UMKM masih didominasi oleh sektor
perdagangan, hotel dan restoran dengan pangsa mencapai 43,12% dari total
kredit UMKM. Subsektor yang memiliki porsi kredit terbesar adalah subsektor
perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman
dan tembakau, yaitu mencapai Rp2,32 triliun. Selanjutnya sektor pertanian juga
menyerap kredit UMKM dalam jumlah yang besar yaitu sebesar Rp6,59 triliun
(pangsa 32,89%) pada triwulan IV 2014 dengan porsi terbesar adalah kredit
subsektor perkebunan kelapa sawit yaitu mencapai Rp 5,75 triliun.
Tabel 3.8. Sebaran Kredit UMKM menurut Sektor Ekonomi (Rp juta)
Porsi kredit yang diberikan kepada UMKM paling besar diserap dalam bentuk kredit
modal kerja yaitu mencapai Rp11,80 triliun (pangsa 58,92%). Sementara jumlah
kredit UMKM yang disalurkan dalam bentuk kredit investasi pada triwulan IV 2014
mencapai Rp8,23 triliun (pangsa 41,08%). Penyerapan kredit investasi memiliki
pertumbuhan yang meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari
11,88% (yoy) menjadi 12,64% (yoy). Di sisi lain penyaluran kredit modal kerja
tumbuh relatif stabil yaitu sebesar 14,50% (yoy). Secara umum, pertumbuhan
Sektor ekonomi NPL (%)
Pertanian 3,87
Pertambangan 4,34
Industri Pengolahan 3,33
Listrik, Gas dan Air 1,53
Konstruksi 8,53
Perdagangan Hotel dan Restoran 6,46
Pengangkutan, Pergudangan dan Komunikasi 5,34
Jasa-jasa 5,69
Lain-lain 5,87
Total 5,49
III IV I II III IV Tw III-2014 Tw IV-2014
1 Pertanian 5.123.883 5.347.401 5.538.770 6.137.287 6.351.038 6.589.237 23,95 23,22 32,89
2 Pertambangan 92.032 102.510 102.663 95.482 103.340 127.905 12,29 24,77 0,64
3 Perindustrian 294.894 290.038 306.847 330.424 349.239 393.370 18,43 35,63 1,96
4 Listrik, Gas dan Air 11.898 11.587 99.833 103.551 85.721 112.589 620,47 871,67 0,56
5 Konstruksi 909.977 915.573 862.249 1.076.985 1.121.439 1.137.332 23,24 24,22 5,68
6 Perdag., Resto. & Hotel 8.248.008 8.291.906 8.381.922 8.740.109 8.614.234 8.638.755 4,44 4,18 43,12
7 Pengangkutan, Pergud. 753.635 778.492 862.778 954.817 789.588 748.616 4,77 (3,84) 3,74
8 Jasa-jasa 1.909.171 1.875.077 1.934.210 2.189.297 2.208.914 2.198.666 15,70 17,26 10,98
9 Lain-lain 996 2.200 5.649 125.506 64.256 86.221 6.353,53 3.820,00 0,43
17.344.493 17.614.783 18.094.921 19.753.458 19.687.770 20.032.690 13,51 13,73 100,00
Pangsa Tw IV-
2014 (%)
2013 yoy (%)2014
Jumlah
No. Sektor Ekonomi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
49
kredit UMKM tercatat lebih tinggi dari pertumbuhan kredit perbankan secara
umum.
Tabel 3.9. Sebaran Kredit UMKM menurut Jenis Penggunaan (Rp juta)
Jumlah rekening kredit UMKM pada bank umum di Provinsi Riau pada triwulan IV
2014 mengalami kenaikan sebesar 7.875 rekening sehingga jumlahnya meningkat
dari 249.511 rekening menjadi 257.386 rekening. Peningkatan rekening kredit
UMKM tersebut memperlihatkan perluasan askes keuangan dan layanan
perbankan terhadap UMKM di Provinsi Riau semakin membaik.
2.1.3.4. Kelonggaran Tarik (Undisbursed Loan)
Jumlah kredit yang belum dicairkan atau Undisbursed Loan triwulan IV 2014
mencapai Rp5,04 triliun meningkat tinggi sebesar16,62% (yoy). Porsi Undisbursed
Loan di Provinsi Riau mencapai 9,63% dari total kredit yang diberikan bank umum
Provinsi Riau. Pertumbuhan Undisbursed Loan bank umum di Provinsi Riau baik
milik pemerintah maupun milik swasta tercatat meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya, yaitu masing-masing tumbuh menjadi 35,96% (yoy) dan 7,51% (yoy).
Pangsa terbesar Undisbursed Loan masih berada di bank milik swasta.
Grafik 3.7. Perkembangan Undisbursed Loan Bank Umum di Riau
III IV I II III IV Tw III-2014 Tw IV-2014
Investasi 7.224.688 7.305.573 7.631.556 8.307.849 8.083.107 8.228.757 11,88 12,64
Modal Kerja 10.119.805 10.309.210 10.463.366 11.445.609 11.604.663 11.803.933 14,67 14,50
Kredit UMKM 17.344.493 17.614.783 18.094.921 19.753.458 19.687.770 20.032.690 13,51 13,73
Total Kredit Perbankan 47.548.033 48.745.468 48.487.679 50.668.252 50.978.867 52.283.437 7,22 7,26
yoy (%)Keterangan
2013 2014
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
Tw I 11 Tw II11
Tw III11
Tw IV11
Tw I 12 Tw II12
Tw III12
Tw IV12
Tw I 13 Tw II-13
Tw III-13
Tw IV-13
Tw I-14 Tw II-14
Tw III-14
Tw IV-14
Pemerintah 1,72 1,50 1,57 1,83 1,88 1,67 1,62 1,41 1,32 1,31 1,62 1,38 1,64 1,52 1,87 1,88
Swasta 1,65 1,97 2,19 2,00 2,01 1,96 2,24 2,34 2,44 2,69 3,12 2,94 2,85 3,07 3,21 3,16
Total 3,36 3,47 3,77 3,83 3,89 3,63 3,86 3,75 3,76 4,01 4,74 4,32 4,49 4,60 5,08 5,04
Rp Triliun
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
50
Berdasarkan jenis penggunaan, kredit modal kerja mendominasi porsi undisbursed
loan pada bank umum. Total undisbursed loan dalam bentuk kredit modal kerja
mencapai Rp3,82 triliun, atau 75,89% dari total undisbursed loan di bank umum.
Secara sektoral, undisbursed loan terbesar berada di sektor perdagangan yaitu
mencapai Rp1,59 triliun, utamanya berasal dari subsektor perdagangan eceran
berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan tembakau yang
mencapai Rp169,29 miliar. Subsektor perkebunan kelapa sawit juga memiliki
undisbursed loan yang tinggi yaitu hingga sebesar Rp 513,1 miliar. Tingginya angka
Undisbursed Loan tersebut diperkirakan akibat dari pencairan kredit yang dilakukan
secara bertahap, sehingga kredit yang diberikan bank belum digunakan seluruhnya
oleh para pelaku usaha.
2.1.3.5. Risiko Kredit
NPLs kredit bank umum pada periode pelaporan menunjukkan penurunan
dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 3,57% menjadi 3,23%. Tingkat NPL
kredit bank umum yang menurun menunjukkan membaiknya kualitas kredit yang
disalurkan bank umum di Provinsi Riau dalam kurun waktu 3 bulan terakhir.
Grafik 3.8. Perkembangan NPL Gross di Provinsi Riau
Dilihat dari sektor ekonominya, NPL tertinggi masih dialami oleh sektor konstruksi
yaitu sebesar 7,64%, meningkat dibandingkan triwulan III 2014 yang sebesar
7,27%. Tingginya NPL pada sektor konstruksi utamanya didorong oleh kredit
bermasalah pada sektor konstruksi di Kota Pekanbaru. Subsektor penyiapan lahan
lainnya tercatat memberikan porsi kredit bermasalah tertinggi dari total NPL di
sektor konstruksi Kota Pekanbaru.
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
Tw I11
Tw II11
Tw III11
TwIV 11
Tw I12
Tw II12
Tw III12
TwIV 12
Tw I13
Tw II13
Tw III13
TwIV 13
Tw I14
Tw II14
Tw III14
TwIV14
%Rp miliar
Kurang Lancar Diragukan Macet NPLs (kanan)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
51
Beberapa sektor lain yang memiliki NPL cukup tinggi pada periode laporan ini
adalah sektor perdagangan sebesar 5,36% dan sektor jasa sosial masyarakat
sebesar 4,18%, namun untuk kedua sektor tersebut angka NPL yang tercatat
menunjukkan perbaikan dibandingkan triwulan sebelumnya.
Tabel 3.10. NPLs Per Sektor Ekonomi di Provinsi Riau
Berdasarkan Kab/Kota, Kabupaten Indragiri Hilir tercatat memiliki NPL tertinggi
yaitu 9,03%, dan menunjukkan tren yang cenderung meningkat dalam kurun
waktu empat tahun terakhir. Secara sektoral, NPL di Kabupaten Indragiri Hilir
berasal dari sektor perdagangan yang didominasi oleh subsektor perdagangan
eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan, minuman dan
tembakau. Sementara dilihat dari jenis penggunaannya, mayoritas NPL berasal dari
kredit konsumsi.
