JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

download JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

of 24

Transcript of JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    1/24

    PROSES RESILIENSI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

    TUNA DAKSA BERPRESTASI

    (Studi Kasus di YPAC Kota Malang)

    Nindy Monikha Stefiany

    (Email: [email protected])

    Ari Pratiwi

    Amir Hasan Ramli

    ABSTRAK

    Penelitian bertujuan untuk mengetahui proses resiliensi dalam menghadapi

    keterbatasan fisik individu sehingga dapat berprestasi di YPAC Kota Malang. Metode yang

    digunakan adalah metode kualitatif dengan jenis studi kasus. Teknik pengumpulan data dari

    hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis menggunakan analisis

    informasi; open coding, axial coding, dan selective coding. Validitas dan relibialitas yang

    digunakan adalah rizhomatic validity dan Synchronic Realibility. Hasil penelitian ini adalahproses resilien memiliki sumber resiliensi; bangga dengan prestasi akademik dan non

    akademik (I Am), memiliki keyakinan dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lain (I

    Am), melakukan hubungan sosial dan interpersonal, mampu meningkatkan kemampuannya

    berprestasi (I Can), Ibu kandung subjek, guru beserta teman-teman di sekolahnya yang

    mendukung subjek berprestasi (I Have). Subjek memiliki tujuh faktor resilien; mampu tetap

    tenang dibawah kondisi yang menekan dari keterbatasannya (Emotion Regulation),

    mengendalikan keinginan dirinya yang ingin dapat melakukan kegiatan seperti anak normal

    lainnya (Impulse Control), Optimis, tidak ingin membuat ibunya kecewa (Emphaty),

    mempresentasikan keyakinannya dan dapat mengetahui cara menyelesaikan masalah (Self-

    Efficacy), mampu mengedintifikasi penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang dimiliki

    (Causal Analysis), dan memiliki tujuan hidup atas keterbatasannya (Reaching Out). Subjek

    memiliki fungsi resiliensi; memiliki cara pandang yang positif atas keterbatasan yang iamiliki (Overcoming), menguasai lingkungan dengan cara mendekatkan diri dengan Ibu,

    teman-teman, dan guru di sekolah, mampu mengontrol keterbatasannya sehingga ia

    mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan orang lain (Steering through), mampu

    mengontrol keterbatasannya (Bouncing back), mengetahui resiko dari kekurangannya untuk

    terus berprestasi di akademik atau di non akademik (Reaching Out).

    Kata kunci: proses resiliensi, Anak berkebutuhan khusus Tuna Daksa.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    2/24

    THE RESILIENCE PROCESS OF DISABLED CHILDREN

    ACHIEVEMENT WITH SPECIAL NEEDS

    (Case study in YPAC Malang)

    Nindy Monikha Stefiany

    ABSTRACT

    This study is aimed to know the resilience process in facing individual physical

    restrictiveness so that they can have achievement in YPAC Kota Malang. Method used is

    qualitative method with the type of case study. Data collection technique obtained the result

    of interview, observation, and documentation. Analysis technique uses information analysis:

    open coding, axial coding, and selective coding. Validity and reliability used is rizhomatic

    validity and Synchronic Realibility. The result of this study is that the resilience process has

    resilience source; proud of the academic and non academic achievement (I Am), has faith to

    do activity like other normal individual (I Am), has social and interpersonal correlation, beable to increase their ability to have achievement (I Can), mother subject, teacher and friends

    in their school support the achievement subject (I Have). Subject has seven factors of

    resilience; be able to be quiet under pressure condition of their restrictiveness (Emotion

    Regulation), controlling will that canv do the activity like other normal children

    (ImpulseControl), optimistic do not want to make mother disappointed (Emphaty), presenting

    faith and be able to know how to solve the problem (Self-Efficacy), be able to identificate the

    cause and effect of physical condition had (Causal Analysis), and have life purposes on their

    restrictiveness (Reaching Out). Subject has function of resilience; has positive point of view

    (Overcoming), take control on environment by keeping in touch with mother, friends, and

    teachers in school, be able to control the restrictiveness so that they know how to have

    correlation with other people (Steering through), be able to control his limitation (Bouncing

    back), to know the risks of their restrictiveness to keep have achievement in academic or in

    non academic (Reaching Out).

    Key words:resilience process, disabled children with special needs

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    3/24

    Latar Belakang

    Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup di mana semua terasa

    menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk

    menikmati semua hal tersebut, hanya karena mereka berbeda dari anak kebanyakan lainnya.

    Anak yang lahir dengan kekurangan, baik itu berupa cacat tubuh maupun mental harus

    mengalami hal yang berbeda serta beban yang lebih berat daripada anak normal lainnya.

    Mereka harus melakukannya dengan cara mereka yang khusus. Anak berkebutuhan khusus

    adalah mereka yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus terkait dengan

    kekhususan yang dimiliki, yaitu kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki

    potensi kecerdasan dan bakat istimewa, agar mereka dapat berkembang dengan optimal

    sesuai dengan potensi kemanusiaan menurut Hallahan dan Kauffman (Mangunsong, 2011).

