Jurnal AgriSains -...

71

Transcript of Jurnal AgriSains -...

Page 1: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk
Page 2: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains i

KATA PENGANTAR Segala puji syukur, kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan kehendakNya, jurnal AgriSains volume 2 no. 3 dapat kami hadirkan pada sidang pembaca. Pada edisi ini, Jurnal AgriSains mrnyajikan tiga tema penelitian yaitu penyediaan pakan dan pengembangan ternak, pengolahan dan penanganan pasca panen, dan budidaya jamur. Tema pertama disajikan penyediaan pakan dari rumput raja, onggok, dan jinten serta pengembangan ternak potong. Tema kedua mencakup pengolahan jagung dan penanganan pasca panen belimbing manis. Redaksi menyadari penerbitan jurnal volume 2 no. 3 ini masih terdapat kekurangannya, oleh karena itu saran yang membangun sangat kami harapkan. Akhir kata semoga jurnal ilmiah volume 2 no. 3 ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Redaksi

Page 3: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains ii

DAFTAR ISI ISSN : 2086-7719 Hal Kata Pengantar i Daftar Isi ii-iii OPTIMASI LAMA PERENDAMAN JAGUNG UNTUK PREPARASI PEMASAKAN DALAM OTOKLAF DAN PENGGORENGAN 1 - 8 Chatarina Wariyah PENGARUH UMUR PEMOTONGAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRIEN RUMPUT RAJA (KING GRASS) 9-17 Niken Astuti EVALUASI NILAI NUTRISI ONGGOK HASIL FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK UNGGAS 18 - 28 Sonita Rosningsih PENGARUH PEMBERIAN JINTEN (Cuminum cyminum) DALAM PAKAN TERHADAP PRODUKSI TELUR PUYUH 29 - 39 Lukman Amin EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DENGAN POLA INTEGRATED FARMING 40 - 47

Nur Rasminati dan Setyo Utomo

BUDIDAYA JAMUR TIRAM PUTIH PADA BERBAGAI MACAM MEDIA DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH 48 - 55 Umul Aiman

Page 4: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains iii

DISINFESTASI LALAT BUAH (BACTROCERA DORSALIS HENDEL) PADA BUAH BELIMBING MANIS DENGAN PERLAKUAN PERENDAMAN MENGGUNAKAN EKSTRAK BAGIAN TANAMAN PEPAYA 56 - 66 Dian Astriani

PEDOMAN PENULISAN NASKAH 67

Page 5: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 1

OPTIMASI LAMA PERENDAMAN JAGUNG UNTUK PREPARASI PEMASAKAN DALAM OTOKLAF DAN PENGGORENGAN

Chatarina Wariyah

Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta E-mail : [email protected]

ABSTRACT Corn seed had a hard structure that made it difficult to be softened by

soaking. Treatment combination of soaking and cooking with high pressure were needed to obtain processed corn (i.e. fried corn) with crunchy texture and high acceptability. The purposes of this study were to evaluate the effect of soaking time on corn moisture content and to determine optimum moisture content of corn that resulted fried corn with crunchy texture and high acceptability. The research was conducted with variation of soaking time of : 12, 24, 48, 72, 96 and 120 hours. The soaked corn seeds were cooked in autoclave at temperature of 125oC, with high pressure of 1,5 atm, during 30-60 minutes. Furthermore, soaked corn seed was fried at a temperature of 200 - 220oC for 5 minutes.The moisture content of soaked corn, cooked corn and fried corn were analysis . texture of fried corns were determined by Lloyd Instrument Testing Mechine and acceptable fried corn was determined by hedonic test. The result showed that moisture content of soaked corn affected the texture and acceptability of fried corn. The low or too high of corn moisture content resulted fried corn with hard texture and low preferences. The optimum moisture content of corn seed before cooked in the autoclave that resulted high acceptability product was that moisture content between 39.57-40.86% or with soaking time of 24 to 74 hours. Keywords: corn seed, soaking time, moisture content, texture. PENDAHULUAN

Jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan kaya karbohidrat. Menurut Inglett (1970), kandungan karbohidrat jagung mencapai 71-73% dan sebagian besar adalah pati . Pati jagung tersusun atas amilosa sekitar 27 % dan amilopektin 73 %. Biji jagung tersusun dalam tongkol dengan susunan teratur memanjang dan ditutup oleh selubung (klobot), serta dalam tongkol jagung

terdapat 300-1000 biji. Biji jagung masak tersusun atas perikarp 5 %, lembaga 12 %, endosperm 82% dan tip cap (tudung) 1%. Dalam perikarp terdapat lapisan aleuron dengan struktur yang relatif keras.

Saat ini konsumsi jagung sebagian besar untuk camilan seperti jagung goreng, pop corn, atau makanan tradisional. Untuk penyiapan sebagai makanan ringan seperti jagung goreng, biji jagung harus melalui proses perendaman dalam air agar terjadi

Page 6: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 2

pelunakan struktur luar biji jagung. Selain untuk pelunakan, penyerapan air pada biji jagung juga dimaksudkan untuk menyiapkan kadar air tertentu pada biji jagung agar terjadi gelatinisasi pada saat pemanasan. Menurut Muljohardjo (1987), penyerapan air dalam biji jagung dipengaruhi oleh lama perendaman, suhu dan jumlah air perendam. Untuk memperoleh biji jagung dengan tekstur lunak, perendaman harus mencapai kadar air sekitar 45%. Oleh karena itu perlu dilakukan optimasi lama perendaman agar diperoleh kadar air yang tepat untuk persiapan pemasakan.

Pada pembuatan jagung goreng, selain perendaman diperlukan juga pemasakan untuk terjadinya gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi sempurna pada pati jagung terjadi pada suhu 85oC (Hwang dkk., 1999). Pati yang telah mengalami gelatinisasi, apabila didinginkan secara perlahan-lahan akan mengalami retrogradasi (Fennema, 1985). Molekul amilosa saling bergabung satu sama lain membentuk massa yang mampat, sedangkan amilopektin penggabungan antar molekul terutama terjadi pada ujung rantai lurus, sehingga membentuk struktur amorf. Oleh karena itu tingkat gelatinisasi penting dalam menentukan tekstur jagung goreng yang dihasilkan.

Pada pemasakan atau pemanasan biji jagung, diperlukan suhu yang relatif tinggi untuk mempercepat kerusakan struktur biji dan agar terjadinya gelatinisasi lebih cepat. Menurut Prestamo dan Arroyo (1988), pemberian tekanan

tinggi pada pengolahan suatu produk dapat mengakibatkan perubahan susunan molekul lipida-peptida dan merusak struktur membran. Kerusakan sel tersebut menyebabkan tekstur bahan berubah. Dari hasil penelitian pada cauli flower menunjukkan bahwa pemberian tekanan 400 Mpa selama 30 menit pada suhu 5oC, mampu merusak struktur sel cauli flower. Struktur yang kompak dari bahan hilang akibat pelarutan sejumlah padatan. Akibat tekstur bahan menjadi lunak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh lama perendaman terhadap kadar air biji jagung dan menentukan kadar air optimum biji jagung untuk pemasakan dalam otoklaf yang dapat menghasilkan jagung goreng dengan tekstur renyah dan disukai. METODE PENELITIAN Bahan dan Peralatan yang Digunakan Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian ini adalah jagung kuning atau jagung mutiara (Zea mays indurata) yang diperoleh dari pasar lokal di Yogyakarta. Peralatan yang digunakan untuk penelitian adalah : otoklaf, alat penguji tekstur Lloyd Instrument Testing Mechine, oven (Memmert), spektrometer (Spectronic 20), timbangan analitik (Sartorius) dan seperangkat peralatan untuk pengujian inderawi. Cara Penelitian

Page 7: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 3

Untuk menentukan kadar air optimum sebelum pemasakan dalam otoklaf, pada penelitian ini dibuat variasi lama perendaman yaitu : 12, 24, 48, 72, 96 dan 120 jam. Perbandingan jumlah biji jagung dan air perendam adalah 1 : 3. Jagung yang telah direndam, dimasak dalam otoklaf dengan tekanan 1,5 atm, pada suhu 125oC, selama 30-60 menit. Selanjutnya jagung masak digoreng pada suhu 200-220oC, selama 5 menit. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air biji jagung, jagung masak dan jagung goreng, menggunakan metode thermogravimetri (AOAC, 1990), uji kesukaan dengan metode Hedonic Test (Kramer dan Twigg, 1970) terhadap sifat inderawi jagung goreng dan tekstur jagung goreng menggunakan Lloyd Instrument Testing Mechine.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lama perendaman. Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT) (Gacula dan Singh, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kadar air biji jagung setelah

perendaman dan pemasakan Perendaman jagung

menyebabkan terjadinya difusi air ke dalam biji. Oleh karena itu perendaman mengakibatkan kadar air biji jagung meningkat. Hasil pengukuran kadar air biji jagung disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar air biji jagung setelah perendaman

Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)*

12 24 48 72 96

120

38,98a 39,57ab 40,86b 40,82b 43,33c 45,31d

*huruf yang sama belakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05).

Perendaman selama 12 jam mengakibatkan peningkatan kadar air biji sampai 38,98%. Menurut Muljohardjo (1987), penyerapan air ke dalam biji jagung diawali dari ujung biji, selanjutnya masuk ke dalam rongga-rongga sel endosperm dengan cara kapiler. Oleh karena diperlukan lama perendaman tertentu mencapai maksimal.

Penyerapan air pada saat perendaman biji jagung akan mencapai maksimal setelah mencapai kadar air 45%. Pada penelitian ini kadar air tersebut tercapai setelah perendaman selama 120 jam. Selain data tersebut, kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf juga dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 8: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 4

Tabel 2. Kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf

Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)** 12 24 48 72 96 120

40,92 49,42 46,54 47,96 49,97 46,88

**tidak berbeda nyata.

Hasil pengukuran kadar air biji jagung setelah pemasakan dalam otoklaf menunjukkan tidak berbeda nyata. Selama pemasakan, terjadi pemanasan untuk terjadinya gelatinisasi yang dapat merusak struktur biji jagung. Ternyata dengan kondisi pemasakan yang sama, kadar air yang dihasilkan tidak berbeda nyata. Kadar air selama pemasakan berhubungan dengan tingkat gelatinisasi pati dalam biji jagung. Menurut Hwang dkk. (1999), selama pemasakan pati akan mengalami gelatinisasi dan untuk terjadinya gelatinisasi secara sempurna pada biji jagung diperlukan kadar air minimal

42,30%. Pada penelitian ini kadar air tersebut tercapai setelah perendaman 96 jam. B. Tekstur dan tingkat kesukaan terhadap jagung goreng Tekstur

Tekstur dinyatakan sebagai besarnya gaya yang dapat ditahan atau pergeseran titik/perubahan bentuk apabila bahan dikenai gaya. Semakin besar gaya yang dapat ditahan atau semakin besar deformasi atau perubahan bentuk, maka tekstur bahan semakin keras atau liat. Hasil pengukuran tekstur jagung goreng disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Tekstur jagung goreng

Lama perendaman (jam) Gaya yang dapat

ditahan (N)* Deformasi **

12 24 48 72 96

120

73,06ab 49,33b 53,43b 63,77ab 79,83a 81,55a

0,093 0,085 0,100 0,095 0,105 0,145

*Huruf yang sama belakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). **tidak berbeda nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur jagung goreng

berbeda nyata pada perlakuan lama perendaman. Pada kadar air

Page 9: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 5

biji jagung rendah (hasil perendaman selama 12 jam) atau dengan kadar air 40,92% menghasilkan jagung goreng dengan tekstur yang keras. Demikian pula untuk biji jagung setelah rendam 96 dan 120 jam yang kadar airnya masing-masing 43,33% dan 45,31% menghasilkan tekstur jagung keras. Pada kadar air rendah, tekstur yang keras diakibatkan oleh penyerapan air pada biji yang belum maksimal, sehingga swelling jagung rendah. Oleh karena itu pada saat digoreng tidak cukup gaya untuk menekan biji agar mengembang, sehingga tekstur jagung menjadi keras. Pada kadar air tinggi, selama pemasakan dalam otoklaf memungkinkan intensitas gelatinisasi yang tinggi dengan adanya air dan pemanasan yang cukup (Fennema, 1985). Namun

proses gelatinisasi mengakibatkan struktur biji jagung lebih terbuka dan bersifat porous. Oleh karena itu pada saat digoreng, kecepatan penguapan air tinggi, sehingga kadar air yang dicapai lebih rendah (Tabel 4). Akibatnya tekstur jagung lebih keras daripada yang direndam selam 24-72 jam. Faktor yang menyebabkan kerasnya jagung goreng pada kadar air tinggi (hasil perendaman 96-120 jam) adalah kadar amilosa biji jagung yang mencapai 25% (Inglett, 1970). Apabila terjadi gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk struktur mampat dan keras. Oleh karena itu perendaman jagung harus mencapai kadar air tertentu yang optimum agar dihasilkan jagung goreng yang renyah.

Tabel 4. Kadar air biji jagung goreng

Lama perendaman (jam) Kadar air (%bb)**

12 24 48 72 96 120

6,45 4,94 4,17 5,52 7,48 7,13

**tidak berbeda nyata. Tingkat kesukaan jagung goreng

Pengujian inderawi untuk menentukan akseptabilitas jagung goreng didasarkan pada kesukaan

terhadap warna, tekstur, rasa dan kesukaan keseluruhan. Hasil uji tingkat kesukaan disajikan pada Tabel 5.

Page 10: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 6

Tabel 5. Hasil uji kesukaan terhadap jagung goreng*

Lama perendaman

(jam)

Warna ** Rasa ** Kekerasan** Kesukaan keseluruhan**

12 24 48 72 96 120

2,47a 3,29b 4,12b 4,06b 2,47a 3,71b

4,77b 3,65a 3,77a 3,71a 5,65b 5,12b

5,18b 3,71a 4,18a 3,76a 5,59b 6,06b

4,12b 3,00a

3,88ab 3,53ab 5,12c 5,47c

*Hasil rata-rata dari 17 panelis. **Huruf yang sama dibelakang angka menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05). Angka 1 :paling suka, 4 :netral dan 7: paling tidak suka Warna Warna merupakan suatu sifat bahan yang dianggap sebagai spektrum sinar dan warna bukan merupakan suatu zat atau benda melainkan suatu sensasi seseorang oleh karena adanya rangsangan dari seberkas energi radiasi yang jatuh ke retina mata (Kartika dkk., 1987). Hasil uji kesukaan terhadap warna menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dan warna yang paling disukai dari jagung goreng adalah yang berasal dari jagung yang direndam selama 12 jam. Warna jagung ditentukan oleh kandungan β-karoten dalam biji (Inglett, 1970). Beta-karoten dapat mengalami oksidasi dengan adanya panas, kontak dengan udara maupun sinar. Pada penelitian ini perendaman dilakukan pada wadah terbuka pada suhu 49oC, sehingga perendaman yang semakin lama tingkat degradasi β-karoten semakin tinggi. Akibatnya semakin lama perendaman warna jagung goreng semakin tidak disukai.

Rasa Tabel 5 menunjukkan rasa

jagung goreng yang disukai adalah dari hasil perendaman selama 24 - 72 jam, sedangkan yang direndam selama 12, dan 96-120 jam kurang disukai. Faktor yang berpengaruh terhadap rasa jagung goreng adalah komponen gula dan pati dalam biji jagung serta komponen bumbu yang ditambahkan. Pada perendaman selama 12 jam, struktur biji masih keras, sehingga bumbu yang ditambahkan tidak mampu meresap ke dalam biji, sedangkan perendaman yang terlalu lama terjadi gelatinisasi yang berlebihan, yang mengakibatkan terjadinya leaching pada bumbu yang ditambahkan. Oleh karena itu perendaman selama 12 jam dan 96-120 jam rasa jagung goreng kurang disukai.

Tekstur (kekerasan)

Tekstur jagung goreng diuji secara mouthfeel. Hasil uji kesukaan terhadap kekerasan jagung goreng menunjukkan jagung goreng yang disiapkan

Page 11: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 7

dengan perendaman selama 24 – 72 jam disukai. Hal ini disebabkan karena jagung goreng tersebut memilki tekstur yang paling renyah. Hasil tersebut sesuai dengan pengukuran tekstur secara obyektif menggunakan alat seperti yang disajikan pada Tabel 4. Perendaman selam 24-72 jam menghasilkan nilai tekstur terendah atau tidak keras dan dengan deformasi yang rendah pula. Oleh karena itu tekstur jagung goreng yang dihasilkan paling disukai.

Kesukaan keseluruhan

Hasil uji tingkat kesukaan terhadap jagung goreng menunjukkan berbeda nyata. Jagung goreng yang diperoleh dengan perendaman selam 24-72 jam menghasilkan tingkat kesukaan tertinggi. Hasil tersebut didukung dengan tingkat kesukaan yang tinggi pada rasa serta teksturnya. KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa jagung goreng dengan tekstur renyah dan akseptabilitas tingi dapat disiapkan dari biji jagung yang direndam sampai kadar air optimum. Secara khusus kesimpulannya adalah : kadar air optimum biji jagung untuk persiapan pemasakan dalam otoklaf dan penggorengan adalah antara 39,57 – 40,86% (bb) atau biji jagung direndam dalam air selama 24-72 jam.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis Association Official Agricultural Chemistry. Washington, D.C.

Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York and Basel. Gacula, M.C. dan J. Singh, 1984.

Statistical Methods in Food and Consumer Research. Academic Press, Inc. Orlando. San Diego. New York. London.

Hwang,C.H., D.R. Helmand, R.R.

Choo and T.A. Taylor. 1999. Changes in Specific Heat of Corn Starch Due to Gelatinization. J. Food Sci. 1 : 141-143.

Inglett, G.E. 1970. Corn : Culture,

Processing and Product. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Kartika, B., P. Hastuti dan W.

Supartono. 1987. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM.

Kramer, A. and B.A. Twigg. 1970.

Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut.

Lineback, A. 1982. Food

Carbohydrate. The AVI Publishing Co.Inc. Westport. Connecticut.

Prestamo, G. dan G. Arroyo. 1988.

High-Hydrostatic Pressure

Page 12: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 8

Effect on Vegetables Structure. J. Food Sci. 5 : 878 – 881.

