KabarJKPP11

14

Transcript of KabarJKPP11

Page 1: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 1/14

Page 2: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 2/14

 

MENCERMATI PERKEMBANGAN JKPP

DAN PEMETAAN PARTISIPATIFOleh : RESTU “GANDEN” ACHMALIADI

Ganden, Sekretaris Nasional JKPP darisejak berdiri tahun 1996 sampai

2003; saat ini sebagai SekretarisPelaksana Perkumpulan Kemala

 Jawa (PKJ)

TIDAK terasa telah hampir 10 tahun perjalanan Jaringan Kerja PemetaanPartisipatif (JKPP). Lembaga yang didirikan pada Mei 1996 ini telah mencoba

mengembangkan community mapping – yang kemudian disebut pemetaanpartisipatif – dengan sekuat-kuatnya. Beberapa refleksi dan evaluasi telah

dilakukan, baik oleh JKPP sendiri maupun beberapa penelitian. Tulisan iniakan mencoba mencermati perjalanan JKPP, dan menajamkan beberapa mo-

mentum penting selama perjalanan JKPP. Tentu saja “pengamatan jalanan” iniberdasarkan versi saya, yang tentu saja akan berbeda apabila yang menuliskannyaorang lain.

ISU-ISU COMMUNITY BASE 

Pada awal tahun 90-an, isu-isu yang berkaitan dengan community base dalam

pengelolaan sumberdaya alam menjadi arus utama berbagai program-programyang diinisiasi lembaga-lembaga donor, LSM, akademisi, dan lainnya baik ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan sampai saat ini pun isu-isucommunity base dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam tetapmenjadi arus utama dalam kegiatan-kegiatan programatik LSM, penelitian,

maupun program-program yang dirancang pemerintah.

Community base natural resource management (CBNRM) dan community baseforest management (CBFM) adalah dua contoh program-program dengan tekanan

kuat pada community base yang diusung oleh berbagai lembaga donorinternasional. Untuk konteks Indonesia, CBNRM diterjemahkan menjadipengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSDABM). Sistem Hutan

Kerakyatan (SHK) – ide awalnya digagas oleh beberapa LSM – adalah padanandari CBFM, meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indone-

sia.

Pemetaan partisipatif (PP) atau pemetaan berbasis masyarakat tumbuh danberkembang luas, secara langsung maupun tidak langsung, berkaitan erat dengan

maraknya isu-isu community base di Indonesia sejak awal 90-an. Pada awalnyametode-metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dikembangkan oleh

lembaga-lembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Pada mulanyapenggunaan metode ini hanya untuk kelengkapan proses ekstraksi data spasialyang lebih berperspektif persepsi masyarakat; yang mengambil manfaat utama

informasi spasial itu tentunya adalah lembaga-lembaga yang mengekstraksiinformasi spasial dari masyarakat tersebut. Pada mulanya metode ini juga

dimanfaatkan untuk mencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatulembaga telah berlangsung secara partisipatoris dengan pengambil manfaat utama

adalah lembaga yang mengembangkan program. Metode PP kemudianberkembang, baik metodologi teknisnya maupun metodologi sosialnya. JKPP

  JKPP mencobamenempatkan

 partisipasimasyarakatmenjadi kunci

dalam kegiatan PP.Dalam kegiatan PPmasyarakat lah

  yang harusmenjadi

 penyelenggara,  penentu manfaat  peta yang akandibuat, penentu

substansi pemetaan,  pengontrol hasil,dan pelaku utamakegiatan

Page 3: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 3/14

 

5

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

pengelolaan sumberdaya alamnusantara sangatlah luar biasa; tata cara

pengelolaan, kearifan tradisional,teknologi tradisional, obat-obatantradisional, kelembagaan ekonomi,

plasma nuftah yang dikembangkan dansebagainya. Sayangnya kekayaan

community base tidak mendapatperhatian yang cukup; bahkan

pemerintah terlalu terpukau dengan“metodologi barat” dalammemanfaatkan sumberdaya alam.

Padahal kekayaan community basenusantara bisa menjadi inspirasi utama

dalam meluruskan pengelolaansumberdaya alam nusantara yang saat

ini carut marut menuju kehancuran.PP bisa menggambarkan detail model-

model pengelolaan sumberdaya alamberbasis masyarakat yang sangatberaneka ragam; dan sekali lagi akan

sangat membantu pemerintah dalammengembangkan community baselebih lanjut atau menjadikannya acuandalam program pembangunan.

 WORKSHOP

COMMUNITY MAPPING

DI FILIPINA DAN

PEMBENTUKAN JKPPSampai dengan tahun 1995-an parapengembang pemetaan yangmelibatkan masyarakat praktis masih

berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing mencoba mengembangkan

metode yang disesuaikan dengankebutuhannya masing-masing. Taraf 

pengembangan metodenya pun masihdalam rangka uji coba dan terusberubah.

Pada Oktober 1995, PAFID (sebuah

LSM yang berkedudukan di Filipina)menyelenggarakan sebuah workshop

dengan tema perkembangan commu-nity mapping  di berbagai belahan

dunia. Peserta-peserta dari berbagainegara yang diundang dalam work-shop tersebut: Indonesia, Panama,

Kanada, US, Malaysia, dan Filipina

sebagai tuan rumah. Workshop inimemberikan inspirasi yang kuat bagi

para peserta dari Indonesia untukmengembangkan community map-

 ping lebih jauh. Di Amerika Latin dan

Canada, community mapping  telahberkembang cukup lama, dan proses-

proses community mapping  telahdiakui negara sebagai bagian proses

menuju pengakuan tenurial wilayahmasyarakat adat. Filipina telahmemiliki perundangan yang jelas

bagaimana prosedur menggunakancommunity mapping  untuk

pengakuan wilayah masyarakat adat.Sangatlah jelas bahwa community mapping  di Indonesia sangatketinggalan dibandingkan pengalaman

negara lain.

Setelah workshop, para peserta dari

Indonesia sempat berkumpul bersamadan secara singkat bertukar pikiran

tentang perkembangan community mapping  di Indonesia. Kemudian

disepakati bahwa pada bulan Mei1996 akan diselenggarakan workshoptentang community mapping dengan

mengundang berbagai lembaga yangmulai mengembangkan community mapping di Indonesia.

  Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) terbentuk pada workshop (Mei

1996) di Cigadog-Bogor. Selamahampir 10 tahun perjalanannya telahcukup panjang perkembangan com-munity mapping di Indonesia baikmetodologi, paradigma, perluasan,

maupun organisasi.

PERJALANAN

PARADIGMA 

Pada awalnya, kegiatan pemetaanyang melibatkan masyarakat tarafnya

baru uji coba, sehingga terdapatbanyak ragam cara dan paradigma

yang menyertainya. Ada lembagayang menggunakan metode PP hanyauntuk melengkapi informasi spasial

dari suatu wilayah yang dikumpulkan

lembaganya – bisa merupakan bagiandari suatu riset atau merupakan

kegiatan tersendiri – sehinggainformasi spasial yang diinginkanmencitrakan pendapat masyarakat.

Karena pengumpulan informasi spasialsuatu topik tertentu menjadi tujuan

utamanya maka proses-prosespartisipasi menjadi lebih

dikesampingkan. Proses-prosesekstraksi informasi spasial darimasyarakat dilakukan sesuai dengan

topik informasi spasial yangdiinginkan, sesuai dengan rencana

kerja dan metode yang disiapkanlembaga penyelenggara. Sangatlah

  jelas bahwa lempenyelenggaralah yang akan

mendapatkan manfaat dari informasispasial yang dikumpulkan denganmenggunakan metode PP; adapun

masyarakat hanya obyek yangdimintai keterangan atau justru

menjadi “porter” dalam proses dilapangan.

