Jurnal Pak bsu - STP Bandung
Transcript of Jurnal Pak bsu - STP Bandung
ISSN : 19071299
iii""
DAFTAR ISI
◙ PENGANTAR REDAKSI i
◙ DAFTAR ISI iii-iv
◙ LEMBAR ABSTRAK v-ix
1 POTENSI PARIWISATA DI PULAU KARIMUN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
1-10
Darsiharjo
2 PERSEPSI PEBISNIS EVENT TERHADAP KOTA JAKARTA SEBAGAI DESTINASI KONVENSI, IMPRESARIAT, DAN PAMERAN (KIP)
11-20
HP. Diyah Setiyorini
3 ISLAMIC TOURISM : PARIWISATA DALAM BINGKAI SYARIAH 21-29 Yeni Yuniawati
4 PENGEMBANGAN BAURAN PRODUK WISATA BELANJA DALAM UPAYA MENINGKATKAN JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN MALAYSIA DI KOTA BANDUNG
31-55
Endang Komesty Sinaga
5 PENGEMBANGAN WISATA KRIA DAN WISATA BUDAYA PRIANGAN SEBAGAI SALAH SATU DESTINASI PARIWISATA DI PROVINSI JAWA BARAT
57-81
Bambang Sapto Utomo dan Jatmiko Edy Waluyo
6 MENGINGATKAN KEMBALI TENTANG STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA
83-89
Pramaputra
Jurnal Manajemen Resort & Leisure Vol. 10, No. 2, Oktober 2013
iv""
DAFTAR ISI
7 VALUASI EKONOMI KAWASAN WISATA BUMI PERKEMAHAN RANCA UPAS KABUPATEN BANDUNG
91-102
Rismi Somad
8 STRATEGI KESANTUNAN TUTURAN VERBAL MAHASISWA KEPADA DOSEN DALAM PROSES PEMBELAJARAN
DI KELAS MDK STP BANDUNG
103-111
Retno Budi Wahyuni dan Naniek Kuswardhani
1
PENGEMBANGAN WISATA KRIA DAN WISATA BUDAYA PRIANGAN
SEBAGAI SALAH SATU DESTINASI PARIWISATA DI PROVINSI
JAWA BARAT
Oleh: Bambang Sapto Utomo dan Jatmiko Edy Waluyo
ABSTRACT
Development of Featured Tourism t Zone (FTZ) of West Java Province by setting the theme of a unique tourism product development and led to the peculiarities of West Java. Development of 9 (nine) FTZ expected to provide flexibility / elasticity to the development of other potentials that remain to accommodate socio-cultural and natural wealth of West Java, are complementary and enhance the tourist attraction in West Java as a whole.
Development and activity indications outlined in each KWU to support the realization of highly competitive FTZ. This paper is focused to discuss about the development of Kria and Priangan Cultural Tourism in West Java Province.
Kata Kunci : Wisata Kria dan Wisata Budaya Priangan sebagai salah satu
destinasi pariwisata .
A. Latar Belakang
Perkembangan pariwisata merupakan salah satu isu utama dalam milenium
ketiga. Pernyataan ini mengandung arti bahwa pariwisata menjadi salah satu
industri yang akan tumbuh dan dominan di berbagai belahan dunia. Menurut
United Nations World Tourism Organization (UNWTO) pada tahun 2012 dari
149 negara, 124 negara (83%) mengalami peningkatan kunjungan wisatawan
sedangkan 25 negara (17%) mengalami penurunan. Dari 124 negara tersebut 40
negara (27%) mengalami pertumbuhan double-digit. Pada tahun 2012 total
kedatangan wisatawan di seluruh dunia mencapai 1.035 miliar . Angka ini
melebihi perkiraan sebelumnya yaitu sebesar 1 miliar wisatawan. Dibandingkan
tahun 2011, jumlah kedatangan wisatawan tersebut meningkat sebesar 39 milliar
wisatawan. Walaupun terjadi tantangan perekonomian dunia, UNWTO
memprediksi kunjungan wisatawan internasional akan meningkat 3-4% pada
tahun 2013 dan antara tahun 2010 hingga 2020 kunjungan wisatawan ini akan
2
terus meningkat dengan peningkatan rata-rata sebesar 3,8% setiap tahunnya
(UNWTO World Tourism Barometer, 2013).
Pertumbuhan tersebut sesuai dengan prediksi (Theobald, 2005: 25) yang
menyatakan optimis terhadap pembangunan pariwisata sebagai sebuah alternatif
pembangunan untuk pengganti sektor agraris dan industri. Meskipun banyak
anggapan bahwa pariwisata adalah sebuah sektor pembangunan yang kurang
merusak lingkungan dibandingkan dengan industri lainnya, namun jika
kehadirannya dalam skala luas akan menimbulkan kerusakan lingkungan fisik
maupun sosial. Munculnya isu pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan adalah
sebagai hal yang dinamis dalam skala industri secara makro melalui pendekatan
strategis dalam perencanaan dan pembangunan sebuah destinasi pariwisata.
Di Indonesia pariwisata juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan
yang cukup siginifikan. Data berikut menunjukkan pertumbuhan jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan nusantara (wisnu) dalam kurun
waktu 2004 hingga 2012.
Tabel 1
Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Wisatawan Nusantara
Menurut Rata-rata Pengeluaran dan Lama Tingla, Tahun 2004-2012
T A H U N
Jumlah wisatawan
mancanegara per orang
Rata-rata Pengeluaran Orang
(USD)
T A H U N
Jumlah wisatawan domestik
Rata-Rata Pengeluaran
Per Orang (USD) Per
Kunjungan Per
Hari Per
Kunjungan Per
Hari 2004 5.321.165 901.66 95,17 2004 3.941.381 859.81 77,88 2005 5.002.101 904.00 99,86 2005 4.106.225 683.78 83,90 2006 4.871.351 913.09 100,48 2006 4.967.403 777.71 100,87 2007 5.505.759 970.98 107,70 2007 5.158.441 839.64 88,79 2008 6.429.027 1.178.54 137,38 2008 4.996.594 1.049.72 96,69 2009 6.320.000 1.378.90 140,37 2009 4.791.201 1.032.44 110,2 2010 7.018.027 1.402.32 141,21 2010 4.801.062 1.081.22 112,3 2011 7.653.001 1.416.17 140,53 2011 4.911.107 1.101.23 113,6 2012 7.900.206 1.436.96 141,71 2012 5.071.211 1.191.44 114,1
Sumber: Di olah dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jeringan (P2DSJ) dan Statistical Riport on Visitor Arrifals to Indonesia (Biro Pusat Statistik 2012)
3
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah wisatawan manacanegara terbanyak
pada tahun 2012 yakni 7.900.206 dengan kenaikan 3,23% dari tahun sebelumnya,
sedangkan jumlah wisatawan nusantara terbanyak juga tahun 2012 yakni
5.071.211 dengan kenaikan 3,26%.
