Jurnal rading 2008

21
PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS MENCIT (Mus musculus L) JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT Kania Anindita Bustam, Dr. Sutyarso, M.Biomed. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung No. Telpon: 0721-254009; email: [email protected] ABSTRAK Monosodium glutamat merupakan bumbu penyedap makanan yang banyak digunakan serta memiliki efek radikal bebas bila penggunaannya melebihi batas normal. Vitamin C merupakan salah satu jenis antioksidan yang efektif dalam menangkal efek dari radikal bebas di dalam tubuh. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C tehadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculus L) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat. Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Terkontrol dengan subjek penelitian menggunakan 25 ekor mencit jantan dewasa strain DD Webster yang dibagi secara acak dalam 5 kelompok . Analisis data yang digunakan uji one way Anova yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode LSD dan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode Mann-Whitney. Dari hasil analisis penelitian diperoleh hubungan yang bermakna antara pemberian vitamin C terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus semuniferus mencit jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat berupa penambahan berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus yang meningkat sesuai dengan peningkatan paparan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Kata kunci: monosodium glutamat, vitamin C, testis, sel Leydig, tubulus seminiferus. PENDAHULUAN

description

jurnal

Transcript of Jurnal rading 2008

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN C TERHADAP BERAT TESTIS, JUMLAH SEL LEYDIG, DAN DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS

MENCIT (Mus musculus L) JANTAN DEWASA YANG DIINDUKSI MONOSODIUM GLUTAMAT

Kania Anindita Bustam, Dr. Sutyarso, M.Biomed.Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

No. Telpon: 0721-254009; email: [email protected]

ABSTRAK

Monosodium glutamat merupakan bumbu penyedap makanan yang banyak digunakan serta memiliki efek radikal bebas bila penggunaannya melebihi batas normal. Vitamin C merupakan salah satu jenis antioksidan yang efektif dalam menangkal efek dari radikal bebas di dalam tubuh. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C tehadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus mencit (Mus musculus L) jantan dewasa yang diinduksi monosodium glutamat. Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Terkontrol dengan subjek penelitian menggunakan 25 ekor mencit jantan dewasa strain DD Webster yang dibagi secara acak dalam 5 kelompok . Analisis data yang digunakan uji one way Anova yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode LSD dan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji analisis post hoc dengan metode Mann-Whitney. Dari hasil analisis penelitian diperoleh hubungan yang bermakna antara pemberian vitamin C terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus semuniferus mencit jantan dewasa yang telah diinduksi monosodium glutamat berupa penambahan berat testis, jumlah sel Leydig, dan diameter tubulus seminiferus yang meningkat sesuai dengan peningkatan paparan dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

Kata kunci: monosodium glutamat, vitamin C, testis, sel Leydig, tubulus seminiferus.

PENDAHULUAN

Dewasa ini wisata kuliner sangatlah

digemari oleh banyak orang, dimana setiap

mereka berkunjung ke suatu daerah wisata

hal utama yang dituju ialah mencicipi

makanan khas daerah tersebut. Hampir

setiap industri makanan menggunakan

bumbu penyedap sebagai bumbu pelengkap

yang dapat menimbulkan rasa lezat, salah

satunya ialah menggunakan “micin” atau

Monosodium Glutamat. Di Indonesia rata-

rata masyarakat mengkonsumsi MSG

sekitar 0,6 g/hari (Prawirohardjono et al.,

2000) atau 0,3 – 1,0 g/hari di negara

industri.MSG telah dikonsumsi secara luas

di seluruh dunia sebagai penambah rasa

makanan dalam bentuk L-glutamic acid

(Geha et al., 2000).

Asam amino tersebut pada hakekatnya

banyak dijumpai dalam makanan alami,

bahkan makanan tertentu bisa mengandung

antara 5-20% dari total kandungan asam

amino, baik dalam bentuk bebas maupun

terikat dengan peptida ataupun protein

(Geha et al., 2000;FDA. 1995). Glutamat

dalam bentuk bebas didapat dari makanan

seperti tomat, keju, dan kecap yang

merupakan hasil fermentasi. Secara alamiah

glutamat yang berada dalam tubuh kita

berasal dari makanan yang mengandung

protein seperti keju, susu, daging, kacang

kapri, dan jamur (FDA, 1995).

