K3 dan budaya keselamatan kerja

7
BULETIN SAFETY PT SUMATERA PRIMA FIBREBOARD DISUSUN OLEH MAULANA SYAMSURI K3 DAN BUDAYA KESELAMATAN KERJA Adanya budaya keselamatan (Safety Culture) akan sangat mendukung tercapainya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Apa itu Budaya Keselamatan? Budaya Keselamatan adalah sikap dan sifat dalam organisasi dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab. Namun budaya di setiap organisasi itu berbeda-beda dan bervariasi sesuai karakteristiknya seperti sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dari keluarga lainnya. Pertanyaannya apakah sudah banyak organisasi atau individu yang melibatkan keselamatan dalam budayanya? Each organization has its own culture, its own character like a family… Walaupun K3 sudah “dianggap penting” dalam aspek kegiatan operasi namun didalam pelaksanaanya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala. Salah satu hambatan tersebut tidal lain adalah hambatan social budaya, ini artinya budaya keselamatan di negeri yang kita cintai ini masih patut dipertanyakan. Budaya keselamatan yang masih kurang di negeri kita ini ditandai dengan kesenjangan social budaya dalam bentuk rendahnya disiplin dan kesadaran masyarakat dalam masalah keselamatan kerja, perilaku masyarakat yang belum sepenuhnya mengerti terhadap bahaya-bahaya yang terdapat dalam industry dengan tehnologi canggih serta dengan adanya budaya santai dan tidak peduli dari masyarakat atau dengan kata lain belum ada budaya mengutamakan keselamatan di dalam masyarakat atau pekerja. Contoh yang paling mudah jadikan pengendara motor sebagi sampel. Sepeda motor adalah alat transportasi yang paling dan sangat berkembang di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Jalanan di Negara kita hamper tidak pernah sepi dari lalu lalang moda transportasi yang satu ini. Sepeda motor sudah bias menjadi cerminan garis besar gaya hidup dan budaya masyarakat Negara kita saat ini. Namun bisa anda perhatikan berapa persen dari pengendara motor itu yang benar-benar mematuhi norma-norma keselamatan berkendara, misalnya menggunakan helm yang standard atau tidak, jika sudah apakah tali pengikatnya telah dikencangkan hingga terdengar suara “klik” atau tidak?, berapa persen yang benar-benar mematuhi rambu-rambu lalulintas?, termasuk saat jalanan sepi dan tidak ada polisi laulintas, berapa persen yang benar-benar merawat sepeda motornya dengan baik?, bahkan perlu dipertanyakan berapa persen pengendara sepeda motor yang benar-benar bisa berkendara dalam arti benar-benar tahu cara mengendarai sepeda motor di jalan dan paham semua rambu lalulintas?, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Konon, bahkan budaya keselamatan pengendaraa sepeda motor di Indonesia tidak lebih baik dari Vietnam. Apakah pengendara sepeda motor tahu tentang keselamatan? Jawabannya sudah pasti iya, namun mengapa masih belum berjalan? Karena keselamatan itu masih sebatas pengetahuan saja (walaupun sebenarnya pengetahuannya juga masih minim) namun belum membudaya, factor budaya sangat berpengaruh baik itu budaya individu, keluarga maupun organisasi.

Transcript of K3 dan budaya keselamatan kerja

Page 1: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

K3 DAN BUDAYA KESELAMATAN KERJA

Adanya budaya keselamatan (Safety Culture) akan sangat mendukung tercapainya peningkatan keselamatan

dan kesehatan kerja (K3). Apa itu Budaya Keselamatan? Budaya Keselamatan adalah sikap dan sifat dalam

organisasi dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh karena itu, budaya keselamatan

mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara

benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab. Namun budaya di setiap organisasi itu berbeda-beda dan

bervariasi sesuai karakteristiknya seperti sebuah keluarga yang memiliki perbedaan dari keluarga lainnya.

Pertanyaannya apakah sudah banyak organisasi atau individu yang melibatkan keselamatan dalam

budayanya?

