Jurnal Dermatitis Atopik

6
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011 Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik Natalia*, Sri Linuwih Menaldi**, Triana Agustin** *Dokter Umum Alumni Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta **Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Abstrak: Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang bersifat kronis dan residif yang umumnya terjadi pada masa bayi dan anak dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dermatitis atopik merupakan beban untuk keluarga maupun komunitas. Dermatitis atopik akan berdampak pada menurunnya kualitas tidur, waktu kerja yang hilang, biaya, dan waktu untuk berobat. Penyakit ini sering berhubungan dengan disfungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi yang cenderung bersifat diturunkan, serta berhubungan dengan hipersensitivitas seperti asma dan rinitis alergi. Dermatitis atopik merupakan manifestasi keadaan ini pada kulit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis menurut kriteria Hanifin dan Rajka ditunjang dengan temuan laboratorium berupa peningkatan kadar IgE total dan eosinofil. Hasil pengobatan pada der- matitis atopik sulit untuk diprediksi dan penyakit ini cenderung menjadi lebih berat dan persisten pada anak. Keberhasilan terapi pada dermatitis atopik memerlukan pendekatan sistematis dan menyeluruh, termasuk hidrasi kulit, terapi farmakologis, serta identifikasi dan eliminasi faktor pencetus seperti iritan, alergen, infektan dan stres emosional. Terapi bersifat individual, sesuai pola reaksi kulit dan faktor pemicu yang khas pada tiap individu. Dermatitis atopik yang refrakter terhadap pengobatan konvensional, memerlukan terapi alternatif seperti anti inflamasi dan imunomodulator. J Indon Med Assoc. 2011;61:299-304. Kata kunci: Dermatitis atopik, anti inflamasi, imunomodulator. 299

Transcript of Jurnal Dermatitis Atopik

Page 1: Jurnal Dermatitis Atopik

Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Perkembangan Terkini padaTerapi Dermatitis Atopik

Natalia*, Sri Linuwih Menaldi**, Triana Agustin**

*Dokter Umum Alumni Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta

**Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak: Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang bersifat kronis dan residif yang umumnya

terjadi pada masa bayi dan anak dan dapat berlanjut hingga dewasa. Dermatitis atopik

merupakan beban untuk keluarga maupun komunitas. Dermatitis atopik akan berdampak pada

menurunnya kualitas tidur, waktu kerja yang hilang, biaya, dan waktu untuk berobat. Penyakit

ini sering berhubungan dengan disfungsi sawar kulit dan sensitisasi alergi yang cenderung

bersifat diturunkan, serta berhubungan dengan hipersensitivitas seperti asma dan rinitis alergi.

Dermatitis atopik merupakan manifestasi keadaan ini pada kulit. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan gambaran klinis menurut kriteria Hanifin dan Rajka ditunjang dengan temuan

laboratorium berupa peningkatan kadar IgE total dan eosinofil. Hasil pengobatan pada der-

matitis atopik sulit untuk diprediksi dan penyakit ini cenderung menjadi lebih berat dan persisten

pada anak. Keberhasilan terapi pada dermatitis atopik memerlukan pendekatan sistematis dan

menyeluruh, termasuk hidrasi kulit, terapi farmakologis, serta identifikasi dan eliminasi faktor

pencetus seperti iritan, alergen, infektan dan stres emosional. Terapi bersifat individual, sesuai

pola reaksi kulit dan faktor pemicu yang khas pada tiap individu. Dermatitis atopik yang

refrakter terhadap pengobatan konvensional, memerlukan terapi alternatif seperti anti inflamasi

dan imunomodulator. J Indon Med Assoc. 2011;61:299-304.

Kata kunci: Dermatitis atopik, anti inflamasi, imunomodulator.

