Judul:Kaidah-KaidahMemahamiFitnahAkhirZaman&Tanda … ·...
Transcript of Judul:Kaidah-KaidahMemahamiFitnahAkhirZaman&Tanda … ·...
-
1
-
2
Judul : Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah Akhir Zaman & Tanda-Tanda Kiamat
Penulis: Ust. Marzuki Ibnu Syarqi
Editor: Ust. Zaid Royani
Penerbit: MADINA (Majelis Dakwah Islam Indonesia)
-
3
Antara yang Meremehkan dan Berlebihan
Tidak ada jalan kebaikan yang ditempuh oleh anak Adam melainkan setan
mempunyai cara untuk menggelincirkannya; meremehkan atau berlebih-lebihan. Dua
sikap inilah pangkal segala penyimpangan. Karenanya yang kita selalu minta kepada
Allah adalah jalan yang lurus, jalan yang pertengahan; antara sikap meremehkan dan
berlebihan.
Ada sebagian golongan manusia yang tidak peduli kepada hari kiamat; bahkan
tidak pernah memikirkan tentang kiamat. Baginya hidup di dunia ini adalah perlombaan
untuk meraih sebanyak mungkin prestasi duniawi; harta, pangkat, kedudukan, status
sosial dan berbagai pernak-pernik dunia yang tiada pernah mengenal batas.
Ada pula yang menganggap hadits-hadits Nabi tentang tanda-tanda kiamat itu
sebagai sesuatu yang imajinatif, tidak logis, arasional, sehingga tidak pantas seorang
muslim yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini membuang-buang waktunya
hanya untuk membahas perkara yang sia-sia. Bahkan mereka memandang bahwa
pembahasan semacam ini adalah salah satu sebab kemunduran umat Islam.
Ada lagi golongan ketiga, mereka percaya terhadap hadits-hadits shahih tentang
tanda-tanda kiamat, akan tetapi hadits-hadits itu mereka takwilkan maknanya kepada
makna yang mereka anggap rasional dan relevan. Misalnya, hadits-hadits tentang Dajjal
yang dalam hadits-hadits Nabi disebut sebagai nama person; memiliki ciri-ciri fisik dan
sifat yang sangat jelas. Akan tetapi mereka menakwilkan bahwa Dajjal bukan nama
person, akan tetapi sebutan untuk situasi dan kemajuan teknologi yang sangat cepat
dan canggih. Dajjal yang dikabarkan bisa menembus jarak dan waktu, mereka takwilkan
dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
-
4
Pada arah yang berseberangan ada pula golongan yang berlebih-lebihan.
Golongan ini sangat percaya dan yakin dengan hadits-hadits tentang tanda-tanda
kiamat. Karena saking yakinnya sehingga keyakinan mereka melampaui batasan yang
seharusnya. Mereka bersikap berlebihan hingga akhirnya melampaui batas syariat,
meyakini dan mengatakan sesuatu yang tidak berdasar syariat, karena bersandar kepada
hadits-hadits yang dhaif, penafsiran ganjil sebagian ulama, terjerumus pada tindakan
mencocok-cocokkan nash-nash (yang meskipun shahih) ke dalam realitas kehidupan
lalu memastikannya sebagai peristiwa atau kejadian yang dimaksud oleh syariat padahal
belum tentu sesuai dengan petunjuk dan maksud yang dikehendaki oleh nash syariat.
Para ulama dahulu hingga sekarang telah banyak yang menulis tentang tanda-
tanda hari kiamat. Dalam kitab-kitab hadits yang merupakan rujukan utama dalam
masalah ini pun membuat pembahasan tersendiri dalam Bab Al-Fitan wa Asyratus
Saa’ah. Demikian pula kitab-kitab yang secara khusus membahas tema kiamat dan
tanda-tandanya semisal Kitab Al-Fitan wa Al-Malahim, Ibnu Katsir, Asyratus Saa’ah Ibnul
Jauzy, At-Tadzkirah Imam Al-Qurthuby. Demikian pula para ulama kontemporer sudah
banyak yang menulis buku-buku yang menjelaskan tentang fitan (huru-hara akhir
zaman) dan tanda-tanda kiamat. Misalnya, Shahih Al-Musnad min Ahadits Fitan wal
Malahim wa Asyratis Saa’ah karya Syaikh Musthafa Al-Adawy, Fiqh Asyrati Saa’ah karya
Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam, Nihayatul ‘Aalam oleh Muhammad Al-Arify...
Bahkan pembahasan tentang kiamat banyak dikaji di berbagai forum dan kajian
keislaman di televisi, radio, majelis taklim, jaringan internet, bahkan tidak ketinggalan
para sienies membuat film tentang kiamat.
Oleh karena itu sangat penting memahami kaidah dalam memahami nash-nash
syariat tentang tanda-tanda hari kiamat, sehingga pemahaman dan keyakinan tentang
kiamat bisa terjaga dari khurafat, penyimpangan dan takwil yang menyalahi nash syariat.
-
5
Keyakinan yang lurus dan pertengahan, tidak meremehkan dan tidak pula berlebih-
lebihan. Beberapa kaidah tersebut antara lain,
1. Mencukupkan diri berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
shahih, mengabaikan hadits-hadits yang dhaif.
Pembicaraan tentang tanda-tanda kiamat adalah masalah akidah, olehnya tidak
boleh disandarkan kepada dalil-dalil yang lemah, apalagi palsu, atau asumsi-asumsi
yang hanya mengikuti prasangka. Al-Qur’an dan sunnah shahihah adalah sumber paling
otoritatif untuk mengetahui informasi seputar perkara ghaib termasuk tentang kiamat
dan berbagai peristiwa yang mendahuluinya. Allah l berfirman,
“Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui
perkara yang ghaib, kecuali Allah," dan mereka tidak mengetahui bila mereka
akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)
“(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan
kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-
Nya.” (QS. Al-Jin: 26-27)
Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagian perkara ghaib
tersebut untuk kemaslahatan agama, di antaranya adalah mengenai tanda-tanda kiamat.
Rasulullah dalam banyak hadits menyebutkan tentang fitnah akhir zaman dan tanda-
tanda kiamat, sebagai peringatan dan pelaran bagi kita sebagai umatnya.
