JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2...

182
JUMANTARA PERPUSTAKAAN NASIONAL RI 2010 Vol.1 No.1 Tahun 2010 Jurnal Manuskrip Nusantara

Transcript of JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2...

Page 1: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

1Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

JUMANTARA

PERPUSTAKAAN NASIONAL RI 2010

Vol.1 No.1 Tahun 2010

Jurnal Manuskrip Nusantara

Page 2: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara

Pelindung : Kepala Perpustakaan Nasional RIPengarah : Deputi I PNRIPenanggung jawab : Kepala Pusat Jasa Informasi dan

Layanan PNRIPemimpin Redaksi : Kepala Bidang Layanan Koleksi Khusus

PNRIDewan Redaksi : 1. Dra. Woro Titi Haryanti, MA.

2. Drs. Joko Santoso, M. Hum.3. Dr. I Kuntara Wiryamartana4. Drs. H. Sanwani5. Agung Kriswanto, SS.6. Yudhi Irawan, S. Hum.7. Aditia Gunawan, S. Pd.

Sekretaris Redaksi : 1. Komari 2. Dian Soni Amellia, S.Hum.

Sirkulasi : Bambang Hernawan, SS.Tata Letak : Aditia Gunawan, S.Pd.

PERPUSTAKAAN NASIONALREPUBLIK INDONESIAJl. Salemba Raya No. 28 A Jakarta 10002e-mail: [email protected]

JUMANTARA (Jurnal Manuskrip Nusantara) merupakan jurnal ilmiah denganfokus kajian naskah (manuskrip) Nusantara. Redaksi menerima tulisan terkaitfokus kajian di atas dengan panjang artikel tidak lebih dari 30 halaman cetak.Naskah yang masuk akan diseleksi dewan redaksi dan apabila perlu akan dilakukanpenyempurnaan tanpa mengubah isi naskah.

Page 3: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

3Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

KATA SAMBUTAN 4PENGANTAR REDAKSI 5

AMIR ROCHYATMOSastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman 6

AGUS ARIS MUNANDARTinjauan Napas Keagamaan Hindu-Buddhadalam Beberapa Naskah Sunda Kuno (Abad ke-14-16 M) 27

RUHALIAHJejak Penjajahan pada Naskah Sunda:Studi Kasus pada Surat Tanah 49

KARSONO H SAPUTRACerita Panji: Representasi Laku Jawa 61

KARTIKA SETYAWATIKidung Surajaya (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ) 82

ANUNG TEDJOWIRAWANAjisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-AjinirmalaKarya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita(Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa) 94

NOERHADI MAGETSARILocal Genius 129

A.A. GDE ALIT GERIAKakawin Nilacandra: Kreativitas dan Filsafat Estetika 141

AMIN SWEENEYPernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia 155

DAFTAR ISI

Page 4: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

4 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

SAMBUTAN

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esadan atas perkenan-Nya , jurnal manuskrip nusantara “ Jumantara”volume I nomor 1 tahun 2010 dapat terbit sesuai dengan rencana.Perpustakaan Nasional RI berdasarkan Undang-Undang No. 43Tahun 2007 tentang Perpustakaan mempunyai tugas antara lainmengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan budayabangsa. Salah satu cara untuk dapat melaksanakannya, PerpustakaanNasional RI menerbitkan jurnal manuskrip nusantara “Jumantara”yang direncanakan akan terbit setahun 2 kali.

Jumantara merupakan jurnal manuskrip pertama yangditerbitkan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan harapan melaluijurnal ini kekayaan kandungan informasi yang terdapat didalammanuskrip nusantara dapat digali, dikaji, dimaknai dandisebarluaskan untuk dapat diterapkan dalam kehidupan keseharianguna membangun jati dirinya. Dengan demikian kandunganinformasi dalam naskah kuno nusantara dapat lebih dipahamidalam konteks kekinian oleh masyarakat luas.

Kami juga berharap bagi para peneliti, filolog dan peminatmanuskrip nusantara dapat ikut berperanserta dalam mengisi danmengembangkan “Jumantara”. Dengan demikian “Jumantara”akan tetap “mengangksa” dalam memberikan informasi yangberagam tentang manuskrip nusantara dengan berdasar padatinjauan ilmiah.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telahmenyumbangkan tulisannya untuk dapat dimuat dalam jurnal inidan juga kepada dewan redaksi yang telah bekerja secara seriusserta semua pihak telah mendukung penyelesian jurnal ini sehinggajurnal ini dapat hadir dihadapan kita semua.

Jakarta, Agustus 2010Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka Jasa Informasi

Dra.Hj.Lilik Soelistyowati. MM

Page 5: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

5Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

PENGANTAR REDAKSI

PUJI syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karenaatas anugerah-Nya semata ‘Jumantara’ (Jurnal ManuskripNusantara) dapat diselesaikan untuk kemudian disebarluaskankepada masyarakat Indonesia. Rencana membuat suatu terbitanyang berisi kajian tentang naskah kuna Nusantara sebenarnya sudahcukup lama, dan setelah melalui beberapa kali pertemuan, barupada tahun 2010, Jumantara dapat hadir di hadapan pembaca.

JUMANTARA adalah akronim dari Jurnal Manuskrip Nusan-tara, yang secara harfiah mempunyai makna ‘angkasa’. Tentu,semua itu terdorong oleh harapan bahwa Jumantara akan terbit“mengangkasa” dengan tetap “menapak bumi”, menggali sumber-sumber dari berbagai khasanah, kemudian mengangkatnya kepentas dunia. Dengan terbitnya jurnal ini kami berharap kekaya-an leluhur pada masa lalu serta benang merah yang menghubung-kannya dengan kehidupan masa kini dan masa mendatang, dapatterungkap.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa manuskripmerupakan suatu hasil karya cipta budaya manusia yang mempunyaiarti sangat penting dalam perkembangan kehidupan manusia, kare-na manuskrip merupakan salah satu kunci pokok pembuka cakra-wala menuju era kehidupan baru manusia. Dari manuskrip kitaakan mengetahui tentang kehidupan, tata cara, dan adat istiadatmasa lampau. Diharapkan pula dengan terbitnya Jumantara dapatmembangkitkan semangat masyarakat, terutama generasi muda,untuk menggali dan mengkaji manuskrip nusantara. Dengan sema-kin banyaknya masyarakat yang mengenali manuskrip nusantaramaka akan lestarilah peninggalan hasil budaya bangsa ini.

Kumpulan tulisan pada edisi perdana ini cukup beragam,dengan satu perhatian yang sama, naskah. Keberagaman tersebutniscaya akan memperkaya pengetahuan kita akan budaya daerahdi Indonesia, sehingga semakin kokohlah jati diri kita sebagaibangsa.

Kami senantiasa menantikan partisipasi pembaca melaluigagasan dan pemikirannya. Pamungkas, mudah-mudahan terbitnyaJumantara dapat bermanfaat bagi kejayaan Indonesia. Semoga.

Page 6: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

6

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sejak dikenalnya tradisi keberaksaraan, menandai dimulainyapenulisan teks sebagai langkah lanjut masa kelisanan. Kehidupansastra Jawa tertulis telah menjelajahi waktu cukup panjang danmelampaui beberapa periode. Pada masa keberaksaraan karya sastradalam teks merupakan rekaman tertulis dari karya cipta dalambentuk wacana. Ia mengungkapkan gagasan, buah pikiran, angan-angan, rekaman peristiwa dan lain-lain, disampaikan secara tertulisdalam bentuk teks. Teks merupakan ungkapan karya ciptapengarang yang melahirkannya melalui medium bahasa. Sebagaisarana ungkap, bahasa membingkai rasa, cipta dan karsa. Bahasamenjadi sarana komunikasi dan interaksi antar manusia untukberbagai tujuan praktis, artistik bahkan juga filologis (Herusatoto,1991). Dengan bahasa para pembaca dapat memahami danmenghayati pesan dan amanat yang tersurat atau tersirat.

Kehidupan sastra Jawa telah menempuh perjalanan cukuppanjang. Para pengamat dan peneliti sastra Jawa membuatperiodisasi rentang pengalaman panjang itu. Mereka melakukanpengamatan seiring dengan perkembangan politik kerajaan danpenguasanya. Pada waktu itu keraton selain sebagai pusatpemerintahan juga sebagai pusat kegiatan budaya. Mereka yangmembuat periodisasi perkembangan sastra Jawa, diantaranya: Berg(1928, 1929), Poerbatjaraka (1952), Pigeaud (1967), KementrianPengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1946), Zoetmulder (1974)dan Ras (1988).

AMIR ROCHKYATMO

SASTRA WULANG, SEBUAH GENRE DI DALAMSASTRA JAWA DAN KARYA SASTRA LAINSEJAMAN

Page 7: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

7

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Salah satu periode yang dilalui adalah periode Jawa Tengah.Pada masa itu kegiatan sastra berada di Jawa Tengah pada abad ke18 dan 19. Saat itu kehidupan sastra berpusat di kerajaan-kerajaandi Jawa Tengah: Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta (Pigeaud:1967), bahkan pada abad ke 17 pun kehidupan sastra Jawa sudahmulai menggeliat. Sejaman dengan aktivitas sastra di Jawa Tengah,di sepanjang pesisir utara pulau Jawa pun mulai menampakkankegiatannya. Hadirnya skriptorium di sepanjang pesisir utara pulauJawa beserta produk tulisannya menunjukkan indikasi adanyaaktivitas penulisan sastra.

***

Karya sastra Jawa produk masa Surakarta dan Yogyakarta padaabad ke 18 dan 19 digolongkan “masa Kebangkitan”. Waktu itupusat budaya berada di Surakarta dan Yogyakarta. Para penulis sastratinggal dan beraktivitas di pusat kerajaan. Mereka dikenal dengansebutan “pujangga” (Pigeaud, 1967). Kemudian karya sastra buahtangan mereka dan pengarang lain sejaman, disebut sastra “masakapujanggan”. Penyajian karya sastra itu dikemas dalam tembangmacapat, meliputi beberapa genre, seperti: dongeng, belletri, ceritawayang, babad, agama, sastra wulang, novel.

Pada masa Surakarta/ Surakarta awal, produk penulisan naskahsastra menampilkan dua bentuk teks:

1. Penulis sastra masih meneruskan jejak pengarang-pengarangterdahulu, yaitu membuat gubahan bersumber dari kitab-kitab sastra yang lebih tua atau kitab berbahasa Jawa Kuna.Teks sastra sumber itu diolah, digubah, dibangun kembalidan disusun dalam tembang macapat, berbahasa Jawa Baru.

2. Mencipta dan menyusun karya cipta baru, berbahasa JawaBaru dalam tembang macapat.

Penulis sastra Jawa pada abad ke 18 dan 19 yang padaumumnya berasal dari lingkungan kerajaan, hasil karyanyadipersembahkan kepada raja atau penguasa sebagai ungkapan rasapengabdian dan menjunjung tinggi martabat raja. Jugadiperuntukkan kepada pendahulu/ pemula dinasti, pewaris dan

Page 8: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

8

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kerabatnya. Terhadap golongan setingkat rakyat penulisan sastradimaksud untuk memberi ajaran, mendidik dan memperhalus budipekerti (Sudewa, 1989).

Hadirnya karya sastra masa Surakarta dan Yogyakartabersamaan dengan tampilnya pengarang sejaman, seperti:Yasadipura I dan II, Ranggawarsita, Padmasusatra (Wirapustaka),Ranggasutrasna, Sunan Paku Buwana II, III, IV, dan V, PangeranMangku Nagara IV, Sri Paku Alam II, M.Nalasastra, R.AryaNatanengrat, Sindusastra, Ranggasutrasna, membuahkan hasilkarya tulis yang cukup berarti.

Hadirnya Ranggawarsita di ranah kepengarangan sastra Jawa,merintis penulisan berbentuk gancaran.

Karya sastra pada masa Surakarta, diantaranya Serat MenakKartasura, Serat Rama Jarwa, Serat Bratajarwa, Serat Wiwahajarwa, Serat Tajussalatin, Serat Sewaka, Serat Wulangreh, Wulanputri, Wulangsunu, Wulang Dalem Sinuhun Paku Buwana IX. KaryaSunan Paku Buwana V yang dikerjakan bersama dengan YasadipuraII, Ranggasutrasna dan Kyai Imam Besari membuahkan karya SeratCenthini.

Pangeran Mangku Nagara IV meripta Serat Wedhatama,menyusul kemudian Serat Tripama, Serat Wirawiyata dan seratsastra wulang lainnya.

Kitab-kitab sastra karya Ranggawarsita cukup banyak,diantaranya: Serat Ajipamasa, Jakalodhang, Serat Jayengbaya, SeratWitaradya, Serat Kalatidha, Serat Hidayat jati, Paramayoga,Cemporet.

Di Yogyakarta, kegiatan penulisan sastra telah dirintis sejakmasa Mataram Islam. Tampilnya Sultan Agung sebagai penguasakerajaan Mataram Islam (1613-1646), dengan karyanya Serat SastraGendhing, menegaskan: orang hanya layak mengaku trah Mataramapabila mampu memahami dan menghayati Sastra dan Gendhing(Sudewa, 1991). Sastra Wulang karya Sultan Agung itu telahdidahului oleh karya sastra dari Wangca sebelumnya, yaitu Serat

Page 9: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

9

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Nitisruti buah karya Pangeran Karanggayam pada masa Pajang(Sudewa 1991,l,c).

Sultan Hamengku Buwana II menggubah Serat Suryaraja(1774), R.T.Jayangrat mengarang Babad Kraton (1777), Sri PakuAlam menulis Sujarah Darma (1794), sebuah versi Serat Menak.

Pada masa sejaman (abad ke 18 dan 19), sastra pesisir punmenunjukkan aktivitas, dengan hadirnya beberapa teks hasilkegiatannya, seperti Panji Priyembada, (Ngabehi Puspadireja 1750),Serat Jayalengkara (Jayasastra 1790), Serat-Asthapraja-Ni Silakrama(Mas Sumadirana, 1791), Serat Manikmaya (Kartamursadah), SeratPanji Priyembada, versi Panji Jawa Timur yang merupakan tokohpanji sebagai cultural hero. Serat Sewaka berisi puisi moralitasdedaktis, Asthapraja memuat ajaran keterampilan seorangnegarawan, Ni Silakrama berisi ajaran kehidupan perkawinandalam bentuk dialog. Serat Iskandar menuturkan riwayat hidupraja Iskandar Dzulkarnain. Serat Manikmaya memaparkan ajaranlaku, dan kosmogoni. Serat Jayalengkara bermuatan ajaran moral,sikap hidup, siasat perang dan ketataprajaan (Sedyawati, 1988/1989).

Masa kerajaan Kartasura mewariskan empat buah naskahsastra, yaitu: Serat Menak, Serat Yusuf, Serat Isakandar dan SeratNgusulbiyat. Empat naskah sastra itu bersumber dari sastra Melayuyang digubah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.Penggarapannya atas perintah Kanjeng Ratu Mas Blitar (permaisuriSunan Paku Buwana I di Kertasura). Serat Menak dan Serat Yusufmerupakan keberhasilan keraton Kartasura di bidang budaya.Ditenggarai dengan munculnya naskah-naskah Serat Menak danSerat Yusuf (Sudewo, 1995).

Serat Menak “yasan” Kartasura termasuk dalam naskah SeratMenak yang tertua. Poerbatjaraka memperkirakan bahwa ceritaMenak masuk ke dalam sastra Jawa pada abad ke 17 pada masakerajaan Mataram (Poerbatjaraka, 1940). Pada abad ke 16 dan 17cerita Menak banyak ditulis di daerah pesisir utara Jawa Timur,Madura, Bali dan Lombok. Pembacaannya dengan ditembangkan,1970).

Page 10: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

Kegiatan sastra di keraton Surakarta, sebagai kelanjutan

Kartasura pada abad ke 18, adalah:

10

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Serat Menak gubahan pada masa Kartasura (selanjutnyadisebut Menak Kartasura) masih dekat dengan Hikayat AmirHamzah berbahasa Melayu. Pada abad ke 18, Yasadipura menyusunSerat Menak, bersumber dari Menak Kartasura (Pigeaud, 1967),selanjutnya disebut Menak Yasadipura. Teksnya termasuk teksterpanjang diantara serat-serat yang ada. Menak Yasadipura pernahditerbitkan oleh Balai Pustaka (1933) menjadi 33 judul, sebanyak46 jilid.

Dua naskah Serat Iskandar warisan peninggalan masa

1. Serat Iskandar RP 262, koleksi Museum Radya PustakaSurakarta, ditulis tanggal: 30 September 1729.

2. Serat Iskandar PB A 257, koleksi Museum Sana Budaya,Yogyakarta, ditulis tanggal: 20 Mei 1790.

Penggubahan Serat Iskandar, Serat Menak dan Serat Yusufmasa Kartasura dimaksud sebagai wasiat bagi cucunda Kanjeng RatuMas Blitar (permaisuri Sunan Paku Buwana I), yaitu Sunan PakuBuwana II, sebagai penambah kekuatan dan wibawa di bidang senibudaya. (Sudewa, 1995)

Karya sastra abad ke 18 dan ke 19 pada masa kartasura-Surakarta, diantaranya berupa “sastra wulang”. Sastra wulangmemuat kandungan pesan yang tersurat dan tersirat.

Konsep “wulang” bermakna pesan, ajaran, pedoman, tatanegara/ tata pemerintahan, tuntunan, bimbingan (Adiwimarto danSuparto, 2001).

kraton Kartasura, telah berlangsung sejak masa pemerintahanSunan Paku Buwana II. Karya sastra pada masa itu dan masapemerintahan Sunan Paku Buwana III, diantaranya: Serat Nitisruti,Serat Wulang Dalem Suanan Paku Buwana II dan Serat WiwahaJarwa.

Masa Sunan Paku Buwana IV ditengarai dengan hadirnya SeratWulangreh, sebuah sastra wulang yang bernuanasa religious. Karya

Page 11: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

11

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

.

.

sastra lain yang sejaman adalah Serat Wulang Putri, Serat WulangTatakrama, Serat Wulangsunu.

Karya sastra masa Sunan Paku Buwana V adalah seratCenthini. Hasil penulisan sastra pada masa Sunan Paku BuwanaVII bersifat dedaktis. Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana VIIImembuahkan karya sastra hasil ciptaan Ranggawarsita, seperti:Cemporet, Ajipamasa, Paramayoga, Witaradya, Kalatidha,Jakalodhang, Sabdajati.

Masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IX banyakmenghasilkan karya sastra yang bergenre “sastra Wulang”. Saat ituberbarengan dengan masa hayatnya pengarang sastra jawa yangaktif berkarya, seperti: Ranggawarsita, R.T. Tandhanagara,K.P.H.Kusumadilaga, Pangeran Mangku Nagara IV banyakmenghasilkan karyacipta: sastra wulang, seperti: wedhatama,Tripama. Wirawiyata, Mayakawara, Warayagnya dan masih banyakLagi (Sindunagara, 2001).

Beberapa penggal kutipan berikut ini berasal dari karya sastramasa pra Surakarta dan masa Surakarta.

SERAT NITISRUTI, naskah koleksi Netherlands Bible SocietyNo.NSB 59, bait 3.

Purwaning wasita nitisruti, pindha pandhita wraksa candhana,dinina dinandha dumeh, pamangsulnya mrik arum, dening budiwahya wiyati, kesisan wraning ima, nirmala sumunu, sanityasa tyassung santa, singular saking gelah-gelahtata sukci, byakta spasthikamaya.

(Awal ajaran Nitisruti, pendeta ibarat kayu cendhana, dihinadan dipukul, membalasnya dengan bau harum semerbak.dikarenakan budinya bagai langit, terhembus oleh kabutbersinar bersih tiada noda. Hati nuraninya senantiasamemberikan kesucian, jauh dari kejahatan, tertata suci, indahbagaikan permata).

(Sudewa, 1989).

Page 12: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

12

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Nitisruti, naskah NBS 59, bait 83.

83. Jayeng rana pandhiteng palagan, palunggyaning byuha tan len,wekasing tapa luhur, jayeng westi legaweng apti, pratapaning prawira,wor tapaning wiku, tapa tapakaning jaya, mukyaning atapa graninggung wesi, anembah ing alaga.

(Berjaya di medan peperangan, itulah bertapa di arena laga,tidak lain ia berada di arena siasat perang, itulah tapa yangluhur, tapanya seorang perwira jaya dalam bahaya rela mati,mengalahkan tapanya pendeta, tapa semacam jalan ke arahunggul, utamanya tapa di puncak gunung besi, disembah dimedan perang).

84. Yen amangun laga jayeng jurit, den prastawa ingering sopana,purba titih bubukane, agama setya ayu, panggahana teka ing pati,away kaselan meda, mageng bahyanipun, nandyan ana hru sayuta,sedya ayu agama kang amayungi, dwaja anut cancala.

(Kalau kau madju perang agar jaya di peperangan, hendaknyawaspada akan gerak arah, kuasa dan menang awal agama agarsetia dan selamat, kukuhilah hingga akhir hayat, janganterhalang kebiasaan buruk, bahayanya besar, meski datangsejuta anak panah, maksud baik dilindungi agama, tanda-tandamenyertai).

Naskah Nitisruti sebanyak 49 buah, tersebar luas di masyarakat.Terdapat naskah Nitisruti yang berasal dari Yogyakarta, Cirebonbahkan dari Sumedang (Sudewa, 1989 mengutip dari Pigeaud, 1968).Ranggawarsita men”jarwa”kan Serat Nitisruti pada tahun 1871,diterbitkan oleh Landsdrukkerij. Ada pula Serat Nitisruti “jarwan”bertembang macapat, terdapat pada naskah koleksi NetherlandsBible Society dan naskah koleksi keraton Surakarta no.219 (Pigeaud,1968 dan Girardet, 1983 dikutip oleh Sudewa, 1989).

Di bagian akhir Serat Nitisruti terdapat kutipan Asthabrata,yaitu ajaran Rama kepada Wibhisana, saat Wibisono dikukuhkanmenjadi raja di Alengka, menggantikan Rawana. Ajaran ini berisi“wulang” bagaimana seharusnya raja/penguasa/pemimpin bersikapdan berpihak di masyarakat (Sudewa, 1989), dengan meneladani

Page 13: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

Naskah Serat Nitipraja 6687

………., pan wus titi serat Nitipraja, kang ngapus nguni jalmane,

13

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

delapan dewa: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna,Agni.

Nitisruti mengajarkan: seorang pendeta diibaratkan kayucendhana. Betapa pun dihina, dicerca, diterpa dan dipukul, tetapmengeluarkan bau harum semerbak, dikarenakan perilaku danbudi pekertinya yang baik bagaikan langit bersih jernih. Hatinuraninya senantiasa memberikan kesucian jauh dari kejahatan,bersifat suci indah bagaikan permata.

Berjaya unggul di peperangan, rela korban jiwa itulah tapayang luhur, tapanya seorang prajurit. Bahwa bertapanya di ujungsenjata menalahkan tapa seorang pendeta. Di medan laga iadihargai dan dihormati.

SERAT NITIPRAJA

Empu Rajasabahu, pan ing Pajang ingkang nagari, telasipunMataram, anggite sang empu, duk Mataram dinekahan,marang Ki Ageng Pamanahan sarengneki, esahing Nitipraja

(Tamatlah sudah kitab Nitipraja, dahulu yang mengarang,Empu Rajasabahu di negri Pajang. Selesainya sang empumenulis, akhir Mataram, tatkala Mataram dihuni, oleh KiAgeng Mataram, bersamaan dengan selesainya Nitipraja)(Sudewa, 1989)

Serat Nitipraja, naskah LOR 1809

Kaya ta sira amatinggi, lumakyeng desa aseba karang, denkareksa dirgamane, galeng watesing dhusun, langlanganarahina wengi, dursila den kareksa, anudaa laku, anggempalasekaraman, kang atunggu rumekseng watesireki, lalaren sabendina

(Anjenengana langgar den aglis, arepena kerajaning toya,ingkang awening bejine, angungkurena gunung, myang

Page 14: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

14

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pegagan tegal kang asri, munggeng ayuning desa, paringanarawa susukuning wukir yeku sira sedyaa.

(Kalau kau jadi pemimpin, berjalan mengelilingi wilayahpedesaan, waspadalah akan bahaya, pematang dan batas dewa,awasi kelilingilah siang malam, berhati-hatilah akan kejahatan,lakukan jalan pintas, urungkan pemberontakan, penjagaperbatasan, urusilah setiap hari)

(cepat, bangunlah langgar, hadapkan ke arah sumber air, yangpelumbangnya bening, yang membelakangi gunung, sertaladang tegal yang indah di depan desa, berilah danau di kakibukit, rencanakan itu).

Serat Nitipraja berisi ajaran kepada golongan pejabat,bagaimana sikap seorang pemimpin, kepala daerah, kepala desabersosialisasi dengan masyarakatnya dan menjadikan wargadaerahnya aman, nyaman dan sejahtera. (Sudewa, 1989).

Naskah Serat Nitipraja banyak beredar di Jawa Barat, ada yangdari Cirebon dan Sumedang (Sudewo, 1989 mengutip Pigeaud1968). Serat Nitipraja dengan pupuh Dhandhanggula, dari setiapnaskah jumlah baitnya tidak sama, ada 76 bait, 60 bait, ada jugasebanyak 52 bait. Pada bait terakhir naskah Serat Nitipraja LOR6687 mengatakan bahwa naskah ditulis pada jaman Pajang (Sudewo,1989)

SERAT SEWAKA

Serat Sewaka, naskah LOR 6687,

Lamun ingutus tan antuk kardi, aja mencanga lugu ing tengah,ngatalad kang entuk gawe, bali manah den suntrut, den angrasawiring aisin, dene tan antuk karya, netya den tumungkul, yenantuk sira den mekar.

(Bila engkau diberi tugas tidak berhasil, jangan meneronjolditengah, menggeser orang yang berhasil, sebaliknya perasaanhendaknya murung, merasalah aib dan malu, sebab tidakberhasil, pandangan menunduk murung, kalau berhasilberbanggalah.

Page 15: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

15

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Serat Sewaka, naskah LOR 6687

Lamun sira tinitah bupati, anganggoa ambek kasudarman, denagung pangapurane, sabda den manis arum, angecaniingbalaning, prihen tresnaambapa, manah den rahayu, awaymurungaken bakal, aja watek babaringkil ing wong cilik, pasthikasebut arda.

(kalau kau ditakdirkan menjadi bupati, bersikaplah sepertibapa, perbesarlah maafmu, ucapkan kata-kata manis,mengenakkan perasaan anak buah, perasaan hati(mu) yangbaik, jangan menggagalkan kehendak orang kecil, pasti kaudisebut orang (loba).

Serat Sewaka memberi ajaran mengabdi kepada Negara danpenguasa, bagaimana sikap seorang punggawa terhadap atasan,teman sejawat dan rakyat, dalam tata kerja yang tertib, rukundengan sesama. Demikian pula sikap seorang pemimpin,hendaknya bersikap sebagai bapa, besar maafnya, buatlah anak buahsaying dan membapa.

Salah satu naskah Serat Sewaka, koleksi Universitas Leidenbernomor DFT S 240/280-31, dengan terjemahan Bahasa Belanda,Berangka tahun 1816 (Pigeaud 1968, dikutip Sudewo 1989), denganjudul Serat Piwulang. Tahun 1951 serat piwulang dicetak olehWilkens. Saat itu juga Serat Sewaka digubah menjadi prosa olehPuspawilaga. Naskah Serat Sewaka LOR 6687 mempunyai tiga versi:

1. Naskah pendek sebanyak enam bait pupuh Dhandhanggula,1621 AJ.

2. Naskah panjang sejumlah 120 bait pupuh Dhandhanggula,tahun 1621 AJ.

3. Naskah panjang, terdiri tujuh pupuh dalam berbagai metrum,tahun AJ 1702. (Pigeaud 1968 dikutip Sudewo, 1989).

Sastra wulang masa Surakarta menyertakan Serat wulangreh,Serat Wedhatama dan Serat Sasana sunu. Tiga sastra wulang itumengamanatkan upaya memasyarakatkan nilai luhur dan mulia,tercermin dari makna penggalan pupuh Dhandhanggula “pada”

Page 16: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

16

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pertama. ….. untuk memperjelas ajaran luhur dan mulia menjaditerang (Sudewo, 1992).

Sepotong makna kutipan dari pupuh kinanthi,mengamanatkan kalau sudah menjadi orang besar, janganlah tinggihati, …… (Serat Wulangreh, pupuh kinanthi).

Kemudian diamanatkan agar manusia jangan berpekerti sepertidiibaratkan tiga sifat: kijang, gajah dan ular yang masing-masingmengandalkan dan menyombongkan dirinya mampu berlarikencang, sosok yang tinggi besar perkasa, dan keampuhan bisanya.Manusia jangan meninggalkan tatanan adat dan kesopanan, sebabapa pun jadinya nasib diri inim berasal dari sikap membawa diridan memelihara ucapan.

Amanat Pangeran Mangku Nagara IV di dalam SeratWedhatama berpesan agar manusia senantiasa mengamalkankandungan Serat Wedhatama, yang mengajarkan bagaimanaseharusnya manusia berperilkau yang ideal. Ajaran SeratWedhatama “menyerambah” kepada semua insan. Orang yang tidaktahu rasa, tidak sadar diri, bagai ikan sepah yang tawar hambar,tak berarti. Inti dan hakekat martabat diri niscaya tampak dariucapan yang panjang lebar tanpa juntrungan dan tidak lazim.

Yasadipura di dalam Sasanasunu mengamanatkan kepada anak-cucu hendaknya membiasakan belajar ilmu, berguru para ulama,dan minta nasehat kepada manusia utama. Hendaknya bisa rendahhati dan jangan sok pintar. Hendaknya ingat dan cermat, janganterburu-buru sebelum tahu maksudnya.

SERAT WULANGKAH

Salah satu pesan “wulang” pendidikan budipekerti, tersebutdi dalam Serat Wulangreh, pupuh Dhandhanggula, Kinanthi,Gambuh, Pangkur, Durma, Mijil dan lain-lain.

Page 17: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

17

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dhandhanggula

Nanging yensira nggeguru kaki,amiliha manungsa kang nyata,ingkang becik martabate,sarta kang wruh ing kukum,kang ngibadah lan kang ngirangi,sokur oleh wong tapa,ingkang wus amungkur,tan mikir pawewehing layan,iku pantes sira guronana kaki,sartane kawruhana.

(Tetapi bila engkau berguru,pilihlah manusia yang jelasdan baik martabatnya,dan yang tahu akan hukum,yang beribadah dan suka melatih diri,apalagi mendapatkan pertapa,yang tekun melaksanakan tapanya,tidak memikirkan pemberian orang,dia tepat kau jadikan gurudan ketahuilah)

KinanthiYenwus tinitah wong agung,aja sira gunggung diriaja raket lan wong ala,kang ala lakunireki,nora wurung ngajak-ajaksateman anunulari.(Apabila telah menjadi orang besar,janganlah kau tinggi hati,jangan berdekatan dengan orang jahat,watak jahatnya itu,pasti akan membawa-bawa dan mempengaruhi)

Page 18: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

18

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

GambuhAja nganti kebanjur,sabarang polah kang nora jujur,yen kabanjur sayekti kojur tan becik,becik ngupayaa iku,pitutur ingkang sayektos.

ana pocapanipun,adiguna adigang adigung,pan adigang kidang adigung pan esthi,adiguna ula iku,telu pisan mati sampyoh,

(Segala perbuatan yang tidak benarjangan sampai terlanjur,kalau terlanjur pasti tidak akan baik dan sial,lebih baik carilah nasehat yang benar)

(Ada ucapan, adiguna adigang dan adigung,Kijang berwatak adigang, gajah berwatak adigung,dan ular berwatak adiguna)

PangkurKalamun ana manungsa,anyinggahi dugi lawan prayogi,iku wateke tan patut,amor lawan wong kathah,wong degsura daludur tan wruh ing edur,aja sira pedhak-pedhak,nora wurung neniwasi.

(Apabila ada manusia,menyingkiri adat dan tatanan,Sifat itu tidak baikberkumpul dengan orang banyak,orang yang tidak tahu kesopanan,semau sendiri dan tak tahu adat,

Page 19: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

19

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

janganlah kau dekat-dekat,akhirnya ketularan)

MijilMulane ta wekasingsun kaki,den kerep tetakon,aja isin ngatonken bodhone,saking bodho witing pinter kaki,mung nabi kekasih,pinter tan winuruk.

(makanya pesanku nak,seringlah bertanya,jangan malu menampakkan kebodohan,asalnya pandai dari bodoh,hanya nabi kekasih pandai tanpa diajar)

WEDHATAMAPangkurJinejer neng wedhatama,mrih tan kemba kembenganing pambudi,mangka nadyan tuwa pikun,yen tan mikani rasamyekti sepi, asepa lir sepah samun,samangsane pakumpulan,gonyak-ganyuk nglelingsemi.

(Tersebut di dalam Wedhatama,agar kandungan akal budi tidak menjemukan,pada hal meski tua renta pun,kalau tidak tahu rasa perasaan,pasti sepi bagaikan sepah kosong yang tawar hambar,sewaktu di pergaulan,tingkah lakunya tak tahu adab, memalukan)

Page 20: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

20

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

PocungNgelmu iku,kelakone kanthi laku,lekase lawan kas,tegese kas nyantosanisetya budya pangekese dur angkara.

Angkara gung,neng angga anggung gumulung,gegolonganira,tri loka lekere kongsi,yen den umbar ambabar dadi rubeda.

(Ilmu itu,terlaksananya dengan dijalani, diamalkan,caranya dengan bersungguh-sungguh,bersungguh-sungguh itu menguatkan,setia dan berkemauan memberantas nafsu angkara)

(Nafsu angkara yang berkobaryang senantiasa melilit di badan,golongannya menjelajah hingga tiga dunia,kalau dibiarkan merajalela menjadi halangan)

SASANASUNUDhandhaggulaDen agedhe sukurireng Widhi,aywa lupa sireng sanalika,den rumeksa ing uripe,den madhep ing Hyang Agung,den apasrah aywa sak serik,manawa ana karsa uripta pinundhut,ngaurip wasana lena,tan tartamtu cendhak dawaning ngaurip,aywa acipta dawa.

Page 21: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

21

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

(Seketika jangan lalaiperbesar rasa sukurmu kepada Tuhan,jagalah hidup(mu)hendaknya menghadap mantap kepada Yang Maha Besar,pasrahlah jangan merasa sakit hati,apabila kehendak(Nya)hidupmu ditarik kembali,hidup berakhir mati,panjang dan pendeknya hidup tidak tertentu,jangan berpikir panjang umur

AsmaradanaDen kerep nggegulang ngelmu,nggegurua pra ngulama,lawan den kerep tetakon,den bisa anoraga,aywa kuminter kumingsun,nadyan silh wusa bisa

(Hendaknya sering belajar ilmu,bergurulah para ulama,dan sering-seringlah bertanya-tanya,hendaknya bisa membawa diri,jangan merasa pintar dan sombong,meskipun seandainya sudah bisa)

KinanthiYwa kagetan ywa kesusu,yen durung wruh temeneki,manawa kadi si mina,patine kena ing pancing,during wruh ing kamandaka,mung lobane den turuti.

(Jangan gampang kaget dan jangan terburu-buru,kalau belum tahu kebenarannya,kalau-kalau seperti si ikan,

Page 22: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

22

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

ajalnya terkena pancing,belum paham akan tipuan,hanya menuruti nafsu lobanya)

Serat Wulangreh karya Sunan Paku Buwana IV cukup dikenaldi kalangan pembacanya. Serat sastra wulang ini dicipta tahun 1735AJ (Darusuprapta, 1982 dan Pigeaud 1968, dikutip Sudewa, 1989),dengan candrasangkala tata guna swareng nata, Naskah SeratWulangreh, diantaranya terhimpun di dalam kumpulan naskah,seperti: Panitisastra saha Piwulang Warni-Warni PW 46-NR 80,Sasanaprabu PW 87-A 41, Serat Suluk PW 140-NR 168, koleksiFakultas Sastra UI (sekarang FIB-UI) (Behrend-Titik Pudjiastuti 1997).Serat Wulangreh juga sudah diterbitkan oleh Tan Khoen Swie Kediridan Darusuprapta 1982, Wiryapanitra.

Serat Wedhatama karya Pangeran Mangku Nagara IVnaskahnya tersimpan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dahulu FakultasSastra UI), terhimpun dalam kumpulan naskah-naskah,diantaranya: Primbon Piwulang PW 54-NR 67, Serat Wedhatamadisalin RM Panji Pringgosaputro PW 68-NR 52, Serat Suluk mawiPiwulang PW 143-NR 84, Serat Wedhatama Sarta Rumpakan PW162-A 16, Serat Wulang Warni-Warni PW 179-NR 68. PenerbitanSerat Wedhatama oleh: Padmasusatra dalam Dwijaiswara, RPujaharja, Noordhof Kolff, 1953, Yayasan Mangadeg.

Serat Sasanasunu, karangan Yasadipura II, diantara naskahnyaterdapat di koleksi Fakultas Ilmu Budaya UI (Fakultas Sastra UIterhimpun dalam kumpulan Naskah: Serat Sasanaprabu PW 87- A41 dan Serat Wulang PW 181-NR 189. Penerbitannya oleh SMDiwarna, tahun 1928. (Poerbatjaraka, 1957).

***

Karya sastra dicipta, direka, ditulis dan diungkapkan oelhpenulis sastra. Ia melahirkan buah karyanya dengan maksudmenyampaikan sesuatu yang memberi kenikmatan atau inginmenyatakan hal-hal yang enak dan berfaedah bagi kehidupan sertapeningkatan kwalitas hidup manusia dan masyarakat (Teeuw, 1984;Damono, 1992).

Page 23: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

23

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Penulisan sastra dimaksud sebagai sarana mempertinggikwalitas hidup manusia dan masyarakat. Sastra hendaknya memberikenyamanan estetis kepada peminatnya (Sedyawati, 1988/1989).Dalam rangka mengamalkan ilmunya pengarang sadar wajibmenulis untuk mencerdaskan dan menamah wawasan masyarakat,dengan maksud menyajikan perilaku yang baik untuk membangunkewibawaan dan kemuliaan raja serta menjunjung tinggimartabatnya. Pujangga menulis atas nama raja danmempersembahkan karyanya kepada raja. Jasa dan pengabdiannyadi bidang penulisan sastra turut memberikan andil yang tidakternilai. Hasil karyanya turut memberikan sumbangan dalampendidikan moral dan spiritual, manambah kekayaan rohani,memperluas wawasan dalam rangka mendidik dan mencerdaskanrakyat dan masyarakat (Rochkyatmo 2001).

Membaca dan menikmati karya sastra berarti membuat dialogdengan karya sastra itu. Dari dialog itu dapat dicermati muatankeindahan, menafsirkan maknanya secara keseluruhan, meliputigenre, tema, dan sebagainya (Damono, 1992). Makna sebuah tekspada hakekatnya merupakan ciptaan dari pembaca masing-masing(Luxemburg, 1989).

Karya sastra masa Surakarta dan pra Surakarta, diantaranyabergenre “sastra wulang”.

Menelaah dan mencermati “sastra wulang” berarti berupayamemahami makna dan kandungan amanatnya.

Sastrawulang masa pra Surakarta, dalam hal ini Serat Nitisruti,Serat Nitipraja dan Serat Sewaka, memberi petunjuk caramengabdi, berfungsi sebagai salah satu jalan untuk mempersatukanmasyarakat, dibawah naungan kerajaan. Ditekankan untukpengabdian kepada raja, melalui pemikiran tasawuf Islam (Sudewa1989).

Sastra wulang masa Surakarta, atas telaah terhadap SeratWulangreh, Serat Wedhatama dan Serat Sasanasunu, intinyamengajarkan pembentukan sikap pribadi yang ideal untukmemelihara kestabilan masyarakat (Sudewa, 1989). Dalam upayamemasyarakatkan nilai luhur dan mulia sastra wulang masa

Page 24: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

24

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Surakarta mengamanatkan agar menjalani ibadah denganmemegang syariat Islam (Sudewa 1989).

Nilai budaya (Jawa) yang terkandung di dalam karya sastra yangsenantiasa mendahulukan keseimbangan antara kesejahteraan lahirbatin. Sikap tersebut layak dipertahankan dan tetap akan berlakudi masa mendatang.

Kekayaan kultural budaya Jawa terletak pada ajaran hidup,seperti kandungan “sastra wulang”, untuk mendapatkankeselamatan, kedamaian, kenyamanan dan kesejahteraan, baik yangtermuat pada karya sastra, utamanya sastra wulang mau pun yangterungkap melalui karya seni lainnya.(Wibisono, tt).

Nilai budaya (Jawa) yang hingga sekarang ini masih ada yangrelevan dengan suasana jamannya, dikarenakan karya budaya ituseperti teks sastra, yang mampu bertahan hidup berarti teks itumemiliki potensi yang kuat, sebab pembaca dari berbagai jamandan berbagai ragam berpikir, dapat menyesuaikan denganjamannya. Potensi teks hanya dapat terwujud karena aktivitaspembacanya (Sudewa, 1989). Teks sastra yang potensial itu patutmenjadi sumber ajaran moral dan tuntunan hidup bermasyarakat(Wibisono tt).

Pujangga beserta karya sastra wulangnya ternyata secara bijaktelah menyikapinya sejak dini.

Dengan memahami, menghayati dan mengamalkan pesan danamanat yang tertuang di dalam sastra wulang yang kaya akanpendidikan budi pekerti niscaya menjadi pengasah kepribadianluhur di dalam menabur amal kebaikan dan menggelar kearifansebagai perwujudan manusia ideal.

***

Page 25: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

25

Sastra Wulang, Sebuah Genre di dalam Sastra Jawadan Karya Sastra Lain Sejaman

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Kepustakaan

Damono, Sapardi Joko, 1992. ‘Pengarang, Sastra dan Pembaca’,dalam: Lembaran Sastra Universitas Indonesia, 17 Juli 1992.Depok: Fakultas Sastra UI.

Damono, Sapardi Joko, 2000. ‘Estetika Sastra Jawa Baru’, MakalahPenyusunan Buku Pintar Sastra Jawa 1999/2000. Jakarta: ProyekPembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan DaerahDepartemen P dan K.

Darusuprapta, 1982. Serat Wulangreh, anggitan Dalem Sri PakuBuwana IV. Surabaya: Citra Raya.

Herusatoto, Budiono, 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Penerbit PT Hanindito.

Luxemburg, Jan Van, dkk, 1989. Tentang Sastra (terjemahanAchadiati Ikram). Jakarta: Inter Nusa.

Pigeaud, Th.P., 1967. The Literature of Java Vol.I. The Hague: MartinusNijhoff.

Poerbatjaraka, 1940. Beschrijving der Handschriften Menak. Bandung:A.C.Nix en Co.

Poerbatjaraka, Prof DR RM Ng dan Tardjan Hadijojo,1957.Kapustakan Jawi. Jakarta: Djambatan.

Rochkyatmo, Amir, 2001. ‘Sastra Jawa Lama’, dalam Sastra Jawa,sebuah Tinjauan Umum (ed. Edi Sedyawati dkk). Jakarta: PusatBahasa-Balai Pustaka.

Sedyawati, Edi, 1988/1989. Laporan Penelitian Sastra Jawa Abad ke18. Depok: Universitas Indonesia.

Sindunagara, Karyana, 2001. ‘Mangku Nagaran’, dalam: SastraJawa, Suatu Tinjauan Umum (ed.Edi Sedyawati dkk). Jakarta:Pusat Bahasa-Balai Pustaka.

Sudewa, A, 1989. Serat Panitisastra. Yogyakarta: Duta WacanaUniversity Press.

Page 26: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

26

Amir Rochkyatmo

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sudewa, Alex, 1992. ‘Individu dan Masyarakat di dalam SeratWulangreh’, Makalah Seminar Nasional Sastra dan Filsafat UI.Depok.

Sudewa, Alex, 1995. Dari Kartasura ke SurakartaYogyakarta: LembagaStudi Asia.

Teeuw, Prof DR A, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PustakaJaya.

Wibisono, Singgih, Tanpa tahun. Budaya Jawa Sepanjang Masa. TeksCeramah

_____

Page 27: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

27Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

I

Di Tatar Sunda didapatkan sejumlah naskah kuno, ada yangsudah dialihaksarakan dan diterjemahkan, namun lebih banyaklagi yang masih berupa manuskrip yang belum diteliti oleh parafilolog naskah Sunda yang memang jumlahnya masih terbatas.Umumnya naskah-naskah Sunda Kuno digubah antara abad ke-14hingga termuda dalam awal abad ke-16 M. Data kronologi tersebutdapat diketahui secara pasti melalui pencantumkan angka tahundi bagian akhir naskah oleh penggubahnya dahulu. Hal sepertimisalnya terdapat dalam kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesianyang mencantumkan angka tahun 1440 Saka atau 1518 M, ataudalam masa pemerintahan raja Sri Baduga Maharaja yang berkuasaantara tahun 1482—1521 (Danasasmita dkk.1987: 6).

Ada juga kronologi naskah yang ditentukan secara relatif,karena naskah itu sendiri tidak mencantumkan angka tahun yangpasti. Contohnya adalah naskah Fragmen Carita Parahyangan,berdasarkan uraian isinya naskah tersebut diidentifikasikan berasaldari abad ke-16, mungkin kitab itu ditulis beberapa waktu sebelumruntuhnya Sunda Pajajaran dalam tahun 1579 M, atau beberapatahun sesudahnya (Darsa & Edi S.Ekadjati 2003: 175). Dengandemikian naskah-naskah Sunda Kuno ada yang secara jelasmencantumkan kronologi diselesaikannya karya, ada juga yangtanpa kronologi, namun berdasarkan perbandingan isim, bahasa,dan aksara dengan naskah-naskah lain dapat diketahui berkisar

TINJAUAN NAPAS KEAGAMAANHINDU-BUDDHA DALAM BEBERAPA NASKAHSUNDA KUNO (ABAD KE-14—16 M)

AGUS ARIS MUNANDARDepartemen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Page 28: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

28

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dari periode perkembangan Kerajaan Sunda di Jawa bagian baratyang juga disebut Tatar Sunda.

Beberapa naskah Sunda kuno tersebut ada yang seringkalidijadikan bahan acuan atau dikutip uraiannya oleh para ahli ketikamereka memperbincangkan masalah kebudayaan Sunda Kuno,misalnya kitab Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ada juganaskah Sunda kuno yang telah dialihaksarakan dan diterjemahkan,namun para ahli langka menggunakan sebagai acuan, naskahseperti itu misalnya Serat Dewa Buda.

Keadaan itu disebabkan terdapatnya uraian yang berbedadalam naskah-naskah tersebut, ada yang isinya mudah dipahami,mengandung beraneka data kebudayaan Sunda Kuno, dan masihberhubungan dengan keadaan masyarakat Sunda masa sekarang.Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian memang bersifat“ensiklopaedis”, kaya dengan uraian kebudayaan Sunda Kuno, danjelas dalam penyampaiannya, sehingga acapkali diacu oleh parasarjana yang mempelajari sejarah kebudayaan Tatar Sunda. Lainhalnya dengan Serat Dewa Buda, dari judulnya saja dapat disiratkanbetapa isi dari naskah tersebut. Ternyata memang isi naskah SeratDewa Buda merupakan uraian alam metafisika yang penuh denganmetafora hingga sukar untuk diartikan. Para ahli sangat kesulitanuntuk memahami isinya, oleh karena itu hanya mereka yangberminat mendalami keagamaan Sunda Kuno saja yang akanmenelisik kitab tersebut.

