Judul:Kaidah-KaidahMemahamiFitnahAkhirZaman&Tanda … ·...

25
1

Transcript of Judul:Kaidah-KaidahMemahamiFitnahAkhirZaman&Tanda … ·...

  • 1

  • 2

    Judul : Kaidah-Kaidah Memahami Fitnah Akhir Zaman & Tanda-Tanda Kiamat

    Penulis: Ust. Marzuki Ibnu Syarqi

    Editor: Ust. Zaid Royani

    Penerbit: MADINA (Majelis Dakwah Islam Indonesia)

  • 3

    Antara yang Meremehkan dan Berlebihan

    Tidak ada jalan kebaikan yang ditempuh oleh anak Adam melainkan setan

    mempunyai cara untuk menggelincirkannya; meremehkan atau berlebih-lebihan. Dua

    sikap inilah pangkal segala penyimpangan. Karenanya yang kita selalu minta kepada

    Allah adalah jalan yang lurus, jalan yang pertengahan; antara sikap meremehkan dan

    berlebihan.

    Ada sebagian golongan manusia yang tidak peduli kepada hari kiamat; bahkan

    tidak pernah memikirkan tentang kiamat. Baginya hidup di dunia ini adalah perlombaan

    untuk meraih sebanyak mungkin prestasi duniawi; harta, pangkat, kedudukan, status

    sosial dan berbagai pernak-pernik dunia yang tiada pernah mengenal batas.

    Ada pula yang menganggap hadits-hadits Nabi tentang tanda-tanda kiamat itu

    sebagai sesuatu yang imajinatif, tidak logis, arasional, sehingga tidak pantas seorang

    muslim yang hidup di zaman modern seperti sekarang ini membuang-buang waktunya

    hanya untuk membahas perkara yang sia-sia. Bahkan mereka memandang bahwa

    pembahasan semacam ini adalah salah satu sebab kemunduran umat Islam.

    Ada lagi golongan ketiga, mereka percaya terhadap hadits-hadits shahih tentang

    tanda-tanda kiamat, akan tetapi hadits-hadits itu mereka takwilkan maknanya kepada

    makna yang mereka anggap rasional dan relevan. Misalnya, hadits-hadits tentang Dajjal

    yang dalam hadits-hadits Nabi disebut sebagai nama person; memiliki ciri-ciri fisik dan

    sifat yang sangat jelas. Akan tetapi mereka menakwilkan bahwa Dajjal bukan nama

    person, akan tetapi sebutan untuk situasi dan kemajuan teknologi yang sangat cepat

    dan canggih. Dajjal yang dikabarkan bisa menembus jarak dan waktu, mereka takwilkan

    dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

  • 4

    Pada arah yang berseberangan ada pula golongan yang berlebih-lebihan.

    Golongan ini sangat percaya dan yakin dengan hadits-hadits tentang tanda-tanda

    kiamat. Karena saking yakinnya sehingga keyakinan mereka melampaui batasan yang

    seharusnya. Mereka bersikap berlebihan hingga akhirnya melampaui batas syariat,

    meyakini dan mengatakan sesuatu yang tidak berdasar syariat, karena bersandar kepada

    hadits-hadits yang dhaif, penafsiran ganjil sebagian ulama, terjerumus pada tindakan

    mencocok-cocokkan nash-nash (yang meskipun shahih) ke dalam realitas kehidupan

    lalu memastikannya sebagai peristiwa atau kejadian yang dimaksud oleh syariat padahal

    belum tentu sesuai dengan petunjuk dan maksud yang dikehendaki oleh nash syariat.

    Para ulama dahulu hingga sekarang telah banyak yang menulis tentang tanda-

    tanda hari kiamat. Dalam kitab-kitab hadits yang merupakan rujukan utama dalam

    masalah ini pun membuat pembahasan tersendiri dalam Bab Al-Fitan wa Asyratus

    Saa’ah. Demikian pula kitab-kitab yang secara khusus membahas tema kiamat dan

    tanda-tandanya semisal Kitab Al-Fitan wa Al-Malahim, Ibnu Katsir, Asyratus Saa’ah Ibnul

    Jauzy, At-Tadzkirah Imam Al-Qurthuby. Demikian pula para ulama kontemporer sudah

    banyak yang menulis buku-buku yang menjelaskan tentang fitan (huru-hara akhir

    zaman) dan tanda-tanda kiamat. Misalnya, Shahih Al-Musnad min Ahadits Fitan wal

    Malahim wa Asyratis Saa’ah karya Syaikh Musthafa Al-Adawy, Fiqh Asyrati Saa’ah karya

    Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam, Nihayatul ‘Aalam oleh Muhammad Al-Arify...

    Bahkan pembahasan tentang kiamat banyak dikaji di berbagai forum dan kajian

    keislaman di televisi, radio, majelis taklim, jaringan internet, bahkan tidak ketinggalan

    para sienies membuat film tentang kiamat.

    Oleh karena itu sangat penting memahami kaidah dalam memahami nash-nash

    syariat tentang tanda-tanda hari kiamat, sehingga pemahaman dan keyakinan tentang

    kiamat bisa terjaga dari khurafat, penyimpangan dan takwil yang menyalahi nash syariat.

  • 5

    Keyakinan yang lurus dan pertengahan, tidak meremehkan dan tidak pula berlebih-

    lebihan. Beberapa kaidah tersebut antara lain,

    1. Mencukupkan diri berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang

    shahih, mengabaikan hadits-hadits yang dhaif.

    Pembicaraan tentang tanda-tanda kiamat adalah masalah akidah, olehnya tidak

    boleh disandarkan kepada dalil-dalil yang lemah, apalagi palsu, atau asumsi-asumsi

    yang hanya mengikuti prasangka. Al-Qur’an dan sunnah shahihah adalah sumber paling

    otoritatif untuk mengetahui informasi seputar perkara ghaib termasuk tentang kiamat

    dan berbagai peristiwa yang mendahuluinya. Allah l berfirman,

    “Katakanlah, "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui

    perkara yang ghaib, kecuali Allah," dan mereka tidak mengetahui bila mereka

    akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)

    “(Dia adalah Rabb) Yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan

    kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-

    Nya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

    Kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Muhammad sebagian perkara ghaib

    tersebut untuk kemaslahatan agama, di antaranya adalah mengenai tanda-tanda kiamat.