Adapun menjadikan cerita-cerita israiliyat, mimpi orang-orang yang dianggap
shalih, atau peristiwa-peristiwa dan tragedi politik sebagai sumber rujukan, apalagi
ramalan para dukun adalah sesuatu yang tidak dibenarkan bahkan bisa menjerumuskan
kepada kesyirikan karena mempercayai perkataan dukun dan tukang ramal.
-
6
Disamping itu nash yang dijadikan dalil harus berupa dalil yang shahih, baik yang
dinisbatkan kepada Nabi maupun kepada para sahabat. Sebab ada sebagian orang
yang menjadikan tema tanda-tanda kiamat bukan sebagai pengajaran kepada umat,
akan tetapi sebagai lahan bisnis untuk melariskan buku, atau menarik minat pembaca
dengan mencantumkan cerita-cerita aneh, ganjil, mimpi, khurafat, bahkan riwayat-
riwayat yang dusta. Sebut saja misalnya buku Perang Armagadon tulisan Fahd Salim,
Umur Umat Islam oleh Amin Jamaluddin, Segitiga Bermuda dan buku-buku yang
semisal. Di dalamnya banyak disebutkan sumber-sumber yang tidak jelas, cerita-cerita
aneh dan ganjil.
2. Mengambil rujukan penjelasan dari para ulama yang terpercaya.
Pembasan tentang fitnah akhir zaman dan tanda-tanda kiamat adalah perkara
yang pada sebagiannya menjadi pembahasan pelik dan syubuhat. Hal itu tidak lepas
dari banyaknya hadits-hadits dhaif seputar masalah ini, atau hadits-hadits yang shahih
namun diungkapkan dalam bentuk isyarat-isyarat dan kalimat-kalimat kiasan, sehingga
sebagian orang yang cenderung menafsirkan dengan penafsiran-penafsiran yang justru
menyelisihi keyakinan yang lurus.
Dalam perkara seperti ini yang semestinya dilakukan adalah mengembalikan
masalah ini kepada para ahlinya, mengembalikannya kepada para ulama yang
terpercaya. Allah l berfirman,
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada
mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’: 7)
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah karena
-
7
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83)
Abu Abu Thufail menuturkan, “Ketika aku sedang berada di Kufah, ada seseorang
yang berkata, “Dajjal telah keluar!” Lalu kami mendatangi Hudzaifah bin Usaid yang
sedang memberikan ceramah. Aku berkata, “Dajjal telah keluar.” Hudzaifah berkata,
“Duduklah!” Aku pun duduk. Lalu datang lagi seorang tokoh di Kufah, dia juga berkata,
“Dajjal telah keluar namun penduduk Kufah tidak mempercayainya.” Hudzaifah berkata,
“Duduklah!” Diapun duduk. Lalu ada yang berseru, “Sesungguhnya ini adalah kedustaan
dan kebohongan.” Kami berkata, “Wahai Abu Sarihah, Anda tentu tidak menyuruh kami
duduk, melainkan karena ada perkara penting. Oleh karena itu berbicaralah.” Hudzaifah
berkata, “Sesungguhnya, seandainya Dajjal keluar di zaman kalian, niscaya anak-anak
akan melemparinya dengan ketapel. Akan tetapi Dajjal itu akan keluar pada masa ketika
manusia dalam keadaan saling mendengki satu sama lain, meremehkan agama, dan
hubungan antara manusia buruk. Maka dia akan mendatangi setiap rumah yang berada
di padang sahara, bumi dilipat baginya seperti lipatan kulit kepala domba jantan…” (HR.
Al-Hakim)1
Demikianlah jalan para salaf, mereka selalu bertanya kepada ahli ilmu sebelum
membicarakan dan mempercayai sesuatu apalagi perkara yang berkaitan dengan
keyakinan dan iman.
3. Memahami hadits-hadits akhir zaman sesuai kadarnya (proporsional)
Hadits-hadits tentang akhir zaman harus dipahami dan disikapi secara
proporsional sesuai kadarnya; tidak boleh meremehkan juga tidak boleh memberikan
1 Al-Hakim berkata, “Ini hadits shahihul isnad, dan Syaikhani tidak mengeluarkannya”. Syaikh Musthafa Al-Adawiberkata, “Pada sebagian sanadnya ada sedikit pembicaraan. Di dalam isnadnya ada Mu’adz bin Hisyam, diadiperbincangkan yang menyebabkan haditsnya turun ke derajat hasan. Dalam isnadnya juga ada Qatadah, diaseorang mudallis, dia meriwayatkan hadits dengan lafadz ‘an, hanya saja yang meriwayatkan darinya adalah Hisyambin Abu Abdullah Ad-Dastawai. Dia adalah orang yang paling bagus riwayatnya darinya dan orang yang palingkuat.” Lihat Ash-Shahih Al-Musnad Minal Fitan wal Malaahim wa Asyraathis Saa’ah (507)
-
8
penafsiran dan penyikapan yang melebihi kadarnya. Sebab, berbagai fitnah yang
disebutkan dalam banyak hadits bermacam-macam bentuk dan tingkatannya; ada fitnah
yang besar dan dahsyat, ada pula yang kecil dan ringan, ada fitnah yang merupakan
dosa besar adapula yang berupa kekufuran, ada fitnah yang bersifat khusus terbatas
adapula yang bersifat meluas, masing-masing disikapi sesuai kadar yang dikehendaki
oleh syariat. Inilah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi.
Abu Said Al-Khudri mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mengetahui
tentang fitnah yang akan terjadi antara diriku dan hari kiamat, sebab Rasulullah hampir
tidak pernah merahasiakannya dariku, beliau menceritakan kepadaku apa yang tidak
beliau ceritakan kepada selainku. Tetapi suatu ketika Rasulullah membicarakan dalam
sebuah majelis tentang fitnah sembari beliau menghitungnya, sabdanya, “Di antara
fitnah itu ada yang hampir tidak ada seorang pun melainkan akan terkena olehnya, ia
bertiup seperti angin pada musim panas, ada yang kecil dan ada pula yang besar.” (HR.
