JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN...
Transcript of JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN...
Konflik dalam Muktammar Nahdlatul Ulama ke-33
(Studi Kasus atas Penerapan Sistem AHWA)
Disusun Oleh:
Abdul Hakim Syafi’i (1111111000007)
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
Konflik dalam Muktammar Nahdlatul Ulama ke 33
(Studi Kasus Atas Penerapan Sistem AHWA)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Januari 2017
Abdul Hakim Syafi‟i
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Abdul Hakim Syafi‟i
NIM : 1111111000007
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
Konflik dalam Muktammar Nahdlatul Ulama ke 33 (Studi Kasus atas
Penerapan Sistem AHWA)
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 9 Januari 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Saifuddin Asrori, M, M.Si
NIP: 19760918 200312 2 003 NIP. 19770119 200912 1 001
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
Konflik dalam Muktammar Nahdlatul Ulama ke-33
(Studi Kasus atas Penerapan Sistem AHWA)
Oleh:
Abdul Hakim Syafi’i
1111111000007
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos) pada Program Sosiologi.
Ketua Program Studi, Sekretaris Program Studi,
Dr. Cucu Nurhayati, M. Si Dr. Joharotul Jamilah, M.Si
NIP. 19760918 200312 2 003 NIP. 19680816 1997 03 2002
Penguji I, Penguji II,
M. Hasan Ansori, Ph. D Muhammad Ismail, M. Si
NIP. NIP. 196803081 99703 1002
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 01 Februari
2017.
iv
ABSTRAKSI
Nama : A. Hakim Syafi‟i
Judul : Konflik dalam Muktammar Nahdlatul Ulama ke 33 (Studi Kasus atas
Penerapan Sistem AHWA)
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
kualitatif melalui analisa destruktif dari hasil wawancara oleh narasumber utama
yang di anggap mengetahui soal masalah ini.
Landasan teori dalam skrispi ini adalah strukturalisme konflik. Teori
tersebut di gunakan untuk melihat bagaimana konflik itu terjadi dan bagaimana
menangani konflik tersebut yang terjadi pada muktamar NU ke 33 di jombang.
Dari hasil penelitian kualitatif melalui teori tersebut menunjukan bagaimana
NU bisa menyelesaikan konflik. Sudah satu tahun lebih muktamar NU selesai,
sehingga sisa-sisa euforia dan animonya masih amat terasa hingga saat ini.
Beragam wacana pasca muktamar selesai mulai muncul di permukaan, mulai dari
tidak dianggap sahnya hasil muktamar, sampai wacana soal membawa tuntutan
hasil muktamar ke ranah hukum. Tentu berita-berita seperti ini perlu diverifikasi
kembali keabsahannya, jangan sampai wacana yang bergulir dimanfaatkan pihak-
pihak tertentu untuk dijadikan counter opinion untuk menyerang substansi tema
muktamar kemarin, yakni “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban
Indonesia dan Dunia”. Bisa saja ricuhnya para muktamirin dan kegaduhan saat
muktamar berlangsung dijadikan titik balik reduksi atas legitimasi Islam nusantara
yang diperjuangkan oleh NU itu sendiri. Karena jika dilihat kesejarahannya NU
selalu bisa menyelesaikan konflik dan malah menjadikan konflik tersebut sebagai
sumber perubahan kearah kemajuan, seperti yang dikemukakan oleh Coser..
Peneliti melalui penelitian ini bermaksud memberikan sumbangan sebuah
karya yang dapat menjadi bahan refleksi bagi organisasi ini. Sebagai sebuah kerja
akademis penelitian ini berusaha semaksimal mungkin mengedepankan
obyektivitas. Namun begitu, peneliti mengakui dan sadar sepenuhnya, banyak
kekurangan, kelemahan dan keterbatasan dalam penelitian ini. Untuk itu, saran
dan kritik adalah sebuah keniscayaan untuk perbaikan. Semoga hasil penelitian ini
bermanfaat bagi studi sosiologi di Indonesia, khususnya bagi Nahdlatul Ulama.
Kata Kunci: Anatomi Konflik, Muktammar, Nahdlatul Ulama, Civil Society
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan karunia, ilham serta inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Rasul Allah, junjungan Nabi
besar kita Muhammad SAW, orang yang paling dicintai Allah beserta sahabat dan
keluarganya, semoga kita bisa mendapat syafaat dihari akhir nanti. Amin ya
Robbal „alamin.
Rasa syukur, keberkahan dan kebahagian yang tidak terhingga dan tidak
ternilai bagi peneliti adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada banyak
pihak yang telah mendukung dan memberikan dukungannya kepada peneliti baik
berupa doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati, izinkan
peneliti untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
2. Dr. Cucu Nurhayati, sebagai Ketua Program Studi Sosiologi.
3. Dr. Joharotul Jamilah, M.Si sebagai sekertaris Program Studi Sosiologi.
4. Bpk. Saifuddin Asrori, MA sebagai dosen pembimbing skripsi penulis
yang senantiasa selalu membantu dalam penulisan skripsi ini.
5. Bpk. Muhammad Ismail, M.Si dan Bpk. Muhammad Hasan Anshori,
Ph.D selaku dosen penguji skripsi.
6. Jajaran Dosen di Jurusan Sosiologi yang selalu memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis.
7. Kepada kedua orang tua penulis, yakni Ayahanda Drs. Wagiyo dan
Ibunda Katini yang berkat do‟a dan perjuangan beliau dalam berjuang
untuk pendidikan anaknya. “Untukmu yang terkasih skripsi ini
kupersembahkan .”
8. Kakak Penulis yakni Siti F.Munaqosah, yang sudah memberikan
support berupa dukungan moril. Terimakasih sudah menjadi kakak yang
ikhlas yang mengorbankan pendidikannya untuk adiknya , seharusnya
yang layak menjadi seorang sarjana adalah beliau karena terdapat nama
“Munaqosah” yang menjadi do‟a orang tua agar menjadi seorang
sarjana. Mohon maaf jika harus merampas do‟a orang tua dari sebuah
nama “Munaqosah”yang diberikan untukmu kakak tercinta.“ Salah satu
diantara kita harus ada yang jadi sarjana”. 9. Keluarga Besar di Solo dan Madiun “Lanjutkan Terus Sekolahmu Le,
orang seperti kita akan mati tanpa pendidikan”. 10. Para Sahabat senasib dan seperjuangan genk beskem biru dan kostan
yakni Ketum Sulton, Entis “Indomie”,dan Soghi Muhammad dan juga
Tim „rawa-rawa” genk kondangan yang banyak menemani penulis
dalam forum-forum diskusi : Ronald Adam, Khalid „Marxian‟, Anhari,
Iceng, Khairy, Roy, Hendra “Kancil”, Faisal dan seterusnya yang tidak
bisa disebukan satu persatu.”Puncak dari Intelektual adalah dapat
membantu Orang Lain”
vi
11. Para Senior yang mengkader penulis: Bang Adriyansah”Aswaja”, Bang
Yasir Risay, Ketum Uki, Ketum Kaffah, Mas Majid, Bang Matin, Bang
Abie Messi, Bang Ebes, Bang Udin, Bang Button, Bang Purnomo dan
Mahasenior Mas Dino (Alumni PB PMII), Bang Carman (PB PMII),
Bang Hanz (PB PMII), Bang Iqbal (PB PMII), Mas Imron Rocka
Berontak”, Mas Afif Selaku Ketua Mabincab PMII Cab. Ciputat dan
senior- senior yang tidak dapat disebutkan satu persatu, “Terimakasih
atas arahan dan bimbingannya untuk penulis dalam gerakan dan
intelektual ” 12. Keluarga Besar PMII KOMFISIP, PMII Cabang Ciputat Periode 2015-
2016: Ketum Rafsan, Cibul, Ketum Wahid, Teves, Abee, Azka, Aji
Kiting, Ustad khudori, Ustad Kaula Fahmi dst. “ Ilmu dan Bakti
Kuberikan, Adil dan Makmur Kuperjuangkan, dari ciputat untuk
bangsa” 13. HMJ Sosiologi UIN Jakarta 2013-2014, BEM FISIP UIN Jakarta 2013-
2014, JMSJ 2014 (Jaringan Mahasiswa sosiologi Se-Jawa), BEM-NAS
2014-2017 (Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional), BEM-PTAI 2015-
2017 (Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam Se-
Indonesia).” Jika kalian bukan mahasiswa UI,UGM dan ITB, maka
berorganisasilah, karena modal kita untuk menjadi pemimpin negri
ini adalah organisasi” 14. Cak Hery ( Ketum PB PMII 2005-2008 dan Wasekjend PBNU) yang
banyak membantu dalam memberikan data dan informasi mengenai
narasumber untuk keperluan skripsi. Dan juga Pak Syatiri (Ketua Perpus
PBNU) yang banyak membantu penulis untuk meminjam buku-buku
sebagai bahan skripsi.
15. Sahabat sekaligus keluarga selama kuliah di UIN Jakarta, semua teman-
teman di Prodi Sosiologi 2011
16. Kepada Keluarga HIKMAT (Himpunan Mahasiswa Alumni Tebuireng),
Keluarga Bunda Ririn Pondok Hijau Ciputat: Mas Putro, Mas Tio dan
Sahabat sependakian keluarga besar Solidaritas Pecinta Alam Bersatu
(SOLPATU) : Reza, Bang Derry, Mas Majid, Isworo, Gunawan, Fauzi,
Basit, Sikah, Sarah, Irma dst terimakasih telah menjadi keluarga selama
beberapa tahun terakhir yang tidak bisa di sebutkan satu persatu
17. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas
support yang diberikan baik berupa doa, moril maupun materil sehingga
peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
vii
Tanpa adanya mereka, mustahil penelitian ini bisa selesai. Semoga Allah
membalas kebaikan mereka. Penulis membuka ruang kritik yang seluas-luasnya
demi perbaikan sehingga mampu memperkaya khazanah keilmuan dalam Ilmu
Sosiologi.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 9 Januari 2017
Abdul Hakim Syafi‟i
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan dan manfaat Penelitian ................................................. 3
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 4
E. Kerangka Teori.......................................................................... 11
E.1. Strukturalisme Konflik...................................................... 11
F. Metodologi Penelitian ................................................................ 14
F.1. Pendekatan Penelitian........................................................14
F.2. Metode Pengumpulan Data................................................15
F.3. Strategi Pengambilan Sampel.............................................17
F.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data...............................18
G. Sistematika Penulisan..................................................................19
BAB II SEJARAH KELAHIRAN NAHDLATUL ULAMA
A. Latar Belakang Kelahiran Nahdlatul Ulama ............................ 21
B. Bentuk dan Sistem Organisasi Nahdlatul Ulama ..................... 21
B.1. Sistem Permusyawaratan ..................................................21
C. Susunan PBNU Masa Khidmat 2015-2020...............................22
D. Konflik Internal Nahdlatul Ulama............................................. 27
D.1. Syuriah..............................................................................27
D.2. Tanfidziyah........................................... .......................... 30
ix
E. Sistem Keorganisasian Nahdlatul Ulama..................................30
F. Tingkat Kepengurusan Nahdlatul Ulama...................................31
G. Perangkat Organisasi Nahdlatul Ulama.....................................32
H. Sistem Permusyawaratan dalam Nahdlatul Ulama....................35
I. Faktor Kharismatik dalam Kepemimpinan Nahdlatul Ulama....38
BAB III PETA KONFLIK DAN KEPENTINGAN DALAM ARENA
MUKTAMAR NU KE 33
A. Dinamika dalam Muktamar ke 33 di Jombang ...................... 40
B. Faktor-faktor yang menyebabkan Konflik antar Elite NU ..... 40
B.1. Kontroversi penerapan dan Mekanisme Sistem AHWA.41
B.2. Pembelahan Dukungan Terhadap Penerapan Sistem
AHWA.....................................................................................44
C. Forum Syuriah putuskan AHW................................................49
D. Pemilihan Rais A‟am dari Hasil Perolehan Suara AHWA.......52
D.1. Forum Tebuireng Menolak Hasil Muktamar....................53
E. Pemilihan Ketua Tanfidziyah....................................................54
E.1. Forum Lintas Pengurus Wilayah NU Meminta Muktamar
Ulang...............................................................................55
F. Implikasi Teoritik dari Dinamika Konflik pada Muktamar ke
33 di Jomabang........................................................................56
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 58
B. Saran ....................................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 61
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... xii
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.B.1 Dukungan Terhadap Sistem AHWA..................................................45
Tabel 1.C.1 Suara Setuju dan Menolak AHWA....................................................49
Tabel 2.D.1 Hasil Perolehan Suara Anggota AHWA........................................... 52
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Wawancara dengan narasumber ..........................................xii
Lampiran 2: Foto Foto .............................................................................. xx
xii
DAFTAR SINGKATAN
AD/ART Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga
AHWA Ahlu Halli Wal Aqdi
IPNU Ikatan Pelajar Nahdlatu Ulama
IPPNU Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama
ISNU Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
KH Kyai Haji
NU Nahdlatul Ulama
ORMAS Organisasi Masyarakat
PBNU Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PCNU Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
PWNU Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian Skripsi ini mencoba mengangkat konflik Nahdlatul Ulama (NU) pasca
muktammar ke 33 di Jombang Jawa Timur. Nahlatul Ulama, seperti yang dikatakan
bahwa sejak berdirinya adalah penganut ajaran Ahlussunah wal Jama’ah dan selalu
diperkuat melalui keputusan- keputusan muktammarnya (Anam, 1999:244). Dalam
Muktammar tersebut kandidat calon Ketua Umum (Tanfidziah) yakni: KH. Said Aqil
Siradj, KH. Solahuddin Wahhid, dan KH. As‟ad Said Ali.
Dalam ajang yang digelar setiap 5 tahun sekali itu, KH. Said Aqil Siradj terpilih
menjadi ketua umum PBNU (Tanfidziah) periode 2015-2020 dan KH. Mustofa Bisri
di daulat menjadi Rais Aam PBNU, akan tetapi beliau mengundurkan diri dan
digantikan oleh KH. Ma‟ruf Amin. Terpilihnya KH. Said Aqil Siradj kembali
memimpin NU memantik reaksi. Seorang kandidat calon ketua umum tidak
menerima proses dan hasil muktamar itu, bahkan meminta diulang.(Liputan6.com, 09
Agustus 2015 19:05 WIB). KH. Solahuddin Wahid yang juga sebagai kandidat calon
Ketua Umum (Tanfidziah), mengadukan perkembangan konflik di dalam tubuh
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kepada KH. Muhammad Tholchah Hasan
Mutasyar PBNU, yang juga tokoh pendidikan dan pernah menjadi wakil rais Aam
PBNU serta menteri agama menggelar mediasi. KH. Solahuddin Wahid berharap
konflik di dalam tubuh NU agar bisa segera diselesaikan. Meski pihaknya bersama
2
Forum Lintas Pengurus Wilayah NU menggugat PBNU ke pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. KH. Solahudin Wahid datang ke rumah KH. Tholchah Hasan di Singosari,
Kabupaten Malang bersama 22 ulama dan forum lintas pimpinan wilayah NU. Para
ulama dari forum itu diantaranya KH. Tarmudzi Tohor dari Riau dan KH. Ahmadi
dari Papua Barat. Mereka datang untuk menyampaikan kejanggalan Muktammar NU.
KH. Solahuddin Wahid menilai Muktammar yang kembali menetapkan KH. Said
Aqil Siradj Sebagai Ketua Umum itu cacat hukum sehingga kaum Nahdliyin resah.
Keresahan inilah katanya disampaikan kepada KH. Tolchah Hasan. Kemudian KH.
Solahuddin Wahid menyerahkan buku putih tentang Muktammar Hitam yang di
susun oleh Forum Lintas Ulama NU. ( Bangsa Online.com. Minggu, 22 november
2015 22:00 WIB) Sementara dalam pernyataannya KH. Said Aqil Siradj sendiri
mepersilahkan bila ada pihak- pihak yang ingin menggugat hasil Muktammar NU ke
pengadilan. (Tempo.co, Selasa 25 agustus 2015 22:01 WIB).
Sebagai sebuah organisasi besar , NU sering kali digoncang oleh konflik internal.
Sumber konflik sangat beragam, dari masalah kepentingan peribadi hingga
kepentingan kelompok. Keragaman pendapat dan sikap ditubuh NU bukan saja
berimplikasi pada perbedaan dan pertentangan antar individu, melainkan juga
terjadinya pengelompokan- pengelompokan. Konflik Muktamar NU bukan kali ini
saja terjadi, hampir setiap perhelatan Muktamar diwarnai berbagai macam konflik,
salah satunya konflik yang cukup keras yakni pada Muktammar ke 27 di Situbondo
tahun 1984. Dimana melahirkan dua kubu yang bersebrangan yang sama kuat dan
sama- sama mempersiapkan strategi, teknik, taktik mengalahkan lawan di arena
3
Muktammar. Ada Kubu ulama dipimpin oleh KH. As‟ad Syamsul Arifin, dikenal
juga sebagai kubu Situbondo, dan kubu sayap politik pendukung KH. Idham Chalid
(Ketua Umum PBNU), yang dikenal dengan kubu Cipete, Nama Cipete diambil dari
daerah kediaman Idham Chalid di Kompleks Pondok Pesantren Darul Ma‟arif,
Jakarta Selatan (Arif Mudatsir Mandan, 2010:18-19).