    Rasulullah dalam banyak hadits menyebutkan tentang fitnah akhir zaman dan tanda-

    tanda kiamat, sebagai peringatan dan pelaran bagi kita sebagai umatnya.

    Adapun menjadikan cerita-cerita israiliyat, mimpi orang-orang yang dianggap

    shalih, atau peristiwa-peristiwa dan tragedi politik sebagai sumber rujukan, apalagi

    ramalan para dukun adalah sesuatu yang tidak dibenarkan bahkan bisa menjerumuskan

    kepada kesyirikan karena mempercayai perkataan dukun dan tukang ramal.

  • 6

    Disamping itu nash yang dijadikan dalil harus berupa dalil yang shahih, baik yang

    dinisbatkan kepada Nabi maupun kepada para sahabat. Sebab ada sebagian orang

    yang menjadikan tema tanda-tanda kiamat bukan sebagai pengajaran kepada umat,

    akan tetapi sebagai lahan bisnis untuk melariskan buku, atau menarik minat pembaca

    dengan mencantumkan cerita-cerita aneh, ganjil, mimpi, khurafat, bahkan riwayat-

    riwayat yang dusta. Sebut saja misalnya buku Perang Armagadon tulisan Fahd Salim,

    Umur Umat Islam oleh Amin Jamaluddin, Segitiga Bermuda dan buku-buku yang

    semisal. Di dalamnya banyak disebutkan sumber-sumber yang tidak jelas, cerita-cerita

    aneh dan ganjil.

    2. Mengambil rujukan penjelasan dari para ulama yang terpercaya.

    Pembasan tentang fitnah akhir zaman dan tanda-tanda kiamat adalah perkara

    yang pada sebagiannya menjadi pembahasan pelik dan syubuhat. Hal itu tidak lepas

    dari banyaknya hadits-hadits dhaif seputar masalah ini, atau hadits-hadits yang shahih

    namun diungkapkan dalam bentuk isyarat-isyarat dan kalimat-kalimat kiasan, sehingga

    sebagian orang yang cenderung menafsirkan dengan penafsiran-penafsiran yang justru

    menyelisihi keyakinan yang lurus.

    Dalam perkara seperti ini yang semestinya dilakukan adalah mengembalikan

    masalah ini kepada para ahlinya, mengembalikannya kepada para ulama yang

    terpercaya. Allah l berfirman,

    “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada

    mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’: 7)

    “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,

    tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)

    mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)[323]. Kalau tidaklah karena

  • 7

    karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali

    sebahagian kecil saja (di antaramu).” (QS. An-Nisa’: 83)

    Abu Abu Thufail menuturkan, “Ketika aku sedang berada di Kufah, ada seseorang

    yang berkata, “Dajjal telah keluar!” Lalu kami mendatangi Hudzaifah bin Usaid yang

    sedang memberikan ceramah. Aku berkata, “Dajjal telah keluar.” Hudzaifah berkata,

    “Duduklah!” Aku pun duduk. Lalu datang lagi seorang tokoh di Kufah, dia juga berkata,

    “Dajjal telah keluar namun penduduk Kufah tidak mempercayainya.” Hudzaifah berkata,

    “Duduklah!” Diapun duduk. Lalu ada yang berseru, “Sesungguhnya ini adalah kedustaan

    dan kebohongan.” Kami berkata, “Wahai Abu Sarihah, Anda tentu tidak menyuruh kami

    duduk, melainkan karena ada perkara penting. Oleh karena itu berbicaralah.” Hudzaifah

    berkata, “Sesungguhnya, seandainya Dajjal keluar di zaman kalian, niscaya anak-anak

    akan melemparinya dengan ketapel. Akan tetapi Dajjal itu akan keluar pada masa ketika

    manusia dalam keadaan saling mendengki satu sama lain, meremehkan agama, dan

    hubungan antara manusia buruk. Maka dia akan mendatangi setiap rumah yang berada

    di padang sahara, bumi dilipat baginya seperti lipatan kulit kepala domba jantan…” (HR.

    Al-Hakim)1

    Demikianlah jalan para salaf, mereka selalu bertanya kepada ahli ilmu sebelum

    membicarakan dan mempercayai sesuatu apalagi perkara yang berkaitan dengan

    keyakinan dan iman.

    3. Memahami hadits-hadits akhir zaman sesuai kadarnya (proporsional)

    Hadits-hadits tentang akhir zaman harus dipahami dan disikapi secara

    proporsional sesuai kadarnya; tidak boleh meremehkan juga tidak boleh memberikan

    1 Al-Hakim berkata, “Ini hadits shahihul isnad, dan Syaikhani tidak mengeluarkannya”. Syaikh Musthafa Al-Adawiberkata, “Pada sebagian sanadnya ada sedikit pembicaraan. Di dalam isnadnya ada Mu’adz bin Hisyam, diadiperbincangkan yang menyebabkan haditsnya turun ke derajat hasan. Dalam isnadnya juga ada Qatadah, diaseorang mudallis, dia meriwayatkan hadits dengan lafadz ‘an, hanya saja yang meriwayatkan darinya adalah Hisyambin Abu Abdullah Ad-Dastawai. Dia adalah orang yang paling bagus riwayatnya darinya dan orang yang palingkuat.” Lihat Ash-Shahih Al-Musnad Minal Fitan wal Malaahim wa Asyraathis Saa’ah (507)

  • 8

    penafsiran dan penyikapan yang melebihi kadarnya. Sebab, berbagai fitnah yang

    disebutkan dalam banyak hadits bermacam-macam bentuk dan tingkatannya; ada fitnah

    yang besar dan dahsyat, ada pula yang kecil dan ringan, ada fitnah yang merupakan

    dosa besar adapula yang berupa kekufuran, ada fitnah yang bersifat khusus terbatas

    adapula yang bersifat meluas, masing-masing disikapi sesuai kadar yang dikehendaki

    oleh syariat. Inilah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi.

    Abu Said Al-Khudri mengatakan, “Aku adalah orang yang paling mengetahui

    tentang fitnah yang akan terjadi antara diriku dan hari kiamat, sebab Rasulullah hampir

    tidak pernah merahasiakannya dariku, beliau menceritakan kepadaku apa yang tidak

    beliau ceritakan kepada selainku. Tetapi suatu ketika Rasulullah membicarakan dalam

    sebuah majelis tentang fitnah sembari beliau menghitungnya, sabdanya, “Di antara

    fitnah itu ada yang hampir tidak ada seorang pun melainkan akan terkena olehnya, ia

    bertiup seperti angin pada musim panas, ada yang kecil dan ada pula yang besar.” (HR.