Kebanyakan naskah-naskah Sunda Kuno digolongkan kedalam naskah keagamaan, karena memang banyak yangmenguraikan tentang hakekat tertinggi, kuasa alam semesta, tujuanakhir kehidupan, cara melakukan pemujaan dan sebagainya. OlehKarena itu layak jika para ahli filologi menggolongkan naskah-naskah tersebut sebagai naskah keagamaan. Kajian ringkas inisebenarnya berkehendak untuk mengetahui lebih lanjut perihal“nafas keagamaan” yang terdapat dalam naskah-naskah SundaKuno. Dalam masa itu agama besar yang sedang berkembang diPulau Jawa, baik dalam masyarakat Jawa Kuno atau pun SundaKuno adalah dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Buddha,oleh karena itu kajian ini berupaya untuk mengungkapkan lebih

Page 29: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

29Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

lanjut perihal peranan ajaran atau konsep kedua agama besar itudalam naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno.

Sangat mungkin selain adanya ajaran dua agama besar Hindu-Buddha, terdapat pula ajaran lain yang lebih bersifat religi SundaKuno yang tidak bisa dikembalikan ke dalam konsepsi dan ajaranHindu atau Buddha. Hipotesa tersebut agaknya dapat dibuktikandalam kajian selanjutnya, mengingat beberapa naskah Sunda Kunojusutru mendudukkan peranan Hyang lebih tinggi dari pada dewa-dewa Hindu-Buddha yang telah dikenal dalam kitab-kitab Jawakuno. Hyang sangat mungkin adalah superhuman beings lokal yangtelah dimuliakan sejak sebelum kedatangan pengaruh agama-agamaIndia. Dengan demikian agaknya telah terjadi suatu pembaurandan juga redefinisi lagi ketika agama Hindu dan Buddhaberkembang dalam masyarakat Sunda Kuno.

Keadaan seperti itulah yang dicoba untuk ditelusuri dandijelaskan dalam kajian ini, walaupun hanya menggunakan sejumlahnaskah Sunda Kuno saja, namun diharapkan hasilnya dapatmencerminkan gambaran sesungguhnya dari isi napas keagamaandalam kitab-kitab Sunda Kuno. Sebagaimana diketahui bahwa kitab-kitab yang disebut bernapaskan keagamaan tersebut pastinyadihasilkan oleh kaum agamawan, oleh karena itu juga ditelusurimasyarakat kegamaan Sunda Kuno yang mungkinmenghasilkannya.

II

Beberapa kitab Sunda kuno berikut ini ditinjau bagian-bagianajaran yang bernafaskan agama Hindu dan Buddhanya, sehinggadapat diketahui resapan kedalaman kesapan kedua agama itu didalamnya. Kitab pertama yang dibicarakan adalah Sang Hyang SiksaKanda ng Karesian, sebagaimana telah dikemukakan bahwa kitabtersebut seringkali diacu oleh para peneliti Sunda Kuno karenasarat dengan berbagai informasi yang diperlukan.

Page 30: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

S

S

S

iwa, misalnya dinyatakan:S

30

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Kitab Sang Hyang Siksa Kanda ng Karesian dinamai jugadengan Kropak 630, telah dialihaksarakan dan diterjemahkan olehSaleh Danasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, lewatProyek Penelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi).Mengenai nafas agama Hindu di dalamnya antara lain menyebutkanadanya nama-nama dewa dalam kaitannya dengan arah mata anginsebagai berikut:

Purba, timur kahanan Hyang Isora, putih rupanya;Daksina, kidul. kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya,Pasima, kulon kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya),Utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya;Madya, tengah kahanan Hyang Siwah, [aneka] aneka warnarupanya (Danasasmita dkk. 1987: 75).

Berdasarkan kutipan tersebut dapat diketahui bahwa napasagama Hindu-saiwa dikenal dalam Sang Hyang Siksa. Diuraikanbahwa Hyang Siwah ( iwa) berkedudukan di tengah dan darinyamemancar penjelmaannya di berbagai arah mata angin. Dalamkonsep Jawa Kuno dinamakan dengan ajaran Nawasanga yang jugamasih dikenal hingga sekarang di Bali. Dalam ajaran tersebuttempat kedudukan utama Wisnu di utara, iwa di tengah danBrahma di arah selatan selatan masih dipertahankan, dan samakeadaannya dengan keadaan agama Hindu di Jawa bagian tengahdalam masa pembangunan percandian Prambanan. Di percandianPrambanan, Candi Wisnu berada di utara Candi iwa, dan CandiBrahma berada di selatannya.

Di bagian lain dari Sang Hyang Siksa dijumpai pula adanya napaslainnya dari agama Hindu-

Sakala Batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana:‘Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah, bakti ka Batara !Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti kaBatara !’ (Danasasmita 1987: 86).

(Pesan Batara Jagat ketika menciptakan alam semesta.Ujarnya: ‘Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah,

Page 31: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

S

sa

sapuru

31Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

berbaktilah kepada Batara. Ujarnya lagi: Indra, Yama,Baruna, Kowera, Besawarma berbaktilah kepada Batara !).

Dalam hal ini dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu itu harusberbakti dan memuja Batara Jagat, namun tidak dijelaskan siapajatidirinya, artinya kedudukan dewa-dewa Hindu itu lebih rendahdaripada Batara Jagat. Sepintas dewa-dewa Hindu itu memangdisebutkan namun tidak berada dalam posisi yang penting, sebabkedudukannya lebih rendah dari Batara Jagat.

Kitab lainnya adalah Kawih Paningkes yang juga disebut Kropak419, kitab ini telah dialihaksarakan dan diterjemahkan dalamtahun 1995 oleh Ayatrohaedi dan Munawar Holil. Napaskeagamaan Hindu dalam Kawih Paningkes sukar untuk ditelusuri,namun setelah disimak dengan baik terdapat pula unsurkehinduannya, antara lain sebagai berikut:

“Samangkana hali[h](w)u[s](w)us haliwawar kulem kalawanrahina bulan bentang aditiya ku[w]wung-kuwung kawang-kawangkatumbiri teja mentrang kalawan lwah halilar aheningnirawarana laget genina sri yama…”

(“Demikianlah topan dan badai tidur bersama siang, bulan,bintang, matahari, pelangi, teja, bianglala, lembayung senjadengan keadaan segalanya hening (tenang), jernih terangapinya Sri Yama…”)(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 15 dan35).

Dalam Kawih Paningkes disebutkan nama Dewa Yama, dewaitu dalam Hinduisme dikenal sebagai dewa maut yang menjaganeraka. Yama dalam sistem Astadikpalaka (delapan dewa penjagamata angin) berada di arah mata angin selatan. Tidak ada lagi namadewa lain yang disebutkan di dalamnya, hanya ada istilah sansekertayang bercirikan Hindu disebut dalam kitab itu, yaitu Mahâpuru(Paningkes 21b: 2) yang dapat diartikan adalah “makhluk yang palingagung”, diterjemahkan sebagai Tuhan (Ayatrohaedi & Holil 1995:37). Mahâ walaupun diartikan sebagai Tuhan, dalam kitabitu tidak dapat diartikan sebagai dewa tertinggi dalam Hinduisme,yaitu iwa Mahâdewa. Agaknya konsep tersebut justru mengacu

Page 32: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

S

32

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kepada superhuman being yang bukan dari dewa India, melainkanmengacu konsep keIllahian tertinggi Sunda kuno asli.

Dalam kitab Amanat Galunggung atau juga disebut Kropak632, malahan tidak ada penyebutan nama dewa-dewa Hindu. Jejakkehinduan pun tidak dapat ditemukan dalam Kropak 632, mungkinkitab tersebut memang bukan dimaksudkan sebagai kitab ajarankeagamaan. Kitab tersebut dapat dianggap pesan yang disampaikanoleh kaum agamawan di Kabuyutan Galunggung kepada merekayang mampu dan menaruh perhatian, agar menjagakeberlangsungan kehidupan agama di tempat itu.

Kitab lainnya yang mungkin mengandung ajaran agama Hindudan Buddha adalah Sewaka Darma atau Kropak 408. Kitab inisudah dialihaksarakan dan diterjemahkan juga oleh SalehDanasasmita dan kawan-kawan dalam tahun 1987, melalui ProyekPenelitian dan pengkajian kebudayaan Sunda (Sundanologi). Kitabtersebut ternyata tidak hanya menyimpan konsep-konsep Hindu,melainkan juga Buddha dan penyatuan Sewa-Sogata ( iwa-Buddha).

Disebutkan adanya Dewa Aditya/Surya (Sewaka, 29:12) danYama (Sewaka, 35: 3), lalu juga dinyatakan tentang kahiyangan paradewa Hindu sebagai berikut:

51…Di timur Batara Isorakahiyangan perak putihtiangnya perak berukirbahannya serba perak

52…Rumah bertabur permatabermacam-macam ukiranditata meniru bungatempat tinggal hiyang Isoratujuan mereka yang lulus tapadalam kebahagiaannya

Page 33: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

33Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

Di utara Batara Wisnukahiyangan meru hitamtiangnya besi berukirbahannya serba besiberatap besi Cinaberlantai baja

53. …tempat tinggal Batara Wisnutujuan mereka yang sempurna perbuatannyadalam kebahagiaannya.

Di barat Batara Mahadewakahiyangan meru kuningtiangnya emas berukirbahannya serba emas…

54. …Di selatan Batara Brahmakahiyangan warna merahtiangya tembaga berukirbahannya serba tembagaberatap tembaga beningberlantai tembaga Cinaberdinding tembaga Keling…

55. …Di tengah Batara Siwakahiyangan yang terang benderangtiangnya baja berukirbahannya aneka macam beratap perak…

Page 34: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

lainnya seperti Sambhu (timur laut), Mahes

S

34

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

56…Rumah bertabur permatabermacam-macam ukirandiukir meniru bungatempat tinggal Batara Siwatujuan mereka yang sarat dengan amal baikmenyelesaikan tugasnyatak urung mendapat kebahagiaan…(Danasasmita dkk.1987: 64—67).

Dalam kitab Sewaka Darma itu, tidak seluruh dewa jelmaanŒiwa dalam Nawasanga disebutkan satu persatu. Dewa yangdiungkapkan hanya Isora (Iswara) di arah Timur, Wisnu di arahutara, Brahma di selatan, dan iwa di titik tengah. Hanya dewa-dewa itulah yang disebut dalam Sewaka Darma, sementara itu dewa-dewa Nawasanga wara(tenggara), Rudra (barat daya), Mahâdewa (barat), Sangkhara (baratlaut) tidak disebutkan.

Adapun mengenai napas agama Buddha, hanya sedikit sajadidapatkan dalam uraian kitab tersebut. Uraiannya pun bersifatperumpamaan, jadi tidak lugas menyatakan sifat Bauddhanya,sebagai berikut:

“sampangan mangregat limaNa jalan pa[da]ti ageung” (Sewaka, 28: 8—9)

(“Simpang jalan terbagi lima, itu jalan pedati besar”)

Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan perumpamaanbagi Panca Tathagata (lima Tathagata) yang terdiri dari Amitabha(barat), Amoghasiddhi (utara), Aksobhya (timur), Ratnasambhawa(selatan), dan Wairocana (tengah). Merekalah yang telahmemperoleh jalan keBuddhaan, para Buddha tersebut hanyadikenal dalam ajaran Mahayana yang artinya pedati besar, ataujuga golongan Mahasanghika yang menyetujui adanya perubahan-

Page 35: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

35Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

perubahan (Hadiwijono 1982: 67), oleh karena itu disebut denganna jalan padati ageung.

Naskah Serat Dewabuda (SDB) atau dengan nama lain SeratSewakadarma telah dialihaksarakan dan diterjemahkan ke dalamBahasa Indonesia oleh Ayatrohaedi dalam tahun 1988. Naskahtersebut pada waktu itu disimpan di Bagian Naskah MuseumNasional Jakarta, sebagai salah satu koleksi naskah kuna yangdiwariskan oleh J.L.A.Brandes kepada Koninklijk BataviaaschGenootschap van Kunsten en Wetenschappen yang menjadilembaga Museum Nasional, namun naskah tersebut sekarang telahmenjadi khasanah koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta.

Dalam uraian-uraiannya disebutkan adanya napas Hindu danBuddha, namun hanya sekedar pelengkap saja dari ajaran tentangkonsep kekuatan tertinggi masyarakat Sunda Kuno.

Keunikan SDB adalah menyatakan dengan jelas bahwa konsepkuasa tertinggi yang dijuluki Sanghyang (Taya) kedudukannya jauhlebih tinggi dari panteon dewa Hindu ataupun Buddha. SDB 26v :1—2 menyatakan:

1. ”…sanghyang tidak tergantung, siwa buddha tidak diajarkan,batara batari tidak dinamai, sunyata tidak diunggulkan. tidakada

2. gelar puja, tidak dikaji yang serupa dengan teratai besar itu.tidak ada semuanya itu sebelumnya, hingga pada nafas, ujar,dan tujuan sampai berjumpa dengan kearifan” (Ayatrohaedi1988: 163).Demikianlah bahwa Sanghyang Taya lebih dirincikan lagi dalam

SDB, bahwa pada akhirnya dapat ditafsirkan bahwa sanghyangtertinggi itu adalah kearifan yang mestinya harus dicapai dan dimilikioleh setiap manusia. Dewa Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, Raksasa,dan Pitara menurut SDB hanyalah gambaran yang dikeluarkan olehmanusia dari panca paramarta dan panca indranya belaka.Perhatikan uraian SDB 39r: 2—4 dan 39v: 1—2 berikut ini:

Page 36: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

(Sang Hyang Taya). Dalam lingkungan seluruh dunia selalu terdapat

36

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

2. ”…Ditemukannya tujuan namanya; apakah yang menjadiukuran tujuan?, yaitu sebagai raga dalam

3. mimpi, tubuh kita pada waktu bermimpi; diwujudkan sebagaitujuan dalam impian, sebagai tempat berenang di danau,seperti melayang

4. di angkasa, sebagai parakul (?) di gunung, sebagai suami, sebagaiistri, terjadi dalam impian. Demikianlah bermacam keluarnyatujuan dalam impian, diwujudkan semuanya

39v.1. oleh tujuan ketika itu, dikeluarkan semuanya gambaran itu,

meragakan Siwa, Buddha, Brahma, Wisnu, raksasa, pitara,ditempatkan dalam puspalingga dan

2. arca. Itulah sebabnya terdapat hyang dalam tujuan duniaseluruhnya dalam waktu…” (Ayatrohaedi 1988: 176).

SDB menyatakan bahwa prana adalah indra, adalahkehidupan adalah tujuan (acuan), dan acuan hidup itu ialah Hyang

Hyang sebagai acuan. Dewa-dewa Hindu dan Buddha dinyatakanhanyalah visualisasi dari tubuh (raga) dalam mimpi, jadi semu agarmenjadi konkret kemudian “ditempatkan dalam puspalingga danarca”. Berdasarkan uraian tersebut dapat ditafsirkan bahwa, (1) SangHyang Taya adalah kekuatan adikodrati tertinggi yang diseru dalamSDB, (2) Sang Hyang Taya sebenarnya terdapat di dalam setiap dirimanusia apabila ia menyadarinya dan juga hadir diseluruh dunia,(3) Sang Hyang Taya harus menjadi tujuan (acuan) bagi semuamakhluk, (4) Lingga dan arca dewa-dewa adalah wujud yang semubelaka, bagai raga yang tampil dalam mimpi.

Demikianlah dari beberapa kitab keagamaan dari masa SundaKuno dapat diketahui bahwa memang terdapat anasir agama Hindudan Buddha di dalamnya, akan tetapi tidak dominan. Anasir agamaHindu-Buddha tersebut hanya disebutkan saja, tidak menjadi materiutama yang menjadi bahan pembicaraan.

39r.

Page 37: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

S

Sr e s

S

SS

37Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

IIIDalam kitab-kitab keagamaan Jawa Kuno, seperti

Arjunawiwaha, Arjunawijaya, Sutasoma, K nayana, daniwaratrikalpa, walaupun di dalamnya dikisahkan tentang

petualangan para ksatrya, namun ajaran keagamaan Hindu atauBuddhanya tetap masih dirasakan. Misalnya ketika Arjuna dimintatolong para dewa untuk memusnahkan Niwatakawaca yang akanmerebut kahyangan dalam Arjunawiwaha, iwa Mahâdewa sendiriyang turun ke dunia dan menjelmakan dirinya menjadi ksatryabernama Kirata. Kisah tersebut sarat dengan metafora pertemuanantara dunia manusia dan dewa-dewa.

Begitupun dalam kitab Sutasoma dikisahkan upaya sangpangeran untuk memusnahkan musuh-musuhnya, dan padaakhirnya dapat bertemu dengan hakekat keBuddhaan tertinggi, iamerasa berbahagia mencapai dan memahaminya. Dalam kitabtersebut juga dinyatakan dengan metafora narasi kisah tentangupaya pencapaian ajaran agama Buddha.

Kitab iwaratrikalpa sangat jelas membeberkan konsepkeagamaan tentang pemujaan Lingga dalam malam iwa.Lubdhaka pemburu yang sangat berdosa karena pekerjaannyamembunuh makhluk lain, pada akhirnya dapat masuk surga. SebabLubdhaka melakukan puja —walau secara tidak sengaja— kepada

iwa Mahâdewa di malam keramat yang sangat disukai oleh dewatertinggi itu.

Kembali kepada naskah-naskah keagamaan Sunda Kuno,ternyata tidak ada kandungan cerita tertentu di dalamnya. Tidakdijumpai adanya ajaran keagamaan yang dipadukan atau dibalutdengan rangkaian cerita yang berkenaan dengan tokoh-tokohksatrya, raja, atau brahmana. Uraian naskah-naskah tersebut apabilaberkenaan dengan keagamaan, maka akan langsung menuturkantentang hakekat tertinggi, atau upaya pertemuan dengan hakekattertinggi, atau dinyatakan bahwa hakekat tertinggi Sunda Kuno(Hyang) lebih tinggi dari dewa-dewa India (Hindu dan Buddha).Sang Hyang Siksa menyatakan:

Page 38: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

38

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

“Nihan sinangguh Dasa Prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa,ewe bakti ka laki, hulun bakti kapacandaan, sisya bakti kaguru, wangtani bakti ka wado, wado bakti ka mantra, mantra bakti di nu nangganan,nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratubakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh Dasa Prebakti”(Siksa II).

(“Ini yang disebut Dasa Prebakti. Anak tunduk kepada bapak;istri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan, siswatunduk kepada guru, petani tunduk kepada Wado; Wado tundukkepada mantri; mantri tunduk kepada nu nangganan, nunangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tundukkepada raja; raja tunduk kepada dewata, dewata tunduk kepadaHyang. Ya itulah yang disebut Dasa Prebakti”) (Danasasmita dkk1987: 74 dan 96).

Berdasarkan kutipan tersebut terdapat peringkat dalam halpengabdian, dimulai dari seorang anak yang mengabdi kepadaayahnya, lalu ada mangkubumi (penguasa daerah) yang tundukkepada raja, hingga akhirnya dinyatakan bahwa para dewamengabdi kepada Hyang. Jelas sekali dinyatakan bahwa kitab SangHyang Siksa menjelaskan tentang tingginya kedudukan Hyang daripada para dewa yang mengacu kepada dewa-dewa Hindu danBuddha.

Kitab Kawih Paningkes tidak menjelaskan tentang konsepdewa-dewa Hindu-Buddha, justru yang diuraikan dengan segalaperumpamaannya adalah upaya diri seseorang untuk mencapaipengetahuan yang sempurna. Pengetahuan atau keadaan yangsempurna itu dijelaskan sebagai berikut:

“Jika cantik tidak cantik, ada ucapan tak berucap, tak ada tekadtanpa tekad, tidak ada ujar tanpa ujar, tidak ada ketunggalan, tidakada perasaan yang tunggal tanpa rasa. Tak ada raga tanpa kelihatanapa yang terjadi. Tidak ada orang yang terdengar, tak terbelai, taktergarap. Tidak ada hidup yang terjangkau, tanpa cipat, tanpawarna… demikian yang menguasai hasil keutamaan yang sejati…”(Paningkes 2—3, Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 29).

Page 39: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

SS

39Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

Tidak ada pernyataan lain yang mengarah kepada ajaran Hinduatau Buddha, kecuali yang telah dikemukakan adanya penyebutanDewa Yama sebagai penguasa neraka, dan Mahapurusa yang bukan

iwa Konsep tertinggi dalam Kawih Paningkes disebutkan denganjulukan Batara Tunasaranta, konsep tersebut bukan iwa, bukanpula Buddha, karena dijelaskan lagi sebagai “pemburu agung yangmenurunkan raga, menghadirkan kilat dan hujan,memberitahukan tentang awan yang bergulung-gulung,..di balikangkasa tersamarkan oleh cahaya, matahari, bulan, jika dipandangterlihat lenyap…”(Ayatrohaedi & M.Holil 1995: 45).

Hal yang sungguh menarik adalah apa yang diuraikan dalamkitab Bujangga Manik, kitab langka yang sangat penting bagipengetahuan kebudayaan Sunda Kuno, sebab menyebutkangunung-gunung dan berbagai tempat keramat di Pulau Jawa padawaktu kitab itu disusun. Kronologi naskah merupakan salah satumasalah yang menarik untuk diperbincangkan, oleh karena itupeneliti pertama naskah Bujangga Manik, yaitu J.Noorduynmenyatakan:

“More specifically the mention Majapahit, Malaka and Demakallow us, as we shall see, to date the writing of the story in the15th century, probably the latter part of this century, or the early16th century at latest” (1982: 414).

Noorduyn hanya memberikan kisaran waktu penulisan naskahitu dalam abad ke-15 atau paling akhir pada permulaan abad ke-16M. Kisaran itu memang mungkin benar karena didasarkan padapenyebutan tempat-tempat yang secara politis sedang berkembangatau masih berkuasa dalam periode yang sama.

Kitab Bujangga Manik memang menguraikan data topografiJawa dalam masanya, dan dapat dipandang sebagai uraianperjalanan ziarah, namun tidak semata-mata tentang hal itu belaka.Bujangga Manik tentunya bersusah payah menyusun naskahnyauntuk tujuan yang lebih mendalam bukan sekedar catatanperjalanan. Mengenai hal tersebut sebenarnya telah dikemukakanoleh Noorduyn sebagai berikut:

Page 40: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

40

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

“In this sense our story belongs to the category of religious literatureand must have emanated from a religious community, even thoughit contains hardly any direct lessons on special religious topics,and in this way clearly differs from well-known Javanese stories oftravelling mystics” (1982: 438).

Noorduyn dan A.Teeuw memang telah mengemukakan lebihlanjut tentang bagian-bagian mana yang memperbincangkan tema-tema keagamaan dalam Bujangga Manik. Dalam kitab itudiperbincangkan tentang kunjungan sang Bujangga Manik keberbagai pertapaan, tempat-tempat keramat (sasakala), tempatpendidikan agama (mandala), bertemu dengan para guru-gurukeagamaan yang tinggi ilmunya (mahapandita), berdiskusi dengantokoh-tokoh bijak, akhirnya ketika Bujangga Manik kembali ketatar Sunda ia membuat tempat suci, dan bertapa (Noorduyn &Teeuw 2006: 162—8). Menurut Noorduyn naskah perjalananBujangga Manik yang menyebutkan berbagai tempat keagamaandi Jawa mungkin dimaksudkan sebagai panduan bagi para pembacayang ingin mengikuti jejak Bujangga Manik berkunjung ke pusat-pusat keagamaan di wilayah Jawa bagian tengah dan timur(Noorduyn 1982: 438). Dapat juga dipandang bahwa uraian naskahBujangga Manik tersebut merupakan pengalaman pribadi daritokoh penulisnya, namun perlu pula dipertimbangkan sebagai suatubentuk karya fiksi yang bertujuan pendidikan, contohnya terlihatpada bagian akhir naskah terdapat deskripsi penyerahan diri tokohpenulis yang terangkat jiwanya melayang menuju surga. Apapunbentuknya —karya nyata pengalaman pribadi atau fiksi—, jelasnaskah tersebut dapat menyenangkan bagi para pembacanya(Noorduyn & Teeuw 2006: 171).

Perjalanan Bujangga Manik yang cukup panjang danmelelahkan untuk ukuran masa itu memang bukanlahpengembaraan yang biasa. Mungkin Bujangga Manikmenghabiskan waktu selama puluhan tahun, hanya saja tidakdisebutkan secara jelas. Pada bagian awal naskah dinyatakan bahwadia hendak dinikahkan dengan seorang perempuan pilihanibundanya namun ia menolak, dapat ditafsirkan bahwa waktu ituusianya masih muda.

Page 41: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

41Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

Ia kemudian melakukan perjalanan keliling Jawa dan kembalilagi ke Jawa bagian barat, mungkin pada waktu ia kembali usianyasudah relatif tua, karena ia menyatakan bahwa “nyiar lemahpamutian, nyiar cai pamorocoan, pigeusaneun aing paeh, pigeusaneunnu(n)da raga” (Bujangga.1320: 1—4), agaknya ia telah merasamendekati akhir hayatnya. Naskah yang disusunnya bukanlahcatatan perjalanan biasa, melainkan Bujangga Manik bermaksudmembuat “perbuatan baik” yang diwujudkan dalam bentuk kitabyang dapat menjadi titik tolak perjalanan selanjutnya di alamkematian.

Nama Bujangga Manik menarik untuk diperbincangkan,mungkin itu bukan nama dirinya, melainkan epitet yang dipilihnyasetelah ia mengambil jalan keagamaan. Kata bujangga atau bhujanggaberarti brahmana pendeta, khususnya brahmana muda yang masihbelajar (Zoetmulder 1995, I: 139), adapun kata mani atau manikartinya intan permata. Tetapi kata bujangga manik dapat dibaca jugamenjadi pu + janggama + manik. Kata janggama + manik mengalamiproses bahasa sandi luar, maka tercipta kata janggamanik dengantidak perlu mengulang suku kata ma dua kali dalam janggama danmanik. Dalam hal ini pu atau mpu adalah kata Jawa Kuno yangberarti orang yang dihormati, janggama adalah kata dari bahasasansekerta yang artinya bergerak, berpindah-pindah (Liebert 1976:111) dan mani atau manik telah dijelaskan berasal dari kataSansekerta yang artinya intan permata. Dengan demikian tokohtersebut cukup cerdas dengan memadukan berbagai arti dalamepitetnya.

Kata Bujangga Manik dapat diartikan “permata pendeta yangmasih belajar”, adapun kata Pu Janggamanik artinya kurang lebih“Pengelana yang dihormati”, atau dapat diartikan secara luasmenjadi “Sang Pengelana Terhormat”. Arti kata pertama atau punkedua sesuai dengan keadaan dirinya dan juga aktivitasnya. Iaberasal dari lingkungan istana Pakuan, artinya kerabat dekat raja,mungkin seorang pangeran atau putra raja. Aktivitasnya yangmelakukan pengembaraan keliling Jawa dimetaforakan dengankata janggama yang artinya selalu berpindah tempat, sesuai denganpengembaraan yang dilakukannya mengunjungi tempat-tempat

Page 42: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

42

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

keagamaan dan melalui berbagai wilayah, ia berpindah-pindahtempat atau melakukan pengembaraan.

Dalam uraian kitab Bujangga Manik terdapat pula tata cararitual dalam melaksanakan agama Sunda Kuna yang memuja adikodrati berjuluk Jati Niskala, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manonatau lainnya. Diuraikan bahwa sang bujangga melakukan kegiatankeagamaan di suatu tempat bernama Gunung Sembung,

1280“Sacu(n)duk ka gunung Se(m)bung,eta hulu na Citarum,di inya aing ditapa,sa(m)bian ngeureunan palay,Tehering puja nyangraha,

1285puja (nya)pu mugu-mugu.Tehering na(n)jeurkeun li(ng)ga,tehering nyian hareca,teher nyian sakakala.Ini tu(n)jukeun sakalih

1290tu(n)jukeun ku na pa(n)deuri,maring aing pa(n)teg hanca //O//A(ng)geus aing puja nyapu,Linyih beunang aing nyapu,Ku/macacang di buruan

1295Nguliling asup ka wangun, ngadungduk di palu(ng)guhan,Dibiwi samadiKu ngaing dirarasakeun,Ku ngaing dititineungkeun…

(sampailah ke Gunung Sembung,

Page 43: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

43Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

itu merupakan hulu Sungai Citarum,di tempat itu aku bertapa,seraya menghentikan segala keinginan.Kemudian aku membangun pemujaanpuja nyapu dengan sungguh-sungguh.Lalu kudirikan lingga,terus membuat arca, kemudian membuat bangunan suci.Ini untuk menunjukkan kepada merekapertanda untuk mereka kelakbahwa aku telah menyelesaikan tugas.Setelah kutuntaskan puja nyapu,bersihlah sudah kusapu,bolak- balik di halaman,berkeliling masuk ke dalam bangunan,lalu berdiam diri di tempat duduk,berdoa sambil tafakur.Kuhayati semua itu,Kurenungi segalanya…(Noorduyn & A Teeuw 2009: 309).

Selain urain tersebut terdapat juga pemerian lain bahwaBujangga Manik juga melakukan kegiatan ritual keagamaan denganmembangun tempat peribadatan. Menurutnya sesampainya di huluSungai Cisokan, di kaki Gunung Patuha, Bujangga manikmenemukan lokasi yang keramat, lalu:

“menghadap ke Bahu MitraTelah kubangun sebagai pedusunan,disusun batu berundak-undakdisusun batu sekelilingnya,dari bawah dengan batu datar,menjulang ke atas dengan batu tegak,di puncaknya dengan batu putih,ditaburi batu permata indah,Gemerlap berderet-derettujuh bangunan untuk keperluanku,tempat makan dan kayu bakar,

Page 44: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

44

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dan juga tempat menumbuk,terapian menyala-nyala,Dua lumbung berdampingan,taman mengapit pintu gerbang…”(Noorduyn & A.Teeuw 2009: 313)

Kiranya jelas bahwa melalui uraian kitab Bujangga Manikdapat diketahui bahwa bangunan keagamaan dan tata cara ritualkeagamaan masa Sunda Kuno cukup berbeda dengan yang dikenaldalam ajaran Hindu-Buddha dalam masyarakat Jawa Kuno.Bujangga Manik menyatakan bahwa ia tidak membangun candiyang lengkap dengan bilik dan relungnya, tidak ada kemuncak dancandi-candi perwaranya, justru yang dibangun olehnya adalahpunden berundak-undak, dengan batu tegak atau batu putih dipuncaknya.

Ia juga melakukan upacara keagamaan Puja Nyapu yangkegiatannya mungkin menyapu sekeliling bangunan berundaktersebut sambil menghadapkan diri kepada kekuatan adi kodrati.Setelah melakukan puja nyapu, kemudian ia duduk bermeditasi,namun tempat bermeditasi tersebut tidak dijelaskan di arah manadari punden. Dapat juga diketahui bahwa terdapat bangunan-bangunan lain jumlahnya 7 di dekat punden, dinyatakannya sebagaitempat untuk menyimpan kayu bakar, perapian, lumbung, dan jugatempat tinggalnya sementara.

Dalam kitab Sanghyang Raga Dewata (Ekajati & UndangA.Darsa 2004) terdapat pernyataan yang menjelaskan tentang siapaadi kodrati dalam masa Sunda Kuno.

16.”Tidak ada yang menjadikan aku ,tidak ada yang menciptakan aku,Aku menamai diri sendiri,Sanghyang Raga Dewata,Mengapa menamakan diri sendiri,(sebagai) Sanghyang Raga Dewata ?(karena) nama dewata juga.

Page 45: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

45Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

Setelah itu terdengarlah ucapan sesungguhnya,Perkataan yang benar,(bahwa) dia adalah bayu, sabda, hedapKarena dirinya berbeda,Karena dirinya sakti,Karena dirinya dewata,Ucapannya senantiasa benar,Itulah sebabnya sempurna,Itulah sebabnya sakti,Itulah sebabnya dewata…(Ekadjati & Undang A.Darsa 2004: 165).

Dalam uraian tersebut justru yang dijelaskan adalah hakekatadi kodrati Sunda Kuno sendiri yang berjuluk Sanghyang RagaDewata, bukannnya dewa tertinggi dalam Hinduisme atau punBuddhisme. Kitab yang sama juga menyebut bahwa Sanghyang RagaDewata tersebut dijuluki juga Sanghyang Manon dan SanghyangTunggal. Dewa-dewa lainnya ada yang dikenal dari ajaran Hindudan ada juga dewa yang bukan dari Hindu, sebenarnya hanyapancaran saja dari Sanghyang Tunggal. Ia memancarkan dirinyamenjadi Batara Mahadewa, Wisnu, Isora, Brahma (Ekadjati &Undang A.Darsa 2004: 177-178). Kiranya uraian seperti itu samadengan yang diajarkan oleh berbagai kitab keagamaan Sunda kunolainnya yang telah diperbincangkan di bagian terdahulu dalamkajian ini. Bahwa dewa-dewa dari kebudayaan India memangdikenal, namun konsep adi kodrati tertinggi Sunda Kuno bukanlahsalah satu dewa India, melainkan Sanghyang tertinggi menurutkepercayaan masyarakat Sunda Kuno sendiri.

IV

Dalam kebudayaan Sunda Kuno dikenal sejumlah karya sastra,sekarang ada yang masih tersimpan di masyarakat, dikoleksiPerpustakaan Nasional, dan beberapa lagi disimpan olehperpustakaan-perpustakaan luar negeri. Berdasarkan kajian yangtelah dilakukan selama ini dapat diketahui bahwa karya sastrakeagamaan Sunda Kuno mempunyai ciri tersendiri yang

Page 46: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

46

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

membedakannya dengan karya sastra keagamaan sezaman darikebudayaan Jawa dan Bali. Beberapa ciri tersebut antara lain adalah:

1. Menggunakan bahasa Sunda Kuno, namun ada yang berbahasaJawa Kuno, sejauh ini yang baru diketahui adalah Serat DewaBuda.

2. Penuh dengan kalimat-kalimat yang sukar untuk dimaknai,metafora yang sangat dalam sehingga pembacanya harus orang-orang yang paham betul dengan konsep tersebut.

3. Di dalamnya banyak yang menguraikan langsung ajaranpertemuan antara manusia dan konsep adi kodrati.

4. Tidak pernah ada deskripsi tentang sifat-sifat dewa Hindu atauBuddha, artinya tidak kental bernapaskan agama Hindu danBuddha.

5. Tidak ada uraian data ikonografi dari dewa-dewa Hindu danBuddha. Artinya tidak ada penggambaran tentang wujudsesosok arca dewa Hindu atau Buddha, misalnya dewa X harusbertangan 4, membawa benda apa saja, menaiki hewantertentu, dan sebagainya. Bentuk lingga yang kerapkalidisebutkan dan ditegakkan sebagai tanda pemujaan, juga tidakdirinci wujud sebenarnya, temuan arkeologis memperlihatkanbahwa bentuk lingga yang dimaksudkan hanya batu alamilonjong yang ditancapkan di permukaan tanah, jadi tidak samadengan lingga Hindu yang dibagi menjadi Brahma bhaga, Rudrabhaga, dan Wisnu bhaga.

6. Berulangkali dinyatakan bahwa dewa-dewa Hindu dan Buddhahanya dewata yang kedudukannnya lebih rendah dari konsepadi kodrati Sunda Kuno. Dewata Hindu hanya disebutkanmenjaga surge tertentu di arah tertentu, namun mereka adalahpenjelmaan dari Sanghyang tertinggi, bukan dewata utamanya.

7. Berdasarkan uraian isinya agaknya karya-karya sastra Sundakuno dibagi ke adalam dua jenis, yaitu (a) ditujukan untukkalangan masyarakat luas, sehingga siapapun dapat mudahmemahami uraiannya, walaupun tidak gambling benar, misalnyakitab Sang Hyang Siksakandang Karesian dan Amanat

Page 47: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

47Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Tinjauan Napas Keagamaan Hindu-buddha dalam Beberapa NaskahSunda Kuno (Abad ke-14—16 M)

Galunggung; (b) kitab yang ditujukan bagi kalangan kaumagamawan belaka, bukan untuk masyarakat awam, oleh karenaitu tidak mudah untuk dipahami secara lugas, misalnya kitabSewaka Darma, Kawih Paningkes, Serat Dewa Buda, dan SangHyang Raga Dewata.

Demikianlah kajian terhadap beberapa naskah Sunda Kunoyang disebut-sebut sebagai kitab keagamaan ternyata menghasilkantemuan yang menarik. Berdasarkan telaah yang telah dilakukandapat diketahui bahwa religi yang berkembang dalam masa KerajaanSunda, bukan agama Hindu atau Buddha dan juga bukanperpaduan Hindu-Buddha, melainkan suatu bentuk religi tersendiriyang mengagungkan Sanghyang tertinggi dengan berbagaijulukannya. Akibat dari temuan kajian ini agaknya akan membukapeluang lebih lanjut dalam hal penelisikan masyarakat Sunda Kunodi bidang sejarah politik dan sejarah kebudayaannya, sebab telahmenjadi aksioma bahwa religi adalah dasar utama dariperkembangan kebudayaan masyarakat tertentu dalam eratertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi, 1988. Serat Dewabuda: Alihaksara dan Terjemahan.Laporan Penelitian untuk Bagian Proyek Penelitian danPengajian Kebudayaan Sunda, Bandung.

Ayatrohaedi & Munawar Holil, 1995. Kawih Paningkes: Alihaksaradan Terjemahan Naskah K.419, Khasanah PerpustakaanNasional Jakarta. Laporan Penelitian Dibiayai oleh Proyek DIP-OPF 1994/1995, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang AhmadDarsa, 1987. Sewaka Darma (Kropak 408), SanghyangSiksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung(Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: BagianProyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda(Sundanologi), Direktorat Jendral Kebudayaan, Depdikbud.

Page 48: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

48

Agus Aris Munandar

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Darsa, Undang A. & Edi S.Ekadjati, 2003. “Fragmen CaritaParahyangan dan Carita Prahyangan (Kropak 406)”, dalamTulak Bala: Sistim Pertahanan Tradisional Masyarakat SundaKuno dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda.Sundalana 1. Bandung: Pusat Studi Sunda. Halaman173—208.

Ekadjati, Edi S.& Undang A.Darsa, 2004. “Sang Hyang RagaDewata”, dalam Sundalana 2: Fatimah in West Java, MoralAdmonitions to Sundanese Gentlewomen dan Kajian LainnyaMengenai Budaya Sunda. Bandung: Pusat Studi Sunda.Halaman 133—179.

Hadiwijono, Harun, 1982. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta:BPK.Gunung Mulia.

NOORDUYN, J., 1982, “Bujangga Manik’s Journeys Through Java:Topographical data from an old Sundanese source”, dalamBijdragen tot de taal, land,-en volkenkunde. Deel 138 4eAflevering. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Halaman 413—442.

————————— & A.Teeuw, 2006, Three Old Sundanese poems.Leiden: KITLV Press.

Noorduyn, J & A.Teeuw, 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Jakarta:Pustaka Jaya.

Page 49: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

49Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

AbstrakMasyarakat Sunda pernah mengenal berbagai aksara, yaitu

Pallawa, Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, danLatin. Aksara Pallawa hanya diketahui dalam penulisan prasastisedangkan aksara lainnya digunakan dalam naskah. Isi naskahmeliputi seluruh bidang kehidupan termasuk surat-surat penting.Adanya pengaruh Mataram dalam bidang aksara dan pengaruhBelanda dalam bidang administrasi pemerintahan menyebabkanperubahan sosial di masyarakat, termasuk dalam sistem jual beli.Aksara Cacarakan pernah menjadi aksara resmi pemerintahan diwilayah Sunda, padahal sebelumnya masyarakat Sunda sudahmemiliki aksara Sunda yang diketahui mulai digunakan sejak abadke-16. Penggunaan aksara Cacarakan ini terus berlangsung hinggaawal abad ke-20. Salah satu contoh akta jual beli di bawah inimenggambarkan kehidupan pada masa itu serta sebelum dansesudahnya.

Kata kunci: penjajah, naskah, aksara, surat tanah

RUHALIAH1

JEJAK PENJAJAHAN PADA NASKAH SUNDA:STUDI KASUS PADA SURAT TANAH

1 Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI dan PJs Ketua ProdiPendidikan Bahasa dan Budaya Sunda SPs UPI. E-mail [email protected]

Page 50: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

50 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

1. Pengantar

Beberapa kasus sengketa tanah umumnya didasari anggapanbahwa pemilik tanah tidak memiliki bukti kepemilikan yang sahsehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling mengklaim.Pengalaman membaca surat tanah dalam bentuk naskah pernahdialami oleh beberapa filolog, yang hasilnya bisa membantumenyelesaikan perkara di PTUN karena surat kepemilikan tanahyang dimaksud ada dalam bentuk naskah. Ilustrasi di atas hanyalahcontoh kecil di antara berbagai masalah pertanahan yang seringterjadi. Hal tersebut bisa dihindari apabila setiap pemilik tanahbisa membaca surat tanah yang dimilikinya, walaupun bukan dalamaksara Latin. Surat tanah yang dibuat sekarang tentu saja tidakberbentuk naskah seperti pada masa sebelumnya, melainkan dicetakserta menggunakan aksara Latin sehingga semua orang bisamembacanya.

Berbagai jenis aksara2 pernah dan sedang digunakan olehmasyarakat Sunda dari masa ke masa. Aksara Palawa diketahuipernah digunakan dalam penulisan prasasti sedangkan aksaralainnya digunakan pada penulisan naskah. Teks-teks beraksaraSunda Kuna ditulis pada lontar, nipah, bambu, dan kertas saeh3.Alat tulisnya pun bermacam-macam4. Aksara Sunda Kuna ini yangdiketahui paling tua yang dituliskan pada naskah. Misalnya padanaskah Bujangga Manik (kira-kira antara 1508-1511 Masehi), danSanghyang Siksa Kandang Karesian (1440 Saka, 1518 M). Aksara JawaKuna digunakan pada penulisan naskah-naskah Wangsakerta(walaupun sampai saat ini masih diperdebatkan. Selain itu masih

2 Aksara yang pernah digunakan di lingkungan masyarakat Sunda yaitu Pallawa,Sunda Kuna, Jawa Kuna, Cacarakan, Arab, Pegon, dan Latin.

3 Jenis alas tulis yang pernah dan digunakan pada penulisan naskah Sunda yaitulontar, nipah, bambu, kertas saeh, kertas Eropa, dan kertas buatan pabrik diIndonesia. Kertas Eropa kadang-kadang ditandai dengan watermark (cap kertas),countermark, dan atau filigran. Kertas Eropa ini umumnya dibawa oleh pemerintahkolonial untuk kepentingan administrasi pemerintahan.

4 Alat untuk menuliskan teks pada bahan-bahan tersebut di antaranya harupat,pena, batang paku andam, dan peso pangot.

Page 51: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

51

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

ada ratusan lempir koleksi Perpustakaan Nasional RI yang belumterbaca. Aksara yang digunakannya adalah Sunda Kuna dan Buda(aksara Gunung).

Aksara Cacarakan dikenal oleh masyarakat Sunda setelahpemerintahan di tatar Sunda dikuasai oleh Mataram yang dimulaipada abad ke-17. Karena adanya kontak budaya dan pemerintahanmaka lambat laun berbagai kegiatan kemasyarakatan terpengaruholeh budaya Jawa, misalnya arsitektur5, bahasa6, kesenian7, adat-istiadat8, dan lain-lain. Berbagai unsur budaya tersebutterdokumentasikan dalam berbagai tradisi tulis, yang saat inisebagian ada yang masih diketahui keberadaannya.

5 Contoh arsitektur pangaruh Jawa adalah struktur bangunan di sekitar komplekskabupaten yang diseragamkan, yaitu alun-alun, mesjid, dua batang pohonberingin, pendopo, dan pemakaman.

6 Undak-usuk basa atau tingkatan berbahasa sangat jelas merupakan pengaruhMataram, tujuannya adalah untuk membedakan kedudukan seseorang padamasyarakatnya. Tetapi penggunaannya sekarang bertujuan untuk salingmenghormati. Kosa kata yang dianggap halus ada juga yang diambil dari kosakata bahasa Jawa, sehingga banyak kosa kata antara bahasa Sunda dan Jawayang sama dan mirip.

7 Contoh kesenian pengaruh Jawa adalah seni beluk, Beluk adalah seni tradisipembacaan naskah wawacan pada masyarakat Sunda, sedangkan padamasyarakat Jawa dikenal istilah macapat. Kegiatan beluk merupakan gambaranmasyarakat Sunda bahwa membaca merupakan suatu aktivitas sosial yangdikerjakan di depan kelompok. Dikatakan demikian karena pementasan belukadalah kegiatan membaca naskah yang dilakukan di hadapan penikmatnya.Dengan cara ini, membaca turut mendukung terbentuknya hubungan yang unikantara pembaca dan pengarang yang terkandung dalam teks (Moriyama, 2005:5).Secara etimologi, kata geguritan berasal dari kata gurit yang artinya karang ataugubah (Warna, 1993: 254). Kata gurit mendapat pengulangan dwipurwa danakhiran –an, geguritan berarti karangan atau gubahan. Dalam konteks sastra,geguritan adalah cerita yang digubah ke dalam bentuk puisi, menggunakan pupuhtertentu, serta memakai bahasa Bali Kepara atau bahasa Bali Kawi. Pupuh ituterikat oleh padalingsa. Pada artinya banyak bilangan suku kata dalam satu baris(larik), dan lingsa artinya suara suku kata terakhir setiap baris (Sugriwa, 1977: 8).

8 Salah satu naskah koleksi PNRI yang berjudul Paranata Istri ka Caroge di halamanakhirnya disebutkan bahwa naskah tersebut bersumber dari Sunan Pakubuwono.

Page 52: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

52

Ruhaliah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Seperti yang dikemukakan oleh Ekadjati (1988) bahwa isinaskah bisa diklasifikasikan ke dalam 12 kelompok, yaitu agama,bahasa, hukum/aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan,ilmu pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni.Dari klasifikasi tersebut naskah sastra memiliki jumlah palingbanyak. Bisa jadi ada naskah yang belum termasuk kelompoktersebut.

Di antara isi naskah adalah surat-surat administrasipemerintahan yang ditulis dalam berbagai aksara, di antaranyaCacarakan dan Latin. Aksara Latin digunakan karena dikenalkandi sekolah sejak jaman Belanda9. Di kalangan masyarakat tatarSunda, aksara yang digunakan dalam lingkungan pemerintahanbiasanya aksara Cacarakan sedangkan aksara Pegon di kalanganpesantren, lingkungan keagamaan, dan masyarakat umum yangberkiprah di bidang kesenian tradisional10. Aksara Pegon tidakdimasukkan dalam kurikulum sekolah karena berkaitan denganupaya pemerintah Belanda menjauhkan masyarakat Sunda dariaksara Arab11.

9 Buku pelajaran berbahasa Sunda yang pertama dicetak berjudul Kitab PangajaranBasa Sunda, yang dicetak tahun 1849/1850, dengan tiras 1490 eks. Kemudiandilanjutkan dengan buku-buku lainnya, yang paling banyak karangan MoehamadMoesa (Moriyama, 2005).

10 Teks kesenian tradisional yang paling banyak ditulis dalam aksara Cacarakanyaitu wawacan dan guguritan. Penulisan wawacan saat itu sangat produktif karenaberkaitan dengan kesenian beluk (gaok)

11 Lihat (Moriyama, 2005).

Page 53: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

53

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

2. Naskah Surat Tanah

Page 54: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

54

Ruhaliah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

3. Transliterasi

Baris-baris pada transliterasi naskah ditulis mengikuti teksaslinya. Hal ini untuk memudahkan pembaca lainnya yang belumpaham mengenai aksara Cacarakan ini.

