JumantaraI

download JumantaraI

of 182

description

Jurnal Manuskrip Nusantara

Transcript of JumantaraI

JUMANTARAJurnal Manuskrip Nusantara

Vol.1 No.1 Tahun 2010

PERPUSTAKAAN NASIONAL RI 20101

Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

PERPUSTAKAAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIAJl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002 e-mail: [email protected] JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung Pengarah Penanggung jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi : Kepala Perpustakaan Nasional RI : Deputi I PNRI : Kepala Pusat Jasa Informasi dan Layanan PNRI : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus PNRI : 1. Dra. Woro Titi Haryanti, MA. 2. Drs. Joko Santoso, M. Hum. 3. Dr. I Kuntara Wiryamartana 4. Drs. H. Sanwani 5. Agung Kriswanto, SS. 6. Yudhi Irawan, S. Hum. 7. Aditia Gunawan, S. Pd. : 1. Komari 2. Dian Soni Amellia, S.Hum. : Bambang Hernawan, SS. : Aditia Gunawan, S.Pd.

Sekretaris Redaksi Sirkulasi Tata Letak

JUMANTARA (Jurnal Manuskrip Nusantara) merupakan jurnal ilmiah dengan fokus kajian naskah (manuskrip) Nusantara. Redaksi menerima tulisan terkait fokus kajian di atas dengan panjang artikel tidak lebih dari 30 halaman cetak. Naskah yang masuk akan diseleksi dewan redaksi dan apabila perlu akan dilakukan penyempurnaan tanpa mengubah isi naskah.

2

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

DAFTAR ISIKATA SAMBUTAN PENGANTAR REDAKSI AMIR ROCHYATMO Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman AGUS ARIS MUNANDAR Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14-16 M) RUHALIAH Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah KARSONO H SAPUTRA Cerita Panji: Representasi Laku Jawa KARTIKA SETYAWATI Kidung Surajaya (Surajaya sebagai trthaytr) ANUNG TEDJOWIRAWAN Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa) NOERHADI MAGETSARI Local Genius A.A. GDE ALIT GERIA Kakawin Nilacandra: Kreativitas dan Filsafat Estetika AMIN SWEENEY Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia 4 5

6

27

49 61 82

94 129 141 155

Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

3

SAMBUTANDengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan atas perkenan-Nya , jurnal manuskrip nusantara Jumantara volume I nomor 1 tahun 2010 dapat terbit sesuai dengan rencana. Perpustakaan Nasional RI berdasarkan Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan mempunyai tugas antara lain mengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan budaya bangsa. Salah satu cara untuk dapat melaksanakannya, Perpustakaan Nasional RI menerbitkan jurnal manuskrip nusantara Jumantara yang direncanakan akan terbit setahun 2 kali. Jumantara merupakan jurnal manuskrip pertama yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan harapan melalui jurnal ini kekayaan kandungan informasi yang terdapat didalam manuskrip nusantara dapat digali, dikaji, dimaknai dan disebarluaskan untuk dapat diterapkan dalam kehidupan keseharian guna membangun jati dirinya. Dengan demikian kandungan informasi dalam naskah kuno nusantara dapat lebih dipahami dalam konteks kekinian oleh masyarakat luas. Kami juga berharap bagi para peneliti, filolog dan peminat manuskrip nusantara dapat ikut berperanserta dalam mengisi dan mengembangkan Jumantara. Dengan demikian Jumantara akan tetap mengangksa dalam memberikan informasi yang beragam tentang manuskrip nusantara dengan berdasar pada tinjauan ilmiah. Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisannya untuk dapat dimuat dalam jurnal ini dan juga kepada dewan redaksi yang telah bekerja secara serius serta semua pihak telah mendukung penyelesian jurnal ini sehingga jurnal ini dapat hadir dihadapan kita semua. Jakarta, Agustus 2010 Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka Jasa Informasi Dra.Hj.Lilik Soelistyowati. MM 4Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

PENGANTAR REDAKSIPUJI syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas anugerah-Nya semata Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara) dapat diselesaikan untuk kemudian disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia. Rencana membuat suatu terbitan yang berisi kajian tentang naskah kuna Nusantara sebenarnya sudah cukup lama, dan setelah melalui beberapa kali pertemuan, baru pada tahun 2010, Jumantara dapat hadir di hadapan pembaca. JUMANTARA adalah akronim dari Jurnal Manuskrip Nusantara, yang secara harfiah mempunyai makna angkasa. Tentu, semua itu terdorong oleh harapan bahwa Jumantara akan terbit mengangkasa dengan tetap menapak bumi, menggali sumbersumber dari berbagai khasanah, kemudian mengangkatnya ke pentas dunia. Dengan terbitnya jurnal ini kami berharap kekayaan leluhur pada masa lalu serta benang merah yang menghubungkannya dengan kehidupan masa kini dan masa mendatang, dapat terungkap. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa manuskrip merupakan suatu hasil karya cipta budaya manusia yang mempunyai arti sangat penting dalam perkembangan kehidupan manusia, karena manuskrip merupakan salah satu kunci pokok pembuka cakrawala menuju era kehidupan baru manusia. Dari manuskrip kita akan mengetahui tentang kehidupan, tata cara, dan adat istiadat masa lampau. Diharapkan pula dengan terbitnya Jumantara dapat membangkitkan semangat masyarakat, terutama generasi muda, untuk menggali dan mengkaji manuskrip nusantara. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengenali manuskrip nusantara maka akan lestarilah peninggalan hasil budaya bangsa ini. Kumpulan tulisan pada edisi perdana ini cukup beragam, dengan satu perhatian yang sama, naskah. Keberagaman tersebut niscaya akan memperkaya pengetahuan kita akan budaya daerah di Indonesia, sehingga semakin kokohlah jati diri kita sebagai bangsa. Kami senantiasa menantikan partisipasi pembaca melalui gagasan dan pemikirannya. Pamungkas, mudah-mudahan terbitnya Jumantara dapat bermanfaat bagi kejayaan Indonesia. Semoga.

Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

5

Amir Rochkyatmo

AMIR ROCHKYATMO

SASTRA WULANG, SEBUAH GENRE DI DALAM SASTRA JAWA DAN KARYA SASTRA LAIN SEJAMAN

Sejak dikenalnya tradisi keberaksaraan, menandai dimulainya penulisan teks sebagai langkah lanjut masa kelisanan. Kehidupan sastra Jawa tertulis telah menjelajahi waktu cukup panjang dan melampaui beberapa periode. Pada masa keberaksaraan karya sastra dalam teks merupakan rekaman tertulis dari karya cipta dalam bentuk wacana. Ia mengungkapkan gagasan, buah pikiran, anganangan, rekaman peristiwa dan lain-lain, disampaikan secara tertulis dalam bentuk teks. Teks merupakan ungkapan karya cipta pengarang yang melahirkannya melalui medium bahasa. Sebagai sarana ungkap, bahasa membingkai rasa, cipta dan karsa. Bahasa menjadi sarana komunikasi dan interaksi antar manusia untuk berbagai tujuan praktis, artistik bahkan juga filologis (Herusatoto, 1991). Dengan bahasa para pembaca dapat memahami dan menghayati pesan dan amanat yang tersurat atau tersirat. Kehidupan sastra Jawa telah menempuh perjalanan cukup panjang. Para pengamat dan peneliti sastra Jawa membuat periodisasi rentang pengalaman panjang itu. Mereka melakukan pengamatan seiring dengan perkembangan politik kerajaan dan penguasanya. Pada waktu itu keraton selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat kegiatan budaya. Mereka yang membuat periodisasi perkembangan sastra Jawa, diantaranya: Berg (1928, 1929), Poerbatjaraka (1952), Pigeaud (1967), Kementrian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1946), Zoetmulder (1974) dan Ras (1988).

6

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Salah satu periode yang dilalui adalah periode Jawa Tengah. Pada masa itu kegiatan sastra berada di Jawa Tengah pada abad ke 18 dan 19. Saat itu kehidupan sastra berpusat di kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah: Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta (Pigeaud: 1967), bahkan pada abad ke 17 pun kehidupan sastra Jawa sudah mulai menggeliat. Sejaman dengan aktivitas sastra di Jawa Tengah, di sepanjang pesisir utara pulau Jawa pun mulai menampakkan kegiatannya. Hadirnya skriptorium di sepanjang pesisir utara pulau Jawa beserta produk tulisannya menunjukkan indikasi adanya aktivitas penulisan sastra. *** Karya sastra Jawa produk masa Surakarta dan Yogyakarta pada abad ke 18 dan 19 digolongkan masa Kebangkitan. Waktu itu pusat budaya berada di Surakarta dan Yogyakarta. Para penulis sastra tinggal dan beraktivitas di pusat kerajaan. Mereka dikenal dengan sebutan pujangga (Pigeaud, 1967). Kemudian karya sastra buah tangan mereka dan pengarang lain sejaman, disebut sastra masa kapujanggan. Penyajian karya sastra itu dikemas dalam tembang macapat, meliputi beberapa genre, seperti: dongeng, belletri, cerita wayang, babad, agama, sastra wulang, novel. Pada masa Surakarta/ Surakarta awal, produk penulisan naskah sastra menampilkan dua bentuk teks: 1. Penulis sastra masih meneruskan jejak pengarang-pengarang terdahulu, yaitu membuat gubahan bersumber dari kitabkitab sastra yang lebih tua atau kitab berbahasa Jawa Kuna. Teks sastra sumber itu diolah, digubah, dibangun kembali dan disusun dalam tembang macapat, berbahasa Jawa Baru. 2. Mencipta dan menyusun karya cipta baru, berbahasa Jawa Baru dalam tembang macapat. Penulis sastra Jawa pada abad ke 18 dan 19 yang pada umumnya berasal dari lingkungan kerajaan, hasil karyanya dipersembahkan kepada raja atau penguasa sebagai ungkapan rasa pengabdian dan menjunjung tinggi martabat raja. Juga diperuntukkan kepada pendahulu/ pemula dinasti, pewaris danJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

