JURNAL HUKUM FINTECH, TEKNOLOGI, VOLUME 1 - JUNI 2018 · Apalagi jika dilihat bahwa ada beberapa...
-
Upload
hoangkhanh -
Category
Documents
-
view
226 -
download
0
Transcript of JURNAL HUKUM FINTECH, TEKNOLOGI, VOLUME 1 - JUNI 2018 · Apalagi jika dilihat bahwa ada beberapa...
JURNAL HUKUM FINTECH, TEKNOLOGI,
TELEKOMUNIKASI & PERBANKAN SYARIAH
VOLUME 1 - JUNI 2018
PRIHATWONO LAW RESEARCH
i
KATA SAMBUTAN
Dr. Murniati Mukhlisin, M.Acc
Ketua, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia
Pembina, Asosiasi FinTech Syariah Indonesia
Menurut perkembangan terbaru, bisnis di bidang teknologi keuangan atau dikenal dengan
FinTech ini akan terus tumbuh di Indonesia. Buktinya pada bulan Juni 2018, sudah ada 53
perusahaan FinTech konvensional dan 1 perusahaan FinTech Syariah yang sudah terdaftar di
OJK, dan ada 34 perusahaan yang masih dalam proses didaftarkan.
Dari sini regulasi, Bank Indonesia telah mengeluarkan peraturan PBI 18/40/PBI/2016 tanggal
14 November 2016 tentang penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Begitu juga
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi FinTech yaitu Peraturan OJK
Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 29 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi. Hal ini menunjukkan bahwa regulator sudah menangkap
peluang pasar dengan memagarinya dengan peraturan walaupun regulasi – regulasi tersebut
baru mengatur transaksi konvensional.
Untuk menjawab permasalahan dalam transaksi syariah, Dewan Syariah Nasional-Majelis
Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa No: 116/DSN-MUI/IX/20I7 tentang Uang
Elektronik Syariah dan Fatwa No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan
Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
Melihat peluang dan tantangan di atas, Prihatwono Law Research sudah mengambil langkah
yang tepat dengan menerbitkan jurnal hukum pertama “Jurnal Hukum FinTech, Teknologi,
Telekomunikasi dan Perbankan Syariah” yang merupakan kumpulan tulisan dari associate
dan researcher di Law Firm Prihatwono yang mempunyai perhatian terhadap isu – isu terkini
mengenai syariah.
Harapannya, tulisan – tulisan dalam jurnal ini akan bermanfaat baik bagi praktisi dalam
pengembangan bisnis dan pembuatan kebijakan maupun akademisi dalam pengayaan bidang
keilmuan.
Yang menjadi permasalahan terbesar sebuah manajemen penerbitan jurnal ilmiah adalah
ketepatan waktu penerbitan dan peningkatan kualitas tulisan. Semoga jurnal ini dari waktu ke
ii
waktu dapat mengatasi permasalahan tersebut. Untuk itu saya mengajak semua stakeholders
terutama pembaca dan peneliti bidang FinTech, teknologi, telekomunikasi dan perbankan
syariah ini dapat memberikan dukungan maksimal.
Saya ucapkan selamat kepada penggagas jurnal ini, Mas Arisakti Prihatwono dan tim
Prihatwono Law Research yang solid yaitu Mas Ade Bagus Riadi dan Mbak Sasmita
Flouridaningrum yang telah mewujudkan jurnal hukum ini. Semoga ikhtiar ini dalam rangka
menjadi bagian dari khoirunnas anfa’uhum linnas.
Salam ta’dzim,
Murniati
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah ... Jelang akhir Ramadhan 1439 H atau di awal Juni 2018, Prihatwono Law
Research menyelesaikan jurnal pertama-nya. Ini adalah sebuah kumpulan tulisan dari
associate dan researcher di Law Firm Prihatwono yang mempunyai perhatian terhadap issue
Financial Tecnology, Perbankan Syariah, Telekomunikasi dan Teknologi pada umumnya.
Perkembangan teknologi yang luas dan cepat tidak hanya memberikan kenyamanan bagi
penduduk dunia namun juga menimbulkan banyak permasalahan hukum baru. Tidak hanya
hukum privat namun juga hukum publik yang mengatur kemashalatan bersama melalui
peraturan perundangan. Masuknya Over the Top (“OTT”) ke wilayah yurisdiksi sebuah
negara jelas membuat banyak perubahan bagi negara tersebut serta bentuk menyikapi institusi
hukum-nya. Bagaimana otoritas pajak berbagai negara repot ketika mengenakan pajak
terhadap OTT. Kerepotan ini mengingat OTT tidak tunduk pada otoritas negara namun
mengambil manfaat dari penduduk negara tersebut. Kasus RIM dan Google adalah salah satu
sedikit dari OTT yang membuat pusing otoritas.
Tidak hanya masalah kedaulatan negara yang terganggu namun juga privasi publik menjadi
bermasalah ketika data pribadi seolah menjadi komoditas yang dapat digunakan berbagai
pihak untuk kepentingan komersialnya. Pendaftaran masuk ke layanan berbasis aplikasi serta
pendaftaran melalui daring (online) yang kemudian dilanjutkan dengan pola interaksi
konsumen dengan penyedia jasa daring tersebut dapat dideteksi melalui pola perilaku. Pola
inilah yang kemudian bisa ditambang dan menjadi data statistik yang mengagumkan. Jika
data ini bersifat pola tentu tidak menimbulkan masalah namun bagaimana bila ini adalah data
yang menunjukkan data pribadi ? Tentu ini sangat mengganggu dan merupakan pelanggaran
hukum. Kasus Facebook baru-baru ini menunjukkan betapa rentannya privasi data pengguna-
nya. Apalagi jika dilihat bahwa ada beberapa negara yang belum mempunyai Undang
Undang Perlindungan Data Pribadi, seperti Indonesia. Hal ini tentunya akan menambah
pekerjaan rumah bagi DPR serta Pemerintah. Sebaiknya issue perlindungan data pribadi
mesti cepat dicari jalan keluarnya. Urusan E-KTP dan data privasi yang ada dalam
penyimpanan institusi negara juga perlu diberikan perlindungan. Masuknya kita ke era
teknologi informasi mesti disikapi dengan kecepatan pemahaman dan perlindungan yang
utama kepada pengguna-nya yaitu konsumen jika itu adalah swasta ataupun penduduk jika itu
adalah institusi negara.
iv
Teknologi juga memberi harapan bagi perkembangan Financial Technology (Fintech). Di era
teknologi berkembang pesat mampu memberikan ancaman bagi industri keuangan
konvensional. Perbankan, asuransi, leasing dan silo-silo industri keuangan menjadi
terpangkas membentuk silo baru yang lebih slim dan jauh dari pembagian definisi di
peraturan keuangan yang lama. Teknologi mampu memberikan kecepatan, kenyamanan dan
tentu saja kemanfaatan bagi pengguna-nya. Semua ini menimbulkan masalah disisi regulator.
Namun seperti dilakukan di banyak negara, Regulatory Sandbox adalah keniscayaan.
Pemerintah menunggu dengan sangat hati-hati perkembangan teknologi ini.
Di era inilah keuangan syariah juga mulai menggeliat. Didukung jumlah kelas menengah
muslim yang meningkat drastis di dekade ini serta keinginan ber-Islam secara kaffah
membuat market di kelas ini membutuhkan banyak sekali layanan yang sesuai dengan ajaran
Islam. Fintech Syariah di Indonesia sudah berkembang sangat cepat dan jumlah penyedia jasa
di Indonesia melampaui jumlah penyedia jasa layanan Fintech Syariah di dunia. Tak hanya
Fintech Syariah, Perbankan Syariah juga mesti berbenah karena ada kewajiban di tahun 2023
Perbankan Indonesia punya kewajiban menyapih usaha-nya. Tak boleh lagi Perbankan
Konvensional mempunyai Unit Usaha Syariah. Mesti murni syariah. Prihatwono Legal
Research menyoroti dengan seksama di sektor ini dan mendapati perkembangan yang teramat
cepat.
Akhirul kalam, saya ucapkan terima kasih kepada team Prihatwono Law Research yaitu Ade
Bagus Riadi dan Sasmita Flouridaningrum yang telah bekerja keras dan mewujudkan jurnal
ini.
Selamat menikmati jurnal hukum ini. Semoga bermanfaat !
Arisakti Prihatwono
Managing Partner Law Firm Prihatwono
v
DAFTAR ISI
Kata Sambutan Rektor STEI Tazkia…………………………………………………… i
Kata Pengantar……………………………………………………………….…..……. iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………..…… v
Aspek Hukum Dalam Menjalankan Perusahaan Fintech Lending Di Indonesia….. 1
Mengapa Memilih Fintech Syariah ?......................................................................... 7
Pelaku Usaha Fintech Wajib Terdaftar Asosiasi…………………………………… 10
Kerugian Usaha Pada Pembiayaan Skema Akad Mudharabah……………………. 13
Siapa Yang Harus Bertanggung Jawab?
