KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI...
-
Upload
truonghanh -
Category
Documents
-
view
249 -
download
7
Transcript of KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI...
-
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP,
JAWA TENGAH
Oleh :
Agus Supiyan C64104017
Skripsi
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
-
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2008 Agus Supiyan C64104017
-
iii
RINGKASAN
AGUS SUPIYAN. Kajian Daerah Rawan Tsunami Berdasarkan Citra Satelit ALOS di Cilacap, Jawa Tengah. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan ITA CAROLITA.
Bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah daratan Pulau Jawa termasuk daerah pesisir Cilacap yang menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena Pantai Cilacap yang dekat dengan lempengan tektonik yang terus selalu bergerak. Penelitian ini dilakukan sebagai simulasi serta prediksi area limpasan tsunami disekitar pesisir Pantai Kabupaten Cilacap berdasarkan analisis penginderaan jauh dengan metode integrasi pemodelan tsunami dengan data ALOS (Advanced Land Observing Satellite).
ALOS adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pemantauan bencana alam dan memiliki resolusi spasial yang tinggi dan bersifat stereo. Sensor PRISM (Panchromatic Remote-Sensing Intsrument for Stereo Mapping) adalah sensor optis yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan citra stereo yang dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan DEM.
Saat ini kajian DEM digunakan untuk menghasilkan berbagai informasi, seperti : peta kontur, kemiringan lahan dan animasi 3D. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan program kegiatan pemetaan lahan dan manajemen bencana tsunami. Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini untuk menentukan daerah rawan tsunami di Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan kondisi topografinya.
Penentuan daerah rawan tsunami berdasarkan penggunaan lahannya diperoleh dengan cara penggabungan (overlay) antara model tsunami dengan peta penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap yang berasal dari citra ALOS. Penggunaan metode pansharpan adalah cara untuk meningkatkan informasi pengkelasan yang lebih banyak dan akurat .
Model Tsunami Universitas Tohoku menggunakan data DEM sebagai salah satu faktor yang menentukan seberapa jauh tsunami dapat menjangkau daratan. Selain DEM, faktor batimteri, serta kekuatan gempa turut mempengaruhi tinggi dan limpasan tsunami yang dihasilkan. Pemilihan skenario gempa yang digunakan model tsunami ini yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw bertujuan untuk mengkaji seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan pada tiap skenario gempanya. Tiga skenario gempa yang dapat menghasilkan tsunami yaitu 7.7 Mw, 8.7 Mw, serta 8.9 Mw menggenangi beberapa desa pesisir di Kabupten Cilacap. Desa Tegal Kamulyan adalah Desa rawan tsunami dengan tingkat kerusakan yang paling besar yaitu 7.87 ha pada skala gempa 7.7 Mw, 120.914 ha pada skala gempa 8.7 Mw, dan 142.513 ha pada skala gempa 8.9 Mw. Hal ini disebabkan landainya topografi dan tipe penggunaan lahan yang padat pemukiman dibandingkan dengan desa lain yang terkena limpasan tsunami.
-
KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP,
JAWA TENGAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh :
Agus Supiyan C64104017
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
-
SKRIPSI
Judul Skripsi : KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH
Nama Mahasiswa : Agus Supiyan Nomor Pokok : C64104017
Disetujui, Dosen pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Ir. Ita Carolita, M.Si NIP. 131 471 372 NIP. 300 001 380
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus : 12 September 2008
-
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia, yang selalu membimbing selangkah demi selangkah sehingga
skripsi dengan judul Kajian Daerah Rawan Bencana tsunami Berdasarkan
Citra Satelit ALOS di Kabupaten Cilacap, JawaTengah dapat terselesaikan.
Skripsi ini dibuat agar dapat mengkaji daerah rawan tsunami di Pantai
Selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah berdasarkan tiga skenario gempa.
Penentuan daerah rawan tsunami melalui integrasi antara data penginderaan jauh
yaitu ALOS dengan model tsunami Tohoku berdasarkan area limpasannya
(inundation).
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr.Ir.
Vincentius P. Siregar, DEA dan Ir. Ita Carolita, M. Si selaku komisi pembimbing
serta Ir. Aris Subarkah, MT selaku pembimbing lapangan. JAXA dan LAPAN
yang telah memberikan izin dalam hal penggunaan data. Semua pihak yang telah
memberi masukan, dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pihak pihak yang
berkepentingan, dan dapat diimplementasikan sesuai dengan apa yang telah
direncanakan.
Bogor, September 2008
-
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak yang membimbing dan
mendorong serta memberikan dukungan pada penulis untuk dapat
menyelesaikannya, oleh karenanya penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, atas karunia dan rahmat Nya menuntun setiap hamba Nya ke
jalan kebenaran.
2. Nabi Muhammad SAW, suri tauladan bagi saya dan kita sebagai umatNya.
3. Dosen pembimbing pembimbing skripsi, Dr.Ir. Vincentius P. Siregar,
DEA dan Ir. Ita Carolita, M.Si, atas segala bantuan dan bimbingan
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Dosen pembimbing lapang, Ir. Aris Subarkah, M.T, atas segala bimbingan
dan arahan pengolahan di bidang tsunami modelling sehingga
terselesaikannya skripsi ini..
5. Pihak BMG, Indra Gunawan S.Si, yang telah banyak memberi masukan
dan bimbingan.
6. Semua anggota keluarga, Ayahanda Sumarna dan Ibunda Aminah, Ela,
Asep, Irma, dan anggota keluarga lain yang selalu mendoakan saya .
7. Sahabat- sahabatku : Guntur dan Dody (P2b), Imam (Ra), Bayu (Al), Dion
(Mil), Asep (Men) dan Budi yang selalu menjadi bagian dalam cerita
hidup penulis.
8. Seorang wanita yang akan selalu dalam mata, pikiran, dan hati penulis.
9. Teman-teman ITK 41 yang telah memberi semangat dan dukungan.
12. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Penulis
-
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 1.1 Latar belakang ........................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3 2.1 Kondisi umum lokasi penelitian ................................................. 3 2.2 Definisi dan batasan wilayah pesisir ........................................... 5 2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya ..................................... 7
2.3.1. Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami .... 7 2.3.2. Faktor-faktor penyebab tsunami ...................................... 9 2.3.3. Pembangkit tsunami ......................................................... 13
2.4 Pemodelan gelombang tsunami .................................................. 14 2.4.1. Persamaan penjalaran gelombang tsunami ....................... 16 2.4.2. Persamaan kontinuitas ................................................... 17 2.4.3. Deformasi dasar Laut ..................................................... 17
2.5 Faktor-faktor kerawanan tsunami ............................................... 18 2.5.1. Pengertian dan karakteristik citra ALOS ......................... 19 2.5.2. Digital Elevation Model (DEM) ...................................... 22 2.5.3. Metode pansharpan ALOS .............................................. 24 2.5.4. Penutupan/penggunaan lahan .......................................... 26
3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 31 3.1 Waktu dan lokasi penelitian ......................................................... 31 3.2 Alat dan bahan .............................................................................. 32 3.2.1 Alat ..................................................................................... 32 3.2.2 Bahan ................................................................................. 33 3.3 Metode penelitian .......................................................................... 33
3.3.1 Pengolahan citra awal ..................................................... 34 3.3.2 Penurunan data elevation model ..................................... 34 3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS ...................................... 39 3.3.4 Pengolahan penutupan/penggunaan lahan ...................... 39
3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami ................................................... 41 3.4.1 Pre-processing (pengolahan awal) ................................... 43 3.4.2 Processing (pacu model) ................................................. 47 3.4.3 Post-processing (interpretasi) .......................................... 50
3.5 Integrasi model dan citra ................................................................ 51
-
ix
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 54 4.1 Digital Elevation Model (DEM) ...................................................... 54
4.2 Pengukuran ketinggian dari citra ALOS................................................ 57 4.3 Pansharpan ALOS ........................................................................... 64 4.4 Peta penutupan/penggunaan lahan ................................................... 67
4.5 Tsunami modeling ............................................................................. 70 4.5.1 Area simulasi dan batimetri .............................................. 70
4.5.2 Sumber gempa ................................................................... 75 4.5.3 Area genangan tsunami ...................................................... 77 4.6 Ketinggian tsunami (run-up tsunami) ................................................ 83
4.7 Integrasi (overlay) data penginderaan jauh dengan model tsunami....... 89 4.7.1 Limpasan tsunami dan DEM .............................................. 89 4.7.2 Limpasan tsunami pada Land Use ..................................... 93 4.7.3 Limpasan tsunami di desa/kecamatan ................................ 99
4.8 Penentuan daerah rawan tsunami Kabupaten Cilacap ...................... 107
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 114
LAMPIRAN ......................................................................................... 117
RIWAYAT HDUP ................................................................................. 137
-
x
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Keterangan umum ALOS .............................................................. 20
2. Keterangan umum sensor PRISM ................................................. 20
3. Keterangan umum AVNIR ............................................................. 21
4. Keterangan umum PALSAR ......................................................... 22
5. Ukuran minimum unit penggunaan lahan ..................................... 28
6 Informasi sensor penurunan DEM ALOS ...................................... 38
7. Parameter triangulasi DEM ........................................................... 38
8. Posisi pengukuran topografi (survey LAPAN dan BPPT) .............. 56
9. Perbandingan topografi survey lapangan, ALOS dan SRTM ........... 62
10. Data statistik perbandingan topografi ............................................... 62
11. Area (domain) topografi dan area batimetri ................................... 71
12. Parameter gempa ............................................................................. 75
13. Luasan limpasan tsunami (7.7 SM) pada kelas topografi (ha) ........ 90
14. Luasan limpasan tsunami (8.9 SM) pada kelas topografi (ha) ........ 91
15. Luasan limpasan tsunami (8.7 SM) pada kelas topografi (ha) ....... 92