    Muslim)

    Oleh itu kita tidak boleh membesar-besarkan yang kecil melebihi kadarnya

    sehingga umat menjadi lemah dan takut berlebihan. Sebaliknya, tidak boleh pula

    meremehkan yang besar sehinnga umat memandangnya sebagai sesuatu yang enteng.

    Demikian pula tidak dibenarkan memutlakkan yang khusus dan terbatas, demikian

    sebaliknya tidak boleh pula mengkhususkan dan membatasi hadits-hadits fitan yang

    sebenarnya bersifat mutlak dan umum.

    kaidahnya ini menjadi penting karena hadits-hadits tentang peristiwa akhir

    zaman memiliki kadar validitas dan dalalah yang bervariasi. Validitas maksudnya adalah

    shahih atau tidaknya hadits yang dimaksud. Adapun dalalah adalah petunjuk atau

    maksud yang ditunjukkan oleh hadits. Untuk validitas hadits kita harus mencukupkan

    diri dengan hadits-hadits yang sahih atau minimal hasan. Adapun untuk dalalahnya

  • 9

    maka kita berhenti pada batas yang dintunjukkan oleh hadits tersebut tanpa melakukan

    penafsiran-penafsiran atau takwil-takwil yang dipaksakan, atau mengira-ngira, apalagi

    memastikan sesuatu kejadian sebagai fitnah akhir zaman atau tanda kiamat pada tidak

    ditunjukkan oleh dalil.

    Berdasarkan teksnya nash-nash mengenai fitnah akhir zaman, tanda-tanda

    dekatnya kiamat dan tanda-tanda kiamat bisa dikategorikan menjadi tiga;

    Pertama, nash-nash yang secara jelas menyebutkan peris tiwa tertentu secara

    spesifik sebagai fitnah akhir zaman atau tanda kiamat. Contohnya hadits-hadits tentang

    fitnah yang akan melanda para shahabat secara umum, atau fitnah yang akan menimpa

    shahabat tertentu, misalnya Rasuulullah mengabarkan fitnah yang akan menimpa Umar

    bin Khathab, Utsman, Ali, Usamah bin Zaid, dan lain-lain. Atau tanda-tanda kiamat yang

    Rasulullah sebutkan secara sharih semisal munculnya Dajjal, merebaknya minuman keras,

    merebaknya zina secara terang-terangan, dan semacam dengan itu. Untuk nash-nash

    yang tergolong jenis ini maka tidak ada keraguan bagi kita untuk mencocokkannya

    dengan realitas.

    Kedua, nash-nash yang hanya menyebutkan isyrat-isyarat dan permisalan.

    Umumnya hadits-hadits yang demikian adalah hadits-hadits tantang fitnah dan huru-

    hara akhir zaman, misalnya hadits-hadits tentang fitnah ahwas, tentang malhamah kubra,

    dan semacamnya. Untuk hadits yang tergolong kedalam jenis yang kedua ini maka kita

    berhenti pada penjelasan secara global sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama,

    dan tidak memaksakan takwil-takwil yang justru menjerumuskan pada perbuatan

    berkata tanpa ilmu dan membicarakan perkara ghaib berdasar kira-kira dan prasangka.

    Ketiga, hadits-hadits yang menyebutkan tentang fitnah akhir zaman, atau tanda-

    tanda kiamat akan tetapi bersumber dari hadits-hadits lemah bahkan palsu, atau riwayat

    yang tidak jelas sumbernya, cerita-cerita ganjil dan aneh. Misalnya tentang perang

  • 10

    Armagadon, umur umat Islam, Segitiga Bermuda sebagai istana Dajjal, Sufyani, dan

    semacamnya. Untuk jenis ketiga ini tidak boleh dijadikan sebagai dalil, apalagi

    menjadikannya sebagai landasan keyakinan. Bahkan termasuk perbuatan berkata

    tentang agama tanpa ilmu yang tergolong dosa besar; menimbulkan kerusakan akidah,

    kelemahan berpikir, dan berdusta atas nama pembuat syariat yaitu Allah dan RasulNya.

    Waliyadzubillah.

    4. Melihat dan mempertimbangkan keadaan orang yang diajak berbicara.

    Ada sebagian orang yang terlalu mudah berbicara tentang tanda-tanda hari

    kiamat; setiap kesempatan berbicara di depan public yang menjadi materi pokoknya

    adalah tentang huru-hara akhir zaman. Ia menyebutkan hadits-hadits dan berbagai

    pendapat ulama dan pemikir tentang tanda-tanda kiamat kepada kaum awam, padahal

    terkadang mereka tidak dapat memahami dengan baik apa yang mereka dengar. Yang

    demikian itu adalah kesalahan yang fatal dalam berdakwah. Ada kaidah yang

    mengatakan, “Tidak semua yang diketahui itu harus dikatakan. Tidak semua yang benar

    itu layak disebarkan.” Karena masing-masing orang memiliki keterbatasan untuk

    memahami, atau ketidakmampuan menempatkan dan menyikapi suatu masalah secara

    proporsional. Ali bin Abi Thalib berkata, “Berbicaralah kepada manusia mengenai

    perkara yang bisa mereka pahami, apakah kalian suka jika Allah dan rasul-Nya

    didustakan?” (HR. Al-Bukhari)

    Menanggapi pernyataan Ali bin Abi Thalib tersebut, Imam Asy-Syathibi berkata,

    “Beliau ingin menegaskan sebuah prinsip bahwa menyampaikan ilmu ada ketentuannya,

    betapa banyak persoalan yang baik bagi suatu kaum namun tidak baik bagi kaum yang

    lain.”2

    2 Al-Muwaafaqat: 5/36.

  • 11

    Ibnu Mas’ud a berkata, “Tidaklah kamu berbicara kepada suatu kaum dengan hal

    yang tidak mereka pahami, melainkan hal itu akan menjadi fitnah bagi sebagian di

    antara mereka.”3

    Termasuk dampak yang perlu dipertimbangkan adalah jangan sampai hadits-

    hadits tentang tanda-tanda kiamat dijadikan sebagai justifikasi untuk berhenti beramal,

    merasa pesimis, dan bergantung kepada keajaiban akhir zaman. Dahulu para shahabat

    Rasulullah mendengar langsung tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan

    dekatnya kiamat. Menyimak dan meriwayatkan hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman

    dan kiamat, akan tetapi hal itu tidak menjadikan mereka malas beramal karena

    menunggu keluarnya Al-Mahdi, juga tidak berputus asa dengan akan adaanya huru-

    hara yang akan menimpa mereka.