Muslim)
Oleh itu kita tidak boleh membesar-besarkan yang kecil melebihi kadarnya
sehingga umat menjadi lemah dan takut berlebihan. Sebaliknya, tidak boleh pula
meremehkan yang besar sehinnga umat memandangnya sebagai sesuatu yang enteng.
Demikian pula tidak dibenarkan memutlakkan yang khusus dan terbatas, demikian
sebaliknya tidak boleh pula mengkhususkan dan membatasi hadits-hadits fitan yang
sebenarnya bersifat mutlak dan umum.
kaidahnya ini menjadi penting karena hadits-hadits tentang peristiwa akhir
zaman memiliki kadar validitas dan dalalah yang bervariasi. Validitas maksudnya adalah
shahih atau tidaknya hadits yang dimaksud. Adapun dalalah adalah petunjuk atau
maksud yang ditunjukkan oleh hadits. Untuk validitas hadits kita harus mencukupkan
diri dengan hadits-hadits yang sahih atau minimal hasan. Adapun untuk dalalahnya
-
9
maka kita berhenti pada batas yang dintunjukkan oleh hadits tersebut tanpa melakukan
penafsiran-penafsiran atau takwil-takwil yang dipaksakan, atau mengira-ngira, apalagi
memastikan sesuatu kejadian sebagai fitnah akhir zaman atau tanda kiamat pada tidak
ditunjukkan oleh dalil.
Berdasarkan teksnya nash-nash mengenai fitnah akhir zaman, tanda-tanda
dekatnya kiamat dan tanda-tanda kiamat bisa dikategorikan menjadi tiga;
Pertama, nash-nash yang secara jelas menyebutkan peris tiwa tertentu secara
spesifik sebagai fitnah akhir zaman atau tanda kiamat. Contohnya hadits-hadits tentang
fitnah yang akan melanda para shahabat secara umum, atau fitnah yang akan menimpa
shahabat tertentu, misalnya Rasuulullah mengabarkan fitnah yang akan menimpa Umar
bin Khathab, Utsman, Ali, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Atau tanda-tanda kiamat yang
Rasulullah sebutkan secara sharih semisal munculnya Dajjal, merebaknya minuman keras,
merebaknya zina secara terang-terangan, dan semacam dengan itu. Untuk nash-nash
yang tergolong jenis ini maka tidak ada keraguan bagi kita untuk mencocokkannya
dengan realitas.
Kedua, nash-nash yang hanya menyebutkan isyrat-isyarat dan permisalan.
Umumnya hadits-hadits yang demikian adalah hadits-hadits tantang fitnah dan huru-
hara akhir zaman, misalnya hadits-hadits tentang fitnah ahwas, tentang malhamah kubra,
dan semacamnya. Untuk hadits yang tergolong kedalam jenis yang kedua ini maka kita
berhenti pada penjelasan secara global sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama,
dan tidak memaksakan takwil-takwil yang justru menjerumuskan pada perbuatan
berkata tanpa ilmu dan membicarakan perkara ghaib berdasar kira-kira dan prasangka.
Ketiga, hadits-hadits yang menyebutkan tentang fitnah akhir zaman, atau tanda-
tanda kiamat akan tetapi bersumber dari hadits-hadits lemah bahkan palsu, atau riwayat
yang tidak jelas sumbernya, cerita-cerita ganjil dan aneh. Misalnya tentang perang
-
10
Armagadon, umur umat Islam, Segitiga Bermuda sebagai istana Dajjal, Sufyani, dan
semacamnya. Untuk jenis ketiga ini tidak boleh dijadikan sebagai dalil, apalagi
menjadikannya sebagai landasan keyakinan. Bahkan termasuk perbuatan berkata
tentang agama tanpa ilmu yang tergolong dosa besar; menimbulkan kerusakan akidah,
kelemahan berpikir, dan berdusta atas nama pembuat syariat yaitu Allah dan RasulNya.
Waliyadzubillah.
4. Melihat dan mempertimbangkan keadaan orang yang diajak berbicara.
Ada sebagian orang yang terlalu mudah berbicara tentang tanda-tanda hari
kiamat; setiap kesempatan berbicara di depan public yang menjadi materi pokoknya
adalah tentang huru-hara akhir zaman. Ia menyebutkan hadits-hadits dan berbagai
pendapat ulama dan pemikir tentang tanda-tanda kiamat kepada kaum awam, padahal
terkadang mereka tidak dapat memahami dengan baik apa yang mereka dengar. Yang
demikian itu adalah kesalahan yang fatal dalam berdakwah. Ada kaidah yang
mengatakan, “Tidak semua yang diketahui itu harus dikatakan. Tidak semua yang benar
itu layak disebarkan.” Karena masing-masing orang memiliki keterbatasan untuk
memahami, atau ketidakmampuan menempatkan dan menyikapi suatu masalah secara
proporsional. Ali bin Abi Thalib berkata, “Berbicaralah kepada manusia mengenai
perkara yang bisa mereka pahami, apakah kalian suka jika Allah dan rasul-Nya
didustakan?” (HR. Al-Bukhari)
Menanggapi pernyataan Ali bin Abi Thalib tersebut, Imam Asy-Syathibi berkata,
“Beliau ingin menegaskan sebuah prinsip bahwa menyampaikan ilmu ada ketentuannya,
betapa banyak persoalan yang baik bagi suatu kaum namun tidak baik bagi kaum yang
lain.”2
2 Al-Muwaafaqat: 5/36.
-
11
Ibnu Mas’ud a berkata, “Tidaklah kamu berbicara kepada suatu kaum dengan hal
yang tidak mereka pahami, melainkan hal itu akan menjadi fitnah bagi sebagian di
antara mereka.”3
Termasuk dampak yang perlu dipertimbangkan adalah jangan sampai hadits-
hadits tentang tanda-tanda kiamat dijadikan sebagai justifikasi untuk berhenti beramal,
merasa pesimis, dan bergantung kepada keajaiban akhir zaman. Dahulu para shahabat
Rasulullah mendengar langsung tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan
dekatnya kiamat. Menyimak dan meriwayatkan hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman
dan kiamat, akan tetapi hal itu tidak menjadikan mereka malas beramal karena
menunggu keluarnya Al-Mahdi, juga tidak berputus asa dengan akan adaanya huru-
hara yang akan menimpa mereka.