Page 13: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 9

PENGARUH UMUR PEMOTONGAN TERHADAP KANDUNGAN NUTRIEN RUMPUT RAJA (KING GRASS)

Niken Astuti Prodi Peternakan, Fak. Agroindustri, Univ. Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

This research was conducted to investigate the effect of defoliation ages on nutrient content of King grass. This research used a completely randomized design. The treatment contains of three types defoliation age., P1(40 days age), P2 (50 days age) and P3 (60 days age). The measured variables were water content, crude protein, crude fiber, lipid and ash content. The data were analilized by variance analysis, followed for significant means were compared by Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). The result showed that defoliation age were significant (P<0,05) on water content, crude protein, crude fiber, fat and ash content. It was concluded that the longer defoliation age resulted increasing crude fiber and fat content but decreased water content, crude protein, and ash content of King grass. Key words : King grass, nutrient content, defoliation age.

PENDAHULUAN

Hijauan makanan ternak merupakan salah satu bahan pakan yang terdiri dari daun-daunan, bercampur dengan ranting maupun bunga yang diberikan dalam keadaan segar. Hijauan ini terdiri dari rerumputan (gramineae), leguminoceae dan hijauan dari tanaman yang lain. Ketersediaan hijauan makanan ternak secara kontinyu baik kuantitas maupun kualitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas ternak ruminansia. Pengadaan hijauan makanan ternak ruminansia masih merupakan suatu kendala dan tetap menjadi masalah dalam usaha peningkatan produktivitas ternak yang dapat menunjang

perkembangan sub sektor peternakan. Di Indonesia ketersediaan hijauan sangat dipengaruhi oleh musim, pada musim penghujan ketersediaan hijauan melimpah sedangkan pada musim kemarau ketersediaan hijauan berkurang. Ketersediaan hijauan sulit dilaksanakan karena perkembangan populasi penduduk yang terus meningkat sehingga menyebabkan lahan yang tersedia untuk ditanami hijauan makanan ternak menjadi berkurang. Persaingan dalam pemanfaatan lahan baik untuk tanaman pangan, perumahan dan insdustri, terutama di pulau Jawa dan Bali mengakibatkan keterbatasan tanaman hijauan pakan karena tingginya nilai

Page 14: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 10

tanah. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengembangkan rumput yang mampu berproduksi tinggi dan memanfaatkan lahan-lahan kosong untuk ditanami hijauan makanan ternak. Pengembangan hijauan makanan ternak dimaksudkan untuk menyediakan pakan ternak secara kontinyu sepanjang tahun (Anonimus, 1993).

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan salah satu alternatif untuk penyediaan makanan ternak, karena sebagian besar lahan di sekitar daerah aliran sungai belum dimanfaatkan. Selain untuk pengembangan hijauan makanan ternak, hijauan itu sendiri dapat bermanfaat bagi keadaan tanahnya yaitu sebagai penahan erosi. Keadaan tanah di DAS mempunyai kemiringan tanah sehingga apabila di daerah tersebut tidak ada tanaman penahan erosi maka akan sering terjadi erosi yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas tanah. Menurut Reksohadiprodjo (1985) hijauan makanan ternak mempunyai kapasitas pencegah erosi nomor dua sesudah hutan pada macam-macam tanah, persentase kemiringan dan persentase hujan tertentu. Daerah aliran sungai Progo dipilih sebagai tempat penelitian karena di daerah tersebut memiliki lahan yang masih terbuka untuk ditanami hijauan makanan ternak dan sebagian penduduk di sekitar DAS banyak yang memelihara ternak ruminansia yang sangat

membutuhkan hijauan. Rumput Raja merupakan salah satu hijauan makanan ternak yang banyak dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia. Rumput ini mampu hidup di dataran rendah hingga ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Produksinya mencapai 1076 ton/ha/tahun melebihi dari produksi induknya (Siregar, 1989). Rumput raja lebih cepat tumbuh, memiliki tunas yang banyak, umur pemotongan lebih singkat dan produksinya tinggi. Peningkatan produksi dan kualitas rumput raja tergantung pada manajemen yang dilakukan antara lain jarak tanam, cara penanaman dengan stek atau pols, kesuburan tanah, umur pemotongan dan pemupukan (Anonimus, 1989). Pemotongan merupakan salah satu cara untuk mengatur fase pertumbuhan tanaman. Pengaturan umur pemotongan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan kembali (regrowth) tanaman sehingga sangat penting untuk diperhatikan agar tanaman tetap dapat hidup sepanjang tahun dan memberikan produksi yang optimal baik kuantitas maupun kualitasnya. Berdasarkan hal ini maka dilakukan penelitian tentang pengaruh umur pemotongan terhadap kandungan nutrien rumput raja (King grass).

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian lapangan dilakukan pada tahun 2006 di DAS sungai Progo sedang

Page 15: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 11

analisis proksimat kandungan nutrien rumput Raja dilakukan pada bulan Juli tahun 2007 di Laboratorium Kimia Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta.

Materi Penelitian

Sampel tanaman rumpur raja umur pemotongan 40, 50 dan 60 hari

Seperangkat alat laboratorium untuk analisa proksimat

Metode Penelitian

Pengambilan sampel Sampel tanaman di dapat dari lokasi penelitian diambil dari masing-masing perlakuan. Sampel yang didapat dikeringkan untuk dibuat tepung dan dianalisa di Laboratorium Kimia Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta.

Pengambilan data

1). Kadar protein kasar (Tillman dkk., 1991 )

Penentuan kadar protein kasar dikerjakan melalui 3 tahap, yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi.

Destruksi

a. Pada tahap destruksi, cuplikan bahan ditimbang seberat 0,5 gram (Z gram).

b. Dimasukkan 2 butir batu didih, 20 ml H2SO4 pekat dan 0,5 tablet kjedal ke dalam tabung destruksi yang telah bersih dan kering. Kompor destruksi

dihidupkan kemudian tabung-tabung destruksi ditempatkan pada lubang yang ada pada kompor.

c. Pendingin dihidupkan. Skala pada kompor destruksi diset kecil kurang lebih 1 jam.

d. Destruksi diakhiri bila larutan berwarna jernih.

Destilasi

a. Pada saat destilasi, hasil destruksi diencerkan dengan air sampai volumenya 300 ml dan digojog agar larutan homogen.

b. Setelah itu disiapkan erlemeyer 650 ml yang berisi 50 ml H3BO3 0,1 N + 100 ml air dan 3 tetes indicator mix.

c. Pasang penampung dalam alat destilasi. Air pendingin dihidupkan (panas pendingin maksimum 800o

F) dan tombol ditekan hingga menyala hijau. Dispensing ditekan ke bawah untuk memasukkan NaOH 50%. Handle steam diturunkan ke bawah sehingga larutan yang ada dalam tabung mendidih.

d. Destilasi berakhir setelah destilat mencapai 200 ml.

e. Buat blanko dengan menggunakan cuplikan berupa H2O dan idestilasi dengan cara seperti diatas.

Titrasi

a. Pada tahap titrasi, hasil destilasi dititrasi dengan HCl

Page 16: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 12

0,1 N sampai timbul perubahan warna.

b. Untuk menentukan kadar protein kasar dihitung dengan rumus :

Kadar protein kasar = (X-Y) x N x 0,014 x 6,25 x100%

Z X = jumlah titrasi sampel (ml) Y = jumlah titrasi blanko (ml)

Z = bobot sampel (gram) N = normalitas HCl

2). Kadar serat total (Tillman dkk., 1991 )

Cara penentuan serat total sebagai berkut :

a). Cuplikan bahan ditimbang sebanyak 1 gram (X gram), dimasukkan ke dalam beaker glass

b). Ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25% (0,255N) lalu panaskan hingga mendidih selama 30 menit.

c). Cuplikan selanjutnya disaring melalui saringan linen.

d). Hasil saringan atau residu dimasukkan ke dalam beaker glass, dan ditambahkan 200 ml NaOH 1,25% (0,313N) , lalu didihkan selama 30 menit.

e). Disaring kembali dengan crucible yang telah dilapisi dengan glass wool.

f). Dicuci dengan beberapa ml air panas dan kemudian dengan 15 ml ethyl alcohol 95%.

g). Hasil saringan (termasuk serat gelas) dimasukkan pada alat pengering dengan suhu 105-110ºC selama 1 malam.

h). Kemudian didinginkan ke dalam desikator selama 1 jam.

i). Setelah itu ditimbang (Y gram).

j). Gooch crucible dibakar bersama isinya di dalam tanur pada suhu 550-600ºC, sampai berwarna putih seluruhnya (bebas karbon).

k). Selanjutnya gooch crucible yang berisi hasil pembakaran dikeluarkan dan didinginkan pada desikator. Apabila sudah dingin kemudian ditimbang (Z gram).

Untuk menentukan kadar serat kasar dihitung dengan rumus :

Kadar serat kasar = Y- Z x 100% X X = bobot sampel awal (gram) Y = bobot sampel setelah dioven 1050C (gram) Z = bobot sisa pembakaran 550-6000C (gram)

3) Kadar Air Cara analisisnya sebagai berikut :

Page 17: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 13

a) Sampel ditimbang dan diletakkan dalam cawan khusus dan dipanaskan dalam oven pada suhu 105° C. Pemanasan dilakukan sampai sampel tidak turun lagi beratnya. b) Setelah pemanasan tersebut sampel tersebut telah merupakan bahan kering. c) Ditimbang sampel tersebut dengan timbangan analitik.

Analisa Data

Penelitian ini dirancang menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) pola searah. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis of Variance (Anova), jika terdapat perbedaan yang nyata maka dlanjutkan dengan Duncan’’s New Multiple Range test (DMRT) menurut Astuti (1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan air Kandungan air rumput raja

pada berbagai umur pemotongantertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata kadar air rumput raja pada berbagai umur pemotongan

(%)

Ulangan Perlakuan 1 2 3 Rata-rata

P1 (Potong 40 hari) 12,64 12,75 12,96 12,78a P2 (Potong 50 hari) 12,95 12,22 11,33 12,17a P3 (Potong 60 hari) 9,31 9,41 9,79 9,50b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi

menunjukkan bahwa kandungan air rumput raja pada berbagai perlakuan umur pemotongan berbeda nyata (P<0,05). Kandungan air pada umur pemotongan 40 dan 50 hari sama tetapi pada umur pemotongan 60 hari kandungan airnya terendah atau bahan keringnya tertinggi. Hal ini dikarenakan pengaruh dari umur tanaman, semakin tua umur tanaman atau semakin panjang interval pemotongannya maka kandungan bahan kering dan serat kasarnya semakin

meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Crowder dan Chheda (1982) bahwa interval pemotongan pada rumput berpengaruh terhadap produksi, kandungan nutrien, potensi tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan hidup, semakin panjang interval pemotongan maka kandungan bahan kering, serat kasar dan komponen dinding sel semakin bertambah.

Kadar protein kasar Kadar protein kasar rumput raja pada masing-masing perlakuan secara berturut-turut

Page 18: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 14

dari pemotongan 40 hari sampai 60 hari adalah 16,30; 14,02 dan

8,9% ( Tabel 2 ).

Tabel 2. Rata-rata kadar air rumput raja pada berbagai umur pemotongan

(%) Ulangan Perlakuan 1 2 3

Rata-rata

P1 (Potong 40 hari) 15,97 17,75 15,19 16,30a P2 (Potong 50 hari) 14,82 15,03 12,23 14,02a P3 (Potong 60 hari) 9,17 8,62 9,17 8,98b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan umur pemotongan pada rumput raja menghasilkan kadar protein kasar yang berbeda nyata (P<0,05). Kadar protein kasar pada pemotongan 40 hari dan 60 hari tidak berbeda nyata sedang keduanya berbeda nyata dengan pemotongan 60 hari. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin lama umur pemotongan kandungan nutrien (protein kasar) semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman secara umum memperlihatkan penurunan produksi daun dan peningkatan imbangan batang dengan daun,

biasanya kualitas batang lebih rendah dibanding daun sehingga semakin muda tanaman proporsi daun lebih banyak dibanding batang dan kandungan proteinnya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van Soest (1994) bahwa pada tanaman umumnya batang mengandung kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan daun.

Kadar serat kasar Kadar serat kasar rumput raja pada berbagai umur pemotongan berturut-turut 40, 50 dan 60 hari adalah 21,73; 122,40 dan 24,59 % ( Tabel 3 ).

Tabel 3. Rata-rata serat kasar rumput raja pada berbagai umur pemotongan

(%) Ulangan Perlakuan

1 2 3 Rata-rata

P1 (Potong 40 hari) 21,39 22,44 21,36 21,73a P2 (Potong 50 hari) 22,60 22,16 22,44 22,40a P3 (Potong 60 hari) 24,38 25,20 24,18 24,59b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Page 19: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 15

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan umur pemotongan pada rumput raja menghasilkan kadar serat kasar yang berbeda nyata (P<0,05). Kadar serat kasar pada pemotongan 40 dan 50 hari tidak berbeda nyata sedang keduanya berbeda nyata dengan pemotongan 60 hari. Hasil tersebut diatas menunjukkan bahwa semakin lama umur pemotongan kandungan serat kasar semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman hasil proses fotosintesisnya banyak digunakan

untuk membentuk dinding sel tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Crowder dan Chheda (1982) bahwa semakin tua umur tanaman, kandungan dinding selnya semakin tinggi dan sebaliknya sintesis protein akan semakin rendah.

Kadar lemak kasar Rata-rata kadar lemak kasar pada masing-masing perlakuan secara bertutut-turut dari pemotongan 40, 50 dan 60 hari adalah 1,54; 2,18 dan 3,72% ( Tabel 4 ).

Tabel 4. Rata-rata kadar lemak kasar rumput raja pada berbagai umur

pemotongan (%) Ulangan Perlakuan 1 2 3

Rata-rata

P1 (Potong 40 hari) 1,96 1,34 1,32 1,54a P2 (Potong 50 hari) 1,65 2,46 2,43 2,18b P3 (Potong 60 hari) 4,16 3,58 3,44 3,72b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi

terhadap kandungan lemak kasar rumput raja menunjukkan bahwa umur pemotongan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kandungan lemak kasar pada pemotongan 40 hari berbeda nyata (P<0,05) lebih rendah dibanding pemotongan 50 dan 60 hari. Hal ini disebabkan karena semakin tua umur tanaman semakin banyak

cadangan energi dalam bentuk lemak kasar yang ditimbun di daun.

Kadar abu Kadar abu rumput raja pada berbagai umur pemotongan bertutut-turut dari 40, 50 dan 60 hari adalah 8,00; 7,58 dan 7,37 ( Tabel 5 ).

Page 20: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 16

Tabel 5. Rata-rata kadar abu rumput raja pada berbagai umur pemotongan (%)

Ulangan Perlakuan 1 2 3

Rata-rata

P1 (Potong 40 hari) 7,39 8,42 8,20 8,00a P2 (Potong 50 hari) 7,60 7,23 7,91 7,58ab P3 (Potong 60 hari) 8,08 7,05 6,98 7,37b Keterangan : Huruf berbeda pada rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Hasil analisis variansi

terhadap kandungan abu rumput raja menunjukkan bahwa umur pemotongan berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kandungan lemak kasar pada pemotongan 40 hari berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding pemotongan 50 dan 60 hari. Hal ini disebabkan karena tanaman muda banyak mengandung mineral. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pearson dan Ison (1987) bahwa kadar abu (mineral) pada tanaman lebih tinggi pada awal pertumbuhan dan menurun seiring dengan meningkatnya umur tanaman.

KESIMPULAN

Umur pemotongan untuk rumput raja yang memberikan nutrien (kadar air, protein, serat kasar, lemak kasar dan abu) terbaik adalah umur 40 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1995. Hijauan Makanan Ternak. Aksi Agraris Kanisius, Yayasan Kanisius, Yogyakarta.

Anonimus, 1989. Teknik Budidaya King grass. Direktorat Bina ProduksiPternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

AOAC. 1975. Official Methods of

Analysis. Association of Official Analytical Chemists. Washington, D.C.

Astuti, M. 1980. Rancangan

Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Crowder, L.V., and H.R. Chheda.

1982. Tropical Grassland Husbandry. 1st ed. Longman Inc., New York.

Pearson, C.J. and R.L. Ison.

1987. Agronomy of Grassland System. Cambridge University Press, Cambridge.

Reksohadiprodjo, S. 1985.

Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Edisi Revisi, BPFE,

Page 21: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 17

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Siregar, M. 1989. Produksi dan

Nilai Nutrisi Tiga Jenis Rumput Pennisetum Dengan Sistem Potong Angkut. Trubus, No. 6 Thn 11.

Tillman, A. D. Hari Hartadi,

Soedomo Reksohadiprodjo. Soeharto Prawirokusumo

dan Soekanto Lebdo Soerojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta

Van Soest, D.J. 1994. Nutritional

Ecology of The Ruminant. 2nd ed. Cornell University Press Ithaca London

Page 22: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 18

EVALUASI NILAI NUTRISI ONGGOK HASIL FERMENTASI SEBAGAI BAHAN PAKAN TERNAK UNGGAS

Sonita Rosningsih

Program studi Peternakan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

This study was investigate to evaluate the nutritional value of fermented cassava as animal feed of poultry. The Experiment using completely randomized design conducted in the field direction and community involvement duck. Farmers divided into 3 groups with different treatments, each making three times the dough fermentation as replication. Group 1 makes cassava fermentation using tempe yeast without additives. Group 2 made cassava fermentation using the tempeh yeast with the addition of 1% urea. Group 3 made cassava fermentation with the addition of 1% fish meal. Fermentation carried out for 4 days. Fermented cassava waste was analyzed contain of water content, crude protein and crude fiber content . The results showed that water content of fermentation without addition and fermentation with the addition of fish meal were not significantly different, but both are significantly different with the addition of urea treatment. Levels of crude protein and crude fiber cassava fermented with the addition of fish meal was significantly higher compared with other treatments, while the fermentation with the addition of urea higher than without the additive. It was concluded that the best nutritional value of fermented cassava are cassava fermented with yeast tempeh and the addition of fish meal.

Keywords. Cassava waste, Fermentation, Nutritional Value.