7

Amir Rochkyatmo

kerabatnya. Terhadap golongan setingkat rakyat penulisan sastra dimaksud untuk memberi ajaran, mendidik dan memperhalus budi pekerti (Sudewa, 1989). Hadirnya karya sastra masa Surakarta dan Yogyakarta bersamaan dengan tampilnya pengarang sejaman, seperti: Yasadipura I dan II, Ranggawarsita, Padmasusatra (Wirapustaka), Ranggasutrasna, Sunan Paku Buwana II, III, IV, dan V, Pangeran Mangku Nagara IV, Sri Paku Alam II, M.Nalasastra, R.Arya Natanengrat, Sindusastra, Ranggasutrasna, membuahkan hasil karya tulis yang cukup berarti. Hadirnya Ranggawarsita di ranah kepengarangan sastra Jawa, merintis penulisan berbentuk gancaran. Karya sastra pada masa Surakarta, diantaranya Serat Menak Kartasura, Serat Rama Jarwa, Serat Bratajarwa, Serat Wiwaha jarwa, Serat Tajussalatin, Serat Sewaka, Serat Wulangreh, Wulan putri, Wulangsunu, Wulang Dalem Sinuhun Paku Buwana IX. Karya Sunan Paku Buwana V yang dikerjakan bersama dengan Yasadipura II, Ranggasutrasna dan Kyai Imam Besari membuahkan karya Serat Centhini. Pangeran Mangku Nagara IV meripta Serat Wedhatama, menyusul kemudian Serat Tripama, Serat Wirawiyata dan serat sastra wulang lainnya. Kitab-kitab sastra karya Ranggawarsita cukup banyak, diantaranya: Serat Ajipamasa, Jakalodhang, Serat Jayengbaya, Serat Witaradya, Serat Kalatidha, Serat Hidayat jati, Paramayoga, Cemporet. Di Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra telah dirintis sejak masa Mataram Islam. Tampilnya Sultan Agung sebagai penguasa kerajaan Mataram Islam (1613-1646), dengan karyanya Serat Sastra Gendhing, menegaskan: orang hanya layak mengaku trah Mataram apabila mampu memahami dan menghayati Sastra dan Gendhing (Sudewa, 1991). Sastra Wulang karya Sultan Agung itu telah didahului oleh karya sastra dari Wangca sebelumnya, yaitu Serat 8Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Nitisruti buah karya Pangeran Karanggayam pada masa Pajang (Sudewa 1991,l,c). Sultan Hamengku Buwana II menggubah Serat Suryaraja (1774), R.T.Jayangrat mengarang Babad Kraton (1777), Sri Paku Alam menulis Sujarah Darma (1794), sebuah versi Serat Menak. Pada masa sejaman (abad ke 18 dan 19), sastra pesisir pun menunjukkan aktivitas, dengan hadirnya beberapa teks hasil kegiatannya, seperti Panji Priyembada, (Ngabehi Puspadireja 1750), Serat Jayalengkara (Jayasastra 1790), Serat-Asthapraja-Ni Silakrama (Mas Sumadirana, 1791), Serat Manikmaya (Kartamursadah), Serat Panji Priyembada, versi Panji Jawa Timur yang merupakan tokoh panji sebagai cultural hero. Serat Sewaka berisi puisi moralitas dedaktis, Asthapraja memuat ajaran keterampilan seorang negarawan, Ni Silakrama berisi ajaran kehidupan perkawinan dalam bentuk dialog. Serat Iskandar menuturkan riwayat hidup raja Iskandar Dzulkarnain. Serat Manikmaya memaparkan ajaran laku, dan kosmogoni. Serat Jayalengkara bermuatan ajaran moral, sikap hidup, siasat perang dan ketataprajaan (Sedyawati, 1988/ 1989). Masa kerajaan Kartasura mewariskan empat buah naskah sastra, yaitu: Serat Menak, Serat Yusuf, Serat Isakandar dan Serat Ngusulbiyat. Empat naskah sastra itu bersumber dari sastra Melayu yang digubah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Penggarapannya atas perintah Kanjeng Ratu Mas Blitar (permaisuri Sunan Paku Buwana I di Kertasura). Serat Menak dan Serat Yusuf merupakan keberhasilan keraton Kartasura di bidang budaya. Ditenggarai dengan munculnya naskah-naskah Serat Menak dan Serat Yusuf (Sudewo, 1995). Serat Menak yasan Kartasura termasuk dalam naskah Serat Menak yang tertua. Poerbatjaraka memperkirakan bahwa cerita Menak masuk ke dalam sastra Jawa pada abad ke 17 pada masa kerajaan Mataram (Poerbatjaraka, 1940). Pada abad ke 16 dan 17 cerita Menak banyak ditulis di daerah pesisir utara Jawa Timur, Madura, Bali dan Lombok. Pembacaannya dengan ditembangkan, 1970).Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

9

Amir Rochkyatmo

Serat Menak gubahan pada masa Kartasura (selanjutnya disebut Menak Kartasura) masih dekat dengan Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu. Pada abad ke 18, Yasadipura menyusun Serat Menak, bersumber dari Menak Kartasura (Pigeaud, 1967), selanjutnya disebut Menak Yasadipura. Teksnya termasuk teks terpanjang diantara serat-serat yang ada. Menak Yasadipura pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka (1933) menjadi 33 judul, sebanyak 46 jilid. Dua naskah Serat Iskandar warisan peninggalan masa Kartasura pada abad ke 18, adalah: 1. Serat Iskandar RP 262, koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, ditulis tanggal: 30 September 1729. 2. Serat Iskandar PB A 257, koleksi Museum Sana Budaya, Yogyakarta, ditulis tanggal: 20 Mei 1790. Penggubahan Serat Iskandar, Serat Menak dan Serat Yusuf masa Kartasura dimaksud sebagai wasiat bagi cucunda Kanjeng Ratu Mas Blitar (permaisuri Sunan Paku Buwana I), yaitu Sunan Paku Buwana II, sebagai penambah kekuatan dan wibawa di bidang seni budaya. (Sudewa, 1995) Karya sastra abad ke 18 dan ke 19 pada masa kartasuraSurakarta, diantaranya berupa sastra wulang. Sastra wulang memuat kandungan pesan yang tersurat dan tersirat. Konsep wulang bermakna pesan, ajaran, pedoman, tata negara/ tata pemerintahan, tuntunan, bimbingan (Adiwimarto dan Suparto, 2001). Kegiatan sastra di keraton Surakarta, sebagai kelanjutan kraton Kartasura, telah berlangsung sejak masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II. Karya sastra pada masa itu dan masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, diantaranya: Serat Nitisruti, Serat Wulang Dalem Suanan Paku Buwana II dan Serat Wiwaha Jarwa. Masa Sunan Paku Buwana IV ditengarai dengan hadirnya Serat Wulangreh, sebuah sastra wulang yang bernuanasa religious. Karya 10Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

sastra lain yang sejaman adalah Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat Wulangsunu. Karya sastra masa Sunan Paku Buwana V adalah serat Centhini. Hasil penulisan sastra pada masa Sunan Paku Buwana VII bersifat dedaktis. Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana VIII membuahkan karya sastra hasil ciptaan Ranggawarsita, seperti: . Cemporet, Ajipamasa, Paramayoga, Witaradya, Kalatidha, Jakalodhang, Sabdajati..

Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IX banyak menghasilkan karya sastra yang bergenre sastra Wulang. Saat itu berbarengan dengan masa hayatnya pengarang sastra jawa yang aktif berkarya, seperti: Ranggawarsita, R.T. Tandhanagara, K.P.H.Kusumadilaga, Pangeran Mangku Nagara IV banyak menghasilkan karyacipta: sastra wulang, seperti: wedhatama, Tripama. Wirawiyata, Mayakawara, Warayagnya dan masih banyak Lagi (Sindunagara, 2001). Beberapa penggal kutipan berikut ini berasal dari karya sastra masa pra Surakarta dan masa Surakarta. SERAT NITISRUTI, naskah koleksi Netherlands Bible Society No.NSB 59, bait 3. Purwaning wasita nitisruti, pindha pandhita wraksa candhana, dinina dinandha dumeh, pamangsulnya mrik arum, dening budi wahya wiyati, kesisan wraning ima, nirmala sumunu, sanityasa tyas sung santa, singular saking gelah-gelahtata sukci, byakta spasthika maya. (Awal ajaran Nitisruti, pendeta ibarat kayu cendhana, dihina dan dipukul, membalasnya dengan bau harum semerbak. dikarenakan budinya bagai langit, terhembus oleh kabut bersinar bersih tiada noda. Hati nuraninya senantiasa memberikan kesucian, jauh dari kejahatan, tertata suci, indah bagaikan permata). (Sudewa, 1989).

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

11

Amir Rochkyatmo

Nitisruti, naskah NBS 59, bait 83. 83. Jayeng rana pandhiteng palagan, palunggyaning byuha tan len, wekasing tapa luhur, jayeng westi legaweng apti, pratapaning prawira, wor tapaning wiku, tapa tapakaning jaya, mukyaning atapa graning gung wesi, anembah ing alaga. (Berjaya di medan peperangan, itulah bertapa di arena laga, tidak lain ia berada di arena siasat perang, itulah tapa yang luhur, tapanya seorang perwira jaya dalam bahaya rela mati, mengalahkan tapanya pendeta, tapa semacam jalan ke arah unggul, utamanya tapa di puncak gunung besi, disembah di medan perang). 84. Yen amangun laga jayeng jurit, den prastawa ingering sopana, purba titih bubukane, agama setya ayu, panggahana teka ing pati, away kaselan meda, mageng bahyanipun, nandyan ana hru sayuta, sedya ayu agama kang amayungi, dwaja anut cancala. (Kalau kau madju perang agar jaya di peperangan, hendaknya waspada akan gerak arah, kuasa dan menang awal agama agar setia dan selamat, kukuhilah hingga akhir hayat, jangan terhalang kebiasaan buruk, bahayanya besar, meski datang sejuta anak panah, maksud baik dilindungi agama, tanda-tanda menyertai). Naskah Nitisruti sebanyak 49 buah, tersebar luas di masyarakat. Terdapat naskah Nitisruti yang berasal dari Yogyakarta, Cirebon bahkan dari Sumedang (Sudewa, 1989 mengutip dari Pigeaud, 1968). Ranggawarsita menjarwakan Serat Nitisruti pada tahun 1871, diterbitkan oleh Landsdrukkerij. Ada pula Serat Nitisruti jarwan bertembang macapat, terdapat pada naskah koleksi Netherlands Bible Society dan naskah koleksi keraton Surakarta no.219 (Pigeaud, 1968 dan Girardet, 1983 dikutip oleh Sudewa, 1989). Di bagian akhir Serat Nitisruti terdapat kutipan Asthabrata, yaitu ajaran Rama kepada Wibhisana, saat Wibisono dikukuhkan menjadi raja di Alengka, menggantikan Rawana. Ajaran ini berisi wulang bagaimana seharusnya raja/penguasa/pemimpin bersikap dan berpihak di masyarakat (Sudewa, 1989), dengan meneladani 12Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

delapan dewa: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni. Nitisruti mengajarkan: seorang pendeta diibaratkan kayu cendhana. Betapa pun dihina, dicerca, diterpa dan dipukul, tetap mengeluarkan bau harum semerbak, dikarenakan perilaku dan budi pekertinya yang baik bagaikan langit bersih jernih. Hati nuraninya senantiasa memberikan kesucian jauh dari kejahatan, bersifat suci indah bagaikan permata. Berjaya unggul di peperangan, rela korban jiwa itulah tapa yang luhur, tapanya seorang prajurit. Bahwa bertapanya di ujung senjata menalahkan tapa seorang pendeta. Di medan laga ia dihargai dan dihormati. SERAT NITIPRAJA Naskah Serat Nitipraja 6687 ., pan wus titi serat Nitipraja, kang ngapus nguni jalmane, Empu Rajasabahu, pan ing Pajang ingkang nagari, telasipun Mataram, anggite sang empu, duk Mataram dinekahan, marang Ki Ageng Pamanahan sarengneki, esahing Nitipraja (Tamatlah sudah kitab Nitipraja, dahulu yang mengarang, Empu Rajasabahu di negri Pajang. Selesainya sang empu menulis, akhir Mataram, tatkala Mataram dihuni, oleh Ki Ageng Mataram, bersamaan dengan selesainya Nitipraja) (Sudewa, 1989) Serat Nitipraja, naskah LOR 1809 Kaya ta sira amatinggi, lumakyeng desa aseba karang, den kareksa dirgamane, galeng watesing dhusun, langlangana rahina wengi, dursila den kareksa, anudaa laku, anggempala sekaraman, kang atunggu rumekseng watesireki, lalaren saben dina (Anjenengana langgar den aglis, arepena kerajaning toya, ingkang awening bejine, angungkurena gunung, myangJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

