JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ......

152

Transcript of JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ......

Page 1: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat
Page 2: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA Volume 1 Issue 2, Desember 2014

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Page 3: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

Vol. 1 Issue 02 / Desember / 2014

Website: www.icel.or.id/jurnal

E-mail: [email protected]

Diterbitkan oleh:

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)

Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Telp. (62-21) 7262740, 7233390

Fax. (62-21) 7269331

Tata Letak dan Desain Sampul: Matacakra Design

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan

mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum

lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan

melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.

DISCLAIMER

Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL,

melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

Page 4: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

iii

R E D A K S I D A N M I T R A B E B E S T A R I

Dewan Penasehat

Mas Achmad Santosa, SH. LL.M.

Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si.

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.

Indro Sugianto, SH. M.H.

Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Yuyun Ismawati

Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi

Yustisia Rahman, S.H.

Redaktur Pelaksana

Rika Fajrini, S.H.

Margaretha Quina, S.H.

Sidang Redaksi

Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D. Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.

Sukma Violetta, S.H., LL.M. Josi Khatarina, S.H., LL.M.

Rino Subagyo, S.H. Windu Kisworo, S.H., LL.M.

Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Feby Ivalerina, SH., LL.M.

Dyah Paramita, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H. Dessy Eko Prayitno, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H. Raynaldo G. Sembiring, SH. Astrid Debora, S.H. Ohiongyi Marino, S.H. Nisa Istiqomah, S.H.

Mitra Bebestari

Ricardo Simarmata, Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya

kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan

dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

Page 5: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

iv

P E N G A N T A R R E D A K S I

Menggagas Arah Kebijakan Hukum

dalam Mewujudkan Demokrasi Lingkungan di Indonesia

ebagaimana telah ditekankan pada JHLI edisi lalu, demokrasi lingkungan merupakan wujud kedaulatan lingkungan yang berjalan seiring dengan kedaulatan rakyat. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945

menegaskan bahwa kedaulatan tersebut didasarkan dan hanya dapat dijalankan berdasarkan hukum (Constitutional Democracy). Dalam kerangka ini hukum karenanya menjadi alat vital untuk memastikan demokrasi lingkungan diadopsi dan dijalankan dalam praktik pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pendekatan politik hukum yang memandang hukum secara utuh, tidak sekedar teks dan norma ansich dapat digunakan untuk mengkaji, apakah demokrasi lingkungan telah menjadi praksis atau sekedar jargon populis yang ramai dibincangkan aktivis dan pemanis janji kampanye politisi.

Dalam konteks masyarakat modern, Hukum adalah sebuah instrumen. Hukum tidak hanya dipandang sebagai cara untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga digunakan untuk mengarahkan tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai, dan menciptakan pola-pola kebiasaan baru di masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, hal ini sejalan dengan gagasan tentang politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Oleh karena lebih menekankan pada pencapaian tujuan yang diinginkan, pembentukan hukum dalam konteks masyarakat modern kerap dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar pembentuk hukum itu sendiri. Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah (GermanHistoricalSchool), sebagaimana dikemukakan oleh tokohnya Freidrich Carl Von Savigny (1776-1861), yang menyatakan bahwa hukum adalah ekspresi dari kesadaran umum atau keinginan rakyat (Volkgeist).

Dalam pandangan modern, hukum tidak dianggap sebagai ekspresi keanginan rakyat yang abadi dan suci, melainkan sebagai sesuatu yang relatif, bisa dirubah dan bergantung pada keadaan. Bahkan secara tajam Sorokin menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, hukum buatan manusia sering kali merupakan instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lainnya. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan utilitarian yakni keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan hidup masyarakat secara keseluruhan atau golongan masyarakat yang berkuasa. Mazhab Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang muncul pada pertengahan abad ke-20

S

Page 6: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

v

mempertegas kritik terhadap hukum dan proses pembentukan hukum dalam masyarakat modern. Mazhab Hukum Kritis memandang pembentukan hukum tidaklah netral secara politis, bahkan pembentukan hukum tidak lain merupakan salah satu bentuk dari diskursus politik.

Hukum karenanya merupakan produk kesepakatan politik dan tarik menarik antar kepentingan. Hukum bukan produk yang lahir dari ruang yang hampa, oleh karena itu untuk memaknai dan mengimplementasikan hukum perlu juga memperhatikan situasi sosial, ekonomi, dan politik ketika hukum dibentuk. Hal yang sama juga harus diperhatikan dalam memahami berbagai produk hukum dan kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Berbicara mengenai politik hukum lingkungan di Indonesia, kita tidak dapat hanya melihat pada kegiatan legislasi saja. Politik hukum lingkungan ini bersifat konvergen, dibentuk oleh kebijakan-kebijakan hukum yang didorong oleh berbagai pihak. Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Organisasi Lingkungan Masyarakat serta Dunia Internasional (organisasi internasional) merupakan para pihak yang dapat mempengaruhi politik hukum lingkungan, akumulasi kebijakan hukum seperti apa yang mereka dorong membentuk politik hukum lingkungan itu sendiri.

Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap dampak lingkungan yang muncul akibat politik pembangunan yang berkembang pada pertengahan abad ke-20 berperan besar terhadap berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Konferensi PBB tentang Manusia dan Lingkungan pada tahun 1972 di Stockholm yang menghasilkan Stockholm Declaration on Human Environment sebagai kesepakatan global pertama tentang lingkungan hidup mengakselerasi berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Pertama-tama hal tersebut dapat dilihat dari diakomodirnya pertimbangan lingkungan hidup dalam pembangunan di GBHN 1973-1978. Selanjutnya seiring dengan meningkatknya kesadaran di tingkat nasional, hukum lingkungan terus berkembang melalui institusionalisasi pengelolaan lingkungan hidup yang ditandai dengan pembentukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta pengesahan perundang-undangan lingkungan. Tak dapat dipungkiri berbagai perubahan dan lahirnya perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup turut mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Hal ini merupakan wujud konstitusionalisme baru, yakni bentuk inkorporasi norma atau produk hukum di tataran global ke dalam produk hukum di tingkat nasional melalui pembentukan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai global tersebut.

Hukum merupakan produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibire) atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (premittere). Hukum dapat dibentuk baik melalui tindakan pengaturan, penetapan, ataupun proses pengadilan, yang membedakan adalah pembentuk serta ruang lingkup keberlakukannya. Hukum yang dibentuk

Page 7: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

vi

melalui tindakan pengaturan dibentuk oleh parlemen yang memiliki kewenangan legislasi untuk membuat peraturan yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Sementara itu penetapan merupakan tindakan yang menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings) yang bersifat individual dan konkret. Semenetara itu keputusan judisial yang dihasilkan dari proses penghakiman atau pengadilan menghasilkan vonis (putusan) yang berlaku bagi mereka yang terkait dengan peristiwa tertentu. Perkembangan hukum lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup saja, melainkan turut pula dipengaruhi oleh lahirnya keputusan eksekutif serta putusan pengadilan berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup yang memberikan warna terhadap hukum lingkungan Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, Masyarakat melalui organisasi lingkungan juga turut serta menentukan arah kebijakan hukum lingkungan. Dari pengalaman yang ada, advokasi-advokasi yang yang dilakukan organisasi lingkungan dapat diadopsi dalam kebijakan hukum eksekutif, legislatif maupun yudikatif, contohnya permasalahan keterbukaan informasi publik dan hak gugat organisasi lingkungan yang saat ini sudah diterima dalam hukum lingkungan Indonesia.

Pada jurnal edisi kali ini, Redaksi mengundang akademisi, praktisi, aktivis serta pegiat lingkungan untuk memberikan pandangannya mengenai Politik Hukum Lingkungan Indonesia yang kami maknai sebagai salah satu wujud atas praksis demokrasi lingkungan tersebut. Jika di edisi pertama JHLI mengulas “Demokrasi Lingkungan” sebagai konsep filosofis, maka di edisi ini JHLI bermaksud mengkaji kekuatan, peluang, serta tantangan realisasi konsep demokrasi lingkungan tersebut dalam dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih konkret. Politik hukum karenanya menjadi titik acuan utama untuk menimbang sejauhmana kita bisa bergerak mewujudkan demokrasi lingkungan, dari konsep menuju praksis.

Jakarta, Desember 2014,

Redaksi

Page 8: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

vii

D A F T A R I S I

Redaksi & Mitra Bebestari .......................................................................................... iii

Pengantar Redaksi ....................................................................................................... iv

Daftar Isi ....................................................................................................................... vii

Artikel Ilmiah

1. Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai

Pelaksanaannya

Myrna A. Safitri .............................................................................................. 1

2. Konsistensi Negara atas Doktrin Welfare State dalam Pengelolaan

Sumber Daya Hutan oleh Masyarakat Adat

Wahyu Nugroho ........................................................................................... 22

3. Peluang Penerapan FPIC Sebagai Instrumen Hukum Progresif untuk

Melindungi Hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Minyak dan

Gas Bumi

Nisa Istiqomah Nidasari ............................................................................. 50

4. Penerapan Transhipment: Kaitannya dengan Hak Bangsa Indonesia

atas Komoditas Perikanan dan Pembangunan Berkelanjutan

Savitri Nur Setyorini.................................................................................... 86

5. Gugatan Warga Negara (Studi Kasus: Gerakan Samarinda Menggugat)

Rizkita Alamanda ....................................................................................... 101

Catatan Akhir Tahun Hukum Lingkungan 2014

“Menyongsong Perlindungan Lingkungan Hidup Lebih Baik:

17 Pekerjaan Rumah Pemerintahan Jokowi-JK

Tim Penyusun ICEL ................................................................................................. 111

Penutup Redaksi ........................................................................................................ viii

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ................................. xii

Biografi Penulis ........................................................................................................... xv

Page 9: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

HAK MENGUASAI NEGARA DI KAWASAN HUTAN:

BEBERAPA INDIKATOR MENILAI PELAKSANAANNYA

Myrna A. Safitri1

Abstrak

Kementerian Kehutanan (sekarang berganti menjadi Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sedang menjalankan program

percepatan pengukuhan kawasan hutan. Tujuannya antara lain

menciptakan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan.

Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan

pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan

pemerintah dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam

kawasan hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum

terkait dengan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.Bagaimana

penguasaan dimaksud dapat memberikan kepastian hukum sekaligus

keadilan bagi masyarakat dan pemerintah.Sebagai basis dalam

membangun konstruksi ini adalah elaborasi konsep penguasaan negara

atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak menguasai

negara.Bagaimana indikator menilai pelaksanaan hak menguasai negara

itu dan bagaimana indikator tersebut digunakan untuk menilai regulasi

dan praktik pengukuhan kawasan hutan adalah inti dari tulisan ini.

Kata kunci: kawasan, hutan, hak menguasai negara

Abstract

The Ministry of Forestry (now merged as Ministry of Environment and

Forestry) is currently conducting acceleration of forest area gazettement

program. The goal, among others, is to create forest area with legal certainty and

justice. Nevertheless, the more fundamental issue than the acceleration of forest

area designation is the clarification of government land tenure and public land

tenure on lands belong to the forest area. This paper aims to explain legal

1 Direktur Eksekutif Epistema Institute

Page 10: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

2

concepts related to the land tenure in the forest area. How the tenure could give

legal certainty and justice at the same time for both society and government. The

foundation of this paper is the elaboration of state control over forest areas

concept, known as the state right to control. How the indicators used in assessing

the implementation of the state right to control and how these indicators are used

to assess the regulation and practices of forest area designation are the two core

question of this paper.

Keywords: area,forest, state right to control.

1. Pendahuluan

Pembentukan kawasan hutan sejatinya ditujukan untuk menyediakan

wilayah yang direncanakan menjadi hutan tetap. Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyebutkan bahwa status

hukum kawasan hutan diperoleh melalui pengukuhan kawasan yang terdiri

dari tahapan penunjukan, penatabatasan, pemetaan dan penetapan. Kegiatan

penataan batas yang berhasil dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (pada

Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo disebut menjadi Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan) hingga tahun 2009 hanyalah 11 persenan dari total luas

kawasan hutan. Rendahnya capaian ini antara lain disebabkan belum

terselesaikannya klaim masyarakat atas tanah yang ditunjuk sebagai kawasan

hutan itu. Melihat pada kondisi ini maka percepatan pengukuhan kawasan

hutan termasuk di dalamnya penyelesaian konflik dengan masyarakat yang

berada di dalam, berbatasan dan di sekitar kawasan itu perlu dilakukan.

Kementerian Kehutanan dengan dukungan berbagai pihak tengah

mengupayakan percepatan pengukuhan kawasan hutan ini. Pada tahun 2014

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan menargetkan sekitar 68% kawasan

hutan dapat ditetapkan.

Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan

pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan pemerintah

dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam kawasan

hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum terkait dengan

konstruksi penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Secara khusus

pertanyaan yang akan dijawab adalah bagaimana konstruksi dimaksud dapat

memberikan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi masyarakat dan

pemerintah. Sebagai basis dalam membangun konstruksi ini adalah elaborasi

konsep penguasaan negara atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak

Page 11: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

3

Sumber:PermenhutNo.P.32/Menhut-II/2013

menguasai negara ke dalam indikator yang dapat digunakan menilai

pelaksanaan hak menguasai negara tersebut.

Saya membagi tulisan ini ke dalam enam bagian.Setelah bagian

pendahuluan ini maka bagian kedua memaparkan sejarah, data dan fakta

mengenai kawasan hutan. Bagian ketiga menjelaskan tafsir hak menguasai

negara dan tujuannya. Bagian keempat menjelaskan rumusan indikator untuk

menilai pelaksanaan hak menguasai negara. Pada bagian kelima kita

mendiskusikan bagaimana hak menguasai negara digunakan untuk menilai

pengkuhan kawasan hutan dan jenis-jenis penguasaan tanah secara umum

terutama berdasarkan subjek hukumnya.Bagian keenam memberikan

kesimpulan.

2. Kawasan Hutan Indonesia: Sejarah, Data dan Fakta

Pembentukan kawasan hutan merupakan bagian dari perencanaan

kehutanan. Tujuannya adalah menjadikan wilayah tertentu yang ditetapkan

oleh Pemerintah dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.2 UU

Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan dihasilkan melalui proses

pengukuhan yang meliputi tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan

penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan.3 Penunjukan kawasan

2Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

3Pasal 15 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 12: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

4

hutan pada dasarnya adalah langkah awal menentukan secara indikatif wilayah

yang akan dijadikan kawasan hutan. Kawasan yang telah ditunjuk itu perlu

diverifikasi di lapangan melalui proses penataan batas dan pemetaan. Pada

tahap inilah penyelesaian terhadap tumpang-tindih antara kawasan yang

ditunjuk sebagai kawasan hutan negara dengan tanah dimana terdapat hak-hak

masyarakat hukum adat atau hak pihak ketiga lainnya diselesaikan.

UU Kehutanan yang lama (UU No. 5 Tahun 1967) juga memandatkan

dilakukannya perencanaan kehutanan secara utuh, dengan memasukkan ke

dalamnya pengukuhan kawasan hutan.Namun, hal ini tidak dilaksanakan

secara konsisten. Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat seperti

halnya Pulau Jawa dan Madura serta beberapa wilayah Pulau Sumatera adalah

warisan kebijakan kolonial Belanda. Di wilayah lain di luar Pulau Jawa dan

Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil dari penerbitan konsesi

kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an. Keputusan

Menteri Pertanian No. 291/Kpts/Um/5/1970 menyatakan bahwa areal konsesi

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan

produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.

Pada tahun 2013, Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri

Kehutanan (Permenhut) No. P. 32/Menhut-II/2013 tentang Rencana Makro

Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan baik

yang terdapat di daratan ataupun perairan4 adalah 130,68 juta hektar atau

68,4% dari luas wilayah daratan Indonesia (lihat peta 1). Kawasan dimaksud

dibagi ke dalam berbagai macam fungsi yakni hutan konservasi seluas 26,82

juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta hektar, hutan produksi dengan luas

32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan luas 24,46 juta hektar, dan

hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta hektar.5

Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk itu meliputi areal yang luas,

pada kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan

hanya mencapai 11,29%6 Data ini menunjukkan bahwa hampir 90% kawasan

hutan Indonesia pada saat itu belum berkepastian hukum. Sebagaimana telah

4 Yang dimaksud dengan kawasan hutan di perairan itu antara lain adalah taman

nasional laut. Kawasan ini ada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan.

5 Hutan konservasi merupakan hutan yang pemanfaatannya sangat dibatasi dan pada umumnya hanya dapat dimanfaatkan jasa lingkungannya seperti halnya cagar alam, suaka margasatwa atau taman nasional. Hutan lindung pemanfaatannya juga terbatas.Selain jasa lingkungan hasil hutan bukan kayu masih dapat dimanfaatkan. Hutan produksi dan hutan produksi terbatas dibedakan dari cara penebangan kayunya. Pada hutan produksi dapat dilakukan tebang habis sedangkan pada hutan produksi terbatas hanya dapat dilakukan tebang pilih.Hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih-fungsikan menjadi bukan kawasan hutan.

6Presentasi dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Agustus 2014.

Page 13: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

5

disebutkan di awal, penetapan kawasan hutan merupakan fase dimana

kawasan hutan telah dipastikan kejelasan statusnya apakah merupakan

kawasan hutan negara atau hutan hak dimana di dalamnya termasuk pula

hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau disebut sebagai hutan

adat.

Ketidakpastian hukum dari kawasan hutan ini menimbulkan berbagai

persoalan lainnya.Di antaranya adalah lemahnya pengakuan dan perlindungan

hukum terhadap hak-hak warga negara serta kerawanan penyalahgunaan

wewenang yang berimplikasi pada terjadinya korupsi. Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa penunjukan kawasan

hutan yang tidak diikuti dengan proses selanjutnya adalah tindakan

pemerintah yang otoriter. Dalam salah satu pendapatnya, Mahkamah

menyatakan:

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan

hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan

berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai

dengan hukum dan peraturan perundang-undangan,

merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan

kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak

tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak

memerlukan tindakan freiesErmessen (discretionary powers).Tidak

seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup

orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.

Melihat bahwa kejelasan status kawasan hutan akan mendukung

pencegahan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan

sejumlah kementerian/lembaga negara pada tahun 2013 menyepakati nota

kesepahaman bersama dan rencana aksi untuk percepatan pengukuhan

kawasan hutan. Rencana Aksi KPK ini menyepakati bahwa pada tahun 2016

target penetapan kawasan hutan sebesar 80% dipenuhi dengan terlebih dahulu

melakukan penyelesaian hak-hak masyarakat. Dalam kenyataannya,

Kementerian Kehutanan melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan

hingga mendekati angka 60% pada tahun 2014 dan menargetkan akan

menyelesaikan pengukuhan kawasan itu sebesar 100% pada 2015. Sementara

itu, belum dapat dipastikan adanya penyelesaian hak masyarakat secara

memuaskan pada seluruh kawasan hutan yang telah ditetapkan.

Page 14: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

6

IzinHKm(2014) IzinHutanDesa(2014)

IUPHHK-HTR(2012)

Pelepasantransmigrasi

(2013)

Pelepasanuntukkebun(2013)

Pinjampakaitambang(2013)

IUPHHK-HA(2012)

IUPHHK-HTI(2012)

IUPHHK-RE(2012)

80.833 67.737 168.448962.000

5.879.980

3.313.574

23.902.979

9.834.744

219.350

Bagan1.IzinPemanfaatan&PenggunaanKawasanHutanNegara

Sumber:RenjaKemenhut,2014,sumberlain.

Izinuntukrakyat

Selain persoalan kepastian hukum terhadap status kawasan hutan, hal

lain yang juga penting mendapat perhatian adalah ketidakadilan dalam

penguasaan dan pemanfaatan kawasan tersebut. Ketimpangan yang sangat

nyata terjadi dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya di

kawasan hutan. Pada kawasan hutan seluas 130-an juta hektar, izin pemanfatan

sumber daya dan kawasan hutan untuk rakyat hanya 3%, sedangkan 97%

selebihnya telah diberikan kepada korporasi (lihat bagan 1).

Pemanfaatan

hutan oleh sektor swasta

melalui Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan

Kayu (IUPHHK) dari

hutan alam atau hutan

tanaman juga tidak

berjalan optimal. Data dari

Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia (APHI)

sebagaimana dikutip

Kartodihardjo dan Nagara

(2014) menyebutkan dari

IUPHHK untuk hutan

alam yang telah diberikan, 179 izin tidak aktif (60,8%), 67 izin (22,7%)

beroperasi tanpa mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari, dan hanya 46

izin sisanya (15,6%) yang memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari. Pada

IUPHHK untuk hutan tanaman, kondisinya kurang lebih sama. Dari seluruh

izin yang diberikan, 56,7% tidak aktif (139 izin), 32,6% (80 izin) yang

bersertifikat lestari dan hanya 10,6% (26 izin) yang aktif dan mendapat izin

pengelolaan hutan lestari. Data ini membuktikan bahwa dari 97% kawasan

hutan yang diberikan IUPHHK itu, 34 juta hektar adalah kawasan yangopen

access secara de facto.

Penjelasan di atas menunjukkan kepada kita bahwa ketidakpastian

hukum muncul sebagai akibat kebijakan perencanaan kehutanan yang

inkremental di masa lalu. Sementara itu ketimpangan struktur penguasaan

kawasan hutan adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan

hak dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Data dan fakta ini

menimbulkan pertanyaan mengapa sekian lama pemerintah tidak mampu

menyelesaikan masalah ini dengan memuaskan meskipun ada kewenangan

besar yang diberikan kepada Kementerian Kehutanan terhadap kawasan

hutan?

Page 15: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

7

Kementerian Kehutanan ditafsirkan sebagai pemegang mandat hak

menguasai negara di kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU

Kehutanan, hak menguasai negara itu memberikan kewenangan untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau

kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara

orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum

mengenai kehutanan.

Banyak dari jawaban terhadap pertanyaan ini diletakkan pada masalah

kemauan politik, koordinasi, disharmonisasi peraturan perundang-undangan

khususnya di bidang pertanahan dan kehutanan atau faktor politik-ekonomi di

balik kebijakan pengukuhan kawasan hutan (Fay dan Sirait, 2005, Moniaga,

2007, Vandergeest dan Peluso, 2006).Tulisan ini ingin melengkapi sudut

pandang yang telah ada dengan membahas penilaian terhadap pelaksanaan

hak menguasai negara di kawasan hutan.

3. Hak Menguasai Negara: Tafsir dan Tujuan

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Inilah yang diartikan sebagai hak

menguasai negara. Sebuah konsep hukum yang acap digunakan untuk

memberikan keabsahan pada penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam

termasuk hutan.

Konsep hak menguasai negara ini di satu sisi dipandang sebagai

kesuksesan bangsa Indonesia merumuskan relasi hukum antara negara dengan

rakyat terkait dengan tanah serta kekayaan alam. Konsep ini menggantikan

doktrin hukum kolonial yang dikenal dengan nama Doktrin atau Pernyatan

Domein atau dikenal pula dengan sebutan Domein Verklaring.7 Namun, di sisi

yang lain, konsep ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai penyebab dari

perilaku keliru dari institusi negara yang menguasai secara fisik laksana

memiliki tanah dan kekayaan alam (lihat kembali Fay dan Sirait, 2005 dan

7 Mengenai Doktrin Domein, asal kemunculan serta polemik diseputarnya lihat Burns

(2004) dan Termorshuizen-Arts (2010).

Page 16: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

8

Moniaga, 2007). Akibatnya, negara menyingkirkan hak-hak masyarakat

terhadap tanah dan kekayaan alam itu.

Seberapa benarkah bahwa persoalan ketiadaan pengakuan terhadap

hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam itu disebabkan oleh konsep

hak menguasai negara ini? Apakah masalahnya semata-mata kesenjangan

antara doktrin dan realitas?8 Adakah persoalan konseptual yang belum

terselesaikan atau tafsir yang tidak sempurna hingga berimplikasi pada

ketentuan hukum yang kabur dan mendorong beragam interpretasi dan cara

mengimplementasikannya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas saya pertama-tama

perlu menyampaikan bahwa UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemennya

memuat ketentuan yang umum mengenai konsep hak menguasai negara ini.

Terhadap tanah, misalnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak menjelaskan atas

tanah-tanah yang manakah hak menguasai negara itu berlaku. Mohammad

Hatta, salah seorang yang mengusulkan mengenai Pasal 33 ini, baru satu

dekade setelah UUD 1945 berlaku mengatakan bahwa hak menguasai negara

itu berlaku atas tanah-tanah yang berada di luar wilayah desa-desa dan atas

tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh rakyat (Hatta 1954:31). Dengan pernyataan

ini, hak menguasai negara menurut Hatta tidak dapat diterapkan atas tanah-

tanah desa termasuk tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, serta

tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat secara individual.

Berbeda dengan Hatta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan mengenai hak

menguasai negara ini sebagai hak yang berlaku atas seluruh tanah-tanah yang

ada di wilayah negara Indonesia. UUPA menyatakan bahwa hak menguasai

negara berlaku atas seluruh tanah baik yang di atasnya terdapat hak atas tanah

ataupun tidak. Derajat keberlakuan hak menguasai negara atas kedua tipologi

penguasaan tanah itu berbeda. Terhadap tanah-tanah yang telah ada hak-hak

atas tanah di atasnya, demikian pula terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh

masyarakat hukum adat dengan hak-hak komunal yang disebut dengan hak

ulayat atau yang serupanya, kekuasaan negara itu terbatas; sebaliknya terhadap

tanah-tanah yang tidak terdapat hak-hak atas tanah maka kekuasaan negara

lebih luas.9 Hanya terhadap tanah-tanah yang disebut terakhir inilah negara

dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada warga negara lain secara

8Lihat misalnya Lynch dan Talbott (1995) dan Hutagalung (2004).

9Lihat Penjelasan Umum II (2) UUPA.

Page 17: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

9

individual atau kolektif serta menyerahkannya kepada instansi pemerintah

melalui hak pengelolaan.10

Atas dasar ketentuan dalam UUPA ini, maka dua hal dapat

disimpulkan. Pertama, negara hanya dapat memberikan hak atas tanah kepada

warga negara atau menyerahkannya kepada instansi pemerintah dengan hak

pengelolaan pada tanah-tanah yang bebas dari penguasaan warga negara

secara individual atau kolektif dan tanah yang bukan penguasaan masyarakat

hukum adat. Kedua, untuk menjalankan hak menguasai negara atas tanah,

instansi pemerintah perlu memperoleh hak pengelolaan. Dengan demikian,

penguasaan atas tanah-tanah di wilayah Indonesia perlu didasari atas hak-hak

baik yang bersumber dari hak-hak yang diberikan oleh negara sebagai hak-hak

privat warga, kewenangan publik instansi pemerintah atau hak-hak yang

bersumber dari hak ulayat masyarakat adat.

Pasal 2 UUPA ini merupakan tafsir otentik atas Pasal 33 ayat 3 UUD

1945. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, Pasal 2 ini acap dijelaskan

dalam kaitan dengan lingkup dan definisi hak menguasai negara (lihat tabel 1).

Sangat sedikit pembahasan mengenai tujuan dan cara menilai pelaksanaan hak

menguasai negara itu.

Tabel 1. Lingkup Hak Menguasai Negara menurut UUPA dan UU Kehutanan

UUPA UU Kehutanan

a. Mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan

ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum

a. Mengatur dan mengurus segala

sesuatu yang berkaitan dengan

hutan, kawasan hutan, dan hasil

hutan;

b. Menetapkan status wilayah

tertentu sebagai kawasan hutan

atau kawasan hutan sebagai

10Hak pengelolaan ini adalah sebuah format penguasaan tanah yang secara khusus

diberlakukan kepada instansi-instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk pelaksanaan tugasnya namun tanah-tanah dimaksud juga dapat diserahkannya kepada pihak lain. Dasar hukum pertama dari hak pengelolaan ini adalah PP No. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan tanah-tanah negara. Setelah berlakunya UUPA, hak pengelolaan ini memperoleh dasar dari Pasal 2 ayat 4 UUPA. Selanjutnya terdapat beberapa peraturan menteri agraria/dalam negeri terkait dengan hak pengelolaan ini. Dalam perkembangannya terdapat bias pengaturan hak pengelolaan ini dimana tidak hanya instansi pemerintah tetapi juga badan hukum swasta yang menjadi pemegang hak pengelolaan. Pembahasan lebih mendalam mengenai hak pengelolaan ini lihat Parlindungan (1989), Sumardjono (2008:197-215) dan Soemardijono (2008).

Page 18: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

10

antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa,

c. Menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum

yang mengenai bumi, air dan

ruang angkasa.

bukan kawasan hutan; dan

c. Mengatur dan menetapkan

hubungan-hubungan hukum

antara orang dengan hutan, serta

mengatur perbuatan-perbuatan

hukum mengenai kehutanan.

Pasal 2 UUPA sebenarnya menjelaskan mengenai empat hal terkait

dengan hak menguasai negara: (i) lingkup hak menguasai negara yang meliputi

seluruh bumi11, air, ruang angkasa dan kekayaan alam; (ii) definisi hak

menguasai negara sebagai kewenangan negara untuk melakukan pengaturan

terhadap alokasi, pemanfaatan, pencadangan dan perlindungan tanah dan

kekayaan alam serta hal-hal lain terkait dengan hubungan hukum dan

perbuatan hukum antara warga negara dengan tanah dan kekayaan alam; (iii)

menegaskan tujuan dari hak menguasai negara untuk mencapai kesejahteraan

dan kedaulatan rakyat dalam konteks negara hukum yang merdeka, berdaulat,

adil dan makmur; (iv) pelaksanaan hak menguasai negara yang dapat

dikuasakan lagi kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat.

Jelaslah bahwa menurut UUPA tujuan hak menguasai negara itu adalah

untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam bahasa Pasal 33 ayat 3 UUD 1945

tujuannya adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun

demikian, kita masih memerlukan ukuran-ukuran yang konkrit untuk menilai

seberapa jauh negara telah berada di jalur yang benar dalam menjalankan

kewenangannya itu. Ukuran atau indikator ini penting dirumuskan karena

pelaksanaan Hak Menguasai Negara ini menimbulkan banyak perdebatan.

Yang pertama terkait dengan penafsiran aparatur pemerintahan yang

menyamakan penguasaan ini dengan pemilikan sehingga menghilangkan atau

membatasi hak-hak rakyat terhadap tanahnya.Persoalan kedua adalah sifat dan

tujuan pengaturan yang dibuat negara dan dilaksanakan pemerintah tidak

sepenuhnya mencapai tujuan yang melekat pada Hak Menguasai Negara ini

yakni untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Persoalan ketiga

terkait dengan proses penyusunan peraturan pertanahan dan pengelolaan

kekayaan alam yang dalam banyak hal kurang memperhatikan prinsip

11Bumi yang dimaksud oleh UUPA adalah permukaan tanah di daratan, tanah di

dasar laut/perairan, dan mineral yang terkandung di dalam tanah (Pasal 1 ayat 4).

Page 19: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

11

partisipasi rakyat. Masalah keempat adalah lemahnya pengawasan terhadap

peraturan yang dibuat.Yang kelima adalah masalah yang terkait dengan

konstruksi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang sangat antroposentris. Penguasaan

negara semata-mata ditujukan untuk kemakmuran tetapi tidak menyebutkan

dengan tegas bahwa penguasaan itu semestinya juga menyeimbangkan tujuan

kemakmuran dan keadilan pada lingkungan.12

Mahkamah Konstitusi melalui berbagai putusan, antara lain putusan

tentang pengujian UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menafsirkan

Hak Menguasai Negara dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu meliputi

kewenangan untuk:

a. Merumuskan kebijakan

b. Melakukan pengurusan

c. Melakukan pengaturan

d. Melakukan pengelolaan

e. Melakukan pengawasan

Penguasaan negara itu bertujuan untuk mencapai sebesar-besar

kemakmuran rakyat, yang dijelaskan oleh Mahkamah melalui Putusan No.

3/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, akan dapat dicapai melalui

empat indikator berikut:

a. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;

b. Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;

c. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber

daya alam;

12 Tidak dapat dipungkiri, pendekatan antroposentris sangat kuat dalam Pasal 33 ayat

UUD 1945, Meskipun demikian, saya juga memahami bahwa ekonomi hijau juga diakomodir dalam Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Oleh sebab itu Asshiddiqie (http://www.jimlyschool.com/read/program/254/green-constitution, diakses 4-8-2014) melabeli juga UUD 1945 sebagai konstitusi hijau. Karena selain Pasal 33 ayat 4 itu juga ada Pasal 28H ayat 1 yang menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam kaitan dengan hak menguasai negara, dimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah rujukan utama, saya belum menemukan adanya pertimbangan yang kuat terhadap aspek lingkungan dalam hal pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam.

Page 20: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

12

d. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam

memanfaatkan sumber daya alam.

Keempat indikator ini menentukan seberapa jauh penguasaan tanah

dan kekayaan alam akan mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan

dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi tumpah darah atau dengan istilah

lain melindungi kesatuan wilayah negara dan lingkungan hidupnya,

memajukan kesejahteraan umum dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat.

Dengan alur dan indikator yang dinyatakan pada bagan 2, kita dapat

memahami bagaimana penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam itu

seharusnya dijalankan oleh penyelenggara negara dan pemerintah.Demikian

pula dengan alur itu kita dapat mengetahui bagaimana rakyat dapat menilai

kemampuan penyelenggara dan pemerintah menjalankan kewenangan Hak

Menguasai Negara.

Meringkas kembali apa yang telah dinyatakan sebelumnya, Hak

Menguasai Negara itu dijalankan melalui lima elemen: perumusan kebijakan,

tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap

tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator

Page 21: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

13

kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan

hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi

kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan

sosial (Safitri, 2013:248).

4. Menilai Pelaksanaan Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan

Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran terhadap beberapa

elemen Hak Menguasai Negara, terutama dalam hal pengurusan, pengaturan,

pengelolaan dan pengawasan. Meskipun demikian, elemen-elemen yang

disampaikan dalam Putusan Mahkamah itu tidak mudah dipahami oleh

aparatur birokrasi yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi peraturan

perundang-undangan. Demikian pula bagi masyarakat secara umum sulit

melakukan pengecekan seberapa jauh peraturan perundang-undangan dan

kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengacu pada elemen-

elemen hak menguasai negara tersebut.

Mengacu pada tafsir itu, saya merancang perumusan indikator

penilaian terhadap elemen-elemen Hak Menguasai Negara itu untuk

penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada tabel 2. Indikator di sini

dimaknai sebagai komponen untuk menilai keberadaan dan kualitas setiap

elemen Hak Menguasai Negara yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kerangka berpikir yang mendasari perumusan indikator ini dapat dilihat

kembali pada bagan 2. Di situ dipaparkan bagaimana Mahkamah Konstitusi

membangun kerangka logis dalam menjelaskan hubungan antara elemen hak

menguasai negara, indikator kemakmuran rakyat dan tujuan negara. Adapun

indikator yang akan dijelaskan pada tabel 2 memuat elaborasi indikator

kemakmuran rakyat yang telah dibuat oleh Mahkamah dengan mengaitkan

pada tujuan negara dan konteks khusus penguasaan kawasan hutan. Secara

khusus, indikator-indikator ini menerjemahkan aspek-aspek keadilan sosial dan

lingkungan, tata kelola, demokrasi dan kepastian hukum dalam penguasaan

kawasan hutan.

Tabel 2. Indikator Penilaian Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan

Elemen Hak

Menguasai Negara

Indikator

I. Perumusan Kebijakan I.1 Dilakukannya inventarisasi bio-fisik dan

sosial-budaya terhadap kawasan hutan

Page 22: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

14

Elemen Hak

Menguasai Negara

Indikator

secara menyeluruh.

I.2 Adanya arah kebijakan pemanfaatan

dan penggunaan kawasan hutan yang

jelas, stabil dan selaras dengan kebijakan

perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dan penataan ruang.

I.3 Adanya perencanaan alokasi

pemanfaatan kawasan hutan secara

proporsional antara masyarakat dan

korporasi.

I.4 Adanya perencanaan alokasi fungsi

kawasan hutan yang teruji secara

saintifik dan dikonsultasikan dengan

masyarakat di sekitar.

II. Pengurusan

II.1 Pengakuan terhadap hutan adat dan

hutan hak lainnya.

II.2 Pengukuhan kawasan hutan negara dan

hutan hak termasuk hutan adat

dilakukan dengan proses yang

transparan dan melindungi hak-hak

masyarakat serta dengan batas-batas

yang jelas dan dihormati semua pihak.

II.3 Pemberian izin pemanfaatan dan

penggunaan kawasan hutan yang

transparan, akuntabel dan berlandaskan

pada pelaksanaan prinsip Persetujuan

atas Dasar Informasi Awal tanpa

Paksaan (Padiatapa atau free, prior and

informed consent).

III. Pengaturan

III.1 Evaluasi terhadap efektifitas peraturan

perundang-undangan kehutanan yang

sedang berlaku.

III.2 Tersedianya instrumen harmonisasi

peraturan perundang-undangan

kehutanan dan peraturan sektor lain

yang terkait dengan mengacu pada

Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001.

III.3 Proses perancangan peraturan

Page 23: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

15

Elemen Hak

Menguasai Negara

Indikator

perundang-undangan kehutanan yang

terbuka dan partisipatif.

IV. Pengelolaan

IV.1 Dilaksanakannya prinsip-prinsip tata

kelola yang baik yang meliputi

partisipasi, transparansi dan

akuntablitas dalam pengelolaan

kawasan hutan oleh unit-unit

pemerintahan pusat atau daerah.

IV.2 Terpenuhinya legalitas dan prinsip-

prinsip tata kelola yang baik oleh Badan

Usaha Milik Negara (BUMN)

kehutanan.

V. Pengawasan

V.1 Dilakukannya pengkajian ulang

terhadap izin-izin pemanfaatan dan

penggunaan kawasan hutan secara

menyeluruh.

V.2 Dilakukannya evaluasi terhadap kinerja

pengelola hutan secara transparan.

V.3 Adanya penegakan hukum yang efektif

terhadap kejahatan dan pelanggaran

kehutanan.

Dengan indikator yang disebutkan pada tabel di atas maka hak

menguasai negara itu dapat dinilai pelaksanaannya dengan mudah. Selain itu

penilaian juga akan meliputi aspek yang lebih luas dan menyeluruh, tidak

semata dipengaruhi pandangan antroposentris melainkan juga mengutamakan

keadilan ekologis, selain aspek demokrasi dan tata kelola kehutanan yang baik.

5. Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai

Instrumen Pelaksanaan Hak Menguasai Negara

UU Kehutanan telah menyebutkan bahwa pelaksanaan hak menguasai

negara salah satunya terwujud dalam bentuk kewenangan menjalankan

pengukuhan kawasan hutan (lihat tabel 1). Kementerian Kehutanan telah

menjalankan kewenangan itu dengan lompatan yang mengagumkan selama

tahun 2009-2014, sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, pada

tahun 2014, hampir 60% kawasan hutan telah ditetapkan. Sementara itu pada

Page 24: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

16

tahun 2009, penetapan itu hanya mampu mencapai 11.29%. Melihat pada

capaian ini, hal yang penting kita diskusikan adalah bagaimana pengukuhan

kawasan hutan dapat memenuhi indikator II.2 yang disebutkan dalam tabel 2.

Di sini, persoalannya bukan semata mengejar kepastian hukum atas status

kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan kawasan hutan

itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak dan dijalankan melalui proses

yang dalam bahasa Mahkamah Konstitusi adalah „tidak otoriter‟. Dengan kata

lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian

pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.

Untuk menjadikan pengukuhan kawasan hutan memenuhi indikator

II.2 maka perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini. Pertama, kawasan hutan

yang sedang ditata-batas perlu dilakukan monitoring. Hal ini disebabkan

banyak proses penataan batas dilakukan tanpa pemberian informasi yang

memadai kepada masyarakat, ketiadaan atau minimnya partisipasi masyarakat

dalam pengukuran batas, banyak dilakukan proses penyelesaian klaim

masyarakat secara sepihak, tanpa memberikan pengakuan dan kompensasi

pada hak dan akses masyarakat yang hilang karena pengukuhan kawasan

hutan negara. Kedua, kawasan hutan yang telah selesai ditata-batas perlu

dilakukan evaluasi dengan mekanisme uji-petik terhadap lokasi-lokasi yang

diduga ada penyalahgunaan wewenang atau tidak dijalankannya prosedur

penataan batas yang benar. Ketiga, kawasan hutan yang telah ditetapkan perlu

memasukkan pengakuan terhadap kawasan hutan adat dan kawasan hutan

hak, selain kawasan hutan negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan

pembentukan kawasan hutan itu tidak menghilangkan hak-hak atas tanah dan

hak ulayat. Ini sejalan dengan maksud UU Kehutanan yang tidak menyatakan

bahwa kawasan hutan itu harus selalu berupa hutan negara. Mengingat praktik

penataan batas yang di masa lalu dijalankan tanpa banyak mengindahkan

penyelesaian klaim hak dan akses masyarakat dengan baik maka mekanisme

penanganan keberatan masyarakat terhadap hasil penetapan kawasan hutan

juga perlu disediakan.

Page 25: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

17

Dengan keberadaan kawasan hutan yang mengakui hak-hak warga

negara atas tanah dan hak ulayat dari masyarakat hukum adat maka apa yang

selama ini dipandang sebagai dualisme administrasi pertanahan antara Badan

Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan sejatinya dapat

diakhiri. Konsep penguasaan tanah di kawasan hutan dan bukan kawasan

hutan sebagaimana digambarkan dalam bagan 3 menunjukkan bagaimana

kesatuan administrasi itu dapat dilakukan. BPN mempunyai wewenang

mengadministrasikan seluruh tanah baik di dalam atau luar kawasan hutan.

Atas dasar itu maka setiap orang/badan hukum/instansi pemerintah yang

menguasai tanah di atas fungsi apapun, harus mempunyai alas hak. Untuk

Kementerian Kehutanan, alas hak pada tanah kawasan hutan negara yang

sudah ditetapkan adalah hak pengelolaan.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah cara ini tidak akan

mengancam kelestarian lingkungan di kawasan hutan tersebut? Saya dapat

memastikan ini tidak akan terjadi atas dasar dua alasan. Pertama, tidak ada

penguasaan tanah bersifat mutlak, baik dalam kerangka hukum di Indonesia

maupun di berbagai negara lain. Negara dimanapun mempunyai kewenangan

untuk melakukan intervensi terhadap penguasaan tanah yang ada pada warga

negaranya. Tentu saja intervensi dimaksud akan berbeda-beda sesuai dengan

hukum yang berlaku. Di Indonesia, dengan mengacu pada UUPA, intervensi

itu berupa tiga hal: (1) memastikan bahwa ada fungsi sosial dari hak-hak atas

tanah; (2) memastikan bahwa penguasaan tanah tidak menimbulkan

ketimpangan, ketidakdilan gender, menghindari pemerasan, melindungi

kelompok miskin dan mencegah monopoli; (3) memastikan penguasaan tanah

tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemerintah mempunyai

WilayahDaratanIndonesia

KawasanHutan

HutanNegara

yangsudahditetapkan

HutanHak

HutanAdat

HutanHakPer-orangan

HutanHakBadanHukum

KawasanHutanyangbelum

ditetapkan

BukanKawasanHutan

Tanahyangdikuasailangsung

olehNegara

TanahPemerintah(HakPakai/

HakPengelolaan

TanahUlayat

TanahHakPerorangan/

BadanHukum

(HakMilik,HakPakai,HGU,HGB)

Dikuasai

Kemenhut

Bagan3

Page 26: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

18

kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan upaya

pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terkait dengan

ketiga ranah di atas. Pengaturan dan penegakan hukum diberlakukan pada

seluruh jenis penguasaan tanah.

Kedua, sesuai dengan UU Kehutanan, Pemerintah mempunyai

kewenangan melakukan pengurusan hutan. Pengurusan itu meliputi

kegiatanperencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan serta

pengawasan. Pengurusan hutan dilakukan pada semua jenis penguasaan

kawasan hutan. Dengan demikian Kementerian Kehutanan mempunyai pula

kewenangan untuk mengatur dan mengawasi bagaimana pengelolaan hutan

hak dan hutan adat. Dengan cara ini pula maka tidak akan ada kekhawatiran

bahwa penguasaan hutan hak atau hutan adat akan menimbulkan kerusakan.

Sepanjang keduanya berada di dalam kawasan hutan maka dengan regulasi

yang jelas, fasilitasi yang intensif dan pengawasan yang konsisten sangat mungkin

dihindarkan perusakan kawasan hutan tersebut (lihat kembali bagian 3 tentang

elemen dan tujuan hak menguasai negara).

6. Kesimpulan

Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan

kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya percepatan

pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk mendukung adanya kawasan

hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Tulisan ini menegaskan

bahwa upaya percepatan tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan

terpenuhinya keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu maka

merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai negara dalam

konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak dilakukan.

Mengacu pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, kita dapat

merumuskan lima elemen Hak Menguasai Negara yaitu perumusan kebijakan,

tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap

tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator

kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan

hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi

kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan

sosial.

Pengukuhan kawasan hutan meliputi tahapan penunjukan, penataan

batas, pemetaan hingga penetapan oleh Menteri Kehutanan. Untuk menjadikan

pengukuhan kawasan hutan mampu mencapai tujuan hak menguasai negara

Page 27: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

19

sebagaimana dimaksud di atas maka diperlukan berbagai upaya yang

menjamin dijalankannya prinsip-prinsip pengakuan hak, partisipasi,

transparansi dan akuntabilitas. Penataan batas kawasan hutan yang sedang

berjalan perlu monitoring. Evaluasi terhadap kawasan yang telah selesai ditata-

batas perlu dilakukan mengingat banyaknya praktik pengingkaran hak atau

penanganan klaim hak dan akses masyarakat yang tidak tepat. Akhirnya,

ketika kawasan hutan telah ditetapkan maka kawasan tersebut semestinya

mengakomodir keberadaan kawasan hutan adat dan kawasan hutan hak, selain

kawasan hutan negara. Dengan demikian maka dualisme administrasi

pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan dapat ditanggalkan.

Upaya menyatukan administrasi pertanahan di dalam dan luar

kawasan hutan dapat dilakukan jika ada kesepahaman tentang konstruksi

penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Membangun kesepahaman bahwa

keberadaan hak-hak atas tanah dalam kawasan hutan tidak akan berpengaruh

pada kerusakan kawasan hutan sepanjang Kementerian Kehutanan didukung

menjalankan kewenangan penguasan negara dengan membuat regulasi yang

jelas, fasilitasi yang intensif dan pengawasan yang konsisten terhadap

pengelolaan hutan oleh siapapun.

Page 28: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

20

Daftar Pustaka

Burns, Peter. 2004. The Leiden legacy: Concepts of law in Indonesia. Leiden: KITLV.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2014. Penetapan kawasan hutan: Menuju

kawasan hutan Indonesia yang mantap. (lokasi: penerbit)

Fay, Chip dan Martua Sirait.2005. „Kerangka hukum negara dalam

mengatur agraria dan kehutanan Indonesia: Mempertanyakan sistem

ganda kewenangan atas penguasaan tanah‟. ICRAF Southeast Asia

Working Paper 3. Bogor: World Agroforestry Centre.

Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Edisi revisi. Jakarta:

Penerbit Djambatan.

Hatta, Mohammad. 1954. Kumpulan karangan III. Jakarta: Penerbit dan

Balai Buku Indonesia.

Hutagalung, Arie S. 2004. „Konsistensi dan korelasi antara UUD 1945

dan UUPA 1960‟, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1): 1-27. (lokasi :

penerbit)

Kartodihardjo, Hariadi dan Grahat Nagara. 2014. Kajian kerentanan

korupsi dalam sistem perizinan di sektor sumber daya alam (SDA): Studi

kasus sektor kehutanan. Presentasi.

Lynch, Owen J. and Kirk Talbott. 1995. Balancing acts: Community-based forest

management and national law in Asia and the Pacific. Washington DC:

World Resources Institute.

Moniaga, Sandra. 2007.”Ketika undang–undang hanya berlaku di 39 % daratan

Indonesia: Realitas pembatasan berlakunya Undang–undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)”,

dalam Wacana pembaruan hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa.

Parlindungan, A.P. 1989. Hak pengelolaan menurut sistem UUPA.

Bandung: Mandar Maju.

Safitri, Myrna A.2013. “Menafsirkan tanggung jawab negara terhadap

reforma agraria”, dalam: Ismatul Hakim dan LukasR. Wibowo (eds.),

Jalan terjal Reforma Agraria di sektor kehutanan. Jakarta: Puspijak.

Soemardijono. 2008. Hak pengelolaan atas tanah.

http://www.landpolicy.or.id/kajian/2/tahun/2008/bulan/10/tanggal

/20/id/133/ (diakses 25-7-2009).

Page 29: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

MYRNA A. SAVITRI

21

Sumardjono, Maria. 2008.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya.

Jakarta: KOMPAS.

Termorshuizen-Arts, Marjanne. 2010. “Rakyat Indonesia dan tanahnya:

Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya

dalam hukum agraria Indonesia”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam

Moeliono (ed.), Hukum agraria dan masyarakat di Indonesia: Studi tentang

tanah, kekayaan alam dan ruang di masa kolonial dan desentralisasi. Jakarta:

HuMa, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, KITLV-Jakarta.

Vandergeest, Peter dan Nancy Lee Peluso. 2006. “Empires of forestry:

Professional forestry and state power in Southeast Asia. Part 1”, dalam

Environment and History (lokasi : penerbit).

Page 30: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

KONSISTENSI NEGARA ATAS DOKTRIN WELFARE STATE

DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT

Wahyu Nugroho1

Abstrak

Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara

yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk

menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau

pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup

di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan

pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara

seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK

No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah

dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan

lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib

melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk

mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk

menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare

state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan

kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan

kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah

Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan

Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini.

Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan

yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini

terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan

hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan

negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan

memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta

1 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

Page 31: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

23

hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun

hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang

tercakup dalam hutan adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada

masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat

hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan

adat jatuh kepada Pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh adalah hak

menguasai negara dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk

mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat,

termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator.

Kata kunci: negara, masyarakat hukum adat, hutan negara, hutan adat, sumber

daya alam

Abstract

Green constitution placed Indonesia as a country that has a constitutional juridical

consequences constitution in 1945 to apply the principles of ecocracy, that is any

wisdom or development in the field of economy always looking environment in all

sectors, including forestry. It aims to implement the pillars of sustainable development

in a balanced manner for the sake of welfare of the people (society). The study object is

the Constitution Court decision No. 35/PUU-X/2012 with indigenous people’s subject

his constitutional rights. Indigenous and tribal peoples have local wisdoms of its own in

the protection and management of natural resources of indigenous forest, so that the

state shall protect and act as facilitators of indigenous communities to manage their own

indigenous forests. The purpose of this study are to examine and analyze the consistency

of state authority over the doctrine of welfare state in the management of state forest

with indigenous authorities in the indigenous forest management based on socio-legal

study of the Constitutional Court's decision. The author uses a methodology based on

assessment of the Constitutional Court decision, by examining the socio-legal aspects of

this decision. In addition, primary legal materials and secondary legal materials as a

normative foundation and the study of literature as a theoretical framework. The results

of this study revealed that is a relationship between the state is the state forest, and the

state is customary forests. To the state forest, the state has full authority to organize and

decide the inventory, allocation, utilization, management, and legal relations that occur

in the forest region of the country. The indigenous forests, state authority is limited

extent authorized content covered in indigenous forest. Indigenous forest management

rights of indigenous communities, but if the development of indigenous communities in

question no longer exists, then the rights of indigenous forest management falls to the

Government. The conclusion is the state is interpreted as the authority and duty of the

state to manage forest resources with the goal of public welfare, including indigenous

peoples, so that the state serves as a facilitator. Unity traditional communities

(indigenous peoples) are part of the eco-system of indigenous forest resource contains

Page 32: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

24

the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the

intervention of the state or private.

Keywords: state, indigenous and tribal peoples, state forests, indigenous forests,

natural resources

1. Latar Belakang

Konstitusi perekonomian Indonesia secara eksplisit menegaskan bahwa

bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan oleh sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bunyi

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat spirit/filosofi bahwa adanya suatu

kewajiban bagi negara untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagai konsekuensi

yuridis Indonesia penganut welfare state.2 Dalam konteks penguasaan negara,

sumber daya alam berupa hutan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan

masyarakat di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan istilah

masyarakat (hukum) adat juga mempunyai hak untuk mengelola,

mendapatkan akses dan melestarikan hutan. Negara dengan segala alat

kelengkapannya secara yuridis menurut UUD 1945, undang-undang dan

peraturan di bawahnya diberikan kewenangan untuk menguasai sumber daya

alam berupa hutan. Penguasaan oleh negara melalui instrumen hukum tidak

secara langsung menegasikan masyarakat tradisional/ adat (indigenous people)

untuk mendapatkan akses hutan adat atau mengambil alih hak kesatuan

masyarakat hukum adat atas wilayahnya melalui instrumen perizinan oleh

swasta, tanpa memerhatikan kearifan-kearifan lokal (local wisdom). Tergesernya

peran masyarakat adat kawasan hutan baik secara langsung maupun tidak

langsung akan mengakibatkan penguasaan hutan oleh negara tanpa batas

dengan dalih pendapatan nasional ataupun daerah, melalui pemegang izin

usaha.

2 Doktrin welfare state atau welvaartsstaat (negara kesejahteraan) muncul pada akhir abad

ke-19 dan awal abad ke-10 sebagai bentuk perkembangan dan perubahan dari konsep negara penjaga

malam (nachwachterstaat) dengan prinsip the best government is the least government di Eropa pada

abad ke-18 dan abad ke-19. Karena berkembangnya disparitas pendapat dalam masyarakat yang

menyebabkan munculnya fenomena kemiskinan massal di berbagai negara, maka timbul tuntutan

kepada negara untuk memperluas tanggung jawab sosialnya guna mengatasi fenomena kemiskinan itu,

akhirnya muncul dan berkembangnya aliran sosialisme dalam sejarah Eropa. Doktrin ini sangat

mempengaruhi proses perumusan berbagai konstitusi di negara-negara Amerika dan Eropa sendiri.

Lihat: Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2, Jakarta: Sinar

Grafika, 2012, hlm. 40. Dalam literatur lain, dikatakan welfare state merupakan gagasan yang telah

lama lahir dan dirintis oleh Prusia di bawah Otto von Bismarck sejak 1850-an. Gagasan negara

kesejahteraan itu di Eropa dan Amerika masa lampau berbenturan dengan konsepsi negara liberal

kapitalistik. Periksa: Siswono Yudo Husodo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang

Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009, hlm. 65.

Page 33: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

25

Dalam praktiknya, pemerintah sering mengeluarkan keputusan

penunjukan kawasan hutan tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan

tentang klaim kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut yang

bahkan pada kenyataannya telah ada pemukiman-pemukiman masyarakat adat

di dalamnya. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS)

menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan

71,06 % dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya

huta.3 Selanjutnya, dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014

menunjukkan data bahwa pada tahun 2003, dari 220 juta penduduk Indonesia

terdapat 48,8 juta orang yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan

ada sekitar 10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan.

Sementara data lain yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat

Statistik (BPS) di tahun 2007 memperlihatkan masih terdapat 5,5 juta orang

yang tergolong miskin di sekitar kawasan hutan.4

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang

dikembangkan kemudian membagi kelembagaan pengelolaan hutan ke dalam

dua kelompok, kelembagaan pengelolaan hutan yang dapat diakses oleh

masyarakat lebih umum, meliputi masyarakat hukum adat dan yang bukan

masyarakat hukum adat. Ketika UU Kehutanan lahir, pengakuan negara

terhadap hak masyarakat hukum adat tidak membaik. Ada beberapa pasal

dalam UU Kehutanan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat dan

hutan adat. Pasal mengenai hutan adat menyatakan hutan adat sebagai hutan

negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Aturan ini seolah-

olah memberikan pengakuan terhadap adanya hutan adat, tetapi pengakuan ini

mengandung jebakan karena keberadaan hutan adat tersebut diikuti dengan

kalimat hutan negara yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat.5

Ketentuan ini memberikan dampak yang besar di lapangan, karena

pada prinsipnya aturan ini menyampaikan pesan bahwa hutan adat itu tidak

ada sama sekali. Hedar Laudjeng menegaskan bahwa dengan Pasal 1 ayat (6)

UU Kehutanan, sejak awal sudah menegaskan bahwa masyarakat hukum adat

dalam wujud kolektifnya tidak berhak mempunyai hutan milik sendiri. Pasal

ini mengasumsikan bahwa seluruh areal hutan Indonesia telah ditunjuk dan

ditetapkan sebagai kawasan hutan (hutan negara dan hutan hak), dengan

3 Dikutip dari Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hlm. 4.

4 Ibid.

5 Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam Konflik Agraria

di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di

Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta: Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011, hlm. 80.

Page 34: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

26

demikian tidak mungkin ada sisa areal hutan yang terluputkan, termasuk yang

berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.6

Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, maka jelas

bahwa yang dinyatakan sebagai hutan adat oleh pemerintah tidak lain adalah

hutan kepunyaan masyarakat hukum ada, yang di setiap tempat memiliki

nama lokal, misalnya hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, bengkar,

dan lain sebagainya. Secara sepihak, hutan-hutan ini kemudian dicaplok oleh

negara dengan balutan konsep hak menguasai oleh negara. Hal inilah yang

dinamakan sebagai proses negaraisasi tanah (hutan) masyarakat hukum adat.

Akibatnya, jika masyarakat hukum adat berkeinginan mengelola dan

memanfaatkan harus terlebih dahulu memohon izin kepada negara, sebagai

penguasa atau “pemilik” baru atas hutan itu.7

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012,

pemohon melakukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 4

ayat (3), Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3). Alasan

pemohon melakukan judicial review antara lain menurut ketentuan Pasal 1

angka 6 UU Kehutanan yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945

berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat”. Pasal 4 ayat (3) menyatakan: “Penguasaan hutan oleh

negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang

kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan

dengan kepentingan nasional”. Ketentuan Pasal 5 menyatakan: ayat (1): “hutan

berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak; ayat (2)

“hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan

adat”; ayat (3) “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut

kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan

diakui keberadaannya”; dan ayat (4) “apabila dalam perkembangannya

masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak

pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pasal-pasal tersebut yang

dikabulkan oleh MK, sedangkan terhadap ketentuan Pasal 67 UU Kehutanan

yang menyangkut hak-hak, eksistensi dan hapusnya masyarakat hukum adat

ditolak Mahkamah karena tidak terdapat muatan yang dianggap bertentangan

dengan norma-norma HAM dalam UUD 1945.

Perkara ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan

6 Hedar Laudjeng, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam

San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,

1999, hlm. 81. 7 Andiko, op.cit., hlm. 81.

Page 35: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

27

Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sicitu. Permasalahan yang dihadapi

masyarakat hukum adat diantara pemohon sangat beragam, antara lain:

a. masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah mereka, yang

mana mendapatkan penghidupan, termasuk sumber daya alamnya;

b. masalah self-determination, yang sering berbias politik dan hingga

sekarang masih menjadi perdebatan sengit;

c. masalah identification, yakni soal siapakah yang dimaksud

masyarakat adat itu, beserta kriterianya.

Penelitian Charles V. Barber mengungkap bahwa hak menguasai tanah

negara merupakan cerminan dari impelementasi nilai, norma, dan konfigrasi

hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan lingkungan hidup

dan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi

otoritas dan legitimasi kepada negara untuk menguasai dan memanfaatkan

lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.8

Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam,

pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan

sebagai wujud hukum negara dan satu-satunya hukum yang mengatur

pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan demikian,

pengaturan dalam bentuk hukum adat diabaikan dalam proses pembentukan

peraturan perundang-undangan secara substansi maupun implementasi.9 Hak-

hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup

sumber daya alam hutan adat dipasung oleh negara melalui instrumen

perizinan, tidak melihat kearifan-kearifan lokal atau nilai-nilai adat lokal yang

masih diberlakukan oleh masyarakat adat dan eksploitasi terhadap lingkungan

hidup kawasan hutan adat.

Di dalam Pasal 1 UU Kehutanan terdapat dua jenis hutan, yakni hutan

hak dan hutan negara. Dikatakan hutan hak apabila hutan itu tumbuh atau

berada di atas tanah yang dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya, dikatakan

hutan negara bila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak

dibebani suatu hak atas tanah. Hutan adat bahkan secara langsung

didefinisikan sebagai hutan negara yang tumbuh di atas tanah dalam wilayah

masyarakat hukum adat. Bahkan tanpa argumen yang masuk akal sebagaimana

dinyatakan Pasal 1 butir d, butir e dan butir f hutan adat serta merta masuk

8

Charles V. Barber, The State, the Environment and Development; the Genesis of

Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral Dissertation of California

University Berkeley, 1989, hlm. 14. 9 Stefanus Laksanto Utomo, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I, Bandung: PT

Alumni, 2013, hlm. 7.

Page 36: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

28

kategori hutan negara. Lebih gamblang lagi dinyatakan bahwa hutan negara

dapat berupa hutan adat, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan.10

Mencermati beberapa pasal di dalam UU Kehutanan, dalam praktik

yang dilakukan oleh negara dan sejumlah perusahaan di sekitar kawasan hutan,

hak-hak konstitusional masyarakat adat untuk mengakses dan melakukan

pengelolaan terhadap hutan adat telah dipangkas dengan menjadikan kawasan

hutan taman nasional sebagai hutan negara, termasuk hutan adat yang menjadi

bagian dari hutan negara. Selanjutnya melalui instrumen perizinan, pemilik

perusahaan dilegalkan dengan perizinan-perizinan yang ada untuk mengambil

alih kawasan hutan adat menjadi usaha kawasan pertambangan, perkebunan

kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Hal ini jelas telah menegasikan

masyarakat hukum adat, nilai-nilai budaya lokal, bahkan sering terjadi konflik

masyarakat adat dengan pemerintah dan pihak pengusaha.

2. Permasalahan

Di dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada permasalahan

bagaimana konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam

pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam

pengelolaan sumber daya alam hutan adat?

3. Tujuan

Tujuan dari pengkajian ini adalah: untuk menguji dan menganalisis

konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state (negara kesejahteraan)

dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam

pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal putusan Mahkamah

Konstitusi.

4. Metodologi

Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan

Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal di dalam putusan No.

10

Maria Rita Roewiastoeti, Gerakan Reforma Agrarian Berbasis Masyarakat Suku-Suku

Pribumi, Jurnal Bina Desa Sadajiwa, Edisi khusus 35 tahun kelahirannya, Juni, 2010, hlm. 29-30.

Page 37: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

29

35/PUU-X/2012 yang menguji UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, juga memanfaatkan bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif

dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori.

5. Studi Pustaka

5.1 Konsepsi tentang Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat bangsa Indonesia adalah masyarakat yang

Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda suku, agama, ras dan antar

golongan (SARA), kemudian bersatu dalam kesatuan negara Pancasila

sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Indonesia merdeka, berbagai

masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan besar dan kecil yang

hidup menurut hukum adatnya masing-masing.11

Teer Haar mengemukakan adanya kelompok-kelompok

masyarakat di lingkungan raja-raja dan kaum bangsawan dan di

lingkungan kaum pedagang. Kelompok-kelompok masyarakat ini

dipengaruhi oleh kehidupan hukum adat dan tempat kediaman yang

terpisah dari masyarakat umum.12

Soepomo dalam pidatonya tanggal 2 Oktober 1901 yang

mengutip pendapat van Vollenhoven menyatakan:

Bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama

perlu diselidiki buat waktu apabila pun dan di daerah

mana pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan

hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum

itu, hidup sehari-hari.13

11

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, Bandung: PT Mandar

Maju, 2003, hlm. 105. 12

Ibid. 13

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2008, hlm. 91.

Page 38: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

30

Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat

di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar

susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan

(genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (territorial),

kemudian ditambah dengan susunan yang didasarkan pada kedua

dasar tersebut, yakni genealogi-territorial. Dari sudut bentuknya, maka

masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi

bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup

beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan

perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.

Masing-masing masyarakat hukum adat tersebut dapat dinamakan

sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan

berangkai.14

5.2 Hak Ulayat Menurut Hukum Adat

Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup sektor kehutanan, masyarakat adat memiliki peranan yang

strategis untuk dapat mengelola hutan sendiri yang dijamin oleh

konstitusi. Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk

menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan

belakar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan

persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna

kepentingan orang-orang luaran (orang asing/orang pendatang),

dengan izin persekutuan hukum hukum itu dengan membayar

recognisi (pengakuan). Adapun yang menjadi objek hak ulayat ialah:15

a. tanah (daratan);

b. air atau perairan, seperti sungai, danau, pantai atau perairan;

c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar; dan

d. binatang-binatang liar.

Van Vollenhoven (ahli hukum adat), menamakan hak dari

persekutuan hukum (desa) ini: “beschikkingrecht”, artinya hak

menguasai tanah, tapi dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab

persekutuan hukum tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah.

14

R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977, hlm. 51. 15

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta: Gunung

Agung, hlm. 199.

Page 39: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

31

5.3 Sistem Perizinan Bidang Lingkungan Hidup dalam UU No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan

Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup yang menginduk kepada UU No. 32 Tahun 2009, maka dalam

konteks penyelenggaraan perizinan bidang lingkungan hidup diatur

dalam undang-undang sektoral, yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

Sistem perizinan bidang kehutanan secara singkat dijelaskan di

dalam penjelasan umum bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan

merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada

pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan

kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur

dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau

kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum

mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang

untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan

kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu

yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai

strategis, pemerintah harus memerhatikan aspirasi rakyat melalui

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.16

Penjelasan umum tersebut menjadi alasan substansial adanya

peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan (welfare legal state)

memiliki konsekuensi logis untuk menyejahterakan bagi rakyatnya di

sektor hutan, termasuk masyarakat hukum adat yang memiliki peran

strategis untuk diberikan tempat dalam pengelolaan hutan adat. Peran

serta masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sebagai hukum

yang hidup (the living law) terdapat sejumlah kearifan-kearifan lokal

yang dijunjung tinggi oleh komunitasnya. Hal tersebut mendapatkan

pengakuan secara normatif dan diperkuat di dalam Pasal 70 ayat (3)

huruf e UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yakni: “mengembangkan dan menjaga budaya dan

kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup”.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan

dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada

prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan

16

Periksa: di dalam Penjelasan Umum UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 40: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

32

dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya,

serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan

dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya, yaitu

fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga

keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan

juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan

selain mengembalikan kualitas hutan, juga meningkatkan

pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta

masyarakat merupakan inti keberhasilannya.

Penulis berpendapat bahwa apabila diperhatikan penjelasan

umum tersebut, negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan

masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan hutan, termasuk hutan

adat yang tidak merupakan bagian dari hutan negara pasca putusan

MK ini, akan dikelola oleh masyarakat adat sendiri. Dengan pemisahan

hutan negara dan hutan adat dalam pengelolaannya berdasarkan

putusan MK tersebut, maka harapannya ke depan tidak ada konflik lagi

antara masyarakat hukum adat dengan negara, atau masyarakat

hukum adat dengan perusahaan pemegang izin usaha. Melihat

empirical evidence berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang diajukan

Pemohon, negara berkedok legalisasi perizinan kepada sejumlah

perusahaan untuk mengalihkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan,

sehingga masyarakat adat tidak mendapatkan tempat. Bahkan, terjadi

konflik, penggusuran, perusakan, diskriminasi dan penutupan akses

sumber daya alam hutan adat sebagai sumber penghidupan bagi

masyarakat adat.

Dikatakan oleh Helmi, bahwa era reformasi bidang kehutanan

dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ternyata

“setali tiga uang”. Perizinan bidang kehutanan yang mendelegasikan

wewenang kepada pemerintah daerah justru makin memperparah

kerusakan hutan di Indonesia. Bahkan, illegal logging, mengalami

booming pada kurun waktu tahun 1999 sampai tahun 2004. 17

Pemanfaatan kayu dari hutan produksi dilegalisasi dengan keputusan

izin para Kepala Daerah dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan skala

kecil. Padahal, berdasarkan UU Kehutanan, HPH seharusnya

merupakan wewenang pemerintah pusat dan kondisi tersebut disadari

oleh pemerintah pada pertengahan 2004. Berbagai wewenang daerah

yang semula didelegasikan ditarik kembali, terutama wewenang dalam

hal izin pemanfaatan hasil hutan kayu.

17

Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 179.

Page 41: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

33

Walaupun aktivitas ilegal dan legal pemanfaatan hutan

produksi alam terutama kayu sudah berkurang, pengaturan yang tidak

mempertimbangkan kelestarian fungsi, dalam jangka panjang

berdampak negatif. Banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan

kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau terbukti merugikan

aktivitas ekonomi dan mengancam kenaikan suhu global.18

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, terdapat sejumlah

perizinan sektor kehutanan adalah sebagai berikut:

1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman

Industri (IUPHHK-HTI);19

2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam

(IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan;20

3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan

Alam (IUPHHK-BK) Lintas Provinsi dan Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri

(IUPHHKBK-HTI) Lintas Provinsi;21

4) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;22

5) Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IPHHK-

RE);23

6) Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Lintas Provinsi (IUPK);24

7) Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) Lintas

Provinsi;25

18

Ibid., hlm. 180. 19

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin

dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam

Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 11 tahun

2008. 20

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan.

Diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan Peraturan

Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008. 21

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi. 22

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai

Kawasan Hutan. 23

Lihat: Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. 24

Lihat: Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan

Rencana Pengelolaan Hutan. 25

Ibid.

Page 42: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

34

8) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman

Rakyat (IUPHHK-HTR);26

9) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman

Industri Rehabilitasi (IUPHHK-HTHR);27

10) Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK).28

Sejumlah perizinan tersebut dalam praktiknya, khususnya

berdasarkan keterangan saksi-saksi pada putusan MK ini yang

merupakan komunitas atau kesatuan masyarakat hukum adat,

digunakan oleh pemegang izin usaha dalam mengoperasionalkan

usahanya dengan mengabaikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat hukum adat, sehingga tidak jarang mereka terjadi konflik

dan pemerintah daerah pun sebagai mediator hanya macan ompong,

sulit untuk menyelesaikan sengketa kedua belah pihak. Justru dinilai,

terjadi legalisasi perizinan berkedok investasi daerah.

6. Hasil Kajian dan Pembahasan: Konsistensi Kewenangan Negara dalam

Pengelolaan Hutan Negara dengan Kewenangan Masyarakat Adat dalam

Pengelolaan Sumber Daya Alam Hutan Adat

Paradigma dalam penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber

daya alam Indonesia oleh negara sebagai otoritas tercermin di dalam rumusan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Ketentuan dasar tersebut memperlihatkan prinsip dasar hubungan

antara negara dengan warga masyarakat berkaitan dengan tanah. Dalam

ketentuan dasar tersebut, terutama terkandung maksud untuk menghapuskan

prinsip dasar yang dikenal pada masa Hindia Belanda, maksudnya peran

negara sebagai pemilik seperti digunakan dalam prinsip Domeinverklaring. Asas

ini bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat dan asas

ketatanegaraan, juga tidak perlu negara merupakan pemilik tanah.29

26

Ibid. 27

Ibid. 28

Ibid. 29

Anang Husni, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009,

hlm. 84.

Page 43: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

35

Kewenangan negara untuk menguasai tanah selanjutnya diatur dalam

Pasal 2 UU Pokok Agraria, yang menyatakan:

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan hal-

hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai

organisasi seluruh rakyat Indonesia. Secara sepintas dapat

diketahui, hak menguasai oleh negara melebihi hak milik, juga

hak lainnya yang dikenal di dalam masyarakat. Sesungguhnya

hak menguasai oleh negara seperti dinyatakan dalam ayat (1)

tersebut memberikan kewenangan kepada negara, untuk:30

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaannya;

2. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas

(bagian dari) bumi, air, dan ruang angkasa itu;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang

mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Filosofi yang terkandung di dalam paradigma atas penguasaan,

pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam Indonesia tersebut harus

dipahami oleh penyelenggara negara dalam hal ini kekuasaan eksekutif untuk

merumuskan suatu kebijaksanaan yang dikonkritkan menjadi kebijakan.

Negara memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pengelolaan atas

sumber daya alam berupa hutan, akan tetapi perlu diperhatikan kesatuan-

kesatuan masyarakat tradisional yang masih mempertahankan nilai-nilai

budaya lokalnya di kawasan hutan. Kesatuan masyarakat adat tersebut

merupakan bagian dari ekosistem alam yang perlu mendapatkan hak juga

untuk mengelola dan memanfaatkan hutan adat. Masyarakat adat yang

memiliki karakter lokal dan tradisional tersebut apabila ditelisik lebih dalam,

mengandung nilai-nilai sakral, budaya, spiritual dan peraturan bersama (tidak

tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya. Oleh karena itu, penulis

mengatakan masyarakat (hukum) adat disebut sebagai hukum yang hidup (the

living law). Menurut Northop, sebagaimana dikutip oleh Bodenheimer, bahwa

30

Lihat: Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Page 44: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

36

hukum itu memang tidak dapat dimengerti secara baik jika ia terpisah dari

norma-norma sosial sebagai hukum yang hidup.31

Dalam konteks penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber

daya alam hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya, Pasal 4 ayat (1) UU No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan: “Semua hutan di dalam

wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Frasa “dikuasai” dalam Pasal tersebut tidak dimaknai “dimiliki”, akan tetapi

negara sebagai otoritas yang sah secara yuridis konstitusional mendapatkan

amanah berupa kewenangan untuk melakukan pengaturan agar tercipta

kepastian hukum dan ketertiban sosial.

Rumusan Pasal 4 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

secara eksplisit menjelaskan kewajiban dan kewenangan suatu negara untuk

mengatur sumber daya alam hutan, yakni:

Penguasaan hutan oleh negara tersebut memberikan wewenang

kepada pemerintah untuk: (a) mengatur dan mengurus segala

sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil

hutan; (b) menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan

dan kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; (c) mengatur

dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum

mengenai kehutanan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan

Kehutanan, dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pengukuhan kawasan

hutan, Menteri menetapkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan.

Berdasarkan kriteria dan standar pengukuhan kawasan hutan tersebut,

gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penataan batas. Selanjutnya

berdasarkan pedoman penyelenggaraan penataan batas yang ditetapkan oleh

gubernur, Bupati/Walikota menetapkan petunjuk pelaksanaan penataan batas

dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan tersebut di wilayahnya. Kriteria

dan standar pengukuhan kawasan hutan telah diatur dalam Keputusan Menteri

Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan

Kawasan Hutan. Dalam perkembangannya, Keputusan Menteri ini dicabut dan

diganti dengan Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.50/Menhut-II/2011

tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Selanjutnya, peraturan ini dicabut dan

31

Edgar Bodenheimer, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Cambriage,

Massachesetts, 1962, hlm. 106.

Page 45: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

37

diganti dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.44/Menhut-II/2012

tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, yang ditetapkan pada tanggal 11

Desember 2012 dan diundangkan tertanggal 12 Desember 2012.

Norma hukum yang dibuat oleh individu, yakni kekuasaan eksekutif

dalam pengelolaan kawasan hutan memiliki otoritas yang sah secara

konstitusional. Hal ini dikatakan oleh Hans Kelsen, seorang legal positivis

bahwa negara yang mempunyai ketentuan “legal” dibayangkan sebagai

seseorang. Para individu merupakan representasi dari organ negara yang

membentuk hukum. Seorang individu yang menjadi organ negara hanya

berarti bahwa tindakan-tindakan tertentu telah dilakukannya bermanfaat bagi

negara, yakni menjadi rujukan bagi kesatuan ketentuan legal. Jika sebuah

norma ketentuan legal diciptakan sesuai dengan perundang-undangan dari

norma lain, maka individu yang menciptakan hukum adalah sebuah organ dari

ketentuan legal, yakni organ negara.32 Dengan demikian, individu dalam ranah

publik (decision maker) sangat menentukan dalam setiap kebijaksanaan yang

akan dibuatnya, termasuk kebijaksanaan dalam pengelolaan sumber daya alam

dan lingkungan hidup kawasan hutan negara dan hutan adat oleh masyarakat

hukum adat.

Ketentuan Pasal di dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

sebelumnya dilakukan judicial review yakni Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan,

yang menyatakan: “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan

atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap”.

Dalam putusan MK No. 045/PUU-IX/2011 ini, mengabulkan

permohonan pemohon untuk seluruhnya dengan menghapuskan frasa

“ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga berbunyi:

“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Implikasinya,

penentuan kawasan hutan tidak hanya sekedar pada penunjukan kawasan

hutan, tetapi juga dilakukan proses penataan batas, pemetaan dan penetapan

kawasan hutan. Sebaliknya, dalam bagian akhir putusan, MK juga memberikan

pertimbangan mengenai ketentuan peralihan dari UU No. 41 Tahun 1999,

khususnya Pasal 81 yang menyatakan;

Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

32

Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk Mewujudkan

Keadilan dalam Hukum dan Politik, terj.dari aslinya: What is Justice? Justice, Politic, and Law in the

Mirror of Science, Cet. II., Bandung: Ujungberung, 2009, hlm. 335.

Page 46: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

38

sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap

berlaku berdasarkan undang-undang ini.

Menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 “ditunjuk dan atau ditetapkan”, namun

berlakunya untuk yang “ditunjuk dan atau ditetapkan” dalam Pasal 81 UU No.

41 Tahun 1999 tetap sah dan mengikat.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Kementerian

Kehutanan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.3/MENHUT-II/2012,

tanggal 3 Mei 2012, ditujukan kepada: (1) Gubernur di seluruh Indonesia; (2)

Bupati/Walikota di seluruh Indonesia; dan (3) Kepala Diinas Provinsi,

Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan, intinya menegaskan sebagai

berikut:33

1) Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 menjadi: kawasan hutan

adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;

2) Keputusan penunjukan kawasan hutan provinsi maupun parsial

yang telah diterbitkan Menteri Kehutanan serta segala perbuatan

hukum yang timbul dari berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun

1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2004 tetap

sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3) Keputusan Menteri tentang penunjukan kawasan hutan, baik

provinsi maupun parsial yang diterbitkan Menteri Kehutanan

setelah putusan Mahkamah Konstitusi tetap sah dan dimaknai

sebagai penetapan awal dalam proses pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang No. 19 tahun 2004.

Masyarakat hukum adat juga diberikan tempat untuk perlindungan

hutan yang menjadi kawasannya, yakni hutan adat. Hal ini ditegaskan di dalam

Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 8

ayat (4) bahwa perlindungan hutan atas kawasan yang pengelolaannya

diserahkan kepada masyarakat adat, dilaksanakan dan menjadi tanggung

jawab masyarakat adat. Perlindungan kawasan hutan oleh masyarakat adat

dilaksanakan berdasarkan kearifan tradisional yang berlaku dalam masyarakat

33

Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan dalam

Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hlm. 72.

Page 47: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

39

adat yang bersangkutan dengan pendampingan dari pemerintah, pemerintah

provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.34

Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak ulayat.

Dalam wilayah hak ulayat, terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan

dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara

perseorangan berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Keberadaan hak

perseorangan tidak bersifat mutlak, sewaktu-waktu haknya menipis dan

menebal. Jika semakin menipis dan lenyap, akhirnya kembali menjadi

kepunyaan bersama. Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat

bersifat lentur. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum

adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada

Pemerintah. Wewenang hak ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenang

hak perseorangan, sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan

wewenang hak ulayat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diatur hubungan antara hak

menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap

hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh

untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan,

pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan

negara. Kewenangan pengelolaan oleh negara di bidang kehutanan seharusnya

diberikan kepada kementerian kehutanan. Adapun hutan adat, wewenang

negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat.

Hutan adat disebut juga hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan adat

lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat, karena berada dalam satu kesatuan

wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya

didasarkan atas kearifan-kearifan lokal (local wisdom) dan mempunyai suatu

badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.

Para warga suatu masyarakat hukum adatmempunyai hak membuka hutan

ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan

kebutuhan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, tidak dimungkinkan

hak yang dipunyai oleh warga masyarakat hukum adat tersebut ditiadakan

atau “dibekukan” sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian

kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat

(2) UUD 1945.

Setelah dilakukan pembedaan antara hutan negara, hutan hak (hutan

perseorangan dan hutan adat/ulayat), Mahkamah Konstitusi memandang

34

Lihat: Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Page 48: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

40

bahwa tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara,

atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak sebagaimana

dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU a quo, serta hutan

ulayat dalam hutan negara, sehingga menjadi jelas status dan letak hutan ulayat

dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua, yaitu

hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat

dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada

tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.

Masyarakat hukum adat telah menguasai tanah dan kekayaan-

kekayaan alam di suatu wilayah jauh sebelum pembentukan negara.

Penguasaan tradisional itu mendapatkan pengakuan dari komunitas-komunitas

lainnya. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendeskripsikan:

Jauh sebelum konsep negara kerajaan atau kesultanan dikenal, di

seluruh pelosok nusantara ini (sebagian menjadi wilayah

Indonesia) telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial

politik yang berdaulat. Mereka secara otonom mengatur dan

mengurus dirinya serta mengelola tanah dan sumber daya alam

lainnya di habitat masing-masing. Komunitas-komunitas ini telah

mengembangkan aturan-aturan (hukum) dan juga sistem

kelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk menjaga

keseimbangan antar warga di dalam komunitas tersebut dan juga

antara komunitas tersebut dengan alam di sekitarnya.

Sekolompok penduduk yang hidup berdasarkan asal-usul yang

diwariskan oleh leluhurnya ini secara mendunia dikenal sebagai

indigenous peoples dan di Indonesia dikenal dengan berbaga

penyebutan dengan pemaknaan masing-masing, seperti

Masyarakat Hukum Adat, penduduk asli, bangsa pribumi,

umumnya memiliki perbedaan antara satu komunitas dengan

komunitas lain di sekitarnya. Keragaman sistem lokal ini sering

juga muncul pada satu suku atau etnis atau bahkan pada sub-

suku yang sama umumnya juga memiliki bahasa dan sistem

kepercayaan/agama asli.35

Dalam ketentuan konstitusional tersebut, masyarakat hukum adat

dikatakan sebagai subjek hukum harus mendapatkan pengakuan dan

35

World Agroforestry Centre (ICRAF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Forest

Peoples Programme (FPP), Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), 2003, hlm. 3-4.

Page 49: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

41

penghormatan yang memiliki hak, salah satunya hak untuk mengakses

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup kawasan hutan adat.

Adapun dasar konstitusional terdapat di dalam Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4).

Ketentuan tersebut sebagai dasar pengaturan dalam pengalokasian sumber-

sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk didalamnya sumber

daya alam hutan. Dalam konteks kebijakan negara tersebut, terdapat tiga

elemen terpenting, pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak; kedua,

penguasaan negara terhadap bumi (tanah) dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, termasuk hutan adat; ketiga, penguasaan negara

terhadap sumber daya alam berupa hutan, dikelola dalam rangka mewujudkan

kemakmuran rakyat semua golongan, termasuk masyarakat (hukum) adat yang

secara konstitusional diakui keberadaannya.

Dalam perspektif regulasi, dari UU No. 41 Tahun 1999 tidak memiliki

kejelasan untuk mendapatkan hak atas tanah ataupun hutan, yang di dalam

UUD 1945 justru mendapatkan tempatnya. Kekosongan peran dan

ketidakberadaan masyarakat hukum adat di bidang pertanahan dan kehutanan

adat, akan menyebabkan hilangnya potensial dan hilangnya hak untuk

mendapatkan sumber daya alam hutan sebagai penghidupannya. Fakta-fakta

empiris yang dipaparkan oleh saksi-saksi pemohon, sudah jelas membuktikan

bahwa masyarakat adat tidak mendapatkan tempat, sehingga seringkali mereka

terjadi konflik, baik dengan pemerintah maupun swasta (perusahaan).

Mahkamah Konstitusi sebelumnya pernah melakukan judicial review

dalam putusannya No. 3/PUU-VIII/2010 tertanggal 16 Juni 2011 yang

memberikan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.

Pertimbangan hukum mahkamah adalah berpatokan kepada Pasal 33 ayat (3)

UUD 1945 yang menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Dengan adanya anak kalimat

“dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagai kelanjutan

dari bunyi Pasal tersebut, maka yang menjadi ukuran adalah frasa “sebesar-

besar kemakmuran rakyat” dalam segala pengurusan, pengelolaan dan

pengaturan sumber daya alam, dalam konteks ini adalah hutan. Penguasaan

tersebut wajib memerhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu

maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (atau dikenal

sebagai hak ulayat) atau hak-hak lainnya yang dijamin oleh konstitusi, seperti

hak atas lingkungan yang baik dan sehat, hak akses untuk melintas, serta hak

ekonomi, sosial budaya (hak ekosob).

Konsekuensi logis dari negara untuk menguasai dan melakukan

pengelolaan hutan adalah terciptanya kemakmuran rakyat. Kemakmuran

Page 50: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

42

rakyat dapat juga diartikan sebagai kebahagiaan rakyat, sebagaimana yang

dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum penggagas

hukum progresif, menyatakan bahwa hukum itu dibuat untuk

menyejahterakan rakyatnya, bukan malahan untuk menyengsarakan

rakyatnya.36 Hal itu juga diperkuat oleh Jeremy Bentham,37 seorang penganut

konsep utilitarianism berkebangsaan Inggris yang menghendaki agar hukum

atau peraturan itu memiliki tujuan untuk memperbesar kebahagiaan rakyat dan

mengurangi penderitaan rakyat.

Konsepsi demokrasi lingkungan dan green constitution menempatkan

Indonesia sebagai negara yang sangat memerhatikan persoalan lingkungan

hidup dalam setiap kebijaksanaan dan pembangunan nasional ataupun daerah

yang ditetapkan oleh negara (pemerintah) baik pusat maupun daerah.

Pembangunan nasional dan daerah baik yang akan dilaksanakan maupun yang

sedang dilaksanakan, mempertimbangkan sendi-sendi berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 33 ayat (4) UUD

1945. Pembangunan yang tujuan akhirnya untuk memberikan kesejahteraan

dan kemanfaatan bagi rakyat di semua lapisan dengan mempertimbangkan

sendi-sendi lingkungan dan berkelanjutan atau dikenal dengan istilah

sustainable development.

Mahkamah Konstitusi memandang bahwa UUD 1945 telah menjamin

keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur

dalam undang-undang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, sekalipun disebut

masyarakat hukum adat. Gambaran masyarakat hukum adat masa lalu untuk

sebagian, kemungkinan besar telah mengalami perubahan pada masa sekarang.

Bahkan, masyarakat hukum adat dengan hak ulayatnya di berbagai tempat,

lebih-lebih di daerah perkotaan sudah mulai menipis dan ada yang sudah tidak

ada lagi.

Penulis beranggapan bahwa karakteristik masyarakat yang bersifat

homogen, tingkat kepedulian sosialnya lebih tinggi daripada masyarakat yang

36

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2007, hlm. 11.

37 Jeremy Bentham (1748-1832) adalah salah seorang penganut aliran utilitarianisme di

Inggris dikenal sebagai pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak

hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Tujuan akhir dari perundang-undangan

adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Kontribusi

terbesarnya adalah di bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan

berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan

menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian etis yang dipakai disini adalah apakah

suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Lihat: Satjpto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung:

PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 275.

Page 51: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

43

bertipe heterogen seperti di lingkungan perkotaan. Sehubungan dengan hal

tersebut, Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Perancis kenamaan

mengklasifikasikan tipe masyarakat menjadi solidaritas mekanis (mechanical

solidarity) dan solidaritas organis (organic solidarity). Solidaritas mekanis dapat

terjadi dengan kuatnya apabila cita-cita bersama dari masyarakat yang

bersangkutan secara kolektif, lebih kuat serta lebih intensif daripada cita-cita

masing-masing warganya secara individual.38 Masyarakat hukum adat yang

seringkali disebut sebagai indigenous peoples merupakan contoh dari tipe

masyarakat yang tergolong ke dalam solidaritas mekanis. Masyarakat adat

yang cenderung berkarakter kekerabatan, ketergantungan pada alam untuk

memenuhi kehidupan sehari-hari, masyarakatnya sangat sederhana dan sejenis

serta memiliki nilai-nilai sakral-religius antara manusia, Tuhan dengan

lingkungan hidup, menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan nilai-

nilai budaya lokal.

Sebagai pijakan penyelenggara negara untuk menerapkan prinsip-

prinsip ekokrasi yang berdasarkan kepada green constitution, yakni terdapat di

dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 berbunyi:

Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta

dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi

nasional.

Pelaksanaan pembangunan nasional ataupun daerah selama ini selalu

memprioritaskan unsur ekonomi atau dalam konteks otonomi daerah lebih

mengutamakan Pendapatan Asli Daerah, tanpa memerhatikan demokrasi

lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan

hidup. Tindakan seperti ini merupakan sebuah pengingkaran terhadap

konstitusi. Padahal, kesatuan masyarakat adat yang puluhan tahun menghuni

di bawah payung NKRI dijamin konstitusi dalam Pasal 18B UUD 1945 yang

berbunyi:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

38

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed. I, Cet. 16, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 50.

Page 52: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

44

Apabila masyarakat adat merasa dirugikan melalui sistem perizinan

untuk membuka usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para

pengusaha, maka sudah menjadi haknya untuk memperjuangkan secara

kolektif untuk membangun masyarakat atau komunitasnya. 39 Selain itu,

identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.40 Jadi, masyarakat hukum adat secara

langsung maupun tidak langsung memiliki prinsip yang berakar kuat dari

leluhurnya untuk melestarikan, mengelola, melindungi dan memanfaatkan

lingkungan hidup sumber daya alam hutan adat.

Dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pengelolaan

serta perlindungan lingkungan hidup, negara (pemerintah pusat dan daerah)

diberikan tugas dan kewenangan atas setiap kebijaksanaannya terhadap

masyarakat hukum adat. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam UU No. 32

tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 63

ayat (1) huruf t,41, ayat (2) huruf n,42, dan ayat (3) huruf k.43 Dengan demikian,

terhadap beberapa perusahaan sebagaimana yang dipaparkan oleh saksi

Pemohon di depan Majelis Hakim Konstitusi, antara lain PT Roda Mas, PT

Timber Dana, PT Kalhold Utama, PT Hutan Mahligai yang memegang HPH

(Hak Pengusahaan Hutan) wajib mendirikan Hutan Tanaman Industri, PT Ledo

Lestari, melalui instrumen perizinan dengan terbitnya Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri Kehutanan ataupun surat keputusan yang dikeluarkan

Bupati, telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat adat, yakni tergusur

dan tidak mendapatkan akses sumber daya alam untuk penghidupannya. Jadi,

Penulis menganggap bahwa pemerintah setempat tunduk kepada pemodal

dengan dalih investasi dan Pendapatan Asli Daerah, sehingga mengabaikan

rasa keadilan masyarakat adat dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada.

Berdasarkan keterangan saksi yang bernama Jilung, masyarakat (suku)

Talang Mamak yang terletak di Riau, tepatnya di Kabupaten Indragiri Hulu

masih memegang erat nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), yang

berhubungan dengan folklore, mitos, nilai, norma, etika, interaksi sosial, struktur

39

Lihat: Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, perubahan kedua. 40

Lihat: Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, perubahan kedua. 41

Berbunyi: “Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat

hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup. 42

Berbunyi: ““Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat

hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi. 43

Berbunyi: “Menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat

hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Page 53: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

45

sosial, tata ruang, modal sosial, potensi sosial, konflik sosial, kelembagaan,

pemerintahan adat, pola permukiman, alat dan teknologi. Dalam kesehariannya

mereka selalu merujuk kepada apa yang telah diwariskan oleh leluhur

sebelumnya. Warisan-warisan dari leluhur yang mereka sebut sebagai aturan

adat ini yang mengatur semua lini kehidupan, mulai dari pesta kawin,

menanam padi, membuka lahan, upacara kematian, memilih bibit, sampai

menentukan hari baik untuk beraktivitas. Jika dilihat secara holistik, mereka

memiliki pola pengaturan hidup secara turun-temurun, termasuk dalam

pengelolaan sumber daya alam hutan adat.

Tanah dan hutan bagi suku Talang Mamak merupakan bagian dari

kehidupan yang tidak dapat dipisahkan, sejak ratusan tahun mereka hidup

damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil

hutan dan melakukan perladangan berpindah. Terdapat aturan adat mengenai

sumber daya alam hutan, yakni:

1. Kawasan hutan adalah kawasan dengan kepemilikan komunal;

2. Kawasan pemukiman dan perkebunan adalah kawasan dengan

kepemilikan pribadi yang diturunkan berdasarkan keturunan;

3. Kawasan sungai adalah kawasan yang kepemilikannya

berkelompok;

Kepemilikan tanah perorangan diakui oleh masyarakat lain jika ada

yang akan mengelola lahan yang belum ada pemiliknya, maka akan dianggap

sebagai orang yang berhak atas lahan tersebut, dan akan diturunkan ke

generasi berikutnya, jika akan mengelola lahan yang sudah pernah dikelola

oleh penduduk lain akan diperbolehkan jika telah mendapatkan ijin dari

pengelola sebelumnya dan berstatus pinjam pakai serta tidak ada proses jual

beli antar komunitas.

Keberadaan Talang Mamak sejak dulu sangat bergantung pada hutan.

Lingkungan tempat mereka hidup diatur melalui hukum adat dan keputusan

pengelolaannya diatur oleh seorang patih yang merupakan simbol kekuasaan

tertinggi talang mamak di bawah Kesultanan Indragiri. Terdapat pepatah kuno

dalam masyarakat talang mamak: “lebih baik mati anak, daripada mati adat”. Hal

itu seakan menunjukkan identitas talang mamak tak bisa lepas dari hutan yang

dikelola dengan hukum adat.

Melihat kentalnya kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat

tersebut, Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa karakter hukum yang

sebenarnya dibutuhkan oleh bangsa Indonesia sebagai alat untuk mencapai

tujuan nasional adalah hukum yang dapat mengakomodir sifat kemajemukan

bangsa yang tersebar dari sabang sampai merauke dengan berbagai suku

Page 54: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

46

bangsa dengan otoritas-otoritas lokal tradisional yang otonom, 44 atau Satjipto

Rahardjo mengistilahkan sebagai peculiar form of social life, sebagai simbol

penghormatan yang mendalam terhadap hukum Indonesia asli yang hidup dan

berkembang sebagai the living law.

Mahkamah Konstitusi akhirnya berkesimpulan bahwa kata “negara”

dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 41 tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat, sehingga berubah menjadi: “Hutan adat adalah hutan yang

berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Sedang pada Pasal 4 ayat (3)

berubah menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak

masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Pasal 5 ayat (1) menjadi: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a, tidak termasuk hutan adat”. Terhadap Pasal 5 ayat (3) menghilangkan

kata “dan ayat 2”, sehingga menjadi: “Pemerintah menetapkan status hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang

menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada

dan diakui keberadaannya”.

7. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penulis terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka kesimpulan yang diperoleh adalah

konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan

hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam konteks pengelolaan

sumber daya alam hutan adat berpijak pada hak menguasai negara yang

dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber

daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk

masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator. Kesatuan-

kesatuan masyarakat tradisional/hukum adat (indigenous people) merupakan

bagian dari ekosistem sumber daya alam hutan adat mengandung nilai-nilai

kearifan lokal (local wisdom), sakral-spiritual, budaya lokal dan peraturan

bersama (tidak tertulis) yang disepakati oleh komunitasnya memiliki hak untuk

mengelola hutan adat, tanpa adanya intervensi dari negara ataupun swasta.

44

Satjipto Rahardjo, op.cit., hlm. 189-193.

Page 55: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

47

Daftar Pustaka

Andiko, Untuk Apa Pluralisme Hukum? Konsep, regulasi, negosiasi dalam

Konflik Agraria di Indonesia, dalam Upaya Tiada Henti Mempromosikan

Pluralisme dalam Hukum Agraria di Indonesia, Ed. I, Cet. I, Jakarta:

Epistema Institute-HuMa-Forest Peoples Programme, 2011.

Ardiwilaga, Roestandi, Hukum Agraria Indonesia, Cet. 2, Bandung: Masa Baru,

1962.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Ed. 2, Cet. 2,

Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Barber, Charles V., The State, the Environment and Development; the Genesis of

Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral

Dissertation of California University Berkeley, 1989.

Bodenheimer, Edgar, Yurisprudence; The Philosophy and Method of the Law,

Cambriage, Massachesetts, 1962.

Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Husni, Anang, Hukum, Birokrasi dan Budaya, Cet. I, Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009.

Husodo, Siswono Yudo, Menuju Welfare State, Kumpulan Tulisan tentang

Kebangsaan, Ekonomi dan Politik, Cet. 1, Jakarta: Baris Baru, 2009.

Indonesia. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara

Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman

Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri

Kehutanan No. 11 tahun 2008.

_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)

pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Diubah dengan Peraturan

Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan

Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008.

_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 36 tahun 2008 tentang Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam atau dalam

Hutan Tanaman pada Hutan Produksi.

_________. Peraturan Menteri Kehutanan No. 43 tahun 2008 tentang Pedoman

Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

Page 56: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

WAHYU NUGROHO

48

_________. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2004 tentang Perlindungan

Hutan.

_________. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.

_________. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

_________. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

_________.Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2004

tentang Kehutanan.

_________. Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Kelsen, Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk

Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, terj.dari aslinya: What is

Justice? Justice, Politic, and Law in the Mirror of Science, Cet. II., Bandung:

Ujungberung, 2009.

Laudjeng, Hedar, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan, dalam San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang

Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1999.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Cet. 2, Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2007.

Rahardjo, Satjpto, Ilmu Hukum, Cet. 6, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.

Roewiastoeti, Maria Rita, Gerakan Reforma Agrarian Berbasis Masyarakat Suku-

Suku Pribumi, Jurnal Bina Desa Sadajiwa, Edisi khusus 35 tahun

kelahirannya, Juni, 2010.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Ed. I, Cet. 9, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2008.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Ed. I, Cet. 16, Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006.

Soepomo, R., Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977.

Sudiyat, Iman, Hukum Adat-Sketsa Asas, Cet. 4, Yogyakarta: Liberty, 2000.

Supriyadi, Bambang Eko, Hukum Agraria Kehutanan; Aspek Hukum Pertanahan

dalam Pengelolaan Hutan Negara, Ed. , Cet. I, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Page 57: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

49

Surat Edaran Nomor: SE.3/MENHUT-II/2012 tentang Kawasan Hutan

Utomo, Stefanus Laksanto, Budaya Hukum Masyarakat Samin, Ed. I, Cet. I,

Bandung: PT Alumni, 2013.

Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Cet. 14, Jakarta:

Gunung Agung, 1980.

World Agroforestry Centre (ICRAF), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

(AMAN), Forest Peoples Programme (FPP), Jakarta: Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara (AMAN), 2003.

Page 58: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

PELUANG PENERAPAN FPIC SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM PROGRESIF

UNTUK MELINDUNGI HAK MASYARAKAT ADAT DALAM KEGIATAN

USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

Nisa Istiqomah Nidasari1

Abstrak

Pengadaan tanah untuk kegiatan industri minyak dan gas bumi merupakan

kegiatan strategis yang diprioritaskan negara atas nama „kepentingan umum‟.

Tidak jarang, pengadaan tersebut merampas hak tenurial masyarakat adat demi

menyediakan lahan bagi perusahaan untuk melakukan eksplorasi dan

eksploitasi. Padahal fungsi tanah bagi masyarakat adat tidak hanya sebagai

tempat tinggal saja, tetapi juga sebagai tempat peribadatan, sumber mata

pencaharian serta bagian dari budaya dan warisan leluhur yang harus

dipertahankan dan dilestarikan. Hak masyarakat adat terhadap tanah ulayat

juga dilindungi oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Salah satu prosedur yang dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak

fundamental masyarakat adat adalah FPIC (Free, Prior and Informed Consent)

atau PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan).

Secara khusus, tulisan ini bertujuan untuk menjawab pokok permasalahan

sebagai berikut: Pertama, mengapa FPIC dapat menjadi instrumen hukum

progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha

migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi

investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC

dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?

Kata kunci: Masyarakat Adat, Tanah Ulayat, Pengadaan Tanah untuk Kegiatan

Industri Migas, PADIATAPA

1 Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Page 59: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

51

Abstract

Land clearing for oil and gas industry is deemed as a strategic activity that is

prioritized in the name of „Public Interest‟. In many cases, such land clearing

confiscated the land tenure of indigenous peoples to give space for oil companies

conducting exploration and exploitation. This is unacceptable for indigenous peoples

because not only they often depend on their customary land for their livelihoods and

residence, but also because it has strong cultural and often spiritual significance. The

rights of indigenous peoples over their customary land is protected under national and

international legal frameworks.

One of the procedure that shall gives a protection over the fundamental rights of

Indigenous Peoples is FPIC (Free and Prior Informed Consent). In the business

perspective, FPIC will increase the legal certainty for invesment as it provides the

companies with social license to extract. Specifically, this paper will address the

following questions: First, how FPIC could be a progressive legal instrument to protect

Indigenous Peoples rights in the activity of oil and gas? Second, how FPIC could

increase the legal certainty for investment in oil and gas industry? Third, what are the

strategies to apply FPIC in the land clearing policy for oil and gas industry in

Indonesia?

Key Words: Indigenous Peoples, Customary Land, Land Clearing in Oil and Gas

Industry, FPIC

1. Pendahuluan

Bank Dunia, PBB dan berbagai lembaga internasional menyatakan

bahwa terdapat sekitar 350 juta jumlah masyarakat adat di seluruh dunia dan ¾

nya berada di Asia.2 Di Indonesia sendiri, terdapat sekitar 50-70 juta masyarakat

adat yang tersebar di berbagai pulau.3 Sayangnya, Indonesia selaku tuan rumah

belum mampu menjamin hak-hak fundamental masyarakat adat sehingga

masyarakat adat yang selama ini hidup dengan bersahaja dan memegang teguh

kearifan lokal dari leluhur harus hidup dalam ketakutan. Bagaimana tidak?

Masyarakat adat seringkali dipaksa untuk meninggalkan tanah yang telah

mereka tinggali secara turun temurun serta diputus aksesnya terhadap hutan

dan sumber mata pencaharian mereka demi menyediakan lahan bagi kegiatan

industri ekstraktif. Sebagai contoh, pada tahun 2013 terdapat dua kasus yang

2 Rikka Sombolinggi, Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat Adat.

http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-peta-global-masyarakat-adat/#.VAuzhxYWS_w diakses pada 15 Oktober 2014.

3 AMAN. Indigenous World 2011 (Jakarta: AMAN, 2011), hal. 1.

Page 60: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

52

cukup mengkhawatirkan dimana masyarakat adat dipaksa untuk

meninggalkan tanah ulayatnya: 1) konflik suku Sawai dan Tobelo Dalam

melawan perusahaan nikel di Maluku Utara; dan 2) suku Sambandate-

Walandawe melawan perusahaan tambang di Kabupaten Konawe, Sulawesi

Tenggara. Pada kedua kasus tersebut, masyarakat adat tidak dilibatkan dalam

konsultasi publik atas pemberian izin kepada perusahaan yang aktivitasnya

berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka. Beberapa upaya

untuk berdikusi tidak diindahkan oleh pemerintah dan perusahaan. Konflik

sosial pun tidak terelakkan lagi bahkan di tahun 2012 masyarakat suku Sawai

melawan dengan cara membakar alat-alat perusahaan dan berakhir di penjara.4

Dalam kasus seperti ini, tidak jarang ditemui polisi dan preman dikerahkan

untuk meredam massa yang turun ke lapangan. AMAN mencatat sejak Oktober

2012-Maret 2013, telah terjadi kriminalisasi terhadap 224 orang masyarakat adat

yang memprotes tindakan perusahaan dan aktif memperjuangkan hak-haknya

atas tanah ulayat.5

Data di atas sungguh mengecewakan mengingat Indonesia seharusnya

memberikan jaminan hukum kepada masyarakat adat sebagaimana

dimandatkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip NKRI...”. Lebih jauh, hak-hak masyarakat adat merupakan hak asasi

manusia yang dilindungi dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang berbunyi:

(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan

kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan

dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.

(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah

ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.

Di tingkat internasional, Indonesia juga telah menandatangani UN

Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang berisi 46 Pasal perlindungan

terhadap hak-hak masyarakat adat, dimana salah satu pasalnya berbunyi:

4 Kharina Triananda, Komnas: Hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang bisa

dilanggar: http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html , diakses pada 10 Oktober 2014.

5 Yance Arizona, Mengapa Undang-undang Masyarakat Adat dibutuhkan. http://www.hukumpedia.com/masyarakat-adat/mengapa-undang-undang-masyarakat-adat-dibutuhkan-hk522d348cacad7.html , diakses pada 10 Oktober 2014.

Page 61: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

53

Indigenous peoples shall not be forcibly removed from their lands or

territories. No relocation shall take place without the free, prior and

informed consent of the indigenous peoples concerned and after

agreement on just and fair compensation and, where possible, with the

option of return.

(Terjemahan bebas: Masyarakat adat tidak boleh diusir secara

paksa dari tanah atau wilayah mereka tanpa FPIC. Tidak boleh

ada relokasi yang dilakukan tanpa persetujuan masyarakat adat

dan setelah adanya kesepakatan tentang kompensasi yang adil,

serta apabila dimungkinkan, masyarakat adat memiliki hak

untuk kembali).

Tindakan perusahaan dan pemerintah dalam mengklaim wilayah atau

tanah yang sebenarnya milik masyarakat adat, menurut Sandra Moniaga

(Komisioner Komnas HAM) telah melanggar beberapa Hak Asasi Manusia

(HAM). Pelanggaran yang paling utama adalah terkait hak atas tanah. Kedua,

hak atas pekerjaan karena pekerjaan masyarakat sebagai petani atau pemburu

tentu akan terganggu. Ketiga adalah hak atas pangan, hal itu disebabkan

sebagian hutan-hutan yang menyediakan makanan pokok mereka akan

terancam, seperti hutan sagu atau area persawahan. Keempat, hak atas hidup,

karena sebagian konflik agraria akan bernuansa kekerasan. Misalnya, saat

perusahaan meminta polisi atau preman untuk menggusur masyarakat adat

seringkali dengan menggunakan kekerasan dan menimbulkan korban jiwa.

Terakhir, hak asasi manusia yang dilanggar adalah hak lingkungan hidup

karena lingkungan sengaja dirusak untuk kepentingan proyek.6

Dari segi investasi, tingginya risiko konflik sosial sebagai bentuk protes

masyarakat adat telah menyebabkan Indonesia tidak lagi merupakan tempat

yang nyaman bagi investor. Berdasarkan Laporan First Peoples Worldwide tahun

2013 yang berjudul “Indigenous Rights Risk Report for the Extractive Industry”,

Indonesia termasuk negara dengan risiko tinggi untuk berinvestasi karena

rawan akan terjadinya protests (demonstrasi), negative press (pencitraan negatif),

work stoppages (penghentian proyek), shut-downs (penutupan), dan law suits

(gugatan hukum) dari Indigenous Peoples yang dirugikan. Risiko-risiko tersebut

apabila benar-benar terjadi tentu akan mengurangi keuntungan perusahaan

6 Kharina Triananda, Komnas: Hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Bisa

Dilanggar. http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html , diakses pada 10 Oktober 2014.

Page 62: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

54

dan pada akhirnya menarik investor keluar dari indonesia.7 Hal ini tidak sejalan

dengan kepentingan Indonesia untuk meningkatkan investasi asing di sektor

migas. SKK Migas dan Kementerian ESDM mencatat bahwa cadangan minyak

Indonesia akan habis dalam kurun waktu 12 tahun sedangkan cadangan gas

bumi akan habis dalam 44 tahun. Karena itu perlu dilakukan eksplorasi untuk

menemukan cadangan minyak dan gas baru dan pemerintah harus bekerja

lebih keras lagi menarik investor untuk melakukan eksplorasi di daerah-daerah

yang sulit dijangkau di bagian timur Indonesia.8

Melihat kondisi di atas, dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat

mempertemukan masyarakat adat dengan perusahaan dimana masyarakat adat

bisa memperoleh informasi yang utuh tentang sebuah proyek yang akan

dilangsungkan di tanah ulayat dan yang akan berdampak pada kehidupan

mereka. Tidak hanya itu, masyarakat adat juga diberikan hak untuk

menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap aktivitas/proyek tersebut.

Mekanisme ini lebih dikenal dengan istilah Free, Prior, and Informed Consent

(FPIC).9

Untuk mengelaborasi lebih lanjut tentang FPIC dan kemungkinan

penerapannya di Indonesia, tulisan ini bermaksud untuk membahas tiga pokok

permasalahan: Pertama, bagaimana FPIC dapat menjadi instrumen hukum

progresif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kegiatan usaha

migas? Kedua, bagaimana FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi

investasi di sektor migas? Ketiga, bagaimana strategi untuk menerapkan FPIC

dalam kebijakan pengadaan tanah untuk industri migas di Indonesia?

Tulisan ini akan didahului dengan sebuah paparan tentang apa yang

dimaksud dengan masyarakat adat dihubungkan dengan istilah populer

internasional: „Indigenous Peoples‟, kemudian akan dilanjutkan dengan

pembahasan apa itu FPIC serta unsur, prinsip dan prosedur umum dari FPIC.

Selanjutnyas tulisan ini akan masuk pada tigas pokok permasalahan di atas lalu

ditutup dengan kesimpulan.

7 First People Worldwide. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive Industry,

(Uniter States: First People Worldwide, 2013) Hal. 12. 8 Indonesia SOS Energi Investasi Asing. http://indonesiainvest-

today.com/2013/11/indonesia-sos-energi-investasi-asing-di.html , diakses pada 9 Oktober 2014.

9 Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia, (Jakarta: DKN, 2011), hal.3

Page 63: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

55

2. Istilah dan Definisi Masyarakat Adat di Indonesia

Di Indonesia, istilah dan definisi masyarakat adat sangat beragam. Dari

sisi istilah misalnya, ada peraturan yang menggunakan istilah komunitas adat

terpencil, masyarakat adat, masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat

hukum adat, maupun istilah masyarakat tradisional.10 Sedangkan dari sisi

definisi, berikut beberapa definisi yang penting dikemukakan dalam tulisan ini:

Peraturan dan istilah yang

digunakan Definisi dan Kriteria

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945

Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat

Kesatuan masyarakat hukum adat diakui:

1. sepanjang masih hidup

2. sesuai dengan perkembangan masyarakat

3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia

UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria

1. masyarakatnya masih dalam bentuk

paguyuban (rechsgemeenschap);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat

penguasa adatnya;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. ada pranata hukum, khususnya peradilan

adat, yang masih ditaati; dan

5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan

di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

UU No. 7 tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok

orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum adat yang didasarkan atas kesamaan

10 Yance Arizona, New York 2014: Mendefinisikan Indigenous Peoples di Indonesia.

http://yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/ , diakses pada 19 Desember 2014.

Page 64: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

56

Peraturan dan istilah yang

digunakan Definisi dan Kriteria

tempat tinggal atau atas dasar keturunan.

UU No. 18 Tahun 2004

tentang Perkebunan

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat memenuhi kriteria:

1. masyarakat masih dalam bentuk paguyuban

(rechtsgememschaft);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat

penguasa adat;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum,

khususnya peradilan adat yang masih

ditaati; dan

5. ada pengukuhan dengan peraturan daerah.

UU No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat

Kesatuan masyarakat hukum adat memenuhi

unsur:

1. sepanjang masih hidup

2. sesuai dengan perkembangan masyarakat

3. sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia

UU 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah kelompok

masyarakat yang secara turun temurun

bermukim di wilayah geografis tertentu karena

adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya

hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup,

serta adanya sistem nilai yang menentukan

pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

Peraturan Menteri

Agraria/Kepala BPN No. 5

Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum

Adat

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok

orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan

hukum karena kesamaan tempat tinggal

ataupun atas dasar keturunan.

Page 65: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

57

Peraturan dan istilah yang

digunakan Definisi dan Kriteria

Masyarakat Hukum Adat

Keputusan Presiden No. 111

Tahun 1999 tentang

Pembinaan Kesejahteraan

Sosial Komunitas Adat

Terpencil.

Komunitas Adat Terpencil

Komunitas adat terpencil atau yang selama ini

lebih dikenal dengan sebutan masyarakat

terasing adalah kelompok sosial budaya yang

bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau

belum terlihat dalam jaringan dan pelayanan

baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Ciri-ciri Komunitas Adat Terpencil antara lain:

1. berbentuk komunitas kecil, tertutup, dan

homogen;

2. pranata sosial bertumpu pada hubungan

kekerabatan;

3. pada umumnya terpencil secara geografi dan

relatif sulit dijangkau;

4. pada umumnya masih hidup dengan sistem

ekonomi subsistems;

5. peralatan dan teknologinya sederhana;

6. ketergantungan pada lingkungan hidup dan

sumber daya alam setempat relatif tinggi;

7. terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi,

dan politik.

Definisi kerja Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara

(AMAN)

Masyarakat Adat

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat

yang secara turun temurun bermukim di

wilayah geografis tertentu di Negara Indonesia

karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,

adanya hubungan yang kuat dengan tanah,

wilayah dan sumber daya alam di wilayah

adatnya, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial

dan hukum yang berbeda, baik sebagian

maupun seluruhnya dari masyarakat pada

umumnya.

Page 66: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

58

Terminologi masyarakat adat dalam tingkat internasional sering

dipadankan dengan istilah indigenous people. Namun, hingga saat ini belum ada

satu definisi hukum atas Indigenous Peoples yang diakui secara internasional.

Hal ini dikarenakan karakteristik Indigenous Peoples yang diperkirakan

berjumlah 370 juta yang tersebar di 70 negara di dunia11 tersebut sangat

beragam. Namun demikian, PBB telah menggariskan karakteristik umum dari

Indigenous Peoples yang bertujuan untuk tetap dapat membedakannya dengan

kelompok masyarakat minoritas lain12. Karakteristik-karakteristik tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Keberlanjutan sejarah dengan masyarakat asli (pre-colonial and/or pre-

settler societies);

2. Kekhasan (distinctiveness) sistem sosial, ekonomi dan politik;

3. Kekhasan (distinctiveness) dari segi bahasa, budaya, dan kepercayaan;

4. Hubungan yang kuat dengan tanah dan sumber daya alam yang ada di

sekitarnya;

5. Membentuk kelompok yang tidak dominan (non-dominant group) di

masyarakat;

6. Keinginan untuk menjaga, mempertahankan dan meneruskan tanah

adat, sistem adat beserta tradisinya kepada generasi berikutnya.13

Berdasarkan karakteristik Indigenous Peoples di atas, kita dapat menemukan

bahwa karakteristik tersebut pada umumnya sama dengan karakteristik

masyarakat adat di Indonesia. Namun demikian, terdapat kalangan yang

menganggap bahwa masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan Indigenous

Peoples karena konsep Indigenous Peoples pada awalnya berkembang dari

pengalaman kolonialisme, dimana mereka mengalami marginalisasi atas invasi

yang dilakukan oleh penjajah.14 Penguasa kolonial ini kemudian masih menjadi

kekuatan dominan pasca negara-negara terbentuk sebagaimana terjadi di benua

Amerika, Rusia, Antartika dan negara-negara di Pasifik.15 Hal ini berbeda

dengan gerakan masyarakat adat di Indonesia yang berkembang pada awal

11 United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues. Who Are Indigenous

People? 2014. hal. 1 12 The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social Issues

(IPIECA), Indigenous Peoples and the Oil and Gas Industry, (UK: IPIECA, 2012), hal. 5. 13United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues. Who Are..., hal. 1. 14 Yance Arizona, New York..., diakses pada 19 Desember 2014. 15 The State of the World‟s Indigenous Peoples, State of the World‟s Indigenous Peoples.

