Kado Pra Nikah

19
TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN) Oleh Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah: 1. Khitbah (Peminangan) Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: äóåóì ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó Ãóäú íóÈöíúÚó ÈóÚúÖõßõãú Úóáóì ÈóíúÚö ÈóÚúÖò¡ æóáÇó íóÎúØõÈó ÇáÑøóÌõáõ Úóáóì ÎöØúÈóÉö ÃóÎöíúåö¡ ÍóÊøóì íóÊúÑõßó ÇáúÎóÇØöÈõ ÞóÈúáóåõ Ãóæú íóÃúÐóäó áóåõ ÇáúÎóÇØöÈõ. “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1] Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ÅöÐóÇ ÎóØóÈó ÃóÍóÏõßõãõ ÇáúãóÑúÃóÉó¡ ÝóÅöäö ÇÓúÊóØóÇÚó Ãóäú íóäúÙõÑó ãöäúåóÇ Åöáóì ãóÇ íóÏúÚõæúåõ Åöáóì äößóÇÍöåóÇ¡ ÝóáúíóÝúÚóáú. “Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2] Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: ÃõäúÙõÑú ÅöáóíúåóÇ¡ ÝóÅöäøóåõ ÃóÍúÑóì Ãóäú íõÄúÏóãó ÈóíúäóßõãóÇ. “Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3] Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.” Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4] Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk Meminang Apabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßõãú ãóäú ÊóÑúÖóæúäó Ïöíúäóåõ æóÎõáõÞóåõ ÝóÇäúßöÍõæúåõ¡ ÅöáÇøó ÊóÝúÚóáõæúÇ Êóßõäú ÝöÊúäóÉñ Ýöí ÇúáÃóÑúÖö æóÝóÓóÇÏñ ßóÈöíúÑñ. “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5] Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men- jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa

Transcript of Kado Pra Nikah

Page 1: Kado Pra Nikah

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : KHITBAH (PEMINANGAN)

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

äóåóì ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó Ãóäú íóÈöíúÚó ÈóÚúÖõßõãú Úóáóì ÈóíúÚö ÈóÚúÖò¡ æóáÇó íóÎúØõÈó ÇáÑøóÌõáõ Úóáóì ÎöØúÈóÉö ÃóÎöíúåö¡ ÍóÊøóì íóÊúÑõßó ÇáúÎóÇØöÈõ ÞóÈúáóåõ Ãóæú íóÃúÐóäó áóåõ ÇáúÎóÇØöÈõ.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

Disunnahkan melihat wajah wanita yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÎóØóÈó ÃóÍóÏõßõãõ ÇáúãóÑúÃóÉó¡ ÝóÅöäö ÇÓúÊóØóÇÚó Ãóäú íóäúÙõÑó ãöäúåóÇ Åöáóì ãóÇ íóÏúÚõæúåõ Åöáóì äößóÇÍöåóÇ¡ ÝóáúíóÝúÚóáú.

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!” [2]

Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

ÃõäúÙõÑú ÅöáóíúåóÇ¡ ÝóÅöäøóåõ ÃóÍúÑóì Ãóäú íõÄúÏóãó ÈóíúäóßõãóÇ.

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua.” [3]

Imam at-Tirmidzi rahimahullaah berkata, “Sebagian ahli ilmu berpendapat dengan hadits ini bahwa menurut mereka tidak mengapa melihat wanita yang dipinang selagi tidak melihat apa yang diharamkan darinya.”

Tentang melihat wanita yang dipinang, telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama, ikhtilafnya berkaitan tentang bagian mana saja yang boleh dilihat. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan, yaitu melihat rambut, betis dan lainnya, berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya.” Akan tetapi yang disepakati oleh para ulama adalah melihat muka dan kedua tangannya. Wallaahu a’lam. [4]

Ketika Laki-Laki Shalih Datang Untuk MeminangApabila seorang laki-laki yang shalih dianjurkan untuk mencari wanita muslimah ideal -sebagaimana yang telah kami sebutkan- maka demikian pula dengan wali kaum wanita. Wali wanita pun berkewajiban mencari laki-laki shalih yang akan dinikahkan dengan anaknya. Dari Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ÅöÐóÇ ÌóÇÁóßõãú ãóäú ÊóÑúÖóæúäó Ïöíúäóåõ æóÎõáõÞóåõ ÝóÇäúßöÍõæúåõ¡ ÅöáÇøó ÊóÝúÚóáõæúÇ Êóßõäú ÝöÊúäóÉñ Ýöí ÇúáÃóÑúÖö æóÝóÓóÇÏñ ßóÈöíúÑñ.

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.’” [5]

Boleh juga seorang wali menawarkan puteri atau saudara perempuannya kepada orang-orang yang shalih.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan, ‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada kepada ‘Utsman.Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah. Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’ ‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya, niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” [6]

Shalat IstikharahApabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya. [7] Hal ini berdasarkan hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur'an.” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a:

Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÊóÎöíúÑõßó ÈöÚöáúãößó æóÃóÓúÊóÞúÏöÑõßó ÈöÞõÏúÑóÊößó æóÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÝóÖúáößó ÇáúÚóÙöíúãö ÝóÅöäøóßó ÊóÞúÏöÑõ æóáÇó ÃóÞúÏöÑõ æóÊóÚúáóãõ æóáÇó ÃóÚúáóãõ æóÃóäúÊó ÚóáÇøóãõ ÇáúÛõíõæúÈö. Çóááøóåõãøó Åöäú ßõäúÊó ÊóÚúáóãõ Ãóäøó åóÐóÇ ÇúáÃóãúÑó (æóíõÓóãöøì ÍóÇÌóÊóåõ) ÎóíúÑñ áöíú Ýöíú Ïöíúäöíú æóãóÚóÇÔöíú æóÚóÇÞöÈóÉö ÃóãúÑöíú (Ãóæú ÞóÇáó: ÚóÇÌöáöåö æóÂÌöáöåö)

Page 2: Kado Pra Nikah

ÝóÇÞúÏõÑúåõ áöíú æóíóÓöøÑúåõ áöíú Ëõãøó ÈóÇÑößú áöíú Ýöíúåö¡ æóÅöäú ßõäúÊó ÊóÚúáóãõ Ãóäøó åóÐóÇ ÇúáÃóãúÑó ÔóÑøñ áöíú Ýöíú Ïöíúäöíú æóãóÚóÇÔöíú æóÚóÇÞöÈóÉö ÃóãúÑöíú (Ãóæú ÞóÇáó: Ýöíú ÚóÇÌöáöåö æóÂÌöáöåö) ÝóÇÕúÑöÝúåõ Úóäöøí æóÇÕúÑöÝúäöíú Úóäúåõ æóÇÞúÏõÑú áöíó ÇáúÎóíúÑó ÍóíúËõ ßóÇäó Ëõãøó ÃóÑúÖöäöíú Èöåö.