13

Amir Rochkyatmo

pegagan tegal kang asri, munggeng ayuning desa, paringana rawa susukuning wukir yeku sira sedyaa. (Kalau kau jadi pemimpin, berjalan mengelilingi wilayah pedesaan, waspadalah akan bahaya, pematang dan batas dewa, awasi kelilingilah siang malam, berhati-hatilah akan kejahatan, lakukan jalan pintas, urungkan pemberontakan, penjaga perbatasan, urusilah setiap hari) (cepat, bangunlah langgar, hadapkan ke arah sumber air, yang pelumbangnya bening, yang membelakangi gunung, serta ladang tegal yang indah di depan desa, berilah danau di kaki bukit, rencanakan itu). Serat Nitipraja berisi ajaran kepada golongan pejabat, bagaimana sikap seorang pemimpin, kepala daerah, kepala desa bersosialisasi dengan masyarakatnya dan menjadikan warga daerahnya aman, nyaman dan sejahtera. (Sudewa, 1989). Naskah Serat Nitipraja banyak beredar di Jawa Barat, ada yang dari Cirebon dan Sumedang (Sudewo, 1989 mengutip Pigeaud 1968). Serat Nitipraja dengan pupuh Dhandhanggula, dari setiap naskah jumlah baitnya tidak sama, ada 76 bait, 60 bait, ada juga sebanyak 52 bait. Pada bait terakhir naskah Serat Nitipraja LOR 6687 mengatakan bahwa naskah ditulis pada jaman Pajang (Sudewo, 1989) SERAT SEWAKA Serat Sewaka, naskah LOR 6687, Lamun ingutus tan antuk kardi, aja mencanga lugu ing tengah, ngatalad kang entuk gawe, bali manah den suntrut, den angrasa wiring aisin, dene tan antuk karya, netya den tumungkul, yen antuk sira den mekar. (Bila engkau diberi tugas tidak berhasil, jangan meneronjol ditengah, menggeser orang yang berhasil, sebaliknya perasaan hendaknya murung, merasalah aib dan malu, sebab tidak berhasil, pandangan menunduk murung, kalau berhasil berbanggalah. 14Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Serat Sewaka, naskah LOR 6687 Lamun sira tinitah bupati, anganggoa ambek kasudarman, den agung pangapurane, sabda den manis arum, angecani ingbalaning, prihen tresnaambapa, manah den rahayu, away murungaken bakal, aja watek babaringkil ing wong cilik, pasthi kasebut arda. (kalau kau ditakdirkan menjadi bupati, bersikaplah seperti bapa, perbesarlah maafmu, ucapkan kata-kata manis, mengenakkan perasaan anak buah, perasaan hati(mu) yang baik, jangan menggagalkan kehendak orang kecil, pasti kau disebut orang (loba). Serat Sewaka memberi ajaran mengabdi kepada Negara dan penguasa, bagaimana sikap seorang punggawa terhadap atasan, teman sejawat dan rakyat, dalam tata kerja yang tertib, rukun dengan sesama. Demikian pula sikap seorang pemimpin, hendaknya bersikap sebagai bapa, besar maafnya, buatlah anak buah saying dan membapa. Salah satu naskah Serat Sewaka, koleksi Universitas Leiden bernomor DFT S 240/280-31, dengan terjemahan Bahasa Belanda, Berangka tahun 1816 (Pigeaud 1968, dikutip Sudewo 1989), dengan judul Serat Piwulang. Tahun 1951 serat piwulang dicetak oleh Wilkens. Saat itu juga Serat Sewaka digubah menjadi prosa oleh Puspawilaga. Naskah Serat Sewaka LOR 6687 mempunyai tiga versi: 1. Naskah pendek sebanyak enam bait pupuh Dhandhanggula, 1621 AJ. 2. Naskah panjang sejumlah 120 bait pupuh Dhandhanggula, tahun 1621 AJ. 3. Naskah panjang, terdiri tujuh pupuh dalam berbagai metrum, tahun AJ 1702. (Pigeaud 1968 dikutip Sudewo, 1989). Sastra wulang masa Surakarta menyertakan Serat wulangreh, Serat Wedhatama dan Serat Sasana sunu. Tiga sastra wulang itu mengamanatkan upaya memasyarakatkan nilai luhur dan mulia, tercermin dari makna penggalan pupuh Dhandhanggula padaJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

15

Amir Rochkyatmo

pertama. .. untuk memperjelas ajaran luhur dan mulia menjadi terang (Sudewo, 1992). Sepotong makna kutipan dari pupuh kinanthi, mengamanatkan kalau sudah menjadi orang besar, janganlah tinggi hati, (Serat Wulangreh, pupuh kinanthi). Kemudian diamanatkan agar manusia jangan berpekerti seperti diibaratkan tiga sifat: kijang, gajah dan ular yang masing-masing mengandalkan dan menyombongkan dirinya mampu berlari kencang, sosok yang tinggi besar perkasa, dan keampuhan bisanya. Manusia jangan meninggalkan tatanan adat dan kesopanan, sebab apa pun jadinya nasib diri inim berasal dari sikap membawa diri dan memelihara ucapan. Amanat Pangeran Mangku Nagara IV di dalam Serat Wedhatama berpesan agar manusia senantiasa mengamalkan kandungan Serat Wedhatama, yang mengajarkan bagaimana seharusnya manusia berperilkau yang ideal. Ajaran Serat Wedhatama menyerambah kepada semua insan. Orang yang tidak tahu rasa, tidak sadar diri, bagai ikan sepah yang tawar hambar, tak berarti. Inti dan hakekat martabat diri niscaya tampak dari ucapan yang panjang lebar tanpa juntrungan dan tidak lazim. Yasadipura di dalam Sasanasunu mengamanatkan kepada anakcucu hendaknya membiasakan belajar ilmu, berguru para ulama, dan minta nasehat kepada manusia utama. Hendaknya bisa rendah hati dan jangan sok pintar. Hendaknya ingat dan cermat, jangan terburu-buru sebelum tahu maksudnya. SERAT WULANGKAH Salah satu pesan wulang pendidikan budipekerti, tersebut di dalam Serat Wulangreh, pupuh Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Durma, Mijil dan lain-lain.

16

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Dhandhanggula Nanging yensira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing kukum, kang ngibadah lan kang ngirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkur, tan mikir pawewehing layan, iku pantes sira guronana kaki, sartane kawruhana. (Tetapi bila engkau berguru, pilihlah manusia yang jelas dan baik martabatnya, dan yang tahu akan hukum, yang beribadah dan suka melatih diri, apalagi mendapatkan pertapa, yang tekun melaksanakan tapanya, tidak memikirkan pemberian orang, dia tepat kau jadikan guru dan ketahuilah) Kinanthi Yenwus tinitah wong agung, aja sira gunggung diri aja raket lan wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak sateman anunulari. (Apabila telah menjadi orang besar, janganlah kau tinggi hati, jangan berdekatan dengan orang jahat, watak jahatnya itu, pasti akan membawa-bawa dan mempengaruhi)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

17

Amir Rochkyatmo

Gambuh Aja nganti kebanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos. ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh, (Segala perbuatan yang tidak benar jangan sampai terlanjur, kalau terlanjur pasti tidak akan baik dan sial, lebih baik carilah nasehat yang benar) (Ada ucapan, adiguna adigang dan adigung, Kijang berwatak adigang, gajah berwatak adigung, dan ular berwatak adiguna) Pangkur Kalamun ana manungsa, anyinggahi dugi lawan prayogi, iku wateke tan patut, amor lawan wong kathah, wong degsura daludur tan wruh ing edur, aja sira pedhak-pedhak, nora wurung neniwasi. (Apabila ada manusia, menyingkiri adat dan tatanan, Sifat itu tidak baik berkumpul dengan orang banyak, orang yang tidak tahu kesopanan, semau sendiri dan tak tahu adat, 18Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

janganlah kau dekat-dekat, akhirnya ketularan) Mijil Mulane ta wekasingsun kaki, den kerep tetakon, aja isin ngatonken bodhone, saking bodho witing pinter kaki, mung nabi kekasih, pinter tan winuruk. (makanya pesanku nak, seringlah bertanya, jangan malu menampakkan kebodohan, asalnya pandai dari bodoh, hanya nabi kekasih pandai tanpa diajar) WEDHATAMA Pangkur Jinejer neng wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasam yekti sepi, asepa lir sepah samun, samangsane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi. (Tersebut di dalam Wedhatama, agar kandungan akal budi tidak menjemukan, pada hal meski tua renta pun, kalau tidak tahu rasa perasaan, pasti sepi bagaikan sepah kosong yang tawar hambar, sewaktu di pergaulan, tingkah lakunya tak tahu adab, memalukan)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

19

Amir Rochkyatmo

Pocung Ngelmu iku, kelakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani setya budya pangekese dur angkara. Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, tri loka lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda. (Ilmu itu, terlaksananya dengan dijalani, diamalkan, caranya dengan bersungguh-sungguh, bersungguh-sungguh itu menguatkan, setia dan berkemauan memberantas nafsu angkara) (Nafsu angkara yang berkobar yang senantiasa melilit di badan, golongannya menjelajah hingga tiga dunia, kalau dibiarkan merajalela menjadi halangan) SASANASUNU Dhandhaggula Den agedhe sukurireng Widhi, aywa lupa sireng sanalika, den rumeksa ing uripe, den madhep ing Hyang Agung, den apasrah aywa sak serik, manawa ana karsa uripta pinundhut, ngaurip wasana lena, tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip, aywa acipta dawa.

20

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

(Seketika jangan lalai perbesar rasa sukurmu kepada Tuhan, jagalah hidup(mu) hendaknya menghadap mantap kepada Yang Maha Besar, pasrahlah jangan merasa sakit hati, apabila kehendak(Nya) hidupmu ditarik kembali, hidup berakhir mati, panjang dan pendeknya hidup tidak tertentu, jangan berpikir panjang umur Asmaradana Den kerep nggegulang ngelmu, nggegurua pra ngulama, lawan den kerep tetakon, den bisa anoraga, aywa kuminter kumingsun, nadyan silh wusa bisa (Hendaknya sering belajar ilmu, bergurulah para ulama, dan sering-seringlah bertanya-tanya, hendaknya bisa membawa diri, jangan merasa pintar dan sombong, meskipun seandainya sudah bisa) Kinanthi Ywa kagetan ywa kesusu, yen durung wruh temeneki, manawa kadi si mina, patine kena ing pancing, during wruh ing kamandaka, mung lobane den turuti. (Jangan gampang kaget dan jangan terburu-buru, kalau belum tahu kebenarannya, kalau-kalau seperti si ikan,Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

21

Amir Rochkyatmo

ajalnya terkena pancing, belum paham akan tipuan, hanya menuruti nafsu lobanya) Serat Wulangreh karya Sunan Paku Buwana IV cukup dikenal di kalangan pembacanya. Serat sastra wulang ini dicipta tahun 1735 AJ (Darusuprapta, 1982 dan Pigeaud 1968, dikutip Sudewa, 1989), dengan candrasangkala tata guna swareng nata, Naskah Serat Wulangreh, diantaranya terhimpun di dalam kumpulan naskah, seperti: Panitisastra saha Piwulang Warni-Warni PW 46-NR 80, Sasanaprabu PW 87-A 41, Serat Suluk PW 140-NR 168, koleksi Fakultas Sastra UI (sekarang FIB-UI) (Behrend-Titik Pudjiastuti 1997). Serat Wulangreh juga sudah diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediri dan Darusuprapta 1982, Wiryapanitra. Serat Wedhatama karya Pangeran Mangku Nagara IV naskahnya tersimpan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dahulu Fakultas Sastra UI), terhimpun dalam kumpulan naskah-naskah, diantaranya: Primbon Piwulang PW 54-NR 67, Serat Wedhatama disalin RM Panji Pringgosaputro PW 68-NR 52, Serat Suluk mawi Piwulang PW 143-NR 84, Serat Wedhatama Sarta Rumpakan PW 162-A 16, Serat Wulang Warni-Warni PW 179-NR 68. Penerbitan Serat Wedhatama oleh: Padmasusatra dalam Dwijaiswara, R Pujaharja, Noordhof Kolff, 1953, Yayasan Mangadeg. Serat Sasanasunu, karangan Yasadipura II, diantara naskahnya terdapat di koleksi Fakultas Ilmu Budaya UI (Fakultas Sastra UI terhimpun dalam kumpulan Naskah: Serat Sasanaprabu PW 87- A 41 dan Serat Wulang PW 181-NR 189. Penerbitannya oleh SM Diwarna, tahun 1928. (Poerbatjaraka, 1957). *** Karya sastra dicipta, direka, ditulis dan diungkapkan oelh penulis sastra. Ia melahirkan buah karyanya dengan maksud menyampaikan sesuatu yang memberi kenikmatan atau ingin menyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah bagi kehidupan serta peningkatan kwalitas hidup manusia dan masyarakat (Teeuw, 1984; Damono, 1992). 22 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Penulisan sastra dimaksud sebagai sarana mempertinggi kwalitas hidup manusia dan masyarakat. Sastra hendaknya memberi kenyamanan estetis kepada peminatnya (Sedyawati, 1988/1989). Dalam rangka mengamalkan ilmunya pengarang sadar wajib menulis untuk mencerdaskan dan menamah wawasan masyarakat, dengan maksud menyajikan perilaku yang baik untuk membangun kewibawaan dan kemuliaan raja serta menjunjung tinggi martabatnya. Pujangga menulis atas nama raja dan mempersembahkan karyanya kepada raja. Jasa dan pengabdiannya di bidang penulisan sastra turut memberikan andil yang tidak ternilai. Hasil karyanya turut memberikan sumbangan dalam pendidikan moral dan spiritual, manambah kekayaan rohani, memperluas wawasan dalam rangka mendidik dan mencerdaskan rakyat dan masyarakat (Rochkyatmo 2001). Membaca dan menikmati karya sastra berarti membuat dialog dengan karya sastra itu. Dari dialog itu dapat dicermati muatan keindahan, menafsirkan maknanya secara keseluruhan, meliputi genre, tema, dan sebagainya (Damono, 1992). Makna sebuah teks pada hakekatnya merupakan ciptaan dari pembaca masing-masing (Luxemburg, 1989). Karya sastra masa Surakarta dan pra Surakarta, diantaranya bergenre sastra wulang. Menelaah dan mencermati sastra wulang berarti berupaya memahami makna dan kandungan amanatnya. Sastrawulang masa pra Surakarta, dalam hal ini Serat Nitisruti, Serat Nitipraja dan Serat Sewaka, memberi petunjuk cara mengabdi, berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukan masyarakat, dibawah naungan kerajaan. Ditekankan untuk pengabdian kepada raja, melalui pemikiran tasawuf Islam (Sudewa 1989). Sastra wulang masa Surakarta, atas telaah terhadap Serat Wulangreh, Serat Wedhatama dan Serat Sasanasunu, intinya mengajarkan pembentukan sikap pribadi yang ideal untuk memelihara kestabilan masyarakat (Sudewa, 1989). Dalam upaya memasyarakatkan nilai luhur dan mulia sastra wulang masa 23 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Amir Rochkyatmo