Cidawolong, 29 Nopember 1903//Kaula nu nanda tang[ng]an di handap i[y]eu ngaranNyi Imon [h]urang des[s]a Biru distrik Cipeujeuhge(u)s ngaku tari[m]ma ngaju[w]al akad saluwuk sawah,tempatna di geblégan Lebak Gedé legana manu-rut kohir 2 bau 380 tumbak pajegna f 4-56.Wawates[s]anna [ka] sakumna [h]anu kasebut di handap iye(u):ti kalér tepung watesna jeung susukan,ti wétan tepung watesna jeung jalan kampung,ti kidul tepung watesna jeung susukan,ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor,diju[h]al akad ka ngaran Ngangsanata(?) – [h]urangDés[s]a Cidawolong Distrik Cipeujeuh kénéh kana du-wit f 150 – saratus lima puluh rum, sarta du[w]itnageus katampa ku tangan ka[h]ula kabéh.Berjangji[y]an di mana ka[h]ula geus boga du[w]itsakitu mangké dibeuli deui ka Karsannata.[h]ulah hés[s é – tegesna Karsanata kudu masrah-keun ka ka[h]ula jeung waktu ka[h]ula juwal-be(u)li [h]akad, trus lapor ka Kapala Cidawolong.

Tanda tang[ng]an ka[h]ula nu ngaju-[w]al [h]a[ng]kad sawahI(+)monSaksi waktu ju[w]al [h]a[ng]kad(1) Marna (+) sik ) dulur(2) Marna (+) … )(3) Wipra (+) ja- salaki

(nu ka)lapor[r]an ku Imon(sa)kum[m]a anu kasebut di luhurJurutulis lurahLurah Dés[s]a Cidawolong

Page 55: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

55

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Hasil transliterasi di atas diberi tanda baca dan tanda kurungagar pembaca masa kini mudah memahaminya. Hal ini diakukankarena pada surat tersebut terdapat perbedaan kosa kata denganaksara masa kini. Pada bagian akhir sebelah kiri terdapat aksarayang tidak jelas sehingga hanya berdasarkan perkiraan.

Keterangan tanda baca:[…] artinya tidak usah dibaca, dihilangkan(…) ditambah

4. Edisi TeksCidawolong, 29 Nopember 1903

//Kaula nu nanda tangan di handap ieu ngaran Nyi Imon urangdesa Biru distrik Cipeujeuh geus ngaku tarima ngajual akad saluwuksawah, tempatna di geblégan Lebak Gedé legana manurut kohir 2 bau380 tumbak pajegna f 4-56. Wawatesanna sakumna anu kasebut dihandap iyeu:

ti kalér tepung watesna jeung susukan,ti wétan tepung watesna jeung jalan kampung,ti kidul tepung watesna jeung susukan,ti kulon tepung watesna jeung susukan cikotor,dijual akad ka ngaran Ngangsanata(?) – urang Désa Cidawolong

Distrik Cipeujeuh kénéh kana duit f 150 – saratus lima puluh rum, sartaduitna geus katampa ku tangan kaula kabéh.

Berjangjian di mana kaula geus boga duit sakitu mangké dibeulideui ka Karsanata. Ulah hésé – tegesna Karsanata kudu masrahkeun kakaula jeung waktu kaula jual-beuli akad, terus lapor ka KapalaCidawolong.

Tanda tangan kaula nungajual akad sawahImonSaksi waktu jual akad(1) Marna sik - dulur(2) Marna … - dulur)(3) Wipraja- salaki(4) (nu ka)lapor[r]an ku Imon

nu kalaporan ku Imonsakuma anu kasebut di luhur

Page 56: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

56

Ruhaliah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jurutulis lurahLurah Désa Cidawolong

5. Terjemahan

Cidawolong, 29 Nopember 1903

Saya yang bertandatangan di bawah ini bernama Nyi Imonpenduduk Desa Biru Distrik Cipeujeuh telah mengakui (dan)menerima perjanjian jual (beli) sebidang sawah bertempat di blokLebak Gede dengan luas menurut kohir 2 bau 380 tumbak denganpajak f 4-56. (Adapun) batasnya seperti yang disebut di bawah ini:

[dari] sebelah utara berbatasan dengan kali (kecil, aliran air),[dari] sebelah timur berbatasan dengan jalan desa,[dari] sebelah selatan berbatasan dengan kali (kecil, aliran air),[dari] sebelah barat berbatasan dengan aliran air kotor.(Sawah tersebut) dijual kepada yang bernama Wangsanata(?)

penduduk desa Cidawolong distrik Cipeujeuh (pula) dengan uang f150 – seratus lima puluh rum (gulden?) serta uangnya sudah diterimasemuanya. Perjanjiannya, apabila saya sudah memiliki uangsejumlah itu nanti dibeli kembali kepada Karsanata. Jangandipersulit – artinya Karsanata harus menyerahkan kepada saya danwaktu saya (mengadakan) perjanjian jual beli, terus lapor kepadaKepala (Desa) Cidawolong.

Tanda tangan saya yangmenjual sawahImon

Saksi waktu perjanjian jual (beli)(1) Marnasik – saudara(2) Marna … - saudara)(3) Wipraja- suami

Yang menerima laporan dari Imonseperti yang tersebut di atas,Jurutulis lurah…Lurah Desa Cidawolong…

Page 57: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

57

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

6. AnalisisSurat jual beli (sekarang disebut akta) sawah tersebut bisa dikaji

dari segi bentuk dan dari segi isi. Surat ini diterima pada tahun2000 dari seorang mahasiswa S-3 UNPAD. Yang ada tinggalfotocopinya karena surat aslinya dikembalikan. Naskahnya ditulisdi atas kertas Eropa, salah satu jenis kertas yang pabriknya beradadi wilayah Eropa.

Karena surat ini berbentuk naskah maka analisis dilakukandari segi filologi dan isi teks seadanya, tanpa perbandingan dengansurat yang lain baik dalam kurun waktu yang sama maupun dengansurat tanah saat ini.

6.1 Bentuk:a.Aksara

Aksara yang digunakan untuk menulis surat ini adalah aksaraCacarakan, yaitu modifikasi Carakan dari budaya Jawa.Tulisannya termasuk rapi, mudah terbaca. Aksara ini masukke tatar Sunda seiring dengan berkuasanya Mataram padawilayah Sunda, yang dimulai pada abad ke-17 dan berakhirketika wilayah Sunda diserahkan kepada Hindia Belanda.Walaupun aksara Latin sudah dikenal oleh masyarakat Sundapada pertengahan abad ke-19, untuk kepentingan administrasipemerintahan masih digunakan aksara Jawa sampaipertengahan abad ke-20, seperti pada naskah tersebut. Sepertipada umumnya aksara dalam naskah, tidak ada pemenggalankosa kata dan tanda baca. Karena itu pembacalah (terutamafilolog) yang harus melakukannya.Karena merupakan surat penting diperkirakan teks ini tidakdisalin berkali-kali sehingga kemungkinan salah salin sangatsedikit. Selain itu juga kesalahan tulis ditandai dengan coretan,artinya saat itu penggunaan kertas sangat dihemat berkaitandengan langka dan mahalnya kertas.

b. BahasaBahasa Sunda pada teks surat ini masih bisa dipahami padasaat ini, walaupun pada surat tersebut terdapat kosa katapengaruh Belanda, yaitu distrik dan nama mata uang, gulden.

Page 58: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

58

Ruhaliah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Ukuran luas sudah tidak dipakai saat ini tetapi pada beberapadaerah masih dikenali.

c. PenulisTidak ada nama penulis surat, yang ada nama jurutulis, lurah,penjual, dan saksi-saksi, walaupun pada umumnya yang menulissurat di tingkat desa adalah jurutulis.

d. Jenis naskahSeperti telah dikemukakan sebelumnya surat ini merupakanakta jual beli sebidang sawah yang berada di Desa Biru DistrikCipeujeuh. Wilayah ini terdapat di kecamatan Pacet, kabupatenBandung.

6.2 Isi Surat:Analisis isi surat dilakukan tanpa perbandingan dengan naskah

yang seusia. Analisis dari segi agraria bisa dilakukan selanjutnyaoleh ahli yang berkompeten di bidangnya.

a. Luas tanahPada naskah disebutkan bahwa sawah tersebut luasnya 2 bau380 tumbak. Di dalam kamus Satjadibrata (1954: 49) disebutkanbahwa bau = bahu, yaitu 500 tumbak persegi (7.096,5 m persegi).Satu tumbak = 3,77 m; 1 tumbak persegi (1 bata) = 1/500 bau.Artinya luas tanah keseluruhan kurang lebih 22.664 m persegi.

b. Batas wilayahBatas wilayah sawah dideskripsikan dengan jelas, yaitu sebelahutara berbatasan dengan kali (kecil, aliran air), sebelah timurberbatasan dengan jalan desa, sebelah selatan berbatasandengan kali, dan sebelah barat berbatasan dengan aliran airkeruh. Ada informasi penting dalam hal ini, yaitu disebutkannyakali kecil tempat mengalir air keruh (susukan cikotor). Adakemungkinan yang dimaksud dengan aliran air kotor (susukancikotor) di sini adalah saluran pembuangan (drainase). Bilaperkiraan itu betul maka artinya saat itu sudah ada pemisahanaliran air, untuk pembuangan tidak disatukan dengan saluranair bersih.

Page 59: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

59

Jejak Penjajahan pada Naskah Sunda: Studi Kasus pada Surat Tanah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

c. Nilai mata uangNilai mata uang yang terdapat pada naskah ini ada dua, yaituharga jual dan nilai pajak. Kedua-duanya tidak ditulis dalambentuk rupiah melainkan gulden dan rum, yaitu nama matauang Belanda.

d. Yang MenggadaikanYang menggadaikan (ngajual akad) tanah ini adalah seorangperempuan, namanya Imon. Artinya kemungkinan besarmiliknya pribadi, bukan hasil pembelian dengan suaminya. Padamasyarakat adat Sunda, bila tanah itu milik bersama makabiasanya nama yang dimunculkan adalah nama suaminya.Dilihat dari segi namanya diperkirakan bukan keluargabangsawan tetapi termasuk orang berada.

e. PembeliNama pembeli tanah tidak konsisten penulisannya sehingga adabeberapa tafsiran, yaitu bernama Ngangsanata ataukahKarsanata. Ada kemungkinan juga kedua nama itu merupakanorang yang berbeda.

f. Perjanjian lainSelain dari masalah harga dan batas, jual beli sawah ini jugatidak menutup kemungkinan apabila sawah tersebut dibeli lagioleh penjualnya. Di dalam kehidupan sosial masyarakat sekarangdikenal istilah gadai, yaitu meminjam uang dengan agunanbarang. Apabila uang tersebut dikembalikan maka barang jugadikembalikan. Apabila pemilik barang tidak mampumengembalikan uangnya maka barang bisa dijual lepas.Walaupun pada teks ini ada perjanjian pembelian barangkembali tidak dapat dipastikan bahwa transaksi tersebutmerupakan gadai karena pada akta disebutkannya sebagaiperjanjian jual-beli.

g. Saksi-saksiKarena surat ini merupakan perjanjian formal makadicantumkan saksi-saksi, yaitu saudara dan suami penjual.

Page 60: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

60

Ruhaliah

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

h. Titimangsa29 Nopember 1903. Titimangsa tidak diambil dari kalenderHijriyah melainkan kalender Masehi karena untuk urusanpemerintahan mengikuti format dai Belanda.

Berdasarkan data tersebut tampak jelas bahwa sistemadministrasi pada surat tersebut sudah tertata dengan baik hinggake tingkat desa. Data yang disebutkan sangat lengkap hingga jumlahpajak yang harus dibayarkan. Dilihat dari segi percampuran budayatampak dengan jelas adanya percampuran antara budaya Sunda,Jawa, dan Belanda.

7. PenutupSurat di atas hanyalah butiran kecil bentuk administrasi

pemerintahan pada masa itu. Belum diadakan penelitian lebihlanjut mengenai surat tanah yang pertama dibuat dan terakhirdalam bentuk yang sama, jadi belum dapat disimpulkan lamapenggunaan aksara Cacarakan pada bidang pemerintahan. Kajianterhadap naskah hanyalah langkah awal. Penelitian selanjutnya atasnaskah ini dan naskah-naskah lainnya yang sejenis bisa dilakukandalam bidang agraria dan hukum adat, atau unsur budaya lainnya.Kesulitan membaca teks dalam aksara daerah dalam penelitianberbagai arsip bisa dihindari dengan terlebih dahulu dilakukanpembacaan oleh filolog. Hal ini perlu dilakukan karena banyakpeninggalan-peninggalan dalam bentuk tulisan tidak sempat terbacadan dimanfaatkan karena keterbatasan pengetahuan mengenaiaksara.

Daftar PustakaEkadjati, Edi S. 1988. Naskah Sunda: Inventarisasi dan Pencatatan.

Bandung: Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan TheToyota Foundation.

Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah IKIP Bandung. 1992.Palanggeran Ejahan Basa Sunda. Bandung: Rahmat Cijulang.

Ruhaliah. 2008. Pedoman Transliterasi Naskah. Bandung: JurusanPendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI.

Page 61: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

61Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

Pengantar

Ada dua kemungkinan besar suatu teks (sastra) diciptakan atauditulis. Kemungkinan pertama, suatu teks ditulis untuk mencatatapa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakatsehingga teks tersebut kemudian menjadi sarana pengingat, baikbagi penulisnya maupun bagi masyarakat sebagai ingatan kolektif.Dalam ranah sastra dan budaya Jawa, contoh ekstrim teks semacamini adalah karya-karya yang kemudian dikelompokkan sebagaibabad, yang juga disebut sebagai sastra sejarah, yakni suatu karyasastra yang ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa nyata namunpenulisannya menggunakan pasemon atau perlambang yang diramudengan berbagai unsur, antara lain sarasilah, hal-hal gaib, dongeng,legenda, dan mitos, yang kesemuanya berkelindan menjadi satukesatuan.

Kemungkinan kedua, teks diciptakan atau ditulis karena visiatau jangkauan masa depan. Contoh ekstrim teks semacam iniadalah teks-teks yang dapat dikelompokkan ke dalam “ramalan”,misalnya Jangka Jayabaya dan Serat Jakalodhang, yang secaraperlambang mengisyaratkan peristiwa yang akan terjadi dikemudian hari. Sudah barang tentu ada pula teks yang ditulis

KARSONO H SAPUTRA1

CERITA PANJI: REPRESENTASI LAKUORANG JAWA

1 Pengajar tetap pada Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UniversitasIndonesia.

Page 62: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

62 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dengan misi keduanya. Secara terbatas, teks-teks yang yangdikelompokkan ke dalam wulang dapat digunakan sebagai contoh.Teks wulang berisi ajaran sosial berdasar sistem nilai yang berlakuketika teks ditulis namun dengan jangkauan ke depan, denganasumsi penerapan ajaran itu akan mengakibatkan kehidupan duniaakan berjalan secara harmonis.

Penelitian kecil ini didasari atas asumsi pertama, yakni suatuteks ditulis untuk mencatat apa yang pernah terjadi dan apa yangpernah ada dalam masyarakat, dengan cerita Panji sebagai objekpenelitian, dan bahwa cerita Panji merupakan representasi lakubagi orang Jawa dalam mencapai kasampurnan.

Data Penelitian

Yang disebut cerita Panji adalah cerita dengan tokoh utamaPanji (Inu Kertapati), seorang pangeran dari Jenggala, dan Sekartajiatau Candrakirana, sekar kedaton Kadiri, dengan latar tempat utamaJenggala, Kediri, Urawan, Singasari, dan (kadang-kadang) Gagelang.Kedua orang putra raja itu dipertunangkan sejak kecil. Kisahan/cerita terjadi di seputar pengembaraan salah seorang di antaratokoh utama (Panji atau Sekartaji) dengan diikuti oleh para kadean‘pengikut’ (untuk Panji) atau para emban ‘dayang-dayang’ (untukSekartaji) dan disusul oleh tokoh utama yang lain karena mencaritokoh utama yang pergi (Sekartaji atau Panji). Dalam pengembaraanitu tokoh utama selalu berperang dan mengalahkan musuh-musuhnya. Kisah diakhiri dengan pertemuan kedua tokoh utamadalam perkawinan. Kedua tokoh itu—dan juga para pengikutnya—berganti nama atau menyamar dalam pengembaraan. Panji,misalnya, berubah nama menjadi Klana Jayengsari,Kudanarawangsa, Angronakung, dan seterusnya. Biasanya, namasamaran tokoh utama menjadi judul cerita. Meskipun demikianterdapat pengecualian pada Panji Angreni. Angreni, yang menjadijudul cerita, bukanlah nama samaran Panji ataupun nama samaranSekartaji, melainkan nama putri Patih Jenggala Kudanawarsa. Panjimencintai dan mengawini Angreni. Namun percintaan itu tidakdirestui oleh raja Jenggala. Oleh karena itu, berdasar tokohnya,

Page 63: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

63

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

cerita Panji dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar,yakni cerita yang mengandung tokoh dan kisahan Angreni (Panjimemiliki istri pertama dan kemudian istri tersebut dibunuh olehsuruhan raja Jenggala, ayah Panji) dan cerita yang tidakmengandung kisahan Angreni.

Nama tokoh utama Panji berasal dari kata panji atau apanjiatau mapanji dalam bahasa Jawa kuna yang merupakan gelarbangsawan tinggi. Beberapa tokoh sejarah yang menggunakannama panji atau apanji atau mapanji misalnya Panji Tohjaya, putraKen Arok dengan Ken Umang, serta Sang Mapanji Angragani,salah seorang patih Singhasari yang memimpin Pamalayu padazaman Raja Kretanagara. Adapun nama “Inu” berasal dari katahino dalam bahasa Jawa kuna, yang merujuk pada golonganbangsawan tingkat tinggi; bahkan bukan tidak mungkin seorangputra mahkota (Slametmuljana, 1979: 163). Oleh karena itu,berdasar latar tempat dan latar waktu, dapat dimengerti jika tokohutama cerita Panji bernama Panji (berikut nama Kudawaningpati)atau Inu (berikut nama Kertapati), yang merupakan putra mahkotakerajaan Jenggala.

Pigeaud (1967: 233) menyebut cerita Panji sebagai roman yangberkembang di pesisir2 Jawa Timur pada abad ke-16 sampai abadke-17 sebelum masa kesusastraan Islam. Berg, dalam Baried (1987:3), mengemukakan teori bahwa cerita Panji terjadi pada zamanPamalayu dengan tahun 1227 sebagai terminus a quo ‘perkiraan waktupaling awal suatu peristiwa terjadi’ dan tahun 1400 sebagai terminusad quem ‘perkiraan waktu paling akhir suatu peristiwa terjadi’.Poerbatjaraka (1968: 403–405) menolak pendapat Berg tersebutdengan dua alasan: (1) jika cerita Panji tersusun pada rentang waktutahun 1227 sampai tahun 1400, pastilah ingatan orang (penyusun

2 Dalam Kebudayaan Jawa (baru), istilah “pesisir” memiliki dua pengertian, yakni (1)wilayah di luar negari gung Mataram—Surakarta Hadiningrat dan NgayogyakartaHadiningrat—dan (2) wilayah di sepanjang pantai (Karsono, 2005: 8). Dalam tulisan ini,pesisir merujuk pada pengertian wilayah di sepanjang pantai.

Page 64: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

64

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

cerita) tentang (kerajaan) Singasari3 masih baik sehingga tidak akanmengacaukan keberadaannya sezaman dengan Jenggala dan Daha,serta (2) tidak pernah ditemukan bukti bahwa cerita Panji ditulisdalam bahasa Jawa kuna. Pendapat Poerbatjaraka mengenai tidakditemukannya teks Panji berbahasa Jawa kuna didukung olehRobson (1971) dan Zoetmulder (1983).4 Selanjutnya Poerbatjaraka5

berpendapat bahwa cerita Panji sezaman dengan Paraton,6 yangmerupakan karya sastra prosa masa Jawa perengahan dandiperkirakan sezaman dengan penciptaan (penulisan?) beberapa tekskidung berlatar tempat Majapahit, misalnya Sundayana, Ranggalawe,dan Sorandaka. Gaya penceritaan cerita Panji pun mirip dengangaya penceritaan kidung-kidung tersebut.

Secara garis besar bentuk cerita Panji dapat dikelompokkanke dalam teks lisan, teks tulis, dan dalam seni rupa—yakni gambar(wayang beber) dan relief.7 Teks lisan cerita Panji muncul dalambentuk cerita rakyat (dongeng) dan dalam seni pertunjukan.Dongeng yang dapat dikelompokkan ke dalam cerita Panji antaralain “Keong Emas”, “Timun Mas”, “Panji Laras”, “Andhe-andheLumut”, dan “Kethek Ogleng”. Berbagai teks Panji yang termasukke dalam dongeng ada yang kemudian ditulis ke dalam naskah dan/atau diterbitkan sebagai buku, bahkan ada yang dijadikan dasarlakon seni pertunjukan, terutama untuk anak-anak.

3 Berdasar data sejarah, kerajaan Daha atau Kadiri berakhir pada tahun 1222, sedangkerajaan Singasari didirikan oleh Ken Arok setelah keruntuhan Kadiri (Slametmulyana,1979).4 Zoetmulder (1983: 533) mengatakan bahwa tak ada satu pun kakawin yang menampilkankisah Panji, sedang Robson (1971: 11) mengatakan bahwa “In Javanese, it is not found in kakawin or prose form, only kidung, both tengahan and macapat”.5 Poerbatjaraka, op.cit., hlm. 405-407. Dalam hal ini yang dimaksud oleh Poerbatjarakatentulah cerita Panji tulis (naskah).6 Salah satu teks Pararaton, yakni yang termuat ke dalam naskah no. 19 L. 600 koleksiPerpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), digubah pada tahun 1600 AD (dengansengkalan ‘kronogram’ loro paksa misayeku/1522 Ç).

7 Munandar (1992: 6–9) mengidentifikasi relief-relief di Gambyok (Kediri), teras IIPanataran, dan punden berundak Gunung Pananggungan merupakan relief yangmenggambarkan tokoh Panji. Dari kajian arkeologis, bangunan-bangunan tersebut berasaldari masa Majapahit akhir.

Page 65: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

65

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dalam seni pertunjukan, cerita Panji menjadi dasar lakonberbagai wayang, (wayang beber, wayang wong, wayang topeng, danwayang gedhog), pranasmara, kethoprak, dan darama tari lain; sertadalam berbagai teater rakyat keliling yang hidup dengan carambarang, baik ditanggap ‘dipanggil’ maupun pertunjukan kelilingselama waktu tertentu, terutama pada musim panen, seperti andhe-andhe lumut, kethek ogleng, dan reyog.

Dalam bentuk sastra tulis, berdasar informasi katalog-katalogkoleksi naskah yang ada, terdapat banyak naskah yang mengandungcerita Panji Jawa, yang tersebar di Jakarta (Perpustakaan NasionalRepublik Indonesia/PNRI dan Fakultas Ilmu Pengetahuan BudayaUniversitas Indonesia/FIB UI), Surakarta (Sasana Pustaka danRadya Pustaka), Yogyakarta (Museum Sono Budoyo), serta Leiden,Negeri Belanda (Perpustakaan Univeritas Leiden dan PerpustakaanKITLV).8 Di samping itu kemungkinan ada naskah yang menjadikoleksi pribadi dan belum terdata atau terinformasikan kepadamasyarakat umum melalui katalog atau sejenisnya. Di antara teks-teks yang terkandung di dalam naskah itu beberapa di antaranyasudah diterbitkan, baik dengan maupun tanpa metode kerja filologi,misalnya Panji Narawangsa edisi Balai Pustaka yang kemudiandijadikan dasar disertasi dan kemudian diterbitkan oleh Kaeh (1989)dengan judul yang sama, Panji Priyembada dan Panji Jaya Lengkara(Sedyawati, 1989), Panji Jayengtilam edisi Balai Pustaka, Panji Angreni(Karsono, 1998); serta sebuah skripsi “Suntingan Teks PanjiJayakusuma” (Irawan, 2004).

Cerita Panji yang merupakan sastra Jawa kemudian jugadikenal di ranah sastra Melayu, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan,

8 Kaeh (1989: 349–357) mendaftar 329 naskah Panji, 140 buah di antaranya mengandungteks Panji Jawa; namun daftar naskah tersebut “campur aduk” dan beberapa di antaranyamengandung teks tidak lengkap, hanya berupa ringkasan. Baried (1987: 206–218) jugamendaftar naskah yang mengandung teks Panji, 92 di antaranya mengandung teks PanjiJawa. Setelah dicocokkan dengan katalog-katalog yang terbit di kemudian hari, banyakdi antara naskah-naskah tersebut sudah tidak ada dalam koleksi dan beberapa di antaranyamengandung teks lakon.

Page 66: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

66

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dan bahkan ranah sastra Thai dan Kampuchea juga mengenal ceritaPanji.9

Penelitian kecil ini menggunakan salah satu redaksi cerita Panjitulis, yakni Panji Angreni (selanjutnya disebut dengan PA) KBG 185koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).Poerbatjaraka (1968: 400–401) menyebutkan bahwa kisahanAngreni—yang merupakan tradisi Gresik—”dimasukkan” ke dalamtradisi keraton Surakarta oleh Yasadipura I melalui PanjiJayalengkara. Teks Panji Jayalengkara baru inilah yang kemudianmenjadi Panji Angreni, yang oleh Poerbatjaraka disebut dengan PanjiPalembang berdasarkan keterangan pada kelopak depan naskahPA KBG 185. Teks ini dipilih semata-mata alasan bahwa¯ sepanjangcatatan penulis¯ kelengkapan struktur naratifnya dibanding teksyang lain. Di samping itu, struktur teks tulis “tidak berubah”dibanding dengan teks lisan.

PA KBG 185 berukuran sampul 18,5 x 25,8 cm, ukuran kertas(alas tulis) 18 x 24,7 cm, dan kolom teks 18 x 17,5 cm. Ketebalannaskah 353 halaman dengan masing-masing halaman terdiri atas15 baris tulisan, kecuali halaman 1 dan 2 yang masing-masing berisisembilan baris. Kelopak naskah menginformasikan bahwa naskahini merupakan salinan dari suatu naskah yang diterima sebagaihadiah dari residen Palembang¯ sehingga kemudian naskah inioleh Poerbatjaraka disebut sebagai Panji Palembang¯ tetapi “naskahasli” tidak diketahui keberadaannya ketika penelitian ini dilakukan.Titimangsa menunjuk pada 4 Rabi’ulawal 1723 AJ (sengklalan: gunapaksa kaswareng rat) atau tahun 1795 AD. Tahun tersebutmerupakan tahun penyalinan dan bukan tahun penciptaan teks,mengingat bahasa teks lebih tua dari teks-teks yang ditulis padaperiode yang sama. Teks ditulis dalam bentuk macapat, terdiri atas

9 Lihat Poerbatjaraka (1968), Pigeaud (1967), Baried (1987: 1–2), Saleh (1988), dan Kaeh(1989: 8–11). Persebaran cerita Panji ke Kampuchea dan Thailand tampaknya tidaklangsung dari Jawa, melainkan melalui sastra Melayu. Teks-teks tersebut sebagian ditulispada dasawarsa kedua abad ke-19 dan sebagian yang lain lebih muda, mamun Saleh(1988: 44) memperkirakan abad ke-16 hingga awal abad ke-17 orang Patani sudah mengenalcerita Panji dan kemudian dibawa ke Ayutthaya pada masa pemerintahan Phracau YuHua Barommakot (1732–1758).

Page 67: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

67

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

48 pupuh ‘bab’. Teks sudah diterbitkan oleh Karsono (1988)meskipun bukan edisi filologis.

Struktur Naratif PA

Karsono (1998) menganilisis PA dengan teori strukturalsebagaimana dikemukakan oleh Todorov. Salah satu hasil analisisnyaadalah konfigurasi satuan cerita yang terdiri atas 140 satuan ceritadengan 52 satuan cerita yang menunjukkan adanya hubungankausalitas. Konfigurasi satuan cerita kausalitas tersebut apabiladiringkaskan menjadi sebagai berikut.

1. Perkawinan Panji Inu Kertapati dengan Angreni.

2. Tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala (ayah Panji),membunuh Angreni karena dianggap sebagai penghalangperkawinan Panji Inu Kertapati dengan Candrakirana, putriKediri.

3. Kesedihan Panji Inu Kertapati setelah mendapati mayat Angrenidi muara Kamal.

• Penjemputan sukma Angreni oleh Batara Narada, yang kelakakan diturunkan di Nusakancana dan menitis padaNgrenaswara.

4. Pengembaraan Panji dan para kadean; Panji dan para kadeanberalih rupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati bergantinama menjadi Klana Jayengsari.

•Penaklukan-penaklukan Bali, Balangbangan, Puger,Sandipura, Sandikoripan, Lumajang, Lobawang,Pananggungan, Pragunan, Sidapaksa, dan Pajarakan; usai setiappenaklukan, Klana Jayengsari memperoleh putri boyongan;putri atau saudara raja yang ditaklukkan itu kemudian diperistrioleh Klana Jayengsari.

5. Tindakan raja Kediri minta pertolongan Klana Jayengsari untukmenghadapi ancaman raja-raja sewu negara yang hendakmenyerang Kediri sebagai akibat penolakan lamaran mereka

Page 68: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

68

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

atas Candrakirana; Klana Jayengsari menetap di Kediri danmemperoleh hadiah Candrakirana setelah mengalahkanmusuh-musuh Kediri.

•Keyakinan Klana Jayengsari bahwa Candrakirana dan Angrenisatu adanya berkat penjelasan Hyang Narada.

6. Penyerangan Jenggala atas Kediri karena Jenggala mengganggapKediri ingkar janji dengan mengawinkan Candrakirana denganKlana Jayengsari, padahal Candrakirana telah dipertunangkandengan Panji Inu Kertapati. Klana Jayengsari mengalahkanpasukan Jenggala.

7. Penyerangan raja Nusakancana terhadap Kediri; KlanaJayengsari berhasil mengalahkan raja Nusakancana dan balatentaranya; Klana Jayengsari menerima penyerahan diriNgrenaswara, adik raja Nusakancana.

8. “Penyatuan” Candrakirana dengan Ngrenaswara di laut saatKlana Jayengsari merayakan kemenangan; kedua istri KlanaJayengsari itu menjadi satu kesatuan secara gaib menjadiCandraswara.

9. Kedatangan Bambang Sotama yang menyamar sebagai PanjiInu Kertapati bersama para kadean; raja Jenggala besertalaskarnya serta Bambang Sotama menyerang Kediri;pertempuran Bambang Sotama dengan Klana Jayengsari besertapara pengikutnya; Bambang Sotama dan pengikutnya kalah,sukmanya melesat ke langit; Klana Jayengsari dan pengikutnyakembali ke wujud asalnya: Klana Jayengsari menjadi Panji InuKertapati, sedang para pengikutnya lembali menjadi parakadean.

10. Pertemuan seluruh keluarga: kebahagiaan abadi.

Page 69: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

69

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Konsep dan Teori

a. Kasampurnan

Hidup, bagi orang Jawa, diibaratkan sebagai suatu perjalanan.Beberapa proposisi (ungkapan) yang mempersamakan bahwa hidupsebagai suatu perjalanan misalnya urip mung mampir ngombe ‘hiduphanya sekedar mampir untuk minum’, mulih marang sangkan paran‘kembali ke asal muasal’, dan urip mung saderma nglakoni ‘hiduphanya sekedar menjalani’. Bagi orang Jawa, kasampurnan hidupterjadi apabila dapat mulih marang sangkan paran, yang juga berartimenyatu kembali dengan sang khalik, ibarat curiga manjingwarangka ‘bilah keris masuk kembali ke dalam sarungnya’, sedangkasampurnan dapat dicapai dengan laku.

Zoetmulder (1990) menyatakan bahwa hubungan manusia—secara tegas: aku—dengan Tuhan merupakan hubungan pribadi.Oleh karena itulah pencarian Tuhan (laku) tidak dilakukan secaramassal, melainkan secara pribadi. Bagi orang Islam, misalnya, dzikirmenjadi semacam latihan yoga dalam pernapasan yang makin lamaditahan dan makin lambat dikeluarkan.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa cerita Panjitumbuh pada masa peralihan antara masa Hindu-Buda ke Islam,sehingga terminologi Islam sebagaimana disebut Zoetmuldermungkin belum benar-benar merasuk dalam kehidupan orang Jawapada masa itu; bahkan laku dalam pengertian ‘perjalanan religius(manusia) untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan’ tidakditemukan dalam kosa kata bahasa Jawa kuna. Meskipun demikianhubungan antara manusia dan Tuhan bersifat pribadi ditemukanpula dalam terminologi Hindu-Buda.

Rahardjo (2001: 181–189) menyebutkan bahwa dalam agamaHindu kebenaran terting-gi atau prinsip tertinggi selalu dipahamidalam hubungannya dengan tujuan akhir kehidupan manusia sertabentuk dan upaya manusia untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuanhidup manusia bagi penganut Hindu adalah untuk menyatu kembalidengan sumber dari segala apa yang ada, yakni Brahman. Berdasarkepercayaan ini, hidup manusia sejak lahir hingga mati ibaratperjalanan suci, yang dalam perjalanan suci itu terdapat sejumlah

Page 70: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

70

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

tempat perhentian tetapi bukan titik akhir. Penghentian terakhirdari perjalanan adalah mokºa, yakni kembali menyatu denganBrahman, sumber dari segala yang ada, sehingga tidak perludilahirkan kembali ke dunia fana.

Hadiwijono (1971: 25–29) menjelaskan bahwa pengertian awalBrahman adalah “... ilmu atau ucapan yang suci atau ucapan yangsuci, suatu nyanyian atau mantera, sebagai pernyataan yang konkretdari hikmat rohani”, namun seiring dengan perjalanan agamaHindu pengertian Brahman berkembang menjadi “ ... zat alamsemesta, hidup di dalam segala yang hidup, yang tetap berada,kenyataan yang sebenarnya terhadap segala yang bersifat semu dariyang tampak ini”. Hanya Brahmanlah yang nyata dan merdeka,dan dapat disebut “yang menjadikan dunia”. Proses “menjadikan”tidak berarti menciptakan, namun “mengalir” dengan sendirinyadari Brahman. Atman merupakan pasangan Brahman. Atman padamulanya adalah napas, jiwa, dan pribadi; kemudian berkembangmenjadi pribadi (dzat) manusia. Atman adalah subjek yang tetapada di tengah segala yang berubah. Manusia, yang dikuasai samsarakarena keinginan-keinginannya, harus melepaskan keinginan-keinginan itu untuk mencapai mokºa, pergi ke Brahman. Dengankata lain, kelepasan atau mokºa berarti kebersatuan antara Atmandan Brahman. Dalam dunia kedewataan, peran œakti (: kekuatan,dilambangkan sebagai istri dewata) amat penting dan kesatuan itudiwujudkan dalam bentuk persatuan dewata dengan œakti-nya.10

b. Laku

Secara harfiah laku berpadanan dengan ‘perjalanan’. Dalamkebudayaan Jawa, laku memiliki pengertian ‘perjalanan religius(manusia) untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan’, dilaksanakandengan matiraga sebagai wujud pengendalian hawa nafsu. Matiragamemiliki berbagai bentuk pelaksanaan antara lain 1) sesirih ataungurang-ngurangi ‘mengendalikan’, misalnya mengurangi makandan minum, mengurangi tidur, dan mengurangi menikmatikamukten ‘kemuliaan’, 2) nenepi ‘pergi ke tempat sepi untuk tafakur’,dan 3) tarak brata ‘bertapa untuk menyatukan hati dan pikiran’.

Page 71: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

71

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sudah barang tentu tataran laku tergantung pada pencapaiankedewasaan penghayatan terhadap kasampurnan: semakin tinggitataran batin yang telah dicapai kian tinggi pula tingkat laku yangditempuh seseorang.

c. Semiotika

Peirce menyebut bahwa segala sesuatu—termasuk teks—berkemungkinan menjadi tanda (representamen) selama sesuatutersebut merupakan representasi dari objek (denotatum) dan dapatdiinterpretasikan (interpretan). Ada syarat yang harus juga dipenuhiagar representamen dapat diterima sebagai tanda, yakni adanyaground. Yang dimaksud dengan ground adalah persamaanpengetahuan yang ada dalam pikiran pengirim dan pikiranpenerima. Apabila ground tidak ada, maka representamen tidakdapat dipahami oleh penerima, sehingga representamen tak dapatdisebut sebagai tanda. Hubungan objek (O) dengan representamen(R) dan interpretan (I). Hubungan tersebut dinyatakan melaluisegitiga semiotika.

Gambar 1:

O

R I

Analisis

Dalam kerangka semiotika, PA pertama-tama haruslahdianggap sebagai tanda yang merepresentasikan suatu objek danmempunyai interpretan. Teks PA tidak hadir dengan sendirinya,melainkan merepresentasikan objek atau denotatum. Objek yangdiwakili oleh PA mestinya cerita Panji yang ada dalam masyarakat.Adapun interpretannya adalah struktur naratif PA. Dengandemikian dalam segitiga semiotika PA sebagai tanda dapatdigambarkan sebagai berikut.

Page 72: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

72

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Gambar 2:

Hubungan antara R dan O merupakan hubungan ikonmetaforis karena adanya kemiripan namun tidak secara mutlak.Kemiripan terutama terletak pada kerangka cerita berikut namatokoh-tokoh dan latar tempatnya. Hal ini terjadi karena cerita Panjidalam masyarakat beredar dalam beragam “bacaan”. Adapunhubungan antara O dan I merupakan argument, sebab hubunganitu merupakan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan:struktur naratif PA yang merupakan wujud tekstual teks PA taklain merupakan reperesentasi dari cerita Panji yang terdapat dalammasyarakat Jawa.

Pemaknaan di atas baru pada tataran pertama, karenapemaknaan masih terus berlanjut. Interpretan tataran pertama (I1)dapat berkembang menjadi R2 yang merepresentasikan O2 danmenghasilkan I2, yang selanjutnya I2 menjadi R3 yangmerepresentasikan O3 dan menghasilkan I3, demikian danseterusnya. Proses pemaknaan demikian disebut sebagai prosessemiosis.

Dalam kerangka proses semiosis inilah pemaknaan PAtampaknya harus dirunut jauh ke belakang pada masa purwarupacerita Panji terbentuk hingga proses pembentukannya sebagai tekstulis sebagaimana dilakukan oleh Rassers (1922) yang mengaitkancerita Panji dengan sistem masyarakat purba Jawa dan kepercayaantotemisme. “Pembacaan” teks-teks lama Jawa semacam itu jugadisarankan oleh Berg (1974). Demikian pun Wellek dan Austin(1976: 94) mengatakan bahwa “sastra menyajikan lehidupan, dan

Cerita Panji yang ada dalammasyarakat Jawa

hubungan ikonmetaforis

Teks PA(R)

StrukturNaratif PA

(I)

hubunganbersifat Argument

Page 73: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

73

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kehidupan sebagian merupakan kenyataan sosial, walaupun sastrameniru alam dan dunia subjektif manusia”.

Berbeda dengan penelitian Rassers yang menyebutkan bahwacerita Panji merupakan representasi inisiasi persekutuan(perkawinan) kedua kelompok kerabat masyarakat purba Jawa yangditunjukkan melalui pengembaraan tokoh utama—Panji danCandra Kirana—sebelum mereka dewasa dalam perkawinan,penelitian ini bertolak pada hipotesis bahwa cerita Panji merupakanrepresentasi kepercaan Hindu-Buda tentang persatuan dengan YangMutlak, yang dalam mistik Islam kemudian menjadi manunggalingkawula dan Gusti.

Berdasar uraian di atas proses semiosis teks PA menjadi sebagaiberikut. Gambar 2 di atas mengemukakan bahwa R1 adalah teksPA sebagai representamen dari O1 berupa cerita Panji yang adadalam masyarakat Jawa. Selanjutnya I1, yakni berupa struktur naratifPA, berproses menjadi R2 yang merupakan representamen dari O2

berupa kisah pengembaraan/pencarian Panji dengan I2 berupastruktur naratif pengembaraan PA. I2 berproses menjadi R3 yangmewakili O3 sistem religi Hindu berupa proses penyatuan Atmandan Brahman dengan I3 berupa satuan-satuan naratif (episode) PA.I3 berproses menjadi R4 yang mewakili O4 berupa persatuan Atmandan Brahman dengan I4 berupa satuan naratif pertemuan Panjidengan kekasihnya (Angreni/Candrakirana/Ngrenaswara) dalambentuk Candraswara.

Hubungan antara O1 dan R1 serta antara O2 dan R2 merupakanhubungan ikon metaforis: ada klemiripan antara O1 dan R1 sertaantara O2 dan R2, meskipun bukan kemiripan secara keseluruhan.Adapun hubungan antara O3 dan R3 serta antara O4 dan R4

merupakan hubungan ikon topologis karena adanya kemiripanbentik O3 dan R3 serta antara O4 dan R4.

Berdasarkan uraian di atas, proses semiosis tersebut dapatdigambarkan sebagai berikut.

Page 74: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

74

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Gambar 3:

Yang masih menjadi pertanyaan adalah hubungan antara Odan I. Terdapat tiga macam hubungan antara tanda daninterpretannya, yakni rhême, discent, dan argument. Tandamerupakan rhême bila dapat diinterpretasikan sebagai representasidari suatu kemungkinan objek, namun hasil interpretasi tak dapatdikatakan benar atau salah. Rhême merupakan suatu kemungkinaninterpretan. Tanda merupakan discent bila tanda tersebutmenawarkan hubungan yang benar ada atau tidak ada, benar atausalah, bagi interpretannya, baik dengan penjelasan maupun tanpaalasan. Suatu tanda merupakan argument apabila sudahmenunjukkan perkembangan dari premis ke kesimpulan yangcenderung mengarah pada kebenaran. “Manusia memerlukanmakan untuk hidup. Dadap seorang manusia. Dadap memerlukanmakan untuk hidup”. Ketiga proposisi ini membentuk argumen,tetapi setiap kalimat kohern, serta menunjukkan kebenaran.

Pada tahap pertama semiosis, sebagaimana dinyatakan padagambar 2, hubungan antara O dan I merupakan hubunganargument, sebab hubungan antara Cerita Panji yang beredar dalammasyarakat Jawa (O) dan struktur naratif PA (I) merupakankebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun apakahhubungan antara O2 dan I2, O3 dan I3, serta O4 dan I4 juga merupakanhubungan yang bersifat argument?

ikonmetaforis

ikonmetaforis

ikontopologis

ikontopologis

O1

Cerita Panji dalammasyarakat Jawa

O2

Kisah pengembaraanPanji

O3

Sistem ReligiHindu

O4

Persatuan Atmandan Brahman

R1

teks PAI1 (R2)

strukturnaratif

I2 (R3)struktur naratifpengembaraan

PA

I3 (R4)satuan-satuan

naratif(episode) PA

I4 (R5)satuan naratifpertemuan Panjidengan kekasih-nya

Page 75: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

75

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Hubungan antara O2 dan I2 memang masih menunjukkanhubungan argument karena kebenarannya masih dapatdipertanggungjawabkan. Adapun hubungan antara O3 dan I3, sertaO4 dan I4 sesungguhnya merupakan hubungan interpretatif dengankebenaran yang hanya dapat diyakini oleh masyarakat yang hiduppada masa penciptaan dan pertumbuhan cerita Panji. Jika demikianapakah hubungan antara O3 dan I3, serta O4 dan I4 merupakandiscent karena hubungan itu bisa benar namun bisa juga salah?

Dalam kenyataan, sebagaimana dinyatakan pada awal tulisanini, sesuatu ditulis setidaknya memiliki representasi atas duakemungkinan. Kemungkinan pertama, sesuatu ditulis untukmencatat sesuatu yang pernah ada atau yang pernah terjadi.Kemungkinan kedua, sesuatu ditulis karena visi atau jangkauan masadepan. Tampaknya kemungkinan pertamalah cerita Panji terciptaatau ditulis, apalagi jika hal ini dihubungkan dengan asumsiPoerbatjaraka (1968) bahwa pada masa Majapahit akhir orang Jawamencari bacaan baru serta semangat kejawaan yang semakinmerebak pada masa akhir Majapahit. Jika asumsi ini benar,tampaknya hubungan antara tanda dan interpretannya pada prosessemiosis tahap tiga dan tahap dan empat memiliki hubungan yangbersifat argument, sehingga keempat tahap proses semiosis itu dapatdigambarkan sebagai berikut.

Gambar 4:

ikonmetaforis

ikonmetaforis

ikontopologis

ikontopologis

O1

Cerita Panji dalammasyarakat Jawa

O2

Kisah pengembaraanPanji

O3

Sistem ReligiHindu

O4

Persatuan Atmandan Brahman

R1

teks PAI1 (R2)

strukturnaratif

I2 (R3)struktur naratifpengembaraan

PA

I3 (R4)satuan-satuan

naratif(episode) PA

I4 (R5)satuan naratifpertemuan Panjidengan kekasih-nya

argument argument argument argument

Page 76: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

76

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Di sisi lain sosok Panji Inu Kertapati (Klana Jayengsari)merupakan represen-tamen yang merepresentasikan Atman sebagaiobjek. Panji melakukan perjalanan atau pengembaraan mencarikekasihnya, Angreni, yang konon menurut Batara Narada kelakakan menitis pada Ngrenaswara, adik raja Nusakancana. PerjalananPanji Inu Kertapati (Klana Jayengsari), yang semula ingin mencarikematian karena diilhami oleh kisah raja Angling-darma, ternyatamerupakan kisah peperangan dan pertempuran untukmenaklukkan musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu pun dalamterminologi kejawen sesungguh-nya merupakan representasi nafsudirinya sendiri. Setiap kali usai penaklukan, Panji Inu Kertapati(Klana Jayengsari) menemukan kebahagiaan dengan memperolehistri baru. Namun kebahagiaan tersebut sesungguhnya bukankebahagiaan baka, bukan kebahagiaan kekal, sebab yang sebenar-benarnya dicari belum ditemukan: Angreni. Segitiga semiotik tokohPanji sebagai suatu tanda dan proses semiosisnya dapat dinyatakansebagai berikut.

Gambar 5:

Hubungan antara representamen dan objek atau denotatummerupakan simbol karena adanya kesepakatan di antara penganutHindu pada masa itu mengenai konsep manusia dalamkedudukannya dengan makrokosmos. Demikian pun hubungan

simbol

O1

Konsep tentang zatmanusia

O2

Konsep tentang AtmanO3

Atman

R1

Konsep tentangmanusia

I1 (R2)manusia

I2 (R3)Panji

I3 (R4)Panji melakukan

pengembaraan untukmencari kekasihnya

argument argument argument

simbol simbol

Page 77: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

77

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

antara objek dan interpretan merupakan hubungan yang bersifatargument karena kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan

Dengan pola yang sama, Candrakirana pun dapat dianggapsebagai tanda (representamen) yang mewakili objek Brahman, yangmenjadi tujuan akhir pengembaraan atau perjalanan Panji InuKertapati. Di sisi lain, Panji juga dapat menjadi representamen atasdewa yang berupaya menyatu dengan œakti -nya; sehinggaCandrakirana juga dapat dibaca sebagai representamen dari objekœakti ‘istri’ dewa. Persatuan dewa dan œakti-nya akan menciptakankekuatan (kebahagiaan).

Hasil pendekatan semiotik untuk mencari makna teks lamabagi masyarakat yang melahirkan sebagaimana ditunjukkan dalamanalisis di atas belum tentu memiliki kebenaran mutlak, ataupemaknaan bahkan mungkin salah, karena tidak ada perangkatuntuk pembenaran dengan mengacu pada masyarakatbersangkutan. Meskipun demikian setidak-tidaknya hasil temuanpende-katan ini dapat menjadi bahan diskusi.