Pada pertengahan 1990-an – ketika isutentang pemetaan yang melibatkan

masyarakat mulai berkembang –beberapa lembaga besar mencoba

mengadopsi metode PP dalam

“proyek-proyeknya”. Ciri-ciri proyek-proyek tersebut; biasanya bekerja padasuatu wilayah yang luas, bertujuan

mengkombinasikan antara isukonservasi dan partisipasi masyarakat,serta cukup ambisius untuk mencapai

kondisi pengelolaan sumberdaya alamyang ideal untuk suatu kawasan. Pada

prakteknya proyek-proyek model initidak berhasil menjadikan masyarakat

sebagai subyek kegiatan atau gagal“mengajak” masyarakat berpartisipasipenuh dalam proyek-proyeknya. Pada

akhirnya – hampir sama denganmetode di atas – masyarakat hanya

menjadi “porter” saja, atau setengahhati terlibat dalam proyek-proyeknya.

Beberapa kemungkinan penyebabkekurangberhasilan proyek-proyektersebut: perencanaan proyek

dilakukan tanpa melibatkan

Page 4: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 4/14

 

7

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

mendukung gerakan PP, karena PPakan memperkaya informasi yang

dimiliki pemerintah tentang detailkondisi bentang alam dan sosialdaerah-daerah perdesaan menurut versi

masyarakat; yang selama ini menjadikelemahan utama data-data

pemerintah.

PERJALANAN METODE

PP

Telah dikemukakan di atas bahwapada awalnya pemetaan dengan

melibatkan masyarakat dilakukandalam bentuk berbagai uji coba.Metode awalnya pun juga bervariasi

sesuai dengan tujuan dan latarbelakang masing-masing. Ada

beberapa latar belakang yangmendasari penggunaan metode ini :

a) ketidakpuasan penggunaan metodepeta sketsa dan metode transek dalam

 participatory rural appraisal (PRA),

karena peta sketsa dan transek tidakmenggambarkan detail pemanfaatan

lahan di kampung, serta “terlalumudah” melakukannya; b)

ketidakpuasan penggunaan metodepenelitian dan survey konvensional

yang hanya memanfaatkan orangkampung sebagai obyek; c)ketidakpuasan penggunaan metode

pemetaan konvensional yangseringkali tidak mencantumkan/ 

menghilangkan kekayaan pengeta-huan keruangan masyarakat; d)

perlunya peta tertulis untukmenunjukkan klaim masyarakatterhadap suatu wilayah dalam proses-

proses advokasi sumberdaya alam.Beberapa metode PP yang

dipergunakan antara lain : a) metode

peta sketsa; b) metode pemetaandengan berdasarkan hasil survey(kompas, GPS); c) penggunaan GIS;d) metode pemetaan dengan alat bantu

penginderaan jarak jauh (citra satelit,peta radar, citra IKONOS); e) metode

peta 3 dimensi. Teknik-teknik surveydan pemetaan pada umumnya bisa

digunakan dalam PP. Penggunaanmetode biasanya tergantung pada luas

wilayah yang akan dipetakan, biayayang dipunyai, presisi yangdiinginkan, serta kemampuan teknis

lembaga masing-masing.Yang paling penting adalah bahwaproses PP tetap memelihara Kode Etik

  JKPP, di mana masyarakat adalahpenentu dan penyelenggara PP. Parafasilitator PP tentunya harus selalu

meningkatkan kemampuannya, baikdalam hal tehnik pemetaan, proses

sosial, maupun kemampuanmemanfaatkan peta yang telah dibuat

untuk kepentingan kampung.

PEMETAAN

PARTISIPATIF:

TANTANGAN KE DEPAN

  JKPP pada masa mendatang akanmenghadapi tantangan yang tidak

ringan. PP – sebagai aliran utama yangdikukuhi oleh JKPP – akan menghadapi

banyak ujian, baik di dalam pasangsurutnya konsistensi para anggota JKPP

terhadap PP maupun pengaruh-pengaruh eksternal di luar JKPP.

Berikut ini beberapa tantangan yangsangat mungkin dihadapi JKPP.

Pertama, PP sebagai metode yangmendukung komunitas-komunitas

marjinal secara idiologis terpaksaberhadap-hadapan dengan arus

dominan kapital yang hampir-hampirtiada lawannya saat ini. Aruskapitalisme – termasuk di Indonesia

– seakan-akan bagai gelombangraksasa yang tidak terlawan.

Kapitalisme, yang dikontrol daripusat-pusat industri besar dunia,

berkemauan menjadikan seluruh duniaini menjadi bumi industri yangtentunya juga akan mengindustrikan

atau menggerus berbagai wilayahhidup komunitas-komunitas marjinal.

 Jelaslah industrialisasi dan aliran modalyang tidak terkontrol akan

menghancurkan daya dukung alam

menopang kehidupan dan merusakberbagai kearifan komunitas yang

telah beradaptasi selama ratusantahun. Mampukah komunitas-komunitas marjinal ini bertahan ?

Kedua, perubahan-perubahankebijakan yang lebih berpihak kepadakomunitas marjinal tidak kunjung

datang meskipun Reformasi telahterjadi pada tahun 1998. Kita bisamelihat di sekitar kita bahwa

Reformasi tidak banyak membuatperubahan. KKN menjadi lebih

canggih dan rumit. Lapisan-lapisanbirokrasi bagaikan tembok tebal yang

tidak tertembus, meskipun berbagaiaksi dan berbagai bentuk desakan

sangat kuat mengharapkan perubahantotal birokrasi; bertele-telenyabirokrasi membuat berbagai pihak

kelelahan dalam mendukungReformasi. Kasus-kasus yang berkaitan

dengan sumberdaya alam (konfliktanah, kebakaran hutan, pencemaran

lingkungan, ilegal logging , dan lainlain) menjadi kabur tindak lanjutnyakarena KKN dan kerumitan birokrasi.

Beberapa perubahan peraturan tentangsumberdaya alam telah dibuat, tetapi

substansinya hampir sama dengan

sebelumnya atau seringkali lebihburuk. Sulitnya perubahan kebijakanini menyebabkan kita semua

kelelahan dalam mengupayakanperubahan kebijakan. Mampukah PPtetap konsisten dengan perannya di

tengah kejenuhan mencari perbaikankebijakan?

Ketiga, sangat penting bagi para

pengembang PP untuk selalumeningkatkan kemampuan membuatpeta menjadi lebih komunikatif dan

menggunakan PP dengan metode yangbervariasi. Meskipun hampir semua

teknik pemetaan bisa dipergunakan,tetapi para fasilitator PP, pada saat ini,

sebagian besar menggunakan metodesurvey kompas dan GPS. Metode-metode pemetaan lain sangat baik

apabila dipelajari dan dipraktekkansehingga penggunaan metode

Page 5: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 5/14

 

9

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

MENOLEH KEBELAKANG

Hari baru saja hujan, kendati tidak terlalu lebat. Jalan tanah yang dilalui bagaikankain basah yang kusut dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan

kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan

berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telahpenuh dengan tanah liat yang kuning kemerahan, sehingga harus dicungkiluntuk bisa jalan kembali. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekaliberputar dan berteriak disela kerimbunan kawasan hutan.