Surakarta mengamanatkan agar menjalani ibadah dengan memegang syariat Islam (Sudewa 1989). Nilai budaya (Jawa) yang terkandung di dalam karya sastra yang senantiasa mendahulukan keseimbangan antara kesejahteraan lahir batin. Sikap tersebut layak dipertahankan dan tetap akan berlaku di masa mendatang. Kekayaan kultural budaya Jawa terletak pada ajaran hidup, seperti kandungan sastra wulang, untuk mendapatkan keselamatan, kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan, baik yang termuat pada karya sastra, utamanya sastra wulang mau pun yang terungkap melalui karya seni lainnya.(Wibisono, tt). Nilai budaya (Jawa) yang hingga sekarang ini masih ada yang relevan dengan suasana jamannya, dikarenakan karya budaya itu seperti teks sastra, yang mampu bertahan hidup berarti teks itu memiliki potensi yang kuat, sebab pembaca dari berbagai jaman dan berbagai ragam berpikir, dapat menyesuaikan dengan jamannya. Potensi teks hanya dapat terwujud karena aktivitas pembacanya (Sudewa, 1989). Teks sastra yang potensial itu patut menjadi sumber ajaran moral dan tuntunan hidup bermasyarakat (Wibisono tt). Pujangga beserta karya sastra wulangnya ternyata secara bijak telah menyikapinya sejak dini. Dengan memahami, menghayati dan mengamalkan pesan dan amanat yang tertuang di dalam sastra wulang yang kaya akan pendidikan budi pekerti niscaya menjadi pengasah kepribadian luhur di dalam menabur amal kebaikan dan menggelar kearifan sebagai perwujudan manusia ideal. ***

24

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawa dan Karya Sastra Lain Sejaman

Kepustakaan Damono, Sapardi Joko, 1992. Pengarang, Sastra dan Pembaca, dalam: Lembaran Sastra Universitas Indonesia, 17 Juli 1992. Depok: Fakultas Sastra UI. Damono, Sapardi Joko, 2000. Estetika Sastra Jawa Baru, Makalah Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa 1999/2000. Jakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Departemen P dan K. Darusuprapta, 1982. Serat Wulangreh, anggitan Dalem Sri Paku Buwana IV. Surabaya: Citra Raya. Herusatoto, Budiono, 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Penerbit PT Hanindito. Luxemburg, Jan Van, dkk, 1989. Tentang Sastra (terjemahan Achadiati Ikram). Jakarta: Inter Nusa. Pigeaud, Th.P., 1967. The Literature of Java Vol.I. The Hague: Martinus Nijhoff. Poerbatjaraka, 1940. Beschrijving der Handschriften Menak. Bandung: A.C.Nix en Co. Poerbatjaraka, Prof DR RM Ng dan Tardjan Hadijojo,1957. Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan. Rochkyatmo, Amir, 2001. Sastra Jawa Lama, dalam Sastra Jawa, sebuah Tinjauan Umum (ed. Edi Sedyawati dkk). Jakarta: Pusat Bahasa-Balai Pustaka. Sedyawati, Edi, 1988/1989. Laporan Penelitian Sastra Jawa Abad ke 18. Depok: Universitas Indonesia. Sindunagara, Karyana, 2001. Mangku Nagaran, dalam: Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum (ed.Edi Sedyawati dkk). Jakarta: Pusat Bahasa-Balai Pustaka. Sudewa, A, 1989. Serat Panitisastra. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

25

Amir Rochkyatmo

Sudewa, Alex, 1992. Individu dan Masyarakat di dalam Serat Wulangreh, Makalah Seminar Nasional Sastra dan Filsafat UI. Depok. Sudewa, Alex, 1995. Dari Kartasura ke SurakartaYogyakarta: Lembaga Studi Asia. Teeuw, Prof DR A, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wibisono, Singgih, Tanpa tahun. Budaya Jawa Sepanjang Masa. Teks Ceramah _____

26

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M) Departemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

AGUS ARIS MUNANDAR

TINJAUAN NAPAS KEAGAMAAN HINDU-BUDDHA DALAM BEBERAPA NASKAH SUNDA KUNO (ABAD KE-1416 M)

I Di Tatar Sunda didapatkan sejumlah naskah kuno, ada yang sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun lebih banyak lagi yang masih berupa manuskrip yang belum diteliti oleh para filolog naskah Sunda yang memang jumlahnya masih terbatas. Umumnya naskah-naskah Sunda Kuno digubah antara abad ke-14 hingga termuda dalam awal abad ke-16 M. Data kronologi tersebut dapat diketahui secara pasti melalui pencantumkan angka tahun di bagian akhir naskah oleh penggubahnya dahulu. Hal seperti misalnya terdapat dalam kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian yang mencantumkan angka tahun 1440 Saka atau 1518 M, atau dalam masa pemerintahan raja Sri Baduga Maharaja yang berkuasa antara tahun 14821521 (Danasasmita dkk.1987: 6). Ada juga kronologi naskah yang ditentukan secara relatif, karena naskah itu sendiri tidak mencantumkan angka tahun yang pasti. Contohnya adalah naskah Fragmen Carita Parahyangan, berdasarkan uraian isinya naskah tersebut diidentifikasikan berasal dari abad ke-16, mungkin kitab itu ditulis beberapa waktu sebelum runtuhnya Sunda Pajajaran dalam tahun 1579 M, atau beberapa tahun sesudahnya (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 175). Dengan demikian naskah-naskah Sunda Kuno ada yang secara jelas mencantumkan kronologi diselesaikannya karya, ada juga yang tanpa kronologi, namun berdasarkan perbandingan isim, bahasa, dan aksara dengan naskah-naskah lain dapat diketahui berkisarJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

27

Agus Aris Munandar

dari periode perkembangan Kerajaan Sunda di Jawa bagian barat yang juga disebut Tatar Sunda. Beberapa naskah Sunda kuno tersebut ada yang seringkali dijadikan bahan acuan atau dikutip uraiannya oleh para ahli ketika mereka memperbincangkan masalah kebudayaan Sunda Kuno, misalnya kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ada juga naskah Sunda kuno yang telah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun para ahli langka menggunakan sebagai acuan, naskah seperti itu misalnya Serat Dewa Buda. Keadaan itu disebabkan terdapatnya uraian yang berbeda dalam naskah-naskah tersebut, ada yang isinya mudah dipahami, mengandung beraneka data kebudayaan Sunda Kuno, dan masih berhubungan dengan keadaan masyarakat Sunda masa sekarang. Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian memang bersifat ensiklopaedis, kaya dengan uraian kebudayaan Sunda Kuno, dan jelas dalam penyampaiannya, sehingga acapkali diacu oleh para sarjana yang mempelajari sejarah kebudayaan Tatar Sunda. Lain halnya dengan Serat Dewa Buda, dari judulnya saja dapat disiratkan betapa isi dari naskah tersebut. Ternyata memang isi naskah Serat Dewa Buda merupakan uraian alam metafisika yang penuh dengan metafora hingga sukar untuk diartikan. Para ahli sangat kesulitan untuk memahami isinya, oleh karena itu hanya mereka yang berminat mendalami keagamaan Sunda Kuno saja yang akan menelisik kitab tersebut. Kebanyakan naskah-naskah Sunda Kuno digolongkan ke dalam naskah keagamaan, karena memang banyak yang menguraikan tentang hakekat tertinggi, kuasa alam semesta, tujuan akhir kehidupan, cara melakukan pemujaan dan sebagainya. Oleh Karena itu layak jika para ahli filologi menggolongkan naskahnaskah tersebut sebagai naskah keagamaan. Kajian ringkas ini sebenarnya berkehendak untuk mengetahui lebih lanjut perihal nafas keagamaan yang terdapat dalam naskah-naskah Sunda Kuno. Dalam masa itu agama besar yang sedang berkembang di Pulau Jawa, baik dalam masyarakat Jawa Kuno atau pun Sunda Kuno adalah dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Buddha, oleh karena itu kajian ini berupaya untuk mengungkapkan lebih 28Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

lanjut perihal peranan ajaran atau konsep kedua agama besar itu dalam naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno. Sangat mungkin selain adanya ajaran dua agama besar HinduBuddha, terdapat pula ajaran lain yang lebih bersifat religi Sunda Kuno yang tidak bisa dikembalikan ke dalam konsepsi dan ajaran Hindu atau Buddha. Hipotesa tersebut agaknya dapat dibuktikan dalam kajian selanjutnya, mengingat beberapa naskah Sunda Kuno jusutru mendudukkan peranan Hyang lebih tinggi dari pada dewadewa Hindu-Buddha yang telah dikenal dalam kitab-kitab Jawa kuno. Hyang sangat mungkin adalah superhuman beings lokal yang telah dimuliakan sejak sebelum kedatangan pengaruh agama-agama India. Dengan demikian agaknya telah terjadi suatu pembauran dan juga redefinisi lagi ketika agama Hindu dan Buddha berkembang dalam masyarakat Sunda Kuno. Keadaan seperti itulah yang dicoba untuk ditelusuri dan dijelaskan dalam kajian ini, walaupun hanya menggunakan sejumlah naskah Sunda Kuno saja, namun diharapkan hasilnya dapat mencerminkan gambaran sesungguhnya dari isi napas keagamaan dalam kitab-kitab Sunda Kuno. Sebagaimana diketahui bahwa kitabkitab yang disebut bernapaskan keagamaan tersebut pastinya dihasilkan oleh kaum agamawan, oleh karena itu juga ditelusuri masyarakat kegamaan Sunda Kuno yang mungkin menghasilkannya. II Beberapa kitab Sunda kuno berikut ini ditinjau bagian-bagian ajaran yang bernafaskan agama Hindu dan Buddhanya, sehingga dapat diketahui resapan kedalaman kesapan kedua agama itu di dalamnya. Kitab pertama yang dibicarakan adalah Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian, sebagaimana telah dikemukakan bahwa kitab tersebut seringkali diacu oleh para peneliti Sunda Kuno karena sarat dengan berbagai informasi yang diperlukan.

