Jurnal penelitian yusnawan

20
UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN Bahan Seminar : Hasil Penelitian Judul : Pengaruh Aplikasi Bioinsentisida Virus Ha-NPV Terhadap Hama Penggerek Tongkol Helicoverpa armigera Hubn. Pada Tanaman Jagung Manis Nama / Stambuk : Yusnawan (E 211 97 049) Pembimbing : Ir. Djoni La’lang Ir. Abd. Wahid Tempat : Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Hari / Tanggal : Kamis, 10 Oktober 2002. PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) saat ini semakin populer dan banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Produk jagung manis berupa tongkol segar dan umumnya dikonsumsi oleh masyarakat dalam bentuk jagung rebus, jagung bakar, sayuran atau bahan untuk pembuatan kue. Selain itu umur produksinya lebih singkat (genjah) sehingga sangat menguntungkan (Subandi dkk.,1998). Rata-rata produksi jagung di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 2.70 ton/ha (BPS, 2000). Khusus jagung manis sebesar 2.89 ton tongkol segar/ha. Hasil tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil di lembah Lockyer Australia yang mencapai 7 – 10 ton tongkol segar/ha (Lubach, 1980 dalam Syiah, 1999). Secara umum rendahnya produksi jagung tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain serangan hama dan penyakit (Subandi dkk.,1998). Helicoverpa armigera Hubn.(Lepidoptera: Noctuidae) adalah salah satu hama penting pada tanaman jagung, dikenal sebagai hama penggerek tongkol. Di Sulawesi Tengah hama ini menyerang setiap musim tanam pada lahan petani, dengan intensitas serangan pada musim tanam tahun 1995 - 1996 sekitar 15% sampai 69,3% (Distan Sulteng.,1997). Upaya pengendalian oleh petani untuk menanggulangi kerusakan yang diakibatkan hama tersebut masih mengandalkan pada penggunaan insektisida kimia. Insektisida kimia yang digunakan secara terus- menerus dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan antara lain munculnya hama-hama sekunder yang semula bukan merupakan hama penting kemudian menjadi hama penting, pencemaran lingkungan dan menimbulkan residu insektisida pada komoditi hasil pertanian. Salah satu upaya untuk menghindari resiko tersebut adalah menggunakan pestisida yang ramah lingkungan seperti bioinsektisida berbahan aktif virus. Virus Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan salah satu patogen yang telah terbukti efektif mengendalikan serangga hama dari golongan Lepidoptera. Keunggulan yang dimiliki virus NPV antara lain spesifik terhadap inangnya, persisten di lapangan untuk generasi hama berikutnya, aman bagi musuh alami, hewan dan manusia serta tidak meninggalkan residu di alam (Indrayani, Subiyakto dan Gothama, 1994). Supriayatin (1996) menjelaskan bahwa insektisida berbahan aktif mikroorganisme Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dari H. armigera (Ha-NPV) dapat menyerang hama ulat tongkol jagung H. armigera dan secara langsung mudah diaplikasikan di lapangan. Untuk mengetahui peran Ha-NPV sebagai insektisida biologis dalam pengendalian hama H. armigera pada tanaman jagung manis, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh berbagai konsentrasi Ha-NPV terhadap ulat penggerek tongkol H. armigera pada tanaman jagung manis. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi virus Ha-NPV pada berbagai taraf konsentrasi terhadap populasi larva H. armigera Hubn., persentase kerusakan tongkol, berat dan produksi tongkol jagung segar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasih tentang pengaruh aplikasi virus Ha- NPV pada berbagai konsentrasi untuk mengendalikan hama penggerek tongkol H. armigera pada tanaman jagung. Hipotesis Aplikasi virus Ha-NPV pada hama penggerek tongkol H. armigera dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap populasi larva H. armigera, persentase kerusakan tongkol, berat tongkol dan produksi tongkol jagung segar. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat

Transcript of Jurnal penelitian yusnawan

Page 1: Jurnal penelitian yusnawan

UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Bahan Seminar : Hasil Penelitian Judul : Pengaruh Aplikasi Bioinsentisida Virus Ha-NPV Terhadap Hama Penggerek Tongkol

Helicoverpa armigera Hubn. Pada Tanaman Jagung Manis Nama / Stambuk : Yusnawan (E 211 97 049) Pembimbing : Ir. Djoni La’lang Ir. Abd. Wahid Tempat : Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Hari / Tanggal : Kamis, 10 Oktober 2002.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.) saat ini semakin populer dan banyak dikonsumsi karena memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan jagung biasa. Produk jagung manis berupa tongkol segar dan umumnya dikonsumsi oleh masyarakat dalam bentuk jagung rebus, jagung bakar, sayuran atau bahan untuk pembuatan kue. Selain itu umur produksinya lebih singkat (genjah) sehingga sangat menguntungkan (Subandi dkk.,1998).

Rata-rata produksi jagung di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 2.70 ton/ha (BPS, 2000). Khusus jagung manis sebesar 2.89 ton tongkol segar/ha. Hasil tersebut tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil di lembah Lockyer Australia yang mencapai 7 – 10 ton tongkol segar/ha (Lubach, 1980 dalam Syiah, 1999). Secara umum rendahnya produksi jagung tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain serangan hama dan penyakit (Subandi dkk.,1998).

Helicoverpa armigera Hubn.(Lepidoptera: Noctuidae) adalah salah satu hama penting pada tanaman jagung, dikenal sebagai hama penggerek tongkol. Di Sulawesi Tengah hama ini menyerang setiap musim tanam pada lahan petani, dengan intensitas serangan pada musim tanam tahun 1995 - 1996 sekitar 15% sampai 69,3% (Distan Sulteng.,1997).

Upaya pengendalian oleh petani untuk menanggulangi kerusakan yang diakibatkan hama tersebut masih mengandalkan pada penggunaan insektisida kimia. Insektisida kimia yang digunakan secara terus-menerus dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan antara lain munculnya hama-hama sekunder yang semula bukan merupakan hama penting kemudian menjadi hama penting, pencemaran lingkungan dan menimbulkan residu insektisida pada komoditi hasil pertanian. Salah satu upaya untuk menghindari resiko tersebut adalah menggunakan pestisida yang ramah lingkungan seperti bioinsektisida berbahan aktif virus.

Virus Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) merupakan salah satu patogen yang telah terbukti efektif mengendalikan serangga hama dari golongan Lepidoptera. Keunggulan yang dimiliki virus NPV antara lain spesifik terhadap inangnya, persisten di lapangan untuk generasi hama berikutnya, aman bagi musuh alami, hewan dan manusia serta tidak meninggalkan residu di alam (Indrayani, Subiyakto dan Gothama, 1994).

Supriayatin (1996) menjelaskan bahwa insektisida berbahan aktif mikroorganisme Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) dari H. armigera (Ha-NPV) dapat menyerang hama ulat tongkol jagung H. armigera dan secara langsung mudah diaplikasikan di lapangan.

Untuk mengetahui peran Ha-NPV sebagai insektisida biologis dalam pengendalian hama H. armigera pada tanaman jagung manis, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh berbagai konsentrasi Ha-NPV terhadap ulat penggerek tongkol H. armigera pada tanaman jagung manis.

Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi virus Ha-NPV pada berbagai taraf konsentrasi terhadap populasi larva H. armigera Hubn., persentase kerusakan tongkol, berat dan produksi tongkol jagung segar.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasih tentang pengaruh aplikasi virus Ha-NPV pada berbagai konsentrasi untuk mengendalikan hama penggerek tongkol H. armigera pada tanaman jagung.

Hipotesis

Aplikasi virus Ha-NPV pada hama penggerek tongkol H. armigera dengan konsentrasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap populasi larva H. armigera, persentase kerusakan tongkol, berat tongkol dan produksi tongkol jagung segar.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Page 2: Jurnal penelitian yusnawan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan bulan Februari 2002, yang bertempat di kebun percontohan Kota Palu di Kelurahan Tondo, Kecamatan Palu Timur, Kotamadya Palu Propinsi Sulawesi Tengah.

Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian adalah bibit jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.), larva H. armigera Hubn., virus Ha-NPV (diperoleh dari BPTP Sidera), bahan perekat dan perata (agristik), pupuk (TSP, Urea, dan KCL), tongkol jagung muda, tali rapia dan aquades.

Sedangkan alat yang digunakan adalah cangkul, skop, meteran, cawan petri, gelas ukur, botol plastik/toples, kain saring, alat semprot (hand sprayer), pengaduk dan alat label.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 (lima) perlakuan dan 4 (empat) ulangan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Adapun yang menjadi perlakuan adalah :

V0 = Tanpa bioinsektisida virus Ha-NPV (kontrol). V1 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 0,5 ml/l. V2 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 1,5 ml/l. V3 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2,5 ml/l. V4 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 3,5 ml/l.

Pelaksanaan Penelitian

1. Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedengan Tanah diolah dengan bajak dan dilanjutkan dengan pacul dan skop, kemudian dibuat bedengan

dengan ukuran 4 m x 5 m dan tinggi 20 cm. Diantara bedengan dibuat selokan dranaise, lebar 30 cm dan dalam 30 cm. Pemberian pupuk dilakukan berdasarkan petunjuk teknis budidaya, dimana untuk 1 Ha diperlukan pupuk sebanyak 150-300 kg Urea, 100-150 kg TSP dan 50-100 kg KCL. Sebagai pupuk dasar yaitu pupuk kandang 4 ton/ha dan ½ Urea, TSP dan KCL diberikan satu minggu sebelum tanam.

