jurnal 2014kecil

download jurnal 2014kecil

of 36

Transcript of jurnal 2014kecil

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    1/86

    1

    Jurnal Widya Prabha 2014 

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    2/86

    2

    3

    12

    29

    19

    42

    57

    68

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    3/86

     

    1

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    Pengantar Redaksi

      Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rah-

    mat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.

    Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan

    rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian ca-

    gar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar

    budaya kepada masyarakat.

      Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan meman-

    faatkan kesempatan untuk menulis arkel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah

    dapat mewujudkan jurnal ini, kami dak lupa memberikan penghargaan yang nggi. Semoga jurnal

    ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahankepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum mak-

    simal, oleh karena itu berbagai krik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa

    mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi seap upaya kita da-

    lam mengimplementasikan internalisasi tentang penngnya cagar budaya bagi penguatan karakter

    bangsa.

    Redaksi 

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    4/86

    2

    Catatan Redaksi :

    Perspekf Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian

    Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun dak, pada dasarnya memiliki

    posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa

    pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis

    sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepenngan manusia. Pada akhirnya

    ekplorasi yang dilakukan dak mempermbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan

    apabila kemudian muncul krik dan mendesak dinggalkannya praktek-praktek seper tersebut diatas.

    Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holisk

    dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup.

    Arnya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian

    budaya, dan lingkungan hidup.

    Pada dasarnya budaya dapat diarkan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat

    yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepaka bersama. Dapat

    pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman ar dalam suatu sistem kepercayaan serta

    pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghaya kehidupan

    di dalam memperjuangkan kehidupan (survival ) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata

    nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi

    terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untukmenjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.

    Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami

    bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan

    kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau prevenf menjadi pilihan yang

    utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah

    penngnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam ar melakukan proses konservasi material

    dan bangunan cagar budaya seper halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan

    prevenf dak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuraf atau represif.

    Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1

    Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu proper budaya, juga akan dapat menjaga nilai

    atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di

    dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan

    tanggungjawab bersama. Pemahaman ar penng dan pembelajaran penngnya menjaga eksistensi

    alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun

    peradaban bangsa.

    Redaksi  

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    5/86

     

    3

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    I. Pendahuluan

      Konsep pembangunan berkelanjuan

    yang dicanangkan World Commission on

    Environment and Development di bulan April

    1987 mendeklarasikan upaya mengatasi berbagai

    kemelut lingkungan yang terjadi di belahan dunia.

    Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk

    Indonesia sepakat memadukan lingkungan hidup

    dalam pembangunan, sehingga lahirlah pola

    Pembangunan Berkelanjutan atau berwawasan

    Lingkungan. Arnya arah pembangunan

    dilaksanakan dengan memperhakan kontuinitas

    dalam hal kelangsungan hidup alam dan manusia.

    Namun sejak lahirnya konsep tersebut hingga saat

    ini apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik?Kasus bencana alam yang terus terjadi di berbagai

    tempat dan bumi semakin panas mengindikasikan

    masalah lingkungan belum terintregrasi dengan

    baik dalam pembangunan berkelanjutan.

    Cita-cita utama pembangunan

    berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan,

    mengintegrasikan dan memberi bobot yang

    sama bagi ga aspek utama pembangunan, yaitu

    ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup.

    Arnya Pembangunan aspek sosial-budaya dan

    lingkungan hidup dak boleh dikorbankan demi

    dan atas nama pembangunan ekonomi.

    Konik sosial-budaya yang terjadi di

    tanah air, yaitu perasaan diberlakukan dak adil,

    termarjinalisasi, dan terancam secara budaya

    adalah contoh terabaikannya aspek sosial-budaya

    dalam pembangunan nasional (Keraf, 2002). Kasus

    yang sama terjadi pada masalah pemanfaatan

    sumberdaya alam yang berorientasai pada

    pendapatan daerah, tanpa memperhakan kualitas

    lingkungan yang semakin buruk. Krisis ekologi yang

    terjadi menujukan kuatnya paham antroposens dalam

    kebijakan pembangunan yang lebih memenngkan

    pertumbuhan ekonomi dan persepsi yang keliru

    tentang kekayaan alam. Pertumbuhan ekonomi

    diyakini akan memperbaiki standart kehidupan

    masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan sumberdaya

    alam merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi

    untuk pertumbuhan ekonomi. Eksplorasi alam dak

    lagi mempermbangkan keseimbangan ekologis.

      Paradigma pembangunan berkelanjutan yang

    sangat antroposentris tersebut mendesak untuk

    dinggalkan dan digan dengan cara pandang yang

    lebih holisk dan saling melengkapi dengan memberi

    perhaan pada aspek sosial-budaya dalam pengelolaanlingkungan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut

    muncul permasalahan : Mengapa aspek budaya perlu

    lebih dingkatkan perannya saat ini dalam menjaga

    keseimbangan ekosistem?. Asumsinya pendekatan

    budaya yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya

    sebagai makhluk berbudaya, bereka, bermoral dan

    berdimensi spiritual-transendental sangat relevan

    untuk dikaji dan ditransformasikan dalam kehidupan

    saat ini mengingat ngkat kerusakan ekologi di sekitar

    kita dari hari ke hari semakin meningkat.

    II. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Ekologis

    Kelangsungan hidup manusia tergantung pada

    pemeliharaan ekosistem, karena ekosistem merupakan

    batas keberadaan dan kerangka kerja kegiatan manusia,

    ekositem dapat berjalan tanpa kita, namun kita dak

    dapat berbuat apa-apa tanpa ekosistem, selama kita

    hidup di bumi ini (Kompas, 2004). Pada dasarnya secara

    PERAN BUDAYA DALAM

    PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP *

    Oleh :Dra. Niken Wirasanti,M.Si **

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    6/86

    4

    naluriah manusia dimanapun tempat nggalnya pas

    akan mencari ketenangan dan keamanan diri. Adapun

    sumber dari intervensi kedaktentraman dibayangkan

    bukan hanya dari suasana psikologis di dalam

    dirinya semata, melainkan juga dbayangkan berasal

    lingkungan jagad raya yang dipersepsikan sebagai

    sesuatu yang misterius, dan menakjubkan, yang dak

    dapat dicerna oleh akal pikiran. Dari persepsi ini mulai

    menggagas adanya daya-daya alam adiduniawi yang

    mengitari dirinya, dan dikonsepsikan sebagai dewa-

    dewa (Suhardi, 2009).

    Pandangan masyarakat terus berlanjut,

    khususnya masyarakat Jawa beranggapan lingkungan

    merupakan sebagai sumber energi yang bermanfaatuntuk kehidupan manusia. Masyarakat berteori

    tentang tatanan jagat raya (kosmogoni ) yang memiliki

    perputaran gerak yang sempurna, misalnya rotasi

    perjalanan benda-benda angkasa yang demikian

    terbnya, merupakan perwujudan keseimbangan

    alam dan dunia. Jagat raya bergerak demikian pula

    isi dunia termasuk masyarakatnya. Apabila manusia

    mampu menyerasikan hidupnya sesuai dengan hukum

    alam yaitu gerak perputaran alam semesta, maka akandiperoleh kesejahteraan.

    Gerak harmonis dari benda-benda di jagat raya

    digerakkan oleh sebuah kekuatan (daya) dan apabila

    kekuatan itu memancar pada seorang pemimpin, atau

    raja, maka pemimpin atau raja tersebut dianggap

    memiliki daya linuweh (kesakan). Asumsinya semakin

    kuat pancaran yang dimiliki seorang pemimpin atau

    raja maka individu tersebut akan semakin memiliki

    kewibawaan dan berkharisma. Implikasinya dari

    kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin/raja

    akan tercapai keadaan tata tentrem karta raharjo.

    Sejumlah naskah Jawa kuna, misalnya Babad

    Tanah Jawi, Kitab Cenni, Wedatama menceritakan

    adanya gambaran ideal seorang pemimpin atau raja

    dalam menjaga tata terb kosmos. Demikian pula

    ramalan-ramalan Joyoboyo yang populer masa

    Kerajaan Kadiri-abad XIII Masehi, dan ramalan Pujangga

    Ronggowasito (masa Kerajaan Surakarta-abad XVIII

    Masehi). Dalam sejarah kebudayaan dikenal nama-

    nama yang menjadi gambaran ideal seorang tokoh

    pemimpin yang mampu mengembalikan keserasian

    dalam hubungan manusia dengan ekosistemnya,

    yaitu tokoh Ratu Adil, dan tokoh Satrio Piningit.

    Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) Raja-

    Raja Mataram sebagai pewaris tahta kerajaan harus

    bersikap dan berbuat sebagai kalifah dari Tuhan

    (Senapa ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah

    Tanah Jawa). Tugas yang diemban adalah

    Hamengku, Hamangku, Hamangkoni . Asas tersebut

    bermakna keseimbangan dunia-akherat, nansial-

    spiritual, manunggaling Kawulo Gus yaitu suatu

    tekad mengelola alam tanpa merusak dan menjaga

    segala kekayaan alam yang merupakan pemberian

    sekaligus amanah Sang Pencipta (Suhardjo, 2004).

    Masih di lingkungan kraton sejumlah nama raja

    disebut dengan nama Paku Buwono (ang pancang

    alam semesta), Hamengku Buwono ( Penguasa

    atau Pemelihara alam semesta), Pakualam ( ang

    pancang alam semesta) Mangkunegara ( pemelihara

    negara).

    Selain gambaran ideal seorang pemimpin,

    dalam sastra Jawa pun termuat ajaran-ajaranpenngnya menjaga keharmonisan antar sesama

    dan lingkungan. Naskah Jawa yaitu Serat Sasana

    Mulyo  (Kompas, 2 November 2009) menyebutkan

    sikap hemat dan bersahaja (gemi nas )

    merupakan penangkal sikap konsumerisk yang

    makin menjangki masyarakat. Gaya hidup boros

    dan bermewah-mewah bertentangan dengan eka

    Jawa. Prinsip hemat dan cermat dapat menjadi

    pedoman dalam mengelola sumberdaya alam.