(United Nation, New York: 2009), hal. 6.

Page 67: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

59

dekade 1990-an untuk merespons persoalan-persoalan yang ditimbulkan dari

dampak program pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah Orde

Baru. Permasalahan itu baik dalam bentuk diskriminasi, perampasan tanah,

pengusiran, dan kekerasan lainnya.16 Karenanya, definisi masyarakat adat

dianggap lebih dekat dengan istilah masyarakat suku/Tribal Peoples17

dibanding Indigenous Peoples. Perbedaan ini sebenarnya telah coba dijembatani

melalui sebuah kajian yang dilakukan oleh United Nation Permanent Forum on

Indigenous Issue pada tahun 2004 yang berjudul The Concept of Indigenous Peoples

(PFII/2004/WS.1/3) yang menyimpulkan:

The two terms “indigenous peoples” and “tribal peoples” are used by the

ILO because there are tribal peoples who are not “indigenous” in the

literal sense in the countries in which they live, but who nevertheless live

in a similar situation – an example would be Afro-descended tribal peoples

in Central America; or tribal peoples in Africa such as the San or Maasai

who may not have lived in the region they inhabit longer than other

population groups. Nevertheless, many of these peoples refer to themselves

as “indigenous” in order to fall under discussions taking place at the

United Nations. For practical purposes the terms “indigenous” and

“tribal” are used as synonyms in the UN system when the peoples

concerned identify themselves under the indigenous agenda.

(Terjemahan bebas : Dua istilah “indigenous peoples” dan “tribal

peoples” digunakan oleh ILO karena terdapat tribal peoples yang

tidak “indigenous” dalam pengertian harfiah di negara tempat

mereka tinggal, tetapi bagaimanapun juga hidup dalam situasi

yang hampir sama – contohnya tribal peoples keturunan Afrika yang

tinggal di Amerika Tengah; atau tribal peoples di Africa seperti San

atau Maasai yang mungkin tidak tinggal di daerah yang mereka

tempati lebih lama dari kelompok masyarakat lainnya. Namun

demikian, banyak dari kelompok masyarakat ini yang menyebut

dirinya “indigenous” agar dapat termasuk dalam diskusi yang

sedang berlangsung di PBB. Untuk kepentingan praktis, istilah

“indigenous” dan “tribal” akan digunakan sebagai sinonim dalam

sistem PBB sepanjang kelompok masyarakat yang bersangkutan

mengidenfikasikan dirinya di bawah agenda indigenous).

16http://yancearizona.net. diakses pada 1 Desember 2014. 17 Berdasarkan Konvensi ILO No. 169, definisi “Tribal peoples” adalah: peoples in

independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status is regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulations.”

Page 68: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

60

Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menggunakan istilah

Indigenous Peoples sebagai sinonim dari istilah Masyarakat Adat.

3. Free Prior Informed Consent (FPIC)

3.1 Definisi FPIC

FPIC (Free and Prior Informed Consent) adalah sebuah mekanisme atau

suatu proses yang memungkinkan masyarakat menyatakan „setuju‟ atau „tidak

setuju‟ terhadap sebuah aktivitas, proyek, atau kebijakan yang akan

dilaksanakan di ruang kehidupan masyarakat dan berpotensi berdampak

kepada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan masyarakat.18 Menilik

sejarah, FPIC pada awalnya digunakan untuk melindungi kepentingan pasien

di rumah sakit yang semestinya mengetahui setiap proses dan jenis pengobatan

yang akan dilaluinya sebelum tindakan medis tersebut dijalankan. Salah satu

kodifikasi pertama FPIC di dunia adalah Kode Nuremberg tahun 1947 yang

berhubungan dengan syarat melakukan riset dan eksperimen medis terhadap

manusia.19 Dari sinilah konsep FPIC berkembang dari semula konsep

perlindungan terhadap hak pasien menjadi konsep perlindungan terhadap hak-

hak Indigenous Peoples dalam berbagai kaidah hukum internasional.20

Bagi masyarakat adat atau lokal di Indonesia, konsep FPIC bukanlah

konsep baru yang diintrodusir oleh pihak asing. Konsep ini sebenarnya telah

mengakar pada tradisi dan kebiasaan masyarakat adat atau lokal dalam bentuk

musyarawarah untuk melakukan pemanfaatan aset dan potensi yang dimiliki

dengan pihak luar.21

3.2 Unsur-unsur dalam FPIC

FPIC memiliki empat unsur/elemen yaitu Free, Prior, Informed dan

Consent yang mengandung pengertian sebagai berikut:22

18DKN, UN REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan... hal. 13 19 Robert Goodland. FPIC and the World Bank Group. (Sustainable Development Law

and Policy: 2004), hal.67. 20 Bernadinus Steny. FPIC dalam Pergulatan Hukum Lokal. (HUMA, Jakarta: 2005). Hal.

11. 21 Panduan. Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan..., hal. 5. 22 DKN, UN REDD Programme Indonesia. Rekomendasi Kebijakan..., hal. 6-7.

Page 69: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

61

(1) Free bermakna bahwa masyarakat adat memberikan persetujuan atau

memutuskan untuk tidak menyetujui sebuah rencana aktivitas, proyek

atau kebijakan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Masyarakat adat

bebas dari tekanan, ancaman untuk berpendapat; masyarakat tidak dalam

tekanan waktu dan tempat untuk bernegosiasi; dan masyarakat adat juga

bebas memilih siapa saja yang harus mewakili mereka.

(2) Prior bermakna bahwa perolehan keputusan apakah setuju/tidak itu

dilakukan sebelum kebijakan atau kegiatan itu dilakukan. Kendati

demikian, dalam keadaan memaksa dapat juga persetujuan masyarakat

diperoleh saat kegiatan sedang berlangsung.

(3) Informed bermakna bahwa sebelum proses pemberian keputusan,

masyarakat harus benar-benar mendapat informasi yang utuh dalam

bahasa dan bentuk yang mudah dimengerti oleh masyarakat. Informasi

seharusnya disampaikan oleh personel yang memahami konteks budaya

setempat, dapat berbicara dengan bahasa setempat dan memasukan aspek

pengembangan kapasitas masyarakat lokal. Informasi seharusnya lengkap

dan objektif termasuk potensi dampak sosial, politik, budaya dan

lingkungan hidup dan memberikan informasi kepada masyarakat baik

mengenai keuntungan maupun kerugian potensial yang akan diterima

oleh masyarakat sebelum persetujuan diberikan.

(4) Consent bermakna bahwa suatu keputusan atau kesepakatan yang dicapai

melalui sebuah proses terbuka dan bertahap yang menghargai hukum adat

atau lokal secara kolektif dengan segala otoritas yang dianut oleh mereka

sendiri.

3.3 Prinsip-prinsip FPIC

Dalam menerapkan FPIC untuk masyarakat adat, pengembang proyek

harus memperhatikan prinsip-prinsip pengakuan dan penghormatan hak

masyarakat adat yang diatur di dalam Deklarasi PBB tentang hak Indigenous

Peoples sebagai bagian dari instrumen hak asasi manusia internasional, yaitu

sebagai berikut:

Pasal 3: Indigenous peoples have the right to self-determination. By virtue of

that right they freely determine their political status and freely pursue their

economic, social and cultural development.

Terjemahan bebas: Masyarakat adat mempunyai hak untuk

menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka dapat

Page 70: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

62

secara bebas menentukan status politiknya serta mengejar

pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Pasal 10: Indigenous peoples cannot be forcibly removed from their lands and

territories and relocated without FPIC

Terjemahan bebas:Masyarakat adat tidak boleh diusir secara paksa

dari tanah atau wilayah mereka tanpa FPIC.

Pasal 11: Redress shall be given to indigenous peoples whose cultural,

intellectual, religious and spiritual property are taken without their FPIC;

Terjemahan bebas: ganti rugi harus diberikan kepada masyarakat adat

yang kebudayaannya, properti intelektualnya, agama dan

spiritualitasnya diambil tanpa FPIC;

Pasal 19: FPIC must be obtained before adopting or implementing

legislative/administrative measures affecting indigenous peoples;

Terjemahan bebas: FPIC harus diperoleh sebelum mengadopsi atau

mengimplementasikan tindakan legislatif/administratif yang akan

berdampak pada masyarakat adat.

Pasal 28: Indigenous peoples have the right to redress for lands, territories,

resources, which were confiscated, taken, occupied, used or damaged without

their FPIC.

Terjemahan bebas:Masyarakat adat mempunyai hak atas ganti rugi

atas tanah, wilayah, sumber daya alam yang disita, diambil, diduduki,

digunakan dan dirusak tanpa FPIC.

Pasal 32: FPIC should be obtained prior to approval of any project affecting

their lands, territories and resources, particularly exploitation of mineral,

water and other resources.

Terjemahan bebas: FPIC wajib diperoleh sebelum adanya persetujuan

terhadap proyek apapun yang dapat berdampak pada tanah, wilayah

dan sumber daya alam milik masyarakat adat, khususnya proyek yang

berkaitan dengan eksploitasi mineral, air dan sumber daya alam

lainnya.

3.4 Prosedur Umum FPIC

Sebagaimana diungkapkan oleh Anderson dalam bukunya Free, Prior,

and Informed Consent: Principles and Approaches for Policy and Project (2011),

prosedur FPIC akan sangat bergantung pada tradisi yang berlaku di kalangan

Page 71: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

63

masyarakat adat sehingga tidak mungkin untuk menciptakan suatu prosedur

FPIC yang berlaku untuk semua dan diakui secara universal. Namun demikian

tetap dimungkinkan untuk mengidentifikasi elemen-elemen kunci dalam

proses FPIC dengan catatan bahwa hal ini harus tetap disesuaikan dengan

proses yang diterima secara adat.23 Berikut ini penulis uraikan prosedur FPIC

secara umum:

Bagan I: Prosedur FPIC

A. Mengidentifikasi Tanah Ulayat dan Pemegang hak Ulayat

Langkah ini merupakan fondasi penting dalam proses FPIC karena

dengan mengidentifikasi tanah ulayat dan siapa pemegang hak atas

tanah ulayat, kita dapat mengetahui siapa yang perlu dimintai

persetujuannya atas Kegiatan Usaha Migas yang hendak dilaksanakan.

23 Patrick Anderson, Free, Prior, and Informed Consent: Principles and Approaches for

Policy and Project Development,(Bangkok, GIZ & RECOFTC, 2011), hal. 3.

Page 72: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

64

Definisi Tanah Ulayat diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala

BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: “Tanah

Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari

suatu masyarakat hukum adat tertentu.” Adapun yang dimaksud

dengan Hak Ulayat diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

“Hak Ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,

(untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan

yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan

para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya

alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi

kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari

hubungan secara lahiriah, batiniah turun temurun dan tidak

terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan

wilayah yang bersangkutan.”

Ketentuan tentang pemegang hak ulayat di suatu wilayah dapat

ditelusuri dari Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang

kelembagaan adat, sebagai contoh pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi

Sumatera Barat membuat Perda No. 6/2008 tentang Tanah Ulayat dan

Pemanfaatannya. Di dalam Perda tersebut, diatur jenis-jenis tanah ulayat

dan siapa penguasa serta pemilik tanah ulayat tersebut, sebagai berikut:

No. Jenis Tanah Ulayat Penguasa dan Pemilik

Tanah Ulayat

1. Tanah Ulayat

Nagari

Ninik mamak KAN

2. Tanah Ulayat Suku Penghulu-penghulu suku

3. Tanah Ulayat Rajo Lelaki Tertua Pewaris Rajo

mewakili anggota kaum

dalam garis keturunan ibu

Di Kalimantan Tengah juga ditemukan Perda serupa yaitu Perda

No. 1 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi

kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak

Page 73: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

65

di Kalimantan Tengah. Di dalam Perda tersebut, Damang Kepala Adat

yang bertugas mengelola hak-hak adat atau harta kekayaan Kedamangan

untuk mempertahankan dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup

masyarakat hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.

Meskipun terdapat beberapa pemerintah daerah yang menerbitkan

Perda semacam ini, masih banyak tanah ulayat yang belum diinventarisir

dengan baik dan diakui secara formal dalam instrumen peraturan

perundang-undangan seperti Perda dan banyak pemegang hak ulayat

yang belum mengurus Sertifikat Tanah Ulayat ke BPN, meskipun secara

de facto bertindak sebagai penguasa dan pemilik atas tanah ulayat

tersebut. Dalam hal demikian, pemerintah dan/atau pengusaha dapat

memanfaatkan Peta Indikatif Wilayah Adat Indonesia yang diinisiasi

oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama dengan Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk menelusuri keberadaan

tanah ulayat dan masyarakat adat yang menempati daerah yang dituju.

Peta Indikatif Wilayah Adat ini sudah diintegrasikan dalam One Map

Indonesia yang dibuat oleh UKP4.24 Apabila wilayah yang dituju belum

ada di peta ini, pemerintah dan/atau pengusaha dapat melakukan

pemetaan partisipatif dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat

lokal dan masyarakat adat yang menempati wilayah tersebut serta yang

menempati wilayah lain yang berbatasan langsung untuk memvalidasi

batas-batas wilayah.25

B. Mengidentifikasi lembaga pembuat keputusan di kalangan

Masyarakat Adat

Dalam kerangka hukum internasional, masyarakat adat berhak

untuk diwakili oleh suatu lembaga yang mereka pilih sendiri yang

mungkin berbeda dengan lembaga formil yang dibentuk pemerintah.26

Sebagai contoh, masyarakat adat di Kab. Kampar, Riau, mempunyai

lembaga bernama Kerapatan Adat yang merupakan satu-satunya

lembaga permusyawaratan tertinggi adat yang mengatur tentang

penggunaan dan atau pemanfaatan serta pemindahan kepemilikan

Tanah Ulayat. Berdasarkan hukum adat setempat, Kerapatan Adat

24 IGG Maha Adi, Masyarakat Adat Lengkapi One Map Indonesia.

http://ekuatorial.com/en/climate-change/masyarakat-adat-lengkapi-one-map-indonesia diakses pada 23 Oktober 2014

25 World Wildlife Fund. Free, Prior, Informed Consent and Redd+: Guidelines and Resources. (Indonesia: WWF, 2011) hal. 4.

26Ibid.

Page 74: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

66

adalah suatu wadah atau organisasi persidangan para Ninik Mamak27

atau warga yang dituahkan dan ditaudalani secara turun temurun dalam

suatu masyarakat adat. Ketentuan Kerapatan Adat merupakan suatu

ketentuan hukum yang mengikat bagi setiap warga masyarakat.28

Dalam meminta persetujuan, pemrakarsa proyek harus

menghormati keberadaan dari lembaga adat yang mempunyai

kewenangan untuk membuat keputusan tentang pemanfaatan tanah

ulayat berdasarkan hukum adat yang berlaku.

C. Proses Pemahaman Masyarakat Adat tentang Proyek yang

diusung

Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman

masyarakat terhadap proyek yang akan dilangsungkan di tanah ulayat.

Proses ini dapat dilakukan melalui FGD, penyebaran leaflet, brosur, cerita

bergambar (cergam), film, animasi, dan media pendukung lainnya yang

relevan serta bertujuan agar informasi yang diberikan konsisten,

seragam, lengkap dan jelas. 29

Segala informasi tentang kegiatan usaha Migas yang akan

dilaksanakan di Tanah Ulayat beserta dampak sosial dan lingkungannya

harus disampaikan dengan sebenar-benarnya kepada masyarakat adat

dengan cara:

Terbuka dan transparan;

Menggunakan bahasa daerah/bahasa yang dimengerti oleh

masyarakat adat;

Disampaikan dengan cara yang dapat diterima secara adat.30

Free, Prior, Informed Consent and REDD+: Guidelines and Resources

memberikan panduan tentang informasi apa saja yang perlu

disampaikan kepada masyarakat adat, yaitu:

27 Ninik, Mamak adalah orang yang dinobatkan atau diangkat oleh persukuannya

dan atau kaumnya untuk memimpin persukuan atau kaumnya sendiri, yang telah dikukuhkan atau dinobatkan secara sah oleh persekutusannya sesuai dengan hukum adat setempat

28 Perda Pemkab Kampar No. 12 Tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat. 29 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... Hal 35. 30 World Wildlife Fund. Free, Prio... Hal. 5.

Page 75: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

67

Dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan usaha migas.

Informasi ini harus disampaikan secara seimbang tanpa ada

penekanan di dampak positifnya saja;

Asesmen tentang biaya dan manfaat (cost and benefit analysis)

dari kegiatan yang dimaksud;

Alternatif kegiatan lain yang dapat dilangsungkan di atas tanah

ulayat, beserta hasilnya (outcome);

Informasi tentang hak-hak masyarakat adat;

Informasi tentang akibat hukum dari proyek yang diusulkan

seperti akibatnya terhadap status tanah, hak masyarakat adat

terhadap sumber daya alam dan lain-lain.31

Mengingat masih lemahnya kapasitas masyarakat adat untuk

memahami dampak dari proyek khususnya sehubungan dengan

kegiatan usaha migas, pemerintah harus berperan dalam memberikan

bantuan teknis agar masyarakat adat dapat benar-benar memahami

informasi yang disampaikan. Misalnya dengan memberikan edukasi,

menerjemahkan istilah-istilah teknis ke bahasa yang mudah dimengerti,

dan tindakan afirmatif lainnya.32

D. Bernegosiasi dengan Masyarakat Adat

Negosisasi dilakukan dengan cara komunikasi dua arah antara

masyarakat adat dengan pemrakarsa proyek (Pemerintah, BUMN

atau perusahaan swasta) tentang proposal kegiatan usaha Migas.

Beberapa isu-isu kunci dapat dibicarakan dalam negosiasi ini seperti

perubahan pemanfaatan lahan, keterlibatan masyarakat adat,

kemungkinan relokasi, ganti rugi dan kompensasi yang akan diterima

oleh masyarakat adat, mekanisme penyelesaian sengketa dan lain

sebagainya. Negosiasi biasanya membutuhkan waktu yang tidak

sebentar untuk memberikan kesempatan bagi pemimpin masyarakat

adat dan anggotanya mendiskusikan proposal proyek di internal

mereka.33

31Ibid. 32 tindakan afirmatif adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar

kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Sumber: Hukum Online, link: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action diakses pada 20 Desember 2014.

33Ibid. hal. 6.

Page 76: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

68

E. Pengambilan Keputusan Masyarakat Adat

Pengambilan keputusan oleh masyarakat adat dilakukan

berdasarkan tradisi dan hukum adat yang berlaku sesuai dengan poin

nomor satu dan dua di atas. Tahap ini akan menjawab komponen

consent dalam FPIC, dimana semua perwakilan masyarakat adat yang

terpilih akan mengambil keputusan terkait peran, tanggung jawab,

manfaat yang diterima dan dampak yang akan ditimbulkan serta

sejumlah opsi lainnya.34

F. Mendokumentasikan Keputusan Masyarakat Adat

Keputusan serta kesepakatan yang tercipta antara pengembang

proyek dengan masyarakat adat perlu didokumentasikan dalam bentuk

yang disetujui oleh para pihak. Dokumentasi tersebut dapat menjadi

bukti bahwa masyarakat adat telah memberikan persetujuannya,

beserta syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa proyek.35

G. Melakukan Verifikasi atas Persetujuan Masyarakat Adat

Verifikasi dari pihak ketiga yang independen diperlukan

mengingat proses FPIC sangat rentan untuk dimanipulasi. Misalnya,

pihak investor dengan didukung oleh oknum dari pemerintah daerah

melakukan pendekatan kepada orang-orang tertentu di dalam

komunitas masyarakat adat, memberikan informasi yang menyesatkan

dan memanipulasi luasan tanah dan hutan yang akan digunakan.

Pada umumnya, terdapat dua pendekatan dalam menentukan

siapa yang akan menjadi verifikator independen FPIC. Pertama,

verifikasi keabsahan hasil yang berbasis FPIC bisa dipercayakan kepada

badan pemerintah yang akan dibebani tanggung jawab untuk

menjamin bahwa prosedur yang sesuai dengan hukum telah diikuti

dan persetujuan diberikan atau tidak diberikan setelah menempuh

suatu proses yang semestinya. Hal ini lazim diterapkan oleh negara

yang telah mewajibkan FPIC dalam hukum nasionalnya seperti

Filipina. Kedua, mempercayakan tugas verifikasi ini kepada auditor

independen dari luar. Dalam hal ini auditor mempelajari

34 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... hal, 36. 35 World Wildlife Fund. Free, Prio... hal. 6.

Page 77: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

69

pendokumentasian dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak

yang terkait untuk menjajaki sampai sejauh mana perjanjian antara

masyarakat dan perusahaan telah mematuhi prosedur yang

disyaratkan. Hal ini lazim diterapkan apabila FPIC hadir sebagai

standar sukarela/voluntary standard yang diterima oleh perusahaan

swasta namun belum disyaratkan dalam undang-undang nasional.

Dalam kedua pendekatan ini, apabila proses FPIC dianggap telah

memenuhi standar, sebuah sertifikat akan diterbitkan yang kemudian

dapat dipakai sebagai bukti bahwa persetujuan telah diberikan oleh

masyarakat adat secara bebas dan adil.36

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan proses FPIC tidak

verified diantaranya:

Pemrakarsa proyek bernegosiasi dengan perwakilan

masyarakat adat/penghulu adat yang salah dan tidak

diakui oleh masyarakat adat berdasarkan hukum adat

yang berlaku;

Pemrakarsa proyek bernegosiasi dengan cara yang

tidak memperhatikan kepentingan masyarakat adat;

Pemrakarsa proyek tidak memberitahukan dampak

negatif dari proyek yang diusulkan;

Pemrakarsa proyek tidak memberikan waktu yang

cukup bagi masyarakat adat untuk mendiskusikan

rencana proyek atau untuk mencari informasi dan

saran dari pihak lain (second opinion) tentang proyek

tersebut.

H. Tahap Sosialisasi Hasil

Setiap tahapan FPIC (proses dan pengambilan keputusan) perlu

disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat yang akan

terkena dampak, termasuk para pemangku kepentingan di tingkat

desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.37

36 Marchus Colchester dan Maurizio Farhan Ferrari. Menjadikan FPIC –Prinsip

Persetujuan tanpa Paksaan atas Dasar Informasi Awal – Berjalan: Tantangan dan Peluang bagi Masyarakat Adat. (Forest People Programme: 2007). Hal 15.

37 Tim Penulis Pokja IV. Panduan Pelaksanaan... hal, 36.

Page 78: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

70

I. Monitoring dan Evaluasi (Monev)

Monev dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran

terhadap ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dan harus bersifat

partisipatif yaitu melibatkan semua pihak yang berkepentingan

termasuk masyarakat adat. Monev ini juga harus didukung dengan

pembentukan tim independen yang bertugas menangani komplain

dari masyarakat. Beberapa hal penting dalam penanganan komplain

tersebut diantaranya sesuai dengan prinsip: keterjangkauan oleh

masyarakat, independensi, pengelolaan yang transparan, dan efektif

dalam memberikan respon.38

4 Mengapa FPIC dapat Menjadi

Instrumen Hukum Progresif untuk Melindungi

Hak-hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Migas?

4.1 Teori Hukum Strategis

Hukum progresif merupakan sebuah gagasan yang mengalir, yang

tidak mau terjebak dalam status quo, sehingga menjadi mandeg. Hukum

progresif menempatkan manusia sebagai faktor penting dalam kajian dan

penegakkan hukum.39 Konsep ini bermuara kepada asas besar bahwa „hukum

adalah untuk manusia‟, karena kehidupan manusia penuh dengan dinamika

dan berubah dari waktu ke waktu.40 Hal tersebut dilukiskan oleh Satjipto

Rahardjo dengan kalimat sebagai berikut:

“Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun

dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang

lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam

faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan

lain-lain. Inilah hakikat „hukum yang selalu dalam proses menjadi‟

(law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum

itu sendiri, tetapi untuk manusia.”41

38Ibid. 39 Satjipto Rahardjo (a), Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta:

Genta Publishing, 2009), hal. 1-2. 40 Satjipto Rahardjo (b), Hukum dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: UKIPers, 2006), hal.

151. 41 Satjipto Rahardjo (c), Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum

Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)

Page 79: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

71

Konsep mengenai hukum progresif ini lahir bukan tanpa sebab. Aliran

tersebut muncul sebagai akibat dari ketidakpuasan pada aliran positivisme

hukum yang selama ini dianut oleh para penegak hukum, para sarjana dan

akademisi hukum di Indonesia.42

Menurut Satjipto Raharjo, hukum yang progresif adalah hukum yang

mampu mengikuti serta menjawab perkembangan dan perubahan zaman.43

Hukum progresif bukanlah konsep yang berdiri sendiri karena eksplanasi

persoalan hukum tidak bisa dilepaskan dari kebersinggungannya dengan

konsep hukum lain seperti teori hukum responsif (responsive law) dari Nonet &

Selznick yang menghendaki agar hukum diposisikan sebagai fasilitator yang

merespon kebutuhan dan aspirasi warga masyarakat. Dengan kata lain, hukum

harus menawarkan lebih dari sekadar prosedural justice, berorientasi pada

keadilan, memperhatikan kepentingan publik, dan lebih dari pada itu harus

mengedepankan substansial justice.44

Hukum dalam perspektif hukum progresif bukanlah semata-mata rule

of logic, tetapi social structure and behaviour. Hukum tanpa memperhatikan rasa

keadilan masyarakat sama halnya mengingkari kepastian hukum itu sendiri.

Bahwa penegakan hukum sangat terkait dengan masyarakat sehingga tidak

asosial. Oleh sebab itu itu, ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka

hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-

paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.45

4.2 FPIC sebagai Instrumen Hukum Strategis untuk Melindungi Hak-

hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Migas

Kebutuhan domestik atas minyak bumi yang semakin meningkat,

memaksa SKK Migas untuk terus menggenjot laju produksi. Pada tahun 2014,

target produksi minyak ditetapkan sebesar 1 juta barel per hari (bph). Untuk

memenuhinya, pemerintah mematok target pengeboran di angka 1.456 sumur.46

42 Dey Ravena, Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif, Jurnal Suloh (Vol. VII. No.1

April 2009), hal. 17. 43 Satjipto Rahardjo (d), Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum

dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas Hukum UNDIP, 20 Desember 1998, hal. 5

44 Dey Ravena, Ibid., hal. 20. 45 Satjipto Rahardjo (c), Ibid., hal. 5. 46Diemas Kresna Duta. Realisasi Pengeboran Sumur Belum Capai Target.

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141110092958-85-10507/realisasi-pengeboran-sumur-belum-capai-target/ , diakses pada 19 Desember 2014.

Page 80: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

72

Artinya, kedepan akan semakin banyak aktivitas pengadaan tanah untuk

mendukung kegiatan usaha hulu migas ini.

Tidak hanya itu, di sektor hilir Pemerintah Jokowi-JK berkomitmen

untuk melakukan konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas

(BBG) dalam kurun waktu tiga tahun. Cara yang ditempuh adalah dengan

memperbanyak infrastruktur seperti pipanisasi , pembangunan SPBG dan

Terminal.47 Kegiatan ini juga akan membutuhkan pengadaan tanah dalam

jumlah yang sangat besar, dari Sabang sampai Merauke.

Agenda pemerintahan baru di sektor migas yang sangat ambisius ini

bukan tidak mungkin membutuhkan tanah ulayat. Dalam hal demikian,

masyarakat adat harus dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang akan

berdampak langsung terhadap kehidupannya. Hal ini sejalan dengan asas

partisipatif48 dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berarti setiap anggota masyarakat

didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan

pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Pembangunan yang partisipatif merupakan wujud tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Akses partisipasi masyarakat dalam

pengambilan keputusan, utamanya dalam pengelolaan lingkungan dan sumber

daya alam, akan mendorong lahirnya produk kebijakan yang tidak hanya

mementingkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian

lingkungan dan hak-hak dasar masyarakat, melalui minimalisasi biaya sosial,

ekonomi dan lingkungan hidup.49

Sebaliknya, pembangunan yang tidak partisipatif dan menerobos hak-

hak masyarakat adat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Berdasarkan doktrin tanggung jawab negara dalam hak asasi manusia, maka

mekanisme FPIC meliputi penghormatan (to respect), perlindungan (to protect),

pemenuhan (to fulfill) dan penegakan hak masyarakat adat atas sumber daya

alamnya dalam setiap tindakan yang dilakukan pihak luar.50

47Feby Dwi Sutianto. Jokowi-JK Bakal Konversi BBM ke BBG dalam 3 Tahun.

http://finance.detik.com/read/2014/06/20/213145/2614884/1034/jokowi-jk-bakal-konversi-bbm-ke-bbg-dalam-3-tahun , diakses pada 19 Desember 2014.

48 Pasal 2 huruf (k), UUPPLH. 49 Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Membuka Ruang, Menjembatani

Kesenjangan, (Jakarta:ICEL, 2006) 50 Yance Arizona, Mempertimbangkan FPIC..., diakses pada 19 Desember 2014.

Page 81: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

73

Prosedur FPIC, apabila dikaitkan dengan teori hukum strategis

menurut Satjipto Raharjo, dapat dikategorikan sebagai instrumen hukum

strategis karena pengaplikasiannya dapat bermanfaat:

a. menjamin ruang partisipasi masyarakat adat dalam setiap

tahapan perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan,

hingga evaluasi suatu kebijakan yang berdampak langsung

pada kehidupannya;

b. mencegah konflik antar masyarakat adat dengan pihak lain;

c. Menjaga keberlanjutan lingkungan sebab penguatan

masyarakat yang berada pada kawasan sumberdaya alam, yang

selama ini bercorak komunal, dapat menghadang kerusakan

lingkungan dari ketamakan individu dan korporasi;51 dan

d. mengentaskan kemiskinan (poverty alleviation). Untuk poin yang

terakhir ini, hubungan antara FPIC dengan pengentasan

kemiskinan sifatnya memang tidak langsung tetapi sangat

dekat satu sama lain. Pembebasan tanah ulayat yang

merupakan salah satu harta masyarakat adat paling berharga

tanpa persetujuan kompensasi yang memadai akan menyeret

masyarakat ke dalam lubang kemiskinan yang lebih dalam.52

Pembukaan Wilayah Kerja Migas membuat masyarakat

berburu dan nomadik terbelit dalam sempitnya ruang mencari

nafkah dan sulitnya menjamin pasokan makanan.

5. Bagaimana FPIC dapat Meningkatkan Kepastian Hukum Bagi

Investasi di Sektor Migas?

Prosedur FPIC apabila diimplementasikan dengan itikad baik dan

sungguh-sungguh dapat menghasilkan social license bagi perusahaan. Social

license adalah sebuah istilah yang berkembang di dunia bisnis internasional

untuk menunjukkan bahwa proyek yang dijalankan perusahaan disetujui,

diterima dan bahkan didukung oleh masyarakat. Social License diberikan oleh

masyarakat secara informal dan intangible/tidak berwujud. Sebagaimana

diungkapkan oleh Pierre Lassonde, presiden Newmont Mining Corporation,

“You don‟t get your social license by going to a government ministry and making an

51 Yance Arizona, Mempertimbangkan FPIC..., diakses pada 19 Desember 2014. 52 Bernadinus Steny, FPIC dalam..., hal. 9.

Page 82: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

74

application or simply paying a fee… It requires far more than money to truly become

part of the communities in which you operate.” 53

Karena sifatnya yang tidak berwujud, sulit untuk menentukan apakah

social license telah diperoleh. Namun demikian social license termanifestasi dalam

berbagai bentuk seperti tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap

kredibilitas perusahaan serta tidak adanya oposisi yang secara aktif

mengkampanyekan penolakan terhadap keberadaan perusahaan. Social license

juga bersifat dinamis dan tidak permanen mengingat kepercayaan, opini dan

persepsi masyarakat dapat berubah. Karena itu social license harus terus dijaga

dan dipelihara.54

Dari perspektif pengusaha, social license sangatlah penting karena:

1. Pemrakarsa proyek dapat memperoleh legitimasi atas

keberadaan dan aktivitasnya dari perspektif masyarakat lokal;

2. Meminimalisir risiko penundaan proyek;

3. Meyakinkan pemegang saham dan investor bahwa perusahaan

telah mengelola risiko sosial dan risiko-risiko lainnya dengan

baik serta tidak melanggar HAM;

4. Meyakinkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya

bahwa perusahaan benar-benar berusaha untuk menghasilkan

performance yang baik;

5. Melindungi reputasi perusahaan.

Berikut ini adalah contoh pentingnya implementasi FPIC dalam dinamika

hubungan antara perusahaan ekstraktif dengan masyarakat adat:

1. Hamersley Iron Pty Limited di Australia

Pada awal tahun 1990an, Hamersley Iron Pty Limited, anak

perusahaan Rio Tinto, berencana mengembangkan tambang biji besi dan

jalur kereta api di Yandicoogina di kawasan Pilbara, Australia. Beberapa

kelompok penduduk asli (Aborigin) tinggal di kawasan dekat tambang

yang akan dibuka tersebut. Hamersley menghabiskan waktu empat bulan

untuk melakukan kegiatan pemetaan sosial. Berdasarkan pemetaan

tersebut, perundingan dilakukan dengan perwakilan suku Aborigin dari

53 http://socialicense.com/definition.html, diakses pada 27 Oktober 2014.

Terjemahan bebas: Anda tidak akan mendapatkan izin sosial dengan cara pergi ke kementerian, membuat permohonan atau dengan membayar fee... Dibutuhkan lebih dari uang untuk benar-benar menjadi bagian dari masyarakat di tempat perusahaan Anda beroperasi.

54 Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath, Social License to Operate: How to Get it. and How to Keep It. Working Paper. (Canada: Pacific Energy Summit, 2013), hal 3.

Page 83: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

75

Januari sampai Juni 1996 dan menghasilkan Perjanjian Penggunaan Lahan

Yandicoogina yang memberikan dasar bagi kerangka kerjasama jangka

panjang antara Hamersley dan pihak Aborigin. Dengan adanya kerja sama

ini, Hamersley dapat mengurangi lamanya proses perijinan, menyelesaikan

konstruksi dengan biaya 100 juta dolar AS lebih murah dari pada yang

dianggarkan, dan memulai produksi enam bulan lebih cepat.55

2. Newmont Mining Corporation di Peru

Yanacocha adalah proyek pertambangan emas terbesar di Amerika

Latin dan terbesar kedua di dunia. Nama Yanacocha berasal dari nama

danau yang masih ada pada tahun 1992, namun setelah bertahun-tahun

dilakukan open pit mining danau tersebut berubah jadi tandus dengan

kawah yang sangat besar. Proyek ini akan dilanjutkan dengan nama Mina

Conga dan akan menyebabkan lenyapnya empat danau lain yang

merupakan sumber mata air dan mata pencaharian bagi masyarakat. Baik

masyarakat adat maupun masyarakat lokal tidak menyetujui proyek

pertambangan emas tersebut. Pada bulan November 2011, ratusan orang

berdemonstrasi di Cajamarca dan menyebabkan pembangunan proyek

terhenti. Sampai saat ini, terdapat 5 korban jiwa yang diakibatkan oleh

respon kekerasan dari aparat keamanan terhadap demonstran. Newmont

mengklaim bahwa ia merugi 2 juta dolar Amerika Serikat setiap harinya

sejak demonstrasi melumpuhkan operasinya.56

Pentingnya penerapan FPIC ini juga ditegaskan oleh putusan Inter-

American Human Right System atas kasus Samaraka People v. Suriname.

Dalam putusan ini, pemerintah Suriname dinyatakan bersalah atas tindakannya

memberi konsesi sumber daya alam kepada perusahaan swasta tanpa meminta

persetujuan dari masyarakat adat Samaraka. Majelis hakim menyatakan bahwa

sebelum proyek pembangunan dilangsungkan, pemerintah seharusnya

melakukan proses konsultasi dengan itikad baik, menggunakan sarana yang

menurut adat dapat diterima dan bertujuan untuk mencapai kesepakatan dari

Samaraka People.57

Putusan lain yang dapat menjadi preseden dalam pengakuan hak

masyarakat adat di dunia internasional adalah kasus Kichwa People of Sarayaku v.

Ecuador. Kasus ini bermula dari diterbitkannya izin eksplorasi dan eksploitasi

minyak oleh Pemerintah Ekuador kepada perusahaan swasta dalam lingkup

55 Patrick Anderson. Free, Prior...Hal. 36. 56Marianne Coss and Emily Greenspan. Oil, Gas... hal. 16. 57 Tara Ward. The Right to FPIC: Indigenous Peoples‟ Participation Rights within

International Law. Northwestern Journal of International Human Rights Volume 10, Issue 2, 2011. hal. 63.

Page 84: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

76

wilayah yang ditempati secara adat oleh Kichwa People. Majelis hakim

kemudian menyatakan Pemerintah Ekuador bersalah karena telah melanggar

hak kepemilikan (right to property) dan hak untuk berpartisipasi dalam

pemerintahan karena tidak menyelenggarakan konsultasi yang efektif dengan

masyarakat terdampak sebelum diterbitkannya izin tersebut. 58

Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa dengan menerapkan

FPIC, manfaat bagi perusahaan sangatlah besar baik secara materil maupun

immateriil seperti nama baik, reputasi, social license dan kepastian hukum.

Sebaliknya, tanpa FPIC perusahaan akan mengalami risiko demonstrasi,

pencitraan negatif, pencabutan izin, penghentian paksa dan gugatan hukum.

Resiko-resiko ini tentunya akan menghambat kegiatan eksplorasi, pelaksanaan

komitmen pengeboran dan pembangunan infrastruktur migas. Karena itu

pemerintah harus segera menormakan FPIC dalam kerangka hukum nasional

dan menciptakan instrumen-instrumen pendukungnya untuk meningkatkan

kepastian hukum bagi investasi di sektor migas.

6. Bagaimana Strategi untuk Menerapkan FPIC dalam Kebijakan

Pengadaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Migas di Indonesia?

Penulis memetakan setidaknya terdapat empat strategi untuk mendorong

penerapan FPIC di Indonesia khususnya di sektor migas, yaitu 1) Merevisi UU

No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas); 2) Merevisi UU

No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum (UU Tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum);

3) Menormakan FPIC dalam RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat;atau 4) Mencantumkan persyaratan FPIC dalam

pinjaman bank.

