KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf ·...

33
1 KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh: Yusmichad Yusdja, Rosmijati Sajut, Henny Mayrowani, Bambang Winarso, Ashari dan Waluyo Abstrak Pemerintah telah menetapkan 3 sasaran pokok dalam pembangunan pertanian 2005-2009 yakni meningkatkan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pengembangan agribisnis. Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian baik lintas subsektor maupun program subsektor. Atas dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang program- program pembangunan pertanian dalam masa 2005-2007. Kaji ulang ini meliputi kegiatan analisis dan sintesis terhadap konsep, implementasi dan dampak program pembangunan pertanian secara selektip. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sudah tepat rumusan strategi dan program yang dicanangkan pemerintah dalam membangun pertanian? Apakah program-program tersebut memang ada atau tidak ada, dan kalau ada bagaimana rincian program itu di daerah sebagai pelaksana (atau penonton)? Apakah program-program itu berjalan efektif sebagai simpul pendorong pembangunan? Apakah program-program itu dapat dilaksanakan secara teknis dan bagaimana dampaknya terhadap produksi, produktivitas, pendapatan petani dan perubahan struktur pengusahaan? Tujuan analisis adalah melakukan Kaji ulang mencakup konsepsi, implementasi dan kinerja program pertanian lintas subsektor. Untuk tahun 2007, kaji ulang difokuskan pada program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan Gapoktan. Kaji ulang untuk tahun 2007 difokuskan pada Kaji Ulang Program Subsidi Jagung di Sulawesi Selatan dan Kaji Ulang Program Swasembada Daging 2010. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program DPM LUEP merupakan program yang tepat untuk mengamankan harga gabah sekali gus meningkatkan pendapatan petani. Penurunan harga beras dapat mengancam LUEP dalam membeli gabah. Program subsidi benih jagung menghadapi banyak masalah teknis, sehingga kegiatan yang sama pada tahun berikutnya harus dapat menyelesaikan masalah ini. Sementara program swasembada daging 2009 dinilai akan sulit dicapai, karena program itu tidak didukung oleh kenyataan di lapang dan tidak di dukung oleh dana pembangunan yang relatif cukup.

Transcript of KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf ·...

Page 1: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

1

KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

Oleh:

Yusmichad Yusdja, Rosmijati Sajut, Henny Mayrowani, Bambang Winarso, Ashari dan Waluyo

Abstrak

Pemerintah telah menetapkan 3 sasaran pokok dalam pembangunan pertanian 2005-2009 yakni meningkatkan ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pengembangan agribisnis. Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian baik lintas subsektor maupun program subsektor. Atas dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang program-program pembangunan pertanian dalam masa 2005-2007. Kaji ulang ini meliputi kegiatan analisis dan sintesis terhadap konsep, implementasi dan dampak program pembangunan pertanian secara selektip. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sudah tepat rumusan strategi dan program yang dicanangkan pemerintah dalam membangun pertanian? Apakah program-program tersebut memang ada atau tidak ada, dan kalau ada bagaimana rincian program itu di daerah sebagai pelaksana (atau penonton)? Apakah program-program itu berjalan efektif sebagai simpul pendorong pembangunan? Apakah program-program itu dapat dilaksanakan secara teknis dan bagaimana dampaknya terhadap produksi, produktivitas, pendapatan petani dan perubahan struktur pengusahaan? Tujuan analisis adalah melakukan Kaji ulang mencakup konsepsi, implementasi dan kinerja program pertanian lintas subsektor. Untuk tahun 2007, kaji ulang difokuskan pada program Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) dan Gapoktan. Kaji ulang untuk tahun 2007 difokuskan pada Kaji Ulang Program Subsidi Jagung di Sulawesi Selatan dan Kaji Ulang Program Swasembada Daging 2010. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program DPM LUEP merupakan program yang tepat untuk mengamankan harga gabah sekali gus meningkatkan pendapatan petani. Penurunan harga beras dapat mengancam LUEP dalam membeli gabah. Program subsidi benih jagung menghadapi banyak masalah teknis, sehingga kegiatan yang sama pada tahun berikutnya harus dapat menyelesaikan masalah ini. Sementara program swasembada daging 2009 dinilai akan sulit dicapai, karena program itu tidak didukung oleh kenyataan di lapang dan tidak di dukung oleh dana pembangunan yang relatif cukup.

Page 2: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

2

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian semenjak dicanangkan pada Repelita I telah mencapai usia

40 tahun, namun pencapaian peningkatan produksi, kemandirian dan kesejahteraan petani

masih jauh dari harapan. Tahun 1984, Indonesia pernah mencapai status swasembada beras,

namun status itu hanya sementara dan selain itu pembangunan terlalu fokus pada beras

sehingga komoditas penting lainnya terabaikan. Saat ini, produksi pertanian seperti beras,

daing, susu dan sebagainya sangat sulit ditingkatkan dan karena itu tidak akan mampu

mengejar konsumsi. Indonesia yang kaya raya akan alam yang subur tidak dapat

menghindarkan impor berbagai komoditas pangan terutama untu beras. Selain itu,

perekonomian nasional menghadapi berbagai masalah antara lain tekanan pasar bebas dunia,

krisis ekonomi, kelangkaan BBM dan perubahan iklim serta bencana alam.

Pemerintah perlu membuat program-program pembangunan yang benar-benar efektif

bagi menyelamatkan bangsa dari kelaparan, kemiskinan dan ketergantungan dari luar negeri.

Untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan dan

mengimplementasikan berbagai program pembangunan pertanian sekalipun dengan anggaran

yang terbatas. Untuk tahun 2005-2007 besar anggaran Departemen Pertanian rata-rata 7

triliun per tahun. Untuk tahun 2007, Departemen Pertanian telah merancang 28 kegiatan

utama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah pembangunan pertanian dengan

anggaran Rp 8 triliun.

Terlepas dari apakah anggaran itu terlalu kecil bagi kebutuhan pembangunan, namun

selayaknya setiap pengeluaran biaya pembangunan memberikan hasil yang lebih besar,

terutama peningkatan produksi pertanian dan kesejahteraan petani. Hal ini menuntut

kebijakan publik dan program pembangunan serta rumusan strategi implementasinya yang

pas sehingga hasilnya efektif. Ini masalah besar, karena dalam menyusun rencana

pembangunan tersebut, pemerintah sering sekali tidak mempunyai informasi yang baik

tentang benar tidaknya suatu konsep kebijakan dan program pembangunan pertanian, dan

bagaimana sebenarnya dampak program-program tersebut pada masa lalu. Pemerintah

menyadari akan kebutuhan informasi yang penting ini untuk menjaga proses pembangunan

berjalan kontinu dengan program-program yang semakin akurat, efektif dan efisien. Atas

dasar itu, dinilai perlu dilakukan kaji ulang program-program pembangunan pertanian.

Page 3: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

3

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan justifikasi di atas maka dapat ditetapkan tujuan

umum penelitian ini adalah melakukan kaji ulang program atau kegiatan Departemen

Pertanian berdasarkan rancangannya. Kaji ulang ini dilanjutkan dengan evaluasi

implementasi program dengan mengambil tiga kasus yakni Kegiatan DPM LUEP, Kegiatan

Subsidi Benih Jagung dan Kegiatan Swasembada Daging Sapi 2010.

METODA PENELITIAN

Review Program Yang Dijadikan Kasus Analisis

Kegiatan DPM LUEP

Pada tahun 2003, pemerintah melansir kegiatan baru yang disebut DPM LUEP atau

Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan. Kegiatan DPM LUEP

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Departemen Pertanin dalam rangka stabilisasi harga

gabah terutama pada saat panen raya (Deptan, 2006). Bentuk kegiatan ini adalah memberikan

sejumlah dana pinjaman kepada LUEP untuk membeli gabah petani dengan harga pokok

yang ditetapkan pemerintah yakni HPP dan sebagai imbalannya LUEP tidak perlu membayar

bunga untuk penerimaan DPM dana tersebut.. Kegiatan DPM LUEP muncul untuk mengatasi

masalah harga gabah yang rendah terutama pada saat panen raya, sehingga petani sangat

dirugikan. Kegiatan DPM LUEP telah berjalan selama 4 tahun dari tahun 2003 berlanjut

sampai sekarang.

Program Subsidi Benih Jagung

Program Subsidi benih jagung adalah memberikan benih jagung oleh pemerintah

secara cuma-cuma kepada petani. Tujuan subsidi ini adalah membantu petani mendapatkan

benih jagung unggul sehingga produksi dan pendapatan petani meningkat dan produksi.

Program Swasembada Daging 2010

Program Swasembada Daging bertujuan mencukupi kebutuhan daging sapi dari

produksi dalam negeri. Pemerintah telah dua kali menetapkan swasembada daging, yakni

pada tahun 2005 yang ternyata gagal dan tahun 2010 yang hanya tinggal 2 tahun lagi.

Pemerintah sudah menetapkan strategi dan program peningkatan produksi daging dari

Repelita ke Repelita dan pada umumnya tidak mengalami perubahan. Untuk dapat

mendalami secara rinci perjalanan panjang program pemerintah dalam meningkatkan

produksi daging sapi dapat diamati melalui program swasembada daging tahun 2005

(Sudarjat, 1999) dan (Sudarjat, 2003) yang dicanangkan oleh pemerintah tahun 2000.

Page 4: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

4

Prosedur Pemilihan Lokasi dan Responden

Penelitian ini merupakan kaji ulang program pembangunan pertanian dengan

mengambil kasus studi kegiatan LUEP, Swasembada Daging dan Subsidi Benih Jagung.

Dengan demikian lokasi penelitian harus merupakan wilayah impelementasi program. Selain

itu, pemilihan lokasi dibatasi oleh biaya penelitian dan di mana program itu dilaksanakan.

Pemilihan lokasi adalah sebagai berikut:

1. Untuk kaji ulang program LUEP akan dilakukan pada dua provinsi yakni Jabar

dan Jatim dengan kabupaten kasus yakni Subang, Tasikmalaya dan Ngawi. Pada

tingkat kabupaten dipilih 10 LUEP secara acak dan petani penerima LUEP

sebanyak 20-30 orang.

2. Untuk kaji ulang program Subsidi Benih Jagung dipilih dua provinsi kasus yakni

Provinsi Sulsel dan Jatim dengan kabupaten kasus Margida, Mojokerto dan

Malang. Pada tingkat kabupaten dipilih dua kecamatan yang menerima jumlah

subsidi benih jagung yang relatif lebih besar. Dengan demikian terdapat 6

kecamatan penelitian, dan dari setiap kecamatan penelitian dipilih 10 petani

dengan rincian 8 petani peserta dan 2 petani bukan peserta. Total jumlah

responden adalah 60 petani masing-masing 48 petani peserta dan 12 petani bukan

perserta.

3. Untuk kaji ulang program Swasembada Daging dilakukan di NTB, Jatim dan

Lampung dengan kabupaten kasus Lombok Tengah, Blitar dan Lampung Tengah.

