berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul...

259
Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI (EVIDENCE-BASED POLICY) UNTUK LEGISLASI DPR RI DAN DAYA SAING BANGSA

Transcript of berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul...

Page 1: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Prosiding Seminar Nasional Bagian IIPusat Penelitian Sekretariat Jenderal danBadan Keahlian DPR RI

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI (EVIDENCE-BASED POLICY)

UNTUK LEGISLASI DPR RI DAN DAYA SAING BANGSA

Page 2: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

JudulProsiding Seminar Nasional Bagian IIPusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RIKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy) untuk Legislasi DPR RIdan Daya Saing Bangsa

Perpustakaan Nasional:Katalog Dalam Terbitan (KDT)ISBN: 978-623-92389-3-315,5 x 23 cm

Cetakan Pertama, 2020Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang All rights reserved

Desain Sampul dan Tata Letak:Tim Kreatif Lingkar Muda Mandiri

Diterbitkan oleh:Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RIGedung Nusantara I Lt. 2Jl. Gatot Subroto Jakarta 10270Telp. (021) 5715409 Fax. (021) 5715245

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)

Page 3: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

iiiKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Pada akhir tahun 1990-an, pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) semakin didorong oleh pemerintah dan para akademisi. Penggunaan istilah evidence-based policy muncul pada pemilihan Tony Blair sebagai Perdana Menteri Inggris, dengan keinginan untuk mengeluarkan ideologi dan politik dalam proses kebijakan. Fokus dari evidence-based policy adalah menggambarkan bukti yang berasal dari riset untuk mempengaruhi pembuat kebijakan mengenai apa yang akan dikerjakan dan selanjutnya menghasilkan outcome kebijakan yang lebih baik. Evidence-based policy mengadvokasi pembuat kebijakan untuk mengambil kebijakan dengan lebih rasional, teliti, dan menggunakan pendekatan sistematis.

Hubungan antara ilmu pengetahuan (knowledge), riset (research), dan kebijakan (policy) sesungguhnya sudah menjadi perhatian para pakar selama beberapa dekade, dikenal Annette Boaz dan koleganya yang mulai memperkenalkan pada tahun 1895. Evidence-based policy sendiri secara literatur telah mendapat kritikan khususnya mengenai kealamiahan sebuah proses kebijakan, validitas dari bukti, kecenderungan yang mendukung jenis bukti tertentu, dan potensial untuk berimplikasi pada tidak demokratis. Namun demikian, dalam perkembangannya, evidence-based policy terbukti menjadi sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan. Evidence-based policy telah membantu masyarakat untuk memahami sebuah kebijakan karena sangat terinformasikan (well-informed) mengenai keputusan dalam penyusunan kebijakan, program dan proyek, dengan menempatkan data terbaik yang tersedia dari hasil riset sebagai jantung dari pembangunan dan implementasi kebijakan. Evidence-based policy juga membuat jelas apa yang diketahui melalui bukti ilmiah dan yang sangat penting, bahkan apa yang tidak diketahui. Evidence-based policy dapat berperan dalam siklus kebijakan, dalam menentukan agenda kebijakan, isu, berbagai alternatif pilihan, pilihan tindakan, mengeksekusi kebijakan, hingga memantau dampak dan keluaran. Dalam riset yang dilakukan oleh Overseas Development Institute, penggunaan evidence-based

Page 4: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kata Pengantar

iv Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

policy secara baik telah membantu menyelamatkan kehidupan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kinerja pembangunan di negara berkembang.

Persoalan yang ditimbulkan oleh pembuatan kebijakan yang dibuat tanpa bukti tampaknya semakin membuka lebar mata para pembuat kebijakan untuk menerapkan evidence-based policy dalam penyusunan kebijakan. Di Indonesia, Lembaga Administrasi Negara (LAN) tengah mengembangkan aplikasi Indeks Kualitas Kebijakan (IKK) yang diharapkan dapat membantu para pengambil kebijakan di Indonesia memproduksi kebijakan yang dilahirkan dari kerangka acuan dan basis pengetahuan yang kuat, implementatif, terkoordinir, dan disosialisasikan dengan baik dalam struktur organisasi dari level tertinggi sampai level operasional.

DPR RI sebagai lembaga penghasil kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang merupakan lembaga strategis yang mengatur kehidupan seluruh masyarakat Indonesia. DPR RI melalui kebijakannya dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan angka harapan hidup, meningkatkan pendidikan masyarakat, memperluas kesempatan bekerja, dan masih banyak lagi yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, sudah seharusnya DPR RI dalam kerja legislasinya didukung oleh bukti yang valid, yang dihasilkan oleh berbagai hasil riset, agar menghasilkan produk legislasi yang berkualitas. Hasil kebijakan yang berkualitas, telah terbukti mendapat dukungan dari masyarakat luas. Dengan demikian, DPR RI akan mendapatkan manfaat positif dari penggunaan evidence-based policy.

Selanjutnya legislasi yang baik akan dapat merangsang daya saing bangsa. Keluhan Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam Pidato Pelantikan di hadapan anggota MPR RI pada tanggal 20 Oktober 2019 terhadap puluhan produk legislasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMKM, telah memperlihatkan kualitas legislasi yang buruk. Pemangkasan dan revisi regulasi akan segera dilakukan. Namun demikian, dalam konteks evidence-based policy, para pembuat kebijakan harus mendasarkan pemangkasan dan revisi pada bukti yang kuat. Riset terhadap berbagai produk legislasi yang telah ada perlu digunakan.

Page 5: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

vKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Kata Pengantar

Demikian pula riset terhadap rencana produk legislasi harus didasarkan pada evidence-based policy.

Kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Joko Widodo untuk mendukung penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional, melalui pengintegrasian penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Ini artinya evidence-based policy sudah harus diterapkan dalam perumusan dan penetapan kebijakan di Indonesia.

Begitu pula dengan mengeluarkan kebijakan melalui alokasi Dana Abadi untuk kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan. Dana Abadi ini dimaksudkan agar kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan dapat menghasilkan invensi dan inovasi yang dapat digunakan untuk pembangunan nasional berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, serta dapat meningkatkan kemandirian, daya saing bangsa, dan daya tarik bangsa dalam rangka memajukan peradaban bangsa melalui pergaulan internasional.

Dengan demikian, diharapkan mimpi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa pada tahun 2045 Indonesia keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah dan menjadi negara maju dengan pendapatan Rp320 juta per kapita per tahun, Produk Domestik Bruto mencapai 7 triliun dollar AS, dan masuk 5 besar ekonomi dunia, dengan kemiskinan mendekati nol persen dapat terwujud. Demikian pula membangun daya saing bangsa melalui inovasi dan pembangunan SDM yang terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi perlu digerakkan melalui evidence-based policy.

Pada kesempatan yang baik ini, saya sampaikan selamat kepada para peneliti yang dengan tekun dan inovatif telah menghasilkan karya tulis ilmiah yang bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman terkait dengan evidence-based policy. Saya juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Himpenindo pusat yang telah bekerjasama dalam mencurahkan pikiran dan waktunya dalam melakukan kegiatan editorial, sehingga buku ini layak untuk

Page 6: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kata Pengantar

vi Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

diterbitkan. Semoga invensi dan inovasi yang tersaji dalam buku ini bermanfaat bagi terciptanya kemajuan Indonesia.

Jakarta, Desember 2019Kepala Pusat PenelitianBadan Keahlian DPR RIDr. Indra Pahlevi, S.IP., M.Si.

Page 7: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

viiKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Daftar Isi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii

DAFTAR ISI .............................................................................................................vii

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMITERHADAP KEMISKINAN PADA 5 PROVINSI TERMISKINDI INDONESIARangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho ................................................. 1

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 2II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3III. METODOLOGI ......................................................................................... 6IV. PEMBAHASAN ........................................................................................ 6V. PENUTUP .................................................................................................. 9DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................10

PERSEPSI NELAYAN LOMBOK TENGAH DANLOMBOK TIMUR TERHADAP KEBERLIMPAHANBENIH LOBSTER UNTUK PEMANFAATAN DANPENGELOLAAN SUMBER DAYA BERKELANJUTANDAN MENYEJAHTERAKANNurlaili, Bayu Vita Indah Yanti dan Tikkyrino Kurniawan ...................11

I. PENDAHULUAN ...................................................................................12II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................13III. METODOLOGI .......................................................................................16IV. PEMBAHASAN ......................................................................................17V. PENUTUP ................................................................................................26DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................27

KEBIJAKAN CERDAS PENGEMBANGANWILAYAH PENAJAM PASER UTARA – KUTAI KARTANEGARA SEBAGAI CALON IBUKOTA NEGARAREPUBLIK INDONESIA BERDASARKANANALISIS PEREKONOMIAN DAN LINGKUNGANDjoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara .........................................29

I. PENDAHULUAN ...................................................................................30II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................31

Page 8: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daftar Isi

viii Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

III. METODOLOGI .......................................................................................31IV. PEMBAHASAN ......................................................................................32V. PENUTUP ................................................................................................40DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................40

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMIDI ERA IMPLEMENTASI DANA OTONOMI KHUSUS ACEHSitti Aminah .............................................................................................................43

I. PENDAHULUAN ...................................................................................43II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................46III. METODE PENELITIAN ......................................................................47IV. PEMBAHASAN ......................................................................................47V. PENUTUP ................................................................................................57DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................58

MANFAAT EKONOMI KAWASAN KONSERVASIPERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBASMELALUI PENGEMBANGAN MODEL HYBRIDSURPLUS PRODUKSI Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah ..........................................61

I. PENDAHULUAN ...................................................................................62II. METODOLOGI .......................................................................................62III. PEMBAHASAN ......................................................................................65IV. PENUTUP ................................................................................................68DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................70

PENERAPAN ACCRUAL BASE ACCOUNTING UNTUKPENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGANPEMERINTAH PROVINSI BANTENVenti Eka Satya .......................................................................................................75

I. PENDAHULUAN ...................................................................................75II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................76III. METODOLOGI .......................................................................................78IV. PEMBAHASAN ......................................................................................79V. PENUTUP ................................................................................................84DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................85

Page 9: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

ixKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Daftar Isi

TANTANGAN REGULASI DALAM PENINGKATANDAYA SAING INDUSTRI HALAL INDONESIAErnawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin ..................87

I. PENDAHULUAN ...................................................................................88II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................90III. METODOLOGI .......................................................................................92IV. PEMBAHASAN ......................................................................................92V. PENUTUP ................................................................................................96DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................97

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGHAPUSANKEKERASAN SEKSUAL: MEWUJUDKAN KEBIJAKANBERBASIS BUKTI DALAM PROSES LEGISLASIYosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra danRais Agil Bahtiar .................................................................................................101

I. PENDAHULUAN ................................................................................102II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................103III. METODOLOGI ....................................................................................104IV. PEMBAHASAN ...................................................................................104V. PENUTUP .............................................................................................108DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................108

PERANCANGAN PRODUK LEGISLASI BERBASISSOFT SYSTEM METHODOLOGYAdi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela .............................................111

I. PENDAHULUAN ................................................................................111II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................114III. METODOLOGI ....................................................................................118IV. PEMBAHASAN ...................................................................................118V. PENUTUP .............................................................................................122DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................123

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI BADAN USAHA MILIK DESA GUNA MENGHADAPIINDUSTRI 4.0. BERDASARKAN PERSPEKTIFTEORI KEADILAN BERMARTABATRizky P.P. Karo Karo, Debora Pasaribu danAgrippina Ngadiman .........................................................................................125

I. PENDAHULUAN ................................................................................126II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................128

Page 10: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daftar Isi

x Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

III. METODE PENELITIAN ...................................................................130IV. PEMBAHASAN ...................................................................................130V. PENUTUP .............................................................................................134DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................135

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSENBERBASIS PARADIGMA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 Ratna Susanti dan Suci Purwandari ...........................................................137

I. PENDAHULUAN ................................................................................137II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................139III. METODOLOGI ....................................................................................140IV. PEMBAHASAN ...................................................................................141V. PENUTUP .............................................................................................147DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................148

LEGALISASI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDESA)UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAANMASYARAKAT DESAElita Lukminarti ..................................................................................................151

I. PENDAHULUAN ................................................................................151II. METODOLOGI ....................................................................................151III. PEMBAHASAN ...................................................................................152IV. PENUTUP .............................................................................................157DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................158

REKONSTRUKSI NASKAH AKADEMIK SEBAGAIDASAR PENYUSUNAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI(EVIDENCE- BASE POLICY)Sunny Ummul Firdaus .......................................................................................159

I. PENDAHULUAN ................................................................................160II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................162III. METODOLOGI ....................................................................................163IV. PEMBAHASAN ...................................................................................164V. PENUTUP .............................................................................................169DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................170

Page 11: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

xiKebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Daftar Isi

POS PELAYANAN KEUANGAN UNTUKDAYA SAING PENDIDIKANRahayu Endang Pujiati .....................................................................................173

I. PENDAHULUAN ................................................................................173II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................174III. METODOLOGI ....................................................................................176IV. PEMBAHASAN ...................................................................................176V. PENUTUP .............................................................................................182DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................182

SUPPORT MEKANISME UNTUK KEBIJAKANEVIDENCE-BASED DALAM BIDANG PENDIDIKANRahmad Agung Nugraha .................................................................................185

I. PENDAHULUAN ................................................................................186II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................188III. METODOLOGI ....................................................................................191IV. PEMBAHASAN ...................................................................................191V. PENUTUP .............................................................................................192DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................193

PEMBANGUNAN DAN PENGUATAN LEGISLASIPENANGGULANGAN BENCANA ALAMBurhanudin Mukhamad Faturahman ........................................................195

I. PENDAHULUAN ................................................................................195II. METODOLOGI ....................................................................................197III. PEMBAHASAN ...................................................................................197IV. PENUTUP .............................................................................................202DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................202

KEBIJAKAN PENEGERIAN RAUDHATUL ATHFAL(ANTARA KEBIJAKAN PEMERATAAN PENDIDIKANPRA SEKOLAH DAN KEBIJAKAN YANG TIMPANG)Ibnu Salman ..........................................................................................................205

I. PENDAHULUAN ................................................................................205II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................209III. METODE PENELITIAN ...................................................................210IV. PEMBAHASAN ...................................................................................211V. PENUTUP .............................................................................................216DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................217

Page 12: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daftar Isi

xii Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DAYA SAING PENINGKATAN KUALITASPEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI)DI DUNIA INTERNASIONAL MELALUI KINERJA LEGISLASI KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih ............................................219

I. PENDAHULUAN ................................................................................220II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................222III. METODOLOGI ....................................................................................226IV. PEMBAHASAN ...................................................................................226V. KESIMPULAN .....................................................................................233DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................235

SENSIBILITAS METODOLOGIS DALAM PERUMUSANKEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:STUDI KUALITATIF AKSES MASYARAKAT MISKINPADA LAYANAN KESEHATAN Retna Hanani ........................................................................................................237

I. PENDAHULUAN ................................................................................238II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................240III. METODOLOGI ....................................................................................243IV. PEMBAHASAN ...................................................................................243V. PENUTUP .............................................................................................246DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................246

Page 13: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

1Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KEMISKINAN PADA 5 PROVINSI TERMISKIN

DI INDONESIA

Rangel Chris Eko Bieth

Kementerian Koordinator Bidang [email protected]

Kunto Nugroho

Kementerian Koordinator Bidang [email protected]

ABSTRAK Keberhasilan kualitas pertumbuhan ekonomi umumnya terkait dengan tingkat kemiskinan dan kesejahteraan di suatu negara. Lima dari 34 provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Semester I 2018, di sisi lain empat dari lima provinsi tersebut mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap kemiskinan di Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam periode tahun 2010-2018. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis data panel yaitu metode analisis kuantitatif menggunakan pertumbuhan ekonomi sebagai variabel independen serta kemiskinan sebagai variable dependen. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa dalam 9 tahun pengamatan, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan di 5 provinsi yang diamati. Kenaikan 1 poin PDRB berdampak terhadap kenaikan 0,72 angka kemiskinan. Hasil ini menunjukkan bahwa upaya peningkatan pertumbuhan PDRB secara kuantitas di 5 provinsi yang diteliti harus diikuti dengan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, agar pada tahun mendatang pertumbuhan ekonomi memberikan dampak positif dalam mengurangi tingkat kemiskinan.

Kata kunci: pembangunan; pertumbuhan ekonomi; kemiskinan; disparitas; dan papua.

Page 14: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

2 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANSejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, setiap daerah

mulai tingkat provinsi sampai kabupaten/kota diharapkan mampu menggali potensi daerahnya dalam upaya meningkatkan pendapatan daerah sekaligus mampu menangani setiap masalah yang timbul sebagai dampak aktivitas pembangunan. Pengenalan terhadap potensi daerah baik yang bisa digali sebagai kekuatan atau keunggulan maupun yang berpotensi sebagai kendala atau kelemahan merupakan masukan yang sangat berharga guna merancang strategi untuk mencapai tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

Salah satu potensi yang dimiliki suatu daerah adalah penduduk. Penduduk yang ada di suatu wilayah memegang peran ganda. Di satu sisi, jumlah penduduk yang banyak merupakan modal potensial sebagai subyek pembangunan, sedangkan di sisi lain, hal itu juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Jumlah penduduk yang banyak dapat menimbulkan masalah bila tidak ditangani dengan tepat. Satu contoh yang bisa dikemukakan adalah terjadinya urbanisasi penduduk dari desa ke kota akan dapat menimbulkan masalah kependudukan yang berkaitan dengan munculnya kantong- kantong pemukiman yang kumuh, ruwetnya pendataan para pendatang, serta timbulnya permasalahan kriminal.

Masalah lain yang sering ditimbulkan oleh banyaknya jumlah penduduk adalah berhubungan dengan rendahnya kualitas penduduk tersebut. Seperti misalnya ketidakmampuan mengakses kesempatan kerja karena rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan. Kondisi demikian berdampak pada makin tingginya tingkat pengangguran yang pada akhirnya menciptakan kemiskinan.

Selain karena rendahnya kualitas penduduk atau sumber daya manusia, kemiskinan juga sering muncul akibat terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan seiring dengan kemajuan perekonomian di suatu Negara. Tambunan (2001) menyebutkan bahwa ketimpangan hasil pembangunan mengakibatkan terjadinya kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah yang diukur dalam garis kemiskinan (poverty line).

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya

Page 15: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

3Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

kesenjangan, terutama pada tahap awal proses pembangunan ekonomi (Adelman dan Morris dalam Kuznet, 1996). Hasil penelitian ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan pembangunan terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya, sementara pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat. Berdasarkan penjelasan di atas penulis ingin mengetahui bagaimana pengaruh dari Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan di 5 Provinsi Termiskin di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pertumbuhan Ekonomi

Wijono (2005), menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses dari kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, pengertian ini menitik beratkan pada proses, output per kapita dan jangka panjang. Proses menggambarkan perkembangan perekonomian suatu negara dari waktu ke waktu yang sifatnya lebih dinamis, output per kapita menggabungkan aspek output total (PDB) dan aspek jumlah penduduk, sehingga dalam jangka panjang akan terlihat kecenderungan dari perubahan perekonomian dalam suatu jangka waktu tertentu yang didorong oleh suatu proses self generating.

Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan prosesnya yang bersinambungan merupakan kondisi ideal atau utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi suatu negara (Tambunan, 2001). Pertumbuhan ekonomi menurut Prof. Simon Kuznets (dalam Irawan, 2009) adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologi yang diperlukannya

Sukirno (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan proses perkembangan dari kegiatan dalam suatu perekonomian yang mengakibatkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam perekonomian suatu negara bertambah.

Page 16: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

4 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Beberapa teori telah disampaikan oleh para ahli untuk menerangkan hubungan antara faktor produksi dengan pertumbuhan ekonomi. Berikut beberapa pandangan terkait teori tersebut:a) Teori Klasik: menjelaskan pentingnya faktor-faktor produksi

dalam meningkatkan pendapatan nasional dan mewujudkan pertumbuhan. Akan tetapi yang terutama diperhatikan adalah peranan tenaga kerja. Menurut mereka tenaga kerja yang berlebihan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

b) Teori Schumpeter: menjelaskan tentang suatu peranan entrepreneur yang akan melakukan suatu investasi dan inovasi dalam perwujudan pertumbuhan ekonomi.

c) Teori Harrod-Domar: menjelaskan tentang peranan investasi sebagai faktor yang akan menyebabkan terjadinya pertambahan pengeluaran agregat.

d) Teori Neo-Klasik: menunjukkan bahwa suatu perkembangan teknologi dan peningkatan kualitas kreativitas masyarakat merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi.

Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi maka digunakan tingkat pertumbuhan PDB. Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan pertumbuhan PDB dan bukan indikator lainnya sebagai pertumbuhan. Oleh Susanti et al (2007) menjelaskan beberapa alasan tersebut adalah:a) PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh

aktivitas produksi di dalam perekonomian suatu negara. Artinya bahwa peningkatan produk domestik bruto juga dapat mencerminkan peningkatan balas jasa kepada faktor produksi yang telah digunakan dalam aktivitas produksi tersebut.

b) PDB dihitung atas dasar flow concept. Artinya perhitungan PDB hanya mencakup nilai produk yang dihasilkan pada satu periode tertentu. Perhitungan ini tidak mencakup nilai produk yang dihasilkan pada periode sebelumnya.

c) Batas wilayah perhitungan PDB adalah negara (perekonomian domestik). Hal ini memungkinkan untuk mengukur sejauh mana kebijakan-kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah mampu mendorong perekonomian domestik.

Page 17: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

5Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

B. KemiskinanTahun 1990, World Bank mengartikan kemiskinan sebagai

suatu ketidakmampuan seseorang atau kelompok dalam memenuhi standar hidup minimalnya. Pada tahun 2004, World Bank merincikan kembali pengertian dari kemiskinan secara lebih detail yaitu “Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah ketiadaan tempat tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk periksa ke dokter. Kemiskinan adalah tidak mempunyai akses ke sekolah dan tidak mengetahui bagaimana caranya membaca. Kemiskinan adalah tidak mempunyai pekerjaan dan khawatir akan kehidupan di masa yang akan datang. Kemiskinan adalah kehilangan anak karena penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan”.

UNDP juga mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan kesulitan ekonomi dan juga dapat dipandang sebagai suatu keadaan dimana kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan atau air minum yang bersih, atau untuk mempengaruhi proses politik dan faktor lainnya yang penting bagi manusia. Dengan kata lain, UNDP memandang kemiskinan sebagai suatu masalah multidimensi yaitu tidak hanya terbatas pada kekurangan pendapatan dan sumber daya ekonomi.

Adapun definisi kemiskinan yang banyak digunakan di Indonesia terutama dalam pengukuran kemiskinan secara nasional adalah definisi yang dikembangkan oleh BPS.

Rumusan komponen kebutuhan dasar menurut beberapa ahli (dalam BPS, 2008) adalah sebagai berikut:a) United Nations menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar

seseorang terdiri atas kesehatan, bahan makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan, sandang, rekreasi, jaminan sosial, dan kebebasan manusia.

b) UNSRID menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar manusia terdiri atas (i) kebutuhan fisik primer yang mencakup kebutuhan gizi, perumahan, dan kesehatan; (ii) kebutuhan kultural yang mencakup pendidikan, rekreasi dan ketenangan hidup; dan (iii) kebutuhan atas kelebihan pendapatan.

c) Ganguli dan Gupta menambahkan bahwa komponen kebutuhan dasar manusia terdiri atas gizi, perumahan, pelayanan kesehatan pengobatan, pendidikan, dan sandang.

Page 18: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

6 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

d) Green (1978) menjelaskan sebagaimana seperti yang telah dikutip oleh Thee Kian Wie (1981), bahwa komponen kebutuhan dasar manusia terdiri atas: (i) personal consumption items yang mencakup pangan, sandang, dan pemukiman; (ii) basic public services yang mencakup fasilitas kesehatan, pendidikan, saluran air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.

e) Esmara H (1986), menjelaskan bahwa komponen kebutuhan dasar primer untuk negara Indonesia diantaranya adalah pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

C. Kerangka Analisis

Pertumbuhan Ekonomi Kemiskinan

Keterangan: = Pengaruh

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis

III. METODOLOGIPenelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data

Pertumbuhan Ekonomi dan data Kemiskinan tahun 2010-2018 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode atau teknik analisis Data Panel. Metode analisis data panel merupakan suatu teknik analisis kuantitatif yang menganalisis penggabungan antara data Times Series dan Cross Section. Metode data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh dari pertumbuhan ekonomi (variabel independen) terhadap kemiskinan (variabel dependen) di 5 Provinsi Termiskin di Indonesia yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Gorontalo.

IV. PEMBAHASANBadan Pusat Statistik Indonesia merilis tingkat kemiskinan

Indonesia pada Semester I 2018 sebesar 9,82%, lebih rendah dibandingkan tahun 2017 pada periode yang sama sebesar 10,64%. Hasil tersebut merupakan tingkat kemiskinan terendah yang berhasil menyentuh angka dibawah 10% untuk pertama kalinya.

Page 19: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

7Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Tabel 1. Kemiskinan dan PDRB IndonesiaJenis PB Papua NTT MAL GOR IND

Tingkat Kemiskinan (%) 23,01 27,74 21,35 18,12 16,81 9,82

Angka Kemiskinan (000 jiwa) 213,67 915,22 1.134,11 317,84 188,30 25.674,58

PDRB (triliun Rp) 60,45 159,73 65,94 29,47 26,72 10.526,75

Capaian tingkat kemiskinan dibawah 10% pada Semester I 2018 tidak diikuti dengan lima provinsi yaitu Papua Barat, Papua, NTT, Maluku, dan Gorontalo yang menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Kelima provinsi tersebut berkontribusi sebesar 3,25% dari total PDB Indonesia, dengan pertumbuhan sebagai berikut; Papua (7,33%), Papua Barat (6,24%), Nusa Tenggara Timur (5,13%), Maluku (5,94%), dan Gorontalo (6,51%).

Hasil analisis data panel yang dilakukan memunculkan 3 model utama yaitu Common Effect Model, Fixed Effect Model dan Random Effect Model, kemudian dilakukan 3 uji untuk memilih model terbaik dari ketiga model tersebut yaitu Uji Chow, Uji Hausman dan Uji Lagrange Multiplier. Dari hasil pengujian menggunakan ketiga jenis uji tersebut kemudian terpilihlah satu model terbaik yaitu Common Effect Model, dengan hasil sebagai berikut:

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.704132 1.220627 -1.396111 0.1698X (PDRB) 0.727102 0.113972 6.379655 0.0000

R-squared 0.486260 Mean dependent var 6.067787Adjusted R-squared 0.474313 S.D. dependent var 0.706726S.E. of regression 0.512406 Akaike info criterion 1.544029Sum squared resid 11.29009 Schwarz criterion 1.624325Log likelihood -32.74065 Hannan-Quinn criter. 1.573963F-statistic 40.70000 Durbin-Watson stat 0.023248Prob(F-statistic) 0.000000

Dari hasil analisis data Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan menggunakan Eviews 10 diatas, diperoleh model atau fungsi regresi

Page 20: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

8 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

berupa pengaruh dari Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan sebagai berikut:

Yit = -1,704132 + 0,727102 X + e ..................................................(1.1)

Keterangan:Y = KemiskinanX = Pertumbuhan Ekonomii = Provinsit = Waktu/Tahune = Error

Fungsi regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap Kemiskinan, artinya kenaikan 1 poin Pertumbuhan Ekonomi akan menyebabkan kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,72. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa R2 sebesar 0,486 artinya variabel X (Pertumbuhan Ekonomi) mampu menjelaskan variabel Y (Kemiskinan) sebesar 49%.

Tabel. 2 Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Judul Penelitian Variabel Dependen/ Independen Hasil Penelitian

1 ‘Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin’ oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti (2008)

Variabel dependen: kemiskinanVariabel independen: PDRB, share sektor pertanian, share sektor industri, pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian seluruh variabel independen berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

2 ‘Analisis Kemiskinan Di Jawa Tengah’oleh Dicky Wahyudi (2013)

Variabel dependen: kemiskinanVariabel independen: pendidikan,kesehatan, pengeluaran pemerintah, pengangguran, pertumbuhan ekonomi

Pendidikan,kesehatan, pengeluaran pemerintah, serta pengangguran berpengaruh terhadap kemiskinan. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap kemiskinan.

Page 21: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

9Rangel Chris Eko Bieth dan Kunto Nugroho

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

No Judul Penelitian Variabel Dependen/ Independen Hasil Penelitian

3 ‘Pengaruh Kredit Modal Kerja Terhadap Pendapatan Bersih Usaha Kecil Dan Menengah (UKM) Sektor Formal’oleh Inayah,dkk (2014)

Variabel dependen: kredit modal kerjaVariabel independen: pendapatan bersih

Berdasarkan hasil penelitian kredit modal kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan bersih

Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selalu diikuti dengan meningkatnya kesenjangan, terutama pada tahap awal proses pembangunan ekonomi (Adelman dan Morris dalam Kuznet, 1996). Hasil penelitian ini telah mengembangkan anggapan yang menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan pemerataan pembangunan terdapat suatu trade-off. Pertumbuhan ekonomi yang pesat akan membawa konsekuensi meningkatnya ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya, sementara pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang cukup baik akan dicapai dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat.

V. PENUTUPBerdasarkan hasil pembahasan, dapat diambil kesipulan, yakni:

pertama, Provinsi Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo adalah provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi secara berturut-turut sebesar 27,74%; 23,01%; 21,35%; 18,12%; 16,81%. Kedua, Pertumbuhan PDRB kelima provinsi tersebut adalah Papua (7,33%), Papua Barat (6,24%), Nusa Tenggara Timur (5,13%), Maluku (5,94%), dan Gorontalo (6,51%). Ketiga, hasil analisis pengaruh pertumbuhan ekonomi (PDRB) terhadap kemiskinan di lima provinsi tersebut menunjukkan pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan dimana kenaikan PDRB akan diikuti kenaikan kemiskinan. Keempat, hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan PDRB pada kelima provinsi tersebut membutuhkan upaya lebih lanjut untuk mendorong pemerataan kesejahteraan.

Page 22: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

10 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2010-2019). Statistik Indonesia. Indonesia: BPS Indonesia.

Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI.

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia No 96 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.

Sukirno, Sadono. (2011). Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan 2.

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004).

Page 23: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

11Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

PERSEPSI NELAYAN LOMBOK TENGAH DAN LOMBOK TIMUR TERHADAP KEBERLIMPAHAN BENIH LOBSTER UNTUK PEMANFAATAN DAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA BERKELANJUTANDAN MENYEJAHTERAKAN

Nurlaili

Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan PerikananGedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera

Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta [email protected]

Bayu Vita Indah Yanti

Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan PerikananGedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera

Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta [email protected]

Tikkyrino Kurniawan

Peneliti Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan PerikananGedung Balitbang KP I, Komplek Bina Samudera

Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta [email protected]

ABSTRAKPersepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan sumber daya dibangun atas dasar persepsi yang mereka miliki. Untuk kepentingan pembangunan sumber daya alam berkelanjutan dan dapat mensejahterakan maka perlu membangun persepsi masyarakat yang selaras dengan berbagai program kebijakan. Belajar pada kasus tahun 2015, persepsi masyarakat nelayan terhadap keberlimpahan sumber daya lobster (SDL) di Lombok Tengah dan Lombok Timur menjadi sangat penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan agar tetap dapat mensejahterakan masyarakatnya. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Penguatan Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis Masyarakat pada tahun 2015. Penelitian dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pembahasan mengenai persepsi masyarakat nelayan

Page 24: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

12 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

terhadap keberlimpahan SDL di Lombok Tengah dan Lombok Timur menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan Teknik pengumpulan data wawancara mendalam (indepth interview) diperkaya dengan studi kepustakaan, serta review terhadap hasil penelitian terkait, dengan update informasi terkini, berdasarkan kondisi setelah diberlakukannya kebijakan larangan aktifitas jual beli benih lobster. Hasil penelitian menunjukkan baik nelayan dan pengepul benih lobster di dua kabupaten memiliki persepsi bahwa laut merupakan sumber daya milik bersama dan dapat dimanfaatkan secara bersama oleh siapa saja. Fenomena keberlimpahan benih lobster bagi nelayan dan pengepul dianggap merupakan suatu bentuk keberkahan dari Yang Maha Kuasa untuk mereka karena mampu mengubah kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam waktu cepat. Ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman atau rentenir seketika hilang, kriminalitas berupa perampokan juga menghilang dan para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri banyak yang kembali pulang dan beralih menjadi nelayan penangkap benih lobster.

Kata kunci: persepsi; benih lobster; pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya; lombok tengah; lombok timur.

I. PENDAHULUANPada tahun 2015 pemerintah melalui Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 1 Tahun 2015 yang telah direvisi dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016 telah melakukan kebijakan yang dianggap sebagai kebijakan yang tidak umum bagi masyarakat nelayan penangkap benih lobster, dimana materi kebijakan ini berisikan larangan pemanfaatan benih lobster. Wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur, di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan wilayah yang diperkirakan paling terdampak terhadap kondisi masyarakatnya, terutama pada masyarakat nelayan penangkap benih lobster.

Menurut Irianto dan Sidharta (2011), hukum tidak hanya berisi konsepsi normatif, yaitu hal-hal yang dilarang dan dibolehkan; tetapi juga berisi konsepsi kognitif. Dalam aras normatif, “mencuri”, “membunuh”, “korupsi” dilarang baik oleh hukum negara, agama maupun adat dan kebiasaan. Namun kognisi tentang apa yang disebut mencuri, membunuh dan korupsi bisa berbeda-beda dalam konteks politik dan budaya. Pada penerapan peraturan menteri

Page 25: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

13Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

terkait larangan pemanfaatan benih lobster, akan dibahas terkait penerapan hukum berdasarkan konsepsi kognitif, dimana persepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan sumber daya alam dibangun atas dasar persepsi yang mereka miliki. Untuk kepentingan pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan dan yang dapat mensejahterakan maka perlu membangun persepsi masyarakat yang selaras dengan berbagai program kebijakan.

Belajar pada kasus tahun 2015, persepsi masyarakat nelayan terhadap keberlimpahan sumber daya lobster di Lombok Tengah dan Lombok Timur menjadi sangat penting dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan dan juga tetap dapat mensejahterakan masyarakatnya. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana persepsi masyarakat nelayan di 2 (dua) kabupaten di Nusa Tenggara Barat, yaitu di Kabupaten Lombok Tengah dan di Kabupaten Lombok Timur, terkait dengan keberlimpahan sumber daya lobster di wilayah perairan mereka. Persepsi nelayan terhadap keberlimpahan sumber daya lobster menjadi penting untuk diketahui karena persepsi merupakan dasar bagi masyarakat dalam memperlakukan sumber daya yang mereka miliki.

II. TINJAUAN PUSTAKAKebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen

KP) Nomor 1 Tahun 2015 yang melarang kegiatan penangkapan benih lobster telah membuat gejolak yang cukup meresahkan di masyarakat, khususnya bagi nelayan penangkap benih lobster di dua kabupaten di Nusa Tenggara Barat tersebut. Sebuah solusi yang terbaik dan dapat diterima oleh berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk mengatasi gejolak yang ada di masyarakat. Tentunya, program-program yang bertujuan untuk memberikan solusi haruslah tepat dan berbasis pada masyarakat itu sendiri.

Peran masyarakat dalam pengawasan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu bahasan terkait dengan kategori budaya hukum masyarakat dalam menangani permasalahan sumber daya alam (BPHN, tanpa tahun). Di mana hal tersebut tidak pernah bisa tanpa berbicara tentang lingkungan

Page 26: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

14 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

sosial termasuk di dalamnya masyarakatnya. Apapun yang terjadi dengan lingkungan sumber daya alam di mana saja selalu terkait dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar lingkungan sumber daya alam tersebut. Hubungan antara masyarakat dengan lingkungan sumber daya alamnya membentuk persepsi dan persepsi menjadi titik tolak atau dasar bagi manusia dalam berbuat dan bertindak. Persepsi juga mempengaruhi perilaku dan membentuk suatu sikap. Persepsi masyarakat merupakan sebuah proses dimana sekelompok individu yang hidup dan tinggal bersama dalam wilayah tertentu, memberikan tanggapan terhadap hal-hal yang dianggap menarik dari lingkungan tempat tinggal mereka.

Persepsi masyarakat terhadap sumber daya merupakan salah satu aspek kognitif yang penting untuk dikaji. Sikap dan perilaku masyarakat terhadap lingkungan sumber daya alamnya dibangun atas dasar persepsi yang mereka miliki. Mengetahui persepsi masyarakat nelayan di Lombok Tengah dan Lombok Timur terkait dengan keberlimpahan sumber daya lobster sangat penting agar pembangunan sumber daya alam yang berkelanjutan tetap dapat mensejahterakan para pelaku usahanya. Membangun persepsi yang sama antara masyarakat dengan berbagai program kebijakan dapat meminimalisir konflik dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program-program yang dijalankan khususnya dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Persepsi terhadap sumber daya menciptakan suatu sistem pengelolaan sumber daya alam yang dianggap dapat menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat secara berkesinambungan. Persepsi berkaitan dengan bagaimana mereka memaknai hubungan mereka dengan lingkungannya.

Persepsi masyarakat merupakan proses kognitif yang dialami oleh sekelompok individu yang berinteraksi (hidup dan tinggal bersama dalam wilayah tertentu) di dalam memahami informasi tentang lingkungannya baik lewat penglihatan maupun pendengaran yang dipengaruhi memori tentang pengalaman masa lampau, minat, sikap, intelegensi, di mana hasil atau penelitian terhadap apa yang diinderakan akan mempengaruhi tingkah laku (Robbins, 2003; Thoha, 2007).

Persepsi masyarakat sangat dipengaruhi oleh sosial budaya masyarakat. Persepsi masyarakat satu dengan masyarakat lainnya

Page 27: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

15Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

bisa jadi berbeda. Persepsi masyarakat juga pada umumnya diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya (Soejoeti, 1995).

Menurut Suhardin (2010), kebijakan negara in casu pemerintah yang berpihak kepada warga yang miskin atau yang biasa disebut option for the pro poor, seyogianya bersifat implementatif dari Pancasila sebagai falsafah Negara, terutama sila ke-lima dan ke-dua, Pembukaan Alinea ke empat Pasal 33 dan 34 UUD 1945 yang harus tercermin di dalam berbagai kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Jika menghubungkan pada pendapat tersebut, pada kasus kebijakan benih lobster sikap pemerintah dapat memunculkan anggapan kurang berpihak pada masyarakat di wilayah tersebut yang sedang berjuang mendapatkan pendapatan yang layak dari penangkapan benih lobster.

Menurut Sarlito W. Sarwono dalam Listyana dan Hartono (2015) persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami yang menggunakan alat pengindraan. Persepsi mengandung suatu proses dalam diri untuk mengetahui dan mengevaluasi sejauh mana kita mengetahui orang lain. Pada proses ini kepekaan dalam diri seseorang terhadap lingkungan sekitar mulai terlihat. Cara pandang akan menentukan kesan yang dihasilkan dari proses persepsi. Proses interaksi tidak dapat dilepaskan dari cara pandang atau persepsi satu individu terhadap individu yang lain, sehingga memunculkan apa yang dinamakan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat akan menghasilkan suatu penilaian terhadap sikap, perilaku dan tindakan seseorang di dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan penelitian Furqon et.al (2017), kebijakan pelarangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster pada implementasinya diharapkan mampu merubah persepsi dan meningkatkan kesadaran stakeholder perikanan lobster dalam menjaga keberlangsungan sumber daya, khususnya nelayan lobster. Karena mengacu pada Wiyono dalam Furqon et.al (2017), menyatakan bahwa persepsi nelayan terhadap sumber daya perikanan merupakan proses pengorganisasian potensi daya yang dimiliki nelayan dalam menafsirkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan, Kebijakan pelarangan tersebut diharapkan dapat menciptakan perikanan lobster yang bertanggungjawab. Meskipun pada kenyataannya, masih terdapat praktik penangkapan dan penyelundupan benih lobster di Palabuhan ratu masih marak

Page 28: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

16 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

terjadi. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa jumlah pengumpul benih lobster masih banyak di berbagai perkampungan nelayan di Wilayah Perairan Teluk Palabuhanratu. Kegiatan penyelendupan BL dari Palabuhanratu juga berlangsung hampir setiap hari dengan jalur yang bervariasi, baik melalui jalur darat, laut dan udara dengan tujuan akhir ke negara Singapura ataupun langsung ke Vietnam.

Lebih lanjut, menurut Furqon et.al (2010), terkait persepsi nelayan, secara umum tingkat pengetahuan nelayan terhadap kebijakan sudah cukup. Namun demikian nelayan merasa bahwa penangkapan benih lobster tidak mengganggu keberlanjutan lobster, sehingga nelayan menolak kebijakan PERMENKP No. 1/2015 jo PERMENKP No.56/2016.

Penerapan kebijakan ataupun hukum, jika menurut Topatimasang (2000), sebaiknya harus melihat pada budaya hukum (culture of law), yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap dua aspek isi dan tata laksana hukum. Dalam pengertian ini termasuk tanggapan masyarakat luas terhadap isi dan tata-laksana hukum tersebut.

Terkait dengan pengelolaan sumber daya perikanan secara besar-besaran, menurut Lukman Adam (2012), pengelolaan sumber daya perikanan harus dilakukan secara holistik, dan tidak bisa dipisahkan antara pemanfaatan ekonomi semata; namun juga harus ditinjau dari aspek lingkungan dan sosial. Eksploitasi sumber daya perikanan tidak boleh dilakukan dengan cara merusak, dan harus mempertimbangkan pemanfaatan secara berkelanjutan.

III. METODOLOGI Tulisan ini merupakan bagian dari hasil Penelitian Penguatan

Kelembagaan Restocking Lobster Berbasis Masyarakat. Penelitian dilakukan pada tahun 2015. Lokasi penelitian berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Lombok Tengah dan di Kabupaten Lombok Timur.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (indepth interview) kepada informan kunci (key informan) yang merupakan nelayan penangkap benih dan pedagang pengumpul (pengepul) di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Tengah

Page 29: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

17Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

dan Kabupaten Lombok Timur. Untuk memperkaya tulisan maka dilakukan pendekatan kepustakaan, dengan berdasarkan pada objek utama melakukan review (mempelajari kembali) hasil penelitian pada tahun 2015, untuk selanjutnya memperbaharui informasi terkait berdasarkan pada hasil studi literatur lain yang terkait. Analisis data dilakukan secara kualitatif berdasarkan pada temuan data dan informasi yang dihasilkan dalam pengumpulan data.

IV. PEMBAHASANPeraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus Spp.), Kepiting (Scylla Spp.), dan Rajungan (Portunus Pelagicus Spp.) merupakan kebijakan awal tahun 2015 yang mengejutkan bagi masyarakat nelayan penangkap benih lobster di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Timur. Meskipun kebijakan ini telah diperbaharui dengan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016, konsekuensi penerapannya tetap memberikan keterkejutan bagi masyarakat nelayan penangkap benih, dan bertambah juga ke para pembudidaya lobster di wilayah tersebut.

Keterkejutan masyarakat dengan adanya kebijakan tersebut dikarenakan menurut mereka, laut merupakan sumber daya yang paling penting bagi masyarakat, dan mereka memiliki ketergantungan yang tinggi bagi kehidupan mereka melalui pemanfaatan sumber daya laut, dan semua orang dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia di laut karena sumber daya tersebut merupakan pemberian Yang Maha Kuasa.

Begitulah bagi sebagian besar masyarakat nelayan yang berada di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Perubahan pada sumber daya laut sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka. Perubahan pada kebijakan dalam bidang sumber daya laut juga menjadi dasar bagi perubahan kehidupan mereka.

Kebijakan Permen KP No. 1 Tahun 2015 yang selanjutnya diubah dengan Permen KP No. 56 Tahun 2016, melarang kegiatan penangkapan benih lobster dengan tujuan keberlanjutan sumber daya lobster telah mempengaruhi kehidupan nelayan di dua kabupaten tersebut. Eksploitasi berlebihan atas benih lobster menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan pelarangan aktivitas penangkapan tersebut. Gejolak yang timbul di dalam

Page 30: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

18 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

masyarakat dikarenakan kurangnya sosialisasi terkait dengan kebijakan pemerintah tersebut. Perubahan secara tiba-tiba dianggap kurang akomodatif terhadap realitas lokal. Agar program yang diberikan di dalam masyarakat dapat menjadi solusi maka harus berbasis masyarakat.

A. Gambaran UmumProduksi benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah dan

Lombok Timur pada tahun 2014 yaitu 5.341.000 ekor (Lombok Tengah) dan 5-6 juta ekor (Lombok Timur), dengan produksi rata-rata 330.000-400.000 ekor/bulan (Lombok Tengah). Sentra nelayan lobster di Kabupaten Lombok Timur terdapat di Teluk Jukung (Telong Elong), Ekas Buana, dan Seriwe, ditambah beberapa lokasi lainnya yaitu Batu nampar selatan, dan Ketapang Raya. Peningkatan produksi benih lobster di Lombok Tengah selama 5 (lima) tahun berturut-turut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.Tabel 1. Produksi Benih Lobster di Kabupaten Lombok Tengah Tahun

2010-2014Tahun Jumlah Benih Lobster (ekor)2010 2.700.0002011 2.725.0002012 3.150.0002013 4.773.0002014 5.497.400

Sumber: Dinas KP Kabupaten Lombok tengah, 2015

Hasil penelitian BBRSEKP (2015) menemukan bahwa ukuran benih lobster yang dominan tertangkap adalah panjang total 2-5 cm dan ukuran 6-8 cm (ukuran jangkrik) dengan jenis dominan yang ditangkap yaitu jenis mutiara dan pasir. Jumlah nelayan penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah adalah 2.353 orang dengan sebaran 764 orang (Teluk Awang), 1.487 orang (Teluk Bumbang dan Gerupuk) dan 200 orang (Selong Belanak). Mereka merupakan nelayan penangkap benih tanpa melakukan usaha budidaya pembesaran. Mereka menangkap benih lobster dengan menggunakan alat tangkap pasif dari kantong semen berupa atractor yang disebut “Pocong”. Pocong digantungkan pada KJA (keramba jaring apung) ukuran 7x8 m dengan kapasitas 100-120

Page 31: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

19Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

buah pocong per unit. Pocong dapat juga digantungkan pada longline dengan panjang tali induk 50 meter yang dapat menampung 25 unit pocong dengan kedalaman 1,5 – 10 meter dpl. Alat tangkap pocong yang mereka gunkaan saat ini telah mengalami modifikasi dimana sebelumnya mereka menggunakan karung bekas yang diikat diubah menjadi bentuk kipas. Hal ini karena banyak kerusakan terumbu karang. Waktu pemanenan dengan menggunakan “pocong” adalah 1-2 hari.