Indonesia memiliki beberapa provinsi yang kaya akan potensi wisata.
Salah satunya yaitu Jawa Barat. Jawa Barat memilki potensi wisata berupa sumber
daya alam, adat istiadat dan budaya serta keramah-tamahan yang merupakan ciri
khas kepariwisataan di Jawa Barat. Hal tersebut menjadikan Jawa Barat sebagai
salah satu destinasi unggul di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki potensi
pariwisata yang sangat besar dan luas cakupannya. Diantaranya wisata pantai,
wisata budaya, wisata desa, wisata keagamaan/rohani bahkan ada yang dikenal
dengan wisata kuliner.
Data berikut menunjukan pertambahan jumlah wisatawan nusantara
(wisnu) dan wisatawan mancanegara (wisman) dalam kurun waktu tahun 2005-
2012.
Tabel 2.
Pertumbuhan Jumlah Wisatawan Nusantara
dan Wisatawan Mancanegara Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005-2012
Tahun Wisatawan Nusantara
% Wisatawan Mancanegara
%
2005 16.890.316 - 207.937 - 2006 23.859.547 41.26% 227.068 9.20% 2007 23.782.302 -0.32% 338.959 49.28% 2008 24.075.027 1.23% 254.551 -24.90% 2009 32.000.000 32.92% 700.000 174.99% 2010 34.166.201 6.77% 810.657 15.81% 2011 35.827.018 4.86% 936.229 15.49% 2012 38.225.362 6.69% 1.136,503 21.39%
2005-2012 16.890.316-38.225.362 126.32% 207.937-1.136.503 446.56% Sumber: Diolah dari Pusat Pengelolaan Data dan Sistem Jeringan (P2DSJ) dan
Statistical Riport on Visitor Arrivals to Indonesia (Biro Pusat Statistik 2012)
Tabel 2 menunjukkan data kunjungan wisatawan ke Jawa Barat, tercatat
wisatawan nusantara mengalami kenaikan yang significant yaitu dari 16.890.316
4
pada tahun 2005 menjadi 38.225.362 pada tahun 2012 atau mengalami
peningkatan 126,32%, sedangkan untuk wisatawan mancanegara dari tahun 2005-
2009 mengalami lonjakan peningkatan dari 207.937 pada tahun 2005 menjadi
1.136.503 pada tahu 2012 atau mengalami peninglatan 446,56%. Hal tersebut
menunjukkan destinasi pariwisata di Provinsi Jawa Barat masih menarik baik
untuk wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.
Pengembangan Pariwisata Provinsi Jawa Barat diarahkan pada
pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi Jawa Barat dengan
menetapkan tema pengembangan produk wisata yang unik dan memunculkan
kekhasan Jawa Barat. Pengembangan 9 (sembilan) KWU diharapkan dapat
mengarahkan kepariwisataan Jawa Barat menjadi lebih fokus, namun tetap
memberikan fleksibilitas/kelenturan untuk berkembangnya potensi�potensi lain
sehingga tetap mewadahi kekayaan alam dan sosial budaya Jawa Barat, saling
melengkapi dan meningkatkan daya tarik wisata Jawa Barat secara keseluruhan.
Jadi Provinsi Jawa Barat telah menetapkan Kawasan Wisata Unggulan
(KWU) yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan sebagai berikut :
1. Kawasan Wisata Industri dan Bisnis Bekasi�Karawang
2. Kawasan Wisata Agro Purwakarta Subang
3. Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon
4. Kawasan Wisata Alam Pegunungan Puncak
5. Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung
6. Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
7. Kawasan Ekowisata Palabuhan Ratu
8. Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan
9. Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran
Arah pengembangan pariwisata Provinsi Jawa Barat tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut
5
Gambar 1 Arah pengembangan pariwisata Provinsi Jawa Barat
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, terlihat bahwa
pengembangan pariwisata Wisata Kria dan Wisata Budaya Priangan merupakan
salah satu Kawasan Wisata Unggulan (KWU) di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena
Kawasan Wisata Argo Purwakarta
Subang
Kawasan Wisata Unggulan (KWU)
Memunculkan produk wisata yang unik dan khas Jawa
Barat, saling melengkapi dan meningkatkan daya tarik
wisata secara keseluruhan
Kebijakan pengembangan kepariwisataan Jawa Barat: -
aspek perwilayahan, pengembangan produk, pasar
dan pemasaran, SDM dan kelembagaan
Kawasan Wisata Minat Khusus Jabar Selatan
Kawasan Wisata Perkotaan dan Pendidikan Bandung
(2006)
Kawasan Wisata Industri & Bisnis Bekasi-Karawang
9 KWU Provinsi Jawa Barat
Kawasan Wisata Budaya Pesisir Cirebon (2006)
Kawasan Wisata Alam Pegunungan
Puncak
Kawasan Wisata Rekreasi Pantai Pangandaran
Kawasan Ekowisata PALABUHAN RATU
(2007)
Prinsip konservasi, edukasi, partisipasi
masyarakat, ekonomi, wisata.
Kawasan Wisata KRIA dan BUDAYA
PERIANGAN (2007)
Community Based Tourism Developmen,
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal
6
itu, makalah ini bertujuan untuk membahas pengembangan Wisata Kria dan
Wisata Budaya Priangan sebagai salah satu destinasi pariwisata.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana positioning Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimana pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan
Provinsi Jawa Barat?