Dari setiap kabupaten ditentukan 2 kecamatan dengan kriteria yang sama

ditambah dengan kriteria kepadatan jumlah sapi rakyat. Penelitian dilakukan pada

wilayah desa sekitar ibukota kecamatan. Dari setiap kecamatan dipilih 6 peternak

sapi dengan jumlah pemilikan di atas 10 ekor, masing-masing 4 peternak

penerima program dan 2 peternak tidak mendapat program. Dengan demikian

dalam satu provinsi terdapat 24 responden. Total jumlah responden untuk 2

propinsi adalah 48 peternak.

Kerangka Analisis

Untuk melakukan kaji ulang program untuk setiap kasus akan dilakukan evaluasi

konsep Kebijakan, Implementasi dan Dampak Kebijakan tersebut.

1. Analisis Konsep Kebijakan

Page 5: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

5

Pada tingkat konsep kebijakan ada dua hal yang dipelajari yakni latar belakang

kelahiran suatu kebijakan dan konsep kebijakan itu sendiri. Beberapa pokok evaluasi

mencakup kesesuaian latar belakang dan permasalahan yang diajukan dan yang dihadapi,

kesesuaian variabel-variabel atau instrumen kebijakan yang diajukan dengan teori,

karateristik kebiajakn antara top down dan bottom up dan metodologi implementasi

program sehingga keberhasilan dan kegagalan kebijakan dapat dipelajari?

2. Analisis Implementasi Kebijakan

DPM LUEP

Penerima program DPM adalah LUEP. LUEP Adalah suatu lembaga yang tentunya

dapat dievaluasi berdasarkan komponen yang membentuknya yakni kantor, organisasi

dan staffing, program kerja dan akuntabilitas termasuk pembukuan. Evaluasi organisasi

dan staffing dilakukan dengan pendekatan teori organisasi dan komunikasi antara lain

bagaimana proses pembentukan organisasi, tujuan organisasi, struktur dan legimitasi,

kepemimpinan, pengendalian organisasi dan wewenang administratif dan profesionalitas

(Etzioni, 1964). Program Kerja dianalisis melalui kontent analisis menyangkut kesesuaian

program dengan tujuan bisnis LUEP, sedangkan akuntablitas dilakukan melalui analisis

Pembukuan Laporan Tahunan, menyangkut realisasi program, peningkatan akan

dianalisis dengan menggunakan kriteria kelayakan finansial seperti B/C rasio, NPV. IRR

dan Kemampuan penggembalian pinjaman (Gittinger, 1982).

Subisdi Benih Jagung

Implementasi keijakan subsidi jagung berbentuk jauh lebih sederhana dibandingkan

kebijakan DPM LUEP. Pada dasarnya dalam tahap implemntasi hal yang pertu

ditanyakan adalah bagaimana subsidi itu diterapkan (aliran dana) dan bagaimana benih

jagung subsidi (aliran input) sampai kepada petani sesuai waktu dan tempat. Ananalisis

akan dilakukan pada bagaimana jaringan kerja yang dibangun pemerintah untuk

menjawab kedua pertanyaan tersebut. Sebagaimana diketahui pelaksanaan subsidi di

Sumatera Selatan adalah dalam bentuk pilot proyek, sehingga analisis implementasi akan

sangat terbatas dalam kerangka kerja pilot proyek tersebut.

3. Analisis Dampak atau Keberhasilan Program

DPM LUEP

Dampak program dianalisis pada tingkat penerima program. Kriteria keberhasilan

ditentukan oleh beberapa indikator sebagai berikut:

Page 6: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

6

a. Indeks Harga Gabah Petani (IHP) yang diterima petani.

Indeks Harga Gabah yang diterima petani merupakan indikator keberhasilan

program sehubungan dengan kebijakan HPP. IHP dapat diukur dengan formula

berikut:

IHP = %100xHPPRHP (1)

RHP = Rata-rata harga gabah yang diterima petani (Rp).

HPP = Harga Pembelian Pemerintah

Jika nilai IHP = 100, maka kebijakan DPM berhasil. Semakin tinggi nilai indeks,

semakin tinggi tingkat keberhasilan tersebut.

b. Rasio Manfaat DPM (Rasio DPM)

Rasio Manfaat DPM adalah besaran yang memperlihatkan jumlah DPM yang

diberikan kepada LUEP dibagi dengan jumlah uang yang diterima LUEP dalam

waktu tertentu. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio DPM = JGHPP

JPG (2)

JPG = Total Volume Gabah yang dibeli oleh LUEP dengan

menggunakan DPM, dalam kg.

JGHPP = Nilai DPM yang diterima LUEP, disetarakan jumlah

gabah, dalam kg

Jika nilai Rasio DPM>1, memperlihatkan keberhasilan pemanfaatan DPM

oleh LUEP.

c. Analisis Regresi Fungsi Penawaran/Penjualan GABAH LUEP LUEP mempunyai peran penting dalam penawaran gabah petani kepada

pedagang besar. Fungsi penawaran suatu barang ditentukan oleh biaya produksi,

jumlah produksi dan harga penjualan. Hubungan-hubungan ini dapat ditulis dalam

bentuk model regresi nonlinier sebagai berikut:

Q = AX1a1X

2a2X3

a3X4 a4X5

a5X6 a6X7

a7X8 a8e (3)

Keterangan: Q = Jumlah barang yang dijual, Rp; X1 = Harga GKP, Rp; X2

= Harga gabah yang dijual, Rp; X3 = Harga beras yang dijual, Rp; X4 = Jumlah GKP

yang dibeli. Rp; X5 = Jumlah gabah yang dibeli, Kg; X6 = Jumlah gabah yang

dijual, Kg; X7 = Harga beras yang dijual, Rp; X8 = Alokasi anggaran DPM, Rp

dan X9 = Jumlah petani pelanggan.

Page 7: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

7

Subisdi Benih Jagung

Anaisis difokuskan pada a. Peningkatan Produktivitas Jagung, b. Efisiensi Usahatani

dan c. Peningkatan produksi jagung tingkat petani. Ketiga kriteria keberhasilan ini akan

dianalisis melalui input output usahatani jagung petani dengan membandingkan keadaan

sebelum dan sesudah menerima subsisi. Analisis dilakukan secara diskriptip dengan

memperbandingkan nilai rata-rata statistik untuk produktivitas, produksi, luas areal,

intensitas tanaman antara sebelum dan sesudah menerima subsidi.

Program Swasembada Daging

Analisis dampak program atau evaluasi keberhasilan program dinilai berdasarkan

indikator:

a. Peningkatan Populasi. Terjadi peningkatan populasi ternak (? Q) pada wilayah

implementasi program antara sebelum dan sesudah program (Peningkatan ini

dapat bersifat akumulatif karena pengaruh berbagai program). Karena data

skunder mempunyai kreditbilitas dan akurasi yang rendah maka akan diusahakan

mempelajari hal ini pada tingkat desa/kecamatan penerima program.

b. Peningkatan Produksi. Terjadi peningkatan produksi ternak hidup pada tingkat

Kabupaten penerima program. Peningkatan produksi ternak hidup (QH) dilihat

berdasarkan jumlah ternak yang masuk ke RPH (TRPH) setempat dan jumlah

ternak yang dikirim keluar daerah (TKD) yang jumlahnya harus lebih besar

dibandingkan penambahan populasi (? Q).

c. Impor dan Ekspor. Terjadi penurunan jumlah Impor sapi bakalan, daging beku

dan jeroan dikurangi ekpor. Pada sisi lain, peningkatan jumlah ekspor ternak

hidup dan daging perlu mendapat evaluasi apakah hal itu mendorong pengurasan

atau hal lain?

HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI HASIL EVALUASI KEGIATAN DPM LUEP Prolog: Kegiatan DPM LUEP Secara Nasional

Kegiatan DPM LUEP telah berjalan 4 tahun atau memasuki tahun ke 5 pada tahun

2007, cukup lama untuk melakukan evaluasi kegiatan ini. Tabel a memperlihatkan beberapa

item perkembangan indikator penting kegiatan pelaksanaan DPM LUEP. Beberapa hal yang

dapat dilihat dari Tabel a adalah sebagai berikut:

Page 8: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

8

a. Beberapa Alokasi anggaran untuk DPM yang dicadangkan pemerintah hanya

sekitar Rp 160 milyar per tahun (Tabel 1). Dana ini setiap tahun dikembalikan

kepada pemerintah. Sehingga praktis dana DPM sebenarnya hanya Rp. 160 M dan

tidak merugikan negara, sehingga patut kita pertanyakan mengapa dana DPM

tidak meningkat lebih besar setiap tahun? Pertanyaan sangat penting diajukan

mengingat sebaran kabupaten penerima DPM terus meningkat dari tahun ke tahun

sementara jumlah DPM tetap, yang berarti DPM yang diterima per Kabupaten

akan semakin berkurang. Pada sisi lain, ternyata jumlah LUEP penerima DPM

meningkat setiap tahun, yang juga berarti jumlah DPM yang diterima LUEP

menurun dari tahun ke tahun. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 1, jumlah DPM

yang diterima LUEP rata-rata pada tahun 2003 adalah Rp. 141 juta terus menurun

hingga tahun 2006 menjadi Rp. 100 juta. Penurunan ini dapat dibenarkan jika

tujuan kegiatan DPM LUEP telah tercapai dan LUEP telah menjadi mitra

pemerintah.

b. Berdasarkan pemanfaatan DPM oleh LUEP dalam membeli gabah/beras petani

ternyata mempunyai frekuensi perputaran lebih dari satu kali yakni 4 sampai 6

kali. Namun demikian, dengan perputaran tersebut tidak memberikan nilai R/C

yang menguntungkan bagi LUEP karena nilai R/C berkisar pada angka 1 yang

mengidentifikasikan bahwa jumlah Nilai pembelian sama dengan jumlah nilai

penjualan. Jika angka benar, maka LUEP hanya memperoleh keuntungan dari

bunga DPM LUEP dan peningkatan omzet penjualan dalam arti menguasai pasar,

serta meningkatnya pemanfaatan RMU.

c. Penjualan gabah atau beras oleh LUEP pada tahun 2003 hampir mencapai 50

persen lebih namun angka itu terus menurun, hingga pada tahun 2006 LUEP

hanya menjual gabah/beras ke dolog 4 persen dari hasil pembelian. Perubahan ini

memperlihatkan beberapa lemungkinan:

i. LUEP mempunyai pasar yang lebih baik dibandingkan menjual kepada Bulog.

Alasan lebih baik itu bisa dalam bentuk harga yang lebih baik, mudah

transportasi, pelayanan pembayaran yang lebih baik, pasar yang lebih luas,

tidak tergantung mutu beras dan sebagainya.

ii. Perubahan itu juga memperlihatkan bahwa Dolog tidak dapat melakukan

pengadaan stock gabah/beras dengan cara-cara yang ada selama ini.

Seharusnya kehadiran LUEP lebih memudahkan Dolog mengumpulkan beras

Page 9: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

9

petani dan bahkan jika perlu melakukan kerjasama saling menguntungkan

dengan LUEP. Namun hal itu tampak tidak terjadi.

