JURNAL ILMU POLITIKrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48865... · 2020-01-06 ·...

164
JURNAL ILMU POLITIK 22

Transcript of JURNAL ILMU POLITIKrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48865... · 2020-01-06 ·...

JURNALILMU POLITIK

22

Indeks | 0001

Jurnal Ilmu Politik merupakan salah satu kegiatan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu politik, ilmu hubungan internasional, ilmu pemerintahaan dan ilmu administrasi negara. Selain itu, Jurnal ini dapat dijadikan wadah atau forum saling tukar pandang dan informasi di antara para cendekiawan, sarjana, dan peminat serius masalah-masalah politik. Sebagai bentuk pengabdian kepada nusa dan bangsa, sekaligus mendorong para sarjana dan cendekiawan untuk mengembangkan serta mendiseminasikan pemikiran ilmiah di bidang ilmu politik, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Susunan Redaksi Jurnal Ilmu Politik AIPI

Penanggung Jawab: • Dr. H. Alfitra Salamm

Pemimpin Redaksi:• Moch. Nurhasim, S.IP., M.Si

Mitra Bestari/ Reviewer: • Prof. Dr. Syamsuddin Haris• Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti• Prof. Dr. Maswadi Rauf• Prof. Dr. Dede Mariana• Dr. Fredy B.L Tobing, M.Si • Dr. Adriana Eliasabeth, M.Soc.Sc • Dr. Nico Harjanto • Dr. Saiful Mujani• Dr. Kuskrido Ambardi

Anggota Dewan Redaksi:• Dra. Sri Yanuarti• Nanto Sriyanto, S.IP., M.I.S • Sarah N. Siregar, S.IP., M.Si

Redaksi Pelaksana: • Sandy Nur Ikhfal Raharjo, M.Si (Han)

Sekretaris Redaksi: • Prayogo, S.Kom

Desain pra cetak:• Prayogo, S.Kom

Diterbitkan oleh:Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)Gedung Widya Graha Lt.III, Jl. Jend. Gatot Subroto Kav. 10, Jakarta 12710Telp: 021-525 1542 Ext. 2315 , Email: [email protected]: www.aipi-politik.org | Twitter: @aipipolitik

Pengantar Redaksi | i

SALAM DARI MEJA REDAKSI. Seluruh jajaran Pengurus Pusat

Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) mengucapkan selamat tahun baru 2017 kepada seluruh pembaca setia Jurnal Ilmu Politik. Pada kesempatan yang sama, Dewan Redaksi mengucapkan selamat atas suksesnya pergantian kepengurusan PP AIPI dari Dr. S.H. Sarundajang ke Dr. Alfitra Salamm pada Kongres AIPI IX, 27-28 Agustus 2015 di Jakarta. Di tengah kesibukan para pengurusnya, tekad PP AIPI untuk terus menghidupkan Jurnal Ilmu Politik tidak pernah padam.

Pengurus PP AIPI 2015-2019 menargetkan Jurnal Ilmu Politik dapat terbit secara berkala, minimum dua kali dalam setahun. Dewan Redaksi tidak memutuskan tema besar untuk setiap edisi Jurnal Ilmu Politik agar redaksi memiliki bank data naskah. Walau demikian, konsistensi penerbitan tetap diperlukan, sehingga Redaksi Jurnal Ilmu Politik akan tetap menetapkan benang merah dari setiap artikel yang akan dimuat ke dalam tema besar yang relatif lebih longgar. Tantangan Demokrasi Kontemporer dirasa cocok sebagai tema yang dapat menjembatani artikel yang satu dengan artikel lainnya pada Jurnal Ilmu Politik No. 22.

Perkembangan demokrasi di Asia secara umum dan khususnya juga di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai tantangan. Tantangan demokrasi saat ini berbeda dengan tahun-tahun ke belakang, seperti yang disebut oleh Saiful Munjani. Asia merupakan benua dengan tipe rezim yang masih cukup beragam dibandingkan dengan Eropa Barat, Amerika Utara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Salah satu tantangan terbesarnya ialah tingkat konsolidasi demokrasi masing-masing negara, tidaklah sama. Meskipun praktik kebebasan demokrasi di Asia yang paling spektakuler dibandingkan dengan kawasan lain, bukan berarti seluruh hak politik warga negara telah diberi jaminan. Di tengah perubahan praktik demokrasi itu, demokrasi di Indonesia relatif lebih muda dibandingkan dengan demokrasi sejumlah negara Asia seperti India, Filipina, Malaysia, dan Thailand, namun justru cenderung lebih stabil dan terkonsolidasi. Sejumlah praktik demokrasi laiinya juga berjalan secara progresif, terlihat dari praktik-praktik demokrasi elektoral yang spektakuler, diawali oleh pemilihan presiden secara langsung, pemilihan kepada daerah secara langsung—dan kini proses

PENGANTAR REDAKSI

ii | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. i-iii

elektoral yang awalnya terpecah-pecah penyelenggaraannya, sebagian telah diserempakkan pada 2015 dan akan diserempakkan lagi pada 2017.

Meskipun telah ada keserempakan, namun di sana-sini masih ada dilema dalam penyelenggaraan pemilu, karena keserentakan berbeda substansinya dengan keserempakan. Terlepas dari itu semua, demokrasi elektoral di Indonesia harus diakui terus mengalami kemajuan yang cukup berarti. Kemajuan-kemajuan berdemokrasi itu pantas dicatat sebagai praktik yang baik, walau tidak sedikit pula tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Sebagai contoh, gagasan pilkada serentak yang awalnya diinisiasi oleh masyarakat sipil agar terjadi efisiensi anggaran dan perbaikan kualitas demokrasi, dalam praktiknya tidak semudah yang diasumsikan. Daud Ferry Liando misalnya menyebut bahwa penyelenggaraan pilkada serentak 2015 di Sulawesi Utara masih menghadapi tantangan yang hampir umum terjadi di beberapa tempat lain yakni rendahnya tingkat kehadiran pemilih, pembiayaan yang tidak efisien, dan kualitas hasil pilkada yang belum “menggembirakan.” Mengapa demikian? Karena Pilkada Serentak belum sesuai dengan ekspektasi publik, melahirkan kepemimpinan lokal yang lebih baik, dan masih “kentalnya” dinasti politik serta politik uang.

Gejala-gejala anomali politik dalam perkembangan proses elektoral di Indonesia memang tidak bisa dihindari. Secara umum dari proses elektoral yang terjadi, selain masih ada masalah, tetapi tetap menyisakan sejumlah harapan.

Harapan itu, misalnya tampak dari hasil kajian Dwi Windyastuti bahwa kebijakan affirmative action terhadap perempuan melalui quota 30% perempuan dalam pemilu legislatif di Indonesia dan Pilkada telah mendorong perempuan lebih asertif terhadap kekuasaan dengan merebut jabatan-jabatan politik melalui sebuah kontestasi. Perempuan dalam politik semakin diperhitungkan karena memiliki elektabilitas yang tidak bisa diremehkan.

Se i r ing dengan pe rubahan-perubahan politik dalam berdemokrasi, dalam konteks politik lokal, demokrasi tidak hanya terjadi pada tingkat kabupaten/kota, tetapi juga hingga tingkat desa. Artikel I Wayan Gede Suacana tentang peluang otonomi desa dalam membangun governance d i desa , misa lnya , memperlihatkan sebuah kecenderungan bahwa praktik demokrasi di tingkat desa, selain mengalami perubahan pengaturan dan filosofi kebijakan, juga telah merambah desa untuk “memaksa” agar praktik demokrasi tidak bisa dielakkan, khususnya bagaimana masyarakat desa dan pemerintahan desa harus menerapkan prinsip-prinsip governance atau tata pemerintahan yang baik dan partisipatif. Tantangannya terletak pada sejauh mana ide otonomi desa itu dapat diterapkan dan dipraktikkan di tengah-tengah pengalaman berdemokrasi yang masih tidak sama.

Berbicara tentang pengalaman demokrasi, dari perkembangan demokrasi di Asia dan juga negara Timur Tengah, khususnya di Iraq dan Suriah, tantangan terbesar demokrasi saat ini (kontemporer) ialah bagaimana demokrasi menjadi nilai

Pengantar Redaksi | iii

setiap individu, dan di sisi yang lain demokrasi menjadi praktik pemerintahan di negara-negara Islam di Timur Tengah. Bagaimanapun dari fenomena gerakan NIIS di Iraq dan Suriah—dengan segala ragam dimensi gerakan politiknya dalam mendirikan sebuah negara—tetap menjadi tantangan demokrasi yang paling berat sebagai sebuah sistem politik.

Sebagai sebuah sistem nilai, pengalaman di sejumlah negara—khususnya di Asia—menunjukkan ada prospek demokrasi yang cerah ke depan. Konsolidasi demokrasi pada tingkat individual di tujuh kasus negara demokrasi Asia secara umum cukup tinggi. Warga di negara-negara tersebut lebih menginginkan demokrasi dibanding rezim lainnya. Tidak ada satu kasus pun dari tujuh kasus tersebut yang mayoritas warganya tidak menginginkan demokrasi. Preferensi atas demokrasi dibanding rezim selainnya, rata-rata di atas 60%. Apa makna yang dapat

kita persandingkan bahwa demokrasi telah menjadi suatu sistem nilai dan sistem pemerintahan yang dipercaya. Persoalan besarnya setelah semua negara di Asia memilih demokrasi sebagai sistem nilai dan sistem politik adalah bagaimana sistem demokrasi didorong membawa kebaikan, manfaat dan dapat meningkatkan kesejahteraan bersama. Itulah benang merah artikel-artikel yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Politik No. 22.

Selamat membaca!Redaksi

Daftar isi

v Pengantar Redaksi ---iv Konsolidasi Demokrasi Asia: Sebuah Tes Model Ekonomi Politik Saiful Mujani ---1v Fenomena Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS): Telaah Hubungan Internasional

Erwin Indradjaja & Fredy B. L. Tobing ---19v Adopting UNSCR 1325 in Indonesia: Shared Experiences, Prospects, and Challenges

Irine Hiraswari Gayatri ---43v Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara

Daud Ferry Liando ---57v Perempuan dalam Kontestasi Politik: Representasi Deskriptif Perempuan pada Pileg 2014 dan Pilkada 2015

Dwi Windyastuti Budi Hendrarti ---75v Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi

Dede Mariana ---91v Tantangan dan Peluang Otonomi Desa dalam Membangun Governance Desa di Bali

I Wayan Gede Suacana ---105v Tinjauan Buku

Melihat Kembali Penanggulangan Terorisme di Indonesia Melalui DeradikalisasiSandy Nur Ikfal Raharjo ---125

v Tentang Penulis ---139v Indeks ---141

Volume 22, No.1, Tahun 2017 ISSN 0854-6029

JURNALILMU POLITIK

Abstrak | vii

Volume 22, No.1, Tahun 2017 ISSN 0854-6029

JURNALILMU POLITIK

____________________________________DDC: 321 : 330.95Saiful Mujani

KONSOLIDASI DEMOKRASI ASIA:SEBUAH TES MODEL EKONOMI POLITIK

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 1-18

Asia merupakan benua di mana negara-negaranya memiliki tingkat konsolidasi dalam demokrasi yang beragam. Tulisan ini bermaksud untuk menguji seberapa realistik model ekonomi-politik untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di sejumlah demokrasi Asia. Studi ini bertumpu pada sikap individu warga yang diobservasi lewat survei opini publik nasional di masing-masing negara yang menjadi kasus studi ini, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Mongolia, Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal. Pertama, secara umum masyarakat di ketujuh negara tersebut mayoritas punya preferensi terhadap demokrasi dibanding terhadap rezim lainnya, tetapi ada variasi konsolidasi demokrasi di ketujuh negara tersebut. Kedua, Evaluasi atas kondisi ekonomi berpengaruh terhadap evaluasi atas kinerja pemerintah, yang pada gilirannya berpengaruh pada evaluasi atas kinerja demokrasi, dan ujungnya berpengaruh pada konsolidasi demokrasi. Ketiga, model

ekonomi-politik tidak dapat membantu utuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di Filipina dan Mongolia, sehingga perlu telaah lebih lajut untuk dua kasus tersebut. Keempat, efek faktor ekonomi-politik terhadap konsolidasi demokrasi ini secara umum konsisten lepas dari variasi budaya politik, terutama latar belakang tradisi atau peradaban suatu bangsa seperti agama, maupun keragaman sosial-ekonomi seperti pendidikan.

Kata kunci: Asia, konsolidasi demokrasi, model ekonomi-politik, survei opini publik.____________________________________

DDC: 320.567Erwin Indradjaja & Fredy B. L. Tobing

FENOMENA NEGARA ISLAM DI IRAQ DAN SURIAH (NIIS): TELAAH HUBUNGAN INTERNASIONAL

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 19-42

Artikel ini membahas fenomena gerakan NIIS di Iraq dan Suriah yang ditelaah dari bidang studi Hubungan Internasional. Fenomena NIIS diawali oleh Al Baghdadi yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam pada 9 April 2013 yang meliputi wilayah Iraq dan

viii | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. vii-xi

Suriah. Hal ini tidak lazim dalam politik internasional karena klaim tersebut meliputi Iraq dan Suriah yang merupakan negara berdaulat. Semula gerakan NIIS berhasil mendapatkan dukungan luas dari negara-negara Arab di Teluk dan negara-negara Islam umumnya. Dengan modal ekonomi yang besar, NIIS dapat dipandang sebagai ”kelompok teroris berbaju Islam terkaya” saat itu. Namun alih-alih ingin menerapkan syariah Islam dengan cara yang keras, kaku, brutal dan penuh teror akhirnya gerakan NIIS malah menjadi menurun citranya di kalangan negara-negara pendukungnya. Kompleksitas fenomena NIIS ini dicoba ditelaah dari tiga perspektif Hubungan Internasional: realisme, liberalisme dan konstruktivisme. Tampaknya gerakan NIIS yang beraliran Sunni masih akan tetap eksis, namun nampaknya ada kecenderungan bahwa kekuatan perjuangan mereka akan semakin tergerus seiring makin menurunnya dukungan dunia khususnya negara-negara Islam dan menguatnya kelompok penentang NIIS terutama dari pihak Suriah dan Iraq – yang sama-sama menganut Syiah – dan AS beserta sekutunya.

Kata kunci: NIIS, Negara Islam, konflik, Syiah, Sunni, Iraq, Suriah, Al Baghdadi, terorisme, realisme, liberalisme, konstruk-tivisme.____________________________________

DDC: 341.23Irine Hiraswari Gayatri

PENGADOPSIAN UNSCR 1325 DI INDONESIA: BERBAGI PENGALAMAN, PELUANG, DAN TANTANGAN

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 43-55

Sepanjang sejarah, orang di berbagai negara mengalami dampak dengan tingkat yang berbeda yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Pada skala global, United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325 yang ditandatangani pada tahun 2000 tentang wanita dalam konflik bersenjata ditandai sebagai langkah penting dalam mengakui peran perempuan dalam proses perdamaian sekaligus signifikasinya dalam memenuhi hak asasi manusia. Sejak itu sifat konflik dunia berubah, substansi tentang perdamaian dan keamanan juga telah berkembang, serta apa yang disebut sebagai keadilan telah berubah. Sampai saat ini, 58 negara telah mengadopsi UNSCR 1325 sebagai bagian dari hukum nasional. Makalah ini melihat proses, strategi dan tantangan dalam perumusan Rencana Aksi Nasional (National Action Plans/NAP dari UNSCR 1325. Makalah ini akan menjelaskan proses dalam mengadopsi UNSCR 1325 di Indonesia dengan mengelaborasi peran aktor dan melihat bagaimana mereka memahami dan mendiskusikan penerapan norma-norma global ke dalam hukum nasional. Pertanyaan utama dari makalah ini adalah “bagaimana ruang-ruang struktural memberikan efek adopsi UNSCR 1325 sebagai rencana aksi nasional di Indonesia?” Ruang Struktural berarti lingkungan politik yang memungkinkan dinamika hubungan antara aktor dan/ atau lembaga-lembaga negara dan non-negara yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam menetapkan kebijakan. Diharapkan penelitian ini akan menambah diskusi tentang perempuan dalam perdamaian dan konflik, serta literatur tentang Hubungan Internasional kontemporer.

Kata kunci: Indonesia, Perempuan dalam Konflik Bersenjata, UNSCR 1325 ____________________________________

Abstrak | ix

____________________________________DDC: 324.9598Daud Ferry Liando

EVALUASI PILKADA SERENTAK DI SULAWESI UTARA

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 57-74

Pilkada secara serentak pada tahun 2015 di Sulawesi Utara belum berhasil sebagaimana tujuan yang diharapkan UU Pilkada. Hal itu disebabkan tingkat partisipasi pemilihnya masih sangat rendah, pembiayaan yang tidak efesien serta pelaksanaan pilkada secara serentak namun belum melahirkan kesamaan periodisasi masa kerja kepala daerah akibat pelantikan tidak dilakukan secara serentak. Penelitian ini hendak menjawab tiga pertanyaan yaitu pertama mengapa tujuan kebijakan pilkada serentak di Sulawesi Utara belum seperti yang diharapkan. Kedua apa saja kendala yang dihadapi sehingga tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Ketiga pembenahan seperti apa yang bisa dilakukan agar tujuan kebijakan pilkada serentak dapat dicapai. Penelitian ini menggunakan teori evaluasi kebijakan dan untuk mendapatkan data dilakukan FGD dan laporan KPUD dan Bawaslu. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tujuan pilkada belum berhasil sebagaimana yang diharapkan karena proses penetapan calon yang tidak melibatkan publik, janji kampanye yang bersifat normatif dan tidak visioner, masalah regulasi, pembiayaan kampanye, pembiayaan kepolisian, serta pembiayaan KPPS.

Kata kunci : pilkada serentak, partisipasi, anggaran, periodisasi___________________________________

____________________________________DDC: 305.4869709598Dwi Windyastuti Budi Hendrarti

PEREMPUAN DALAM KONTESTASI POLITIK:REPRESENTASI DESKRIPTIF PEREMPUAN PADA PILEG 2014 DAN PILKADA 2015

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 75-90

Studi ini mencoba untuk mengidentifikasi representasi deskriptif perempuan dalam pemilu legislatif 2014 dan pemilihan kepala daerah 2015. Studi ini penting dilakukan karena kuota 30% perempuan terpenuhi pada pileg 2014, dan perempuan terlibat dalam kontestasi pilkada. Studi ini dilakukan dengan mengambil dokumen di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri dan Lamongan tentang keikutsertaan perempuan pada pileg 2014 dan pilkada 2015. Dokumen ditafsir dan dianalisis dengan menggunakan instrumen teori representasi deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perempuan secara deskriptif tetap penting dikarenakan: 1) kuota perempuan berkontribusi terhadap representasi perempuan karena punya daya paksa penominasian terhadap partai politik; 2) perempuan telah asertif terhadap kekuasaan dengan merebut jabatan-jabatan politik melalui sebuah kontestasi dan memiliki elektabilitas; 3) akseptabilitas pemilih terhadap perempuan caleg menghasilkan banyak wakil perempuan dalam legislatif dan kepala daerah, yang membawa dampak pada terakomodasinya kepentingan perempuan dalam agenda kebijakan pemerintah.

Kata kunci: Akseptabilitas, Asertif, Representasi Deskriptif, Kuota Perempuan____________________________________

x | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. vii-xi

____________________________________DDC: 352.63Dede Mariana

APARATUR SIPIL NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 91-104

Salah satu buah dari reformasi birokrasi di Indonesia antara lain diterbitkannya undang-undang nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), menggantikan UU No. 8/1974 jo UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, serta perubahannya. UU ASN ditujukan untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Reformasi birokrasi melalui penerapan kebijakan ASN akan berhasil dengan baik apabila dipenuhi prasyarat sebagai berikut: pertama, pemerintah dan masyarakat membangun tradisi kepemimpinan dalam birokrasi yang mendorong kinerja aparatur yang profesional, inovatif, handal dan bersih. Kedua, pemerintah melaksanakan manajemen ASN yang bersifat meritokrasi secara konsisten dan berkelanjutan. Ketiga, pemerintah dan masyarakat mampu melaksanakan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan aparatur negara berdasarkan norma, standar, dan kode etik yang berlaku,

sehingga dapat menjaga integritas aparatur melalui penegakan hukum bagi pejabat yang melanggar kewenangan secara adil dan tegas. Keempat, mengungkit daya kritis masyarakat untuk mengawasi birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

Kata kunci: Reformasi Birokrasi, ASN, Kepemimpinan, Kode Etik, Kinerja Aparatur____________________________________

DDC: 352.14I Wayan Gede Suacana

TANTANGAN DAN PELUANG OTONOMI DESA DALAM MEMBANGUN GOVERNANCE DESA DI BALI

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 105-123

Timbulnya dualitas administrasi desa (kantor/administratif dan pakraman/adat) di Bali sejalan dengan penerapan produk hukum pemerintah Orde Baru yang mengatur administrasi desa, yaitu UU No. 5/1979. Dualitas pemerintahan desa secara ekonomi dan politik telah mengubah tata kelola pemerintahan desa. Pada masa pemerintah Orde Baru, peranan aparat desa tampak sangat dominan, khususnya untuk memenangkan Golkar dalam setiap pemilu dan penerapan program pembangunan. Dominasi aparat desa dalam sistem desa yang baru menurun sejak pencabutan penerapan UU No. 5/1979 dengan diterapkannya UU No. 22/1999 yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.

Abstrak | xi

23/2014 tentang Desa. Di era demokrasi dan otonomi luas seperti sekarang, penerapan ide dan format pemerintahan desa diharapkan berkesesuaian dengan konfisi nyata dari sosial budaya masyarakat Bali. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan desa di Bali, khususnya pakraman yang diharapkan menjadi benteng terakhir kelangsungan dari budaya asli Bali.

Kata kunci: otonomi desa, tata kelola pemerintahan desa____________________________________

DDC : 303.626:363.3Sandy Nur Ikfal Raharjo

TINJAUAN BUKUMELIHAT KEMBALI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA MELALUI DERADIKALISASI

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Hlm. 125-138

Tulisan ini mengulas buku yang ditulis oleh Muhammad A.S. Hikam tentang penanggulangan terorisme melalui deradikalisasi. Ulasan berfokus pada tiga hal yaitu kenapa deradikalisasi perlu dilakukan, bagaimana deradikalisasi selama ini diimplementasikan, dan bagaimana seharusnya deradikalisasi dilaksanakan di masa yang akan datang. Walaupun ada kritik untuk buku ini tentang obyek deradikalisasi yang terlalu spesifik pada kelompok Islam radikal saja dan evaluasi program yang lebih banyak membahas pada aspek dalam negeri, ulasan ini sepakat dengan sang penulis

bahwa masyarakat sipil Indonesia harus diberdayakan dan dilibatkan secara lebih aktif dalam program deradikalisasi, baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Kata kunci: Deradikalisasi, Masyarakat Sipil Indonesia, Terorisme.____________________________________

Abstract | xiii

Volume 22, No.1, Tahun 2017 ISSN 0854-6029

JURNALILMU POLITIK

____________________________________

DDC: 321 : 330.95Saiful Mujani

ASIA’S DEMOCRATIC CONSOLIDATION: A TEST OF POLITICAL ECONOMIC MODEL

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 1-18

Asia is the continent which its countries have diverse level of democratic consolidation. This paper intends to test how realistic the political-economic model to explain the democrratic consolidation in a number of Asian countries. This study rests on the attitude of individual citizens who are observed through nationwide public opinion surveys in each country that became a case in this study, namely Japan, South Korea, Taiwan, Mongolia, Indonesia, the Philippines, and Malaysia. This study concluded several things. First, majority of public in those seven countries have a preference for democracy compared to other regimes, but there are variations in their democratic consolidation level. Second, the evaluation of the economic conditions affect the evaluation of government performance, which in turn affect the evaluation of the

performance of democracy, and at the end affect to the democratic consolidation. Third, the political-economic model could not explain the democratic consolidation of democrac in the Philippines and Mongolia, so it needs further study for the two cases. Fourth, the effect of political-economic factors on the democratic consolidation in general consistently separated from variations in political culture, especially the background of tradition or civilization of a nation such as religion, as well as socio-economic diversity such as education.

Keywords: Asia, democratic consolidation, political-economic model, public opinion survey.____________________________________

DDC: 320.567Erwin Indradjaja & Fredy B. L. Tobing

THE ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS) PHENOMENON: AN IN-TERNATIONAL RELATIONS STUDY

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 19-42

This article is to examine phenomena of ISIS in Iraq and Syria from perspective of

xiv | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Page xiii-xvii

International Relations studies. Phenomena of ISIS is begun when Al Baghdadi declares Islamic States on 9th of April 2013, which included the territory of Iraq and Syria. This claim is not only unsual but also interesting since overlapping with the territory of Iraq and Syria as sovereign states. In the onset of the movement, ISIS gains wide supports from Arabian kingdom in the Persian Gulf and most of muslim countries. With its economic capacity, ISIS could be claimed as “the richest Islamic covered terrorist group” in the current time. Despite its goal to implement Islamic sharia in hard way through brutal and terror, support for ISIS from the supporting countries have diminished in certain way. Complexity of phenomena of ISIS is analyzed with three perspectives in IR studies: realism, liberalism, and constructivism. Nevertheless its continuous existence, ISIS will tend to gain decreasing support from majority muslim countries and in other side there will be increasing numbers of opposing parties towards the ideas of ISIS and its movements.

Keywords: ISIS, Islamic State, conflict, Shia, Sunni, Iraq, Syria, AL Baghdadi, terrorism, realism, liberalism, and constructivism. ____________________________________

DDC: 341.23Irine Hiraswari Gayatri

ADOPTING UNSCR 1325 IN INDONESIA: SHARED EXPERIENCES, PROSPECTS, AND CHALLENGES

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 43-55

Throughout history, people in various states experience a different degree of impacts caused by armed conflicts. At the global scale, United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325 that signed in 2000 on women in an armed conflict marked as a significant step in recognizing women's role in peace processes as well as its significance in fulfillment of human rights. Since then the nature of world’s conflicts have changed, also the substance of what we sought as peace and security have evolved, as well as what termed as justice has been transformed. Until today 58 countries have adopted UNSCR 1325 as part of national law. This paper looks at the process, strategies and challenges in the formulation of Indonesia’s National Action Plans (NAP) on UNSCR 1325. This paper will describe the process in adopting UNSCR 1325 in Indonesia by elaborating the roles of actors and look at how they perceive and discuss adoption of global norms into national law. The main question of this paper is “how do structural spaces give effect to the adoption of UNSCR 1325 as a national action plan in Indonesia?” Structural spaces mean political environment that allow dynamics of relations among state and non-state actors and/ or institutions that influence the decision-making process in establishing policy. It is expected that this study will add to the discussions on women in peace and conflict, as well as to literature on contemporary International Relations.

Keywords: Indonesia, UNSCR 1325, Women in Armed Conflict.____________________________________

Abstract | xv

____________________________________DDC: 324.9598Daud Ferry Liando

EVALUATION OF THE SIMULTANEOUS REGIONAL ELECTION IN THE NORTH SULAWESI

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 57-74

The simultaneous regional election held in 2015 in North Sulawesi has not been successfully asexpected in the goals in Pilkada Law. It is because of low level of participation among the people, inefficiency in financing, and implementation of simultaneous regional election that do not have synchronized period of service with the inauguration process. This research is to answer three research questions; first why the goals of simultaneous regional election in North Sulawesi are not successfully achieved as it was expected? Second, what are the main obstacles that hindered the achievement of the expected goal? Third, what improvements that are needed in order to achieve the expected goals? This research is utilized policy evaluation theory, while in data collecting methods will be held through FGD and document studies on report of KPUD (Regional General Elections Commission) and Bawaslu (The Election Supervisory Agency). This research concludes that the goals of regional election is not successfully achieved because of selecetion of candidate does not involve the public, campaign promises is normative and not visionary, regulation problems, campaign financing, police financing, and financing of the KPPS (the Polling Station Working Committee).

Keywords: simultaneous regional election, participation, financing, periodisation.____________________________________

DDC: 305.4869709598Dwi Windyastuti Budi Hendrarti

WOMAN IN POLITICAL CONTESTATION: THE DESCRIPTIVE OF WOMEN REPRESENTATION IN LEGISLATIVE ELECTIONS 2014 AND LOCAL ELECTION 2015

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 75-90

This study attempts to identify the descriptive representation of women in legislative elections in 2014 and the local elections of 2015. This study is important because 30% quota of women fulfilled in Legislative Election 2014, and women were Involved in the electoral contestations. The study was done by taking documents about the participation of women in the elections of legislative election 2014 and local election 2015 in Surabaya, Sidoarjo district, Banyuwangi, Kediri and Lamongan. The documents is interpreted and Analyzed by using descriptive representation theory. The results showed that women's representation in descriptive remains critical due to: 1) contribute to the women's quota for women's representation has forced nominating power to political parties; 2) women have been assertive to seize power with political offices through a contestation and has electability; 3) the acceptability of voters towards women candidates resulted in many women's representation in the Legislature

xvi | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Page xiii-xvii

and the head of the region, the which have an impact on the accommodation of the interests of women in the government's policy agenda.

Keywords: acceptability, assertive, descriptive representation, the women's quota____________________________________

DDC: 352.63Dede Mariana

CIVIL SERVANT AND BUREAUCRACY REFORMATION

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 91-104

One of the product of bureaucracy reformation in indonesia is the ratification of Law No. 5/2014 on Civil Servant (ASN, AparaturSipil Negara), replacing the previous Law No 8/1974 jo Law No.43/1999 on the officials body and the changes. Civil Servant law aimed at building civil servant with integrity, professionalism, neutrality, free from political intervention, clean from corruption practice, collusion, and nepotism, also the ability to administer public service and playing a role as the entity in ensuring the unity of the nation based on Pancasila and UUD 1945. Bureacracy reformation through the implementation of Law Civil Servant will be considered successful if some requirements are fulfilled: First, government and public, together, must develop a professional, innovative, dependable, and clean leadership tradition capacity. Second, Government must execute a meritocracy civic government official management in a consistent and sustainable way. Third, government and public have to implement

control on government official practices based on applied norm, standard, and ethical code. The control enables to keep the integrity of government officials through a justified and forceful law enforcement on officials convicted in violation of the law. Fourth, to boost critical power of public in controlling bureaucracy in implementing government’s tasks.

Keywords: Bureaucracy reformation, Civil Servant, Leadership, ____________________________________

DDC: 352.14I Wayan Gede Suacana

CHALLENGES AND OPPORTUNITIES OF VILLAGE AUTONOMY TO BUILD VILLAGE GOVERNANCE IN BALI

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 105-123

E t h i c a l C o d e , C i v i l S e r v a n t Performance. The onset of the duality of the village administration (offices/administrative and pakraman/custom) in Bali in line with the enforcement of product legislation in the New Order government that regulate the village administration, namely Law No. 5 of 1979. The duality in the village administration is in practice politically and economically already shifting as the transformation in village governance. In the New Order government, the role of official village looked so dominant, especially in efforts to win Golkar every election and implementation of development programs. The dominance of this service

Abstract | xvii

new village diminished since the end of the application of Law No. 5 of 1979 with the enactment of Law No. 22 of 1999 which was later replaced by Law No. 32 of 2004 on Regional Government and Law No. 23 of 2014 on the village.

In an e ra o f democracy and broad autonomy today, it is expected to be implemented thoughts and village governments format most appropriate to the real conditions of socio-cultural people of Bali. This, in order to increase social welfare and empowerment of villagers in Bali, especially Pakraman, which have until now is still expected to become a last "fortress" for the survival of indigenous and Balinese culture.

Keywords: autonomous village, village governance

____________________________________

DDC : 303.626:363.3Sandy Nur Ikfal Raharjo

REVIEWING THE ERADICATION OF TERRORISM IN INDONESIA THROUGH DERADICALISATION

Jurnal Ilmu PolitikVolume 22, No.1 Tahun 2017, Page 125-138

This article reviews a book written by Muhammad A.S. Hikam on countering terrorism through deradicalization. The review focus on three things: why the deradicalization need to be done, how the deradicalization was being implemented,

and how the deradicalization should be executed in the future. Besides criticizing that author’s focus of deradicalization subject was on merely Islamic radical groups and his evaluation seemed to be overly domestic level, this review agree with author’s standpoint that Indonesian civil society should be empowered and actively involved in the preparation, implementation, and evaluation of the radicalization program.

Keywords: deradicalization, Indonesian civil society empowerment, terrorism.____________________________________

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 1

KONSOLIDASI DEMOKRASI ASIA:SEBUAH TES MODEL EKONOMI POLITIK

ASIA’S DEMOCRATIC CONSOLIDATION: A TEST OF POLITICAL ECONOMIC MODEL

Saiful Mujani

Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta

Email: [email protected]: 3 Oktober 2016; direvisi: 25 Oktober 2016; disetujui: 6 Desember 2016

Abstract

Asia is the continent which its countries have diverse level of democratic consolidation. This paper intends to test how realistic the political-economic model to explain the democrratic consolidation in a number of Asian countries. This study rests on the attitude of individual citizens who are observed through nationwide public opinion surveys in each country that became a case in this study, namely Japan, South Korea, Taiwan, Mongolia, Indonesia, the Philippines, and Malaysia. This study concluded several things. First, majority of public in those seven countries have a preference for democracy compared to other regimes, but there are variations in their democratic consolidation level. Second, the evaluation of the economic conditions affect the evaluation of government performance, which in turn affect the evaluation of the performance of democracy, and at the end affect to the democratic consolidation. Third, the political-economic model could not explain the democratic consolidation of democrac in the Philippines and Mongolia, so it needs further study for the two cases. Fourth, the effect of political-economic factors on the democratic consolidation in general consistently separated from variations in political culture, especially the background of tradition or civilization of a nation such as religion, as well as socio-economic diversity such as education.

Keywords: Asia, democratic consolidation, political-economic model, public opinion survey.

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

2 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

Abstrak

Asia merupakan benua di mana negara-negaranya memiliki tingkat konsolidasi dalam demokrasi yang beragam. Tulisan ini bermaksud untuk menguji seberapa realistik model ekonomi-politik untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di sejumlah demokrasi Asia. Studi ini bertumpu pada sikap individu warga yang diobservasi lewat survei opini publik nasional di masing-masing negara yang menjadi kasus studi ini, yaitu Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Mongolia, Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Penelitian ini menyimpulkan beberapa hal. Pertama, secara umum masyarakat di ketujuh negara tersebut mayoritas punya preferensi terhadap demokrasi dibanding terhadap rezim lainnya, tetapi ada variasi konsolidasi demokrasi di ketujuh negara tersebut. Kedua, Evaluasi atas kondisi ekonomi berpengaruh terhadap evaluasi atas kinerja pemerintah, yang pada gilirannya berpengaruh pada evaluasi atas kinerja demokrasi, dan ujungnya berpengaruh pada konsolidasi demokrasi. Ketiga, model ekonomi-politik tidak dapat membantu utuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di Filipina dan Mongolia, sehingga perlu telaah lebih lajut untuk dua kasus tersebut. Keempat, efek faktor ekonomi-politik terhadap konsolidasi demokrasi ini secara umum konsisten lepas dari variasi budaya politik, terutama latar belakang tradisi atau peradaban suatu bangsa seperti agama, maupun keragaman sosial-ekonomi seperti pendidikan.

Kata kunci: Asia, konsolidasi demokrasi, model ekonomi-politik, survei opini publik.

Pendahuluan

Asia merupakan benua yang tipe rezimnya masih cukup beragam.

Cukup berbeda dibandingkan dengan Eropa Barat, Amerika Utara, Eropa Timur, dan Amerika Latin. Di Asia, beberapa negara sudah menganut sistem demokrasi dan masih banyak pula yang menganut otokrasi seperti Korea Utara, Republik Rakyat Tiongkok, dan Singapura. Tingkat konsolidasi dalam demokrasi masing-masing negara pun masih beragam.

Kalau menggunakan penilian kebebasan oleh Freedom House sebagai indikator dari demokrasi dan konsolidasinya, negara-negara di Asia yang paling bebas, baik yang berkaitan dengan hak-hak politik maupun kebebasan sipil, masih sedikit, yakni Jepang, Korea

Utara, dan Taiwan.1 Belakangan, India menunjukkan kemajuan berarti hingga statusnya naik dari ”setengah bebas” menjadi ”bebas penuh.” Demikian juga Mongolia. Sebaliknya, kemunduran demokrasi paling tajam dialami Thailand. Sebelumnya negara ini sempat dinilai ”setengah bebas”, sekarang dinilai ”tidak bebas” lagi.2

Filipina adalah potret demokrasi lain di Asia. Sejak jatuhnya rezim otoritarian Marcos, Filipina belum mengalami kemajuan demokrasinya. Demikian juga Malaysia. Negara ini secara teratur menyelenggarakan pemilu yang dinilai

1 Laporan tahunan tentang kebebasan di seluruh dunia oleh Freedom House bisa diakses di https://freedomhouse.org/sites/default/files/FH_FITW_Report_2016.pdf tidak ada tanggal akses

2 Ibid

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 3

cukup demokratis, tapi sampai hari ini demokrasi di Malaysia masih belum terkonsolidasi, terutama berkaitan dengan kebebasan sipil, seperti kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, dan kebebasan press.3

Indonesia memberi gambaran berbeda. Demokrasi Indonesia lebih muda dari demokrasi-demokrasi lainnya di Asia seperti India, Filipina, Malaysia, dan Thailand, tapi cenderung lebih stabil dan semakin terkonsolidasi. Bahkan kalau menggunakan indikator Freedom House, Indonesia pernah menjadi negara yang bebas penuh, hampir mendekati tingkat kebebasan di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.4 Namun demikian dalam 5 tahun terakhir demokrasi Indonesia sedikit menurun terutama karena komponen kebebasan sipil yang menurun, dari sebelumnya ”bebas penuh” menjadi ”setengah bebas”. Sementara dalam pemenuhan hak-hak politik, sejak 15 tahun lalu sampai saat ini Indonesia dinilai ”bebas penuh” mendekati negara-negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi di Asia.5

Demokrasi baru di Asia yang terlihat mengalami kemajuan pesat sejauh ini adalah Mongolia. Negeri kecil ini sekarang dinilai sebagai demokrasi baru yang tingkat kebesannya masuk dalam kategori ”bebas penuh”, hampir mirip dengan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara Myanmar yang

3 Ibid

4 Ibid.

5 Ibid.

baru saja menyelenggarakan pemilihan umum yang dinilai cukup demokratis masih terlalu dini untuk dinilai ”setengah bebas” sekalipun.6

Di Asia terlihat variasi konsolidasi demokrasi, dari yang paling kurang terkonsolidasi seperti Thailand hingga yang paling terkonsolidasi seperti Jepang. Salah satu model yang dipercaya bisa menjelaskan variasi konsolidasi demokrasi adalah model ekonomi politik. Tulisan ini merupakan hasil tes sejauh mana model ekonomi politik bisa menjelaskan konsolidasi demokrasi Asia.

Sosial-Ekonomi dan Ekonomi PolitikModel Modernisasi politik mengklaim bahwa demokrasi berkaitan dengan perkembangan sosial-ekonomi sebuah negara. Eksemplar terbaik model ini adalah karya Lipset,7 Bollen dan Jackman.8 Semakin berkembang sosial-ekonomi sebuah negara maka semakin maju demokrasinya. Negara-negara demokrasi maju seperti di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang dipercaya berhubungan dengan kemajuan sosial ekonomi negara-negara tersebut. Studi lebih belakangan, dengan kasus yang lebih ekstensif, menunjukan bahwa

6 Ibid

7 Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy.”The American Political Science Review Vol. 53/1, (1959), hlm. 69-105.

8 Kenneth A Bollen,., dan Robert W. Jackman, “Economic and Non economic Determinants of Political Democracy in the 1960s.” Research in Political Sociology. I,. (1985).

4 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

faktor sosial-ekonomi berhubungan dengan stabilitas demokrasi (democratic stability), bukan dengan kemunculan demokrasi (democratic emergence) .9

Model modernisasi tersebut tidak menunjukkan secara ekplisit sejauh mana demokrasi terkonsolidasi karena demokrasi memberi insentif terhadap warga, secara individual maupun kolektif. Pertanyaan ini menjadi penting karena cukup banyak kasus yang menunjukkan perkembangan sosial-ekonomi tidak menghasilkan demokrasi, dan apalagi membuat demokrasinya terkonsolidasi. Singapura, dan negara-negara teluk di Timur Tengah misalnya sampai hari ini belum menjadi demokrasi padahal secara sosial-ekonomi mereka sangat maju dibandingkan banyak demokrasi baru di dunia seperti India, Indonesia, Filipina, Mongolia, sejumlah negara di Afrika, dan negara-negara Amerika Latin.

Negara-negara seperti Singapura dan negara-negara Arab tersebut tidak menjadi demokrasi mungkin karena rezim non-demokrasi mereka memberikan insentif terhadap kehidupan mereka. Tanpa demokrasi mereka bisa sejahtera secara sosial ekonomi.

Model ekonomi politik pada intinya meyakini bahwa dukungan terhadap rezim, sistem politik, atau polity, akan terjadi bila rezim tersebut memberikan insentif, terutama insentif ekonomi, terhadap warganya, apapun rezim itu,

9 Adam Prezeworksi, , Michael E. Alvarez, Jose Antonia Cheibub, dan Fernando Limongi. Democracy and Development. Political Institutions and Well-Being in the World, 1950–1990. (New York: Cambridge University Press, 2000).

demokrasi maupun bukan demokrasi10 (Finke, Muller dan Seligson 1987). Dukungan terhadap demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, akan tumbuh dan semakin kuat bila warga dalam sebuah demokrasi menilai kinerja demokrasi tersebut secara umum baik, dan kinerja demokrasi dinilai baik bila pelaksanaan pemerintahan dalam demokrasi tersebut juga dinilai baik, dan kinerja pemerintahan dinilai baik bila keadaan ekonomi warga atau negara juga dinilai baik. Kata Clarke et al, ”public support for...polity and society more generally, are driven by reactions to the performance of national economies and judgments concerning governments’ effectiveness in managing them.” 11

Lebih jauh Clarke et al berargumen:

“…variations in macroeconomic conditions may influence levels of citizen support not only for incumbent governments, but also for a country’s political and social arrangements. The potential for such influences is enhanced because beliefs about government’s responsibility for the economy reinforce and are, in turn, reinforced by a strand in democratic theory which holds that governmental and social arrangements have contingent legitimacy, depending upon their efficacy in meeting public needs and demands… In this regard, it commonly is hypothesized -- depending on the intensity of economic problems and

10 Ian McAllister, “The Economic Performance of Governments.” Critical Citizens. Global Support for Democratic Governance.” Disunting oleh Pippa Norris. (Oxford: Oxford University Press, 1999).

11 Harold D Clarke,.,Nitish Dutt, dan Allan Kornberg, ”The Political Economy of the Attitudes toward Polity and Society in Western European Democracies.” Journal of Politics Vol. 55/4, 1993, hlm. 998-1021.

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 5

the extent to which they diminish citizens’ satisfaction with their lives -- that economic discontent gives rise to calls for political and social change. Should economic well-being decline sharply, people’s faith in the ability of an ongoing political system to meet their aspirations will be eroded, and demands for radical restructuring of the polity and society will escalate.” 12

Dengan kata lain, otokrasi pun bisa diterima dan menjadi stabil bila otokrasi tersebut memberikan insentif ekonomi bagi rakyat. Sebaliknya, demokrasi tidak akan mudah diterima dan apalagi menjadi terkonsolidasi bila dalam praktiknya tidak membuat rakyat lebih sejahtera.

Sebuah rezim akan didukung kalau ia membuat rakyatnya sejahtera, dan sebaliknya akan ditolak bila membuat rakyatnya sengsara. Bila keadaan ekonomi di sebuah negara dinilai buruk maka yang pertama disalahkan atau dinilai paling bertenggung jawab adalah pemerintah sehingga pemerintah dinilai buruk kinerjanya, dan pada gilirannya kinerja demokrasi sebagai sebuah sistem di mana pemerintahan bekerja juga akan dinilai buruk, dan akhirnya dukungan terhadap demokrasi sebagai satu tipe rezim atau sistem politik akan luntur. 13

Demikianlah rangkaian argumen ekonomi politik tentang konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi terjadi ketika demokrasi dirasakan berguna bagi kehidupan sosial-ekonomi warga. Dengan kata lain, warga atau bangsa dalam sistem demokrasi akan semakin mendukung demokrasi hingga demokrasi makin kuat,

12 Ibid, hlm 100-101.

13 Ibid.

makin terkonsolidasi, kalau ternyata demokrasi menciptakan kesejahteraan bagi warga.

Konsep dan PengukuranKonsep-konsep pokok dalam model ekonomi politik konsolidasi demokrasi dalam studi ini adalah ”konsolidasi demokrasi” i tu sendir i , ”kinerja demokrasi,” ”kinerja pemerintah,” dan ”kondisi ekonomi warga dan negara.”

S a m p a i s e k a r a n g k o n s e p ”konsolidasi demokrasi” masih terus diperdebatkan di kalangan ahli demokrasi. Salah satu definisi operasional yang sering dikutip tentang konsolidasi demokrasi adalah yang dikemukakan Linz dan Stepan. Kata keduanya, sebuah demokrasi terkonsolidasi bila: 1) secara perilaku, tidak ada kelompok dalam masyarakat yang secara sungguh-sungguh ingin mengganti demokrasi; 2) secara sikap, kebanyakan warga menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik; dan 3) secara konstitusional, bila semua institusi atau organ negara bekerja sesuai dengan konstitusi demokrasi.14

”Secara sikap, kebanyakan warga menerima demokrasi sebagai sistem pemerintahan terbaik” merupakan satu aspek bahwa sebuah demokrasi terkonsolidasi. Tentu saja, ini hanya satu aspek, dan untuk telaah lebih komprehensif dibutuhkan penilaian dari dua aspek lainnya yang dikemukakan Linz dan Stepan tersebut. Atas dasar

14 Juan J Linz, dan Alfred Stepan.. The Problem of Democratic Trasitions and Consolidations. Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. (Baltimore: Johns Hopkins University Press,1996).

6 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

ketersediaan data, konsolidasi demokrasi dalam studi ini terbatas pada aspek sikap warga terhadap demokrasi (attitudes) tersebut. Secara lebih spesifik, aspek ini dalam survei opini publik sering dioperasionalkan ke dalam sejumlah variabel, yang intinya ingin mengukur tingkat penerimaan, preferensi, keinginan, atau dukungan pada demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan.15

Dalam studi s ikap terhadap sistem politik, termasuk sikap terhadap demokrasi, praktik atau kinerja demokrasi biasa dipahami dari banyak gejala, dan dalam survei opini publik yang biasa digunakan untuk studi tentang sikap, biasa bersandar pada serangkaian pertanyaan untuk mencermati gejala-gejala kinerja demokrasi tersebut, yang dibedakan dari sikap mendukung demokrasi seperti yang telah dikemukakan di atas sebagai ukuran dari konsolidasi. Intinya varibel-variabel yang digunakan adalah untuk mengukur sejauh mana demokrasi telah dipraktikan secara nyata di sebuah negara, dan seberapa baik praktik itu telah dilakukan.16

Selanjutnya kinerja demokrasi di atas, menurut model ekonomi-politik, dipengaruhi bagaimana kinerja pemerintah, dalam riset opini publik tentang konsolidasi demokrasi, dapat diukur dari serangkaian pertanyaan untuk mengamati gejala kinerja pemerintahan tersebut. Intinya, seberapa

15 Secara rinci variable-variabel konsolidasi demokrasi yang dimaksud dan digunakan dalam studi ini lihat Appendiks.

16 Operasionalisasi varibel-variabel itu dalam survei lihat Appendiks.

baik atau buruk pemerintah menjalankan pemerintahannya, seberapa puas atau tidak puas rakyat dengan kinerja tersebut. Ini mencakup banyak sektor yang dinilai strategis dan menjadi perhatian publik.17

Menurut model ekonomi politik, penilian atas kinerja pemerintah secara umum banyak dipengaruhi oleh penilian atas kondisi ekonomi warga (egotropik) maupun negara (sosiotropik). Apakah warga menilai kondisi ekonomi itu baik atau buruk, makin baik atau makin buruk, sekarang dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (retrospektif), dan sekarang dibanding tahun-tahun ke depan (prospektif).18 Bila warga menilai bahwa keadaan ekonomi baik atau lebih baik sekarang atau akan lebih baik ke depan maka warga tersebut akan menilai baik kinerja pemerintah. Sebaliknya, akan menilai buruk pemerintah. Pada gilirannya, akan berdampak pada penilian atas kinerja demokrasi, dan ujungnya akan berpengaruh pada konsolidasi demokrasi yang diukur dari sikap mendukung demokrasi seperti telah dikemukakan di atas.

Metode, Kasus, dan DataStudi ini bertumpu pada sikap individu warga yang diobservasi lewat survei opini publik nasional di masing-masing negara yang menjadi kasus studi ini: Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Mongolia, Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Mengapa negara-negara tersebut kasusnya? Studi ini tentang

17 Juga lihat Appendiks untuk persisnya.

18 Lihat Appendiks untuk lebih rincinya.

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 7

konsolidasi demokrasi. Karena itu yang dipilih adalah negara-negara demokrasi Asia, dan kalau demokrasi secara longgar dipahami dalam kerangka kebebasan politik dan kebebasan sipil sebagaimana dikemukakan Freedom House, maka ketujuh negara tersebut termasuk ke dalamnya, dengan derajat yang bervariasi tentunya. Banyak demokrasi lain di Asia yang tidak diteliti di sini karena perkembangan terakhir yang menunjukan demokrasinya gagal, yakni Thailand, dan sejumlah kasus besar lain karena tak tersedia atau penulis tak punya akses datanya, yakni India, Srilangka, dan Nepal. Sisanya, belum demokratis seperti Korea Utara, Republik Rakyat Tiongkok, Vietnam, Afghanistan, dan Pakistan, atau masih kurang cukup demokratis seperti Singapura, Kamboja, Laos, Bangladesh, dan Myanmar sehingga kurang relevan untuk ditelaah konsolidasi demokrasinya.

Data survei nasional negara-negara yang terpilih dalam studi ini tersedia di Asianbarometer, sebuah lembaga tempat berkumpunya ilmuan perbandingan politik yang menggunakan survei opini publik sebagai metode studi mereka.19 Dalam survei Asianbarometer, masing-masing negara peserta diteliti lewat survei opini publik dengan sampel berskala nasional, dan pada prinsipnya bertumpu pada teknik probability sampling. Survei dilakukan dalam waktu berbeda-beda dalam rentang waktu tahun 2000-2008.

Berikut adalah hasil uji model ekonomi politik untuk kosnsolidasi demokrasi di sejumlah demokrasi Asia

19 Asianbarometer dapat diakses di www.asianbarometer.org

yang ditelaah di sini. Pertama, akan dikemukakan variasi konsolidasi mereka sebagai dependen variable. Kemudian disajikan kinerja demokrasi dan kinerja pemerintah, dan kemudian variasi kondisi ekonominya. Bersamaan dengan itu, diuji seberapa signifikan efek masing-masing faktor itu terhadap konsolidasi demokrasi.

Pada bag ian akh i r ana l i s i s dikemukakan sejauhmana efek tersebut konsisten setelah mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, yakni pendidikan, dan agama. Kedua faktor tersebut secara teoretis dan empiris dipercaya berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi sehingga mungkin saja efek ekonomi politik tersebut menjadi tidak signifikan setelah mempertimbangkan dua faktor tersebut dalam analisis.20

Variasi KonsolidasiKonsolidasi demokrasi pada tingkat sikap individual di tujuh kasus negara demokrasi Asia secara umum cukup tinggi.21 Secara umum, warga di negara-

20 Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites …”, hlm. 69-105. Kenneth A Bollen,., dan Robert W. Jackman, “Economic and Non economic …”. Adam Prezeworksi, , Michael E. Alvarez, Jose Antonia Cheibub, dan Fernando Limongi. “Democracy and Development…”. Gabriel Almond, dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. (Princeton: Princeton University Press, 1963). Ronald,Inglehart, “The Renassance of Political Culture.” The American Political Science Review Vol. 82/.4, 1988, hlm. 1203-1230. Robert D, Putnam, Robert Leonardi, dan Raffaella Y. Nanetti. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. (New Jersey: Princeton University Press, 1994).

21 Respon atas ketujuh pertanyaan (lihat appendiks) yang merupakan ukuran konsolidasi demokrasi tersebut distandarkan kedalam respon berskala ordinal 1-4, di mana satau sangat negatif, dan 4 sangat positif. Kemudian rrspon dari ke-7 variable itu

8 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

negara tersebut lebih menginginkan demokrasi dibanding rezim lainnya. Tidak ada satu kasus pun dari tujuh kasus tersebut yang mayoritas warganya tidak menginginkan demokrasi. Preferensi atas demokrasi dibanding rezim selainnya, rata-rata di atas 60%. (Tabel 1)22

Kalau dibandingkan, konsolidasi demokrasi di antara ke-7 negara tersebut cukup bervariasi, meskipun semuanya berada di atas 60% sebagai batas paling rendah sebuah demokrasi terkonsolidasi pada tingkat sikap. Konsolidasi demokrasi paling tinggi adalah pada warga Indonesia, yang tak berbeda signifikan dengan warga Jepang, dan Korea Selatan. Kemudian urutan berikutnya ditemukan pada warga Malaysia yang kurang lebih sama dengan pada warga Taiwan. Kemudian pada urutan ketiga adalah pada warga Mongolia, dan urutan terakhir pada warga Filipina. (Tabel 1) Variasi preferensi atas demokrasi tersebut, atau konsolidasi demokrasi, di keempat kelompok negara tersebut - dilihat dari sikap positif warganya pada demokrasi - signifikan secara statistik (P <.001).