C. Landasan Teori
1. Pariwisata/Kepariwisataan
Pariwisata merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
wisata terutama pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha yang
terkait dengan bidang tersebut. Pariwisata atau tourism adalah fenomena
yang meliputi perpindahan ke dan tempat tujuan di luar tempat tempat
tinggal sehari-hari (Anwar, 2012: 14).
Menurut Theobald (2005: 17) pariwisata adalah sejumlah gejala dan
hubungan yang timbul, mulai dari interaksi antara wisatawan di satu pihak,
perusahaan-perusahaan yang memberikan pelayanan kepada wisatawan
dan pemerintah serta masyarakat yang bertindak sebagai tuan rumah dalam
proses menarik dan melayani wisatawan dimaksud. Sementara itu
kepariwisataan merupakan keseluruhan kegiatan pemerintah, dunia usaha,
dan masyarakat yang ditujukan untuk menata kebutuhan perjalanan dan
persinggahan (Jannieson et. al., 2004: 2). Kepariwasataan ini melibatkan
pergerakan barang, jasa dan orang-orang di seluruh dunia, oleh karenanya
menjadi yang paling terlihat di dalam pengungkapan globalisasi
(Reisinger, 2009: 8).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan
7
dengan wisata termasuk pengusaha objek dan daya tarik wisata serta
usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut. Pariwisata dapat juga dilihat
sebagai suatu bisnis yang berhubungan dengan penyediaan barang atau
jasa bagi wisatawan dan menyangkut setiap pengeluaran oleh untuk
wisatawan atau pengunjung dalam perjalanannya.
Pariwisata adalah istilah yang diberikan apabila seseorang wisatawan
melakukan perjalanan itu sendiri, atau dengan kata lain aktivitas dan
kejadian yang terjadi ketika seseorang pengunjung melakukan perjalanan
(Roe, et.al, 2004: 6). Menurut penulis, pariwisata secara singkat dapat
dirumuskan sebagai kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan
wisatawan.
2. Pengembangan Pariwisata
Perencanaan dan pengembangan pariwisata merupakan suatu proses
yang dinamis dan berkelanjutan menuju ketataran nilai yang lebih tinggi,
dengan cara melakukan penyesuaian dan koreksi berdasar pada hasil
monitoring dan evaluasi serta umpan balik implementasi rencana
sebelumnya, yang merupakan dasar kebijaksanaan dan merupakan misi
yang harus dikembangkan (Theobald, 2005: 163).
Pengembangan dan pendayagunaan pariwisata secara optimal mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mempertimbangkan hal tersebut
maka penanganan yang baik sangat diperlukan dalam upaya
pengembangan obyekobyek wisata di Indonesia. Para pelaku pariwisata
mulai melakukan tindakan pengembangan dengan penelitian, observasi
terhadap obyek-obyek wisata di Indonesia. Langkah tersebut dilakukan
guna mengetahui potensi dan permasalahan yang ada pada setiap obyek
untuk kemudian mencari solusinya. Langkah lainnya adalah promosi
dengan media cetak, elektronik, maupun multimedia agar masyarakat juga
mengetahui akan keberadaan obyek-obyek tersebut dan turut berpartisipasi
dalam pengembangannya (Schilcher, 2007: 58).
Perencanaan dan pengembangan pariwisata bukanlah sistem yang
berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan sistem perencanaan
8
pembangunan yang lain secara inter sektoral dan inter regional.
Perencanaan pariwisata haruslah di dasarkan pada kondisi dan daya
dukung dengan maksud menciptakan interaksi jangka panjang yang saling
menguntungkan diantara pencapaian tujuan pembangunan pariwisata,
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, dan berkelanjutan daya
dukung lingkungan di masa mendatang (Theobald, 2005: 165).
Pemerintah dalam hal ini para stakholders kepariwisataan yang
menyadari besarnya potensi kepariwisataan di daerah berusaha menggali,
mengembangkan serta membangun aset obyek dan daya tarik wisata, yang
merupakan modal awal untuk bangkitnya kegiatan pariwisata. Keputusan
ini harus ditindak lanjuti dengan memikirkan dan mengusahakan serta
membenahi potensi obyek dan daya tarik wisata.
Pengembangan sektor pariwisata hakekatnya merupakan interaksi
antara proses sosial, ekonomi, dan industri. Oleh karena itu unsur-unsur
yang terlibat di dalam proses tersebut mempunyai fungsi masing-masing.
Peran serta masyarakat diharapkan mempunyai andil yang sangat besar
dalam proses ini. Untuk itu masyarakat ditempatkan pada posisi memiliki,
mengelola, merencanakan dan memutuskan tentang program yang
melibatkan kesejahteraannya (Scheyvens dan Momsen, 2008: 36).
Dari sudut sosial, kegiatan pariwisata akan memperluas kesempatan
tenaga kerja baik dari kegiatan pembangunan sarana dan prasarana
maupun dari berbagai sektor usaha yang langsung maupun yang tidak
langsung berkaitan dengan kepariwisataan. Pariwisata akan dapat
menumbuhkan dan meningkatkan pengenalan dan cinta terhadap tanah
airnya, sehingga dapat memotifasi sikap toleransi dalam pergaulan yang
merupakan kekuatan dalam pembangunan bangsa, selain itu juga
pariwisata mampu memperluas cakrawala pandangan pribadi terhadap
nilai-nilai kehidupan (Selinger, 2009: 3-4).
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa dari sudut
ekonomi kegiatan pariwisata dapat memberikan sumbangan terhadap
penerimaan daerah bersumber dari pajak, retribusi parkir dan karcis atau
9
dapat mendatangkan devisa dari para wisatawan mancanegara yang
berkunjung. Adanya pariwisata juga akan menumbuhkan usaha-usaha
ekonomi yang saling merangkai dan menunjang kegiatannya sehingga
dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dari sudut ekonomi bahwa
kegiatan pariwisata dapat memberikan sumbangan terhadap penerimaan
daerah bersumber dari pajak, retribusi parkir dan karcis atau dapat
mendatangkan devisa dari para wisatawan mancanegara yang berkunjung.