Tabel 1. Realisasi dan Pengembangan DPM LUEP Nasional, 2003-2006 2003 2004 2005 2006 Alokasi Dana DPM, Rp juta 162.190 161.550 99.920 162,190 Realisasi, % 98 99 90 94 Frequensi Pembelian 4 4 3 6 R/C 0.9 1.0 1.0 1.0 Denda, % 1.1 Provinsi, bh 15 19 19 25 Kabupaten, bh 121 145 125 176 LUEP, bh 1,149 1,328 843 1,573 LUEP per Kabupaten 9 9 7 9 DPM per LUEP 141 121.65 118.53 103.11 Kabupaten per Provinsi 8 8 7 7 Penjualan ke Dolog, % 52 30 27 4 Sumber Departemen Pertanian (2006)

Dampak Perubahan Harga Gabah dan Beras

Hasil analisis regresi dari persamaan (3) dengan perhitungan OLS disampaikan pada

Tabel 2. Model regressi sangat baik berdasarkan nilai R2= 94 persen dan diantara 9 variabel

yang diintrodusir terdapat 5 variabel yang sangat nyata. Dengan kata lain, nilai R2 yang

tinggi merupakan kontribusi sebagian besar variabel yang diintrodusir. Beberapa hal dapat

disimpulkan dari Tabel 2 tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dampak Perubahan Harga Gabah dan Beras.

Harga GKP yang diterima LUEP dari pembelian gabah petani berpengaruh negatif

terhadap pembelian gabah petani, tetapi tidak nyata. Artinya ketetapan pemerintah

terhadap besar harga GKP yakni HPP tidak nyata mempengaruhi pembelian gabah

oleh LUEP. Dengan demikian kebijakan DPM bukanlah kebijakan yang keliru

karena kebijakan itu sejalan dengan kebijakan HPP.

b. Sementara itu, harga beras yang diterima LUEP berpengaruh positip dan sangat

nyata (pada tingkat 99%). Dapat disimpulkan bahwa penurunan harga beras 10

persen menyebabkan menurunnya penawaran beras atau penerimaan LUEP sebesar

4.1 persen. Kenyataan ini sangat penting, jika dikaitkan dengan impor beras yang

cenderung berdampak pada penurunan harga beras.

c. Kenaikan harga beras, akan menyebabkan penawaran beras dan gabah LUEP

meningkat dan akan berdampak pada kenaikan jumlah pembelian gabah dari

Page 10: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

10

petani. Hal ini diperlihatkan koefsien jumlah gabah yang dibeli dengan tingkat

kepercayaan 99 persen. Dengan kata lin, jika pembelian gabah meningkat 10

persen akan menyebabkan kenaikan penerimaan LUEP sebesar 5.0 persen.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Fungsi Penawaran LUEP, 2006 Lambang Variabel Coefisien SD Intercept X1 Harga GKP -0.0903*** 0.0003 X2 Harga Gabah Yang Dijual 0.1813* 0.1344 X3 Harga Beras Yang Dijual 0.4071*** 0.1315 X4 Jumlah GKP Yang Dibeli 0.0006 0.0074 X5 Jumlah Gabah Yang Dibeli 0.5047*** 0.0501 X6 Jumlah Gabah Yang Dijual 0.0877*** 0.0150 X7 Jumlah Beras Yang Dijual 0.3705*** 0.0342 X8 Alokasi Angaran LUEP -0.0591 0.0357 X9 Jumlah Petani Pelanggan -0.0012 0.0113 R2 0.9404 Keterangan: *** pada tingkat nyata 99 persen ** pada tingkat nyata 90-95 persen * pada tingkat nyata 80-90 persen

Evaluasi Keberhasilan DPM LUEP di Lokasi Penelitian Hasil dari perhitungan persamaan (1) dan (2) adalah sebagai berikut:

Nilai IHP

Perhitungan IHP dapat dilakukan dengan menggunakan data harga di tingkat petani

sekitar lokasi LUEP (mitra/nonmitra) maupun data sekunder di tingkat makro wilayah

kabupaten. Namun demikian, karena DPM LUEP merupakan bagian instrumen kebijakan,

maka kondisi harga gabah di tingkat makro dapat dijadikan indikator seberapa besar

pengaruh DPM terhadap pembentukan harga di wilayah yang lebih luas. Dengan

menggunakan data harga makro ini sekaligus dapat dilihat tingkat efektivitas pelaksanaan

DPM LUEP.

Hasil perhitungan nilai IHP di Kabupaten Ngawi, Tasikmalaya dan Subang disajikan

pada Tabel 3. Rata-rata IHP di Kabupaten Ngawi selama tahun 2003-2006 selalu kurang dari

angka 100, kecuali pada tahun 2005 untuk kualitas GKP. Bahkan jika diperhatikan nilai IHP

bulanan untuk tahun 2003-2004, tidak ada satu bulan pun yang menunjukkan nilai IHP di atas

100. Rendahnya IHP pada tahun tersebut terkait erat dengan penetapan HPP yang dalam

perhitungan ini mungkin terlalu tinggi. HPP yang dipakai adalah harga yang ditetapkan di

Page 11: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

11

tingkat penggilingan, karena pada tahun tersebut tidak ada ketentuan HPP di tingkat petani.

Dengan demikian, jika digunakan harga di tingkat petani (sebagai pembagi perhitungan),

maka nilai IHP jelas akan lebih tinggi daripada yang tertulis pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai IHP Kabupaten Ngawi, Tasikmalaya dan Subang, 2003-2006

Tahun Jenis

Gabah Triwulan 1 Triwulan

2 Triwulan

3 Triwulan

4 Rata2

Ngawi

2003 GKP 119 106 116 115 113

GKG 100 94 94 94 95 2004 GKP 101 103 100 103 102

GKG 84 88 80 83 84 2005 GKP 94 116 132 114

GKG 103 85 96 126 98 2006 GKP 119 123 134 137 128

GKG 107 114 127 115

Tasikmalaya - 2004 GKP 101 92 90 96 93

GKG 91 83 83 86 84 2005 GKP 68 88 98 108 98

GKG 94 84 94 102 93 2006 GKP 102 97 119 132 123

GKG 101 100 110 116 106 Subang 2003 GKP 119 106 116 115 113

GKG 100 94 94 94 95 2004 GKP 101 103 100 103 102

GKG 84 88 80 83 84 2005 GKP 94 116 132 114

GKG 103 85 96 126 98 2006 GKP 119 123 134 137 128

GKG 107 114 127 115

Sementara pada tahun 2005-2006, secara umum terlihat telah terjadi peningkatan nilai

IHP di Kabupaten Ngawi, walaupun nilai rata-ratanya masih di bawah angka 100. Selama

periode tersebut nampak bahwa pada bulan-bulan tertentu (September-Januari) nilai IHP

telah mencapai angka lebih dari 100. Kondisi tersebut disebabkan pada bulan tersebut

merupakan masa di luar panen raya sehingga ketersediaan gabah mulai berkurang. Dengan

jumlah permintaan gabah/beras yang relatif stabil sepanjang bulan akan terjadi peningkatan

harga gabah.

Harga gabah rata-rata di Subang (terutama untuk GKP) sudah relatif tinggi dan

senantiasa konsisten di atas HPP. Kondisi tersebut berbeda GKG yang masih belum mampu

Page 12: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

12

mencapai nilai IHP pada angka 100 tahun 2003-2005. Walaupun demikian pada bulan

Januari dan Desember 2005 telah mencapai angka lebih dari 100. Tinggi harga GKP di

Kabupaten Subang diduga disebabkan oleh kebiasaan pedagang yang lebih memilih untuk

membeli gabah kualitas GKP daripada GKG. Di samping itu, di Kabupaten Subang dijumpai

petani yang menanam padi varietas tertentu yang memilki harga tinggi seperti varietas IR-42.

Varietas ini dibeli oleh pedagang dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan varietas

umumnya seperti Membrmo, Ciherang atau IR-64.

Pada tahun 2006 nilai IHP mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berbeda

dengan tahun-tahun sebelumnya, nilai rata-rata IHP untuk kualitas GKG juga telah berada

pada angka di atas 100. Khusus untuk nilai IHP kualitas GKP, nilai pada tahun 2006

merupakan capaian tertinggi selama waktu 4 tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan pada

tahun 2006 terjadi kemarau yang cukup panjang yang mengakibatkan musim tanam terlambat

hingga 2 bulan. Kejadian alam tersebut menyebabkan menurunnnya supply gabah yang

mendorong terjadinya peningkatan harga. Keberadaan DPM LUEP yang membeli harga

gabah di atas HPP, diduga memiliki pengaruh positip terhadap meningkatnya harga gabah di

tingkat petani.

Untuk Tasikmalaya, pada tahun 2004-2005, nilai IHP masih relatif rendah yaitu

berkisar antara 84-98. Dari Tabel tersebut juga nampak ada kemiripan pola dengan apa yang

terjadi di Kabupaten Ngawi dan Subang, yaitu nilai IHP untuk gabah kualitas GKP selalu

lebih tinggi dibandingkan GKG. Nilai IHP baik untuk GKP maupun GKG baru meningkat

cukup signifikan dan mencapai nilai di atas 100 pada tahun 2006. Peningkatan IHP untuk

GKP tahun 2006 terbilang cukup tinggi hingga sampai 25,5 persen dibanding tahun 2005.

Peningkatan nilai IHP disebabkan oleh meningkatnya harga gabah di seluruh wilayah

Tasikmalaya seiring dengan kondisi iklim yang menyebabkan keterlambatan tanam yang

berimplikasi pada penurunan ketersediaan gabah di pasaran. Harga gabah mencapai

puncaknya pada akhir triwulan 4 (Nopember dan Desember), karena pada bulan tesebut

merupakan masa paceklik sehingga stok gabah/beras semakin menipis.

Rasio manfaat DPM

Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Ngawi menunjukkan bahwa kinerja LUEP dalam

dalam pemanfaatan dana tersebut dinilai cukup berhasil. Rasio DPM nampaknya dipengaruhi

juga oleh besaran dana yang dicairkan, artinya semakin besar dana maka rasio DPM juga

semakin besar (Tabel 4). Dari Tabel tersebut, nilai DPM mencapai lebih dari 11 kali putaran.

Hal ini dianggap wajar karena peserta DPM LUEP APBN merupakan pengusaha beras besar

sehingga perputaran modal cukup cepat seiring dengan volume penjualan yang lebih besar.

Page 13: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

13

Hasil perhitungan Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Subang menunjukkan bahwa

perputaran dana relatif berlangsung cepat. Pada awal pelaksanaan DPM tahun 2003, rasio

DPM pernah mencapai angka 21 dan sempat mengalami penurunan secara drastis pada tahun

2004 yang hanya pada angka 7 (Tabel 4). Penurunan nilai DPM sangat erat berkaitan dengan

kondisi supply-demand yang terjadi pada waktu tersebut yang cenderung over supply

sehingga LUEP cukup kewalahan dalam menyerap gabah petani. Pada tahun 2005 dan 2006

nilai Rasio DPM menunjukkan terjadi peningkatan kembali, terutama pada tahun 2006 yang

bisa menembus angka 17,12.

Sementara di Kabupaten Tasikmalaya, nilai rasio DPM tahun 2005-2006, hanya

mencapai 3,17 dan 5,32 (Tabel 4). Rendah nilai rasio DPM di Tasikmalaya diduga

disebabkan oleh: (1) jumlah alokasi anggaran yang relatif kecil dan (2) tidak dikenal ada

panen raya di Tasikmalaya yang menyebabkan ketersediaan gabah relatif stabil sepanjang

tahun.