Food and Drug Administration (FDA)

menetapkan MSG sebagai “food additive

atau food enhancer”, serta

mengklasifikasikan MSG sebagai bahan

yang aman untuk dikonsumsi (Generally

Recognized As Safe, GRAS) seperti bahan

makanan lainnya, misalnya garam, cuka,

dan pengembang kue (FDA, 1995), akan

tetapi setelah bertahun-tahun digunakan,

muncul efek yang tidak diharapkan dari

MSG. Efek ini pertama kali ditemukan pada

tahun 1968 setelah Robert Ho Man Kwok

seorang doktor Cina-Amerika mencicipi

hidangan china dia merasa kebas dan

jantung berdebar-debar, mual, sakit kepala.

Sehingga gejala-gejala tersebut dikenal

dengan nama “Chinese restaurant

syndrome” (Sand, 2005).

Sejak saat itu para ilmuwan mulai

melakukan penelitian terhadap MSG.

Menurut penelitian Legradi et al., (1998)

MSG menyebabkan ablasi sumbu arcuate

nucleus hipothalamus sehingga dapat

mengganggu fungsi hipothalamus–

pituitary–organ target axis. Hipothalamus

mensekresi gonadotropinreleasing hormon

(GnRH) yang merangsang pengeluaran

hormon gonadotropin (LH dan FSH) dari

hipofisis anterior. Kedua hormon ini

diperlukan untuk perkembangan gonad pria

maupun wanita serta penting

keberadaannya untuk proses

spermatogenesis dan oogenesis.

Terganggunya fungsi hipothalamus

mengakibatkan gangguan fungsi endokrin,

termasuk hormon reproduksi sehingga turut

mempengaruhi fungsi gonad (Camihort,

2004).

Menurut Ahluwalia (1996), pemberian 4

dan 8 mg/g BB MSG dapat meningkatkan

aktivitas glutation reduktase (GR)

glutathione-S-transferase (GST), dan

glutation peroxidase (GPX). Hal ini

menggambarkan bahwa pemberian MSG di

atas 4 mg/g BB menghasilkan sterss

oksidatif yang dilawan tubuh dengan

meningkatkan aktivitas enzim

metaboliknya. Penelitian yang dilakukan

Vinodini (2008) pada tikus jantan dengan

pemberian MSG 4 g/kg BB selama 15 hari

(paparan jangka pendek) dan 30 hari

(paparan jangka panjang) sangat

berpengaruh. Berat testis, yang diukur

menunjukkan penurunan pada kedua group

percobaan.

Mencit jantan berumur 2 hari yang

dipaparkan 4 mg/gbb MSG (setara dengan

30-240 mg/kgbb pada manusia)

menunjukkan berat badan, jumlah sel

Sertoli dan sel Leydig per testis yang lebih

rendah pada saat puber. Penurunan jumlah

sel Leydig ini, menyebabkan produksi

testosteron juga berkurang. Hipogonadisme

yang terjadi diduga disebabkan oleh

penurunan kadar LH dan FSH dan FT4

darah yang berperan dalam perkembangan

organ reproduksi dan fungsi reproduksi

(Franca, 2005). Hal tersebut dapat terjadi

diakibatkan terbentuknya radikal bebas

dalam jumlah yang banyak di dalam tubuh.

Menurut penelitian Fauzi (2008) pemberian

vitamin C dengan dosis 0,2 mg/kg BB

secara oral selama 36 hari menunjukkan

dapat meningkatkan efek senyawa radikal

bebas yang disebabkan oleh timbal.

Tujuan umum penilitian ini ialah

Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C

terhadap testis mencit jantan dewasa yang

diinduksi Monosodium Glutamat.

Sedangkan tujuan khususnya adalah

Mengetahui pengaruh pemberian vitamin C

terhadap berat testis, jumlah sel Leydig, dan

diameter tubulus seminiferus mencit jantan

dewasa yang diakibatkan oleh induksi

Monosodium Glutamat.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang dilakukan merupakan

penelitian eksperimental murni dengan

Rancangan Acak Terkontrol. Penelitian

dilakukan pada bulan Oktober 2011 di

Fakultas Kedokteran Unila. Populasi dari

penelitian ini merupakan mencit (Mus

musculus L) dewasa berjenis kelamin jantan

dengan strain DD webster. Usia mencit ± 3

bulan dengan berat badan 25-35 gram dan

dalam kondisi sehat yang ditandai dengan

gerakan aktif. Besar sampel ditentukan

berdasarkan buku panduan penelitian WHO

yaitu minimal 5 ekor mencit tiap kelompok

dan dengan menggunakan rumus Federer.