    Banyaknya anggapan bahwa keadaan cacat seseorang tersebut sebagai penghalang

    dalam segala hal yang ingin dilakukannya. Banyak terjadi kejadian bahwa lingkungan enggan

    mengakui keberadaan para penyandang cacat tubuh tersebut. Anak-anak berkebutuhan

    khusus sering menganggap dirinya sebagai orang-orang yang gagal karena adanya kelemahan

    atau kekurangan pada anggota tubuhnya (cacat tubuh). Namun, anak-anak berkebutuhan

    khusus yang memiliki resiliensi yang tinggi dapat menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan

    lingkungannya sehingga dapat mencapai keadaan yang normal walaupun dengan keadaan

    yang terbatas. Salah satunya anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang dapat berprestasi

    secara akademik ataupun berprestasi non akademik walaupun memiliki keterbatasan fisik.

    Resiliensi adalah kapasitas individu untuk mengatasi dan meningkatkan diri dari

    keterpurukan dengan merespons secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri sehingga

    mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari (Reivich dan Shatte, 2002).

    Salah satu anak berkebutuhan khusus tuna daksa di Yayasan Penyandang Anak Cacat

    (YPAC) Kota Malang memiliki kemampuan lebih selain bidang akademik di sekolah, seperti

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    4/24

    kemampuan di dalam bidang kesenian dibandingkan dengan anak-anak berkebutuhan khusus

    lainnya di sekolah tersebut. Anak berkebutuhan khusus tuna daksa di YPAC tersebut dapat

    memiliki prestasi yang lebih dibandingkan anak-anak berkebutuhan khusus lainnya karena

    mampu mengatasi keterbatasannya. Untuk dapat bangkit dari keterbatasan fisik yang ia

    miliki, seseorang harus melalui suatu proses, memiliki sumber dan faktor yang

    melatarbelakangi seseorang dapat bangkit dari keterpurukannya. Seharusnya anak

    berkebutuhan khusus tuna daksa bahkan anak berkebutuhan khusus lainnya di YPAC Kota

    Malang yang lain dapat berprestasi juga di sekolah maupun di luar sekolah. Peneliti melihat

    sejauh ini lingkungan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut mampu mendukung dan

    memotivasi dalam melawan hambatan yang dimiliki mereka agar tetap bisa berprestasi

    walaupun dalam keadaan yang terbatas.

    Dengan fenomena tersebut penilaian resiliensi dapat dilihat dari bagaimana seseorang

    menghadapi tantangan sehari-hari oleh keterbatasan fisiknya. Untuk dapat menjadi seseorang

    yang resilien bagi anak tuna daksa dan dapat berprestasi walaupun memiliki keterbatasan

    fisik dibutuhkan proses yang melibatkan beberapa faktor yang berperan dalam membentuk

    pribadi yang resilien. Reivich dan Shatte (2002) mengatakan bahwa untuk dapat menjadi

    anak yang resilien harus memiliki tujuh faktor yang berperan. Tujuh faktor tersebut adalah

    regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, analisis kasual, empati, efikasi diri, serta

    reaching out.Setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda terhadap setiap faktor.

    Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penulis sebagai mahasiswa

    program studi psikologi bidang minat psikologi perkembangan tertarik untuk mengetahui

    bagaimana proses resiliensi anak berkebutuhan khusus yaitu Tuna daksa yang dapat

    berprestasi di Yayasan Penyandang Anak Cacat Kota Malang.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    5/24

    Landasan teori

    1. Definisi Anak

    Di dalam psikologi perkembangan, Papalia membagi dua tahap perkembangan anak.

    Anak adalah manusia yang berumur 3 hingga 12 tahun yang terbagi menjadi dua tahapan,

    yaitu tahapan kanak-kanak awal yang dimulai dari umur 3 sampai 6 tahun dan tahapan

    kanak-kanak tengah dimulai dari umur 6 tahun sampai 12 tahun (Papalia, 2009).

    2. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Daksa

    Gangguan fisik atau cacat tubuh mempunyai pengertian yang luas, secara umum

    dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti

    dalam keadaan normal. Dalam hal ini yang termasuk gangguan fisik adalah anak-anak

    yang lahir dengan cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, anak yang

    kehilangan anggota badan karena amputasi, anak dengan gangguan neuro muscularseperti

    celebral palsy, anak dengan gangguan senso motorik (alat penginderaan) dan anak-anak

    yang menderita penyakit kronis.

    Hallahan dan Kaufman mengatakan bahwa anak-anak dengan kekurangan fisik atau

    masalah kesehatannya mengganggu kegiatan belajar atau sekolah sehingga membutuhkan

    pelayanan, pelatihan, peralatan, material, atau fasilitas-fasilitas khusus (Mangunsong,

    2011).

    Soemantri mengatakan bahwa tunadaksa diartikan sebagai suatu kondisi yang

    menghambat kegiatan individu sebagai suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu

    sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi

    kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri

    (Soemantri, 2006).