Each organization has its own culture, its own character – like a family…

Walaupun K3 sudah “dianggap penting” dalam aspek kegiatan operasi namun didalam pelaksanaanya masih

saja ditemui hambatan serta kendala-kendala. Salah satu hambatan tersebut tidal lain adalah hambatan

social budaya, ini artinya budaya keselamatan di negeri yang kita cintai ini masih patut dipertanyakan.

Budaya keselamatan yang masih kurang di negeri kita ini ditandai dengan kesenjangan social budaya dalam

bentuk rendahnya disiplin dan kesadaran masyarakat dalam masalah keselamatan kerja, perilaku masyarakat

yang belum sepenuhnya mengerti terhadap bahaya-bahaya yang terdapat dalam industry dengan tehnologi

canggih serta dengan adanya budaya santai dan tidak peduli dari masyarakat atau dengan kata lain belum

ada budaya mengutamakan keselamatan di dalam masyarakat atau pekerja. Contoh yang paling mudah

jadikan pengendara motor sebagi sampel. Sepeda motor adalah alat transportasi yang paling dan sangat

berkembang di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Jalanan di Negara kita hamper tidak pernah sepi dari lalu

lalang moda transportasi yang satu ini. Sepeda motor sudah bias menjadi cerminan garis besar gaya hidup

dan budaya masyarakat Negara kita saat ini. Namun bisa anda perhatikan berapa persen dari pengendara

motor itu yang benar-benar mematuhi norma-norma keselamatan berkendara, misalnya menggunakan helm

yang standard atau tidak, jika sudah apakah tali pengikatnya telah dikencangkan hingga terdengar suara

“klik” atau tidak?, berapa persen yang benar-benar mematuhi rambu-rambu lalulintas?, termasuk saat

jalanan sepi dan tidak ada polisi laulintas, berapa persen yang benar-benar merawat sepeda motornya

dengan baik?, bahkan perlu dipertanyakan berapa persen pengendara sepeda motor yang benar-benar bisa

berkendara dalam arti benar-benar tahu cara mengendarai sepeda motor di jalan dan paham semua rambu

lalulintas?, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya. Konon, bahkan budaya keselamatan pengendaraa

sepeda motor di Indonesia tidak lebih baik dari Vietnam. Apakah pengendara sepeda motor tahu tentang

keselamatan? Jawabannya sudah pasti iya, namun mengapa masih belum berjalan? Karena keselamatan itu

masih sebatas pengetahuan saja (walaupun sebenarnya pengetahuannya juga masih minim) namun belum

membudaya, factor budaya sangat berpengaruh baik itu budaya individu, keluarga maupun organisasi.

Page 2: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

Namun bukan berarti Negara yang kita cintai ini tidak mempunyai sama sekali budaya keselamatan,

Sebenarnya nilai-nilai kebudayaan Negara kita banyak sekali yang memuat benih, potensi, kerangka, dan

landasan untuk memiliki budaya keselamatan. Namun entah mengapa budaya keselamatan itu sulit sekali

ditegakkan sepenuhnya di tengah-tengah masyarakat atau pekerja kita. Beberapa nilai-nilai, benih, potensi,

kerangka, dan landasan budaya keselamatan yang sudah ada didalam Negara dan masyarakat kita anatara

lain:

Budaya Keselamatan dalam Budaya dan Nilai-nilai Lokal

Beberapa budaya local di Negara kita sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai keselamatan, seperti budaya Jawa

yang memiliki pepatah “gremet-gremet waton slamet” yang artinya biarpun merayap asalkan selamat,

atau “alon-alon waton kelakon” yang mempunyai arti pelan-pelan asal selamat/terlaksana. Ini bukan

berarti mengajarkan untuk selalu lambat, tapi makna yang mendalam dari pepatah ini adalah mengajarkan

kita untuk selalu mengutamakan keselamatan (Safety First), setelah keselamatan terjamin barulah kualitas

dan kuantitas dapat tercapai. Pepatah ini juga mengajarkan untuk mengerjakan sesuatu dengan dasar yang

jelas, dengan cara yang selamat, efektif dan efisien dan tujuan akan tercapai dengan baik. Prinsip bekerja