Adanya pariwisata juga akan menumbuhkan usaha-usaha ekonomi yang
saling merangkai dan menunjang kegiatannya sehingga dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat.
3. Wisata Kria
Produk kria perlu memperhatikan kebutuhan dan keinginan
wisatawan. Pemahaman terhadap pasar wisatawan yang mencakup asal,
karakteristik dan preferensi berwisata menjadi hal yang penting, sehingga
suatu produk kria dapat selain mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
masyarakat juga memberikan esensi dari wisata itu sendiri, yaitu kenangan
atau pengalaman yang tak terlupakan bagi wisatawan (memorable
experience).
Pengembangan wisata kria tak akan berhasil tanpa pemasaran yang
merupakan sistem integratif untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam
menyediakan suatu produk tertentu (baik barang maupun jasa) pada saat
yang tepat, tempat/ lokasi yang cocok, dan harga yang sesuai. Marketing
mix (Product, Price, Promotion, Place, dan People) yang tersusun dengan
baik merupakan prasyarat bagi kesuksesan penjualan suatu produk wisata,
dalam hal ini adalah produk kria.
Pengembangan wisata kria tak lepas dari dukungan masyarakat
sebagai pelaku/ produsen produk kria. Pendekatan community tourism
development merupakan hal yang esensial karena masyarakat merupakan
pihak yang paling terkena dampak maupun perubahan dari suatu kegiatan
wisata, sehingga mereka berhak menentukan, merencanakan dan terlibat
langsung dalam pengembangan dan pengelolaan wisata.
10
Kekhawatiran dari adanya pengembangan produk kria yang ditujukan
bagi pariwisata adalah adanya produksi barang kria secara massal yang
mengurangi kualitas keaslian atau keotentikan dari sebuah produk budaya
tradisional. Istilah keotentikan atau authenticity bisa diartikan sebagai
suatu kualitas yang dapat menggambarkan suatu benda, budaya, atau
lingkungan yang sebenar�benarnya. Untuk menunjang produk kria secara
otentik sebagai basis bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan, perlu
diperhatikan beberapa aspek berikut ini:
a. Adanya identifikasi dan penilaian terhadap pengembangan
kemampuan dalam pembuatan produk kria tradisional, Hal ini
didasari oleh kurangnya sumber daya manusia/generasi penerus,
persaingan bebas dengan produk kria berteknik modern, serta
persaingan horizontal dengan aktivitas ekonomi lain yang
memberikan lahan penghidupan yang lebih baik. Penerapan skema
transfer kemampuan selain dapat memberikan bekal ketrampilan
berupa sistem produksi bagi masyarakat lokal, juga dapat menarik
wisatawan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kria�dinamakan
dengan ‘atelier tourism’ atau ‘workshop tourism’. Skema ini
mempunyai banyak keuntungan, antara lain merupakan sumber
pemasukan langsung bagi masyarakat; menjembatani keinginan
masyarakat untuk dapat merasakan kebudayaan lokal dari tangan
pertama; menekankan pentingnya nilai produk kria bagi masyarakat
lokal sehingga menghasilkan multiplier effect dengan munculnya
kegiatan usaha lain yang menunjang wisata kria, yaitu tumbuhnya
restoran, akomodasi dan lainnya sehingga dapat memperpanjang lama
tinggal wisatawan.
b. Pengembangan program yang meningkatkan kemampuan pemasaran
masyarakat lokal (marketing skill).
Pengembangan sistem distribusi yang berkelanjutan (sustainable
distribution system) dengan memperhatikan harga barang, kontrak dan
11
negosiasi dengan pihak lain, serta mengamankan jalur distribusi dan
pemasaran.
4. Wisata Budaya
Abad industrialisasi dan modernisasi telah menggiring
simbol�simbol budaya ke dalam bentuk kegiatan ekonomi yang
terbahasakan dalam produk wisata yang kian hari makin banyak diminati
oleh wisatawan, dimana dalam prosesnya merupakan aktivitas pertukaran
informasi dan simbol�simbol budaya antara wisatawan sebagai tamu
dengan masyarakat sebagai tuan rumah. Hal ini selaras dengan
pemahaman pariwisata yang cenderung untuk dikaitkan dengan kebutuhan
manusia atas suatu kemajuan yang menuntut adanya unsur perubahan
secara terus menerus.
Pada abad globalisasi ini, pariwisata budaya sebagai sebuah sistem
tak dapat dipisahkan dari sebuah industri. Namun patut digarisbawahi
bahwa aspek budaya janganlah terjerumus pada pengertian komoditi
(culture as a commodity), dimana fabrikasi dan masalisasi kerap kali
merupakan jawaban atas penalaran pendek supply dan demand.
Merupakan tantangan dalam mengembangkan suatu pariwisata budaya
yang berkelanjutan dengan tetap melestarikan warisan budaya masa lalu
akan tetapi juga mampu mengakomodir kebutuhan masa kini.
Menempatkan pariwisata budaya dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan menghasilkan dampak pada peningkatan lapangan kerja dan
tingkat perekonomian masyarakat, selain juga mampu meningkatkan
kualitas hidup masyarakat dengan peningkatan nilai harga diri, serta
menghasilkan dana bagi konservasi lingkungan alam dan binaan.
Pariwisata budaya sebagai suatu kegiatan industri hendaknya
mencakup pemahaman yang menggabungkan unsur perencanaan dan
pengelolaan secara terpadu. Hal ini mencakup aspek�aspek supply dan
demand seperti daya tarik budaya sebagai supply dan pasar pariwisata
budaya sebagai demand. Kedua aspek ini dicermati dengan melihat
potensi, karakteristik dan daya dukungnya. Misalnya pasar pariwisata
12
budaya yang memperhitungkan keragaman pangsa pasar dengan
karakteristik yang variatif, dilihat dari status sosial, tingkat perekonomian,
ataupun gaya hidup seseorang. Daya dukung lingkungan alam, sosial dan
budaya masyarakat khususnya masyarakat lokal terhadap dampak negatif
pariwisata pun sangat diperlukan. Pendekatan pengelolaan pariwisata
antara lain pada pembangunan fasilitas pendukung wisata, tingkat
kunjungan wisatawan dan kegiatan wisatawan di sebuah destinasi wisata
misalnya, harus memperhatikan carrying capacity yang mampu diterima
oleh lingkungan alam, sosial dan budaya masyarakatnya.