5. Hadits-hadits tetang akhir zaman dan tanda-tanda kiamat tidak boleh dijadikan
sebagai landasan hikum taklify secara langsung.
Hadits-hadits tentang akhir zaman itu ada yang beruapa sesuatu yang wajib,
haram, mubah, baik dan buruk. Akan tetapi dalil taklifnya diambil dari dalil yang lain.
Misalnya hadits yang menyebutkan bahwa, “Pada di akhir zaman kaum wanita akan
melakukan perjalanan jauh tanpa mahram tanpa merasa takut.” (HR. Al-Bukhari)
Safar tanpa mahram sebagai sebuah tanda dekatnya kaimat adalah fakta, akan
tetapi hadits tersebut tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum untuk
membolehkan wanita bersafar tanpa mahram.
6. Dekat dan jauhnya tanda-tanda kiamat dengan kiamat bersifat relative.
Penting dimengerti bahwa ketika Al-Qur’an menyebut bahwa kaimat sudah dekat,
atau ketika dalam banyak hadits disebutkan suatu rangkaian peristiwa sebagai tanda
dekatnya kiamat, hal itu tidak menunjukkan bahwa kiamat sudah diambang pintu dalam
hitungan kita secara matematis. Kata “dekat” itu tidak bisa dijadikan sebagai bahan
3 Diriwayatkan oleh Muslim, Muqaddimah Shahihnya. .
-
12
justifikasi menetapkan rumusan dan penghitungan akhir umur dunia, lalu melakukan
perhitungan berdasar riwayat-riwayat lemah dan palsu, atau hanya berdasar asumsi,
apalagi merujuk kepada ramalan dukun dan cerita-cerita khalayan dari Ahli Kitab.
Jauh dan dekat dalam bahasa pembuat syariat (Allah dan RasulNya) tidak bisa
diasumsikan atau disamakan dengan “jauh dan dekat” dalam persepsi kita sebagai
manusia (hamba). Misalnya ketika Rasulullah ditanya oleh orang-orang musyrik tentang
kapan terjadinya kiamat, Allah menurunkan jawaban dengan menurunkan firmanNya,
“Katakanlah bisa jadi waktu (kiamat) itu sudah dekat.” (QS. Al-Isra: 51)
“Dekat” dalam ayat di atas bersifat relative. Karena; Pertama, “dekat dan jauh”
menurut kadar hitungan Allah dan manusia tentu berbeda. Sehari dalam hitungan Allah,
bisa menjadi limapuluh ribu tahun dalam hitungan manusia. Allah berfirman,
“Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil), sedangkan
Kami memandangnya dekat.” (QS. Al-Ma’aarij: 6-7)
Kedua, jika pun itu diasumsikan sebagai ukuran manusia (hamba), maka “dekat”
yang dimaksud adalah jika umur dunia yang tersisa dibandingkan dengan umur dunia
yang sudah dilewati. Artinya bila dibandingkan dengan umur dunia yang sudah lewat
dengan umur dunia yang tersisa, maka yang tersisa jelas sangat singkat, dan itu berarti
kiamat adalah sesuatu yang dekat.
Contoh lainnya, Sahl bin Sa’ad As-Saidi menceritakan bahwa Rasulullah n
bersabda, “Sesungguhnya antara diutusnya diriku dengan kiamat adalah seperti dua jari
ini,” sembari Rasulullah memberi isyarat dengan merapatkan jari tengah dan jari
telunjuknya.” (Muttafaq alaih)
Jari telunjuk dan jari tengah dijadikan oleh Rasulullah sebagai permisalan untuk
menunjukkan dekatnya kiamat. Maknanya, jarak antara diutusnya Rasulullah dengan
kiamat adalah seperti kelebihan jari tengah atas jari telunjuk. Jari telunjuk
mengisyaratkan umur dunia yang sudah dilewati sampai diutusnya Rasulullah n.
sedangkan jari kelebihan jari tengah atas jari telunjuk adalah gambaran jarak antara
-
13
diutusnya Rasulullah dengan kiamat. Jarak jari telunjuk dan jari tengah tentu saja sangat
pendek dan dekat. Tapi ingat bahwa ini adalah perumpamaan.
Bisa pula dimaknai bahwa, jika isyarat yang diberikan Rasulullah dimaknai dengan
makna sebenarnya, maka yang dimaksud adalah dekat dalam hitungan Allah. Dalam
hitungan kita sebagai manusia tentu saja menjadi panjang dan lama, karena terbatasnya
pengetahuan kita. Diutus dan wafatnya Rasulullah, terbelahnya bulan, fitnah yang terjadi
di zaman shahabat dan setelahnya adalah tanda-tanda dekatnya kiamat. Itu semua
sangat singkat dan dekat dalam hitungan Allah. Akan tetapi dalam hitungan kita, itu
adalah waktu yang panjang karena telah melalui rentang waktu empat belas abad
lamanya.
Dalam hadits yang lain Rasulullah n memberikan permisalan tentang dekatnya
kiamat dalam sabdanya,
“Sesungguhnya dekatnya kiamat itu seperti seorang wanita hamil yang sudah
tiba hari melahirkan, hal mana keluarganya tidak tahu pasti apakah akan melahirkan
siang atau malam harinya.” (HR. Ahmad)
Al-Muththalib bin Abdullah menceritakan bahwa ketika Abdullah bin Umar
sedang wuquf di Arafah, sore hari Ibnu Umar memperhatikan matahari yang sedang
menuju tenggelam seperti bentuk sebuah perisai. Tiba-tiba saja beliau menangis. Orang
yang berada di dekatnya pun bertanya, “Apakah yang menyebabkan engkau menangis?
Aku sudah beberapa kali wuquf bersamamu akan tetapi engkau belum pernah seperti
ini?” Abdullah bin Umar menjawab, “Sesungguhnya dunia yang tersisa dibandingkan
dengan yang sudah terlewat adalah seperti sisa hari kalian hari ini dibandingkan dengan
bagian hari yang sudah lewat.” (HR. Ahmad)
Apa yang dikatakan oleh Shahabat Ibnu Umar a di atas menjadi penjelasan
terhadap maksud “dekat” dalam nash-nash hadits tentang dekatnya kiamat.