299

Page 2: Jurnal Dermatitis Atopik

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011300

Recent Developments the Treatment of Atopic Dermatitis

Natalia*, Sri Linuwih Menaldi**, Triana Agustin**

*General Physician Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta,

**Department of Dermatovenereology Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta

Abtract: Atopic dermatitis (AD) is a chronically relapsing skin disease that occurs most com-

monly during early infancy and childhood and may continue on into later life. Atopic dermatitis

impact factor in sleep deprivation, lost work days, financial cost, and time taken for skin care

concluded. Atopic dermatitis is frequently associated with abnormalities in skin barrier function

and allergen sensitization and inherited tendency to incur. This disorder is belived to be related to

hypersensitivity, such as asthma and allergic rhinitis. Atopic dermatitis (AD) was eventually

added as the cutaneous manifestation of this condition. The diagnosis is based on the constellation

of clinical findings by Hanifin and Rajka supported by increased level of IgE and eosinofil as

laboratorium findings. The outcome of atopic dermatitis may be difficult to predict and the disease

generally tends to be more severe and persistent in young children. Successful treatment of atopic

dermatitis requires a systematic, multipronged approach that incorporates skin hydration, phar-

macologic therapy, and the identification and elimination of flare factors such as irritants, aller-

gens, infectious agents, and emotional stressors. Treatment should be individualized to address

each patient’s skin disease reaction and pattern and the trigger factors that are unique to the

particular patient. Atopic dermatitis refractory to conventional forms of therapy, alternative anti-

inflammatory and immunomodulatory agents may be necessary. Atopic dermatitis creates a sig-

nificant burden for both families and the community. J Indon Med Assoc. 2011;61:299-304.

Keywords: atopic dermatitis, anti-inflammatory, immunomodulatory.

Pendahuluan

Dermatitis atopik (DA), atau eczema atopik adalah

penyakit inflamasi kulit kronis dan residif yang gatal yang

ditandai dengan eritema dengan batas tidak tegas, edema,

vesikel, dan madidans pada stadium akut dan penebalan kuilit

(likenifikasi) pada stadium kronik.1-3

Faktor penyebab DA merupakan kombinasi faktor

genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi

kulit, infeksi, stres, dan lain-lain.4,5 Gejala klinis dan perjalanan

penyakit DA sangat bervariasi, membentuk sindrom

manifestasi diatesis atopik.6

Walaupun DA telah banyak dipelajari dan dikatakan

berhubungan dengan sistem imun, belum ada pengobatan

yang pasti untuk DA.7,8 Hasil pengobatan DA pada beberapa

pasien masih belum memuaskan.7 Pada beberapa pasien,

imunosupresi dengan kortikosteroid sistemik, azathioprine,

methothrexate, cyclosporine, atau PUVA dapat menye-

babkan disabilitas dan berisiko menimbulkan efek yang tidak

diinginkan. Di samping itu penggunaannya juga tidak

menimbulkan efek yang bermakna.7 Penatalaksanaan DA

terutama ditujukan untuk mengurangi kekambuhan sehingga

dapat mengatasi penyakit dalam jangka waktu lama dan

mengubah perjalanan penyakit, serta ditekankan pada kontrol

jangka waktu lama (long term control), bukan hanya untuk

mengatasi kekambuhan.8 Penatalaksanaan DA terutama

adalah edukasi, mengurangi gatal (pelembab, obat anti

inflamasi), serta menghindari kekambuhan (menghindari

faktor pencetus).1,9 Setiap pasien memerlukan penata-

laksanaan individual sehingga berbagai macam pengobatan

dapat dicoba sampai mendapatkan kombinasi pengobatan

yang ideal.1,6,8 Pada makalah ini akan dibicarakan tentang

berbagai terapi pada DA, baik yang telah maupun yang belum

direkomendasikan oleh FDA.