2. Penanaman Benih Jagung Terlebih dahulu dilakukan sortasi untuk memilih benih yang baik. Kemudian dicampur dengan

Ridomil 3G dengan dosis 5 g/kg benih untuk mencegah penyakit bulai. Jumlah benih perlubang 2 - 3 biji, ditanaman sedalam 3 - 5 cm dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm.

3. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan penyiraman, penyiangan gulma pada umur 2 – 3 minggu

bersamaan dengan penjarangan tanaman, penyulaman, pemupukan lanjutan pada umur 2 – 5 minggu dengan dosis ½ bagian sisa urea, TSP dan KCl. Selanjutnya dilajutkan dengan pembumbunan dan penyiangan gulma lanjutan.

4. Perbanyakan virus Ha-NPV Lihat Skema pada Transparansi ! 5. Pembuatan suspensi/larutan Ha-NPV

6. Perlakuan bioinsektisida virus Ha-NPV Setiap konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV terlebih dahulu dibuatkan larutan semprot sesuai

dengan kebutuhan dan di tambahkan bahan perekat dan perata (agristik) 0,25 ml/l. Setelah itu dimasukan ke dalam tangki sprayer dan siap untuk digunakan. Aplikasi perlakuan bioinsektisida dimulai pada waktu setelah di temukan hama sasaran yaitu pada saat tanaman memasuki fase generatif yaitu umur tanaman memasuki 45 - 55 hari dengan interval waktu aplikasi sekali/minggu.

Variabel Pengamatan

a. Populasi larva H. armigera Populasi larva diamati sehari setelah aplikasi bioinsektisida virus Ha-NPV. Dihitung jumlah larva H. armigera Hubn. per 50 tanaman per petak.

b. Persentase kerusakan tongkol jagung Persentase kerusakan tongkol jagung dihitung dengan rumus:

P = %100xnN

Keterangan: P = Kerusakan tongkol jagung per 50 tanaman (%) N = Jumlah tongkol jagung yang terserang H. armigera n = Jumlah tongkol/tanaman jagung yang diamati.

c. Berat Tongkol per tanaman (g) dan Produksi Tongkol per hektar (ton) Diamati saat panen muda (bentuk tongkol segar), yaitu pada umur tanaman sekitar 75 – 80 hari. Caranya dengan menimbang setiap tongkol segar (g) pada 50 tanaman sampel lalu dirata-ratakan. Selanjutnya data yang diperoleh dikonversikan ke produksi tongkol per hektar (ton) dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan : a = ukuran luas petak (m2) b = produksi per petak (kg).

Page 3: Jurnal penelitian yusnawan

Produksi (ton/ha) = )(1000

)2(000.10kg

bxa

m

Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis dengan Analisis Varians (Anova) atau uji F (Fisher), dan bila terdapat pengaruh akibat perlakuan bioinsektisida virus Ha-NPV maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (UJGD) taraf 5 % untuk melihat perbedaan diantara perlakuan-perlakuan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Populasi Larva Helicoverpa armigera Hubn. Hasil pengamatan populasi larva H. armigera pada umur tanaman 56 Hst, 63 Hst dan 70 Hst

disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 1a, 2a dan 3a. Sedangkan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 1d (hasil transformasi), 2b dan 3b. Rata-rata populasi larva H. armigera pada setiap periode pengamatan disajikan pada Tabel 1.

Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV terhadap populasi larva H. armigera pada umur tanaman 56 Hst, 63 Hst dan 70 Hst berpengaruh sangat nyata.

Tabel 1. Rata-rata Populasi Larva H. armigera Pada Tanaman Jagung Manis Umur 56, 63 dan 70 Hari Setelah Tanam (Hst).

Perlakuan Populasi Larva H. armigera (ekor/50 tanaman) 56 Hst 63 Hst 70 Hst

V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

5.25 (2.39) b 5.25 (2.38) b 3.50 (1.98) b 1.75 (1.44) a 1.00 (1.18) a

15.75 c 14.75 c 10.00 b 5.50 a 3.25 a

11.75 d 10.75 d 7.50 c 4.25 b 2.00 a

KK (%) 14.47 15.59 19.47 Keterangan: 1)Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada

taraf 5 % uji jarak berganda Duncan 2)Angka dalam kurung hasil transformasi dari 3)Hst = Hari setelah tanam

Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 1) pada pengamatan 56 Hst, me-nunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) dengan rata-rata populasi larva H. armigera 5.25 ekor berbeda nyata dengan perlakuan V3 (1.75 ekor) dan V4 (1.00 ekor) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan V1 (5.25 ekor) dan V2 (3.50 ekor). Perlakuan V3 (1.75 ekor) tidak berbeda nyata dengan perlakuan V4 (1.00 ekor) tetapi berbeda nyata dengan perlakuan V1 (5.25 ekor) dan V2 (3.50 ekor). Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera terendah yakni 1.00 ekor namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (2.5 ml/l), sedangkan perlakuan V0 (kontrol) dan V1 (0.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera tertinggi yakni 5.25 ekor.

Pengamatan 63 Hst menunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera tertinggi yakni 15.75 ekor dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV kecuali perlakuan V1 (14.75 ekor). Perlakuan V2 (10.00 ekor) berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan. Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera terendah yakni 3.25 ekor dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (5.5 ekor).

Selanjutnya pada pengamatan 70 Hst menunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera tertinggi yakni 11.75 ekor dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV kecuali perlakuan V1 (10.75 ekor). Perlakuan V2 (7.50 ekor), V3 (4.25 ekor) dan V4 (2.00 ekor) masing-masing berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan. Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera terendah yakni 2.00 ekor dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Berdasarkan rata-rata pengamatan populasi larva H. armigera pada Tabel 1 tampak bahwa dari semua perlakuan dan waktu pengamatan, maka perlakuan yang cenderung lebih efektif adalah perlakuan pada konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2.5 ml/l (V3).

2. Kerusakan Tongkol Jagung Hasil pengamatan persentase kerusakan tongkol jagung manis pada umur tanaman 56 Hst, 63 Hst

dan 70 Hst disajikan masing-masing pada Tabel Lampiran 4a, 5a dan 6a. Sedangkan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 4d (hasil transformasi), 5b dan 6b. Rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis pada setiap periode pengamatan disajikan pada Tabel 2.

5.0+x

Page 4: Jurnal penelitian yusnawan

Sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kerusakan tongkol jagung manis pada umur tanaman 56 Hst, 63 Hst dan 70 Hst.

Tabel 2. Rata-rata Persentase Kerusakan Tongkol Pada Tanaman Jagung Manis Umur 56, 63 dan 70 Hari Setelah Tanam (Hst).

Perlakuan Kerusakan Tongkol per 50 tanaman (%) 56 Hst 63 Hst 70 Hst

V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

17.00 (4.17) c 16.50 (4.10) c 11.50 (3.46) c 6.50 (2.54) b 3.00 (1.74) a

38.50 c 35.50 c 23.00 b 16.50 a 12.50 a

29.00 c 23.50 c 16.00 b 8.50 a 4.00 a

KK (%) 15.96 16.33 22.29 Keterangan : 1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf 5 % uji jarak berganda Duncan 2) Angka dalam kurung hasil transformasi dari 3) Hst = Hari setelah tanam

Hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 2) pada pengamatan umur tanaman 56 Hst, menunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) dengan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung 17.00 % berbeda nyata dengan perlakuan V3 (6.50 %) dan V4 (3.00 %) tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan V1 (16.50 %) dan V2 (11.50 %). Perlakuan V3 (6.50 %) dan V4 (3.00 %) masing-masing berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan. Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung terendah sebesar 3.00 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Pengamatan 63 Hst menunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) mem-perlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung tertinggi yakni 38.50 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV kecuali perlakuan V1 (35.50 %). Perlakuan V2 (23.00 %) berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan. Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung terendah sebesar 12.50 % dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (16.50 %).

Pada pengamatan 70 Hst menunjukkan bahwa perlakuan V0 (kontrol) memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis tertinggi sebesar 29.00 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan kecuali perlakuan V1 (23.50 %). Perlakuan V2 dengan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung sebesar 16.00 % berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan. Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung terendah sebesar 4.00 % tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (8.50 %). Dari semua perlakuan berbagai konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan dan waktu pengamatan terhadap rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis terlihat bahwa perlakuan yang cenderung lebih efektif adalah perlakuan V3 dengan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2.50 ml/l.

3. Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis Saat Panen Muda. Hasil pengamatan berat tongkol jagung manis per tanaman (g) dan produksi tongkol per hektar (ton)

saat panen muda (tongkol segar) disajikan pada Tabel Lampiran 7a dan 8a, sedangkan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 7b dan 8b. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap berat tongkol (g) dan produksi tongkol jagung manis (ton/ha) saat panen muda. Rata-rata berat dan produksi tongkol jagung manis saat panen muda (tongkol segar) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis Saat Panen Muda Pada Berbagai Perlakuan Konsentrasi Bioinsektisida Virus Ha-NPV.

Perlakuan Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis

Berat tongkol/tanaman (g) Produksi tongkol (ton/ha) V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

175.66 a 185.77 ab 202.73 b 227.88 c 247.04 c

4.68 a 4.96 ab 5.41 b 6.08 c 6.59 c

KK (%) 7.40 7.38 Keterangan : 1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf 5 % uji jarak berganda Duncan.

Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata berat tongkol jagung segar tertinggi sebesar 247.04 g dan berbeda nyata dengan

5.0+x

Page 5: Jurnal penelitian yusnawan

semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan kecuali perlakuan V3 (2.5 ml/l) dengan rata-rata berat tongkol jagung 227.88 g. Perlakuan V2 (202.73 g) berbeda nyata dengan semua perlakuan kecuali perlakuan V1 (185.77 g). Perlakuan V0 (kontrol) memberikan rata-rata berat tongkol jagung manis terendah yakni sebesar 175.66 g dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan V1 (185.77 g).