Dalam UU No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Pasal 19
disebutkan bahwa pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya
merupakan usaha pemanfaatan seni bangsa untuk dijadikan sasaran wisata.
Produk wisata ini merupakan daya tarik unik yang menyebabkan
wisatawan bersedia untuk mengeluarkan biaya sehingga dapat
meningkatkan pendapatan daerah. Dengan kemasan yang unik, wisatawan
dapat memperoleh pengalaman kebudayaan dengan cara melihat sesuatu
secara berbeda yang memperkaya kebutuhan spiritualnya.
Wisata budaya dapat dibedakan menjadi:
a. wisata budaya peninggalan sejarah ; mencakup berbagai bentuk
peninggalan sejarah dan budaya, yang dapat berupa museum, artefak,
struktur kota kuno/ unik, situs arkeologis dan lain�lain. Bentuk
kegiatan wisata yang dapat dikembangkan antara lain wisata
arsitektural, wisata jalur arkeologis, wisata ziarah.
b. wisata budaya kehidupan masyarakat (living culture); mencakup gaya
hidup (life style), pedesaan dan esoterik. Wisata etnik yang berupa
kegiatan gaya hidup memberi pengetahuan kepada wisatawan untuk
melakukan kegiatan�kegiatan keseharian yang biasa dilakukan
masyarakat setempat.
c. wisata etnik esoterik merupakan jenis wisata yang melakukan
kegiatan spiritual mediatif yang bersumber pada kebudayaan/agama
setempat.
13
Menurut Suranti (2005:29) hal inilah yang membedakannya dengan
pariwisata budaya, dimana wisata budaya hanya mencakup perjalanan dan
aktivitas belaka, sedang pariwisata budaya mencakup juga aktivitas atau
upaya yang dilakukan pihak terkait dalam menjaga keberlangsungan daya
tarik budaya sebagai sumber daya yang bersifat unik, terbatas dan tidak
terbarukan.
Pertimbangan pengembangan fasilitas untuk mendukung
pengembangan objek dan daya tarik wisata peninggalan sejarah antara lain
adalah:
a. mengembangkan fungsi�fungsi tertentu untuk mendukung
penyelenggaraan kegiatan, seperti museum, area penelitian dan
pendidikan, area rekreasi pendukung, pusat informasi pariwisata,
rumah makan, dan lain�lain serta area pengelola.
b. denah kunjungan wisatawan; yang menginformasikan mengenai
akses, pintu keluar dan jalur wisatawan di dalam area, signage, brosur
maupun informasi�informasi lain.
Pengelolaan pariwisata budaya selayaknya menonjolkan kehadiran
interpretasi sebagai suatu proses komunikasi yang didesain untuk
mengungkapkan arti, makna dan hubungan antara budaya dan tradisi yang
hidup di suatu masyarakat secara interaktif terhadap wisatawan. Dengan
demikian, wisatawan dapat memaknai dan menyelami kehidupan yang
dirasakan “asing” baginya sehingga perannya beranjak dari sekedar
pengamat yang bersifat “pasif” menjadi “aktif “ yang berpartisipasi secara
fisik dalam kegiatan tersebut.
Tak dapat dipungkiri pula keterlibatan unsur pemasaran sebagai
ujung tombak pengelolaan pariwisata budaya. Upaya untuk membangun
dan mengembangkan suatu daya tarik wisata budaya dengan image atau
citra tersendiri membutuhkan strategi pemasaran yang membedakan
keunggulan suatu produk satu dengan lainnya. Pengelolaan pariwisata
budaya dapat berhasil jika proses pemantauan dan evaluasi dilaksanakan
oleh stakeholder dengan cara partisipatif yang melibatkan seluruh pihak.
14
Pemantauan dilakukan secara berkala pada setiap tingkatan
implementasi, serta menggunakan alat ukur atau indikator pengelolaan
pariwisata budaya yang bertujuan menjaga kelestarian lingkungan, sosial
dan budaya maupun peningkatan ekonomi masyarakat.
Intinya, prinsip�prinsip yang menjadi dasar pengelolaan pariwisata
budaya harus berbasis pada masyarakat dengan melibatkan mereka pada
seluruh kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pariwisata
budaya. Hal ini berarti membutuhkan kesadaran dan apresiasi mereka
terhadap perlindungan aspek�aspek budaya.
Pada akhirnya pariwisata budaya merupakan sesuatu yang unik
karena kegiatan wisata tidak hanya berupa kumpulan kegiatan komersial,
akan tetapi berperan dalam membentuk ideologi sejarah dan tradisi, yang
pada akhirnya memiliki kekuatan untuk membentuk kembali budaya
masyarakatnya sendiri.
D. Pembahasan
1. Positioning Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Provinsi
Jawa Barat
Positioning mempunyai peran penting dalam meningkatkan daya
tarik suatu kawasan pariwisata yang dimunculkan lewat points of
differentiation yang membedakannya dengan daerah tujuan wisata lainnya.
Dalam positioning ini akan dibahas potensi dan permasalahan kawasan
serta isu�isu strategis dalam Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.
Potensi dan permasalahan yang terdapat di Kawasan Wisata Kria dan
Budaya Priangan ini melihat berbagai aspek yang mempengaruhi
keunggulan dan kelemahan kawasan terhadap kondisi kepariwisataan
dalam skala regional (Jawa Barat) dan nasional (Indonesia).
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan wisata unggulan yang mengedepankan sumber daya alam
dan budaya tradisional Priangan dengan sub tema wisata gunung api.
Dibanding KWU lain, kawasan yang mencakup Kabupaten Garut,
15
Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Tasikmalaya dan Kota
Banjar ini merupakan kawasan wisata yang paling mewakili unsur
tradisional Jawa Barat, di mana wisatawan yang berkunjung ke Jawa Barat
akan mendapatkan gambaran tentang budaya masyarakat Sunda,
khususnya yang menetap di dataran tinggi. Produk wisata ini
dikembangkan untuk menciptakan keragaman daya tarik wisata Jawa
Barat sehingga berdaya saing dan memperkuat daya tarik provinsi,
khususnya dalam tingkat nasional.