6.1 Memasukkan Ketentuan tentang FPIC dalam Revisi UU Migas

Di dalam rancangan revisi UU Migas, perlu diatur ketentuan tentang

kewajiban pengusaha baik Badan Usaha maupun Badan usaha Tetap untuk

meminta persetujuan masyarakat adat sebelum melakukan kegiatan usaha

migas yang mempunyai dampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,

budaya dan sistem pemerintahan adat. Berikut ini usulan pasal yang sesuai

dengan standar hukum internasional tentang perlindungan hak-hak

masyarakat adat:

58 Tara Ward. The Right..., hal. 64.

Page 85: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

77

(1) Dalam hal tanah yang akan digunakan untuk kegiatan usaha

minyak dan gas bumi merupakan tanah masyarakat adat,

perolehan tanah dilakukan melalui:

a. persetujuan dari masyarakat adat yang bersangkutan;

b. pemberian informasi yang lengkap dan akurat dengan bahasa

yang mudah dimengerti tentang Kegiatan Usaha Migas yang

akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam,

budaya dan sistem pemerintahan adat;

c. pemberian restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas

wilayah adat baik daratan maupun perairan, dan sumber daya

alam yang dimiliki secara turun temurun yang diambil alih,

dikuasai dan digunakan untuk Kegiatan Usaha Migas;

d. pemberian hak untuk kembali ke wilayah adat ketika Kegiatan

Usaha Migas telah selesai.

(2) Pemberian restitusi dan kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (7) diberikan dalam bentuk:

a. Uang;

b. Tanah pengganti;

c. Pemukiman kembali;

d. Kepemilikan saham; dan/atau

e. Bentuk lain yang disepakati oleh kedua belah pihak

(3) Mekanisme lebih lanjut tentang prosedur penggunaan tanah

masyarakat adat untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi akan

diatur oleh Peraturan Pemerintah.

6.2 Merevisi Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah) mengatur

tentang prosedur pengadaaan tanah untuk Kepentingan Umum dimana

infrastruktur minyak dan gas59 dikategorikan sebagai Kepentingan Umum60

59 Yang dimaksud Infrastruktur minyak dan gas bumi adalah infrastruktur yang

terkait dengan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transmisi, dan/atau distribusi (Penjelasan Pasal 7 ayat (2)).

Page 86: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

78

berdasarkan Pasal 10. Sebenarnya UU ini sudah cukup maju dengan

mensyaratkan adanya konsultasi publik dengan melibatkan Pihak yang

Berhak61 (termasuk di dalamnya masyarakat adat) dan masyarakat yang

terkena dampak dengan tujuan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi

rencana pembangunan. Konsultasi Publik dalam UU ini didefinisikan sebagai

proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan

guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan

tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.62 Namun sayangnya

meskipun melalui mekanisme Konsultasi Publik, masyarakat adat tetap tidak

dapat mempertahankan haknya untuk menyatakan setuju atau tidak setuju

pada kegiatan usaha yang akan berdampak pada pada tanah, wilayah dan mata

pencaharian masyarakat adat. Hal ini dikarenakan:

I. Apabila terdapat pihak yang keberatan mengenai rencana

lokasi pembangunan, dibentuk tim yang bertugas

menginventarisasi masalah yang menjadi alasan keberatan,

melakukan pertemuan atau klarifikasi dengan pihak yang

keberatan dan membuat rekomendasi diterima atau ditolaknya

keberatan kepada Gubernur (Pasal 21 ayat (3) UU Pengadaan

Tanah);

II. Gubernur berdasarkan rekomendasi tersebut mengeluarkan

surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi

pembangunan. (Pasal 21 ayat (6) UU No.2 Tahun 2012).

Pada akhirnya, gubernur dapat menolak keberatan yang diajukan oleh

masyarakat adat berdasarkan rekomendasi tim yang melakukan kajian atas

keberatan rencana lokasi pembangunan. Tim ini beranggotakan 5 orang dari

unsur pemerintahan dan 1 orang akademisi63, suatu komposisi yang dapat

60 Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang

harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. (Pasal 1 angka 6 UU No.2 Tahun 2012).

61 Yang dimaksud dengan Pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU No. 2 Tahun 2012). Selanjutnya, Penjelasan Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa Pihak yang Berhak atas Ganti Rugi antara lain: a. Pemegang hak atas tanah; b. Pemegang hak pengelolaan; c. nasdzir, untuk tanah wakaf; d. Pemilik tanah bekas milik adat; e. Masyarakat hukum adat; f. Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik; g. Pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau; h. Pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

62 Pasal 1 angka 8 UU No.2 Tahun 2012. 63Tim yang akan melakukan kajian atas keberatan rencana lokasi pembangunan

terdiri atas: a. Sekretaris daerah provinsi; b. Kepala kantor wilayah BPN sebagai sekretaris merangkap anggota; c. Instansi yang menangani urusan di bidang perencanaan pembangunan daerah; d. Kepala kantor wilayah kementerian hukum dan HAM; e. Bupati/walikota; Akademisi (Pasal 21 ayat (3) UU No.2 Tahun 2012)

Page 87: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

79

dikatakan ekslusif karena tidak terdapat perwakilan dari Organisasi

Masyarakat Sipil (OMS) yang bergerak di bidang advokasi hak-hak masyarakat

adat sehingga rekomendasi yang dihasilkan akan cenderung tidak

mencerminkan aspirasi sebenarnya dari masyarakat adat. Lebih jauh,

kewenangan gubernur untuk menolak keberatan yang diajukan oleh

masyarakat adat yang diberikan oleh UU ini telah menegasikan prinsip-prinsip

FPIC sebagaimana diatur di dalam UN Declaration on Indigenous People,

sehingga klausul tersebut perlu direvisi.

6.3 Menormakan FPIC dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat dan Mendorong agar RUU tersebut Masuk

dalam Prolegnas 2015

UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (UU PPHMA)

merupakan mandat undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Sayangnya meskipun sejak setahun yang lalu sidang paripurna DPR telah resmi

menjadikan UU PPHMA sebagai salah satu RUU inisiatif DPR-RI, hingga hari

ini RUU tersebut belum disahkan. Padahal UU PPHMA sangat krusial karena

akan memberikan kejelasan tentang hak masyarakat adat atas tanah ulayat dan

sumber daya alam, baik yang berada di permukaan tanah maupun di dalam

tanah. Selain itu, RUU PPHMA merupakan payung hukum yang tepat untuk

menormakan FPIC karena UU ini fokus mengatur tentang masyarakat adat.

Sehubungan dengan tidak adanya jaminan bahwa pembahasan RUU ini akan

dilanjutkan DPR di tahun depan, sangatlah penting untuk mendorong agar

RUU ini masuk dalam agenda Prolegnas 2015.

Dari segi substansi, RUU PPHMA sebaiknya memiliki bab/bagian

tersendiri tentang FPIC meliputi prosedur, prinsip dan

pembentukan/penunjukan tim independen yang akan menjalankan fungsi

verifikasi sebagaimana telah penulis uraikan pada bab dua. RUU PPHMA juga

harus dengan tegas mewajibkan FPIC untuk semua aktivitas yang akan

dilangsungkan di ruang kehidupan masyarakat adat maupun yang akan

berdampak kepada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan mereka.

Agar memastikan pengaturan ini dapat berjalan efektif, RUU PPHMA perlu

mengatur:

a. Sanksi yang dapat dibebankan kepada perusahaan dalam hal

tidak menjalankan prosedur FPIC;64

64 misalnya berupa pembekuan atau pencabutan izin pengelolaan sumber daya

alam.

Page 88: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

80

b. Mekanisme penyelesaian sengketa antar masyarakat adat

maupun antara masyarakat adat dengan pihak lain; dan

c. Pemberdayaan masyarakat adat.

6.4 Mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang Mensyaratkan

Klausul Perlindungan terhadap Hak-hak Masyarakat Adat dalam

Perjanjian Kredit

Industri migas merupakan industri padat modal yang membutuhkan

kredit dari perbankan untuk mendukungnya. Dalam hal ini sektor perbankan

dapat digerakkan untuk berperan serta dalam memastikan bahwa kredit tersebut

tidak dipergunakan untuk kegiatan yang merampas hak-hak masyarakat adat.

Caranya adalah dengan mencantumkan klausul perlindungan terhadap hak-hak

masyarakat adat dalam perjanjian kredit. Hal ini selain sesuai dengan UN

Declaration for Indigenous People, juga sejalan dengan prinsip kehati-hatian yang

wajib dipegang teguh sektor perbankan dalam memberikan pembiayaan. Prinsip

kehati-hatian (prudential principle) berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah oleh UU No. 10 Tahun 1998 adalah suatu

prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik

dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat

harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar

bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan

mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia

perbankan.

Pada tahun 2013 lalu, Bank Mandiri memimpin penyaluran kredit

sindikasi sebesar AS$260 juta kepada anak perusahaan PT Medco E&P Tomori

Sulawesi untuk pengembangan dan konstruksi lapangan hulu gas Senoro (Blok

Senoro-Toili).65 Bayangkan apabila proyek ini tidak dapat berjalan dengan baik

atau bahkan berhenti di tengah jalan karena adanya konflik dengan masyarakat

adat. Tentu hal ini berpotensi menyebabkan return capacity dari kredit yang

diberikan tidak dapat dijamin kolektabilitasnya (kredit macet). Dengan jumlah

kredit sebesar itu, cash flow bank akan terguncang yang pada akhirnya akan

menurunkan tingkat kesehatan bank tersebut. Bagi bank yang dikelola dengan

baik, tentu tidak akan mau menempuh risiko-risiko ini.

Lembaga Keuangan internasional seperti World Bank, International

Finance Corporation (IFC) dan berbagai development banks di tingkat regional

65 Bank Mandiri, Mandiri Kucurkan Kredit Sindikasi $260 Juta untuk Lapangan Gas

Medco Energi http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/news-detail.asp?id=NHBK28186912, diakses pada 19 Oktober 2014.

Page 89: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

81

seperti The Europian Bank for Reconstruction and Development, The Asia

Development Bank dan The Inter-American Development Bank telah

mengadopsi kebijakan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang wajib diikuti

oleh perusahaan untuk mendapatkan pembiayaan. IFC Performance Standard 7 on

Indigenous People (PS7) adalah ketentuan yang paling sering dirujuk oleh

perusahaan dan lembaga keuangan lainnyaserta direkomendasikan oleh The

Equator Principle yang merupakan benchmark industri keuangan untuk risiko

lingkungan dan risiko sosial.66 PS7 mengatur peran sektor swasta dalam

meminimalisir dampak proyek terhadap masyarakat adat. PS7 bertujuan untuk:

Memastikan bahwa proses pembangunan menjunjung tinggi hak

asasi manusia, harkat dan martabat, aspirasi serta mata

pencaharian masyarakat adat;

Mengantisipasi dan menghindari dampak negatif proyek terhadap

komunitas masyarakat adat, atau apabila tidak mungkin dihindari,

perusahaan wajib meminimalisir dan/atau memberikan

kompensasi atas dampak tersebut;

Membangun dan memelihara hubungan yang berkelanjutan

dengan masyarakat adat terdampak

Memastikan bahwa hak masyarakat adat atas FPIC ditegakkan;

Menghargai dan melestarikan budaya, kearifan lokal serta praktek-

praktek yang selama ini dilakukan masyarakat adat.67

Sudah saatnya perbankan di Indonesia mencantumkan perlindungan

terhadap hak-hak masyarakat adat dalam perjanjian kreditnya sebagaimana telah

diterapkan oleh IFC dan lembaga keuangan internasional lain. Salah satu

caranya adalah dengan mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang

memandatkan hal ini.

66 Anonim. About the Equator Principle. http://www.equator-

principles.com/index.php/about-ep/about-ep, diakses pada 19 Oktober 2014. Saat ini The Equator Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang membiayai lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.

67 The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social Issues (IPIECA), Indigenous Peoples...hal. 8.

Page 90: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

82

7. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat menjadi jawaban

atas permasalahan masyarakat adat akibat pengelolaan sumber daya alam

yang tidak partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat;

2. FPIC dapat meningkatkan kepastian hukum bagi investasi di sektor migas

karena dapat menciptakan social license bagi perusahaan dalam

menjalankan operasinya dan mengurangi resiko konflik sosial;

3. Untuk menerapkan FPIC dalam kebijakan pengadaan tanah untuk

kegiatan migas di Indonesia, tulisan ini menawarkan empat strategi

perubahan:

a. Memasukkan ketentuan tentang FPIC dalam revisi UU Migas;

b. Merevisi UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

c. Menormakan FPIC dalam RUU PPHMA dan mendorong agar

RUU tersebut masuk dalam Prolegnas 2015;

d. Mendorong adanya Peraturan Bank Indonesia yang

Mensyaratkan Klausul Perlindungan terhadap Hak-hak

Masyarakat Adat dalam Perjanjian Kredit.

Page 91: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

83

Daftar Pustaka

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Jaringan akan Buat Peta Global Masyarakat

Adat. http://www.aman.or.id/2013/10/03/jaringan-akan-buat-peta-

global-masyarakat adat/#.VAuzhxYWS_w

Berita Satu. Komnas HAM: Hanya dari Kasus Tanah, Banyak HAM yang HAM yang

Bisa Dilanggar. http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-

hanya-dari-kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html

Berita Satu. Komnas hanya dari Kasus Tanah Banyak HAM yang Dilanggar. Sumber:

http://www.beritasatu.com/hukum/163078-komnas-hanya-dari-

kasus-tanah-banyak-ham-yang-bisa-dilanggar.html

Brian F. Yates dan Celesa L. Horvath. 2013. Social License to Operate: How to Get

it, and How to Keep It. Working Paper. Canada: Pacific Energy Summit.

Bank Mandiri. Mandiri Kucurkan Kredit Sindikasi US$260 Juta untuk Lapangan Gas

Medco Energi. http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/news-

detail.asp?id=NHBK28186912

Cielo Magno. 2013. FPIC in the Philippines: Regulations and Realities. Boston:

Oxfam America.

Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. 2011.

Rekomendasi Kebijakan: Instrumen Free, Prior, Informed Concent (FPIC) Bagi

Masyarakat Adat dan atau Masyarakat Lokal yang Akan Terkena Dampak

dalam Aktivitas Redd+ di Indonesia. Palu: DKN.

Dey Ravena. 2009. Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif. Jurnal Suloh Vol. VII.

No.1 April 2009.

Ekuatorial. Masyarakat Adat Lengkapi One Map Indonesia.

http://ekuatorial.com/climate-change/masyarakat-adat-lengkapi-one-

map-indonesia

Equator Principles. About The Equator Principles. http://www.equator-

principles.com/index.php/about-ep/about-ep. Saat ini The Equator

Principle telah diadopsi oleh 80 lembaga keuangan dari 34 negara yang

membiayai lebih dari 75% proyek pembangunan di seluruh dunia.

First People Worldwide. 2013. Indigenous Rights Risk Report for the Extractive

Industry. US: First People Worldwide.

Page 92: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

NISA I. NIDASARI

84

Hukumpedia. Mengapa Undang-undang Masyarakat Adat dibutuhkan.

http://www.hukumpedia.com/masyarakat-adat/mengapa-undang-

undang-masyarakat-adat-dibutuhkan-hk522d348cacad7.html

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). 2006. Membuka Ruang,

Menjembatani Kesenjangan, Jakarta: ICEL.

Investasi Indonesia. Indonesia SOS Energi Investasi Asing.

http://indonesiainvest-today. /2013/11/indonesia-sos-energi-

investasi-asing-di.html

Christina Hill et.al. 2010. Pedoman Untuk Persetujuan Bebas dan Sadar. Australia:

Oxfam

Prabin Shakya dan Allan T Nash. 2013. Rights in Action: FPIC for Indigenous

Peoples. Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP).

SocialLicense.com. What is the Social License.

http://socialicense.com/definition.html

Satjipto Rahardjo. 1988. Hukum dan Birokrasi. Makalah pada diskusi Panel

Hukum dan Pembangunan dalam Rangka Catur Windu Fakultas

Hukum UNDIP.

Satjipto Rahardjo (c), “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal

Hukum Progresif (Vol.1/No.1/April 2005)

The Global Oil and Gas Industry Association for Environmental and Social

Issues (IPIECA). 2012. Indigenous Peoples and the Oil and Gas Industry.

UK: IPIECA

Tim Penulis Pokja IV. 2011. Panduan Pelaksanaan FPIC dalam Program UN-REDD

di Sulawesi Tengah. Palu: FAO, UNDP, UNEP.

United Nations. 2012. Report of the Working Group on the Universal Periodic

Review: Indonesia. Human Rights Council.

United Nation. 2009. The State of the World‟s Indigenous Peoples. New York: UN.

Marcus Colchester. 2009. Prinsip FPIC: Sebuah Panduan bagi Para Aktivis. UK:

Forest Peoples Programme.

Marianne Coss and Emily Greenspan. 2012. Oil, Gas and Mining Company Public

Position on FPIC. US: Oxfam America.

Patrick Anderson. 2011. Free, Prior, and Informed Consent: Principles and

Approaches for Policy and Project Development. Bangkok: GIZ &

RECOFTC.

Page 93: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

85

Robert Goodland. 2004. FPIC and the World Bank Group. Sustainable

Development Law and Policy, Summer.

Tara Ward. 2011. The Right to Free, Prior, and Informed Consent: Indigenous Peoples‟

Participation Rights within International Law. Northwestern Journal of

International Human Rights. US: Northwestern University.

World Wildlife Fund. 2011.Free, Prior, Informed Consent and Redd+: Guidelines and

Resources. Switzerland: WWF.

Yance Arizona. 2010. Kertas Kerja Epistema: Satu Dekade Legislasi Masyarakat

Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat

Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009). Jakarta: Epistema.

Page 94: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

PENERAPAN TRANSHIPMENT: KAITANNYA DENGAN HAK BANGSA INDONESIA ATAS KOMODITAS PERIKANAN DAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Savitri Nur Setyorini1

Abstrak

Artikel ini memberikan gambaran mengenai praktik transhipment dan kaitannya dengan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia merupakan produsen ikan terbesar di Asia Tenggara. Namun, terdapat masalah yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah transhipment. Transhipment ini dilakukan dengan memindahkan ikan hasil tangkapan ke kapal lain di tengah laut, untuk kemudian dibawa ke luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transhipment, yang dewasa ini menjadi suatu kebutuhan dan solusi bisnis, merugikan hak bangsa Indonesia dan tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Kata kunci: ikan, transhipment, hak bangsa Indonesia, pembangunan berkelanjutan

Abstract

This article provides an overview of transhipment and its relation with the right of Indonesian people and sustainable development. Indonesia is the largest fish producer in Southeast Asia. However, there are several problems threatening the natural wealth of the seas in Indonesia, one of them is transhipment. Transhipment is done by transferring captured fishes from a vessel to another vessel (or vessels) in the middle of the sea, to be brought outside the country. This research is a qualitative research with descriptive analytic design. The result shows that transhipment, which has currently become a necessity and business solution, is causing a loss to the right of Indonesian people and incompatible with the concept of sustainable development.

Keywords: fishes, transhipment, right of Indonesian people, sustainable development

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan, di mana tiga per empat luasnya merupakan perairan. Dengan perairan yang begitu luas dan dengan kekayaan alamnya, Indonesia memliki potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan.2 Berdasarkan data dari Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), pada tahun 2011 jumlah ikan yang dihasilkan oleh Asia Tenggara adalah sebesar 33,5 juta metric ton (MT), di mana sebanyak 40,7%-nya dihasilkan oleh

1 Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia

2 Perikanan sendiri merupakan semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Lihat Indonesia (1), Undang-Undang tentang Perikanan, UU No. 31 Tahun 2004, LN No. 118 Tahun 2004, TLN No. 4433, Ps. 1 angka 1.

Page 95: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

87

Indonesia dan diikuti oleh Vietnam sebesar 16,2%, Filipina sebesar 14,8%, Myanmar sebesar 12,4%, Thailand sebesar 8,6%, Malaysia sebesar 5% dan Kamboja sebesar 1,9%.3 Kemudian, Indonesia juga menjadi produsen ikan terbesar dengan total volume produksi regional sebesar 35,3% dari perikanan tangkap, dan kemudian diikuti oleh Vietnam sebesar 15,2%, Filipina (14.4%), Myanmar (14.3%), Thailand (10.8%), and Malaysia (9.1%).4 Indonesia juga memimpin dengan jumlah nilai produksi regional sebesar 33,5% dari jumlah total perikanan tangkap, diikuti oleh Vietnam sebesar 17,9%, Myanmar (16.9%), Filipina (14.2%), Malaysia (10.7%), dan Thailand (6.7%).5 Hal tersebut membuktikan bahwa laut Indonesia sangatlah kaya.

Usaha perikanan di Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan yang cukup baik, yakni sekitar 12,9% pada tahun 2012, dengan hasil yang hampir menyentuh angka enam belas juta ton. Dari hasil tersebut, sebanyak lima juta ton lebih dihasilkan dari perikanan tangkap, terutama perikanan tangkap di laut.6 Untuk meningkatkan dan menjaga kekayaan tersebut, maka dalam hal perikanan ini diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung percepatan pertumbuhan dan pembangunan kelautan dan perikanan, terutama untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelautan dan perikanan. Untuk itu, maka Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan di bidang kelautan dan perikanan. Kebijakan perikanan sendiri dapat dilihat dalam empat fase, yakni:7

1) Fase pertama (1968 hingga 1993), fokus sektor perikanan dibagi menjadi dua arah, di mana peningkatan konsumsi domestik menjadi fokus di salah satu pihak, dan mengejar pendapatan melalui ekspor di pihak lain;

2) Fase kedua (1994 hingga 1997), fokus kebijakan perikanan bergeser ke arah pembangunan sumber daya manusia perikanan, seperti peningkatan kesempatan kerja melalui pengembangan kapasitas industri perikanan sejalan dengan peningkatan pasokan dan distribusi produk-produk perikanan;

3) Fase ketiga (1997 hingga 1998), kebijakan-kebijakan perikanan merupakan bagian dan cerminan dari upaya Pemerintah dalam menanggulangi krisis moneter dan ekonomi yang tengah melanda, antara lain dengan berusaha meningkatkan ekspor komoditas perikanan yang memang merupakan salah satu sektor yang paling minimal terkena dampak krisis; dan

4) Fase keempat (1998 hingga sekarang), ditandai dengan berbagai formula desentralisasi pengelolaan perikanan. Dalam fase ini, kebijakan perikanan memiliki beberapa arah, yaitu:

a) Peningkatan manajemen partisipatif, termasuk meningkatkan peranan dan partisipasi pemerintah daerah, masyarakat adat dan perempuan dalam pengelolaan ikan;

b) Promosi investasi perikanan dan perbaikan tatanan kelembagaan ke arah iklim yang lebih kondusif bagi peningkatan investasi dan mempertinggi nilai tambah komoditas perikanan; dan

c) Perbaikan sarana dan prasarana perikanan untuk memfasilitasi kegiatan perdagangan komoditas perikanan yang lebih bergairah.

Kemudian, pada tahun 2012 Pemerintah kembali merumuskan kebijakan dalam hal kelautan dan perikanan sebagaimana dicantumkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan

3 Southeast Asian Fisheries Development Center, Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia 2011

(Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center, 2013), hal. 3.

4 Ibid., hal. 5.

5 Ibid.

6 Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Volume Produksi Perikanan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27 Agustus 2014.

7 Bono Budi Priambodo, Ikan untuk Nelayan (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013), hal. 39-40.

Page 96: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

88

Perikanan Nomor PER.15/MEN/2012 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2010-2014. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut, di antaranya:

a. Mengembangkan industrialisasi kelautan dan perikanan, dengan tujuan untuk meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Peningkatan produktivitas, efisiensi, dan nilai tambah produk;

c. Pengembangan dan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (penelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan ketersediaan bahan baku industri;

d. Konservasi dan rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan serta pengelolaan pulau-pulau kecil dan upaya adaptasi dan mitigasi bencana dan perubahan iklim untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

e. Pengawasan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan;

f. Pengembangan sumberdaya manusia dan IPTEK kelautan dan perikanan;

g. Peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat perikanan dengan fokus pada Program Peningkatan Kehidupan Nelayan; dan

h. Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan, terutama di Koridor Ekonomi Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, dan Maluku-Papua.

Namun ternyata, dari kebijakan-kebijakan di bidang kelautan dan perikanan tersebut belum dapat mengakomodasi permasalahan yang mengancam kekayaan laut Indonesia, di antaranya adalah Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), yang sekiranya dapat merugikan negara hingga dua juta dollar dalam satu tahun.8 Secara sederhana, illegal fishing berarti penangkapan ikan secara ilegal atau pencurian ikan. Sementara itu, unreported fishing diartikan sebagai tidak adanya pelaporan atas ikan yang ditangkap, dan unregulated fishing adalah kegiatan penangkapan ikan yang tidak diatur oleh negara yang bersangkutan.9

Adapun salah satu masalah yang timbul dari IUU Fishing tersebut adalah transhipment atau alih muat, yakni pengalihan muatan dari satu kapal ke kapal lain di tengah laut. Menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dari tahun 2001 hingga 2013, terdapat 6.215 kasus pencurian ikan, dan enam puluh persen lebih atau 3.782 kasus terjadi hingga November 2012.10 Kegiatan transhipment ini, selain mengancam kekayaan laut Indonesia, tentunya akan sangat merugikan karena komoditas perikanan yang seharusnya dinikmati oleh bangsa Indonesia dialihmuatkan kepada kapal lain. Selain itu, kegiatan ini juga akan mempengaruhi elemen-eleman pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, Penulis akan membahas lebih lanjut mengenai kegiatan transhipment ini beserta kaitannya dengan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan dan pembangunan berkelanjutan.

8 Hal ini dikemukakan oleh B. Fegan dalam "Plundering the Sea: Regulating Trawling Companies is

Difficult When the Navy is in Business with Them," sebagaimana dikutip dalam Gerd Winter (Ed), Toward Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis (Switzerland: IUCN, 2009), hal. 42.

9 Hal ini disampaikan oleh Dikdik Mohamad Sodik dalam “IUU Fishing and Indonesia’s Legal Framework for Vessel Licensing,” sebagaimana dikutip dalam Amelya Gustina, “Analisis Transhipment Pasal 69 ayat (3) Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap,” Jurnal Dinamika Hukum, Volume 14, Nomor 2 (Mei 2014), hal. 341.

10 Sabar Subekti, "Pencurian Ikan Masih Marak di Lautan Indonesia," http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-di-lautan-indonesia diakses pada 3 Oktober 2014.

Page 97: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

89

2. Kaitan Transhipment, Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Ikan dan Pembangunan Berkelanjutan

2.1. Transhipment

Transhipment atau alih muatan merupakan salah satu bentuk dari IUU Fishing11, dan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012, mulai dari Pasal 69 hingga Pasal 71. Adapun transhipment ini didefinisikan sebagai pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan atau pemindahan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kepal penangkap ikan.12

Kemudian, dalam Pasal 69 ayat (2) peraturan ini, ditentukan bahwa kebijakan transhipment ini dapat digunakan oleh setiap kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, dengan ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2) pelaksanaan transhipment diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); 3) transmitter vessel monitoring system (VMS) dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; 4) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI); 5) melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan 6) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.

Dalam pelaksanaan transhipment ini, ikan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI dan tidak dibawa keluar negeri, kecuali bagi kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan purse seine berukuran diatas seribu gross ton (GT) yang dioperasikan secara tunggal.13 Selain itu, ditentukan pula bahwa setiap kapal pengangkut ikan yang menggunakan pola kemitraan dapat melakukan alih muatan dengan ketentuan:

a) Kapal penangkap ikan berukuran sampai dengan 10 GT;

b) Kegiatan penangkapan ikan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh kapal yang memiliki izin atau Bukti Pencatatan Kapal dan merupakan mitranya;

c) Ikan yang dipindahkan wajib didaratkan di pelabuhan pangkalan kapal pengangkut ikan yang menerima pemindahan ikan hasil tangkapan; dan

d) Mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan dan ditandatangani oleh masing-masing nahkoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan.14

Pada tahun 2013, Peraturan Menteri Nomor 30/PERMEN-KP/2012 ini diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 26/PERMEN-KP/2013, dan ketentuan Pasal 69 hingga Pasal 71 dihapuskan. Namun ternyata, revisi tersebut masih membuka celah adanya alih

11 Lihat Bab III Lampiran I Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2012 tentang

Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2012-2016.

12 Kementerian Kelautan dan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen KKP Nomor 30/PERMEN-KP/2012, Pasal. 1 angka 34.

13 Ibid., Pasal. 69 ayat (3).

14 Ibid., Pasal. 70 ayat (1).

Page 98: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

90

muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B dan 37C, yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.15

Indonesia sendiri sebenarnya telah memperkenalkan suatu sistem pemantauan kapal melalui VMS, untuk menjamin ketaatan kapal ikan terhadap ketentuan yang berlaku terhadapnya, di mana sistem ini digunakan untuk memantau posisi kapal yang telah diberi izin untuk menangkap ikan di yurisdiksi nasional atau wilayah tertentu.16 Namun sayangnya, masih banyak yang mematikan sistem ini ketika mereka sedang menangkap ikan.17 Dengan dimatikannya sistem tersebut, maka aktivitas yang dilakukan, termasuk transhipment, tidak akan terpantau.

2.2. Transhipment dan Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Perikanan

Adanya kebijakan transhipment ini untuk selanjutnya menimbulkan beberapa pembahasan. Pembahasan pertama adalah mengenai kaitan antara transhipment dan hak bangsa Indonesia atas komoditas perikanan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, perairan Indonesia, terutama laut sangatlah kaya. Kekayaan Indonesia tersebut, dalam hal ini adalah kekayaan laut Indonesia, merupakan milik dan hak dari bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di mana disebutkan bahwa, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyebutkan bahwa, “seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari satu seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”18

Kemudian, hal tersebut dijabarkan pula dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang berbunyi:

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.19

Kemudian, mengenai Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) di atas dalam Penjelasan Umum UUPA, disebutkan bahwa:

Bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak rakyat

15 Dalam Pasal 37 ayat (7) dan (8) disebutkan bahwa pendaratan ikan hasil tangkapan dari kapal

penangkap ikan dapat dilakukan langsung pada pelabuhan pangkalan atau melalui alih muatan di laut, dengan ketentuan: 1) mempunyai pelabuhan pangkalan yang sama; 2) pelaksanaan alih muatan diawasi oleh pemantau kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan (observer); transmitter VMS dalam kondisi aktif dan dapat dipantau secara online; 3) melaporkan kepada kepala pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; 4) melaporkan kepada pengawas perikanan di pelabuhan pangkalan sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI; dan 5) mengisi pernyataan pemindahan ikan hasil tangkapan yang ditandatangani oleh masing-masing nakhoda kapal dan disampaikan kepada kepala pelabuhan pangkalan. Sedangkan, Pasal 37A memiliki ketentuan yang sama dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012, hanya perubahan kata “transhipment” menjadi “alih muatan”.

16 Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang Hidup (Jakarta: Diadit Media, 2007), hal. 129.

17 Hal ini dikemukakan oleh M.V. Erdman dalam “Leave Indonesia’s Fisheries to Indonesians! Corrupt Foreign Fishing Fleets are Depriving Locals of Food,” sebagaimana dikutip dalam Gerd, op. cit., hal. 44.

18 Indonesia (2), Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960.,LN No. 104 Tahun 1960, TLN Nomor 2043, Pasal. 1 ayat (1).

19 Ibid., Pasal. 1 ayat (2)

Page 99: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

91

daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa kekayaan alam Indonesia, yang terdiri dari bumi, air20 dan ruang angkasa merupakan suatu hak bersama dari seluruh rakyat Indonesia, atau biasa disebut dengan hak bangsa Indonesia. Konstruksi hukum hak bangsa Indonesia ini kemudian berimplikasi pada kepemilikan bersama segala kekayaan alam yang berada di dalam wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia oleh seluruh bangsa Indonesia.21 Oleh karena itu, terkait dengan sumberdaya ikan, baik ikan yang selalu berdiam dalam perairan Indonesia atau sering melintas dan berpindah-pindah dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, adalah milik bersama warga negara Indonesia.22 Oleh karena itu, komoditas perikanan pun merupakan hak dari bangsa Indonesia, yang harus dapat dirasakan dan dinikmati bersama oleh seluruh rakyat Indonesia.

Berkaitan dengan hak bangsa Indonesia tersebut, maka kegiatan transhipment sangat merugikan bangsa Indonesia. Dengan adanya kegiatan transhipment tersebut, maka ikan yang seharusnya menjadi milik bangsa Indonesia menjadi hilang karena kebijakan transhipment ini memperburuk kegiatan illegal fishing,23 di mana ikan-ikan hasil tangkapan di wilayah perairan Indonesia dapat langsung dipindahkan di tengah laut ke kapal lain untuk kemudian dibawa ke luar negeri. Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), kasus illegal fishing meningkat drastis, di mana sepanjang tahun 2001 hingga tahun 2013, terdapat 6.215 kasus illegal fishing dan 60%nya terjadi pada tahun 2012.24

Kemudian, kebijakan transhipment ini mengatur bahwa kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 1.000 GT justru tidak diwajibkan didaratkan di pelabuhan pangkalan sesuai SIPI atau SIKPI. Padahal, pelaku pencurian ikan merupakan jenis kapal besar, seperti 1.000 GT.25 Selain itu, berdasarkan data Kesatuan Nelayan Tradisional

20 Menurut Boedi Harsono, ketentuan yang ada dalam UUPA mencakup pula air dalam arti laut, selain

air yang ada di daratan ataupun air tanah. Lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Universitas Trisakti, 2013), hal. 6-7.

21 Priambodo, op. cit., hal. 73.

22 Ibid.

23 Illegal fishing dapat diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu yurisdiksi suatu negara tanpa izin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan peraturan nasional dan/atau kewajiban internasional dan dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau oleh ketentuan hukum internasional. Adapun kegiatan kegiatan illegal fishing di Indonesia meliputi penangkapan ikan tanpa izin, penangkapan ikan dengan mengunakan izin palsu, penangkapan Ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, dan penangkapan Ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin. Lihat Simela Victor Muhamad, “Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara,” dalam Laporan Hasil Penelitian Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Tahun 2011, hal. 65. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2012, definisi dari illegal fishing ini ditambahkan satu poin, yakni kegiatan perikanan yang bertentangan dengan hukum nasional atau kewajiban internasional, termasuk juga kewajiban negara-negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional terhadap organisasi tersebut.

24 Sulung Prasetyo, “Pencurian Ikan Meningkat Drastis,” http://www.kiara.or.id/pencurian-ikan-meningkat-drastis/, diunduh pada 22 Agustus 2014.

25 Ibid.

Page 100: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

92

Indonesia (KNTI), Indonesia tidak memiliki kapal berbobot 1.000 GT.26 Adapun kegiatan transhipment ini umumnya terjadi di daerah perbatasan yang memiliki banyak ikan, seperti Laut Aru, Laut Arafuru, Perairan Natuna dan laut-laut yang berada di daerah Nusa Tenggara.27

Selain illegal fishing, kebijakan transhipment ini juga berkaitan unreported fishing, atau penangkapan ikan yang tidak dilaporkan. Unreported fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang:28

a. tidak melapor atau melaporkan hasil tangkapan secara tidak benar kepada instasi yang berwenang dan menyalahi peraturan perundang-undangan nasional; dan

b. dilakukan di area yang menjadi kompetensi Regional Fisheries Management Organizations (RMFOs), namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar.

Kegiatan unreported fishing di Indonesia di antaranya adalah pemalsuan data tangkapan atau tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya dan membawa hasil tangkapan langsung ke negara lain.29 Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kebijakan transhipment ini berimbas pada ketidakakuratan pencatatan jumlah produksi ikan di Indonesia, karena jumlah ikan yang ditangkap akan berbeda dengan jumlah ikan yang didaratkan dan dicatatkan di pelabuhan perikanan. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian pada negara, dimana pemasukan negara yang seharusnya didapat dari komoditas perikanan menjadi berkurang karena jumlah yang dilaporkan berbeda dengan jumlah yang ditangkap.

Ketiga, kebijakan transhipment ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004. Dalam Pasal 25B ayat (2) disebutkan bahwa disebutkan bahwa pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi nasional. Bunyi pasal tersebut merepresentasikan hak bangsa Indonesia atas pemenuhan kebutuhan protein hewani, yakni ikan. Namun, dengan adanya kebijakan transhipment yang memperbolehkan adanya alih muatan ikan di atas laut ke kapal lain dan kemudian dibawa ke luar negeri tidak memenuhi ketentuan Pasal 25B ayat (2) tersebut, karena ikan telah lebih dulu dibawa ke luar negeri sebelum digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan di dalam negeri, yang yang artinya hak bangsa Indonesia atas pemenuhan kebutuhan protein tidak dapat terpenuhi.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa praktik transhipment ini tentunya merugikan Indonesia, dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi ataupun sebagai pemasukan negara,30 karena telah dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri.

26 Administrator, "KNTI Tolak Izin Transhipment Kapal 1000 GT,"

http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/03/13/mjla4u-knti-tolak-izin-transhipment-kapal-1000-gt, diunduh pada 22 Agustus 2014.

27 Mukhtar, "Kerugian Negara di Perairan Laut Aru dan Laut Arafura," http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10347/Kerugian-Negara-di-Perairan-Laut-Aru-dan-Laut-Arafura/?category_id=91, diunduh pada 22 Agustus 2014.

28 Muhamad, loc. cit.

29 Ibid.

30 Menurut Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Indonesia telah kehilangan tiga puluh triliun dari tindak illegal fishing, Bila setiap pencurian itu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah per kilogram, maka volume ikan yang dicuri setara dengan tiga juta ton setiap tahun, dimana angka kehilangan ikan itu sebenarnya mencukupi jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri perikanan. Lihat Ranap Simanjuntak, "Cold storage: Hangatnya Proyek Pendingin," http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/11/i/17-23-mei-2012/business/22/hangatnya-proyek-pendingin, diakses pada 3 Oktober 2014.

Page 101: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

93

2.3. Transhipment dan Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembahasan kedua mengenai praktik transhipment atau alih muatan komoditas perikanan ini adalah kaitannya dengan konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan hasil dari proses perdebatan panjang antara kebutuhan akan pembangunan dan kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan hidup yang dimulai sekitar tahun 1960an.31

Pada tahun 1983, Majelis Umum PBB membuat sebuah lembaga yang bertugas mengkaji ulang beberapa masalah penting yang terkait dengan pembangunan dan lingkungan hidup, serta merumuskan langkah yang inovatif, kongkrit dan realistis yang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Lembaga ini bernama World Commission on Environment and Development (WCED) atau sering disebut sebagai Brundtland Commission.32

Pada tahun 1987, WECD mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Our Common Future” dan mempopulerkan istilah sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, yang mempengaruhi pembuatan kebijakan internasional. WECD kemudian mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai:

“Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. It contains within two key concepts:

1. The concept of ‘needs’, in particular the essential needs of the world’s poor, to which overriding priority should be given; and

2. The idea of limitations imposed by the state of technology and sosial organization on the environment’s ability to meet present and future.”33

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat elemen-elemen pembangunan berkelanjutan berdasarkan definisi dari WECD, di antaranya prinsip integrasi (integration principle), prinsip pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use), prinsip keadilan intra generasi (intragenerational equity), dan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity).