Hasil yang sama juga diperoleh pada pengamatan produksi tongkol segar per hektar (ton), yang menunjukkan bahwa perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata produksi tongkol jagung tertinggi yaitu 6.59 ton/ha dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan kecuali perlakuan V3 (2.5 ml/l) dengan rata-rata produksi tongkol jagung 6.08 ton/ha. Sedangkan perlakuan V0 (kontrol) memberikan rata-rata produksi tongkol jagung manis terendah sebesar 4.68 ton/ha dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya kecuali perlakuan V1 (0.5 ml/l) dengan rata-rata produksinya sebesar 4.96 ton/ha.

Dari hasil yang diperoleh terhadap berat tongkol segar per tanaman (g) dan produksi tongkol (ton/ha), menunjukkan bahwa perlakuan V3 (konsentrasi 2.5 ml/l) cenderung lebih efektif dari semua perlakuan berbagai taraf konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Untuk melihat hubungan antara persentase kerusakan tongkol jagung manis dengan produksi tongkol segar (ton/ha) secara sederhana disajikan pada Gambar 2 berikut ini.

Pada Gambar 2 tersebut terlihat bahwa penurunan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis yang terserang larva H. armigera akan mengakibat-kan terjadinya peningkatan produksi tongkol jagung segar (ton/ha), hal ini sejalan dengan adanya peningkatan konsentrasi aplikasi bioinsektisida virus Ha-NPV pada setiap perlakuan yang dicobakan.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan berbagai taraf konsentrasi bioinsektisida yang berbahan aktif virus Ha-NPV memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap populasi larva Helicoverpa armigera Hubn., persentase kerusakan tongkol jagung, berat tongkol per tanaman (g) dan produksi tongkol segar (ton/ha).

Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % pada Tabel 1, menunjukkan bahwa keempat perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yaitu V1 (0.5 ml/l), V2 (1.5 ml/l), V3 (2.5 ml/l), dan V4 (3.5 ml/l) memiliki tingkat kemanjuran yang bervariasi terhadap jumlah populasi larva H. armigera. Namun demikian setiap perlakuan memi-liki tingkat penekanan atau pengaruh yang berbeda-beda pada setiap pada setiap periode pengamatan. Perlakuan bioinsektisida virus Ha-NPV dengan konsentrasi 2.5 ml/l (V3) cenderung memberikan hasil yang lebih efektif pada periode pengamatan 56 Hst dan 63 Hst dengan penekanan rata-rata populasi larva H. armigera berturut-turut dari 5.25 ekor (kontrol) menjadi 1.75 ekor, dan 15.75 ekor (kontrol) menjadi 5.50 ekor. Sedangkan pengamatan pada umur tanaman 70 Hst menunjukkan bahwa konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 3.5 ml/l (perlakuan V4) cenderung lebih efektif dibandingkan perlakuan V3 (konsentrasi 2.5 ml/l) dan dapat menekan populasi larva H. armigera dari 11.75 ekor (kontrol) menjadi 2.00 ekor.

Penurunan populasi larva H. armigera diakibatkan oleh infeksi dari patogen virus Ha-NPV dan mengakibatkan kematian. Ha-NPV merupakan racun perut, maka penularannya yang paling efektif adalah melalui mulut atau saluran pencernaan. Ketika larva-larva itu memakan daun dan kelobot/tongkol jagung atau bagian lain dari tanaman jagung yang telah disemprot larutan bioinsektisida virus Ha-NPV, maka ikut pula termakan sejumlah PIBs (Polyhedrosis Inclusion Bodies) dari Ha-NPV yang melekat pada bagian tanaman tersebut. Santoso (1990) menjelaskan bahwa setelah PIBs dari Ha-NPV tertelan maka PIBs akan terurai oleh kondisi alkali dan kandungan karbonat perut larva di dalam saluran pencernaan. Virion yang terlepas dari PIBs mula-mula menembus peritrofik, mikrofili kemudian memisahkan sel-sel kolumnar dan goblet sehingga epitel robek dan akhirnya merusak seluruh jaringan usus. Oleh Sutarya (1995) dijelaskan bahwa di dalam tubuh larva, virus Ha-NPV akan mengalami proses biologi dengan memperbanyak diri di dalam jaringan saluran pencernaan yang akan mengakibatkan cairan hemolimfa yang asalnya jernih akan menjadi keruh sehingga sel-sel larva akan menjadi lisis. Lebih lanjut dijelaskan Santoso (1990) bahwa setelah virion menginfeksi sel-sel hemolimfa di dalam haemocoel, sasaran selanjutnya adalah sel-sel yang

Gambar 2. Kerusakan Tongkol Jagung Akibat Serangan Larva H. armigera dan Hubungannya dengan Produksi Tongkol Jagung Segar per Hektar yang Dihasilkan

Page 6: Jurnal penelitian yusnawan

peka terutama inti sel (nukleus), virion dari PIBs berkembang dengan cepat sampai polihedral memenuhi seluruh jaringan/sel dari tubuh larva sehingga seluruh jaringan mengalami kerusakan, akhirnya mengakibatkan kematian.

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa konsentrasi virus Ha-NPV yang makin tinggi ada hubungannya dengan makin tingginya tingkat kematian larva H. armigera yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya populasi larva H. armigera pada semua periode pengamatan, seperti tampak pada Tabel 1. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sutarya (1995) bahwa aplikasi virus Ha-NPV yang semakin tinggi konsentrasinya akan mengakibatkan makin banyaknya polihedral virus yang tertelan dan akan makin banyak jaringan larva yang terinfeksi virus sehingga akan mempercepat kematian larva, sebaliknya pada konsentrasi virus yang rendah akan memperpanjang periode laten bagi virus di dalam tubuh serangga.

Hasil pengamatan secara visual di lapangan menunjukkan bahwa larva H. armigera yang terinfeksi virus Ha-NPV menunjukkan gejala seperti larva kelihatan pucat, permukaan tubuh mengkilat dan kurang agresif. Sutarya (1995) mengemuka-kan bahwa larva yang terinfeksi Ha-NPV menunjukkan gejala yaitu gerakan larva menjadi lambat, permukaan kulit mengkilat, sedikit membengkak dan berwarna keabu-abuan. Larva yang bergejala tersebut apabila disentuh malas bergerak dan akhirnya larva akan mati. Kulit larva yang terinfeksi virus akan menjadi sangat rapuh sehingga tubuh larva akan mudah pecahj bila disentuh. Dari kulit tubuh yangh pecah tersebut akan keluar cairan kental berwarna kecoklatan.

Pemberian bioinsektisida virus Ha-NPV pada berbagai taraf konsentrasi yang dicobakan juga dapat menekan persentase kerusakan tongkol jagung manis. Berdasarkan hasil pengamatan pada umur 56 Hst, 63 Hst dan 70 Hst menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kerusakan tongkol jagung manis. Bioinsektisida virus Ha-NPV dengan konsentrasi 2.5 ml/l (perlakuan V3) cenderung memberikan hasil yang lebih baik terutama pada periode pengamatan 63 Hst dan 70 Hst dengan penekanan rata-rata kerusakan tongkol jagung masing-masing dari 38.50 % (kontrol) menjadi 16.50 % pada pengamatan 63 Hst, dan 29.00 % (kontrol) menjadi 8.50 % pada pengamatan 70 Hst. Sedangkan pengamatan pada umur 56 Hst menunjukkan bahwa konsentrasi virus Ha-NPV 3.5 ml/l (perlakuan V4) cenderung lebih efektif dibandingkan perlakuan V3 (konsentrasi 2.5 ml/l) dengan penekanan kerusakan tongkol jagung manis dari 17.00 % (kontrol) menjadi 3.00 %.

Berdasarkan hasil yang diperoleh terdapat kecenderungan bahwa kerusakan buah/tongkol pada tanaman jagung manis selama periode pengamatan berfluktuasi mengikuti perkembangan kepadatan populasi larva H. armigera (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya tingkat kerusakan tongkol jagung tergantung pada tingkat populasi larva H. armigera, dimana bila populasi larva meningkat cenderung menimbulkan peningkatan kerusakan tongkol jagung. Hasil penelitian lain (Setiawati, dkk., 2000) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara populasi H. armigera dengan kerusakan buah tomat. Semakin tinggi populasi H. armigera maka semakin tinggi kerusakan yang diakibatkan. Selanjutnya dilaporkan bahwa bila terdapat satu ekor larva H. armigera per tanaman tomat kerusakan buah dapat mencapai 6.08 %, dan tiga ekor larva mengakibatkan kerusakan buah 22.04 %.

Pada pengamatan 63 Hst memperlihatkan tingkat kerusakan tongkol jagung tertinggi dibandingkan dengan periode pengamatan lainnya. Hal ini diduga karena pada umur 63 Hst ketersediaan makanan atau nutrisi bagi larva H. armigera yaitu tongkol jagung muda dalam keadaan optimal yang mempunyai kandungan protein dan nilai gizi yang tinggi serta aroma yang khas sehingga rangsangan larva untuk memakan atau menggerek tongkol jagung cukup besar.