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    6/24

    Secara umum klasifikasi atau kategori gangguan dapat dibagi atas:

    a. Anak tuna daksa yang tergolong bagian D (SLB D) ialah anak yang menderita

    gangguan karena polio atau lainnya, sehingga mengalami ketidak normalan dalam

    fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi mereka berkemampuan

    normal.

    b. Anak tuna daksa yang tergolong bagian D1 (SLB D1) ialah anak yang mengalami

    gangguan semenjak lahir atau celebral palsy, sehingga mengalami hambatan jasmani

    karena tidak berfungsinya tulang, otot sendi dan syaraf-syaraf. Kemampuan intelegensi

    mereka dibawah normal atau terbelakang.

    Hallahan dan Kaufman membagi gangguan fisik menjadi tiga kategori, yaitu

    gangguan neuromotor (neuromotor impairments), gangguan ortopedik dan otot-rangka

    (orthopedic and musculoskeletal disorders), serta kondisi lain yang mempengaruhi

    kemampuan fisik dan kesehatan (Mangunsong, 2011).

    1)

    Gangguan Neuromotor

    Gangguan ini disebabkan oleh luka pada otak atau spinal cord (kerusakan

    neurological) yang juga mempengaruhi kemampuan untuk menggerakan bagian-bagian

    tubuh manusia (gangguan motorik). Ini dapat diasosiasikan dengan luka pada otak

    sebelum, selama, atau setelah kelahiran. Gangguan yang termasuk neuromotor

    impairements antara lain Celebral Palsy (Mangunsong, 2011). Klasifikasi Celebral

    Palsy (CP) yang juga berlaku bagi semua tipe gangguan neuromotor adalah sebagai

    berikut:

    a)Spasticity. Ciri-cirinya: Kontraksi otot kaku tiba-tiba, susah melakukan gerakan,

    bagian bawah tubug menggunting karena kontraksi otot, gerakan refleks dari lengan

    dan jari-jari.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    7/24

    b)Athetosis. Ciri-cirinya: Ketegangan otot terjadi, terlihat pada leher yang kaku, mulut

    terbuka, dan lidah tidak terkontrol. Cara berjalan tidak berirama, kata-kata tidak

    berirama, gerakan otot wajah yang tidak disengaja.

    c)

    Ataxia. Ciri-cirinya: gerakan tidak stabil, berjalan dengan langkah tinggi, mudah

    jatuh, mata tidak terkoordinasi, kombinasi antara spasticity, athetosis, dan ataxia.

    Berdasarkan anggota gerak yang terlibat atau daerah kerusakan, sebagai berikut:

    a)Monoplegia: hanya satu anggota gerak tubuh yang terserang

    b)Hemiplegia: yang terserang adalah tangan dan kaki tetapi hanya satu sisi (bagian

    kanan atau kiri).

    c)

    Paraplegia: dimana kedua kaki terserang.

    d)Diplegia: keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih besar dibawah

    pinggang.

    e)Quadriplegia:keempat anggota gerak tubuh terserang semua.

    Menurut tingkat kerusakan atau berat ringannya kerusakan, Celebral Palsydibagi

    menjadi:

    a)

    Tingkat ringan, dengan ciri-ciri :

    1. Anak dapat berjalan dan berbicara

    2. Anak dapat menjalankan fungsi tubuh

    3. Gangguan yang dialami anak tidak banyak.

    b)Tingkat sedang, dengan ciri-ciri :

    1. Anak memerlukan pengobatan untuk gangguan bicara, memerlukan latihan gerak

    motorik.

    2. Mempergunakan alat bantu untuk gerak (brace atau tongkat).

    c)Tingkat berat, dengan ciri-ciri :

    1. Anak memerlukan pengobatan dan perawatan dalam alat gerak motoriknya.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    8/24

    2. Anak kurang mampu menjalankan aktivitas sehari-hari.

    3. Anak tidak mampu berjalan atau berbicara (kelumpuhan).

    2)Gangguan Ortopedik

    Hallahan dan Kauffman menyatakan bahwa Gangguan ini akibat dari kelemahan

    atau penyakit pada otot atau tulang (Mangunsong, 2011). Terdapat dua macam

    gangguan ortopedik:

    a.Muscular Distrophy

    Penyakit keturunan yang memiliki karakteristik kelemahan otot-otot secara progresif

    akibat degnerasi jaringan-jaringan otot.

    b.

    Juvenile Reumathoid Arthritis

    Penyakit yang sangat merusak, dimana otot-otot dan persendian terserang. Penyakit

    ini kadang diikuti dengan komplikasi, seperti demam, gangguan pernafasan, dsb.

    3)

    Kondisi lain yang mempengaruhi kesehatan dan kemampuan fisik.

    Penyakit Ashma dan Hemofilia termasuk penyakit yang dapat mempengaruhi

    kesehatan dan kemampuan fisik seseorang.

    3. Definisi Resiliensi

    Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan resilire yang

    berarti kembali. Dalam bahasa Inggris, kata resiliency atau resilient biasa digunakan

    untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk.

    Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai

    kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan

    atau kondisi yang terpuruk (Poerwandari, 2008).

    Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya The Resiliency

    Factor menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi

    terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    9/24

    keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma

    yang dialami dalam kehidupannya.

    a.

    Fungsi Resiliensi

    Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan

    resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte, 2002).