 Jatuh terguling, bukan sesuatu yang asing. Namun sudah merupakan makanan

rutin dalam perjalanan menuju kampung-kampung dihulu sungai, baik desaBatu Kerbau, Batang Kibul ataupun Lubuk Bedorong. Letih dan ngilu pada lutut

dan siku seakan tidak berarti ketika puncak bubungan rumah dikampung sudahterlihat dari atas bukit. Terhampar dihadapan mata pemandangan indah bagai

lukisan para maestro. Pucuk-pucuk enau dan beringin seolah berebut memanahmatahari, kemudian menariknya perlahan hingga rata dengan bebatuan.Semburat merah kian pias, meluntur dalam rendaman lubuk yang berjajar

sepanjang jalan. Sementara itu anak-anak kecil dengan riang berloncatan darisulur beringin diiringi kecipratan air lubuk larangan, teriakan dan gelak tawa,

sedangkan ibu mereka asyik mebersihkan dulang yang dipakai mencari emassejak tengah hari tadi. Para pria dengan penuh konsentrasi memperhatikan

bandul pancing yang bergoyang dipermainkan ikan diluar lubuk larangan, dankeceprak.... seekor ikan semah sebesar pangkal lengan menggelepar.

Masyarakat adat yang hidup dihulu-hulu sungai telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk keperluan akan pemenuhan kebutuhan pangan,

MENATA RUANG, MEMBANGUN KESEPAHAMAN

OLEH : RAKHMAT HIDAYAT (WARSI-JAMBI)

Hal yang sangat

penting dibangun

adalahmempertahankan

kawasan hutan yang

tersisa sebagai

gantungan hidup

masyarakat, dengan

 jalan mempengaruhi

kebijakan agar tidak

mengkonversikawasan dengan jalan

mempengaruhi

penyusunan

tataruang daerah

Peta penggunaan tanah masyarakat Desa Batu Kerbau setelah proses digitasi (Dok. WARSI)

Page 6: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 6/14

 

11

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

berkelanjutandan berkeadilan sertamemperoleh pengakuan,

perlindungan dan dukungankebijakan.

Untuk itu masyarakat yang telah turun

temurun hidup disekitar dan didalamhutan harus diberi kesempatan untukmembuktikan kemampuannya

didalam mengelola sumberdaya alamagar berdampak nyata terhadapkesejahteraan rakyat yang

berkelanjutan, khususnya untuk a)mengembangkan sistim pengelolaan

hutan sesuai dengan pengetahuanlokal, praktek-praktek, tradisi, institusi

dan teknologi yang dimiliknya, b)melakukan pemantauan, pengawasan

dan perlindungan atas kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdayahutan serta dampak yang

ditimbulkannya, c) meningkatkankemampuan dalam penyampaian

informasi yang diperlukan untukperlindungan dan pengamanan

sumberdaya hutan dan d) membangunsistim nilai, norma dan kelembagaanyang mengarah pada prinsip

pengelolaan hutan yang adil dandemokratis.

Sejak tahun 1995 WARSI secara

berkala menganyam kesepahamandan kemitraan bersama masyarakat

didalam memutus kesewenanganpenguasa dan pengusaha yang terusmengeksploitasi sumberdaya alam

mereka. Ancaman dan intimidasimenjadi hal yang biasa, bahkan

pengalaman Datuk Rasyid salahseorang tokoh Adat di desa Batu

Kerbau bisa menjadi contoh. Kayu  jelutung yang baru disadap sorekemarin, pagi harinya telah

“ditumbang” (istilah lokal untukiditebang) perusahaan, ketika diprotes

mereka mengancam akan menggusurdesa, sebab masuk dalam peta konsesi.

Diskusi awal dengan masyarakat

dilakukan untuk menemukenalipemahaman bersama,kesetiakawanan, kerelawanan dan

menguatkan militansi. Fase berikutnyamelakukan survei-survei sederhana

yang bertujuan untuk a)mengembangkan sistim pengelolaanhutan sesuai dengan pengetahuan

lokal, praktek-praktek, tradisi, institusidan teknologi yang dimiliknya, b)

melakukan pemantauan, pengawasandan perlindungan atas kegiatan-

kegiatan pengelolaan sumberdayahutan serta dampak yangditimbulkannya, c) meningkatkan

kemampuan dalam penyampaianinformasi yang diperlukan untuk

perlindungan dan pengamanansumberdaya hutan dan d) membangun

sistim nilai, norma dan kelembagaanyang mengarah pada prinsip

pengelolaan hutan yang adil dandemokratis.

Upaya refleksi bersama ternyatamenghasilkan keteguhan sikap dan

pengentalan militansi bahwa merekabisa mengelola sumberdayanya

sendiri, tanpa harus menjadikankawasan itu HPH/HTI, sawit, Translokataupun IPK. Pertemuan dusun dan

desa diinisiasi untuk merancangstrategi bersama menghadapi tekanan,

hasilnya dikeluarkannya Surat Kepala

Desa untuk membentuk kelompokpengelola sumberdaya alam BatuKerbau, pemetaan partisipatif, piagam

kesepakatan masyarakat danpembagian peran didalam prosespengakuan.

Secara teknis kegiatan yang

dilaksanakan melalui periodetingkatan pelaksanaan sebagai

berikut:a) pemetaan partisipatif terhadap kawasan yang akan diatur dandikelola oleh masyarakat, b)

penggalian aspirasi masyarakat, yaitumenghimpun ide-ide dari masyarakat

mengenai definisi hutan adat mereka,kegunaan hutan adat, cara pengelolaan

hutan adat dan sanksi-sanksi terhadappelanggaran. Selain itu juga dihimpunaturan-aturan mengenai pengelolaan

kawasan hutan yang telah ada (aturan

adat), c) penghimpunan aspirasimasyarakat, yaitu membuat kedalam

bentuk piagam tentang pengelolaanhutan adat dari aspirasi-aspirasi danaturan adat yang telah disepakati

masyarakat dan d) advokasi kebijakan,yaitu mengupayakan adanya suatu SK

Bupati yang mengukuhkan hutan adatdan adanya Perda yang mengatur

pengelolaan hutan berbasiskanmasyarakat.

MENDORONG

TATARUANG

MIKROPERAN

Untuk merubah pandangan Pemerintah

terhadap kemampuan masyarakatdidalam pengelolaan ruang mikro,

sudah waktunya dibangun wacana danparadigma baru yang lebih berorientasipada kesejahteraan masyarakat

disekitar dan didalam hutan jugaekologi, dimana negara melibatkan

dan memasukan dimensi pemahamanruang mikro oleh masyarakat didalam

kebijakan pengelolaan sumberdayahutan. Masyarakat adat dan lokalsebagai pemilik sumber daya alam

diwilayahnya, memiliki pengetahuan

dan informasi tentang potensi sertabatas-batas wilayah kekuasaanmereka. Umumnya pengetahuan

tersebut diperoleh secara lisan melaluicerita dari generasi sebelumnya.Pengakuan secara lisan yang

berkembang ditengah merekaakhirnya berkembang menjadi

kesepakatan yang dihargai olehmasyarakat disekitar dan terus

berkembang. Masyarakat laindisekitar juga akan melakukan hal

yang sama, sehingga masing–masingkelompok memiliki wilayah denganbatas-batas yang disepakati secara

lisan, dengan memakai tanda alam,seperti sungai, bukit, ataupun bentuk

lain dan kemudian menjadi batas yangdihormati.

Perkembangannya kemudian

Page 7: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 7/14

 

13

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

upaya yang dilindungi oleh berbagaipayung hukum di republik ini.Beberapa payung hukum terkait

dengan hal itu adalah UUD 1945,Amandemen ke-2, pasal 28F, yang

berbunyi setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah danmenyampaikan informasi. KemudianUU No 28 Tahun1999 tentang

Penyelengaraan Negara Bebas KKN,dimana masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh danmemberikan informasi dalam rangka

  penyelenggaraan pemerintah, danberhak untuk menyampaikan

 pendapat dan masukan terhadapkebijakan penyelenggaraan

 pemerintah , ditambah dengan

Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun

1996 tentang Peran Serta Masyarakatdidalam Penataan Ruang danPermendagri No. 5 Tahun1998tentang Peran Serta Masyarakat

dalam Penataan Ruang Propinsi danKabupaten/Kota.