Spin Off Perbankan Syariah Tahun 2023…………………………………………… 20
Urgensi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Di Indonesia……………….. 24
Waspada Dalam Memanfaatkan Data Pribadi Konsumen…………………………. 29
Profil Penanggung Jawab ………………………………………………………………. 32
Profil Penulis ...……………………………………………………...…………..……… 33
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
1
ASPEK HUKUM DALAM MENJALANKAN PERUSAHAAN FINTECH LENDING DI
INDONESIA
Ade Bagus Riadi
Istilah fintech yang merupakan akronim dari financial technology yang saat ini sudah
tidak asing lagi di dunia bisnis Indonesia beberapa tahun belakangan, bahkan sudah ada regulasi
tersendiri yang mengatur mengenai fintech dan macam-macamnya kini menjadi trend atau role
bisnis baru yang memanfaatkan kecanggihan teknologi dan informasi dalam meraih keuntungan
usahanya. Fintech muncul pertama kali pada tahun 2004 di Inggris oleh Zopa, yaitu institusi
keuangan di Inggris yang bertugas meminjamkan uang. Konsep inti dari pengembangan fintech
ini adalah konsep peer-to-peer (P2P) yang sebenarnya sudah digunakan terlebih dahulu oleh
Napster untuk music sharing di tahun 1999. Di Indonesia sendiri, fintech mulai berkembang
pesat dan menjadi tren di tahun 2016 hingga tahun 2017. Pelopor booming nya fintech di
Indonesia adalah perusahaan Go-Jek yang berdiri di tahun 2010 dan menjadi tren setelah 4-5
tahun Go-Jek berdiri. Dengan berdirinya Go-Jek, banyak perusahaan-perusahaan lain yang
mengadaptasi fintech sebagai basis dari perusahaan mereka.
Fintech atau yang dalam bahasa Indonesianya disebut Teknologi Informasi adalah
penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi,
dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem
keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.1 Bahwa
perkembangan teknologi dan sistem informasi saat ini terus melahirkan berbagai inovasi,
khususnya yang berkaitan dengan teknologi finansial untuk memenuhi berbagai kebutuhan
masyarakat termasuk akses terhadap layanan finansial dan pemrosesan transaksi. Berdasarkan
pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/ PBI 2017 tentang teknologi finansial bahwa
teknologi finansial ini harus memenuhi kriteria yaitu:
a. Bersifat inovatif
b. Dapat berdampak pada produk, layanan, teknologi dan/atau model bisnis finansial yang
telah eksis
c. Dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
1 Lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Finansial.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
2
d. Dapat dipergunakan secara luas
e. Kriteria lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
Bank Indonesia selanjutnya membagi penyelenggaraan fintech ke dalam beberapa macam
kategori berdasarkan jenis inovasi yaitu :2
a. Sistem pembayaran
Sistem pembayaran mencakup otorisasi, kliring, penyelesaian akhir, dan pelaksanaan
pembayaran. Contoh penyelenggaraan teknologi finansial pada kategori sistem pebayaran
antara lain penggunaan teknologi blockchain atau distributed ledger untuk
penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dompet elektronik, dan mobile payments.
b. Pendukung pasar
Yang dimaksud dengan pendukung pasar adalah teknologi finansial yang menggunakan
teknologi informasi dan/atau teknologi elektronik untuk memfasilitasi pemberian
informasi yang lebih cepat dan lebih murah terkait dengan produk dan/atau layanan jasa
keuangan kepada masyarakat. Contoh penyelenggaraan teknologi finansial pada kategori
pendukung pasar (market support) antara lain penyediaan data perbandingan informasi
produk atau layanan jasa keuangan.
c. Manajemen investasi dan manajemen resiko
Contoh penyelenggaraan teknologi finansial pada kategori manajemen investasi dan
manajemen risiko antara lain penyediaan produk investasi online dan asuransi online.
d. Pinjaman, pembiayaan, dan penyediaan modal
Contoh penyelenggaraan teknologi finansial pada kategori pinjaman (lending),
pembiayaan (financing atau funding), dan penyediaan modal (capital rising) antara lain
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (peer-to-peer lending) serta
pembiayaan atau penggalangan dana berbasis teknologi informasi (crowd-funding).
e. Jasa finansial lainnya
Sejauh ini regulasi yang mengatur langsung mengenai fintech masih sedikit dan belum
dibahas secara menyeluruh. Dari sudut pandang peraturan perundang-undangan, belum ada
aturan selevel undang-undang yang mengatur secara khusus fintech ini. Namun, Otoritas Jasa
2 Lihat Pasal 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
3
Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sesuai dengan kewenangannya yang mengatur dan
mengawasi industri jasa keuangan telah menerbitkan beberapa regulasi untuk mengatur fintech
yang sedang berkembang pesat ini. Berikut adalah beberapa regulasi tersebut :3
1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI)
OJK membuat aturan ini untuk mengatur berbagai hal yang harus ditaati oleh
penyelenggara bisnis pinjaman dari pengguna ke pengguna, atau yang biasa disebut
dengan fintech peer-to-peer lending (P2P lending). Pada intinya, POJK ini bertujuan
untuk melindungi konsumen terkait keamanan dana dan data, pencegahan pencucian
uang dan pendanaan terorisme, stabilitas sistem keuangan, hingga para pengelola
perusahaan fintech. Ketentuan ini juga mengatur mengenai batas kepemilikan saham
asing, modal minimal, batas maksimal pinjaman, keharusan pembuatan escrow account,
serta beberapa prinsip yang wajib diterapkan penyelenggara fintech.
2. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran (PTP)
Sebagaimana dilansir dari laman resminya, terbitnya PBI Nomor 18/40/PBI/2016
ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk di bidang jasa sistem
pembayaran, baik dari sisi instrumen, penyelenggara, mekanisme maupun infrastruktur
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran. Cakupan dalam PBI ini meliputi
penyelenggaraan dalam pemrossan transaksi pembayaran, perizinan dan persetujuan
dalam penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, kewajiban dalam
penyelenggaraan pemrosesan transaksi pembayaran, laporan, peralihan izin
penyelenggara jasa sistem pembayaran dan pengawasan, larangan, serta sanksi.
3. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan
Teknologi Finansial
Perkembangan fintech di Indonesia tumbuh begitu cepat sehingga dikhawatirkan
akan berdampak buruk pada penyelenggaraannya. Untuk itu, BI menerbitkan PBI Nomor
3 https://kliklegal.com/mengenal-regulasi-yang-mengatur-fintech-di-indonesia/ diakses pada 15 Mei 2018, Pukul
14.00 WIB.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
4
19/12/PBI/2017 sebagai payung hukum demi menjaga kestabilan sistem keuangan di
Indonesia tersebut. Terbitnya PBI Nomor 19/12/PBI/2017 ini bertujuan untuk
mendukung terciptanya stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, serta sistem
pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan andal untuk mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif dengan menerapkan prinsip
perlindungan konsumen serta manajemen risiko dan kehati-hatian.
Di samping itu, BI juga menerbitkan ketentuan pelaksanaan PBI penyelenggaraan
Teknologi Finansial diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No.
19/14/PDAG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi
Finansial dan PADG No. 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran,
Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial.
Selain dari beberapa regulasi tersebut Fintech dalam menjalankan usahanya juga harus
memperhatikan beberapa aspek hukum yaitu :
1. Perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen pengguna layanan fintech umumnya terkait dengan keamanan
dan kerahasiaan data pribadi serta perlindungan dana pengguna. Hal tersebut karena segala
aspeknya telah terintegrasi dengan teknologi yang mana masih rawan akan penyalahgunaan
data/isu privasi pengguna Fintech baik disengaja maupun tidak. Dalam POJK Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
telah mengatur dan mewajibkan pelaku usaha fintech untuk berusaha terkait perlindungan
konsumen ini. Sebagaimana diwajibkan pada Pasal 29 POJK ini dimana Penyelenggara wajib
menerapkan prinsip dasar dari perlindungan Pengguna yang terdiri dari transparansi,
perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data dan penyelesaian sengketa
pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Selain itu penyelenggara fintech
juga harus menaruh perhatian pada masalah cyber risk. Cyber risk adalah segala risiko
kerugian bagi keuangan perusahaan, baik itu berupa kekacauan, pencurian data rahasia, atau
pencemaran nama baik, yang terjadi akibat kegagalan sistem teknologi informasi dan
komunikasi internal. Bentuk-bentuk cyber crime antara lain kecurangan sistem
komputerisasi, pencurian identitas, hacking, dan pelanggaran terhadap keamanan jaringan di
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
5
perusahaan.4 Masalah ini jika tidak ditanggulangi secara baik selain akan merugikan
penyelenggara fintech secara langsung juga merugikan konsumen jika keamanan dan
kerahasiaan datanya dibajak. Kesemua hal tersebut harus benar benar diperhatikan oleh
penyelenggara fintech karena adanya masalah terkait hal ini jika dibiarkan dan tidak
ditanggulangi secara serius akan merugikan penyelenggara fintech baik dari sisi finansial
ataupun dari sisi hukum.
2. APU-PPT (Anti Pencucian Uang-Pencegahan Pendanaan Terorisme) :
APU-PPT (Anti Pencucian Uang-Pencegahan Pendanaan Terorisme) adalah sebuah
program dari pemerintah kepada institusi jasa keuangan untuk melakukan pencegahan Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme dalam setiap aktivitas keuangannya.
Definisi dari Pencucian Uang sendiri adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang
sah. Sedangkan definisi Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka
menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan dana, baik langsung maupun
tidak langsung dengan maksud untuk digunakan/atau yang diketahui akan digunakan untuk
melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris atau teroris.
Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan oleh fintech menimbulkan potensi
penyalahgunaan untuk kegiatan pencucian uang maupun pendaan terorisme. Keduanya bila
tidak dicegah akan berdampak bagi stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan
serta mengganggu atau mengancam rasa aman dan kedaulatan negara karena aktivitas
terorisme yang ada di Indonesia yang memanfaatkan pendanaan melalui institusi jasa
keuangan. OJK sendiri selaku pengawas lembaga jasa keuangan dalam menanggulangi hal
tersebut telah membuat suatu program yang harus dijalani dan ditaati oleh setiap institusi jasa
keuangan lewat beberapa peraturan yaitu Pada Pasal 42 POJK Nomor 77/POJK.01/2016
mewajibkan penyelenggara fintech untuk menerapkan program anti pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme di sektor jasa keuangan terhadap pengguna sesuai dengan
4 https://swa.co.id/swa/my-article/ancaman-cyber-risk diakses pada 15 Mei 2018, Pukul 15.00 WIB.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
6
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerapan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme dan lebih lanjut diatur dalam POJK No.