Oleh karena itu Peneliti ingin melihat bagaimana penanggulangan konflik NU
pasca Muktamar ke 33 yang di selenggarakan di Jombang, Jawa Timur dan ingin
mengetahui faktor- faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya konflik dalam
Muktammar NU ke 33 itu.
B . Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana penanganan konflik di NU pasca muktamar ke 33?
2. Apa saja mekanisme internal NU dalam penanggulangan konflik tersebut?
C . Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
1. Untuk menjelaskan bagaimana penanganan konflik yang terjadi pada
Struktural PBNU periode 2015- 2020 Pasca Muktammar ke 33 di Jombang,
Jawa Timur?
2. Mengeksplanasi faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik yang
terjadi pada struktural PBNU tersebut.
2. Manfaat
4
1. Manfaat teoritis, penelitian ini bisa dijadikan bahan bacaan untuk melihat
konflik yang terjadi pada struktural PBNU periode 2015-2019 pasca
muktamar di Jombang, sehingga bisa di jadikan dasar rujukan bagi yang ingin
meneliti NU.
2. Manfaat praktis sebagai bahan bacaan hasil penelitian ini sekiranya
menambah wawasan pembaca.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait Nahdlatul Ulama telah banyak dilakukan sebelumnya oleh
beberapa penelitian. Pertama, Disertasi yang disusun oleh Kang Young Soon (2002)
Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, dengan judul: “Antara Tradisi dan Konflik:
Kepolitikan Nahdlatul Ulama, 1984-1999”. Penelitian Soon bermaksud melihat
gambaran perpolitikan NU dari Muktamar ke-27 NU tahun 1984, yang telah
memutuskan kembali ke khittah ‟26 untuk tidak berpartisipasi secara praktis.
Kemudian menganalisis prakondisi perubahan dan konflik perpolitikan NU, terutama
melalui PKB dan berbagai partai pendukung lainnya, serta interaksi antara berbagai
kekuatan politik dalam suksesi kepemimpinan nasional.
Dengan kerangka patron-klien yang mencoba melihat hubungan antara kyai
dengan santri dalam budaya pesantren atau pemimpin NU dan simpatisan yang tetap
bersifat patron-klien, tetapi pertukaran yang terjadi tidak hanya berbentuk materi
yang ditegaskan dalam teori patron-klien. Nilai-nilai yang berlaku dalam kultur NU
ini yang mempengaruhi perpolitikan Nahdlatul Ulama yang tak jarang menimbulkan
5
konflik struktural. Penelitian tersebut lebih memfokuskan pada budaya patron-klien
yang terjadi di NU dari 1984-1999 sebagai sumber konflik.
Kedua, Tesis yang disusun oleh Ali Martin (2003) Program Studi Kajian Stratejik
Ketahanan Nasional, Pascasarjana Universitas Indonesia yang berjudul “Gerakan
Politik Nahdlatul Ulama di Era Reformasi Pengaruhnya Terhadap Ketahanan
Nasional”. Tesis ini menyimpulkan bahwasanya relevansi tentang substansi dan
semangat khittah berkaitan dengan ketahanan nasional sangat diperlukan setidaknya
untuk dua maksud. Pertama, kalkulasi akumulasi dampak positif atau negatif dalam
pelaksanaannya. Masih relevan atau tidaknya dengan setting sosial terkini, sehingga
mendesak untuk merumuskan kembali khittah sesuai dengan tantangannya. Kedua,
urgensi dan relevansinya dengan perkembangan situasi sosial-politik negeri ini.
Mampukah untuk terus dilaksanakan sesuai dengan realitas politik kebangsaan.
Namun ternyata khittah selama ini telah memberikan lebih banyak manfaat dari pada
mudharatnya. Hal tersebut merupakan indikasi dan ketepatan khittah sebagai garis
perjuangan yang menempatkan NU sesuai dengan watak dasarnya sebagai organisasi
dakwah, sosial-keagamaan (jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah). Penelitian tersebut lebih
terfokus pada implementasi semangat khittah dengan tantangan era reformasi. Dan
juga lebih melihat pengaruh dari dampak relevansi semangat khittah tersebut.
Ketiga, Tesis yang disusun oleh Akhmad Zaini (2004) Program Studi Ilmu
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Indonesia,
yang berjudul “NU dan Politik (Studi Tentang Konflik Politik di Internal NU, 1952-
2003)”. Tesis ini menjelaskan tentang Nahdlatul Ulama yang notaben anggotanya
6
santri (pesantren) dengan kultur khas yakni budaya yang ketaatan kepada para kyai
yang merupakan elit-elit di struktural NU. Budaya tersebut terbangun di lingkungan
pesantren, di mana para kyai diposisikan sebagai patron yang memiliki kekuasaan
dan wewenang yang sangat tinggi. Budaya tersebut yang juga di ekspresikan di luar
pesantren khususnya dunia politik dan faktanya menciptakan konflik politik.
Dalam tesis tersebut tercatat bahwa frekuensi konflik dalam tubuh NU sangat
tinggi. Tercatat, ketika NU memutuskan keluar dari Masyumi pada 1952, konflik
politik seperti itu telah muncul. Iklim tersebut juga terjadi saat NU berfusi dengan
PPP (1973-1984), kembali ke khittah (1984), serta pasca pemerintahan Orde Baru
(1998-2003).
Kesimpulannya bahwa keterlibatan para kyai NU dalam kancah perpolitikan,
secara organisatoris mengalami fluktuatif. Di era penjajahan, secara organisatoris
menjadikan NU sebagai partai politik belum dilakukan. Di era ini, gerakan lebih
banyak dilakukan secara informal dan melalui jalur kultural. Keterlibatan NU dalam
politik formal, mulai dilakukan setelah Indonesia merdeka. Ketika NU terlibat
langsung dalam politik praktis dengan bermetamorfosa menjadi partai politik, yang
kemudian persoalan agama dan persoalan politik sering tercampur baur. Sebagai
organisasi yang berlatarbelakang keagamaan, para tokoh NU berusaha menjadikan
hukum agama (fiqih) sebagai standar moralitas. Sedangkan kyai NU sebagai
pemimpin kharismatik tetap diposisikan sebagai pemimpin kharismatik yang segala
fatwanya diikuti. Namun sebagai partai politik, para tokoh NU khususnya yang
langsung melakukan politik praktis, anggotanya selalu terdorong untuk mengejar
7
kepentingan-kepentingan pribadi. Sehingga seringkali berbagai cara dilakukan untuk
mencapai kepentingannya sekalipun dengan menggunakan legitimasi agama. Konflik
inilah yang terjadi dalam persoalan politik dalam tubuh NU. Penelitian tersebut lebih
melihat proses terjunnya NU ke percaturan politik nasional. Faktor-faktor apa saja
yang melatarbelakangi NU untuk terjun ke politik praktis, dan apa dampaknya
terhadap NU itu sendiri.
Keempat, Tesis yang ditulis oleh Eneng Darol Affiah (2004) Pascasarjana
Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi,
dengan judul: “Analisis Gender dan Pengaruhnya Terhadap Gerakan Perempuan
Islam Indonesia: Studi Kasus Pucuk Pimpinan Fatayat Nahdlatul Ulama”. Tesis ini
menjelaskan bagaimana perspektif gender diadopsi oleh organisasi perempuan Islam
dan memberikan pengaruh terhadap gerakan organisasi.
Setelah melewati berbagai proses di dalam organisasi seperti maraknya diskusi,
pendidikan dan pelatihan serta penerbitan buku yang mensosialisasikan gagasan
keadilan gender ke dalam berbagai komnitas Islam, maka proses demikian ternyata
memberikan efek terhadap organisasi perempuan (Fatayat Nahdlatul Ulama) dalam
hal paradigma yang mencoba mengikis pemikiran-pemikiran masyarakat khususnya
gerakan organisasi yang tadinya berbasis gender menjadi kesetaraan gender. Hal
demikian pun juga dilatarbelakangi oleh munculnya wacana Woman in Development
(WID) sehingga muncul berbagai respon dari berbagai kaum perempuan dengan
berbagai pendekatan, salah satunya pendekatan Gender and Development (GAD).
Pendekatan GAD ini menjadi titik penting oleh sejumlah LSM perempuan untuk
8
melakukan counter culture dalam merespon nilai-nilai yang diberlakukan oleh
masyarakat dan Negara. Bentuk gerakannya pun bervariasi seperti membentuk
organisasi dengan ideologi kesetaraan gender dan juga gerakan-gerakan yang
melakukan penyadaran terhadap komunitas perempuan yang ada di akar-rumput.
Penelitian tersebut memfokuskan analisisnya pada proses adanya wacana gender
terhadap gerakan perempuan Fatayat NU. Dan bagaimana Fatayat NU mengadopsi
konsep kesetaraan gender.
Kelima, tesis yang disusun oleh Abdul Kholik (2004) Pascasarjana Jurusan
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, yang
berjudul: “Dinamika Hubungan Muhammadiyah dengan NU Pasca Orde Baru (1998-
2003)”. Tesis ini menggambarkan adanya pola hubungan yang sifatnya saling
bersinergis. Namun hubungan tersebut juga tidak lantas terjadi begitu saja. Ada
dinamika dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya hubungan antara
Muhammadiyah dan NU.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat delapan bentuk hubungan
antara Muhammadiyah dengan NU dalam kurun waktu 1998-2003, yang meliputi
penyelenggaraan pengajian bersama Muhammadiyah-NU, upaya pengamanan Sidang
Umum MPR 1999, penyelenggaraan kegiatan tasyakuran kemerdekaan, kemitraan
dalam mengembangkan usaha kecil, safari dakwah Muhammadiyah-NU, membangun
gerakan moral, umrah bersama, dan gerakan anti korupsi. Dari kedelapan bidang
tersebut kiranya telah mencangkup aspek politik, ekonomi dan sosial.
9
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi hubungan antara Muhammadiyah
dan NU dalam kurun waktu 1998-2003 meliputi; adanya komitmen untuk
menyukseskan Sidang Umum MPR 1999, memperkuat tali ukhuwah islamiyah,
mengkikis perbedaan khilafiah, upaya merajut kembali komitmen berbangsa dan
bernegara di antara komponen bangsa, menumbuhkan sikap saling mendukung untuk
keutuhan NKRI, memberdayakan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan umat,
mencegah terjadinya konflik massa antara Muhammadiyah dengan NU, keprihatinan
atas terjadinya krisis dan konflik sosial dan keinginan untuk memerangi dan
memberantas korupsi yang telah menjadikan Indonesia sebagai negara paling korup.
Dari pola hubungan tersebut ternyata mampu mendorong kedua organisasi besar
kearah pergulatan integrasi sosial antara keduanya. Dimana adanya perbedaan antara
kedua organisasi itu tidak dimaknai sebagai hal yang utama. Dan keduanya
memandang bahwa perbedaan hanya ganjalan kecil dalam persatuan, oleh karena itu
perbedaan tidak lagi menjadi bahan perdebatan antara kedua belah pihak. Penelitian
tersebut lebih melihat hubungan dan dinamika antara Muhammadiyah dengan NU.
Faktor apa saja yang melatar belakangi adanya hubungan antara Muhammadiyah
dengan NU. Dan bagaimana dinamikanya.
Keenam, Tesis yang disusun oleh Ahmad Wari (2009) Program Studi Kajian
Ketahanan Nasional, Pascasarjana Universitas Indonesia, yang berjudul “Analisis
Keputusan-Keputusan Nahdlatul Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan dan
Implementasinya Di Lingkungan Nahdlatul Ulama”. Tesis ini menyimpulkan
bahwasanya Nahdlatul Ulama dalam mengeluarkan keputusan terkait kepemimpnan
10
perempuan secara umum belum sepenuhnya merefleksikan komitmen NU terhadap
kesetaraan jender khususnya keputusan NU tahun 1961 tentang pelarangan
perempuan menjadi kepala desa kecuali dalam keadaan darurat.
Kurangnya sosialisasi tentang keputusan-keputusan NU tentang kepemimpinan
perempuan ternyata tidak terinternalisasi dengan baik di kalangan NU khususnya
kaum perempuan karena kurangnya sosialisasi secara struktural melalui organisasi
maupun secara kultural melalui Kyai dan jaringan pesantren yang pada hakikatnya
keputusan-keputusan itu diperlukan untuk melegitumasi kiprah kepemimpinan
perempuan NU. Penelitian tersebut lebih melihat bagaimana kebijakan tentang
kepemimpinan perempuan yang dikeluarkan oleh NU yang nyatanya berpengaruh
terhadap proses implementasinya.
Ketujuh, tesis Laode Ida Dinamika Internal Nahdlatul Ulama (NU) setelah
kembali ke Khittah 1926 yang kemudian dijadikan buku dengan berjudul Anatomi
Konflik NU, elit Islam, dan Negara. Dalam tesis ini banyak menyorot dinamika
internal NU, baik sebagai akibat pergolakan yang terjadi dijajaran elit NU maupun
akibat interaksi dengan para elit Islam di luar NU, serta para aktor politik yang
berperan kuat pada tingkat negara.
Laode Ida dalam tesisnya memfokuskan pada konflik dalam transisi kembali
ke Khittah 1926. Ia menjelaskan bagaimana gagasan ini mengalami proses yang
panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokoh NU sendiri, karena
kiprahnya sebelum itu bukan hanya telah mengabaikan tugas-tugas pengabdiannya
kepada masyarakat sesuai misi NU mengembangkan ajaran ahlu sunnah wal
11
jama’ah, melainkan juga menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan pada
tingkat internal NU. Menurut Laode, dinamika pergolakan internal NU sejak
pemikiran kembali ke Khittah hingga penerapan implementasinya yang penuh dengan
tarik menarik penafsiran muncul sejak Muktamar ke-27. Kemudian menemukan
momentumnya pada Munas Alim Ulama pada tahun 1983 dan memuncak dengan
disahkannya pada Muktamar ke-27 di Situbondo.
Menurut Laode, dinamika dan konflik internal NU disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal yang saling berinteraksi. Pertama, faktor pemikiran reformasi gerakan
generasi ketiga NU dibawah pengaruh kuat Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kedua,
pemikiran dan tindakan generasi ketiga yang cenderung merelatifkan peran Lembaga
Syuriah, merelatifkan peran tokoh sepuh yang sebelum kepemimpinan Gus Dur
dianggap sebagai tokoh-tokoh NU Kharismatik, dan dianggap menyimpang dari
tradisi NU selama ini. Ketiga, keberadaan Abdurrahman Wahid yang multi status,
banyak peran yang dilakoni oleh Gus Dur. Keempat, adanya kepemimpina
Abdurrahman Wahid yang mencoba mengembangkan pemikiran anti-tesis dari
kecenderungan „Negara kuat‟ (strong state) yang pada saat bersama berhadapan
dengan kepentingan politik arus atas.
Kesamaan dari ketujuh kajian pustaka tersebut terletak pada objek kajiannya yaitu
Nahdlatul Ulama. Tetapi skripsi ini lebih memfokuskan pada hubungan antar struktur
birokrasi dalam PBNU dari tahun 2010-2014.
E. Kerangka Teori
1. Strukturalisme Konflik
12
Menurut Lewis Coser, terdapat dimensi positif (kontruktif) dari konflik, yakni
memperkuat struktur atau identitas sosial. Logika tersebut layaknya metafora Janus
Face Duverger bahwa suatu pemikiran. Proses tersebut adalah tindakan politik
niscaya menghasilkan persetujuan maupun penolakan di mana berbagai kubu yang
berseteru saling melakukan konsolidasi (penguatan diri).Coser (1956: 16-19).
Dalam membahas ahli teori (bangsa Amerika) yang lebih awal, menyatakan
pemahaman mereka tentang konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam
semangat pembaharuan masyarakat. Albion Small dan George E. Vincen sebagai
pengarang terkenal buku teks pertama sosiologi Amerika, misalnya mencerminkan
orientasi pembaharuan sosiologi ketika menulis, “ sosiologi dilahirkan dalam
semangat modern untuk memperbaiki masyarakat (dikutip dalam coser, 1956:17).
Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering mengacuhkan analisa
konflik sosial, secara implisit melihatnya sebagai destruktif atau patologis bagi
kelompok sosial. Coser memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang
secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. Dia
melakukan hal ini dengan membangun diatas sosiologi klasik sosial, dan terutama
melalui kepercayaan pada ahli sosiologi Jerman yang terkenal yaitu George Simmel.
