JURNAL_2

12

Click here to load reader

description

Economy

Transcript of JURNAL_2

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Kontribusi Nilai Kearifan Lokal Terhadap Komunikasi Pelayanan Dari Aparat Instansi

    Pemerintah Di Kabupaten Sumenep.

    Oleh : Anis Fajrin, 0911220006. 2014.

    Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya, Malang.

    Pembimbing Utama: Akh. Muwafik Saleh, S.Sos, M.Si dan Pembimbing Pendamping: Yuyun Agus

    Riyani, S.Pd., M.Sc.

    ABSTRAKSI

    Sumenep merupakan kabupaten yang memiliki banyak nilai kearifan, namun peneliti melihat

    aspek pelayanan dari salah satu bagian nilai kearifan yaitu parebhesan, salah satu contoh ungkapan

    tersebut adalah bapak, babuk, guru, rato yang bermakna kehormatan masyarakat terhadap keempat

    tokoh tersebut. Walaupun Sumenep memiliki ciri-ciri sebagai bangsa eastern, namun aspek

    pelayanan yang diaplikasikan oleh aparat pemerintah Sumenep merupakan aplikasi perspektif

    western & eastern, namun antara kedua perspektif tersebut belum dapat teraplikasi secara sempurna

    atau optimal. Banyak kekecewaan yang masih diungkapkan oleh masyarakat terhadap tindak

    pelayanan, bahkan masyarakat menyatakan bahwa nilai kearifan lokal (parebhesan) belum dapat

    diaplikasikan oleh aparat dalam tindakannya, karena memang hasil dari wawancara dan observasi

    menyatakan bahwa nilai kearifan lokal yang teraplikasi pada tindak pelayanan adalah nilai kearifan

    lokal yang bermakna negatif.

    Kata Kunci : nilai kearifan lokal, pelayanan & handling complain, instansi pemerintah

    Pendahuluan

    Komunikasi sebagai disiplin ilmu

    akademisi yang telah dipelajari sejak jaman

    dahulu, dan menjadi topik penting pada abad

    kedua puluh, hal ini dijelaskan dalam buku

    Littlejohn (1999, h. 3) theories of human

    communication. Walaupun begitu,

    perspektif teori yang telah dibahas

    dikalangan peneliti sebagian besar adalah

    produk dari wacana teoritikal Barat

    (western). Pemikiran teoritik komunikasi

    yang menjadi bahan diskusi para peneliti

    dan praktisi komunikasi Indonesia masih

    sebatas atau bahkan berhenti pada upaya

    melakukan verifikasi atau pengujian

    terhadap teori-teori komunikasi yang

    merupakan produk dari sejarah intelektual

    Barat (western). Hingga saat ini belum

    cukup terlihat upaya dari peneliti

    komunikasi di Indonesia untuk menggali

    kearifan lokal (lokal wisdom) guna

    membangun gagasan teoritik komunikasi

    yang relevan dengan kajian persoalan

    komunikasi yang terjadi di Indonesia (kajian

    non-western).

    Sebagai gambaran awal peneliti

    menyajikan gagasan yang dikemukakan oleh

    Lawrence Kincaid (Dalam Littlejohn, 1999,

    h. 4) yang menyebutkan bahwa teori

    komunikasi Asia (eastern) diharapkan dapat

    memberikan sumbangan dan pemahaman

    kita tentang perspektif komunikasi dunia

    Timur (eastern). Dalam konteks keilmuan

    dan filsafat, disadari atau tidak, dominasi

    pemikiran Barat terhadap pemikiran Timur

    (Asia) masih sangat besar. Teori komunikasi

    Asia yang dimaksud adalah memberi

    perhatian kepada filosofi besar India dan

    Cina serta negara-negara Asia lainnya.

    Lawrence Kincaid mengkaji komunikasi

    dari aspek kultural yang mendalami

    perspektif ketimuran (eastern), yang mana

    Kincaid membedakan pandangan Barat dan

    Timur, secara sederhana peneliti

    menyimpulkan bahwa Kincaid membedakan

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    ciri-ciri masyarakat pada pandangan Timur

    sebagai masyarakat yang memiliki ciri-ciri

    masyarakat layaknya bangsa timur, yang

    sangat terkenal dengan keramah tamahannya

    terhadap orang lain bahkan orang asing

    sekalipun. Bagaimana mereka saling

    memberikan salam, tersenyum atau berbasa

    basi menawarkan makanan atau minuman.

    Bangsa timur juga sangat menjunjung tinggi

    nilai-nilai atau norma-norma yang tumbuh

    di lingkungan masyarakat mereka sebagai

    kepercayaan atau adat istiadat. Sedangkan

    budaya Barat (Western) yang mana ciri-

    cirinya adalah tegas, spontan, tidak suka

    basa-basi atau to the point, imajinatif,

    objektif, dan logis (tidak percaya terhadap

    hal-hal yang tidak ilmiah).

    Negara-negara yang berada di wilayah

    Asia Timur dikenal memiliki beragam

    filsafat yang berbasis pada aspek

    kepercayaan atau keyakinan yang dianut

    oleh penduduknya, seperti kepercayaan yang

    dianut oleh perspektif bangsa Korea. Pada

    dasarnya terdapat beberapa paham yang

    berkembang dan menjadi dasar berpikir

    masyarakat Korea, diantaranya pemikiran

    taoisme, konfusianisme dan buddhisme

    (Kincaid, 1987, h. 13). Cara pandang dari

    taoisme ini kemudian berkembang ke dalam

    lingkup sosial. Di mana ide orang Korea

    akan terciptanya keharmonisan

    mengharuskan manusia untuk bisa

    menyesuaikan diri dan tidak terfokus pada

    kepentingan individu. Sehingga,

    terbentuklah masyarakat yang hidup

    berdampingan tetapi tidak saling

    menganggu. Kemudian ajaran kedua adalah

    pemikiran konfusionisme yang tidak

    terfokus pada karakter individualistik dan

    sesuatu yang mistik seperti dalam ajaran

    taoisme. Melainkan lebih menekankan pada

    hubungan sosial dan perilaku sosial

    masyarakat. Selain itu, konfusianisme juga

    menekankan kepada disiplin diri,

    pendidikan, ikatan keluarga dan harmoni

    sosial yang kuat. Hingga kemudian,

    pemikiran buddhisme juga masuk dan

    mempengaruhi kehidupan masyarakat Korea

    yang ingin hidup secara spritual. Buddhisme

    lebih menekankan pada sebuah

    pengembangan spritual yang mencari

    ketenangan hati dan menemukan arti hidup

    yang sebenarnya, seperti melalui meditasi,

    Kincaid (1987, h. 14).