Prinsip Pengobatan pada DA

Terapi DA membutuhkan pendekatan sistematis dan

multifaktorial yang merupakan kombinasi hidrasi kulit, terapi

farmakologis, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab

seperti iritan, alergen, agen infeksi, dan stres emosional yang

bersifat individual.1,8-10 Penatalaksanaan ditekankan pada

kontrol jangka waktu lama (long term control), bukan hanya

untuk mengatasi kekambuhan.8 Edukasi merupakan dasar dari

suksesnya penatalaksanaan DA, yaitu perawatan kulit yang

benar dan menghindari penyebab.1,8-11 Agen topikal

digunakan untuk terapi penyakit yang terlokalisasi dan

ringan, sedangkan fototerapi dan agen sistemik digunakan

untuk yang lebih luas dan berat.12

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

Page 3: Jurnal Dermatitis Atopik

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011 301

Terapi Non-farmakologis

Berbagai makanan seperti susu, ikan, telur, kacang-

kacangan yang dapat mencetuskan DA harus diidentifikasi

secara teliti melalui anamnesis dan beberapa pemeriksaan

khusus. Namun, eliminasi makanan esensial pada bayi/anak

harus berhati-hati karena dapat menyebabkan malnutrisi

sehingga sebaiknya diberi makanan pengganti.8

Mandi dengan air hangat teratur dua kali sehari lalu

dibilas dengan air biasa dan menggunakan pembersih yang

lembut dan tanpa bahan pewangi akan membersihkan kotoran

dan keringat, juga skuama yang merupakan medium yang

baik untuk bakteri.8,11 Keadaan itu akan meningkatkan

penetrasi terapi topikal.11 Hindari sabun atau pembersih kulit

yang mengandung antiseptik/antibakteri yang digunakan

rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi

sekunder.8 Dalam tiga menit setelah selesai mandi, pasien

seharusnya mengaplikasikan pelembab untuk memak-

simalkan penetrasinya.11 Salap hidrofilik dengan ceramide-

rich barrier repair mixtures akan memelihara kelembaban

dan berfungsi sebagai sawar untuk bahan antigen, iritan,

patogen, dan mikroba.11,14-16 Hasil sebuah penelitian me-

nunjukkan bahwa penggunaan pelembab akan mengurangi

penggunaan kortikosteroid hingga 50%.2 Sebuah penelitian

pada 100 pasien DA dengan pelembab urea 5% atau losion

urea 10% yang diaplikasikan topikal dua kali sehari efektif

dan aman untuk memperbaiki gejala DA derajat ringan-

sedang.13

Hindari pakaian yang terlalu tebal, bahan wol atau yang

kasar karena dapat mengiritasi kulit. Kuku sebaiknya selalu

dipotong pendek untuk menghindari kerusakan kulit (erosi,

eksoriasi) akibat garukan. Gatal dikurangi dengan emolien

ataupun kompres basah.8,17

Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan

sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama

untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap

pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi

larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid

pada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat dan

ditutup dengan lapisan/baju kering di atasnya. Cara ini

sebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak

lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan

dengan mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga

memberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal serta

berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan

sehingga mempercepat penyembuhan. Bila tidak disertai

pelembab, balut basah dapat menambah kekeringan kulit dan

menyebabkan fisura. Penggunaan balut basah yang ber-

lebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan

infeksi sekunder.8

Terapi Topikal

Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal merupakan terapi yang paling

sering digunakan pada DA di Amerika Serikat untuk DA fase

akut. 2,11,12 Terapi kortikosteroid untuk DA bersifat efektif,

relatif cepat, ditoleransi dengan baik, mudah digunakan, dan

harganya tidak semahal terapi alternatif lainnya.12 Pada

sebuah penelitian dengan randomized controlled trials pada

83 kasus DA, 80% dilaporkan remisi total. Penelitian pada

231 anak dengan DA menerima terapi 0,05% fluticasone pro-

pionate dengan pelembab dua kali perminggu, menunjukkan

bahwa pada pasien kontrol lebih cenderung mengalami relaps.8

Kortikosteroid dengan potensi rendah cukup bagi anak

pada semua lokasi tubuhnya. Hanya sedikit perbedaan hasil

terapi pada penggunaan preparat potensi lemah jangka

pendek dan panjang pada anak dengan derajat penyakit

ringan sedang. 2,18

Efek samping yang dapat terjadi walaupun jarang adalah

terhambatnya pertumbuhan oleh supresi adrenal karena

absorbsi sistemik, namun belum ada bukti yang menyatakan

bahwa penggunaan kortikosteroid pada anak mempengaruhi

pertumbuhan tinggi badan.2 Dibutuhkan penelitian lebih

lanjut apakah penggunaan steroid dua kali sehari lebih efektif

dibandingkan sekali sehari.18

Inhibitor Kalsineurin Topikal

Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah terbukti efektif.