    5. Hadits-hadits tetang akhir zaman dan tanda-tanda kiamat tidak boleh dijadikan

    sebagai landasan hikum taklify secara langsung.

    Hadits-hadits tentang akhir zaman itu ada yang beruapa sesuatu yang wajib,

    haram, mubah, baik dan buruk. Akan tetapi dalil taklifnya diambil dari dalil yang lain.

    Misalnya hadits yang menyebutkan bahwa, “Pada di akhir zaman kaum wanita akan

    melakukan perjalanan jauh tanpa mahram tanpa merasa takut.” (HR. Al-Bukhari)

    Safar tanpa mahram sebagai sebuah tanda dekatnya kaimat adalah fakta, akan

    tetapi hadits tersebut tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum untuk

    membolehkan wanita bersafar tanpa mahram.

    6. Dekat dan jauhnya tanda-tanda kiamat dengan kiamat bersifat relative.

    Penting dimengerti bahwa ketika Al-Qur’an menyebut bahwa kaimat sudah dekat,

    atau ketika dalam banyak hadits disebutkan suatu rangkaian peristiwa sebagai tanda

    dekatnya kiamat, hal itu tidak menunjukkan bahwa kiamat sudah diambang pintu dalam

    hitungan kita secara matematis. Kata “dekat” itu tidak bisa dijadikan sebagai bahan

    3 Diriwayatkan oleh Muslim, Muqaddimah Shahihnya. .

  • 12

    justifikasi menetapkan rumusan dan penghitungan akhir umur dunia, lalu melakukan

    perhitungan berdasar riwayat-riwayat lemah dan palsu, atau hanya berdasar asumsi,

    apalagi merujuk kepada ramalan dukun dan cerita-cerita khalayan dari Ahli Kitab.

    Jauh dan dekat dalam bahasa pembuat syariat (Allah dan RasulNya) tidak bisa

    diasumsikan atau disamakan dengan “jauh dan dekat” dalam persepsi kita sebagai

    manusia (hamba). Misalnya ketika Rasulullah ditanya oleh orang-orang musyrik tentang

    kapan terjadinya kiamat, Allah menurunkan jawaban dengan menurunkan firmanNya,

    “Katakanlah bisa jadi waktu (kiamat) itu sudah dekat.” (QS. Al-Isra: 51)

    “Dekat” dalam ayat di atas bersifat relative. Karena; Pertama, “dekat dan jauh”

    menurut kadar hitungan Allah dan manusia tentu berbeda. Sehari dalam hitungan Allah,

    bisa menjadi limapuluh ribu tahun dalam hitungan manusia. Allah berfirman,

    “Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil), sedangkan

    Kami memandangnya dekat.” (QS. Al-Ma’aarij: 6-7)

    Kedua, jika pun itu diasumsikan sebagai ukuran manusia (hamba), maka “dekat”

    yang dimaksud adalah jika umur dunia yang tersisa dibandingkan dengan umur dunia

    yang sudah dilewati. Artinya bila dibandingkan dengan umur dunia yang sudah lewat

    dengan umur dunia yang tersisa, maka yang tersisa jelas sangat singkat, dan itu berarti

    kiamat adalah sesuatu yang dekat.

    Contoh lainnya, Sahl bin Sa’ad As-Saidi menceritakan bahwa Rasulullah n

    bersabda, “Sesungguhnya antara diutusnya diriku dengan kiamat adalah seperti dua jari

    ini,” sembari Rasulullah memberi isyarat dengan merapatkan jari tengah dan jari

    telunjuknya.” (Muttafaq alaih)

    Jari telunjuk dan jari tengah dijadikan oleh Rasulullah sebagai permisalan untuk

    menunjukkan dekatnya kiamat. Maknanya, jarak antara diutusnya Rasulullah dengan

    kiamat adalah seperti kelebihan jari tengah atas jari telunjuk. Jari telunjuk

    mengisyaratkan umur dunia yang sudah dilewati sampai diutusnya Rasulullah n.

    sedangkan jari kelebihan jari tengah atas jari telunjuk adalah gambaran jarak antara

  • 13

    diutusnya Rasulullah dengan kiamat. Jarak jari telunjuk dan jari tengah tentu saja sangat

    pendek dan dekat. Tapi ingat bahwa ini adalah perumpamaan.

    Bisa pula dimaknai bahwa, jika isyarat yang diberikan Rasulullah dimaknai dengan

    makna sebenarnya, maka yang dimaksud adalah dekat dalam hitungan Allah. Dalam

    hitungan kita sebagai manusia tentu saja menjadi panjang dan lama, karena terbatasnya

    pengetahuan kita. Diutus dan wafatnya Rasulullah, terbelahnya bulan, fitnah yang terjadi

    di zaman shahabat dan setelahnya adalah tanda-tanda dekatnya kiamat. Itu semua

    sangat singkat dan dekat dalam hitungan Allah. Akan tetapi dalam hitungan kita, itu

    adalah waktu yang panjang karena telah melalui rentang waktu empat belas abad

    lamanya.

    Dalam hadits yang lain Rasulullah n memberikan permisalan tentang dekatnya

    kiamat dalam sabdanya,

    “Sesungguhnya dekatnya kiamat itu seperti seorang wanita hamil yang sudah

    tiba hari melahirkan, hal mana keluarganya tidak tahu pasti apakah akan melahirkan

    siang atau malam harinya.” (HR. Ahmad)

    Al-Muththalib bin Abdullah menceritakan bahwa ketika Abdullah bin Umar

    sedang wuquf di Arafah, sore hari Ibnu Umar memperhatikan matahari yang sedang

    menuju tenggelam seperti bentuk sebuah perisai. Tiba-tiba saja beliau menangis. Orang

    yang berada di dekatnya pun bertanya, “Apakah yang menyebabkan engkau menangis?

    Aku sudah beberapa kali wuquf bersamamu akan tetapi engkau belum pernah seperti

    ini?” Abdullah bin Umar menjawab, “Sesungguhnya dunia yang tersisa dibandingkan

    dengan yang sudah terlewat adalah seperti sisa hari kalian hari ini dibandingkan dengan

    bagian hari yang sudah lewat.” (HR. Ahmad)

    Apa yang dikatakan oleh Shahabat Ibnu Umar a di atas menjadi penjelasan

    terhadap maksud “dekat” dalam nash-nash hadits tentang dekatnya kiamat.