Tabel 4. Nilai Rasio Manfaat DPM di Kabupaten Penelitian

Ngawi Subang Tasikmalaya

2003 - 21.03 - 2004 - 7.06 - 2005 11.25 10.72 3.17 2006 12.78 17.12 5.32

HASIL EVALUASI KEGIATAN SUBSIDI BENIH JAGUNG Evaluasi Pelaksanaan Subsidi Benih Jagung di Sulsel Dampak Subsidi

Dampak subsidi jagung di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat pada Tabel 5. Data

Tabel 5 memberikan kesimpulan bahwa subsidi benih memberikan dampak terhadap

peningkatan produktivitas, penurunan biaya dan peningkatan pendapatan petani. Namun

subsidi benih tidak berpengaruh terhadap perluasan areal tanam dan intensitas tanaman. Dua

penyebabnya adalah (a). petani tidak ingin memperluas produksi karena resiko pemasaran

jika terjadi panen raya. (b). tidak ingin merubah struktur pembiayaan yang sudah ada, karena

kuatir resiko kegagalan produksi dan (c). Pemberian subsidi benih jagung sangat terbatas

karena dibagi rata di antara petani.

Pelaksanaan subsidi benih jagung untuk Kabupaten Bulukumba ternyata menghadapi

berbagai masalah. Pada saat realisasi benih jagung subsidi pada saat itu adalah musim kering.

Page 14: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

14

Walau pun petani tetap menanam, namun hasil yang diperoleh sebagian besar tidak sesuai

harapan. Seharusnya hal ini tidak terjadi, karena realisasi subsidi telah ditetapkan pada musim

hujan. Pada sisi lain petani enggan merubah cara budidaya konventional.

Tabel 5. Dampak Subsidi Jagung di Kabupaten Jeneponto, Sulsel 2007

KETERANGAN

SEBELUM

SESUDAH

DAMPAK SUBSIDI

1.

Luas Tanam Kelompok Tani

75 Ha

75 Ha

Tidak Terjadi Peningkatan Luas Tanam

2. Strain Jagung 60% hibrida (F2) 40% Komposit

100% hibrida (BISI 2)

Terjadi Perubahan Teknologi Benih

3. Pola Tanam Jg – Jg – Bera Jg – Jg - Bera

Tidak terjadi peningkatan intensitas tanam per tahun

4.

Produktivitas Jagung Kg/Ha Menurut Petani

Berbagai Kelompok (n = 24)

3 359

4.777

Terjadi kenaikan produktivitas sebesar 42.2 persen

5. Penggunaan Teknologi Input a. Jenis Pupuk b. Jumlah Kg/Ha c.

Urea dan ZA Urea à 200 ZA à 50

Urea dan ZA Urea à 200 ZA à 50

Tidak terjaddi perubahan pemberian pupuk baik jenis maupun jumlahnya

6.

Biaya Ustan Rp/.Ha

1 124 500

1 125 500

Hampir tidak terjadi kenaikan biaya ustan, namun karena ada subsidi biaya mengalami penurunan sebesar 20 besar dibanding biaya sebelum subsidi

7.

Pendapatan Bersih

870 500

1 173 250

Terjadi kenaikan Pendapatan Bersih sekitar 35 persen

8.

Ratio R/C

1.77

2.04

Terjadi kenaikan profitabiltas usaha sebesar 15.2 persen

Persepsi dan Kebijakan Pemerintah Setempat

Pemberian subsidi benih jagung memang sangat dibutuhkan karena komoditas

pertanian yang dapat diandalkan di provinsi ini adalah jagung. Namun demikian pemberian

subsidi harus berhati-hati karena peberian subsidi cenderung memanjakan petani, dan petani

akan menuntut pemberian subsidi secara kontinu. Untuk menghindarkan ini, pemerintah

daerah meminta petani mengembalikan subsisi benih setelah panen dan dibayarkan kepada

poktan. Dengan demikian Poktan mendapat biaya untuk memperkuat dirinya.

Page 15: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

15

Disain pemberian subsidi dari pemerintah pusat sebaiknya dsesuaikan dengan

wilayah penerima subisidi. Karena indikator keberhasilan penyaluran subsidi adalah bahwa

benih sampai ditangan petani tepat waktu, tepat mutu dan tepat jumlahnya. Indikator

keberhasilan penyaluran subsidi berdasarkan target penyaluran tidak tepat. Hal ini

berhubungan dengan pemerintah daerah yang tidak dapat menyediakan dana yang cukup

untuk melakukan monev sampai pada tingkat petani, sehingga pemerintah hanya bisa

mengawasi sampai kecamatan saja. Jika indikator keberhasilan adalah sampai pada tingkat

petani, maka diperlukan biaya monev sampai pada petani.

Untuk pemerataan penerimaan subsidi, maka pemerinah daerah menetapkan bahwa

setiap petani hanya memperoleh paling banyak benih jagung untuk 1 Ha (walaupun petani

mempunyai lebih dari 1 ha). Dengan cara ini 100 persen petani jagung di Jeneponto

memperoleh subsidi.

Pemerintah daerah untuk subsidi bnih tahun 2007 menyarankan supaya alokasi

subsidi benih menggunakan kriteria berikut:

a. Daerah yang belum biasa tanam hibrida

b. Belum pernah terima bantuan 2006

c. Daerah yang masih menanam hibrida F2

d. Petani dalam kelompok tani dan bersedia menyusun RDKK

e. Ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupetan.

Persepsi Koptan dan Petani

Petani secara keseluruhan menyambut pelayanan subsidi benih oleh pemerintah (100 %)

karena sangat membantu dalam pengadaan benih hibrida. Pengadaan beinh selain sulit

memperolehnya tetapi juga harganya relatif mahal. Petani menyatakan bahwa realiasi

subsisidi benih sangat baik pada musim hujan (MH) saja. Pada MK, dibutuhkan infra struktur

yang dapat menunjang seperti pompa air dan sebagainya.

Koptan berpendapat bahwa akan semakin banyak petani berhasil jika petani juga

memperoleh subisidi pupuk dan pelayanan pasar input dan output. Menurut Koptan

produktivitas jagung bisa meningkat rata-rata 75 persen jika kebutuhan infrastruktur dan

pelayanan pasar input terpenuhi. Petani belum sepenuhnya menerapkan teknologi anjuran.

Perbaikan teknologi pupuk hampir tidak dilakukan dan pengolahan tanah dilakukan tanpa

pembajakan. Selain itu, kualitas benih tidak baik. Pertumbuhan tidak merata.

Walaupun petani memperoleh subsidi benih untuk meningkatkan produksi dan

pendapatan, namun tidak disertai dengan pelayanan sarana fisik (jalan, pompa, dryer dan

Page 16: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

16

pasar) dan sarana produksi (modal/kredit). Pada kenyataannya pasar dikuasai oleh pedagang

besar yang juga memberikan kredit kepada petani. Keadaan ini cenderung tidak memperkuat

posisi petani dan pasar akan berbentuk monopsoni dalam pembelian jagung petani, sehingga

harga jagung yang terbentuk tidak akan memberikan insentif kepada petani.

Pembahasan Subsidi Benih Tingkat Kelompok Tani

Subsidi benih apakah diberikan langsung atau tidak langsung kepada petani bukanlah

masalah pokok bagi petani. Apapun caranya, subsidi memastikan bahwa petani mendapat

benih secara cuma-cuma. Dalam kasus subsisidi benih jagung di Sulsel, pemberian subsidi itu

hanya mengurangi sekitar 10 persen biaya, namun biaya-biaya lain harus dinaikan sekitar 30

persen, karena penggunaan jagung hibrida menuntut penggunaan pupuk dan pengelolaan

yang lebih baik. Dampak subsidi dan teknologi hibrida cukup signifikan yakni terjadi

penurunan biaya per unit output mengalami penurunan sebesar antara 30-40 persen dibanding

jika menggunakan jagung lokal. Namun demikian, sulit bagi petani meningkatkan biaya

produksi walaupun mereka tetap menerima subsidi yang pada akhirnya tanaman tidak

menghaislkan produktivitas yang sesuai. Atas dasar itu, diragukan bahwa subsidi benih akan

dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Mereka justru akan tergantung pada subsisidi

benih.

Menurut pemerintah daerah pemberian subsidi benih kepada petani diperkirakan tidak

mendidik dan hanya memanjakan petani. Pemerintah daerah merasa sangat kuatir, apa yang

terjadi jika subsidi dari pemerintah pusat tidak ada lagi. Apakah petani akan menghentikan

usahatani jagung atau kembali mengusahakan jagung lokal? Pemerintah daerah tidak

mempunyai semangat penuh mensukseskan kegiatan subsidi ini. Pemerintah daerah

menyarankan agar pemberian subsidi haruslah sedemikian rupa, sehingga pada saat subsidi

ditiadakan, ekonomi petani telah menjadi kuat secara mandiri. Sterategi yang efektif adalah

memanfaatkan momentum subsidi saat ini melalui pemberian yang hanya diberlakukan pada

tingkat Koptan (kelompok tani).

Salah satu sterategi pembangunan pertanian adalah meningkatkan aksesbilitas petani

melalui koptan. Pemerintah pusat telah lama membangun koptan diseluruh Indonesia, namun

koptan sampai sekarang bukanlah organisasi petani yang stabil. Koptan hanya ada jika ada

program dari pusat. Jika tidak ada pogram tidak ada Koptan. Jika ada 2-3 program dari

berbagai subsektor dari pusat untuk suatu desa maka di desa itu akan terdapat 2-3 Koptan

yang berbeda nama pada hal anggotanya itu juga. Koptan selama ini didirikan melalui proses

”top down” untuk kebutuhan program pusat, kemudian setelah program selesai koptan juga

Page 17: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

17

bubar. Pemerintah pusat sebenarnya harus menyadari bahwa pemerintah daerah telah

mengelabui mereka. Sebagai contoh adalah koptan yang dibentuk karena program Subsidi

Benih Jagung di Sulsel, Program LUEP, Program Swasembada Daging Sapi semuanya

adalah koptan yang baru dibentuk, dan hampir semua tidak ada aktif. Momentum subisidi

benih jagung dan gabah tahun 2007 yang telah disetujui DPR merupakan momentum yang

tepat untuk memberdayakan Koptan.

Dengan asumsi bahwa subsidi benih tidak akan berlangsung terus menerus, mungkin

hanya 2 atau 3 tahun, maka perlu suatu pemikiran bagaimana supaya setelah bantuan subsidi,

petani telah mampu mandiri setidaknya dalam memperoleh benih. Hal ini sangat penting,

supaya petani tidak tergantung kepada pemerintah pusat atau memberikan beban tanggungan

kepada pemerintah daerah. Dapat dipastikan bahwa dengan metoda yang ada saat ini, tidak

memungkinkan petani menjadi sejahtera dan target peningkatan produksi hanya bersifat

sementara, karena subsidi hanya membantu mengurangi sebagian biaya produksi sementara

biaya lain meningkat. Aksesbilotas petani pada pasar akan tetap lemah. Misalnya, pada saat

panen, harga produksi jatuh, petani tidak berdaya menghadapi hal tersebut.