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

29

Agus Aris Munandar

Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian dinamai juga dengan Kropak 630, telah dialihaksarakan dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, lewat Proyek Penelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi). Mengenai nafas agama Hindu di dalamnya antara lain menyebutkan adanya nama-nama dewa dalam kaitannya dengan arah mata angin sebagai berikut: Purba, timur kahanan Hyang Isora, putih rupanya; Daksina, kidul. kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya, Pasima, kulon kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya), Utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; Madya, tengah kahanan Hyang Siwah, [aneka] aneka warna rupanya (Danasasmita dkk. 1987: 75). Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa napas agama Hindu-saiwa dikenal dalam Sang Hyang Siksa. Diuraikan bahwa Hyang Siwah (Siwa) berkedudukan di tengah dan darinya memancar penjelmaannya di berbagai arah mata angin. Dalam konsep Jawa Kuno dinamakan dengan ajaran Nawasanga yang juga masih dikenal hingga sekarang di Bali. Dalam ajaran tersebut tempat kedudukan utama Wisnu di utara, Siwa di tengah dan Brahma di arah selatan selatan masih dipertahankan, dan sama keadaannya dengan keadaan agama Hindu di Jawa bagian tengah dalam masa pembangunan percandian Prambanan. Di percandian Prambanan, Candi Wisnu berada di utara Candi Siwa, dan Candi Brahma berada di selatannya. Di bagian lain dari Sang Hyang Siksa dijumpai pula adanya napas lainnya dari agama Hindu-Siwa, misalnya dinyatakan: Sakala Batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, bakti ka Batara ! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara ! (Danasasmita 1987: 86). (Pesan Batara Jagat ketika menciptakan alam semesta. Ujarnya: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, 30Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

berbaktilah kepada Batara. Ujarnya lagi: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma berbaktilah kepada Batara !). Dalam hal ini dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu itu harus berbakti dan memuja Batara Jagat, namun tidak dijelaskan siapa jatidirinya, artinya kedudukan dewa-dewa Hindu itu lebih rendah daripada Batara Jagat. Sepintas dewa-dewa Hindu itu memang disebutkan namun tidak berada dalam posisi yang penting, sebab kedudukannya lebih rendah dari Batara Jagat. Kitab lainnya adalah Kawih Paningkes yang juga disebut Kropak 419, kitab ini telah dialihaksarakan dan diterjemahkan dalam tahun 1995 oleh Ayatrohaedi dan Munawar Holil. Napas keagamaan Hindu dalam Kawih Paningkes sukar untuk ditelusuri, namun setelah disimak dengan baik terdapat pula unsur kehinduannya, antara lain sebagai berikut: Samangkana hali[h](w)u[s](w)us haliwawar kulem kalawan rahina bulan bentang aditiya ku[w]wung-kuwung kawang-kawang katumbiri teja mentrang kalawan lwah halilar ahening nirawarana laget genina sri yama (Demikianlah topan dan badai tidur bersama siang, bulan, bintang, matahari, pelangi, teja, bianglala, lembayung senja dengan keadaan segalanya hening (tenang), jernih terang apinya Sri Yama)(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 15 dan 35). Dalam Kawih Paningkes disebutkan nama Dewa Yama, dewa itu dalam Hinduisme dikenal sebagai dewa maut yang menjaga neraka. Yama dalam sistem Astadikpalaka (delapan dewa penjaga mata angin) berada di arah mata angin selatan. Tidak ada lagi nama dewa lain yang disebutkan di dalamnya, hanya ada istilah sansekerta yang bercirikan Hindu disebut dalam kitab itu, yaitu Mahpurusa (Paningkes 21b: 2) yang dapat diartikan adalah makhluk yang paling agung, diterjemahkan sebagai Tuhan (Ayatrohaedi & Holil 1995: 37). Mahpurusa walaupun diartikan sebagai Tuhan, dalam kitab itu tidak dapat diartikan sebagai dewa tertinggi dalam Hinduisme, yaitu S iwa Mahdewa. Agaknya konsep tersebut justru mengacuJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

31

Agus Aris Munandar

kepada superhuman being yang bukan dari dewa India, melainkan mengacu konsep keIllahian tertinggi Sunda kuno asli. Dalam kitab Amanat Galunggung atau juga disebut Kropak 632, malahan tidak ada penyebutan nama dewa-dewa Hindu. Jejak kehinduan pun tidak dapat ditemukan dalam Kropak 632, mungkin kitab tersebut memang bukan dimaksudkan sebagai kitab ajaran keagamaan. Kitab tersebut dapat dianggap pesan yang disampaikan oleh kaum agamawan di Kabuyutan Galunggung kepada mereka yang mampu dan menaruh perhatian, agar menjaga keberlangsungan kehidupan agama di tempat itu. Kitab lainnya yang mungkin mengandung ajaran agama Hindu dan Buddha adalah Sewaka Darma atau Kropak 408. Kitab ini sudah dialihaksarakan dan diterjemahkan juga oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, melalui Proyek Penelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi). Kitab tersebut ternyata tidak hanya menyimpan konsep-konsep Hindu, melainkan juga Buddha dan penyatuan Sewa-Sogata ( S iwa-Buddha). Disebutkan adanya Dewa Aditya/Surya (Sewaka, 29:12) dan Yama (Sewaka, 35: 3), lalu juga dinyatakan tentang kahiyangan para dewa Hindu sebagai berikut: 51 Di timur Batara Isora kahiyangan perak putih tiangnya perak berukir bahannya serba perak 52 Rumah bertabur permata bermacam-macam ukiran ditata meniru bunga tempat tinggal hiyang Isora tujuan mereka yang lulus tapa dalam kebahagiaannya 32Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

Di utara Batara Wisnu kahiyangan meru hitam tiangnya besi berukir bahannya serba besi beratap besi Cina berlantai baja 53. tempat tinggal Batara Wisnu tujuan mereka yang sempurna perbuatannya dalam kebahagiaannya. Di barat Batara Mahadewa kahiyangan meru kuning tiangnya emas berukir bahannya serba emas 54. Di selatan Batara Brahma kahiyangan warna merah tiangya tembaga berukir bahannya serba tembaga beratap tembaga bening berlantai tembaga Cina berdinding tembaga Keling 55. Di tengah Batara Siwa kahiyangan yang terang benderang tiangnya baja berukir bahannya aneka macam beratap perak

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

33

Agus Aris Munandar

56 Rumah bertabur permata bermacam-macam ukiran diukir meniru bunga tempat tinggal Batara Siwa tujuan mereka yang sarat dengan amal baik menyelesaikan tugasnya tak urung mendapat kebahagiaan (Danasasmita dkk.1987: 6467). Dalam kitab Sewaka Darma itu, tidak seluruh dewa jelmaan iwa dalam Nawasanga disebutkan satu persatu. Dewa yang diungkapkan hanya Isora (Iswara) di arah Timur, Wisnu di arah utara, Brahma di selatan, dan Siwa di titik tengah. Hanya dewadewa itulah yang disebut dalam Sewaka Darma, sementara itu dewadewa Nawasanga lainnya seperti Sambhu (timur laut), Maheswara (tenggara), Rudra (barat daya), Mahdewa (barat), Sangkhara (barat laut) tidak disebutkan. Adapun mengenai napas agama Buddha, hanya sedikit saja didapatkan dalam uraian kitab tersebut. Uraiannya pun bersifat perumpamaan, jadi tidak lugas menyatakan sifat Bauddhanya, sebagai berikut: sampangan mangregat lima Na jalan pa[da]ti ageung (Sewaka, 28: 89) (Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar) Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaan bagi Panca Tathagata (lima Tathagata) yang terdiri dari Amitabha (barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa (selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telah memperoleh jalan keBuddhaan, para Buddha tersebut hanya dikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, atau juga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-

34

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut dengan na jalan padati ageung. Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain Serat Sewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ayatrohaedi dalam tahun 1988. Naskah tersebut pada waktu itu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah kuna yang diwariskan oleh J.L.A.Brandes kepada Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menjadi lembaga Museum Nasional, namun naskah tersebut sekarang telah menjadi khasanah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Dalam uraian-uraiannya disebutkan adanya napas Hindu dan Buddha, namun hanya sekedar pelengkap saja dari ajaran tentang konsep kekuatan tertinggi masyarakat Sunda Kuno. Keunikan SDB adalah menyatakan dengan jelas bahwa konsep kuasa tertinggi yang dijuluki Sanghyang (Taya) kedudukannya jauh lebih tinggi dari panteon dewa Hindu ataupun Buddha. SDB 26v : 12 menyatakan: 1. sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan, batara batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidak ada 2. gelar puja, tidak dikaji yang serupa dengan teratai besar itu. tidak ada semuanya itu sebelumnya, hingga pada nafas, ujar, dan tujuan sampai berjumpa dengan kearifan (Ayatrohaedi 1988: 163). Demikianlah bahwa Sanghyang Taya lebih dirincikan lagi dalam SDB, bahwa pada akhirnya dapat ditafsirkan bahwa sanghyang tertinggi itu adalah kearifan yang mestinya harus dicapai dan dimiliki oleh setiap manusia. Dewa Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, Raksasa, dan Pitara menurut SDB hanyalah gambaran yang dikeluarkan oleh manusia dari panca paramarta dan panca indranya belaka. Perhatikan uraian SDB 39r: 24 dan 39v: 12 berikut ini:

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

35

Agus Aris Munandar

39r. 2. Ditemukannya tujuan namanya; apakah yang menjadi ukuran tujuan?, yaitu sebagai raga dalam 3. mimpi, tubuh kita pada waktu bermimpi; diwujudkan sebagai tujuan dalam impian, sebagai tempat berenang di danau, seperti melayang 4. di angkasa, sebagai parakul (?) di gunung, sebagai suami, sebagai istri, terjadi dalam impian. Demikianlah bermacam keluarnya tujuan dalam impian, diwujudkan semuanya 39v. 1. oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu, meragakan Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara, ditempatkan dalam puspalingga dan 2. arca. Itulah sebabnya terdapat hyang dalam tujuan dunia seluruhnya dalam waktu (Ayatrohaedi 1988: 176). SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalah kehidupan adalah tujuan (acuan), dan acuan hidup itu ialah Hyang (Sang Hyang Taya). Dalam lingkungan seluruh dunia selalu terdapat Hyang sebagai acuan. Dewa-dewa Hindu dan Buddha dinyatakan hanyalah visualisasi dari tubuh (raga) dalam mimpi, jadi semu agar menjadi konkret kemudian ditempatkan dalam puspalingga dan arca. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditafsirkan bahwa, (1) Sang Hyang Taya adalah kekuatan adikodrati tertinggi yang diseru dalam SDB, (2) Sang Hyang Taya sebenarnya terdapat di dalam setiap diri manusia apabila ia menyadarinya dan juga hadir diseluruh dunia, (3) Sang Hyang Taya harus menjadi tujuan (acuan) bagi semua makhluk, (4) Lingga dan arca dewa-dewa adalah wujud yang semu belaka, bagai raga yang tampil dalam mimpi. Demikianlah dari beberapa kitab keagamaan dari masa Sunda Kuno dapat diketahui bahwa memang terdapat anasir agama Hindu dan Buddha di dalamnya, akan tetapi tidak dominan. Anasir agama Hindu-Buddha tersebut hanya disebutkan saja, tidak menjadi materi utama yang menjadi bahan pembicaraan.