12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan
Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan tersebut secara umum mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk :
Memiliki unit kerja khusus yang melakukan penerapan APU-PPT
Memiliki pedoman Prinsip Mengenal Nasabah meliputi kebijakan dan prosedur teertulis
Melaporkan pelaksanaan Pengkinian Data Nasabah
Melaksanakan program pelatihan bagi SDM tentang APU dan PPT
Membuat Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan
Tunai kepada PPATK
Ketidaktaatan pada penerapan program ini, bagi lembaga jasa keuangan termasuk fintech
dapat mengakibatkan sanksi, yaitu antara lain : mendapat teguran tertulis, membayar penalti,
penurunan tingkat kesehatan bahkan sampai pembekuan kegiatan usaha tertentu oleh OJK.
Oleh karena itu penyelenggara Fintech harus betul betul memahami regulasi hukum dalam
menjalankan usaha agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan khususnya terkait masalah
pelanggaran hukum.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
7
MENGAPA MEMILIH FINTECH SYARIAH ?
Sasmita Flouridaningrum
Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah melahirkan sebuah bisnis baru yang
banyak memberikan manfaat bagi manusia, salah satunya adalah Financial Technology atau
biasa di sebut FinTech. Secara umum FinTech berkaitan dengan para pelaku sektor jasa
keuangan yang berkaitan dengan teknologi modern dalam aktivitas kerjanya. Dengan kata lain
seluruh aktivitas kerjanya menggunakan kecanggihan teknologi.
Berdasarkan survey dari Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun
2017. Survey yang menggunakan metodologi multi stage cluster sampling disampaikan, populasi
penduduk Indonesia mencapai 262 juta orang, lebih dari 50 persen atau setidaknya 143 juta
orang telah terhubung dengan internet, pemanfaatannya juga sudah lebih jauh, bukan hanya
untuk berkomunikasi tetapi juga membeli barang, memesan transportasi, hingga berbisnis salah
satunya adalah melalui Fintech. Bisnis Fintech berkembang pesat di indonesia karena
keberadaan FinTech banyak memberikan kemudahaan bagi kebutuhan manusia dalam
melakukan transaksi keuangan, seperti pembayaran, jual beli saham, peminjaman dan transaksi
lainnya melalui teknologi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan regulasi mengenai FinTech pada
Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tanggal 26 Desember 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa
simpan meminjam uang berbasis teknologi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan
perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik
dengan menggunakan jaringan internet.
Indonesia dengan penduduk yang 88%-nya adalah muslim mempengaruhi muncul dan
berkembangnya FinTech Syariah yaitu Fintech yang kegiatan usahanya berlandaskan prinsip-
prinsip syariah, yang saat ini penggunanya bukan hanya muslim saja namun juga non muslim.
Perkembangan FinTech Syariah juga semakin baik melihat semakin meningkatnya
pemahaman dan kebutuhan masyarakat terhadap ekonomi syariah, serta sudah banyak
bermunculan Fintech yang menggunakan prinsip syariah dalam kegiatan usahanya dan saat ini
telah terbentuk Asosiasi Fintech Syariah Indonesia yaitu suatu asosiasi yang keanggotaannya
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
8
terdiri dari para pelaku Fintech Syariah di Indonesia yang salah satu fungsinya adalah membina
dan mengawasi jalannya kegiatan usaha Fintech Syariah.
Jenis Fintech Syariah yang saat ini masuk ke dalam pasar ekonomi Indonesia yaitu peer
to peer (P2P) Lending dan crowd funding. P2P lending bisa di katakan sebuah perusahaan
sebagai wadah yang mempertemukan pemberi pinjaman (investor) dengan pencari pinjaman
(borrower). Dalam hal ini P2P Lending Syariah menjadi tempat bertemunya investor dengan
borrower, P2P lending akan menyaring dan menganalisis terlebih dahulu borrower yang
berkualitas sesuai dengan prinsip syariah agar para investor merasa nyaman dengan produk
pinjaman dari perusahaan FinTech Syariah tersebut. Sedangkan Crowd funding sebuah
perusahaan yang memfasilitasi pengumpulan/penggalangan dana untuk mendanai proyek
(termasuk start-up) dan mempertemukan dengan borrower, memberikan pembiayaan baik
personal atau bisnis dan kebutuhan lainnya. Untuk crowd funding syariah dalam prosesnya
menggunakan prinsip syariah yang berlaku, akad transaksi juga tidak menggunakan bunga atau
hal yang terkait riba lainnya tapi menggunakan skema bagi hasil.
Payung hukum untuk FinTech Syariah hingga saat ini masih dalam pengembangan dari
para regulator khususnya OJK. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
juga mendukung baik kehadiran industri pendanaan syariah ini dengan akan dikeluarkanya fatwa
mengenai FinTech Syariah yang nantinya dapat menjadi acuan untuk transaksi FinTech Syariah
itu sendiri. Selain itu FinTech Syariah juga memiliki dua badan utama pembuat standard sebagai
rujukan yang berskala internasional yaitu Accounting Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions (AAOIFI) dan Islamic Financial Services Board (IFSB).
FinTech Syariah berbeda dengan FinTech Konvensional salah satunya dalam hal bunga,
dimana bunga merupakan hal yang tidak diperbolehkan oleh agama Islam karena dalam bunga
terdapat unsur riba. Dalam hal pembiayaan syariah tidak akan menjumpai kredit yang diberikan
akad sebagai pinjaman melainkan dengan akad murabahah, ijarah wa iqtina, serta musyarakah
mutanaqishah. Yang masing masing akad tersebut tentunya mempunya aturan yang berbeda dan
tidak terdapat unsur riba. Akad Murabahah bisa di artikan sebagai akad jual beli penyelenggara
FinTech akan bertindak sebagai pembeli atas benda ataupun produk yang diinginkan nasabah.
Kemudian peminjam akan menjual prouk tersebut kepada nasabah dengan margin keuntungan
tertentu yang disepakati yang akan menjadi keuntungan dan bukan sebagai bunga sebagaimana
pada pembiayaan konvesional. Sedangkan akad ijarah wa iqtina merupakan akad sewa
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
9
menyewa. Artinya Fintech bertindak untuk membeli suatu produk yang diinginkan nasabah,
selanjutnya Fintech menyewakan produk tersebut kepada nasabah dalam kurun waktu tertentu,
yang nantinya nasabah dapat membeli barang tersebut sehingga berganti kepemilikan. Sementara
akad musyarakah mutanaqishas, baik Fintech maupun nasabah sama sama menaruh modal untuk
sesuatu hal yang nantinya nasabah bisa membeli bagian dari fintech untuk memiliki benda
tersebut sepenuhnya.
Dalam hal pemasaran digital para pelaku bisnis FinTech Syariah ini juga harus mengikuti
rambu rambu syarat dan rukun yang berlaku, sehingga dapat terhindari dari unsur riba dan
maupun gharar. Contoh seperti pemberian cashback dan diskon yang diberikan kepada investor
juga harus hati hati, karena ini sifatnya adalah investasi jangan sampai terjadi ketidak jelasan
skemanya.
Secara akad suatu FinTech tidak akan bertentangan dengan syariah sepanjang mengikuti
prinsip prinsip syariahnya suatu akad, serta memenuhi syarat dan rukun serta hukum yang
berlaku. Sebelum masuk ke perihal prinsip akad bisnis Fintech yang berbasis syariah, Underline
transaction nya harus diperjelas terlebih dahulu dari awal agar bisnis FinTech Syariah dapat
terus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bisnis ekonomi syariah.
Dengan adanya Fintech Syariah saat ini tentunya akan memberikan alternatif pilihan
kepada masyarakat yang akan menggunakan jasa Fintech khususnya kepada masyarakat yang
ingin terhindar dari jeratan riba, karena sejatinya bermuamalah bukan hanya sebatas pada sisi
nilai ekonomi saja tapi juga harus bernilai sisi ibadah agar kegiatan muamalah menjadi berkah.
Di lain sisi para pelaku Fintech Syariah harus benar-benar menjaga kepercayaan masyarakat agar
jangan sampai kegiatan usaha Fintech Syariah ternyata masih terkandung nilai-nilai
konvensional sehingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemurnian Fintech
Syariah.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
10
PELAKU USAHA FINTECH WAJIB TERDAFTAR ASOSIASI
Sasmita Flouridaningrum
Seiring dengan perkembangan teknologi dimana masyarakat lebih mudah mendapatkan
akses internet maka wajah dunia keuangan perlahan mulai berubah. Perkembangan ini
dimanfaatkan para pengguna digital untuk mengembangkan inovasi teknologi di bidang
keuangan yang kini akrab disebut Financial Teknologi atau FinTech.
Fintech dapat dikatakan sebuah inovasi bisnis baru yang menggunakan teknologi dan
bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses produk-produk keuangan,
mempermudah transaksi dan meningkatkan literasi keuangan. Mulai dari menawarkan pelbagai
metode pembayaran, cara transfer dana, pemberian pinjaman dana, pengumpulan dana melalui
aplikasi, hingga pengelolaan aset.
Berdasarkan studi yang di lakukan Accenture di wilayah Asia Pasifik, nilai investasi ke
dalam bidang FinTech selama sembilan bulan pertama di tahun 2015 sudah mencapai US$3,5
miliar atau hampir empat kali lebih besar dari angka US$880 juta yang tercatat sepanjang tahun
2014.
