KabarJKPP11
Transcript of KabarJKPP11
![Page 1: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/1.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 1/14
![Page 2: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/2.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 2/14
MENCERMATI PERKEMBANGAN JKPP
DAN PEMETAAN PARTISIPATIFOleh : RESTU “GANDEN” ACHMALIADI
Ganden, Sekretaris Nasional JKPP darisejak berdiri tahun 1996 sampai
2003; saat ini sebagai SekretarisPelaksana Perkumpulan Kemala
Jawa (PKJ)
TIDAK terasa telah hampir 10 tahun perjalanan Jaringan Kerja PemetaanPartisipatif (JKPP). Lembaga yang didirikan pada Mei 1996 ini telah mencoba
mengembangkan community mapping – yang kemudian disebut pemetaanpartisipatif – dengan sekuat-kuatnya. Beberapa refleksi dan evaluasi telah
dilakukan, baik oleh JKPP sendiri maupun beberapa penelitian. Tulisan iniakan mencoba mencermati perjalanan JKPP, dan menajamkan beberapa mo-
mentum penting selama perjalanan JKPP. Tentu saja “pengamatan jalanan” iniberdasarkan versi saya, yang tentu saja akan berbeda apabila yang menuliskannyaorang lain.
ISU-ISU COMMUNITY BASE
Pada awal tahun 90-an, isu-isu yang berkaitan dengan community base dalam
pengelolaan sumberdaya alam menjadi arus utama berbagai program-programyang diinisiasi lembaga-lembaga donor, LSM, akademisi, dan lainnya baik ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan sampai saat ini pun isu-isucommunity base dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam tetapmenjadi arus utama dalam kegiatan-kegiatan programatik LSM, penelitian,
maupun program-program yang dirancang pemerintah.
Community base natural resource management (CBNRM) dan community baseforest management (CBFM) adalah dua contoh program-program dengan tekanan
kuat pada community base yang diusung oleh berbagai lembaga donorinternasional. Untuk konteks Indonesia, CBNRM diterjemahkan menjadipengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSDABM). Sistem Hutan
Kerakyatan (SHK) – ide awalnya digagas oleh beberapa LSM – adalah padanandari CBFM, meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indone-
sia.
Pemetaan partisipatif (PP) atau pemetaan berbasis masyarakat tumbuh danberkembang luas, secara langsung maupun tidak langsung, berkaitan erat dengan
maraknya isu-isu community base di Indonesia sejak awal 90-an. Pada awalnyametode-metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dikembangkan oleh
lembaga-lembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Pada mulanyapenggunaan metode ini hanya untuk kelengkapan proses ekstraksi data spasialyang lebih berperspektif persepsi masyarakat; yang mengambil manfaat utama
informasi spasial itu tentunya adalah lembaga-lembaga yang mengekstraksiinformasi spasial dari masyarakat tersebut. Pada mulanya metode ini juga
dimanfaatkan untuk mencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatulembaga telah berlangsung secara partisipatoris dengan pengambil manfaat utama
adalah lembaga yang mengembangkan program. Metode PP kemudianberkembang, baik metodologi teknisnya maupun metodologi sosialnya. JKPP
JKPP mencobamenempatkan
partisipasimasyarakatmenjadi kunci
dalam kegiatan PP.Dalam kegiatan PPmasyarakat lah
yang harusmenjadi
penyelenggara, penentu manfaat peta yang akandibuat, penentu
substansi pemetaan, pengontrol hasil,dan pelaku utamakegiatan
![Page 3: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/3.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 3/14
5
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
pengelolaan sumberdaya alamnusantara sangatlah luar biasa; tata cara
pengelolaan, kearifan tradisional,teknologi tradisional, obat-obatantradisional, kelembagaan ekonomi,
plasma nuftah yang dikembangkan dansebagainya. Sayangnya kekayaan
community base tidak mendapatperhatian yang cukup; bahkan
pemerintah terlalu terpukau dengan“metodologi barat” dalammemanfaatkan sumberdaya alam.
Padahal kekayaan community basenusantara bisa menjadi inspirasi utama
dalam meluruskan pengelolaansumberdaya alam nusantara yang saat
ini carut marut menuju kehancuran.PP bisa menggambarkan detail model-
model pengelolaan sumberdaya alamberbasis masyarakat yang sangatberaneka ragam; dan sekali lagi akan
sangat membantu pemerintah dalammengembangkan community baselebih lanjut atau menjadikannya acuandalam program pembangunan.
WORKSHOP
COMMUNITY MAPPING
DI FILIPINA DAN
PEMBENTUKAN JKPPSampai dengan tahun 1995-an parapengembang pemetaan yangmelibatkan masyarakat praktis masih
berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing mencoba mengembangkan
metode yang disesuaikan dengankebutuhannya masing-masing. Taraf
pengembangan metodenya pun masihdalam rangka uji coba dan terusberubah.
Pada Oktober 1995, PAFID (sebuah
LSM yang berkedudukan di Filipina)menyelenggarakan sebuah workshop
dengan tema perkembangan commu-nity mapping di berbagai belahan
dunia. Peserta-peserta dari berbagainegara yang diundang dalam work-shop tersebut: Indonesia, Panama,
Kanada, US, Malaysia, dan Filipina
sebagai tuan rumah. Workshop inimemberikan inspirasi yang kuat bagi
para peserta dari Indonesia untukmengembangkan community map-
ping lebih jauh. Di Amerika Latin dan
Canada, community mapping telahberkembang cukup lama, dan proses-
proses community mapping telahdiakui negara sebagai bagian proses
menuju pengakuan tenurial wilayahmasyarakat adat. Filipina telahmemiliki perundangan yang jelas
bagaimana prosedur menggunakancommunity mapping untuk
pengakuan wilayah masyarakat adat.Sangatlah jelas bahwa community mapping di Indonesia sangatketinggalan dibandingkan pengalaman
negara lain.
Setelah workshop, para peserta dari
Indonesia sempat berkumpul bersamadan secara singkat bertukar pikiran
tentang perkembangan community mapping di Indonesia. Kemudian
disepakati bahwa pada bulan Mei1996 akan diselenggarakan workshoptentang community mapping dengan
mengundang berbagai lembaga yangmulai mengembangkan community mapping di Indonesia.
Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) terbentuk pada workshop (Mei
1996) di Cigadog-Bogor. Selamahampir 10 tahun perjalanannya telahcukup panjang perkembangan com-munity mapping di Indonesia baikmetodologi, paradigma, perluasan,
maupun organisasi.
PERJALANAN
PARADIGMA
Pada awalnya, kegiatan pemetaanyang melibatkan masyarakat tarafnya
baru uji coba, sehingga terdapatbanyak ragam cara dan paradigma
yang menyertainya. Ada lembagayang menggunakan metode PP hanyauntuk melengkapi informasi spasial
dari suatu wilayah yang dikumpulkan
lembaganya – bisa merupakan bagiandari suatu riset atau merupakan
kegiatan tersendiri – sehinggainformasi spasial yang diinginkanmencitrakan pendapat masyarakat.
Karena pengumpulan informasi spasialsuatu topik tertentu menjadi tujuan
utamanya maka proses-prosespartisipasi menjadi lebih
dikesampingkan. Proses-prosesekstraksi informasi spasial darimasyarakat dilakukan sesuai dengan
topik informasi spasial yangdiinginkan, sesuai dengan rencana
kerja dan metode yang disiapkanlembaga penyelenggara. Sangatlah
jelas bahwa lempenyelenggaralah yang akan
mendapatkan manfaat dari informasispasial yang dikumpulkan denganmenggunakan metode PP; adapun
masyarakat hanya obyek yangdimintai keterangan atau justru
menjadi “porter” dalam proses dilapangan.