PENDAHULUAN

Onggok adalah limbah padat berupa ampas dari pengolahan ubikayu menjadi tapioka, yang apabila didiamkan dalam beberapa hari akan menimbulkan bau asam dan busuk yang bersifat mencemari lingkungan. Produksi ubikayu Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar setelah Nigeria, Brazil dan Thailand. Pada tahun 2002, produksi ubi kayu Indonesia

mencapai 16,9 juta ton dengan luas area1 1,27 juta ha, yang sebagian besar diserap industri tapioka, sehingga setiap tahun tidak kurang dari 1,2 juta ton onggok dihasilkan Anonimus , 2003). Nutrien utama onggok adalah karbohidrat yaitu 60-70% (Tisnadjaja, 1996), dengan kornponen utama berupa pati (Judoamidjojo et al., 1992). Nutrien lain yang harus diperhitungksan apabila onggok digunakan sebagai

Page 23: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 19

bahan pakan unggas adalah tingginya serat kasar, rendahnya protein, rendahnya kecernaan (Puslitbangnak, 1996), dan adanya senyawa anti-nutrisi (Suliantari dan Rahayu,1990). Kendala dalam mendukung perkembangan peternakan adalah tercukupinya kebutuhan pakan ternak, sehingga perlu diupayakan jenis bahan pakan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak pengganti yang harganya murah, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah didapat dan berkualitas baik. Onggok merupakan limbah padat industri tapioka dan diperkirakan di Indonesia dihasilkan kurang lebih 1,2 juta ton per tahun. Namun demikian, pemanfaatan limbah padat ini masih sangat rendah.

Penggunaan onggok sebagai pakan ternak dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain rendahnya nilai gizi (protein) dan masih tingginya kandungan sianida, untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat menin-katkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Melalui teknologi fermentasi diharapkan akan meningkatkan nilai gizi (yang dicarikan antara lain dengan meningkatnya kandungan protein kasar) dan menurunkan kandungan zat antinutrisi HCN pada onggok terolah.). Fermentasi dengan A. oryzae mampu meningkatkan protein sejati, menurunkan serat kasar (Hanim et al., 1999) dan menghasilkan beberapa vitamin seperti asam pantotenat, inositol, tiamin,

piridoksin, biotin dan vitamin B12 (Rapper and Fennel, 1977). Protein tepung ubikayu meningkat dari 0,12 menjadi 17% dengan fermentasi menggunakan Candida tropicalis (Balitnak, 1994), sedangkan dengan A. niger kandungan protein sejati onggok meningkat fantastis dari 2 menjadi 8% Dislitbangnak, 1996). ), serta terbentuk edible protein dengan Rhizopus oryzae (Tanuwidjaja & Anah, 1989). produk onggok fermentasi dapat diberikan dalamransum ayam broiler 40% atau mengganti 88% jagung dan dalam ransum itik 60% ataumengganti jagung 100%.(Wizna, Yose Rizal, Abdi Dharma, Hafil Abbas, 2006.)

Hasil penelitian di atas merupakan hasil penelitian dalam skala laboratorium yang dirancang sesuai dengan tujuan dimana segala faktor yang mempengaruhinya dalam kondisi terjaga ketat untuk memperoleh akurasi data. Dalam penerapannya di kalangan petani metoda ini sulit dilakukan sehingga diperlukan penelitian yang sama namun dalam kondisi on farm sesuai kebutuhan peternak.

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi kandungan protein dan serat kasar onggok terfermentasi dengan ragi tempe yang dilakukan secara on farm.

METODE PENELITIAN

3.1.Materi Penelitian

Page 24: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 20

Onggok kering berasal dari limbah pertanian di daerah Godean Sleman Yogyakarta. Laru/ ragi tempe diperoleh dari pedagang tempe dari pasar Godean Sleman , mollases dan top mix diperoleh dari poultry shop di daerah Dusun Gancahan Godean.

Bahan kimia yang diperlukan untuk proses fermentasi adalah urea.Untuk Analisis proksimat diperlukan Asam sulfat bebas N; katalisator Na2SO4:HgO (20:1); Na2OH:Na2SO4 (8:1), Asam boraks 4%; indikator Mix methyl merah, methylene biru atau Brom Cresol Green; Asbes; Zat anti buih K2SO3 10% dan petroleum ether. Dengan bahan pendukung air, kertas saring dan kertas lakmus.

3.2. Alat

Alat yang digunakan untuk perebusan adalah dandang berkapasitas 1 kg onggok, alat pemanas dan pengaduk, untuk pengeringan digunakan tampah besar terbuat dati bambu.. Dalam melakukan fermentasi digunakan 12 tray bambu, plastik penutup, bejana penampung air dan thermometer sebagai pengontrol suhu.

Analisis proksimat menggunakan: Oven dan inkubator merk Memmert, desikator, timbangan analitik merk Sartorius, Vochdoss, klem, tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes, autoclave, lampu spiritus, kertas payung, laminer, labu Kjeldahl, seperangkat

alat ekstrasi soxhlet, silika disk, buret, gelas Erlenmeyer, lemari asam, corong pemisah, blender merk National, vortex merk Retsch Mixer, magnetik stirer, shaker merk Katterman, tanur dan cabinet dryer, kompr gas merk Rinai dan tabung gas.

3.3. Jalan Penelitian

Waktu dan tempat

Fermentasi dilakukan di kelompok pembelajaran itik, di Dusun Samben Desa Argomulyo Sedayu, Bantul. Analisis Proksimat dilakukan di Laboratorium Kimia Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Rancangan percobaan

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah dan dilakukan di lapangan melibatkan masyarakat peternak itik. Peternak dibagi 3 kelompok perlakuan dengan treatment yang berbeda, masing masing membuat tiga kali adonan fermentasi sebagai ulangan. Kelompok 1 membuat onggok fermentasi menggunakan ragi tempe tanpa penambahan additive. Kelompok 2 membuat onggok fermentasi menggunakan ragi tempe dengan penambahan 1 % urea. Kelompok 3 membuat onggok fermentasi ragi tempe dengan penambahan1% tepung ikan. Waktu fermentasi adalah 4 hari. kuan diulang 3 kali, sehingga sampel yang akan dianalisa berjumlah 9 sampel.Data yang diperoleh dianalisis dengan

Page 25: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 21

analisis varian. Perbedaan yang nyata diuji lanjut menggunakan DMRT ( Astuti,1980).

Prinsip kerja

a. Uji Aktivitas ragi

ragi tempe yang diperoleh diuji aktivitasnya dengan menggunakan mollases yang dilarutkan dengan air steril ( 2 senduk makan molasses dalam 125 ml ). 1 sendok teh ragi dimasukkan kedalam larutan tersebut dan dibiarkan beberapa menit. Kemudian dilihat apabila terjadi gelembung gelembung udara berarti terjadi aktivitas mikroorga Perbedaan yang nyata diuji lanjut menggunakan DMRT ( Astuti,1980).nisme maka ragi tempe dinyatakan masih dalam kondisi baik dan layak digunakan.

b. Sterilisasi, pengkayaan substrat dan inkubasi

Sterilissasi skala lapangan dilakukan dengan cara merebus onggok dengan menggunakan dandang selama 30 menit. Sebelum direbus onggok dibasahi dengan air bersih sebanyak 800 ml/kg onggok.

Pengkayaan; nutrien dari mineral tambahan diberikan ke dalam substrat dalam bentuk larutan. Larutan tersebut merupakan campuran antara 1 sendok teh top mix

yang dilarutkan dalam 125 ml larutan mollases , 10 gram urea atau tepung ikan. per kilogram onggok.

Fermentasi. Onggok yang telah dingin kemudian dicampurkan dengan larutan yang telah dibuat sesuai perlakuan masing-masing, apabila adonan belum mencapai kelembaban yang diinginkan (60%) ditambahi dengan air steril (air matang) sampai adonan jika dikepal dengan tangan tidak mengeluarkan air, dan bila kepalan tangan dibuka adonan kembali meremah.Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu kamar selama 4 hari.

c. Analisis Laboratorium

Dari hasil fermentasi diperoleh onggok terfermentasi. Dari masing-masing perlakuan diambil sampel untuk dikeringkan di bawah sinar matahari, untuk kemudian dibawa ke Laboratorium guna analisis proksimat terhadap kadar air, kadar protein dan kadar serat kasar menurut metoda AOAC (1970).

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kadar Air

Rerata kadar air onggok terfermentasinsi tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol (P I) sebesar 6,7104 % dan terendar diperoleh pada perlakuan

Page 26: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 22

onggok yamg difermentasi dengan ragi tempe dengan penambahan urea (P III) yaitu sebesar 4,3770 %.

Data selengkapnya dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabet 1. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Air ,Protein Kasar, Serat Kasar onggok terfermentasi (%)

Perlakuan Nilai Nutrisi

(%) P I PII PIII

Kadar air

Protein Kasar

Serat Kasar

6,7104 ab 4,3770 c 5,5126 ab

7,1769 a 10,1044 b 10,7347 c

20,5250 a 19,5667 b 22,9750 c

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan berbeda nyata (P< 0,05)

Hasil analisis Varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata terhadap kadar air onggok terfermentasi. Penambahan urea P II) pada fermentasi onggok menghasilkan kadar air yang nyata lebih rendah dibandingkan kadar air pada perlak Perlakuan kontrol (P I) dan Perlakuan penambahan tepung ikan (PIII). Hal ini mungkin disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada ragi tempe lebih tinggi dibandingkan perlakuan P III . Nitrogen anorganik yang diperoleh dari urea oleh mikroorganisme dimanfaatkan sebagai sumber N dalam aktivitas metabolisme lebih cepat dibandingkan N organik yaitu yang berasal dari tepung ikan (P III). Dilain pihak perlakuan kontrol (P I) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata dengan P III. Proses fermentasi merupakan respirasi anaerobik yang membebaskan air

sebagai produk samping, tetapi dalam penelitian ini proses fermentasi pada pelaksanaannya ditutup dengan plastik dengan sedikit acrasi dengan cara memberi lubang dengan jarak 2 cm, sehinga penguapan air terhambat. Ada kemungkinan pada perlakuan II pemberian lubang lebih banyak dibandingkan dengan Perlakuan lainnya sehingga uap air yang dihasilkan lebih leluasa menguap. (Pelczar, dan Chan, 1986). Sedangkan pada perlakuan I dan III banyaknya lubang aerasi kemungkinan hampir sama sehingga pada proses fosforilasi transport elektron yang menghasilkan CO2 dan H2O, air sebagian akan menguap karena panas mikrobral dan sebagian akan menyatu dengan substat, sehingga memungkinkan kadar air tidak berubah walaupun terjadi penguapan (Sudarmadji, 1984). Untuk pertumbuhan mikroba yang

Page 27: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 23

terdapat dalam ragi tempe membutuhkan energi dari substrat dengan cara mendegradasi molekul kompleks menjadi melekul sederhana. Dengan bantuan enzim-enzim yang dimilikinya antara lain invertase,posfolipase dan protease. Selanjutnya glukosa dan gliserol masuk ke dalam jalur glikolisis menjadi asam pituvat lalu masuk ke siklus Krebs dihasilkan energi berupa ATP. Pada Faktor yang berpengaruh terhadap fermentasi meliputi waktu, aerasi atau pembalikan dan aktivitas mikroba. Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang. Aliran udara yang terlalu cepat menyebabkan proses metabolisme akan berjalan cepat sehingga dihasilkan panas yang dapat merusak pertumbuhan kapang. Oleh karena itu apabila digunakan kantong plastik sebagai bahan pembungkusnya maka sebaiknya pada kantong tersebut diberi lubang dengan jarak antara lubang yang satu dengan lubang lainnya sekitar 2 cm. Uap air yang berlebihan akan menghambat pertumbuhan kapang. Hal ini disebabkan karena setiap jenis kapang mempunyai Aw optimum untuk pertumbuhannya (Fardiaz,2002)

4.2. Kadar Protein Kasar

Rerata kadar protein kasar onggok terfermentasi tertinggi diperoleh pada perlakuan P III sebesar 10,7347 % dan terendah diperoleh pada perlakuan onggok terfermenasi spontan tanpa ragi tempe (P I) yaitu sebesar 7,1769

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata ( P< 0,05) terhadap kadar protein kasar onggok. Perbedaan ini diduga disebabkan karena perbedaan material yang ditambahkan , yang pada gilirannya mengakibatkan terjadi perbedaan laju reaksi aktivitas mikrobial. Dari hasil uji jarak berganda Duncan tampak bahwa antar perlakuan masing masing menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar protein perlakuan tanpa urea lebih rendah dari perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada sumber N lain selain yang berasal dari substratnya sendiri yaitu onggok. Pada Perlakuan II kadar protein lebih rendah dibandingkan perlakuan III karena Pada perlakuan II pemanfaatan sumber N anorganik yaitu urea lebih cepat, namun proses penguapan amoniakpun juga lebih cepat, sedangkan pemanfaatan sumber N organik yaitu tepung ikan (Perlakuan III) membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses deaminasi. Bahan organik memerkukan waktu untuk pemecahan senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana.Dalam hal ini kapang Rhyzopus sp perlu mengeluarkan enzim protease untuk memecah protein menjadi Asam amino. Niterogen dari asam amino inilah yang dimanfaatkan oleh mikroba untuk dibentuk menjadi protein tubuhnya. Proses ini berjalan lebih lambat dibandingkan pada penggunaan urea dimana N dapat

Page 28: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 24

langsung digunakan.Namun pada pemanfaatan N dari tepung ikan lebih maksimal sehingga kadar proteinnyapun lebih tinggi dibandingkan perlakuan II. Sumber nitrogen meskipun dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pembentukan polisakarida, akan tetapi kelebihan nitrogen pada umumnya dapat mengurangi konversi substrat menjadi polisakarida (Kang dan Cottrell, 1979). Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease (Rahayu, K. 1990) . Perombakan senyawa kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam fermentasi , dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas produk, yaitu sebagai sumber protein yang memiliki nilai cerna amat tinggi. Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak berubah selama fermentasi . Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar asam amino bebas (Rachman, A., 1989). Karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan karbohidrat pada substrat menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam produk tanpa fermentasi. Oleh karena itu, onggok fermentasi sangat baik untuk diberikan kepada ternak guna meningkatkan daya cernanya.

Dibandingkan dengan produk tanpa fermentasi, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada produk fermentasi karena secara kimiawi dapat meningkatnya kadar padatan

terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya. Didukung oleh penelitian Sinurat, 1996 bahwa peningkaian kadar protein kasar akibat fermentasi cukup tinggi. Akan tetapi , sabagian protein kasar tersebut terdiri dari nitrogen (protein) terlarut yang mungkin berasal dari urea yang ditambahkan sebelum proses fermentasi, disamping itu peningkatan protein juga terdiri atas asam amino non essensial dan NPN seperti khitin dan asam nukleat (Sinskey sitasi Sinurat 1996 meski demikian dilaporkan pula bahwa peningkatan total asam amino essensial produk fermentasi cukup tinggi, yaitu 16 %. Uji coba terhadap ternakpun telah dilakukan, dimana penggunaannya dalam ransum broiler dapat mencapai 10 % (Rosningsih, 1996).

4.3. Kadar Serat Kasar

Rerata kadar serat kasar onggok terfermentasi tertinggi diperoleh pada perlakuan fermentasi dengan ragi tempe dan penambahan tepung ikan (P III) sebesar 22,9750 % dan terendah diperoleh pada perlakuan onggok terfermenasi dengan ragi tempe dan penambahan urea (PII) yaitu sebesar 19,5667 %.

Hasil analisis varian menunjukkan bahwa pengaruh perlakuan berbeda nyata ( P< 0,05) terhadap kadar serat kasar onggok. Perbedaan ini diduga

Page 29: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 25

disebabkan karena perbedaan material yang ditambahkan , yang pada gilirannya mengakibatkan terjadi perbedaan laju reaksi aktivitas mikrobial, sehingga mengakibatkan perbedaan serat kasar yang dihasilkan. Dari hasil uji jarak berganda Duncan tampak bahwa antar perlakuan masing masing menunjukkan perbedaan yang nyata. Kadar serat kasar perlakuan dengan penambahan tepung ikan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena aktivitas mikrobial yang terjadi lebih efisien .Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pemanfaatan sumber N organik relatif lebih lama dibandingkan N anorganik yang siap pakai. Akan tetapi lama waktu proses metabolisme pemanfaatan N lebih maksimal sehingga pembentukkan biomassa kapang lebih tinggi akibatnya pembentukan miselium di permukaan substrat (onggok) lebih banyak sehingga kadar serat kasar pada perlakuan III paling tinggi. Namun serat kasar yang dihasilkan pada produk fermentasi lebih soluble (.Rachman, A., 1989) . miikroba dapat memanfaatkan unsur-unsur karbon secara optimal untuk sistesa penyusun serat kasar. Akibatnya ada 2 kemungkinan yang dapat terjadi terhadap kadar serat kasar. Kemungkinan penurunan serat kasar dapat terjado akibat dekomposisi sel-sel substrat dan kemungkinan peningkatan serat kasar adalah karena mikroba menintesa kembali bahan tersebut menjadi bahan penyusun sel, anatara lain untuk

dinding sel. Hal ini terutama terjadi pada mikroba yang tergolong kapang. Didukung oleh Yutono (1975), Pelczar (1986), Fardiaz (2002) bahwa fermentasi substrat padat oleh kapang menghasilkan peningkatan biomassa yang berarti terjadi pula peningkatan miselium, dimana miselium yang terdiri dari selulosa.

KESIMPULAN

Produk fermentasi onggok yang terbaik adalah fermentasi dengan menggunakan ragi tempe dengan penambahan tepung ikan yang memiliki kandungan protein kasar 10,7347 % dan serat kasar 22,9750%

SARAN

Untuk penggunaan onggok fermentasi sebagai pakan unggas disarankan menggunaka tepung ikan sebagai sumbe N terutama bagi peternak yang memproduksi produk peternakan organik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

AOAC, 1970. OfficialMethoda Of

Analysis . the Assosiation of Analytical Chemis. Washington.

Astuti,M. 1980 . Rancangan

Percobaan dan Analosa Statistik. Fakultas

Page 30: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 26

Petemakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Balitnak. 1994. Pemanfaatan

Limbah Pertanian dan Limbah Pengolahan TapiokalSagu sebagai Pakan Ternak. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 4: 7.

Darma. J. 1992. Pengantar

Bioteknologi Pakan. Materi dan Pelatihan Bioteknologi Pakan. BPT- Ciawi. Bogor , hal 2.

Djide, N. 1990. Isolasi dan

karakterisasi kapang pemecah pati dari limbah pabrik tapioka: kondisi optimum produksi enzim pemecah patio Bulletin Pascasarjana Seri Sains, 4: 48-55.

Djoyosubagio, S. 1996.

Peningkatan Produktivitas Ternak melalui Renerapan Bioteknologi. Proceeding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner , hal 273.