Tabel 3.11. NPLs Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
Selanjutnya, NPL yang cukup tinggi juga dialami Kabupaten Rokan Hilir yang
tercatat sebesar 4,92%, namun membaik dibandingkan periode sebelumnya. NPL
juga didorong oleh Sektor Perdagangan besar dan Eceran yang didominasi oleh
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
1 Pertanian 2,73% 2,78% 3,08% 2,66% 2,82% 2,65% 2,53% 2,34%
2 Pertambangan 0,60% 0,42% 0,32% 0,36% 1,71% 1,68% 2,24% 1,56%
3 Perindustrian 1,09% 1,10% 1,09% 0,64% 0,74% 0,76% 0,77% 0,66%
4 Listrik 0,54% 0,20% 0,26% 0,16% 0,17% 1,54% 1,57% 1,43%
5 Konstruksi 7,91% 6,61% 6,00% 5,95% 6,54% 7,94% 7,27% 7,64%
6 Perdagangan 4,33% 4,31% 4,78% 4,33% 4,90% 5,47% 5,82% 5,36%
7 Pengangkutan 0,52% 1,87% 2,48% 2,97% 3,21% 2,83% 3,23% 3,02%
8 Jasa Dunia Usaha 2,51% 2,59% 3,91% 3,66% 4,85% 4,46% 4,61% 4,14%
9 Jasa Sosial Masy. 4,65% 4,80% 5,48% 4,44% 3,94% 4,47% 4,56% 4,18%
10 Lain-lain 2,94% 2,75% 2,80% 2,32% 2,57% 2,70% 2,61% 2,24%
3,21% 3,19% 3,48% 3,06% 3,32% 3,54% 3,57% 3,23%Total
No. Sektor Ekonomi20142013
I II III IV
Kota Pekanbaru 2,10% 2,92% 2,95% 3,22% 3,35% 3,43% 3,17%
Kota Dumai 1,58% 2,25% 2,95% 3,10% 4,06% 4,26% 3,53%
Kab. Bengkalis 1,89% 3,68% 3,04% 3,47% 4,26% 4,22% 3,77%
Kab. Indragiri Hulu 1,09% 3,24% 5,49% 5,64% 5,41% 5,57% 4,33%
Kab. Indragiri Hilir 1,29% 6,09% 7,86% 8,54% 8,93% 9,50% 9,03%
Kab. Kampar 1,04% 1,60% 1,40% 2,06% 2,25% 2,10% 1,80%
Kab. Rokan Hulu 1,97% 2,23% 1,81% 2,35% 3,16% 3,13% 2,78%
Kab. Rokan Hilir 4,47% 6,73% 5,94% 6,38% 6,59% 6,07% 4,92%
Kab. Pelalawan 0,90% 0,55% 1,27% 1,28% 1,52% 1,24% 0,99%
Kab. Siak 1,46% 1,43% 1,38% 1,39% 1,60% 1,54% 1,57%
Kab. Kuantan Singingi 0,92% 1,11% 2,58% 2,27% 2,05% 1,84% 1,68%
Kab. Kep. Meranti 1,52% 1,63% 1,68% 2,44% 1,92% 1,42%
JUMLAH 2,35% 2,89% 3,06% 3,32% 3,54% 3,57% 3,23%
Lokasi 2011 2012 20132014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
52
subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi makanan,
minuman dan tembakau.
2.1.4. Dana Pihak Ketiga
Dana Pihak Ketiga (DPK) bank umum di provinsi Riau pada triwulan IV tercatat
tumbuh sebesar 15,52% (yoy) menjadi Rp64,14 triliun, meningkat jika
dibandingkan triwulan III yang tumbuh sebesar 11,44 % (yoy). Komponen DPK
yang memiliki pangsa terbesar adalah tabungan yaitu sebesar 45,96% yang
kemudian diikuti dengan deposito dan giro yang memiliki pangsa masing-masing
sebesar 32,65% dan 21,40%. Komponen giro dan deposito tumbuh meningkat
pada triwulan IV 2014 masing-masing sebesar 3,20% (yoy) dan 53,56% (yoy),
sedangkan komponen tabungan tumbuh melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu sebesar 3,11% (yoy). Namun secara triwulanan komponen DPK
bank umum di Provinsi Riau memiliki pertumbuhan yang melambat. Hal ini tidak
terlepas dari komponen giro yang kembali mengalami penurunan sebesar 7,45%
(qtq) dan deposito turun 0,13% (qtq) meskipun tabungan tumbuh meningkat
sebesar 6,86% (qtq).
Tabel 3.12. Perkembangan DPK di Provinsi Riau (Rp miliar)
Berdasarkan kepemilikannya, perlambatan dalam pertumbuhan DPK secara
triwulanan didorong oleh penurunan dana milik pemerintah sebesar 29,78% (qtq).
Penurunan ini disumbang utamanya oleh penurunan dana milik pemerintah daerah
yang memiliki pangsa 82,86% dari total dana milik pemerintah. Dana milik
pemerintah daerah pada triwulan IV 2014 mengalami penurunan sebesar 31,36%
(qtq), meskipun secara tahunan meningkat 46,95% (yoy).
Disisi lain, dana milik sektor swasta mengalami peningkatan sebesar 5,07% (yoy)
dan 29,88% (qtq). Kenaikan dana milik sektor swasta didorong oleh kenaikan dana
milik perusahaan swasta sebesar 5,69% (yoy) dan 31,83% (qtq). Dana milik
I II III IV I II III IV yoy qtq
1 Giro 15.784 16.721 15.833 13.298 12.557 16.864 14.828 13.724 3,20 (7,45)
2 Tabungan 23.838 23.861 25.714 28.588 27.364 26.937 27.587 29.478 3,11 6,86
3 Deposito 13.132 15.408 15.332 13.638 14.546 16.995 20.969 20.941 53,56 (0,13)
a. s.d 3 bln 9.902 12.562 12.572 10.749 11.081 13.519 17.344 16.841 56,68 (2,90)
b. > 3-6 bln 1.745 1.667 1.470 1.610 1.925 1.552 1.566 1.692 5,09 8,02
c. > 6-12 bln 1.201 994 1.085 935 1.139 1.692 1.827 1.878 100,90 2,80
d. > 12 bln 284 184 205 344 400 232 232 531 54,16 128,76
52.754 55.990 56.878 55.524 54.466 60.795 63.384 64.143 15,52 1,20
Pertumbuhan (%) Tw IV 2014
Total DPK
No Komponen DPK2013 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
53
perorangan tumbuh stabil dibandingkan periode sebelumnya yaitu mencapai
11,87% (yoy) dan 7,88% (qtq), yang utamanya didorong oleh peningkatan
deposito dan tabungan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat suku bunga
saat ini cukup menarik bagi masyarakat, sehingga jumlah dana yang dihimpun
perbankan meningkat.
Tabel 3.13. Perkembangan DPK di Provinsi Riau Menurut Kepemilikan (Rp juta)
Total rekening dana bank umum Provinsi Riau pada triwulan IV mencapai
3.685.168 rekening meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat
berjumlah 3.613.045. Jumlah rekening dana tumbuh sebesar 6,67% (yoy),
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 14,62% (yoy).
Peningkatan jumlah rekening dana Provinsi Riau pada triwulan IV berasal dari
pembukaan 69.054 rekening tabungan, 2.581 rekening deposito, dan 488
rekening giro. Dilihat dari pertumbuhannya, pembukaan rekening deposito
memiliki pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 11,80% (yoy), diikuti dengan
tabungan sebesar 6,70% (yoy) dan giro sebesar 1,57% (yoy).Peningkatan jumlah
rekening dana yang juga searah dengan peningkatan DPK di bank umum
menunjukkan bahwa tingkat suku bunga perbankan saat ini dipandang prospektif
oleh masyarakat. Selain itu, hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan inklusi
keuangan di Provinsi Riau.