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali disebut teori
fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik bagi sistem sosial atau
masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The Functions of Social Conflicts,
Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada fungsi- fungsi dari konflik. Dari judul
13
itu bisa dilihat bahwa uraian coser terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah
kepada pengintegrasian teori konflik dan teori fungsionalisme struktural.
Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori konflik lainnya
ialah bahwa ia menekankan pentingnnya konflik untuk mempertahankan keutuhan
kelompok. Padahal pendukung teori konflik lainnya memusatkan analisa mereka pada
konflik sebagai penyebab perubahan sosial. Lewis Coser menyebabkan beberapa
fungsi dari konflik, yakni:
1. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar. Dalam
masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain bisa
menjadi kekuatan yang mempersatukan
2. Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam
kelompok tersebut dan solidaritas tersebut bisa menghantarkannya kepada
aliansi- aliansi dengan kelompok- kelompok lain.
3. Konflik juga bisa menyebabkan anggota- anggota masyarakat yang terisolir
menjadi berperan secara aktif.
4. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi. Sebelum terjadi konflik,
nggota- anggota masyarakat akan berkumpul dan merencanakan apa yang
akan dilakukan. Lewat tukar menukar pikiran itu mereka bisa mendapat
gambaran yang lebih jelas akan apa yang harus dibuat entah untuk
mengalahkan lawan ataupun untuk menciptakan perdamaian.
Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik kelihatan bisa
diperdamaikan dengan menganalisa fungsi- fungsi dari konflik sebagai mana telah
14
diuraikan tadi oleh Coser. Tetapi harus diakui dalam banyak hal, konflik juga
menghasilkan ketidak berfungsian, atau disfungsi.. Artinya , fungsi- fungsi yang
disebutkan oleh Coser itu tidak seberapa dibandingkan dengan ketidak stabilan atau
kehancuran yang disebabkan oleh konflik itu (Bernard Raho, 82-84)
Kemudian juga dalam sebuah organisasi akan menjadi efektif jika semua
fungsi dapat berjalan sesuai harapan organisasi. Konsep ini yang akan digunakan
dalam melakukan penelitian.
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis destruktif. Oleh
karenanya, Metode kualilatif dipandang merupakan pemilihan metode yang memadai
(adequate) karena dapat menangkap arti (meaning/understanding) dan memberikan
kualitas data yang mendalam (depth-understanding) atas suatu peristiwa, gejala,
fakta, kejadian realitas atau masalah tertentu. Sejalan dengan hal tersebut menurut
Strauss dan Corbin (2015) penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak bisa dicapai dengan prosedur-
prosedur statsistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran) (Strauss &
Corbin, 2015:4-5). Peneliti mencoba menggali secara mendalam sebuah data
informasi dilapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan cara
menangkap dan memahami makna dari jaringan yang ada dalam kejadian-kejadian
tertentu untuk dianalisa lebih mendalam.
15
2. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Teknik wawancara merupakan bentuk komunikasi verbal atau percakapan yang
bertujuan untuk memperoleh informasi dari objek. Wawancara ini dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan informan yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. (Moleong, 1996:135)
Wawancara juga merupakan alat re-checking atau pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in-
depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka dengan informan.. Wawancara juga
dilakukan dengan tidak terstruktur (unstructured interviews) dimana peneliti dan
informan melakukan interaksi dengan cair. Dan menggunakan wawancara terbuka
dengan informan (Moeloeng, 1996:137)
b. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dalam kualitatif bisa disebut juga sebagai penelitian observasi
partisipan. Konsep ini menggambarkan bahwa seorang peneliti harus obeservasi atau
berpartisipasi langsung dalam berbagai kegiatan-kegiatan objek penelitiannya.
Peneliti harus bertatap muka dan berinteraksi sosial dengan „real people‟ (dalam
penelitian ini NU) dalam „natural setting’. Dalam penelitian lapangan di mana
16
seorang peneliti berbicara langsung dengan objek, ia harus bertemu juga dengan
orang-orang baru dan membangun pertemanan. (Neuman, 2007:276)
Observasi ialah bagian dalam pengumpulan data. Observasi berarti
mengumpulkan data langsung dari lapangan. Dalam tradisi pendekatan kualitatif, data
tidak akan diperoleh dibelakang meja, tetapi harus terjun langsung ke lapangan, ke
tetangga, ke organisasi, ke komunitas. Data yang diobservasi juga dapat berupa
catatan atas gambaran tentang sikap, kelakuan, perilaku, tindakan, keseluruhan
interaksi antar manusia. Data observasi juga dapat berupa interaksi dalam suatu
organisasi atau pengalaman para anggota dalam berorganisasi. Tujuan penelitian
lapangan ialah menjelaskan makna sosial dan memahami prespektif-perspektif dalam
social setting. (Neuman, 2007:278)
Teknik observasi dilakukan peneliti untuk mengambil data sekunder dalam
pelengkapan data. Observasi dilakukan pada tempat-tempat tertentu dan tanggal yang
telah disediakan.
c. Dokumentasi
Dokumentasi juga merupakan suatu bentuk teknik pengumpulan data yang
diperoleh dari dokumen-dokumen, seperti: (1) surat memorandum dan pengumuman
resmi. (2) dokumen-dokumen administratif dan dokumen-dokumen intern lainnya. (3)
artikel-artikel yang muncul di media masa (Yin, 1996:103-104). Dokumentasi
digunakan untuk memverifikasi, mendukung dan menambah bukti, menambah
informasi dari sumber-sumber lain. (Yin, 1996:104)
17
3. Strategi Pengambilan Sampel
Penentuan informan menggunakan strategi purposive sampling. Teknik purposive
sampling biasa digunakan pada sebuah kondisi ketika seorang peneliti menggunakan
justifikasi dalam memilih kasus dengan tujuan tertentu dalam pikirannya. Hal ini
sering digunakan dalam penelitian eksplorasi atau penelitian lapangan. Setidaknya
ada tiga situasi yang sesuai dalam teknik purposive sampling. Pertama, peneliti
menggunakannya pada kasus unik dan membutuhkan orang yang informatif. Kedua,
peneliti menggunakan teknik tersebut untuk memilih anggota yang sulit dijangkau,
populasinya terspesialisasi. Ketiga, ketika peneliti ingin mengetahui jenis fakta dari
sebuah kasus untuk investigasi yang dalam. Selanjutnya, pemilihan sampel secara
purposive pada sebuah penelitian harus berpedoman pada syarat-syarat yang harus
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan data. (Neuman. 2007:142-143)
Dalam penelitian ini telah di tetapkan beberapa informan:
1. KH. Said Aqil Siradj, KH. As‟ad Said Ali, dan KH. Solahuddin Wahid
mereka di wawancarai karena ketiga tokoh tersebut terlibat kontestasi dalam
hal pencalonan Ketua Umum (Tanfidziah) yang baru di Muktammar ke 33.
2. KH. Hasyim Muzadi dan KH. Ma‟ruf Amin, mereka diwawancarai karena
kedunya adalah kandidat Rais Am PBNU.
Secara teknis organisasi, mereka merupakan orang yang paling kompeten
untuk dimintai keterangan. Selain itu dalam penelitian ini, mereka secara pribadi juga
menjadi Obyek penelitian. Sebab, dia termasuk orang yang terlibat konflik.
18
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya yaitu pengolahan dan Analisis
Data. Menyusun data berarti menggolongkan data ke dalam pola, tema, atau kategori.
Pada penelitina kualitatif, analisis data harus dimulai sejak awal. Data yang diperoleh
dalam lapangan segera harus dituangkan dalam bentuk tulisan dan dianalisis
(Muhadjir, 1998:104). Setidaknya ada beberapa teknik dalam pengolahan dan analisa
data.
a. Konseptualisasi
Dalam penelitian kualitatif, konseptualisasi ialah cara seorang peneliti untuk
memilah data mana yang „makes sense’ dan mana yang tidak. Seorang peneliti
memilah data kedalam bentuk kategori-kategori pada tema penelitian, konsep dan
bentuk-bentuk lain yang diperlukan. Peneliti juga bisa membangun konsep baru,
kemudian memformulasikannya dalam definisi-definisi konseptual, yang kemudian
menjelaskan menjelaskan hubungan antar konsep. (Neuman, 2007:330)
b. Analisa Data
Menurut Miles dan Huberman (1994) dalam menganalisa data dalam kualitatif
harus melewati beberapa tahap. Pertama, reducing data yaitu proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi ini terus
berkelanjutan selama penelitian ini berlangsung. Kedua, displaying data yang berarti
mengumpulkan informasi secara tersusun yang memberikan kemungkinan adanya
19
penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Ketiga, penarikan kesimpulan.
Langkah ini melibatkan “penggambaran makna dari data yang ditampilkan”. Peneliti
menarik makna yang relevan, kemudian mensistematiskan data berdasarkan jenis
analisis yang peneliti pilih. (Miles & Huberman dikutip oleh Marvasti, 2004:88-90)
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan yang terdiri dari
empat bab, yang uraiannya terdiri dari berikut:
Bab pertama: berisikan tentang pernyataan penelitian, pertanyaan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika pembahasan. Bab ini menjelaskan betapa pentingnya penelitian ini
dilakukan dan juga sebagai pijakan dan langkah awal untuk pembahasan selanjutnya.
Bab kedua: membahas tentang sejarah dan perkembangan PBNU Pembahasan
dalam bab ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika secara umum objek yang
dibahas dalam penelitian ini.
Bab ketiga: berisi deskripsi hasil dan temuan selama penelitian yang juga
sekaligus menjadi jawaban pertanyaan penelitian.
Bab keempat: yaitu bab akhir dari penelitian ini yang berisi kesimpulan dari
semua hasil dari temuan penelitian dan penutup yang juga mencangkup saran serta
masukan kepada pihak yang mempunyai kepentingan terhadap tema penelitian ini.
20
Dalam bagian ini juga harus mencangkup daftar pustakan dan lampiran-lampiran
hasil penelitian.
21
BAB II
Sejarah Kelahiran Nahdlatul Ulama
A. Latar belakang kelahiran Nahdlatul Ulama
Berbagai buku telah membahas latar belakang lahirnya NU. Pada umumnya para
penulis barat maupun Indonesia dalam menulis sejarah NU, diwarnai dominasi kajian
modernis. Deliar Noer misalnya, menyebut NU sebagai benteng perlawanan terhadap
golongan pembaharu Islam. NU adalah perluasan dari komite hijaz yang merupakan
tandingan komite khilafah yang di dominasi kalangan modernis. Hanya sedikit buku yang
mewakili kalangan tradisionalis.
B. Bentuk dan Sistem Organisasi Nahdlatul Ulama
B. 1. Sistem Permusyawaratan
Muktamar diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali dan dihadiri
oleh pengurus besar, pengururs wilayah, pengurus cabang diseluruh Indonesia, dan dihadiri
juga oleh alim-ulama serta undangan dari tenaga ahli yang berkompeten. Muktamar
membahas persoalan-persoalan sosial dan agama, program pengembangan NU, laporan
pertanggung jawaban pengurus besar, menetapkan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga, serta memilih pengurus baru.
Sedangkan dapat diselenggarakan atas permintaan pengurus besar Syuriah
berdasarkan keputusan rapat Pengurus Besar lengkap atau rekomendasi Musyawarah
Nasional Alim Ulama untuk menyelesaikan masalah-masalah kepentingan umum secara
nasional atau membahas keberadaan Jam’iyah Nahdlatul Ulama yang tidak dapat diselesaikan
secara mekanisme musyawarah lain.(Pustaka Ma’arif NU, 2007:134).
22
C. Susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masa Khidmat 2015-2020
Berikut ini susunan lengkap pengurus PBNU masa khidmat 2015-2020 yang terdiri
dari Mustasyar (Dewan Penasehat), Pengurus Harian Syuriyah, A’wan (Dewan Pakar), dan
Pengurus Harian Tanfidziyah:
MUSTASYAR
K.H. Maemun Zubair
Dr. K.H. Ahmad Mustofa Bisri
K.H. Nawawi Abdul Jalil
K.H. Abdul Muchit Muzadi
Prof. Dr. K.H. M. Tholhah Hasan
K.H. Dimyati Rois
K.H. Makhtum Hannan
K.H. Muhtadi Dimyathi
AGH Sanusi Baco
TGH Turmudzi Badruddin (NTB)
K.H. Zaenuddin Djazuli
K.H. Abdurrahman Musthafa (NTT)
K.H. M. Anwar Manshur
K.H. Habib Luthfi bin Yahya
K.H. Sya’roni Ahmadi
K.H. Ahmad Syatibi
K.H. Syukri Unus
Dr. H. M. Jusuf Kalla
Prof. Dr. Chotibul Umam
23
Prof. Dr. Tengku H. Muslim Ibrahim
K.H. Hasbullah Badawi
K.H. Hasyim Wahid
K.H. Thohir Syarqawi Pinrang
K.H. Hamdan Kholid
K.H. Saifuddin Amsir
K.H. Zubair Muntashor
K.H. Ahmad Basyir
K.H. Ahmad Shodiq
K.H. Mahfud Ridwan
Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA
Prof. Dr. H. Machasin, MA
K.H. Adib Rofiuddin Izza
Habib Zein bin Smith
Dr. Ir. H. Awang Faroeq Ishaq
PENGURUS HARIAN SYURIYAH
Rais Aam : Dr. K.H. Ma’ruf Amin
Wakil Rais Aam : K.H. Miftahul Akhyar
Rais : K.H. Mas Subadar
Rais : K.H. Nurul Huda Djazuli
Rais : K.H. Masdar Farid Mas’udi, M.A.
Rais : K.H. Ahmad Ishomuddin, M.Ag.
Rais : K.H. AR Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais : K.H. Dimyati Romli
Rais : K.H. Abdullah Kafabihi Mahrus
Rais : K.H. Khalilurrahman
24
Rais : K.H. Syarifudin Abdul Ghani
Rais : K.H. Ali Akbar Marbun
Rais : K.H. Subhan Makmun
Rais : K.H. M. Mustofa Aqil Siroj
Rais : K.H. Cholil As’ad Samsul Arifin
Rais : K.H. Idris Hamid
Rais : K.H. Akhmad Said Asrori
Rais : K.H. Abdul Hakim
Rais : Dr. K.H. Zakki Mubarok
Rais : Prof. Dr. Maskuri Abdillah
Rais : K.H. Najib Abdul Qadir
Katib Aam : K.H. Yahya Cholil Staquf
Katib : K.H. Mujib Qulyubi
Katib : Drs. K.H. Shalahuddin al-Ayyubi, M.Si
Katib : Dr. K.H. Abdul Ghafur Maemun
Katib : K.H. Zulfa Mustahafa
Katib : Dr. H. Asrorun Niam Shaleh
Katib : K.H. Acep Adang Ruchiyat
Katib : K.H. Lukman Hakim Haris
Katib : K.H. Taufiqurrahman Yasin
Katib : K.H. Abdussalam Shohib
Katib : K.H. Zamzami Amin
Katib : Dr. H. Sa’dullah Affandy
A’WAN
25
K.H. Abun Bunyamin Ruchiat
Drs. K.H. Cholid Mawardi
K.H. TK Bagindo M Letter
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Lubis
K.H. Mukhtar Royani
K.H. Abdullah Syarwani, S.H.
K.H. Eep Nuruddin, M.Pdi.
Drs. K.H. Nuruddin Abdurrahman, S.H.
K.H. Ulinnuha Arwani
K.H. Abdul Aziz Khayr Afandi
H. Fauzi Nur
Dr. K.H. Hilmi Muhammadiyah, M.Si
K.H. Maulana Kamal Yusuf
K.H. Ahmad Bagja
KH. Muadz Thohir
K.H. Maimun Ali
H. Imam Mudzakir
H. Ahmad Ridlwan
Drs. H. Taher Hasan
Dra. Hj. Sinta Nuriyah, M.Hum
Dra. Hj. Mahfudhoh Ali Ubaid
Ny. Hj. Nafisah Sahal Mahfudh
Prof. Dr. Hj. Chuzaimah T. Yanggo
Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, M.A.
Prof. Dr. Hj. Ibtisyaroh, S.H., M.M.
Dr. Hj. Sri Mulyati
26
PENGURUS HARIAN TANFIDZIYAH
Ketua Umum : Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
Wakil Ketua Umum : Drs. H. Slamet Effendy Yusuf, M.Si.
Ketua :
Drs. H. Saifullah Yusuf
Dr. H. Marsudi Syuhud
Prof. Dr. M. Nuh, DEA
Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum Machfoedz, M.Sc.