Konsep inti dari pengembangan FinTech sebenarnya tidak terlepas dari dari aplikasi
konsep peer-to-peer (P2P). Pada mulanya P2P digunakan untuk para start up dalam mencari
investor dalam rangka membiayai bisnisnya namun dalam perkembangannya P2P memiliki
partisipan yang lebih luas yaitu dengan banyaknya partisipan yang berkontribusi memasukan
uang. Inilah cikal bakal terjadinya crowdfunding (penggalangan dana) secara massif di Fintech.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran FinTech telah banyak membantu banyak warga
dunia dalam mengakses layanan keuangan kapan saja dan dimana saja. Manfaat dari
perkembangan FinTech adalah munculnya berbagai macam jenis produk FinTech di Indonesia
yang kian hari kian beragam.
Adapun di Indonesia FinTech telah menjadi sebuah tren yang kian marak. FinTech
memiliki potensi dan kesempatan untuk berkembang yang sangat besar. Banyak lahir inovasi
baru dari para pelaku usaha FinTech. Menyikapi perkembangan teknologi yang cukup pesat,
Otorisasi Jasa Keuangan (OJK) mendukung inovasi industri FinTech selama produk tersebut
bermanfaat bagi masyarakat namun tetap dalam koridor pengawasan otoritas.
Jenis-jenis FinTech di Indonesia berdasarkan klasifikasi Bank Indonesia, Pertama adalah
crowdfunding dan peer-to-peer landing. Jika dianalogikan sebagai e-commerce ini adalah
marketplace khusus finansial yang mempertemukan pencari modal dan investor. P2P
mempunyai faedah besar bagi masyarakat karena mereka berhasil menyelesaikan masalah yang
mungkin tidak terjangkau oleh perbankan. Dengan adanya Fintech penggalangan dana dapat
dilakukan secara online, sehingga penggalangan dana akan lebih mudah dan efisien.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
11
Kedua Market Aggregator pada klasifikasi ini FinTech akan berperan sebagai
pembanding produk keuangan, dimana FinTech tersebut akan mengumpulkan dan mengoleksi
data finansial untuk dapat menjadi referensi pengguna, atau dapat disebut dengan nama
comparison site atau financial aggregator.
Ketiga Risk and Investement Management konsep pada klasifikasi ini FinTech berperan
sebagai financial planner (perencanaan keuangan) yang berbentuk digital. Pengguna akan
dibantu mendapatkan produk investasi yang paling cocok sesuai dengan preferensi yang di
berikan. Selain manajemen resiko dan investasi juga terdapat manajemen aset yang membantu
operasional sebuah usaha agar lebih praktis.
Keempat adalah Payment, Settlement dan Clearing, pada klasifikasi ini FinTech berperan
sebagai jembatan antara pelanggan dengan e-commerce (perusahaan penyedia jual beli online)
yang difokuskan pada bentuk pembayaran. Dengan adanya FinTech berbentuk payment gateway,
pelanggan dapat memilih metode pembayaran yang di inginkan.
Perkembangan Fintech begitu massif di Indonesia sehingga diperlukan asosiasi sebagai
tempat tumbuh kembangnya industry ini. Sekarang sudah ada Asosiasi Fintech Indonesia
(“AFTECH”) yang berperan sebagai wadah untuk menghimpun perusahaan dan institusi pelaku
FinTech Indonesia. Demikian juga sektor keuangan syariah juga mempunyai kebutuhan yang
luar biasa besar sehingga bermunculan pelaku usaha Fintech Syariah. Diinisiasi oleh Pusat Studi
Fintech Syariah (“PSFS”) bermarkas di STEI Tazkia maka terbentuklah Asosiasi Fintech Syariah
Indonesia (AFSI) berdasarkan Akta Notaris No.2 Tahun 2018 dan Keputusan Menteri Hukum &
HAM RI No. AHU-0001911.AH.01.07.Tahun 2018 tentang Pengesahan Pendirian Badan
Hukum Perkumpulan Fintek Syariah Indonesia, AFSI adalah gabungan pelaku usaha FinTech
berbasis syariah yang berdiri sejak 18 Februari 2018.saat ini AFSI memiliki 25 anggota yang
terdiri dari pelaku usaha Fintech berbasis syariah, Universitas, Law Firm dan beberapa pihak
yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan Fintech khususnya Fintech Syariah. Meski
secara jumlah masih jauh dibanding FinTech konvensional, namun pertumbuhannya cukup besar
mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar dunia.
Menjadi anggota asosiasi Fintech adalah suatu keniscayaan dan keharusan bagi para
pelaku usaha FinTech di Indonesia. Seperti tertuang pada Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/
2016 (“POJK 77”) tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, di
dalam Pasal 48 disebutkan bahwa Penyelenggara wajib terdaftar sebagai anggota asosiasi yang
telah ditunjuk oleh OJK .
Dalam pertemuan terbatas antara asosiasi Fintech dengan OJK beberapa waktu
lalu,ditekankan pentingnya pelaku usaha Fintech menjadi anggota asosiasi. Bahkan OJK
mengindikasikan tidak akan memberikan ijin operasional sebelum para pelaku usaha FinTech
tersebut terdaftar menjadi anggota asosiasi FinTech terlebih dahulu. Begitu pula apabila pelaku
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
12
usaha FinTech tersebut dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi karena menyalahi peraturan maka
OJK juga akan mencabut ijin pelaku usaha Fintech tersebut.
Keberadaan asosiasi menjadi penting bagi semua stake holder yang berkecimpung dalam
FinTech seperti halnya Kementerian Keuangan, OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Bank Indonesia dan Lembaga Advokasi Konsumen termasuk pengguna jasa FinTech itu sendiri.
Pelaku usaha Fintech akan terbantu jika tergabung di dalam asosiasi karena tiap anggota asosiasi
akan dibimbing dan dibina oleh asosiasi tersebut agar tumbuh dan berkembang serta mengikuti
aturan regulasi baik yang dikeluarkan oleh OJK maupun Bank Indonesia.
Dari semua hal tersebut yang diuntungkan adalah masyarakat Indonesia sebagai
pengguna jasa FinTech. Hal ini mengingat otoritas tidak sendiri namun dibantu oleh asosiasi
dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku pelaku usaha FinTech.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
13
KERUGIAN USAHA PADA PEMBIAYAAN SKEMA AKAD MUDHARABAH SIAPA
YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB?
Ade Bagus Riadi
Di era modern ini, kegiatan perbankan syariah mulai dirintis untuk pertama kalinya di
Mesir dengan nama Nasser Social Bank pada tahun 1957. Pada tahun 1973 dengan diadakannya
pertemuan pertama Islamic Organization Conference (OIC) di Jeddah-Saudi Arabia, dimana
pertemuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan sistem riba (bunga) yang ada pada perbankan
konvensional dan juga semangat islamisasi sistem keuangan di negara-negara yang penduduknya
mayoritas beragama Islam. Semenjak itu mulai banyak berdiri bank Syariah yang beroperasi
dengan model sistem profit sharing (bagi hasil).1
Di Indonesia sendiri gagasan untuk mendirikan bank syariah dengan model sistem bagi
hasil sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Hal ini dibicarakan pada
seminar nasional “Hubungan Indonesia-Timur Tengah” pada tahun 1974 dan pada tahun 1976
dalam seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Namun gagasan tersebut belum
dapat direalisasikan karena beberapa alasan.2
Akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak tahun 1988, di saat
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober yang berisi liberalisasi industri perbankan.
Para ulama pada waktu itu berusaha untuk mendirikan bank yang bebas riba, tapi tidak ada
satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan
bunga sebesar 0%. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan
perbankan yang diselenggarakan di Cisarua, Bogor pada tanggal 19-22 Agustus 1990, yang
kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama
Indonesia (MUI) yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, 22-25 Agustus 1990.
Dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Baru pada tahun 1991
berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Introduksi bank berdasarkan prinsip
bagi hasil dalam hukum positif adalah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip
1 M. Salim (2007), Profit Sharing vs Interest, (Ponorogo : Centre for Islamic and Occidental Studies), halaman xiii.
2 Nofiawati, Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Juris Vol 14, No. 2 (2015), halaman 171.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
14
Bagi Hasil3 dan regulasi yang terbaru melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (UU PBS).
Perkembangan perbankan syariah
di Indonesia telah menjadi tolak ukur
keberhasilan eksistensi ekonomi
syariah. Bank Muamalat Indonesia
sebagai bank syariah pertama dan
menjadi pioneer bagi bank syariah
lainnya, dan telah lebih dahulu
menerapkan sistem ini di tengah
menjamurnya bank-bank konvensional.
Krisis moneter yang terjadi pada tahun
1998 telah menenggelamkan beberapa
bank konvensional dan banyak yang
dilikuidasi karena kegagalan sistem
bunganya. Sementara perbankan yang
menerapkan sistem syariah dapat tetap
eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya
itu, di tengah-tengah krisis keuangan
global yang melanda dunia pada
penghujung akhir tahun 2008, lembaga
keuangan syariah kembali membuktikan
daya tahannya dari terpaan krisis.
Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta
keamanan bagi para pemegang saham, pemegang surat berharga, para nasabah pembiayaan dan
para nasabah penyimpanan dana di bank-bank syariah.4
3 Abdul Ghofur Anshori (2007), Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press),
hal. 5. 4 Nofiawati, Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia, Juris Vol 14, No. 2 (2015), halaman 168.
Tabel 1
Pertumbuhan Perbankan Syariah
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
15
Pesatnya perkembangan bank
syariah menimbulkan ketertarikan
perbankan untuk menawarkan
produk-produk bank syariah salah
satunya dengan cara membentuk Unit
Usaha Syariah maupun spin off
(pemisahan) dengan mendirikan Bank
Syariah. Hingga Februari 2018 jumlah
Bank Syariah di Indonesia berjumlah
201 bank syariah yang terdiri dari 13
Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit
Usaha Syariah (UUS) dan 167 Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)5
dengan market share (pangsa pasar)
keuangan syariah secara nasional per
Agutus 2017 tercatat sudah mencapai
8,01%6 dan 5,57% merupakan market
share Perbankan Syariah.