IV III IV I II III IV yoy qtq
9.105.668 13.204.736 7.345.905 8.093.251 14.316.253 15.444.957 10.845.951 47,65 -29,78
1 Pemerintah Pusat 388.934 366.284 272.111 389.211 362.380 349.443 245.328 -9,84 -29,79
2 Pemerintah Daerah 7.794.785 11.975.709 6.115.631 6.655.970 12.084.807 13.093.248 8.986.882 46,95 -31,36
3 Badan/ Lembaga Pemerintah 119.414 107.994 58.409 109.858 96.784 112.106 55.851 -4,38 -50,18
4 Badan Usaha Milik Negara 704.665 569.608 780.138 780.654 1.723.426 1.837.297 1.485.439 90,41 -19,15
5 Badan Usaha Milik Daerah 97.870 185.141 119.616 157.558 48.857 52.863 72.451 -39,43 37,05
8.557.573 7.186.205 8.863.838 7.398.097 7.361.210 7.170.852 9.313.249 5,07 29,88
6 Perusahaan Asuransi 109.135 110.889 112.587 114.652 100.800 103.120 118.861 5,57 15,26
7 Perusahaan Swasta 7.504.515 6.290.914 7.797.562 6.428.695 6.483.030 6.251.271 8.241.175 5,69 31,83
8 Yayasan dan Badan Sosial 771.308 627.435 769.038 671.376 606.358 650.475 767.233 -0,23 17,95
9 Koperasi 159.213 145.290 172.191 169.698 166.776 162.624 185.980 8,01 14,36
10 Lainnya 13.402 11.678 12.459 13.676 4.246 3.362 2.953 -76,30 -12,17
34.579.298 36.487.409 39.314.143 38.974.939 39.117.748 40.768.025 43.980.711 11,87 7,88
52.242.540 56.878.350 55.523.886 54.466.287 60.795.211 63.383.834 64.139.911 15,52 1,19
Pertumbuhan (%)2012 2013 2014
Jumlah
Sektor Swasta
Sektor Pemerintah
Perorangan
No Kepemilikan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
54
Grafik 3.9. Perkembangan Jumlah Rekening Dana
Berdasarkan Kota/Kabupaten, Kota Pekanbaru masih merupakan daerah yang
menyerap DPK terbesar pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar Rp 34,96 triliun atau
54,51% dari total DPK di Propinsi Riau, namun DPK Kota Pekanbaru tumbuh
melambat yaitu sebesar 1,08% (yoy) jika dibandingkan triwulan III 2014 yang
tumbuh 14,30% (yoy). Jika dilihat secara triwulanan DPK Kota Pekanbaru
mengalami kontraksi sebesar 11,44% (qtq). Adapun pertumbuhan yang meningkat
dari DPK Provinsi Riau didorong salah satunya oleh Kabupaten Bengkalis yang
merupakan pangsa DPK terbesar kedua di Provinsi Riau. DPK Kabupaten Bengkalis
meningkat secara signifikan sebesar 56,99% (yoy) menjadi Rp 6,73 triliun di
Triwulan IV 2014. Kabupaten Rokan Hulu masih menjadi lokasi dengan
pertumbuhan penghimpunan dana tertinggi yaitu tumbuh meningkat hingga
145,88%, namun pangsa DPK di Kabupaten Rokan Hulu masih merupakan yang
terendah setelah Kabupaten Meranti dan Kuantan Singingi.
Tabel 3.14. Penghimpunan DPK Berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Riau
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Giro 56.973 57.747 58.671 59.227 60.831 60.944 61.917 62.101 63.878 62.582 62.585 63073
Tabungan 2.411.87 2.526.52 2.668.86 2.688.79 2.849.17 2.881.76 3.046.48 3.346.94 3.467.061 3.461.02 3.502.26 3571323
Deposito 43.568 42.853 43.054 44.051 244.664 43.458 43.886 45.413 47.369 46.811 48.191 50772
Total 2.512.41 2.627.12 2.770.59 2.792.06 3.154.67 2.986.17 3.152.28 3.454.46 3.578.30 3.570.41 3.613.04 3.685.16
-
500.000
1.000.000
1.500.000
2.000.000
2.500.000
3.000.000
3.500.000
4.000.000
I II III IV I II III IV III-2014 IV-2014 IV-2014
1 Pekanbaru 31.914.153 33.275.692 34.538.207 34.589.115 34.593.620 37.838.302 39.478.858 34.962.196 14,30 1,08 54,51
2 Bengkalis 4.808.789 5.283.058 5.275.732 4.286.310 3.999.920 4.871.172 4.918.565 6.729.011 (6,77) 56,99 10,49
3 Dumai 4.273.823 4.318.030 4.653.006 4.905.930 4.650.967 4.732.253 4.910.925 4.038.655 5,54 (17,68) 6,30
4 Indragiri Hilir 1.976.805 2.121.300 2.085.913 1.993.557 2.171.498 2.202.073 2.153.477 2.562.969 3,24 28,56 4,00
5 Indragiri Hulu 2.174.236 2.310.321 2.208.729 2.153.659 2.033.563 2.210.084 2.298.624 2.436.551 4,07 13,14 3,80
6 Kampar 1.138.308 1.170.466 1.216.432 1.393.224 1.086.369 1.427.954 1.374.764 2.063.726 13,02 48,13 3,22
7 Rokan Hulu 611.784 643.119 584.694 664.798 744.830 904.385 888.629 1.634.629 51,98 145,88 2,55
8 Rokan Hilir 1.633.183 1.972.962 1.673.537 1.308.436 1.206.136 1.649.956 1.867.377 2.942.892 11,58 124,92 4,59
9 Kuantan Singingi 907.579 992.020 970.529 915.030 897.188 1.088.802 1.091.527 1.249.041 12,47 36,50 1,95
10 Meranti 671.168 790.035 687.035 743.045 640.059 747.813 868.088 717.435 26,35 (3,45) 1,12
11 Siak 1.598.446 1.946.899 1.769.969 1.505.950 1.399.299 1.892.753 2.110.305 2.729.403 19,23 81,24 4,26
12 Pelalawan 1.045.494 1.166.168 1.214.567 1.064.832 1.042.836 1.229.665 1.422.696 2.076.579 17,14 95,01 3,24
52.753.768 55.990.071 56.878.350 55.523.886 54.466.285 60.795.211 63.383.834 64.143.087 11,44 15,52 100,00
Pangsayoy,%2013 2014
No.
Jumlah
Kab./Kota
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
55
2.1.5. Perkembangan Loan to Deposit Ratio (LDR)
Loan to Deposit Ratio (LDR) bank umum di Provinsi Riau pada triwulan laporan
tercatat mengalami peningkatan dari 80,43% pada triwulan III 2014 menjadi
81,78%. Peningkatan LDR tersebut tidak terlepas dari peningkatan nilai kredit yang
lebih besar pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Sejalan dengan hal tersebut LDR berdasarkan lokasi proyek juga mengalami
peningkatan dibandingkan periode sebelumnya yaitu dari 112,71% pada triwulan
III 2014 menjadi 116,51%. Namun demikian, LDR berdasarkan lokasi proyek di
Provinsi Riau lebih tinggi dibanding angka LDR nasional yang tercatat sebesar
91,98%.
Grafik 3.10. Perkembangan LDR Di Provinsi Riau
Ket : LDR1 = LDR berdasarkan kredit lokasi proyek *) Data s.d. Agustus 2014
2.1.6. Profitabilitas
2.1.6.1. Spread Bunga
Suku bunga rata-rata tertimbang kredit bank umum di Provinsi Riau pada triwulan
IV 2014 relatif stabil dibandingkan triwulan III 2014, sementara suku bunga dana
mengalami peningkatan. Suku bunga tertimbang kredit bank umum menurun tipis
yaitu sebesar 3 bps menjadi13,28%, sedangkan untuk suku bunga tertimbang
dana dengan acuan suku bunga deposito 3 bulan meningkat sebesar 80 bps dari
level 7,63% di triwulan III 2014 menjadi 8,43% pada triwulan laporan.
Terdapatnya peningkatan suku bunga dana yang cukup besar bila dibandingkan
dengan suku bunga kredit yang relatif stabil pada triwulan IV 2014 menyebabkan
Tw I-11 Tw II-11Tw III-
11Tw IV-
11Tw I-12 Tw II-12
Tw III-12
Tw IV12
Tw I 13 Tw II 13 Tw III 13Tw IV
13Tw I 14 Tw II 14 Tw III 14 Tw IV14
LDR 75.2% 75.9% 76.5% 80.3% 77.2% 80.1% 78.3% 83.2% 83.60% 83.14% 83.60% 87.79% 89.02% 83.34% 80.43% 81.78%
LDR1*) 114.0% 112.1% 113.7% 113.7% 108.5% 111.0% 111.4% 114.9% 115.00% 113.68% 114.99% 120.12% 123.05% 119.08% 112.71% 115.06%
Nasional* 77.2% 80.0% 81.7% 79.0% 80.8% 83.4% 84.36% 84.53% 85.94% 88.38% 89.92% 90.61% 91.39% 91.15% 91.35% 91.98%
0.0%
20.0%
40.0%
60.0%
80.0%
100.0%
120.0%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
56
margin yang diterima perbankan menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu
dari level 5,68% menjadi 4,85%.
Peningkatan suku bunga dana pada triwulan IV 2014 diperkirakan terkait dengan
kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan BI rate dari 7,50% menjadi 7,75% pada
pertengahan November 2014. Sedangkan stabilnya suku bunga kredit pada
triwulan IV 2014 diperkirakan karena suku bunga kredit telah mencapai level yang
cukup tinggi serta sebagai upaya bank untuk menghindari perlambatan laju
pertumbuhan kredit.
Grafik 3.11. Perkembangan Suku Bunga Rata-Rata Tertimbang Kredit
dan Deposito3 Bulan
2.1.6.2. Pendapatan dan Beban Bunga
Total pendapatan bunga yang dihasilkan bank umum di Provinsi riau pada triwulan
IV 2014 tumbuh 10,01% (yoy) meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan
sebelumnya yang sebesar 10,28% (yoy). Perlambatan pendapatan bunga bank
umum utamanya masih berasal dari kredit yang memiliki pangsa sebesar 78% dari
total pendapatan bunga. Pendapatan bunga dari kredit bank umum tumbuh
melambat dari 10,83% (yoy) pada triwulan sebelumnya menjadi 9,22% (yoy) pada
triwulan laporan. Perlambatan pendapatan bunga kredit tidak terlepas dari suku
bunga kredit yang peningkatannya relatif terbatas.Komposisi pendapatan bunga
utamanya masih berasal dari pendapatan bunga kredit dan diikuti oleh SBI dan
surat berharga.
