JUMAT, 18 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Jamasan … fileBanyumas, Jawa Tengah, sudah penuh sesak...

1
Raja Mataram, Amangkurat I, sempat singgah di Desa Kalisalak. Ia meninggalkan pusaka dan jimat agar tidak membebani perjalanannya menuju Batavia. Sejak saat itu, benda tersebut dirawat tetua adat desa. Jamasan Jimat di Kalisalak 9 N USANTARA JUMAT, 18 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA DIBASUH NIPIS: Ritual jamasan jimat dimulai dengan doa dan pembakaran kemenyan. Lantas sejumlah jimat ditempatkan di atas tungku kemenyan. Sementara itu, keris diwarangi atau dibersihkan menggunakan jeruk nipis. LILIEK DHARMAWAN J ALAN selebar 2,5 meter menuju Langgar Jimat, Desa Kalisalak, Kecamat- an Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sudah penuh sesak oleh pe- ngunjung. Para pedagang kaki lima pun menempati areal pinggir Kata-kata dalam daun lontar dan buku tersebut memang setiap tahun mengalami perubahan.” Ilham Triyono Ketua Panitia Jamasan Jimat JAMASAN JIMAT: Sejumlah tetua adat di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sedang membersihkan jimat peninggalan Amangkurat I, kemarin. MI/LILIEK DHARMAWAN jalanan desa, membeberkan dagangan makanan, pakaian, mainan anak, dan bermacam barang lainnya. Mereka mencoba mengail ke- untungan dari padatnya ritual tahunan di Desa Kalisalak. Tampak arak-arakan tetua adat terpaksa berjalan pelan, menyusuri jalan dari Balai Desa menuju Langgar Jimat, tempat masyarakat menyimpan berba- gai pusaka. Arak-arakan itu diikuti Putri Domas yang membawa ubo rampe sebagai sarana jamasan, pasukan genderang, bregada (pasukan perang), pembawa tandu mrapen (tempat memba- kar dupa), kerabat Mataram, beserta satu tim kesenian. Di sepanjang jalur 2 kilometer yang mereka lalui, masyarakat antusias melihat prosesi dari jarak dekat. Termasuk saat arak-arakan tiba di kompleks seluas 200 meter persegi milik Langgar Jimat. Di tempat itulah, dengan disaksikan pengunjung, ubo rampe diserahkan kepada juru kunci Langgar Jimat Kiai San- muraji. Kiai itu yang bakal memimpin ritual jamasan pusaka pening- galan Sunan Amangkurat I, seorang raja Mataram yang memerintah selama periode 1646-1677. Bulan Maulid Para tetua adat sudah mem- persiapkan berbagai sarana ritual di atas meja sepanjang 3 meter yang diletakkan di jan- tung kompleks Langgar Jimat. Sebagian tetua yang lain masuk ke langgar untuk mengeluar- kan pusaka. Jimat ataupun pusaka dari langgar tersebut tidak hanya berupa keris dan tombak. Ada pula bahan makanan seperti beras merah dan beras putih, sandang, alat musik seperti re- bana dan terbang, daun lontar, dan kertas kuno. Semuanya hanya dikelu- arkan sekali dalam setahun, yakni bertepatan dengan bulan Maulid yang jatuh pada perte- ngahan Februari ini. Setiap tetua yang memba- wa jimat harus menempelkan terlebih dahulu benda terse- but di depan kening, sebelum meletakkannya pada bangku panjang tempat penjamasan. Selanjutnya mereka berjejer mengelilingi meja. Sanmuraji, sang pemimpin jamasan, memulai ritual de- ngan doa dan pembakaran kemenyan. Asap putih mengepul, ber- gulung-gulung, lantas sejum- lah jimat ditempatkan ke atas tungku kemenyan. Sementara itu, keris mulai diwarangi atau dibersihkan menggunakan jeruk nipis. Dan, setiap tahun jamasan berlangsung, diyakini selalu ada perubahan jumlah mau- pun perubahan sik dari jimat tersebut. Umpamanya saja, tahun ini jumlah uang logam berkurang dua keping ketimbang tahun sebelumnya. Jika pada ritual jamasan 2010 yang tersimpan ada 60 keping, tahun ini tinggal 58 keping saja. Jimat berkurang Keping tembaga yang sebe- lumnya 33 buah, tahun ini juga tinggal 31 buah. Sedang- kan bekong basah (alat penakar beras) saat dijamas ternyata sudah menyisakan serpihan tubuh belalang yang telah me- ngering. Pun tulisan Jawa kuno di atas daun lontar. Peninggalan yang satu ini ikut berubah. Tahun ini, muncul tulisan Jawa kuno yang lain. Berbunyi “Caritaneng Pahar- gyan Samangkyo Rantamanipun Hadyane Sirih lan Kurebe And- hadosno Bengeting Promang- goloyudho Sabdho Kang Linuwih Andhadosno Sadoto Runtiking Manah kaliyan Jejering Kawulo Gusti Projo Puniko Satuanggi- yatno Pralambang.” Jika diterjemahkan secara bebas, artinya “Dalam cerita se- perti daun sirih yang tengkurap maupun telentang sama saja menjadikan bingung prajurit. Ucapan yang berlebihan meng- akibatkan semua itu menjadi iri. Status manusia umat Tuhan menjadi simbol.” Adapun di dalam buku tertulis pula “Kawulo Ngajeng Linuwih Dedelikan Ngramuno Projo Lamun Dendulu Kadyo Ramat,” yang artinya “Saya sa- ngat berharap bagi pemimpin yang berada di depan memi- liki kelebihan merumuskan ketenangan negara secara di- am-diam seperti pembuatan jaring laba-laba.” Ketua Panitia Jamasan Jimat Kalisalak Ilham Triyono meng- akui bahwa kata-kata dalam daun lontar dan buku tersebut memang setiap tahun menga- lami perubahan. “Terjemahan bebasnya me- mang seperti itu. Silakan kalau mau menerjemahkan karena setiap orang boleh menafsir- kan sendiri-sendiri, meski bagi orang modern agak sulit dicer- na,” kata Ilham. Dia juga mengatakan bahwa sebagian orang menerjemah- kan perubahan jumlah jimat atau perubahan warna jimat tahun ini sebagai tanda-tanda zaman. “Itu adalah hak setiap orang masing-masing. Tetapi me- mang bagi yang mengetahui, ada kebenaran dalam ramalan tersebut. Namun sekali lagi, prosesi jamasan ini tujuan uta- manya adalah melestarikan budaya yang turun-menurun sejak zaman Amangkurat I,” katanya. Dalam sejarah, Amangkurat I yang juga raja Mataram sempat singgah di Desa Kalisalak. Pada waktu itu, dia mening- galkan pusaka dan jimat di desa setempat. Tujuannya, agar tidak membebani perjalanan dia dan rombongan menuju Batavia, atau Jakarta sekarang. Sejak saat itulah, pusaka atau jimat tersebut dirawat oleh tetua adat desa setempat secara turun-temurun, dan mendapat penghormatan dari warga. (N-3) [email protected] MI/LILIEK DHARMAWAN