Drs. K.H. Abbas Muin, Lc
Drs. H. M. Imam Aziz
Drs. H. Farid Wajdi, M.Pd
Dr. H. Muh. Salim Al-Jufri, M.Sos.I
K.H. Hasib Wahab
Dr. H. Hanief Saha Ghafur
K.H. Abdul Manan Ghani
K.H. Aizzuddin Abdurrahman, S.H.
H. Nusron Wahid, S.E., M.SE
Dr. H. Eman Suryaman
Robikin Emhas, SH, M.H
Ir. H. M. Iqbal Sullam
H. M. Sulton Fatoni, M.Si.
Sekretaris Jenderal : Dr (HC). Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Wakil Sekretaris Jenderal :
H. Andi Najmi Fuaidi
dr. H. Syahrizal Syarif, MPH., Ph.D
Drs. H. Masduki Baidlowi
27
Drs. H. Abdul Mun’im DZ
Ishfah Abidal Aziz, SHI
H. Imam Pituduh, SH., MH.
Ir. Suwadi D. Pranoto
H. Ulil A. Hadrawi, M.Hum
H. Muhammad Said Aqil
Sultonul Huda, M.Si.
Dr. Aqil Irham
Heri Haryanto Azzumi
Bendahara Umum : Dr.–Ing H. Bina Suhendra
Bendahara :
H. Abidin
H. Bayu Priawan Joko Sutono, S.E., M.BM
H. Raja Sapta Ervian, SH., M.Hum.
H. Nurhin
H. Hafidz Taftazani
Umarsyah HS
N.M. Dipo Nusantara Pua Upa
(“Hasil-hasil Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama,” Jakarta: Lembaga Ta’lif wan Nasyr PBNU,
2015)
D. Konflik Internal Nahdlatul Ulama
D.1. Syuriah
Kondisi didalam tubuh NU akan kualahan menghadapi gelombang- gelombang perubahan
dan pantulan konflik sehingga pada akhirnya timbullah konflik internal NU. Sebelum memasuki ke
dalam pembahasan dalam konflik internal timbul pertanyaan sampai seberapa jauh kondisi internal
28
NU terjerat kedalam konflik intern itu? Bagian ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan
memfokuskan perhatian kepada tiga elemen kekuasaan NU yaitu Syuriah dan Tanfidziyah. Syuriah
merupakan pelembagaan peranan agama (dalam pengertian yang luas peranan non politik) dan
menumbukan kekuatan yang disebut ulama. Tanfidz dan menumbuhkan peran politisiziyah
merupakan pelembagaan peran politik (dan dalam pengertian yang sempit disebut peran pelaksana).
Struktur yang terbentuk dalam dari interaksi antara kedua elemen itulah yang sebenarnya
dimaksudkan dengan kondisi intern NU itu.( Mahrus Irsyam, 1984:83)
Guna memahami interaksi antara kedua elemen tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu
apakah bentuk organisasi NU itu sebenarnya. Di dalam statuten NU yang memperoleh pengesahan
dari pemerintah kolonial Belanda serta di dalam AD/ART yang diberlakukan sekarang ini secara pasti
dinyatakan bahwa bentuk dari organisasi NU adalah perkumpulan. Makna dari perkumpulan berkaitan
dengan ulama generasi pendiri diibaratkan sebagai pemilik atau pemegang saham terbesar dari
perkumpulan NU ini. Segala sikap dan tingkah laku ulama generasi pendiri itu oleh Ahmad Siddiq
digambarkan sebagai garis besar dan sikap perjuangan NU atau khittah Nahdliyyah. (Ahmad Siddiq,
1980:11). Ulama Generasi pendiri itu antara lain : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab, KH. Bisri
Syamsuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Abdul Halim, KH. Maksum, KH. Cholil Thohir, KH.
Abdullah Ubaid, KHR. Alwi Abdul Azis, KH. Dahlan, KH. Moh. Dahlan, KH. Mahfud Siddiq, KH.
Ahmad Siddiq. Di antara ulama generasi pendiri itu KH. Hasyim Asy’ari memperoleh posisi puncak
seperti tercermin dari nama jabatannya dalam kepengurusan NU (Rois Akbar) dan gelar kehormatan
Hadratus Syeikh. Setelah KH. Hasyim Asy’ari meninggal dunia kedua gelar kehormatan tertinggi itu
tidak diberikan lagi kepada ulama manapun. (Mahrus Irsyam, 1984:84)
Kedudukan ulama yang nampaknya tinggi itu dilembagakan kedalam perkumpulan NU
dengan wadah yang diberi nama Syuriah. Disamping itu terdapat pula lembaga yang disebut
Tanfidziyah yang menghimpun para politisi. Dalam AD/ART dinyatakan Syuriah adalah badan
tertinggi di dalam NU untuk ke dalam, sedangkan Tanfidziyah bukanlah badan yang terpisah akan
tetapi dua badan yang menjadi satu dan merupakan pimpinan NU. Himpunan dari kedua badan itulah
yang secara populer dikenal sebagai PBNU. Kedua lembaga itu pun dibentuk di tingkat bawah,
29
merupakan organ vertikal PBNU, yang langsung mengelola basis pesantren. Dengan demikian
pesantren dapat diintegrasikan dengan pimpinan pusat NU.
Syuriah memiliki kewenangan untuk memberikan landasan hukum agama Islam khususnya
hukum fiqih atau hukum syar’i terhadap langkah- langkah yang sudah atau akan ditempuh oleh
Tanfidziyah bahkan syuriah berhak membatalkan keputusan yang telah diambil Tanfidziyah.
Wewenang terakhir itu sering disebut Syuriah hak veto terhadap kebijaksanaan Tanfidziyah. Dengan
demikian para ulama yang duduk dalam Syuriah dinilai memiliki keahlian yang cukup tinggi di
bidang hukum agama, sedangkan politisi meskipun menguasai bidang tugasnya di hadapan hukum
islam para politisi harus taqlid terhadap Syuriah. Kepemimpinan Syuriah pada umumnya
dipersonifikasikan di dalam diri Rois Aam yang dinilai memiliki keahlian dalam ilmu fiqih yang
tertinggi diantara kalangan Ulama NU.
Penguasaan keahlian di bidang hukum syar’i, asal usul dari generasi pendiri, nampaknya
perlu dilengkapi pula dengan persyaratan mempunyai dan langsung memimpin pesantren. Dua Rais
Aam dari generasi pendiri , KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Bisri Syamsuri, memiliki dan
memimpin pesantren yaitu tambak beras dan Denanyar.
Persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya bagi seorang Rais Aam adalah sikapnya
terhadap jabatan itu ketika yang bersangkutan dipilih untuk memangku jabatan tersebut. Sewaktu KH.
Hasyim Asy’ari meninggal dunia sebenarnya dapat digantikan oleh wakilnya KH. Abdullah Fakih
dari gresik tetapi yang bersangkutan memang betul-betul tidak mengingin jabatan tersebut, akhirnya
terpilih KH. Abdul Wahab Chasbullah, namun pemimpin ini pun pada mulanya menolak, karena
pilihan tetap kepada KH. Abdul Wahab Chasbullah maka beliau menyanggupinya dengan persyaratan
agar jabatanitu tidak menggunakan sebutan Rais Akbar melainkan cukup dengan sebutan Rais Aam.
Persyaratan itu diterima oleh para ulama pemilihnya, dan mulailah berlaku sebutan Rais Aam sampai
sekarang ini. Begitu pula halnya dengan KH. Bisri Syamsuri dan KH. Ali Maksum. Penolakan itu
mempunyai arti bahwa, sang terpilih tidak mempunyai ambisi terhadap jabatan itu, memperlihatkan
kepada elemen- elemen kekuasaan NU bahwa seorang terpilih tentunya memiliki kelebihan dari yang
30
lain sehingga pantas untuk dipatuhi dan persyaratan sebagai batas dari kemampuan seorang
pemimpin. Selain legitimasi formal calon Rais Aam yang terpilih biasanya memperkuat dirinya
melalui legitimasi yang diperolehnya dengan jalan istikharah. Setelah calon yang terpilih melakukan
istikaharah biasanya baru mau menerima jabatan tersebut.
Bila dilihat lebih lanjut pada akhirnya keterlibatan ulama Syuriah tidak semata- mata dalam
hubungannya dengan hukum syar’i saja melainkan juga keterlibatan dengan masalah- masalah politik.
Bagaimana suatu landasan hukum syar’i akan dapat diberikan tanpa ulama- ulama syuriah memahami
persoalan- persolan politikyang dimintakan hukumnya oleh para politisi Tanfidziyah. Dalam batas-
batas tertentu keterlibatan ulama itu bukanlah dalam arti ulama bertindak sebagai aktor- aktor politik
tetapi sebagai pengarah politik.
Keterlibatan ulama- ulama Syuriah dengan peran langsung di bidang hukum syar’i dan peran
tidak langsung dalam masalah- masalah politik, mempengaruhi orientsi Syuriah terutama Rais Aam
didalam menggerakkan kepemimpinan di NU. Kepemimpinan KH. Abdul Wahab Chasbullah,
misalnya mempunyai kecenderungan yang kuat untuk mengutamakan politik dari pada hukum syar’i
yang mengenal batas yang tegas antara yang hak dan bathil.
D.2. Tanfidziyah
Pada mulanya Tanfidziyah hanyalah “pekerja urusan perkumpulan” yang semata-mata
menangani masalah- masalah teknis administratif belaka. Baru pada masa Mahfud Siddiq menjadi
ketua Tanfidziyah peran teknis administratif itu mulai ditinggalkan memasuki peran organisatoris.
Peran baru itu memungkinkan Tanfidziyah untuk bergerak langsung ditengah-tengah masyarakat,
mengambil sisi yang lain dari peran yang telah dimasuki ulama. Untuk melaksanakan peranan
tersebut Tanfidziyah mempergunakan anak perkumpulan NU dalam bentuk pemuda dan kepanduan
yang diberi nama Anshor.
E. Sistem Keorganisasian Nahdlatul Ulama
31
Selain tujuan dan pilihan ikhtiar yang dilakukan, sejak awal berdirinya Nahdlatul Ulama, telah
menetapkan pola organisasi yang menjadi ciri khasnya. Pol organisasi ini sampai sekarang belum
pernah mengalami perubahan. Akan tetapi Penambahan dan penyempurnaan selalu dilakukan sesuai
dengan kebutuhan dan ketentusn kemajuan jaman. Beberapa perubahan dan penyempurnaan itu
biasanya dilakukan sebagai hasil evaluasi yang dilakukan setiap lima tahun sekali dalam forum
muktamar. Materi perubahan dan penyempurnaan pada umumnya berkisar pada beberapa hal yang
bersifat penunjang, seperti perubahan status pada umumnya berkisar padsa beberapa hal yang bersifat
penunjang, seperti perubahan status badan otonom, lembaga dan lajnah yang menjadi perangkat
organisasi.
Pada dasarnya pola irganisasi yang telah disepakati Nahdlatul Ulama terpusat pada pola
hubungan kerja, lalu lintas wewenang dan tanggung jawab antara Syuriah dan Tanfidziyah mulai dari
pengurus besar, pengurus wilayah, pengurus cabang, pengurus majelis wakil cabang sampai pengurus
ranting. Pengurus Syuriah dalam berbagai tingkatan kepengurusan adalah perumus dan pengendali
perogram-perogram Nahdlatul Ulama.
Sementara pengurus Tanfidziyah adalah pelaksana dari seluruh program. Karena itu dalam
kepengurusan NU pengurus Syuriah merupakan pimpinan tertinggi yang semua petunjuk dan
pendapatnya mengikat seluruh jajaran kepengurusan sampai ketingkat yang paling bawah. Dalam
terminologi organisasi modernpola semacam ini disebut sebagai bentuk “organisasi lini”. Akan tetapi
jika dilihat dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) ketua Tanfidziyah yang karena jabatannya termasuk
anggota pleno Pengurus Syuriah, maka ketua Tanfidziyah dapat mengambil keputusan. Kemudian
jiak dilihat dari sisi pembagian tugas sesuai bidangnya, sehingga melahirkan badan otonom yang
diberi wewenang mengatur rumah tangganya sendiri, Nahdlatul Ulama dapat disebut sebagai
“Organisasi Fungsional”.
F. Tingkat Kepengurusan Nahdlatul Ulama
Adapun tingkat kepengurusan Nahdlatul Ulama dan fungsinya terdiri atas:
32
1. Mutasyar: yang bertugas menyelenggarakan pertemuan setiap kali dianggap perlu untuk
secara kolektif memberikan nasihat kepada prngurus NU menurut tingkatannya, dalam rangka
menjaga kemurnian Khittah Nahdliyyah Islahudzati (arbitrase).
2. Syuriah: Sebagai pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas
dan penentu kebijaksanaan NU. Secara rinci tugas pokok Syuriah adalah :
a. Menentukan arah kebijakan NU dalam melakukan usaha dan tindakan untuk mencapai
tujuan organisasi.
b. Memberikan petunjuk bimbingan dan pembinaan, memahami, mengamalkan dan
mengembangkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah , baik dibidang
aqidah, syari’ah maupun tasawuf.
c. Mengendalikan, mengawasi dan memberi koreksi terhadap semua perangkat NU agar b
erjalan di atas ketentuan jamiyah dan agama islam.
d. Membimbing, mengarahkan dan mengawasi Badan Otonom, Lembaga dan Lajnah yang
langsung berada dibawah syuriah.
e. Jika keputusan suatu perangkat organisasi NU dinilai bertentangan dengan ajaran Islam
menurut faham Ahlussunah Waljama’ah, maka pengurus Syuriah yang berdasarkan
keputusan rapat dapat membatalkan keputusan atau langkah perangkat tersebut.
3. Tanfidziyah: Sebagai pelaksana tugas sehari-hari mempunyai kewajiban tugas-tugas sebagai
berikut:
a. Memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijakan yang ditentukan oleh
pengurus Syuriah.
b. Melaksanakan program-pogram jam’iyah NU.
c. Menyampaikan laporan secara periodik kepada pengurus Syuriah tentang pelaksanaan
tugasnya.
G. Perangkat Organisasi Nahdlatul Ulama
Untuk Melaksanakan tugas-tugas pokok organisasi dalam rangka mencapai tujuan, selain
pengurus inti yang terdiri dari Mutasyar, Syuriah dan Tanfidziyah, telah dibentuk perangkat
33
organisasi yang meliputi: Lembaga, Lajnah dan Badan Otonom yang merupakan bagian dari kesatuan
organisasi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Lembaga adalah perangkat departementasi organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi
sebagai pelaksana kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lajnah
adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama untuk melaksanakan program NU yang memerlukan
penanganan khusus. Sedangkan Badan Otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang
berfungsi membantu melaksanakan kebijakan NU, khususnya yang berkaitan dengan kelompok
masyarakat tertentu yang beranggotakan perseorangan.
Lembaga dapat dibentuk disemua tingkatan kepengurusan NU sesuai kebutuhan penanganan
program dan ditetapkan oleh permusyawaratan tertinggi. Ditingkat Pengurus Besar, lembaga-lembaga
yang ditetapkan dalam muktamar NU ke 30 di pondok pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur adalah:
1). Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
2). Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU)
3). Lembaga sosial Mabarrat Nahdlatul Ulama (LS Mabarrat NU)
4). Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
5). Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2 NU)
6). Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah (RMI)
7). Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
8). Haiah Ta’miril Masajid Indonesia (HTMI)
9. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam)
10). Lembaga Seni Budaya Nahdlatul Ulama (LSBNU)
11). Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja (LPTK)
34
12). Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBHNU)
13). Lembaga Pencak Silat (LPS Pagar Nusa)
14). Jam’iyyatul Qurra’Wal Hufadz adalah
Lajnah dapat dibentuk ditingkat Pengurus Besar, Wilayah, Cabang dan Majelis Wakil Cabang
dan ditetapkan oleh permusyawaratan tertinggi pada masing- masing tingkat kepengurusan. Lajnah
yang dibentuk ditingkat Pengurus Besar pada Muktamar ke 30 adalah:
1). Lajnah Falaqiyah
2. Lajnah Ta’lif wan Nasyr
3). Lajnah Auqof Nahdlatul Ulama
4). Lajnah Zakat, Infaq dan Shadaqah
5). Lajnah Bahsul Masail Diniyah
Sedangkan Badan Otonom diberi hak mengatur rumah tangganya sendiri sesuai peraturan
dasar dan peraturan rumah tangga (AD/ART) masing-masing. Akan tetapi sebagian integral
organisatoris Nahdlatul Ulama, maka keberadaan Badan Otonom harus sesuai dengn NU baik aqidah,
asas, maupun tujuannya. Apabila ditemukan penyimpangan atau hal-hal yang bertentangan dengan
garis kebijaksanaan NU, pengurus NU dapat mengadakan perubahan-perubahan. Badan Ototom dapat
dibentuk di masing-masing tingkat kepengurusan. Adapun Badan Otonom yang ditetapkan
berdasarkan hasil muktamar ke 30 adalah :
1). Jam’iyah Ahli Thariqat An- Nahdliyah
2). Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
3). Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU)
4). Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor)
35
5). Ikatan Putera Nahdlatul Ulama (IPNU)
6). Ikatan Puteri-puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
7). Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
H. Sistem Permusyawaratan dalam Nahdlatul Ulama
Prinsip musyawarah merupakan unsur essensial dalam Nahdlatul Ulama. Lembaga Syuriyah
pun terikat dengan prinsip musyawarah sehingga dominasi kepemimpinannya baru mengikat seluruh
jam’iyah (organisasi) jika sudah ditetapkan melalui musyawarah. Pendapat individu (seseorang) dari
pengurus Syuriyah belum merupakan kekuatan yang mengikat
Musyawarah dalam Nahdlatul Ulama dilakukan dengan maksud mencari kebenaran, bukan
mencari kekuatan berdasarkan wibawa atau jumlah suara terbanyak. Kalau sesuatu sudah diputuskan
berdasarkan musyawarah dan sesuai dengan norma agama, maka seluruh komponen organisasi terikat
dengan keputusan tersebut.