Kebenaran atas analisis di atas dapat dipertahankan apabila 1)Panji dapat dianggap mewakili atau dapat diterima sebagairepresentasi dari orang Jawa secara orang per orang, 2) Angreni,Candrakirana, dan/atau Angrenaswara dapat dianggap sebagairepresentasi “kebenaran abadi” dan “kebahagiaan abadi”sebagaimana halnya dalam kosmogoni Hindu sebagai œakti dewa,dan 3) pengembaraan Panji Inu Kertapati (yang dalampengembaraan itu berganti nama menjadi Klana Jayengsari) adalahrepresentasi laku orang Jawa untuk mencapai kasampurnan dapatditerima.

Dalam hal tokoh Panji sebagai representasi orang Jawa secaraorang per orang agaknya harus dirunut pada proses “kelahiran”cerita Panji di tengah-tengah sastra Jawa kuna yang sangatdipengaruhi oleh sastra India, baik bentuk maupun kandunganisinya. Cerita Panji konon merupakan cerita “asli” Jawa, sehinggatokoh Panji pastilah juga tokoh asli Jawa. Jika apa yang dikatakanoleh Scott (1974: 123) bahwa “Seni tidak tercipta dari kekosongan”benar, kehadiran cerita dan tokoh Panji pastilah ada acuannya.

Page 78: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

78

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dugaan yang paling mudah tentang acuan “dunia nyata” tokohPanji adalah orang atau tokoh yang pernah ada dalam kehidupannyata. Siapa pun orang ataupun tokoh tersebut—yang olehPoerbatjaraka dipersamakan dengan Kamesywara I, meskipunbanyak yang menentangnya—dapat dianggap sebagai representasiorang Jawa, setidaknya tokoh citraan ideal orang Jawa.

Adapun Angreni, Candrakirana, dan/atau Angrenaswaramerupakan representasi kebenaran dan/atau kebahagiaan abadibagi Panji dapat dirunut secara tekstual dalam PA. Angrenimerupakan sandaran “kebahagiaan” awal Panji. Ketika kemudianAngreni meninggal dan tubuhnya musnah, Panji “mengejar”Angreni. Panji belum menemukan yang dicarinya sekalipunCandrakirana—yang ditemuinya di istana Kediri—sama persisdengan Angreni. Baru setelah terjadi kemukjizatan atas kuasa HyangNarada: Angreni dan Candrakirana menyatu dalam diriAngrenaswara, Panji menemukan kebahagiaan abadi.

Bahwa pengembaraan Panji Inukertapati sebagai representasilaku tentulah harus dirunut secara tekstual pula. Satuan peristiwa“Pengembaraan Panji dan para kadean; Panji dan para kadean beralihrupa dan berganti nama: Panji Inu Kertapati berganti nama menjadiKlana Jayengsari” akibat “tindakan Brajanata, suruhan raja Jenggala(ayah Panji), membunuh Angreni” merupakan “kelahiran” PanjiInu Kertapati atas kesadaran perjalanan kehidupannya. Ia harusmencari dan menggapai kebahagiaan abadi. Pencapaian itu harusdijalaninya dengan laku melalui pengembaraan. Dalam menjalanilaku itu ia melakukan sesirih, nenepi, dan tarak brata; sudah tentuperistiwa-peristiwa itu dilakukannya secara simbolis.

Sesirih, misalnya, ditunjukkan oleh Panji dengan penerapanaji asmaragama atau asmaranala karena tuntutan kewajiban sebagailelananging jagad terhadap putri-putri boyongan yang menjadiselirnya. Panji “mengendalikan diri” dan hanya melakukanhubungan badan dengan dengan putrid yang diyakini sebagaiAngreni. Demikian pun dengan nenepi dan tarakbrata yang memangdinyatakan secara tekstual.

Page 79: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

79

Cerita Panji: Representasi Laku Orang Jawa

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Simpulan

Analisis semiotika terhadap PA secara selintas memangmemberi bukti bahwa PA ditulis untuk mencatat apa yang pernahterjadi dan apa yang pernah ada dalam masyarakat. PA jugamerupakan representasi laku orang Jawa untuk mencapaikasampurnan abadi. Meskipun demikian hasil analisis itu belumdefinitif sifatnya karena masih harus dibuktikan dengan perangkatdan metodologi yang lebih sahih. Meskipun demikian, temuan itudapat mengundang pemikiran lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Baried, Siti Baroroh, dkk.1987 Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan.Berg, C.C.1974 Penulisan Sejarah Jawa, diterjemahkan oleh S. Gunawan.

Jakarta: Bhratara.Hadiwijono, Harun1971 Agama Hindu dan Buddha. Djakarta: Badan Penerbit Kristen.

Kaeh, Abdul Rahman1989 Panji Narawangsa. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan

Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.Karsono H Saputra1998 Aspek Kesastraan Panji Angreni. Depok: Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.2005 Percik-Percik Bahasa dan Sastra Jawa. Jakarta: Wedatama Widya

Sastra.Munandar, Agus Aris1992 “Cerita Panji dalam Masyarakat Majapahit Akhir” dalam

Lembaran Sastra Universitas Indonesia 17/Juli 1992, hlm. 1-16. Depok: Fakultas Sastra UI.

Pigeaud, Theodore G. Th.1967 Literature of Java. Catalogue Raisonné Javanese Manuscripts in

the Library of the University of Leiden and Other Public Collectionsin the Netherlands. The Hague: Martinus Nyhoff.

Page 80: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

80

Karsono H Saputra

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Poerbatjaraka, R.M.Ng.1968 Tjerita Pandji dalam Perbandingan, diterjemahkan oleh Zuber

Usman dan H.B. Jassin. Djakarta: Gunung Agung.Rahardjo, Supratikno2002 Peradaban Jawa. Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi

Jawa Kuno. Jakarta: Komunitas Bambu.Rassers, W.H.1922 De Pandji-Roman. Antwerpwn: D. de Vos-Van Kleff.Robson, S.O.1971 Wangbang Wideya. The Hague: Martinus Nijhoff.

Saleh, Ratiya1988 Panji Thai dalam Perbandingan dengan Cerita-Cerita Melayu.

Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka KementerianPendidikan Malaysia.

Scott, Wilbur1974 Five Approaches of Literary criticism. New York-London: Collier

Books-Collier Macmillan Publishers.Sedyawati, Edi1982 “Kata Pengantar” dalam Kern, Çiva dan Buddha. Dua

Karangan tentang Çiva¿sme dan Buddhisme di Indonesia. Jakarta:Penerbit Djambatan.

Slametmuljana1979 Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Karya Aksara.Wellek, René dan Austin Warren1967 Theory of Literature. Auckland: Penguin Books.Zoetmulder. P.J.1983 Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature. Islamic and

Indian Mystycism in an Indonesian Setting, edited and translatesby M.C. Ricklefs. Leiden: KITLV Press.

Zoetmulder. P.J.1990 Manunggaling Kawula Gusti. Pantheïsme dan Monisme dalam

Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat, diterjemahkan oleh DickHartoko. Jakarta: PT Gramedia 1990, bekerja sama denganPerwakilan Koninklijk Institut voor Taal-, Land-, enVolkenkunde dan Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Page 81: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

81Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

DAFTAR BACAAN SEMIOTIK

Christomy, Tommy

2004 “Peircean dan Kajian Budaya” dalam Semiotika Budaya, T.Christomy & Untung Yuwono (peny.). Depok: Pusat PenelitianKemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan PengabdianMasyarakat Universitas Indonesia.

Hoed, Benny. H.

2002 “Strukturalisme, Pragmatik, dan Semiotik dalam KajianBudaya. Sebuah Pengantar” dalam Indonesia Tanda yang Retak,Tommy Christomy (peny.). Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nöth, Winfried

1990 Handbook of Semiotik. Bloomington and Indiana Polis: IndianaUniversity Press.

van Zoest, Aart

1993 Semiotika. Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang KitaLakukan Dengannya, diterjemahkan oleh Ani Soekawati.Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Zaimar, Okke K.S.

2008 Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: PusatBahasa Pendidikan Nasional.

Page 82: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

82 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

A. PENDAHULUAN.Kidung Surajaya merupakan salah satu naskah koleksi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yangdikategorikan naskah-naskah dari Merapi-Merbabu. Sebelumberlanjut membicarakan tentang Kidung Surajaya terlebih dahuluakan dibicarakan secara sepintas tentang naskah-naskah Merapi-Merbabu.

Naskah Merapi-Merbabu merupakan sekelompok naskah Jawayang berasal dari daerah gunung Merapi-Merbabu. Yang kiranyamenjadi kekhasan naskah Merapi-Merbabu diantaranya adalahumur naskah, isi naskah, terutama bentuk tulisannya (Kartika dkk2002:vii). Kolofon-kolofon naskah Merapi-Merbabu menyebutbanyak nama desa di wilayah gunung Merapi-Merbabu sebagaitempat penyalinan naskah. Angka tahun penulisan yang disebutdalam kolofon meliputi rentang waktu sepanjang tiga abad, dariawal abad 16 sampai akhir abad 18. Dahulu naskah-naskah Merapi-Merbabu adalah milik seorang kyai yang bernama Kyai Windusana.Pertengahan abad 19 koleksi naskah Merapi-Merbabu menjadimilik PNRI (Kartika dkk 2002:1). Naskah Merapi-Merbabu ditulispada lontar dan beraksara buda. Aksara Jawa dikenal dan dipakaioleh penulis naskah Merapi-Merbabu. Hal ini terbukti adanyaaksara Jawa bersama dengan aksara buda dalam banyak naskahMM (Kartika dkk 2002:2).

Di lingkungan Merapi-Merbabu berkembang jenis ragam sastrayang membicarakan filosofi ‘mystical lessons focusing on yoga’ (Kuntaradan van der Molen 2001:54-55) seperti misalnya Kidung Surajaya,

KARTIKA SETYAWATIFakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

KIDUNG SURAJAYA(Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Page 83: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

83

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

Kidung Subrata dan Ragasama. Mungkin Gita Mudasara danKidung Artati juga demikian isinya. Karena Kidung Artati dan GitaMudasara belum ada transkrip utuhnya maka belum didapatinformasi yang lebih banyak. Selain ragam sastra tersebut diatas,ada banyak ragam sastra lain, misalnya kakawin, suluk, mantra,primbon, hal obat-obatan dan pengobatan dll. Adanya tempatpenulisan ‘scriptorium’ di lingkungan Merapi-Merbabumenimbulkan pertanyaan: di tempat itu terdapat pusat studi ataupadepokan? (Kuntara dan van der Molen 1993:507). Menurutlaporan perjalanan Bujangga Manik melintasi Jawa (Noorduyn1928:416) gunung Damalung (Merbabu) merupakan salah satu pusatstudi.

Kita kembali pada pokok pembicaraan yaitu Kidung Surajaya.Kidung Surajaya selesai disalin tahun 1618 tahun Jawa Merapi-Merbabu (naskah no 208) kurang lebih sama dengan tahun 1696Masehi, dan tahun 1607 tahun Jawa Merapi-Merbabu (naskah no262) kira-kira sama dengan tahun 1685 Masehi. Tahun selesainyapenulisan Kidung Surajaya ditandai dengan sngkalan: prawata murlì ngkara bumi = 1-07. Belum jelas benar “lì ngkara” melambangkanangka berapa. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa baru yangarkais.

Dalam tulisan ini akan dibicarakan hal perjalanan/ peziarahanSurajaya atau dengan istilah lain: Surajaya sebagai tirthayatra/Surajaya sebagai peziarah. Di sana akan dicoba ditelusuri sepertiapa perjalanan itu. Juga akan dicoba dilihat makna apa yang tersiratdibalik yang tersurat dari perjalanan Surajaya itu. Hal ini sesuaidengan pesan dari penulis Kidung Surajaya yaitu supaya mencariapa yang tersirat dari yang tersurat dari Kidung Surajaya ini.

Teori yang kiranya dekat untuk membicarakan hal perjalananSurajaya ini yaitu teori sastra dari Riffaterre (1978). Riffaterremenyatakan antara lain bahwa dalam membaca puisi sastra ada 2tahapan. Tahapan pertama yang disebut pembacaan pertama yangdisebut heuristic reading. Tahapan kedua yang disebut pembacaanlevel ke 2 yang disebut hermeunetic reading. Barangkali secara pendekkata demikian: pembacaan pertama adalah untuk mengerti alur/jalan cerita dalam teks, pembacaan kedua mencari makna dari tekstersebut. Selanjutnya Riffaterre (1978:1) menyatakan bahwa puisi

Page 84: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

84

Kartika Setyawati

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

menyatakan satu hal dan berarti yang lain ‘a poem says one thing andmeans another’.

Meskipun sama-sama ragam sastri lelana dengan Centhini cs(Madujaya, Jatiswara), tapi tujuan peziarahan Surajaya berbedadengan tokoh yang ada pada Centhini cs tersebut.

Dilihat dari ragam sastra, Kidung Surajaya termasuk golongan“santri lelana” (menurut istilah Nancy Florida (lihat Behrend1995:13). Menurut peneliti mungkin sebaiknya digolongkan dalam“santri lelana brata”. Meskipun segolongan dengan Centhini cs(Jatiswara, Madujaya) (lihat Pigeaud 1967:227-229 tentang ‘hikayatsiswa musafir’) yang istilah lainnya “santri lelana”, kiranya terdapatperbedaan yang cukup mendasar.

B. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI TEKS SASTRA.Kidung Surajaya berbentuk puisi terdiri dari 7 pupuh. Secara

struktur naratif Kidung Surajaya terdiri dari 2 bagian yaitu, bagianpertama: pupuh I sampai dengan pupuh VI, bagian kedua: pupuhVII. Hal ini seperti dinyatakan dalam teksnya (VII:97) ‘ Hantakarananamanya/ untuk bagian yang kedua/ dibuat garis besarnya/camkanlah intisarinya./ Hendaklah menjadi yang utama/ jika ada

Centhini cs Surajaya Alasan pergi tokohnya: mencari saudaranya yang hilang/pergi.

Alasan pergi tokohnya: sedih karena ditinggalkan orang tuanya, ingin menghilangkan klesa di badan.

Tokoh-tokohnya :mengembara, menikahi gadis-gadis, bermain cinta

Tokohnya mengembara, jatuh cinta, menjadi incaran gadis-gadis tapi tidak menikahinya, tidak bermain cinta

Mendapat pengetahuan umum dalam masyarakat

Yang menonjol adalah mencari pencerahan batin. Mendapat nasehat dari satu Ajar ke Ajar lain sampai akhirnya berhenti mengembara.

Tokohnya bisa terancam hukuman mati/ luput dari kematian karena berbenturan dengan penguasa

Ditemui Sang Hyang Suksma.

Tokohnya mati (Amongraga) Tokoh utamanya moksa

Page 85: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

85

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

yang tahu/ […]’. Bila dilihat dari jalan ceritanya maka pupuh I-VImerupakan perjalanan lahiriah Surajaya. Pengembaraan Surajayadari satu tempat ke tempat lain, dari seorang ajar ke ajar yang lain.Pupuh VI bait 50 (bait terakhir) Surajaya (dan Ragasamaya)menemukan pertapaan kosong kemudian diberi nama Sunyagati.Di situlah Surajaya berhenti melakukan pengembaraan danbertempat tinggal. Mulai pupuh VII Surajaya tidak lagimengembara. Di pupuh VII diceritakan bagaimana usaha Surajayauntuk moksa. Pupuh VII bias dikatakan adalah perjalanan/peziarahan batin Surajaya yang akhirnya mencapai tujuan yaitumoksa. (lihat cerita ringkas pada sub C).

C. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI PEMBACAAN PERTAMA.Pupuh I: Penguasa di Wilatikta (Majapahit) meningal dunia,

Singamada, anaknya pergi dari kota raja masuk ke hutan karenakesedihan hatinya, saudara-saudaranya tidak ada yang mencintai.Singamada singgah di dukuh Welaharja, berjumpa dengan KiPanguwusan. Singamada menceritakan maksudnya mengungsi kegunung yaitu agar dapat menguasai nafsu. Ki Panguwusanmeragukan niat Singamada yang masih muda. Ki Panguwusanmemberi nasehat lalu ia menyarankan agar Singamada pergi padaseorang pertapa mumpuni, kepada beliau Singamada supayaberguru. Singamada pergi dari dukuh Welaharja. Lukisan perjalananSingamada. Singamada sampai di Nirbaya dan diterima oleh KiAjar. Lukisan keadaan di pertapaan pada malam dan pagi hari.Lukisan persiapan upacara untuk Surajaya. Setelah upacara,Singamada berganti nama menjadi Surajaya atau sebutan lainnyaSurawani.

Pupuh II: Lukisan para gadis di Nirbaya, nasehati Ki Ajar padaSurajaya. Di Wanapala: Lukisan Ki Darmakawi, ayah Ni Tejasari.Lukisan Ni Tejasari yang sebagai mahluk kahyangan turun ke bumiyang melakukan mati raga. Nasehat Ki Darmakawi pada Ni Tejasariagar berhenti mati raga lalu menikah. Di Nirbaya: Lukisan keadaanSurajaya yang telah 2 tahun menjalani tapa. Nasehat Ki Ajar padaSurajaya. Surajaya minta diri untuk melanjutkan perjalanan.Lukisan alam yang dilalui Surajaya.

Page 86: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

86

Kartika Setyawati

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

Pupuh III: Lukisan pertapaan Samaharja/ Adisukma.Hamongraga, penguasa padepokan menyambut Surajaya yang barudatang. Surajaya menceritakan alasannya pergi dari kota raja.Dialog Hamongraga dengan Surajaya. Nasehat Hamongraga padaSurajaya tentang orang bertapa, laku tapa. Di Wanapala: RencanaKi Darmakawi mengunjungi Hamongraga. Ni Tejasari berceritakepada ayahnya bahwa ia bermimpi berjumpa dengan seorangpertapa muda. Lukisan perjalanan Ni Darmakawi dan Ki Sekarsaramengunjungi Hamongraga. Di Samaharja: Pertemuan NiDarmakawi dengan Surajaya. Surajaya menjawab pertanyaan NiDarmakawi bahwa dirinya berasal dari Majapahit. KeteranganSurajaya mengejutkan Ni Darmakawi, ternyata Surajaya keponakanNi Darmakawi. Ni Darmakawi mengajak Surajaya utuk datang keWanapala.

Pupuh IV: Lukisan perjalanan Surajaya, Ni Darmakawi dan KiSekarsara ke Wanapala. Di Wanapala: Surajaya bertemu denganNi Tejasari. Lukisan perasaan Surajaya dan Ni Tejasari yang salingtertarik. Lukisan malam hari di Wanapala. Surajaya melantunkankidung, banyak orang tidak bisa tidur mendengar suara Surajaya.Lukisan keadaan orang-orang yang tidur. Surajaya tidak bisa tidur.Tejasari keluar dari rumah untuk menemui Surajaya. Kata-kata duasejoli yang sedang dimabuk asmara, sayang mereka tidak dapatmenikah arena saudara misan. Tejasari mengajak Surajaya untukmelarikan diri. Surajaya menghibur Tejasari dan menyuruhnyauntuk pulang karena khawatir perbuatan mereka diketahui banyakorang. Tejasari pulang ke rumah. Lukisan perasaan dua taruna yangdimabuk asmara di tempatnya masing-masing. Lukisan paraperempuan yang tidak dapat tidur semalaman karena mendengarSurajaya melantunkan kidung. Narasi penyair tentang tujuanpenulisan Kidung Surajaya, pembaca diharapkan dapat mengartikanmaknanya (pupuh IV 59-61). Sengkalan penulisan Kidung Surajaya:paksa guna warna pratiwi (1432). Penyebutan nama penyair. Lukisanpesta di rumah Ki Darmakawi. Lukisan tindakan para perempuanyang kasmaran kepada Surajaya. Surajaya minta diri pada Ki danNi Darmakawi. Surajaya berpamitan pada Tejasari. Keadaan Tejasariyang termangu-mangu setelah Surajaya pergi. Lukisan perjalanan

Page 87: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

87

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

Surajaya yang sakit asmara. Lukisan perjalanan Ragasamaya. DiKagenengan: Surajaya bertemu dengan Ragasamaya. Keduanyamerasa senasib, mereka berdua mengangkat saudara, kemudiandiadakan upacara pengangkatan saudara. Lukisan perjalananSurajaya dan Ragasamaya. Di Widapuspa/Widasari: Surajaya danRagasamaya bertamu di Widapuspa. Ki Satawang tetua padepokanmenyabutnya. Lukisan kegundahan hati Ni Sekarja yang jatuh cintapada Surajaya. Surajaya menceritakan kepada Ki Satawang bahwaia jatuh cinta pada Tejasari. Kegundahan hati Surajaya karena sakitasmara pada Tejasari dan Sekarja. Ni Sekarja nekad mendatangiSurajaya dan merayunya serta mengajak untuk melarikan diri.Ragasamaya mengingatkan agar Surajaya tidak memperdulikan NiSekarja yang mengajaknya pergi. Ragasamaya dan Surajayamelanjutkan perjalanan, mereka berdua singgah di padepokan KiMudatiwas. Lukisan malam hari. Surajaya bermimpi bermain cintadengan Tejasari. Lukisan kesedihan hati Surajaya akan mimpinyaitu. Dalam perjalanan Surajaya merasa sedih, Ragasamaya selalumenasehati, menghibur. Perjalanan mereka sampai di Cempakajati.Narasi penyair untuk menghentikan cerita tentang Surajaya. Penyairakan menceritakan kegiatan di Penataran.

Pupuh V: Cerita perang Jebugwangi: perang 5 bersaudara (PanjiWisaya, Lalanasambu, Banyakputeran, Lalana Huwah-hawih,Mahisabotho) melawan 3 bersaudara dari Gagelang (Ki Sora, KiSamun dan Gajahpningset). Surajaya dan Ragasamaya seperti orangbermimpi, menyaksikan perang dari tempat persembunyian.Ragasamaya dan Surajaya melanjutkan perjalanan. Mereka berduasampai pada bekas kraton, dan mereka melihat-lihat. Selamaperjalanan bayangan Tejasari selalu mengikuti Surajaya, Ragasamayaselalu menghibur, menguatkan hatinya.

Pupuh VI: Perjalanan mereka sampai di Lemahbang, bermalamdi rumah Ki Rujaksela. Terjadi dialog, perdebatan Ki Rujakseladengan Surajaya. Rujaksela merasa teralahkan. Rujaksela ingin ikutkemanapun Surajaya pergi, tetapi tidak dikabulkan. Surajaya danRagasamaya minta diri melanjutkan perjalanan. Ragasamaya dan

Page 88: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

88

Kartika Setyawati

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

Surajaya berpisah, Surajaya menemukan pertapaan kosong yangdiberinya nama: Sunyagati. Di situlah Surajaya berhenti berkelana.

Pupuh VII: Narasi penyair tentang tujuan penulisan KidungSurajaya. Lukisan pertapaan Sunyagati, lukisan keadaan Surajayayang bermati raga. Usaha Surajaya bertapa, keluarlah nafsu daribadan Surajaya. Sang Hyang Sukma menghampiri dan memberipetunjuk, bahwa Surajaya kini bernama Hantakarana. Sang HyangSukma pergi setelah memberi petunjuk, Surajaya serasa bermimpi.Ragasamaya berkunjung pada Surajaya yang kini bernamaHantakarana. Hantakaran dan Ragasamaya melakukan samadi 7malam untuk mengusahakan moksa. Hantakarana berhasil melepasraganya, Ragasamaya gagal. Sukma Hantakarana melesat jauh,Ragasamaya mengurus raga yang ditinggalkan. Di Widapuspa: NiTejasari sedih mendengar Surajaya meninggal di Pamrihan. NiTejasari melakukan yoga, sukmanya kembali ke kahyangan bertemudengan teman-temannya para bidadari yang datangmenyongsongnya. Ragasamaya mengenang Surajaya.

D. KIDUNG SURAJAYA SEBAGAI PEMBACAAN KEDUA.Dalam pembacaan kedua ini dimaksudkan mencari makna dari

yang tersurat dari Kidung Surajaya. Dalam penelitian ini dibatasipada hal perjalanan Surajaya saja. Masih banyak hal lain yang bisadibicarakan sehubungan dengan makna dari yang tersurat dariKidung Surajaya, misalnya jumlah pupuh, jumlah bait dalam pupuhVII, bilangan-bilangan yang ada di dalam teks, nama-namatokohnya, perang Jì bugwangi, nasehat dari para ajar kepadaSurajaya dll. Dalam pembicaraan kedua ini dibicarakan Surajayasebagai tîrthayâtrâ atau Surajaya sebagai peziarah.

Dirunut dari asal katanya, kata tîrthayâtrâ berasal dari bahasaSansekerta V tº artinya ‘menyeberang, tamat, ahli’ (Monier Williams1988:454, Macdonell 1988:111, Vaman Shivaram 2003:783-784,Eck1981:325). Kata tîrtha bisa berarti: tempat mandi (suci), tanggatempat naik dan turun (pada tempat mandi suci), guru, instruktur,orang teladan (Macdonell 1988:110). Vaman Shivaran (2003:775-776) menyatakan kata tîrtham berarti: gang, jalan sempit, jalan,arung, tempat naik pada sungai, tangga pada tempat mendarat di

Page 89: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

89

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

sungai, tempat air, tempat suci, tempat peziarah, pembatas (a skrine),channel, medium, orang suci, guru, sumber. (Moneir Williams1988:449) menyatakan kata tîrtha berarti: jalan, jeram (ford), tanggauntuk naik dan turun ke sungai, tempat mandi, tempat peziarahpada tepi sungai, orang bijak, guru. Tîrthayâtrâ berarti kunjunganke tempat suci, peziarah (Vaman Shivaran 2003:776, MonierWilliam 1988:449, Macdonell 1988:110). Monier William(1988:449) menyatakan tîrthayâtrâ sama dengan tîrthacâryâ yangberarti peziarah. Tîrthayatrin ‘turut serta dalam berziarah’ (Monier1988:449). Eck (1981:328) menyatakan bahwa tîrtha juga berartiambang pintu, di tengah-tengah, yang membatasi dunia ini dengandunia lain. Selanjutnya Eck (1981:341) juga menyatakan bahwa tîrtha‘menyeberang’ dapat berarti pula menyeberang dari kelahiran kekematian, menyeberang dari kegelapan (batin) menuju pencerahan,menyeberang dari kebodohan ke kepandaian. Dalam tradisi Jaina,kata tîrtha digunakan tidak saja sebagai tempat, tetapi juga orangyang menjadi tempat penyeberangan orang lain (Eck 1981:327).Hutan juga tempat penyeberangan dan transit. Tempat inimerupakan tempat test dan pengujian bagi musafir (Eck 1981:335).

Dengan mendapatkan arti kata tîrtha yang bermacam-macam,kita mulai pembahasan perjalanan Surajaya mulai dari kota raja.Surajaya keluar dari kota raja (lihat pada sub C). Kota raja tadinyaadalah tempat yang nyaman bagi Surajaya. Disana ia tinggal dengankedua orang tuanya. Karena alasan tertentu Surajaya meninggalkankota raja. Tempat yang pertama kali dituju adalah hutanpegunungan. Seperti dikatakan Eck di atas bahwa hutan adalahjuga tempat penyeberangan, juga ambang pintu, tengah-tengahmaka kepergian Surajaya sampai di hutan adalah tempat pintukeluar Surajaya dari “dunia” Wilatikta/ Majapahit ke dunia lainyang sangat berbeda dari keadaan semula. Dengan masuknyaSurajaya ke hutan, Surajaya sudah menyeberang ke satupenyeberangan- bila dilihat pada pendapat Eck di atas. Perjalananatau penyeberangan pertama Surajaya merupakan proses untuk“mendarat” di tempat lain. Para Ajar yang ditemui Surajayamerupakan tîrtha (guru) bagi Surajaya. Para Ajar itu sekaligus tempatnaik dan turun (tangga) di sungai/ pemandian suci. Dalam hal inipemandian suci (tîrtha) tersebut juga ada pada para Ajar yaitu berupa

Page 90: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

90

Kartika Setyawati

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

nasehat yang diberikan pada Surajaya. Ketika Surajaya “bertolak”dari satu Ajar (bc: tîrtha) ke Ajar (bc: tîrtha) yang lain, Surajaya sudah“mandi” di pemandian suci (nasehat para Ajar). Demikianseterusnya sampai beberapa Ajar yang ditemui Surajaya. Bilamengacu pendapat Eck (1981:341) tîrtha dapat pula berartimenyeberang dari kebodohan (batin/ pikiran) menuju kekepandaian (batin/pikiran) maka kiranya sesuai dengan yangdialami Surajaya. Pada pupuh VI akhirnya Surajaya mampuberdebat dan mengalahkan Rujaksela. Surajaya yang mula-mula(pada pupuh I) mengalami kegelapan pikiran (itulah alasan dia pergi)menjadi Surajaya yang tercerahkan pikirannya sehingga mampumemberi keterangan yang memuaskan pada Rujaksela; keteranganSurajaya ini juga mencerahkan pikiran Rujaksela. SehinggaSurajaya yang dahulunya harus “menyeberang” kini menjadi tîrtha‘tempat penyeberangan’ yang mencerahkan bagi Rujaksela. Daribukti ini barangkali dapat dikatakan bahwa setiap tîrtha ‘tempatpenyeberangan’ (bc: Ajar) yang dilalui/ ditemui Surajayamenghantar Surajaya ke tempat yang lebih tinggi, yang padaakhirnya (di pupuh VII) Surajaya dapat berjumpa dengan SangHyang Suksma. Sang Hyang Suksma menjadi “tempatpenyeberangan” atau “tangga” tîrtha terakhir bagi Surajaya untukmelakukan peziarahannya yaitu moksa. Dalam SvetâœvataraUpaniºad 6.19 (via Elide 1987:310) dikatakan bahwa Tuhan sendiridisebut jembatan tertinggi menuju keabadian. Setelah moksaSurajaya sebagai tîrthayâtrâ ‘peziarah’pun berhenti. Hal ini sepertiyang dikatakan Anand (1997:679) bahwa hanya melalui kematian,orang berhenti menjadi peziarah (sebagai tîrthayâtrâ).

Pupuh I- VI merupakan peziarahan lahiriah Surajaya. Dari tekspembacaan pertama memang sepanjang pupuh tersebutmenceritakan perjalanan Surajaya dari satu Ajar (tîrtha) ke Ajar(tîrtha) yang lain. Dikatakan dalam pupuh V.46 semua “laku” sudahdijalani, semua guru Siwa Bodha sudah didatangi; tetapi Surajayabelum menemukan yang dicarinya. Isi nasehat dari para Ajar yangada pada pupuh I-VI mencakup penguasaan raga, penyadaran pikiranbahwa manusia itu makhluk lemah, orang harus waspada padapikirannya dan keinginan badan. Surajaya gagal mencari SangHyang Hayu karena Surajaya “mencarinya” dan mencari diluar

Page 91: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

91

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

dirinya; padahal Sang Hyang Hayu ada di badan Surajaya sendiri.Di Sunyagati (pupuh VII) Surajaya berhenti sebagai tiîrthayâtrâsecara lahiriah karena dalam kenyataannya Surajaya tidak lagiberkelana dari satu tempat ke tempat lain.

Ketika bertapa Surajaya menjalani laku mati raga. Segalamacam mati raga dijalani, seperti ngrowot (makan buah-buahansaja), mutih, berendam dalam air, mengubur diri, tidur beratapkanlangit ( pupuh VII.16), Surajaya mengusahakan kematian. Laku tapayang dilakukan ketika samadi adalah membakar kayu baker dandupa, tidak makan tidak tidur. Dengan cara ini segala nafsu badanSurajaya keluar, terbang ke angkasa. Dengan demikian ragaSurajaya sepertinya kosong. Dengan keadaan raga Surajaya yangdemikian, Sang Hyang Suksma baru dapat menemui Surajaya(pupuh VII.25), memberi nasehat. Kedatangan Sang Hyang Suksmamerupakan tîrtha (tempat penyeberangan) bagi Surajaya untukmelakukan peziarahan berikutnya. Setelah bertemu dengan SangHyang Suksma, Surajaya diberi nama Hantakarana. KataHantakarana (bc antahkarana) mempunyai arti: bagian tubuh yangterdalam, pusat pikiran dan perasaan (Zoetmulder 1994:41, MonierWilliams 1988: 43). Nama ini masih bisa dibaca dengan pembacaankedua dengan menafsirkannya baik dari nama itu sendiri maupunhubungannya dengan nama Tejasari dan Ragasamaya. Namun halini tidak dilakukan dalam penelitian kali ini. Dengan petunjuk SangHyang Suksma, Surajaya melakukan peziarahan batin (raganya diamdi Sunyagati) dengan segala daya. Surajaya kini bahkan menjaditîrtha (pembimbing) bagi Ragasamaya dalam peziarahan batin ini.Surajaya dan Ragasamaya mengupayakan kalepasan. Surajayadengan cepat melepas raganya, sukmanya melesat mengangkasa.Ragasamaya gagal melakukannya karena masih ada rasa cinta padasanak saudaranya yang melekat, bingung dan hal-hal lain yangdiperhatikan Ragasamaya (pupuh VII.67). Itulah sebabnyaRagasamaya merasa ada beban yang membebani ketika harusmelepas raganya (pupuh VII.68).

Page 92: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

92

Kartika Setyawati

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

E. PENUTUPMestinya setiap orang pun adalah peziarah tîrthayâtrâ.

Tîrthayâtrâ yang mula-mula dilakukan setiap orang adalah keluardari rahim ibu. Perut ibu adalah tempat yang sangat nyaman. Hanyadengan meninggalkan tempat tersebut orang dapat tumbuh (Anand1997:671). Tentunya diharapkan setiap juga menjadi tîrtha ‘tempatpenyeberangan’ bagi orang lain, memberi pencerahan bagi orang;bukannya malah menjadi penghalang bagi orang lain. Denganmenjadi tîrtha bagi orang lain sama dengan menghantar orangtersebut mencapai pencerahan baik pikiran maupun batin, menujuke tempat yang lebih tinggi yang akhirnya mencapai moksa. Bilakalimat terakhir ini dijabarkan dalam konteks kehidupan sehari-hari bisa dikatakan bahwa dengan menghantar orang lain menujukeberhasilan, si penghantar sudah menjadi orang yang “berhasil”.Dia sendiri melakukan tîrthayâtrâ ‘peziarahan’ dan menjadi tîrtha‘tempat penyeberangan’ bagi orang lain. Hal ini seperti yangdilakukan Surajaya yang mula-mula melakukan tîrthayâtrâ ‘berziarah’kemudian menjadi tîrtha ‘tempat pencerahan’, ‘guru’, pembimbing’bagi Rujaksela dan Ragasamaya.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, Subhash, 1997. “Tirthayatra Life as a Sacred Journey” dalamWidyajyoti. Journal of Theolocal Reflection vol. LXI Okt no10.

Eck, Diana.L, 1981. “India’s Tirthas: Crossing in Sacred Geography”,dalam History of Religions. Vol 20 no. 4, May 1981.

Eliade, Mircea (ed), 1987. The Encyclopedia of Religion. Vol 2. London:Macmillan Publishing Company.

Kartika Setyawati, I. Kuntara Wiryamartana, W. van der Molen,2002. Katalog Naskah Merapi-Merbabu Perpustakaan NasionalRepublik Indonesia. Yogyakarta, Leiden: Universitas Sanata

Page 93: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

93

KIDUNG SURAJAYA (Surajaya sebagai tîrthayâtrâ)

Jumantara Edisi 01 Tahun 2010

Dharma, Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië enOceanië.

Kuntara Wiryamartana, I, 1978. “The Scriptorium in TheMerbabu_Merapi Area”. BKI no 149, vol 3.

Kuntara Wiryamartana, I dan W van der Molen. 2001. The Merapi-Merbabu Manuscripts. A neglected Collection”. BKI no. 157vol 1.

Macdonel, Arthur Anthony, 1979. A Practical Sanskrit Dictionarywith Transliteration, Accentuation and Etymological AnalysisThroughout. Great Britain: Oxford University Press.

Monier Williams, Sir Monier, 1988. A Sanskrit-English Dictionary.Delhi: Motilal Banarsidas.

Vaman Shivaram Apte. 2003. The Practical Sanskrit_EnglishDictionary. Delhi: Motilal Banarsidas.

Noorduyn, J, 1982. “Bujangga Manik’s Journeys Through Java:Topographical data from an Old Sundanese Source” BKI138:413-442.

Riffaterre, Michael, 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington &London: Indiana University Press.

Page 94: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

94 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

ANUNG TEDJOWIRAWAN Jurusan Sastra Nusantara Program Studi Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DI DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA KARYA PUJANGGA R.NG. RANGGAWARSITA

(Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

ABSTRAK

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita dari kerajaan Surakarta sekitar tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala merupakan dua buah buku yang menjadi satu. Keduanya disusun berdasarkan sumber kitab Musarar yang berasal dari Rum.

Sĕrat Ajidarma menceritakan ketika pertama kali Jaka Sangkala menginjakkan kakinya di tanah Jawa, tepatnya di gunung Kendheng. Di sini ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, diantaranya: Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Adapun Sĕrat Ajinirmala menceritakan sewaktu Jaka Sangkala (Ajisaka) membuka daerah di gunung Alaulu. Di sini ia mendapatkan pelajaran dari para dewa, diantaranya: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya.

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah sebuah kitab yang berisikan ilmu pengetahuan suci, penuh petunjuk dharma, agar manusia dapat membentengi dirinya sehingga selamat dan terbebas dari

Page 95: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

95Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

pengaruh perbuatan jahat. Srat ini juga mencoba menerangkanasal-usul manusia yang pertama kali mendiami Pulau Jawa sertamenggambarkan peristiwa-peristiwa menggetarkan yang dialamimereka di awal kehidupannya di pulau ini. Selain itu, dalam sratini juga diungkapkan nama-nama hari, tahun, windu Jawa dan winduArab.Kata Kunci: Ajisaka – Dewasisya – Srat Ajidarma-Ajinirmala –Pujangga R. Ng. Ranggawarsita – Kolonisasi Pulau Jawa

PENGANTARAjisaka (Isak, Prabu Isaka, Resi Isake, Sri Maharaja Wisaka,

Tupangku Mudikbatara, Sri Sultan Kusumaji, Jaka Sangkala, MpuSangkala, Sangka Adi) adalah pahlawan kebudayaan (culture hero)bagi masyarakat Jawa. Tokoh Ajisaka menduduki tempat utama,terbukti naratif tokoh spiritual tersebut terekam di dalam sejumlahkitab, antara lain: Srat Manikmaya, Srat Paramayoga, Srat Pustakaraja(Srat Purwapada, Srat Sri Saddhana, Srat Witaradya), Srat JangkaJayabaya, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, SratAjidarma-Ajinirmala, Babad Prambanan dan Srat Kalamwadi. Disamping itu, tokoh Ajisaka juga terdapat di dalam Babad Ajisaka(Naskah Tepas Kapujanggan Kraton No. A-17), Srat Ajisaka (NaskahPanti Budaya Ngayogyakarta No. PB-A-36), Srat Momana (NaskahPanti Budaya Ngayogyakarta No. PB-C-172), dan Srat Ajisaka (J. Kats,1953 dalam Subalidinata, 1994: 2).

Kehadiran tokoh kebudayaan dan spiritual Ajisaka selaludikaitkan dengan kolonisasi (pengisian) pulau Jawa maupunterciptanya huruf Jawa. Jika mendasarkan diri pada srat- srat di atas,maka yang berisikan cerita mengenai kolonisasi atas pulau Jawaadalah Srat Purwapada (dalam kelompok Srat Mahaparwa, bagianSrat Pustakaraja Purwa), Srat Ajidarma-Ajinirmala, Serat JangkaJayabaya maupun Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya.Adapun yang menceritakan tentang terciptanya huruf Jawa antaralain Srat Ajisaka, Babad Prambanan serta berbagai legenda yang hidupdi dalam masyarakat daerah Tengger maupun Pulau Bawean (PulauMajeti).

Cerita mengenai kolonisasi pulau Jawa dalam Srat Ajidarma-Ajinirmala dan perbandingannya dengan cerita kolonisasi pulau Jawa

Page 96: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

96

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

b

jy

p

yang terdapat di dalam Sĕrat Purwapada, Sĕrat Jangka Jayabaya maupun Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya akan diuraikan tersendiri pada bab bagian belakang. Dalam hal terciptanya huruf Jawa sebenarnya sudah ada buku berbahasa Belanda berjudul Javaans Schrift tulisan Van der Mollen (1993). Dalam buku tersebut dikemukakan bahwa aksara Jawa yang berjumlah 20 dengan urutan Ha-Na-Ca-Ra-Ka dan seterusnya tersebut dikelompokkan lima-lima sehingga menjadi syair empat larik, yang memuat tradisi dipakai oleh Ajisaka untuk mengajarkan aksara Jawa di tanah Jawa. Syair itu memuat kisah tragis kedua hamba Ajisaka yang saling berbeda pendapat sampai keduanya kehilangan nyawa (Wiryamartana, 1994: 1-2). Namun kapan mulai timbulnya abjad Ha-Na-Ca-Ra-Ka masih sulit dijawab, mungkin setelah kerajaan Majapahit (abad XVI-XVII). Abjad Ha-Na-Ca-Ra-Ka itu terkait dengan pengertian falsafah Jawa yang menarik, merakyat dan mudah dihafalkan. Penggunaan Ha-Na-Ca-Ra-Ka mungkin pada awalnya juga berhubungan dengan pengertian bijāksāra (the mistical character) yaitu huruf yang mengandung kekuatan gaib. Bijāksāra atau mantra gaib tersebut kerap kali ditulis di atas lembaran kertas perak (rājata-pattra) dan emas (suwarna-pattra) yang tergulung disimpan di dalam pripih batu di dalam sumuran candi (Atmodjo, 1994 dalam Permanasari, 2008: 1-2).

Jika mendasarkan diri pada Sĕrat Pustakaraja maka dapat dikatakan bahwa Ajisaka, sebagai "pertapa pengembara" pergi ke tanah Jawa paling tidak sebanyak tiga (3) kali. Pertama, kedata-

ngan Ajisaka ke tanah Jawa seperti yang dilukiskan di dalam Sĕrat Purwapada (dalam kelompok Sĕrat Mahaparwa bagian Sĕrat Pustakaraja Purwa). Dalam Sĕrat Purwapada dikemukakan waktu pertama kali Ajisaka menginjakkan kaki di pulau Jawa memenuhi perintah ayahnya yaitu Bathara Anggajali. Di pulau Jawa (pulau yang panjang dan ditumbuhi tumbuhan jawawut) yang masih sunyi, Ajisaka (Jaka Sangkala) melakukan tapa brata sehingga mendapat berbagai pelajaran dari para dewa, yaitu dari Bathari Sri, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, dan Sang Hyang Guru. Cerita selanjutnya mengenai kolonisasi pulau Jawa atas perintah raja Rum, sebagaimana juga dikemukakan didalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala yang dipaparkan di bagian belakang (tulisan ini).

Yang kedua, kedatangan Ajisaka ke Jawa seperti yang dikemukakan di dalam Sĕrat Cingkaradéwa (Sĕrat Sri Saddhana). Di

Page 97: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

97

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

sini Ajisaka sebagai Brahmana Wisaka ke Kerajaan Purwacarita pada masa pemerintahan Sri Maharaja Purwacandra (Prabu Cingkaradewa), yang bertepatan tahun 497 Suryasangkala (Rĕsi-trustha-karya-boma) atau 512 Candrasangkala (Panĕmbahing-janma-tumata) sampai tahun 500 Suryasangkala (Boma-muksa-margèng-wiyat) atau tahun 515 Candrasangkala (Gumuling-kisma-marganing-muksa). Pada waktu itu Brahmana Wisaka dari tanah Hindhi atau Hindhustan tersebut menyebarkan pelajaran huruf Dewa Nagari dan bahasa Sanskerta (Sangskrita). Bagawan Wisaka juga membantu Dhanghyang Salikoswa untuk menyertai anaknya menghadap Sri Maharaja Purwacandra. Pada waktu itu Bagawan Wisaka berdebat tentang tebak-tebakan menghitung (matematika) melawan Sri Maharaja Purwacandra beserta adik-adiknya yaitu Raja Tanggara dan Raja Patanggara. Sri Maharaja Purwacandra dan kedua adiknya dapat dikalahkan dan karena merasa malu maka mereka kemudian muksa. Brahmana Wisaka akhirnya menggantikan kedudukan Sri Maharaja Purwacandra menjadi raja bergelar Sri Maharaja Wisaka. Pada waktu itu banyak yang berguru kepada Sang Brahmana, mereka antara lain: Prabu Bramasatapa (Gilingwesi), Prabu Sri Mahawan (Purwacarita), Prabu Basupati (Wiratha). Ketiga raja tersebut

diberi pelajaran tentang huruf Dewa Nagari dan bahasa Sanskerta, di samping Aji Jayakawijayan, guna kasantikan, rahsaning ngèlmi kamuksan panitisan panjing sĕraping pĕjah (ilmu tentang kematian dan penitisan), di samping ilmu tentang tata pemerintahan negara (misalnya: anata, aniti, apariksa, amisésa; sama-bédha-dana-dhĕndha; among, amot, amĕngku, amamangkat, bèrbudi bawa lĕksana). Sri Maharaja Wisaka juga mengajarkan tentang pendirian Kabuyutan dan diberinya nama Ajisrama dan Raja Weddha. Setelah Sri Maharaja Wisaka mengundurkan diri dan menobatkan putra angkatnya yaitu Raden Wandana (putra Prabu Sri Mahawan) menjadi raja di Purwacarita bergelar Prabu Sri Hawan. Bagawan Wisaka kemudian meneruskan perjalanannya menjelajahi desa dan negara untuk mengajarkan bahasa Sanskerta (Ranggawarsita, 1938 dalam Kamajaya, 1994: 144-152).

Yang ketiga, kedatangan Ajisaka dan keempat saudaranya di Lampung (Sumatra) pada tahun 952 Suryasangkala atau 1002 Candrasangkala seperti dikemukakan di dalam Sĕrat Witaradya III. Di dalam Babad Prambanan kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sri Sultan Kusumaji) dari Bani Israel ke Medhangkamulan untuk menghen-

Page 98: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

98

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

tikan kebiadaban dan kelaliman Prabu Dewatacengkar atas rakyatnya terjadi pada tahun 1050. Di dalam Babad Prambanan secara garis besar ceritanya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Brandes maupun Bhikkhu Dhammasubho Mahathera maupun yang tersebar di masyarakat luas.

Jika kita mengkaitkan antara sewaktu kedatangan Ajisaka untuk pertama kali menginjakkan kaki di pulau Jawa dengan sewaktu Ajisaka melawan Dewatacengkar, maka hal itu terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang, sekitar 1.000 tahun. Karena itu apabila kita mengikuti alam pikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita tentang kedatangan Ajisaka ke Pulau Jawa yang sampai 3 kali seperti diuraikan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa pada kedatangan Ajisaka yang ketigalah ia mengalahkan Dewatacengkar. Hal ini dapat dipahami jika kita cermati apa

yang diuraikan di dalam Sĕrat Purwapada yang menjelaskan bahwa usia Ajisaka lebih dari 1.000 tahun, karena tokoh tersebut telah minum air amerta (air hidup) sebagaimana para dewa.