    1)Overcoming

    Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang

    menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan

    kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan

    bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

    2) Steering through

    Orang yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam

    menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya. Steering through dalam stres

    yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri bahwa

    kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah

    yang muncul.

    3) Bouncing back

    Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik

    untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana

    mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut,

    mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari

    kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat

    dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara

    untuk mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    10/24

    4) Reaching out

    Orang yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga hal dengan baik, yaitu:

    tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi, mengetahui dengan baik diri mereka

    sendiri, dan menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan mereka.

    b.

    Faktor resiliensi

    Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk

    resiliensi, yaitu sebagai berikut.

    1) Emotion Regulation

    Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang

    menekan (Reivich dan Shatte, 2002). Reivich dan Shatte mengungkapkan dua buah

    keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi,

    yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing).

    2) Impulse Control

    Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan

    keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu

    yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami

    perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka.

    3) Optimism

    Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika

    kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002).

    Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu

    tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan

    yang mungkin terjadi di masa depan.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    11/24

    4) Causal Analysis

    Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

    mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi.

    Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang

    mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.

    5) Empathy

    Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca

    tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002).

    6) Self-efficacy

    Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy

    merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang

    kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat

    penting untuk mencapi resiliensi (Reivich dan Shatte, 2002).

    7) Reaching out

    Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar

    bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan

    bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan

    kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang

    menimpa.

    c.

    Sumber-sumber Resiliensi

    Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu sebagai

    berikut.

    1) I Have ( sumber dukungan eksternal )

    I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini

    berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang

    menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    12/24

    2) I Am ( kemampuan individu )

    I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan

    tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.

    3) I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

    I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

    interpersonal.

    Metode

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

    Penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

    dan mendetail mengenai fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif memberi tekanan pada

    dinamika dan proses. Selain itu, penelitian ini juga lebih memfokuskan pada variasi

    pengalaman individu atau kelompok-kelompok yang berbeda-beda (Poerwandari, 2007). Tipe

    dari penelitian ini adalah studi kasus. Dalam penelitian studi kasus ini, menurut Kumar,

    pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik non-probability sampling

    dimana tidak semua elemen dalam populasi dapat menjadi sampel atau subyek penelitian

    (Rahmawati, 2009). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling

    dimana peneliti memilih subjek yang benar-benar memiliki kriteria dan informasi yang

    diperlukan serta bersedia untuk membaginya. Tipe purposive sampling yang digunakan

    adalah tipe tipikal, dimana peneliti memiliki kriteria-kriteria khusus dan unik (Herdiansyah,

    2010). Subjek penelitian berjumlah 1 subjek yang bersekolah di YPAC Kota Malang. Teknik

    pengumpulan data menggunakan wawancara tak terstruktur, observasi non-partisipan, dan

    dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisa coding oleh

    Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2005).

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    13/24

    Hasil

    Subjek ialah anak yang menderita gangguan karena polio sehingga mengalami ketidak

    normalan dalam fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot, tetapi

    berkemampuan normal dalam aspek kognitif. Subjek memiliki ketidakmampuan secara fisik

    untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal dibagian kakinya karena

    kelainan sejak lahir. Menurut tingkat kerusakan serta fisiologi dari kerusakan gerak motorik

    subjek (PS) tergolong tingkat ringan dimana terdapat ciri-ciri sebagai berikut, dapat berjalan

    dan berbicara walaupun memakai kursi roda dan dapat menjalankan fungsi tubuh. Anak tuna

    daksa biasanya tidak mengalami keterbelakangan mental. Fenomena yang ditemukan peneliti

    adalah seorang anak berkebutuhan khusus tuna daksa yang merupakan satu-satunya anak

    yang dapat berprestasi di YPAC Kota malang. Mereka melakukan pertahanan diri untuk tetap

    dapat melakukan hal-hal yang lebih baik walaupun dengan keadaan fisik yang kurang melalui

    suatu proses.

    Proses untuk membuat seseorang mampu bertahan dan tidak menyerah pada keadaan

    sulit disebut dengan proses resilien, diantaranya karena subjek memiliki sumber-sumber

    resiliensi yang dinyatakan oleh Reivich dan Shatte (2002).

    PS merasa mandiri dan cukup bertanggungjawab. PS dapat melakukan banyak hal

    dengan kemampuannya sendiri. Individu yang resilien merasakan kebanggaan akan diri

    mereka sendiri (Grotberg, 1999). PS merasa bangga karena ia dapat berprestasi akademik di

    Yayasan Penyandang Anak Cacat Kota Malang. Subjek merupakan murid anak berkebutuhan

    khusus satu-satunya di sekolah yang dapat mengikuti ujian di sekolah umum. Padahal di

    sekolah tempat subjek bersekolah ada beberapa anak tuna daksa yang juga bersekolah di

    tempat tersebut, namun tidak bisa mengikuti ujian di sekolah umum. Subjek merasa bangga

    karena ia dapat berprestasi juga di bagian non akademik, ia berprestasi dengan cara bermain

    musik dan menari, subjek sering tampil di berbagai acara yang mengundang pihak sekolah.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    14/24

    Subjek pernah mewakili anak berkebutuhan khusus tuna daksa di YPAC Kota Malang untuk

    membuat puisi yang akan dibukukan dan dicetak. Kebanggaan terhadap kemampuan pada

    dirinya sendiri tersebut membuat subjek semakin yakin untuk bisa melanjutkan ke SMP

    umum.