Sebenarnya tataruang bukanlah

sesuatu yang baru bagi masyarakat,

  jauh sebelum negara ini berdirimereka sudah mempunyai konsep-konsep pengelolaan ruang. Beberapa

warisan pemikiran yang bijaksenantiasa diturunkan oleh para tetua

adat, Ninik mamak dan lainnya lewatpetatah-petitih adat yang berbunyi

”Nan lereang ditanam tabu, nan gurunbuek ka parak, nan bancah jadikansawah, nan munggu ka pandam

 pakuburan, nan gauang ka tabe ikan,nan lambah kubangan kabau, dan nan

 padek ka parumahan” (dalam bahasaIndonesia berarti yang lereng ditanami

tebu, yang datar dibuat ladang, yangberlumpur di buat sawah,yang keringdibuat pekuburan, yang berair dibuat

kolam ikan, yang dilembag untukkubangan kerbau dan yang kersa untuk

pemukiman). Gambaran tersebut

merupakan bukti kalau secaratradisional masyarakat adat dan lokalsecara luar biasa telah mampumembuat perencanaan ruang

(tataruang mikro) yang berbasis padapotensi lokal. Ungkapan tersebut

menggambarkan adanya keterkaitanantara pemanfaatan lahan dengan

peruntukannya baik secara estetika,

keputusan penting didalam prosesmenuju pengakuan, baik terkaitdengan aspirasi pemanfaatan ruang dan

lahan menjadi hal yang palingmendasar dan tidak boleh tidak.

Pemerintah dalam hal ini PemerintahKabupaten sebagai pihak pemegang

dan pembuat kebijakan ditingkatmakro harus merespon danmengakomodasi kepentingan

masyarakat. Selain itu peran peta yangdihasilkan dari proses pemetaan

partisipatif dapat dipakai sebagai alatuntuk mediasi dan fasilitasi dalam

setiap penyelesaian batas danpemanfataan ruang. Lembaga adatkecamatan dan kabupaten berperan

sebagai sumber informasi danmemberikan masukan dan argumen

dalam pemanfaatan ruang dan

persoalan batas berdasarkan nilai-nilaidan ketentuan yang berlaku secaraturun temurun.

Tataruang Mikro sebagai wujud dariimplementasi peran serta masyarakat

didalam pengelolaan sumberdayahutan bukanlah sesuatu yang

mengada-ada, namun merupakan

Proses klarifikasi peta partisipatif oleh masyarakat (Dok. WARSI)

Page 8: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 8/14

 

15

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

tahun 2000 dampak PP terasa berkuranTampaknya hal ini sangat dipengaru

oleh perubahan politik saat itu dimaprioritas-prioritas bisa saja berubah, at

kita kurang cepat melihat peluan

peluang baru. Dengan demikian JKharus meredefinisi gerakannya dengmengembangkan pendekatan-pendekatbaru untuk menanggapi keadaan sos

politik yang berbeda. Bila dulu JKbermain pada tingkat kampung, sud

saatnya jaringan ini main pada skala yalebih besar, misalnya pada pros

pembuatan RTRW Provinsi dan nasionutamanya dimana kekuatan korpormultinasional saat ini telah semakin ku

di era globalisasi ekonomi saat iTeknologi yang ada sekarang sang

memungkin intervensi demikian.

 Apa penilaian Anda tentang JKPP sebagsebuah gerakan sosial?

Saya pikir selama ini JKPP berhamelakukan kampanye tentang adanya P

tetapi jaringan ini belumengembangkan dirinya sebagai sebu

gerakan yang masif dan belumenempatkan dirinya dalam gerak

sosial yang lebih luas. JKPP perlu ju

lebih banyak bermain dalam advokkebijakan dan membuka ruang-rua

politik dimana proses pemetaan kampubisa menjadi lebih efektif unt

mengklaim tanah, teritori dan sumberdarakyat. Dengan makin kuatnya kekuasa

korporasi multinasional yang menjapemain utama dalam globalisasi, JKdituntut untuk lebih kreatif dala

mengembangkan gerakan PP. Apalasasaran perusahaan-perusahaan terseb

adalah tanah-tanah rakyat. Dengdemikian JKPP memiliki peran sent

dalam upaya perlindungan tanah-tantersebut. Dalam upaya tersebut JKPP pe

mengembangkan kerjasama dengberbagai jaringan lain seperti KPSHKPA, Jatam, WALHI, dll. ***

inisiatif ini, namun kerjasama ataupengembangan PP lebih merupakan

inisiatif ornop ke ornop. Tidak adadorongan lembaga-lembaga dana,meskipun saya pikir mereka cukup tertarik

dengan prakarsa ini. Harus diakui pulapengembangan PP ini bisa berjalan karena

dukungan mereka, tetapi secara politikinisiatif ini merupakan murni gagasan para

ornop dan komunitas masyarakat adat.

Bagaimana pengaruh pemetaan di

Kayan Mentarang yang mulai padatahun 1992 terhadap program PP diPLASMA?

Tidak ada pengaruh langsung. Kamimendengar kegiatan pemetaan di Kayan

Mentarang dari staf WWF, terutamaMartua Sirait. Tapi kami mengembangkan

sendiri metode pemetaan. Berbedadengan PPSDAK yang lebih menekankanpada percepatan proses pemetaan tanah

adat, kami lebih menekankan padapemetaan sebagai bagian dari

pengorganisasian, mobilisasi danperencanaan kampung. Dalam pemetaan

kami mengajak penduduk kampunguntuk mendiskusikan visi mereka tentangmasa depan kampung mereka,

memprediksi ancaman-ancaman sertamengantisipasinya.

  Apa harapan Andadan PLASMA saat

 JKPP berdiri?

Setelah beberapatahun melaksanakan

program PP, kamimenyadari bahwa

kegiatan pemetaanoleh Ornop sudah

terjadi di banyaktempat. Dampakpemetaan yang

dilakukan mulaiterasa di tingkat

lokal, tetapi kamim e m b u t u h k a n

lembaga yang bisa mempengaruhi

kebijakan penataan ruang di tingkatnasional. Untuk itulah saat para peserta

lokakarya pemetaan partisipatif di Bogorpada pertengahan tahun 1996 seluruh

peserta sepakat untuk mendirikan JKPP.PLASMA menjadi salah satu anggota

pertama jaringan ini. Setelah JKPP berdirikami berharap bahwa jaringan ini bisamengembangkan metodologi PP dan

memperluas gerakan PP di Indonesia. Saatitu beberapa Ornop yang memiliki pro-

gram pemetaan yang sangat baik sepertiPPSDAK, tetapi banyak juga yang baru

mau belajar tentang pemetaan.Disamping itu juga, kami merasakansebuah kebutuhan untuk

mengembangkan PP sebagai sebuahproses politik. Kami berharap sebuah

koalisi seperti JKPP bisa memobilisasimenjadi sebuah proses yang lebih politis.

Pemetaan sangat politik karena berbicaramengenai tanah, teritori dan sumberdayaalam.

Menurut Anda bagaimana

 perkembangan JKPP selama selama ini?

Saya melihat bahwa pada tiga/empattahun pertama JKPP mampu mendorong

perkembangan gerakan pemetaan dengancepat, terutama dalam menyebarkan

metodologi pemetaan. Namun sejak

Page 9: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 9/14

 

17

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

di atas kertas untuk pertama kalinya,tetapi juga dengan membuat gambaran

visual tentang bagaimana merekamengelola sumberdaya alamnya.

Karena bentuknya yang visual, - peta

memiliki potensi untuk menjadisebuah “bahasa pengantar” yang bisadimengerti baikoleh pejabat

pemerintah maupun para pendudukdesa.