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
14,00
16,00
18,00
20,00
%
Margin Kredit Deposito 3 bulan BI rate
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
57
Grafik 3.12. Komposisi Pendapatan Bunga (Rp miliar)
Di sisi lain beban bunga bank umum di Provinsi Riau justru mengalami sedikit
peningkatan dilihat dari pertumbuhan tahunan yaitu dari 26,71% (yoy) di triwulan
III 2014 menjadi 27,50% (yoy) di triwulan IV 2014, namun melambat secara
triwulanan yaitu dari 18,47% (qtq) menjadi 5,07% (qtq). Beban bunga pada
deposito masih memiliki pangsa tertinggi yaitu sebesar 42,33% diikuti oleh
tabungan sebesar 13,64%. Jika dilihat secara lebih rinci beban bunga baik pada
deposito dan tabungan tumbuh melambat. Beban bunga deposito melambat dari
66,58% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi 56,80% (yoy) di triwulan, sedangkan
beban bunga tabungan dari 30,35% (yoy) menjadi 21,11% (yoy). Di sisi lain beban
bunga giro mengalami penurunan sebesar 5,07% (yoy) pada triwulan IV 2014.
Grafik 3.13. Komposisi Beban Bunga (Rp miliar)
Meskipun pertumbuhan beban bunga lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan
bunga, jumlah pendapatan bunga bersih pada triwulan laporan tercatat meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya meskipun terbatas. Pendapatan bunga bersih
bank umum pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp 1,20 triliun dari Rp 1,19
triliun pada triwulan sebelumnya.
Tw II10
Tw III10
Tw IV10
Tw I11
Tw II11
Tw III11
Tw IV11
Tw I12
Tw II12
Tw III12
Tw IV12
Tw I13
Tw II13
Tw III13
Tw IV13
Tw I14
TW II14
Tw III14
Tw IV2014
Lainnya 85,7 81,9 86,0 100,4 103,3 110,3 140,4 89,8 84,8 86,0 123,7 99,9 554,7 372,6 351,1 279,9 305,7 394,0 396,0
Antar Bank 45,3 47,4 42,3 28,0 40,6 43,5 34,9 21,3 43,2 47,6 51,9 51,8 63,7 77,1 80,19 33,20 67,13 74,18 83,81
Kredit 994,0 1.048 1.072 1.103 1.115 1.223 1.257 1.243 1.361 1.432 1.464 1.471 1.488 1.572 1.654 1.652 1.657 1.742 1.807
SBI dan surat berharga 30,7 25,1 25,8 36,1 42,7 50,4 55,1 40,5 39,9 42,5 34,6 15,9 30,6 15,6 19,88 17,49 21,04 36,18 29,72
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Tw I 10Tw II
10Tw III
10Tw IV
10Tw I-11
Tw II-11
Tw III-11
Tw IV-11
Tw I-12Tw II-
12Tw III-
12Tw IV-
12Tw I-13
Tw II-13
Tw III-13
Tw IV-13
Tw I-14Tw II-
14Tw III-
14Tw IV-
14
Lainnya 72,72 77,42 88,34 83,19 113,1 110,3 114,0 125,6 101,9 110,2 92,97 102,6 151,3 551,5 336,1 319,0 292,7 225,5 342,7 346,6
Antar Bank 38,02 43,71 44,76 39,83 23,51 16,62 23,25 11,79 7,04 6,13 8,03 8,66 10,29 12,55 29,69 36,68 30,12 59,83 51,28 68,20
Tabungan 107,9 102,8 109,3 116,5 125,0 128,9 133,5 129,0 124,3 110,3 111,4 114,2 115,2 114,3 116,6 125,2 125,7 167,4 152,0 151,6
Deposito 144,7 174,1 160,1 165,3 157,1 193,2 211,7 222,5 206,0 220,2 207,2 207,9 193,6 209,3 254,1 300,1 262,9 348,4 423,2 470,6
Giro 45,32 55,64 57,04 56,06 61,65 63,20 68,20 69,17 66,35 79,24 94,41 98,37 86,81 111,7 98,51 90,98 75,53 92,00 88,89 74,75
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
58
Grafik 3.14. Perkembangan Pendapatan, Beban Bunga serta Pendapatan Bunga Bersih
Bank Umum di Riau
2.2. Perbankan Syariah
Kinerja perbankan syariah pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau menunjukkan
penurunan dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan aset, dan dana masih
menunjukkan arah negatif dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, namun
pembiayaan masih tercatat tumbuh positif serta meningkat dibandingkan triwulan
sebelumnya. Pada triwulan IV 2014 aset perbankan syariah kontraksi sebesar 4,34%
(yoy) sehingga menjadi Rp 4,89 triliun. Share asset bank umum syariah terhadap aset
perbankan secara keseluruhan pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau adalah sebesar
5,63%, turun jika dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang mencapai
5,85%. Jumlah bank syariah maupun kantor cabang bank syariah di Provinsi Riau
tidak berubah dibandingkan dengan periode yang lalu, tercatat beroperasi 13 bank
syariah di lingkup wilayah Provinsi Riau yaitu11 bank umum dan 2 BPR.
Tabel 3.15. Indikator Kinerja Utama PerbankanSyariah di Provinsi Riau (Rp juta)
Penurunan aset didorong oleh penurunan dana yang dihimpun sebesar 5,71% (yoy)
sehingga jumlahnya menjadi Rp3,49 triliun. Di sisi lain pembiayaan syariah hanya
mencatatkan pertumbuhan sebesar 3,56% (yoy). Penurunan dana yang dihimpun
yang diikuti dengan peningkatan kredit menyebabkan FDR meningkat dibandingkan
triwulan sebelumnya dari 95,48%menjadi 99,23%. Kualitas pembiayaan juga
400
500
600
700
800
900
1.000
1.100
1.200
1.300
0
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
1.800
2.000
2.200
Tw
I 0
9
Tw
II
09
Tw
III
09
Tw
IV
09
Tw
I 1
0
Tw
II
10
Tw
III
10
Tw
IV
10
Tw
I-1
1
Tw
II-
11
Tw
III
-11
Tw
IV
-11
Tw
I-1
2
Tw
II-
12
Tw
III
-12
Tw
IV
-12
Tw
I-1
3
Tw
II-
13
Tw
III
-13
Tw
IV
-13
Tw
I-1
4
Tw
II-
14
Tw
III
-14
Tw
IV
-14
Juta
Rp
Juta
Rp
Beban Bunga
Pendapatan Bunga
NII (RHS)
I II III IV I II III IV yoy qtq
1 Jumlah Bank 12 12 13 13 13 13 13 13
2 Aset 4.640.850 5.027.412 5.421.995 5.112.961 5.118.736 5.150.121 5.133.283 4.891.004 -4,34 -4,72
3 DPK 3.568.478 3.675.883 3.939.521 3.705.550 3.819.126 3.751.134 3.600.116 3.493.835 -5,71 -2,95
4 Pembiayaan 3.047.067 3.260.505 3.362.977 3.347.598 3.324.491 3.411.590 3.437.477 3.466.839 3,56 0,85
5 NPF 4,40% 3,89% 4,38% 4,01% 4,76% 5,25% 5,04% 4,70%
6 FDR 85,39% 88,70% 85,37% 90,34% 87,03% 90,95% 95,48% 99,23%
No. Keterangan2013 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
59
menunjukkan perbaikan yang dilihat dari NPF yang menurun pada triwulan laporan
namun masih berada pada level yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan penggunaannya, pembiayaan konsumsi masih memiliki pangsa tertinggi
dibandingkan jenis kredit penggunaan lain yaitu mencapai 47,51% dari total kredit
yang disalurkan perbankan syariah. Pembiayaan konsumsi pada triwulan IV 2014
tumbuh 11,94% hingga mencapai sebesar Rp 1,65 triliun. Sementara itu sektor
produktif yang terdiri dari modal kerja dan investasi memiliki pangsa masing-masing
sebesar 26,01% dan 26,48% dari total kredit perbankan syariah. Dari sisi
pertumbuhannya, kedua jenis pembiayaan sektor produktif ini tercatat mengalami
kontraksi pada triwulan IV 2014 yaitu sebesar 1,85% untuk kredit modal kerja dan
4,12% untuk kredit investasi. Posisi pembiayaan modal kerja untuk perbankan
syariah di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mencapai Rp901,96 miliar, sedangkan
untuk pembiayaan investasi mencapai Rp918,19 miliar.
Peningkatan penyaluran pembiayaan secara sektoral didorong oleh sektor konstruksi,
sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan sektor pertanian, masing-masing
tercatat tumbuh 61,32% (yoy), 39,20% (yoy), dan 23,20% (yoy). Ketiga sektor
tersebut masih menjadi sektor dengan pangsa terbesar pada pembiaayan oleh
perbankan syariah. Pada triwulan IV 2014 sektor pertanian tercatat menyerap
pembiayaan sebesar Rp 458,66 miliar, atau sebesar 13,23% dari total pembiayaan
bank umum syariah. Selanjutnya, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor
konstruksi mencatat penyerapan pembiayaan masing-masing sebesar Rp399,48
miliar dan Rp312,07 miliar.