Salah satu jalan untuk membangun kekuatan petani adalah dengan memanfaatkan

momentum subsidi benih jagung saat ini adalah dengan memberikan subsidi yang hanya

berlaku pada tingkat koptan. Dengan kata lain pemberian subsidi benih berlaku untuk Koptan

bukan petani. Para petani anggota Koptan, harus membeli benih pada Koptan dengan cara

membayar setelah panen dengan harga yang dapat diatur. Dengan cara ini, Koptan mendapat

dana penguat. Momentum subsidi 2007 sangat baik digunakan untuk memperkuat Koptan

sehingga dapat menjadi Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP). Jika LUEP kuat, para

petani dapat membangun diri secara mandiri.

Misalnya setiap Koptan mendapat subsidi benih sebesar Rp 100 juta. Setelah panen,

Koptan akan menerima pembayaran dari petani sebesar sekitar Rp. 100 juta. Selain itu pada

tahun 2007, Deptan mengalokasi dana sebesar Rp,. 40 milyar untuk kegiatan mengaktifkan

dan membangun Koptan. Sedangkan dana subsidi benih tahun 2007 diperkirakan mencapai

Rp. 1.7 triliun. Kedua sumber dana ini berjumlah Rp. 2.1 triliun dapat digunakan untuk

membangun koptan menjadi LUEP. Jika satu Koptan dapat dibedayakan menjadi LUEP

dengan dana Rp. 100 juta, maka dapat diharapkan 21 000 Koptan menjadi Luep pada Tahun

2008.

Subsidi Benih Sistem Kartu

Page 18: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

18

Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai ditangan petani

tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran seperti itu mengharuskan

pemerintah menempatkan petani sebagai bahan pertimbangan utama dalam menyalurkan

benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan memaksakan penyaluran

dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat general. Seharusnya,

pemerintah memahami benar tingkah laku petani, sehingga penyaluran subsisidi dapat

dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat ideal, namun secara normatif kesanalah arah

kebijakan penyaluran itu.

Atas dasar itu, perlu dipertimbangkan sistem penyaluran benih subsidi dengan sistem

kartu. Pemerintah memberikan kartu-kartu (voucher) pengambilan benih subisi pada tingkat

kelompok tani. Misalnya setiap kartu bernilai 10 kg benih. Jika sebuah koptan menangani

100 Ha lahan maka Koptan ini memperoleh 50 kartu permintaan benih. Ke 50 kartu ini akan

digunakan oleh Koptan setiap saat diperlukan untuk memperoleh benih jagung. Supaya tetap

berada dalam range waktu yang layak, maka umur kartu ditetapkan misalnya 6 bulan. Dengan

tenggang waktu 6 bulan memungkinkan koptan dan petani menentukan sendiri saat terbaik

mengambil benih. Koptan juga bebas menentukan kepada siapa mengambil benih (sejauh

benih itu memenuhi syarat).

Dana Operasional Pengelolaan Penyaluran Subsidi

Penyaluran subsidi baik langsung atau tidak langsung baik dari pusat atau daerah,

memerlukan kegiatan khusus oleh Pemerintah Daerah untuk mengorganisir penyaluran,

terutama kegiatan pada saat penyaluran. Dalam hal ini, baik pemerintah pusat maupun daerah

tidak mengalokasi dana pengelolaanitu secara khusus, sehingga para petugas lapang tidak

mungkin melaksanakan pengelolaan, apalagi tugas-tugas evaluasi dan monitoring.

Masalah ketiadaan dana operasional merupakan masalah lama karena juga terjadi

pada hampir seluruh program-program bantuan dari pusat. Pemerintah pusat selalu

menekankan supaya biaya operasil dirancang oleh pemerintah daerah. Pemerintah daetrah

agak melaksanakan hal itu, karena lebih tertearik untuk mensukses program-program daerah

yang lebih penting dari segi politik. Keberhasilan program pusat belum tentu meningkatkan

pamor daerah, walaupun kesejahteraan pentani mungkin meningkat. Karena itu berbagai

kegiatan pembangunan tampak tidak berjalan sesuai rencana. Atas dasar itu perlu ada

pendekatan Pusat secara khusus kepada Gubernur dan Bupati untuk menyediakan dana

oprasional Pengelolaan Subsidi dalam anggaran pembangunan mereka. Pada langkah

Page 19: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

19

selanjutnya adalah melakukan sinkronisasi antara penyaluran subsidi benih dengan

ketersediaan dana operasional.

Subsidi Sebagai kegiatan Terpusat Atau Menyebar

Sistem Menyebar

Pada umumnya, implementasi kegiatan-kegiatan Departemen Pertanian bersifat

menyebar (sistem menyebar, lintas provinsi) karena mengutamakan pertimbangan

pemerataaan anggaran proyek. Pada tahun 2007, sebagian besar kegiatan Deptan disebarkan

pada 20-30 provinsi pada hal dana kegiatan tersebut relatif kecil dibandingkan kebutuhan.

Sebagai contoh kegiatan Subsidi benih, DPM LUEP, kegiatan Pembiayaan SP3 dan

sebagainya dilaksanakan pada banyak provinsi. Dari sisi pemerataan kegiataan, tentu saja

sistem menyebar ini sangat tepat. Namun, ada beberapa kelemahan sistem menyebar antara

lain:

1. Jika dana kegiatan tersebut itu tersedia relatif kecil maka distribusi per provinsi

menjadi sangat kecil. Apalagi jika dibagi-bagi menurut kabupaten dan kecamatan.

Semakin kecil dana dalam kegiatan sistem menyebar semakin tidak terlihat dampak

kegiatan tersebut sebagai akibat tidak dapat dikendalikan faktor exogenous seperti

agroekosystem, musim, kearifan lokal dan sebagainya..

2. Sistem menyebar melibatkan lebih banyak birokrasi, sehingga membutuhkan

waktu dan dana yang lebih besar dalam pengelolaannya. Semakin banyak

birokrasi terlibat dalam proses penyaluran maka semakin tidak efisien

implementasi kegiatan tersebut dan semakin banyak timbul permasalahan yang

tidak perlu.

3. Sistem menyebar melibatkan suatu areal yang luas dengan ciri-ciri budaya, agro

eksystem yang sangat bervariasi. Keadaan ini tidak memungkinkan atau terdapat

tingkat kesulitan tinggi dalam melakukan evaluasi dampak kegiatan secara

kuantitatif. Sebagai akibatnya pemerintah tidak dapat belajar dari pengalaman.

Sistem Terpusat

Sistem terpusat dapat diibaratkan sebagai berikut. Jika seribu butir jagung dibagikan

kepada 1000 ekor ayam (sistem menyebar), maka setiap ekor akan mendapat sebutir jagung.

Karena seekor ayam membutuh 20 butir jagung bisa bertelur 1 butir maka dianatara 1000

ayam tidak yang bertelur. Jika 1000 butir dibagikan kepada 50 ekor ayam (sistem terpusat)

yang masing-masing mendapat 20 butir jagung maka pemerintah akan mengutip hasil 50

butir telur. Lima puluh butir telur ini dapat ditukar dengan 2000 butir jagung sehingga dapat

dibagikan kepada 100 ekor ayam yang menghasilkan 100 butir telur yang dapat ditukarkan

Page 20: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

20

dengan 4000 ekor jagung demikain seterusnya. Sistem terpusat jelas memberikan harapan

keberhasilkan jika pemerintah menghadapikesulitan dana pembangunan.

Dalam kasus pelaksanakan kegiatan subsidi benih padi dan jagung (2006) ketiga

kelemahan yang ditimbulkan oleh sistem menyebar yang dibahas di atas tampak berlaku

signifikan. Atas dasar itu, Deptan mencoba sistem terpusat untuk subsidi benih (2007).

Dalam hal ini, implementasi kegiatan subsidi hanya dilakukan pada satu dua provinsi terpilih,

namun tetap dengan dana kegiatan yang semula. Pada tahun selanjutnya dapat dilaksanakan

di provinsi yang lain. Perlu dipertimbangkan batas ukuran teknis/finansial bagi menentukan

jumlah provinsi terhadap dana subsidi benih yang tersedia.

Jika implementasi kegiatan subisdi dapat dilaksanakan terpusat, maka dalam

implementasinya perlu didisain bagaimana penyaluran subsisi diatur dengabmetoda tertentu

sehingga memungkinkan pemerintah mempelajari, faktor-faktor yang apa yang

mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan kegiatan secara kuantitatifn dan kualitatif

terhadap subsidi tersebut. Dengan cara ini pemerintah belajar dari pengalaman sehingga

implentasi kegiatan pada tahun dan provinsi berikutnya akan memberikan hasil yang lebih

efektif.

Keuntungan:

1. Dapat diukur dampak subsisdi terhadap produksi, produktivitas dan

kesejahteraan petani

2. Dampak diukur pengaruh birokrasi pemerintah daerah, kearifan lokal,

agroekosysdtem terhadap produksi dan produktivitas

3. Dapat dididentifikasi bentuk Koptan yang bisa bekerja secara bisnis dan

bekerja sama dengan petani anggota.

4. Hambatan faktor teknis dan intitusi (birokrasi) dapat dikurangi

Kelemahan:

1. Subsidi terpusat, menyebabkan ada wilayah yang tidak kebagian subsidi,

bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Namun hal ini dapat diatasi

dengan memperluas subsidi dari tahun ke tahun (jika memungkinkan).

HASIL EVALUASI KEGIATAN SWASEMBADA DAGING Prolog: Kegiatan DPM LUEP Secara Nasional

Program dan strategi swasembada daging 2010 telah berlangsung 3 tahun, karena itu

sudah layak untuk diteliti -sebagai dummy dari strategi dan program peningkatan produksi

daging sapi- bagaimana pencapaian yang telah diperoleh dan permasalahan apa yang

Page 21: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

21

dihadapi. Pertanyaannya adalah apakah tahun 2005 akan tercapai swasembada daging melalui

pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal?. Menjawab pertanyaan ini,

tentu akan sulit karena program-program pemerintah di atas bersifat umum dan tidak jelas

bagaimana rincian program tersebut. Sehingga tidak dapat dipelajari dampak program-

program tersebut terhadap pencapaian swasembada daging. Namun demikian apa pun yang

telah dilaksanakan pemerintah dan para pelaku ekonomi usaha peternakan swasta maka

dampaknya masih dapat diamati melalui indikator-indikator ekonomi seperti perubahan

struktur pengusahaan ternak yang selama ini sangat kuat dalam mendukung meningkatkan

produksi daging

Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi kenyataan pengurasan ternak

sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi sapi potong yakni NTT, NTB, Bali

dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di Sumatera. Data BPS (2007) memperlihatkan

bahwa dalam 10 tahun terakhir yakni dari tahun 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal

dengan laju 1.1 persen per tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari penguirasan

yang terjadi pada wilayah senra produksi Jatim, NB dan Lampung dengan laju penurunan

populasi masing-masing -2.8 persen, 0.3 persen dan 0.8 persen. Sedangkan pertumbuhan

yang terjadi antara tahun pencanangan swasembada daging sapi hinga 2007 yakni 2 tahun

kemudian untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0.004 persen, 2 persen,

0.25 persen dan Indonesia 2.5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Untuk mencapai

1000 ekor tambahan diperlukan pertumbuhan sebesar 10.1 persen per tahun termasuk

kematian dan pemotongan.