Potensi peta sebagai “bahasapengantar” dapat terwujud hanya bila

ada kemauan kedua belah pihak untukmenggunakan bahasa tersebut, untuk

berkomunikasi, untuk mendengarkandan untuk memahami bersama.

Kemauan untuk berdialog adalah

kuncinya. Untuk penduduk desakemauan untuk berkomunikasi

dengan pemerintah meningkat ketikamereka terorganisir lebih baik dan

memiliki kepercayaan pada juru bicaramereka. Untuk para pejabat

pemerintah kemauan timbul melaluipendidikan dan pemupukankesadaran, yang mengembangkan

wawasan yang lebih luas tentangaspek-aspek sosial, lingkungan dan

ekonomi dari putusan kebijakanpemerintah dan penghargaan terhadap

keadaan dari masyarakat pedesaan.Maka, agar dapat digunakan sebagaialat yang efektif untuk meraih/ 

mendapatkan pengakuan terhadap hakatas tanah dan penyelesaian sengketa

tanah, peta perlu digunakan dalamkonteks sebagai sebuah proses

pendidikan dan pengembangankepercayaan.

PENGALAMAN DARI

  FIRST NATIONS,

CANADAMengapa penekanan pada pemetaanberskala spasial? Ketika kami bekerja

untuk mengembangkan danmengajarkan metode-metode

Pemetaan Partisipatif yang sesuaidengan konteks Indonesia, saya tentusaja terpengaruh oleh metode

Pemetaan Partisipatif di negara asalsaya,  Kanada. Masyarakat adat di

Kanada, yang dikenal sebagai FirstNations, mulai memetakan “daerah

 jelajah dan daerah pemukiman” (land 

use and occupancy ) mereka pada tahun1970. Mereka memiliki pendanaan

yang cukup untuk mengerjakanpemetaan. Mereka sudah terorganisasi

cukup baik dalam arti bahwa merekalembaga-lembaga “demokratis” yangberfungsi pada tingkat komunitas dan

suku. Artinya bahwa masyarakat dapatmemilih dan melatih sebuah tim

pemetaan, yang dipilih dari komunitastersebut, dan yakin bahwa tim tersebut

akan mewakili kepentingan dariseluruh komunitas. Hal itu juga berarti

bahwa peta-peta yang dihasilkan akandiajukan kepada pemerintah oleh jurubicara , perunding, bahkan pengacara

hukum yang dipilih masyarakat.Masyarakat adat Kanada tahu bahwa

lahan yang sangat luas dan sumberdaya yang sangat besar menjadi

taruhan dalam perundingan mereka,dan perjuangan panjang akan hak atastanah akan melibatkan pengadilan.

Agar peta dapat dipakai dalampemeriksaan hukum dan perundingan

tingkat tinggi peta-peta tersebut harusmemiliki skala, memakai metode

standar, dan juga harus konsisten danmemiliki akurasi yang memadai untukmetode dan skala peta yang dipakai.

Anggota-anggota JKPP pertamaberharap bahwa peta-peta komunitas

yang dibuat berskala akan mempunyaikredibilitas dan kepastian dalam

pembahasan dan perundingan tentanghak atas tanah dan sengketapemanfaatan lahan.

Peta berskala memang meningkatkan

kredibilitas, tetapi bukan tanpamasalah. Akibat sifat birokrasi Indo-

nesia yang teknokratis, adakecenderungan untuk memusatkan

perhatian pada teknologi pemetaandan perdebatan tentang akurasi dankeabsahan teknis peta. Inti penting

dari dikusi ini menjadi hilang, yaitu

apakah masyarakat lokal mempunyaidasar untuk mengklaim penguasaan

tanah dan sumber daya yang merekakelola secara tradisional. Dialogmemang akan lebih jelas bila

memakai peta berskala dibandingkandengan peta sketsa. Namun untuk

menghindari keterpakuan pada akurasiteknologi peta, proses pendidikan

 jangka panjang tentang sistem-sistempengelolaan sumber daya secaratradisional menjadi hal yang juga

penting.

Dengan melakukan sendiri pemetaanberskala para penduduk desa

mendapatkan kepercayaan diri dankredibilitas. Dalam banyak

kesempatan para pejabat pemerintahIndonesia menunjukkan keterkejutanmereka setelah mengetahui bahwa

masyarakat desa mampu melakukansurvei lapangan dan membuat peta

berskala. Pemetaan berskala berbasismasyarakat meningkatkan keahlian

dan kemampuan anggota masyarakatdan menunjukkan kepada pemerintahbahwa masyarakat pun mampu

mengelola sumber daya merekasendiri dan berhubungan secara efektif 

dengan instansi pengelolaan lahan

yang terkait. Dengan kata lain, hal inimenunjukkan bahwa masyarakat lokalbisa mengelola sumber daya alam

mereka secara tradisional danmenggunakan cara-cara modern dalamperencanaan, pemantauan dan

dokumentasi. Tetapi sekali lagi, petaberskala bisa mendorong kredibilitas

hanya bila ada masyarakat yangkohesif dan teroganisasi baik yang

berdiri di belakang isi peta sertamengajukan diri untuk memaparkanpeta-peta mereka.

Pemetaan berskala memang adalah

suatu kegiatan teknis, walaupun bisadiajarkan dengan cara sederhana. Saya

telah melihat sejumlah penduduk desayang hanya memiliki sedikitpendidikan formal merasa sangat puas

setelah belajar pemetaan berskala

Page 10: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 10/14

 

19

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

PEMETAAN partisipatif (PP) di Kalimantan Barat pertama kali dilakukan di SidasDaya pada tahun 1994 dan berkembang makin pesat setelah pembentukan

Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasihpada tahun 1995. Sampai dengan bulan Desember 2004 lembaga ini telah

memetakan 263 kampung yang tersebar di sembilan kabupaten dengan luascakupan 1.135.415,89 hektar atau 7,58% dari luas wilayah provinsi Kalimantan

Barat. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun PPSDAK merasakan bahwaprogram pemetaan partisipatif yang dilakukan selama ini belum memberidampak politik yang signifikan terhadap pengurusan dan penguasaan sumber

daya alam dan dalam beberapa kasus justru menimbulkan dampak-dampak yangtidak diinginkan di kampung-kampung yang telah dipetakan. Berangkat dari

kesadaran tersebut, PPSDAK memutuskan untuk melakukan refleksi mendalamterhadap program yang dilakukan sampai saat ini.

Refleksi yang berlangsung dalam bentuk lokakarya ini dilaksanakan di Aula

Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Pancur Kasih ini bertujuan untuk mengulaskegiatan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat, melihat kembali metodologi

PP dalam konteks perubahan politik yang sedang berlangsung, menggali peluangdan harapan dalam mengembangkan PP sebagai upaya pemberdayaan rakyatsecara menyeluruh dan berkelanjutan, membangun mekanisme kerja antar

LSM dan lembaga lokal dalam pelaksanaan kegiatan PP, dan meningkatkankapasitas staf PPSDAK dalam mengelola konflik di lapangan. Para peserta

kebanyakan tetap bertahan selama tiga hari pertemuan dengan antusiasme tinggiwalaupun acara berlangsung di akhir minggu. Antusiasme yang tinggi initampaknya muncul karena pertemuan ini adalah pertemuan pertama berbagai

  Rangkuman Diskusi

REFLEKSI GERAKAN PEMETAAN

PARTISIPATIF DI KALIMANTAN BARATOLEH : A. HADI PRAMONO

komponen Pancur Kasih setelah

kegagalan seorang kadernya dalampemilihan kepala daerah (Pilkada) diSekadau. Akibatnya nuansa politis

terhadap kegiatan refleksi ini terasakental yang justru menguntungkan di

tengah lemahnya dampak politis darigerakan PP.