Dengan berpegang pada prinsip tersebut, seluruh hasil keputusan dalam NU baik yang
menyangkut perubahan struktur dan perangkat organisasi, kebijakan program maupun penetapan
kepengurusan, dan bahkan penetapan hukum atas persoalan, ditetapkan melalui proses musyawarah.
Dalam angaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama ditetapkan bahwa jenis dan tingkat
permusyawaratan meliputi: Permusyawaratan tingkat nasional, permusyawaratan tingkat daerah dan
permusyawaratan bagi perangkat organisasi Nahdlatul Ulama.
Mengenai jenis-jenis permusyawaratan dalam Nahdlatul Ulama dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1). Muktamar adalah instansi permusyawaratan tertinggi dalam Nahdlatul Ulama diselenggarakan
oleh pengurus besar NU setiap 5 tahun sekali. Dalam muktamar mebicarakan dan memutuskan masail
diniyah, pertanggung jawaban kebijaksanaan pengurus besar, program dasar NU untuk jangka waktu
36
5 tahun, masalah- masalah yang bertalian dengan agama, umat dan maslahatil ammah, menetapkan
perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta memilih pengurus besar.
2). Koferensi Besar merupakan instansi permusyawaratan tertinggi setelah muktamar yang diadakan
oleh pengurus besar konferensi besar, dapat juga diselenggarakan atas permintaan sekurang-
kurangnya separuh dari jumlah wilayah yang sah. Agenda utama dalam konferensi besar adalah
membicarakan pelaksanaan keputusan- keputusan muktamar, mengkaji perkembangan organisasi
serta peranannya ditengah masyarakat, mebahas masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan.
Meskipun demikian, konferensi besar tidak dapat mengubah anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga, keputusan muktamar dan tidak memilih pengurus baru.
3). Muktamar Luar Biasa dapat diselenggarakan dengan ketentuan:
- Diselenggarakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kepentingan umum secara nasional atau
mengenai keberadaan jam’iyah Nahdlatul Ulama
- Menyelesaikan masalah-masalah dimaksud tidak dapat diselesaikan dalam permusyawaran lain,
danpermintaan pengurus besar lengkap dengan syuriyah atau atas rekomendasi Musyawarah Nasional
Alim Ulama.
4). Musyawarah Nasional Alim-Ulama adalah Musyawarah para ulama yang diselenggarakan oleh
Pengurus Besar Syuriyah, sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 periode kepengurusan untuk
membicarakan masalah keagamaan.
5) Konferensi Wilayah adalah instansi permusyawaratan tertinggi untuk tingkat wilayah, Konferensi
ini diselenggarakan 5 tahun sekali atas undangan Pengurus Wilayah atau atas permintaan sekurang-
kurangnya separuh jumlah cabang yang ada di daerahnya.
6) Musyawarah Kerja Wilayah dapat dieselnggarakan oleh pengurus Wilayah sewaktu-waktu
dianggap perlu dan sekurang-kurangnya sekali dalam 2 tahun.
37
7). Konferensi Cabang adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat cabang. Konferensi ini
diadakan atas undangan Pengurus Cabang atau atas permintaan sekurang-kurangnya setengah dari
jumlah Majelis Wakil Cabang dan Ranting didaerahnya. Konferensi Cabang diadakan sekali dalam 5
tahun.
8). Rapat Kerja Cabang diadakan oleh pengurus cabang sewaktu-waktu dianggap perlu dan sekurang-
kurangnya 2 tahun sekali untuk mebicarakan pelaksanaan hasil keputusan Konferensi Cabang,
mengkaji perkembangan organisasi dan peranannya ditengah masyarakat, membahas masalah
keagamaan dan kemasyarakatan. Dalam rapat kerja cabang tidak diadakan acara pemilihan pengurus.
9). Konferensi Majelis Wakil Cabang adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat Majelis
Wakil Cabang. Konferensi ini diadakan sekali dalam lima tahun atas undangan pengurus Majelis
Wakil Cabang atau atas permintaan sekurang-kurangnya setengah dari jumlah ranting didaerahnya.
10). Rapat Kerja MWC diselenggarakan sewaktu-waktu dinggap perlu dan sekurang-kurangnya sekali
dalam dua setengah tahun.
11). Rapat Anggota adalah instansi permusyawaratan tertinggi pada tingkat ranting yang
diselenggarakan setiap 5 tahun sekali, dihadiri oleh anggota-anggota Nahdlatul Ulama di derah
ranting, atas undangan pengurus ranting atau atas permintaan sekurang-kurangnya separuh dari
jumlah anggota NU diranting bersangkutan.
Sedangkan permusyawaratan untuk lingkungan lembaga dan Badan Otonom diatur dalam
ketentuan interen lembaga dan Badan Otonom yang bersangkutan dengan memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
1) Permusyawaratan tertinggi Badan Otonom diselenggarakan sesudah Muktamar NU
berlangsung dan selambat-lambatnya 1 tahun setelah muktamar berakhir.
2) Permusyawaratan tertinggi Badan Otonom Merujuk kepada Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan program-program NU.
38
3) Segala hasil permusyawaratan dan kebijakan Lembaga, Lajnah dan BadaN Otonom
dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku jika bertentangan dengan keputusan Muktamar,
Musyawarah Nasional Alim-Ulama dan Konferensi Besar.
I . Faktor Kharisma dalam Kepemimpinan Nahdlatul Ulama
Bila mendefinisikan kharisma dari segi ketaklidan anggota jamiyah NU pada seorang kyai,
maka dapat dikatakan bahwa setiap kyai memiliki kharisma. Karena dalam suatu pondok pesantren,
selalu ada seorang kyai yang menjadi figur sentral yang secara relatif menjadi panutan seluruh santri
yang ada dipesantren, termasuk juga masyarakat yang ada dilingkungan desa atau sekitar lingkungan
desa pondik pesantren tersebut. Dengan demikian pengakuan pada tingkat komunitas spatial
merupakan cikal bakal dalam mengembangkan pengaruh selanjutnya. Semakin luas pengaruh seorang
ulama, semakin diperhitungkan oleh komunitasnya, dan juga masyarakat luas komunitas NU.
Walaupun begitu, pada tingkat pengaruh di NU, agaknya seorang ulama haruslah bertarung dengan
ulama-ulama yang lain. NU sebagai organisasi, meskipun tampak dengan struktur Pengurus Besar
(pusat), Pengurus Wilayah (Provinsi/ Daerah Tingkat I), Pengurus Cabang (Kabupaten Daerah
Tingkat II), Pengurus Majelis Wakil Cabang (Wilayah Kecamatan), dan Pengurus Ranting (Wilayah
Desa/ Kelurahan), namun pengaruh seorang ulama pengurus pusat tidaklah selalu mutlak berdasarkan
tingkatan kepengurusannya. Artinya otoritas pengurus yang level organisasinya lebih tinggi, tidaklah
selalu berjalan seiring dengan otoritasnya pada pengurus yang lebih rendah. Makannya tidak heran
kalau keputusan pengurus besar acap kali tak disetujui oleh para ulama yang duduk di level yang lebih
rendah, termasuk yang bukan sebagai pengurus atau hanya berkecimpung di pondok-pondok
pesantren. Bahkan tak jarang pula ulama yang menjadi pengurus pusat, misalnya, memohon restu
pada kyai- kyai di desa.
Memang ulama-ulama berpengaruh banyak menduduki posisi sebagai dilembaga Syuriah dan
Mutasyar (penasehat), namun tak semua mereka pun mampu melumpukan pengaruh ulama-ulama
pesantren yang tidak termasuk dalam struktur kepengurusan. Bukan berarti pula bahwa pengurus
Tanfidziyah lalu serta merta tunduk pada mekanisme organisasional yang diciptakan oleh majelis
39
Syuriah. Disinilah sukarnya menemukan otoritas pengurus NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
Sebab struktur organisasi bukan menggambarkan garis ketundukan atau otoritas berdasarkan
pengaruh kharismatik, melainkan harus dilihat secara fungsional untuk menjalankan roda organisasi
demi kepentingan misi gerakan dan massa NU. Kepemimpinan kolektif yang diterapkan dibawah
kendali kuat majelis syuriah, memang secara konseptual menjadi acuan kolektif pola pikir dan
tindakan pengurus Syuriah dan level organisasi yang lebih rendah termasuk seluruh warga NU.
40
BAB III
KONFLIK DALAM ARENA MUKTAMAR KE 33 DI JOMBANG
A. Dinamika dalam Muktamar ke 33 di Jombang
Dinamika dan konflik internal NU disebabkan oleh faktor internal dan eksternal yang
saling berinteraksi. Muktamar adalah permusyawaratan tertinggi dalam organisasi NU yang
membahas sejumlah kebijakan–kebijakan strategis untuk dimusyawarahkan oleh warga
nahdliyyin. Berbagai konsep dikaji, diprogramkan, diputuskan dan dievaluasi atas langkah-
langkah dan perkembangan organisasi NU secara maksimal dan optimal. Forum muktamar
menjadi satu bentuk media demokrasi untuk mengambil keputusan-keputusan strategis yang
harus dijalankan oleh organisasi NU secara konsisten. Sejumlah forum dipersiapkan untuk
memfasilitasi perdebatan konsep dan pengkajian atas langkah strategis yang akan dijadikan
ketetapan muktamar. Perdebatan dan gesekan konsep yang terus berkembang semakin
menjadikan forum muktamar dipenuhi dengan dinamika konflik, agitasi, provokasi,
propaganda dan adu argumentasi antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.
Bahkan tidak jarang konflik dan perdebatan itu tidak dapat dibendung, dan pada akhirnya
meluas sampai di luar arena muktamar dan akar rumput ( Laode Ida, 1995: 117-122).
B. Faktor-faktor yang menyebabkan Konflik antar Elite NU
Faktor-faktor yang menyebabkan konflik antar elit NU yang menjadikan dinamika
muktamar NU Jombang begitu keras dan memunculkan sentimen antar kelompok, antara
kubu Incumbent dan calon baru. Hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor: pertama,
kontroversi penerapan dan mekanisme sistem AHWA dalam pemilihan Rais Amm. Landasan
filosofis AHWA adalah mengikuti tata cara suksesi zaman Khulafaurrasyidin dan sekaligus
mengulang sejarah penerapan AHWA saat muktamr di Situbondo yang berjalan dengan baik.
Namun gagasan itu kemudian ditentang oleh faksi Kiai Hasyim dan Solahuddin Wahid
karena dianggap sistem AHWA tidak tercantum secara eksplisit dalam AD/ART NU dan
41
bukan produk keputusan Muktamar ke-32 NU di Makassar. Kedua, kontestasi perebutan
jabatan ketua umum PBNU. Para kandidat telah melakukan konsolidasi ke daerah-daerah
untuk menggalang dukungan PWNU dan PCNU sejak jauh-jauh hari sebelum Muktamar
dilaksanakan. Ada 5 (lima) kandidat, yakni KH Said Aqil Siroj, KH Salahuddin Wahid, KH
As'ad Said Ali, KH. Adnan, dan KH. Idrus Ramli. Namun sesuai dengan peta konflik ada tiga
kandidat yang berpotensi menang, yakni dari pihak incumbent adalah Kiai Said dan Kiai
As‘ad, sedangkan dari pihak penantang adalah Gus Solah yang satu paket dengan Kiai
Hasyim.
B.1. Kontroversi Penerapan dan Mekanisme Sistem AHWA
Dalam agenda suksesi kepemimpinan selalu menjadi daya tarik dalam setiap
Muktamar NU, tak terkecuali Muktamar ke-33 di Jombang. Meskipun sesungguhnya agenda
pokok Muktamar berupa persidangan yang begitu banyak namun agenda pemilihan
merupakan agenda yang paling menyedot perhatian banyak pihak, baik di kalangan internal
maupun eksternal NU.
Dalam konteks suksesi inilah sebelum Muktamar digelar—muncul wacana dan usulan
untuk menerapkan sistem pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU dengan mekanisme
AHWA (ahlul halli wal ‘aqdi). Secara terminologis, ahlul halli wal ‘aqdi adalah lembaga
perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Para ulama
fiqih siyasah mendefinisikan ahlul halli wal ‘aqdi sebagai ‖Orang-orang yang berwenang
merumuskan dan menetapkan suatu kebijakan dalam pemerintahan yang didasarkan pada
prinsip musyawarah‖. (Iqbal, 2001:138). Dalam konteks NU, Ahlul Halli Wal‘Aqdi adalah
seorang atau sekelompok kiai sepuh yang alim dan tidak memiliki kepentingan duniawi untuk
memilih orang-orang yang akan menjadi pengurus. Dalam AD/ART Bab XIV tentang
Pemilihan dan Penetapan Pengurus pasal 40 ayat 1 (c) menjelaskan bahwa Kriteria ulama
yang dipilih menjadi Ahlu Halli Wal Aqdi adalah sebagai berikut: beraqidah Ahlussunnah
42
wal Jama’ah an-Nahdliyah, bersikap adil, alim, memiliki integritas moral, tawadlu‘,
berpengaruh dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan
muharrik serta wara‘ dan zuhud. (LTNPBNU, 2016:57)
Dalam sejarahnya, mekanisme Ahwa perna digunakan pada Muktamar ke-27 NU di
Situbondo Jawa Timur pada tahun 1984. Kala itu terjadi konflik yang keras antara kubu
politisi, yang dikenal dengan ―kelompok Cipete‖ dengan kubu ulama, yang dikenal dengan
―kelompok Situbondo‖. Para ulama ingin menyelamatkan NU agar tidak menjadi ―bulan-
bulanan politik‖ para elite yang pragmatis, sehingga harus memilih pemimpin yang dapat
mengemban mandat organisasi sesuai dengan Khittah 1926 sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam Munas Alim Ulama setahun sebelumnya, dan dikukuhkan pada Muktamar
tersebut.(Anam, 1999:80)
Dalam Muktamar ke-32 di Makasar, gagasan ini kembali mencuat. Wacana ini
muncul sebagai respons atas konflik yang terjadi di kalangan elite PBNU kala itu. Beberapa
tahun belakangan sebelum muktamar Makassar digelar, terjadi polemik, perang dingin dan
bahkan konflik antara Rais Aam dan jajaran Syuriah dengan Ketua Umum dan jajaran
Tanfidziyah PBNU. Konflik tersebut sebenarnya kelanjutan dari konflik pada periode
sebelumnya. Para kiai sepuh menilai kiai Hasyim Muzadi terlalu politis dalam memimpin
NU. Setelah kalah dalam pemilihan presiden tahun 2004, pada pemilihan presiden tahun 2009
ia secara terang-terangan mengatasnamakan PBNU mendukung Jusuf Kalla menjadi
presiden.
Di samping itu, dalam berbagai kebijakannya kiai Hasyim seringkali mengambil
kebijakan tanpa berkomunikasi dengan Rais Aam atau pengurus Syuriah. Kiai Hasyim juga
mendapat perlawanan dari para aktivis muda NU. Namun begitu, ia masih mendapat
dukungan kuat dari mayoritas PWNU dan PCNU. Tampaknya, dukungan yang kuat inilah
yang mendorongnya untuk maju dalam pertarungan memperebutkan posisi Rais Aam melalui
43
Muktamar Makassar. Gelagat majunya Kiai Hasyim menjadi calon Rais Aam inilah yang
membuat lawan-lawannya mendorong mekanisme AHWA dalam pemilihan pengurus PBNU.