Pada pertengahan 1990-an – ketika isutentang pemetaan yang melibatkan
masyarakat mulai berkembang –beberapa lembaga besar mencoba
mengadopsi metode PP dalam
“proyek-proyeknya”. Ciri-ciri proyek-proyek tersebut; biasanya bekerja padasuatu wilayah yang luas, bertujuan
mengkombinasikan antara isukonservasi dan partisipasi masyarakat,serta cukup ambisius untuk mencapai
kondisi pengelolaan sumberdaya alamyang ideal untuk suatu kawasan. Pada
prakteknya proyek-proyek model initidak berhasil menjadikan masyarakat
sebagai subyek kegiatan atau gagal“mengajak” masyarakat berpartisipasipenuh dalam proyek-proyeknya. Pada
akhirnya – hampir sama denganmetode di atas – masyarakat hanya
menjadi “porter” saja, atau setengahhati terlibat dalam proyek-proyeknya.
Beberapa kemungkinan penyebabkekurangberhasilan proyek-proyektersebut: perencanaan proyek
dilakukan tanpa melibatkan
![Page 4: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/4.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 4/14
7
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
mendukung gerakan PP, karena PPakan memperkaya informasi yang
dimiliki pemerintah tentang detailkondisi bentang alam dan sosialdaerah-daerah perdesaan menurut versi
masyarakat; yang selama ini menjadikelemahan utama data-data
pemerintah.
PERJALANAN METODE
PP
Telah dikemukakan di atas bahwapada awalnya pemetaan dengan
melibatkan masyarakat dilakukandalam bentuk berbagai uji coba.Metode awalnya pun juga bervariasi
sesuai dengan tujuan dan latarbelakang masing-masing. Ada
beberapa latar belakang yangmendasari penggunaan metode ini :
a) ketidakpuasan penggunaan metodepeta sketsa dan metode transek dalam
participatory rural appraisal (PRA),
karena peta sketsa dan transek tidakmenggambarkan detail pemanfaatan
lahan di kampung, serta “terlalumudah” melakukannya; b)
ketidakpuasan penggunaan metodepenelitian dan survey konvensional
yang hanya memanfaatkan orangkampung sebagai obyek; c)ketidakpuasan penggunaan metode
pemetaan konvensional yangseringkali tidak mencantumkan/
menghilangkan kekayaan pengeta-huan keruangan masyarakat; d)
perlunya peta tertulis untukmenunjukkan klaim masyarakatterhadap suatu wilayah dalam proses-
proses advokasi sumberdaya alam.Beberapa metode PP yang
dipergunakan antara lain : a) metode
peta sketsa; b) metode pemetaandengan berdasarkan hasil survey(kompas, GPS); c) penggunaan GIS;d) metode pemetaan dengan alat bantu
penginderaan jarak jauh (citra satelit,peta radar, citra IKONOS); e) metode
peta 3 dimensi. Teknik-teknik surveydan pemetaan pada umumnya bisa
digunakan dalam PP. Penggunaanmetode biasanya tergantung pada luas
wilayah yang akan dipetakan, biayayang dipunyai, presisi yangdiinginkan, serta kemampuan teknis
lembaga masing-masing.Yang paling penting adalah bahwaproses PP tetap memelihara Kode Etik
JKPP, di mana masyarakat adalahpenentu dan penyelenggara PP. Parafasilitator PP tentunya harus selalu
meningkatkan kemampuannya, baikdalam hal tehnik pemetaan, proses
sosial, maupun kemampuanmemanfaatkan peta yang telah dibuat
untuk kepentingan kampung.
PEMETAAN
PARTISIPATIF:
TANTANGAN KE DEPAN
JKPP pada masa mendatang akanmenghadapi tantangan yang tidak
ringan. PP – sebagai aliran utama yangdikukuhi oleh JKPP – akan menghadapi
banyak ujian, baik di dalam pasangsurutnya konsistensi para anggota JKPP
terhadap PP maupun pengaruh-pengaruh eksternal di luar JKPP.
Berikut ini beberapa tantangan yangsangat mungkin dihadapi JKPP.
Pertama, PP sebagai metode yangmendukung komunitas-komunitas
marjinal secara idiologis terpaksaberhadap-hadapan dengan arus
dominan kapital yang hampir-hampirtiada lawannya saat ini. Aruskapitalisme – termasuk di Indonesia
– seakan-akan bagai gelombangraksasa yang tidak terlawan.
Kapitalisme, yang dikontrol daripusat-pusat industri besar dunia,
berkemauan menjadikan seluruh duniaini menjadi bumi industri yangtentunya juga akan mengindustrikan
atau menggerus berbagai wilayahhidup komunitas-komunitas marjinal.
Jelaslah industrialisasi dan aliran modalyang tidak terkontrol akan
menghancurkan daya dukung alam
menopang kehidupan dan merusakberbagai kearifan komunitas yang
telah beradaptasi selama ratusantahun. Mampukah komunitas-komunitas marjinal ini bertahan ?
Kedua, perubahan-perubahankebijakan yang lebih berpihak kepadakomunitas marjinal tidak kunjung
datang meskipun Reformasi telahterjadi pada tahun 1998. Kita bisamelihat di sekitar kita bahwa
Reformasi tidak banyak membuatperubahan. KKN menjadi lebih
canggih dan rumit. Lapisan-lapisanbirokrasi bagaikan tembok tebal yang
tidak tertembus, meskipun berbagaiaksi dan berbagai bentuk desakan
sangat kuat mengharapkan perubahantotal birokrasi; bertele-telenyabirokrasi membuat berbagai pihak
kelelahan dalam mendukungReformasi. Kasus-kasus yang berkaitan
dengan sumberdaya alam (konfliktanah, kebakaran hutan, pencemaran
lingkungan, ilegal logging , dan lainlain) menjadi kabur tindak lanjutnyakarena KKN dan kerumitan birokrasi.
Beberapa perubahan peraturan tentangsumberdaya alam telah dibuat, tetapi
substansinya hampir sama dengan
sebelumnya atau seringkali lebihburuk. Sulitnya perubahan kebijakanini menyebabkan kita semua
kelelahan dalam mengupayakanperubahan kebijakan. Mampukah PPtetap konsisten dengan perannya di
tengah kejenuhan mencari perbaikankebijakan?
Ketiga, sangat penting bagi para
pengembang PP untuk selalumeningkatkan kemampuan membuatpeta menjadi lebih komunikatif dan
menggunakan PP dengan metode yangbervariasi. Meskipun hampir semua
teknik pemetaan bisa dipergunakan,tetapi para fasilitator PP, pada saat ini,
sebagian besar menggunakan metodesurvey kompas dan GPS. Metode-metode pemetaan lain sangat baik
apabila dipelajari dan dipraktekkansehingga penggunaan metode
![Page 5: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/5.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 5/14
9
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
MENOLEH KEBELAKANG
Hari baru saja hujan, kendati tidak terlalu lebat. Jalan tanah yang dilalui bagaikankain basah yang kusut dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan
kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan
berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telahpenuh dengan tanah liat yang kuning kemerahan, sehingga harus dicungkiluntuk bisa jalan kembali. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekaliberputar dan berteriak disela kerimbunan kawasan hutan.