Hal serupa dikemukakan oleh Philippe Sands, yang membagi pembangunan berkelanjutan ke dalam beberapa prinsip, yakni:34

a. keadilan antargenerasi (intergenerational equity), yang dapat dilihat dari kebutuhan untuk melindungi SDA bagi keuntungan generasi yang akan datang;

b. pemanfaatan secara bekelanjutan (the principle of sustainable use), yang direfleksikan dalam eksploitasi SDA secara berkelanjutan (sustainable), hati-hati (prudent), rasional (rational), bijaksana (wise), dan layak (appropriate);

31 Kepedulian dunia akan lingkungan dimulai pada tahun 1962, yakni dengan diterbitkannya sebuah

buku yang ditulis oleh Rachel Carson tentang bahaya dari penggunaan pestisida, “the Silent Spring” yang diterbitkan di New York oleh Marnier Book Houghton Mifflin Company. Selain itu, hal ini juga ditandai dengan kelahiran beberapa organisasi lingkungan, seperti Sierra Club dan National Audubon Society, yang kemudian menjadi pertanda akan lahirnya ratusan ribu organisasi lingkungan di seluruh dunia. Lihat T. Brenton, The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics (London: Earthscan, 1994), hal. 18-19.

32 Andri G. Wibisana, "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya," Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 43, Nomor 1 (Januari 2013), hal. 57.

33 Sharon Beder, Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction (Earthscan, 2006), hal. 18. Lihat juga Wibisana, Ibid., hal. 86-87.

34 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and Implementation (Manchester University Press, 1995), hal. 199. Lihat juga Wibisana, ibid.

Page 102: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

94

c. keadilan intra generasi, yang ditunjukkan melalui pemanfaatan SDA secara berkeadilan (equitable use of natural resources), di mana pemanfaatan SDA oleh satu negara tetap harus memperhatikan kebutuhan dari negara lain; dan

d. prinsip integrasi (integration principle), yang meminta adanya jaminan bahwa pertimbangan lingkungan akan diintegrasikan ke dalam rencana, kebijakan, serta program terkait ekonomi dan pembangunan, serta bahwa pemenuhan kebutuhan pembangunan harus memperhatikan tujuan perlindungan lingkungan.

Elemen integrasi dapat disimpulkan dari adanya pengakuan mengenai kebutuhan akan pembangunan pada satu sisi, tetapi pada sisi lain diakui pula bahwa pemenuhan kebutuhan akan pembangunan ini tidak boleh menganggu kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Elemen pemanfaatan yang berkelanjutan dapat dilihat dari adanya pengakuan terhadap dampak teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang, serta adanya pengakuan bahwa pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang. Elemen keadilan intra generasi dapat dilihat dari pendefinisian kata kebutuhan (needs) yang memberikan prioritas pada pemenuhan kebutuhan masyarakat yang miskin. Sedangkan elemen keadilan antar generasi dapat disimpulkan dari adanya pengakuan mengenai keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dengan kebutuhan generasi yang akan datang.35

Dari penjelasan keempat elemen mengenai pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh WECD, dapat dilihat benang merah di antaranya, yakni mengenai pembangunan lingkungan dan kebutuhan bagi generasi sekarang (intra generasi) dan generasi yang akan datang (antargenerasi). Jika benang merah dari elemen-elemen tersebut dihubungkan dengan transhipment, maka dapat dilihat bahwa kegiatan transhipment ini dapat mengakibatkan kerugian bagi generasi yang sekarang maupun generasi yang akan datang. Hal ini dikarenakan, ikan yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang, justru tidak dapat dinikmati atau tidak dapat dinikmati secara maksimal karena adanya alih muatan dan hasil tangkapan ikan langsung dibawa ke luar negeri. Selain itu, pemasukan yang didapat dari komoditas perikanan juga tidak akan maksimal karena dengan adanya transhipment ini akan terjadi bias dalam pencatatan perikanan. Hal ini tentunya akan merugikan generasi sekarang yang akan datang karena, sekali lagi, transhipment ini menjadi faktor yang memperburuk illegal dan unreported fishing.

Namun, perihal elemen pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang tidak boleh hanya dilihat dari satu sisi, yakni sisi ekonomi saja. Tetapi, harus pula dilihat berdasarkan sisi lain, yakni sosial-budaya dan ekologi.36 Dari sisi sosial-budaya, haruslah dilihat mengenai hal-hal seperti perilaku konsumsi ikan masyarakat Indonesia ataupun pasar untuk komoditas ikan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2012 jumlah konsumsi ikan Indonesia adalah sebesar 33,89 kg/kapita/tahun.37 Jumlah konsumsi ikan ini hanya seperlima dari jumlah konsumsi ikan Jepang yang mencapai 150 kg/kapita/tahun.38 Kemudian, untuk

35 Wibisana, op. cit., hal. 87.

36 Illegal dan unreported fishing berasal dari sisi ekonomi. Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.

37 Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Angka Konsumsi Ikan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&height=95% , diakses pada 27 Agustus 2014.

38 Ramdhania El Hida, “Konsumsi Ikan Orang Indonesia Hanya Seperlima Jepang,” http://finance.detik.com/read/2011/08/24/165017/1710441/4/konsumsi-ikan-orang-indonesia-hanya-seperlima-jepang, diakses pada 27 Agustus 2014.

Page 103: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

95

pasar bagi komoditas ikan ini sendiri belum dapat diakomodasi oleh Indonesia, dan umumnya masih berada di bagian utara Indonesia.39 Selanjutnya, dari sisi ekologi, haruslah memperhatikan pengukuran atau pencatatan dari ikan yang ditangkap, selain dengan cara didaratkan terlebih dahulu. Hal ini sejatinya dapat dilaksanakan dengan melakukan kerjasama statistik dengan negara-negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan begitu, maka diharapkan pembangunan berkelanjutan dalam hal perikanan dapat menghasilkan kemanfaatan bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik secara ekonomi, sosial-budaya, maupun secara ekologi.

2.4. Keniscayaan Transhipment

Seperti telah dijabarkan sebelumnya, transhipment atau alih muatan atas komoditas perikanan dari satu kapal ke kapal lain di atas laut dan dibawa ke luar negeri tidak sejalan dengan hak bangsa Indonesia dan juga pembangunan berkelanjutan dan tentunya merugikan Indonesia. Namun, pada kenyataannya, praktik transhipment tetap berjalan dan bahkan masih terbuka celah untuk melakukan hal tersebut dalam peraturan yang berlaku.

Menurut Bono Budi Priambodo, praktik transhipment dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan.40 Hal ini berkaitan dengan komoditas perikanan yang memiliki perbedaan dengan komoditas lain. Jika komoditas lain akan memiliki nilai tambah lebih tinggi jika diolah terlebih dahulu, maka komoditas perikanan justru akan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi jika tidak diolah. Komoditas perikanan yang diolah justru harganya menjadi lebih murah dibandingkan dengan yang tidak diolah.41 Dengan karakteristik demikian di atas, maka komoditas perikanan yang lebih laku di pasar adalah ikan segar yang sebenarnya tidak dapat bertahan lama. Di sisi lain, pasar untuk ikan-ikan segar ini umumnya terletak di tempat yang jauh dari lokasi penangkapan ikan dan membutuhkan jangka waktu yang lama agar ikan tersebut sampai di lokasi atau pasar ikan. Sedangkan, ikan harus tetap segar untuk dapat laku di pasar.

Indonesia, berdasarkan data dari SEAFDEC merupakan produsen ikan tuna terbesar di Asia Tenggara, dengan komoditas andalan berupa frigate tuna, bullet tuna, skipjack tuna, longtail tuna, albacore tuna, southern bluefin tuna, yellowfin tuna dan bigeye tuna.42 Hingga saat ini, pasar tuna justru berada di bagian utara Indonesia, sehingga tuna-tuna yang ditangkap tersebut harus dibawa ke bagian utara Indonesia43 dan harus tetap segar. Namun, tuna sendiri merupakan komoditas perikanan yang memiliki jangka waktu hidup kurang dari empat puluh jam.44 Jika lebih dari empat puluh jam setelah ditangkap tuna-tuna tersebut tidak sampai di pasar, maka tuna-tuna tersebut akan mati, dan harga jualnya otomatis akan menurun. Sementara itu, untuk tuna-tuna yang diekspor dalam keadaan mati, ketidaktersediaan gudang pendingin (cold storage) yang baik dan memadai akan menyebabkan tuna-tuna tersebut tidak lagi segar ketika sampai

39 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.

40 Ibid.

41 Ibid. Lihat juga Dias Satria, “Antara Tuna Port Lincoln dan Tamperan,” http://diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/, diakses pada 28 Agustus 2014.

42 Southeast Asian Fisheries Development Center, op. cit., hal. 41, 43.

43 Salah satu pasar lelang ikan internasional adalah di Jepang, yang memiliki permintaan tuna yang besar. Lihat Dias Satria, ibid.

44 Bono Budi Priambodo memberikan contoh yaitu komoditas perikanan berupa salmon yang menjadi bahan utama untuk pembuatan sushi dan diternakkan di Norwegia Utara. Dalam waktu sekitar empat puluh jam, ikan-ikan salmon dari Norwegia Utara tersebut harus sampai di Jepang dalam keadaan segar untuk kemudian dijadikan bahan utama pembuatan sushi. Ikan salmon segar tersebutlah yang kemudian bernilai jual yang tinggi.

Page 104: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

96

di pasar.45 Oleh karena itu, maka agar tetap laku di pasar dan memiliki nilai jual yang tinggi, tuna-tuna tersebut harus sampai di pasar lebih cepat sebelum jangka waktu hidupnya habis dan tetap segar.

Letak pasar yang jauh, jangka waktu yang relatif singkat untuk menjaga kesegaran ikan, dan keterbatasan cold storage inilah yang kemudian menyebabkan praktik transhipment terus terjadi, terutama di daerah penghasil ikan di Indonesia Timur, di mana ikan-ikan yang ditangkap dialihmuatkan ke kapal lain yang memiliki fasilitas cold storage yang baik dan memadai untuk kemudian dibawa ke luar negeri untuk dijual. Dengan melakukan alih muatan di tengah laut tanpa mendaratkannya dulu di pelabuhan perikanan sekiranya dapat menghemat waktu, sehingga ikan-ikan tersebut akan tetap segar ketika sampai di pasar dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Kemudian, dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, memang ditentukan bahwa ikan yang ditangkap haruslah didaratkan terlebih dahulu di pelabuhan perikanan untuk kemudian dicatatkan.46 Dengan tidak didaratkannya ikan-ikan tersebut maka akan menyebabkan biasnya pencatatan atau statistik perikanan, yang kemudian menimbulkan kerugian. Namun, pada kenyataannya terdapat perbedaan dengan apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan keadaan di lapangan mengenai pencatatan ini.

Pertama, mengenai pelabuhan perikanan yang digunakan untuk mendaratkan ikan yang ditangkap. Pelabuhan perikanan merupakan unsur yang penting dalam hal pencatatan hasil tangkapan komoditas perikanan. Namun, pada kenyataannya banyak pelabuhan perikanan yang tidak dipakai karena letaknya yang tidak strategis maupun karena adanya pungutan liar, sehingga ikan-ikan akan dibawa ke pelelangan illegal ataupun dilakukan alih muatan sehingga mengacaukan statistik perikanan.47 Selain itu, keterbatasan fasilitas cold storage yang baik dan memadai pada di pelabuhan-pelabuhan, terutama di daerah Indonesia Timur, juga memicu dilakukannya alih muatan ini. Dengan begitu, maka jumlah ikan yang ditangkap di perairan Indonesia tidak tercatat sepenunya.

Kedua, dalam Pasal 44 ayat (3a) Peraturan Menteri Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa penangkapan komoditas tuna segar dikecualikan untuk diolah dalam negeri. Ketentuan ini tentunya semakin memudahkan kegiatan transhipment, terlebih tuna merupakan komoditas perikanan yang menjadi unggulan Indonesia. Ketiga, menurut Bono Budi Priambodo, walaupun dalam Undang-Undang tentang Perikanan ditentukan bahwa pengeluaran komoditas perikanan baru dapat dilakukan ketika telah ada pemenuhan konsumsi dalam negeri,48 pada

45 Sampai saat ini, Indonesia masih kekurangan cold storage, terutama di sentra-sentra perikanan, karena

adanya keterbatasan listrik dan air bersih. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, saat ini cold storage terbesar yang ada di Indonesia adalah di Jakarta. Kapasitasnya 75.000-80.000 ton. Namun, hal tersebut dinilai masih kurang, dan Indonesia membutuhkan cold storage yang memadai. Lihat Naomi Siagian, "Indonesia Kekurangan "Cold storage"," http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storage- diakses pada 3 Oktober 2014. Selain itu, berdasarkan data dari Asosiasi Pengusaha Ikan Kaleng Indonesia (APIKI), Indonesia hanya memiliki 30% dari cold storage yang dimiliki oleh Thailand. Lihat Fauzul Muna, "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold storage di Tanah Air Hanya 30% dari Thailand," http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-tanah-air-hanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.

46 Indonesia (3), Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No. 45 Tahun 2009, LN No. 154 Tahun 2009, TLN No. 5073, Pasal. 41 ayat (3).

47 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014.

48 Ibid., Pasal 25B ayat (2).

Page 105: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

97

kenyataannya masyarakat Indonesia tidak gemar makan ikan. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan bahwa ikan ditangkap untuk kemudian diekspor atau dijual ke luar negeri.49 Kebijakan ekspor ini dibarengi dengan kebutuhan untuk menjual ikan segar ke pasar ikan dunia inilah yang kemudian yang menjadi salah satu faktor yang dapat memicu transhipment. Dengan begitu, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya dewasa ini transhipment telah menjadi suatu kebutuhan dan juga menjadi solusi bisnis.

3. Kesimpulan

Indonesia memliki potensi yang sangat besar dalam hal industri perikanan, di mana berdasarkan data dari SEAFDEC Indonesia menempati peringkat pertama dalam hal produksi perikanan di Asia Tenggara. Berbagai macam peraturan dan kebijakan dikeluarkan untuk lebih meningkatkan produksi perikanan Indonesia, tetapi ternyata kebijakan-kebijakan yang ada belum dapat mengatasi permasalahan transhipment, yaitu pemindahan ikan hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013. Namun ternyata, revisi tersebut masih membuka celah adanya alih muatan di laut melalui Pasal 37 ayat (7) dan (8) serta Pasal 37A, 37B dan 37C, yang mengatur persyaratan usaha pengangkutan ikan dengan pola kemitraan.

Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemen-elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu, maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun akan terancam.

Dalam praktiknya, transhipment justru menjadi suatu kebutuhan karena produk perikanan akan bernilai jual tinggi apabila dijual dalam keadaan segar, sedangkan pendaratan ikan terlebih dahulu di pelabuhan perikanan akan memakan waktu dan ikan menjadi tidak segar. Selain itu, kurangnya keterbatasan cold storage yang baik dan memadai di Indonesia juga memicu dilakukannya praktik transhipment yang umumnya dilaksanakan di perairan perbatasan. Selain itu, terdapat pula perbedaan keadaan dengan apa yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dengan praktiknya, yang juga dapat membuka celah transhipment.

4. Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan oleh Penulis, di antaranya:

a. Merevisi peraturan perundang-undangan mengenai perikanan tangkap atau penangkapan ikan yang berlaku, sehingga tidak terdapat lagi celah untuk dilakukannya transhipment;

b. Pembentukan pengaturan mengenai cara pengukuran atau pencatatan jumlah ikan yang ditangkap, sehingga statistik perikanan tidak akan menjadi bias;

49 Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo, Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas

Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan, Depok, 22 Agustus 2014. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah ekspor perikanan Indonesia pada tahun 2012 adalah sebesar USD 3,85 juta. Lihat Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Nilai Ekspor Hasil Perikanan,” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.

Page 106: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

98

c. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan dan penguatan sistem dan koordinasi antarpihak di tingkat lokal, nasional maupun internasional; serta melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia, khususnya di daerah perbatasan;

d. Pengembangan kerjasama internasional, khususnya dalam hal hubungan bilateral, untuk meningkatkan promosi dan pemanfaatan sumberdaya ikan Indonesia, serta menjalin kerja sama statistik perikanan dengan negara lain untuk ikan-ikan yang ditangkap di Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Dengan begitu, maka ikan yang ditangkap maupun yang dialihmuatkan dapat didata dengan benar; dan

e. Pelestarian sumberdaya ikan dan penanggulangan transhipment dalam rangka menjalankan pembangunan berkelanjutan bagi bangsa Indonesia.

Page 107: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

99

Daftar Pustaka

Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960. TLN Nomor 2043.

________. Undang-Undang tentang Perikanan. UU No. 31 Tahun 2004. LN No. 118 Tahun 2004. TLN No. 4433.

________. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. UU No. 45 Tahun 2009. LN No. 154 Tahun 2009. TLN No. 5073.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP Nomor 30/PERMEN-KP/2012.

______________________________. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/PERMEN-KP/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permen KKP Nomor 26/PERMEN-KP/2013.

______________________________. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing. Kepmen KKP Nomor 50 Tahun 2012.

Ariadno, Melda Kamil. 2007. Hukum Internasional Hukum yang Hidup. Jakarta: Diadit Media.

Beder, Sharon. 2006. Environmental Principles and Policies: An Interdiciplinary Introduction. Oxford: Earthscan.

Brenton, T. 1994. The Greening of Machiavelli: the Evolution of International Environmental Politics. London: Earthscan.

Harsono, Boedi. 2013. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti.

Priambodo, Bono Budi. 2013. Ikan untuk Nelayan. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sands, Philippe. 1995. Principles of International Environmental Law: Vol. 1, Frameworks, Standards, and Implementation. Manchester: Manchester University Press.

Southeast Asian Fisheries Development Center. 2013. Fishery Statistikal Bulletin of Southeast Asia 2011. Bangkok: Southeast Asian Fisheries Development Center.

Winter, Gerd (Ed). 2009. Toward Sustainable Fisheries Law. A Comparative Analysis. Switzerland: IUCN.

Muhamad, Simela Victor. “Kejahatan Transnasional Illegal fishing di Perairan Indonesia dan Upaya Penanganannya Secara Regional di Asia Tenggara.” Dalam Laporan Hasil Penelitian Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Masalah-Masalah Hubungan Internasional pada Tahun 2011.

Wibisana, Andri G. "Pembangunan Berkelanjutan: Status Hukum dan Pemaknaannya." Jurnal Hukum dan Pembangunan. Volume 43. Nomor 1. Januari 2013. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Administrator. “KNTI Tolak Izin Transhipment Kapal 1000 GT.”" http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/13/03/13/mjla4u-knti-tolak-izin-transhipment-kapal-1000-gt diakses pada 22 Agustus 2014.

Hida, Ramdhania El. “Konsumsi Ikan Orang Indonesia Hanya Seperlima Jepang.” http://finance.detik.com/read/2011/08/24/165017/1710441/4/konsumsi-ikan-orang-indonesia-hanya-seperlima-jepang diakses pada 27 Agustus 2014.

Page 108: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

SAVITRI NUR SETYORINI

100

Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Nilai Ekspor Hasil Perikanan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/5/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.

_________________________________________. “Angka Konsumsi Ikan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/4/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.

__________________________________________. “Volume Produksi Perikanan.” http://statistik.kkp.go.id/index.php/dashboard/c/3/?iframe=true&width=100%&height=95% diakses pada 27 Agustus 2014.

Mukhtar. “Kerugian Negara di Perairan Laut Aru dan Laut Arafura.” http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10347/Kerugian-Negara-di-Perairan-Laut-Aru-dan-Laut-Arafura/?category_id=91 diakses pada 22 Agustus 2014.

Muna, Fauzul. "INDUSTRIALISASI PERIKANAN: Cold storage di Tanah Air Hanya 30% dari Thailand," http://m.bisnis.com/industri/read/20140715/99/243295/industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-tanah-air-hanya-30-dari-thailand diakses pada 3 Oktober 2014.

Prasetyo, Sulung. “Pencurian Ikan Meningkat Drastis.” http://www.kiara.or.id/pencurian-ikan-meningkat-drastis/ diakses pada 22 Agustus 2014.

Satria, Dias. “Antara Tuna Port Lincoln dan Tamperan.” http://www.diassatria.lecture.ub.ac.id/2012/ diakses pada 28 Agustus 2014.

Siagian, Naomi. "Indonesia Kekurangan "Cold storage"." http://sinarharapan.co/news/read/140823141/indonesia-kekurangan-cold-storage- diakses pada 3 Oktober 2014.

Simanjuntak, Ranap. "Cold Storage: Hangatnya Proyek Pendingin." http://m.sindoweekly-magz.com/artikel/11/i/17-23-mei-2012/business/22/hangatnya-proyek-pendinginn diakses pada 3 Oktober 2014.

Subekti, Sabar. "Pencurian Ikan Masih Marak di Lautan Indonesia." http://www.satuharapan.com/read-detail/read/pencurian-ikan-masih-marak-di-lautan-indonesia diakses pada 3 Oktober 2014.

Wawancara lisan dengan Bono Budi Priambodo. Pengajar Matakuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Penulis Buku Ikan untuk Nelayan. Depok, 22 Agustus 2014.

Page 109: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

GUGATAN WARGA NEGARA

(STUDI KASUS: GERAKAN SAMARINDA MENGGUGAT)

Rizkita Alamanda1

Abstrak

Perubahan iklim bukan lagi menjadi sebuah omong kosong, kenyataan bahwa bumi

semakin panas dan ancaman atas dampak perubahan iklim telah menjadi nyata.

Pergeseran musim mengakibatkan kegagalan dalam bercocok tanam, kenaikan

permukaan air laut mengancam keberadaan negara-negara kepulauan kecil. Banjir dan

kekeringan adalah sebagian kecil dari dampak perubahan iklim yang telah nyata

dirasakan. Bumi semakin panas, para ahli dalam Laporan IPCC WG I AR 5 semakin

yakin bahwa penyebab perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia. Pertanyaan

yang kemudian muncul adalah siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan dan

kerugian yang diderita akibat dampak perubahan iklim? Di Indonesia, Gugatan Warga

Negara menjadi salah satu bentuk litigasi yang menjadi alternatif penyelesaian dampak

perubahan iklim yang dirasakan oleh masyarakat.

Kata kunci: perubahan iklim, gugatan warga Negara, litigasi perubahan iklim, tanggung

jawab perubahan iklim.

Abstract

Climate change is not longer became an issue, we are facing the fact that earth is getting warmer

and the impact of climate change is become real. The season changed, and affected the crops failure.

The raising sea level threatening the existence of small islands. Flood and drought are simply the

several impact of climate change that has been perceived. Earth is getting warmer, the IPCC Fifth

Assessment Report of Working Group I ensure the main cause of climate change is from

anthropogenic activities. The question that arose later is who will be responsible for any damage of

the climate change impact? Citizen Law Suit in Indonesia has become one of litigation form that

can be an alternative solution of climate change impacts in civil society.

Keywords: climate change, citizen lawsuit, climate change litigation

1 Asisten Peneliti pada Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).

Page 110: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

102

1. Pendahuluan: Perubahan Iklim

Iklim secara global merupakan ikatan yang tidak terpisahkan dengan atmosfer,

samudra, daratan, serta ekosistem hewan dan tumbuhan.2 Dalam terminologi iklim

sering kali didefinisikan sebagai ringkasan teratur daratan, atmosfer, dan system air dari

waktu ke waktu.3 Untuk memahami perubahan iklim, penting untuk dapat membedakan

antara „iklim‟ dan „cuaca‟.4 Cuaca merupakan keadaan fluktuatif atmosfer di sekitar kita

yang terindikasi oleh suhu, angin, awan, presipitasi, sedangkan iklim mengacu pada

rata-rata cuaca dan variabilitasnya selama rentang waktu tertentu di daerah tertentu.5

Oleh karena itu perubahan cuaca yang ekstrem atau perubahan pola cuaca akan

mengindikasikan perubahan pada sistem iklim.6 Sistem tersebut begitu dinamis dan

berubah secara substansial dalam sejarah bumi. Perubahan-perubahan tersebut dikenal

sebagai „variabilitas iklim‟ yang mengacu pada viarisi dan statistik iklim lainnya pada

skala ruang dan waktu. Variasi dapat terjadi secara alami, karena manusia (anthropogenic)

maupun karena “paksaan”.7 UNFCCC mendefinisikan perubahan iklim sebagai sebuah

perubahan iklim yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas

manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga mengubah variasi iklim

alami dalam komparasi periode waktu.8 IPCC cenderung menggunakan “variasi iklim”

sebagai perubahan iklim alami yang mengindikasikan adanya perubahan-perubahan

yang dapat diprediksi, sedangkan “perubahan iklim” dikonotasikan perubahan dengan

adanya campur tangan manusia.9 Saat ini, para ahli dengan tingkat keyakinan 95-100%,

meyakini perubahan iklim yang terjadi sejak tahun 1950-an di dominasi oleh aktivitas

manusia.10 Keyakinan ini meningkat dari laporan IPCC di tahun 2007 (90-95%) dan

meningkat drastis dari laporan IPCC tahun 2001. Hal ini menunjukkan bahwa

perdebatan di antara ahli apakah perubahan iklim nyata atau tidak, hampir tidak ada

lagi.

Benarkah perubahan iklim adalah akibat ulah manusia? Iklim sangat

dipengaruhi oleh energi dari matahari dalam bentuk radiasi panas matahari, sepertiga

dari energi ini diserap oleh atmosfer, daratan, lautan, dan biosfer, sisanya akan

dipantulkan kembali ke ruang angkasa. Gas rumah kaca yang alami, yang terdiri dari

uap air, CO2, N2O, CH4, O3, dan CFC8 adalah selimut yang secara efektif menghalagi

radiasi panas matahari untuk terpantul keluar, persis seperti efek dari rumah kaca.

Tanpa gas-gas ini bumi akan 34o C lebih dingin dari saat ini, yang mana bumi akan

berupa “tanah beku”. Gas rumah kaca meningkat kadarnya di atmosfer yang

mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Selama lebih dari 150 tahun era industri, aktivitas

2 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State

Responsibility, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hlm. 12 3Ibid., hlm. 12 4Ibid., hlm. 12 5 IPCC Third Assessment Report, Working Group I,(2007), hlm. 87. 6 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law, hlm. 12 7Ibid., hlm. 12. 8 UNFCCC, lihat juga,”The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) defines climate

change as a variation in “either the mean state of the climate or in its variability, persisting for an extended period, typically decades or longer”.

9 Roda Verheyen, Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State Responsibility, hlm.

10 IPCC, Summary for Policymakers, Fifth Assessment Report, (2014), hlm. 5.

Page 111: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

RIZKITA ALAMANDA

103

manusia telah meningkatkan emisi dari tiga jenis gas rumah kaca utama, yaitu

CO2(karbondioksida) yang meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil yang kita

bakar untuk penggunaan transportasi, produksi energi, pemanasan dan pendinginan

bangunan, deforestasi (penebangan hutan) juga menyebabkan terlepasnya CO2 ke

atmosfer dan mengurangi penyerapan CO2 oleh tanaman.11 CH4(metana) meningkat

lebih dari dua kali lipat sebagai hasil aktivitas manusia terkait dengan pertanian,

distribusi gas alam dan pembuangan sampah.12N20 (nitro oksida) juga diemisikan dari

kegiatan manusia seperti penggunaan pupuk dan pembakaran bahan bakar fosil.13

Dalam Laporan IPCC WG I ke-5 disebutkan dalam salah satu temuannya adalah

tiga dekade terakhir (80s, 90s, 2000s,) menjadi dekade yang lebih panas sejak 1850,

dibandingkan dengan dekade-dekade sebelumnya.14 Periode pada rentang 1983-2012

sangat mungkin menjadi periode 30 tahun terpanas dalam kurun waktu 800 tahun dan

mungkin sebagai periode terpanas dalam kurun waktu 1400 tahun.15 Sejak 1950, atmosfer

maupun laut memanas, keberadaan dan volume salju serta luasan es berkurang drastis,

juga permukaan air laut yang mengalami kenaikan.16

Hal ini menunjukkan bahwa ada yang menyebabkan kenaikan kadar gas rumah

kaca di atmosfer. Bila secara alami gas rumah kaca dapat memberikan suhu pada bumi

sehingga dapat ditinggali, kenaikan gas rumah kaca akan berdampak pada

meningkatnya suhu bumi yang berdampak buruk bagi kehidupan di bumi. Gas rumah

kaca dapat dihasilkan oleh kegiatan manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil,

pembukaan hutan, pemupukan tanaman, pemeliharaan hewan ternak, hingga

memproduksi barang-barang hasil industri.17

2. Gugatan Warga Negara

Dampak perubahan iklim telah dirasakan seluruh dunia, tidak terkecuali

Indonesia. Indonesia memiliki jaminan konstitusi lingkungan hidup yang baik dan sehat

bagi warga Negara Indonesia. Hal tersebut termaksud dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28H

ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”.18 Pembahasan hak lingkungan hidup menjadi salah satu bagian

dari HAM bukan merupakan suatu perdebatan. Hal tersebut telah menjadi bagian dari

perkembangan HAM internasional. Selain jaminan konstitusional dalam UUD 1945, UU

No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) menjadi salah satu dasar hukum bagi warga Negara Indonesia untuk

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Pasal 65 ayat (1) UUPPLH: “Setiap

11http://id.climate4classrooms.org/content/bagaimana-efek-rumah-kaca-berubah, diakses

pada 10 Desember 2014. 12 Ibid. 13 Ibid. 14IPCC, Summary for Policymakers, Fifth Assessment Report, (2014), hlm. 5. 15 Ibid. 16 Ibid. 17 US EPA, Science: Climate

Change,http://www.epa.gov/climatechange/science/overview.html, diakses pada 10 Desember 2014. 18 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H

Page 112: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

104

orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi

manusia”.19

Gugatan Warga Negara atau Citizen Lawsuit merupakan klaim atau tuntutan atau

kehendak dari masyarakat terorganisir menyangkut kepentingan umum yang dilanggar

oleh siapapun, atas pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan kontrol yang bersifat

fundamental dari warga negara melalui mekanisme Citizen Lawsuit.20 Karakteristik dari

Citizen Lawsuit antara lain:21

1. Citizen Lawsuit merupakan akses orang-perorangan atau warga negara untuk

mengajukan gugatan di Pengadilan untuk dan atas nama kepentingan

keseluruhan warga negara atau kepentingan public;

2. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari

kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau

pembiaran dari Negara atau otoritas Negara;

3. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat

Negara atau institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-

undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya

dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;

4. Orang-perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam Citizen

Lawsuit tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat rill

dan tangible;

5. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap tuntutan ganti rugi

kerugian jika diajukan dalam gugatan Citizen Lawsuit.

Gugatan Warga Negara merupakan salah satu terobosan dalam dunia hukum di

Indonesia. Hal ini dikarenakan mekanisme Gugatan Warga Negara tidak dikenal dalam

sistem peradilan di Indonesia. Namun, belakangan hak gugat warga negara banyak

digunakan sebagai salah satu upaya untuk membela kepentingan umum, sebagaimana

dalam Putusan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat dalam Perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tentang Pelanggaran Hak Asasi

Manusia yang terjadi pada 200.000 Buruh Migran Indonesia yang dideportasi dari

Malaysia ke Nunukan, yang diputus tanggal 8 Desember 2003. Dalam pertimbangannya

Majelis Hakim mengakui adanya mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit),

sebagai berikut: “…setiap warga Negara tanpa kecuali mempunyai hak membela

kepentingan umum (on behalf of the public interest) dapat menggugat Negara atau

pemerintah atau siapapun yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang

nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas (pro bono publico), hal

ini pun sesuai dengan hak asasi manusia mengenai acces to justice yaitu akses untuk

mendapatkan keadilan apabila Negara diam atau tidak melakukan tindakan apapun

19 Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, LN, TLN, Pasal 65 ayat (1). 20 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya

di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002), hlm. 15. 21 Indro Sugiarto, “Kasus Nunukan: Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap

Negara, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Ed. 2, (Jakarta: Lembaga Independensi Peradilan, 2004), hlm. 35.

Page 113: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

RIZKITA ALAMANDA

105

untuk kepentingan warga negaranya”.22 Selain yurisprudensi hak gugat warga Negara

yang diterima oleh pengadilan, dasar hukum diakuinya Gugatan Warga Negara adalah

berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan

Hidup, pada Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan, Gugatan Warga

Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) menjadi salah satu hak gugat yang diakui.23

3. Gugatan Warga Negara terhadap Dampak Perubahan Iklim yang diperparah oleh

Banyaknya Aktivitas Tambang : Komari cs V. Walikota Samarinda cs

Sebagaimana diketahui bersama, dampak perubahan iklim juga dirasakan oleh

Indonesia, seperti yang dialami oleh warga Samarinda, dengan banyaknya kejadian

serupa dengan indikator dampak perubahan iklim seperti berubahnya pola curah hujan,

cuaca ekstrem, banjir, dan kekeringan. Berdasarkan Trend Suhu Udara Rata-Rata yang

dikeluarkan oleh BMKG Samarinda tahun 1982-2012, dalam kurun waktu 30 tahun suhu

udara rata-rata Samarinda meningkat hingga 1ºC (26,5ºC-27,5ºC).24 Sama halnya dengan

Trend Hari Hujan dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Curah hujan yang

meningkat dan tidak menentu mengakibatkan Samarinda dilanda banjir dan terhitung

sejak awal Januari hinga Maret, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Samarinda menetapkan status siaga 2 bencana untuk wilayah Samarinda, mengingat

kondisi cuaca yang tidak menentu di wilayah Samarinda sejak awal Januari hingga akhir

Maret 2013.25 Banjir yang melanda Samarinda menggenangi beberapa titik rawan banjir

antara lain jalan-jalan utama yang menjadi akses transportasi dengan ketinggian

mencapai lutut orang dewasa.26 Banjir dan kekeringan menjadi bencana yang rutin

dirasakan oleh warga Samarinda, selain itu pembukaan operasi tambang memperparah

kerentanan warga Samarinda terhadap dampak perubahan iklim.

Samarinda merupakan ibu kota dari Kalimantan Timur yang 70% wilayahnya

adalah wilayah Izin Usaha Pertambangan.27 Dengan adanya operasi pertambangan batu

bara di lebih dari separuh wilayah Samarinda, warga Samarinda merasakan berbagai

dampak terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Pembukaan tambang batu bara

sangat mempengaruhi kerusakan lingkungan, karena pembukaan tambang batu bara

akan membuka lapisan permukaan dan dalam tanah yang akan meningkatkan hilangnya

humus, erosi, dan mengakibatkan sedimentasi berlebihan sehingga meningkatkan

peluang banjir. Pembukaan tambang batu bara juga berakibat pada pencemaran air dan

22Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,

dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 7. 23 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Nomor:36/KMA/SK/II/2013. 24 Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, Trend Suhu Udara Rata-Rata

StaMet Temindung Samarinda Tahun 1982-2012. 25 Tribun Kaltim,”Samarinda Status Siaga II Bencana”,

http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/28/samarinda-status-siaga-ii-bencana 26 Tribun Kaltim, “Samarinda Kembali Banjir”,

http://m.tribunnews.com/2012/08/28/samarinda-kembali-banjir 27 Energy Today, “Jatam Kaltim: Tambang Batubara Kurangi Ruang Hidup Warga”,

http://energitoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-warga/

Page 114: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

106

udara yang berdampak pada kesehatan masyarakat.28 Selain itu pembukaan tambang

batu bara juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menjadi simpanan baru emisi

gas rumah kaca di atmosfer, yang menjadi tabungan bagi penyebab perubahan iklim

dimasa akan datang. Hal ini karena pertambangan batubara merupakan salah satu

sumber terbesar emisi metana ditambah dengan adanya akitivitas land clearing yang

dilakukan sebelum kegiatan pertambangan batubara dimulai, yang mengakibatkan

lepasnya emisi CO2 ke atmosfer.29 Warga Samarinda telah berjuang untuk beradaptasi

dengan perubahan iklim yang sedang terjadi dan keadaan mereka diperparah dengan

adanya pembukaan tambang yang massive di wilayah mereka. Segala upaya telah

mereka lakukan namun, tidak ada perubahan yang mereka dapatkan, kekecewaan

terhadap pemerintah justru semakin besar, hingga akhirnya warga berkumpul dan

sepakat untuk membuat gerakan masyarakat, Gerakan Samarinda Menggugat (GSM).30

Warga Samarinda melakukan Gugatan Warga Negara kepada pemerintah untuk

pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tidak lagi dapat

dirasakan dengan adanya dampak perubahan iklim yang diperparah dengan pembukaan

tambang yang berlebihan di Samarinda.

Adanya hak konstitusional yang dimiliki warga Samarinda untuk mendapatkan

lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan UUPPLH,

menjadi dasar hukum bagi warga Samarinda untuk mengajukan gugatan. Dengan

mekanisme Gugatan Warga Negara, 19 (sembilan belas) warga Samarinda yang

tergabung dalam GSM mengajukan gugatan terhadap Walikota Samarinda, Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Provinsi Kalimantan Timur,

Kementerian Lingkungan Hidup, dan DPRD Kota Samarinda. Warga Samarinda

menggugat Pemerintah RI atas kelalaiannya dan tidak dipenuhinya kewajiban mereka

dalam memberikan lingkungan yang baik dan sehat, yang dalam hal ini terkait dengan

meningkatnya kerentanan Warga Samarinda dalam mengahadapi perubahan iklim

dikarenakan banyaknya Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi di wilayah

Samarinda. Karena hal tersebut warga Samarinda mengalami bencana banjir dan

kekeringan sekaligus, serta menurunnya tingkat kesehatan warga Samarinda. Tiga belas

tuntutan diajukan warga Samarinda terhadap pemerintah yang diantaranya adalah

segera untuk melakukan evaluasi terhadap izin-izin pertambangan yang telah

dikeluarkan, pengawasan atas reklamasi pasca tambang, hingga pengembangan model

adaptasi perubahan iklim bagi warga Samarinda. Gugatan yang diperiksa dan diadili

oleh Pengadilan Negeri Samarinda tersebut diputus oleh Majelis Hakim dengan

mengabulkan sebagian gugatan warga Samarinda, yaitu menyatakan para tergugat lalai

dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan

sehat yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum bagi warga negara, khususnya

warga kota Samarinda, menghukum para tergugat untuk mengatur kembali suatu

kebijakan umum mengenai pertambangan batu bara yang meliputi: evaluasi terhadap

seluruh izin pertambangan batu bara yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha

untuk meralisasikan reklamasi dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup,

28Ibid. 29Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,

dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 26. 30Mongabay, “Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga”

Negara,http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-serukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/ , diakses pada 10 Desember 2014, 5:26 WIB.