    Menurut Grotberg (1999), I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan

    kekuatan pribadi yang dimiliki, yang terdiri dari perasaan, sikap dan keyakinan pribadi. Dari

    keyakinan yang ia miliki, ia ingin menjadi anak yang mandiri dengan cara yang menurutnya

    positif. Subjek yakin dapat belajar akademik maupun non akademik tanpa harus ada guru

    bimbingan, selama ini subjek mencoba belajar musik sendiri di sekolah maupun di rumah

    agar ia dapat menguasai banyak lagu, menurutnya jika ia bermain musik dengan baik, ia akan

    sering dipanggil untuk acara pentas di berbagai acara dan mendapatkan uang untuk

    membantu ibu dan keluarganya.

    Selain itu, Grotberg mengatakan bahwa manusia yang beresilien merasa bahwa mereka

    memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu PS

    tunjukkan melalui sikap peduli subjek terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. PS

    juga merasakan ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan

    berusaha membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi. Subjek tunjukkan melalui sikap

    peduli terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain.

    Dukungan dari lingkungan di sekitar individu. Dukungan ini berupa hubungan yang

    baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan

    orang lain diluar keluarga disebut dengan I Have dalam sumber resiliensi (Grotberg, 1999).

    Hubungan yang penuh kepercayaan diperoleh dari hubungan PS dengan orang tua, terutama

    ibu kandung PS.

    Subjek dapat mendapatkan dukungan eksternal karena subjek dapat melakukan

    interaksi sosial dengan sekitarnya (I Can) sehingga di dalam proses beresilien subjek

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    15/24

    mendapatkan dukungan dari lingkungannya terutama keluarga, yaitu ibunya. Hasil penelitian

    membuktikan teori tersebut bahwa PS memiliki kemampuan melalui interaksinya dengan

    semua orang yang ada disekitarnya. PS juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta

    memecahkan masalah dengan baik.

    Menurut teori Grotberg (1999), anak yang resilien mampu mengekepresikan dalam

    kata-kata atau perilaku untuk menghindari keterpurukannya. PS mampu mengekspresikan

    perasaannya kepada peneliti, dan perilaku yang ditunjukan. Pada sumber resiliensi, I Can

    merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan interpersonal. PS

    mampu belajar melalui interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu

    tersebut juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan

    baik. Menurut Grotberg (1999), Anak yang resilien dapat memahami karakteristik dirinya

    sendiri dan orang lain. Subjek mengetahui resiko atas kekurangan fisik yang subjek miliki.

    Sehingga ia tetap yakin, bangga, dan meningkatkan kemampuan di dalam dirinya untuk tetap

    mampu berprestasi dan beradaptasi dengan keadaannya tersebut.

    Manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich dan Shatte,

    2002). PS dapat membuktikan fungsi resiliensinya dengan cara cara pandang yang positif

    dari kekurangan fisik yang ia miliki, PS memiliki motivasi untuk melakukan hal positif yang

    dapat membuktikan bahwa ia dapat melakukan hal positif seperti anak normal lainnya bahkan

    PS ingin meningkatkan kemampuannya dengan masuk ke SMP Umum. Sehingga, PS dapat

    tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai

    tekanan di dalam kehidupan yaitu kekurangan fisiknya sebagai anak berkebutuhan khusus

    tuna daksa.

    PS dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah karena

    keterbatasan fisiknya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through

    dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri sendiri

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    16/24

    bahwa PS dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan berbagai masalah

    dan berprestasi dengan keadaan fisik yang terbatas. Membuktikan teori Grotberg (1999),

    anak yang beresilien dapat memiliki fungsi, mampu mengatasi masalah dengan menguasai

    lingkungannya, PS memiliki keyakinan karena ia memiliki banyak teman di sekolah, disukai

    guru, dan kenal dekat dengan tetangga-tetangga di rumah subjek. PS dapat memecahkan

    masalah dengan lingkungannya.

    Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk

    menyembuhkan diri. Anak yang beresilien menunjukkan task-oriented coping style dimana

    mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka

    mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan mereka,

    dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari trauma. PS mampu

    berhubungan dengan orang lain untuk mengatasi kesulitan dalam hidupnya, biasanya ia

    melakukan sharing dengan cara bercerita kepada ibunya, terkadang ia lakukan dengan

    temannya. Selain itu ketika PS memberikan uang tabungannya untuk membeli bahan

    makanan di rumah karena ayah tidak memberi uang kepada ibunya.

    Resiliensi selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau

    menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang

    lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan pengalaman

    baru (Reivich dan Shatte, 2002).