Variasi yang signifikan terutama antara Indonesia dan Jepang di satu sisi, dan Filipna di sisi yang lain. Indonesia yang merupakan demokrasi baru, dan dalam lima tahun terakhir

dijumlahkan hingga membentuk indeks konsolidasi demokrasi berskala 0-1. Makin mendekati 0, maka konsolidasi makin rendah, dan sebaliknya makin tinggi. Realibility test (Cranbach Alpha) atas indeks itu sebesar .497.

22 Pada Tabel I, skor rata-rata konsolidasi demokrasi disederhanakan ke dalam dua bagian untuk memudahkan dalam penyajian. Bila skor di bawah .60 berarti preferensi pada non-demokrasi, dan di atasnya pada demokrasi.

dinilai mengalami kemunduran dalam demokrasinya kalau menggunakan indeks kebebasan yang dikeluarkan Freedom House, ternyata pada aspek sikap sangat bagus dibanding Filipina. Bahkan dibandingkan dengan Mongolia, yang kebebasannya sekarang – menurut Freedom House - lebih baik dibanding Indonesia.23 Juga konsolidasi demokrasi pada tingkat sikap di Malaysia ternyata lebih baik dari Filipina padahal menurut Freedom House kebebasan di Malaysia lebih rendah dibanding di Filipna.24

Tabel 1. Statistik Deskriptif

Preferensi atas Rezim di Sejumlah Demokrasi Asia

Apakah model ekonomi politik dapat menjelaskan perbedaan tersebut? Sejauh mana kinerja atau praktik demokrasi berpengaruh terhadap sikap atas demokrasi itu sendiri? Untuk menjawab itu berikut disajikan terlebih

23 Lihat Freedom House: Loc. Cit.

24 Perbedaan skor konsololidasi demokrasi pada tingkat sikap dengan penilaian Freedom House sangat bisa terjadi karena aspek yang diukur dan cara pengukrannya berbeda. Freedom bersandar pada rating yang diberikan oleh sejumlah panelis (ahli) atas dasar informasi media dan wawancara dengan elite berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pelanggaran atas praktik, bukan skap, kebebasan politik mapun kebebasan civil (civil liberty). Survey opini publik di sini hanya berkaitan dengan sikap yang dirasakan oleh warga umumnya.

Tipe rezim Negara

Non-demokrasi Demokrasi N

Indonesia 9.4% 90.6% 1598 Jepang 10.0% 90.0% 1067 Korea Selatan 12.7% 87.3% 1212 Malaysia 15.4% 84.6% 1218 Taiwan 18.0% 82.0% 1587 Mongolia 27.2% 72.8% 1211 Filipina 38.5% 61.5% 1200 Statistik x²: value/df/sig.: 552.736/6/.000

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 9

dahulu bagaimana kinerja demokrasi itu sendiri.

Kinerja DemokrasiSebagaimana telah dikemukakan di bagian awal studi ini, model eknomi politik pada dasarnya mengklaim bahwa konsolidasi demokrasi ditentukan oleh kinerja atau pelaksanaan demokrasi itu sendiri, dan kinerja ini ditentukan oleh kinerja pemerintah dalam sistem demokrasi, dan penilian atas kinerja pemerintahan tersebut ditentukan oleh penilian atas kondisi ekononomi pada tingkat individu mapun negara.

Kinerja demkokrasi di negara-negara yang ditelaah di sini dengan indikator-indikator yang telah dikemukakan sebelumnya adalah sebagai berikut.25

Secara umum, kinerja demokrasi di tujuh demokrasi Asia menurut penilian warga mereka masing-masing adalah sedang. Rata-ratanya (mean score) 0.65 dalam skala 0.0-1.0. Kinerja demokrasi ini juga cukup bervariasi antara negara, dan variasi ini signifikan secara statistik (P<.001).

Di antara ketujuh negara tersebut, penilian warga atas kinerja demokrasi diberikan tertinggi oleh warga Indonesia (.71) dan Malaysia (.68), dan terrendah diberikan oleh warga Korea Selatan (.61) dan Jepang (.62). Perbedaan penilian tersebut, antara di Indonesia dan Malaysia

25 Kinerja demokrasi dalam studi ini adalah sebuah indeks berskala 0-1 yang dikonstruksi dari 12 variabel yang telah dikemukakan (lihat appendiks). Semua variabel saling berkorealsi secara signifikan, dan realibility test (cranbach alpha) menunjukan bahwa indeks tersebut realible (.78).

dan Korea Selatan atau Jepang sangat menarik. Ini semacam counter-intuitive karena para pengamat demokrasi di Asia ataupun dunia pada umumnya menilai bahwa kinerja demokrasi Korea Selatan dan Indonesia sangat berbeda, dalam arti bahwa di Korea Selatan kinerja demokrasinya lebih baik dibanding dengan kinerja demokrasi di Indonesia atau Malaysia.

Apakah perbedaan itu mencerminkan perbedaan kecenderungan di kedua masyarakat tersebut, di mana masyarakat Jepang atau Korea Selatan cenderung lebih menuntut ketimbang masyarakat Indonesia atau negara-negara demokrasi baru lainnya atas kinerja demokrasi mereka? Salah satu kemungkinannya adalah bahwa masyarakat Jepang dan Korea Selatan lebih kritis, mencerminkan apa yang disebut sebagai crtical citizen syndrom, dibanding masyarakat Indonesia dan Malaysia terhadap kinerja demokrasi di negara mereka masing-masing.26

Yang menjadi perhatian utama studi ini adalah sejauh mana penilian atas kinerja demokrasi di negara-negara tersebut berhubungan dengan sikap terhadap demokrasi (konsolidasi demokrasi) mereka. Tabel 5 menunjukkan bahwa kinerja demokrasi secara umum berhubungan positif dan signifikan dengan sikap atas atau konsolidasi demokrasi . Dengan kata lain, semakin baik kinerja demokrasi maka demokrasi semakin terkonsolidasi, dan demikian juga sebaliknya.

26 Pippa Norris, Critical Citizens. Global Support for Democratic Governance. (Oxford: Oxford University Press, 1999).

10 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

Namun demikian, ketika secara lebih spesifik telaah per negara dilakukan, hubungan tersebut bervariasi. Sejumlah negara menunjukkan bahwa kinerja dan konsolidasi demokrasi berhubungan positif dan signifikan, dan di sejumlah negara selebihnya hubungan tersebut tidak signifikan. (Tabel 5). Di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia, kinerja demokrasi berkaitan signifikan dan positif dengan konsolidasi demokrasi. Sementara di negara-negara selainnya hubungan tersebut tidak signifikan. Perlu analisis tersendiri mengapa perbedaan itu terjadi.

Tabel 2. Kinerja Demokrasi di Sejumlah Demokrasi Asia

Kinerja PemerintahSeperti telah dikemukakan di awal, model ekonomi politik menunjukkan bahwa kinerja demokrasi berkaitan dengan kinerja pemerintah. Semakin positif penilian atas kinerja pemerintah maka semakin positif juga penilian atas kinerja demokrasi. Sebaliknya, bila kinerja pemerintah buruk maka kinerja demokrasi juga akan terkena dampak negatifnya hingga kinerja demokrasi juga dinilai buruk. Dalam studi ini, kinerja pemerintah adalah evaluasi warga atas kinerja pemerintah dalam berbagai bidang, terutama berkaitan dengan

keperluan dasar warga, dan berbagai isu yang dinilai menjadi perhatian publik.27

Secara umum, kinerja pemerintah di ketujuh demokrasi Asia yang dianalisis di sini dapat dikatakan sedang, dengan skor rata-rata 0.64 dalam skala 0-1. (Tabel 3).28 Namun demikian, ada variasi yang signifikan kalau dibandingkan antara negara. Kinerja pemerintah Malaysia dibanding pemerintah Korea Selatan, dan bahkan dibandingkan dengan pemerintahan Jepang, misalnya, ternyata lebih baik menurut penilian warga mereka masing-masing. Setelah Malaysia, Indonesia juga lebih baik.

Perbedaan penilian warga ini kemungkinan karena di Jepang dan Korea Selatan warganya lebih menuntut dan lebih kristis terhadap kinerja pemerintah dibanding dengan di Malaysia atau Indonesia sebagai cerminan dari critical citizens syndrome seperti telah dikemukakan di atas. Apakah variasi ini mengasilkan variasi secara signifikan atas kinerja demokrasi.

Tabel 5 menunjukan, secara umum kinerja pemerintah berkorelasi sangat signifikan dan positif dengan kinerja demokrasi (r = .65, P<.01). Model ekonomi politik secara empirik sangat meyakinkan bahwa kinerja demokrasi berkaitan dengan kinerja pemerintah dalam sistem demokrasi tersebut.

27 Lihat appendiks tentang indikator-indikator kinerja pemerintah ini.

28 Kinerja pemerintah adalah indeks yang dikonstruksi dari indikator-indikator dalam appendeks. Indeks berskala 0-1, yang menunjukan smakin mendekati 0 semakin buruk, da semakin mendekati 1 semakin baik kinerja pemerintah tersebut. Realibility test atas indeks ini (Cranbach Alpha) 0.733

N Mean Std. Deviation Std. Error Minimum Maximum Indonesia 1012 .7109 .07118 .00224 .46 .95 Malaysia 843 .6770 .12017 .00414 .29 .98 Mongolia 926 .6372 .09763 .00321 .32 .89 Taiwan 1138 .6302 .09593 .00284 .27 .91 Filipina 885 .6244 .08803 .00296 .34 .88 Jepang 702 .6226 .09561 .00361 .30 .91 Korea 810 .6119 .08149 .00286 .36 .80 Total 6316 .6464 .09937 .00125 .27 .98 Statistik (Anova): F/Sig. = 136.568/.000

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 11

Tabel 3. Kinerja Pemerintah di Sejumlah Demokrasi Asia

Kondisi EkonomiModel ekonomi politik untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi meyatakan bahwa evaluasi atas kondisi ekonomi merupakan dasar dari evaluasi atas kinerja pemerintah, kinerja demokrasi, kemudian berujung pada konsolidasi demokrasi pada tingkat sikap. Sebelum menguji pola tersebut berikut adalah evaluasi atas kondisi ekonomi secara umum dan di masing-masing negara.

Respon positif atas kondisi ekonomi, keadaan ekonomi negara dan rumah tangga baik atau lebih baik, diyakini akan berdampak positif pula pada evaluasi atas kinerja pemerintah, kinerja demokrasi, dan kemudian konsolidasi demokrasi. Tabel 4 adalah statistik tentang evaluasi ekonomi negara dan keluarga.29

Secara umum di 7 demokrasi Asia warganya menilai bahwa kondisi ekonomi “sedang”, yakni 0.60 dalam skala 0.0 -1.0. Namun demikian ada

29 Keenam variable kondisi ekonomi tersebut masing-masing berskala ordinal, 1-5, di mana 1 paling negatif, dan 5 paling positif. Meskipun masing-masing punya arti berbeda, tapi untuk menyederhanakan analisis keenamnya digabungkan hingga membentuk faktor kondisi ekonomi. Skor keenam variabel tersebut dijumlahkan hingga membentuk indeks berskala 0-1. Realibilty test menunjukkan (Cranbach Alpha) 0.785.

perbedaan signifikan bagaimana warga menilai kondisi ekonomi mereka. Warga Malaysia paling positif dalam menilai kondisi ekonomi mereka (0.72), kemudian diikuti Mongolia (0.69), dan Indonesia (0.64). Sementara yang paling rendah nilai evaluasinya diberikan oleh warga Korea Selatan (0.49) dan warga Jepang (0.56). (Tabel 4).

Perbedaan evaluasi publik tersebut tidak terlalu mengherankan karena evaluasi terutama berkaitan dengan perubahan kondisi ekonomi beberapa tahun terakhir (retrospektif) dan beberapa tahun ke depan (prospektif). Di negara-negara yang ekonominya maju seperti Jepang dan Korea Selatan keadaan ekonomi negara-negara tersebut relatif lebih stabil ketika survei dilakukan, art inya t idak banyak perubahan, sedangkan untuk negara-negara seperti Malaysia dan Mongolia nampaknya cukup banyak perubahan, dan perubahan itu cenderung positif.

Tabel. 4. Kondisi Ekonomi Negara dan Keluarga di Sejumlah Demokrasi Asia

Efek Ekonomi PolitikSeperti telah dikemukakan dari awal, evaluasi atas kondisi ekonomi akan punya efek terhadap evaluasi atas kinerja pemerintah yang sedang berjalan, yang pada gilirannya akan punya efek pada

Statistik Negara N Mean Std. Deviation Std. Error Minimum Maximum Malaysia 1010 .7200 .11747 .00370 .29 1.00 Indonesia 1252 .6946 .10079 .00285 .39 1.00 Jepang 865 .6380 .09408 .00320 .32 .89 Filipina 1028 .6316 .11375 .00355 .29 .96 Mongolia 1014 .6054 .10738 .00337 .29 .93 Taiwan 1228 .6051 .10342 .00295 .32 .96 Korea 965 .5713 .09434 .00304 .25 .82 Total 7362 .6393 .11566 .00135 .25 1.00 Statistik (ANOVA): F/Sig. = 265.351/.000

Statistik Negara N Mean Std. Deviation Std. Error Minimum Maximum Malaysia 1006 .7159 .12331 .00389 .27 1.00 Mongolia 1166 .6863 .09048 .00265 .20 1.00 Indonesia 1365 .6429 .11299 .00306 .30 .93 Filipina 1002 .5874 .14618 .00462 .20 .97 Taiwan 1288 .5610 .11910 .00332 .20 1.00 Japan 941 .5572 .11069 .00361 .20 .87 Korea 1125 .4894 .11775 .00351 .20 1.00 Semua 7893 .6061 .13832 .00156 .20 1.00 Statistik (ANOVA): F/Sig. = 506.724/.000

12 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

evaluasi atas kinerja demokrasi, dan kemudian berpengaruh terhadap sikap atas demokrasi yang merupakan satu ukuran untuk konsolidasi demokrasi.

Statistik korelasi antara keempat komponen dalam model ekonomi politik untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi secara umum mengkonfirmasi argumen ekonomi politik tersebut. (Tabel 5). Secara umum, evaluasi atas kondisi ekonomi berkorelasi positif dan signifikan dengan evaluasi atas kinerja pemerintah, kinerja demokrasi, maupun dengan konsolidasi demokrasi secara langsung.

Model ekonomi politik secara u m u m m e m b a n t u m e n j e l a s k a n konsolidasi demokrasi. Pertanyaannya, sejauh mana model ini tetap bertahan ketika faktor-faktor “budaya politik” dan sosial-ekonomi dipertimbangkan secara bersama-sama untuk menjelaskan konsolidasi tersebut? Mengenai ini akan ditelaah di bawah.

Sebelumnya, perlu dikemukakan di sini, ada perbedaan penting bagaimana model ekonomi politik bekerja di masing-masing kasus yang ditelaah di sini. Korelasi paling konsisten antara komponen-komponen dalam model ekonomi politik terlihat dalam kasus Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Indonesia. Kondisi ekonomi, bukan hanya kinerja demokrasi dan kinerja pemerintah, punya korelasi signifikan dengan konsolidasi demokrasi di negara-negara tersebut tersebut.

Sementara i tu , dalam kasus Malaysia, kinerja demokrasi tidak mempengaruhi konsolidasi demokrasi.

Yang mempengaruhi konsolidasi demokrasi di negara tersebut adalah kiner ja pemerintah, dan kiner ja pemerintah dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di negara tersebut.

Model ekonomi politik nampkanya kurang membantu untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi dalam kasus Filipina dan Mongolia. Di Filipina, konsolidasi demokrasi tidak terpengaruh oleh kinerja demokrasi maupun kinerja pemerintah. Bahkan di negara tersebut, kondisi ekonomi berpengaruh negatif terhadap konsol idas i demokras i (Tabel 5). Penilian positif atas kondisi ekonomi justru berdampak negatif terhadap konsolidasi demokrasi. Fakta ini ”counter intuitive”, menyimpang dari kesenderungan umum dari semua negara yang ditelaah di sini. Ini perlu analisis lebih jauh secara tersendiri.

Di samping itu, di Mongolia juga terlihat anomali dari argumen ekonomi-politik tersebut. Kondisi ekonomi tak berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi, tapi kinerja demokrasi dan kinerja pemerintah berpengaruh signifikan secara negatif. Artinya, di negara tersbut, warga yang kecewa dengan kinerja demokrasi dan kinerja pemerintah cenderung lebih kuat bagi konsolidasi demokrasi di negeri tersebut. Ini juga kasus yang perlu telaah lebih jauh karena menyimpang dari gejala umum model ekonomi politik.

Tapi lepas dari kasus Filipina dan Mongolia tersebut, model ekonomi pol i t ik secara umum membantu menjelaskan konsolidasi demokrasi Asia. Kecenderungan ini tentu mengabaikan

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 13

faktor-faktor lain, misalnya budaya politik padahal sejumlah studi menunjukan pentingnya budaya politik tersebut bagi konsolidasi demokrasi seperti telah dikemukakan di bagian awal tulisan ini.

Konsistensi Model Ekonomi-PolitikPertanyaannya kemudian, seberapa konsisten model ekonomi politik ini menjelaskan konsolidasi demokrasi tersebut ketika mempertimbangkan faktor-faktor lain? Analisa statistik multivariate di bawah akan menjawab pertanyaan tersebut dengan menyertakan agama dan pendidikan sebagai kontrol terhadap faktor-faktor ekonomi politik tersebut. Bila efek ekonomi-politik

tidak menurun secara signifikan setelah dikontrol agama dan pendidikan maka efek ekonomi-politik tersebut konsisten. Mengapa agama dan pendidikan dipertimbangkan untuk mengontrol efek ekonomi politik?

Banyak studi menunjukan bahwa agama punya pengaruh terhadap demokrasi. Model civic culture yang dikemukakan Almond dan Verba30 , yang selanjutnya dikembangkan di nataranya oleh Inglehart31 dan Putnam32 menunjukan bahwa tradisi protestan

30 Gabriel Almond, dan Sidney Verba, ”The Civic Culture: Political Attitudes…”.

31 Ronald,Inglehart, “The Renassance of…”.

32 Robert D, Putnam, Robert Leonardi, dan Raffaella Y. Nanetti. “Making Democracy Work…”

** dan * masing-masing korelasi secara statistik signifika pada tingkat 0.01 dan .05 (2-tailed).

Negara Faktor ekonomi-Politik

Kinerja Pemerintah

Kinerja demokrasi

Konsolidasi demokrasi

Semua Kondisi ekonomi .450** .371** 0.038** Kinerja pemeritah - .659** .121** Kinerja demokrasi - .141** Jepang Kondisi ekonomi .317** .315** .154** Kinerja pemeritah .696** .153** Kinerja demokrasi .228** Korea Selatan Kondisi ekonomi .344** .191** .093** Kinerja pemeritah .604** .194** Kinerja demokrasi .218** Taiwan Kondisi ekonomi .363** .149** .179** Kinerja pemeritah .692** .091** Kinerja demokrasi .195** Mongolia Kondisi ekonomi .417** .354** .023 Kinerja pemeritah .599** -.067* Kinerja demokrasi -.085* Indonesia Kondisi ekonomi .333** .294** .085** Kinerja pemeritah .621** .120** Kinerja demokrasi .151** Filipina Kondisi ekonomi .404** .243** -.077* Kinerja pemeritah .474** .058 Kinerja demokrasi .036 Malaysia Kondisi ekonomi .440** .375** .019 Kinerja pemeritah .739** .101** Kinerja demokrasi .041

Tabel 5. Korelasi Pearson Faktor Ekonomi Politik dan Konsolidasi Demokrasi Beberapa Kasus Asia

14 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

dibanding tradisi Katolik punya hubungan positif dengan demokrasi. Di samping itu, warga yang kurang taat atau bahkan tidak beragama lebih positif hubungannya dengan civic engagement, dan pada gilirannya berdampak positif terhadap demokrasi ketimbang warga yang relijius.33 Huntigton bahkan memperluas efek negatif agama ini dalam skala global. Menurutnya, selain peradaban Barat, terutama peradaban atau tradisi Protestan, peradaban selainnya punya hubungan negatif dengan demokrasi.34

Sementara itu, model modernisasi meyakini bahwa demokrasi ditentukan oleh tingkat pembangunan social-ekonomi, terutama tingkat pendapatan dan pendidikan..35 Pada level individual, karena itu, semakin baik tingkat pendidikan seorang warga maka diharapkan semakin kuat untuk konsolidasi demokrasi.

Dengan efek signifikan dari agama dan pendidikan seperti itu diharapkan efek ekonomi politik menjadi tidak penting karena di balik efek ekonomi politik itu kemungkinan adalah faktor sosial-ekonomi dan agama. Dengan kata lain ekonomi politik kemungkinan bergantung pada faktor sosial-ekonomi dan agama tersebut. Ia bukan faktor

33 Ibid.

34 Samuel P. Huntington,. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. (New York, NY: Simon and Schuster, 1996).

35 Seymour Martin Lipset, “Some Social Requisites …”, hlm. 69-105. Kenneth A Bollen,., dan Robert W. Jackman, “Economic and Non economic …”. Adam Prezeworksi, , Michael E. Alvarez, Jose Antonia Cheibub, dan Fernando Limongi. “Democracy and Development…”.

yang independen dalam mempengaruhi konsolidasi demokrasi. Apakah demikian?

Tabel 6 menunjukan hasil analisis statistik multivariate tersebut.36 Faktor ekonomi politik (kondisi ekonomi, kiner ja pemerintah, dan kiner ja demokrasi) ternyata punya efek positif dan signifkan terhadap konsolidasi demokrasi. Efek ini konsisten lepas dari faktor-faktor lain - agama, pendidikan, dan demografi lainnya seperti perbedaan seks, pendaatan, maupun umur. Dengan kata lain, ekonomi-politik secara umum punya pengaruh independen terhadap konsolidasi demokrasi di sejumlah demokrasi Asia. Pengaruhnya terhadap 36 Dalam analisi multivariate (multi-regresi linear) ini, dependent variable adalah konsolidasi demokrasi yang dikonstruksi dari 7 item dilaporkan di Appendiks. Karena variasi dari konsolidasi ini tidak normal, sebenarnya regresi linear tidak cocok. Regresi non-linear seperti Logit atau Probit lebih disarankan. Tapi cara membaca logit atau probit kurang sederhana. Dalam studi ini logit dicoba, dan hasilnya kurang lebih sama dengan regresi linear. Karena alasan kemudahan untuk membandingkan efek dari independent variabel terhadap dependent variable (konsolidasi demokrasi) yang disertakan dalam analisis maka studi ini melaporakan hasil regresi linear tersebut. Dalam analisis ini, disertakan faktor seks dan umur. Pendidikan adalah tingkat pendidikan berskala 1-10, dari tidak pernah sekolah formal hingga berpendidikan S-3. Tingkat pendapatan tidak disertakan karena pendapatan berkorelasi sangat signifikan dengan pendidikan. Cukup pendidikan saja untuk menggambarkan efek sosial-ekonomi. Demikian juga jenis pekerjaan, antara kerah putuh vs. Kerah biru. Agama adalah indeks yang dikonstruksi dari variabel beragama versus tidak beragama, dan klaim diri seberapa taat terhadap agama (taat vs. Tidak taat).Faktor ekonomi politik, yakni evaluasi atas kondisi ekonomi nasional dan rumah tangga, kinerja pemerintah, dan kinerja demokrasi saling berkorelasi secara kuat, dan analisa faktor menunjukan ketiganya membentuk satu dimensi, yang di sini disebut sebagai faktor ekonomi-politik. Faktor ini merupakan indeks (factor scores) yang dikonstruksi lewat analisis faktor tersebut.

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 15

konsolidasi demokrasi tidak dibentuk oleh faktor pendidikan; juga tidak bisa diperlemah oleh faktor agama. Bila kondisi ekonomi, pelaksanaan pemerintah, dan praktik demokrasi di sebuah negara dinilai positif maka demokrasi di negara tersebut akan semakin terkonslodiasi, dan demikian juga sebaliknya.

Tabel 6. Analisis Multivariate Konsolidasi Demokrasi Sejumlah Demokrasi Asia

*** dan ** pengaruh secara statistic signifikan masing-masing pada P<.001 dan P<.01

PenutupTulisan ini bermaksud untuk menguji seberapa realistik model ekonomi-politik untuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di sejumlah demokrasi Asia. Satu komponen dari konsolidasi adalah sikap warga yang meyakini bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik dibanding sistem politik lainnya.

Dasar argument ekonomi politik adalah bahwa sebuah sistem politik, rezim, atau bahkan secara lebih luas polity, keberlangsungannya sangat ditentukan oleh seberapa jauh dalam praktiknya sistem tersebut memberikan insentif terhadap warganya. Demokrasi sebagai sebuah rezim secara lebih khusus memberikan ruang yang lebih besar bagi warga untuk menuntut insentif tersebut bagi hidup mereka karena warga

diberi ruang untuk menuntut kinerja demokrasi oleh badan-badan yang terkait di dalamnya, termasuk pemerintah.

Bila masyarakat merasa tidak mendapatkan kuntungan dari demokrasi, malah sebaliknya penderitaan, maka dukungan terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem akan merosot, dan menjadi terbuka bagi masuknya rezim non-demokrasi. Keuntungan yang dimaksud oleh warga adalah terutama kehidupan ekonomi mereka dan ekonomi negara secara umum dirasakan lebih baik di bawah demokrasi tersebut. Bila keadaan ini yang dirasakan maka dukungan terhadap demokrasi atau konsolidasi demokrasi akan semakin kuat, dan demikian juga sebaliknya.

Mekanisme hubungan antara konsolidasi demokrasi dan kondisi ekonomi warga dan negara dalam sebuah sistem ditentukan oleh kinerja demokrasi itu sendiri, dan kemudian oleh kinerja pemerintah dalam mengatasi berbagai masalah bangsa. Akhirnya kinerja demokrasi dan kinerja pemerintah menentukan kondisi ekonomi tersebut.

Dengan menggunakan data survei opini publik, yang biasa dugunakan untuk analisis konsolidasi demokrasi di berbagai demokrasi di dunia, ditemukan dalam kasus-kasus yang ditelaah di sini efek faktor ekonomi-politik tersebut, dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, secara umum masyarakat di ketujuh negara tersebut mayoritas punya preferensi terhadap demokrasi dibanding terhadap rezim lainnya.

Statistik Parameter

B Std. Error Beta

Konstata .639*** .015 Ekonomi-Politik

.034*** .003 .165

R² = .056 N = 4883

16 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

Namun demikian ada variasi konsolidasi demokrasi di ketujuh negara tersebut.

Kedua , va r i a s i konso l idas i demokrasi dalam kasus yang ditelaah di sini secara umum terbukti dapat dijelaskan oleh model ekonomi politik. Evaluasi atas kondisi ekonomi berpengaruh terhadap evaluasi atas kinerja pemerintah, yang pada gilirannya berpengaruh pada evaluasi atas kinerja demokrasi, dan ujungnya berpengaruh pada konsolidasi demokrasi. Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi akan melemah, dan demokrasi akan terancam perkembangannya dan bahkan keberlangsungannya bila ternyata sistem ini tidak mampu menciptakan kesejahteraan secara ekonomi bagi rakyat.

Ketiga, ketika telaah secara lebih khusus dilakukan pada masing-masing negara, model ekonomi-politik tidak menjelaskan semua kasus. Ia tidak membantu utuk menjelaskan konsolidasi demokrasi di Filipina dan Mongolia. Perlu telaah lebih lajut untuk dua kasus ini.

Keempat, efek faktor ekonomi-politik terhadap konsolidasi demokrasi ini secara umum konsisten lepas dari variasi budaya politik, terutama latar belakang tradisi atau peradaban suatu bangsa seperti agama, maupun keragaman sosial-ekonomi seperti pendidikan. Dengan kata lain, secara umum, lepas agamanya apa, maupun tingkat pendidikan masyarakat seperti apa, kinerja demokrasi dan pemerintah, dan kondisi ekonomi tetap berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi.l

Daftar Pustaka

BukuAlmond, Gabriel, dan Sidney Verba.. The

Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations. Princeton: Princeton University Press, 1963.

Bollen, Kenneth A., dan Robert W. Jackman.. “Economic and Noneconomic Determinants of Political Democracy in the 1960s.” Research in Political Sociology. I. 1985.

Clarke, Harold D.,Nitish Dutt, dan Allan Kornberg..”The Political Economy of the Attitudes toward Polity and Society in Western European Democracies.” Journal of Politics Vol. 55/4, (1993).hlm.

Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York, NY: Simon and Schuster. 1996.

---., “The Clash of Civilizations?”. Foreign Affairs, Summer, 1993hlm..

Inglehart, Ronald, “The Renassance of Political Culture.” The American Political Science Review Vol. 82/4, 1988.hlm.

Linz, Juan J., dan Alfred Stepan. The Problem of Democratic Trasitions and Consolidations. Southern Europe, South America, and Post-Communist Europe. Baltimore: Johns Hopkins University Press. 1996.

Lipset, Seymour Martin. “Some Social Requisites of Democracy: Economic D e v e l o p m e n t a n d P o l i t i c a l Legitimacy.”The American Political Science Review Vol. 53/1, 1959. hlm. 69-105

McAllister, Ian. “The Economic Performance of Governments.” Critical Citizens.

Konsolidasi Demokrasi Asia ... | Saiful Mujani | 17

Global Support for Democratic Governance.” Disunting oleh Pippa Norris. Oxford: Oxford University Press, 1999.

MacPherson, C. B. The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford: Oxford University Press, 1977.

Norris, Pippa. Critical Citizens. Global Support for Democratic Governance. Oxford: Oxford University Press, 1999.

Prezeworksi, Adam, Michael E. Alvarez, Jose Antonia Cheibub, dan Fernando Limongi. Democracy and Development. Political Institutions and Well-Being in the World, 1950–1990. New York: Cambridge University Press, 2000.

Putnam, Robert D., Robert Leonardi, dan Raffaella Y. Nanetti. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. New Jersey: Princeton University Press, 1994.

Appendiks:Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam survei Asian Barometer:

Konsolidasi Demokrasi:1. Sejauh mana anda ingin atau tidak ingin

agar negara kita demokratis sekarang2. Sejauh mana menurut anda demokrasi

cocok atau tidak cocok untuk negara kita

3. Dari beberapa pernyataan berikut pernyataan mana yang paling dekat dengan pendapat anda sendiri untuk negara kita? Pertama, dalam keadaan tertentu otoritarianisme atau bukan demokrasi bisa diterima; kedua, tidak peduli sisitem manapun, demokrasi ataupun bukan demokrasi sama saja, dan ketiga, selalu lebih ingin sisitem demokrasi Which the following statement is closest to your opinion?

4. Dari dua pernyataan berikut mana yang paling dekat dengan pendapat anda sendiri? Pertama, demokrasi tidak bisa mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi negara kita; atau, kedua, sebaliknya, demokrasi bisa mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi negara kita?

5. Ada yang berpendapat, “tidak perlu Dewan Perwakilan Rakyat, serahkan saja pada satu pemimpin yang kuat untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kepentingan rakyat.” Seberapa setuju atau tidak setuju anda dengan pendapat tersebut?

6. Seberapa setuju atau tidak setuju anda kalau di negara kita hanya ada satu partai yang ikut pemilihan umum dan mengisi jabatan-jabatan negara?

7. Ada yang berpendapat, “tentara yang harus menjalankan pemerintahan negara kita.” Seberapa setuju atau tidak setuju anda dengan pendapat tersebut?

Kinerja Demokrasi:

1. Bagaimana anda menilai kebebasan dan keadilan dalam pelaksanaan pemilihan umum terakhir di negara kita

2. Menurut anda, sudah seberapa demokratis negara kita sekarang

3. Secara keseluruhan, seberapa puas atau tidak puas anda dengan jalannya demokrasi sejauh ini di negara kita

4. Menurut anda di mana posisi pemerintahan kita sekarang dalam skala 1-10, di mana 1 berarti sama sekali tidak demokratis, dan 10 berarti sepenuhnya sudah demokratis

5. Seberapa setuju atau tidak setuju anda dengan pendapat bahwa sekarang rakyat sudah bebas bicara, tanpa rasa takut, sesuai dengan pikirannya sendiri

6. Partai politik atau calon dalam pemilihan umum punya akses yang setara terhadap media massa selama masa kampanye

18 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 1-18

7. Seberapa setuju atau tidak setuju anda dengan pendapat bahwa setiap orang sekarang diperlakukan sama oleh pemerintah

8. Ada yang berpendapat, “ketika pemerintah melanggar hokum, sisitem hokum kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Seberapa setuju atau tidak setuju anda dengan pendapat tersebut?

9. Seberapa setuju anda dengan pendapat bahwa rakyat sekarang sudah boleh ikut serta organisasi apapun yang mereka suka tanpa rasa takut

10. Seberapa sering pemerintah menahan informasi penting agar tidak diketahui rakyat

11. Sudah seberapa patuh pejabat pemerintah pusat pada hukum?

12. Menurut anda seberapa besar pemilihan umum kita memberi kesempatan warga untuk memilih sesuai keinginannya partai atau calon yang berbeda-beda yang ikut serta dalam pemilihan umum?

13. Sejauhmana menurut anda Dewan Perwakilan rakyat sudah mampu mengawasi pemerintah?

14. Seberapa baik atau tidak baik pemerintah sejauh ini sudah merespon keinginan rakyat?

Kinerja pemerintah:1. Secara umum, seberapa aman atau tidak

aman tinggal di daerah sini sekarang?2. Seberapa setuju dengan pendapat

bahwa sekarang warga umumnya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal

3. Menurut anda bagaimana dengan keadaan politik di negara kita sekarang

4. Seberapa puas atau tidak puas anda sekarang dengan kinerja pemerintah

5. Seberapa menyebar luas korupsi atau suap di pemerintah pusat sekarang?

6. Seberapa menyebar luas korupsi atau suap di pemerintah daerah sekarang?

7. Menurut anda, sudah seberapa banyak pemerintah sekarang melakukan pemberantasan korupsi dan suap?

Kondisi ekonomi:1. Bagaimana anda menilai kondisi

ekonomi negara kita secara umum? Sangat baik, cukup baik, biasa saja, kurang baik, atau tidak baik sama sekali?

2. Bagaimana anda menilai perubahan keadaan ekonomi di negara kita beberapa tahun terakhir, apakah berubah menjadi jauh lebih baik, lebih baik, tidak ada perubahan, lebih buruk, atau jauh lebih buruk?

3. Bagaimana menurut penilian anda kondisi ekonomi negara kita beberapa tahun ke depan dari sekarang, apakah berubah menjadi jauh lebih baik, lebih baik, tidak ada perubahan, lebih buruk, atau jauh lebih buruk?

4. Bagaimana anda menilai kondisi ekonomi rumah tangga anda sekarang? Sangat baik, cukup baik, biasa saja, kurang baik, atau tidak baik sama sekali?

5. Bagaimana anda menilai perubahan keadaan ekonomi keluarga anda beberapa tahun terakhir, apakah berubah menjadi jauh lebih baik, lebih baik, tidak ada perubahan, lebih buruk, atau jauh lebih buruk?

6. Bagaimana menurut penilian anda kondisi ekonomi Rumah tangga anda beberapa tahun ke depan dari sekarang, apakah berubah menjadi jauh lebih baik, lebih baik, tidak ada perubahan, lebih buruk, atau jauh lebih buruk?

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 19

FENOMENA NEGARA ISLAM DI IRAQ DAN SURIAH (NIIS): TELAAH HUBUNGAN

INTERNASIONAL

THE ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA (ISIS) PHENOMENON: AN INTERNATIONAL

RELATIONS STUDY

Erwin Indradjaja & Fredy B. L. Tobing Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas IndonesiaEmail: [email protected], [email protected]

Diterima: 12 September 2016; direvisi: 10 Oktober 2016; disetujui: 14 November 2016

Abstract

This article is to examine phenomena of ISIS in Iraq and Syria from perspective of International Relations studies. Phenomena of ISIS is begun when Al Baghdadi declares Islamic States on 9th of April 2013, which included the territory of Iraq and Syria. This claim is not only unsual but also interesting since overlapping with the territory of Iraq and Syria as sovereign states. In the onset of the movement, ISIS gains wide supports from Arabian kingdom in the Persian Gulf and most of muslim countries. With its economic capacity, ISIS could be claimed as “the richest Islamic covered terrorist group” in the current time. Despite its goal to implement Islamic sharia in hard way through brutal and terror, support for ISIS from the supporting countries have diminished in certain way. Complexity of phenomena of ISIS is analyzed with three perspectives in IR studies: realism, liberalism, and constructivism. Nevertheless its continuous existence, ISIS will tend to gain decreasing support from majority muslim countries and in other side there will be increasing numbers of opposing parties towards the ideas of ISIS and its movements.

Keywords: ISIS, Islamic State, conflict, Shia, Sunni, Iraq, Syria, AL Baghdadi, terrorism, realism, liberalism, and constructivism.

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

20 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

Abstrak

Artikel ini membahas fenomena gerakan NIIS di Iraq dan Suriah yang ditelaah dari bidang studi Hubungan Internasional. Fenomena NIIS diawali oleh Al Baghdadi yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam pada 9 April 2013 yang meliputi wilayah Iraq dan Suriah. Hal ini tidak lazim dalam politik internasional karena klaim tersebut meliputi Iraq dan Suriah yang merupakan negara berdaulat. Semula gerakan NIIS berhasil mendapatkan dukungan luas dari negara-negara Arab di Teluk dan negara-negara Islam umumnya. Dengan modal ekonomi yang besar, NIIS dapat dipandang sebagai ”kelompok teroris berbaju Islam terkaya” saat itu. Namun alih-alih ingin menerapkan syariah Islam dengan cara yang keras, kaku, brutal dan penuh teror akhirnya gerakan NIIS malah menjadi menurun citranya di kalangan negara-negara pendukungnya. Kompleksitas fenomena NIIS ini dicoba ditelaah dari tiga perspektif Hubungan Internasional: realisme, liberalisme dan konstruktivisme. Tampaknya gerakan NIIS yang beraliran Sunni masih akan tetap eksis, namun nampaknya ada kecenderungan bahwa kekuatan perjuangan mereka akan semakin tergerus seiring makin menurunnya dukungan dunia khususnya negara-negara Islam dan menguatnya kelompok penentang NIIS terutama dari pihak Suriah dan Iraq – yang sama-sama menganut Syiah – dan AS beserta sekutunya.

Kata kunci: NIIS, Negara Islam, konflik, Syiah, Sunni, Iraq, Suriah, Al Baghdadi, terorisme, realisme, liberalisme, konstruktivisme.

Pendahuluan

Hubungan internasional hingga abad ke-21 belum sepenuhnya damai.

Perdamaian dunia yang merupakan cita-cita bangsa-bangsa di dunia seusai Perang Dunia II ternyata tidak mudah diwujudkan karena konflik antar negara terus hadir bahkan berkembang menjadi konflik antara negara melawan aktor-aktor transnegara atau transnasional, seperti perang yang dilakukan para teroris di berbagai negara di dunia.1

Di antara konflik-konflik antar-negara, konflik yang terbesar pasca-Perang Dunia II adalah Perang Dingin

1 Lihat, “Kronologi awal teror di Paris” diakses dari http://www.antaranews.com/berita/529333/kronologi-awal-teror-di-paris, pada 14 November 2015. Lihat juga, “Update : Serangan Bom di Brussels, Kota Pusat Dunia” diakses dari http://www.beritasatu.com/dunia/356190-serangan-bom-di-brussels-kota-pusat-uni-eropa.html, pada 14 November 201.

– yang berakhir setelah bubarnya Uni Soviet yang merupakan salah satu negara utama pelaku konflik dalam Perang Dingin melawan Amerika Serikat. Namun demikian konflik-konflik lain dalam skala yang lebih kecil masih juga yang muncul dalam hubungan antar bangsa. Misalnya, di Rusia terjadi perang antara Rusia dengan kelompok Pejuang Kemerdekaan Chechnya, dan di Asia Tengah terjadi konflik antara Armenia melawan Azerbaijan (1988-1994). Selain itu, terjadi pula perang saudara di Georgia, Eropa Timur (1993 dan 2008). Sedangkan di Eropa Tengah terjadi konflik di Yugoslavia (1991-2001).

Di belahan dunia lain seperti benua Afrika, terjadi beberapa konflik seperti perang saudara di Rwanda (1990-1992), Sierra Leone (1991-1997), Burundi (1993-1999), di Liberia (1996-1997 dan 1999-2003), perang antara Ethiopia

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 21

dengan Eritrea (1998-2000), perang saudara di Pantai Gading (2001), konflik di Mali (2012-2013), perang saudara di Somalia (1991-sekarang) dan Sudan (2003-sekarang). Sedangkan di wilayah tetangga terdekat Afrika, yaitu Jazirah Arab juga masih berlangsung konflik-konflik lama ditambah konflik baru. Konflik lama yaitu antara Israel melawan Palestina, termasuk sejumlah negara atau kelompok perjuangan bersenjata beridentitas Islam atau Arab seperti Hezbollah yang bermukim di Lebanon. Sementara itu, konflik baru mencakup konflik Iraq dengan Kuwait dan sejumlah negara yang dipimpin oleh AS yang mendapat mandat PBB yang menentang invasi Iraq ke Kuwait tahun 1990-1991. Kemudian ada juga perang saudara di Yaman (1994 hingga kini), invasi AS ke Iraq yang menggulingkan rezim Saddam Hussein (2003-2010), perang saudara di Iraq (2010- sekarang), perang saudara di Libya (2011-sekarang), dan perang saudara di Syria (2011- sekarang).2 Selain itu, di kawasan Asia Selatan pun masih terjadi konflik, misalnya konflik antara Pakistan dan India mengenai masalah perbatasan Kashmir, perang saudara di Afghanistan (1992-2001), dan invasi AS terhadap Afghanistan (2001).

Dari sejumlah konflik di era pasca-Perang Dingin tersebut, konflik yang terjadi di jazirah Arab tetap mendapat perhatian terbesar dari berbagai pihak, baik para pelaksana dan pengambil keputusan di berbagai negara di dunia maupun dari kalangan akademisi. Salah

2 Konflik-konflik tersebut disusun dari berbagai sumber.

satu fenomena menarik dari konflik yang terjadi di jazirah Arab ini adalah kemunculan Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS).

Bermula dari pidato yang dilakukan oleh seorang yang bernama Abu Bakar Al Baghdadi – yang mendeklarasikan berdirinya Negara Islam pada 9 April 2013 yang meliputi wilayah Iraq dan Suriah.3 Al Baghdadi ini kemudian menyatakan dirinya sebagai khalifah,4 yaitu pemimpin utama di negara Islam tersebut. Al Baghdadi mengklaim bahwa wilayah NIIS yang dimaksud mencakup antara lain: (1) Iraq, meliputi wilayah Selatan, Diyala, Baghdad, Kirkuk, Salahudin, Anbar dan Ninewa; dan (2) Suriah, meliputi wilayah Al Barakah (Hasaka), Al Kheir, Al Raqqah, Al Badiya, Al Halab (Aleppo), Idlib, Hama, Damaskus dan wilayah pesisir (Al Sahel).5 Faktanya Iraq dan Suriah sendiri masih merupakan negara-negara berdaulat yang masing-masing mempunyai pemerintahannya send i r i . Bag i pemer in tah I r aq , tindakan Al Baghdadi ini merupakan pembangkangan secara sadar terhadap negara atau dianggap sebagai perbuatan makar ataupun pemberontakan terhadap Iraq. Demikian juga halnya dengan 3 Lihat, “Sejarah Berdirinya ISIS” diakses dari http://simomot.com, http://www.dw.de, htpp:www.bbc.de. Lihat juga, ”Negara Islam Iraq dan Syam” diakses dari http://www.wikiwand.com/ms.

4 Lihat, “Lahirnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) atau Negara Islam Irak dan Syriah”, diakses dari http://www.kompasiana.com/makenyok/lahirnya-isis-islamic-state-of-iraq-and-syria-atau-negara-islam-irak-dan-syriah_54f3ef8f745513982b6c83d0, pada 17 Juni 2015.

5 “Sejarah Berdirinya ISIS...Ibid. Lihat juga, ”Negara Islam Iraq dan Syam...Ibid.

22 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

pemerintah Suriah. Dengan demikian Al Baghdadi melakukan pembangkangan atau makar atau pemberontakan terhadap pemerintahan yang masih berkuasa di dua negara berdaulat yang berbeda. Hal ini merupakan hal yang menarik karena tidak lazim. Biasanya pembangkangan atau makar atau pemberontakan dilakukan terhadap satu pemerintahan dari satu negara tertentu saja.

Bila dikaitkan dengan ruang lingkup studi yang ada, pembangkangan terhadap satu pemerintahan negara merupakan gejala yang dipelajari dalam bidang Ilmu Politik atau Perbandingan Politik, karena mengkaji pertarungan kekuasaan di dalam suatu negara (entitas politik). Namun gejala NIIS sebagaimana disebutkan di atas tidaklah demikian. Pendirian NIIS selain merupakan pemberontakan terhadap dua negara berdaulat, juga

disebabkan adanya klaim Al Baghdadi tentang penguasaan wilayah di Suriah dan Iraq sebagai wilayah NIIS. Inilah yang membuat isu NIIS menarik untuk dibahas. Dalam fenomena ini terdapat dua indikasi penting, yaitu (1) ada interaksi antara dua aktor (yakni Al Baghdadi dengan NIIS-nya melawan Iraq dan Suriah); (2) interaksi itu bersifat lintas batas (transboundary). Oleh karena NIIS meliputi wilayah Iraq dan Suriah maka kelompok pimpinan Al Baghdadi ini berada di sebagian wilayah Iraq dan Suriah. Mereka bergerak di wilayah tersebut ketika berhadapan dengan pemerintah Iraq ataupun Suriah. Misalnya, kelompok bersenjata NIIS bisa bergerak dari wilayah Suriah sekaligus untuk menyerang pasukan pemerintah Iraq. Demikian pula sebaliknya. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, konflik

Peta: Wilayah Negara Islam Iraq dan Suriah

Sumber : http://www.simomot.com/; http: www.dw.de/; http://www.bbc.de/.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 23

yang dimunculkan oleh Al Baghdadi dengan NIIS-nya terhadap Iraq dan Suriah merupakan interaksi antar aktor lintas negara. Dengan demikian secara ontologi, fenomena konflik tersebut masuk ke dalam wilayah kajian hubungan antar bangsa (internasional).6 Adanya keterlibatan asing (terutama AS)7 justru makin menunjukkan bahwa isu NIIS berkaitan dengan interaksi antar aktor hubungan internasional.

Sepanjang tahun 2013 hingga 2014, NIIS terus memperkuat kekuasaannya di Suriah dengan menduduki Raqqa

6 Salah satu definisi menyatakan international relations attempts to explain the interactions of states in the global interstate system, and it also attempts to explain the interactions of others whose behavior originates within one country and is targeted toward members of other countries. In short, the study of international relations is an attempt to explain behavior that occurs across the boundaries of states, the broader relationships of which such behavior is a part, and the institutions (private, state, nongovernmental, and intergovernmental) that oversee those interactions. Explanations of that behavior may be sought at any level of human aggregation. Some look to psychological and social-psychological understandings of why foreign policymakers act as they do. Others investigate institutional processes and politics as factors contributing to the externally directed goals and behavior of states. Alternatively, explanations may be found in the relationships between and among the participants (for example, balance of power), in the intergovernmental arrangements among states (for example, collective security), in the activities of multinational corporations (for example, the distribution of wealth), or in the distribution of power and control in the world as a single system (Dibuat oleh Department of Political Science, University of Wisconsin-Medison yang diakses dari https://www.polisci.wisc.edu/fields/ir).

7 Lihat Faiz Ihsan, ”Siapa sebenarnya ISIS itu dan sebenarnya apa misi mereka?” diakses dari, http://microcyber2.blogspot.co.id/2014/09/siapa-sebenarnya-isis-itu-dan-apa-misi.html pada 14 Februari 2016.

yang kemudian menjadi kota pusat pengendalian NIIS.8 Di wilayah Iraq, NIIS mengambil alih kekuasaan kota Fallujah dan Ramadi. Pada Januari 2014 NIIS berhasil menguasai dan menduduki Mosul, kota kedua terbesar di Iraq yang menjadi sumber industri minyak terpenting Iraq.9 Kemudian pada Juni 29 Juni 2014, NIIS mendeklarasikan dirinya menjadi Kekhalifahan dengan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai Khalifah dengan gelar Khalifah Ibrahim. Pada kesempatan itu Al Baghdadi menyampaikan pidato, yang salah satunya menghimbau kepada seluruh umat Islam di dunia agar mengakui kekhalifahannya dan loyal kepadanya. Sejak saat itu, muncul respons dari berbagai pihak, terutama di kalangan umat Islam, baik berupa dukungan perorangan maupun kelompok. Usaha NIIS menguasai wilayah-wilayah yang menjadi targetnya di Iraq dan Suriah semakin menunjukkan hasilnya. Hingga September 2014, luas wilayah yang dikuasai NIIS diperkirakan telah mencakup 210.000 Km2, yang hampir sama dengan luas Kerajaan Inggris Raya.10

Dengan didukung oleh semangat berjuang untuk menegakkan kekhalifahan (Negara Islam Dunia) dan semakin banyaknya orang ataupun kelompok yang membantu NIIS Al Baghdadi ini, NIIS semakin berhasil mengonsolidasikan

8 Lihat Special Report-“The Islamic State”, hlm. 11, diakses dari http://www.calrionproject.org.

9 Special Report-“The Islamic… Ibid.

10 “What is ‘Islamic State’ ?” dalam BBC News 2 Desember 2015 diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29052144.

24 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

kekuasaannya, terutama di Iraq. Daerah-daerah Iraq yang berhasil diduduki kelompok bersenjata NIIS umumnya dapat dipertahankan dengan baik dan relatif stabil.11 Di kota-kota yang diduduki dengan aman, NIIS kemudian mendirikan lembaga khusus dengan nama Al Idarooh Al Islaamiyah lil Khidmati Al Ammah (Administrasi Islami untuk Pelayananan Pub l ik ) . Lembaga in i be r tugas melaksanakan pemerintahan yang terkait pelayanan umum, seperti menyediakan kebutuhan pangan, sandang, air, listrik, jalur komunikasi, transportasi umum dan fasilitas umum lainnya yang murah. Hal ini menjadi daya tarik bagi orang per orang atau kelompok untuk datang ke NIIS dan mendukungnya. Misalnya, pada November 2014 Al Baghdadi menyatakan bahwa ia telah menerima dukungan dan sumpah setia dari berbagai kelompok di Mesir (Ansar Bayt Al Maqdis), Libya (Dewan Shura Pemuda Islam), Nigeria (Boko Haram), Yaman dan Arab Saudi.

Di Suriah sendiri sebenarnya usaha NIIS mengonsolidasikan kekuasaannya tidak terlalu mulus karena medan peperangan relatif lebih sulit. Tambahan pula, pada saat itu di Suriah sedang terjadi perang saudara, sehingga terdapat banyak kelompok yang terlibat dalam peperangan – baik dari kalangan Islam yang menentang maupun dari kalangan yang mendukung pemerintahan Presiden Bashar Al Asaad. Namun demikian kelompok bersenjata NIIS masih mampu menguasai beberapa daerah di Suriah Utara, seperti kota Allepo. Kota ini merupakan kota tua peninggalan Kerajaan

11 Lihat, Faiz Ihsan, ”Siapa sebenarnya ISIS…Ibid.

Romawi yang banyak memiliki artefak-artefak sejarah yang bernilai tinggi.

Dalam aksinya, NIIS tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan dan cenderung mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada lawan-lawan atau kelompok yang menentangnya. NIIS sering menggunakan hujatan takfir (bid’a) kepada pihak yang tidak sama atau menentang paham keislamannya. Dengan dasar ini NIIS membenarkan pemberlakuan hukuman keras, seperti hukuman mati.12 Misalnya, salah satu suku bangsa Iraq yang mendiami wilayah Iraq Utara yang umumnya non-Muslim terpaksa meninggalkan daerahnya karena adanya ancaman akan dibunuh karena bukan Islam.13 Demikian juga yang dialami oleh warga Asiria. Mereka diusir oleh NIIS keluar dari tempat kelahirannya di Mosul – atau apabila mereka ingin tetap berada di Mosul, maka mereka diwajibkan membayar pajak kepada NIIS, atau pindah agama menjadi Islam. Di wilayah NIIS di Libya, ada 30 orang Mesir dan 30 orang Ethiopia penganut agama Kristen dibunuh. Hal inilah yang mendorong munculnya pelarian penduduk Suriah ke luar dari wilayah Suriah hingga menjadi masalah internasional seperti pengungsi.

Di samping itu, hal-hal yang bersifat fisik lainnya seperti bangunan-bangunan, kota-kota kuno yang dikuasainya, kelompok bersenjata NIIS juga tidak segan-segan menghancurkannya. Hal ini misalnya telah terjadi di Allepo,

12 Lihat Special Report-“The Islamic… Ibid.

13 Special Report-“The Islamic… Ibid, hlm. 27-29.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 25

Suriah. Akibat hal tersebut, NIIS dalam perkembangannya makin mendapat reputasi buruk. Bagi NIIS, tindakan- t indakannya yang brutal kepada pihak-pihak yang berbeda dengan NIIS dianggap sebagai cara terampuh untuk menjaga loyalitas warga terhadap NIIS dan juga sebagai upaya melestarikan kekuasaannya. Akibatnya, dukungan-dukungan dari berbargai kelompok Muslim atau negara di dunia yang semula banyak diterima oleh NIIS akhirnya beralih menjadi penolakan atau penentangan terhadap NIIS. Dengan demikian bagaimanakah sebenarnya studi Hubungan Internasional menelaah NIIS dalam kaitan dengan konflik kekerasan yang kerap dilakukannya?

Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS)?Sebelum membahas tentang Negara Islam di Iraq dan Suriah, ada baiknya terlebih dahulu dibahas istilah-istilah yang dikenal tentang fenomena negara Islam tersebut. Sebenarnya selain Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS) dikenal juga Negara Islam di Iraq dan di Levant (NIIL). Kedua istilah ini mengacu pada daerah yang sama, yaitu sebagian Iraq (Wilayah Selatan, Diyala, Baghdad, Kirkuk, Salahudin, Anbar dan Ninewa), dan sebagian Suriah (Al Barakah/ Hasaka, Al Kheir, Al Raqqah, Al Badiya, Al Halab/Aleppo, Idlib, Hama, Damaskus dan Wilayah Pesisir/Al Sahel). Daerah-daerah Suriah yang sebagian besar di utara ini yang disebut juga Levant. Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS) sendiri merupakan terjemahan dari istilah yang sama yang

berasal dari bahasa Arab yaitu Daulah Islamiyah fie Iraq wa Syam. Sedangkan istilah Negara Islam di Iraq dan Levant pada hakekatnya sama dengan Negara Islam, hanya saja istilah Suriah (Syam) diganti dengan Levant.14

NIIS sebenarnya secara de facto maupun de jure belum bisa disebut sebagai negara karena ketika dideklarasikan, wilayah-wilayah NIIS belum sepenuhnya dikuasai oleh otoritas tertinggi NIIS yaitu Al Baghdadi dan kelompoknya.15 Wilayah-wilayah tersebut masih berada di bawah jurisdiksi Iraq dan Suriah. Penduduk pada masing-masing daerah yang diklaim NIIS itu pun masih menganggap pemerintahan Iraq dan Suriah sebagai penguasa yang sah. Setelah kelompok bersenjata yang bernaung di bawah NIIS menguasai daerah-daerah setempat, barulah penduduk di daerah-daerah yang dikuasai NIIS tersebut mengakui NIIS sebagai penguasa di

14 Levant adalah istilah dalam bahasa Inggris untuk wilayah Sham (Suriah). Lihat, “Sejarah ISIS asal mula & deklarasi Khilafah - Siapa” diakses dari http://www.bebibums.com/2014/08/sejarah-isis-asal-mula-deklarasi.html. Sedangkan menurut Muhammad Siddiqi, “The Levant is an old term referring to countries of the eastern Mediterranean. Some scholars include in it Cyprus and a small part of Turkey. But basically the Levant has throughout history meant Syria, Lebanon and Palestine. This means Jordan, the West Bank (now under Israeli occupation) and Israel itself are part of the Levant,” lihat, “What is the Levant?” diakses dari http://www.dawn.com/news/1113209.

15 Hal ini dikatakan oleh David Kilcullen yang menjadi otak di balik penggelaran besar-besaran pasukan AS pada 2007-2008 di Irak, dan pengamat tentang muncul dan berkuasanya ISIS. Diakses dari, http://www.antaranews.com/berita/497645/bahaya-besar-isis-mencekik-irak-dan-suriah.

26 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

daerah tersebut. Meskipun hal itu terjadi setelah NIIS melakukan tekanan dan paksaan-pa ksaan kepada penduduk setempat.16

Menurut sejarahnya, NIIS merupakan reformasi dari Negara Islam di Iraq (NII). Sebelum NIIS dideklarasikan, Abu Bakar Al Baghdadi merupakan pemimpin NIIS yang menggantikan kepemimpinan Abu Omar Al Baghdadi. Sedangkan Abu Omar ini adalah pengganti Abu Ayyub Al Masri. Abu Omar dan Abu Ayyub wafat akibat serangan tentara AS pada 2010. Kedua pemimpin NII ini adalah pengganti Abu Mushaab Al-Zarkawi yang merupakan pendiri NII yang berasal dari Yordania. Sebelum mendirikan NII, Zarkawi mendirikan Jamaat Al Tauhid wa Jihad (JTWJ) di Iraq pada 1999 yang tujuannya mengganti penguasa di Yordania dan berjihad di Afghanistan.17 Kemudian ketika AS menginvasi Iraq dan berhasil menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, Zarkawi memimpin kelompoknya memerangi pasukan AS. Pada 2004 JTWJ bergabung dengan Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden dan menyebut diri mereka sebagai Al Qaeda di daerah mengalirnya dua sungai (Euphrat dan Tigris) dan selanjutnya sering disebut dengan nama Al Qaeda di Iraq.

16 Untuk mengetahui bagaimana NIIS melakukan pemaksaan kepada penduduk di Iraq atau Suriah. Lihat, Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini (Jakarta, Zahira Ufuk Abadi, 2014), hlm. 159-164. Lihat juga Special Report-“The Islamic… hlm. 28-30.

17 Special Report-“The Islamic…Ibid. Lihat juga ”Negara Islam Iraq dan Syam....Ibid. Tentang sikap Zarkawi menentang penguasa Yordania, lihat juga Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…., hlm. 90-91.

Dalam perjuangannya, Zarkawi dan kelompoknya meleburkan diri bersama sejumlah kelompok bersenjata jihadis Iraq lainnya seperti Al Qaudafi Iraq, Jaish ath Thaifa al-Mansoura, Katbiyan Ansar al Tawhid wa Sunnah, Saray al Jihad, Brigade al Ghuraba dan Brigade al Ahhwal ke dalam Majlis Shura al Mujahedin (MSM) pada 2006.18 MSM membentuk pasukan khusus yang handal, dan berani mati (jihadis). Kelompok ini berasal dari warga Islam dari kalangan Sunni. Di bawah bimbingan Al Qaeda, MSM membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk menegakkan hukum syariah dalam suatu negara. Tak lama setelah mengupayakan pembangunan infrastruktur tersebut, Zarkawi tewas diserang pesawat AS pada 2006. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, setelah Zarkawi wafat, kepemimpinan MSM dipegang oleh Abu Ayyub dan Abu Omar. Kedua pemimpin ini terus mengupaya kan berdirinya Negara Islam Iraq pada 2006. Untuk mewujudkan tujuannya itu, kedua pemimpin NII ini berusaha menguasai wilayah Iraq melalui perjuangan bersenjata dan kemudian menegakkan syariah Islam di wilayah kekuasaannya – t e ru tama yang penduduknya berasal dari kelompok Sunni. Wilayah Iraq yang hendak dikuasai dari penguasa Iraq adalah wilayah gurun di Provinsi Anbar yang populasinya kebanyakan Islam Sunni, berbeda dengan wilayah lain di Iraq yang mayoritas menganut Islam Syiah.

18 Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…. hlm 95.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 27

Pada 2010, Abu Ayyub dan Abu Omar tewas akibat serangan tentara AS.19 Abu Bakar Al Baghdadi kemudian tampil memimpin Negara Islam Iraq. Dengan kelompok pejuang bersenjatanya Al Baghdadi melanjutkan pendirian Negara Islam Iraq. Pada saat itu beberapa kelompok pejuang Islam dari kalangan Sunni bersenjata lainnya seperti Al-Qaeda di Iraq, Jaysh al-Fatiheen, Jund al-Sahaba, Katbiyan Ansar Al-Tawhid wal Sunnah, Jeish al-Taiifa al-Mansoura bertempur melawan pihak pemerintah Iraq yang didominasi kaum Syiah (dan dibantu juga oleh kelompok-kelompok pejuang Syiah dari dalam dan luar Iraq seperti Iran dan Lebanon).20

Pada 2011 di Suriah kemudian terjadi revolusi. Pemerintahan Suriah menghadapi penentangan dari sekelompok orang Suriah, yang kebetulan Islam Sunni. Dalam konflik Suriah ini, NIIS ikut bertempur bersama-sama kelompok Islam bersenjata Suriah lainnya seperti Jabhat al Nusra untuk menggulingkan pemerintahan Bashar Al Assad.21 Keterlibatan NIIS dalam peperangan di Suriah menyebabkan daerah perjuangan Al Baghdadi dan kelompoknya menjadi meluas, yaitu meliputi Iraq dan Suriah. Dengan demikian kelompok bersenjata Al Baghdadi menghadapi dua pemerintahan yang kebetulan mempunyai ciri yang sama yang didominasi kelompok Islam Syiah. Dalam perjuangannya, Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya di Suriah bukan 19 Special Report-“The Islamic…Ibid.

20 ”Negara Islam Iraq dan Syam....Ibid.

21 Special Report …Ibid. Bashar Al Assad sendiri berasal dari kelompok Islam Syiah Alawit.

hanya menghadapi pemerintah Suriah saja, tapi juga dari kelompok pejuang Syiah, seperti Fail Leb Tif Hizbullah, Kata’ib Hizbullah, Revolusi Suriah Mujahidin, dan Pasukan Pembebasan Suriah.

Setelah dua tahun bertempur di Suriah, pada 9 April 2013 Al Baghdadi kemudian mengumumkan perubahan bentuk negara yang diperjuangkannya yaitu yang sebelumnya Negara Islam di Iraq (NII) menjadi Negara Islam di Iraq dan Suriah (NIIS). Dalam pengumuman itu Al Baghdadi meminta dukungan dan kepatuhan dari kaum Muslim yang ada di seluruh dunia.22 Perubahan ini dan himbauan Al Baghdadi ke seluruh dunia melalui media audio visual mendapat respons dari berbagai pihak. Umumnya mereka mendukung dan ikut bergabung.23

Bila dilihat dari ideologinya, NIIS merupakan bentukan kelompok bersenjata Islam dari kalangan Sunni Ahlul Sunnah wal Jamaah. Namun demikian beberapa pendapat menyatakan bahwa yang diperjuangkan Al Baghdadi dan kelompoknya bukanlah paham Sunni yang banyak dianut oleh kaum Muslim di seluruh dunia, melainkan termasuk paham Salafi, khususnya Jihadism.24 Paham Salafi-Jihadism ini termasuk garis

22 “Bekerja mencegah kedzaliman.” Lihat, http://syamina.org/syamina3-Deklarasi-Daulah-Islam-Iraq-Dan-Syam.html.

23 Lihat, Reno Muhammad, ISIS Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam, (Jakarta, Noura Books, 2014), hlm. xxxiii.

24 Lihat ”Negara Islam dan Syam…Ibid. Lihat juga, “What is ‘The Islamic State’?” diakses dari, http://www.clarionproject.org. Lihat juga Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi….Ibid.

28 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

keras dalam menerjermahkan penerapan syariah Islam dalam kehidupan nyata – karena terlalu keras dan kaku menafsirkan syariah seringkali tindakan-tindakan atau keputusan yang dijalankan bersifat brutal menimbulkan konflik dengan kelompok Sunni yang lain.25

Awalnya para pendukung NIIS hanya ingin membentuk negara Islam, sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok Sunni pada umumnya. Hingga mereka dapat diterima dan didukung oleh kelompok-kelompok perjuangan Islam Sunni lainnya untuk membangun kekuasaan di Iraq dan Suriah. Begitupun ketika Al Baghdadi masih memimpin Negara Islam di Iraq. Namun demikian, dukungan kepada NII dan kelompoknya mengalami penurunan, yang salah satunya diakibatkan oleh sikap brutal para pejuang terhadap kelompok Islam Sunni lainnya. Pada saat itulah Al Baghdadi mengubah NII menjadi NIIS. Perubahan ini membuat dukungan kepada NIIS bertambah sehingga NIIS semakin banyak. Namun perkembangannya kelompok NIIS justru ingin membentuk negara Islam yang berdasarkan syariah Sunni dari paham Salafi-Jihadism.26 Perubahan ini ditambah lagi dengan 25 Misalnya menyerang pejuang/mujahidin Suriah dari kelompok lain seperti jn (cabang resmi Al Qoidah di Suriah), ahrarus syam, jabhah al Islamiyah dan lain-lain, sehingga memecah konsentrasi para pejuang sunny/Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam melawan kekejaman tentara rezim presiden Bassar Assad dan Rusia, bahkan bunuh diri pun ditujukan kepada sesama pejuang Muslim/mujahidin. Lihat, “Sejarah ISIS …Ibid.

26 Perubahan sikap ini menimbulkan penentangan kelompok-kelompok suku asli (lokal) Iraq seperti di Fallujah terhadap kelompok NII. Lihat “What is ‘The Islamic State’… Ibid.

sikap keras dan brutal mereka membuat dukungan yang semula meningkat kembali berkurang karena menimbulkan perpecahan dengan kelompok Islam Sunni lainnya. Melihat keadaan ini, Al Bahgdadi kemudian mengubah lagi bentuk NIIS menjadi ke Kekhalifahan (Daulah Islamiah). Pada awal berdirinya, wilayah Daulah Islamiyah ini meliputi Iraq dan Suriah saja, namun wilayah NIIS akan dikembangkan ke negara-negara tetangga lain yang berpaham Sunni, seperti Yordania, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk.27

Perilaku dan Tindakan NIISPada dasarnya sejak awal berdirinya, NIIS didirikan dan digerakan oleh para pejuang anti-AS karena telah menginvasi Iraq. Mereka ini melakukan perjuangan bersenjata untuk mencapai cita-cita atau tujuan perjuangannya. Untuk itu mereka bertempur melawan musuh-musuhnya. Semula jumlah anggota kelompok bersenjata pendukung NIIS terbatas dan dalam perkembangannya, para pejuang ini bertambah dengan bergabungnya orang per orang atau kelompok-kelompok ke dalam NIIS sebagai akibat pengaruh propaganda NIIS. Dengan demikian para pendukung NIIS bukan lagi sekedar pejuang anti AS di Iraq dan Timur Tengah secara luas, tetapi juga para pendukung berdirinya Kekhalifahan Islam yang ingin membubarkan negara-negara produk

27 “What is ‘The Islamic State’…, Ibid. Lihat ”ISIS Punya Target Menguasasi Kerajaan Yordania” diakses dari https://www.intelijen.co.id/isis-punya-target-menguasasi-kerajaan-yordania. Lihat juga ”Siapa sebenarnya ISIS itu ..., Ibid.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 29

Inggris dan Perancis pasca-kekuasaan Kesultanan Otoman di Timur Tengah.28

Jumlah kelompok NIIS ini pada awalnya diperkirakan 5.000-6.000 orang,29 kemudian berkembang hingga menjadi 20.000 orang. Ada beberapa hal yang penting terkait aktivitas NIIS ini. Sejak berdirinya, para pendukung NIIS menggunakan cara-cara yang sangat keras dan sangat kejam, baik dalam menghadapi perbedaan atau konflik bersenjata.30 Misalnya, mereka menyebut kelompok lain sebagai kafir atau melakukan bid’ah. Dalam konflik fisik, kelompok ini tidak segan-segan menghukum mati lawan/musuhnya dengan cara memenggal kepala dan memamerkan melalui media massa. Dalam konflik yang lebih besar, seperti dalam perang, kelompok ini menggunakan kekuatan bersenjata semaksimal mungkin agar tercapai hasil yang maksimal juga.

Secara personal, sikap sangat tegas dan keras yang cenderung brutal ini bermaksud memberi efek rasa takut sehingga tidak berani menentang dan memunculkan rasa patuh. Dalam skala yang lebih besar, cara-cara yang brutal itu dipandang akan mengurangi perlawanan sehingga perjuangan yang dilakukan

28 Menurut Reno Muhammad bahwa Khalifah Islamic State berkeinginan kuat menata ulang batas batas kolonial tersebut (maksudnya batas-batas negara Iraq dan Suriah yang dibuat oleh Inggris dan Perancis. Pen). Lihat, Reno Muhammad, ISIS Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam, (Jakarta, Noura Books, 2014), hlm. xxxiii.

29 ”Negara Islam Iraq dan Syam..., Ibid.

30 Adakalanya, kelompok ini suka mengkafirkan pihak lain yang tidak setuju atau menentang paham kelompok ini’. Lihat Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…., hlm. 122.

menjadi lebih efektif. Dengan cara seperti itu diharapkan perluasan wilayah dan pembangunan sebuah negara yang berdasarkan penegakan syariah Islam segera terbentuk. Semua hal tersebut tidak terlepas dari paham keislaman yang dianut kelompok pendukung NIIS ini. Cara-cara seperti ini dilakukan oleh para pejuang NIIS di berbagai front bahkan ketika masih berbentuk NII dan ternyata memang ada hasilnya. Setidak-tidaknya tahun 2013-2014, para pejuang bersenjata NIIS berhasil merebut daerah utara Suriah, termasuk kota Raqqa bahkan Alleppo.

Sementara di Iraq, prestasi terpenting dari sikap perjuangan NIIS dengan cara brutal ini adalah dikuasainya kota Mosul, yang merupakan kota terbesar kedua di Iraq sekaligus kota industri minyak utama di Iraq, kota Ramadi dan kota Fallujah. Di antara daerah-daerah yang direbutnya tersebut, terdapat beberapa daerah yang sudah lebih dulu dikuasai oleh para pejuang dari kelompok lainnya.31 Di daerah-daerah yang berhasil dikuasainya, kelompok pendukung NIIS kemudian mendirikan lembaga-lembaga khusus Al Idaaroh Al Islamiyah, yang menjalankan fungsi-fungsi administrasi dan pelayanan publik.32 Kantor Al Idaaroh Al Islamiyah bertugas mengupayakan kebutuhan mendasar sandang dan pangan bagi warganya beserta kebutuhan umum lainnya seperti air, listrik, fasilitas umum, jalur komunikasi dan transportasi umum. Kepada rakyat dikenakan tarif listrik

31 Lihat Special Report …, Ibid.

32 Lihat catatan kaki nomor 11. Lihat juga Special Report …, hlm. 17-22.

30 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

dan tarif internet yang murah. Untuk menjalankan operasional organisasi dan administrasi lembaga-lembaga tersebut, NIIS menggunakan orang-orang yang kompeten. Misalnya, untuk pimpinan wilayah setempat, mantan pedukung Saddam Hussein atau Partai Baath ditugaskan dan diberi gaji yang memadai.33 Untuk bidang pendidikan dan kesehatan juga disediakan para profesional seperti dokter.

Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya juga menerapkan syariah Islam dalam kehidupan masyarakat. Untuk menegakkan syariah tersebut, di setiap daerah dibentuklah polisi syariah yang menjaga pelaksanaan syariah tersebut. Polisi ini dalam menjalankan tugasnya bertindak sangat keras dan brutal, terutama kepada para pelanggar syariah seperti pencurian yang dihukum potong tangan, dan zinah yang dihukum lempar batu sampai mati. Kepada yang menentang kekuasaan mereka atau berbeda dengan keyakinan kelompok ini juga akan dihukum dengan keras seperti hukum pancung.34 Tindakan sangat keras ini, selain untuk menjamin tegaknya pelaksanaan syariah, juga dimaksudkan sebagai strategi pasifikasi untuk menimbulkan rasa takut hingga patuh kepada para penguasa dari kelompok ini.

Disisi lain, terhadap penduduk nonIslam, apalagi yang tidak sepaham dengan ideologi yang dianut kelompok

33 Special Report …, hlm. 18. Terdapat sekitar 1.000 pejabat tingkat menengah yang digaji sekitar US$300-$2000

34 Special Report …, hlm. 19.

bersenjata NIIS, dikenakan pajak.35 Bahkan kepada kelompok-kelompok yang beragama lain ini diberi pilihan yang sulit yaitu, antara pindah agama, bayar pajak, atau dihukum mati. Oleh karenanya, para penduduk asli di Irak dan Suriah yang berbeda agama seperti Yazidi, Assiria dan kelompok Nasrani (Kristen Orthodox atau Katholik), terusir atau terpaksa meninggalkan tempat tinggal untuk mengungsi ke daerah lain yang lebih aman. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Al Baghdadi dan kelompok bersenjata ini merupakan teror bahkan trauma bagi penduduk. Sementara bagi pihak lain yang tidak terlibat langsung atau ada di luar Iraq dan Suriah, mereka melihat tindakan NIIS sebagai kekejaman dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini kemudian menjadikan reputasi NIIS makin buruk.

Hukuman mati berupa penembakan dan pemenggalan kepala yang sering dipertunjukkan oleh NIIS melalui media audio visual ke seluruh dunia, biasanya juga berkaitan dengan upaya mendapat uang dari pembayaran terhadap korban penculikan/penyanderaan yang akan dihukum tembak atau pancung. Biasanya jumlah uang tebusan yang diminta cukup besar. Namun upaya mendapatkan penghasilan melalui cara ini seringkali gagal.

Kemungkinan sumber pendapatan lain kelompok bersenjata NIIS ini berasal dari hasil penjualan artefak arkeologi

35 Mengenai bayar pajak ini, lihat Reno Muhammad, ISIS Mengungkap..., hlm. 3. Juga lihat Special Report …., hlm. 26-27.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 31

kuno.36 Di samping itu, NIIS mendapatkan dana operasional perjuangannya berasal dari sumbangan para penduduk dan pendukungnya. Bahkan NIIS pernah merampok bank di Iraq.37 Dari semua sumber pendapatan yang ada, sumber yang terbesar adalah penjualan minyak di pasar gelap terutama sejak Mosul dikuasai oleh NIIS. Diperkirakan NIIS menjual sekitar sembilan ribu barel minyak per hari dengan harga sekitar US$25-US$45 (£15-£27).38 Dari perolehan sumber-sumber dana yang ada, NIIS menggunakannya untuk memperkuat persenjataan tempurnya. Hal ini sudah dibuktikan keberhasilannya. Persenjataan tempur tersebut selain dibeli dari pasar gelap, juga diperoleh melalui perebutan/rampasan dari pihak lawan, umumnya tentara Iraq, yang kalah perang dan mundur meninggalkan wilayahnya.39

36 Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 143-145.

37 “What is ‘The Islamic State’…, Ibid. Lihat juga Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 138-144.

38 Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, Ibid. Lihat juga Special Report …, hlm. 26-27. Di samping itu lihat pula, “What is ‘The Islamic State’…, Ibid. Namun pendapatan dari minyak menurun ketika negara-negara seperti AS dan sekutunya menggempur Mosul dari udara, sehingga produksi minyak menurun. Di samping itu harga minyak yang turun juga ikut mempengaruhi menurunnya pendapatan NIIS. Lihat juga “ISIS mendanai operasinya dari penjarahan, pemerasan, penjualan minyak dan donatur”, diakses dari https://simomot.com/2014/08/02/isis-mendanai-operasinya-dari-penjarahan-pemerasan-penjualan-minyak-dan-donatur. Lihat juga “Islamic State: Where does jihadist group get its support?” diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29004253.

39 Lihat “What is ‘The Islamic State’…, Ibid. Bila diteliti dengan baik, ada beberapa kejadian kelompok bersenjata NIIS memamerkan perlengkapannya

Seperti telah disinggung di atas, pelaksana tugas lapangan dalam berbagai pertempuran adalah orang-orang yang secara sadar datang mendukung NIIS. Bila dilihat asal usulnya, kelompok pertama adalah orang-orang yang sudah terlibat sejak berdirinya NII dipimpin oleh Zarkawi. Jumlah ini terus bertambah seiring berhasilnya propaganda yang dilakukan oleh kelompok ini, terutama dari kalangan eks-tentara Iraq semasa Saddam Hussein. Kelompok berikutnya adalah orang-orang yang secara individual mendaftarkan diri ke dalam kelompok bersenjata NIIS setelah mengetahui adanya rekrutmen dari iklan yang dimunculkan di berbagai media sosial.

Ketika terlibat dalam revolusi atau peperangan di Suriah, kelompok Al Baghdadi bersama-sama kelompok-k e l o m p o k l a i n n y a m e n g h a d a p i perlawanan pemerintahan Bashar Al Assad mendapat banyak dukungan negara-negara Arab, seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Arab Saudi dan Kuwait,40 bahkan AS,41 yang berkepentingan

yang modern dan buatan negara barat (seperti mobil Toyota). Hal ini ditunjukkan melalui media sosial youtube, lihat “Officials: How Did ISIS Get So Many Toyotas?” dalam https://www.youtube.com/watch? v=sq_iP5lQsAU. Hal ini dianggap aneh oleh pihak tertentu seperti AS, sehingga timbul pertanyaan : Bagaimana NIIS bisa mendapatkan mobil tersebut dan siapa yang membantu? Ada dugaan bahwa hal tersebut tidak terlepas dari adanya dukungan dari beberapa negara Teluk pada awal kemunculan NIIS. Lihat, “Islamic State: Where does jihadist group get its support?”, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29004253.

40 Lihat Faiz Ihsan, ”Siapa sebenarnya ISIS…, Ibid.

41 Faiz Ihsan, ”Siapa sebenarnya ISIS…, Ibid. Lihat juga wawancara Hillary Clinton tentang dukungan AS, dalam Muhammad, ISIS Mengungkap..., hlm.

32 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

terhadap perubahan politik di Suriah. Selain dukungan politik, negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi, juga memberi dukungan finansial.42

Namun dalam perkembangannya, reputasi NIIS ini menurun dan mulai ditinggalkan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang semula bersama-sama menghadapi musuh yang sama. Hal ini terutama diakibatkan cara-cara berjuang mereka yang keras, brutal dan tanpa ”tedeng aling-aling”. Perbedaan dalam pemahaman syariah Islam dan penerapannya juga telah menimbulkan friksi dengan kelompok-kelompok pendukung lainnya. Misalnya, dengan kelompok Jabhat Al Nusra di Suriah.43 Hal ini membuat para pejuang NIIS harus terpecah perhatiannya ke berbagai front pertempuran sehingga tidak bisa fokus lagi. Namun demikian faktanya NIIS terus eksis dan terus berjuang, meski penentangan terhadap NIIS ini makin menguat, seakan-akan banyak pihak tidak menghendakinya lagi. Bahkan Arab Saudi yang semula mendukung mulai ikut menyerang NIIS.44

35-37. Lihat juga Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 77-79.

42 Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 80. Lihat juga Faiz Ihsan, ”Siapa sebenarnya ISIS…, Ibid.

43 Menurut berbagai sumber, kelompok NIISnya Al Baghdadi justru ingin merebut kekuasaan Jabhat Al Nusra dan menyatukan kelompok-kelompok lain ke dalam NIIS. Lihat, ”ISIS berperang bagai sebuah negara” diakses dari http://www.antaranews.com/berita/497645/bahaya-besar-isis-mencekik-irak-dan-suriah pada 15 Februari 2016.

44 ”Arab Saudi Kirim Jet Tempur ke Turki untuk Perangi ISIS” diakses dari, http://www.liputan6.com/ search?q=%E2%80%9DArab+Saudi+Kirim+

Dalam perkembangannya, akibat serangan udara AS dan Rusia yang membantu operasi militer darat, sejumlah wilayah berhasil diambil alih kembali oleh pemerintah Iraq atau Suriah. Bahkan beberapa wilayah diambil oleh para pejuang dari kelompok lain, misalnya kelompok bersenjata Kurdi. Situasi kondisi terakhir membuat kelompok bersenjata NIIS terdesak dan mulai menggunakan taktik-taktik terorisme di berbagai wilayah, di luar wilayah pertempuran utama di Timur Tengah, seperti aksi-aksi teror di wilayah Eropa, yaitu di negara-negara yang dinilai turut melakukan penyerangan terhadap posisi-posisi kelompok bersenjata NIIS,

Jet+Tempur+ke+Turki+untuk+Perangi+ISIS%E2%80%9D, pada15 Februari 2016. Selain Arab Saudi, beberapa negara Teluk (seperti Qatar, Bahrain, Emirat Arab) dan Jordania juga ikut melawan NIIS (setidak-tidaknya memberi fasilitas kepada pasukan AS. Lihat “Islamic State: Where key countries stand?”, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29074514, pada 3 Desember 2015. Pada awalnya Arab Saudi dan negara-negara Teluk mendukung NIIS karena NIIS ikut menggempur pemerintah Suriah pimpinan Asaad (Arab Saudi dan negara- negara Teluk mendukung oposisi Suriah). Dalam perkembangannya NIIS juga menggempur berbagai pihak yang bertempur di Suriah, termasuk kelompok oposisi Suriah. Tindakan NIIS ini merugikan kekuatan anti Asaad sehingga melemah kekuatan Anti Asaad yang berkuasa di Suriah. Akibatnya Asaad dan kelompoknya mendapat keuntungan dari terpecah dan lemahnya kekuatan kelompok-kelompok anti Asaad ditambah lagi Rusia dan Iran ikut mendukung pemerintahan Asaad. Tambahan pula, sikap brutal NIIS, seperti menyandera, mengeksekusi tawan an atau pembangkang, mengusir kelompok minoritas, telah merusak citranya sendiri sehingga secara tidak langsung merusak berbagai kepentingan. Misalnya umat Islam di berbagai wilayah di dunia termasuk kepentingan negara-negara Arab yang semula mendukung NIIS. Bila dukungan negara-negara Arab kepada NIIS dilanjutkan, maka citra buruk NIIS akan melekat kepada negara-negara Arab pendukung NIIS tersebut.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 33

baik di Iraq maupun Suriah. Terakhir teror ledakan bom terjadi pada akhir 2015 di Paris dan Brussel.

Ada satu hal menarik dari gajala NIIS ini, yaitu sampai 2016 tidak pernah menunjukkan permusuhan atau penyerangan kepada negara Yahudi Israel. Ada dua pendangan yang berbeda sebagai jawaban atas gejala tersebut. Pandangan pertama, NIIS tidak mau berkonflik dengan Israel karena Israel dianggap bukan musuh dan juga NIIS takut kepada Israel.45 Sementara itu ada yang mengatakan bahwa NIIS merasa belum waktunya untuk menyerang negara Yahudi tersebut.

Dari pendapat-pendapat tersebut, ada yang punya kaitan satu sama lain yaitu sikap takut dan belum waktunya. Jika dikaji dengan seksama, hingga 2016 NIIS yang belum eksis dengan sempurna sebagai entitas negara, masih memerlukan waktu dan energi serta perhatian yang fokus untuk merealisasikan hal tersebut. Bilamana NIIS berperang dengan Israel sejak awal atau pada saat sekarang ini, maka usaha NIIS menjadikan dirinya negara yang utuh akan semakin sulit karena Israel bukan lawan yang lemah

45 Tentang sikap takut NIIS lihat ”Mengapa ISIS tak Menjadikan Israel sebagai Musuh?”, diakses dari http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/16/01/03/o0d5np319-mengapa-isis-tak-menjadikan-israel-sebagai-musuh. Sedangkan untuk sikap tak mau bermusuhan, lihat ”Inilah Alasan ISIS Tak Jihad Melawan Israel di Palestina”, diakses dari http://international.sindonews.com/read/1095415/43/inilah-alasan-isis-tak-jihad-melawan-israel-di-palestina-1458790732. Sementara untuk sikap menunggu giliran, lihat ”ISIS lawan Israel Zionis Terkutuk!”, diakses dari http://www.needsindex.com/08103089/heboh-video-isis-akan-berperang-menghancurkan-zionis-israel.php#.

dan juga punya teman-teman pendukung yaitu negara adikuasa seperti Amerika Serikat dan sekutunya. Tampaknya NIIS memperhitungkan hal ini.

Negara Islam Iraq dan Suriah (NIIS) dalam kajian Hubungan InternasionalDari penjelasan tersebut di atas, tampak bahwa NIIS belumlah menjadi sebuah negara yang utuh atau masih dalam proses pembentukan, terutama bila dikaitkan dengan syarat-syarat teoritis yang harus dipenuhinya, misalnya (1) ada wilayah, (2) ada penduduk, (3) ada pemerintahan yang didukung penduduknya, dan (3) ada pengakuan kedaulatan dari pihak lain, seperti negara lain atau organisasi multilateral seperti PBB.

Fakta menunjukkan bahwa Al Baghdadi dan kelompok bersenjata pendukungnya masih terus berupaya membangun sebuah negara yang disebutnya Daulah Islamiyah fi Iraqi wa Syam (NIIS) ataupun Negara Islam (Daulah Islamiyah). Terkait klaim apakah NIIS dapat dikategorikan sebagai negara, terdapat beberapa fakta. Pertama, bahwa usaha Al Baghdadi dan kelompoknya pada awal perjuangannya telah berhasil merebut sejumlah wilayah di Iraq, kemudian merebut sejumlah wilayah di Suriah. Kedua, bahwa penduduk di wilayah-wilayah yang dikuasai tersebut tunduk dan patuh kepada Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya. Ketiga, bahwa tercatat pula sejumlah orang atau sekelompok orang yang terpaksa mengungsi atau meninggalkan tempat tinggalnya karena sudah dikuasai Al

34 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

Baghdadi dan kelompok bersenjatanya. Keempat, bahwa adanya pendatang-pendatang yang berasal dari luar Iraq dan Suriah ke wilayah-wilayah kekuasaan Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya, yaitu mereka yang berasal dari berbagai negara di seluruh dunia yang mendukung usaha Al Baghdadi mendirikan NIIS yang sebagian terpengaruh oleh propaganda audio visual Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya. Kelima, bahwa di wilayah-wilayah yang dikuasainya, Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya telah melengkapi diri dengan organisasi yang mengelola administrasi kewilayahan layaknya sebuah pemerintahan, baik di tingkat lokal maupun di tingkat pusat. Setidak-tidaknya, berdasarkan semua fakta tersebut di atas mengarah kepada anggapan bahwa NIIS telah memenuhi tiga syarat teoritis sebagai sebuah negara.

Padahal dalam kenyataannya NIIS yang dibangun dan dikelola Al Baghdadi belum memperoleh pengakuan kedaulatannya dari pihak manapun, baik entitas unilateral maupun multilateral. Kalaupun ada yang mendukung, hal itu umumnya berasal dari kelompok-kelompok bersenjata yang mirip kondisinya dengan NIIS, yakni bukan negara atau organisasi internasional. Bahkan perkembangan situasi terakhir menunjukkan adanya perubahan-perubahan yang meruntuhkan pemenuhan syarat NIIS sebagai negara. Adanya serangan balik dari pemerintah Iraq yang dibantu oleh AS dan sekutunya, serta perlawanan kelompok-kelompok bersenjata dari kalangan Syiah dan Suriah yang dibantu Rusia dan kelompok

bersenjata dari kalangan Syiah, telah membuat wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Al Baghdadi kembali terlepas.

Di samping i tu , NI IS juga menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok pejuang bersenjata yang sebenarnya punya musuh yang sama. Pertama, kelompok yang memusuhi pemerintah Iraq yakni kelompok-kelompok bersenjata dari kalangan Islam Sunni. Kedua, kelompok yang memusuhi pemerintah Suriah yakni kelompok-kelompok bersenjata yang ingin menggulingkan pemerintahan Bashar Al Asaad, baik dari kalangan Sunni maupun Wahabi seperti Al Qaeda.46 Kelompok-kelompok ini menentang NIIS karena sikap dan cara yang dilakukan Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya kepada kelompok-kelompok mereka tidak baik yang cenderung kasar dan brutal serta tidak toleran, sehingga banyak merugikan perjuangan mereka.

Dari fakta di atas terlihat bahwa kual if ikasi NIIS sebagai negara belum cukup kuat dan masih labil. Kecenderungan yang ada memperlihatkan bahwa perlawanan terhadap eksistensi NIIS makin lama makin kuat sehingga posisi NIIS pun makin lama makin melemah. Demikian juga halnya dengan dukungan negara-negara Teluk yang perlahan-lahan berkurang dan hilang. Hal ini erat kaitannya dengan perilaku brutal NIIS dalam melaksanakan perjuangan

46 Misalnya Sahwat Al Anbar di Falujjah pada 2007. Jabhat Al Nusra di Suriah misalnya. Lihat Special Report …, hlm. 9-10. Lihat juga Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 135 dan 143.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 35

bersenjata maupun menegakkan ajaran Islam yang mereka yakini dan kerap diekspose melalui media audio visual ke berbagai negara di dunia. Akibat dari ekspose tersebut, reputasi NIIS sebagai kelompok yang semula dapat diandalkan dalam menghancurkan kekuasaan pemerintahan Bashar Al Asaad di Suriah dan mencegah pergerakan kekuatan kelompok Syiah di jazirah Arab, kini mulai menjadi hancur sehingga NIIS ditinggalkan oleh berbagai kelompok dan negara-negara Islam di dunia.47

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa NIIS adalah sebuah fenomena organisasi atau kelompok bersenjata yang sedang berjuang untuk mencapai tujuan atau cita-citanya mendirikan negara Islam Dunia atau Kekhalifahan. Dalam upaya untuk menggapai cita-citanya itu, mereka berinteraksi dengan berbagai entitas atau aktor negara seperti Iraq, Suriah, AS dan sekutunya, Rusia dan juga sejumlah negara-negara Islam yang membantu aliansi di bawah pimpinan Arab Saudi.

Lalu bagaimanakah ilmu Hubungan Internasional menelaah fenomena NIIS dari tiga perspektifnya, yaitu Realisme, Liberalisme dan Konstruktivisme?48

47 Lihat “Islamic State: Where key countries stand?”, diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29074514, pada 3 Desember 2015.

48 Ada banyak literatur yang membahas tentang tiga perspektif ini. Misalnya karya Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to International Relations, (New York, Oxford University Press, 2013). Juga, John. T. Rourke, International Politics in Wolrd Stages, 12nd Ed, (Boston, McGraw Hill, 2008). Kemudian buku yang agak baru seperti karangan Stephanie Lawson, Theories of International Relations: Contending Approaches to World Politics,

Menurut John T. Rourke, dilihat dari aktornya, maka masing-masing perspektif ini memiliki asumsinya sendiri. Aktor dalam hubungan internasional menurut Realisme adalah negara. Sementara dalam perspektif Liberalisme dan Konstruktivisme, selain mengakui negara sebagai aktor, juga mengakui organisasi internasional sebagai aktor. Aktor selain negara menurut Liberalisme, adalah organisasi internasional yang mewakili pemerintah (International Government Organizations /IGOs). Sedangkan Konstruktivisme menambahkan satu lagi pelaku selain negara dan IGOs, yaitu Organisasi Internasional Non Pemerintah (Non Governmental Organizations/NGOs).49

Apa yang dipelajari dari perilaku aktor-aktor tersebut? Menurut Rourke, Realisme lebih berkaitan dengan persoalan power dan konflik. Liberalisme sendiri lebih memperhatikan masalah-masalah yang menyangkut kerjasama (cooperation) dan kesaling-tergantungan ( i n t e rd e p e n d e n c y ) . S e d a n g k a n Konstruktivisme lebih memberikan perhatian pada pemikiran (idea), komunikasi-komunikasi dan bahasa (language).

Untuk memahami fenomena NIIS, perspektif Realis jika ditelaah dari aktornya kurang cocok digunakan karena NIIS bukanlah negara karena belum memenuhi persyaratan seperti yang diungkapkan di atas. NIIS masih dianggap kelompok bersenjata, atau

(Cambridge, Polity Press, 2015).

49 Lihat John. T. Rourke, International Politics…, Tabel 1.1.

36 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

kelompok perjuangan, atau organisasi politik dan militer yang menganut paham Islam yang radikal.50 Bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai organisasi teroris.51 Walaupun demikian dari aspek perilaku aktornya, fenomena NIIS tersebut cocok dengan yang dipelajari oleh perspektif Realis ini, yakni perilaku mengejar power dan cenderung berkonflik.

Walaupun ada kecocokan dalam aspek yang dilakukan aktor, namun perspektif Realis ini tidak pernah menjelaskan perilaku aktor non-negara. Apalagi bila aktor yang dikaji adalah teroris. Jackson dan Sorensen berpendapat bahwa aktor-aktor non-negara, seperti kelompok terorisme internasional, cenderung diabaikan oleh kaum realis karena dianggap tidak signifikan bila dibandingkan dengan aktor negara.52 Selanjutnya kalaulah mereka memberikan perhatian kepada aktor non negara tersebut, maka kaum realis akan cenderung melihat terorisme internasional sebagai bagian dari negara yang ketempatan, mendukung, atau mensponsorinya. Hal ini didasarkan pada pandangan Gray yang menyatakan bahwa terorisme internasional hanya dapat tumbuh subur karena adanya ”restu” ataupun dukungan aktor negara secara resmi dan signifikan, atau minimal sebagai

50 Special Report …, hlm. 6.

51 Lihat misalnya pendapat Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, Ibid. Lihat juga Reno Muhammad, ISIS Mengungkap..., Ibid.

52 Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to…, hlm. 491-492.

”sponsor”.53 Oleh karenanya, kaum Realis cenderung akan menerjemahkan ancaman teroris menjadi ancaman yang berasal dari negara lain. Itulah sebabnya dalam kaitannya dengan Peristiwa 11 September 2001 misalnya, pihak AS serta-merta menyerang Afghanistan dan menghancurkan pemerintahan Taliban yang dianggap telah mendukung dan menyediakan tempat bagi gerakan teroris, terutama Al Qaeda. Namun demikian, bila asumsi Realis ini diterapkan pada kasus NIIS maka tindakkan NIIS diasumsikan sama dengan tindakan negara yang ketempatan yaitu Iraq dan Suriah. Dalam hal ini AS tentunya tidak mungkin menghukum Iraq karena Iraq adalah negara ”bentukan” AS. Di lain pihak, AS masih menghukum Suriah. Tapi dalam konteks ini, NIIS bukan kelompok yang didukung Suriah melainkan melawan pemerintah Bashar Al Assad bersama kaum Revolusi Suriah lainnya. Dengan demikian AS tidak memiliki alasan yang kuat untuk menghukum pemerintahan Bashar Al Assad. Walaupun dalam konteks yang lain, AS memang hendak menggulingkan pemerintahan Al Assad ini. Oleh karenanya dalam konteks ini, gejala NIIS ini agak sulit dijelaskan menggunakan perspektif Realis.

Demikian juga dengan perspektif Liberalisme. Walaupun memberi perhatian pada aktor non-negara, yaitu IGOs, namun perspektif Liberalisme ini juga kurang cocok digunakan karena ruang lingkup yang dilihatnya dari aktor itu adalah soal kerjasama dan penciptaan perdamaian.

53 Sebagaiman dikutip Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to…, hlm. 492.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 37

Fenomena NIIS yang masih berlangsung menunjukkan konflik yang brutal dan jauh dari perdamaian. Jadi perspektif ini kurang cocok untuk memberi penjelasan tentang fenomena NIIS sebagai gejala hubungan internasional bahkan sebagai aktor pun. Namun ada satu pandangan kaum Liberalis mengenai NIIS ini, yaitu cara menghadapi kelompok ini. Bila diasumsikan bahwa NIIS sebagai teroris internasional, maka penanggulangannya adalah dengan cara menggalang kerjasama antar badan-badan pemerintah guna menghentikan kegiatan terorisme tersebut.54

Di sisi lain, perspektif Konstruktivis memiliki pandangan yang berbeda tentang aktor dalam hubungan internasional dibanding Realisme dan Liberalisme. Perspektif Konstruktivis menyatakan bahwa selain aktor negara juga terdapat IGOs dan NGOs. Menurut perspektif Konstruktif ini, NIIS bisa digolongkan ke dalam NGOs. Dengan demikian, bisa dipahami bagaimana sepak terjang NIIS sebagai fenomena hubungan internasional walaupun berinteraksinya dengan aktor negara. Konteks yang meliputi tindakan NIIS antara lain conflict dan hostility. Semua perbuatan yang terjadi dalam interaksi yang dilakukan NIIS dapat dipahami melalui pemikiran, komunikasi dan bahasa yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota kelompok bersenjata NIIS terutama melalui audio visual yang disebarkan melalui media sosial. Dari berbagai ucapan dan pemikiran yang disampaikan oleh NIIS, baik melalui

54 Robert Jackson dan George Sorensen, Introduction to…, hlm. 493.

pidatonya Al Baghdadi maupun pesan-pesan audio visual berupa pemberitahuan ataupun propaganda tentang tujuan membentuk Negara Islam Dunia atau Kekhalifahan sebagai tujuan bersama bagi pemeluk agama Islam di seluruh dunia termasuk cara mencapainya.

Demikian juga ketika tujuan bersama tersebut dilaksanakan dalam kehidupan nyata, tindakan-tindakan kelompok bersenjata NIIS nyatanya dianggap keras, kaku, brutal dan penuh teror sehingga tidak disukai, baik di kalangan orang Islam sendiri maupun kelompok non Islam lainnya. Tindakan-tindakan yang dianggap tidak bermoral dan melanggar HAM internasional, tetap saja dijalankan oleh NIIS bahkan dilakukan lebih sporadis, seperti pengeboman di tempat-tempat umum Paris dan Brussel yang bukan di medan pertempuran. Hal ini semua dipandang sebagai ketiadaan kekuasaan Islam yang berupa kekhalifahan sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi. Kondisi seperti ini dalam Hubungan Internasional dikenal sebagai anarki. Obsesi pada hadirnya kekuasaan Islam setelah paham negara-negara Barat merambah dan mengatur/menata wilayah-wilayah dan kepentingan-kepentingan Islam khususnya di Timur Tengah, kemudian diiniasi oleh Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya dengan memproklamirkan berdirinya sebuah Negara Islam di sebagian wilayah Iraq dan Suriah atau yang dikenal dengan ISIS/NIIS.

Dalam perjuangannya menegakkan NIIS itu, Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya nyatanya tidak dapat

38 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

menghindari konflik dengan kelompok lain. Pertama, adalah pemerintah negara Iraq dan Suriah yang wilayahnya diklaim oleh Al Baghdadi dan kelompoknya. Kedua, adalah kelompok-kelompok bersenjata yang juga melakukan perlawanan terhadap pemerintah di Iraq dan di Suriah. Ketiga, adalah AS dan sekutunya yang menurut Al Baghdadi dan kelompoknya serta kelompok-kelompok bersenjata lainnya yang serupa dengan kelompok Al Baghdadi tersebut sebagai penyebab utama hancur dan lemahnya Islam sebagai kekuatan politik dunia pasca-Perang Dunia I hingga abad ke-21. Dalam kaitan dengan kelompok-kelompok tersebut, tampaknya Al Baghdadi yang melakukan konflik dengan kelompok-kelompok tersebut sedang mempertaruhkan sistem nilai Islam yang diyakininya sebagai sistem nilai yang disukai karena tepat untuk umat Islam saat sekarang ini.

Situasi dan kondisi ketika Al Baghdadi muncul merupakan situasi dan kondisi yang tepat dan menguntungkan Al Baghdadi, yaitu mendapat dukungan politik dan finansial pihak-pihak yang berkepentingan di Timur Tengah seperti AS dan sekutu negara-negara Arab Teluk saat Al Baghdadi dan kelompoknya ikut bertempur dalam Revolusi di Suriah. Dukungan ini dipakai bukan saja untuk menguasai Suriah tetapi juga Iraq dengan cara menduduki Fallujah, Ramadi dan minyak Mosul. Dengan modal ekonomi yang besar, NIIS dapat dipandang sebagai kelompok teroris berbaju Islam terkaya saat ini.55 Mereka mampu menjadi

55 Lihat “What is ‘Islamic state’ …, Ibid. Lihat

kekuatan kelompok bersenjata yang terhebat di kancah pertempuran Iraq dan Suriah. Bahkan NIIS mampu membangun organisasi dan adminsitrasi pemerintahan yang cukup baik dengan biaya operasi yang memadai. Keadaan tersebut dan propaganda yang dijalankan NIIS untuk menarik dukungan individu-individu Muslim di seluruh dunia dengan motto ”Hidup Mulia atau Mati Syahid” terbukti mampu menambah nilai dan kekuatan NIIS. Dengan kekuataan yang ada tersebut, NIIS mampu menegakkan tujuan berdirinya NIIS dengan cepat dan tegas kendati pun akhirnya harus dibayar mahal pula dengan reputasi yang buruk akibat kebrutalan dan tindakan terorismenya.

Reputasi yang buruk ini makin parah sehingga mengurangi kekuatannya karena menurunnya kepercayaan dan dukungan dari kalangan dunia Islam. Hal ini terlihat dari menurunnya dukungan dari kelompok-kelompok bersenjata lainnya yang secara ideologi sama, seperti Al Qaeda; dan tidak bertentangan, seperti kelompok-kelompok bersenjata golongan Sunni seperti Sahwat Al Anbar di Iraq; serta dari negara-negara lainnya yang berpenduduk Islam, seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Yordania, Arab Saudi dan negara-negara Teluk, negara-negara Maghribi seperti Tunisia, Al Jazair dan Marroko. Padahal dukungan dari kelompok-kelompok tersebut merupakan bagian penting dari pertarungan NIIS untuk memenangkan ”perang nilai” perjuangannya di mata publik dunia.

Muhammad Haidar Assad, ISIS Organisasi…, hlm. 138-145. Lihat juga, Special Report…, hlm. 18-20.

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 39

Di samping itu, klaim pengakuan wilayah NIIS yang meliputi dua negara yang secara legalitas masih berdaulat itu merupakan sesuatu hal yang tidak lazim dalam perpolitikan dunia. Walaupun hal itu dilakukan dalam rangka mendirikan Negara Islam (Dunia) atau Kekhalifahan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh berbagai kelompok bersenjata di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang sedang berkonflik, seperti Jamaah Anshar Bait Al Maqdis di Mesir, Jun Khilafah di Tusia, Boko Haram di Nigeria, Jabat Al Nusra di Suriah, di Libya dan lain-lain. Mendirikan negara dan menegakkan syariah Islam lazimnya hanya di satu negara. Baru kemudian mereka akan berkomunikasi dengan kelompok lain yang sama-sama memperjuangkan berdirinya Negara Islam di negara lain untuk maksud dan tujuan menggabungkan diri. Cara seperti ini setidak-tidaknya pernah dilakukan oleh Al Qaeda namun belum menunjukkan keberhasilannya dan cenderung mudah dilawan oleh pihak yang menentangnya.

Dengan demikian cara yang ditempuh Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya ini dapat dipandang sebagai ”eksperimen babak pertama” dalam memperjuangkan berdirinya Negara Islam versi pemaham kaum Salafi Jihadis yang dianut pengikut dan pendukung NIIS dan terobosan terhadap kebuntuan/ketidakberhasilan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lain. Cara yang ditempuh Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya ini sebenarnya mempunyai risiko dengan timbulnya reaksi penolakan

dari kelompok-kelompok bersenjata lain yang sama-sama memperjuangkan tegaknya Negara Islam, juga tidak fokusnya front perjuangan bersenjatanya karena berada di dua wilayah negara yang berbeda. Meskipun secara kebetulan dua negara ini punya ciri yang sama-sama dikuasai oleh kelompok Syiah, namun kelompok Syiah ini berseberangan dengan kelompok Sunni, Salafi dan Wahabi56 yang dianut oleh kelompok-kelompok bersenjata yang melawan pemerintah di Iraq dan Suriah. Dengan demik ian , pe r juangan melawan pemerintahan yang berkuasa di Suriah jauh lebih menguntungkan bagi Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya. Hal itu karena yang menghendaki jatuhnya pemerintahan Bashar Al Assad kebanyakan adalah kelompok-kelompok bersenjata yang berasal dari Suriah dan luar Suriah dan sejumlah negara seperti Arab Saudi dan negara negara Arab Teluk, AS dan sekutunya. Sedangkan untuk menghadapi pemerintahan di Iraq kurang menguntungkan karena AS dan sekutunya tidak menyukainya. Akibat hal ini, fokus perhatian Al Baghdadi dan kelompok bersenjatanya terpecah dan strategi mengatasi masalah akibat fokus perhatian yang terpecah ini menjadi suatu kesulitan tersendiri. Kenyataan ini makin diperberat ketika pemerintah

56 Untuk memahami Sunni, Salafi, Wahabi dan Syiah serta Khawarij, lihat Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir, Ensiklopedi Aliran dan Mazhab dalam Dunia Islam, Terjemahan oleh Masturi Irham, Muhammad Abidun Zuhdi, Kaliffurahman Fath, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2015), hlm. 154-172 (Ahlu Sunnah); hlm. 381-418 (Khawarij); hlm. 483-545 (Salafiyah); hlm. 546-581 (Syiah) dan hlm. 959-994 (Wahabiyah).

40 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

Suriah mendapat dukungan dari Rusia dan kelompok bersenjata Syiah seperti Hesbollah yang bertempat di Lebanon yang berdekatan dengan daerah yang dikuasai NIIS.

PenutupFenomena NIIS masih eksis hingga tulisan ini selesai disusun. Mengikuti perspektif Konstruktivis dapat dipandang bahwa kelanjutan perjuangan NIIS sebagai sebuah fenomena adalah ingin membentuk tegaknya sistem nilai Islam internasional, mulai dari satu negara, dua negara, kawasan, hingga akhirnya mendunia. Akhirnya perjuangannya masih menjadi tanda tanya besar karena prosesnya masih terus berjalan. Tampaknya perjuangan NIIS untuk tegak akan semakin berat sejalan dengan mengerasnya penentangan terhadap gerakan NIIS akibat tindakan-tindakan yang dilakukannya yang bukan hanya menimbulkan citra buruk bagi reputasi NIIS sendiri tapi juga bagi Dunia Islam secara keseluruhan. Konflik yang melingkupi fenomena NIIS ini tampaknya akan semakin ruwet untuk diuraikan kerumitannya satu per satu. AS, Rusia, negara-negara Arab di Teluk dan Arab Saudi, serta PBB terus berupaya mengajak pihak-pihak yang bertikai terutama di Suriah untuk jeda dahulu agar dampak buruk dari konflik di Suriah terhadap penduduk sipil dan peradaban manusia di wilayah tersebut dapat diminimalisir.

Sementara konflik di Suriah konflik masih terus diupayakan untuk dihentikan sejenak, maka konflik di Iraq, menurut versi AS, juga terus diupayakan untuk

dihentikan pula oleh pemerintah Iraq dan sekutunya, termasuk AS, antara lain dengan membom dan menghancurkan pusat-pusat perlawanan NIIS terhadap pemerintahan Iraq. Pemerintahan di Iraq yang sedang berkuasa saat ini didukung AS dan didominasi oleh orang-orang dari kalangan Syiah, sedangkan Iran sebagai negara tetangga Iraq, yang notabene memusuhi AS dan mayoritas penduduknya penganut Syiah, merupakan kawan baru bagi Iraq untuk melawan NIIS dan para penentang pemerintahannya. Di sisi lain, Arab Saudi yang merupakan sahabat AS, merasa tidak nyaman bertetangga dengan negara-negara yang faham keislamannya berbeda, yaitu Iraq dan Iran yang menganut paham Syiah. Demikian juga halnya dengan sikap negara-negara Arab di Teluk. Hal ini semua menunjukkan sisi kompleksitas masalah lain yang harus diatasi oleh AS dan sekutunya beserta negara-negara Arab di Teluk di bawah pimpinan Arab Saudi, yakni bagaimana mengupayakan agar gerakan NIIS dikucilkan atau dibuat tinggal sendirian tanpa dukungan pihak manapun sehingga akan lebih mudah diselesaikan.