Fardiaz, S. 2002. Mikrobiologi

Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Frazier, N. AA. Dan D.C. Westhoff,

1978. Food Microbiology. Me Graw Hill Book Company, New York.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Fermentasi)

Hanim, C., Z. Bachrudin, dan Ali-Agus. 1999. Evaluasi nilai nutrisi bungkil inti kelapa sawit yang difermentasi dengan jamur. Buletin Peternakan, 23(2): 81-87.

Haris, R. S. dan E. Karmas. 1989.

Evaluasi Gizi pada Pengolahan Pangan. Terbitan ke-2. PenerbitITB. Bandung.

Judoamidjojo, M., A. A. Darwis, dan E. G. Said. 1992. Teknologi Fennentasi. Rajawali Pers. Jakarta.

Jutono,S.,Hartadi,S.Kabirun,Susanto, Judoro dan Suhadi, 1975. Mikrohiologi Untuk Perguruan Tinggi , Jilid I. Departemen Mikrobiologi. fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kang, KS. dan IW. Cottrell.

1979 Polisaccharides. Dalam Microbial Technology.Microbial processes. Second edition. Volume I. Peppler, HJ. dan D.Perlman (Eds.). Academic Press. London.

Muljohardjo, M. 1988. Teknologi

Pengawetan Pangan. 3th. ed. Terjemahan. VI Press. Jakarta.

Nitis, 1994. Nutrient Requirement

of Poultry. 9th rev. ed. National Academy Press, Washington, D.C.

Pelczar, M. J. dam E. C. S. Chan,

1986. Dasar-Dasar

Page 31: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 27

Mikroniologi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Rahman. A. 1992. Pengantar teknohgi Fermentasi. Penerbit PAU Pangan dan Gizi IPB.

Rahayu, K. 1990. Enzim Mikroba.

Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Rapper, K.B. and DJ. Fennel. 1977. The Genus Aspergillus. Robert, E Krieger Publ. Co. Huntington, New York

Rosningsih,. 1996. Pengaruh Aras

Pemberian Ubi Kayu terfermentasi dengan spergillis niger terhadap kinerja Ayam Broiler. Laporan Penelitian Kopertis Wil V. Yogyakarta.

Sinurat,A.P,, T. Puradaria, P.P.

Ketaren, D. Zainuddin dan I. P. Kompiang, 1996. Pemanfaatan Lumpur Sawif untuk Ransum Unggas: i. Lumpur Saw it kering dan produk fermentasinya sebagai bahan pakan ayam broiler. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Peternakan. BALITBANGTAN. DEPTAN. Vol 5, No. 2. Th 2000. hal 107.

Silalahi, M., D. Aritonang, J. D.

Darma, Tresnawati, dan T. Haryati. 1993. Pemanfaatan ampas singkong terfermentasi dalam ransum

babi. Bulletin Peternakan, edisi khusus: 185-193.

Suliantari dan W. P. Rahayu. 1990.

Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbi-umbian. PAU-IPB. Bogor.

Susana. P. W. R, B. Tangenjaya

dan S. Hastiono. 1996. seleksi Kapang Penghasil Enzim Fitase. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Peternakan . BALITBANGTAN. DEPTAN. Vol 5, no.2. th 2000, hal 113.

Tanuwidjaja andAnah. 1989.

Protein enrichment of cassava solid waste by SSF. In Howghee, A., Hen, N.B. and L.K. Kong (eds). Trends in Food Biotechnology. Proceedings ofThe 7th. Word Congress of Food Science and Technology. 25-28.

Terebiznik, M. R., A. M. R. Pilosof,

and S. Moreno. 1996. Effective purification procedure of Aspergillus oryzae alfaamylase from solid state fermentation cultures including concanavalin asepharose. J. Biochemistry, 19: 341-354.

Tisnadjaja, J. 1996. Pemanfaatan

bahan berpati sebagai bahan baku dalam industri asam sitrat. WartaBiotek, 1(10): 3-5

Wainwright, M. 1992. An

Introduction to

Page 32: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 28

Fungal , Biotechnology. John Wiley and Sons, Ltd. Baftins Lane, Chichester.

Yudohusodo,S.2003. Membangun

Kemandirian di Bidang Pangan Suatu Kebutuhan Bagi Imdonesia. Artikel-Th II. NO 6 -September 2003. Copyright @ 2003 www ekonomi rakyat. org.

Page 33: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 29

PENGARUH PEMBERIAN JINTEN (Cuminum cyminum) DALAM PAKAN TERHADAP PRODUKSI TELUR PUYUH

Lukman Amin

Program studi Peternakan Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

The research designed to know effect addition of cumin in feed on quail egg production. Material used includes 120 head of female quail at week old that arrange to 12 pens for four treatments and three replications. Cummin was added at C0 (0 %), C1 (0,5 %), C2(1,0 %) and C3 (1,5 %) levels. Feed given had 20 % of protein and 2900 kKal/kg of metabolizable energy. Observation had done from week of first laying to week of production peak reached. Result of the study indicated that cumin decreased feed consumption and feed-egg conversion. But no effect to first laying ages, peak level of production, egg weight and egg production. The conclusion of this study was that cumin can be used as feed additive for quail up to 1 % for increasing feed efficiency. Keywords : cumin, quail, egg

PENDAHULUAN

Beternak Puyuh banyak menjadi pilihan masyarakat guna meningkatkan pendapatan/ kese-jahteraan hidup petani. Usaha peternakan selalu berhadapan dengan dilema, di satu sisi dituntut untuk peningkatan efisiensi ekonomi, tetapi di sisi lain juga dituntut perbaikan kualitas produk. Harga bahan pakan yang cenderung selalu meningkat dan tidak diimbangi dengan kenaikan harga produk peternakan yang seimbang lebih mempersulit posisi peternak. Keberhasilan usaha peternakan tidak lepas dari segi tiga produksi yaitu faktor bibit, pakan dan manajemen pemeliharaan. Pakan merupakan salah satu faktor yang harus

mendapat perhatian utama, mengingat biaya pakan merupakan 60 - 70% dari total biaya produksi peternakan (Murtidjo, 1987). Guna meningkatkan kesejahteraan peternak perlu inovasi efisiensi biaya produksi dengan perbaikan kinerja atau menurunkan FCR (Feed Conversion Ratio).

Untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pakan seringkali digunakan antibiotik. Dengan antibiotika, ternak menjadi lebih sehat dan produktifitas yang tinggi dapat diperoleh. Di sisi lain, konsumen mulai sadar akan resiko residu antibiotika dan cenderung menghindari produk ternak yang mengandung residu. Guna mencari solusi masalah tersebut perlu inovasi baru dengan menggali

Page 34: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 30

kekayaan alam Indonesia baik dari tanaman ataupun hewan yang dapat menggantikan /memenuhi tujuan diatas. Dari publikasi yang telah dikaji banyak terdapat tanaman yang berpotensi, antara lain jinten.

Jinten merupakan merupakan tamanan perdu yang tumbuh dengan baik di daerah yang beriklim sejuk, seperti misalnya di daerah india utara dekat kaki pegunungan himalaya. Di indonesia meskipun dapat tumbuh, tetapi pada umumnya kurang baik. Jintan mempunyai batang kayu dan daunnya bersusun melingkar dan bertumpuk. Daun jintan putih mempunyai pelepah daun seperti ranting-ranting kecil. Bentuk daun jintan tidak berwujud lembaran, tetapi lebih mirip benang-benang kaku dan pendek. Warna dominan tumbuhan ini hijau dan bunganya berukuran kecil berwarna kuning tua ditopang oleh tangkai yang agak panjang (Anonimus (3))

Jinten termasuk dalam :

Kingdom : Plantae Ordo : Apiales Famili : Apiaceae Genus : Cuminum Spesies : Cuminum cyminum L. (Anonimus (1,2))

Di beberapa daerah jinten dikenal sebagai jinten (Jawa, Bali), Jeura (Aceh), Jireu (Gayo), Gintang (Ambon), Jhinten (Madura), Jinda (Gorontalo). Jintan putih (cuminum cyminum) dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk memasak. Disamping itu, biji jintan putih juga

digunakan sebagai pelengkap ramuan obat-obatan tradisional. Biji jintan putih memiliki aroma yang harum dan menarik.( Anonimus (3)).

Jinten sudah sangat lama digunakan sebagai bumbu dalam masakan India dan dalam pengobatan tradisional untuk diare, dispepsia dan gangguan lambung serta sebagai antiseptik. Penelitian menunjukkan bahwa jinten merupakan antimikrobial yang sangat kuat untuk berbagai spesies bakteri dan jamur. Bahan aktif antimikroba utama dalam jinten adalah cuminaldehyde [p-isopropil benzaldehyde]. (De et al., 2003.)

Jinten yang termasuk dalam keluarga apiceae dikenal kaya akan phytoestrogen. Dalam jinten terkandung senyawa zat aktif utama gama-terpinene (29.1%), para-cymene (25.2%), beta-pinene (19.9%), cuminaldehyde (18.7%), perrialdehyde (2.4%), myrcene (1.5%) and alpha-pinene (1.2%). Di antara kandungan tersebut, alpha-pinene and beta-pinene mempunyai sifat anti-inflammasi, semetara myrcene bersifat “peripheral analgesic” dengan menstimulation “nitric oxide pathway” (Lorenzetti et.al, 1991, Duarte et.al 1992).

Secara tradisional jinten digunakan untuk mengatasi diare, dispepsia dan gangguan lambung serta sebagai antiseptik. Penelitian menunjukkan bahwa jinten merupakan antimikrobial yang sangat kuat untuk berbagai spesies bakteri dan jamur.

Page 35: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 31

Bahan aktif antimikroba utama dalam jinten adalah cuminaldehyde [p-isopropil benzaldehyde]. (De et al., 2003). Jinten mengandung senyawa zat aktif utama gama-terpinene (29.1%), para-cymene (25.2%), beta-pinene (19.9%), cuminaldehyde (18.7%), perrialdehyde (2.4%), myrcene (1.5%) and alpha-pinene (1.2%). Di antara kandungan tersebut, alpha-pinene dan beta-pinene mempunyai sifat anti-inflammasi, semetara myrcene bersifat “peripheral analgesic” dengan menstimulation “nitric oxide pathway” (Lorenzetti et.al, 1991, Duarte et.al 1992).

Komponen kimia utama minyak jinten adalah cuminic, cymene, dipentene, limonene, phellandrene dan pinene. Jinten memiliki bau yang sangat kuat sehingga digunakan dalam jumlah kecil agar tidak menimbulkan keracunan, iritasi dan sensitifitas. Jinten juga harus dihindari oleh wanita hamil. Minyak jinten bersifat antiseptik, anti-spasmodik, antitoksik, bakterisidal, karminatif, digestif, diuretik, emmenagogue, nervine, stimulan and tonik. Dalam pencernaan jinten bersifat sebagai stimulan untuk mengatasi kolik, dispepsia, flatulen, kembung, dan indigesti. (Anonimus (4)).

Pada tikus yang di-ovariektomi, phytoestrogen dalam jinten terbukti dapat menekan ekskresi kalsium melalui urin dan meningkatkan kalsium dan kekuatan tulang, kepadatan dan abu tulang serta memperbaiki

mikroaresitektur tulang. Efek osteoprotektif ini setara dengan estradiol (Shirke et. al, 2008).

Jinten juga kaya akan kandungan phytoestrogen. Pada tikus yang di-ovariektomi, phytoestrogen dalam jinten terbukti dapat menekan ekskresi kalsium melalui urine, meningkatkan kalsium dan kekuatan tulang, kepadatan dan abu tulang serta memperbaiki mikroaresitektur tulang. Efek osteoprotektif ini setara dengan estradiol (Shirke et. al, 2008). Namun belum ada informasi penelitian untuk pengaruh phytoestrogen jinten terhadap kinerja produksi burung puyuh. Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh phytoestrogen jinten terhadap produksi burung puyuh betina terhadap produksi telur.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan

mengkaji pengaruh penambahan jinten dalam pakan terhadap produksi telur burung puyuh termasuk maturitasnya serta efisiensi pakan puyuh

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberikan sumbangsih informasi secara ilmiah tentang penggunaan jinten dalam ransum terhadap kinerja produksi puyuh (Coturnix-coturnix japonica), dan dapat digunakan sebagai salah satu dasar dalam penyusunan ransum puyuh serta data awal bagi penelitian selanjutnya.

Page 36: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 32

METODE PENELITIAN

Pakan dan perlakuan Perlakuan yang akan

diberikan terdiri dari empat level jinten yang akan diberikan melalui pakan puyuh yaitu :

C0 (kontrol) : tanpa jinten ( 0 %), C1 : 0,5 % jinten; C2 : 1 % jinten C3 : 1,5 % jinten

Pakan yang diberikan berupa pakan basal yang sama untuk semua perlakuan. Pakan disusun dari bahan-bahan pakan sebagaimana tercantum dalam Tabel 2. Kebutuhan protein dan energi pada fase produksi adalah 20% dan 2600 kcal/kg pakan (Listiyowati dan Roospitasari, 2003). Adapun susunan pakan dan kandungan nutrien tercantum pada Tabel 3.

Tabel 2. Kandungan nutrien bahan pakan penyusun ransum (%)

Bahan Pakan PK SK LK ME

(Kkal/Kg) Ca P

tersedia

Jagung1) 8.60 2.00 3.90 3370.00 0.02 0.10 Bekatul1) 12.00 3.00 12.00 2860.00 0.04 0.16 B. Kedelai2) 43.80 6.00 0.90 2425.00 0.32 0.67 T. Ikan1) 61.00 1.00 9.00 3080.00 5.50 2.80 T. Kapur2) - - - - 38.00 - T. Jinten4) 17.81 10.50 22.27 3750 0,93 0.50 1) Wahju (1997) 2) Anggorodi (1985) 3) Hasil Analisis Lab. Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM (2007) 4) wikipedia.org (http://en.wikipedia.org/wiki/Cumin)

Tabel 3. Komposisi dan kandungan nutrien pakan basal (%)

Bahan Pakan % Nutrien %

Jagung 47.00 PK 20.18 Bekatul 20.00 SK 2.98 B. Kedelai 23.00 LK 4.98 Tp. Ikan 6.00 ME 2898.45 Tp. Kapur 4.00 Ca 1.94 Tp. Jinten *) P tersedia (%) 0.40 *) sesuai masing-masing perlakuan : C0 = 0%, C1 = 0,5 %, C2 = 1 %, C3 = 1,5 %

Page 37: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 33

Burung puyuh Burung puyuh yang

digunakan pada penelitian ini adalah burung puyuh betina yang sudah berumur 1 minggu dengan jumlah 120 ekor.

Obat-obatan Selama penelitian

berlangsung, vaksin yang digunakan adalah vaksin ND (Newcastle Disease) strain Lasotta, vitamin merk Vitachick, dan desinfektan Rodalon.

Pemeliharaan Puyuh dibagi dalam 12

kelompok sesuai perlakuan yang ditetapkan yaitu 4 perlakuan dengan 3 ulangan. Masing-masing kelompok terdiri 10 ekor. Setiap kelompok diberi pakan sesuai perlakuan. Pemberian pakan dan minum diberikan secara ad libitum. Pengukuran konsumsi pakan diukur setiap 3 hari. Vitamin diberikan melalui air minum 3 hari sekali. Vaksinasi diberikan melalui air minum pada minggu II.

Kandang dan Peralatan

Pada penelitian ini digunakan kandang kelompok model panggung, terbuat dari kayu, bambu dan kawat strimin. Jumlah seluruh kandang adalah 12 buah, dengan masing-masing berukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm, dan tinggi 40 cm. Setiap kandang mempunyai kapasitas 10 ekor dan dilengkapi dengan tempat pakan

yang terbuat dari kotak kayu triplek dan tempat minum yang terbuat dari plastik dengan volume 500 cc serta lampu sebagai alat penghangat dan penerangan. Peralatan lain yang digunakan dalam penelitian ini timbangan untuk menimbang pakan, sisa pakan dan puyuh, ember, dan kain lap atau tisu. Rancangan Penelitian

Penelitian dirancang dengan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, sehingga diperlukan 12 unit penelitian. Setiap unit terdiri dari 10 ekor puyuh. Pakan basal diberikan sejak puyuh datang sampai berumur 3 minggu. Setelah umur 3 minggu, diberikan pakan perlakuan sesuai perlakuan yang sudah ditentukan. Parameter, Pengamatan dan pengukuran

Konsumsi pakan dan pertumbuhan diukur setiap minggu selama penelitian. Konversi pakan dihitung berdasarkan data konsumsi dan pertumbuhan yang diperoleh setiap minggu. Produksi dan berat telur diamati sampai tercapainya puncak produksi telur.

Percobaan dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) analisis variansi (ANOVA). Jika terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata DMRT (Duncan Multple Range Test) (Astuti, 1980).

Page 38: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 34

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa pemberian jinten dalam pakan puyuh berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan dan konversi pakan – telur. Namun jinten tidak mempengaruhi umur pertama peneluran (pubertas), tinggi puncak produksi, berat telur dan produksi telur puyuh. Hasil penelitian selengkapnya tercantum dalam Tabel 4 berikut :

Konsumsi Pakan

Penambahan jinten dalam pakan menurunkan konsumsi

pakan puyuh dengan konsumsi teringgi pada level 1,5 % dan konsumsi terendah pada level 1 % jinten dalam pakan. Hal ini menunjukkan bahwa jinten dapat meningkatkan kapasitas ataupun kecepatan pencernaan pakan puyuh. Kamal (1997) menyatakan bahwa konsumsi pakan tergantung oleh beberapa faktor antara lain energi pakan, macam pakan, palatabilitas, toksik dan pakan yang voluminous. Selanjutnya dinyatakan bahwa imbangan energi dengan protein yang baik akan berpengaruh terhadap konsumsi pakan.