    PS beresiliensi sehingga ia mampu meraih aspek positif dari kekurangan fisiknya yang

    tidak dapat berjalan normal, sehingga PS melakukan hal positif yang tidak melibatkan fisik,

    seperti berprestasi akademik menjadi murid satu-satunya yang dapat mengikuti ujian yang

    disetarakan sekolah umum, menjadi anak yang pandai bermusik sehingga dapat

    menghasilkan uang sendiri, dan PS menjadi perwakilan anak berkebutuhan khusus untuk

    membuat puisi. PS memiliki tujuan hidup ingin menjadi pemusik, karena itu PS mulai belajar

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    17/24

    musik sendiri agar semakin pintar bermain musik dan menghasilkan uang untuk membantu

    keluarganya dari musik.

    Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan

    (Reivich dan Shatte, 2002). Emosi mempengaruhi bagaimana orang tersebut beresilien. PS

    dapat mengendalikan emosinya dengan baik, pengendalian emosi yang dapat dikatakan baik

    karena PS mampu mengendalikan emosi dengan tetap tenang di bawah kondisi yang

    menekan jika terdapat suatu masalah di dalam dirinya.

    Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang dapat

    memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan

    fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini dimiliki PS untuk mengontrol emosi yang tidak

    terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu seperti

    hubungan dengan Ayah PS, serta mengurangi stres yang dialami olehnya.

    Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), anak yang resilien memiliki faktor

    pengendalian impuls, pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk

    mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.

    PS memiliki faktor untuk bangkit dari keterbatasan yang ia miliki karena PS mampu

    mengendalikan keinginan dengan kesukaan dirinya ketika subjek ingin sekali beraktifitas

    normal seperti anak normal lainnya namun keadaan fisik yang terbatas yang tidak

    memungkinkan, PS mewujudkan keinginannya dengan cara berprestasi di akademik maupun

    non akademik. PS merasa dirinya dapat berprestasi seperti anak normal walaupun ia adalah

    anak yang berkebutuhan khusus.

    Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita

    melihat bahwa masa depan akan cemerlang (Reivich dan Shatte, 2002). Optimisme yang

    dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya

    memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    18/24

    ini juga dibuktikan PS merefleksikan self-efficacy yang dimiliki nya yaitu kepercayaan

    individu bahwa PS mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan

    hidupnya. PS dapat dikatakan optimis karena PS sangat yakin bahwa dirinya dapat

    membanggakan ibunya dengan melakukan hal positif walaupun tidak melibatkan fisik subjek.

    Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan self-

    efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang individu terus didorong

    untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi yang lebih baik

    (Reivich dan Shatte, 2002).

    Hal ini juga merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh subjek, yaitu kepercayaan

    individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan

    hidupnya. Misalnya dengan pernyataan subjek dalam wawancara yang menyatakan bahwa ia

    mengetahui resiko dari keterbatasan yang ia miliki, sehingga ia berusaha agar dapat

    berprestasi di sekolahnya, dengan melakukan suatu hal positif yang tidak terlalu melibatkan

    fisiknya, karena PS tidak bisa berjalan tanpa kruk. PS menyadari bahwa kesempatan ia dalam

    mendapatkan pekerjaan kelak akan sulit dibandingkan dengan anak normal.

    Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda

    kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich dan Shatte, 2002). PS memiliki

    kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang

    ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu

    menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, PS mampu

    berempati sehingga memiliki hubungan sosial yang positif. Terbukti bahwa PS memiliki

    hubungan yang positif dengan ibunya, juga dengan lingkungannya.

    Menurut teori Reivich dan Shatte (2002), bahwa salah satu fungsi resiliensi adalah

    membuat seseorang memiliki pandangan hidup dari keterpurukan yang terjadi menimpa

    dirinya. Dibuktikan bahwa PS dapat meraih aspek positif dari kerterbatasan fisik yang ia

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    19/24

    miliki, PS mampu meraih aspek positif dari masalah-masalah yang terjadi, mampu

    menemukan tujuan hidup, dan PS mampu mengetahui resiko yang akan terjadi atas

    keterbatasan fisiknya. Subjek mampu meraih aspek positif dari kekurangan fisiknya yang

    tidak dapat berjalan normal, sehingga PS melakukan hal positif yang tidak melibatkan fisik.

    Subjek penelitian memiliki cara pandang positif dari kekurangan yang ia miliki,

    beberapa kali ia mengatakan bahwa ia tidak menyesali keadaan yang menimpanya, karena ia

    merasa dari kekurangannya dapat membantu orang tuanya karena PS suka menabung untuk

    membantu orang tuanya. Subjek pun mengambil sisi positif dari sikap ayah PS yang lebih

    memperhatikan saudara tirinya, karena memang keadaan ia dengan saudara tirinya berbeda,

    dikarenakan saudara tirinya tidak bisa menghasilkan uang seperti dirinya. PS mengambil sisi

    positif dari kekurangannya dengan membahagiakan ibunya walaupun dengan keadaan fisik

    yang sangat terbatas dengan cara berprestasi.

    Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah, tekanan, dan

    setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang resilien akan

    menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada,

    tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Orang yang

    resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang

    perjalanan hidupnya. PS dapat mengetahui bagaimana menempatkan diri di dalam

    lingkungannya. Subjek mengetahui betul bagaimana keadaan lingkungan di sekitarnya.

    Subjek selalu ingin menguasai lingkungan seperti misalnya saat latihan musik di kelas subjek

    ingin mengajarkan semua alat musik kepada temannya yang belum bisa memainkan alat

    tersebut tanpa disuruh oleh gurunya.

    PS memiliki banyak teman di sekolah maupun di luar sekolah dapat membuktikan

    subjek bahwa ia memiliki fungsi resiliensi yaitu Bouncing Back, dimana subjek dapat

    melakukan hubungan dengan orang lain walaupun dengan keterbatasan fisik yang ia miliki.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    20/24

    Menurutnya keterbatasan fisik tidak membatasi ia untuk melakukan hubungan dengan orang

    lain. Teman-teman di sekolah subjek menyukai subjek karena sifat humoris subjek, guru-guru

    subjek yang melihat subjek sebagai anak yang dapat berinteraksi dengan siapapun, dan juga

    lingkungan subjek, yaitu tetangga subjek yang juga dekat dengan subjek. Subjek menganggap

    lingkungan dapat menyelesaikan masalahnya misalnya dengan cara bercerita masalah subjek

    kepada orang yang dipercayainya.

    Kesimpulan

    Resiliensi anak berkebutuhan khusus tunadaksa yang berprestasi di YPAC Kota

    Malang memiliki tiga sumber resiliensi; perasaan bangga dengan prestasi akademik maupun

    non akademik yang subjek miliki walaupun memiliki kekurangan fisik (I Am), PS juga

    memiliki keyakinan bahwa ia dapat melakukan kegiatan seperti anak normal lain (I Am),

    Subjek yakin pada dirinya sendiri untuk bangkit dari keterbatasan fisiknya. Sumber resiliensi

    I Can (kemampuan sosial dan interpersonal), bahwa PS mampu melakukan kemampuan

    sosial dan interpersonal seperti anak lainnya walaupun memiliki keadaan fisik yang

    mengalami tuna daksa dan mampu meningkatkan kemampuannyayang tidak melibatkan fisik,

    dengan cara terus belajar untuk meningkatkan prestasinya baik di akademik maupun non

    akademik (I Can). PS memiliki sumber dukungan eksternal, terutama dari ibu kandung

    subjek, dan guru beserta teman-teman di sekolahnya yang berhubungan dekat dengan Subjek

    (I Have).

    PS memiliki faktor-faktor dalam beresilien. Faktor resiliensi yang pertama, PS mampu

    tetap tenang dibawah kondisi yang menekan dari keterbatasannya (Emotion Regulation).

    Kedua, PS mampu mengendalikan keinginan dirinya yang ingin dapat melakukan kegiatan

    seperti anak normal lainnya walaupun memiliki keterbasan fisik (Impulse Control). Ketiga,

    PS percaya bahwa ia mampu berprestasi dengan keterbatasan fisiknya (Optimism). Keempat,

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    21/24

    PS mampu memposisikan dirinya sebagai orang lain terutama ibunya (Emphaty). Kelima, PS

    mampu mempresentasikan keyakinannya dan dapat mengetahui bagaimana cara untuk dapat

    menyelesaikan masalah dengan keterbatasan yang ia miliki (Self-Efficacy). Ke enam, PS

    mampu mengedintifikasi penyebab dan akibat dari kondisi fisik yang ia memiliki sebagai

    anak tuna daksa (Causal Analysis). Faktor ketujuh adalah PS menemukan tujuan hidup atas

    keterbatasannya, mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di

    akademik atau di non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari

    keterbatasannya (Reaching Out).

    PS memiliki fungsi resiliensi. Pertama, PS dapat memiliki cara pandang yang posiif

    atas keterbatasan yang ia miliki (Overcoming). Kedua, PS mampu menguasai lingkungan

    dengan cara mendekatkan diri dengan lingkungannya diantaranya, Ibu, teman-teman, dan

    guru di sekolah, (Steering through).Ketiga, PS mampu mengontrol keterbatasannya sehingga

    ia mengetahui bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, (Bouncing back).Keempat,

    mampu mengetahui resiko dari kekurangannya untuk terus berprestasi di akademik atau di

    non akademik dan mengetahui baik karakteristik diri untuk bangkit dari keterbatasannya

    (Reaching Out).

    Saran

    Melihat pengaruh sumber dan faktor yang mempengaruhi proses dan fungsi resiliensi

    anak berkebutuhan khusus tuna daksa. Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti satu subjek

    yang beresilien di sekolahnya dikarenakan subjek adalah murid satu-satunya yang dapat

    berprestasi di YPAC Kota Malang. Penelitian dengan membandingkan anak berkebutuhan

    khusus tuna daksa yang beresilien di bagian akademik saja dengan anak berkebutuhan khusus

    tuna daksa yang beresilien di bagian non akademik saja baik dilakukan untuk penelitian

    selanjutnya, agar mengetahui perbedaan proses resiliensi yang dilakukan anak yang memiliki

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    22/24

    keterbatasan fisik. Peranan keluarga merupakan hal yang penting bagi perkembangan anak

    dalam proses resiliensi anak berkebutuhan khusus tuna daksa. Untuk itu, sebaiknya orangtua

    memainkan peranan tersebut agar anak dapat memiliki keyakinan pada diri dan merasa

    bangga atas hal yang dilakukannya walaupun memiliki keterbatasan, sehingga anak

    berkebutuhan khusus tuna daksa memiliki dasar keyakinan pada dirinya untuk dapat bangkit

    dari keterbatasannya yang menimbulkan beberapa faktor resilien sehingga seseorang dapat

    menimbulkan fungsi resilien dari keterbatasannya. Perlu diperhatikan untuk orang tua dan

    guru anak berkebutuhan khusus tuna daksa agar sebaiknya anak jangan dijauhkan dari teman-

    teman normal, agar mereka dapat bergaul dan hidup dalam realitas karena dapat

    mempengaruhi proses resiliensi anak-anak berkebutuhan khusus tuna daksa.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    23/24

    Daftar Pustaka

    Abdurrachman dan Sudjadi,S. (1994). Pendidikan Luar Biasa Umum. Jakarta: Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

    Anggraeni, Rahayu Rezky (2006).Resiliensi pada penyandang tuna daksa pasca

    kecelakaan. Skripsi. Program studi Psikologi, Fakultas Psikologi, UniversitasGunadarma. http://www.google.co.id/search?q=Rahayu+Rezki

    +Anggraeni+(2008).+&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-

    US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

    Anselm, Strauss & Juliet Corbin (2003). Dasar-DasarPenelitianKualitatif. Yogyakarta :

    PustakaPelajar.

    Grotberg. (1999). A guide to Promoting Resilience in Children : Strengthening the Human

    Spirit. Denhaag. http://www.google.co.id/search?

    q=grotbergE%2C+%26+Lianawati.+(2006).+Resiliensi+dan+prestasi+akademik+pada

    +anak+tuna+rungu.+Jurnal+provitae&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-

    US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

    Hurlock, Elizabeth. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

    Rentang Kehidupan (Edisi-5). Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta:

    Penerbit Erlangga.

    Hawabi, Agus Iqbal. 2011. Skripsi. Pengaruh Resiliensi Terhadap Juvenile Delinquency.

    Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Malang.

    Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta:

    Salemba Humanika.

    Hidayat. 2009. Pengenalan & Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) & Strategi

    Pembelajarannya. http://puterakembara.org/BPP/Makalah2.pdf (25 Februari 2011).

    (diunduh pada tanggal 27 Februari 2013)

    Iskandar, 2009. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja

    Rosdakarya.

    Mangunsong, Frieda (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid

    Kedua. Jakarta. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi,

    Universitas Indonesia.

    Moleong, Lexy J. (2010).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung : Rosda

    Pakpahan. (2011) Perkembangan Moral Kohlberg Studi Kasus pada Narapidana Anak Blitar.

    Malang. Skripsi.Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya.

    Papalia, D, Olds S, dan Fredman R. (2009). Human Development, Perkembangan Manusia,

    Buku I. Jakarta: Salemba Humanika.

  • 7/23/2019 JURNAL-SKRIPSI-NINDY-MONIKHA-STEFIANY-0811233083.pdf

    24/24

    Poerwandari, K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Lembaga

    Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi

    Universitas Indonesia.

    Patton. 2002, Ketrampilan Kepemimpinan, Jakarta, Mitra Media.

    Rahmawati, Dian (2009). Gambaran resiliensi dan kemampuan remaja tunanetra-ganda.Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

    http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/25395/gambaran-resiliensi-pada-suami-

    penyandang-tunadaksa.html (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

    Reivich. K dan Shatte A. (2002). Handbook of resilience in children (pp. 223-237). The

    Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life's

    Hurdles (Paperback). http://journal.ui.ac.id/ upload/artikel/

    08_Ok_New_Adriana_PROSES%20 HEALING_Layout.pdf (diunduh pada tanggal 05

    November 2011).

    Santrock, John.W (1995).Life-Span Development Edisi kelima. Jakarta. Penerbit Erlangga.

    Strnadova, Iva (2006). Stress and resilience in families of children with specific learning

    disabilities.Revista Complutense de Educacin; Vol 17, No 2 (2006); 35 50. Charles

    University, Praga, Republica Checa.

    http://sid.usal.es/idocs/F8/ART9837/estr%C3%A9s_y_adaptaci%

    C3%B3n_en_familias.pdf (diunduh pad a 01 Maret 2012).

    Soemantri. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT Refika Adita

    Sugiyono. (2006).Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

    Tugade, M. M & Fredrickson, B. L. (2004). Resilient Individuals Use Positive Emotions to

    Bounce Back From Negative Emotional Experiences. Journal of Personality ang Social

    Psycgolog, 8(3), 311-333. http.q=Tugade2C+F.+E%2C+%26+ Resilienst-

    Jurnal+provitae&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-

    US:official&client=firefox-a (diunduh pada tanggal 01 Maret 2012).

    Wulandari, Suci (2012). Studi kasus resiliensi remaja tunanetra di SMA Negeri 10

    Surabaya. Skripsi. Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas

    Negeri Surabaya. http://ejournal.unesa.ac.id/article/3288/15/article.docx (diunduh pada

    tanggal 27 Februari 2013).