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu. Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya, kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan akibatnya kepada diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘...di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.’” [8]

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata, ‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan meminangmu.’’ Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. [9] Lalu turunlah ayat Al-Qur'an [10] dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” [11]

Imam an-Nasa’i rahimahullaah memberikan bab terhadap hadits ini dengan judul Shalaatul Marhidza Khuthibat wastikhaaratuha Rabbaha (Seorang Wanita Shalat Istikharah ketika Dipinang).”

Fawaaid (Faedah-Faedah) Yang Berkaitan Dengan Istikharah:1. Shalat Istikharah hukumnya sunnah.2. Do’a Istikharah dapat dilakukan setelah shalat Tahiyyatul Masjid, shalat sunnah Rawatib, shalat Dhuha, atau shalat malam.3. Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan.4. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah.5. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya. [12]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5142) dan Muslim (no. 1412), dari Shahabat Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Lafazh ini milik al-Bukhari.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (III/334, 360), Abu Dawud (no. 2082) dan al-Hakim (II/165), dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.

[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1087), an-Nasa-i (VI/69-70), ad-Darimi (II/134) dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).[4]. Lihat pembahasan masalah ini dalam Syarhus Sunnah (IX/17) oleh Imam al-Baghawi, Syarh Muslim (IX/210) oleh Imam an-Nawawi, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/97-208, no. 95-98) oleh Syaikh al-Albani, al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah (V/34-36) oleh Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awayisyah dan Fiqhun Nazhar (hal. 82-89).[5]. Hadits hasan lighairihi: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1085). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1022).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5122) dan an-Nasa-i (VI/77-78). Lihat Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 3047).[7]. Al-Insyiraah fii Aadabin Nikaah (hal. 22-23) oleh Syaikh Abu Ishaq al-Khuwaini, Jaami’ Ahkaamin Nisaa'(III/216) oleh Musthafa al-‘Adawi dan Adabul Khithbah waz Zifaaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 21-22) oleh ‘Amr ‘Abdul Mun’im Salim.[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1162), Abu Dawud (no. 1538), at-Tirmidzi (no. 480), an-Nasa-i (VI/80), Ibnu Majah (no. 1383), Ahmad (III/334), al-Baihaqi (III/52) dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma.[9]. Yaitu mushalla tempat shalat di rumahnya.[10]. Yaitu surat al-Ahzaab ayat 37. Allah telah menikahkan Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab binti Jahsyi melalui ayat ini.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1428 (89)), an-Nasa-i (VI/79), dari Shahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu.[12]. Jaami’ Ahkaamin Nisaa' (III/218-222).

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : WALIMAH

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

3. WalimahWalimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...Ãóæúáöãú æóáóæú ÈöÔóÇÉò.

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÔóÑøõ ÇáØøóÚóÇãö ØóÚóÇãõ ÇáúæóáöíúãóÉö¡ íõÏúÚóì ÅöáóíúåóÇ ÇúáÃóÛúäöíóÇÁõ æíõÊúÑóßõ ÇáúãóÓóÇßöíúäõ¡ Ýóãóäú áóãú íóÃúÊö ÇáÏøóÚúæóÉó ÝóÞóÏú ÚóÕóì Çááåó æóÑóÓõæúáóåõ.

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-

Page 3: Kado Pra Nikah

orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó ÊõÕóÇÍöÈú ÅöáÇøó ãõÄúãöäðÇ æóáÇó íóÃúßõáú ØóÚóÇãóßó ÅöáÇøó ÊóÞöíøñ.

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ÇáúæóáöíúãóÉö ÝóáúíóÃúÊöåóÇ.

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ØóÚóÇãò ÝóáúíõÌöÈú¡ ÝóÅöäú ßóÇäó ãõÝúØöÑðÇ ÝóáúíóØúÚóãú¡ æóÅöäú ßóÇäó ÕóÇÆöãðÇ ÝóáúíõÕóáöø. íóÚúäöì ÇóáÏøõÚóÇÁó.

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’

Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

Çóááøóåõãøó ÇÛúÝöÑú áóåõãú¡ æóÇÑúÍóãúåõãú¡ æóÈóÇöÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú.

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú¡ æóÇÛúÝöÑú áóåõã¡ú æóÇÑúÍóãúåõãú.

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÃóØúÚöãú ãóäú ÃóØúÚóãóäöí¡ æóÇÓúÞö ãóäú ÓóÞóÇäöí.

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

ÃóÝúØóÑó ÚöäúÏóßõãõ ÇáÕøóÇÆöãõæúäó¡ æóÃóßóáó ØóÚóÇãóßõãõ ÇúáÃóÈúÑóÇÑõ¡ æóÕóáøóÊú Úóáóíúßõãõ ÇáúãóáÇóÆößóÉõ.

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

ÈóÇÑóßó Çááåõ áóßó æóÈóÇÑóßó Úóáóíúßó æóÌóãóÚó ÈóíúäóßõãóÇ Ýöí ÎóíúÑò.

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÝóÕúáõ ãóÇ Èóíúäó ÇáúÍóáÇóáö æóÇáúÍóÑóÇãö ÇáÏøõÝøõ æóÇáÕøóæúÊõ Ýöí ÇáäöøßóÇÍö.

Page 4: Kado Pra Nikah

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

íóÇ ÚóÇÆöÔóÉõ¡ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú áóåúæñ¿ ÝóÅöäøó ÇúáÃóäúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ Çááøóåúæõ.

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

ÃóÊóíúäóÇßõÜãú ÃóÊóÜíúäóÇßõÜãú ÝóÍóÜíøõæúäóÇ äõÍóíöøíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáÐøóåóÈõ ÇúáÃóÍúÜãóÑõ ãóÇ ÍóáøóÊú ÈöæóÇÏöíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáúÍöäúØóÉõ ÇáÓøóãúÜÑóÇÁõ ãóÇ ÓóãöäóÊú ÚóÐóÇÑöíúßõãú

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalianHormatilah kami, maka kami hormati kalianSeandainya bukan karena emas merahNiscaya kampung kalian tidaklah mempesonaSeandainya bukan gandum berwarna coklatNiscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÚúáöäõæÇ ÇáäöøßóÇÍó.

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.