Jatuh terguling, bukan sesuatu yang asing. Namun sudah merupakan makanan
rutin dalam perjalanan menuju kampung-kampung dihulu sungai, baik desaBatu Kerbau, Batang Kibul ataupun Lubuk Bedorong. Letih dan ngilu pada lutut
dan siku seakan tidak berarti ketika puncak bubungan rumah dikampung sudahterlihat dari atas bukit. Terhampar dihadapan mata pemandangan indah bagai
lukisan para maestro. Pucuk-pucuk enau dan beringin seolah berebut memanahmatahari, kemudian menariknya perlahan hingga rata dengan bebatuan.Semburat merah kian pias, meluntur dalam rendaman lubuk yang berjajar
sepanjang jalan. Sementara itu anak-anak kecil dengan riang berloncatan darisulur beringin diiringi kecipratan air lubuk larangan, teriakan dan gelak tawa,
sedangkan ibu mereka asyik mebersihkan dulang yang dipakai mencari emassejak tengah hari tadi. Para pria dengan penuh konsentrasi memperhatikan
bandul pancing yang bergoyang dipermainkan ikan diluar lubuk larangan, dankeceprak.... seekor ikan semah sebesar pangkal lengan menggelepar.
Masyarakat adat yang hidup dihulu-hulu sungai telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk keperluan akan pemenuhan kebutuhan pangan,
MENATA RUANG, MEMBANGUN KESEPAHAMAN
OLEH : RAKHMAT HIDAYAT (WARSI-JAMBI)
Hal yang sangat
penting dibangun
adalahmempertahankan
kawasan hutan yang
tersisa sebagai
gantungan hidup
masyarakat, dengan
jalan mempengaruhi
kebijakan agar tidak
mengkonversikawasan dengan jalan
mempengaruhi
penyusunan
tataruang daerah
Peta penggunaan tanah masyarakat Desa Batu Kerbau setelah proses digitasi (Dok. WARSI)
![Page 6: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/6.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 6/14
11
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
berkelanjutandan berkeadilan sertamemperoleh pengakuan,
perlindungan dan dukungankebijakan.
Untuk itu masyarakat yang telah turun
temurun hidup disekitar dan didalamhutan harus diberi kesempatan untukmembuktikan kemampuannya
didalam mengelola sumberdaya alamagar berdampak nyata terhadapkesejahteraan rakyat yang
berkelanjutan, khususnya untuk a)mengembangkan sistim pengelolaan
hutan sesuai dengan pengetahuanlokal, praktek-praktek, tradisi, institusi
dan teknologi yang dimiliknya, b)melakukan pemantauan, pengawasan
dan perlindungan atas kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdayahutan serta dampak yang
ditimbulkannya, c) meningkatkankemampuan dalam penyampaian
informasi yang diperlukan untukperlindungan dan pengamanan
sumberdaya hutan dan d) membangunsistim nilai, norma dan kelembagaanyang mengarah pada prinsip
pengelolaan hutan yang adil dandemokratis.
Sejak tahun 1995 WARSI secara
berkala menganyam kesepahamandan kemitraan bersama masyarakat
didalam memutus kesewenanganpenguasa dan pengusaha yang terusmengeksploitasi sumberdaya alam
mereka. Ancaman dan intimidasimenjadi hal yang biasa, bahkan
pengalaman Datuk Rasyid salahseorang tokoh Adat di desa Batu
Kerbau bisa menjadi contoh. Kayu jelutung yang baru disadap sorekemarin, pagi harinya telah
“ditumbang” (istilah lokal untukiditebang) perusahaan, ketika diprotes
mereka mengancam akan menggusurdesa, sebab masuk dalam peta konsesi.
Diskusi awal dengan masyarakat
dilakukan untuk menemukenalipemahaman bersama,kesetiakawanan, kerelawanan dan
menguatkan militansi. Fase berikutnyamelakukan survei-survei sederhana
yang bertujuan untuk a)mengembangkan sistim pengelolaanhutan sesuai dengan pengetahuan
lokal, praktek-praktek, tradisi, institusidan teknologi yang dimiliknya, b)
melakukan pemantauan, pengawasandan perlindungan atas kegiatan-
kegiatan pengelolaan sumberdayahutan serta dampak yangditimbulkannya, c) meningkatkan
kemampuan dalam penyampaianinformasi yang diperlukan untuk
perlindungan dan pengamanansumberdaya hutan dan d) membangun
sistim nilai, norma dan kelembagaanyang mengarah pada prinsip
pengelolaan hutan yang adil dandemokratis.
Upaya refleksi bersama ternyatamenghasilkan keteguhan sikap dan
pengentalan militansi bahwa merekabisa mengelola sumberdayanya
sendiri, tanpa harus menjadikankawasan itu HPH/HTI, sawit, Translokataupun IPK. Pertemuan dusun dan
desa diinisiasi untuk merancangstrategi bersama menghadapi tekanan,
hasilnya dikeluarkannya Surat Kepala
Desa untuk membentuk kelompokpengelola sumberdaya alam BatuKerbau, pemetaan partisipatif, piagam
kesepakatan masyarakat danpembagian peran didalam prosespengakuan.
Secara teknis kegiatan yang
dilaksanakan melalui periodetingkatan pelaksanaan sebagai
berikut:a) pemetaan partisipatif terhadap kawasan yang akan diatur dandikelola oleh masyarakat, b)
penggalian aspirasi masyarakat, yaitumenghimpun ide-ide dari masyarakat
mengenai definisi hutan adat mereka,kegunaan hutan adat, cara pengelolaan
hutan adat dan sanksi-sanksi terhadappelanggaran. Selain itu juga dihimpunaturan-aturan mengenai pengelolaan
kawasan hutan yang telah ada (aturan
adat), c) penghimpunan aspirasimasyarakat, yaitu membuat kedalam
bentuk piagam tentang pengelolaanhutan adat dari aspirasi-aspirasi danaturan adat yang telah disepakati
masyarakat dan d) advokasi kebijakan,yaitu mengupayakan adanya suatu SK
Bupati yang mengukuhkan hutan adatdan adanya Perda yang mengatur
pengelolaan hutan berbasiskanmasyarakat.
MENDORONG
TATARUANG
MIKROPERAN
Untuk merubah pandangan Pemerintah
terhadap kemampuan masyarakatdidalam pengelolaan ruang mikro,
sudah waktunya dibangun wacana danparadigma baru yang lebih berorientasipada kesejahteraan masyarakat
disekitar dan didalam hutan jugaekologi, dimana negara melibatkan
dan memasukan dimensi pemahamanruang mikro oleh masyarakat didalam
kebijakan pengelolaan sumberdayahutan. Masyarakat adat dan lokalsebagai pemilik sumber daya alam
diwilayahnya, memiliki pengetahuan
dan informasi tentang potensi sertabatas-batas wilayah kekuasaanmereka. Umumnya pengetahuan
tersebut diperoleh secara lisan melaluicerita dari generasi sebelumnya.Pengakuan secara lisan yang
berkembang ditengah merekaakhirnya berkembang menjadi
kesepakatan yang dihargai olehmasyarakat disekitar dan terus
berkembang. Masyarakat laindisekitar juga akan melakukan hal
yang sama, sehingga masing–masingkelompok memiliki wilayah denganbatas-batas yang disepakati secara
lisan, dengan memakai tanda alam,seperti sungai, bukit, ataupun bentuk
lain dan kemudian menjadi batas yangdihormati.
Perkembangannya kemudian
![Page 7: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/7.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 7/14
13
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
upaya yang dilindungi oleh berbagaipayung hukum di republik ini.Beberapa payung hukum terkait
dengan hal itu adalah UUD 1945,Amandemen ke-2, pasal 28F, yang
berbunyi setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah danmenyampaikan informasi. KemudianUU No 28 Tahun1999 tentang
Penyelengaraan Negara Bebas KKN,dimana masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh danmemberikan informasi dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah, danberhak untuk menyampaikan
pendapat dan masukan terhadapkebijakan penyelenggaraan
pemerintah , ditambah dengan
Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun
1996 tentang Peran Serta Masyarakatdidalam Penataan Ruang danPermendagri No. 5 Tahun1998tentang Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang Propinsi danKabupaten/Kota.