Sebuah penelitian dengan takrolimus 0,1%, dikatakan

mempunyai potensi yang sama dengan kortikosteroid topikal.

Kelebihan inhibitor kalsineurin topikal dibandingkan dengan

kortikosteroid adalah tidak menyebabkan penipisan kulit,

namun pada penggunaan awal akan menimbulkan sensasi

terbakar di kulit.2,8,19 Takrolimus tersedia dalam bentuk salap

0,03% dan 0,1% untuk DA derajat sedang hingga berat. Kadar

0,03% dapat digunakan untuk anak usia 2-15 tahun. Krim

pimekrolimus 1% diindikasikan untuk DA derajat ringan

hingga sedang pada pasien diatas usia 2 tahun.2,8,11,19

Penggunaan takrolimus dan pimekrolimus dua kali sehari

terbukti aman, dengan respon klinis pada anak dan dewasa

akan terjadi dalam 1 minggu setelah terapi. Oleh karena itu

dapat digunakan di wajah serta daerah lipatan kulit (aksila,

leher, inguinal) dan kulit yang tipis (wajah, kelopak mata).8,19

Selain efek samping rasa terbakar pada kulit, juga eritem dan

pruritus. Belum ada bukti peningkatkan risiko hipertensi dan

neurotoksik, namun dibutuhkan penelitian dalam waktu

jangka panjang untuk selanjutnya.12,19

Strategi Terapi Kombinasi

International Consensus Conference on Atopikc Der-

matitis II (ICCAD II) merekomendasikan kortikosteroid topikal

untuk mengatasi eksaserbasi akut/flare, sedangkan inhibitor

kalsineurin topikal digunakan secara intermiten untuk terapi

pemeliharaan. Penelitian pada ko-aplikasi betametason valerat

dengan takrolimus atau pimekrolimus meningkatkan penetrasi

keduanya sehingga efektifitasnya meningkat.8 Kombinasi

kortikosteroid dan antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi

dengan infeksi ringan.8,10

Page 4: Jurnal Dermatitis Atopik

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011302

250 bp

250 bp

Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai terapi

kombinasi dan untuk menetapkan dosis optimal untuk

kombinasi kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin atau

alteransi.11

Ter

Preparat ter batubara mempunyai efek anti-gatal dan

anti-inflamasi, walaupun tidak sekuat kortikosteroid topikal.8,12

Sampo yang mengandung ter dapat digunakan untuk lesi di

skalp. Preparat ter sebaiknya tidak digunakan pada lesi akut

karena dapat menyebabkan iritasi. Efek sampingnya antara

lain folikulitis, fotosensitivitas, dan potensi karsinogenik.8,12

Terapi Sistemik

Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik seperti prednison jarang

digunakan sebagai terapi primer pada DA, namun terkadang

dapat digunakan pada masa akut sementara transisi ke agen

lain.12 Prednisolon 1 mg/kg berat badan dapat digunakan pada

anak, namun sebaiknya tidak lebih dari 1 atau 2 minggu.20

Penggunaan jangka waktu lama tidak dianjurkan pada anak.12

Inhibitor Kalsineurin Sistemik

Siklosporin oral sebagai terapi sistemik DA tersedia

dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau 100 mg, durasi terapi

singkat, namun penggunaan lebih dari setahun tidak

dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah

penghentian terapi siklosporin. Siklosporin merupakan obat

kategori C yang berisiko nefrotoksik, hipertensi, dan

hiperlipidemia. Efek samping dapat diminimalisir dengan

dosis yang tepat dan durasi singkat. Siklosporin bereaksi

dengan obat-obat lain seperti obat untuk jantung dan

hipertensi (diltiazem, verapamil, diuretik hemat Kalium), statin,

antibiotik dan antijamur (klaritomisin, eritromisin, flukonazol,

ketokonazol), antikejang (karbamazepin, fenitoin), anti-

depresan (selective serotonin reuptake inhibitor, nefa-

zodone), dan obat-obat inhibitor protease HIV (indinavir,

saquinavir).8,10,12

Anti Infeksi

Bila terdapat tanda infeksi sekunder oleh kolonisasi

Staphylococcus aureus (madidans, krusta, pustul, pus) yang

luas dapat diberikan antibiotik sistemik misalnya sefalosporin

atau penisilin yang resisten terhadap penisilinase (diklok-

sasilin, kloksasilin, flukloksasilin).2,8 Bila lesinya tidak luas