Berdasarkan hasil pengamatan berat tongkol jagung manis per tanaman (g) dan produksi tongkol per hektar (ton) saat panen muda (tongkol segar) memperlihatkan bahwa perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap berat dan produksi tongkol segar per hektar. Hasil uji Duncan taraf 5 % pada Tabel 3 menunjukkan bahwa baik berat tongkol dan produksinya per hektar yang tertinggi dicapai pada perlakuan konsentrasi 3.5 ml/l (V4) yaitu masing-masing sebesar 247.04 g/tanaman dan 6.59 ton/ha tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsen-trasi 2.5 ml/l (V3) dengan berat tongkol dan produksinya masing-masing sebesar 227.88 g/tanaman dan 6.08 ton/ha., sehingga konsentrasi virus Ha-NPV 2.5 ml/l (perlakuan V3) cenderung lebih efektif dengan peningkatan berat tongkol dan produksinya berturut-turut sebesar 29.75 % (yaitu dari 175.66 g menjadi 227.88 g) dan 30.00 % (yaitu dari 4.68 ton menjadi 6.08 ton). Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supriayatin (1996) bahwa insektisida biologis berbahan aktif NPV dan Bacillus thuringiensis cukup efektif mengendalikan hama penggerek tongkol jagung H. armigera, karena dapat menurunkan populasi larva dan meningkatkan hasil sebesar 25 – 30 %.

Berdasarkan diagram batang pada Gambar 2, menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan produksi tongkol jagung (ton/ha) yang dihasilkan sejalan dengan peningkatan konsentrasi virus Ha-NPV yang diberikan (dari 0.5 ml/l sampai 3.5 ml/l) yang menyebabkan penurunan tingkat kerusakan tongkol jagung, dimana pada konsentrasi 3.5 ml/l menghasilkan rata-rata tingkat kerusakan tongkol terendah (6.50 %) dengan produksi tongkol segar sebesar 6.59 ton/ha.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan konsentrasi virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap populasi larva H. armigera, tingkat kerusakan tongkol jagung, berat tongkol per tanaman (g) dan produksi tongkol (ton/ha) yang dihasilkan. Makin tinggi konsentrasi virus Ha-NPV yang digunakan, maka populasi larva H. armigera dan tingkat kerusakan tongkol semakin berkurang, berat tongkol (g) dan produksi tongkol (ton/ha) yang dihasilkan akan meningkat.

Page 7: Jurnal penelitian yusnawan

2. Perlakuan virus Ha-NPV pada konsentrasi 2.5 ml/l merupakan perlakuan yang cukup efektif dan efisien dalam menekan populasi larva H. armigera dan tingkat kerusakan tongkol jagung serta meningkatkan berat tongkol dan produksi tongkol segar berturut-turut sebesar 29.75 % dan 30.00 %.

Saran

Dalam upaya untuk mengurangi serangan ulat tongkol H. armigera pada tanaman jagung dengan menggunakan bioinsektisida virus Ha-NPV, maka konsen-trasi yang efektif digunakan (sesuai hasil penelitian ini) adalah 2.5 ml/l.

DAFTAR PUSTAKA

BPS., 2000. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. BPS, Jakarta.

Distan Sulteng 1997, Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sulteng, Palu Sulteng.

Indrayani, I.G.A.A., Subiyakto dan A.A A. Gothama, 1994. Prospek Penggunaan Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV) Untuk Pengendalian Ulat Buah Helicoverpa armigera dan Ulat Grayak Spodoptera litura. Dalam Jurnal Litbang Pertanian XIII (4), Jakarta.

Santoso, T., 1990. Penggunaan NPV S. litura dan Bacillus thuringiensis Berl. Untuk Pengendalian Hama Perusak Daun Kedelai. Balittan Bogor.

Setiawati, W.A. Somantri, dan A.S. Duriat, 2000. Pengaruh Kepadatan Populasi dan Waktu Infestasi H. armighera Hubn. Terhadap Kehilangan Hasil Buah Tomat dan Upaya Pengendaliannya. Jurnal Hortikultura, Lembang-Bandung.

Subandi, I.G. Ismail, Hermanto, 1998. Jagung, Teknologi Produksi dan Pasca Panen. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. 57 p.

Supriayatin, 1996. Pengendalian Hama Palawija Secara Biologis. Dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor 23 – 25 Agustus 1993. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. p 26-31

Sutarya, R., 1995. Pengaruh Konsentrasi Nuclear Polyhedrosis Virus Terhadap Kematian Ulat Buah Tomat Helicoverpa armigera Hbn. Jurnal Hortikultura 5(3):34-39, Lembang-Bandung.

Syiah, N., 1999. Pengaruh Pemberian Mulsa Jerami dan Pupuk Posfor Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis Zea mays saccharata Pada Tanah Alluvial. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian Faperta Untad, Palu.

Page 8: Jurnal penelitian yusnawan

Judul Penelitian Pengaruh Aplikasi Bioinsentiksida Virus Ha-NPV Terhadap Hama Penggerek

Tongkol Helicoverpa armigera Hubn. Pada Tanaman Jagung Manis

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini Semakin Populer & Banyak dikonsumsi Rakyat

Tan. Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.)

Produksinya berupa tongkol segar

Dikonsumsi Dalam Bentuk : - Jagung rebusan - Jagung bakar - Sayuran - Bahan kue, dll.

Produksinya di Indonesia 2.89 ton tongkol segar/ha

Lebih rendah dibanding Australia ( 7-10 ton tongkol segar/ha )

Penyebabnya antara lain : Adanya Serangan Hama & Penyakit

Salah satu hama utama

Hama Penggerek Tongkol Helicoverpa armigera Hbn.

Upaya Pengendalian untuk mengurangi serangannya

Insektisida Kimia/Sintetik

Ada efek samping terhdp ekosistem & manusia

Alternatif lain yg ramah lingkungan

Bioinsektisida al. : Virus Ha-NPV

Keunggulannya, al : - spesifik terhadap inang

- persisten di lapangan untuk generasi hama berikutnya

- aman bagi musuh alami & Mamalia - di alam tidak meninggalkan residu

Oleh karena itu perlu diteliti pengaruh berbagai taraf Konsentrasi terhdp Hama Helicoverpa armigera

Page 9: Jurnal penelitian yusnawan

Tujuan Untuk mengetahui pengaruh aplikasi virus Ha-NPV pada berbagai taraf konsentrasi

terhadap populasi larva H. armigera Hubn., persentase kerusakan tongkol, berat dan produksi tongkol jagung segar.

Hipotesis Aplikasi virus Ha-NPV pada hama penggerek tongkol H. armigera dengan konsentrasi

yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap populasi larva H. armigera, persentase kerusakan tongkol, berat tongkol

dan produksi tongkol jagung segar.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Bahan dan Alat

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 (lima)

perlakuan dan 4 (empat) ulangan, sehingga diperoleh 20 unit percobaan. Adapun yang menjadi perlakuan adalah :

V0 = Tanpa bioinsektisida virus Ha-NPV (kontrol). V1 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 0,5 ml/l. V2 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 1,5 ml/l. V3 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2,5 ml/l. V4 = Konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 3,5 ml/l.

Pelaksanaan Penelitian 1. Pengolahan Tanah dan Pembuatan Bedengan 2. Penanaman Benih Jagung 3. Pemeliharaan Tanaman

4. Perbanyakan virus Ha-NPV Lihat Skema pada Transparansi ! 5. Pembuatan suspensi/larutan Ha-NPV

6. Perlakuan bioinsektisida

Variabel Pengamatan a. Populasi larva H. armigera per 50 tanaman per petak b. Persentase kerusakan tongkol jagung

P = %100xnN

c. Berat Tongkol per tanaman (g) dan Produksi Tongkol per hektar (ton) Diamati saat panen muda (bentuk tongkol segar), yaitu umur 75 – 80 hari. Caranya dengan menimbang setiap tongkol segar (± 40 % tongkol pada 50 tanaman sampel) lalu dirata-ratakan. Selanjutnya data yang diperoleh dikonversikan ke produksi per hektar, dengan rumus :

Lihat Bahan Seminar !

LIHAT BAHAN SEMINAR !

P = Kerusakan tongkol jagung per 50 tanaman (%) N = Jumlah tongkol jagung yang terserang H. armigera n = Jumlah tongkol/tanaman jagung yang diamati

Page 10: Jurnal penelitian yusnawan

Produksi (ton/ha) = )(1000

)2(000.10kg

bxa

m

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil 1. Populasi Larva Helicoverpa armigera Hubn.

Tabel 1. Rata-rata Populasi Larva H. armigera Pada Tanaman Jagung Manis Umur 56, 63 dan 70 Hari Setelah Tanam (Hst).

Perlakuan Populasi Larva H. armigera (ekor/50 tanaman) 56 Hst 63 Hst 70 Hst

V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

5.25 (2.39) b 5.25 (2.38) b 3.50 (1.98) b 1.75 (1.44) a 1.00 (1.18) a

15.75 c 14.75 c 10.00 b 5.50 a 3.25 a

11.75 d 10.75 d 7.50 c 4.25 b 2.00 a

KK (%) 14.47 15.59 19.47 Keterangan: 1)Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji jarak berganda Duncan 2)Angka dalam kurung hasil transformasi dari 3)Hst = Hari setelah tanam

Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 1) pada pengamatan 56 Hst dan 63 Hst menunjukkan bahwa perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera terendah tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (2.5 ml/l).

Pengamatan 70 Hst menunjukkan bahwa perlakuan perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata populasi larva H. armigera terendah yakni 2.00 ekor dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Berdasarkan rata-rata pengamatan populasi larva H. armigera pada Tabel 1 tampak bahwa dari semua perlakuan dan waktu pengamatan, maka perlakuan yang cenderung lebih efektif adalah perlakuan pada konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2.5 ml/l (V3). 2. Kerusakan Tongkol Jagung

Tabel 2. Rata-rata Persentase Kerusakan Tongkol Pada Tanaman Jagung Manis Umur 56, 63 dan 70 Hari Setelah Tanam (Hst).