Pada umumnya masyarakat pesisir di Lombok Tengah dan Lombok Timur terdiri dari suku Sasak (suku asli Lombok), Bugis, Mandar dan Bajo. Kondisi masyarakat pada umumnya memiliki pelapisan di dalam masyarakat yang didasarkan pada garis keturunan, walaupun saat ini batas-batas pelapisan sudah tidak dirasakan di dalam masyarakat. Realitanya masyarakat masih menghormati gelar kebangsawanan pada suku Sasak “Lalu” untuk laki-laki dan “Baiq” untuk perempuan, namun tidak menjadi dasar pelapisan yang utama di masyarakat. Demikian halnya pada suku Bugis, Mandar dan Bajo. Untuk tokoh adat Bajo, masih sangat dihormati dalam masyarakat pesisir dan memiliki kedudukan strategis dalam pengambilan keputusan demikian halnya dengan Tuan Guru Haji. Selain kturunan, materi atau kekayaan juga menjadi dasar dalam stratifikasi sosial pada masyarakat pesisir di Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Dalam sistem usaha lobster, posisi pedagang pengumpul memiliki kedudukan yang sagat penting dalam masyarakat. Pedagang pengumpul berada pada strata sosial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan nelayannya dan memiliki peran yang strategis dalam setiap pengambilan kebijakan. Pedagang pengumpul pada usaha lobster dapat diklasifikasi ke dalam pedagang pengumpul skala kecil dan pedagang pengumpul skala besar. Pedagang pengumpul skala kecil adalah pedagang pembeli lobster dari nelayan dan menjual kembali kepada pedagang besar. Pedagang skala besar adalah pedagang perantara dari pedagang pengumpul skala kecil dengan eksportir. Peran pedagang pengumpul skala besar sangat penting dalam keberlanjutan kegiatan usaha lobster di Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Pola hubungan kerja dalam pemanfaatan lobster di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur bersifat patronase. Bentuk

Page 32: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

20 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

patronase ini disebabkan karena adanya bentuk investasi modal dari pedagang pengumpul sebagai investor kepada nelayan penangkap benih lobster. Jumlah Pengumpul benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah berjumlah 60 orang yang tersebar di tiga kecamatan yaitu Pujut (Desa Mertak dan Sengkol), Kecamatan Praya Timur (Desa Bilelando), dan Praya Barat (Selong Belanak). Masing-masing pedagang pengumpul menjadi pembeli kepada beberapa nelayan penangkap benih lobster yang sudah diberikan modal awal dalam pembuatan keramba. Jumlah nelayan penangkap benih lobster di Kabupaten Lombok Tengah adalah 2.353 orang dengan jumlah unit keramba jaring apung yang digunakan untuk menggantungkan “pocong” adalah 6.449 buah dengan sebaran yaitu 4.165 unit (Teluk Bumbang dan Gerupuk) dan 2.284 unit (Teluk Awang). Unit keramba yang terdapat di Kabupaten Lombok Tengah pada umumnya merupakan bentuk hubungan patronase antara nelayan penangkap dan pedagang pengumpul benih lobster. Pada umumnya, nelayan penangkap benih diberikan modal oleh pedagang pengumpul skala kecil untuk membuat keramba. Besaran modal yang diberikan untuk membuat satu unit keramba lengkap dengan alat tangkap “pocong” bervariasi antara Rp10.000.000 - Rp20.000.000.

Nelayan penangkap benih lobster diharuskan menjual benih hasil tangkapannya kepada pengumpul benih lobster sebagai bentuk imbalan dari investasi yang telah diberikan. Pola hubungan kerjasama ini membentuk jalur pemasaran benih lobster yang dapat digambarkan pada skema di bawah ini.

Nelayan Penangkap

Benih

Pengepul Kecil di Lombok

Tengah dan Lombok Timur

Pengepul Besar di Lombok Tengah

Eksportir di Bali

sumber: data primer diolah, 2015Gambar 1. Jalur Pemasaran Benih Lobster

Lebih lanjut, jumlah nelayan penangkap benih lobster pada tiap pengumpul berbeda-beda, umumnya puluhan hingga ratusan. Harga beli yang diterapkan oleh pedagang pengumpul kepada

Page 33: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

21Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

nelayan penangkap benih lobster tidak dibedakan dengan mereka yang tidak memiliki hutang. Sistem bagi hasil hanya diberlakukan antara pemilik keramba dengan pekerja keramba seperti penjaga keramba. Para pekerja selain mendapatkan gaji juga mendapatkan hak pendapatan sampingan di luar keramba pemilik modal. Salah satu contoh pola hubungan kerjasama antara pedagang pengumpul dan nelayan penangkap benih lobster di Lombok Tengah yaitu antara sebut saja Pak Bedu (pedagang pengumpul) dengan 120 orang nelayan penangkap benih lobster. Pak Bedu memiliki investasi keramba sebanyak 300 unit yang tersebar di Desa Mertak dan Sengkol. Masing-masing KJA terdiri dari minimal 4 lokal dan maksimal 9 lokal yang dikelola oleh nelayan penangkap benih lobster.

Ubi Societas Ibi Ius (dimana ada masyarakat di situ ada hukum), pendapat terkenal dari Cicero yang menunjukkan bahwa keberadaan manusia sangat lekat dengan hukum, sehingga sukar untuk melepaskan gejala hukum dari manusia, dan mungkin agak sukar untuk mengadakan pengukuran tentang apa yang dipikirkan dan diinterpretasi oleh manusia tentang hukum (konsepsi normatif dan kognitif) (Irianto dan Sidharta, 2011). Terkait dengan kondisi di wilayah Lombok Tengah dan Lombok Timur, secara khusus tidak ada organisasi kemasyarakatan yang mengatur tentang pengelolaan dan pengawasan sumber daya lobster. Secara umum, masyarakat telah memiliki bentuk kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun untuk mengatur sumber daya alam dan keberlanjutannya melalui awik awik. Aturan-aturan yang terdapat pada awik awik merupakan hasil kesepakatan bersama yang bertujuan untuk mengatur pengelolaan, pengawasan dan keberlanjutan sumber daya sehingga terjadi keselarasan dan keharmonisan antara alam dan manusianya. Aturan dalam awik awik disepakati oleh kumpulan orang-orang dari anggota masyarakat pesisir dan pihak-pihak yang terkait (stakeholder) seperti nelayan, tokoh masyarakat, pengusaha perikanan, pemerhati lingkungan, yang bergerak dalam bidang pengelolaan sumber daya perikanan, dalam rangka pengelolaan perikanan laut di masing-masing kawasan.

Awik awik yang mengatur tentang sumber daya lobster antara lain tentang pelarangan menangkap lobster indukan. Hal ini diyakini bahwa lobster indukan merupakan sumber benih. Aturan

Page 34: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

22 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

lainnya terkait penangkapan ikan adalah tentang aturan pelarangan penggunaan lampu dalam kegiatan penangkapan. Aturan ini antara lain berlaku untuk masyarakat nelayan di Perairan Teluk awang. Pada kenyataannya, aturan dalam awik awik dapat mengalami perubahan sesuai dengan kesepakatan para pendukungnya. Sebagai contoh untuk masyarakat nelayan di Teluk Awang saat ini diperbolehkan pemakaian lampu namun jumlahnya sangat dibatasi.

Selain awik awik, pemerintah Kabupaten Lombok Tengah juga telah menetapkan zona konservasi antara lain kawasan konservasi Teluk Bumbang. Zona konservasi tersebut berupa penetapan Taman wisata perairan dan spot spot zonasi lainnya. Masyarakat nelayan lobster di Lombok Tengah pada umumnya tidak berkelompok, kalaupun ada kelompok umumnya kelompok pembudidaya. Untuk di Desa Gerupuk, nelayan terbagi ke dalam 9 kelompok. Umumnya kelompok yang ada terbentuk karena ikatan antara nelayan penangkap benih dengan pengumpul benih lobster.

B. Persepsi Masyarakat Nelayan tentang Keberlimpahan Sumber daya Lobster Masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok

Timur umumnya memiliki pandangan bahwa laut merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh siapa saja. Masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok tengah dan Lombok Timur yang ada di wilayah perairan Teluk Awang, Teluk Bumbang, Teluk Ekas pada mulanya merupakan nelayan penangkap ikan skala kecil. Tingkat kesejahteraan mereka umumnya berada pada tahap pra sejahtera dan merupakan nelayan subsisten. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka umumnya memiliki ikatan hutang pada rentenir atau yang disebut “bank rontok” atau “bank subuh”. Rata-rata besaran ikatan hutang pada “bank rontok” antara Rp.3.000.000 – 5.000.000/ nelayan. Ikatan hutang ini membuat masyarakat semakin berada pada kondisi yang terpuruk. Fenomena maraknya benih lobster bagi masyarakat nelayan merupakan suatu bentuk keberkahan yang didatangkan untuk mereka. Meningkatnya permintaan benih lobster membuat harga semakin menjadi tinggi dan telah mampu merubah kondisi ekonomi masyarakat nelayan di dua kabupaten tersebut. Potensi pendapatan pada tingkat nelayan penangkap benih lobster minimal Rp 100.000 sampai jutaan rupiah,

Page 35: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

23Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

sedangkan pendapatan pada tingkat pengepul bisa mencapai puluhan juta rupiah per hari.

Besarnya pendapatan yang diperoleh nelayan pada usaha lobster dapat meningkatkan kondisi ekonomi nelayan dalam waktu cepat. Dampak yang dirasakan oleh masyarakat antara lain hilangnya ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman seperti “bank rontok” atau “bank subuh”. Selain nelayan penangkap ikan, besarnya pendapatan yang diperoleh dari benih lobster membuat petani sawah dan para TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di luar negeri banyak yang kembali pulang dan mulai beralih menjadi nelayan penangkap benih lobster. Para pembudidaya rumput laut pun banyak yang mengalihfungsikan longline nya untuk menangkap benih lobster.

Potensi pendapatan pada tingkat nelayan penangkap benih lobster minimal Rp 100.000 sampai jutaan rupiah,

sedangkan pendapatan pada tingkat pengepul bisa mencapai puluhan juta rupiah.

hilangnya ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman seperti “bank rontok” atau “bank subuh”

petani sawah dan para TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di luar

negeri banyak yang kembali pulang dan mulai beralih menjadi nelayan penangkap benih lobster

Para pembudidaya rumput laut pun banyak yang mengalihfungsikan longline nya untuk menangkap

benih lobsterDam

pak

Pena

ngka

pan

Beni

h Lo

bste

rOl

eh M

asya

raka

t

Gambar 2. Gambaran Dampak dari Kegiatan Penangkapan Benih Lobster Bagi Masyarakat Penangkap Benih Lobster

Page 36: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

24 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Mereka memiliki pengetahuan tentang kalender musim lobster yaitu musim puncak dan paceklik sehingga mereka bisa memanfaatkan sumber daya lobster. Untuk lobster jenis mutiara mengalami puncak musim pada bulan Agustus, September, dan Oktober, sedangkan untuk lobster pasir mengalami musim puncak pada bulan Mei-Desember. Musim paceklik jatuh pada bulan Februari-Juli. Pada musim puncak, nelayan akan memaksimalkan penggunaan aat tangkap pocong dan sebaliknya (Tabel 2).

Tabel 2. Kalender Musim LobsterJenis

LobsterBulan

Jan

Feb

Mar

et

Apri

l

Mei

Juni

Juli

Agus

tus

Sept

Okt

Nov Des

L. MutiaraL. Pasir

Sumber: Data primer, 2015.

Paceklik

Musim Puncak

Alokasi waktu kerja yang dibutuhkan untuk melakukan usaha penangkapan benih lobster bagi nelayan tidak membutuhkan waktu yang banyak sehingga mereka bisa melakukan pekerjaan lain seperti perbaikan alat tangkap. Hanya dibutuhkan waktu sebanyak 4 (empat) jam per hari. Dua jam pada pagi hari dan dua jam pada sore/malam hari. Pada malam hari nelayan turun ke laut untuk mengikatkan pocong pocongnya di keramba. Jarak keramba tidak terlalu jauh dari tepi pantai dibutuhkan waktu 15 menit saja untuk sampai ke keramba. Setelah mengikatkan pocong di keramba maka nelayan kembali ke rumah. Pocong baru diangkat pada keesokan harinya. Waktu pemanenan biasanya pagi hari hingga sebelum zuhur.

2 jam sore/malam hari• turun ke laut• mengikat pocong di Karamba2 jam pagi hari hingga sebelum zuhur• pemanenan hasil tangkapan benih lobsterAl

okas

i Wak

tu

Gambar 3. Gambaran Alokasi Waktu Masyarakat Untuk Menangkap Benih Lobster

Page 37: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

25Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

Dalam usaha penangkapan benih lobster juga banyak menyerap

tenaga kerja. Pembagian tugas dalam usaha penangkapan benih lobster dilakukan antara kaum laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki umumnya mengerjakan tugas di laut sedangkan kaum perempuan mengerjakan tugas di darat. Tugas kaum laki-laki yaitu mengikatkan pocong ke keramba dan memanennya. Tugas kaum perempuan adalah melepaskan lobster dari pocong dan memilah lobster berdasarkan jenisnya. Tugas lainnya yang dilakukan oleh kaum perempuan adalah membuat dan memperbaiki pocong yang rusak. Etos kerja masyarakat pesisir di Kabupaten Lombok Tengah pada umumnya memiliki semangat kerja keras. Mereka mau melakukan pekerjaan apapun agar dapat memberikan hasil atau pendapatan bagi mereka. Hal ini berlaku baik pada kaum laki-laki maupun perempuannya. Terdapat semboyan dalam masyarakat “poro poro daripada momot” yang artinya “lebih baik ada yang dikerjakan untuk menghasilkan uang daripada berdiam saja”. Dari semboyan tersebut dapat dilihat bahwa mereka pada dasarnya mau bekerja apapun yang penting dapat menghasilkan uang untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Menjadi nelayan penangkap benih lobster merupakan suatu pekerjaan alternatif yang dapat mengubah taraf kehidupan mereka. Nelayan penangkap benih lobster di Lombok Tengah dan Lombok Timur pada mulanya merupakan pembudidaya pembesaran lobster, rumput laut dan kerapu. Selain itu, terdapat juga mereka yang semula sebagai petani sawah dan para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Mahalnya harga benih lobster sejak tahun 2011 mengubah mereka menjadi nelayan penangkap benih lobster dengan mengadopsi alat tangkap pocong. Potensi pendapatan minimal Rp.100.000/hari sampai jutaan rupiah/hari.

Program-program responsif terkait dengan diterapkannya kebijakan larangan penangkapan dan pemanfaatan benih lobster dapat berangkat dari persepsi yang dimiliki oleh masyarakat nelayan terkait dengan sumber daya lobster yang berlimpah di wilayah perairan mereka. Upaya yang pertama kali harus dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan keberlanjutan sumber daya lobster. Pemahaman yang mereka peroleh akan mengubah persepsi mereka terkait dengan pengelolaan

Page 38: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

26 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

sumber daya. Dengan demikian diharapkan tingkat partisipasi terhadap program terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan akan lebih efektif di masyarakat.

V. PENUTUP Hasil penelitian menunjukkan baik nelayan dan pengepul

benih lobster di dua kabupaten memiliki persepsi bahwa laut merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan secara bersama oleh siapa saja. Fenomena keberlimpahan benih lobster bagi nelayan dan pengepul dianggap merupakan suatu bentuk keberkahan yang didatangkan untuk mereka karena mampu mengubah kondisi ekonomi masyarakat dalam waktu cepat. Ikatan hutang dengan para pemberi pinjaman atau rentenir seketika hilang, kriminalitas berupa perampokan juga menghilang dan para TKI/TKW (tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja wanita) yang bekerja di luar negeri banyak yang kembali pulang dan beralih menjadi nelayan penangkap benih lobster.

Upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat nelayan terkait dengan keberlanjutan sumber daya lobster akan dapat mengubah persepsi mereka terkait dengan pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, sehingga tingkat partisipasi terhadap program akan lebih efektif di masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIHTerimakasih atas dukungan Balai Besar Riset Sosial Ekonomi

Kelautan dan Perikanan (BBRSEKP) dan juga untuk masyarakat lombok yang telah berkenan membantu memberikan data dan informasi. Doa kami juga untuk almarhum Profesor Zahri Nasution dan almarhum bapak Manadiyanto yang merupakan peneliti utama pendamping tim kami pada saat penelitian, terimakasih untuk diskusi, saran, dan kritik perbaikan untuk menghasilkan karya tulis terkait penelitian lobster ini.

Page 39: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

27Nurlaili, dkk.

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Tengah. (2015). Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Tengah, Lombok: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Tengah.

Furqan, Tri Wiji Nurani, Eko Sri Wiyono, dan Deni Achmad Soeboer. (2017). Tingkat Pemahaman Nelayan Terkait Dengan Kebijakan Pelarangan Penangkapan Benih Lobster Panulirus Spp. di Palabuhanratu. Jurnal ALBACORE, Volume I, No 3, Oktober 2017 Hlm. 297-308. Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2017. Diunduh pada link http://journal.ipb.ac.id/index.php/pspalbacore/article/viewFile/19025/13285.

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. (2011). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kusumaatmadja, Sarwono. (1995). Sumbangan kearifan tradisional terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup: sebuah pengantar. Analisis CSIS, Tahun XXIV No.6 November-Desember 1995. Centre for strategic and international studies; 413-416.

Listyana, R. dan Y. Hartono. (2015). Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013). JURNAL AGASTYA, VOL 5 NO 1 Januari 2015 Hlm.118-138. Madiun: Universitas PGRI Madiun, 2015. Diunduh pada link http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/download/898/810.

Lukman Adam. (2012). Kebijakan Pengembangan Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus: Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara Dan Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara). Jurnal Perikanan dan Kelautan, Vol. II No. 2 Hlm.115-126. Desember 2012. Serang: Universitas Tirtayasa, 2012. Diunduh pada link http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/jpk/article/viewFile/28/17.

Page 40: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Persepsi Nelayan Lombok Tengah dan Lombok Timur

28 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No.1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.).

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No.56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan Dan/Atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), Dan Rajungan (Portunus spp.) Dari Wilayah Negara Republik Indonesia.

Robbins, S. P. (2003) Perilaku Organisasi: Konsep Kontroversi Aplikasi. Edisi Kedelapan. Trans. Pujaatmaka, H & Molan, B., Jakarta: Pt. Prenlindo.

Soejoeti, SZ. (1995). Persepsi Masyarakat Mengenai Penyakit Malaria Hubungannya dengan Kebudayaan dan Perubahan Lingkungan. Media Litbangkes, Vol.V No.02/1995.

Suhardin, Y. (2010). Peranan Negara dan Hukum Dalam Memberantas Kemiskinan dengan Mewujudkan Kesejahteraan Umum. Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-40 No.3 Juli 2010 Hlm.390-407. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2010.

Thoha, M. (2007). Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Implikasinya. Yogyakarta: Fisipol UGM

Topatimasang, R. (2000). Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Insist Press, 2000.

Page 41: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

29Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

KEBIJAKAN CERDAS PENGEMBANGAN WILAYAH PENAJAM PASER UTARA – KUTAI KARTANEGARA

SEBAGAI CALON IBUKOTA NEGARAREPUBLIK INDONESIA BERDASARKAN

ANALISIS PEREKONOMIAN DAN LINGKUNGAN

Djoko Sunarjanto

Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,[email protected]

Afi Nursyifa

Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,[email protected]

Suliantara

Puslitbang Teknologi Migas LEMIGAS, KESDM, Jakarta,[email protected]

ABSTRAKPotensi sumberdaya alam Kabupaten Penajam Paser Utara – Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, sangat variatif untuk berfungsi sebagai tulang punggung perekonomian wilayah regional dan nasional. Untuk itu perlu kebijakan cerdas pengembangan Penajam Paser Utara – Kutai Kartanegara menjadi ibukota yang baru Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maksud dan tujuan kajian ini adalah mengidentifikasi potensi sumberdaya alam, utamanya potensi mineral dan hutan untuk penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan Penajam Paser Utara – Kutai Kartanegara yang ramah ekonomi dan berkelanjutan (green economy). Kajian difokuskan pada perekonomian dan lingkungan, dengan pendekatan analisis kualitatif dan komparatif. Hasil analisis komparatif menunjukkan posisi geografis dan adanya sumber minyak dan gas bumi dan hutan menjadi peluang untuk dijadikan modal kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian baru. Kelapa sawit menjadi potensi energi baru dan terbarukan yang menghasilkan energi pengganti premium dan diesel. Sumberdaya alam yang sudah terbukti meningkatkan perekonomian, sebagai bahan diskusi rancangan kebijakan pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang baru. Peraturan perundangan terkait kebijakan fiskal harus menjadi prioritas.Guna menunjang perencanaan hingga monitoring dan evaluasi

Page 42: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

30 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

diperlukan aplikasi sistem informasi tentang wilayah pengembangan Ibukota Negara.

kata kunci: kebijakan cerdas; penajam paser utara; kutai kartanegara; ibukota baru

I. PENDAHULUANDinamika yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah

pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan tentu menjadi tugas bersama yang tidak ringan, termasuk menjadi tugas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai tugas pokok dan fungsinya. Beberapa hal penting terkait kebijakan yang melibatkan banyak pihak tersebut yang melatarbelakangi pemikiran penyusunan kajian (review) ini.

Oleh sebab itu terkait dinamika yang ada, DPR langsung membentuk Panitia Khusus Pemindahan Ibukota Negara (IKN) yang langsung bekerja (Buletin Parlementaria, 2019). Sementara konsekuensi pemilihan lokasi untuk Ibukota NKRI adalah terjadinya peningkatan perekonomian antara lain akan terjadi ekstraksi sumberdaya alam berupa lahan, hutan, air, dan mineral. Meskipun alam mampu melakukan siklus seperti siklus air, namun ada proses dan waktu yang panjang. Kondisi ini membuat perlunya penanganan yang tepat dan akurat dengan lebih baik lagi. Apabila tidak ditangani secara bersama dan terintegrasi oleh pihak terkait stakehoder dan sharehoder, pengembangan Penajam Paser Utara - Kutai Kartanegara disingkat Penajam Pasut – KuKar, dikhawatirkan terganggu akibat adanya benturan kepentingan.

Daerah memiliki variasi dan kompleksitas, terdapat banyak stakeholder sehingga belum semuanya terakomodasi dalam proses perencanaan dan penyusunan kebijakan. Penyusunan kebijakan cerdas dikembangkan secara optimal dan terintegrasi sesuai realita dan dinamika yang terjadi. Sehingga adanya kebijakan yang selama ini masih terjadi kesenjangan antara pihak penyusun kebijakan (Pemerintah) dan stakeholder, dijembatani secara cepat dan tepat penyusunannya untuk diimplementasikan sesuai skenario.

Maksud kajian untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya alam utamanya potensi mineral dan hutan guna mendukung penyusunan kebijakan berbasis bukti. Tujuannya untuk menciptakan Penajam

Page 43: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

31Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Pasut - Kukar yang ramah ekonomi (green economy) sehingga dapat sebagai alternatif solusi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Tenaga Ahli dalam penyusunan kebijakan perencanaan Ibukota Negara yang ramah lingkungan.

II. TINJAUAN PUSTAKADalam pikiran sederhana orang tua kepada anak, ibu atau bapak

seharusnya memberikan aturan atau kebijakan berbasis bukti. Misal, disesuaikan dengan tindakan sebelumnya yang dilakukan, disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan dengan konteks yang berlaku. Tentunya tidak boleh menerapkan kebijakan yang dicontek dari rumah tangga orang lain untuk diterapkan di keluarga. Apalagi itu untuk diterapkan di level kota, provinsi, dan negara (Fatonie, 2018). Demikian juga pengembangan wilayah ibukota Negara Indonesia, tidak hanya menyontek Malaysia, Brazil atau negara maju lain yang sudah memindahkan ibukota negara/pusat pemerintahannya. Pada kajian ini upaya inventarisasi potensi sumberdaya alam pada wilayah ibukota baru, sebagai langkah awal menyusun kebijakan cerdas berbasis bukti yang dimiliki Wilayah Penajam Pasut - Kukar.

Sedangkan sebagai bukti yang pernah dilakukan di wilayah dua kabupaten ini dan lepas pantainya adalah operasi perusahaan hulu sampai hilir migas internasional TOTAL. Pengalaman TOTAL antara lain mengembangkan dan memproduksi migas, pada saat yang sama juga mengoperasikan kegiatan tambang batubara serta pembangkit tenaga listrik (TOTAL, 2011).

Pengelolaan kekayaan sumberdaya alam berwawasan lingkungan merupakan kunci penting dalam pelestarianalam. Pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) suatu wilayah sering bersentuhan dengan wilayah perikanan, pariwisata, transportasi, dan kawasan lingkungan yang dilestarikan dan dilindungi (Sunarjanto dkk., 2017). Khusus dalam kajian ini pengelolaan sumberdaya mineral dan hutan akan bersentuhan langsung dengan pengembangan wilayah Ibukota Negara.

III. METODOLOGIMetoda kajian menggunakan data terdahulu, studi literatur,

dan laporan penelitian/kajian. Kompilasi data untuk lebih

Page 44: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

32 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

mengoptimalkan analisis, dilakukan analisis kualitatif dan komparatif disusun dalam suatu matriks kegiatan terpilih –potensi dampak lingkungan - potensi dampak sosial ekonomi budaya hingga antisipasinya. Identifikasi pengisian masing-masing kotak dalam matriks dengan pendekatan teknis menggunakan pendapat ahli (Expert Judgement) di bidang kebijakan, sumberdaya alam dan perencanaan kewilayahan. Konfigurasi hubungan antar baris dan kolom dalam matriks tersebut disusun untuk analisis dan diskusi.

IV. PEMBAHASANA. Analisis Perekonomian

Analisis diawali dari data perekonomian Provinsi Kalimantan Timur, dilanjutkan perekonomian dua kabupaten yang sebagian wilayahnya menjadi calon lokasi Ibukota Negara.1. Penajam Paser Utara

Upah Minimum Kabupaten Penajam Paser Utara adalah kedua tertinggi di Kalimantan Timur setelah Kabupaten Berau (Kaltim.tribunnews.com, 2019). Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur mencatat pertumbuhan ekonomi di Bumi Etam pada triwulan I/2019 adalah 5,36% (y-o-y) tumbuh di atas rata-rata nasional yakni 5,07% (y-o-y). Pertumbuhan ini dipicu oleh semualapangan usaha dibandingkan dengan triwulan I/2018 lalu. Pada triwulan I/2019 pertumbuhan tertinggi adalah konstruksi sampai 16,14% lalu lapangan usaha jasa lainnya 9,20%, dan lapangan usaha pengadaan listrik dan gas 8,37%. Pertumbuhan ekonomi tinggi karena struktur perekonomian Kaltim, lima terbesar adalah pertambangan, industri, konstruksi, pertanian, dan perdagangan. Pertumbuhan sektor tambang dan penggalian cenderung stagnan, dan hanya pernah turun drastis pada 2015-2016. Sektor konstruksi dipicu oleh banyaknya proyek infrastruktur multi years yang masih berjalan serta mulai tingginya tren pembangunan perumahan, termasuk juga proyek tol Balikpapan-Samarinda dan proyek Jembatan Mahkota IV (bisnis.com, 2019) .

Kinerja ekspor komoditas Kalimantan Timur diproyeksikan masih melanjutkan tren kemerosotan hingga akhir tahun ini. Ekspor utama Kaltim saat ini adalah batubara dan kelapa sawit. Namun, dua komoditas ini juga sedang naik turun. Di sisi lain, komoditas

Page 45: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

33Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

pertanian hingga saat ini belum mampu menopang nilai ekspor. BPS mencatat nilai ekspor Provinsi Kalimantan Timur kembali mengalami penurunan. Padabulan September 2019, nilai ekspor turun sebesar 1,25%. Apabila dibandingkan dengan September 2018 mengalami penurunan sebesar 13,74%. Nilai ekspor barang migas September 2019 mencapai US$0,14miliar, turun 5,82% dibanding Agustus 2019. Secara kumulatif nilai ekspor Provinsi Kalimantan Timur periode Januari-September 2019 mencapai USD 12,20 miliar atau turun 9,81% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Dari seluruh ekspor periode Januari-September 2019, ekspor barang migas mencapai US$1,50 miliar atau turun 37,56% dan barang non migas mencapai US$ 10,70 miliar atau turun sebesar 3,80% dibandingkan periode yang sama 2018 (bisnis.com,2019).

Sumberdaya alam hayati yang melimpah hasil dari pertanian berupa padi, jagung, kedelai dan kacang tanah. Sedangkan hasil dari perkebunan berupa kelapa sawit, karet, kelapa, dan lada. Sumber daya alam non hayati berupa perikanan laut, perikanan tambak, dan perikanan darat. Memiliki luas sekitar 3.333,06 km2, yang terdiri dari 3.060,82 km2 daratan dan 272,24 km2 lautan. Kabupaten Penajam Pasut memiliki sumberdaya alam yang cukup banyak dan beragam, baik sumber daya hutan berikut hasil ikutannya, perkebunan, pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan serta kehutanan. Potensi pariwisata di Kabupaten Penajam Paser Utara sangat didukung oleh letak posisinya yang strategis sebagai pintu gerbang trans Kalimantan serta menjadi lalu lintas perdagangan antar provinsi.Hasil analisis perekonomian pada wilayah ini, termasuk untuk peningkatan produksi sawit dan industri minyak sawit, dengan tetap terus diupayakan optimasi blok migas lama (Blok Mahakam dan Blok Sanga-sanga). Maka peraturan perundangan terkait kebijakan fiskal harus menjadi prioritas dalam rangka mendukung pengembangan wilayah ibukota baru Negara Republik Indonesia.

2. Kutai KartanegaraLuas wilayah Kabupaten Kukar adalah 27.263,10 km2 yang

terbagi menjadi 18 kecamatan. Kabupaten Kukar mempunyai belasan sungai yang tersebar pada hampir semua kecamatan dan merupakan sarana angkutan utama disamping angkutan darat, dengan sungai

Page 46: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

34 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

terpanjang yaitu Sungai Mahakam dengan panjang sekitar 920 km. Daratan Kabupaten Kukar tidak terlepas dari gugusan gunung dan pegunungan yang terdapat hampir di seluruh kecamatan. Selain itu juga terdapat 16 danau dengan luas yang beragam.

Penduduk Kabupaten Kukar pada tahun 2018 adalah 769.337 jiwa yang terdiri atas 403.825 laki-laki dan 365.512 perempuan. Struktur perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara didominasi oleh sektor minyak dan gas bumi, pertanian dan pertambangan.

Berbagai sumber data menerangkan ada empat sektor dominan yang berpengaruh tinggi terhadap PDRB yaitu sektor pertambangan (64,91%), sektor pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan (12,98%), sektor bangunan (7,85%) dan sektor industri pengolahan (4,06%). Minyak bumi dan gas alam merupakan komoditi ekspor utama. Total produksi batubara tahun 2017 mencapai 86 juta ton.

Sektor pertanian merupakan sektor unggul dan memiliki sumbangan terbesar kedua terhadap PDRB Kutai Kartanegara. Dari berbagai komoditas perkebunan, kelapa sawit memiliki produksi terbesar yaitu 299.200,36 ton, kemudian disusul karet, kelapa, dan lada.Pada tahun 2018, luas fungsi hutan sebesar 2.631.998 ha, yang terbagi menjadi fungsi kawasan hutan lindung (201.646 ha), hutan produksi tetap (760.537 ha), hutan produksi terbatas (486.116 ha), hutan produksi yang dapat di konversi (22.737 ha), kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (134.284 ha), areal penggunaan lain (961.687 ha dan tubuh air (64.987 ha). Air minum merupakan suatu kekayaan alam di Kukar. Produksi air minum pada tahun 2018 sebanyak 33.931.014 m3 dan terjual sebanyak 22.786.888 m3 senilai Rp. 111.258.262.050,- .

Dari sisi potensi geologi sumberdaya mineral untuk pengembangan wilayah, sumberdaya mineral suatu daerah dikaji/diinventarisasiguna menggerakkan roda perekonomian dan pembangunan wilayah. Dalam kajian ini diutamakan analisis potensi mineral termasuk migas untuk perekonomian. Penajam Pasut – Kukar Provinsi Kalimantan Timur termasuk dalam cekungan sedimen Kutei, merupakan cekungan produksi migas. Sebaran KKS migas dapat dilihat pada Lampiran1. Kondisi ini harus diperhitungkan dalam perencanaan wilayah ibukota negara. Tercatat perusahaan minyak nasional termasuk PERTAMINA dan perusahaan asing mempunyai wilayah kerja aktif pada wilayah dua

Page 47: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

35Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

kabupaten ini baik onshore maupun offshore, termasuk di dalamnya blok kaya migas, antara lain Blok Mahakam dan Blok Sanga-sanga.

Upaya peningkatan produksi migas bukan hanya dari blok baru saja, tetapi juga dari blok lama yang dioptimasikan(SKK Migas, 2019). Termasuk blok migas lama sudah seharusnya diperhitungkan ulang oleh semua pihak penanganan peningkatan produksinya apabila Wilayah Penajam Pasut – Kukar menjadi ibukota

Dari pengusahaan batubara, total penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Kalimantan Timur; Kabupaten Kutai Kartanegara paling sering menerbitkan IUP hingga mencapai 625 IUP. Total produksi batubara di Kutai Kartanegara pada 2017 mencapai 86,98 juta ton hanya dari 100 perusahaan tambang batubara. Aktivitas pertambangan juga ramai di Kabupaten Panajam Pasut. Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Penajam Pasut mencatat dana bagi hasil sumber daya alam mencapai Rp 496,8 miliar, lebih tinggi dari target Rp 485,63 miliar (Katadata.co.id, 2019).

B. Analisis Dampak Pengembangan Berkelanjutan Wilayah Penajam Pasut-KukarAnalisis perekonomian berbagai sumber data menerangkan ada

empat sektor dominan yang berpengaruh tinggi terhadap PDRB yaitu sektor pertambangan, sektor pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan, sektor bangunan dan sektor industri pengolahan. Minyak bumi dan gas alam merupakan komoditi ekspor utama. Struktur perekonomian dua kabupaten didominasi oleh sektor minyak dan gas bumi, pertambangan dan pertanian.

Aspek yang paling sensitif terhadap dampak era industri seperti sekarang ini adalah lingkungan. Kegiatan pengembangan ibukota pasti akan berdampak pada kualitas lingkungan. Dengan demikian, manusia sebagai pelaku utama lingkungan harus senantiasa mengendalikan dan menjaga lingkungan agar tidak mengalami kerusakan.Guna menciptakan Penajam Pasut - Kukar yang ramah ekonomi dan berkelanjutan (green economy), akan terkait erat dengan lingkungan.

Berikut uraian umum dampak yang akan ditimbulkan suatu pengembangan wilayah pada kawasan mineral dan hutan Penajam Pasut-Kukar dan sekitarnya;

Page 48: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

36 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

1. Dampak LingkunganImplementasi kegiatan pengembangan berkelanjutan memiliki

berbagai macam jenis dan orientasi yang berbeda sehingga sangat mempengraruhi kondisi lingkungan baik sifatnya positif ataupun negatif. Beberapa bentuk kegiatan yang memiliki dampak positif terhadap lingkungan adalah konservasi mangrove dan pelestarian keanekaragaman hayati. Pelestarian keanekaragaman hayati juga bertujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan memberi ruang untuk tumbuhan dan hewan agar dapat berkembang. Guna antisipasi dampak negatifkegiatan hulu dan hilir migas di area ibukota negara barudiperlukan pengawasan/monitoring dan evaluasi yang kuat.

2. Dampak Sosial, Ekonomi dan BudayaStrategi implementasi pengembangan berkelanjutan yang telah

dilakukan di wilayah dua kabupaten ini melalui berbagai kegiatan telah mampu memberikan dampak positif dari perspektif ekonomi yakni meningkatnya pendapatan daerah maupun pendapatan perkapita penduduk.Selain itu kegiatan yang berorientasi industri dan ekonomi seperti perkebunan sawit dan idustri hilirisasi sawit, pengembangan kawasan industri batubara Baluminung di Wilayah Penajam Pasut diharapkan menjadi kutub perekonomian baru yang berdampak positip pada sosial budaya masyarakat.

C. Hasil AnalisisMelihat posisi geografis Penajam Pasut – Kukar terletak pada

wilayah kaya sumberdaya alam (khususnya minyak dan gas bumi serta hutan dan lahan). Hal ini dapat menjadi peluang untuk dijadikan kekuatan dan pendorongberbasis lahan atau kewilayahan.

Ibu Kota Negara menjadi kota yang compact, mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mencapai tujuan SGs (CNBC, 2019). Teknologi diperlukan dalam banyak bidang/sektor. Selain itu perlu dibuat industri pengolahan hasil pertanian dan perkebunan agar menjadi barang yang bernilai tinggi sebagai barang ekspor. Kerjasama dengan pihak swasta adalah suatu upaya dalam memajukan bidang pertanian. Perkebunan kelapa sawit dapat dijadikan industri strategis energi terbarukan yang berkelanjutan. Kelapa sawit dapat diolah menjadi biodiesel dan bioethanol dengan

Page 49: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

37Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

pengolahan modern. Keduanya dapat menjadi pengganti energy fosil yang berupa diesel dan premium. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan dua bentuk energi yakni CPO dan bentuk biomas (pelepah daun, batang, tandan kosong, cangkang, serat buah, bungkil inti sawit) Melalui proses lanjutan CPO dapat dihasilkan biodiesel (FAME), yang sering disebut sebagai biofuel generasi pertama. Sedangkan biomas melalui proses lanjutan dapat diperoleh bioethanol sebagai pengganti premium fosil. Limbah pabrik kelapa sawit melalui teknologi biogas dapat diperoleh energi gas metan sebagai pengganti gas bumi. Dengan membangun basis ketahanan energi maka akan memberi manfaat ganda yaitu meningkatkan kedaulatan energi, menghemat devisa, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Pada kenyataannya tak dapat dipungkiri bahan bakar fosil merupakan bahan bakar yang paling melimpah saat ini, sehingga banyak digunakan hingga beberapa tahun ke depan tetap menjadi primadona (Nataliani, 2012). Batubara yang dihasilkan dari pertambangan dapat dijadikan sumber utama listrik di Penajam Pasut-Kukar. Saat ini hampir semua aktifitas kehidupan manusia membutuhkan listrik, mulai dari bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan transportasi. Dengan menggunakan teknologi efisiensi tinggi, maka PLTU batubara dapat menjadi solusi kebutuhan listrik masa depan. Namun tetap diperlukan teknologi agar asap yang dihasilkan PLTU diupayakan tidak mencemari lingkungan.

D. DiskusiDiperlukan perundangan yang dapat diimplementasikan semua

pihak (stakeholder dan shareholder) sesuai bidangnya, konsisten atau tidak dilakukan beberapa kali revisi perundangan tersebut, dan konsisten menciptakan ramah lingkungan.

Disusun matriks kegiatan terpilih berdasar pendapat ahli (expert judgement) dan potensi dampak beserta antisipasi, khususnya terkait kebijakan dan sistem yang direkomendasikan, pada Tabel 1.

Page 50: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

38 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Tabel 1. Matriks Kegiatan dan Potensi Dampak beserta Antisipasinya

Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan

Potensi Dampak Sosekbud Antisipasi

Pembukaan Lahan (land clearing)

1. Resapan air tanah berkurang.

2. Berkurangnya lahan perkebunan dan pertanian

3. Kualitas udara menurun dan penurunan keaneka ragaman hayati

1. Peningkatan lapangan kerja

2. Perubahan fungsi lahan

3. Kekurangan material/bahan bangunan

4. Peningkatan kegiatan ekonomi dan menjadi kutub perekonomian baru

5. Percampuran budaya dari pekerja proyek.

1. Antisipasi terbentuk menjadi kutub perekonomian baru.

2. Disiapkan regulasi, perundangan dengan mengutamakan tanpa revisi perundangan tersebut.

3. Disiapkan sumberdaya manusia yang sesuai dengan kebutuhan ibu kota dan sekitarnya.

4. Secara khusus disusun perundangan berbasis Daerah Aliran Sungai, yang meliputi daerah hilir hingga hulu.

5. Disiapkan perundangan yang mengatur zonasi pengembangan wilayah yang sinkron dengan kawasan ibu kota.

Pemaprasan dan penimbunan tanah (cut and fill)

1. Aliran air permukaan terganggu.

2. Kedudukan air tanah dangkal terganggu.

3. Terjadi genangan air secara lokal.

4. Penurunan keaneka rahaman hayati.

1. Peningkatan lapangan kerja.

2. Peningkatan kegiatan ekonomi.

3. Percampuran budaya dari pekerja proyek.

Page 51: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

39Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Kegiatan Potensi Dampak Lingkungan

Potensi Dampak Sosekbud Antisipasi

Pembangunan infrastruktur

1. Lingkungan modern yang terstruktur.

2. Tersedia fasilitas keamanan, kesehatan, pendidikan, perdagangan dan hiburan.

3. Penataan zonasi kawasan budidaya dan non budidaya

1. Lingkungan ramah lingkungan

2. Peningkatan sarana prasarana

3. Peningkatan perekonomian daerah

6. Diperlukan aplikasi sistem tentang Pengembangan Ibukota Negara, untuk perencanaan, implementasi, dan monitoring evaluasi.

Pemanfaatan air tanah

1. Permukaan airtanah menurun

2. Penurunan kuantitas dan kualitas airtanah

3. Daya dukung lahan turun yang menyebabkan amblas permukaan tanah

1. Penambahan peralatan untuk mengambil airtanah

2. Potensi kekurangan pasokan air bersih bagi masyarakat

3. Potensi kerusakan bangunan dan timbul bencana lainnya

Dari matriks tersebut terlihat antisipasi yang sudah disusun untuk rancangan kebijakan, namun sangat mungkin masih banyak yang belum teridentifikasi. Akan terjadi dinamika pada era globalisasi dan keterbukaan seperti saat ini, dan terus berkembang pada masa mendatang. Diperlukan kompilasi data menggunakan teknologi sistem informasi. Selanjutnya disarankan dikembangkan suatu aplikasi sistem informasi cerdas tentang data kewilayahan, potensi mineral, hutan dan lahan. Aplikasi yang dibangun tersebut diharapkan akan mempercepat dan pengkinian data input dalam penyusunan kebijakan, perencanaan, implementasi dan monitoring evaluasi secara berkelanjutan oleh parlemen, pemerintah ataupun stakeholder dan shareholder.

Page 52: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

40 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

V. PENUTUPPaper ini memberikan kesimpulan, pertama, posisi geografis

kabupaten kaya minyak gas bumi dan hutan menjadi peluang dan bukti untuk perencanaan kebijakan cerdas terbentuknya kutub perekonomian baru. Kedua, terdapat blok minyak dan gas bumi aktif energi tidak terbarukan (non-renewable energy) menjadi bagian dari wilayah ibukota baru. Ketiga, kelapa sawit dapat menjadi energi baru dan terbarukan yang menghasilkan dua bentuk energi pengganti premium dan diesel. Keempat, batubara dari pertambangan setempat dan sekitarnya dapat dijadikan sumber pembangkit listrik, dengan mengutamakan teknologi agar ramah lingkungan. Kelima, peraturan/perundangan kebijakan fiskal harus menjadi prioritas dalam rangka mendukung pengembangan wilayah ibukota baru Negara Republik Indonesia.

Untuk itu beberapa hal yang disarankan dalam paper ini adalah, pertama, perlu disiapkan kebijakan untuk perundang-undangan yang mengutamakan tanpa banyak dilakukan revisi. Kedua, diperlukan aplikasi sistem informasi cerdas tentang Pengembangan Ibukota Negara, untuk mempercepat dan pengkinian data input penyusunan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan monitoring evaluasi pembangunan berkelanjutan. Ketiga, materi kajian khususnya potensi sumberdaya alam yang terbukti meningkatkan perekonomian, dapat sebagai bahan rancangan kebijakan untuk pembahasan perundang-undangan ibukota negara yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. (2019). Kabupaten Kutai Kertanegara Dalam Angka. Kabupaten Kutai Kertanegara: BPS.

Badan Pusat Statistik. (2019). Kabupaten Panajem Paser Utara Dalam Angka. Kabupaten Panajem Paser Utara: BPS.

Fatonie, Iskhak. (2018). Mengapa, Apa, dan Bagaimana Kebijakan Berbasis Bukti dan Relevansinya di Sulawesi Selatan, Seminar, Knowledge Sharing Tentang Pentingnya Kebijakan Publik Berbasis Bukti yang Berpihak pada Masyarakat Miskin, Makassar, 18 Juli 2018.

Page 53: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

41Djoko Sunarjanto, Afi Nursyifa dan Suliantara

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

Heriani AM. (2019). UMK Penajam Paser Utara 2020, Tertinggi Kedua di Kalimantan Timur Diprediksi Rp 3.270.441, (online), (https://kaltim.tribunnews.com/2019/11/01/umk-penajam-paser-utara-2020-tertinggi-kedua-di-kalimantan-timur-diprediksi-rp-3270441?page=3, diakses 4 November 2019)

Nataliani, Ratna. (2012). Diversifikasi Energi di Indonesia. Jurnal Energi. Edisi Sepuluh, Juli – September 2012.

Noname. (2019). Gagasan Rencana dan Kriteria Desain Ibu Kota Negara (IKN), (online), (https://www.cnbcindonesia.com/news/, diakses 6 November 2019).

Tim Penulis. (2019). Pansus IKN Pantau Kesiapan Kaltim. Buletin Parlementaria, September.