    Jika kita mengatakan bahwa dekat dan jauh dalam bahasa pembuat syariat

    bersifat relative dan berbeda dari sisi kita sebagai manusia, hal itu tidak berarti

  • 14

    kemudian kita boleh lalai karena berasumsi bahwa kiamat masih jauh. Sebab dekat dan

    jauhnya kiamat sama sekali tidak bisa dijadikan alasan menunda amal kebajikan. Karena

    segala yang pasti terjadi adalah dekat. Yang jauh adalah angan-angan kita.

    Pernyataan Imam Ash-Shan’ani berikut kiranya bisa menjadi kesimpulan yang

    sangat gamblang tentang maksud “dekatnya” kiamat. Beliau mengatakan,

    “Dikabarkannya prihal dekatnya kiamat dengan masa diutusnya Rasulullah bisa dibawa

    pada pengertian, dekat dalam hitungan Allah, meski jauh dalam hitungan manusia. Hal

    itu sebagai bantahan kepada kaum musyrikin yang sama sekali mengingkari adanya

    kiamat. Inilah yang diisyaratkan oleh firman Allah,

    “Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil), sedangkan

    Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi)” (QS. Al-Ma’aarij: 6-7)

    Bisa pula dibawa pada pengertian dekatnya waktu diutusnya Nabi dengan

    kemuculan tanda-tanda kiamat. –Setelah menyebutkan sebagain tanda-tanda kiamat

    dan hadits ““Sesungguhnya diutusnya diriku dengan kiamat adalah seperti dua jari ini,”

    sembari Rasulullah memberi isyarat dengan merapatkan dari tengah dan jari

    telunjuknya.” Lalu Imam Ash-Shan’ani mengatakan,

    “Maksudnya bahwa kurun waktu berabad-abad yang telah dilewati manusia

    dibandingkan dengan sisa umur dunia, hanyalah waktu yang singkat dan dekat.

    Terjadinya kiamat adalah dekat dalam hitungan Allah l, meski jika diukur dengan

    perhitungan manusia menjadi jarak yang jauh…Jadi, semua nash wahyu yang

    menyebutkan tentang dekatnya kiamat dan tanda-tandanya harus dipahami dengan

    kaidah ini; yaitu dekat-jauh adalah perbandingan antara umur dunia yang sudah berlalu

    dengan yang masih tersisa. Oleh karena kita tidak bisa mengetahui secara pasti awal

    dunia, maka kitapun tidak bisa memastikan kapan akhir dunia. Yang bisa kita simpulkan

    dari nash-nash tersebut adalah sebatas bahwa umur dunia yang tersisa bila

    dibandingkan dengan yang sudah belalu adalah sangat sedikit. Dengan demikian

    tetaplah prinsip bahwa tidak ada yang mengetahui pasti tentang berapa umur dunia

  • 15

    yang sudah berlalu dengan yang masih tersisa. Kecuali Allah yang Maha Mengetahui

    yang ghaib.

    Dalam hadits Nabi banyak disebutkan prihal umur dunia dengan permisalan-

    permisalan, namun demikian, sesuatu yang diketahui bersama bahwa hukum tidak bisa

    ditetapkan berdasarkan ungkapan permisalan-permisalan, sebagaimana yang

    dinyatakan oleh Imam Al-Haramain.”4

    Ditinjau dari sisi jauh dan dekatnya sebuah peristiwa akhir zaman ataupun tanda-

    tanda kiamat yang disebutkan di dalam sebuah hadits, bisa dibagi menjadi dua kategori;

    Pertama, tanda-tanda kecil kiamat, yaitu tanda-tanda atau peristiwa yang terjadi

    sebagai isyarat semakin dekatnya kemunculan tanda-tanda besar kiamat. Tanda jenis ini

    sifatnya terjadi terus-menerus dan semakin meluas. Misalnya hadits Nabi yang

    menyebutkan bahwa di antara tanda kiamat adalah merebaknya perbuatan keji (zina).

    Bisa pula tanda tersebut hanya terjadi beberapa waktu kemudian hilang, lalu muncul

    kembali di masa-masa berikutnya. Misalnya hadits-hadits tentang bermunculannya para

    pendusta (Dajjalun) yang mengaku sebagai nabi.

    Kedua, tanda-tanda besar kiamat, yaitu tanda-tanda atau peristiwa yang

    menunjukkan semakin dekatnya kiamat itu sendiri. Untuk jenis yang kedua ini telah

    disebutkan oleh Rasulullah secara jelas sehingga cenderung tidak menimbulkan

    syubuhat.

    KAIDAH-KAIDAH MENERAPKAN NASH TANDA-TANDA HARI KIAMAT PADA REALITA

    Pada masa-masa lemah, baik dahulu, sekarang maupun yang akan datang,

    muncul kecenderungan untuk mencocokkan hadits-hadits tentang tanda-tanda kiamat

    dengan realita, bahkan tidak sedikit yang sampai pada tingkatan memastikan. Oleh itu

    4 Faidhul Qadir: 2//566.

  • 16

    sangat penting memahami kaidah-kaidah dalam kaitannya mencocokkan nash dengan

    realitas atau peristiwa tertentu sebagai tanda kiamat atau semakin dekatnya kiamat.

    Kaidah 1: Menyadari bahwa kita tidak perintahkan untuk mencocokkan hadits-

    hadits fitnah dan tanda-tanda hari kiamat dengan realitas.

    Secara fitrah, orang yang menyaksikan berbagai peristiwa besar semasa hidupnya

    akan merasa bahwa peristiwa yang dialami atau disaksikannya sebagai peristiwa paling

    dahsyat dan berat, bahkan musibah-musibah kecil yang akan terjadi di masanya bisa

    jadi terasa lebih besar daripada musibah-musibah besar yang terjadi pada masa lalu.

    Oleh karena itu orang yang hidup di suatu masa memiliki kecenderungan untuk

    mencocokkan tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masanya, meskipun pada masa lalu

    ada peristiwa yang jauh lebih besar dan dahsyat. Namun karena peristiwa masa lalu

    pengaruhnya tidak ia rasakan dan saksikan secara langsung jadilah peristiwa masa lalu

    itu kecil sementara di sisi lain merasa bahwa peristiwa yang disaksikan atau terjadi pada

    masanya adalah peristiwa paling dahsyat.