Jika kita mengatakan bahwa dekat dan jauh dalam bahasa pembuat syariat
bersifat relative dan berbeda dari sisi kita sebagai manusia, hal itu tidak berarti
-
14
kemudian kita boleh lalai karena berasumsi bahwa kiamat masih jauh. Sebab dekat dan
jauhnya kiamat sama sekali tidak bisa dijadikan alasan menunda amal kebajikan. Karena
segala yang pasti terjadi adalah dekat. Yang jauh adalah angan-angan kita.
Pernyataan Imam Ash-Shan’ani berikut kiranya bisa menjadi kesimpulan yang
sangat gamblang tentang maksud “dekatnya” kiamat. Beliau mengatakan,
“Dikabarkannya prihal dekatnya kiamat dengan masa diutusnya Rasulullah bisa dibawa
pada pengertian, dekat dalam hitungan Allah, meski jauh dalam hitungan manusia. Hal
itu sebagai bantahan kepada kaum musyrikin yang sama sekali mengingkari adanya
kiamat. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah,
“Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil), sedangkan
Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi)” (QS. Al-Ma’aarij: 6-7)
Bisa pula dibawa pada pengertian dekatnya waktu diutusnya Nabi dengan
kemuculan tanda-tanda kiamat. –Setelah menyebutkan sebagain tanda-tanda kiamat
dan hadits ““Sesungguhnya diutusnya diriku dengan kiamat adalah seperti dua jari ini,”
sembari Rasulullah memberi isyarat dengan merapatkan dari tengah dan jari
telunjuknya.” Lalu Imam Ash-Shan’ani mengatakan,
“Maksudnya bahwa kurun waktu berabad-abad yang telah dilewati manusia
dibandingkan dengan sisa umur dunia, hanyalah waktu yang singkat dan dekat.
Terjadinya kiamat adalah dekat dalam hitungan Allah l, meski jika diukur dengan
perhitungan manusia menjadi jarak yang jauh…Jadi, semua nash wahyu yang
menyebutkan tentang dekatnya kiamat dan tanda-tandanya harus dipahami dengan
kaidah ini; yaitu dekat-jauh adalah perbandingan antara umur dunia yang sudah berlalu
dengan yang masih tersisa. Oleh karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti awal
dunia, maka kitapun tidak bisa memastikan kapan akhir dunia. Yang bisa kita simpulkan
dari nash-nash tersebut adalah sebatas bahwa umur dunia yang tersisa bila
dibandingkan dengan yang sudah belalu adalah sangat sedikit. Dengan demikian
tetaplah prinsip bahwa tidak ada yang mengetahui pasti tentang berapa umur dunia
-
15
yang sudah berlalu dengan yang masih tersisa. Kecuali Allah yang Maha Mengetahui
yang ghaib.
Dalam hadits Nabi banyak disebutkan prihal umur dunia dengan permisalan-
permisalan, namun demikian, sesuatu yang diketahui bersama bahwa hukum tidak bisa
ditetapkan berdasarkan ungkapan permisalan-permisalan, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Al-Haramain.”4
Ditinjau dari sisi jauh dan dekatnya sebuah peristiwa akhir zaman ataupun tanda-
tanda kiamat yang disebutkan di dalam sebuah hadits, bisa dibagi menjadi dua kategori;
Pertama, tanda-tanda kecil kiamat, yaitu tanda-tanda atau peristiwa yang terjadi
sebagai isyarat semakin dekatnya kemunculan tanda-tanda besar kiamat. Tanda jenis ini
sifatnya terjadi terus-menerus dan semakin meluas. Misalnya hadits Nabi yang
menyebutkan bahwa di antara tanda kiamat adalah merebaknya perbuatan keji (zina).
Bisa pula tanda tersebut hanya terjadi beberapa waktu kemudian hilang, lalu muncul
kembali di masa-masa berikutnya. Misalnya hadits-hadits tentang bermunculannya para
pendusta (Dajjalun) yang mengaku sebagai nabi.
Kedua, tanda-tanda besar kiamat, yaitu tanda-tanda atau peristiwa yang
menunjukkan semakin dekatnya kiamat itu sendiri. Untuk jenis yang kedua ini telah
disebutkan oleh Rasulullah secara jelas sehingga cenderung tidak menimbulkan
syubuhat.
KAIDAH-KAIDAH MENERAPKAN NASH TANDA-TANDA HARI KIAMAT PADA REALITA
Pada masa-masa lemah, baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang,
muncul kecenderungan untuk mencocokkan hadits-hadits tentang tanda-tanda kiamat
dengan realita, bahkan tidak sedikit yang sampai pada tingkatan memastikan. Oleh itu
4 Faidhul Qadir: 2//566.
-
16
sangat penting memahami kaidah-kaidah dalam kaitannya mencocokkan nash dengan
realitas atau peristiwa tertentu sebagai tanda kiamat atau semakin dekatnya kiamat.
Kaidah 1: Menyadari bahwa kita tidak perintahkan untuk mencocokkan hadits-
hadits fitnah dan tanda-tanda hari kiamat dengan realitas.
Secara fitrah, orang yang menyaksikan berbagai peristiwa besar semasa hidupnya
akan merasa bahwa peristiwa yang dialami atau disaksikannya sebagai peristiwa paling
dahsyat dan berat, bahkan musibah-musibah kecil yang akan terjadi di masanya bisa
jadi terasa lebih besar daripada musibah-musibah besar yang terjadi pada masa lalu.
Oleh karena itu orang yang hidup di suatu masa memiliki kecenderungan untuk
mencocokkan tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masanya, meskipun pada masa lalu
ada peristiwa yang jauh lebih besar dan dahsyat. Namun karena peristiwa masa lalu
pengaruhnya tidak ia rasakan dan saksikan secara langsung jadilah peristiwa masa lalu
itu kecil sementara di sisi lain merasa bahwa peristiwa yang disaksikan atau terjadi pada
masanya adalah peristiwa paling dahsyat.