Dari uraian permasalahan di atas, tampaknya gerakan NIIS masih akan tetap eksis. Pergulatan NIIS untuk memperjuangkan cita-citanya akan terus berlanjut, namun nampaknya ada kecenderungan bahwa kekuatan perjuangan mereka akan makin tergerus di masa depan seiring makin menurunnya dukungan Dunia Islam.l

Fenomena Negara Islam di Iraq ... | Erwin Indradjaja & Fredy B.L Tobing | 41

Daftar Pustaka

BukuAssad, Muhammad Haidar. ISIS Organisasi

Teroris Paling Mengerikan Abad Ini. Jakarta: PT. Zahira Ufuk Abadi, 2014.

Jackson, Robert dan George Sorensen. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, 2013.

Lawson, Stephanie. Contending Approaches to World Politics. Cambridge: Polity Press, 2015.

Muhammad, Reno. ISIS Mengungkap Fakta Terorisme Berlabel Islam. Jakarta: Noura Books, 2014.

Rourke, John. T. International Politics in Wolrd Stages. (12 Edition). Boston: Mc Graw Hill, 2008.

Tim Riset Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir. Ensiklopedi Aliran dan Mazhab dalam Dunia Islam. (Terjemahan oleh Masturi Irham, Muhammad Abidun Zuhdi, Kaliffurahman Fath). Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2015.

Artikel Internet“Arab Saudi Kirim Jet Tempur ke Turki untuk

Perangi ISIS”. Diakses dari www.liputan6.com pada 15 Februari 2016.

“bahaya-besar-isis-mencekik-irak-dan-suriah”. Diakses dari http://www.antaranews.com/beri ta/497645/bahaya-besar-isis-mencekik-irak-dan-suriah, pada 15 Februari 2016.

“Bekerja Mencegah Kedzaliman”. Diakses da r i h t tp : / /www.syamina .o rg /syamina3-Deklarasi-Daulah-Islam-Iraq-Dan-Syam.html, pada 15 Februari 2016.

Department of Political Science, University of Wisconsin-Medison, “Defintion of International Relations”. Diakses dari

https://www.polisci.wisc.edu/fields/ir, pada 15 Februari 2016.

“Islamic State: Where key countries stand”. Diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29074514/, pada 3 Desember 2015.

”ISIS berperang bagai sebuah negara”. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/497645/bahaya-besar-isis-mencekik-irak-dan-suriah pada 15 Februari 2016.

”ISIS Punya Target Menguasasi Kerajaan Yordania”. Diakses dari https://www.intelijen.co.id/isis-punya-target-menguasasi-kerajaan-yordania/, pada 15 Februari 2016.

“Kronologi awal teror di Paris”. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/529333/kronologi-awal-teror-di-paris, pada 14 November 2015.

“Lahirnya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) Atau Negara Islam Irak dan Syriah”. Diakses dari http://www.kompasiana.com/makenyok/lahirnya-isis-islamic-state-of-iraq-and-syria-atau-negara-islam-irak-dan syriah_54f3ef8f745513982 b6c83d0, pada 17 Juni 2015.

“Negara Islam Iraq dan Syam”. Diakses dari http://www.wikiwand.com/ms/Negara_Islam_ Iraq_dan_Syam/, pada 15 Februari 2016.

“Sejarah Berdrirnya ISIS”. Diakses dari http://simomot.com/, http://www.dw.de, htpp:www.bbc.de/, pada pada 15 Februari 2016.

“Sejarah ISIS asal mula & deklarasi Khilafah - Siapa”. Diakses dari http://www.bebibums.com/2014/08/sejarah-isis-asal-mula-deklarasi.html, pada 15 Februari 2016.

42 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017| Hlm. 19-42

“Siapa sebenarnya ISIS itu? Dan Sebenarnya Apa Misinya Mereka?”. Diakses dari http://www.microcyber2.blogspot.co.id/2014/09/siapa-sebenarnya-isis-itu-dan-apa-misi.html, pada 15 Februari 2016.

“Special Report-The Islamic State”. Diakses dari http://www.calrionproject.org, pada 15 Februari 2016.

“Update : Serangan Bom di Brussels, Kota Pusat Dunia”. Diakses dari http://www.beritasatu.com/dunia/356190-serangan-bom-di-brussels-kota-pusat-uni-eropa.html, pada 15 Februari 2016.

“What is ‘Islamic State’?”. Diakses dari http://www.bbc.com/news/world-middle-east-29052144, pada 2 December 2015.

“What is the Levant?” Diakses dari http://www.dawn.com/news/1113209, pada 15 Februari 2016.

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 43

ADOPTING UNSCR 1325 IN INDONESIA: SHARED EXPERIENCES, PROSPECTS, AND CHALLENGES1

PENGADOPSIAN UNSCR 1325 DI INDONESIA: BERBAGI PENGALAMAN, PELUANG, DAN TANTANGAN

Irine Hiraswari Gayatri

Center for Political Studies, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)Email: [email protected]

Diterima: 16 November 2016; direvisi: 14 Desember 2016; disetujui: 3 Januari 2017

Abstrak

Sepanjang sejarah, orang di berbagai negara mengalami dampak dengan tingkat yang berbeda yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Pada skala global, United Nations Security Council Resolution (UNSCR)2 1325 yang ditandatangani pada tahun 2000 tentang wanita dalam konflik bersenjata ditandai sebagai langkah penting dalam mengakui peran perempuan dalam proses perdamaian sekaligus signifikasinya dalam memenuhi hak asasi manusia. Sejak itu sifat konflik dunia berubah, substansi tentang perdamaian dan keamanan juga telah berkembang, serta apa yang disebut sebagai keadilan telah berubah. Sampai saat ini, 58 negara telah mengadopsi UNSCR 1325 sebagai bagian dari hukum nasional. Makalah ini melihat proses,

1 This Paper has been previously presented at The 1st International Conference on Social Sciences and Humanities (ICSSH) in Jakarta, Indonesia, 18-20 October 2016. The content of this paper is partly based on author’s experiences as both activist and academic in advocating UNSCR 1325 into Indonesia’s national action plan since 2007. Workshops, seminars, and training where participants from various conflict setting regions came and shared their experiences also work as data and information gathering methods. The author has opportunities to learn other countries’ experiences in adopting UNSCR 1325 namely the Philippines while learning from European counterparts as well as those from North America.

2 Security Council Security Council’s primary responsibility is the maintenance of international peace and security that cover: • Investigate disputes that might escalate to cause international tension; • Dispatch peacekeeping operations; • Impose economic sanctions; • Mandate arms inspections; • Deploy human rights and election monitors; • Refer situations to the International Criminal Court.

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

44 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

strategi dan tantangan dalam perumusan Rencana Aksi Nasional (National Action Plans/NAP dari UNSCR 1325. Makalah ini akan menjelaskan proses dalam mengadopsi UNSCR 1325 di Indonesia dengan mengelaborasi peran aktor dan melihat bagaimana mereka memahami dan mendiskusikan penerapan norma-norma global ke dalam hukum nasional. Pertanyaan utama dari makalah ini adalah “bagaimana ruang-ruang struktural memberikan efek adopsi UNSCR 1325 sebagai rencana aksi nasional di Indonesia?” Ruang Struktural berarti lingkungan politik yang memungkinkan dinamika hubungan antara aktor dan/ atau lembaga-lembaga negara dan non-negara yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam menetapkan kebijakan. Diharapkan penelitian ini akan menambah diskusi tentang perempuan dalam perdamaian dan konflik, serta literatur tentang Hubungan Internasional kontemporer.

Kata kunci: Indonesia, Perempuan dalam Konflik Bersenjata, UNSCR 1325

Abstract

Throughout history, people in various states experience a different degree of impacts caused by armed conflicts. At the global scale, United Nations Security Council Resolution (UNSCR) 1325 that signed in 2000 on women in an armed conflict marked as a significant step in recognizing women’s role in peace processes as well as its significance in fulfillment of human rights. Since then the nature of world’s conflicts have changed, also the substance of what we sought as peace and security have evolved, as well as what termed as justice has been transformed. Until today 58 countries have adopted UNSCR 1325 as part of national law. This paper looks at the process, strategies and challenges in the formulation of Indonesia’s National Action Plans (NAP) on UNSCR 1325. This paper will describe the process in adopting UNSCR 1325 in Indonesia by elaborating the roles of actors and look at how they perceive and discuss adoption of global norms into national law. The main question of this paper is “how do structural spaces give effect to the adoption of UNSCR 1325 as a national action plan in Indonesia?” Structural spaces mean political environment that allow dynamics of relations among state and non-state actors and/ or institutions that influence the decision-making process in establishing policy. It is expected that this study will add to the discussions on women in peace and conflict, as well as to literature on contemporary International Relations.

Keywords: Indonesia, UNSCR 1325, Women in Armed Conflict.

Background: UNSCR 1325 as Global Agenda

The keywords of women, peace and security are not born out of

a vacuum. The relations of three concepts occurred along with the end of the Cold War, which followed by the geopolitical changes, the diminishing of ideological conflicts of “East” versus “West”. It grew

as parts of the changing constellation of relationships among countries.

Meanwhile vast arrays of works of literature described that Southeast Asia and South Asia are two regions that are affected by humanitarian crisis at least in the last two decades.3 In 2014, ethnic

3 Vishalini Chandara Sagar, “Women, Peace and Security: Impact of UNSCR 1325 On Indo-Pacific”,

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 45

and religious clashes erupted in South and Southeast Asia in the forms of ethno-religious conflicts in Pakistan, Nepal, and Myanmar, while rights of determination movements caused conflicts in southern Thai land , The Phi l ippines , and Indonesia.4 Conflicts that arise causing harm and suffering as the flood of refugees (IDP’s or internally displaced people) emerge, causing marginalization of women and children as victims, whilst no women’s voices on resolution table. Thus, we witnessed discussions about these three issues emerged at the level of practical realities, policy, and academic.

How those grim reali t ies of human-made sufferings have anything to do with a global instrument such as UNSCR 1325? The United Nations Security Council Resolution 1325 launched on 31 October 2000 is the first UN resolution to recognize that conflicts caused impacts on women and girls differently from men and boys.5 Main pillars of the resolution are prevention, protection, participation, peace building, and recovery. It also recognizes the strong relationship between peace and

accessed from http://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2015/12/CO15281.pdf, Accessed September 2, 2016.

4 Mohammad Zulfan Tadjuddin, Explaining Collective Violence in Contemporary Indonesia, From Conflict to Cooperation, (London: Palgrave MacMillan, 2014), hlm. 75. And also, Jacques Bertrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 7-8.

5 Office of The Special Adviser on Gender (OSAGI), “2004 report of the Secretary-General on Women, Peace and Security”, accessed from http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/sg2004.htm#S/2004/814, accessed September 1, 2016.

women’s role in decision-making and the active role women play throughout the conflict cycle. It has opened the way for women to be regarded as competent decision-makers in conflict situations and active groups of sustainable peace and security.

In this matter, what define as security in regard to the UNSCR 1325 is understood in the perspective of ‘human security’. Human security encapsulates several aspects namely emphasis on protecting individuals, in terms of both freedom from fear and freedom from want. This means safety from chronic or sudden threats including sexual violence, hunger, human rights abuses, disease and repression. Thus human security should be linked to the empowerment in order that people are enabled to protect their own dignity, livelihood and survival.6

Picture 1: Key Elements of UNSCR 1325

The resolution was formulated on the basis of the statement of the leadership

6 Women Peace Security, “Our Work”, accessed from http://www.womenpeacesecurity.org/media/Basic_1325_PP_ENG.pdf, accessed September 1, 2016.

Women participation: promotion of, support to women's involvement; partnership building & Network; recruit more

women in peace nuilding

Protection of women and girls: empowerment of security, health,

economy,

gender training inclusion of

gender perspectives in all

aspects:

prevention: of sexual violence &

human rights violation to women & Children

46 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

of the UN Security Council on 8 March 2000.7 Reasons behind this resolution were the desire to actualize concerns about gender-based violence took place in various regions affected by conflict. However, supporters of the resolution were not evenly distributed on all UN member states. As follow up, UNSC issued six additional resolutions on women, peace and security namely UN Securi ty Council Resolut ions numbers 1820 and 1888, 1960, 2106 and 2122.8 Other documents backed formulation of UNSC Resolution 1325 that contain relevant issues to on women in armed conflict.9

7 UN Documents System, “Official Documents System of the United Nations”, accessed from https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/634/68/PDF/N0263468.pdf?OpenElement, accessed august 24, 2016.

8 The United Nations Security Council Resolutions, “Reso lu t ion 2122 : Women and Peace and Security”, accessed from http://unscr.com/en/resolutions/2122, accessed August 22, 2016.

9 The study on women in the conflict in 2005 conducted by O.N Caroline Moser and Fiona C. Clark, “Victims, Perpetrators, or Actors?” illustrates the repositioning of the role of women as actors in conflict and political violence. His studies show that women can play a role as actor of conflict for example as a guerrilla, a perpetrator, as well as victims in other conflict settings. A study conducted by Adriana Venny et. al., in 2007 found dynamics of the confluence role of women as actors in conflict situations in Aceh and during communal conflict in Ambon. Study findings of P2P LIPI and HDC (The Centre for Humanitarian Dialogue) on “Women at the Peace Table” (2010) also show that women have multiple roles in conflict situations, not merely as passive victims. The role of women in conflict situations is very diverse, ranging from messenger between the conflicting parties, to be part of the factions involved in the conflict, to become part of the conflict resolution process, especially in the formal negotiating table. But the findings P2P LIPI and HDC studies show that women’s involvement in formal conflict resolution process is still very small.

In 24 and 25 October 2000, the UN Security Council facilitated discussion of the issue of women, peace, and security in which representatives from 40 countries made a statement in support of gender perspectives in peace operations and participation of women in all aspects of the peace process.10 The discussion followed what referred to as meeting “Aria Formula” on October 23, 2000, which provided an opportunity for member states of the UN Security Council to discuss the impact of armed conflict on women, and women’s role in the peace process, with the representatives of women’s non-governmental organizations from Guatemala, Sierra Leone, Somalia and Zambia.11

At that time, representatives of the organization in the discussion forum raised the experiences of women and girls in armed conflicts in their respective countries. The forum was also filled with the desire of the group as well as the delivery of grassroots women’s movement to prevent and resolve conflicts and build peace, create a safe 10 Speech by Kofi Annan, UN Secretary General Special Consultant on Gender Issues and Advancement of Women Angela King, and Executive Director of UNIFEM, Noeleen Heyzer. Statement of the member countries among others from Jamaica, United States, Tunisia, Argentina, China, England and Northern Ireland, Bangladesh, Republic of the Russian Federation, the Netherlands, Canada, France, Malaysia, Ukraine, Mozambique, Egypt, Congo, South Africa, Liechtenstein, Singapore, Pakistan, Japan, Cyprus, South Korea, India, new Zealand, Zimbabwe, Indonesia, Tanzania, Australia, Croatia, Belarus, Ethiopia, Malawi, Guatemala, UAE, Norway, Rwanda, Botswana, Nepal and Namibia.

11 Secretary-General, Security Council Resolution, Women, Peace and Security, (New York: United Nations, 2002), hlm. 2-4.

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 47

atmosphere, and participate in the long-term development.

As a next step to the resolutions, the United Nations issued a preliminary study on the impact of armed conflict on women and children to identify the scope and extent of the mandate of UNSCR 1325 in several countries affected by armed conflict. The study explains that substantive Resolution 1325 contains statements that recognized the impact of war or armed conflict on women. It also provides opportunities for women to contribute to sustainable peace.

UNSCR 1325 underlined the need for integrating (mainstreaming) of gender perspectives in areas or centers of conflict, where the United Nations has a role in preventing and be part of the efforts of resolution and prevention, peace building, peacekeeping, rehabilitation, and reconstruction post-conflict. This resolution provides a framework for the needs of inclusive participation of women in finding an efficient way to achieve peace, in addition to supporting the comprehensive involvement of civil society groups in the peace process and the implementation of the peace agreement.

In 2002 , Secu r i t y Counc i l Pres ident ia l S ta tement 2002/32 requested UN member states preparing the national level initiatives to carry out UNSCR 1325. A number of donor countries, also states that experienced prolonged armed conflicts took part. An international organization, Women’s International League for Peace and Freedom (WILPF) along with other

civil society organizations took part in monitoring the process of state’s NAP initiatives.12

Since then several countries in the Asia region arrived at a process of developing National Action Plans to translate the UN Security Council Resolution 1325 into real actions. China and Malaysia were two countries in Asia that supported the UNSCR 1325 as UN Security Council (UNSC) members. The Philippines launched its NAP in 2010 and Nepal in 2011. Indonesia started in 2006 with its own NAP or RAN P4DK, which later called RAN P3KS that launched in 2014. The Republic of Korea (South Korea) also adopted a NAP in 2014, followed by Afghanistan and Japan in 2015.

Nonetheless, UNSCR 1325 have not met with easy welcome in Asian states. The NAP in Northern European states and North America are different than those from counterparts in Southeast Asia and South Asia. Northern European states’ NAP are mostly designed as outward looking and clearly, reflect the pillars of UNSCR 1325.13 NAP from

12 Women’s International League for Peace and Freedom, “UNSCR 1325: The Promise And Limitations Of National Action Plans In Asia”, accessed from http://wilpf.org/unscr-1325-the-promise-and-limitations-of-national-action-plans-in-asia/ accessed September 2, 2016

13 In Northern Europe’s NAP’s, more proportion of activities are given to send PKO s in conflict affected states. In their Asian counterparts except Japan and South Korea, NAP’s tend to establish in the context of managing gender based violence/ conflicts at domestic/ state level. Examples can be given in NAP’s Srilanka, Indonesia, also The Philippines. In some ways this situation reflect capability of state in terms of institutional, human resources, and budget

48 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

Southeast Asia, with the exception in Nepal and the Philippines, tend to be more inward looking, l ike of Indonesia’s. In Northern Europe’s NAPs, more proportion of activities are given to send Peace Keeping Operations (PKOs) in conflict affected states. In their Asian counterparts except Japan and South Korea, NAPs tend to establish in the context of managing gender based violence/ conflicts at domestic/ state level. Examples can be given in NAPs of Sri Lanka, Indonesia, also The Philippines. In some ways this situation reflects capability of state in terms of institutional, human resources, and budget allocation on the one side, besides the paradigm on security, on the other hand.

Picture 2. Responsible Actors in Implementing UNSCR 1325

Developing Indonesia’s NAP on UNSCR 1325Post-1998 reform in Indonesia opened a wider space for critical global issues

allocation on theone side, besides the paradigm on security, on the other hand.

‘penetrating’ national discussions. Among others ones that relate to women, gender, security, peace, and conflict, especially on the participation of women in the formal decision-making process in the peace process and /or in conflict settings. Indonesia’s National Action Plan on UNSCR 1325 was called firstly Rencana Aksi Perlindungan, Pencegahan, dan Pemberdayaan perempuan di Daerah (National action Plan on Protection, Prevention, and Empowerment of Women in Conflict Region), abbreviated as RAN P4DK.

Later, at the end of 2013 it was changed into Rencana Aksi Nasional Perl indungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (National Action Plan for Protection and Empowerment of Women and Children in Social Conflict), shortened as RAN P3AKS, according to Presidential Decree (Peraturan Presiden) No.18, 2014. The changes of its title insinuate main tasks is still in the hand of the leading state ministry, Ministry of Women’s Empowerment. However, at the beginning, it was seen as an ‘effort’ to reduce overlapping aspect since ‘prevention’ is covered by another Law on Social Conflict No. 7/2012.14

The meetings to draft NAP continued, with more discussions on definitions of social conflict, the scope of responses to it, as well as programmatic approaches that possible to empower women as agent of peace according to the local context. The ‘social conflict’ term in

14 Communication with drafter of Law No. 12/2012 on Social Conflict in Jakarta.

Security Council

Secretary General

UN Agencies

Member States

All parties to armed conflicts

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 49

the final version of NAP meant that a consensus, colored by somehow critical debates, in the end, was made.

This paper will now elaborate the actors who play significant roles in the formulation of Indonesia’s NAP of UNSCR 1325 and look at the inter-relations dynamics among them that shaped the whole process. State actors in this paper refer to institutions in the central government at the ministerial level that can discuss, plan, formulate, and decide strategic initiatives or policies, and able to spend budget to implement policies. No state actors refer to nongovernment entities, be it organizations and individual, whom/which have interests and/ or strategic and decisive roles in terms of advocating Indonesia’s national action plan on UNSCR 1325.

In formulating Indonesia’s NAP, state and non-state actors always work together. They began with planning, d iscuss ing terms of references , developing keywords to discuss, to engaging participants from different organizations around provinces, and join together in a steering committee. This collaboration is different than in other states where NGOs and state actors are often pictured in opposition to one another.15

15 As Indonesia delegate, together with one official from MoWE and one activist from AMAN/ Asia Muslim Action Network, during the visit to “National Action Plan Academy: Security Through Inclusive Leadership” in December 3-5, 2014 at Washington DC as part of program sponsored by The Institute for Inclusive Security and Georgetown University’s Institute for Women, Peace and Security, participants from Japan questioned the degree of collaboration

Putting the three concepts altogether ─women, peace, armed conflict─ in a policy proposal that wished to ‘transform’ traditional understanding of peace and security in Indonesia is still seen as difficult if not impossible. In this context, ‘gender’ works as a bridge to convey the substances. Gender became an issue as part of Indonesian government policy back in 1984 with the signing of Beijing Platform for Action (BPFA). The Constitution of Indonesia (1945) guarantees equality between men and women. State’s gender mainstreaming policy has been referred to CEDAW Articles and adopted as the policy to integrate gender perspectives into policy planning and budgeting.

Another milestone which helps in ‘mitigating’ the entrance of the above-mentioned concepts into policy formula is affirmative action based on Law 10/2008 on General Elections. With this law, 30 percent of women nominated on the list of parliamentary candidates, finally helped in boosting women’s representation in the Indonesian House of Representatives (DPR-RI). Thus legal instruments have established to make recognize the participation of women in the formal process.

When we s tar ted to engage actors in looking at possibilities to

among actors in development of Indonesia’s NAP. My understanding of NAP process is that such method symbolizes level of trust among actors. Active groups including AMAN Indonesia, the Gender Based Violence organization, and the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). Government holds consultations with civil society, including women’s groups, and that members of civil society are performing the monitoring process.

50 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

adopt UNSCR 1325, the national political environment was colored by concerns after series of armed conflicts in Aceh, Timor Leste, Papua, and several others communal conflicts in Poso, Sampit, Ambon affected the life of women and children. At the same time, activists and some government officials recognize that existing state regulations have not addressed properly the specific needs of women and children (girls) in the conflict setting.

Initial drafting of National Action Plan was led by Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection in 2006. At that time Indonesia was just two years away from a presidential election and experienced a historical process where an almost 30 years of armed conflict in Aceh ended with the peace agreement signed in Helsinki, in August 2005. As the peace pact was aired, people became more aware that armed conflict brought severe impacts on women and children. More concerns were expressed related to post-conflict humanitarian issues. Remember that Aceh was also experienced post-tsunami disaster recovery.

Despite the above-mentioned developments, however, on security sector issues, dominant paradigm on state sovereignty and nationalism still persisted.16Later in the process of discussing UNSCR 1325 in Indonesia’s NAP, resistance from Ministry of Foreign

16 Office of The Special Adviser on Gender (OSAGI), “2004 report of the Secretary-General on Women, Peace and Security”, accessed from http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/sg2004.htm#S/2004/814, accessed September 1, 2016.

Affairs was met especially the notions of ‘sovereignty’, and ‘women in armed conflict’.17Contrary to it, more supports expressed by CSO and academic circles, where topics such as women, peace, and conflict, are common subjects in policy formulations as in many countries.

In 2007 more cooperation between Ministry of Women’s Empowerment and the United Nations for Female and Population Agency (UNFPA) started. A study on women condition in post-conflict areas served as the preliminary basis to the drafting of early NAP. The study mapped the needs of women in conflict areas in Indonesia (Aceh, Poso, Ambon, and Atambua). 18 The term “armed conflict” which inserted in initial Indonesia’s NAP was borrowed from the result of the above-mentioned study. Another study by LIPI and HDC in 2010, covering women’s roles in peace building in several conflict situations in Poso, Ambon and Papua shows that women are absent or under represented from decisive roles during conflict resolution stage as well as in post conflict situations.

However, it was around 2011-2012 that more challenges were met in using 17 Personal experience during intra ministerial coordination meeting on National Action Plan on Women, Peace and Security (Rakor Lintas Kementrian mengenai rencana Aksi Nasional Perempuan, Perdamaian dan Keamanan) where I shared a paper titled “Manfaat Pelaksanaan resolusi DK PBB 1325” at Hotel Milennium, Jakarta, April 12, 2011. MoWE sponsored the meeting.

18 Women’s International League for Peace and Freedom, “UNSCR 1325: The Promise And Limitations Of National Action Plans In Asia”, accessed from http://wilpf.org/unscr-1325-the-promise-and-limitations-of-national-action-plans-in-asia/ accessed September 2, 2016

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 51

terms such as “conflict”, as well as “armed conflict” in the drafting of NAP. I conclude that some factors, namely the drafting of Law of Social Conflict, which was not in any way relating with the discussion of NAP, have contributed to the complexities.19

Although in some ways met with resistance expressed by state officials from Ministry of Foreign Affairs, process to socialize pillars of NAP was improved when it was able to hold training on UNSCR 1325 in Jakarta in December 2011, and in Bali, by inviting representatives of women’s organizations of the five conflict areas in Indonesia such as Aceh, Central Sulawesi, Ambon, Papua, and Atambua. Indonesia also learned experiences from the Philippines.20

Later, due to the expanded dimension and scope of women’s issues in Indonesia is related to reproductive rights affected by conflict, the UN Women involved in facilitating Ministry of Women’s Empowerment. An anti-gender-based violence loose coalition was formed that consists of non-governmental organizations and individuals to carry out the consultation process of the NAP.

19 Discuss with NAP drafters from MoWE in mid 2012.

20 In December 2011, HDC/ Humanitarian Dialogue Centre and LIPI sponsored a two days workshop with main agendas to socialize early NAP. In the terms of reference it was clearly stated that main aims of the workshop was to build cooperation among government institutions, NHRI (National Human Rights Institution), civil society groups, and women organizations. The workshop also aimed at mapping needs of developing NAP.

Since 2007 consultations were conducted simultaneously among government and non-governmental organizations both in Jakarta and in some provinces to provide feedback on the initial draft. This process allowed for a formation of the small team with main tasks was lobbying key government personnel/ institutions in order to get the support of NAP. In 2010 to 2013 more advocacy networks were involved in the national and regional level in order to gather more inputs to the draft.

Indonesia’s NAP at a GlanceAs the title suggests, the main aim of RAN P3AKS is to streamline the protection and empowerment of women and children during conflicts, especially in this matter, social conflicts. To activate it government consider it as a National Action Plan based on Presidential Decree, whilst not putting UNSCR 1325 anywhere in the text. The development of the RAN P3AKS was led by the Minister for People’s Welfare of the Republic with MoWE as one main player.

Picture 3. Activities of Indonesia’s Nap

Objectives

The RAN P3A-KS program consists of series of activities carried out in a systematic and planned manner

to protect and empower women as well as children during social

conflicts, as an integral part of social conflict resolution activities. In order to do so, the RAN P3A-KS program is divided into 3 sections:

Preventive programs;

Resolution programs;

Empowerment and participation programs.

52 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

Picture 4. The GAPS

in Indonesia’s NAP, every section has issues to attend and priorities of action plans. In

“preventive programs”, the first issue refers to “absence of accurate data and studies on

women and children in conflict areas” and the goal set is to “Provide data and studies on

women and children in conflicts areas”. In order to do so, there are two activities set, name.y (1)

mapping data on women and children in conflicts areas; and (2) conduct studies of gender-based

violence cases from conflicts.

The timeframe set for the RAN P3A-KS is from 2014-2019. It is set to be implemented gradually and continuously consisting of a

preparation stage by 2014 and an implementation stage in 2015-

2019.

The respective ministries/institutions must

allocate budget for each activity although the amount is not mention clearly. Not include strategies or mechanisms to ensure activities are funded

within departmental budgets.

Table 1: SWOT in NAP Implementation

Source: materials prepared by Sulis during Workshop “Pembentukan Pokja RAN P3AKS” Jakarta, 28 September – 1October 2016.

Review Kekuatan dan

kekurangan

Implementasi RAN P3AKS

1. Political Will: Komitmen 24 KL, 22 KL ada program kon?ik sosial

2. Inklusivitas ; kerjasama antara pemerintah dan masyarakat sipil mulai dari drafting sampai implementasi

3. Pendanaan RAN P3AKS - APBN dan sudah ada di RPJMN

4. Substansi : Sangat kuat pada kebutuhan taktis perempuan dan anak . Fokus pada pilar 3PR

5. Kordinasi : Kelembagaan UU PKS. TIM Kordinasi Nasional , Pokja yang dijelaskan dalam Perpres dan Permenko

6. Data base: exist. ada di setiap KL, LSM, SNPK ( alm )

1. Political will: belum maksimal dan terkordinasi dalam menjalankan RAN, bongkar pasang ,

2. Inklusivitas : daerah ? Sulteng /Aceh 3. Pendanaan RAN P3AKS: nasional

hanya membantu pembentukan RAD. implementasi ?

4. Subtansi : Lemah di kebutuhan strategis perempuan , terjebak pada memasukkan banyak isu

5. Kordinasi : Tidak terkordinasi Timdu dan Pokja . (internal) Pokja belum

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 53

After the Indonesia NAP launched in March 2014 in Jakarta, the involvement of non-governmental organizations and relevant government institutions became increasingly widespread. Global and regional networks also expanded as an arena to share ‘best and good practices’. In several forums, participants were able to exchange insights and experiences on women, peace, and security issues. A mechanism is now in place where local “Tim Terpadu” led by Ministry of Women’s Empowerment will take part as the front-runners in implementing NAP. There are 10 “team terpadu’ in 10 provinces.21

Between 2014-2016, consolidation of civil society to ensure its role in the implementation of the NAP and the Protection of Women and Children in Social Conflict (P3AKS) intensified. Among others UN Women has just finished consolidating civil society groups in the implementation of NAP P3AKS, as an effort to ‘localize’ or ‘contextualize’ UNSCR 1325.

A two-day workshop, 1 to 2 March 2016 in Jakarta was attended by civil society representatives from Aceh, Jakarta, West Java, Yogyakarta, East Java, East Nusa Tenggara, Maluku and Papua. The workshop aims to update the development of women’s issues, peace and security both in the national and local level. Furthermore, the workshop also aimed to formulate a strategy of

21 There are 10 team terpadu in 10 provinces: Jawa Timur (Jatim), Jambi, Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel),Kalimantan Timur (Kaltim), Bali, Kalimantan Tengah (Kalteng), Lampung, Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), Gorontalo.

civil society involvement in the escort RAN P3AKS in the area.22The above-mentioned forum saw NAP or RAN P3AKS as a living document. Participants of the forum shared the ideas that needs at the local level, coupled with socio-political dynamics and a strong economy, will gives context to implementation of the NAP P3AKS. Currently there exist the Regional Action Plan, therefore participants suggested the points that have not been or are not explicitly mentioned in the NAP.

Current Prospects and ChallengesProspects to continue implementing Indonesia’s NAP in regions is now not a difficult task. Local actors can now develop their strategies, programs, and make link with one another using regional Action Plan matrix. In another corner, the role of various CSO is expected in advocating awareness among wider segments in the society. All in all it is the vibrant democracy, which armed with massive use of social media, can help the outreach of substantive issues. In terms of collaborative mechanism, more opportunities available to have a more focused agenda especially since the government institutions and CSO have started NAP together. With regard to prospects seeing from global level, a new window opportunity exists in the name of SDG’s indicators. Goal number 16 can

2 2 R u b y K h a l i f a h , f a c i l i t a t o r ’s n o t e o n “Workshop Peningkatan Kepemimpinan Perempuan dalam Women, Peace, and Security”, Sari Pan Pacific, Jakarta, March 1-2, 2016.

54 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 43-55

help in opening the way that Indonesia’s NAP can take into action.

Despite achievements made by Indonesia in adopting pillars of UNSCR 1325 into NAP, and some prospects at hand some major gaps still persist. Those gaps are related with some aspects namely coordination mechanism, budgeting, indicators of results, monitoring and evaluation scheme, and more substantive aspects that reflect implementing stages of NAP:(1) Providing new map of trend of

conflicts, actors, and resolution process that exists. A data set used to be providing supported by The Habibie Center called ‘Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan’/SNPK (National Violence Monitoring System) that could be accessed online. This data set is now inactive /offline.

(2) Coordination mechanism. Actors may vary, whilst programs can be different in line with priorities that have been set. The task force should play more decisive roles in coordinating ministries that has committed to deliver programs.

(3) Integration of budget and activities. At this point NAP task force also planned to Iintegrate working mechanisms and activities with instruments available under Law number 7/ 2012 on Social Conflict.23

23 Recommendation from a three days workshop with MoWE and Coordinating Ministry of People Welfare in Bogor, September 28 to October 1, 2016.

(4) Monitoring mechanism. A task force in Jakarta (central government) must make sure that monitoring section is at place while using standardized indicators to monitor which issue at what stages.

(5) Budgeting. Making sure that local partners (CSO) have access to source of funds from local government in executing program.

(6) Security Sector Reform (SSR). Integrating gender mainstreaming into SSR, enhancing numbers of high ranked women officers in the military and police force, more women recruits in military and police forcce, as well as more sessions on WPS.l

References

BooksBertrand, Jacques . Nasionalisme dan Konflik Etnis di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.

Hedman, Eva-Lotta E. ed. Conflict, Violence and Displacement in Indonesia. New York: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2008.

Secretary-General, Security Council Resolution. Women, Peace and Security. New York: United Nations, 2002.

Tadjuddin, Mohammad Zulfan. Explaining Collective Violence in Contemporary I n d o n e s i a , F ro m C o n f l i c t t o Cooperation. London: Palgrave MacMillan, 2014.

Adopting UNSCR 1325 in Indonesia ... | Irine Hiraswari Gayatri | 55

WebsitesInternational Knowledge Network of Women

in Politics. “Women’s Leadership”. accessed from http://iknowpolitics.org/en/knowledge-library/website-database/list-national-action-plans-implementation-unscr-1325. accessed in March 2016.

Office of The Special Adviser on Gender (OSAGI). “2004 report of the Secretary-General on Women, Peace and Security”. accessed from http://www.un.org/womenwatch/osagi/wps/sg2004.htm#S/2004/814. accessed September 1, 2016.

Women Peace Security. “Our Work”. accessed from http://www.womenpeacesecurity.org/media/Basic_1325_PP_ENG.pdf. accessed September 1, 2016.

UN Documents System. “Official Documents System of the United Nations”. accessed from https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N02/634/68/PDF/N0263468.pdf?OpenElement. accessed august 24, 2016.

Women’s International League for Peace and Freedom. “UNSCR 1325: The Promise And Limitations Of National Action Plans In Asia”. accessed from http://wilpf.org/unscr-1325-the-promise-and-limitations-of-national-action-plans-in-asia/ accessed September 2, 2016.

Vishalini Chandara Sagar. “Women, Peace and Security: Impact of UNSCR 1325 On Indo-Pacific” accessed from http://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2015/12/CO15281.pdf. accessed September 2, 2016.

The United Nations Security Council Resolutions. “Resolution 2122: Women and Peace and Security”. accessed from http://un-scr.com/en/resolutions/2122. accessed August 22, 2016.

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 57

EVALUASI PILKADA SERENTAK DI SULAWESI UTARA

EVALUATION OF THE SIMULTANEOUS REGIONAL ELECTION IN THE NORTH SULAWESI

Daud Ferry Liando

Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi ManadoEmail: [email protected]

Diterima: 25 Oktober 2016; direvisi: 30 November 2016; disetujui: 22 Desember 2016

Abstract

The simultaneous regional election held in 2015 in North Sulawesi has not been successfully a sexpected in the goals in Pilkada Law. It is because of low level of participation among the people, inefficiency in financing, and implementation of simultaneous regional election that do not have synchronized period of service with the inauguration process. This research is to answer three research questions; first why the goals of simultaneous regional election in North Sulawesi are not successfully achieved as it was expected? Second, what are the main obstacles that hindered the achievement of the expected goal? Third, what improvements that are needed in order to achieve the expected goals? This research is utilized policy evaluation theory, while in data collecting methods will be held through FGD and document studies on report of KPUD (Regional General Elections Commission) and Bawaslu (The Election Supervisory Agency). This research concludes that the goals of regional election is not successfully achieved because of selecetion of candidate does not involve the public, campaign promises is normative and not visionary, regulation problems, campaign financing, police financing, and financing of the KPPS (the Polling Station Working Committee).

Keywords: simultaneous regional election, participation, financing, periodisation.

Abstrak

Pilkada secara serentak pada tahun 2015 di Sulawesi Utara belum berhasil sebagaimana tujuan yang diharapkan UU Pilkada. Hal itu disebabkan tingkat partisipasi pemilihnya masih

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

58 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

sangat rendah, pembiayaan yang tidak efesien serta pelaksanaan pilkada secara serentak namun belum melahirkan kesamaan periodisasi masa kerja kepala daerah akibat pelantikan tidak dilakukan secara serentak. Penelitian ini hendak menjawab tiga pertanyaan yaitu pertama mengapa tujuan kebijakan pilkada serentak di Sulawesi Utara belum seperti yang diharapkan. Kedua apa saja kendala yang dihadapi sehingga tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Ketiga pembenahan seperti apa yang bisa dilakukan agar tujuan kebijakan pilkada serentak dapat dicapai. Penelitian ini menggunakan teori evaluasi kebijakan dan untuk mendapatkan data dilakukan FGD dan laporan KPUD dan Bawaslu. Hasil penelitian menyebutkan bahwa tujuan pilkada belum berhasil sebagaimana yang diharapkan karena proses penetapan calon yang tidak melibatkan publik, janji kampanye yang bersifat normatif dan tidak visioner, masalah regulasi, pembiayaan kampanye, pembiayaan kepolisian, serta pembiayaan KPPS.

Kata kunci: pilkada serentak, partisipasi, anggaran, periodisasi

Pendahuluan

Salah sa tu ben tuk penerapan prinsip-prinsip demokrasi pada

setiap negara yang menganutnya adalah menjadikan partisipasi politik masyarakat sebagai bagian yang paling penting dalam pembentukan kekuasaan negara. Kekuasaan tidak dibentuk oleh dominasi negara yang bersifat top down, tetapi lahir dari sebuah rekayasa yang melibatkan warga negara secara langsung. Warga negara bukan hanya sekedar sebagai objek kekuasaan melainkan unsur yang paling penting dalam membentuk kekuasaan politik. Itulah sebabnya pada saat Bangsa Indonesia memasuki babak baru demokrasi di era reformasi sebagai fase yang menggantikan kekuasan orde baru, para pejuang demokrasi mendorong suatu mekanisme baru dalam pembentukan kekuasaan pejabat publik dari mekanisme melalui perwakilan politik menjadi mekanisme pemilihan secara langsung oleh warga negara. Di masa orde baru pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah dipilih oleh suatu lembaga perwakilan politik

yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pemilihan pejabat publik seperti presiden dan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat diyakini bukan hanya sekedar membangun tingkat kepercayaan publik bagi pemimpinnya. Hal tersebut juga menjadi sarana pendidikan politik masyarakatnya bahwa membangun negara untuk mencapai tujuannya bukan hanya ditanggungkan kepada para pemilik kekuasaan namun lebih dari itu tentu perlu tanggung jawab dan keterlibatan langsung oleh setiap masyarakat yang mendiami bangsa ini. Sehingga gambaran pemimpin negeri ini akan sangat tergantung dari gambaran para pemilihnya. Pemimpin yang baik akan selalu berasal dari pemilih yang baik. Di beberapa daerah terdapat pemimpin yang tidak berhasil menjalankan amanah sebagai pemimpin di daerah karena pemimpin itu lahir dari pemilih yang irasional dan pragmatis serta tingkat pendidikan politiknya rendah.

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 59

Pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia sudah berlangsung sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah. Sebelum munculnya UU 32 Tahun 2004, sesungguhnya telah ada UU Nomor 22 Tahun 1999. Namun dalam UU tersebut masih mengatur pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh lembaga perwakilan politik yaitu DPRD. Proses pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung terus mengalami kemajuan terutama dalam proses maupun hasil. Buktinya banyak kepala daerah yang dianggap berhasil dan spektakuler yang merupakan produk politik pemilihan kepala daerah secara langsung seperti Ir. Joko Widodo ─mantan Walikota Surakarta dan Gubernur DKI Jakarta yang kini menjabat sebagai Presiden RI─, Ridwan Kamil Walikota Bandung, dan Tri Rismaharini Walikota Surabaya.

Dari berbagai pencapaian dan kemajuan tersebut, kebijakan pemilihan kepa la dae rah seca ra l angsung sesungguhnya masih mengisahkan berbagai persoalan yang masih harus dicarikan solusinya. Pertama, Di beberapa daerah, masalah krusial yang sering muncul adalah masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Beberapa penyebab telah terungkap dari masyarakat sendiri bahwa ternyata mereka kerap mengalami kejenuhan dalam memberikan suara.

Pemilihan pejabat publik di Indonesia memang tergolong membosankan bagi

sebagian masyarakat, terutama bagi masyarakat yang memiliki volume dan beban pekerjaan yang padat. Pemilihan pejabat publik yang dilakukan secara langsung yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR RI, DPRD dan DPD RI, pemilihan gubernur dan wakil gubernur, pemilihan walikota dan wakil walikota/ bupati dan wakil bupati, pemilihan kepala desa atau sebutan lain. Di beberapa daerah, pemilihan kepala lingkungan dan Badan Perwakilan Desa (BPD) juga ada yang dilakukan secara langsung.

Terlalu seringnya masyarakat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memilih pejabat publik tentu sangat membosankan. Apalagi ada sebuah sikap dari sebagai masyarakat terutama bagi pemilih rasional bahwa suara yang mereka masukkan dalam kotak suara belum tentu akan menghasilkan sebuah kebijakan yang bisa mengubah nasib mereka setelah memberikan suara. Inilah yang menjadi pemicu mengapa hingga kini persentase masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya masih tergolong tinggi.

Kedua, pemilihan kepala daerah secara langsung sangat membebani keuangan daerah. Dalam mempersiapkan hajatan pemilihan kepala daerah secara langsung, pemerintah terpaksa harus menggeser anggaran yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik. Anggaran yang tertata dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharunya hanya khusus untuk membiayai kegiatan-kegiatan rutin dan membiayai pembangunan. Pembiayaan rutin tidak

60 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

mungkin dialihkan untuk membiayai kegiatan lain karena itu menyangkut gaji dan tunjangan aparatur daerah. Jadi yang selama ini dikorbankan adalah anggaran pembangunan yang seharusnya tidak boleh dipotong karena berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat. Namun faktanya pembiayaan untuk pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial lainnya terpaksa harus dikesampingkan karena harus membiayai pemilihan kepala daerah secara langsung.

Ketiga, pemilihan kepala daerah secara langsung belum memberikan arah yang jelas bagi koordinasi, integrasi, sinergitas dan sinkronisasi perencanaan dan program-program pemerintahan dalam setiap level pemerintahan. UU nomor 25 tahun 2004 mengamanatkan bahwa program-program pemerintahan dalm setiap level pemerintahan harus saling bersinergi, selaras dan tidak bisa tumpang tindih. Fokus perencanaan, program, dan kegiatan harus searah dan ditangani secara bersama-sama oleh setiap level pemerintahan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Namun harapan itu teramat sulit untuk secara konsisten diimplementasikan sebab perencanaan, program, dan kegiatan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota kerap saling bertentangan, tumpang tindih, bahkan terkesan saling bersaing satu sama lain. Setiap kepala daerah baik provinsi maupun kapupaten/kota punya ego masing-masing dalam setiap penyusunan perencanaan. Itulah sebabnya isu-isu strategis publik yang seharusnya dapat dituntaskan dengan

baik tetapi pada implementasinya menjadi inkonsisten, disebabkan ego dari setiap level pemerintah lebih dominan. Penyebab dari itu semua karena tidak seragamnya periodisasi pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota.

K e t i d a k s a m a a n p e r i o d i s a s i pemerintah provinsi dan kabupaten/k o t a m e n y e b a b k a n d o k u m e n -dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah (RPJMD) tidak saling mengisi dan bersinergi. Perencanaan, program, dan kegiatan dari gubernur dan wakil gubernur yang baru terpilih belum tentu menjadi payung dalam penyusunan perencanaan, program, dan kegiatan di kabupaten/kota. Sebab, perencanaan, program, dan kegiatan di kabupaten/kota masih mendasarkan penyusunannya pada RPJMD dari gubernur dan wakil gubernur periode terdahulu. Presiden bersama DPR RI sesungguhnya telah mengeluarkan sebuah kebijakan untuk mencegah ketiga persoalan utama di atas yaitu UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Bagian penting dalam undang-undang tersebut adalah melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak secara bergelombang.

Pemilihan kepala daerah secara serentak dimaksudkan pertama, untuk mencegah minimnya jumlah kehadiran masyarakat di tempat pemungutan

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 61

suara (TPS), kedua untuk efisiensi penggunaan anggaran pembiayaan pemilihan kepala daerah, dan ketiga agar terjadi kesamaan periodisasi kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kebupaten/kota. Sebagai wujud implementasi undang-undang tersebut, Provinsi Sulawesi Utara telah melakukannya pada 9 Desember 2015 yang diserentakkan dengan pemilihan walikota dan wakil walikota di Kota Manado, Kota Tomohon dan Kota Bitung serta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Khusus untuk pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Manado ditunda pelaksanaanya pada 17 Februari 2016.

Namun demikian, implementasi undang-undang tersebut belum tercapai sebagaimana yang diharapan. Upaya untuk menaikkan jumlah pemilih, efisiensi anggaran, dan menyeragamkan periodisasi ternyata belum sepenuhnya berhasil. Hal itu disebabkan pertama, tingkat partisipasi masyarakat ternyata masih rendah, kedua efisiensi anggaran belum terpenuhi, dan ketiga pemilihan tidak dilaksanakan serentak dan kepala daerah yang terpilih tidak dilantik secara serentak.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sekaligus menjawab tiga pertanyaan yaitu pertama mengapa tujuan kebijakan pilkada serentak pada tahun 2015 di Sulawesi Utara belum mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan. Kedua, apa saja kendala

yang dihadapi sehingga tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Ketiga, pembenahan-pembenahan seperti apa yang dapat dilakukan agar tujuan kebijakan pilkada serentak dapat dicapai.

Untuk memandu pengumpulan data dan analisis, maka penelitian ini menggunakan teori evaluasi kebijakan. Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai apakah sebuah kebijakan dapat memberikan nilai manfaat atau tidak. Muhadjir dalam Widodo mengemukakan bahwa evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/atau target kebijakan publik yang ditentukan.1

Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), atau kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.2

Dunn mengatakan bahwa evaluasi kebijakan berfungsi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada klarifikasi

1 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik, (Jakarta: Bayumedia, 2008), hlm. 112.

2 W.N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi kedua, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003), hlm. 608.

62 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Ketiga, evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.3

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi bersifat kualitatif. Proses pengumpulan data primer dilakukan melalui focus group discussion yang melibatkan partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Utara, media, dan perguruan tinggi. Untuk memperkaya wawasan, pengumpulan data juga dilakukan dengan cara memenuhi undangan sebagai narasumber pada kegiatan Evaluasi Pelaksanaan Pilkada Tahun 2015 oleh KPU dan Bawaslu Sulawesi Utara. Data sekunder diperoleh dari Dokumen Laporan KPUD dan Bawaslu Sulawesi Utara. Analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis meliputi data reduction, data display serta conclusion drawing /verification.4

AnalisisPartisipasi PemilihPresiden bersama DPR RI telah mengeluarkan sebuah kebijakan yaitu UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan

3 W.N. Dunn, Pengantar Analisis…, hlm. 609-610.

4 Mathew B. Miles dan A. Michael Huberman, Qualitative data Analysis: A Source book of New Members, (Beverly Hills,CA: SAGE, 1984), hlm. 133.

atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang. Hal penting dalam kebijakan ini salah satunya adalah mendorong pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak dalam beberapa gelombang.5

Kebijakan tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejenuhan masyarakat yang disebabkan karena terlalu sering mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat harus ke TPS pada waktu yang berbeda-beda untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, memilih presiden dan wakil presiden, memilih gubernur dan wakil gubernur, serta memilih bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Di beberapa daerah tertentu masyarakat harus memilih kepala desa atau nama lain, memilih kepala lingkungan, dan memilih anggota Badan Perwakilan Desa (BPD).

Kewajiban untuk memilih pejabat-pejabat publik yang dilakukan berkali-kali tentu sangat mengganggu dan membosankan bagi sebagian besar masyarakat terutama bagi pelaku usaha, petani, buruh dan nelayan. Sehingga mereka kerap mengambil sikap untuk tidak mau berpartisipasi dalam memberikan suara di TPS. Inilah yang menjadi salah satu pemicu masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam memilih dari waktu ke waktu hingga kini. Oleh karena itu telah dibuat kebijakan pilkada scara serentak

5 Pasal 201 UU Nomor 8 Tahun 2015

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 63

dengan maksud mendorong tingkat partisipasi masyarakat.

Namun demikian pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di Sulawesi Utara pada tahun 2015, jika ditinjau dari aspek jumlah partisipasi pemilih, ternyata belum memenuhi sebagaimana yang diharapkan. Pemilih yang ditetapkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah sebanyak 1.949.629 sementara masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 1.274.037 atau hanya sekitar 65,35 persen.6 Angka tersebut belum termasuk dengan suara rusak atau tidak sah sebanyak 17.608. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan jumlah pemilih di 7 kabupaten kota yang melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2015 sebagaimana tabel di bawah ini.

Tabel 1. Masyarakat yang menggunakan hak pilih pada pilkada 2015 di Sulawesi Utara

Sumber: KPU Sulawesi Utara, 2016.

Penyebab masih rendahnya angka partisipasi pada pemilihan kepala daerah di Sulawesi Utara ternyata bukan hanya disebabkan faktor kejenuhan dalam memilih. Hasil peneli t ian menyebutkan bahwa masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih disebabkan oleh pertama terkait persepsi ketidaksenangan dan ketidakpercayaan

6 KPU Sulawesi Utara tahun 2016.

masyarakat terhadap calon kepala daerah yang disodorkan partai politik. Saat ini baik dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik maupun dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota belum ada norma terkait mekanisme yang mendorong perekrutan dan penetapan bakal calon kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik (parpol) dengan cara mempertimbangkan ekspektasi publik. Rekrutmen bakal calon kepala daerah yang berlangsung selama ini masih cenderung bersifat top down. Padahal baik dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional secara tegas memberi ruang sebesar-besarnya kepada masyarakat di daerah dalam hal pengambilan keputusan di daerah.

Namun demikian sebuah ironi manakala d ibandingkan dengan pemilihan kepala daerah yang bakal calonnya lebih dominan ditentukan oleh elit-elit partai politik di tingkat pusat yang sesungguhnya tidak banyak memahami karakater masyarakat di daerah. Padalah dalam prinsip filosofi otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam kedua undang-undang di atas menegaskan bahwa dalam hal pengambilan keputusan di daerah ada 4 aspek yang bisa dijadikan acuan yaitu bersifat top down, bersifat partisipatif atau bottom up, teknokratis, dan politis.

Sejumlah elit dan kader parpol pun juga ternyata tidak ikut memberikan suara karena ketidaksetujuan mereka terhadap

NO KABUPATEN/KOTA PEMILIH PENGGUNA HAK PILIH 1 Bolaang Mongondow Selatan 46.230 38.965 2 Bolaang Mongondow Timur 53.382 47.695 3 Kota Bitung 164.548 110.197 4 Kota Manado 366.292 196.843 5 Kota Tomohon 72.828 63.800 6 Minahasa Selatan 173.360 123.731 7 Minahasa Utara 163.401 123.331

64 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

elit parpol dalam memutuskan calon. Parpol-parpol daerah ini sesungguhnya memiliki kader-kader potensial dan berkualitas namun dalam hal penetapan calon justru elit parpol merekrut calon yang bukan berasal dari kader parpol. Partai Gerindra dan Partai Demokrat misalnya mencalonkan Maya Rumantir yang bukan kader dari kedua parpol itu menjadi calon gubernur, Benny Mamoto yang bukan kader tetapi dicalonkan partai Golkar menjadi calon gubernur. Demikian juga di beberapa daerah di kabupaten dan kota. Syahrul Mamonto yang merupakan Ketua PAN Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dicalonkan oleh PDIP sementara PAN sendiri mencalonkan Sehan Lanjar yang waktu itu belum merupakan kader PAN. Di Manado, PDIP mencalonkan Hanny Jost Pajouw yang merupakan anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar.7 Fenomena politik semacam ini mendorong kader-kader dan elit politik tidak memberikan kontribusi baik dalam penggalangan massa dan akhirnya tidak menyatakan pilihannya.

Masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya terpengaruhi juga dengan ketidaksenangan dan ketidakpercayaan terhadap visi, misi, dan program yang ditawarkan oleh calon kepala daerah. Visi dan misi yang disampaikan oleh parpol dan calon pada pemilihan kepala daerah tidak diyakininya dapat memberikan harapan terhadap kemajuan daerahnya termasuk perubahan kondisi yang sedang dialami saat itu. Janji-janji yang

7 Wawancara dengan sejumlah elit PDIP Kota Manado menyatakan keberatan terhadap keputusan tersebut.

disampaikan belum selaras dengan kebutuhan yang diinginkan pemilih.

Visi, misi, dan program yang selama ini ditawarkan oleh calon kepala daerah terkesan sangat normatif dan duplikatif. Disebut program normatif karena program yang dijanjikan hanya bersifat program rutin yang sudah dilakukan oleh pemerintahan terdahulu atau program-program yang sudah menjadi given atau wajib dilaksanakan oleh siapapun kepala daerah karena sudah menjadi ketentuan konstitusi seperti program kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Hal tersebut menjadi tidak menarik bagi masyarakat karena program-program calon tersebut bukan sesuatu yang kreatif dan inovatif.

Masyarakat juga sangat kesulitan membedakan visi, misi, dan program antar pasangan calon karena memiliki kemiripan satu sama lain. Kesannya visi misi dan program yang ditawarkan bersifat duplikatif dan seragam, sehingga sulit membedakan mana visi, misi, dan program yang baik dan menjanjikan dan mana yang bukan.

Ke depan, konsep visi, misi, dan program dari setiap calon seharusnya tidak lagi bersifat normatif, duplikatif dan seragam. Harus ada ruang bagi masyarakat untuk menilai calon kepala daerah berdasarkan apa yang dijanjikannya. Kalau konsep visi, misi, dan program dari setiap calon masih bersifat normatif, duplikatif, dan seragam, maka pemilih akan kesulitan membedakan mana yang terbaik. Tidak perlu menawarkan lagi program-program yang bersifat given, wajib, atau rutin. Program tentang

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 65

kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur sudah menjadi program utama dan bersifat rutin, sehingga siapapun kepala daerah yang terpilih maka program itu wajib dilaksanakan. Program-program rutin tersebut sudah juga dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan wajib bagi setiap pemerintahan daerah untuk ikut juga melaksanakan sebagaimana ketentuan UU Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Nasional bahwa program dan kebijakan pemerintah daerah harus selaras dan bersinergi dengan program dan kebijakan pemerintah pusat.

Visi, misi, dan program dari calon kepala daerah sesungguhya perlu ditiadakan sebab apapun yang menjadi visi, misi, dan program calon kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan program dan kebijakan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 sebagaimana telah diimplementasikan oleh pemerintah pusat. Tugas dari pemerintah daerah sesungguhnya hanya sebatas melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dengan cara mencari strategi, solusi, sikap, dan komitmen agar program dan kebijakan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dapat diimplementasikan dengan baik di daerahnya.

Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, sering terjadi sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap kebijakan yang diputuskan pemerintah pusat. Sehingga penting bagi setiap calon untuk menawarkan sebuah solusi mana yang paling baik dari program dan kebijakan yang menimbulkan pro kontra tersebut. Posisi calon kepala daerah

harus berani mengambil sikap berada pada posisi yang mana, apakah pada posisi pro atau pada posisi kontra. Sikap calon kepala daerah dalam menentukan posisi apakah dalam posisi pro atau posisi kontra akan sangat menentukan apakah masyarakat memilihnya atau tidak. Artinya pemilihan kepala daerah sepertinya akan berhubungan erat dengan referendum masyarakat terhadap sebuah program dan kebijakan yang bersifat pro dan kontra. Masyarakat dalam menentukan pilihan kepala daerah bukan hanya dihadapkan pada pilihan atas figur calon kepala daerah, tetapi juga atas pilihan mempertahankan sikap terhadap program dan kebijakan yang disenangi atau tidak disenangi masyarakat.

Hal yang terpenting juga bagi calon kepala daerah pada saat kampanye adalah menyangkut komitmen. Sebab komitmen calon justru jauh lebih penting daripada hanya menawarkan visi, misi, dan program. Komitmen calon kepala daerah tersebut terutama menyangkut keberlanjutan pembangunan jangka panjang daerah (local sustainable). Terdapat program dan kebijakan yang oleh undang-undang dapat dimungkinkan untuk dilaksanakan di daerah. Namun tidak semua program dan kebijakan itu dapat menguntungkan daerah. Misalnya dalam program dan kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan. Sepanjang telah mendapatkan izin pengelolaan dari pemerintah, maka hutan, tambang, dan laut dapat dieksploitasi. Dalam jangka pendek tentu sangat menguntungkan terutama di sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dalam waktu

66 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

yang panjang tentu akan meninggalkan ancaman bencana bagi generasi-generasi mendatang.

D a l a m k o n d i s i s e p e r t i i n i dibutuhkan sebuah komitmen dari calon kepala daerah. Apakah komitmen ingin memajukan daerahnya pada sektor pendapatan daerah semata dengan resiko perusakan lingkungan, atau komitmen ingin menjaga lingkungan daerahnya agar tetap terjaga dan terpelihara dan mencegah adanya bencana alam di kemudian hari. Tentu pilihan ini menjadi sebuah dilema, sebab mengabaikan salah satu tentu akan memberi dampak bagi pemerintah daerah. Memiliki dan memilih komitmen untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan memang kedengarannya sangat mulia namun pilihan itu bukannya tanpa risiko sebab pendapatan daerah yang paling besar justru berasal dari sektor perizinan pengelolaan lingkungan seperti tambang, hutan, dan laut.

Inilah alasan mengapa calon kepala daerah perlu menawarkan konsep terkait strategi, solusi, sikap, dan komitmen. Keempat hal ini jauh lebih penting daripada menawarkan visi, misi, dan program tapi tidak membawa makna bagi pembentukan sikap masyarakat dalam memilih. Wacana ini tentu menjadi sebuah alternatif bagaimana mendorong tingkat partisipasi masyarakat dalam memilih kepala daerah.

Alasan lain yang membentuk sikap politik masyarakat untuk tidak memilih adalah ketiadaan rangsangan atau stimulus yang mendorong masyarakat untuk memilih. Kebiasaan buruk yang terjadi pada setiap ajang pemilihan

yang selalu diwarnai dengan proses transaksi uang atau barang kini telah mewabah di masyarakat. Seolah-olah demokrasi belumlah lengkap manakala transaksi itu belum tampak dan sebagian besar masyarakat telah memiliki ketergantungan dengan itu. No free lunch, artinya satu suara harus digantikan dengan uang atau apapun yang bisa dijadikan perangsang. Citra buruk ini menjadi salah satu pemicu ketidakhadiran masyarakat dalam memberikan suara pada pemilihan kepala daerah. Salah satu pemicu ketidakhadiran masyarakat dalam memilih karena tidak ada tim sukses pasangan calon yang melakukan serangan fajar sebelum pencoblosan.

Untuk mencegah rendahnya pemilih pada pemungutan suara tidak harus melegitimasi adanya praktik jual beli suara dalam UU Pemilihan Kepala Daerah. Sebaliknya yang perlu dilakukan adalah bagaimana sebuah UU yang mengatur pemilihan kepala daerah memiliki ruang yang menjelaskan norma pelarangan jual beli suara, dalam hal apa yang masuk kategori jual beli suara, apa dan siapa melakukan apa, serta apa yang menjadi sangsi pidananya.

Selama ini perilaku jual beli suara tidak bisa dicegah karena ketiadaan norma secara utuh dalam UU pemilihan kepala daerah. Norma terkait ketentuan pelarangan memang sudah ada, tetapi masih mengalami kesulitan dalam implementasinya. Penemuan ratusan kantung beras dalam sebuah mobil minibus yang siap disalurkan ke masyarakat yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon kepala daerah sebelum

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 67

pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah di Kota Manado ternyata kasusnya tidak berakhir pada putusan pidana atau sanksi administratif lainnya walaupun buktinya sudah jelas ada.8 Dalam proses penanganan pelanggaran oleh penyelenggara mengungkapkan bahwa penyaluran beras oleh salah satu pasangan calon kepala daerah tidak masuk kategori pelanggaran karena pelakunya bukan sebagai tim sukses calon. Aturan hanya menyebutkan bahwa temuan dapat disebut pelanggaran apabila yang menyalurkannya adalah tim sukses calon, sedangkan fakta yang ditemukan di lapangan bahwa yang menyalurkan beras tersebut adalah orang tua mertua dari salah satu pasangan calon namun yang bersangkutan tidak terdaftar sebagai tim sukses atau tim kampanye.9

Ketentuan salah satu pasal dalam UU pemilihan kepala daerah juga menjadi salah satu pemicu maraknya jula beli suara. Ketentuan mengenai selisih suara bagi pelapor yang bisa mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi sebagaimana pasal 158 UU tersebut menyebutkan hanya calon yang memperoleh selisih suara 0,5-2 persen. Ketentuan ini sepertinya memberi ruang bagi para calon untuk meraih suara sebanyak-banyaknya meski dengan menghalalkan segala cara. Hal

8 “Mertua oknum calon wali kota tertangkap jadi ‘santa claus’ sembako? Bagaimana sikap bawaslu?”, diakses dari http://manadoline.com/mertua-oknum-calon-wali-kota-tertangkap-jadi-santa-claus-sembako-bagaimana-sikap-bawaslu/ pada 8 Desember 2015.

9 Dalam ayat 1 pasal 73 menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

tersebut sepertinya merangsang para calon untuk mengejar dua target sekaligus yaitu target menang dan target pencapaian agar memperoleh selisih suara di atas dua persen dari calon yang lain. Jika target selisih di atas dua persen tentu praktik manipulasi yang dilakukan akan luput dari gugatan di Mahkamah Konstitusi karena pelapornya tidak memiliki legal standing.

M a s y a r a k a t y a n g t i d a k menggunakan hak pilih didominasi juga oleh kalangan kampus, pegiat organisasi kemasyarakatan, LSM, dan pelaku-pelaku usaha. Pemicunya adalah ketidakyakinan mereka apakah calon yang akan terpilih dapat memberikan perubahan. Masyarakat diajak bolak-balik ke TPS sampai titik kejenuhan tetapi mereka sesungguhnya tidak menerima dampak perubahan setelah pencoblosan. Pemimpin terus berganti-ganti namun masalah-masalah publik tidak pernah terpecahkan. Angka kemiskinan dan pengangguran terus meningkat, biaya kesehatan dan pendidikan tidak terkendali, kemacetan, ketidaknyamanan dan kejahatan tak teratasi, lingkungan terus dieksploitasi, pemimpin keasikan dengan kursi empuk dilengkapi dengan fasilitas mewah tapi kontribusinya bagi masyarakat tidak terasa. Sikap pesimis ini yang menjadikan sebagian masyarakat bersikap untuk tidak menggunakan hak pilihnya.

Efisiensi AnggaranPemilihan kepala daerah serentak bermaksud juga untuk ef is iens i penggunaan anggaran pemerintah daerah.

68 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

Pengalaman selama ini, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di daerah menjadi tidak optimal karena anggaran pembangunan terganggu oleh pembiayaan-pembiyaan pemilihan kepala daerah. Kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur, bantuan-bantuan sosial kemasyarakatan, serta pembiayaan untuk pendidikan dan kesehatan terpaksa harus dikorbankan karena dialihkan dengan membiayai hajatan pemilihan kepala daerah.

Tentu hal ini menjadi persoalan. Pertama, pembiayaan utama di daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah dalam bidang pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan. Pembiayaan untuk pemilihan kepala daerah bukan sesuatu yang diwajibkan sehingga perlu dicarikan solusi untuk sumber pembiayaannya seperti dari APBN. Kedua, menjadi persoalan karena pembiayaan pilkada yang cukup besar namun kadangkala hasil dari produk pilkada tidak memuaskan pemilih. Kepala daerah yang terpilih kalau bukan jadi koruptor, biasanya kebanyakan kepala daerah itu miskin ide, tidak kreatif dan miskin inovasi. Sudah lima tahun menjabat namun tidak ada karya nyata yang dilakukan. Pembangunan di daerah bersifat stagnan karena kepala daerahnya hanya sekedar sebagai pemimpin administrat if . Tugas rutinitasnya hanya menjalankan program-program pemerintah pusat di daerah, menandatangani dokumen-dokumen pemerintahan, memimpin rapat, menyalurkan anggaran negara untuk orang miskin atau yang berhak menerima dan

membuka/menutup kegaiatan-kegiatan seremonial. Padahal kepala daerah itu adalah produk atau hasil pemilihan kepala daerah yang menggunakan anggaran besar, namun kontribusi dalam menjalankan pemerintahan tidak begitu dirasakan oleh masyarakat.

Oleh karena itu dengan munculnya kebijakan pilkada serentak diharapkan dapat mencegah penggunaan anggaran daerah dalam pemilihan kepala daerah secara berlebihan. Pemilihan kepala daerah secara serentak otomatis menciptakan keseragaman waktu antara pemilihan gubernur/wakil gubernur dengan walikota/wakil walikota dan bupati/wakil bupati. Keseragaman waktu pemilihan tentu akan menjadikan penggunaan anggaran secara efesien. Rekrutmen panitia ad hoc tentu tidak akan membebani pembiayaan sebab panitia ad hoc yang melaksanakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur adalah personil yang sama ketika memilih bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Tentu akan berbeda jika pemilihannya dilakukan dalam waktu yang tidak bersamaan. Pembayaran honor panitia ad hoc menjadi dua kali lipat karena dilaksanakan dalam waktu yang tidak bersamaan. Begitu juga dengan bahan-bahan logistik seperti tinta, alat tulis menulis, kotak suara dan sewa gedung.

P e m b i a y a a n l a i n y a s e p e r t i anggaran keamanan dan ketertiban untuk kepolisian tidak harus dianggarkan dua kali jika pilkada dilakukan serentak. Karena dilakukan pada hari yang sama maka konsentrasi semua aparat

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 69

kepolisian terfokus pada setiap TPS sampai pengamanan kotak suara hingga rekapitulasi suara oleh KPU.

K e s e r e n t a k a n p e l a k s a n a a n pemilihan kepala daerah sesungguhnya juga dimaksudkan untuk mendorong KPU lebih berhemat terutama dalam hal anggaran sosialisasi baik sosialisasi aturan/regulasi, sosialisasi tahapan, sosialisasi pasangan calon, dan sosialisasi waktu pencoblosan. Penghematan pasti terjadi karena sosialisasi tidak dilakukan berulang-ulang.

Data yang diperoleh menyebutkan bahwa anggaran pembiayaan pemilihan kepala daerah yang digunakan oleh KPU Sulawesi Utara sebesar Rp111,4 milyar, Bawaslu Sulawesi Utara diperkirakan Rp40 milyar, dan Kepolisian diperkirakan Rp25 milyar.10 Angka ini meningkat sangat jauh dibanding dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada tahun 2010 yang hanya mengusulkan Rp90 miliar.Angka itupun digunakan hanya untuk membiayai pelaksanaan pemilihan kepala daerah untuk dua putaran.

Ti d a k t e r j a d i n y a e f i s i e n s i penggunaan anggaran atas pembiayaan pemilihan kepala daerah di Sulawesi Utara meski telah dilakukan serentak disebabkan pertama , pembiayaan kampanye pasangan calon kepala daerah dibiayai oleh APBD yang semestinya pembiayaan ini harus bersumber dari parpol pengusung. Kedua, meningkatnya pembiayaan akibat membiayai perjalanan dinas komisioner. Penyelenggara terpaksa harus giat melakukan perjalanan dinas

10 Menurut Ketua Komisi A DPRD Sulawesi Utara, Drs Ferdinand Mewengkang.

karena harus berkonsultasi dengan penyelenggara atau lembaga-lembaga di tingkat pusat terkait dengan regulasi yang ternyata masih melahirkan multitafsir. Di Sulawesi Utara dan Di Kota Manado sendiri masalah tafsiran terjadi pada saat tahapan pencalonan dari Elly Lasut sebagai bakal calon gubernur dari Partai Golkar dan pencalonan Jemmy Rimba Rogi sebagai calon walikota Manado. Pencalonan keduanya bermasalah akibat tafsiran atas keputusan Mahkamah Konstitusi tentang diperbolehkannya mantan narapidana mencalonkan diri. Baik parpol pengusung maupun penyelenggara memiliki perbedaan tafsiran terkait ketentuan persyaratan calon. Karena perbedaaan tafsiran inilah sehingga personil KPU Provinsi Sulawesi Utara maupun personil KPU Kota Manado meningkatkan perjalanan dinas dengan maksud melakukan konsultasi dengan lembaga terkait sebelum mengambil keputusan. Perjalanan dinas tentu berkonsekuensi pada tingginya penggunaan anggaran. Konsekuensi terhadap multitafsir tersebut melahirkan tiga persoalan sekaligus. Pertama, gugatan pasangan calon Jemmy Imba Rogi dan Bobby Daud ke PTUN Makassar memakan waktu yang sangat panjang hingga menyebabkan terjadinya penundaan hari pencoblosan di Kota Manado yaitu pada 17 Februari 2016 atau telah melewati waktu sebagaimana ke tentuan perundang-undangan. Kemudian dengan alasan itu, ada sekelompok masyarakat mengajukan gugatan ke PTUN terkait penundaan tanggal pencoblosan. Sebagaimana

70 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

amanat UU Pemilihan Kepala Daerah Serentak bahwa untuk daerah yang kepala daerahnya berakhir pada tahun 2015 sampai pada semester pertama tahun 2016, pelaksanaan pencoblosannya dilakukan pada bulan yang sama ditahun 2015. Pemungutan suara yang dilakukan pada bulan februari tahun 2016 bagi mereka telah melanggar aturan. Kedua, gugatan itu berimbas ke penambahan penggunaan anggaran karena KPU Manado terpaksa harus mengadakan perjalanan dinas berkali-kali untuk melayani panggilan pihak pengadilan karena mereka sebagai pihak yang terlapor. Ketiga, pembayaran honor panitia ad hoc terpaksa harus dilakukan dua kali.

Untuk mengantisipasi hal itu, perlu penyusunan regulasi terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang siap pakai dan tidak melahirkan permasalahan pada saat diimplementasikan. Artinya undang-undang pemilihan kepala daerah tidak lagi bersifat multitafsir, tidak bersifat saling bertentangan dari satu pasal dengan pasal lain, tidak saling bertentangan dengan undang-undang yang lain serta tidak mengalami kekosongan norma. Kasus yang terkait dengan persyaratan tahapan pencalonan di Kota Manado seharusnya tidak perlu terjadi lagi. Dalam hal proses dan tahapan pemilihan kepala daerah yang sedang berjalan, perlu diupayakan untuk tidak memunculkan norma baru. Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait persyaratan pencalonan yang membolehkan mantan narapidana merupakan norma baru, dan muncul

manakala proses dan tahapan pemilihan kepala daerah sudah sedang berjalan.

Pengalaman selama ini, norma baru dalam sebuah ketentuan perundang-undangan kebanyakan tidak mudah pada saat baru dimulai implementasinya. Norma baru tersebut masih perlu sosialisasi, perlu penyelarasan dengan ketentuan lain dan perlu kesamaan interpretasi agar tidak terjadi multitafsir dan langkah-langkah ini tentu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Konflik pilkada di Kota Manado yang akhirnya mengalami penundaan dan pembiayaan mahal disebabkan waktu yang tersedia untuk sosialisasi sangatlah terbatas karena sudah dikejar dengan tahapan yang telah disepakati secara nasional.

K e t i g a , a n g g a r a n t e r n y a t a harus membiayai kepolisian yang sesungguhnya tidak perlu karena tugas keamanan dan ketertiban merupakan tugas utama kepolisian. Sehingga tidak wajar jika dalam menjaga ketertiban kepala daerah, pihak kepolisian juga harus mendapatkan biaya operasional. Pembiayaan operasional kepolisian bersumber dari APBN. Sehingga jika sumber pembiayaan pengamanan pemilihan kepala daerah juga bersumber dari APBD, maka dalam satu kegiatan kepolisian telah bersumber dari dua mata anggaran yang bisa saja bermasalah secara hukum di kemudian hari.

Keempat, belum adanya rasionalisasi terhadap jumlah KPPS pada setiap TPS. Personil KPPS yang berjumlah 7 orang tergolong sangat berlebihan dan honor mereka sangat membebani

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 71

anggaran daerah. Memperhatikan kondisi di TPS, jumlah personil KPPS dapat dikurangi menjadi 2-3 orang. Jika wacana rekapitulasi suara dari TPS ke PPK kelak terwujud, maka beban pembiayaan pemilihan kepala daerah bisa berkurang karena jabatan PPS otomatis dihapus.

Keseragaman Periodisasi Pemerintahan di DaerahSelama ini pelaksanaan pemilihan kepala daerah selalu berisiko sejak dalam tahapan persiapan dan pelaksanaan yang sangat melelahkan, mahalnya biaya penyelenggaraan, serta dampak konflik sosial dan politik pada saat proses hingga pasca pemilihan kepala daerah. Meski pelaksanaannya sangat berisiko tetapi kebanyakan hasil pemilihan kepala daerah tidak serta merta memberikan dampak pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Selain hasil pilkada yang hanya melahirkan kepala daerah yang tidak berkualitas, dinamika dalam menjalankan sistem pemerintahan daerah juga menjadi pemicu hasil pilkada belum memberikan dampak pada kepentingan publik. Pengelolaan sistem pemerintahan yang sering menghambat seperti masih sering terjadinya ketimpangan perencanaan pembangunan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kota/kabupaten.

Tugas pertama kepala daerah dan wakil kepala daerah usai pelantikan adalah menyusun dokumen perencanaan pembangunan yang merupakan penjabaran dari visi, misi dan program yang disodorkan pada saat kampanye

pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sering menjadi persoalan manakala perencanaan yang tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak sinergis atau tidak selaras dengan dokumen perencanaan di level pemerintahan baik bersifat ke bawah atau ke atas. Padahal UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional mengamanatkan bahwa dokumen perencanaan dari setiap level pemerintahan harus saling bersinergi satu sama lain atau tidak boleh saling bertentangan.

Sering terjadinya ketidakselarasan dokumen perencanaan pemerintahan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, program-program pemerintah nasional tidak sesuai dengan isu dan masalah yang sedang dialami oleh daerah-daerah tertentu. Penyeragaman perencanaan pembangunan belum tentu dapat diterapkan di semua daerah. Kedua, visi, misi, dan program yang disampaikan oleh kepala negara, gubernur, walikota dan bupat i pada saat kampanye pencalonan memiliki perbedaan isu-isu strategis satu sama lain. Perbedaan itu disebabkan oleh latar belakang partai politik pengusung yang berbeda-beda. Ketiga, ketidakselarasan perencanaan terjadi karena perbedaan periodisasi masa jabatan pemerintahan di daerah

Oleh ka r ena i t u keb i j akan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak sesungguhnya sangat be rmanfaa t bag i ke l angs ungan perencanaan pembagunan di daerah karena ke depan diharapkan perencanaan pembangunan lebih fokus, terpadu,

72 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

dan terukur. Pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan serentak diharapkan dapat melahirkan kesamaan periodisasi masa jabatan kepala-kepala daerah sehingga ke depan program perencanaan pemerintahan bisa saling bersinergi dan selaras.

Namun demikian, kebi jakan pemilihan kepala daerah serentak dalam rangka penyamaan dan keseragaman periodisasi kepala daerah di Sulawesi Utara tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Hal itu disebabkan pertama, pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan serentak dalam tanggal dan hari bersamaan, namun pelantikan kepala daerah tidak dilakukan dalam hari dan tanggal bersamaan. Pelantikan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan pada tanggal 12 Februari 2016 kemudian pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Minahasa Selatan, Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow Timur, Bupati dan Wakil Bupati Bolaang Mongondow Selatan, dan Walikota dan Wakil Walikota Tomohon dilaksanakan pada Tanggal 17 Februari 2016, sedangkan Walikota dan Wakil Walikota Bitung dilantik pada tanggal 30 Maret 2016. Kedua, disebut pemilihan kepala daerah serentak namun ada satu daerah yaitu Kota Manado yang pencoblosannya tidak dilakukan serentak dengan daerah lain. Pemilihan Kepala Daerah di daerah itu baru berlangsung pada 17 Februari 2016 yang secara otomatis hari dan tanggal pelantikannya juga akan berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Dampak dari pelaksanaan pelantikan yang

tidak serentak otomatis penyeragaman periodisasi kepala daerah tidak terwujud.

Ketidakserentakan dalam pelantikan terjadi karena belum adanya regulasi dan UU Pilkada yang mengharuskan kepala-kepala daerah yang dipilih secara serentak harus dilantik secara serentak pula agar terjadi kesamaan periodisasi masa jabatan kepala daerah yang kemudian diharapkan berdampak pada sinergitas, keselarasan dan keterpaduan program perencanaan pembangunan di daerah.

PenutupPelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak di Sulawesi Utara belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal itu terbukti dengan tingkat partisipasi pemilihnya masih sangat rendah, pembiayaan yang tidak efesien, serta pelaksanaan pilkada secara serentak namun belum melahirkan kesamaan periodisasi masa kerja kepala daerah akibat pelantikan yang tidak dilakukan secara serentak.

Masih rendahnya pengguna hak pilih di Sulawesi Utara disebabkan oleh ketidaksenangan masyarakat dan kader partai politik terhadap pasangan calon yang diusung elit partai politik. Tidak ada ruang yang disediakan oleh elit politik dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengusulkan calon yang betul-betul dikehendaki mayarakat. Kemudian ketidakpercayaan masyarakat terhadap visi, misi, dan program calon menjadi salah satu pemicu masyarakat tidak menggunakan hak pilih. Visi, misi, dan program calon lebih bersifat

Evaluasi Pilkada Serentak di Sulawesi Utara ... | Daud Ferry Liando | 73

normatif dan duplikatif. Strategi, sikap, dan komitmen calon yang seharusnya mempengaruhi sikap politik masyarakat justru tidak dimunculkan. Rendahnya partisipasi masyarakat disebabkan pula oleh ketidaktegasan regulasi terhadap masalah jual beli suara. Ketidaktegasan itu akhirnya melahirkan sebuah citra (image) bahwa suara rakyat harus dibayar, jika tidak maka masyarakat tidak akan menggunakan hak pilihnya. Sebagian masyarakat yang tidak menggunakan hak pilih mengakui bahwa hal itu dilakukannya karena tidak mendapat “imbalan” dari tim sukses calon kepala daerah. Bagi sebagian masyarakat yang tergolong “terdidik” namun tidak menggunakan hak pilih disebabkan karena ketidakpercayaan mereka terhadap hasil pilkada dapat menghasilkan perubahan bagi daerahnya.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak tidak melahirkan efisiensi anggaran. Hal itu disebabkan anggaran pilkada harus membiayai kampanye calon, membiayai operasionalisasi kepolisian, pembayaran honor KPPS yang seharusnya jumlah personilnya dibatasi, membiayai perjalanan dinas komisioner KPUD dan Bawaslu Sulawesi Utara yang harus pulang-pergi Manado-Jakarta untuk berkonsultasi akibat kesulitan menafsirkan regulasi pilkada terutama terkait persyaratan calon.

Pelaksaan pemilihan kepala daerah serentak tidak melahirkan periodisasi masa jabatan kepala daerah yang sama. Hal itu disebabkan karena pemilihan kepala daerah tidak dilakukan secara serentak dan terdapat kepala daerah

yang dipilih secara serentak namun tidak dilakukan pelantikan secara serentak.

Adapun ha l -ha l yang per lu disarankan dalam penelitian ini adalah:1. Perlu sebuah regulasi yang menga-

tur keterlibatan masyarakat dalam penetapan bakal calon kepala dae-rah oleh parpol. Regulasi juga perlu mengatur keharusan bagi parpol un-tuk mengusung kader parpol sebagai calon kepala daerah. Bahan kampa-nye pasangan calon seharusnya tidak lagi bersifat penyampaian visi, misi, dan program tetapi menawarkan strategi, solusi, sikap, dan komitmen jika terpilih. Peran partai politik yang berfungsi sebagai kaderisasi dan kepemimpinan harus dioptimal-kan. Keengganan masyarakat meng-gunakan hak pilih disebabkan keti-dakpercayaan masyarakat terhadap calon yang diusung parpol

2. Regulasi pilkada perlu kejelasan dan tidak menimbulkan multitafsir sehingga penyelenggara tidak perlu menggunakan anggaran untuk berkonsultasi terkait pasal-pasal yang tidak jelas. Jika tahapan pilkada sedang berjalan, diharapkan tidak lagi memuncukan norma baru sehingga tahapan tidak terganggu. Sumber operasionalisasi kepolisian harusnya hanya bersumber dari APBN dan tidak lagi membebani anggaran pilkada. Pembiayaan kampanye calon seharusnya dibiayai oleh parpol bukan oleh KPUD. Jumlah personil KPPS perlu

74 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 57-74

dikurangi agar tidak membebani anggaran pilkada.

3. Regulasi pilkada serentak seharusnya diikuti dengan pasal tentang pelantikan kepala daerah secara serentak pula.l

Daftar Pustaka

BukuDunn, W.N. Pengantar analisis kebijakan

publik edisi kedua, yogyakarat: Gajah Mada University Press, 2003.

Dunn, W.N. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc., Englewood Cliffs, 1995.

Edward, G.C.. Implementating Public Policy. Washington: Congressional Quarterly Press, 1980.

Gr ind le , M.S . Po l i t i cs and Pol icy Implementation in the Third World. New Jersey: Princetone University Press, 1980.

Islamy, M Irfan. Seri Policy Analysis. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, 2001.

Jones, Charles O. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Laporan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Utara oleh KPU dan Bawaslu Sulawesi Utara Tahun 2016.

Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. Qualitative data Analysis: A Source book of New Members. Beverly Hills,CA: SAGE, 1984.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang.

Widodo, Joko. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Bayumedia, 2008.

Artikel Internet“Mertua oknum calon wali kota tertangkap

jadi ‘santa claus’ sembako? Bagaimana sikap bawaslu?”, diakses dari http://manadoline.com/mertua-oknum-calon-wali-kota-tertangkap-jadi-santa-claus-sembako-bagaimana-sikap-bawaslu/ pada 8 Desember 2015.

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 75

PEREMPUAN DALAM KONTESTASI POLITIK:REPRESENTASI DESKRIPTIF PEREMPUAN PADA

PILEG 2014 DAN PILKADA 2015

WOMAN IN POLITICAL CONTESTATION:THE DESCRIPTIVE OF WOMEN REPRESENTATION IN

LEGISLATIVE ELECTIONS 2014 AND LOCAL ELECTION 2015

Dwi Windyastuti Budi Hendrarti

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas AirlanggaEmail: [email protected]

Diterima: 22 November 2016; direvisi: 18 Desember 2016; disetujui: 10 Januari 2017

Abstract

This study attempts to identify the descriptive representation of women in legislative elections in 2014 and the local elections of 2015. This study is important because 30% quota of women fulfilled in Legislative Election 2014, and women were Involved in the electoral contestations. The study was done by taking documents about the participation of women in the elections of legislative election 2014 and local election 2015 in Surabaya, Sidoarjo district, Banyuwangi, Kediri and Lamongan. The documents is interpreted and analyzed by using descriptive representation theory. The results showed that women’s representation in descriptive remains critical due to: 1) contribute to the women’s quota for women’s representation has forced nominating power to political parties; 2) women have been assertive to seize power with political offices through a contestation and has electability; 3) the acceptability of voters towards women candidates resulted in many women’s representation in the legislature and the head of the region, the which have an impact on the accommodation of the interests of women in the government’s policy agenda.

Keywords: acceptability, assertive, descriptive representation, the women’s quota.

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

76 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

Abstrak

Studi ini mencoba untuk mengidentifikasi representasi deskriptif perempuan dalam pemilu legislatif 2014 dan pemilihan kepala daerah 2015. Studi ini penting dilakukan karena kuota 30% perempuan terpenuhi pada pileg 2014, dan perempuan terlibat dalam kontestasi pilkada. Studi ini dilakukan dengan mengambil dokumen di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri dan Lamongan tentang keikutsertaan perempuan pada pileg 2014 dan pilkada 2015. Dokumen ditafsir dan dianalisis dengan menggunakan instrumen teori representasi deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi perempuan secara deskriptif tetap penting dikarenakan: 1) kuota perempuan berkontribusi terhadap representasi perempuan karena punya daya paksa penominasian terhadap partai politik; 2) perempuan telah asertif terhadap kekuasaan dengan merebut jabatan-jabatan politik melalui sebuah kontestasi dan memiliki elektabilitas; 3) akseptabilitas pemilih terhadap perempuan caleg menghasilkan banyak wakil perempuan dalam legislatif dan kepala daerah, yang membawa dampak pada terakomodasinya kepentingan perempuan dalam agenda kebijakan pemerintah.

Kata kunci : Akseptabilitas, Asertif, Representasi Deskriptif, Kuota Perempuan

Pendahuluan

Pitkin 1 mengemukakan bahwa sistem perwakilan sebagai bentuk

modern demokrasi. Artinya, demokrasi mengisyaratkan terbukanya akses dan peluang yang sama bagi warganegara dalam aktivitas politik. Realitas politik menunjukkan bahwa di kebanyakan sistem politik, perempuan menempati proporsi kecil dalam jabatan-jabatan politik dan secara umum perempuan relatif sedikit memiliki posisi kekuasaan dan pengaruh dalam kehidupan publik.

Setidaknya ada beberapa asumsi faktor penyebab minimnya perempuan dalam lembaga politik. Pertama, berakar pada faktor budaya patriarki dimana secara tradisional perempuan dikeluarkan dari posisi yang penting. Eksklusi perempuan dalam politik disebabkan oleh adanya pembagian sosial akan peran perempuan seperti publik dan

1 Hanna Fenichel Pitkin, Representation, (New York: Atherton Press, 1969), hlm. 335-342.

privat. Perempuan terpaksa menerima posisi domestiknya (keluarga) yang pada saat yang sama menjadi halangan untuk masuk ke politik. Sangat sulit bagi perempuan untuk membagi waktu dan energi antara keluarga dan politik. Kedua, faktor institusional. Berbagai aturan dan lembaga yang cenderung memarginalkan perempuan, seperti perda yang membatasi ruang gerak perempuan. Faktor institusi cenderung dikonstruksikan sehingga akan lebih mudah dihapuskan apabila ada political will. Dengan alasan tersebut adalah penting untuk mengundang inklusi politik yang lebih besar dengan cara mendorong lebih banyak representasi kelompok-kelompok perempuan yang tak terepresentasi-- khususnya ketika kelompok ini minoritas atau menjadi subyek ketidaksamaan struktural--. Penyuaraan ten tang pent ingnya representasi perempuan ditandai oleh kemunculan gerakan perempuan di banyak bagian negara yang menuntut

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 77

perlunya pengakhiran dominasi legislatif oleh laki-laki. Respon atas tuntutan tersebut, beberapa pemerintah membuat peraturan kuota atau reservation seats yang dirancang untuk mendorong lebih banyak perempuan untuk mengikuti konstestasi politik baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional.

Indonesia, pada pemilu legislatif 2014 telah hadir sebesar 14% perempuan di legislatif nasional, dan 35 kepala daerah di Indonesia pada pilkada 2015. Di Jawa Timur sebanyak 7 perempuan berkontestasi di pilkada serentak 2015 baik sebagai bupati/ walikota maupun wakil bupati/wakil walikota. Meluasnya jumlah perempuan baik sebagai legislator maupun kandidat kepala daerah di wilayah Jawa Timur memunculkan pertanyaan besar seberapa keterbacaan (elegibel) perempuan dalam politik. Untuk itu perlu mengeksplorasi representasi deskriptif perempuan baik dalam pemilu legislatif di tingkat lokal maupun pilkada, sehingga diperoleh analisis secara kualitatif mengenai representasi perempuan. Ada dua pertanyaan besar dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini mencoba mengidentifikasi urgensi representasi deskriptif perempuan dalam pemilu legislatif 2014 dan pilkada 2015 di 5 kabupaten/kota di wilayah Jawa Timur. Kedua, menganalisis prospek representasi perempuan dalam aktivitas politik.

Kerangka TeoriRepresentasi politik memiliki relasi yang problematik dengan demokrasi bahkan keduanya sering konfliktual.

Demokrasi yang datang dari abad Yunani kuno menggunakan konsep sentral partisipatori dan tidak pernah dilahirkan dalam hubungannya dengan representasi. Sementara sebagai konsepsi politik, representasi hadir pada abad pertengahan ketika terjadi perang sipil di Inggris dan kemudian dilanjutkan dengan abad revolusi demokrasi, sehingga menjadikan dua konsep tersebut terhubung. Kelompok demokrasi melihat representasi sebagai konsep yang memperluas demokrasi. Sementara kelompok konservatif melihat representasi sebagai alat tegaknya demokrasi.2

Secara umum, ada tiga pendekatan utama dalam melihat konsepsi representasi politik.3 Pertama, Teori Umum Tentang Representasi (the general theories of representation), yang berhubungan dengan dasar filosofis, dan didasarkan pada penafsiran perwakilan dari kerangka ’politik gagasan’ (mewakili ’pendapat dan preferensi kebijakan) dan kerangka kehadiran warga negara. Semakin besar ’kehadiran’ kelompok-kelompok seperti perempuan, dan minoritas maka semakin besar kemungkinan mengubah agenda dan membawa perspektif baru tentang presentasi perempun dalam pemilu.

Kedua, System-wide Approaches to Representation, yang umumnya memusatkan pada dampak sistem

2 Pitkin, Representation, hlm. 204.

3 Andrew Rehfeld, “Towards a General Theory of Political Representation”, The Journal of Politics, Vol. 68, No. 1, Februari 2006, hlm. 4; Gianni Zappalà, “Challenges to the Concept and Practice of Political Representation in Australia”, Research Paper 28 1998-99, Politics and Public Administration Group, Australia, 29 Juni 1999, hlm. 3.

78 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

p e m i l i h a n d a l a m m e n e n t u k a n ‘representativeness’/ keterwakilan di berbagai lembaga legislatif. Representasi polit ik cenderung berfokus pada komposisi berbagai kelompok parlemen yang menjadi ‘cermin’ dalam populasi yang lebih luas. Ketiga, Normative Theories of Representation, yang berfokus pada hubungan antara yang direpresentasi dengan yang merepresentasi, sebuah teori yang sangat mempertimbangkan fungsi wakil terpilih. Pendekatan ini melihat dua entitas yang saling berelasi, yaitu yang mewakili dengan yang diwakili, yang esensi hubungannya bisa konggruensi, konkurensi, mirroring atau menyerupai (resemblance).

Hannah Pitkin4 melihat adanya empat tipologi representasi politik. Pertama, pandangan formalistik yang memusatkan pada formalitas hubungan wakil-terwakil. Representasi sebagai pemilikan kewenangan oleh wakil sebagai person yang diberi kewenangan untuk bertindak, yang sebelumnya tidak dimilikinya. Sebaliknya terwakil yang memberikan sebagian haknya, harus bertanggung jawab atas konsekuensi tindakan yang dilakukan wakil. Kedua, representasi deskriptif yaitu wakil mendeskripsikan konstituennya yang ditandai oleh karakteristik yang nampak seperti warna kulit, gender, kelas sosial. Wakil legislatif sebagai peta yang akurat dari seluruh bangsa, potret rakyat, atau

4 Kymlicka Wayne, Will, and Norman, (ed.) Citizenship in Diverse Societies, USA: Oxford University Press, 2005, hlm. 14. Dwi Windyastuti, “Politik Representasi Perempuan: Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan”, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Vol. 26, No. 2, April 2013, hlm. 70.

sebagai “mirror” yang mencerminkan berbagai bagian publik. Pada pandangan ini badan perwakilan mencerminkan hitungan matematis “more or less” terwakil.

Ketiga, representasi simbolik dimana wakil secara simbolik merepresentasikan yang diwakili. Wakil menjadi sebuah simbol yang merepresentasikan atau “standing for” segala sesuatu, tetapi tidak menyerupai apa yang diwakili. Keempat, representasi substantif atau “substantive acting for” yang lebih memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri. Dalam konteks ini wakil berbicara, bertindak demi opini, keinginan, kebutuhan atau kepentingan substantif terwakil. Konsep substantif memandang representasi bukan sekedar sebagai cara berdiri seseorang demi orang lain (a way of standing for someone) tetapi representasi sebagai cara bertindak demi orang lain (a way of acting for someone) baik sebagai delegasi, trustee ataupun politico.

Representasi deskriptif atau simbolik biasanya dekat dengan obyek bukan dekat dengan aktivitas. Representasi deskriptif dan simbolik ekuivalen dengan pandangan “standing for”, bukan pada aktivitas representasi yang “acting for”. Representasi “acting for” lebih memusatkan pada hakekat aktivitas itu sendiri yang menjangkau representasi substantif. Akan tetapi, pandangan representasi substantif bersilangan dengan kerangka representasi yang didasarkan pada the ‘politics of presence’ atau politik kehadiran. Phillips5 berpendapat

5 Anne Phillips, Engendering Democracy, Cambridge: Polity Press, 1991, hlm. 65

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 79

bahwa anggota dari kelompok yang termarginalisasi semestinya secara fisik terwakili dalam lembaga legislatif dengan jumlah yang proporsional dengan populasinya. Lebih besar ‘presence’ kelompok seperti minoritas perempuan, adalah sangat penting tidak hanya karena mereka secara otentik merepresentasi anggota kelompok mereka, tetapi karena mereka dapat mengubah agenda dan membawa perspektif baru dalam politik kebijakan.

Bahkan dari sejumlah bukti empiris mengindikasikan bahwa representasi yang berbasis identitas tersebut, perempuan legislator tidak melihat dirinya sebagai “acting for” perempuan atau tidak melihat dirinya sedang merepresentasi perempuan seperti dalam frase Squires dan Phillips.6 Wakil yang bertindak untuk kepentingan terwakil mendekati konsepsi representasi demokrasi. Jane Mansbridge7 beranggapan bahwa representasi demokratis memfasilitasi dua fungsi yaitu fungsi deliberasi dan agregasi. Isu-isu yang mempengaruhi politik, maka demokrasi deliberasi dan agregasi adalah yang paling sah ketika kepentingan politik terwakili dalam pengambilan keputusan sebanding dengan proporsi penduduk. Demokrasi deliberasi paling relevan untuk isu-isu yang dilakukan oleh perwakilan “deskriptif” (perempuan mewakili perempuan).

6 Kymlicka Wayne, Will, and Norman, Citizenship in Diverse Societies, hlm. 20.

7 Jane Mansbridge, “An Anti-Essentialist Argument for the Descriptive Political Representation of Gender, Race and Sexuality”. Makalah. Konferensi Politics, Rights and Representation. The University of Chicago, 14 Oktober 1999, hlm. 19.

Berbagai studi menunjukkan beberapa variabel yang berkontribusi terhadap representas i deskr ipt i f perempuan. Robert E. Hogan8 melihat bahwa perempuan memutuskan untuk tidak maju dalam kontestasi politik karena kesulitan pendanaan untuk memenangkan nominasi di partai. Tetapi tidak hanya kemampuan finansial, sikap politik pemilih terhadap gender relevan dengan proses politik. Kathleen Dolan9 menyebutkan bahwa sikap individu terhadap representasi perempuan di pemerintahan dan keinginan lebih besar representasi deskriptif perempuan dapat membentuk sikap dan perilaku pemilih ketika dihadapkan pada perempuan kandidat.

Dalam elektoral, variabel strategi kampanye memiliki efek terhadap keterpilihan perempuan. Paul S Herrnson dan J.Celeste Lay, Atiya Kai Stokes10 berpandangan bahwa perempuan memperoleh keuntungan ”keperempuanannya”, karena mudah bagi perempuan untuk mengeksploitasi dan menekankan isu yang dekat dengan perempuan dan membidik target pemilih

8 Robert E. Hogan, “The Effects of Candidate Gender on Campaign Spending in State Legislative Elections”, Social Science Quarterly, Vol. 88, No. 5, Desember 2007, hlm. 1092–1105.

9 Kathleen Dolan, “The Impact of Gender Stereotyped Evaluations on Support for Women Candidates”, Springer, http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11109-009-9090-4#page-2, diakses pada tanggal 1 Juni 2016, hlm. 2.

10 Paul S. Herrnson, J. Celeste Lay and Atiya Kai Stokes. “Women Running ”As Women” : Candidate Gender, Campaign Issues, And Voter Targeting Strategies”, The Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, Februari 2003, hlm. 244.

80 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

dari kalangan perempuan. Salah satu kunci keberhasilan perempuan kandidat adalah melakukan kampanye yang menggunakan disposisi pemilih dengan gender. Namun, atribut perempuan tidak selalu menguntungkan bagi perempuan. Seperti yang diungkap Jessi L. Smith dan David Paul dan Rachel Paul11 bahwa ”sebagai laki-laki” merupakan salah satu atribut keberhasilan pada semua kandidat presiden di USA, bahkan menjadi kualifikasi atas perannya. Meskipun bias gender tak terbukti untuk jabatan di perwakilan tetapi bias gender tetap menjadi hambatan bagi perempuan kandidat presiden. Namun dalam pemahaman Pippa Norris and Ronald Inglehart12 problem mendasar dalam menghadapi proses demokrasi ialah kurangnya kesinambungan kesetaraan gender dalam kepemimpinan politik. Fakta dasar bahwa saat ini di belahan dunia, perempuan terepresentasi hanya 1 dari 7 anggota dewan, 1 berbanding 10 di kabinet. Satu tesis dari Pippa Noris adalah bahwa ada perbedaan substansial dalam sikap terhadap kepemimpinan politik di masyarakat berkembang; sikap tradisional merupakan hambatan utama pada perempuan di pemilihan legislatif, dan budaya punya pengaruh penting pada proporsi perempuan di parlemen bahkan

11 Jessi L. Smith, dan Paul, David and Paul, Rachel, ”No Place for a Woman: Evidence for Gender Bias in Evaluations of Presidential Candidates”, Basic And Applied Social Psychology, Vol 29(3), Sep 2007, hlm. 223.

12 Pippa Norris dan Ronald Inglehart, “Cultural Barriers to Women’s Leadership:A Worldwide Comparison”, Paper. The International Political Science Association World Congress, Quebec City, 3 Agustrus 2000, hlm. 4.

budaya mengontrol struktur sosial dan lembaga politik.

Kajian ini merupakan hasil penelitian dengan pendekatan deskriptif di 5 kabupaten/kota di wilayah Jawa Timur. Untuk kebutuhan identifikasi ini informasi yang digunakan adalah melalui pencarian dan penggalian dokumen tentang proporsi perempuan dalam pileg 2014 dan pilkada 2015. D a t a dikumpulkan dengan cara mencari dokumen yang berkaitan dengan proporsi konstituen perempuan berdasarkan Dapil di 5 kabupaten di Propinsi Jatim, proporsi caleg dan legislatif perempuan pada Pemilu 2014, proporsi perempuan di arena pilkada 2015 di Jawa Timur. Data selalu dibandingkan antara data laki-laki dan perempuan. Data dikumpulkan dari dokumen seperti buku, jurnal dan internet yang dan kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan perangkat teori representasi politik dengan mengelaborasikan perspektif gender.

Hasil Temuan dan AnalisisRepresentasi Perempuan dalam pemilu legislatif bisa dilihat dari beberapa segi, diantaranya perempuan sebagai pemilih. Fenomena ini penting untuk menunjukkan seberapa jauh animo perempuan berpartisipasi dalam pemilu legislatif, seberapa jauh kehadiran perempuan menunjukkan representasi perempuan atau sekedar dimobilisasi dalam kontestasi politik, atau memang ada korelasinya dengan semakin meningkatkan proporsi perempuan sebagai calon legislatif dan apakah ada

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 81

kontribusi jumlah pemilih terhadap jumlah perempuan anggota legislatif.

Perempuan Sebagai Pemilih. Inti kerangka demokrasi adalah prinsip hak asasi manusia, termasuk menjamin dan menjalankan hak politik laki-laki dan perempuan. Pada pileg 2014, jumlah pemilih perempuan jauh lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki. Angka pemilih perempuan tertinggi ada di Kota Surabaya di atas 50% dibandingkan laki-laki (lihat gambar 1).

Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagai sumber

Gambar 1. Proporsi Prosentase Pemilih dalam

Pileg 2014 di 5 Wilayah di Jawa Timur

Peningkatan kuantitas pemilih pe r empuan s epe r t i d a t a d i a t a s menggambarkan bahwa isu gender adalah sangat potensial bagi calon legislatif untuk dijadikan kail dalam merebut suara pemilih perempuan dan sebagai acuan landasan representasi deskriptif perempuan.

Calon Perempuan Dalam Pemilu Legislatif. Pada pemilu legislatif 2014 kuota perempuan dalam penominasian tidak didasarkan pada zyppersystem sebagaimana pada pemilu legislatif 2009, tetapi penempatan perempuan dalam satu dapil diserahkan pada partai politik. Pada pileg 2014, proporsi perempuan

sebagai caleg telah melampaui kuota 30%. Artinya, pada pemilu 2014 hampir semua partai di semua kabupaten/kota memberikan apresiasi dan mematuhi kebijakan kuota perempuan, apalagi parpol ingin mendulang suara potensial pemilih perempuan seperti yang terlihat pada gambar 2.

Sumber: KPU Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi,

Kediri, Lamongan, diolah 2011

Gambar 2. Proporsi Prosentase Laki-Laki dan

Perempuan sebagai Caleg 2014

Terpenuhinya kuota perempuan sepert i tabel di atas disebabkan beberapa hal. Pertama, pilihan rasional parpol, bila ingin memenangkan suara, khususnya suara perempuan, Kedua, kuota perempuan dipahami sebagai kewajiban untuk menjalankan tindakan afirmasi pada perempuan bila tidak ingin diberi sanksi secara politik dan hukum. Secara faktual karena keharusan kuota perempuan maka parpol menempatkan perempuan meskipun tidak memiliki modal sosial-politik, tapi memiliki modal finansial.

47.5

48

48.5

49

49.5

50

50.5

51

51.5

Laki-laki Perempuan

Kota Surabaya

Kab.Sidoarjo

Kab.Banyuwangi

Kab.Kediri

Kab.Lamongan

0

10

20

30

40

50

60

70

% Laki-laki % Perempuan

66.8

33.2

62.99

37.01

64.17

35.83

62.61

37.39

65.93

34.07

Surabaya Sidoarjo Banyuwangi Kediri Lamongan

82 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

Perolehan Kursi di Legislatif. Pileg 2014 mencatat adanya 12 parpol sebagai peserta pemilu, namun hanya delapan partai politik yang dominan dan hampir selalu memperoleh kursi dalam setiap pemilu legislatif secara merata. Partai politik tersebut antara lain Partai Demokrat, PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKB, PAN, PKS, PPP dan Nasdem. Di antara partai tersebut terdapat empat partai besar di Jawa Timur yang selalu menempatkan wakilnya di wilayah yang menjadi penelitian dalam kajian ini. Pada pileg 2014, PDIP, Golkar dan Gerindra menjadi partai yang perolehan kursinya besar. Bahkan PDIP mendominasi di lima kabupaten/kota, diikuti oleh Partai Demokrat. Sedangkan PAN, PKS dan PPP relatif kecil. Sementara partai baru Nasdem berhasil menempatkan wakilnya di Banyuwangi, Kediri, Surabaya dan Sidoarjo (lihat gambar 3).

Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagai sumber

Gambar 3. Perolehan Kursi di 5 Kabupaten/Kota di Wilayah Propinsi Jawa Timur Pada Pemilu Legislatif 2014

Perempuan Anggota Legislatif. Perwakilan deskriptif perempuan merupakan sebuah bentuk apresiasi masyarakat atas peluang perempuan agar supaya terjamin hak-hak dasar

mereka dalam kehidupan. Dengan adanya keterwakilan perempuan diharapkan bahwa segala kebijakan yang dihasilkan dapat merepresentas ikan segala kebutuhan perempuan. Perempuan memiliki kepentingan yang berbeda dengan laki-laki. Proporsi anggota legislatif perempuan tidak lebih dari 30% kecuali Kota Surabaya, empat daerah lainnya dibawah 30%. (lihat tabel 1).

Ada relasi antara elektabilitas perempuan anggota dewan dengan perolehan kursi pada pemilihan legislatif 2014, khususnya Surabaya dan Kediri. Keterpilihan perempuan di legislatif lebih banyak ditopang oleh upaya dan kapasitas individu dalam mencari suara dan akseptabilitas partai politik.

Keterpilihan Perempuan Sebagai Legislatif. Peningkatan jumlah pemilih, jumlah partai politik dan pelaksanaan kuota 30 persen caleg perempuan ternyata tidak berbanding lurus atau menjamin peningkatan jumlah perempuan sebagai anggota legislatif. Ternyata tingkat keterpilihan caleg menjadi legislatif sangat rendah kendati parpol telah melampaui atau melebihi kuota perempuan dalam pencalonan (lihat tabel 2).