Setiap kelompok mempunyai perlakuan

yang berbeda, yaitu:

1. Kelompok kontrol (-) : hanya diberi

MSG 4mg/gr berat badan yang

dilarutkan dalam 0,5 ml NaCl 0,9%

secara intraperitoneal selama 15 hari

perlakuan.

2. Kelompok kontrol (+) : diberi vitamin C

0,2 mg/g berat badan yang dilarutkan

dalam 0,5 ml aquadest secara oral setiap

hari selama 15 hari perlakuan.

3. Kelompok perlakuan1 : diberi MSG 4

mg/g berat badan yang dilarutkan dalam

0,5 ml NaCl 0.9% secara intraperitoneal

+ vitamin C 0,07 mg/g berat badan yang

dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest secara

oral setiap hari selama 15 hari perlakuan.

4. Kelompok perlakuan 2: diberi MSG 4

mg/g berat badan yang dilarutkan dalam

0,5 ml NaCl 0.9% secara intraperitoneal

+ vitamin C 0,2 mg/g berat badan yang

dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest secara

oral setiap hari selama 15 hari perlakuan.

5. Kelompok perlakuan 3 : diberi MSG 4

mg/g berat badan yang dilarutkan dalam

0,5 ml NaCl 0.9% secara intraperitoneal

+ vitamin C 0,6 mg/g berat badan yang

dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest secara

oral setiap hari selama 15 hari perlakuan.

Sampel yang dipilih ialah sampel yang

memenuhi kriteria inklusi yaitu sehat,

memiliki berat badan antara 25-35 gr, jenis

kelamin jantan, usia sekitar ± 3 bulan dan

kriteria eksklusi berupa sakit (penampakan

bulu kusam, rontok atau botak, dan aktifitas

kurang atau tidak aktif) dan terdapat

penurunan berat badan lebih dari 10%

setelah 1 minggu masa adaptasi di

laboratorium.

Pada tiap kelompok, data yang terkumpul

dianalisis menggunakan program SPSS

16.00 for Windows dengan menggunakan

uji Annova untuk menguji perbedaan rerata

pada kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol.

PEMBAHASAN

Rata-rata berat testis mencit dihitung

dengan menggunakan timbangan analitik

dengan tingkat ketelitian 0.1, kemudian

data diolah secara statistik dan didapati

hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Rerata ukuran dan standar deviasi berat testis (gram) pada kelompok kontrol dan perlakuan

KelompokPerlakuan

Pengulangan MencitMean±SD

1 2 3 4 5

K(-) 0.08 0.09 0.09 0.10 0.10 0.092±0.008

P1 0.09 0.09 0.11 0.10 0.10 0.098±0.007

P2 0.12 0.11 0.10 0.11 0.11 0.110±0.007

P3 0.12 0.13 0.11 0.12 0.11 0.118±0.008

K(+) 0.13 0.13 0.11 0.12 0.12 0.123±0.008

Berat testis terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas dengan uji Saphiro-Wilk dan

didapatkan data terdistribusi normal

(p>0.05). Selanjutnya data diuji untuk

melihat variansinya, didapatkan variansi

data normal dengan nilai sebesar p=0.826

(p>0.05). Nilai yang didapati pada uji

normalitas dan homogenitas memenuhi

persyaratan untuk melakukan uji one way

Anova, sehingga dilanjutkan dengan uji

Anova dan didapati nilai p=0.000 (p<0.05),

yang artinya terdapat perbedaan bermakna

pada paling tidak dua kelompok perlakuan.

Dengan dilakukannya uji statistik diketahui

bahwa terdapat pengaruh pemberian

vitamin C pada mencit jantan dewas yang

diinduksi monosodium glutamat secara

signifikan (p<0.05). Analisis data

dilanjutkan dengan menggunakan uji post

hoc LSD (Least Significant Difference)

untuk menilai perbedaan masing-masing

kelompok. Berat testis mencit tertinggi

didapatkan pada K(+) (mencit yang diberi

perlakuan berupa pemberian vitamin C 0.2

mg/grBB selama 15 hari secara oral) yaitu

sebesar 0.123±0.008, dan berbeda nyata

terhadap kelompok K(-), P1, dan P2. Hal

tersebut dapat terjadi karena vitamin C

sebagai antioksidan telah meningkatkan

jumlah sel spermatogenik pada kelompok

tersebut, sehingga terjadi peningkatan

ketebalan epitel tubulus seminiferus yang

mempengaruhi berat testis.