MITOLOGI AJISAKA DAN DEWATACENGKAR

Siapakah sebenarnya Ajisaka? Sehingga masyarakat Jawa sangat menghormati tokoh mitologis tersebut. Di dalam Sĕrat Paramayoga maupun Sĕrat Purwapada karya R. Ng. Ranggawarsita dijelaskan bahwa Ajisaka (Prabu Isaka) adalah raja Kerajaan Surati (Hindhustan). Ia adalah putra Prabu Isawaka (Bathara Anggajali). Bathara Anggajali adalah putra Bathara Ramayaddhi, cucu Sang Hyang Rama Prawa, cicit Sang Hyang Hening (saudara kandung Sang Hyang Jagatnata atau Bathara Guru) (Ranggawarsita, 1938; Ali, 2008: 233). Dari garis ibu dapat dikatakan bahwa Ajisaka adalah putra Dewi Sakha (putri Prabu Sarkil dari kerajaan Najran, Turki, keturunan Nabi Ismail). Menurut Ali, dari garis silsilah patrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Arya, sedangkan dari garis silsilah matrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Semit. Dengan demikian berdasarkan garis matrilineal Ajisaka (Jaka Sangkala) secara langsung nazabnya bersambung kepada Nabi Ismail, tokoh historis bangsa Arab, dari kultur Semit (Ali, 2008: 233).

Menurut Bhikkhu Dhammasubho Mahathera bahwa suku Sakya semula dikenal sebagai bangsa Arya, Indo-Jerman. Suku Sakya telah berperadaban, telah mengenal sastra, budaya, birokrasi dan spiritual. Suku Sakya adalah satu suku dengan Sakyamuni Siddharta Gotama,

Page 99: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

99

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pendiri agama Buddha. Jadi orang-orang suku Sakya adalah pengikut Siddharta Gotama, pengikut agama Buddha. Orang-orang suku Sakya yang mengikuti kelompok berlayar (kloyar) ke Nusantara mendarat di pesisir pantai utara Pulau Jawa dan diperkirakan tahun 78 M. Oleh orang-orang suku Sakya saat pendaratan mereka kemudian dikenang dan ditetapkan sebagai nama tahun yaitu tahun Çaka. Suku Sakya selain menetapkan nama tahun Çaka juga membuat

kamus dan menyusun bahasa dari bahasa Pali turun ke bahasa Dewa Nagari, kemudian digubah dan dikembangkan ke dalam Bahasa Jawa menjadi huruf Pallawa (Pali-Jawa). Selanjutnya turun menjadi bahasa Kawi (Jawa Kuno), kemudian menjadi dua puluh (20) alfabet/ huruf pasif (ho – no – co – ro – ko // do – to – so – wo – lo // po – dho – jo – yo – nyo // mo – go – bo – tho – ngo), dan delapan (8) huruf hidup yaitu pĕpĕt, pĕlik, taling, taling-tarung, layar, cokro, suku, dan pangku (Mahathera, 2009: 218-228). Dalam sejarah Jawa Kuno peradaban Nusantara dibangun oleh orang-orang Sakya pengikut Siddharta Gotama, beragama Buddha. Di dalam versi Jawa Baru suku Sakya dikenalkan sebagai Sang Ajisaka murid setia Nabi Muhammad SAW dan beragama Muslim. Kedatangan Sang Ajisaka diundang oleh penguasa Tanah Jawa Syehk Subakir, untuk menaklukkan Prabu Dewatacengkar, Raja Jawa yang berwajah sangar yang bertahta di puncak Gunung Tidar (Mahathera, 2009: 229-230). Yang membingungkan bahwa Ajisaka diposisikan sebagai murid Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalau difikir secara rasional bagaimana mungkin Ajisaka (orang suku Sakya), murid Sakyamuni pendiri agama Buddha seribu tahun sebelumnya menjadi murid Nabi Muhammad SAW pendiri agama Muslim seribu tahun sesudahnya. Oleh karena itu kisah Dewatacengkar lebih merupakan sindiran hegemoni yang dialamatkan kepada para pemimpin, bangsa atau para pejabat tinggi negara atau rakyat jelata pada waktu itu yang mempunyai sifat-sifat seperti Dewatacengkar.

Dalam Sĕrat Witaradya III dikemukakan bahwa pada tahun 952 (Suryasangkala) atau tahun 1002 (Candrasĕngkala) di daerah Lampung (Sumatra), ada seorang Hindu bertahta bergelar Ajisaka. Setelah ia menyerahkan tahtanya kepada Bahlawan, Ajisaka bersama saudara-saudaranya yaitu Bagenda Bratandang, Bagenda Braradya, Bagenda Brarunting dan Cetakasandi mengembara menuju Banten. Di sana Ajisaka berganti nama menjadi Tupangku Mudikbatara dan menjadi guru yang mengajarkan ilmu sastra, ilmu pengetahuan dan kesem-

Page 100: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

100

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

purnaan. Dengan kebijaksanaannya Tupangku Mudikbatara dapat mendamaikan Bagenda Pakungpati, Bagenda Mangkarapati, dan Bagenda Manglapati, ketiga bersaudara yang berebut kekuasaan di Pakuan. Para raja yang menjadi murid Tupangku Mudikbatara kemudian menyerang kerajaan Galuh. Dalam pertempuran yang dahsyat antara Tupangku Mudikbatara melawan Sri Sindhula, Tupangku Mudikbatara bersama keempat saudaranya terdesak dan meninggalkan medan peperangan. Namun Tupangku Mudikbatara kemudian memakai namanya kembali sebagai Ajisaka dan bersama keempat saudara serta ketujuh muridnya masuk kembali ke kerajaan Galuh untuk membunuh Sri Sindhula. Namun tiba-tiba terdengar suara yang memperingatkan: "Hai Isaka, jangan engkau teruskan niatmu yang jahat itu. Ketahuilah bahwa Sri Sindhula itu benar-benar dewata, yang turun ke dunia atas perintahku. Teruskan saja pekerjaanmu menjadi guru, kelak engkau pasti menjadi raja menggantikan Sindhula." (Sudibjo, 1979: 25-27).

Dikemukakan lebih lanjut dalam Sĕrat Witaradya III bahwa pada suatu hari Dewatacengkar (putra raja Sindhula) makan sayuran yang tercampur irisan daging, sehingga rasanya menjadi enak. Karena itu Dewatacengkar ingin selalu dibuatkan masakan yang dicampur dengan daging manusia. Sri Sindhula yang kemudian tahu kebiasaan Dewatacengkar menjadi malu sehingga Dewatacengkar diusir dari Galuh. Dewatacengkar sekeluarga kemudian pergi ke arah barat dan menetap di Medhangkamulan.

Adapun cerita Ajisaka yang dikenal di masyarakat luas adalah cerita yang meriwayatkan seorang pahlawan muda dari negeri asing (India) di bawah pemerintahan seorang raja yang suka makan daging manusia. Ajisaka kemudian menawarkan dirinya untuk di makan Sang Raja, akan tetapi dengan syarat, bahwa sebagai gantinya ia akan dapat menerima sebidang tanah seluas destarnya. Si pemakan daging manusia itu menerima dengan senang hati persyaratan itu. Akan tetapi segera ia melihat dengan terkejut, bahwa destar Ajisaka itu makin lama menjadi makin lebar dan akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaannya. Sang Raja menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri serta menyerahkan kekuasaannya kepada Ajisaka (Berg, 1974: 97).

Tidak lama kemudian Ajisaka (raja baru itu) mengutus salah seorang hambanya untuk mengambil sebuah senjata, yang sebelumnya telah ia titipkan kepada seorang hamba yang lain dengan perintah yang tegas janganlah senjata itu diserahkan kepada orang

Page 101: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

101

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

lain, kecuali Ajisaka sendiri. Dua perintah yang saling bertentangan tersebut menimbulkan perkelahian di antara kedua hambanya itu, dan dalam perkelahian itu kedua-duanya tewas. Ketika Ajisaka diberitahu akan peristiwa tersebut, ia mengucapkan kata-kata yang diingat orang sebagai berikut:

Ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga Yang berarti: ada abdi-abdi yang terlibat dalam perkelahian, dan yang telah menemui ajalnya, oleh karena mereka sama kuatnya.

Semenjak saat itu bangsa Jawa telah menyusun konsonan abjadnya menurut urutan kata-kata dalam kalimat yang diberikan Ajisaka: h n c r k d t s w l p dh j y ny m g b th ng.

Dalam hal ini, Brandes dengan meyakinkan menyatakan bahwa cerita tersebut dalam bentuk legenda memberitahukan sebuah fakta tentang masuknya peradaban Hindu di tanah Jawa. Saka adalah perubahan dalam bahasa Jawa dari kata Sansekerta Syaka, yang di India artinya “Bangsa Scyth”, tetapi yang di Jawa, kebanyakan dalam bentuk kata majemuk syakakala, yang sudah dikenal lebih dahulu dalam arti lain, yakni tarikh yang dilazimkan di India dalam tahun 78 M. Ajisaka ‘raja Syaka’ harus dipandang sebagai orang yang memperkenalkan tarikh ini di Jawa. Dengan kata lain, yaitu sebagai orang yang hidup pada permulaan zaman peradaban, yang telah mengakhiri zaman biadab, dan yang telah menyebarkan pengetahuan tentang menulis dan membaca sebagai dasar perkembangan kebudayaan. Dua hamba yang saling membunuh dalam cerita tersebut ber-

nama Dora yang diartikan ‘dusta’ dan Sĕmbada ‘tak sesuai dengan kebenaran’, dan patih-patih Ajisaka memakai nama kitab undang-undang Jawa. Hal ini diartikan bahwa Ajisakalah yang memusnahkan hal-hal yang dusta dan yang bertentangan dengan kebenaran dari zaman kanibal (orang yang makan daging manusia = biadab), dan yang memasukkan hukum suci dari agama Hindu (Berg, 1974: 97-98).

Dua hamba Ajisaka di atas dalam legenda (cerita rakyat) di daerah Tosari dan Ngadisari, Tengger bernama Setya dan Satuhu. Peristiwa menyedihkan dua hamba Ajisaka yakni: Setya dan Satuhu yang saling membunuh karena keduanya saling memegang teguh perintah Ajisaka tersebut kemudian oleh masyarakat Tengger diabadikan dalam upacara/ perayaan Karo. Perayaan Karo tersebut

Page 102: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

102

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

diadakan sekali setahun, satu bulan sesudah upacara Kasodo (Wijayanti, 1984: 19-20).

Dalam legenda Bawean, tokoh pembantu Ajisaka yang dihormati adalah Dora dan Sembada. Dua tokoh ini adalah dua pembantu Ajisaka yang terlibat dalam perkelahian maut antara keduanya yang dipicu oleh perintah kontroversial Sang Aji. Penghormatan rakyat Bawean terhadap kedua pembantu Ajisaka tersebut nampak dari cara rakyat Bawean memakamkan jenazahnya. Kuburan Dora berukuran panjang 11,5 meter sedangkan kuburan Sembada berukuran panjang 9,5 meter (Usman, 1992 dalam Soedjijono, 2008: 85). Kuburan Dora dan Sembada dijaga dan dirawat dengan baik, mengisyaratkan sikap masyarakat Bawean yang menghormati kedua tokoh pembantu Ajisaka tersebut. Namun, dalam legenda Ajisaka di Jawa tidak dikisahkan kuburan tokoh Dora dan Sembada.

Jika mencermati pendapat Brandes, maka sudah selayaknya diajukan pertanyaan. Apakah betul pada masa pemerintahan tokoh mitologis Dewatacengkar keadaan masyarakat Jawa belum mengenal peradaban dan masih bodoh? Sebab apabila mengikuti alam pemikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita terutama yang diuraikan dalam Sĕrat Witaradya III maupun Babad Prambanan maka kedatangan Ajisaka (Resi Isake, Sultan

Kusumaji) dari Bani Israel ke Medhangkamulan untuk menghentikan kebiadaban Prabu Dewatacengkar itu terjadi pada tahun 1050. Pada tahun tersebut menurut Sĕrat Pranitiradya dan Jangka Tanah Jawa masuk dalam jaman Kalapraniti. Sebelum jaman Kalapraniti yaitu jaman Kala Dwara (pintu) dapat dikatakan sudah banyak orang Jawa yang dapat membuka pintu kegaiban, seperti membuat ramalan-ramalan atau jangka. Pada jaman Kala Dwara itulah lahirnya Ramalan Jayabaya (Any Asmara, 1979: 86). Setelah jaman Kala Dwara dilanjutkan jaman Kala Dwapara (keajaiban). Di waktu itu terjadi hal-hal di luar akal manusia. Karena pada jaman itulah Ratu Baka hidup dan diperkirakan berdirinya Candi Prambanan. Dengan demikian sebelum Prabu Dewatacengkar menguasai Mendhangkamulan maka di tanah Jawa sudah banyak orang-orang pandai. Oleh karena itu bagaimana mungkin dikatakan bahwa orang Jawa pada waktu itu biadab (Dewatacengkar), sehingga perlu diganti menjadi beradab setelah kedatangan Ajisaka (Resi Sake).

Page 103: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

103

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Siapakah sebenarnya Dewatacengkar, sehingga ia digambarkan suka makan daging manusia? Di dalam Babad Prambanan dijelaskan bahwa Prabu Watugunung di Gilingwesi berputra Sindhulacala. Raden Sindhulacala berputra Raden Sindhula yang kemudian kawin dengan Dewi Nagawati (putri pamannya) Sang Hyang Nagatmala. Dari perkawinan tersebut mereka berputra: Dewi Tembini, Raden Dewatacengkar, Raden Pamunah, dan Raden Dewa Parunggu (Sugiarti dan Aditrijono, dkk., 1981: 38). Dalam Sĕrat Witaradya III, Sang Hyang Sindhula berputra: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung, dan Dewatapa. Setelah berumur 563 tahun Resi Sindhula pulang ke Jawa untuk bertapa di Gunung Segaluh. Beberapa ratus tahun kemudian, ketika terjadi peperangan antara kerajaan Pengging melawan Prambanan maka Raden Bandung Bandawasa (cucu raja Pengging) bertempur melawan Prabu Baka. Pertempuran yang sangat dahsyat tersebut berlangsung selama 3 hari, sampai akhirnya Prabu Baka tewas. Rohnya bercahaya dan melesat ke arah barat laut (Galuh) dan menjelma

ke dalam raga Dewatacengkar (Sudibjo, 1979: 37). Mengapa diceritakan bahwa Dewatacengkar suka makan daging manusia? Hal ini disebabkan bahwa dahulu kala Sang Hyang Sindhula (putra Sri Watugunung) yang telah menjadi dewa, pada suatu hari menghina Bathara Wisnu dengan menyatakan bahwa sewaktu bertugas menjaga ketentraman dunia, sebelum dunia menjadi tentram, maka Bathara Wisnu sudah kembali ke kahyangan. Padahal pada waktu itu masih ada seorang raja yang suka makan daging manusia. Bathara Wisnu sangat malu dan sakit hati sehingga ia memuja agar Sang Hyang Sindhula diturunkan ke dunia dan ia pun akan mendapat malu karena salah seorang anaknya akan menjadi pemakan daging manusia. Permohonan Wisnu terkabul sehingga Sang Hyang Sindhula bersama istri dan keempat anaknya, yaitu: Retno Dewati, Dewatacengkar, Dewatagung dan Dewatapa, semua turun ke dunia dan mereka bertempat tinggal di pulau Pawinihan (Sudibjo, 1979: 11-12). Kemudian atas laporan Datukbrama, Sang Hyang Sindhula menuju Galuh dan membangun kembali kerajaan Galuh. Ia akhirnya menaklukkan daerah-daerah sekitarnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Dewatacengkarlah yang harus menanggung akibat dari kutuk Bathara Wisnu kepada ayahnya yaitu Sang Hyang Sindhula.

Page 104: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

104

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA SEBAGAI KARYA SUFISME

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala yang dipakai sebagai bahan utama tulisan ini adalah naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala koleksi perpustakaan Radyapustaka Surakarta. Naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala berbentuk prosa. Kalimat teks Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adakalanya disusun secara panjang lebar, hanya ditandai dengan jeda bilamana perlu, sehingga nampaknya seperti karya bertembang (puisi). Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala disusun dengan menggunakan bahasa Jawa Baru ragam campuran, yakni ragam bahasa Jawa krama dan ragam bahasa

Jawa ngoko, selain itu juga bahasa khusus yang sering diucapkan oleh para dewa dalam pewayangan.

Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala ini, ragam bahasa Jawa krama yang dipakai lebih mengarah ke bahasa Jawa krama inggil. Dalam hal ini, ragam bahasa Jawa krama yang dipakai sebagai sarana penceritaan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala secara keseluruhan, di samping dipergunakan dalam dialog singkat antara Jaka Sangkala (Ajisaka) dengan dewa (Sang Hyang) Wisnu. Ragam bahasa Jawa ngoko dipergunakan para dewa untuk menguraikan isi pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala. Adapun ragam bahasa khusus khas dewa yang sering diucapkan para dewa sebelum mereka memberikan pelajaran gaibnya kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) tersebut bunyinya antara lain: Yang yang ning jatining atunggal … (halaman 3); Yang yang ning jatining suksma kawĕkas … (halaman 4); Unadining Hyang Jagat Wisésa, kawasa amrawasa sésining buwono… (halaman 5); Yang yang ning dhah mrĕgĕng ning kahĕnĕnganingsun … (halaman 6); maupun U ilahĕning kahĕnĕnganingsun sĕjati, tĕtĕp maté ping kaharĕpaningsun … (halaman 7). Contoh bahasa khusus khas dewa tersebut masih banyak dijumpai pada halaman 8, 13, 32, 33, 35, 37, dan 44.

Naskah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebenarnya terdiri atas dua buah sĕrat. Pertama Sĕrat Ajidarma yang dimulai dari halaman 1 sampai 30, dan Sĕrat Ajinirmala yang dimulai dari halaman 31 sampai 56. Kedua serat tersebut menyatu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Sĕrat Ajinirmala sebenarnya merupakan kelanjutan dari Sĕrat Ajidarma.

Para peneliti kesastraan Jawa, antara lain: Kamajaya (1964: 196); Suripan Sadi Hutama (Any, 1980: 72); Andjar Any (1980: 114);

Page 105: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

105

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Darusuprapta (1981) maupun Haryana Harjawiyana (1984: 142) menempatkan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita. Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala penulis dan saat penulisannya pun tidak dikemukakan. Sĕrat Ajidarma hanya menerangkan demikian:

Punika pratélanipun Sĕrat Ajidarma, pipiridan saking Kitab Musarar, babon saking Rum, anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala, babad ing Ngardi Kĕndhĕng, inggih punika Ajisaka ngancik tanah Jawi ingkang wiwitan. Kala semantĕn sinangkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, warsa Sambrama, manawi kapirid saking panĕngraning sangkala punika tahun sèwu, sarĕng kapirid saking wiwitan inggih dados tahun satunggal (halaman 1).

Terjemahan:

Inilah keterangan Sĕrat Ajidarma contoh kutipan dari Kitab Musarar, induk (pokok naskah) dari Rum, yang menceritakan ketika Jaka Sangkala membuka daerah di Gunung Kendheng, yaitu (ketika) Ajisaka mulai menginjakkan (kakinya) yang pertama kali di tanah Jawa. Pada waktu itu ditandai sengkalan: Kunir-rawuk-tanpa-jalu, tahun Sambrama, jika diambil dari (perhitungan) tanda sangkala itu tahun 1000, adapun (jika) diambil dari permulaan menjadi tahun 1.

Adapun dalam Sĕrat Ajinirmala diterangkan sebagai berikut:

Punika Sĕrat Ajinirmala, nunggil amisah kaliyan cariyosing Sĕrat Ajidarma, sami pipiradaning Sĕrat Ajidarwya, inggih saking rahsaning Kitab Musarar sadaya. Babon saking Rum. Kakumpulakĕn akaliyan wawatoning Sĕrat Jitabsara, babon saking Indhu. Ing ngriku sami anyariyosakĕn nalika Jaka Sangkala anampèni wiwiridaning ngèlmi kadéwatan, saking Sang Hyang Wĕnang, utawi saking Sang Hyang Ĕning, miwah Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah sarta para jawata 8 ingkang babarakĕn. Kala Jaka Sangkala babad ing Wukir Alaulu, sinangkalan: Sarira-suci: 48 (halaman 31).

Terjemahan:

Sĕrat Ajinirmala ini, hampir sama artinya dengan cerita dalam Sĕrat Ajidarma. Sama dengan penurunan (pengambilan) dari Sĕrat Ajidarwya, semuanya juga dari rahasia Kitab Musarar. Induk (pokok naskah) dari Rum. Dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat Jitabsara, induk (pokok naskah) dari Indhu. Dalam sĕrat tersebut sama-sama menceritakan tatkala Jaka Sangkala menerima pelajaran

Page 106: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

106

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

ilmu gaib dewata, (baik) dari Sang Hyang Wenang, atau dari Sang Hyang Ening, serta Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Siwah serta para dewata (berjumlah) 8 yang sederajat. Pada waktu Jaka Sangkala membuka hutan di Gunung Alaulu diberi (ditandai) sengkalan: Sarira-suci: 48.

Dari kutipan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala di atas ternyata tidak terdapat keterangan yang menunjukkan siapa penulis dan kapan saat penulisannya. Hanya dijelaskan bahwa Sĕrat tersebut diambil dari Kitab Musarar dari Rum. Oleh sebab itu, perbandingan terhadap kitab-kitab lain perlu dilakukan untuk mengungkapkan penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tersebut.

Apabila kita mencermati buku Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, maka dijelaskan bahwa kitab (buku) tersebut adalah gubahan R.Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun oleh R. Tanojo. Kitab tersebut banyak persamaannya dengan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, meskipun dalam kitab tersebut tidak memuat uraian ajaran-ajaran pada dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) secara rinci. Demikian pula sebaliknya Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tidak mengemukakan jangka Jayabaya tentang usia Pulau Jawa sampai Kiamat Kobra yang berlangsung selama 2100 tahun (tahun matahari) atau selama 2163 (tahun rembulan), yang dibagi menjadi tiga jaman besar (Trikali). Adapun setiap jaman besar tersebut dibagi menjadi tujuh jaman kecil (Saptama kala) yang masing-masing berusia 100 tahun.

Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim Museum Radyapustaka Surakarta juga memuat jangka (ramalan) Jayabaya seperti yang dikemukakan dalam buku Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya yang juga dipaparkannya secara rinci. Hanya bedanya Sĕrat Djangka Djajabaja berbahasa Jawa krama inggil. Sedangkan buku (kitab) Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bangunan kembali R. Tanojo di atas berbahasa Jawa ngoko. Namun agaknya keduanya berkaitan erat, bahkan kemungkinan Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya

Pranitiwakya bersumberkan atau bangunan dari Sĕrat Djangka Djajabaja. Jika demikian ada kemungkinan besar bahwa Sĕrat Djangka Djajabaja adalah karya R. Ng. Ranggawarsita, apalagi apabila sĕrat tersebut sama dengan Jangka Jayabaya yang dikatakan Suripan Sadi Hutama adalah karya R. Ng Ranggawarsita (Andjar Any, 1980:

Page 107: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

107

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

72), meskipun Andjar Any mengemukakan bahwa Sĕrat Jayabaya disalin oleh pujangga (R. Ng. Ranggawarsita) dari Yasadipura I (Andjar Any, 1980: 116).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk sebagian terdapat persamaan antara Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, dan Sĕrat Djangka Djajabaja. Meskipun titik berat penceritaannya adalah pemberian pelajaran dari para dewa kepada Jaka Sangkala. Adapun dalam Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya maupun Sĕrat Djangka Djajabaja titik berat penceritaannya adalah memaparkan jangka (ramalan) Jayabaya. Ketiga sĕrat (kitab) tersebut adalah karya R.Ng. Ranggawarsita, akan tetapi tahun berapa Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala disusun masih membutuhkan suatu penelitian yang mendalam, sebab dalam sĕrat tersebut tidak dikemukakan kapan saat penulisannya.

Kalau diperhatikan pada bagian permulaan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala diterangkan bahwa sĕrat tersebut diambil dari rahasia Kitab Musarar yang dikumpulkan dengan hukum dalam Sĕrat Jitabsara (Jitapsara). Dalam Kepustakaan Djawa, Poerbatjaraka berpendapat bahwa cerita dalam Jitabsara sebagian besar mengutip kitab Kandha dan sebagian adalah buah pikiran R. Ng. Ranggawarsita (Poerbatjaraka, 1957: 184-185). Di pihak lain R. Ng. Ranggawarsita sendiri menyatakan bahwa kitab Jitabsara adalah karangan Bagawan Parasara di Hastina, yang sepanjang pengetahuan Poerbatjaraka tidak ada buah karya Bagawan Parasara (Poerbatjaraka, 1957: 180).

Dalam Kepustakaan Djawa dikemukakan pula bahwa Ajisaka yang kemudian bernama Empu Sangkala muncul dalam kitab Paramayoga. Dalam Paramayoga diterangkan bahwa dasar cerita-

nya diambil dari cerita yang terdapat dalam kitab Jitabsara, karangan Bagawan Pasara di Hastina (Poerbatjaraka, 1957: 180). Dengan demikian menurut Poerbatjaraka kitab Paramayoga ini pun sebenarnya intisarinya berasal atau diambil dari kitab Kandha yang dibuat bahasa prosa dengan tambahan serta diubah menurut pendengaran dan kehendak hati R. Ng. Ranggawarsita sendiri (Poerbatjaraka, 1957: 182). Lebih lanjut dikemukakan bahwa setelah cerita dalam kitab Paramayoga selesai (tamat) maka kisah-kisah selanjutnya disambung ke dalam kitab Pustakaraja Purwa.

Page 108: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

108

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jika mencermati Sĕrat Ajipamasa (yang masuk dalam kelompok Sĕrat Mahaparma, bagian Sĕrat Pustakaraja Puwara) adalah susunan R. Ng. Ranggawarsita pada tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajipamasa tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam Sĕrat Pustakaraja Madya, bagian dari Sĕrat Pustakaraja yang sangat besar itu. Adapun Sĕrat Pustakaraja merupakan kelanjutan kitab Paramayoga yang dalam salah satu bagiannya menceritakan tentang Ajisaka (Jaka Sangkala/ Empu Sangkala). Mungkin juga dapat diperbandingkan penamaan kata aji dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dengan Sĕrat Ajipamasa. Kata aji sendiri berarti 'raja, mantra, nilai', ajipamasa dapat diartikan 'raja diantara para raja' atau 'mantra, ilmu pengetahuan suci yang harus dimiliki seorang raja'. Sedangkan ajidarma dapat diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang darma' dan ajinirmala dapat diartikan 'mantra, ilmu pengetahuan suci tentang pembebasan dari mala'. Baik Sĕrat Ajipamasa maupun Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala banyak mengemukakan ajaran yang tinggi nilainya dan dalam maknanya.

Dari perbandingan di atas, dapatlah dikatakan bahwa saat penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala tentu tidak terlalu jauh dengan saat penulisan Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Pustakaraja Madya, Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Paramayoga, maupun Sĕrat Jitabsara. Apabila Sĕrat Ajipamasa disusun pada tahun 1791 J atau 1862 M, maka penulisan Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala kemungkinan besar disekitar tahun tersebut.

Apakah Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala dapat dikategorikan sebagai karya sastra sufisme? Secara etimologi sufisme berasal dari kata suf yang dalam bahasa Arab berarti wol. Hal ini merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Pendapat yang lain menyatakan bahwa akar kata sufi adalah safa yang berarti kemurnian. Hal ini menekankan bahwa para Sufisme menekankan pada kemurnian hati dan jiwa. Kata sufisme atau tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan aklak, membangun lahir dan batin untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi (http://www.wikipedia.id).

Zoetmulder menyatakan bahwa di dalam karya sastra Jawa dikenal sastra suluk, yaitu jenis karya sastra Jawa yang bernafaskan Islam dan berisikan ajaran tasawuf (Zoetmulder, 1935). Kata suluk itu sendiri diperkirakan berasal dari bahasa Arab sūlukun bentuk jamak

Page 109: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

109

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

silkun yang berarti 'perjalanan pengembara, kehidupan pertapa' (Hava, 1951 dalam Darusuprapta, dkk. 1986-1987: 2). Arti tersebut dapat dihubungkan dengan ajaran tasawuf yang mengharuskan para Sufi berlaku sebagai 'pertapa pengembara' dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya menurut ahli-ahli tasawuf diberi arti 'mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji' (Ali, 1983 dalam Darusuprapta, dkk., 1986-1987: 2). Suluk sering disebut juga mistik, yaitu 'jalan ke arah kesempurnaan batin, ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin, melalui tanggapan batinnya manusia dapat berkomunikasi langsung atau bersatu dengan bersamadi, berkhalwat, pengasingan diri' (Darusuprapta, dkk., 1986-1987: 2).

Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala juga diungkapkan mengenai mantra yang diucapkan diantaranya oleh Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah,

Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Indra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, maupun Sang Hyang Bayu.

Dari pengertian sufisme di atas dan mencermati pengajaran gaib para dewa (anampèni wiwirading ngèlmi kadéwatan) kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) seperti yang akan diuraikan nanti, maka kiranya dapat dikatakan bahwa Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala sebagai karya sastra yang bersifat sufisme.

NARATIF JAKA SANGKALA (AJISAKA) DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN SUMBER CERITA YANG LAIN

Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala diceritakan bahwa Jaka Sangkala pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Jawa yakni di gunung Kendheng. Di sana ia mendapatkan berbagai ajaran para dewa, antara lain: Sang Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala berpindah ke gunung Cawang, gunung Pinggan, gunung Hyang, gunung Lawang, dan gunung Limungan.

Setahun kemudian terjadilah wabah penyakit yang sangat mengerikan yang menyebabkan dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga saja. Sedangkan yang lainnya binasa karena keangkeran

Page 110: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

110

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pulau Jawa. Oleh karena itu kemudian mereka melarikan diri pulang kembali ke Rum. Sesampainya mereka di Rum, Jaka Sangkala menceritakan hasil perjalanannya di pulau Jawa kepada Sultan Algabah. Kemudian Sultan Algabah memanggil para pendeta dan pertapa untuk mengisi manusia kembali atas pulau Jawa dengan memasang penangkal terlebih dahulu. Dari hasil pembicaraan mereka ditetapkan bahwa Jaka Sangkala dan Molana Ngali Samsujen bersama para pendeta dan pertapa kembali ke Jawa untuk memasang penangkal. Penangkal tersebut dipasang di lima (5) tempat, yakni di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan tengah (gunung Tidar, tanah

Kedhu). Beberapa hari kemudian pemasangan penangkal tersebut menampakkan hasilnya. Peristiwa alam yang dahsyat terjadi menempuh para hantu penghuni tanah Jawa, membuat mereka merasa kepanasan dan kesakitan, sehingga melarikan diri masuk ke laut. Setelah keadaan tenang kembali maka datanglah utusan dari Rum untuk memanggil kembali Jaka Sangkala. Akan tetapi sebelum utusan Rum datang, maka Jaka Sangkala menyelesaikan penyusunan Sĕrat Cakrawarti dan Sĕrat Paliprawa untuk menjadi pegangan bagi orang Jawa. Jaka Sangkala pun menciptakan tahun, windu, dan bulan Jawa secara rinci.

Dalam Sĕrat Ajinirmala diceritakan bahwa Jaka Sangkala membuka hutan di gunung Alaulu. Di sana ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, antara lain dari: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Kamajaya. Setelah itu Jaka Sangkala ke gunung Kombang dan mengubah namanya menjadi gunung Alaulu. Dengan kesepakatan keempat saudaranya, yakni: Empu Brahantang, Empu Braradya, Empu Brorunting, dan Empu Broruni (?). Jaka Sangkala bersama saudaranya itu pergi ke gunung Pringgendani. Sesampainya di sana mereka disambut dengan keempat raksasa yang mengamuk. Jaka Sangkala pasrah jiwa raga pada keempat raksasa tersebut yang kemudian menjelma menjadi dewa dan memberikan berbagai macam ilmu kesaktian kepada Jaka Sangkala. Beberapa waktu Jaka Sangkala tinggal di gunung Pringgendani, maka datanglah Seh Molana Ngali Samsujen yang mengemban perintah dari Sultan Algabah untuk memanggil Jaka Sangkala pulang ke Rum.

Page 111: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

111

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dalam Sĕrat Djangka Djajabaja transliterasian Tim Museum Radyapustaka Surakarta yang diketuai R.M.T. Setyoso Tjokrodipuro (1970) dikemukakan bahwa pada suatu hari Prabu Jayabaya Raja Kediri kedatangan pendeta sakti dari Kerajaan Rum bernama Molana Ngali Samsuzen. Baginda dan pendeta sakti tersebut bertukar pikiran mengenai berbagai macam ilmu.

Baginda kemudian berguru kepada Molana Ngali Samsuzen. Setelah Prabu Jayabaya putus ilmunya, maka Molana Ngali Samsuzen membentangkan jangka (ramalan) yang sudah tersurat dalam Kitab Musarar serta menguraikan ketika pulau Jawa belum didiami manusia. Menurut pendeta tersebut, Sultan Galbah dari negeri Rum menerima ilham (bisikan) yang memerintahkan untuk mengisi pulau-pulau yang belum dihuni oleh manusia. Berdasarkan informasi para nahkoda, maka Sang Patih mengusulkan kepada Sultan Galbah agar pulau yang kemudian dikenal dengan pulau Jawa tersebut ditetapkan untuk diisi. Sang Patih mengambil 20.000 keluarga dari Rum dan dikirimkan ke pulau Jawa dengan kapal, mereka mendarat di gunung Kandha atau Kendheng. Kedatangan orang-orang Rum tersebut membuat penghuni pulau Jawa yakni para hantu (lĕlĕmbut) menjadi sangat marah dan menyerang mereka pada malam hari. Hal itu mengakibatkan banyak orang Rum yang binasa, sebab dari 20.000 keluarga hanya tinggal 20 keluarga saja. Mereka kemudian kembali ke Rum. Peristiwa yang mengerikan tersebut sangat menyedihkan hati Sultah Galbah. Oleh karena itu dipanggillah para pendeta dan para pertapa untuk membicarakan pemasangan penangkal atas pulau Jawa. Pendeta Ngusman Ngazi (Ngaji/ Aji) ditunjuk untuk meneliti dan menentukan letak pemasangan penangkal tersebut. Setelah itu para pendeta dan para pertama dikirim ke pulau Jawa, mereka memasang penangkal tersebut di lima tempat, yakni di sebelah utara, selatan, barat, timur, dan di tengah-tengah (pusat). Dua puluh satu (21) hari kemudian pemasangan penangkal berhasil, para hantu menyingkir mengungsi ke laut. Beberapa tahun kemudian Sultan Galbah memerintahkan mengirimkan kembali manusia untuk mengisi pulau Jawa kedua kalinya. Pengiriman tersebut diambilkan orang-orang dari tanah Industan, Keling, Kandhi dan Siyam lengkap dengan peralatan hidup. Mereka dibagi di berbagai kelompok dan ditempatkan di berbagai tempat (Tim Museum Radyapustaka, 1970: 1-2).

Dalam kitab Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya gubahan R. Ng. Ranggawarsita yang kemudian dibangun R. Tanojo

Page 112: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

112

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

diungkapkan pula tentang pengisian pulau Jawa oleh Sultan Galbah (Al Gabah), yang secara garis besar sama dengan Serat Djangka Djajabaja, akan tetapi penceritaannya lebih terperinci dan luas. Selain itu, dalam hal penamaan tokoh-tokoh maupun lokasi penceritaannya sedikit bervariasi. Misalnya nama Prabu Jayabaya dalam Sĕrat Djangka Djajabaja dalam Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya bernama Prabu Aji Jayabaya. Contoh lain, misalnya nama pendeta Molana Ngali Samsuzen menjadi Maulana Al Syamsu Zain; Sultan Galbah menjadi Sultan Al Gabah; Ngusman Ngazi menjadi Usman Aji; dan negeri Rum dijelaskan maksudnya yakni Rum Turki yang terletak di tanah Brusah, sebelah utara tanah Arab dan termasuk wilayah tanah Turki Asia. Di samping itu, dikemukakan juga bahwa sewaktu pengiriman yang kedua ke tanah Jawa yang terdiri atas orang-orang Industan, Keling, Kandhi maupun Siyam, maka Empu Sangkala mewakili pendeta Usman Aji yang menjadi gurunya itu (Tanojo, tanpa tahun: 6-12).

Dalam kitab Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita & Sabdapalon, bagian “Sang Mapanji Joyoboyo” dan “Ramalan Jayabaya Musarar” susunan Andjar Any (1979) dikemukakan bahwa Sech Ali Samsu Zein (Ali Samsujen), seorang pertapa sakti dari Rum yang telah menganut agama Islam mengembara sampai di gunung Padhang. Di sana, ia bertemu dengan Ajar Subrata, yakni anak Empu Sedah. Selanjutnya Ajar Subrata berguru kepada Sech Ali Samsu Zein dan diberi pelajaran tentang berbagai ilmu. Pada suatu hari Ajar Subrata menyatakan kepada gurunya itu tentang kesedihan dan sakit hatinya, sebab ayahnya, yakni Empu Sedah dihukum bakar tanpa kesalahan oleh Prabu Jayabaya yang merasa tersindir, sewaktu Empu Sedah melukiskan Prabu Salya Raja Mandraka dengan permaisurinya, Dewi Setyawati dalam Kakawin Bratayuda (Bhāratayudha) gubahannya. Mendengar penuturan Ajar Subrata muridnya itu, maka Sech Ali Samsu Zein akan ke Kotaraja menemui Prabu Jayabaya untuk memperingatkan perbuatannya dahulu. Sesampainya di kerajaan ia disambut

Baginda, dan kemudian keduanya bertukar pikiran. Baginda menjadi tahu akan ketinggian ilmu kebatinan pendeta Sech Ali Samsu Zein yang sulit dicari tolok bandingnya. Apalagi sewaktu Sech Ali Samsu Zein membeberkan rahasia dunia, sejak dunia baru digelar maupun sejak tanah Jawa mulai didiami manusia. Pendeta sakti itu pun membentangkan kisah-kisah sebelum Prabu Jayabaya dan dilanjutkan dengan kejadian-kejadian yang akan datang. Pada

Page 113: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

113

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

akhirnya Sech Ali Samsu Zein memberi nasehat kepada Baginda, agar tidak tergesa-gesa dalam menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang belum diketahui benar salah tidaknya (Any, 1979: 43-75).

Dalam Sĕrat Kalamwadi karya R.M. Suwandi dikemukakan bahwa Ajisaka dari Arab pergi ke Jawa. Kedatangannya di Pulau Jawa merasa memiliki ilmu yang banyak, akan tetapi ia menjadi heran dengan sastra Jawa, karena kesanggupannya dimengerti oleh setiap orang. Oleh karena itu ia menjadi merasa bodoh berada di Jawa, sehingga ia bertapa meminta ilmu kepada Tuhan dalam usahanya menambah huruf Jawa menjadi 25 (Suwarna, 1986: 20-21).

AJISAKA SEBAGAI DEWASISYA DALAM SERAT AJIDARMA-AJINIRMALA

Dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala Ajisaka (Jaka Sangkala) sebagai Dewasisya (murid para dewa) yang menerima pelajaran-pelajaran gaib yang suci serta mantra tentang darma dan kesucian jiwa. Adapun pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Ajisaka ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka Sangkala dalam Sĕrat Ajidarma, dan kedua, pelajaran-pelajaran gaib para dewa kepada Jaka Sangkala dalam Sĕrat Ajinirmala. Adapun pelajaran-pelajaran gaib para dewa tersebut selengkapnya dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Pelajaran-pelajaran gaib para Dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) dalam Sĕrat Ajidarma

a. Pelajaran gaib Empu Ramadi

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk agar memiliki sifat: 1. lĕga ‘lega’, 2. réla ‘rela’, 3. tĕmĕn ‘sungguh’, 4. utama ‘utama’, 5. wadad ‘membujang’. Apabila hal itu dilaksanakan maka segala keinginan Jaka Sangkala akan tercapai, atau ia diberi sifat waskitha ‘awas, terang tiliknya’. Adapun sarananya bahwa ia harus bertapa selama 7 hari 7 malam. Jika itu dilakukan maka ia nanti dapat melindungi orang, diberi anugerah wahyu yang agung dan dipercaya barang katanya.

b. Pelajaran gaib Sang Hyang Guru (Jonggring Salaka)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk bahwa apabila ia menjalankan puasa selama 100 hari dan selama itu ia hanya

Page 114: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

114

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

memakan ubi, maka ia akan memperoleh keselamatan dan keberhasilan, apa yang dikehendaki tercapai. Ia pun akan ketempatan (mendapatkan) wahyu yang agung (mulia), diberi hati yang terang, sering mudah mendapatkan harta serta kuat ketempatan rejeki.

c. Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi petunjuk supaya bertapa selama 100 hari dan selama itu hanya makan nasi saja. Jika itu dilakukan nicaya ia akan dikasihi sesama (manusia), disayangi oleh keluarganya. Utamanya diucapkan apabila menghadap raja (pemimpin), sering dimintai nasehat, di samping ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’, serta ketempatan wahyu agung (bintang bahagia).

d. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran agar bertapa dalam bentuk berjaga (bangun) selama 70 hari, tetapi hanya pada malam harinya saja. Jika itu dilakukan

niscaya ia akan memperoleh kewibawaan berupa aji panglĕrĕpan yang memiliki daya kekuatan ‘dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang lain, malang yang dipandang, lemah lunglai yang disentuh, kokoh kuat, segala yang dikehendaki mudah, dan kadang kala sering menemukan benda suci’.

e. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, dalam bentuk berpantang makan nasi selama 1000 hari, kemudian bertapa sehari semalam (pati raga) Hal ini teristimewa (utamanya) yang melaksanakan adalah wanita. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh maka ia akan memperoleh serpihan (kemuliaan) kerajaan atau kekuasaan, mendapatkan keturunan (calon) pembesar, malah seringkali justru dirinya sendiri yang mendapatkan. Di samping itu ia memiliki waskitha ‘awas, terang tiliknya’ serta memiliki budi yang sentausa, sering yang diinginkan dapat tercapai dengan selamat.

f. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, berpantang (menggunakan) air selama 70 hari. Apabila ia menjalankannya niscaya memiliki kemauan yang kuat, kokoh (kuat) dalam kehendak, benda yang dimiliki akan tahan lama,

Page 115: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

115

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

tidak ketempatan budi pekerti buruk, pantang bersikap malas, keras dalam kemauannya, jauh dari perbuatan khianat (curang), serta disayangi (dicintai) oleh sesama manusia.

g. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran (petunjuk) untuk bertapa, yaitu berpantang makan ikan selama 100 hari, dilanjutkan bertapa tiga (3) hari tiga malam (pati raga). Apabila dilakukan sungguh-sungguh wataknya akan terlihat baik, termashur kepandaiannya,

cermat, seksama, awas, dan tepat dalam menyelesaikan perkara (persoalan), jarang keliru. Hal ini wajib dipakai sebagai pegangan para pengambil (penentu) pengadilan raja. Demikian juga dapat dipakai sebagai aji pĕnitisan ‘ilmu pengetahuan ketepatan memanah’ bagi para pemanah yang sedang memanah dan semacamnya, tetapi sering sulit berputra.

h. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya)

Jaka Sangkala diberi pelajaran yang kemudian pelajaran Sang Hyang Kala tersebut dicipta serupa rajah Kalacakra, karena manfaatnya banyak terutama untuk penangkal pekarangan. Adapun rajah Kalacakra tersebut berbunyi: Yamaraja jaramaya, yamarani niramaya, yasilapa palasiya, yamidosa sadomiya, yadayuda dayudaya, yasiraddha ddharasiya, yasimaha mahasiya.

Manfaat rajah Kalacakra tersebut antara lain, jika rumahnya kemasukan penjahat maka dapat membuat penjahat itu bingung, apabila rajah tersebut dipasang (dalam bentuk) tulisan di atas pintu, daya kekuatannya (khasiatnya) dapat menawarkan perbuatan jahat, kekuatan penenung yang menimbulkan penyakit dapat kembali kepada pengirimnya. Apabila dipasang di atas pintu rumah, dapat menjauhkan saraf sawan, serta menyingkirkan penyakit, segala perbuatan jahat yang mendatangi tidak dapat masuk. Jika dihafalkan seketika dapat melenyapkan nafsu badani, artinya segala racun nafsu badani dan semacamnya yang ada dikala duduk. Akan tetapi dengan sarana jemari tengah disentuhkan pada makanan dan minuman seraya merapalkan mantra rajah Kalacakra. Utamanya dipakai untuk sabuk (ikat pinggang), tetapi kalau buang air harus diletakkan di atas dan tidak boleh untuk berbuat jahat.

Page 116: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

116

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Jaka Sangkala juga diberi pelajaran untuk bertapa, yakni menyingkirkan hawa nafsu selama 7 bulan 10 hari. Apabila dilaksanakan sungguh-sungguh maka dapat membuat hatinya terang dan selamat, luas pikirannya, bersih (budi) pekertinya, awas dalam segala hal, kehendaknya sering tercapai, dikasihi keluarga, disegani (dihormati) oleh sesama, diberi wahyu (bintang bahagia), serta diturut barang katanya.

i. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala, Cakrakembang)

Jaka Sangkala (Ajisaka) diberi pelajaran bertapa, dengan jalan mencegah makan dan tidur selama 25 hari dilanjukan bertapa sehari semalam. Setelah selesai bertapa kemudian mandi di Paracimalaya 7 kali dalam semalam. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh wataknya dapat melindungi orang, kaya kepandaian, diturut barang katanya, ditiru barang bicaranya, dapat disayangi raja (pembesar), dicintai wanita, mempunyai daya ingat, memperoleh wahyu yang membuat budi terang, diberi rejeki yang terus-menerus, barang kepunyaannya tahan lama, dan dapat dipakai sarana agar panjang usia.