Potensi wisata di kawasan Priangan ini didukung oleh kondisi
infrastruktur yang cukup baik, karena dilalui jalan utama lintas tengah
provinsi yang melintang dari barat ke timur. Potensi pasar wisatawan di
kawasan ini pada umumnya adalah wisatawan nusantara local dan
regional, serta wisatawan minat khusus. Untuk memperluas pasar,
diperlukan keberadaan pusat�pusat interpretasi dan informasi serta sarana
prasarana penunjang pariwisata.
Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengembangan wisata di
kawasan ini hádala aspek pemasaran, sumber daya manusia, dan
kelembagaan, dimana kekurangsiapan dalam menangkap pasar potensial
dan keterbatasan pemasaran, terbatasnya jumlah SDM yang berkualitas,
serta masih belum jelasnya tugas dan wewenang berbagai instansi terkait
dalam kepariwisataan.
Beberapa isu strategis yang dapat diangkat dalam pengembangan
wisata kria dan budaya adalah sebagai berikut:
a. Penciptaan suasana kria dan budaya Priangan di seluruh kawasan yang
dapat dirasakan oleh pengunjung maupun masyarakat yang bermukim
di kawasan ini.
Isu ini berkaitan dengan identitas, citra atau image kawasan yang
hendak diangkat dalam pengembangan Kawasan Wisata Kria dan
Budaya Priangan. Kurang optimalnya penciptaan suasana kria dan
budaya Priangan yang terbentuk dari fisik (berupa dimensi ruang kota),
aktivitas (mencakup pergerakan dan pola perilaku masyarakat),
16
maupun arti (persepsi, arti, asosiasi) dapat membentuk heterogenisasi
persepsi yang dapat membingungkan wisatawan. Mereka merupakan
pihak yang tidak mempunyai akses dalam mengembangkan wawasan
dan pengetahuan mengenai identitas suatu kawasan.
b. Diversifikasi kria berbahan baku lokal, berkualitas internasional, yang
perlu terus dilakukan dengan menggali potensi yang dimiliki, dan tetap
mengacu pada standar internasional.
Keragaman produk kria dan budaya sangat diperlukan dalam
meningkatkan daya saing perekonomian daerah. Permintaan pasar
yang semakin berkembang dan variatif memungkinkan terjadinya
peluang dalam menangkap pangsa pasar melalui penciptaan dan kreasi
produk. Penciptaan produk ini harus dibarengi dengan pemakaian
bahan baku lokal, yang memanfaatkan seluruh material dari wilayah
sendiri. Hal ini dapat meminimasi leakage atau kebocoran nilai
ekonomi dalam perekonomian daerah. Terakhir produk kria harus
dibarengi dengan kualitas yang mengacu pada standar internasional,
sehingga mempunyai daya saing tinggi dan kompetitif dalam
percaturan pasar internasional.
c. Pelestarian budaya dan produk kria Priangan, agar tetap eksis dan
terjaga keasliannya, dan tidak mudah ditiru oleh pihak lain, dan diakui
sebagai kria daerah lain.
Isu pelestarian budaya dan produk kria berhubungan dengan
nilai�nilai otentik yang memperlihatkan identitas/jati diri suatu
masyarakat. Hal ini membutuhkan perkuatan nilai�nilai budaya yang
khas yang memperlihatkan lokal genius (genius loci) suatu kawasan
agar tetap berkelanjutan.
d. Komitmen pengambil kebijakan, yang seringkali tidak jelas, dan
berubah�ubah.
Isu ini merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan arah
pengembangan kepariwisataan daerah. Suatu komitmen diperoleh
melalui kesepakatan dan arahan yang spesifik, jelas, terukur, realistis,
17
serta mempunyai batasan waktu tertentu (timebound), sehingga dapat
menghasilkan suatu sistem yang berbasis kuat. Pada akhirnya
pergantian dalam jabatan struktural para pengambil kebijakan tidak
akan berpengaruh terhadap penerapan berbagai kebijakan, dalam hal
ini yang berhubungan dengan pengembangan pariwisata.
e. Pembagian peran antardaerah, maupun koordinasi antarpublik�privat
yang perlu diperjelas dan ditingkatkan.
Isu ini membahas pentingnya koordinasi dan kerjasama antar
stakeholders kepariwisataan yang ditunjukkan melalui pembagian
tugas dan fungsi berbagai instansi maupun pihak terkait lainnya
sehingga dapat meminimasi ketumpangtindihan kebijakan pengelolaan
pariwisata daerah.
f. Pemberdayaan masyarakat lokal, yang ditujukan bagi kesejahteraan
masyarakat.
Isu ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pariwisata yang dapat menghasilkan pemerataan pendapatan ekonomi,
dimana kegiatan pariwisata didukung, dikembangkan dan dikelola oleh
masyarakat.
g. Mitigasi bencana yang perlu diperhatikan di Kawasan Wisata Kria dan
Budaya Priangan.
Berkaitan dengan kondisi fisik wilayah yang rentan terhadap bencana
geologi (seperti letusan gunung berapi, gempa, longsor), maka isu
mitigasi bencana harus mendapatkan perhatian khusus sebagai upaya
bagi keselamatan para wisatawan dan penduduk setempat. Di
dalamnya mencakup pemantauan dan penyelidikan gunung api dalam
rangka peringatan dini, inventarisasi dan pemetaan, serta
sosialisasi/penyuluhan dalam upaya penyebarluasan informasi bencana
geologi.
18
2. Pengembangan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan Provinsi
Jawa Barat
Pengembangan pariwisata di Kawasan Wisata Kria dan Budaya
Priangan didasarkan pada pertimbangan:
a. Potensi dan permasalahan kepariwisataan di kawasan dari berbagai
aspek khususnya pengembangan produk wisata yang terkait dengan
tema utama kawasan, kondisi pasar wisatawan, transportasi dan
infrastruktur, serta aspek SDM dan kelembagaan.
b. Isu�isu strategis pengembangan pariwisata di Kawasan Wisata Kria
dan Budaya Priangan.