    Orang yang berilmu dan wara’ memang diperbolehkan berijtihad tentang tanda-

    tanda kiamat dan mencocokkannya dengan realita, sebagaimana ijtihad Umar bin

    Khaththab yang mengatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, padahal Nabi masih

    hidup dan beliau tidak mengingkarinya. Namun yang harus dipahami bahwa dalilnya

    adalah pada iqrar (persetujuan) Nabi, bukan semata-mata pada ijtihad shahabat Umar.

    Sedangkan sepeninggal Nabi siapa yang bisa mengiqrar sebuah ijtihad sebagai ijtihad

    yang benar. Yang kedua, pernyataan Umar bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal bisa

    dibawa pada pengertian dajjal kecil yang memang akan bermunculan dari masa ke masa.

    Dajjal dalam pengertian orang yang memiliki karakter pendusta dan pembohong.

    Namun jika sebuah “ijtihad” bisa menyebabkan terpecahnya barisan kaum

    muslimin, atau membawa dampak kerusakan yang tidak dikehendaki oleh syariat, maka

  • 17

    seseorang dilarang melakukannya kecuali dengan dalil yang jelas dan kuat. Dampak

    yang dimaksud misalnya terjadinya peperangan, fitnah, penghalalan sesuatu yang

    diharamkan syariat, atau terpecahnya barisan kaum muslimin.

    Kaidah 2: Dalil tentang fitnah akhir zaman atau tanda-tanda kiamat yang masih

    mengandung multi tafsir tidak boleh diterapkan lalu memastikannya pada kejadian

    tertentu atau person tertentu.

    Para salaf sangat berhati-hati dan membatasi diri ketika berbicara tentang hadits-

    hadits fitnah akhir zaman dan tanda-tanda kiamat. Ketika para ulama salaf

    membicarakan hadits-hadits ahkam mereka akan memberikan penjelasan yang sangat

    detil dan rinci. Akan tetapi ketika berbicara tentang hadits fitan dan tanda-tanda kiamat

    mereka sangat membatasi diri, mencukupkan diri dengan penjelasan yang umum dan

    ringkas. Inilah manhaj para salaf dalam menyikapi hadits-hadits fitan.

    Syaikh Faishal bin Hayyan berkata, “Ketahuilah bahwa menerapkan hadits tentang

    fitnah akhir zaman pada peristiwa tertentu atau orang-orang tertentu ada dua macam;

    Pertama, Penerapan secara pasti, misalnya dengan mengatakan, “Yang dimaksud

    dalam hadits ini adalah si anu. Atau mengatakan kejadian atau tempat yang dimaksud

    dalam hadits ini adalah kejadian ini adan itu.” Pemastian seperti ini tidak diperbolehkan,

    sebab sangat berpotensi menimbulkan berbagai keburukan. Seandainya hanya

    menimbulkan dampak berupa munculnya fitnah yang baru niscaya itu sudah cukup

    menjadi alasan untuk tidak melakukan pemastian seperti itu.

    Kedua, Penerapan yang bersifat parsial dan terbatas. Misalnya dengan

    mengatakan, “Sebagian dari tanda-tanda kiamat dalam hadits ini sudah terjadi pada

    zaman kita ini.” Atau mengatakan, “Sebagian dari sifat-sifat yang disebutkan dalam

    hadits ini terdapat dalam diri si fulan…”

    Memastikan sebuah kejadian atau peristiwa sebagai fitnah akhir zaman, atau

    sebagai tanda dekatnya kiamat sebagaimana yang dimaksud dalam nash wahyu,

  • 18

    termasuk klaim yang berbahaya, karena hal demikian termasuk klaim mengetahui

    perkara gaib, dan berbicara urusan agama berdasar asumsi dan dugaan. Sebuah

    peristiwa tidak bisa dipastikan sebagai bagian dari fitnah akhir zaman atau tanda

    dekatnya kiamat kecuali jika kejadian tersebut sudah terjadi secara keseluruhan. Artinya

    tidak hanya sepotong-sepotong, sebab ada banyak fenomena yang dalam hadits Nabi

    disebut sebagai fitnah akhir zaman dan fenomena itu terus terjadi, bahkan semakin

    meluas.

    Contoh pemastian dan klaim yang salah kaprah adalah takwil terhadap hadits

    shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Dari Abu Nadhrah, dia berkata, “Suatu

    ketika kami bersama Jabir bin Abdullah. Lalu Jabir berkata,

    “Hampir tiba masanya penduduk Irak tidak mendapatkan pasokan takaran dan

    dirham.” Kami bertanya, “Siapa yang melakukan hal itu?” Jabir menjawab, “Dari bangsa

    non Arab (‘ajam) mereka menahannya.” Kemudian dia berkata lagi, “Hampir tiba

    masanya penduduk Syam tidak mendapatkan pasokan dinar dan pisau.” Kami bertanya,

    “Siapa yang melakukan itu?” Jabir menjawab, “Bangsa Romawi.” (HR. Muslim)

    Berdasar hadits ini kemudian ada yang menyimpulkan bahwa “Peristiwa yang

    disebutkan dalam hadits tersebut adalah embargo yang dialami oleh Irak dalam

    rengtang waktu sejak tahun 1990 M, yaitu ketika Irak diembargo oleh Amerika.

    Ada yang lebih menghebohkan lagi, sebagian orang ada yang membahas

    tentang umur dunia sampai melakukan kalkulasi matematis, lalu sampai pada

    kesimpulan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun sekian. Riwayat yang sering dijadikan

    sebagai pijakan adalah perkataan Imam As-Suyuthi, As-Sakhawi.

    Fahd Salim seorang penulis berkebangsaan Mesir menulis sebuah buku yang

    berjudul Asraarus Saa’ah. Dalam buku tersebut dia mengatakan, “Dajjal itu diberi

    kekuasaan di Iran sebelum munculnya Al-Mahdi. Kemudian penulis menjelaskan bahwa

  • 19

    orang yang dimaksud adalah Muhammad Khatami, dan dia memberinya gelar Ayatullah

    Gorbachev.

    Said Ayyub dalam bukunya Al-Masih Ad-Dajjal, mengklaim bahwa Imam Mahdi

    yang dimaksud dalam hadits Nabi adalah Shadam Husain. Demikian pula Amin

    Muhammad Jamaludin dalam bukunya Armagedon mengklaim bahwa Sufyani yang

    disebutkan dalam sebagian hadits adalah Shadam Husain. Dalam buku Asyraathus

    Saa’ah wa Hujuumul Gharb, Fahd Salim mengklaim bahwa Sufyani dalam hadits Nabi itu

    adalah Husain, raja Yordania yang terdahulu.