Orang yang berilmu dan wara’ memang diperbolehkan berijtihad tentang tanda-
tanda kiamat dan mencocokkannya dengan realita, sebagaimana ijtihad Umar bin
Khaththab yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, padahal Nabi masih
hidup dan beliau tidak mengingkarinya. Namun yang harus dipahami bahwa dalilnya
adalah pada iqrar (persetujuan) Nabi, bukan semata-mata pada ijtihad shahabat Umar.
Sedangkan sepeninggal Nabi siapa yang bisa mengiqrar sebuah ijtihad sebagai ijtihad
yang benar. Yang kedua, pernyataan Umar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal bisa
dibawa pada pengertian dajjal kecil yang memang akan bermunculan dari masa ke masa.
Dajjal dalam pengertian orang yang memiliki karakter pendusta dan pembohong.
Namun jika sebuah “ijtihad” bisa menyebabkan terpecahnya barisan kaum
muslimin, atau membawa dampak kerusakan yang tidak dikehendaki oleh syariat, maka
-
17
seseorang dilarang melakukannya kecuali dengan dalil yang jelas dan kuat. Dampak
yang dimaksud misalnya terjadinya peperangan, fitnah, penghalalan sesuatu yang
diharamkan syariat, atau terpecahnya barisan kaum muslimin.
Kaidah 2: Dalil tentang fitnah akhir zaman atau tanda-tanda kiamat yang masih
mengandung multi tafsir tidak boleh diterapkan lalu memastikannya pada kejadian
tertentu atau person tertentu.
Para salaf sangat berhati-hati dan membatasi diri ketika berbicara tentang hadits-
hadits fitnah akhir zaman dan tanda-tanda kiamat. Ketika para ulama salaf
membicarakan hadits-hadits ahkam mereka akan memberikan penjelasan yang sangat
detil dan rinci. Akan tetapi ketika berbicara tentang hadits fitan dan tanda-tanda kiamat
mereka sangat membatasi diri, mencukupkan diri dengan penjelasan yang umum dan
ringkas. Inilah manhaj para salaf dalam menyikapi hadits-hadits fitan.
Syaikh Faishal bin Hayyan berkata, “Ketahuilah bahwa menerapkan hadits tentang
fitnah akhir zaman pada peristiwa tertentu atau orang-orang tertentu ada dua macam;
Pertama, Penerapan secara pasti, misalnya dengan mengatakan, “Yang dimaksud
dalam hadits ini adalah si anu. Atau mengatakan kejadian atau tempat yang dimaksud
dalam hadits ini adalah kejadian ini adan itu.” Pemastian seperti ini tidak diperbolehkan,
sebab sangat berpotensi menimbulkan berbagai keburukan. Seandainya hanya
menimbulkan dampak berupa munculnya fitnah yang baru niscaya itu sudah cukup
menjadi alasan untuk tidak melakukan pemastian seperti itu.
Kedua, Penerapan yang bersifat parsial dan terbatas. Misalnya dengan
mengatakan, “Sebagian dari tanda-tanda kiamat dalam hadits ini sudah terjadi pada
zaman kita ini.” Atau mengatakan, “Sebagian dari sifat-sifat yang disebutkan dalam
hadits ini terdapat dalam diri si fulan…”
Memastikan sebuah kejadian atau peristiwa sebagai fitnah akhir zaman, atau
sebagai tanda dekatnya kiamat sebagaimana yang dimaksud dalam nash wahyu,
-
18
termasuk klaim yang berbahaya, karena hal demikian termasuk klaim mengetahui
perkara gaib, dan berbicara urusan agama berdasar asumsi dan dugaan. Sebuah
peristiwa tidak bisa dipastikan sebagai bagian dari fitnah akhir zaman atau tanda
dekatnya kiamat kecuali jika kejadian tersebut sudah terjadi secara keseluruhan. Artinya
tidak hanya sepotong-sepotong, sebab ada banyak fenomena yang dalam hadits Nabi
disebut sebagai fitnah akhir zaman dan fenomena itu terus terjadi, bahkan semakin
meluas.
Contoh pemastian dan klaim yang salah kaprah adalah takwil terhadap hadits
shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Dari Abu Nadhrah, dia berkata, “Suatu
ketika kami bersama Jabir bin Abdullah. Lalu Jabir berkata,
“Hampir tiba masanya penduduk Irak tidak mendapatkan pasokan takaran dan
dirham.” Kami bertanya, “Siapa yang melakukan hal itu?” Jabir menjawab, “Dari bangsa
non Arab (‘ajam) mereka menahannya.” Kemudian dia berkata lagi, “Hampir tiba
masanya penduduk Syam tidak mendapatkan pasokan dinar dan pisau.” Kami bertanya,
“Siapa yang melakukan itu?” Jabir menjawab, “Bangsa Romawi.” (HR. Muslim)
Berdasar hadits ini kemudian ada yang menyimpulkan bahwa “Peristiwa yang
disebutkan dalam hadits tersebut adalah embargo yang dialami oleh Irak dalam
rengtang waktu sejak tahun 1990 M, yaitu ketika Irak diembargo oleh Amerika.
Ada yang lebih menghebohkan lagi, sebagian orang ada yang membahas
tentang umur dunia sampai melakukan kalkulasi matematis, lalu sampai pada
kesimpulan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun sekian. Riwayat yang sering dijadikan
sebagai pijakan adalah perkataan Imam As-Suyuthi, As-Sakhawi.
Fahd Salim seorang penulis berkebangsaan Mesir menulis sebuah buku yang
berjudul Asraarus Saa’ah. Dalam buku tersebut dia mengatakan, “Dajjal itu diberi
kekuasaan di Iran sebelum munculnya Al-Mahdi. Kemudian penulis menjelaskan bahwa
-
19
orang yang dimaksud adalah Muhammad Khatami, dan dia memberinya gelar Ayatullah
Gorbachev.