dapat dipakai antibiotik topikal, misalnya asam fusidat atau

mupirosin. Eritromisin atau makrolid lainnya dapat diberikan

pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Antijamur topikal

atau sistemik dapat diberikan bila ada komplikasi infeksi

jamur.8,10

Fototerapi

UVA, UVB, narrowband UVB, UVA-1, kombinasi UVA

dan UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi) dapat

digunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menye-

babkan remisi panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan

kulit dini dan keganasan kulit pada pengobatan jangka lama.8,10

Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding PUVA, yang

dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanoma

maligna.2,12 Fototerapi dipertimbangkan pada DA berat dan

luas yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal.

Fotokemoterapi tidak dianjurkan untuk anak usia kurang dari

12 tahun karena dapat mengganggu perkembangan mata.8,10

Terapi Lain yang Belum Direkomendasikan FDA

Agen Biologik

Azatioprin

Azatioprin efektif sebagai anti-inflamasi pada DA, baik

sebagai obat tunggal maupun untuk mengurangi dosis

kortikosteroid (steroid sparing). Obat ini dapat diper-

timbangkan untuk DA berat dan refrakter.8,10 Azatioprin

merupakan obat kategori D dan dikontraindikasikan pada

kehamilan karena berdampak pada fetus.20 Efek samping

terutama berupa supresi sumsum tulang dan hepatotoksik.8,10

Obat ini belum direkomendasikan oleh FDA oleh karena

sulitnya menentukan dosis, durasi terapi, maupun efekti-

vitasnya secara objektif.20

 

Mofetil Mikofenolat

Efektif pada DA refrakter dengan pemberian oral selama

12 minggu pada DA dewasa memberi perbaikan klinis sebesar

68%.8,10 Obat ini termasuk kategori C dan dikontraindikasikan

pada kehamilan. Pada dosis 2 g per hari dikatakan efektif,

aman, dan dapat ditoleransi.20

 

Metotreksat

Digunakan untuk DA rekalsitran. 8,10,12 Dosisnya adalah

2,5 mg per hari dan diberikan 4 kali dalam seminggu.20

Terdapat laporan tentang penekanan sumsum tulang yang

berhubungan dengan dosis dan penggunaanya belum

direkomendasikan FDA.8,10,12,20,22

 

Interferon-g

Beberapa penelitian menunjukkan IFN-ã yang diberikan

secara subkutan efektif pada DA berat dan rekalsitran, namun

hasilnya masih kontroversi dan belum direkomendasikan oleh

FDA sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut. Efek

samping dapat berupa gejala mirip flu dan nyeri kepala.8,10,21

 

Siklosporin

 Siklosporin merupakan agen makrolid dengan aktivitas

imunosupresif. Penggunaanya sebagai terapi pada DA pada

dewasa telah direkomendasikan oleh FDA, namun pada anak

belum direkomendasikan oleh FDA,22 namun pada beberapa

penelitian dikatakan efektif untuk terapi DA rekalsitran pada

anak dan dewasa, namun dikatakan dapat terjadi relaps

setelah terapi.20 Dosis dimulai pada 2,5 mg/Kg berat badan,

Page 5: Jurnal Dermatitis Atopik

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

303

dinaikkan 1 mg/Kg berat badan setiap 2 minggu hingga

maksimal 5 mg/Kg berat badan per hari dan diberikan selama

10 hari. Efek sampingnya yang sejalan dengan dosis yang

diberikan antara lain nefrotoksik, tremor, dan hipertensi. Pada

anak, dilaporkan efek samping nyeri kepala dan nyeri abdo-

men. Walaupun belum ada laporan potensi teratogenik,

namun siklosporin termasuk kategori C dan dikontraindi-

kasikan pada kehamilan.20

Antagonis leukotrien

Pemberian antagonis leukrotrien (zafirlukast, monte-

lukast) selama 4 minggu sebagai  ajuvan dapat memperbaiki

gejala klinis DA. Penelitian jangka waktu lama masih

diperlukan untuk memastikan efektivitas, keamanan, dan

dosis optimum obat ini.10

Pengobatan Lain-lain dan Alternatif

Berbagai macam pengobatan, baik berdasarkan pene-

litian ataupun tidak, telah digunakan dalam pengobatan DA,

dan hasilnya bervariasi. Pengobatan itu antara lain:

− Imunoterapi dengan alergen hirup (hiposensitisasi):

belum terbukti efektif pada DA. Pengobatan ini masih

dianggap eksperimental sehingga diperlukan penelitian

dengan kontrol pada DA.

− Inhibitor fosfodiesterase: Beberapa penelitian yang

menggunakan kortikosteroid potensi tinggi secara

topikal menunjukkan adanya manfaat klinis pada DA.

− Timopentin efektif mengurangi pruritus serta menu-

runkan skor/indeks derajat penyakit bila diberikan dalam

dosis tinggi secara intravena; obat ini cukup aman, tetapi

mahal.

Pengobatan alternatif terhadap DA rekalsitran, misalnya

homepati, dan akupunktur.12

Terapi Imunomodulator di Masa Depan

Pendekatan terbaru dalam terapi dermatitis atopik

berdasarkan pada perkembangan atas pandangan bahwa

terdapat sel dan sitokin tertentu yang berperan dalam proses

inflamasi atopik (Tabel 1).11 Walaupun disregulasi imunitas

sel T masih diperkirakan sebagai defek imunologis primer

pada DA, kelainan yang lain, seperti imunodefisiensi

keratinosit intrinsik dan fungsi sawar stratum korneum yang

abnormal juga merupakan target terapi.11 Pendekatan itu

antara lain berupa modulasi sitokin dengan agen-agen seperti

reseptor IL-4, antibodi monoklonal anti IL-5, atau inhibitor

TNF-α, serta penghambatan proses inflamasi sel oleh

antagonis reseptor kemokin atau inhibitor CLA, inhibisi

aktivasi sel T dengan alefacept atau efalizumab, dan

meningkatkan respon sel T dengan peptide antimikroba

sintetik.11,12 Vaksinasi dengan sel langerhans telah menjadi

terapi sebagai sasaran untuk menaikkan jumlah sel

langerhans IgE bearing yang membawa alergen kepada sel

Th2 di kulit pada DA. Gen yang berperan pada kompleks

diferensiasi epidermal, yang terlibat dalam supresi inflamasi

kulit dan pemeliharaan struktural, merupakan sasaran lain

yang penting pada DA.11

Tabel 1. Sasaran Imunologi pada Dermatitis Atopik (diadaptasi

dari Leung et al)11

Sasaran Agen penginvestigasi

Aktivasi sel T Alefacept (memblokade sel T CD2-LFA-1 dan

CD2-LFA-3 interaksi APC)

Efalisumab (memblokade LFA-1-ICAM-1 dan

LFA-1 ICAM-2 interaksi APC)

Respon sel T Peptida antimicrobial

Ketidakseimbangan Probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG)

Th1/Th2 CpG-ODNs

Respon Th2 IFN-ã rekombinan

Sitokin Reseptor IL-4 terlarut, antibodi monoklonal anti

IL-5, inhibitor TNF

Kemokin Antagonis reseptor-4 kemokin CC

Protease serin Inhibitor protease

Sel langerhans Vaksinasi sel langerhans

Gen EDC ?

Ringkasan

Perkembangan terbaru dalam imunopatogenesis atopi

berdampak cepat pada perkembangan modalitas terkini.

Walaupun telah ditemukan fototerapi, obat imunosupresif,

dan sitokin, namun belum ada terapi pilihan yang paling tepat

untuk DA, dan tetap diprediksi bahwa pasien akan memiliki

respon individual terhadap strategi terapi ini. Bagaimanapun

juga, hal ini menjadi pendorong bagi kemajuan mekanisme

patologi yang terlibat dalam penyakit kompleks ini.