Tabel 4. Pengaruh pemberian jinten dalam pakan puyuh terhadap produksi

telur

Persentase jinten dalam pakan (%) Variabel Pengamatan C0 (0) C1(0,5) C2(1,0) C3(1,5) Konsumsi pakan

1151.95a 1144.77 a 1027.92b 1196.38 a

Peneluran pertama

69.67 70.67 66.67 70.00

Tinggi puncak

96.11 95.24 104.17 127.78

Berat telur 8.49 8.92 8.40 8.65 Konversi pakan

6.40 a 6.21a 5.22 b 6.28 a

% produksi (QDA)

28.04 27.25 31.26 28.55

Konsumsi pakan yang

menurun sampai level 1,5 % jinten menunjukkan bahwa penambahan jinten dalam pakan meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan. Hal ini diperkuat dengan capaian konversi pakan yang terkecil pada level jinten 1,5 %. Jinten mengandung cuminaldehid, senyawa aromatik yang bekerja

mengaktifkan kelenjar ludah sebagai inisiasi pencernaan. Jinten juga mengandung thymol yang membantu kelenjar-kelenjar pencernaan untuk mensekresikan cairan empedu dan enzym-enzym pencernaan (Anonim (5)). Jinten juga meningkatkan kesehatan hati dalam proses detoksikasi pada manusia. Jinten dapat mengatasi

Page 39: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 35

berbagi gangguan pecernaan seperti flatulen, indigesti, diare, mual dan dyspepsia serta mencegah konstipasi, jika diberikan sebagai minuman. Jinten juga kaya akan vitamin E, (Anonim (6)). Penambahan jinten dalam pakan broiler jantan meningatkan ukuran gizzard dan tidak memberi efek negatif, namun menurunkan biaya pemeliharaan (Behzad, et al). Peneluran Pertama dan Tinggi Puncak

Penambahan jinten dalam pakan samapai level 1,5 % tidak mempercepat peneluran pertama maupun tinggi puncak produksi telur puyuh. Jinten mengandung senyawa yang bersifat estrogenik. Dari berbagai literatur yang ada, estrogen tanaman (phytoestrogen) dapat bersifat estrogenik sekaligus antiestrogenik dalam metabolisme tergantung pada berbagai faktor seperti dosis phytoestrogen, tingkat estrogen endogen, dan kondisi fisiologis individu seperti jenis kelamin dan menopause. Phytoestrogen mencegah kelemahan estrogen jika kadarnya 100 kali estrogen endogen. Sementara efek antiestrogen terjadi akibat kompetisi pada estrogen reseptor. Akibat dari peran estrogenik dan antiestrogeni ini menyebabkan lemahnya efek phytoestrogen. (Tham et al, 1998).

Pemberian jinten pada tikus yang di-ovariektomi menunjukkan bahwa efek phytoestrogen memberi efek antiosteoporosis dengan menurunnya ekskresi kalsium melalui urine serta peningkatan kalsium dan kekuatan

tulang. Hasil yang sama terlihat pada ukuran tulang, kepadatan dan mikroarsitektur tulang. (Shirke et al, 2008).

Dalam penelitian ini pemberian jinten yang mengandung phytoestrogen diberikan pada puyuh sebelum dewasa. Secara fisiologi hormon reproduksi pada masa ini belum aktif sepenuhnya. Dengan demikian diharapkan agar phytoestrogen dalam jinten dapat menginisiasi aktifitas hormon reproduksi lebih awal. Demikian juga dengan pakan rendah protein yang diberikan. Dengan pakan demikian maka puyuh akan mengalami penundaan pubertas dan diharapkan phytoestrogen jinten dapat mencegah kemunduran ini. Hasil penelitian memperlihatkan peneluran pertama puyuh tertunda dari 42 – 56 hari menjadi 66 – 70 hari. Tidak ada perbedaan signifikan antara kontrol dengan perlakuan sampai 1,5 % jinten dalam pakan.

Meskipun terjadi penundaan pubertas akibat pakan berprotein rendah, namun pakan yang diberikan mampu menunjang produksi telur yang ditunnjukkan dengan tinggi puncak produksi hingga > 100 %. Tidak ada perbedaan signifikan pada puncak produksi puyuh menunjukkan bahwa phytoestrogen jinten dalam pakan tidak mempengaruhi proses perkembangan telur pada ovarium puyuh.

Berat telur

Tidak terdapat perbedaan nyata pada berat telur puyuh yang

Page 40: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 36

diberi pakan mengandung jinten sampai level 1,5 %. Ukuran telur puyuh dalam penelitian relatif kecil, namun masih dalam batas normal. antara 7 – 11 gram/butir.

Berat telur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik, dewasa kelamin, umur, obat-obatan dan komposisi makanan dalam ransum serta lingkungan. Faktor terpenting dalam ransum yang mempengaruhi besar dan kecilnya berat telur adalah terpenuhinya kebutuhan protein bagi unggas dan harus diperhatikan keseimbangan antara protein, energi, mineral, vitamin dan air (Anggorodi, 1995).

Ukuran telur sendiri lebih ditentukan oleh ukuran oviduct yang membentuk telur secara keseluruhan. Pada unggas muda, ukuran (diameter) oviduct relatif kecil karena masih dalam perkembangan. Dalam penelitian ini pengamatan dilakukan sampai 10 minggu pertama produksi. Faktor lain yang mempengaruhi berat telur adalah faktor genetik, umur, dan pakan (Wahyu, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan jinten tidak mempengaruhi berat telur. Jinten lebih berpengaruh pada efektifitas pencernaan dan efisiensi nutrien. Efek ini terlihat dari terjadinya penurunan konsumsi pakan dan konversi pakan yang lebih menonjol daripada efek hormonal phytoestrogen jinten.

Konversi Pakan

Terdapat perbedaan nyata dalam efisiensi pakan yang ditunjukkan dengan menurunnya

nilai FCR (konveri pakan – telur ). Konversi pakan tertinggi dicapai pada kontrol dan terrendah pada penambahan 1 % jinten dalam pakan. Perbedaan konversi pakan ini menunjukkan bahwa bahan akatif yang terkandung dalam jinten, mampu memacu pencernaan, obsorbsi dan ahirnya asimilasi pakan dalam jaringan tubuh ataupun produk (telur).

Jinten merupakan suber zat besi yang baik. Zat besi memegang peranan penting dalam hemoglobin darah sebagai media transport nutrisi keseluruh jaringan tubuh. Besi juga berperan penting dalam sistem enzim dan metabolisme energi. Serta dayatahan tubuh. Jinten juga menstimulasi sekresi enzim-enzim pencernaan dari kelenjar empedu dan pankreas sehingga memaksimalkan pencernaan (Anonim (7)). Jinten yang termasuk dalam keluarga apiceae dikenal kaya akan phytoestrogen. Dalam jinten terkandung senyawa zat aktif utama gama-terpinene, para-cymene, beta-pinene, cuminaldehyde, perrialdehyde, myrcene and alpha-pinene. Di antara kandungan tersebut, alpha-pinene and beta-pinene mempunyai sifat anti-inflammasi, semetara myrcene bersifat “peripheral analgesic” dengan menstimulation “nitric oxide pathway” (Lorenzetti et.al, 1991, Duarte et.al 1992).

Jinten sudah sangat lama digunakan sebagai bumbu dalam masakan India dan dalam pengobatan tradisional untuk

Page 41: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 37

diare, dispepsia dan gangguan lambung serta sebagai antiseptik. Penelitian menunjukkan bahwa jinten merupakan antimikrobial yang sangat kuat untuk berbagai spesies bakteri dan jamur. Bahan aktif antimikroba utama dalam jinten adalah cuminaldehyde [p-isopropil benzaldehyde]. (De et al., 2003.)

Produksi Telur (QDA)

Produksi telur (QDA) berkisar antara 27 % sampai 31 %. Burung puyuh termasuk petelur yang handal, dalam setahun ternak ini mampu bertelur sampai 300 butir (82 %). (Anonimus, 2007). Rendahnya produksi telur ini antara lain karena penelitian dilakukan hanya pada skala kecil dan dalam waktu singkat di mana produksi telur belum stabil.

Pembentukkan dan pertumbuhan telur dimulai dengan terbentuknya kuning telur di dalam ovarium. Bila calon kuning telur ini telah siap diovulasikan maka akan mendekati garis halus yang disebut garis tipis stigma, yang akan pecah dan kuning telur yang masak akan keluar dan ditangkap oleh infundibulum. Di dalam infundibulum akan berdiam selama 1/4 jam dan bertemu dengan sel kelamin jantan jika tersedia. Jika kuning telur akan masuk ke bagian magnum, maka kuning telur yang telah diselaputi oleh putih telur kemudian akan melanjutkan perjalanan ke istmus yang selanjutnya dilengkapi selaput telur. Perjalanan dilanjutkan ke uterus dan telur berdiam selama 20 jam serta dibagian ini terbentuk

kerabang yang membungkus isi telur (Rasyaf, 1992).

Tidak terdapat perbedaan nyata dalam produksi telur puyuh akibat penambahan jinten dalam pakan sampai level 1,5 %. Produksi telur menunjukkan tingkat kesuburan puyuh betina yang merupakan indikasi banyaknya sel telur yang matang dalam ovarium. Tidak adanya perbedaan produksi telur menunjukkan bahwa penambahan jinten lebih meningkatkan efisiensi pakan dan fungsi pencernaan puyuh daripada peningkatan fungsi hormonal

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa jinten dapat digunakan dalam pakan puyuh sampai level 1 % guna meningkatkan efisiensi pakan. Penggunaan jinten sebagai pemacu produksi telur masih perlu diteliti lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, H.R., 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia (UI) Press. Jakarta.

Anonimus (1), Bahan Obat Alami Indonesia. http://pom.go.id/ oai/index.asp

Anonimus (2), cumin. http://en. wikipedia.org/wiki/Cumin

Page 42: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 38

Anonimus (3), Tanaman Obat Indonesia : Jinten Putih. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/index.php

Anonim (4) Cumin essential oil information. http://www.essentialoils.co.za/essential-oils/index.htm

Anonim (5) http://benefitof.net/be-nefits-of-cumin/cumin.html

Anonim(6) http://www.indianet zone.com/1/cumin.htm)

Anonim (7) http://www.whfoods. com/genpage.php?tname=nutrientprofile&dbid=59

Anonimus, 2007. Sukses Beternak Puyuh. AgroMedia. Jakarta.

Astuti, M., 1980. Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik. Bagian I. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Behzad, M., Mehrdad, M., Kiaei, SM,. http://www.refdoc.fr/ ?traduire=en&FormRechercher=submit&FormRechercher_Txt_Recherche_name_attr=listeTitreSerie:%20(Journal%20of%20the%20science%20of%20food%20and%20agriculture

De M, De AK, Mukhopadhyay R, Banerjee AB, Y Miró M, 2003. Antimicrobial Activity of Cuminum cyminum L. Ars Pharmaceutica; 44(3), pag 257-269 (2003)

Duarte, I.D., Dos Santos, I.R., Lorenzetti, B.B. and Ferreira, S.H. (1992) Analgesia by direct antagonism of nociceptor sensitization involves the arginine-nitric oxide-cGMP pathway. Eur. J. Pharmacol. 217: 225-227.

Kamal, M., 1986. Kontrol Kualitas Pakan dan Menyusun Ransum Ternak. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan UGM. Yogyakarta.

Listiyowati, E dan Roospitasari., 2004. Puyuh : Tata Laksana Budidaya Secara Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.

Lorenzetti, B.B., Souza, G.E., Sarti, S.J., Santos Filho, D. and Ferreira, S.H. (1991) Myrcene mimics the peri-pheral analgesic activity of lemongrass tea. J. Ethno-pharmacol. 34: 43-48.

Murtidjo,B.A. 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.

_________ , 1992. Beternak Ayam Kampung. Cetakan ke-6. Penebar Swadaya. Jakarta.

Shirke, S.S., S.R. Jadhav and A. G. Jagtap, 2008. Methanolic Extract of Cuminum cyminum Inhibits Ovariectomy-Induced Bone Loss in Rats. Exp. Biol. Med. 2008;233:1403-1410.

Page 43: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 39

Society for Experimental Biology and Medicine

Tham, D.M., C.D. Gardner and W.L. Haskell, (1998) Potential Health Benefits of Dietary Phytoestrogens: A Review of the Clinical, Epidemiological, and Mechanistic Evidence. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 83, No. 7 2223-2235. Copyright © 1998 by The Endocrine Society

Wahyu, J., 1997. Ilmu nutrisi Unggas. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Page 44: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 40

EVALUASI POTENSI WILAYAH KECAMATAN WATES UNTUK PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG DENGAN POLA

INTEGRATED FARMING

Nur Rasminati dan Setyo Utomo

Dosen pada Program Studi Peternakan, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

The aim of this research is to know the potency Wates subdistric area

for developing beef cattle by integrated farming system. Sixty eight respondents were taken in a random sampling from eight villages (Karangwuni, Sogan, Kulwaru, Ngestiharjo, Bendungan, Triharjo, Giripeni and Wates). The data were tabulated and analyzed descriptively. This research showed that the average area that are owned for wetland and dryland, 934,57 m2 and 703,71 m2 respectively. The average of beef cattle owned was 1,54 UT with the aim of raising cattle was 89% as main effort. The type of plant which is planted are paddy, corn, peanut, soybean, and cassava, with total straw production are 114.564,92 Kw/year. All of respondents use the straw for feeding their beef cattle, but the productivity of beef cattle was unoptimal, with calving interval 16,69 months, S/C 1,81 and average of body weight 365,34 kg. Based on this research, with the number of cattle 5396 UT and faeces production 17,5 kg/day, produced the faeces 94,43 ton/day, 2% of faeces was sold and 98% was used for fertilizer. It could be concluded that Wates subdistrict has potency for beef cattle development by integrated farming. Key words : Integrated farming, Areal potention, Beef cattle, Wates subdistrict PENDAHULUAN

Perkembangan usaha peternakan perlu didukung oleh berbagai sarana produksi, salah satunya adalah pakan. Dalam sistem integrated farming, tanaman pangan berperan dalam penyediaan pakan ternak berupa limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, jerami kedelai dan daun singkong. Ternak akan menghasilkan kotoran yang dapat berguna sebagai pupuk organik

bagi tanaman (Diwyanto, et al., 2005).

Pola integrasi antara tanaman dan ternak (pertanian terpadu), memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian. Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga sering disebut peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan sebagai pupuk, dan limbah pertanian untuk pakan ternak. Integrasi ternak dan tanaman dimaksudkan untuk

Page 45: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 41

memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya (Atmojo, 2007).

Peternak di kecamatan Wates dengan jumlah ternak sapi 5396 ekor dan kambing 1846 ekor, sudah cukup lama memelihara ternak dengan tujuan beternak sumber penghasil pupuk disamping sebagai usaha sampingan dan tabungan. Mereka selama ini sudah memanfaatkan limbah tanaman pertanian sebagai bahan pakan ternaknya dan kotoran ternak sebagai pupuk tanaman pertaniannya. Petani peternak tidak menyadari bahwa pola pertanian terintegrasi dengan ternak telah berjalan dan berlangsung lama di wilayahnya. Dengan pola peternakan yang terintegrasi dengan pertanian maka secara ekonomi dapat tercapai tingkat efektivitas yang selama ini belum diperhitungkan oleh petani.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengevaluasi potensi kecamatan Wates dalam pengembangan ternak sapi potong dengan pola integrated farming, dapat menjadi model pengembangan ketahanan pangan di Kabupaten Kulon Progo.

MATERI DAN METODE Materi

Penelitian telah dilaksanakan di 8 desa yang ada di Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo mulai bulan Januari – Juni 2010, dengan materi petani peternak yang mempunyai ternak sapi dan memiliki lahan yang ditanami tanaman pangan.

Metoda Penelitian ini menggunakan metoda survey di wilayah kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Sampel ditentukan berdasarkan 10 % populasi dengan kriteria jumlah pemilikan ternak minimal 1 ekor dan memiliki tanaman pangan baik di sekitar rumah, maupun sawah / lahannya.

Data-data yang diambil adalah data primer dan data sekunder, yang meliputi: daya dukung sumber daya alam seperti tanaman pangan, ketersediaan hijauan pakan ternak, jumlah limbah pertanian, dan pemanfaatan limbah ternak. Sumber daya manusia meliputi identitas responden, pengalaman beternak/bertani, tujuan beternak/bertani, tingkat pendidikan, jumlah keluarga yang terlibat, jumlah pemilikan ternak, luas lahan pertanian. Status produksi dan reproduksi ternak ruminansia, meliputi BB dewasa / BB jual, rata-rata jumlah kelahiran per tahun, dan jarak beranak.

Analisis Data Data yang diperoleh ditabulasikan dan dirata-rata,

Page 46: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 42

kemudian dianalisis secara deskriptif (Sugiyono, 1999).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Produksi Pertanian dan Limbah Pertanian

Menurut hasil penelitian luas areal sawah di kecamatan Wates ditanami tanaman pertanian seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu dengan produksi masing-masing padi (60,81 Kw/Ha), jagung (55,7 Kw/Ha), kedelai (12,3 Kw/Ha), kacang tanah (8,8 Kw/Ha) dan ubi kayu (163, 3 Kw/Ha). Menurut Kim dan Dale (2004) dalam Isroi (2009), potensi jerami padi kurang lebih 1,4 kali dari hasil panen. Jerami dari limbah pertanian ini merupakan sumber pakan yangn sangat besar di kecamatan Wates. Produksi jerami padi menurut hasil penelitian adalah 85,14 Kw/Ha, jerami jagung 77,98 Kw/Ha, jerami kedelai 17,22 Kw/Ha dan jerami kacang tanah 12,32 Kw/Ha, sehingga dengan luas lahan yang ada di Kecamatan Wates, produksi jerami total sebesar 114.564,92 Kw.

Berdasarkan aspek produktivitas tanaman, padi merupakan tanaman yang memiliki produktivitas tertinggi, karena kecamatan Wates merupakan daerah dataran rendah yang sangat subur. Kemudian diikuti oleh jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu. Produksi limbah pertanian yang berupa jerami ini sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan ternak.

Pola pemeliharaan ternak Hasil penelitian mengenai

pemeliharaan ternak menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh peternak 100% dengan cara tradisional. Cara pemeliharaan tradisional adalah ternak diberi pakan seadanya dan belum memperhatikan prinsip-prinsip ekonomi. Menurut Devendra dan Burns (1994), bahwa sistem pemeliharaan ternak di pedesaan pada umumnya secara tradisional dan belum menggunakan teknologi dalam manajemen pemeliharaannya.

Masyarakat memelihara ternak dengan cara mengandangkan ternak sepanjang hari, hal itu dikerjakan dengan alasan supaya mempermudah dalam pemberian pakan dan perawatan sehingga pertumbuhan ternak akan lebih baik. Hal ini sangat terkait dengan sistem pemberian pakan. Peternak memberikan pakan bagi ternaknya dengan cara memberikan pakan di kandang. Rumput diperoleh dengan cara mencari di sepanjang pematang maupun pada lahan – lahan rumput yang mereka miliki. Hal di atas menunjukkan bahwa lahan garapan yaitu sawah dan kebun menjadi basis ekologis bagi ternak sebagai penyedia hijauan dan tempat pemeliharaan ternak. Terdapat kecenderungan ketersediaan hijauan pakan di padang penggembaalan sangat terbatas dan keberadaannya di pedesaan jauh dari pemukiman penduduk (Setiadi, et al. 1995).