Said Ayyub dalam bukunya Al-Masih Ad-Dajjal, mengklaim bahwa Imam Mahdi
yang dimaksud dalam hadits Nabi adalah Shadam Husain. Demikian pula Amin
Muhammad Jamaludin dalam bukunya Armagedon mengklaim bahwa Sufyani yang
disebutkan dalam sebagian hadits adalah Shadam Husain. Dalam buku Asyraathus
Saa’ah wa Hujuumul Gharb, Fahd Salim mengklaim bahwa Sufyani dalam hadits Nabi itu
adalah Husain, raja Yordania yang terdahulu.
Oleh karena itu, memastikan bahwa tanda-tanda hari kiamat A terjadi pada tahun
tertentu tidak diperbolehkan, kecuali berdasar dalil syariat yang jelas dan spesifik.
Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang dalam mencocokkan hadits-hadits
Al-Mahdi pada person tertentu, dan memastikan bahwa si A adalah Al-Mahdi.
Jadi, tidak dibenarkan memastikan hal-hal yang bersifat dugaan dan takwil.
Apalagi jika dalil yang dijadikan dasar adalah riwayat yang lemah bahkan palsu, maka
tidak ada lagi alasan untuk membenarkannya. Kecuali jika telah ada keterangan yang
jelas bahwa tanda-tanda yang tertera dalam hadits yang shahih sesuai dengan satu
peristiwa tertentu, sehingga tidak lagi mengandung keraguan. Meski tidak menutup
kemungkinan juga hadits dimaksud memiliki kecocokan dengan peristiwa lain yang
serupa atau bahkan yang lebih kuat.
Misalnya apa yang dialami dan katakan oleh Asma binti Abu Bakar. Ketika
putranya, Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan Hajjaj bin Yusuf, Asma berbicara
kepada Hajjaj selaku panglima pasukan, “Rasulullah n telah menyampaikan kepada kami,
bahwa dari Bani Tsaqif akan muncul seorang pendusta (kadzdzab) dan seorang mubirr
(perusak dan suka membunuh). Adapun si pendusta, kami sudah melihatnya. Sedangkan
-
20
perusak, maka aku sangat yakin ciri-cirinya ada pada dirimu.” Lalu Hajaj berdiri
meninggalkan Asma tanpa menyanggahnya.
Imam An-Nawawi berkata, “Perkataannya tentang Al-Kadzdzab, “Kami sudah
melihatnya,” yang dimaksud adalah Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi. Di antara
kedustaannya adalah klaim dirinya bahwa Jibril menyampaikan wahyu kepadanya. Dan
para ulama sepakat mengenai hal itu. Adapun yang dimaksud Al-Mubiir (perusak)
adalah Hajjaj bin Yusuf. Wallahu a’lam.5
Contoh lainnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah a,
bahwa Rasulullah n bersabda,
�뺈ᆾ횐ͨ 쁄殽疰 疰e疰疰횐da 뺈er뺈a횐d뺈� 쁄¼�疰�쁄� 疰er뺈h疰횐na 疰¼횐Ƣ뺈� 횐䳀疰呂 �Ƣ뺈� 뺈Ê쁄ᆾ횐뺈� �ᴜ 뺈⸱ 쁄Ê뺈dr���a 쁄Ê�쁄�뺈�� 뺈ᴜ
“Hari kiamat tidak akan terjadi, sehingga ada api yang muncul di tanah Hijaz yang
menerangi leher-leher unta di kota Bushra (Syam).
Api yang disebut dalam hadits ini telah muncul pada tahun 654 H. Api itu
menyala selama tiga bulan, hingga kaum wanita Madinah bisa memintal kain di bawah
sinar cahayanya.
Abu Syamah menceritakan kejadian tersebut, “Pada malam Rabu, 3 Jumadal
Akhirah 654 H/Mei 29 Mei 1256 M, di kota Madinah terdengar suara keras yang
menggema, kemudian terjadi gempa yang menggoyang dinding-dinding, atap-atap
rumah, kayu-kayu, dan pintu-pintu hingga hari Jumat pada bulan tersebut. Kemudian
muncul api yang sangat besar dari arah Harrah, dekat perkampungan Bani Quraizhah.
Kami dapat melihatnya dari rumah-rumah kami di Madinah, seolah-olah di sana ada api
5 Syarh Muslim, An-Nawawi (8/328)
-
21
besar yang mengalir ke lembah-lembah hingga di lembah Syazha seperti aliran air. Api
tersebut melontarkan bunga api sebesar setinggi istana.”6
Imam An-Nawawi berkata, “Pada zaman kami, yaitu pada tahun 654, telah
muncul api, api itu sangat besar, ia keluar di sebelah timur kota Madinah, di belakang
kota Harrah. Berita tentang kemunculan api itu mutawatir.”7
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurutku, api tersebut adalah api yang muncul
di dekat kota Madinah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qurthubi dan yang
lainnya.”8
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah a, bahwasanya
Rasulullah n bersabda,
쁄Ê횐ᆾ뺈횐da 뺈ᆾ쁄��횐�뺈�뺈� 쁄Ìr뺈呂���a 뺈§뺈Ƣr뺈�뺈�È뺈��뺈� 쁄ea뺈�횐�뺈횐Ìa 뺈§뺈Ƣr뺈�뺈�È뺈��뺈� 쁄§疰È뺈�횐�a 뺈ᆾ쁄��횐�뺈�뺈� 쁄뺈�疰�횐�a 뺈ᆾ뺈ǰ횐È뺈� �ᴜ 뺈⸱ 쁄Ê뺈dr���a 쁄Ê�쁄�뺈�� 뺈ᴜ
쁄e횐È뺈�횐�a 뺈¾r뺈� 쁄Ê횐ᆾ뺈횐da r뺈呂뺈� 뺈e疰�
“Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga muncul banyak fitnah, banyak kedustaan,
pasar-pasar semakin berdekatan, waktu semakin pendek dan banyak terjadi kekacauan.”
Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekacauan?” beliau menjawab,
“Pembunuhan.” (HR. Ahmad)
Syaikh Bin Bazz dalam komentar beliau terhadap kitab Fathul Bari, beliau
mengatakan, “Penafsiran kata at-taqaarub (semakin berdekatan/pendek) yang paling
mendekati kebenaran dalam hadits tersebut adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu
semakin pendeknya jarak antar kota dan daerah, serta semakin pendeknya waktu untuk
6 At-Tadzkirah, Al-Qurthubi hal. 527.7 Syarh Shahih Muslim (18/28)8 Fathul Bari 20/128.
-
22
menempuh jarak antara tempat-tempat itu dengan adanya pesawat terbang, mobil,
radio dan lain-lain. Wallahu a’lam.”