36

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

III Dalam kitab-kitab keagamaan Jawa Kuno, seperti Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Sutasoma, K r e snayana, dan S iwaratrikalpa, walaupun di dalamnya dikisahkan tentang petualangan para ksatrya, namun ajaran keagamaan Hindu atau Buddhanya tetap masih dirasakan. Misalnya ketika Arjuna diminta tolong para dewa untuk memusnahkan Niwatakawaca yang akan merebut kahyangan dalam Arjunawiwaha, Siwa Mahdewa sendiri yang turun ke dunia dan menjelmakan dirinya menjadi ksatrya bernama Kirata. Kisah tersebut sarat dengan metafora pertemuan antara dunia manusia dan dewa-dewa. Begitupun dalam kitab Sutasoma dikisahkan upaya sang pangeran untuk memusnahkan musuh-musuhnya, dan pada akhirnya dapat bertemu dengan hakekat keBuddhaan tertinggi, ia merasa berbahagia mencapai dan memahaminya. Dalam kitab tersebut juga dinyatakan dengan metafora narasi kisah tentang upaya pencapaian ajaran agama Buddha. Kitab S iwaratrikalpa sangat jelas membeberkan konsep keagamaan tentang pemujaan Lingga dalam malam S iwa. Lubdhaka pemburu yang sangat berdosa karena pekerjaannya membunuh makhluk lain, pada akhirnya dapat masuk surga. Sebab Lubdhaka melakukan puja walau secara tidak sengaja kepada Siwa Mahdewa di malam keramat yang sangat disukai oleh dewa tertinggi itu. Kembali kepada naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno, ternyata tidak ada kandungan cerita tertentu di dalamnya. Tidak dijumpai adanya ajaran keagamaan yang dipadukan atau dibalut dengan rangkaian cerita yang berkenaan dengan tokoh-tokoh ksatrya, raja, atau brahmana. Uraian naskah-naskah tersebut apabila berkenaan dengan keagamaan, maka akan langsung menuturkan tentang hakekat tertinggi, atau upaya pertemuan dengan hakekat tertinggi, atau dinyatakan bahwa hakekat tertinggi Sunda Kuno (Hyang) lebih tinggi dari dewa-dewa India (Hindu dan Buddha). Sang Hyang Siksa menyatakan:Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

37

Agus Aris Munandar

Nihan sinangguh Dasa Prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti ka laki, hulun bakti kapacandaan, sisya bakti kaguru, wang tani bakti ka wado, wado bakti ka mantra, mantra bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh Dasa Prebakti (Siksa II). (Ini yang disebut Dasa Prebakti. Anak tunduk kepada bapak; istri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan, siswa tunduk kepada guru, petani tunduk kepada Wado; Wado tunduk kepada mantri; mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepada Hyang. Ya itulah yang disebut Dasa Prebakti) (Danasasmita dkk 1987: 74 dan 96). Berdasarkan kutipan tersebut terdapat peringkat dalam hal pengabdian, dimulai dari seorang anak yang mengabdi kepada ayahnya, lalu ada mangkubumi (penguasa daerah) yang tunduk kepada raja, hingga akhirnya dinyatakan bahwa para dewa mengabdi kepada Hyang. Jelas sekali dinyatakan bahwa kitab Sang Hyang Siksa menjelaskan tentang tingginya kedudukan Hyang dari pada para dewa yang mengacu kepada dewa-dewa Hindu dan Buddha. Kitab Kawih Paningkes tidak menjelaskan tentang konsep dewa-dewa Hindu-Buddha, justru yang diuraikan dengan segala perumpamaannya adalah upaya diri seseorang untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Pengetahuan atau keadaan yang sempurna itu dijelaskan sebagai berikut: Jika cantik tidak cantik, ada ucapan tak berucap, tak ada tekad tanpa tekad, tidak ada ujar tanpa ujar, tidak ada ketunggalan, tidak ada perasaan yang tunggal tanpa rasa. Tak ada raga tanpa kelihatan apa yang terjadi. Tidak ada orang yang terdengar, tak terbelai, tak tergarap. Tidak ada hidup yang terjangkau, tanpa cipat, tanpa warna demikian yang menguasai hasil keutamaan yang sejati (Paningkes 23, Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 29). 38Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

Tidak ada pernyataan lain yang mengarah kepada ajaran Hindu atau Buddha, kecuali yang telah dikemukakan adanya penyebutan Dewa Yama sebagai penguasa neraka, dan Mahapurusa yang bukan Siwa Konsep tertinggi dalam Kawih Paningkes disebutkan dengan julukan Batara Tunasaranta, konsep tersebut bukan Siwa, bukan pula Buddha, karena dijelaskan lagi sebagai pemburu agung yang menurunkan raga, menghadirkan kilat dan hujan, memberitahukan tentang awan yang bergulung-gulung,..di balik angkasa tersamarkan oleh cahaya, matahari, bulan, jika dipandang terlihat lenyap(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 45). Hal yang sungguh menarik adalah apa yang diuraikan dalam kitab Bujangga Manik, kitab langka yang sangat penting bagi pengetahuan kebudayaan Sunda Kuno, sebab menyebutkan gunung-gunung dan berbagai tempat keramat di Pulau Jawa pada waktu kitab itu disusun. Kronologi naskah merupakan salah satu masalah yang menarik untuk diperbincangkan, oleh karena itu peneliti pertama naskah Bujangga Manik, yaitu J.Noorduyn menyatakan: More specifically the mention Majapahit, Malaka and Demak allow us, as we shall see, to date the writing of the story in the 15th century, probably the latter part of this century, or the early 16th century at latest (1982: 414). Noorduyn hanya memberikan kisaran waktu penulisan naskah itu dalam abad ke-15 atau paling akhir pada permulaan abad ke-16 M. Kisaran itu memang mungkin benar karena didasarkan pada penyebutan tempat-tempat yang secara politis sedang berkembang atau masih berkuasa dalam periode yang sama. Kitab Bujangga Manik memang menguraikan data topografi Jawa dalam masanya, dan dapat dipandang sebagai uraian perjalanan ziarah, namun tidak semata-mata tentang hal itu belaka. Bujangga Manik tentunya bersusah payah menyusun naskahnya untuk tujuan yang lebih mendalam bukan sekedar catatan perjalanan. Mengenai hal tersebut sebenarnya telah dikemukakan oleh Noorduyn sebagai berikut:Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

39

Agus Aris Munandar

In this sense our story belongs to the category of religious literature and must have emanated from a religious community, even though it contains hardly any direct lessons on special religious topics, and in this way clearly differs from well-known Javanese stories of travelling mystics (1982: 438). Noorduyn dan A.Teeuw memang telah mengemukakan lebih lanjut tentang bagian-bagian mana yang memperbincangkan tematema keagamaan dalam Bujangga Manik. Dalam kitab itu diperbincangkan tentang kunjungan sang Bujangga Manik ke berbagai pertapaan, tempat-tempat keramat (sasakala), tempat pendidikan agama (mandala), bertemu dengan para guru-guru keagamaan yang tinggi ilmunya (mahapandita), berdiskusi dengan tokoh-tokoh bijak, akhirnya ketika Bujangga Manik kembali ke tatar Sunda ia membuat tempat suci, dan bertapa (Noorduyn & Teeuw 2006: 1628). Menurut Noorduyn naskah perjalanan Bujangga Manik yang menyebutkan berbagai tempat keagamaan di Jawa mungkin dimaksudkan sebagai panduan bagi para pembaca yang ingin mengikuti jejak Bujangga Manik berkunjung ke pusatpusat keagamaan di wilayah Jawa bagian tengah dan timur (Noorduyn 1982: 438). Dapat juga dipandang bahwa uraian naskah Bujangga Manik tersebut merupakan pengalaman pribadi dari tokoh penulisnya, namun perlu pula dipertimbangkan sebagai suatu bentuk karya fiksi yang bertujuan pendidikan, contohnya terlihat pada bagian akhir naskah terdapat deskripsi penyerahan diri tokoh penulis yang terangkat jiwanya melayang menuju surga. Apapun bentuknya karya nyata pengalaman pribadi atau fiksi, jelas naskah tersebut dapat menyenangkan bagi para pembacanya (Noorduyn & Teeuw 2006: 171). Perjalanan Bujangga Manik yang cukup panjang dan melelahkan untuk ukuran masa itu memang bukanlah pengembaraan yang biasa. Mungkin Bujangga Manik menghabiskan waktu selama puluhan tahun, hanya saja tidak disebutkan secara jelas. Pada bagian awal naskah dinyatakan bahwa dia hendak dinikahkan dengan seorang perempuan pilihan ibundanya namun ia menolak, dapat ditafsirkan bahwa waktu itu usianya masih muda. 40Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

Ia kemudian melakukan perjalanan keliling Jawa dan kembali lagi ke Jawa bagian barat, mungkin pada waktu ia kembali usianya sudah relatif tua, karena ia menyatakan bahwa nyiar lemah pamutian, nyiar cai pamorocoan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneun nu(n)da raga (Bujangga.1320: 14), agaknya ia telah merasa mendekati akhir hayatnya. Naskah yang disusunnya bukanlah catatan perjalanan biasa, melainkan Bujangga Manik bermaksud membuat perbuatan baik yang diwujudkan dalam bentuk kitab yang dapat menjadi titik tolak perjalanan selanjutnya di alam kematian. Nama Bujangga Manik menarik untuk diperbincangkan, mungkin itu bukan nama dirinya, melainkan epitet yang dipilihnya setelah ia mengambil jalan keagamaan. Kata bujangga atau bhujangga berarti brahmana pendeta, khususnya brahmana muda yang masih belajar (Zoetmulder 1995, I: 139), adapun kata mani atau manik artinya intan permata. Tetapi kata bujangga manik dapat dibaca juga menjadi pu + janggama + manik. Kata janggama + manik mengalami proses bahasa sandi luar, maka tercipta kata janggamanik dengan tidak perlu mengulang suku kata ma dua kali dalam janggama dan manik. Dalam hal ini pu atau mpu adalah kata Jawa Kuno yang berarti orang yang dihormati, janggama adalah kata dari bahasa sansekerta yang artinya bergerak, berpindah-pindah (Liebert 1976: 111) dan mani atau manik telah dijelaskan berasal dari kata Sansekerta yang artinya intan permata. Dengan demikian tokoh tersebut cukup cerdas dengan memadukan berbagai arti dalam epitetnya. Kata Bujangga Manik dapat diartikan permata pendeta yang masih belajar, adapun kata Pu Janggamanik artinya kurang lebih Pengelana yang dihormati, atau dapat diartikan secara luas menjadi Sang Pengelana Terhormat. Arti kata pertama atau pun kedua sesuai dengan keadaan dirinya dan juga aktivitasnya. Ia berasal dari lingkungan istana Pakuan, artinya kerabat dekat raja, mungkin seorang pangeran atau putra raja. Aktivitasnya yang melakukan pengembaraan keliling Jawa dimetaforakan dengan kata janggama yang artinya selalu berpindah tempat, sesuai dengan pengembaraan yang dilakukannya mengunjungi tempat-tempatJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

41

Agus Aris Munandar

keagamaan dan melalui berbagai wilayah, ia berpindah-pindah tempat atau melakukan pengembaraan. Dalam uraian kitab Bujangga Manik terdapat pula tata cara ritual dalam melaksanakan agama Sunda Kuna yang memuja adi kodrati berjuluk Jati Niskala, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manon atau lainnya. Diuraikan bahwa sang bujangga melakukan kegiatan keagamaan di suatu tempat bernama Gunung Sembung, 1280 Sacu(n)duk ka gunung Se(m)bung, eta hulu na Citarum, di inya aing ditapa, sa(m)bian ngeureunan palay, Tehering puja nyangraha, 1285 puja (nya)pu mugu-mugu. Tehering na(n)jeurkeun li(ng)ga, tehering nyian hareca, teher nyian sakakala. Ini tu(n)jukeun sakalih 1290 tu(n)jukeun ku na pa(n)deuri, maring aing pa(n)teg hanca //O// A(ng)geus aing puja nyapu, Linyih beunang aing nyapu, Ku/macacang di buruan 1295 Nguliling asup ka wangun, ngadungduk di palu(ng)guhan, Dibiwi samadi Ku ngaing dirarasakeun, Ku ngaing dititineungkeun (sampailah ke Gunung Sembung, 42Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

itu merupakan hulu Sungai Citarum, di tempat itu aku bertapa, seraya menghentikan segala keinginan. Kemudian aku membangun pemujaan puja nyapu dengan sungguh-sungguh. Lalu kudirikan lingga, terus membuat arca, kemudian membuat bangunan suci. Ini untuk menunjukkan kepada mereka pertanda untuk mereka kelak bahwa aku telah menyelesaikan tugas. Setelah kutuntaskan puja nyapu, bersihlah sudah kusapu, bolak- balik di halaman, berkeliling masuk ke dalam bangunan, lalu berdiam diri di tempat duduk, berdoa sambil tafakur. Kuhayati semua itu, Kurenungi segalanya (Noorduyn & A Teeuw 2009: 309). Selain urain tersebut terdapat juga pemerian lain bahwa Bujangga Manik juga melakukan kegiatan ritual keagamaan dengan membangun tempat peribadatan. Menurutnya sesampainya di hulu Sungai Cisokan, di kaki Gunung Patuha, Bujangga manik menemukan lokasi yang keramat, lalu: menghadap ke Bahu Mitra Telah kubangun sebagai pedusunan, disusun batu berundak-undak disusun batu sekelilingnya, dari bawah dengan batu datar, menjulang ke atas dengan batu tegak, di puncaknya dengan batu putih, ditaburi batu permata indah, Gemerlap berderet-deret tujuh bangunan untuk keperluanku, tempat makan dan kayu bakar,Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