Page 115: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

RIZKITA ALAMANDA

107

melakukan upaya strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan

masyarakat dari pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara. Selain itu

dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim

telah terjadi di seluruh dunia tidak terkecuali di Samarinda, yang ditandai dengan

perubahan intensitas curah hujan, sehingga menyebabkan banjir di wilayah Samarinda

serta menurunnya kualitas hidup warga Samarinda karena tempat tinggal yang berdebu,

panas dan sulit mendapatkan air bersih akibat aktivitas tambang.31

Gugatan Warga Negara terhadap dampak perubahan iklim yang diperparah

dengan adanya aktivitas pertambangan batubara yang diajukan oleh warga Samarinda

menjadi salah satu tonggak baru dalam terobosan hukum. Putusan No

55/Pdt.G/2013/PN.Smda, memperlihatkan bahwa Gugatan Warga Negara telah diakui

dalam sistem peradilan di Indonesia dan memberikan perhatian khusus terhadap isu

perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim merupakan isu global yang dampaknya

dirasakan oleh seluruh penjuru dunia, namun dalam hal ini negara tetap bertanggung

jawab untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk warga

negaranya. Dalam kasus ini, hal tersebut tercermin dalam upaya pemerintah untuk dapat

mengontrol serta mengawasi izin-izin pertambangan yang ada di wilayah Samarinda,

karena dengan banyaknya aktivitas pertambangan di Samarinda telah menambah

kerentanan warga Samarinda dalam menghadapi perubahan iklim, seperti meningkatnya

frekuensi banjir, cuaca ekstrem, kekeringan, pencemaran air hingga gangguan kesehatan

seperti ISPA. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim telah menilai adanya kelalaian

pemerintah dalam melaksanakan kewajibannya. Majelis Hakim pun dalam

pertimbangannya sudah mengakui bahwa perubahan iklim telah terjadi di seluruh

dunia, termasuk Indonesia, dan pertambangan batubara dapat menyebabkan terjadinya

perubahan ilim, meskipun tidak menjamin pertambangan batubara di Samarinda

menjadi penyebab perubahan iklim di dunia. Namun, pada kenyataannya intensitas

hujan bertambah di wilayah Samarinda dan kekeringan melanda, selain itu akibat

pertambangan batubara lingkungan hidup tempat tinggal warga menjadi berdebu,

panas, dan sulit mendapatkan air bersih. Hanya saja dalam putusannya Majelis Hakim

tidak mengabulkan petitum warga terkait model adaptasi perubahan iklim di Samarinda,

namun hanya fokus pada pelaksanaan kewajiban pemerintah yang tidak dilaksanakan

serta perlunya pengaturan kembali atas pertambangan batubara. Meskipun demikian hal

ini tetap perlu diapresiasi, karena sudah adanya keberpihakan Majelis Hakim terhadap

isu-isu lingkungan hidup.

4. Kesimpulan

Berbagai macam cara dilakukan dalam menghadapi isu perubahan iklim. Lebih

dulu dikenal upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kedua upaya tersebut

membutuhkan peranan aktif dari pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam

membentuk kebijakan. Dalam hal mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh peranan

lembaga eksekutif maupun legislatif, upaya litigasi perubahan iklim hadir. Di Indonesia,

adanya hak konstitusional untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi

31Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara Komari,

dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 134.

Page 116: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

108

dasar hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim. Sebagaimana upaya

yang dilakukan oleh warga Samarinda yang mengajukan gugatan terhadap Negara

melalui pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) atas

dampak perubahan iklim yang diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang

batubara. Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta meningkatnya kepedulian

masyarakat terhadap permasalahan perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai

sebagai sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-upaya lokal yang

mendukung upaya global dalam menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui

terobosan hukum litigasi perubahan iklim.

Meskipun tidak serupa, namun di Negara lain pun berkembang upaya litigasi

perubahan iklim yang berdasarkan atas tanggung jawab Negara dan pelanggaran

kewajiban internasional, seperti kasus Tuvalu v. United States of America and

Australia.32 Tuvalu adalah negara pulau kecil yang terletak di Samudra Pasifik

menggugat Amerika Serikat dan Australia ke International Court of Justice (ICJ) atas

kontribusi negara-negara tersebut pada perubahan iklim.33 Kedua Negara tersebut

dianggap oleh Tuvalu bertanggung jawab atas kegagalan mereka dalam menstabilkan

emisi gas rumah kaca yang diwajibkan dalam (FCCC). Perubahan iklim telah

menyebabkan melelehnya es yang berakibat pada naiknya permukaan air laut.

Fenomena kenaikan permukaan air laut telah mengancam Tuvalu sebagai negara pulau

yang kecil dengan rata-rata elevasi adalah dua meter di atas permukaan air laut.34

Terlepas dari hal apapun, terobosan hukum yang dilakukan dalam Gugatan

Warga Negara terhadap dampak perubahan iklim yang diperparah dengan adanya

pembukaan pertambangan batubara perlu mendapat apresiasi, terlihat bahwa

masyarakat telah memperhatikan lingkungan hidupnya yang semakin tidak layak karena

dampak perubahan iklim dan pembukaan tambang batubara, serta adanya keberpihakan

majelis hakim terhadap isu lingkungan hidup.

32 Michael F. Faure dan Andre Nolkaemper, Analyses of Issues to be Addressed Climate Change

Litigation Cases, (Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007), hlm. 33. 33 Ibid., hlm. 33. 34 Ibid., hlm. 34.

Page 117: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

RIZKITA ALAMANDA

109

Daftar Pustaka

Badan Meteorologi dan Klimatologi, dan Geofisika Samarinda, Trend Suhu Udara Rata-

Rata StaMet Temindung Samarinda Tahun 1982-2012.

Energy Today, “Jatam Kaltim: Tambang Batubara Kurangi Ruang Hidup Warga”,

http://energitoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-

warga/

Faure, Michael F. dan Andre Nolkaemper. Analyses of Issues to be Addressed Climate Change

Litigation Cases.(Amsterdam: Amsterdam International Law Clinic, 2007).

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

________. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Intergovernmental Panel on Climate Chage. Summary for Policymakers. Fifth

Assessment Report. (2014).

Intergovernmental Panel on Climate Change. Third Assessment Report. Working Group

I. (2007).

International Law Commission, Draft Articles on State Responsibility for Internationally

Wrongful Act.

Kompas, “Pria Kiribati Cari Status Pengungsi Korban Perubahan Iklim”, (Kamis, 17

Oktober 2013, 17:36 WIB),

http://internasional.kompas.com/read/2013/10/17/1736126/

Pria.Kiribati.Cari.Status.Pengungsi.Korban.Perubahan.Iklim

Litigation: Symposium Introduction”. Law & Policy University of Denver. (July, 2013).

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Keputusan Ketua Mahkamah Agung

Nomor:36/KMA/SK/II/2013.

Mongabay, “Kala Warga Samarinda Serukan Stop Tambang Lewat Hak Gugat Warga”

Negara, http://www.mongabay.co.id/2014/07/14/kala-warga-samarinda-

serukan-stop-tambang-lewat-hak-gugat-kepada-pemerintah/

Pengadilan Negeri Kota Samarinda, Putusan No.55/Pdt.G/2013/PN.Smda, Perkara antara

Komari, dkk (penggugat) melawan Walikota Samarida, dkk (tergugat), 23 Juli 2014.

Statute of the International Court of Justice.

Sugiarto, Indro. “Kasus Nunukan: Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit) Terhadap

Negara, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum, Ed. 2. (Jakarta: Lembaga

Independensi Peradilan, 2004).

Sundari, E. Pengajuan Gugatan Secara Class Action: Suatu Studi Perbandingan dan

Penerapannya di Indonesia. (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2002).

Tribun Kaltim, “Samarinda Kembali Banjir”, Selasa, 28 Agustus 2012, 19:22 WIB,

http://m.tribunnews.com/2012/08/28/samarinda-kembali-banjir

Tribun Kaltim,”Samarinda Status Siaga II Bencana”, Kamis, 28 Februari 2013, 17.43 WIB,

http://kaltim.tribunnews.com/2013/02/28/samarinda-status-siaga-ii-bencana

Page 118: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

110

United Nations Framework Convention on Climate Change.

US EPA, Science: Climate Change,

http://www.epa.gov/climatechange/science/overview.html

Verheyen, Roda. Climate Change Damage and International Law: Prevention Duties and State

Responsibility. (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2005).

Page 119: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

"Menyongsong Perlindungan Lingkungan Hidup Lebih Baik: 17

Pekerjaan Rumah Pemerintahan Jokowi-JK"

Indonesian Center for Environmental Law ( ICEL )

Jakarta, 23 Desember 2014

Tahun 2014 adalah tahun transisi. Transisi dua periode kepemimpinan

Pemerintahan SBYdengan Kabinet Indonesia Bersatu-nyakepada Pemerintahan

Jokowi-JK dengan Kabinet Kerja yang beberapa bulan lalu dilantik. Sebagai

tahun transisi, tahun ini menunjukkan dinamika yang cukup menarik untuk

dicermati. Secara politik, Pemerintahan Jokowi-JK yang dianggap "antithesis"

dari pemerintahan sebelumnya karena lahir dari poros oposisi dianggap telah

memberikan harapan baru bagi perubahan masa depan Indonesia, termasuk

dalam isu perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Mungkin terlalu dini untuk menilai jalannya pemerintahan baru ini.

Namun saat ini adalah saat yang menentukan bagi pemerintah baru untuk

mengambil langkah-langkah yang tepat,yang menentukan langkah selanjutnya

untuk mencapai apa yang telah dijanjikannya selama masa kampanye. Selain

itu, meskipun pemerintahan baru saat ini menasbihkan dirinya sebagai

"antithesis" pemerintahan sebelumnya, tentu tidak lepas dari apa yang telah

terjadi dan dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya. Implikasinya,

Pemerintahan Jokowi-JK harus bersungguh-sungguh keluar sebagai korektor

sekaligus implementor dari langkah-langkah dan kinerja pemerintahan

sebelumnya.Oleh karena itu, sangat tepat jika Jokowi-JK menamakan

kabinetnya sebagai Kabinet Kerja.Hanya saja hal ini harus serius dibuktikan

mengingat tidaklah ringan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh

pemerintahan kali ini ditengah harapan publik yang besar.

Berangkat dari pemikiran tersebut, catatan akhir tahun ini akan

menyoroti tentang langkah-langkah atau kinerja pemerintah sebelumnya,

langkah-langkah perdana dari pemerintah baru, dan rekomendasi untuk

menyongsong perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih

baik sebagai pekerjaan rumah dari Pemerintahan Jokowi-JK bersama Kabinet

Kerja-nya. Catatan akhir tahun ini akan menyoroti empatisu utama, yaitu : (1)

tata kelola; (2) legislasi dan regulasi; (3) kelembagaan; dan (4) penegakan

hukum.

Page 120: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

112

[1]

Tata Kelola LH dan SDA yang Lemah

Jalan masih panjang mewujudkan keterbukaan informasi.Undang-

undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

telah disahkan 6 tahun yang lalu, tetapi pelaksanaannya berjalan sangat lambat.

Data Ditjen IKP-Kominfo, 1 Juli 2014 menunjukkan bahwa badan publik di

seluruh Indonesia yang telah membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi (PPID) baru sekitar 47,98%. Rincian sebagai berikut:

No Badan Publik Jumlah Telah Menunjuk

PPID Persentase

1. Kementerian 34 34 100,00

2. LPNK/LNS/LPP 129 41 31,78

3. Provinsi 34 30 88,24

4. Kabupaten 399 168 42,11

5. Kota 98 60 61,22

TOTAL 694 333 47,98

Data di atas belum termasuk badan publik non-negara (LSM, parpol,

dll).Selain itu, data rekapitulasi di atas masih sebatas mandat pembentukan

PPIDdan belum memasukkan mandat penyusunan standar operasional

prosedur (SOP) pengelolaan dan pelayanan informasi, penyusunan daftar

informasi, laporan pelaksanaan UU KIP, dll. Apabila keseluruhan mandat ini

diakumulasikan, maka dapat dipastikan tingkat ketaatan badan publik dalam

melaksanaan UU KIP akan jauh lebih rendah dari tingkat ketaatan untuk

membentuk PPID saja. Selain itu, masih terdapat delapan provinsi1 yang belum

memiliki Komisi Informasi Provinsi (KI Provinsi), padahal UU KIP secara tegas

memandatkan KI Provinsi harus sudah dibentuk paling lambat dua tahun sejak

UU KIP diundangkan. Belum dibentuknya KI Provinsi di delapan provinsi ini

1Delapan provinsi yang belum memiliki KI Provinsi adalah: Provinsi Nusa Tenggara

Timur, Provinsi Kalimantan Utara, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat. Sebagai catatan, Provinsi Kalimantan Barat telah memilih 5 (lima) calon anggota KI Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan fit and proper test oleh DPRD Kalimantan Barat yang ditetapkan pada 21 Agustus 2014, tetapi hingga saat Desember 2014, calon anggota terpilih belum juga dilantik, sehingga belum dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya.

Page 121: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

113

berdampak pada lambatnya pelaksanaan keterbukaan informasi di delapan

provinsi tersebut.

Keterbukaan informasi terancam oleh UU Ormas dan RUU Rahasia

Negara. Belum juga UU KIP dilaksanakan dengan serius, ternyata ancaman

terhadap keterbukaan informasi justru muncul dari agenda legislasi yang

kontraproduktif dalam pelaksanaan UU KIP. Sejakdisahkan pada 22 Juli 2013,

UU Ormas secara nyata membatasi hak masyarakat atas informasi, terutama

organisasi masyarakat sipil (OMS) di daerah. Hal ini terjadi karena, pemerintah

daerah salah menafsirkan kewajiban OMS memiliki Surat Keterangan Terdaftar

(SKT) dari Kesbanglinmas. Akibatnya tanpa SKT tersebut, pemerintah daerah

menolak melayani permohonan informasi yang diajukan OMS yang tidak bisa

menyertakan SKT. Padahal legalitas OMS tidak hanya ditentukan oleh SKT,

tetapi dapat dilakukan melalui Kemenkum-HAM atau instansi lainnya,

tergantung dari bentuk kelembagaan OMS tersebut.

Belum selesai dengan UU Ormas, pelaksanaan UU KIP berpotensi

terancam juga dengan masuknya RUU Rahasia Negara dalam usulan Prolegnas

2015-2019. Semangat keterbukaan informasi yang diusung UU KIP akan

berhadapan dengan semangat ketertutupan yang diusung oleh RUU Rahasia

Negara. Padahal pembahasan RUU Rahasia Negara telah dihentikan oleh

Pemerintah dan DPR RI pada tanggal 16 September 2009. Bahkan disinyalir

RUU ini akan diagendakan juga dalam usulan RPJMN tahun 2015-2019. Artinya

Pemerintahan Jokowi-JK harus pula berani mengoreksi perkembangan ini jika

serius mengagendakan keterbukaan informasi.

Inisiatif Open Government Partnersip (OGP) belum mampu

mendorong percepatan pemerintahan terbuka. Inisiatif Pemerintah Indonesia

bersama 7 negara lainnya untuk memotori percepatan pemerintahan yang

terbuka melalui OGP sejak September 2011 patut diapresiasi. Bahkan tahun

2013 Indonesia menjadi lead chair dari gerakan ini dan saat ini telah berkembang

menjadi 65 negara. Sebagai strategi percepatan, inisiatif ini telah berhasil

mendorong komitmen negara-negara anggota untuk memperkuat keterbukaan

di tingkat domestik atau negaranya melalui mekanisme perumusan rencana

aksi dan pelaporan. Bagi Indonesia, inisiatif ini telah melahirkan percepatan

pelaksanaan keterbukaan informasi, misalnya berdasarkan laporan pelaksanaan

Open Government Indonesia (OGI) 2012, inisiatif ini dianggap mampu

mendorong capaian pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi (PPID) di 100% jajaran kementerian/lembaga dan 21%

Pemerintah Daerah serta menaikkan peringkat Open Budget Index (OBI)

Page 122: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

114

Indonesia dari 51 di tahun 2010 menjadi 62 di tahun 2012. Namun inisitif ini

belum mampu mendorong percepatan pemerintahan terbuka melalui

pelaksanaan mandat UU KIP.

Pengelolaan hutan dan lahan belum transparan, partisipatif, dan

akuntabel.2 Hasil studi ICEL dan Seknas Fitra tahun 2014 terhadap tata kelola

hutan dan lahan di daerah menyimpulkan bahwa pengelolaan hutan dan lahan

di daerah masih minim penerapan prinsip transparansi, partisipasi publik, dan

akuntabilitas. Dari sisi transparansi, banyak data/informasi terkait dengan

pengelolaan hutan dan lahan tidak dipublikasikan bahkan gagal untuk

diperoleh masyarakat. Hal ini disebabkan banyaknya pemerintah daerah yang

tidak melaksanakan mandat UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik meskipun sudah 6 tahun disahkan. Terhadap pelanggaran tersebut tidak

ada disinsentif maupun sanksi yang tegas dari pemerintah pusat. Dari sisi

partisipasi publik, pemerintah daerah belum melaksanakan partisipasi publik

secara genuine. Pemerintah daerah belum memberikan ruang yang memadahi

bagi masyarakat untuk berperan serta dalam setiap tahapan pengambilan

keputusan, hanya sebatas sosialisasi. Lebih memprihatinkan lagi, banyak

penyelenggaraan partisipasi publik yang tidak tepat sasaran dimana

masyarakat korban dan potensial korban tidak dilibatkan secara memadahi.

Dari sisi akuntabilitas, persoalan paling mendasar adalah gagalnya pemerintah

daerah mengelola konflik dengan minimnya lembaga penyelesain konflik dan

sengketa, minimnya Norma, Pedoman, Standar, dan Kriteria (NPSK) dalam

pengelolaan hutan dan lahan, dan lemahnya pengawasan dan pemberian

sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau petugas di daerah.

Lebih lengkap bisa dilihat pada data berikut:

2 Laporan Baseline Indeks Kelola Hutan dan Lahan Daerah : Potret Kinerja

Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan (Studi Kasus 16 Kabupaten) 2013-2014, ICEL dan Seknas Fitra, Desember 2014.

Page 123: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

115

18.70

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Kuta

i …

Kapu

as H

ulu

Sint

ang

Mal

inau

Kubu

Ray

a

Pase

r

Mus

i Ban

yuas

in

Keta

pang

Mua

ra E

nim

Mus

i Raw

a

Bany

uasi

n

Bulu

ngan

Mel

awi

OKI

Bera

u

Kayo

ng U

tara

Indeks Kelola Hutan dan Lahan

15.44

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

Indeks Transparansi

20.7

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Indeks Partisipasi

21.23

0.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0

100.0

Indeks Akuntabilitas

27.1

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Indeks Koordinasi

Buruknya transparansi pengelolaan hutan dan lahan berkorelasi

dengan angka deforestasi di daerah. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia

tentang perubahan tutupan hutan tahun 2009-2013, angka deforestasi

Kabupaten Berau sebesar 113.233 Ha dan 88.296 Ha untuk Kabupaten Ketapang

(FWI: 2014). Berdasarkan studi IKHL yang dilakukan ICEL tahun 2014, indeks

transparansi kedua kabupaten tersebut dalam kategori "buruk", yaitu 7.07

untuk Kabupaten Berau dan 10.30 untuk Kabupaten Ketapang. Data tersebut

mengindikasikan bahwa semakin tidak transparan, maka semakin tinggi angka

deforestasinya. Berikut data yang menjelaskan hal di atas:

Penyelesaian konflik hutan dan lahanbelum tersentuh dengan baik.

Berdasarkan data dari JKPP dan Koalisi CSO, hingga tahun 2013 terdapat

kurang lebih 4.050.253,38 Ha atau 81,4 % tumpang tindih dengan kawasan

21.769

52.062

11.38328.981

99.92

29.767

113.233

54.675

20.62113.325

38.467

6.737

88.296

28.42731.456

6.605

020406080

100120

Deforestasi

Indeks Transparansi

Page 124: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

116

hutan, dan sekitar 2.637.953,94 Ha bertumpang tindih dengan perijinan (konsesi

HPH, tambang, sawit, dan HTI). 3 Besarnya luasan tumpang tindih tersebut

menunjukkan tingginya konflik dan potensi konflik perebutan ruang yang

berimplikasi pada semakin sempitnya ruang kelola rakyat yang mengancam

kedaulatan pangan. Data Huma menunjukkan terdapat 281 konflik di 24

provinsi meliputi 80 kaus kehutanan. Kondisi ini sudah disadari oleh

pemerintah. Kepastian status kawasan menjadi isu prioritas Pemerintah SBY

selama 3 (tiga) tahun terakhir.

Pelaksanaan inisiatif percepatan penetapan kawasan hutan yang di

dorong oleh UKP4 dan KPK melalui NKB 12 K/L minim partisipasi publik.4

Berdasarkan data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan, sampai dengan

Agustus 2014, realisasi penetapan kawasan hutan seluas 69.758.922,38 Ha atau

56,99 % dari total luas kawasan yang ditunjuk (122.404.872,67 Ha). Artinya,

selama 5 tahun terakhir telah terjadi peningkatan sebesar 45,70 %, sebelumnya

di tahun 2009 Kemenhut menetapkan seluas 13.819.510, 12 Ha atau sebesar

11,29 % dari total kawasan yang ditunjuk. Sayangnya, proses penetapan

kawasan ini masih minim partisipasi publik dan penyelesaian hak-hak pihak

ketiga. Artinya penetapan kawasan yang sudah dilakukan –salah satu tujuan

pnting penetapan kawasan adalah menjamin kepastian agar tidak terjadi

konflik- belum dapat menjamin penyelesaian konflik yang menjadi salah satu

tujuan penetapan kawasan hutan.

Pemerintah belum mampu mewujudkan keterbukaan informasi

proaktif di bidang lingkungan hidup. Dari studi ICEL terkait dengan

informasi di bidang perizinan lingkungan hidup, monitoring kualitas air, dan

pengawasan serta penegakan hukum banyak ditemukan informasi penting

yang dibutuhkan oleh masyarakat belum dipublikasikan secara proaktif oleh

institusi pemerintah, baik KLHK maupun BLHD.Dari 20 informasi pentingbaik

menurut versi masyarakat dan merupakan mandat regulasi, belum satupun

yang dipublikasikan melalui website sebagai salah satu sarana publikasi

3http://www.geodata-cso.org/. Geodata Nasional (GDN) merupakan jaringan kerja

data-informasi yang berbasis spatial mengenai wilayah kelola rakyat dan konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung di GDN ini terdiri dari : Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA), Perkumpulan Sawit Watch, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

4 http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahun-perkembangan-nkb-kehutanan.

Page 125: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

117

pemerintah.Meskipun KLHK memiliki Daftar Informasi Publik (daftar

informasi yang menurut pemerintah terbuka/dapat diakses

masyarakat),terdapat 8 data/informasi penting yang belum tercantum.Kondisi

ini ditambah dengan data/informasi yang sudah tercantum dalam DIP belum

merinci kelengkapan/keutuhan informasi yang seharusnya dibuka.Sebagai

contoh, informasi tentang penegakan hukum administrasi.Hanya informasi

tentang daftar perusahaan yang sudah menaati sanksi adminstrasi yang

terbuka untuk publik.Sedangkan daftar perusahaan yang belum menaati sanksi

administrasi tidak tercantum dalam DIP, padahal informasi ini sangat penting

bagi masyarakat sebagai bahan pengawasan.

Komitmen keterbukaan informasi Pemerintahan Jokowi-JK belum

diterjemahkan secara konkret dalam agenda kerja kementerian.Komitmen

Jokowi-JK tersebut terlihat dalam Nawacita sebagai indikator pembangunan 5

tahun pemerintahan Kabinet Kerja 2014-2019. Fokus komitmen dalam

mendorong keterbukaan di sektor lingkungan dan sumber daya alam

tergambar dalam Nawacita 4 poin 4 sebanyak 32 indikator, antara lain:

penaatan Amdal dan publikasi pelaksanaannya; tersedianya data dan peta

keanekaragaman hayati yang akurat, komprehensif, kredibel, serta mutakhir;

tersedianya dengan pelibatan partisipasi publik; terbangun dan berjalannya

Sistem Pengelolaan Informasi Perizinan Terpadu yang menyimpan, mengatur,

dan mempublikasikan seluruh informasi perizinan berbasis lahan; tersedianya

data dan peta risiko industri; tersedianya data dan peta limbah; serta data dan

peta lahan tergradasi secara nasional.5 Komitmen-komitmen ini hingga saat ini

belum dijabarkan dalam agenda kerja yang lebih konkret dari Kabinet Kerja.

Moratorium belum menjawab perbaikan tata kelola kehutanan dan

lahan. Sesungguhnya isu perbaikan tata kelola ini bukanlah isu baru melainkan

isu yang sudah lama didengungkan dalam periode sebelumnya. Berbagai

kebijakan untuk menuju perbaikan tata kelola ini telah dikeluarkan oleh

pemerintahan sebelumnya, misalnya moratorium izin yang kemudian berujung

pada dikeluarkannya Inpres No. 10 Tahun 2011 dan diperbarui dengan Inpres

No. 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan

Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kebijkan

moratorium tersebut telah berjalan kurang lebih 3 tahun dan akan berakhir

pada bulan Mei 2015. Kebijakan moratorium tersebut bertujuan untuk

5Target dan Indikator Pembangunan Nasional Indonesia Berdasarkan 9 Visi Misi

Presiden Joko Widodo (Nawacita), hal. 15-17.

Page 126: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

118

melakukan perbaikan tata kelola termasuk perizinan dan restorasi ekosistem.

Hasil evaluasi 3 tahun pelaksanaan moratorium oleh Koalisi Masyarakat Sipil

untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global dimana ICEL termasuk

didalamnya menyimpulkan bahwa telah terdapat beberapa capaian yang patut

diapresiasi. Namun tidak data dipungkiri bahwa masih banyak pekerjaan

rumah yang belum terselesaikan dengan baik. 6 Hal ini disebabkan oleh

beberapa hal berikut: (1) kebijakan moratorium yang masih setengah hati

dengan memberikan pengecualian (exit clause) bagi kegiatan-kegiatan yang

berpotensi besar merusak dibawah agenda MP3EI; (2) adanya inkonsistensi

pelaksanaan moratorium melalui perubahan Peta Indikatif Penundaan Izin

Baru maupun pemberian izin di kawasan konservasi; (3) masih banyak

kementerian dan pemerintah daerah belum menuntaskan agenda sebagaimana

diatur dalam Inpres; (4) lemahnya penegakan hukum sebagai tindaklanjut dari

review perizinan maupun kebakaran hutan dan lahan.

Minimnya informasi proaktif mengancam berlanjutnya pencemaran

sungai-sungai strategis di Indonesia.Limbah industri masih menjadi salah satu

ancaman polusi bagi sungai-sungai strategis di Indonesia. Selama tahun 2014

ICEL menemukan tiga sungai besar yang menderita pencemaran berat oleh

industri kertas yaitu: Sungai Ciujung di Serang Banten yang menderita

pencemaran limbah PT.IKPP7 ; Sungai Asahan yang tercemar oleh limbah PT.

Toba Pulp Lestari8; dan Kali Brantas Surabaya yang tercemar limbah PT. Tjiwi

Kimia. 9 Pencemaran sungai-sungai ini berdampak sangat signifikan bagi

masyarakat sekitar sungai.Mereka kehilangan akses air bersih untuk keperluan

sehari-hari seperti untuk mandi, mencuci dan memasak, berkurangnya sumber

pendapatan mereka karena ikan-ikan di sungai dan usaha pertambakan

masyarakat banyak yang mati; menurunnya produktivitas pertanian sekitar

6 http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2014/05/Evaluasi-Tiga-

Tahun-Moratorium.pdf. 7 Berdasarkan hasil audit lingkungan wajib PT.IKPP ditemukan bahwa perusahaan

ini menyumbang 83,92 % polutan yang ada di Sungai Ciujung, berdasarkan penelitian STRIPE yang dilakukan ICEL, Medialink dan Walhi bekerjasama dengan paguyuban masyarakat Riung Hijau Serang pencemaran ini masih berlangsung hingga 2014.

8PT. Toba Pulp Lestari dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama yang dulu pernah ditutup karena terbukti mencemari Sungai Asahan. Meskipun telah berganti nama, PT. Toba Pulp Lestari tidak jauh berbeda perilaku pencemarnya, berdasarkan wawancara ICEL dengan Yati Simanjuntak dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) hingga saat ini PT. Toba Indah Lestari masih melakukan pencemaran terhadap Sungai Asahan.

9Berdasarkan wawancara ICEL dengan Prigi Arisandi dari Ecological Observation and Wetland Conservation/ECOTON), sepanjang 2014 ditemukan beberapa kali PT. Tjiwi Kimia membuang air limbah melampaui baku mutu dan mengandung Ammonia (NH3) , ICEL mewawancarai ECOTON.

Page 127: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

119

sungai serta risiko kesehatan lainnya.Melihat hal ini, pemerintah harus mulai

lebih ketat mengawasi industry sepanjang aliran sungai, serta selektif

memberikan izin dengan mempertimbangkan pula dampak kumulasi limbah-

limbah industri tersebut. Janji Jokowi dalam memulihkan DAS akan terancam

gagal jika tidak didorong keterbukaan informasi dan pengawasan terhadap

industri pada sepanjang aliran sungai.

Pemerintah belum mampu menutup kebocoran akibat buruknya tata

kelola pertambangan.Di sektor minerba, koalisi anti mafia tambang yang

terdiri dari ICEL, ICW, Seknas Fitra, TII, Pattiro, IPC, dan Article 33

menyatakan bahwa pemerintah menanggung kerugian hingga Rp 4,6 triliun

dari kekurangan pembayaran iuran tetap dan royalti perusahaan tambang

sepanjang 2010-2013. Kerugian ini dihitung dari hasil rekapitulasi data

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara di 12 provinsi.10 Adapun di sektor

migas, tertangkapnya Ketua DPRD Bangkalan, RKH Fuad Amin Imron, oleh

KPK dalam kasus suap kontrak pembelian gas dan terungkapnya dugaan

penyelewengan tender minyak oleh Pertamina melalui Petral sebanyak 800.000

barel per hari atau sekitar 18 Miliar USD per tahun telah menambah deret

panjang kasus mafia migas setelah kasus korupsi Rubi Rubiandini dan Jero

Wacik. Tentunya kasus yang terungkap ke permukaan jauh lebih sedikit

daripada praktik-praktik mafia yang belum terungkap dan menyedot keuangan

negara hingga saat ini.

Beberapa hal yang diyakini menjadi masalah buruknya tata kelola Migas,

antara lain:pertama, kelembagaan hulu Migas yang belum sepenuhnya

memungkinkan adanya pelaksanaan fungsi kebijakan, pelaksanaan, dan

pengawasan secara memadahi; kedua, belum adanya jaminan pemenuhan hak

informasi, partisipasi, dan akses masyarakatatas industri di sepanjang rantai

proses industri ekstraktif yang meliputi akses terhadap kontrak KKS

penghitungan DBH, data lifting secara real time, data produksi minyak dan gas

bumi, penjualan dan penerimaan minyak dan gas bumi milik negara, dokumen

AMDAL, dan lain-lain; ketiga, belum adanya ketentuan petroleum funddimana

sebagian dana dari penerimaan Migas disisihkan dan dikelola secara akuntabel

untuk mendukung agenda pemerintah dalam (1) pengalihan energi fosil ke

energi bersih terbarukan; (2) pembangunan infrastruktur migas seperti kilang

(refinery), jaringan distribusi gas bumi, terminal gas alam cair dan lain-lain, dan

10 http://www.tempo.co/read/news/2014/12/08/090626953/Tiga-Tahun-Sektor-

Tambang-Rugikan-Negara-Rp-46-T, diakses pada 11 Desember 2014. .

Page 128: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

120

(3) kegiatan yang berkaitan dengan pencarian cadangan migas baru;

keempat,minimnya jaminan pelibatan masyarakat khususnya masyarakat adat

dalam proses penentuan Wilayah Kerja yang memungkinkan concern

masyarakat sekitar tambang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan;

kelima, lemahnya perencanaan Migas yang belum diintegrasikan dengan (1)

kebijakan pemenuhan kebutuhan energi nasional sebagaimana dimandatkan

UU Energi, (2) perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya

alam, dan (3) perencanaan tata ruang; dll. Berdasarkan kelemahan-kelemahan

ini, maka saat ini Koalisi Masyarakat Sipil membentuk Rancangan UU Migas

untuk mendorong perubahan legislasi ke arah yang lebih baik.

[2]

Legislasi dan Regulasi yang Belum Terarah

Penyusunan legislasi dan regulasi pelaksana belum memiliki arah

yang jelas.Secara politik pengelolaan LH dan SDA, hingga saat ini belum

ditemukan arah yang jelas soal kebijakan LH dan SDA.Banyak agenda legislasi

maupun regulasi sulit untuk dibaca kemana Pemerintah hendak mengarahkan

pengelolaan LH dan SDA. Sebagai contoh, hingga saat ini pemerintah belum

memiliki agenda pasti soal revisi UU Kehutanan yang secara yuridis-sosiologis

sudah di judicial review sebanyak 9 kali yang menepatkan UU ini menjadi UU

dibidang SDA paling banyak di judicial review, namundalam perjalanannya

muncul UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Perusakan Hutan( UU P3H ). Sebagai UU yang memperkuat penegakan

hukum, UU P3H cukup bisa dipahami dari sisi tujuan.Masalahnya UU P3H

tentu mendasarkan pada UU Kehutanan yang selama ini dipandang masih

banyak kelemahan.Alhasil UU P3H inipun justru menuai polemik dan akhirnya

kehilangan taringnya.Di sisi lain, UU yang tidak kalah pentingnya selalu masuk

dalam Prolegnas namun progerssnya belum pernah dibahas seperti UU

Pengelolaan SDA, UU Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, UU

Keragaman Hayati, dan UU Pengelolaan Sumber Daya Genetik, dsb. Lebih

parah lagi, pemerintah dari tahun ke tahun selalu menunggak regulasi

pelaksana, misalnya regulasi pelaksana dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Rapor merah pembentukan regulasi pelaksana UU PPLH. Penyusunan

regulasi pelaksana UU PPLH pada tahun 2014 awalnya terlihat lebih baik

dibandingkan dengan tahun 2013. Hal ini didasarkan dengan adanya inisiatif

Page 129: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

121

Kementerian Lingkungan Hidup untuk membentuk Tim Percepatan

Pembentukan RPP yang memfokuskan pembentukan 5 RPP, yaitu: RPP

Perlindungan Ekosistem Gambut, RPP Pengelolaan Limbah B3, RPP Kajian

Lingkungan Hidup Strategis, RPP Instrumen Ekonomi, dan RPP Ekosistem

Karst. Namun sampai dengan Desember 2014, target pembentukan 5 RPP tidak

terpenuhi karena baru RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

(PP 71/2014) dan RPP Pengelolaan Limbah B3 (belum ada nomor) yang telah

dibentuk. Fakta ini menunjukan bahwa 5 (lima) tahun sejak pengundangan UU

PPLH, baru 3 RPP yang dibentuk dari minimal 21 (dua puluh satu) materi.

Sedangkan untuk regulasi pelaksana setingkat Peraturan Menteri, masih ada

peraturan materi yang belum disahkan, antara lain mengenai “Sistem Informasi

Lingkungan Hidup”. Berikut mandat regulasi pelaksana di bawah UU PPLH

dan progress-nya:

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

1 Inventarisasi

Lingkungan

Hidup (Pasal

11)

Belum

ada

Baku Mutu

Lingkungan

Hidup (Pasal

20 ayat (5))

1. Permen No. 34 Tahun 2009 tentang

Baku Mutu Limbah Bagi Usaha

dan/atau Kegiatan Pertambangan

Bijih Bauksit.

2. Permen No. 03 Tahun 2010

Tentang Baku Mutu Air Limbah

Bagi Kawasan Industri.

3. Permen No. 04 Tahun 2010

Tentang Mutu Air Limbah Bagi

Usaha dan/atau Kegiatan Industri

Minyak Goreng.

4. Permen No. 5 Tahun 2010 Tentang

Baku Mutu Air Limbah bagi

Industri Gula.

5. Permen No. 19 Tahun 2010

Tentang Baku Mutu Air Limbah

Bagi Usaha dan.atau Kegiatan

Minyak dan Gas serta Panas Bumi.

6. Untuk Permen lainnya

sebagaimana dimaksud dalam

pasal 20 ayat (5) belum dibentuk.

Page 130: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

122

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

2 Rencana

Perlindungan

dan

Pengelolaan

Lingkungan

Hidup

(RPPLH)

(Pasal 11)

Belum

ada

Jenis usaha

dan/atau

kegiatan yang

wajib

dilengkapi

dengan amdal

(Pasal 23 ayat

(2))

Permen No. 5 Tahun 2012 Tentang

Jenis Rencana Usaha dan / atau

Kegiatan yang Wajib AMDAL.

3 Daya Dukung

dan Daya

Tampung

Lingkungan

Hidup (Pasal

12)

Belum

ada

Sertifikasi dan

kriteria

kompetensi

penyusun

amdal (Pasal

28 ayat (4))

Permen No. 7 Tahun 2010 Tentang

Sertifikasi Kompetensi Penyusun

AMDAL.

4 Kajian

Lingkungan

Hidup

Strategis

(KLHS) (Pasal

18)

Belum

ada

Persyaratan

dan tatacara

lisensi komisi

penilai amdal

(Pasal 29 ayat

(3))

Permen No. 15 Tahun 2010 Tentang

Persyaratan dan Tata Cara Lisensi

Komisi Penilai AMDAL.

5 Baku Mutu

Lingkungan

Hidup (Pasal

20)

Belum

ada

UKL-UPL dan

surat

pernyataan

kesanggupan

pengelolaan

dan

pemantauan

lingkungan

hidup (Pasal

35 ayat (3))

Permen No. 13 Tahun 2010 Tentang

UKL-UPL dan surat pernyataan

kesanggupan pengelolaan dan

pemantauan lingkungan hidup.

6 Kriteria baku

kerusakan

lingkungan

hidup (Pasal

1. PP

No. 71

Tahun

2014

Audit

lingkungan

(Pasal 52)

Permen No. 3 Tahun 2013 Tentang

Audit Lingkungan Hidup.

Page 131: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

123

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

21) Tentang

Perlindu

ngan

dan

Pengelol

aan

Ekosiste

m

Gambut.

2. Untuk

PP

lainnya

sebagai

mana

dimaksu

d dalam

pasal 21

ayat (3)

belum

dibentu

k.

7 Kriteria Baku

Kerusakan

Akibat

Perubahan

Iklim (Pasal

21)

Belum

ada

Sistem

informasi

lingkungan

hidup (Pasal

62 ayat (4))

Belum ada

8 Analisis

mengenai

dampak

lingkungan

(Pasal 33)

PP. No.