Sebenarnya tataruang bukanlah
sesuatu yang baru bagi masyarakat,
jauh sebelum negara ini berdirimereka sudah mempunyai konsep-konsep pengelolaan ruang. Beberapa
warisan pemikiran yang bijaksenantiasa diturunkan oleh para tetua
adat, Ninik mamak dan lainnya lewatpetatah-petitih adat yang berbunyi
”Nan lereang ditanam tabu, nan gurunbuek ka parak, nan bancah jadikansawah, nan munggu ka pandam
pakuburan, nan gauang ka tabe ikan,nan lambah kubangan kabau, dan nan
padek ka parumahan” (dalam bahasaIndonesia berarti yang lereng ditanami
tebu, yang datar dibuat ladang, yangberlumpur di buat sawah,yang keringdibuat pekuburan, yang berair dibuat
kolam ikan, yang dilembag untukkubangan kerbau dan yang kersa untuk
pemukiman). Gambaran tersebut
merupakan bukti kalau secaratradisional masyarakat adat dan lokalsecara luar biasa telah mampumembuat perencanaan ruang
(tataruang mikro) yang berbasis padapotensi lokal. Ungkapan tersebut
menggambarkan adanya keterkaitanantara pemanfaatan lahan dengan
peruntukannya baik secara estetika,
keputusan penting didalam prosesmenuju pengakuan, baik terkaitdengan aspirasi pemanfaatan ruang dan
lahan menjadi hal yang palingmendasar dan tidak boleh tidak.
Pemerintah dalam hal ini PemerintahKabupaten sebagai pihak pemegang
dan pembuat kebijakan ditingkatmakro harus merespon danmengakomodasi kepentingan
masyarakat. Selain itu peran peta yangdihasilkan dari proses pemetaan
partisipatif dapat dipakai sebagai alatuntuk mediasi dan fasilitasi dalam
setiap penyelesaian batas danpemanfataan ruang. Lembaga adatkecamatan dan kabupaten berperan
sebagai sumber informasi danmemberikan masukan dan argumen
dalam pemanfaatan ruang dan
persoalan batas berdasarkan nilai-nilaidan ketentuan yang berlaku secaraturun temurun.
Tataruang Mikro sebagai wujud dariimplementasi peran serta masyarakat
didalam pengelolaan sumberdayahutan bukanlah sesuatu yang
mengada-ada, namun merupakan
Proses klarifikasi peta partisipatif oleh masyarakat (Dok. WARSI)
![Page 8: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/8.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 8/14
15
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
tahun 2000 dampak PP terasa berkuranTampaknya hal ini sangat dipengaru
oleh perubahan politik saat itu dimaprioritas-prioritas bisa saja berubah, at
kita kurang cepat melihat peluan
peluang baru. Dengan demikian JKharus meredefinisi gerakannya dengmengembangkan pendekatan-pendekatbaru untuk menanggapi keadaan sos
politik yang berbeda. Bila dulu JKbermain pada tingkat kampung, sud
saatnya jaringan ini main pada skala yalebih besar, misalnya pada pros
pembuatan RTRW Provinsi dan nasionutamanya dimana kekuatan korpormultinasional saat ini telah semakin ku
di era globalisasi ekonomi saat iTeknologi yang ada sekarang sang
memungkin intervensi demikian.
Apa penilaian Anda tentang JKPP sebagsebuah gerakan sosial?
Saya pikir selama ini JKPP berhamelakukan kampanye tentang adanya P
tetapi jaringan ini belumengembangkan dirinya sebagai sebu
gerakan yang masif dan belumenempatkan dirinya dalam gerak
sosial yang lebih luas. JKPP perlu ju
lebih banyak bermain dalam advokkebijakan dan membuka ruang-rua
politik dimana proses pemetaan kampubisa menjadi lebih efektif unt
mengklaim tanah, teritori dan sumberdarakyat. Dengan makin kuatnya kekuasa
korporasi multinasional yang menjapemain utama dalam globalisasi, JKdituntut untuk lebih kreatif dala
mengembangkan gerakan PP. Apalasasaran perusahaan-perusahaan terseb
adalah tanah-tanah rakyat. Dengdemikian JKPP memiliki peran sent
dalam upaya perlindungan tanah-tantersebut. Dalam upaya tersebut JKPP pe
mengembangkan kerjasama dengberbagai jaringan lain seperti KPSHKPA, Jatam, WALHI, dll. ***
inisiatif ini, namun kerjasama ataupengembangan PP lebih merupakan
inisiatif ornop ke ornop. Tidak adadorongan lembaga-lembaga dana,meskipun saya pikir mereka cukup tertarik
dengan prakarsa ini. Harus diakui pulapengembangan PP ini bisa berjalan karena
dukungan mereka, tetapi secara politikinisiatif ini merupakan murni gagasan para
ornop dan komunitas masyarakat adat.
Bagaimana pengaruh pemetaan di
Kayan Mentarang yang mulai padatahun 1992 terhadap program PP diPLASMA?
Tidak ada pengaruh langsung. Kamimendengar kegiatan pemetaan di Kayan
Mentarang dari staf WWF, terutamaMartua Sirait. Tapi kami mengembangkan
sendiri metode pemetaan. Berbedadengan PPSDAK yang lebih menekankanpada percepatan proses pemetaan tanah
adat, kami lebih menekankan padapemetaan sebagai bagian dari
pengorganisasian, mobilisasi danperencanaan kampung. Dalam pemetaan
kami mengajak penduduk kampunguntuk mendiskusikan visi mereka tentangmasa depan kampung mereka,
memprediksi ancaman-ancaman sertamengantisipasinya.
Apa harapan Andadan PLASMA saat
JKPP berdiri?
Setelah beberapatahun melaksanakan
program PP, kamimenyadari bahwa
kegiatan pemetaanoleh Ornop sudah
terjadi di banyaktempat. Dampakpemetaan yang
dilakukan mulaiterasa di tingkat
lokal, tetapi kamim e m b u t u h k a n
lembaga yang bisa mempengaruhi
kebijakan penataan ruang di tingkatnasional. Untuk itulah saat para peserta
lokakarya pemetaan partisipatif di Bogorpada pertengahan tahun 1996 seluruh
peserta sepakat untuk mendirikan JKPP.PLASMA menjadi salah satu anggota
pertama jaringan ini. Setelah JKPP berdirikami berharap bahwa jaringan ini bisamengembangkan metodologi PP dan
memperluas gerakan PP di Indonesia. Saatitu beberapa Ornop yang memiliki pro-
gram pemetaan yang sangat baik sepertiPPSDAK, tetapi banyak juga yang baru
mau belajar tentang pemetaan.Disamping itu juga, kami merasakansebuah kebutuhan untuk
mengembangkan PP sebagai sebuahproses politik. Kami berharap sebuah
koalisi seperti JKPP bisa memobilisasimenjadi sebuah proses yang lebih politis.
Pemetaan sangat politik karena berbicaramengenai tanah, teritori dan sumberdayaalam.
Menurut Anda bagaimana
perkembangan JKPP selama selama ini?
Saya melihat bahwa pada tiga/empattahun pertama JKPP mampu mendorong
perkembangan gerakan pemetaan dengancepat, terutama dalam menyebarkan
metodologi pemetaan. Namun sejak
![Page 9: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/9.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 9/14
17
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
di atas kertas untuk pertama kalinya,tetapi juga dengan membuat gambaran
visual tentang bagaimana merekamengelola sumberdaya alamnya.
Karena bentuknya yang visual, - peta
memiliki potensi untuk menjadisebuah “bahasa pengantar” yang bisadimengerti baikoleh pejabat
pemerintah maupun para pendudukdesa.