    Gambaran dari masyarakat adat yang

    kehidupannya menyatu dengan alam lingkungannya

    merupakan lanjutan konsep kepercayaan yang

    telah dikenal turun-temurun. Masa Jawa Kuna

    memiliki kepercayaan yang berlandaskan pada

    konsep kosmogonis yaitu kepercayaan adanya suatu

    keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos)

    dengan alam manusia (makrokosmos)  (Geldern,

    1942). Menurut kepercayaan ini manusia selalu

    ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    7/86

     

    5

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    terpancar dari antara bintang-bintang dan planet.

    Kekuatan tersebut dapat membawa kesejahteraan

    atau bencana terganung dari dapat atau daknya

    individu aau komunitas menyerasikan hidup dan

    semua kegiatannya dengan gerak alam semesta.

    Individu atau komunitas dapat memperoleh

    keserasian dengan mengiku petunjuk astrologi

    atau sejumlah perlambang yang menujukkan akan

    datangnya keberuntungan atau bencana (Sumadio,

    2007). Terkait dengan hal tersebut, diyakini tata

    ruang kraton (Yogyakarta- Surakarta), disusun

    dan diselaraskan dengan tatanan jagat raya,

    keseimbangan secara keruangan ditata dengan

    menempatkan pejabat-pejabat kraton di penjurumata angin dari kraton. Dalam konsep Jawa, tata

    letak daerah-daerah penyangga yang terpusat

    di kraton dikenal dengan konsep Mancapat   dan

    Mancalimo.

     Orang Jawa sangat akrab dengan kosmologi,

    yang dicakup dalam islah kejawen. Perlu dimaklumi

    di sini bahwa kejawen bukanlah katagori agama,

    tetapi menunjuk kepada suatu eka dan gaya hidup

    yang dimaklumi oleh seluruh kiran Jawa (Mulder,1996). Sehingga islah kejawen apabila dipandang

    sebagai ilmu pengetahuan merupakan eka dan

    gaya kiran yang dak terhindar dari agama, nuansa

    miss dan legenda, tasawuf, serta lsafa. Lebih

    tegas Sonny Keraf (2002 ) berpendapat hakekat

    manusia bukan hanya makhluk sosial tetapi juga

    makhluk ekologis. Sebagai bagian dari komunitas

    ekologis manusia mempunyai kewajiban moral

    dan tanggungjawab untuk menghorma seap

    kehidupan, baik terhadap manusia maupun pada

    makhluk lain dan benda-benda non haya, karena

    semua benda di alam semesta mempunyai hak

    yang sama untuk ada, hidup, dan berkembang.

    Dengan memahami dirinya sebagai bagian integral

    dari alam, maka dalam memanfaatkan alam harus

    dilakukan secara arif, yaitu menjaga keseimbangan

    dan kelestariannya (Keraf,2009., Elliot.,1955.)

      Eksploitasi sumberdaya alam diatur dengan

    berbagai macam aturan religius untuk menjamin

    agar keselarasan ekosistemnya dapat terjaga dan

    aturan-aturan tersebut melahirkan sejumlah tradisi.

    Tradisi tersebut terus berlangsung dilengkapi dengan

    sejumlah mitos. Van Peursen (2005) menjelaskan

    dalam tahap perkembangan kebudayaan yang imanen,

    misk berkembang dengan baik sedangkan ilmu

    pengetahuan belum dapat berkembang.

    Kesadaran manusia dalam mengelola

    lingkungan untuk menjaga kelestarian alam

    lingkungan telah dimiliki masyarakat lokal di Indonesia

    melalui kearifan budaya daerah baik berupa adat

    maupun tradisi. Kearifan masyarakat lokal berinkan

    kesadaran manusia akan eksistensinya di alam

    semesta. Bagi masyarakat lokal alam dan lingkunganmerupakan wilayah yang sakral, berdimensi spiritual

    transendental. Jalinan persahabatan dengan alam

    dan lingkungan hidupnya diwujudkan dalam berbagai

    upacara adat atau upacara religius, yang sarat dengan

    makna kehidupan manusia sebagai mikrokosmos dan

    alam semesta sebagai makrokosmos. Berbagai bentuk

    kearifan tradisional tersebut dihaya, dan diwariskan

    secara turun temurun yang membentuk sikap dasar

    manusia sehari-hari, seper yang tampak padaberbagai upacara adat masyarakat misalnya acara

    bersih desa, rasulan dan pethik laut.

    III. Pendekatan Budaya dalam pengelolaan

    Lingkungan

    Pendekatan budaya dalam pengelolaan

    lingkungan diarkan sebagai upaya mencari dan

    mengembangkan sumber-sumber kekuatan yang ada

    dalam diri manusia, yang dapat dilihat dari adat dan

    tradisi masyarakat yang bersifat arif, bertanggung

     jawab terhadap alam dan lingkungannya. Kebudayaan

    adalah suatu corak hidup dari suatu lingkungan

    masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan

    spiritual dan tata nilai yang disepaka oleh masyarakat

    pendukungnya, oleh karenanya menjadi eksistensial

    bagi lingkungan masyarakat tersebut. Hilangnya budaya

    suatu masyarakat adalah hilangnya identas dan ja

    diri masyarakat yang berar hilang pula keberadaanya

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    8/86

    6

    sebagai suatu pribadi (Wibowo, 1995).

    Manusia adalah makhluk berbudaya dan

    budaya manusia penuh dengan simbol-simbol. Dengan

    kata lain budaya manusia penuh diwarnai dengan

    simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham

    yang menekankan atau mengiku pola-pola yang

    mendasarkan diri pada sejumlah tanda. Simbolisme

    sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam

    religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-

    upacara religius (Herusatoto,2007).

      Ritus atau upacara religius merupakan sarana

    yang menghubungkan manusia dengan yang keramat.

    Ritual bukan hanya sarana memperkuat ikatan sosial

    kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi jugasuatu cara untuk merayakan periswa-periswa

    penng yang menyebabkan krisis. Kegiatan upacara

    tersebut akan berpengaruh menyatukan semua orang

    dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga

    ketakutan dan kekacauan bergerak menjadi ndakan

    bersama dan opmisme tertentu. Keseimbangan

    hubungan di antaranya semua orang, yang tadinya

    kacau, menjadi normal kembali.

    Upacara pada masa krisis itu berdasarkananggapan bahwa dalam jangka waktu hidupnya manusia

    mengalami banyak krisis dan sering amat menakutkan.

    Dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh

    melakukan perbuatan untuk memperteguh dan

    menguatkan dirinya (Koentjaraningrat, 2006).

      Pendapat yang lain (Van Gennep –

    Koentjaraningrat, 2006), menyebutkan bahwa upacara

    religius secara universal pada azasnya berfungsi

    sebagai akvitas untuk menimbulkan kembali

    semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.

    Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam ap

    masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval

    waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya

    ”regenerasi” semangat kehidupan sosial seper itu.

    Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat keka

    semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai

    akibatnya akan muncul kelesuan dalam masyarakat.

      Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala

    turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya

    terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, atau

    pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian.

    Saat itu energi manusia seolah-olah sudah habis

    terpakai dalam akvitas sosial selama musim yang

    hampir berlalu itu. Untuk menghadapi ap musim

    yang baru masyarakat memerlukan ”regenerasi”

    semangat kehidupan sosial.

      Sikap takut sekaligus bercampur dengan

    percaya terhadap hal-hal gaib serta keramat

    menyebabkan masyarakat mempunyai sikap serba

    religi yaitu suatu getaran yang menggerakkan

     jiwa manusia. Selanjutnya keyakinan tersebut

    diwujudkan dalam berbagai kegiatan upacara

    (ritus). Kegiatan yang serba religi merupakan suatuupaya untuk menjaga keharmonisan dan sekaligus

    berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia

    gaib lainnya.

      Sikap ritual dalam upacara adat dapat dilihat

    pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya

    upacara adat memandang alam, Tuhan dan

    menusia sebagai kesatuan ritual. Maksud dan

    tujuan ini dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan

    yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilankehidupannya. Misalnya atas hasil panen yang baik,

    dan hasil tangkap ikan yang melimpah. Di samping

    itu upacara tersebut juga merupakan permohonan

    keselamatan kesejahteraan hidup untuk masa yang

    akan datang. Semua itu dapat terwujud apabila

    kelestarian dan keharmonisan kosmos dan segala

    unsur terjaga.

    Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa

    kosmos atau alam semesta ini terdiri atas makro-

    kosmos dan mikro kosmos. Suatu keserasian dan

    keharmonisan dak hanya diwujudkan dalam

    hubungan verkal, antara manusia dengan alam

    semesta atau jagad gedhe, tetapi juga dalam bentuk

    hubungan horisontal yaitu hubungan manusia

    dengan manusia dalam kehidupan sosialnya.

    Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan

    menjamin kehidupan yang baik bagi individu.

    Untuk menjaga keselarasan horisontal tersebut

    seseorang wajib melakukan kewajiban-kewajiban

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    9/86

     

    7

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    sosialnya. kewajiban sosial dilakukan berdasarkan

    pada prinsip rukun dan hormat antara sesama

    warga masyarakat (Mulder,2001).

      Untuk menjaga hubungan serasi dan

    hormat baik verkal maupun horisontal manusia

    melakukan upacara adat. Upacara adat merupakan

    sikap religius yang dilakukan menurut tata kelakukan

    baku. Upacara adat ini akan berlangsung berulang-

    ulang baik seap hari, seap musim panen, seap

    tahun, pada hari-hari tertentu. Masing-masing

    upacara memiliki tata cara yang berbeda-beda di

    masing-masing daerah. Namun demikian secara

    keseluruhan dapat dilihat bahwa ada ndakan yang

    sama yang dilakukan melipu berdoa, bersujud,bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan

    menyanyi, berprosesi, berdrama suci, membisu,

    berpuasa, bertapa dan bersemedi. Selain itu

    terdapat komponen yang menyertai kegiatan

    upacara religi yaitu (Koentjaraningrat, 2006):

    tempat upacara, saat upacara, benda upacara, para

    pelaku upacara ritual.