Penyebab pengurasan adalah karena ketidak mampuan Indonesia meningkatkan

produktivitas dan produksi daging dengan mengembangkan teknologi maju dan manajemen

pemeliharaan ternak sapi dalam mengimbangi permintaan yang mengalami pertumbuhan

yang jauh lebih cepat. Sekitar 70 persen dari produksi daging sapi berasal dari sapi rakyat

yang umumnya mempunyai produktivitas rendah, manajemen rendah dan sebagainya

sehingga diragukan untuk mencapi tingkat produksi yang dibutuhkan. Angka sumbangan ini

sebenarnya sudah menurun dibandingkan tahun 1998 sebesar 84 persen (BPS, 2002) .

Pemerintah membuka keran impor sapi bakalan untuk digemukan dalam negeri sehingga

dapat diklaim sebagai produksi dalam negeri walaupun masih perlu impor daging beku untuk

segmen pasar khusus. Jumlah sapi bakalan impor mencapai puncaknya 400 ribu ekor pada

tahun 2000 dan ini memperlihatkan bahwa produksi bakalan domestik relatif rendah.

Perusahaan-perusahaan penggemukan membutuhkan sapi bakalan impor karena keterbatasan

produksi bakalan dalam negeri (Peni, 2003).

Page 22: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

22

Tabel 6. Populasi Pada Wilayah Sentra Produksi, 2005-2007

P r o p i n s i

Tahun Jawa Timur NTB Lampung Indonesia

(ekor) (ekor) (ekor) (ekor) 1997 3,382,670 471,847 451,913 11938856 1998 3,223,055 429,847 443,044 11633876

1999 3,380,547 374,940 409,762 11275703 2000 3,312,015 376,526 375,115 11008017 2001 3,312,015 395,751 373,534 11137701 2002 3,312,015 403,666 380,697 11297625 2003 2,516,777 419,569 387,350 10504128 2004 2,519,030 426,033 391,846 10532889 2005 2,524,476 451,165 417,129 10569312 2006 2,524,573 460,188 418,172 10835686

r (2.82) (0.27) (0.83) (1.03)

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia –sebelum krisis ekonomi- yakni selama tahun

1994-1997 dinilai tinggi yang berkisar antara 5 sampai 8 persen per tahun, hanya mampu

mendorong produksi ternak potong sebesar 0.05 persen per tahun. Hal ini berdasatkan hasil

pengolahan data pertumbuhan ekonomi dan jumlah produksi sapi daging pada tingkat

nasional (Yusdja, 1995). Informasi ini memperlihatkan bahwa dengan strategi pembangunan

yang ada sekarang, akan sulit mengangkat maju komoditas peternakan sapi potong. Oleh

karena itu diperlukan perhatian khusus dalam kebijaksanaan ekonomi makro yang dapat baik

secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan ternak sapi potong.

Dengan kata lain kebijaksanaan makro harus diciptakan untuk mendorong perkembangan

usaha ternak sapi potong.

Pertanyaan pada tingkat mikro yang sifatnya mendesak saat ini adalah mengapa

pertumbuhan populasi sapi berjalan lambat? Beberapa masalah dan tantangan umumnya

adalah sebagai berikut :

1. Sentra produksi sapi utama yakni pulau Jawa dengan porsi hampir setengah dari total

populasi sapi, ternyata sama sekali tidak mempunyai padang penggembalaan khusus.

Ternak sapi dipelihara menyebar menurut RT pertanian di seluruh pedesaan dan

ternak tersebut diberi hijauan pekarangan dan limbah pertanian. Teknologi budidaya

sangat rendah dan tujuan utama pemeliharaan adalah menjadikan sapi sebagai sumber

tenaga kerja, tabungan atau status sosial dan bukan sebagai penghasil daging.

Pemeliharaan tidak diarahkan untuk tujuan pasar.

Page 23: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

23

2. Sentra produksi sapi potong kedua yakni Indonesia kawasan timur dengan porsi

populasi sebesar 16 persen sebagai supplier utama ternak potong bagi DKI dan Jabar

memang memiliki padang penggembalaan yang relatif luas dan cukup, namun

padang-padang tersebut dikapling-kapling menurut hak milik dan padang tersebut

dihantui oleh musim kering yang panjang (9 bulan) apalagi sentuhan pengelolaan

terhadap padang penggembalaan tersebut sangat miskin teknologi dan ilmu

pengetahuan, sehingga daya tampung padang penggembalaan ini semakin menurun.

Penampilan ternak dalam padang penggembalaan tersebut sangat memprihatinkan

antara lain diperlihatkan oleh penurunan berat badan ternak, kematian anak sapi yang

relatif tinggi dan angka kelahiran yang rendah.

Menyangkut masalah konsumsi, pendapatan dan sebagainya. Produksi daging di Jakarta

terus menurun sedangkan Jabar terus meningkat. Pertumbuhan konsumsi nasional per

tahun 4.66 persen dari sekitar 309 ton tahun 1969 menjadi 1. 2 juta ton pada tahun 2000.

Dari jumlah 1.2 juta ton sekitar 63 persen diserap oleh empat wilayah konsumsi yakni

Wilayah DKI+Jabar (25.6%), Wilayah Jatim (16.9 %), Jateng (13.9 %) dan Sumut (6.75 %).

Hanya Jabar dan Jatim yang mampu menyediakan daging buat masyarakatnya sendiri karena

kedua propinsi ini merupakan wilayah sentra produksi. Sementara DKI+Jabar dan Sumut

total 31 persen harus di datangkan dari berbagai wilayah khususnya sentra produksi. Wilayah

lain konsumsi masih rendah masih dapat disuplai oleh propinsinya masing-masing. Yang

masalah adalah Jabar dan DKI serta Sumut.

Industri sapi potong nasional menghadapi berbagai tantangan baru di depan, antara

lain pasar bebas baik regional maupun dunia yang akan menciptakan berbagai perubahan

strategis. Semua tantangan yang ada di depan dan permasalahan yang ada saat ini, menjadi

bahan pemikiran utama dalam menciptakan industri sapi potong nasional yang tangguh,

mandiri dan efisien. Untuk itu diperlukan strategi dan program yang pas.

Dalam penyusunan strategi dan program pembangunan industri sapi potong nasional

maka diperlukan kesamaan persepsi tentang dasar pemikiran dan konsepsi tentang strategi

dan program dalam mencapai industri sapi potong masa depan. Sehingga apapun bentuk

strategi dan program yang dibahas dalam makalah ini adalah berdasarkan asumsi pendekatan

pemikiran dan konsepsi tersebut.

Keragaan Program Swasembada Daging Sapi di Desa Penelitian

Dalam upaya mengatasi permintaan daging secara nasional yang berdampak terhadap

dengan semakin terkurasnya populasi ternak potong, maka pemerintah melalui berbagai

program berupaya untuk meningkatkan kinerja peternakan, terutama peningkatan populasi

Page 24: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

24

ternak. Sejalan dengan itu berbagai kegiatan proyek telah masuk ke desa-desa sentra ternak

baik di wilayah Propinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat maupun Lampung. Namun

demikian belum semua desa maupun peternak tersentuh oleh adanya program kegiatan

tersebut.

Berdasarkan pola usaha yang dilakukan oleh peternak responden sebagian besar

adalah pola pembibitan (46,6 %). Hal ini sejalan dengan program pemerintah dalam program

swasembada daging, terutama untuk meningkatkan populasi ternak sapi potong, disamping

itu adalah dalam upaya penyelamatan plasma nutfah ternak lokal. Hal ini memperlihatkan

ketergantungan pemerintah pada peningkatan populasi pada tingkat peternakan rakyat.

Sebagian peternak juga melakukan budidaya ternak sapi potong dengan pola penggemukan

maupun campuran yang masing-masing besarannya 26,6 persen.

Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa selama periode 5 (lima)

tahun terakhir (2002 – 2005) dilihat dari kinerja program pengembangan ternak khususnya

sapi potong yang dilakukan oleh pemerintah, swasta maupun fihak lainnya, maka peran

pemerintah secara umum masih terbatas. Salah satu program pemerintah yang dilakukan

dalam upaya peningkatan populasi ternak potong adalah adanya bantuan bibit ternak kepada

para peternak. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa dilihat dari rata-rata bibit yang

dikuasai peternak sebagian besar adalah swadaya. Usaha sendiri tampaknya masih

mendominasi kinerja pengadaan bibit ternak oleh peternak.

Dampak Program Terhadap Populasi Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa dalam satu tahun kalander

peternak mampu menghasilkan jumlah ternak yang digemukkan yang sangat bervariasi

tergantung dari kemampuan masing-masing peternak. Kasus di wilayah Propinsi Lampung

menunjukkan bahwa seorang peternak mampu menggemukkan sapi potong jantan sebanyak

25,80 ekor/tahun/KK. Sementara di wilayah Propinsi Nusa Tenggara barat hanya 4,33 ekor

rata-rata/th/KK. Perbedaan jumlah kemampuan kapasitas penggemukan tersebut sangat

ditentukan oleh intensitas pengadaan pakan ternak. Dilampung ketersediaan pakan ternak

dipasok oleh pabrik pakan dalam hal ini PT GGLC, sementara di NTB peternak masih

mengandalkan alam. Disamping itu jangka waktu penggemukan di lampung umumnya lebih

pendek, karena pejantan yang digemukkan adalah pejantan jenis Ongole yang sudah cukup

besar, sementara di NTB umumnya sapi Bali yang membutuhkan jangka waktu lebih lama.

Data responden memperlihatkan bahwa peternak di Lampung menunjukkan berat

awal rata-rata ternak digemukkan adalah 288 kg dengan harga bakalan berkisar Rp 5,11

juta/ekor. Digemukkan selama 3 – 4 bulan mencapai berat 398 kg dan saat dijual

Page 25: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

25

mendapatkan harga Rp 6,9 juta/ekor. Sedangkan di NTB adalah berat bakalan adalah 229 kg

dengan harga bakalan rata-rata Rp 3,8 juta/ekor. Digemukkan rata-rata 6 – 8 bulan mencapai

berat badan saat jual adalah 362 kg, dengan harga jual Rp 7,0 juta/ekor. Rendahnya harga jual

ternak di Lampung karena terikat oleh perusahaan pemasok pakan.

Sementara wilayah propinsi Jawa Timur dalam rangka pelaksanaan program

swasembaga daging maka pola yang dianjurkan lebih diarahkan pada pola pembibitan,

sehingga kegiatan pelaksanaan dilapangan disamping lebih didominasi oleh adanya kegiatan

pengadaan bibit ternak juga lebih ditekankan pada intensitas kegiatan Inseminasi Buatan (IB).

Dari hasil wawancara dengan peternak responden di wilayah Jawa Timur tidak satupun

peternak melakukan usaha budidaya ternak dengan pola penggemukan. Secara kebetulan

lokasi contoh adalah diwilayah Blitar Utara yang secara fisiografie termasuk daerah kering,

sehingga kurang mendukung apabila program tersebut diarahkan pada pola penggemukan.