Kebijakan pengembangan pariwisata yang dirumuskan mencakup
kebijakan pengembangan perwilayahan, pengembangan produk wisata,
pengembangan transportasi dan infrastruktur, pengembangan pasar dan
pemasaran, pengembangan SDM, pengembangan kelembagaan, serta
pengembangan investasi untuk lingkup Kawasan Wisata Kria dan Budaya
Priangan.
Perwilayahan setiap KWU provinsi akan terdiri dari
destinasi�destinasi dengan luasan yang lebih kecil, yang merupakan
kumpulan (cluster) dari berbagai objek dan daya tarik wisata yang menjadi
unggulan maupun pendukung KWU tersebut. Dengan demikian, di
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan, setiap destinasinya
merupakan cluster dari objek dan daya tarik wisata kria, dan atau budaya,
dan atau wisata gunung api.
Lebih lanjut, antarcluster di Kawasan Wisata Kria dan Budaya
Priangan memiliki suatu hirarki, yang menggambarkan pusat, yaitu pusat
KWU, dalam hal ini Kota Tasikmalaya, dan destinasi pendukungnya.
Selain itu, perlu direncanakan aksesibilitas antarcluster tersebut sesuai
dengan keterkaitannya, termasuk dengan pusat KWU, dengan pintu
gerbang KWU tersebut, dengan objek dan daya tarik wisata pendukung,
maupun dengan KWU Provinsi Jabar lainnya.
19
Di masing�masing cluster pun perlu direncanakan fasilitas yang perlu
tersedia, sesuai dengan hirarki dan fungsi cluster tersebut dalam lingkup
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.
Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan terbagi ke dalam beberapa
klaster yang mempunyai kekhasan tema. Tema utama ini mengaksentuasi
ditunjang oleh tema�tema pendukung yang bersifat memperkuat tema
utama. Aksentuasi tema sendiri didasari oleh potensi yang terdapat dalam
kawasan. Secara lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 3.
Klaster KWU Kria dan Budaya Priangan
Klaster Daya Tarik Utama Daya Tarik Pendukung
Pusat Pelayanan
Klaster Garut • Wisata gunung api Guntur!Kamojang
• Wisata gunung api Papandayan
• Wisata budaya Cangkuang (Situ & Candi Cangkuang, Kampung Pulo)
• Wisata Kria dan Budaya Kota Garut (kerajinan kulit, batik tulis)
• Kuliner • Atraksi kesenian • Wisata alam Situ
Bagendit • Kerajinan sangkar
burung
Kota Garut
Klaster Tasik • Wisata gunung api Galunggung!Talagabodas
• Wisata budaya Kampung Naga
• Wisata kria dan budaya Tasik (batik tasik, bordir, payung, kerajinan bambu, kelom geulis, mendong, mebel kayu)
• Kria dan budaya Rajapolah (anyaman, pandan)
• Kuliner • Atraksi kesenian • Kerajinan bordir • Batik tasik • Situ Gede • Bordir Kawalu • Wisata kria
NegaraTengah • Kerajinan kaligrafi
Kota Tasik
Klaster Ciamis! Banjar
• Wisata Kria (bordir, mendong, miniature alat musik, sangkar burung)
• Wisata Budaya Astana Gede • Wisata Budaya Kampung
Kuta
• Kuliner • Wisata alam (Situ
mustika) • Wisata budaya (situs
pulo majeti, kokoplak, Karangkamulyan)
• Atraksi Kesenian (reog tumaritis)
• Wisata alam (Curug Tujuh, G. Haruman)
Kota Ciamis
20
Lebih lanjut, mengenai pembagian klaster dapat dilihat pada Tabel 3
di halaman sebelumnya.
Pengalaman perjalanan dan berwisata di Kawasan Wisata Unggulan
Kria dan Budaza Priangan, difokuskan pada kria dan budaya sebagai tema
utama serta gunung api, sebagai tema pendukung. Fokus tema yang
didasarkan pada potensi unggulan daerah, dikembangkan untuk
membangun citra budaya dan suasana Priangan, melalui pengemasan
produk wisata dan komponen pariwisata yang terkait, seperti sarana dan
prasarana transportasi dan fasilitas pendukung pariwisata (akomodasi,
restoran atau rumah makan).
Pengembangan produk wisata yang berkualitas, berkelanjutan dan
berbasis masyarakat juga menjadi perhatian. Sejalan dengan hal tersebut,
penting untuk dilaksanakan suatu rencana mitigasi bencana, upaya
pelestarian (preservasi, konservasi) alam dan pusaka budaya yang
melibatkan masyarakat setempat.
Pengembangan atau perbaikan sistem transportasi dan infrastruktur
pada dasarnya adalah upaya untuk mengevaluasi kondisi eksisting yang
dilanjutkan dengan pengembangan jaringan transportasi dan infrastruktur
sesuai dengan karakteristik wilayah, jenis angkutan dan pola
pergerakannya. Pengembangan skenario jaringan transportasi didasarkan
pada pemikiran�pemikiran perbaikan sistem transportasi.
Pengembangan sistem transportasi untuk mendukung sektor
pariwisata merupakan hal penting yang harus mengikutsertakan rencana
pengembangan pariwisata di kawasan. Dalam perencanaannya, jaringan
transportasi dapat digunakan untuk menumbuhkan demand (creating
demand) dan/atau melayani demand (servicing demand) terhadap
pengembangan suatu kawasan wisata. Pengembangan infrastruktur
dipandang sebagai peluang untuk menjangkau pasar yang sangat potensial
baik untuk pemasaran produk secara langsung maupun tak langsung.
Kebijakan diperlukan sebagai jaminan pelayan prima yang efektif, efisien,
21
dan murah kepada masyarakat maupun kepada investor yang ingin
menanamkan modalnya di Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan.