    Gambaran dunia bagi masyarakat Jawa

    yaitu alam merupakan lingkup kehidupan sejakkecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin,

    musim kemarau menentukan kehidupan sehari-

    hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan

    sosial-budaya masyarakat belajar bahwa alam

    dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah

    ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari

    alam. Pergulatannya dengan alam membantu

    orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar

    masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya

    terhadap alam menentukan ungkapannya dalam

    berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara

    rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat

    Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib

    yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari

    padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah

    ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan

    kehidupannya. Berikut adalah contoh kasus

    kegiatan budaya yang dikumpulkan berdasar hasil

    pengamatan yang dilakukan di sejumlah tempat

    (Wirasan, 2001).

    Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di

    berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung

    menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat

    dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan

    hidup manusia dapat langgeng apabila mampu

    ”berkomunikasi” yakni menghorma, menghargai

    dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam

    mempunyai hak untuk dihorma, dak saja karena

    kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi

    terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia

    adalah bagian integral dari alam, manusia adalah

    anggota komunitas ekologis.

      Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusatkegiatan biasanya memiliki ar khusus bagi masyarakat

    pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang,

    Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan

    kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut

     juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang

    disebut dengan labuhan atau pek laut, contohnya di

    sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan

    hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa

    yang dilakukan saat menjelang perganan tahun, yaitubulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam).

    Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki ar

    khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang

    dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa

    bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku

    prihan. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu

    dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

    Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan

    kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran

    dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut

    tanggap warso dak dengan berpesta pora, melainkan

    dengan berbagai laku yang bernilai keprihanan.

    Malam menjelang perganan tahun (yang bertepatan

    dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong

    melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan

    membisu. Mereka merasakan saat perganan waktu

    (tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu

    memberikan sugges untuk bersikap prihan dan

    mawas diri dalam menyongsong awal tahun.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    10/86

    8

      Ada upacara menyambut perganan tahun baru

    Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada

    pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi

    umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru

    Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan

    di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan

    Wlingi, Kabupaten Blitar.

      Tawur Agung yang berar pengorbanan besar

    adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan

    bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini

    ditujukan untuk menjalin hubungan mbal balik antara

    manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan

    hidup yang telah dipek oleh manusia dari alam bumi

    dan sebaliknya bumi sendiri agar dak atau jangansampai membiaskan dampak negap bagi manusia

    yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran.

    Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai

    ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan

    menjelang perganan tahun baru Syaka sehari

    sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur

    Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa

    hari sebelumnya.

      Perganan tahun ini didasarkan padapengalihan purnama (Bulan penuh) dan lem (bulan

    ma). Arnya perayaan Nyepi dimulai seap awal bulan

    kesepuluh atau sehari setelah hari lem yaitu bulam

    kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan

    pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi

    serta perganan musim diperkirakan hari raya Nyepi

     jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi

    ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret

    2010.

      Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung

    telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/

    lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan

    semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung

    ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh).

    Ar simbolisnya yaitu gur Bhutakala idenk dengan

    penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya

    tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi

    abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk

    ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk

    sebagai simbol  peruwat   (mengelola) bumi. Tepat

    pada pukul 00.00 tengah malam semua warga

    (Hindu) di Wringintelu (Blitar-Jawa Timur) mulai

    melaksanakan brata penyepian.

    Selanjutnya terkait dengan masalah bahaya

    gaib yang mengancam individu dan lingkungan,

    masyarakat Jawa mengenal upacara pensucian.

    Yang dimaksud dengan upacara pensucian yaitu

    upacara yang ditujukan terhadap seseorang untuk

    membebaskan dirinya dari segala macam kutukan,

    tnah, penyakit. Manusia yang terkena itu akan

    berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya.

    Dengan kata lain manusia terkutuk selalu membuat

    onar sehingga suasana dak tentram, dak adalagikeselarasan.

    Upacara ritual (upacara pensucian) yang

    sekarang dikenal dengan nama ruwatan itu telah

    dikenal pada masa Jawa Kuno sekitar abad XI

    Masehi. Hal ini antara lain dibukkan dengan

    dipahatkannya cerita Sudamala pada candi-candi

    abad XI Masehi sampai abad XV Masehi. Contoh-

    contoh candi yang memahatkan relief Sudamala

    adalah Candi Tigawangi, Candi Panataran, dan candiSukuh. Adanya sejumlah candi yang menampilkan

    sebagian adegan dari cerita tentang ruwatan,

    merupakan suatu indikasi bahwa kisah tersebut

    populer dikalangan masyarakat pendukungnya.

    Kepopuleran cerita itu ditambah dengan

    adanya sejumlah karya sastra yang memberikan

    gambaran tentang kegiatan upacara pensucian.

    Karya sastra tersebut diantaranya adalah naskah

    Kakawin Sumanasantaka (XXXII 1 –18), Kakawain

    Kresnandaka XXV – XXVI), Kakawin Parthayadya IX

    1 – 10, 1-12), dan Cerita Nawaruci.

    Kisah ruwatan dalam cerita Sudamala telah

    melalui kurun waktu berabad-abad, dihaya dan

    dimina oleh masyarakat dari angkatan ke angkatan.

    Sebagai contoh, masyarakat yang nggal di lereng

    bukit Desa Jamulyo, Girimulyo, Kab. Kulon Progo

    akhir-akhir ini resah dengan keadaan lingkungan

    tempat nggalnya. Curah hujan yang memuncak

    akan memicu pergerakan tanah yang akan

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    11/86

     

    9

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    mendorong tanah dan perakaran pohon hingga

    batangnya condong. Mereka memahami kejenuhan

    kadar air dalam tanah akan menyebabkan longsir.

    Ancaman tersebut membuat warga resah. Pilihan

    masyarakat menghadapi situasi tersebut adalah

    melakukan ruwatan bumi. Mayarakat beranggapan

    ketenangan ban yang hendak dicarai dalam

    ritual ruwatan. Ketenangan jiwa akan memicu

    berpikir jernih dan sigap menghadapi berbagai

    ancaman bencana. Ritual ruwatan selalu diakhiri

    dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon

    Murwokolo. Sampai sekarang kisah itu masih

    dapat disaksikan melalui pertunjukan wayang kulit.

    Sebagai salah satu tradisi yang hidup di dalamtata budaya masyarakat Jawa tentunya dari cerita

    tersebut ada suatu simbol dari pandangan hidup

    Jawa yang berisi petuah yang ingin disampaikan

    kepada ap-ap generasi. Petuah tersebut bersifat

    didaks lsafa.

      Sifat didaks lsafa dari cerita pensucian

    (misalnya cerita Sudamala atau Murwokolo) yaitu

    tentang hakekat kehidupan di dunia yang menurut

    ”pengawikan kejawen ” mempunyai pengeranbahwa hidup haruslah berdasarkan apa yang

    dinamakan ”kebenaran”. Ada dua ngkat kebenaran

    yaitu kebenaran yang bersifat ketuhanan (kebenaran

    ilahi) yang mutlak adanya dan yang juga disebut

    kebenaran seja, sedangkan yang lain disebut

    kebenaran manusiawi (Timoer,1990). Dijelaskan

    lebih lanjut sifat lsafa dari cerita tentang ruwatan

    tampak bahwa dalam diri manusia bermukim

    dua kekuatan saling berlawanan, yaitu kekuatan

    destrukf (nafsu rendah, angkara) yang membawa

    manusia menuju kepada hidup sesat, malapetaka,

    dan kekuatan kontrukf (budi utama, keluhuran)

    yang mengangkat manusia kepada kebenaran.

    Manusia sebagai makhluk memiliki kedua kekuatan

    berlawanan itu dan selalu dihadapkan kepada suatu

    pilihan dilemas (konik) dengan dirinya sendiri.

    Dalam berebut pengaruh itu terlihat berdasarkan

    cerita ruwatan bahwa kekuatan destrukah yang

    agaknya jauh lebih dominan dibandingkan dengan

    kekuatan yang konstrukf.

    Adapun usaha untuk menghindari dan

    menjauhkan diri dari gangguan kejahatan manusia

    harus belajar dan mencari ilmu tentang rahasia

    kehidupan dunia melalui kearifan serta kebajikan. Dari

    cerita-cerita tentang pensucian itulah tampak adanya

    cita-cita kesempurnaan hidup yang harmoni, selaras

    dengan alam dan lingkungannya. Arnya cerita-cerita

    itu mengisahkan perbuatan seseorang yang apabila

    berbuat kejahatan, menghina, menghasut, dak jujur

    dan sebagainya pas akan mendapatkan hukuman dari

    Sang Pencipta. Untuk terbebas kembali dari bebagai

    dosa, maka harus dilakukan upacara pensucian

    yaitu suatu upacara yang bertujuan membebaskan

    seseorang dari berbagai kesalahan, melepaskan diri

    dari malapetaka atau menghalau dan mengimbangi

    kekuatan jahat yang muncul pada saat-saat tertentu.

      Selain sifat didaks lsafa dari cerita tersebut

     juga tampak memiliki ar berkaitan dengan moral

    dan religi. Nilai moral dan religi yang tampak dari

    cerita ruwatan tersebut adalah gambaran dunia Jawa

    tradisional. Maksudnya yaitu masyarakat dan alam

    merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil.Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim

    kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh

    perencanaannya. Dari lingkungan sosial masyarakat

    belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga

    memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya

    tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam

    membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-

    dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya

    terhadap alam menentukan ungkapannya dalam

    berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat

    (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa,

    alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu

    misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya

    ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan

    kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya.

    Jadi orang Jawa menghadapi dunia sebagai

    tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari

    apakah ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan

    kekuatan yang angker itu. Terdapat hubungan yang

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    12/86

    10

    erat antara sistem sosial-budaya dan alam. Perlu ada

    harmoni antara dunia manusia dan dunia alam, antara

    dunia ban dan dunia lahir, antara makrokosmos dan

    mikrokosmos. Keka harmoni ini terganggu maka

    akan terjadi kekacauan dan bencana. Dengan upacara

    dan segala perlengkapanya, maka msayarakat merasa

    selamat. Perasaan selamat itu berkaitan dengan

    terbebasnya seseorang dari kekacauan tak manusiawi

    yang menimbulkan malapetaka. Masalah malapetaka

    dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam keadaan

    bahaya disebabkan oleh karena orang tersebut

    berbuat salah atau berndak melanggar norma-

    norma yang berlaku dalam masyarakat (Mulder,2001.,.