[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus Salam, th. 1423 H.[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : AQAD NIKAH

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

2. Aqad NikahDalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai2. Izin dari wali3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)4. Mahar

Page 5: Kado Pra Nikah

5. Ijab Qabul

• WaliYang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóíøõãóÇ ÇãúÑóÃóÉò äóßóÍóÊú ÈöÛóíúÑö ÅöÐúäö æóáöíöøåóÇ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóäößóÇÍõåóÇ ÈóÇØöáñ¡ ÝóÅöäú ÏóÎóáó ÈöåóÇ ÝóáóåóÇ ÇáúãóåúÑõ ÈöãóÇ ÇÓúÊóÍóáøó ãöäú ÝóÑúÌöåóÇ¡ ÝóÅöäö ÇÔúÊóÌóÑõæúÇ ÝóÇáÓøõáúØóÇäõ æóáöíøõ ãóäú áÇó æóáöíøó áóåõ.

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø.

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø æóÔóÇåöÏóì ÚóÏúáò.

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila

telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

ÒóæøóÌúÊõ ÃõÎúÊðÇ áöíú ãöäú ÑóÌõáò ÝóØóáøóÞóåóÇ ÍóÊøóì ÅöÐóÇ ÇäúÞóÖóÊú ÚöÏøóÊõåóÇ ÌóÇÁó íóÎúØõÈõåóÇ¡ ÝóÞõáúÊõ áóåõ: ÒóæøóÌúÊõßó æóÝóÑóÔúÊõßó æóÃóßúÑóãúÊõßó ÝóØóáøóÞúÊóåóÇ Ëõãøó ÌöÆúÊó ÊóÎúØõÈõåóÇ¿ áÇó¡ æóÇááåö áÇó ÊóÚõæúÏõ Åöáóíúßó ÃóÈóÏðÇ! æóßóÇäó ÑóÌõáÇð áÇó ÈóÃúÓó Èöåö æóßóÇäóÊö ÇáúãóÑúÃóÉõ ÊõÑöíúÏõ Ãóäú ÊóÑúÌöÚó Åöáóíúåö. ÝóÃóäúÒóáó Çááåõ åóÐöåö ÇúáÂíóÉö ÝóÞõáúÊõ: ÇúáÂäó ÃóÝúÚóáõ íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö. ÞóÇáó: ÝóÒóæøóÌóåóÇ ÅöíøóÇåõ.

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Page 6: Kado Pra Nikah

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

áÇó äößóÇÍó ÅöáÇøó Èöæóáöíòø.

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum PernikahanApabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

áÇó ÊõäúßóÍõ ÇúáÃóíöøãõ ÍóÊøóì ÊõÓúÊóÃúãóÑó æóáÇó ÊõäúßóÍõ ÇáúÈößúÑõ ÍóÊøóì ÊõÓúÊóÃúÐóäó. ÞóÇáõæúÇ: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö¡ æóßóíúÝó ÅöÐúäõåóÇ¿ ÞóÇáó: Ãóäú ÊóÓúßõÊó.

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12]

• Mahar“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

Åöäøó ãöäú íõãúäö ÇáúãóÑúÃóÉö ÊóíúÓöíúÑõ ÎöØúÈóÊöåóÇ æóÊóíúÓöíúÑõ ÕóÏóÇÞöåóÇ æóÊóíúÓöíúÑõ ÑóÍöãöåóÇ.

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÎóíúÑõ ÇáäöøßóÇÍö ÃóíúÓóÑõåõ.

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah NikahMenurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Åöäøó ÇáúÍóãúÏó öááåö¡ äóÍúãóÏõåõ æóäóÓúÊóÚöíúäõåõ æóäóÓúÊóÛúÝöÑõåõ¡ æóäóÚõæúÐõ ÈöÇááåö ãöäú ÔõÑõæúÑö ÃóäúÝõÓöäóÇ æóãöäú ÓóíöøÆóÇÊö ÃóÚúãóÇáöäóÇ¡ ãóäú íóåúÏöåö Çááåõ ÝóáÇó ãõÖöáøó áóåõ¡ æóãóäú íõÖúáöáú ÝóáÇó åóÇÏöíó áóåõ¡ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäú áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåõ æóÍúÏóåõ áÇó ÔóÑöíúßó áóåõ¡ æóÃóÔúåóÏõ Ãóäøó ãõÍóãøóÏðÇ ÚóÈúÏõåõ æóÑóÓõæúáõåõ.

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

Page 7: Kado Pra Nikah

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.[2]. Fat-hul Baari (IX/187).[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.[7]. Fat-hul Baari (IX/187).[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.[9]. l-Muhalla (IX/451).[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid. [11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud

radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih. Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ßõáøõ ÎõØúÈóÉò áóíúÓó ÝöíúåóÇ ÊóÔóåøõÏñ Ýóåöíó ßóÇáúíóÏö ÇáúÌóÐúãóÇÁö.

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya...” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Page 8: Kado Pra Nikah

yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : WALIMAH

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

3. WalimahWalimatul 'urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...Ãóæúáöãú æóáóæú ÈöÔóÇÉò.

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÔóÑøõ ÇáØøóÚóÇãö ØóÚóÇãõ ÇáúæóáöíúãóÉö¡ íõÏúÚóì ÅöáóíúåóÇ ÇúáÃóÛúäöíóÇÁõ æíõÊúÑóßõ ÇáúãóÓóÇßöíúäõ¡ Ýóãóäú áóãú íóÃúÊö ÇáÏøóÚúæóÉó ÝóÞóÏú ÚóÕóì Çááåó æóÑóÓõæúáóåõ.

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

áÇó ÊõÕóÇÍöÈú ÅöáÇøó ãõÄúãöäðÇ æóáÇó íóÃúßõáú ØóÚóÇãóßó ÅöáÇøó ÊóÞöíøñ.

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan

makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ÇáúæóáöíúãóÉö ÝóáúíóÃúÊöåóÇ.

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ÅöÐóÇ ÏõÚöíó ÃóÍóÏõßõãú Åöáóì ØóÚóÇãò ÝóáúíõÌöÈú¡ ÝóÅöäú ßóÇäó ãõÝúØöÑðÇ ÝóáúíóØúÚóãú¡ æóÅöäú ßóÇäó ÕóÇÆöãðÇ ÝóáúíõÕóáöø. íóÚúäöì ÇóáÏøõÚóÇÁó.

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

Çóááøóåõãøó ÇÛúÝöÑú áóåõãú¡ æóÇÑúÍóãúåõãú¡ æóÈóÇöÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú.

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau

Page 9: Kado Pra Nikah

karuniakan kepada mereka” [10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áóåõãú ÝöíúãóÇ ÑóÒóÞúÊóåõãú¡ æóÇÛúÝöÑú áóåõã¡ú æóÇÑúÍóãúåõãú.