Lokakarya yang dipandu oleh Abdon

Nababan dan Ita Natalia dimulaidengan sebuah diskusi panel untukmemberi gambaran tentang

pengalaman-pengalaman beberapalembaga dalam pendampingan

masyarakat setelah pemetaankampung berlangsung. Tiga panelis

yang memaparkan pengalamanpelaksanaan PP di lembaga masing-masing.adalah John Bamba dari Institut

Dayakologi (ID), Sem dari YayasanPupuk Tagua, dan Leo Teddy dari

Yayasan Biodamar.

BERIKUT ADALAH

PEMAPARAN DARI

PARA PANELIS;

  John Bamba, salah satu inisiator

gerakan PP di Kalbar, memulaipemaparannya dengan melakukankilas balik atas gerakan PP di provinsi

ini. Kekuatan peta “ditemukan” secaratak sengaja oleh sejumlah penggiat

lingkungan dalam lingkaran WALHI.Mereka mendapati bahwa pada tahun

1990 masyarakat kampung TeringLama di Kalimantan Timur berhasilmempertahankan kampung mereka

dari caplokan sebuah perusahaanemas, PT. Kelian Equator Mining

dengan menggunakan sebuah petayang dibuat pada jaman Hindia

Belanda. Pada tahun 1992 kegiatan PP

Para aktivis Kalimantan Barat melakukan refleksi gerakan pemetaan partisipatif (Dok. JKPP)

Page 11: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 11/14

 

21

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

Sementara itu masyarakat adatmemiliki sistem teritorialitas sendiri

yang lebih cair (fleksibel atau tidakkaku) dan kompleks. Pada sebuahbidang tanah, misalnya, seringkali

menggunakan batas batas alam bisa jadi ada beberapa pihak yang memiliki

hak yang berbeda-beda atas tanah danatau tumbuhan di atasnya. Untuk

menyatakan teritorialitas dan klaimnyaberbagai kelompok masyarakat adatmemakai berbagai macam bentuk

komunikasi seperti lagu, syair, lukisan,dan sebagainya. Dengan demikian ada

perbedaan dan benturan filsafat sertanilai dalam memetakan suatu wilayah

adat. Tantangannya adalah bagaimanamengubah teknologi pemetaan mod-

ern agar bisa merepresentasikompleksitas penguasaan ruang didalam masyarakat, atau bermain

dalam teknologi yang ada tapikompleksitas penguasaan tetap bisa

berlangsung. Dengan kata lain,bagaimanakah para aktivis PP

mengarusutamakan pengetahuan aslidalam PP?

 John Bamba juga mengulas dampak-dampak dari tujuan eksternal. Pilihan

untuk memetakan batas-batas

kampung atau desa sebagai unit sosial-politik menimbulkan pertanyaan. Dimana sebenarnya posisi PP terhadap

tata kuasa kawasan negara? Denganmemetakan kampung/desa PPterjebak dengan wilayah administrasi

pemerintahan, yang kemudianberakibat pada delegitimasi

masyarakat adat dan negaraisasi sistim-sistim adat. Kemudian dalam peta ada

kolom tanda tangan pejabatpemerintah, tetapi pertanyaannya‘apakah perlu pemetaan memperoleh

pengakuan dari negara?.’ Hal ini terjadikarena masyarakat sendiri sudah

terkooptasi, sehingga persepsi dankeinginan bahwa peta harus mengikuti

satuan administrasi pemerintah jugakarena ada ketakutan atas sah atautidaknya peta-peta yang dihasilkan.

Namun tidak bisa dipungkiri hal

tersebut mungkin akibat persepsi yangkeliru dari Ornop pendamping.

Contoh kongkrit dari persoalan inimuncul dalam pemaparan Sam.Masyarakat Krio Bihak bingung dalam

menentukan status hutan yang beradadi luar cakupan batas-batas kampung

yang mereka petakan. Apakah daerahitu masuk dalam kawasan masyarakat

adat, atau wilayah negara atau bahkanwilayah tak bertuan? YPT pun, sebagaipendamping, tidak bisa menjawab

persoalan ini yang tampaknya jugaterperangkap dalam wacana yang

dipakai negara.

Ada beberapa persoalan metodologiyang muncul dalam lokakarya ini.

Pertama, selama ini metode PPcenderung seragam tanpamempedulikan perbedaan kondisi dan

kebutuhan masyarakat yangwilayahnya dipetakan. Padahal,

meminjam wacana manajemen, pal-ing sedikit ada tiga tingkat kondisi

masyarakat yang perlu diperhatikan:penyelamatan (damage control),pemulihan (recovery ) dan investasi.

Hal ini berarti metodologi tidak bisaseragam di semua tempat, tetapi harus

memperhatikan berada pada tingkatan

yang mana suatu masyarakat saatpemetaan akan dimulai. Persoalan lainadalah komitmen pendampingan oleh

Ornop yang membantu pemetaan.Selama ini, jarang sekali Ornop yangmemiliki kelanjutan dalam

pengorganisasian masyarakat sesudahpemetaan. Ada kesan bahwa Ornop

yang aktif dalam PP melakukan“tabrak lari,” sehingga sepertinya

persoalan-persoalan yang munculkemudian bukan lagi urusan mereka.Leo Teddy mengingatkan bahwa

kelanjutan pendampingan atasmasalah-masalah yang dihadapi perlu

dipertahankan meski tidak lagi bekerjadi wilayah yang telah dipetakan.

Selanjutnya dalam diskusi sebagianpeserta menilai bahwa sebagai sebuah

gerakan sosial gaung gerakan PP masih

belum terasa di tingkat nasional.Kelemahan ini terjadi karena gerakan

PP selama ini cenderung menekankankepentingan ekonomi dan ekologi biladilihat dari jenis-jenis peta yang

dihasilkan, yaitu batas kampung dantata guna lahan. Dengan demikian

sampai saat ini gerakan PP masihberupa gerakan kultural yang bertujuan

untuk mendidik masyarakat, tetapibelum mengembangkan komponenkedua dari gerakan sosial yaitu sebagai

sebuah gerakan politik. Untuk sampaike sana gerakan PP perlu memiliki

perspektif ideologis dan politik yangkuat sebagai sebuah gerakan sosial.

Namun bukan berarti kondisi saat inisalah, karena pilihan sebagai gerakan

kultural tidak lepas dari sejarahgerakan. Saat gerakan PP dimulaipersoalan penyelamatan wilayah

masyarakat adat dan menahankerusakan ekologis dari pencaplokan

oleh negara dan kepentingan bisnismenjadi alasan utama pemetaan. Di

masa depan PP harus dijadikan suatugerakan politik masyarakat adat.Namun tantangannya adalah

bagaimana membuka ruang hidupmasyarakat adat dan memposisikan

pekerjaan PP dalam ranah politikseperti sekarang ini.

Berdasarkan pemaparan oleh para

panelis dan diskusi di antara parapeserta, Abdon Nababan selakufasilitator mengajak para peserta untuk

merefleksi pengalaman gerakan PPselama 10 tahun di KALBAR melalui

tiga pertanyaan:

1. Apa yang seharusnya tidak kitalakukan di masa lalu?

2. Apa yang yang seharusnya kita

lanjutkan dari masa lalu?3. Apa upaya-upaya baru yang perlu

kita lakukan memperkuat PP di

masa depan?

Peserta kemudian berdiskusi dalam

dua kelompok dengan pertanyaanyang sama. Hasil diskusi tersebut

adalah sebagai berikut:

Page 12: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 12/14

 

23

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

sedangkan kelompok keduamendiskusikan tujuan PP dalam

memperkuat gerakan politik baik dikebijakan publik atau kekuasaan.