    Oleh karena itu, memastikan bahwa tanda-tanda hari kiamat A terjadi pada tahun

    tertentu tidak diperbolehkan, kecuali berdasar dalil syariat yang jelas dan spesifik.

    Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang dalam mencocokkan hadits-hadits

    Al-Mahdi pada person tertentu, dan memastikan bahwa si A adalah Al-Mahdi.

    Jadi, tidak dibenarkan memastikan hal-hal yang bersifat dugaan dan takwil.

    Apalagi jika dalil yang dijadikan dasar adalah riwayat yang lemah bahkan palsu, maka

    tidak ada lagi alasan untuk membenarkannya. Kecuali jika telah ada keterangan yang

    jelas bahwa tanda-tanda yang tertera dalam hadits yang shahih sesuai dengan satu

    peristiwa tertentu, sehingga tidak lagi mengandung keraguan. Meski tidak menutup

    kemungkinan juga hadits dimaksud memiliki kecocokan dengan peristiwa lain yang

    serupa atau bahkan yang lebih kuat.

    Misalnya apa yang dialami dan katakan oleh Asma binti Abu Bakar. Ketika

    putranya, Abdullah bin Zubair dibunuh oleh pasukan Hajjaj bin Yusuf, Asma berbicara

    kepada Hajjaj selaku panglima pasukan, “Rasulullah n telah menyampaikan kepada kami,

    bahwa dari Bani Tsaqif akan muncul seorang pendusta (kadzdzab) dan seorang mubirr

    (perusak dan suka membunuh). Adapun si pendusta, kami sudah melihatnya. Sedangkan

  • 20

    perusak, maka aku sangat yakin ciri-cirinya ada pada dirimu.” Lalu Hajaj berdiri

    meninggalkan Asma tanpa menyanggahnya.

    Imam An-Nawawi berkata, “Perkataannya tentang Al-Kadzdzab, “Kami sudah

    melihatnya,” yang dimaksud adalah Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi. Di antara

    kedustaannya adalah klaim dirinya bahwa Jibril menyampaikan wahyu kepadanya. Dan

    para ulama sepakat mengenai hal itu. Adapun yang dimaksud Al-Mubiir (perusak)

    adalah Hajjaj bin Yusuf. Wallahu a’lam.5

    Contoh lainnya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah a,

    bahwa Rasulullah n bersabda,

    �뺈ᆾ횐ͨ 쁄殽疰 疰e疰疰횐da 뺈er뺈a횐d뺈� 쁄¼�疰�쁄� 疰er뺈h疰횐na 疰¼횐Ƣ뺈� 횐䳀疰呂 �Ƣ뺈� 뺈Ê쁄ᆾ횐뺈� �ᴜ 뺈⸱ 쁄Ê뺈dr���a 쁄Ê�쁄�뺈�� 뺈ᴜ

    “Hari kiamat tidak akan terjadi, sehingga ada api yang muncul di tanah Hijaz yang

    menerangi leher-leher unta di kota Bushra (Syam).

    Api yang disebut dalam hadits ini telah muncul pada tahun 654 H. Api itu

    menyala selama tiga bulan, hingga kaum wanita Madinah bisa memintal kain di bawah

    sinar cahayanya.

    Abu Syamah menceritakan kejadian tersebut, “Pada malam Rabu, 3 Jumadal

    Akhirah 654 H/Mei 29 Mei 1256 M, di kota Madinah terdengar suara keras yang

    menggema, kemudian terjadi gempa yang menggoyang dinding-dinding, atap-atap

    rumah, kayu-kayu, dan pintu-pintu hingga hari Jumat pada bulan tersebut. Kemudian

    muncul api yang sangat besar dari arah Harrah, dekat perkampungan Bani Quraizhah.

    Kami dapat melihatnya dari rumah-rumah kami di Madinah, seolah-olah di sana ada api

    5 Syarh Muslim, An-Nawawi (8/328)

  • 21

    besar yang mengalir ke lembah-lembah hingga di lembah Syazha seperti aliran air. Api

    tersebut melontarkan bunga api sebesar setinggi istana.”6

    Imam An-Nawawi berkata, “Pada zaman kami, yaitu pada tahun 654, telah

    muncul api, api itu sangat besar, ia keluar di sebelah timur kota Madinah, di belakang

    kota Harrah. Berita tentang kemunculan api itu mutawatir.”7

    Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Menurutku, api tersebut adalah api yang muncul

    di dekat kota Madinah sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qurthubi dan yang

    lainnya.”8

    Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah a, bahwasanya

    Rasulullah n bersabda,

    쁄Ê횐ᆾ뺈횐da 뺈ᆾ쁄��횐�뺈�뺈� 쁄Ìr뺈呂���a 뺈§뺈Ƣr뺈�뺈�È뺈��뺈� 쁄ea뺈�횐�뺈횐Ìa 뺈§뺈Ƣr뺈�뺈�È뺈��뺈� 쁄§疰È뺈�횐�a 뺈ᆾ쁄��횐�뺈�뺈� 쁄뺈�疰�횐�a 뺈ᆾ뺈ǰ횐È뺈� �ᴜ 뺈⸱ 쁄Ê뺈dr���a 쁄Ê�쁄�뺈�� 뺈ᴜ

    쁄e횐È뺈�횐�a 뺈¾r뺈� 쁄Ê횐ᆾ뺈횐da r뺈呂뺈� 뺈e疰�

    “Tidak akan terjadi hari kiamat, sehingga muncul banyak fitnah, banyak kedustaan,

    pasar-pasar semakin berdekatan, waktu semakin pendek dan banyak terjadi kekacauan.”

    Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekacauan?” beliau menjawab,

    “Pembunuhan.” (HR. Ahmad)

    Syaikh Bin Bazz dalam komentar beliau terhadap kitab Fathul Bari, beliau

    mengatakan, “Penafsiran kata at-taqaarub (semakin berdekatan/pendek) yang paling

    mendekati kebenaran dalam hadits tersebut adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu

    semakin pendeknya jarak antar kota dan daerah, serta semakin pendeknya waktu untuk

    6 At-Tadzkirah, Al-Qurthubi hal. 527.7 Syarh Shahih Muslim (18/28)8 Fathul Bari 20/128.

  • 22

    menempuh jarak antara tempat-tempat itu dengan adanya pesawat terbang, mobil,

    radio dan lain-lain. Wallahu a’lam.”