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

Çóááøóåõãøó ÃóØúÚöãú ãóäú ÃóØúÚóãóäöí¡ æóÇÓúÞö ãóäú ÓóÞóÇäöí.

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

ÃóÝúØóÑó ÚöäúÏóßõãõ ÇáÕøóÇÆöãõæúäó¡ æóÃóßóáó ØóÚóÇãóßõãõ ÇúáÃóÈúÑóÇÑõ¡ æóÕóáøóÊú Úóáóíúßõãõ ÇáúãóáÇóÆößóÉõ.

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

ÈóÇÑóßó Çááåõ áóßó æóÈóÇÑóßó Úóáóíúßó æóÌóãóÚó ÈóíúäóßõãóÇ Ýöí ÎóíúÑò.

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÝóÕúáõ ãóÇ Èóíúäó ÇáúÍóáÇóáö æóÇáúÍóÑóÇãö ÇáÏøõÝøõ æóÇáÕøóæúÊõ Ýöí ÇáäöøßóÇÍö.

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

íóÇ ÚóÇÆöÔóÉõ¡ ãóÇ ßóÇäó ãóÚóßõãú áóåúæñ¿ ÝóÅöäøó ÇúáÃóäúÕóÇÑó íõÚúÌöÈõåõãõ

Çááøóåúæõ.

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

ÃóÊóíúäóÇßõÜãú ÃóÊóÜíúäóÇßõÜãú ÝóÍóÜíøõæúäóÇ äõÍóíöøíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáÐøóåóÈõ ÇúáÃóÍúÜãóÑõ ãóÇ ÍóáøóÊú ÈöæóÇÏöíúßõÜãúáóæú áÇó ÇáúÍöäúØóÉõ ÇáÓøóãúÜÑóÇÁõ ãóÇ ÓóãöäóÊú ÚóÐóÇÑöíúßõãú

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalianHormatilah kami, maka kami hormati kalianSeandainya bukan karena emas merahNiscaya kampung kalian tidaklah mempesonaSeandainya bukan gandum berwarna coklatNiscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÚúáöäõæÇ ÇáäöøßóÇÍó.

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).

Page 10: Kado Pra Nikah

[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus Salam, th. 1423 H.[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM : MALAM PERTAMA DAN ADAB BERSENGGAMA

OlehAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

4. Malam Pertama Dan Adab BersenggamaSaat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pertama: Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÊóÒóæøóÌó ÃóÍóÏõßõãú ÇãúÑóÃóÉð Ãóæö ÇÔúÊóÑóì ÎóÇÏöãðÇ ÝóáúíóÃúÎõÐú ÈöäóÇÕöíóÊöåóÇ (æóáúíõÓóãöø Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó) æóáúíóÏúÚõ áóåõ ÈöÇáúÈóÑóßóÉö¡ æóáúíóÞõáú: Çóááøóåõãøó Åöäöøí ÃóÓúÃóáõßó ãöäú ÎóíúÑöåóÇ æóÎóíúÑö ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö¡ æóÃóÚõæúÐõ Èößó ãöäú ÔóÑöøåóÇ æóÔóÑöø ãóÇ ÌóÈóáúÊóåóÇ Úóáóíúåö.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’” [1]

Kedua: Hendaknya ia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at bersama isterinya.

Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata: “Hal itu telah ada sandarannya dari ulama Salaf (Shahabat dan Tabi’in).

1. Hadits dari Abu Sa’id maula (budak yang telah dimerdekakan) Abu Usaid.Ia berkata: “Aku menikah ketika aku masih seorang budak. Ketika itu aku mengundang beberapa orang Shahabat Nabi, di antaranya ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Dzarr dan Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhum. Lalu tibalah waktu shalat, Abu Dzarr bergegas untuk mengimami shalat. Tetapi mereka berkata: ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzarr) berkata: ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka shalat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku, ‘Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua shalat dua raka’at. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kamu berdua...!’”[2]

2. Hadits dari Abu Waail.Ia berkata, “Seseorang datang kepada ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, lalu ia berkata, ‘Aku menikah dengan seorang gadis, aku khawatir dia membenciku.’ ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya cinta berasal dari Allah, sedangkan kebencian berasal dari syaitan, untuk membenci apa-apa yang dihalalkan Allah. Jika isterimu datang kepadamu, maka perintahkanlah untuk melaksanakan shalat dua raka’at di belakangmu. Lalu ucapkanlah (berdo’alah):

Çóááøóåõãøó ÈóÇÑößú áöí Ýöí Ãóåúáöíú¡ æóÈóÇÑößú áóåõãú Ýöíøó¡ Çóááøóåõãøó ÇÑúÒõÞúäöí ãöäúåõãú¡ æóÇÑúÒõÞúåõãú ãöäöøí¡ Çóááøóåõãøó ÇÌúãóÚú ÈóíúäóäóÇ ãóÇ ÌóãóÚúÊó Åöáóì ÎóíúÑò¡ æóÝóÑöøÞú ÈóíúäóäóÇ ÅöÐóÇ ÝóÑøóÞúÊó Åöáóì ÎóíúÑò.

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rizki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rizki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.” [3]

Ketiga: Bercumbu rayu dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Misalnya dengan memberinya segelas air minum atau yang lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits Asma’ binti Yazid binti as-Sakan radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “Saya merias ‘Aisyah untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu saya datangi dan saya panggil beliau supaya menghadiahkan sesuatu kepada ‘Aisyah. Beliau pun datang lalu duduk di samping ‘Aisyah. Ketika itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disodori segelas susu. Setelah beliau minum, gelas itu beliau sodorkan kepada ‘Aisyah. Tetapi ‘Aisyah menundukkan kepalanya dan malu-malu.” ‘Asma binti Yazid berkata: “Aku menegur ‘Aisyah dan berkata kepadanya, ‘Ambillah gelas itu dari tangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam!’ Akhirnya ‘Aisyah pun meraih gelas itu dan meminum isinya sedikit.” [4]

Keempat: Berdo’a sebelum jima’ (bersenggama), yaitu ketika seorang suami hendak menggauli isterinya, hendaklah ia membaca do’a:

Page 11: Kado Pra Nikah

ÈöÓúãö Çááåö¡ Çóááøóåõãøó ÌóäöøÈúäóÇ ÇáÔøóíúØóÇäó æóÌóäöøÈö ÇáÔøóíúØóÇäó ãóÇ ÑóÒóÞúÊóäóÇ.

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah aku dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang akan Engkau karuniakan kepada kami.”

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka, apabila Allah menetapkan lahirnya seorang anak dari hubungan antara keduanya, niscaya syaitan tidak akan membahayakannya selama-lamanya.” [5]

Kelima: Suami boleh menggauli isterinya dengan cara bagaimana pun yang disukainya asalkan pada kemaluannya.

Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangi-lah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” [Al-Baqarah : 223]

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Pernah suatu ketika ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, celaka saya.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu celaka?’ ‘Umar menjawab, ‘Saya membalikkan pelana saya tadi malam.’ [6] Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar apa pun, hingga turunlah ayat kepada beliau:

"Isteri-Isterimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai...” [Al-Baqarah : 223]

Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÃóÞúÈöáú æóÃóÏúÈöÑú¡ æóÇÊøóÞö ÇáÏøõÈõÑó æóÇáúÍóíúÖóÉó.

"Setubuhilah isterimu dari arah depan atau dari arah belakang, tetapi hindarilah (jangan engkau menyetubuhinya) di dubur dan ketika sedang haidh". [7]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

... ãõÞúÈöáóÉñ ãõÏúÈöÑóÉñ ÅöÐóÇ ßóÇäóÊú Ýöí ÇáúÝóÑúÌö.

"Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya".[8]

Seorang Suami Dianjurkan Mencampuri Isterinya Kapan Waktu Saja• Apabila suami telah melepaskan hajat biologisnya, janganlah ia tergesa-gesa bangkit hingga isterinya melepaskan hajatnya juga. Sebab dengan cara seperti itu terbukti dapat melanggengkan keharmonisan dan kasih sayang antara keduanya. Apabila suami mampu dan ingin mengulangi jima’ sekali lagi, maka hendaknya ia berwudhu’ terlebih dahulu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÅöÐóÇ ÃóÊóì ÃóÍóÏõßõãú Ãóåúáóåõ Ëõãøó ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÚõæúÏó ÝóáúíóÊóæóÖøóÃú.

"Jika seseorang diantara kalian menggauli isterinya kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah ia berwudhu’ terlebih dahulu.” [9]

• Yang afdhal (lebih utama) adalah mandi terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Rafi' radhi-yallaahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir isteri-isterinya dalam satu malam. Beliau mandi di rumah fulanah dan rumah fulanah. Abu Rafi' berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa tidak dengan sekali mandi saja?” Beliau menjawab.

åóÐóÇ ÃóÒúßóì æóÃóØúíóÈõ æóÃóØúåóÑõ.

"Ini lebih bersih, lebih baik dan lebih suci.” [10]

• Seorang suami dibolehkan jima’ (mencampuri) isterinya kapan waktu saja yang ia kehendaki; pagi, siang, atau malam. Bahkan, apabila seorang suami melihat wanita yang mengagumkannya, hendaknya ia mendatangi isterinya. Hal ini berdasarkan riwayat bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita yang mengagumkan beliau. Kemudian beliau mendatangi isterinya -yaitu Zainab radhiyallaahu ‘anha- yang sedang membuat adonan roti. Lalu beliau melakukan hajatnya (berjima’ dengan isterinya). Kemu-dian beliau bersabda,

Åöäøó ÇáúãóÑúÃóÉó ÊõÞúÈöáõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö ÔóíúØóÇäò æóÊõÏúÈöÑõ Ýöíú ÕõæúÑóÉö ÔóíúØóÇäò ÝóÅöÐóÇ ÃóÈúÕóÑó ÃóÍóÏõßõãõ ÇãúÑóÃóÉð ÝóáúíóÃúÊö Ãóåúáóåõ¡ ÝóÅöäøó Ðóáößó íóÑõÏøõ ãóÇ Ýöíú äóÝúÓöåö.

"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa syaitan dan membelakangi dalam rupa syaitan. [11] Maka, apabila seseorang dari kalian melihat seorang wanita (yang mengagumkan), hendaklah ia mendatangi isterinya. Karena yang demikian itu dapat menolak apa yang ada di dalam hatinya.” [12]

Imam an-Nawawi rahimahullaah berkata : “ Dianjurkan bagi siapa yang melihat wanita hingga syahwatnya tergerak agar segera mendatangi isterinya - atau budak perempuan yang dimilikinya -kemudian menggaulinya untuk meredakan syahwatnya juga agar jiwanya menjadi tenang.” [13]

Akan tetapi, ketahuilah saudara yang budiman, bahwasanya menahan pandangan itu wajib hukumnya, karena hadits tersebut berkenaan dan berlaku untuk pandangan secara tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman:

"“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” .[An-Nuur : 30]

Dari Abu Buraidah, dari ayahnya radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepada ‘Ali.

íóÇ Úóáöíøõ¡ áÇó ÊõÊúÈöÚö ÇáäøóÙúÑóÉó ÇáäøóÙúÑóÉó ÝóÅöäøó áóßó ÇúáÃõæúáóì æóáóíúÓóÊú áóßó ÇúáÂÎöÑóÉõ.

"Wahai ‘Ali, janganlah engkau mengikuti satu pandangan pandangan lainnya karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu”. [14]

Page 12: Kado Pra Nikah

• Haram menyetubuhi isteri pada duburnya dan haram menyetubuhi isteri ketika ia sedang haidh/ nifas.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

"Artinya : Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haidh. Katakanlah, ‘Itu adalah sesuatu yang kotor.’ Karena itu jauhilah [15] isteri pada waktu haidh; dan janganlah kamu dekati sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang bertaubat dan mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]

Juga sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóäú ÃóÊóì ÍóÇÆöÖðÇ Ãóæö ÇãúÑóÃóÉð Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ Ãóæú ßóÇåöäðÇ: ÝóÞóÏú ßóÝóÑó ÈöãóÇ ÃõäúÒöáó Úóáóì ãõÍóãøóÏò.

"Barangsiapa yang menggauli isterinya yang sedang haidh, atau menggaulinya pada duburnya, atau mendatangi dukun, maka ia telah kafir terhadap ajaran yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” [16]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ãóáúÚõæúäñ ãóäú ÃóÊóì ÇãúÑóÃóÊóåõ Ýöí ÏõÈõÑöåóÇ.

"Dilaknat orang yang menyetubuhi isterinya pada duburnya.” [17]

• Kaffarat bagi suami yang menggauli isterinya yang sedang haidh.Syaikh al-Albani rahimahullaah berkata, “Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang menggauli isterinya yang sedang haidh. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

íóÊóÕóÏøóÞó ÈöÏöíúäóÇÑò Ãóæú äöÕúÝö ÏöíúäóÇÑò.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar.’”[18]

• Apabila seorang suami ingin bercumbu dengan isterinya yang sedang haidh, ia boleh bercumbu dengannya selain pada kemaluannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

ÇöÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÇáäöøßóÇÍ.

"Lakukanlah apa saja kecuali nikah (jima'/ bersetubuh).” [19]

• Apabila suami atau isteri ingin makan atau tidur setelah jima’ (bercampur), hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu' terlebih dahulu, serta mencuci kedua tangannya. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ßóÇäó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÊóæóÖøóÃó æõÖõæúÁóåõ áöáÕøóáÇóÉö æóÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóÃúßõáó Ãóæú íóÔúÑóÈó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó íóÏóíúåö Ëõãøó íóÃúßõáõ æóíóÔúÑóÈõ.

“Apabila beliau hendak tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat. Dan apabila beliau hendak makan atau minum dalam keadaan junub, maka beliau mencuci kedua tangannya kemudian beliau makan dan minum.” [20]

Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata,

ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ÃóÑóÇÏó Ãóäú íóäóÇãó æóåõæó ÌõäõÈñ ÛóÓóáó ÝóÑúÌóåõ æóÊóæóÖøóÃó áöáÕøóáÇóÉö.

"Apabila Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur dalam keadaan junub, beliau mencuci kemaluannya dan berwudhu’ (seperti wudhu') untuk shalat.” [21]

• Sebaiknya tidak bersenggama dalam keadaan sangat lapar atau dalam keadaan sangat kenyang, karena dapat membahayakan kesehatan.

• Suami isteri dibolehkan mandi bersama dalam satu tempat, dan suami isteri dibolehkan saling melihat aurat masing-masing.

Adapun riwayat dari ‘Aisyah yang mengatakan bahwa ‘Aisyah tidak pernah melihat aurat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah riwayat yang bathil, karena di dalam sanadnya ada seorang pendusta. [22]

• Haram hukumnya menyebarkan rahasia rumah tangga dan hubungan suami isteri.

Setiap suami maupun isteri dilarang menyebarkan rahasia rumah tangga dan rahasia ranjang mereka. Hal ini dilarang oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, orang yang menyebarkan rahasia hubungan suami isteri adalah orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Åöäøó ãöäú ÃóÔóÑöø ÇáäøóÇÓö ÚöäúÏó Çááåö ãóäúÒöáóÉð íóæúãó ÇáúÞöíóÇãóÉö ÇáÑøóÌõáõ íõÝúÖöì Åöáóì ÇãúÑóÃóÊöåö æóÊõÝúÖöì Åöáóíúåö Ëõãøó íóäúÔõÑõ ÓöÑøóåóÇ.

"Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya kemudian ia menyebarkan rahasia isterinya.” [23]

Dalam hadits lain yang shahih, disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian lakukan (menceritakan hubungan suami isteri). Perumpamaannya seperti syaitan laki-laki yang berjumpa dengan syaitan perempuan di jalan lalu ia menyetubuhinya (di tengah jalan) dilihat oleh orang banyak…” [24]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata, “Apa yang dilakukan sebagian wanita berupa membeberkan maslah rumah tangga dan kehidupan suami isteri kepada karib kerabat atau kawan adalah perkara yang diharamkan. Tidak halal seorang isteri menyebarkan rahasia rumah tangga atau keadaannya bersama suaminya kepada seseorang. Allah Ta’ala berfirman:

"Artinya : “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” [An-Nisaa' : 34]

Page 13: Kado Pra Nikah

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Kiamat adalah laki-laki yang bersenggama dengan isterinya dan wanita yang bersenggama dengan suaminya, kemudian ia menyebarkan rahasia pasangannya". [25]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]__________Foote Note [1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2160), Ibnu Majah (no. 1918), al-Hakim (II/185) dan ia menshahihkannya, juga al-Baihaqi (VII/148), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 92-93)[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (X/159, no. 30230 dan ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191-192). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 94-97), cet. Darus Salam, th. 1423 H.[3]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (VI/191, no. 10460, 10461).[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/438, 452, 453, 458). Lihat Adabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 91-92), cet. Darus Salam, th. 1423 H.[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 141, 3271, 3283, 5165), Muslim (no. 1434), Abu Dawud (no. 2161), at-Tirmidzi (no. 1092), ad-Darimi (II/145), Ibnu Majah (no. 1919), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 144, 145), Ahmad (I/216, 217, 220, 243, 283, 286) dan lainnya, dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.[6]. Pelana adalah kata kiasan untuk isteri. Yang dimaksud ‘Umar bin al-Khaththab adalah menyetubuhi isteri pada kemaluannya tetapi dari arah belakang. Hal ini karena menurut kebiasaan, suami yang menyetubuhi isterinya berada di atas, yaitu menunggangi isterinya dari arah depan. Jadi, karena ‘Umar menunggangi isterinya dari arah belakang, maka dia menggunakan kiasan “membalik pelana”. (Lihat an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits (II/209))[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/297), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 91) dan dalam Tafsiir an-Nasa-i (I/256, no. 60), at-Tirmidzi (no. 2980), Ibnu Hibban (no. 1721-al-Mawarid) dan (no. 4190-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (no. 12317) dan al-Baihaqi (VII/198). At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Hadits ini dishahihkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VIII/291).[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Aatsaar (III/41) dan al-Baihaqi (VII/195). Asalnya hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 4528), Muslim (no. 1435) dan lainnya, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat al-Insyirah fii Adabin Nikah (hal. 48) oleh Abu Ishaq al-Huwaini.[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (308 (27)) dan Ahmad (III/28), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.[10]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 219), an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 149), dan yang lainnya. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud (no. 216) dan Adabuz Zifaf (hal. 107-108).[11]. Maksudnya isyarat dalam mengajak kepada hawa nafsu.[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1403), at-Tirmidzi (no. 1158), Adu Dawud (no. 2151), al-Baihaqi (VII/90), Ahmad (III/330, 341, 348, 395) dan lafazh ini miliknya, dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (I/470-471).[13]. Syarah Shahiih Muslim (IX/178).[14]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2777) dan Abu Dawud (no. 2149).[15]. Jangan bercampur dengan isteri pada waktu haidh.[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3904), at-Tirmidzi (no. 135), Ibnu Majah (no. 639), ad-Darimi (I/259), Ahmad (II/408, 476), al-Baihaqi (VII/198), an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 130, 131), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dari ‘Uqbah bin ‘Amr dan dikuatkan dengan

hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2162) dan Ahmad (II/444 dan 479). Lihat Adaabuz Zifaf fis Sunnah al-Muthahharah (hal. 105).[18]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 264), an-Nasa-i (I/153), at-Tirmidzi (no. 136), Ibnu Majah (no. 640), Ahmad (I/172), dishahihkan oleh al-Hakim (I/172) dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 122)[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 302), Abu Dawud (no. 257), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 123).[20]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 222, 223), an-Nasa-i (I/139), Ibnu Majah (no. 584, 593) dan Ahmad (VI/102-103, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 390) dan Shahiihul Jaami’ (no. 4659).[21]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 288), Muslim (no. 306 (25)), Abu Dawud (no. 221), an-Nasa-i (I/140). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 4660).[22]. Lihat Adabuz Zifaf hal. 109.[23]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (no. 17732), Muslim (no. 1437), Abu Dawud (no. 4870), Ahmad (III/69) dan lainnya. Hadits ini ada kelemahannya karena dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah bernama ‘Umar bin Hamzah al-‘Amry. Rawi ini dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan an-Nasa-i. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Hadits-haditsnya munkar.” Lihat kitab Mizanul I’tidal (III/192), juga Adabuz Zifaf (hal. 142). Makna hadits ini semakna dengan hadits-hadits lain yang shahih yang melarang menceritakan rahasia hubungan suami isteri.[24]. Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/456-457).[25]. Fataawaa al-Islaamiyyah (III/211-212).

IHARAMKAN MENGGAULI ISTERI YANG SEDANG HAIDH

OlehAbu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq

[a]. Diharamkan mencampuri isteri yang sedang haidh, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu men-jauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [ Al-Baqarah : 222]

[b]. Adapun berdasarkan haditsMuslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya kaum Yahudi, jika salah seorang isteri mereka sedang haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak tinggal bersama mereka dalam satu rumah. Kemudian para Sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah menurunkan ayat.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: ‘Haidh itu adalah suatu kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh… ” [Al-Baqarah: 222], hingga akhir ayat.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ÇÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò¡ ÅöáÇøó ÇáäøößóÇÍó.

"Lakukanlah segala sesuatu terhadapnya kecuali menyetubuhinya."

Ketika hal itu sampai kepada kaum Yahudi, maka mereka mengatakan, "Orang ini tidak ingin membiarkan sedikit pun dari perkara kita kecuali menyelisihi kita dalam perkara

Page 14: Kado Pra Nikah

tersebut." Lalu datanglah Usaid bin Hudhair dan ‘Abbad bin Bisyr seraya mengatakan: "Wahai Rasulullah, kaum Yahudi mengatakan demikian dan demikian; apakah kita tidak sekalian saja mencampuri mereka (saat sedang haidh). Mendengar hal itu wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah, sehingga kami menyangka bahwa beliau telah marah terhadap keduanya. Ketika kami keluar, mereka berdua telah disambut hadiah susu yang diberikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengikuti di belakang mereka dan memberi mereka minum, sehingga mereka mengetahui bahwa beliau tidak marah terhadap mereka. [1]

[c]. Suami boleh mencumbuinya saat sedang haidh selain kemaluannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Abdullah bin Syaddad, ia mengatakan: “Aku mendengar Maimunah Radhiyallahu ‘anha berkata: ‘Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mencumbui seseorang dari isterinya, maka beliau memerintahkannya agar memakai kain [2] ketika sedang haidh"[3]

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Boleh menikmati apa yang berada di atas kain dan apa yang ada di bawahnya. Hanya saja wanita harus mengikatkan kain sarung, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha agar mengikatkan kain sarung lalu beliau menggumulinya pada saat ia sedang haidh. Beliau memerintahkan untuk mengikatkan kain sarung agar apa yang tidak sukainya tidak terlihat darinya, yaitu bekas darah. Jika suami berkeinginan untuk menikmatinya, misalnya di sekitar paha, maka tidak mengapa.

Jika ditanyakan: ‘Bagaimana anda menjawab sabda Nabi , Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, ‘Apa yang dihalalkan bagi laki-laki terhadap isterinya saat sedang haidh?’ Beliau menjawab

ãóÇ ÝóæúÞó ÇúáÅöÒóÇÑö.

"Apa yang berada di atas kain sarung."[4]

Ini menunjukkan bahwa apa yang dinikmati hanyalah yang di atas kain sarung saja.

Jawaban atas hal ini ialah sebagai berikut:(1). Ini dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhi.(2). Ini kemungkinan berlaku bagi orang yang tidak dapat menahan dirinya; karena sendainya dia dapat menikmati sekitar kedua pahanya, misalnya, maka dia tidak tahan lalu menyetubuhi kemaluannya, baik karena kurangnya (pengetahuan) agamanya atau karena syahwatnya yang kuat.(3). Ini diberlakukan menurut keadaan yang berbeda-beda. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ÇöÕúäóÚõæúÇ ßõáøó ÔóíúÁò ÅöáÇøó ÇáäøößóÇÍó.

"Lakukanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh."[5]

Ini berlaku bagi orang yang mampu menguasai dirinya. Sedangkan sabda beliau/

ÝóãóÇ ÝóæúÞó ÇúáÅöÒóÇÑö.

"Apa yang berada di atas kain." [6]

Ini untuk orang yang dikhawatirkan dirinya akan terjerumus ke dalam larangan. Dan dianjurkan bagi wanita untuk mandi janabah. Jika seseorang mencumbui isterinya pada

selain kemaluannya, maka ia tidak wajib mandi kecuali jika keluar sperma.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: "Sebagian ulama yang ahli mengenai al-Qur’an berkata mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:ÝóÇÚúÊóÒöáõæÇ ÇáäøöÓóÇÁó Ýöí ÇáúãóÍöíúÖ 'Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.' Yakni pada tempat keluarnya haidh."

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam komentarnya atas Sunan Abi Dawud: "Ayat ini mengandung arti menjauhi semua badan wanita, tetapi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan supaya menjauhi apa yang di bawah kain sarung dan membolehkan apa yang di atasnya."

KAFFARAT (DENDA) ORANG YANG MENCAMPURI ISTERI YANG SEDANG HAIDH.Ash-habus Sunan meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mencampuri isterinya saat sedang haidh, maka beliau menjawab.

íóÊóÕóÏøóÞó ÈöÏöíúäóÇÑò ÃóæúäöÕúÝö ÏöíúäóÇÑò.