Sebagai sebuah gerakan kultural

tujuan PP di Kalbar adalah bahwamasyarakat adat mampu merebut,mempertahankan, memulihkan dan

mengurus kawasan adat terutamatanah adat dan hutan adat. Sedangkanstrategi yang ditawarkan adalah:

1. Mempertahankan – PP sebagai alat

pengorganisasian untukmelahirkan tindakan kolektif 

dalam mempertahankan tanah danhutan adat.

2. Memulihkan – PP sebagai alat

perencanaan, pelaksanaan danmonitoring dan evaluasi untukmemulihkan tanah adat dan hutan

adat yang rusak.

3. Mengurus – PP sebagai alat

perencanaan, pelaksanaan danmonitoring dalam mengurus tanah

adat dan hutan secara efektif sesuaidengan pengetahuan lokal,

inovatif, adil dan lestari.

Sebagai sebuah gerakan politik tujuanPP di Kalbar adalah penghormatan

dan perlindungan terhadap kawasanadat/lokal dan dikuasainya ruangpolitik oleh rakyat. Adapun strategi

untuk mencapai kedua tujuan tersebutadalah:

• Strategi 1: PP sebagai alat untuk

membangun basis massa/ konstituen politik

• Strategi 2: PP sebagai media untukmembentuk penggerak/penggiat

politik dari rakyat

Prinsip-prinsip Pemetaan Partisipatif:

• Musyawarah sebagai pengambilkeputusan tertinggi dalam

penggunaan peta.

• Inisiatif dan metode pemetaan

dilakukan berdasarkan kebutuhanrakyat setempat.

• Pemetaan dilakukan pada kawasanadat yang sudah diorganisir.

• PP mendorong partisipasi yangbermakna dari para anggota sebuah

komunitas.

• Berdasarkan pengetahuan lokal.

• Ada tindak lanjut yang jelas setelahpemetaan (misalnya dalam bentuk

keberlanjutan dan rencana tindaklanjut).

• Pemetaan harus dilakukan secarakontekstual.

• Informasi tentang batas luar klaim

masyarakat terbuka untukdipublikasikan ke pihak luar,sedangakan informasi untuk batas

dalam harus melalui musyawarah

kampung.

Perubahan yang harus dilakukan dalamMetodologi adalah:

• Penelitian awal/studi kelayakan.

• Diskusi kritis dengan para anggotamasyarakat tentang PP sebelumkegiatan pemetaan dilakukan.

• Perencanaan kawasan adat pasca-

pemetaan oleh pendampingpemetaan partisipatif (PPP-Pendamping Pemetaan

Partisipatif).

• PP (baik peta atau prosesnya) adalahalat untuk mencapai tujuan, bukanpetanya yang justru menjadi

tujuan.

• Tema peta disesuaikan dengantujuan PP di masing-masingkampung.

Prinsip-prinsip kerja bersama :

• Kesamaan tujuan ( platform) dan

metodologi dari para pihak/organ-organ gerakan yang diikat dalamsatu entitas.

• Fleksibelitas strategi dalammencapai tujuan.

• Menciptakan relasi/konstituen/ba-

sis massa dan pekerja/aktivis

politik.

• Swadaya.

Bagi peran dan mekanisme kerjasama:

• Pembagian peran dengan

pendekatan teritorial• Ada mekanisme monitoring,

evaluasi dan komunikasi bersama

• Pembagian peran dalampengelolaan isu dengan

memperhatikan segmentasi

• Pembagian peran dalampengelolaan logistik

• Pembagian peran dalamkomunikasi politik

• Penguasaan isu di ruang-ruang

publikSedangkan rencana kegiatan tindak

lanjut yang diusulkan keduakelompok adalah:

• Lokakarya perumusan metodologi

PP oleh PPSDAK

• Lokakarya pembuatan dan

penyusunan modul oleh PPSDAK.

• Refleksi bagi para CommunityMapper

• Peningkatan Kapasitas P3K

(Pendamping Pemetaan Partisipatif Kampung) .

• Pembuatan modul PP sebagai

sarana pengorganisasian politikkonstituen massa kritis

• Penyusun Platform gerakan politikpenataan ruang

• Training of Trainer (ToT) politik

Page 13: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 13/14

 

25

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

RMI & PEMETAAN

PARTISIPATIF

RMI The Indonesian Institute For For-est and Environment, sebuah lembaga

non pemerintah yang mempunyaiperhatian pada issu lingkungan dankehutanan memulai pembelajaranlapang tentang pengelolaan

sumberdaya hutan di kawasan ini padaakhir 1997. Kondisi di atas menjadi

perhatian tersendiri RMI dalammensikapi pengelolaan Kawasan

Ekosistem Halimun.

RMI memulai pembelajarannya dariDesa Malasari – Bogor atau KawasanEkosistem Halimun sebelah timur.

Dari daerah inilah RMI melihat adaketimpangan struktur penguasaan

lahan. Untuk memperjelas haltersebut maka dilakukan pemetaan

partisipatif pada tahun 1998 dimanamemperlihatkan tata guna lahan yangtidak adil antara masyarakat dan pihak

luar. Metode pemetaan partisipatif inikemudian mengiringi hampir seluruh

lokasi dampingan RMI di KawasanEkosistem Halimun, yaitu Desa

Malasari, Desa Kiarasai, KampungNyungcung, Kampung Parigi

(Kabupaten Bogor), Desa Sirnaresmi(Kabupaten Sukabumi), DesaMekarsari, Kasepuhan Citorek,

Kasepuhan Cibedug (KabupatenLebak). Pemetaan partisipatif juga

merupakan alat pengorganisasianmasyarakat dalam memperjelas danmemperjuangkan wilayah kelolanya,

selain alat negosiasi.

Tahapan yang dilalui RMI dalampemetaan partisipatif adalah sebagai

berikut :

1. Perkenalan (introduksi) gagasanpemetaan partisipatif

  Jauh sebelum melakukan pemetaanpartisipatif langkah awal adalah

adanya satu perkenalan (introduksi)gagasan pemetaan melalui obrolan

kampung atau semacam diskusi infor-mal. Obrolan-obrolan kampung ini

biasanya akan bermuara menjadi temadiskusi berikutnya dan cenderung

dilakukan pada riungan kampung yanglebih resmi serta dibuatnya catatanpenting yang menjadi kesepakatan

komunal (tingkat kampung/desa/ wewengkon adat), bahkan dibeberapa

tempat pada saat itu juga disusuntahapan kegiatan yang berhubungan

dengan penelusuran ruang-ruangkelola warga sekaligus pembicaraanpenggalangan dana melalui swadaya

masyarakat

2. Penggalian informasi dasar

Pencatatan informasi wilayah yangmenyangkut aspek biofisik dan sosialekonomi serta bentuk atau sistem

pengelolaan sumber daya alam yangdidasarkan pada kearifan lokal. Hal ini

biasanya dilakukan melaui obrolanbahkan dilakukan juga melalui riungan

kampung dan survei (transek ) dilapangan sampai menghasilkan gambarsederhana berdasarkan pemahaman

dan pengetahuan warga (sketsa). Dilain pihak RMI yang memfasilitasi

proses   pemetaan partisipatif melakukan pencarian informasi seperti

peta dasar (Peta Topografi dan Petalainnya dari Bakosurtanal) juga alat dan

bahan yang nantinya relatif mudah dansederhana digunakan oleh warga sertainformasi-informasi lainnya yang

relatif sukar diperoleh oleh wargatermasuk kaitan kebijakan yang

menyangkut pemetaan partisipatif 

3. Pelatihan alat pemetaan

Untuk mempermudah kegiatan

pemetaan dalam menelusuri batas-batas dan ruang-ruang kelola warga

maka dilakukan juga tahappemahaman dan pelatihan alat. Pada

tahap ini ada satu transformasipengetahuan alat pemetaan, yangdilakukan oleh RMI sebagai fasilitator

kepada warga yang berencana akanmelakukan pemetaan. Pelatihan yang

diberikan adalah pengenalan danpenggunaan alat pemetaan (GPS danKompas).