Ratna Iskana, Abdul Azis Said. (2019). Ibu Kota Baru Berlokasi di Sekitar Lahan Tambang dan Potensi Gempa, (online), (https://katadata.co.id/berita/2019/08/27/ibu-kota-baru-berlokasi-di-sekitar-lahan-tambang-dan-potensi-gempa, diakses, 4 Januari 2019)

Rinaldi Muhammad Azka. (2019). Persiapan Kalimantan Timur Jadi Ibukota Baru, (online), (https://kabar24.bisnis.com/read/20191011/15/1158067/ini-persiapan-kalimantan-timur-jadi-ibu-kota-baru, diakses 4 November 2019)

SKK Migas. (2019). Laporan Kuartal 3 Tahun 2019. FGD SKK Migas – LEMIGAS, Serpong, 14 November 2019 (tidak dipublikasikan).

Sunarjanto. D. Dkk. (2017). Antisipasi Penurunan Kualitas Lingkungan Kawasan Migas Cekungan Salawati, Papua Barat, Joint Convention Malang, “Natural Resources and Infrastructures Development for National Sovereignty”, Malang 25 – 28 September 2016.

TOTAL E&P INDONESIE. (2011). Komitmen Terhadap Pembangunan Yang Berkelanjutan. Jakarta: BP Migas – TOTAL.

Page 54: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Cerdas Pengembangan Wilayah Penajam Paser Utara

42 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Lampiran 1: Peta Wilayah Kerja Migas Kabupaten Penajam Pasut dan Kukar, (dikompilasi LEMIGAS, 2019).

Page 55: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

43Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

KINERJA PEMBANGUNAN EKONOMIDI ERA IMPLEMENTASI DANA OTONOMI

KHUSUS ACEH

Sitti Aminah

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam [email protected]

ABSTRAKKebijakan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) telah diimplementasikan lebih dari satu dekade. Dalam kurun waktu 2008 -2018 sekitar 58 Triliun dikucurkan untuk Pemerintah Aceh. Kajian bertujuan menganalis kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh selama implementasi DOKA periode 2012-2017. Pendekatan kualitatif digunakan dengan menganalisis secara deskriptif data sekunder yang bersumber dari instansi Pemerintah dan hasil penelitian terdahulu. Hasil kajian menunjukkan dalam kurun waktu 2012-2017 selama implementasi DOKA, kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh belum mengalami peningkatan secara signifikan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Implementasi DOKA belum mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran serta mengurangi ketimpangan pendapatan. DOKA telah berperan dalam menurunkan angka kemiskinan, namun angka kemiskinan masih tergolong tinggi, berada diatas rata-rata nasional dan tertinggi kedua di wilayah Pulau Sumatera, IPM juga meningkat meskipun masih berada dibawah rata-rata nasional. Rekomendasi kebijakan diantaranya adalah Pemerintah Pusat perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi DOKA mulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan evaluasi. Pemerintah Aceh melalui Bappeda perlu mengoordinasikan perencanaan pembangunan untuk integrasi program dan kegiatan antar Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK).

kata kunci: dana otsus; pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUANCiri utama desentralisasi asimetris adalah adanya sifat istimewa

dan kewenangan khusus. Salah satu bentuk keistimewaan adalah pemberian dana otonomi khusus. Pemberian dana otonomi khusus

Page 56: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

44 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

ke pemerintah Aceh atau Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) dimulai sejak Tahun 2008 sebagai tindak lanjut Undang Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam Pasal 179 Ayat (2) hurup c menyebutkan bahwa, salah satu pendapatan Aceh dan Kabupaten di Aceh adalah dari Dana Otsus. Juga dalam Pasal 183, disebutkan bahwa Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang bertujuan untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Dalam kurun Tahun 2008-2018 jumlah DOKA yang dikucurkan untuk Pemerintah Aceh terus meningkat seiring dengan peningkatan DAU secara nasional, hingga Tahun 2018 telah mencapai kurang lebih 58 Triliun. Tahun 2008, kucuran DOKA sebesar 3,590 Trilyun meningkat setiap tahun hingga tahun kelima (Tahun 2012) mencapai realisasi sebesar 5,476 Trilyun hingga mencapai realisasi 8,30 Trilyun di lima tahun berikutnya yakni di Tahun 2018.

Sumber: Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri, 2018 (data diolah)Gambar 1. Dana Otonomi Khusus Aceh, 2008-2019

Pemberian DOKA yang meningkat menimbulkan pertanyaan sejauhmana kontribusi DOKA untuk mendorong kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh. Kajian implementasi DOKA dan implikasinya terhadap percepatan kinerja pembangunan ekonomi pembangunan kinerja ekonomi bersifat penting karena: pertama, DOKA merupakan amanat UUPA bagi peningkatan taraf hidup masyarakat pasca konflik dan bencana tsunami. Kedua, kucuran DOKA yang meningkat secara signifikan seharusnya mampu mengakselerasi pembangunan ekonomi daerah. Ketiga, DOKA diberikan dalam limit waktu terbatas sebagaimana diatur

Page 57: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

45Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

dalam ayat (2) Pasal 183 UUPA, yaitu untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dan berakhir di Tahun 2022, ini berarti Pemerintah Daerah penerima dana otonomi khusus harus bersungguh-sungguh dalam pengelolaannya.

Kajian terdahulu tentang pemanfaatan dana otsus Aceh dilakukan Pradmayanti (2015) meneliti tentang dampak otonomi khusus di Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis dampak dana otonomi khusus, PAD dan belanja modal terhadap kemiskinan. Hasil penelitian menemukan bahwa adanya pemisahan antara belanja yang digunakan untuk belanja publik dan untuk kepentingan aparatur. Peningkatan belanja publik dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di tiga lokasi penelitian tersebut. Cahyono (2016) menggunakan metode kualitatif menemukan bahwa dana otonomi khusus tidak berdampak perbaikan kondisi masyarakat Aceh. Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan sehingga menimbulkan fenomena orang-orang kaya baru. Selanjutnya Suharyo (2016: 323-327) mengkaji efektivitas dana otsus Aceh dari perspektif ilmu hukum. Kajian ini menemukan bahwa lemahnya perhatian terhadap efektivitas Dana Otsus yang belum mampu menurunkan angka kemiskinan, justru tertutupi oleh perseteruan mengenai simbol-simbol bendera, lambang dan Hymne Aceh. Kompak (2018) melakukan evaluasi pemanfaatan Dana Otsus, meggunakan metode kualitatif menemukan bahwa pemanfaatan Dana Otsus dinilai tidak efektif peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh.

Rumusan masalah yang diajukan adalah: Bagaimana kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Aceh dalam kurun waktu implementasi Dana Otsus 2012-2017. Pertanyaan ini diuraikan lebih lanjut dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) Apakah keberadaan DOKA telah mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi? (2) Apakah keberadaan DOKA telah mempercepat penurunan angka kemiskinan? (3) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi angka pengangguran? (4) Apakah keberadaan DOKA telah mengurangi ketimpangan pendapatan antar penduduk? (5) Apakah keberadaan DOKA telah mendorong peningkatan IPM?

Page 58: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

46 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

II. TINJAUAN PUSTAKAKonsep dana otonomi khusus tidak terlepas dari pemahaman

tentang desain kebijakan desentralisasi asimetris. Menurut Pratikno (2010:3) desentralisasi asimetris didasari pertimbangan bahwa suatu negara semestinya memiliki kerangka administrasi yang mampu mengelola segala keragaman lokalnya baik yang tercermin pada variasi latar sosial-budaya, potensi ekonomi, kebutuhan administrasi, hingga yang terekspresikan dalam tuntutan politik tertentu. Meskipun sebagian ilmuwan berpendapat bahwa otonomi sendiri sudah mengandung makna kekhususan, tetapi tingginya tingkat keragaman kondisi lokal jelas tetap memerlukan format pengaturan desentralisasi yang tidak berlandaskan desain kebijakan tunggal (one size fits all) (Pratikno, 2010:3). Sidik et.al (2004) menyatakan dana otonomi khusus diberikan untu membiayai pelaksanaan otonomi khusus dalam bentuk transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah yang memiliki status daerah otonomi khusus.

Dasar pemberian dana otonomi khusus adalah UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua yang selanjutnya dipertegas dalam UU No 1 Tahun 2008 serta diperbaharui dengan UU No 35 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No 21 Tahun 2001 serta sesuai dengan yang tercantum dalam UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau dikenal dengan UUPA. Secara politik, tujuan pemberian dana otsus adalah untuk menjaga keutuhan NKRI, mengingat setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga dengan ditentukannya satu aturan dari Pemerintah Pusat, belum tentu dapat menyelesaikan tuntutan dan keinginan dari semua elemen masyarakat yang berbeda-beda. Secara historis, pemberian otonomi khusus untuk Pemerintah Aceh dan Papua merupakan salah satu alat untuk meredam keinginan memisahkan diri dari NKRI.

Konsep pembangunan ekonomi mengacu pada Todaro dan Smith (2006). Istilah pembangunan diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau Gross National Product (GNI). Keberhasilan proses pembangunan memiliki tujuan: (1) Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan

Page 59: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

47Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan; (2) Peningkatan standar hidup yang tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga peningkatan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil tetapi juga menumbuhkan harga diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan; (3) Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial bagi setiap individu atau bangsa secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghambat dn ketergantungan bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, namun juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Jika pengeluaran Pemerintah diarahkan pada pembangunan ekonomi maka pembangunan kualitas manusia menjadi isu penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mengatasi kemiskinan dan pengangguran, meningkatnya pendapatan perkapita, naiknya IPM diiringi pemerataan pendapatan dan pembangunan antar daerah.

III. METODE PENELITIANKajian ini memperkuat kebijakan berbasis bukti dengan fokus

mengetahui kinerja pembangunan ekonomi dalam kurun waktu implementasi DOKA. Pendekatan kualitatif digunakan dengan menganalisis secara deskriptif data sekunder yang diperoleh dari instansi Pemerintah dan hasil kajian tentang dampak dana otsus terhadap kinerja pembangunan ekonomi di Provinsi Aceh. Analisis deskriptif terhadap data sekunder dan hasil penelitian untuk mengungkap kondisi pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan pendapatan dan peningkatan IPM selama implementasi DOKA. Rumusan implikasi kebijakan diarahkan untuk perbaikan penyelenggaraan DOKA kedepan.

IV. PEMBAHASANA. Pertumbuhan Ekonomi.

Kinerja pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh periode 2012-2017 tergolong rendah. Implementasi DOKA tidak paralel dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi Aceh yang dalam 5 (lima)

Page 60: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

48 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

tahun terakhir (2012-2017) hanya tumbuh rata-rata 2,73 persen, merupakan pertumbuhan terendah nomor dua di wilayah Sumatera, setelah Provinsi Riau dengan rata-rata pertumbuhan 2,44 persen, seperti disajikan pada Tabel 1.Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh dan Provinsi

Lainnya di Pulau Sumatera 2012-2017

No

Prov

insi

2012

2013

2014

2015

2016

2017

*

2017

**

2017

***

Rata

-Rat

a Pr

ovin

si

1 Aceh 3,85 2,61 1,55 -0,72 3,31 3,40 3,75 4,10 2,73

2 Sumatera Utara 6,45 6,07 5,23 5,08 5,18 4,50 5,11 5,21 5,35

3 Sumatera Barat 6,31 6,08 5,86 5,52 5,26 4,99 5,33 5,38 5,59

4 Riau 3,76 2,48 2,70 0,22 2,23 2,83 2,41 2,85 2,44

5 Jambi 7,03 6,84 7,35 4,20 4,37 4,25 4,32 4,76 5,39

6 Kepulauan Riau 7,63 7,21 6,62 6,01 5,03 2,02 1,04 2,41 4,75

7 Sumatra Selatan 6,83 5,31 4,68 4,42 5,03 5,14 5,26 5,56 5,28

8 Bengkulu 6,83 6,07 5,47 5,13 5,30 5,23 5,13 4,83 5,50

9 Lampung 6,40 5,77 5,08 5,13 5,15 5,13 5,03 5,12 5,35

10 Kep. Babel 5.50 5,20 4,68 4,08 4,11 6,40 5,29 3,69 4,87

Rata-Rata Sumatera

6,06 5,36 4,92 3,91 4,50 4,39 4,27 4,39 4,72

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2017Keterangan *Triwulan I, ** Triwulan 2, *** Triwulan 3

Selain itu, meningkatnya DOKA tidak sejalan dengan kemampuan daerah dalam menggali sumber penerimaan daerah. Ini dilihat dari besaran kontribusi Dana Otsus sebesar 59,20 persen dari total penerimaan daerah (Tabel 2). Di sisi lain kontribusi PAD hanya sebesar 14,39 persen, sehingga dapat dikatakan kemandirian fiskal Aceh selama implementasi Otsus tergolong rendah.

Tabel 2. Proporsi Total Pendapatan Aceh 2012 - 2017

Jenis Penerimaan

Proporsi terhadap Total Pendapatan (%) Rata-Rata

2012 2013 2014 2015 2016 2017 (%)Pendapatan Asli Daerah

9,82 12,42 14,92 16,88 16,66 15,90 14,43

Dana Perimbangan

25,71 25,07 21,99 13,37 12,72 26,57 20,90

Page 61: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

49Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Jenis Penerimaan

Proporsi terhadap Total Pendapatan (%) Rata-Rata

2012 2013 2014 2015 2016 2017 (%)Dana Otonomi Khusus

59,65 58,31 58,80 60,42 62,33 55,69 59,20

Lain-Lain Pendapatan Aceh yang Sah

4,82 4,20 4,30 9.32 8,29 2,10 5,50

Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: Laporan keuangan Pemerintah Aceh Tahun 2012-2017 (diolah)

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh dibawah target RPJMD 2012-2017 (Tabel 3), padahal didalam dokumen perencanaan tersebut ditetapkan target pertumbuhan ekonomi diatas 5 persen.Tabel 3. Target dan Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh Tahun

2012-2017Capaian Sasaran

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

RPJMA 2008-2012 2012-2017

Target Pertumbuhan Ekonomi

4,5 4,55,5-6,0

5,5-6,0

5,5-6,0

5,6-6,0

5,8-6,3

6,2-6,7

6,5-6,9

7,0-7,5

Realisasi -5,24 -5,51 2,74 4,84 5,14 2,61 1,55 -0,72 3,31 4,1*

Sumber: RKPA dan RPJMA Tahun 2012-2017

Hasil penelitian yang menemukan bahwa kehadiran DOKA tidak signifikan memicu percepatan pertumbuhan ekonomi Provinsi Aceh adalah penelitian Kompak (2018) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil evaluasi kehadiran DOKA dalam 10 tahun terakhir belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, bahkan pertumbuhan ekonomi Aceh mengalami pelambatan sejak Tahun 2012 disebabkan oleh rendahnya investasi. Selain itu penelitian Safrizal (2019) juga menemukan bahwa implementasi DOKA berdampak pada aspek tata kelola politik tetapi tidak secara signifikan meningkatkan perekonomian Aceh.

Page 62: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

50 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

B. Tingkat Kemiskinan Kondisi kemiskinan di Aceh merupakan fakta yang

memprihatinkan karena Aceh merupakan satu-satunya daerah di Sumatera yang mendapat kucuran Dana Otsus termasuk didalamnya transfer dana tambahan untuk infrastruktur melalui berbagai saluran dana transfer.

Meskipun data statistik menunjukkan angka kemiskinan di Aceh menurun dalam 5 tahhun terakhir, yakni turun dari 19,46 persen di Tahun 2012 menjadi 15,92 di Tahun 2016 (Gambar 2). Namun dalam skala nasional, angka kemiskinan Aceh dan Kabupaten/Kota, lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional.

Sumber: Bappeda Aceh, 2018Gambar 2. Persentase Kemiskinan Aceh Tahun 2012-2017

Kota Banda Aceh merupakan satu-satunya Kota di Aceh yang memiliki angka kemiskinan lebih rendah dari rata-rata nasional, yakni sebesar 7,44 persen. Kabupaten Gayo Lues, Pidie, Aceh Singkil, Bener Meriah dan Pidie Jaya adalah Kabupaten dengan kondisi kemiskinan yang parah mencapai lebih dari 21 persen. Perkembangan tingkat kemiskinan nasional, Aceh dan Kabupaten/Kota disajikan pada Tabel 4.Tabel 4. Perkembangan Angka Kemiskinan di Tingkat Nasional dan Aceh

dan Kabupaten/Kota 2012-2017

Kabupaten/KotaTahun

2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Nasional 11,66 11,47 11,96 11,13 10,70 10,64Aceh 18,58 17,72 16,98 17,11 16,43 16,89Simeulue 21,88 20,57 19,92 20,43 19,93 20,20

Page 63: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

51Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Kabupaten/KotaTahun

2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Aceh Singkil 17,92 18,73 17,77 21,72 21,60 22,11Aceh Selatan 14,81 13,44 12,79 13,24 13,48 14,07Aceh Tenggara 15,64 14,39 13,75 14,91 14,46 14,86Aceh Timur 17,19 16,59 15,88 15,85 15,06 15,25Aceh Tengah 18,78 17,76 16,99 17,51 16,64 16,84Aceh Barat 22,76 23,70 22,97 21,46 20,39 20,28Aceh Besar 17,50 16,83 16,13 15,93 15,55 15,41Pidie 22,12 21,12 20,29 21,18 21,25 21,43Bireuen 18,21 17,65 16,94 16,94 15,95 15,87Aceh Utara 21,89 20,34 19,58 19,20 19,46 19,78Aceh Barat Daya 18,51 18,92 17,99 18,25 18,03 18,31Gayo Lues 22,31 22,33 21,43 21,95 21,86 21,97Aceh Tamiang 16,70 15,13 14,58 14,57 14,51 14,69Nagan Raya 22,27 21,75 20,85 20,13 19,25 19,34Aceh Jaya 18,30 17,53 16,52 15,93 15,01 14,85Bener Meriah 24,50 23,47 22,45 21,55 21,43 21,14Pidie Jaya 22,35 22,70 21,79 21,40 21,19 21,92Kota Banda Aceh 8,65 8,03 7,78 7,72 7,41 7,44Kota Sabang 20,51 19,30 17,02 17,69 17,33 17,66Kota Langsa 13,93 12,62 12,08 11,62 11,09 11,24Kota Lhoksumauwe 13,06 12,47 11,93 12,16 11,98 11,32Kota Subulussalam 22,64 20,69 19,72 20,39 19,57 19,71

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2018

Sesuai Data BPS, Tahun 2016 jumlah penduduk miskin Aceh sebanyak 848,44 jiwa atau 16,73 persen dari total penduduk Aceh. Sebaran jumlah penduduk miskin lebih banyak di wilayah perdesaan (81,2 persen) dibandingkan perkotaan. Demikian pula di tahun 2017, dari total penduduk miskin 872.610, sebanyak 80,2 persesn di perdesaan dan 19,8% di perkotaan (Tabel 5).

Page 64: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

52 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Tabel 5. Jumlah Penduduk Miskin Aceh Berdasarkan Wilayah (Dalam ribu Jiwa) Tahun 2012-2017

Penduduk Miskin 2012 2013 2014 2015 2016 2017*

1 2 3 4 5 6 7Perkotaan 171,8 156,69 161,94 157,57 159,5 172,35Perdesaan 737,24 685,73 719,31 694,01 688,94 700,26Jumlah 909,04 842,42 881,26 851,59 848,44 872,61

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2018*Hingga Maret 2017

Kemiskinan di Aceh telah berada pada tahap yang cukup mengkhawatirkan dilihat dari indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan yang jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional (Tabel 6). Indeks kedalaman kemiskinan digunakan untuk melihat rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan digunakan untuk melihat sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Dalam kurun waktu Tahun 2012- 2017 indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di Aceh lebih tinggi diatas rata-rata nasional. Tabel 6. Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan kemiskinan Aceh

Tahun 2010-2017

Persoalan KemiskinanTahun

2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Indeks kedalaman Kemiskinan Nasional

1,90 1.89 1,75 1,84 1,74 1,79

Indeks Kedalaman Kemiskinan Aceh

3,07 3,2 3,14 3,1 3,06 2,97

Indeks keparahan Kemiskinan Nasional

0,48 0,48 0,44 0,51 0,44 0,46

Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh

0,83 0,83 0,86 0,84 0,87 0,8

Sumber: BPS Aceh, 2018

Selain itu, garis kemiskinan perdesaan di Aceh lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional. Garis kemiskinan adalah batas bawah pengeluaran yang diperlukan seorang untuk hidup miskin, yakni

Page 65: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

53Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

membeli makanan setara 2100 kilo kalori dan membeli keperluan non makanan. Tahun 2017, garis kemiskinan di Aceh sebesar Rp. 442.869 lebih tinggi dari garis kemiskinan nasional sebesar Rp. 370.910 Persentasi kenaikan garis kemiskinan perdesaan juga lebih tinggi di Aceh yaitu sebesar 5,43 persen dibanding nasional yaitu 5,22 persen. Kedua indikator garis kemiskinan tersebut memberikan tekanan hidup bagi penduduk berpendapatan rendah di Aceh, sehingga lebih banyak penduduk hidup dikategorikan penduduk miskin.

Hasil penelitian yang menemukan bahwa DOKA tidak berdampak terhadap penurunan kemiskinan dilakukan oleh Suharyo (2016) yang menyatakan bahwa lemahnya perhatian terhadap efektivitas dana otsus yang belum mampu menurunkan angka kemiskinan. Kompak (2018) juga menemukan bahwa pemanfaatan dana Otsus belum berkontribusi mengatasi kemiskinan di Aceh. Pemanfaatan dana otsus dinilai tidak efektif karena: (1) dana otsus kurang fokus mendanai program/kegiatan yang berdampak besar dan jangka panjang; (2) Rencana Induk Pemanfaatan Dana Otsus 2008-2027 baru disusun Tahun 2015 dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 78 Tahun 2015 sehingga belum efektif menjadi pedoman dalam mengarahkan pemanfaatan dana Otsus melalui berbagai program dan kegiatan yang berdampak luas bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Aceh.

C. Tingkat PengangguranTingkat pengangguran terbuka (TPT) di Aceh Tahun 2015 sebesar

9,93 persen yang merupakan TPT tertinggi di wilayah Sumatera. Namun seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Aceh dalam dua tahun terakhir, TPT juga mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 6,57% pada tahun 2017, menjadikan Aceh sebagai provinsi dengan TPT tertinggi kedua di wilayah Sumatera setelah Provinsi Kepulauan Riau sebesar 7,16 persen. Meskipun demikian, TPT Aceh tetap lebih tinggi dibanding TPT nasional tahun 2017 yang besarnya 5,5 persen. Secara rinci disajikan pada Tabel 7.

Page 66: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

54 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Tabel 7. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi di Wilayah Sumatera, Tahun 2012-2017 (%)

Provinsi 2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Aceh 9,06 10,1 2 9,02 9,93 7,57 6,57Sumatera Utara 6,28 6,45 6,23 6,71 5,84 5,60Sumatera Barat 6,65 7,02 6,50 6,89 5,09 5,58Riau 4,37 5,48 6,56 7,83 7,43 6,22Jambi 3,20 4,76 5,08 4,34 4,00 3,87Sumatera Selatan 5,66 4,84 4.96 6,07 4,31 4,39Bengkulu 3,62 4,61 3,47 4,91 3,30 3,74Lampung 5,20 5,69 4,79 5, 14 4,62 4,33Bangka Belitung 3,43 3,65 5.14 6,29 2,60 3,78Kepulauan Riau 5,08 5,63 6.69 6,20 7,69 7,16Indonesia 6,13 6,17 5,94 6,18 5,61 5,50

Sumber: BPS, 2018

D. Ketimpangan PendapatanTingkat ketimpangan pendapatan penduduk di Aceh mengalami

fluktuasi dengan kecenderungan meningkat (Gambar 3). Tahun 2013 ketimpangan pendapatan turun menjadi 0,305 dari 0,325 di tahun 2012, namun angka ketimpangan kembali tinggi di Tahun 2013 dan 2014 menjadi 0, 233, hanya turun 0,1 menjadi 0,329 di Tahun 2017. Penelusuran terhadap RPJMA 2012-2017, memperlihatkan program pembangunan belum berhasil menacapai target penurunan angka ketimpangan sebesar 0,25 pada tahun 2017.

Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2018Gambar 2. Indeks GINI Ratio Tahun 2012-2017

Page 67: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

55Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

E. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Berbeda dengan indikator pertumbuhan ekonomi, kemiskinan

dan pengangguran, perkembangan IPM Aceh menunjukkan kondisi yang menggembirakan dengan angka sebesar 70,60, atau 0,3 lebih tinggi dari IPM Sumatera Utara (70,57) di Tahun 2017. Namun angka ini masih di bawah angka nasional yaitu 70,81, dapat dilihat pada grafik Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh Tahun 2012 – 2017.

Sumber: BPS, 2018 (data Diolah)Gambar 4. Perbandingan IPM Nasional, Aceh dan Sumatera Utara

IPM Aceh mengalami peningkatan secara teratur dari tahun 2012 (67,81) meningkat menjadi 70,60 pada tahun 2017. IPM yang baik tersebut didukung oleh nilai indikator pendidikan di Aceh yang sudah tinggi sebelum masuknya Dana Otsus Tahun 2008, contohnya Angka harapan lama sekolah (AHLS) dan rata-rata lama sekolah Aceh pada tahun 2017 sudah tinggi (lebih tinggi dari AHLS dan RLS Nasional) dengan nilai masing-masing 12,90 dan 8,208 tahun, masuknya dana otsus berkontribusi pada peningkatan angka dimaksud masing-masing 13,89 dan 8,86 tahun.

Tabel 8. Indeks Pembangunan Manusia Aceh 2012-2017

Kabupaten/KotaTahun

2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Nasional 67,70 68,31 68,90 69,55 70,18 70,81Aceh 67,81 68,30 68,81 69,45 70,00 70,60Simeulue 61,25 61,68 62,18 63,16 63,82 64,41Aceh Singkil 64,23 64,87 65,27 66,05 66,96 67,37

Page 68: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

56 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Kabupaten/KotaTahun

2012 2013 2014 2015 2016 20171 2 3 4 5 6 7

Aceh Selatan 61,69 62,27 62,35 63,28 64,13 65,03Aceh Tenggara 64,99 65,55 65,90 66,77 67,48 68,09Aceh Timur 63,93 63,27 63,57 64,55 65,42 66,32Aceh Tengah 70,18 70,51 70,96 71,51 72,04 72,19Aceh Barat 66,66 66,86 67,31 68,41 69,26 70,20Aceh Besar 70,10 70,61 71,06 71,70 71,75 72,00Pidie 67,30 67,59 67,87 68,68 69,06 69,52Bireuen 67,57 68,23 68,71 69,77 70,21 71,11Aceh Utara 64,82 65,36 65,93 66,85 67,19 67,67Aceh Barat Daya 62,15 62,62 63,08 63,77 64,57 65,09Gayo Lues 62,85 63,22 63,34 63,67 64,26 65,01Aceh Tamiang 65,21 65,56 66,09 67,03 67,41 67,99Nagan Raya 64,91 65,23 65,58 66,73 67,32 67,78Aceh Jaya 66,42 66,92 67,30 67,53 67,70 68,07Bener Meriah 69,14 69,74 70,00 70,62 71,42 71,89Pidie Jaya 68,90 69,26 69,89 70,49 71,13 71,73Kota Banda Aceh 81,30 81,84 82,22 83,25 83,73 83,95Kota Sabang 70,84 71,07 71,50 72,51 73,36 74,10Kota Langsa 72,75 73,40 73,81 74,74 75,41 75,89Kota Lhoksumauwe 73,55 74,13 74,44 75,11 75,78 76,34Kota Subulussalam 59,76 60,11 60,39 61,32 62,18 62,88

Sumber: BPS Aceh, 2018 (Data Diolah)

Berdasarkan peringkat, Aceh menempati peringkat ke-11 dari 34 Provinsi di tahun 2013. Bila diperhatikan IPM per Kabupaten/Kota, IPM Kota Banda Aceh mempunyai nilai yang sangat tinggi sebesar 83,95 disusul dengan Kota Lhokseumawe (76,34) Kota Langsa (75,89). Kabupaten yang paling kecil angka IPM adalah Kota Subulussalam (62,88) yaitu, disusul Kota Simeulue (64,41) dan gayo Lues (65,01), secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Dalam kurun 2012-2015 masa implementasi DOKA terlihat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih tergolong tinggi, juga terjadi ketimpangan pendapatan ditinjau dari Gini Rasio serta

Page 69: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

57Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

IPM yang berada di bawah rata-rata nasional pengimplementasi DOKA. Kondisi ini sejalan dengan penelitian Abrar (2018) yang menyimpulkan bahwa DOKA belum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan peningkatan IPM.

V. PENUTUPKesimpulan yang bisa diambil pada kajian ini adalah, pertama,

kinerja pembangunan ekonomi belum menunjukkan peningkatan yang signifikan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh pada periode implementasi DOKA 2012-2017. DOKA telah diimplementasikan sejak Tahun 2008 hingga saat ini, namun hasil analisis menunjukan implementasi DOKA belum mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, menurunkan pengangguran serta mengurangi ketimpangan pendapatan. Kedua, DOKA telah berperan dalam menurunkan angka kemiskinan, namun angka kemiskinan di Aceh masih tergolong tinggi diatas rata-rata nasional dan tertinggi kedua di wilayah Pulau Sumatera, IPM juga meningkat meskipun masih berada dibawah rata-rata nasional.

Rekomendasi kebijakan bagi Pemerintah dan Pemerintah Aceh untuk perbaikan pengelolaan DOKA mencakup:(1) Kemendagri membentuk Tim untuk melakukan evaluasi

menyeluruh terhadap pengelolaan DOKA mulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan evaluasi.

(2) Kemendagri melakukan evaluasi terhadap formula untuk menentukan besaran alokasi Kabupaten/Kota, mengingat formula yang digunakan saat ini adalah formula untuk menentukan DAU yang berlaku umum dan kurang menjawab isu dan masalah pembangunan yang khas Aceh. Hal ini penting dilakukan mengingat data menunjukan IPM di Kabupaten/Kota berada jauh dibawah rata rata nasional, demikian pula dengan angka kemiskinan yang tergolong tinggi.

(3) Kemendagri membentuk tim pengawasan pengelolaan DOKA yang melibatkan multistakeholder baik dari unsur pemerinntah (Kemendagri, BPK, BPKP dan Inspektorat), unsur akademisi/perguruan tinggi, unsur masyarakat dan LSM yang menjamin pengelolaan DOKA berjalan efektif.

Page 70: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

58 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

(4) Pemerintah Aceh melakukan perbaikan manajemen DOKA, meliputi: • Bappeda mengoordinasikan perencanaan pembangunan

untuk integrasi program dan kegiatan antar Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK).

• Menyusun Master Plan atau Road Map untuk menjamin program dan kegiatan yang didanai DOKA bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.

• Menciptakan transparansi dan akuntabilitas perencanaan dan penganggaran DOKA dengan membangun sistem IT mencakup e-planning, e-budgeting, e-monev dan e-reporting.

• Alokasi anggaran difokuskan di sektor non migas, pertanian dan industri hilir dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap sektor migas dan dana otsus.

• Menyediakan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah dan dana otsus serta membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang melaksanakan fungsi pengawasan internal.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, Muhammad. (2018). Dampak Otonomi Khusus terhadap Kinerja Pembangunan Ekonomi di Provinsi Aceh, Disertasi, Yogyayakarta: UGM

Bappeda, Pusat Pengkajian Keuangan Daerah. (2015). Laporan Hasil Kajian Pelaksanaan Dana Otonomi Khusus Aceh. Banda Aceh: PPKD.

Badan Pusat Statistik. (2017). Kemiskinan, (online), (www.bps.go.id).

Badan Pusat Statistik. (2018). Data PDRB Provinsi Aceh, (online), (www.bps.go.id).

Page 71: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

59Sitti Aminah

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

Badan Pusat Statistik. (2018). IPM, (online), (www.bps.go.id).

Badan Pusat Statistik. (2018). Tingkat Pengangguran Terbuka, (online), (www.bps.go.id).

Badan Pusat Statistik. (2017). Gini Ratio, (online), (www.bps.go.id).

Cahyono, Heru. (2016). Evaluasi Atas Pelaksanaan Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat. E-Jurnal Politik LIPI, E journal. (online), (http://Jurnal politik lipi.go.id).

Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri. (2018). Laporan Alokasi Dana Otsus Aceh, Jakarta: Kemendagri.

Kompak, Ausaid. (2018). Evaluasi Pemanfataan Dana Otsus Aceh. Jakarta: Kompak Ausaid-Indonesia.

Pradmayanti, Ira Z. (2015). Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus, Pendapatan Asli Daerah, dan Belanja Modal terhadap kesejahteraan di Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat, tesis, Yogyakarta: UGM..

Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana minyak dan gas bumi penggunaan dana otonomi khusus.

Qanun Nomor 2 Tahun 2013 tentang perubahan atas Qanun nomor 2 Tahun 2008 tentang tata cara pengalokasian tambahan dana minyak bumi dan gas bumi penggunaan dana otonomi khusus.

Safrizal, ZA. (2019). The Management Model of Aceh’s Special Autonomy Fund. Jurnal Bina Praja Vol 11 (2) (2019), P. 159-170

Sidik M, Djoko H Tjip I, Kadjatmiko A, Pakpahan T, Andriansyah. (2004). Bunga rampai desentralisasi fiscal, Jakarta: Ditjen Bina Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Suharyo. (2016). Otonomi Khusus di Papua dan Aceh Sebagai perwujudan Implementasi Peran Hukum dalam Kesejahteraan masyarakat. Jurnal Rechts Vindin Vol 5 (3). P. 323-327.

Todaro MP. Smith SC. (2006). Pembangunan Ekonomi. Jilid I, Edisi 9, Jakarta: Universitas Airlangga.

Page 72: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kinerja Pembangunan Ekonomi di Era Implementasi Dana Otonomi

60 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang status otonomi khusus Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Page 73: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

61Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

MANFAAT EKONOMI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL KEPULAUAN ANAMBAS MELALUI PENGEMBANGAN MODEL HYBRID

SURPLUS PRODUKSI

Leny Dwihastuty

Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir pada Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Supriyadi

Analis Konservasi dan Rehabilitasi Wilayah Pesisir pada Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan

dan Perikanan

Umi Muawah

Peneliti pada Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan mengetahui manfaat ekonomi dan sosial perikanan karang di KKPN Anambas. Metode dalam penelitian ini adalah metode survei. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai keuntungan maksimum lestari atau pada titik MEY. Sementara untuk manfaat sosial dihitung dengan pendekatan jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan karang. Sumberdaya ikan yang menjadi fokus penelitian adalah 4 (empat) jenis sumberdaya ikan karang yang ditangkap di dalam kawasan yakni ikan kerapu karang, ikan kakap merah, ikan kurisi bali, dan ikan kuwe/manyuk. Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun. Keuntungan (profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun Pada JTB 50% jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan karang sebanyak 1.019 orang, sementara pada JTB MEY jumlah nelayan yang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan karang sebanyak 3.646 orang.

Kata kunci: konservasi; MEY; anambas; JTB

Page 74: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

62 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANSebagian Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas telah

ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) sejak tahun 2014 berdasarkan KEPMEN KP Nomor 37 Tahun 2014 dengan total luasan 1.262.686,2 ha. Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Anambas merupakan sebuah kawasan perlindungan laut yang dikelola berdasarkan prinsip konservasi dengan azas pemanfaatan sumberdaya perikanan terbatas karena diatur dalam beberapa kluster zona yang telah ditetapkan.

Hal mendasar dalam pengelolaan sumber daya ikan (SDI) adalah pemanfaatan sumber daya yang menghasilkan manfaat ekonomi tinggi bagi pengguna, namun kelestariannya tetap terjaga. Pengelolaan SDI mengandung makna ekonomi dan biologi, yang pemanfaatan optimalnya harus mengakomodasi kedua hal tersebut, sehingga pendekatan bionomi harus dipahami oleh pelaku yang terlibat dalam pengelolaan SDI (Fauzi dan Anna, 2005). Kondisi bionomi sumber daya ikan penting untuk dikaji agar kondisi baseline SDI dan keberlanjutan SDI dapat diketahui, sehingga memudahkan upaya pengelolaan berkelanjutan, melalui analisis ini maka dapat dikembangkan manfaat ekonomi dan sosial KKPN Anambas pada Sumberdaya ikan tangkap, khususnya ikan karang yang dengan armada tangkap yang terbatas, akan memudahkan upaya pengelolaan berkelanjutan.

II. METODOLOGIPenelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan terhadap

manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat ekonomi dihitung dari nilai ekonomi dan keuntungan (profit) dari jumlah tangkapan ikan maksimum lestari per tahun. Manfaat sosial dihitung dari jumlah individu nelayan yang menjadi nelayan pancing dari jumlah upaya maksimum yang dapat memanfaatkan biomasa maksimum lestari ikan karang. Konsep spill over yang digunakan adalah kelebihan besaran biomasa ikan dari selisih biomasa maksimum potensial dengan biomasa faktual yang berpeluang dilimpahkan dari kawasan konservasi perairan ke luar kawasan konservasi perairan. Adapun besaran biomasa ikan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 4 jenis sumberdaya ikan karang yaitu ikan Kerapu karang (Ephinephelus

Page 75: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

63Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

fuscoguttatus), ikan Kuwe/Manyuk (Caranx sexfasciatus), ikan Kurisi bali (Pristipomoides filamentosus), ikan Kakap merah (Lutjanus bitaeniatus). Biomasa 4 jenis ikan karang dianalisis dari data biomasa hasil tangkapan ikan karang yang di tangkap oleh nelayan pancing yang melakukan kegiatan penangkapan di subzona perikanan tangkap berkelanjuan KKPN Kepulauan Anambas.

Penelitan ini dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2019 di KKPN Kepulauan Anambas di subzona perikanan tangkap berkelanjutan KKPN Nelayan pancing yang menjadi objek peneltian dipilih dari beberapa kecamatan yang tersebar di Kepulauan Anambas. Dari 7 kecamatan yang menjadi lokasi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan karang yang tersebar di Kepulauan Anambas, dipilih 3 kecamatan sebagai lokasi pengamatan yakni Kecamatan Siantan, Kecamatan Siantan Timur, dan Kecamatan Jemaja. Responden nelayan yang menjadi objek penelitian yang berasal dari 4 desa/kelurahan, yakni Tarempa, Batu Belah, Nyamuk, dan Letung yang secara proposional mewaikili masyarakat nelayan pancing di 3 kecamatan tersebut. Data hasil tangkapan tahunan dan upaya penangkapan tahun dikumpulkan dari data sekunder Dinas Perikanan, Pertanian dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas.

A. Model Walter – Hilborn (1976)Untuk mendapatkan nilai koefisien penangkapan atau

catchibility (q) digunakan Model Walter – Hilborn (1976), yakni :

..................................................................(1)

Persamaan (1) merupakan persamaan Regresi Linier Berganda antara sebagai Y dengan sebagai X1 dan sebagai X2

(Pasisingi, 2011), atau dapat ditulis :

Y = a – bX1 – CX2 ..........................................................................................(2)

Persamaan (2) adalah Regresi Linier Berganda dengan : a = r , b = r/kq, c = q

keterangan :Ut+1 : CPUE tahun ke- t+1 (ton per unit)Ut : CPUE tahun ke t (ton per unit)

Page 76: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

64 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Et : Upaya penangkapan tahun ke-t (unit)r : Koefisien pertumbuhanK : Koefisien daya dukungq : Koefisien penangkapan atau catchibility (per unit)

B. Model Hibrid Surplus Produksi Kawasan Konservasi PerairanModifikasi Model Surplus Produksi KKP dari Model Surplus

Produksi Schaefer seperti yang dikembangkan pula oleh Hayani-Fauzi 2010 adalah dengan menyisakan besaran produksi biomasa ikan berupa perkalian antara koefisien spill over (ε) dengan biomasa aslinya (X). Secara sederhana Model Surplus Produksi GWA menjelaskan bahwa upaya penangkapan terhadap biomasa ikan sebagai hasil dari laju pertumbuhan populasi masih menyisakan (surplus) sebesar εX karena upaya penangkapan masih berada di bawah upaya penangkapan maksimumnya. Artinya, data hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (E) yang dianalisis adalah biomasa total yang masih menyisakan biomasa sebesar εX akibat upaya penangkapan yang berada dibawah upaya penangkapan maksimumnya yang mengikuti aturan penangkapan ikan berkelanjutan di dalam kawasan konservasi perairan setelah adanya penetapan kawasan konservasi perairan.

C. Model Hibrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Model Gordon-Schaefer disusun dari model fungsi produksi

biologis dari Schaefer, biaya penangkapan, dan harga ikan. Model ini dinyatakan sebagai fungsi dari upaya penangkapan.

D. Analisis Sosial

Analisis sosial ekonomi Perhitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu (Gulland, 1983), dengan formulasi: CPUE = Catch/ Effort, dimana: CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip), Catch = hasil tangkapan (kg), effort= upaya penangkapan (trip). Peramalan manfaat ekonomi dihitung langsung dari nilai tangkapan per upaya dengan harganya, seperti yang dijelaskan oleh Bene dan Tewfik (2000) : RPUE = CPUEj

Page 77: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

65Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

III. PEMBAHASANA. Model Surplus Produksi (MPS)

Model MPS dibangun dengan asumsi bahwa sumberdaya ikan berada pada ‘steady state or equilibrium condition’ dan ‘constant catchability’ (Gulland, J. A. 1983). Berikut tabel dan grafik jumlah analisis data skunder berupa data jumlah tangkapan tahunan untuk 4 (empat) jenis ikan karang dengan jumlah total unit perahu yang beroperasi di KKPN Anambas setiap tahunnya.

ikan kerapu karang ikan kakap merah

ikan kue/manyukikan kurisi bali

Gambar 1. Jumlah tangkapan tahunan untuk 4 (empat) jenis ikan karang dengan jumlah total unit perahu yang beroperasi di kkpn anambas setiap tahunnya (sumber: data primer diolah,2019)

B. Model ScheferProsedur pendugaan MSY optimal dalam kawasan konservasi

perairan nasional Anambas dilakukan melalui model Schaefer. Data yang digunakan berupa data hasil tangkapan dan upaya tangkapan pada tahun 2015-2018 (setelah penetapan KKPN Anambas). Menurut model tersebut hubungan antara CPUE (c/f) dengan total

Page 78: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

66 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

effort mengikuti persamaan regresi : Y = A – b X , dimana: Y = C/f, dan X = f. Menurut model Schaefer:C/f =a – bf C = af - bf 2 . Pada titik effort maksimum (Fmax), maka hasil tangkapan akan menjadi Nol. C = af – bf 2 = 0; Jika demikian pada titik tersebut a = bf; atau f = a/b. Pada Catch maksimum (MSY), maka tingkat effort (Fopt) berada pada setengah tingkat effort maksimum (1/2 . a/b = a/2b).

Ikan Kurisi Bali Ikan Kuwe/Manyuk

Ikan Kerapu Karang Ikan Kakap Merah

Gambar 2. Pendugaan MSY optimal dalam KKPN Anambas melalui model Schaefer ( sumber: data sekunder diolah, 2019)

C. Model Walter HirbornBerdasarkan indikator statistik yang paling memuaskan

diperoleh model WH. Nilai Pendugaan Parameter Regresi dari Model WH ini diperoleh hasil untuk ikan Kerapu Karang adalah a= 26,1974, b1 = 13,5050, b2 = 0,0072.

Page 79: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

67Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

D. Model Hybrid Surplus Produksi Kawasan Konservasi PerairanModel Hibrid Surplus Produksi dengan memasukkan nilai

koefisien spill over (ε) menggunakan data hasil tangkapan dan data upaya penangkapan dari tahun 2015 sampai dengan 2018 (setelah penetapan KKPN Anambas). Dalam grafik parabolic tersebut dapat dilihat grafik Model Schaefer tanpa ada komponen koefisien spill over (factual) dan grafik Model Schaefer dengan komponen koefisien spill over (potensial).

Ikan Kursi BaliIkan Kue/manyuk

Ikan Kakap MerahIkan Kerapu Karang

Gambar 3. Pendugaan MSY Hybrid terhadap MSY Aktual 4 jenis ikan karang di KKPN anambas ( sumber: data primer diolah, 2019)

E. Model Hybrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi PerairanModel Hybrid Bio-ekonomi Kawasan Konservasi Perairan

Setelah Penetapan menggunakan Model hibrid Surplus Produksi dan

Page 80: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

68 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

mengadopsi Model Bio-Ekonomi Gordon Schaefer. Perbedaannya adalah parameter a dan parameter b dalam Model Surplus Produksi sudah mengalami substitusi (hybrid). Selanjutnya perhitungan nilai Total Revenue (TR) dalam model ini adalah dengan memasukkan variable harga, dan untuk nilai Total Cost (TC) dengan memasukkan variable biaya. Tabel 1. Nilai MSY Hybrid, MEY, Nilai Ekonomi, Profit, Nilai Ekonomi

Ideal, dan Nilai Ekonomi Potensial

Jenis Ikan

MSY Hybrid (ton/

tahun)

MEY (ton/

tahun)Nilai Ekonomi Profit

NILAI EKONOMI

IDEAL

NILAI EKONOMI

POTENSIAL

Kerapu Karang

1,762.38 1,761.98 38,247,299.86 37,119,599.86 19,123,649.93 19,123,649.93

Kakap Merah

1,025.13 1,024.99 50,110,736.11 48,956,576.11 25,055,368.06 25,055,368.06

Kurisi Bali

1,329.67 1,329.57 35,712,250.20 34,331,290.20 17,856,125.10 17,856,125.10

Manyuk/Kue

3,867.73 3,867.70 177,411,399.00 176,386,389.00 88,705,699.50 88,705,699.50

Sumber : data primer diolah,2019

Nilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun dengan rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang, 50.110.736.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 35.712.250.200 rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 177.411.399.000 rupiah per tahun untuk ikan kuwe/manyuk. Sementara nilai keuntungan (profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun dengan rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang, 48.956.576.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 34.331.290.200 rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 176.386.389.000 rupiah per tahun untuk ikan kuwe/manyuk.