D i Ko ta Surabaya , t i ngka t keterpilihan caleg perempuan sebagai anggota legislatif perempuan cukup tinggi, tetapi di beberapa kabupaten khususnya Sidoarjo sangat rendah. Ada beberapa kemungkinan rendahnya keterpilihan perempuan. Pertama, hambatan dan tantangan bagi keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara otomatis teratasi dengan dikeluarkannya peraturan teknis yang secara formal ditujukan

02468

10121416

Surabaya

Sidoarjo

Banyuwangi

Kediri

Lamongan

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 83

Tabel 1. Komposisi Legislatif Berdasarkan Partai Politik dan Gender pada Pemilu Legislatif 2009 dan 2014 di 5 Kabupaten/Kota di Wilayah Jawa Timur

Sumber: KPU Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri, Lamongan, 2014, diolah 2011

Partai Politik

Jenis Kelamin Anggota Legislatif

Surabaya Sidoarjo Banyuwangi Kediri Lamongan 2009 2014 2009 2014 2009 2014 2009 2014 2009 2014

Demokrat Laki-laki 9 2 9 1 9 3 6 4 5 7 Perempuan 7 4 2 4 1 2 2 0 0 5

Golkar Laki-laki 5 1 3 4 5 6 5 4 6 6 Perempuan 0 3 1 1 2 1 2 1 0 0

PDIP Laki-laki 6 10 7 8 11 9 13 6 7 6 Perempuan 2 5 0 0 1 1 2 6 3 2

PKB Laki-laki 4 3 9 12 5 7 6 8 10 9 Perempuan 1 2 1 1 1 3 1 1 0 1

PKS Laki-laki 4 4 3 3 0 1 0 0 1 Perempuan 1 1 0 0 0 1 0 1 0

PAN Laki-laki 2 4 7 7 0 1 3 5 8 6 Perempuan 0 0 0 0 1 0 2 1 0 0

Hanura Laki-laki - 2 3 0 1 4 - 0 1 Perempuan 0 1 0 0 1 0 - 0 0

Gerindra Laki-laki 1 2 1 6 4 5 - 6 0 4 Perempuan 2 3 1 0 0 0 - 0 0 0

PPP Laki-laki 1 1 - 0 2 4 - 1 1 4 Perempuan 0 0 - 1 0 0 - 0 0 0

PBB Laki-laki - - - 1 - 0 0 1 0 Perempuan - - - 0 - 0 0 0 0

Nasdem Laki-laki - 2 - 1 - 2 - 2 - Perempuan - 0 - 0 - 0 - 3 -

JUMLAH Laki-laki 35 31 43 43 41 42 37 37 46 Perempuan 15 19 7 7 9 8 13 13 4 Total L+P 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 % P dari L 30 38 16,28 16,28 21,95 16 26 26 8,70

Tabel 2. Keterpilihan Perempuan Caleg Perempuan Sebagai Anggota Legislatif di 5 wilayah Propinsi Jatim

Sumber: KPU Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri, Lamongan, 2014, diolah 2011

Keterangan: *) Data di dua dapil

Kabupaten/Kota

Keterpilihan Perempuan Dalam Pileg 2014 Jumlah Caleg Perempuan

Jumlah Perempuan Anggota Legislatif

Tingkat Keterpilihan Perempuan (%)

Surabaya 165 19 11,52 Sidoarjo 181 7 3,87 Banyuwangi 177 8 4,52 Kediri 172 13 7,56 Lamongan*) 62 4 6,45

84 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

untuk mengawal proses pencalonan perempuan. Kebijakan internal partai dalam penentuan kursi penting untuk didiskusikan kembali, bahkan layak diperiksa apakah peningkatan keterpilihan perempuan telah benar-benar menjadi bagian dari komitmen internal partai, atau hanya sekadar pemenuhan syarat adminstratif saja demi memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagaimana ditetapkan Undang-undang Pemilu.

Kedua, ketiadaan basis sosial. Perempuan caleg rata-rata tidak memiliki basis sosial yang disebabkan kurangnya kesempatan mereka berada di ruang-ruang publik, sementara metode suara terbanyak mensyaratkan interaksi dengan pemilih yang cukup intensif. Pada sisi lain, masyarakat masih belum sepenuhnya menerima perempuan

sebagai pemimpin politik, kecuali sudah dikenal sebelumnya. Ketiga, kuota tanpa kader, artinya banyak partai yang mampu mengisi kuota perempuan, tetapi parpol berupaya mengisinya secara instan dengan calon-calon yang popular, suatu tindakan pragmatis yang justru mengabaikan keseriusan proses politik. Keempat, dalam open list system, partai politik cenderung lepas tangan terhadap caleg-caleg perempuan untuk berkompetisi dan berebut suara dengan caleg laki-laki.

Konfigurasi Posisi Kepemimpinan Perempuan di Legislatif. Pada pemilu 2014, perempuan yang terpilih sebagai anggota dewan masih belum menempati posisi yang strategis di DPRD. Artinya perempuan dalam posisi kepemimpinan masih sangat rendah representasinya dibandingkan laki-laki dan hampir

Komisi Kota

Surabaya Kabupaten

Sidoarjo Kabupaten

Banyuwangi Kabupaten

Kediri Kabupaten Lamongan

L P L P L P L P L P Ketua DPRD 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 Wakil Ketua DPRD 2 1 3 0 3 0 2 1 3 0 Ketua komisi 2 1 4 0 2 2 3 1 4 0 Wakil Ketua Komisi 3 0 3 1 3 1 3 1 4 0 Sekretaris komisi 2 1 4 0 2 2 3 1 4 0 Ketua Baleg/ Badan Pembentuk Perda

1 0 1 0 1 0 1 0 1 0

Wakil Ketua Balegda/ Badan Pembentuk Perda

1 0 1 0 1 0 1 0 1 0

Ketua Fraksi 5 3 6 1 7 0 7 0 7 0 Wakil Ketua Fraksi 5 3 6 1 7 0 6 2 7 Sekretaris Fraksi 6 2 6 1 7 0 6 1 7 Bendahara Fraksi 2 2 - - - - 2 2 - - Ketua Banggar 1 0 1 0 1 0 1 0 1 Wakil Ketua Banggar 2 1 3 0 2 1 3 0 2 Ketua BK 1 0 1 0 1 0 1 0 Wakil Ketua BK 1 0 1 0 1 0 1 0 Ketua Bamus 1 0 1 0 1 0 1 0 Wakil Ketua Bamus 1 1 3 0 2 1 3 0

Tabel 3. Komposisi Kepemimpinan Perempuan di Legislatif

Sumber: Sekretariat DPRD Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri, Lamongan, diolah 2016

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 85

menjadi fenomena umum di semua wilayah penelitian. (lihat tabel 3).

Pada posisi badan anggaran, badan musyawarah, dewan, fraksi, perempuan hanya menempati posisi sebagai anggota. Ada beberapa sebab masih minimnya jumlah perempuan pada posisi tersebut. Pertama, bidang-bidang tersebut lebih banyak domainnya pada masalah-masalah politik, yang sering dianggap sebagai domain laki-laki daripada domain perempuan.

Kedua , ak t iv i t a s d i dewan masih sangat maskulin, yang tidak memungkinkan diakses perempuan, seperti jadwal kegiatan yang menuntut pembahasan hingga dini hari, sehingga memperkecil peluang perempuan untuk dapat aktif mengikuti seluruh kegiatan. Dalam masyarakat yang kental dengan kultur patriarkinya, masyarakat masih memberikan persepsi bahwa meskipun perempuan bekerja di ranah publik, tetapi tetap tidak bisa meninggalkan ranah domestiknya. Konstruksi ini menjadikan perempuan tidak memiliki waktu untuk berkonsentrasi pada ranah publiknya, yang implikasinya adalah pada rendahnya akses perempuan untuk mencapai posisi strategis dalam legislatif.

Ketiga, kelayakan kepemimpinan politik berada di tangan laki-laki. Pemberian label kepemimpinan politik sebagai posisi yang “maskulin” berdampak pada kelayakan laki-laki untuk menghuni area-area maskulin. Apalagi kontestasi politik selalu dipandang sebagai area-area yang membutuhkan karakter keberanian, progresivitas, agresivitas yang selama ini dilabelkan sebagai karakter yang melekat

pada laki-laki, ketika maskulinitas selalu dihimpitkan dengan jenis kelamin.

Perempuan sebagai Kandidat Pimpinan Daerah. Demokratisasi merupakan sebuah tuntutan dalam pelaksanaan desentralisasi politik, dengan asumsi bahwa masyarakat lokal ikut terlibat secara tidak langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Salah satu pelibatan secara langsung masyarakat adalah keterlibatan dalam memilih pemimpinnya di tingkat lokal atau yang sering diistilahkan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Antusiasme perempuan sebagai pemilih cukup besar bila dibandingkan laki-laki, sehingga banyak kandidat yang memperebutkan suara pemilih perempuan. Berbagai isu perempuan sering dimunculkan dalam kampanye untuk mendulang suara dari kelompok ini (lihat gambar 4)

Sumber: KPU Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri, Lamongan, 2015, diolah 2016

Gambar 4. Proporsi Pemilih Dalam Pilkada 2015

Peningkatan jumlah pemilih

dalam pilkada langsung setidaknya telah membuka ruang dan peluang bagi perempuan untuk memasuki arena kontestasi politik di level pimpinan daerah. Pilkada langsung menjadi demikian aksesibel bagi perempuan.

0

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

Laki-laki Perempuan

Kota Surabaya

Kab.Sidoarjo

Kab.Banyuwangi

Kab.Kediri

Kab.Lamongan

86 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

Fenomena ini ditunjukkan dalam pilkada 2014 di lima wilayah Jawa Timur dengan mulai masuknya perempuan dalam arena kontestasi politik lokal (lihat tabel 4)

Dari lima kabupaten/kota di Jawa Timur, hanya di Kabupaten Banyuwangi perempuan tidak “running for office” dalam kontestasi di tingkat lokal sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Elektabilitas perempuan cukup tinggi, dimana dalam pilkada, 2 perempuan terpilih dari 13 kandidat bupati/walikota dan 1 perempuan terpilih sebagai wakil bupati dari 13 kandidat wakil bupati. Keterpilihan perempuan dalam pilkada disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya peluang jabatan dalam pileg dan pilkada yang memungkinkan perempuan untuk memasuki arena kontestasi politik dan ternyata perempuan juga asertif terhadap struktur peluang politik tersebut. Kedua, pragmatisme di kalangan partai politik untuk mendapatkan keuntungan

ekonomis dari para perempuan kandidat dengan mendorong perempuan untuk bersedia memasuki arena kontestasi politik. Pada sisi lain pragmatisme partai mampu dimanfaatkan oleh perempuan untuk memasuki arena kontestasi. Ketiga, pertimbangan rasional dari partai dengan strategi memasangkan kandidat laki-laki-perempuan sehingga akan memperoleh dukungan dari semua jenis kelamin.

Keempat, konstituen mulai bisa menerima pemimpin perempuan dalam kontestasi politik atau setidaknya mindset bahwa pemimpin politik adalah laki-laki mulai bergeser. Kelima, munculnya role-model perempuan dalam politik pada pemilu sebelumnya baik pemilu legislatif maupun pilkada, kemunculan pemimpin perempuan di dunia, menjadi alasan mengapa perempuan memasuki arena kontestasi politik. Namun demikian

Kabupaten/Kota PILKADA 2014

Bupati/Walikota Wabup/Wawali Jml Suara (%)

Lolos/Tidak Lolos

SURABAYA Tri Rismaharaani Wisnu ASakti Buawana 86,34 Lolos Rasiyo Lucy Rachmawati 13,66 Tidak lolos

SIDOARJO Hadi Sutjipto,SH.,MM H.Abfdul Kholik SH, MH. 26,72 Tidak lolos H.Ustman ikhsan Hj.Tan Mei Hwa 8,94 Tidak lolos H.Saiful Ilah, SH.,M.Hum H.Nur Ahmad Syaifudin, SH. 58,97 Lolos Warih Andono, SH. H.Imam Sugiri, ST.,MM 5,37 Tidak lolos

BANYUWANGI Abdulah Azwar Anas Yusuf Widyatmoko 88,96 Lolos Sumantri Soedomo Sigit Wahyu Widodo 11,04 Tidak lolos

KEDIRI Dr.Ari Purnomo Adi Arifin Tafsir 32,65 Tidak lolos Dr.Hj.Haryanti Drs.H.Masykuri, MM. 67,35 Lolos

LAMONGAN Fadeli Kartika Hidayati 75,66 Lolos Mujianto Sueb 2,55 Tidak lolos Nursalim Edi Wijaya 21,79 Tidak lolos

Tabel 4. Kandidat Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota Pada Pilkada 2014

Sumber: KPU Surabaya, Sidoarjo, Banyuwangi, Kediri, Lamongan, 2014, diolah 2016

Keterangan : *) adalah istri petahana di kabupaten tersebut.

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 87

perkembangan keterwakilan perempuan dalam pilkada tidak begitu cepat bahkan relatif lambat dibandingkan keterwakilan perempuan dalam pileg.

Ada beberapa sebab minimnya perempuan memenangi dalam jabatan elektif di pilkada. Pertama, arena kontestasi di pilkada relatif terbatas dari segi pemenangnya. Ketika arena kontestasi hanya memberikan ruang yang terbatas pada para kontestan, maka peluang kontestan perempuan juga semakin kecil dan semakin sempit kemungkinan perempuan terpilih dalam jabatan yang elektif. Kedua, sedikitnya model peran perempuan dalam politik menjadikan pemilih terbatas akan pengetahuan tokoh-tokoh perempuan yang berhasil dalam jabatan politik. implikasinya pemilih tidak melihat pentingnya perempuan dalam jabatan elektif di pilkada. Apalagi dalam masyarakat yang belum gender friendly, pemilih tidak pernah melihat urgensi kehadiran perempuan dalam jabatan elektif. Ketiga, perempuan yang menjadi kandidat dalam pilkada memang tidak memiliki elektabilitas, tetapi kehadiran mereka lebih didorong oleh dorongan eksternal yang didasarkan pada paksaan legal lewat kuota 30%. Keempat, rendahnya pengalaman politik perempuan tidak diikuti oleh bantuan dari parpol untuk mempromosikan perempuan dalam pilkada padahal.

PenutupDari hasil kajian tentang representasi perempuan dalam pileg dan pilkada di Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Banyuwangi

dan Lamongan menunjukkan bahwa perempuan secara deskriptif telah terepresentasi baik sebagai pemilih, sebagai kandidat baik dalam pileg 2014 dan pilkada 2015 dan anggota legislatif. Ada urgensi penting masuknya perempuan dalam politik, diantaranya: pertama, bahwa perempuan telah asertif terhadap kekuasaan dengan merebut jabatan-jabatan politik melalui sebuah kontestasi dan memiliki elektabilitas dengan terpilihnya beberapa perempuan baik dalam pileg maupun pilkada. Kedua, perempuan akseptabel sebagai anggota legislatif maupun sebagai kepala daerah karena konstituen telah memilihnya. Akseptabilitas perempuan ke dalam jabatan publik dan politik setidaknya ditentukan oleh kemauan perempuan untuk memutuskan berkontestasi dalam arena politik. Setidaknya situasi politik pasca runtuhnya Orde Baru telah menawarkan pada perempuan ruang dan peluang pada jabatan elektif untuk dipilih maupun diangkat.

Ketiga, Affirmative Action dalam bentuk kuota perempuan memberikan k o n t r i b u s i p a d a p e n i n g k a t a n penominasian dalam pileg dan kandidat dalam pilkada. Kuota perempuan diadopsi dalam aturan seleksi anggota legislatif, suatu mekanisme umum untuk memaksa secara formal kuota di tingkat nasional mapun lokal dalam pemilihan legislatif. Keempat, keterkaitan antara pola-pola representasi perempuan, sistem pemilu dengan pola-pola nominasi di partai politik. Sistem pemilihan dengan open list mampu mengontrol oligarki partai terhadap calon. Bahkan konsepsi sentralisasi dan institusionalisasi

88 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

kekuasaan rekrutmen di partai politik telah mampu dikontrol oleh sistem pemilu yang open list. Meskipun demikian sistem open list ini sering mengalami distorsi di tingkat lokal.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Norris, praktek diskriminasi justru lebih banyak terjadi di dalam ranah “lokal-formal”, ketika proses seleksi dikungkung dan didesentralisasi. Ada kecenderungan dari partai kecil dan relatif baru yang lebih banyak mengusung perempuan kandidat sebagai cara mendongkrak popularitas partai dengan menempatkan perempuan yang dikenal masyarakat. Pada satu sisi semakin banyaknya partai memang lebih sering membuka kesempatan kepada kelompok-kelompok perempuan. Tetapi di sisi lain komitmen menarik perempuan ke dalam aktivitas politik sekedar ”pemanis” untuk mendongkrak citra parpol. Kelima, efek dari keterwakilan deskriptif perempuan dalam pileg dan pilkada tentunya adalah pada perubahan kebijakan. Terpilihnya perempuan dalam parlemen di tingkat lokal memberikan ekspektasi yang besar bagi performa kebijakan yang akan diambil pemerintah.

Sedari awal perjuangan gerakan kuota perempuan t idak sekedar berhenti hanya sampai pada ”politics of number” (kuantitas) tetapi secara kualitatif banyaknya anggota akan berdampak pada agenda-agenda kebijakan yang lebih sensitif gender. Banyaknya wakil perempuan dalam politik akan memperbaiki kinerja pemerintah khususnya dalam hal agenda kebijakan. Seperti yang dinyatakan Anne

Phillips : ”Jumlah adalah faktor yang penting, namun juga bagaimana mereka dapat menempatkan isu-isu perempuan ke dalam agenda kebijakan utama pemerintah. Penempatan perempuan dalam berbagai komisi, panitia anggaran atau panitia khusus memberikan peluang kepada perempuan untuk mewarnai hasil kebijakan yang sensitif gender. Bahkan kedudukan strategis perempuan sebagai ketua fraksi, ketua komisi, ketua dewan, wakil ketua dewan, merupakan sarana bargaining bagi perempuan anggota legislatif untuk mengakomodasi kepentingan perempuan dalam kebijakan.

Terkait prospek representasi deskriptif ke depan, politik representasi merupakan concern bagi negara yang menyatakan dirinya sebagai negara yang demokratis. Akan tetapi, banyak studi yang melihat kelemahan representasi yang hanya mengandalkan politics of number atau representasi deskriptif. Memang politik representasi dapat dijadikan salah satu cara untuk mencapai kesetaraan itu sendiri. Namun, perjuangan kesetaraan ini mengandung beberapa kelemahan mendasar.

Pertama, selama ini perjuangan dalam jumlah representasi perempuan selalu dilihat dari segi penyamaan kuantitas antara laki-laki dan perempuan. Tidak heran, mekanisme yang ditempuh adalah dengan cara penerapan kuota secara paksa melalui affirmative action. Ketika kuota sebagai sebuah solusi kelembagaan yang ditawarkan dalam perjuangan kesetaraan gender maka solusi ini bisa jatuh pada modifikasi redistribusi kekuasaan di legislatif. Bila perjuangan

Perempuan dalam Kontestasi Politik ... | Dwi Windyastuti Budi Hendrarti | 89

terlalu fokus pada kelembagaan yang tereduksi pada persoalan ”redistribusi jabatan” maka pengakuan politik terhadap perempuan tidak akan pernah muncul dari kelompok-kelompok dominan.

Kedua, ketika perempuan terlalu sibuk merebut kedudukan pada jabatan elektif, maka perempuan umumnya melupakan pengartikulasian kelompok-kelompok kepentingan (civil society) sebagai dasar perjuangannya. Kebanyakan perempuan yang hadir sebagai caleg kebanyakan bukanlah tipikal perempuan yang sadar atau peka gender. Implikasinya akar perjuangan kuota 30% menjadi terdeprivasi dari dasar dan konstruksi sosialnya. Walaupun, tingkat representasi perempuan sudah meningkat sekalipun, tidak sertamerta menjamin artikulasi kepentingan perempuan. Artinya bahwa representasi deskriptif semata tanpa diikuti oleh representasi substantif adalah keniscayaan bagi representasi perempuan.

Ketiga, politik representasi hanya akan berhasil dalam sistem demokrasi representatif yang menganut “one person one vote”, karena penentu kebijakan hanya ditentukan oleh banyaknya orang yang memperjuangkan. Akan tetapi, perjuangan ini terlalu sulit untuk diimplementasikan secara langsung ketika perempuan kandidat tetap saja bias kepentingan laki-laki sehingga sulit untuk mereduksi glass-ceiling effect.

Ke empat, perjuangan kesetaraan gender tidak dimaknai sempit hanya untuk merebut tampuk kekuasaan dari tangan laki-laki, tetapi, lebih daripada proses pembelajaran dan penyadaran

dengan pengkayaan wacana untuk membentuk civil society yang aware terhadap problema gender. Oleh karena itu, kuota menjadi instrumen awal yang tepat untuk menuju proses penyadaran gender yang lebih luas tidak dalam ranah posisi tetapi juga wacana.l

Daftar Pustaka

BukuPhillips, Anne. Engendering Democracy.

Cambridge: Polity Press, 1991.Pitkin, Hanna Fenichel. Representation. New

York: Atherton Press, 1969.Wayne, Kymlicka, Will, and Norman. (ed.)

Citizenship in Diverse Societies. USA: Oxford University Press, 2005.

JurnalDolan, Kathleen. “The Impact of Gender

S t e r e o t y p e d E v a l u a t i o n s o n Support for Women Candidates”. Springer, http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11109-009-9090-4#page-2, diakses pada tanggal 1 Juni 2016.

Herrnson, Paul S., J. Celeste Lay and Atiya Kai Stokes. “Women Running ”As Women” : Candidate Gender, Campaign Issues, And Voter Targeting Strategies”. The Journal of Politics. Vol. 65, No. 1, Februari 2003.

Hogan, Robert E. “The Effects of Candidate Gender on Campaign Spending in State Legislative Elections”. Social Science Quarterly. Vol. 88, No. 5, Desember 2007.

Lawless, Jennifer L, and Richard L. Fox. “Entering the Arena? Gender and the Decision to Run for Office”. American

90 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 75-90

Journal of Political Science. Vol. 48, No. 2, April 2004.

Pitkin, Hanna Fenichel.”Representation and Democracy: Uneasy Alliance”. Scandinavian Political Studies, Vol. 27, No. 3, 2004.

Rehfeld, Andrew. “Towards a General Theory of Political Representation”. The Journal of Politics. Vol. 68, No. 1, Februari 2006.

Smith, Jessi L. dan Paul, David and Paul, Rachel. ”No Place for a Woman: Evidence for Gender Bias in Evaluations of Presidential Candidates”. Basic And Applied Social Psychology. Vol 29(3), Sep 2007, 225-23.

Windyastuti, Dwi. “Politik Representasi Perempuan: Advokasi Kebijakan Perlindungan Perempuan”. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Vol. 26, No. 2, April 2013.

Sumber lainMansbridge, Jane. “An Anti-Essentialist

Argument for the Descriptive Political Representation of Gender, Race and Sexuality”. Makalah. Konferensi Politics, Rights and Representation. The University of Chicago, 14 Oktober 1999.

Norris, Pippa dan Inglehart, Ronald. “Cultural Barriers to Women’s Leadership:A Worldwide Comparison”. Paper. The International Political Science Association World Congress, Quebec City, 3 Agustrus 2000.

Zappalà, Gianni. “Challenges to the Concept and Practice of Political Representation in Australia”. Research Paper 28 1998-99. Politics and Public Administration Group, Australia, 29 Juni 1999.

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 91

APARATUR SIPIL NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI

CIVIL SERVANT AND BUREAUCRACY REFORMATION

Dede Mariana1

Program Sarjana dan Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Padjadjaran

Email: [email protected]: 20 Oktober 2016; direvisi: 30 November 2016; disetujui: 2 Januari 2017

Abstract

One of the product of bureaucracy reformation in Indonesia is the ratification of Law No. 5/2014 on Civil Servant (ASN, Aparatur Sipil Negara), replacing the previous Law No 8/1974 jo Law No.43/1999 on the officials body and the changes. Civil Servant law aimed at building civil servant with integrity, professionalism, neutrality, free from political intervention, clean from corruption practice, collusion, and nepotism, also the ability to administer public service and playing a role as the entity in ensuring the unity of the nation based on Pancasila and UUD 1945. Bureaucracy reformation through the implementation of law Civil Servant will be considered successful if some requirements are fulfilled. First, government and public, together, must develop a professional, innovative, dependable, and clean leadership tradition capacity. Second, Government must execute a meritocracy civic government official management in a consistent and sustainable way. Third, government and public have to implement control on government official practices based on applied norm, standard, and ethical code. The control enables to keep the integrity of government officials through a justified and forceful law enforcement on officials convicted in violation of the law. Fourth, to boost critical power of public in controlling bureaucracy in implementing government’s tasks.

Keywords: Bureaucracy Reformation, Civil Servant, Leadership, Ethical Code, Civil Servant Performance.

1 Guru Besar Ilmu Pemerintahan, dosen pada Program Sarjana dan Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran, Pascasarjana Unjani, dan dosen non regular di Sesko AD, Sesko AU, dan Sespim POLRI. Pengurus AIPI Pusat dan Ketua Cabang AIPI Bandung, Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) Jawa Barat.Anggota Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI).

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

92 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

Abstrak

Salah satu buah dari reformasi birokrasi di Indonesia antara lain diterbitkannya undang-undang nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), menggantikan UU No. 8/1974 jo UU No. 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, serta perubahannya. UU ASN ditujukan untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Reformasi birokrasi melalui penerapan kebijakan ASN akan berhasil dengan baik apabila dipenuhi prasyarat sebagai berikut: pertama, pemerintah dan masyarakat membangun tradisi kepemimpinan dalam birokrasi yang mendorong kinerja aparatur yang profesional, inovatif, handal dan bersih. Kedua, pemerintah melaksanakan manajemen ASN yang bersifat meritokrasi secara konsisten dan berkelanjutan. Ketiga, pemerintah dan masyarakat mampu melaksanakan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan aparatur negara berdasarkan norma, standar, dan kode etik yang berlaku, sehingga dapat menjaga integritas aparatur melalui penegakan hukum bagi pejabat yang melanggar kewenangan secara adil dan tegas. Keempat, mengungkit daya kritis masyarakat untuk mengawasi birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.

Kata kunci: Reformasi Birokrasi, ASN, Kepemimpinan, Kode Etik, Kinerja Aparatur

Pendahuluan

Tuntutan reformasi birokrasi di Indonesia terjadi sebagai akibat

desakan masyarakat akan ketidakpuasan penyelenggaraan pemerintahan di masa lalu (baca: Orde Sebelum Reformasi). Buruknya manajemen Pemerintahan Indonesia di masa lalu menyebabkan munculnya krisis multidimensi tahun 1997. Turunnya nilai tukar rupiah menimbulkan gejolak ekonomi, sosial maupun politik dalam kehidupan masyarakat. Krisis tersebut memicu lahirnya gerakan reformasi yang menuntut perubahan dan penataan kembali penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu agenda yang dituntut masyarakat terhadap pemerintah, yaitu persoalan reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik.

Wahyudi Kumorotomo berpendapat bahwa kondisi birokrasi di masa sebelum reformasi ditandai dengan permasalahan2 sebagai berikut : (a) penerapan manajemen kepegawaian belum mencerminkan prinsip keadilan dan keterbukaan; (b) sistem penggajian dan kesejahteraan yang buruk; (c) rekrutmen dan seleksi, pola karir (mutasi dan promosi), distribusi pegawai, penilaian kinerja tidak berdasarkan penilaian integritas dan kompetensi bahkan sarat dengan KKN; (d) intervensi kepentingan politik kepada aparatur negara yang bersifat sesaat dan jangka pendek; serta (e)

2 Wahyudi Kumorotomo, “Reformasi Birokrasi, RUU ASN dan Reformasi Kepegawaian di Pemprov DIY”, ., http://kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/RB,%20RUU%20ASN%20dan%20Manajemen%20Kepeg%20DIY.pdf .

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 93

masalah penegakan disiplin dan kode etik pegawai.

Berdasarkan kondisi birokrasi di masa sebelum reformasi tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan upaya penataan birokrasi pemerintah agar dapat melaksanakan pelayanan publik yang baik, pemerintahan yang bersih, jujur dan bebas korupsi. Reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan menjadi prioritas utama dan komitmen nasional Pemerintah Indonesia. Dalam rangka mewujudkan reformasi birokrasi tersebut, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025, yang di dalamnya mengamanatkan reformasi birokrasi menjadi strategi pembangunan aparatur sehingga diharapkan dapat mendukung keberhasilan pembangunan bidang lainnya. Peraturan secara lebih detil dan teknis dirumuskan melalui Perpres Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Pemerintah juga menerbitkan Undang-undang Aparatur Sipil Negara yang menekankan penataan kepegawaian dan konsep jabatan profesi bagi kepegawaian. Terdapat dua penekanan terkait aparatur sipil nasional yaitu PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Pegawai Pemerintah. PNS adalah pegawai tetap pemerintah, sedangkan pegawai pemerintah direkrut dari masyarakat (non PNS) yang memenuhi persyaratan integritas, kualifikasi, kompetensi yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja dalam waktu tertentu pada instansi pemerintah. Dengan demikian, reformasi

birokrasi merupakan upaya menata ulang birokrasi baik di tingkat pemerintah pusat hingga pemerintahan di daerah. Reformasi birokrasi diharapkan dapat menciptakan aparatur yang bertanggung jawab dan handal, memberikan pelayanan yang bermutu, birokrasi yang inovatif, efisien, dan antisipatif, mengurangi, serta bersih dari korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.

Tinjauan TeoretikAda tiga konsep mengenai birokrasi3 yang berkembang, yaitu: (1) Konsep Birokrasi Weber, yakni birokrasi sebagai bentuk rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi publik; (2) Konsep Parkinson Law yang memandang birokrasi sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah pegawai yang besar; dan (3) Konsep Owerlisasi yang memandang birokrasi sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan masyarakat. Ketiga konsep di atas pada praktiknya mengandung pengalaman yang positif maupun negatif. Namun pada masyarakat modern, kehadiran birokrasi disukai atau tidak kini menjadi kebutuhan. Eksistensi birokrasi dianggap sebagai konsekuensi logis dari tugas utama pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (public goods and services), sekaligus turut memutuskan hal-hal yang terbaik bagi masyarakat. Dengan demikian,

3 SoesiIo Zauhar, Reformasi Administrasi: Konsep dan Strategi, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).

94 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

kehadiran birokrasi menjadi sesuatu yang tidak terelakan bagi masyarakat. Oleh karena itulah, dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan negara, pemerintah perlu membangun sistem administrasi (baca: birokrasi) agar penyelenggaraan negara berlangsung secara efisien dan efektif dalam melayani kepentingan dan mewujudkan kesejahteraan rakyatnya (social welfare).

Sa l ah s a tu t ugas b i rok ra s i pemer in tah ada lah member ikan pelayanan kepada publik. Hartley et.al (2005) mengemukakan bahwa pelayanan publik sangat kritis bagi daya saing suatu negara. Menurut mereka konsep negara kesejahteraan merupakan sebuah bagian penting dari pelayanan publik. Demikian pula pelayanan publik memainkan peran penting dalam membangun kondisi dan infrastruktur bagi sektor swasta, menyediakan infrastruktur untuk mendukung pembangunan dan perdagangan/bisnis, pengaturan dan pengawasan perdagangan serta berperan penting dalam membangun integritas negara bangsa.

Pembahasan Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 menghendaki tercapainya reformasi birokrasi melalui tiga tahapan yaitu rule based bureaucracy, performance based bureaucracy, dan dynamic bureacracy.Gambaran pencapaian reformasi birokrasi tersebut, lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah.

Sedangkan tiga tahapan reformasi birokrasi di atas diharapkan dapat mewujudkan sasaran-sasaran berikut ini:

Tabel 1. Sasaran Reformasi Birokrasi

Sumber: Komisi Aparatur Sipil Negara, 2015

Pencapaian reformasi birokrasi pada tahap pertama (2014) diharapkan mampu mencapai tiga sasaran yaitu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas

Gambar 1.Transformasi Birokrasi dan Pengelolaan SDM AparaturSumber: Komisi Aparatur Sipil Negara, 2015

Sasaran Reformasi Birokrasi 2010-2014 2015-2019 2010-2025

Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN

Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi

Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat

Birokrasi yang bersih dan akuntabel

Birokrasi yang efektif dan efisien

Birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas

tata kelola pemerintahan yang berkualitas

Birokrasi yang bersih, kompeten dan melayani

hasil pembangunan yang baik menjadi negara high income

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 95

KKN, peningkatan kualitas pelayanan publikdan meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Adapun indikator ketercapaian sasaran-sasaran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Indikator Ketercapaian Sasaran Reformasi Birokrasi Tahap 1

Sumber : diolah dari RPJMN 2010-2014

Indikator ketercapaian sasaran reformasi birokrasi pada tabel di atas menjadi kriteria keberhasilan reformasi birokrasi tahap 1 sebagaimana tercantum dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Indikator keberhasilan program reformasi birokasi yang dipergunakan, antara lain Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Opini BPK Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Integritas Pelayanan Publik, Peringkat Kemudahan Berusaha, Government Effectiveness Index.

Pemerintah Indonesia se jak merumuskan grand design reformasi birokrasi pada tahap pertama belum b e r j a l a n s e s u a i h a r a p a n . P a d a kenyataannya, meski reformasi birokrasi sudah diberlakukan namun korupsi aparatur dan pejabat publik pusat maupun daerah semakin marak. Mengenai korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi Indonesia, baik pakar,pengamat ekonomi dan politik serta para tokoh masyarakat di Indonesia dan internasional baik melalui

media massa maupun pada forum-forum lainnya, menyatakan bahwa dibanding korupsi yang terjadi di berbagai negara lain, fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan.

Pada tahun 2014 dan 2015, posisi Indeks Persepsi Korupsi Pemerintah Indonesia berada jauh di bawah Singapura dan Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi praktik korupsi di Indonesia masih tergolong buruk di wilayah Asia Tenggara. Indeks Persepsi Korupsi negara-negara se-Asia Tenggara dapat dilihat pada diagram di bawah ini

Sumber : Transparansi Internasional, 2016 (data diolah, skala 10-100)

Diagram 1. Corruption Perception Index 2014-2015

Nilai indeks persepsi korupsi diatas menunjukkan masih adanya persepsi masyarakat terkait praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Persepsi ini didasarkan pada penindakan pemerintah terhadap koruptor masih tebang pilih dan praktik pungutan liar (pungli) masih tetap terjadi. Adanya pungli dianggap masyarakat sebagai korupsi karena pelayanan yang diberikan birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Pungli ataupun upeti

Sasaran Indikator Baseline (2009)

Target (2014)

Terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN

IPK (skala 0-10) 2,8 5,0 Opini BPK (WTP) Pusat 42,17% 100%

Daerah 2.73% 60% Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat

Integritas pelayanan publik Pusat 6,64 8,0 Daerah 6,64 8,0

Peringkat kemudahan berusaha 122 75 Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi

Indeks efektivitas pemerintah -0,29 0,5 Instansi pemerintah yang akuntabel 24% 80%

020406080

100

2014

2015

96 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

merupakan bentuk korupsi birokratis (bureaucratic corruption), yang dalam definisi Alatas (1982), bahwa jika seorang pegawai negeri menerima pemberian, apa pun bentuknya, yang diberikan oleh masyarakat ataupun swasta dengan maksud mempengaruhi pejabat tersebut agar memberikan perhatian istimewa (privileges) pada kepentingan si pemberi, maka tindakan itu disebut korupsi. Singkatnya, korupsi birokratis adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur pelaksana pelayanan publik.

Meskipun Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberantas korupsi namun hasilnya dirasakan masih belum maksimal. Salah satu faktor penyebab bobroknya birokrasi adalah karena tidak tegasnya penegakan hukum bagi pejabat dan aparatur yang menyalahgunakan kewenangan. Lemahnya pengawasan dan pengendalian korupsi Indonesia dapat dibuktikan pada penilaian indeks sebagaimana tertera pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Control of Corruption Index di Asia Tenggara

Sumber : World Bank, 2015

Estimate of governance (ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance)

Pengawasan dan pengendalian praktik korupsi di Indonesia berdasarkan tabel di atas masih tergolong lemah. Sulitnya pemberantasan penyebab korupsi hingga sekarang karena korupsi bukan lagi penyakit birokrasi melainkan telah menjadi sistem yang terlembagakan sehingga membentuk budaya korupsi dalam organisasi pemerintahan. Birokrasi masih digiring ke dalam kepentingan-kepentingan politik daerah. Sehingga kuatnya intervensi kekuatan politik yang berupaya mendahulukan kepentingan ekonomi-politiknya terhadap birokrasi, menjadikan birokrasi dan politisi bersengkongkol menggerogoti anggaran negara. Hal ini sulit dibuktikan karena korupsi terjadi secara berjamaah, bahkan melibatkan oknum penegak hukum.

Korupsi telah menjadi sesuatu yang sistemik yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.4 Perkembangan korupsi di Indonesia menunjukkan adanya perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan.

Indikator kedua dari pencapaian sasaran pemerintahan yang bersih dan

4 Mustopadidjaja AR, “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”, (Makalah Disampaikan Pada: Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003).

Rank Country/ Territory

Indeks 2010 2011 2012 2013 2014

1 Singapura 2,21 2,12 2,15 2,08 2,12 2 Brunei Darussalam 0,89 0,88 0,64 0,72 0,63 3 Malaysia 0,13 0,05 0,30 0,40 0,48 4 Sri Lanka -0,40 -0,37 -0,24 -0,23 -0,34 5 Thailand -0,32 -0,29 -0,34 -0,33 -0,41 6 Philipina -0,80 -0,70 -0,59 -0,40 -0,44 7 Vietnam -0,63 -0,62 -0,56 -0,54 -0,50 8 Indonesia -0,75 -0,68 -0,66 -0,62 -0,58 9 Myanmar -1,68 -1,68 -1,12 -1,07 -0,92

10 Kamboja -1,23 -1,22 -1,05 -1,01 -1,08

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 97

bebas KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) adalah diperolehnya opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK. Target reformasi birokrasi tahun 2014 adalah diperolehnya 100% laporan keuangan pemerintah pusat berstatus WTP, sedangkan untuk pemerintah daerah targetnya 60% laporan keuangan berstatus WTP. Sayangnya indikator ini juga tidak tercapai sebagaimana diharapkan. Tabel berikut menunjukkan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah.

Tabel 4. Opini Laporan Keuangan Pemerintah

Pusat dan Daerah

Sumber: Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK),

2015

Tidak tercapainya target WTP, menurut BPK, disebabkan karena sebagian besar birokrasi masih belum mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian negara, kekurangan penerimaan, penyimpangan a d m i n i s t r a s i , k e t i d a k h e m a t a n , ketidakefisienan, atau ketidakefektifan dalam pengelolaan keuangan pemerintah, disamping lemahnya sistem pengendalian internal.5

Praktik korupsi, adanya pungli berhubungan dengan penilaian integritas 5 Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I, BPK, Tahun 2015.

pelayanan publik yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5. Indeks Integritas Pelayanan Publik

Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2014

Salah satu target reformasi birokrasi dalam mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat adalah peningkatan indeks integritas palayanan public pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan tabel 5 di atas, indeks integritas pelayanan publik masih di bawah target yang tidak mencapai 8,00. Belum tercapainya target tersebut berdasarkan penilaian masyarakat be rdasa rkan su rve i KPK 2015 , dikarenakan masih adanya kebiasaan gratifikasi, rendahnya keterbukaan informasi publik, lemahnya pemanfaatan teknologi informasi, dan lambannya penanganan pengaduan masyarakat.

I n d i k a t o r l a i n n y a d a l a m mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat adalah aspek kemudahan berusaha.

No

Lembaga

2014 Jumlah %

1 Pusat 62 71,3 2 Daerah

Provinsi 25 73,6% Kabupaten/kota 216 41,2%

No

Lembaga

2014 Pengalaman

integritas Potensi

integritas Indeks

integritas 1 Pusat 7,41 6,83 7,22 2 Daerah 7,23 6,00 6,82

98 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

Tabel 6. Indeks Kemudahan Berusaha

Sumber: World Bank, 2014-2015

Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, peringkat kemudahan berusaha di Indonesia berada di urutan tiga terbawah. Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia tahun 2015 tidak lebih baik dibandingkan negara Kamboja dan Myanmar. Menurut World Bank (2015), kemudahan berusaha di Indonesia berada di peringkat 114, padahal target reformasi birokrasi kemudahan berusaha di Indonesia yang akan dicapai seharusnya berada di peringkat 75. Belum tercapainya target peringkat kemudahan berusaha di Indonesia disebabkan karena masih maraknya pungli dan lemahnya inovasi pelayanan publik yang menghambat investasi di dalam negeri.

Pencapaian sasaran reformasi birokrasi (2010-2015) dilihat dari hasil uji indikator efektifitas tata kelola pemerintahan di negara-negara Asia Tenggara juga masih rendah. Peringkat Indonesia berada di urutan keempat dari bawah. Efektifitas tata kelola pemerintahan Indonesia sejajar dengan Vietnam, sedangkan Malaysia dan Singapura yang merupakan tetangga

dekat berada di posisi tiga besar, jauh mengungguli Indonesia.

Tabel 7. Government Effectiveness Index di Negara-Negara Asia Tenggara

Sumber : World Bank, 2015

Target Government Effectiveness Indonesia pada tahun 2014 adalah 0,5

Estimate of governance (ranges from approximately -2.5 (weak) to 2.5 (strong) governance performance)

Ketidaktercapaian target reformasi birokrasi tahap 1 diantaranya disebabkan masih lemahnya SDM aparatur sebagai pendukung terlaksananya reformasi birokrasi. Kelemahan lebih dipandang dari sisi kapasitas dan integritasnya. Dari aspek pengelolaam SDM aparatur, menurut Effendi (2010: 136-137) potret reformasi birokrasi belum memenuhi harapan karena adanya inkonsistensi antara undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang berpotensi menimbulkan kekacauan dalam pengelolaan PNS. Ketidakjelasan pedoman pengelolaan PNS, serta tugas pokok dan fungsi pengelolaan kepegawaian selama ini merupakan persoalan utama dalam reformasi birokrasi.

Rank Country/ Territory

2010 2011 2012 2013 2014 Estimate Estimate Estimate Estimate Estimate

1 Singapura 2,26 2,17 2,15 2,07 2,19 2 Malaysia 1,13 1,03 1,01 1,10 1,14 3 Brunei Darussalam 0,90 0,89 0,83 0,86 1,08 4 Thailand 0,19 0,21 0,21 0,21 0,34 5 Philipina -0,02 0,08 0,08 0,06 0,19 6 Sri Lanka -0,18 -0,10 -0,24 -0,23 0,09 7 Indonesia -0,20 -0,25 -0,29 -0,24 -0,01* 8 Vietnam -0,26 -0,23 -0,29 -0,30 -0,06 9 Kamboja -0,92 -0,85 -0,83 -0,92 -0,68

10 Myanmar -1,65 -1,63 -1,53 -1,51 -1,28

No Country/Territory Ease of Doing

Bussiness 2014 2015

1 Singapura 64 1 2 Malaysia 69 18 3 Thailand 81 26 4 Vietnam 162 78 5 Philipina 171 95 6 Sri Lanka 148 99 7 Brunei Darussalam 122 101 8 Indonesia 183 114 9 Kamboja 137 135

10 Myanmar 182 177

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 99

Berdasarkan kondisi pelaksanaan reformasi birokrasi, kebijakan reformasi birokrasi saja dinilai tidak cukup dengan upaya peningkatan mutu pelayanan, e f i s i ens i , dan penye lenggaraan pemerintahan berdasarkan rencana program saja, tetapi juga membenahi kapasitas dan profesionalitas SDM aparaturnya. Pemerintah Indonesia pun kemudian mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau banyak disingkat dengan ASN. Undang-undang ASN ini berlaku efektif per 15 Januari 2014, yang menandai dimulainya babak lanjutan reformasi birokrasi. Melalui terbitnya kebijakan ASN merupakan tahapan reformasi birokrasi di periode kedua yang mana sasarannya adalah birokrasi berbasis kinerja melalui manajemen aparatur sipil negara.

UU ASN dikatakan oleh para ahli menjadi tonggak sejarah reformasi birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public Management (NPM) dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model Webberian yang diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU ASN tersebut penggolongan jabatan struktural dan fungsional bagi PNS diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara itu di luar PNS terdapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau kontrak.6.6 Sigit Setiawan,“Evolusi Model Birokrasi Dalam Perspektif Ekonomi Dan Perkembangan Reformasi Birokrasi di Indonesia”, Warta Fiskal Edisi #1/2014

Dalam UU ASN, jabatan aparatur negara dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yakni jabatan yang berorientasi pada administrasi dimasukkan ke dalam jabatan administrasi, dan jabatan yang berorientasi pada fungsi dimasukkan ke dalam jabatan fungsional. Diberlakukannya jabatan administrasi dan jabatan fungsional dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan profesional dan peningkatan kinerja aparatur negara. Di dalam UU ASN dijelaskan bahwa aparatur sipil negara terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS), dan pegawai pemerintah. PNS adalah pegawai tetap seperti yang banyak dikenal oleh masyarakat, sedangkan pegawai pemerintah adalah warga negara Indonesia yang memiliki atau dinilai memenuhi persyaratan integritas, kualifikasi, kompetensi dan lainnya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai ASN untuk duduk pada jabatan tertentu. Pegawai pemerintah yang diangkat itu berdasarkan perjanjian kerja dalam waktu tertentu pada instansi pemerintah.

Pada UU ASN, Manajemen ASN terdiri atas Manajemen PNS dan Manajemen PPPK yang perlu diatur secara menyeluruh dengan menerapkan norma, standar, dan prosedur. Adapun Manajemen PNS meliputi penyusunan dan penetapan kebutuhan, pengadaan, pangkat dan jabatan, pengembangan karir, pola karir, promosi, mutasi, penilaian kinerja, penggajian dan tunjangan, penghargaan, disiplin, pemberhentian, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan perlindungan. Sementara itu, untuk Manajemen PPPK meliputi penetapan

100 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

kebutuhan, pengadaan, penilaian kinerja, gaji dan tunjangan, pengembangan kompetensi, pemberian penghargaan, disiplin, pemutusan hubungan perjanjian kerja, dan perlindungan7. Sedangkan untuk eselonisasi, dalam UU ASN hanya mengenal eselonisasi hingga eselon II. Perubahan dalam eselonisasi dan jabatan pada UU ASN mengandung implikasi pada perlunya rasionalisasi jabatan struktural dan jabatan fungsional, sistem jenjang dan pengembangan karir pegawai, pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan yang relevan, terstruktur dan berkelanjutan, job grading dan job pricing yang tepat, penempatan orang-orang yang tepat dalam jabatan, penilaian kinerja pegawai,reward and punishment yang tegas, serta budaya koordinasi dan kerjasama antara jabatan struktural dan fungsional dan berdasarkan kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Intinya, melalui pemberlakuan UU ASN ini, pemerintah diharapkan dapat menciptakan aparatur yang profesional, cakap dan kompetitif melalui pelaksanaan manajemen ASN yang berdasarkan pada merit system, atau sistem rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pegawai berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Seleksi dan manajemen ASN dilaksanakan secara terbuka dan kompetitif, sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik8.

7 Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Nasional.

8 Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, hlm. 2.

Kebijakan ASN merupakan harapan baru bagi pelaksanaan manajemen kepegawaian (aparatur negara) untuk dapat mencetak aparatur yang profesional dan handal, melalui penerapan sistem manajemen aparatur yang bersifat meritokratik. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Caiden (2009: 95-96), bahwa ketika menyadari sistem administrasi yang bobrok menjadi hambatan utama kemajuan, dan terjadinya kesalahan yang bersifat sangat fundamental, maka meluruskan kembali administrasi merupakan prioritas utama. Oleh karena itu untuk menjamin birokrasi pemerintah yang bersih, bebas korupsi dan terlepas dari intervensi politik, perlu diterapkan sistem manajemen kepegawaian yang meri tokrat ik. Penerapan kebijakan ASN diharapkan dapat memenuhi sasaran tersebut.

Kebijakan kepegawaian tentang ASN ini merupakan tahapan lanjut dari reformasi birokrasi. Apabila, pelaksanaan ASN ini tidak berhasil dalam arti tidak mampu menciptakan aparatur yang profesional, bersih dan netral, maka reformasi birokrasi hanya menambah panjang daftar opini masyarakat terhadap ketidakmampuan birokrasi dalam menghadapi kompleksitas dan tantangan abad ke-21. Rasa antipati dan rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah akan semakin tinggi, yang berarti ancaman kegagalan reformasi birokrasi dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), bahkan kegagalan reformasi birokrasi dapat menghambat keberhasilan pembangunan nasional.

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 101

Disamping itu, untuk mendorong keberhasilan reformasi birokrasi bukan hanya difokuskan pada peningkatan kualitas aparaturnya saja melainkan juga sangat tergantung pada kualitas kepemimpinan birokrasinya. Sejarah penyelenggaraan pemerintahan Indonesia sarat dengan politisasi birokrasi, dimana kedudukan birokrasi tidak dapat bersifat netral terhadap kekuatan-kekuatan politik yang bermain dalam pemerintahan.9 Posisi dan jabatan dalam birokrasi Indonesia di masa lalu sangat terkooptasi dan memihak pada kekuatan-kekuatan politik dominan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun terdapat regulasi tentang sistem karir dalam pengangkatan seseorang dalam jabatan birokrasi, namun hampir bisa dipastikan, pejabat yang diangkat tersebut merupakan pendukung kekuatan politik mayoritas tunggal yang menguasai pemerintahan. Masuknya pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam birokrasi memiliki potensi intervensi politisi terhadap berbagai kebijakan yang berdampak pada terganggunya kinerja birokrasi. Di daerah, birokrasi bahkan dijadikan alat politik bagi kepala daerah (pemimpin politik yang mengepalai birokrasi) untuk mengumpulkan dukungan politik dari konstituennya, dengan cara menggunakan pos-pos anggaran pemerintah untuk memenuhi kepentingan konstituen, dengan harapan mendapat dukungan suara pada pemilukada selanjutnya. Kepala daerah sebagai pemimpin birokrasi yang berasal dari kelompok-kelompok politik

9 Ida Hayu Dwimawanti, “Netralitas Birokrasi dan Kualitas Pelayanan Publik”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS BKN, Vol. 3 Juni (2009),

(baik partai politik maupun kelompok masyarakat yang mendukung calon independen), bagaimanapun tidak dapat melepaskan diri secara murni dari upaya intervensi politik yang mengakibatkan tidak netralnya birokrasi. Bahkan, masih terjadi hingga hari ini, penempatan (promosi dan rotasi) jabatan dilakukan berdasarkan hitungan-hitungan politik pimpinan eksekutifnya.

Penelitian Masdar10 membuktikan adanya intervensi politik terhadap birokrasi. Penelitian ini memperlihatkan f enomena umum bahwa p roses pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah (Sekda) menunjukkan adanya pola relasi yang interventif. Jabatan-jabatan di tingkat daerah dipilih atau dipromosikan bukan berdasarkan sistem merit tetapi lebih disebabkan oleh politisasi birokrasi. Bahkan pencopotan atau demosi pun juga tidak lepas dari nuansa politisasi birokrasi. Di beberapa daerah, terdapat kasus pemberhentian sekretaris daerah yang penuh muatan politik, karena ada rasa ketakutan kepala daerah bahwa sekretaris daerah tersebut akan mengurangi popularitas dirinya di mata konstituen, dan demi menjaga langgengnya kekuasaan kepala daerah itu sendiri. Apabila sekda tidak mampu mengakomodir keinginan kelompok mayoritas, berbagai usaha pun dilakukan untuk menggeser Sekda tersebut dari jabatannya.Wajah birokrasi yang sarat dengan intervensi politik ini, apabila masih terjadi hingga saat ini

10 Rina Martini, “Politisasi Birokrasi di Indonesia”, POLITIKA Jurnal Ilmu Politik MIP, Vol. 1 (1), 2010. hlm. 67-74.

102 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

menyebabkan rekrutmen dan penempatan jabatan bagi ASN berdasarkan sistem merit akan sulit terlaksana. Menurut Pramusinto11 penerapan manajemen aparatur apapun tidak akan terlaksana baik selama birokrasi itu sendiri tidak dijalankan dengan kepemimpinan yang benar, sehingga yang penting juga dilakukan dalam reformasi birokrasi dan efektifitas pelaksanaan manajemen ASN adalah juga dengan membangun tradisi kepemimpinan dalam sema tingkatan birokrasi, bukan sekedar pemimpin yang didukung secara politis, namun juga pemimpin yang melakukan perbaikan-perbaikan administratif dalam birokrasi. Melalui kepemimpinan birokrasi dan manajemen aparatur yang baik, supremasi hukum, serta keterlibatan masyarakat da lam pengawasan pemer in tah , diharapkan dapat mewujudkan cita-cita good governance yang menjadi tujuan reformasi birokrasi yakni terwujudnya birokrasi yang bersih, kompeten dan melayani.

Reformasi birokrasi melalui penerapan manajemen ASN bukan semata-mata menciptakan aparatur yang profesional dan handal dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Melainkan juga dituntut perubahan sikap mental, perilaku dan moral aparatur tersebut. Integritas pejabat dan aparatur negara perlu dijaga melalui pengawasan dan penindakan atas penyimpangan

11 Agus.Pramusinto, “Mengembangkan Budaya Kepemimpinan Profesional Birokrasi”, dalam Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo (Ed.). Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. (Yogyakarta: Gava Media, 2009).

perilaku pejabat dan aparatur negara berdasarkan norma-norma, standar dan kode etik yang telah ditetapkan. Penerapan norma, standar dan kode etik tersebut sebagai upaya penegakan hukum yang wajib diterapkan secara adil dan tegas.

Indonesia sebagai negara yang berlandaskan atas hukum, supremasi hukum merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan suatu negara dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan u m u m , d a n b a g i p e l a k s a n a a n pembangunan secara keseluruhan sesuai aturan yang ditetapkan dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Supremasi hukum juga sebagai kunci utama dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi, praktik KKN maupun perbuatan tercela lainnya. Lebih daripada itu, upaya mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan bersih membutuhkan dukungan masyarakat atau lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi kontrol yang kuat atas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan umum dan pembangunan oleh birokrasi. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi upaya penyelewengan atau penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat atau aparatur negara merupakan wujud partisipasi masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi. Oleh karena itu, prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel merupakan tuntutan yang tidak bisa lagi ditawar oleh penguasa pemerintahan.

Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi | Dede Mariana | 103

PenutupReformasi birokrasi melalui penerapan kebijakan ASN akan berhasil dengan baik apabila dipenuhi prasyarat sebagai berikut: pertama, pemerintah dan masyarakat membangun tradisi kepemimpinan dalam birokrasi yang mendorong kinerja aparatur yang profesional, inovatif, handal dan bersih. Kedua, pemerintah melaksanakan manajemen ASN yang bersifat meritokrasi secara konsisten dan berkelanjutan. Ketiga, pemerintah dan masyarakat mampu melaksanakan pengawasan terhadap perilaku pejabat dan aparatur negara berdasarkan norma, standar, dan kode etik yang berlaku, sehingga dapat menjaga integritas aparatur melalui penegakan hukum bagi pejabat yang melanggar kewenangan secara adil dan tegas. Dan keempat, mengungkit daya kritis masyarakat untuk mengawasi birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.l

Daftar Pustaka

BukuAlatas, Syed Hussein2. Sosiologi Korupsi:

Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. (Jakarta: LP3ES, 1982).

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia5. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah 2015. (Jakarta: BPK RI, 2015).

Effendi, Sofian. Menyiapkan Aparatur Negara untuk Mendukung Demokratisasi Poli t ik dan Ekonomi Terbuka . (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, )

Mustopadidjaja AR.. “Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pemberantasan KKN”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, d i s e l e n g g a r a k a n O l e h B a d a n P e m b i n a a n H u k u m N a s i o n a l Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia di Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Pramusinto, Agus. “Mengembangkan Budaya Kepemimpinan Profesional Birokrasi”, dalam Pramusinto, Agus dan Wahyudi Kumorotomo (Ed.). Governance Reform di Idonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. (Yogyakarta: Gava Media, 2009).

Zauhar, SoesiIo. Reforrmasi Administrasi: Konsep dan Strategi. (Jakarta: Bumi Aksara, )

JurnalDwimawanti, Ida Hayu9. “Netralitas Birokrasi

dan Kualitas Pelayanan Publik”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS BKN, Vol. 3 Juni (2009)

Martini, Rina. “Politisasi Birokrasi di Indonesia”, POLITIKA Jurnal Ilmu Politik MIP, Vol. 1 (1), 2010. hlm. 67-74.

Setiawan, Sigit..“Evolusi Model Birokrasi Dalam Perspektif Ekonomi Dan Perkembangan Reformasi Birokrasi di Indonesia”, Warta Fiskal Edisi #1/2014

104 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 91-104

Internet

Kumorotomo, Wahyudi4. “Reformasi Birokrasi, RUU ASN dan Reformasi Kepegawaiandi Pemprov DIY. “ diakses dari http://kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/RB,%20RUU%20ASN%20dan%20Manajemen%20Kepeg%20DIY.pdf .

“Corruption Perception Index 2015”, diakses dari www.transparency.org

“Doing Bussiness 2014”, diakses dari www.worldbank.org

“Doing Bussiness 2015”, diakses dari www.worldbank.org

http://info.worldbank.org/governance/wgi/index.aspx#home

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 105

TANTANGAN DAN PELUANG OTONOMI DESA DALAM MEMBANGUN GOVERNANCE DESA DI BALI

CHALLENGES AND OPPORTUNITIES OF VILLAGE AUTONOMY TO BUILD VILLAGE GOVERNANCE IN BALI

I Wayan Gede Suacana1

Pusat Kajian Governance dan Kearifan LokalUniversitas Warmadewa Denpasar

Email: [email protected]: 30 September 2016; direvisi: 1 November 2016; disetujui: 29 Desember 2016

Abstract

The onset of the duality of the village administration (offices/administrative and pakraman/custom) in Bali in line with the enforcement of product legislation in the New Order government that regulate the village administration, namely Law No. 5 of 1979. The duality in the village administration is in practice politically and economically already shifting as the transformation in village governance. In the New Order government, the role of official village looked so dominant, especially in efforts to win Golkar every election and implementation of development programs. The dominance of this service new village diminished since the end of the application of Law No. 5 of 1979 with the enactment of Law No. 22 of 1999 which was later replaced by Law No. 32 of 2004 on Regional Government and Law No. 23 of 2014 on the village. In an era of democracy and broad autonomy today, it is expected to be implemented thoughts and village governments format most appropriate to the real conditions of socio-cultural people of Bali. This, in order to increase social welfare and empowerment of villagers in Bali, especially Pakraman, which have until now is still expected to become a last “fortress” for the survival of indigenous and Balinese culture.

Keywords: autonomous village, village governance

1 Ketua Pusat Kajian Governance dan Kearifan Lokal Universitas Warmadewa Denpasar. Menyelesaikan pendidikan S1 Pemerintahan, S2 Administrasi Publik di UGM dan S3 Kajian Budaya di Unud. Alamat: Jl. WR. Supratman Gg. Candrametu III/ 8 Tohpati Denpasar 80237. Alamat E-mail: [email protected] Telepon: 0361-461633/ 081-7346-246.

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

106 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

Abstrak

Timbulnya dualitas administrasi desa (kantor/administratif dan pakraman/adat) di Bali sejalan dengan penerapan produk hukum pemerintah Orde Baru yang mengatur administrasi desa, yaitu UU No. 5/1979. Dualitas pemerintahan desa secara ekonomi dan politik telah mengubah tata kelola pemerintahan desa. Pada masa pemerintah Orde Baru, peranan aparat desa tampak sangat dominan, khususnya untuk memenangkan Golkar dalam setiap pemilu dan penerapan program pembangunan. Dominasi aparat desa dalam sistem desa yang baru menurun sejak pencabutan penerapan UU No. 5/1979 dengan diterapkannya UU No. 22/1999 yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 23/2014 tentang Desa. Di era demokrasi dan otonomi luas seperti sekarang, penerapan ide dan format pemerintahan desa diharapkan berkesesuaian dengan konfisi nyata dari sosial budaya masyarakat Bali. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan pemberdayaan desa di Bali, khususnya pakraman yang diharapkan menjadi benteng terakhir kelangsungan dari budaya asli Bali.

Kata kunci: otonomi desa, tata kelola pemerintahan desa

Pendahuluan

Pelaksanaan otonomi desa sebagai bagian tak terpisah dari penerapan

asas desentraliasi sering dimaknai sebagai prinsip pembelahan wilayah negara menjadi wilayah-wilayah yang lebih kecil yang di dalam wilayah-wilayah itu dibentuk institusi administrasi untuk melayani kebutuhan orang atau masyarakat di satu tempat. Hal ini penting dilakukan sebab pada dasarnya pemerintah melaksanakan tiga fungsi dasar: service, regulation dan empowerment dengan maksud mengantisipasi kebutuhan masyarakat secepat, sedekat dan setepat mungkin.

U n t u k d a p a t m e w u j u d k a n desentralisasi setidaknya diperlukan resources, structures, technology, support dan leadership, serta tiga kondisi berikut: Pertama, pengakuan terhadap pluralisme masyarakat, yang tercermin dari kerelaan atau keikhlasan pemerintah nasional menyerahkan wewenang

pemerintahan; Kedua, pembukaan kesempatan bagi masyarakat di daerah untuk mengatur diri sendiri melalui local self-government, yang disebabkan fokus aktivitas pemerintahan adalah untuk menyejahterakan rakyat; dan Ketiga, penerapan model pembangunan sesuai dengan kekhasan daerah.

Salah satu isu strategis otonomi desa di Bali adalah berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Persoalan ini menjadi semakin penting karena telah menimbulkan diskursus yang hangat dan kontroversial dalam kurun waktu yang panjang, yaitu2 Pertama, kelompok pemikiran yang menghendaki sistem pemerintahan dan kehidupan desa di Bali dibiarkan seperti apa adanya sekarang ini. Desa dinas dan kelurahan bertugas mengurus hal-hal

2 I Wayan Gede Suacana,“Otonomi Daerah dan Eksistensi Desa Pakraman di Bali” , diakses dari https://wgsuacana.wordpress.com/2009/03/26/otonomi-desa/ pada 13 April 2016.

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 107

yang berhubungan dengan masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan sedangkan desa pakraman menangani hal-hal yang berhubungan dengan adat Bali dan Agama Hindu.3 Kedua, Kelompok pemikiran yang merupakan reaksi dari kelompok pemikiran pertama, yang bernada emosional dan menghendaki penghapusan desa dinas dan kelurahan serta menyerahkan segala urusan desa kepada desa pakraman.4 Ketiga, merupakan bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran yang pertama. Kelompok pemikiran ini menghendaki agar kedua desa tetap dipertahankan dan hidup berdampingan sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Namun, dituntut adanya ketegasan batas wilayah kewenangan dan anggaran yang disediakan bagi masing-masing desa sehingga tidak muncul kesan bahwa desa dinas dianakemaskan dan desa pakraman dianaktirikan.5 Keempat, boleh dikatakan sebagai bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran kedua. Dalam pemikiran kelompok ini Bali hanya memiliki satu desa, yaitu desa adat/pakraman. Desa ini dikendalikan oleh perangkat prajuru dengan pucuk pimpinan yang disebut bendasa adat/pakraman. Perangkat desa adat/pakraman terdiri atas dua bidang, yaitu: (1) Bidang

3 Para pendukung pemikiran ini antara lain: I Ketut Wiana dan I Wayan Geriya.

4 Pemikiran ini didukung oleh Luh Ketut Suryani, dan I Dewa Ngurah Swasta.

5 Walau masih ada variasi dalam kelompok pemikiran ini, tapi beberapa pelopor gagasan ini adalah I Gde ParimarthadanWayan P. Windia.

Agama Hindu dan Adat Bali (AHA), (2) Bidang Administrasi Pemerintahan (AP). Bila pendapat ini yang dipilih berarti dualisme desa hilang. Di Bali hanya akan ada satu desa yaitu desa adat/pakraman. Tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh desa dinas/kelurahan selanjutnya akan menjadi urusan Bidang Administrasi Pemerintahan (AP) dalam satu desa pakraman.6

Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama yang menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam kenyataannnya bagi masyarakat Bali pemberlakuan undang-undang desa ini memunculkan kembali isu sistem penyelenggaraan pemerintahan desa tersebut yang mengerucut dan bermuara pada implikasi perbedaan pilihan antara model dualitas desa seperti yang berlaku selama ini dan model satu desa saja yaitu desa pakraman yang diharapkan juga menangani urusan-urusan administratif. Sampai dengan akhir batas waktu pilihan kedua model itu belum/tidak dicapai kesepahaman, sehingga secara otomatis model yang berlaku sebelumnya yang dipergunakan. Persoalannya apakah pemberlakuan (kembali) model dualitas

6 Pemikiran ini dipelopori oleh: I Made Pasek DianthadanI Made Suasthawa Darmayudha

108 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

akan bisa menopang terwujudnya governance desa di Bali?

Teori Otonomi DesaPenekanan otonomi dalam governance masih di tingkat daerah bukan di tingkat desa. Padahal, sebagai unit pemerintahan terendah dan tertua, desa relatif lebih independen dibandingkan dengan daerah. Setidaknya ada empat masalah besar yang harus diperhatikan bila menurunkan konsep otonomi ke tingkat desa.7 Pertama, potensi konflik yang berdasarkan etnisitas. Salah satu kesalahan dalam memandang desa adalah mengasumsikan penduduk desa homogen. Padahal desa merupakan entitas yang heterogen, bukan homogen. Kedua, sumber daya manusia yang tersedia di desa, bukan sekadar diragukan kualitasnya, namun jumlah mereka juga semakin menurun. Ini merupakan akibat logis dari mobilisasi sosial yang merupakan produk dari modernisasi. Warga desa yang terdidik, karena berbagai macam alasan, bekerja di daerah urban. Ketiga, adanya kecenderungan untuk memaksimalkan hak di bawah payung kewenangan yang dikenal dengan konsep otonomi. Demi meningkatkan keuangan desa misalnya, pemerintah desa melakukan ekspansi sumber-sumber pajak. Keempat, kenyataan yang belum pudar bahwa desa tetap diposisikan sebagai basis pembangunan yang arah dan tujuannya masih tetap dirancang oleh pemerintah pusat.7 Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, 2003), hlm. 331-322.

Otonomi desa lalu seringkali dipahami secara paradigmatik sebagai bagian dari intergovernmental autonomy, sehingga desentralisasi dan otonomi desa menggunakan pendekatan yang berpusat pada negara dengan menekankan pada orientasi kekuasan birokrasi atau otonomi dalam birokrasi, bukan dengan pendekatan yang berpusat pada masyarakat. Otonomi desa secara sempit hanya dipahami sebagai milik pemerintah, serta tidak lebih sebagai wilayah hubungan antar pemerintah. Padahal keseluruhan stakeholders yang mencakup pemerintah desa, unsur masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi adalah pemilik sah otonomi desa.

P a d a h a l d e s a t i d a k h a n y a merupakan unit administratif, namun juga merupakan unit dari suatu entitas kultural. Berfungsinya lembaga-lembaga sosial , poli t ik dan pemerintahan mengacu pada konteks kultural. Hal ini berarti bahwa otonomi desa tidak hanya memiliki dimensi administratif, seperti memperlakukan desa sebagai unit administrasi yang berwenang untuk mengelola urusannya secara mandiri dari unit administrasi yang lebih tinggi, namun juga memiliki dimensi kultural yakni pengakuan terhadap keberagaman istilah, sistem dan mekanisme pengaturan desa.8

Dengan demikian otonomi desa dapat dimaknai sebagai kebebasan pemerintah dan masyarakat desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan

8 Purwo Santoso (ed), Pembaharuan Desa Secara Partisipatif, (Yogyakarta: Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, 2003),hlm. 23

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 109

sendiri tanpa campur tangan pusat/pemerintah atasan, dengan menerapkan nilai-nilai demokrasi dan prakarsa sendiri dalam pengambilan keputusan, sebagai konsekuensi logis dan prasyarat dari pelaksanaan asas desentralisasi.

Teori TataPemerintahan/ Governance Desa9

Ada tiga pilar dalam penyelengggaraan tata pemerintahan.10 Pertama, tata pemerintahan bidang ekonomi, yaitu kebijakan dan lembaga ekonomi yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang efisien, merata, adil, produktif, dan berkelanjutan. Kedua, tata pemerintahan bidang politik, proses, dan lembaga perumusan kebijakan secara partisipatif dan demokratis yang mampu menciptakan ketertiban umum serta persatuan bangsa dan negara. Ketiga, tata pemerintahan bidang administratif, yaitu lembaga kebijakan, mekanisme, dan proses implementasi kebijakan yang mampu mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Kerangka tata pemerintahan yang bersifat makro di atas bisa dimodifikasi bila dikontekstualisasikan pada level

9 Governance dipadankan dengan “tata pemerintahan” di dalam bahasa Indonesia. Istilah lainnya adalah “kepemerintahan”, “tata kelola pemerintahan” atau “penadbiran” yang merupakan dekonstruksi dari/dan memiliki bentuk, sifat, dan semangat berbeda dengan istilah “pemerintahan” (government).

10 Azhari dan Idham Ibty dkk. Good Governance dan Otonomi Daerah (Menyongsong AFTA Tahun 2003), (Yogyakarta: PKPEK dan FORKOMA-MAP, UGM, 2002), .hlm. 114. Lihat juga Syamsuddin Haris (ed), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2005). hlm. 55.

desa. Bila tata pemerintahan diletakkan dalam lingkup desa, maka dua isu yang perlu diperhatikan. Pertama, isu tata pemerintahan demokratis (democratic governance) yaitu pemerintahan desa yang berasal “dari” (partisipasi) masyarakat desa, dikelola “oleh” (akuntabilitas dan transparansi) masyarakat desa; dan dimanfaatkan sebaik-baiknya “untuk” (responsivitas) masyarakat desa. Kedua, hubungan antar elemen tata pemerintahan di desa yang didasarkan pada prinsip kesejahteraan, keseimbangan dan kepercayaan (trust) masyarakat desa. Kedua isu ini ibarat dua sisi mata uang yang memang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan.11

Kedua isu ini ditopang sepenuhnya oleh pengembangan tiga pilar tata pemerintahan12 di tingkat desa. Pertama, tata pemerintahan desa di bidang ekonomi, yaitu berbagai kebijakan dan lembaga ekonomi desa yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang efisien, merata, adil, produktif dan berkelanjutan. Kedua, tata pemerintahan desa di bidang politik, proses dan lembaga perumusan kebijakan desa secara partisipatif dan demokratis yang mampu menciptakan ketertiban umum, serta persatuan masyarakat desa. Ketiga, tata pemerintahan desa di bidang administratif, yaitu lembaga kebijakan, mekanisme dan proses implementasi kebijakan yang mampu mendukung 11 Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (ed), Membangun Good Governance di Desa, (Yogyakarta: IRE Press, 2003), hlm 21..

12 Azhari dan Idham Ibty dkk, “Good Governance…”; Syamsuddin Haris (ed), “Desentralisasi dan Otonomi…”.

110 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

pelaksanaan fungsi pemerintahan dan pembangunan desa. Pilar kedua dan ketiga ini sesungguhnya sangat berkait dan tak terpisahkan.

Tampak bahwa elemen–elemen utama tata pemerintahan desa, meliputi: representasi negara (pemerintah desa), masyarakat politik (Badan Perwakilan/Permusyawaratan Desa), masyarakat sipil (organisasi masyarakat, institusi informal dan warga masyarakat), serta masyarakat ekonomi (arena produksi dan distribusi yang dilakukan oleh pelaku dan organisasi ekonomi desa). Tabel berikut adalah potret pemetaan tata pemerintahan di tingkat desa.

Beberapa karak te r i s t ik ta ta pemerintahan desa bisa dikembangkan dari parameter dan ciri-ciri umum tata pemerintahan yang dikemukakan oleh

UNDP, yaitu: 1) partisipasi masyarakat desa; 2) transparan dan tanggung jawab pemerintahan desa; 3) pengelolaan pemerintahan desa secara efektif dan berkeadilan; 4) penegakan supremasi hukum di desa; 5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat desa; dan 6) memastikan bahwa aspirasi penduduk desa yang miskin dan rentan didengarkan dalam proses pembuatan keputusan desa.

Tampak bahwa tata pemerintahan desa memerlukan adanya perlindungan nyata terhadap “ruang dan wacana”

publik desa. Disamping itu juga ada pengakuan dan penghormatan terhadap kemajemukan aspirasi politik masyarakat desa; dorongan partisipasi masyarakat

Tabel 1. Peta Tata Pemerintahan di Tingkat Desa

Sumber: Eko Dwipayana, Membangun Good Governance di Desa, IRE Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 23.

Elemen Tata Pemerintahan

Aktor Arena Isu Relasional

Negara Kepala Desa dan perangkat desa

Regulasi, kontrol pada masyarakat, pengelolaan kebijakan, keuangan, pelayanan

Akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan kapasitas

Masyarakat politik Badan Permusyawaratan Desa

Representasi artikulasi, agregasi, formulasi, legislasi, sosialisasi, kontrol

Kapasitas, akuntabilitas dan responsivitas

Masyarakat sipil Institusi sosial, organisasi sosial, warga masyarakat

Keswadayaan, kerjasama, gotong-royong, jaringan sosial

Partisipasi (hak suara, akses dan kontrol)

Masyarakat ekonomi

Pelaku distribusi (organisasi ekonomi desa)

Produksi dan distribusi Akses kebijakan, akuntabilitas sosial

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 111

desa dan implementasi desentralisasi di desa, dan pemerintah desa hanya mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat desa.

Tata pemerintahan desa dapat dipahami sebagai mekanisme, praktik dan tata cara pemerintah dan masyarakat desa mengatur sumber daya dan memecahkan masalah-masalah publ ik dengan berlandaskan akuntabilitas, responsivitas, partisipasi dan transparansi.

MetodePendekatan dan jenis penelitian yang dipergunakan adalah kualitatif .13 Dengan pertimbangan sifat dan ruang lingkup masalah penelitian yang bersifat multidisipliner, berbaur serta bersilangan satu dengan yang lain, maka penyajian hasil analisisnya dibuat dalam bentuk deskripsi analitis.14 Pilihan terhadap jenis penelitian kualitatif juga didasarkan pada pertimbangan fenomena otonomi desa menyangkut relasi antar fakta sosial politik yang bersifat plural dari aspek ide/pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam sebuah komunitas sosial.15

Dalam melakukan penelitian, dibuat pemaparan secara sistematis, faktual dan

13 Chaterine Cassell dan Gillian Symon (ed)., Qualitative Methods in Organizational Research: A Practical Guide, (London: Sage Publications, 1994.) hlm. 54. Lihat juga Ida Bagoes Mantra, Filsafat Penelitian dan Motode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 32.

14 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 46.

15 Uwe Flick,.. An Introduction to Qualitative Research, (London: Sage Publication, 2006), hlm. 12-13.

akurat mengenai fakta dan sifat-sifat masyarakat,16 terutama masyarakat desa dinas/desa administratif dan masyarakat desa pakraman/desa adat. Selanjutnya, deskripsi secara mendalam dan terfokus dipergunakan untuk menjelaskan permasalahan yang diteliti. Dengan studi kasus dualitas pemerintahan desa di Bali dianggap cocok digunakan sebagai sebuah kajian tentang organisasi pemerintahan17 dengan harapan bisa memperoleh hasil yang lebih optimal dalam menyelidiki dan menjelaskan permasalahan yang diteliti.

Teknik pengumpulan data dengan interaktif dan non-interaktif. Pengumpulan data dengan interaktif dilakukan melalui pengamatan (observasi). Sedangkan cara non-interaktif dilakukan dengan pemanfaatan dokumen.

Analisis data dengan penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Penyajian data dilakukan berdasarkan kesamaan, perbedaan, keterkaitan, kategori, tema-tema pokok, konsep, ide dan analisis logika hasil awal, dan kelemahan atau gap dalam data. Setelah data disajikan selanjutnya dideskripsikan dengan membangun kategori yang menempatkan perilaku atas proses yang terjadi dengan mengorganisir data seputar topik, atau pertanyaan pokok.18Langkah

16 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, , Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 4-5.

17 Op. Cit., hlm. 209.

18 Ibid.

112 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

ini merupakan reduksi data yakni pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang diperoleh dari lapangan.

Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan deskriptif-naratif dengan uraian kata-kata dilakukan dengan memaparkan keadaan subjek yang diselidiki sebagaimana adanya, berdasarkan data dan fakta yang aktual pada saat penelitian dilakukan.19 Penyajian data dibuat secara sistematis dan efisien untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman.

AnalisisKondisi Riil Otonomi Desa di BaliPengertian desa di Bali masih bersifat mendua (dualitas), yaitu: pertama, desa yang melaksanakan berbagai kegiatan administrasi pemerintahan atau kedinasan sehingga dikenal dengan istilah ‘desa dinas’ atau ‘desa administratif’. Kedua, desa pakraman,20 mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar ikatan adat-istiadat, dan terikat oleh adanya tiga

19 Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 67.

20 Walau belum sepenuhnya diterima oleh semua kalangan, istilah desa adat mulai digantikan dengan desapakraman sejak diundangkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Kemunculan istilah ini tampaknya ingin memperbaiki citra, mengembalikan peran dan fungsi desa yang hilang. Penjelasan mengenai hal ini, dapat dilihat dalam Parimartha, ‘Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman: Suatu Tinjauan Historis Kritis’, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, 6 Desember 2003.

pura utama yang disebut Kahyangan Tiga atau pura lain yang berfungsi seperti itu, yang disebut Kahyangan Desa.21 Berdasarkan pertimbangan keunikan, kekhasan karakteristik, serta sifat otonomi asli yang dimilikinya, dalam tulisan ini dipilih membahas desa pakraman, sehingga masyarakat desa yang dimaksudkan adalah masyarakat desa pakraman.

Keberadaan desa pakraman di Bali dalam perjalanan panjang sejarahnya selalu terkait dan sejalan dengan dinamika kebudayaan Bali. Meskipun mempunyai ciri dan karakteristik tertentu, tetapi karena bersifat otonom, maka terjadi variasi bentuk dan aturan setempat antara desa pakraman yang satu dengan lainnya. Dari variasi yang beraneka ragam tersebut, para peneliti tentang Bali dan Majelis Pembina Lembaga Adat (MPLA) dengan berdasarkan tradisi dominan yang menjadi ciri desa pakraman, mengklasifikasikan desa pakraman ke dalam tiga tipe22 Danandjaja, 1980;MPLA, 1991 dan Reuter, 2005), yaitui: Desa Bali Aga, Desa Apanage dan Desa Anyar.

21 Wayan P Windia, , Desa dan Desa Pakraman: Masalah Hubungan Kerja antara Desa Dinas dan Desa Pakraman di Bali, paper disampaikan pada Semiloka “Konsep dan Implementasi Desa serta Pemberdayaan Desa Sesudah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana bekerjasama dengan yayasan Harkat Bangsa, Jakarta di Denpasar, 15 November 2005.

22 J.L Swellengrebel,. “Nonconformity in the Balinese Family” dalam Ball, J. van, (ed). Further Studies in Life, Thought and Ritual, (The Hague: W. van Hoeve Publishers Ltd, 1969.

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 113

Desa Bali Aga (Bali Mula) , yaitu desa pakraman yang masih tetap menganut tradisi Jaman Bali Asli (1800-1343 M) atau tradisi pra-Majapahit, yakni masa sebelum adanya pengaruh agama Hindu sampai datangnya pengaruh Hindu yang dibawa dari Majapahit. Konsep Bali Aga sendiri secara etimologis berarti “Bali Asli” yakni penduduk Hindu Bali yang mendiami desa-desa di wilayah pegunungan tanpa atau sedikit sekali kena pengaruh budaya dan agama Hindu Jawa, khususnya yang berasal dari Majapahit.

Tradisi kecil yang menyertainya adalah tradisi yang didominasi ciri-ciri kebudayaan pra-Hindu seperti:(1) sistem ekonomi terfokus pada ekonomi sawah dengan irigasi; (2) azas musyawarah dengan deferensi dan stratifikasi sosial sederhana; (3) bangunan rumah dengan kamar yang berbentuk kecil dan terdiri atas bahan kayu atau bambu; (4) kerajinan melalui besi, perunggu, celup dan tenun; (5) sistem pura berhubungan dengan keluarga, desa dan wilayah; (6) pada pura terdapat sistem ritual dan upacara yang cukup kompleks; (7) bahasa setempat dengan kesusastraan lisan; serta (8) tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara keagamaan yang terdiri atas: slonding, angklung, tari sanghyang.23

Unsu r-unsu r so s io -ku l tu r a l masyarakat Bali dalam tradisi kecil ini masih tampak dalam berbagai segi kehidupan masyarakat di beberapa desa kuna di Bali pegunungan yang lazim disebut pedesaan Bali Aga. Masyarakat pendukung budaya ini umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan di

23 Ibid, hlm. 29.

Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, Bangli dan Karangasem. Pada desa-desa seperti ini tidak dikenal adanya sistem kasta, pendeta tertinggi tidak melakukan upacara padiksan, dan kepemimpinan desa umumnya menganut pola kembar ataupun kolektif.

Desa Apanage24 (Bali Dataran), yaitu desa pakraman yang sistem kemasyarakatannya sangat dipengaruhi oleh Majapahit, sebagaimana disebutkan da lam k i t ab Negaraker tagama . Desa ini mengikuti tradisi hukum Hindu yang bersumber dari kitab Manawadharmasastra yang sebelumnya telah diterapkan di kerajaan Majapahit. Dalam sejarah Bali memang tercatat bahwa enam tahun setelah Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (1343) berkuasa, pasukan kerajaan Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada datang menyerang pulau Bali. Beberapa kali terjadi perlawanan dari masyarakat Bali Aga yang kebanyakan berasal dari desa-desa pegunungan Kabupaten Bangli dan Karangasem, seperti Batur, Kedisan, Cempaga, Songan, Abang, Pinggan

24 Apanage sesungguhnya bermakna tanah lungguh yang diberikan oleh raja sebagai “gaji” atau imbalan jasa kepada para birokrat kerajaan yang didasarkan pada hubungan dyadik, patron-client. Pembagiannya, bekel 20 %, petani 40 % dan patuh sendiri (apanage houder) 40 %. Dalam sistem apanege ini hubungan raja-patuh, dan patuh-bekel, menunjukkan ketergantungan yang menciptakan sikap birokratis yang feodalistik, dengan ciri-ciri menyolok seperti otoritarianisme, hirarki ketat, aliran perintah dari atas, aliran jasa dan komoditi dari bawah, dan seterusnya. Lihat Sartono Kartodirdjo, “Struktur Kekuasaan, Sistem Fiskal dan Perkembangan Pedesaan”, Makalah disampaikan pada Seminar Desa dalam Perspektif Sejarah, Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 10-11 Februari 1988.

114 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

dan Serai. Selain itu ada yang berasal dari Manikliu, Bonyoh, Sukawana, Got, Margatiga, Ulakan, Datah dan Pasedahan seperti disebutkan dalam Babad Dalem Turun ke Bali. Setelah terjadi pertempuran yang hebat, orang-orang Bali Aga akhirnya bisa ditundukkan oleh bala tentaraMajapahit.25

Setelah orang-orang Bali Aga ditundukkan banyak pengaruhMajapahit t e rhadap t a t a ca ra keagamaan , struktur dan sistem kemasyarakatan, s e r t akepemimpinan o r ang Ba l i Aga. Beberapa aspek keagamaan HinduMajapahit akhirnya bisa masuk dan berkembang di Bali, berkat upaya tokoh agama dari Majapahit, yaitu Danghyang Nirarta yang juga bernama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rauh. Pendeta Buddha yang kemudian beralih menjadi pendeta Siwa itu datang ke Bali saat Dalem Waturenggong berkuasa dan banyak meninggalkan sejumlah karya sastra yang bersisi ajaran tentang upacara, padmasana, agnihotra dan yang lainnya.26 Bersamaan dengan itu pula sistem pemerintahan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk para pejabat Majapahit.Desa-desa yang intens terkena pengaruh ini kemudian lazim disebut Desa Apanage (Bali Dataran).

25 Di Bali sendiri tidak dijumpai bukti-bukti adanya serangan dari kerajaan Majapahit. Sumber-sumber berita itu didapatkan dari sumber kesusasteraan Jawa, seperti kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca. Lihat Pandit Shastri, 1963:90-91, Sejarah Bali Dwipa, Denpasar.

26 Soegianto Sastrodiwiryo, ,. Perjalanan Danghyang Niratha, Sebuah Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora. (Denpasar: Penerbit BP,1999).

Ciri-ciri tradisi besar dalam Desa Apanage sebagai akibat pengaruh Majapahitmencakup unsur-unsur kehidupan masyarakat Hindu, antara lain: (1) ekonomi sawah dengan irigasi; (2) kekuasaan terpusat, kedudukan raja sebagai keturunan dewa; (3) adanya tokoh pedanda ; (4) konsep-konsep kesusastraan dan agama tertulis dalam lontar; (5) adanya sistem kasta; (6) adanya upacara pembakaran mayat bagi orang-orang yang meninggal; (7) adanya sistem kalender Hindu-Jawa; (8) pertunjukan wayang kulit; (9) arsitektur dan kesenian bermotif Hindu dan Budha; dan (10) dikenalnya tarian topeng.27Desa-desa ini umumnya terdapat di daerah Bali dataran.Kepemimpinan pada desa ini umumnya merupakan kepemimpinan tunggal.

Desa Anyar (desa baru), yaitu desa yang terbentuk relatif baru, sebagai akibat dari adanya perpindahan penduduk (trasmigrasi lokal) dengan tujuan awal mencari penghidupan. Desa-desa seperti ini misalnya dapat ditemui di daerah Jembrana dan Buleleng Barat. Kalau diamati dan dibandingkan beberapa ciri-ciri di atas, maka akan tampak bahwa masyarakat Desa Bali Aga dengan tradisi kecilnya, maupun masyarakat Desa Bali Apanage dengan tradisi besarnya, serta Desa Anyar sama-sama hidup dari sektor pertanian. Hal ini menandakan masyarakat desa di Balitermasuk dalam kategori masyarakat agraris. Ciri-ciri yang lain lebih menunjukkan pada perbedaan, seperti perbedaan pada religi, pola kemasyarakatan, kesenian

27 Swellengrebel, “Nonconformity …”, hlm. 29-30.

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 115

dan kesusastraan. Aspek lain yang dapat diamati dan dibandingkan adalah berkenaan dengan stratifikasi sosial berkaitan dengan proses atau struktur masyarakat yang berlapis/ bertingkat.

Hubungan desa dengan negara diatur melalui beberapa undang-undangyang pernah berlaku. Dimulai dengan UU No. 5 tahun 1979 pada masa Orde Baru dan kemudian muncul kebijakan baru pada masa Reformasi yang mengatur desa secara khusus, yaitu UU No 6 tahun 2014 tentang Desa. UU Desa terakhir disahkan pada 18 Desember 2013 dan masuk dalam Lembaran Negara No 6 tahun 2014 pada 15 Januari 2014. UU Desa menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. UU Desa menempatkan desa sesuai dengan amanat konstitusi dengan merujuk pasal 18B ayat(2) dan Pasal 18 ayat(7).

UU Desa ini membentuk tatanan desa sebagai self-governing community dan local self-government. Tatanan itu diharapkan mampu mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi fondasi keragaman NKRI. Asas pengaturan desa dalam Undang-Undang ini adalah:28

1. Rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;

2. Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;

3. Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa,

28 “Tata Kelola dalam UU Desa, http://desa membangun.or.id/2014/04/tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/diunduh 12 April 2016.

tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;

4. Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa dalam membangun Desa;

5. Kegotong-royongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun Desa;

6. Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;

7. Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;

8. Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;

9. Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;

10. Partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;

116 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

11. Kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;

12. Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan

13. Keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melak-sanakan program pembangunan Desa.

Pulau Bali sebagai salah satu daerah pengemban amanat otonomi daerah tentu juga membutuhkanUU Desa ini dalam membentuk tatanan desa sebagai self-governing community dan local self-government. Dari berbagai bentuk persoalan otonomi yang dihadapi Bali, salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian secara serius memangberkaitan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Persoalan ini menjadi semakin penting karena telah menimbulkan diskursus yang hangat dan kontreversial, namun sampai saat ini belum juga ada kesepahaman pendapat sebagai kristalalisasi pilihan yang dapat disepakati dan diterima oleh berbagai pihak.

Isu-isu pokok dalam otonomi desa di Bali menyangkut hubungan hubungan negara dengan desa, pengakuan negara terhadap pemerintahan asli serta lembaga adat, serta hubungan antara desa dinas/ administratif dengan desa pakraman/ adat.

Apabila alur perkembangan pemikiran tentang sistem penyelenggaraan desa di Bali ini diikuti secara cermat maka setidaknya ada empat ranah/aliran pemikiran yang pernah mengemuka dan muncul ke permukaan, yaitu:29 Pertama, kelompok pemikiran yang menghendaki sistem pemerintahan dan kehidupan desa di Bali tetap didukung oleh Desa Dinas, Kelurahan dan Desa Pakraman/adat. Desa Dinas dan Kelurahan bertugas mengurus hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan, sedangkan Desa Pakraman menangani hal-hal yang berhubungan dengan adat Bali dan Agama Hindu. Kedua, kelompok pemikiran yang merupakan reaksi dari kelompok pemikiran pertama, yang bernada emosional dan menghendaki penghapusan desa dinas dan kelurahan serta menyerahkan segala urusan desa kepada desa pakraman. Ketiga, merupakan bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran yang pertama. Kelompok pemikiran ini menghendaki agar kedua desa tetap dipertahankan dan hidup berdampingan sebagaimana layaknya pasangan suami istri. Namun, dituntut adanya ketegasan batas wilayah kewenangan dan anggaran yang disediakan bagi masing-masing desa sehingga tidak muncul kesan bahwa desa dinas dianak-emaskan dan desa pakraman dianak-tirikan. Keempat, boleh dikatakan sebagai bentuk kompromi dengan kelompok pemikiran kedua.

29 I Wayan Gede Suacana, “Otonomi Daerah dan Eksistensi Desa Pakraman di Bali” dalam https://wgsuacana.wordpress.com/2009/03/26/otonomi-desa/ diunduh 13 April 2016

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 117

Dalam hal ini dikemukakan bahwa di Bali hanya ada satu desa, yaitu desa adat/ pakraman. Desa ini dikendalikan oleh perangkat prajuru, dengan pucuk pimpinan yang disebut bendasa adat. Perangkat desa adat/pakraman terdiri atas dua bidang, yaitu: (1) Bidang Agama Hindu dan Adat Bali (AHA), (2) Bidang Administrasi Pemerintahan (AP). Bila pendapat ini yang dipilih berarti dualisme desa hilang. Di Bali hanya akan ada satu desa yaitu desa adat/ pakraman. Tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh desa dinas/ kelurahan, selanjutnya akan menjadi urusan Bidang Administrasi Pemerintahan (AP) dalam satu desa pakraman.

Setiap ranah/aliran pemikiran te r sebut , mempunyai ke lompok pendukung dengan dasar pembenar dan argumentasinya masing-masing. Prinsip-prinsip demokrasi yang dianut sekarang ini, jelas memberikan peluang yang sangat besar bagi variasi dan perbedaan pendapat dalam masyarakat. Tetapi, prinsip-prinsip tersebut masih memungkinkan untuk bersifat akomodatif yang bermuara padasebuah kesepahaman dan kesepakatan, karena jelas semua “kebenaran” yang diperdebatkan relatif sifatnya. Perubahan situasi dan kondisi merupakan faktor determinan yang bisa mengalihkan “kebenaran” ranah/aliran pemikiran yang satu ke ranah/aliran lainnya. Dengan begitu, upaya dialog, kajian dan penelitiansecara lebih intensif danmendalam atas berbagai ranah/aliran pemikiran tersebut masih dibutuhkan dengan melibatkan lebih

banyak pemerhati, dan praktisi desa pakraman.

Beberapa ranah/aliran pemikiran t e r sebu t , sed ik i t banyak mas ih mengandung muatan dan nuansa romantisme yang menyelimutialam pemikiran pikiran penggagasnya, karena pada dasarnya mereka berobsesi memberdayakan dan melestarikan desa pakraman dengan mengangkat eksistensi ke tingkat “republik desa” lengkap dengan sistem yang berlaku didalamnya seperti sistem “kolegial konsensus”. Bagi ranah/aliran pemikiran yang menginginkan pemunculan kembali nilai-nilai lokal sebagai dasar pijak penyelenggaraaan pemerintahan desa, semestinya juga menyadari dan bertindak selektif bahwa beberapa dari “nilai-nilai” lokal tersebut sesungguhnya sudah banyak yang terdistorsi secara mendasar di masa kolonialisme dulu dan banyak dimanfaatkan untuk kepentingan status quo pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. Bahkan apa yang dianggap sebagai nilai tradisional adalah justru produk intervensi kolonial.

Sesungguhnya tidaklah cukup kalau ranah/aliran pemikiran yang dipilih nantinya sekadar memberikan harapan dan sanjungan yang terlalu besar pada keberadaan desa pakraman, tanpa disertai oleh kajian obyektif tentang keberadaannya. Dalam kenyataannya, sebagian besar desa pakraman memang sudah bisa dikategorikan sebagai lembaga tradisional yang kuat dan tangguh dalam menghadapi berbagai hempasan perubahan sosial, tetapi kondisi yang juga

118 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

harus diakui adalah masih banyak diantara desa-desa pakraman yang ada pada saat ini masih dalam keadaan kurang berdaya (empowerlesness) dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan/governance di tingkat desa. Upaya dari pemerintah Provinsi Bali untuk mengayomi desa pakraman dengan memberlakukan Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman, sebagai pengganti Peraturan Daerah Nomor 06 tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan peranan Desa Adat sebagai kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, belumlah dapat dikatakan memberikan jaminan bahwa desa pakraman pasti akan menjadi lebih berdaya. Bahkan dapat dikatakan untuk sementara ini, justru Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah menimbulkan rasa kebingunan-kebingunanbaru bagi prajuru desa pakraman. Hal ini antara lain disebabkan oleh proses pembuatan Perda yang terkesan “tergesa-gesa”, serta kurangnya penyerapan aspirasi dari desa-desa pakraman pada proses pembuatan perda tersebut. Di samping itu, masih adanya kecenderungan untuk mengatur keberadaan desa pakraman, yang karena keunikan tata kehidupannya, semestinya Perda semacam ini cukup hanya memberikan pengakuan saja atas segala keunikan yang dimiliki tersebut

Tantangan dan PeluangMeskipun sempat terjadi perbedaan tajam tentang pilihan antara desa dinas dengan desa pakraman/adat sebagai desa yang dimaksudkan oleh UU No. 6

tahun 2014, namun pilihan cenderung pada ranah/kelompok pemikiran yang ketiga di atas. Sesungguhnya ada beberapa tantangan untuk menjadikan desa pakraman sebagai penyelenggara tunggal pemerintahan sebagaimana dikehendaki oleh pendukung kelompok pemikiran keempat yaitu menurunkan konsep otonomi di tingkat desa pakraman antara lain:1. Landasan filosofis religius

Desa Pakraman, berkaitan dan mencerminkan keberadaan lembaga yang bernafaskan agama Hindu, sehingga akan menyulitkan peluang bagi warga non-Hindu menjadi anggota atau warga desa pakraman.

2. Dalam hal teritorial, disamping adanya ketidakseimbangan luas wilayah, juga terdapat beberapa wilayah di Bali yang berada di luar kekuasaan desa pakraman.

3. Organisasi desa pakraman bersifat tradisional, lokal, hanya sampai di tingkat desa, tidak ada hubungannya dengan desa lainnya. Kesannya memang mandiri/otonom, tetapi di balik semua itu desa pakraman kerdil bagaikan bonzai, terisolir dan rawan konflik.

4. Sebagai warisan masa lalu, struktur kepengurusan desa pakraman masih sangat sederhana, fungsi-fungsi atau jabatan-jabatan yang ada misalnya kesinoman, petajuh, prajuru dan lain-lainnya hanya mampu melaksanakan tugas/peran sederhana kurang lebih sebatas tugas upacara yadnya. Begitupun manajemennya masih sangat lemah,

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 119

sederhana/tradisonal, masih jauh tertinggal dari manajemen modern dengan teknologinya yang canggih. Disamping itu, cara pemilihannya, cara kerjanya dan olih-olihannya, hampir semua berjalan dengan kuna dresta serta adanya kecenderungan menghindar menjadi pengurus (prajuru) makin melemahkan kepemimpinan desa pakraman.

5. Sumber daya manusia yang ada di desa pakraman, bukan sekedar diragukan kualitasnya, namun jumlah mereka juga semakin menurun. Hal ini merupakan akibat logis dari mobilitas sosial yang merupakan produk modernisasi. Warga desa yang terdidik, profesional dan terampil karena berbagai macam alasan, jarang menetap di desa karena kurangnya lapangan kerja. Kondisi seperti ini jelas akan sangat menyulitkan bagi desa pakraman untuk berotonomi.

6. Keterbatasan awig-awig, karena pada dasarnya hanya mengatur warganya (Hindu) dan yang unik dalam batas-batas teritorialnya

7. Ketiadaan jaringan desa pakraman dan adanya fanatisme desa pakraman yang berlebihan, menyebabkan kesulitan dalam melakukan hubungan koordinasi antar desa pakraman, sehingga mudah memicu selisih paham dan konflik antara desa pakraman satu dengan lainnya.

8. Kelambatan dalam pengambilan keputusan dalam menghadapi persoalan yang semakin kompleks

karena keadaan sistem sosial yang rumit.

9. Demokrasi dijalankan secara parsial, karena tidak melibatkan krama perempuan.

10. Belum terbiasa membicarakan potensi konflik secara terbuka. Membahas potensi dan manajemen konflik masih dianggap tabu.

11. Bagaimana menempatkan dan mengharmoniskan hubungan desa pakraman yang masih bersifat tradisional di satu pihak, dengan negara modern yang bersifat demokratis di pihak lain (terjadi perbenturan antara nilai kebersamaan versus nilai perbedaan)

12. Akibat dari semua itu kondisi desa pakraman menjadi marginal, tidak mampu berbuat banyak bagi warganya, tidak mampu membangun dan mengembangkan dirinya secara konseptual dan strategis, sebaliknya justru menjadi obyek pembangunan.

Namun, disamping berbagai kendala tersebut beberapa peluang masih bisa dimanfaatkan seiring pemberlakuan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, antara lain:1. Restrukturisasi desa pakramandi-

lakukan dengan cara melepaskan dari belenggu isolasi yang selama ini dialami, membuka jalur informasi dan komunikasi baik vertikal mau-pun horizontal, sehingga tidak lagi bersifat tertutup dan lokal, melain-kan harus bersifat terbuka dan re-gional meliputi seluruh daerah Bali.

120 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

2. Pemberdayaan desa pakraman dalam rangka bottom-up strategy dan peningkatan partisipasi krama desa. Dalam upaya ini, kekhasan ragam/diversifikasibudaya dari masing-masing wilayah desa pakraman agar tetap dipertahankandan dijaga keberadaannya agar berkelanjutan menurut konsep desa, kala dan patra. Disamping itu, “jabatan” prajuru tidak lagi sekadar ngayah untuk kepentingan adat dan agama, tetapi juga sebuah jabatan profesional yang mendapat penghasilan dan fasilitas.

3. Desa pakraman harus tetap memiliki kemampuan sebagai wahana integrasi sosial, yang memupuk serta mengembangkan solidaritas/kolektivisme krama adat, dan tidak justru sebagai wahana bagi terpeliharanya potensi konlik laten. Dalam rangka mamanajemeni potensi konflik, beberapa konsep, seperti: sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, paras-paros sarpanaya perlu direvitalisasi. Konsep perbedaan tetap dikembangkan tetapi bermuara pada kebenaran dan tujuan bersama.

4. Perlu dibentuk forum komunikasi antar desa pakraman sebagai sarana untuk memperlancar interaksi antar desa pakraman yang sampai sekarang memang sangat minim, serta untuk mengatasi berbagai kendala, kelemahan dan tantangan yang dihadapi oleh desa pakraman. Di samping itu peran dan kinerja Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali dan Majelis

Madya Desa Pakraman (MMDP) di masing-masing kabupaten bisa lebih dioptimalkan.

5. Perlu peningkatan kualitas pemimpin/prajuru desa pakraman pada masa mendatang, yang tidak semata-mata bermodalkan kejujuran dan pengetahuan adat/Agama Hindu semata, tetapi juga memiliki kualitas pendidikan, wawasan politik, ekonomi keluarga dan pengetahuan umum yang memadai.

6. Peningkatan peranan desa pakraman dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pariwisata, hukum, keagamaan dan lain-lain. Bila di sektor moneter peranan desa pakraman, melalui Lembaga Perkreditan Desa (LPD), sudah mulai menampakkan hasil, maka pemberdayaan ekonomi desa pakraman di sektor riil perlu ditingkatkan melalui Badan Usaha Milik Desa Pakraman (BUMDP), seperti: Koperasi desa pakraman, Pasar desa pakraman hingga akhirnya dapat membantu usaha-usaha kecil lainnya, sehingga usaha ekonomi rakyat dapat lebih ditingkatkan.

7. Hubungan krama Desa Pakraman dengan LSM/NGO yang peduli/bernafaskan adat, budaya dan agama, perlu dijaga agar masing-masing tetap berdiri sendiri, saling menghormati. Biarkan LSM/NGO itu tumbuh dan berkembang di luar organisasi krama adat. Para anggotanya adalah pemikir kritis dan kreatif yang sangat peduli

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 121

pada pembangunan Bali, karena itu wajib didukung eksistensinya. Desa Pakraman mengharapkan pengabdian yang tulus dari LSM/ NGO, bebas dari kepentingan pribadi, kelompok dan aliran politik.

8. Mempererat hubungan antara Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP)dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang memang sedari dulu bersifat sangat substansial, karena totalitas kehidupan masyarakat adat didasarkan, dijiwai oleh nilai-nilai dan prinsip-prinsip Agama Hindu disamping seluruh krama adat/pakraman adalah juga umat Hindu. Hubungan yang sangat hakiki ini menjadikan desa pakraman dan PHDI akan bersinergi, saling mengisi dan membutuhkan.

Akhirnya, bagaimanapun sistem pemerintahan desa di Bali akan tetap eksis seperti prediksioptimis Pedersen (2007) lewat publikasi hasil penelitiannya tentang “Responsing to Decentralization in the Aftermath of the Bali Bombing”yang dimuat dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 8 No. 3, September 2007 pp 197-215. Menurut Pedersen, di Bali isu-isu tentang Islam fundamental, pariwisata, tanah, sumberdaya dan harga diri menjadi sangat mengemuka pasca-Peristiwa Bom Bali yang sangat dramatik. Namun, masyarakat Bali telah dan akan tetap memiliki cukup pengalaman menghadapi permasalahan dalam kehidupan bernegara maupun dalam dinamika internasional melalui

pemberdayaan tata pemerintahan desa di bawah kepemimpinan elite tradisional yang masih berlangsung hingga kini. Elite tradisional desa merupakan elemen penting yang harus diikutsertakan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan desa.

PenutupOtonomi desa khususnya di Bali tidaklah seindependen seperti yang dibayangkan orang. Keberadaan desa-desa di masa pra-kolonial berhubungan langsung dengan mekanisme penguatan struktur kekuasaan melalui mekanisme pemberian tanah kepada para punggawa atas loyalitasnya kepada raja. Mulai munculnya dualitas pemerintahan desa (dinas/administratif dan pakraman/adat) di Bali sejalan dengan diberlakukannya produk legislasi pada masa pemerintahan Orde Baru yang mengatur tentang pemerintahan desa, yaitu UU Nomor 5 tahun 1979. Dualitas dalampemerintahan desaini dalam praktiknya secara politik dan ekonomi sudah mengalami pergeseran seiring terjadinya transformasi dalam tata pemerintahan desa. Pada masa pemerintahan Orde Baru, peran desa dinas tampak begitu dominan terutama dalam upaya memenangkan Golkar pada setiap pemilu maupun pelaksanaan program-program pembangunan. Dominasi desa dinas ini baru berkurang sejak berakhirnya penerapan UU Nomor 5 tahun 1979 dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian digantikan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 23 tahun 2014 tentang Desa.

122 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 105-123

Dalam era demokrasi dan otonomi luas sekarang ini, diharapkan bisa diimplementasikanpemikiran dan format pemerintahan desa yang paling tepat dan sesuai dengan kondisi riil sosial kultural masyarakatBali. Hal ini, demi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan desa di Bali, khususnya desa pakraman, yang sampai saat sekarang masih diharapkan tetap sebagai “benteng” terakhir bagi kelangsungan adat dan budaya masyarakat Bali.l

Daftar Pustaka

BukuAzhari dan Idham Ibty dkk. Good Governance

dan Otonomi Daerah (Menyongsong AFTA Tahun 2003). Yogyakarta: PKPEK dan FORKOMA-MAP UGM.,2002.

Chaterine, Cassell dan Symon Gillian (ed). Qualitative Methods in Organizational Research: A Practical Guide. London: Sage Publications, 1994.

Dwipayana, Ari dan Eko, Sutoro (ed), Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta: IRE Press, 2003.

Dwiyanto, Agus, “Reorientasi I lmu Administrasi Publik: Dari Government ke Governance”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fisipol UGM, Yogyakarta, 21 Agustus 2004.

Haris, Syamsuddin (ed), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2005.

Hatta, Mohammad,. Bung Hatta’s Answer. Singapore: Gunung Agung, 1981

Husaini Usman, dan Purnomo, Setiady Akbar,. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Hetifah, Sumarto, Sj,. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2003.

Karim, Abdul Gaffar (ed),. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM,2003.

Kartodirdjo, Sartono. “Struktur Kekuasaan, Sistem Fiskal dan Perkembangan Pedesaan”, Makalah disampaikan pada Seminar Desa dalam Perspektif Sejarah, Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 10-11 Februari 1988.

Parimartha, I Gde. ‘Memahami Desa Adat, Desa Dinas dan Desa Pakraman: Suatu Tinjauan Historis Kritis’, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, 6 Desember 2003.

Pedersen. “Responsing to Decentralization in the Aftermath of the Bali Bombing”, The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 8 No. 3 2007., hlm. 197-215.

Piliang, A. Yasraf. Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.

Pratikno. “Dari Good Governance Menuju Just and Democratic Governance” Paper disampaikan dalam Seminar in Practice: Pengalaman Indonesia, dalam rangka dies natalis Fisipol UGM ke-49, Yogyakarta, 25 September 2004.

Ratna, Kutha Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Santoso, Purwo (ed). Pembaharuan Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta:

Tantangan dan Peluang Otonomi Desa ... | I Wayan Gede Suacana | 123

Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, 2003.

Pandit, Shastri. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar, 1963.

Sastrodiwiryo, Soegianto. Perjalanan D a n g h y a n g N i r a t h a , S e b u a h Dharmayatra (1478-1560) dari Daha sampai Tambora. Denpasar: Penerbit BP, 1999.

Suacana, I Wayan Gede (ed). Eksistensi Desa Pakraman di Bali, Edisi Revisi, Cetakan IV. Denpasar: Yayasan Tri Hita Karana Bali, 2008.

Suacana, I Wayan Gede. 2009. “Otonomi Daerah dan Eksistensi Desa Pakraman di Bali” , diakses dari https://wgsuacana.wordpress.com/2009/03/26/otonomi-desa/ pada 13 April 2016.

Swellengrebel, J.L. “Nonconformity in the Balinese Family” dalam Ball, J. van, (ed). Further Studies in Life, Thought and Ritual, The Hague: W. van Hoeve Publishers Ltd,. 1969.

Uwe, Flick,6. An Introduction to Qualitative Research. London: Sage Publication., 2006

Windia, Wayan P.. Desa dan Desa Pakraman: Masalah Hubungan Kerja antara Desa

Dinas dan Desa Pakraman di Bali, paper disampaikan pada Semiloka “Konsep dan Implementasi Desa serta Pemberdayaan Desa Sesudah berlakunya UU Nomor 32 tahun 2004”, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Hukum Adat Universitas Udayana bekerjasama dengan Yayasan Harkat Bangsa di Denpasar, 15 November 2005.