Potensi peta sebagai “bahasapengantar” dapat terwujud hanya bila
ada kemauan kedua belah pihak untukmenggunakan bahasa tersebut, untuk
berkomunikasi, untuk mendengarkandan untuk memahami bersama.
Kemauan untuk berdialog adalah
kuncinya. Untuk penduduk desakemauan untuk berkomunikasi
dengan pemerintah meningkat ketikamereka terorganisir lebih baik dan
memiliki kepercayaan pada juru bicaramereka. Untuk para pejabat
pemerintah kemauan timbul melaluipendidikan dan pemupukankesadaran, yang mengembangkan
wawasan yang lebih luas tentangaspek-aspek sosial, lingkungan dan
ekonomi dari putusan kebijakanpemerintah dan penghargaan terhadap
keadaan dari masyarakat pedesaan.Maka, agar dapat digunakan sebagaialat yang efektif untuk meraih/
mendapatkan pengakuan terhadap hakatas tanah dan penyelesaian sengketa
tanah, peta perlu digunakan dalamkonteks sebagai sebuah proses
pendidikan dan pengembangankepercayaan.
PENGALAMAN DARI
FIRST NATIONS,
CANADAMengapa penekanan pada pemetaanberskala spasial? Ketika kami bekerja
untuk mengembangkan danmengajarkan metode-metode
Pemetaan Partisipatif yang sesuaidengan konteks Indonesia, saya tentusaja terpengaruh oleh metode
Pemetaan Partisipatif di negara asalsaya, Kanada. Masyarakat adat di
Kanada, yang dikenal sebagai FirstNations, mulai memetakan “daerah
jelajah dan daerah pemukiman” (land
use and occupancy ) mereka pada tahun1970. Mereka memiliki pendanaan
yang cukup untuk mengerjakanpemetaan. Mereka sudah terorganisasi
cukup baik dalam arti bahwa merekalembaga-lembaga “demokratis” yangberfungsi pada tingkat komunitas dan
suku. Artinya bahwa masyarakat dapatmemilih dan melatih sebuah tim
pemetaan, yang dipilih dari komunitastersebut, dan yakin bahwa tim tersebut
akan mewakili kepentingan dariseluruh komunitas. Hal itu juga berarti
bahwa peta-peta yang dihasilkan akandiajukan kepada pemerintah oleh jurubicara , perunding, bahkan pengacara
hukum yang dipilih masyarakat.Masyarakat adat Kanada tahu bahwa
lahan yang sangat luas dan sumberdaya yang sangat besar menjadi
taruhan dalam perundingan mereka,dan perjuangan panjang akan hak atastanah akan melibatkan pengadilan.
Agar peta dapat dipakai dalampemeriksaan hukum dan perundingan
tingkat tinggi peta-peta tersebut harusmemiliki skala, memakai metode
standar, dan juga harus konsisten danmemiliki akurasi yang memadai untukmetode dan skala peta yang dipakai.
Anggota-anggota JKPP pertamaberharap bahwa peta-peta komunitas
yang dibuat berskala akan mempunyaikredibilitas dan kepastian dalam
pembahasan dan perundingan tentanghak atas tanah dan sengketapemanfaatan lahan.
Peta berskala memang meningkatkan
kredibilitas, tetapi bukan tanpamasalah. Akibat sifat birokrasi Indo-
nesia yang teknokratis, adakecenderungan untuk memusatkan
perhatian pada teknologi pemetaandan perdebatan tentang akurasi dankeabsahan teknis peta. Inti penting
dari dikusi ini menjadi hilang, yaitu
apakah masyarakat lokal mempunyaidasar untuk mengklaim penguasaan
tanah dan sumber daya yang merekakelola secara tradisional. Dialogmemang akan lebih jelas bila
memakai peta berskala dibandingkandengan peta sketsa. Namun untuk
menghindari keterpakuan pada akurasiteknologi peta, proses pendidikan
jangka panjang tentang sistem-sistempengelolaan sumber daya secaratradisional menjadi hal yang juga
penting.
Dengan melakukan sendiri pemetaanberskala para penduduk desa
mendapatkan kepercayaan diri dankredibilitas. Dalam banyak
kesempatan para pejabat pemerintahIndonesia menunjukkan keterkejutanmereka setelah mengetahui bahwa
masyarakat desa mampu melakukansurvei lapangan dan membuat peta
berskala. Pemetaan berskala berbasismasyarakat meningkatkan keahlian
dan kemampuan anggota masyarakatdan menunjukkan kepada pemerintahbahwa masyarakat pun mampu
mengelola sumber daya merekasendiri dan berhubungan secara efektif
dengan instansi pengelolaan lahan
yang terkait. Dengan kata lain, hal inimenunjukkan bahwa masyarakat lokalbisa mengelola sumber daya alam
mereka secara tradisional danmenggunakan cara-cara modern dalamperencanaan, pemantauan dan
dokumentasi. Tetapi sekali lagi, petaberskala bisa mendorong kredibilitas
hanya bila ada masyarakat yangkohesif dan teroganisasi baik yang
berdiri di belakang isi peta sertamengajukan diri untuk memaparkanpeta-peta mereka.
Pemetaan berskala memang adalah
suatu kegiatan teknis, walaupun bisadiajarkan dengan cara sederhana. Saya
telah melihat sejumlah penduduk desayang hanya memiliki sedikitpendidikan formal merasa sangat puas
setelah belajar pemetaan berskala
![Page 10: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/10.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 10/14
19
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
PEMETAAN partisipatif (PP) di Kalimantan Barat pertama kali dilakukan di SidasDaya pada tahun 1994 dan berkembang makin pesat setelah pembentukan
Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasihpada tahun 1995. Sampai dengan bulan Desember 2004 lembaga ini telah
memetakan 263 kampung yang tersebar di sembilan kabupaten dengan luascakupan 1.135.415,89 hektar atau 7,58% dari luas wilayah provinsi Kalimantan
Barat. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun PPSDAK merasakan bahwaprogram pemetaan partisipatif yang dilakukan selama ini belum memberidampak politik yang signifikan terhadap pengurusan dan penguasaan sumber
daya alam dan dalam beberapa kasus justru menimbulkan dampak-dampak yangtidak diinginkan di kampung-kampung yang telah dipetakan. Berangkat dari
kesadaran tersebut, PPSDAK memutuskan untuk melakukan refleksi mendalamterhadap program yang dilakukan sampai saat ini.
Refleksi yang berlangsung dalam bentuk lokakarya ini dilaksanakan di Aula
Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Pancur Kasih ini bertujuan untuk mengulaskegiatan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat, melihat kembali metodologi
PP dalam konteks perubahan politik yang sedang berlangsung, menggali peluangdan harapan dalam mengembangkan PP sebagai upaya pemberdayaan rakyatsecara menyeluruh dan berkelanjutan, membangun mekanisme kerja antar
LSM dan lembaga lokal dalam pelaksanaan kegiatan PP, dan meningkatkankapasitas staf PPSDAK dalam mengelola konflik di lapangan. Para peserta
kebanyakan tetap bertahan selama tiga hari pertemuan dengan antusiasme tinggiwalaupun acara berlangsung di akhir minggu. Antusiasme yang tinggi initampaknya muncul karena pertemuan ini adalah pertemuan pertama berbagai
Rangkuman Diskusi
REFLEKSI GERAKAN PEMETAAN
PARTISIPATIF DI KALIMANTAN BARATOLEH : A. HADI PRAMONO
komponen Pancur Kasih setelah
kegagalan seorang kadernya dalampemilihan kepala daerah (Pilkada) diSekadau. Akibatnya nuansa politis
terhadap kegiatan refleksi ini terasakental yang justru menguntungkan di
tengah lemahnya dampak politis darigerakan PP.