IV. PENUTUPNilai ekonomi keempat jenis ikan karang yang dikaji dalam

penelitian ini sebesar 301.481.685.170 rupiah per tahun dengan rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang, 50.110.736.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 35.712.250.200

Page 81: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

69Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 177.411.399.000 rupiah per tahun untuk ikan kuwe/manyuk. Sementara nilai keuntungan (profit) maksimum keempat jenis ikan karang yang dianalisis dalam penelitian ini sebesar 296.793.855.170 rupiah per tahun dengan rincian 38.247.299.860 rupiah per tahun untuk ikan kerapu karang, 48.956.576.110 rupiah untuk ikan kakap merah, 34.331.290.200 rupiah per tahun untuk ikan kurisi bali, dan 176.386.389.000 rupiah per tahun untuk ikan kuwe/manyuk.

Kegiatan perikanan tangkap harus dikelola semaksimal mungkin untuk membatasi dampak pada ekosistem sehingga mendorong upaya penangkapan yang lebih selektif. Untuk mencapai penangkapan yang lebih selektif, manajemen perikanan perlu memakai satu atu lebih dari 6 “S” strategi selektif, yakni species (jenis ikan), stock (stok ikan), size (ukuran ikan) sex (jenis kelamin ikan), seasons (musim penangkapan ikan), dan space (lokasi penangkapan ikan). Namun demikian, Zhou et al. (2010) berargumentasi bahwa seleksi 6 “S” akan memperburuk daripada mengurangi dampak penangkapan pada ekosistem laut, dan justru berdampak negative pada kapasitas produksi dari system tersebut untuk melestarikan hasil tangkapan. Hutubessy et al. (2016) menyatakan bahwa semakin besar ikan yang menjadi target penangkapan, semakin besar upaya kita untuk merusak populasi ikan dengan hanya meninggalkan ikan yang berukuran kecil di perairan. Penurunan kapasitas produksi salah satu indikasi terjadinya overfishing.

Tangkap lebih atau overfishing vertebrata dan ikan berukuran besar telah diketahui berakibat pada masalah lingkungan dan sosio-ekonomi dalam perairan yang sesungguhnya dengan mengurangi biodiversitas dan modifikasi fungsi ekosistem (Worm et al., 2009). Laju mortalitas penangkapan pada ikan yang tertangkap harus lebih rendah daripada produktivitas yang ada agar dapat dipastikan bahwa penangkapan ikan akan lestari secara ekologi (Hutubessy et al., 2016).

Page 82: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

70 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DAFTAR PUSTAKA

Boer, M. dan K. A. Aziz. (2007). Rancangan Pengambilan Contoh Upaya Tangkap dan Hasil Tangkap untuk Pengkajian Stok Ikan. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Jilid 14, Nomor I: 67-71.

BPS Kabupaten Kepulauan Anambas. (2012). Kepulauan Anambas Dalam Angka Tahun 2011. Anambas: Badan Pusat Statistik Kabupaten Kepulauan Anambas dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas.

Cohen, P. J., Simon, J. F. (2013). Sustaining small-scale fisheries with periodically harvested marine reserves. Marine Policy, 37, 278–287.

Dahuri, R. (2003). Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia. Jakarta.

Dahuri, R. (2008). 14 Jurus Membangun Perikanan Tangkap di Indonesia. Majalah Samudra, Edisi 59. Jakarta.

Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas. (2016). Data dan Informasi Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2015, Anambas: Pemerintah Kabupaten Anambas.

Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas. (2017). Data dan Informasi Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2016, Anambas: Pemerintah Kabupaten Anambas.

Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas. (2018). Data dan Informasi Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2017, Anambas: Pemerintah Kabupaten Anambas.

Dinas Perikanan, Pertanian, dan Pangan Kabupaten Kepulauan Anambas. (2019). Data dan Informasi Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Anambas Tahun 2018, Anambas: Pemerintah Kabupaten Anambas.

Page 83: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

71Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Fauzi, A. (2002). A Note Surplus Production Model. Bogor: IPB Darmaga.

Fauzi, A., and Suzy Anna. (2002). Natural Resource Accounting Melalui Penilaian Depresiasi: Aplikasi Pada Sumberdaya Perikanan (Natural Resource Accounting through Resource Depreciation Analysis: An Application forFisheries Resources). Paper, disampaikan pada Seminar Nasional Resource Accounting. Kerjasama Universitas Gadjah Mada dan CEPI Canada. Jogjakarta, 20-21 September.

Fauzi, A dan Suzy Anna. (2005). An Optimization Model of Marine Protected Area and its Social Impacts on Fishing Communities of Seribu Island, Indonesia. Paper, presented at the First International Marine Protected Areas Congress (IMPAC 1). Geelong, Australia. October 23 until 28 th.

Georgina M. Tinungki, Mennofatria Boer, Daniel R. Monintja, Johanes Widodo dan Akhmad

Fauzi. (2004). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Jilid 11, Nomor 2: 135-138.

Gulland, J.A. (1969). Manual of methods for fish stock assessment. Part 1. Fish population analysis. FAO Manual Fisheries Science.

Gulland, J. A. (1983). Fish Stock Assessment: A Manual of Basic Methods. Singapore: John Wiley and sons.

Haryani, E.B.S., (2010). Pemodelan Hybrid Bioekonomi untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Laut di Pulau Pulau Kecil. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 98-175.

Haryani, E.B.S., A. Fauzi, D.R. Monintja. (2009). Analisis Bionomi Ikan Karang di Perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Buletin PSP, Vol. XVIII, No. 3, Desember 2009.

Hilborn, R. dan C. J. Walters. (1992). Quantitative Fisheries Stock Assesment, Choice, Dynamics and Uncertainty. New York: Chapman and Hall..

Hutubessy, B.G., J.W. Mosse, G.V. Limmon. (2016). Implementasi Pengelolaan Perikanan Karang dengan Pendekatan Ekosistem pada Program Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku. Jurnal Amanisal PSP FPIK Unpatti-Ambon, Vol. 5 No. 1.

Page 84: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

72 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Ikawati, Y. Dkk. (2001). Terumbu Karang di Indonesia. Jakarta: Mapiptek.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya di Provinsi Kepulauan Riau.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas dan Laut Sekitarnya 2014-2023.

King. (1996). Introduction to Fisheries Biology and Stock Assessment. London: Fishing News.

Kunarso, (2008). Terumbu Karang dalam Masalah dan Terancam Bahaya. Jurnal Bahari Jogja, 8 (13).

Loka KKPN Pekanbaru. (2018). Laporan Monitoring Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Wisata Perairan Kepulauan Anambas. Pekanbaru: Loka KKPN.

McClanahan T.R. dan Mangi S. (2000). Spillover of Exploitable Fishes from A Marine Park and Its Effect on The Adjacent Fishery. Ecological Application, 10 (6): 1792-1805.

Muchtar, A.S., B. Sadarun, dan R.D. Siang. (2014). Analisis Manfaat Upaya Penangkapan Ikan Karang di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Bisnis Perikanan, 1 (1): 63-74.

Myers, R. A., & Worm, B. (2003). Rapid worldwide depletion of predatory fish communities. Nature, 15, 280- 283.

Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Page 85: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

73Leny Dwihastuty, Supriyadi dan Umi Muawah

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

Pasisingi, N. (2011). Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus) di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pauly, D. (1984). Fish Population Dynamics in Tropical Waters: A Manual For Use With Programmable Calculators. Manila. ICLARM Studies and Review 8: 325.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan.

Pusriskel BRSDMKP. (2019). Data suhu rata-rata Perairan Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau Bulan Mei, Juni, dan Juli 2019 dari Analisis Foto Citra Satelit tanggal 20 Agustus 2019.

Saraj, B.S., Yachkaschi, A., Oladi, D., F. Teimouri, Latifi, H. (2009). The Recreational Valuation of A Natural Forest Park Using Travel Cost Method in Iran. Journal of iForest: Biogeosciences and Forestry, 2: pp. 85-92.

Schaefer, M. B. (1954). Some Aspects of Dynamics of Populations Important to the Management of the Commercial Marine Fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna Comm I: 27-56

Schaefer, M. B. (1957). A Study of the Dynamics of the Fishery for Yellofin Tuna in the Eastern Tropical Pasific Ocean. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna Comm., 2: 247-248. Spare, P. dan S. C.

Sparre, P. dan S.C. Venema. (1999). Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku-I Manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pertanian dan Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Supriyadi. (2008). Dampak Perikanan Payang terhadap Kelestarian Stok Ikan Teri Nasi (Stolephorus spp.) di Perairan Kabupaten Cirebon dan Alternatif Pengelolaannya. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Supriyadi dan W. Andrito. (2019). Panduan Teknis Pengkajian Stok Ikan Tropis dan Aplikasi FISAT II. Kediri: FAM Publishing.

Page 86: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Manfaat Ekonomi Kawasan Konservasi Perairan Nasional

74 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Susanto, H. (2006). Biologi Reproduksi Ikan Tunisi (Pristipomoides filamentosus, Valenciennes 1830) di Perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Venema. (1992). Introduction to Tropical Fish Stock Assessment Part I. FAO DANIDA. 376p.

Walpole, R. E. (1992). Pengantar Statistika (diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). Edisi ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Widodo, J. (1986). Surplus Production Models and Analysis of Exploited Population in Fisheries. A Serial Seminars Published by Oceana XI(3): 119-130.

Widodo, J. (1987). Modified Surplus Production Methods of Gulland (1961), and Schnute (1977). A Serial Seminars Published by Oceana XII(2):119-130.

Zhou, S., Anthony A., Smith DM, Punt AE, Richardson AJ, Gibbs M, Fulton EA, Pascoe S, Bulman C, Bayliss P and Sainsbury K. (2010). Ecosystem-based Fisheries Management Requires A Change to The Selective Fishing Philosophy. PNAS, Vol 107 No. 21: 9485-9489.

Page 87: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

75Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

PENERAPAN ACCRUAL BASE ACCOUNTING UNTUK PENINGKATAN KUALITAS LAPORAN KEUANGAN

PEMERINTAH PROVINSI BANTEN

Venti Eka Satya

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,[email protected]

ABSTRAKAkuntansi berbasis akrual (accrual base accounting) merupakan international best practice dalam pengelolaan keuangan negara karena bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait biaya jasa layanan, efisiensi, dan pencapaian tujuan. Sampai tahun 2015 Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh opini WTP, bahkan pada tahun 2011-2013 dan 2015 memperoleh opini TMP dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP setelah diterapkannya akuntansi berbasis akrual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di Pemerintah Provinsi Banten dilihat dari perspektif Komitmen Pimpinan, Regulasi, SDM, serta Teknologi. Selain itu juga ingin mengetahui dampak penerapan sistem akuntansi berbasis akrual terhadap kualitas laporan keuangan instansi serta kendala dan permasalahan yang dihadapi. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh yang diperoleh melalui observasi langsung, wawancara, maupun dokumentasi. Hal utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini adalah komitment pemimpin, regulasi, teknologi informasi dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di pemprov Banten. Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem akuntnasi berbasis akrual ini adalah kurangnya kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten terutama di bidang akuntansi disamping belum terintegrasinya sistem aplikasi yang digunakan serta sistem pengelolaan aset yang selama ini tidak dikelola dan dicatat sesuai dengan kebutuhan.

Kata kunci: akuntasi berbasis akrual; akuntansi berbasis kas; keuangan negara; akuntansi pemerintahan.

Page 88: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

76 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANPenerapan akuntansi berbasis akrual pada sistem akuntansi

pemerintahan merupakan salah satu tindak lanjut dari penerapan New Public Management (NPM). Menurut Mulyana (2017), reformasi dalam sistem pengelolaan keuangan daerah telah di indonesia telah dilakukan sejak tahun 2005, hal ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang ditindaklanjuti dengan pentapan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pelaporan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel, maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP), yang diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa dalam rentang waktu 2010 sampai 2015 seluruh elemen dalam sistem pemerintahan pusat dan daerah harus mampu mempersiapkan diri untuk menerapkan sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual.

Berdasarkan hasil audit BPK, sampai tahun 2015 Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Banten belum pernah memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), bahkan pada tahun 2011-2013 dan 2015 memperoleh opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) dari BPK, dan baru pada tahun 2016 memperoleh opini WTP setelah diterapkannya accrual base accounting. Untuk itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana provinsi menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual pada instansinya. Selain itu peneliti juga ingin mengatahui dampak penerapan sistem akuntansi berbasis akrual terhadap kualitas laporan keuangan instansi serta kendala dan permasalahan yang dihadapi.

II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam PP Nomor 71 Tahun 2010, dinyatakan bahwa laporan

keuangan yang dihasilkan dari penerapan SAP berbasis akrual dimaksudkan untuk memberi manfaat lebih baik bagi para pemangku kepentingan, baik para pengguna maupun pemeriksa laporan keuangan pemerintah, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip akuntansi

Page 89: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

77Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

yaitu bahwa biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Laporan keuangan yang disajikan haruslah memenuhi Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan: Akuntabilitas, Manajemen, Transparansi, Keseimbangan Antar generasi (intergenerational equity) serta Evaluasi Kinerja.

A. Basis Akuntansi PemerintahanBasis akuntansi yang pernah digunakan di pemerintahan

Indonesia yaitu basis kas, basis kas menuju akrual dan basis akrual. Basis kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Basis kas menuju akrual merupakan basis akuntansi yang mengakui pendapatan, belanja dan pembiayaan berbasis kas serta mengakui aset, utang dan ekuitas dana berbasis akrual. Sedangkan basis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014:1) menyatakan Akuntansi berbasis akrual merupakan international best practice dalam pengelolaan keuangan negara. Salah satu hasil studi International Federation of Accounting (IFAC) Public Sector Commitee (2002) menyatakan bahwa pelaporan berbasis akrual bermanfaat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah terkait biaya jasa layanan, efisiensi, dan pencapaian tujuan. Dengan pelaporan berbasis akrual, posisi keuangan pemerintah daerah dan perubahannya serta bagaimana pemerintah daerah mendanai kegiatannya dapat diidentifikan dan diukur secara tepat. Selain itu, dengan akuntansi berbasis akrual pemerintah daerah dapat mengidentifikasi kesempatan dalam menggunakan sumber daya masa depan dan mewujudkan pengelolaan yang baik atas sumber daya tersebut.

Page 90: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

78 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

B. Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Akuntansi Berbasis AkrualMenurut International Federation of Accountants (IFAC) (2003)

terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penerapan basis akrual pada akuntansi pemerintahan. Kelebihannya antara lain: 1. Memberikan gambaran bagaimana pemerintahan membiayai

aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan pendanaannya; 2. Memungkinkan pengguna laporan keuangan untuk mengevaluasi

kemampuan pemerintah saat ini untuk membiayai aktivitasnya dan untuk memenuhi segala kewajiban dan komitmen-komitmen yang ada;

3. Menunjukkan posisi keuangan pemerintah dan perubahan posisi keuangannya;

4. Menyediakan ruang bagi pemerintah untuk menunjukkan keberhasilan pengelolaan sumber daya yang dikelolanya; dan

5. Memberikan manfaat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah.

Adapun kekurangan dalam penerapan basis akrual, antara lain:1. Biaya yang cukup besar yang harus disiapkan untuk menangani

biaya untuk penilaian aset, penyiapan kebijakan akuntansi, pembangunan sistem akuntansi, serta penyiapan sumber daya manusia yang memadai dan mumpuni;

2. Basis akrual pada dasarnya didesain untuk mengukur laba sehingga kurang memberikan arti pada sektor publik atau pemerintahan;

3. Basis akrual lebih kompleks dibandingkan dengan basis kas sehingga ada kemungkinan parlemen kurang memberikan perhatian dalam penelaahan sehingga mengurangi akuntabilitas laporan keuangan;

4. Memerlukan ruang yang lebih luas dalam hal pertimbangan profesioanal (profetional judgement) baik oleh penyedian laporan keuangan (entitas pelaporan/entitas akuntansi) maupun auditor pemerintah.

III. METODOLOGIJenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif

dengan pendekatan kualitatif dikarenakan dalam penelitian ini,

Page 91: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

79Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

peneliti bertujuan untuk menginterpretasi pemerintah daerah menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual dan apa saja kendala serta permasalahan yang dalam penerapan standar akuntansi pemerintahan baru yaitu standar akuntansi pemerintahan berbasis akrual.

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer. Data diperoleh langsung dari objek penelitian yaitu pemerintah daerah Provinsi Banten tertutama bagian akuntansi dan pelaporan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), yang memerlukan pengolahan lebih lanjut oleh peneliti. Data ini diperoleh melalui observasi langsung, wawancara, maupun dokumentasi.

IV. PEMBAHASANBerdasarkan informasi dari BPKAD provinsi Banten, pemerintah

Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual dalam laporan keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Sistem pelaporan keuangan berbasis akrual ini mengharuskan pemerintah untuk meninggalkan pola pelaporan yang lama dan menyesuaikan dengan pola baru tersebut.

Dengan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini, penyesuaian serta pemahaman sistem perlu dilakukan agar aturan yang tertuang dalam sistem tersebut bisa diimplementasikan dengan baik. Menyadari hal itu, Pemprov Banten terus melakukan upaya perbaikan serta peningkatan kualitas, baik dari SDMmaupun sisi lainnya seperti perangkat atau fasilitas penunjang seperti sistem informasinya. Dalam rangka penerapan akuntansi berbasis akrual Pemprov Banten terus diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Hal-hal yang paling berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini adalah komitmen pimpinan, teknologi informasi, sumber daya manusia serta regulasi.

A. Komitmen PimpinanPimpinan daerah terutama Gubernur Banten sangat mendukung

penerapan SAP berbasis akrual akan mampu menciptakan sistem pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel serta mampu memenuhi unsur-unsur kewajaran dan kecukupan. Pimpinan daerah menunjukkan komitmennya dalam penerapan

Page 92: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

80 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

SAP berbasis akrual dengan mempersiapkan kelembagaan, regulasi serta sarana dan prasarana untuk membantu penerapan sistem ini.

Penataan lembaga dilakukan melalui penataan struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) terkait tugas dan fungsi akuntansi pada SKPD dan PPKD. Regulasi Pemda yang terkait juga disesuaikan dengan SAP yang baru. Gubernur juga memahami bahwa upaya implementasi SAP ini membutuhkan komitmen dari segenap aparatur pemda, untuk itu Pemprov juga telah melakukan upaya sosialisasi sistem ini kepada para kepala SKPD di provinsi Banten dan mendorong untuk memberikan pelatihan kepada tenaga akuntansi yang menangani pengelolaan keuangan daerah untuk meningkatkan kompetensinya.

B. RegulasiSejak tahun 2013 Pemprov Banten telah menyusun draft

kebijakan akuntansi yang akhirnya diterbitkan menjadi Peraturan Gubernur nomor 18 tahun 2014 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Gubernur Banten nomor 68 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Pergub nomor 18 tahun 2014 dan Pergub nomor 19 tahun 2014 tentang Sistem dan Prosedur Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten sebagaimana telah diganti dengan Pergub nomor 51 tahun 2015 tentang Sistem dan Prosedur Akuntansi Pemerintah Provinsi Banten (Pergub 51/2015).

Dalam Pergub 51/2015 tersebut diatur mengenai sistem dan prosedur (Sisdur) akuntansi yang harus diterapkan. Sisdur ini melingkupi kerangka konseptual, penyajian laporan keuangan, laporan realisasi anggaran, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, catatan atas laporan keuangan serta keterangan mengenai akun-akun yang digunakan dalam sistem akuntansi pemprov Banten. Pada BPKAD pemprov Banten juga dilakukan perubahan struktur organisasi. Sejak tahun 2017, Pendapatan tidak lagi dikelola oleh BPKAD akan tetapi oleh Adan Pendapatan Daerah sedangkan Aset dan Keuangan tetap dikelola oleh BPKAD.

C. Sumber Daya ManusiaBanyak pihak-pihak yang terkait dengan implementasi

akuntansi berbasis akrual, diantaranya adalah bendahara pada

Page 93: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

81Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

OPD, baik bendahara penerimaan maupun bendahara pengeluaran, termasuk bendahara pengeluaran pembantu. Untuk itu para bendahara diberikan bimbingan teknis akuntansi berbabasis akrual. Melalui pelatihan-pelatihan teknis akuntansi yang dilakukan baik on the job training maupun off the job training diharapkan dapat memberikan penyegaran kembali mengenai pemahaman akuntansi berbasis akrual, pemahaman kebijakan akuntansi, serta pemahaman sistem dan prosedur akuntansi Pemerintah Provinsi Banten di unit akuntansi OPD yang ada di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten.

Salah satu upaya perbaikan SDM dilakukan dengan peningkatan kompetensi SDM melalui penyelenggaraan Bimbingan Teknis Pelaksanaan Akuntansi. Dengan adanya kegiatan tersebut diharapkan pemahaman dan kemampuan pegawai dapat meningkat serta efektif untuk diterapkan dalam pelaksanaan pekerjaan sesuai tugasnya di OPD masing-masing.

D. Teknologi Informasi Untuk optimalisasi penggunaan sistem akuntansi berbasis akrual

ini perlu didukung oleh sistem aplikasi yang berbasis komputer agar proses pelaksanaannya lebih mudah dan cepat. Sejak tahun anggaran 2012 pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem aplikasi pengelolaan keuangan yang terintegrasi mulai dari penganggaran, penatausahaan sampai pada pelaporannya (termasuk didalamnya proses akuntansi), yaitu menggunakan Sistem Aplikasi Manajemen Daerah (SIMDA) Keuangan yang dibangun dan dikembangkan oleh BPKP.

Untuk membangun dan mengembangkan sistem aplikasi akuntansi berbasis komputer, pemerintah provinsi Banten melibatkan akademisi, BPK dan BPKP. Akan tetapi penerapan sistem informasi akuntansi SIMDA belum dapat diterapkan secara penuh dalam sistem akuntansi pemprov Banten, sebagian proses akuntansi masih dilakukan secara manual. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemahaman dan pengetahuan SDM terhadap sistem informasi ini serta keterbatasan data dan belum terintegrasipenuhnya sistem tersebut.

SIMDA merupakan sistem pengelola keuangan daerah berbasis teknologi inforamasi server-client yang terdiri dari 26 aplikasi terpisah yang dapat didistribusikan di setiap SKPD dengan sistem

Page 94: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

82 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

database terintegrasi, sehingga outputnya dapat dipergunakan oleh pimpinan daerah untuk membantu proses pengambilan keputusan. Di sisi lain pihak legislatif dapat menggunakannya untuk melakukan monitoring terhadap kinerja pemerintah daerah. SIMDA merupakan salah satu upaya dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi secara cepat, tepat, lengkap, akurat, dan terpadu, untuk menunjang proses administrasi pemerintahan, pelayanan masyarakat, dan memfasilitasi partisipasi dan dialog publik dalam perumusan kebijakan.

Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah yang dikembangkan oleh Badan BPKP dan dikenal dengan Aplikasi SIMDA merupakan salah satu produk dari teknologi sistem informasi yang digunakan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia dalam menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerahnya. SIMDA merupakan aplikasi database yang bertujuan untuk mempermudah pengelolaan keuangan daerah di lingkungan SKPD. Aplikasi SIMDA dikembangkan dengan memperhatikan dan mengimplementasikan SPIP. Oleh sebab itu pengendalian terhadap aplikasi menjadi suatu keharusan untuk menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Aplikasi SIMDA untuk menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Adapun Output yang dihasilkan dari SIMDA Keuangan adalah: a) Penganggaran, terdiri dari: Rencana Kerja Anggaran (RKA); Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) dan Surat Penyediaan Dana (SPD); b) Penatausahaan, terdiri dari: Surat Permintaan Pembayaran (SPP); Surat Perintah Membayar (SPM); Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D); Surat Tanda Setoran (STS); Register; dan Surat pengendalian lainnya; c) Akuntansi dan Pelaporan, terdiri dari: Jurnal; Buku besar; Buku pembantu; Laporan realisasi anggaran; Laporan arus kas; dan Neraca.

Penerapan program Aplikasi SIMDA Keuangan didukung dengan: Buku manual sistem dan prosedur penganggaran; Buku manual sistem dan prosedur penatausahaan; Buku manual sistem dan prosedur akuntansi dan pelaporan; dan Buku pedoman pengoperasian aplikasi SIMDA Keuangan. Fungsi utama pengimplementasian SIMDA Keuangan adalah: Membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah (penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban);

Page 95: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

83Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

Menyusun laporan keuangan lebih efisien dan akurat; Menyimpan data keuangan untuk keperluan manajemen lainnya; Menyajikan informasi yang akurat secara efektif dan efisien yang akan digunakan oleh pengguna laporan; dan Mempermudah proses audit bagi Auditor dengan merubah tata cara audit manual menjadi Electronic Data Processing (EDP) audit.

E. Kendala Penerapan SAP berbasis Akrual di Pemerintah Provinsi BantenYang menjadi kendala terbesar dalam penerapan SAP berbasis

Akrual di Pemprov Banten adalah kurangnya kualitas dan kuantitas SDM. SDM dilingkungan pemprov khususnya yang melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan akuntansi, kebanyakan bukan lulusan akuntansi dan tidak paham mengenai akuntansi. Sehingga ketika SAP berbasis Akrual diterapkan sangat sulit bagi mereka untuk memahaminya apalagi melaksanakan tugas-tugas terkait pencatatan transaksi, penyiapan dokumen maupun penyusunan laporan keuangan.

Kesulitan dalam menginventarisir aset juga menjadi kendala yang cukup serius dalam pelaksanaan sistem akuntansi ini. Hal ini karena selama penggunaan sistem akuntansi berbasis kas, pencatatan aset tersebut tidak dilakukan dengan tertib. Banyak hal tentang aset yang tidak terdokumentasi dengan baik seperti harga perolehan, nilai penyusutan serta pertambahan nilai aset akibat perbaikan dan renovasi yang tergolong dalam kapitalisasi aset. Bahkan untuk aset-aset tertentu ada yang perlu revaluasi atau dihapusbukukan karena nilai ekonomisnya sudah habis atau sudah tidak ada, akan tetapi hal ini tidak dilakukan. Revaluasi aset seringkali tidak dilakukan karena kekhususan sifat aset sehingga tidak ada pihak yang mampu melakukannya atau karena kurang pahamnya pihak pengelola aset atau pemprov akan proses revaluasi aset tersebut. Hal tersebut mengakibatkan aset-aset yang ada sulit untuk dicatat sesuai dengan nilai yang sesungguhnya.

Teknologi sistem manajemen keuangan daerah (SIMDA) yang dipergunakan oleh pemprov Banten belum didukung perangkat yang memadai dan keterpaduan perencanaan dan penganggaran serta ketepatan waktu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sistem belum terintegrasi secara penuh yang mengakibatkan sebagian

Page 96: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

84 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

proses pencatatan sampai pelaporan keuangan masih dilakukan secara manual. Hal ini tentu saja rawan akan kesalahan dan memakan waktu.

V. PENUTUPDasar hukum penerapan sistem akuntansi berbasis akrual pada

instansi pemerintahan di Indonesia adalah PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. PP tersebut selanjutnya diganti dengan PP Nomor 71 Tahun 2010. PP ini selanjutnya menjadi landasan teknis akuntansi pemerintah berbasis akrual yang harus dilaksanakan selambat-lambatnya tahun 2015. Penerapan sistem akuntansi ini bukanlah hal yang mudah, penerapannya tidak hanya membutuhkan persiapan teknis, akan tetapi juga faktor-faktor lain seperti aturan-aturan pendukung, komitmen organisasi (lembaga), kapasitas SDM serta sistem dalam organisasi. Memahami tentang permasalahan tersebut, pemerintah tidak serta merta menerapkan sistem ini, melainkan dilakukan secara bertahap.

Pemerintah Provinsi Banten telah menggunakan sistem akrual dalam laporan keuangan pemerintah daerah sejak tahun 2015. Hal utama yang mempengaruhi penerapan sistem akuntansi berbasis akrual ini adalah komitmen pemimpin, regulasi, teknologi informasi dan sumberdaya manusia. Keempat faktor penentu tersebut terbukti sangat berpengaruh dalam penerapan sistem akuntansi berbasis akrual di pemprov Banten. Hal utama yang paling menentukan adalah komitmen pimpinan.

Laporan Keuangan Pemprov Banten yang selama ini belum pernah memperoleh opini WTP dari BPK. Pada tahun 2016 laporan keuangan provinsi ini memperoleh opini WTP. Selain itu berdasarkan hasil penelitian terbukti akuntansi berbasis akrual sangat bermanfaat dalam penyusunan anggaran periode selanjutnya karena dengan sistem ini realisasi anggaran dapat diketahui sewaktu-waktu tanpa menunggu laporan realisasi anggaran disusun. Dan data realisasi anggarannya juga lebih akurat.

Yang menjadi kendala dalam penerapan sistem ini adalah kurangnya kualitas dan kuantitas SDM yang kompeten terutama di bidang akuntansi. Selain itu belum terintegrasinya sistem aplikasi yang digunakan juga menjadi kendala tersendiri. Pengelolaan aset yang selama ini dilakukan terpisah serta tidak dikelola dan

Page 97: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

85Venty Eka Satya

Penerapan Accrual Base Accounting

dicatat sesuai dengan kebutuhan pengadministrasian akuntansi juga menjadi kendala dalam penyusunan laporan keuangan yang berbasis akrual.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yusuf, dkk. (2017). Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual. Sejarah Penerapan di Beberapa Negara. Makalah Seminar Akuntansi Pemerintahan, (online) (https://www.academia.edu/11634805/Akuntansi_Pemerintah_Berbasis_Akrual._Sejarah_Penerapan_di_Beberapa_Negara, diakses 3 Maret 2017).

Budi Mulyana. (2017). Penggunaan Akuntansi Akrual di Negara-Negara Lain: Tren Di Negara-Negara Anggota OECD, (online), (http://sutaryofe.staff.uns.ac.id/files/2011/10/akuntansi-berbasis-akrual.pdf, diakses 27 april 2017).

International Federation of Accountants (IFAC). (2003). Transition to The Accrual Basis of Accounting: Guidance for Governments and Government Entities (second edition). New York: Public Sektor Committee Study 14

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014) .Modul Gambaran Umum Akuntansi Berbasis Akrual, Program Percepatan Akuntabilitas Pemerintah Pusat, Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Marwanto Harjowiryono, dkk. (2014). Modul Gambaran Umum Akuntansi Berbasis Akrual pada Program Percepatan Akuntabilitas Pemerintah Pusat, Jakarta: Kementrian Keuangan Republik Indonesia.

Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Penjelasan Umum.

Page 98: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Penerapan Accrual Base Accounting

86 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Lampiran I.01 tentang Kerangka Konseptual, Paragraf 25.

Page 99: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

87Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

TANTANGAN REGULASI DALAM PENINGKATANDAYA SAING INDUSTRI HALAL INDONESIA

Ernawati

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu [email protected]

Ambo Wonua Nusantara

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo

La Tondi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo

Nuddin

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Halu Oleo

ABSTRAKDaya saing beberapa industri halal Indonesia masih tertinggal dengan negara lain, padahal Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar yang dapat dijadikan peluang pasar industri halal. Paper ini bertujuan untuk mengkaji tantangan regulasi yang dihadapi oleh industri halal Indonesia dalam peningkatan daya saing global. Data penelitian bersumber dari data sekunder hasil publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Data dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai target lima besar dalam daya saing industri halal global. Meskipun demikian segmen industri makanan halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetik halal masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya saing tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri. Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari aspek regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal yaitu: (1) belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen halal industri tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya pendanaan dari lembaga keuangan Islam.

Kata kunci: regulasi; daya saing; industri halal; ekosistem halal; global

Page 100: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

88 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANIndustri halal global tumbuh sebesar 5,2 persen pada tahun 2019,

dan diperkirakan bahwa masyarakat Muslim menghabiskan US $ 2,2 triliun pada 2018 untuk makanan, sektor farmasi dan gaya hidup. Selain itu, aset industri keuangan syariah dilaporkan mencapai $ 2,5 triliun pada tahun 2018 (Thomson Reuters, 2019). Share industri keuangan Islam terkosentrasi pada kawasan GCC sebesar 42 persen, disusul oleh kawasan MENA sebesar 29,1 persen. Sementara pada kawasan Asia sebesar 24.4 persen (Islamic Financial Services Board, 2018). Meskipun demikian, berdasarkan data Thomson Reuter (2019) daya saing industri keuangan Islam tertinggi dimiliki oleh Malaysia, yang berada pada kawasan Asia. Pada tahun 2019 Malaysia juga menempati peringkat pertama dalam daya saing industri halal global. Namun berdasarkan kelompok industri, UEA menempati urutan pertama dalam industri makanan, fashion, farmasi, dan media halal.

Pada sisi lain, daya saing Indonesia dalam industri halal global masih tertinggal dibanding negara lain. Dari enam segmen industri halal, Indonesia berada pada kelompok sepuluh besar di tiga segmen industri, yaitu keuangan Islam, modest fashion, dan halal travel. Bahkan pada industri makanan halal, Indonesia kalah bersaing dengan Brazil dan Australia. Begitu pula pada Industri halal media dan halal farmasi, peringkat Indonesia masih di bawah peringka Singapura. Jika dibandingkan dengan jumlah populasi penduduk Muslim, maka potensi ini berbanding terbalik dengan peringkat daya saing. Laporan Global Islamic Economic Indicator tahun 2019 menunjukkan, peringkat pertama ditempati oleh Malaysia, selanjutnya UEA, Bahrain, dan Saudi Arabia, sementara Indonesia menduduki peringkat berikutnya atau kelima. Hasil estimasi populasi penduduk Muslim di dunia yang dilakukan oleh Kettani (2010) untuk tahun 2020, menunjukkan bahwa negara Malaysia memiliki sekitar 19 juta populasi muslim, sementara UEA 5,4 juta jiwa. Adapun Indonesia memiliki sekitar 240 juta penduduk muslim. Dengan demikian, besarnya potensi penduduk yang merupakan perwujudan dari luasnya pasar (permintaan) bukanlah faktor utama dalam menentukan keunggulan bersaing negara.

Hasil empiris menunjukkan bahwa permintaan suatu produk barang dan jasa pada halal industri bukan semata-mata faktor

Page 101: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

89Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

agama. Faktor utama dalam memilih bank Islam bukan karena agama, namun karena faktor lain seperti profitabilitas dan pengembalian investasi (Khattak dan Rehman, 2010). Umat Islam mengetahui bank-bank Islam, tetapi tingkat penggunaannya rendah, karena pelanggan Muslim menganggap efisiensi, biaya bank yang lebih rendah, ketersediaan mesin teller otomatis dan jaringan cabang yang luas sebagai faktor penting ketika datang untuk memilih bank, daripada motivasi agama (Saini, Bick & Abdulla, 2011). Pada sisi lain, kesadaran industri halal pada sektor produk farmasi halal juga masih rendah (Annabi & Wada, 2016). Persepsi produk halal dipengaruhi oleh perbedaan pengetahuan produk yang juga akan berdampak pada berbagai tingkat kesadaran produk kosmetik halal (Mohezar, Zailani & Zainuddin, 2017). Responden mengkonsumsi kosmetik halal karena beberapa alasan. Alasan menggunakan kosmetik halal karena pemikiran Islam 62,3 persen; rekomendasi keluarga / teman/ dokter, 22,3 persen; dan kualitas dan keamanan 15,4 persen (Hajipour dkk, 2015). Pengaruh pemahaman berdampak positif terhadap pemilihan produk-produk dalam sektor halal industri (Buchari, Rafiki & Al Qassab, 2015). Kesadaran berkontribusi terhadap pertumbuhan perbankan Islam (Bodibe, Chiliya & Chikandiwa, 2016; Aziz & Afaq, 2018). Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan industri halal di Indonesia. Chappra dkk (2018) merekomendasikan kepada stakeholder terkait untuk menciptakan kesadaran akan industri halal.

Beberapa temuan empiris menunjukkan terdapat pengaruh regulator secara positif signifikan dengan kinerja bank syariah di wilayah Asia (Alam, Zainuddin &Rizvi, 2018). Peran pemerintah juga dapat medorong efisiensi teknis pada perbankan Islam (Alam, 2013). Selanjutnya, semua pemerintah dapat mempengaruhi pilihan proyek yang akan dibiayai dan dapat mempengaruhi keuangan negara (Heremans & Pacces, 2011). Oleh karena itu studi ini mengkaji kondisi existing peranan pemerintah dalam hal ini regulasi sebagai salah satu tantangan dalam mendorong daya saing global industri halal di Indonesia. Rumusan masalah yang diajukan pada paper ini yaitu bagaimana bentuk tantangan regulasi yang dihadapi oleh industri halal Indonesia dalam peningkatan daya saing global.

Page 102: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

90 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

II. TINJAUAN PUSTAKA Porter (1990) berpandangan bahwa suatu negara memperoleh

keunggulan bersaing jika industri yang ada pada negara tersebut kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Diamond model yang diajukan oleh Porter (1990) sebagai determinan keunggulan bersaing negara yaitu:a. Kondisi Faktor: yaitu faktor produksi yang digunakan dalam

industri. b. Kondisi Permintaan, yaitu tersedianya pasar domestik dari

industri yang bersangkutan. Bukan hanya ukuran permintaan domestik yang penting, tetapi juga kecanggihan (sophistication) pembeli domestik. Hal ini akan memaksa perusahaan untuk terus berinovasi dan meningkatkan posisi kompetitif mereka untuk memenuhi standar tinggi dalam hal kualitas produk, fitur, dan tuntutan layanan (Smit, 2010).

c. Industri pendukung dan terkait lainnya, yaitu ketersediaan serangkaian dan keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan.

d. Struktur, persaingan, dan strategi perusahaan, yaitu strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan industri. Struktur dibangun guna menjalankan strategi, sementara intensitas persaingan yang tinggi akan mendorong inovasi bagi industri. Kehadiran pemasok mempercepat proses inovasi dan meningkatkan bisnis cluster. Kehadiran industri terkait memberikan peluang yang lebih baik bagi perusahaan yang berlokasi di cluster untuk berbagi informasi dan mengidentifikasi kesempatan baru (Jhamb, 2016).

Porter selanjutnya menambahkan faktor chance dan government dalam model keunggulan bersaing tersebut, dimana kedua faktor berpengaruh terhadap keempat atribut penentu keunggulan bersaing. Faktor-faktor tersebut membentuk sebuah sistem yang berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi yang lain, sehingga beberapa industri hanya berhasil di suatu lokasi tertentu (Porter,

Page 103: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

91Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

2000). Secara jelas, model keunggulan bersaing negara disajikan sebagaimana gambar 1.

Sumber: Porter (1990)Gambar 1. Model Diamond Keunggulan Bersaing Porter

Peran pemerintah dalam keunggulan bersaing bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitas bagi industri. Dalam model berlian tersebut, kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events) dan pemerintah terkait dengan hal-hal di luar kemampuan perusahaan, seperti adanya penemuan murni, diskontinuitas teknologi yang besar, diskontinuitas dalam biaya input, perubahan yang signifikan dalam pasar keuangan dunia atau nilai tukar, berkembangnya permintaan regional atau dunia, keputusan politik pemerintah asing, dan peperangan (Papilo dan Batacut, 2016).

Peran pemerintah bagi Porter terdiri dari: (1) Peran paling mendasar adalah untuk mencapai stabilitas makro ekonomi dan politik; (2) Peran untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mikro secara umum melalui peningkatan kualitas dan efisiensi input untuk bisnis dan lembaga-lembaga yang menyediakannya seperti tenaga kerja terdidik, infrastruktur fisik yang sesuai, dan infrastruktur ekonomi yang akurat dan tepat waktu; (3) Peran menetapkan aturan ekonomi mikro secara keseluruhan dan insentif yang mengatur persaingan yang akan mendorong pertumbuhan produktivitas; (4) Peran dalam mengembangkan dan mengimplementasikan program

Page 104: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

92 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

tindakan ekonomi positif, khas, jangka panjang, atau proses perubahan, yang memobilisasi pemerintah, bisnis, lembaga, dan warga negara; (5) Memfasilitasi pengembangan dan peningkatan gugus. Meskipun lingkungan bisnis umum penting untuk daya saing, keadaan kluster menjadi semakin penting untuk memungkinkan suatu ekonomi bergerak melampaui persaingan faktor biaya. Kebijakan pemerintah pasti mempengaruhi peluang untuk meningkatkan klaster. Pada saat yang sama, banyak keunggulan produktivitas dan inovasi dari cluster terletak pada limpahan dan eksternalitas yang melibatkan entitas publik. Selain itu, selain memodifikasi kebijakan dan praktiknya sendiri, pemerintah dapat memotivasi, memfasilitasi, dan memberikan insentif untuk tindakan kolektif oleh sektor swasta (Porter, 2000).

III. METODOLOGI Data penelitian bersumber dari data sekunder yang diperoleh

melalui Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Thomson Reuter. Thomso Reuter melakukan publikasi atas indikator daya saing industri halal global. Tantangan regulasi diperoleh melalui publikasi Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional yang terdapat pada dokumen Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2014. Data di analisis secara deskriptif dengan bantuan grafik.

IV. PEMBAHASANA. Capaian Daya Saing Industri Halal Indonesia

Masterplan pengembangan industri syariah di Indonesia 2019-2024 memiliki target peningkatan daya saing pada beberapa bidang, sebagaimana di sajikan pada tabel 1. Pada lima tahun ke depan, yaitu 2024 diharapkan terjadi peningkatan skala usaha industri halal di Indonesia. Bahkan pasar keuangan syariah yang hingga akhir tahun 2018 belum mencapai 10 persen, ditargetkan pada tahun 2024 mencapai 20 persen. Pada sisi lain, program peningkatan daya saing industri halal di Indonesia tampak pada bidang target no. 2, yang diharapkan bahwa dalam jangka waktu lima tahun, Indonesia menempati lima besar daya saing industri halal global.

Page 105: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

93Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Tabel 1. Indikator Capaian Masterplan Industri Halal IndonesiaNo Bidang Target Indikator Utama Capaian1 Peningkatan skala

usaha ekonomi syariah• Peningkatan skala usaha di bidang ekonomi

syariah (produksi dan aset) sebesar 100% (atau menjadi dua kali lipat kondisi saat ini) dalam lima tahun ke depan.

• Kenaikan pangsa pasar keuangan syariah menjadi 20 persen dalam lima tahun ke depan.

2 Peningkatan peringkat dalam Islamic EconomicIndex global dan nasional

• Masuk ke dalam peringkat lima besar Global Islamic Economic Index (GIEI) dalam lima tahun ke depan.

• Mencapai kinerja memuaskan dalam indeks ekonomi dan keuangan syariah nasional dalam lima tahun ke depan.

3 Peningkatan kemandirian ekonomi

• Peningkatan kontribusi atau share ekspor industri halal terhadap PDB Indonesia sebesar 100 persen (atau menjadi dua kali lipat kondisi saat ini) dalam 10 tahun ke depan

• Peningkatan swasembada pangan dan energi melalui penurunan share impor industri strategis tersebut sebesar 25 persen dalam 10 tahun ke depan.

4 Peningkatan indeks kesejahteraan

• Pengembangan indeks maqasid syariah baik nasional maupun global pada tahun 2020

• Peningkatan kesejahteraan dengan menggunakan ukuran-ukuran tersebut.

Sumber: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (2018)

Capaian peringkat lima besar dalam industri halal global ditargetkan dicapai pada tahun 2024. Namun berdasarkan publikasi GIEI 2019 bahwa Indonesia telah masuk pada peringkat lima besar industri halal global, yang melompat tinggi dari tahun-tahun sebelumnya (2014-2017) yang masih berkisar pada peringkat 10. Lompatan terbesar dialami oleh 3 industri halal, yaitu: keuangan Islam, halal travel, dan modest fashion. Industri keuangan Islam berada pada peringkat kelima, sementara halal travel memposisikan dirinya pada peringkat 4. Industri modest fashion yang sebelumnya (periode 2014-2017) belum pernah masuk dalam top-ten, namun pada tahun 2018 menduduki peringkat kedua, dan tahun 2019

Page 106: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

94 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

peringkat ke tiga. Meskipun ketiga industri tersebut mengalami lompatan tinggi, namun tiga segmen industri lainnya masih tertinggal dibanding negara lain, sebagaimana gambar 2 yang menyajikan indeks daya saing industri makanan halal, farmasi dan kosmetik halal, serta industri halal media, yang dibandingkan dengan empat pesaing utama industri halal Indonesia di pasar global yaitu UEA, Malaysia, Bahrain, dan Sudi Arabia. Industri halal media di Indonesia memiliki indeks paling rendah dibanding industri sejenis di negara pesaing. Begitupun halnya dengan industri farmasi dan kosmetik halal di Indonesia memiliki indeks terendah dibanding negara pesaing utama. Untuk industri makanan halal, tampak bahwa Indonesia masih lebih unggul di banding Bahrain.

Sumber: Thomson Reuter (2019), diolahGambar 2. Skor Daya Saing Indonesia terhadap pesaing utama pada

Segmen Makakan Halal, Halal Media dan Rekreasi, serta Farmasi dan Kosmetik Halal Tahun 2019

Lemahnya daya saing ketiga industri tersebut tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Indonesia memiliki keuntungan besar dalam biaya rendah industri farmasi dan kosmetik halal (Ernawati, 2019) yang dapat menjadi kekuatan tumbuhnya industri farmasi dan kosmetik halal, namun berbagai faktor seperti kondisi input lain, permintaan, persaingan, maupun industri terkait atau ekosistem halal perlu saling mendukung. Secara umum, terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan ekonomi syariah khususnya industri halal di Tanah Air, yaitu: produksi, tata kelola manajemen dan risiko serta teknologi. Pada sisi lain, regulasi

Page 107: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

95Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

industri halal juga belum memadai, lemahnya literasi dan kesadaran masyarakat serta interlinkage industri halal dan keuangan syariah (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2018).