Hampir sama dengan upaya untuk menghadang Idham Chalid dalam Muktamar Situbondo,
dalam Muktamar Makassar mekanisme ini menjadi salah satu alat untuk menghadang Kiai
Hasyim Muzadi. (Caswiyono, 2010:145)
Hal serupa terjadi lagi dalam Muktamar di Jombang, salah satu isu paling 'seksi' dan
menyita perhatian publik pada Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang adalah
soal AHWA. Ini metode dan sistem pemilihan yang disemangati prinsip musyawarah
mufakat. Yang terlibat di dalamnya adalah sejumlah kiai khos (kiai sepuh) NU. Yang dipilih
adalah Rais Aam, pemimpin tertinggi di ormas Islam ini.
Dari beberapa dokumen dan sumber, dalam konteks muktamar NU di Jombang
pembahasan metode AHWA ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2012. Wacana
menggunakan metode ini muncul karena banyaknya kekhawatiran dan munculnya
keprihatinan akibat pemilihan ketua NU selalu ditunggangi pihak eksternal jika menggunakan
pilihan langsung. Tak hanya di tingkat pusat dan tingkat wilayah, tapi juga di tingkat cabang.
Banyak sekali yang menunggangi pemilihan ketua NU hanya demi kepentingan-kepentingan
sesaat. Misalnya, calon yang akan maju dalam pilkada menunggangi pemilihan ketua NU di
daerah. Bahkan, yang lebih berbahaya lagi pelibatan politik uang dalam pemilihan ketua NU.
Kondisi inilah yang merusak moral di jajaran kepemimpinan NU.
Selanjutnya, dalam rapat pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, 6-8 September 2013, Rais
Aam KH. Sahal Mahfudh memerintahkan kepada PBNU untuk segera memproses gagasan
AHWA dan membikin payung hukum metode ini untuk memilih seluruh jajaran pimpinan
dalam tubuh NU. Perintah Rais Aam itu dirumuskan dalam naskah akademis oleh tim khusus
yang dipimpin oleh KH Masdar Farid Mas‘udi. Tim ini melakukan penelitian mendalam yang
44
mencakup landasan nilai-nilai keagamaan, dasar-dasar filosofis, acuan historis, hingga
pertimbangan-pertimbangan terkait dinamika sosial politik.
Naskah akademik tersebut dibahas dalam Munas dan Konferensi Besar pada 2-3
November 2014. Salah satu poin dari rumusan itu yakni sistem AHWA dalam pemilihan
kepemimpinan NU, tapi penerapannya dilaksanakan dengan cara bertahap untuk
mengidentifikasi hal-hal yang perlu disempurnakan di masa depan, dimulai dengan
pemilihan/penetapan Rais 'Aam dan rais-rais syuriah di semua tingkatan.
Sedangkan untuk Ketua Umum dan ketua-ketua tanfidziah masih dengan pemilihan
langsung. Kesepakatan itulah yang dijadikan dasar PBNU menggelar serangkaian
Musyawarah Alim Ulama ke-3 pada tanggal 14-15 Juni 2015. Munas alim ulama tersebut
menyepakati beberapa hal tentang definisi dan kriteria Rais Aam. Kemudian pada tanggal 8
Juli 2015 PBNU mengeluarkan surat edaran mengenai penerapan metode Ahlul Halli Wal
'Aqdi dalam Muktamar ke-33. Surat yang dikirim ke PWNU dan PCNU se-Indonesia.
(www.malangtimes.com)
Namun demikian, sistem AHWA yang digadang-gadang oleh panitia dan pengurus
PBNU untuk diterapkan dalam muktamar Jombang mendapat penolakan dari sebagian
PWNU, PCNU dan elit NU. Hal tersebut menjadikan elit NU dan muktamirin terbelah antara
pro dan kontra AHWA.
B.2. Pembelahan Dukungan Terhadap Penerapan Sistem Ahwa
Dalam muktamar NU Jombang, AHWA menjadi salah satu penyebab suara PWNU
dan PCNU terbelah dan juga penyebab pemicu konflik elit NU. Terjadi pembelahan antara
pendukung AHWA dan menolak Ahwa dengan alasan masing-masing. Abdul Fatah
menambahkan bahwa ada juga PWNU dan PCNU yang mendukung AHWA, namun konsep
musyawarah mufakat ini tidak dijalankan Muktamar kali ini melainkan untuk Muktamar yang
45
akan datang. Meski begitu ia menegaskan bahwa perdebatan lebih kuat antara yang pro dan
kontra AHWA. (Wartaonline.co.id)
Pembelahan dukungan penerapan AHWA digambarkan dalam bagan berikut:
Tabel B.1
Dukungan terhadap Sistem penerapan AHWA
Kelompok yang pro AHWA adalah elit PBNU dan PWNU yang setuju sistem AHWA
diterapkan dalam muktamar Jombang dengan dasar telah ditetapkan pada Munas NU di
Jakarta tahun 2015. Mereka beralasan untuk mengembalikan jati diri Nahdlatul Ulama (NU)
dengan cara menutup pintu politik uang dan mencegah kemungkinan orang yang tidak
Pro AHWA:
Elit PBNU: KH. Ma‘ruf Amin,
PWNU: PWNU NTB, PWNU Jawa,
Timur, PWNU Jambi, dll.
Kontra AHWA
Elit PBNU: KH. Sholahuddin Wahid,
KH. Hasyim Muzadi
PWNU: PWNU Aceh, PWNU NTT,
PWNU Jawa Tengah, PWNU Sulawesi
Tengah, dll.
AHWA
46
shahibul maqam dapat menduduki posisi Rais Aam. Dengan sistem AHWA pemilihan Rais
Aam dilakukan oleh 9 (sembilan) Kiai Khos (ulama sepuh) yang dipilih oleh muktamirin.
Kemudian sembilan kiai yang menjadi tim AHWA tersebut ditugasi memilih Rais Amm dan
Wakil Rais Aam Syuriah.
Sedangkan kelompok yang kontra AHWA adalah elit PBNU dan PWNU yang
menolak mekanisme AHWA diterapkan pada muktamar Jombang karena dianggap
bertentangan dengan AD/ART NU, pasal 41 poin a., yang menyatakan bahwa Rais Aam
dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan
suara dalam muktamar setelah yang bersangkutan menyampaikan kesediaannya. Sehingga
kelompok ini beranggapan mekanisme AHWA adalah bentuk ilegal karena tidak ada
landasan hukum dalam organisasi NU.
Pro dan kontra penerapan AHWA menjadi bahan pembicaraan utama para pengurus
PCNU dan PWNU di lokasi Muktamar, baik yang menolak maupun yang menerima. Rois
Syuriah PWNU Aceh, Nuruzzahri Yahya, yang akrab dipanggil Waled NU menyatakan
penolakan terhadap AHWA. Menurutnya, tidak ada sosialisasi ke PWNU dan ke PCNU
terkait perubahan sistem pemilihan dengan menggunakan AHWA. Selain itu yang dijadikan
pegangan organisasi adalah AD/ART NU yang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan
secara langsung seperti yang sebelumnya dalam Muktamar Makassar.
PWNU Jawa Tengah membuat respon terhadap penerapan AHWA dengan
membuat edaran yang ditujukan kepada seluruh PCNU di Jawa Tengah dan ditembuskan ke
PBNU. Surat tersebut menyatakan, keberatan dan menolak untuk menyerahkan calon AHWA
pada saat pendaftaran peserta Muktamar. Surat juga menyatakan dasar hukum penerapan
AHWA tidak kuat karena tidak sesuai dengan AD/ART yang masih berlaku. Perubahan
AD/ART tidak bisa dilakukan selain melalui forum tertinggi NU yang mempunyai
kewenangan untuk itu, yakni Muktamar. (nasional.Sindonews.com)
47
Hal serupa dikatakan Rois Syuriyah PWNU Sulteng, KH. Jamaluddin Maryajang,
bahwa sebanyak 29 Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) sepakat menolak upaya
pemaksaan penerapan sistem AHWA untuk pemilihan Rois Aam PBNU dalam Muktamar ke-
33 NU di Jombang. Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan lintas wilayah dalam rangka
halal bihalal, yang diikuti 29 PWNU di Jakarta. (news.okezone.com)
Para elit NU juga terbelah dalam mendukung dan menolak Ahwa. Gus Solah yang
juga bakal calon Ketua Umum Tanfidzi yah PBNU menegaskan AHWA tidak bisa dijalankan
dalam muktamar kali ini karena belum disetujui oleh forum muktamar. Menurutnya, memang
ada Munas NU yang menyetujui diterapkannya sistem AHWA. Tapi berdasarkan AD/ART
PBNU, Munas tidak berhak membahas masalah AHWA. Yang berhak membahas AHWA
adalah Forum Konferensi Besar (Konbes). Kalaupun Konbes menyetujui diterapkan AHWA
juga tetap harus dimintakan persetujuan muktamar. Dia juga mempertanyakan, bagaimana
bisa sistem yang belum disetujui muktamar tapi sudah membatasi peserta muktamar.
Diantaranya agar menyetorkan 9 (sembilan) nama calon AHWA dari 39 (tiga sembilan) nama
saat registrasi muktamar,‖ (tribunnews:wawancara dengan Gus Solah)
Sedang elit NU yang setuju menyatakan bahwa dengan sistem AHWA akan
mengembalikan supremasi kiai. Misalnya Kiai Miftah Ahyar selaku Rais Syuriah PWNU
Jawa Timur beralasan bahwa salah satu tujuan Ahwa adalah untuk mengembalikan jati diri
Nahdlatul Ulama (NU) yang beberapa tahun ini mulai hilang. Karenanya, AHWA sangat
cocok dan harus diterapkan dalam menentukan pemimpin NU. Ia menuturkan:"NU sudah
cukup lama mengikuti aturan orang lain dalam menentukan kepemimpinan. Akibatnya,
adanya pergeseran jati diri di dalam tubuh NU sendiri." ( www.Jatimtimes.com)
KH. Ma‘ruf Amin menilai alasan muktamar menggunakan mekanisme AHWA
dikarenakan suasana peserta sudah beda. Sebelumnya pada saat Muktamar di Situbondo juga
pernah memakai mekanisme AHWA dikarenakan kondisinya mendesak (lil-hajah). Lebih
48
lanjut ia menjelaskan dipergunakannya mekanisme AHWA adalah untuk menutup pintu
politik uang dan mencegah kemungkinan orang yang tidak shahibul maqam dapat menduduki
posisi Rais ‗am. Ma‘ruf Amin membuat pernyataan:―Dulu zaman Mbah Wahab dan Mbah
Bisri tidak pakai AHWA karena suasananya sangat kondusif. Perwakilan cabang-cabang
semua masih jernih, mereka tidak pernah melenceng. Kalau kondisi saat ini bukan sekedar
masuk kategori lil-hajah tapi lebih dari itu, yaitu lihajatin massah, karena ada kebutuhan
yang sangat mendesak.‖ (Majalah suara Muktamar Edisi 01 hal:20)
Pro dan kontra penerapan AHWA dalam muktamar Jombang merupakan bagian dari
konflik yang mengejawantahkan pertentangan ide dan pendapat. Selanjutnya dari kontroversi
AHWA ini dapat di analisis menggunakan teori fungsionalitas konflik Coser, bahwa konflik
dapat secara positif fungsional sejauh ia melawan struktur. Dalam hal ini konflik yang terjadi
di muktamar salah satunya dipicu oleh penerapan mekanisme AHWA dalam suksesi
kepemimpinan yang dipaksakan oleh panitia muktamar dan pihak incumbent. Mekanisme ini
kemudian dimanfatkan untuk mempertahankan kekuasaannya dan menghalangi kelompok
yang lain mendapatkan kekuasaan tersebut. Karena dengan sistem AHWA suara PWNU dan
PCNU yang sudah dikonsolidasi oleh pihak penantang tereduksi oleh sistem ini. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa penerapan mekanisme AHWA tidak semata-mata sebagai gagasan
pembenahan organisasi atau mekanisme ideal dalam suksesi kepemimpinan di NU, karena
dibalik itu digunakan pihak incumbent untuk hegemoni kekuasaanya. Pendukung AHWA
adalah mereka yang mendukung incumbent KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Said
Aqil Siraj sebagai Rais Aam Syuriah dan Ketua Umum PBNU. Sementara PWNU, PCNU
dan elit NU yang menolak AHWA adalah pendukung KH. Hasyim Muzadi sebagai Rais Aam
Syuriah dan KH. Ir. Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU.
Meski demikian, ada juga pihak yang tidak terlibat dalam dukungan pro dan kontra
penerapan AHWA. Misalnya Ketua PWNU Banten, H. Makmur Masyur, yang menyatakan
49
bahwa tidak mempermasalahkan soal AHWA atau tidak, tetapi lebih kepada NU itu sendiri
ke depannya. Ia menuturkan: ―Saya datang ke Jombang bukan untuk memilih orang, kita
tidak menghendaki siapa orangnya. Yang kita harapkan mampu membawa NU agar memiliki
martabat, nasional maupun internasional‖. (hidayatullah.com)
Dari perdebatan pro dan kontra penerapan AHWA di Muktamar Jombang menghiasi
hampir semua media cetak baik nasional maupun daerah, media elektronik, dan tak lepas juga
media online yang setiap hari menyuguhkan perdebatan kedua belah pihak. Hal tersebut
karena elit NU dan muktamirin mencoba mempertahankan pendapat dan idennya di forum
muktamar. Sehingga terjadi berbagai kericuhan dalam forum-forum muktamar.
C. Forum Syuriah Putuskan AHWA
Pemungutan suara dilakukan ratusan Rais Syuriah PWNU dan PCNU serta sejumlah
ulama non-struktural. Materi voting adalah terkait pasal 19 mengenai sistem AHWA dalam
pemilihan rais aam PBNU dalam rancangan tata tertib persidangan muktamar. Ini adalah
salah satu pasal yang paling alot dan sempat memicu ketegangan. Pembahasan satu pasal ini
dipisahkan dari komisi organisasi, dan hanya dibahas oleh para Rais Syuriah seluruh
Indonesia di tempat terpisah.
Voting dilakukan secara terbuka sehingga peserta dapat dengan jelas mengetahui,
mana PC dan PWNU yang mendukung serta menolak sistem Ahwa, bahkan abstain. Berikut
data tabulasi suara Ahwa antara yang setuju dan tidak setuju:
Tabel C.1
Suaran Setuju dan Menolak AHWA
No Daerah Setuju Menolak
50
1 Jawa Timur 18 19
2 Bangka Belitung 2 4
3 Nusa Tenggara Timur 5 16
4 DKI 7 0
5 Nusa Tenggara Barat 2 5
6 Maluku Utara 6 3
7 PCI 1 6
8 Jawa Barat 17 7
9 DIY 6 0
10 Jawa Tengah 21 4
11 Sulawesi Tenggara 4 11
12 Sulawesi Tengah 3 8
13 Sumatera Barat 5 11
14 Aceh 8 12
15 Sumatera Utara 20 5
16 Lampung 10 5
51
17 Kalimantan Tengah 2 12
18 Kalimantan Barat 4 10
19 Bali 10 0
20 Maluku 10 1
21 Papua 30 0
22 Papua Barat 6 7
23 Sumatera Selatan 8 8
24 Bengkulu 6 9
25 Jambi 9 1
26 Gorontalo 3 4
27 Sulawesi Selatan 3 21
28 Sulawesi Barat 1 6
29 Sulawesi Utara 6 7
30 Riau 2 7
31 Kepulauan Riau 0 7
Total 252 235
Sumber: data dari http://www.muktamarnu.com
52
Dengan demikian total yang setuju Ahwa berjumlah 252 suara, dan yang menolak
adalah 235 suara. Namun ada juga 9 suara yang tidak memberikan dukungan apakah
menerima atau menolak Ahwa. (www.muktamarnu.com)
D. Pemilihan Rais Aam dari Hasil Perolehan suara AHWA
Berdasarkan tata tertib Muktamar, anggota Ahlul Halli wal Aqdi adalah 9 (sembilan)
kiai yang mendapat suara terbanyak dari usulan PWNU, PCNU se-Indonesia serta PCINU.
Ada 9 (sembilan) Kiai yang mendapat suara terbanyak dan kemudian ditetapkan menjadi
anggota Ahlul Halli wal Aqdi yaitu:
Tabel D.1
Hasil Perolehan Suara Anggota AHWA
No Nama Suara
1 KH Mak‘ruf Amin Jakarta 313
2 KH Nawawi Abdul Jalil Pasuruan Jatim 302
3 TGH Turmudzi Badruddin NTB 298
4 KH Kholilul Rahman Martapura, Kalsel 273
5 KH Dimyati Rais Jateng 236
6 KH Ali Akbar Marbun Sumatra Utara 186
7 KH Makhtum Hannan Jabar 162
53
8 KH Maemun Zubeir Jateng 159
9 KH Mas Subadar Pasuruan Jatim 135
Sumber: Laporan pelaksanaan Muktamar NU ke-33 NU
Setelah terpilih 9 (sembilang) anggota AHWA, kemudian mereka bermusyawarah untuk
memilih Rais Aam dan Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. (Panitia Nasional
Muktamar ke 33 PBNU, 2015 hal 307)
Sidang sembilan anggota AHWA akhirnya memutuskan KH Mustofa Bisri-KH
Makruf Amin sebagai Rais-Wakil Rais Aam PBNU 2015-2020. Gus Mus tetap dipilih
kendati berkali-kali menolak keputusan tersebut dan tidak hadir saat sidang. Keputusan
tersebut dibacakan dalam sidang Pleno III lanjutan .