Aspek pasar wisatawan menentukan pengembangan dari produk
wisata yang ditawarkan suatu kawasan wisata. Diperlukan pemahaman
tentang karakteristik pasar, baik kuantitas maupun kualitasnya, untuk
kemudian menjadi pertimbangan dalam mengemas produk wisata, dan
strategi pemasaran serta teknik promodi yang akan dilakukan.
a. Memasarkan produk wisata kria dan budaya Priangan dalam
kerangka konsep Tourism, Trade, and Investment (TTI), khususnya
dengan industri kerajinan kecil dan menengah.
b. Memasarkan produk wisata kria dan budaya Priangan terpadu dengan
KWU Jawa Barat lainnya.
c. Mengembangkan riset terpadu dalam pengembangan pasar wisatawan
untuk membidik pasar wisatawan utama, sekunder dan lainnya.
d. Mengembangkan berbagai teknik promosi (direct marketing, iklan,
sales promotion, travel trade) secara tepat guna dan tepat sasaran.
Pengembangan pariwisata yang cenderung rumit tidak dapat hanya
diemban oleh satu institusi saja, misalnya oleh Dinas Pariwisata.
Diperlukan kerjasama dan koordinasi antar sektor, baik publik maupun
privat, yang terbuka dan efisien, serta didukung oleh SDM yang mumpuni.
Pengembangan kelembagaan kepariwisataan kawasan mencakup
efisiensi kelembagaan pariwisata, peningkatan koordinasi dan konsolidasi
antarlembaga, serta peningkatan kemitraan antara institusi/lembaga.
Dukungan kelembagaan dengan demikian, sangat diperlukan untuk
memastikan bahwa kebijakan, strategi maupun program pengembangan
yang dirumuskan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan
tujuan dan sasaran masing�masing program.
Berbagai program yang dirumuskan perlu untuk diimplementasikan
sehingga menjadi berwujud dan menunjang pembangunan kepariwisataan.
Diperlukan investasi baik oleh pemerintah dan khususnya pihak swasta
dalam menunjang pengembangan wisata kria dan budaya di Priangan.
22
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Positioning Kawasan Wista Kria dan Budaya Priangan didasari oleh
keterkaitan masyarakat Sunda dengan lingkungan alam!budaya
(cultural landscape) ditunjukkan pula melalui kerajinan lokal yang
kini berkembang ke arah industri kria. Hal ini menjadi dasar bagi
pembentukan Kawasan Wisata Kria dan Budaya Priangan dengan tema
utama produk!produk unggulan/baran !barang kria serta potensi
budaya; dan tema pendukung adalah wisata gunung api dan
fenomenanya.
b. Pengembangan wisata kria dan budaya priangan didasri pada isu-isu
strategis:
1) Penciptaan suasana kria dan budaya Priangan di seluruh kawasan
yang dapat dirasakan oleh pengunjung maupun masyarakat yang
bermukim di kawasan ini.
2) Diversifikasi kria berbahan baku lokal, berkualitas internasional,
yang perlu terus dilakukan dengan menggali potensi yang dimiliki
kawasan, dan tetap mengacu pada stándar internasional.
3) Pelestarian budaya dan produk kria Priangan, agar tetap eksis dan
terjaga , dan tidak mudah ditiru oleh pihak lain, dan diakui sebagai
kria daerah lain.
4) Komitmen pengambil kebijakan untuk mendukung pengembangan
pariwisata, yang seringkali tidak jelas, dan berubah�ubah.
5) Pembagian peran antardaerah, maupun koordinasi antar publik�
privat yang perlu diperjelas dan ditingkatkan untuk mendukung
pariwisata.
6) Pemberdayaan masyarakat lokal, yang ditujukan bagi kesejahteraan
masyarakat melalui pariwisata.
7) Mitigasi bencana yang perlu diperhatikan di Kawasan Wisata Kria
dan Budaya Priangan.
23
2. Saran
a. Meningkatkan kualitas produk wisata kria dan budaya Priangan
dengan standar kualitas nasional dan internasional.
b. Memunculkan brand identity kawasan wisata kria dan budaya
Priangan melalui pengembangan brand image yang didukung oleh
seleksi dan aksentuasi produk, serta slogan dan simbolisasi.
c. Meningkatkan kualitas kenyamanan dan keamanan di kawasan wisata
kria dan budaya Priangan, baik dari faktor fisik maupun psikologis.
d. Meningkatkan standar kualitas pelayanan dalam usaha pariwisata.
e. Mengembangkan nilai�nilai lokal dalam pengembangan produk
wisata kria dan budaya Priangan.
f. Meningkatkan kualitas ruang/spasial melalui penonjolan karakter
desain arsitektural yang berciri khas kawasan wisata kria dan budaya
Priangan.
REFERENSI
Anwar, Jahid Md. 2012. “Poverty Alleviation Through Sustainable Tourism: A Critical Analysis Of 'Pro-Poor Tourism' And Implications For Sustainability In Bangladesh”, Research Report Presented to Professor COOPER Malcolm J. M. In Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree Of Master of Science in International Cooperation Policy, hlm. 1-94.
BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial. 2002. Penduduk. Fakir Miskin Indonesia 2012. BPS. Jakarta.
Jamieson, Walter. Harold Goodwin and Christopher Edmundo. 2004. “Contribution of Tourism To Poverty Alleviantion: Pro-Poor Tourism and Challenge of Measuring Impacts” For Transport Policy and Tourism Section Transpor and Tourism Devision UN ESCAP.
Reisinger, Yvette, 2009, International Tourism Cultures and Behavior, Elsevier Inc, New York.
Roe, Dilys, Caroline Ashley, Sheila Page and Dorothea Meyer, 2004, “Tourism and the Poor: Analysing and Interpreting Tourism Statistics from a Poverty Perspective”, PPT (Pro-Poor Tourism), hlm. 1-29.
24
Scheyvens, Regina and Janet H. Momsen. 2008. “Tourism and Proverty Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism Geographies. Vol: 10. No. 1. pp. 22-41.
Schilcher, 2007, Pengantar llmu Pariwisata, Angkasa, Bandung. Selinger, Evan. 2009. “Ethics and Poverty Tours”. Philosophy ad Public Policy
Quarterly. Vol: 29. No. 1/2. pp. 112-122. Suranti, Ratna Suranti. 2005. Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat ,
Workshop Wisata Budaya Bagi Kelompok Masyarakat Propinsi DKI Jakarta 12 Juli 2005.
Theobald William F., 2005, Global Tourism, Elsevier Inc, New York.