    Berdasarkan kejadiannya, tanda-tanda kiamat bisa dibagi menjadi beberapa tiga

    bagian,

    1. Tanda-tanda yang sudah terjadi secara sempurna dan jelas sebagaimana yang

    telah diberitakan oleh Nabi n. Misalnya diutusnya Nabi n, wafatnya beliau n, dan

    munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi.

    2. Tanda-tanda yang sebagiannya sudah terjadi dan masih akan terus terjadi.

    Misalnya, semakin berdekatannya pasar, tersebarnya tulisan dan banyaknya

    pembunuhan, tersebarnya minuman keras, tersebarnya perbuatan keji secara

    terang-terangan.

    3. Tanda-tanda yang belum terjadi sama sekali, misalnya munculnya daabbah

    (binatang melata), Imam Mahdi, munculnya Ya’juj dan Ma’juj, munculnya Dajjal…

    Kaidah 3: Menyadari bahaya yang timbul akibat salah menerapkan hadits-hadits

    tentang fitnah akhir zaman

    Tidak teliti dan hati-hati dalam menyikapi fitnah dan dalil-dalil syariat mengenai

    fitnah akhir zaman akan berdampak buruk baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain,

    bahkan umat secara umum. Diantara dampak buruknya adalah,

    1. Dosa berbicara perkara agama dan perkara ghaib tanpa dasar ilmu.

    Seseorang yang bukan mujtahid jika melakukan kesalahan dalam “ijtihadnya”

    maka ia akan tetap berdosa, sebab ia melakukan sesuatu yang bukan menjadi

    haknya. Menerapkan hadits-hadits tentang fitnah akhir zaman dan tanda-tanda

    kiamat secara serampangan, atau mengikuti asumsi dan dugaan-dugaan, adalah

  • 23

    termasuk perbuatan berkata tanpa ilmu. Lebih besar lagi dosanya karena itu

    termasuk berkata atas nama pembuat syariat (Allah dan RasulNya) tanpa ilmu.

    Seorang mukmin diperintahkan untuk bersikap hati-hati dan teliti, tidak

    sepatutnya mengeluarkan pernyataan dalam perkara agama jika dia tidak

    memiliki ilmunya. Allah l berfirman,

    “Katakanlah, "Rabbbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak

    ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa

    alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu

    yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-

    adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-A’raaf: 33)

    2. Melakukan amal yang tidak disyariatkan atau sebaliknya meninggalkan amal

    yang disyariatkan.

    Misalnya sebagian orang membaca beberapa buku yang membahas tentang

    kemunculan Al-Mahdi, penulisnya memastikan bahwa Al-Mahdi adalah fulan.

    Sebagian pembaca kemudian menunggu-nunggu kedatangan Al-Mahdi lalu

    tidak mau beramal. Ada pula yang membeli kuda dan pedang untuk bersiap-siap

    menghadapi pertempuran karena terobsesi bahwa akan terjadi peperangan akhir

    zaman pada beberapa tahun mendatang. Ada pula yang mengajak orang lain

    untuk mengasingkan diri ke bukit dan pegunungan, karena meyakini bahwa

    huru-hara akhir zaman sudah di depan mata.

    Ada pula yang tidak mau menikah dan tidak mau membangun rumah, karena dia

    berasumsi bahwa munculnya Dajjal telah dekat sedekat jarak dua ujung busur

    panah atau lebih dekat lagi. Ada lagi yang membatalkan keberangkatannya untuk

    menunaikan ibadah haji/umrah karena takut munculnya tanda-tanda besar

    kiamat di tanah Hijaz.

  • 24

    3. Mengakibatkan kerusakan dan sikap mendustakan Allah dan Rasul-Nya.

    Misalnya klaim bahwa seorang pemimpin tertentu sebagai khalifah ‘ala minhajin

    nubuwah, yang akan muncul pada akhir zaman, dan bahwa pasukannya adalah

    pasukan yang akan menyambut kedatangan Al-Mahdi. Atas klaim itu kemudian

    dijadikan sebagai legitimasi untuk menghalalkan darah dan harta kaum muslimin

    yang dianggap membangkang terhadap khalifah. Lalu terjadilah fitnah yang lebih

    besar.

    Atau ada yang mengklaim Imam Mahdi yang dimaksud dalam hadits-hadits Nabi

    adalah fulan, tapi ternyata bukan. Hal ini bisa mengakibatkan manusia

    mengingkari hadits-hadits tentang Al-Mahdi. Demikian pula memastikan suatu

    kejadian tertentu sebagai tanda-tanda kiamat tanpa dalil dan penelitian yang

    benar tidak akan berakibat kecuali kerusakan.

    4. Timbulnya perpecahan bahkan pertumpahan darah.

    Dampak buruk lainnya dari kesalahan menerapkan hadits-hadits tentang

    akhir zaman adalah menimbulkan sikap ghuluw (berlebihan). Misalnya berangkat

    dari keyakinan bahwa munculnya tanda-tanda besar kiamat sudah diambang

    pintu, diantara tanda-tandanya adalah kembalinya Khalifah Rasyidah ‘ala

    Minhajin Nubuwah (kembalinya khilfah yang sejalan dengan petunjuk Nabi). Lalu

    muncul orang yang mengklaim dirinya sebagai khalifah, para pendukungnya

    kemudian menghiasi klaim itu dengan nubuwat akhir zaman,

    mempropagandakan bahwa khilafah mereka adalah khilafah akhir zaman, oleh

    karena khilafah dimaksud akhir zaman maka ia adalah Khilafah ‘Ala Minhajin

    Nubuwah, oleh karena ini adalah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah, maka orang-

    orang yang menolaknya berarti menolak ketetapan Allah dan RasulNya, menolak

  • 25

    ketetapan Allah berarti menentang syariat, menentang syariat berarti kafir, jika

    kafir maka halal darahnya. Lalu terjadilah fitnah setelah fitnah.

    Dampak buruk lainnya misalnya menyakan bahwa para tentara

    “khalifahnya” adalah tentara yang akan menyambut kedatangan Al-Mahdi dan

    pendukungnya. Sebaliknya para penentangnya adalah para pendukung Dajjal.

    Laa haula walaa quwwata illaa billah.