Sidang AHWA memutuskan dan menetapkan Gus Mus sebagai Rais Aam PBNU.
―Sidang juga memutuskan KH Makruf Amin sebagai Wakil Rais Aam PBNU. Dan jika KH
Mustofa Bisri tetap menolak, maka sidang memutuskan KH Makruf Amin sebagai Rais Aam
P NU periode - .‖
Terkait ketidak puasan sebagian muktamirin dengan proses AHWA dan menyatakan
tidak menerima seluruh keputusan muktamar, Kiai Makruf mengaku akan melakukan
komunikasi menyelesaikan itu. ―Kami akan mengakomodir mereka, menjelaskannya dengan
melakukan silaturrahim ke semua pengurus NU yang ada di daerah-daerah.‖ Usai penetapan
Rais-Wakil Rais Aam .(wawancara KH. Ma‘ruf Amin).
D.1. Forum Tebuireng Menolak Hasil Muktamar
Pasca pleno memutuskan menggunakan mekanisme AHWA dalam pemilihan Syuriah
dan peserta muktamar pendukung Kiai Hasyim dan Gus Solah tidak diberi kesempatan dalam
memberikan usulan calon anggota AHWA, mereka meningalkan lokasi Muktamar di alun-
alun dan memilih berkumpul di Pondok Tebuireng. Isu yang beredar PWNU dan PCNU yang
54
tidak setuju penerapan AHWA mengadakan muktamar tandingan di Tebuireng, hasilnya
mereka mengangkat KH. Sholahuddin Wahid sebagai Ketua Umum PBNU dan KH. Hasyim
Muzadi sebagai Rais Aam PBNU. Hal tersebut dilakukan karena mereka mengklaim bahwa
60 persen dari peserta ada di Tebuireng sehingga dalam aturan forum muktamar dianggap
quorum. Dari sumber yang ada di lokasi, forum Tebuireng dihadiri 401 peserta yang terdiri
dari 29 PWNU dan sejumlah cabang.
Namun demikian, KH. Hasyim Muzadi membantah kalau ada muktamar tandingan di
Tebuireng. Beliau malah mencegah para PWNU dan PCNU agar tidak membuat muktamar
tandingan karena malah akan menghancurkan nama NU dan akan sulit diperbaiki kalau itu
terjadi. ―Jangan membuat muktamar tandingan atau NU tandingan karena itu akan membelah
dan menghancurkan nama NU dan sulit diperbaiki‖. Begitu juga pernyataan KH. Salahuddin
Wahid berharap jangan sampai NU pecah di Tebuireng, yang mana merupakan tempat
pendiri NU tinggal dan bersemayam.
E. Pemilihan Ketua Tanfidziyah
Muktamar NU yang digelar di Jombang pada tanggal 1-5 Agustus menjadi ajang
persaingan yang sengit memperbutkan kepemimpinan NU yang baru. Di level tanfidziyah,
suasana persaingan untuk memperebutkan posisi Ketua Umum PBNU sudah terasa jauh
sebelum Muktamar digelar. Bursa kandidat sudah mulai diperbincangkan setahun sebelum
Muktamar, bahkan para kandidat sudah membentuk timsukses untuk menyiapkan
pemenangannya. Sekitar setengah tahun sebelum Muktamar mereka sudah mulai melakukan
konsolidasi ke daerah-daerah untuk menggalang dukungan PWNU dan PCNU.
Dari total suara yang mengikuti pemilihan calon Ketua Umum PBNU adalah 417
suara yang berasal dari pengurus tanfidziah tingkat wilayah dan cabang NU. Dalam
penghitungan suara tersebut, KH. Said Aqil Siradj mengungguli calon lainnya dengan
55
mendapat 287 suara, disusul oleh KH. As‘ad Ali Said yang memperoleh 107 suara dan
KH.Salahuddin Wahid dengan 10 Suara, kemudian selanjutnya ada Hilmi Muhammadiyah
memperoleh 3 suara, Idrus Romli 1 suara, Mustofa Bisri 1 suara dan abstain 2 suara. Ada
juga nama-nama seperti A‘sad Said dengan suara, Ali Said suara dan Sa‘ad Ali suara.
Dengan hasil itu maka yang seharusnya maju keputaran kedua yakni, KH. Said Aqil
Siradj dan KH. As‘ad Said Ali, karena syarat untuk maju keputaran kedua adalah minimal
memperoleh suara 99. Ditengah forum KH. As‘ad Ali menyatakan mundur dari pencalonan
dan turut mendukung KH. Said Aqil Siradj menjadi Ketua Umum Tanfidziyah kembali,
dengan ini maka KH. Said Aqil Siradj terpilih secara aklamasi.
E.1. Forum Lintas Pengurus Wilayah NU Meminta Muktamar Ulang
Sejumlah pengurus wilayah Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Forum Lintas
Pengurus Wilayah NU menyatakan sikapnya menolak hasil Muktamar NU ke-33 yang
berlangsung di Jombang. Sejumlah alasan dikemukakan sebagai dasar penolakan. Forum
Lintas Pengurus Wilayah NU meminta muktamar ulang. Mereka juga akan menggugat hasil
muktamar ke pengadilan agar segera ada solusi hukum. Berikut tujuh poin sikap Forum
Lintas Pengurus Wilayah NU:
1. Menolak hasil muktamar ke-33 NU di Jombang karena sarat pelanggaran AD/ART dan
penuh rekayasa dan manipulasi.
2. Tidak mengakui kepengurusan PBNU hasil muktamar ke-33 dan menganggap kevakuman
pengurus hingga adanya muktamar ulang.
3. Meminta Kementerian Dalam Negeri tidak mengakui kepengurusan PBNU hasil muktamar
ke-33 karena cacat hukum.
4. Mengambil langkah hukum berupa gugatan "perbuatan melawan hukum" ke pengadilan
terkait pelaksaan muktamar lalu.
56
5. Melaporkan secara pidana kepada penegak hukum segala bentuk kecurangan,
penyimpangan, dan manipulasi oleh panitia muktamar.
6. Menolak cara-cara premanisme, termasuk intimidasi dan ancaman pemecatan kepada
PWNU dan PCNU untuk menyelesaikan dinamika setelah muktamar.
7. Mengharapkan keluarga besar dan ulama NU untuk melihat persoalan secara jernih dan
utuh dengan tidak membiarkan NU dikelola oleh pihak yang memanfaatkan NU untuk
kepentingan pragmatis.
Sikap penolakan tersebut disampaikan oleh 14 Rais Syuriah PWNU dari Kalimantan
Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku, Banten, Riau, Nusa
Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Papua Barat. Makmur mengklaim sebanyak 29
pengurus wilayah NU dari daerah lainnya juga setuju dengan sikap ini. Sekitar 400 pengurus
cabang NU menyatakan hal sama. (Tempo.co)
F. Implikasi Teoritik dari Dinamika konflik pada Muktamar ke 33 di Jombang
Melihat konflik antara kubu Incumbent Said Aqil Siraj dan kubu Kiai Hasyim Muzadi
pada Muktamar ke 33 dijombang, terdapat korelasi dengan pendapat coser bawha konflik
dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan
pemeliharaan, yang mana konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau
lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas
kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sekelilingnya, yakni disini NU
kembali menemukan identitasnya bahwa seluruh fungsi positif konflik itu (keuntungan dari
situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang
sedang mengalami konflik dengan out group. Oleh karena konflik kelompok-kelompok baru
dapat lahir dan mengembangkan identitasnya strukturalnya. Konflik yang berlangsung
dengan out groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok, kelompok disini
berarti bahwa warga Nahdliyin dapat memperkuat identitas in-group. Karena jika dilihat
57
kesejarahannya NU selalu bisa menyelesaikan konflik dan malah menjadikan konflik tersebut
sebagai sumber perubahan kearah kemajuan.
58
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dan analisis yang telah dipaparkan dalam pembahasan
simpulan, atau temuan penelitian oleh penulis ialah bahwa mengenani hasil penelitian
skripsi ini, NU merupakan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia
dengan anggotanya yang begitu banyak.
Di dalam NU terdapat kumpulan dengan banyak dimensi, bisa dilihat sebagai
jama’ah maupun jam’iyah, formal dan kultural, dan kalau dilihat dari komunitas sosialnya
terdapat kelompok-kelompok elit NU sebagai Kiai atau ulama, santri, birokrat, dan politisi.
Meskipun secara aspiratif keberadaan NU disatukan oleh faham Islam Ahlusunnah Wal
Jama’ah sebagai salah satu elemen pembentuk solidaritas, namun dalam perjalanan waktu di
tengan arus globalisasi dan moderninasi timbul elemen-elemen konflik yang berasal dari
internal maupun eksternal. Elemen-elemen konflik itu adalah soal perbedaan persepsi tentang
isu-isu sosial, keagamaan. Sehingga muncul perbedaan yang tak dapat dihindari ketika
berhadapan dengan kenyataan adanya perbedaan kepentingan antara berbagai kelompok elit
dalam muktamar NU ke 33 dijombang.Namun konflik dalam sebuah organisasi keagamaan
seperti NU ini sudah biasa sekali terjadi, apalagi dalam forum-forum Muktamar sebelumnya.
Sudah satu tahun lebih berlangsungnya muktamar NU , sehingga sisa-sisa euforia dan
animonya masih amat terasa hingga saat ini. Beragam wacana pasca muktamar selesai mulai
muncul di permukaan, mulai dari tidak dianggap sahnya hasil muktamar, sampai wacana soal
membawa tuntutan hasil muktamar ke ranah hukum. Tentu berita-berita seperti ini perlu
diverifikasi kembali keabsahannya, jangan sampai wacana yang bergulir dimanfaatkan pihak-
59
pihak tertentu untuk dijadikan counter opinion untuk menyerang substansi tema muktamar
kali ini, yakni “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Bisa
saja ricuhnya para muktamirin dan kegaduhan saat muktamar berlangsung dijadikan titik
balik reduksi atas legitimasi Islam nusantara yang diperjuangkan oleh NU itu sendiri. Karena
jika dilihat kesejarahannya NU selalu bisa menyelesaikan konflik dan malah menjadikan
konflik tersebut sebagai sumber perubahan kearah kemajuan, seperti yang dikemukakan oleh
Coser.
Peneliti melalui penelitian ini bermaksud memberikan sumbangan sebuah karya yang
dapat menjadi bahan refleksi bagi organisasi keagamaan ini. Sebagai sebuah kerja akademis
penelitian ini berusaha semaksimal mungkin mengedepankan obyektivitas. Namun begitu,
peneliti mengakui dan sadar sepenuhnya, banyak kekurangan, kelemahan dan keterbatasan
dalam penelitian ini. Untuk itu, saran dan kritik adalah sebauh keniscayaan untuk perbaikan.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi studi politik Indonesia, khususnya bagi
Nahdlatul Ulama.
Saran
Dengan mengacu pada penelitian ini, peneliti menyarankan agar para peneliti
selanjutnya, dari para disiplin ilmu, khususnya Sosiologi agar dapat melakukan penelitian
lebih komprehensif tentang konflik yang terjadi di dalam tubuh Nahdlatul Ulama dalam
Muktamar, karena berdasarkan temuan penelitian hampir setiap perhelatan muktamar akan
terjadinya suatu konflik sudah pasti terjadi dan penanganannya pun sudah pasti berbeda.
Oleh karena itu secara khusus disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat
mengaplikasikan teori-teori sosiologi dalam kajian sosiologi organisasi secara lebih
mendalam, dengan harapan agar disiplin ilmu sosiologi dapat semakin berkembang dan lahir
60
kajian-kajian yang dapat berkontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, masyarakat,
agama, bangsa dan negara.
61
Daftar Pustaka
Anam, Choirul, 1999.”Konflik Elit PBNU Seputar Muktamar”Jakarta:Sinar Harapan,hal 80.
A.Strauss dan J.Corbin. 2007. Basics of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures
and Techniques, terjemahan Muhammad Shodiq dan Imam Muttqien, Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif: Tata langkah dan Teknik-teknik Teoritasi Data. Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Affifah, Eneng Darol. 2004. “Analisis Gender dan Pengaruhnya Terhadap Gerakan
Perempuan Islam Indonesia: Studi Kasus Pucuk Pimpinan Fatayat Nahdlatul Ulama”
Tesis. Pascasarjana Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Jurusan Sosiologi.
Abdul Azis, Aceng. dkk. “Islam Ahlussunah Waljama’ah di Indonesia: Sejarah, Pemikiran,
dan Dinamika Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007.
Anam, Choirul. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Surakarta: Jatayu.
BangsaOnline.http://www.bangsaonline.com/berita/16128/terbitkan-buku-putih-tentang-
muktamar-hitam-22-pwnu-silaturahim-dengan-kh-tolhah-hasan, di akses pada tanggal
10 September 2016.
Buku Panduan Muktamar NU ke 33, PBNU,2015.
Coser, Lewis. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta. PT. Raja
Grafindo Persada.
Ida, Laode. 1995. “Dinamika Internal Nahdlatul Ulama setelah kembali ke Khittah 1926”.
Depok. Tesis. Pascasarjana Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia.
62
Irsyam, Mahrus. “ Ulama dan Partai Politik”: Upaya Mengatasi Kritis” Yayasan Perkhidmatan,
Jakarta. 1984.
Iqbal, Muhammad,”Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001, hal 138.
Kholik, Abdul. 2004.“Dinamika Hubungan Muhammadiyah dengan NU Pasca Orde Baru
(1998-2003)”. Tesis. Pascasarjana Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia.
Jatimtimes.com, 02 Agustus 2015.”http://www.hidayatullah.com/baca/102051/20150802/21052
8/kh/miftakhul-akhyar-kembalikan-martabat-nu-melalui-ahwa/”, diakses pada 13
Desember 2017.
Lexy J, Moleong. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung :Remaja Rosyadakarya.
Liputan6.com, 09 agustus 2015 19:05 WIB. http://news.liputan6.com/read/2289729/said-aqil-
semua-pihak-terima-hasil-muktamar-nu, diakses pada tanggal 10 September 2016.
LTNU-PBNU, “Hasil-hasil Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama ” Jakarta: Lembaga Ta’lif wan
Nasyr PBNU, 2015.
Majalah Suara Muktamar.”Pro-Kontra Mekanisme Ahlu Halli Wal Aqdi di Muktamar NU ke-
33.Edisi01hal.20.
Malang Times, Senin 03 Agustus 2015. http:malangtimes.com/baca/20150803/095444/inilah-
kronologis-munculnya-sistem-ahwa/info-iklan/, diakses pada 13 Desember 2016.
Mandan, Arief Mudatsir. Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid, Tanggung Jawab Politik NU
dalam Sejarah. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu (PIS), 2008.
63
Martin, Ali. 2003.“Gerakan Politik Nahdlatul Ulama di Era Reformasi Pengaruhnya Terhadap
Ketahanan Nasional”. Tesis. Program Studi Kajian Stratejik Ketahanan Nasional.
Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology. London: Sage Publications.
Milles, Matthew B. dan A. Michhael Huberman. 2009. Analaisis data Kualitatif. Jakarta: UI-
Press.
Neuman W.L. 2007. Basic of Social research (Qualitative and Quantitativ Approach). Fifth
Edition, USA.
Noeng Muhadjir. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Okezone News, Minggu 26 Juli 2015,”http://news.okezone.com/read/2015/07/26/337/1185575/
Pwnu-sepakat-tolak-penerapan-ahwa-dalam-muktamar”, diakses pada 13 Desember 2017.
Panitia Nasional Muktamar PBNU, 2015”Laporan Pelaksanaan Muktamar NU ke-33”,Jakarta,
2015,hal 307.
Poloma, Margaret M. 1987.“Sosiologi Kontemporer (Contemporary Sosiological Theory).
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Yasogama. Jakarta: Rajawali.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pusaka.
Siddiq,Ahmad. “Khittah Nahdliyah”, cetakan kedua, penerbit balai buku, Surabaya, Maret 1980, hal 11.
Sindonews.com, Kamis, 30 Juli 2015.http://nasional.sindonews.com/read/1027759/12/29-
pwnu-tolak-sistem-ahwa-1438256406”, diakses pada 13 Desember 2015.
Soon, Kang Young. 2002. “Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, 1984-
1999”. Disertasi. Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
64
Suyanto, B., & Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial; Berbagai Alternatif Pendekatan.
Jakarta: Kencana.