Berdasarkan kejadiannya, tanda-tanda kiamat bisa dibagi menjadi beberapa tiga
bagian,
1. Tanda-tanda yang sudah terjadi secara sempurna dan jelas sebagaimana yang
telah diberitakan oleh Nabi n. Misalnya diutusnya Nabi n, wafatnya beliau n, dan
munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi.
2. Tanda-tanda yang sebagiannya sudah terjadi dan masih akan terus terjadi.
Misalnya, semakin berdekatannya pasar, tersebarnya tulisan dan banyaknya
pembunuhan, tersebarnya minuman keras, tersebarnya perbuatan keji secara
terang-terangan.
3. Tanda-tanda yang belum terjadi sama sekali, misalnya munculnya daabbah
(binatang melata), Imam Mahdi, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, munculnya Dajjal…
Kaidah 3: Menyadari bahaya yang timbul akibat salah menerapkan hadits-hadits
tentang fitnah akhir zaman
Tidak teliti dan hati-hati dalam menyikapi fitnah dan dalil-dalil syariat mengenai
fitnah akhir zaman akan berdampak buruk baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain,
bahkan umat secara umum. Diantara dampak buruknya adalah,
1. Dosa berbicara perkara agama dan perkara ghaib tanpa dasar ilmu.
Seseorang yang bukan mujtahid jika melakukan kesalahan dalam “ijtihadnya”
maka ia akan tetap berdosa, sebab ia melakukan sesuatu yang bukan menjadi
haknya. Menerapkan hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman dan tanda-tanda
kiamat secara serampangan, atau mengikuti asumsi dan dugaan-dugaan, adalah
-
23
termasuk perbuatan berkata tanpa ilmu. Lebih besar lagi dosanya karena itu
termasuk berkata atas nama pembuat syariat (Allah dan RasulNya) tanpa ilmu.
Seorang mukmin diperintahkan untuk bersikap hati-hati dan teliti, tidak
sepatutnya mengeluarkan pernyataan dalam perkara agama jika dia tidak
memiliki ilmunya. Allah l berfirman,
“Katakanlah, "Rabbbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-
adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A’raaf: 33)
2. Melakukan amal yang tidak disyariatkan atau sebaliknya meninggalkan amal
yang disyariatkan.
Misalnya sebagian orang membaca beberapa buku yang membahas tentang
kemunculan Al-Mahdi, penulisnya memastikan bahwa Al-Mahdi adalah fulan.
Sebagian pembaca kemudian menunggu-nunggu kedatangan Al-Mahdi lalu
tidak mau beramal. Ada pula yang membeli kuda dan pedang untuk bersiap-siap
menghadapi pertempuran karena terobsesi bahwa akan terjadi peperangan akhir
zaman pada beberapa tahun mendatang. Ada pula yang mengajak orang lain
untuk mengasingkan diri ke bukit dan pegunungan, karena meyakini bahwa
huru-hara akhir zaman sudah di depan mata.
Ada pula yang tidak mau menikah dan tidak mau membangun rumah, karena dia
berasumsi bahwa munculnya Dajjal telah dekat sedekat jarak dua ujung busur
panah atau lebih dekat lagi. Ada lagi yang membatalkan keberangkatannya untuk
menunaikan ibadah haji/umrah karena takut munculnya tanda-tanda besar
kiamat di tanah Hijaz.
-
24
3. Mengakibatkan kerusakan dan sikap mendustakan Allah dan Rasul-Nya.
Misalnya klaim bahwa seorang pemimpin tertentu sebagai khalifah ‘ala minhajin
nubuwah, yang akan muncul pada akhir zaman, dan bahwa pasukannya adalah
pasukan yang akan menyambut kedatangan Al-Mahdi. Atas klaim itu kemudian
dijadikan sebagai legitimasi untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin
yang dianggap membangkang terhadap khalifah. Lalu terjadilah fitnah yang lebih
besar.
Atau ada yang mengklaim Imam Mahdi yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi
adalah fulan, tapi ternyata bukan. Hal ini bisa mengakibatkan manusia
mengingkari hadits-hadits tentang Al-Mahdi. Demikian pula memastikan suatu
kejadian tertentu sebagai tanda-tanda kiamat tanpa dalil dan penelitian yang
benar tidak akan berakibat kecuali kerusakan.
4. Timbulnya perpecahan bahkan pertumpahan darah.
Dampak buruk lainnya dari kesalahan menerapkan hadits-hadits tentang
akhir zaman adalah menimbulkan sikap ghuluw (berlebihan). Misalnya berangkat
dari keyakinan bahwa munculnya tanda-tanda besar kiamat sudah diambang
pintu, diantara tanda-tandanya adalah kembalinya Khalifah Rasyidah ‘ala
Minhajin Nubuwah (kembalinya khilfah yang sejalan dengan petunjuk Nabi). Lalu
muncul orang yang mengklaim dirinya sebagai khalifah, para pendukungnya
kemudian menghiasi klaim itu dengan nubuwat akhir zaman,
mempropagandakan bahwa khilafah mereka adalah khilafah akhir zaman, oleh
karena khilafah dimaksud akhir zaman maka ia adalah Khilafah ‘Ala Minhajin
Nubuwah, oleh karena ini adalah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah, maka orang-
orang yang menolaknya berarti menolak ketetapan Allah dan RasulNya, menolak
-
25
ketetapan Allah berarti menentang syariat, menentang syariat berarti kafir, jika
kafir maka halal darahnya. Lalu terjadilah fitnah setelah fitnah.
Dampak buruk lainnya misalnya menyakan bahwa para tentara
“khalifahnya” adalah tentara yang akan menyambut kedatangan Al-Mahdi dan
pendukungnya. Sebaliknya para penentangnya adalah para pendukung Dajjal.
Laa haula walaa quwwata illaa billah.