“alon-alon waton kelakon” tidak mengisyaratkan kita untuk santai dan berleha-leha tapi lebih

mengisyaratkan kita untuk tidak terburu-buru, tergesa-gesa dan selalu waspada, silahkan saja orang lain

menyalip jika memang ingin duluan, yang penting kita nikmati dulu proses optimalisasi apa yang sedang kita

lakukan/kerjakan dan kita tidak perlu terlalu bernafsu mengejar yang sudah mendahului kita, karena perlahan

tapi mantap lebih berarti daripada langsung tancap gas tanpa pernah menginjak rem yang akhirnya lupa

untuk berhenti pada saat yang tepat dan berakhir celaka. Di Budaya Jawa juga ada beberapa pepatah lain

yang bermakna keselamatan, seperti “ojo nggege mongso” yang artinya jangan mempercepat musim/

waktu, makna sejatinya adalah jangan memaksakan diri memperoleh hasil sebelum waktunya, karena yang

didapat akan tidak memuaskan, janganlah mengejar atau mempercepat produksi tapi mengabaikan

keselamatan, nyawa anda lebih berharga dari waktu yang anda kejar. “cagak amben cemethi tali” yang

bermakna dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sulit, berbahaya, dan berat diperlukan orang yang benar-

benar mumpuni/qualified, disini tersirat bahwa bahaya dalam pekerjaan harus diantisipasi dan diperlukan

training bagi pekerjanya agar mumpuni. “jer basuki mawa bewa” yang maknanya untuk mendapatkan

keselamatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup senantiasa diperlukan biaya, kerja keras, dan

pengorbanan, begitu pula dengan K3, untuk mencapainya diperlukan investasi, tapi percayalah investasi itu

akan sangat menguntungkan.

Di Budaya Melayu terdapat pepatah “kalau pandai meniti buih, alamat selamat badan ke

seberang” yang artinya orang yang pandai membawa diri, tentulah selamat hidupnya. Walaupun bermakna

umum namun mengandung makna keselamatan juga. Untuk mencapai suatu tujuan, misalnya target produksi

dengan selamat, maka harus bisa melewati pekerjaan diproses produksi dengan memperhatikan aspek

Page 3: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

keselamatan. Ada juga pepatah melayu yang mengatakan “mencegah lebih elok daripada

mengubati” atau “menolak kerosakan lebih utama daripada menarik kemaslahatan” hal ini

sangat sesuai dengan program promosi K3 yang lebih kearah preventif dan promotif daripada kuratif. Atau

pepatah yang ini “lebih baik jadi ayam betina supaya selamat” yang bermakna jangan sok berani

sebab hanya akan mendatangkan kesusahan atau dengan kata lain hindarilah perilaku beresiko yang

menantang bahaya. Selain itu ada juga pepatah Melayu yang mengatakan “jangan tergopoh-gopoh

dalam menyelesaikan suatu perkara” yang bermakna mirip “alon-alon waton kelakon”.

Di Budaya China ada filosofi “carilah pekerjaan yang kamu tidak bekerja” atau “carilah

pekerjaan yang betul-betul kamu senangi, maka seumur hidup kamu tidak akan

menyebutnya bekerja” yang dikatakan oleh filsuf terkenal Confisius. Walaupun tidak secara eksplisit

menyinggung keselamatan kerja fisik namun secara implicit filosofi ini mngandung pesan yang senada dengan

prinsip ergonomic yang merupakan salah satu cabang K3 yakni “fitting the job to the man” yang berarti

sesuaikan pekerjaan dengan individu karena setiap individu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda baik

itu karakteristik non fisik maupun fisik (antropometri), sehingga pekerjaan dapat dilakukan dengan selamat

dan sehat tidak hanya fisiknya namun juga mentalnya serta produktif sehingga hasil kerjanya berkualitas

tinggi.