Pemberian pakan

Page 47: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 43

Berdasarkan hasil pengamatan, responden memberikan pakan ternak baik sapi, kambing maupun domba berupa hijauan segar, jerami dan konsentrat. Hijauan yang diberikan pada musim hujan berupa rumput gajah, kolonjono dan setaria. Sedangkan pada musim kemarau, ternak sapi diberi jerami padi (100%), untuk kambing diberi pakan jerami kacang tanah maupun kedelai dan sebagian kecil rumput (7,69%). Seluruh responden (100 %) memberikan pakan 2 kali sehari pada waktu pagi dan sore hari.

Hijauan yang diberikan berasal dari tegalan yang mereka miliki (38,45%), pematang (27,19%) dan lahan rumput (34,36%) sedangkan jerami padi berasal dari sawah sendiri (76,65 %) maupun membeli dari luar daerah (23,35 %). Pemberian pakan jerami pada waktu musim kemarau ini merupakan salah satu cara para peternak dalam mencukupi kebutuhan pakan ternaknya. Walaupun begitu, peternak merasa kesulitan mencari pakan ketika musim kemarau tiba.

Jerami untuk pakan ternak diperoleh dari sawah-sawah yang telah dipanen dan apabila di kecamatan Wates sudah tidak mencukupi lagi maka petani akan mencari jerami ke lain daerah. Tegalan yang ada juga ditanami rumput untuk mencukupi kebutuhan pakan ternaknya. Hal itu disebabkan karena mahalnya harga rumput yang digunakan untuk pakan. Salah satu kendala peternak responden (56 %) dalam

memelihara ternaknya adalah mahalnya biaya pakan, terutama pada musim kemarau.

Jumlah pemberian pakan hijauan rata-rata 40,15 kg/UT/hari, diberikan 2 kali pada pagi dan sore hari, sedangkan untuk pakan penguat (bekatul) hanya 45,4% peternak yang memberi dan sisanya tidak memberikan konsentrat. Bekatul diperoleh dari limbah penggilingan padi dengan jumlah pemberian tidak tentu dan frekuensi pemberian rata-rata 2,1 kali/hari. Jumlah pemberian pakan hijauan secara kuantitas sudah cukup baik, mengingat bobot badan rata-rata sapi potong di lokasi adalah 365,34 kg, sedangkan pemberian pakan hijauan biasanya sebanyak 10% dari bobot badannya. Pemberian pakan penguat masih sangat kurang, karena standar pemberiannya adalah 1% BB. Hal inilah diduga sebagai penyebab masih rendahnya pertumbuhan sapi, sehingga berat dewasa sapi belum optimal.

Ketersediaan hijauan pakan menurut peternak adalah tidak tetap atau fluktuatif. Sebanyak 80,6% responden menyatakan ketersediaan pakan cukup dan 19,4% responden menyatakan pakan kuranng. Ketersediaan pakan sangat dipengaruhi oleh musim, dimana saat musim penghujan atau panen komoditi tanaman pangan jumlahnya melimpah, sementara saat musim kemarau/peceklik ketersediaannya berkurang.

Page 48: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 44

Produktivitas Ternak Sapi Rata-rata berat badan sapi

dewasa pada saat penelitian di kecamatan Wates adalah 365,34 kg, belum optimal baik untuk sapi PO maupun Simental. Walaupun jumlah rata-rata pemberian pakan cukup (40,15 kg/UT), tetapi belum mampu memberikan tingkat produksi sapi potong yang tinggi. Hal ini diduga karena berkait dengan kontinyuitas kecukupan pakan sepanjang tahun dan kualitas genetiknya.

Sapi potong di Kecamatan Wates mempunyai interval kelahiran berkisar antara 14 – 18 bulan dengan rata-rata 16,69 bulan. Interval kelahiran ideal adalah 12 bulan (sapi-sapi di Negara-negara maju dan 13,5 bulan untuk sapi-sapi di Indonesia (Hardjosoebroto, 1994). Rata-rata interval kelahiran sapi di kecamatan Wates ini hampir sama dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) yang menyatakan bahwa interval kelahiran sapi-sapi lokal di daerah tropis hanya berkisar antara 16 – 17 bulan. Hal ini disebabkan karena perkawinan sapi betina yang dilakukan tepat pada waktunya dan 89,95 % peternak mengawinkan ternaknya dengan teknologi Inseminasi Buatan (IB), sedangkan sisanya dengan kawin alam. Sedangkan sapi-sapi yang dimiliki responden rata-rata telah beranak sebanyak 2,92 kali dengan S/C rata-rata 1,81

Pemanfaatan Kotoran Ternak Produksi kotoran ternak rata-rata per hari per ekor adalah

17,5 kg, dengan jumlah sapi yang ada di kecamatan Wates sebanyak 5396 ekor, diperkirakan akan diperoleh produksi kotoran ternak sekitar 94,43 ton/hari. Dengan jumlah produksi kotoran yang sangat besar ini, apabila tidak dikelola secara intensif akan menimbulkan masalah lingkungan. Selain bau, limbah ini juga akan mengganggu kebersihan lingkungan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kotoran ternak yang dihasilkan belum diolah, hanya ditimbun di dekat kandang atau rumah dan pada waktu tertentu dikumpulkan untuk dibawa ke ladang atau sawah, dijual atau diberikan ke orang lain.

Pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk tanaman sebesar 98%, sedangkan 2% dijual dalam kondisi seadanya dengan harga dan volume penjualan yang tidak tentu / bervariasi per tahunnya. Peternak belum melakukan pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik yang berkualitas. Pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik yang berkualitas akan meningkatkan kualitas dan nilai jual pupuk. Dengan pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk organik ini, diharapkan pendapatan peternak akan meningkat pula. Pada kenyataannya dari responden yang ada hanya 26% yang melakukan pengolahan kotoran ternak sebagai pupuk organik baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk dijual.

Page 49: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 45

Integrasi Ternak dengan Usaha Pertanian

Perkembangan usaha peternakan perlu didukung oleh berbagai sarana produksi, yang salah satunya adalah pakan. Dalam sistem ini, tanaman pangan berperan dalam penyediaan pakan ternak yang berupa limbah pertanian seperti jerami padi, jerami kacang tanah, jerami jagung, jerami kedelai dan daun singkong. Seterusnya ternak akan menghasilkan kotoran yang dapat berguna sebagai pupuk organik bagi tanaman (Diwyanto, et al., 2005).

Penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan ternak ruminansia di tingkat peternak sangat tinggi. Hal ini terlihat semua peternak (100%) yang menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan. Alasan peternak menggunakan limbah tanaman pangan sebagai pakan adalah pada saat panen ketersediaanya melimpah, sehingga dapat diberikan dalam bentuk segar; mengatasi kesulitan pakan pada saat musim kemarau.

Peternak yang menggunakan limbah sebagai pakan, semua responden (100%) menggunakan jerami padi, sedang 55,34% responden juga memanfaatkan jerami jagung sebagai pakan. Tingginya jumlah peternak yang menggunakan jerami padi dan jerami jagung sebagai pakan dibandingkan dengan limbah yang lain disebabkan karena jumlah produksi dan luas areal penanaman

komoditi tersebut lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan komoditi yang lain. Disamping menggunakan jerami padi dan jagung, limbah yang lain juga digunakan sebagai pakan, seperti limbah jerami kedelai, jerami kacang tanah, daun ubi kayu, namun responden yang menggunakan sedikit jumlahnya karena rendahnya jumlah areal penanaman komoditi tersebut sehingga ketersediaan limbahnya kurang.

Zulbardi, et al. (2001) menyatakan, masalah utama yang ditemui pada usaha peternakan khususnya ternak ruminansia adalah tidak tersedianya pakan yang kontinyu dengan kualitas yang baik. Upaya yang dilakukan adalah melakukan penyimpanan, pengawetan dan peningkatan kualitas nilai nutrisi melalui sentuhan teknologi pakan. Aryogi et al. (2001) menyatakan, teknologi pakan untuk ternak ruminansia mencakup dua hal, yaitu a) teknologi pengolahan bahan pakan untuk meningkatkan kualitas zat-zat nutrisinya, dan b) teknologi penyiapan bahan pakan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan zat-zat nutrisinya.

Sebagian besar masyarakat Kecamatan Wates adalah petani sekaligus pemilik ternak. Usaha tani merupakan satu kesatuan yang banyak dilakukan masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena apabila petani menggarap sawah maka akan lebih efisien apabila sepulang dari sawah sambil membawa hijauan untuk pakan ternak. Sehingga ada

Page 50: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 46

petani yang memiliki ternak walaupun hanya sebagai penggaduh saja.

Pemanfaatan limbah hasil usaha tani yang berupa jerami, digunakan oleh para petani untuk pakan ternaknya. Seluruh responden memanfaatkan jerami sebagai pakan ternaknya. Demikian juga sebaliknya pemanfaatan limbah dari usaha ternak yang berupa kotoran digunakan oleh petani untuk memupuk sawah / lahannya. Berdasarkan hasil penelitian, responden telah melakukan pola pertanian terpadu antara tanaman pertanian dengan peternakan dengan tingkat efektivitas yang tinggi.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kecamatan Wates mempunyai potensi untuk pengembangan sapi potong dengan pola integrated farming / pertanian terpadu antara tanaman dan ternak.

2. Produksi ternak sapi dengan pola integrated farming belum memberikan tingkat pertumbuhan yang tinggi walaupun secara kuantitas sudah cukup baik.

3. Semua petani telah memanfaatkan limbah pertanian dan limbah ternak untuk ternak dan pertaniannya, namun belum ada perhitungan secara ekonomis mengenai

dampak penerapan integrated farming.

DAFTAR PUSTAKA

Aryogi., M.A.Yusran., U,Umiyasih., A.Rasyid., L. Affandi., H. Arianto. 2001. Pengaruh teknologi defaunasi pada ransum terhadap produktivitas ternak sapi perah rakyat. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17-18 September 2001. Bogor: Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 181-188.

Atmojo,S.U., 2007. Pertanian organik, Integrasi ternak dan tanaman. SOLO POS , Rabo Pon, 7 Maret 2007

Devendra, C., M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB. Bandung.

Diwyanto, K., A. Priyanti dan R.A. Saptati, 2005. Prospek Pengembangan Integrasi Usaha Peternakan di Indonesia. Buku Panduan. Seminar Nasional Prospek Pengembangan Peternakan Tanpa Limbah.Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Isroi, 2009. Pemanfaatan jerami padi sebagai pupuk organik in-situ untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan subsidi pupuk.

Page 51: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 47

http://isroi.wordpress.com/2009/05/14/pemanfaatan-jerami-padi-sebagai-pupuk-organik-in-situ-untuk-mengurangi-penggunaan-pup. (14 Nopember 2010)

Setiadi, B., Subandrio., L.C.Iniguez. 1995. Reproductive performance in small ruminant on outreach pilot project in West Java. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 1: 73-80.

Sugiyono, B., 1999. Statistika untuk Penelitian. CV Alfabeta, Bandung.

Williamson , G. dan W.J.A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Zulbardi M., A.A. Karto., U.Kusnadi., A.Thalib. 2001. Pemanfaatan jerami padi bagi usaha pemeliharaan sapi Peranakan Onggole di daerah irigasi tanaman padi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. hlm 256-261.

Page 52: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 48

BUDIDAYA JAMUR TIRAM PUTIH PADA BERBAGAI MACAM MEDIA DI DATARAN TINGGI DAN DATARAN RENDAH

Umul Aiman Junaedi Abdillah Tyastuti Purwani

Prodi Agroteknologi, Fakultas Agroindustri

Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

White oyster mushroom fungus is one of the most potential to be cultivated. White oyster mushroom needs now is still lacking, so that still imports in 2002 stood at 30.8 kg / capita / year. Lack of production of oyster mushrooms can be pressed for example by planting using appropriate media and in a suitable environment. The purpose of this research is to study the growth and yield of white oyster mushroom by using a variety of media that is planted in the lowlands and highlands. The medium used was the medium of sawdust sengon, of reeds that have been dried and bagasse which is a sugar mill waste Madukismo. Planting is done in the area Sedayu which is lowland and in the Ground which is a plateau. The research design used was randomized complete block design (RCBD) the respective foreign factorial treatment done 3 times repetition

The results showed that the growth and yield of white oyster mushrooms which grew on sawdust media sengon to be planted on the plateau show that the best compared to other treatment. Results of total white oyster mushroom is 73.59 grams / log bag with 6 times the harvest (in the media sengon, plateau), followed by bagasse, reeds 61.70 and 42.18 on the plateau and then sengon, bagasse and grass lowland grassland in a row 51.46, 47.61, and 38.85 kg / 3 log bag.

Key words: white oyster mushroom, lowlands, highlands, growth media.

LATAR BELAKANG

Jamur tiram putih merupakan salah satu jenis jamur kayu yang cukup potensial untuk dibudidayakan ( Gunawan, 2000).

Jamur ini salah satu jenis sayuran sarat gizi dan potensial untuk menurunkan kolesterol ( Aditya, 2009). Untuk menumbuhkannya, tidakmembutuhkan menghendaki lingkungan yang

Page 53: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 49

terlalu rumit (Sumarmi, 2006). Temperatur ideal yang diharapkan berkisar antara 22 - 28° C dengan kelembaban 80-90% (Sumarmi, 2006; Suriawirya, 2002). Namun masih bisa tumbuh pada kelembaban maupun temperatur yang lebih tinggi bahkan sampai dengan 30° C, sehingga sangat memungkinkan untuk dibudidayakan baik di dataran tinggi maupun rendah.

Pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, juga sangat dipengaruhi macam media yang digunakan. Media yang mengandung serat utamanya selulosa dapat digunakan untuk menanam jamur. Media yang sering digunakan adalah serbuk gergaji sengon (Sumarmi, 2006) serta limbah lain yang mengandung serat.

Pabrik gula menghasilkan limbah berupa tetes, ampas tebu dan blotong. Ampas tebu merupakan bahan organik yang banyak mengandung selulosa sehingga dapat digunakan untuk budidaya jamur tiram putih (Mayun, 2007). Selain limbah tersebut, alang-alang juga merupakan bahan organik yang kaya akan serat (Parlindungan, 2003) yang banyak dijumpai di sekitar kita sebagai gulma.

Dataran rendah merupakan dataran dengan temperatur rata-rata 23 - 28°C dengan ketinggian sampai dengan 200 m dpl. (Wikipedia, 2010). Dataran tinggi adalah

daerah yang mempunyai ciri dengan temperatur sekitar 24 °C , pada ketinggian diatas 200 m dpl . Jamur tiram putih banyak dibudidayakan baik di dataran rendah maupun tinggi, namun informasi jelas berapa hasil dari masing-masing tempat budidaya tersebut belum banyak diketahui.

Jamur tiram putih menghendaki persyaratan tumbuh dengan temperatur optimal 22 - 28 OC dengan kelembaban 60 - 70 % dan fase pembentukan tubuh buah memerlukan suhu udara antara 16 - 22 OC. Hara yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhannya adalah selulosa, lignin dan karbohidrat lainnya. Selain itu juga kalsium, nitrogen (Wikipedia, 2010), sehingga hara tersebut harus ada di dalam media. Lebih lanjut dinyatakan bahwa, untuk menumbuhkan miselium jamur tidak membutuhkan cahaya sama sekali sehingga sebaiknya ditempatkan di tempat gelap. Selanjutnya untuk membentuk tubuh buah sangat diperlukan sinar dengan intensitas penyinaran 60 - 70 %.

Pertumbuhan jamur tiram akan optimal dan akhirnya akan menghasilkan panen maksimal apabila dibudidayakan pada kondisi lingkungan optimal. Kekokohan media juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan badan buah (Sumarmi, 2006). Informasi macam media serta kondisi lingkungan optimal sangat penting agar dapt dipergunakan sebagai

Page 54: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 50

bahan pertimbangan bagi para petani jamur tiram.

TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mempelajari ada tidaknya interaksi antara macam media dengan macam ketinggian tempat (dataran rendah dan dataran tinggi) pada budidaya jamur tiram putih.

b. Mempelajari pertumbuhan dan hasil dari jamur tiram putih yang ditumbuhkan pada beragam media pada dataran rendah dan dataran tinggi.

c. Mendapatkan informasi media dan lokasi yang paling cocok untuk mendukung pertumbuhan dan hasil jamur tiram putih terbaik .

MATERI DAN METODE

A. Tempat Penelitian: Penelitian dilakukan di daerah Argorejo, Sedayu pada ketinggan tempat 76 diatas permukaan laut (dpl ) dan daerah Ngipiksari, Pakem pada ketinggian tempat 600 m dpl.

B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan meliputi serbuk gergaji kayu sengon, daun alang-alang yang telah dikeringkan dan ampas tebu yang digunakan sebagai media. Sebagai substrat yang ditambahkan ke dalam media digunakan bekatul, kapur/ CaCO3 serta air.

Polibag ukuran warna putih ukuran 20x30 cm dengan ketebalan 0,3 mm digunakan untuk log bag, kumbung serta bambu untuk meletakkan log bag. Untuk sterilisasi media digunakan pengukus, paralon untuk dipasangkan pada ujung log bag, kapas untuk menutup log bag sebelum pertumbuhan miselium maksimal, penggaris untuk mengukur petumbuhan/ panjang miselium, tinggi serta diameter tubuh buah dan timbangan untuk menimbang jamur tiram.

C. Cara Penelitian Penelitian

menggunakan rancangan acak kelompok lengkap faktorial dengan 3 ulangan. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali . Faktor tersebut meliputi lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan dataran tinggi, dan faktor kedua adalah macam media yang terdiri media serbuk gergaji, media alang-alang dan media ampas tebu.

Masing-masing media selanjutnya dikomposkan selama 5 hari ditambahkan kedalamnya bekatul 100 gram , kapur 10 gram untuk tiap-tiap 1000 grm media. Bahan-bahan tersebut setelah

Page 55: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 51

tercampur, ditambahkan kedalamnya air s/d kelembaban media ± 60 % dan kemudian dimasukkan ke dalam polibag/ log bag dan dipadatkan dengan pengepres. Log bag yang telah berisi media selanjutnya disterilisasi dengan pengukus selama 8 jam pada temperatur ± 100°C. Setelah sterilisasi, media selanjutnya didinginkan untuk selanjutnya diinokulasi dengan bibit jamur tiram putih. Perawatan dilakukan dengan menyiram secara pengkabutan pada lingkungan tumbuhnya maupun pada log bag. Setelah miselium memenuhi log bag kapas dibuka dan ditunggu sampai tubuh buah jamur siap panen. Panen dilakukan apabila tubuh buah telah membuka penuh.