B. Tantangan Regulasi dalam Industri Halal IndonesiaRegulasi terkait industri halal yang belum memadai menjadi

tantangan dalam pengembangan daya saing halal industri di Indonesia. Adapun bentuk regulasi yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah secara rinci disajikan sebagaimana tabel 2. Secara umum, selain pengembangan industri halal masih diperhadapkan pada persoalan birokrasi dan asymmetric information kerjasama antara sektor, tantangan yang dihadapi dari aspek regulasi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu: (1) belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen halal industri tertentu; (2) Belum adanya komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya pendanaan dari lembaga keuangan Islam, serta (3) belum sinerginya kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan pemerintaah-OJK-BI. Porter (2000) mengemukakan bahwa kemajuan ekonomi seringkali digagalkan oleh kelambanan dan kurangnya konsensus tentang langkah-langkah apa yang diperlukan, sehingga proses perubahan yang sehat harus melibatkan semua konstituensi kunci dan harus naik di atas kepentingan administrasi atau pemerintah tertentu tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat negara bagian dan kota.

Tabel 2. Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektorIndustri Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektor

Makanan • Kebijakan pemerintah pusat dan daerah masih belum selaras.• Asymmetric information antar sektor• Birokrasi kerja sama antar sektor

Keuangan Islam

• Berbagai kebijakan/rencana induk pemerintah dan otoritas terkait belum terintegrasi dan tersinergikan dengan baik.

• Belum ada keselarasan visi dan misi dari regulasi yang terdapat pada masing-masing master plan/blue print yang dibuat antar departemen atau regulator.

Travel (pariwisata)

• Belum terdapat induk hukum tertinggi yang mengatur pelaksanaan pariwisata halal di Indonesia

• Belum ada regulasi khusus yang mewajibkan lembaga keuangan syariah memberikan pembiayaan kepada industri halal

Page 108: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

96 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Industri Tantangan Regulasi dan Kerjasama Antar sektor

Modest Fashion

• Kebijakan pemerintah pusat dan daerah masih belum selaras

Farmasi dan Kosmetik

• Kebijakan antar kementerian dan lembaga pemerintah masih belum selaras.

• Belum adanya panduan dan ketentuan untuk infrastruktur yang dapat menunjang produksi farmasi halal.

• Asymmetric information antar sektor• Birokrasi kerja sama antar sektor

Sumber: Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (2018)

Lemahnya dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan syariah didorong oleh beberapa permasalahan. Misalnya, pada industri makanan halal, lembaga keuangan kurang memahami seluk beluk industri kreatif, pada sisi lain, lembaga pembiayaan masih membutuhkan jaminan yang tangible, seperti: ijazah, sertifikat, dan terutama business plan, yang kebanyakan belum bisa dipenuhi oleh para pelaku usaha (Kementrian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, 2018). Bagaimanapun juga, lembaga keuangan syariah memegang prinsip kehati-hatian dalam pengalokasian pembiayaan.

V. PENUTUP Indonesia menempati peringkat lima dalam daya saing industri

halal global. Meskipun demikian 3 segmen industri, yaitu: makanan halal, halal media dan rekreasi, serta farmasi dan kosmetik halal masih memiliki daya saing yang rendah. Lemahnya daya saing tersebut terkait dengan belum optimalnya ekosistem halal industri. Salah satunya regulasi pemerintah. Tantangan yang dihadapi dari aspek regulasi dalam upaya peningkatan daya saing industri halal yaitu: (1) belum adanya induk hukum tertinggi terkait segmen halal industri tertentu; (2) belum sinerginya kebijakan pemerintah pusat-daerah; dan pemerintaah-otoritas; serta (3) belum adanya komitmen dukungan dari industri terkait, khususnya pendanaan dari lembaga keuangan Islam.

Page 109: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

97Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Nafis. (2013). Impact of banking regulation on risk and efficiency in Islamic banking, Journal of Financial Reporting and Accounting, Volume 11 Number 1, June.

Alam, Nafis., Zainuddin, Sara Sophia & Rizvi, Syed Aun. (2018). Ramifications of varying banking regulations on performance of Islamic Banks. Istanbul Review, Volume 19 Number 1, Mei.

Annabi, Carrie Amani & Wada, Suhayr Mustapha. (2016). Halal pharmaceutical industry in Nigeria: A bitter pill to swallow. Journal of Emerging Economies and Islamic Research, Volume 4 Number 1, July.

Aziz, Shahab & Afaq, Zahra. (2018). Adoption of Islamic banking in Pakistan an empirical investigation. Cogent Business & Management, Volume 5, November.

Hajipour, Bahman., Gharache, Manizheh., Hamidizadeh , Mohammad Reza & Mohammadian, Fereshteh. (2015). Raising halal cosmetic awareness among the respective consumers, International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, Volume 5 Number 7, July.

Bodibe, Seipati., Chiliya, Norman & Chikandiwa, Christopher Tarisayi (2016). The factors affecting customers’ decisions to adopt Islamic banking, Banks and Bank Systems, Volume 11 Number 4, December.

Buchari, Iman., Rafiki, Ahmad & Al Qassab, Mahmood Abdullah Hadi. (2015). Awareness and attitudes of employees towards Islamic banking products in Bahrain, Procedia Economics and Finance, Volume 30.

Chhapra, Imran Umer., Ahmed, Afzal., Rehan, Raja & Hussain, Farasat. (2018). Consumer’s preference and awareness: comparative analysis between conventional and Islamic ijarah auto financing in Pakistan, Al-Iqtishad: Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah (Journal of Islamic Economics), Volume 10 Number 2, July.

Page 110: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

98 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Ernawati (2019). The global competitiveness study of halal pharmaceuticals and cosmetics industry. Mega Aktiva: Jurnal Ekonomi dan Manajemen, Volume 8 Number 1, April.

Heremans, D. and Pacces, A.M. (2011). Regulation of banking and financial markets. SSRN Electronic Journal (online). (https://www.researchgate.net/publication/228126773_Regulation_of_Banking_and_Financial_Markets, diakses 15 Oktober 2019)

Islamic Financial Service Board (2018). Stability Report Islamic Financial Service Industry. Malaysia: IFSB.

Jhamb, Priya. 2016. An application of Porter’s Diamond framework: A case of sports goods cluster at Jalandhar. Pacific Business Review International Volume 8 Number 8, February.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2018). Indonesian Sharia Economics Master Plan 2019-2024. Eds I. Jakarta: Bapenas.

Kettani, Houssain. (2010). Muslim Population in Asia: 1950 – 2020, International Journal of Environmental Science and Development, Volume 1 Number 2, June.

Khattak, Naveed Azeem & Rehman, Kashif-Ur. (2010). Customer satisfaction and awareness of Islamic banking system in Pakistan. African Journal of Business Management, Volume 4 Number 5, Mei.

Mohezar, S., Zailani, Suhaiza & Zainuddin, Zainorfarah. (2017). Halal cosmetics adoption among young Muslim consumers in Malaysia: Religiosity Concern. GJAT, Volume 6 Number 1, June.

Papilo, Petir & Bantacut, Tajuddin. (2016). Klaster industri sebagai strategi peningkatan daya saing agroindustri bioenergi berbasis kelapa sawit. Jurnal Teknik Industri, Voume 11 Number 2, Mei.

Porter, Michael. (2000). Local, competition and economic development: local cluster in a global economy. Jurnal Economic Development Quarterly, Volume 14 Number 1, February.

Porter, Michael. (1990). The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press.

Page 111: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

99Ernawati, Ambo Wonua Nusantara, La Tondi dan Nuddin

Tantangan Regulasi dalam Peningkatan Daya Saing Industri Halal

Saini, Yvonne., Bick, Geoff & Abdulla, Loonat. (2011). Consumer awareness and usage of Islamic banking products in South Africa, SAJEMS NS, Volume 14 Number 3, Agustus.

Smit, A.J. (2010). The competitive advantage of nations: is Porter’s Diamond framework a new theory that explains the international competitiveness of countries? Southern African Business Review, Volume 14 Number 1.

Thomson Reuter. (2019). State of Global Islamic Economy Report 2019/2020. Thomson Reuters, In Collaboration With Dinarstandard (online) (https://ceif.iba.edu.pk/pdf/state-of-global-islamic-economy-report-2019-20.pdf, diakses tanggal 18 Oktober 2019).

Page 112: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan
Page 113: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

101Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

RANCANGAN UNDANG-UNDANGPENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL:

MEWUJUDKAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTIDALAM PROSES LEGISLASI

Yosephus Mainake

Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta [email protected]

Noverdi Puja Saputra

Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta [email protected]

Rais Agil Bahtiar

Pusat Penelitian DPR RI Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta [email protected]

ABSTRAKPembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Makauntuk mewujudkan tujuan tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. UUD 1945 telah menekankan hak ini sebagai salah satu hak konstitusional, namun tidak setiap warga bebas dari berbagai macam kekerasan terutama kekerasan seksual. Berkaitan dengan kondisi tersebut, permasalahan yang diuraikan disini adalah bagaimana peran DPR terkait dengan Kebijakan Berbasis Bukti Randangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), mengarah kepada permasalahan tersebut, pembahasan pendukung dalam tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya RUU PKS dan peran DPR. Pendekatan yang digunakan dalam menulis makalah ini adalah kualitatif dengan metode tinjauan literatur. RUU PKS dinilai sangat penting. Karena sampai dengansaat ini belum adaregulasi hukumdi Indonesia yang memberikan jaminan perlindungansecara spesifikatas kasus kekerasan seksual.Sehingga dapat dikatakan bahwa RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi yaitu pembentuk undang-undang telah

Page 114: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

102 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

melakukan pembahasan panjang dengan presiden yang diwakili oleh kementerian hukum dan ham. Namun saat ini RUU PKS masih ditunda karena imbas dari ditundanya RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan RUU ini serta gejala politik yang berkembang sampai saat ini. Sehingga DPR akan kembali melakukan pembahasan, pendalaman dan pengkajian berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat serta melakukan harmonisasi mengenai RUU ini agar dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi tumpang tindih ketentuan dalam penerapannya.

Kata kunci: penghapusan kekerasan seksual; kebijakan berbasis bukti; legislasi.

I. PENDAHULUANPembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia salah

satunya bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Maka untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara wajib memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara terutama kelompok rentan, perempuan, anak, dan kelompok berkebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Undang Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) telah menekankan hak ini sebagai salah satu hak konstitusional, namun tidak setiap warga bebas dari berbagai macam kekerasan terutama kekerasan seksual. (Moerdijat, 2019).

Dari aspek yuridis, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam memahami hambatan yang dihadapi korban, yaitu aspek substansi, struktur, dan budaya hukum. RancanganUndang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disingkat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual) ini merupakan upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. (Khaiya, 2019).

Pembentukan RUU PKS berawal dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (selanjutnya disingkat DPD RI) kemudian diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disingkat DPR RI). DPR RI melihat RUU PKS itu sebagai upaya inisiatif. Draf RUU PKS kemudian diselaraskan oleh Badan Legislatif DPR lalu diserahkan ke Komisi VIII DPR. Kemudian,pada tahap inilah RUU PKS mulai bermasalah karena komisi ini mengatur persoalan norma sehingga hal itu turut memengaruhi penanganan kasus kekerasan seksual. (Eddyono, 2019).

Page 115: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

103Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Pemerintah tidak melihat bahwa RUU PKS ini penting. Kacamata politik transaksional dalam proses perumusan kebijakan masih sangat kuat. Proses perumusan undang-undang terkait isu gender memang tidak pernah lepas dari proses politik. Selalu ada pihak-pihak yang tidak setuju dengan ide RUU PKS. Hal itu sangat mungkin terjadi dan bahkan selalu terjadi di setiap pembuatan kebijakan. Di Indonesia, pemerintah baru akan bergerak apabila ada desakan massa. Walaupun begitu, desakan yang kuat sering kali berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu, gerakan yang mengusung kebijakaniniharus kuat terorganisir dan senantiasa mendesak. (Eddyono, 2019).

Berkaitan dengan deskripsi kondisi diatas, permasalahan utama yang akan diuraikan disini adalah bagaimana peran DPR terkait dengan Kebijakan Berbasis Bukti RUU PKS, mengarah kepada permasalahan utama tersebut, pembahasan pendukung dalam tulisan ini akan mengupas tentang pentingnya UU PKS dan peran DPR dankebijakan berbasis buktidalam untuk kinerja legislasi DPR RI dan daya saing bangsa.

II. TINJAUAN PUSTAKADalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan

sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Produk dari analisis kebijakan ialah nasihat yang dapat berbentuk informasi dalam pengambilan keputusan (Weimer dan Vining, 2011). Kebijakan memiliki peran krusial dalam menentukan arah dari suatu organisasi pemerintah maupun dalam menentukan keputusan yang berdampak lebih luas bagi kelompok sasaran. Menghasilkan kebijakan publik yang berkualitas serta mampu menjawab tantangan riil di masyarakat sudah menjadi tuntutan saat ini. Situasi di mana perumusan kebijakan hanya berdasarkan kepentingan politik menyebabkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah malah menyisakan sejumlah persoalan karena proses penyusunannya tidak didasarkan pada bukti yang kuat sebagai pondasi dasar yang harus dibangun di dalam menghasilkan kebijakan publik.

Page 116: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

104 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Bukti dalam dunia akademis merupakan suatu keahlian dan keadilan/ketidakperpihakanyang dipersyaratkan untuk menghasilkan komoditas yang berharga (precious). Pawson (2006) mengartikan bukti sebagai pendekatan modern rasional yang dapat memecahkan masalah dengan fokus pada diagnosis dan pengetahuan yang akurat dari hubungan sebab akibat. Bukti juga merupakan aspirasi untuk menghasilkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan secara baik suatu program dan merancang panduan/arahan guna mengatasi masalah-masalah yang diketahui (Head, 2008). Dengan demikian bukti dapat didefinisikan sebagai suatu informasi yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan di dalam pemanfaatannya kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.

Bukti tidak hanya berasal dari kajian empiris/studi/riset ilmiah saja, melainkan juga memperluas makna tersebut sebagai pernyataan/masukan/pendapat dari para ahli/pakar di bidangnya masing-masing baik yang berasal dari akademisi/perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan, maupun unit lain yang telah memiliki keahlian di bidang tertentu. Dari penjelasan-penjelasan di atas, kebijakan berbasis bukti dapat didefinisikansebagai suatu kebijakan yang mendasarkan pada bukti (informasi aktual, hasil riset, dan temuan-temuan lain yang kredibel, terkini, dan jelas) sebagai salah satu bagian utama dalam proses pembuatan kebijakan dan menjadi input yang berharga bagi para pembuat kebijakan (Asmaradan Handoyo, 2015).

III. METODOLOGIMetode yang digunakan dalam mempersiapkan artikel ilmiah ini

adalah tinjauan literatur. Tinjauan literatur yang relevan dengan judul tulisan ini adalah pada buku-buku teknis, jurnal ilmiah, media massa, dan dokumen studi atau lembaga survei yang sudah ada. Atas dasar teori, data dan studi sebelumnya dikompilasi dengan logika deduktif untuk menjelaskan masalah yang menjadi studi makalah ini.

IV. PEMBAHASANA. Pentingnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Posisi perempuan dalam kehidupan sosial ternyata belum sejajar dengan laki-laki meskipun upaya ke arah itu telah lama dan

Page 117: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

105Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

terus dilakukan. Kekuatan faktor sosial, kultural dan institusional yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki-laki menjadi penyebab pokok kenyataan itu. Analisis gender selalu menemukan bahwa sebagian perempuan mengalami subordinasi, marginalisasi, dominasi, dan bahkan kekerasan.Hasil penelitian di empat propinsi menunjukkan bahwa sekitar 90 persen perempuan pernah mengalami kekerasan di wilayah publik. Lebih lanjut disebutkan bahwa di rumah sendiri pun perempuan tidak bebas dari kekerasan. Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual sering disamakan dengan pelecehan seksual. Dari perspektif perempuan sebagai korban, keduanya memang tidak berbeda. (Sri Kurnianingsih,2003).

Kekerasan seksual pada saat ini menjadi salah satu isu hangat yang dianggap penting sebagian kalangan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat draft Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang hingga sampai dengan saat ini masih ditunda pengesahannya. Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dianggap oleh banyak pihak bahwa saat ini Indonesia mengalami darurat perlindungan seksual.

Sumber: https://www.komnasperempuan.go.id/publikasi-catatan-tahunanGambar 1. Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dari Tahun 2017-2018

Page 118: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

106 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa tren mengenai kenaikan kasus kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi di setiap tahun. Hanya pada tahun 2010 dan tahun 2016 mengalami penurunan jumlah kasus. Namun pada tahun berikutnya terjadi kembali peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kekerasan di Indonesia masih sangat tinggi dan mengkhawatirkan.

Melihat data diatas, bahwa kekerasan terhadap perempuan selalu meningkat maka Undang-undang penghapusan kekerasan seksual dinilai penting.RUU PKS ini dibentuk atas dasar belum adanya regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik atas kasus kekerasan seksual. RUU PKS ini merespon darurat kekerasan seksual dan memperbaiki penanganannya agar lebih manusiawi dan bermartabat (yang menjadi prinsip universal seluruh agama). (fh,unpad.ac.id, 2019)

Di dalam Hukum Pidana terdapat asas “Lex Specialis Derograt Legi Generali” yang berarti aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum umum. Menurut Menurut Bagir Manan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas tersebut, yaitu: (Bagir Manan, 2004)1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum

tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP. Karena RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang belum seluruhnya terdapat didalam KUHP. Selain itu RUU PKS merumuskan pula macam-macam pemidanaan sebagai suatu pidana pokok atuapun tambahan yang bisa dibilang berbeda dengan yang terdapat didalam KUHP. RUU PKS tidak memasukan denda sebagai suatu ancaman pidana, karena denda yang dibayarkan tersebut pasti akan

Page 119: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

107Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

masuk kedalam kas negara dan tidak berimplikasi terhadap korban dari kekerasan seksual. Selain itu RUU PKS ini memperkenalkan rehabilitasi khusus bagi pelaku tindak pidana kekerasana seksual tertentu. Pidana tambahan dalam RUU PKS ini pun dijatuhkan sesuai dengan perbuatannya, contohnya saja pidana tambahan perampasan keuntungan yang didapat dari suatu tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan profesi atau jabatan dan pengumuman putusan hakim.

B. Peran DPR Dalam Proses Pembentukan RUU PKSDalam Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen,

menyebutkan bahwa:a) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk

undang-undang;b) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;

c) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Peran DPR dalam pembentukan suatu undang-undang amat penting karena merupakan suatu bentuk perwujudan salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang yaitu Fungsi Legislasi. Dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Ham telah melakukan pembahasan bersama sejak lama. Namun belum mendapatkan persetujuan bersama karena dampak dari penundaan RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekerasan Seksual. Sehingga diperlukan pengkajian kembali dalam perumusannya yang harus terlebih dahulu melihat perubahan-perubahan apa saja yang terdapat didalam RKUHP sehingga nantinya diharapkan Undang-undang ini dapat berjalan dengan baik dan tidak mendapatkan penolakan dari semua kalangan. DPR pula akan kembali melakukan harmonisasi terhadap ketentuan ketentuan yang terdapat didalam RUU PKS sehingga tidak terjadinya tumpang

Page 120: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

108 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

tindih antara suatu ketentuan yang terdapat didalam undang-undang ini dengan undang-undang lainnya.

V. PENUTUPRUU PKS dibentuk untuk merespon darurat kekerasan seksual

yang terjadi di Indonesia dan memperbaiki penanganannya agar lebih manusiawi dan bermartabat. RUU PKS dinilai sangat penting. Karena sampai dengan saat ini belum ada regulasi hukum di Indonesia yang memberikan jaminan perlindungan secara spesifik atas kasus kekerasan seksual. Sehingga dapat dikatakan bahwa RUU PKS merupakan Lex Specialis dari KUHP.

DPR sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislasi yaitu pembentuk undang-undang telah melakukan pembahasan panjang dengan presiden yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun saat ini, RUU PKS masih ditunda karena imbas dari ditundanya RKUHP yang memiliki keterkaitan dengan RUU ini serta gejala politik yang berkembang sampai saat ini. Sehingga DPR akan kembali melakukan pembahasan, pendalaman dan pengkajian berdasarkan fenomena yang terjadi di masyarakat serta melakukan harmonisasi mengenai RUU ini agar dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi tumpang tindih ketentuan dalam penerapannya.

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A.Y. dan Handoyo, S. (2015). Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti: Studi Pada Proses Pembuatankebijakan Standardisasi Alat Dan Mesin Pertanian Di Indonesia. STI Policy and Management Journal, 13 (1), hal. 43-64.

Eddyono, Sri Wiyanti. (2019). RUU PKS penting untuk hukum yang berprespektif korban, (online), (http://www.balairungpress.com/2019/02/sri-wiyanti-eddyono-ruu-pks-penting-untuk-hukum-yang-berperspektif-korban/, diakses pada tanggal 12 November 2019).

Page 121: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

109Yosephus Mainake, Noverdi Puja Saputra dan Rais Agil Bahtiar

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual. (2017). Mendorong rancangan undang-undang tentang penghapusan kekerasan seksual, (online), (http://www.dpr.go.id/doksetjen/d o k u m e n / m i n a n g w a n - S e m i n a r - I n d o n e s i a - D a r u r a t -Kekerasan-Seksual-Mendorong-rancangan-Undang-Undang-Tentang-Penghapusan-Kekerasan-Seksual-1494216994.pdf#page=1&zoom=auto,-100,938, diakses pada tanggal 12 November 2019).

Kurnianingsih, Sri. (2003). Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Di Tempat Kerja. Jurnal Buletin Psikolog, Vol. XI, No. 2.

Komnas Perempuan. (2018). Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara, dalam Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018.

Lestari Moerdijat, M. Lestari. (2019). Latar Belakang Penghapusan Kekerasan Seksual. (online), (http://lestarimoerdijat.com/berita/page/43/, diakses pada tanggal 12 November 2019).

Manan, Bagir. (2004). Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

(2019). Polemik RUU PKS dan perlunya nalar kritis, (online), (https://news.detik.com/kolom/d-4415917/polemik-ruu-pks-dan-perlunya-nalar-kritis, diakses pada tanggal 14 November 2019).

(2019). Dilema RUU PKS: hak asasi manusia dan gejolak masyarakat, (online), (http://fh.unpad.ac.id/dilema-ruu-pks-hak-asasi-manusia-dan-gejolak-masyarakat/, diakses tanggal 11 November 2019).

Page 122: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan
Page 123: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

111Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

PERANCANGAN PRODUK LEGISLASI BERBASISSOFT SYSTEM METHODOLOGY

Adi Asmariadi Budi

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung,[email protected]

Dian Sera Fauzela

Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung, [email protected]

ABSTRAKPerancangan suatu produk legislasi berupa Undang-Undang yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai aktor utamanya saat ini telah dianggap konvensional jika dilihat dari perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Revolusi digital yang masif menggerus segala lini telah memaksa berbagai sektor untuk berubah. Demikian pula halnya dengan pola pemerintahan, khususnya lembaga legislasi yang memiliki wewenang membentuk undang-undang juga perlu merubah pola pembentukan produk legislasi. Konsep Soft System Methodology (SSM) yang mulai muncul secara ilmiah sebagai konsep baru dalam perancangan suatu kebijakan dapat menjadi model baru untuk digunakan dalam perancangan produk legislasi. Penelitian ini bertujuan untuk membangun rancangan model konsep perancangan produk legislasi yang berbasiskan pada konsep SSM melalui metode penelusuran pustaka. Penyandingan dan modifikasi pola pembentukan produk legislasi yang digunakan saat ini dengan konsep SSM menghasilkan suatu model konsep baru yang dapat digunakan dalam perancangan undang-undang. Model konsep tersebut diharapkan mampu menjadi pola baru dalam penyusunan produk legislasi secara lebih optimal karena kemampuannya dalam berpikir secara sistem.

Kata kunci: perancangan; produk legislasi; evidence based policy; soft system methodology

I. PENDAHULUANUndang-undang didefinisikan sebagai produk hukum yang

dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan dari Presiden (UU Nomor 12 Tahun 2011). Undang-undang berisi

Page 124: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

112 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

kumpulan-kumpulan aturan yang mengatur permasalahan di antara pemerintah dan masyarakat. Kehadiran undang-undang sebagai produk hukum menjadi hal yang penting mengingat bahwasanya setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat harus sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku untuk memudahkan setiap hal yang akan dilakukan.

Pentingnya keberadaan undang-undang untuk mengatur hubungan antara pemerintah dan masyarakat menyebabkan jumlah undang-undang yang dibuat oleh DPR seharusnya menjadi lebih banyak. Hal ini untuk memudahkan setiap proses dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Tetapi pada kenyataannya, jumlah undang-undang yang dihasilkan oleh DPR tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Jumlah undang-undang yang dihasilkan masih minim. Pada masa pemerintahan DPR 2014-2019 menjadi masa yang terburuk setelah era reformasi. Pemerintahan DPR lebih banyak mengesahkan undang-undang yang tidak masuk dalam dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas sendiri didefinisikan menjadi pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan. Prolegnas merupakan instrumen perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang memuat skala prioritas Program Legislasi Jangka Menengah dan Tahunan yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional yang sesuai dengan amanat konstitusi.

Pada kurun waktu 2014-2019 jumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan sekitar 84 undang-undang atau setara dengan 67% dari capaian DPR periode sebelumnya. Pada periode sebelumnya jumlah undang-undang yang dihasilkan adalah 125 undang-undang. Selain masalah kuantitas, masalah kualitas juga menjadi hal yang penting. Kualitas undang-undang yang dihasilkan oleh DPR seringkali dipertanyakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya gugatan yang disampaikan oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi, bahkan terdapat undang-undang yang harus melewati proses tiga kali revisi. Kenyataan ini memberikan gambaran bahwasanya DPR tidak fokus dalam menghasilkan RUU sesuai dengan target Prolegnas.

Page 125: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

113Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berusaha untuk memberi dukungan lewat keberadaan anggaran. Pemerintah setiap tahunnya dalam kurun waktu 2015-2019 terus meningkatkan jumlah anggaran untuk DPR. Hal ini terlihat dalam anggaran tahun 2015 sebesar 3,6 triliun dan menjadi 4,6 triliun pada tahun 2019. Masalah peningkatan anggaran ini seharusnya diikuti dengan peningkatan kuantitas serta kualitas undang-undang yang dihasilkan. Banyaknya jumlah anggaran yang telah disiapkan oleh DPR dalam pembuatan undang-undang memberikan harapan besar terhadap masyarakat untuk hasil produk hukum yang lebih baik.

Proses pembentukan undang-undang sendiri telah dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang kemudian dirubah melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Mekanisme pembentukan undang-undang yang tergambarkan dalam regulasi tersebut masih sangat konvensional dengan menggunakan tahapan-tahapan yang dapat dikatakan biasa (business as usual). Padahal jika dilihat dari perkembangan zaman saat ini, revolusi digital tidak hanya mengobrak-abrik sektor industri atau swasta, namun juga akan berdampak pada sektor-sektor lain termasuk pemerintahan. Ada beberapa konsep atau metode perancangan kebijakan baru yang mulai muncul saat ini, di antaranya Kebijakan Berbasis Bukti (evidence based policy) dan juga Metode Sistem Lunak (Soft System Methodology). Konsep Soft System Methodology (SSM) menjadi menarik untuk dibahas dalam riset ini karena kemampuannya untuk dapat melihat masalah secara nyata dan secara sistem (real world and systems thinking). Apakah konsep SSM dapat digunakan untuk perancangan produk legislasi? Hal ini menjadi pertanyaan dalam penelitian ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun model perancangan produk legislasi berbasis konsep SSM. Konsep SSM yang biasa digunakan dalam riset ilmiah untuk perancangan kebijakan ini disandingkan untuk digunakan dalam proses perancangan produk legislasi. Lingkup penelitian ini dibatasi pada perancangan model konsep melalui penelusuran dan peninjauan pustaka.

Page 126: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

114 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Perancangan Undang-Undang Saat Ini (Existing)

Peraturan perundang-undangan didefinisikan oleh Manan (1987, 13) sebagai “Setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat Negara yang mempunyai fungsi legislatif sesuai tata cara yang berlaku”. Pembentukan peraturan perundang-undangan mencakup pada tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan pengundangan. Sesuai Pasal 1 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden.

Proses perancangan kebijakan berupa undang-undang secara garis besar diatur dalam UUD 1945. Pada Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa (1) DPR memegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU); (2) Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat memperoleh persetujuan bersama; (3) Apabila RUU tidak memperoleh persetujuan bersama, maka RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disepakati menjadi Undang-Undang; (5). Apabila RUU tidak disahkan oleh Presiden dalam kurun waktu 30 hari setelah RUU tersebut disepakati, maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Secara garis besar tahapan pembentukan undang-undang sebagai berikut:a. Tahapan Perencanaan Undang-Undang

Tahapan ini berisi kegiatan DPR dan Presiden dalam hal menyusun daftar RUU yang akan disusun. Proses ini dikenal dengan penyusunan Prolegnas. Hasil akhirnya berupa Prolegnas tahunan dan Prolegnas jangka menengah. Selain berasal dari Prolegnas, DPR ataupun Presiden juga dapat mengajukan RUU diluar Prolegnas.

b. Tahapan Penyusunan Rancangan Undang-UndangTahapan ini merupakan tahap persiapan sebelum sebelum RUU dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Dengan tahapan sebagai berikut :• Penyusunan rancangan undang-undang.• Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konseptual

Page 127: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

115Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

• Pembuatan naskah akademikc. Tahapan Pembahasan Rancangan Undang-Undang

Tahapan ini dibagi atas 2 tingkatan pembicaraan. Tingkat 1 adalah pembicaraan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, dan sejenisnya. Tingkat 2 adalah pembicaraan dalam rapat paripurna.

d. Tahapan Pengesahan Undang-UndangBerdasarkan Pasal 72 UU Nomor 12 Tahun 2011, penyampaian RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan yang dilakukan bersama. Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat Negara akan menuliskannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden.

B. Evidence Based PolicyKebijakan didefinisikan sebagai pernyataan umum tentang

suatu tujuan, sasaran, dan kriteria untuk memilih beberapa alternatif dan memberi pengarahan (Handoyo, 2009). Kebijakan memiliki peranan yang penting, mengingat dampak yang diperoleh akibat diputuskannya suatu kebijakan. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang disusun harus memerhatikan banyak aspek dalam pengambilan keputusannya. Keputusan yang telah tertuang dalam kebijakan akan lebih baik jika disertakan bukti yang mendukung. Bukti didefinisikan sebagai pendekatan modern rasional yang dapat memecahkan masalah dengan fokus pada diagnosis dan pengetahuan yang akurat dari hubungan sebab akibat (Head, 2008). Sehingga bukti dinyatakan sebagai informasi yang memiliki tingkat ketepatan dan kepercayaan yang tinggi.

Istilah evidence based policy (kebijakan berbasis bukti) pada awalnya muncul di Inggris pada tahun 1997 yang awalnya disuarakan oleh Perdana Menteri Inggris yaitu Tonny Blair “Evidence-based where vested interests sprawl, and the central issue is the compass and generalizability of research findings” (Parson, 2006). Kebijakan

Page 128: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

116 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

berbasis bukti merupakan program-program kebijakan yang berjalan efektif apabila diikuti hasil-hasil evaluasi yang tepat. Selanjutnya Sundari (2007) memberikan tiga cara bagaimana menerjemahkan bukti menjadi suatu kebijakan, yaitu (1) identifikasi kebutuhan termasuk informasi tentang pemanfaatan untuk kebijakan; (2) merancang dan melaksanakan strategi penelitian yang tepat dan sesuai kebutuhan; serta (3) melakukan diseminasi informasi yang bermanfaat.

Perkembangan kebijakan dari waktu ke waktu menuntut keberadaan bukti untuk melengkapi perubahan kebijakan. Secara spesifik Turner (2013) menyatakan bahwa bukti diperlukan oleh pembuat kebijakan dalam rangka:a. membantu mereka untuk mendiagnosa masalah dan sebab-

sebab pokok;b. mendesain opsi kebijakan dan akses yang mungkin bagi

pemberian alternatif lain;c. menunjukkan dan mengevaluasi dampak dari modal dan

program baru;d. memonitor implementasi program, mengukur biaya dan kinerja

dan sensitivitas mereka ke setting berbeda; sertae. mengevaluasi dampak jangka panjang dan biaya keefektifan

program-program yang ada.

Pada kebijakan berbasis bukti diartikan sebagai suatu kebijakan yang mendasarkan pada bukti (informasi aktual, hasil riset, dan temuan-temuan lain yang sangat kredibel, terkini, dan jelas manfaatnya) sebagai salah satu bagian utama dalam proses pembuatan kebijakan dan menjadi input yang sangat berharga bagi para pembuat kebijakan (Asmara & Handoyo, 2015).

C. Soft System Methodology Sebagaimana evidence based policy, Soft System Methodology

(SSM) merupakan metode penelitian dengan pendekatan soft system atau berpikir secara terstruktur dalam melihat permasalahan kompleks. Konsep SSM dikembangkan dari konsep systems engineering dalam menyelesaikan masalah-masalah teknik yang kompleks (Checkland, 1989). Cara berpikir engineering adalah cara berpikir secara teleological, yaitu berpikir dengan menentukan

Page 129: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

117Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

tujuan akhir yang akan dicapai kemudian berbalik ke belakang untuk menemukan cara atau solusi untuk mewujudkan tujuan akhir tersebut. Konsep systems engineering kemudian dikembangkan oleh Peter Checkland sebagai konsep untuk menganalisis sistem sosial. Untuk membedakan antara sistem engineering dengan sistem sosial, kemudian cara berpikir untuk sistem sosial dinamakanlah dengan soft systems thinking, dimana untuk sistem engineering dinamakan dengan hard systems thinking. SSM memiliki kemiripan dengan evidence based policy dalam hal perancangan sebuah kebijakan. Pendekatan SSM ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui sudut pandangnya dalam melihat permasalahan kompleks (Novani, S., et.al., 2014). Dalam pelaksanaan penelitian tindakan (action research), SSM sangat tepat digunakan sebagai alat dalam metode pelaksanaannya (Rose, J., 1997). SSM dalam tahapan pelaksanaannya terdiri dari tujuh tahap proses (Wilson, 1984 dalam Novani, S., et.al., 2014):• Tahap 1: permasalahan belum terstruktur• Tahap 2: kondisi permasalahan sudah tergambarkan• Tahap 3: membangun akar definisi dari sistem• Tahap 4: membangun model konsep• Tahap 5 & 6: kembali ke dunia nyata dan definisikan perubahan

yang akan diterapkan• Tahap 7: tindakan untuk menyelesaikan atau memperbaiki

masalah

Sumber: Checkland, 1981 dalam Rose, J., 1997.Gambar 1. Tahapan Proses dalam SSM

Page 130: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

118 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Novani, S., et.al., (2014) dalam makalahnya menerapkan SSM pada klaster industri batik di Kota Solo. Berikut adalah tahapan penerapan SSM tersebut:• Tahap 1: mengambil data melalui wawancara kepada para

pelaku usaha batik • Tahap 2: menggambarkan permasalahan-permasalahan dalam

rich picture • Tahap 3: pada tahap ini dilakukan dengan menggunakan analisis

CATWOE • Tahap 4: membangun model konsep dalam penerapan

perubahan • Tahap 5 & 6: membangun saran pengembangan/penyelesaian

masalah • Tahap 7: berupa rekomendasi untuk tindakan yang perlu

dilakukan

Analisis CATWOE merupakan analisis untuk mengetahui dampak perubahan apa yang dapat diterapkan dalam suatu sistem. CATWOE merupakan singkatan dari Clients, Actors, Transformations, Worldviews, dan Environmental constraints (Mills-Packo, P., et.al., 1991).

III. METODOLOGIPenelusuran dan peninjauan terhadap pustaka menjadi basis

metode dalam pelaksanaan riset ini. Tiga elemen pustaka utama yaitu proses perancangan undang-undang yang digunakan saat ini, konsep evidence based policy, dan konsep SSM dieksplorasi dalam upaya untuk mendapatkan rancangan model baru dalam proses perancangan suatu produk legislasi. Pembangunan model konsep atau konstruksi baru dalam perancangan produk legislasi menjadi tujuan utama dalam riset ini melalui proses penyandingan, penyesuaian, dan modifikasi konsep.

IV. PEMBAHASANBerdasar pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dan

juga perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, pembentukan suatu produk undang-undang dilakukan melalui beberapa tahapan proses. Rangkuman tahapan tersebut dalam riset

Page 131: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

119Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

ini digambarkan melalui sebuah diagram alir sebagaimana Gambar 2 dengan tujuan untuk mengetahui struktur atau pola perancangan suatu undang-undang.

Gambar 2. Pola Perancangan Produk Legislasi yang Digunakan Saat Ini

Struktur perancangan produk legislasi yang digunakan saat ini tersebut menjadi sandingan dalam perancangan model konsep perancangan produk legislasi yang berbasiskan pada konsep SSM. Tahap-tahap dalam konsep SSM sebagaimana tergambarkan dalam Gambar 1 kemudian disandingkan dengan struktur perancangan produk legislasi saat ini, dan juga disandingkan pula dengan konsep

Page 132: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

120 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

evidence based policy. Merujuk pada pola perancangan undang-undang existing, maka tahapan penyusunan undang-undang tersebut dijadikan sebagai pola rujukan dalam proses penyandingan dengan konsep evidence based policy maupung SSM. Berikut ini adalah proses penyandingan tersebut:1. Penyusunan RUU

Tahap ini merupakan proses pengumpulan aspirasi dalam menetapkan rancangan produk legislasi.

Proses penyandingan:a. konsep evidence based policy pada dasarnya dapat

diterapkan pada tahapan ini dalam upaya untuk menyerap, menghimpun, dan menampung aspirasi masyarakat.

b. Tahapan awal pada konsep SSM digunakan dalam proses perancangan RUU, yaitu pada SSM tahap 1 sampai 3:• Tahap 1 (situation considered problematic): tahap ini

berguna dalam proses pengumpulan masalah-masalah yang terjadi namun masalah tersebut masih sangat acak.

• Tahap 2 (problem situation expressed): dalam tahap ini, masalah-masalah yang acak sudah mulai tergambarkan dalam rich picture yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penyusunan RUU.

• Tahap 3 (root definition of relevant systems): disinilah proses pembangunan akar definisi dari sistem dilakukan, dan dalam penerapannya untuk rancangan produk legislasi, tahap ini merupakan awalan dalam penyusunan suatu RUU yang berbasis masalah maupun bukti.

2. Harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konseptualTahap ini proses pembangunan atau pembentukan konsep

RUU dilakukan dengan keluaran yang dihasilkan berupa naskah akademik.

Proses penyandingan:Konsep tahap 4 dari SSM (conceptual models of systems described in root definitions) digunakan dalam tahap ini, yaitu membangun model konsep dengan berdasar dari akar definisi dari sistem.

Page 133: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

121Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

Pada penyusunan RUU, tahap ini dilakukan untuk membangun model konsep RUU.

3. Pembuatan naskah akademikNaskah akademik merupakan bagian dari usulan RUU sebelum

dibahas oleh legislatif dan eksekutif.Proses penyandingan:Jika disandingkan dengan konsep SSM, tahapan ini dikategorikan ke dalam bagian dari tahap 4 SSM yaitu proses pembangunan model konsep namun sudah dalam bentuk naskah akademik.

4. Pembahasan RUUProses pembahsan RUU dilakukan oleh legislatif bersama

eksekutif dengan pembagian pada pembicaraan tingkat I sampai tingkat II.

Proses penyandingan:a. Tahap 5 hingga 7 dari SSM dapat disandingkan ke dalam proses

pembicaraan tingkat I, yaitu:• Tahap 5 SSM (comparison of models and real world), yaitu

melakukan validasi model konsep dengan kondisi nyata, yang dalam hal ini proses validasi dilakukan melalui pembicaraan oleh DPR maupun presiden atau yang mewakili.

• Tahap 6 SSM (changes: systematically desireable, culturally feasible), di tahap inilah perbaikan model konsep dilakukan dengan merujuk pada masukan-masukan yang diberikan pada tahap validasi model (tahap 5 SSM).

• Tahap 7 SSM (Action to improve the problem situation), rencana-rencana aksi untuk mengeksekusi model dilakukan pada tahap ini, dalam perancangan RUU dapat dimodifikasi melalui pola uji publik. Proses ini merupakan proses transisi sebelum masuk ke tahap pembicaraan tingkat II.

b. Pembicaraan tingkat II merupakan tahap penentuan persetujuan atau penolakan dari suatu RUU, di tahap inilah hasil keluaran dari tahap 7 SSM dalam hal ini hasil uji publik dari model konsep akan dibahas untuk ditentukan proses persetujuannya.

Page 134: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

122 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

5. Pengesahan Undang-Undang (UU)Pengesahan UU dilakukan setelah RUU mendapat persetujuan

dari DPR bersama Presiden.

Penyandingan tersebut menghasilkan sebuah model konsep baru yang merupakan hasil modifikasi dari pola perancangan produk legislasi existing sebagaimana tergambarkan dalam Gambar 3 yang merupakan kombinasi antara konsep evidence based policy dengan konsep SSM untuk perancangan suatu produk legislasi.

Penyerapan, penghimpunan, dan penampungan aspirasi

masyarakat

Penentuan dan pemahaman situasi masalah

Penggambaran situasi masalah (akar masalah tergambarkan)

Transformasi sistem berdasargambaran situasi masalah

Pembangunan model konsep berdasar transformasi sistem

Validasi model konsep dengan kondisi nyata

Perumusan tindak perbaikan, penyempurnaan, dan perubahan

Proses simulasi atau uji coba

Gambar 3. Model Konsep Perancangan Produk Legislasi Berbasis SSM

V. PENUTUPPenyandingan diagram alir proses perancangan produk legislasi

dengan konsep SSM menghasilkan suatu model konsep baru dalam perancangan suatu produk legislasi yang dapat dilakukan oleh DPR sebagai institusi yang menyelenggarakan pembentukan undang-undang. Modifikasi konsep berpikir secara sistem dalam SSM dan juga konsep evidence based policy telah berhasil dibentuk untuk proses perancangan suatu produk legislasi. Model konsep ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam proses perancangan produk legislasi maupun juga bagi penelitian selanjutnya untuk diujicoba pada skala lebih lanjut. Penelitian lanjut tentunya sangat diperlukan guna menguji model baru ini agar dapat layak digunakan untuk perancangan produk legislasi.

Page 135: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

123Adi Asmariadi Budi dan Dian Sera Fauzela

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A. Y. & S. Handoyo. (2015). Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti: Studi pada Oroses Pembuatan Kebijakan Standardisasi Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia. STI Policy and Management Journal, Vol. 13, No. 1.

Checkland, P. B. (1989). Soft Systems Methodology. Human Systems Management, Vol. 8, No. 4.

Dalimunthe, D. (2017). Proses Pembentukan Undang-Undang Menurut UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Yurisprudentia, Vol. 3, No. 1, Juni.

Handoyo, S. (2009). Analisis Kebijakan Inovasi Bagi Pengembangan Bioteknologi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Head, B. W. (2008). Research and Evaluation: Three Lenses of Evidence-Based Policy. The Australian Journal of Public Administration, Vol. 67, No. 1.

Manan, B. (1987). Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Armico.

Mills-Packo, P., et.al. (1991). Highlights from the Use of the Soft Systems Methodology to Improve Agrotechnology Transfer in Kona, Hawaii. Agricultural Systems, Elsevier, Vol. 36, No. 4.

Novani, S., et.al., (2014). An Application of Soft System Methodology in Batik Industrial Cluster Solo by using Service System Science Perspective. Procedia Social and Behavioral Sciences, Vol. 115, No. 1.

Parson, R. (2006). Evidence Based Policy: A Realist Perspective. London-UK: Sage.

Rose, J. (1997). Soft Systems Methodology as a Social Science Research Tool. Behavioral Science, DOI: 10.1002/(SICI)1099-1743(199707/08)14:43.0.CO;2-S.

Sundari, S. (2007). Menerjemahkan Hasil Penelitian Ke Dalam Kebijakan dan Pelayanan Kesehatan. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 35, No. 4.

Page 136: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Perancangan Produk Legislasi Berbasis Soft System Methodology

124 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Turner, M. A. (2013). Evidence-Based Policymaking Requires A Portfolio Of Tools. Testimony Submitted or the Record to the Subcommittee on Human Resources Committee on Ways and Means United States House of Representatives July 17, 2013.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183.

Page 137: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

125Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESAMELALUI BADAN USAHA MILIK DESA GUNA

MENGHADAPI INDUSTRI 4.0. BERDASARKAN PERSPEKTIF TEORI KEADILAN BERMARTABAT

Rizky P.P. Karo Karo

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,[email protected]

Debora Pasaribu

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,[email protected]

Agrippina Ngadiman

Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan,[email protected]

ABSTRAKDesa adalah satuan negara terkecil dan ujung tombak untuk kemajuan bangsa Indonesia. Dalam rangka melakukan pengembangan dan pembangunan desa, masyarakat desa harus mengikuti perkembangan industri 4.0. untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing bangsa yang kuat. Cara tersebut dengan membentuk “Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)”. Bumdes sudah diatur dengan baik melalui “Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa”. Bumdes dibentuk berdasarkan Peraturan Desa untuk kemakmuran masyarakat desa. Rumusan masalah yang diangkat pada penulisan kali ini berawal dari data yang menunjukkan masih banyaknya desa yang tertinggal, yang sebenarnya memiliki potensi untuk memajukan daya saing bangsa. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, menganalisis menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa jurnal, tulisan ilmiah dan bahan hukum tersier berupa kamus. Hasil penelitian adalah Bumdes memiliki urgensi tinggi untuk segera dibentuk, Bumdes memiliki manfaat untuk menyejahterakan masyarakat desa. Namun, beberapa perangkat desa di Indonesia tidak memiliki pengetahuan hukum terkait penyusunan Peraturan Desa tentang Bumdes. Saran peneliti adalah

Page 138: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

126 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DPR harus lebih giat dan rutin lagi masuk desa bersama stakeholders terkait untuk berkontribusi menyusun Bumdes dan memberi pelatihan bagi para pengurus Bumdes, membuat dan mensosialisasikan peraturan terkait dalam rangka mengefektifkan dan pembangunan Bumdes dengan prinsip keadilan bermartabat sesuai dengan kebijakan berbasis bukti dalam meningkatkan daya saing bangsa.

kata kunci: desa; Bumdes; Perdes; pemberdayaan masyarakat; keadilan bermartabat

I. PENDAHULUANPenulisan karya ilmiah ini berangkat dari telah terlaksananya

kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) yang didukung oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM UPH) dengan judul kegiatan “Pelatihan Pembuatan Peraturan Desa di Desa Surya Bahari, Kec. Pakuhaji, Kab. Tangerang, Prov. Banten” pada 19 Maret 2019. Adapun hasil kegiatan PkM adalah mensosialisasikan pentingnya dan teknis singkat dalam penyusunan Peraturan Desa (Perdes) dan manfaat serta legalitas Bumdes bagi kesejahteraan masyarakat desa.