2.3. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR/S)
Secara umum, kegiatan usaha BPR/S pada triwulan laporan juga menunjukkan
perkembangan yang cukup baik. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan yang
meningkat baik dari sisi aset, dana, maupun jumlah kredit yang disalurkan oleh
perbankan syariah dibandingkan dengan triwulan III 2014. Jumlah BPR/S yang
beroperasi di Provinsi Riau tidak mengalami perubahan dibandingkan triwulan
sebelumnya, yaitu sebanyak 35 BPR/S.
Pada triwulan laporan, aset BPR/S tercatat tumbuh meningkat dari 4,00% (yoy)
pada triwulan sebelumnya menjadi 7,84% (yoy). Peningkatan pertumbuhan aset
didorong oleh adanya peningkatan pada pertumbuhan dana yang dihimpun yaitu
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
60
dari 9,66% (yoy) menjadi 12,26% (yoy). DPK yang dihimpun BPR/S pada triwulan
IV 2014 mencapai Rp809,75 miliar. Peningkatan pada penghimpunan DPK ini tidak
terlepas dari pertumbuhan deposito yang saat ini nilainya telah mencapai Rp
453,67 miliar atau meningkat dari 9,54% (yoy) di triwulan III 2014 menjadi
17,45% (yoy) di triwulan laporan. Di sisi lain, pertumbuhan tabungan justru
melambat dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari 9,79% (yoy) menjadi
6,28% (yoy) atau menjadi sebesar Rp 356,08 miliar.
Jumlah kredit yang disalurkan mencapai Rp 836,11 miliar atau tumbuh 11,35%
(yoy) dan 2,57% (qtq), meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya yang tumbuh
sebesar 7,68% (yoy). Berdasarkan sektoral, peningkatan penyaluran kredit BPR/S
pada triwulan laporan utamanya utamanya disumbang oleh sektor pertanian yang
tumbuh sebesar 19,52 % (yoy) dan sektor perdagangan yang tumbuh sebesar
8,71% (yoy). Kedua sektor tersebut menyerap kredit dengan pangsa terbesar, yaitu
masing-masing tercatat sebesar 30,35% dan 24,73% dari total kredit perbankan
syariah pada triwulan IV 2014.
Peningkatan jumlah dana yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan
jumlah kredit yang disalurkan mengakibatkan terjadinya penurunan nilai LDR
dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu dari 105,83% menjadi 103,26%. Kualitas
kredit yang disalurkan tercatat mengalami perbaikan, tercermin dari penurunan NPL
BPR/S yaitu dari 15,56% menjadi 13,75%. Akan tetapi, NPLs BPR/S masih berada di
atas batas kewajaran yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (5%) sehingga masih
perlu menjadi perhatian bagi pihak bank.
Tabel 3.16. Indikator Kinerja Utama BPR/S di Provinsi Riau (dalam Rp juta)
2.4. Perkembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
Penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 oleh
bank pelaksana KUR mencapai Rp 4,83 triliun, tumbuh 4,43% (qtq) dibandingkan
triwulan sebelumnya. Secara tahunan penyaluran KUR tumbuh melambat yaitu dari
I I I I I I IV I II I I I IV yoy qtq
1. Jumlah BPR/S 33 34 34 34 34 35 35 35 35 35
2. Asset 920,404 1,038,271 1,019,107 1,047,697 1,063,827 1,075,865 1,102,376 1,091,313 1,106,417 1,160,162 7.84 4.86
3. DPK 642,785 694,541 688,364 676,577 702,399 721,299 748,775 744,336 770,216 809,748 12.26 5.13
4. Kredit 617,548 708,530 715,763 748,449 757,009 750,891 762,700 782,561 815,127 836,111 11.35 2.57
5. LDR 96.07% 102.01% 103.98% 110.62% 107.77% 104.10% 101.86% 105.14% 105.83% 103.26%
6. NPLs 8.22% 13.11% 14.44% 14.88% 15.52% 14.22% 15.47% 15.78% 15.56% 13.75%
Pertumbuhan (%)2012Keterangan 2011
2013 2014
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
61
21,08% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 19,95% (yoy) pada triwulan laporan.
Sejalan dengan realisasi KUR, pertumbuhan jumlah debitur juga tumbuh melambat
dari 21,86% (yoy) menjadi 21,15% (yoy). Dilihat dari penyaluran rata-rata KUR
pada triwulan IV 2014 terjadi penurunan dari Rp 23,82 juta/jiwa menjadi Rp 23,72
juta/jiwa.
Tabel 3.17. Perkembangan Penyaluran KUR di Riau
Sumber: Kantor Menko Perekonomian
Sektor pertanian masih merupakan sektor penerima KUR terbesar di Provinsi Riau,
yaitu dengan pangsa 57,45%. Sub-sektor perkebunan kelapa sawit dan
perkebunan karet merupakan jenis perkebunan yang menerima kredit dalam
jumlah yang terbesar. Kondisi ini tidak terlepas dari besarnya peranan sektor
pertanian dalam perekonomian Provinsi Riau disamping migas. Selanjutnya, sektor
perdagangan, hotel dan restoran memiliki pangsa sebesar 35,66% yang didominasi
oleh subsektor perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi
makanan, minuman dan tembakau.Berdasarkan penggunaannya, alokasi KUR di
Provinsi Riau lebih banyak digunakan untuk modal kerja, yaitu sebesar 53,98% dari
total alokasi KUR di Provinsi Riau, dan sisanya KUR untuk investasi.
Grafik 3.15. KUR menurut
Sektor Ekonomi
Grafik 3.16. KUR menurut Jenis
Penggunaan
I II III IV I II III IV
Realisasi KUR 1,964 3,079 3,411 3,680 3,819 4,026 4,202 4,432 4,624 4,829
Outstanding KUR 1,198 1,678 1,734 1,769 1,766 1,684 1,634 1,619 1,576 1,569
Jumlah Debitur (jiwa) 94,246 127,571 138,403 150,366 159,282 168,059 175,735 184,443 194,101 203,598
Rata-Rata (RpJuta/Jiwa) 20.84 24.14 24.65 24.48 23.98 23.96 23.91 24.03 23.82 23.72
Indikator 20112013
20122014
57.45%
0.01%0.92%
0.11%
0.48%
35.66%
0.47%
4.80%
0.08%Pertanian
Pertambangan dan Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas dan Air
Konstruksi
Perdag, hotel dan restoran
Transportasi, Pergudangan danKomunikasi
Jasa
Lain-lain
53.98%
46.02%
Modal Kerja Investasi
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
62
3. Perkembangan Transaksi Pembayaran
3.1. Kondisi Umum
Perkembangan transaksi pembayaran tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
mengalami net outflow, tidak jauh berbeda dengan kondisi historisnya. Hal ini
utamanya didorong oleh outflow yang lebih besar dari inflow. Meningkatnya outflow
Riau pada triwulan laporan diperkirakan karena kebutuhan uang tunai yang masih
tinggi di masyarakat. Sementara itu, transaksi pembayaran non tunai, baik melalui
kliring maupun Real Time Gross Settlement (RTGS) pada triwulan IV 2014 meningkat
dibandingkan triwulan sebelumnya.
3.2. Perkembangan Transaksi Pembayaran Tunai
3.2.1. Aliran Uang Masuk dan Keluar (Inflow Outflow)
Sesuai dengan pola musimannya, perkembangan transaksi pembayaran tunai
mengalami penurunan pada triwulan laporan. Kondisi ini tercermin dari penurunan
baik dari sisi transaksi inflow maupun outflow di Provinsi Riau. Outflow yang lebih
besar dibandingkan inflow, menyebabkan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014
mengalami net outflow yang tercatat sebesar Rp 3,15 triliun. Jumlah net outflow
tersebut mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar
Rp 2,61 triliun atau meningkat 20,86% (qtq). Meskipun demikian, nilai net outflow
tersebut tidak setinggi triwulan yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai
Rp4,85 triliun.
Penurunan outflow pada triwulan laporan terkait oleh faktor musiman dimana
penurunan pada triwulan IV 2014 disebabkan oleh berakhirnya bulan Ramadhan
serta hari raya Idul Fitri sehingga euphoria penduduk Riau dalam membelanjakan
uangnya cendurung menurun. Pada triwulan IV 2014 tercatat penurunan arus uang
keluar sebesar 21,55% (qtq) atau dari Rp 4,94 triliun pada triwulan sebelumya
menjadi Rp 3,88 triliun pada triwulan laporan.
Arus uang masuk uang ke Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar Rp
721,36 miliar, turun signifikan sebesar 69,05% (qtq) dibandingkan triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 2,33 triliun. Penurunan inflow yang cukup
siginifikan dipengaruhi oleh pola musimannya dimana pada akhir tahun inflow
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
63
cenderung menurun karena kebutuhan masyarakat akan uang tunai masih relatif
tinggi.