Daftar Pustaka

1. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis

(Atopic eczema). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest

BA, Paller AS, editor. Fitzpatrick’s dermatology in general medi-

cine. 7th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p. 146-58.

2. Williams HC. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2005;352(22):

2314-34.

3. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis. In: Djuanda A, Hamzah M,

Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI; 2010. p. 129-53.

4. Leung DYM, Soter NA. Cellular and immunologic mechanisms

in atopic dermatitis. Am Acad dermatol. 2001;44:S1-2.

5. Dewi RWN. Eksim susu pada bayi dan anak. In: Boediardja SA,

Sugito TL, Rihatmadja R, editor. Eksim pada bayi dan anak.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p. 18-31.

6. Jacoeb TNA. Manifestasi klinis dermatitis atopik pada bayi dan

anak. Dalam: Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, editor.

Dermatitis pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2004. hal. 58-78.

7. Mohla G, Horvard N, Stevens S. Quality of life improvement in

a patient with severe atopic dermatitis treated with photophresis.

Am Acad Dermol. 1999;40:780-2.

8. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. In:

Boediardja SA, Sugito TL, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S,

editor. Dermatitis atopik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.

39-55.

9. Sugito TL. Perkembangan terakhir dermatologi anak. Media

Dermato-Venereologica Indonesiana. 2006; 33:155-6.

10. Sugito TL. Penatalaksanaan terbaru dermatitis atopik. Dalam:

Boediardja SA, Sugito TL, Rihatmadja R, editor. Dermatitis pada

Page 6: Jurnal Dermatitis Atopik

Perkembangan Terkini pada Terapi Dermatitis Atopik

J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 7, Juli 2011304

bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. p.79-95.

11. Spergel JM. Immunology and treatment of atopic dermatitis. Am

Acad Dermatology. 2008;9(4):233-44.

12. Gottlieb AB, Brunswick N. Therapeutic options in the treatment

of psoriasis and atopic dermatitis. Am Acad Dermatol. 2005;53:

S3-16.

13. Bissonnette R, Maari C, Provost N, Bolduc C, Nigen S, Rougier A,

et al. A double-blind study of tolerance and efficacy of a new urea-

containing moisturizer in patients with atopic dermatitis. J Cosm

Dermatol. 2010;9:16-21.

14. Kim HJ. Therapeutic implication of barrier cream. Prosiding

Simposium Multi Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The

New Platform Technology for Skin Barrier Function; 2011; .

15. Lea Y. Non-steroid treatment for skin barrier function. Prosiding

Simposium Multi Lamellar Emulsion (MLE) Moisturizer, The

New Platform Technology for Skin Barrier Function; Jakarta.

Indonesia. 2011.

16. Park BD, Youm JK, Jeong SK, Choi Eh, Ahn SK, Lee SH. The

characterization of molecular organization of multilamellar emul-

sions containing pseudoceramide and type III synthetic ceramide.

J Invest Dermatol. 2003;12(4):794-801.

17. Jones SL, Mugglestone MA. Management of atopic eczema in

children aged up to 12 years: summary of NICE guidance. BMJ.

2007;335:1263-4.

18. Papp KA, Werfel T, Folster-Holst R, Ortonne JP, Potter PC,

Prost Y, et al. Long-term control of atopic dermatitis with

pimecrolimus cream 1% in infants and young children: A two-

year study. Am Acad Dermatol. 2005;52:240-6.

19. Nakagawa H. Comparison of the efficacy and safety of 0.1%

tacrolimus ointment with topical corticosteroid in adult patients

with atopic dermatitis. Clin Drug Invest. 2006;26(5):236-44.

20. Akhavan A, Rudikoff D. The treatment of atopic dermatitis with

systemic immunosuppressive agents. Clin Dermatol. 2003;21:

225-40.

21. Orion E, Matz H, Wolf R. Interferons: unapproved uses, dosages,

or indications. Clin Dermatol. 2002;20:493-504.

22. Gelbard CM, Hebert AA. New and emerging trends in the treat-

ment of atopic dermatitis. Dove Med Press Lim. 2008;2:387-

92.

MS