    Dalam jurnal Rahardjo (2013, h. 74)

    dijelaskan bahwa dalam konteks diskusi

    tentang teori Komunikasi Asia, para

    akademisi dan peneliti komunikasi Jepang,

    Korea, dan China telah melakukan praktik-

    praktik intelektual guna menghasilkan teori-

    teori komunikasi yang berbasis pada

    kearifan lokal. Salah satu contohnya adalah

    Chinese Harmony Theory yang diciptakan

    oleh Guo-Ming Chen. Teori ini menjelaskan

    bahwa harmoni merupakan nilai fundamental dalam budaya China. Harmoni,

    bagi orang China merupakan tujuan dari

    komunikasi antarmanusia dimana pihak-

    pihak yang berinteraksi mencoba untuk

    menyesuaikan diri satu sama lain guna

    mencapai suatu keadaan, yaitu

    interdependensi dan kooperasi. Kemampuan

    untuk mencapai harmoni dalam relasi antar

    manusia merupakan kriteria utama yang

    dipakai orang China untuk mengevaluasi

    kompetensi komunikasi. Meningkatnya

    kemampuan seseorang untuk mencapai

    harmoni akan meningkatkan kompetensi

    komunikasi. Guo-Ming Chen dalam

    membangun Chinese Harmony Theory

    menggunakan konsep-konsep yang berbasis

    pada kearifan lokal, yaitu pertama,

    menginternalisasikan kemanusiaan,

    kejujuran, dan ritual, kedua,

    mengakomodasikan kemungkinan-

    kemungkinan dalam konteks waktu,

    kemungkinan-kemungkinan dalam konteks

    ruang/spasial, dan awal suatu tindakan, dan

    ketiga, secara strategis menerapkan antar

    hubungan, image/citra diri, dan kekuasaan

    dalam tataran perilaku.

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Contoh lain mengenai nilai-nilai non-

    western yang berasal dari Jepang

    dikemukakan oleh Linda C. Ehrlinch dan

    Naomi Tonooka (Dalam Christians&Faber,

    1997, h. xii) yang membahas mengenai

    pentingnya nilai tradisi tahun baru di Jepang

    yang biasa disebut keheningan, lebih mendalam Yoshikawa menjelaskan masih

    dalam (Christians&Faber, 1997, h. xii)

    bahwa budaya tersebut menunjukan pada

    kita bagaimana membentuk ketenangan

    dalam diri manusia masing-masing yang

    dipercaya dapat mempengaruhi pola

    komunikasi masyarakat, yang mengajarkan

    bagaimana menentukan refleksi dalam

    memenejerial perilaku dan sikap dalam

    kehidupan masyarakat.

    Wujud nyata dari pemikiran teoritik

    komunikasi yang berbasis pada nilai-nilai

    budaya Timur (eastern/non-western) cocok

    untuk mewakili ciri-ciri sifat dari

    masyarakat Indonesia terutama masyarakat

    jawa, yang masih menjunjung tinggi nilai

    kepercayaan, nilai kearifan, memiliki rasa

    sosial, menjunjung tinggi nilai kesopanan,

    kekerabatan yang tinggi dan lain sebagainya,

    namun yang peneliti lihat lebih kontras

    adalah masyarakat Sumenep, karena

    ditengah sifat masyarakat Madura yang

    keras, spontan dan tegas. Masyarakat

    Sumenep terkenal dengan masyarakat yang

    memiliki sikap yang lebih halus dalam tutur

    katanya, sehingga Kabupaten Sumenep

    dijuluki sebagai 'Solo of Madura'. Kota

    Sumenep juga terkenal sebagai kota

    Keraton, karena semenjak dahulu wilayah

    ini terdapat puluhan keraton/ istana sebagai

    pusat pemerintahan sang Adipati. Seperti

    halnya keraton-keraton di Jawa, budaya

    halus dan tata krama yang sopan serta

    bahasa sehari-hari yang santun juga menjadi

    identitas budaya, baik di seputar lingkungan

    Keraton Sumenep maupun di lingkungan

    masyarakat Sumenep pada umumnya.

    Keunikan tersebut yang telah menarik

    peneliti untuk meneliti unsur nilai kearifan

    lokal yang ada di Sumenep berkenaan

    dengan aspek pelayanan.

    Dilihat dari karakter masyarakat

    Madura yang bertempramen keras dan tegas,

    masyarakat Sumenep cenderung lebih ramah

    dan lembut. Hal ini diperkuat dengan adanya

    hasil penelitian Rachmadiana (2004, h. 40)

    mengenai etos budaya menunjukan bahwa

    penduduk yang tinggal di kota yang terletak

    semakin ke Timur kepulauan Madura

    berperilaku lebih santun daripada penduduk

    yang hidup di wilayah Madura bagian barat.

    Kesantunan tersebut terlihat dari segi

    tingkah laku atau yang sering disebut oleh

    masyarakat Madura sebagai istilah (Adep

    Asor) dan tuturkata sopan santun saat

    berbicara dengan orang lain. Namun,

    walaupun terdapat beberapa hal yang

    berbeda dengan saudara luar kabupaten,

    kabupaten Sumenep tetap serupa dengan

    kabupaten lain di Madura. Seperti halnya

    masyarakat Madura pada umumnya,

    masyarakat Sumenep juga sangat

    menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan

    yang mayoritas beragama Islam. Hal itupun

    tergambar dalam nilai kearifan lokal berupa

    ungkapan atau yang sering disebut

    parebasan. Parebasan ini mengandung

    nilai-nilai kebijakan dan petuah untuk dapat

    saling mengingatkan masyarakat dalam

    kehidupan bersosialisasi dan kehidupan

    kerohanian.