Transcript of JUMAT, 18 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA Jamasan … fileBanyumas, Jawa Tengah, sudah penuh sesak...

Raja Mataram, Amangkurat I,

sempat singgah di Desa

Kalisalak. Ia meninggalkan

pusaka dan jimat agar tidak

membebani perjalanannya

menuju Batavia. Sejak saat itu,

benda tersebut dirawat tetua

adat desa.

Jamasan Jimat di Kalisalak9NUSANTARAJUMAT, 18 FEBRUARI 2011 | MEDIA INDONESIA

DIBASUH NIPIS: Ritual jamasan jimat dimulai dengan doa dan pembakaran kemenyan. Lantas sejumlah jimat ditempatkan di atas tungku kemenyan. Sementara itu, keris diwarangi atau dibersihkan menggunakan jeruk nipis.

LILIEK DHARMAWAN

JALAN selebar 2,5 meter menuju Langgar Jimat, Desa Kalisalak, Kecamat-an Kebasen, Kabupaten

Banyumas, Jawa Tengah, sudah penuh sesak oleh pe-ngunjung.

Para pedagang kaki lima pun menempati areal pinggir

Kata-kata dalam daun lontar dan

buku tersebut memang setiap tahun mengalami perubahan.”

Ilham TriyonoKetua Panitia Jamasan Jimat

JAMASAN JIMAT: Sejumlah tetua adat di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, sedang membersihkan jimat peninggalan Amangkurat I, kemarin.

MI/LILIEK DHARMAWAN

jalanan desa, membeberkan da gangan makanan, pakaian, mainan anak, dan bermacam barang lainnya.

Mereka mencoba mengail ke-untungan dari padatnya ritual tahunan di Desa Kalisalak.

Tampak arak-arakan tetua adat terpaksa berjalan pelan, menyusuri jalan dari Balai Desa menuju Langgar Jimat, tempat

masyarakat menyimpan berba-gai pusaka.

Arak-arakan itu diikuti Putri Domas yang membawa ubo rampe sebagai sarana jamasan, pasukan genderang, bregada (pasukan perang), pembawa tandu mrapen (tempat memba-kar dupa), kerabat Mataram, beserta satu tim kesenian.

Di sepanjang jalur 2 kilometer yang mereka lalui, masyarakat antusias melihat prosesi dari jarak dekat.

Termasuk saat arak-arakan tiba di kompleks seluas 200 meter persegi milik Langgar Jimat.

Di tempat itulah, dengan disaksikan pengunjung, ubo rampe diserahkan kepada juru kunci Langgar Jimat Kiai San-muraji.