Dan jika mau menelaah satu persatu memang banyak sekali filosopi yg dapat kita ambil dari khasanah budaya

daerah-daerah di negara kita yg memuat budaya keselamatan, salah satu contohnya lainnya dari Tanah

Tapanuli "Ganjang abor ndang jadi surohan, jempek abor ndang jadi langkaan" yg berarti

walaupun tinggi tanda larangan orang tidak boleh merangkak melewatinya, walaupun rendah tanda larangan

orang tidak boleh melangkahinya, jika di ambil makna terdalamnya setiap ada tanda larangan itu dibuat agar

kita mematuhinya ada atau tidak ada orang yg mengawasinya, larangan atau norma harus dipatuhi bukan

karena bentuk fisik atau orang yg menyampaikannya namun lebih karena pesan atau makna yg terkandung

didalamnya. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang tidak sempat dimasukkan satu persatu.

Budaya Keselamatan Nasional

Dalam hal regulasi, Indonesia sudah mempunyai landasan untuk berbudaya keselamatan terbukti dengan

adanya berbagai macam peraturan tentang keselamatan kerja, Namun apakah pelaksanaannya sudah tegas?

Guna mendukung terlaksananya budaya K3 atau keselamatan di Indonesia, pemerintah sudah mulai

melakukan beberapa langkah seperti mencanangkan Bulan K3 setiap tahunnya, yakni bulan Januari sampai

Page 4: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

dengan Februari, dan memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan Gerakan Efektif Masyarakat

Membudayakan K3 (GEMA DAYA K3) secara nasional, regional dan bahkan internasional. GEMA DAYA K3

merupakan strategi dalam menyukseskan Gerakan Nasional Pembudayaab K3 yang ditujukan pada

peningkatan peran aktif dan potensi masyarakat untuk mewujudkan budaya K3 disetiap tempat kerja dan

dalam hal ini pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/kota sebagai motivator

GEMA DAYA K3, maka kegiatan GEMA DAYA K3 adalah gerakan bersama-sama, menyeluruh, dan terpadu

yang harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab secara berjenjang sesuai dengan tata cara

pemerintahan saat ini

Lalu bagaimana perbandingan budaya keselamatan Negara kita dengan Negara lain? Jangankan dengan

Negara maju seperti Jepang, Negara-negara Uni Eropa bahkan Negara tetangga kita Singapura, dengan

Negara-negara sesame Negara berkembang di tingkat Asia Tenggara saja seperti Malaysia dan Thailand, kita

tertinggal cukup jauh. Indonesia masih harus berjuang lebih keras, berperan aktif dan bekerja secara kolektif

dalam mendukung cita-cita besar bangsa , yaitu Indonesia Berbudaya K3. Salah satu program yang

dicanangkan oleh pemerintah untuk mewujudkannya adalah Indonesia Berbudaya K3 Tahun 2015.

Memang mayoritas Negara yang sukses berbudaya keselamatan adalah Negara maju namun untuk menjadi

Negara yang sukses berbudaya keselamatan tidak harus menjadi Negara maju terlebih dahulu karena

sejatinya keselamatan itu syarat utama munculnya kualitas yang nantinya justru akan menjadikan Negara itu

maju.

Budaya Keselamatan dalam Dunia Profesional/Dunia Kerja

Di dunia professional/dunia kerja/dunia industry mungkin bisa dibilang mempunyai budaya keselamatan

yang lebih baik. Terutama perusahaan-perusahaan besar yang bekiblat pada manajemen dari Negara maju

seperti Toyota yang menempatkan SAFETY /KESELAMATAN sebagai elemen utama dalam Toyota Production

System. Beberapa perusahaan juga sudah menerapkan 1 dari 8 filosofi K3 (International Association of Safety

Professional), yakni “safety is a culture, not a program”, artinya K3 bukan hanya sekedar program yang

dilaksanakan perusahaan utuk mendapatkan penghargaan atau sertifikat. K3 hendaknya menjadi cerminan

budaya dalam organisasi. Beberapa perusahaan juga sudah “menyelipkan” keselamatan dalam visi dan misi

perusahaan mereka yang membuktikan mereka serius terhadap penerapan budaya keselamatan. Hal

tersebut cukup menggembirakan dan bisa menjadikan acuan dan contoh bagi perusahaan-perusahaan

lainnya dan kesatuan masyarakat lainnya, mengingat masih banyak perusahaan yang belum membudayakan

keselamatan. Data menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan industry di Indonesia masih cukup

mengkhawatirkan, sebagai gambaran sederhana bagaimana budaya keselamatan di industry Negara kita, ada

sebuah penelitian yang menilai dan memetakan budaya keselamatan industry manufaktur di Indonesia.