Lokakarya yang dipandu oleh Abdon
Nababan dan Ita Natalia dimulaidengan sebuah diskusi panel untukmemberi gambaran tentang
pengalaman-pengalaman beberapalembaga dalam pendampingan
masyarakat setelah pemetaankampung berlangsung. Tiga panelis
yang memaparkan pengalamanpelaksanaan PP di lembaga masing-masing.adalah John Bamba dari Institut
Dayakologi (ID), Sem dari YayasanPupuk Tagua, dan Leo Teddy dari
Yayasan Biodamar.
BERIKUT ADALAH
PEMAPARAN DARI
PARA PANELIS;
John Bamba, salah satu inisiator
gerakan PP di Kalbar, memulaipemaparannya dengan melakukankilas balik atas gerakan PP di provinsi
ini. Kekuatan peta “ditemukan” secaratak sengaja oleh sejumlah penggiat
lingkungan dalam lingkaran WALHI.Mereka mendapati bahwa pada tahun
1990 masyarakat kampung TeringLama di Kalimantan Timur berhasilmempertahankan kampung mereka
dari caplokan sebuah perusahaanemas, PT. Kelian Equator Mining
dengan menggunakan sebuah petayang dibuat pada jaman Hindia
Belanda. Pada tahun 1992 kegiatan PP
Para aktivis Kalimantan Barat melakukan refleksi gerakan pemetaan partisipatif (Dok. JKPP)
![Page 11: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/11.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 11/14
21
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
Sementara itu masyarakat adatmemiliki sistem teritorialitas sendiri
yang lebih cair (fleksibel atau tidakkaku) dan kompleks. Pada sebuahbidang tanah, misalnya, seringkali
menggunakan batas batas alam bisa jadi ada beberapa pihak yang memiliki
hak yang berbeda-beda atas tanah danatau tumbuhan di atasnya. Untuk
menyatakan teritorialitas dan klaimnyaberbagai kelompok masyarakat adatmemakai berbagai macam bentuk
komunikasi seperti lagu, syair, lukisan,dan sebagainya. Dengan demikian ada
perbedaan dan benturan filsafat sertanilai dalam memetakan suatu wilayah
adat. Tantangannya adalah bagaimanamengubah teknologi pemetaan mod-
ern agar bisa merepresentasikompleksitas penguasaan ruang didalam masyarakat, atau bermain
dalam teknologi yang ada tapikompleksitas penguasaan tetap bisa
berlangsung. Dengan kata lain,bagaimanakah para aktivis PP
mengarusutamakan pengetahuan aslidalam PP?
John Bamba juga mengulas dampak-dampak dari tujuan eksternal. Pilihan
untuk memetakan batas-batas
kampung atau desa sebagai unit sosial-politik menimbulkan pertanyaan. Dimana sebenarnya posisi PP terhadap
tata kuasa kawasan negara? Denganmemetakan kampung/desa PPterjebak dengan wilayah administrasi
pemerintahan, yang kemudianberakibat pada delegitimasi
masyarakat adat dan negaraisasi sistim-sistim adat. Kemudian dalam peta ada
kolom tanda tangan pejabatpemerintah, tetapi pertanyaannya‘apakah perlu pemetaan memperoleh
pengakuan dari negara?.’ Hal ini terjadikarena masyarakat sendiri sudah
terkooptasi, sehingga persepsi dankeinginan bahwa peta harus mengikuti
satuan administrasi pemerintah jugakarena ada ketakutan atas sah atautidaknya peta-peta yang dihasilkan.
Namun tidak bisa dipungkiri hal
tersebut mungkin akibat persepsi yangkeliru dari Ornop pendamping.
Contoh kongkrit dari persoalan inimuncul dalam pemaparan Sam.Masyarakat Krio Bihak bingung dalam
menentukan status hutan yang beradadi luar cakupan batas-batas kampung
yang mereka petakan. Apakah daerahitu masuk dalam kawasan masyarakat
adat, atau wilayah negara atau bahkanwilayah tak bertuan? YPT pun, sebagaipendamping, tidak bisa menjawab
persoalan ini yang tampaknya jugaterperangkap dalam wacana yang
dipakai negara.
Ada beberapa persoalan metodologiyang muncul dalam lokakarya ini.
Pertama, selama ini metode PPcenderung seragam tanpamempedulikan perbedaan kondisi dan
kebutuhan masyarakat yangwilayahnya dipetakan. Padahal,
meminjam wacana manajemen, pal-ing sedikit ada tiga tingkat kondisi
masyarakat yang perlu diperhatikan:penyelamatan (damage control),pemulihan (recovery ) dan investasi.
Hal ini berarti metodologi tidak bisaseragam di semua tempat, tetapi harus
memperhatikan berada pada tingkatan
yang mana suatu masyarakat saatpemetaan akan dimulai. Persoalan lainadalah komitmen pendampingan oleh
Ornop yang membantu pemetaan.Selama ini, jarang sekali Ornop yangmemiliki kelanjutan dalam
pengorganisasian masyarakat sesudahpemetaan. Ada kesan bahwa Ornop
yang aktif dalam PP melakukan“tabrak lari,” sehingga sepertinya
persoalan-persoalan yang munculkemudian bukan lagi urusan mereka.Leo Teddy mengingatkan bahwa
kelanjutan pendampingan atasmasalah-masalah yang dihadapi perlu
dipertahankan meski tidak lagi bekerjadi wilayah yang telah dipetakan.
Selanjutnya dalam diskusi sebagianpeserta menilai bahwa sebagai sebuah
gerakan sosial gaung gerakan PP masih
belum terasa di tingkat nasional.Kelemahan ini terjadi karena gerakan
PP selama ini cenderung menekankankepentingan ekonomi dan ekologi biladilihat dari jenis-jenis peta yang
dihasilkan, yaitu batas kampung dantata guna lahan. Dengan demikian
sampai saat ini gerakan PP masihberupa gerakan kultural yang bertujuan
untuk mendidik masyarakat, tetapibelum mengembangkan komponenkedua dari gerakan sosial yaitu sebagai
sebuah gerakan politik. Untuk sampaike sana gerakan PP perlu memiliki
perspektif ideologis dan politik yangkuat sebagai sebuah gerakan sosial.
Namun bukan berarti kondisi saat inisalah, karena pilihan sebagai gerakan
kultural tidak lepas dari sejarahgerakan. Saat gerakan PP dimulaipersoalan penyelamatan wilayah
masyarakat adat dan menahankerusakan ekologis dari pencaplokan
oleh negara dan kepentingan bisnismenjadi alasan utama pemetaan. Di
masa depan PP harus dijadikan suatugerakan politik masyarakat adat.Namun tantangannya adalah
bagaimana membuka ruang hidupmasyarakat adat dan memposisikan
pekerjaan PP dalam ranah politikseperti sekarang ini.
Berdasarkan pemaparan oleh para
panelis dan diskusi di antara parapeserta, Abdon Nababan selakufasilitator mengajak para peserta untuk
merefleksi pengalaman gerakan PPselama 10 tahun di KALBAR melalui
tiga pertanyaan:
1. Apa yang seharusnya tidak kitalakukan di masa lalu?
2. Apa yang yang seharusnya kita
lanjutkan dari masa lalu?3. Apa upaya-upaya baru yang perlu
kita lakukan memperkuat PP di
masa depan?
Peserta kemudian berdiskusi dalam
dua kelompok dengan pertanyaanyang sama. Hasil diskusi tersebut
adalah sebagai berikut:
![Page 12: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/12.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 12/14
23
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
sedangkan kelompok keduamendiskusikan tujuan PP dalam
memperkuat gerakan politik baik dikebijakan publik atau kekuasaan.