    Dewasa ini merupakan hal yang sangat

    penting melakukan interprestasi terhadap

    kearifan lokal tersebut, karena nilai kearifan

    lokal tersebut akan dapat menjadi citra bagi

    masyarakatnya jika nilai-nilai budaya

    tersebut berhasil ditanamkan sehingga, akan

    dihasilkan pula manusia-manusia yang

    berdaya guna dalam kehidupan manusia,

    manusia yang sadar budaya. Artinya,

    memiliki nilai-nilai budaya nasional yang

    transetnik dan bersifat menyongsong masa

    depan, serta mampu pula menghayati

    kearifan-kearifan lokalnya. Dengan jati diri

    yang kuat, kita tidak akan jatuh terhadap

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    bangsa lain atau terhindar dari posisi yang

    subordinatif. Paling tidak, demikian itu yang

    menjadi idealisasinya. Terlebih nilai

    kearifan lokal dapat mendorong motivasi

    kerja dan sosial kontrol, hal ini menguatkan

    keyakinan bahwa perlunya karakter yang

    positif pula pada setiap penggerak lembaga,

    karena sesungguhnya secara konstitusional

    lembaga memang dihadirkan dengan norma-

    norma yang positif. Begitu juga dalam

    lingkup pelayanan, yang mana hal ini berarti

    bahwa, institusi pemerintah mempunyai

    fungsi pelayanan dan meningkatkan

    kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Para

    unsur penyelenggaran pemerintahan dan

    penyelenggara pelayanan publik yang saling

    memanusiakan, saling mengingatkan dan

    saling menghargai serta kepemimpinan yang

    berdasarkan agamis dan saling menjunjung

    tinggi nilai tatakrama, kesopanan yang

    sesuai dengan norma dan nilai kearifan yang

    berlaku dalam suatu masyarakat tersebut

    akan membuat organisasi pelayanan publik

    maju dan makin berkembang.

    Ditengah masyarakat Semenep yang

    memiliki banyak nilai-nilai budaya yang

    menjadi nilai kearifan, peneliti menemukan

    masih banyaknya keluhan yang disampaikan

    oleh masyarakat berkenaan dengan sistem

    pelayanan yang diberikan oleh aparatur

    pemerintah. Maka hal itulah yang mendasari

    pemikiran peneliti untuk meneliti sejauh

    mana kontribusi nilai kearifan yang dimiliki

    oleh masyarakat Sumenep dapat teraplikasi

    pada aspek tindakan pelayanan aparat

    pemerintah Sumenep. Sehingga,

    berdasarkan perspektif eastern mengenai

    aspek pelayanan, peneliti berasumsi bahwa

    salah satu teori yang dapat dijadikan acuan

    adalah aspek pelayanan dengan hati nurani

    seperti yang diungkapkan oleh Saleh (2010)

    dalam buku public service communication.

    Melayani dengan hati nurani seperti

    yang diungkapkan oleh Saleh (2010, h. 199)

    adalah budaya melayani dengan hati nurani

    adalah suatu sikap pelayanan yang

    dilakukan dengan setulus hati. Ketulusan

    dalam pelayanan adalah pekerjaan hati dan

    bukan semata pekerjaan rasionalitas alih-alih

    pemenuhan tugas pekerjaan yang

    terformulasi dalam standart operasional

    procedur (SOP) pelayanan. Masih dalam

    Saleh (2010, h. 199) yang menyatakan

    bahwa pelayanan yang tulus yang diberikan

    merupakan amal yang tidak ternilai

    harganya di hadapan sang Khaliq dan

    pelayanan yang tulus sesungguhnya

    merupakan wujud pengabdian kita kepada

    Sang Pencipta. Dalam melayani, Saleh

    (2010, h. 200) juga mengungkapkan bahwa

    sebagai aparat pelayanan yang bertugas

    memberikan pelayanan maka harus mampu

    menanggalkan sikap ego dan keangkuhan,

    dan menggantikannya dengan rasa

    kebersamaan. Asumsi peneliti mengenai

    pelayanan dengan hati nurani dari Saleh ini

    sesuai dengan karakter masyarakat Sumenep-Madura yang memiliki banyak

    nilai kearifan dan menjunjung tinggi nilai

    keagamaan (Islam).

    Menggali dan mengenali kearifan lokal

    ini merupakan upaya untuk menumbuhkan

    kesadaran dan kepekaan keilmuan

    akademisi dan peneliti komunikasi

    Indonesia tentang pentingnya memahami

    pemikiran filosofis, nilai-nilai budaya dan

    moral guna membangun gagasan-gagasan

    teoritik komunikasi yang relevan dengan

    lingkup persoalan komunikasi yang terjadi

    di Indonesia. Dilihat dari kajian komunikasi

    mengenai aspek budaya seperti yang

    diungkapkan oleh Kincaid (Dalam

    Littlejohn, 1999, h. 4) mengenai budaya

    Western dan estern, yang mana Kincaid

    berpendapat bahwa kajian budaya estern

    yang memiliki ciri-ciri masyarakat yang

    tidak to the point atau berbelit-belit, dan

    basa-basi seperti pada ciri masyarakat

    keraton yang halus, serta masyarakat yang

    memiliki banyak kepercayaan dan religius

    yang tinggi, hal ini mencerminkan sifat

    masyarakat Sumenep, bahkan banyak dari

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    ungkapan Parebhesan Sumenep yang

    memiliki makna tidak langsung atau

    menyindir dan terkesan bertele-tele atau

    berbelit belit dalam memberikan nasehat.

    Contohnya ungkapan yang berbunyi Bapak

    Babuk Guru Rato ungkapan atau pepatah ini

    menjadi suatu dasar tindakan sosialisasi dari

    masyarakat Madura khususnya Sumenep

    yang secara arti sederhanya adalah kedua

    orang tua (Bapak Babuk) adalah urutan

    pertama yang harus kita hormati, baru pada

    urutan berikutnya adalah guru/pemuka

    agama (Guru) baru hormat pada

    pemerintah/pimpinan/raja (Rato).