2. Pengajaran ilmu gaib para Dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) dalam Sĕrat Ajinirmala

a. Pelajaran gaib Sang Hyang Wenang

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, yaitu pada setiap bulan purnama disuruh mempersatukan pikiran mengheningkan cipta (manungku pudya sĕmadi), semalaman tidak boleh bicara serta tidak makan dan tidur, jika sudah waktunya tengah malam disuruh memandang rupa bulan (amandĕnga kanthaning rĕmbulan), sekejap tidak bernafas (sapandurat botĕn ambĕgan). Jaka Sangkala dapat melahirkan (mengemukakan) segala yang dimintanya di dalam batinnya. Apabila pikirannya jernih dan sungguh-sungguh niscaya keinginannya akan terkabul.

b. Pelajaran gaib Sang Hyang Ening

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bahwa setiap hari tidak boleh tidur, pada tengah hari disuruh menengadah ke angkasa selama tujuh (7) tarikan nafas mengeheningkan panca indera. Wataknya dapat ketempatan wahyu sejati (kadunungan

Page 117: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

117

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

wahyaning wahyu jati), dan memiliki awas (terang tiliknya), serta ingat selama hidupnya, tahu apa yang dikehendaki, serta banyak (besar) rejekinya.

c. Pelajaran gaib Sang Hyang Tunggal

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, bahwa setiap malam harus mengheningkan cipta maya. Setiap bangun pagi disuruh berkeliling (mengitari) daerahnya, mendengarkan segala yang bersuara sebagai tanda isyarat badan (tindakan). Karena bangsa hewan atau pun segala makhluk hidup mampu memberikan tanda-tanda apakah sedang senang atau sedih. Jika manusia dapat dilihat dari perkataannya. Apabila sewaktu berkeliling tersebut Jaka Sangkala mendengar suara manusia berkata buruk, seketika itu juga semua keinginannya harus dihentikan. Sebaliknya apabila mendengar suara dan perkataan baik, kemudian dipergunakan sebagai tanda terbebasnya kedukaan, semua kehendaknya kemudian dilaksanakan. Tanda pengenal seperti itu yang pernah terjadi pada jaman dahulu tidak meleset dari isyarat.

d. Pelajaran gaib Sang Hyang Siwah

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberi pelajaran bertapa, bahwa setiap terbenamnya matahari sampai semalam suntuk tidak boleh makan, minum dan semacamnya yang masuk ke dalam tubuh. Apabila tidur harus setelah tengah malam, jika siang hari tidak boleh tidur, makan hanya sekali dengan memakai ukuran kepalan (tangan) yang disesuaikan dengan nĕptu hari pasaran waktu itu. Di samping itu juga harus menahan hawa nafsu sementara, mengurangi bersetubuh. Apabila hal itu dilakukan dengan sungguh-sungguh wataknya nanti dapat ikut merasakan (kemuliaan) kerajaan. Artinya akan ikut memiliki keturunan yang berkaitan dengan keturunan (yang memerintah) pulau Jawa. Ia akan ditakuti atau disegani oleh sesama manusia, dikasihi keluarganya, disayangi oleh pembesar, dan dapat melindungi banyak orang serta ketempatan bintang bahagia (wahyu agĕng). Akan tetapi apabila akan mencontoh pelaksanaannya harus disertai dengan pati-raga sehari semalam, sewaktu memulai bertapa sampai pada akhir pelaksanaannya. Di samping itu harus disertai sedekah sekedarnya yang ditentukan di setiap hari lahir, yaitu persembilan (1/9) keuntungan selama tiga puluh lima (35) hari. Diutamakan di

Page 118: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

118

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

setiap hari harus memberi sedekah, sekalipun hanya setengah asalkan tetap pembuangannya yang tidak berguna, artinya diberikan kepada orang-orang yang sengsara, atau diberikan kepada anak yang menangis, diutamakan diletakkan di perempatan jalan.

e. Pelajaran gaib Sang Hyang Pramesthi Guru (Jonggring Salaka)

Setelah mantra, Jaka Sangkala diberitahu bahwa pekerjaannya membuka hutan di gunung Alaulu tersebut sebenarnya membangun peninggalan di kemudian hari, akan tetapi bukan Jaka Sangkala yang memilikinya besok. Gunung Alaulu kelak bernama gunung Kombang serta akan menciptakan pekerjaan bagi wanita, sebab nantinya ada wanita (perempuan) yang mempunyai inisiatif membuat motif batik dari gunung Kombang. Adapun sebagai sarananya malam lebah (malaming tawon).

f. Pelajaran gaib Sang Hyang Endra (Ganyalaya)

Jaka Sangkala diberitahu bahwa dia sudah diterima oleh dewa, karena kuasanya atas gunung Kombang. Sungguh akan menjadi peristiwa yang menakjubkan, tetapi akan banyak orang yang akan berguru kepada Jaka Sangkala (Ajisaka). Adapun sebagai tanda bahwa dirinya sudah diterima, maka Jaka Sangkala diijinkan membuat kembar mayang dari pohon dewa daru (dewandaru, jana daru), sampai kepada keturunannya yang menjadi raja.

g. Pelajaran gaib Sang Hyang Sambo (Ersanyalaya)

Jaka Sangkala diberi pelajaran tentang berbagai macam aji jaya kawijayan 'mantera yang menyebabkan tak dapat kalah' dan sejenisnya, serta diperintahkan menghimpun bala tentara. Setelah perintah tersebut dilaksanakan, maka Jaka Sangkala kemudian diberi nama Sang Ajisaka.

h. Pelajaran gaib Sang Hyang Brahma (Pascimalaya)

Jaka Sangkala atau Ajisaka mendapat pelajaran mengenai segala macam aji pangabaran, panglĕrĕpan, aji (azimat) untuk mengalahkan kesaktian musuh maupun aji yang dapat menghentikan (meredam) hawa nafsu orang lain. Jaka Sangkala juga mendapatkan sebuah cincin yang kuasanya dapat menyatu dengan kahyangan para dewa. Jadi sekalipun Sang Ajisaka tersebut sifatnya manusia, akan tetapi ia dapat masuk ke triloka

Page 119: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

119

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

(tiga dunia). Ia dapat berkumpul dengan sesama manusia, dapat berkumpul dengan para dewa maupun berkumpul dengan bangsa jin dan sebangsa para siluman (sagĕd mawor bangsaning jin sapanunggilanipun para siluman).

i. Pelajaran gaib Sang Hyang Bayu (Byabyalaya)

Setelah mantra, Jaka Sangkala mendapat pelajaran yang harus dituruti yaitu: 1. Menghimpun para pendeta (angingimpuna para pandhita), 2. Mengumpulkan sahabat (angiruba pawong mitra), 3. Mengangkat bala tentara (angulawisudhaa para wadya), 4. Menghindahkan nasehat orang lain (anggugua pituturing liyan), dan 5. Menasehati sesama manusia (amituturana sasama). Kelima perintah tersebut hendaknya tidak keliru dalam pengetrapannya.

j. Pelajaran gaib Sang Hyang Wisnu (Ngutaralaya)

Jaka Sangkala mendapat pelajaran bahwa ia tidak boleh takut pada kesulitan dan harus berani apabila kehilangan, utamanya hendaknya kasih pada sesama manusia dan hendaknya mengetahui bagaimana menerapkan rasa belas kasihan. Maksudnya rasa belas kasih kepada manusia itu, bukan karena dari makanan dan pakaian, sebenarnya hanya karena ketahuan watak maupun keinginannya, hal itu tetap menjadi jalan wahyu agung (bintang bahagia). Apabila Jaka Sangkala dapat melaksanakan nasehat (petunjuk) Sang Hyang Wisnu tersebut tentu ia dapat memulai kewibawaan pulau Jawa (murwani kawibawaning nusa Jawa). Di samping itu sebagai tanda kehidupannya, maka Jaka Sangkala diberi cupu manik Astagina.

k. Pelajaran gaib Sang Hyang Kala (Daksinalaya)

Jaka Sangkala diberinya pelajaran seperti pelajaran yang diberikan Sang Hyang Kala sewaktu Jaka Sangkala berada di gunung Kendheng, yaitu berupa rajah Kalacakra. Hanya ditambah nasehat pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tata kehidupan. Jaka Sangkala juga diberi petunjuk supaya memberi dana (uang) yang banyak kepada sesama manusia, serta harus dapat berbuat kebajikan, artinya mengalah dan merendah, baik dalam hal pengetahuan maupun derajat. Adapun apabila rajah Kalacakra tersebut digunakan (dipasang) di atas pintu rumah sifatnya dapat menjauhkan penyakit. Utamanya apabila dibawa dan dimasukkan dalam sabuk (ikat pinggang), karena wataknya dapat melenyapkan segala nafsu badani, pesona penenung yang

Page 120: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

120

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

menimbulkan penyakit akan menjauh. Apabila dipergunakan sebagai penangkal pekarangan, watak (sifatnya) dapat membuat bingung bagi orang yang bermaksud buruk dan berkhianat.

l. Pelajaran gaib Sang Hyang Kamajaya (Cakrawala, Cakrakembang)

Jaka Sangkala diberinya pelajaran mengenai penyebab manusia terkena sakit dan mati. Penyebab tersebut antara lain karena makanan yang ceroboh, ketempatan panas hati, pemarah dan sejenisnya. Hal itu membuat hidupnya sakit, sehingga menyebabkan seseorang menjadi sakit atau mati. Ada beberapa perkara (persoalan) yang dapat membimbing hidup tidak terkena mati. Pertama, jalan 21 yang menyebabkan murah hati dan berbudi rajin (amamarahi lĕgawaning budi tabĕri). Untuk itu hendaknya perbuatannya tulus (jujur). Kedua, rela hati yang akan menyebabkan diterimanya dia oleh pencipta bumi dan langit. Sebab wahana (jalan) rela hati itu tidak hanya rela di dunia, melainkan segala hidupnya juga harus rela. Untuk itu dewa menyaksikan (menyertai) perbuatan manusia jika bersungguh-sungguh. Ketiga, jalannya benar (sungguh), yang akan meluluskan barang permintaannya, sebab kesungguhan itu tidak hanya kesungguhan secara lahir. Dalam menyembah (hendaknya juga) menginsafi kelemahannya kepada yang membuat hidup dan mati, serta tidak bohong. Keempat, jalan utama, sebab keutamaan itu jika selalu dimantapkan baik secara lahir maupun batin niscaya disaksikan Hyang Latawalujwa.

m. Pelajaran gaib Keempat Raksasa

Jaka Sangkala mendapat pelajaran dari keempat raksasa yang semula menyerangnya sewaktu membuka hutan di gunung Pringgendani. Pelajaran tersebut antara lain: Jaka Sangkala diberi pengetahuan (kepandaian) untuk dapat memasuki alam kematian dan panca indera; diberi azimat (mantera) kesaktian dan sejenisnya; mendapatkan azimat untuk mengalahkan semua kesaktian musuh.

Semua ilham (pelajaran) dari para dewa yang diterima Jaka Sangkala baik ketika ia berada di gunung Kendheng sampai di gunung Pringgendani, apabila dihubung-hubungkan dengan rahasia ngèlmu makrifat dirasakan sama saja.

Page 121: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

121

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Berbagai pelajaran gaib (ilham) yang diberikan para dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) kiranya pantas diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam upaya mereka mencapai kesempurnaan, baik secara lahir maupun batin, di dunia maupun di akhirat. Adapun jalan (sarana) dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada masing-masing pribadi manusia yang menaruh minat terhadap pelajaran gaib tersebut. Apakah mereka akan mencontoh langsung sesuai ajaran para dewa kepada Jaka Sangkala (Ajisaka) di atas, ataukah akan diambil dahulu inti ajarannya, adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan landasan ajaran agama atau alam kepercayaan manusia yang bersangkutan.

NAMA-NAMA WAKTU

Nama-nama waktu (hari, bulan, tahun dan windu) Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdapat pada bagian Sĕrat Ajidarma. Dikemukakan dalam Sĕrat Ajidarma bahwa untuk penamaan tujuh (7) hari Jawa (Saptawara) adalah; 1. Radité = Akad (Minggu), 2. Soma = Isnan (Senin), 3. Anggara = Salasa (Selasa), 4. Buddha = Rabo (Rabu), 5. Rĕspati = Kamis, 6. Sukra = Jumungah (Jum’at), dan 7. Tumpak = Sabtu.

Nama Pancawara (Pasaran) Jawa adalah: 1. Lĕgi = Manis, 2. Pahing, 3. Pon, 4. Cĕmĕngan = Wagé, dan 5. Kasih = Kaliwon.

Nama-nama bulan Jawa adalah: 1. Karttika, 2. Pusa, 3. Manggasari, 4. Sitra, 5. Manggakala, 6. Naya, 7. Palguna, 8. Wisaka, 9. Jita, 10. Srawana, 11. Padrawana, dan 12. Asuji. Di samping itu nama-nama bulan Jawa yang diambilkan dari bulan Arab adalah: 1. Sura = Muharram, 2. Sapar = Shafar, 3. Mulud = Rabiulawal, 4. Rabingulakir = Bakda Mulud, 5. Jumadilawal = Jumadilawal, 6. Jumadilakir = Jumadilakir, 7. Rajab = Rajab, 8. Ruwah = Sya’ban, 9. Pasa = Ramadan, 10. Sawal = Syawal, 11. Dulkangidah = Dulkaidah, dan 12. Besar = Zulhijjah.

Page 122: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

122

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Nama-nama tahun Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah:

1. Sambrama

2. Biswawisu

3. Kalayudi

4. Kalakandha

5. Rahutri

6. Dumdumi

7. Triyoddhari

8. Tisimuka

9. Dinakara

10. Sujarha

11. Saddhamuka

12. Saddhaksaddha

13. Jagalogĕna

14. Kilaka

15. Prapawa

16. Iwa

17. Cukila

18. Pramududa

19. Prasudpadi

20. Anggila

21. Istrimuka

22. Pawa

23. Iwa

24. Tadu

25. Iswara

26. Wakdaniya

27. Pramadi

28. Wikrama

29. Wila

30. Sitrapanu

31. Supanu

32. Taruna

33. Partipa

34. Wiya

35. Sarwasitti

36. Sarwaddhari

37. Wirodi

38. Wikuraddhi

39. Karĕha

40. Nantĕna

41. Wijaya

42. Jaywaha

43. Manmata

44. Tunmuki

45. Yiwolambi

46. Wulambi

47. Wikari

48. Sarwari

49. Pilapawa

50. Subakartti

51. Sabakartti

52. Aciya

53. Ananda

54. Rancata

55. Pinggala

56. Nala

57. Pilawangga

58. Umiya

59. Saddharuna

60. Rudraksa

Adapun jika tahun Arab hanya ada 8, yakni: 1. Alip, 2. Ehé, 3. Jimawan, 4. Jé, 5. Dal, 6. Bé, 7. Wawu, dan 8. Jimakir, kemudian Alip lagi. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan jumlah tahun Jawa terdapat banyak perbedaan.

Nama-nama windu Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala berjumlah 10, yakni: 1. Windu Ancara, juga bernama Windu Antaru atau Antaro, 2. Windu Manila, 3. Windu Sangara, 4. Windu Mukka, 5. Windu Mangkara, 6. Windu Sangsara, 7. Windu Kawanda, 8. Windu Tirtta, 9. Windu Sĕta, juga bernama Windu Sĕtu, dan 10. Windu Baya. Dengan demikian terdapat juga perbedaan dibandingkan dengan jumlah windu Arab yang hanya 4, yakni: 1. Adi, 2. Sĕngara, 3. Kunthara, dan 4. Sancaya (Padmosoekotjo, 1960: 145; Padmopuspito, 1976: 8).

Page 123: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

123

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Di samping terdapat perbedaan jumlah windu Jawa dengan windu Arab, seperti telah dikemukakan di atas, maka dalam perhitungan sewindu Jawa itu adalah 60 tahun (lihat Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala). Adapun sewindu (Arab) adalah 8 tahun, sebab satu windu meliputi tahun: 1. Alip, 2. Ehé, 3. Jĕmawal (Jimawan), 4. Jé, 5. Dal, 6. Bé, 7. Wawu, dan 8. Jĕmakir (Jimakir) (Padmopuspito, 1976: 8).

Nama-nama bulan Jawa sering dikaitkan dengan masalah perbintangan yang menentukan pengaturan musim (pranata mangsa), yang oleh petani dipergunakan sebagai pedoman menanam padi. Musim tersebut juga berjumlah 12. Apabila bulan-bulan Jawa tersebut dijajarkan dengan pengaturan musim, maka dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Kasa = Çrawana (Srawana)

2. Karo = Bhadra (Padrawana)

3. Katĕlu = Asuji (Asuji)

4. Kapat = Kartika (Karttika)

5. Kalima = Margaçira (Manggasri)

6. Kanĕm = Posya (Pusa)

7. Kapitu = Magha (Manggakala)

8. Kawolu = Phalguna (Palguna)

9. Kasanga = Cétra (Sitra)

10. Kasapuluh = Wéçaka (Wisaka)

11. Désta = Jyéstha (Jita)

12. Sadda = Asadha (Naya)

(Padmopuspito, 1976: 8)

Dari persejajaran di atas dapat dikatakan bahwa antara penamaan bulan-bulan Jawa Kuno dengan bulan-bulan Jawa versi Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdapat sedikit perbedaan terutama dalam pengucapan dan penulisannya. Hanya yang agak jauh berbeda adalah perubahan dari bulan Margaçira menjadi Manggasri dan Asadha menjadi Naya.

Penciptaan tahun dan windu Jawa oleh Jaka Sangkala yang menekankan pada pengetahuan Jawa di atas dimaksudkan untuk dapat menyakinkan hukum Jawa dengan Arab. Pengetahuan Jawa

Page 124: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

124

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

tersebut dipandang sejak dahulu banyak mengandung kebenaran. Sekalipun demikian Jaka Sangkala juga tidak henti-hentinya berusaha menghubung-hubungkan segala pengetahuan Jawa dengan Arab.

Dengan munculnya tahun dan windu Jawa dalam Sĕrat Ajidarma-Ajinimala secara lengkap yang seringkali luput dari pengamatan para kritisi Jawa, kiranya dapat dijadikan dasar landasan bagi pemahaman terhadap karya-karya R. Ng. Ranggawarsita, terutama terhadap Sĕrat Pustakaraja dan sĕrat-sĕrat yang tercakup di dalamnya yang memang sering mencantumkan tahun-tahun Jawa tersebut, tetapi para kritisi sangat sulit melacak sumber aslinya.

SIMPULAN

Ajisaka (Jaka Sangkala) adalah pahlawan kebudayaan (culture hero) bagi masyarakat Jawa. Naratif tokoh spiritual tersebut terekam di dalam sejumlah kitab, antara lain: Sĕrat Ajisaka, Babad Ajisaka, Sĕrat Momana, Sĕrat Manikmaya, Sĕrat Paramayoga,

Sĕrat Pustakaraja (Sĕrat Purwapada, Sĕrat Sri Saddhana, Sĕrat Witaradya), Sĕrat Jangka Jayabaya, Primbon Pusaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitiwakya, Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala, Babad Prambanan dan Sĕrat Kalamwadi.

Di dalam Sĕrat Paramayoga maupun Sĕrat Purwapada dijelaskan bahwa Ajisaka adalah putra Prabu Isawaka (Bathara Anggajali). Bathara Anggajali adalah putra Bathara Ramayaddhi, cucu Sang Hyang Rama Prawa, cicit Sang Hyang Hening. Dari garis ibu Ajisaka adalah putra Dewi Sakha (putri Prabu Sarkil dari kerajaan Najran, Turki, keturunan Nabi Ismail). Dari garis silsilah patrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Arya, sedangkan dari garis silsilah matrilineal Ajisaka berasal dari kultur pseudo-Semit dan berdasarkan garis matrilineal Ajisaka secara langsung nazabnya bersambung kepada Nabi Ismail, tokoh historis bangsa Arab dari kultur Semit. Pendapat berbeda mengkaitkan Ajisaka dengan suku Sakya (satu suku dengan Sakyamuni Siddharta Gotama), pengikut agama Buddha). Menurut Brandes, Ajisaka adalah "Raja Syaka" atau "Bangsa Scyth" (dari Hindu) yang memperkenalkan tarikh Jawa. Adapun tokoh mitologis Dewatacengkar adalah putra Raden Sindhula (putra Sindhucala). Sindhucala putra Sri Watugunung, raja Gilingwesi. Dewatacengkar kegemarannya makan daging manusia,

Page 125: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

125

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

karena ia memikul akibat kutuk yang diucapkan Bathara Wisnu kepada Sindhula, bahwa dia pun akan mendapat malu karena salah seorang keturunannya makan daging manusia.

Kedatangan Ajisaka ke pulau Jawa yang pertama kali di gunung Kendheng dengan waktu peristiwa permusuhannya dengan Dewatacengkar terjadi dalam rentang waktu sekitar 1.000 tahun. Karena itu apabila mengikuti jalan pemikiran pujangga R. Ng. Ranggawarsita kiranya dapat untuk memahami peristiwa tersebut. Berdasarkan Babad Prambanan peristiwa permusuhan Ajisaka dengan Dewatacengkar itu terjadi pada tahun 1050 Suryasangkala, yang kurang lebih sama waktunya dengan kedatangan Ajisaka ke tanah Jawa (untuk yang ketiga

kalinya), seperti dipaparkan di dalam Sĕrat Witaradya III. Rentang waktu terjadinya peristiwa tersebut menjadi mudah dipahami sebab berdasarkan Sĕrat Purwapada, usia Ajisaka lebih dari 1.000 tahun, karena Ajisaka telah minum air amĕrta (air hidup) sebagaimana para dewa.

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita dari kerajaan Surakarta sekitar tahun 1791 J atau 1862 M. Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala terdiri dari dua buah buku yang menjadi satu, tidak terpisahkan dan keduanya disusun berdasarkan sumber kitab Musarar yang berasal dari Rum.

Sĕrat Ajidarma (bagian pertama dari Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala) menceritakan ketika pertama kali Jaka Sangkala menginjakkan kakinya di tanah Jawa, tepatnya di Gunung Kendheng. Di sini ia mendapatkan berbagai pelajaran dari para dewa, diantaranya: Empu Ramadi, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya. Adapun Sĕrat Ajinirmala menceritakan sewaktu Jaka Sangkala (Ajisaka) membuka daerah di Gunung Alaulu. Di sini ia mendapatkan pelajaran dari para dewa, diantaranya: Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Ening, Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Pramesthi Guru, Sang Hyang Endra, Sang Hyang Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kala, dan Sang Hyang Kamajaya.

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala adalah sebuah kitab yang berisikan ilmu pengetahuan suci, penuh petunjuk dharma, agar manusia dapat membentengi dirinya sehingga selamat dan terbebas dari pengaruh perbuatan jahat. Sĕrat ini juga mencoba menerangkan asal-usul

Page 126: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

126

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

manusia yang pertama kali mendiami Pulau Jawa serta menggambarkan peristiwa-peristiwa menggetarkan yang dialami mereka di awal kehidupannya di pulau ini. Selain itu, dalam sĕrat ini juga diungkapkan nama-nama hari, tahun, windu Jawa dan windu Arab.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Moch. 2008. "Episteme Kritis Ranggawarsita: Nalar Politik Hibridaisasi Kultural Sang Pujangga" dalam Proceedings Seminar Internasional Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional dalam Rangka Dies ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Prodi Sastra Jawa.

Anonimous. Sufisme. Dalam: http://www.wikipedia.id. Diakses 10 Mei 2010.

Any, Andjar. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita dan Sabdopalon. Semarang: Aneka.

_______. 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka.

Atmodjo, M.M., Sukarto, K. 1994. "Perkembangan Paleografi Aksara Jawa" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta.

Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.

Darusuprapta. 1981. ″Ranggawarsita″ Badrawada Th. I No. 6. Yogyakarta: KMSN Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.

Darusuprapta, dkk. 1985. Ajaran Moral dalam Sastra Suluk. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud.

_______. 1986-1987. Simbolisme dalam Sastra Suluk. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Depdikbud.

Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminari Descripsive Catalogue Vol. I-IV. Ithaca. New York Cornell University.

Page 127: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

127

Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala Karya PujanggaR.Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi Pulau Jawa)

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Girardet, Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of the Javanese Manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Wiesbaden, Franz Steiner Verlag GMBH.

Haryana Harjawiyana. 1984. Sĕrat Cemporet: Sebuah Tinjauan Reseptif-Filologis (Tesis S-2). Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.

Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Jogjakarta: U.P. Indonesia.

Mahathera, Bhikhu Dhammmasubho. 2009. "Pasang Surut Peradaban Nusantara: Sabdopalon Nayagenggong Nagih Janji" dalam Prosidings Seminar Internasional Sabdopalon Nayagenggong dalam Naskah Nusantara. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Mardiyanto. 1985/1986. Cerita Dewa Dalam Sastra Budaya Jawa (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Marsono dan Hendrosaputro, Waridi (penyunting). 1999/2000. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta-Indonesia: Yayasan Studi Jawa-Lembaga Studi Jawa.

Padmopuspito, Asia. 1976. Teori Sastra Jawa Modern Bagian I: Puisi. Yogyakarta: The Ford Foundation.

Padmosoekotjo, S. 1960. Ngrengrengan Kasusastran Djawa Jilid I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing.

Permanasari, Christine. 2008. Sĕrat Panji Kudanarawangsa karya R. Ng. Ranggawarsita: Transliterasi, Terjemahan, dan Analisis Gaya Bahasa (Skripsi S1). Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Fakultasi Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa, Kolff Djakarta: Djambatan.

Pudjosoedarmo, Soepomo, dkk. 1982. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Ranggawarsita, R.Ng. 1938. Sĕrat Pustakaraja Purwa (Jilid I). Djokdja: Boekhandel En Drukerij Kolf Buning.

_______. 1994. Sĕrat Pustakaraja Purwa (Jilid III), Alih Aksara Kamajaya. Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan "Mangadeg" dan Yayasan "Centhini".

Soedjijono. 2001. "Legende dari Pulau Bawean (Kajian dengan Pendekatan Arketipal)" Makalah Kongres Bahasa Jawa III. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa III.

Page 128: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

128

Anung Tedjawirawan

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010- 1 -

Subalidinata, R.S. 1994. "Gema Denta Wiyanjana Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam Sastra Budaya Jawa" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta.

Sugiarti, Srima; Triyono, Adi, dkk. 1981. Babad Prambanan. Jakarta: Depdikbud.

Suwarna. 1983. Tinjauan Sĕrat Kalamwadi Karya Raden Mas Suwandi (Skripsi Sarjana Muda). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Tanojo, R. Tanpa tahun. Primbon Pustaka Jawa: Jangka Jayabaya Pranitawakya. Solo: TB Pelajar.

Tedjowirawan, Anung. 1992. ″Pujangga-pujangga Imajinasi dan Teori Etimologi Sandi″ dalam Badrawada Edisi 21, November 1992. Yogyakarta: KMSD Fakultas Sastra UGM.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Museum Radyapustaka. 1970. Sĕrat Djangka Djajabya. Surakarta: Museum Radyapustaka.

Wijayanti, Wiwik Adri. 1984. Sebuah Catatan Perjalanan ke Tengger. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.

Wiryamartana, I Kuntara. 1994. "Melacak Asal-Usul Urutan Ha-Na-Ca-Ra-Ka" Makalah Seminar Nasional Pengkajian Makna Ha-Na-Ca-Ra-Ka, 15-16 April 1994 dalam Rangka Dasawarsa Lembaga Javanologi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan Yogyakarta.

Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Djambatan.

Naskah:

Sĕrat Ajidarma-Ajinirmala. Surakarta: Museum Radyapustaka.

Page 129: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

129Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

I

Peninggalan tertulis tertua yang ditemukan di Indonesia,mempergunakan huruf Pallava dan berbahasa Sansekerta.Peninggalan itu kita kenal sebagai prasasti dan ditemukan di Kutai,Kalimantan Timur dan Jawa Barat. Sementara itu raja-rajanya punmempergunakan nama Sansekerta, seperti Mulavarman danPurnavarman. Kenyataan ini kemudian mendorong ahli Barat,yang dewasa ini dapat digolongkan sebagai penganut aliran kolonial,berkesimpulan bahwa telah terjadi proses hinduisasi di Kutaimaupun Jawa Barat pada masa itu (Coedes, 1968). Bahkan sampaisekarang masih ada ahli Barat yang menganut pandangan ini, sepertiyang terlihat dalam laporan penelitian terhadap apa yang terjadidi Sumatra Timur pada abad yang lebih kemudian. Sementara itudilaporkan pula olehnya bahwa apa yang terjadi adalah sebuah prosesadaptasi kebudayaan setempat terhadap kebudayaan Tamil (Perret,2010: 126).

Penganut aliran “kolonial” di dalam analisisnya terhadapkebudayaan “lokal” senantiasa mendasarkan pandangannya darisudut kebudayaan asing. Sebagaimana diketahui, dewasa ini dalamfilsafat ilmu telah muncul aliran baru yang dikenal sebagai aliran“pasca kolonial”. Aliran ini muncul setelah bangsa-bangsa yangdahulu terjajah, yang menjadi obyek penelitian mereka, telahmemerdekakan diri. Kenyataan ini menyadarkan peneliti (Barat)untuk tidak lagi mendasarkan analisisnya daru sudut pandang

NOERHADI MAGETSARI

LOCAL GENIUS

Page 130: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

130

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

mereka, melainkan dari kacamata bangsa itu sendiri. Dengandemikian maka permasalahan tidak lagi difokuskan pada asumsibahwa kebudayaan lokallah yang beradaptasi terhadap kebudayaanasing, atau kebudayaan asing mempengaruhi kebudayaan lokalmelalui proses indianisasi misalnya, melainkan bagaimanakebudayaan lokal mengolah kebudayaan asing itu sesuai dengankarakteristik maupun kepentingannya masing-masing.

Dari apa yang telah disampaikan di atas, maka sesungguhnyaapa yang menjadi inti permasalahan adalah sudut pandang. Padagilirannya sudut pandang ini akan merumuskan persoalan apa yanghendak dijelaskan. Dalam kaitan ini ada di antara kita yang masih“terperangkap” dalam sudut pandang kolonial. Sebagai contohdapat dikemukakan bahwa dalam buku Sejarah Nasional IndonesiaJilid II, misalnya, walaupun diterbitkan oleh DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, masih membicarakan “UpacaraPenghinduan” (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975:34). Contoh lainyang masih dapat dijumpai, di kalangan arkeologi misalnya, adalahmasalah pengaruh-mempengaruhi. Apabila terdapat kesamaanantara produk budaya lokal dengan produk asing, maka penjelasanyang diberikan adalah bahwa kebudayaan lokal berasal darikebudayaan asing itu (Sartono Kartodirdjo dkk., 1975, Jilid I:34).

Atas dasar semuanya itu, serta dalam suasana keilmuan pascakolonial, maka kita seyogyanya melepaskan diri dari perangkapaliran atau ajaran kolonial yang selama ini dijejalkan ke dalampikiran kita. Daripada kita mencari kebudayaan apa yang telahmempengaruhinya, maka seyogyanya kita berupaya untukmengungkapkan bagaimana sesungguhnya kebudayaan kita itu.Dengan cara ini maka kita akan dapat lebih baik mengenali dirikita, identitas kita, kelemahan dan kekuatan kebudayaan kita. Dibawah ini akan dicoba diungkapkan bagaimana kalau sudut pandangIndonesia diterapkan, walaupun terhadap data yang sama denganapa yang telah dikaji oleh para peneliti terdahulu.

Page 131: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

131

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

II

Dalam kesempatan lain (Magetsari, 1986), saya telahmengusulkan bahwa apa yang terjadi bukanlah proses penghinduanatau proses adaptasi, melainkan oleh karena Bangsa kita pada waktuitu telah mulai memeluk Agama Hindu. Bahwa setelah memeluksuatu Agama, orang lalu memakai nama, mempelajari bahasa, ataumempergunakan hurufnya, merupakan sesuatu yang wajar.Kecenderungan ini dapat dianalogikan dengan apa yang terjadi padawaktu Bangsa kita memeluk Agama Islam. Kita juga lalumempelajari Bahasa dan mempergunakan huruf Arab oleh karenaAgama Islam diajarkan dalam Bahasa Arab. Demikian pula halnyadengan penggunaan nama-nama dalam Bahasa Arab. Sebaliknya,kita tidak pernah mempelajari bahasa atau huruf Mandarin, ataumempergunakan nama-nama Cina oleh karena kita tidak menganutAgama Tao atau Konghucu, walaupun warga keturunan Cina danhubungan kita dengan Cina telah lama terjalin, paling tidak sejakabad ke-5, sebagaimana Fa-hsien menyampaikannya dalam catatanperjalanannya.

Di atas telah disampaikan bahwa di Kutai dan di Jawa Baratditemukan peninggalan tertulis yang biasa dikenal sebagai prasasti.Bentuk prasasti keduanya berbeda satu dengan lainnya. PrasastiKutai berbentuk yupa atau tugu, sedangkan yang di Jawa Baratdituliskan pada batu alam.

Di Kutai ditemukan tujuh buah yupa yang mencatat beberapaperistiwa yang tejadi pada masa itu. Pertama yang mencatat tentangsilsilah raja. Yupa lain mencatat beberapa tindakan yangdilakukannya, antara lain pemberian hadiah berupa minyak danhewan dalam jumlah besar kepada rakyatnya maupun kepada parabrahmana. Dari sumber tertulis ini dapat diketahui bahwa salahseorang penganut Agama Hindu yang pertama di Indonesia adalahseorang putra seorang raja Raja KunduEga. Setelah menganutAgama Hindu ia memakai nama Sansekerta, yaitu Aœvavarman.Setelah itu semua keturunan sang raja menyandang namaSansekerta. Di antara dinasti Varman ini, yang menonjol adalahMûlavarman. Sebagai raja ia dikenang sebagai seorang raja besardan pemurah, sehingga para brahmana yang hidup pada masa

Page 132: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

132

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pemerintahannya merasa perlu untuk mencatat kedermawanansang raja dalam prasasti. Rupa-rupanya Sang Raja menyediakantempat khusus bagi para brahmana yang disebut Waprakeœvâra.Berita ini memberitahukan kepada kita bahwa Kerajaan Kutai padawaktu itu telah memiliki sebuah struktur pemerintahan yangmantap di mana para brahmana memperoleh kedudukan khususdari Sang Raja. Hal ini berbeda dari struktur masyarakat hindu diIndia yang meletakkan brahmana di atas kasta Sang Raja, yangberkasta ksatria.

Dalam kurun waktu yang kurang lebih sama, penganutpertama Agama Hindu di Indonesia pun seorang raja dari JawaBarat. Raja ini, setelah memeluk Agama Hindu, tidak sajamengganti namanya menjadi nama Sansekerta, akan tetapi jugamenamakan kerajaannya dengan nama Sansekerta pula. Raja ituadalah Raja Pu[Gavarman dari Kerajaan Târumânâgara.Sebagaimana halnya dengan raja yang hidup sejaman dengannya,ia pun mencatat beberapa peristiwa penting yang dilakukannya.Dalam prasasti Tugu (Poerbatjaraka, 1952:13-14) ia mencatat bahwaia telah menggali kanal guna mengalirkan air dari SungaiChandrabhâga melalui istananya ke laut. Di samping itu ia punmenggali kanal lain guna mengalirkan air dari Sungai Gomati kekediaman para brahmana di mana neneknya menjadi pendeta disana. Prasasti in juga mencatat bahwa setelah pekerjaan ini selesai,dilakukan sebuah upacara oleh para brahmana, dan untuk inimereka menerima hadiah 1000 ekor sapi dari Sang Raja. Beritaini pun menunjukkan kekhasan struktur masyarakat Târuma-nâgara, di mana nenek Sang Raja diberitakan berkedudukansebagai pendeta, sebuah status yang seharusnya diduduki olehmereka yang berkasta brahmana. Sebagaimana diketahui Raja,dalam hal ini adalah cucu sang nenek pendeta, biasanya berkastaksatria. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang tidak lazim, karenamenurut tradisi Hindu India, tidaklah mungkin dalam satu keluargayang anggota keluarganya memiliki dua kasta yang berlainan.Kekhasan lain juga ditunjukkan oleh prasasti Ciaruteun dan KebonKopi (Poerbatjaraka, 1952: 12). Dalam prasasti ini Sang Rajamenyamakan dirinya dengan Dewa Wisnu, dengan mengatakanbahwa telapak kakinya sama dengan telapak kaki Dewa Wisnu dan

Page 133: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

133

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

telapak kaki gajahnya sama dengan Airawata, gajah Dewa Wisnu.Penyamaan raja dengan dewa ini sesungguhnya sangat tidak lazimdi India melainkan menjadi lazim di Indonesia, yang kemudiandikenal sebagai konsep dewa-raja atau sebagaimana yang diuraikandalam Kakawin Nâgarakrtâgâma (abad ke 15) tentangpendharmaan Raja menjadi Dewa. Prasasti terakhir yang dapatdijadikan sumber kajian adalah prasasti yang berisi puji-pujian yangditujukan kepada Sang Raja. Raja Purnavarman dipuji sebagaiseorang Raja yang gagah perkasa dan penakluk para musuhnya,namun hormat kepada para pangerannya. Dalam kapasitasnya yangdemikian ini, tidak mengherankan bahwa ia pun memilikitungangan seekor gajah, sesuatu yang tidak dimiliki oleh raja lainsesudahnya.

III

Di atas telah diulas masalah penganut Agama Hindu yangpertama, maka bagaimana halnya dengan Agama Buda, mengingatbahwa peninggalan Agama Buda berupa candi cukup banyakditemukan. Namun patut disayangkan bahwa penganutnya tidakada yang meninggalkan sumber tertulis sebagaimana penganutAgama Hindu. Sumber tertua tentang masalah ini, sebagaimanayang telah disinggung di atas, hanya dapat diketahui dari catatanFa-hsien yang pernah berkunjung pada abad ke-lima. Mamundemikian ia hanya memberitakan bahwa di samping Agama HinduAgama Buda juga sudah dianut.

Catatan I-tsing, pada abad ke-tujuh, menyampaikan informasiyang lebih rinci tentang perkembangan Agama Buda di Indonesia.Walaupun para peneliti sepakat bahwa kerajaan yang dimaksudkanI-tsing itu berada di wilayah kita, walaupun letak yang sesungguhnyamasih menjadi perdebatan, apakah di Sumatra atau di Jawa. Namundemikian apa yang dapat diketahui tentang apa yang terjadi padawaktu itu ialah bahwa wilayah ini memiliki sarana kajian AgamaBuda yang baik. Paling tidak bagi para pendeta Cina yang berupayamenerjemahkan kitab suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekertake dalam Bahasa Mandarin. Bahkan I-tsing secara khusus datang

Page 134: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

134

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kembali untuk menerjemahkan kitab-kitab itu dengan membawaenam muridnya. Hanya patut disayangkan bahwa kitab apa yangditerjemahkan tidak ikut tercatat, sehingga kita dewasa ini tidakdapat mengetahuinya dengan pasti. Namun demikian dari jumlahmurid yang dibawanya serta jangka waktu yang dilaluinya, yaitudua belas tahun, dapatlah diperkirakan bahwa cukup banyak kitabyang berhasil diterjemahkannya. Penelitian Iwamoto terhadap karyaI-tsing, megungkapkan bahwa salah sebuah Sûtra yang berhasilditerjemahkan itu adalah Mahâparinirvâna-sûtra. Menurut catatanI-tsing, Sûtra ini diterjemahkan oleh Hui-ning di Holing pada sekitartahun 664, di mana ia menetap selama tiga tahun. Dalam iamenerjemahkan Ma-hâparinirvâna Sûtra itu, ia dibantu olehpendeta setempat, Jo-na--pa-t’o-lo (Jñânabhadra, atau apabiladiterjemahkan ke dalam Bahasa Mandarin menjadi Chih-hsien).Menurut Iwamoto Ho-ling adalah Kerajaan Mataram Kuno yangdiperintah oleh Dinasti Œailendra (Iwamo-to, 1980: 85 dst).

Perlu kiranya dicatat di sini bahwa apa yang telah dikemukakanoleh Iwamoto ini belum pernah diungkapkan oleh penelititerdahulu, walaupun catatan I-tsing ini sebagai sumber penelitiantelah banyak dikaji (Wolters, 1967). Dari penelitiannya terungkappula bahwa Ho-ling di samping memiliki sarana penerjemahan yanglebih baik atau lebih kondusif daripada India, tinggal paling tidakseorang pendeta yang mampu membantu penerjemahan.Sebagaimana diketahui, sebuah penerjemahan tidak mungkinberhasil apabila penerjemah hanya sekedar menguasai bahasanyanamun tidak menguasai dengan baik isi yang diterjemahkannya.Dalam hal penguasaan isi inilah bantuan pendeta dari Ho-ling itudiperlukan. Bahwa “Ho-ling” atau Mataram Kuno itu memilikipendeta yang hebat juga dapat dikaji melalui sumber Tibet.

Sumber yang dimaksudkan itu adalah sebuah naskah yangberisikan Sejarah Tibet, dan yang diterjemahkan oleh Roerich(1949, vol. I: 244). Naskah ini memberitakan bahwa Atiœa(DîpaEkaraœrîjñâna) mengunjungi guru gSer-gliE -pa(SuvarGadvîpin). Dari biografinya, dapatlah diketahui bahwa Atiœatinggal di SuvarGadvîpa selama dua belas tahun untukmenyempurnakan ajaran Buddha murni yang kuncinya ada pada

Page 135: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

135

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Pendeta Agung SuvarGadvîpin seorang. Adapun tujuannya adalahuntuk memperdalam ajaran Agama Buddha yang murni, danPendeta Suvarnadvipin dianggap sebagai satu-satunya guru yangmenguasai ajaran itu. Dari padanya ia menerima sejumlah besarajaran rahasia yang mengutamakan ajaran tentang Upâya untukmeningkatkan kreativitas Mental guna memperoleh Pencerahan.Selanjutnya Sumpa, di dalam dPag-bsam-ljon-bzang, menambahkanbahwa DîpaCkâra pergi ke SuvarGadvîpa dan menemuiDharmakîrti serta belajar di bawah bimbingannya selama dua belastahun tentang bagaimana mengembangkan bodhicitta, yangmencakup pranidhâna dan avatâra.” (Chattopadhyaya, 1967: 85-86). Bahwa Atiœa pernah berguru kepada Suvarnadvîpin rupa-rupanya masih terus dikenal sampai sekarang. Hal ini dapatdiketahui dari kenyataan bahwa para pendeta Tibet masih banyakyang berziarah ke Candi Borobudur, karena percaya bahwatempatnya berguru adalah Borobudur. Kepercayaan ini kiranyamendukung hasil penelitian Iwamoto dim atas yang mengkaitkanSuvarnadvipa atau Ho-ling dengan Kerajaan Mataram Kuno.

Walaupun kedua berita di atas telah lama diterbitkan, namuntidak banyak dikembangkan lebih lanjut, seperti misalnya mengapaI-tsing menerjemahkan berbagai kitab sucinya justru di Ho-ling danbukan di negerinya. Mengapa Atiœa, seorang pendeta Agama Budayang terkemuka sampai datang ke SuvarGabhûmi khusus untukberguru kepada SuvarGadvîpin dan tidak pergi belajar ke Nâlandayang telah sangat terkenal. Seandainya permasalahan tersebutdidalami, maka peran Indonesia dalam perkembangan Agama Budadapat kiranya diungkapkan. Melalui pengungkapan yang demikianini maka pendapat yang beranggapan bahwa budaya lokalberadaptasi terhadap budaya India kiranya patut dipertanyakan.Paling tidak kedua berita Cina dan Tibet itu menyiratkan, bahwaSuvarGadvîpa, paling tidak sejak abad ke-tujuh, telah memiliki danmenawarkan sesuatu yang tidak dimiliki India. Bahkan dari beritaI-tsing, dapat pula diketahui bahwa Ho-ling merupakan tempatyang lebih baik untuk keperluan penerjemahan. Bahkan beritaTibet menyiratkan bahwa SuvarGadvîpa, tidak hanya menawarkansarana melainkan juga memiliki pendeta yang berilmu tinggi yangcukup berharga untuk didatangi, dari Tibet sekali pun. Luput pula

Page 136: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

136

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dari perhatian, misalnya, bahwa dalam perjalanannya dari Tibetmenuju Suvarnadvipa, Atiœa tentunya juga melewati pusat agamaBuda pada waktu itu, Nâlanda; atau bagaimana nama seorangpendeta SuvarGadvîpa sampai dapat terdenganr ke Tibet sehinggamenarik perhatiannya untuk datang dan berguru kepadanya.Masalah-masalah yang demikian ini dengan sendirinya terabaikansebagai akibat prasangka bahwa negara terjajah seperti Indonesiamustahil mampu memiliki kesemuanya itu.

IV

Sebuah contoh lain yang dapat dikemukakan di sini adalahCandi Borobudur. Pada waktu dilakukan pemugaran terhadapnya,oleh Proyek Pemugaran Candi Borobudur telah dilakukaninventarisasi terhadap berbagai karangan yang telah diterbitkanberkenaan dengan candi itu. Pada waktu itu telah tercatat lebihdari 1000 judul karangan dalam bentuk buku maupun artikelmajalah yang telah ditulis dan diterbitkan. Namun demikianberbagai karangan itu sebagian besar bersifat deskriptif, yangmendeskripsikannya dari sudut arsitekturnya (van Erp, 1931), ataudari sudut arkeologi (Krom, 1927). Demikian pula ada yangmendeskripsikan reliefnya (Jan Fontein, 1967) atau mencari maknahubungan bentuk, namanya (Stutterheim, 1956), hubungan candidengan sumber tertulis (de Casparis, 1950).

Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai hasil penelitian yangtelah diterbitkan itu sangatlah berharga. Namun demikian apa yangbelum dipermasalahkan adalah apa sesungguhnya yangmembedakan Candi Borobudur dari candi-candi di India. Denganlain perkataan apakah yang menjadi kekhasan Candi Borobuduryang dapat mengisyaratkan warna Indonesia. Mudah dimengertibahwa masalah yang demikian ini sukar diharapkan datang daripara peneliti asing, walaupun seandainya mereka telah menganutaliran pasca kolonial sekali pun. Atas dasar itu maka sudahsepantasnya dan sudah waktunya bagi kita untukmempermasalahkan apa yang belum dipermasalahkan oleh parapeneliti asing pendahulu kita.

Page 137: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

137

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dalam hal Candi Borobudur, apa yang telah diungkapkanadalah kebesaran, keagungan, keindahan gaya seni relief maupunarcanya. Bahkan Candi ini pun telah terdaftar sebagai salah satuWarisan Budaya Dunia. Namun demikian kesemuanya itubelumlah terkait dengan Indonesia. Kita hanya bangga bahwa CandiBorobudur berada di Indonesia. Namun demikian apasesungguhnya yang menunjukkan keindonesiaan Borobudur yangtidak dimiliki bangsa atau ditemukan di tempat lain belumlahmenarik perhatian kita. Demikian pula halnya dengan produk-produk budaya yang lain apakah itu kebudayaan materi atau verbal,yang tangible apalagi yang intangible.

Sebagaimana diketahui, aspek intangible csebuah candi adalahlatar belakang agamanya. Sebagaimana diketahui, Candi Borobudursecara struktur terdiri dari bangunan berundak berlantai lima diikutidengan tiga teras berbentuk oval dan akhirnya dipuncaki dengansebuah stupa besar. Bangunan berundak yang berpagar langkan,dihiasi dengan relief. Seluruh relief yang dipahatkan di dindingcandi dan di pagar langkannya itu telah dikenali ceritanya dengancara mengkaitkannya dengan sumber tertulis. Bagian terbawahdihiasi dengn relief MahâkarmavibhaEga, yang mengajarkantentang sebab penderitaan manusia dan apa akibat perbuatanmereka di alam kemudian. Bagian di atasnya yang dapat dikatakansebagai badan, dihiasi dengan berbnagai aspek kehidupanBodhisattva yaitu Jâtaka dan Avadâna. Selanjutnya diikuti denganLalitavictara, yaitu ceritera tentang kehidupan Sang BuddhaGautama sendiri. Akhirnya Gandavyûha dan Bhadracarî yangmengajarkan cara mencapai Kebuddhaan.

Hiasan relief ini kemudian juga dilengkapi dengan patung.Patung-patung itu diletakkan dalam relung yang ditempatkan diatas pagar langkan, sehingga menghadap ke empat penjuru mataangin. Akcobhya menghadap ke Timur, Amitâbha ke Barat,RatnasaCbhava ke Selatan dan Amoghasiddi ke Utara. Di relungpaling atas di atas pagar langkan lantai ke lima, ditempatkan arcaVairocana yang menghadap ke empat penjuru mata angin.Akhirnya di tiga teras oval di dalam stupa berongga Vjrasattva.

Page 138: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

138

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Ditinjau dari sudut Agama Buda, maka rangkaianMahâkarmavibhangga sampai Bhadracari dapat digolongkan kedalam aliran Mahayana. Selanjutnya, arca-arca Tathâgata ituditempatkan sesuai dengan mandala sebagaimana yang diuraikandalam Guhyasamâja tantra. Atas dasar ini maka arca-arca Tathâgataini dapat digolongkan ke dalam aliran Tantra. Dengan demikianmaka Candi Borobudur mengintegrasikan aliran Buda Mahâyânadengan Tantrayâna dalam sebuah bangunan. Pengintegrasiansemacam ini tidak ditemukan di tempat lain.

Bahwa pengintegrasian Mahâyâna dengan Tantrayâna ituhanya dikembangkan di Indonesia, direkam secara tertulis dalamKitab Sang Hyang Kamahâyanikan. Dalam kitab ini diuraikanbahwa Mahâyâna merupakan persiapan untuk melaksanakanTantrayâna. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa aliran filsafatYogacâra diterapkan sebagai jembatan antara keduanya.