Sebagai sebuah gerakan kultural
tujuan PP di Kalbar adalah bahwamasyarakat adat mampu merebut,mempertahankan, memulihkan dan
mengurus kawasan adat terutamatanah adat dan hutan adat. Sedangkanstrategi yang ditawarkan adalah:
1. Mempertahankan – PP sebagai alat
pengorganisasian untukmelahirkan tindakan kolektif
dalam mempertahankan tanah danhutan adat.
2. Memulihkan – PP sebagai alat
perencanaan, pelaksanaan danmonitoring dan evaluasi untukmemulihkan tanah adat dan hutan
adat yang rusak.
3. Mengurus – PP sebagai alat
perencanaan, pelaksanaan danmonitoring dalam mengurus tanah
adat dan hutan secara efektif sesuaidengan pengetahuan lokal,
inovatif, adil dan lestari.
Sebagai sebuah gerakan politik tujuanPP di Kalbar adalah penghormatan
dan perlindungan terhadap kawasanadat/lokal dan dikuasainya ruangpolitik oleh rakyat. Adapun strategi
untuk mencapai kedua tujuan tersebutadalah:
• Strategi 1: PP sebagai alat untuk
membangun basis massa/ konstituen politik
• Strategi 2: PP sebagai media untukmembentuk penggerak/penggiat
politik dari rakyat
Prinsip-prinsip Pemetaan Partisipatif:
• Musyawarah sebagai pengambilkeputusan tertinggi dalam
penggunaan peta.
• Inisiatif dan metode pemetaan
dilakukan berdasarkan kebutuhanrakyat setempat.
• Pemetaan dilakukan pada kawasanadat yang sudah diorganisir.
• PP mendorong partisipasi yangbermakna dari para anggota sebuah
komunitas.
• Berdasarkan pengetahuan lokal.
• Ada tindak lanjut yang jelas setelahpemetaan (misalnya dalam bentuk
keberlanjutan dan rencana tindaklanjut).
• Pemetaan harus dilakukan secarakontekstual.
• Informasi tentang batas luar klaim
masyarakat terbuka untukdipublikasikan ke pihak luar,sedangakan informasi untuk batas
dalam harus melalui musyawarah
kampung.
Perubahan yang harus dilakukan dalamMetodologi adalah:
• Penelitian awal/studi kelayakan.
• Diskusi kritis dengan para anggotamasyarakat tentang PP sebelumkegiatan pemetaan dilakukan.
• Perencanaan kawasan adat pasca-
pemetaan oleh pendampingpemetaan partisipatif (PPP-Pendamping Pemetaan
Partisipatif).
• PP (baik peta atau prosesnya) adalahalat untuk mencapai tujuan, bukanpetanya yang justru menjadi
tujuan.
• Tema peta disesuaikan dengantujuan PP di masing-masingkampung.
Prinsip-prinsip kerja bersama :
• Kesamaan tujuan ( platform) dan
metodologi dari para pihak/organ-organ gerakan yang diikat dalamsatu entitas.
• Fleksibelitas strategi dalammencapai tujuan.
• Menciptakan relasi/konstituen/ba-
sis massa dan pekerja/aktivis
politik.
• Swadaya.
Bagi peran dan mekanisme kerjasama:
• Pembagian peran dengan
pendekatan teritorial• Ada mekanisme monitoring,
evaluasi dan komunikasi bersama
• Pembagian peran dalampengelolaan isu dengan
memperhatikan segmentasi
• Pembagian peran dalampengelolaan logistik
• Pembagian peran dalamkomunikasi politik
• Penguasaan isu di ruang-ruang
publikSedangkan rencana kegiatan tindak
lanjut yang diusulkan keduakelompok adalah:
• Lokakarya perumusan metodologi
PP oleh PPSDAK
• Lokakarya pembuatan dan
penyusunan modul oleh PPSDAK.
• Refleksi bagi para CommunityMapper
• Peningkatan Kapasitas P3K
(Pendamping Pemetaan Partisipatif Kampung) .
• Pembuatan modul PP sebagai
sarana pengorganisasian politikkonstituen massa kritis
• Penyusun Platform gerakan politikpenataan ruang
• Training of Trainer (ToT) politik
![Page 13: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/13.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 13/14
25
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
RMI & PEMETAAN
PARTISIPATIF
RMI The Indonesian Institute For For-est and Environment, sebuah lembaga
non pemerintah yang mempunyaiperhatian pada issu lingkungan dankehutanan memulai pembelajaranlapang tentang pengelolaan
sumberdaya hutan di kawasan ini padaakhir 1997. Kondisi di atas menjadi
perhatian tersendiri RMI dalammensikapi pengelolaan Kawasan
Ekosistem Halimun.
RMI memulai pembelajarannya dariDesa Malasari – Bogor atau KawasanEkosistem Halimun sebelah timur.
Dari daerah inilah RMI melihat adaketimpangan struktur penguasaan
lahan. Untuk memperjelas haltersebut maka dilakukan pemetaan
partisipatif pada tahun 1998 dimanamemperlihatkan tata guna lahan yangtidak adil antara masyarakat dan pihak
luar. Metode pemetaan partisipatif inikemudian mengiringi hampir seluruh
lokasi dampingan RMI di KawasanEkosistem Halimun, yaitu Desa
Malasari, Desa Kiarasai, KampungNyungcung, Kampung Parigi
(Kabupaten Bogor), Desa Sirnaresmi(Kabupaten Sukabumi), DesaMekarsari, Kasepuhan Citorek,
Kasepuhan Cibedug (KabupatenLebak). Pemetaan partisipatif juga
merupakan alat pengorganisasianmasyarakat dalam memperjelas danmemperjuangkan wilayah kelolanya,
selain alat negosiasi.
Tahapan yang dilalui RMI dalampemetaan partisipatif adalah sebagai
berikut :
1. Perkenalan (introduksi) gagasanpemetaan partisipatif
Jauh sebelum melakukan pemetaanpartisipatif langkah awal adalah
adanya satu perkenalan (introduksi)gagasan pemetaan melalui obrolan
kampung atau semacam diskusi infor-mal. Obrolan-obrolan kampung ini
biasanya akan bermuara menjadi temadiskusi berikutnya dan cenderung
dilakukan pada riungan kampung yanglebih resmi serta dibuatnya catatanpenting yang menjadi kesepakatan
komunal (tingkat kampung/desa/ wewengkon adat), bahkan dibeberapa
tempat pada saat itu juga disusuntahapan kegiatan yang berhubungan
dengan penelusuran ruang-ruangkelola warga sekaligus pembicaraanpenggalangan dana melalui swadaya
masyarakat
2. Penggalian informasi dasar
Pencatatan informasi wilayah yangmenyangkut aspek biofisik dan sosialekonomi serta bentuk atau sistem
pengelolaan sumber daya alam yangdidasarkan pada kearifan lokal. Hal ini
biasanya dilakukan melaui obrolanbahkan dilakukan juga melalui riungan
kampung dan survei (transek ) dilapangan sampai menghasilkan gambarsederhana berdasarkan pemahaman
dan pengetahuan warga (sketsa). Dilain pihak RMI yang memfasilitasi
proses pemetaan partisipatif melakukan pencarian informasi seperti
peta dasar (Peta Topografi dan Petalainnya dari Bakosurtanal) juga alat dan
bahan yang nantinya relatif mudah dansederhana digunakan oleh warga sertainformasi-informasi lainnya yang
relatif sukar diperoleh oleh wargatermasuk kaitan kebijakan yang
menyangkut pemetaan partisipatif
3. Pelatihan alat pemetaan
Untuk mempermudah kegiatan
pemetaan dalam menelusuri batas-batas dan ruang-ruang kelola warga
maka dilakukan juga tahappemahaman dan pelatihan alat. Pada
tahap ini ada satu transformasipengetahuan alat pemetaan, yangdilakukan oleh RMI sebagai fasilitator
kepada warga yang berencana akanmelakukan pemetaan. Pelatihan yang
diberikan adalah pengenalan danpenggunaan alat pemetaan (GPS danKompas).