Keberhasilan perbankan
Syariah dalam bertahan di tengah
krisis dan terus berkembang sampai saat ini, tidak lain karena sistem bagi hasil yang merupakan
ciri khas dari perbankan Syariah. Praktek ini menggunakan skema mudharabah yaitu suatu akad
yang memuat penyerahan modal atau semaknanya dalam jumlah, jenis, dan karakter tertentu dari
seorang shahib al-mal (pemilik modal) kepada mudharib (pengelola) untuk dipergunakan
sebagai usaha dengan ketentuan jika usaha tersebut mendatangkan hasil keuntungan (laba) maka
laba tersebut dibagi dua berdasarkan kesepakatan sebelumnya, sementara jika usaha tersebut
tidak mendatangkan hasil atau bangkrut akibat business risk maka kerugian materi materi
5 Data diambil dari OJK (SPS bulan Februari 2018).
6 https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Pages/Siaran-Pers-Market-Share-Keuangan-Syariah-
Capai-8-Persen.aspx
Tabel 2
Jumlah Bank Syariah
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
16
sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal, dengan syarat dan rukun-rukun tertentu7 atau
mudharabah dapat diartikan suatu perkongsian antara dua pihak dimana pemilik modal
menyediakan dana, dan pengelola bertanggung jawab atas pengelolaan usaha, keuntungan
dibagikan sesuai dengan ratio laba yang telah disepakati bersama secara advance, manakala rugi
pengelola akan kehilangan sebagaian imbalan dari kerja keras dan keterampilan manajerial
(manajerial skill) selama usaha itu berlangsung.8 Menurut Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Syariah nomor 59 paragraf 6, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara
shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi-hasil menurut
kesepakatan di muka. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung shahibulmaal (pemilik modal),
selama hal itu bukan akibat kelalaian mudharib.9 Pada penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf c UU
PBS yang dimaksud dengan Akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu
usaha antara pihak pertama (malik, shab mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh
modal dan pihak kedua (amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana
dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad,
sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.10
Jadi kerugian dalam akad
mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal dengan catatan, pihak pengelola
tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah
disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang
telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan.11
Lebih lanjut dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) mengatur mengenai pembiayaan Mudharabah sebagai
berikut:
Pertama : Ketentuan Pembiayaan :
7 Muhammad (2003), Kontruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syariah, (Yogyakarta: Pusat Studi Islam STIS), halaman
57. 8 Muhammad (2005), Sistem &Prosedur Operasional BANK SYARIAH, (Yogyakarta: UII Press), halaman 14.
9 Lihat PSAK Syariah 59 paragraf 6.
10 Lihat Pasal 19 ayat (1) huruf c UU Perbankan Syariah.
11 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
17
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) kepada pihak lain untuk suatu usaha yang
produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai
100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha bertindak
sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan
pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syari’ah dan LKS tidak ikut serta dalam
managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai
dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang
disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan. LKS dapat meminta jaminan
dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat
ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Bagi perbankan syariah, mudharabah merupakan sarana utama untuk memobilisasi dana
masyarakat yang kelebihan dana kepada masyarakat yang kekurangan dana untuk menjalankan
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
18
suatu usaha yang dijalankan berdasarkan asas saling percaya. Jika dilihat dari segi sejarahnya,
akad mudharabah ini merupakan suatu akad yang telah dikenal oleh umat Islam sejak zaman
Nabi Muhammad SAW saat beliau berprofesi sebagai pedagang, dimana pada saat itu Khadijah
mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad SAW keluar negeri,
dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal sedangkan Nabi berperan sebagai
pengelola usaha, bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik
modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola pihak kedua, yakni pengelola
usaha dengan tujuan untuk mendatangkan keuntungan.12
Kepercayaan dalam transaksi mudharabah merupakan komponen yang sangat penting,
oleh karena itu, akad mudharabah dalam istilah bahasa Inggris disebut trust financing, dan
pemilik modal yang merupakan investor dalam perjanjian itu disebut beneficial ownership.
Sedangkan mudharib disebut managing trustee atau labour partner.13
Akad mudharabah bukan
semata-mata mitra usaha dalam arti modern, melainkan transaksi ini mempunyai kelebihan-
kelebihan, karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan antara nilai
material dan spiritual untuk sistem ekonominya, kode etik ini harus dicerminkan bila prinsip
mudharabah dilaksanakan dalam praktiknya. Dalam sistem perbankan syariah akad mudharabah
dapat membantu pembentukan lembaga tertentu atas dasar mudharabah dan dengan demikian,
akad mudharabah dapat menyelesaikan pertentangan yang berabad-abad lamanya tidak bisa
diselesaikan oleh sistem perbankan konvensional, permasalahan tersebut berupa perselisihan dan
pertentangan antara tenaga kerja dan majikannya, perusahaan industri, perniagaan dan pertanian
yang dapat direncanakan atas prinsip mudharabah yang menggabungkan berbagai satuan
produksi, begitu juga dapat menyelesaikan perselisihan pendapatan yang dihasilkan oleh
perusahaan dan juga dapat membagi secara proporsional dengan kalangan berbagai satuan
produksi sesudah mengurangi semua pembiayaan yang sah dari perusahaan tersebut sepanjang
tahun.14
Namun akad mudharabah ini tetap mengandung resiko akan timbulnya sengketa atau
perselisihan antar pihak yang mungkin saja terjadi. Resiko yang sering terjadi pada akad
mudharabah ini salah satunya adalah ketika pembiayaan dengan akad mudharabah ini
12
Ibid,. M. Salim, halaman 6-7. 13
Sutan Remy (1999), Perbankan Islam dan kedudukannya dalam tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Grafiti), halaman 28. 14
Prof, M. Abdul Manan (1997), Teori dan Praktek Ekonomi Islam, halaman 167-168.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
19
mengalami kerugian pada usaha. Sengketa terjadi bilamana pihak Bank tidak mau bertanggung
jawab atas kerugian dan membebankannya pada pihak pengelola usaha karena pihak Bank
menilai bahwa kerugian disebabkan oleh kelalaian pihak pengelola usaha, sehingga pengelola
usaha harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Namun pihak pengelola usaha
menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan karena kelalaian atau kesalahan manajerial
melainkan karena kondisi natural perekonomian, kebijakan pemerintah, bencana dan lain-lain
yang menyebabkan kerugian usaha sehingga merasa tidak perlu ikut bertanggung jawab terhadap
modal usaha karena sebenarnya pengelola usaha pun telah rugi atas tenaga dan waktu yang telah
dikerahkan untuk usaha tersebut. Permasalahan ini sering terjadi karena dalam akad mudharabah
yang dibuat tidak menjelaskan secara jelas mengenai indikator atau penilaian apa saja yang
termasuk kedalam frasa kelalaian manajerial atau human error, sehingga menimbulkan
multitafsir dan sengketa antar kedua belah pihak. Hal ini seharusnya dapat dihindari jika pada
akad mudharabah yang dibuat kedua belah pihak menyebutkan secara rinci dan jelas mengenai
indikator apa saja yang menyebabkan pihak Bank atau pengelola usaha dapat dikatakan lalai.
Sehingga jika terjadi kerugian pada usaha dapat ditarik kesimpulan secara benar apakah kerugian
disebabkan oleh pengelola usaha yang lalai atau tidak.
Oleh karena itu pada saat pembuatan akad para pihak harus benar-benar memperhatikan
mengenai aspek hukum serta klausula jika terjadi kerugian, mekanisme pertanggungjawaban dan
pihak yang harus bertanggungjawab serinci dan sejelas mungkin untuk menjadi pedoman yang
jelas bagi para pihak agar kedepannya tidak terjadi perselisihan tafsir mengenai hal tersebut.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
20
SPIN OFF PERBANKAN SYARIAH TAHUN 2023
Sasmita Flouridaningrum
Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadi pasar yang potensial dalam
perkembangan keuangan syariah. Salah satu yang saat ini sedang berkembang pesat adalah
dengan adanya perbankan yang dalam kegiatan operasionalnya menggunakan prinsip syariah.
Meskipun perbankan syariah ini tidak hanya dinikmati penduduk muslim tapi juga non muslim.
Perbankan syariah di Indonesia ini diproyeksikan akan meningkat pesat seiring dengan
pertumbuhan aset perbankan syariah yang tinggi. Institusi perbankan syariah ini mulai merata
dan mulai menampakan diri ditengah tengah banyaknya bank konvensional yang ada.
Peningkatan tersebut telah di dukung dengan adanya regulasi mengenai pemisahan
perbankan syariah yang masih menjadi Unit Usaha Syariah (UUS) di dalam Bank Umum
Konvensional (BUK) yang masih menjadi induknya. Spin Off (Pemisahaan kepemilikan dari
induknya) bertujuan untuk meningkatkan effisiensi dan produktivitas dimana hal tersebut dapat
mendukung perkembangan industri perbankan syariah untuk tumbuh lebih baik.
Secara hukum spin off yang dilakukan di Indonesia telah di landasi aturan yang tercantum
pada UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada Pasal 68 Ayat 1 disebutkan bahwa
Dalam hal Bank Umum Konvesional memiliki Unit Usaha Syariah yang nilai asetnya telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15
(lima belas) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, maka Bank Umum Konvensional
dimaksud wajib melakukan Pemisahaan Unit Usaha Syariah tersebut menjadi Bank Umum
Syariah.