Sedangkan diantara kelompok yang

diberikan paparan radikal bebas atau MSG

dan disertai dengan pemberian vitamin C,

yaitu kelompok K(-), P1,P2, dan P3, berat

testis mencit tertinggi didapatkan pada

kelompok P3 yaitu sebesar 0.118±0.008.

Hal tersebut dimungkinkan karena

kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas

pro-oksidan atau radikal bebas dari

pemberian monosodium glutamat dapat

dilindungi pengaruhnya oleh antioksidan

atau vitamin C, sehingga isi testis (sel-sel

spermatogenik) tidak terpengaruhi oleh

radikal bebas tersebut. Sel-sel

spermatogenik yang terbentuk berhubungan

dengan meningkatnya ketebalan epitel

tubulus seminiferus dalam testis.

Selain itu, ketebalan epitel tubulus

seminiferus bisa menyebabkan peningkatan

berat testis. Seperti pernyataan Lea et al.,

(2004), bahwa banyaknya kandungan sel-

sel spermatogenik tubulus seminiferus di

dalam testis dapat menetukan peningkatan

berat dari testis itu sendiri. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Zahara (2011), bahwa pemberian vitamin C

mempengaruhi jumlah sel spermatogenik

pada mencit (Mus musculus L) jantan

dewasa yang diinduksi oleh monosodium

glutamat.

Berat testis terendah didapatkan pada K(-)

(kelompok yang diberi perlakuan berupa

pemberian MSG 4 mg/grBB secara

intraperitoneal selama 15 hari) yaitu

0.092±0.008, hasil tersebut sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Vinodini

(2008) bahwa pemberian MSG 4 mg/grBB

secara intraperitoneal selama 15 hari dapat

menurunkan jumlah sperma normal dan

berat testis. Akan tetapi hasil tersebut tidak

berbeda nyata (P>0.05) dengan kelompok

P1. Hal ini dapat diakarenakan aktivitas

pro-oksidan atau radikal bebas yang

diberikan oleh monosodium glutamat tidak

mampu dilindungi oleh vitamin C dengan

dosis 0.07 mg/grBB sehingga terjadi

gangguan pada pembentukan sel-sel

spermatogenik yang tidak mampu

dipulihkan dengan vitamin C pada dosis

tersebut. Bila jumlah sel spermatogenik

menurun, maka terjadi penurunan pula pada

epitel tubulus seminiferus yang

mempengaruhi berat testis, sehingga berat

testis juga ikut menurun.

Perhitungan jumlah sel Leydig dilakukan

dengan cara menghitung jumlah sel yang

berada diantar tiga sampai empat tubulus

seminiferus dalam 10 lapang pandang

dengan perbesaran 400x. Kemudian data

diolah secara statistik dan didapati hasil

pada tabel 2 berikut::

Tabel 2. Rerata jumlah dan standar deviasi sel Leydig pada kelompok kontrol dan perlakuan.

Kelompok

Perlakuan

Pengulangan MencitMean±S

D1 2 3 4 5

K(-) 301 311 291 221 117248±81.

42

P1 164 172 284 253 384251±90.

27

P2 321 226 356 293 297299±47.

70

P3 593 478 382 466 425469±79.

01

K(+) 436 520 413 434 369434±54.

92

Nilai yang didapati pada uji normalitas dan

homogenitas memenuhi persyaratan untuk

melakukan uji one way Anova, sehingga

dilanjutkan dengan uji Anova dan didapati

nilai p=0.000 (p<0.05), yang artinya

terdapat perbedaan bermakna pada paling

tidak dua kelompok perlakuan. Dengan

dilakukannya uji statistik diketahui bahwa

terdapat pengaruh pemberian vitamin C

terhadap jumlah sel Leydig secara

signifikan (p<0.05).

Gambar 1. Gambaran Sel Leydig

Analisis data dilanjutkan dengan

menggunakan uji post hoc LSD (Least

Significant Difference) untuk menilai

perbedaan masing-masing kelompok.