43

Agus Aris Munandar

dan juga tempat menumbuk, terapian menyala-nyala, Dua lumbung berdampingan, taman mengapit pintu gerbang (Noorduyn & A.Teeuw 2009: 313) Kiranya jelas bahwa melalui uraian kitab Bujangga Manik dapat diketahui bahwa bangunan keagamaan dan tata cara ritual keagamaan masa Sunda Kuno cukup berbeda dengan yang dikenal dalam ajaran Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuno. Bujangga Manik menyatakan bahwa ia tidak membangun candi yang lengkap dengan bilik dan relungnya, tidak ada kemuncak dan candi-candi perwaranya, justru yang dibangun olehnya adalah punden berundak-undak, dengan batu tegak atau batu putih di puncaknya. Ia juga melakukan upacara keagamaan Puja Nyapu yang kegiatannya mungkin menyapu sekeliling bangunan berundak tersebut sambil menghadapkan diri kepada kekuatan adi kodrati. Setelah melakukan puja nyapu, kemudian ia duduk bermeditasi, namun tempat bermeditasi tersebut tidak dijelaskan di arah mana dari punden. Dapat juga diketahui bahwa terdapat bangunanbangunan lain jumlahnya 7 di dekat punden, dinyatakannya sebagai tempat untuk menyimpan kayu bakar, perapian, lumbung, dan juga tempat tinggalnya sementara. Dalam kitab Sanghyang Raga Dewata (Ekajati & Undang A.Darsa 2004) terdapat pernyataan yang menjelaskan tentang siapa adi kodrati dalam masa Sunda Kuno. 16.Tidak ada yang menjadikan aku , tidak ada yang menciptakan aku, Aku menamai diri sendiri, Sanghyang Raga Dewata, Mengapa menamakan diri sendiri, (sebagai) Sanghyang Raga Dewata ? (karena) nama dewata juga. 44Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

Setelah itu terdengarlah ucapan sesungguhnya, Perkataan yang benar, (bahwa) dia adalah bayu, sabda, hedap Karena dirinya berbeda, Karena dirinya sakti, Karena dirinya dewata, Ucapannya senantiasa benar, Itulah sebabnya sempurna, Itulah sebabnya sakti, Itulah sebabnya dewata (Ekadjati & Undang A.Darsa 2004: 165). Dalam uraian tersebut justru yang dijelaskan adalah hakekat adi kodrati Sunda Kuno sendiri yang berjuluk Sanghyang Raga Dewata, bukannnya dewa tertinggi dalam Hinduisme atau pun Buddhisme. Kitab yang sama juga menyebut bahwa Sanghyang Raga Dewata tersebut dijuluki juga Sanghyang Manon dan Sanghyang Tunggal. Dewa-dewa lainnya ada yang dikenal dari ajaran Hindu dan ada juga dewa yang bukan dari Hindu, sebenarnya hanya pancaran saja dari Sanghyang Tunggal. Ia memancarkan dirinya menjadi Batara Mahadewa, Wisnu, Isora, Brahma (Ekadjati & Undang A.Darsa 2004: 177-178). Kiranya uraian seperti itu sama dengan yang diajarkan oleh berbagai kitab keagamaan Sunda kuno lainnya yang telah diperbincangkan di bagian terdahulu dalam kajian ini. Bahwa dewa-dewa dari kebudayaan India memang dikenal, namun konsep adi kodrati tertinggi Sunda Kuno bukanlah salah satu dewa India, melainkan Sanghyang tertinggi menurut kepercayaan masyarakat Sunda Kuno sendiri. IV Dalam kebudayaan Sunda Kuno dikenal sejumlah karya sastra, sekarang ada yang masih tersimpan di masyarakat, dikoleksi Perpustakaan Nasional, dan beberapa lagi disimpan oleh perpustakaan-perpustakaan luar negeri. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa karya sastra keagamaan Sunda Kuno mempunyai ciri tersendiri yangJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

45

Agus Aris Munandar

membedakannya dengan karya sastra keagamaan sezaman dari kebudayaan Jawa dan Bali. Beberapa ciri tersebut antara lain adalah: 1. Menggunakan bahasa Sunda Kuno, namun ada yang berbahasa Jawa Kuno, sejauh ini yang baru diketahui adalah Serat Dewa Buda. 2. Penuh dengan kalimat-kalimat yang sukar untuk dimaknai, metafora yang sangat dalam sehingga pembacanya harus orangorang yang paham betul dengan konsep tersebut. 3. Di dalamnya banyak yang menguraikan langsung ajaran pertemuan antara manusia dan konsep adi kodrati. 4. Tidak pernah ada deskripsi tentang sifat-sifat dewa Hindu atau Buddha, artinya tidak kental bernapaskan agama Hindu dan Buddha. 5. Tidak ada uraian data ikonografi dari dewa-dewa Hindu dan Buddha. Artinya tidak ada penggambaran tentang wujud sesosok arca dewa Hindu atau Buddha, misalnya dewa X harus bertangan 4, membawa benda apa saja, menaiki hewan tertentu, dan sebagainya. Bentuk lingga yang kerapkali disebutkan dan ditegakkan sebagai tanda pemujaan, juga tidak dirinci wujud sebenarnya, temuan arkeologis memperlihatkan bahwa bentuk lingga yang dimaksudkan hanya batu alami lonjong yang ditancapkan di permukaan tanah, jadi tidak sama dengan lingga Hindu yang dibagi menjadi Brahma bhaga, Rudra bhaga, dan Wisnu bhaga. 6. Berulangkali dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu dan Buddha hanya dewata yang kedudukannnya lebih rendah dari konsep adi kodrati Sunda Kuno. Dewata Hindu hanya disebutkan menjaga surge tertentu di arah tertentu, namun mereka adalah penjelmaan dari Sanghyang tertinggi, bukan dewata utamanya. 7. Berdasarkan uraian isinya agaknya karya-karya sastra Sunda kuno dibagi ke adalam dua jenis, yaitu (a) ditujukan untuk kalangan masyarakat luas, sehingga siapapun dapat mudah memahami uraiannya, walaupun tidak gambling benar, misalnya kitab Sang Hyang Siksakandang Karesian dan Amanat 46 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-1416 M)

Galunggung; (b) kitab yang ditujukan bagi kalangan kaum agamawan belaka, bukan untuk masyarakat awam, oleh karena itu tidak mudah untuk dipahami secara lugas, misalnya kitab Sewaka Darma, Kawih Paningkes, Serat Dewa Buda, dan Sang Hyang Raga Dewata.Demikianlah kajian terhadap beberapa naskah Sunda Kuno yang disebut-sebut sebagai kitab keagamaan ternyata menghasilkan temuan yang menarik. Berdasarkan telaah yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa religi yang berkembang dalam masa Kerajaan Sunda, bukan agama Hindu atau Buddha dan juga bukan perpaduan Hindu-Buddha, melainkan suatu bentuk religi tersendiri yang mengagungkan Sanghyang tertinggi dengan berbagai julukannya. Akibat dari temuan kajian ini agaknya akan membuka peluang lebih lanjut dalam hal penelisikan masyarakat Sunda Kuno di bidang sejarah politik dan sejarah kebudayaannya, sebab telah menjadi aksioma bahwa religi adalah dasar utama dari perkembangan kebudayaan masyarakat tertentu dalam era tertentu. DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi, 1988. Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan. Laporan Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Sunda, Bandung. Ayatrohaedi & Munawar Holil, 1995. Kawih Paningkes: Alihaksara dan Terjemahan Naskah K.419, Khasanah Perpustakaan Nasional Jakarta. Laporan Penelitian Dibiayai oleh Proyek DIPOPF 1994/1995, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa, 1987. Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud.Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

47

Agus Aris Munandar

Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Prahyangan (Kropak 406), dalam Tulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda Kuno dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda. Sundalana 1. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman173208. Ekadjati, Edi S.& Undang A.Darsa, 2004. Sang Hyang Raga Dewata, dalam Sundalana 2: Fatimah in West Java, Moral Admonitions to Sundanese Gentlewomen dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman 133179. Hadiwijono, Harun, 1982. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: BPK.Gunung Mulia. NOORDUYN, J., 1982, Bujangga Maniks Journeys Through Java: Topographical data from an old Sundanese source, dalam Bijdragen tot de taal, land,-en volkenkunde. Deel 138 4e Aflevering. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413 442. & A.Teeuw, 2006, Three Old Sundanese poems. Leiden: KITLV Press. Noorduyn, J & A.Teeuw, 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta: Pustaka Jaya.

48

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

RUHALIAH1

JEJAK PENJAJAHAN PADA NASKAH SUNDA: STUDI KASUS PADA SURAT TANAH

Abstrak Masyarakat Sunda pernah mengenal berbagai aksara, yaitu Pallawa, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin. Aksara Pallawa hanya diketahui dalam penulisan prasasti sedangkan aksara lainnya digunakan dalam naskah. Isi naskah meliputi seluruh bidang kehidupan termasuk surat-surat penting. Adanya pengaruh Mataram dalam bidang aksara dan pengaruh Belanda dalam bidang administrasi pemerintahan menyebabkan perubahan sosial di masyarakat, termasuk dalam sistem jual beli. Aksara Cacarakan pernah menjadi aksara resmi pemerintahan di wilayah Sunda, padahal sebelumnya masyarakat Sunda sudah memiliki aksara Sunda yang diketahui mulai digunakan sejak abad ke-16. Penggunaan aksara Cacarakan ini terus berlangsung hingga awal abad ke-20. Salah satu contoh akta jual beli di bawah ini menggambarkan kehidupan pada masa itu serta sebelum dan sesudahnya. Kata kunci: penjajah, naskah, aksara, surat tanah

1

Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI dan PJs Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan Budaya Sunda SPs UPI. E-mail [email protected]

Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

49

1. Pengantar Beberapa kasus sengketa tanah umumnya didasari anggapan bahwa pemilik tanah tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling mengklaim. Pengalaman membaca surat tanah dalam bentuk naskah pernah dialami oleh beberapa filolog, yang hasilnya bisa membantu menyelesaikan perkara di PTUN karena surat kepemilikan tanah yang dimaksud ada dalam bentuk naskah. Ilustrasi di atas hanyalah contoh kecil di antara berbagai masalah pertanahan yang sering terjadi. Hal tersebut bisa dihindari apabila setiap pemilik tanah bisa membaca surat tanah yang dimilikinya, walaupun bukan dalam aksara Latin. Surat tanah yang dibuat sekarang tentu saja tidak berbentuk naskah seperti pada masa sebelumnya, melainkan dicetak serta menggunakan aksara Latin sehingga semua orang bisa membacanya. Berbagai jenis aksara2 pernah dan sedang digunakan oleh masyarakat Sunda dari masa ke masa. Aksara Palawa diketahui pernah digunakan dalam penulisan prasasti sedangkan aksara lainnya digunakan pada penulisan naskah. Teks-teks beraksara Sunda Kuna ditulis pada lontar, nipah, bambu, dan kertas saeh3. Alat tulisnya pun bermacam-macam4. Aksara Sunda Kuna ini yang diketahui paling tua yang dituliskan pada naskah. Misalnya pada naskah Bujangga Manik (kira-kira antara 1508-1511 Masehi), dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1440 Saka, 1518 M). Aksara Jawa Kuna digunakan pada penulisan naskah-naskah Wangsakerta (walaupun sampai saat ini masih diperdebatkan. Selain itu masih

Aksara yang pernah digunakan di lingkungan masyarakat Sunda yaitu Pallawa, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin. 3 Jenis alas tulis yang pernah dan digunakan pada penulisan naskah Sunda yaitu lontar, nipah, bambu, kertas saeh, kertas Eropa, dan kertas buatan pabrik di Indonesia. Kertas Eropa kadang-kadang ditandai dengan watermark (cap kertas), countermark, dan atau filigran. Kertas Eropa ini umumnya dibawa oleh pemerintah kolonial untuk kepentingan administrasi pemerintahan. 4 Alat untuk menuliskan teks pada bahan-bahan tersebut di antaranya harupat, pena, batang paku andam, dan peso pangot.2

50

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

ada ratusan lempir koleksi Perpustakaan Nasional RI yang belum terbaca. Aksara yang digunakannya adalah Sunda Kuna dan Buda (aksara Gunung). Aksara Cacarakan dikenal oleh masyarakat Sunda setelah pemerintahan di tatar Sunda dikuasai oleh Mataram yang dimulai pada abad ke-17. Karena adanya kontak budaya dan pemerintahan maka lambat laun berbagai kegiatan kemasyarakatan terpengaruh oleh budaya Jawa, misalnya arsitektur5, bahasa6, kesenian7, adatistiadat 8, dan lain-lain. Berbagai unsur budaya tersebut terdokumentasikan dalam berbagai tradisi tulis, yang saat ini sebagian ada yang masih diketahui keberadaannya.