Kiai itu yang bakal memimpin ritual jamasan pusaka pening-galan Sunan Amangkurat I, seorang raja Mataram yang memerintah selama periode 1646-1677.

Bulan Maulid Para tetua adat sudah mem-

persiapkan berbagai sarana ritual di atas meja sepanjang 3 meter yang diletakkan di jan-tung kompleks Langgar Jimat. Sebagian tetua yang lain masuk ke langgar untuk mengeluar-kan pusaka.

Jimat ataupun pusaka dari langgar tersebut tidak hanya berupa keris dan tombak. Ada pula bahan makanan seperti beras merah dan beras putih, sandang, alat musik seperti re-bana dan terbang, daun lontar, dan kertas kuno.

Semuanya hanya dikelu-arkan sekali dalam setahun, yakni bertepatan dengan bulan Maulid yang jatuh pada perte-ngahan Februari ini.

Setiap tetua yang memba-wa jimat harus menempelkan terlebih dahulu benda terse-but di depan kening, sebelum meletakkannya pada bangku panjang tempat penjamasan. Selanjutnya mereka berjejer mengelilingi meja.

Sanmuraji, sang pemimpin jamasan, memulai ritual de-ngan doa dan pembakaran ke menyan.

Asap putih mengepul, ber-gulung-gulung, lantas sejum-lah jimat ditempatkan ke atas tungku kemenyan. Sementara itu, keris mulai diwarangi atau dibersihkan menggunakan jeruk nipis.

Dan, setiap tahun jamasan berlangsung, diyakini selalu ada perubahan jumlah mau-pun perubahan fi sik dari jimat tersebut.

Umpamanya saja, tahun ini jumlah uang logam berkurang

dua keping ketimbang tahun sebelumnya.

Jika pada ritual jamasan 2010 yang tersimpan ada 60 ke ping, tahun ini tinggal 58 keping saja.

Jimat berkurangKeping tembaga yang sebe-

lumnya 33 buah, tahun ini ju ga tinggal 31 buah. Sedang-

kan bekong basah (alat penakar beras) saat dijamas ternyata sudah menyisakan serpihan tubuh belalang yang telah me-ngering.

Pun tulisan Jawa kuno di atas daun lontar. Peninggalan yang satu ini ikut berubah. Tahun ini, muncul tulisan Jawa kuno yang lain.

Berbunyi “Caritaneng Pa har-gy an Samangkyo Rantamanipun Hadyane Sirih lan Kurebe And-hadosno Bengeting Promang-goloyudho Sabdho Kang Linuwih Andhadosno Sadoto Runtiking Manah kaliyan Jejering Kawulo Gusti Projo Puniko Satuanggi-yatno Pralambang.”

Jika diterjemahkan secara bebas, artinya “Dalam cerita se-perti daun sirih yang tengkurap maupun telentang sama saja menjadikan bingung prajurit. Ucapan yang berlebihan meng-

akibatkan semua itu menjadi iri. Status manusia umat Tuhan menjadi simbol.”

Adapun di dalam buku tertulis pula “Kawulo Ngajeng Linuwih Dedelikan Ngramuno Projo Lamun Dendulu Kadyo Ramat,” yang artinya “Saya sa-ngat berharap bagi pemimpin yang berada di depan memi-liki kelebihan merumuskan

ketenangan negara secara di-am-diam seperti pembuatan jaring laba-laba.”

Ketua Panitia Jamasan Jimat Kalisalak Ilham Triyono meng-akui bahwa kata-kata dalam daun lontar dan buku tersebut memang setiap tahun menga-lami perubahan.

“Terjemahan bebasnya me-mang seperti itu. Silakan kalau mau menerjemahkan karena setiap orang boleh menafsir-

kan sendiri-sendiri, meski bagi orang modern agak sulit dicer-na,” kata Ilham.

Dia juga mengatakan bahwa sebagian orang menerjemah-kan perubahan jumlah jimat atau perubahan warna jimat tahun ini sebagai tanda-tanda zaman.

“Itu adalah hak setiap orang masing-masing. Tetapi me-

mang bagi yang mengetahui, ada kebenaran dalam ramalan tersebut. Namun sekali lagi, prosesi jamasan ini tujuan uta-manya adalah melestarikan budaya yang turun-menurun sejak zaman Amangkurat I,” katanya.

Dalam sejarah, Amangkurat I yang juga raja Mataram sempat singgah di Desa Kalisalak.

Pada waktu itu, dia mening-galkan pusaka dan jimat di desa se tempat. Tujuannya, agar tidak membebani perjalanan dia dan rombongan menuju Batavia, atau Jakarta sekarang.

Sejak saat itulah, pusaka atau jimat tersebut dirawat oleh tetua adat desa setempat secara turun-temurun, dan mendapat penghormatan dari warga. (N-3)

[email protected]

MI/LILIEK DHARMAWAN