Grafik 3.17. Perkembangan Inflow dan Outflow
3.2.2. Penyediaan Uang Kartal Layak Edar
Penyediaan uang kartal layak edar merupakan tugas Bank Indonesia.Terkait dengan
hal tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara berkala
melakukan kegiatan penghimpunan dan pemusnahan Uang Tidak Layak Edar
(UTLE) dari masyarakat dan setoran bank di Provinsi Riau. Upaya ini dilakukan Bank
Indonesia untuk memastikan ketersediaan uang layak edar (fit for circulation) di
tengah-tengah masyarakat.
Pemusnahan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) pada triwulan IV-2104 meningkat
dibandingkan periode sebelumnya. UTLE yang dimusnahkan pada periode tersebut
sebanyak Rp 249,46 miliar, lebih tiggi dibandingkan periode lalu yang tercatat
sebesar Rp 196,34 miliar. Rasio UTLE terhadap arus uang masuk juga mengalami
peningkatan signifikan karena rendahnya inflow pada triwulan laporan dan
meningkatnya jumlah UTLE. Peningkatan UTLE juga mengindikaskan semakin
tingginya tingkat kerusakan uang di masyarakat, hal ini tidak terlepas dari tingginya
transaksi keuangan pada periode sebelumnya.
(900)
(300)
300
900
1,500
2,100
2,700
3,300
3,900
4,500
5,100
5,700
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013 2014
Rp
. mili
ar
Net Outflow (Rpmiliar) Inflow (Rpmiliar) Outflow (Rpmiliar)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
64
Grafik 3.18. Perkembangan Uang Tidak Layak Edar (UTLE) yang Dimusnahkan
Terhadap Inflow di Provinsi Riau
3.2.3. Uang Rupiah Tidak Asli
Dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat dalam mengidentifikasi keaslian
uang rupiah, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau secara rutin
melakukan sosialisasi mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat
termasuk kalangan perbankan melalui penerapan prinsip 3D (Dilihat, Diraba,
Diterawang). Dengan adanya sosialisasi ciri keaslian uang rupiah, masyarakat
diharapkan terhindar dari penyebaran uang rupiah tidak asli.
Pada triwulan IV 2014, penemuan uang rupiah tidak asli di Provinsi Riau mengalami
penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Pada triwulan laporan terdapat
penemuan 87 lembar uang palsu yang terdiri dari 33 lembar menyerupai pecahan
Rp 100.000, 51 lembar menyerupai pecahan Rp 50.000, 1 lembar menyerupai
pecahan Rp 20.000, dan 2 lembar menyerupai pecahan Rp10.000. Penemuan
tersebut berdasarkan atas permintaan klarifikasi dari perbankan dan masyarakat
serta setoran dari bank ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Riau.
Grafik 3.19. Perkembangan Peredaran Uang Rupiah Tidak Asli di Provinsi Riau
0
20
40
60
80
100
120
-
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2010 2011 2012 2013 2014
Pe
rse
n (
%)
Rp
.mili
ar
UTLE Inflow Ratio (RHS)
-
100
200
300
400
500
600
I II III IV I II III IV I II III IV
2012 2013 2014
Lem
bar
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
65
3.3. PERKEMBANGAN TRANSAKSI PEMBAYARAN NON TUNAI
Transaksi pembayaran non-tunai di Provinsi Riau pada triwulan IV-2104 mengalami
peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Peningkatan transaksi non tunai
di Provinsi Riau pada akhir tahun sesuai dengan pola triwulanannya, dimana pada
triwulan IV banyak penyelesaian anggaran kegiatan di akhir tahun atau dalam
rangka tutup buku.
3.3.1. Transaksi Kliring
Transaksi pembayaran dengan kliring pada triwulan IV 2014 tercatat meningkat
baik dari segi nominal transaksi dibandingkan triwulan sebelumnya maupun jumlah
warkat yang digunakan. Nilai transaksi kliring pada triwulan IV 2014 tercatat
sebesar Rp 8,44 triliun dengan volume transaksi mencapai 274.715 lembar
meningkat dibandingkan dengan triwulan III 2014 yang nilainya tercatat sebesar
Rp. 8,07 triliun dengan volume transaksi 256.711 lembar. Meskipun terdapat
peningkatan nominal transaksi, namun nilai rata-rata transaksi per warkat tercatat
menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yaitu dari Rp 31,44 juta menjadi
sebesar Rp 30,22 juta per transaksi.
Grafik 3.20. Perkembangan Transaksi Kliring di Provinsi Riau
3.3.2. Real Time Gross Settlement (RTGS)
Transaksi RTGS pada triwulan IV 2014 di Provinsi Riau mencapai Rp 104,12 triliun,
meningkat sebesar 15,10% (qtq) dari triwulan III 2014 yang tercatat sebesar Rp
90,46 triliun. Seiring dengan peningkatan nilai transaksi, penggunaan warkat untuk
230
240
250
260
270
280
290
300
310
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
2011 2012 2013 2014
Nominal (Rp. miliar) (LHS) Warkat (ribu lembar)
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
66
transaksi RTGS juga ikut meningkat sebesar 7,36% (qtq). Peningkatan nilai
transaksi RTGS yang lebih tinggi dari volume transaksi RTGS menunjukkan
peningkatan rasio transaksi per warkat dari Rp 1,86 miliar menjadi sebesar Rp 2
miliar per warkat.
Kota Pekanbaru masih merupakan kota dengan transaksi RTGS tertinggi di Provinsi
Riau yaitu sebesar Rp 100,02 triliun, 96,06% dari keseluruhan transaksi RTGS di
Provinsi Riau. Tingginya aktifitas RTGS di Kota Pekanbaru mengindikasikan bahwa
pusat kegiatan bisnis di Provinsi Riau belum bergeser dari Kota Pekanbaru. Selain
menjadi pusat kegiatan bisnis, geliat perekonomian di Kota Pekanbaru masih cukup
menarik, terutama bagi sektor perdagangan dan jasa. Selain di Kota Pekanbaru,
jumlah transaksi RTGS di Kota Dumai juga relatif tinggi. Hal ini sejalan dengan
banyaknya perusahaan berskala besar di kota tersebut yang dalam transaksinya
sudah menggunakan transaksi non tunai.
Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hilir merupakan dua daerah dengan
aktifitas RTGS terendah di Provinsi Riau. Daerah Kuantan Singingi mencatatkan
transaksi RTGS sebesar Rp 0,17 miliar dengan volume hanya sebesar 2 warkat.
Sementara Kabupaten Rokan Hilir hanya mencatatkan transaksi RTGS sebesar Rp
2,33 miliar sepanjang triwulan III 2014 dengan jumlah warkat hanya sebanyak 8
lembar. Keterbatasan akses perbankan di daerah tersebut merupakan penyebab
utama tidak berkembangnya penggunaan media transaksi RTGS bagi masyarakat
dan pelaku usaha di kedua daerah tersebut.
Tabel 3.18. Perkembangan Nilai BI-RTGS di Provinsi Riau Triwulan IV 2014
(dalam Rp miliar)
FROM TO FROM -TOKumulatif
Nilai FROM TO FROM -TO
Kumulatif
Nilai
BENGKALIS 541 338 208 671 1,149 398 279 1,269
DUMAI 1,377 1,144 407 2,115 1,328 1,119 514 1,934
INDRAGIRI HULU 34 2 - 35 64 2 - 66
INDRAGIRI HILIR 10 0 - 10 12 0 - 12
KAMPAR 9 23 0 32 17 28 1 45
KUANTAN SINGINGI - 1 - 1 - 0 - 0
PEKANBARU 52,388 66,192 31,488 87,092 72,366 64,840 37,186 100,020
PELALAWAN 0 16 0 16 0 48 - 48
ROKAN HILIR - 6 - 6 - 2 - 2
ROKAN HULU 36 4 - 40 28 3 0 30
SIAK 319 170 47 442 602 136 44 694
RIAU 54,715 67,896 32,150 90,461 75,566 66,578 38,024 104,120
TW III-2014 TW IV-2014
Kabupaten/Kota
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Perkembangan Perbankan dan Sistem Pembayaran Daerah
67
Tabel 3.19. Perkembangan Volume Warkat BI-RTGS di Riau Triwulan IV 2014
FROM TO FROM- TOKumulatif
VolumeFROM TO FROM- TO
Kumulatif
Volume
BENGKALIS 925 425 155 1,195 1,189 569 265 1,493
DUMAI 3,033 2,274 855 4,452 3,193 2,499 1,007 4,685
INDRAGIRI HULU 167 6 - 173 251 9 1 259
INDRAGIRI HILIR 48 2 - 50 57 2 - 59
KAMPAR 110 57 4 163 139 70 4 205
KUANTAN SINGINGI - 3 - 3 - 2 - 2
PEKANBARU 22,236 27,054 8,145 41,145 24,644 28,616 9,111 44,149
PELALAWAN 10 55 1 64 3 96 - 99
ROKAN HILIR - 30 - 30 - 8 - 8
ROKAN HULU 508 18 - 526 379 17 5 391
SIAK 472 263 27 708 551 202 25 728
RIAU 27,509 30,187 9,187 48,509 30,406 32,090 10,418 52,078
TW III-2014 TW IV-2014
Kabupaten/Kota
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
68
1. Kondisi Umum
Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau hingga akhir
tahun 2014 tercatat lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Realisasi
anggaran pendapatan Provinsi Riau pada triwulan IV 2014 mencapai 106,39% atau
sebesar Rp7,87 triliun. Sementara, realisasi anggaran belanjanya tercatat lebih
rendah yaitu sebesar Rp5,54 triliun atau sekitar 62,59% dari total anggaran yang
dialokasikan.