V

Dari uraian singkat di atas, menjadi jelas kiranya bahwa apabilahasil penelitian yang lampau dikaji kembali dengan sudut pandangIndonesia, maka apa yang menjadi kekhasan atau mungkin jugakelebihan kebudayaan “lokal” akan dapat diungkapkan. Demikianjuga keunggulan pendeta/ ilmuwan kita, akan dapat ditampilkan.

Atas dasar itu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuandan terutama dalam mengisi kemerdekaan yang telah kita rebut,maka sudah sepantasnyalah apabila kita merubah pola pikir, secaraepistemologis dari kolonial ke pasca-kolonial. Secara metodologismerubah paradigma dari pengungkapan proses pengaruhkebudayaan asing (India), sebagaimana yang diutarakan dalam BukuSejarah Nasional II halaman 20 – 27 misalnya, menjadipengungkapan kebudayaan sendiri.

Jakarta, 31 Mei 2010.

Page 139: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

139

Local Genius

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Kepustakaan

Casparis, J.G. deInscripties uit de Çailendra-tiid. Prasasti Indonesia I.Bandung: 1950. Disertasi.

Chattopadhyaya, A.Atisa and Tibet. Calcutta, 1967

Coedes, G.The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu, 1968.

Fontein, J.The Pilgrimage of Sudhâna.The Hague: 1967.

Erp, Th. vanBeschrijving van Barabudur II, Bouwkundige Beschrijn-g.‘s-Gravenhage, 1931.

Iwamo-to, Y.“The Sâi-lendra Dynasty and Chandi Borobudur”, yangdiajukannya dalam International Symposium on ChandiBorobudur di Kyoto pada tanggal 25-27 September 1980, dalamBorobudur.Tokyo, 1980.

Krom, N.J.Barabudur. Archaeological Description.The Hague, 1927.

Magetsari, Noerhadi“Local Genius dalam kehidupan beragama”, dalam Ayatrohaedi(ed.), Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta, 1986:56-65.

Perret, DanielKolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di SumatraTimur Laut.Jakarta, 2010.

Poerbatjaraka, R.M.Riwayat Indonesia I. Jakarta, 1952.

Sartono Kartodirdjo, Marwati Poesponegoro, NugrohoNotosusanto (eds.)

Sejarah Nasional Indonesia I dan II. Jakarta, 1975.

Page 140: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

140

Noerhadi Magetsari

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Stutterheim, W.F.“Chandi Barabudur, Name, Form, and Meaning” (1929),diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh F.D.K. Bosch,dalam Studies in Indonesian Archaeology.The Hague, 1956.

Roerich, G.N.The Blue Annals. Calcutta, 1949, vol. I.

Wolters, O.W.Early Indonesian Commerce.New York, 1967.

Page 141: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

141Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

A.A. GDE ALIT GERIA

(Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali)

KAKAWIN NILACANDRA: Kreativitas dan Filsafat Estetika

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isi pokok Kakawin Nilacandra adalah pertemuan Nilacandra dengan prabu Yudhistira dan peperangan Kresna dengan Nilacandra. Melalui tokoh Yudhistira dan Nilacandra dapat diketahui adanya pemaparan tentang filosofis “Siwa-Buddha” adalah “tunggal”. Hal ini menggelitik suatu pertanyaan mengapa dan bagaimana kakawin ini digubah? Kehadirannya sangat berkaitan dengan fungsi karya ini dengan kehidupan religius kedua agama (Siwa-Buddha) di Bali. Yang tidak kalah menariknya adalah proses penerimaan (resepsi) pengarang terhadap karya-karya sejenis sebelumnya, sebagai bukti bahwa pengarang (pangawi) termasuk pembaca aktif dan sebagai realisasi dari tanggapan kreativitasnya telah melahirkan Kakawin Nilacandra.

Kreativitas pengarang (pangawi) membuktikan betapa tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali masih berlangsung hingga di zaman modern yang serba canggih ini. Penulis memprediksi bahwa kehadiran karya ini sangat erat kaitannya dengan fungsi karya sastra Jawa Kuna di Bali terutama dengan kehidupan keagamaan. Dalam kenyataan sejarah teks mana pun cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa (Kuntara, 1990:9-10; Teeuw, 1988:250-252). Pada umumnya teks mana pun juga tidak luput dari proses perubahan, perusakan, penyesuaian, perkembangan, dan pembaharuan (Teeuw, 1988:

Page 142: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

142 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

252). Pada intinya sejarah sastra berkembang atas dasar interaksi yang terus menerus antara kreasi dan resepsi, yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, dan seterusnya.

Tiga bentuk resepsi yang khas, yakni penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan (Teeuw, 1988:214). Penyalinan yang dimaksud adalah penyalinan naskah tulisan tangan. Seorang penyalin naskah sering kali secara tidak kebetulan atau karena keteledoran, sehingga terwujud semacam resepsi atau kreasi di dalam salinan atau gubahannya. Penyaduran adalah proses di mana sebuah teks digarap oleh seorang pengarang (pangawi), yang disesuaikan dengan norma-norma baru dengan perubahan yang membuktikan pergeseran horison pembaca, dengan penyesuaian pada jenis-jenis sastra baru, serta mencocokan dengan tahap bahasa yang baru (Ibid, 214-215). Pada suatu tahap pewarisan teks mungkin sekali suatu sumber teks menjadi sumber kreasi, seperti pemberian komentar, penerjemahan, dan penyaduran. Dalam kasus ini penyalin dapat dipandang sebagai pembaca kreatif, yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks. Di sini pula terjadi transpormasi teks. Suatu teks dibaca, dipahami, dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman, dan penafsiran itu diwujudkan menjadi teks baru, entah sama atau berlainan bahasa, juga jenis dan fungsinya (Kuntara, 1990:10; Teeuw, 1988:266-274).

Dalam transformasi sebuah teks dapat dikenali tanggapan penciptaan atas teks yang dibacanya terdahulu. Dalam penelitian yang berpusat pada teks, pembaca bukan bersifat aktual, seperti dalam penelitian resepsi yang bersifat eksperimental (Kuntara, 1990;10; Teeuw, 1988:208-210), melainkan pembaca berada di balik teks yang diciptakannya. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yakni bagaimana seorang pembaca memahami karya itu, atau melihat hakikat estetika yang ada di

Page 143: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

143Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dalamnya. Sebagai bagian filsafat, maka sejarah estetika berkaitan erat dengan filsafat,

khususnya filsafat metafisika karena filsafat berarti cinta terhadap kearifan atau kebijaksanaan.

Estetika dikatakan memiliki dua wilayah pemahaman, yaitu: a) estetika tradisional, yang sering disebut sebagai estetika filsafati, dan b) estetika modern, yakni estetika ilmiah yang meliputi pemahaman intelektual yang melibatkan ilmu bantu yang relevan. Tujuan pengetahuan indrawi adalah keindahan, yang disebut estetika. Pada umumnya keindahan terkandung dalam alam dan karya sastra, seperti sastra Kakawin Nilacandra. Meskipun demikian, dalam pengertian yang sesungguhnya, keindahan lebih difokuskan pada karya seni, dengan standar nilai yang menyertainya (Ratna, 2007:25).

1.2 Masalah

Berdasarkan gambaran latar belakang di atas, kaitannya dengan kreativitas pengarang dan karyanya yang bernuansa filsafat estetika, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

Sejauhmana kreativitas pengarang Kakawin Nilacandra terhadap karya terdahulu yang sejenis?

Sejauhmana filsafat estetika tercermin dalam Kakawin Nilacandra sebagai hasil resepsi pengarang?

II. PEMBAHASAN

2.1 Kreativitas Pangawi

Penciptaan Kakawin Nilacandra sebagai tanggapan pengarang (pangawi) terhadap karya sastra terdahulu, sepertinya Made Degung selaku pengarang kakawin ini telah membaca lebih dari satu karya sastra terutama yang memuat konsep ajaran Siwa-Buddha. Pemahaman serta tanggapan terhadap teks Negarakertagama karya Mpu Prapanca (1287 Saka) sebagai bukti

Page 144: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

144 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kreativitas pengarang dalam mewujudkan karyanya, sehingga dalam kakawin ciptaanya memunculkan konsep “Siwa-Buddha”. Dalam Negarakertagama disebutkan adanya dua jabatan kerohanian, yakni Dharmadayaksa Kasogatan atau Boddhayaksa (pejabat yang mengurusi masalah agama Buddha). Sementara Saiwadhyaksa adalah para pemuja Siwa. Konsep kehidupan keagamaan ini masih sangat relevan dihadirkan terutama di Bali, sebagaimana tersirat dalam Kakawin Nilacandra. Dengan membaca, mendiskusikan, dan menafsirkan lewat mabebasan filosofis Siwa-Budha secara benar, suatu ketika mungkin akan lahir karya baru sebagai hasil kreativitas pembaca terhadap karya sastra sebelumnya.

Jika dilihat dari isi cerita Kakawin Nilacandra, nampaknya pengarang juga mengambil sumber dari cerita Kunjarakarna sebuah karya kakawin ciptaan Mpu Dusun yang sarat akan ajaran religius yang sangat penting dan sangat pantas dipelajari (Zoutmulder, 1985:475). Adanya keanekaragaman versi cerita menunjukkan betapa penerimaan masyarakat Jawa dan Bali terhadap sebuah cerita yang bersifat agama, sehingga penelitian sejarah teks dapat memberikan sumbangan yang berarti pada penelitian perkembangan kebudayaan Jawa-Bali (Agastia, 1987:126). Dalam versi kakawin seperti yang terdapat dalam Kakawin Nilacandra, konsep penyamaan dewa-dewa Hindu (Siwa) dengan Panca Tathagata yang ada dalam Kakawin Kunjarakarna masih tetap dimunculkan. Demikian juga tentang dharma (kebenaran tertinggi) yang di dalam Kakawin Kunjarakarna disebut Dharmakathana sangat ditonjolkan, kembali mendapat penekanan dalam Kakawin Nilacandra.

Jika dibandingkan antara Nilacandra Parwa dengan Kakawin Nilacandra sebagai hasil adaptasi dari karya prosa ke dalam puisi, terdapat perbedaan yang menyolok baik dari segi naratif maupun tokoh yang ditampilkan. Pangawi (Made Degung) memang tidak menyadur begitu saja dari Nilacandra Parwa (1985) gubahan I Gusti Gede Bilih, tetapi Kakawin Nilacandra berangka tahun 1995 ini merupakan hasil resepsi atau tangga-

Page 145: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

145Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

pannya sehingga berhasil mencipta karya baru. Perbedaan antara kedua karya yang berselang 10 tahun ini dapat ditelusuri: (1) Dari segi tokoh pada Kakawin Nilacandra muncul tokoh Nilacandra, Kresna, Yudhis-

tira (Panca Pandawa), dan Werocana. Nilacandra sebagai tokoh Buddha merupakan reinkarnasi Hyang Werocana atau Buddha Tertinggi, Kresna sebagai tokoh Wisnu (ke-Wisnu-an) dan Yudhistira sebagai tokoh Siwa; (2) Hakikat dari Kakawin Nilacandra ini adalah menekankan “Siwa-Buddha tunggal” dan dharma atau kebenaran Tertinggi dari kedua agama itu sama. Penyamaan hakikat Tertinggi seperti yang dikatakan Haryati Soebadio (1985:51), bahwa hal-hal yang disamakan satu dengan yang lain itu tidak lain daripada konsep mengenai Prinsip Tertinggi beserta manifestasinya. Penyamaan itu misalnya nampak pada “Panca Dewata” (Siwa) sama dengan Panca Tathagata (Buddha). Sementara dalam Nilacandra Parwa lebih bersifat pembebasan terakhir (moksa). Teeuw dan Robson menyebut “Liberation througt the law of the Buddha”, hukum pembebasan terakhir dalam agama Buddha; dan (3) Dari segi naratif Kakawin Nilacandra menceritakan perang Kresna dengan Nilacandra dan puncak ceritanya adalah perang Yudhistira dengan Nilacandra. Kekuasaan Yudhistira (Siwa) dan Nilacandra (Buddha) sama-sama kuat, tidak ada yang kalah, namun wajar saling menguasai (Siwa-Buddha tunggal ika, wenang saling surup-sinurupan). Sementara dalam Nilacandra Parwa merupakan usaha Kunjarakarna dan Purnawijaya membebaskan diri dari siksaan neraka, dengan mempelajari hakikat tertinggi agama Buddha dari Hyang Werocana.

Sebagai pangawi muda, ada catatan penting yang perlu diketahui sebagai kreativitasnya dalam karya sastra kakawin, yakni dengan munculnya wirama baru yang sebelumnya tidak ada dalam nama-nama wirama yang telah ada. Nama wirama itu adalah “Purantara” dengan pola persajakan “23 suku kata, guru 7, laghu 15, gana 7, sesa 2 Lakara”. Sebagai bukti bahwa wirama ini ciptaan pengarang atau pangawi adalah adanya kalimat yang berbunyi: “Purantara pakardin pangawi” artinya wirama Puran-

Page 146: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

146 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

tara adalah ciptaan pengarang sendiri. Adanya ciptaan wirama baru ini tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa

Kuna, yang dikemas begitu estetik. Di samping itu dapat dikatakan tradisi penyalinan dan penciptaan karya-karya baru dalam sastra Jawa Kuna di Bali masih berlanjut hingga kini, walaupun secara kuantitas sangatlah kecil.

2.2 Filsafat Estetika

Filsafat estetika dalam sastra Bali klasik, pernah dibicarakan oleh P.J. Zoutmulder dalam bukunya yang berjudul Kalangwan (1984), sebuah istilah dalam bahasa Jawa Kuna yang berarti “keindahan”, sebagaimana digunakan dalam karya sastra kakawin maupun parwa. Zoutmulder menyampaikan pokok-pokok estetika dalam kakawin Jawa Kuna, antara lain: (a) Sang Kawi memulai karyanya dengan menyembah Dewa pilihannya (istadewata), yang dipujanya sebagai Dewa Keindahan, yang menjadi asal dan tujuan segala “keindahan”, dan yang menjelma di dalam segala sesuatu yang indah (lango); (b) Persatuan dengan Dewa Keindahan merupakan sarana dan tujuan yang membuat diri sang kawi alung lango (bertunas keindahan), yang kemudian diharapkan berhasil menciptakan karya yang indah (kalangwan), yakni kakawin. Menunggalnya dengan Dewa dan mencipta keindahan itu sang kawi berharap akan mencapai kalepasan (moksa). Kakawin dijadikan candi aksara, tempat bersemayam bagi Dewa Keindahan dan silunglung, bekal kematian bagi sang kawi. (c) Persatuan dengan Dewa Keindahan dan penciptaan kakawin merupakan yoga yang khas bagi sang kawi, yaitu yoga keindahan dan yoga sastra. Dewa Keindahan, sebagai yang mutlak dalam niskala (alam gaib), berkat samadi sang kawi, berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala, di atas padma, di dalam hati atau jiwa sang kawi. Keadaan itu membuat sang kawi dapat berhubungan dengan Dewa yang nampak dalam alam sakala dalam segala sesuatu

Page 147: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

147Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

yang indah. Dalam rangka yoga itu kakawin adalah yantranya; (d) Untuk menemukan Dewa Keindahan yang menjelma di alam sakala itu, sang kawi mengembara, menjelajah gunung dan pantai, hutan dan patirtan sambil melakukan tapa brata; (e) Keindahan yang ditemukan

sang kawi dalam alam terbayang dalam berbagai peristiwa yang dilukiskan dalam karyanya, seperti dalam peristiwa peperangan, percintaan, kecantikan wanita, dan sebagainya; (f) Alam dan manusia menjadi satu alam keindahan. Berhadapan dengan alam yang begitu indah (alango), sang kawi sebagai pencinta keindahan (mango), terpesona, terserap seluruhnya dan tenggelam dalam objek yang dipandangnya; (g) Sang kawi dapat menahan nafsu, godaan, dan telah mencapai tahap dhyana dan darana bahkan samadi (h) Dewa yang dipuja sang kawi menjelma pula pada sang raja yang menjadi patron sang kawi. Dengan memuja kemasyuran (yasa) sang raja, sang kawi pun berbuat jasa (yasa), dan kakawin yang dibuatnya merupakan menumen (yasa) yang mengabadikan nama raja dan nama sang kawi.

Dalam majalah Cintamani, Ida Wayan Oka Granoka (2002, 50-52) menyatakan “seni sebagai ritus”. Beliau memandang bahwa seni dan agama identik, yang dalam pandangan Barat dipisahkan. Tetapi dalam tradisi di Bali memandang seni adalah agama dan agama adalah seni. Aktivitas beragama adalah aktivitas berkesenian. Juga sebaliknya, aktivitas berkesenian dalam arti sebenarnya adalah aktivitas keagamaan. Tuhan dikatakan berwujud kecerdasan (Cit) yang ada pada setiap manusia. Seni apa pun jenisnya adalah ritus, yakni sebuah yajna. Oleh karena ritus, seni adalah suatu yang sakral dan berfungsi sebagai pangruwatan.

Menyimak sejumlah pendapat, pernyataan atau pengertian tentang estetika di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: (a) Estetika sesungguhnya mencakup pengertian keindahan, kemampuan, perasaan, dan cita rasa. Keindahan adalah sebuah nilai, senantiasa berkaitan dengan isi, yakni yang membuat sesu-

Page 148: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

148 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

atu itu berharga. Jadi, estetika sama kedudukannya dengan aksiologi; (b) Estetika itu berada pada tingkatan supra teks. Berawal dari peran aksara sebagai “mahkota budaya”. Seni itu digetarkan melalui prana, yaitu aksara sebagai stana Tuhan sehingga dikenal dalam tradisi Bali bahwa aksara itu adalah wahana Sanghyang Aji Saraswati dan sangat disucikan dan harus dikontemplamasikan secara sadar dan suntuk dalam setiap akti-

vitas berkesenian termasuk dalam seni sastra (kakawin). Sebagai supra teks, teks itu penting sebagai pangkal berkembangnya satyam, namun jangan berhenti pada teks, harus dikembangkan kepada supra teks, yaitu pengalaman estetik, spritual dan mistik; (c) Keindahan alam adalah keindahan abadi, maka seorang wiku (siddha-jnana) sang kawi senantiasa menjaga kesucian pikiran (suddha-jnana), maka beliau pun mencari tempat-tempat suci dan kawasan suci yang tiada lain adalah samudra luas dan gunung yang tinggi. Di tempat yang indah itulah sang kawi atau kawi-wiku membangun pondok sastra (payasan, pathani) sekaligus melakukan yoga sastra, dan lahirlah mahakawia (kakawin, parwa, kidung, geguritan).

Dalam bentuknya sebagai puisi Jawa Kuna, Kakawin Nilacandra ini terdiri dari 44 jenis wirama atau pupuh dan ada pengulangan wirama satu kali (Wirama ke-25 menjadi 45: Bhawa Cakra), sehingga jumlah seluruhnya menjadi 45 pergantian (pesalinan) wirama dengan jumlah bait (pada) sebanyak 356 bait. Dengan kata lain, jumlah bait (pada) keseluruhan adalah 356 bait dengan 44 jenis wirama. Sedangkan wirama Bhawa Cakra digunakan dua kali (wirama 25 dan 45). Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep Siwa-Budha, maka filsafat estetika Kakawin Nilacandra senantiasa berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti) dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam konsep estetikanya.

Page 149: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

149Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Filsafat estetik Kakawin Nilacandra sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna mencakup aspek yang sangat luas, yang tidak hanya bersifat jasmaniah (materi) tetapi juga rohaniah. Keindahan sesungguhnya ada di balik yang nampak, entah itu berupa peristiwa alam maupun kenyataan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Keindahan itu tidak hanya nampak dalam karya sastra, tetapi apa yang nampak dalam karya sastra adalah penampakan yang mutlak, yang ada di balik semua itu. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang kawi dalam me-

laksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta. Seperti terlihat dalam manggala Kakawin Nilacandra berikut:

Ong úryadhyàpaka padma yoni gharinì prajñatmya siddhottama, widyà mùrtti lanà gêlar pramathana byàpàka ring ràt kabeh, singgih hyang sakalà úarìra makalinggà úrì prasiddhàkûara, sang satsat pwa bapebu nàjara ri dharmmà-dharmma úìla krama. Terjemahannya: Oh Dewi Saraswati sakti Dewa Brahma yang bijaksana dan mulia, sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa menganugerahi semesta alam. Ia berbentuk nyata dan bersemayam pada setiap aksara, bagaikan ayah ibu yang senantiasa memberi nasihat tentang baik-buruk berperilaku. (KNC, I:1)

Setiap karya sastra kakawin sebutan Dewa Pujaan dari setiap ra kawi akan berbeda, tetapi pada prinsipnya memuja Dewi Keindahan, dengan harapan Dewi Keindahan bersemayam pada padma hati sang pujangga. Setelah Dewi Keindahan bersemayam dalam padma hati, dengan melalui samgamayoga menyatukan keindahan abadi dalam bathin sang kawi akan melahirkan candi pustaka atau karya sastra yang utama. Pada bait manggala di atas dapat diketahui doa pujian yang ditujukan kepada Dewi Keindahan (Saraswati) yang dinyatakan dengan

Page 150: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

150 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

kata-kata: Sri Adhya (Dewi Keindahan) Gharini padmayoni (sakti Dewa Brahma), widya murtti (penjelmaan ilmu pengetahuan), Hyang sakala sarira (berwujud nyata dan sempurna), Sri prasiddhaksara (puncak aksara). Kata-kata tersebut mengacu pada Dewi Keindahan yakni Dewi Saraswati. Dewi Saraswati tidak hanya dihadirkan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, tetapi juga sebagai Dewi Keindahan.

Dalam bahasa Sanskerta “Saraswati” dapat bermakna “sesuatu yang mengalir”, percakapan, kata-kata”. Dalam kitab suci Weda, “Saraswati” dinyatakan sebagai nama sungai dan dewa. Kemudian “Saraswati” dikenal sebagai sakti Dewa Brahma atau

sebagai Dewi Kata-kata atau Dewi Ilmu Pengetahuan (Agastia, 1987:35). Pada bait pertama manggala di atas telah disebutkan juga sebagai Dewi Keindahan, sakti Brahma, Dewi Ilmu Pengetahuan, dan wahana, jiwa, dan lingganya aksara. Pada bait ini pengarang juga menganggap-Nya sebagai ayah ibu (satsat pwa bapebu) yang senantiasa menasihati baik-buruk dalam berperilaku (najara ri dharmma-dharmma sila krama). Lukisan rasa estetik juga terlihat dalam kutipan berikut:

Yan ryadyàtmaka tantra mokûa phala ring wahyàji weh sukha ya, nàng bhaþþàri jagatpati pwa ta sinêngguh de ra sang paódhita, sêmbah kwi kya malakwa nanmata ri pàdantà úraya ngwang mangö, úuddhà wighna winastwakên saphala siddheng kàpti sàdhyeng kawi.

Terjemahannya: Dalam ilmu gaib bertujuan mencapai moksa yang dalam ilmu nyata menyebabkan kesenangan, beliau disebut Bhatari Jagatpati oleh para pendeta, sembahku di kaki-Mu semoga berkenan menganugerahi hamba rasa keindahan, agar suci mulia dan berhasil sebagaimana tujuan pujangga.

Page 151: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

151Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

(KNC, I:2)

Manise tisaya sakûat lakûmì ning maûa kacatur pratihata kadudut hahyun Hyang Manmatha nuruni, yatika kahidhêpanya stri Úri Nàraja kalima, pajarakêna gati sang Úri Dharmmàtmaja sira weh. Terjemahannya: Amat cantik seperti keindahan pada bulan keempat (sekitar Oktober), sangat tertarik hati Hyang Wisnu (Manmatha) turun ke bumi, begitu rasanya para istri raja Naraja kelimanya, (kini) ceritakan lagi tentang perihal Sri Dharmatmaja. (KNC, X:3)

Kutipan bait kedua manggala Kakawin Nilacandra di atas menunjukkan bahwa betapa pengarang mendambakan anugerah rasa estetis atau keindahan yang senantiasa bersujud di kaki-Nya sebagai rasa bakti yang tulus ikhlas (sembah kwikya malakwa nanmata ri padanta sraya ngwang mango), sehingga berhasil tercipta sebuah karya yang berguna di masyarakat berdasarkan kesucian hati dan tujuan mulia. Ia juga berusaha meniru apa yang dilakukan para pendeta dalam menghamba kepada-Nya, sehingga karyanya pun diharapkan berhasil sebagaimana tujuan para pujangga (sadhyeng kawi). Kutipan berikutnya (X:3) melukiskan bahwa kecantikan kelima istri Nilacandra bagaikan keindahan yang muncul pada masa kartika, kacatur, kapat atau sekitar Oktober (manise tisaya saksat laksmi ning masa kacatur), ketika bunga-bunga bermekaran dengan bau harum semerbak dengan hujan gerimis yang jatuh dari langit, hingga dewa Wisnu pun sangat tertarik untuk turun ke dunia. Masa kartika dapat membangun “rasa” di hati sang kawi, sehingga dapat menikmati rasa rahasya yang menjadi dambaannya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra Kakawin Nilacandra mengandung filsafat estetika isi atau corpus dan bentuk, yang meliputi: bentuk, manggala, efilog, amanat,

Page 152: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

152 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

wirama, wiraga, raras, dan wirasa. Dilihat dari segi bentuk struktur kakawin ini terdiri dari manggala, corpus (isi) dan epilog yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah karya sastra estetik dan menyenangkan. Perpaduan antara bentuk dan isi yang selaras dan serasi telah mewujudkan Kakawin Nilacandra sebagai hasil karya sastra klasik yang unggul, sarat akan nilai dan filsafat estetika (kebenaran, kebaikan, dan keindahan).

III. PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan uraian tentang kreativitas kepengarangan dan filsafat estetika yang terdapat dalam Kakawin Nilacandra, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

Kreativitas pangawi membuktikan betapa tradisi penulisan karya sastra kakawin di Bali masih berlangsung hingga kini. Penulis memprediksi bahwa kehadiran karya ini sangat erat kaitannya dengan fungsi karya sastra Jawa Kuna di Bali terutama dengan kehidupan agama Hindu. Adanya ciptaan wirama baru (purantara) tentunya sangat mengembirakan di kalangan pencinta sastra Jawa Kuna, khususnya kakawin sebagai salah satu bukti kemajuan dan perkembangan dalam “per-puisi-an” Jawa Kuna, yang dikemas begitu estetik.

Sebagai sebuah karya sastra Jawa Kuna yang sarat akan konsep Siwa-Buddha, maka filsafat estetika Kakawin Nilacandra senantiasa berdasar pada konsep estetika Hindu yakni monisme yang berisi tentang konsep keselarasan, keseimbangan serta kesatuan antara bentuk (prakerti) dan isi (purusa). Pandangan estetika Hindu pada dasarnya tidak terlalu berbeda dengan estetika dunia barat yang memasukkan konsep nilai ke dalam filsafat estetikanya. Karya sastra hanya merupakan sarana (yantra) bagi sang kawi dalam melaksanakan yoga untuk dapat bersatu dengan Sang Pencipta.

***

Page 153: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

153Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

DAFTAR PUSTAKA

Agastia, IBG. 1982. Sastra Jawa Kuna dan Kita. Denpasar: Wyasa Sanggraha.

Hadi, Sutrisno. 1983. Metodelogi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Jelantik, IB. dan IB. Putu Suamba. 2002. “Ida Wayan Oka Granoka: Seni sebagai Ritus”. Cintamani, Edisi 06 Tahun I: 50-52.

Kern, J.H.C. dan W.H Rassers. 1982. Siwa dan Buddha. Kata Pengantar Edi Sedyawati (Edisi Indonesia). Jakarta: Djambatan.

Mangunwijaya, Y.B. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan.

Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Ende-Flores: Nusa Indah.

Molen, W. Van Der. 1983. Javaanse Tekstkritiek een overzicht en een nieuwe benadering geillustreerd aan de Kunjarakarna. Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal.

Moleong, Lexy J. 1998. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Purwadarminta, WJS. 1975. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Robson, S.O. 1978. “The Kawi Classic in Bali”. BKI. 128. 308-329.

_________. 1978. “Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia” Dalam Bahasa dan Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Page 154: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

154 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Suamba, IB. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia: Ajaran dan Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan kerjasama dengan Widya Dharma.

Sharma, Mukunda Madhava. 1987. “The Teori of Rasa in Sanskrit Literature” , dalam Sekar Sataman, (Peny. IGN. Bagus). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Suastika, I Made. 1985. “Konsepsi Kelepasan seorang Penyair (Studi Pendahuluan Karya-karya Ida Pedanda Made Sidemen)”. Makalah yang disajikan dalam seminar Baliliologi Denpasar.

Tuuk, H.N van der. 1887-1912. Kawi Balineesch Nederlandsch Woordenboek. 4 volumes. Batavia: Landsdrukkerij.

Warna, I Wayan. dkk. 1978. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Wiryamartana, I Kuntara. 1986. “Beberapa Pokok tentang Penelitian Kakawin”. Basis XXXV-I, hlm. 13-17.

Zoetmulder, P.J. 1982. Old Javanese-English Dictionary. S-Gravehage: Martinus Nijhoff.

_________. 1983 dan 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Cetakan ke-1 dan ke-2. Jakarta: Djambatan.

_________. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jilid I dan II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 155: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

155Jumantara Vol. 01 No. 1 Tahun 2010

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih yang ikhlaskepada Bapak Nindya Noegraha dan redaksi Jurnal Jumantara atasundangannya untuk menyumbangkan sesuatu pada terbitan

jurnal ini mengenai pernaskahan Melayu. Berita tentanghadirnya jurnal Jumantara ini sangat menyegarkan. Pada hemat saya,perkembangan seperti ini amat penting, malah vital untuk masa depannegara ini, dan juga negara-negara jiran yang mewarisi tradisi yangsama. Melihat kemungkinan ada yang akan menilai pernyataandemikian amat berlebihan, maka dalam yang berikut saya akanberusaha mengajukan beberapa sebab-musabab untuk men-jelaskanmengapa warisan budaya pernaskahan begitu vital pada kita sekarang.Akan terlihat juga bagaimana keputusan Perpustakaan Nasional untukmenerbitkan Jumantara sebagai jurnal semi ilmiah merupakankebijakan yang arif.

Bagi orang awam zaman sekarang di Jakarta, ibu kota yangcenderung menentukan segala anggapan umum dan kearifankonven-sional untuk seluruh Indonesia, yang dikatakan “naskah”itu merupakan sesuatu yang esoteris, jauh dari pengalaman sendiri.Pengalaman saya justru sebaliknya. Semasa muda di PersekutuanTanah Melayu yang kemudian menjadi Malaysia, saya dipekerjakan,ya dititahkan, oleh Raja Kelantan, Sultan Yahya Putra al-Marhum,mengajar puteranya Tengku Mahkota Ismail, yang kini bertakhtasebagai Sultan Kelantan. Ketika itu (tahun 1963), baginda berusia15 tahun. Seterusnya saya berkenalan dengan beberapa orangkerabat diraja, khususnya Tengku Khalid, paman Sultan. Beliau, yang

PERNASKAHAN MELAYU DAN MASA DEPANBANGSA INDONESIA

AMIN SWEENEY

Page 156: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

156 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

sudah tua pada masa itu, menjadi penaung seni istana yang terakhirdi Kelantan. Ilmunya tentang perwayangan luas dan mendalamsekali; untung saya, karena saya sangat menaruh minat pada wayangkulit Kelantan. Namun bukan itu yang diberikan perhatian utamadi sini, melainkan naskah. Di kalangan Tengku Khalid, naskahmerupakan sesuatu yang terus-menerus dimanfaatkan. Beliaumemiliki banyak naskah. Salah satu antaranya adalah Hikayat SeriRama. Bagian-bagian dari kisah itu dibacakannya kepada beberapadalang wayang kulit yang mencari bahan baru untuk diselipkandalam versi lisan ceritanya1. Sungguhpun prinsip penciptaan tetapmengandalkan sistem lisan, namun ia dapat memanfaatkan sumbertertulis.

Meskipun hampir semua dalang pada tahun 1960-an masihmanusia lisan, dalam arti niraksara, yaitu tidak mengenal huruf,namun ada seorang dalang, Pak Su Karim, yang mampu menulissecara seder-hana sehingga dicatatkan isi cerita Mahraja Wana(‘Maharaja Rawana’) untuk dimanfaatkan murid-muridnya yangbersekolah. Tentu saja, naskahnya ditulis dengan aksara jawi (Arab-Melayu), karena orang Melayu pada zaman itu jauh lebih akrabdengan huruf jawi daripada huruf rumi (Latin). Naskah tersebutdiwariskan kepada saya oleh Pak Su Karim ketika ia akan meninggalpada tahun 1969. Pada 1968, saya berkenalan juga dengan seorangdalang di Jitra, Kedah bernama Mat Nor yang mencatatkan CeritaDara Noi dalam bentuk naskah.

Tengku Khalid juga menghadiahkan Syair Musuh Kelantankepada saya. Beberapa puluh tahun kemudian sampailah giliransaya untuk menghadiahkannya kepada Perpustakaan NegaraMalaysia. Pak Nik Man (Nik Abdul Rahman bin Nik Dir), BomohRaja Kelantan, juga menghadiahi saya sebuah naskah koleksijampinya pada tahun 1969. Di Universiti Kebangsaan Malaysia,beberapa mahasiswa saya merumikan naskah-naskah milik MuziumNegara Malaysia. Untuk mata kuliah “Puisi Lama Melayu” yang sayaajarkan juga di UKM, diterima jadi bahwa mahasiswa mampu

1 Tengku Khalid menceritakan bahwa keluarga seorang dalang (Amat Ismail) dahulu-nyamengabdi kepada seorang perdana menteri dalam tahun 1930-an. Perdana Menteri itujuga mempunyai naskah Hikayat Seri Rama, yang dibacakannya kepada Amat Ismail.

Page 157: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

157

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

membaca aksara jawi dengan lancar, karena setiap mahasiswa diberitugas merumikan serta menyunting sebuah syair.

Dari ini dapat dilihat bahwa di Kelantan pada tahun 1960-andi kalangan tertentu, naskah masih berfungsi dalam masyarakatnya.Di universitas di Malaysia pada tahun 1970-an, mahasiswa masihakrab dengan tulisan jawi. Pendeknya, kemampuan merumikansebuah naskah atau teks yang dicetak batu (litograf) tidak dianggapsebagai suatu pengkhususan, apalagi bidang sendiri atau semacam“ologi”. Misalnya, dalam mata kuliah “Puisi Lama Melayu” tadi,tugas mahasiswa terbagi atas dua tahap. Perumian teks hanyamerupakan tahap pertama yang perlu dilalui, baru dapat ditempuhtahap kedua, yaitu mengadakan interpretasi, “analisis”, dansebagainya. Mutu analisis demikian sering amat sederhana, tetapiperumian cenderung dilaksanakan dengan baik jika mahasiswadibimbing supaya teliti dan konsisten. Secara umum, kemampuanmembaca jawi memungkinkan penghasilan banyak sekali edisi tekssastra lama oleh instansi seperti Dewan Bahasa dan Sastera Malaysia.Meskipun pada tahun-tahun kemudian kian lama kian meng-hilangkemampuan membaca jawi di masyarakat Melayu, namun isi teksdari zaman pernaskahan masih terjangkau. Dan bahan dasar isiteks itu adalah bahasa. Bahasa itu merupakan asas bahasa modernzaman per-cetakan. Tanpa asas tersebut, bahasa modern ibarat pohonyang tercabut akarnya dari bumi tradisi pernaskahan. Tidak mungkindiduga bumi untuk kata-kata yang cocok untuk dimanfaatkansebagai istilah baru; tidak dapat diteliti etimologi kata-kata yangdigunakan dalam bahasa modern; kesinambungan dengan sastrazaman pernaskahan akan putus; tidak akan ada kesempatan untukmengembuskan nafas baru ke dalam karya lama dengan memberitafsiran baru. Walau ini lebih menggam-barkan sesuatu yang idealdaripada yang nyata, namun peri pentingnya warisan tradisipernaskahan sangat jelas tergurat dalam kesadaran umummasyarakat yang berbahasa Melayu. Diketahui umum juga bahwakoleksi naskah yang penting tersimpan dengan aman diPerpustakaan Negara Malaysia serta dirawat dengan fasilitas yangterbaik.

Perlu diulang bahwa yang terpapar di atas bukan uraian sejarahmelainkan catatan pengalaman pribadi semata. Pengalaman inilah

Page 158: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

158

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

yang menjadi asas perbandingan ketika saya melihat situasi diIndonesia, khususnya Jakarta. Kontrasnya tajam sekali. Dimulaidengan Jakarta karena di sini tersimpan koleksi naskah Melayuyang amat penting dari zaman Belanda yang terkumpul sejak abadke-19. Malah dua koleksi naskah Melayu yang terbesar danterpenting di dunia bukan tersimpan di Inggris atau bekas jajahanInggris di Malaya dan Singapura, melainkan di Jakarta dan Leiden.Koleksi naskah Jakarta, yang dahulu dikumpulkan oleh BataviaaschGenootschap van Kunsten en Wetenschappen, didokumentasidalam katalog Ph. S. van Ronkel yang terbit pada tahun 1909,mengandung 546 halaman serta mendeskripsi hampir 900 naskahdengan terperinci. Pada tahun 1968, 57 tahun kemudian, sayamengun-jungi Perpustakaan Museum Nasional, yang pada ketikaitu menjadi tempat disimpan koleksi naskah tersebut. Saya kagetmelihat ada lubang segi empat di dinding ruang naskah, yangsepertinya pernah (atau untuk) dimuat alat pendingin udara tetapipada ketika itu tinggal bolong, sampai masuk hujan. Tidak adausaha sama sekali untuk menutup lubang itu. Ternyata banyak juganaskah Melayu telah hilang dari koleksi yang terdeskripsi dalamkatalog van Ronkel. Malah ada oknum yang menawarkan naskahuntuk dijual.

Syukur, koleksi naskah dipindahkan ke gedung PerpustakaanNasional sekarang pada tahun 1987. Meskipun masalah keamanankini sudah diatasi serta koleksi diurus oleh pegawai yang semakinprofesional, namun bagian naskah masih menghadapi masalahyang kritis sampai sekarang: peruntukan dana untuk pemerolehandan konservasi kecil sekali, apalagi untuk reparasi dan restorasi.Kira-kira pada tahun 1990, dengan jasa baik Ibu Mastini, yang ketikaitu menjadi kepala Perpusnas, dibuat mikrofilm naskah puisiHamzah Fansuri (ML83) untuk saya. Sayang sekali, bagian-bagianbesar naskah itu ditempeli kertas bening dan selotip yang sudahmenguning sehingga teksnya hampir tidak terbaca. Ada pula naskahyang jelas sudah sampai ajal. Misalnya, pada tahun 2004, istri sayaingin melihat teks Syair Nuri, yang dikatakan dikarang oleh SultanBadruddin Palembang. Menurut Katalog van Ronkel (hlm. 353-54), terdapat dua resensi naskah ini, tetapi pada tahun 1998 hanyasatu yang masih tercatat2 sebagai termasuk koleksi Perpusnas.

Page 159: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

159

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sesudah didapati bahwa mikrofilm naskah tersebut sudah rusak,maka dikeluarkan sebuah kardus kecil yang mengandung naskahaslinya. Begitu dibuka, kami kaget melihat naskah sudah menjadikerupuk hancur.

Selama 20 tahun saya berurusan dengan bagian naskah diPerpusnas. Di antara fasilitas yang terbatas, pendanaan yangminimal, teman-teman yang bertugas di bagian tersebut selalu memberipelayanan istimewa kepada saya dalam segala hal.

Di sini timbul tanda tanya: bagaimana pemerintah Indonesiasampai memutuskan untuk mengeluarkan sejumlah dana yang luarbiasa banyaknya mendirikan gedung perpustakaan yang begituindah, sedang-kan pemerintah itu juga enggan menyediakan danayang memadai untuk merawat isi gedung yang indah itu. Oh, maaf.Bukan pemerintah “itu juga”. Yang berjasa mewujudkan kompleksPerpusnas ialah Ibu Tien. Tidak perlu dipertanyakan motivasinyaseperti, konon, mendirikan monumen pada kerajaannya.Pokoknya, berwujud. Ini salah satu prestasi Orde Baru yangcemerlang. Dosa Orde Baru terlihat dalam generasi yangdibiakkannya, yang ironisnya menyebut dirinya generasi “reformasi”.Jika dahulu, wacana mahal. Manusia dikondisikan untuk berbicaradengan halus manis mengandalkan pola-pola formula dan klisetanpa arti sesuai dengan kehendak pemerintah. Mengajukankritikan yang menyangkut kenyataan jelas berbahaya: dampaknyaakan berkumandang jauh. Jika sekarang, wacana murah. Manusiakini bebas untuk berbicara dengan halus manis mengandalkan pola-pola formula dan klise tanpa arti sesuai dengan kehendaknyasendiri. Mengajukan kritikan yang menyangkut kenyataan sia-sia sajakarena tidak kedengaran. Indonesia tenggelam dalam budayaselebritisme, narsisisme, dan keserakahan. Manusia kerdil yang soktahu dalam segala hal menjadi tokoh dihormati. Televisi tidak sunyidari talk show menampilkan tokoh-tokoh itu berceras-cerus omongkosong tentang segala hal yang tidak dimengertinya. Pendidikanterpuruk. Daripada menumpukan tenaga dan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kejayaan, lebih mudah mencari jalan pintas.

2 Lihat Katalog Induk, Jilid 4 (Behrend 1998).

Page 160: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

160

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Ya, pembocoran soal ujian, ijazah palsu, ijazah dibeli, plagiarisme,penulis disertasi upahan dan seterusnya. Nah, dalam suasana begini,apa mungkin bisa mengharapkan dana untuk membeli naskahMelayu serta merawat yang semula ada? Lebih parah lagi, apamungkin masih ada manusia yang punya harapan demikian?

Dimulai artikel ini dengan pengalaman saya dengan naskahMelayu semasa muda di Kelantan hanya dengan tujuanmemperlihatkan kontras dengan kehidupan di Jakarta sekarang.Makanya saya tidak menyentuh Sumatera. Jika di Minangkabauatau Riau, tidak akan terasa kontras yang demikian tajam, biarpuntidak mungkin menemui kerabat istana dengan sebuah naskahHikayat Seri Rama. Antara lain, tim penelitian dari Fakultas SastraUniversitas Andalas, Padang, yang diketuai oleh M. Yusuf, berhasilmenemukan 280 naskah di berbagai daerah di Sumatera Barat.Hasil penelitiannya diterbitkan sebagai sebuah katalog: M. Yusuf(ed.), Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau, TokyoUniversity of Foreign Studies, 2006. Sebelumnya, penerbit yangsama telah mendanai Katalog Naskah Palembang (2004).3 Proyekuntuk mendigitalkan berbagai naskah di Penyengat, Lingga danKarimun diprakarsai dan diawasi oleh Jan van der Putten sertadiseleng-garakan oleh Aswandi. Proyek ini disusun di bawahEndangered Archives Programme, dan disponsori di Indonesia olehPerpusnas sebagai “Mitra Arsip”.4

Budaya Melayu tradisional ramah lingkungan. Bahan arsitekturterutama kayu. Walau seberapa indahnya sebuah bangunan, iklimhutan khatulistiwa menjamin bahwa bangunan itu tidak akanbertahan menjadi monumen pada kegemilangan zaman silam, padakemegahan raja-rajanya. Ya, jika inginkan semacam monumen,

3 Suryadi, “Yang Tersisa dan Masih Bertahan dari Tradisi Pernaskahan Minangkabau“.(http://www.niadilova.blogdetik.com/). Juga dalam Jurnal Filologi Melayu, PerpustakaanNegara Malaysia, Jilid 15 (2007): 101-07.

4 Lihat Jan van der Putten, “Beberapa Renungan Terhadap Sastra Lama Nusantara”.Horison Online, Rabu, 31 Maret 2010: 1-12.

Page 161: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

161

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

carikan saja ke pema-kaman, lihatlah nisan raja di tengah nisanhamba Allah yang lain.

Begitu juga, naskah ramah lingkungan. Yang jelas, lingkungantidak ramah naskah! Dari pengalaman sendiri dapat diabsahkanbahwa usaha mengumpulkan dan menyimpan buku dalam rumahkayu masa dahulu merupakan sesuatu yang rumit sekali. Lembab,jamur, serangga senantiasa menyerang. Meskipun bahasa Melayupada zaman silam merupakan bahasa dunia Islam yang ketigapentingnya, tidak mungkin berkembang perpustakaan besar sepertidi Tanah Arab dan Parsi. Namun, ilmu yang terkandung dalamnaskah Melayu dilestarikan menggunakan sistem yang sesuai denganlingkungan. Yaitu setiap satu dua generasi naskah-naskah disalin.Berarti bukan benda fisik yang diutamakan melainkan isinya.Penyalinan yang paling patuh dilakukan pada kitab agama; jikanaskah lain, seperti silsilah dan hikayat, isinya pula lebih ramahlingkungan, ya di sini lingkungan berkuasa! Maksud-nya, penyalinancenderung merupakan usaha yang luwes, sehingga penyalin seringakan mengubahsuaikan sebuah teks supaya cocok dengan situasiyang berlaku ketika ia menulis, atau seleranya sendiri.

Zaman beredar. Zaman beraksara pernaskahan sudah berlalu.Kini sebuah tulisan bisa dicetak dengan tiras ribuan eksemplar.Naskah bisa saja dijadikan edisi sehingga naskah aslinya tidak lagiberfungsi dalam penyebaran dan penurunan ilmu. Ironisnya, setelahtidak berfungsi demikian, naskah bisa pula dilestarikan selamaratusan tahun, yaitu sesudah diadakan gedung batu dan kemudianpendingin udara serta alat pengurang lembab atau dehumidifier.Naskah tetap penting sebagai sumber rujukan walaupun segala aspeknaskah itu dapat direkam dengan fotografi digital. Akan tetapiselain fungsi ilmiahnya, sebuah koleksi naskah zaman sekarangmemiliki peran baru sebagai artifak warisan budaya kebanggaanbangsa, malah menandakan identitas bangsa itu.

Sekarang, biarlah kita kembali ke tim peneliti di atas. Setahusaya, peneliti di Sumatera itu membuat dokumentasi semata-matadengan tidak mengganggu-gugat naskah dan pemiliknya.Bayangkan betapa marah perasaan orang Sumatera yangmenghargai warisan naskahnya ketika sadar bahwa ada pihak asing

Page 162: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

162

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

yang bersimaharajalela menjarah naskah, baik di Riau maupun diSumatera Barat. Saya menggunakan istilah “menjarah” karenabiarpun naskah itu dibeli, namun pembelian itu melanggarUndang-Undang Perlindungan Cagar Budaya karena transaksi jual-beli naskah harus kepada kalangan dalam negeri. Jika kita melihatdi internet, ternyata pihak yang paling sering ditudingber-tanggungjawab adalah orang Malaysia dan Singapura.Khususnya dalam sebuah tulisan yang berulang kali dimuat diinternet—dikutip dari artikel dalam majalah Gatra, 20 Desember20075—peneliti Malaysia dikatakan penjarah utama. Menurut Janvan der Putten, penjarah ber-buru naskah dan antik di seluruhkepulauan Riau untuk dilelang kepada kolektor di Malaysia,Singapura dan lebih jauh lagi.6 Arsip setempat, yang sangat terbatasdananya, tentu saja tidak mampu bersaing dengan pembeli liar itu.