Jumlah sel Leydig tertinggi didapatkan oleh

kelompok P3 (469±79.01), tidak berbeda

nyata dengan K(+), tetapi berbeda nyata

dengan kelompok K(-), P1, dan P2. Hal ini

dapat diakibatkan oleh pengaruh vitamin C

yang menghambat efek oksidan (radikal

bebas) dari MSG, mempertahankan

kelangsungan hidup sel Leydig, sekaligus

meningkatkan pembentukan sel Leydig

pada testis mencit penelitian. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh

Siregar (2009) bahwa pemberian vitamin C

dengan dosis 0.2 mg/grBB mampu

meningkatkan jumlah sel Leydig yang

sebelumnya telah diberikan monosodium

glutamat. Jumlah sel Leydig terendah

didapatkan pada kelompok K(-)

(248±81.42), tidak berbeda nyata dengan

kelompok P1 dan P2, namun berbeda nyata

dengan kelompok K(+) dan P3. Hal ini

dapat disebabkan oleh efek radikal bebas

yang dihasilkan oleh monosodium glutamat

yang diberikan kepada mencit. Radikal

bebas dapat merusak membran sel melalui

peroksidasi lipid yang terdapat pada

membran sel, dimana membran sel terdiri

dari lipid belayer yang merupakan struktur

pembangun sel. Peningkatan peroksidasi

lipid di membran dapat mengakibatkan

terjadinya gangguan gangguan transport

ion-ion esensial dari dan dalam sel,

sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan

kematian pada sel (Herlina, 2011). Akibat

kematian sel tersebut mengakibatkan

penurunan jumlah sel Leydig pada mencit

penelitian.

Pengukuran diameter dilakukan dengan

cara mengukur jarak terpanjang dan jarak

terpendek dari tubulus seminiferus yang

bentuknya bulat atau dianggap bulat

kemudian dirata-ratakan. Jumlah tubulus

yang diukur adalah 10 tubulus dari tiap-tiap

kelompok perlakuan. Kemudian data diolah

secara statistik dan didapati hasil sebagai

berikut:

Tabel 3. Rerata diameter dan standar deviasi diameter tubulus seminiferus (µm) pada kelompok kontrol dan perlakuan

Kelompok

Perlakuan

Pengulangan MencitMean±

SD1 2 3 4 5

K(-) 55.10 56.27 55.43 55.80 55.1055.54±

0.44

P1 51.70 59.40 65.63 53.13 66.8059.33±

6.93

P2 71.47 65.43 60.83 64.20 71.1366.61±

4.60

P3 64.50 63.20 61.07 63.90 71.3364.80±

3.87

K(+) 63.27 64.27 64.03 63.70 65.0364.06±

0.66

Hasil rata-rata diameter tubulus seminiferus

yang didapatkan dari hasil pengukuran diuji

normalitasnya dengen uji Saphiro-Wilk dan

didapatkan data terdistribusi normal

(p>0.05). Selanjutnya data diuji untuk

melihat variansinya, didapatkan variansi

data tidak sama (homogen) dengan nilai

sebesar p=0.002 (p<0.05), sehingga tidak

dapat dialakukan uji one way Anova karena

syarat dilakukannya uji parametrik tersebut

ialah data terdistribusi normal dan

variannya sama (homogen) Dikarenakan

data tidak sama, maka data

ditransformasikan dan didapati p=0.001

(p<0.05) yang berarti variansi data tidak

homogen, maka uji parametrik tidak dapat

ilakukan tetapi dilanjutkan dengan uji

nonparametrik, yaitu uji Kruskal-Wallis.

Dari uji tersebut didapati p=0.037 (p<0.05)

yang berarti terdapat pengaruh pemberian

vitamin C terhadap jumlah sel Leydig

secara signifikan (P<0.05). Analisis data

diteruskan dengan uji Mann-Whitney untuk

menilai perbandingan masing–masing

kelompok.

Diameter tubulus seminiferus yang paling

besar didapatkan pada P2 kelompok K(-),

tetapi tidak berbeda nyata secara statistik

pada K(+), P1, dan P3 namun berbeda

secara klinis. Hal ini bisa diakibatkan oleh

tidak adanya pengaruh aktivitas pro-oksidan

atau radikal bebas yang disebabkan oleh

monosodium glutamat yang diberikan,

sehingga spermatogenesis di dalam tubulus

seminiferus berjalan secara normal tanpa

adanya pengaruh buruk dari MSG.