Desa adalah satuan terkecil bangsa Indonesia. Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo, desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bermukim suatu masyarakat yang berkuasa dan masyarakat tersebut mengadakan pemerintah sendiri (Kartohadikoesoemo,1984). Payung hukum yang mengatur mengenai desa sudah disusun dengan sangat baik dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU Desa, “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 1 Angka 2 UU Desa menyebutkan, “Suatu desa memiliki pemerintahan desa yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa (Kades)”. Pasal 1 Angka 3 UU Desa, didefinisikan Pemerintah Desa adalah “Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa

Page 139: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

127Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa”. Selain Kades, dalam suatu desa memiliki “Badan Permusyawaratan Desa (BPD)”. Pasal 1 Angka 4 UU Desa mendefinisikan “BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis”.

Suatu desa memiliki karakteristik tertentu dan keunikan. Keunikan itu tercipta baik karena kondisi geografis desa, sejarah desa, dan hasil alam suatu desa. Keunikan desa tersebut seyogyanya dimanfaatkan oleh masyarakat desa (masyarakat). Desa yang terus berkembang maju akan membuat masyarakat untuk tetap tinggal sehingga mengurangi tingkat urbanisasi, yang artinya beban di kota-kota besar akan berkurang. Selain itu hasil dari pemanfaatan sumber daya yang ada di desa dapat menjadi produk yang memenuhi kebutuhan rumah tangga Indonesia dan bahkan dapat menghasilkan sebuah produk yang memiliki daya saing tingkat internasional sehingga turut serta dalam meningkatkan daya saing bangsa. Sebagai contoh, kualitas produk lokal juga tidak kalah dibandingkan dengan kualitas produk luar negeri, salah satunya adalah kasus menarik yang belum lama terjadi dimana tas lokal berbahan kulit dan goni dengan label “Roro Kennes” asal Semarang karya desainer lokal Syanaz Nadya Winanto Putri yang ditahan petugas bandara Rusia karena dianggap setara dengan merk branded (Erwanti, 9 Agustus, 2019). Selain itu juga seharusnya setiap desa dapat mengembangkan potensi desanya melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Bumdes sudah diatur dengan baik dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Saat ini terdapat banyak Bumdes yang sudah berhasil salah satunya seperti Bumdes “Karya Jaya Abadi (KJA) yang berhasil mengukuhkan diri sebagai Bumdes paling kreatif tingkat nasional”. Alasannya karena Bumdes KJA ini dinilai aktif, inovatif, serta memiliki langkah yang cukup berani dalam memajukan perekonomian masyarakat desa setempat. Bumdes KJA memposisikan diri sebagai pembeli sawit dari warga secara langsung. Hasilnya, masyarakat desa yang sebagian besar warganya hidup dari kelapa sawit menjadi lebih sejahtera lantaran tidak lagi dilindas tengkulak sawit yang masih merajalela

Page 140: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

128 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

(Belajar, 9 Oktober, 2018). Hal ini perlu dicontoh oleh desa-desa lainnya dengan mengutamakan potensi usaha ekonomi desa.

Namun, sangat disayangkan belum semua desa dapat mengembangkan potensi dan memanfaatkan dengan optimal sumber daya yang ada. Belum semua desa yang terdapat di Indonesia memiliki dan mengembangkan Bumdesnya. Hal ini tentu dapat diatasi agar setiap desa memiliki kesempatan yang sama untuk dapat mengembangkan potensi daerahnya. Hal ini didasari dengan fakta bukti di lapangan dan menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, meyatakan bahwa pada tahun 2018 Bumdes sudah mencapai 39.000 dari yang sebelumnya berada di angka 30.000 (Dewo, 24 September, 2018) angka ini masih jauh dibandingkan dengan jumlah desa yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2018 terdapat 75.436 desa. Sehingga masih diperlukan peranan aktif dari Pemerintah serta dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dapat mensosialisasikan regulasi yang ada mengenai Bumdes dan membuat regulasi-regulasi lainnya agar pelaksanaan Bumdes menjadi efektif, sehingga masyarakat desa dapat memahami secara utuh mekanisme Bumdes karena salah satu permasalahan dari belum meratanya Bumdes karena masyarakat yang belum dapat memahami secara keseluruhan segala peraturan yang terdapat untuk mengelola Bumdes. Sehingga pelaksanaan kegiatan ekonomi di Indonesia dapat dilakukan merata, bukan saja memajukan kota-kota tetapi juga desa-desa sesuai dengan prinsip keadilan bermartabat.

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Tinjauan Umum Badan Usaha Milik Desa

Payung hukum Bumdes adalah Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (Permen DPTT 4/2015). Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Permen DPTT 4/2015, Bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

Page 141: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

129Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

Dalam Pasal 1 ayat (2) Permen DPTT 4/2015, pendirian Bumdes mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (a) inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa; (b) potensi usaha ekonomi Desa; (c) sumber daya alam di Desa; (d) sumber daya manusia yang mampu mengelola Bumdes; dan (e) penyertaan modal dari Pemerintah Desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha Bumdes. Bumdes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bumdes dapat juga menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 87 ayat (2) dan (3) UU Desa). Pendirian Bumdes disepakati melalui musyawarah desa dan ditetapkan dengan peraturan desa (Pasal 88 ayat (1) dan (2) UU Desa).

B. Tinjauan Umum Perdes Berdasarkan Perspektif Prinsip Keadilan Bermartabat Jenis peraturan di desa terdiri atas Peraturan Desa (Perdes),

Peraturan Bersama Kepala Desa (PBKepala Desa) dan Peraturan Kepala Desa (Perkades) (Pasal 69 ayat (1) UU Desa). Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 68 ayat (3) UU Desa). Peraturan pelaksanaan tentang peraturan desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa (Permendagri 111/2014). Definisi PB Kepala Desa adalah Peraturan yang ditetapkan oleh dua atau lebih Kepala Desa dan bersifat mengatur (Pasal 1 Angka 7 Permendagri 111/2014). Sedangkan definisi Perkades adalah Peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa dan bersifat mengatur (Pasal 1 Angka 8 Permendagri 111/2014).

Penyusunan rancangan Peraturan Kepala Desa dilakukan oleh Kepala Desa (Pasal 27 ayat (1) Permendagri 111/2014). Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat Desa (Pasal 69 ayat (9) UU Desa). Masyarakat Desa berhak memberikan masukan terhadap Rancangan Peraturan Desa (Pasal 69 ayat (10) UU Desa). Materi muatan Peraturan Kepala Desa meliputi materi pelaksanaan Peraturan di Desa dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 27 ayat (2) Permendagri 111/2014). Pembiayaan pembentukan Peraturan di Desa dibebankan pada

Page 142: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

130 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

APB Desa (Pasal 28 Permendagri 111/2014). Segala upaya untuk pemberdayaan masyarakat ini harus sejalan dengan prinsip keadilan bermartabat.

Pembentukan Peraturan Desa wajib berpedoman dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2019 (UU PPU) dan berisikan keadilan bermartabat. Keadilan Bermartabat itu bukan suatu jenis konsep keadilan seperti yang sudah sangat umum dipahami selama ini, maka ada baiknya deskripsi singkat mengenai Keadilan Bermartabat itu saya gambarkan secara singkat sebagai berikut. Keadilan Bermartabat adalah suatu Grand Teori Hukum. Sebagai Teori Hukum yang baru, Keadilan Bermartabat bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, berfungsi untuk menjelaskan dan memberi justifikasi suatu sistem hukum yang berlaku, yang berbeda dengan teori-teori barat yang selama ini dirujuk. Teori Keadilan Bermartabat menjelaskan dan memberi justifikasi suatu sistem hukum dengan antara lain suatu postulat bahwa hukum itu ada dan tumbuh dalam jiwa bangsa atau Volksgeist (Prasetyo, 2016).

III. METODE PENELITIANMetode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis

normatif. Peneliti menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer antara lain peraturan perundang-undangan terkait topik penulisan, bahan hukum sekunder antara lain jurnal, artikel ilmiah, dan bahan hukum tersier. Peneliti menggunakan metode kualitatif dan metode deduktif untuk menarik suatu kesimpulan. Fokus dari penulisan ini adalah keberadaan Bumdes, pemberdayaan masyarakat dengan pengembangan dan mengefektifkan Bumdes dalam rangka menghadapi industri 4.0. Dan meningkatkan daya saing bangsa dengan mengutamakan prinsip keadilan bermartabat.

IV. PEMBAHASAN A. Urgensi Pembentukan Bumdes Menghadapi Industri 4.0.

Berdasarkan Pasal 3 Permen DPTT 4/2015 bahwa pendirian Bumdes bertujuan untuk: (a) meningkatkan perekonomian Desa; (b) mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan

Page 143: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

131Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

Desa; (c) meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa; (d) mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga; (e) menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga; (f) membuka lapangan kerja; (g) meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum; (h) pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan (i) meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.

Bumdes di Landungsari dibentuk dengan Peraturan Desa Landungsari No. 2 Tahun 2008 tentang Pembentukan Bumdes yang juga berpedoman dengan Perda Kabupaten Malang No. 20 Tahun 2006 tentang Badan Usaha Milik Desa dan terdapat 7 (tujuh) bidang yakni pertanian, peternakan, simpan pinjam, pengelolaan sampah, jasa basis, home industry, dan pasar. Kontribusi Bumdes berkontribusi dalam penguatan ekonomi desa, yaitu untuk peningkatan pendapatan desa; pemenuhan kebutuhan masyarakat desa; dan pembangunan desa secara mandiri (Coristya dkk, 2013).

Desa Bleberan, Gunungkidul, DIY memiliki obyek wisata yang indah, wisata gua, Rancang Kencana, dan air terjun Sri Gethuk. Desa Bleberan juga menyediakan homestay sebanyak 30 unit yang dapat menampung sekitar 150 pengunjung. Namun demikian, keberadaan homestay ini belumlah efektif, Desa Bleberan memiliki BUMDES Desa Bleberan untuk mengelola simpan pinjam, air bersih, dan pariwisata. BUMDES Desa Bleberan menjadi bagian lembaga yang dapat menopang kesejahteran warga desa (Fatimah, 2018).

Pemkab/Pemkot seyogyanya mendorong perkembangan Bumdes. Hal tersebut sebagaimana diatur dan diamanatkan dalam Pasal 90 UU Desa yakni Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong perkembangan Bumdes dengan: (a) memberikan hibah dan/atau akses permodalan; (b) melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar; dan (c) memprioritaskan Bumdes dalam pengelolaan sumber daya alam di Desa.

Desa yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan industri 4.0. maka akan menjadi desa yang tertinggal, sehingga desa harus adaptif dengan perkembangan dan harus kreatif. Masyarakat desa seyogyanya tidak berhenti untuk belajar dan berkembang. Namun di satu sisi, pembelajaran ini memiliki beberapa hambatan dalam

Page 144: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

132 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

pelaksanaannya. Tidak dapat dipungkiri dari sekian desa yang sukses untuk maju dan mengelola Bumdes, masih terdapat sangat banyak desa yang tertinggal. Hal ini dapat dibuktikan dengan data BPS mencatat bahwa masih ada 14.461 desa tertinggal di Indonesia. Angka tersebut setara 19,17% dari total desa di Indonesia yang berjumlah 75.436 (Hamdani, 10 Desember, 2018).

Nantinya, Bumdes dapat bekerja sama dengan penyedia layanan transportasi online misalnya untuk memasarkan dan mengirimkan hasil produksi daerahnya ke kota, pemerintah juga harus terus melakukan pembangunan untuk memudahkan akses transportasi sehingga daerah mudah dijangkau. Tujuannya adalah dengan mudahnya akses transportasi maka biaya pengiriman akan mengecil sehingga tidak terjadi perbedaan harga yang signifikan antara desa dan kota. Contoh, dalam bidang pertanian petani bisa langsung melakukan jual beli dengan konsumen. Bumdes dapat meningkatkan pendapatan/keuangan desa, Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban (Nurcholis, 2011).

B. Relevansi Pembentukan Bumdes dengan Pemberdayaan Masyarakat DesaPemberdayaan masyarakat desa adalah upaya mengembangkan

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa (Pasal 1 Angka 12 UU Desa). Saat ini Berdasarkan data BPS terdapat 83.931 wilayah administrasi setingkat desa di Indonesia pada 2018. Jumlah tersebut terdiri atas 75.436 desa. Pelatihan kepada masyarakat desa, perangkat Bumdes guna menghadapi industri 4.0. harus diberikan karena berkaitan erat dengan transaksi daring/online.

“Online transactions are based on mutual trust. Such trust is assumed by both seller and buyer to continue on with the transaction. In the case where seller and buyer are both acquainted with each other,

Page 145: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

133Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

trust can be built as they negotiate and conduct sales and purchase transactions. More often than not, parties to the transaction may not know of eachother. Considering that online sellers and buyers are strangers to each other, there should be prudential measures taken not only by sellers but also by the buyers (Karo & Sebastian, 2019).

Pembentukan Bumdes dan dengan efektifnya Bumdes tentu akan berpengaruh pada pemberdayaan desa. Dimana Bumdes dibangun atas prakarsa (inisiasi masyarakat), serta mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif, dengan dua prinsip yang mendasari, yaitu member base dan self help. Hal ini penting mengingat bahwa profesionalisme pengelolaan BUMDes benar-benar didasarkan pada kemauan (kesepakatan) masyarakat banyak (member base), serta kemampuan setiap anggota untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (self help) (Coristya dkk, 2013) sehingga jika Bumdes ini efektif akan memacu semangat masyarakat untuk terus berkembang dan mengembangkan potensi sesuai dengan daerahnya dan apabila dilakukan sungguh-sungguh dengan pengarahan yang tepat tentu dapat menghasilkan suatu produk yang memiliki kualitas tinggi yang memiliki daya saing tinggi.

Sebagai contoh program untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat desa, pemerintah provinsi Jawa Barat mencanangkan One Vilage One Company (OVOC) atau satu desa satu perusahaan. Upaya itu ditempuh untuk memangkas ketimpangan kesejahteraan masyarakat desa dan kota. Menurut Ridwan Kamil, persoalan utama ketimpangan kesejahteraan masyarakat desa, akibat belum optimalnya pemerintah desa mengembangkan potensi daerahnya(Strategi, 2 September, 2019). Dengan majunya seluruh desa yang ada maka akan menjadi kekuatan bagi bangsa Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi.

Pemberdayaan masyarakat desa juga bertujuan untuk pembangunan bangsa Indonesia. Pembangunan adalah terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, mampu menjamin, perlindungan hukum yang didukung oleh aparat penegak hukum, sarana dan prasarana yang memadai (Mertokusumo, 2019). Kesenjangan

Page 146: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

134 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

antara masyarakat desa dan kota ini harus dihapuskan, hal ini telah sinkron dengan amanat Sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Setiap masyarakat Indonesia harus mendapatkan keadilan tanpa ada yang dipandang sebelah mata, artinya stigma-stigma negatif terhadap masyarakat Desa haruslah dihapuskan. Masyarakat Desa bukanlah masyarakat yang tertinggal, masyarakat Desa juga harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri, kelompok dan daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, pentingnya peran pemerintah dalam memberikan fasilitas penunjang agar setiap masyarakat Desa juga mendapat kesempatan untuk berkembang tanpa perlu meninggalkan Desanya.

V. PENUTUPBerdasarkan pembahasan di atas maka penulis mengangkat

kesimpulan sebagai berikut: Bumdes adalah cara untuk mensejahterakan masyarakat desa yang bermuatan keadilan bermartabat, cara untuk memanusiakan manusia dengan berprinsipkan Pancasila. Ketiadaan Bumdes di Desa di Indonesia karena tidak tahu dan mengerti tentang bagaimana dasar hukum pembuatan Bumdes, bagaimana pengelolaan atau manajemen Bumdes tersebut. DPR melalui komisi terkait, Kementerian terkait wajib mendorong pengembangan Bumdes. Bumdes adalah subyek hukum yang dilindungi dan diakui oleh Undang-undang. Seluruh pihak terkait wajib mengembangkan Bumdes dan manajemennya. Masyarakat desa ataupun pengelola Bumdes wajib diberikan pelatihan tentang tata cara pemanfaatan internet yang baik untuk menjual produk khas Bumdes.

Bumdes memiliki banyak manfaat dan relevansi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa karena pengelolaannya berdasarkan asas kegotong-royongan dan barang yang diperdagangkan adalah barang yang menjadi ciri khas dari desa tersebut. Serta masyarakat desa yang sudah terbiasa untuk mengelola suatu usaha seperti Koperasi Desa, dapat dikembangkan lagi kemampuannya untuk memimpin dalam mengelola Bumdes nantinya, dan juga dibutuhkan pendidikan yang memadai terutama di bidang teknologi dalam rangka memasuki Industri 4.0. yang didukung oleh peran aktif pemerintah dan institusi terkait lainnya.

Page 147: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

135Rizky P. P. Karo Karo, Debora Pasaribu dan Agrippina Ngadiman

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

DAFTAR PUSTAKA

________. Strategi Ridwan Kamil Bikin Masyarakat Desa di Jawa Barat Sejahtera, (online), (https://ovoc.jabarprov.go.id/?route=moreart&artid=15>, diakses 13 November 2019).

_________. Belajar dari Bumdes yang Terbukti Berhasil Mensejahterakan Masyarakat, (online), (http://www.berdesa.com/belajar-dari-bumdes-bumdes-yang-terbukti-berhasil-mensejahtrakan-masyarakat/, 10 November 2019).

Coristya, B. R., Ribawanto, H., dan Suwondo. (2013). Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kab. Malang). Jurnal Administrasi Publik, Vol. 1, No. 6.

Dewo, P. Saat ini Jumlah Bumdes telah Meningkat Menjadi 39.000, (online), (https://nasional.kontan.co.id/news/saat-ini-jumlah-bumdes-telah-meningkat-menjadi-39000, 10 November 2019).

Fatimah, P. L. R. (2018). Mengembangkan Kualitas Usaha Milik Desa (Q-BUMDES) untuk Melestarikan Ketahanan Ekonomi Masyarakat dan Kesejahteraan Adaptif: Perancangan Sistem Kewirausahaan Desa dengan Menggunakan Model Tetrapreneur. Jurnal Studi Pemuda, Vol. 7, No. 2.

Hamdani, T. Masih ada 14.000 Desa Tertinggal di RI, (online), (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4336391/masih-ada-14000-desa-tertinggal-di-ri, 11 November 2019).

Karo, R. K. & Sebastian, A. (2019). Juridical Analysis on the Criminal Act of Online Shop Fraud in Indonesia. Lentera Hukum, Vol. 6, No. 1.

Kartohadikoesoemo, S. (1984). Desa. Jakarta: Balai Pustaka.

Mertokusumo, S. (2019). Perkembangan Hukum Perdata di Indonesia. Yogyakarta: GENTA Publishing.

Nurcholis, H. (2011). Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta: Erlangga.

Page 148: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pemberdayaan Masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa

136 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Oktavia, M. Dianggap Terlalu Bagus tas Buatan Semarang ini Ditahan Petugas Bandara Rusia, (online), (https://wolipop.detik.com/fashion-news/d-4658380/dianggap-terlalu-bagus-tas-buatan-semarang-ini-ditahan-petugas-bandara-rusia, 10 November 2019).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa.

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Prasetyo, T. (2016). Kejahatan Pertambangan Dalam Perspektif Keadilan Bermartabat. Jurnal PERSPEKTIF, Vol. XXI, No. 1, Januari.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 15 Tahun 2019.

Page 149: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

137Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN

BERBASIS PARADIGMA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

Ratna Susanti

Politeknik Indonusa Surakarta,[email protected]

Suci Purwandari

Politeknik Indonusa Surakarta,[email protected]

ABSTRAKArtikel ini bertujuan untuk menjelaskan urgensi dilakukannya revisi Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah tidak revelan dengan perubahan zaman secara masif yang telah memasuki era Revolusi Industri 4 .0. Guru dan Dosen wajib memiliki berbagai kompetensi dan kreativitas yang tinggi berbasis internet of thing. Paradigma era Revolusi Industri 4.0 sebagai basis bukti bagi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan. Sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder sebagai bukti penguat dengan menggunakan analisis data sekunder dan analisis konten dari media massa. Penelitian ini menghasilkan kerangka kerja (framework) bagi lembaga legislatif (DPR-RI) dan pemerintah melalui kementerian terkait perlu bersinergi untuk menyusun kebijakan baru dengan merevisi Undang-Undang Guru dan Dosen yang sudah mengakomodasikan berbagai tuntutan kompetensi yang selaras dengan paradigma Revolusi Industri 4.0. Kesimpulannya adalah pentingnya penguasaan internet bagi guru dan dosen dalam era digitalisasi dalam rangka mewujudkan pendidikan yang maju. Kebijakan terkait tugas tugas pokok guru dan dosenSaran yang dapat diberikan adalah guru dan dosen lebih fokus untuk pengembangan kompetensi dan dapat dibebaskan dari kegiatan yang bersifat administratif.

Kata kunci: guru; dosen; revolusi industri 4.0; kebijakan berbasis bukti

I. PENDAHULUANEra Revolusi Industri 4.0 ditandai adanya peran teknologi

yang mengambil alih hampir sebagian besar aktivitas kehidupan. Pemerintah Indonesia bergerak cepat menyambut Revolusi

Page 150: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

138 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Industri 4.0 dengan membuat peta jalan (roadmap) Making Indonesia 4.0 (Prasetyo, 2018). Era Revolusi Industri 4.0 di satu sisi memang melenyapkan sejumlah jenis pekerjaan, namun di sisi lain menghadirkan berbagai jenis pekerjaan baru. Revolusi Industri 4.0 ini ditandai dengan meningkatnya konektivitas, interaksi, batas antar manusia, mesin dan sumber daya lainnya semakin converge melalui teknologi informasi dan komunikasi. Setiap revolusi industri ditandai sejumlah momentum yang menunjukkan perkembangan kehidupan manusia dari waktu ke waktu.

Paradigma revolusi yang terus berkembang secara berkala diprakarsai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pendukung pembaharuan itu. Dunia pendidikan dalam perkembangan era revolusi terus dituntut untuk memperbaiki sistemnya. Salah satu investasi yang menunjang kemajuan peradaban manusia yaitu pendidikan. Seperti yang dikatakan (Shahroom &Hussin, 2018), pendidikan di masa depan akan mengalami perubahan yang signifikan. Proses pembelajaran tak perlu lagi dilakukan di dalam kelas. Prancis, sebagai salah satu negara yang berinvestasi di Dunia Pendidikan telah meluncurkan 42 dengan alamat https://www.42.fr sebagai universitas masa depan pertama di dunia. Universitas yang digagas Xavier Niel (Presiden 42) merupakan pusat pendidikan yang berfokus dibidang teknologi komputer, di mana pedagoginya didasarkan pada peer-to-peer atau operasi partisipatif, tanpa kelas dan dosen/guru yang memungkinkan para siswa/mahasiswanya bekerja sesuai dengan kreativitasnya melalui pembelajaran berbasis proyek (D. Adiputri, 2014). Perlu adanya penyesuaian antara sistem pendidikan berasaskan paradigma lama ke paradigma baru. Pendidikan di Era Revolusi Digital ini menuntut adanya pemanfaatan teknologi digital sebagai alat bantu peningkatan mutu akademik (Syamsuar dan Reflianto, 2018).

Berbicara tentang pendidikan tidak lepas dari peranan guru maupun dosen, kehadirannya mempunyai peran yang sangat strategis dalam melahirkan generasi Era Revolusi 4.0, 5.0, 6.0, dan seterusnya. Berdasarkan tuntutan tersebut, makalah ini menjelaskan perlunya dilakukan revisi Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 dalam menjawab tantangan dan peluang dalam era Revolusi Industri 4.0 (Sedana, 2019). Untuk itu, diperlukan sinergitas kebijakan antara para legislatif dengan pemerintah (Kementerian

Page 151: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

139Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Tenaga Kerja, serta Kementerian Riset dan Teknologi) yang selaras dan saling mendukung demi menciptakan sumber daya yang bersaing dan berkarakter. Pada kenyataannya, pengambilan kebijakan di Indonesia pada umumnya masih belum berdasarkan hasil riset kebijakan atau riset sosial (Asmara & Handoyo, 2015).

Dalam menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 di bidang pendidikan, motivasi saja tidak cukup dalam mewujudkan cita-cita Making Indonesia 4.0, harus ada wujud konkret dan usaha yang keras untuk pemerintah Indonesia dalam menyongsong era digitalisasi. Tantangan pasti akan dihadapi dalam setiap transisi inovasi dan teknologi. Kementerian Perindustrian telah merancang Making Indonesia 4 .0 sebagai sebuah roadmap (peta jalan) yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era Revolusi Industri 4 .0. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu langkah kolaboratif yang melibatkan para pemegang kepentingan mulai dari institusi pemerintahan, asosiasi, dan pelaku industri hingga unsur akademik. Atas dasar itulah, rumusan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana peran guru dan dosen dalam era Revolusi Industri 4.0 sebagaimana tercantum dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005? Masih relevankah? (2) Bagaimana bentuk penyusunan kebijakan berbasis bukti melalui sinergi antara lembaga legislatif bersama pemerintah dalam menyikapi perubahan dunia pendidikan di era Revolusi Industri 4 .0 ini?

II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat (1)

dan (2) dijelaskan bahwa guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (DPR, 2005).

Page 152: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

140 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Atas dasar pengertian di atas, menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, bahwa profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Nurkholis & Badawi, 2019). Payung hukum bagi guru dan dosen tersebut, saat ini sudah selayaknya untuk ditinjau ulang atau direvisi kembali mengingat perubahan zaman dan perkembangan teknologi digital yang semakin maju dan masif sehingga profesi guru dan dosen harus mampu menyelaraskan kebutuhan akan pemanfaatan teknologi di dunia pendidikan.

Revolusi Industri 4.0 saat ini ditandai dengan perkembangan digitalisasi dalam segala lini kehidupan secara masif. Untuk menjawab tantangan era Revolusi Industri 4.0, maka Undang-Undang Guru dan Dosen perlu direvisi sehingga mampu menjawab revolusi industri 4.0 yang bercirikan industri menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data. Semua sudah ada di mana-mana (internet of things/IoT) yang merambah berbagai bidang. Dengan dilakukannya perevisian UU Guru dan Dosen diharapkan mampu memfasilitasi perbaikan kompetensi, integritas, kreativitas, kesejahteraan guru dan dosen sehingga dapat menyiapkan peserta didik menghadapi revolusi industri 4.0. Oleh karenanya, guru dan dosen wajib melek iptek (Sedana, 2019); (Nurkholis & Badawi, 2019); (Syamsuar dan Reflianto, 2018); dan (Yusnaini & Slamet, 2019).

III. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan analisis data sekunder dan analisis

konten dari media massa. Literatur yang dipublikaskan dalam jurnal dan kertas kerja (working papers) merupakan hasil penelitian dari berbagai lembaga penelitian maupun lembaga pendidikan tinggi. Sementara itu, media massa yang menjadi referensi adalah media online yang secara intensif mengulas berbagai peluang dan tantangan Revolusi Industri 4.0 bagi dunia pendidikan di Indonesia. Analisis deskriptif digunakan untuk mengungkap berbagai persoalan dalam pembuatan kebijakan para pemangku kepentingan yang belum menggunakan riset terdahulu sebagai dasar penyusunan kebijakan.

Page 153: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

141Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Makalah ini mengulas berbagai hal terkait dengan paradigma era Revolusi Industri yang berdampak masif terhadap dunia pendidikan di Indonesia, sehingga menjadi bukti yang kredibel dalam proses pembuatan kebijakan. Selanjutnya, penulis berupaya menarik pembelajaran dari referensi yang ada untuk mengungkap akan pentingnya dilakukan revisi terhadap isi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengakomodasikan kepentingan para pembuat kebijakan dengan basis bukti-bukti fenomena perubahan dan perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat dalam era Revolusi Industri 4.0 saat ini.

IV. PEMBAHASANA. Peran Guru dan Dosendalam Era Revolusi Industri 4 .0

Pada tahun 2019 ini Undang Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah berumur 14 tahun. Dalam mengimplementasikannya, banyak sekali permasalahan, khususnya di bidang pendidikan, secara keseluruhan di bidang profesi guru dan dosen. Untuk itu, perlu adanya revisi atau perubahan dalam pengaturan UU Guru dan Dosen. Mengingat, karena keduanya adalah jabatan yang diemban orang-orang yang bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan negaranya. Selaras dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, saat ini mungkin sudah masanya untuk meninjau kembali UU Guru dan Dosen ini. Tujuannya, agar tugas pokok dan fungsi guru maupun dosen itu selaras dengan Revolusi Industri 4 .0.

Revolusi Industri 4.0 ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara optimal, tidak hanya sebatas proses produksi, tetapi juga seluruh mata rantai industri sehingga menghasilkan model bisnis yang baru berbasis digital. Untuk dapat menyiapkan tenaga kerja yang bisa beradaptasi dengan perubahan yang diakibatkan oleh Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah. Beruntung, pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), terus mempersiapkan tenaga kerja yang mampu beradaptasi, berdaya saing, dan bertahan di tengah perubahan dunia kerja. Pihak Kemenaker telah mengeluarkan sejumlah kebijakan dan program berkaitan peningkatan akses dan mutu pelatihan vokasi sebagai upaya mencetak sumber daya

Page 154: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

142 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

manusia (SDM) yang kompeten dan berdaya saing. Sementara itu, pihak Kemenperin mengandalkan sejumlah program pendidikan dan pelatihan vokasi. Pendidikan vokasi yang link and match antara industri dan sekolah menengah kejuruan.

Kompetensi SDM dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0 tidak bisa ditawar lagi. Kompetensi SDM terkait perubahan dunia kerja adalah kunci sukses bila tidak ingin menjadi penonton dalam Revolusi Industri 4.0 di mana terjadi perubahan yang begitu cepat dan masif. Dengan kehadiran roadmap Making Indonesia 4.0 yang sudah menjadi agenda nasional bisa menjadi pegangan yang konsisten. Saat ini bangsa Indonesia hidup pada era knowledge based economy. Artinya sistem ekonomi secara global berjalan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya, negara yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan yang kuat akan menguasai ekonomi. Sebuah bangsa akan memiliki daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain. Jika sebuah bangsa memiliki daya saing yang tinggi, ia dapat dipastikan bisa menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara seperti Cina, Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia memiliki perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dalam bidang pembaharuan pendidikan. Indonesia pendidikan di negara maju sangat berdampak pada inovasi pendidikan di Indonesia.

Pemerintah Indonesia berusaha melakukan berbagai inovasi pendidikan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berimplikasi pada upaya meningkatkan profesionalisme guru dan dosen di bidang pendidikan. Dengan profesionalisme yang tinggi, pendidikan akan bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan yang baik pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk bisa menjamin terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia tidak saja meningkatkan profesionalisme guru dan dosen, tetapi juga perbaikan mempercepat tercapainya sebagaimana Houle (dalam Zen, 2018) menyatakan bahwa profesionalisme dapat dicapai dengan cepat melalui penguatan kompetensi individual, memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi,

Page 155: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

143Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi profesi, ada militansi individual, dan memiliki organisasi profesi. Untuk mencapai ini semua, maka pemerintah mencanangkan sistem peningkatan pengetahuan bagi guru dan dosen secara tersistem dan berkelanjutan melalui in service training. Program ini dapat dilakukan dalam bentuk tukar-menukar guru dari satu daerah dengan daerah lain atau tukar-menukar guru atau di tingkat internasional agar terjadi transfer nilai-nilai positif yang diperoleh akibat perbedaan budaya sekolah dan budaya kampus.

Tantangan pendidikan di era Revolusi Industri 4.0 akan menuju perubahan cara belajar, pola berpikir, serta cara bertindak para siswa maupun mahasiswa dalam mengembangkan inovasi kreatif berbagai bidang. Dalam hal ini akan menekan angka pengangguran di Indonesia khususnya dalam persaingan pasar global. Peran guru maupun dosen di era digital, justru semakin kompleks dan saling melengkapi seiring dengan perkembangan zaman, serta lompatan kecerdasan generasi milenial yang mereka hadapi di kelas sebagai siswa maupun mahasiswa. Tantangan ini merupakan peluang berharga untuk menstimulus munculnya guru dan dosen era digital yang cerdas dan melek teknologi terkini. Menyiasati hal itu, guru dan dosen era digital sebaiknya tidak saja sebagai sumber pengetahuan belaka, tidak boleh hanya berhenti sebagai agen transfer of knowledge, namun juga sebagai agen transfer of value, di mana nilai-nilai karakter serta moral dapat ditularkan dan diinternalisasikan kepada siswa maupun mahasiswa (Yusnaini & Slamet, 2019).

Dalam meningkatkan kemampuan profesionalismenya di era Revolusi Industri 4.0, seorang guru dan dosen harus memiliki beberapa kompetensi dasar yang harus dikuasainya, diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kompetensi dasar kependidikan, yaitu kemampuan dasar dalam mendidik atau menerapkan suatu metode pembelajaran yang berbasis teknologi, terutama penggunaan internet sebagai kemampuan dasar. Guru dan dosen harus mampu mengoperasikan komputer, karena suatu saat nanti pembelajaran berbasis komputer dan internet akan lebih di kedepankan. (2) Kompetensi dalam bidang teknologi komersil, yaitu kemampuan guru dan dosen untuk membawa dan mendorong peserta didik untuk menumbuhkan sikap entrepreneurship dalam bidang teknologi. (3) Kompetensi dalam era globalisasi, seorang guru dan dosen harus

Page 156: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

144 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

memiliki pemahaman dan sudut pandang yang luas terhadap segala sesuatu namun pada dirinya tertanam jiwa nasionalisme yang tinggi dan mampu mentransfer kompetensi tersebut dengan baik kepada siswa maupun mahasiswanya. (4) Kompetensi dalam menyiasati masa depan, artinya bahwa seorang guru dan harus memiliki pemikiran yang jauh ke depan dalam menyikapi setiap perubahan dan kejadian yang terjadi di kehidupan ini sehingga mampu membekali siswa/mahasiswanya untuk mempertimbangkan suatu keputusan yang baik bagi masa depannya. (5) Kompetensi dasar psikologi manusia, bahwa objek yang diajarkan seorang guru dan dosen adalah manusia yang memiliki perasaan dan kondisi psikis yang harus dipahami latar belakangnya, maka wajib bagi seorang guru dan dosen untuk menguasai kompetensi ini. Karena selain sebagai pendidik, guru dan dosen juga berperan sebagai pengganti orang tua di sekolah maupun di kampus.

Pendidikan setidaknya harus mampu menyiapkan peserta didiknya menghadapi tiga hal: (1) menyiapkan untuk bisa bekerja yang pekerjaannya saat ini belum ada; (2) menyiapkan untuk bisa menyelesaikan masalah yang masalahnya saat ini belum muncul, dan (3) menyiapkan untuk bisa menggunakan teknologi yang sekarang teknologinya belum ditemukan. Setidaknya terdapat lima kualifikasi dan kompetensi guru dan dosen yang dibutuhkan di era Revolusi Industri 4.0, yang dapat dijabarkan sebagai berikut. (1) Educational competence, kompetensi mendidik/pembelajaran berbasis internet of thing sebagai basic skill. (2) Competence for technological commercialization, kompetensi membawa anak didik memiliki sikap entrepreneurship (kewirausahaan) berbasis teknologi dan hasil karya inovasi siswa/mahasiswa. (3) Competence in globalization, dunia tanpa sekat, tidak gagap terhadap berbagai budaya, kompetensi hybrid dan keunggulan memecahkan masalah (problem solver competence). (4) Competence in future strategies, dunia mudah berubah dan berjalan cepat, sehingga harus memiliki kompetensi memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di masa depan berikut strateginya. (5) Conselor competence, mengingat kedepan masalah anak bukan pada kesulitan memahami materi ajar, tetapi lebih terkait masalah psikologis, stres akibat tekanan keadaan yang makin kompleks dan berat, dibutuhkan guru dan dosen yang mampu berperan sebagai konselor/psikolog.

Page 157: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

145Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Performa guru dan dosen era Revolusi Industri 4.0 adalah guru dan dosen yang melek dengan digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, tanpa mengesampingkan pentingnya tugas mulia penumbuhan budi pekerti luhur bagi anak didik. Melalui guru dan dosen, dunia pendidikan mesti mengkonstruksi kreativitas, pemikiran kritis, kerja sama, penguasaan teknologi informasi dan komunikasi serta kemampuan literasi digital. Guru dan dosen dituntut menguasi kompetensi kognitif, kompetensi social-behavioral, dan kompetensi teknikal. Kompetensi kognitif mencakup kemampuan literasi dan numerasi, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kompetensi social-behavioral, mencakup keterampilan sosial emosional, keterbukaan, ketekunan, emosi yang stabil, kemampuan mengatur diri, keberanian memutuskan dan keterampilan interpersonal. Kompetensi teknikal yang merupakan keterampilan teknis yang sesuai bidang pekerjaan yang digeluti, dan ini terkait dengan pendidikan vokasi.

B. Kebijakan Berbasis Bukti Melalui Sinergi Lembaga Legislatif dan Pemerintah Dalam Menyikapi Paradigma Revolusi Industri 4.0Kehadiran era Revolusi Industri 4.0 membawa dampak

perubahan yang signifikan, cepat, dan masif dalam berbagai lini kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Ketua DPR, Bambang Soesatyo, memaparkan hasil riset lembaga Internasional McKinsey yang memperkirakan hingga 2030, Revolusi Industri 4.0 akan berdampak pada hilangnya 45 juta-50 juta pekerjaan. Dampak dari Revolusi Industri 4.0 adalah banyak pegawai di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan. Untuk itu, diperlukan inovasi untuk menciptakan lapangan kerja baru serta sumber daya manusia (SDM) yang handal, kompeten, serta memiliki kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Lebih lanjut Bambang Soesatyo mengatakan bahwa dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, Tri Dharma Perguruan Tinggi perlu dikuatkan dan diarahkan pada bagaimana perguruan tinggi dapat mempersiapkan dan meningkatkan kualitas SDM yang siap mengisi era ini dengan tantangan semakin berat. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua DPR periode 2019-2014 ketika mengisi Kuliah Umum di Universitas Islam Atthahiriyah, Jakarta , pada hari Sabtu, 7 September 2019 yang lalu. Selain itu,

Page 158: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

146 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Kementerian Tenaga Kerja melalui Staf Ahli Bidang Ekonomi dan SDM Kemnaker, Aris Wahyudi, menyampaikan bahwa dalam rangka menghadapi era Revolusi Industri 4.0 perguruan tinggi yang ada di Indonesia perlu meninjau kembali kurikulum yang digunakan di kampus dengan metode bermuatan adaptif yang menyiapkan mahasiswa responsif dan survive. Hal itu dilakukan agar generasi muda ini siap menghadapi tantangan di luar dan menjadi pemenang di era kompetisi revolusi industri 4 .0. Generasi muda, khususnya mahasiswa, harus memiliki jiwa petarung, sikap optimistis, berpikir positif dan bekerja keras dalam menghadapi persaingan di masa mendatang.

Berdasarkan data BPS pada bulan Februari 2019, angkatan kerja Indonesia saat ini berjumlah 136 juta orang dengan jumlah pengangguran 6,82 juta orang atau 5,01% (Badan Pusat Statistik, 2019). Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam pidatonya menyatakan bahwa Revolusi Industri 4.0 sebagai topik yang sedang hangat dibicarakan oleh berbagai sektor, seperti ekonomi, manufaktur, dan pendidikan. Jika revolusi industri pertama membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah tatanan kehidupan masyarakat, maka revolusi industri 4.0 yang berasaskan digitalisasi hanya membutuhkan waktu kurang dari satu dekade untuk melakukanya. Beberapa industri yang disurvei oleh WEF bahkan menunjukkan penggunaan teknologi cloud dan mobile internet menjadi fokus model bisnis mereka di masa depan. Itu kemudian disusul oleh teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi, di mana pelaku industri akan mulai beradaptasi hingga 2025 mendatang .

Namun, persoalan revolusi industri 4.0 bukan sekadar perubahan pola produksi semata. Ada bahaya laten yang mengintai dan membuat hal ini menjadi topik yang harus disikapi serius oleh masyarakat dan pemerintah. Ancaman itu muncul dalam bentuk hilangnya beberapa lapangan pekerjaan di masa depan . Tak ketinggalan, pekerja di bidang manufaktur sebanyak 1,6 juta orang juga berpotensi kehilangan pekerjaannya. Di sisi lain, permintaan tenaga kerja yang membutuhkan ahli dan keterampilan tinggi akan semakin membludak di masa depan, misalnya ahli matematika, ahli komputer, hingga ahli pemasaran. Ini lantaran pekerjaan yang punya tingkat keterampilan rendah sudah digantikan oleh otomatisasi .

Page 159: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

147Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah keniscayaan, semua negara tentu akan memasuki fase tersebut. Namun, itu juga mengundang ancaman serius, yakni jutaan tenaga kerja bisa menganggur dengan seketika. Terlebih, Indonesia dipandang rentan terpapar hal tersebut karena profil ketenagakerjaan Indonesia didominasi tenaga kerja berpendidikan rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu mencatat jumlah penduduk bekerja sebanyak 88,43 juta. Hanya saja, 40,69 persen diantaranya hanyalah lulusan Sekolah Dasar (SD). Kemudian sebanyak 22,4 juta orang atau 18,09 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SMP (Badan Pusat Statistik, 2019). Indonesia juga tengah memasuki masa bonus demografi. Jika angkatan kerja terus bertambah sementara pekerja hanya memiliki tingkat pendidikan rendah, kenaikan tingkat pengangguran tentu bisa menjadi ancaman. Atas dasar itulah perlunya sebuah kebijakan yang didasarkan atas bukti-bukti yang didapati di masyarakat sehingga dapat dihasilkan suatu kebijakan baru yang mengakomodasikan kepentingan bersama. Dengan menempatkan bukti terbaik sebagai dasar untuk membantu pengambil keputusan memperoleh informasi penuh mengenai kebijakan, program, dan kegiatan sesuai dengan paradigma Revolusi Industri 4.0 dapat digambarkan dalam kerangka berikut ini.

Bukti

Desain Kebijakan

Implementasi Kebijakan

KEBIJAKAN LAMA

LEGISLATIF

KOMISI VIKOMISI VIIKOMISI IXKOMISI X

PARADIGMAREVOLUSI INDUSTRI

4.0

STAKEHOLDER

PEMERINTAH

KEMENDIKBUDKEMNAKERKEMRISTEKKEMEN PERINDUSTRIAN

STAKEHOLDER

KEBIJAKAN BARU

Gambar 1. Skema kebijakan berbasis bukti

Gambar 2. Framework kebijakan

V. PENUTUP Kemajuan teknologi ini diharapkan dapat memenuhi tuntutan

abad ke-21, di mana pendidikan harus mampu mengembangkan

Page 160: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

148 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

kemampuan dan keterampilan siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan tersebut secara tidak langsung juga mengharuskan guru maupun dosen untuk terus meng-upgrade kemampuannya agar mampu menghasilkan siswa/mahasiswa yang berdaya saing dan mampu berpikir tingkat tinggi. Perubahan-perubahan yang sejalan dengan Revolusi Industri 4.0 sangatlah cepat. Tugas manusia sudah banyak yang digantikan dengan robot. Keadaan tersebut menimbulkan beberapa tantangan terutama di bidang pendidikan yang menjadi dasar dari setiap pemikiran.

Guru dan dosen dalam menghadapi tantangan tersebut juga harus memiliki kompetensi yang mumpuni, karena mempunyai peran yang sangat strategis dalam perkembangan pergerakan nasional. Pendidikan zaman sekarang lebih berfokus dalam melahirkan generasi yang mampu menciptakan perubahan, bukan generasi yang menunggu perubahan. Generasi yang memiliki karakter dan berdaya saing. Untuk itu, perlunya sinergitas antara badan legislatif (DPR-RI), terutama Komisi VI, VII, IX, dan X untuk duduk bersama pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Kementerian Tenaga Kerja untuk menyusun dan mengesahkan sebuah payung hukum bagi guru dan dosen dalam rangka menjawab tantangan maupun peluang dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 segala sesuatu berbasis internet of thing (IoT).

DAFTAR PUSTAKA

Asmara, A. Y., & Handoyo, S. (2015). Pembuatan Kebijakan Berbasis Bukti: Studi Pada Proses Pembuatan Kebijakan Standardisasi Alat dan Mesin Pertanian di Indonesia. STI Policy and Management Journal, 13(1), hal. 38–57. https://doi.org/10.14203/STIPM.2015.38

Page 161: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

149Ratna Susanti dan Suci Purwandari

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

Badan Pusat Statistik. (2019). Berita Resmi Statistik, (online), (https://www.bps.go.id/website/materi_ind/materiBrsInd-20190506113732.pdf)

D Adiputri, R. (2014). The Dutch Legacy in the Indonesian Parliament. Journal of Political Sciences & Public Affairs, Vol. 2, hal. 1–9. https://doi.org/10.4172/2332-0761.1000118

Nurkholis, M. A., & Badawi. (2019). Profesionalisme Guru di Era Revolusi Industri 4.0., Prosiding, Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Universitas PGRI Madiun 12 Januari 2019, 12 Januari, 491–498.

Prasetyo, B. dan U. T. (2018). Revolusi Industri 4.0 Dan Tantangan Perubahan Sosial. Prosiding, SEMATEKSOS 3 Strategi Pembangunan Nasional Menghadapi Revolusi Industri 4.0, 0(5), 22–27. https://doi.org/10.12962/j23546026.y2018i5.4417.

Sedana, I. M. (2019). Guru Dalam Peningkatan Profesionalisme, Agen Perubahan dan Revolusi Industri 4.0. Jurnal Penjaminan Mutu LPM Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Vol. 5(2), hal. 179–189.