16. Luasan area limpasan tsunami (7.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ......................................................................................... 94 17. Luasan area limpasan tsunami (8.9 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................ 96 18. Luasan area limpasan tsunami (8.7 SM) dan pada tipe penggunaan lahan (ha) ........................................................................................ 98 19. Area limpasan tsunami (7.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ........ 99
20. Area Limpasan tsunami (8.9 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ....... 103
21. Area Limpasan tsunami (8.7 SM) pada Desa/Kecamatan (ha) ...... 106
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah ......................................... 4
2. Perbandingan panjang gelombang tsunami ....................................... 8
3. Jenis-jenis patahan ............................................................................ 10
4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia .............................................. 11
5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007 ........................................... 11
6 Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip ............................ 13
7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi ..................................... 14
8. Skema numerik beda hingga ............................................................... 15
9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang .... 18
10. Satelit ALOS (Jaxa, 2006) ................................................................. 19
11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM ................................................ 23
12. Peta lokasi penelitian .......................................................................... 31
13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit ....................... 35
14. Bagan alir metode pansharpan .......................................................... 41
15. Lokasi domain model .......................................................................... 43
16. Pembuatan domain .............................................................................. 47
17. Sejarah tsunami Indonesia .................................................................. 48
18. Bagan alir proses pacu model (running) tsunami modelling .............. 49
19. Diagram alir keseluruhan penelitian ................................................. 53
20. Lokasi pengamatan topografi Teluk Penyu (Cilacap) ......................... 55
21. Citra ALOS PRISM ........................................................................... 58
22. Digital Elevation Model Kabupaten Cilacap 2D ............................... 59
23. Perbandingan DEM ALOS dan SRTM 90 .......................................... 61
24. Grafik perbandingan (a) DEM ALOS dan (b) DEM SRTM ...................... 61
25. Digital Elevation Model Cilacap 3D (Teluk Penyu) .......................... 63
26. Citra ALOS AVNIR (hasil croping) ................................................... 64
27. ALOS PRISM-Nadir (hasil croping) ................................................ 65
28. Citra ALOS pansharpan (PRISM-AVNIR) ..................................... 66
29. Penutupan/penggunaan lahan Kabupaten Cilacap .............................. 68
30. Grid area batimetri dan topografi ........................................................ 71
-
xii
31. Peta batimetri (GRID-A) Pulau Jawa ................................................. 72
32. Kalsifikasi perairan Indonesia (Sumber : TNI AL, 2005) ................... 73
33. Peta batimetri (GRID-D) Kab. Cilacap .............................................. 74
34. Posisi epicenter dan kekuatan gempa ................................................ 76
35. Penjalaran tsunami 7.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam .................... 78
36. Penjalaran tsunami 8.9 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam ..................... 79
37. Penjalaran tsunami 8.7 SM (a) setelah 1 jam (b) 2 jam ..................... 80
38. Maksimum run-up tsunami .................................................................. 82
39. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT). 84
40. Run-up tsunami 7.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) 84
41. Penjalaran tsunami berdasarkan waktu tempuh (arrival time) ........... 85
42. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT) 86
43. Run-up tsunami 8.9 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) .. 86
44. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:46: 36.6 LS dan 109:05:30.3 BT) 87
45. Run-up tsunami 8.7 SM (posisi -7:41: 28.5 LS dan 109: 05:31.7 BT) .. 88
46. DEM dan limpasan tsunami 7.7 SM ................................................ 89
47. DEM dan limpasan tsunami 8.9 SM ................................................... 90
48. DEM dan limpasan tsunami 8.7 SM ................................................. 92
49. Area limpasan tsunami 7.7 SM pada penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Cilacap ......................................................................... 89
50. Area Limpasan Tsunami 8.9 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di
Kabupaten Cilacap ......................................................................... 95 51. Area Limpasan Tsunami 8.7 SM pada Penggunaan/Penutupan Lahan di
Kabupaten Cilacap ........................................................................ 97 52. Area limpasan tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap ................... 99
53. Run-Up tsunami 7.7 SM di Kabupaten Cilacap ................................ 100
54. Area Limpasan tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap .................... 102
55. Run-Up tsunami 8.9 SM di Kabupaten Cilacap ............................... 104
56. Area limpasan tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap .................. 105
57. Run-up tsunami 8.7 SM di Kabupaten Cilacap ............................... 107
58. Luasan area kelas penggunaan lahan pada tiap Desa di Kab. Cilacap.... 108
59. Luasan area kelas topografi pada tiap Desa di Kab. Cilacap ........... 108
-
xiii
60. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 7.7 SM ............................. 109
61. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.9 SM ................................. 110
62. Tingkat kerusakan limpasan tsunami 8.7 SM .................................... 111
-
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Survey lapangan .............................................................................. 117
2. Foto-foto kegiatan survey lapangan ................................................ 117
3. Tabel hasil survey lapangan (track GPS dan wawancara) ................ 128
4. Tabel hubungan skala tsunami 7.7 dengan tutupan lahan .................. 129
5. Tabel hubungan skala tsunami 8.7 dengan tutupan lahan .................. 129
6 Tabel hubungan skala tsunami 8.9 dengan tutupan lahan .................. 130
7. Tabel hubungan kelas topografi dengan desa .................................... 130
8. Tabel pengukuran tinggi gelombang tsunami ....................................... 125
9. Data USGS 2008 ........................................................................... 136
-
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Wilayah pesisir Indonesia merupakan daerah yang memiliki kekayaan
sumber daya alam yang melimpah. Pentingnya pesisir bagi manusia khususnya
para nelayan adalah diperolehnya sumber penghidupan dari berbagai aktivitas di
sekitar pesisir laut. Namun disamping mempunyai potensi sumberdaya yang
besar, wilayah pesisir Indonesia juga memiliki potensi bencana yang besar. Hal
ini disebabkan karena wilayah Indonesia terletak pada daerah pertemuan empat
lempeng tektonik (lempeng Eurasia, Indo-Australia, Samudera Pasifik, dan
lempeng Filipina) yang tiap waktu terus bergerak.
Indonesia sebagai negara kepulauan secara geologis rentan terhadap
bencana alam pesisir. Tsunami adalah salah satu bencana alam yang senantiasa
mengancam penduduk pesisir. Walaupun jarang terjadi, namun daya hancurnya
yang besar membuatnya harus diperhitungkan. Menurut Arnold (1986) in
Diposaptono dan Budiman (2005), Indonesia merupakan salah satu negara yang
memiliki tingkat kegempaan tinggi di dunia. Dibandingkan dengan gempa di
Amerika Serikat maka Indonesia memiliki frekuensi gempa 10 kali lipatnya.
Gempa-gempa tersebut sebagian besar berpusat di dasar Samudra Hindia dan
beberapa di antaranya mengakibatkan gelombang laut besar (tsunami).
Kabupaten Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang
memiliki pantai yang berhadapan dengan Samudera Hindia. Daerah Teluk Penyu
adalah salah satu bagian dari pantai yang dimiliki Kabupaten Cilacap yang rawan
terhadap bahaya tsunami karena letaknya berdekatan dengan patahan lempeng
-
2
Indo-Australia di Selatan Pulau Jawa. Salah satu bencana tsunami yang terjadi
pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Pangandaran melanda wilayah pesisir
Cilacap menyebabkan kerugian baik secara material maupun non material yang
besar.
Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan
jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan
tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh,
saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian,
dan perguruan tinggi di dunia.
Data topografi yang biasa dijadikan sebagai faktor kerawanan tsunami
adalah data SRTM. Rendahnya tingkat akurasi topografi dari SRTM ini
menyebabkan perlu adanya data topografi yang memiliki ketelitian yang lebih
tinggi dari SRTM yaitu data DEM dari citra satelit penginderaan jauh.
Penelitian mengenai daerah rawan bencana tsunami di Cilacap ini
dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis daerah rawan terkena bencana
tsunami berdasarkan analisis menggunakan penginderaan jarak jauh dan model
tsunami.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian daerah rawan bencana
tsunami yang difokuskan pada kajian limpasan (inundation) secara spasial dengan
menggunakan Digital Elevation Model ALOS dan pemodelan tsunami di daerah
pesisir Cilacap, Jawa Tengah.
-
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi umum lokasi penelitian
Daerah penelitian berlokasi di Pantai Selatan Cilacap Jawa Tengah. Posisi
geografis Kabupaten Cilacap berada antara 073000 LS - 074520 LS dan
1080430 BT - 1093030BT, dengan luas wilayah 225.360,840 ha.
Kabupaten Cilacap terbagi menjadi 24 kecamatan dengan jarak terjauh dari barat
ke timur 152 km dari Dayeuhluhur ke Nusawungu, dan dari utara ke selatan 35
km yaitu dari Cilacap ke Sampang. Desa-desa tersebar di 21 kecamatan,
sedangkan kelurahan terdiri dari 3 kecamatan (Gambar 1).
Berikut adalah kecamatan-kecamatan yang tersebar di Kabupaten Cilacap
ini : Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karang pucung, Sidareja,
Gandrungmangu, Kedungreja, Patimuan, Cipari, Bantarsari, Kawunganten,
Jeruklegi, Kesugihan, Maos, Sampang, Kroya, Adipala, Binangun, Nusawungu,
Kampung laut ( BAPPEDA Cilacap, 2005).
Sedangkan batas-batas wilayah kabupaten Cilacap ini adalah sebagai
berikut :
Sebelah utara : Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas
Sebelah selatan : Samudera Hindia
Sebelah timur : Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen
Sebelah barat : Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar
Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, dimana meliputi kecamatan
Cilacap Utara, Cilacap Tengah, dan Cilacap Selatan. Cilacap dulunya merupakan
Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif,
-
4
dan Kota Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten
Cilacap. Diantara kota-kota kecamatan yang cukup signifikan di Kabupaten
Cilacap adalah: Majenang, Karangpucung, Sampang, Sidareja, dan Kroya.
Majenang menjadi pusat pertumbuhan kabupaten Cilacap di bagian Barat
sedangkan Kroya dan Sampang menjadi pusat pertumbuhan di Bagian Timur.
