jurnal 2014kecil
-
Upload
dendy-pandu-wirawan -
Category
Documents
-
view
224 -
download
0
Transcript of jurnal 2014kecil
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
1/86
1
Jurnal Widya Prabha 2014
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
2/86
2
3
12
29
19
42
57
68
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
3/86
1
Jurnal Widya Prabha 2014
Pengantar Redaksi
Puja dan puji syukur kita haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rah-
mat dan karuniaNya sehingga apa yang kita rencanakan dapat terlaksana dengan baik dan lancar.
Penerbitan jurnal tahunan Widya Prabha ke-3 ini telah dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan
rencana. Jurnal ini diterbitkan sebagai salah satu publikasi berbagai aspek tentang pelestarian ca-
gar budaya. Upaya publikasi itu merupakan bagian dari implementasi program internalisasi cagar
budaya kepada masyarakat.
Terimakasih kepada para kontributor tulisan yang telah meluangkan waktu dan meman-
faatkan kesempatan untuk menulis arkel dalam jurnal ini. Kepada semua Tim Redaksi yang telah
dapat mewujudkan jurnal ini, kami dak lupa memberikan penghargaan yang nggi. Semoga jurnal
ini dapat menjadi sumbang saran di dalam kajian tentang pelestarian dan dapat menjadi bahankepustakaan. Diakui bahwa berbagai kontribusi penulisan tersebut masih terbatas dan belum mak-
simal, oleh karena itu berbagai krik dan saran diperlukan untuk perbaikan penerbitan di masa
mendatang. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan dan meridhoi seap upaya kita da-
lam mengimplementasikan internalisasi tentang penngnya cagar budaya bagi penguatan karakter
bangsa.
Redaksi
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
4/86
2
Catatan Redaksi :
Perspekf Budaya dan Lingkungan dalam Pelestarian
Peran budaya di dalam berbagai bidang kehidupan, disadari maupun dak, pada dasarnya memiliki
posisi sentral dan menentukan. Di dalalam era pembangunan yang mengejar pertumbuhan diyakini bahwa
pertumbuhan ekonomi akan dapat memperbaiki standard kehidupan dan kesejahteraan. Secara logis
sumber daya alam menjadi tumpuan untuk dapat dieksploatasi bagi kepenngan manusia. Pada akhirnya
ekplorasi yang dilakukan dak mempermbangkan aspek keseimbangan ekologis. Tidak mengherankan
apabila kemudian muncul krik dan mendesak dinggalkannya praktek-praktek seper tersebut diatas.
Paradigma yang kemudian muncul adalah pendekatan yang pembangunan berkelanjutan yang holisk
dengan mengimplementasikan asas keseimbangan dengan aspek-aspek sosial - budaya dan lingkungan hidup.
Arnya, bahwa di dalam melaksanakan pembangunan harus memperhitngkan dimensi sosial, pelestarian
budaya, dan lingkungan hidup.
Pada dasarnya budaya dapat diarkan sebagai corak hidup di dalam suatu lingkungan masyarakat
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepaka bersama. Dapat
pula dipersepsikan sebagai sistem makna dan pemahaman ar dalam suatu sistem kepercayaan serta
pola perilaku kehidupan yang dilakukan masyarakat pendukung. Proses itu untuk menghaya kehidupan
di dalam memperjuangkan kehidupan (survival ) bagi kehidupan yang bermartabat. Apa yang menjadi tata
nilai budaya dan kearifan di dalam masyarakat dapat menjadi kunci di dalam melakukan peendekatan bagi
terwujudnya upaya membangun kelestarian budaya dan alam sekelilingnya. Kita semua dituntut untukmenjaga keseimbangan dan harmoni hubungan di antara manusia, alam, dan lingkungannya.
Satu contoh bahwa di dalam menjaga eksistensi geo heritage dan ekosistem Merapi harus memahami
bagaimana persepsi masyarakat tentang lingkungannya serta pola perilaku untuk memperjuangkan
kehidupan yang berkeseimbangan. Tentunya aspek pencegahan atau prevenf menjadi pilihan yang
utama untuk dilakukan. Hal itu baik yang dilakukan dalam konteks lingkungan maupun budaya. Tidak kalah
penngnya adalah bagaimana menjaga kelestarian budaya dalam ar melakukan proses konservasi material
dan bangunan cagar budaya seper halnya yang dilakukan di Benteng Cepuri Kotagede. Apabila pendekatan
prevenf dak dapat membuahkan hasil konkrit maka tentu harus menjalankan aspek kuraf atau represif.
Aspek represif inilah yang telah dilakukan di dalam menjaga eksistensi bangunan cagar budaya SMA 17 1
Yogyakarta. Menjaga eksistensi bangunan, sebagai salah satu proper budaya, juga akan dapat menjaga nilai
atau makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang tersurat inilah yang perlu terus dibudidayakan di
dalam masyarakat. Kedepannya, tugas menjaga keberlanjutan di dalam konteks keseimbangan merupakan
tanggungjawab bersama. Pemahaman ar penng dan pembelajaran penngnya menjaga eksistensi
alam, lingkungan, dan warisan budaya sangat urgen untuk di implementasikan dalam rangka membangun
peradaban bangsa.
Redaksi
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
5/86
3
Jurnal Widya Prabha 2014
I. Pendahuluan
Konsep pembangunan berkelanjuan
yang dicanangkan World Commission on
Environment and Development di bulan April
1987 mendeklarasikan upaya mengatasi berbagai
kemelut lingkungan yang terjadi di belahan dunia.
Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk
Indonesia sepakat memadukan lingkungan hidup
dalam pembangunan, sehingga lahirlah pola
Pembangunan Berkelanjutan atau berwawasan
Lingkungan. Arnya arah pembangunan
dilaksanakan dengan memperhakan kontuinitas
dalam hal kelangsungan hidup alam dan manusia.
Namun sejak lahirnya konsep tersebut hingga saat
ini apakah lingkungan hidup menjadi semakin baik?Kasus bencana alam yang terus terjadi di berbagai
tempat dan bumi semakin panas mengindikasikan
masalah lingkungan belum terintregrasi dengan
baik dalam pembangunan berkelanjutan.
Cita-cita utama pembangunan
berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan,
mengintegrasikan dan memberi bobot yang
sama bagi ga aspek utama pembangunan, yaitu
ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup.
Arnya Pembangunan aspek sosial-budaya dan
lingkungan hidup dak boleh dikorbankan demi
dan atas nama pembangunan ekonomi.
Konik sosial-budaya yang terjadi di
tanah air, yaitu perasaan diberlakukan dak adil,
termarjinalisasi, dan terancam secara budaya
adalah contoh terabaikannya aspek sosial-budaya
dalam pembangunan nasional (Keraf, 2002). Kasus
yang sama terjadi pada masalah pemanfaatan
sumberdaya alam yang berorientasai pada
pendapatan daerah, tanpa memperhakan kualitas
lingkungan yang semakin buruk. Krisis ekologi yang
terjadi menujukan kuatnya paham antroposens dalam
kebijakan pembangunan yang lebih memenngkan
pertumbuhan ekonomi dan persepsi yang keliru
tentang kekayaan alam. Pertumbuhan ekonomi
diyakini akan memperbaiki standart kehidupan
masyarakat menjadi lebih sejahtera, dan sumberdaya
alam merupakan sumberdaya yang siap dieksploitasi
untuk pertumbuhan ekonomi. Eksplorasi alam dak
lagi mempermbangkan keseimbangan ekologis.
Paradigma pembangunan berkelanjutan yang
sangat antroposentris tersebut mendesak untuk
dinggalkan dan digan dengan cara pandang yang
lebih holisk dan saling melengkapi dengan memberi
perhaan pada aspek sosial-budaya dalam pengelolaanlingkungan hidup. Berdasarkan kondisi tersebut
muncul permasalahan : Mengapa aspek budaya perlu
lebih dingkatkan perannya saat ini dalam menjaga
keseimbangan ekosistem?. Asumsinya pendekatan
budaya yang meletakkan manusia dalam kapasitasnya
sebagai makhluk berbudaya, bereka, bermoral dan
berdimensi spiritual-transendental sangat relevan
untuk dikaji dan ditransformasikan dalam kehidupan
saat ini mengingat ngkat kerusakan ekologi di sekitar
kita dari hari ke hari semakin meningkat.
II. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Ekologis
Kelangsungan hidup manusia tergantung pada
pemeliharaan ekosistem, karena ekosistem merupakan
batas keberadaan dan kerangka kerja kegiatan manusia,
ekositem dapat berjalan tanpa kita, namun kita dak
dapat berbuat apa-apa tanpa ekosistem, selama kita
hidup di bumi ini (Kompas, 2004). Pada dasarnya secara
PERAN BUDAYA DALAM
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP *
Oleh :Dra. Niken Wirasanti,M.Si **
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
6/86
4
naluriah manusia dimanapun tempat nggalnya pas
akan mencari ketenangan dan keamanan diri. Adapun
sumber dari intervensi kedaktentraman dibayangkan
bukan hanya dari suasana psikologis di dalam
dirinya semata, melainkan juga dbayangkan berasal
lingkungan jagad raya yang dipersepsikan sebagai
sesuatu yang misterius, dan menakjubkan, yang dak
dapat dicerna oleh akal pikiran. Dari persepsi ini mulai
menggagas adanya daya-daya alam adiduniawi yang
mengitari dirinya, dan dikonsepsikan sebagai dewa-
dewa (Suhardi, 2009).
Pandangan masyarakat terus berlanjut,
khususnya masyarakat Jawa beranggapan lingkungan
merupakan sebagai sumber energi yang bermanfaatuntuk kehidupan manusia. Masyarakat berteori
tentang tatanan jagat raya (kosmogoni ) yang memiliki
perputaran gerak yang sempurna, misalnya rotasi
perjalanan benda-benda angkasa yang demikian
terbnya, merupakan perwujudan keseimbangan
alam dan dunia. Jagat raya bergerak demikian pula
isi dunia termasuk masyarakatnya. Apabila manusia
mampu menyerasikan hidupnya sesuai dengan hukum
alam yaitu gerak perputaran alam semesta, maka akandiperoleh kesejahteraan.
Gerak harmonis dari benda-benda di jagat raya
digerakkan oleh sebuah kekuatan (daya) dan apabila
kekuatan itu memancar pada seorang pemimpin, atau
raja, maka pemimpin atau raja tersebut dianggap
memiliki daya linuweh (kesakan). Asumsinya semakin
kuat pancaran yang dimiliki seorang pemimpin atau
raja maka individu tersebut akan semakin memiliki
kewibawaan dan berkharisma. Implikasinya dari
kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin/raja
akan tercapai keadaan tata tentrem karta raharjo.
Sejumlah naskah Jawa kuna, misalnya Babad
Tanah Jawi, Kitab Cenni, Wedatama menceritakan
adanya gambaran ideal seorang pemimpin atau raja
dalam menjaga tata terb kosmos. Demikian pula
ramalan-ramalan Joyoboyo yang populer masa
Kerajaan Kadiri-abad XIII Masehi, dan ramalan Pujangga
Ronggowasito (masa Kerajaan Surakarta-abad XVIII
Masehi). Dalam sejarah kebudayaan dikenal nama-
nama yang menjadi gambaran ideal seorang tokoh
pemimpin yang mampu mengembalikan keserasian
dalam hubungan manusia dengan ekosistemnya,
yaitu tokoh Ratu Adil, dan tokoh Satrio Piningit.
Pada masa Kerajaan Mataram (Islam) Raja-
Raja Mataram sebagai pewaris tahta kerajaan harus
bersikap dan berbuat sebagai kalifah dari Tuhan
(Senapa ing Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah
Tanah Jawa). Tugas yang diemban adalah
Hamengku, Hamangku, Hamangkoni . Asas tersebut
bermakna keseimbangan dunia-akherat, nansial-
spiritual, manunggaling Kawulo Gus yaitu suatu
tekad mengelola alam tanpa merusak dan menjaga
segala kekayaan alam yang merupakan pemberian
sekaligus amanah Sang Pencipta (Suhardjo, 2004).
Masih di lingkungan kraton sejumlah nama raja
disebut dengan nama Paku Buwono (ang pancang
alam semesta), Hamengku Buwono ( Penguasa
atau Pemelihara alam semesta), Pakualam ( ang
pancang alam semesta) Mangkunegara ( pemelihara
negara).
Selain gambaran ideal seorang pemimpin,
dalam sastra Jawa pun termuat ajaran-ajaranpenngnya menjaga keharmonisan antar sesama
dan lingkungan. Naskah Jawa yaitu Serat Sasana
Mulyo (Kompas, 2 November 2009) menyebutkan
sikap hemat dan bersahaja (gemi nas )
merupakan penangkal sikap konsumerisk yang
makin menjangki masyarakat. Gaya hidup boros
dan bermewah-mewah bertentangan dengan eka
Jawa. Prinsip hemat dan cermat dapat menjadi
pedoman dalam mengelola sumberdaya alam.
Gambaran dari masyarakat adat yang
kehidupannya menyatu dengan alam lingkungannya
merupakan lanjutan konsep kepercayaan yang
telah dikenal turun-temurun. Masa Jawa Kuna
memiliki kepercayaan yang berlandaskan pada
konsep kosmogonis yaitu kepercayaan adanya suatu
keserasian antara dunia manusia (mikrokosmos)
dengan alam manusia (makrokosmos) (Geldern,
1942). Menurut kepercayaan ini manusia selalu
ada di bawah pengaruh kekuatan-kekuatan yang
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
7/86
5
Jurnal Widya Prabha 2014
terpancar dari antara bintang-bintang dan planet.
Kekuatan tersebut dapat membawa kesejahteraan
atau bencana terganung dari dapat atau daknya
individu aau komunitas menyerasikan hidup dan
semua kegiatannya dengan gerak alam semesta.
Individu atau komunitas dapat memperoleh
keserasian dengan mengiku petunjuk astrologi
atau sejumlah perlambang yang menujukkan akan
datangnya keberuntungan atau bencana (Sumadio,
2007). Terkait dengan hal tersebut, diyakini tata
ruang kraton (Yogyakarta- Surakarta), disusun
dan diselaraskan dengan tatanan jagat raya,
keseimbangan secara keruangan ditata dengan
menempatkan pejabat-pejabat kraton di penjurumata angin dari kraton. Dalam konsep Jawa, tata
letak daerah-daerah penyangga yang terpusat
di kraton dikenal dengan konsep Mancapat dan
Mancalimo.
Orang Jawa sangat akrab dengan kosmologi,
yang dicakup dalam islah kejawen. Perlu dimaklumi
di sini bahwa kejawen bukanlah katagori agama,
tetapi menunjuk kepada suatu eka dan gaya hidup
yang dimaklumi oleh seluruh kiran Jawa (Mulder,1996). Sehingga islah kejawen apabila dipandang
sebagai ilmu pengetahuan merupakan eka dan
gaya kiran yang dak terhindar dari agama, nuansa
miss dan legenda, tasawuf, serta lsafa. Lebih
tegas Sonny Keraf (2002 ) berpendapat hakekat
manusia bukan hanya makhluk sosial tetapi juga
makhluk ekologis. Sebagai bagian dari komunitas
ekologis manusia mempunyai kewajiban moral
dan tanggungjawab untuk menghorma seap
kehidupan, baik terhadap manusia maupun pada
makhluk lain dan benda-benda non haya, karena
semua benda di alam semesta mempunyai hak
yang sama untuk ada, hidup, dan berkembang.
Dengan memahami dirinya sebagai bagian integral
dari alam, maka dalam memanfaatkan alam harus
dilakukan secara arif, yaitu menjaga keseimbangan
dan kelestariannya (Keraf,2009., Elliot.,1955.)
Eksploitasi sumberdaya alam diatur dengan
berbagai macam aturan religius untuk menjamin
agar keselarasan ekosistemnya dapat terjaga dan
aturan-aturan tersebut melahirkan sejumlah tradisi.
Tradisi tersebut terus berlangsung dilengkapi dengan
sejumlah mitos. Van Peursen (2005) menjelaskan
dalam tahap perkembangan kebudayaan yang imanen,
misk berkembang dengan baik sedangkan ilmu
pengetahuan belum dapat berkembang.
Kesadaran manusia dalam mengelola
lingkungan untuk menjaga kelestarian alam
lingkungan telah dimiliki masyarakat lokal di Indonesia
melalui kearifan budaya daerah baik berupa adat
maupun tradisi. Kearifan masyarakat lokal berinkan
kesadaran manusia akan eksistensinya di alam
semesta. Bagi masyarakat lokal alam dan lingkunganmerupakan wilayah yang sakral, berdimensi spiritual
transendental. Jalinan persahabatan dengan alam
dan lingkungan hidupnya diwujudkan dalam berbagai
upacara adat atau upacara religius, yang sarat dengan
makna kehidupan manusia sebagai mikrokosmos dan
alam semesta sebagai makrokosmos. Berbagai bentuk
kearifan tradisional tersebut dihaya, dan diwariskan
secara turun temurun yang membentuk sikap dasar
manusia sehari-hari, seper yang tampak padaberbagai upacara adat masyarakat misalnya acara
bersih desa, rasulan dan pethik laut.
III. Pendekatan Budaya dalam pengelolaan
Lingkungan
Pendekatan budaya dalam pengelolaan
lingkungan diarkan sebagai upaya mencari dan
mengembangkan sumber-sumber kekuatan yang ada
dalam diri manusia, yang dapat dilihat dari adat dan
tradisi masyarakat yang bersifat arif, bertanggung
jawab terhadap alam dan lingkungannya. Kebudayaan
adalah suatu corak hidup dari suatu lingkungan
masyarakat yang tumbuh dan berkembang berdasarkan
spiritual dan tata nilai yang disepaka oleh masyarakat
pendukungnya, oleh karenanya menjadi eksistensial
bagi lingkungan masyarakat tersebut. Hilangnya budaya
suatu masyarakat adalah hilangnya identas dan ja
diri masyarakat yang berar hilang pula keberadaanya
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
8/86
6
sebagai suatu pribadi (Wibowo, 1995).
Manusia adalah makhluk berbudaya dan
budaya manusia penuh dengan simbol-simbol. Dengan
kata lain budaya manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham
yang menekankan atau mengiku pola-pola yang
mendasarkan diri pada sejumlah tanda. Simbolisme
sangat menonjol peranannya pertama-tama dalam
religi. Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk upacara-
upacara religius (Herusatoto,2007).
Ritus atau upacara religius merupakan sarana
yang menghubungkan manusia dengan yang keramat.
Ritual bukan hanya sarana memperkuat ikatan sosial
kelompok dan mengurangi ketegangan, tetapi jugasuatu cara untuk merayakan periswa-periswa
penng yang menyebabkan krisis. Kegiatan upacara
tersebut akan berpengaruh menyatukan semua orang
dalam suatu usaha bersama sedemikian rupa, sehingga
ketakutan dan kekacauan bergerak menjadi ndakan
bersama dan opmisme tertentu. Keseimbangan
hubungan di antaranya semua orang, yang tadinya
kacau, menjadi normal kembali.
Upacara pada masa krisis itu berdasarkananggapan bahwa dalam jangka waktu hidupnya manusia
mengalami banyak krisis dan sering amat menakutkan.
Dalam hal menghadapi masa krisis manusia butuh
melakukan perbuatan untuk memperteguh dan
menguatkan dirinya (Koentjaraningrat, 2006).
Pendapat yang lain (Van Gennep –
Koentjaraningrat, 2006), menyebutkan bahwa upacara
religius secara universal pada azasnya berfungsi
sebagai akvitas untuk menimbulkan kembali
semangat kehidupan sosial antara warga masyarakat.
Ia menyatakan bahwa kehidupan sosial dalam ap
masyarakat di dunia secara berulang, dengan interval
waktu tertentu, memerlukan apa yang disebutnya
”regenerasi” semangat kehidupan sosial seper itu.
Hal ini disebabkan karena selalu ada saat-saat keka
semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai
akibatnya akan muncul kelesuan dalam masyarakat.
Van Gennep juga menyatakan bahwa gejala
turunnya semangat kehidupan sosial itu biasanya
terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, atau
pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian.
Saat itu energi manusia seolah-olah sudah habis
terpakai dalam akvitas sosial selama musim yang
hampir berlalu itu. Untuk menghadapi ap musim
yang baru masyarakat memerlukan ”regenerasi”
semangat kehidupan sosial.
Sikap takut sekaligus bercampur dengan
percaya terhadap hal-hal gaib serta keramat
menyebabkan masyarakat mempunyai sikap serba
religi yaitu suatu getaran yang menggerakkan
jiwa manusia. Selanjutnya keyakinan tersebut
diwujudkan dalam berbagai kegiatan upacara
(ritus). Kegiatan yang serba religi merupakan suatuupaya untuk menjaga keharmonisan dan sekaligus
berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia
gaib lainnya.
Sikap ritual dalam upacara adat dapat dilihat
pada maksud dan tujuannya. Pada umumnya
upacara adat memandang alam, Tuhan dan
menusia sebagai kesatuan ritual. Maksud dan
tujuan ini dalam rangka mensyukuri karunia Tuhan
yang diwujudkan dalam bentuk keberhasilankehidupannya. Misalnya atas hasil panen yang baik,
dan hasil tangkap ikan yang melimpah. Di samping
itu upacara tersebut juga merupakan permohonan
keselamatan kesejahteraan hidup untuk masa yang
akan datang. Semua itu dapat terwujud apabila
kelestarian dan keharmonisan kosmos dan segala
unsur terjaga.
Dalam kepercayaan orang Jawa bahwa
kosmos atau alam semesta ini terdiri atas makro-
kosmos dan mikro kosmos. Suatu keserasian dan
keharmonisan dak hanya diwujudkan dalam
hubungan verkal, antara manusia dengan alam
semesta atau jagad gedhe, tetapi juga dalam bentuk
hubungan horisontal yaitu hubungan manusia
dengan manusia dalam kehidupan sosialnya.
Keselarasan dalam kehidupan masyarakat akan
menjamin kehidupan yang baik bagi individu.
Untuk menjaga keselarasan horisontal tersebut
seseorang wajib melakukan kewajiban-kewajiban
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
9/86
7
Jurnal Widya Prabha 2014
sosialnya. kewajiban sosial dilakukan berdasarkan
pada prinsip rukun dan hormat antara sesama
warga masyarakat (Mulder,2001).
Untuk menjaga hubungan serasi dan
hormat baik verkal maupun horisontal manusia
melakukan upacara adat. Upacara adat merupakan
sikap religius yang dilakukan menurut tata kelakukan
baku. Upacara adat ini akan berlangsung berulang-
ulang baik seap hari, seap musim panen, seap
tahun, pada hari-hari tertentu. Masing-masing
upacara memiliki tata cara yang berbeda-beda di
masing-masing daerah. Namun demikian secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa ada ndakan yang
sama yang dilakukan melipu berdoa, bersujud,bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan
menyanyi, berprosesi, berdrama suci, membisu,
berpuasa, bertapa dan bersemedi. Selain itu
terdapat komponen yang menyertai kegiatan
upacara religi yaitu (Koentjaraningrat, 2006):
tempat upacara, saat upacara, benda upacara, para
pelaku upacara ritual.
Gambaran dunia bagi masyarakat Jawa
yaitu alam merupakan lingkup kehidupan sejakkecil. Irama-irama siang dan malam, musim dingin,
musim kemarau menentukan kehidupan sehari-
hari dan seluruh perencanaannya. Dari lingkungan
sosial-budaya masyarakat belajar bahwa alam
dapat mengancam, tetapi juga memberi berkah
ketenangan bahwa eksistensinya tergantung dari
alam. Pergulatannya dengan alam membantu
orang Jawa untuk meletakkan dasar-dasar
masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya
terhadap alam menentukan ungkapannya dalam
berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara
rakyat (Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat
Jawa, alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib
yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari
padanya ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah
ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan
kehidupannya. Berikut adalah contoh kasus
kegiatan budaya yang dikumpulkan berdasar hasil
pengamatan yang dilakukan di sejumlah tempat
(Wirasan, 2001).
Sejumlah kegiatan budaya (ritual) di
berbagai tempat yang hingga kini masih berlangsung
menggambarkan upaya manusia untuk selalu dekat
dengan alam. Mereka meyakini keberlangsungan
hidup manusia dapat langgeng apabila mampu
”berkomunikasi” yakni menghorma, menghargai
dengan alam. Sonny Keraf (2002) berpendapat alam
mempunyai hak untuk dihorma, dak saja karena
kehidupan manusia tergantung pada alam. Tetapi
terutama karena kenyataan ontologis bahwa manusia
adalah bagian integral dari alam, manusia adalah
anggota komunitas ekologis.
Rangkaian upacara yang dipilih sebagai pusatkegiatan biasanya memiliki ar khusus bagi masyarakat
pendukungnya. Masyarakat di Dusun Gunungbang,
Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul memusatkan
kegiatan di sumber air. Selain itu tempat berupa laut
juga merupakan pusat kegiatan upacara ritual yang
disebut dengan labuhan atau pek laut, contohnya di
sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Berkaitan dengan
hal tersebut ada salah satu tradisi yang populer di Jawa
yang dilakukan saat menjelang perganan tahun, yaitubulan Suro (atau bertepatan dengan 1 Muharam).
Masyarakat Jawa percaya bulan tersebut memiliki ar
khusus, yang terlihat dari berbagai upacara ritual yang
dilakukan. Tradisi turun-temurun menganjurkan bahwa
bulan tersebut saat yang tepat untuk menjalankan laku
prihan. Tujuannya di masa-masa mendatang selalu
dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
Tradisi yang masih dilakukan di lingkungan
kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Mangkunegaran
dalam menyambut tahun baru Jawa atau disebut
tanggap warso dak dengan berpesta pora, melainkan
dengan berbagai laku yang bernilai keprihanan.
Malam menjelang perganan tahun (yang bertepatan
dengan 1 Muharam) masyarakat berbondong-bondong
melakukan prosesi mengelilingi benteng kraton dengan
membisu. Mereka merasakan saat perganan waktu
(tahun) tersebut dengan berjalan keliling dan membisu
memberikan sugges untuk bersikap prihan dan
mawas diri dalam menyongsong awal tahun.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
10/86
8
Ada upacara menyambut perganan tahun baru
Jawa (Sura) atau Muharam dalam kalender Islam, ada
pula upacara ritual menyambut tahun baru Syaka bagi
umat Hindu. Upacara ritual menyambut tahun baru
Syaka yang dikenal dengan Tawur Agung dilakukan
di Dusun Ringintelu, Desa Ngadirenggo, Kecamatan
Wlingi, Kabupaten Blitar.
Tawur Agung yang berar pengorbanan besar
adalah upacara sakral yang berfungsi sebagai ruwatan
bagi alam bumi beserta makhluknya. Upacara ini
ditujukan untuk menjalin hubungan mbal balik antara
manusia dengan alam lingkungan atas kesejahteraan
hidup yang telah dipek oleh manusia dari alam bumi
dan sebaliknya bumi sendiri agar dak atau jangansampai membiaskan dampak negap bagi manusia
yang dapat menyeret ke penderitaan dan kehancuran.
Upacara ini lebih cenderung difungsikan sebagai
ruwatan agung. Secara tradisi upacara dilaksanakan
menjelang perganan tahun baru Syaka sehari
sebelum hari raya Nyepi. Sebelum upacara Tawur
Agung telah dilakukan rangkaian kegiatan beberapa
hari sebelumnya.
Perganan tahun ini didasarkan padapengalihan purnama (Bulan penuh) dan lem (bulan
ma). Arnya perayaan Nyepi dimulai seap awal bulan
kesepuluh atau sehari setelah hari lem yaitu bulam
kesembilan. Menurut perhitungan yang didasarkan
pada peredaran matahari dan bulan mengelilingi bumi
serta perganan musim diperkirakan hari raya Nyepi
jatuh pada bulan Maret. Tepatnya tahun 2010 Masehi
ini hari raya Nyepi jatuh pada hari selasa, 16 Maret
2010.
Beberapa hari sebelum acara Tawur Agung
telah dimulai upacara Melasthi (sesaji untuk air/
lautan) di pantai Balekambang dengan membersihkan
semua peralatan upacara. Puncak acara Tawur Agung
ditandai dengan pemusnahan Bhutakala (ogoh-ogoh).
Ar simbolisnya yaitu gur Bhutakala idenk dengan
penyebab kehancuran moral manusia, selanjutnya
tokoh tersebut dibakar dengan api suci hingga menjadi
abu, yang pada akhirnya abu diambil segenggam untuk
ditabur di masing-masing pekarangan rumah penduduk
sebagai simbol peruwat (mengelola) bumi. Tepat
pada pukul 00.00 tengah malam semua warga
(Hindu) di Wringintelu (Blitar-Jawa Timur) mulai
melaksanakan brata penyepian.
Selanjutnya terkait dengan masalah bahaya
gaib yang mengancam individu dan lingkungan,
masyarakat Jawa mengenal upacara pensucian.
Yang dimaksud dengan upacara pensucian yaitu
upacara yang ditujukan terhadap seseorang untuk
membebaskan dirinya dari segala macam kutukan,
tnah, penyakit. Manusia yang terkena itu akan
berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain manusia terkutuk selalu membuat
onar sehingga suasana dak tentram, dak adalagikeselarasan.
Upacara ritual (upacara pensucian) yang
sekarang dikenal dengan nama ruwatan itu telah
dikenal pada masa Jawa Kuno sekitar abad XI
Masehi. Hal ini antara lain dibukkan dengan
dipahatkannya cerita Sudamala pada candi-candi
abad XI Masehi sampai abad XV Masehi. Contoh-
contoh candi yang memahatkan relief Sudamala
adalah Candi Tigawangi, Candi Panataran, dan candiSukuh. Adanya sejumlah candi yang menampilkan
sebagian adegan dari cerita tentang ruwatan,
merupakan suatu indikasi bahwa kisah tersebut
populer dikalangan masyarakat pendukungnya.
Kepopuleran cerita itu ditambah dengan
adanya sejumlah karya sastra yang memberikan
gambaran tentang kegiatan upacara pensucian.
Karya sastra tersebut diantaranya adalah naskah
Kakawin Sumanasantaka (XXXII 1 –18), Kakawain
Kresnandaka XXV – XXVI), Kakawin Parthayadya IX
1 – 10, 1-12), dan Cerita Nawaruci.
Kisah ruwatan dalam cerita Sudamala telah
melalui kurun waktu berabad-abad, dihaya dan
dimina oleh masyarakat dari angkatan ke angkatan.
Sebagai contoh, masyarakat yang nggal di lereng
bukit Desa Jamulyo, Girimulyo, Kab. Kulon Progo
akhir-akhir ini resah dengan keadaan lingkungan
tempat nggalnya. Curah hujan yang memuncak
akan memicu pergerakan tanah yang akan
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
11/86
9
Jurnal Widya Prabha 2014
mendorong tanah dan perakaran pohon hingga
batangnya condong. Mereka memahami kejenuhan
kadar air dalam tanah akan menyebabkan longsir.
Ancaman tersebut membuat warga resah. Pilihan
masyarakat menghadapi situasi tersebut adalah
melakukan ruwatan bumi. Mayarakat beranggapan
ketenangan ban yang hendak dicarai dalam
ritual ruwatan. Ketenangan jiwa akan memicu
berpikir jernih dan sigap menghadapi berbagai
ancaman bencana. Ritual ruwatan selalu diakhiri
dengan pertunjukan wayang kulit dengan lakon
Murwokolo. Sampai sekarang kisah itu masih
dapat disaksikan melalui pertunjukan wayang kulit.
Sebagai salah satu tradisi yang hidup di dalamtata budaya masyarakat Jawa tentunya dari cerita
tersebut ada suatu simbol dari pandangan hidup
Jawa yang berisi petuah yang ingin disampaikan
kepada ap-ap generasi. Petuah tersebut bersifat
didaks lsafa.
Sifat didaks lsafa dari cerita pensucian
(misalnya cerita Sudamala atau Murwokolo) yaitu
tentang hakekat kehidupan di dunia yang menurut
”pengawikan kejawen ” mempunyai pengeranbahwa hidup haruslah berdasarkan apa yang
dinamakan ”kebenaran”. Ada dua ngkat kebenaran
yaitu kebenaran yang bersifat ketuhanan (kebenaran
ilahi) yang mutlak adanya dan yang juga disebut
kebenaran seja, sedangkan yang lain disebut
kebenaran manusiawi (Timoer,1990). Dijelaskan
lebih lanjut sifat lsafa dari cerita tentang ruwatan
tampak bahwa dalam diri manusia bermukim
dua kekuatan saling berlawanan, yaitu kekuatan
destrukf (nafsu rendah, angkara) yang membawa
manusia menuju kepada hidup sesat, malapetaka,
dan kekuatan kontrukf (budi utama, keluhuran)
yang mengangkat manusia kepada kebenaran.
Manusia sebagai makhluk memiliki kedua kekuatan
berlawanan itu dan selalu dihadapkan kepada suatu
pilihan dilemas (konik) dengan dirinya sendiri.
Dalam berebut pengaruh itu terlihat berdasarkan
cerita ruwatan bahwa kekuatan destrukah yang
agaknya jauh lebih dominan dibandingkan dengan
kekuatan yang konstrukf.
Adapun usaha untuk menghindari dan
menjauhkan diri dari gangguan kejahatan manusia
harus belajar dan mencari ilmu tentang rahasia
kehidupan dunia melalui kearifan serta kebajikan. Dari
cerita-cerita tentang pensucian itulah tampak adanya
cita-cita kesempurnaan hidup yang harmoni, selaras
dengan alam dan lingkungannya. Arnya cerita-cerita
itu mengisahkan perbuatan seseorang yang apabila
berbuat kejahatan, menghina, menghasut, dak jujur
dan sebagainya pas akan mendapatkan hukuman dari
Sang Pencipta. Untuk terbebas kembali dari bebagai
dosa, maka harus dilakukan upacara pensucian
yaitu suatu upacara yang bertujuan membebaskan
seseorang dari berbagai kesalahan, melepaskan diri
dari malapetaka atau menghalau dan mengimbangi
kekuatan jahat yang muncul pada saat-saat tertentu.
Selain sifat didaks lsafa dari cerita tersebut
juga tampak memiliki ar berkaitan dengan moral
dan religi. Nilai moral dan religi yang tampak dari
cerita ruwatan tersebut adalah gambaran dunia Jawa
tradisional. Maksudnya yaitu masyarakat dan alam
merupakan lingkup kehidupan orang Jawa sejak kecil.Irama-irama siang dan malam, musim dingin, musim
kemarau menentukan kehidupan sehari-hari dan seluruh
perencanaannya. Dari lingkungan sosial masyarakat
belajar bahwa alam dapat mengancam, tetapi juga
memberi berkah ketenangan bahwa eksistensinya
tergantung dari alam. Pergulatannya dengan alam
membantu orang Jawa untuk meletakkan dasar-
dasar masyarakat dan kebudayaannya. Kepekaannya
terhadap alam menentukan ungkapannya dalam
berbagai cara, misalnya dengan upacara-upacara rakyat
(Suseno, 1984). Dijelaskan bagi masyarakat Jawa,
alam indrawi merupakan ungkapan alam gaib yaitu
misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari padanya
ia memperoleh eksistensinya. Alam adalah ungkapan
kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya.
Jadi orang Jawa menghadapi dunia sebagai
tempat dimana kesejahteraannya tergantung dari
apakah ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan
kekuatan yang angker itu. Terdapat hubungan yang
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
12/86
10
erat antara sistem sosial-budaya dan alam. Perlu ada
harmoni antara dunia manusia dan dunia alam, antara
dunia ban dan dunia lahir, antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Keka harmoni ini terganggu maka
akan terjadi kekacauan dan bencana. Dengan upacara
dan segala perlengkapanya, maka msayarakat merasa
selamat. Perasaan selamat itu berkaitan dengan
terbebasnya seseorang dari kekacauan tak manusiawi
yang menimbulkan malapetaka. Masalah malapetaka
dikaitkan dengan kedudukan seseorang dalam keadaan
bahaya disebabkan oleh karena orang tersebut
berbuat salah atau berndak melanggar norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat (Mulder,2001.,.
Wirasan,2001).Dengan selesainya pelaksanaan ritus religius
yang telah dilakukan, maka memberi suatu keadaan
psikis tertentu yaitu ketenangan, ketentraman, dan
keseimbangan ban. Niels Mulder (2001) berpendapat
bahwa masyarakat Jawa menganggap bahwa realitas
dak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah dan
tanpa hubungan dengan satu sama lain, melainkan
bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan
menyeluruh. Arnya dunia masyarakat dan alam bagiorang Jawa, kodra bukanlah bidang yang berdiri
sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya
sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan
pengalaman. Terdapat keterkaitan antara masyarakat
dan alam sekelilingnya, masyarakat yang resah akan
membuat makhluk lainnya juga dak aman.
Masih terkait dengan makna ritus religius
tersebut, orang Jawa beranggapan bahwa hidup
manusia sebenarnya dak sendirian, tetapi berada
bersama dengan segala yang ada dijagat raya ini. Oleh
karena itu ia harus menjaga keselarasan dirinya dengan
segala yang ada di sekelilingnya, agar dak mengganggu
penghuni alam lainnya dan agar ia pun dak diganggu
oleh makhluk lainnya pula, termasuk oleh manusia
lain yang hidup bersamanya (Herusatoto,2007).
Ringkasnya pandangan hidup masyarakat Jawa Kuno
selalu mengarah kepada suatu cita-cita untuk dapat
hidup selaras dengan alam sekitarnya, yang dalam
prakteknya diwujudkan dalam ngkah lalu atau
pergaulan yang susila.
Menyir pendapat Anton Neben dalam tulisannya
di sebuah surat kabar (Suara Pembaharuan,
Desember 1999) dengan judul merayakan nilai-
nilai disebutkan kebiasaan merayakan sesuatu
mengasumsikan bahwa orang menaruh perhaan
akan nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan
tersebut. Di tengah runitas hidup sehari-hari,
perayaan tersebut akan membuat kegairahan
hidup terbangkitkan, makna dan paradigma baru
dimunculkan. Perayaan – perayaan yang kental
bernuansa religius, selain mengetengahkan relasi
verkal dengan Yang Ilahi, juga relasi horisontal
baik dengan diri sendiri, sesama, maupun dengan
lingkungan hidup.
Dalam relasi dengan diri sendirinya manusia
menyadari kenyataan bahwa ia masih diperkenankan
ada, hidup dan bernafas. Sejumlah kegiatan ritual
yang dilakukan merupakan bentuk tanggung jawab
manusia untuk tetap menyadari bahwa alam bukan
semata-mata tersedia untuk kepenngan manusia.
IV. Penutup
Keberadaan masyarakat adat beserta seluruh
kekayaan dan nilai-nilai budayanya perlu diakui,
dijamin, dan dilindungi kebebasannya untuk
menunjukkan identas atau menjadi diri sendiri.
Hal ini wajar mengingat kearifan masyarakat lokal
penuh pesan moral dan falsafah hidup yang concern
terhadap alam dan lingkungan. Kearifan tersebut
didasarkan pandangan yang holisk yaitu keinginan
untuk terus menjalin harmoni antara manusia,
alam, dan lingkungan. Citra lingkungan yang penuh
dengan makna kearifan ekologis ini amat penng
untuk membangun kesadaran religiusitas manusia
yang berdimensi spiritual dalam upaya menjaga
kelestarian daya dukung lingkungan. Dengan
kata lain watak dan keutamaan yang baik dalam
kehidupan manusia akan mempengaruhi ngkah
laku seseorang dalam menghadapi dan mengolah
lingkungan hidup di sekelilingnya.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
13/86
11
Jurnal Widya Prabha 2014
Daar Pustaka
Elliot, Robert (ed)., 1955, Environmental Ethics,
Oxford Univ,Press,
Geldern, Heine 1942, Concepons of State and
Kingship in Sout-east Asia, FEO vol 22, hlm
15-39
Herusatoto, Budiono., 2007, Simbolisme dalam
Budaya Jawa, PT, Henindita, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 2006, Masalah-Masalah
Pembangunan Masyarakat Pedesaan di
Indonesia, Jakarta: LP3ES
Keraf, Sonny., 2002, Eka Lingkungan, penerbit
Kompas, JakartaMulder, Niels 1996, Agama Hdup sehari-hari dan
Perubahan, (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
Mulder., Niels (2001),Ruang Ban Masyarakat
Indonesia , Yogyakarta, LKis
Sumadio, Bambang ed., 2007, Sejarah Nasional
Indonesia jilid II, Jakarta: Balai Pustaka
Suhardjo, Drajad., 2004, Mengaji Ilmu Lingkungan
Kraton, Yogyakarta, Sarna Insania Press.Susilo, Eko Budi., 2003, Menuju Keselarasan
Lingkungan, Averroes Perss, Malang.
Suseno, Frans Magnis 1984, Eka Jawa Sebuah
analisis Filsafa Tentang Kebijakan Hidup
Jawa, Jakarta :PT, Gramedia, edisi I
Suhardi 2009, Ritual : Prncaharian Jalam
Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat
Perspekf Antrolopogi, Yogayakrat :Pidato
Pengukuhan Guru Besar Antropologi UGM
Timoer, Soenarto 1990, Ruwatan dipandang dari
sudut lsafat, seminar ruwatan, Yogyakarta:
dak diterbitkan.
*) Sebagian materi diseminarkan dalam Forum
komunikasi Lingkungan Hidup kab.Gunungkidul,2004
dan telah diperbaharui.
**) Penulis adalah Dosen Jurusan Arkeologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Wibowo, Fred., 1995, Budaya untuk Wisata atau
Wisata untuk Budaya, Harian Kedaulatan
Rakyat Oktober , Yogyakarta.
Wirasan, Niken 1992, Mengama Alam Pikir dan
Praktek Keagamaan Masyarakat Jawa Kuna
Melalui Relief Cerita Sri Tanjung dan Sudamala,
Laporan Penelian FIB-UGM, dak diterbitkan.
_________, 2001, “Aspek Budaya Menyangkut Ritual”,
Masyarakat Jawa dalam Keseharian, laporan
Penelian, Fak.ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
Wibowo, Samudra (ed), 1991, Pembangunan
Berkelanjutan, Konsep dan Kasus, PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
The World Commission on Environment andDevolepment, 1987, Our Common Future,
Oxford Univ Press, Oxford.
Peursen, Van 2005 , Strategi Kebudayaan, Yogyakarta :
Yayasan Kanisius.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
14/86
12
Abstract
Gunungapi Merapi sejak ratusan tahun
memiliki ekosistem dan sosiosistem vulkan yang spesik.
Arnya Gunungapi Merapi sebagai sebuah heritage
menyimpan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
haya yang menyatu dengan sosio-kultur masyarakat
di sekitarnya. Dalam sejarahnya, Gunungapi Merapi
terus menunjukkan akvitas vulkaniknya. Meskipun
dampak letusan berpotensi sebagai ancaman, tetapi
tetap saja dalam rentang waktu yang panjang
kawasan tersebut menjadi daya tarik kamunitas untuk
nggal dekat dengan Gunungapi Merapi. Masyarakat
memahami sifat-watak Gunungapi Merapi, dan tanda-tanda alam dipahami masyarakat sebagai sesuatu
yang sakral yaitu kekuatan-kekuatan yang berjiwa,
yang harus di horma. Sikap hormat menjadi prinsip
dan panduan hidup sehari-hari dalam upaya menjaga
harmoni antara manusia dan alam lingkungannya.
Potensi yang beragam menjadikan Gunungapi
Merapi saat ini rentang terhadap eksploitasi oleh
berbagai pihak dan pada saatnya akan memicu
terjadinya degradasi lingkungan. Pilihannya adalah
mengelola Gunungapi Merapi dengan semangat
konservasi. Oleh karena konservasi kawasan
merupakan proses publik, maka dalam pelaksanannya
harus melibatkan masyarakat setempat, karena
mereka memiliki pengetahuan lokal yang telah
mentradisi dan terbuk mampu menjaga dan
mengelola Gunungapi Merapi tetap lestari. Kata kunci
: Geoheritage, persepsi, Konservasi.
I. Pendahuluan
Indonesia mempunyai deretan gunungapi
akf sebagai bagian dari “Cincin Api Pasik” (Ring
of Fire on Pasic Rims), Gunungapi Merapi yang
terletak di dua wilayah (Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Ismewa Yogyakarta) merupakan salah satudari gunungapi akf dan dampak erupsinya sering
mengakibatkan banyak korban baik harta benda
maupun jiwa. Gunungapi Merapi memiliki potensi
ancaman bencana yang rata-rata seap 3-5 tahun
sekali menunjukkan akvitas dengan produknya
berupa aliran lava, awan panas (wedhus gembel),
hujan abu, dan bahaya sekunder berupa gerakan
massa tanah dan banjir lahar. Produk tersebut
jelas merupakan ancaman bagi jiwa manusia, dandisisi lain gunungapi Merapi menyimpan potensi
semberdaya alam yang sangat dibutuhkan untuk
bahan pembangunan (bahan galian tambang),
pertanian-peternakan, dan sumber air untuk
masyarakat setempat dan sekitarnya bahkan
untuk wilayah lainnya. Oleh karena itu walaupun
penduduk dibayang-bayangi oleh bencana letusan
Gunungapi Merapi, tetapi tetap menjadi pilihan
untuk bertempat nggal pada di lereng kawasan
Gunungapi Merapi.
Dalam sejarah kebudayaan menunjukkan
kawasan Gunungapi Merapi telah menjadi hunian
masyarakat dibukkan dengan data arkeologis
berupa candi yang diasumsikan bangunan tersebut
milik komunitas pendukungnya untuk beribadah.
Bahkan pesanggrahan-pesanggrahan masa Mataram
Islam yaitu milik Kraton Surakarta dan Yogyakarta.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
Gunungapi Merapi dalam dimensi ruang dan waktu
Geoheritage Gunungapi Merapi yang Kharismak :
Masalah Persepsi dan Konservasi Ekosistem*
Oleh :Andi Sungkowo **
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
15/86
13
Jurnal Widya Prabha 2014
menjadi ikon bagi masyarakat pendukungnya,
meskipun kawasan tersebut dekat dengan bencana.
Buk-buk di lapangan menunjukkan akvitas
Gunungapi Merapi mengubur hampir semua
temuan purbakala yang ada dikawasan tersebut.
Pada masa Mataram Islam posisi Gunungapi Merapi
menjadi penng terkait dengan pembangunan
keraton Yogyakarta.
Kawasan Gunungapi Merapi sebagai
kawasan pelestarian alam adalah sebuah langkah
yang mudah dipahami oleh berbagai pihak
mengingat peran penngnya sebagai fungsi
ekologis, fungsi ekonomis, dan fungsi sosial-budaya.
Pada tahun 2002 menjadi pusat perhaan parapemerha dan ahli lingkungan, juga masyarakat
khususnya masyarakat yang nggal di lereng
Gunungapi Merapi, karena adanya surat keputusan
dari Pemerintah (Departemen Kehutanan) yang
mengeluarkan penetapan (SK No 134/MENHUT –
II/2004) kawasan Gunungapi Merapi sebagai Taman
Nasional Gunungapi Merapi (TNGM). Munculnya
penetapan tersebut karena Gunungapi Merapi
berfungsi sebagai hutan lindung, cagar alam, danhutan wisata sehingga layak untuk dikembangkan
menjadi Taman Nasional yang dalam UU Nomer 5
tahun 1990 diidenkan dengan kawasan pelestarian
alam. Rencana TNGM tersebut tampaknya dak
mudah dipahami masyarakat, dibukkan dengan
bentuk penolakan terhadap rencana tersebut.
Masyarakat memiliki persepsi tentang melindungi
kawasan Gunungapi Merapi.
Memahami persepsi masyarakat tentang
lingkungannya dan bagaimana harus mensikapi
persepsi tersebut tampaknya belum populer untuk
dak mengatakan sulit. Kesulitan memahami
persepsi masyarakat akan menjadi kendala dalam
upaya menjadikan Gunungapi Merapi sebagai
kawasan konservasi dalam wujud Taman Nasional.
Terkait dengan hal itu dalam tulisan ini akan diulas
bagaimana memahami geoheritage Gunungapi
Merapi dan peranannya dalam upaya mengelola
kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan
konservasi.
II. Geoheritage Merapi
Bagi ahli vulkanologi, tulisan terkait dengan
akvitas Gunungapi Merapi sudah cukup banyak.
Catatan sejarah letusan Gunungapi Merapi ditentukan
berdasarkan pemetaan distribusi endapan hasil
letusan, sehingga dapat disusun teprosragra
atau urutan perlapisan produk letusan gunung
tersebut (Andreastu, 2009). Adapun menurut
Camus, dkk (2000) dalam Bahagiar (2002) mencatat
evolusi vulkanik Gunungapi Merapi menghasilkan
batuan dengan karakterisk spesik dalam seapperiodenya. Selanjutnya dijelaskan letusan periode
kegiatan Gunungapi Merapi dapat dibagi menjadi
empat periode, yaitu periode Pre Gunungapi Merapi
menghasilkan lava; ancient Gunungapi Merapi
menghasilkan lava yang membentuk gunung bibi; auto
breksia lava dan endapan lahar; middle Gunungapi
Merapi menghasilkan endapan lava batulawang dan
gajah mungkur, lava andesik yang tebal dipisahkan
oleh sesar kukusan umur 2200 - 14.000; recentGunungapi Merapi menghasilkan endapan lava pis
dan endapan awan panas dan lahar umurnya 1000
tahun hingga 2000 tahun; dan modern Gunungapi
Merapi mempunyai kegiatan yang sangat khas yang
disebut pe Gunungapi Merapi. Di sisi lain Gunungapi
Merapi menangkap, menyimpan, dan mengalirkan
air bersih dalam batuannya dalam jumlah besar,
membentuk sistem hidrologi yang sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Gunungapi Merapi dan sekitarnya.
Gunungapi Merapi merupakan gunungapi
strato, mempunyai karakterisk berkaitan dengan
pertumbuhan dan gugurnya kubah lava yang
menghasilkan gas beracun solfatara (S2) di sekitar
kepundan, juga awan panas yang oleh masyarakat
disebut Wedhus Gembel (glowing cloud). Selain
sifat letusan eksplosif tersebut, juga letusan eusive
ditandai dengan lelehan lava pijar. Jika dimusim
penghujan berpotensi terjadi lahar.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
16/86
14
Banyak ahli berpendapat Gunungapi Merapi
itu eksos sekaligus memiliki karakterisik unik
dibandingkan dengan gunungapi lainnya yaitu keka
akvitasnya meningkat berupa asap yang selalu
mengepul, wedhus gembelnya yang membahana,
hingga lava pijarnya yang menyala. Fenomena tersebut
sesungguhnya sangat indah dipandang, tetapi juga
menakutkan. Karakterisk tersebut dipersepsikan
masyarakat Gunungapi Merapi memiliki nilai
kharismak sehingga banyak cerita-cerita misk, atau
folklor yang kini tetap hidup dan hadir dalam kehidupan
sehari-hari masyarakatnya. Berbagai fenomena
terkait dengan akvitas Gunungapi Merapi sering
dipersepsikan dengan hal-hal yang sifatnya irasional.
Namun dibalik ungkapan-ungkapan yang terkesan dak
logis tersimpan makna bentuk kesadaran masyarakat
dalam menghaya kekuatan-kekuatan adikodra.
Sikap dan persepsi masyarakat yang
menganggap Gunungapi Merapi adalah gunungapi
yang berkharisma telah berlangsung lama, dibukkan
adanya peninggalan Mataram Kuna (Hindu-Buddha)
dan Mataram baru (Islam) yang tersebar di lereng
tengah, dan lereng bawah Gunungapi Merapi. Gunungdalam banyak kebudayaan dihaya sebagai tempat
yang nggi, tempat yang paling dekat dengan dunia
atas, tempat yang nggi disimbolkan dengan segala
yang mulia dan yang menguasai sekitarnya. Para
leluhur (dewata) selalu dibayangkan hidup dalam
wilayah puncak-puncak gunung. Dari sumber tertulis
dikisahkan para kawi mempersonikasikan gunung
untuk menggambarkan karyanya dan merasakan
bahwa alam pada dasarnya bersatu dengannya
(Mangunwijaya, 1995, Wirasan, 2009).
Buk-buk arkeologis berupa candi, prasas,
dan data toponim menunjukkan adanya sejumlah
peninggalan purbakala abad VIII dan abad XVII –
awal abad XVIII tersebar di lereng tengah – hingga
bawah Gunungapi Merapi (Sumadio, 1984; Wirasan,
2000, 2009). Dalam sejarahnya kawasan yang pernah
menjadi wilayah kerajaan Mataram Kuna itu mengalami
kehancuran akibat akvitas vulkanik Gunungapi
Merapi. Semua candi di temukan rusak dan sebagian
terbesar terpendam abu vulkanik.
Masih di lereng gunungapi Gunungapi
Merapi, masuk wilayah Boyolali terdapat
pesanggrahan dan pelasan Paku Buwono X yaitu
Pesanggrahan Pracimoharjo, pelasan Tapak Noto
dan Susuh Angin. Pada masa pembangunan kraton
Yogyakarta, keberadaan Gunungapi Merapi terkait
dengan kosmologi Kraton, yaitu dunia ini terdiri
atas lima bagian. Bagian tengah kraton Yogyakarta
sebagai pusatnya, bagian utara gunungapi
Gunungapi Merapi, bagian mur Gunung Semeru,
bagian selatan Laut Selatan dan bagian barat di
Sendang Ndlepih di Gunung Menoreh.
Gunungapi Merapi memiliki potensi
sumberdaya haya dan non haya, dan kultur
misalnya hutan, sumber air, binatang, dan sejumlah
pelasan, yang bagi masyarakat Gunungapi Merapi
tempat-tempat tersebut dipercayai sebagai
tempat-tempat yang dijaga oleh makhluk halus,
sehingga terdapat sejumlah pamali yang harus
dihorma. Cara masyarakat menghorma adalah
mentaa pantangan untuk dak menebang pohon,
merumput, berburu, mengucapkan kata-kata kotor,mengumpat, buang air besar dan kecil di tempat-
tempat yang dianggap angker.
Tempat-tempat yang diangap angker,
diantaranya kawah Gunungapi Merapi yang
dianggap sebagai keraton makhluk halus, ke arah
bawah terdapat suatu tanah lapang dengan batuan
dan pasir yang dipercayai sebagai Pasar Bubrah.
Selain itu terdapat Gunung Wutoh yang dianggap
sebagai pintu gerbang utama Kraton Gunungapi
Merapi. Cara masyarakat berinteraksi dan sekaligus
menjaga harmoni dengan lingkungan Gunungapi
Merapi yaitu dengan melakukan upacara adat,
diantaranya Sedekah Gunung, Selamatan Ternak,
Selamatan Selasa Kliwon, Selamatan Mencari
orang Hilang, upacara Merawat Kali dan selamatan
menghadapi Bencana Gunungapi Merapi.
Manusia dalam berinteraksi dengan
lingkungan akan banyak memperoleh pengalaman
sehingga pada akhirnya memperoleh gambaran
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
17/86
15
Jurnal Widya Prabha 2014
tentang lingkungan hidup sekelilingnya, yaitu
bagaimana lingkungan berfungsi dan bagaimana
berbagai fenomena alam bereaksi terhadap
berbagai perubahan. Secara sosiokultural
masyarakat Gunungapi Merapi khususnya di
lereng selatan (Yogyakarta) mempercayai bahwa
Gunungapi Merapi dan dinamikanya terkait dengan
pandangan supranatural. Pandangan ini kemudian
menjadi mitos yang membuat mereka terlindungi,
aman, termasuk letusannya. Mitos supranatural
Gunungapi Merapi dak hanya bewujud simbol
dan pandangan hidup masyarakat lokal, melainkan
juga menjadi suatu keyakinan yang membangun
interaksi dinamis kuat dan membentuk etos kerja
(Ghazali, 2008).
Masyarakat sekarang ini masih tetap
menganggap bencana yang berasal dari Gunungapi
Merapi disikapi oleh masyarakat sebagai takdir
yang harus diterima. Kesadaran masyarakat
dalam menghaya kekuatan-kekuatan adikodra
menunjukkan kesatuannya dengan tata lingkungan
yang memandang individu atau komunitas sebagai
bagian integral dari alam sekitarnya. Masyarakatterus menjalin dengan lingkungannya dan
membentuk ikatan dan relasi dengan ekosistemnya.
Sikap hormat dan menjaga hubungan baik dengan
lingkungan menjadi prinsip moral yang selalu
dipatuhi dan dijaga dengan berbagai ritus dan
upacara religius- adat (Wirasan, 2002).
Tanda-tanda alam terkait dengan akvitas
Gunungapi Merapi merupakan pengetahuan yang
mengarahkan masyarakat Gunungapi Merapi untuk
bersikap tetap bertahan di lokasi tempat nggalnya
atau menjauh menghindar dari akvitas Gunungapi
Merapi. Persepsi yang sangat kuat tersebut mampu
menjadi panduan kehidupan mereka secara turun
temurun. Untuk itulah Gunungapi Merapi layak
disebut sebagai geoheritage karena kekhasannya
yang selalu menarik untuk terus dikaji dari
berbagai sisi, baik dari aspek geosik maupun dari
sosiokultural masyarakatnya.
III. Memahami Persepsi Masyarakat dan
Konservasi Ekosistem Gunung Merapi
Secara sosio-kultural masyarakat lereng
Gunungapi Merapi memiliki sejumlah pengetahuan
lokal dalam memahami berbagai fenomena alam
termasuk persepsinya terhadap akvitas Gunungapi
Merapi. Tanda-tanda alam yang ditemui sehari-hari
menciptakan berbagai bentuk interaksi manusia
dengan alam lingkungan yang harmonis, dan
merupakan pedoman hidup dan budaya yang menarik.
Dari interaksinya dengan lingkungan tempat mereka
hidup, menghasilkan berbagai pengalaman dan citra
lingkungan hidupnya, dan memberikan serangkaian
petunjuk mengenai perilaku yang akan mereka lakukan
terhadap lingkungan (Sumarwoto, 1998).
Persepsi masyarakat tentang akvitas
gunungapi Gunungapi Merapi dan sekaligus
lingkungannya menunjukkan bahwa persepsi
tersebut terikat oleh budaya (culture–bound).
Arnya bagaimana kita memaknai pesan, obyek,
atau lingkungan bergantung pada sistem nilai yang
kita anut. Oleh karena persepsi berdasarkan budaya,maka persepsi seseorang atas lingkungannya bersifat
subyekf. Semakin besar perbedaan nilai-nilai budaya
antara dua pihak, semakin besar pula perbedaan
persepsi mereka terhadap realitas. Tedapat unsur-
unsur budaya yang mempengaruhi persepsi yakni, 1)
kepercayaan (belief ), nilai (values), dan sikap (atudes),
2) pandangan dunia (worldview ), 3) organisasi sosial
(social oganizaon), 4) tabiat manusia (human
nature), 5) Orientasi kegiatan (acvity orientaon), 6)
persepsi tentang diri dan orang lain ( persepon of self
and other) (Mulyana. 2009). Berdasarkan pengeran
tersebut persepsi masyarakat Gunungapi Merapi
dipengaruhi kepercayaan, pengetahuan dan nilai-
nilai yang telah mereka kenal secara turun-temurun,
semuanya tentang alam lingkungan sekitar Gunungapi
Merapi.
Menyadari bahwa perbedaan nilai-nilai budaya
suatu masyarakat akan berbeda pula persepsinya
terhadap fenomena alam dan lingkungannya. Untuk
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
18/86
16
itu bagi masyarakat luar yang memiliki nilai budaya
berbeda dengan masyarakat Gunungapi Merapi,
pas akan kesulitan memahami kondisi realitas
masyarakat Gunungapi Merapi, yang menurut mereka
kurang rasional. Wajarlah kalau pada waktu muncul
gagasan menjadikan Gunungapi Merapi menjadi
TNGM terjadi penolakan oleh warga masyarakat
Gunungapi Merapi. Penolakan masyarakat antara lain
karena rencana tersebut tergesa-gesa dianggap dak
demokras, dak transparan, dan dak parsipaf.
Selain itu tercetus juga persepsi berupa kekhawaran
masyarakat setempat dak dapat lagi atau dibatasi
aksesnya menuju lokasi-lokasi yang biasanya menjadi
ajang berkumpulnya warga dalam berbagai upacaraadat, dan masyarakat petani-peternak dak dapat
merumput untuk pakan ternak.
Ide membenahi, dan melestarikan ekosistem
Gunungapi Merapi tentunya dak salah, karena
dilandasi spirit konservasi. Pengeran konservasi
berar menyelamatkan, melindungi, melestarikan,
dan menyimpan. Dalam konteks perlindungan dan
pengelolaan terhadap fungsi Gunungapi Merapi dan
budaya yang berlangsung padanya dengan pendekatankonservasi, maka Gunungapi Merapi sebagai suatu
ekosistem yang utuh, tentunya memiliki dinamika
geosik spasial. Jika dalam konteks ekologi bahwa salah
satu sistem dak berfungsi, maka siklus pemulihan
sumberdaya haya akan menjadi kendala. Degradasi
yang terjadi pada ekosistem dan ekologi akan berujung
pada bencana. Keberfungsian sistem ekosistem
Gunungapi Merapi, bergantung pada daya dukung.
Sebelum semuanya terlambat gagasan menjadikan
Gunungapi Merapi sebagai kawasan konservasi adalah
tepat, namun dalam pelaksanaannya tampaknya dak
sederhana. Silang pendapat baik yang pro maupun
yang kontra terus terjadi saat ditetapkan sebagai Taman
Nasional Gunungapi Merapi (TNGM), dan bukan Cagar
Alam, Taman Hutan Raya, Suaka Margasatwa, atau
lainnya. Bahkan ada yang mengusulkan Gunungapi
Merapi menjadi Laboratorium Alam Lingkungan Hidup
(Bronto, 2002).
Rencana mewujudkan Gunungapi Merapi
dengan Format Taman Nasional disinyalir mengacu
kesepakatan Internatonal Union for Conservaon of
Nature and Natural Resaurces (IUCN) 1994a, format
tersebut dianggap dak sesuai apabila diterapkan di
gunungapi Gunungapi Merapi. IUCN mendenisikan
taman nasional sebagai kawasan yang dilindungi,
daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah
konservasi habitat dan margasatwa, lanskap yang
dilindungi, dan area perlindungan sumberdaya.
Peraturan Pemerintah Nomer 68 Tahun 1998 pasal
1 angka 6, menyebutkan kawasan Taman Nasional
adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk keperluan penelian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Perlindungan dan pengelolaan fungsi
Gunungapi Merapi perlu disesuaikan dengan
kondisi komunitas lokal Gunungapi Merapi dengan
memahami sumberdaya dan pengetahuan lokal
masyarakat. Arnya dalam perlindungan dan
pengelolaan perlu mengadaptasi pengetahuan lokalmasyarakat yang selama ini memiliki ikatan ban
kuat dengan alam lingkungan Gunungapi Merapi,
dan ikatan ban tersebut mampu memunculkan
tanggungjawab untuk menjaga Gunungapi Merapi.
Masyarakat telah membukkan melalui perilaku
penuh tanggung jawab, sikap hormat dan peduli
terhadap sumberdaya di sekelilingnya, dan hal itu
telah menjadi prinsip yang dianut secara turun-
temurun. Masyarakat meyakini perilaku yang
selaras dan serasi mampu menjaga keutuhan
ekosistem Gunungapi Merapi. Mudah-mudahan
dak ada peubah dari luar ekosistem Gunungapi
Merapi yang mempengaruhi kondisi tersebut,
berdasarkan kepenngannya.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
19/86
17
Jurnal Widya Prabha 2014
IV. Penutup
Gunungapi Merapi sebagai geoheritage
memiliki ekosistem yang menyatu dengan
sosiokultur masyarakatnya yang spesik. Dalam
dimensi ruang dan waktu ekosistem Gunungapi
Merapi tetap menarik perhaan masyarakat
untuk menjadi tempat hunian, meskipun kawasan
tersebut dekat dengan ancaman akvitas
gunungapi. Catatan sejarah menujukkan sejak masa
kerajaan Mataram Hindu pada abad VIII Masehi
dan Kerajaan Mataram Islam (XVI Masehi) memilih
ekosistem Gunungapi Merapi menjadi pilihan untuk
membangun bangunan permukiman dan bangunan
ritual (misalnya candi, keraton dan pesanggrahan).
Hubungan antara komunitas dengan sumberdaya
alam dan lingkungan yang berlangsung di
Gunungapi Merapi apabila kurang memperhakan
karakterisknya akan mengakibatkan penurunan
kualitas sumberdaya dan lingkungannya.
Kultur masyarakat dalam berinteraksi
dengan Gunungapi Merapi terus berlangsung
dan memunculkan pandangan yang sifatnyasupranatural, diwujudkan dengan sejumlah cerita
miss, cerita-cerita rakyat, dan tata upacara adat dan
tradisi. Gunungapi Merapi akhirnya menjadi mitos
yang menurut persepsi masyarakat tetap aman dan
nyaman sebagai hunian, bahkan bersahabat dengan
bencana letusan Gunungapi Merapi. Pengetahuan
yang menyeluruh tentang Gunungapi Merapi baik
yang ilmiah (Vulkanologi) dan pengetahuan lokal
yang dikonstruksi oleh komunitasnya menjadikan
Gunungapi Merapi sebagai sebuah geoheritage
yang terus berkharisma. Sudah seharusnya menjaga
kelestarian fungsi lingkungan Gunungapi Merapi,
bercermin pada perilaku arif komunitas yang hidup
dan berlangsung di kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andreastudi, SD, Stragraphy and Geochemestry of
Gunungapi Merapi Volkano, Central Java:
Implikaon for Assesssment of Volkanic
Hazards. Ph. D University of Aukland Zealand.
Anonim, 2001, Rancangan Pengembangan Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi Propinsi
DIY, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Prop
DIY, dak dipublikasikan.
Anonim, 2002, Sekitar Pengeran dan Persepsi Taman
Nasional Gunung Gunungapi Merapi, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Prop DIY, dak
dipublikasikan.
Bahagiar K, 2002, “Gunungapi Merapi Sebagai
Sumberdaya Hidrogeologi”, harian Kedaulatan
Rakyat, 28 September.
Bronto S, “Gunungapi Merapi Sebagai Laboratorium
Alam Lingkungan Hidup”, Harian Kedaulatan
Rakyat, 30 September 2002
Ghozali I., 2008, Pasag Gunungapi Merapi, : Kebijakan
Lokal Pengelolaan Bencana; Pola Penanganan
Darurat Letusan Gunungapi Merapi,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rais J., 2004, Menata Ruang Laut Terpadu , Jakarta;
Pradnya Paramita
Setyawa K, Wiryomartono K, Willem van der Molen,
2002, Katalog Naskah Gunungapi Merapi-
Merbabu , Yogyakarta : Penerbit Universitas
Sanata Darma
Sumadio B, ed al, 1984, Sejarah Nasinal Jilid II , Jakarta
: Penerbit Jambatan.
Sumarwoto O., 1989, Ekologi, Lingkungan Hidup dan
Pembangunan , Jakarta : Penerbit Djambatan.
Manunwijaya, 1995, Wastu Citra , Jakarta: Gramedia
Mulyana D., 2009; Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar ,
Bandung ; Remaja Rosdakarya
Noordyn, 1982, Bujangga manik’ Journeys Through Java
: Topographical Data From An Old Sundanese
Source, BKI S -Gravenhage – Marnus Nijho,
Deel 138, h. 413-442
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
20/86
18
Wirasan Niken., 2000, Pemanfaatan Sumberdaya
Lingkungan Pada Masa Mataram Kuna abad
IX-X Masehi (Studi Kasus Wilayah Prambanan
dan Sekitarnya), Tesis Pascasarjana UGM.
Wirasan Niken., 2009, “Cara Pandang Pengetahuan
Lokal Masyarakat Kawasan Gunungapi Merapi
Sebagai Komunitas Ekologis “, Jurnal Sejarah
dan Budaya Vol IV no.7 Juni, hlm 572-583
Wiryomartono Ign. K, 1987, Arjunawiwaha,
Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat tanggapan
dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa,
Disertasi UGM,
Wiryomartono Ign. K, 1990, The Scriptoria in
the Merbabu- Gunungapi Merapi, BKI ,
‘S-Gravenhage – Marnus Nijho , Deel 130 h
502-509.
* Arkel ini disampaikan dalam seminar Vise Ulizaon
of Mineral, Energy and Geoheritage for Prosperity. 3rd
Indonesia-Malaysia Joint Conference, di UPN Veteran-
Yogyakarta 6-8 Oktober 2010 .
** Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Lingkungan,
Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran” Yogyakarta.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
21/86
19
Jurnal Widya Prabha 2014
ABSTRACT
Physically the Borobudur and
Prambanan temple area and surround are
included in the Temple Tourism Park (TTP).
This TTP managed by PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan one of State-Owned
Enterprises (Badan Usaha Milik Negara/BUMN),
the Ministry of Tourism and Creative-Economy.
However, there are some academic problems
which need to be re-examined for the benet
of future professional management. Several
archaeological problems that are required to
re-assesment are the datas that related to
stupika and tablet, remains Bodhisatwa statue,fragments of pottery and ceramics in southwest
of Borobudur temple. In the Temple Tourism
Park of Prambanan area, there is a concept of
Mandala at Sewu temple complex. The question
is, whether borders of Prambanan Temples
Tourism Park is correct? Hopefully the study
and reinterpretation as mentioned above will
provide a “healthier” contribution to the revitalize
the Borobudur and Prambanan Temples TourismPark area.
Key words: Borobudur and Prambanan Temples
Tourism Park, archaeological problems,concept
of mandala, reinterpretation, revitalization.
I. PENDAHULUAN
Kawasan percandian Borobudur dan
Prambanan serta candi – candi yang ada diantara
kedua kompleks percandian tersebut sejak tahun
1991 oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai
situs cagar budaya dunia (World Heritage Site)
dengan nomor : 592 th. 1991 (Candi Borobudur)
dan 642 th. 1991 (Candi Prambanan). Bagi
bangsa Indonesia pengakuan dunia tersebut
merupakan salah satu kebanggaan yang patut
disyukuri. Sebagai salah satu obyek wisata
budaya berskala internasional, Taman Wisata
Purbakala Candi Prambanan – Sewu ini menjadi
Daerah Tujuan Wisata yang potensial bagi
pemerintah maupun masyarakat.Mengingat potensi situs cagar budaya,
serta agar situs tersebut dapat dipertahankan akan
pengakuan dunia internasional sebagai world
heritage site, maka perlu diberikan dukungan
yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai
situs cagar budaya dunia. Salah satu dukungan
yang dapat diberikan adalah dukungan akademis
yang terkait dengan kondisi sik kawasan situs
cagar budaya dunia kompleks percandian
Prambanan – Sewu. Adapun dukungan akademis
yang dimaksud ialah mencari batas – batas situs
Candi Sewu berdasarkan konsep mandala yang
diperkirakan belum dijadikan pertimbangan
dalam menentukan kawasan cagar budaya
dunia tersebut.
REINTERPRETASI DAN REVITALISASI KOMPLEKS TAMANWISATA CANDI BOROBUDUR DAN PRAMBANAN :
“Sebuah usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi terintegrasi”
Oleh:
Gunadi Kasnowihardjo*
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
22/86
20
II. TAMAN WISATA CANDI BOROBUDUR
Sejak awal abad XIX AD di dalam
sejarah kesenian Eropa Candi Borobudur
dikenal sebagai salah satu puncak karya
seni dari ajaran agama Budha Jawa. Candi
yang dibangun pada abad VIII AD ini sempat
beberapa abad tenggelam dan terlupakan
hingga seluruh bangunannya tertutup tanah dan
semak belukar. Setelah kurang lebih selama
1000 tahun yaitu pada tahun 1907 Masehi CandiBorobudur diketahui oleh Th. Van Erp seorang
sarjana berkebangsaan Belanda yang waktu itu
datang ke Indonesia bersama dalam kesatuan
tentara kolonial. Candi Borobudur kemudian
digali dan dibersihkan, di bawah kepemimpinan
Van Erp inilah selanjutnya dilakukan penelitian
dan pemugaran Candi Borobudur hingga tahun
1911. Kegiatan pemugaran yang dilakukan pada
saat itu yang paling penting yaitu rekonstruksi
lantai selasar yang telah mengalami penurunan
atau kemlesakan yang cukup siknikan. Hingga
saat ini oleh para peneliti dan pemerhati CandiBorobudur lantai tersebut dikenal sebagai “lantai
Van Erp”. Sejak saat itu pula Candi Borobudur
dikenal masyarakat secara luas bahkan hingga
mancanegara dan bahkan dikenal sebagai salah
satu dari 9 keajaiban dunia.
Perlu disadari oleh kita semua bahwa
keberadaan Candi Borobudur yang terletak di
wilayah Kabupaten Magelang ini tidak dapat
dipisahkan dengan candi-candi dan bangunankuna lain yang ada di sekitarnya. Demikianpula
dengan masyarakat dan lingkungannya. Sebagai
candi terbesar di Indonesia yang berlatar
belakang agama Budha, diperkirakan candi
Borobudur merupakan pusat pengembangan
agama Budha di Indonesia. Oleh karena itu
keberadaan candi ini tentu saja didukung oleh
berbagai aktivitas termasuk didalamnya adalah
berbagai fasilitas pendukungnya. Tinggalan lain
seperti Candi Mendut dan Candi Pawon serta
Sumber : hp://townsofusa.com
CandiBorobudur
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
23/86
21
Jurnal Widya Prabha 2014
data lain seperti misalnya umpak-umpak batu
yang diperkirakan bekas alas tiang bangunan
profan yang digunakan sebagai tempat istirahat
oleh para peziarah atau para pendeta termasuk
lingkungan Borobudur yang perlu diperhatikan.
Demikian pula dengan keberadaan masyarakat
dan lingkungan alamnya, selama ini kurang
diperhatikan oleh pengelola kawasan wisata
Candi Borobudur.
Sudah lebih dari dua dasawarsa kawasan
Candi Borobudur dijadikan kawasan Taman
Wisata dan dikelola oleh PT. Taman Wisata
Candi Borobudur & Prambanan salah satu
BUMN dibawah Kementerian Pariwisata danEkonomi Kreatif. Dalam pengelolaan kawasan
Candi Borobudur ini ada sesuatu yang perlu
saya ingatkan yaitu bergesernya konsep “Taman
Purbakala” menjadi “Taman Wisata” diawali dari
pergeseran konsep inilah akhirnya dikemudian
hari muncul berbagai persoalan terkait dengan
pengelolaannya. Memperhatikan beberapa hal
seperti tersebut di atas, maka dalam pengelolaan
kawasan wisata Candi Borobudur kedepan perludiperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Secara akademis, mengembalikan
“potensi” atau konteks arkeologis Candi
Borobudur baik dalam skala mikro, meso
ataupun makro. Dalam skala mikro
misalnya beberapa data artefaktual yang
ditemukan di sekitar halaman candi baik
dari ekskavasi maupun survey. Konteks
dalam skala meso antara lain data
toponimi, sumberdaya alam sekitar, dan
informasi dari berbagai referensi maupun
legenda yang berkembang tentang Candi
Borobudur. Sedangkan konteks dalam
skala makro misalnya hubungan antara
Candi Borobudur, Mendut dan Candi
Pawon, serta objek-objek lain baik yang
berupa artefak maupun nonartefak.
2. Apabila pertimbangan akademis ini dapat
dikaji kembali, maka upaya pelestarian
pusaka budaya dan pengelolaan Candi
Borobudur beserta lingkungannya akan
dapat ditata kembali terutama dalam
melibatkan peran serta masyarakat di
sekitar kawasan Borobudur.
3. Pedagang asongan perlu disebar di
beberapa titik dengan jumlah yang
rasional di masing-masing titik, sehingga
kondisi pedagang asongan tidak terkesan
semrawut.
Inilah impian saya cepat atau lambat
mudah-mudahan impian ini akan menjadi
kenyataan, amin.
III. TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN
Walaupun secara sik kawasan
percandian Prambanan – Sewu dan candi – candi
yang berada diantaranya telah dikemas menjadi
bagian dari Taman Wisata Candi Prambanan
yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan salah satu BadanUsaha Milik Negara (BUMN) Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, akan tetapi secara
akademis masih terdapat berbagai permasalahan
yang perlu dikaji, diteliti, dan diluruskan demi
pengelolaan di masa yang akan datang yang
lebih profesional. Beberapa permasalahan
arkeologis yang perlu dikaji kembali antara lain
tentang konsep mandala pada kompleks Candi
Sewu. Seingat penulis, yang saat itu ikut menjadi
salah satu anggota tim penelitian arkeologi,
konsep mandala Candi Sewu belum dijadikan
pertimbangan dalam menentukan seberapa
luas areal yang dibutuhkan untuk Taman Wisata
Candi Prambanan. Bahkan tinggalan lain yang
ditemukan saat penelitian yang merupakan data
baru seperti misalnya konstruksi stupa perwara
dan sisa-sisa pagar ketiga yang terletak di
sebelah Timur Candi Sewu, tidak masuk dalam
“perhitungan dan pertimbangan”.
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
24/86
22
Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
yang dalam kamus Jawa Kuna – Inggris dapat
diartikan sebagai: anything round, disk, circle,
orb, ring, circumference, district, teritory,
province, country, multitude, collection, whole
body (Zoetmulder, P.J. 1982: Hal. 1099).
Secara sederhana Dr. Riboet Darmosoetopo
mengartikan mandala adalah kawasan atau
lingkup keagamaan yang diekspresikan
secara sik berupa bangunan – bangunan
keagamaan dan dapat pula melambangkan
sebuah kekuasaan (wawancara langsung
dengan Dr. Riboet Darmosoetopo, 12 Mei
2010). Berdasarkan pengertian di atas, makakeberadaan Candi Gana di sebelah Timur, Candi
Bubrah di Selatan, Candi Kulon (?) di Barat, dan
Candi Lor di sebelah Utara diperkirakan sebagai
bagian dari mandala candi Sewu. Namun
demikian, dalam pengelolaan dan penataan
kawasan situs cagar budaya dunia Candi
Prambanan – Sewu ataupun Taman Wisata
Candi Prambanan – Sewu tersebut, Candi
Gana, Candi Kulon, dan Candi Lor ketiganya
“terlepas” dari konsep mandala dan dipisahkan
pula oleh pagar batas Taman Wisata yang tidak
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
akademis seperti misalnya batas – batas suatu
situs (Gunadi, 1996).
Dibangunnya Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan yang dimulai sejak
awal tahun 1980 an, dilatar belakangi oleh
keberadaan tinggalan arkeologis yang ada
di dua kawasan tersebut. Selain bertujuan
melestarikan kawasan cagar budaya yang
berskala internasional, keberadaan Taman
Wisata tersebut akan menambah daya tarik
wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisatabudaya ini. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah
kunjungan wisatawan tahun 2009 baik wisatawan
nusantara maupun wisatawan mancanegara
yang mencapai rata – rata 76.960 orang per
bulan untuk wisatawan nusantara dan 12.595
orang per bulan untuk wisatawan mancanegara.
Demikian pula dalam sepuluh tahun terakhir
(2000 – 2009) diketahui bahwa jumlah kunjungan
di obyek wisata budaya ini cukup signikan,
CandiPrambanan
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
25/86
23
Jurnal Widya Prabha 2014
seperti terlihat pada daftar di bawah. Bahkan
harapan pengelola PT. Taman Wisata Candi
Borobudur dan Prambanan jumlah wisatawan
di Kompleks Taman Wisata Candi Prambanan
– Sewu untuk tahun 2010 mencapai 1.200.000
orang. Harapan tersebut ternyata tidak sia – sia,
karena hingga minggu ke tiga bulan Desember
2010 pengunjung di obyek wisata tersebut telah
mencapai 1.011.918 orang. Sehingga program
“Sejuta Turis ke Prambanan” yang dicanangkan
pada tahun 2010 tersebut hampir mencapai
harapan (http://travel.kompas.com).
Jumlah Wis Nus dan Wis Man Th. 2000 – 2009TAHUN WISNUS WISMAN JUMLAH2000 91.9752001 95.2872002 899.463 86.613 900.0762003 915.383 48.357 963.7402004 908.276 77.417 985.6932005 888.686 75.638 964.3242006 451.987 44.073 452.0602007 549.997 74.590 624.5872008 856.029 114.951 970.9802009 923.540 130.372
JUMLAH 8.460.460 839.273 9.299.733Sumber : PT. TWC Borobudur-Prambanan.
IV. SITUS CANDI BOROBUDUR,
PRAMBANAN DAN NILAI HISTORIS-
ARKEOLOGISNYA
Dua kompleks percandian Borobudur
dan Prambanan yang berada di kawasan Taman
Wisata, masing – masing memiliki keunikan dan
nilai – nilai historis – arkeologis yang berbeda.
Berdasarkan prasasti Çiwagrha yang berangka
tahun 778 çaka atau tahun 856 Masehi, candi
Prambanan dibangun pada masa pemerintahan
Rakai Pikatan dan dilanjutkan oleh Rakai
Kayuwangi. Candi Prambanan atau dikenal
dengan nama Lara Jonggrang merupakan
bangunan suci agama Hindu, terlihat dari ciri
– ciri arsitektur, relief dan beberapa arca yang
melengkapi bangunan tersebut. Kompleks Candi
Prambanan terdiri dari tiga buah candi utama,
tiga buah candi wahana, dan dua buah candi apit
yang semuanya berada di halaman pertama yang
terletak dibagian paling dalam. Halaman kedua
yang secara konsentris mengelilingi halaman
pertama terdapat empat baris candi perwara
dengan jumlah keseluruhannya mencapai 224
buah. Sedangkan halaman ketiga hingga saat ini
batas atau pagar keliling belum ditampakkan baik
oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Yogyakarta maupun saat pembangunan Taman
Wisata Candi Prambanan – Sewu.
Perbedaan antara Candi Sewu
dan Prambanan antara lain Candi Sewu
berlatar belakang agama Budha, sedangkan
arsitekturnya lebih tambun dibanding Candi Lara
Jonggrang yang terlihat ramping. Ciri lain Candi
Sewu atap atau kemuncak berbentuk stupa
yang merupakan salah satu lambang dari agama
Budha. Adapun susunan halaman sama dengan
Candi Prambanan, yaitu terdiri dari tiga halaman
yang konsentris. Halaman pertama ditempatkan
bangunan candi utamanya yang tidak memilikicandi wahana. Halaman kedua ditemukan
sejumlah candi perwara yang susunannya sama
dengan candi perwara di kompleks Prambanan.
Di halaman kedua sisi Timur pada tahun 1980 an
pernah ditemukan sisa-sisa bangunan perwara
yang diperkirakan sebagai “stupa perwara”
yang mirip dengan stupa perwara yang ada
di kompleks Candi Plaosan. Bangunan Candi
Sewu oleh para ahli dikaitkan dengan sebuahprasasti yang ditemukan di Dusun Kelurak tidak
jauh dari Prambanan.
Prasasti Kelurak atau disebut juga Prasasti
Manjusrigrha merupakan prasasti batu berangka
tahun 782 M yang ditemukan di Desa Kelurak, di
sebelah utara Kompleks Percandian Prambanan,
Jawa Tengah. Keadaan batu prasasti Kelurak
sudah sangat aus, sehingga isi keseluruhannya
kurang diketahui. Secara garis besar, isinya
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
26/86
24
adalah tentang didirikannya sebuah bangunan
suci untuk arca Manjusri atas perintah Raja
Indra yang bergelar Sri Sanggramadhananjaya.
Menurut para ahli, yang dimaksud dengan
bangunan tersebut adalah Candi Sewu, yang
terletak di Kompleks Percandian Prambanan.
Nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada
Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan
kerajaan Sriwijaya. Prasasti Kelurak ditulis
dalam aksara Pranagari, dengan menggunakan
bahasa Sansekerta. Prasasti ini kini disimpan
dengan No. D.44 di Museum Nasional, Jakarta
(http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kelurak).
Dalam pembangunan Taman Wisata
Candi Prambanan, kompleks Candi Sewu
dan candi – candi lain yang terletak di antara
keduanya seperti Candi Lumbung dan Candi
Bubrah semuanya masuk dalam area atau
kawasan taman wisata tersebut. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya bahwa pembangunan
Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan
antara lain bertujuan untuk melestarikan
tinggalan cagar budaya yang tidak ternilai
harganya. Dengan demikian pengembangan
kawasan dan situs cagar budaya sebagai
obyek wisata tersebut tidak semata – mata
mempertimbangkan faktor ekonomis, akan
tetapi kepentingan ekonomis tersebut mampu
mendukung upaya pelestariannya.
Selain dari pada itu, kawasan Taman
Wisata Candi Prambanan – Sewu oleh UNESCOtelah ditetapkan sebagai situs warisan budaya
dunia atau World Heritage Site. Oleh karena
status atau peringkat sebagai situs warisan
dunia tersebut sewaktu – waktu dapat dicabut
dari daftar UNESCO, maka perlu didukung agar
pengakuan internasional tersebut dapat dijaga
kontinuitasnya. Situs – situs cagar budaya yang
telah diakui dan masuk dalam daftar World
Heritage Sites UNESCO, oleh pemerintah
termasuk kawasan strategis yang harus tetap
dipertahankan. Sehingga berbagai sektor terkait
dalam program kerjanya disarankan dapat
memberikan dukungan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing – masing lembaga. Hal
ini sesuai dengan Kontrak Kinerja Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di bidang Kebudayaan
dan Pariwisata.
V. PEMBAHASAN
Setidak-tidaknya ada tiga hal yang perlu
dikaji untuk mendukung Kawasan Taman Wisata
Candi Prambanan – Sewu baik sebagai situscagar budaya dunia ataupun sebagai Kawasan
Strategi Nasional, pertama adalah pertimbangan
akademis yaitu terkait antara batas-batas situs
dan areal atau kawasan taman wisata. Mengacu
pada konsep mandala yang ada di kompleks
Candi Sewu, ada asumsi bahwa candi tersebut
dahulu di kelilingi oleh 4 buah sandi yang berada
di 4 penjuru mata angin. Ke empat candi tersebut
adalah Candi Bubrah di sisi Selatan, Candi Gana
di Timur, Candi Lor (Candirejo) di Utara, dan
Candi Kulon yang terletak di sisi Barat Candi
Sewu. Di antara keempat candi tersebut hanya
Candi Bubrah dan Candi Gana yang masih
dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan Candi
Lor sisa-sisa batu candi sebagian digunakan
oleh penduduk setempat untuk pagar dan
pondasi rumah masih dapat ditelusuri. Adapun
untuk memastikan keberadaan Candi Kulon
perlu dilakukan penelitian lapangan, guna
membuktikan asumsi di atas.
Kata mandala adalah bahasa Sanskerta
berasal dari akar kata manda yang berarti inti atau
pokok dan tambahan kata la yang berarti sesuatu
yang ditambahkan. Konsep “tata ruang” dalam
mandala bervariasi yaitu dapat diwujudkan dalam
satu area (one square) yang disebut Pitha atau
Upapitha, empat area (Ugrapitha), dan sembilan
area atau Sthandila ( http://en.wikipediar.org /
-
8/19/2019 jurnal 2014kecil
27/86
25
Jurnal Widya Prabha 2014
wiki/Mandala). Mengacu pada konsep mandala
tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa Candi
Bubrah, Gana, Lor, dan Candi Kulon merupakan
4 area penyangga Candi Sewu. Sampai saat
ini tidak seorangpun ahli arkeologi yang pernah
membicarakan tentang konsep mandala Candi
Sewu yang dikaitkan dengan pembangunan
taman wisata tersebut. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila selain Candi Bubrah,
ketiga candi lain yang terletak di sisi Timur,
Utara dan Barat tidak pernah dipertimbangkan
dalam pembangunan Kawasan Taman Wisata
Candi Prambanan – Sewu. Candi Bubrah sendiri
karena posisinya yang terletak diantara Candi
Prambanan dan Candi Sewu sehingga secara
kebetulan termasuk dalam zona taman wisata.
Kedua, secara ideologis, keberadaan
Candi Prambanan yang Hinduistis dan Candi
Sewu yang Budhistis dalam satu lokasi yang
sangat berdekatan, hal ini mensiratkan kepada
generasi sekarang maupun generasi yang akan
datang tentang isu – isu multikultural yang telah
berkembang sejak abad IX M. Bahkan apabila
kita kaji lebih tajam tentang pagar halaman
ketiga masing – masing percandian Prambanan
dan Sewu, kemungkinan sekali akan ditemukan
data yang saling tumpang tindih antara pagar
terluar kedua candi tersebut. Apabila mengacu
kepada waktu pembangunannya, Candi Sewu
dibangun pada tahun 782 sedangkan Candi
Prambanan didirikan tahun 856, dengan
demikian ada selisih waktu 74 tahun. Walaupundemikian, dapat diperkirakan bahwa pada masa
pembangunan Candi Prambanan eksistensi
agama Budha saat itu dapat dikatakan masih
stabil sebagai agama kerajaan. Sehingga tanpa
ada pemahaman dan toleransi yang tinggi dari
masing – masing pemeluk agama Hindu dan
Budha, niscaya kedua kompleks bangunan
suci yang berbeda keyakinan tersebut dapat
dibangun secara berdampingan.
Ketiga adalah pertimbangan praktis,
bahwa kajian tentang Kawasan Taman Wisata
Candi Pramaban – Sewu ini seperti telah
disebutkan sebelumnya yaitu sebagai langkah
konkrit dalam mendukung pengembangan
kawasan strategis demi kepentingan
pengelolaan yang lebih profesional. Agar
dapat meningkatkan kualitas pengelolaan
suatu kawasan strategis seperti situs –
situs yang sudah ditetapkan sebagai World
Heritage Site, maka perlu dilakukan kajian –
kajian secara periodik, baik kajian akademis
maupun pertimbangan lainnya. Sebagai aparat
pemerintah yang ada di daerah dan langsung
menyentuh pada tugas pokok dan fungsi
lembaga, maka program seperti ini merupakan
action dari sebagian kecil kontrak kinerja
pemerintah.
VI. PENUTUP
Mengacu pada Peraturan PresidenRepublik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010 – 2014, mengenai
bidang sosial budaya dan kehidupan beragama,
utamanya dalam kerjasama yang sinergis antar
pihak terkait dalam upaya pengembangan nilai
budaya, pengelolaan keragaman budaya serta
perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
warisan budaya. Peraturan Presiden yang
kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya
Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata tahun 2010 – 2014 antara lain
menetapkan arah kebija