Perlakuan Kerusakan Tongkol per 50 tanaman (%) 56 Hst 63 Hst 70 Hst

V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

17.00 (4.17) c16.50 (4.10) c11.50 (3.46) c6.50 (2.54) b3.00 (1.74) a

38.50 c 35.50 c 23.00 b 16.50 a 12.50 a

29.00 c 23.50 c 16.00 b 8.50 a 4.00 a

KK (%) 15.96 16.33 22.29 Keterangan : 1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji jarak berganda Duncan 2) Angka dalam kurung hasil transformasi dari 3) Hst = Hari setelah tanam

Hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 2) pada pengamatan umur tanaman 56 Hst, menunjukkan bahwa Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata persentase

Keterangan : a = ukuran luas petak (m2) b = produksi per petak (kg).

5.0+x

5.0+x

Page 11: Jurnal penelitian yusnawan

kerusakan tongkol jagung terendah sebesar 3.00 % dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Pengamatan 63 Hst dan 70 Hst menunjukkan bahwa perlakuan Perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung terendah tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan V3 (2.5 ml/l).

Dari semua perlakuan berbagai konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan dan waktu pengamatan terhadap rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis terlihat bahwa perlakuan yang cenderung lebih efektif adalah perlakuan V3 dengan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 2.50 ml/l. 3. Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis Saat Panen Muda.

Tabel 3. Rata-rata Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis Saat Panen Muda Pada Berbagai Perlakuan Konsentrasi Bioinsektisida Virus Ha-NPV.

Perlakuan Berat dan Produksi Tongkol Jagung Manis Berat tongkol/tanaman (g) Produksi tongkol (ton/ha)

V0 (Kontrol) V1 (0.5 ml/l) V2 (1.5 ml/l) V3 (2.5 ml/l) V4 (3.5 ml/l)

175.66 a 185.77 ab 202.73 b 227.88 c 247.04 c

4.68 a 4.96 ab 5.41 b 6.08 c 6.59 c

KK (%) 7.40 7.38 Keterangan : 1) Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf 5 % uji jarak berganda Duncan. Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan

V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata berat tongkol jagung tertinggi sebesar 247.04 g dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi virus Ha-NPV yang dicobakan kecuali perlakuan V3 (2.5 ml/l) dengan rata-rata berat tongkol jagung 227.88 g.

Hasil yang sama juga diperoleh pada pengamatan produksi tongkol segar per hektar (ton), dimana perlakuan V4 (3.5 ml/l) memperlihatkan rata-rata produksi tongkol jagung tertinggi yaitu 6.59 ton/ha dan berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi virus Ha-NPV yang dicobakan kecuali V3 (2.5 ml/l) dengan rata-rata produksi tongkol jagung 6.08 ton/ha.

Dari hasil yang diperoleh terhadap berat tongkol segar (g) dan produksi tongkol (ton/ha), menunjukkan bahwa perlakuan V3 (2.5 ml/l) cenderung lebih efektif dari semua perlakuan konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV yang dicobakan.

Untuk melihat hubungan antara persentase kerusakan tongkol jagung manis dengan produksi tongkol segar (ton/ha) secara sederhana disajikan pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 tersebut terlihat bahwa penurunan rata-rata persentase kerusakan tongkol jagung manis yang terserang larva H. armigera akan mengakibat-kan terjadinya peningkatan produksi tongkol jagung segar (ton/ha), hal ini sejalan dengan adanya peningkatan konsentrasi aplikasi bioinsektisida virus Ha-NPV pada setiap perlakuan yang dicobakan.

Page 12: Jurnal penelitian yusnawan

Pembahasan

Berdasarkan hasil uji Duncan taraf 5 % pada Tabel 1, menunjukkan bahwa perlakuan bioinsektisida virus Ha-NPV dengan konsentrasi 2.5 ml/l (V3) cenderung memberikan hasil yang lebih efektif pada periode pengamatan 56 Hst dan 63 Hst dengan penekanan rata-rata populasi larva H. armigera berturut-turut dari 5.25 ekor (kontrol) menjadi 1.75 ekor, dan 15.75 ekor (kontrol) menjadi 5.50 ekor. Sedangkan pengamatan pada umur tanaman 70 Hst menunjukkan bahwa konsentrasi bioinsektisida virus Ha-NPV 3.5 ml/l (perlakuan V4) cenderung lebih efektif dibandingkan perlakuan V3 (konsentrasi 2.5 ml/l) dan dapat menekan populasi larva H. armigera dari 11.75 ekor (kontrol) menjadi 2.00 ekor.

Penurunan populasi larva H. armigera diakibatkan oleh infeksi dari patogen virus Ha-NPV dan mengakibatkan kematian. Ha-NPV merupakan racun perut, maka penularannya yang paling efektif adalah melalui mulut atau saluran pencernaan. Ketika larva-larva itu memakan daun dan kelobot/tongkol jagung atau bagian lain dari tanaman jagung yang telah disemprot larutan bioinsektisida virus Ha-NPV, maka ikut pula termakan sejumlah PIBs (Polyhedrosis Inclusion Bodies) dari Ha-NPV yang melekat pada bagian tanaman tersebut. Santoso (1990) menjelaskan bahwa setelah PIBs dari Ha-NPV tertelan maka PIBs akan terurai oleh kondisi alkali dan kandungan karbonat perut larva di dalam saluran pencernaan. Virion yang terlepas dari PIBs mula-mula menembus peritrofik, mikrofili kemudian memisahkan sel-sel kolumnar dan goblet sehingga epitel robek dan akhirnya merusak seluruh jaringan usus. Oleh Sutarya (1995) dijelaskan bahwa di dalam tubuh larva, virus Ha-NPV akan mengalami proses biologi dengan memperbanyak diri di dalam jaringan saluran pencernaan yang akan mengakibatkan cairan hemolimfa yang asalnya jernih akan menjadi keruh sehingga sel-sel larva akan menjadi lisis. Lebih lanjut dijelaskan Santoso (1990) bahwa setelah virion menginfeksi sel-sel hemolimfa di dalam haemocoel, sasaran selanjutnya adalah sel-sel yang peka terutama inti sel (nukleus), virion dari PIBs berkembang dengan cepat sampai polihedral memenuhi seluruh jaringan/sel dari tubuh larva sehingga seluruh jaringan mengalami kerusakan, akhirnya mengakibatkan kematian.

Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa konsentrasi virus Ha-NPV yang makin tinggi ada hubungannya dengan makin tingginya tingkat kematian larva H. armigera yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya populasi larva H. armigera pada semua periode pengamatan, seperti tampak pada Tabel 1. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sutarya (1995) bahwa aplikasi virus Ha-NPV yang semakin tinggi konsentrasinya akan mengakibatkan makin banyaknya polihedral virus yang tertelan dan akan makin banyak jaringan larva yang terinfeksi virus sehingga akan mempercepat kematian larva, sebaliknya pada konsentrasi virus yang rendah akan memperpanjang periode laten bagi virus di dalam tubuh serangga.

Pemberian bioinsektisida virus Ha-NPV pada berbagai taraf konsentrasi yang dicobakan juga dapat menekan persentase kerusakan tongkol jagung manis. Bioinsektisida virus Ha-NPV dengan konsentrasi 2.5 ml/l (perlakuan V3) cenderung memberikan hasil yang lebih baik terutama pada periode pengamatan 63 Hst dan 70 Hst dengan penekanan rata-rata kerusakan tongkol jagung masing-masing dari 38.50 % (kontrol) menjadi 16.50 % pada pengamatan 63 Hst, dan 29.00 % (kontrol) menjadi 8.50 % pada pengamatan 70 Hst. Sedangkan pengamatan pada umur 56

Page 13: Jurnal penelitian yusnawan

Hst menunjukkan bahwa konsentrasi virus Ha-NPV 3.5 ml/l (perlakuan V4) cenderung lebih efektif dibandingkan perlakuan V3 (2.5 ml/l) dengan penekanan kerusakan tongkol jagung manis dari 17.00 % (kontrol) menjadi 3.00 %.

Berdasarkan hasil yang diperoleh terdapat kecenderungan bahwa kerusakan buah/tongkol pada tanaman jagung manis selama periode pengamatan berfluktuasi mengikuti perkembangan kepadatan populasi larva H. armigera (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa besarnya tingkat kerusakan tongkol jagung tergantung pada tingkat populasi larva H. armigera, dimana bila populasi larva meningkat cenderung menimbulkan peningkatan kerusakan tongkol jagung. Hasil penelitian lain (Setiawati, dkk., 2000) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara populasi H. armigera dengan kerusakan buah tomat. Semakin tinggi populasi H. armigera maka semakin tinggi kerusakan yang diakibatkan. Selanjutnya, bila terdapat satu ekor larva H. armigera per tanaman tomat kerusakan buah dapat mencapai 6.08 %, dan tiga ekor larva mengakibatkan kerusakan buah 22.04 %.

Pada pengamatan 63 Hst memperlihatkan tingkat kerusakan tongkol jagung tertinggi dibandingkan dengan periode pengamatan lainnya. Hal ini diduga karena pada umur 63 Hst ketersediaan makanan atau nutrisi bagi larva H. armigera yaitu tongkol jagung muda dalam keadaan optimal yang mempunyai kandungan protein dan nilai gizi yang tinggi serta aroma yang khas sehingga rangsangan larva untuk memakan atau menggerek tongkol jagung cukup besar.