Internet“Tata Kelola dalam UU Desa” diakses dari

http://desa membangun.or.id/2014/04/tata-kelola-desa-dalam-uu-desa/ pada 12 April 2016.

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 125

TINJAUAN BUKU

MELIHAT KEMBALI PENANGGULANGAN TERORISME DI INDONESIA MELALUI DERADIKALISASI

Muhammad A.S. Hikam. 2016. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme. Jakarta: Kompas. xiv + 226 hlm.

Sandy Nur Ikfal Raharjo

Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan IndonesiaEmail: [email protected]

Diterima: 6 Oktober 2016; direvisi: 10 November 2016; disetujui: 19 Desember 2016

Abstrak

Tulisan ini mengulas buku yang ditulis oleh Muhammad A.S. Hikam tentang penanggulangan terorisme melalui deradikalisasi. Ulasan berfokus pada tiga hal yaitu kenapa deradikalisasi perlu dilakukan, bagaimana deradikalisasi selama ini diimplementasikan, dan bagaimana seharusnya deradikalisasi dilaksanakan di masa yang akan datang. Walaupun ada kritik untuk buku ini tentang obyek deradikalisasi yang terlalu spesifik pada kelompok Islam radikal saja dan evaluasi program yang lebih banyak membahas pada aspek dalam negeri, ulasan ini sepakat dengan sang penulis bahwa masyarakat sipil Indonesia harus diberdayakan dan dilibatkan secara lebih aktif dalam program deradikalisasi, baik dalam tahap persiapan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

Kata kunci: Deradikalisasi, Masyarakat Sipil Indonesia, Terorisme.

Abstract

This article reviews a book written by Muhammad A.S. Hikam on countering terrorism through deradicalization. The review focus on three things: why the deradicalization need to be

p-ISSN: 0854-6029

JURNAL ILMU POLITIK

126 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

done, how the deradicalization was being implemented, and how the deradicalization should be executed in the future. Besides criticizing that author’s focus of deradicalization subject was on merely Islamic radical groups and his evaluation seemed to be overly domestic level, this review agree with author’s standpoint that Indonesian civil society should be empowered and actively involved in the preparation, implementation, and evaluation of the radicalization program.

Keywords: deradicalization, Indonesian civil society empowerment, terrorism.

Pendahuluan

Salah sa tu i su yang menguat seiring dengan perubahan politik

di Indonesia dari Orde Baru menuju era Reformasi adalah radikalisme dan terorisme. Sistem politik yang semakin terbuka dianggap menjadi peluang bagi berseminya kembali gerakan-gerakan yang dulu dikekang pada rezim Soeharto, termasuk gerakan Islam garis keras yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Radikalisme menjadi topik yang hangat dibicarakan seiring dengan berkembangnya studi-studi tentang terorisme paska kejadian 11 September 2001. Radikalisme, khususnya Islam, sering diidentikkan sebagai penyebab utama munculnya gerakan dan kelompok “teroris” seperti Al Qaeda dan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Di Indonesia sendiri, isu radikalisme mulai mendapat perhatian yang lebih paska tragedi Bom Bali I tahun 2002. Pada waktu itu, berkembang anggapan di berbagai media arus utama dunia bahwa Islam pro kekerasan. Anggapan tersebut coba ditangkis oleh para cendekiawan muslim terkemuka bahwa Islam cinta perdamaian, dan Indonesia adalah contoh nyata Islam yang moderat.

Berbagai karya akademik yang membahas radikalisme (Islam) pun bermunculan, misalnya Azyumardi Azra (2002) yang menulis Konflik Baru Antarperadaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas,1 serta Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (2005) yang menyusun buku berjudul Islam dan Radikalisme di Indonesia.2 Buku-buku tersebut ditulis oleh akademisi dan peneliti, yang tentu saja memiliki perspektif yang berbeda dengan pemerintah selaku pelaku langsung penanggulangan radikalisme dan terorisme. Salah satu karya baru yang ditulis oleh orang yang pernah duduk dalam pemerintahan adalah buku berjudul Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Terorisme yang diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2016. Penulisnya, Muhammad A.S. Hikam, adalah anggota dan sekaligus ketua Dewan Analis Strategis, Badan Intelijen Negara (DAS-BIN) periode 2010-2015. Selain memiliki perspektif dari sisi pemerintah, penulis buku ini juga merupakan seorang doktor Ilmu Politik dari Universitas Hawaii. Gabungan

1 A z y u m a r d i A z r a , K o n f l i k B a r u A n t a r Peradaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002).

2 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi (ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005).

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 127

dari pengalaman di pemerintahan dan kemampuan analisis secara akademis inilah yang menjadi kelebihan penulis, sehingga buku ini patut dibaca oleh mereka yang menekuni isu radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Buku ini tersusun atas satu prolog dan tujuh bab. Pada bagian prolog, penulis menjabarkan ideologi transnasional radikal dan kekuatan non-negara sebagai ancaman keamanan nasional, yaitu Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Ancaman ISIS ini kemudian diturunkan dalam konteks Indonesia pada bab I mengenai Indonesia di bawah ancaman ideologi radikal. Bab II membahas tentang konsep negara menghadapi gerakan radikal, yaitu menggunakan dasar Pancasila, Undang-Undang Dasar, konsep Wawasan Nusantara, konsep Ketahanan Nasional, undang-undang dan peraturan dalam negeri, serta resolusi di tingkat internasional. Pada bab III, penulis menjelaskan sejarah, sosialisasi, dan implementasi program deradikalisasi, mulai dari era Orde Lama hingga masa Reformasi. Bab IV berbicara tentang pengaruh perkembangan lingkungan strategis serta peluang dan kendalanya, mulai dari lingkungan strategis global dengan kehadiran Al Qaeda dan ISIS, hingga lingkungan strategis regional berupa berdirinya Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Perkembangan lingkungan strategis ini pula yang kemudian turut mempengaruhi tumbuhnya gerakan-gerakan radikal di masa reformasi. Pada bab V, penulis mulai berfokus pada implementasi pengembangan program deradikalisasi

serta kontribusinya untuk ketahanan nasional, dilanjutkan dengan bab VI tentang pengembangan dan sosialisasi deradikalisasi di Indonesia, di mana salah satunya adalah melalui pelibatan peran masyarakat sipil Indonesia secara aktif, untuk kemudian diakhiri dengan bab VII sebagai penutup.

Dari prolog dan tujuh bab di atas, ada tiga hal yang menurut reviewer menjadi pokok pembicaraan dalam buku ini, yaitu mengapa perlu deradikalisasi (eksistensi radikalisme di Indonesia), bagaimana pelaksanaan deradikalisasi selama ini upaya deradikalisasi yang sudah dilakukan), dan bagaimana seharusnya deradikalisasi ke depan (strategi deradikalisasi melalui pelibatan masyarakat sipil Indonesia).

Mengapa Perlu Deradikalisasi: Eksistensi Radikalisme di IndonesiaDeradikalisasi dibutuhkan karena gerakan radikalisme hadir di Indonesia, di mana salah satu wujudnya adalah berbagai aksi teror bom yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang eksistensi radikalisme di Indonesia, perlu ada pemahaman tentang apa itu radikalisme. Sayangnya, penulis tidak menjabarkan di awal tentang definisi radikalisme. Di bagian buku yang menjelaskan tentang konsep-konsep, radikalisme juga tidak dibahas secara khusus. Namun, kita dapat menemukan definisi tersebut secara acak di dalam buku ini.

128 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

Di halaman 81, penulis mengutip definisi radikalisme dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau sikap ekstrem dalam suatu aliran politik. Ciri-ciri dari gerakan ideologi (Islam) radikal tersebut dijelaskan di halaman 64. Pertama, kelompok yang menolak proses modernisasi dan sekularisme. Kedua, mereka juga menolak berbagai penetrasi budaya Barat yang mampu merusak tatanan Islam nusantara. Ketiga, mereka menganggap Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam melalui interpretasi me reka , s eh ingga menganggap pemerintah Indonesia sebagai pemerintah toghut dan kafir. Penulis sendiri tidak menjelaskan apakah ciri-ciri ini harus dipenuhi semua atau cukup satu saja untuk mengategorikan suatu kelompok itu radikal atau tidak. Padahal, ketegasan definisi tersebut dibutuhkan. Jika tidak, ditakutkan pembaca akan memberi interpretasi tersendiri yang mungkin menyimpang dari apa yang dimaksud oleh penulis. Misalnya, jika ditafsirkan bahwa cukup satu ciri yang terpenuhi bagi suatu kelompok untuk disebut radikal, maka akan banyak sekali kelompok fundamentalis agama yang memenuhi ciri pertama, sehingga dengan mudah dapat dicap sebagai kelompok radikal karena menolak sekularisme. Padahal, pancasila sendiri juga bukan merupakan bentuk sekularisme, karena menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan yang Maha Esa di sila pertama.

Radikalisme sendiri dapat tumbuh dan berkembang menjadi aksi terorisme karena beberapa faktor penyebab. Pertama, adanya ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi. Menurut penulis buku ini, kelompok radikal menyebarkan dan merekrut calon pelaku teror dari kalangan masyarakat yang merasa tertekan secara politik dan ekonomi. Dalam konteks tersebut, banyak madrasah atau pondok pesantren yang berada di wilayah pedesaan atau komunitas miskin. Penulis tampaknya ingin menunjukkan potensi kerawanan madrasah/pondok pesantren terhadap penyebaran paham radikal. Namun, faktor kemiskinan ini tampak kondradiktif dengan fakta di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan negara-negara Barat, di mana justru banyak kelompok menengah yang ikut gerakan radikal (halaman 63). Kontradiksi tersebut dikuatkan dengan data di halaman 16, di mana penulis mengatakan bahwa propaganda ISIS berhasil menarik kalangan muda karena kekecewaan dari kaum muda Muslim di negara-negara Barat terhadap kondisi kehidupan yang mereka alami, kendati secara ekonomi lebih dari cukup. Mengutip pendapat Kepel, Islamisme sebagai ideologi menjadi sangat menarik berbagai kelompok kelas memengah perkotaan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka terpesona dan tergoda oleh semangat juang yang ditawarkan dan dipertunjukkan lewat tayangan di dunia maya. Hal ini membangkitkan keinginan mereka untuk menjadi syahid karena “memperjuangkan agama menghadapi kaum kuffar”. Jika madrasah dan pondok

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 129

pesantren dianggap rentan karena berada di komunitas miskin, kenapa justru banyak kalangan menengah yang kecukupan secara ekonomi yang tertarik untuk bergabung dengan ISIS. Dengan demikian, perlu dicermati lagi kelompok miskin yang seperti apa yang rentan terhadap penyebaran radikalisme ini.

Faktor kedua adalah pengaruh budaya setempat (halaman 66-67). Pertumbuhan organisasi teroris dapat dipicu dari kebiasaan budaya (cultural habit) yang menerima tindakan kekerasan atau radikalisme. Masyarakat yang terbiasa untuk menerima kekerasan sebagai kebiasaan tersebut, cenderung berpotensi untuk ikut dalam gerakan radikal. Masih ada beberapa masyarakat di Indonesia yang menerima aksi-aksi kekerasan sebagai budaya sosial untuk melegalkan ideologi yang dianggap benar. Di halaman 87, penulis menyebutkan daerah-daerah yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu Poso, Bima, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana kebiasaan budaya kekerasan di empat daerah tersebut. Hal ini menimbulkan tanda tanya, mengingat Jawa Tengah dikenal memiliki budaya Jawa yang halus, tetapi justru menjadi salah satu daerah asal para pelaku teror.

Masih terkait dengan faktor budaya, di halaman 18 penulis menjelaskan bahwa kondisi struktural dan kultural masyarakat juga menjadi peluang penyebaran ideologi baru, termasuk ideologi radikal ISIS. Peluang tersebut tercipta karena semakin besarnya masyarakat urban industrial sebagai akibat urbanisasi dalam 40 tahun

terakhir, yang bercirikan lenyapnya ikatan-ikatan paguyuban dan maraknya masyarakat yang atomistik. Padahal, ikatan paguyuban tersebut dapat menjadi alat kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang mencurigakan dan menyimpang. Selain itu, berkembangnya teknologi informasi dan media sosial juga membuat berkurangnya ketergantungan masyarakat pada otoritas tradisional, termasuk dalam masalah keagamaan. Hal ini berakibat pada berkembangnya tafsir-tafisr dan pemahaman agama yang beragam, dan sebagiannya masih dangkal. Padahal, untuk memahami ajaran agama yang tertulis dalam kitab suci, diperlukan ilmu yang komprehensif. Hal ini didukung dengan kondisi masyarakat Indonesia yang secara kultural bersifat terbuka, sehingga mudah menerima nilai-nilai baru.

Faktor selanjutnya yang menjadi penyebab mudahnya penyebaran radikalisme adalah kondisi heterogenitas etnis, agama, kultur, dan kesenjangan ekonomi serta sosial yang semakin memperbesar potens i masuknya ideologi-ideologi radikal (halaman 31). Menurut penulis, kebebasan berpolitik dan berdemokrasi tampaknya harus dibayar mahal oleh Indonesia setelah melihat rentetan kasus terorisme yang terjadi. Keterbukaan kehidupan politik dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok masyaraka t an t i -NKRI . Mereka menunggu jatuhnya rezim Orde Baru yang berdampak pada menurunnya pengawasan ketat pada sektor keamanan. Pendapat penulis tersebut masih harus diklarifikasi, terutama terkait

130 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

dengan keberagaman etnis, agama, dan kultur dan kebebasan berpolitik sebagai faktor yang turut memperlebar peluang berkembangnya radikalisme. Keberagaman harus dimaknai sebagai anugerah, bukan musibah. Dalam hal ini, yang harus dipermasalahkan bukanlah keberagamannya, tetapi sikap toleransi yang perlu dibangun lebih kuat lagi. Kemudian terkait dengan dampak buruk kebebasan berpolitik, jangan sampai hal ini ditafsirkan bahwa Indonesia harus kembali seperti pada zaman Orde Baru, di mana kebebasan berpendapat dibatasi. Justu kebebasan berpendapat dan berpolitik tersebut harus terus didorong agar menjadi kebebasan yang bertanggung jawab.

Penyebaran radikalisme oleh faktor-faktor di atas kemudian memunculkan k e l o m p o k - k e l o m p o k r a d i k a l . Setidaknya ada dua kelompok radikal yang cukup signifikan di Indonesia. Pertama adalah Jamaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Kelompok ini dibentuk oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1990-an. Kelompok ini masih memiliki benang merah dengan ideologi DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Tujuannya adalah mendirikan negara syariat Islam di Nusantara yang mencakup Indonesia, Filipina, dan Malaysia (termasuk Singapura). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, kelompok ini membangun empat mantiqi (pembagian struktural organisasi berdasarkan wilayah geografis). Mantiqi 1 meliputi Singapura dan Malaysia, Mantiqi 2 adalah Indonesia, Mantiqi 3

mencakup Mindanao dan Sulawesi, serta Mantiqi 4 di Papua.

Kelompok radikal kedua yang juga harus mendapat perhatian adalah ISIS cabang Indonesia, salah satunya terwujud menjadi Forum Aktivis Syariat Islam (Faksi). ISIS percaya diri menghadapi tekanan internasional karena ideologi yang mereka sebar mendapat respons yang banyak dari warga negara-warga negara dari berbagai penjuru dunia, tidak terbatas pada negara-negara berpenduduk mayoritas muslim saja. Jumlah orang yang masuk ke Suriah untuk mendukung ISIS pada tahun 2014 ditaksir sebanyak 15.000-20.000, termasuk dari Rusia sebanyak 1.700 orang. Di Indonesia sendiri, penyebaran pengaruh ISIS dilakukan melalui beberapa jalur (halaman 13). Pertama, melalui ceramah para ustad radikal, baik internasional maupun nasional. Kedua, melalui dunia maya, terutama beberapa situs yang terang-terangan mendukung ISIS seperti Al-Mustaqbal.net, shoutussalam.com, panjimas.com, serta melalui media sosial seperti Twitter, Youtube, dan Facebook sebagai wahana propaganda. Ketiga, melalui gerilya berupa ceramah di masjid-masjid kecil, perekrutan anggota-anggota muda khususnya yang lulusan SMA atau tidak lulus kuliah, penyebaran di lembaga permasyarakatan (lapas) kepada para terpidana terorisme, pemasangan bendera ISIS di beberapa jalan di perkotaan, dan pelaksanaan pawai di tempat umum seperti yang pernah terjadi di Bundaran HI (membonceng kampanye mendukung Palestina).

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 131

Pada perkembangannya, jumlah penduduk ISIS di Indonesia mencapai 2000-an o rang , d i mana 40-an diantaranya pergi ke Suriah untuk ikut berperang. Para pendukung ISIS ini kemudian mengorganisir diri melalui Forum Aktivis Syariat Islam (Faksi) yang dibentuk oleh Muhammad Fachry pada tahun 2013. Tujuan Faksi adalah melakukan pemurnian Islam di dunia melalui pendirian khilafah Islam. Pada tahun 2014, Faksi sudah muncul di Bekasi, Malang, Bima, Solo, Makassar, Bengkulu, Lampung, dan Kalimantan Timur.

Kehadiran kelompok-kelompok radikal di atas berimplikasi pada terjadinya berbagai aksi teror di Indonesia. Untuk kelompok Jamaah Islamiyah, mereka sudah melakukan rangkaian aksi pengeboman di berbagai lokasi dan menyebabkan jatuhnya sejumlah korban meninggal dan luka. Rincian aksi pengebomannya adalah sebagai berikut:

Sementara untuk aksi teror yang dilakukan oleh pendukung ISIS, belum ada datanya di dalam buku ini. Namun, pada Januari 2016, telah terjadi aksi

Tahun Aksis Teror Jumlah Korban Tewas

Jumlah Korban Luka

2000 Bom Kedutaan Filipina 2 21 2000 Bom Bursa Efek Jakarta 15 20 2000 Bom di 38 Gereja 19 112 2002 Bom Bali I 202 240 2002 Bom Restoran McDonald Makassar 3 11 2003 Bom Hotel JW Marriot Jakarta 12 150 2004 Bom Kedutaan Australia 8 115 2009 Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta 7 53 2011 Bom Masjid Kantor Polresta Cirebon 1 (pelaku) 28

teror bom di kawasan Thamrin, Jakarta, yang diduga dilakukan oleh kelompok Bahrun Naim yang berafiliasi dengan ISIS. Insiden tersebut mengakibatkan 8 orang meninggal dunia, sementara 26 lainnya luka-luka.3 Berbagai teror bom di atas menjadi bukti bagi bahayanya radikalisme. Oleh karena itu, diperlukan langkah untuk mengatasinya, salah satunya adalah melalui deradikalisasi.

Upaya Deradikalisasi Masa Lalu: Pendekatan Hard Power dan KelemahannyaDeradikalisasi adalah upaya untuk menghentikan, meniadakan, atau paling tidak menetralisasi radikalisme. Upaya menghentikan radikalisme sebenarnya sudah dilakukan sejak masa Orde Lama hingga masa Reformasi. Pada era Orde Lama, deradikalisasi dilakukan untuk menanggulangi pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosewiryo dan cabang-cabangnya di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah pada waktu itu menggunakan cara militer (hard power) melalui penyelenggaraan berbagai operasi. Meskipun berhasil diredam, tetapi gerakan-gerakan lain yang timbul sebagai lanjutan dari ideologi untuk mendukung berdirinya negara Islam tetap bermunculan.

Di masa Orde Baru, gerakan radikal mulai melakukan perekrutan terhadap

3 Aul ia Bin tang Pra tama, “Jumlah Tota l K o r b a n B o m T h a m r i n J a d i 3 4 O r a n g ” , d iakses da r i h t tp : / /m.cnn indones ia . com/nasional/20160117140836-20-104819/jumlah-total-korban-bom-thamrin-jadi-34-orang/, pada 25 April 2016.

132 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

kaum modernis, sehingga tidak dapat dilawan dengan kekuatan militer seperti pada masa orde lama. Pada masa ini, upaya deradikalisasi dilakukan antara lain melalui pembentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan penetapan program P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila). Di masa ini, peran pemerintah sangat dominan dalam upaya deradikalisasi.

Di masa Reformasi, program deradikalisasi diselenggarakan sejak tahun 2005, yang dipelopori oleh Polri, khususnya Satuan Tugas Bom Polri. Tujuan awalnya adalah untuk membuat para tahanan teroris tertentu agar dapat bersikap kooperatif terhadap polisi dalam rangka mendukung penyidikan dan penyelidikan. Pendekatan pendekatan yang bersifat pribadi, tertutup, dan menyesuaikan dengan kultur jejaring teroris, berguna untuk memahami akar masalah terorisme. Hasil programnya adalah pemetaan jejaring teroris yang berasal dari Jamaah Islamiyah (sekitar 400 orang), termasuk keluarga mereka. Temuan lainnya, identifikasi motivasi para anggota Jamaah Islamiyah terlibat dalam aksi terorisme, yaitu spiritual, emosional, dan keuntungan materiil. Upaya deradikalisasi di masa reformasi juga diperkuat secara kelembagaan dengan dibentuknya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dalam struktur organisasinya, BNPT memiliki deputi yang secara khusus mengurusi deradikalisasi, yaitu Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi (PPD). Akan tetapi, karena pembentukannya hanya berdasarkan

instruksi presiden sehingga belum terlalu kuat sebagai landasan hukum untuk fungsi dan peran BNPT yang demikian besar.

Melalui koordinasi BNPT, program deradikalisasi dilakukan melalui dua strategi. Pertama, mengubah paradigma berpikir kelompok inti dan militan radikal terorisme agar tidak kembali melakukan aksi radikal terorisme. kedua, penangkalan ideologi, yang ditujukan untuk seluruh komponen masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh paham dan aksi radikal terorisme, misalnya melalui pelatihan anti radikal-terorisme kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) dan Training of Trainer kepada sivitas lembaga pendidikan keagamaan.

Dua strategi tersebut dilakukan melalui 4 tahapan. Yang pertama adalah tahap identifikasi, yaitu pendataan dan pengelompokan para tahanan terduga teroris, keluarga, dan jaringannya. Tahap kedua adalah rehabilitasi, yaitu melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran. Untuk menunjang tahap ini, diperlukan keterlibatan mantan napi teroris yang sudah sadar, terbukti, dan teruji memiliki komitmen kebangsaan. Ketiga, tahap reedukasi, yaitu memberikan pemahaman ulang terhadap napi teroris dan keluarganya tentang ajaran agama yang benar. Tahap ini memberikan pencerahan kepada napi teroris untuk memiliki sikap terbuka terhadap perbedaan dalam kehidupan beragama. Tahap keempat adalah resosialisasi, yaitu mengembalikan napi teroris/mantan napi

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 133

teroris dan keluarganya agar dapat hidup dan berinteraksi dengan masyarakat secara baik.

Strategi dan tahapan deradikalisasi tersebut dilaksanakan oleh BNPT bersama dengan TNI, Polri, BIN, dan masyarakat sipil. Sejak April-Oktober 2014, sudah ada 170 terpidana teroris kelas kakap yang telah menjalani program deradikalisasi di kompleks Indonesia Peace and Security Center (IPSC), Sentul, Bogor, yang dibangun dengan anggaran sebesar 1,64 triliun rupiah.

Terkait dengan isu faktual dalam menghadapi ISIS, program deradikalisasi dilakukan dengan mendorong semua elemen masyarakat berserta para tokoh untuk menolak segala bentuk ajaran ISIS. Hal ini ditunjukkan dengan dikeluarkannya pernyataan sikap resmi MUI 7 Agustus 2014. Menurut MUI, ISIS adalah gerakan radikal yang mengatasnamakan agama Islam tetapi tidak mengedepankan rasa kasih sayang dan pengampunan terhadap sesama umat Islam sendiri. MUI juga berpendapat bahwa organisasi dan institusi Islam di Indonesia harus menolak kehadiran ISIS karena berpotensi memecah belah umat Islam di Indonesia serta mengganggu kedaulatan NKRI. Selain itu, MUI menekankan kepada seluruh umat Islam di Indonesia agar tidak mudah dihasut oleh ajaran ISIS yang beredar, serta mendukung penuh tindakan pemerintah dalam memberikan hukuman yang tegas sesuai undang-undang terhadap semua orang yang memiliki keterkaitan dengan jaringan dan aktivitas terorisme di Indonesia.

Pernyataan sikap MUI selaku masyarakat sipil tersebut diikuti dengan pernyataan resmi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui Instruksi Presiden tertanggal 14 September 2014, pemerintah mengeluarkan tujuh perintah resmi. Enam perintah terkait dengan strategi jangka pendek berupa langkah anitisipatif dari aparat penegak hukum, keamanan, dan lembaga pemerintah lainnya. Sementara itu, satu perintah terkait dengan strategi jangka panjang yang dilakukan melalui pendekatan soft power terhadap semua ustad agar mau melawan ajaran ISIS di setiap ceramahnya.

Namun demikian, pelaksanaan program deradikalisasi di atas masih menemui beberapa hambatan. Pertama, UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme belum cukup kuat untuk melakukan pencegahan penyebaran ajaran radikal, t e ru tama un tuk menanggu lang i penyebaran via media sosial dan tempat tempat ibadah dalam bentuk pengajian dan khutbah, serta tidak dapat menangkap WNI yang pulang dari Suriah. Selain itu, ketidakcukupan payung hukum juga menyebabkan kesan bahwa Polri bekerja sendiri (halaman 88). Selain itu, ada ketidakjelasan peran TNI yang seolah sering ditinggalkan Polri, padahal mereka mempunyai sumber daya yang mumpuni seperti Satuan 81 Penanggulangan Teror TNI AD, Detasemen Jala Mengkara (Denjaka) TNI AL, dan Detasemen-90 Bravo TNI AU (halaman 95).

Hambatan kedua, terkait dengan kelembagaan BNPT. Pembentukan

134 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

lembaga ini hanya berdasarkan instruksi presiden, sehingga belum terlalu kuat sebagai landasan hukum untuk fungsi dan peran BNPT yang demikian besar.

Ketiga, program deradikalisasi yang selama ini berjalan berfokus pada para teroris yang menjadi narapidana dan mantan teroris yang direhabilitasi. Belum ada upaya pencegahan yang cukup agar paham radikalisme tidak menyebar ke kelompok-kelompok rentan.

Keempat, berkaca pada pengalaman dari orde lama hingga awal reformasi, strateginya masih lebih banyak dilakukan melalui pendekatan kekuatan keras (hard power), terutama untuk tujuan penegakan hukum (law enforcement). Pendekatan ini walaupun cukup berhasil, tetapi tidak efektif untuk jangka panjang. Hal ini terkait dengan fakta bahwa radikalisme adalah masalah ideologi. Walaupun pelakunya dihukum, tetapi ideologi yang ia pegang kemungkinan besar tetap tidak akan berubah selama tidak ada intervensi pemahaman. Ketika hukumannya selesai, ia dapat kembali melakukan aksi kekerasan dan teror. Oleh karena itu, upaya pemberantasan radikalisme perlu dilengkapi dengan pendekatan soft power/kekuatan lunak. Selain itu, muncul pula kritik terhadap pendekatan penegakan hukum yang dilontarkan oleh para aktivis HAM, kelompok Islam fundamentalis, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan para pengamat terorisme dalam dan luar negeri. Muncul pula kritik terkait RUU BNPT, di mana dikhawatirkan BNPT dapat menjadi lembaga “superbody” yang berpotensi melakukan tindakan apapun

demi menumpas teroris dan melanggar HAM.

Hambatan-hambatan di a tas kemudian memunculkan kebutuhan terhadap ide program deradikalisasi yang tidak hanya mengandalkan hard power dan penegakan hukum terhadap para pelaku, tetapi berupa program deradikal isas i yang menyeluruh (dari tahap pencegahan hingga tahap penyelesaian) dan memanfaatkan sumber daya yang ada, termasuk sumber daya di luar pemerintah. Salah satu ide yang muncul adalah pelibatan masyarakat sipil Indonesia dalam program deradikalisasi.

Strategi Deradikalisasi Melalui Pelibatan Masyarakat Sipil IndonesiaProgram deradikalisasi, menurut penulis buku ini, bertujuan untuk menetralisasi pengaruh ideologi radikal, khususnya yang bersumber pada pemahaman keagamaan Islam, yang menjadi landasan aksi terorisme (halaman 38). Oleh karena itu, deradikalisasi harus merupakan suatu program yang komprehensif, luas, jangka panjang, integral, dan integratif yang melibatkan semua komponen masyarakat , khususnya komponen masyarakat sipil Indonesia dan organisasi di dalamnya. Pelibatan masyarakat menjadi sesuatu yang penting karena mereka adalah pihak yang paling dirugikan dalam aksi-aksi teror. Selain itu, penanggulangan terorisme harus berorientasi pada kepentingan rakyat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 135

A d a b e b e r a p a k e m a m p u a n yang dimiliki oleh masyarakat sipil Indonesia (MSI) untuk dimanfaatkan d a l a m p r o g r a m d e r a d i k a l i s a s i . Pertama, MSI memiliki kapasitas tinggi dalam mengkomunikasikan dan menyosialisasikan gagasan, pengalaman, dan inovasi secara lebih intensif, sehingga mudah diterima oleh sesama warganya ketimbang oleh pemerintah atau aparat. Kedua, MSI juga mempunyai jejaring yang luas dan bahkan melampaui batas-batas geografis dan negara, sehingga jangkauan pengaruhnya juga dapat lebih tersebar.

Eksistensi MSI sendiri sebenarnya dapat dirunut jauh ke belakang. Benih-benih MSI sudah ada dalam tradisi budaya Indonesia yang menunjukkan ciri-ciri kemandirian, keswasembadaan, dan kesukarelaan. Hal ini tercermin dalam tradisi lumbung desa, tanah perdikan, lembaga pendidikan pesantren, budaya gotong royong, arisan, musyawarah desa, dan lain-lain.

Pentingnya pelibatan MSI juga dikuatkan secara hukum oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 30 ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Alasan-alasan di atas menjadi justifikasi yang

kuat bagi perlunya pelibatan MSI dalam program deradikalisasi.

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, perlu ada perubahan yang signifikan mengenai dasar dan perspektif program deradikalisasi . Menurut penulis di halaman 90, landasan utama program deradikalisasi seharusnya adalah dimensi sosial budaya dengan perspektif multikulturalisme, yang menurut Parsudi Suparlan “menawarkan adanya pemahaman dan penghargaan di antara kelompok-kelompok suku bangsa, ras, dan gender”. Melalui pemahaman ini, diharapkan tidak akan ada lagi berbagai stereotip yang membedakan secara tajam antara “kami” yang unggul/superior dan “mereka” yang asor/hina. Selain itu, diperlukan pula penekanan bahwa deradikalisasi bukan hanya berupa rehabilitasi, tetapi juga kontra ideologi atau deideologisasi. Adapun MSI yang perlu disertakan dalam program deradikalisasi antara lain tokoh agama, organisasi kemasyarakatan, partai politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, media massa, kalangan cendekiawan, dan sebagainya.

Selain itu, penulis juga menyarankan agar program sosialisasi deradikalisasi sebaiknya menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang meliputi pendekatan humanis, komunikasi sosial, dan partisipatif. Pendekatan humanis artinya memberikan perhatian pada aspek HAM dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Pendekatan komunikasi sosial yaitu komunikasi sinergis dan sejauh mungkin menggunakan prinsip anti kekerasan dan non-intimidasi. Adapun

136 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

pendekatan partisipatif adalah melalui pelibatan elemen-elemen masyarakat.

Dalam praktiknya, pemerintah melalui BNPT telah melakukan koordinasi melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), yang bekerja sama secara integratif dengan kantor wilayah (kanwil) Kesbangpolinmas, Kanwil Dikdasmen, Kanwil Dikti, Kanwil Agama, Kanwil Hukum dan HAM, TNI, Polri, serta seluruh elemen masyarakat seperti tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, organisasi kemasyarakatan, dan sivitas akademika. Rencananya akan dibentuk FKPT di seluruh Indonesia, tetapi baru 21 yang sudah jadi.

Untuk pengembangan dan sosialisasi deradikalisasi ke depan dengan pelibatan MSI, AS Hikam menyarankan beberapa hal. Saran pertama adalah mengenai pokok-pokok strategi pelaksanaan kebijakan yang terdiri atas tigas aspek, yaitu politik, hukum, dan sosial. Pada aspek politik, perlu ada upaya meningkatkan dukungan politik terhadap program deradikalisasi dari seluruh elemen bangsa. Pada aspek hukum, perlu upaya membentuk berbagai peraturan perundang-undangan dan/atau merevisi berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah ada (salah satu wujudnya adalah pengesahan UU Intelijen). Sedangkan pada aspek sosial, perlu ada peningkatan peran tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, dan pemuda dalam memberikan pemahaman/pengertian bahaya perkembangan ajaran-ajaran radikal. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu ada upaya memperkuat koordinasi seluruh pemangku kepentingan dan

sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil.

Saran kedua terkait dengan sasaran program pengembangan deradikalisasi, yaitu harus memperhatikan subjek, objek, metode, serta sarana dan prasarana. Untuk subjek deradikalisasi, ada tiga bagian yang perlu dilibatkan, yaitu suprastruktur berupa pemerintah pusat dan daerah, infrastruktur berupa organisasi dan lembaga politik dan sosial di tingkat pusat dan daerah, serta substruktur berupa individu/masyarakat yang bertanggung j a w a b d a l a m p e n y e l e n g g a r a a n penanggulangan terorisme.

Untuk aspek objek, deradikalisasi h a r u s m e n y a s a r o r g a n i s a s i kemasyarakatan sipil, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh daerah, organisasi kemasyarakatan, media massa, serta para pimpinan formal dan informal.Untuk metode deradikalisasi, beberapa cara/tahapan dapat dilakukan. Ada metode fasilitasi, yaitu dukungan fasilitas dari pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki kapasitas kepada pihak-pihak yang memerlukan. Ada pula metode edukasi, yaitu penanaman ilmu-ilmu sosial yang moderat, dapat berupa pelatihan, seminar, FGD, sarasehan, dan sebagainya. Untuk menjalankan metode edukasi, diperlukan dukungan media komunikasi, baik personal, interpersonal, maupun massal. Selain itu, ada juga metode partisipasi, di mana setiap individu memberikan kontribusinya. Tahapan inilah yang dianggap paling krusial. Metode yang juga tak kalah penting adalah keteladanan dari para pemimpin yang menjadi rujukan masyarakat dalam

Tinjauan Buku ... | Sandy Nur Ikfal Raharjo | 137

kehidupan sehari-hari. Terakhir, metode koordinasi yang kuat antarpihak yang berkepentingan.

Pelaksanaan metode tersebut membutuhkan sarana prasarana di setiap tahapannya. Misalnya untuk metode keteladanan, diperlukan perangkat norma, nilai, dan perilaku. Contoh lainnya, untuk saranan koordinasi diperlukan lembaga-lembaga yang berfungsi mengintegrasikan, menyelaraskan, dan menyerasikan.

N a m u n d e m i k i a n , s t r a t e g i p e n g e m b a n g a n d a n s o s i a l i s a s i deradikalisasi melalui pelibatan MSI di atas tidak akan berjalan optimal kalau belum ada aturan baku dan detail yang menjadi payung hukumnya. Pasal 30 ayat 1 dan 2 UUD 1945 perlu diperkuat dengan peraturan di bawahnya. Di titik inilah perjuangan aspek politik menjadi penting dilakukan untuk mendapat dukungan dari segenap elemen bangsa, baik pemerintah, parlemen, maupun masyarakat umum.

PenutupApresiasi perlu diberikan kepada penulis buku ini yang telah mengangkat isu yang penting, yaitu radikalisme. Wacana yang dikembangkan juga bagus, yaitu deradikalisasi, bukan semata-mata penanggulangan terorisme. Hal ini sejalan dengan tulisan dari Ömer Taspınar bahwa yang perlu diperangi adalah radikalisme sebagai akar penyebab terorisme.4

4 Ömer Taspınar, “Fighting Radicalism, not ‘Terrorism’: Root Causes of an International Actor Redefined”, Sais Review Volume XXIX no.2 (Summer-Fall 2009), hlm. 75-86.

Terorisme hanyalah satu bagian dari bentuk perwujudan radikalisme. Masih ada bentuk bentuk perwujudan negatif lain dari radikalisme, misalnya melalui penyerangan massal kepada kelompok lain, bukan hanya untuk menebarkan teror. Walaupun demikian, ada beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian.

Pertama, dari segi teknis, masih d i t emukan ben tuk pengulangan informasi dan penjelasan, yang dapat membuat pembaca bingung. Misalnya di bab V halaman 160 sudah ada subbab Pengembangan dan Sosialisasi Program Deradikalisasi. Namun kemudian, hal tersebut diulangi dengan memberikan judul Bab VI Pengembangan dan Sosialisasi Program Deradikalisasi di Indonesia.

Kedua, buku ini masih terlalu spesifik pada deradikalisasi kelompok agama, khususnya Islam. Padahal, ada pula potensi radikalisme dengan menggunakan ideologi lain, misal gerakan separatis di Papua yang juga sering melakukan teror. Pendekatan kultural dan agama diperlukan melalui partisipasi tokoh pendeta di sana untuk mengatasi radikalisme tersebut. Tetap perlu ada upaya pencegahan secara menyeluruh, jangan hanya pada kelompok Islam radikal saja.

K e t i g a , e v a l u a s i p r o g r a m deradikalisasi yang dibahas lebih banyak berfokus pada aspek dalam negeri. Penganganan terhadap faktor eksternal penyebab radikalisme belum terlalu terlihat. Padahal di bab IV dijelaskan faktor lingkungan strategis global yang turut menjadikan Indonesia sebagai

138 | Jurnal Ilmu Politik | Volume 22, No.1, Tahun 2017 | Hlm. 125-138

wilayah perebutan pengaruh dan posisi strategis, misalnya dengan kehadiran jaringan Al Qaeda di Indonesia seperti JI, Al Qaeda Aceh, MMI, dan JAT. Memang dijelaskan tentang berbagai dokumen kerja sama penganggulangan terorisme di tingkat ASEAN yang meliputi tiga tahap, mulai dari ratifikasi konvensi internasional, kerja sama antarkepolisian, dan membuat perjanjian prosedur pertukaran informasi untuk memberantas kejahatan transnasional (121). Tetapi belum dijelaskan bagaimana implementasinya. Kasus perompakan kapal dan penyanderaan WNI di lautan Filipina tampaknya perlu menjadi pelajaran bagi pentingnya hal tersebut.

Sebagai penutup, ide pemberdayaan peran masyarakat sipil Indonesia dalam membendung radikalisme tampaknya perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Peran MSI tersebut tidak hanya berupa penempatan mereka secara fisik dalam program rehabilitasi dan sosialisasi yang sudah dirumuskan sebelumnya. Akan tetapi, perlu ada perombakan dasar, perspektif, dan pendekatan dalam program deradikalisasi, mu la i da r i t ahap pe rencanaan , pelaksanaan, hingga evaluasi.l

Daftar PustakaAzra, Azyumardi. Konflik Baru Antar

Peradaban: Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2002.

Hikam, Muhammad A.S. Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme. Jakarta: Kompas, 2016.

Pratama, Aulia Bintang. “Jumlah Total Korban Bom Thamrin Jadi 34 Orang”. Diakses dari http://m.cnnindonesia.com/nasional/20160117140836-20-104819/jumlah-total-korban-bom-thamrin-jadi-34-orang/, pada 25 April 2016.

Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi (ed.). Islam dan Radikalisme di Indonesia Jakarta: LIPI Press, 2005.

Taspınar, Ömer. “Fighting Radicalism, not ‘Terrorism’: Root Causes of an International Actor Redefined”, Sais Review Volume XXIX no.2 (Summer-Fall 2009), hlm. 75-86.

Tentang Penulis | 139

TENTANG PENULIS

Saiful Mujani adalah Dosen Ilmu Politik FISIPUniversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), penulis dapat di hubungi melalui email: [email protected]

Erwin Indradjaja adalah Dosen Tetap Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI). Penulis dapat dihubungi melalui email di: [email protected],

Fredy B. L. Tobing adalah Dosen Tetap dan Ketua Departemen Hubungan Internas ional FISIP Univers i tas Indonesia. Selain itu penulis juga aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (PP AIPI). Penulis dapat dihubungi melalui email di: [email protected]

Irine Hiraswari Gayatri merupakan peneliti di Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pegetahuan Indonesia (P2Politik-LIPI). Selain itu aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (PP AIPI). Email: [email protected]

Daud Ferry Liando saat ini bekerja sebagai dosen Ilmu Politik Fisip Unsrat Manado. Menyelesaikan studi S1 pada Program studi Ilmu Politik Fisip Unsrat dan menyelesaikan studi pada program S3 di FISIP Universitas Padjajaran Bandung. Saat ini menjabat sebagai Dosen Pengelola minat Program Tata Kelola Kepemiluan di Pascasarjana Unsrat kerja sama dengan KPU dan Bawaslu RI. Email: [email protected]

Dwi Windyastuti Budi Hendrarti dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. Ketua Pengurus Cabang AIPI Surabaya dan juga Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (PP AIPI). Email: [email protected]

Dede Marian adalah Guru Besar Ilmu Pemerintahan, dosen pada Program Sarjana dan Pascasar jana FISIP Universitas Padjadjaran, Pascasarjana Unjani, dan dosen non regular di Sesko AD, Sesko AU, dan Sespim POLRI. Pengurus AIPI Pusat dan Ketua Cabang AIPI Bandung, Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) Jawa Barat.Anggota Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI). Email: [email protected]

140 | Jurnal Ilmu Politik | Edisi 22, Tahun 2017 | Hlm. 139-140

I Wayan Gede Suacana adalah Ketua Pusat Kajian Governance dan Kearifan Lokal Universitas Warmadewa Denpasar. Menyelesaikan pendidikan S1 Pemerintahan, S2 Administrasi Publik di UGM dan S3 Kajian Budaya di Unud. Ketua PC AIPI Bali. Alamat E-mail: [email protected]

Sandy Nur Ikfal Raharjo adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik -LIPI). Serta aktif sebagai Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (PP AIPI) Email: [email protected]

Indeks | 141

INDEKS

Akseptabilitas ix, 76, 82Amerika Serikat 20, 33Anggaran ii, ix, 58, 59, 60, 61, 67, 68, 69,

70, 71, 73, 85, 88, 96, 101, 107, 116, 133

Aparatur Sipil Negara x, 91, 92, 93, 94, 99, 100

Asertif ii, ix, 76, 86, 87Asia i, iii, v, vii, xiii, 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 20, 21, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 54, 55, 95, 96, 98, 121, 122, 127

Baghdadi vii, viii, xiv, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 37, 38, 39

Bali v, x, xi, xvi, xvii, 51, 53, 105, 106, 107, 108, 111, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 126, 140

Banyuwangi ix, xv, 75, 76, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87

Bawaslu ix, xv, 57, 58, 62, 69, 73, 74BNPT 132, 133, 134, 135budaya politik vii, 2, 12, 13, 16Caleg ix, 76, 80, 81, 82, 84, 89Demokrasi i, v, 1, 3, 8, 9, 10, 11, 13, 15,

17, 77, 79, 115, 119Deradikalisasi xi, 125Elektabilitas ii, ix, 76, 82, 87Evaluasi v, vii, 2, 16, 61, 62FGD ix, xv, 57, 58, 136Filipina i, vii, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, 130, 138Hard Power 131Hubungan Internasional v, vii, viii, 19, 20,

25, 33, 35, 37, 44, 139

Indonesia i, ii, v, vii, viii, x, xi, xiii, xiv, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 19, 38, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 58, 59, 77, 91, 92, 93, 95, 96, 98, 99, 101, 102, 103, 107, 108, 109, 115, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 143

Iraq iii, v, vii, viii, xiii, xiv, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 126

Islam iii, v, vii, viii, xi, 1, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 121, 125, 126, 127, 128, 130, 131, 133, 134, 137, 138, 139

Jepang vii, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 117Kediri ix, xv, 75, 76, 81, 82, 83, 84, 85, 86,

87Kepala daerah ix, 58, 59, 60, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 85, 86, 87, 101

Kepemimpinan ii, x, 26, 73, 80, 84, 85, 92, 101, 102, 103, 113, 114, 119, 121

Kinerja vii, x, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 61, 88, 92, 95, 99, 100, 101, 103, 120

Kode etik x, 92, 93, 100, 102, 103Konsolidasi i, vii, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16Konstruktivisme viii, 20Kontestasi ix, 75Korea Selatan vii, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 12

142 | Jurnal Ilmu Politik | Edisi 22, Tahun 2017 | Hlm. 141-142

KPUD ix, xv, 57, 58, 62, 73Kuota perempuan ix, 76, 81, 82, 84, 87, 88Lamongan ix, xv, 75, 76, 81, 83, 84, 85,

86, 87Liberalisme viii, 20Malaysia i, vii, xiii, 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11,

12, 38, 46, 47, 95, 98, 130Masyarakat sipil ii, xi, 108, 110, 125, 127,

132, 133, 134, 136, 138Meritokrasi x, 92, 103Model ekonomi politik viiMongolia vii, xiii, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 11, 12, 16National Action Plan 48, 49, 50, 51Negara Islam iii, viii, 20, 21, 25, 28, 35,

126, 131NIIS iii, v, vii, viii, 19, 20, 21, 22, 23, 24,

25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40

Orde baru 58Otonomi Desa v, 105, 108, 112P3AKS 48, 51, 52, 53Partai politik ix, 62, 63, 71, 72, 73, 76, 81,

82, 84, 86, 87, 88, 101, 135Partisipasi 62, 115, 122Perempuan ii, viii, ix, 43, 44, 48, 76, 77,

79, 80, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 119

Periodisasi ix, 58, 60, 61, 71, 72, 73pilkada serentak ii, ix, 58, 61, 68, 74, 77

Realisme viii, 20Reformasi Birokrasi xRepresentasi Deskriptif ixRusia 20, 28, 32, 34, 35, 40, 130Sidoarjo ix, xv, 75, 76, 81, 82, 83, 84, 85,

86, 87Sulawesi Utara ii, v, ix, 57, 58, 61, 62, 63,

69, 72, 73, 74Sunni viii, xiv, 19, 20, 26, 27, 28, 34, 38,

39Surabaya ix, xv, 59, 75, 76, 81, 82, 83, 84,

85, 86, 87, 139Suriah iii, v, vii, viii, 20, 21, 22, 23, 24, 25,

26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 126, 127, 130, 133

Survei opini publik vii, 2, 6, 7, 15Syiah viii, 20, 26, 27, 34, 35, 39, 40Taiwan vii, xiii, 1, 2, 3, 6, 8, 10, 12tata kelola pemerintahan x, xi, 93, 98, 100,

106, 109, 118Terorisme xi, 125UNSCR 1325 v, viii, xiv, 43, 44, 45, 47,

48, 50, 51, 53, 54, 55

Ketentuan Penulisan Jurnal Ilmu Politik AIPI | 143

KETENTUAN PENULISAN NASKAH

JURNAL ILMU POLITIK ASOSIASI ILMU POLITIK INDONESIA

FORMAT NASKAH

• Judul• Nama penulis (tanpa gelar)• Afiliasi lembaga• Alamat email• Abstrak (dalam bahasa Indoneia dan

bahasa Inggris)• Kata kunci• Pendahuluan• Pembahasan• Penutup• Daftar pustaka• Biodata singkat kumulatif

CARA PENULISAN NASKAH

1. Naskah atau artikel harus orisinal, belum pernah dipublikasi, dan diketik dalam format Ms. Word versi 2000 ke atas dengan ukuran kertas A4, spasi 1.5 dan font Times New Roman atau Arial ukuran 12;

2. Naskah dikirim dalam bentuk soft copy melalui email ke: [email protected]

3. Panjang artikel minimum 4500 kata dan maksimum 6000 kata, tidak termasuk daftar pustaka;

4. Panjang Abstrak tidak lebih dari 150 kata;

5. Bahasa yang digunakan dalam jurnal ini adalah bahasa Indonesia dengan menggunakan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Istilah dalam bahasa daerah atau bahasa asing lain hendaknya disertai pedoman pelafalannya dan ditulis dalam huruf miring;

6. Pengutipan sumber tercetak (Referensi) dituliskan dalam catatan kaki (footnote) dengan Chicago Manual of Style ketentuan penulisan sebagai berikut:

Jenis

Pustaka

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

Buku Michael Pollan, The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals, (New York: Penguin, 2006), hlm. 99–100. Michael Pollan, Omnivore’s Dilemma…, hlm. 3 (pemisahnya adalah tanda koma) (kota terbit dan penerbit diberi tanda kurung)

Pollan, Michael. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. New York: Penguin, 2006. (pemisahnya adalah tanda titik)

Bab dalam buku

John D. Kelly, “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”, dalam John D. Kelly (Ed.), Anthropology and Global Counterinsurgency, (Chicago: University of Chicago Press, 2010), hlm. 77. John D. Kelly, “Seing Red…”, hlm. 86.

Kelly, John D. “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”. Dalam John D. Kelly (Ed.). Anthropology and Global Counterinsurgency. Chicago: University of Chicago Press, 2010.

Artikel Jurnal

Joshua I. Weinstein, “The Market in Plato’s Republic”, Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 440. Joshua I. Weinstein, “The Market…”, hlm. 200.

Weinstein, Joshua I. “The Market in Plato’s Republic”. Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 439–458.

Artikel koran cetak

Daniel Mendelsohn, “But Enough about Me”, New Yorker, 25 Januari 2010, hlm. 68.

Mendelsohn, Daniel. “But Enough about Me.” New Yorker, 25 Januari 2010.

Artikel koran online

Sheryl Gay Stolberg dan Robert Pear, “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”, New York Times, diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda koma)

Stolberg, Sheryl Gay, dan Robert Pear. “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”. New York Times. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda titik)

Website lembaga

Food and Agriculture Organization, “Mekong River Basin”, diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda koma)

Food and Agriculture Organization. “Mekong River Basin”. Diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda titik)

144 | Jurnal Ilmu Politik | Edisi 22, Tahun 2017 | Hlm. 141-

Jenis

Pustaka

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

Buku Michael Pollan, The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals, (New York: Penguin, 2006), hlm. 99–100. Michael Pollan, Omnivore’s Dilemma…, hlm. 3 (pemisahnya adalah tanda koma) (kota terbit dan penerbit diberi tanda kurung)

Pollan, Michael. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. New York: Penguin, 2006. (pemisahnya adalah tanda titik)

Bab dalam buku

John D. Kelly, “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”, dalam John D. Kelly (Ed.), Anthropology and Global Counterinsurgency, (Chicago: University of Chicago Press, 2010), hlm. 77. John D. Kelly, “Seing Red…”, hlm. 86.

Kelly, John D. “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”. Dalam John D. Kelly (Ed.). Anthropology and Global Counterinsurgency. Chicago: University of Chicago Press, 2010.

Artikel Jurnal

Joshua I. Weinstein, “The Market in Plato’s Republic”, Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 440. Joshua I. Weinstein, “The Market…”, hlm. 200.

Weinstein, Joshua I. “The Market in Plato’s Republic”. Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 439–458.

Artikel koran cetak

Daniel Mendelsohn, “But Enough about Me”, New Yorker, 25 Januari 2010, hlm. 68.

Mendelsohn, Daniel. “But Enough about Me.” New Yorker, 25 Januari 2010.

Artikel koran online

Sheryl Gay Stolberg dan Robert Pear, “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”, New York Times, diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda koma)

Stolberg, Sheryl Gay, dan Robert Pear. “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”. New York Times. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda titik)

Website lembaga

Food and Agriculture Organization, “Mekong River Basin”, diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda koma)

Food and Agriculture Organization. “Mekong River Basin”. Diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda titik)

Jenis

Pustaka

Catatan Kaki

Daftar Pustaka

Buku Michael Pollan, The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals, (New York: Penguin, 2006), hlm. 99–100. Michael Pollan, Omnivore’s Dilemma…, hlm. 3 (pemisahnya adalah tanda koma) (kota terbit dan penerbit diberi tanda kurung)

Pollan, Michael. The Omnivore’s Dilemma: A Natural History of Four Meals. New York: Penguin, 2006. (pemisahnya adalah tanda titik)

Bab dalam buku

John D. Kelly, “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”, dalam John D. Kelly (Ed.), Anthropology and Global Counterinsurgency, (Chicago: University of Chicago Press, 2010), hlm. 77. John D. Kelly, “Seing Red…”, hlm. 86.

Kelly, John D. “Seeing Red: Mao Fetishism, Pax Americana, and the Moral Economy of War”. Dalam John D. Kelly (Ed.). Anthropology and Global Counterinsurgency. Chicago: University of Chicago Press, 2010.

Artikel Jurnal

Joshua I. Weinstein, “The Market in Plato’s Republic”, Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 440. Joshua I. Weinstein, “The Market…”, hlm. 200.

Weinstein, Joshua I. “The Market in Plato’s Republic”. Classical Philology Vol. 104 No. 2 (2009), hlm. 439–458.

Artikel koran cetak

Daniel Mendelsohn, “But Enough about Me”, New Yorker, 25 Januari 2010, hlm. 68.

Mendelsohn, Daniel. “But Enough about Me.” New Yorker, 25 Januari 2010.

Artikel koran online

Sheryl Gay Stolberg dan Robert Pear, “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”, New York Times, diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda koma)

Stolberg, Sheryl Gay, dan Robert Pear. “Wary Centrists Posing Challenge in Health Care Vote”. New York Times. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/02/28/us/politics/28health.html pada 28 Februari 2010. (pemisahnya adalah tanda titik)

Website lembaga

Food and Agriculture Organization, “Mekong River Basin”, diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda koma)

Food and Agriculture Organization. “Mekong River Basin”. Diakses dari http://www.fao.org/nr/water/aquastat/basins/mekong/mekong-CP_eng.pdf pada 19 Mei 2015. (pemisahnya adalah tanda titik)