Contoh arsitektur pangaruh Jawa adalah struktur bangunan di sekitar kompleks kabupaten yang diseragamkan, yaitu alun-alun, mesjid, dua batang pohon beringin, pendopo, dan pemakaman. 6 Undak-usuk basa atau tingkatan berbahasa sangat jelas merupakan pengaruh Mataram, tujuannya adalah untuk membedakan kedudukan seseorang pada masyarakatnya. Tetapi penggunaannya sekarang bertujuan untuk saling menghormati. Kosa kata yang dianggap halus ada juga yang diambil dari kosa kata bahasa Jawa, sehingga banyak kosa kata antara bahasa Sunda dan Jawa yang sama dan mirip. 7 Contoh kesenian pengaruh Jawa adalah seni beluk, Beluk adalah seni tradisi pembacaan naskah wawacan pada masyarakat Sunda, sedangkan pada masyarakat Jawa dikenal istilah macapat. Kegiatan beluk merupakan gambaran masyarakat Sunda bahwa membaca merupakan suatu aktivitas sosial yang dikerjakan di depan kelompok. Dikatakan demikian karena pementasan beluk adalah kegiatan membaca naskah yang dilakukan di hadapan penikmatnya. Dengan cara ini, membaca turut mendukung terbentuknya hubungan yang unik antara pembaca dan pengarang yang terkandung dalam teks (Moriyama, 2005:5). Secara etimologi, kata geguritan berasal dari kata gurit yang artinya karang atau gubah (Warna, 1993: 254). Kata gurit mendapat pengulangan dwipurwa dan akhiran an, geguritan berarti karangan atau gubahan. Dalam konteks sastra, geguritan adalah cerita yang digubah ke dalam bentuk puisi, menggunakan pupuh tertentu, serta memakai bahasa Bali Kepara atau bahasa Bali Kawi. Pupuh itu terikat oleh padalingsa. Pada artinya banyak bilangan suku kata dalam satu baris (larik), dan lingsa artinya suara suku kata terakhir setiap baris (Sugriwa, 1977: 8). 8 Salah satu naskah koleksi PNRI yang berjudul Paranata Istri ka Caroge di halaman akhirnya disebutkan bahwa naskah tersebut bersumber dari Sunan Pakubuwono.5

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

51

Ruhaliah

Seperti yang dikemukakan oleh Ekadjati (1988) bahwa isi naskah bisa diklasifikasikan ke dalam 12 kelompok, yaitu agama, bahasa, hukum/aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, ilmu pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni. Dari klasifikasi tersebut naskah sastra memiliki jumlah paling banyak. Bisa jadi ada naskah yang belum termasuk kelompok tersebut. Di antara isi naskah adalah surat-surat administrasi pemerintahan yang ditulis dalam berbagai aksara, di antaranya Cacarakan dan Latin. Aksara Latin digunakan karena dikenalkan di sekolah sejak jaman Belanda9. Di kalangan masyarakat tatar Sunda, aksara yang digunakan dalam lingkungan pemerintahan biasanya aksara Cacarakan sedangkan aksara Pegon di kalangan pesantren, lingkungan keagamaan, dan masyarakat umum yang berkiprah di bidang kesenian tradisional10. Aksara Pegon tidak dimasukkan dalam kurikulum sekolah karena berkaitan dengan upaya pemerintah Belanda menjauhkan masyarakat Sunda dari aksara Arab11.

Buku pelajaran berbahasa Sunda yang pertama dicetak berjudul Kitab Pangajaran Basa Sunda, yang dicetak tahun 1849/1850, dengan tiras 1490 eks. Kemudian dilanjutkan dengan buku-buku lainnya, yang paling banyak karangan Moehamad Moesa (Moriyama, 2005). 10 Teks kesenian tradisional yang paling banyak ditulis dalam aksara Cacarakan yaitu wawacan dan guguritan. Penulisan wawacan saat itu sangat produktif karena berkaitan dengan kesenian beluk (gaok) 11 Lihat (Moriyama, 2005).9

52

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

2. Naskah Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

53

Ruhaliah

3. Transliterasi Baris-baris pada transliterasi naskah ditulis mengikuti teks aslinya. Hal ini untuk memudahkan pembaca lainnya yang belum paham mengenai aksara Cacarakan ini. Cidawolong, 29 Nopember 1903 //Kaula nu nanda tang[ng]an di handap i[y]eu ngaran Nyi Imon [h]urang des[s]a Biru distrik Cipeujeuh ge(u)s ngaku tari[m]ma ngaju[w]al akad saluwuk sawah, tempatna di geblgan Lebak Ged legana manurut kohir 2 bau 380 tumbak pajegna f 4-56. Wawates[s]anna [ka] sakumna [h]anu kasebut di handap iye(u): ti kalr tepung watesna jeung susukan, ti wtan tepung watesna jeung jalan kampung, ti kidul tepung watesna jeung susukan, ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor, diju[h]al akad ka ngaran Ngangsanata(?) [h]urang Ds[s]a Cidawolong Distrik Cipeujeuh knh kana duwit f 150 saratus lima puluh rum, sarta du[w]itna geus katampa ku tangan ka[h]ula kabh. Berjangji[y]an di mana ka[h]ula geus boga du[w]it sakitu mangk dibeuli deui ka Karsannata. [h]ulah hs[s tegesna Karsanata kudu masrahkeun ka ka[h]ula jeung waktu ka[h]ula juwalbe(u)li [h]akad, trus lapor ka Kapala Cidawolong. Tanda tang[ng]an ka[h]ula nu ngaju[w]al [h]a[ng]kad sawah I(+)mon Saksi waktu ju[w]al [h]a[ng]kad (1) Marna (+) sik ) dulur (2) Marna (+) ) (3) Wipra (+) ja- salaki (nu ka)lapor[r]an ku Imon (sa)kum[m]a anu kasebut di luhur Jurutulis lurah Lurah Ds[s]a Cidawolong 54Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Hasil transliterasi di atas diberi tanda baca dan tanda kurung agar pembaca masa kini mudah memahaminya. Hal ini diakukan karena pada surat tersebut terdapat perbedaan kosa kata dengan aksara masa kini. Pada bagian akhir sebelah kiri terdapat aksara yang tidak jelas sehingga hanya berdasarkan perkiraan. Keterangan tanda baca: [] artinya tidak usah dibaca, dihilangkan () ditambah 4. Edisi Teks Cidawolong, 29 Nopember 1903 //Kaula nu nanda tangan di handap ieu ngaran Nyi Imon urang desa Biru distrik Cipeujeuh geus ngaku tarima ngajual akad saluwuk sawah, tempatna di geblgan Lebak Ged legana manurut kohir 2 bau 380 tumbak pajegna f 4-56. Wawatesanna sakumna anu kasebut di handap iyeu: ti kalr tepung watesna jeung susukan, ti wtan tepung watesna jeung jalan kampung, ti kidul tepung watesna jeung susukan, ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor, dijual akad ka ngaran Ngangsanata(?) urang Dsa Cidawolong Distrik Cipeujeuh knh kana duit f 150 saratus lima puluh rum, sarta duitna geus katampa ku tangan kaula kabh. Berjangjian di mana kaula geus boga duit sakitu mangk dibeuli deui ka Karsanata. Ulah hs tegesna Karsanata kudu masrahkeun ka kaula jeung waktu kaula jual-beuli akad, terus lapor ka Kapala Cidawolong. Tanda tangan kaula nu ngajual akad sawah Imon Saksi waktu jual akad (1) Marna sik - dulur (2) Marna - dulur) (3) Wipraja- salaki (4) (nu ka)lapor[r]an ku Imon nu kalaporan ku Imon sakuma anu kasebut di luhurJumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

55

Ruhaliah

Jurutulis lurah Lurah Dsa Cidawolong 5. Terjemahan Cidawolong, 29 Nopember 1903 Saya yang bertandatangan di bawah ini bernama Nyi Imon penduduk Desa Biru Distrik Cipeujeuh telah mengakui (dan) menerima perjanjian jual (beli) sebidang sawah bertempat di blok Lebak Gede dengan luas menurut kohir 2 bau 380 tumbak dengan pajak f 4-56. (Adapun) batasnya seperti yang disebut di bawah ini: [dari] sebelah utara berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), [dari] sebelah timur berbatasan dengan jalan desa, [dari] sebelah selatan berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), [dari] sebelah barat berbatasan dengan aliran air kotor. (Sawah tersebut) dijual kepada yang bernama Wangsanata(?) penduduk desa Cidawolong distrik Cipeujeuh (pula) dengan uang f 150 seratus lima puluh rum (gulden?) serta uangnya sudah diterima semuanya. Perjanjiannya, apabila saya sudah memiliki uang sejumlah itu nanti dibeli kembali kepada Karsanata. Jangan dipersulit artinya Karsanata harus menyerahkan kepada saya dan waktu saya (mengadakan) perjanjian jual beli, terus lapor kepada Kepala (Desa) Cidawolong. Tanda tangan saya yang menjual sawah Imon Saksi waktu perjanjian jual (beli) (1) Marnasik saudara (2) Marna - saudara) (3) Wipraja- suami Yang menerima laporan dari Imon seperti yang tersebut di atas, Jurutulis lurah Lurah Desa Cidawolong 56Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

6. Analisis Surat jual beli (sekarang disebut akta) sawah tersebut bisa dikaji dari segi bentuk dan dari segi isi. Surat ini diterima pada tahun 2000 dari seorang mahasiswa S-3 UNPAD. Yang ada tinggal fotocopinya karena surat aslinya dikembalikan. Naskahnya ditulis di atas kertas Eropa, salah satu jenis kertas yang pabriknya berada di wilayah Eropa. Karena surat ini berbentuk naskah maka analisis dilakukan dari segi filologi dan isi teks seadanya, tanpa perbandingan dengan surat yang lain baik dalam kurun waktu yang sama maupun dengan surat tanah saat ini. 6.1 Bentuk: a.Aksara Aksara yang digunakan untuk menulis surat ini adalah aksara Cacarakan, yaitu modifikasi Carakan dari budaya Jawa. Tulisannya termasuk rapi, mudah terbaca. Aksara ini masuk ke tatar Sunda seiring dengan berkuasanya Mataram pada wilayah Sunda, yang dimulai pada abad ke-17 dan berakhir ketika wilayah Sunda diserahkan kepada Hindia Belanda. Walaupun aksara Latin sudah dikenal oleh masyarakat Sunda pada pertengahan abad ke-19, untuk kepentingan administrasi pemerintahan masih digunakan aksara Jawa sampai pertengahan abad ke-20, seperti pada naskah tersebut. Seperti pada umumnya aksara dalam naskah, tidak ada pemenggalan kosa kata dan tanda baca. Karena itu pembacalah (terutama filolog) yang harus melakukannya. Karena merupakan surat penting diperkirakan teks ini tidak disalin berkali-kali sehingga kemungkinan salah salin sangat sedikit. Selain itu juga kesalahan tulis ditandai dengan coretan, artinya saat itu penggunaan kertas sangat dihemat berkaitan dengan langka dan mahalnya kertas. b. Bahasa Bahasa Sunda pada teks surat ini masih bisa dipahami pada saat ini, walaupun pada surat tersebut terdapat kosa kata pengaruh Belanda, yaitu distrik dan nama mata uang, gulden.Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

57

Ruhaliah

Ukuran luas sudah tidak dipakai saat ini tetapi pada beberapa daerah masih dikenali. c. Penulis Tidak ada nama penulis surat, yang ada nama jurutulis, lur