Jumlah spermatozoa yang terbentuk di

dalam tubulus seminiferus menimbulkan

dorongan yang dapat menimbulkan

bertambahnya diameter tubulus

seminiferus. Selain itu vitamin C yang

diberikan mampu menghambat

pembentukan radikal bebas pada proses

peroksidasi lipid yang terjadi diluar

membran sel, sehingga berhasil

mempertahankan keutuhan membran, baik

membran sel di hipotalamus maupun

membran basalis tubulus seminiferus.

Sehingga tidak terjadi kerusakan pada

membran dan radikal bebas tidak merusak

sel-sel yang ada didalam tubulus

seminiferus, dan sel-sel di hipotalamus

yang mengakibatkan fungsi hipothalamus–

pituitary–organ target axis tidak terganggu.

Dengan tidak terganggunya fungsi dari

hipothalamus–pituitary–organ target axis

tersebut, maka pembentukan sel spremapun

tidak akan terganggu. Meningkatnya jumlah

sel spermatogenik mampu meningkatkan

perbesaran dari diameter tubulus

seminiferus. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Gulkesen et al., (2002), bahwa

adanya peningkatan proses spermatogenesis

dapat menimbulkan peningkatan diameter

tubulus seminiferus.

Gambar 2. Gambaran Pengukuran Diameter Tubulus Seminiferus

Diameter tubulus seminiferus yang paling

kecil didapatkan pada K(-) (55.54±0.44

µm), berbeda nyata dengan K(+)

(64.06±0.66), P2 (66.61±4.60) , dan P3

(64.80±3.87), tetapi tidak bebeda nyata

dengan P1 (59.33± 6.93). Kemungkinan hal

ini disebabkan oleh pangaruh negatif dari

radikal bebas yang berada dalam

monosodium glutamat. Vitamin C yang

diberikan belum mampu menghambat

pembentukan radikal bebas pada proses

peroksidasi lipid yang terjadi diluar

membran sel, sehingga terjadi kerusakan

membran. Kerusakan membran sel

disebabkan oleh aldehida lemak (radikal

lipid), yang dihasilkan oleh peroksidasi

lipid pada membran. Peroksidasi lipid

sering dimulai pada kandungan lemak yang

terdapat pada membran sel. Hal itu

dikarenakan kandungan lemak pada

membran sel bersifat tidak jenuh sehingga

menjadikan lipid membran lebih sering

terikat oleh radikal bebas dan membentuk

peroksidasi lipid (Robbins dkk, 2007).

Selain itu monosodium glutamat

merupakan senyawa yang dapat menumpuk

di jaringan testis dan menimbulkan stress

oksidatif. Terjadinya stress oksidatif pada

jaringan testis menyebabkan vitamin C

yang berada di dalam jaringan testis bekerja

dengan menetralisir senyawa-senyawa

radikal bebas yang dihasilkan oleh MSG.

Penggunaan vitamin C sebagai antioksidan

secara terus menerus akan menurunkan

kadarnya di dalam jaringan testis.

Kadar vitamin C dalam testis yang

berkurang akan berpengaruh terhadap

sintesis kolagen tipe 1 dan 4 yang

merupakan jaringan ikat pembentuk

membrana basalis tubulus seminiferus yang

berfungsi sebagai tempat melekatnya sel

sertoli dan spermatogonium. Apabila

integritas dari membrana basalis tubulus

seminiferus terganggu maka dapat

menyebabkan kesulitan bagi sel sertoli

untuk melekat dengan baik yang kemudian

akan berpengaruh juga terhadap fungsi

sertoli itu sendiri yang sangat berperan pada

proses spermatogenesis.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa

Vitamin C yang diberikan dengan dosis

0.07 mg/grBB; 0.2 mg/grBB; dan 0.6

mg/grBB memiliki pengaruh terhadap berat

testis, jumlah sel Leydig, dan diameter

tubulus seminiferus mencit (Mus musculus

L) jantan dewasa yang diinduksi

monosodium glutamat.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A; Prabakaran, A; Said, T.M. 2005. Oxidative Stress And Antioxidants In Male Infertility A Difficult Balance. Iranian Journal Of Reproductive Medicine, 3(1): 1-8.

Ahluwalia, P., K. & Choudhary, P. 19996. Studies on the effects of Monosodium Glutamat (MSG) on Oxidative Stress in Erythrocytes of Adult Male Mice. Toxicol Lett. 84: 161-165.