Variabel yang diamati meliputi pertumbuhan panjang miselium, saat pemenuhan miselium, saat pembentukan tubuh buah, jumlah tubuh buah, diameter dan tinggi tubuh buah serta total panen ndan kandungan protein. ,

HASIL DAN PEMBAHASAN Panjang miselium jamur merupakan variabel yang digunakan untuk mempelajati

pertumbuhan jamur. Pajang miselium pada berbagai macam media dan lokasi menunjukkan perbedaan ( Tabel 1).

Pertumbuhan miselium paling cepat pada perlakuan dengan menggunakan media alang-alang dan serbuk gergaji sengon pada dataran rendah (Tabel 1) . Hal ini sesuai dengan sifat suatu tanaman bahwa pada dataran rendah suhu akan lebih tinggi sehingga dapat memacu metabolisme lebih cepat. Seperti dikatakan oleh Sumarmi (2008) bahwa pertumbuhan miselium jamur tiram putih menghendaki temperatur yang berbeda dengan saat pembentukan tubuh buah yaitu sedikit lebih tinggi.

Setelah pertumbuhan miselium memenuhi log bag, maka dilakukan pembukaan tutup log bag untuk memacu pembentukan tubuh buah. Tubuh buah yang berasal dari perlakukan media alang-alang dan serbuk gergaji sengon yang ditanam pada dataran rendah lebih dahulu terbentuk daripada perlakukan lainnya ( Tabel 2).

Page 56: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 52

Tabel 1. Panjang miselium jamur tiram putih pada berbagai macam media pada padataran tinggi dan dataran rendah ( cm)

Macam Media Lokasi

Serbuk Gergaji sengon

Ampas Tebu

Alang-alang

Dataran Rendah

5,89 b p

5,78 b p

8,11 a p

Dataran tinggi

5,05 p q

4,72 b q

7,56 a q

Waktu pengamatan (hari ke setelah inokulasi)

14

Dataran rendah

12,83 a p

11,45 b p

15,72 a p

Dataran tinggi

11,44 a q

9,72 b q

13,11 a q

21

Dataran rendah

18,28 a p

16,53 b p

19,06 a p

Dataran tinggi

17,50 a q

14,06 b q

17,44 a q

28

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%

Tabel 2. Saat pemunculan tubuh buah yang pertama kali pada berbagai macam media pada dataran tinggi dan dataran rendah ( hari )

Macam Media Lokasi Serbuk Gergaji sengon

Ampas Tebu

Alang-alang

Dataran Rendah

60,22 b q

62,22 b q

52,59 a p

Dataran tinggi

45,78 a p

51,56 b q

57,11 b q

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%

Page 57: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 53

Tabel 3 . Total panen jamur tiram putih pada berbagai macam

media pada pada dataran tinggi dan dataran rendah ( gram )

Macam Media Lokasi Serbuk Gergaji sengon

Ampas Tebu

Alang-alang

Dataran Rendah

51,46 a q

47,61 a q

38,85 b q

Dataran tinggi

73,59 a p

61,70 a p

42,18 b q

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 5%

Total hasil jamur adalah 30 – 45 % dari berat media ( FAO cit Anonimus, 2010) sehingga panen tersebut sudah berada di atas nilai referensi dari FAO. Panen dari media serbuk gergaji sengon dan ampas tebu menunjukkan total panen yang lebih tinggi dibanding yang lainnya (Tabel 3), namun semua masih sangat layak untuk dipergunakan sebagai lokasi

penanaman karena semuanya masih lebih banyak dari rekomendasi FAO.

Tingginya total panen yang dihasilkan kemungkinan dikarenakan semakin lengkapnya nutrisi yang ada pada media. Selain karena nutrisi, struktur/ kekompakan media juga sangat mempengaruhi pembentukan badan buah.

Tabel 4 : Kandungan protein jamur tiram putih pada berbagai media pada lokasi penanaman yang berbeda ( % berat segar)

Macam perlakukan Kadar protein ( % berat segar )

Sengon, dataran rendah 2,48 Sengon, dataran tinggi 3,50 Ampas tebu, dataran endah 3,00 Ampas tebu, dataran tinggi 2,82 Alang-alang, dataran rendah 2,19 Alang-alang, dataran tinggi 2,10

Page 58: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 54

Protein jamur tiram putih dari media sengon yang ditanam pada dataran tinggi menujukkan kandungan yang paling tinggi yaitu 3,50% berat segar , diikuti pada ampas tebu di dataran tinggi , ampas tebu dataran rendah, pada media sengon dataran rendah dan pada alang-alang yang ditanam pada dataran tinggi serta rendah (Tabel 4). Komposisi kandungan kimia jamur tiram sangat dipengaruhi macam media maupun lokasi penanaman atau lebih tepatnya kondisi lingkungan.

Jamur tiram merupakan jamur heterotrof yang menggunakan media untuk nutriennya, semakin lengkap kandungan kimia yang ada pada media akan menyebabkan kandungan kimia jamur juga semakin lengkap. Demikian halnya, apabila lingkungannya ideal maka metabolismenya juga semakin baik yang pad akhirnya akan meningkatkan senyawa kimia yang dikandungnya.

KESIMPULAN

1. Teradi interaksi antara macam media dengan macam ketinggian tempat (dataran rendah dan dataran tinggi) pada budidaya jamur tiram putih.

2. Pertumbuhan jamur tiram putih yang ditumbuhkan pada media serbuk gergaji sengon dan alang-alang

pada dataran rendah menunjukkan paling cepat.

3. Hasil jamur tiram putih terbanyak diperoleh pada penggunaan media dari serbuk gergaji yang ditanam di dataran tinggi.

4. Kandungan protein jamur tiram putih dari media sengon yang ditanam pada dataran tinggi paling tinggi yaitu 3,50% berat segar , diikuti media ampas tebu di dataran tinggi , media ampas tebu dataran rendah, kemudian media sengon dataran rendah dan pada alang-alang yang ditanam pada dataran tinggi serta paling rendah adalah media alang-alang di dataran rendah ( 2,10%)

DAFTAR PUSTAKA :

Aditya, R., 2009. Kandungan Gizi Jamur Tiram..Pangan Masa Depan yang Lezat dan Sehat Baik untuk Anti kolesterol dan Anti kanker, http://pusatjamur.wordpress.com/2009/10/05/kandungan-gizi-jamur-tiram-pangan-masa-depan-yang-lezat-dan-sehat-baik-untuk-anti-kolesterol-dan-anti-kanker/#more-754, 4 Desmber 2010.

Anonimus, 2010.

Page 59: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 55

Total hasil jamur tiram putih. http://jamurekangicong.blogspot.com/2010/05/kang-berapa-total-hasil-panen-jamur.html , 3 Desember 2010

Gunawan, A.W. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hartoyo, 2010. Jamur Tiram. http://hartoyoblogs.blogspot.com/2010/04/jamur-tiram.html, 5 Desember 2010

Mayun, I.A.2007. Pertumbuhan Jamur Merang (Volvariella volvacea) pada Berbagai Media Tumbuh. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana

Media Komunikasi Permi Malang, 2005.

Budidaya Jamur Tiram Lebih Mudah Dengan Media Murah, http://www.cybertokoh.com/news/jamur.htm, 10 Desember 2010

Nurzaman, R., 2009. Budidaya Jamur Tiram Putih Menguntungkan. Koran Banten 11 Februari 2009.

Parlindungan. A.K., 2003. Karakteristik Pertumbuhan dan Produksi Jamur Tiram Putih (Pleorotus ostreatus) dan Jamur Tiram Kelabu (Pleurotus sajor Caju) pada Baglog Alang-alang . Jurnal Natur Indonesia 5(2): 152-156 (2003)

Sumarmi, 2006. Innofarm: Botani Dan Tinjauan Gizi Jamur Tiram Putih, Jurnal Inovasi Pertanian Vol. 4, No. 2, 2006 (124-130) .

Wikipedia, 2010. Dataran Rendah. http://id.wikipedia.org/wiki/Dataran_rendah, 5 Desember 2010

Page 60: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 56

DISINFESTASI LALAT BUAH (Bactrocera dorsalis hendel) PADA BUAH BELIMBING MANIS DENGAN PERLAKUAN PERENDAMAN MENGGUNAKAN EKSTRAK BAGIAN TANAMAN PEPAYA

Dian Astriani

Prodi Agroteknologi, Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRACT

Fruit production needs a post-harvest pest management system to obtain equitable quality of the fruits without containing pesticide residues. Fruit flies are the main pest on fruits in Indonesia. Plant parts of papaya have been known containing insecticidal compounds such as its skin of unripe fruit and leaves. The extract of papaya fruit skin with colour break fruit to green mature stage, and papaya leaves had been tried to disinfest fruit fly (Bactrocera dorsalis) in starfruit with dipping the fruit for 10 minutes. Heating of the extract at 40oC had been done to increase effectivity of the extracts. The fruit skin extract was not effective to disinfest the fruit fly, otherwise extract of the leaves contains high feeding toxicity with LC-50 : (13,0467 + 1,1091)%. The higher the concentration of papaya leaves extract, the stroger its depressing effect on the number of adults of fruit fly and their size. The heating had not increased the effectiveness of papaya leaves extract, but it could prolong the emergence of fruit fly adults and depress their size. The treatments of the research had not changed the flavor of starfruit, but the heating even could reduce the sourness of the fruit. Keywords : disinfestation, fruit fly, dipping treatment strar fruit, papaya plant parts PENDAHULUAN

Tanaman buah dan sayur yang dikenal sebagai tanaman hortikultura merupakan sumber bahan pangan dan devisa yang penting di negara-negara Asia Pasifik termasuk Indonesia. Produksi buah dan sayur per tahun di Asia Pasifik masing-masing sekitar 26% dan 50% dari produksi dunia dan hortikultura di Indonesia merupakan salah satu andalan masyarakat, lebih dari 70% masyarakat hidup dari usaha pertanian (Singh, 1988 ; Putra, 1997).

Indonesia bersama-sama dengan Filipina, Thailand dan Jepang termasuk produsen buah yang cukup besar di Asia Pasifik. Produksi buah di Indonesia tercatat mengalami peningkatan. Dari tahun 1976 - 1986 laju peningkatannya mencapai 5%, sedangkan berdasarkan angka sementara Departemen Pertanian, produksinya meningkat dari 9,4 juta ton pada 2001 menjadi 10,4 juta ton pada 2002 (Singh, 1988 ; Anonim, 2003). Sedangkan pada tahun 2008 produksi buah Indonesia tercatat naik sekitar 4,18

Page 61: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 57

% bila dibandingkan dengan produksi tahun 2007 sebesar 17.831.252 ton (Agusfasis, 2011).

Kondisi geografis Indonesia memang memberikan iklim yang menguntungkan sebagai produsen berbagai macam buah. Produksi buah ini menyumbang 10% pendapatan kotor nasional (Putra, 1997). Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) telah dikenal dan banyak diminati oleh masyarakat luas karena rasanya segar dan harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dilihat dari nilai gizinya buah ini antara lain mengandung kalori 36 kal, vitamin A 171 SI dan 35 mg vitamin C, dari tiap 100 gram bagian buah yang dimakan (Tim Penulis PS, 1998). Serangan hama penyakit tanaman pada produk hortikultura masih cukup tinggi. Rata-rata dalam setahun serangan hama terhadap tanaman hortikultura di seluruh Indonesia saat ini mencapai 35 hingga 80% (Anonim, 2003). Lalat buah telah dikenal luas sebagai hama penting pada tanaman buah-buahan. Hama ini menyebabkan kerusakan yang serius pada berbagai buah yang tumbuh di Indonesia. Di Indonesia terdapat 4 genera lalat buah dan dari penelitian yang dilakukan pada tahun 1982 ditemukan 77 spesies dari genus Dacus (Putra, 1997). Salah satu diantaranya adalah Dacus (Bactrocera) dorsalis complex yang merupakan lalat buah yang bersifat polifag, mempunyai sekitar 26 jenis inang seperti belimbing manis, jambu biji,

tomat, cabai merah, melon, apel, nangka, mangga, dan jambu air. Selain dapat menyebabkan buah muda yang terserang jatuh, serangan hama ini juga menyebabkan buah menjadi busuk dan dihinggapi larva lalat buah yang merupakan vektor bakteri Escherichia coli, penyebab penyakit pada manusia sehingga dampak lebih jauhnya dapat menghambat perdagangan (Putra, 1997 ; Anonim, 2011).

Kerusakan yang terjadi menyebabkan penurunan kualitas maupun kuantitas buah. Komoditas buah membutuhkan kualitas tinggi yang hampir sepenuhnya bebas organisme pengganggu, sehingga bentuk fisik maupun rasanya akan memuaskan. Untuk mencegah

masuknya spesies baru lalat buah ke Indonesia, pemerintah mengeluarkan Permentan No.37/KPTS/HK.060/2006 yang menetapkan hanya 7 pintu masuk buah segar ke Indonesia, yaitu Batu Ampar (Batam), Ngurah Rai (Bali), Makassar, Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), dan Cengkareng (Jakarta). Intensitas serangan lalat buah menunjukkan variasi yang cukup besar, di beberapa daerah di Jawa Timur dan Bali berkisar antara 6,4-70%. Intensitas serangan lalat buah pada mangga berkisar antara 14,8-23%. Namun tidak jarang kerusakan yang diakibatkan lalat buah, khususnya pada belimbing dan jambu biji, dapat mencapai 100% (Anonim, 2011). Usaha pengelolaan lalat buah baik di lapangan maupun

Page 62: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 58

setelah panen, telah banyak dilakukan dan berbagai metode terus dikembangkan. Pengendalian lalat buah yang banyak digunakan di Indonesia adalah metode tradisional dengan pembungkusan buah menggunakan berbagai material lokal. Namun, pembungkusan menjadi kurang praktis jika kebun buah sangat luas dan pohon buah tinggi. Metode ini cukup praktis dan efisien jika tersedia tenaga kerja yang cukup banyak dan murah. Pada budidaya yang lebih terorganisir untuk produksi komersial, malathion merupakan insektisida utama yang dipergunakan (Isnadi, 1988). Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, metode perlakuan buah pasca panen didominasi metode kimiawi seperti fumigasi dan pencelupan di larutan kalsium, dengan pembungkusan lilin atau perlakuan uap panas. Diketahui pengeluaran biaya pengendalian kimiawi untuk lalat buah (pada cabai merah) dapat mencapai sampai 50 % dari total biaya usaha tani (Kaleka, 2011).

Seiring dengan penigkatan taraf hidup masyarakat, permintaan konsumen buah, apalagi untuk ekspor, selain ditekankan pada kualitas fisik juga diharapkan kualitas yang menjamin keselamatan konsumen. Dengan demikian produk ini menghendaki tingkat residu pestisida rendah atau bahkan tanpa residu sama sekali. Apalagi dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kesehatan No. 881/Menkes/SKB/VIII/1996 dan No.711/Kpts/TP.270/8/96 tentang

Maximum Residue Limit (MRL) atau Batas Maksimum Residu pada produk-produk pertanian (Martono, 1999). Selain itu pada tahun 1984 ada pembatalan registrasi pemakaian EDB (etilen dibromida) oleh EPA (Environtment Protection Agency) sehingga fumigasi perlu dipertimbangkan lagi (Jang, 1991).

Metode kimiawi dapat menurunkan kualitas karena adanya residu pestisida, sedangkan metode non kimiawi (metode fisis) dapat merusak kondisi fisik buah. Penggunaan bahan tumbuhan yang mengandung senyawa insektisidal atau senyawa toksik bagi organisme pengganggu tanaman (OPT), dapat dikaji untuk dimanfaatkan sebagai alternatif metode perlakuan pasca panen karena lebih aman dalam mengatasi kendala di atas. Perlakuan pasca panen dengan pencelupan memanfaatkan rhizome kencur untuk melindungi mentimun terhadap lalat buah Bactrocera cucurbitae Coq. telah dicoba dengan hasil yang dapat diharapkan (Martono, 1997).

Pepaya sebetulnya merupakan salah satu inang bagi lalat buah. Di Hawaii beberapa jenis lalat buah menjadi hama penting pada pepaya. Namun tidak pernah ada infestasi lalat buah pada tingkat kemasakan mengkal (colour break fruit) sampai buah tua (green mature stage) (Liquido, 1991). Hal ini dimungkinkan karena pada tingkat kemasakan tersebut pepaya mempunyai banyak getah yang didalamnya terkandung berbagai senyawa yang dapat

Page 63: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 59

bersifat toksik bagi hama tersebut. Selain kulit buah muda, bagian lain seperti daun juga mengandung bahan-bahan yang kemungkinan bersifat insektisidal. Daun pepaya banyak mengandung alkaloid carpain yang berasa pahit dan banyak digunakan sebagai obat cacing pada anak-anak, disamping itu juga terkandung vitamin A yang tinggi (Kalie, 1999). Kulit buah pepaya muda banyak mengandung bensil isoiosianat yang beracun terhadap telur lalat buah (Seo et al., 1982 cit. Liquido, 1990).

Penelitian ini bertujuan mengetahui efek ekstrak daun dan kulit buah pepaya mengkal terhadap lalat buah pada belimbing manis. MATERI DAN METODE Penelitian disinfestasi lalat buah dengan ekstrak bagian tanaman pepaya ini dilakukan di laboratorium, diawali dengan pembuatan ekstrak (perasan) daun dan kulit buah pepaya. Kulit buah yang diperas dari buah pepaya Thailand dengan tingkat kemasakan visual buah mengkal (color break fruit) sampai tua (green mature) (Liquido, 1991). Helaian daun pepaya yang dipilih tidak terlalu muda ataupun terlalu tua, masih segar dan bebas kerusakan fisik maupun oleh organisme pengganggu tanaman. Dari masing-masing 200 gram bahan tumbuhan tersebut dapat diperoleh 30 cc ekstrak kulit buah dan 65 cc ekstrak daun pepaya, sebagai larutan ekstrak 100%. Sebelum uji perendaman, dilakukan dahulu uji pendahuluan untuk mengetahui potensi

toksisitas ekstrak, serta menentukan kisaran konsentrasi untuk uji perendaman. Selanjutnya dilakukan pengujian daya repelensi serta analisis probit untuk menentukan toksisitasnya. Hasil pengujian pendahuluan menunjukkan ternyata ekstrak kulit buah pepaya tidak cukup efektif untuk pengujian selanjutnya, sedangkan ekstrak daun pepaya menunjukkan potensi toksisitas yang cukup tinggi, dilihat dari mortalitas larva lalat buah yang terjadi pada uji pakan. Namun kedua macam ekstrak tidak menunjukkan toksisitas kontak.