Dengan skala 1 ~ 5 terhadap beberapa sampel perusahaan manufaktur diperoleh hasil : 2.37 untuk factor

komitmen organisasi, 3.14 untuk factor keterlibatan manajemen, 3.13 untuk factor pemberdayaan pekerja,

Page 5: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

3.08 untuk factor komunikasi, 3.05 untuk factor lingkungan, 3.08 untuk factor training dan 3.02 untuk factor

reward/intensif.

Jangan berpikir bahwa budaya keselamatan hanya ada di industry atau perusahaan-perusahaan besar saja.

Mayoritas populasi pekerja justru ada di sector usaha kecil dan menengah (UKM) yang mempekerjakan lebih

dari 85% populasi pekerja di dunia, UKM menjadi sumber utama lapangan pekerjaan di Negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, UKM telah menjadi pendukung bagi pembangunan

berkelanjutan dan sarana penting untuk menyerap tenaga kerja. Diperkirakan lebih dari 60% angkatan kerja

diserap di sector UKM. Karena mayoritas angkatan kerja berada di UKM maka budaya keselamatan akan

menjadi penentu cerminan budaya keselamatan kerja di Indonesia. UKM masih banyak menghadapi

tantangan, salah satunya adalah bagaimana meningkatkan produktifitas seraya meningkatkan K3 dan serta

kondisi kerja. Budaya keselamatan UKM masih banyak belum tersentuh, namun ini menjadi kesempatan

Indonesia untuk memperbaiki kinerja K3 di sector UKM. Budaya keselamatan di perusahaan-perusahaan

ternama dapat dijadikan contoh dan diteladani sebagai upaya untuk menerapkan K3 secara efektif dan efisien

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan budaya K3 di sector UKM agar dapat menekan angka

kecelakaan kerja sehingga produktifitas dan daya saing dapat meningkat.

Budaya Keselamatan dalam Agama

Masyarakat kita adalah masyarakat yang beragama. Agama menjadi salah satu factor dominan yang

membentuk dan mempengaruhi budaya masyarakat termasuk budaya keselamatan. Karena itu agama

menjadi salah satu factor pendorong munculnya budaya keselamata

Keselamatan dan Kesehatan kerja dalam perspektif Islam adalah usaha yang dilakukan manusia pada dirinya

sendiri (self kontrol), untuk menghindari bahaya pada saat bekerja dan selalu menjaga kesehatan tubuh

dengan makan dan minum yang bermanfaat agar dapat bekerja dengan baik, sesuai dengan hadist Rasulullah

SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Kitab Al – Ahkam yang berati “Tidak boleh (menimbulkan)

bahaya dan tidak boleh pula membahayakan orang lain”. Sementara Imam Abu Dawud

Radhiyallahu’anhu dan yang lainnya meriwayatkan dari Abi Sharmah Radhiayallahu’anhu salah seorang

sahabat Nabi shallahllahu ‘alaihi wassalam, Rasul SAW bersabda yang artinya “Barang siapa yang

membahayakan orang (lain), maka Allah SAW akan membahayakan dirinya, dan barang

siapa yang memberatkan orang lain maka Allah akan memberatkannya”

Seperti juga dalam firman Allah SWT yang artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan

Hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;

dan barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri.

Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan

Mengazab sebelum Kami Mengutus Seorang Rasul”. (QS. Al-Israa’: 15) (Depag,

Page 6: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

2000; 226).