Berdasarkan hasil pengamatan berat tongkol jagung manis per tanaman (g) dan produksi tongkol per hektar (ton) saat panen muda (tongkol segar) pada Tabel 3 menunjukkan bahwa baik berat tongkol dan produksinya per hektar yang tertinggi dicapai pada perlakuan konsentrasi 3.5 ml/l (V4) yaitu masing-masing sebesar 247.04 g/tanaman dan 6.59 ton/ha tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsen-trasi 2.5 ml/l (V3) dengan berat tongkol dan produksinya masing-masing sebesar 227.88 g/tanaman dan 6.08 ton/ha., sehingga konsentrasi virus Ha-NPV 2.5 ml/l (perlakuan V3) cenderung lebih efektif dengan peningkatan berat tongkol dan produksinya berturut-turut sebesar 29.75 % (yaitu dari 175.66 g menjadi 227.88 g) dan 30.00 % (yaitu dari 4.68 ton menjadi 6.08 ton). Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Supriayatin (1996) bahwa insektisida biologis berbahan aktif NPV dan Bacillus thuringiensis cukup efektif mengendalikan hama penggerek tongkol jagung H. armigera, karena dapat menurunkan populasi larva dan meningkatkan hasil sebesar 25 – 30 %.

Berdasarkan diagram batang pada Gambar 2, menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan produksi tongkol jagung (ton/ha) yang dihasilkan sejalan dengan peningkatan konsentrasi virus Ha-NPV yang diberikan (dari 0.5 ml/l sampai 3.5 ml/l) yang menyebabkan penurunan tingkat kerusakan tongkol jagung, dimana pada konsentrasi 3.5 ml/l menghasilkan rata-rata tingkat kerusakan tongkol terendah (6.50 %) dengan produksi tongkol segar sebesar 6.59 ton/ha.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Perlakuan konsentrasi virus Ha-NPV berpengaruh sangat nyata terhadap populasi larva H. armigera, tingkat kerusakan tongkol jagung, berat tongkol per tanaman (g) dan produksi tongkol (ton/ha) yang dihasilkan. Makin tinggi konsentrasi virus Ha-NPV yang digunakan, maka populasi larva H. armigera dan tingkat kerusakan tongkol semakin berkurang, berat tongkol (g) dan produksi tongkol (ton/ha) yang dihasilkan akan meningkat.

2. Perlakuan virus Ha-NPV pada konsentrasi 2.5 ml/l merupakan perlakuan yang cukup efektif dan efisien dalam menekan populasi larva H. armigera dan tingkat

Page 14: Jurnal penelitian yusnawan

kerusakan tongkol jagung serta meningkatkan berat tongkol dan produksi tongkol segar berturut-turut sebesar 29.75 % dan 30.00 %.

UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS PERTANIAN Bahan Seminar : Hasil Penelitian Judul : Kajian Waktu Aplikasi Bioinsektisida Se-NPV untuk Pengendalian Hama Ulat

Bawang Spodoptera exigua Hbn. (Lepidoptera : Noctuidae) di Kecamatan Sigi Biromaru.

Nama / Stambuk : Dian Irawaty J. Masioea E 211 93 016 Pembimbing : Ir. Burhanuddin Hi. Nasir, MP. Ir. Abd. Wahid Tempat : Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Hari / Tanggal : Kamis, 17 Oktober 2002.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan bawang merah semakin meningkat setiap tahun seiring laju pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi. Produksi bawang merah secara nasional tahun 1998 rata-rata 7,67 ton dari luas areal 77,210 ha dengan total produksi 592,544 ton. Sulawesi Tengah sebagai salah satu sentra pengembangan bawang merah di Indonesia Timur. Pada tahun 1998 rata-rata produksi bawang merah 4,1 ton dari luas areal 1,455 ha

dengan total produksi 5913 ton (BPS Sulteng, 2000). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produksi bawang merah, adalah serangan

hama dan penyakit, hama yang banyak ditemukan menyerang pertanaman bawang merah adalah Spodoptera exigua Hbn (Lapidoptera : Noctuidae) yang larva atau ulatnya menyerang

daun sehingga dikenal dengan nama ulat daun (Kalshoven, 1981). Kerugian yang ditimbulkan serangan hama ini mencapai 57% dari keseluruhan pertanaman bawang merah, bahkan pada serangan berat kehilangan hasil dapat mencapai 100%, sehingga kegagalan panen tidak dapat

dihindari (Majalah Trubus, 1997). Pada umumnya upaya yang dilakukan petani untuk mengendalikan hama tersebut

adalah dengan menggunakan insektisida kimia sintetik, ditinjau dari segi penekanan populasi hama, pengendalian kimia memang cepat dirasakan hasilnya, akan tetapi penggunaan yang

tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak negatif seperti timbulnya resistensi hama terhadap insektisida tersebut, terbunuhnya jasad yang bukan sasaran, terjadi resurgensi hama, timbulnya

eksplosi hama kedua, pencemaran lingkungan dan bahaya pada pemakai (Untung, 1993). Pengendalian hayati merupakan teknik pengendalian yang lebih aman dan berwawasan

lingkungan, salah satu agensia yang potensial untuk di kembangkan adalah golongan virus yang dikenal dengan nama Se–NPV yang digunakan sebagai bioinsektisida (Sutarya dan

Sastrosiswoyo, 1993). Ditambahkan oleh Ruberson et. al., (1991), bahwa NPV merupakan salah satu jenis virus patogen yang berpotensi untuk digunakan dalam sistem pengelolaan populasi hama dan paling banyak dijumpai menyerang hama dari golongan Lepidoptera. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan bioinsektisida, antara lain dapat mengendalikan serangga hama sasaran secara tepat karena sifatnya yang spesifik, memiliki kemampuan membunuh yang cukup tinggi, mempunyai kesesuaian dengan cara pengendalian lain,

biayanya relatif murah, dan tidak mencemari lingkungan (Ditjentan, 1990). Menurut Sutarya (1996), efektifitas bioinsektisida untuk mengendalikan hama pada umumnya sangat

dipengaruhi oleh sinar ultraviolet. Makin besar intensitas sinar ultraviolet yang sampai kepermukaan tanaman, menyebabkan patogenitas bioinsektisida tersebut semakin berkurang,

sehingga akibatnya aplikasi tersebut harus dilakukan sesering mungkin. Sifat dari bioinsektisida yang mudah terurai bila terkena dengan sinar ultraviolet maupun salah satu

kelemahan dari bioinsektisida tersebut.

Page 15: Jurnal penelitian yusnawan

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu kiranya dilakukan penelitian untuk mengetahui waktu aplikasi bioinsektisida Se–NPV secara tepat terhadap perkembangan hama ulat daun

bawang S. exigua pada pertanaman bawang merah.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu aplikasi bioinsektisida Se-NPV yang tepat, dalam mengendalikan hama ulat bawang merah S. exigua pada pertanaman bawang merah.

Hipotesis

Selang waktu aplikasi yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap pengendalian hama S. exigua.

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2000 sampai dengan bulan November 2000, bertempat di Desa Soulove Kecamatan Sigi-Birimaru, Kabupaten Donggala.

Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Virus Se-NPV, serangga hama Spodoptera exigua, bibit bawang merah (varietas Bima), pupuk Urea, TSP, KCl dan Agristik (bahan perekat dan pembasah) dan air bersih. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pacul, sekop, baki plastik, botol selei, gelas ukur, pengaduk, kuas, blender, tali rafia, sprayer punggung, ember plastik, tabung ukur dan alat tulis menulis.

Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan : W1 : Interval waktu penyemprotan/aplikasi (1 minggu/7 hari) yaitu 10 hst, 17 hst, 24 hst, 31

hst, 38 hst, 45 hst dan 52 hst (7 kali penyemprotan/aplikasi). W2 : Interval waktu penyemprotan/aplikasi (1 minggu/7 hari) yaitu 10 hst, 17 hst, 24 hst, 31

hst, 50 hst (5 kali penyemprotan/aplikasi). W3 : Interval waktu penyemprotan/aplikasi (10 hari) yaitu 10 hst, 20 hst, 30 hst, 40 hst, 50

hst (5 kali penyemprotan). W4 : Interval waktu penyemprotan/aplikasi (2 minggu/14 hari) yaitu 10 hst, 24 hst, 38 hst,

52 hst (4 kali penyemprotan). Setiap perlakuan diulang sebanyak 5 (lima) kali sehingga terdapat 20 unit percobaan.

Pelaksanaan Penelitian I. Persiapan/dilaksanakan diLaboratorium

I.1. Perbanyakan Virus Se-NPV Larva S. exigua dikumpulkan dari pertanaman bawang merah milik petani untuk selanjutnya dipelihara di dalam toples/botol selai yang ditutup dengan kain kasa kemudian diberi pakan

daun bawang merah, larva yang digunakan adalah larva instar 3. Daun bawang merah tersebut dipotong-potong setelah itu diambil isolat Virus Se-NPV 2 sendok teh (4 ml) kemudian

dilarutkan ke dalam 327 cc aquadest, lalu diaduk hingga merata; Daun bawang merah yang sudah dipotong-potong dimasukkan ke dalam larutan tersebut dan didiamkan selama 20 menit,

kemudian diangkat dan dikering anginkan dalam baki, selanjutnya sebagai pakan larva S. exigua. Kira-kira 3 – 4 hari ulat tersebut terinfeksi, yang ditandai dengan munculnya gejala larva kelihatan pucat (kuning keputih-putihan), mengkilap dan biasanya menggumpal pada bagian kaki. Pada saat itu ulat akan mati, lalu dimasukkan ke dalam botol selai dan ditutup rapat, kemudian disimpan dalam lemari es. Larva yang terinveksi inilah yaang digunakan

untuk mengaplikasikan dilapangan. I.2. Pembuatan Suspensi/Larutan Se-NPV

Larva S. exigua yang terinfeksi oleh Se-NPV digerus atau dihancurkan kemudian diambil ekstraknya dengan cara menyaringnya dengan kain kasa, Isolat virus Se-NPV yang diperoleh

siap diaplikasikan di lapangan sesuai dengan konsentrasi yang digunakan.