Gambar 1. Lokasi Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (BAPPEDA Cilacap, 2005)
Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah. Luas
wilayahnya sekitar 6,6% dari total wilayah Jawa Tengah yaitu sekitar 2.142,57
Km2 atau lebih kurang 225.360,84 Ha diatas ketinggian 0 1.146 meter. Begitu
luasnya, membuat kabupaten ini memiliki dua kode telepon (Wikipedia, 2007).
Bagian utara adalah daerah perbukitan salah satu puncaknya adalah
Gunung Pojoktiga (1.347 meter). Sedangkan bagian selatan merupakan dataran
rendah. Kawasan hutan menutupi lahan Kabupaten Cilacap bagian utara, timur,
-
5
dan selatan. Di sebelah selatan terdapat Nusa Kambangan, yang memiliki Cagar
Alam Nusakambangan. Bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal
dengan Segara Anakan. I bukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai
Samudera Hindia.
Penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut
hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2004 mencapai 1.709.908 jiwa yang
terdiri dari laki-laki 855.838 jiwa dan perempuan 854.070 jiwa. Selama 5 tahun
terakhir rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,69 persen, dengan
pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2000 (1,20 persen), dan terendah pada
tahun 2004 (0,31 persen). Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan penduduk
yang terendah sejak tahun 1984 (Wikipedia, 2007).
Berdasarkan hubungan antara tsunami dan karakteristik seismotektonik,
Diposaptono (2005) membagi ke dalam enam zona seismotektonik. Kabupaten
Cilacap termasuk zona B yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi
dengan periode ulang sekitar 10-15 tahun.
2.2. Definisi dan batasan wilayah pesisir
Wilayah pesisir adalah suatu daerah pertemuan antara darat dan laut,
dimana ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun
terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut, dan perembesan air asin, sedangkan kearah laut wilayah pesisir mencangkup
bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat
seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dan pantai adalah
-
6
daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut
terendah (Triatmodjo, 1999).
Wilayah pesisir adalah suatu jalur saling pengaruh antara darat dan laut,
yang memiliki ciri geosfer yang khusus, kearah darat dibatasi oleh pengaruh sifat-
sifat fisik laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh
proses alami serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan di darat
Pada bentang lahan pesisir (coastal landscape) tercakup perairan laut
yang disebut dengan pantai atau tepi laut, adalah suatu daerah yang meluas dari
titik terendah air laut pada saat surut hingga ke arah daratan sampai mencapai
batas efektif dari gelombang. Pertemuan antara air laut dan daratan ini dibatasi
oleh garis pantai (shore line), yang kedudukannya berubah sesuai dengan
kedudukan pada saat pasang surut, pengaruh gelombang dan arus laut
(Triatmodjo, 1999).
Sedangkan menurut Diposaptono (2005) pengertian daerah pesisir
merupakan daerah yang memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu : batas
yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap
garis pantai (cross-shore). Walaupun demikian sampai sekarang belum ada
definisi wilayah pesisir yang baku, namun terdapat kesepakatan umum di dunia
bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Penelitian ini menggunakan batasan pesisir yang ditinjau untuk
kepentingan pengelolaan wilayah rawan tsunami Kota Cilacap. Pertimbangan
tersebut diambil berkaitan dengan pendekatan spasial yang digunakan dalam
penelitian ini untuk identifikasi dan analisis daerah limpasan tsunami.
-
7
2.3 Gelombang tsunami dan Pembangkitnya
2.3.1 Pengertian dan karakteristik gelombang tsunami
Secara harfiah, tsunami berasal dari Bahasa Jepang. Tsu berarti
pelabuhan dan nami adalah gelombang. Secara umum tsunami diartikan sebagai
pasang laut yang besar di pelabuhan. Jadi, dapat dideskripsikan tsunami sebagai
gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif
yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa gempa bumi
tektonik, erupsi vulkanik, atau longsoran (land-slide) (Diposaptono dan Budiman,
2005).
Hal diatas disetujui oleh Ingmanson dan Wallace (1973) bahwa tsunami
merupakan gelombang laut yang mempunyai periode panjang yang ditimbulkan
oleh suatu gangguan di laut. Panjang gelombang tsunami dapat mencapai 240 km
di laut terbuka seperti samudera pasifik dengan panjang gelombang rata-rata 4600
m dengan kecepatan gelombang mencapai 760 km/jam
Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya impulsif ini bersifat
transien, yakni gelombangnya bersifat sesaat. Gelombang ini berbeda dengan
gelombang laut lainya yang bersifat kontinyu seperti gelombang laut yang
ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau gelombang pasang surut yang
ditimbulkan oleh gaya tarik benda angkasa. Periode gelombang angin hanya
beberapa detik (kurang dari 20 detik). Sementara itu periode gelombang tsunami
berkisar antara 10-60 menit (Barber, 1969 in Diposaptono dan Budiman, 2005).
Perbedaan gelombang tsunami dengan gelombang yang dibangkitkan oleh angin
adalah terletak pada gerakan airnya. Gelombang yang dibangkitkan oleh angin
hanya menggerakan air laut bagian atas.
-
8
Namun pada gelombang tsunami menggerakan seluruh kolom air dari
permukaan sampai dasar. Perbedaan gelombang- gelombang tersebut dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan panjang gelombang antara gelombang yang disebabkan oleh
angin, gelombang pasang surut, dan gelombang tsunami (Diposaptono dan
Budiman, 2005)
Ciri lainnya dari tsunami adalah panjang gelombangnya yang besar, bisa
mencapai puluhan kilometer. Kecepatan rambatnya di laut dalam (deep sea)
berkisar dari 400 sampai 1000 km/jam. Kecepatan penjalaran tsunami tersebut
sangat tergantung dari kedalaman laut dan penjalarannya dapat mencapai ribuan
kilometer dari pusatnya. Selama penjalaran dari tengah laut (pusat terbentuknya
tsunami) menuju pantai, kecepatan semakin berkurang karena gesekan dengan
-
9
dasar laut yang semakin dangkal. Akibatnya, tinggi gelombang di pantai menjadi
semakin besar karena adanya penumpukkan massa air akibat adanya penurunan
kecepatan. Ketika mencapai pantai, gelombang naik (run-up) ke daratan dengan
kecepatan yang berkurang menjadi sekitar 25-100 km/jam (Diposaptono dan
Budiman, 2005).
2.3. 2 Faktor-faktor penyebab terjadinya tsunami
Terjadinya tsunami di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Dari
berbagai tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, 90 % disebabkan oleh gempa-
gempa tektonik, 9% disebabkan oleh gunung berapi, dan 1% oleh tanah longsor
(Diposaptono dan Budiman, 2005).
A. Tsunami akibat gempa tektonik
Gempa tektonik merupakan gerakan-gerakan retakan yang akan
menyebabkan pergerakan vertikal massa batuan bukan pergerakan horizontal
massa batuan. Jika proses tersebut terjadi di dasar laut maka akan menyebabkan
perubahan muka laut yaitu terbentuknya puncak dan lembah gelombang yang
berukuran 150 km antara puncak gelombang yang satu dengan puncak gelombang
berikutnya ke segala arah. (Diposaptono dan Budiman, 2005). Berbagai
pergerakan massa batuan yang disebabkan oleh gempa tektonik ini dapat dilihat
pada (Gambar 3).
Proses terjadinya gempa tektonik dimulai dengan adanya pergerakan dua
lempeng yang saling berbatasan saling bergerak reatif terhadap sesamanya.
Aktivitas tektonik yang disebabkan adanya pergerakan dua lempeng tersebut
menimbulkan energi elastis yang dapat terakumulasi dari waktu ke waktu
-
10
sehingga menyebabkan pembentukan pegunungan, lembah, gunung api dan
tsunami yang terletak pada batas-batas lempeng. Batas lempeng yang terbentuk
terdiri dari 3 jenis yaitu, konvergen, divergen, dan singgungan.
Gambar 3. Jenis-jenis patahan : (a) sesar turun (normal fault), (b) sesar naik (reverse
fault), (c) sesar horizontal (strike slip) (Diposaptono dan Budiman, 2005)
Zona konvergen ditandai dengan gerakan dua lempeng yang berbatasan
itu ke bawah lempeng benua. Zona ini terdiri dari dua jenis; tumbukan dan
subduksi. Pada zona tumbukan, kedua lempeng bergerak saling mendekati karena
mempunyai berat jenis sama sehingga lempeng melipat ke atas. Sedangkan pada
zona subduksi, kedua lempeng yang bertumbukkan mempunyai berat jenis yang
berbeda.
Apabila gempa dengan patahan naik maupun turun (lebih dari beberapa
meter secara mendadak dan vertikal) terjadi di laut dengan kedalaman mencapai
ribuan meter. Secara empiris, jika gempanya berkekuatan lebih dari 6,5 SM, dan
pusat gempa berada pada kedalaman kurang 60 km dari dasar laut, maka tsunami
akan terjadi (Diposaptono dan Budiman, 2005).
-
11
Gambar 4. Lempeng-lempeng tektonik Indonesia (Gunawan, 2007)
Berdasarkan catatan, gempa tektonik memang menyumbang kontribusi
terbesar terjadinya tsunami baik di dalam maupun luar negeri. Di Indonesia
sepanjang tahun 1600 sampai 2005 telah terjadi 107 kali tsunami. Dari jumlah
itu, sebanyak 98 kali tsunami disebabkan gempa bumi, sembilan kali karena
letusan gunung berapi, dan satu kali oleh tanah longsor di dasar laut (Gambar 5).
Gambar 5. Sejarah gempa tsunami tahun 1973-2007 (USGS, 2008)
-
12
Memang tidak semua gempa bisa menghasilkan tsunami. Berdasarkan
hasil penelitian, tsunami bisa terwujud jika kekuatan gempa minimal 6,5 SM.
Syarat lain, pusat gempanya berada kurang dari 60 km dari permukaan laut
(gempa dangkal).
Selain itu gempa tersebut harus menghasilkan deformasi dasar laut
secara vertikal cukup besar, lebih dari 2 meter. Jadi, jika ada gempa tektonik yang
terjadi pada kedalaman lebih dari 60 km, tidak akan menghasilkan tsunami
walaupun kekuatan gempanya diatas 6,5 SM.