Penelitian pokok dilakukan dengan merendam buah belimbing manis dengan ekstrak bagian tanaman pepaya, dan dari melihat hasil uji pendahuluan hanya ekstrak daun pepaya yang dilakukan uji lanjut. Perlakuan perendaman dilakukan di dalam ruangan bersuhu sekitar 29oC dengan kelembaban udara relatif 88%.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 2 faktor yaitu konsentrasi dan pemanasan. Konsentrasi ekstrak yang dipakai berdasarkan uji pendahuluan adalah 100%, 50%, 25% dan 0%. Faktor pemanasan terdiri dari dua aras yaitu pemanasan larutan ekstrak sampai 40oC dan tanpa pemanasan. Perendaman buah belimbing manis dilakukan selama 10 menit.

Setelah perendaman, buah diangin-anginkan dan selanjutnya buah belimbing yang sudah mendapat perlakuan disimpan sampai muncul lalat dewasa.

Page 64: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 60

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis probit (Finney, 1971) diketahui ekstrak daun pepaya mempunyai toksisitas pakan dengan perkiraan nilai LC-50 : (13,0467 + 1,1901)%. Disamping itu ekstrak daun pepaya menunjukkan daya repelensi terhadap larva lalat buah yang semakin besar dengan semakin

meningkatnya konsentrasi. Pada konsentrasi 25% ekstrak sudah menunjukkan daya repelensi dibandingkan kontrol (0%) (Tabel 1.). Selain daya repelensi, ekstrak daun pepaya juga menunjukkan kemampuan feeding detterent, disebabkan kandungan alkaloid carpain, tanin dan flavonoid dalam ekstrak tersebut.

Tabel 1. Daya repelensi ekstrak daun pepaya (%)

Pemanasan Konsentrasi (%)

Tanpa Pemanasan Pemanasan 40°C Rata-rata

0 50,00 46,67 48,33 a 25 66,67 70,00 68,33 b 50 90,00 72,50 81,25 c 100 100,00 100,00 100,00

d Rata-rata 76,67 x 72,29 x -

Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5% Faktor konsentrasi ekstrak daun pepaya dan pemanasan tidak ada interaksi. Jadi pemanasan ekstrak

daun pepaya pada suhu 40oC tidak mampu meningkatkan kemampuan ekstrak tersebut.

Tabel 2. Jumlah imago lalat buah (ekor)

Pemanasan Konsentrasi (%)

Tanpa Pemanasan Pemanasan 40°C

Rata-rata

0 38,67 26,00 32,33 b 25 29,33 32,67 31,00 b 50 19,67 16,33 18,00 a 100 12,33 12,00 12,17 a

Rata-rata 25,00 x 21,75 x - Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5%

Kehidupan lalat buah dalam

belimbing dipengaruhi tingkat konsentrasi ekstrak daun pepaya

yang digunakan untuk

perendaman buah selama 10 menit, semakin tinggi konsentrasi

Page 65: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 61

semakin sedikit jumlah imago yang muncul (Tabel 2) dan semakin memperkecil ukuran panjang tubuh dan rentang sayapnya dengan sangat signifikan (Tabel 3). Disamping itu ada kecenderungan jumlah parasitoid lebih banyak (Tabel 4) dan lebih sedikit jumlah pupa yang tidak berkembang menjadi imago (Tabel 5) bila tanpa perendaman ekstrak daun pepaya.

Kandungan senyawa-senyawa dalam ekstrak daun pepaya kemungkinan bisa menyebabkan kematian tidak langsung dengan menurunkan

selera makan larva. Penurunan aktivitas makan menyebabkan kematian larva ataupun penekanan ukuran tubuh imago yang muncul. Pengaruh gangguannya terhadap pupa juga terlihat dari kecenderungan pupa mati yang lebih banyak pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pada konsentrasi 50% ekstrak daun pepaya dapat menekan jumlah imago secara signifikan (Tabel 2), sedangkan pada konsentrasi 25% ukuran tubuh imago (panjang tubuh dan rentang sayap) dapat ditekan (Tabel 3).

Tabel 3. Ukuran tubuh imago lalat buah

Panjang (mm) Rentang sayap (mm) Konse

ntrasi (%)

Tanpa Pemanasan

Pemanasan 40°C

Rata-rata

Tanpa Pemanas

an

Pemanasan 40°C

Rata-rata

0

7,74 7,29 7,52 b

14,56 14,29 14,43 b

25

7,04 6,36 6,70 a

14,04 13,59 13,82 a

50

7,14 6,51 6,83 a

14,20 13,58 13,89 a

100

7,28 6,22 6,75 a

14,32 13,57 13,94 a

Rata-rata

7,30 x 6,60 y - 14,28 x 13,76 y -

Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 1%

Perendaman buah dalam larutan bersuhu 40oC selama 10 menit juga mampu mempengaruhi kehidupan lalat buah, dimana pemanasan mampu memperlama saat kemunculan imago lalat buah (Tabel 6) dan menekan ukuran tubuh (panjang tubuh dan rentang

sayap) imago tersebut (Tabel 3). Selain itu periode kemunculan imago cenderung dapat diperpanjang dengan pemanasan (Tabel 7). Dalam hal ini periode atau kisaran waktu yang panjang tidak berkorelasi positif dengan jumlah imago yang muncul.

Page 66: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 62

Tabel 4. Jumlah parasitoid (ekor)

Pemanasan Konsentrasi (%)

Tanpa Pemanasan

Pemanasan 40°C

Rata-rata

0 2,33 2,00 2,17 a

25 1,33 0,67 1,00 a

50 0,67 0,00 0,33 a

100 1,00 1,00 1,00 a

Rata-rata 1,33 x 0,92 x -

Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5%

Pemanasan dapat memperpanjang durasi telur, sehingga keragaman umur maupun fase lalat buah semakin besar, akibatnya waktu kemunculan imago dan periode kemunculan imago juga semakin lama. Suhu perendaman 40oC memang semula tidak ditujukan untuk secara langsung membunuh lalat buah, namun dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas perendaman ekstrak. Perlakuan pemanasan untuk pengendalian lalat buah pernah dilakukan terhadap buah alpukat, dengan suhu 40oC selama 24 jam, dan hal tersebut dapat menurunkan populasi lalat buah B. cucurbitae mencapai 99,5 - 100% (Yang 1996

cit. Dhillon et al., 2005).

Namun, metode tersebut hanya bisa diaplikasikan pada buah-buah dengan karakter kulit yang lebih tebal, seperti alpukat.

Meskipun tidak langsung menurunkan populasi, perlakuan pemanasan dalam penelitian ini dapat memperlambat pertumbuhan lalat buah B. dorsalis. Terlambatnya pertumbuhan larva menyebabkan nutrisi yang tersedia dalam buah belimbing sudah tidak memenuhi bagi kebutuhan hidupnya, karena larva membutuhkan kesesuain nutrisi dalam daging buah yang dipengaruhi oleh umur buah tersebut. Hal tersebut berakibat imago yang muncul menjadi tertekan ukuran tubuhnya.

Page 67: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 63

Tabel 5. Jumlah pupa (ekor)

Pemanasan Konsentrasi (%) Tanpa

Pemanasan Pemanasan

40°C

Rata-rata

0 1,00 1,00 1,00 a 25 1,33 0,33 0,83 a 50 0,67 0,00 0,33 a 100 1,33 2,00 1,67 a

Rata-rata 1,08 x 0,83 x - Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5%

Tabel 6. Saat kemunculan imago lalat buah (hari)

Pemanasan Konsentrasi (%)

Tanpa Pemanasan

Pemanasan 40°C

Rata-rata

0 21,08 22,76 21,92 a 25 22,08 23,20 22,77 a 50 21,03 25,56 23,30 a 100 21,75 23,25 22,50 a

Rata-rata 21,55 x 23,69 y - Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5% dan 1%

Tabel 7. Periode kemunculan imago lalat buah (hari)

Pemanasan Konsentrasi (%) Tanpa

Pemanasan Pemanasan

40°C

Rata-rata

0 5,00 7,00 6,00 a 25 7,00 7,67 7,33 a 50 8,33 10,67 9,50 a 100 7,33 9,67 8,50 a

Rata-rata 6,92 x 8,75 x - Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 5% Perendaman buah belimbing dengan ekstrak daun pepaya yang dipanaskan pada suhu 40oC selama 10 menit tidak menurunkan kualitas buah. Rasa dan aroma

buah belimbing tidak berubah dengan perlakuan tersebut, kecuali rasa masam yang justru semakin berkurang karena pengaruh pemanasan (Tabel 8).

Page 68: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 64

Tabel 8. Hasil pengujian organoleptis

Rasa manis Rasa getir Kerenyahan K (%) TP P Rata2 TP P Rata2 TP P Rata

2 0 3,00 3,00 3,00

a 2,60 3,20 2,90 2,60 2,20 2,40

a 25 3,00 3,00 3,00

a 3,00 2,60 2,80 2,60 2,40 2,50

a 50 4,00 3,00 3,50

a 3,00 3,00 3,00 2,80 3,00 2,90

a 100 2,40 2,80 2,60

a 2,60 2,20 2,40 3,20 2,80 3,00

a Rata

2 3,10 x

2,95 x

- 2,80 x

2,75 x

- 2,80 x

2,60 x

-

Keterangan : K = Konsentrasi ; TP = Tanpa Pemanasan ; P = Dengan Pemanasan 40°C

Rasa masam Rasa sepat Konsen trasi (%)

Tanpa Pemanasan

Pemanasan 40°C

Rata-rata

Tanpa Pemana

san

Pemanasan

40°C

Rata-rata

0

2,80 3,40 3,10 a 3,80 4,00 3,90 c

25

3,20 3,20 3,20 a 3,60 3,40 3,50 a

50

2,20

3,80 3,00 a 3,80 3,80 3,80 b

100

3,60

3,60 3,60 a 3,60 3,60 3,50 a

Rata-rata

2,95 x

3,50 y - 3,70 x

3,65 x -

Keterangan : Nilai diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT pada jenjang kepercayaan 1% Keterangan kriteria uji organoleptis, dengan X = parameter pengujian organoleptis : 1 = Sangat X 2 = Sedang X 3 = Agak X 4 = Tidak X Proses pematangan buah diiringi dengan perubahan fisik seperti warna dan kelunakan buah, serta perubahan kandungan senyawa dalam buah seperti peningkatan

jumlah gula sederhana dan minyak atsiri, serta penurunan asam-asam organik dan senyawa fenolik sehingga mengurangi rasa sepet dan masam. Perubahan

Page 69: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 65

kandungan senyawa dalam buah dipengaruhi enzim-enzim dalam metabolisme oksidatif buah, seperti katalase, peroksidase, amilase dan lain-lain. Pada buah yang masih mentah terdapat zat-zat penghambat kerja enzim yang tak tahan terhadap panas. Oleh karena itu diduga pemanasan dapat mengganggu zat penghambat tersebut sehingga enzim bekerja dan memicu proses pematangan buah (Pantastico, 1986). KESIMPULAN 1. Ekstrak daun pepaya

mempunyai toksisitas pakan cukup tinggi terhadap lalat buah Bactrocera dorsalis dengan LC-50 : (13,0467 + 1,1091)%.

2. Perendaman buah belimbing manis dalam ekstrak daun pepaya dapat mempengaruhi kehidupan lalat buah B. dorsalis. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, cenderung semakin besar menekan jumlah imago dan ukuran tubuhnya. Konsentrasi 50% mampu menurunkan jumlah imago yang muncul, sedangkan ukuran tubuhnya sudah dapat ditekan dengan perendaman pada konsentrasi 25%.

3. Perendaman buah belimbing manis pada suhu 40oC selama 10 menit tidak meningkatkan efektivitas ekstrak daun pepaya terhadap lalat buah B. dorsalis, namun dapat memperlama kemunculan imago dan menekan ukuran tubuhnya.

4. Perendaman buah dalam ekstrak daun pepaya yang dipanaskan pada suhu 40oC selama 10 menit, tidak merubah

fisik maupun flavor buah, justru pemanasan dapat mengurangi rasa masam, jadi perlakuan ini tidak menurunkan kualitas belimbing manis.

DAFTAR PUSTAKA

Agusfasis.2011.Minyak Kelapa Sawit /Crude Palm Oil (CPO) http://agusfasis.blogspot.com

Anonim. 2003. Hortikultura, Potensi yang Masih Tak Berdaya. http://www.situshijau.co.id

----------. 2011. Peran Pestisida Nabati dalam Pengendalian Lalat Buah http://www.sinartani.com.

Armstrong, J.W. 1988.

Postharvest Quarantine Treatment in the Tropics. In Fruit Flies in the Tropics. Proceedings of the First International Symposium, Kuala Lumpur, Malaysia, 14-16 March. Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) and Malaysian Plant Protection Society (MAPPS) : 49-59.

Dhillon, M.K., Ram Singh, J.S.

Naresh, and H.C. Sharma. 2005. The melon fruit fly, Bactrocera cucurbitae: A review of its biology and management. J Insect Sci. 2005 (5) : 40.

Page 70: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 66

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1615247/

Finney, D.J. 1971. Probit Analysis. Third edition. Cambridge University Press. 333 pp.

Isnadi, S. 1988. The Distribution

of Dacus spp. in Indonesia Archipelagos. In : Fruit Flies in the Tropics. Proceedings of the First International Symposium, Kuala Lumpur, Malaysia, 14-16 March. Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) and Malaysian Plant Protection Society (MAPPS) : 99-107.

Jang, Eric B. 1991. Thermal Death

Kinetics and Heat Tolerance in Early and Late Third Instar of the Oriental Fruit Fly (Diptera : Tephritidae). J. Econ. Entomol. 84(4) : 1298-1303.

Kalie, Moehd. Baga. 1999.

Bertanam Pepaya. Cetakan XV. Penebar Swadaya, Jakarta. 120 hal.

Kaleka, Norbertus. 2011. Lalat Buah, Hama Utama Hortikultura. http://suaramerdeka.com. Liquido, Nicanor J. 1990. Survival

of Oriental Fruit Fly and Melon Fly (Diptera : Tephritidae) Eggs Oviposited in Morphologically Defective

Blossom End of Papaya Following Two-Stage Hot Water Immersion Treatment. J. Econ. Entomol. 83(3) : 2327-2330.

------------------------. 1991.

Infestation Rates of Oriental Fruit Fly (Diptera : Tephritidae) in “Sunrise” Papaya by Visual and Colorimetric Ripeness Indices. J. Econ. Entomol. B4(3) : 948-953.

Martono, Edhi. 1999. Commodity

Treatment for Horticultural Crops : The Importance of Non-Chemical Approach. Agro-Industry Bulletin no.6. Agricultural Institute of Yogyakarta, Yogyakarta-Indonesia : 44-49.

Pantastico, E.R.B.. 1986. Fisiologi

Pasca Panen. Gadjah Mada University Press. 906 hal.

Putra, Nugroho Susetya. 1997.

Hama Lalat Buah dan Pengendaliannya. Cetakan ke-1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 44 hal.

Tim Penulis PS. 1998. 13 Jenis

Belimbing Manis-Penanaman dan Usaha Penangkaran. Penebar Swadaya. Jakarta. 123 hal.

Page 71: Jurnal AgriSains - lppm.mercubuana-yogya.ac.idlppm.mercubuana-yogya.ac.id/wp-content/uploads/2013/12/Jurnal... · gelatinisasi, proses selanjutnya adalah retrogradasi yang akan membentuk

Jurnal AgriSains 67

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

Naskah yang diterima merupakan hasil penelitian, naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, diketik dengan computer program MS. Word, front Arial size 11. Jarak antar baris 2 spasi maksimal 15 halaman termasuk garfik, gambar dan tabel. Naskah diserahkan dalam bentuk print-out dan CD; dibuat dengan jarak tepi cukup untuk koreksi.

Gambar (gambar garis maupun foto) dan tabel diberi nomor urut sesuai dengan letaknya. Masing-masing diberi keterangan singkat dengan nomor urut dan dituliskan diluar bidang gambar yang akan dicetak.

Nama ilmiah dicetak miring atau diberi garis bawah. Rumus persamaan ilmu pasti, simbol dan lambang semiotik ditulis dengan jelas. Susunan urutan naskah ditulis sebagai berikut :

1. Judul dalam bahasa Indonesia.

2. Nama penulis tanpa gelar diikuti alamat instansi.

3. Abstract dalam bahasa Inggris, tidak lebih 250 kata.

4. Materi dan Metode. 5. Hasil dan Pembahasan. 6. Kesimpulan. 7. Ucapan terima kasih kalau

ada. 8. Daftar pustaka ditulis

menggunakan sistem nama, tahun dan disusun secara abjad

Beberapa contoh :

Buku :

Mayer, A.M. and A.P. Mayber. 1989. The Germation of Seeds. Pergamon Press. 270 p.

Artikel dalam buku :

Abdulbaki, A.A. And J.D. Anderson. 1972. Physiological and Biochemical Deteration of Seeds. P. 283-309. In. T.T.Kozlowski (Ed) Seed Biology Vol. 3. Acad. Press. New York.

Artikel dalam majalah atau jurnal :

Harrison, S.K., C.S. Wiliams, and L.M. Wax. 1985. Interference and Control of Giant Foxtail (Setaria faberi, Herrm) in Soybean (Glicine max). Weed Science 33: 203-208.

Prosiding :

Kobayasshi,J. Genetic engineering of Insect Viruses: Recobinant baculoviruses. P. 37-39. in: Triharso, S. Somowiyarjo, K.H. Nitimulyo, and B. Sarjono (eds.), Biotechnology for Agricultural Viruses. Mada University Press. Yogyakarta.

Redaksi berhak menyusun naskah agar sesuai dengan peraturan pemuatan naskah atau mengembalikanya untuk diperbaiki, atau menolak naskah yang bersangkutan. Naskah yang dimuat dikenakan biaya percetakan sebesar Rp 100.000,- dan penulis menerima 1 eks hasil cetakan.