    Komunikasi dan budaya merupakan dua

    konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya

    adalah komunikasi dan komunikasi adalah

    budaya. Budaya dan komunikasi

    berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti

    budaya adalah komunikasi, karena budaya

    muncul melalui komunikasi dan budaya

    merupakan pengetahuan yang dapat

    dikomunikasikan. Pusat perhatian studi

    komunikasi dan kebudayaan juga meliputi

    bagaimana menjejaki makna, pola-pola

    tindakan, dan bagaiman makna serta pola-

    pola itu diartikulasi dalam sebuah kelompok

    sosial, kelompok budaya, kelompok politik,

    serta proses pendidikan (Liliweri, 2007, h.

    12). Namun Geertz (Dalam West & Turner,

    2008, h.323) menyatakan bahwa untuk

    memahami budaya, seseorang harus

    melihatnya dari sudut pandang anggota

    budaya tersebut.

    Karena pembahasan dalam penelitian

    ini mencakup nilai kearifan lokal berupa

    parebhesan yang ada pada masyarakat

    Sumenep madura yang terkontribusi pada

    komunikasi (tindakan) pelayanan, serta

    bagaimana aparat pelayanan pemerintah

    sebagai bagian dari masyarakat Sumenep

    tersebut nantinya mampu mengaplikasikan

    nilai-nilai kearifan yang masih dijunjung

    tinggi oleh masyarakat diaplikasikan dalam

    tindakan pelayanan sebagai bagian dari

    komunikasi sosial dengan masyarakat

    pengguna jasa maka, kajian etnografi

    komunikasi akan masuk didalamnya,

    penelitian etnografi dalam bidang

    pemahaman budaya yang tercermin dalam

    peribahasa sangat penting dilakukan dalam

    kaitannya dengan pemahaman kepribadian

    dan nilai-nilai budaya lokal, Kuswarno

    (2008, h. 13) menjelaskan mengenai

    etnografi komunikasi yang merupakan

    pengkajian terhadap bahasa dalam perilaku

    komunikasi suatu masyarakat, yaitu melihat

    bahasa secara umum dihubungkan dengan

    nilai-nilai sosial kultural. Sehingga tujuan

    deskripsi etnografi adalah untuk

    memberikan pemahaman global mengenai

    pandangan dan nilai-nilai suatu masyarakat

    sebagai cara untuk menjelaskan sikap dan

    prilaku anggota-anggotanya. Sehingga

    peneliti mengambil judul KONTRIBUSI NILAI KEARIFAN LOKAL TERHADAP

    KOMUNIKASI PELAYANAN DAN

    HANDLING COMPLAINT DARI

    APARAT INSTANSI PEMERINTAH DI

    KABUPATEN SUMENEP.

    Metode

    Metodologi penelitian yang dipakai

    dalam penelitian ini adalah kualitatif.

    Berdasarkan metodologi kualitatif dikenal

    beberapa metode riset (Kriyantono, 2006, h.

    62), salah satu dari metode yang digunakan

    dalam penelitian ini yaitu metode etnografi.

    Menurut Kriyantono (2006, h. 67) etnografi

    adalah riset yang digunakan untuk

    menggambarkan bagaimana individu-

    individu menggunakan kebudayaannya

    untuk memaknai realitas. Riset ini juga

    bertujuan untuk menggambarkan atau

    mendeskripsikan kebudayaan tertentu secara

    mendalam dari berbagai aspek seperti

    artefak budaya, pengalaman hidup,

    kepercayaan, dan sistem nilai dari suatu

    masyarakat. Sedangkan jenis penelitian yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

    deskriptif. Menurut Kriyantono (2006, h.

    69), penelitian deskriptif bertujuan

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    membuat deskripsi secara sistematis, factual

    dan akurat tentang fakta dan sifat populasi

    atau objek tertentu.

    Fokus instansi yang dipilih dalam

    penelitian ini adalah instansi yang lebih

    umum atau sering kali di manfaatkan oleh

    masyarakat sebagai instansi pemenuhan

    jasa, atau dapat dikatakan merupakan

    instansi yang memiliki pengguna jasa

    dominan, sehingga akan lebih banyak juga

    masyarakat yang dapat merasakan pelayaan

    dari aparat pelayanan di instansi tersebut,

    maka akan lebih mudah bagi peneliti

    mencari informasi mengenai tingkat

    pelayanan yang diberikan oleh para aparat di

    instansi. Sebagai fakta awal penelitian,

    peneliti memanfaatkan situs resmi

    pemerintahan Sumenep untuk

    mengumpulkan beberapa data dan berita

    mengenai adanya keluhan-keluhan

    masyarakat yang diajukan kepada beberapa

    instansi tersebut. Adapun fokus instansi

    yang akan diteliti adalah instansi pelayanan

    pemerintah Kabupaten Sumenep, tiga

    instansi yang dipilih peneliti adalah sebagai

    berikut : RSUD. Dr. H. Moh. Anwar, Dinas

    Kependudukan & Catatan Sipil, dan

    Kapolres Sumenep.

    Dalam penelitian ini peneliti

    menggunakan teknik pemilihan informan

    Menurut Sampling Purposif (Purposif

    Sampling) yang menurut Kriyantono (2006,

    h. 158) Teknik ini mencakup orang-orang

    yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria

    tertentu yang dibuat periset berdasarkan

    tujuan riset. Sedangkan orang-orang dalam

    populasi yang tidak sesuai dengan criteria

    tersebut tidak dijadikan sampel. Peneliti

    akan mewawancarai orang-orang atau

    aparat/divisi (sebagai informan utama) yang

    berhubungan langsung kepada masyarakat

    dan menangani masalah keluhan yang

    diajukan masyarakat misalnya humas atau

    disivi penanganan komplain serta costumer

    service dan bekerja pada instansi pemerintah

    dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 3

    tahun. Sedangkan pada informan golongan

    masyarakat (sebagai key informan) peneliti

    akan memilih masyarakat yang pernah

    menggunakan jasa instansi yang telah dipilih

    menjadi fokus (RSUD, CAPIL dan

    POLRES). Dan Informan tambahan dalam

    penelitian ini yaitu budayawan atau orang-

    orang yang mengerti lebih dalam mengenai

    asal-usul dan selukbeluk masyarakat

    Sumenep dan nilai kearifannya.