"Hendaklah ia bershadaqah dengan satu dinar atau setengah dinar."[8]

Abu Dawud berkata: “Aku mendengar Ahmad di tanya tentang seseorang yang mendatangi isterinya saat sedang haidh. Ia menjawab: ‘Betapa bagusnya hadits ‘Abdul Hamid mengenai hal itu.’ Aku bertanya: 'Apakah engkau sependapat?' Ia menjawab: 'Ya, sesungguhnya itu hanyalah kaffarat (denda).' Aku bertanya: 'Satu dinar atau setengah dinar?' Ia menjawab: 'Sesukanya."[9]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang dikalahkan oleh hawa nafsunya lalu menyetubuhi wanita yang sedang haidh sebelum suci dari haidhnya, maka ia harus bershadaqah dengan setengah pound emas Inggris, kurang lebihnya atau seperempatnya."[10]

KAPAN DIBOLEHKAN MENCAMPURINYA SETELAH BERSIH?Jika wanita telah bersih dari haidhnya dan darah telah berhenti darinya, maka suami boleh mencampurinya setelah ia mencuci tempat keluarnya darah (kemaluan) dari darah tersebut saja, atau berwudhu’ atau mandi. Mana saja yang wanita melakukannya, maka suami boleh menggaulinya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Artinya : ... Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah : 222]. [11]

Adapun pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, maka dia mengatakan: “Jika ditanyakan: ‘Apakah boleh menyetubuhinya?’”

Jawabannya: Tidak boleh. Dalil atas hal ini ialah firman Allah Subhanahu wa ta’ala

"Artinya : ... Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu... " [Al-Baqarah : 222]

Apabila ditanyakan: “Jika seorang wanita menanggung janabah, (apakah) ia boleh dicampuri sebelum mandi. Demikian pula wanita ini (yang telah bersih dari haidhnya tetapi belum mandi)?

Page 15: Kado Pra Nikah

Jawaban: Ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Tetapi kita katakan bahwa yang dimaksud dengan bersuci di sini ialah bersuci dari hadats, dan ini tidak terjadi kecuali dengan mandi. Dalil atas hal itu ialah firman AllahSubhanahu wa Ta’ala

"Artinya :... Dan jika kamu junub, maka mandilah... " [Al-Maa-idah: 6]

Dan firman Allah.

"Artinya : ... Tetapi Dia hendak membersihkanmu... " [Al-Maa-idah: 6] [12]

Tetapi kita semua harus tahu bahwa suci itu mempunyai banyak arti, di antaranya.

[a]. Mencuci kemaluan dengan air; berdasarkan turunnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : .. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [ At-Taubah: 108]

Diriwayatkan secara shahih, bahwa ketika ayat ini turun, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Quba': “Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta’aala telah menyanjung kalian dengan baik mengenai bersuci dan mengenai masjid kalian ini. Lalu bagaimanakah cara bersuci yang biasa kalian lakukan?”

Mereka menjawab, "Demi Allah, wahai Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatu. Hanya saja kami mempunyai tetangga Yahudi, dan mereka biasa mencuci dubur mereka dari kotoran, maka kami pun mencuci sebagaimana mereka melakukannya." Beliau bersabda: "Itulah yang dimaksud. Oleh karena itu, tetaplah melakukannya." [13]

[b]. Kata tathahhur (bersuci) dipakai dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa seorang wanita bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mencuci haidh. Lalu beliau pun mengajarinya bagaimana ia bersuci, beliau bersabda: "Ambillah sepotong kain yang telah diberi minyak kesturi secukupnya lalu bersucilah dengannya." Ia bertanya: "Bagaimana aku bersuci?" Beliau menjawab: "Bersucilah dengannya!" Ia bertanya: "Bagaimana?" Beliau menjawab: "Subhaanallaah, bersucilah!" Lalu aku (‘Aisyah) menariknya kepadaku, dan mengatakan kepadanya, "Usapkanlah pada bekas darah."[14]

Jika hal itu sudah diketahui, maka sudah diketahui pula bahwa bersuci itu mencakup lebih dari satu makna. Di antara maknanya ialah mandi, beristinja dengan air dan mengelap bekas darah. Semua itu adalah bersuci (thahaarah).

Ibnu Hazm berkata: "Wudhu’ adalah bersuci, tanpa ada perbedaan pendapat, mencuci kemaluan dengan air juga bersuci, dan mencuci semua tubuh adalah bersuci. Dengan cara apa pun wanita -yang mendapati dirinya telah bersih dari haidhnya- bersuci, maka halal bagi suami -karena bersuci tersebut- untuk mencampurinya, wabillaahit taufiiq."[15]

Tetapi yang lebih hati-hati adalah pendapat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, yaitu dengan mandinya isteri terlebih dahulu sebelum suaminya mencampurinya, wallaahu a’lam.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]__________

Foote Note[1]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 2977) kitab Tafsiir al-Qur-aan, an-Nasa'i (no. 288) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 258) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 644) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 11945), ad-Darimi (no. 1053) kitab ath-Thahaarah.[2]. Menurut penulis ‘Aunul Ma’buud (6/148): “Yang dimaksud dengan hal itu, bahwa wanita mengikatkan kain yang dapat menutupi pusarnya dan apa yang di bawahnya hingga lututnya dan apa yang di bawahnya…, hadits ini menjadi argumen (dari) kalangan (orang-orang) yang berpendapat haramnya bersentuhan pada kulit yang di bawah kain.”[3]. HR. Al-Bukhari (no. 303) kitab al-Haidh, Muslim (no. 294) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 287) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 267) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 26279), ad-Darimi (no. 1046) kitab ath-Thahaarah.[4]. HR. Abu Dawud (no. 212) kitab ath-Thahaarah dari Hizam bin Hukaim, dari pamannya, at-Tirmidzi (no. 133) kitab ath-Thahaarah, dan ia menilainya sebagai hadits hasan gharib, dan dalam Nailul Authaar (I/277), dalam hadits tersebut terdapat dua perawi yang shaduq dan yang lainnya tsiqat.[5]. HR. Muslim (no. 302) kitab al-Haidh dari Anas.[6]. Lihat takhrij sebelumnya.[7]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni', Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (I/416-417).[8]. HR. At-Tirmidzi (no. 135) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 640) dan lihat al-Misykaah (no. 553), Shahiih Abi Dawud (no. 256) dan al-Irwaa' (no. 197).[9]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 123): "Abu Dawud mengatakannya dalam al-Masaa-il (hal. 26)."[10]. Aadaabuz Zifaaf (hal. 122).[11]. Ini adalah pendapat Syaikh al-Albani dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 125-127), dan ini juga pendapat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (X/81).[12]. Asy-Syarhul Mumti' 'alaa Zaadil Mustaqni' (I/418-419).[13]. Syaikh al-Albani mengatakan dalam Aadaabuz Zifaaf (hal. 128): "Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi.[14]. HR. Al-Bukhari (no. 314) kitab al-Haidh, Muslim (no. 332) kitab al-Haidh, an-Nasa'i (no. 251) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no. 314) kitab ath-Thahaarah, Ibnu Majah (no. 642) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ahmad (no. 25024), ad-Darimi (no. 773) kitab ath-Thahaarah.[15]. Dinukil dari Aadaabuz Zifaaf (hal. 128).