Shahroom, A. A., & Hussin, N. (2018). Industrial Revolution 4.0 and Education. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, Vol. 8(9), hal. 314–319. https://doi.org/10.6007/ijarbss/v8-i9/4593

Sindonews.com. (2019). Revolusi Industri 4.0, Ancaman dan Peluang, (online), (https://nasional.sindonews.com/read/1439542/16/revolusi-industri-40-ancaman-dan-peluang-1568407320, diakses 5 November 2019).

Syamsuar dan Reflianto. (2018). Pendidikan dan Tantangan Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi di Era Revolusi Industri 4.0. E-Tech: Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, Vol. 6(2), hal. 1–13.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Page 162: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Berbasis Bukti: Urgensi Revisi Undang-Undang Guru dan Dosen

150 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Yusnaini, & Slamet. (2019). Era Revolusi Industri 4.0: Tantangan dan Peluang dalam Upaya Meningkatkan Literasi Pendidikan, Prosiding, Seminar NasionalPendidikan Program PascasarjanaUniversitas PGRI Palembang, 2, 1073–1085, (online), (https://jurnal.univpgri-palembang.ac.id/index.php/Prosidingpps/article/view/2668).

Zen, Z. (2018). Inovasi Pendidikan Berbasis Teknologi Informasi: Menuju Pendidikan Masa Depan. E-Tech: Jurnal Ilmiah Teknologi Pendidikan, Vol. 6(2), hal. 1–12., (online), (http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/23327/t/UU+Guru+dan+Dosen+Perlu+Perubahan).

Page 163: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

151Elita Lukminarti

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

LEGALISASI BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDESA) UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT DESA

Elita Lukminarti

Universitas Bina Sarana Informatika,[email protected]

ABSTRAKDalam pelaksaanaan pembentukan BUMdesa mewajibkan beberapa tata cara dan langkah yang menyangkut proses legalisasi sebuah badan usaha. Dibalik seluruh aturan dan tata tertib yang harus dilakukan pemerintah desa dalam proses ada banyak cara yang berujung bermaksud untuk demi tercapainya kesejahteraan masyarakat di desa. Dalam konteks komersial dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, koperasi, BUMN, persekutuan komanditer, persekutuan perdata dan Perseroan terbatas, landasan hukum Badan Usaha Milik Desa bagaimana pun berada pada wilayah yang tidak jelas. Karena itu, legalisasi BUMDesa menjadi prasyarat penting untuk memastikan pendirian dapat mencapai tujuan yang diharapkan untuk kesejahteraan masyarakat desa.

Kata kunci: APBDesa; BUMDesa; evaluasi; legalisasi BUMDesa.

I. PENDAHULUANBadan Usaha Milik desa sebagai alat untuk mewujudkan cita

bangsa yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam mewujudkannya bukanlah tanpa tantangan. Pastinya banyak tantanga yang ada dalm pelaksanaanya. Peran pemerintah desa cukup dominan dengan menguasai seluruh atau sebagian besar modal BUMDesa melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat desa.

II. METODOLOGIJenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature

research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan

Page 164: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

152 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, koran maupun dokumen-dokumen lain yang relevan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam tulisan ini adalah analisis deksriptif, yaitu menggambarkan secara naratif data-data yang didapatkan serta menguraikannya secara sistematis, kemudian diberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

III. PEMBAHASANBadan Usaha Milik Desa atau disingkat BUMDesa merupakan

amanat dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, yang mana adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa, apakah itu untuk menggali potensi desa ataukah mengadakan seperti simpan pinjam yang berupa koperasi atau tetapi ada pula menyesuaikan dengan kondisi riil desa dalam artian menyesuaikan potensi-potensi apa saja yang bisa dikelola dan kemudian diangkat untuk dikelola oleh BUMDesa.

Sedang pengertian Aset desa sesuai Peraturan Mendagri Nomor 1 tahun 2016 pasal 1 angka 5 adalah “merupakan barang Milik Desa atau yang berasal dari kekayaan asli milik desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) atau perolehan Hak lainnya yang sah”. Jadi jelas bahwa aset desa merupakan murni kepunyaaan desa, dalam hal pengelolaan aset desa, kegiatan-kegiatan yang meliputi dalam hal ini adalah apakah itu perencanaan, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan, danpengendalian aset desa, kesemua ini adalah ragkaian dari pengelolaan aset desa. Adapun jenis aset desa sesuai pasal 10 Permendagri Nomor 1 tahun 2016 terdiri dari; • Kekayaan milik desa yang dibeli atau diperoleh atas beban

APBDesa.• Kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau

yang sejenis.

Page 165: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

153Elita Lukminarti

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

• Kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan/atau diperoleh berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

• Kekayaan asli desa.• Hasil kerjasama dan kekayaan desa yang berasal dari perolehan

lain yang sah.

Pendirian BUMDesa mengacu pada Perda (Peraturan Daerah) kabupaten dan diatur berdasarkan Perdes (Peraturan Desa). Dalam setiap kecamatan terdiri dari beberapa desa. Satu desa hanya terdapat satu BUMDesa untuk di kelola yang difasilitasi oleh Pemkab (Pemerintah Kabupaten). Dalam bentuk badan usahanya BUMDesa dapat didirikan dalam bentuk Usaha Bersama (UB) atau Bentuk lainnya tetapi bukan koperasi, PT, Badan Usaha Milik Daerah, CV, UD atau lembaga keuangan (BPR).

A. Tahapan pembentukan BUMDesa.Adanya Peraturan Desa (Pemdes) dan masyarakat bersepakat

mendidirkan BUMDesa. Ide atau gagasan awal pendirian BUMDesa bisa bersumber dari perorangan atau kelompok masyarakat dan dibahas dalam rapat desa atau rembug desa. Tahapan aktivitasnya dapat berupa:• Rapat Desa/rembug desa guna membuat kesepakatan pendirian

BUMDesa.• Melakukan identifikasi potensi dan inovasi terhadap produk

(barang dan jasa) yang akan di tawarkan BUMDesa.• Menyususn AD/ART (Anggaran dasar/Anggaran Rumah

Tangga)• Pembentukan Dewan komisaris (yang terdiri dari tokoh

masyarakat dan aparat pemerimtah desa). • Mengajukan legalisasi badan hukum ke notaris untuk

memperoleh pengesahan.

BUMDesa harus bersifat professional dan mandiri sehingga diperlukan orang-orang yang memiliki kompetensi untuk mengelolanya. Pada proses rekrutmen SDM diperlukan sistem penggajian dan pengupahan juga harus dibahas pada rapat/rembug desa. Untuk menetapkan orang-orang yang bakal menjadi pengelola BUMDesa dapat dilakukan secara musyawarah yang harus

Page 166: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

154 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

didasarkan pada kriteria tertentu. Persyaratan pemegang jabatan didalam BUMDesa menjadi tanggung jawab Dewan komisaris.

B. Kegiatan pada BUMDesaKegaiatan bersifat lintas desa perlu koordinasi dan kerjasama

antar Pemerintah Desa dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi. Kerjasama pihak ketiga harus oleh pengelola harus di konsultasikan dan persetujuan Dewan Komisaris BUMDesa. Untuk kegiatan harian, maka pengelola harus mengacu pada tata aturan yang sudah di sepakati bersama sebagaimana yang telah tertuang dalam AD/ART BUMDesa serta sesuai prinsip-prinsip tata kelola BUMDesa. Segala pengeloalaan AD/ART BUMDesa harus bersifat transparan dan terbuka antara masyarakat desa dan pemerintah desa.

C. Anggaran Dasar (AD)AD adalah anggaran dasar yaitu peraturan tertulis memuat

dan terdiri dari aturan-aturan pokok saja dalam organisasi yang berfungsi sebagai pedoman dan kebijakan untuk mencapai tujuan serta menyusun aturan-aturan lain. Biasanya aturan ini dibentuk sebelum kepengurusan terbentuk. Langkah- langkah penyusunan anggaran dasar:• Aparat Pemerinatah Desa mengundang pimpinan atau pengurus

lembaga-lembaga masyarakat desa, pemuda desa, dan tokoh masyarakat untuk merancang AD.

• Pemdes membentuk Tim Perumus (sebaiknya melibatkan golongan miskin/kurang mampu).

• Tim perumus AD menggali ide, aspirasi dan merumuskan pokok-pokok aturannya dalam bentuk draft AD.

• Pemdes mengadakan pertemuan desa untuk membahas draft AD.

• Pemdes membuat berita acara pengesahan draft AD menjadi AD.

• Penyusunan dan pembentukan pengelola BUMDesa.• Pemdes membuat berita acara pengesahan pembentukan dan

penetapan pengelola BUMDesa.

Page 167: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

155Elita Lukminarti

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

D. Anggaran Rumah Tangga (ART)ART adalah anggaran rumah tangga (ART) yaitu peraturan

tertulis sebagai bentuk operasioanl yang lebih terisi dari aturan-aturan pokok Anggaran Dasar, disusun setelah pengola terbentuk dan disahkan melalui rapat amggota. Langkah-langkah penyusunan ART yaitu:• Pengelola mengundang masyarakat pengguna kelembagaan

dan pemerintah desa dan tokoh masyarakat.• Membentuk tim perumus.• Tim perumus menggali ide aspirasi dan merumuskan pokok-

pokok aturannya dalam bentuk draft ART• Rapat/Rembug Desa untuk membahas draft ART• Dibuat berita acara pengesahan draft ART menjadi ART.

E. Monitoring dan evaluasiPada pembentukan BUMDesa perlu dibuat prosedur

pengawasan. Untuk keperluas pengawasan disamping dilakukan oleh Dewan Komisaris sebaiknya ditambah unsur dari pemerintah kabupaten. Sebab Pemerintah Kabupaten berperan dalam memfasilitasi usaha BUMDesa. Proses monitoring dilakukan secara berkelanjutan sehinga memantau kegiatan BUMDesa secara baik. Evaluasi dilakukan per-Triwulan atau sewaktu-waktu jika dianggap perlu sesuai dengan ketentuan AD/ART. Pertanggung jawaban Pengelola dalam prosesnya meliputi:• Setiap akhir periode anggaran pengelola wajib menyusun

laporan pertanggungjawaban untuk disampaikan dalam musyawarah desa yang megikutsertakan elemen pemerintah desa, masyarakat, pemuda, serta seluruh kelengkapan struktur organisasi BUMDesa.

• Laporan pertangguang jawaban antara lain membuat laporan kinerja pengelola selama satu periode/tahunan kinerja usaha yang menyangkut realisasi usaha upaya pengembangan pencapaain indikator keberhasilan dan lainnya laporan keuangan termasuk rencana-rencana pengembangan usaha yang belum terealisasi. Proses pertanggungjawaban dilakukan sebagai upaya evaluasi tahunan serta upaya-upaya pengembangan yang akan datang.

Page 168: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

156 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

• Mekanisme dan tata tertib pertanggungjawaban ini disesuaikan dengan anggaran.

BUMDesa harus memuat prinsip prinsip demokrasi ekonomi sesuai pasal 33 UUD 1945. Sehingga hal-hal yang sangat perlu diperhatikan adalah perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hayat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dalam hal ini adalah pemerintah desa; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (masyarakat desa); perekonomian nasional di selenggarakan berdasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan dan kesatuan ekonomi.

Pemerintah Desa dapat membentuk sebuah organisasi bernama Badan Usaha Milik Desa yang diatur dalam Pasal 87 Ayat 1 UU Desa. BUMDesa dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Namun di lain sisi muncul dari segi legalitas, yakni merupakan badan hukum. Jika kita memaknai badan hukum adalah orang berbadan hukum. Kita lihat bahwa pada Pasal 1 angka 6 UU Desa yang menyatakan bahwa Badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. BUMDesa bukan badan hukum, melainkan badan usaha.

Pada pasal 1653 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhinpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik.

Terminologi badan hukum dalam pasal 1653 Perdata mengandung dua dimensi, yakni badan hukum publik dan badan hukum perdata. Contoh badan hukum publik adalah badan hukum orisinal, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah

Page 169: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

157Elita Lukminarti

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

kota, perguruan tinggi, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Adapun contoh badan hukum perdata antara lain terdiri dari perkumpulan (Pasal 1653 KUH Perdata, Stb,1870-64, Stb. 1939-570), Perseroan terbatas (Pasal 36 KUHD dan UU No. 1 tahun 1995 jo. UU No, 40 tahun 2007). Rederij Pasal 323 No. 12 Tahun 1967, dan Yayasan (UU No.28 tahun 2004).

Dalam konteks komersial dari berbagai bentuk perusahaan yang ada di Indonesia, seperti firma, koperasi, BUMN, persekutuan komanditer, persekutuan perdata dan perseroan terbatas. Ketentuan hukum ini menyebabkan Badan Usaha Milik Desa berada pada wilayah yang tidak jelas. Di sinilah terjadi disharmonisasi peraturan antara Pasal 87 Ayat 1 UU Desa dengan Pasal 1653 KUH Perdata. Salah satunya dampaknya ketika BUMdesa mencari sumber-sumber pembiyaan, baik utang maupun investasi dari pihak ketiga, selalu ditolak karena status hukumnya belum jelas.

Dalam hal pembubaran BUMDesa juga belum ada atau tidak diaturnya pembubaran tersebut. Hal ini dapat menyebabkan BUMDesa tumbuh besar dan gagah perkasa tanpa adanya kontrol dari pihak lain. Dalam hal kepailitan pun, tidak dijelaskan pula bagaimana proses dan siapa saja yang berhak untuk membubarkan dan mempailitkan BUMDesa ini. Jika dibiarkan tidak teratur bukannya tidak mungkin, BUMDesa yang bertujuan menyejahterakan masyarakat desa justru beralih menguntungkan elite capture di lingkungan kekuasaan saja.

IV. PENUTUPElite capture dapat dilihat dari dua sisi yaitu kesengajaan dan

ketidaksengajaan. Kesengajaan yaitu jika yang mendapatkan lingkaran ekonomi yang berafiliasi dengan kepala desa saja. Sebagai contoh kepala desa dengan direktur BUMDesa memiliki hubungan saudara bahkan suami istri. Hal ini bisa menjadi faktor penghambat karena adanya konflik kepentingan antara kepala desa dan direktur BUMDesa tersebut. Ketidaksengajaan adalah jika dalam implementasi program tertentu desa yang hanya warga desa yang memiliki kemampuan lebih. Sebagai contoh ketika desa membangun jalan desa maka yang merasakan manfaat lebih adalah yang mempunyai kendaraan. Bisa dikatakan bahwa badan usaha milik desa, dapat berupa badan hukum publik, tetapi bukan badan hukum privat.

Page 170: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Legalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)

158 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. (2006). Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.

Kessa, Wahyudin. (2015). Perencanaan Pembangunan Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Kurniawan, Boni. (2015). Desa Mandiri, Desa Membangun. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Risadi, Aris Ahmad. (2012). Badan Usaha Milik Desa. Jakarta: Dapur Buku.

Setiawan, Danny. (2011). Wajah Desa Kita Dimensi SDM, Politik, Ekonomi. Jakarta: Pusat Kajian Pemberdayaan Desa.

Soejito, Irawan. (1984). Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.

Page 171: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

159Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

REKONSTRUKSI NASKAH AKADEMIK SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI

(EVIDENCE- BASE POLICY)

Sunny Ummul Firdaus

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,[email protected]

ABSTRAKDalam kultur penyusunan produk hukum di Indonesia, naskah akademik di konstruksikan sebagai syarat wajib sebelum mendesain sebuah kebijakan atau produk hukum. Naskah akademik merupakan pertanggungjawaban ilmiah mengenai suatu rancangan produk hukum yang di dalamnya memuat hasil penelitian, kajian ataupun telaah terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Kewajiban penyusunan nasakah akademik ini seharusnya dimaknai sebagai sistem yang dapat menggambarkan bahwa produk hukum yang dihasilkan telah melalui proses penelaahan yang matang. Namun struktur naskah akademik yang ada belum mampu memberikan gambaran yang jelas terkait dengan kondisi empirik kebutuhan masyarakat atas suatu produk hukum. Naskah akademik hanya sekedar justifikasi yang dibalut oleh kajian yang bersifat teoritis, namun seringkali minus gejala-gejala sosiologis di masyakat yang seharusnya menjadi parameter dalam pembentukan produk hukum. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menelaah kedudukan naskah akademik dalam penyusunan kebijakan serta bagaimana naskah akademik dapat dijadikan sebagai kajian ilmiah yang menghasilkan bukti-bukti atas kebutuhan dalam penyusunan kebijakan. Konsep evidence-based policy perlu dikembangkan sebagai metode dalam mengukur keberhasilan suatu kebijakan. Hal ini diperlukan terutama bagi Indonesia yang memiliki keanekaragaman sosial, politik, dan budaya, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak mungkin bersifat generalisir. Pada kondisi inilah, naskah akademik sebagai dasar evidence-based policy diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang ada saat ini.

Kata kunci: naskah akdemik; evidence-based policy; pembentukan kebijakan.

Page 172: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

160 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANBerdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PUU), keberadaan naskah akademik merupakan suatu keharusan dalam setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. Pasal 43 ayat (3) UU PUU menyebutkan bahwa: “rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai naskah akademik”. Rumusan kata “harus“ dalam pasal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini dikarenakan naskah akademik merupakan pertanggungjawaban ilmiah atas suatu RUU yang akan dilakukan pembahasan kedepannya. Dalam naskah akademik setidaknya memuat secara sistematis, yaitu: pertama, mengenai teori dan praktik empiris; kedua, analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan terkait; ketiga, landasan filosofis, sosilogis, dan yuridis, serta; keempat, sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup pengaturan (DPR RI, 2017).

Naskah akademik berfungsi untuk memberikan gambaran mengenai hasil penelitian ilmiah yang mendasari norma-norma yang diusulkan dalam rancangan. Naskah akademik juga merupakan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk membahas dan menetapkan apakah substansi atau materi yang terkandung dalam naskah akademik layak diatur atau dimasukkan dalam peraturan perundang-undangan (Marwan, 2017). Bahkan dalam perkembangannya, naskah akademik dapat dijadikan sebagai salah satu bukti dalam persidangan judicial review di Mahkamah Konstitusi untuk menguji konstitusionalitas suatu norma. Kendati tidak bersifat mengikat bagi Hakim Konstitusi, naskah akademik dapat menjadi referensi untuk memutus konstitusionalitas suatu norma tersebut (Eko Supriyanto, 2016).

Keberadaan naskah akademik saat ini dipandang sebagai bagian penting dari rulemaking process. Kendati UU PUU hanya mengharuskan penyusunan naskah akademik pada RUU dan Raperda, namun tidak sedikit lembaga negara yang mengeluarkan peraturan dengan berdasarkan pada proses pengkajian secara tertulis yang mereka namakan naskah akademik. Dengan kata lain, struktur naskah akademik yang digunakan oleh setiap lembaga

Page 173: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

161Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

negara bisa berbeda, namun khusus dalam penyusunan RUU dan Raperda harus mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU PUU. Penggunaan naskah akademik oleh lembaga-lembaga ini menunjukan bahwa naskah akademik dibutuhkan sebagai tolo-ukur dari suatu kebijakan yang akan dihasilkan, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban bahwa produk hukum tidak keluar melalui proses transaksi politik atau ‘serampangan’, melainkan melalui tahapan penelaahan secara mendalam.

Dengan melihat rasionalitas suatu naskah akademik tersebut di atas, seyogianya suatu aturan harus berdasarkan pada kehendak dan kebutuhan masyarakat. Penyusunan naskah akademik yang dilakukan dengan melihat gejala-gejala sosial di masyarakat seharusnya dapat dimaknai bahwa aturan yang dibentuk nantinya akan memberikan kepastian, keadilan dan kebermanfaatan bagi masyarakat. Akan tetapi, tidak sedikit RUU atau Raperda yang ‘mendadak’ disahkan tanpa melalui proses penyusunan naskah akademik. (https://radarcirebon.com/banyak-raperda-kota-cirebon-belum-punya-naskah-akademik.html) Bahkan tidak jarang pula terdengar kasus bahwa naskah akademik yang dibuat hanya berdasarkan pada copy-paste pada peraturan yang pernah ada sebelumnya, atau tidak memiliki kejelasan substansi yang bersumber dari keinginan masyarakat.

Sebagai suatu produk penelitian ilmiah, naskah akademik seharusnya mengandung bukti-bukti ilmiah kesesuaian antara kebutuhan masyarakat dengan kebijakan yang akan dikeluarkan. Dalam pendekatan yang lebih modern, istilah yang digunakan adalah “evidence-based policy” yang merujuk pada suatu kebijakan yang dihasilkan berdasarkan bukti. Konsep ini mengidentifikasi apa yang berhasil, menyoroti kesenjangan di mana bukti efektivitas program kurang, memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menggunakan bukti dalam anggaran dan keputusan kebijakan, dan bergantung pada sistem untuk memantau implementasi dan mengukur hasil kunci, menggunakan informasi untuk terus meningkatkan kinerja program. Melalui pendekatan ini, suatu kebijakan diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sehingga penulisan makalah ini diarahkan untuk mengkaji mengenai kedudukan naskah akademik dalam penyusunan kebijakan, dan bagaimana menkonstruksi naskah akademik sebagai sumber evidence-based policy kedepannya?

Page 174: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

162 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

II. TINJAUAN PUSTAKAMenurut Sutcliffe dan Court (2005), EBP merupakan

serangkaian metode yang menginformasikan proses kebijakan yang tidak bertujuan untuk secara langsung mempengaruhi tujuan akhir kebijakan tersebut. Konsep ini menganjurkan pendekatan yang lebih rasional, ketat dan sistematis. Pengambilan EBP didasarkan pada premis bahwa keputusan kebijakan harus mendapat informasi lebih baik dari bukti yang ada dan harus mencakup analisis rasional. Hal ini karena kebijakan yang didasarkan pada bukti yang sistematis dianggap menghasilkan hasil yang lebih baik. EBP merupakan kebalikan dari kebijakan berbasis opini (opinion-based policy) yang bergantung pada penggunaan “selective evidence” atau pandangan-pandangan yang belum teruji (untested views) yang sering kali terinspirasi oleh ideologi, prasangka, atau spekulasi (Harry Seldadyo, 2011).

Secara konseptual, EBP juga perlu dibedakan dengan Information-Based Policy (IBP). Menurut Sumner et al. (2009), IBP melihat kebijakan berdasarkan dari banyaknya informasi yang dihimpun sehingga cenderung melihat pengetahuan dari aspek kuantitasnya, sedangkan EBP melihat kebijakan sebagai sesuatu yang bersumber dari kualitas pengetahuan dan relevansi kontekstualnya. Oleh sebab itu, EBP menekankan pentingnya bukti yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam hal ini, definisi bukti dapat mengacu pada UK Government Cabinet Office (1999), bahwa bukti mencakup “expert knowledge, published research, existing statistics, stakeholder consultations, previous policy evaluations, the Internet, outcomes from consultations, costing of policy options, and output from economic and statistical modeling”. Sedangkan penelitian adalah “any systematic effort to increase stock of knowledge”, termasuk penyelidikan dan evaluasi kritis; penyusunan teori; pengumpulan, analisis, dan kodifikasi data, serta riset berorientasi aksi. Meskipun demikian, prinsipnya ialah bahwa bukti harus dikumpulkan secara cermat dan sistematis.

Penelitian dalam pengambilan kebijakan di Indonesia dapat dilihat pada naskah akademik. Sebagai suatu penelitian, Jazim Hamidi (2011) menyebutkan bahwa naskah akademik menjadi tolak ukur ilmiah yaitu naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan

Page 175: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

163Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek atau arah pengaturan rancangan peraturan daerah. Naskah akademik akan memberikan arah kepada pemangku perancangan (drafter). Bagi pemangku kepentingan, terutama yang menduduki posisi sebagai pengambil kebijakan, akan mendapatkan informasi yang memadai dalam pengambilan keputusan.

Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (law making process) naskah akademik merupakan bahan awal (first draft) suatu rancanan atau sebagai suatu pemikiran baru. Naskah akademik diharapkan dapat mempermudah perancang dalam menentukan orientasi kebijakannya. Dengan menggunakan pendekatan fungsi, naskah akademik memiliki empat fungsi, yaitu: pertama, naskah akademik sebagai media harmonisasi dan sinkronisasi pertemuan konsep hukum negara (state law) dan hukum yang hidup dalam masyarakat; kedua, naskah akademik sebagai media nyata partisipasi masyarakat untuk mewujudkan penerimaan dan keberlakuan hukum; ketiga, naskah akademik sebagai rekomendasi hasil pemikiran ilmiah yang sistematik dan komprehensif; keempat, naskah akademik sebagai dokumen kebijakan kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan suatu kebijakan.

III. METODOLOGIJenis penelitian ini adalah penelitian hukum (legal research).

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mendeskripsikan kerangka konsep pada hukum positif (hukum tertulis). Penelitian hukum disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian dengan cara mencari dan meneliti bahan pustaka yang merupakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang ditulis. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini menggunakan metode penalaran (silogisme). Metode ini berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut ditarik suatu kesimpulan.

Page 176: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

164 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

IV. PEMBAHASANA. Kedudukan Naskah Akademik dalam Pembentukan

KebijakanThe Habibie Center (dalam Saldi Isra, 2009) pada tahun

2007 melakukan kajian mengenai kualitas legislasi di Indonesia. Berdasarkan executive summary diskusi, terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas peraturan perundang-undang di Indonesia. Salah satu di antara tujuh faktor tersebut adalah terabaikannya naskah akademik dalam proses penyusunan suatu rancangan peraturan. Dalam executive summary ditegaskan bahwa:

“Dengan NA, setidak-tidaknya suatu rancangan undang-undang (RUU) dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah terutama mengenai konsepsi yang berisi: latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan objek atau arah pengaturan. Bagaimanapun, dalam proses penyusunan suatu RUU, NA merupakan potret atau peta tentang berbagai hal atau permasalah yang ingin dipecahkan melalui undang-undang yang akan dibentuk atau disahkan”.

Keberadaan naskah akademik dalam pembentukan kebijakan adalah wajib hukumnya sebagai konsekuensi logis bahwa dalam proses legislasi harus memperhatikan pula kadiah-kaidah akademik yang dapat dipertanggungjawabkan. Naskah akademik merupakan salah satu bentuk dari perwujudan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, khususnya asas tujuan yang jelas (het beginsel van duidelijke doelstelling), asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel), serta asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid). Dengan NA, dapat dilihat bahwa setiap rancangan peraturan tidak disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan yang mendadak, atau karena pemikiran yang tidak mendalam, melainkan didorong oleh kebutuhan yang telah dibuktikan melalui penelitian dan pengkajian.

Naskah akademik merupakan kumpulan argumentasi yang memenuhi standar akademik. Jimly Asshiddiqie (2006) menyebutkan bahwa sebagai suatu hasil kajian yang bersifat akademik, tentu naskah akademik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, yaitu: rasional, kritis, objektif, dan impersonal. Karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakanginya

Page 177: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

165Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

tentulah berisi ide-ide normatif yang mengandung kebenaran ilmiah dan diharapkan terbebas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok, kepentingan politik golongan, kepentingan politik kepartaian, dan sebagainya. Hal ini juga ditegaskan oleh Siedman (2001) bahwa dalam proses penelitian ilmiah untuk suatu rancangan peraturan yang disebut the concept paper, menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.

Menurut Ann dan Bob Seidman (2009), untuk memperkuat justifikasi terhadap substansi rancangan peraturan perundang-undangan, perancang membutuhkan suatu laporan penelitian (dalam hal ini naskah akademik), karena tiga alasan yakni: Pertama, naskah akademik akan memberikan pembenaran bagi proses pembentukan kebijakan yang sedang berlangsung. Kedua, naskah akademik juga berfungsi sebagai peta yang akan memandu perancang (drafter) dalam menghimpun dan mensistematisir kerangka besar kebijakan yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang tersedia. Ketiga, kehadiran naskah akademik juga akan memastikan bahwa perancang akan menyusun serangkaian norma yang erstruktur secara logis. Dengan kata lain, naskah akademik cenderung bersifat ex-ante, yakni sebagai quality control dari pembentukan kebijakan karena memuat koherensi kebutuhan yang digali secara sistematis dan komprehensif.

Naskah akademik harus diartikan sebagai dokumen kebijakan (policy paper), yang berarti bahwa naskah akademik berfungsi untuk menjembatani komunikasi mengenai kebijakan yang akan dibuat di antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pembuat kebijakan, perancang, dan pemangku kepentingan (stakeholders). Kebijakan yang dimaksud adalah keputusan pejabat publik dalam struktur penyelenggara negara atas nama kepentingan warga negara yang diformulasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pembentukan kebijakan di sini diartikan sebagai politisi yang mempunyai peran mengambil keputusan. Perancang peraturan dipahami sebagai pelaksana teknis yang melakukan tugas perancangan berikut analisis kebijakan. Dan pemangku kepentingan adalah kelompok-kelompok tertentu di masyarakat yang akan terkena dampak langsung dari suatu kebijakan.

Pasal 1 angka (11) UU PUU menyebutkan bahwa “Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum

Page 178: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

166 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat”. Pengertian ini menandakan bahwa dalam rezim penyusunan peraturan perundang-undangan saat ini, naskah akademik telah ditetapkan secara tegas sebagai bagian dari undang-undang tersebut. Bahkan dalam Pasal 43 ayat (3) UU PUU, naskah akademik diikat dengan frasa “harus” sebagai kewajiban bagi DPR, Presiden, atau DPD dalam menyusun suatu RUU.

Dasar filosofis penyusunan naskah akademik merujuk pada hakekat hukum sebagai sesuatu yang berasal dari masyarakat atau sesuatu yang sengaja dibentuk untuk mempengaruhi masyarakat. Naskah akademik merupakan potret yang memberikan gambaran atau penjelasan tentang apa yang dikehendaki masyarakat yang kemudian diformulasikan dalam suatu kebijakan/peraturan (Delfina Gusman, 2011). Oleh sebab itu, melembagakan nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam pembentukan hukum merupakan hal yang mutlak. Dengan menggunakan pendekatan bottom-up, naskah akademik tidak akan lagi dianggap sebagai syarat formal yang terkadang bisa diabaikan oleh pemrakarsa yang masih menggunakan parameter kebijakan top-down, melainkan sebagai dokumen hidup yang didalamnya memuat nilai-nilai dan kehendak masyarakat. Oleh sebab itu, muatan yang terkandung dalam naskah akademik juga harus memuat hasil riset yang memadai, mengingat Indonesia memiliki keragaman yang tentu mempengaruhi kebijakan yang akan dikeluarkan.

B. Konstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Evidence-Based PolicySalah satu penyebab keberhasilan pada negara maju adalah

perumusan kebijakan yang berdasarkan bukti (Evidence-Based Policy/EBP). Hasbullah (2018) menyatakan bahwa negara maju semakin kuat dengan kebijakan pembangunan yang berdasarkan bukti sehingga menghasilkan dampak yang efektif. Konsep EBP menekankan pada pencapaian kinerja dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi. Dengan menerapkan EBP, para pembentuk

Page 179: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

167Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

regulasi akan bersumber pada data-data empirik yang diperoleh dari hasil penelitian, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan yang bersifat jangka panjang. The Pew Charitable Trusts (2014) menyebutkan bahwa EBP dikatakan lebih efektif karena akan mengurangi pengeluaran biaya, memperluas program yang inovatif, dan dapat memperkuat aksesibilitas.

Gagasan mengenai penggunaan bukti sebagai sumber dalam pembentukan kebijakan bukanlah hal yang baru. Sejak masa Yunani, Aristoteles menempatkan berbagai ilmu pengetahuan sebagai kerangka berpikir dalam merumuskan kebijakan. Idealnya, suatu kebijakan dihasilkan dari kombinasi antara pengetahuan ilmiah, pengetahuan pragmatik, dan pengetahuan yang berbasis nilai (Flyvbjerg, 2001). Di Inggris, gerakan yang mendesak parlemen untuk menghasilkan kebijakan berbasis bukti dapat ditelusuri sebagai kritik atas aturan-aturan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat. Florence Nightingale (dalam Gary Banks, 2009) pernah mengkritik parlemen Inggris dengan mengatakan bahwa, “you change your laws and your administering of them so fast, and without inquiry after results past or present, that it is all experiment, seesaw, doctrinaire; a shuttlecock between battledores”.

Penerapan EBP didasarkan pada premis bahwa kebijakan harus didasarkan pada bukti yang akurat dan telah melewati tahapan analisis yang rasional. David Blunkett dalam (Young et.al., 2002) menyebutkan bahwa “evidence is central to development and evaluation of policy”. Menurut Blunkett, pemerintah berkomitmen untuk menerapkan open-minded approach guna memahami apa dan mengapa kebijakan itu bisa berhasil. Kebijakan berbasis bukti tidak hanya memungkinkan pembuat keputusan untuk memilih program yang sesuai dengan kebijakannya atau dia memberikan tujuan tetapi juga mempersenjatai mereka dengan bukti untuk meyakinkan orang lain. Dengan berkembangnya penerapan EBP, Nutley (2003) menyebutkan bahwa “that policy will now be shaped by evidence; thereby implying that the era of ideologically driven politics is over”.

Secara konseptual, konsep EBP dapat diterapkan pada negara-negara berkembang. Penting untuk diingat bahwa di negara berkembang terdapat keragaman budaya, ekonomi dan politik yang membuatnya sangat sulit untuk menerapkan kebijakan yang

Page 180: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

168 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

sifatnya generalisir. Sutcliffe dan Court (2005) menyebutkan bahwa kondisi politik di negara berkembang cenderung tidak stabil. Ada banyak negara yang belum menjamin kebebasan politik meskipun mengklaim sebagai negara demokrasi. Kebijakan cenderung terpusat tanpa memperhatikan artikulasi kepentingan yang tumbuh di masyarakat. Namun demikian, seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dalam berpolitik, gagasan mengenai kebijakan yang diambil dari ruang-ruang di masyarakat perlu diterapkan di negara berkembang. Hal ini dikarenakan banyak bukti yang menunjukan bahwa masyarakat dapat menjadi penghubung antara penelitian yang dibutuhkan dan formulasi kebijakan yang akan dibuat.

Kultur pembentukan kebijakan di Indonesia sebenarnya sudah diarahkan untuk menggunakan instrumen penelitian sebagai dasar penentuan muatan kebijakan. Naskah akademik yang oleh UU diwajibkan satu paket dengan RUU dan Raperda seharusnya memuat bukti-bukti empirik. Ria Casmi (2013) menyebutkan bahwa lemahnya kebijakan, khususnya yang terjadi di daerah, dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai pembentukan peraturan dan belum adanya pemberdayaan budaya riset dalam setiap menyusun naskah akademik-nya. Hal ini dapat terjadi karena dua hal, yakni: pertama, bahwa pendekatan yang digunakan dalam membuat kebijakan masih bersifat top-down, berdasarkan kepentingan semata, sehingga mengabaikan aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat; kedua, bahwa naskah akademik yang ada saat ini belum sepenuhnya menjadi instrumen pertanggungjawaban ilmiah karena hanya memuat hal-hal yang bersifat teroritis dan konseptual, belum menyentuh pada permasalahan-permasalahan di masyarakat.

Materi muatan dalam naskah akademik seharusnya lebih banyak menguraikan fakta empirik di masyarakat, sehingga fokus kajian akan lebih banyak bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Political will selanjutnya menjadi aktivitas pengambil keputusan yang bersumber pada bukti-bukti yang terkandung dalam naskah akademik tersebut. Hal ini agar suatu kebijakan diambil berdasarkan pada apa yang seharusnya diatur. Kedepannya, perlu ditegaskan bahwa naskah akademik bukan hanya sebagai bagian dari suatu rancangan undang-undang, melainkan sebagai suatu syarat perlunya suatu peraturan baru atau perubahan terhadap kebijakan tertentu. Dengan demikian, akan ada konsekuensi hukum

Page 181: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

169Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

apabila suatu rancangan peraturan tidak disertai dengan naskah akademik.

Suatu kebijakan dibuat atas dasar pemenuhan kepentingan dari masyarakat. Oleh karenanya kebijakan harus diambil berdasarkan pada apa yang dikehendaki masyarakat. Rasio ini baru akan diperoleh apabila naskah akademik dikonstruksikan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan. Adapun naskah akademik yang dimaksud adalah yang memuat fakta-fakta ilmiah yang relevan dan rasional yang digali dari masyarakat secara langsung. Suatu kebijakan atau peraturan sebagai a command of the lawgiver yang disusun disertai dengan kajian yang memadai akan menjadi sebuah peraturan yang baik, aplikatif dan futuristik serta mengarah kepada cita kedamaian hidup (het recht wil de urede).

V. PENUTUPNaskah akademik memiliki kedudukan yang strategis dalam

proses penyusunan suatu kebijakan atau peraturan. Ia diletakkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rancangan peraturan, karena di dalamnya memuat alasan mengapa perlunya suatu peraturan itu dibentuk. Namun dengan fakta bahwa naskah akademik masih sering dianggap sebagai formalitas semata, maka kedepannya perlu ditegaskan bahwa naskah akademik merupakan suatu dokumen yang berkesinambungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Oleh sebab itu, naskah akademik harus dikonstruksikan sebagai dasar evidence-based policy, dengan maksud bahwa naskah akademik tidak hanya memuat hal-hal yang bersifat teoritis dan konseptual, melainkan memiliki bobot lebih pada hal-hal yang sifatnya empirik dan dapat dibuktikan dari apa yang ada dan terjadi di masyarakat. Substansi dan sistematika Naskah Akademik harus di tata ulang sebagai sebuah dokumen riil yang lebih banyak mengeksplorasi kondisi empiris suatu keadaan yang akan di elaborasi sebagai sebuah kebijakan.

Page 182: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

170 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

DAFTAR PUSTAKA

Flyvbjerg, B. (2001). Making social science matter: why social inquiry fails and how it can succeed again. Cambridge, UK: University Press.

Banks, Gary. (2009). Evidence-based policy making: What is it? How do we get it?. (ANU Public Lecture Series, presented by ANZSOG, 4 February).

Sutcliffe, Sophie dan Julius Court. (2005). Evidence-Based Policymaking: What is it? How does it work? What relevance for developing countries?. Overseas Development Institute.

Young, K, et.al. (2002). Social science and the Evidence-based Policy Movement. Social Policy and Society, Vol. 1.

Nutley, S. (2003). Bridging the policy/research divide: Reflections and Lessons from the UK”. Keynote paper, National Institute of Governance Conference; ‘Facing the Future: Engaging stakeholders and citizens in developing public policy’, Canberra, Australia 23/24 April 2003.

The Pew Charitable Trusts. (2014). Evidence-Based Policymaking: A guide for effective government. A report from the Pew-MacArthur Results First Initiative.

Seldadyo, Harry. (2011). Research and Policy: An Empirical Note. SMERU Newsletter No. 32, Sep–Dec/2011.

Sumner, Andy, Nick Ishmael-Perkins, and Johanna Lindstrom. (2009). Making Science of Influencing: Assessing the Impact of Development Research, Institute of Development Studies.

Cabinet Office. (1999). Modernising Government White Paper. London: Center for Management and Policy Studies.

DPR RI. (2017). Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang. Jakarta: Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Page 183: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

171Sunny Ummul Firdaus

Rekonstruksi Naskah Akademik sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan

Marwan. (2017). Hakikat Naskah Akademik dalam Pembentukan Peraturan Daerah yang Responsif. Disertasi. Makassar: Fakultas Hukum UNHAS.

Supriyanto, Eko. (2016). Kedudukan Naskah Akademik dalam Penafsiran Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang. Jurnal Yuridika. Volume 31 No. 3, September-Desember.

Hamidi, Jazim dan Kemilau Mutik. (2011). Legislative Drafting. Yogyakarta: Total Media.

Isra, Saldi. (2019). Urgensi Naskah Akademik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. Makalah, Disampaikan dalam Diklat Legal Drafting Lembaga Administrasi Negara (LAN), di Pusat Diklat LAN, Jakarta, 18 Maret 2009.

Asshiddiqie, Jimly. (2006). Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

Seidman, et.al (2001). Legislative Drafting for Democratic Social Change : A Manual for Drafters. Boston : Kluwer Law International.

Seidman, Ann dan Robert B. Seidman. (2009). ILTAM: Drafting Evidence-Based Legislation for Democratic Social Change. Boston University Law Review, Vol. 89, 2009.

Gusman, Delfina. (2011). Urgensi Naskah Akademik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik. Masalah-Masalah Hukum, Jilid 40, No. 3, Juli.

Arrsa, Ria Casmi. (2013). Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset. Jurnal Rechtsvinding. Volume 2 Nomor 3, Desember 2013.

Radarcirebon.com. Banyak Raperda Kota Cirebon Belum Punya Naskah Akademik, (online), (https://radarcirebon.com/banyak-raperda-kota-cirebon-belum-punya-naskah-akademik.html)

Page 184: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan
Page 185: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

173Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

POS PELAYANAN KEUANGANUNTUK DAYA SAING PENDIDIKAN

Rahayu Endang Pujiati

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah [email protected]

ABSTRAKPembiayaan untuk pendidikan sebesar 20 persen dari Pemerintah Indonesia ternyata belum menghasilkan sumber daya manusia yang maju, unggul, menguasai ilmu & teknologi, memiliki jiwa kewirausahaan yang mampu bersaing dengan dunia internasional. Pembiayaan tersebut baru ada pada kebutuhan akademik. Endowment fund dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga belum bisa menjawab pendidikan yang berdaya saing. Pembiayaan tersebut baru ada pada kebutuhan akademik dan pemerataan pendidikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dari informan maupun dokumen-dokumen pendukung.. Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa belum ada pendanaan untuk masyarakat memperoleh pendidikan yang berdaya saing. melalui proses pembelajaran :kepribadian, berakar pada budaya, pola hidup sehat, kepeduliaan hidup bermasyarakat dengan aturan-aturannya; keunggulan akademik; KeungguIan lokal, nasional dan internasional.

Kata kunci: pos pelayanan; keuangan; daya saing; pendidikan

I. PENDAHULUANSalah satu program kerja Presiden Jokowi-Ma’ruf 2019-2024

adalah Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Presiden Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan SDM akan menjadi prioritas utama. Upaya tersebut dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan peluang tersendiri. Presiden Jokowi ingin menciptakan generasi pekerja keras yang dinamis, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia memerlukan endowment fund yang besar untuk manajemen SDM serta optimalisasi kerja sama dengan industri (tribunnews.com, 2019).

Page 186: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

174 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Rahayu (2016) pernah menulis di blognya www. merubahmental.com berjudul Bendera Setengah Tiang Untuk Pendidikan, yang menyatakan bahwa pendanaan 20 persen dari APBN, APBD Tingkat Provinsi dan APBD Kabupaten Kota belum mampu menopang kebutuhan pendidikan. Hal ini terlihat dengan masih banyak anak putus sekolah pada tingkat SD. Biaya pendidikan di lembaga pendidikan formal masih sangat membebani masyarakat. Bertolak dari keadaan ini, pemerintah diharapkan dapat Pos Pelayanan Pendidikan khususnya pelayanan keuangan untuk meningkatkan daya saing pendidikan.

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Konsep Daya Saing

Daya saing adalah kemampuan makhluk hidup untuk dapat tumbuh (berkembang) secara normal di antara makhluk hidup lainnya sebagai pesaing di satu habitat (di satu bidang usaha ). Daya saing adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh seseorang. Daya saing ditentukan oleh keunggulan bersaing suatu lembaga dan sangat bergantung pada tingkat sumber daya yang dimilikinya/keunggulan kompetitif.

B. Konsep Pendidikan Menurut Miarso (2004:9-10), konsep pendidikan adalah: 1)

Pendidikan pada hakekatnya merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anak didik yang berakibat terjadinya perubahan pada diri pribadinya; 2) Pendidikan adalah proses yang berlangsung seumur hidup; 3) Pendidikan dapat berlangsung kapan dan di mana saja; 4) Pendidikan dapat berlangsung secara mandiri dan dapat berlangsung secara efektif dengan dilakukannya pengawasan dan penilikan berkala; 5) Pendidikan dapat berlangsung secara efektif baik di dalam kelompok yang homogen, kelompok yang heterogen, maupun perseorangan; 6) Belajar dapat diperoleh dari siapa dan apa saja, baik yang sengaja dirancang maupun yang diambil manfaatnya.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pengertian Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

Page 187: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

175Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

C. PosPos disini adalah tempat terselesaikanya transaksi. Dalam dunia

dagang Point Of Sales (POS) merujuk dalam pengertian tempat kasir (check-out counter) dengan mesin kasir (Cash Register). Sesuai dengan namanya, POS merupakan titik penjualan (Check-out) tempat di mana transaksi selesai. Ini adalah titik di mana pelanggan melakukan pembayaran dalam pertukaran barang atau jasa.

D. PelayananPelayanan adalah tindakan yang dilakukan orang lain untuk

memenuhi kebutuhan orang lain. Pada perkembanganya, pelayanan dijadikan parameter dalam proses berproduktivitas antara penyedia dan pengguna. Pendapat Zeitami kata pelayanan sebagai penyampaian secara cerdas atas harapan konsumen.

E. KeuanganKonsep dasar keuangan adalah nilai pendapatan bersih. Cara

menghitungnya adalah dengan mengurangi total aset dengan jumlah total utang. Keuangan merupakan ilmu dan seni dalam mengelola uang yang mempengaruhi kehidupan setiap orang dan setiap organisasi. Keuangan berhubungan dengan proses, pasar, lembaga, dan instrumen yang terlibat dalam transfer uang di antara individu maupun antara bisnis dan pemerintah. Lain halnya pengertian keuangan menurut pemerintah, menurut Pemerintah Indonesia keuangan adalah untuk menentukan anggaran keuangan negara, kebijakan fiskal, dan mengontrol keuangan.

Berdasarkan pengertian keuangan di atas, dapat disimpulkan bahwa keuangan pasti memiliki hubungan yang erat dengan dunia moneter. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui dasar-dasar yang dimiliki keuangan agar kita paham. Dasar-dasar keuangan pertama nilai pendapatan bersih, kedua adalah inflasi, ketiga yang dimiliki keuangan likuiditas (liquidity), keempat adalah bear market,

Page 188: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

176 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

kelima toleransi risiko adalah sebuah ukuran dari ketidak pastian yang tersedia, keenam alokasi asset dan diversifikasi.