    Karakteristik informan tambahan

    dalam penelitian ini, yaitu:

    Mengerti terhadap makna yang terdapat pada ungkapan nilai kearifan.

    Mengerti keanekaragaman kebudayaan dan nilai-nilai luhur masyarakat

    Sumenep

    Bersedia terbuka dan tidak terbelit-belit dalam memberikan informasi.

    Analisis data dilakukan saat

    pengambilan data berlangsung dan setelah

    selesai pengumpulan data dalam periode

    tertentu. Pada saat wawancara, peneliti

    sekaligus melakukan analisis data terhadap

    jawaban dari para informan. Miles and

    Huberman mengemukakan bahwa aktivitas

    data dalam analisis kualitatif dilakukan

    secara interaktif dan berlangsung secara

    terus menerus sampai tuntas, sehingga

    datanya sudah jenuh (Sugiyono, 2011, h.

    246). Penelitian ini menggunakan model

    triangulasi metode, dengan menggunakan

    triangulasi metode peneliti akan

    membandingkan dan mengecek hasil

    wawancara dengan keadaan yang peneliti

    lihat dilapangan dari hasil observasi serta

    diperkuat dengan hasil gambar-gambar,

    bagan atau dokumen yang menguatkan

    pernyataan. Misalnya, hasil wawancara

    aplikasi ungkapan/parebesan yang dianut

    oleh aparat pelayanan dengan hasil

    observasi implementasi tindak pelayanan

    dan penanganan komplain yang benar-benar

    ditunjukan oleh aparat saat melayani.

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Hasil dan Pembahasan

    Masyarakat sumenep merupakan

    masyarakat yang memiliki banyak nilai

    kearifan lokal. Nilai kearifan lokal bukan

    lagi merupakan hal yang tabu untuk

    diaplikasikan pada berbagai aspek, tidak

    hanya pada aspek interaksi sosial sehari-hari

    masyarakat, namun juga pada aspek

    pelayanan publik. Nilai kearifan lokal dalam

    kajian komunikasi dilihat sebagai bagian

    dari perspektif non-western, yang mana

    dalam perspektif tersebut, menurut Kincaid

    dicirikan sebagai masyarakat layaknya

    bangsa Timur yang sangat menjunjung

    tinggi nilai kesopanan, tatakrama, sistem

    kekerabatan yang kental, dan nilai

    keagamaan/ religius yang tinggi. Sedangkan

    perspektif barat memandang bahwa

    perspektif timur memiliki pandangan yang

    kurang rasional dan objektif. Hal tersebut

    membuat kincaid memunculkan teori

    budaya bandingan berasal dari timur,

    dimana negara Cina, Jepang dan India

    sebagai subjek penelitian. Jepang misalnya,

    dengan mengedepankan nilai budaya

    kearifan yang dimilikinya dapat membawa

    budaya tersebut menjadi negara maju,

    menjadi negara yang memiliki sistem politik

    yang baik dimata global, serta budaya kerja

    yang patut dicontoh.

    Kita sebagai bangsa dari negara Asia

    (non-western) juga harus mampu

    menguatkan paham poskolonial, dimana

    paham ini mengedepankan rasa/ kemauan

    untuk menjadikan nilai budaya lokal bangsa

    menjadi budaya global, terutama terhadap

    budaya Barat, yang kita tahu bersama bahwa

    budaya barat telah banyak menanamkan

    hegemoni budayanya terhadap budaya

    Timur.

    Sebenarnya antara bangsa Timur dan

    Barat sama-sama menganggap bahwa

    pelayanan yang nyaman adalah, pelayanan

    yang dapat memenuhi kebutuhan

    masyarakatnya secara cepat, tidak

    menyulitkan serta menenangkan hati/tidak

    memberatkan. Namun dalam prosesnya,

    bagi pandangan barat, pelayanan yang

    nyaman adalah pelayanan yang serba mudah

    dengan menggunakan fasilitas/ teknologi

    yang super canggih agar semua dapat

    terlaksana dengan otomatis, cepat, efektif

    dan efisien. Namun pada pandangan bangsa

    Timur aplikasi nilai kearifan yang berdasar

    pada norma sangat penting dalam setiap

    aspek kehidupan tidak terkecuali aspek

    tindak pelayanan, pelayanan yang baik

    dianggap pelayanan yang berasal dari hati,

    sesuai dengan norma yang berlaku dan

    mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan

    saling menghormati, dalam hal ini peneliti

    berasumsi bahwa pelayanan dari hati nurani

    yang diungkapkan oleh Saleh sesuai untuk

    menjadi acuan dalam menganalisis aspek

    pelayanan di Sumenep.

    Jika dihubungkan dengan nilai-nilai

    kearifan local yang masih dijunjung tinggi

    oleh masyarakat Madura yaitu nilai

    keagamaan, maka seharusnya para aparat

    juga harus mampu mengaplikasikan nilai

    tersebut pada tindak pelayanan, karena

    tindakan melayani apa yang dibutuhkan dan

    di inginkan masyarakat jika dipenuhi dengan

    rasa iklas akan menghasilkan kebaikan pula

    pada diri kita sendiri atau aparat pelayanan

    dan instansi itu sendiri, karena semua

    tindakan dan apapun yang kita kerjakan

    adalah semata-mata sebagai pengabdian

    kepada Allah semata (Saleh, 2010, h. 199),

    dengan kata lain tindakan melayani

    masyarakat sama halnya berbuat baik

    kepada sesama yang dapat menghasilkan

    pahala dikehidupan akherat dan

    menciptakan kebaikan pada kehidupan

    bermasyarakat sebagai aplikasi tindak saling

    menghormati/tatakrama dan saling

    membantu antar manusia.