II. Pelaksanaan/Dilapangan 2.1. Pengolahan Tanah

Page 16: Jurnal penelitian yusnawan

Pengolahan tanah dengan pembajakan dan penggaruan kemudian dibuat bedengan ukuran (120x300)cm2 dgn tinggi 30-40 cm, lalu dibuat drainase dgn lebar 45 cm & kedalaman 30 cm.

2.2. Penanaman Bibit Bawang Merah Bibit bawang merah disortir dan dipilih, lalu dipotong seper tiga pada bagian atas, selanjutnya

bibit tersebut ditanam dengan jarak 15 x 20 cm.

2.3. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman, penyiangan, pemupukan,

penggemuran/pembubunan. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea sebanyak 150-180 kg/ha, TSP sebanyak 150-200kg/ha dan KCL sebanyak 120-150 kg/ha.

2.4. Aplikasi Virus Se-NPV Aplikasi virus Se-NPV dilakukan sesuai dengan masing-masing perlakuan (W1, W2, W3, W4),

dengan waktu aplikasi pertama pada 10 hst. Konsentrasi yang digunakan adalah 1,5 ml/l.

Variabel Pengamatan a. Populasi larva

Kepadatan populasi larva dihitung 10 rumpun tanaman/petak yang ditentukan secara acak dengan cara diagonal, dan diamati sejak 7 hari setelah aplikasi (17 HST), dan dilakukan setiap

minggu hingga menjelang panen. b. Intensitas kerusakan daun

Kerusakan daun diamati sesuai dengan cara pada pengamatan populasi larva, dan dihitung dengan menggunakan rumus intensitas serangan bervariasi (Balittan, 1994), yaitu :

∑ (n x v) I = x 100 %

Z x N Keterangan :

I = Intensitas Serangan (%) n = Banyaknya daun yang rusak pada skala tertentu v = Nilai skala yang diamati N= Jumlah daun yang diamati Z= Nilai skala kerusakan tertinggi

c. Hasil Panen Bawang Merah

Hasil panen produksi bawang merah dihitung dengan menimbang berat umbi basah pada setiap perlakuan (10 rumpun setiap perlakuan) dan umbi kering ditimbang setelah

dikering anginkan selama 1 minggu.

Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam, bila sebaran data tidak normal maka

ditransformasi terlebih dahulu dengan √ x + 0,5. Hasil sidik ragam yang berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Duncan taraf 5%

Nilai skala kerusakan yaitu :

0 = Tidak ada kerusakan 1 = Kerusakan daun 25 % (kerusakan ringan) 2 = Kerusakan daun 25 % - 50 % (kerusakan sedang) 3 = Kerusakan daun 50 % – 75 % (kerusakan berat) 4 = Kerusakan daun 75 % (kerusakan sangat berat)

Page 17: Jurnal penelitian yusnawan

UNIVERSITAS TADULAKO

FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN

Bahan Seminar : Hasil Penelitian Judul : Survey dan Identifikasi Beberapa Spesies Semut Pada Pertanaman Kakao

Rakyat Nama / Stambuk : Indah Vouki (E 211 97 027) Pembimbing : DR. Ir. H. Alam Anshary, MSi. Ir. Mohammad Yunus, MP. Tempat : Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Hari / Tanggal : Kamis, 22 Mei 2003.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas areal pertanaman kakao di Indonesia tahun 1982 sebesar 48.429 ha dengan produksi 17.260 ton, tetapi tahun 1998 telah meningkat menjadi 317.229 ha dengan produksi 238.616 ton (BPS., 1999). Di Sulawesi Tengah dari tahun ke tahun luas areal pertanaman kakao terus mengalami pertambahan. Pada tahun 1995 luas areal tanaman kakao di Sulawesi Tengah 37.950,23 ha dengan produksi 16.245,36 ton. (Disbun Tkt. I Sulteng., 2001). Salah satu kendala dalam upaya peningkatan produksi kakao tersebut adalah adanya serangan hama terutama penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella Snell. yang dikenal dengan hama PBK.

Petani kakao di Sulawesi Tengah sangat mengandalkan usahatani kakao yang dikelolanya, namun karena adanya serangan penggerek buah kakao (PBK) C. cramerella Snell. maka sangat mempengaruhi tingkat pendapatannya. Di Sulawesi Tengah hingga 1998 luas serangan PBK mencapai 6.960 ha. Pada tahun 1991 kerugian tercatat kurang lebih Rp. 20 milyar (Anshary, 1999). Hama ini dianggap berbahaya karena dapat menurunkan produksi sampai 80 % (Wardoyo, 1980; Wessel, 1983 dalam Anshary dan La’lang, 2000).

Upaya pengendalian PBK telah banyak dilakukan seperti cara kimia, penyelubungan buah, rampasan buah (panen sering) dan sistem pemangkasan eradikasi, namun tingkat keberhasilannya belum banyak dilaporkan. Pengendalian dengan cara kimiawi ternyata kurang berhasil, bahkan diduga cara kimiawi justru menambah luas serangan karena berpindahnya PBK ke pertanaman sehat disekitarnya. Pengendalian dengan penyelubungan buah dan sistem pemangkasan kurang efisien dan ekonomis, malahan cara tersebut ditolak oleh banyak petani.

Pengendalian hama tanpa pestisida lebih dititik beratkan pada penggunaan beberapa cara seperti, teknik budidaya, fisik/mekanis dan cara biologi yang dapat menekan populasi hama, sehingga pengendalian hama dengan tanpa pestisida merupakan alternatif yang perlu dipikirkan.

Serangga hama seperti PBK di alam memiliki musuh alami (predator, parasitoid dan patogen). Semut merupakan serangga dari famili Formicidae; ordo Hymenoptera, secara umum dapat bertindak sebagai predator. Beberapa laporan yang mendukung peran dari semut tersebut antara lain, Kalshoven (1981) melaporkan bahwa pada tahun 1908 di Kediri telah dilakukan percobaan pemindahan sarang semut hitam ke pertanaman dan ternyata memperlihatkan pertumbuhan tanaman kakao yang baik karena terhindar dari gangguan hama. Lebih lanjut dilaporkan bahwa Dolichoderus bituberculatus yang dikenal sebagai “semut hitam kakao” keberadaannya pada tanaman kakao dapat melindungi buah dari serangan kepik pengisap buah kakao (Helopeltis spp.), karena kehadirannya dalam jumlah yang banyak pada buah. Di Irian Jaya juga dilaporkan bahwa semut rangrang digunakan untuk mengendalikan hama kumbang pada tanaman kelapa (Promecotheca spp).

Schumetterer (1978) melaporkan bahwa semut rangrang Oecophylla smaragdina dapat bertindak sebagai predator yang memangsa larva, pupa dan imago berbagai hama pada tanaman perkebunan. Selanjutnya Lim (1992) melaporkan beberapa spesies semut yang ditemukan memangsa larva dan pupa PBK diantaranya adalah Iridomyrmex spp., Crematogaster spp., Myrmicaria brunnea, O. smaragdina, Odontoponera transversa, dan D. thoracicus.

Selain itu masih banyak lagi spesies semut yang terdapat pada tanaman perkebunan khususnya tanaman kakao yang dapat berperan sebagai salah satu pengendali hayati (predator). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dalam bentuk survei dan identifikasi yang bertujuan untuk mengetahui berbagai spesies semut pada ekosistem pertanaman kakao.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi & mengetahui berbagai spesies semut pada

ekosistem pertanaman kakao. Dari hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan informasi dasar guna menentukan semut-semut yang berpotensi sebagai agensia pengendali PBK dimasa yang akan datang.

Hipotesis

Terdapat lebih dari satu spesies semut dengan Subfamili yang berbeda pada ekosistem pertanaman kakao.

Page 18: Jurnal penelitian yusnawan

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2002 sampai dengan September 2002, yang berlokasi pada perkebunan kakao rakyat di desa Ombo Kecamatan Sirenja dan desa Balongga Kecamatan Dolo Kabupaten Donggala.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pertanaman kakao, beberapa jenis semut, alkohol 70%, dan kapas. Sedangkan alat yang digunakan adalah mikroskop binokuler, alat ukur skala “scanning mirror stereoscope”, stoples, jaring serangga, lup, termometer, botol bekas rol film, foto kamera, peralatan label, aspirator dan gelang karet.

Metode Penelitian

Metode dan Penentuan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan melalui metode survei pada 2 (dua) Kecamatan di Kabupaten Donggala.

Lokasi yang dijadikan sampel ditentukan secara purposive sampling, lokasi sampel yaitu di Kecamatan Sirenja dan Dolo, dari masing-masing Kecamatan dipilih satu desa yaitu desa Ombo Kecamatan Sirenja dan desa Balongga Kecamatan Dolo, dan tiap desa dipilih kebun milik petani (perkebunan rakyat) yang tidak menggunakan pestisida.

Pelaksanaan Survei Lokasi yang digunakan adalah areal milik petani (terdiri atas 2 tempat) tanpa menggunakan

pestisida, masing-masing tempat seluas 0,75 ha dengan populasi tanaman masing-masing sebanyak 750 pohon (Cara menentukan luasan areal pengamatan/populasi tanaman masing-masing tempat, mengikuti metode Gassa tahun 2002 yang dimodifikasi). Penentuan tanaman contoh dilakukan secara acak dan untuk pengumpulan jenis semut ditentukan 75 pohon (10 %) dari populasi tanaman kakao pada setiap lokasi. Adapun metode pengumpulan semut selengkapnya disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Pelaksanaan Pengumpulan Spesies Semut.

Sumber : Gassa (2002) yang dimodifikasi

Untuk mengetahui tingkah laku dan peranan dari semut yang ditemukan, maka diperlukan data-data penunjang sebagai pengamatan tambahan berupa pengamatan aktivitas semut pada pertanaman dan buah kakao.

Sampel Tanaman Kakao diperiksa dan diamati

Mencari dan mengumpulkan jenis semut

Jenis semut yang ditemukan dikumpulkan dalam stoples plastik

Masing-masing jenis semut dipisahkan dengan kuas kecil lalu dimasukkan kedalam botol

koleksi berisi alkohol 70%

Semut dalam Botol koleksi dibawa ke Lab. HPT untuk diidentifikasi.

Mulai dari pangkal batang s/d percabangan; pangkal s/d ranting; bunga, buah dan daun serta bagian permukaan tanah yang berada di bawah tajuk tanaman

Page 19: Jurnal penelitian yusnawan

Pengamatan

1. Identifikasi Semut Dalam melakukan kegiatan identifikasi semut ditempuh metode seperti yang dikemukakan oleh Partosoedjono (1984), bahwa terdapat 6 (enam) cara mengidentifikasi serangga yang tidak dikenal (unidentified), termasuk semut (Formicidae), yaitu : 1) Spesimen tersebut diidentifisir oleh seorang ahli identifikasi. 2) Dengan membandingkan specimen tersebut dengan jenis specimen yang telah diberi label dalam

suatu koleksi. 3) Membandingkan spesimen tersebut dengan gambar. 4) Membandingkan spesimen tersebut dengan deskripsi dan spesifikasi atau ciri-ciri tertentu. 5) Dengan mempergunakan kunci analitik/identifikasi. 6) Dengan kombinasi satu atau lebih dari cara-cara yang disebutkan di atas.

Buku acuan yang digunakan untuk identifikasi semut antara lain Kalshoven (1981), Borror, et al., (1981), laporan hasil penelitian antara lain Gassa (2002), dan beberapa informasi ilmiah melalui situs/website Internet antara lain Anonim (2002), Cook and Dress (2002), Gakken (2000), Shattuck and Barnet (2001), Taylor (2002), dan Plowes and Patrock (2000). Dari semua jenis yang ditemukan selanjutnya dicocokkan dengan pustaka tersebut di atas.

2. Aktifitas Semut/Perilaku Semut Dari semua jenis yang ditemukan, selanjutnya ditentukan semut yang dominan atau selalu berada pada buah atau yang dekat dengan buah kakao untuk diamati aktifitas/tingkah lakunya, yang meliputi : a) Tempat bersarang semut (habitat/niche) b) Keberadaan semut (apakah pada buah, atau disekitar buah) c) Aktifitas semut (keberadaannya pada tanaman kakao sepanjang siang dan petang atau malam hari). d) Makanannya atau mangsa dan perilaku makannya.

Pengamatan ini dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas semut pada buah kakao, sebab dengan kehadiran semut pada buah sepanjang siang dan petang atau malam hari mungkin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan buah terhindar dari serangan PBK, sehingga berpotensi sebagai agensia pengendali hayati (predator).

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi

1. Identifikasi dan Deskripsi Subfamili Semut Berdasarkan pengamatan jenis-jenis semut yang ditemukan pada areal tanaman kakao rakyat pada dua lokasi yaitu desa Balongga Kecamatan Dolo dan desa Ombo Kecamatan Sirenja, terdapat 12 (dua belas) jenis semut yang terdiri dari 8 (delapan) jenis semut hitam dan 4 (empat) jenis semut merah. Selanjutnya hasil identifikasi diperoleh 5 (lima) subfamili yaitu subfamili Formicinae, Myrmicinae, Dolichoderinae, Ponerinae, Pseudomyrmicinae; dan keseluruhannya termasuk ke dalam famili Formicidae dan ordo Hymenoptera.

Adapun ke-12 spesies semut tersebut berserta deskripsi subfamilinya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Semut yang ditemukan pada areal tanaman kakao di desa Balongga Kecamatan Dolo dan desa Ombo Kecamatan Sirenja Berdasarkan ciri Subfamilinya.

Subfamili dan Ciri-cirinya Warna dan Ukuran panjang

Kode Spesies Nama lokal

1 2 3 4

Formicinae - Memiliki petiolus dengan 1 nodus, terlihat agak jelas dan seringkali

memiliki spines dibagian ujung atasnya. - Tidak memiliki sting di bagian posterior abdomen, tetapi sebagian

dari spesiesnya dapat mengeluarkan/melepaskan semprotan beracun pada saat diganggu.

- Pada posterior abdomen dilengkapi acidopore berada pada posisi lubang cloacal “circular” (acidopore = rambut-rambut yang tumbuh mengelilingi lubang/ lingkaran disekitar cloacal).

- Batas antara segmen 1 dan 2 abdomen tidak memiliki intersegmental membran.

- Termasuk kelompok “Cosmopolitan ants”

Merah kekuningan (4.09±0.28) mm

Sp.1 Semut gramang (Longlogged ant)

Merah kekuningan (9.13±0.08) mm

Sp. 2 Semut rangrang (Weaver ant)

Hitam (6.75±0.10) mm

Sp. 3 Semut tanah (Bog ant)

Hitam berkilau (9.85±0.74) mm

Sp. 4 Semut kayu (Carpenter ant)

Hitam (8.97±0.31) mm Sp. 5 Golden ant 1

Hitam kelam (7.24±0.27) mm Sp. 6 Golden ant 2

Page 20: Jurnal penelitian yusnawan

1 2 3 4

Myrmicinae - Memiliki petiolus dengan 2 nodus yaitu petiolus dan post-petiolus

(abdominal pedicel 2 segmen) - Mata majemuk berukuran sedang “small eyes” (maksimum ¼

atau kurang dari panjang kapsul kepala) dan sedikit menyolok keluar.

- Sebagian spesisesnya memiliki spines/duri pada mesosoma (thoraks) dan sebagian lagi tidak (atau permukaan mesosoma agak licin/halus)

- Sebagian besar spesiesnya memiliki stinger dan acidopore yang sederhana pada ujung abdomen

- Pada tarsus (pre-tarsus) terdapat tarsal claw yang sederhana. - Termasuk kelompok “Cosmopolitan ants”

Merah orange (4.33±0.32) mm

Sp. 7 Semut Pengembara (Sugar ant)

Hitam (3.46±0.46) mm

Sp. 8 Semut kripik (Acrobat ant)

Dolichoderinae - Memiliki petiolus dengan 1 nodus, posisi agak ter-sembunyi dan

tanpa spines di bagian ujung atasnya - Tidak memiliki sting pada posterior abdomen, tetapi sebagian

dari spesiesnya dapat mengeluarkan/ melepaskan semprotan beracun pada saat diganggu

- Pygidium (pygofer) tidak memiliki spines (unarmed). - Pada posterior abdomen tidak memiliki acidopore, terdapat

lubang cloacal dengan posisi “ventral” (acidopore = rambut-rambut yang tumbuh mengelilingi lubang/lingkaran disekitar cloacal)

- Termasuk kelompok “Cosmopolitan ants”

Hitam (3.42±0.09) mm

Sp. 9 Semut hitam kakao (Black cacao ant)

Merah kecoklatan (2.61±0.06) mm

Sp. 10 Semut kelapa

Ponerinae - Memiliki petiolus dengan 1 nodus (abdominal pedicel 1 segmen)

dan terlihat sangat jelas, dibagian ujung atasnya seringkali terdapat spines/duri

- Ukuran tubuh/badan agak besar (cenderung lebih besar dari subfamili lainnya dalam famili formicidae)

- Pada posterior abdomen tidak dilengkapi acidopore, tapi memiliki sting yang berkembang baik dan sangat jelas

- Batas antara segmen 1 dan 2 abdomen memiliki intersegmental membran yang terlihat jelas

- Segmen pertama antena (scape) umumnya berukuran panjang - Termasuk kelompok “Primitive ants”

Hitam (10.01±0.36) mm Sp. 11

Semut api (Fire ant)

Pseudomyrmicinae - Memiliki petiolus dengan 2 nodus yaitu petiolus dan post-

petiolus (abdominal pedicel 2 segmen) - Bentuk tubuh kecil/kerdil, ramping, & memanjang. - Mata majemuk berukuran besar “large eyes” (maksimum � atau

kurang dari panjang kapsul kepala) dan menyolok keluar, berbentuk oval

- Mandibel bentuknya trianguler dan relatif pendek - Antena umumnya 12 segmen, dengan scape (ruas pertama

antena) lebih pendek dibanding subfamili dari formicidae lainnya. - Pada saat istirahat, propodeum lebih tinggi posisinya dibanding

mesosoma/ thoraks dan tidak terdapat spines/teeth di atasnya. - Memiliki sting yang berkembang baik dan jelas pada posterior

abdomen. - Pada tarsus (pre-tarsus) terdapat tarsal claw yang bercabang

(berduri/gigi). - Lempengan/segmen pronotum dan mesonotum terpisah, tapi

keduanya saling terkait “joint connection”(flexibel joint) - Banyak terdapat di daerah tropik dan subtropik

- Termasuk kelompok “Primitive ants”

Hitam (3.03±0.46) mm Sp. 12 Semut primitif

(Primitive ant)