Kehilangan naskah Melayu entah ke mana bukan hanyamasalah daerah melainkan masalah nasional, sebagaimana akandijelaskan. Akan tetapi kita tidak perlu ribut-ribut seakan-akanberhadapan dengan Ambalat pernaskahan. Namun, diperlukantindakan tegas dari peme-rintah pusat. Diterima jadi bahwapemerintah pusat mempunyai komitmen serta azam politik (politicalwill) untuk mempertahankan maruah negara ini. Maka diusulkankepada pemerintah; ya diseru dengan suara lantang kepadapemerintah RI supaya:

1. Transaksi jual-beli naskah yang ilegal diselidiki dan disiasat secaraserius dengan segera serta ditindak sewajarnya.

2. Seandainya terungkap bahwa terdapat keterlibatan pemerintahasing dalam transaksi ilegal demikian, maka diambil langkahdiplomatik—yang tentu diplomatis—menghubungi pemerintahtersebut dengan tuntutan supaya naskah berkenaandikembalikan.

5 Misalnya:“Peneliti Malaysia Mencuri Naskah Kuno” dan “Naskah Kuno; PenelitiMalay Berburu Naskah”.

6 Komunikasi pribadi.

Page 163: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

163

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

3. Disediakan dana yang cukup supaya naskah yang ingin dijualdapat dibeli oleh negara.

Buat saya, menyedihkan jika orang Riau dan Semenanjungsampai bermusuhan karena naskah. Inilah manusia sebahasa,seadat, dan seagama yang terpisah bukan karena kemauannyasendiri melainkan karena dipisahkan akibat kesepakatan imperialisantara Inggris dan Belanda 200 tahun silam. Tradisi pernaskahandimiliki bersama. Tidak disangkal bahwa pemerintah Malaysia inginmemiliki koleksi naskah Melayu sebaik mungkin. Namun sukardipercaya bahwa pemerintah Malaysia sendiri memperoleh naskahdalam transaksi ilegal. Akan tetapi, tujuan pembahasan ini bukansebenarnya mengarah ke situ. Di sini saya ingin membandingkansikap kedua negara Indonesia dan Malaysia terhadap pelestariannaskah Melayu.

Asas identitas negara Malaysia adalah kemelayuan sebagai teraskebudayaan. Selama seratus tahun lebih, orang Melayu diSemenanjung Tanah Melayu merasa kedudukannya sebagaibumiputera terancam oleh imigrasi massal dari Tiongkok, sehinggatakut bangsa Melayu akan tenggelam dalam lautan pendatang.Namun ini diimbangi oleh imigrasi secara besar-besaran orang dariberbagai suku wilayah Indonesia. Kini sebagian besar rakyat pribumidi Malaysia Barat memang berketurunan Jawa, Mandailing, Banjar,Bugis, Aceh, dan lain-lain. Identitasnya di Malaysia tidak lain:Melayu. Semasa muda, saya pernah tinggal di Parit Raja, Johor. Didaerah itu sehari-hari orang berbahasa Jawa Ponorogo, senibudayanya termasuk Kuda Kepang, Wayang Purwa, dan ReogPonorogo. Tetap orang Melayu! Masalah utama Malaysia,sebagaimana sering disuarakan mantan Perdana Menteri Mahathirialah belum ada bangsa Malaysia, melainkan tiga komunitas yangasing-asing satu sama lain. Bahasa Melayu belum berdaulat sebagaibahasa yang dikuasai oleh semua warganegara.

Sejak merdeka pada tahun 1957, kerajaan (pemerintah)Per-sekutuan Tanah Melayu (kemudian pada tahun 1963 Malaysia)memiliki azam politik yang kuat untuk memperkukuh asaskemelayuan negara baru. Salah satu aspirasi yang dasar adalahmendirikan sebuah perpustakaan nasional yang akan mengandung

Page 164: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

164

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

koleksi naskah Melayu. Pada zaman kolonial koleksi buku dannaskah untuk Malaya dan Singapura disimpan oleh pihak kolonialInggris di Raffles Library di Singapura. Berarti Malaysia harus mulaihampir dari nol. Pada tahun 1983, Perpustakaan Negara telahdiisytiharkan sebagai Pusat Manuskrip Melayu oleh Sdr. AnwarIbrahim, Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan ketika itu. Sampaisekarang pemerintah Malaysia memperuntukkan dana yang serbacukup untuk pemerolehan dan perawatan koleksi naskahnya.

Dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia sangat beruntung,karena memiliki koleksi naskah Melayu yang kaya sekali, yaitukoleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.Akan tetapi pernaskahan Melayu tidak pernah mendapat perhatianserius dari pemerintah. Ini mungkin dapat ditanggapi dengananggapan bahwa dalam negara berasaskan paham Bhineka TunggalIka, kepentingan budaya satu suku tidak akan mendapatpengutamaan. Suku? Ini bahasa nasional! Tetapi tidak ada azampolitik. Di sini salah kaprah fatal. Mohon sabar sebentar. Terlebihdahulu biarlah kita lihat bagaimana budaya pernaskahandimanfaatkan dalam zaman beraksara cetak.

Ini tentu membawa kita pada filologi. Orang asing zamansekarang sering heran mendengar bahwa di Indonesia dan Malaysia,filologi masih merupakan bidang yang dihormati. Dalam artikelnya“An Expedition into the Politics of Malay Philology” (PenjelajahanMeninjau Politik Filologi Melayu), Ian Proudfoot7 merujuk padaserangan dahsyat buku Edward Said berjudul Orientalism padabidang filologi sebagai alat imperialisme dalam menyembunyikandunia nyata, diganti dengan dunia yang diinginkan pihak kolonial.Dampak Orientalism Said hebat sekali. Proudfoot (2003:1)menceritakan bagaimana analisis Said menjadi begitu meyakinkansehingga menjadi hampir mustahil buat orang Barat untukmengaku dirinya terlibat dalam “dosa” filologi ini. Katanya lagi:

7 Ian Proudfoot, “An Expedition into the Politics of Malay Philology”, Journal of theMalaysian Branch of the Royal Asiatic Society, LXXVI. 1 (3), 2003: 1-53.

Page 165: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

165

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Baru-baru ini saya mendengar seorang sarjana kulit putih tanpamalu-malu memperkenalkan dirinya sebagai filolog. Para hadirin,juga kulit putih, tertawa senewen mendengar betapa beraninya.

Bagaimanapun, filologi positivis cara lama masih menjadi usahayang dihormati di bekas tanah jajahan.8

Bahaya jika dibaca tanggapan Proudfoot di luar konteksnya!Jika filologi merupakan kajian naskah, maka Proudfoot memangfilolog; malah filolog yang patut dikagumi. Ia juga merujuk padausaha saya dalam buku A Full Hearing untuk mendekonstruksifilologi positivis yang usang. Tradisi filologi—dengan guru seorangHooykaas—juga bukan asing buat saya. Menurut saya, perombakandan pembaharuan dalam bidang filologi harus datang dari dalam.Usaha Said untuk mengung-kapkan bias, mitos dan pemutarbalikanpihak Barat terhadap dunia Arab Islam jelas berguna untukpembaca Barat dan juga pembaca di dunia yang masih menerimawewenang filologi lama itu. Akan tetapi Said sendiri tidakmenguasai filologi. Ia malah tidak menguasai bahasa Arab.Tambahan lagi, sesuai dengan pasar buku Amerika yang senan-tiasadahagakan melodrama dan sensasi, buku Said menyapurata secaraketerlaluan, sehingga sumbangan filologi yang cemerlangdiremehkan begitu saja. Said sendiri tidak mampu menyuluhi intipati sastra Arab Islam.

Proudfoot juga menarik perhatian pada buku Henk Maierber-judul In the Center of Authority, yang menguraikan penangananteks Hikayat Merung Mahawangsa oleh sarjana kolonial9. Menurutsaya, penin-jauan Maier terhadap bias dan gerak-gerik sarjanaInggris itu berharga sekali. Namun ketika ia membicarakanpersoalannya dalam konteks sastra, media, dan budaya Melayu,tulisannya sangat tidak meyakinkan, karena jauh daripengalamannya sendiri. Melihat bahwa kebanyakan sarjanakolonial Inggris yang menghasilkan teks Melayu bukan filolog

8 “I recently heard a white scholar introduce himself unashamedly as a philologist; his whiteaudience laughed nervously at his bravado. However old-style positivist philology remains arespectable pursuit in the former colonies.“

9 Buku ini merupakan cetak ulang disertasi Leiden berjudul Fragments of Reading.

Page 166: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

166

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

profesional, melainkan pegawai pemerintah kolonial, misionaris,dan sebagainya, pantas dipertanyakan: jika seandainya seorang calondoktor ingin mengungkapkan segala tipu belit filolog kolonialterhadap sastra pernaskahan Melayu, bukankah tulisan filolog Belandasendiri merupakan sasaran yang jauh lebih empuk? Itu baru filologtulen! Sepertinya Maier sendiri menjadi korban filolog Belandayang serba-menguasai!

Seorang ahli linguistik, Alton Becker (1979), pernah menulisartikel tentang sastra Melayu. Ini bukan tempat untuk menilaitulisannya. Memadailah jika dikatakan bahwa ia tidak menguasaibahasa atau sastra Melayu sama sekali. Namun, ia sanggup kononmembimbing mahasiswa PhD dari Malaysia dan Indonesia dalambidang sastra. Banyak rahasia tentang universitas Amerika yangbelum terungkap! Yang ingin saya sampaikan di sini: Beckermengusulkan supaya dibentuk bidang baru, yaitu “Filologi Baru”.Hanya di Amerika!10

Dalam artikelnya tadi, Proudfoot memperlihatkankesinambungan dalam bidang filologi Melayu. Jika dahulu filologidijadikan alat kuasa kolonial untuk memperkukuhcengkeramannya serta mengabsahkan tindak-tanduknya, kinifilologi mengabdi pada tuan baru, yaitu peme-rintah yang sudahmerdeka dari kuasa kolonial tadi! Sekali lagi kita melihat azampolitik pemerintah Malaysia untuk mengendalikan sertamemperkukuh sastra pernaskahan. Saya pernah, malah sering,mengkritik kecenderungan bidang peng(k)ajian Melayu untukmemberdayakan dirinya secara politik, karena ini berdampak negatifsecara ilmiah dan intelektual.11 Bagaimanapun, harus diakui bahwakebijakan pemerintah, baik kolonial maupun pasca merdekaMalaysia berakibat menghasilkan banyak edisi teks sastra lamaMelayu. Tambahan lagi, sebagaimana disinggung di atas, “filologi”Melayu yang dianut Inggris dapat dijuluki filologi “LITE” ataufilologi ringan, dalam arti tujuan utamanya adalah menerbitkan

10 Tentang pasar teori di Amerika, baca Benedict Anderson1992.11 Antara yang terakhir, lihat Sweeney 2008: xv.

Page 167: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

167

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

teks yang mudah dibaca oleh siapa saja yang beraksara. Kelazimanini diteruskan sesudah merdeka oleh lembaga pemerintah, terutamaDewan Bahasa dan Pustaka. Paling tidak, pembaca dapat menatappanorama sastra Melayu, lama dan baru. Biarlah ada distorsi; yangbengkok dapat diluruskan. Yang penting, sastra lama tidak luputdari kesadaran masyarakat.

Lain sekali situasi di Indonesia. Jika filologi Inggris ringan,filologi Belanda berat; malah “berkekuatan industri” untukmeminjam idiom Inggris. Teringatlah saya bagaimana dosen-dosenmantan residen dan pegawai kolonial lainnya di SOAS, UniversitasLondon, sering mengaku merasa terintimidasi oleh filolog Belanda,yang dikatakan menguasai segala aspek filologi, apalagi mengetahuibahasa Arab, Sanskerta, dan Jawa. (Sebagai pengimbang, sarjanaBelanda seperti Hooykaas dan Roolvink memuji selera sastrawisarjana Inggris.) Daftar disertasi sarjana Belanda mengenai sastraMelayu pada zaman kolonial jelas mengagum-kan, baik kuantitasmaupun kualitas, serta memakai metodologi terkini zamannya.Sebagai bandingan, sarjana Inggris belum menghasilkan satu pundisertasi dalam sastra Melayu selama zaman kolonial, padahalMalaya merdeka 12 tahun sesudah kemerdekaan Indonesia. Selaindisertasi, banyak edisi teks ilmiah diterbitkan sarjana Belanda. Dikalangan ilmuwan itu juga terdapat beberapa sarjana Indonesia darigolongan elit yang berpendidikan Belanda.

Pihak kolonial Belanda memang memiliki azam politik yangjelas. Dalam “sekapur sirihnya”, van der Putten menguraikan peripentingnya Riau pada pemerintahan kolonial Belanda dalam abadke-19. Antara lain, “Riau memiliki satu ‘komoditas langka’ yangdiperlukan pihak Belanda: bahasa. Mereka percaya bahwa Riaulahtempat untuk mem-peroleh informasi tentang bahasa Melayudalam bentuknya yang paling asli dan murni.” Bahasa itu akandimanfaatkannya untuk mengelola administrasi pemerintahanHindia Belanda, jajahannya yang begitu luas itu. Di samping itu,bahasa Melayu akan digunakan untuk menyebar-luaskan hasilpemikiran Barat dalam usaha untuk meningkatkan taraf peradabanrakyat jajahannya (van der Putten 2001:x).

Page 168: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

168

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Sesuai dengan bias orang beraksara cetak pada zaman silam,bahasa yang dianggap paling murni adalah bahasa tulisan, bukanwacana lisan12. H. C. Klinkert, salah seorang yang ditugaskan keRiau untuk meneliti bahasa Melayu ternyata kecewa dengan bahasatuturan di Riau: “Klinkert tidak begitu menghargai Haji Ibrahimdan anaknya Abdullah, sebab ia ‘kurang mendapat faedah darikunjungan-kunjungan mereka tentang pengetahuan bahasa, sebabmereka berbicara dengan patois yang itu-itu saja, seperti yangdigunakan di mana-mana di Hindia-Belanda’” (van der Putten2001:196).

Walhasil, bahasa Melayu yang diolah untuk menyebarkan hasilpemikiran Barat serta menyelenggarakan administrasi kolonialadalah bahasa tulisan Riau, yang dijuluki “bahasa Melayu tinggi”,berbeda dengan “patois” tadi serta versi tulisannya, yang menjadi “bahasaMelayu rendah”; padahal yang “rendah” itu tidak kurang kompleksdan canggih-nya. Bagaimanapun, bahasa yang akan menyalurkanpemikiran Eropa itu harus dirapikan, malah dijinakkan, supaya sesuaidengan logika Belanda, lengkap dengan segala macam hukum yangbelum tentu berlaku dalam bahasa Melayu pra-penjinakan. Warisanjiwa budaya Melayu yang turut serta dengan bahasanya jelas tidakperlu sehingga, sedapat mungkin, dipangkas, dikuras, meninggalkanbahasa tabula rasa! Proses meluruskan bahasa Melayu ini dilanjutkanoleh penulis buku teks bahasa Indonesia seperti Mees (1951), TakdirAlisjahbana (1949-50), dan Slametmuljana (1956-7). Buku TakdirAlisjahbana, misalnya, melampirkan daftar konsep dan istilahkebahasaan Belanda yang menjiwai tata bahasanya. Maka muncullahlembaga hitam yang mengerikan: bahasa baku, yang cenderung menjadibahasa beku dan kaku.13

Perkembangan yang sama terjadi dalam hal penyebaran sastralama. Kajian-kajian ilmiah tentang sastra pernaskahan Melayusemuanya ditujukan pada pembaca Belanda—atau yangberpendidikan Belanda—berarti mengucilkan hampir semua

12 Bias ini jelas sekali dalam tulisan Werndly (1736). Lihat Sweeney 1987, Bab 2.13 Tiga alinea di atas didasarkan pada Sweeney 2005: xiv-xv. Lihat juga 2005:44-45; 51;

260-61; 2006: xiv; 53-59; 2008: 192.

Page 169: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

169

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

penduduk Nusantara. Ajip Rosidi (2006:45-47) membicarakan sistempendidikan yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Di satu pihakterdapat sekolah elit yang berbahasa Belanda sebagai bahasapengantar. Taraf pendidikannya sama dengan sekolah di Eropa.Menurut Ajip Rosidi lagi, di pihak lain:

Jenis sekolah yang kedua ialah sekolah untuk kaum pribumi—si terjajah—yang didirikan hanya untuk memenuhi kebutuhanpenjajah akan tenaga murah. Karena itu di sekolah-sekolah yangmenggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu atau bahasa daerahitu, hanya diajarkan membaca, menulis dan berhitung dengansedikit ilmu bumi, ilmu alam sekadarnya. Sama sekali tidak adapelajaran yang menghubungkan si murid dengan sumber budayanyasendiri … Ada pelajaran bahasa daerah dan Balai Pustaka sebagaipenerbit pemerintah menyediakan buku-buku dalam bahasadaerah, tetapi kalau kita teliti buku-buku Balai Pustaka waktu itukebanyakan saduran atau terjemahan dari bahasa Belanda.

Dan penanganan sastra bahasa Melayu, yang dijadikan bahasaadministrasi seluruh jajahan, hampir sama. Tidak ada usaha untukmengolah teks dari edisi ilmiah para filolog sebagai bacaan sekolah.Buku-buku sastra Melayu yang diterbitkan Commissie voor deVolks-lectuur dan Balai Poestaka biasanya amat sederhana.

Terpilihnya bahasa Melayu oleh pihak kolonial Belanda sebagaibahasa administratif untuk seluruh jajahan Hindia Belanda tidakmengherankan. Kita selalu mendengar bahwa bahasa Melayu itumenjadi lingua franca kepulauan Nusantara. Lebih penting lagi,bahasa itu telah berabad-abad berfungsi sebagai khazanah danpenyebar ilmu penge-tahuan serba jenis dari Aceh sampai Ternate.Bahasa Melayu itu menjadi bahasa ketiga pentingnya dalam duniaIslam. Misionaris Belanda malah menyebarkan agama Kristen diIndonesia timur dengan bahasa Melayu.

Sumpah Pemuda 1928 merupakan detik yang paling pentingdalam sejarah negara Republik Indonesia. Sebab-musabab pendiribangsa ini memilih bahasa Melayu pada dasarnya tidak banyakberbeda dengan pihak Belanda. Tetapi ada satu perbedaan yangutama sekali. Mereka tidak memilih bahasa Melayu untukkepentingan satu golongan. Secara sadar dan sukarela mereka

Page 170: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

170

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

memilih bahasa Melayu sebagai bahasa penyatuan semua suku danbangsa serta untuk manfaat semua suku dan bangsa di Nusantarasupaya terdiri satu bangsa Indonesia bersatu. Hasilnya spektakuler.Mana tandingnya di dunia? Setiap negara mem-punyai bendera,lagu kebangsaan, dan sebagainya. Setiap bangsa memer-lukansimbol. Tetapi yang harus menjadi kebanggaan utama Indonesiaadalah bahasanya. Malah tanpa bahasa Indonesia tidak adaIndonesia. “Bahasa jiwa bangsa” bukan pepatah kosong.

Bahasa Melayu yang dipilih itu bukan suatu tabula rasa ataumedium yang netral dan pasif sebagaimana diidamkan oleh sebagianorang Belanda. Bahasa itu membawa serta segala pandangan hidup,sistem pengolahan ilmu dan warisan sesuatu budaya. Penggunaanbahasa Melayu sebagai bahasa ibu memang tersebar luas diNusantara dari Sumatera melalui Kalimantan malah sampaiAmbon. Tetapi peran bahasa Melayu sebagai bahasa khazanah ilmutentu tidak terbatas pada yang menggunakannya sebagai bahasa ibu,melainkan merupakan bahasa yang dipelajari. Pada abad ke-17 danke-18, sarjana Eropa sering menyamakan peran bahasa Melayudengan bahasa Latin di Eropa,14 yaitu bahasa ilmu tertulis, yangdipelajari. Istilah Inggrisnya ialah learned language. Dalam tradisiMelayu juga, istilah “jawi” tidak merujuk hanya pada aksara Arab-Melayu. Bahasa Jawi adalah bahasa Melayu Islam tertulis. Perlu jugaditekankan bahwa bahasa tulisan bukan bahasa ibu siapa pun; orangyang menuturkan bahasa Melayu dengan susu ibunya juga harusmempelajari memakai ranah tulisan.

Tradisi pernaskahan Melayu ini terbentang luas dari Aceh,melalui seluruh Sumatera, menelusuri pesisir utara pulau Jawa(tetapi tidak mampir jauh ke dalam!), lewat Sulawesi, sampai keTernate. Inilah sastra Melayu yang diwarisi oleh pendiri bangsaIndonesia. Upaya apa saja untuk memahami konteks danperkembangan wacana bahasa Indonesia perlu memperhitungkanwarisan tersebut. Apakah pendiri bangsa sadarkan segala implikasiini tidak diketahui. Mengubah nama suatu bahasa memangtindakan yang amat langka. Bahasa Inggris tidak menjadi bahasa

14 Lihat Sweeney 1987, bab 2.

Page 171: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

171

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Amerika ketika Amerika merdeka dari Inggris. Apalagi Indonesiatidak memilih bahasa penjajah. Akan tetapi nama bahasa Melayudiubah menjadi bahasa Indonesia supaya jelas bahwa bahasa inimenjadi hak semua rakyat Indonesia. Dapat ditanggapi bahwa sejakzaman silam, seperti bahasa Latin di Eropa, bahasa Melayu jugatidak terasa menjadi hak mutlak satu suku saja. Namun, mungkinkarena pihak Belanda justru mencari bahasa Melayu “tinggi” keRiau untuk dijadikannya bahasa administrasi di seluruh jajahannya,maka nama “bahasa Melayu” cenderung dikaitkan dengan sukutertentu serta malah nama inilah terasa menjadi agak“kebelandaan”.

Bagaimanapun, ini tidak bermakna bahwa sesepuh kitamenerima hanya sebagian bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia.Tradisi per-naskahan Melayu tetap diambil alih sebagai“Kesusastraan Lama Indonesia”. Ini jelas dari kurikulum sekolahmenengah pasca merdeka. Pada tahun 1950-an masih ada sekolahyang mengajar sastra lama secara serius. Ajip Rosidi, misalnya,dikehendaki membaca Sejarah Melayu semasa di bangku sekolah(2010:117). Zaman itu masih ada guru dari zaman sebelum perang.Djambatan, sebagai penerbit komersial, masih bersediamener-bitkan edisi teks sastra lama yaitu Sejarah Melayu (1952) danHikayat Abdullah (1953). Kedua edisi ini diprakarsai sarjana Belanda,A. Teeuw dan R. Roolvink. Sebuah faksimile edisi Hikayat Abdullahcap batu 1849 juga diterbitkan Djambatan & Gunung Agung padatahun 1953.

Dalam tahun-tahun sesudah merdeka, selama kira-kira 30tahun, diterbitkan sejumlah besar buku teks untuk sastra lama danbaru. Hampir semua buku ini ditulis oleh orang yang tidak menguasaisastra lama Indonesia (Melayu) sama sekali. Kebanyakannya saratkekeliruan, penuh dengan bahan yang tidak ada sangkut-pautdengan sastra Indonesia, jiplak-menjiplak antara satu sama lain,dan serba membingungkan.15 Mutu pengajaran sastra lama disekolah juga amat buruk, diajarkan oleh guru-guru yang hanya tahu

15 Untuk uraian terperinci mengenai buku-buku ini, lihat Sweeney 1987: 286-294.Lihat juga Sweeney, “Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan Wacana Kebuda-yaan”,Horison Online, Rabu, 05 Mei 2010.

Page 172: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

172

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

beberapa klise. Paling-paling diketahuinya beberapa judul karya.Muridnya tidak pernah disuruh berhadapan dengan satu pun tekssastra lama. Akhirnya sastra lama raib dari muatan pengajaran.Sastra lama luput dari ingatan orang.

Di sini, patut kita melihat lanjutan dari pandangan Ajip Rosidiyang dikutip di atas mengenai dua sistem pendidikan, yaitu Belandadan pribumi. Kata Ajip (2006:46-47):

Celakanya, sistem sekolah untuk kaum pribumi inilah yangdipilih oleh pemerintah Republik Indonesia untuk dilanjutkandalam negara yang baru diproklamasikan. Kita bisa mengertimengapa tidak memilih sistim sekolah yang satu lagi yangmempergunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, karenameluapnya semangat kebangsaan anti penjajah Belanda waktu itu,sehingga anti terhadap segala sesuatu yang berbau Belanda. Tetapipilihan itu mempunyai akibat yang fatal dan merugikan bagipendidikan dan perkembangan bangsa kita.

Seharusnya para Bapak dan Ibu pendiri bangsa itu dapat melihatyang lebih inti, yaitu sistim sekolah dengan bahasa pengantar bahasaBelanda tersebut merupakan lembaga pen-didikan yangmewariskan kebudayaan kepada anak didiknya. Tentu saja kalaukita melanjutkan sistim tersebut kita jangan mewariskan budayaBelanda atau Eropa melainkan mewariskan budaya kita sendiri.Sistimnya diambil, isinya diubah. Di mana pun di dunia, lembagapendidikan itu menjadi agen pewarisan budaya bangsa.

Korban utama dari “akibat yang fatal” ini adalah bahasa dansastra Indonesia. Kita sering mendengar pernyataan bahwa bahasaIndonesia “berasal” dari bahasa Melayu, seolah-olah bahasaIndonesia sudah menjadi bahasa sendiri. Maaf, itu nama saja.Walaupun disangkal seribu kali pun bahwa bahasa Indonesia bukanbahasa Melayu, penyangkalan itu berdasarkan cita-cita patriotismeyang berhasil membentuk sebuah negara kesatuan dan persatuan.Menurut ukuran linguistik dan sejarah, bahasa Indonesia tetapmerupakan dialek bahasa Melayu. Begitu juga bahasa nasionalMalaysia. Nama itu mengalami perubahan dari Bahasa Melayu,menjadi bahasa Kebangsaan, kemudian bahasa Malaysia. Namuntidak ada yang menyangkal bahwa yang dimaksudkan tetap bahasa

Page 173: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

173

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Melayu. Seandainya bahasa Malaysia dan Indonesia merupakanbahasa yang lain-lain, tidak mungkin saling berkomunikasi apalagimengadakan ejaan bersama.

Jika sastra lama Melayu dijadikan sastra lama Indonesia, pantasjika bahasa Melayu lama disebutkan bahasa Indonesia lama. OrangIndonesia—lebih tepat disebut orang pusat—sepertinya tidak sadarbahwa dengan membuang segala sastra lama Indonesianya, merekajuga telah membuang segala khazanah bahasa yang terkandungdalam sastra pernaskahan itu. Tidak terbayangkan sebuah bahasaPrancis, Arab atau Cina yang terbatas pada bahasanya pada abadke-20 karena sudah kehilangan seluruh bahasa lamanya. Bayangandemikian pasti dikatakan konyol sekali. Itu jelas sudah menjadibahasa gagal. Tetapi ini justru situasi bahasa Indonesia sekarang.Bahasa Indonesia sudah kehilangan jangkarnya, sehingga terapung-apung terancam akan tenggelam dalam lautan bahasa Inggris.

Saya menunggu sampai sini baru melanjutkan kisah filologi.Ternyata ada kesinambungan dalam bidang ini. Guru saya, C.Hooykaas, pernah menjadi guru besar di Universitas Indonesiasesudah merdeka. A. Teeuw juga memiliki hubungan erat denganbeberapa filolog di Indonesia. Tetapi baik Hooykaas maupun Teeuwtidak pernah mem-batasi dirinya hanya pada filologi. Kedua-duanyamemang filolog dalam bidang Jawa Kuno. Namun Hooykaasmenghasilkan beberapa buku berpengaruh tentang sastra Indonesialama dan baru. Begitu juga Teeuw prolifik sekali sebagai penelitisegala aspek bahasa dan sastra Indonesia.

Lainlah situasi di Indonesia sekarang. Filologi seakan-akanter-pojok, jelas terpisah dari sastra “modern”. Syukur masih adapenelitian terhadap sastra Jawa dan Sunda. Sastra lama Melayu,yang begitu diberi perhatian oleh sarjana Belanda zaman kolonial,kini sangat terabaikan. Padahal ini sastra bahasa nasional. Jika adapun karya yang diterbitkan, penyebarannya terbatas. Dan maaf,seringnya komentar dan interpretasi, jika ada, disampaikan dengangaya yang monoton tanpa gaya. Penulis harus berusaha meyakinkanbakal pembaca bahwa tulisannya mengan-dung relevansi denganhidup pembaca zaman sekarang. Mudah-mudahan jurnal Jumantara

Page 174: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

174

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

ini, sebagai jurnal semi-ilmiah, akan meng-gelitik selera banyakpembaca.

Besar juga harapan saya semoga Jumantara akan membantumemperlihatkan kesinambungan dalam tradisi sastra Indonesia,serta keindonesiaan sastra Indonesia. Saya sering mendapat kesanseakan-akan ada kalangan di Jakarta yang ingin memperlihatkansastra Indonesia sebagai semacam sastra Eropa; hanya kata-katanyaberbahasa Indonesia. Ketika mereka mencoba memposisikandirinya dalam baris sastra-sastra Eropa, ada bahayanya. Jangan-jangan nanti ditanya tentang tradisi sastranya. Bagaimanamenjawab? “Oh maaf, pak, sastra Eropa kami tak punya tradisi”.Atau mungkin mereka dengan santai akan hanya membeo denganmenyuarakan pendapat sinting sarjana Belanda pada tahun 1930-an bahwa tunas-tunas sastra baru yang sudah mulai tumbuh padatahun dua puluhan dapat diumpamakan sebagai bayi yang lahirlantaran perkawinan antara bahasa Melayu sebagai ibunya yangnetral, dan semangat sastra Eropa sebagai bapanya.16 Daripadamenjadi terjajah mental abadi, alangkah baiknya jika yangmenjawab itu mampu menguraikan perkembangan sastra barusebagai reaksi terhadap berbagai aspek yang lama. Ya sebagaiperjuangan. Hanya, yang mampu menjawab begitu tidak mungkiningin diterima dalam barisan sastra Eropa. Karena ia menguasaitradisinya sendiri. Dalam sejarah peng-(k)ajian Melayu-Indonesia,ini merupakan satu bidang khusus, diajar oleh ahli bahasa dan sastraMelayu/Indonesia. Guru-guru segala macam bahasa Eropa tidakada tempat mengajar dalam bidang ini.

Seorang calon dosen dalam bidang bahasa dan sastra negerinyasendiri—atau malah negeri lain—yang melamar di Nijmegen,Nagoya, Napoli atau New Haven dapat dipastikan, jika ia waras,akan menguasai bahasa dan sastra negeri itu. Seandainya terungkapdalam wawancara bahwa calon itu hanya belajar bahasa dan sastradari 80 tahun terakhir, harapannya untuk menjadi dosen akanmemudar dramatis. Sedihnya, di Indonesia, penguasaan bahasaatau sastra tidak menjadi syarat untuk menyandang jabatan sebagai

16 Lihat Sweeney 2005: 4, 22.

Page 175: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

175

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

dosen sastra atau ahli bahasa. Hanya selembar ijazah. Saya tidakakan berpanjang lebar di sini, karena persoalan ini pernahdibicarakan di tempat lain.17 Memadailah jika dikatakan bahwasaya kaget menyadari bahwa sekumpulan “pakar” bahasa tidak tahuberbagai kata Indonesia yang bahkan bukan bahasa sastra lama.Misalnya, ‘surai’ dalam ‘surai kuda’, ‘pepatah’, ‘gergasi’, ‘untung’dalam ‘untung yang malang’, ‘dagang’ dalam ‘anak dagang’, danseterusnya dan seterusnya.

Melihat pejabat-pejabat Pusat Bahasa berlagak sebagai pakarbahasa agak menggelikan. Karena tidak mengerti apa itu inti patisebuah bahasa serta tidak menguasai bahasa Indonesia selain bahasabirokrat kerdil, maka sebagai kompensasi dikutak-katik segala halremeh-temeh seperti memilih antara ‘tetapi’ dan ‘akan tetapi’, dansebagainya. Atau langsung berusaha membinasakan dan bukanmembina bahasa Indonesia dengan usaha sinting untuk menghapussegala kekecualian, sehingga, misalnya ‘mempunyai’ dijadikan‘memunyai’; ‘mempedulikan’ dijadikan ‘memedulikan’. Ternyatadi sini saya sudah mulai mengulangi apa yang disampaikan AjipRosidi (2006:114-116), yang juga menekankan bahwa hakikatsebuah bahasa memang penuh dengan yang tidak ‘logis’ dan yangtidak konsisten. Jika inginkan bahasa yang teratur dan logis, lebihbaik belajar Esperanto, bahasa bikinan.

Dalam sandiwaranya untuk menegakkan hukum, tukang-tukang bahasa di Pusat Bahasa justru melanggar hukum. Cerita biasa!Mengubah bentuk ‘memper–’ menjadi ‘memer–’ keliru sekali,melanggar ketentuan bahasa Melayu yang sudah berlaku selamaratusan tahun. Selain itu, menghapus segala kekecualian sertameluruskan segala bentuk supaya cocok dengan pola yang dipaksa-paksa merupakan usaha sia-sia yang hanya akan menghancurkanbahasa Indonesia, menjadikannya semacam kode mekanistis,bahasa komputer, bahasa robot yang dikuras jiwanya. Bayangkanbetapa indahnya sebuah puisi yang terpaksa dikarang dengan kodekomputer diprogram orang tidak waras.

17 Sweeney 2005: Pengantar.

Page 176: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

176

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Seandainya sastra lama tidak dibuang begitu saja, Pusat Bahasamungkin dapat belajar sesuatu dari Abdullah bin Abdul KadirMunsyi, yang menulis kira-kira 160 tahun yang lalu, serta memilikipengertian tentang hakikat bahasa yang jauh lebih mendalamdaripada tukang-tukang tadi:

Maka sungguhpun diletakkan hukumnya, maka ada juga lagibeberapa perkataan yang tiada menurut hukum itu, umpamanyajikalau seratus hukum itu barangkali tujuh puluh sahaja yang masukdalam hukum itu dan yang tiga puluh itu di luarnya. Maka jikalaukiranya diletakkan hukumnya bagaimana yang patut dipakai kadengan an, yaitu perkataan hujung seperti keadaan dan ketiadaan,maka kata orang putih: “Jikalau boleh keadaan, mengapakah tiadaboleh keiaan dan kebukanan, keperkiraan dan kejalanan dansebagainya, karena hukum itu sudah kita belajar yang boleh dipakaidi mana suka?”18

Pendapat Abdullah ini kini sudah diterima jadi di seluruh bagiandunia yang saya kenal. Kecuali Pusat Bahasa. Lazimnya, lembagabahasa, lembaga penyusun kamus, dan sebagainya tidak akanmerasa berhak mengutak-ngatik bahasanya dengan sewenang-wenangnya tanpa alasan yang masuk akal. Lembaga demikian selaluberpandukan tulisan penga-rang terkemuka yang diakui layakdicontoh. Untunglah Indonesia di sini. Di tengah kekacau-balauankebahasaan, masih banyak pengarang liga dunia. Mereka mampumenjadi pengembang bahasa justru karena bebas dari cengkeramansistim bahasa baik dan benar yang melemaskan. Tulisan merekalahyang harus diperhitungkan lembaga-lembaga bahasa. Begitu jugasebuah kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia konon meliputi seluruhtradisi bahasa Indonesia, lama dan baru. Tetapi penyusunnya bukanahli sastra pernaskahan Melayu. Kata-kata bahasa Indonesia “lama”hanya dicedok dari sumber dahulu, tanpa diabsahkan benarsalahnya. Maka sarat dengan kekeliruan. Dan tanpa pengetahuanmengenai sastra lama, mustahil disusun sebuah kamus etimologisastra Indonesia. Jika Tesaurus, bisa saja memanfaatkan tesaurusEko Endar-moko. Memang sudah!

18 Sweeney, 2008:477-478.

Page 177: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

177

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Elok ditutup tulisan ini dengan nada ceria! Masih ada manusiaIndonesia yang menghargai tradisi sastra lama, bukan untukmengejar ijazah atau pangkat, melainkan sebagai sumber ilmu.Benang merah melalui lama dan baru adalah tradisi bahasa Jawi,yaitu tradisi sastra Melayu Islam. Contoh yang menyentuh buatsaya menyangkut Taju ’s-Salatin. Kitab Taju ’s-Salatin merupakankarya yang amat dihargai dalam dunia Melayu Islam sampaisekarang. Edisi baru yang terbit di Yogyakarta (1999) saya pinjamkankepada abang ipar, urang Awak. Ia begitu asyik mencerna segala-galanya sehingga membuat fotokopi banyak-banyak untukdisebarkan kepada pejabat pemerintah di Riau.

Terdapat berita yang lebih menyegarkan lagi pada tahun 2008dari ranah Minang tentang penemuan dua surau di PadangPariaman yang menjadi tempat penyimpanan naskah Minangkabauterbesar kedua di dunia. Tambahan lagi, tradisi pernaskahan masihhidup. Untuk maklumat yang lebih terperinci tentang penemuanini, disertakan lampiran di ujung artikel ini.

Selamat dan tahniah, Jumantara!

Page 178: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

178

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Lampiran

Penemuan Naskah di Surau-Surau Minangkabau

(Yang berikut disampaikan tanpa perubahan)

From: [email protected][mailto:[email protected]] On

Behalf Of Arnoldison

Sent: Tuesday, June 10, 2008 2:22 PM

To: [email protected]

Subject: [R@ntau-Net] Penyimpan Naskah Minangkabau TerbesarKedua di Dunia Ditemukan

Selasa, 10 Juni 2008

Kapanlagi.com - Peneliti dari Universitas Andalas (Unand)menemukan surau (langgar) yakni “surau Nurul Huda dan Surau Paseban”di Kecamatan Koto Tangah Padang dan “surau Gadang (besar) Ampaludan surau Gadang Tandikek” di Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar,yang menjadi tempat penyimpanan naskah Minangkabau terbesar keduadi dunia sebanyak 110-an lebih naskah setelah Belanda.

“Berdasarkan katalog-katalog karya Ph. S van Ronkel dari Belandasejak tahun 1908, 1909, 1912, 1913 dan 1946, surau-surau tersebutsecara tertulis dinyatakan telah cukup lama menyimpan naskah-naskahMinangkabau,” kata Pramono S.S, Msi, Peneliti dari Unand, di Padang,Senin.

Surau merupakan lembaga Islam penting di Minangkabau yang telahmenjadi pusat pengajaran Islam. Dalam perkembangannya, suraumenjadi tempat suburnya tradisi pernaskahan (tradisi penulisan danpenyalinan naskah) di daerah tersebut.

Menurut dia, katalog-katalog lainnya dari Amir Sutarga dan kawan-kawan (1972), serta katalog yang dikumpulkan bersama oleh M.C.Ricklefs dan P Voorhoeve (1977), katalogus yang dikomplikasi olehE.P. Wierenga (1998), dua katalog yang tampaknya juga didasarkankepada karya Ph. S van Ronkel, semakin membuktikan posisi Sumbarsebagai nomor dua di dunia penyimpan naskah Minangkabau.

“Bahkan berdasarkan katalog-katalog yang memuat naskah Melayudan Minangkabau yang ada, Zuriati (2003:1) menghitung ada 371 naskah

Page 179: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

179

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Minangkabau yang berada di luar Sumatera Barat, dan luar negeri,”katanya.

Ia menyebutkan, sebagian besar di antaranya kini yang berada diluar negeri dengan rincian 261 naskah berada di negeri Belanda, 102naskah di Inggris, 19 naskah di Jerman Barat, dan 1 naskah berada diMalaysia.

Selebihnya 78 naskah, berada di Indonesia, yaitu di PerpustakaanNasional Jakarta.

Ia menjelaskan, karena tradisi pernaskahan di Minangkabau masihberlangsung hingga sekarang, maka dipastikan jumlah naskah yangdisebutkan di atas akan dapat bertambah.

Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa, sebagai suku bangsayang terkenal dengan tradisi lisannya yang sangat kental, Minangkabaumemiliki tradisi pernaskahan yang cukup maju, ini terjadi melaluikeberadaan dan peran surau.

Apalagi tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan yang telahberumur ratusan tahun tersebut tetap berlangsung.

“Kondisi ini tentu saja berbeda dengan fenomena di wilayah lain,di mana tradisi penulisan naskah tidak lagi berkembang,” katanya .

Dengan demikian, katanya lagi, keberadaan naskah-naskah diMinangkabau sebagai hasil dari tradisi pernaskahan, merupakan khasanahbudaya yang penting dikaji, pertama, adalah tradisi pernaskahan diMinangkabau merupakan satu kegiatan intelektual dalam masyarakattradisional (local genius).

Kedua, sebagai satu produk budaya, naskah-naskah Minangkabaumerupakan gambaran berbagai bentuk ungkapan masyarakat, denganbahasanya masing-masing.

“Pada konteks ini umumnya, artikulasi satu masyarakat bahasa, danmasa tertentu akan berbeda dengan artikulasi masyarakat bahasa, danmasa lainnya, kendati pada mulanya mereka membaca teks yang sama,sehingga dengan demikian muncul dinamika yang sedemikian unik,”katanya.

Peneliti dengan nominasi penyaji presentasi terbaik untuk kelompokpendidikan dan budaya —digelar Unand— dalam seminar hasil penelitiandosen muda dan studi kajian wanita untuk tingkat wilayah I (NAD,Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan dan Sumatera Barat) 2008, itulebih jauh, juga mengkaitkan naskah-naskah Minangkabau dengan Islam.

Page 180: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

180

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Dari naskah-naskah Minangkabau itu, kata Dosen dari FakultasSastra Unand itu, akan memberikan data yang sangat kaya mengenaidinamika Islam di daerah tersebut.

Selain itu, surau-surau di Padang dan Padang Pariaman, dipilihsebagai latar studi karena, memiliki koleksi naskah yang cukup banyakdibandingkan dengan surau-surau lainnya di wilayah Minangkabau.

Hal ini mengindikasikan bahwa pada surau-surau di kedua daerahitu pernah berlangsung dinamika tradisi pernaskahan yang signifikan.

Surau di Padang dan Padang Pariaman, hingga kini, tradisipernaskahan (penyalinan dan penulisan naskah) dalam bahasa MelayuMinangkabau dengan menggunakan aksara Jawi (Arab Melayu) di keduadaerah itu masih berlangsung.

Sebagai sebuah tradisi yang berlangsung cukup lama, tidakmengherankan jika tradisi pernaskahan di Minangkabau itu telahmeninggalkan artefak budaya berupa naskah kuno (manuscript) denganjumlah yang cukup banyak.

Naskah-naskah tulisan tangan (manuscript) tersebut mengandungteks tertulis mengenai berbagai pemikiran, pengetahuan, keislaman,sastra, pengobatan, serta perilaku masyarakat masa lalu.

Naskah-naskah tersebut tersimpan di beberapa surau dengan kondisiyang beragam, dari kondisi naskah yang cukup baik (naskah dapat dibaca)hingga naskah dalam kondisi rusak, dengan kerusakan yang cukup parah(naskah tidak bisa dibaca lagi, hancur).

Dalam kaitannya dengan surau, peneliti melakukan wawancarakepada beberapa orang yang dipercaya untuk saksi melihat bulan dalampenentuan awal Ramadan di Koto Tangah, Padang seperti, Sawir (60tahun), Jaelani (62 tahun), dan Zul (55 tahun).

Mereka menyatakan bahwa untuk menentukan awal Ramadanselama ini mereka merujuk pada naskah Kitab al-Takwim (MenerangkanMasalah Bilangan Takwim dan Puasa).

Dipilihnya mereka menjadi saksi dalam penentuan awal Ramadanjuga didasarkan syarat-syarat yang disebutkan dalam naskah itu, yakniseorang laki-laki yang adil, yaitu laki-laki yang shaleh lagi berakhlak dantidak pembohong (Amin, 1986: 58). (*/

Page 181: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

181

Pernaskahan Melayu dan Masa Depan Bangsa Indonesia

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Daftar Pustaka

Ajip Rosidi. 2006. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ajip Rosidi 2010. Bahasa Indonesia, Bahasa Kita. Akan Digantidengan Bahasa Inggris? Jakarta: Pustaka Jaya.

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949-50. Tatabahasa Baru BahasaIndonesia. 2 jilid. Djakarta: Pustaka Rakyat.

Anderson, Benedict R. 1992. “The Changing Ecology of SoutheastAsian Studies in the United States, 1950-1990”. In CharlesHirschman, Charles F. Keyes, Karl Hutterer (eds.) Southeast AsianStudies in the Balance; Reflections from America. Ann Arbor: TheAssociation for Asian Studies.

Becker, Alton. 1979. “The Figure a Sentence Makes: Aninterpretation of a Classical Malay Sentence.” Syntax andSemantics 12: 243-59.

Behrend, T. E. (ed.). 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Indonesia.Jilid 4. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Obor,EFEO.

Eko Endarmoko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: GramediaPustaka Utama.

Hikayat Abdullah. 1953. Raihoel Amar Datoek Besar dan R.Roolvink (eds.). Djakarta: Djambatan.

Hikayat Abdullah. 1953a. Faksimile edisi cap batu 1849. Djakarta:Djam-batan & Gunung Agung.

Maier, H. M. J. 1988. In the Center of Authority: the Malay HikayatMerong Mahawangsa. Ithaca: Southeast Asia Program, CornellUniversity.

Mees, C. A. 1951. Tatabahasa Indonesia. Bandung.

Proudfoot, Ian. “An Expedition into the Politics of Malay Philology”.Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 76 (1): 1-53.

Putten, Jan van der. 2001. “His Word is the Truth; Haji Ibrahim’sLetters and Other Writings”. Disertasi. Leiden: CNWS.

Putten, Jan van der. 2001. “Beberapa Renungan Terhadap SastraLama Nusantara”. Horison Online, Rabu, 31 Maret 2010: 1-12.

Page 182: JUMANTARA - dev.perpusnas.go.iddev.perpusnas.go.id/assets/uploads/2016/02/jumantarai.pdf · 2 Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010 JUMANTARA - Jurnal Manuskrip Nusantara Pelindung :

182

Amin Sweeney

Jumantara Vol. 01 No.1 Tahun 2010

Ronkel, Ph. S. van. 1909. Catalogus der Maleische Handschriften.Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap, 57.

Sejarah Melayu. 1952. T. D. Situmorang dan A. Teeuw (eds.), SedjarahMelaju, menurut Terbitan Abdullah. Djakarta: Djambatan.

Slametmuljana. 1956-57. Kaidah Bahasa Indonesia. Djakarta:Djambatan.

Suryadi. 2007. “Yang Tersisa dan Masih Bertahan dari TradisiPernaskahan Minangkabau”. (http://www.niadilova.blogdetik.com/). Juga dalam Jurnal FilologiMelayu, Perpustakaan Negara Malaysia, Jilid 15 (2007): 101-07.

Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in theMalay World. Berkeley: University of California Press.

Sweeney, Amin. 2005. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul KadirMunsyi. Jilid 1. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Écolefrançaise ïExtrême-Orient.

Sweeney, Amin. 2006. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul KadirMunsyi. Jilid 2.

Sweeney, Amin. 2008. Karya Lengkap Abdullah bin Abdul KadirMunsyi. Jilid 3.

Sweeney, Amin. 2010. “Kajian Tradisi Lisan dan PembentukanWacana Kebudayaan”, Horison Online, Rabu, 05 Mei.

Taju ’s-Salatin. 1999. Asdi S. Dipodjojo dan Endang Daruni Asdi(eds.). Taju’sSalatin Bukhari al-Jauhari. Yogyakarta: LukmanOffset.

Werndly, G. H. 1736. Maleische Spraakkunst. Amsterdam.

Yusuf, M (ed.), Katalogus Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau,Tokyo University of Foreign Studies, 2006.