    Sedangkan hasil observasi dan

    wawancara yang dilakukan oleh peneliti

    adalah, komunikasi yang kurang baik

    (kurang sopan) dan sistem pelayanan yang

    tidak tertib (RSUD). Serta kurangnya empati

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    dari aparat pelayanan menjadi daftar negatif

    bagi kinerja aparat pelayanan di RSUD dan

    Polres yang tidak sesuai dengan makna nilai

    kearifan lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari

    cara komunikasi aparat kepada masyarakat

    yang masih terkesan kasar atau membentak,

    maka hal tersebut dianggap tidak sesuai

    dengan makna ungkapan/parebesan nilai

    kearifan Sumenep yang berbunyi Asel ta adhina asal, yang menurut para aparat ungkapan ini memiliki arti bahwa sebagai

    orang yang bertugas untuk melayani

    masyarakat maka, tidak boleh lupa diri

    (jangan mentang-mentang) sebagai seorang

    aparat kita tidak boleh bertindak semena-

    mena kepada masyarakat. Namun, tindakan

    aparat pelayanan tersebut lebih sesuai

    dengan ungkapan Tadhak Basana (tidak

    perduli terhadap orang lain) sikap aparat

    yang tidak perduli dengan perasaan

    masyarakat pengguna jasa.

    Berdasarkan hasil wawancara dengan

    aparat pelayanan, diketahui bahwa aparat

    telah mengungkapkan beberapa parebhesan

    yang dianggap baik dan dapat menjadi dasar

    dari tindak pelayanan, namun berdasarkan

    hasil observasi, ternyata diketahui

    implementasi tindakan pelayanan tidak

    sesuai dengan parebhesan yang menurut

    para aparat dapat mewakili tindakannya

    tersebut, namun tindakan pelayanan dari

    aparat lebih menggambarkan parebhesan

    yang mengandung makna negatif, hal ini

    akan dijelaskan lebih dalam pada point

    berikutnya.

    Dari hasil waancara yang telah

    dilakukan peneliti kepada

    informan/masyarakat pengguna jasa

    pelayanan, dapat disimpulkan bahwa

    ungkapan yang berbunyi Bapak Babuk Guru Ratoh dianggap tidak sesuai dengan tindakan aparat karena masyarakat

    menganggap aparat tidak dapat

    menghormati dan mengaplikasikan sikap

    saling menghormati kepada masyarakat atau

    pengguna jasa. Walaupun masyarakat

    merasa tidak nyaman dengan pelayanan

    yang diberikan oleh aparat di RSUD namun

    sebagian besar dari masyarakat memilih

    bersikap cuek dan tidak terlalu memikirkan

    hal tersebut karena merasa tidak memiliki

    pilihan lain, karena kota Sumenep memang

    hanya memiliki satu rumah sakit besar yaitu

    RSUD H. Moh Anwar.

    Begitu pula pelayanan yang diberikan

    oleh pihak instansi DinKepCaPil dan RSUD

    Walaupun aparat tidak menerapkan sistem

    senyum, sapa, dan salam, masyarakat tetap

    menilai tindakan pelayanan yang diterapkan

    oleh aparat adalah hal biasa yang mereka

    lihat selama ini dan tidak terlalu

    mempermasalahkan. Walaupun dari hasil

    data keluhan masyarakat di instansi

    Dinkepcapil selama kurun waktu satu tahun

    terakhir terdapat banyak masalah yang

    masih dikeluhkan terkait dengan masalah

    keterlambatan waktu pelayanan dengan

    waktu yang telah ditentukan, pelayanan

    yang sangat berbelit, adanya pungutan liar,

    serta ketidak jelasan alur pelayanan. Namun

    dari hasil wawancara peneliti dengan para

    pengguna jasa, diketahui bahwa pelayanan

    di Dinkepcapil ini telah mengalami

    peningkatan yang cukup baik.

    Sedangkan dari hasil observasi peneliti

    ke instansi DinKepCaPil berkenaan dengan

    penempatan sarana keluhan yang kurang

    baik di instansi tersebut, hal ini menegaskan

    bahwa ungkapan Bango jhubaa e ada etembang jhuba a e budi (lebih baik jelek di depan daripada jelek di belakang) hal

    tersebut mencerminkan bahwa masyarakat

    Madura tidak suka akan kemunafikan, hal

    ini tidak sesuai dengan keadaan di instansi

    DinKepCaPil. Aparat terlihat ingin dianggap

    memiliki sarana keluhan yang memadai

    dihadapan peneliti walau sebenarnya

    keberadaan kotak saran pun tidak begitu

    penting menurut mereka, hingga

    penempatannya tidak strategis, bahkan pada

    akhir-akhir ini kotak saran sudah tidak

    digunakan lagi.

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Seperti yang terdapat pada makna

    falsafah beberapa nilai kearifan lokal

    mengenai nilai kekerabatan (tanian lanjang)

    yang masih dijunjung tinggi oleh

    masyarakat, seharusnya aparat dapat

    menganggap semua masyarakat pengguna

    jasa merupakan bagian dari keluarga dan

    kerabat yang penting untuk diberikan

    pelayanan yang istimewa, sehingga

    pengaplikasian nilai kearifan lokal dalam

    aspek pelayanan tidak pada jalur yang

    kurang tepat. Namun, system kekerabatan

    tersebut hanya berlaku pada sebagian

    masyarakat yang memang aparat kenal dan

    dianggap memiliki hubungan kerabat baik

    sehingga memunculkan system tebang pilih.

    Hal ini menimbulkan adanya kecenderunga

    ketidak-adilan dalam pelayanan publik di

    mana masyarakat yang tergolong miskin

    akan sulit mendapatkan pelayanan.

    Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki

    uang, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan, contohnya yang ada

    pada instansi Polres.

    Pelayanan publik perlu dilihat sebagai

    usaha pemenuhan kebutuhan dan hak-hak

    dasar masyarakat. Pelayanan publik masih

    diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk

    diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika

    harus mengurus suatu perijinan tertentu

    biaya yang tidak jelas, merupakan indikator

    rendahnya kualitas pelayanan publik dari

    aparat pelayanan di Polres. Nilai kearifan

    lokal yang masyarakat anut dan diharapkan

    menjadi dasar dalam tindakan pelayanan

    belum dapat dirasakan, sehingga masyarakat

    menganggap aparat Polres belum

    menggunakannya sebagai dasar dari

    tindakan pelayanan. Tidak sesuai dengan

    anggapan bahwa orang atau masyarakat

    Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana,

    sanajjan bagus tapi tatakramana jube,ma celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama

    tatakramanya). Dasar utama dari nilai-nilai

    kesopanan adalah penghormatan orang

    Madura kepada orang lain, terutama yang

    lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur

    hubunganan antargenerasi, kelamin, pangkat

    dan posisi sosial. Maka aparat pelayanan di

    Polres tidaklah mencerminkan hal tersebut

    dan masyarakat tidak merasakan nilai

    kearifan menjadi dasar dari tindakan aparat.