Berdasarkan peraturan undang undang tersebut yang dinyatakan berlaku sejak tanggal 16
Juli 2008, semua UUS milik BUK harus melakukan pemisahan kepemilikan dari induknya
menjadi Badan Usaha Syariah (BUS) hingga paling lambat pada tahun 2023. Sehingga waktu
yang tersisa bagi UUS bank konvensional yang belum melakukan proses spin off hanya 5 tahun.
Untuk itu di butuhkan usaha usaha yang nyata baik dari UUS maupun induk perusahaan serta
dukungan pemerintah agar proses spin off dapat berjalan dengan lancar tanpa menyalahi
peraturan UU yag berlaku.
Mengenai mekanisme spin off UUS juga telah diatur secara spesifik dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/01/PBI/2009 yang ditetapkan pada 19 Maret 2009 dan
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
21
selanjutnya mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/POJK.03/2016 tentang
Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah. Menurut Pasal 41 PBI
Nomor 11/01/PBI/2009 terdapat dua cara pemisahan UUS dari BUK, pertama dengan cara
mendirikan BUS atau kedua dengan cara mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS
yang telah ada. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 64/POJK.03/2016
tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah mengatur bahwa
perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional menjadi Bank Syariah hanya dapat dilakukan
dengan izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kata lain perubahan tidak lagi seizin Bank
Indonesia tapi beralih ke OJK karena sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari
Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Perihal modal diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Umum Syariah mengatur bahwa Bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.
Untuk bank dengan profil risiko peringkat 1, penyediaan modal minimum sebesar 8 persen dari
Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Sementara untuk bank dengan profil risiko peringkat
2, penyediaan modal minimumnya sebesar 9-10 persen dari ATMR. Bank dengan profil risiko
peringkat 3, penyediaan modal minimumnya sebesar 10-11 persen dari ATMR dan bank dengan
profil risiko peringkat 4, penyediaan modal minimum ditetapkan 11 persen dari ATMR. Selain
kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko tersebut, OJK juga mewajibkan bank
untuk membentuk tambahan modal sebagai tambahan sesuai dengan persayaratan dan kriteria.
Tambahan modal dapat berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer; dan/atau
Capital Surcharge untuk D-SIB. Untuk Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5
persen dari ATMR. Sedangkan, Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0-2,5
persen dari ATMR. Capital Surcharge untuk D-SIB ditetapkan dalam kisaran sebesar 1-2,5
persen dari ATMR. Ketentuan tambahan modal penyangga ini berlaku mulai 1 Januari 2016.
Mengacu data Statistik Perbankan Syariah (SPS) OJK per November 2017, jumlah bank
syariah dengan bentuk badan hukum BUS semakin meningkat. Hingga saat ini terdapat 13 Bank
Syariah yang berbentuk BUS terdiri dari :
Bank Umum Syariah Per November 2017
1. PT. Bank Aceh Syariah
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
22
2. PT. Bank Muamalat Indonesia
3. PT. Bank Victoria Syariah
4. PT. Bank BRISyariah
5. PT. Bank Jabar Banten Syariah
6. PT. Bank BNI Syariah
7. PT. Bank Mandiri Syariah
8. PT. Bank Mega Syariah
9. PT. Bank Panin Dubai Syariah
10. PT. Bank Syariah Bukopin
11. PT. Bank BCA Syariah
12. PT. Bank Tabungan Pensiun Nasional Syariah
13. PT Maybank Syariah Indonesia
Sedangkan total aset bank syariah menembus Rp.400.000.000.000 (empat ratus triliun).
SPS OJK mencatat bahwa aset bank syariah pada November 2017 tumbuh 12,6% menjadi
Rp.401.450.000.000 (empat ratus satu empat ratus lima puluh triliun) dari posisi akhir tahun
sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri atas BUS Rp.278.000.000.000 (dua ratus tujuh puluh
delapan triliun) dan UUS senilai Rp.123.400.000.000 (seratus dua puluh tiga empat ratus triliun)
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
23
Tahun Total Aset
Total Bank Umum Syariah (BUS) Unit Usaha Syairah (UUS)
2014 272.3 Triliun Rp 205 Triliun 205 Rp 67.4 Triliun Rp
2015 296.3 Triliun Rp 213.4 Triliun Rp 82.8 Triliun Rp
2016 356.5 Triliun Rp 254.2 Triliun Rp 102.3 Triliun Rp
2017 401.5 Triliun Rp 278 Triliun Rp 123.4 Triliun Rp
Dari sini kita dapat melihat bahwa perkembangan asset yang dimiliki perbankan syariah
mengalami peningkatan sejak di terbitkan Undang Undang Perbankan Syariah tentang spin off.
Pemisahan UUS dari BUK sejalan dengan salah satu prinsip hukum syariah artinya dengan
pemisahan akan melahirkan sebuah badan hukum yang baru dan secara yuridis mandiri, sehingga
dalam pengelolaanya secara keuangan, teknis, adminisratif dan organisatoris terpisah dari
induknya sehingga BUS yang lahir karena adanya proses pemisahan UUS akan lebih fokus
dalam mengelola dan mengembangkan produk syariahnya secara murni.
Sebagaimana tujuan dilakukan restrukturisasi, spin off bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan produktivitas perusahaan dimana hal ini sangat dibutuhkan perusahaan untuk
berkembang dan meningkatkan profitnya. Secara lebih spesifik dengan adanya pemisahan UUS
yang berubah menjadi BUS akan lebih leluasa menangkap peluang bisnisnya karena sudah tidak
bergantung pada induknya.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
24
URGENSI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN DATA PRIBADI DI INDONESIA
Ade Bagus Riadi
Baru-baru ini dunia teknologi sedang dihebohkan dengan skandal bocornya data pribadi
lebih dari 50 juta pengguna Facebook dan disalahgunakan ke pihak ketiga (red: Cambridge
Analytica) sebuah perusahaan konsultasi politik yang berbasis di London. Data tersebut diduga
digunakan Cambridge Analytica untuk kepentingan kampanye politik Donald Trump pada saat
pilpres Amerika Serikat 2016 silam. Skandal ini diketahui setelah Christopher Wylie, mantan
kepala bagian riset di Cambridge Analytica mengungkap skandal tersebut kepada media, The
Observer. Dia menceritakan bahwa kami (Cambridge Analytica) mengekploitasi Facebook untuk
memanen jutaan profil orang-orang. Dan membuat model untuk mengekploitasi apa yang kami
tahu mengenai mereka dan menyasar emosi hati mereka. Itulah dasar dari keseluruhan yang
dibangun oleh Cambridge Analytica. Lebih lanjut ia menceritakan, orang yang paling
bertanggungjawab terhadap kebocoran data ke Cambridge Analytica adalah Aleksandr Kogan
pendiri perusahaan Global Science Research (GSR). Kogan diduga telah membuka akses yang
dimilikinya ke Facebook untuk memanen data melalui jaringan aplikasinya sebagai pengembang
aplikasi di Facebook dan menjualnya ke Cambridge Analytica. Dari data itulah kemudian
Cambridge Analytica memanfaatkannya untuk kepentingan kampanye Donald Trump dengan
cara kampanye online melalui iklan dan konten-konten terkait dukungan Trump yang dikirimkan
ke akun-akun pengguna Facebook tesebut untuk meyakinkan keputusan mereka memilih
Trump.1
Facebook dalam keterangannya telah menampik bahwa mereka dengan sengaja
membocorkan data pengguna Facebook ke Cambridge Analytica, pada awalnya Facebook
memang memberik akses kepada Kogan untuk riset pengalaman pengguna menggunakan
aplikasi jaringan yang terhubung ke Facebook, tapi ternyata Kogan memberikannya kepada
Cambridge Analytica tanpa seizin dan sepengetahuan Facebook. Namun Facebook tidak
membantah melalui pernyataan CEO Facebook, Mark Zuckerberg bahwa ia telah gagal
melindungi data pribadi pengguna Facebook dan kedepannya akan melakukan perbaikan dan
pengetatan pengembang aplikasinya dalam megakses Facebook.
1 https://www.viva.co.id/digital/digilife/1018820-kisah-50-juta-data-pengguna-facebook-bocor-demi-trump,
diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 09.00 WIB.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
25
Atas skandal ini Facebook mengalami kerugian hingga miliaran dollar dan muncul
kampanye di media sosial ajakan untuk menghapus Facebook dengan tagar #deleteFacebook.
Facebook pun juga digugat secara hukum oleh para pemegang sahamnya yang merasa dirugikan
atas kasus ini. Menurut keterangan mereka, Facebook telah melakukan pernyataan dan tindakan
keliru. Karena Facebook tidak mengumumkannya kepada pemegang saham mengenai kebijakan
pengaksesan data miliaran penggunanya pada pihak Ketiga.2 Kasus ini telah membuka mata
dunia sebagai peringatan bahwa pentingnya suatu regulasi yang baik untuk menjamin privasi
atau keamanan dari data pribadi masyarakat.
Regulasi di Amerika mengenai perlindungan data pribadi sendiri belum mempunyai
regulasi tersendiri yang mengatur secara komprehensif mengenai perlindungan data pribadi,
namun terdapat regulasi khusus yang tersebar di beberapa sektor. Seperti di sektor perdagangan
diatur dalam The Federal Trade Commission Act (FTC Act), sektor keuangan diatur dalam The
Financial Services Modernization Act, sektor kesehatan diatur dalam The Health Insurance
Portability and Accountability dan lain-lain. Sehingga pada kasus skandal Facebook diinvestigasi
melalui FTC Act untuk menangani kasus bocornya data ini. FTC Act ini adalah hukum
perlindungan konsumen federal yang melarang praktek kecurangan atau penipuan yang
dilakukan baik secara offline atau online terkait kebijakan privasi dan keamanan data.3 Jadi di
Amerika belum mempunyai Regulasi tersendiri mengenai perlindungan data pribadi yang dapat
diterapkan di semua sektor.
Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang telah memiliki regulasi tersendiri
mengenai Perlindungan Data Pribadi seperti di Jepang yang memiliki 2 regulasi mengenai hal
ini, yaitu Act on the Protection of Personal Information tentang perlindungan informasi pribadi
di sektor privat dan Act on the Use of Numbers to Identify a Specific Individual in the
Administrative Procedure di sektor publik prosedur administratif. Jepang juga telah mempunyai
komisi khusus yaitu Personal Information Protection Commission JAPAN yang bertugas untuk
melindungi hak-hak dan kepentingan individu ketika memasukkan data pribadi termasuk MY
NUMBER (Nomor Hp yang terintegrasi di Jepang).4 Hampir sama dengan Jepang, Korea Selatan
2 https://www.merdeka.com/uang/buntut-kasus-kebocoran-data-facebook-dituntut-ke-pengadilan-oleh-para-
pemegang-saham.html, diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 10.20 WIB. 3 https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/6-502-
0467?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true&bhcp=1, diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 11.00 WIB. 4 https://www.ppc.go.jp/en/aboutus/roles/, diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 13.10 WIB.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
26
juga telah memiliki regulasi mengenai perlindungan data pribadi yaitu Personal Information
Protection Act (PIPA) yang menjunjung tinggi hak privasi individu masyarakat Korea dengan
komisi khusus Personal Information Protection Commission (PIPC) yang bertugas dalam
melindungi hak privasi individu dengan mengkaji dan menyelesaikan kebijakan terkait data
pribadi, mengkordinasikan perbedaan di antara lembaga-lembaga negara dalam memproses data
pribadi, agar hak privasi dan keamanan data informasi tetap terjaga.5
Daerah regional ASEAN pun sudah banyak negara-negara yang telah mengadopsi dan
memiliki regulasi mengenai Perlindungan Data Pribadi. Seperti di Malaysia yang telah
mempunyai regulasi Perlindungan Data Pribadi sejak 2010 dengan Personal Data Protection Act
Number 709 bahkan sudah dibentuk Komisi Perlindungan Data Pribadi. Singapura dengan
Personal Data Protection Act Singapore yang dikeluarkan pada tahun 2012 mengatur mulai dari
pengumpulan, penggunaan, informasi apa saja yang boleh diperlihatkan, dan keamanan data
pribadi, regulasi ini bertujuan untuk melindungi data pribadi individu termasuk hak akses dan
koreksi data, kebolehan yang mengatur tentang kebutuhan organisasi yang digunakan untuk
pengumpulan, penggunaan untuk tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan hak privasi.
Singapura juga telah memiliki komisi Perlindungan Data Pribadi. Tercatat sampai tahun 2016
hanya ada 2 negara di ASEAN yang belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi
yaitu Laos dan Indonesia, namun Laos sudah masuk pada Baleg untuk RUU Perlindungan Data
Pribadi,6 sedangkan Indonesia belum jelas RUU Perlindungan Data Pribadi yang digagas
Pemerintah melalui Kominfo dan diajukan kepada DPR apakah akan masuk Prolegnas atau
tidak. Sebetulnya Indonesia telah memiliki regulasi mengenai Data Pribadi namun masih
terpecah-pecah di beberapa sektor dan tumpang tindih sehingga belum memiliki suatu Undang-
Undang yang mengatur secara tersendiri dan menyeluruh yang dapat diterapkan pada semua
sektor secara pasti dan jelas.
Sedikitnya Indonesia telah memiliki 30 regulasi yang memiliki keterkaitan dengan
pengumpulan dan pengelolaan data pribadi, termasuk penyadapan. Kewenangan tersebut
dilakukan untuk berbagai macam bidang, seperti media telekomunikasi, pertahanan dan
keamanan, penegakan hukum, kesehatan, kependudukan, perdagangan, serta perekonomian. Tapi
tidak seluruhnya memberikan perlindungan hukum yang nyata dengan prosedur yang jelas.
5 https://www.privacy.go.kr/eng/about_us.do, diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 14.00 WIB.
6 http://www.mediaindonesia.com/read/detail/45639-tanpa-uu-perlindungan-data-pribadi-indonesia-terancam-
larangan-uni-eropa-1, diakses pada tanggal 02 April 2018, Pukul 15.00 WIB.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
27
Misalnya, dalam bidang perbankan, pengakuan kewajiban perlindungan data nasabah ditemukan
dalam UU Perbankan dan UU Perbankan Syariah. Setelah kehadiran UU Otoritas Jasa
Keuangan, kewajiban Bank Indonesia untuk melindungi data nasabah digantikan oleh lembaga
independen OJK. Tapi UU tersebut belum menjelaskan mekanisme pemulihan jika terjadi
pelanggaran. Hal itu juga belum diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, yang seharusnya
mengakomodasi kerugian konsumen dalam hal kebocoran data. Proyek e-KTP dari pemerintah
yang mengumpulkan hampir seluruh jenis data pribadi dari warga negara, bahkan sampai dengan
ciri-ciri khusus biometriknya, melalui perekaman data retina mata. Sedangkan, pemerintah
sendiri hingga saat ini tidak pernah bisa secara baik menjelaskan mengenai prosedur
pengelolaan, pengolahan, penyimpanan, dan perlindungan data pribadi warga negara yang telah
dikumpulkan. Peraturan Presiden No. 67/2011 yang menjadi rujukan proyek ini sendiri, tidak
sekalipun mengatur mengenai mekanisme perlindungan data pribadi yang terkait e-KTP.
Demikian pula dalam konteks data pribadi secara viral di Internet. Undang-Undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai salah satu regulasi hukum Internet juga
belum memberikan perlindungan data pribadi. Pasal 26 UU ITE memberikan gambaran umum
mengenai persyaratan persetujuan pemilik data dalam segala akses data pribadi di media
elektronik, tapi tidak mengatur secara jelas mengenai mekanisme internal yang harus dilakukan
pengumpul data dan tindakan setelah terjadinya pelanggaran.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Indonesia masih absen dalam perlindungan data
pribadi. Dampaknya, mekanisme pengumpulan dan pengelolaan data yang dilakukan oleh swasta
ataupun negara tidak memiliki kepastian hukum dan berpotensi membuka ruang kesewenang-
wenangan. Alhasil, warga kembali dirugikan karena data privasinya tidak dapat dilindungi.
Berbeda dengan negara-negara tetangga yang sudah memiliki regulasi mengenai perlindungan
data pribadi, Indonesia jelas telah ketinggalan karena belum mempunyai regulasi atau payung
hukum Perlindungan Data Pribadi. Apalagi dengan terbongkarnya skandal kebocoran data
pengguna Facebook yang disalahgunakan oleh Pihak Ketiga, semakin menegaskan pentingnya
memiliki suatu Undang-Undang mengenai Perlindungan Data Pribadi.
Apalagi dengan kasus dugaan kebocoran e-KTP soal selisih 45 juta data e-KTP pasca
pendaftaran nomor telepon seluler yang akan berakhir 1 Mei mendatang. Terdapat perbedaan
data di Direktorat Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) dan operator
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
28
seluler.7 Setiap warga negara Indonesia yang sudah mengurus akte kelahiran pasti memiliki NIK.
Berdasarkan NIK ini nanti akan dikelola semua data setiap individu warga negara untuk
mengurus berbagai keperluan salah satunya adalah registrasi telepon seluler didasarkan pada
NIK. Perlindungan terhadap NIK sangat penting karena jika disalahgunakan bisa digunakan
untuk menipu hingga merampok rekening uang milik orang lain di BANK. Terlebih jika masa
depan sistem pemungutan suara menggunakan e-voting, manipulasi suara bisa saja dilakukan
dengan menggunakan NIK. Jika tidak diantisipasi sejak sekarang, akan merugikan negara dan
masyarakatnya. Oleh karena itu Indonesia seharusnya memiliki aturan mengenai Perlindungan
Data Pribadi yang dibuat oleh Pemerintah bersama DPR dalam bentuk Undang-Undang
Perlindungan Data Pribadi.
Aturan semacam ini sangat dibutuhkan agar adanya kepastian dan kejelasan bagi
masyarakat karena saat ini aturan-aturan yang ada di Indonesia tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral (perbankan, kesehatan, teknologi dan informatika, telekomunikasi,
dsb.) – dan umumnya aturan-aturan tersebut tidak mengatur soal data pribadi secara mendalam.
Undang-Undang ini diharapkan akan menjadi payung hukum bagi aturan-aturan berbagai
sektoral dengan tujuan mengharmonisasi aturan terkait perlindungan data pribadi sehingga
menghindari tumpang tindih aturan dan akan memberikan perlindungan yang layak bagi pemilik
data pribadi atas data pribadi miliknya yang disimpan atau dikelola oleh pihak penyelenggara
data pribadi. Keberadaan Undang-Undang ini juga penting dari sisi kerjasama ekonomi
Internasional untuk memfasilitasi perdagangan antar negara karena negara-negara di Uni Eropa
yang memberlakukan EU General Data Protection Regulation bisa menolak melakukan transfer
data kepada negara yang tidak memiliki atau tidak memberikan perlindungan data pribadi secara
setara.8
7 https://nasional.kompas.com/read/2018/03/26/08101681/misteri-bocor-data-e-ktp, diakses pada tanggal 02
April 2018, Pukul 15.30 WIB. 8 Menurut keterangan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Freddy H Tulung yang dikemukakan
dalam acara konsultasi publik bertajuk Pemantapan Konsepsi Regulasi Perlindungan Data Pribadi Yang Substantif dan Aplikatif di Aston Kuta Hotel dan Residence, Bali, Selasa (3/5).