Dengan adanya intensitas penggalakan kegiatan Inseminasi Buatan di wilayah

Propinsi Jawa Timur, maka hasilnyapun cukup menonjol. Dari hasil wawancara dengan

responden menunjukkan seluruh peternak (100%) mengikuti IB. Dari jumlah tersebut

sebanyak 70,0 persen responden merasa puas dengan kinerja hasil IB. Walaupun angka

keberhasilan tingkat kebuntingan masih relatif rendah. Keberhasilan IB di Jawa Timur selain

ditunjang oleh adanya program pemerintah pusat maupun daerah juga oleh kesadaran

peternak bahwa IB terbukti sangat menguntungkan.

Sementara keberhasilan program Inseminasi Buatan di wilayah Propinsi Nusa

Tenggara Barat maupun Propinsi Lampung agak sedikit berbeda. Keikut sertaan program IB

di kedua wilayah tersebut relatif lebih kecil dimana di wilayah NTB hanya 40,0 persen

peternak yang terlibat, sedangkan di Lampung 60,0 persen. Hal ini disebabkan karena

sebagian responden dalam melakukan budidaya ternak sapi potong yang dilakukan adalah

pola penggemukan sapi bakalan jantan, sehingga dengan sendirinya tidak pernah melakukan

kegiatan IB.

Keberhasilan program kegiatan Inseminasi Buatan pada intinya diukur dari

banyaknya anak sapi yang lahir dari hasil Inseminasi Buatan tersebut. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden menunjukkan bahwa selama periode 3(tiga) tahun berturut-

turut (2004 – 2006) angka kelahiran anak sapi yang dihasilkan dari kegiatan Inseminasi

buatan cenderung meningkat. Pada periode tahun 2004 jumlah anak sapi yang dilahirkan per

peternak yang melakukan budidaya pembibitan rata-rata 1,71 ekor /tahun dengan jumlah sapi

yang dipelihara sebanyak 4,42 ekor. Sementara pada tahun 2005 angka kelahiran meningkat

menjadi 2,12 rata-rata pertahun dengan total pemeliharaan ternak sapi sebanyak 5,89 ekor.

Page 26: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

26

Tabel 7 : Sumber Pengadaan Bibit Ternak yang Dilakukan Oleh Responden di Tiga lokasi Contoh, Thn 2007.

Lokasi 2002 2003 2004 2005 2006

Prop. Lampung a.Sendiri 4.8 6.5 7.4 7.8 8.8 b.Bantuan Pemrntah 0.1 0.1 1.7 1.7 1.8 c.Bantuan Swasta 4.2 4.2 5.0 5.8 5.8 d.lainnya 7.8 7.6 10.6 11.3 11.9

Prop. Jawa Timur a.Sendiri 4.2 4.3 5.5 5.7 6.5 b.Bantuan Pemrntah - - - - - c.Bantuan Swasta - - - - - d.lainnya 1.1 0.1 0.0 0.1 0.0

Prop. NTB a.Sendiri 2.4 2.3 2.8 3.0 3.7 b.Bantuan Pemrntah 0.0 0.1 0.1 0.0 0.0 c.Bantuan Swasta - - 0.1 0.1 0.1 d.lainnya 2.1 2.3 2.5 2.5 2.7

Rata-rata : a.Sendiri 3.8 4.4 5.2 5.5 6.3 b.Bantuan Pemrntah 0.4 0.6 0.8 0.7 0.7 c.Bantuan Swasta 1.4 1.4 1.9 2.1 2.1 d.lainnya 3.6 3.6 4.5 4.9 4.9

Diskusi Dampak dan Keberhasilan Swasembada Daging

Dilihat dari peningkatan penguasaan ternak pola pembibitan, wilayah Propinsi Nusa

Tenggara Barat cenderung lebih tinggi tingkat penguasaan ternaknya yaitu 7,2 ekor rata-rata

perpeternak (2006) dan mengalami peningkatan tajam dibandingkan tahun 2004 yang hanya

4,20 ekor rata-rata per peternak. Demikian juga dengan besarnya peningkatan angka

kelahiran anak sapi hasil IB. Dimana pada tahun 2004 angka kelahiran anak sapi hasil IB

rata-rata 1,6 ekor maka pada tahun 2006 meningkat menjadi 2,2 ekor rata-rata per peternak

per tahun. Sementara hal yang sama yang dialami peternak diwilayah Propinsi Lampung dan

Jawa Timur walaupun mengalami peningkatan baik penguasaan ternak maupun angka

kelahiran anak sapi hasil IB, namun kurang setajam propinsi Nusa Tenggara Barat (Tabel 8).

Tabel 8 menunjukkan bahwa program kegiatan Inseminasi Buatan yang selama ini

memang sedang digalakkan, telah menunjukkan keberhasilannya. Namun demikian kegiatan

Inseminasi Buatan dilapangan tetap saja masih banyak menemui kendala. Kendala utama

adalah kwalitas straw maupun kemampuan peternak dalam mendeteksi tingkat kebirahian

ternbak yang masih lemah yang masih banyak menjadi keluhan para petugas IB, sehingga

Page 27: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

27

masih banyak ditemui kegagalan kebuntingan. Namun demikian secara umum peternak telah

mulai memahami betapa pentingnya kegiatan Inseminasi buatan dan manfaatnya telah banyak

dirasakan oleh peternak.

Tabel 8 : Persentase Partisipasi IB dalam Program Inseminasi Buatan (IB) di Tiga Lokasi Contoh, Thn 2007. Lampung Jatim NTB

Partisipasi IB 60 100 40

Puas Dengan IB 50 70 50

Keberasilan Frekuensi Bunting 2 2.5 2.2

Seperti telah dikemukakan bahwa keberhasilan program pengembangan ternak

terutama dalam upaya meningkatkan populasi ternak salah satunya adalah diukur oleh anak

sapi yang dapat dilahirkan dari hasil Inseminasi Buatan. Hal lain yang perlu diperhatikan

adalah upaya peningkatan peran reproduktivitas selain dilakukan melalui upaya pemeriksaan

kebuntingan, usaha penyelamatan kelahiran serta pemeriksaan induk maka hal yang juga

penting adalah pemeliharaan induk sapi betina bunting secara seksama agar ternak yang

bersangkutan dapat tumbuh sehat sehingga dapat melahirkan anak sapi yang sehat pula.

Kasus di wilayah Propinasi Jawa Timut yang merupakan salah satu sentra Program

pengembangan populasi ternak dimana kegiatan Inseminasi Buatan merupakan proiritasnya,

maka dilihat dari kegiatan reproduktivitasnya secara umum mengalami peningkatan kinerja.

Dilihat dari jumlah induk yang mampu melahirkan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut

mengalami peningkatan. Dari rata-rata induk yang dipelihara sebanyak 2,13 semula (2004)

hanya sebanyak 1,75 ekor yang mampu melahirkan bahkan tahun berikutnya (2005)

mengalami penurunan menjadi 1,50 ekor. Namun pada tahun 2006 meningkat menjadi 3,13

ekor.

Hal tersebut menunjukkan bahwa walau secara umum kegiatan pengelolaan

reproduktivitas ternak sapi potong di Jawa Timur telah berhasil, namun masih diwarnai oleh

kondisi yang belum stabil. Fluktuasinya kehamilan induk mencerminkan bahwa hal tersebut

masih perlu pembenahan. Ada kemungkinan kegagalan IB, namun disisi lain ada

kemungkinan karena adanya penyakit kandungan atau penyakit reproduksi lainnya. Sehingga

hal tersebut tetap membutuhkan perhatian secara seksama agar angka kelahiran anak sapi

diupayakan terus dapat meningkat, agar target populasi ternak sapi potong yang diinginkan

bisa tercapai.

Page 28: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

28

Salah satu permasalahan dalam budidaya ternak potong adalah ketersediaan pasokan

pakan ternak secara teratur dengan mutu yang baik, hal ini yang secara umum masih menjadi

kendala oleh hampir semua peternak. Sempitnya tingkat penguasaan lahan oleh peternak

menyebabkan lahan yang ada lebih diutamakan untuk tanaman pangan sebagai kebutuhan

pokok keluarga. Sementara penanaman hijauan pakan ternak di lahan milik sendiri hampir

tidak ada sama sekali. Artinya kebutuhan hijauan pakan ternak sepenuhnya mengandalakan

dari alam. Permasalahan ketersediaan hijauan pakan ternak yang ada pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap pola pemberian pakan serta komposisi pakan yang ada.

Tabel 9 : Keragaan Peningkatan Populasi Ternak sapi Potong Ternak sapi Potong Di Tingkat Responden di Tiga Lokasi Contoh, Thn 2007.

Lokasi 2004 2005 2006 r Lampung :

Jumlah Sapi (ekor) 2.8 3.3 3.3 8.8 Kelahiran (%) 59.0 55.0 50.2 Kematian (%) - - - Penjualan (%) 23.7 20.1 24.9 Pembelian (%) - - -

Jatim Jumlah Sapi (ekor) 5.8 6.4 7.0 10.9 Kelahiran (%) 24.0 19.6 26.9 Kematian (%) 2.3 - - Penjualan (%) 11.0 13.8 1.9 Pembelian (%) 2.3 - -

NTB Jumlah Sapi (ekor) 4.2 6.0 7.2 35.7 Kelahiran (%) 38.1 40.0 30.6 Kematian (%) - - - Penjualan (%) 42.9 40.0 41.7 Pembelian (%) 28.6 33.3 27.8

Tabel 1o. Perkembangan Jumlah Kelahiran Sapi Potong Hasil IB di Provinsi Lampung, 2001-2005 Sex 2001 2002 2003 2004 2005

Jantan 7,792 7,228 8,701 9,715 5,690

Betina 7,516 7,223 8,703 6,990 5,871

Total 15,308 14,451 17,404 16,705 11,561 Sumber: Dinas Peternakan Lampung (diolah)

Hasil wawancara dengan peternak responden di dua wilayah propinsi Jawa Timur dan

Propinsi Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa di wilayah propinsi Jawa Timur dimana

ketersediaan hijauan pakan ternak masih melimpah, maka dalam penggunaannya relatilebih

tinggi yaitu 33,0 kg rata-rata/ekor perhari. Dengan jumlah HMT yang relatif tercukupi

menyebabkan pemberian konsentrat (dedak/katul) menjadi sedikit yaitu 1,43 rata

Page 29: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

29

perhari/ekor. Lain halnya dengan peternak di Nusa Tenggara Barat. Dengan semakin

padatnya populasi ternak serta ketersediaan HMT yang terbatas menyebabkan pola

pemberian pakan MHT hanya 10,0 kg rata-rata per hari/ekor. Untuk menambah kebutuhan

gizi pakan ternak maka ditambah dengan konsentrat (dedak/katul) rata-rata 1,12 kg rata-rata

per ekor .

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1. Evaluasi Program DPM LUEP

a. Kegiatan DPM LUEP cukup efektif dalam mengamankan harga gabah ketetapan

pemerintah (HPP). Kegiatan DPM LUEP jelas memberikan rasa aman kepada petani

dibandingkan Bulog (yang juga membeli gabah petani dengan HPP). LUEP lebih

dekat dengan petani, penjualan gabah lebih mudah tidak terlalu terusik oleh mutu

gabah, tidak birokratif, pembayaran langsung, lokasi LUEP dekat bahkan petani

dapat menjual di sawah. Kebijakan harga HPP yang disertai dengan kebijakan DPM

LUEP memberikan hasil terhadap pengamanan harga gabah dan peningkatan

pendapatan petani.

b. LUEP dalam memasarkan gabah dan beras tidak lagi tergantung pada Bulog. Mereka

sudah dapat membangun pasar sendiri, karena DPM memungkinkan jumlah gabah

yang dapat mereka kumpulkan mencapai 5 sampai 20 kali lebih besar dari yang

biasa. Karena cadangan besar, hal itu memudahkan mereka melakukan tranksaksi

dengan pedagang besar. Hal ini memungkinkan ketergantungan LUEP pada petani

pelanggan semakin besar. Oleh karena itu, penurunan harga beras yang signifikan

mempengaruhi penawaran LUEP dapat mengancam petani pelanggan. Dalam hal ini,

impor beras oleh Bulog merupakan ancaman serius bagi pemasaran gabah petani.

c. Permasalahan yang dihadapi adalah dana DPM relatif kecil sehingga hanya sebagian

kecil LUEP dan sebagian kecil Kabupaten yang menerima LUEP. Alokasi dana

yang berlebihan atau berkekurangan pada sebuah LUEP tidak akan bermanfaat

karena kemampuan LUEP dalam membeli gabah ditentukan oleh kapasitas RMU,

wilayah dan luas sawah yang dihadapinya. Pada sisi lain ada wilayah yang tidak

membutuhkan DPM menerima dana penguat tersebut.

2. Evaluasi Program Subsidi Benih Jagung

a. Program subsidi benih jagung yang diawali pada tahun 2006 dan akan terus

dilanjutkan pada tahun 2007 perlu dicermati lebih intensif khsususnya dalam

pelaksanaannya. Banyak masalah yang terjadi di lapang baik masalah kebijakan yang

Page 30: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

30

diterapkan maupun masalah teknis yang dihadapi. Salah satu kebijakan daerah yang

bertentangan dengan kebijakan pusat adalah mewajibkan petani membayar besaran

subsidi yang diterimanya kepada Kelompok Tani. Dana pembayaran kembali

menjadi milik Koptan yang dapat digunakan untuk memberdayakan dirinya misalnya

membeli rice huller. Kebijakan ini menekankan bahwa subsidi hanya berlaku pada

tingkat koptan bukan petani.

b. Dampak subsidi benih terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan petani sangat

bervariasi yang masing-masing ditentukan oleh:

i. Penerimaan subsidi benih yang tepat waktu, mutu dan jumlahnya.

ii. Perubahan cuaca, terutama kekeringan

iii. Praktek budidaya yang tidak mengalami perubahan dari tradional ke cara-

cara yang sesuai dengan buidaya jagung hybrid.

iv. Jumlah benih jagung yang diterima petani dibatasi hanya 1 Ha supaya

sebagian besar petani memperoleh subsidi (pemerataan), sebagai akibatnya

petani tidak mungkin memperluas usaha penanaman.

v. Kelompok tani tidak siap menyalurkan benih kepada petani sehingga benih

subsidi tidak dapat digunakan.

c. Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih sampai ditangan petani

tepat pada saat ia membutuhkannya. Konsekuensi dari penyaluran seperti itu adalah

pemerintah menempatkan petani sebagai bahan pertimbangan utama dalam

menyalurkan benih subsidi. Apa yang telah terjadi adalah pemerintah terkesan

memaksakan penyaluran dengan mengunakan pertimbangan-pertimbangan yang

bersifat general. Seharusnya, pemerintah memahami benar tingkah laku petani,

sehingga penyaluran subsisidi dapat dilakukan spesifik petani. Tentu hal ini sangat

ideal, namun secara normatif kesanalah arah kebijakan penyaluran itu.

3. Evaluasi Program Swasembada Daging

a. Swasembada atau Kecukupan istilah manapun yang akan digunakan jelas tidak akan

dapat dicapai pada tahun 2009. Target tersebut terlalu ambisius dibandingkan situasi

yang dihadapi dan usaha-usaha pemerintah untuk merealisasikannya. Beberapa

penyebab kemungkinan kegagalan Swasembada Daging Sapi tahun 2007 adalah:

i. Situasi yang dihadapi dalam industri agribisnis peternakan tidak menunjang

bagi menciptakan swasembada daging sapi dalam waktu singkat (2-5 tahun).

Situasi sekarang, konsumsi tumbuh 4.7 persen per tahun dan populasi sapi

lokal tumbuh minus 1.2 persen per tahun dan impor terus meningkat.

Page 31: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

31

Kecukupan juga sulit dicapai, karena terbatas negara-negara importir

sementara dari negara yang diiznkan impor seperti Australia dan Selandia

Baru menghadapi musim kemarau yang panjang.

ii. Untuk mencapai swasembada daging tahun 2007, dibutuhkan 800 sampai 1

juta ekor sapi. Untuk itu dibutuhkankan pertumbuhan sapi minus pemotongan

dan kematian paling tidak 10 persen per tahun. Untuk mendapatkan tambahan

sebesar itu dan tanpa memperhitungan investasi (dalam arti semua tersedia)

dibutuhkan dana paling tidak Rp 8 triliun sama dengan anggaran

pembangunan Deptan 2007. Dalam tahun 2007 tersebut, anggaran untuk

peternakan hanya 4 persen.

iii. Rendahnya anggaran pembangunan peternakan yang tersedia baik oleh

pemerintah maupun masyarakat maka tidak dapat dibuat kegiatan berskala

besar dan efektif bagi peningkatan populasi. Pada sisi lain dana yang tersedia

tidak termanfaatkan dengan baik. Kebijakan program yang dirumuskan tidak

disertai dengan rencana operasional yang rinci. Perumusan program hanya

terbatas pada judul dan sasaran tetapi tidak jelas bagaimana sasaran hendak

dicapai. Program-program yang dibuat pemerintah bersifat nasional (top

down) dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai

iv. Strategi implementasi program disama ratakan, tidak memperlakukan wilayah

unggulan, tetapi berorientasi pada komoditas unggulan. Implementasi

program-progam tidak dilaksanakan dengan suatu metoda yang

memungkinkan evaluasi dampak program itu apakah berhasil atau tidak..

b. Sebaiknya Pemerintah merubah misi swasembada daging sapi menjadi menjadi

Swasembada Sapi Bakalan. Dalam konsep swasembada sapi bakalan mempunyai

pengertian yang lebih dalam dan fokus pada usaha produksi (Departemen Pertanian).

Sementara dalam program swasembada daging sapi, membutuhkan terlalu banyak

birokrat yang terlibat termasuk antar sektor. Penerapan swasembada Sapi Bakalan

akan mengarahkan program-program pembangunan peternakan yang lebih terarah dan

jelas.

PUSTAKA

Arifin B. 2004. Pengembangan Kelembagaan untuk Ketahanan Pangan. Dalam Buku: Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Hal. 233-244. Penerbit: PT Kompas Media Nusantara. Jakarta.

BPS. 2007. Statistik Peternakan. BPS. Jakarta.

Page 32: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

32

Cahill. C. Dan W. Legg. 2000. Estimation of Agricultural Assitance Using Producer and Consumer Subsidy Aquivalents: Theory dan Practice. Agricultural Policies Division of the Directorate for Food.

Danim. S. 2000. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Edisi ke 2. Penerbit: PT. Bumi Aksara.

Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2005-2009. Departemen

Pertanian. Jakarta. Departemen Pertanian (2006). Kegiatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan

(DPM LUEP). Departemen Pertanian. Jakarta Etzioni. A. 1964. Modern Organization. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Yersey Gittinger. J. P. 1982. Eeconomic Analysis of Agricultural Projects. 2th Edition. UI Press-Johns

Hopkins. Hayanto. B., I. Inounu., Arsana. B dan K. Diwyanto. 2002. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Ilham. N. 1995. Strategi Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia. Ditinjau dari potensi

sumberdaya pakan dan lahan. Forum Agro Ekonomi. p. 33-43. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Ilham. N. 1995. Strategi Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia. Ditinjau dari Potensi

Sumberdaya Pakan dan Lahan. Forum Agro Ekonomi. p. 33-43. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Kasryno. F., E. Pasandaran dan A. Fagi. 2005. Dinamika Produksi dan Pembangunan Sistem

Komoditi Jagung dalam Buku: Ekonomi Jagung Indonesia. Hal. 335. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Lins. D. A. 1980. Agricultural Finance. p.219. Prentice Hall. Inc. New York. Mollett, J. A. 1984. Planning for Agricultural Development. p137-151. Croom Helm. Ltd. Australia. Mubyarto. 1987. Politik Harga dan Pemasaran, dalam Buku: Politik Pertanian dan Pembangunan

Pedesaan. Hal. 140-170. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Pambudi. R. 1995. Industrialisasi Peternakan dan PerananUndang-Undang/Peraturan Sebagai

Instrumen Kebijakan. Fakultas Peternakan IPB. Bogor. Peni. 2003. Sukses Pulihkan Kondisi Industri Sapi Potong. Trobos. No. 41/Thn IV p.20. PT. Permata

Wacana Lestari. Jakarta. Ras.. 2003. Hadapi Puasa, Lebaran, Natal dan Tahun 2003. Trobos.No 37/Thn IV/Oktober 2002. p. 33. PT Permata Wacana Lestari. Jakarta.

Simatupang. P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Jurnal: Analisis

Kebijakan Pertanian. Vol. 1. No. 1. Maret 2003. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Stokey. E and R. Zeckhauser. 1977. A Primer for Policy Analysis. P3-8. W. W. Norton & Company. New York.

Sudarjat, S. 1999. Ketahanan Pangan 2005. Poultry Indonesia. Oktober 1999.. p8-13. Jakarta Sudarjat, S. 2003. Operasionalisasi Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging Sapi Tahun

2005. Jur:Analisis Kebijakan Pertanian (AKP). Vol 1 No 1. p 23-45. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Page 33: KAJI ULANG POGRAM PEMBANGUNAN PERTANIANpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/SHP_YYS_2007.pdf · Untuk pencapaian sasaran tersebut pemerintah menerbitkan kebijakan publik dan mengimplementasikan

33

Suharto. E. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Hal.136-137. Alfabeta. Jakarta. Suryana. A., Erwidodo dan S. Mardianto. 1999. Perspektif Subsidi Pupuk KCl dan

Kebijakan Harga Gabah Terhadap Produksi Padi dan Pendapatan Petani. Prosiding: Analisis dan Perspektif Kebijakan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Hal. 211-220.

Tangkilisan. H. N. S. 2003. Evaluasi Kebijakan Publik. Penjelasan, Analisis & Treansformasi Pikiran Nagel. Hal. 14. Penerbit Balairung & Co. Yogyakarta.

Yusdja. Y, N. Ilham dan S. Wahyuning. 2002. Outlook Peternakan 2002. Laporan Hasil Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Yusdja. Y., R. Sayuti., B. Winarso., I. Sodikin dan C. Muslim. 2004. Pemantapan Program Dan

Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi Daging Sapi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.