    Hasil analisis disini mengemukakan

    bahwa banyak keluhan yang di temukan

    oleh peneliti berkenaan dengan

    implementasi tindak pelayanan dari aparat

    pemerintah. Mulai dari aspek empati, yaitu

    cara komunikasi aparat yang terkesan sering

    membentak dan bernada tinggi, seakan

    membenarkan ungkapan nongkok basa yang

    mencerminkan bahwa aparat pelayanan

    tidak memiliki tatakrama pada saat

    berbicara, sehingga yang memungkinkan

    ungkapan Basa gamberenna budi akan

    dilontarkan oleh masyarakat yang artinya,

    dapat dilihat sifat seseorang dari cara

    bicaranya. Banyaknya aparatur yang tidak

    memandang efisiensi waktu dan biaya,

    sehingga masyarakat banyak mengeluhkan

    jika banyak waktu yang terbuang hanya

    untuk menyelesaikan kepentingannya di

    instansi pelayanan, hal itu juga dipengaruhi

    suasana pelayanan yang kurang dirasa

    nyaman oleh pengguna jasa, serta aspek

    keadilan aparat dalam memberikan

    pelayanan yang masyarakat nilai seharusnya

    tidak begitu. Kesadaran petugas akan

    memberikan pelayanan dengan sikap yang

    sopan, adil, ikhlas, menyenangkan, dan

    nyaman masih belum dapat dirasakan, agar

    menghilangkan anggapan masyarakat akan

    ungkapan tadhak basana yang bermakna

    tidak perduli terhadap orang lain.

    Berdasarkan pernyataan beberapa aparat

    pelayanan yang dalam wawancara telah

    menjawab dengan cukup jelas mengenai apa

    itu pelayanan, dan bagaimana seharusnya

    memberikan pelayanan, bahkan mereka juga

    mengerti mengenai keikhlasan yang

    seharusnya ada pada sikap pemberi

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    pelayanan, ditambah lagi keikhlasan tersebut

    merupakan sebagian dari nilai keagamaan

    yang dijunjung tinggi oleh masyarakat

    setempat. Namun masih banyak oknum

    aparat pelayanan yang masih

    mengaplikasikan sikap negatif dalam

    memberikan pelayanan.

    Hal ini disinyalir karena mereka

    memiliki anggapan bahwa profesionalisme

    bukan menjadi tujuan utama mereka.

    Mereka mau melayani hanya karena tugas

    dari pimpinan instansi yang jika dilihat dari

    ungkapan bapak babuk guru rato pimpinan dapat diistilahkan sama dengan

    rato sehingga kata-kata seorang pimpinan adalah petuah yang wajib untuk dijalankan

    dengan adanya rasa penghormatan yang

    begitu tinggi pada seorang pimpinan atau

    atasan, dan bukan karena tuntutan

    profesionalisme kerja, ini yang membuat

    keberpihakannya kepada masyarakat

    menjadi sangat rendah. Aparat akan bersikap

    ramah kepada masyarakat pengguna layanan

    hanya jika ada sesuatu yang memberikan

    keuntungan atau melatar belakanginya,

    seperti hubungan pertemanan, hubungan

    kekerabatan yang sesuai dengan nilai-nilai

    yang juga dijunjung tinggi oleh masyarakat

    Sumenep, serta mereka yang

    mempunyai status sosial terpandang

    dimasyarakat biasanya juga akan

    memperoleh perlakuan khusus dari para

    aparat pelayan publik, misalnya saja tokoh

    agama. Jika dilihat sekilas ini memang

    buruk, namun bagi masyarakat Madura, hal

    ini danggap wajar, karena mengandung asas

    kehormatan atau yang sering disebut oleh

    masyarakat Madura dengan Cangkolang masyarakat bahkan percaya jika kita dapat

    mengutamakan tokoh agama (seseorang

    yang dekat dengan Tuhan) maka Tuhan pun

    akan memberikan keberkahannya untuk kita.

    Serta adanya sistem tebang pilih

    dibeberapa instansi pemerintah yang ditemui

    oleh peneliti, hal ini dapat dilihat dari

    konsep penting yang berkaitan dengan relasi

    sosial yang dibangun oleh orang Madura

    yaitu teman (bhala, kanca). Menurut Wiyata

    (2013, h. 18) Konsep teman tersebut

    merujuk pada relasi sosial dengan derajat

    keakraban pada taraf tertentu hingga ke

    derajat paling tinggi, dengan kata lain

    kehidupan harmonis muncul karena

    dominasi semangat pertemanan. Menurut

    orang Madura, bhala selain merujuk pada

    pengertian teman juga merujuk pada orang

    yang mempunyai hubungan kekerabatan.

    Sistem kekerabatan masyarakat Madura

    sangat kuat, tindakan baik akan dibalas

    dengan yang lebih baik, apabila kita mampu

    menjaga harga diri orang tersebut maka

    orang itu akan dapat lebih menghormati kita.

    Hal ini tentu berpengaruh pada tindak

    layanan pada aparat pelayanan, sikap aparat

    yang masih menganut tebang pilih,

    kemungkinan hal tersebut terpengaruh oleh

    nilai-nilai kekerabatan tersebut. Sehingga

    hal itu mempengaruhi tindakan aparat

    kepada masyarakat yang dianggap memiliki

    hubungan kekerabatan atau dikenal baik

    oleh aparat maka, akan diistimewakan dalam

    melayani. Seharusnya apabila hal ini

    diluruskan, maka sistem kekerabatan yang

    dianut oleh aparat dapat berlaku pada semua

    masyarakat tanpa terkecuali, dengan cara

    melihat atau menganggap semua masyarakat

    yang hidup dengan kebudayaan yang sama

    adalah kerabat, bukan hanya untuk

    masyarakat tertentu saja yang dianggap

    kenal atau benar-benar kerabat, sehingga

    tidak akan muncul sistem tebang pilih.