Akmal, M., Qadri, J.Q. Al-Waili, N.S., Thangal, S., Haq, A. & Saluum, K. Y. 2006. Improvement in Human Semen Quality After Oral Supplementation of Vitamin C. J Med Food. 9, 440-2.

Camihort G. Dumm CG, Luna G. Ferese C, Jurad S, Moreno G. 2005. Relationship Between Pituitary and Adipose Tissue After Hypthalmic Denervatin in Female Rat. Cell Tissue Organs. 179: 192-201.

Fauzi, T.M. 2008. Pengaruh Pemberian Timbal Asetat Dan Vitamin C Terhadap Peroksidasi Lipid Dan Kualitas Spermatozoa Di Dalam Sekresi Epididimis Mencit Jantan ( Mus Musculus L.) Pascasarjana, Thesis, Universitas Sumatera Utara.

FDA. 1995. FDA and Monosodium Glutamate (MSG). http://www.fda.gov/opacom/backgrounders/msg.html

Federer, W. Y. 1963. Experimental Design, Theory and Application. New York: Mac. Millan. hal. 544.

Franca, L. R., Suescun, M. O., Miranda, J. R., Giovambatista, A., Perello, M., Spinedi, E. & Calandra. 2006. Testis Structure And Function In A Non-Genetic Hyperadipose Rat Model At Pra Pubertal And Adult Ages. Endocrinology, 147, 1556-15563.

Geha, R., Beiser, A., Ren, C., Patterson, R., Greenberger, P., Grammer, L., Ditto, A., Harris, K.., Saughnessy, M., Yarnold, P., Corrent, J. & Saxon, A. 2000. Review of Alleged Reactionto Monosodium Glutamate and Outcome of a Multicenter Double-Blind Placebo-Controlled Study. The Journal of Nutrition, 130, 1058S-1062S.

Gulkesen KH, Erdogru T, Sargin CF, Karpuzoglu G. Expression of extracellular matrix proteins and vimentin in testes of azoospermic man: an immunohistochemical and morphometric study. Asian J Androl

[serial online]. 2002 [ c i t ed 2 0 0 4 Nov 6 ] ; 5 5 - 6 0 .

Herlina, Meriani. 2011. Pengaruh Pemberian Vitaminj E Terhadap Gambaran Histologis Testis dan Jumlah Sel Sperma Mencit (Mus musculus L) yang Terpapar Tuak..

Lea, M.C., S. C. Becker-Silva, H. Chiarini-Garcia, L. R. França. 2004. Sertoli cell efficiency and daily sperm production in goats (Capra hircus). Anim. Reprod. v.1, n.1, p.122-128.

Legradi G, Emerson CH, Ahima RS, Rand WM, Flier JS, Lechan RM. 1998. Arcuate Nucleus Ablation Prevents Fasting-Induced Suppression of Pro TRH mRNA in The Hypothalamic Preventicular Nucleus. Neuroendocrinology, Vol. 68. 89-97.

Prawirihardjono, W., Dwiprahassto, I., Astuti,I., Hadiwandowo, S., Kristin, E., Muhammad, M., dan Kelly, M. 2000. The Administrtion to Indonesians of Monosodium L-Glutamate in Indonesiaan Foods: An Assessment of Adverse Reaction in Randomized Double-Blind, Croosover, Placebo-Controlled Study. Journal of Nutrition, 130, 1074S-1076S.

Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. 2007. Buku Ajar Patologi 7nd Ed. Jakarta: EGC.

Sand J. 2005. A Short Hitory of MSG Good Science, Bad Science, and Taste Culture. The Journal of Culture. 38-34.

Siregar, J.H. 2009. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Leydig Dan Jumlah Sperma Mencit Jantan Dewasa (Mus Musculus, L.) Yang Dipapari Monosodium Glutamate (MSG), Program Studi

Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Vinodini, N., Nayantara, A., Damodar, G., Ahamed, B.,Ramaswamy, C., Shabarinath & Bath, R. 2008. Role Of Ascorbic Acid In Monosodium Glutamate Mediated Effect On Testicular Weight, Sperm Morphology And Sperm Count, In Rat Testis. Journal of Chinese Clinical Medicine, Vol. 3. 370-373.

Zahara, Riza. 2011. Pengaruh Pemberian Vitamin C Terhadap Jumlah Sel Spermatogenik Mencit (Mus musculus L) yang Diinduksi Monosodium Glutamat. Program Studi Kedokteran Universitas Lampung.