Adanya sesuatu yang berbahaya itu sendiri tidak diperbolehkan dalam syariat Islam, demikian juga dengan

menimbulkan bahaya bagi orang lain, baik itu bahaya (dharar) terhadap badan, akal, maupun harta. Jadi

sebagai pekerja sudah sepatutnya untuk tidak berperilaku yang tidak selamat (unsafe behavior) dan orang

yang memperkerjakan pekerja hendaknya tidak membiarkan pekerjanya terpapar bahaya (hazards) baik

dengan tehnik engineering control,subsitusi, administrative control,atau dengan menyediakan Alat Pelindung

Diri sehingga akibat dari potensi bahaya pada pekerjaan dapat dihilangkan atau diminimalisir.

Mohon maaf karena penulis adalah Muslim maka penulis hanya dapat memberikan filosofi keselamatan dari

kacamata Islam, tanpa ada maksud lain.

Lalu bagaimana cara untuk meningkatkan dan “menyuburkan” budaya keselamatan itu?

Jawabannya adalah dengan komitmen dan kepemimpinan (leadership). Komitmen untuk keselamatan akan

muncul jika setiap organisasi atau individu dengan jelas mengetahui dan memahami manfaat positif dari

keselamatan tersebut. Mengetahui dan memahami manfaat keselamatan akan menciptakan keinginan kuat

untuk meningkatkan budaya keselamatan dan selanjutnya organisasi atau individu akan menginvestasikan

waktu dan uang secara serius ke manajemen dan program keselamatan yang efektif dan selalu komitmen

dalam menjalankannya.

Kepemimpinan/leadership juga erat hubungannya dengan budaya. Kepemimpinan merupakan hal yang

sangat penting dalam setiap program yang dijalankan dalam suatu organisasi atau masyarakat, termasuk

program keselamatan. Setiap hari pemimpin seperti mandor, supervisor, manajer, camat, bupati, gubernur,

pemimpin keluarga mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dan bertindak dengan cara yang

menunjukkan kepemimpinannya dalam keselamatan (Safety Leadership). Sayangnya, kesempatan tersebut

sering tidak dimanfaatkan secara optimal karena mereka tidak menganggap hal tersebut sebagai peluang

besar untuk membudayakan keselamatan dalam organisasi atau masyarakat mereka. Mereka sering tidak

mengerti bahwa ekspresi sekecil dan sesederhanapun dalam kepemimpinan mereka dalam keselamatan

dapat menghasilkan manfaat besar. Ketidakmampuan menggunakan peluang inilah yang membatasi potensi

perusahaan, organisasi dan masyarakat untuk meningkatkan budaya keselamatan.

Setiap individu pada sertiap tingkat organisasi atau kesatuan masyarakat adalah orang-orang yang mencoba

berusaha memberikan dan melakukan hal yang terbaik yang dapat mereka berikan dengan apa yang mereka

punya. Masalahnya adalah, mereka tidak selalu mempunyai sumber daya fisik dan dukungan psikososial

untuk mencapai apa yang diharapkan. Mungkin karena pemimpin tidak menyediakan sumber daya tersebut,

mengapa? Pada akhirnya budayalah yang tidak mendukung kepemimpinanan dan manajemen termasuk

dalam kepemimpinan dan manajemen keselamatan yanag efektif.

Page 7: K3 dan budaya keselamatan kerja

BULETIN

SAFETY

PT SUMATERA PRIMA

FIBREBOARD

DISUSUN OLEH

MAULANA SYAMSURI

Namun bagaimanapun pemimpinlah yang seharusnya bisa menciptakan dan mengarahkan budaya pada

orang-orang yang dipimpinnya termasuk dalam budaya keselamatan. Karena budaya dan kepepimpinan

adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.

Karena itu efektifitas dan keberhasilan program keselamatan sangat sangat tergantung pada budaya dan

kepemimpinan,.

Safety culture is not an end state….but an ongoing process

If the supply of energy stops……safety culture degenerates

Andai saja semua orang menghargai betapa berharganya arti keselamatan….

Terima kasih

Disusun dan dirangkum dari berbagai sumber

Maulana Syamsuri