    Wirasan,2001).Dengan selesainya pelaksanaan ritus religius

    yang telah dilakukan, maka memberi suatu keadaan

    psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan

    keseimbangan ban. Niels Mulder (2001) berpendapat

    bahwa masyarakat Jawa menganggap bahwa realitas

    dak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan

    tanpa hubungan dengan satu sama lain, melainkan

    bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan

    menyeluruh. Arnya dunia masyarakat dan alam bagiorang Jawa, kodra bukanlah bidang yang berdiri

    sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya

    sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan

    pengalaman. Terdapat keterkaitan antara masyarakat

    dan alam sekelilingnya, masyarakat yang resah akan

    membuat makhluk lainnya juga dak aman.

      Masih terkait dengan makna ritus religius

    tersebut, orang Jawa beranggapan bahwa hidup

    manusia sebenarnya dak sendirian, tetapi berada

    bersama dengan segala yang ada dijagat raya ini. Oleh

    karena itu ia harus menjaga keselarasan dirinya dengan

    segala yang ada di sekelilingnya, agar dak mengganggu

    penghuni alam lainnya dan agar ia pun dak diganggu

    oleh makhluk lainnya pula, termasuk oleh manusia

    lain yang hidup bersamanya (Herusatoto,2007).

    Ringkasnya pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno

    selalu mengarah kepada suatu cita-cita untuk dapat

    hidup selaras dengan alam sekitarnya, yang dalam

    prakteknya diwujudkan dalam ngkah lalu atau

    pergaulan yang susila.

      Menyir pendapat Anton Neben dalam tulisannya

    di sebuah surat kabar (Suara Pembaharuan,

    Desember 1999) dengan judul merayakan nilai-

    nilai disebutkan kebiasaan merayakan sesuatu

    mengasumsikan bahwa orang menaruh perhaan

    akan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan

    tersebut. Di tengah runitas hidup sehari-hari,

    perayaan tersebut akan membuat kegairahan

    hidup terbangkitkan, makna dan paradigma baru

    dimunculkan. Perayaan – perayaan yang kental

    bernuansa religius, selain mengetengahkan relasi

    verkal dengan Yang Ilahi, juga relasi horisontal

    baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan

    lingkungan hidup.

    Dalam relasi dengan diri sendirinya manusia

    menyadari kenyataan bahwa ia masih diperkenankan

    ada, hidup dan bernafas. Sejumlah kegiatan ritual

    yang dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab

    manusia untuk tetap menyadari bahwa alam bukan

    semata-mata tersedia untuk kepenngan manusia.

    IV. Penutup

      Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh

    kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui,

    dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk

    menunjukkan identas atau menjadi diri sendiri.

    Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal

    penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern

    terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut

    didasarkan pandangan yang holisk yaitu keinginan

    untuk terus menjalin harmoni antara manusia,

    alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh

    dengan makna kearifan ekologis ini amat penng

    untuk membangun kesadaran religiusitas manusia

    yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga

    kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan

    kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam

    kehidupan manusia akan mempengaruhi ngkah

    laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah

    lingkungan hidup di sekelilingnya.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    13/86

     

    11

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    Daar Pustaka

    Elliot, Robert (ed)., 1955, Environmental Ethics,

    Oxford Univ,Press,

    Geldern, Heine 1942, Concepons of State and

    Kingship in Sout-east Asia, FEO vol 22, hlm

    15-39

    Herusatoto, Budiono., 2007, Simbolisme dalam

    Budaya Jawa, PT, Henindita, Yogyakarta.

    Koentjaraningrat, 2006, Masalah-Masalah

    Pembangunan Masyarakat Pedesaan di

    Indonesia, Jakarta: LP3ES

    Keraf, Sonny., 2002, Eka Lingkungan, penerbit

    Kompas, JakartaMulder, Niels 1996,  Agama Hdup sehari-hari dan

    Perubahan, (Jakarta, Gramedia Pustaka

    Utama.

    Mulder., Niels (2001),Ruang Ban Masyarakat

    Indonesia , Yogyakarta, LKis

    Sumadio, Bambang ed., 2007, Sejarah Nasional

    Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka

    Suhardjo, Drajad., 2004, Mengaji Ilmu Lingkungan

    Kraton, Yogyakarta, Sarna Insania Press.Susilo, Eko Budi., 2003, Menuju Keselarasan

    Lingkungan, Averroes Perss, Malang.

    Suseno, Frans Magnis 1984, Eka Jawa Sebuah

    analisis Filsafa Tentang Kebijakan Hidup

     Jawa, Jakarta :PT, Gramedia, edisi I

    Suhardi 2009, Ritual : Prncaharian Jalam

    Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat

    Perspekf Antrolopogi,  Yogayakrat :Pidato

    Pengukuhan Guru Besar Antropologi UGM

    Timoer, Soenarto 1990, Ruwatan dipandang dari

    sudut lsafat, seminar ruwatan, Yogyakarta:

    dak diterbitkan.

    *) Sebagian materi diseminarkan dalam Forum

    komunikasi Lingkungan Hidup kab.Gunungkidul,2004

    dan telah diperbaharui.

    **) Penulis adalah Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas

    Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

    Wibowo, Fred., 1995, Budaya untuk Wisata atau

    Wisata untuk Budaya, Harian Kedaulatan

    Rakyat Oktober , Yogyakarta.

    Wirasan, Niken 1992, Mengama Alam Pikir dan

    Praktek Keagamaan Masyarakat Jawa Kuna

    Melalui Relief Cerita Sri Tanjung dan Sudamala,

    Laporan Penelian FIB-UGM, dak diterbitkan.

     _________, 2001, “Aspek Budaya Menyangkut Ritual”,

    Masyarakat Jawa dalam Keseharian, laporan

    Penelian, Fak.ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

    Wibowo, Samudra (ed), 1991, Pembangunan

    Berkelanjutan, Konsep dan Kasus, PT. Tiara

    Wacana, Yogyakarta.

    The World Commission on Environment andDevolepment, 1987, Our Common Future,

    Oxford Univ Press, Oxford.

    Peursen, Van 2005 , Strategi Kebudayaan, Yogyakarta :

    Yayasan Kanisius.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    14/86

    12

     Abstract 

    Gunungapi Merapi sejak ratusan tahun

    memiliki ekosistem dan sosiosistem vulkan yang spesik.

     Arnya Gunungapi Merapi sebagai sebuah heritage

    menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

    haya yang menyatu dengan sosio-kultur masyarakat

    di sekitarnya. Dalam sejarahnya, Gunungapi Merapi

    terus menunjukkan akvitas vulkaniknya. Meskipun

    dampak letusan berpotensi sebagai ancaman, tetapi

    tetap saja dalam rentang waktu yang panjang

    kawasan tersebut menjadi daya tarik kamunitas untuk

    nggal dekat dengan Gunungapi Merapi. Masyarakat

    memahami sifat-watak Gunungapi Merapi, dan tanda-tanda alam dipahami masyarakat sebagai sesuatu

    yang sakral yaitu kekuatan-kekuatan yang berjiwa,

    yang harus di horma. Sikap hormat menjadi prinsip

    dan panduan hidup sehari-hari dalam upaya menjaga

    harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.

    Potensi yang beragam menjadikan Gunungapi

    Merapi saat ini rentang terhadap eksploitasi oleh

    berbagai pihak dan pada saatnya akan memicu

    terjadinya degradasi lingkungan. Pilihannya adalah

    mengelola Gunungapi Merapi dengan semangat

    konservasi. Oleh karena konservasi kawasan

    merupakan proses publik, maka dalam pelaksanannya

    harus melibatkan masyarakat setempat, karena

    mereka memiliki pengetahuan lokal yang telah

    mentradisi dan terbuk mampu menjaga dan

    mengelola Gunungapi Merapi tetap lestari. Kata kunci

    : Geoheritage, persepsi, Konservasi.

    I. Pendahuluan

      Indonesia mempunyai deretan gunungapi

    akf sebagai bagian dari “Cincin Api Pasik” (Ring

    of Fire on Pasic Rims), Gunungapi Merapi yang

    terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan

    Daerah Ismewa Yogyakarta) merupakan salah satudari gunungapi akf dan dampak erupsinya sering

    mengakibatkan banyak korban baik harta benda

    maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi

    ancaman bencana yang rata-rata seap 3-5 tahun

    sekali menunjukkan akvitas dengan produknya

    berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel),

    hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan

    massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut

     jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dandisisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi

    semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk

    bahan pembangunan (bahan galian tambang),

    pertanian-peternakan, dan sumber air untuk

    masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan

    untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun

    penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan

    Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan

    untuk bertempat nggal pada di lereng kawasan

    Gunungapi Merapi.

    Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan

    kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian

    masyarakat dibukkan dengan data arkeologis

    berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut

    milik komunitas pendukungnya untuk beribadah.

    Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram

    Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta.

    Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa

    Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu

    Geoheritage Gunungapi Merapi yang Kharismak :

     Masalah Persepsi dan Konservasi Ekosistem*

    Oleh :Andi Sungkowo **

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    15/86

     

    13

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    menjadi ikon bagi masyarakat pendukungnya,

    meskipun kawasan tersebut dekat dengan bencana.

    Buk-buk di lapangan menunjukkan akvitas

    Gunungapi Merapi mengubur hampir semua

    temuan purbakala yang ada dikawasan tersebut.

    Pada masa Mataram Islam posisi Gunungapi Merapi

    menjadi penng terkait dengan pembangunan

    keraton Yogyakarta.

    Kawasan Gunungapi Merapi sebagai

    kawasan pelestarian alam adalah sebuah langkah

    yang mudah dipahami oleh berbagai pihak

    mengingat peran penngnya sebagai fungsi

    ekologis, fungsi ekonomis, dan fungsi sosial-budaya.