27

Tahun

2012

Tentang

Izin

Lingkun

gan

Tata cara

pengaduan

(Pasal 65 ayat

(6))

Permen No. 9 Tahun 2010 Tentang

Tata Cara Pengaduan dan Penanganan

Pengaduan Akibat Dugaan

Pencemaran dan/ atau Perusakan

Lingkungan Hidup.

Page 132: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

124

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

9 Izin

lingkungan

(Pasal 41)

PP No.

27

Tahun

2012

Tentang

Izin

Lingkun

gan

Kerugian

lingkungan

(Pasal 90 ayat

(2))

Permen No. 13 Tahun 2011 Tentang

Ganti Kerugian Akibat Pencemaran

dan / atau Kerusakan Lingkungan

Hidup.

10 Instrumen

ekonomi

lingkungan

hidup (Pasal

43)

Belum

ada

11 Analisis risiko

lingkungan

hidup (Pasal

47 ayat (3))

Belum

ada

12 Tata cara

penanggulang

an

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan

hidup (Pasal

53 ayat (3))

Belum

ada

13 Tata cara

pemulihan

fungsi

lingkungan

hidup (Pasal

54 ayat (3))

Belum

ada

14 Dana

penjaminan

(Pasal 55 ayat

Belum

ada

Page 133: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

125

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

(4))

15 Pengendalian

pencemaran

dan/atau

kerusakan

lingkungan

hidup (Pasal

56)

Belum

ada

16 Konservasi

dan

pencadangan

sumber daya

alam serta

pelestarian

fungsi

atmosfer

(Pasal 57 ayat

(5))

Belum

ada

17 Pengelolaan

Bahan

Berbahaya dan

Beracun (B3)

dan Limbah

B3 (Pasal 58-

59)

PP

tentang

Pengelol

aan

Limbah

B3

18 Tata cara dan

persyaratan

dumping

limbah atau

bahan (Pasal

61 ayat (3))

Belum

ada

19 Tata Cara

Pengangkatan

Pejabat

Pengawas

Belum

ada

Page 134: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

126

No Peraturan

Pemerin-Tah

Status Peraturan

Menteri

Keterangan

Lingkungan

Hidup dan

Tata Cara

Pelaksanaan

Pengawasan

(Pasal 75)

20 Sanksi

administratif

(Pasal 83)

Belum

ada

21 Lembaga

penyedia jasa

penyelesaian

sengketa

lingkungan

hidup (Pasal

86 ayat (3))

Belum

ada

Lemahnya transparansi dalam penyusunan regulasi

pelaksana.Pemerintah belum terbuka terkait dengan penyusunan RPP, baik

prosesmaupun materinya. Sebagai contoh, dalam penyusunan RPP

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tidak terdapat update draft

terakhir secara memadai kepada publik. Hal ini memicu polemik terhadap

materi RPP tersebut.Kondisi tidak jauh berbeda juga terjadi dalam penyusunan

RPP Pengelolaan Limbah B3. Publik tidak mengetahui secara jelas proses dan

materi dari RPP tersebut. Bahkan dalam sosialisasi pasca disahkannya RPP ini,

pemerintah lebih mengutamakan sosialisasi kepada pelaku usaha

dibandingkan kepada masyarakat sipil.Lemahnya transparansi penyusunan

RPP juga masih terjadi pada penyusunan regulasi pelaksana lainnya, seperti

RPP KLHS, RPP Instrumen Ekonomi, dan RPP Ekosistem Karst. Sampai saat ini

masih banyak kalangan masyarakat yang belum mengetahui status dari

pembentukan ketiga RPP tersebut.

Minimnya partisipasi publik dalam penyusunan regulasi pelaksana

UU PPLH.Lemahnya inisiatif Pemerintah dalam melahirkan regulasi pelaksana

UU PPLH juga diperparah dengan lemahnya pelibatan masyarakatdalam setiap

Page 135: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

127

tahapan secara memadahi. Sebagai contoh dalam penyusunan RPP Pengelolaan

Limbah B3.Pelibatan masyarakat yang dilakukan baru sebatas konsultasi

dimana masukan yang diberikan tidak mendapatkan respon yang memadahi.

Bahkan beberapa materinya, sepertiizin dumping limbah B3 dan dumping

limbah B3/tailing ke laut (Submarine Tailing Disposal-STD) mendapat respon

negatif dari organisasi masyarakat sipil. Izin dumping limbah B3 dianggap

bertentangan dengan UU PPLH dimana dalam UU ini dilarang ada kegiatan

dumping limbah B3.Sedangkan STD dikhawatirkan dapat menyebabkan

pencemaran dan perusakan ekosistem laut dimana secara teknis masih terdapat

perdebatan terkait dengan metode ini.Selian itu, STD dikhawatirkan dapat

memicu praktik pembuangan limbah-limbah lain ke laut.Terhadap keberatan

ini tidak memberikan respon yang memadahi dan tetap mengadopsi ketentuan-

ketentuan tersebut.

Nota KesepakatanBersama (NKB) 12 K/L masih berjalan lambat.NKB

yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2013 dan berlaku 3 tahun sejak

disahkan inidimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor kehutanan

yang sudah puluhan tahun belum menemukan alternatif penyelesaian terbaik.

NKB 12 ini memiliki tiga agenda utama, yaitu harmonisasi regulasi dan

kebijakan, penyelarasan teknis dan prosedur, serta resolusi konflikyang

kemudian dijabarkan dalam 93 rencana aksi.Hingga saat ini, secara kuantitatif

telah 50% dari rencana aksi yang telah dilakukan. Namun ada beberapa

hambatan yang cukup mendasar dari pelaksanaan NKB 12 ini, antara lain11:

egosektoral dan koordinasi antarkementerian/lembaga; implementasi rencana

masih menjadi pemenuhan dokumen semata sehingga belum memberikan

kontribusi terhadap kepastian hukum; pelibatan masyarakat belum optimal;

perlu memperhatikan arah pembangunan pemerintahan baru dan perubahan

strukturnya; dan rencana aksi kurang fokus pada hal-hal strategis.Oleh karena

itu, diperlukan peninjauan terhadap efektifitas NKB ini guna memfokuskan

pada agenda perubahan yang efektif dan berkelanjutan. Sebagai contoh, dalam

pelaksanaan penetapan status kawasan hutan seharusnya dilakukan penataan

proses penetapan yang memastikan adanya mandat bagi penyelesaian hak-hak

pihak ketiga yang terkena dampak. Selain itu, perlu ada mekanisme publikasi

yang jelas terhadap pelaksanaan rencana aksi ini.

11 http://news.metrotvnews.com/read/2014/11/11/316847/kpk-evaluasi-setahun-

perkembangan-nkb-kehutanan.

Page 136: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

128

[3]

Kelembagaan LH dan SDA yang Belum Terkonsolidasi

Keputusan penggabungan kementerian (lingkungan hidup dan

kehutanan) tanpa diskursus yang memadahi.Keputusan Presiden Jokowi

menggabungkan kementerian tersebut menuai banyak pertanyaan, bahkan

kritikan dari kalangan masyarakat sipil. Banyaknya persoalan lingkungan

hidup dan kehutanan tentu membutuhkan fokus kerja. Tidak jauh berbeda

dengan masyarakat sipil, DPR RI yang dimintai pertimbangan juga

menyampaikan posisi bahwa kedua kementerian tersebut tidak perlu

digabung.Sayangnya hingga saat ini belum terungkap diskursus di balik

keputusan tersebut meskipun saat keputusan masih berupa rencana telah

dikonsultasikan kepada DPR RI. Publik belum mendapatkan informasi yang

utuh tentang alasan dari keputusan itu meskipun ide perampingan kabinet

sudah lama didengungkan. Salah satu alasan yang mengemuka dari keputusan

perampingan kabinet adalah efisiensi dan efektifitas. Namun demikian,

efisiensi dan efektifitas kerja seyogyanya tetap memperhatikan tantangan dan

capaian yang seharusnya menjadi fokus dari Kabinet Kerja, bukan sekedar

persoalan anggaran.Oleh karena itu, wajar jika sebagian kalangan menganggap

keputusan penggabungan ini dipandang sebagai bentuk subordinasi

kepentingan lingkungan hidup dari kepentingan pembangunan lainnya.

Pemerintahan Jokowi-JK belum berhasil membentuk struktur

kelembagaan Kabinet Kerja yang kuat dan berintegritas.Tidak diadopsinya

masukan koalisi masyarakat sipil terkait dengan pembentukan Menteri

Koordinator Pembangunan Berkelanjutan yang mengkoordinasikan

kementerian yang membidangi agraria, penataan ruang, lingkungan hidup, dan

SDA masih menunjukkan lemahnya cara pandang Pemerintahan Jokowi-JK

dalam melihat persoalan pengelolaan agraria dan SDA. Persoalan egosektoral

dan paradigma pertumbuhan ekonomi yang selama ini mengemuka dalam

pengelolaan agraria dan SDA belum dipahami dan diterjemahkan secara baik

dalam formasi kabinet, meskipun dalam pelantikan Presiden menghimbau

untuk menghilangkan egosektoral. Bagaimana mungkin menghilangkan

egosektoral dan paradigma pertumbuhan ekonomi secara optimal jika secara

kelembagaan, kementerian yang mengelola SDA masih dimasukkan dalam

rumpun bidang perekonomian, padahal pengelolaan SDA dalm konteks

pembangunan berkelanjutan harus menjalankan 3 fungsi secara bersamaa dan

seimbang, yaitu fungsi ekonomi, sosial, dan perlindungan lingkungan hidup.

Dari sisi integritas, pengangkatan nama-nama menteri yang duduk dalam

Page 137: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

129

Kabinet Kerja sempat menuai pro-kontra mengingat masih adanya nama-nama

calon menteri yang tidak direkomendasikan oleh KPK duduk dalam Kabinet

Kerja.Sayangnya, nama-nama tersebut tidak diumumkan kepada publik

sehingga sulit untuk dimonitor.

Selain itu, hasil dari pemantauan terhadap sejumlah kementerian,

misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian

Agraria dan Tata Ruang; maupun Kementerian Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal, dan Transmigrasi hingga saat ini belum menuntaskan struktur

organisasi-nya menuju pemantapan fungsi. Hal lain yang patut digarsbawahi

bahwa belum ada mekanisme trobosan yang diambil oleh para menteri terkait

untuk merekam jejak calon pejabat yang akan diangkat, misalnya meminta

rekomendasi KPK dan PPATK, khususnya untuk eselon 1 dan 2. Hal yang sama

juga belum dilakukan terhadap para calon pejabat BUMN yang saat ini akan

mengalami banyak pergantian. Jika persoalan integritas ini luput dari

perhatian, maka akan sulit bagi Pemerintahan Jokowi-JK untuk membuat

perubahan secara cepat sebagaimana yang dijanjikannya.

[4]

Penegakan Hukum Belum Berefek Jera

Pada tingkat kelembagaan di pengadilan, penegakan hukum

lingkungan hidup mengalami perkembangan yang positif namun belum

diikuti oleh kelembagaan di tingkat hulu (penyidikan dan penuntutan).Sejak

tahun 2011,Mahkamah Agung RI telah menembangkan sistem sertifikasi hakim

lingkungan.Hingga tahun 2014, sistem ini telah menghasilkan sebanyak 103

hakim bersertifikat lingkungan hidup dan 80 hakim yang sedang menunggu

pengangkatan sebagai hakim lingkungan.Hal ini merupakan modal awal bagi

efektifitas penyelesaian perkara lingkungan hidup dan SDA di

pengadilan.Selain itu, dengan sistem sertifikasi tersebut dapat memberikan

harapan bagi peningkatan profesionalisme dan integritas dalam penanganan

perkara lingkungan dan SDA.Namun demikian, perbaikan kelembagaan di

tingkat pengadilan ini tentu sulit diharapkan dapat secara optimal

menghasilkan putusan-putusan yang berpihak bagi lingkungan hidup dan SDA

jika tidak diiringi oleh perbaikan di tingkat hulu, yaitu penyidikan (PPNS dan

Kepolisian) serta penuntutan (Kejaksaan).Meskipun pada tingkat ini, UKP4

Page 138: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

130

telah banyak menginisiasi koordinasi penegakan hukum lingkungan hidup dan

SDA serta pendekatan multidoor, namun terdapat beberapa indikasi yang perlu

dicermati: (1) perubahan kelembagaan UKP4 akan memberikan tantangan

lembaga mana yang akan lead koordinasi dalam proses penegakan hukum di

tingkat penyidikan dan penuntutan; (2) masih banyak agenda penegakan

hukum pada periode sebelumnya yang belum tuntas sehingga butuh

pengawalan. Mandegnya revitalisasi One Roof Enforcement System (ORES) yang

menempatkan pengawas, penyidik, dan penuntut dalam satu atap koordinasi –

dan merupakan mandat UU PPLH –akan sangat berkontribusi bagi pelemahan

penegakan hukum yang selama ini dirintis oleh UKP4. Selain itu, 43 kasus

prioritas yang pernah dirilis pemrintah pada bulan Mei 2013 dengan

melakukan pendekatan multidoormenyisakan agenda yang harus dituntaskan

oleh Pemerintahan Jokowi-JK.12Hingga saat ini tidak terdapat publikasi yang

memadahi terkait dengan penyelesaian kasus ini.Ditambah lagi belum adanya

kejelasan atas kasus-kasus pencemaran dan perusakan sebagai tidaklanjut yang

ditunggu-tunggu publik dari hasil program peringkat kinerja perusahaan

(Proper).Pada tahun 2013, KLH telah berkomitmen menindak 50 perusahaan

kategori hitam (2013) dan 79 perusahaan hitam (2012) namun hingga saat ini

belum ada kejelasan hasilnya.

Upaya pembaruan penegakan hukum telah menunjukkan harapan

namun menyisakan banyak tantangan baru.Dalam tahun 2014, terdapat

beberapa putusan yang mendapat cukup apresiasi publik.Sebagai contoh,

Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor 177/Pdt.G/2013/PN.Mlg yang

mengakui pentingnya perlindungan bagi partisipasi masyarakat untuk

mencapai lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam perkara ini, untuk

pertama kalinya konsep Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-

SLAPP) disebutkan dalam putusan hakim. Hal ini menunjukan langkah awal

bagi pembaharuan hukum lingkungan di Indonesia, khususnya perlindungan

terhadap partisipasi masyarakat.

Putusan berikutnya yang mendapat apresiasi adalah Putusan Pengadilan

Negeri Samarinda Nomor 55/Pdt.G/2013/PN.Smda.Dalam putusan ini hakim

mengakui adanya kelalaian Para Tergugat dalam melakukan pengelolaan

pertambangan batubara yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup. Putusan yang dikenal dengan Putusan ”Gerakan Samarinda

Menggugat” juga disebut sebagai putusan terkait perubahan iklim pertama di

Asia.

12Catatan Akhir Tahun Hukum Lingkungan Hidup 2013, ICEL, hlm. 9.

Page 139: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

131

Putusan lainnya yang cukup mendapatkan perhatian adalah Putusan No

12/PDT.G/2012/PN-MBO(perdata) yang mengharuskan PT Kalista Alam

membayar ganti rugi materi Rp 114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan,

Rp 251,7 miliar. Dalam putusan itu, hakim mengabulkan gugatan KLH terkait

pembakaran rawa gambut di Rawa Tripa, seluas 1.000 hektare di Desa Pulo

Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. Kalista Alam

kembali menjadi sorotan karena dalam perkara pidana, Direkurnya-Subianto

Rusyid-dihukum pidana 8 bulan kurungan dan denda 150 juta dan subsider 3

bulan akibat tuntutan pidana korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum.

Masih pada kasus yang sama yaitu PT. Kalista Alam (pidana), para

penegak hukum sudah menggunakan konsep pemidanaan korporasi yang

menjerat pelaku fungsional serta badan hukum itu sendiri. PT. Kalista Alam

diajukan ke persidangan dengan nomor perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO

dijatuhi hukuman denda 3 Milyar ; Subianto Rusid selaku Direktur PT. Kalista

Alam disidangkan dengan nomor perkara No. 132/Pid.B/2013/PN.MBO

dijatuhi hukuman 8 bulan kurungan dan denda 150 juta sedangkan Ir.

Khamidin Yoesoef selaku Estate Manager Pengembangan PT. Kalista Alam

disidangkan dengan nomor perkara No. 133/Pid.B/2013/PN.MBO dijatuhi

penjara 3 tahun dan denda 3 milyar subsider kurungan 5 bulan. Putusan ini

patut diapresiasi, selain karena hukumannya juga karena telah menggunakan

konsep pidana korporasi yang jelas, menjerat pelaku fungsional/lapangan dan

badan hukum, tidak tertukar seperti kasus-kasus lain dimana pidana korporasi

yang dijerat hanya pelaku fungsional/lapangan, atau dakwaannya korporasi

tapi pidananya penjara dimana tidak memungkinkan korporasi untuk

dipenjara.

Hasil-hasil positif dari penegakan hukum tahun 2014 belum bisa

menunjukkan hasil akhir dan efek jera.Patut digarisbawahi bahwa perkara-

perkara di atas belum final dan mengikat karena para terdakwa atau tergugat

masih mengajukan upaya hukum.Oleh karena itu, tahun 2014-2015 adalah

tahun berat bagi Pemeirntahan Jokowi-JK apakah dapat mempertahankan atau

bahkan meningkatkan prestasi penegakan hukum tersebut.Bisa jadi hasilnya

sebaliknya jika Pemerintahan Jokowi-JK tidak memperhatikan perkembangan

ini.Bahkan pada periode pemerintahan baru inipun terus berulang kasus-kasus

lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan. Upaya Jokowi dan Menteri

Page 140: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

132

Lingkungan dan Kehutanan untuk melakukan "blusukan asap" belum

menunjukkan hasil yang konkret.

Komitmen Pemerintahan Jokowi-JK memberantas mafia SDA belum

teruji.Meskipun Jokowi-JK telah mengkampanyekan pemberantasan mafia

SDA, namun hingga saat ini komitmen ini belum teruji. Hal ini disebabkan

oleh: (1) belum adanya kelembagaan yang mencerminkan pemberantasan mafia

SDA. Hanya Stagas Anti Illegal Fishing dan Tata Kelola Migas yang

memperlihatkan progress-nya. Sedangkan untuk isu strategis lainnya seperti

hutan, lingkungan hidup, dan pertambangan belum ada kejelasan strategi

kelembagaan yang akan dibentuk. Di tengah ketidakpastian tersebut,

sayangnya Pemerintah Jokowi-JK justru merencanakan keputusan yang

kontraproduktif, yaitu membeli asset lapindo dalam menyelesaikan kasus

semburan lumpur sidoarjo.Seharusnya Pemerintahan Jokowi-JK mengoreksi

penyelesaian tanggungjawab atas semburan lumpur ini dengan mendorong

penegakan hukum yang tegas sesuai dengan janjinya tanpa harus melupakan

tanggungjawab terhadap pemenuhan hak dan keselamatan korban lumpur.

Artinya, negara seharusnya hadir bukan dengan mengambil alih

tanggungjawab lapindo melainkan melakukan pemenuhan hak warga negara

yang menjadi korban atas nama negara, sekaligus melakukan penegakan

hukum secara tegas untuk memulihkan kerugian korban maupun negara atas

upaya yang telah dilakukannya tersebut. Jadi, rencana pembelian aset lapindo

adalah illegal karena tidak sesuai dengan maskud dan tujuan dari Putusan MK

83/PUU-XI/2013 yang justru menghendaki adanya penegakan hukum yang

serius untuk memastikan penyelesaian ganti rugi dan nondiskriminasi

terhadap mayarakat.

Grasi bagi Eva Bande, bentuk keberpihakan yang harus

dijaga.Pemberian grasi bagi Eva Bande, pejuang petani akibat konflik agraria

terkait dengan operasi perkebunan sawit pada tanggal 22 Desember 2014 patut

diapresiasi.Keputusan Presiden Jokowi ini menunjukkan keberpihakannya

terhadap penegakan hukum yang fair bagi para pejuang hak-hak

masyarakat.Namun demikian keputusan ini perlu terlembagakan dalam sistem

yang kuat mengingat banyaknya kasus serupa yang terjadi dan bisa jadi luput

dari perhatian presiden.Sebagai contoh, menurut Direktur Eksekutif Nasional

WALHI masih terdapat sedikitnya 140 aktivis yang ditahan akibat membela

kasus-kasus agraria dan lingkungan hidup.

Page 141: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

CATATAN AKHIR TAHUN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP 2014

133

REKOMENDASI

Berdasarkan catatan-catatan di atas, maka Catatan Akhir Tahun 2014 ini

merekomendasikan beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan oleh

Pemerintahan Jokowi-JK:

A. Mempercepat perbaikan tata kelola LH dan SDA melalui:

(1) Percepatan pelaksanaan mandat UU KIP oleh seluruh pemerintahan

baik nasional maupun daerah;

(2) Memperkuat mekanisme penegakan hukum maupun insentif-

disinsentif bagi pelanggaran mandat UU KIP;

(3) Mereview UU Ormas dan mengeluarkan usulan RUU Rahasia Negara

dalam Prolegnas 2015 – 2019;

(4) Memperkuat Renaksi, mekanisme insentif-disinsentif, dan pelibatan

masyarakat sipil dalam pelaksanaan Open Government Partnership

(OGP);

(5) Meningkatkan mekanisme transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas

dalam pengelolaan hutan dan lahan;

(6) Menuntaskan agenda pelaksanaan NKB 12 K/L dan moratorium izin

di bidang kehutanan;

(7) Mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup, kehutanan, dan

pertambangan; dan

(8) Mendorong perbaikan tata kelola Migas dalam revisi UU Migas

dengan memperhatikan masukan masyarakat sipil

B. Mengarahkan legislasi dan regulasi LH dan SDA melalui:

(1) Penyusunan agenda prioritas kerja dalam perumusan legislasi dan

regulasi LH dan SDA dengan memforkuskan pada perlindungan LH

dan tata kelola kehutanan, perkebunan, dan pertambangan (indistri

ekstraktif)

(2) Mempercepat penuntasan regulasi pelaksana di bawah UU PPLH

C. Menuntaskan konsolidasi kelembagaan melalui :

(1) Menyelesaikan agenda pembentukan organisasi dan tata laksana

kementerian dengan mempertimbangkan penguatan fungsi yang harus

diemban baik berdasarkan Nawacita maupun peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

Page 142: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

134

(2) Memperkuat mandat koordinasi kementerian dalam pelaksanaan

pembangunan berkelanjutan sebagai implikasi tidak adanya Menteri

Koordinasi yang melaksanakan fungsi ini. Mandat ini bisa diberikan

kepada Menteri Koordinasi Perekonomian dengan memperhatikan

unsur kementerian yang relevan di bawahnya; dan

(3) Mendorong adanya mekanisme penilain rekam jejak yang melibatkan

PPATK dan KPK dalam penentuan pejabat struktural kementerian serta

direktur dan komisaris BUMN.

D. Memperkuat Penegakan Hukum melalui:

(1) Mengawal dan menuntaskan perbaikan sistem dan kelembagaan

penegakan hukum di tingkat penyidikan dan penuntutan;

(2) Mengawal dan menuntaskan komitmen penanganan kasus atau

perkara yang telah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya;

(3) Mengembangkan terobosan kelembagaan guna mempercepat upaya

menjerat mafia SDA di semua sektor SDA (hutan, tambang, kebun, dan

lingkungan), termasuk mengeluarkan keputusan tegas yang

mengoreksi penegakan hukum akibat semburan lumpur Sidoarjo; dan

(4) Mengembangkan perangkat perlindungan bagi masyarakat yang

memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup atau dikenal sebagai

Anti-Strategic Law Againts Public Participation (Anti-SLAPP).

Page 143: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

P E N U T U P R E D A K S I

“Sudah Demokratiskah Kebijakan Hukum Lingkungan Indonesia?”

urnal Lingkungan Hidup Indonesia Volume 01 Issue 02, Desember 2014 ini

mencoba mengulas diskursus mengenai sejauh mana demokrasi

lingkungan tercermin dalam kebijakan-kebijakan hukum yang didorong

oleh pemerintah, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif dan gerangan

masyarakat sipil lainnya. Apakah demokrasi lingkungan yang secara populer

dipahami sebagai perwujudan hak tiga akses atau Prinsip 10 Deklarasi Rio,

yaitu akses terhadap informasi, partisipasi dan keadilan telah diakomodir

dalam setiap Kebijakan Hukum di bidang lingkungan dan pengelolaan sumber

daya alam Indonesia.

Tulisan pertama dari Myrna Safitri mengulas bagaimana kebijakan

hukum yang diambil pemerintah dalam melaksanakan kewenangan

penguasaan Negara atas kawasan hutan. Tulisan ini menggambarkan

kebijakan-kebijakan penetapan kawasan hutan terdahulu yang bersifat otoriter

dan tidak mengakomodasi partisipasi masyarakat di dalamnya, padahal

penetapan kawasan hutan tersebut mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Kebijakan ini adalah cermin dari kurangnya keberpihakan pada pengakuan hak

dan perluasan akses rakyat pada kawasan hutan negara. Myrna berpendapat

bahwa penetapan kawasan hutan bukan semata mengejar kepastian hukum

atas status kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan

kawasan hutan itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak. Dengan kata

lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian

pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.

“Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan

kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya

percepatan pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk

mendukung adanya kawasan hutan yang berkepastian hukum dan

berkeadilan. Tulisan ini menegaskan bahwa upaya percepatan

tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya

keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu

merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai

negara dalam konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak

dilakukan”

Kemudian Wahyu Nugroho dalam tulisannya mencoba menganalisa

apakah kebijakan hukum yang diambil Indonesia dalam pengelolaan sumber

daya hutan adat sudah sesuai dengan doktrin Welfare State. Dalam tulisan ini,

J

Page 144: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

ix

Wahyu menekankan bahwa hak menguasai Negara sebagai konsekuensi peran

penting Negara dalam mengusahakan kemakmuran bagi rakyat tidak boleh

menegasikan eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat tradisional yang telah

ada jauh sebelum Indonesia berdiri. Negara hendaknya berfungsi sebagai

fasilitator saja dengan memberi ruang gerak yang cukup bagi kesatuan

masyarakat adat ini untuk mengelola hutan adatnya masing-masing. Tulisan ini

menjelaskan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berusaha

mengembalikan fungsi pemerintah sebagai fasilitator alih-alih pemilik yang

otoriter terhadap hutan adat, putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 dan putusan

MK No. 35/PUU-X/2012 jelas sangat mempengaruhi arah kebijakan hukum

bidang kehutanan kedepannya.

“Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan penulis terhadap

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka

kesimpulan yang diperoleh adalah konsistensi kewenangan

negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan

negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam konteks

pengelolaan sumber daya alam hutan adat berpijak pada hak

menguasai negara yang dimaknai sebagai kewenangan dan

kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan

dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat

adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator. Kesatuan-

kesatuan masyarakat tradisional/hukum adat (indigenous people)

merupakan bagian dari ekosistem sumber daya alam hutan adat

mengandung nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom), sakral-

spiritual, budaya lokal dan peraturan bersama (tidak tertulis)

yang disepakati oleh komunitasnya memiliki hak untuk

mengelola hutan adat, tanpa adanya intervensi dari negara

ataupun swasta.”

Mengambil topik berbeda namun masih berkenaan dengan partisipasi

masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam, Nisa Istiqomah

mengangkat wacana pentingnya Free Prior Informed Consent (FPIC) untuk

melindungi hak masyarakat adat dalam usaha migas. FPIC merupakan salah

satu mekanisme bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi dan

berpartisipasi terhadap pengelolaan sumber daya alam yang akan

mempengaruhi lingkungan sekitarnya, khususnya sektor migas. FPIC tidak

hanya akan bermanfaat bagi masyarakat tapi juga bagi investor migas sendiri,

dimana FPIC ini dapat meminimalisasi konflik dengan masyarakat serta salah

satu jalan bagi perusahaan untuk mendapat social license. FPIC ini merupakan

salah satu cara agar kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan

cita-cita Pasal 33 UUD 1945 justru tidak membebani sebagian kelompok

Page 145: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

PENUTUP REDAKSI

x

minoritas yang juga merupakan bagian dari rakyat yang harus diberi

kemakmuran tersebut.

“FPIC merupakan instrumen hukum strategis yang dapat

menjadi jawaban atas permasalahan masyarakat adat

akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak

partisipatif dan melanggar hak-hak masyarakat adat;

FPIC juga dapat meningkatkan kepastian hukum bagi

investasi di sektor migas karena dapat menciptakan social

license bagi perusahaan dalam menjalankan operasinya

dan mengurangi resiko konflik sosial”

Pada artikel lain, Savitri Nur Setyorini berbicara mengenai kebijakan

hukum negara dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Savitri menyoroti

kebijakan transhipment yang diperbolehkan oleh pemerintah justru merugikan

Hak Bangsa Indonesia .

“Transhipment sangat berpengaruh terhadap Hak Bangsa

Indonesia atas komoditas perikanan maupun dengan elemen-

elemen pembangunan berkelanjutan. Praktik transhipment

memperburuk illegal dan unreported fishing yang marak terjadi

di Indonesia, dan menimbulkan kerugian dimana ikan yang

seharusnya menjadi hak bangsa Indonesia, justru tidak dapat

dinikmati oleh bangsa Indonesia, baik untuk dikonsumsi

ataupun sebagai pemasukan negara, karena telah

dialihmuatkan dan dibawa ke luar negeri. Dengan begitu,

maka hak bangsa Indonesia dan pembangunan berkelanjutan

bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang pun

akan terancam. “

Dalam artikel terakhir jurnal ini, Rizkita Alamanda mengangkat topik

mengenai gugatan warga negara sebagai sarana warga negara untuk

mengakses keadilan (access to justice) dalam menuntut pemenuhan hak atas

lingkungan yang baik dan sehat yang dijamin dalam konstitusi Indonesia dan

merupakan kewajiban pemerintah untuk mengupayakan pemenuhan hak

tersebut. Putusan Pengadilan Samarinda yang mengabulkan gugatan

perubahan iklim warga Samarinda ini diproyeksikan akan mempengaruhi arah

hukum lingkungan Indonesia kedepannya, pertama putusan ini akan

menguatkan posisi prosedur gugatan warga negara yang sebenarnya belum

diakomodir secara tegas dalam hukum acara di Indonesia, dan kedua gugatan

ini adalah gugatan mengenai perubahan iklim pertama yang dikabulkan oleh

pengadilan.

Page 146: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

xi

“Sedangkan di Indonesia, adanya hak konstitusional untuk

mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat menjadi dasar

hukum bagi upaya gugatan terkait dampak perubahan iklim.

Sebagaimana upaya yang dilakukan oleh warga Samarinda

yang mengajukan gugatan terhadap Negara melalui

pemerintah dengan mekanisme Gugatan Warga Negara

(Citizen Lawsuit) atas dampak perubahan iklim yang

diperparah dengan banyaknya pembukaan tambang batubara.

Hal ini menunjukan adanya terobosan hukum serta

meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap permasalahan

perubahan iklim. Meskipun perubahan iklim dinilai sebagai

sebuah permasalahan global, namun tetap dibutuhkan upaya-

upaya lokal yang mendukung upaya global dalam

menghadapi perubahan iklim, salah satunya melalui terobosan

hukum litigasi perubahan iklim.”

Menelaah rangkaian artikel dalam jurnal ini dapat dilihat bahwa Para

Penulis banyak menekankan pada transparansi dan keterlibatan masyarakat

merupakan komponen penting yang harus diakomodasi dalam setiap kebijakan

hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Tidak hanya transparansi dan ruang partisipasi, masyarakat juga perlu diberi

ruang untuk mengakses keadilan jika terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan

kebijakan tersebut. Komponen-komponen ini merupakan indikator

pengejawantahan demokrasi lingkungan dalam kebijakan hukum yang

diterapkan di Indonesia.

Page 147: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

xii

P E D O M A N P E N U L I S A N

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia adalah media yang diterbitkan oleh

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai upaya mempublikasikan

ide dan gagasan mengenai hukum lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya

alam. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ditujukan bagi pakar dan para

akademisi, praktisi,penyelenggara Negara, kalangan organisasi masyarakat sipil,

serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan sumber daya alam.

Prosedur Pengiriman*

Tulisan dapat dikirimkan melalui e-mail maupun melalui pos. Pengiriman melalui

pos disertai dengan tulisan “Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia” di sudut kiri

atas, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Sementara, pengiriman melalui e-mail ditujukan ke [email protected]. Untuk

publikasi di Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Volume 02 Issue 01/ Juni/ 2015

diharapkan telah diterima Redaksi pada 1 April 2015.

Persyaratan Formil

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan

EYD dengan kalimat yang efektif.

2. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin

kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times

New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraf,

dengan panjang naskah 4000-5000 kata.

3. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan

keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah

daftar pustaka.

4. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya

namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai

keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki.

5. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.

Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring.

Page 148: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 1 ISSUE 2, DESEMBER 2014

xiii

6. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau

catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam poin

7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

7. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk

memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)

mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge

University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-

5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),

hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15

Januari 2014;

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:

Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water

Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd

Conference of the International Association for Water Law (AIDA).

Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil

Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of

British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:

Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,

Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15

Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

8. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis);

b. Nama dan alamat lembaga penulis;

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor telepon,

handphone dan fax, serta alamat e-mail; dan

Page 149: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

PEDOMAN PENULISAN

xiv

d. Nomor rekening bank yang masih aktif.

9. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).

Panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata yang ditulis dalam satu alinea yang

mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil, maupun

kesimpulan.

Pemilihan Tulisan*

Pemilihan tulisan dilakukan melalui Sidang Redaksi yang terdiri dari peneliti

senior ICEL, staff peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat akan

diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan

diberikan notifikasi 1 (satu) bulan sebelum penerbitan jurnal yaitu pada bulan Mei

2015 dan merupakan hak Penulis sepenuhnya.

*) Tidak berlaku bagi Penulis Artikel Utama atau Penulis dengan Undangan dari

Sidang Redaksi.

Page 150: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

xv

B I O G R A F I P E N U L I S

Myrna A. Safitri adalah staf pengajar hukum lingkungan di Fakultas Hukum

Universitas Pancasila, Jakarta dan sekarang menjabat sebagai Direktur

Eksekutif Epistema Institute. Ia memperoleh gelar doktor pada tahun 2010 dari

Fakultas Hukum Universitas Leiden di Negeri Belanda untuk disertasi berjudul

Forest Tenure in Indonesia; The socio-legal challenges of securing communities’ rights.

Selain mengajar, ia aktif dalam gerakan pembaruan hukum lingkungan dan

sumber daya alam dan terlibat dalam proses perumusan dan pemantauan

kebijakan yang ada di sejumlah kementerian dan lembaga negara seperti

Bappenas, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Penulis dapat dihubungi

melalui alamat e-mail: [email protected].

Wahyu Nugroho, lahir di Wonogiri, 20 Juni 1986, menyelesaikan pendidikan

Sarjana Hukum Islam di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang

tahun 2009. Penulis terpilih sebagai penerima Beasiswa Unggulan Kementerian

Pendidikan dan kebudayaan RI pada Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Diponegoro Semarang dan selesai tahun 2011. Mantan aktivis

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang ini semenjak mendalami

ilmu hukum di almamater pascasarjananya aktif dalam forum diskusi

komunitas Kaum Tjipian pemikiran Satjipto Rahardjo sampai menyentuh ke

ranah filsafat hukum dan postmodernisme. Pengajar muda ini pernah

memenangkan Hibah Penelitian Dosen Pemula oleh DIKTI tahun anggaran

2012 tentang “Konsistensi Political Will Pemerintah RI pasca Ratifikasi HAM

Internasional”. Pekerjaan penulis sekarang adalah staf peneliti Satjipto Rahardjo

Institute, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta dan Staf Ahli

Pimpinan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik

Indonesia.Penulis gemar berdiskusi seputar sosiologi hukum, teori hukum dan

filsafat hukum dalam jagad penegakan hukum di Indonesia. Penulis dapat

dihubungi melalui email: [email protected]

Nisa Istiqomah Nidasari menyelesaikan studi hukum di Universitas Indonesia

pada tahun 2011. Semasa kuliah ia aktif di bidang sosial kemasyarakatan

dengan menjadi guru bahasa inggris untuk anak-anak jalanan yang bersekolah

di Yayasan Bina Insan Mandiri, Depok. Tidak hanya itu, dengan grant dari

Program Wirausaha Mahasiswa UI Young and Smart Entrepreneur Program, ia

mendirikan bisnis kreatif yang memberdayakan anak-anak dengan kondisi

ekonomi yang kekurangan. Keinginannya untuk bermanfaat bagi masyarakat

Page 151: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat

xvi

luas membuatnya melepas karir sebagai corporate lawyer di sebuah law firm di

Jakarta untuk menjadi peneliti di Indonesia Center for Environmental Law

(ICEL). Sejak bergabung di ICEL, ia banyak melakukan riset dan advokasi di

bidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) antara lain: 1) menjadi fasilitator

dalam berbagai training pengembangan kapasitas bagi masyarakat sipil dan

pemerintah daerah; 2) co-writer dalam penulisan buku “Catatan Masyarakat

Sipil Terhadap Kinerja Komisi Informasi Pusat (KIP) 2009-2013” dan “Roadmap

KIP 2013-2017”. Saat ini ia sedang mendalami isu tata kelola industry ekstraktif

dan menjadi salah satu tim perumus revisi UU Migas versi masyarakat sipil

bersama dengan koalisi Publish What You Pay Indonesia. Penulis dapat

dihubungi melalui email: [email protected]

Savitri Nur Setyorini lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan

mendapat gelar S.H., pada Agustus 2013. Saat ini sedang melanjutkan studi

Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, dengan Peminatan Hukum Sumber Daya Alam. Selain itu, ia juga

aktif sebagai salah satu Staf Pengajar Muda pada Bidang Studi Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat

dihubungi melalui email [email protected].

Rizkita Alamanda lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada

bulan Agustus 2012 dengan program kekhususan Hukum Internasional.

Penulis sangat tertarik pada isu perubahan iklim. Komitmennya yang kuat

dalam memperjuangkan lingkungan membuat ia tertarik bergabung menjadi

salah satu pejuang lingkungan bersama ICEL. Sejak bergabung di ICEL ia

mendapat kesempatan untuk terlibat dalam gugatan warganegara terhadap

dampak perubahan iklim yang diajukan oleh warga Kota Samarinda dan warga

Riau.Selain fokus pada isu perubahan iklim, ia juga aktif dalam isu industry

ekstraktif yang saat ini memiliki agenda utama dalam Revisi UU Migas. Penulis

dapat dihubungi melalui email [email protected] .

Page 152: JURNAL H - icel.or.id · Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah ... lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang ... Direktorat