.
B. Tsunami akibat tanah longsor
Penyebab kedua terjadinya tsunami adalah adanya longsor besar yang
disebabkan oleh gempa, kegiatan gunung berapi, atau longsor di dasar laut. Tanah
longsor tersebut runtuhnya bebatuan dalam jumlah yang banyak kemudian
menimbulkan gelombang dengan puncak gelombang bisa mencapai 535 meter di
atas garis pantai.
2.3.3 Pembangkit Tsunami
Tsunami yang terjadi menyebabkan fluktuasi muka laut secara
mendadak berkaitan erat dengan kegiatan bumi yang terus-menerus bergerak
dinamis. Sebagian besar tsunami dibangkitkan oleh deformasi vertikal dasar laut
yang berasosiasi dengan penyesaran, gempa-gempa, erupsi vulkanik di bawah
laut.
-
13
Parameter-paramter sesar seperti panjang dan lebar sesar, energi atau
magnitude, kedalaman pusat gempa, slip dan mekanisme fokus (strike, dip, dan
sudut slip) adalah paramter-parameter yang utama dari sumber gempa (Gambar 6)
Gambar 6. Parameter orientasi sesar strike, dip, dan arah slip (Diposaptono dan
Budiman, 2005)
Strike (jurus) merupakan arah garis horizontal yang terletak pada bidang
sesar. Dip (kemiringan) adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang
horizontal. Rake adalah sudut pergeseran antara strike dengan garis bidang sesar.
Tsunami biasanya terjadi pada gempa-gempa dangkal yang
mengakibatkan reformasi pada kerak bumi yang selanjutnya memberikan
pengaruh yang kuat terhadap perubahan dasar laut. Dua struktur yang
menimbulkan tsunami perubahan-perubahan tersebut dapat berupa struktur sesar
naik (thrusting fault) atau sesar normal (normal fault).
Kedua sesar tersebut mengakibatkan perubahan kerak bumi dalam arah
vertikal yang dimanifestasikan oleh komponen dip-slip yang dapat
membangkitkan tsunami. Hal itu dapat dijelaskan karena pergerakan vertikal
lantai Samudera dapat menyebabkan perubahan massa air di atas lantai Samudera
yang bergerak tersebut. Jika lantai Samudera naik (uplift) atau turun dengan cepat
-
14
sebagi respon terhadap gempa bumi, maka akan menaikkan dan menurunkan air
laut dalam skala besar, mulai dari lantai Samudera sampai permukaan.
Gambar 7. Gelombang yang terbentuk akibat deformasi
(L. Manshinha dan D.E. Smylie, 1971)
2.4 Pemodelan Gelombang Tsunami
Model merupakan suatu abstraksi atau penyederhanan dari sebuah sistem
yang lebih kompleks (Soetaert dan Herman, 2001). Model-model suatu ekosistem
umumnya lebih sederhana dari arti sesungguhnya. Proses kegiatan yang
menggunakan pendekatan sistem sebagai kerangka bahasan dikenal dengan istilah
permodelan (modelling).
Pemodelan tsunami adalah upaya untuk mensimulasikan penjalaran
gelombang tsunami yang disebabkan oleh deformasi dasar laut (gempa).
Pemodelan tsunami pada dasarnya bertujuan memperkirakan sebaran tinggi dan
limpasan tsunami dalam ruang dan waktu.
-
15
Pembangkitan, penjalaran, dan run-up tsunami dapat dihitung dengan
menggunakan metode beda hingga (finite difference method atau FDM). Pada
dasarnya notasi numerik beda hingga sering ditulis fi,j dimana f adalah variabel
suatu fungsi dan subskrip i,j menunjukkan nomor sel dimana variabel tersebut
berada. Subskrip i menunjukkan nomor sel pada arah-x dan subskrip j
menunjukkan nomor sel pada arah sumbu-y. Jarak antara dua titik dalam arah-x
adalah x dan jarak antara dua titik dalam arah-y adalah y. Untuk fungsi yang
berubah terhadap waktu serta berubah terhadap jarak, notasi skema numeriknya
ditulis seperti fi,jn dimana n adalah langkah waktu ke-n.
Gambar 8. Skema numerik beda hingga (Immamura, 2006)
Metode numerik beda hingga didasari pada persamaan matematik dalam
bentuk deret yang disebut deret Taylor. Pendekatan untuk menyelesaikan deret
Taylor ini terdiri dari 3 cara yaitu : hampiran beda maju (forward difference),
hampiran beda mundur (backward difference) dan hampiran beda tengah (central
difference).
Metode beda hingga yang digunakan pada model tsunami menggunakan:
forward difference dan (2.1)
central difference (2.2)
)(),(),(),( tot
txttxt
tx+
+
=
)()2
1()21()( to
t
tttt
tt
+
+=
-
16
Penggunaan metode beda hingga ini biasanya digunakan untuk interpolasi
dalam perhitungan numerik, aproksimasi, dan diferensiasi.
2.4.1 Persamaan Penjalaran Gelombang Tsunami
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu faktor penyebab
utama tsunami adalah adanya gerakan dasar laut akibat gempa bumi yang dapat
menimbulkan perairan dangkal atau gelombang panjang (long wave). Teori
gelombang dangkal menyebutkan bahwa syarat terjadinya gelombang dangkal
adalah jika nilai perbandingan antara kedalaman air yang dilalui oleh gelombang
tersebut dan panjang gelombangnya lebih kecil dari 1/20. Teori ini menjelaskan
bahwa percepatan vertikal air dapat diabaikan, karena besarnya lebih kecil
daripada percepatan gravitasi. Sehingga berdasarkan pendekatan ini gerak vertikal
dan partikel air tidak berpengaruh pada distribusi tekanan.
Persamaan momentum dalam koordinat z dengan kondisi dinamik pada
permukaan p=0 memberikan tekanan hidrostatik :
P = -.g.(z- ) (2.3)
Berdasarkan kondisi batas dinamik dan kinematika dasar maka diperoleh
persamaan integrasi Teori Gelombang Dangkal ( Immamura, 2006):
(2.4)
Dimana, D : total kedalaman yang diberikan oleh h+ ,
x, dan y : gesekan dasar dalam arah x dan y
A : visikositas Eddy horizontal (konstan)
-
17
2.4.2 Persamaan Kontinuitas
Selain persamaan gerak yang mempengaruhi model tsunami ini,
persamaan kontinuitas sebagai persamaan konversi massa tiga dimensi juga
mempengaruhi untuk fluida incompresible (Imammura, 2006).
(2.5)
Persamaan di atas berlaku untuk dimana saja di dalam fluida. Untuk
menyederhanakan persamaan di atas maka diperlukan syarat batas. Sehingga
hasil akhirnya adalah sebagai berikut :
(2.6)
Dimana : (2.7)
Dimana M dan N adalah discharge fluks dalam arah x dan y
2.4.3 Deformasi Dasar Laut
Menurut Manshina, 1971 in Abietto, 1997 deformasi dasar laut
diestimasi melalui parameter-parameter patahan. Paramater patahan ini ada dua
macam yaitu: parameter statik (panjang, lebar, dislokasi, slip, dan sudut
kemiringan) dan dinamik (kecepatahan patahan dan pertambahan waktu
dislokasi).
Parameter-parameter bidang sesar tersebut anatara lain adalah :
a. Strike (jurus) , merupakan arah garis horisontal yang terletak pada
bidang sesar di ukur searah jarum jam dari arah utara serta dengan asumsi
haning wall berada di sebelah kanan ( 0 360 )
0=
+
+
yv
xu
t
0=
+
+
yN
xM
t
-
18
b. Dip (kemiringan) adalah sudut kemiringan foot wall terhadap bidang
horisontal ( 0 90 )
c. Rake (sudut pergeseran) merupakan sudut antara strike dengan garis
bidang sesar arau slip yang merupakan arah hanging wall. Rake bernilai
positif pada sesar naik dan bernilai negatif pada sesar normal ( -180
180 )
Gambar 9. Model bidang sesar dalam kerangka model penjalaran gelombang
(Abietto, 1997)
2.5 Sistem Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh
informasi tentang objek daerah atau gejala yang didapat dengan analisis data yang
diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek daerah atau fenomena
yang dikaji (Lillesand dan Kiefer,1990)
-
19
2.5.1 Pengertian dan Karakteristik Citra Alos
Pada penelitian ini data penginderaan jauh yang dipakai adalah data citra
dari satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite). ALOS yang diluncurkan
pada tahun 2006 adalah satelit pemantau lingkungan yang bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan kartografi, observasi wilayah, pemantauan bencana alam, dan
survey sumber daya alam.
Gambar 10. Satelit ALOS (JAXA, 2006)
ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Satellite adalah satelit
milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS
yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS dilengkapi dengan 3
instrumen penginderaan jauh : yaitu Panchromatik Remote-sensing Instrument for
Stereo Mapping (PRISM) yang dirancang untuk dapat memperoleh data Digital
Terrain Model (DTM), Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2
(AVNIR-2) untuk pemantauan penutup lahan secara lebih tepat, dan Phased-
Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk pemantauan
permukaan bumi dan cuaca pada siang dan malam hari (Ginting et al, 2003)
-
20
Satelit ALOS telah diluncurkan oleh Badan Luar Angkasa Jepang
(JAXA) pada bulan Januari 2006 dan telah berhasil merekam informasi
permukaan bumi. Resolusi untuk high resolution mode dan ScanSAR masing-
masing 10 meter dan 100 meter. Secara umum satelit ini memiliki karakteristik
yang dapat dijelaskan pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Keterangan umum ALOS Alat peluncuran Roket H-IIA Tempat peluncuran Pusat Ruang Angkasa Tanagashima Berat Satelit 4 000 Kg Power 7 000 W Waktu Operasional 3 sampai 5 Tahun Orbit Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit Recurrent Period : 46 hari Sub cycle 2 hari Tinggi Lintasan : 692 km di atas Equator Inclinasi : 98,2 0 Sumber : JAXA, 2006
Panchromatic Remote-sensing Instrumen for Stereo mapping (PRISM)
adalah instrumen penginderaan jauh pada satelit ALOS dengan sensor
pankromatik dengan resolusi spasial 2.5 m dan memiliki kemampuan untuk
mengambil obyek yang sama pada permukaan bumi dari 3 posisi yang berbeda.
Di bawah ini tabel karakteristik sensor PRISM :
Tabel 2. Keterangan umum sensor PRISM Panjang Gelombang 0.52 0.77 m Banyaknya Optik 3 buah ( Forward, Nadir, Backward) Base to High Ratio 1.0 ( Forward dengan Backward) S/N Diatas 70 MTF 0.2 atau lebih Resolusi Spasial 2.5 m Lebar Cakupan 35 km ( Triplet Mode )
70 km (hanya pengambilan tegak) Jumlah Detektor 28 000 / Kanal (lebar cakupan 70 Km)
14 000 / Kanal (lebar cakupan 35 Km) Sudut pengambailan 1.5 Derajat Panjang Bit 8 bit Sumber : JAXA, 2006
-
21
Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer type-2 (AVNIR-2)
merupakan instrumen pada satelit ALOS yang dilengkapi kanal multispektral
untuk pengamatan permukaan daratan dan wilayah pesisir dengan resolusi spasial
lebih baik dari AVNIR-ADEOS. Sensor ini digunakan untuk tujuan pemetaan
dan klasifikasi penutup/penggunaan lahan skala regional, dengan memiliki
kemampuan cross track pointing untuk pemantauan bencana alam.
Tabel 3. Keterangan umum AVNIR Kanal Observasi Kanal-1 : 0.42 0.50 m
Kanal-2 : 0.52 0.60 m Kanal-3 : 0.61 0.69 m Kanal-4 : 0.76 0.89 m
S/N > 200 MTF Kanal 1-3 : > 0.25
Kanal 4 : > 0.20 Resolusi 10 m ( Nadir) Lebar Cakupan 70 km (Nadir) Jumlah Detector 7000 / Kanal Sudut pengambailan - 44 to +44 Derajat Panjang bit 8 bit Sumber : JAXA, 2006
PALSAR merupakan salah satu sensor untuk pengamatan cuaca dan
permukaan daratan pada siang dan malam hari dengan sistem yang lebih maju dari
JERS-1 SAR. Sensor Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar
(PALSAR) ini mempunyai keistimewaan dapat menembus awan, sehingga
informasi permukaan bumi dapat diperoleh setiap saat, baik malam maupun siang
hari. Resolusi untuk high resolusion mode dan ScanSAR masing-masing 10
meter dan 100 meter.
-
22
Tabel 4. Keterangan umum PALSAR Mode Fine ScanSAR Polarimetric
Frekuensi 1270 MHz (L - BAND) Lebar Kanal 28 / 14MHz
Polarisasi HH atau VV / HH
+HV atau VV + VH HH atau VV HH+HV+VH+VV
Resolusi Spasial 10 m (2 look)/ 20m(4 look) 100 m (multi look)
30 m
Lebar Cakupan 70 Km 250 350 Km 30 Km Incidence Angle 8-60 derajat 18-43 derajat 8 30 derajat
NE Sigma 0 < - 23 dB (70 Km) < -25 dB (60 Km) < - 25 dB < - 29 dB
Panjang bit 3 bit / 5 bit 5 bit 3 bit / 5 bit Ukuran Antena AZ: 8.9 m x EL: 2.9 m
Sumber : JAXA, 2006
2.5.2 Digital Elevation Model (DEM)
Digital Elevation Model (DEM) merupakan data dijital dengan format
raster yang memiliki informasi koordinat posisi (x,y) dan elevasi (z) pada setiap
selnya. Data ini digunakan untuk menggambarkan kondisi topografi suatu
wilayah. Data DEM dapat dibuat berdasarkan data titik tinggi (spot height) yang
dapat diperoleh dari pengolahan foto udara, citra satelit secara fotogrametri atau
citra RADAR melalui proses interferometri. Data DEM ini dapat diperoleh
dengan beberapa cara seperti dengan pengolahan berbagai peta topografi atau peta
rupa bumi. Namun secara konvensional DEM diperoleh melalui survey lapangan
dengan menggunakan berbagai alat survey (Hajar, 2006).
DEM berbeda dengan DTM (Digital Terrain Model) dan DSM (Digital
Surface Model). DEM merupakan informasi ketinggian permukaan bumi yang
ditampilkan dengan perbedaan warna (warna hitam memperlihatkan daerah
topografi rendah, sedangkan warna putih memperlihatkan daerah topografi
tinggi), DTM merupakan informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa
tutupan lahan diatasnya, sedangkan DSM merupakan informasi tutupan lahan dari
-
23
permukaan bumi beserta tutupan lahan diatasnya misal, daerah perkotaan yang
memperlihatkan 3D dari gedung-gedung.
Gambar 11. Perbedaan DEM dan DTM dan DSM (Trisakti, 2006)
Akurasi dari data ini tergantung dari sumber titik tinggi dan resolusi
spasial suatu data DEM. Apabila titik tinggi diperoleh dari garis kontur peta pada
skala 1 : 50.000, maka ketelitian yang diperoleh dari data DEM ini nantinya
memiliki akurasi yang tinggi dan semakin tinggi resolusi spasial yang dimiliki
suatu data DEM, maka semakin tinggi akurasi data yang dihasilkan
(Ermapper,2004).
Pengolahan data DEM akan mengahasilkan kesalahan atau sink dari proses
interpolasi yang akan berpengaruh terhadap akurasi data. Sink tersebut perlu
dihilangkan agar mendapatkan data yang memiliki keakurasian data yang tinggi.
Pengolahan data DEM menggunakan data titik atau garis tinggi dapat dilakukan
melalui proses interpolasi dengan beberapa cara seperti Inverse Distance Weigted
Spline dan Kriging (Ermapper,2004).
DEM: Digital Elevation Model DTM: Digital Terain Model
Rendah Tinggi
DSM: Digital Surface Model
-
24
Data ketinggian suatu objek dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa
metode, yaitu diantaranya:
DEM yang dihasilkan dari interpolasi, yaitu melakukan interpolasi terhadap
titik ketinggian (dimana titik berisi informasi ketinggian Z dan koordinat XY)
atau interpolasi terhadap garis kontur untuk menghasilkan DEM. Cara kedua
yaitu dengan penurunan DEM mengunakan citra stereo, yaitu menggunakan 2
atau lebih citra yang diperoleh dari sudut pandang yang berbeda. Dan cara
lainnya yaitu dengan Radar Interferometri (InSAR) atau teknik dimana data dari
sensor radar dari satelit penginderaan jauh (contoh: ERS, JERS-1, RadarSAT dan
PALSAR-ALOS) digunakan untuk memetakan ketinggian (topografi) dari
permukaan bumi.
2.5.3 Metode Pansharpan Alos
Image fusion merupakan kombinasi dua atau lebih dari image/citra yang
berbeda untuk menghasilkan image baru dengan menggunakan berbagai
algorithma. Pan-Sharpenning merupakan salah satu jenis image data fusion. Data
citra berwarna dengan resolusi rendah digabungkan dengan data monokrom yang
beresolusi tinggi yang hasilnya adalah sebuah image data citra berwarna dengan
resolusi tinggi.
Menurut Prahasta (2008) data fusion merupakan menggabungkan atau
mengkombinasikan (fusi) data (dengan cakupan wilayah yang sama) yang berasal
dari berbagai (rekaman) sensor satelit (dan dengan resolusi-resolusi spasial yang
berbeda) merupakan cara yang sangat efektif dan efisien dalam memberdayakan
sumber-sumber basis data spasial secara optimal. Salah satu dari sekian banyak
-
25
bentuk dari aktifitas ini adalah Pan-sharpen yang mengkombinasikan citra digital
pankromatik (band tunggal yang beresolusi spasial lebih tinggi) dengan citra
digital multi-spektral (beberapa band berwarna tetapi memiliki resolusi spasial
lebih rendah). Hasil yang diharapkan dari proses ini adalah citra digital
mutispektral dengan resolusi yang sama dengan pankromatik. Hasilnya
digunakan sebagai alat bantu pada interpretasi citra digital secara visual.
Image data sebaiknya tercatat dengan akurasi level tinggi terlebih dahulu
menggunakan fusion algorithma, diantaranya :
1. HSV (or HSI) Sharpenning
Hue Saturation Intensity (Hue Saturation Value) menggunakan resolusi
rendah image RGB (Red Green Blue). Band pankromatik disesuaikan dan diganti
untuk intensity band. Gambar HSI di convert kembali ke tempat RGB.
2. Color Normalized (Brovey) Sharpenning
Digunakan untuk mendapatkan teknik Sharpenning dengan menggunakan
kombinasi matematika image berwarna dan data resolusi tinggi.
Fusion i = (MULTi/MULTi Sum)x PAN (2.8)
Dimana i (=1,2,3..) merupakan band particular dalam MS Image dan MULTi
SUM = MULTI1 + MULTI2 + MULTI3 (2.9)
Setiap band di Image Color dikalikan dengan rasio data resolusi tinggi
dibagi dengan jumlah color bands. Fungsi otomatis dari color bands sampai
ukuran pixel dengan resolusi tinggi menggunakan nearest neighbor, bilinnear,
atau cubic convolution technique. Hasil keluaran gambar RGB akan mendapatkan
nilai pixel dari input data resolusi tinggi.
-
26
3. PC Spectral Sharpenning
Digunakan untuk Sharpen Spectral Image data dengan data resolusi tinggi
menggunakan prinsip transformasi komponen hasil data multispectral.
PC band 1 digantikan dengan band resolusi tinggi dengan skala yang
sesuai dengan PC band 1 sehingga tidak ada distorsi informasi spectral.
Kemudian, digunakan untuk transform kembali.
Data multispectral otomatis memperbaiki nilai pixel resolusi tinggi menggunakan
nearest neighbor, bilinnear, atau cubic convolution technique.
4. Gram Schmidt Algoritm
Merupakan Kodak/ RSI yang memiliki algoritma Sharpenning.
Algorithma ini merupakan dasar dalam persamaan rotasi di alam untuk PCA.
(2.10)
(2.11) Dimana, u dan v adalah vector ortogonal
2.5.4 Penutupan/Penggunaan Lahan Dalam perencanaan dan pegembangan suatu wilayah, diperlukan antara
lain peta tutupan lahan. Dalam pembuatan peta tutupan lahan, dapat dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh, misalnya dengan
menganalisa citra satelit (Winardi dan Cahyono, 2005).
Istilah penutup lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi. Danau, pohon, dan es glasial merupakan penutup lahan.
-
27
Sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang
lahan tertentu.
Survey geologi Amerika Serikat telah menyusun sistem klasifikasi
penggunaan lahan dan penutup lahan untuk digunakan dengan data penginderaan
jauh yang dilaporkan dalam USGS Profesional Paper 964 (5). Informasi
penggunaan lahan dan penutup lahan sebaiknya disajikan pada peta secara
terpisah dan tidak dijadikan satu sistem klasifikasi USGS. Akan tetapi dari segi
praktisnya lebih efisien menggabungkan dua sistem tersebut apabila data
penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk kegiatan
pemetaanya.
Sistem klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan USGS disusun
berdasarkan kriteria berikut :
1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan
penginderaan jauh tidak kurang dari 85 persen.
2. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus tidak kran lebih
sama.
3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke
yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain.
4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.
5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe
penutup lahanya.
6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh
yang diperoleh pada waktu yang berbeda.
-
28
7. Kategori harus dapat dirinci ke dalam sub-kategori yang lebih rinci yang
dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan.
8. Pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan.
9. Dapat dibandingkan dengan data penggunaan lahan dan penutupan lahan
pada masa yang akan datang.
10. Bila memungkinkan lahan multiguna dapat dikenali.
Sistem klasifikasi USGS juga menyajikan kategori penggunaan lahan/
penutupan lahan terdiri dari 4 tingkatan yang terdiri dari : sistem klasifikasi
tingkat I yang disusun untuk digunakan pada citra skala kecil seperti citra Landsat.
Tingkat II disusun untuk digunakan pada foto udara skala kecil. Citra yang paling
banyak digunakan untuk pemetaan tingkat II adalah foto udara inframerah
berwarna dengan ketinggian terbang tinggi. Untuk pemetaan pada tingkat III,
sejumlah besar informasi penunjang harus diperoleh disamping informasi yang
diperoleh dari foto udara skala sedang. Sejalan dengan itu maka untuk pemetaan
pada tingkat IV juga harus diperoleh sejumlah besar informasi penunjang,
disamping yang diperoleh dari foto udara skala besar.
Ukuran minimum suatu daerah yang dapat dipetakan dalam kelas
penggunaan lahan/penutup lahan tergantung pada skala dan resolusi citra.
Tabel 5. Ukuran Minimum Unit Penggunaan lahan/Penutup lahan
(Lillesand/Kiefer, 1990) Tingkat Interpretasi Citra Skala Peta yang
reperentatif Ukuran Minimum Dipetakan
I. (Satelit) 1 : 500.000 150 ha II. (Foto udara skala kecil) 1 : 62.500 2.5 ha
III. (Foto udara skala menengah) 1: 24.000 0.35 ha
-
29
Lahan pertanian secara luas dapat diartikan sebagai lahan yang
penggunaanya terutama untuk menghasilkan makanan dan serabut. Kategori ini
meliputi penggunaan seperti tanaman semusim dan padang, rumput buah-buahan,
jeruk, anggur, daerah pembibitan dan tanaman hias.
Lahan hutan adalah daerah yang kepadatan tajuk pohonnya (persentasi
penutup tajuk) 10 persen atau lebih, batang pohonya menghasilkan kayu atau
produksi kayu lainnya dan mempengaruhi iklim atau tata air lokal. Kategori air
antara lain: sungai, kanal, danau, waduk, teluk, dan muara. Daerah yang berair
dangkal dimana timbul vegetasi aquatik, diklasifikasikan sebagai kategori air.
Lahan gundul ialah lahan yang kemampuannya terbatas untuk mendukung
kehidupan dan vegetasi atau penutup lainnya kurang dari sepertiga luas
daerahnya.
Seperti yang telah disebutkan diatas, sebidang lahan mungkin dapat
dikelompokkan dalam lebih dari satu kategori sehingga diperlukan suatu definisi
khusus untuk menjelaskan prioritas klasifikasinya. Apabila obyek mempunyai
lebih dari satu kategori, maka harus diambil kategori yang utama.Misalnya,daerah
pemukiman yang penutupan vegetasinya cukup lebat dan memenuhi kriteria lahan
hutan, maka harus dimasukkan dalam kategori lahan bangunan/ lahan terbangun.
Penentuan daerah rawan tsunami yang digunakan pada penelitian ini
berdasarkan daerah limpasan tsunami pada penutupan/penggunaan lahannya.
Remote sensing (RS atau penginderaan jauh) merupakan salah satu alat mutakhir
guna menunjang kegiatan riset tsunami seperti halnya dalam pembuatan DEM dan
penuutupan/penggunaan lahan.
-
30
Citra satelit secara global, visual, digital, dan multi temporal dapat
memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di daerah pesisir, baik
sebelum, sewaktu, maupun setelah tsunami.
Identifikasi daerah yang berpotensi mengalami bencana tsunami dilakukan
secara bertahap dengan empat langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi jalur lempeng yang berpotensi menyebabkan gempa dan
tsunami baik near field ataupun far field.
2. Mengannalisis aspek historis kejadian gempa yang mempunyai pusat di
bawah laut.
3. Analisis aspek historis kejadian tsunami Indonesia terutama mekanisme
pembangkitan tsunami.
4. Simulasi numerik hubungan antara pembangkit tsunami dan tinggi tsunami
melalui pemodelan matematika dari hasil analisis gempa dan tsunami
sebelumnya.
Penelitian mengenai daerah rawan tsunami yang berbasis penginderaan
jauh saat ini sudah banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai daerah rawan
tsunami dengan menggunakan integrasi pemodelan dan data penginderaan jauh,
saat ini sedang dikembangkan secara aktif oleh para peneliti, lembaga penelitian,
dan perguruan tinggi di dunia. Seperti halnya yang telah dilakukan peneliti dari
LAPAN dan BPPT yang telah memodelkan tsunami dengan menggunakan data
ALOS PRISM (Nadir-Forward) dan SRTM pada tahun 2007 di Cilacap, Jawa
Tengah.
-
31
3. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan lokasi penelitian
Lokasi penelitian terletak di Perairan Cilacap, Kabupaten Cilacap yang
secara administratif merupakan salah satu kabupaten di Pulau Jawa yang termasuk
ke dalam Propinsi Jawa Tengah. Lokasi Penelitian terletak antara 073854 LS -
074833 LS dan 1085722 BT - 1090657BT (Gambar 12). Penelitian ini
mulai dilakukan pada bulan Februari 2008 sampai dengan bulan September 2008.
Proses pengolahan data dilakukan dalam tiga tahap yaitu: pengolahan
data Penginderaan Jarak Jauh dilakukan di Laboratorium Komputer Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta Timur sedangkan
pengolahan tsunami modeling dilakukan di Laboratorium balai Pengkajian
Dinamika Pantai BPPT Yogyakarta serta survey lapangan.
Gambar 12. Peta lokasi penelitian
-
32
3.2 Alat dan bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang dipakai dalam pelaksanaan penelitian ini terdiri dari :
1. Perangkat keras pengolah citra yaitu :
Berupa seperangkat PC (Personal computer) berbasis Intel dengan sistem
operasi Windows yang digunakan untuk mengolah data citra.
Printer sebagai pencetak data
Flash disk 1 GB dan Hard disk external 40 GB sebagai media penyimpan
data
2. Perangkat lunak berupa software-software yang digunakan untuk
mengolah data citra ALOS yaitu :
Perangkat lunak pengolah image processing, pembuatan DEM dari citra,
serta perangkat lunak untuk menyajikan layout citra
perangkat lunak pengolahan pre-processing model (input data
sumber/parameter tsunami), processing model (running model/pacu
model), dan post-processing model (Interpretasi dan animasi).
3. Global Positioning System (GPS), sebagai alat dalam kegiatan survey
lapangan
4. Kamera digital memori 512 MB dan alat perekam suara, sebagai alat
dokumentasi dan wawancara dalam kegiatan survey lapangan.
-
33
3.2.2 Bahan
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari :
1. Data Primer
Data primer yang digunakan penelitian ini meliputi : Citra satelit ALOS
(Advanced Land Observation Satellite), data batimetri GEBCO (General
Bathymetric Chart of the Oceans ) serta data topogarfi yang didapatkan
saat survey lapangan (data pengukuran DEM LAPAN dan BPPT dan data
cek lapangan terhadap data penutupan/penggunaan lahan) .
2. Data Sekunder
Data citra SPOT terkoreksi, data posisi dan kekuatan gempa USGS, serta data
program pemodelan tsunami Universitas Tohoku serta data lapangan seperti
wawancara dan hasil groundchek data tutupan/penggunaan lahan yang
mendukung penelitian ini. Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25000 serta peta
penutupan/penggunaan lahan Kabupten Cilacap skala 1:25000 .
3.3 Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis penginderaan jarak jauh
dengan metode integrasi data model numerik dengan data citra untuk memperoleh
daerah rawan tsunami. Alur pengolahan penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu
pengolahan penurunan DEM dari citra, pengolahan pemodelan tsunami sebagai
input data kerawanan tsunami, dan integrasi citra dengan model.
-
34
3.3.1 Pengolahan citra awal
Penelitian ini menggunakan data citra ALOS (Advanced Land Observing
Satellite) sensor PRISM yang diakuisisi 05 Mei 2007 dan sensor AVNIR pada
tanggal 04 Januari 2007 dari LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional). Namun citra yang diperoleh tidah sepenuhnya digunakan dalam
analisis, untuk itu perlu dilakukan pemotongan citra (cropping). Pemotongan citra
ini bertujuan untuk membatasi daerah sesuai lokasi penelitian. Selanjutnya
dilakukan pemulihan citra yaitu koreksi geometrik
Koreksi geometrik dilakukan untuk memperbaiki distorsi posisi atau
letak objek. Distorsi ini dihasilkan oleh faktor seperti variasi tinggi satelit,
ketegakan dan kecepatan satelit (Lillesand and Kiefer, 1990). Setelah koreksi
geometrik dilakukan maka didapat citra yang sesuai dengan posisi sebenarnya di
bumi.
3.3.2 Penurunan Data Elevation Model
Pengukuran Data Elevation Model (DEM) pada prinsipnya berhubungan
dengan sifat stereo yang dipandang sebagai objek. Data ketinggian suatu objek
dari satelit bisa didapatkan dengan beberapa metode, yaitu diantaranya:
interpolasi, penurunan dari citra stereo, dan Interferometri.
Paralak citra menunjukkan perubahan yang tampak pada posisi relatif
suatu obyek yang tak bergerak, yang disebabkan oleh perubahan posisi
pengamatan. Gambar 13 , melukiskan sifat paralak pada citra stereo satelit ALOS
yang bertampalan yang dipotret di atas medan yang beraneka. Perhatikan posisi
-
35
relatif titik 1 dan 2 yang berubah dengan berpindahnya posisi pengamatan (dalam
hal ini titik pengamatan).
Gambar 13. Prinsip pengukuran DEM dengan sifat paralak satelit (Trisakti, 2006)
Teleskop1 akan melakukan merekam bagian puncak dan bagian dasar
objek pada waktu yang sama (waktu t1), sedangkan teleskop 2 akan merekam
terlebih dahulu pada bagian puncak objek (waktu t2 dan jarak X2 dari posisi
rekam sensor 1) kemudian merekam bagian dasar (waktu t3 dan jarak X1 dari
posisi rekam sensor 1). Sehingga terjadi perbedaan waktu dan jarak untuk
merekam antara bagian puncak dan dasar objek sebesar t3-t2 dan X1-X2.
Perbedaan ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan posisi antara puncak dan
dasar objek pada citra perekaman arah miring, sedangkan pada citra perekaman
-
36
tegak lurus, puncak atau dasar objek akan mengacu hanya pada posisi dasar objek.
Perbedaan ini disebut perbedaan paralak atau jarak paralak p yang besarnya
sama dengan jarak perekaman arah miring antara puncak dan dasar objek X1-X2,
atau p= X1-X2. Sudut arah miring terhadap garis vertikal (atau sudut yang
dibentuk antara telescop 1 dan teleskop 2) adalah sebesar , dimana tan senilai
dengan X1 dibagi ketinggian satelit dari permukaan bumi, atau B/H
Selanjutnya ketinggian objek h dapat dihitung dengan formula
trigonometri sederhana yaitu: tan = (X1-X2)/h. Sehingga persamaannya
menjadi sebagai berikut
h = (X1-X2)/tan (3.1)
h = p/ (B/H) (3.2)
h = H*p/B (3.3)
Data Elevation Model (DEM) yang digunakan pada penelitian ini
merupakan data penurunan DEM dari citra ALOS PRISM. Penurunan DEM
dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi data yang berbeda, sebagai
contoh adalah kombinasi antara Nadir-Forward, Nadir-Backward atau Forward-
Backward, atau kalau memungkinkan adalah triplet Nadir-Forward-Backward.
Namun yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan kombinasi
Nadir-Backward.
Citra stereo ALOS PRISM (Nadir dan Backward) dipilih area kajian
penelitian yang sama dan sesuai dengan cropping area sehingga overlap antara
keduanya tepat.
Setelah penyiapan data, maka proses selanjutnya adalah proses
penurunan DEM. Data yang digunakan selain data PRISM juga data hasil
-
37
pengukuran ketinggian topografi menggunakan DGPS (Differential GPS) sebagai
referensi. Data DGPS ini diperoleh dari pengukuran lapangan yang dilakukan
oleh Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan dan Teknologi Penideraan Jarak Jauh
LAPAN, AIT (Asian Institute of Technology) dan data DGPS BPPT . Data DGPS
ini merupakan data GCP (XYZ), (XY) untuk koordinat horisontal dan (Z) untuk
koordinat vertikal. Tingkat akurasi GCP referensi yang digunakan, jumlah GCP,
distribusi sebaran GCP, RMSE dari nilai paralaks dan ketepatan peletakan titik
GCP.
Proses pemasukan input-input parameter yang diperlukan seperti
penyesuaian zona 49 UTM (dareah kajian Cilacap) dan parameter sensor
(disajikan pada Tabel 6).
Proses selanjutnya adalah masukan data DGPS hasil pengukuran
lapangan sebagai data referensi untuk menyesuaikan posisi topografi dengan
ALOS PRISM. Pengambilan GCP pada tiap-tiap sensor disesuaikan dengan data
referensi satu-persatu posisi dengan tepat.
Untuk menambah keakuratan dan mempercepat pembuatan DEM yang
dibuat maka diperlukan titik ikat otomatis. Semakin banyak titik ikat maka
ketelitian semakin baik, yang direkomendasikan minimal 50 titik Sehingga pada
penelitian ini menggunakan titik ikat sebanyak 50 buah titik.
Side incidence adalah posisi satelit yang bias bergerak ke kiri atau ke
kanan. Track incidence adalah sudut yang dibentuk dari Backward-Nadir atau
Forward-Nadir. Ground resolution adalah ukuran sebenarnya di bumi dalam
setiap sel di citra. Sensor line along axis pada sumbu Y karena paralak terjadi
pada sumbu Y (proses masukkan informasi sensor terlihat pada Tabel 6).
-
38
Tabel 6. Informasi Sensor penuruan DEM ALOS Frame Editor Forward Nadir Backward Tab Frame Attributes Side incidence (degrees) 1,5 1,5 1,5 Track incidence (degrees) 26,57 0 26,57 Ground resolution (meters) 2,5 2,5 2,5 Sensor line along axis y y y Sensor Information Forward Nadir Backward Tab General Focal length (mm) 1939 1939 1939 Principal point x0 (mm) 0 0 0 Principal point y0 (mm) 0 0 0 Pixel size (mm) 0,007 0,007 0,007 Sensor columns 16247 14650 16214 Tab Model Parameters X 2 2 2 Y 2 2 2 Z 2 2 2 Omega 1 1 1 Phi 1 1 1 Kappa 2 2 2
Nilai RMSE yang didapatkan merupakan nilai yang menunjukkan
seberapa besar ketelitian DEM yang kita dapatkan. Semaikn kecil nilai RMSE
nya maka semakin baik ketelitian Dem yang dihasilkan. Sehingga setelah proses
triangulasi selesai, maka penurunan DEM bisa dilakukan
Tabel 7. Parameter Triangulasi DEM Tab Parameter Keterangan / nilai General Maximum normal iterations
Iterations with relaxation Convergence value (pixels) Compute accuracy for unknowns Image coordinate unit for report
5 3 0,001 Dinonaktifkan Pixels
Point Type Same weighted values (X, Y, Z = 2,5 resolusi spasial ALOS Prism = 2,5 m)
Advanced options
Simple gross error check Use image observations of check point in triangulation Consider earth curvature in calculation Define topocenter (degrees)
Diaktifkan, nilai 3 Diaktifkan Dinonaktifkan Dinonaktifkan
-
39
3.3.3 Pengolahan pansharpan ALOS
Citra ALOS yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS
PRISM dan AVNIR. Karakteristik PRISM termasuk citra panchromatik yang
memiliki resolusi tinggi yaitu 2.5 m. Sedangkan karakteristik AVNIR memiliki
resolusi lebih rendah dibandingkan PRISM yaitu 10 m dengan multispektral.
Metode pansharpan ini bertujuan untuk mendapatkan data citra yang
memiliki karakteristik citra yang lebih baik yaitu memiliki resolusi tinggi (2.5 m)
dan termasuk multispektral.
Langkah pertama adalah koreksi geometri kedua citra sehingga ketika
proses fusion atau pansharpaning dilakukan akan mendapatkan citra pansharpan
yang tepat. Koreksi citra AVNIR terhadap citra yang sudah terkoreksi yaitu
dengan menggunakan citra SPOT, kemudian citra PRISM (Nadir) dikoreksi
geometrik terhadap citra AVNIR yang sudah terkoreksi sebelumnya.
Algoritma metode pansharpan yang digunakan pada penelitian ini
adalah algoritma Gramd Smith karena algoritma ini adalah algoritma fusion citra
yang paling baik secara visual untuk membedakan objek-objek pada
penutupan/penggunaan lahan. Misalnya dapat membedakan antara tanah dan
vegetasi secara lebih jelas dibandingkan dengan algoritma yang lain.
3.3.4 Pengolahan Penutupan Lahan
Klasifikasi merupakan proses penglemopokkan nilai reflektansi dari
setiap obyek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Klasifikasi
yang digunakan pada penelitian ini adalah klasifikasi tak terbimbing
(unsupervised classification).
-
40
Data citra ALOS yang digunakan untuk mendapatkan citra terklasifikasi
berdasarkan tutupan lahanya yaitu menggunakan data citra ALOS AVNIR
(Advanced Vicible and Near-Imfrared Radiometer) dan ALOS PRISM ( Nadir).
Kandungan informasi dapat diperoleh melalui kegiatan klasifikasi dan
interpretasi data, interpretasi dibatasi pada pengenalan penggunaan/penutup lahan
(land cover) yang didefinisikan sebagai pengenalan tipe kemunculan obyek yang
ada di permukaan bumi, seperti bangunan urban, tanam tanaman, air dan lain-lain.
Dengan demikian, melalui pengenalan penggunaan/penutup lahan dapat diketahui
sebaran, bentuk, luasan dan lokasi berbagai obyek di permukaan bumi.