Tempo.co, Selasa 25 Agustus 2015, 22:01 WIB. http://news.liputan6.com/read/2289729/said-
aqil-semua-pihak-terima-hasil-muktamar-nu, diakses pada tanggal 10 September 2016.
Tempo.co, 14 Agustus 2015,”https://m.tempo/read/news/2015/08/14/078691862/pengurus-
wilayah-tolak-hasil-muktamar-jombang”, diakses pada 13 Desember 2016.
Tribunnews.com, 1 Agustus 2015,”http://tribunnews.com/nasional/2015/08/01/gus-solah-
tolak-sistem-ahwa-di-muktamar-nu”, diakses pada 13 Desember 2016.
Wari, Ahmad. 2009.“Analisis Keputusan-Keputusan Nahdlatul Ulama Tentang Kepemimpinan
Perempuan dan Implementasinya Di Lingkungan Nahdlatul Ulama”. Tesis. Program
Studi Kajian Ketahanan Nasional, Pascasarjana Universitas Indonesia.
Warta Online, 3 Agustus 2015,”https://www.wartaonline.co,id/2015/08/inilah-penybab-
muktamar-kisruh/”, diakses pada 13 Desember 2016.
Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus Desain dan metode, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Zaini, Ahmad. 2004. “NU dan Politik (Studi Tentang Konflik Politik di Internal NU, 1952-
2003)”. Tesis. Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Pascasarjana Universitas Indonesia.
xiii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Transkip wawancara dengan narasumber
Pasca Sarjana UIN Jakarta, 25 Oktober 2015
Wawancara KH. As’ad Said Ali
Saya : Assalamualaikum pak kyai,
Kyai : Walaikumsallam.
Saya : Saya ingin menanyakan perihal keadaan yang terjadi pada muktammar di jombang,
ketika itu kan kyai mencalonkan sebagai kandidat ketum pbnu. Apa yang memotovasi kyai
untuk mencalonkan pada saat itu?
Kyai : Pada saat itu saya diminta oleh kyai sepuh untuk naik sebagai kandidat ketum pbnu.
Makannya saya naik.
Saya : Apakah pak kyai tidak takut terlibat konflik, karena pada saat itu kan suasana forum
sangat tidak kondusif sekali? Sampai-sampai ada anekdot “ muktamar Muhamadiyah teduh,
muktammar NU gaduh” karena pada saat itu pelaksanaan muktamar muhamadiyah hampir
berbarengan dengan muktamar NU.
Kyai : Karena saya diminta naik oleh kyai sepuh, makannya saya tidak takut. Justru itu
saya sebagai Alternatif. Karena kubu ini begini, dan kubu itu begitu dan saya dianggapnya
tidak ada resistensi. Meskipun saya dinilai bukanlah sebagai calon yang kuat untuk
menjadi ketum PBNU.
Saya: Dari mana saja pak kyai mendapat dukungan?
Kyai : Saya mendapat dukungan para ulama dari sejumlah daerah, misalnya dari
ulama Jateng sangat kuat, dari Sulawesi, Aceh, NTT dan daerah lain.
xiv
Saya : Dalam penghitungan suara, syarat untuk maju ke putaran kedua kan 99
suara, sedangkan pak kyai pada waktu itu memperoleh 107 suara, itu kan artinya pak
kyai berhak melangkah keputaran kedua. Lalu apa yang membuat pak kyai untuk
mundur dari bursa pencalonan ketua umum, sehingga Kyai Said terpilih menjadi
Ketua Umum?
Kyai : Saya memilih mundur, karena saya menganggap tugas saya sudah selesai
karena saya ini kan calon alternatif saja, dan juga secara ke ilmuan Pak Kyai Said
lebih luas ketimbang saya, makannya saya menyerahkan amanat yang berat ini untuk
beliau.
Saya : Bukankah itu artinya pak kyai, mengecewakan para ulama yang sudah
mendukung kyai?
Kyai : Tidak kok, justru keputusan saya sangat tepat untuk mengundurkan diri.
Karea kan kubu yang paling bersitegang bukan dari kalangan saya, tugas saya kan
meredam konflik saja. Setelah salah satu dari kubu yang bersitegang itu sudah ada
yang unggul, maka saya tidak melanjutkan kembali pemilihan. Saya menganggapnya
sudah selesai.
Saya : Tapi kan pak kyai, setelah itu masih saja terjadi konlik, karena ada pihak
yang menggugat hasil muktamar?
Kyai : iya, tapi itu sudah biasa. Karena memang setiap muktamar sudah pasti terjadi
konflik, nanti juga pada akhirnya selesai sendiri yang terpenting kan pada waktu itu,
pelaksanaan muktamar tidak sampai memakan waktu yang lama sehingga lewat batas
waktu yang sudah ditentukan, karena jika itu sampai terjadi maka akan banyak yang
dirugikan terutama panitia lokal.
xv
Saya : lalu, bagaimana pak kyai melihat keadaan NU saat ini, pasca muktamar yang panas
itu?
Kyai : Saya sih melihatnya sudah aman-aman saja dan kembali normal seperti biasa,
karena ada yang lebih parah dari muktamar kemarin, yang terdahulu sampai ada dua
kepengurusan pusat. Dan kali ini alhamdulillah tidak sampai terjadi seperti itu lagi, dan juga
diera bebasnya media sekarang ini, jangan sampai NU di pecah belah oleh pihak-pihak yang
memang tidak suka dengan NU. Karena saking banyak nya kabar dari kanan kiri yang
memberitakan peristiwa muktamar dengan tidak sesuai fakta yang terjadi.
Saya : Terimakasih sebelumnya pak kyai atas waktunya, sudah meluangkan waktunya
untuk dimintai wawancara.
Wawancara KH. Sholahuddin Wahid (Gus Solah)
Saya : Assalamualaikum Gus.
Gus Solah : Walaikumsallam
Saya : Ngapunten Gus, saya izin wawancara via WA. Saya mau bertanya perihal
Muktamar kemari yang di gelar di jombang. Apa yang membuat Gus Solah kemarin ingin
mencalonkan sebagai kandidat Ketua Umum PBNU?
Gus Solah : “Para kiai khos itu meminta saya untuk terjun melanjutkan perjuangan
kakek saya Hadratus Syekh Rais Akbar KH Hasyim Asyari selaku pendiri NU guna
mengoptimalkan upaya peranan Nahdlatul Ulama yang lebih baik ke depan. Makanya saya
sengaja berkeliling ke 15 dari sekitar 20-an provinsi se-Indonesia yang menjadi basis
nahdliyin, untuk menyampaikan gagasan visi dan misi NU ke depan.
Saya : Apa yang menjadi dorongan untuk panjenegan, sehingga ingin memimpin
NU?
xvi
Gus Solah : Saya mau menjadi calon ketua umum PBNU karena saya bersama para kiai
dan seluruh kekuatan NU ingin mengembalikan NU pada relnya dan membangun kembali
kejayaan Nahdlatul Ulama.
Saya : Dengan panjenengan mencalonkan diri sebagai ketua Umum, berarti ada
yang harus diperbaiki di dalam tubuh NU selama ini?
Gus Solah : untuk membesarkan NU kita harus menghilangkan mitos yang berkembang
selama ini, seolah-olah NU tak bisa diperbaiki. “Kita harus berani bermimpi untuk
memperbaiki NU dan mengembalikan kejayaan NU. Kita harus menghilangkan mitos seolah
NU tak bisa diperbaiki. Ini tidak benar,”
Saya : jadi ini yang menjadi dasar, panjenengan menacalonkan diri?
Gus Solah : Salah satunya iya.
Saya : Gus, biasanya kan yang sudah-sudah setiap perhelatan muktamar sudah
pasti akan terjadi konflik berkubu-kubu. Saya banyak membaca berita, terutama media online
bahwa panjenengan juga terlibat didalam konflik tersebut. Mohon maaf jika pertanyaan saya
ini tidak sopan.
Gus Solah : tidak papa, ini kan untuk kebutuhan akademis bukan sebagai bahan berita
yang tidak-tidak seperti, media-media yang tidak baik yang ingin memperovokasi internal
NU, yang bertebaran dimana- mana ketika muktammar kemarin. Yang namanya konflik
sudah pasti akan terjadi di muktamar, yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapi dan
menyelesaikan konflik dengan arif dan bijaksana, ya saya menganggap konflik kemarin
bagian dari dinamika yang sering terjadi dalam arena muktamar.
Saya : oh jadi gitu ya Gus, jadi pandangan Gus Solah terhadapat NU saat ini
bagaimana pasca muktammar yang kemarin ini?
Gus Solah ; Ya saya rasa sih sudah seharusnya NU tidak melulu sibuk terlibat konflik
internal sehingga melupakan bahwa NU besar dan luar biasa organisasi yang tidak hanya
bergerak di bidang keagamaan, tetapi juga bergerak pada bidang pendidikan, budaya, sosial,
xvii
ekonomi bahkan politik. Saya sering bertemu dengan tokoh dan orang-orang pintar dan
mereka mengaku sebagai orang NU, jadi NU ini punya banyak SDM yang bagus. Makannya
sangat terlalu kecil sekali peran NU jika hanya memikirkan konflik kepentingan saja, biarkan
saja yang sudah terjadbiarlah terjadi, saya berharap kedepannya NU dapat lebih baik lagi dari
hal bidang apa pun.
Saya : Terimakasih Gus atas kesediaannya sudah mau mebantu saya dalam proses
pengumpulan bahan-bahan skripsi saya untuk menapatkan informasi mengenai muktamar NU
kemarin.
Gus Sholah : iya sama- sama semoga hasil penelitiannya dapat bermanfaat.
Pesantren Ats- Tsaqofah, ciganjur 7 November 2016
Wawancara KH. Said Aqil Siradj
Saya : Assalamualaikum pak kyai
Kyai Said : walaikumsalam mas.
Saya : Yai mohon izin bertanya mengenai muktamar di jombang kemarin. Pak Yai
mengapa Yai kemarin mau mencalonkan kembali jadi ketua umum PBNU?
Kyai Said :“saya mengalir aja, dipercaya kembali memimpin saya siap, tidak juga
tidak apa-apa, di NU itu mengabdi. Saya pasrah ketentuan Allah, diberi kepercayaan
lagi saya siap, tidak juga tidak apa-apa.
Saya : kemudian perihal konflik yang terjadi di dalam muktamar kemarin,
apa yang dilakukan yai ketika itu yang juga sebagai incumbent ?
Kyai Said : Saya fokus terhadap beragam pekerjaan rumah hasil rekomendasi
Muktamar NU sebelumnya di Makassar selaku Ketua Umum PBNU yang belum selesai. Jadi
saya tidak ikut-ikutan ngurusin konflik.
xviii
Saya : Saya lihat dari media, ada kubu yang menggugat hasil muktammar,
bagaimana tanggapan yai?
Kyai Said : kalau misalkan ada yang menggugat, silahkan saja tetapi sesuai prosedur
hukum yang berlaku. Saya tidak pernah melarang siapa saja yang ingin menggugat hasil
muktamar kemarin. Sebab menurut saya konflik yang terjadi pada muktamar itu sudah biasa
terjadi. Orang-orang NU itu tidak pendendam, buktinya sekarang orang-orang yang ingin
menggugat sudah tidak kedengar lagi suaranya. Dan kabar-kabar yang mengatakan ingin ada
gugatan dengan hasil muktamar, sudah tidak ada lagi. Ini lah kelebihan orang NU, sekonflik-
konfliknya internal NU tidak sampai mengorbankan orang lain.
Saya : jadi sekarang ini, Konflik yang ada di NU pasca muktamar tidak ada lagi?
Kyai Said : Bukannya tidak ada lag konflik, tapi semuanya sudah saling mengerti
bahwa ada yang lebih penting selain hanya memikirkan konflik. Sekarang NU sedang Fokus
mengawal pemerintah, bukan lagi sibuk melihat konflik internal. Negara sekarang ini sedang
genting, maka tugas NU saat ini dari pusat sampai tingkat ranting bersama-sama mengawal
bangsa dan negara ini dari upaya kelompok- kelompok yang ingin memecah belah bangsa ini.
Saya : Terimaksih Yai atas waktunya yang diberikan.
Pesantren Al-Hikam, Depok 11 Desember 2016
Wawancara KH. Hasyim Muzadi
Saya : Assalamualaikum pak kyai.
Kyai Hasyim : Walaikumsallam.
Saya : Pak kyai saya mohon izin untuk wawancara, saya ingin bertanya mengenai
muktammar NU kemarin di jombang. Menurut pak kyai apa tanggapannya terhadap konflik
yang terjadi di muktamar kemarin?
xix
Kyai Hasyim : yah, kalo konflik-konflik di NU sih sudah biasa saja, NU ini kan warganya
banyak jadi wajar saja kalo ada konflik, tapi yang penting masih tetap satu keluarga. Seperti
layaknya anggota keluarga, antara kakak- adik, suami-istri kan sudah biasa terjadi.
Saya : saya melihat dalam berita pak kyai menolak hasil muktamar, karena ada
beberapa peraturan muktamar yang ditabrak?
Kyai Hasyim : Iya memang itu terjadi, salah satunya tidak memenuhi kourumnya ketika
pemilihan ketua Tanfidziyah yang menghasilkan Said Aqil Siradj sebagai pemenang.
Saya : lantas dengan kejadian itu, apakah pak kyai masih tetap tidak menerima
keputusan muktamar?
Kyai Hasyim : Kalau konsep yang ditawarkan muktamar mungkin saya bisa menerima,
namun kalau pemimpin yang dihasilkan muktamar saya menolak. Namun meskipun ada 29
Pengurus Wilayah Nahdlatu Ulama yang keluar dari muktamar di alun-alun jombang tapi
tidak benar kalau NU pecah , sebab tidak ada muktamar tandingan atau NU tandingan.
Saya : Itu sebabnya pak kyai tidak mau masuk dalam struktur NU, seperti
Mutasyar?
KH. Hasyim : iya salah satunya itu, tapi tidak benar juga kalo hanya itu dasaranya, saya
cuma melihat masih ada kyai sepuh yang lebih layak menjadi mutasyar, secara umur dan
keilmuwan yang lebih baik.
Saya : kemudian, pandangan pak kyai terhadap NU pasca muktamar saat ini apa?
Kyai Hasyim : Ya, saya sih menganggap sudah tidak ada lagi yang harus diributkan
kembali mengenai struktural. Saya mengingatkan kepada pengurus wilayah dan pengurus
cabang yang kecewa dengan panitia dan proses mutamar NU agar tidak menggelar muktamar
luar biasa atau pengurus NU tandingan.
Pesantren An-Nawawi Tanara, Serang 9 November 2016
Wawancara dengan KH. Ma’ruf Amin
xx
Saya : Assalamualaikum kyai
Kyai Ma’ruf : Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Saya : Pak kyai, skripsi saya ini kan membahas konflik pengurus besar NU pasca
muktamar, yang saya ingin tanyakan terlebih dahulu yakni proses pak kyai terpilih menjadi
Rais A’am PBNU?
Kyai Ma’ruf : Terpilihnya saya ini kan karena kerendahan akhlak dan hatinya Gus Mus
saja. Beliau yang meminta saya unutuk menggantikan beliau, setelah beliau dipilih oleh tim
AHWA dalam Muktamar di jombang kemarin.
Saya : Lalu jika membahas mengenai hasil keputusan muktamar kemarin yang
digugat oleh beberapa pengurus wilayah dan pengurus cabang, apa pandangan pak kyai
mengenai hal itu?
Kyai Ma’ruf : Mengenai konflik yang terjadi di dalam muktamar kemarin kan sudah
selesai,saya sudah melakukan komunikasi setelah muktamar selesai dan saya sudah
silaturahmi ke pengurus NU di daerah-daerah dengan mengakomodir mereka, justru banyak
pelajaran dari proses berjalannya Muktamar kemarin, yakni kembalinya Akhlak NU, yang
dapat dilihat dari sikap Gus Mus yang rendah hati dan tak punya ambisi kekuasaan. Jadi
tidak ada alasan lagi untuk membahas konflik kembali.
Saya : Pak Kyai saya ingin bertanya mengenai kondisi NU pasca Muktamar di
jombang kemarin?
Kyai Ma’ruf : ya, saya sudah mengintruksikan semua Pengurus NU dari ranting sampai
pusat untuk bersatu membangun umat, dan fokus NU saat ini adalah mengerjakan program-
program yang konkret untuk kemajuan dan kebesaran umat islam.
xxi
Lampiran II
Dokumentasi Visual
Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 25 oktober 2016
xxii
Sumber: Dokumentasi peneliti pada tanggal 7 November 2016
xxiii
xxiv
Sumber: Dokumentasi pribadi di kediaman ruman KH. Ma’ruf Amin, serang Banten
pada tanggal 9 November 2016
Sumber: Dokumentasi pribadi pada saat muktamar NU ke 33 di jombang