    Pada tahun 2002 menjadi pusat perhaan parapemerha dan ahli lingkungan, juga masyarakat

    khususnya masyarakat yang nggal di lereng

    Gunungapi Merapi, karena adanya surat keputusan

    dari Pemerintah (Departemen Kehutanan) yang

    mengeluarkan penetapan (SK No 134/MENHUT –

    II/2004) kawasan Gunungapi Merapi sebagai Taman

    Nasional Gunungapi Merapi (TNGM). Munculnya

    penetapan tersebut karena Gunungapi Merapi

    berfungsi sebagai hutan lindung, cagar alam, danhutan wisata sehingga layak untuk dikembangkan

    menjadi Taman Nasional yang dalam UU Nomer 5

    tahun 1990 diidenkan dengan kawasan pelestarian

    alam. Rencana TNGM tersebut tampaknya dak

    mudah dipahami masyarakat, dibukkan dengan

    bentuk penolakan terhadap rencana tersebut.

    Masyarakat memiliki persepsi tentang melindungi

    kawasan Gunungapi Merapi.

    Memahami persepsi masyarakat tentang

    lingkungannya dan bagaimana harus mensikapi

    persepsi tersebut tampaknya belum populer untuk

    dak mengatakan sulit. Kesulitan memahami

    persepsi masyarakat akan menjadi kendala dalam

    upaya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai

    kawasan konservasi dalam wujud Taman Nasional.

    Terkait dengan hal itu dalam tulisan ini akan diulas

    bagaimana memahami geoheritage Gunungapi

    Merapi dan peranannya dalam upaya mengelola

    kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan

    konservasi.

    II. Geoheritage Merapi

      Bagi ahli vulkanologi, tulisan terkait dengan

    akvitas Gunungapi Merapi sudah cukup banyak.

    Catatan sejarah letusan Gunungapi Merapi ditentukan

    berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil

    letusan, sehingga dapat disusun teprosragra

    atau urutan perlapisan produk letusan gunung

    tersebut (Andreastu, 2009). Adapun menurut

    Camus, dkk (2000) dalam Bahagiar (2002) mencatat

    evolusi vulkanik Gunungapi Merapi menghasilkan

    batuan dengan karakterisk spesik dalam seapperiodenya. Selanjutnya dijelaskan letusan periode

    kegiatan Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi

    empat periode, yaitu periode Pre Gunungapi Merapi

    menghasilkan lava; ancient Gunungapi Merapi

    menghasilkan lava yang membentuk gunung bibi; auto

    breksia lava dan endapan lahar; middle Gunungapi

    Merapi menghasilkan endapan lava batulawang dan

    gajah mungkur, lava andesik yang tebal dipisahkan

    oleh sesar kukusan umur 2200 - 14.000; recentGunungapi Merapi menghasilkan endapan lava pis

    dan endapan awan panas dan lahar umurnya 1000

    tahun hingga 2000 tahun; dan modern Gunungapi

    Merapi mempunyai kegiatan yang sangat khas yang

    disebut pe Gunungapi Merapi. Di sisi lain Gunungapi

    Merapi menangkap, menyimpan, dan mengalirkan

    air bersih dalam batuannya dalam jumlah besar,

    membentuk sistem hidrologi yang sangat dibutuhkan

    oleh masyarakat Gunungapi Merapi dan sekitarnya.

    Gunungapi Merapi merupakan gunungapi

    strato, mempunyai karakterisk berkaitan dengan

    pertumbuhan dan gugurnya kubah lava yang

    menghasilkan gas beracun solfatara  (S2) di sekitar

    kepundan, juga awan panas yang oleh masyarakat

    disebut Wedhus Gembel (glowing cloud). Selain

    sifat letusan eksplosif   tersebut, juga letusan eusive 

    ditandai dengan lelehan lava pijar. Jika dimusim

    penghujan berpotensi terjadi lahar.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    16/86

    14

      Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi

    itu eksos sekaligus memiliki karakterisik unik

    dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu keka

    akvitasnya meningkat berupa asap yang selalu

    mengepul, wedhus gembelnya yang membahana,

    hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut

    sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga

    menakutkan. Karakterisk tersebut dipersepsikan

    masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai

    kharismak sehingga banyak cerita-cerita misk, atau

    folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan

    sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena

    terkait dengan akvitas Gunungapi Merapi sering

    dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional.

    Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan dak

    logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat

    dalam menghaya kekuatan-kekuatan adikodra.

    Sikap dan persepsi masyarakat yang

    menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi

    yang berkharisma telah berlangsung lama, dibukkan

    adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha)

    dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng

    tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunungdalam banyak kebudayaan dihaya sebagai tempat

    yang nggi, tempat yang paling dekat dengan dunia

    atas, tempat yang nggi disimbolkan dengan segala

    yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para

    leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam

    wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis

    dikisahkan para kawi mempersonikasikan gunung

    untuk menggambarkan karyanya dan merasakan

    bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya

    (Mangunwijaya, 1995, Wirasan, 2009).

    Buk-buk arkeologis berupa candi, prasas,

    dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah

    peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII –

    awal abad XVIII tersebar di lereng tengah – hingga

    bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasan,

    2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah

    menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami

    kehancuran akibat akvitas vulkanik Gunungapi

    Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian

    terbesar terpendam abu vulkanik.

      Masih di lereng gunungapi Gunungapi

    Merapi, masuk wilayah Boyolali terdapat

    pesanggrahan dan pelasan Paku Buwono X yaitu

    Pesanggrahan Pracimoharjo, pelasan Tapak Noto

    dan Susuh Angin. Pada masa pembangunan kraton

    Yogyakarta, keberadaan Gunungapi Merapi terkait

    dengan kosmologi Kraton, yaitu dunia ini terdiri

    atas lima bagian. Bagian tengah kraton Yogyakarta

    sebagai pusatnya, bagian utara gunungapi

    Gunungapi Merapi, bagian mur Gunung Semeru,

    bagian selatan Laut Selatan dan bagian barat di

    Sendang Ndlepih di Gunung Menoreh.

    Gunungapi Merapi memiliki potensi

    sumberdaya haya dan non haya, dan kultur

    misalnya hutan, sumber air, binatang, dan sejumlah

    pelasan, yang bagi masyarakat Gunungapi Merapi

    tempat-tempat tersebut dipercayai sebagai

    tempat-tempat yang dijaga oleh makhluk halus,

    sehingga terdapat sejumlah pamali yang harus

    dihorma. Cara masyarakat menghorma adalah

    mentaa pantangan untuk dak menebang pohon,

    merumput, berburu, mengucapkan kata-kata kotor,mengumpat, buang air besar dan kecil di tempat-

    tempat yang dianggap angker.

      Tempat-tempat yang diangap angker,

    diantaranya kawah Gunungapi Merapi yang

    dianggap sebagai keraton makhluk halus, ke arah

    bawah terdapat suatu tanah lapang dengan batuan

    dan pasir yang dipercayai sebagai Pasar Bubrah.

    Selain itu terdapat Gunung Wutoh yang dianggap

    sebagai pintu gerbang utama Kraton Gunungapi

    Merapi. Cara masyarakat berinteraksi dan sekaligus

    menjaga harmoni dengan lingkungan Gunungapi

    Merapi yaitu dengan melakukan upacara adat,

    diantaranya Sedekah Gunung, Selamatan Ternak,

    Selamatan Selasa Kliwon, Selamatan Mencari

    orang Hilang, upacara Merawat Kali dan selamatan

    menghadapi Bencana Gunungapi Merapi.

      Manusia dalam berinteraksi dengan

    lingkungan akan banyak memperoleh pengalaman

    sehingga pada akhirnya memperoleh gambaran

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    17/86

     

    15

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    tentang lingkungan hidup sekelilingnya, yaitu

    bagaimana lingkungan berfungsi dan bagaimana

    berbagai fenomena alam bereaksi terhadap

    berbagai perubahan. Secara sosiokultural

    masyarakat Gunungapi Merapi khususnya di

    lereng selatan (Yogyakarta) mempercayai bahwa

    Gunungapi Merapi dan dinamikanya terkait dengan

    pandangan supranatural. Pandangan ini kemudian

    menjadi mitos yang membuat mereka terlindungi,

    aman, termasuk letusannya. Mitos supranatural

    Gunungapi Merapi dak hanya bewujud simbol

    dan pandangan hidup masyarakat lokal, melainkan

     juga menjadi suatu keyakinan yang membangun

    interaksi dinamis kuat dan membentuk etos kerja

    (Ghazali, 2008).

    Masyarakat sekarang ini masih tetap

    menganggap bencana yang berasal dari Gunungapi

    Merapi disikapi oleh masyarakat sebagai takdir

    yang harus diterima. Kesadaran masyarakat

    dalam menghaya kekuatan-kekuatan adikodra

    menunjukkan kesatuannya dengan tata lingkungan

    yang memandang individu atau komunitas sebagai

    bagian integral dari alam sekitarnya. Masyarakatterus menjalin dengan lingkungannya dan

    membentuk ikatan dan relasi dengan ekosistemnya.

    Sikap hormat dan menjaga hubungan baik dengan

    lingkungan menjadi prinsip moral yang selalu

    dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan

    upacara religius- adat (Wirasan, 2002).

      Tanda-tanda alam terkait dengan akvitas

    Gunungapi Merapi merupakan pengetahuan yang

    mengarahkan masyarakat Gunungapi Merapi untuk

    bersikap tetap bertahan di lokasi tempat nggalnya

    atau menjauh menghindar dari akvitas Gunungapi

    Merapi. Persepsi yang sangat kuat tersebut mampu

    menjadi panduan kehidupan mereka secara turun

    temurun. Untuk itulah Gunungapi Merapi layak

    disebut sebagai geoheritage  karena kekhasannya

    yang selalu menarik untuk terus dikaji dari

    berbagai sisi, baik dari aspek geosik maupun dari

    sosiokultural masyarakatnya.

    III. Memahami Persepsi Masyarakat dan

    Konservasi Ekosistem Gunung Merapi

      Secara sosio-kultural masyarakat lereng

    Gunungapi Merapi memiliki sejumlah pengetahuan

    lokal dalam memahami berbagai fenomena alam

    termasuk persepsinya terhadap akvitas Gunungapi

    Merapi. Tanda-tanda alam yang ditemui sehari-hari

    menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia

    dengan alam lingkungan yang harmonis, dan

    merupakan pedoman hidup dan budaya yang menarik.

    Dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka

    hidup, menghasilkan berbagai pengalaman dan citra

    lingkungan hidupnya, dan memberikan serangkaian

    petunjuk mengenai perilaku yang akan mereka lakukan

    terhadap lingkungan (Sumarwoto, 1998).

    Persepsi masyarakat tentang akvitas

    gunungapi Gunungapi Merapi dan sekaligus

    lingkungannya menunjukkan bahwa persepsi

    tersebut terikat oleh budaya (culture–bound).

    Arnya bagaimana kita memaknai pesan, obyek,

    atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang

    kita anut. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya,maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat

    subyekf. Semakin besar perbedaan nilai-nilai budaya

    antara dua pihak, semakin besar pula perbedaan

    persepsi mereka terhadap realitas. Tedapat unsur-

    unsur budaya yang mempengaruhi persepsi yakni, 1)

    kepercayaan (belief ), nilai (values), dan sikap (atudes),

    2) pandangan dunia (worldview ), 3) organisasi sosial

    (social oganizaon), 4) tabiat manusia (human

    nature), 5) Orientasi kegiatan (acvity orientaon), 6)

    persepsi tentang diri dan orang lain ( persepon of self

    and other)  (Mulyana. 2009). Berdasarkan pengeran

    tersebut persepsi masyarakat Gunungapi Merapi

    dipengaruhi kepercayaan, pengetahuan dan nilai-

    nilai yang telah mereka kenal secara turun-temurun,

    semuanya tentang alam lingkungan sekitar Gunungapi

    Merapi.

      Menyadari bahwa perbedaan nilai-nilai budaya

    suatu masyarakat akan berbeda pula persepsinya

    terhadap fenomena alam dan lingkungannya. Untuk

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    18/86

    16

    itu bagi masyarakat luar yang memiliki nilai budaya

    berbeda dengan masyarakat Gunungapi Merapi,

    pas akan kesulitan memahami kondisi realitas

    masyarakat Gunungapi Merapi, yang menurut mereka

    kurang rasional. Wajarlah kalau pada waktu muncul

    gagasan menjadikan Gunungapi Merapi menjadi

    TNGM terjadi penolakan oleh warga masyarakat

    Gunungapi Merapi. Penolakan masyarakat antara lain

    karena rencana tersebut tergesa-gesa dianggap dak

    demokras, dak transparan, dan dak parsipaf.

    Selain itu tercetus juga persepsi berupa kekhawaran

    masyarakat setempat dak dapat lagi atau dibatasi

    aksesnya menuju lokasi-lokasi yang biasanya menjadi

    ajang berkumpulnya warga dalam berbagai upacaraadat, dan masyarakat petani-peternak dak dapat

    merumput untuk pakan ternak.

      Ide membenahi, dan melestarikan ekosistem

    Gunungapi Merapi tentunya dak salah, karena

    dilandasi spirit konservasi. Pengeran konservasi

    berar menyelamatkan, melindungi, melestarikan,

    dan menyimpan. Dalam konteks perlindungan dan

    pengelolaan terhadap fungsi Gunungapi Merapi dan

    budaya yang berlangsung padanya dengan pendekatankonservasi, maka Gunungapi Merapi sebagai suatu

    ekosistem yang utuh, tentunya memiliki dinamika

    geosik spasial. Jika dalam konteks ekologi bahwa salah

    satu sistem dak berfungsi, maka siklus pemulihan

    sumberdaya haya akan menjadi kendala. Degradasi

    yang terjadi pada ekosistem dan ekologi akan berujung

    pada bencana. Keberfungsian sistem ekosistem

    Gunungapi Merapi, bergantung pada daya dukung.

    Sebelum semuanya terlambat gagasan menjadikan

    Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi adalah

    tepat, namun dalam pelaksanaannya tampaknya dak

    sederhana. Silang pendapat baik yang pro maupun

    yang kontra terus terjadi saat ditetapkan sebagai Taman

    Nasional Gunungapi Merapi (TNGM), dan bukan Cagar

    Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa, atau

    lainnya. Bahkan ada yang mengusulkan Gunungapi

    Merapi menjadi Laboratorium Alam Lingkungan Hidup

    (Bronto, 2002).

      Rencana mewujudkan Gunungapi Merapi

    dengan Format Taman Nasional disinyalir mengacu

    kesepakatan Internatonal Union for Conservaon of

    Nature and Natural Resaurces (IUCN) 1994a, format

    tersebut dianggap dak sesuai apabila diterapkan di

    gunungapi Gunungapi Merapi. IUCN mendenisikan

    taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi,

    daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah

    konservasi habitat dan margasatwa, lanskap yang

    dilindungi, dan area perlindungan sumberdaya.

    Peraturan Pemerintah Nomer 68 Tahun 1998 pasal

    1 angka 6, menyebutkan kawasan Taman Nasional

    adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

    ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang

    dimanfaatkan untuk keperluan penelian, ilmu

    pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

    pariwisata, dan rekreasi.

    Perlindungan dan pengelolaan fungsi

    Gunungapi Merapi perlu disesuaikan dengan

    kondisi komunitas lokal Gunungapi Merapi dengan

    memahami sumberdaya dan pengetahuan lokal

    masyarakat. Arnya dalam perlindungan dan

    pengelolaan perlu mengadaptasi pengetahuan lokalmasyarakat yang selama ini memiliki ikatan ban

    kuat dengan alam lingkungan Gunungapi Merapi,

    dan ikatan ban tersebut mampu memunculkan

    tanggungjawab untuk menjaga Gunungapi Merapi.

    Masyarakat telah membukkan melalui perilaku

    penuh tanggung jawab, sikap hormat dan peduli

    terhadap sumberdaya di sekelilingnya, dan hal itu

    telah menjadi prinsip yang dianut secara turun-

    temurun. Masyarakat meyakini perilaku yang

    selaras dan serasi mampu menjaga keutuhan

    ekosistem Gunungapi Merapi. Mudah-mudahan

    dak ada peubah dari luar ekosistem Gunungapi

    Merapi yang mempengaruhi kondisi tersebut,

    berdasarkan kepenngannya.

     

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    19/86

     

    17

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    IV. Penutup

      Gunungapi Merapi sebagai geoheritage

    memiliki ekosistem yang menyatu dengan

    sosiokultur masyarakatnya yang spesik. Dalam

    dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi

    Merapi tetap menarik perhaan masyarakat

    untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan

    tersebut dekat dengan ancaman akvitas

    gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa

    kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi

    dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih

    ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk

    membangun bangunan permukiman dan bangunan

    ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan).

    Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya

    alam dan lingkungan yang berlangsung di

    Gunungapi Merapi apabila kurang memperhakan

    karakterisknya akan mengakibatkan penurunan

    kualitas sumberdaya dan lingkungannya.

      Kultur masyarakat dalam berinteraksi

    dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung

    dan memunculkan pandangan yang sifatnyasupranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita

    miss, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan

    tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos

    yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan

    nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan

    bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan

    yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik

    yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal

    yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan

    Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage

    yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga

    kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi,

    bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup

    dan berlangsung di kawasan tersebut.

    DAFTAR PUSTAKA

    Andreastudi, SD, Stragraphy and Geochemestry of

    Gunungapi Merapi Volkano, Central Java:

    Implikaon for Assesssment of Volkanic

    Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.

    Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman

    Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi

    DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop

    DIY, dak dipublikasikan.

    Anonim, 2002, Sekitar Pengeran dan Persepsi Taman

    Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas

    Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, dak

    dipublikasikan.

    Bahagiar K, 2002, “Gunungapi Merapi Sebagai

    Sumberdaya Hidrogeologi”, harian Kedaulatan

    Rakyat, 28 September.

    Bronto S, “Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium

    Alam Lingkungan Hidup”, Harian Kedaulatan

    Rakyat, 30 September 2002

    Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan

    Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan

    Darurat Letusan Gunungapi Merapi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu , Jakarta;

    Pradnya Paramita

    Setyawa K, Wiryomartono K, Willem van der Molen,

    2002, Katalog Naskah Gunungapi Merapi- 

    Merbabu , Yogyakarta : Penerbit Universitas

    Sanata Darma

    Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II , Jakarta

    : Penerbit Jambatan.

    Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan

    Pembangunan , Jakarta : Penerbit Djambatan.

    Manunwijaya, 1995, Wastu Citra , Jakarta: Gramedia

    Mulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar ,

    Bandung ; Remaja Rosdakarya

    Noordyn, 1982, Bujangga manik’ Journeys Through Java

    : Topographical Data From An Old Sundanese

    Source, BKI S -Gravenhage – Marnus Nijho,

    Deel 138, h. 413-442

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    20/86

    18

    Wirasan Niken., 2000, Pemanfaatan Sumberdaya

    Lingkungan Pada Masa Mataram Kuna abad

    IX-X Masehi (Studi Kasus Wilayah Prambanan

    dan Sekitarnya), Tesis Pascasarjana UGM.

    Wirasan Niken., 2009, “Cara Pandang Pengetahuan

    Lokal Masyarakat Kawasan Gunungapi Merapi

    Sebagai Komunitas Ekologis “, Jurnal Sejarah

    dan Budaya  Vol IV no.7 Juni, hlm 572-583

    Wiryomartono Ign. K, 1987, Arjunawiwaha,

    Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat tanggapan

    dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa,

    Disertasi UGM,

    Wiryomartono Ign. K, 1990, The Scriptoria in

    the Merbabu- Gunungapi Merapi, BKI ,

    ‘S-Gravenhage – Marnus Nijho , Deel 130 h

    502-509.

    * Arkel ini disampaikan dalam seminar Vise Ulizaon

    of Mineral, Energy and Geoheritage for Prosperity. 3rd

    Indonesia-Malaysia Joint Conference, di UPN Veteran-

    Yogyakarta 6-8 Oktober 2010 .

    ** Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Lingkungan,

    Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    21/86

     

    19

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    ABSTRACT   

    Physically the Borobudur and

    Prambanan temple area and surround are

    included in the Temple Tourism Park (TTP).

    This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi

    Borobudur dan Prambanan one of State-Owned

    Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN),

    the Ministry of Tourism and Creative-Economy.

    However, there are some academic problems

    which need to be re-examined for the benet

    of future professional management. Several

    archaeological problems that are required to

    re-assesment are the datas that related to

    stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue,fragments of pottery and ceramics in southwest

    of Borobudur temple. In the Temple Tourism

    Park of Prambanan area, there is a concept of

    Mandala at Sewu temple complex. The question

    is, whether borders of Prambanan Temples

    Tourism Park is correct? Hopefully the study

    and reinterpretation as mentioned above will

     provide a “healthier” contribution to the revitalize

    the Borobudur and Prambanan Temples TourismPark area.

    Key words: Borobudur and Prambanan Temples

    Tourism Park, archaeological problems,concept

    of mandala, reinterpretation, revitalization.

    I. PENDAHULUAN

    Kawasan percandian Borobudur dan

    Prambanan serta candi – candi yang ada diantara

    kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun

    1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai

    situs cagar budaya dunia (World Heritage Site)

    dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur)

    dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi

    bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut

    merupakan salah satu kebanggaan yang patut

    disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata

    budaya berskala internasional, Taman Wisata

    Purbakala Candi Prambanan – Sewu ini menjadi

    Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi

    pemerintah maupun masyarakat.Mengingat potensi situs cagar budaya,

    serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan

    pengakuan dunia internasional sebagai world

    heritage site, maka perlu diberikan dukungan

    yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai

    situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan

    yang dapat diberikan adalah dukungan akademis

    yang terkait dengan kondisi sik kawasan situs

    cagar budaya dunia kompleks percandian

    Prambanan – Sewu. Adapun dukungan akademis

    yang dimaksud ialah mencari batas – batas situs

    Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang

    diperkirakan belum dijadikan pertimbangan

    dalam menentukan kawasan cagar budaya

    dunia tersebut.

    REINTERPRETASI DAN REVITALISASI KOMPLEKS TAMANWISATA CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN :

    “Sebuah usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi terintegrasi”

    Oleh:

    Gunadi Kasnowihardjo*

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    22/86

    20

    II. TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR

    Sejak awal abad XIX AD di dalam

    sejarah kesenian Eropa Candi Borobudur

    dikenal sebagai salah satu puncak karya

    seni dari ajaran agama Budha Jawa. Candi

    yang dibangun pada abad VIII AD ini sempat

    beberapa abad tenggelam dan terlupakan

    hingga seluruh bangunannya tertutup tanah dan

    semak belukar. Setelah kurang lebih selama

    1000 tahun yaitu pada tahun 1907 Masehi CandiBorobudur diketahui oleh Th. Van Erp seorang

    sarjana berkebangsaan Belanda yang waktu itu

    datang ke Indonesia bersama dalam kesatuan

    tentara kolonial. Candi Borobudur kemudian

    digali dan dibersihkan, di bawah kepemimpinan

    Van Erp inilah selanjutnya dilakukan penelitian

    dan pemugaran Candi Borobudur hingga tahun

    1911. Kegiatan pemugaran yang dilakukan pada

    saat itu yang paling penting yaitu rekonstruksi

    lantai selasar yang telah mengalami penurunan

    atau kemlesakan yang cukup siknikan. Hingga

    saat ini oleh para peneliti dan pemerhati CandiBorobudur lantai tersebut dikenal sebagai “lantai

    Van Erp”. Sejak saat itu pula Candi Borobudur

    dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga

    mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah

    satu dari 9 keajaiban dunia.

    Perlu disadari oleh kita semua bahwa

    keberadaan Candi Borobudur yang terletak di

    wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat

    dipisahkan dengan candi-candi dan bangunankuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula

    dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai

    candi terbesar di Indonesia yang berlatar

    belakang agama Budha, diperkirakan candi

    Borobudur merupakan pusat pengembangan

    agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu

    keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh

    berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah

    berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain

    seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta

    Sumber : hp://townsofusa.com

    CandiBorobudur

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    23/86

     

    21

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    data lain seperti misalnya umpak-umpak batu

    yang diperkirakan bekas alas tiang bangunan

    profan yang digunakan sebagai tempat istirahat

    oleh para peziarah atau para pendeta termasuk

    lingkungan Borobudur yang perlu diperhatikan.

    Demikian pula dengan keberadaan masyarakat

    dan lingkungan alamnya, selama ini kurang

    diperhatikan oleh pengelola kawasan wisata

    Candi Borobudur.

    Sudah lebih dari dua dasawarsa kawasan

    Candi Borobudur dijadikan kawasan Taman

    Wisata dan dikelola oleh PT. Taman Wisata

    Candi Borobudur & Prambanan salah satu

    BUMN dibawah Kementerian Pariwisata danEkonomi Kreatif. Dalam pengelolaan kawasan

    Candi Borobudur ini ada sesuatu yang perlu

    saya ingatkan yaitu bergesernya konsep “Taman

    Purbakala” menjadi “Taman Wisata” diawali dari

    pergeseran konsep inilah akhirnya dikemudian

    hari muncul berbagai persoalan terkait dengan

    pengelolaannya. Memperhatikan beberapa hal

    seperti tersebut di atas, maka dalam pengelolaan

    kawasan wisata Candi Borobudur kedepan perludiperhatikan hal-hal sebagai berikut:

    1. Secara akademis, mengembalikan

    “potensi” atau konteks arkeologis Candi

    Borobudur baik dalam skala mikro, meso

    ataupun makro. Dalam skala mikro

    misalnya beberapa data artefaktual yang

    ditemukan di sekitar halaman candi baik

    dari ekskavasi maupun survey. Konteks

    dalam skala meso antara lain data

    toponimi, sumberdaya alam sekitar, dan

    informasi dari berbagai referensi maupun

    legenda yang berkembang tentang Candi

    Borobudur. Sedangkan konteks dalam

    skala makro misalnya hubungan antara

    Candi Borobudur, Mendut dan Candi

    Pawon, serta objek-objek lain baik yang

    berupa artefak maupun nonartefak.

    2. Apabila pertimbangan akademis ini dapat

    dikaji kembali, maka upaya pelestarian

    pusaka budaya dan pengelolaan Candi

    Borobudur beserta lingkungannya akan

    dapat ditata kembali terutama dalam

    melibatkan peran serta masyarakat di

    sekitar kawasan Borobudur.

    3. Pedagang asongan perlu disebar di

    beberapa titik dengan jumlah yang

    rasional di masing-masing titik, sehingga

    kondisi pedagang asongan tidak terkesan

    semrawut.

    Inilah impian saya cepat atau lambat

    mudah-mudahan impian ini akan menjadi

    kenyataan, amin.

     

    III. TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN

    Walaupun secara sik kawasan

    percandian Prambanan – Sewu dan candi – candi

    yang berada diantaranya telah dikemas menjadi

    bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan

    yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi

    Borobudur dan Prambanan salah satu BadanUsaha Milik Negara (BUMN) Kementerian

    Kebudayaan dan Pariwisata, akan tetapi secara

    akademis masih terdapat berbagai permasalahan

    yang perlu dikaji, diteliti, dan diluruskan demi

    pengelolaan di masa yang akan datang yang

    lebih profesional. Beberapa permasalahan

    arkeologis yang perlu dikaji kembali antara lain

    tentang konsep mandala pada kompleks Candi

    Sewu. Seingat penulis, yang saat itu ikut menjadi

    salah satu anggota tim penelitian arkeologi,

    konsep mandala Candi Sewu belum dijadikan

    pertimbangan dalam menentukan seberapa

    luas areal yang dibutuhkan untuk Taman Wisata

    Candi Prambanan. Bahkan tinggalan lain yang

    ditemukan saat penelitian yang merupakan data

    baru seperti misalnya konstruksi stupa perwara

    dan sisa-sisa pagar ketiga yang terletak di

    sebelah Timur Candi Sewu, tidak masuk dalam

    “perhitungan dan pertimbangan”.

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    24/86

    22

     Kata mandala adalah bahasa Sanskerta

    yang dalam kamus Jawa Kuna – Inggris dapat

    diartikan sebagai: anything round, disk, circle,

    orb, ring, circumference, district, teritory,

     province, country, multitude, collection, whole

    body   (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099).

    Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo

    mengartikan mandala  adalah kawasan atau

    lingkup keagamaan yang diekspresikan

    secara sik berupa bangunan – bangunan

    keagamaan dan dapat pula melambangkan

    sebuah kekuasaan (wawancara langsung

    dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei

    2010). Berdasarkan pengertian di atas, makakeberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi

    Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan

    Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai

    bagian dari mandala candi Sewu. Namun

    demikian, dalam pengelolaan dan penataan

    kawasan situs cagar budaya dunia Candi

    Prambanan – Sewu ataupun Taman Wisata

    Candi Prambanan – Sewu tersebut, Candi

    Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya

    “terlepas” dari konsep mandala dan dipisahkan

    pula oleh pagar batas Taman Wisata yang tidak

    memperhatikan pertimbangan-pertimbangan

    akademis seperti misalnya batas – batas suatu

    situs (Gunadi, 1996).

    Dibangunnya Taman Wisata Candi

    Borobudur dan Prambanan yang dimulai sejak

    awal tahun 1980 an, dilatar belakangi oleh

    keberadaan tinggalan arkeologis yang ada

    di dua kawasan tersebut. Selain bertujuan

    melestarikan kawasan cagar budaya yang

    berskala internasional, keberadaan Taman

    Wisata tersebut akan menambah daya tarik

    wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisatabudaya ini. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah

    kunjungan wisatawan tahun 2009 baik wisatawan

    nusantara maupun wisatawan mancanegara

    yang mencapai rata – rata 76.960 orang per

    bulan untuk wisatawan nusantara dan 12.595

    orang per bulan untuk wisatawan mancanegara.

    Demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir

    (2000 – 2009) diketahui bahwa jumlah kunjungan

    di obyek wisata budaya ini cukup signikan,

    CandiPrambanan

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    25/86

     

    23

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    seperti terlihat pada daftar di bawah. Bahkan

    harapan pengelola PT. Taman Wisata Candi

    Borobudur dan Prambanan jumlah wisatawan

    di Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan

     – Sewu untuk tahun 2010 mencapai 1.200.000

    orang. Harapan tersebut ternyata tidak sia – sia,

    karena hingga minggu ke tiga bulan Desember

    2010 pengunjung di obyek wisata tersebut telah

    mencapai 1.011.918 orang. Sehingga program

    “Sejuta Turis ke Prambanan” yang dicanangkan

    pada tahun 2010 tersebut hampir mencapai

    harapan (http://travel.kompas.com).

     Jumlah Wis Nus dan Wis Man Th. 2000 – 2009TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH2000 91.9752001 95.2872002 899.463 86.613 900.0762003 915.383 48.357 963.7402004 908.276 77.417 985.6932005 888.686 75.638 964.3242006 451.987 44.073 452.0602007 549.997 74.590 624.5872008 856.029 114.951 970.9802009 923.540 130.372

    JUMLAH 8.460.460 839.273 9.299.733Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.

     

    IV. SITUS CANDI BOROBUDUR,

    PRAMBANAN DAN NILAI HISTORIS-

      ARKEOLOGISNYA

      Dua kompleks percandian Borobudur

    dan Prambanan yang berada di kawasan Taman

    Wisata, masing – masing memiliki keunikan dan

    nilai – nilai historis – arkeologis yang berbeda.

    Berdasarkan prasasti Çiwagrha yang berangka

    tahun 778 çaka atau tahun 856 Masehi, candi

    Prambanan dibangun pada masa pemerintahan

    Rakai Pikatan dan dilanjutkan oleh Rakai

    Kayuwangi. Candi Prambanan atau dikenal

    dengan nama Lara Jonggrang merupakan

    bangunan suci agama Hindu, terlihat dari ciri

     – ciri arsitektur, relief dan beberapa arca yang

    melengkapi bangunan tersebut. Kompleks Candi

    Prambanan terdiri dari tiga buah candi utama,

    tiga buah candi wahana, dan dua buah candi apit

    yang semuanya berada di halaman pertama yang

    terletak dibagian paling dalam. Halaman kedua

    yang secara konsentris mengelilingi halaman

    pertama terdapat empat baris candi perwara

    dengan jumlah keseluruhannya mencapai 224

    buah. Sedangkan halaman ketiga hingga saat ini

    batas atau pagar keliling belum ditampakkan baik

    oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala

    Yogyakarta maupun saat pembangunan Taman

    Wisata Candi Prambanan – Sewu.

      Perbedaan antara Candi Sewu

    dan Prambanan antara lain Candi Sewu

    berlatar belakang agama Budha, sedangkan

    arsitekturnya lebih tambun dibanding Candi Lara

    Jonggrang yang terlihat ramping. Ciri lain Candi

    Sewu atap atau kemuncak berbentuk stupa

    yang merupakan salah satu lambang dari agama

    Budha. Adapun susunan halaman sama dengan

    Candi Prambanan, yaitu terdiri dari tiga halaman

    yang konsentris. Halaman pertama ditempatkan

    bangunan candi utamanya yang tidak memilikicandi wahana. Halaman kedua ditemukan

    sejumlah candi perwara yang susunannya sama

    dengan candi perwara di kompleks Prambanan.

    Di halaman kedua sisi Timur pada tahun 1980 an

    pernah ditemukan sisa-sisa bangunan perwara

    yang diperkirakan sebagai “stupa perwara”

    yang mirip dengan stupa perwara yang ada

    di kompleks Candi Plaosan. Bangunan Candi

    Sewu oleh para ahli dikaitkan dengan sebuahprasasti yang ditemukan di Dusun Kelurak tidak

     jauh dari Prambanan.

    Prasasti Kelurak atau disebut juga Prasasti

    Manjusrigrha merupakan prasasti batu berangka

    tahun 782 M yang ditemukan di Desa Kelurak, di

    sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan,

    Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak

    sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya

    kurang diketahui. Secara garis besar, isinya

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    26/86

    24

    adalah tentang didirikannya sebuah bangunan

    suci untuk arca Manjusri   atas perintah Raja

    Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya.

    Menurut para ahli, yang dimaksud dengan

    bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang

    terletak di Kompleks Percandian Prambanan.

    Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada

    Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan

    kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis

    dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan

    bahasa Sansekerta. Prasasti ini kini disimpan

    dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta

    (http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak).

    Dalam pembangunan Taman Wisata

    Candi Prambanan, kompleks Candi Sewu

    dan candi – candi lain yang terletak di antara

    keduanya seperti Candi Lumbung dan Candi

    Bubrah semuanya masuk dalam area atau

    kawasan taman wisata tersebut. Seperti telah

    dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan

    Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan

    antara lain bertujuan untuk melestarikan

    tinggalan cagar budaya yang tidak ternilai

    harganya. Dengan demikian pengembangan

    kawasan dan situs cagar budaya sebagai

    obyek wisata tersebut tidak semata – mata

    mempertimbangkan faktor ekonomis, akan

    tetapi kepentingan ekonomis tersebut mampu

    mendukung upaya pelestariannya.

    Selain dari pada itu, kawasan Taman

    Wisata Candi Prambanan – Sewu oleh UNESCOtelah ditetapkan sebagai situs warisan budaya

    dunia atau World Heritage Site. Oleh karena

    status atau peringkat sebagai situs warisan

    dunia tersebut sewaktu – waktu dapat dicabut

    dari daftar UNESCO, maka perlu didukung agar

    pengakuan internasional tersebut dapat dijaga

    kontinuitasnya. Situs – situs cagar budaya yang

    telah diakui dan masuk dalam daftar World

    Heritage Sites UNESCO, oleh pemerintah

    termasuk kawasan strategis yang harus tetap

    dipertahankan. Sehingga berbagai sektor terkait

    dalam program kerjanya disarankan dapat

    memberikan dukungan sesuai dengan tugas

    pokok dan fungsi masing – masing lembaga. Hal

    ini sesuai dengan Kontrak Kinerja Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono di bidang Kebudayaan

    dan Pariwisata.

    V. PEMBAHASAN

      Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu

    dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata

    Candi Prambanan – Sewu baik sebagai situscagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan

    Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan

    akademis yaitu terkait antara batas-batas situs

    dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu

    pada konsep mandala yang ada di kompleks

    Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut

    dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada

    di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut

    adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana

    di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan

    Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi

    Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya

    Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih

    dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi

    Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan

    oleh penduduk setempat untuk pagar dan

    pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun

    untuk memastikan keberadaan Candi Kulon

    perlu dilakukan penelitian lapangan, guna

    membuktikan asumsi di atas.

      Kata mandala adalah bahasa Sanskerta

    berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau

    pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu

    yang ditambahkan. Konsep “tata ruang” dalam

    mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam

    satu area (one square) yang disebut Pitha atau

    Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan

    area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /

  • 8/19/2019 jurnal 2014kecil

    27/86

     

    25

    Jurnal Widya Prabha 2014 

    wiki/Mandala). Mengacu pada konsep mandala

    tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Candi

    Bubrah, Gana, Lor, dan Candi Kulon merupakan

    4 area penyangga Candi Sewu. Sampai saat

    ini tidak seorangpun ahli arkeologi yang pernah

    membicarakan tentang konsep mandala Candi

    Sewu yang dikaitkan dengan pembangunan

    taman wisata tersebut. Oleh karena itu tidak

    mengherankan apabila selain Candi Bubrah,

    ketiga candi lain yang terletak di sisi Timur,

    Utara dan Barat tidak pernah dipertimbangkan

    dalam pembangunan Kawasan Taman Wisata

    Candi Prambanan – Sewu. Candi Bubrah sendiri

    karena posisinya yang terletak diantara Candi

    Prambanan dan Candi Sewu sehingga secara

    kebetulan termasuk dalam zona taman wisata.

    Kedua, secara ideologis, keberadaan

    Candi Prambanan yang Hinduistis dan Candi

    Sewu yang Budhistis dalam satu lokasi yang

    sangat berdekatan, hal ini mensiratkan kepada

    generasi sekarang maupun generasi yang akan

    datang tentang isu – isu multikultural yang telah

    berkembang sejak abad IX M. Bahkan apabila

    kita kaji lebih tajam tentang pagar halaman

    ketiga masing – masing percandian Prambanan

    dan Sewu, kemungkinan sekali akan ditemukan

    data yang saling tumpang tindih antara pagar

    terluar kedua candi tersebut. Apabila mengacu

    kepada waktu pembangunannya, Candi Sewu

    dibangun pada tahun 782 sedangkan Candi

    Prambanan didirikan tahun 856, dengan

    demikian ada selisih waktu 74 tahun. Walaupundemikian, dapat diperkirakan bahwa pada masa

    pembangunan Candi Prambanan eksistensi

    agama Budha saat itu dapat dikatakan masih

    stabil sebagai agama kerajaan. Sehingga tanpa

    ada pemahaman dan toleransi yang tinggi dari

    masing – masing pemeluk agama Hindu dan

    Budha, niscaya kedua kompleks bangunan

    suci yang berbeda keyakinan tersebut dapat

    dibangun secara berdampingan.

    Ketiga adalah pertimbangan praktis,

    bahwa kajian tentang Kawasan Taman Wisata

    Candi Pramaban – Sewu ini seperti telah

    disebutkan sebelumnya yaitu sebagai langkah

    konkrit dalam mendukung pengembangan

    kawasan strategis demi kepentingan

    pengelolaan yang lebih profesional. Agar

    dapat meningkatkan kualitas pengelolaan

    suatu kawasan strategis seperti situs –

    situs yang sudah ditetapkan sebagai World

    Heritage Site, maka perlu dilakukan kajian –

    kajian secara periodik, baik kajian akademis

    maupun pertimbangan lainnya. Sebagai aparat

    pemerintah yang ada di daerah dan langsung

    menyentuh pada tugas pokok dan fungsi

    lembaga, maka program seperti ini merupakan

    action dari sebagian kecil kontrak kinerja

    pemerintah.

    VI. PENUTUP

      Mengacu pada Peraturan PresidenRepublik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang

    Rencana Pembangunan Jangka Menengah

    Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, mengenai

    bidang sosial budaya dan kehidupan beragama,

    utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar

    pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai

    budaya, pengelolaan keragaman budaya serta

    perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan

    warisan budaya. Peraturan Presiden yang

    kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya

    Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan

    dan Pariwisata tahun 2010 – 2014 antara lain

    menetapkan arah kebija