Bab 4 KONDISI KEUANGAN
DAERAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
69
2. Realisasi APBD 2014
Realisasi pendapatan Provinsi Riau hingga triwulan IV 2014 mencapai Rp7,87 triliun
atau sebesar 106,39% dari total anggaran pendapatan yang dialokasikan. Jumlah
realisasi ini lebih tinggi dibandingkan realisasi pendapatan hingga triwulan IV 2013.
Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan realisasi belanja pemerintah daerah
yang hingga triwulan IV 2014 yang hanya mencapai 62,59% dari total anggaran
belanja yang dialokasikan, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang
mencapai 84,17%. Realisiasi belanja hingga triwulan IV 2014 tercatat sebesar
Rp5,54 triliun.
Tabel 4.1. Ringkasan Realisasi APBD Riau Tahun 2013 dan 2014
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Ket: *) Data sementara
Jumlah realisasi pendapatan yang lebih besar dibandingkan jumlah realisasi belanja
hingga akhir tahun 2014 menyebabkan anggaran pemerintah Provinsi Riau tercatat
mengalami surplus sebesar Rp2,33 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan
alokasi APBD 2014 yang semula direncanakan akan mengalami defisit sebesar
Rp1,45 triliun.
2.1. Realisasi Pendapatan
Realisasi pendapatan pemerintah Provinsi Riau hingga akhir tahun 2014 tercatat
lebih tinggi dibandingkan realisasi periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Hingga triwulan IV 2014 realisasi pendapatan pemerintah Provinsi Riau tercatat
sebesar Rp7,87 triliun atau sebesar 106,39% dari total yang dianggarkan.
Meningkatnya realisasi pendapatan terjadi pada semua komponen pendapatan
Dana Perimbangan, yaitu dari 95,29% pada tahun 2013 menjadi 111,58% pada
tahun 2014 atau mencapai Rp4,25 triliun. Adanya surplus dalam realisasi tersebut
disebabkan karena terdapat penyelesaian dana perimbangan yang belum
dibayarkan pada periode yang sama di tahun sebelumnya dan baru dibayarkan di
akhir tahun 2014.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
70
Tabel 4.2. Ringkasan Realisasi Pendapatan Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013 dan
Triwulan IV 2014 (Rp miliar)
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Di sisi lain, realisasi pendapatan asli daerah lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya disebabkan oleh realisasi pendapatan pajak dan retribusi daerah. Hal
ini diperkirakan bersumber dari penurunan pajak yang didapatkan dari perhotelan
seiring dengan menurunnya pendapatan hotel akibat larangan kegiatan pertemuan
pegawai pemerintahan di hotel. Realisasi pendapatan pajak daerah dan retribusi
daerah hingga akhir tahun 2014 masing-masing tercatat sebesar Rp2,44 triliun dan
Rp17 miliar atau masing-masing mencapai 99,72% dan 90,68% dari total yang
dianggarkan.
2.2. Realisasi Belanja
Realisasi anggaran belanja pemerintah Provinsi Riau tahun 2014 mencapai Rp5,54
triliun, atau mencapai 62,59% dari total yang dianggarkan. Realisasi ini lebih
rendah dibandingkan dengan tahun 2013 yang terealisasi sebesar 84,17% dari
total yang dianggarkan. Belum optimalnya realisasi anggaran belanja daerah
hingga akhir tahun anggaran diperkirakan karena tertundanya realisasi anggaran di
awal tahun terkait masalah perubahan nomenklatur pemerintahan setempat,
sehingga beberapa rencana kegiatan tidak dapat terlaksana.
Berdasarkan komponennya, realisasi belanja terbesar adalah Belanja Operasi
mencapai Rp3,3 triliun atau sebesar 59,63%, menurun dibandingkan tahun
sebelumnya yang mampu mencapai 82,38% dengan nilai realisasi Rp4,39 triliun.
Rendahnya realisasi belanja operasi disebabkan oleh belum optimalnya realisasi
belanja barang dan jasa dan belanja pegawai. Total belanja barang dan jasa yang
terealisasi hingga akhir tahun 2014 mencapai Rp1,31 triliun atau sebesar 43,88%
dari total yang dianggarkan. Sementara total belanja pegawai yang terealisasi
hingga akhir tahun 2014 mencapai Rp1,11 triliun atau sebesar 82,97% dari total
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kondisi Keuangan Daerah
71
yang dianggarkan. Realisasi kedua komponen tersebut lebih rendah dibandingkan
realisasi pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Tabel 4.3. Ringkasan Realisasi Belanja Daerah Provinsi Riau Triwulan IV-2013
danTriwulan IV 2014 (Rp miliar)
Sumber : Biro Perekonomian Provinsi Riau
Ket: *) Data sementara
Selanjutnya belanja modal yang secara umum memberikan multiplier efek terhadap
perekonomian realisasinya lebih rendah dibandingkan komponen belanja lainnya.
Total realisasi belanja modal hingga akhir tahun 2014 tercatat sebesar Rp621 miliar
atau sebesar 42,71% dari total yang dianggarkan. Sementara itu, realisasi
anggaran transfer ke masing-masing kab/kota baru telah terealisasi 87,25% dari
nilai transfer sebesar Rp1,85triliun. Dengan perkembangan realisasi pendapatan
dan realisasi belanja tersebut maka APBD Riau pada tahun 2014 tercatat
mengalami surplus sebesar Rp2,34 triliun, berbeda dengan tahun sebelumnya yang
mencatatkan deficit sebesar Rp710,90 miliar.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
72
Bab 5
1. KONDISI UMUM
Perkembangan tingkat kesejahteraan masyarakat di Provinsi Riau menunjukkan
kecenderungan meningkat pada tahun 20141. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah
penduduk miskin dibandingkan dengan tahun 2013 dan 2012. Kondisi ini
diperkirakan tidak terlepas dari membaiknya pertumbuhan ekonomi yang diikuti
dengan tekanan inflasi yang cenderung menurun pada tahun 2014. Meskipun
demikian, tingkat keparahan kemiskinan2 Riau mengalami peningkatan
1 Posisi Agustus 2014 2 Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin
KESEJAHTERAAN DAERAH
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
73
dibandingkan tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin di Riau menjadi lebih besar.
2. KEMISKINAN
2.1 Penduduk Miskin Riau
Persentase penduduk miskin di Riau pada tahun 2014 kembali menunjukkan
penurunan setelah meningkat pada tahun lalu. Kondisi ini diperkirakan akibat
tingkat inflasi pada tahun 2014 yang lebih rendah dibandingkan tahun 2013, yaitu
dari 8,79% (yoy) menjadi 8,65% (yoy). Jumlah penduduk miskin di Riau pada tahun
2014 mencapai 498 ribu jiwa atau sekitar 7,99% dari jumlah penduduk.
Grafik 5.1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
Sepanjang historisnya, penyebaran penduduk miskin di Provinsi Riau masih dominan
di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. Hingga September 2014, jumlah
penduduk miskin di pedesaan menyumbang 67,98% dari total penduduk miskin di
Provinsi Riau, atau mencapai 339 ribu jiwa dari total 498 ribu jiwa. Meskipun
demikian, jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan cenderung mengalami
penurunan dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang
mencapai 360 ribu jiwa.
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
74
Dilihat dari persentasenya, jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 8,93%
dari total penduduk pedesaaan. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang
sama pada tahun sebelumnya yang mencapai 9,55% dari total penduduk pedesaan.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin Riau di daerah perkotaan relatif lebih
rendah yakni mencapai 6,53% terhadap total penduduk di perkotaan atau sebesar
160 ribu jiwa. Angka jumlah penduduk miskin di perkotaan juga relatif menurun
dibandingkan tahun 2013 lalu yang tercatat sebesar 6,68% atau 163 ribu jiwa.
Menurunnya jumlah penduduk miskin Riau baik di Desa maupun di Kota
diperkirakan terkait dengan penurunan tingkat inflasi hingga September 2014.
Selain itu, meningkatnya perekonomian Riau tahun 2014 dibandingkan tahun 2013
yang bersumber dari peningkatan kinerja sekto pertanian, diperkirakan juga turut
memberikan pengaruh terhadap taraf hidup masyarakat Provinsi Riau.
Grafik 5.2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2.2 Garis Kemiskinan Riau
Garis Kemiskinan (GK)3 Riau terus menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Pada tahun 2014, GK Riau mengalami peningkatan sebesar 8,30% menjadi
Rp379.223,- perkapita/bulan. Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, GK di kota lebih
tinggi dari GK di desa. GK di Kota tahun 2014 mencapai Rp386.606,-
3 Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
75
perkapita/bulan meningkat 5,61% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sementara, GK di desa tercatat sebesar Rp374.466,- perkapita/bulan, meningkat
8,30% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian,
perkembangan GK di provinsi Riau pada tahun 2014 secara umum melambat
dibandingkan pertumbuhan GK pada tahun sebelumnya.