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
29
WASPADA DALAM MEMANFAATKAN DATA PRIBADI KONSUMEN
Ade Bagus Riadi
Di era pesatnya arus data dan perkembangan teknologi dan informasi saat ini, banyak
perusahaan-perusahaan memanfaatkan perkembangan tersebut untuk kepentingan kegiatan
usahanya yang salah satu aktivitasnya adalah penghimpunan Data Pribadi milik konsumen yang
harus diinput konsumen sebelum memakai produk/jasa perusahaan. Konsumen menginput data
pribadinya seperti nama, umur, alamat tempat tinggal, alamat e-mail, No. hp dan sebagainya
yang mana hal tersebut merupakan Data Pribadi milik konsumen yang harus dijaga
kerahasiaannya oleh perusahaan. Perkembangan teknologi ini di sisi lain ternyata dapat
membuka peluang terjadinya penyalahgunaan data pribadi pengguna dan saat ini banyak
bermunculan perusahaan yang memanfaatkan teknologi ini sebut saja seperti, Go-Jek, Traveloka,
Shopee dan perusahaan-perusahaan lainnya yang menghimpun atau menyimpan Data Pribadi
milik konsumennya harus hati-hati dalam hal pemanfaatan atau penggunaan Data Pribadi
tersebut. Pasalnya kerahasiaan atau keamanan dari Data Pribadi tersebut menjadi tanggung jawab
perusahaan, karena baik secara sadar maupun tidak data tersebut rentan disalahgunakan oleh
perusahaan ataupun Pihak Ketiga yang mempunyai akses ke data yang tentunya mengakibatkan
kerugian bagi pemilik data apabila data tersebut disalahgunakan. Rentannya penyalahgunaan
Data Pribadi milik konsumen ini diakibatkan bisa jadi karena ketidaktahuan perusahaan terkait
hal apa saja yang boleh atau tidak dilakukan dalam hal pemanfaatkan Data Pribadi milik
konsumen ataupun kelalaian perusahaan dalam menjaga kerahasiaan dan keamanan Data Pribadi
ini.
Sebelumnya perusahaan media sosial terbesar yaitu Facebook tengah didera kasus
bocornya sekitar 50 juta data penggunanya yang bocor dan disalahgunakan oleh Pihak Ketiga
yaitu Cambridge Analytica sebuah perusahaan konsultan politik yang memanfaatkan data
tersebut untuk kepentingan kampanye politik Donald Trump saat Pemilihan Presiden Amerika
Serikat tahun 2016 silam. Facebook telah gagal untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan Data
Pribadi penggunanya yang disebabkan bocornya data pengguna tersebut. Atas kasus ini
Facebook pun tengah dituntut secara hukum dan mengalami kerugian materi yang tidak sedikit
serta ancaman pemblokiran Facebook di berbagai negara karena telah gagal dalam melindungi
Data Pribadi warga negaranya. Contohnya adalah Indonesia yang mengancam akan
memutus/memblokir layanan Facebook, pasalnya ada sebanyak 1.096.666 pengguna Facebook di
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
30
Indonesia yang terkena dampak bocornya data Facebook.1 Indonesia melalui Menteri
Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Rudiantara telah melayangkan Surat Peringatan yang
kedua (SP II) kepada Facebook dan mempertimbangkan akan memutus layanan Facebook jika
diperlukan.
Kasus Facebook tersebut seyogyanya menjadi perhatian serius bersama terutama untuk
perusahaan yang menyimpan/memanfaatkan Data Pribadi konsumennya. Perusahaan harus
waspada dan hati-hati dalam hal memanfaatkan Data Pribadi konsumen agar jangan sampai
terjadi penyalahgunaan data sehingga data pribadi konsumen tetap terlindungi dan perusahaan
terbebas dari ancaman hukum atau masalah seperti yang terjadi pada Facebook.
Di Indonesia sendiri walaupun belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data
Pribadi (UU PDP) tersendiri, namun telah mempunyai Undang-Undang mengenai Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur penggunaan Informasi melalui media elektronik.
UU ini salah satunya mengatur penggunaan informasi melalui media elektronik yang
menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.2
Jadi ketika perusahaan ingin menggunakan Data Pribadi konsumen harus mendapatkan
persetujuan dari orang yang bersangkutan sebelumnya sesuai dengan peruntukannya. Jika
perusahaan melanggar ketentuan tersebut, konsumen atau orang yang dilanggar haknya dapat
mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.3 Lebih lanjut UU ITE ini mengatur bagi
setiap perbuatan orang yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik atau mentransfer
data tersebut kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak atau melakukan interferensi
(mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan,
memindahkan, menyembunyikan) terhadap bentuk Dokumen Elektronik atau Informasi
Elektronik tanpa hak dengan cara melawan hukum4 diancam dengan pidana penjara paling lama
8 sampai 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 sampai Rp.
5.000.000.000,00.5
1 Menurut keterangan Kepala Kebijakan Publik Facebook Indonesia Ruben Hattari dalam pertemuan dengan Komisi
I DPR yang digelar pada Selasa (17/4), dari https://news.idntimes.com/indonesia/teatrika/facebook-terancam-diblokir-jika-tak-lakukan-perubahan-1 diakses pada tanggal 19 April 2018, Pukul 17.15 WIB. 2 Lihat Pasal 26 ayat (1) UU ITE. 3 Lihat Pasal 26 ayat (2) UU ITE.
4 Lihat Pasal 32 UU ITE.
5 Lihat Pasal 48 UU ITE.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
31
Oleh karena itu perusahaan sebagai penyimpan dan pengguna Data Pribadi milik
konsumen harus hati-hati dalam memanfaatkan data tersebut untuk kepentingan kegiatan
usahanya. Dalam hal ini perusahaan perlu memperhatikan serta tunduk pada ketentuan hukum
yang berlaku. Jika diperlukan perusahaan dapat meminta pendapat dari pakar hukum yang
mengerti dan menguasai di bidang Teknologi dan Informasi khususnya tentang Perlindungan
Data Pribadi untuk memastikan bahwa kegiatan usaha perusahaan dalam memanfaatkan Data
Pribadi konsumen tidak melanggar dan terhindar dari ancaman sanksi hukum. Sehingga
diharapkan tidak terjadi permasalahan hukum saat menjalankan kegiatan usahanya.
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
32
Penanggung Jawab Prihatwono Law Research
Arisakti Prihatwono, S.H., M.Kn., lahir di Semarang tanggal 1 Oktober
1976. Alumni Universitas Diponegoro dimana dia mendapatkan gelar Sarjana
Hukum di bidang Hukum Internasional. Lalu dia mendapat gelar Magister
Kenotariatan dari Universitas Diponegoro dan lulus tahun 2004. Arisakti
mendapatkan ijin beracara PERADI di tahun 2007 yang membuat ia dapat
melakukan praktek hukum di Indonesia. Ia sekarang adalah Managing Partner
di Prihatwono Law Firm yang didirikan di akhir 2013.
Pengalaman kerjanya yang luas baik tugas professional maupun dunia kewirausahaannya. Di
tahun 2006 ia bergabung di PT Hutchinson 3 Indonesia, sebuah perusahaan telekomunikasi
sebagai Legal Counsel. Di 2010 ia ditunjuk untuk fokus di Regulatory Strategic. Dalam hal
strategic ini ia berkecimpung di hubungan pemerintah baik di sektor telekomunikasi maupun di
bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) secara umum. Dalam periode ini, ia sangat
aktif dalam diskusi terkait peraturan telekomunikasi dan rapat kerja di Kementrian Komunikasi
dan Informatika. Ia juga anggota aktif di Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (“ATSI”),
beberapa diantaranya adalah terkait Pencurian Pulsa, Menara Telekomunikasi serta Otonomi
Daerah, Penyadapan, Kualitas Layanan bagi Perusahaan Penyedia Jasa Seluler, Kewajiban
pendaftaran bagi Kartu Pra Bayar dan aturan terkait konten.
Di Industry Tech Start Up dia berperan penting dalam pendirian Association Tech Start Up
Indonesia (“ATSINDO”). Di ATSINDO dia adalah kordinator di bidang Legal. Baru-baru ini ia
juga aktif dalam pendirian Pusat Studi Fintech Syariah (“PSFS”) yang bermarkas di STEI
Tazkia. Sekarang aktif di Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (“AFSI”) sebagai ketua bidang
Legal and Compliance. Tak hanya itu ia juga berperan penting dalam dunia wakaf Indonesia
serta ditunjuk menjadi penasehat hukum di Wakaf Al-Azhar Jakarta. Selanjutnya dapat
dihubungi di e-mail : [email protected]
Prihatwono Law Research Vol. 1, Juni 2018
33
Profil Penulis
Ade Bagus Riadi, S.H., lahir di Bekasi pada tanggal 16 April 1995. Alumni
Universitas Diponegoro Semarang angkatan 2013 yang saat ini bekerja sebagai
Associate di Law Firm Prihatwono. Semasa mahasiswa pernah bergabung
dengan Ikatan Penulis Mahasiswa Hukum Indonesia (IPMHI) dan sering
mengikuti perlombaan penulisan ilmiah hukum tingkat Regional maupun
Nasional. Selanjutnya dapat dihubungi di e-mail: [email protected]
Sasmita Flouridaningrum, S.Kom., lahir di Kebumen pada tanggal 4 Juni
1982. Alumni Universitas 17 Agustus Surabaya angkatan 2001 yang
mempunyai ketertarikan di bidang ekonomi syariah dan saat ini aktif menjadi
peneliti di Law Firm Prihatwono. Selanjutnya dapat dihubungi di e-mail: