JUMAT, 6 MEI 2011 Hasil Kebun - ftp.unpad.ac.id filesatu bulan sekali, yang besarnya masing-masing...

1
7 N N USA NTARA NTARA JUMAT, 6 MEI 2011 VIKTOR SIMANJUNTAK N UH Hasibuan tak kuasa menahan haru. Amplop tebal di ta- ngannya ia pegang erat-erat. Saat didaulat untuk me- nyampaikan kesannya, mata pria setengah baya itu berkaca-kaca. Hanya dalam hitungan menit, riak kecil di pelupuk Nuh luruh. “Saya tidak pernah membayang- kan akan mendapat hasil sebesar ini. Sebelumnya, kami biasa hidup pas-pasan bahkan berada di bawah garis kemiskinan,” ujarnya. Awal pekan ini, bersama 34 kepala keluarga di Dusun Bi- nasari, Kecamatan Angkola Se- latan, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Nuh diundang ke kantor PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siasis. Dengan disaksikan un- sur musyawarah pimpinan daerah, perusahaan itu menyerahkan dana hasil perkebunan sawit seluas 56 hektare kepada warga. PT Austindo dan warga sepakat bermitra sejak 2006. Empat tahun kemudian, hasil kebun sawit su- dah bisa dipetik. Dana hasil panen perdana inilah yang membuat hati Nuh dan warga Binasari mem- buncah. Perusahaan menyerahkan hasil panen seluas 2 hektare untuk warga yang belum pernah mendapatkan ganti rugi. Adapun warga yang sudah pernah mengantongi ganti rugi mendapat hasil dari 1 hektare kebun. “Setiap dua minggu, hasil ber- sih program kemitraan mencapai Rp710 ribu untuk jatah 1 hek- tare dan Rp1,4 juta untuk jatah 2 hektare. Selanjutnya, perusahaan akan menyerahkan dana setiap satu bulan sekali, yang besarnya masing-masing dua kali lipatnya,” kata Corporate Service Director PT Austindo Hari Witono. Dana dari perusahaan ini me- mang lebih besar daripada harga yang diberikan para pengumpul tandan buah segar sawit di wilayah ini. Mereka menerima sawit dengan harga Rp770-Rp990 per kilogram. Jika dikalkulasi, hasil yang diberi- kan PT Austindo mencapai Rp1.100 per kilogram. Bahkan, harga itu bisa lebih tinggi lagi, tergantung harga pasaran. Ceria Nuh dan warga mengakhiri babak muram konik perkebunan di Dusun Binasari. Jangan mem- bayangkan kisah ini akan terjadi saat sengketa memanas sebelum 2006 lalu. Ketika itu, PT Austindo baru saja menapaki usaha di Binasari, setelah membeli saham milik PT Ondop Perkasa Makmur. Warga dipro- vokasi pihak ketiga, yang menyulut suasana panas di wilayah itu. Kerja keras perusahaan secara perlahan bisa mengecilkan api kon- ik. “Perusahaan memiliki iktikad membantu warga, termasuk mem- bayar ganti rugi untuk mereka,” kata Hari Winoto, lagi. Tanpa konik, perusahaan mi- lik keluarga Tahija itu mampu mengembangkan usaha di Tapanuli Selatan dengan baik. Sebuah pabrik pengolahan sawit dengan kapasitas 60 ton per jam sudah dioperasikan. Penyulingan dengan teknologi modern dan sistem pengendalian secara otomatis di pabrik ini adalah yang pertama di Indonesia. Dengan teknologi modern itu, energi dapat dihemat hingga 30% dan ramah lingkungan karena bisa menekan emisi. Bangun sekolah Ketika usaha berjalan dan keun- tungan datang, perusahaan pun tak hendak berpangku tangan. PT Austindo melirik kondisi pendi- dikan di Angkola Selatan untuk menyalurkan dana tanggung jawab sosialnya. Bantuan dikucurkan untuk Seko- lah Dasar Janji Matogu. Sejumlah kelas baru dibangun. Kepala SD Janji Matogu, Supino, pun tak kepalang girang. “Sejak berdiri pada 2002, atas swadaya warga, SD ini hanya me- miliki dua ruangan. Fasilitas lain nyaris tidak ada,” kata Supino. Keberadaan sekolah ini di Desa Janji Matogu sangat penting. SD ne- geri terdekat dari desa itu berjarak sekitar 20 kilometer. Sejak PT Austindo beropera- si di wilayah ini, bantuan terus mengalir. Tidak hanya berbentuk bangunan, tapi juga peralatan dan insentif bagi guru. Kini, SD Janji Matogu sudah memiliki 6 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, dan 1 ruang guru. Sekolah ini menampung 396 siswa, dengan jumlah guru tujuh orang. “Sekarang, guru dan murid lebih percaya diri. Proses belajar men- gajar berlangsung baik dan kami merasa tidak tertinggal,” sambung sang kepala sekolah. Supino berharap perusahaan tidak bosan terus membantu dan memberdayakan masyarakat seki- tar kawasan kebun. Ia pun merayu PT Austindo membangun sekolah menengah pertama di desa itu. Tidak ingin mengecewakan Su- pino dan warga, Hari Witono pun langsung menjawab keinginan itu. “Kami tetap berkomitmen memaju- kan warga. Sejak 2005, perusahaan menyalurkan dana sekitar Rp2 mi- liar per tahun untuk kemajuan ma- syarakat di sekitar perkebunan.” Dalam persoalan lingkungan, perusahaan perkebunan sawit juga sering jadi sorotan tajam, termasuk ke PT Austindo Nusantara Jaya Agri Siasis. Karena itu, manajemen per- usahaan tidak mau main-main. Program peduli lingkungan digelar. Salah satunya, perusahaan yang memiliki konsesi lahan seluas 9.639 hektare di Tapanuli Selatan ini merelakan 1.640 hektare atau 17% dari total lahan untuk kawasan konservasi. Ada sempadan sungai dan koridor satwa. “Austindo telah mengambil po- sisi sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kami telah mengintegrasikan pengelo- laan kebun kelapa sawit, pabrik pengolahan, dan kawasan konser- vasi,” papar Febri Yanti Bangun, petinggi lain di PT Austindo. Pengalokasian wilayah konser- vasi ini bertujuan melestarikan kembali kawasan yang sebelumnya rawan bencana di sebelah timur area perkebunan. “Kami juga ingin menyediakan jasa lingkungan ter- hadap pemangku kepentingan yang ada di sekitar perusahaan,” tandas Febri. (N-2) viktor_simanjuntak @mediaindonesia.com Hasil Kebun Mengakhiri Konflik Sengketa warga dan perkebunan jadi masalah klasik di Indonesia. Di Binasari, kedua pihak mampu menahan diri dan menemukan solusi. Perusahaan yang memiliki konsesi lahan seluas 9.639 hektare di Tapanuli Selatan ini merelakan 1.640 hektare atau 17% dari total lahan untuk kawasan konservasi. Ada sempadan sungai dan koridor satwa.” ASAL USUL Sisingaan SUARA gamelan yang dipukul, ditiup, dan digesek dengan sangat dinamis menjadi sa- lah satu ciri atraksi sisingaan. Namun, yang paling khas dari kesenian asli masyarakat Sunda ini adalah munculnya boneka singa yang diusung empat penari. Tidak hanya satu boneka. Biasanya, da- lam satu kali penampilan ada dua sampai empat boneka yang tampil bersama. Di atas boneka itu biasanya duduk seorang anak yang hendak dikhitan, tokoh masyarakat atau tamu kehormatan. Ada sejumlah versi yang mengurai asal usul kesenian sisingaan ini. Versi pertama meyakini sisingaan diciptakan oleh para seniman dari Kampung Ciherang, sekitar 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Subang, pada 1840. Konon saat itu, Kabupaten Subang jadi rebutan Pemerintah Kolonial Belanda dengan pengusaha Inggris, yang men- dirikan sebuah perusahaan besar. Warga merasa di wilayah mereka terjadi dualisme kepemimpinan. Belanda secara adminis- tratif dan Inggris secara ekonomi. Situasi itu membuat rakyat Subang men- derita. Seniman di Ciherang pun mencipta- kan sisingaan sebagai lambang perlawanan. Dua boneka singa diusung sebagai lambang Belanda dan Inggris. Oleh karena itu, sisingaan sampai seka- rang selalu menampilkan paling sedikit dua boneka singa. Versi lain menyatakan sisingaan berusia lebih muda. Ia lahir pada era 1970-an, di anjungan Jawa Barat, Taman Mini Indone- sia Indah. Dalam perkembangannya, sisingaan menyebar ke wilayah lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Sumedang. Para pengusung boneka singa adalah orang yang mempunyai keterampilan khu- sus, baik menari maupun memainkan alat musik tradisional atau waditra. Kemampuan itu dibutuhkan karena per- mainan kolektif sisingaan membutuhkan tim yang solid sehingga gerak tari yang mereka mainkan bisa selaras dengan alunan musik. Biasanya, para pengusung juga me- miliki kemampuan bersilat karena dalam perkembangannya ada sejumlah demon- strasi ala sirkus yang mereka pertunjukkan. (FS/N-2) BANTU WARGA: Pembangunan SD Janji Matogu di Kecamatan Angkola Selatan, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara dibiayai dari dana tanggung jawab sosial PT Austindo Nusantara Jaya. PENGOLAHAN SAWIT: Pabrik pengolahan sawit PT Austindo Nusantara Jaya di Kabupaten Tapanuli Selatan mampu mengolah 60 ton tandan buah sawit per jam. FOTO-FOTO: MI/VIKTOR SIMANJUNTAK ANTARA

Transcript of JUMAT, 6 MEI 2011 Hasil Kebun - ftp.unpad.ac.id filesatu bulan sekali, yang besarnya masing-masing...

Page 1: JUMAT, 6 MEI 2011 Hasil Kebun - ftp.unpad.ac.id filesatu bulan sekali, yang besarnya masing-masing dua kali lipatnya,” kata Corporate Service Director PT Austindo Hari Witono. Dana

7NNUSANTARANTARAJUMAT, 6 MEI 2011

VIKTOR SIMANJUNTAK

NUH Hasibuan tak kuasa menahan haru. Amplop tebal di ta-ngannya ia pegang

erat-erat. Saat didaulat untuk me-nyampaikan kesannya, mata pria setengah baya itu berkaca-kaca. Hanya dalam hitungan menit, riak kecil di pelupuk Nuh luruh.

“Saya tidak pernah membayang-kan akan mendapat hasil sebesar ini. Sebelumnya, kami biasa hidup pas-pasan bahkan berada di bawah garis kemiskinan,” ujarnya.

Awal pekan ini, bersama 34 kepala keluarga di Dusun Bi-nasari, Kecamatan Angkola Se-latan, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Nuh diundang ke kantor PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siasis. Dengan disaksikan un-sur musyawarah pimpinan daerah, perusahaan itu menyerahkan dana hasil perkebunan sawit seluas 56 hektare kepada warga.

PT Austindo dan warga sepakat bermitra sejak 2006. Empat tahun kemudian, hasil kebun sawit su-dah bisa dipetik. Dana hasil panen perdana inilah yang membuat hati Nuh dan warga Binasari mem-buncah.

Perusahaan menyerahkan hasil panen seluas 2 hektare untuk warga yang belum pernah mendapatkan ganti rugi. Adapun warga yang sudah pernah mengantongi ganti

rugi mendapat hasil dari 1 hektare kebun.

“Setiap dua minggu, hasil ber-sih program kemitraan mencapai Rp710 ribu untuk jatah 1 hek-tare dan Rp1,4 juta untuk jatah 2 hektare. Selanjutnya, perusahaan akan menyerahkan dana setiap satu bulan sekali, yang besarnya masing-masing dua kali lipatnya,” kata Corporate Service Director PT Austindo Hari Witono.

Dana dari perusahaan ini me-mang lebih besar daripada harga yang diberikan para pengumpul tandan buah segar sawit di wilayah ini. Mereka menerima sawit dengan harga Rp770-Rp990 per kilogram.

Jika dikalkulasi, hasil yang diberi-kan PT Austindo mencapai Rp1.100 per kilogram. Bahkan, harga itu bisa lebih tinggi lagi, tergantung harga pasaran.

Ceria Nuh dan warga meng akhiri babak muram konfl ik perkebunan di Dusun Binasari. Jangan mem-bayangkan kisah ini akan terjadi saat sengketa memanas sebelum 2006 lalu.

Ketika itu, PT Austindo baru saja menapaki usaha di Binasari, setelah membeli saham milik PT Ondop Perkasa Makmur. Warga dipro-vokasi pihak ketiga, yang menyulut suasana panas di wilayah itu.

Kerja keras perusahaan secara perlahan bisa mengecilkan api kon-fl ik. “Perusahaan memiliki iktikad membantu warga, termasuk mem-

bayar ganti rugi untuk mereka,” kata Hari Winoto, lagi.

Tanpa konfl ik, perusahaan mi-lik keluarga Tahija itu mampu mengembangkan usaha di Tapanuli Selatan dengan baik. Sebuah pabrik pengolahan sawit dengan kapasitas 60 ton per jam sudah dioperasikan. Penyulingan dengan teknologi modern dan sistem pengendalian secara otomatis di pabrik ini adalah yang pertama di Indonesia. Dengan teknologi modern itu, energi dapat dihemat hingga 30% dan ramah lingkungan karena bisa menekan emisi.

Bangun sekolahKetika usaha berjalan dan keun-

tungan datang, perusahaan pun tak hendak berpangku tangan. PT Austindo melirik kondisi pendi-dikan di Angkola Selatan untuk

menyalurkan dana tanggung jawab sosialnya.

Bantuan dikucurkan untuk Seko-lah Dasar Janji Matogu. Sejumlah kelas baru dibangun. Kepala SD Janji Matogu, Supino, pun tak kepalang girang.

“Sejak berdiri pada 2002, atas swadaya warga, SD ini hanya me-miliki dua ruangan. Fasilitas lain nyaris tidak ada,” kata Supino.

Keberadaan sekolah ini di Desa Janji Matogu sangat penting. SD ne-geri terdekat dari desa itu berjarak sekitar 20 kilometer.

Sejak PT Austindo beropera-si di wilayah ini, bantuan terus mengalir. Tidak hanya berbentuk bangunan, tapi juga per alatan dan insentif bagi guru.

Kini, SD Janji Matogu sudah memiliki 6 ruang kelas, 1 ruang perpustakaan, dan 1 ruang guru. Sekolah ini menampung 396 siswa, dengan jumlah guru tujuh orang.

“Sekarang, guru dan murid lebih percaya diri. Proses belajar men-gajar berlangsung baik dan kami merasa tidak tertinggal,” sambung sang kepala sekolah.

Supino berharap perusahaan tidak bosan terus membantu dan memberdayakan masyarakat seki-tar kawasan kebun. Ia pun merayu PT Austindo membangun sekolah menengah pertama di desa itu.

Tidak ingin mengecewakan Su-pino dan warga, Hari Witono pun langsung menjawab keinginan itu.

“Kami tetap berkomitmen memaju-kan warga. Sejak 2005, perusahaan menyalurkan dana sekitar Rp2 mi-liar per tahun untuk kemajuan ma-syarakat di sekitar perkebunan.”

Dalam persoalan lingkungan, perusahaan perkebunan sawit juga sering jadi sorotan tajam, termasuk ke PT Austindo Nusantara Jaya Agri Siasis. Karena itu, manajemen per-usahaan tidak mau main-main.

Program peduli lingkungan digelar. Salah satunya, perusahaan yang memiliki konsesi lahan seluas 9.639 hektare di Tapanuli Selatan ini merelakan 1.640 hektare atau 17% dari total lahan untuk kawasan konservasi. Ada sempadan sungai dan koridor satwa.

“Austindo telah mengambil po-sisi sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Kami telah mengintegrasikan pengelo-laan kebun kelapa sawit, pabrik peng olahan, dan kawasan konser-vasi,” papar Febri Yanti Bangun, pe tinggi lain di PT Austindo.

Pengalokasian wilayah konser-vasi ini bertujuan melestarikan kembali kawasan yang sebelumnya rawan bencana di sebelah timur area perkebunan. “Kami juga ingin menyediakan jasa lingkungan ter-hadap pemangku kepentingan yang ada di sekitar perusahaan,” tandas Febri. (N-2)

[email protected]

Hasil Kebun Mengakhiri Konfl ik

Sengketa warga dan perkebunan jadi masalah klasik di Indonesia. Di Binasari, kedua pihak mampu menahan diri dan menemukan solusi.

Perusahaan yang memiliki

konsesi lahan seluas 9.639 hektare di Tapanuli Selatan ini merelakan 1.640 hektare atau 17% dari total lahan untuk kawasan konservasi. Ada sempadan sungai dan koridor satwa.”

ASAL USUL

SisingaanSUARA gamelan yang dipukul, ditiup, dan digesek dengan sangat dinamis menjadi sa-lah satu ciri atraksi sisingaan. Namun, yang paling khas dari kesenian asli masyarakat Sunda ini adalah munculnya boneka singa yang diusung empat penari.

Tidak hanya satu boneka. Biasanya, da-lam satu kali penampilan ada dua sampai empat boneka yang tampil bersama. Di atas boneka itu biasanya duduk seorang anak yang hendak dikhitan, tokoh masyarakat atau tamu kehormatan.

Ada sejumlah versi yang mengurai asal usul kesenian sisingaan ini. Versi pertama meyakini sisingaan diciptakan oleh para seniman dari Kampung Ciherang, sekitar 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Subang, pada 1840.

Konon saat itu, Kabupaten Subang jadi rebutan Pemerintah Kolonial Belanda dengan pengusaha Inggris, yang men-dirikan sebuah perusahaan besar. Warga merasa di wilayah mereka terjadi dualisme kepemimpinan. Belanda secara adminis-tratif dan Inggris secara ekonomi.

Situasi itu membuat rakyat Subang men-derita. Seniman di Ciherang pun mencipta-kan sisingaan sebagai lambang perlawanan. Dua boneka singa diusung sebagai lambang Belanda dan Inggris.

Oleh karena itu, sisingaan sampai seka-rang selalu menampilkan paling sedikit dua boneka singa.

Versi lain menyatakan sisingaan berusia lebih muda. Ia lahir pada era 1970-an, di anjungan Jawa Barat, Taman Mini Indone-sia Indah.

Dalam perkembangannya, sisingaan menyebar ke wilayah lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Sumedang.

Para pengusung boneka singa adalah orang yang mempunyai keterampilan khu-sus, baik menari maupun memainkan alat musik tradisional atau waditra.

Kemampuan itu dibutuhkan karena per-mainan kolektif sisingaan membutuhkan tim yang solid sehingga gerak tari yang mereka mainkan bisa selaras dengan alunan musik. Biasanya, para pengusung juga me-miliki kemampuan bersilat karena dalam perkembangannya ada sejumlah demon-strasi ala sirkus yang mereka pertunjukkan. (FS/N-2)

BANTU WARGA: Pembangunan SD Janji Matogu di Kecamatan Angkola Selatan, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara dibiayai dari dana tanggung jawab sosial PT Austindo Nusantara Jaya.

PENGOLAHAN SAWIT: Pabrik pengolahan sawit PT Austindo Nusantara Jaya di Kabupaten Tapanuli Selatan mampu mengolah 60 ton tandan buah sawit per jam.

FOTO-FOTO: MI/VIKTOR SIMANJUNTAK

ANTARA