    Kesimpulan

    Dari hasil analisis ditemukan bahwa

    sistem pelayanan yang diterapkan oleh

    instansi pelayanan Sumenep masih sedikit

    mengandung perspektif barat, hal itu dapat

    dilihat dari segi sarana keluhan (kotak

    pengukuran kepuasan, prosedur penanganan

    keluhan, divi yang diperuntukkan

    menangani keluhan) walaupun

    penerapannya masih sangat tidak maksimal.

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Serta pembenahan SOP yang dinyatakan

    oleh beberapa aparat walaupun tidak secara

    berkala, dan lain sebagainya. Sedangkan

    dari sisi nilai kearifan yang dipandang

    sebagai perspektif Timur, pihak instansi

    pelayanan juga telah menerapkan unsur

    tersebut, hal ini dapat dilihat dari cara aparat

    dalam melayani masyarat. Misalnya aparat

    lebih mengedepankan unsur kekerabatan

    walaupun implikasinya adalah sistem tebang

    pilih. Serta ungkapan/ parebhesan yang

    sesuai dengan tindakan pelayanan tersebut

    walaupun parebhesan yang bermakna

    negatif. Serta adanya nilai ungkapan bapak,

    babuk, guru, ratoh yang teraplikasi secara

    negatif.

    Maka pelayanan yang baik dan sesuai

    dengan nilai kearifan lokal dan norma-

    norma yang berlaku di masyarakat Sumenep

    adalah

    1) pelayanan yang menyenangkan, masyarakat berharap aparat pelayanan

    lebih bersikap ramah dengan

    menampakkan senyuman yang ikhlas.

    Aparat pelayanan diharapakan mampu

    bersikap saling menghormati tidak

    mentang-mentang dan berkomunikasi

    yang sopan.

    2) Pelayanan yang adil, diharapakan aparat tetap mengedepankan nilai kekerabatan,

    namun pengaplikasiannya agar lebih

    terarah, jadi tidak hanya sebagian orang

    saja yang dianggap kerabat namun semua

    masyarakat yang datang membutuhkan

    pelayanan harus dilayani sebaik mungkin

    dianggap sebagai kerabat, sehingga tidak

    ada lagi sistem tebang pilih.

    3) Pelayanan yang tidak memberatkan, diharapkan menerapkan sistem pelayanan

    yang berpihak pada masyarakat. Aparat

    pelayanan harus mampu memposisikan

    sebagai masyarakat yang membutuhkan

    sehingga aparat dapat merasakan apa yang

    masyarakat inginkan, apabila ada hal-hal

    yang dirasa memberatkan baik dari sisi

    biaya maupun dari segi waktu, maka harus

    ada pembenahan.

    4) Pelayanan yang mendasar pada hati, apabila aparat telah mampu mendasarkan

    tindakannya pada hati nurani maka,

    dengan sendirinya rasa ikhlas akan

    tumbuh, apabila aparat mendasarkan

    tindakannya dengan keikhlasan maka

    komitmen pelayanan dengan wujud

    keimanan akan terealisasi sesuai dengan

    nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh

    masyarakat Sumenep.

    Daftar Pustaka

    Christians, C., & Faber, M. (1997).

    Communication Ethics and Universal Value.

    London : New Delhi.

    Kincaid, L. (1987). Communication Theory

    Eastern and Western Perspective. Albany

    New York : Academic Press, INC.

    Kuntowijoyo. (1993). Paradigma Islam:

    Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

    Kuswarno, E. (2008). Etnografi Komunikasi.

    Bandung :Widya Padjadjaran

    Kriyantono, R. (2006). Teknik Praktis Riset

    Komunikasi. Jakarta : PT Kencana Prenada

    Media Group.

    Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman.

    (2005). The Ethics Challenge in Public

    Service: A Problem-Solving Guide. Market

    Street, San Fransisco:Jossey-Bass.

    Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar

    Komunikasi Antarbudaya. Jogjakarta:

    Pustaka Pelajar.

    Littlejohn, S. W. (2002). Theories Of Human

    Communication (7th

    ed). Beltmont : CA.

    Wadsworth.

    Muakmam. (2005). Lalonget Ban Oca Keyasan. Pamekasan : Yayasan Pelestarian

    dan Penembangan Bahasa dan Sastra.

    Neuman, L. (2000). Social Research

    Methods (4th

    ed). USA : A Pearson

    Education Company.

    Pudentia. (2003). Antologi Prosa Rakyat

    Melayu Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

  • Anis Fajrin, 0911220006. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Brawijaya,

    Malang

    Saleh, A. M. (2010). Public Service

    Communication. Malang : UMM Press.

    Sugiyono. (2011). Metode Penelitian

    Kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung:

    Alfabeta.

    West, R & Turner, L. (2008). Pengantar

    Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi (3th

    ed). Jakarta : Salemba Humanika.

    Wiyata, L. (2013). Mencari Madura. Jakarta

    : Bidik-Phronesisi Publishing.

    Jurnal

    Rachmadiana, M. (2004). MENCIUM

    TANGAN, MEMBUNGKUKKAN BADAN

    Etos Budaya Sunda, Yogyakarta, Madura.

    Humanitas : Indonesian Psychologycal

    Journal. Fakultas Psikologi Universitas

    Ahmad Dahlan, Vol.1 No.2, hal34-35

    Rahardjo, T. (2013). Konstruksi Teori

    Komunikasi Berbasis Kearifan Lokal. FISIP

    Universitas Diponegoro. vol.1 No.1, Hal75

    Tulistyantoro, L. (2005). Makna Ruang

    Pada Tanean Lanjang Di Madura. Dosen

    Fakultas Seni dan Desain, Jurusan Desain

    Interior Universitas Kristen Petra Surabaya.

    Vol 3, No 2

    Wismantara, P. Pratitis. (2009). Politik

    Ruang Gender Pada Pemukiman Tanian

    Lanjhang Sumenep. UIN Malang. Vol.4

    No.2.