Perlambatan GK tersebut didorong oleh melambatnya pertumbuhan GK makanan
pada periode yang sama tahun lalu yaitu menjadi dari 13,15% pada September
2013 lalu menjadi 8,63%. Sementara GK bukan makanan juga mengalami
perlambatan dari 11,56% pada September 2013 menjadi 7,42%. Melambatnya GK
Riau pada tahun 2014 dipengaruhi oleh tingkat inflasi yang relatif lebih rendah
dibandingkan September 2013 lalu akibat dampak penyesuaian harga BBM
bersubsidi pada tahun 2013 yang mendorong terbentuknya keseimbangan harga
baru baik pada bahan makanan maupun makanan jadi.
Grafik 5.3. Perkembangan Garis Kemiskinan (GK) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
2.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Keparahan
Kemiskinan (P2) Riau
Meskipun jumlah penduduk miskin pada tahun 2014 mengalami penurunan, namun
dapat dilihat bahwa tingkat keparahan kemiskinan berada pada tren yang
meningkat. Kondisi ini diperkirakan karena tren penurunan harga komoditas
internasional yang masih berlanjut sehingga mempengaruhi tingkat pendapatan
KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL Kesejahteraan Daerah
76
masyarakat setempat. Di sisi lain, perkembangan indeks kedalaman kemiskinan
cenderung stabil.
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau pada tahun 2014 relatif stabil dibandingkan
dengan tahun 2013 yang lalu, yaitu dari 1.18 menjadi 1.2. Dilihat dari aspek spasial,
peningkatan Indeks P1 terjadi baik di daerah desa, sementara di kota indeks P1
cenderung mengalami penurunan. Indeks P1 di desa meningkat sebesar 15,38%
(yoy) menjadi 1.5 pada tahun 2014. Sementara, Indeks P1 di kota mengalami
penurunan sebesar 26,26% (yoy) menjadi 0,73. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-
rata pengeluaran penduduk miskin di daerah pedesaan lebih menjauh dari garis
kemiskinan dibandingkan dengan penduduk miskin di daerah perkotaan yang
pengeluaran penduduk miskinnya semakin mendekati garis kemiskinan.
Di sisi lain, Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau pada tahun 2014 menunjukkan
peningkatan yaitu dari 0,24 menjadi 0,29. Berdasarkan aspek kewilayahan,
diketahui bahwa Indeks P2 di desa mengalami peningkatan dari 0,26 menjadi 0,40
pada tahun 2014. Sementara, Indeks P2 di kota justru menunjukkan penurunan
yakni dari 0,21 menjadi 0,11. Kondisi ini menunjukkan bahwa ketimpangan
pengeluaran penduduk miskin di desa lebih tinggi dibandingkan di kota, dan
ketimpangan di kota menurun sementara ketimpangan di desa meningkat.
Grafik 5.4. Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Riau
Grafik 5.5. Perkembangan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Riau
Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah Sumber : BPS Provinsi Riau, diolah
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
77
1. PROSPEK MAKROREGIONAL
Perkembangan ekonomi Riau pada triwulan I-2015 secara umum diperkirakan
relatif meningkat dibandingkan triwulan IV-2014. Pertumbuhan ekonomi Riau
secara tahunan diperkirakan berada pada kisaran 1,5-2,1% (yoy). Sumber
pertumbuhan dari sisi penggunaan diperkirakan masih berasal dari konsumsi
domestik, sementara perbaikan kinerja sektor utama diperkirakan akan mendorong
pertumbuhan perekonomian Riau pada triwulan I 2015.
PROSPEK PEREKONOMIAN
DAERAH
Bab 6
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
78
Tabel 6.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Aktual dan Prakiraan Pertumbuhan
Ekonomi Triwulan I-2015
Ditinjau dari sisi penggunaan, motor penggerak pertumbuhan diperkirakan masih
ditopang oleh permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga, meskipun
pertumbuhannya diperkirakan melambat. Kondisi ini sejalan dengan
perkembangan indeks perkiraan pengeluaran dibandingkan 3 bulan yang akan
datang cenderung melambat berdasarkan survei konsumen Bank Indonesia.
Konsumsi pemerintah diperkirakan masih akan mengalami kontraksi, terkait
dengan realisasi anggaran yang masih minim di awal tahun. Selain itu,
perkembangan investasi diperkirakan relatif stabil dibandingkan triwulan
sebelumnya. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diperkirakan belum membaik sejalan
dengan penurunan harga komoditas global yang didorong oleh penurunan harga
minyak dunia dan masih terbatasnya perbaikan perekonomian global.
Grafik 6.1. Perkembangan Indeks Perkiraan
Pengeluaran Dibandingkan 3 Bulan yang
Mendatang
Sumber: Survei Konsumen Bank Indonesia
Grafik 6.2. Perkembangan Hrga Minyak WTI
Sumber: Bloomberg
Sementara itu, kinerja sektor pertanian diperkirakan akan mengalami perlambatan
pada triwulan I 2015 terkait dengan curah hujan yang mulai menurun pada bulan
Februari-Maret 2015. Di sisi lain, perkembangan sektor industri pengolahan
diperkirakan akan relatif meningkat sehubungan dengan meningkatnya pasokan
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
79
bahan baku yang tercermin dari peningkatan kinerja sektor pertanian pada triwulan
IV 2014.
Meskipun demikian, terdapat risiko yang berpotensi membawa pertumbuhan
ekonomi Riau menyentuh batas bawah proyeksi (downside risks). Kondisi ini
utamanya terkait dengan kondisi sumur minyak yang tidak produktif yang
diperkirakan berpotensi mengakibatkan pertumbuhan sektor pertambangan migas
masih mengalami kontraksi. Di sisi lain, salah satu faktor yang berpotensi
membawa pertumbuhan menyentuh batas atas (upside risks) adalah potensi
pemulihan ekonomi negara mitra dagang utama Riau dan negara berkembang
(emerging market) di kawasan Asia serta peningkatan harga komoditas
internasional yang diperkirakan akan memberikan spill over positif bagi kinerja
ekspor utama Riau.
2. PERKIRAAN INFLASI
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan Inflasi Riau Triwulan I 2015
Sumber: BPS Provinsi Riau Ket: (p) Proyeksi Bank indonesia
Inflasi Riau pada triwulan mendatang diperkirakan akan cenderung menurun, yaitu
berada pada kisaran 6,5-7,5% (yoy). Sedangkan secara triwulanan, inflasi
diperkirakan berkisar (0,50)-0,05% (qtq). Inflasi Riau pada triwulan I 2015
diperkirakan masih akan berasal dari inflasi administered price dan inflasi volatile
foods. Inflasi kelompok administered price utamanya diperkirakan akibat belum
meredanya dampak penyesuaian harga BBM bersubsidi, terutama pada tarif
angkutan. Meskipun demikian, adanya penurunan harga solar sebesar Rp200 yang
mulai diberlakukan sejak pertengahan Februari 2015 diperkirakan akan menahan
laju peningkatan inflasi pada kelompok ini. Sementara itu, peningkatan inflasi
volatile foods diperkirakan bersumber dari rencana kenaikan harga beras di daerah
Jawa sebesar 30% pada akhir Februari. Selain itu, adanya rencana kenaikan HPP
(harga pokok produksi) beras diperkirakan juga akan berkontribusi terhadap
peningkatan inflasi Riau.
2015 (p)
I II III IV I II III IV I (p)
yoy,% 5,40 5,69 7,74 8,79 7,76 6,60 5,82 8,65 6,5-7,5
qtq,% 2,45 1,42 2,99 1,67 1,05 0,81 1,03 4,26 (0,50)-0.05
Inflasi2013 2014
GE KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL
Prospek Perekonomian Daerah
80
Tabel 6.2. Perkembangan Inflasi Aktual dan Prakiraan
Inflasi Riau Triwulan I 2015
Sumber: Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia
Ket: *) data hingga pertengahan Februari 2015
Namun terdapat,beberapa faktor yang diidentifikasi berpotensi membawa inflasi
melewati batas atas kisaran proyeksi (upside risks) antara lain, (i) nilai tukar rupiah
yang kembali terdepresiasi mengingat perbaikan kondisi perekonomian global yang
masih terbatas sehingga akan mendorong peningkatan inflasi pada barang-barang
impor, dan (iii) rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik.
Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang berpotensi membawa inflasi ke batas
bawah (downside risks) proyeksi. Pada tingkat regional, solusi dini (pre-emptive
solution) TPID yang dihasilkan melalui koordinasi dengan berbagai instansi terkait
dalam menjaga ekspektasi diperkirakan dapat mengurangi permasalahan informasi
pasokan yang asimetris terutama di tingkat konsumen. Kemudian, pada tingkat
nasional, masih berlanjutnya koordinasi kebijakan yang bersifat counter cyclical
dalam menstabilkan tekanan terhadap nilai Rupiah diperkirakan dapat sedikit
banyak membantu mengurangi inflasi barang impor.