4. Pemetaan Partisipatif

Perencanaan pelaksanaan pemetaan

disusun bersama dengan membentuktim pemetaan. Tim ini terdiri dari

pemegang GPS, pemegang kompas,

pencatat data, perintis jalan, penandapatok, dan logistik jika diperlukanmenginap. Biasanya tim terdiri dari6-9 orang, tetapi bisa juga banyak jika

warga lain ingin berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya. Tim ini

mengambil data di lapang sesuaiperencanaan dan kebutuhan

masyarakat akan peta yang akandibuat.

5. Penggambaran Peta

Penggambaran peta adalah proses

mengalihkan catatan-catatan hasilpenelusuran data di lapang menjadi

sebuah gambar peta yang relatif proporsional/skalatis. Penggambaran

ini memperhatikan skala yang akandibuat dan menampilkan informasi

penting dari lapang. Penggambarandilakukan di tempat yang reprentatif 

di lokasi, tetapi sebagian besardilakukan di RMI karena pertimbanganperalatan pendukung.

6. Sosialisasi dan Pengesahan Peta

Sosialisasi dan Pengesahan Petamerupakan tahap untuk membuat

kesepakatan atas peta yang telahdibuat. Sosialisasi peta adalah tahapan

untuk menyampaikan hasilpenggambaran yang telah dilakukan

dengan harapan mendapat masukandan koreksi atas peta yang telah dibuat.Masukan dan koreksi dapat diberikan

untuk kemudian membuat revisi peta  jika diperlukan. Pengesahan

dilakukan jika masyarakat setuju atasinformasi yang tercantum dalam peta,

hal itu dapat dibuktikan denganmencantumkan tanda-tangan atau cap

  jempol pada lembar pengesahan.

Pihak-pihak yang biasanyamembubuhkan tanda tangan atau cap

 jempolnya adalah tokoh masyarakat/ adat/pemerintah desa, pelaku

pemetaan, masyarakat umum dan juga

Page 14: KabarJKPP11

5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 14/14

 

27

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

menginformasikan perkembanganbaik dari RMI kepada warga ataupun

sebaliknya.

Ketika pasca pemetaan dan

pengesahan peta sudah dilakukan hal

yang sering muncul ke permukaanadalah ketidaksabaran warga danhanya memandang cukup dengan peta

untuk melakukan negosiasi denganpara pihak, sehingga seperti yangsudah disebutkan diatas bahwa

kepentingan peta hanya untuk keluar.Sedangkan upaya penguatan ke dalam

(warga) sebelum melakukan negosiasipenting dilakukan, seperti wacana

pemetaan partisipatif bisa di bicarakankembali sehingga akan bisa dipahami

oleh hampir semua warga. Denganmemainkan berbagi peran RMIsebagai fasilitator mencoba mencari

berbagai informasi lainnya yangberkaitan dengan peluang kebijakan

penataan ruang dan celah negosiasidengan berbagai pihak, atau warga

  juga bisa memainkan strateginyaketika mempunyai akses dan peluangterhadap birokrasi.

EVALUASI DAN

REFLEKSI PEMETAANPERTISIPATIF : PROSES

MENCARI STRATEGI

BARU

Pemetaan partisipatif menjadi salah

satu alat RMI bersama masyarakatdalam melakukan pembelajaran di

Kawasan Ekosistem Halimun. Selamakurun waktu 8 tahun (1997 – 2005)pemetaan partisipatif hampir selalu

dilakukan dalam berproses di 8 lokasipembelajaran. Beberapa inisiasi dan

kreativitas pun dikembangkan dalammetode pemetaan partisipatif.

Beberapa hal yang menjadi catatanpenting ketika RMI bersamamasyarakat melakukan Refleksi dan

Pemetaan Partisipatif di KawasanEkosistem Halimun pada 29-30 Sep-

tember 2005 adalah :

1. Tujuan Pemetaan Partisipatif :

1. Untuk menyelesaikan masalah

(tumpang tindih lahan,keterbatasan lahan)

2. Untuk perencanaan tata ruang,

tata guna lahan desa

3. Membantu penyusunan pro-posal pengembangan desa

2. Peta harus dimanfaatkan sebaik

mungkin untuk mencapai tujuansehingga tidak berhenti ketika peta

  jadi saja. Perencanaan ruang

menjadi alat untuk memperjelasrencana penggunaan lahan dan

ruang oleh masyarakat.Pengembangan konsep

pengelolaan ruang oleh

masyarakat menjadi penting untuklandasan untuk memperoleh

pengakuan dari berbagai pihak.

3. KDTK (Kampung Dengan TujuanKonservasi) adalah konsepperencanaan ruang yang

dikembangkan oleh masyarakatKampung Nyungcung-Desa

Malasari-Bogor. KDTK merupakankonsep pengelolaan masyarakat

lokal di kawasan konservasi

4. Perencanaan Wewengkon

dikembangkan oleh KasepuhanCibedug-Lebak untuk mengelola

ruang adatnya. Konsep iniberlandaskan kearifan masyarakatadat dalam kawasan konservasi.

5. Selain organisasi rakyat yang kuatdan peta partisipatif sebagai syarat

dalam perjuangan kejelasan lahan,serta perencanaan ruang

masyarakat juga diperlukan upayauntuk mendialogkan maksud dan

tujuan tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan.

Dalam mendialogkan pemetaanpartisipatif dan tujuan yang ingin

dicapai kepada pihak-pihak yangberkepentingan tidaklah mudah.

Dalam dialog yang dilakukan,pemerintah masih memandang bahwa

pemetaan adalah tugas dan

kewenangan dari pemerintah danmetode yang digunakannya juga harus

mengikuti petunjuk yang telahditetapkan. Sementara beberapa

kalangan masyarakat dan NGOmemandang bahwa masyarakat harusterlibat aktif dalam perencanaan dan

peruntukkan penetapan sertapenggunaan lahan di wilayahnya,

salah satunya melalui pemetaanpartisipatif.

Pada kenyataannya banyak konfliktenurial disebabkan oleh

ketidakjelasan penetapan kawasan.Hal ini menyebabkan tumpang tindih

peruntukkan dan hak atas lahantersebut. Pemetaan partisipatif 

merupakan salah satu solusi untukpenyelesaian konflik tenurial,tentunya dengan mengedepankan

keadilan, bukan sekedar hukumpositif. Akan tetapi pada sisi lain,

pemetaan partisipatif juga dapatdipakai untuk memanfaatkan ruang

secara lebih baik dan detail.

Strategi yang kemudiandikembangkan RMI adalahmenggunakan pemetaan partisipatif 

bukan sekedar ’community mapping’

tetapi menjadi ’community planning’.Perencanaan komunitas ini melaluitahap inventarisasi ruang, analisis

tapak, sintesis, dan perencanaan ruang.Proses ini diharapkan dapat

memfasilitasi masyarakat dalammengatur penggunaan ruang diwilayahnya sesuai karakteristiknya.

Hasil perencanaan komunitas ini jugadiharapkan diadopsi dan didukung

lewat kebijakan tata ruang di desa,kecamatan, daerah maupun kawasan.

Masyarakat sudah saatnya berdaulatatas ruang hidupnya bukan jadi korbandari perencanaan ruang untuk

kepentingan investasi dankepentingan lainnya di luar

kepentingannya.***