Proses pengolahan awal adalah dengan menggunakan metode
Pansharpan.. Metode Pansharpan ini menggunakan citra PRISM sebagai citra
yang memiliki resolusi spasial 2.5 m dengan monospketral dan citra AVNIR
sebagai citra yang memiliki resolusi spasial 10 m dengan multispektral. Setelah
kedua citra yang memiliki resolusi spasial dan sensor yang berbeda diintegrasikan
maka dihasilkan citra baru yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi
dengan disertai sifat multispektral.
Setelah proses pansharpan dilakukan maka dilakukan proses klasifikasi
tak terbimbing (unsupervised classification). Banyaknya kelas klasifikasi sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada penelitian ini pemilihan
tutupan/penggunaan lahan ditujukan untuk mendapatkan daerah kalsifikasi yang
digenangi tsunami dan daerah rawan tsunami. Pemilihan kelas klasifikasi yang
dipilih peneliti terdiri dari kelas : pemukiman/bangunan, industri, sawah,
tambak,ladang, lahan terbuka, vegetasi lain, mangrove, pasir, kebun/perkebunan.
Serta informasi penggunaan lahan yang berasal dari digitasi pada peta
-
41
penutupan/penggunaan lahan yaitu: rumah sakit, jalan, sekolah, dan tempat
peribadatan.
Gambar 14. Bagan alir metode pansharpan
3.4 Pengolahan Pemodelan Tsunami
Model tsunami yang digunakan dalam penelitian ini, hanya dibangkitkan
oleh pergerakan dasar laut akibat gempa. Sedangkan persamaan gerak gelombang
yang digunakan adalah persamaan gerak gelombang panjang suku-suku linier.
Hal ini cukup mewakili karena model tsunami dalam penelitian ini berjenis Near
Fields Tsunami dimana jarak antara pembangkit tsunami dengan pantai cukup
dekat, kurang dari 2000 km. Demikian pula untuk suku gesekan dasar dalam
perhitungan ini belum digunakan.
ALOS PRISM ALOS AVNIR
Pankromatik Multi spektral
Fusion / Pan sharpening
Ortho rectification
Klasifikasi Unsupervised
Land Use Map/Landcover
Citra ALOS
-
42
Persamaan di bawah ini adalah persamaan dasar penjalaran gelombang
tsunami yang digunakan dalam model ini (Immamura, 2006)
(3.3)
dimana, M = udz = (h + ) , discharge fluks dalam arah x
N = vdz = v (h + ) , discharge fluks dalam arah y
g = percepatan gravitasi bumi
h = kedalaman perairan
= elevasi muka air laut
Program ini hanya digunakan untuk gelombang tsunami. Pengaruh
gelombang yang diakibatkan angin dan pasang surut tidak diperhitungkan. Paras
muka laut diberikan oleh pasang surut saat tersebut dan diasumsikan konstan
selama pemodelan tsunami. Hal ini dikarenakan simulasi tsunami hanya memiliki
durasi sekitar satu hingga tiga jam.
Syarat batas tertutup dalam model ini menggunakan asumsi garis sebagai
dinding. Sehingga tidak ada aliran yang melewatinya, dan gelombang terefleksi
secara sempurna. Dengan kondisi stabil jika h jauh lebih besar dari
(3.4)
Dimana, C = kecepatan penjalaran gelombang
t= spatial waktu
x= spatial grid dalam arah x
1
xtC
0=
+
+
yN
xM
t
-
43
Pengolahan model dilakukan tiga tahapan yaitu : pre-processing,
processing, dan post processing. Proses pengolahan awal (pre-processing )
adalah membuat input data sumber atau parameter tsunami dan data dasar. Tahap
selanjutnya adalah proses running model atau pacu model. Tahap terakhir dari
pengolahan model tsunami pada penelitian ini yaitu tahap interpretasi dan
animasi.
3.4.1 Pre-processing
Pembuatan data input model berupa data batimetri GEBCO, DEM citra
ALOS yang telah dibuat pada tahap pengolahan citra sebelumnya. Pada
pembuatan input ini daerah domain yang digunakan oleh program terdiri dari
empat domain. Sehingga selain daerah kajian, maka dibuat tiga domain lainnya.
Keempat domain yang digunakan menggunakan metode nested grid.
Gambar 15. Lokasi domain model
Jumlah input batimetri dan topografi terdiri dari empat buah, domain D
merupakan daerah kajian penelitian yaitu di cilacap, sedangkan domain B, C, dan
domain A merupakan daerah nonkajian yaitu meliputi daerah yang luasannya
lebih besar dibandingkan domain D.
-
44
Penentuan domain dilakukan dengan menggunakan software Mapsource
sehingga batas penentuan domain lebih mudah dan jelas. Batas penentuan daerah
kajian penelitian disesuaikan dengan batas daerah citra dan DEM yang telah
ditentukan sebelumnya sehingga pada saat dilakukan overlay akan tepat.
Sedangkan untuk daerah nonkajian ditentukan dengan syarat luasan domain C <
domain B < domain A.
Langkah Pembuatan input domain D dilakukan dengan
mengintegrasikan data batimetri GEBCO dengan DEM ALOS. Proses
pengintegrasian ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Global Mapper
8.0, Textpad, Transform, Surfer 8.0, dan GEBCO Centenary edition. Proses
pembuatan input domain D dimulai dengan membuat terlebih dahulu input data
dari SRTM 90. Hal ini dilakukan untuk membantu pada tahap pemasukan data
batimetri terhadap DEM. Pengolahan dimulai pembuatan topografi dan garis
pantai dari data SRTM. Kemudian pembuatan batimetri dari GEBCO sesuai batas
domain D. Proses selanjutnya yaitu penggabungan data dan interpolasi data
dengan metode kriging yaitu data topografi, garis pantai, dan batimetri pada
software Surfer 8.0. Data hasil interpolasi dibaca dengan menggunakan software
Transform. Kemudian file tersebut disimpan dalam bnetuk ekstensi *hdf untuk
kemudian digabung dengan data batimetri.
Setelah input data SRTM dan GEBCO selesai maka sebelum
diintegrasikan dengan DEM ALOS, maka data DEM tersebut harus dikonversi
terlebih dahulu ke dalam bentuk data ASCII sehingga dapat dibaca dan
diintegrasikan dengan data batimetri. Proses konversi data DEM menjadi data
ASCII menggunakan software ENVI 4.3. Agar dapat dibaca pada software yang
-
45
sama yaitu Transform maka data ASCII tersebut dibuka dengan Textpad lalu
header citra dihilangkan dan disimpan dalam bentuk *txt dan dibuka dengan
Transform.
Program pemodelan tsunami ini hanya dapat membaca pada ukuran grid
30 x 30. Sehingga data DEM perlu dibuat sama ukuran gridnya menjadi ukuran
30 x 30. Hal ini disebabkan kemampuan dari media running program yaitu
komputer yang ada pada saat ini tidak mampu untuk menjalankan program pada
grid yang berukuran lebih kecil dari 30 x 30 sehingga pembuat program
menentukan ukuran grid yang berukuran 30 x 30.
Setelah pembuatan input dari data SRTM dan GEBCO selesai maka
dilakukan pengintegrasian batimetri dari input SRTM-GEBCO terhadap DEM.
Sehingga dihasilkan input model domain D yang terdiri dari DEM sebagai
topografi dan batimeri. Proses ini memerlukan penyesuaian ukuran grid antara
data DEM dan GEBCO sehingga untuk memudahkan proses penggabungan data,
nomor grid dirubah dari UTM menjadi ukuran nomor grid satuan dengan interval
1.0 dan dimulai dengan nomor grid satu. Proses penggabungan data dengan cara
memasukkan data batimetri ke dalam data DEM ALOS pada posisi grid sel yang
sama. Misalnya pada sel (20,15) artinya pada baris ke-20 dan kolom ke-15 pada
DEM memiliki nilai 0 (perairan), maka diisi dengan nilai pada data GEBCO pada
sel yang sama yaitu (20,15). Demikian seterusnya sehingga semua sel yang
bernilai nol pada data DEM terisi dengan data batimetri pada GEBCO.
Selanjutnya dilakukan pembuatan pembuatan file input domain C, B,
dan domain A. Proses pembuatan ketiga input ini dengan menggunakan data
-
46
GEBCO (topografi dan kedalaman laut). Batas-batas penentuan domain sesuai
dengan batas yang sudah ditentukan sebelumnya.
Pada tahap pembuatan input domain A, B, dan C ini hampir sama
dengan pembuatan input domain D. Tetapi pada proses ini hanya menggunakan
data GEBCO sebagai data dasar. Hal ini disebabkan selain domain A, B, dan C
ini bukan daerah kajian penelitian juga adanya keterbatasan data ALOS yang
digunakan pada pembuatan input model. Proses pembuatan di mulai dengan
penentuan daerah domain pada software GEBCO kemudian disimpan dalam
bentuk grid data dengan ekstension *asc. Kemudian diolah dengan menggunakan
software Surfer 8.0 dengan proses interpolasi kriging dengan space grid sesuai
dengan luasan grid domainnya disimpan dalam bnetuk *dat. Kemudian ketiga
file input diatas dibuka dengan software Transform dan disimpan dalam bentuk
*hdf untuk masing-masing domain.
File input A,B, dan C di atas bukan merupakan input model. Untuk
membuat input model domain A, B, dan C maka untuk input domain C adalah
gabungan antara input domain D dan domain C . Caranya yaitu dengan merubah
kembali nomor sel ke dalam bentuk UTM, kemudian pada posisi koordinat UTM
domain D pada domain C disi dengan semua data pada file input domain D.
Sehingga input domain C adalah data topografi dan batimetri dari domain D dan
domain C hasilnya dapat dilihat pada Gambar 16
Untuk mendapatkan input domain B dan A dilakukan proses yang sama
seperti pada pengolahan domain C. Sehingga didapatkan file input domain C, B,
-
47
dan domain A (grid-c, grid b, dan grid-a) yang digunakan pada tahap selanjutnya
yiatu tahap processing.
Gambar 16. Pembuatan domain C (gabungan input D dan C)
3.4.2 Processing
Tahap pacu mode