4. Pemetaan Partisipatif
Perencanaan pelaksanaan pemetaan
disusun bersama dengan membentuktim pemetaan. Tim ini terdiri dari
pemegang GPS, pemegang kompas,
pencatat data, perintis jalan, penandapatok, dan logistik jika diperlukanmenginap. Biasanya tim terdiri dari6-9 orang, tetapi bisa juga banyak jika
warga lain ingin berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya. Tim ini
mengambil data di lapang sesuaiperencanaan dan kebutuhan
masyarakat akan peta yang akandibuat.
5. Penggambaran Peta
Penggambaran peta adalah proses
mengalihkan catatan-catatan hasilpenelusuran data di lapang menjadi
sebuah gambar peta yang relatif proporsional/skalatis. Penggambaran
ini memperhatikan skala yang akandibuat dan menampilkan informasi
penting dari lapang. Penggambarandilakukan di tempat yang reprentatif
di lokasi, tetapi sebagian besardilakukan di RMI karena pertimbanganperalatan pendukung.
6. Sosialisasi dan Pengesahan Peta
Sosialisasi dan Pengesahan Petamerupakan tahap untuk membuat
kesepakatan atas peta yang telahdibuat. Sosialisasi peta adalah tahapan
untuk menyampaikan hasilpenggambaran yang telah dilakukan
dengan harapan mendapat masukandan koreksi atas peta yang telah dibuat.Masukan dan koreksi dapat diberikan
untuk kemudian membuat revisi peta jika diperlukan. Pengesahan
dilakukan jika masyarakat setuju atasinformasi yang tercantum dalam peta,
hal itu dapat dibuktikan denganmencantumkan tanda-tangan atau cap
jempol pada lembar pengesahan.
Pihak-pihak yang biasanyamembubuhkan tanda tangan atau cap
jempolnya adalah tokoh masyarakat/ adat/pemerintah desa, pelaku
pemetaan, masyarakat umum dan juga
![Page 14: KabarJKPP11](https://reader031.fdokumen.com/reader031/viewer/2022020807/5571ff1149795991699c956a/html5/thumbnails/14.jpg)
5/13/2018 KabarJKPP11 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/kabarjkpp11 14/14
27
10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF
menginformasikan perkembanganbaik dari RMI kepada warga ataupun
sebaliknya.
Ketika pasca pemetaan dan
pengesahan peta sudah dilakukan hal
yang sering muncul ke permukaanadalah ketidaksabaran warga danhanya memandang cukup dengan peta
untuk melakukan negosiasi denganpara pihak, sehingga seperti yangsudah disebutkan diatas bahwa
kepentingan peta hanya untuk keluar.Sedangkan upaya penguatan ke dalam
(warga) sebelum melakukan negosiasipenting dilakukan, seperti wacana
pemetaan partisipatif bisa di bicarakankembali sehingga akan bisa dipahami
oleh hampir semua warga. Denganmemainkan berbagi peran RMIsebagai fasilitator mencoba mencari
berbagai informasi lainnya yangberkaitan dengan peluang kebijakan
penataan ruang dan celah negosiasidengan berbagai pihak, atau warga
juga bisa memainkan strateginyaketika mempunyai akses dan peluangterhadap birokrasi.
EVALUASI DAN
REFLEKSI PEMETAANPERTISIPATIF : PROSES
MENCARI STRATEGI
BARU
Pemetaan partisipatif menjadi salah
satu alat RMI bersama masyarakatdalam melakukan pembelajaran di
Kawasan Ekosistem Halimun. Selamakurun waktu 8 tahun (1997 – 2005)pemetaan partisipatif hampir selalu
dilakukan dalam berproses di 8 lokasipembelajaran. Beberapa inisiasi dan
kreativitas pun dikembangkan dalammetode pemetaan partisipatif.
Beberapa hal yang menjadi catatanpenting ketika RMI bersamamasyarakat melakukan Refleksi dan
Pemetaan Partisipatif di KawasanEkosistem Halimun pada 29-30 Sep-
tember 2005 adalah :
1. Tujuan Pemetaan Partisipatif :
1. Untuk menyelesaikan masalah
(tumpang tindih lahan,keterbatasan lahan)
2. Untuk perencanaan tata ruang,
tata guna lahan desa
3. Membantu penyusunan pro-posal pengembangan desa
2. Peta harus dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk mencapai tujuansehingga tidak berhenti ketika peta
jadi saja. Perencanaan ruang
menjadi alat untuk memperjelasrencana penggunaan lahan dan
ruang oleh masyarakat.Pengembangan konsep
pengelolaan ruang oleh
masyarakat menjadi penting untuklandasan untuk memperoleh
pengakuan dari berbagai pihak.
3. KDTK (Kampung Dengan TujuanKonservasi) adalah konsepperencanaan ruang yang
dikembangkan oleh masyarakatKampung Nyungcung-Desa
Malasari-Bogor. KDTK merupakankonsep pengelolaan masyarakat
lokal di kawasan konservasi
4. Perencanaan Wewengkon
dikembangkan oleh KasepuhanCibedug-Lebak untuk mengelola
ruang adatnya. Konsep iniberlandaskan kearifan masyarakatadat dalam kawasan konservasi.
5. Selain organisasi rakyat yang kuatdan peta partisipatif sebagai syarat
dalam perjuangan kejelasan lahan,serta perencanaan ruang
masyarakat juga diperlukan upayauntuk mendialogkan maksud dan
tujuan tersebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam mendialogkan pemetaanpartisipatif dan tujuan yang ingin
dicapai kepada pihak-pihak yangberkepentingan tidaklah mudah.
Dalam dialog yang dilakukan,pemerintah masih memandang bahwa
pemetaan adalah tugas dan
kewenangan dari pemerintah danmetode yang digunakannya juga harus
mengikuti petunjuk yang telahditetapkan. Sementara beberapa
kalangan masyarakat dan NGOmemandang bahwa masyarakat harusterlibat aktif dalam perencanaan dan
peruntukkan penetapan sertapenggunaan lahan di wilayahnya,
salah satunya melalui pemetaanpartisipatif.
Pada kenyataannya banyak konfliktenurial disebabkan oleh
ketidakjelasan penetapan kawasan.Hal ini menyebabkan tumpang tindih
peruntukkan dan hak atas lahantersebut. Pemetaan partisipatif
merupakan salah satu solusi untukpenyelesaian konflik tenurial,tentunya dengan mengedepankan
keadilan, bukan sekedar hukumpositif. Akan tetapi pada sisi lain,
pemetaan partisipatif juga dapatdipakai untuk memanfaatkan ruang
secara lebih baik dan detail.
Strategi yang kemudiandikembangkan RMI adalahmenggunakan pemetaan partisipatif
bukan sekedar ’community mapping’
tetapi menjadi ’community planning’.Perencanaan komunitas ini melaluitahap inventarisasi ruang, analisis
tapak, sintesis, dan perencanaan ruang.Proses ini diharapkan dapat
memfasilitasi masyarakat dalammengatur penggunaan ruang diwilayahnya sesuai karakteristiknya.
Hasil perencanaan komunitas ini jugadiharapkan diadopsi dan didukung
lewat kebijakan tata ruang di desa,kecamatan, daerah maupun kawasan.
Masyarakat sudah saatnya berdaulatatas ruang hidupnya bukan jadi korbandari perencanaan ruang untuk
kepentingan investasi dankepentingan lainnya di luar
kepentingannya.***