III. METODOLOGI Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian deskriptif kualitatif karena peneliti ingin mendiskripsikan perencanaan implementasi dan evaluasi pembiayaan pendidikan. Pendapat Nawawi dan Martini (1996: 73). penelitian deskriptif kualitatif berusaha mendeskripsikan seluruh gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Mukhtar (2013: 28). Sumber data dalam penelitian ini adalah rekapitulasi program kegiatan pendidikan tahunan dan buku evaluasi kinerja pembangunan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pustaka (library research), simak, dan catat. Sebagai instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, dalam hal ini peneliti sudah melakukan pembiayaan pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, yang peneliti cermati, dan mencatat hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Adapun langkah pengumpulan data penelitian adalah (1) membaca, (2) menguasai teori, (3) menguasai metode, (4) mencari dan menemukan data, (5) menganalisis data yang ditemukan secara mendalam, (6) melakukan perbaikan secara menyeluruh, (7) membuat simpulan penelitian. Pengumpulan data juga dilakukan dengan kuisioner. Kuisioner (questionnaire) atau angket, merupakan serangkaian (daftar) pertanyaan tertulis ditujukan kepada responden mengenai masalah-masalah tertentu, yang bertujuan untuk mendapatkan tanggapan dari orang tua (responden) tersebut. Kuesioner yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah angket yang bersifat terbuka. Teknik analisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan analisis data kualitatif, yaitu dengan melakukan analisis secara langsung terhadap responden kemudian peneliti menyimpulkan dari hasil analisis.

IV. PEMBAHASANA. Anggaran Pendidikan 20 persen

Amademen Undang-Undang Dasar 1945 mewajibkan pengalokasian dana pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran

Page 189: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

177Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Pendapatan Belanja Negara (APBN). Anggaran tersebut ternyata tersebar ke 20 kementerian. Di antaranya Kementerian Agama yang mengurus Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), keagamaan dan madrasah serta. Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang menaungi universitas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya mengelola 9 persen dari 20 persen anggaran pendidikan. Dari 20 persen APBN itu dibagi ke 20 kementerian dan ditambah transfer ke daerah sebesar 65 persen lebih. Anggaran pendidikan 20 persen bukan hanya berlaku pada APBN, tetapi juga untuk APBD. Hanya ada lima pemerintah daerah yang masih kurang dari 20 persen dalam mengalokasikan APBD murninya.

B. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)LPDP bertugas untuk menempatkan dana tersebut pada

instrumen investasi yang aman seperti surat berharga negara. Kemudian, hasil penempatan tersebut akan digunakan untuk membiayai program pendidikan seperti penyaluran beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri. Program beasiswa dari LPDP sendiri hanya ada dua yaitu untuk program Magister atau S2, baik dalam maupun luar negeri, serta program Doktor atau S3 untuk dalam maupun luar negeri juga. Jadi tidak ada program beasiswa untuk tingkat sarjana atau S1. Maksimal masa studi untuk program Magister adalah 2 tahun dan untuk program Doktor 4 tahun. Dan jika melebihi masa waktu tersebut tentu saja bisa dikenakan penalti bagi pemegang atau pelakasana beasiswa tersebut. Beasiswa LPDP ini bertujuan untuk mendukung ketersediaan SDM Indonesia yang berpendidikan dan berkualitas, mempunyai jiwa kepemimpinan dan memberikan efek yang baik terhadap masyarakat luas dan bangsa di masa depan. Yang akan ditanggung untuk beasiswa LPDP adalah biaya pendaftaran, SPP, tunjangan buku, biaya tesis/disertasi/penelitian, biaya wisuda, biaya transport PP, asuransi kesehatan, biaya aplikasi visa, biaya hidup dan biaya kedatangan. Syarat beasiswa LPDP yang harus dipenuhi adalah: Warga Negara Indonesia (WNI), merupakan Lulusan Sarjana/magister di Universitas terakreditasi Ban-PT, mempunyai jiwa kepemimpinan, berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan/keilmuan/ inovasi dan kebudayaan, dan lain sebagainya.

Page 190: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

178 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

C. Endowment fundUntuk mempercepat dan percepatan pendidikan yang merata dan

berkualitas yang memiliki daya saing sangat dibutuhkan pendanaan yang luar biasa banyaknya. Sebagaiman salah satu program kerja Presiden Jokowi-Amien 2019-2024 yaitu Pembangunan SDM, Presiden .Jokowi menyebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia akan menjadi menjadi prioritas utama. Upaya tersebut dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan peluang tersendiri.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.05/2010 Tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Endowment fund dan Cadangan Pendidikan yang dimaksud dengan endowment fund adalah dana pengembangan pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/dewan/tim pendidikan nasional.

Menurut Direktur Peraturan Perpajakan II, DJP Kementerian Keuangan Yunirwansyah mengatakan konsep pemerintah memberi kelonggaran bagi lembaga pendidikan tinggi untuk memupuk kekayaan dari sisa/kelebihan dana yang diterima tanpa dikenakan pajak. diatur dalam perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima Atau Diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian dan Pengembangan, yang Dikecualikan Dari Objek Pajak Penghasilan. Sebagaimana pada aturan Peraturan Menteri Keuangan RI/PMK nomor 80 tahun 2009 pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan, ‘sisa lebih yang diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada pihak manapun, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.

Page 191: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

179Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

D. Daya Saing PendidikanKekuatan pokok manusia bukan sekedar terletak pada

kemampuan intelektualnya, tetapi juga bersandar pada kekuatan hati nurani, keimanan, martabat, perlaku dan kepribadiannya. OIeh karena itu yang harus dididik bukan hanya sekedar kemampuan intelektual tapi juga hati nurani, keimanan, sikap dan stabilitas emosi juga perilaku dan ketrampilannya. Dengan demikian pendidikan tidak berorientasi mutlak pada pemberdayaan kemampuan intelektualnya semata, tetapi juga harus dikembangkan pada proses penyadaran, pendidikan hati nurani dan pendidikan keimanan (Yuwono Sri Suwito,2007). Artinya output pendidikan diharapkan tidak hanya memiliki keunggulan komparatif yang modern tetapi output pendidikan dan sekolah juga diharapkan akan menghasilkan satriya utama yang memiliki keunggulan tidak hanya berbicara tetapi juga pengetahuan intelektualnya, sopan-santun, unggah-ungguhnya/ pembelajaran kepribadian yang berakar pada budaya, pola hidup sehat, kepeduliaan hidup bermasyarakat dengan aturan-aturannya; keunggulan akademik; keungguIan lokal, nasional dan internasional, dan ada perbuatan nyata yang berguna bagi masyarakat dan mampu bersaing di dunia atau mengglobal.

E. Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan Dikatakan POS karena memiliki maksud dan tujuan untuk

menyelesaikan semua masalah pembiayaan pendidikan dengan cepat dan tepat dari PAUD hingga perguruan tinggi, tempat ini bisa dikatakan sebagai ruang publik. Ruang Publik secara spasial didefinisikan sebagai tempat di mana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Dana pendidikan yang ada sekarang untuk kebutuhan pendidikan yang berasal dari pemerintah belum menyentuh kebutuhan pendidikan yang berkualitas. Menurut Enny (peneliti) kualitas pendidikan di Indonesia masih bermasalah walaupun dana yang digelontorkan untuk sektor pendidikan sudah cukup besar melalui afirmasi policy 20 persen anggaran pendidikan, itu jauh sudah lebih dari cukup, kalau angka 20 persen itu diproporsionalkan dengan total belanja negara (500 triliun). Yang menjadi persoalannya mengapa kualitas pendidikan kita dan infrastruktur pendidikan kita

Page 192: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

180 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

sampai hari ini masih banyak yang bermasalah. Hal ini diperkirakan bahwa yang jadi persoalan terkait tata kelola atau manajemen pengelola anggaran pendidikan yang begitu besar belum efektif dan efisien. Sebagai contoh pembiayaan keberadaan pendidikan prasekolah secara formal yaitu PAUD dan Taman kanak-kanak yang diawali dari anak usia 3- 6 tahun. Jangka waktu yang cukup lama untuk hanya untuk sekedar menyiapkan anak beradaptasi menuju sekolah. Kondisi demikian orang tua akan kebanyakan kehilangan waktunya hanya untuk seremonial antar jemput di samping itu pikiran dan tenaga juga akan dikeluarkan. Pilar Pendidikan yang berbasis keluarga akan hilang karena orang tua tidak memperoleh waktu untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan .

Sebenarnya dana pendidikan 20 persen peruntukannya yang sesuai Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa” Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. Sedangkan lembaga BLU yang dibentuk pemerintah yang berupa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan/LPDP bertugas untuk menempatkan dana tersebut pada instrumen investasi yang aman seperti surat berharga negara. Kemudian, hasil penempatan tersebut digunakan untuk membiayai program pendidikan seperti penyaluran beasiswa pendidikan tinggi di luar negeri. Program beasiswa dari LPDP sendiri hanya ada dua yaitu untuk program Magister atau S2, baik dalam maupun luar negeri, serta program Doktor atau S3 untuk dalam maupun luar negeri juga. Jadi tidak ada program beasiswa untuk tingkat sarjana atau S1.

Lain halnya dengan endowment fund adalah dana pengembangan pendidikan nasional yang dialokasikan dalam APBN dan atau /APBN-P, tujuannya adalah menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggung jawaban antar generasi dan untuk mengatasi keperluan rehabilitasi fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana Alam. Endowment Fund yang digunakan saker BLU adalah pendapatan atas hasil Endowment Fund untuk keperluan operasional dan rehab fasilitas pendidikan yang rusak akibat bencana dan disetujui oleh komite/dewan/tim pendidikan nasional.

Page 193: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

181Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Lain soal dengan tunjangan anak untuk Aparatur Sipil Negara /ASN ada tunjangan sebesar 2,5 persen dari gaji pokok yang melekat pada gaji sebagai tunjangan anak setiap bulannya yang diberikan anak pertama dan anak kedua selama masih sekolah/kuliah (setelah berusia 21 tahun menggunakan surat keterangan kuliah dari kampus) dan gaji ke 13 setiap tahunnya. Tunjangan anak tersebut digunakan tidak jelas artinya untuk kebutuhan macam-macam, kalau peneliti untuk membayar listrik/pembelian pulsa listrik namun setiap bulannya tidak cukup. Sedangkan gaji ke 13 kalau peneliti dan beberapa responden dana tersebut digunakan untuk membayar sekolah seperti uang bangku, Uang Kuliah Terpadu/UKT. Pembayaran ini sering terlambat karena gaji ke 13 baru didapat pertengahan bulan Juli sedangkan anak sekolah bulan Juli sudah masuk.

Sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo Indonesia membutuhkan endowment fund yang besar untuk dialokasikan ke sektor pengembangan SDM, tujuannya untuk meningkatkan kualitas SDM lokal agar bisa bersaing. Namun, seperti apakah endowment fund dan apakah sudah efektif? Untu itu diperlukan adanya Lembaga Keuangan Pendidikan Masyarakat yang disingkat LKPM yang lokasinya paling dekat dengan masyarakat yaitu di Desa/Kelurahan. Lembaga ini tidak mencari laba tidak seperti Badan usaha atau Koperasi.

LKPM adalah salah satu bentuk badan usaha yang harus sesuai asas kekeluargaan, dengan misi sebagai; pertama, penyediaan dana, pencairan dana, pengelolaan dana dan pertanggung jawaban yang independen, transparan, dan akuntabel. Kedua, menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi berikutnya sebagai bentuk pertanggungjawaban antar generasi (intergenerational equity). Ketiga, merealisasikan kemampuan SDM melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Keempat, membangun SDM Indonesia yang pekerja keras, yang dinamis. terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi. Kelima, memperkokoh pendidikan sebagai dasar kekuatan dan ketahanan SDM. Keenam, mewujudkan SDM yang multi talen, menguasai pengetahuan, teknologi, sebagai inovator, memiliki jiwa interprenaur yang mampu bersaing dengan masyarakat internasional.

Page 194: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

182 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

LKPM dalam menjalankan kegiatan selalu dilandasi dengan prinsip-prinsip yaitu: a) bersifat terbuka. bagi pelajar (dari siswa PAUD sampai SLA) dan mahasiswa tanpa memandang RAS, suku, agama b) pengelolaan dilakukan secara demokratis (dengan musyawarah mufakaat yang dipilih oleh masyarakat desa/kelurahan setempat model pemilihan mengutip BPD).

V. PENUTUPHingga saat ini pemerintah belum mengalokasikan penganggaran

daya saing pendidikan pemerintah masih berpikir pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat, pemerintah juga belum efisien dan efektf dalam membelanjakan dananya seperti biaya untuk pendidikan prasekolah dari usia 3-6 Tahun. Untuk mewujudkan daya saing di bidang pendidikan dibutuhkan rekontruksi pendanaan yang bersifat sistematis untuk mengubah dan membebaskan masyarakat dari pembiayaan pendidikan selama ini dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I.,N.,T. (2017). Memahami Peran Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Kemajuan Mutu Pendidikan di Indonesia, Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Ika, A. (2016). 7 Manfaat Mengelola Keuangan dengan Baik (online), (https://money.kompas.com/read/2016/11/15/052648726/ 7.manfaat.mengelola.keuangan.dengan.baik?page=all, diakses 15 November 2019)

Imawan, R. (2002), Peningkatan Daya Saing: Pendekatan Paradigmatik Politis, Jurnal ugm ac.id.

Kholim, M.. (2004). Eksistensi Baitul Maal Wattamwil dan Permasalahan Dalam Operasionalisasinya (Studi di Provinsi Jawa Tengah), thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Page 195: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

183Rahayu Endang Pujiati

Pos Pelayanan Keuangan untuk Daya Saing Pendidikan

Mukaromah, V.,F. (2018). Berikut 5 Program Kerja Utama Jokowi Lima Tahun ke Depan yang Disampaikan dalam Pidatonya, (online), (https://www.tribunnews.com/nasional/2019/10/20/berikut-5-program-kerja-utama-jokowi-lima-tahun-ke-depan-yang-disampaikan-dalam-pidatonya, diakses 18 November 2019)

Mukhtar. (2013). Metode Penelitian Deskriftif Kualitatif. Jakarta: GP Press Group

Miarso, Y., H.(2007). Teknologi Pendidikan, Jakarta: Kencana.

Nawawi,H dan Martini. (1996), Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Simamora, H. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia Membangun Daya Saing, Jakarta: Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi PT Raja Grafindo Persada.

Suwito, Y., S. (2007). Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Berkarakter. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 Tentang Sisa lebih Yang diterima atau diperoleh Badan Atau Lembaga Nirlaba Yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan Dan/Atau Bidang Penelitian Dan Pengembangan Yang diKecualikan Dari Obyek Pajak Penghasilan.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 238/PMK.05/2010 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, Pengelolaan, dan Pertanggung jawaban Endownment Fund dan Dana Cadangan Pendidikan. Endowment fund.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 196: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan
Page 197: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

185Rahmad Agung Nugraha

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

SUPPORT MEKANISME UNTUK KEBIJAKANEVIDENCE-BASED DALAM BIDANG PENDIDIKAN

Rahmad Agung Nugraha

Pascasarjana Universitas Pancasakti Tegal [email protected]

ABSTRAKAdanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat dan efektif, dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan berkelanjutannya sistem dan standarisasi kebijakan pendidikan di Indonesia Pembuatan kebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang membantu dalam pembuatan keputusan secara tepat akan kebijakan, program, proyek dengan memberi ruang bukti sebagai sumber pusat pengembangan kebijakan dan implementasi kebijakan. Pengetahuan berbasis penelitian hanyalah satu dari banyak pengaruh terhadap kebijakan dan praktik Pendidikan di Indonesia untuk segera mungkin merealisasikan potensinya, hal ini akan membantu sektor pendidikan untuk belajar dari ranah kebijakan lain yang lebih berhasil dalam menggunakan penelitian bukti untuk meningkatkan praktik Pendidikan di Indonesia.Evidence-based policy sangat memerlukan akan data-data yang baik. Perlunya ketrampilan analitis dan dukungan politik oleh karena itu ada keterbatasan yang melekat di mana pejabat pemerintah dapat memanfaatkan hasil informasi yang andal dan keterampilan analitis yang baik. Dalam Pengambilan keputusan Politik saling berhubungan erat dengan mengutamakan dan melibatkan beberapa disiplin ilmu sebagai penilaian praktis mengenai kelayakannya dan legitimasinya. Di luar komunitas ilmiah, bidang pengetahuan dan bukti lebih beragam dan diperlukan. Kumpulan bukti memberikan informasi dan memberikan pengaruh akan kebijakan. Keahlian profesional dalam pengembangan kebijakan dan program membutuhkan informasi dan nilai-nilai ini. Isu-isu mutakhir Evidence-based policy modern memfokuskan dalam membingkai permasalahan, metode dalam pengumpulan data serta mengandalakan penilaian bukti, komunikasi dan transfer pengatahuan dalam pengambilan keputusan dan mengevaluasi efektivitas implementasi dalam masukan program kebijakan yang kompleks.

Kata kunci: evidence-based polic; kebijakan; pendidikan

Page 198: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

186 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

I. PENDAHULUANPelaksanaan proses pendidikan yang efisien adalah apabila

pendayagunaan sumber daya seperti waktu, tenaga dan biaya tepat sasaran, sehingga menghasilkan kualitas pendidikan yang optimal. Pada saat sekarang ini, pelaksanaan pendidikan di Indonesia jauh dari efisien, masih banyak kebijakan kebijakan pendidikan yang tidak tepat sasaran, tidak efektif dan efisien.

Adanya evidence base membuat policy maker menjadi kuat dan efektif, dan menjadi faktor kunci dalam meningkatkan berkelanjutannya sistem dan standar pendidikan di Indonesia. Ada beberapa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang dikeluarkan pemerintah yang menjadi perhatian di masyarakat salah satunya adalah kebijakan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru dengan sistem zonasi pada tahun kemarin.

Kebijakan sistem penerimaan peserta didik baru online dengan sistem zonasi memunculkan adanya permasalahan, khususnya di daerah kabupaten/kota yang sekolah negerinya sangat terbatas berakibat banyak siswa tidak bisa bersekolah di sekolah negeri. Awalnya banyak para orang tua beranggapan penerimaan peserta didik baru berdasarkan prestasi (theconversation.com, 2018; Dharmawan, 2019)

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017, No. 14 Tahun 2018, dan No. 51 Tahun 2018, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan akses layanan pendidikan di sekolah negeri, tanpa memandang kelas ekonomi orang tua siswa dan menghapus predikat sekolah favorit. Laporan dari the conversation (theconversation.com, 2018) menyatakan bahwa penerimaan berbasis zonasi mempunyai dampak tidak hanya pada karakteristik peserta didik yang diterima sekolah tapi juga proses pembelajaran yang ada di kelas. Siswa yang diterima dengan kebijakan ini adalah siswa yang tempat tinggalnya lebih dekat dengan sekolah negeri dibanding penerimaan dengan prestasi. Namun, komposisi siswa yang diterima melalui sistem zonasi mempunyai nilai rendah dan lebih beragam dibandingkan dengan siswa yang diterima melalui sistem prestasi. Keadaan ini adanya tuntutan guru di sekolah negeri untuk beradaptasi. Lebih lanjut The Conversation menyatakan bahwa para guru yang terbiasa mengajar siswa dengan kemampuan rata-rata tinggi, sekarang harus mengajar siswa

Page 199: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

187Rahmad Agung Nugraha

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

dengan nilai rata-rata kurang/rendah dengan kemampuan yang sangat beraneka ragam. Di sisi lain , keterampilan yang dibutuhkan oleh guru yang mengajar anak-anak berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah berbeda. Anak-anak berkemampuan tinggi membutuhkan tantangan baru dan pengayaan dari guru agar bisa termotivasi dan meningkatkan kemampuannya. Di sisi lain, anak-anak berkemampuan rendah membutuhkan bantuan guru untuk membangun pemahaman ilmunya dengan benar. Terlebih lagi, tantangan guru dalam mengajar anak dengan kemampuan beragam lebih berat daripada anak dengan kemampuan yang relatif homogen. Guru yang mengajar kelas yang homogen cenderung dapat mengajarkan seluruh siswa dengan seiring sejalan. Namun, ketika kelas yang diajar relatif heterogen, guru harus menyesuaikan pola mengajar untuk mengakomodasi anak yang cepat dan lambat dalam belajar. Semakin besar kesenjangan kemampuan anak, semakin besar beban guru dalam mengajar (theconversation.com, 2018). Adaptasi kemampuan seorang guru dalam mengajar tidak bisa dilakukan secara mendadak karena mempengaruhi proses pembelajaran dan memunculkan permasalahan baru dalam proses belajar di kelas sehingga ada prioritas pemerintah dalam kebijakan yang efektif dan efisien.

Perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia perlu adanya penelitian yang memberi efek positif dari program tepat sasaran langsung kepada siswa di Indonesia. Jutaan siswa akan mendapat manfaat dari kebijakan tersebut. Membangun paradigma yang dapat direplikasi untuk pembangunan, evaluasi yang ketat, replikasi, dan penyebaran, mekanisme ini dapat diterapkan pada intervensi atau kebijakan pendidikan apa pun, contohnya kebijakan kurikulum atau program yang sedang berjalan sepanjang waktu untuk mengembangkan, mengevaluasi, dan menyebarluaskan program baru di setiap mata pelajaran dan setiap tingkatan kelas, program setelah lulus sekolah ke dunia kerja bagi siswa Indonesia, pendidikan khusus, anak-anak berbakat, pencegahan putus sekolah, budaya dan seni, pendidikan multikultur, pencegahan penyalahgunaan narkoba, pencegahan kekerasan (bullying) dan lain sebagainya. Setiap bidang ini cocok dengan paradigma diseminasi pembangunan-evaluasi, seperti yang lainnya. Seiring waktu, setiap bidang akan mengalami karakteristik kemajuan di bidang industri atau bidang yang lainnya

Page 200: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

188 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dengan standar evaluasi yang ketat sebelum direkomendasikan untuk penerapannya.

Permasalahananya sekarang ini kualitas pendidikan kita bisa dibilang rendah khususnya dilihat dari Human Development Index (World Economic Forum: 2015). Daya saing sumber daya manusia Indonesia saat ini menurut angka Human Development Index yang dilansir oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2014, berada di peringkat ke-111 dari 182 negara di dunia, dan berada di peringkat keenam dari sepuluh negara ASEAN (UNDP.org, 2014). Ada beberapa faktor kendala daya saing yaitu kualitas dan kuantitas sumber daya manusia belum meningkat karena pertumbuhan populasi yang tidak merata. Berdasarkan data dari biro pusat statistik menyatakan bahwa dampak buruk yang mungkin dialami jika bonus demografi tidak dikelola dengan baik adalah tingginya angka ketergantungan penduduk terhadap pemerintah dan berbagai masalah yang muncul akibat hal tersebut, antara lain melonjaknya pengangguran, terjadinya konflik sosial, serta beban masalah kesehatan, angka putus sekolah yang semakin tinggi dan sebagainya yang berujung kepada penurunan kualitas manusia Indonesia (BKN.go.id, 2013). Revolusi Industri 4.0 merupakan perubahan strategis dan drastis tentang pola produksi yang mengolaborasikan tiga dimensi utama di dalamnya, yakni manusia, teknologi/mesin, dan big data.

Kebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang memberi bantuan kepada pembuat kebijakan secara tepat tentang kebijakan, program dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang tersedia di pusat pengembangan dan implementasi kebijakan (Davies, 2004). Lebih lanjut Davies mengatakan bahwa pengetahuan berbasis penelitian hanyalah satu dari banyak pengaruh terhadap kebijakan dan praktik pendidikan di Indonesia. Sehubungan dengan pembuatan kebijakan menyoroti enam faktor selain bukti penelitian yang tidak dapat diabaikan. Sementara pembuatan kebijakan evidence-based mungkin tampak sebagai konsep yang cukup jelas, sulit untuk mendefinisikannya (Cairney 2016).

II. TINJAUAN PUSTAKA Evidence-based policy (EBP) adalah aspirasi dari pada hasil yang

dicapai. Untuk itu Evidence-based policy sangat diperlukan sebagai penggabungan bukti penelitian yang ketat ke dalam suatu debat

Page 201: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

189Rahmad Agung Nugraha

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

kebijakan publik dan proses sektor publik internal untuk evaluasi kebijakan dan peningkatan program. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan keandalan saran mengenai kebijakannya baik dilihat dari efektivitas dan efisiensinya dalam mengatur kebijakan dan memungkinkan beberapa alternatif. Dengan demikian para pengambil keputusan pragmatis mengetahui keberhasilan dengan melihat kondisi sebenarnya dan juga adanya kepedulian meningkatkan basis informasi dan meningkatkan teknik untuk analisis dan evaluasi. Dengan metodologi yang digunakan, Evidence-based policy membutuhkan data yang baik, keterampilan analitis dan dukungan politik. Oleh karena itu ada keterbatasan yang melekat, bahkan di mana pejabat pemerintah dapat memanfaatkan hasil informasi yang andal dan keterampilan analitis yang baik.

Pengambilan keputusan secara berkaitan melibatkan beberapa disiplin ilmu pengetahuan preferensi nilai dan penilaian praktis tentang kelayakan dan legitimasi (Firdaus, 2019). Di luar komunitas ilmiah, bidang pengetahuan dan bukti lebih beragam dan diperlukan. Beberapa bukti dan kesaksian dalam memberikan informasi dan mempengaruhi suatu kebijakan Keahlian profesional dalam pengembangan kebijakan dan program membutuhkan informasi dan nilai-nilai ini. Issue terakhir dalam perdebatan Evidence-based policy sekarang ini memfokuskan dalam membingkai permasalahan, metode pengumpulan data dalam menilai bukti yang dapat diandalkan, adanya komunikasi dan transfer pengetahuan dalam pengambilan kebijakan serta mengevaluasi keefektivitasan dalam implementasi dan kebijakan yang kompleks (Firdaus, 2019).

Dalam pembuatan suatu kebijakan, ada enam faktor yang penting dalam evidence base (Davies, 2004):• Experience, expertise and judgement (pengalaman, keahlian dan

penilaian)• Resources (sumber daya)• Values (nilai-nilai)• Habit and tradition (kebiasaan dan tradisi)• Lobbyists, pressure groups and consultants (pelobi, kelompok

penekan dan konsultan)• Pragmatics and contingencies (pragmatik dan kontinjensi).

Page 202: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

190 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Pendidikan di Indonesia segera mungkin merealisasikan potensinya, hal ini akan membantu sektor pendidikan untuk belajar dari ranah kebijakan lain yang lebih berhasil dalam menggunakan penelitian bukti untuk meningkatkan praktik. Seperti halnya dengan bidang kebijakan publik mana pun, pendidikan adalah bidang yang kompleks: • Sistem pendidikan adalah sistem multi-level (lokal, regional,

nasional) dan penyelarasan antara berbagai tingkat merupakan tantangan utamanya.

• Masyarakat kita semakin beragam baik dalam hal demografinya (siswa, guru, dan masyarakat), nilai-nilai dan identitasnya

• Semakin banyak pemangku kepentingan pendidikan yang semakin menyuarakan keinginannya tidak hanya untuk dirinya dan anak-anaknya, tetapi untuk sistem pendidikan secara keseluruhan.

• Pendidikan adalah bidang di mana ada keyakinan apriori yang kuat terkait dengan identitas dan pengalaman, dan pada sistem pendidikan apa yang harus disampaikan, serta apa yang sudah dicapai.

Tujuan Evidence-based policy adalah meningkatkan daya saing ekonomi dan kohesi sosial dengan meningkatkan sumber daya pendidikan, struktur, dan praktik. Untuk meningkatkan kedua tujuan ini, kita membutuhkan infrastruktur pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk memperoleh pendidikan di tingkat tertinggi yang sepadan dengan pertumbuhan dan potensi pertumbuhannya (Niemi,2007).

Ini berarti bahwa pengambilan keputusan dalam pendidikan harus secara strategis bertujuan untuk perbaikan dalam pendidikan sehingga memerlukan penelitian berdasar bukti. Sehingga dalam pembuatan kebijakan perlu mempertimbangkan informasi, penelitian, hasil statistik dari badan-badan pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, Lembaga penelitian serta organisasi lain, konsultasi dengan para ahli dan stake holders pemangku kepentingan dimana mempunyai tujuan menghasilkan bukti melalui dialog.

Page 203: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

191Rahmad Agung Nugraha

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

III. METODOLOGI Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (literature

research), yaitu serangkaian kegiatan penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, atau penelitian yang objek penelitiannya digali melalui beragam informasi kepustakaan seperti buku, jurnal ilmiah, koran maupun dokumen-dokumen lain yang relevan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam tulisan ini adalah analisis deksriptif, yaitu menggambarkan secara naratif data-data yang didapatkan serta menguraikannya secara sistematis, kemudian diberikan pemahaman untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

IV. PEMBAHASANKebijakan evidence-based sebagai pendekatan yang memberi

bantuan kepada pembuat kebijakan secara tepat tentang kebijakan, program dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang tersedia di pusat pengembangan dan implementasi kebijakan (Davies, 2004). Dalam pengambilan keputusan pendidikan mensyaratakan tujuan strategis dalam perbaikan pendidikan dengan berdasar bukti sehingga lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Khadowmi (2019) dengan judul Implementasi kebijakan sistem zonasi terhadap proses penerimaan peserta didik baru kabupaten lampung tengah menunjukkan bahwa pelaksanaan penerimaan peserta didik baru kabupaten Lampung Tengah mengacu pada Petunjuk Teknis Keputusan Kepala Dinas tentang Pelaksanaan PPDB tahun 2018. Faktor-faktor yang menjadi penghambat yaitu belum dibentuknya Peraturan daerah tentang sistem zonasi, belum adanya sosialisasi, belum adanya pemerataan sarana dan pra sarana ,belum adanya penegakan kebijakan sebagai tindak lanjut dari penerapan sistem zonasi serta lemahnya pengawasan dalam penerapan sistem zonasi (Khadowmi, 2019) sedangkan penelitian yang dilakukan oleh khazanah dengan judul analisis implementasi kebijakan sistem zonasi perspektif stakeholder sekolah menunjukkan bahwa ada 4 hal yang dalam implementasi yang perlu mendapat perhatian yaitu komunikasi, sumber daya, dan struktur birokrasi (Khazanah, 2018)

Page 204: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

192 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Dalam pengambilan keputusan pendidikan khususnya kebijakan penerimaan peserta didik melalui sistem zonasi perlunya memberikan komposisi penerimaan siswa atau peserta didik dengan penyesuaian kondisi daerah daerah masing–masing. Daerah mempunyai kewenangan dalam menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi dengan harapan pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan. Daerah juga bisa redistribusi guru, sarana dan prasarana sehingga mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.

V. PENUTUPAda beberapa gagasan yang muncul dari pembuatan kebijakan

berbasis bukti untuk bidang pendidikan di Indonesia yang pertama adanya regulasi secara resmi dengan banyaknya organisasi peneliti yang berpotensi memberikan bukti. Dengan adanya undang-undang diharapkan bisa memberikan bukti tentang siapa yang harus memberikan bukti dan siapa yang harus dikonsultasikan selama proses pembuatan kebijakan. Yang kedua, adanya lembaga atau organisasi penelitian yang secara pengetahuan internal dan eksternal yang diberi tugas untuk menafsirkan bukti dan mediasi antara penyedia penelitian dan pembuat kebijakan.

Dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti bidang pendidikan di Indonesia ada beberapa pertanyaan yang dapat dieksplorasi lebih detail di masa depan. bagaimana jenis sistem politik mempengaruhi cara di mana mekanisme pendukung untuk pengembangan pembuatan kebijakan berbasis bukti. Mungkin ada perbedaan tergantung pada kompleksitas sistem (tata kelola satu tingkat vs multi-level). Selain itu, gambaran yang lebih rinci dapat dibentuk dengan melakukan penelitian sejumlah studi kasus dengan cara yang lebih komprehensif. Juga, memunculkan pertanyaan bagaimana bukti mempengaruhi kebijakan dapat dapat diuji secara lebih rinci.

Page 205: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

193Rahmad Agung Nugraha

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

DAFTAR PUSTAKA

Asean Productivity Organization. (2014). APO Productivity Data Book 2014. Asian Productivity Organization Tokyo, September 2014. (online), (http://www.apo-tokyo.org, diakses tanggal 3 Desember 2019 ).

Cairney, P., (2016). The Politics of Evidence-based Policy Making. London/New York: Palgrave MacMillan.

Davies, P., (2004). Is Evidence Based Government Possible. Appendix A: Effective Public Health Practice Project (EPHPP) Quality Assessment Tool for Quantitative Studies. (online), (https://link.springer.com/content/pdf/bbm:978-3-319-17284-2/1.pdf diakses tanggal 3 Desember 2019)

Dharmawan, Goldy F. (2019). Dampak Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru Di Sekolah Negeri Bagi Para Guru Dan Siswa. Program Rise Di Indonesia. (online) (http://rise.smeru.or.id/id/blog/dampak-sistem-zonasi-penerimaan-peserta-didik-baru-di-sekolah-negeri-bagi-para-guru-dan-siswa diakses 3 Desember 2019)

Firdaus, Aras. (2019). Good Governance Melalui Kebijakan Berbasis Bukti Reformulasi Sistem Peradilan Pidana Nasional. Docx, dated 2019-12-12 (online), (https://bagiilmunei.blogspot.com/2017/08/jurnal-ekonomi-langkah-konkrit-dalam.html, diakses tanggal 3 Desember 2019)

Khadowmy, Eka Reza. (2019). Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi Terhadap Proses Penerimaan Peserta Didik Baru Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Fakultas hukum universitas lampung bandar lampung

Khasanah, Umi Latifatul. (2018). Analisis Implementasi Kebijakan Sistem Zonasi Perspektif Stakeholder Sekolah (Studi Multisitus Di SMP Negeri 1 Malang dan DI SMP 3 Malang Di Kota Malang). Tesis. Program Magister Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Page 206: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Support Mekanisme untuk Kebijakan Evidence-Based

194 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Niemi, H., (2007). Equity And Good Learning Outcomes. Reflections on factors influencing societal, cultural and individual levels – The Finnish perspective. Zeitschrift für Pädagogik, 53 (1), pp. 92-107.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 tahun 2017 Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 14 Tahun 2018 Tentang tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 51 Tahun 2018 Tentang Tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat.

Permatasari, Disanti., Farida, Nur., Sapridawati Yeni. (2017). Peranan Organisasi Bisnis Dalam Asean Economy Community (AEC) atau Masyarakat Ekonomi Asean. (online), (https://farida-datakuliah.blogspot.com/2017/09/peranan-organisasi-bisnis-dalam-asean.html diakses tanggal 15 Desember 2019).

Putri, Yunita Maya. 2017. Daya Saing Peningkatan Kualitas Migran. (online), (https://bagiilmunei.blogspot.com/2017/08/diakses tanggal 3 Desember 2019).

The Conversation. (2019). Dampak sistem zonasi penerimaan peserta didik baru di sekolah negeri bagi para guru dan siswa. (online), (https://theconversation.com/dampak-sistem-zonasi-penerimaan-peserta-didik-baru-di-sekolah-negeri-bagi-para-guru-dan-siswa-119294 diakses tanggal 20 November 2019).

World Economic Forum Annual Meeting, 2015. (online), (https://www.weforum.org/events/world-economic-forum-annual-meeting-2015 di akses tanggal 25 November 2019).

Page 207: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

195Burhanuddin Mukhamad Faturahman

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

PEMBANGUNAN DAN PENGUATAN LEGISLASI PENANGGULANGAN BENCANA ALAM

Burhanudin Mukhamad Faturahman

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,[email protected]

ABSTRAKProses pembangunan yang dilakukan di kawasan rawan bencana turut meningkatkan risiko bencana sehingga diperlukan keserasian antara pembangunan dan penanggulangan bencana alam . Tujuan penulisan ini untuk mengetahui upaya pembangunan dan penguatan legislasi penanggulangan bencana alam. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa dibentuknya BNBP dan BPBD telah mengikuti paradigma penanggulangan bencana sesuai Undang-undang yang berlaku dan berperan dalam menjaga agenda politik ke arah mitigasi bencana. Selain itu, keserasian dan keterpaduan antara Undang-Undang perencanaan pembangunan nasional, Undang-Undang penanggulangan bencana dan Undang-Undang penataan ruang dijadikan dasar hukum untuk memperkuat penanggulangan bencana di semua level pemerintahan.

Kata kunci: pembangunan; perundang-undangan; bencana alam

I. PENDAHULUANNegara Indonesia kaya akan sumberdaya alam namun juga

memiliki potensi bencana alam cukup tinggi mengingat letak geografis Indonesia di antara tiga lempeng tektonik , terletak pada ring of fire ,terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik ), terletak pada lintang rendah di daerah iklim tropika basah menjadikan Indonesia sebagai negara seribu bencana (Sriharini,2010) dan menempati urutan 36 dari 171 negara paling beresiko di dunia dengan rincian tingkat kerentanan sebesar 52.87 persen, exposure (terpapar bencana alam secara langsung) sebesar 19.36 persen, Susceptibility (kemungkinan menderita kerugian) sebesar 30.09 persen, kurangnya kapasitas untuk mengurangi dampak bencana sebesar 79.49 persen dan kekurangan kapasitas strategi jangka panjang 49.04 persen (United Nations University, 2016). Sedangkan jumlah kejadian bencana

Page 208: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

196 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

alam di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah bencana alam tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Sumber: BNPB (2016)Gambar 1. Jumlah Kejadian Becana Indonesia Tahun 2005-2015

Intensitas kejadian bencana yang cenderung meningkat berdampak pada pelaksanaan pembangunan di suatu negara di mana dalam proses pembangunan tersebut memiliki beberapa tantangan yang bersifat multidimensional. Dalam rangka mencapai tujuan nasional maka suatu negara dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembangunan yang lebih baik pada seluruh segi kehidupan.

Siagian (2009:4) menyatakan pembangunan merupakan sebuah rangkaian usaha sadar dan terencana yang ditempuh oleh suatu negara menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Di sisi lain, Siagian juga menyebut bahwa terdapat banyak tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan tersebut salah satunya pelestarian lingkungan hidup. Disamping letak geografis Indonesia yang rawan bencana alam, surplus pertumbuhan ekonomi dan ekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang berpotensi menimbulkan bencana juga dapat menghambat proses pembangunan itu sendiri sehingga diperlukan keselarasan antara kebijakan pembangunan dan kebijakan penanggulangan bencana alam (Hidayah, 2015).

Oleh karena itu, proses pembangunan harus lebih sensitif mengarah pada pencegahan dan mitigasi bencana alam (National Disaster Management Division, 2007). Sementara itu, legislasi atau

Page 209: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

197Burhanuddin Mukhamad Faturahman

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk memberikan arahan kebijakan serta penanggungjawab program penanggulangan bencana alam dilakukan secara efektif, sinergis, tidak terjadi gap dan overlapping aktivitas. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tulisan ini membahas bagaimana upaya pembangunan dan penguatan penanggulangan bencana alam. Sedangkan tujuan dari penulisan ini untuk menganalisis dan mendeskripsikan upaya pembangunan dan penguatan penanggulangan bencana alam.

II. METODOLOGI Penulisan ini menggunakan jenis penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif merupakan deskripsi berupa kata-kata secara sistematis mengenai topik permasalahan. Penelitian deskriptif ini dilakukan dengan menelusuri, menelaah konsep sesuai dengan topik kebencanaan. Adapun pengumpulan data dilakukan melalui data sekunder dari dokumen dan jurnal. Analisis data menggunakan teknik penyajian data, verifkasi dan penarikan kesimpulan.

III. PEMBAHASANA. Penyusunan Kelembagaan Penanggulangan Bencana

Secara teori, manajemen bencana dapat ditelaah melalui teori kelembagaan dengan dasar bahwa lembaga menginginkan adanya dasar hukum eksternal dengan mematuhi konteks lembaga tersebut. Menurut Kusumasari (2014:48-49) aspek kelembagaan mencerminkan pola faktor budaya yang berkembang dari waktu ke waktu dan menjadi legitimasi dalam suatu insitusi dan masyarakat. Hal ini dikarenakan pengaturan kelembagaan menentukan konteks sosial dari institusi dan lingkungan dimana pengaturan kelembagaan tersebut membentuk tindakan dari pejabat publik dan memberikan legitimasi bagi pejabat publik berdasarkan kepatuhan dan tingkat penerimaan mereka terhadap praktik-praktik tertentu.

Lembaga penanggulangan yang ada sekarang ini sebenarnya bukan lembaga penanggulangan bencana yang pertama kali dibentuk. Lembaga yang menangani bencana terlebih dahulu dibentuk mulai tahun 1966. Melalui Keppres Nomor 256 Tahun 1966 pemerintah mendirikan badan pertimbangan penanggulangan bencana alam yang difokuskan pada korban bencana. Pada tahun 1979

Page 210: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

198 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

pemerintah membentuk Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA). Sampai tahun tersebut masih fokus pada bantuan becana tanggap darurat di bawah naungan Kementerian Sosial. Berikut tabel kelembagaan penanggulangan bencana alam di Indonesia.

Tabel 1. Kelembagaan Penanggulangan Bencana di IndonesiaNama Lembaga Fokus Praktis

Badan Pertimbangan Penanggulangan Bencana Alam. Tahun 1966 – 1967. Dasar hukum: Keppres Nomor 256 Tahun 1966.

Tanggap darurat. Eksekutor: Kemensos

Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA). Tahun 1967 – 1979. Dasar hukum: Presidium Kabinet mengeluarkan Keputusan Nomor 14/U/KEP/I/1967

Tanggap darurat. Eksekutor: Kemensos

Bakornas PBA. Untuk Tingkat daerah,Satkorlak PBA I (Provinsi)Satkorlak PBA II (Kabupaten). Tahun 1979 – 1990. Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1979

Tanggap darurat. Eksekutor: Kemensos, Kemendagri, Kementerian Pekerjaan Umum

Satkorla PBA II diganti Satlak PB;Bakornas PBA diganti Bakornas PB. Tahun 1990 – 2000. Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1990

Bencana alam,non alam dan sosial. Eksekutor: Lintas sektor

Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Tahun 2000 – 2005. Dasar hukum: Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 diperbaharui Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001.

Aktif ketika terjadi bencana. Eksekutor: Lintas sektor

Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Tahun 2005 – 2008. Dasar hukum: Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005.

Pengurangan resiko bencana. Eksekutor: Lintas sektor

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Tahun 2008. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.

Pengurangan resiko bencana. Eksekutor: Lintas sektor

Sumber: Kusumasari (2014) dan BNPB (2017)

Pemerintah pusat dan daerah memiliki peran penting dalam aspek pengurangan risiko bencana. Tata kelola pemerintahan (governance) dideskripsikan sebagai proses komunikasi, berbagi,

Page 211: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

199Burhanuddin Mukhamad Faturahman

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

koordinasi antar stakeholder di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks pengurangan risiko bencana menurut Tierney dalam Artiningsih, et al (2016) pemerintahan bencana (disaster governance) terdiri dari rangkaian yang saling berinteraksi antara norma; aktor organisasi dan kelembagaan; dan praktik tahapan manajemen bencana yang didesain untuk mereduksi dampak dan kehilangan bencana alam dan teknologi tindakan terorisme.

B. Pembangunan dan Penguatan LegislasiUU No 24/2007 merupakan peraturan yang menjamin

penyelenggaraan penanggulangan bencana lebih efektif berbasis pembangunan berkelanjutan. Secara garis besar UU tersebut mengandung empat unsur, pertama, perubahan paradigma kebencanaan fokus pada tahap prabencana atau pengurangan risiko; kedua, penanggulangan bencana lebih bersifat proaktif dan terencana bukan lagi bersifat reaktif; ketiga, posisi pemerintah bukan lagi sebagai pihak yang dominan tetapi lebih mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai subjek penanggulangan bencana; empat, domain penanggulangan bencana menjadi wewenang pemerintah daerah.

Undang-undang ini memiliki kaitan erat dengan aspek penyelenggaraan pembangunan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional dimana dalam pasal 3 (1) yaitu perencanaan pembangunan mencakup semua fungsi pemerintahan meliputi semua bidang kehidupan, perencanaan pembangunan nasional disusun secara terpadu oleh Kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Sementara itu, pasal 7 (1) UU 24/2007 berisi wewenang pemerintah dalam penanggulangan bencana meliputi 1) penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional 2) pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana. Berikut disajikan keterkaitan antara pembangunan dan bencana pada Tabel 2.

Page 212: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

200 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Tabel 2. Keterkaitan Antara Pembangunan dengan KebencanaanUU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Pembangunan menimbulkan bencana (Pasal 2 dan pasal 3 UU 25/2004 tidak dilaksanakan)

Pembangunan mengurangi bencana (Pasal 2 dan pasal 3 UU 25/2004 dilaksanakan)

Bencana merusak hasil pembangunan (Pasal 4, 31 dan 32 UU 24/2007 tidak dilaksanakan)

Bencana membuka peluang pembangunan (Pasal 57, 58 dan 59 UU 24/2007 dilaksanakan)

UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan BencanaSumber: Hidayah (2015)

Keselarasan antara pembangunan dan pengurangan risiko bencana tidak dapat dipisahkan karena kejadian bencana merupakan kegagalan dari pembangunan yang meningkatkan kerentanan bahaya. Seperti pasal 2 dan 3 UU 25/2004 bahwa pembangunan harus konsisten antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan ; serta mencakup semua bidang kehidupan termasuk bencana merupakan upaya pengarusutamaan pembangunan dalam rangka mengurangi dampak bencana.

Hal ini disampaikan Gunawan (2009) bahwa resiko terbesar bencana umumnya menimpa kelompok rentan yang dengan sendirinya cenderung menempati permukiman informal baik secara ekologis, ekonomi dan sosial secara tidak langsung menambah kerentanan terhadap bencana. Menurut Zamdial, et al (2017) kawasan pesisir Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu, saat ini sebagian besar sudah banyak berubah fungsinya dari ekosistem penyangga (buffer region) atau sebagai jalur hijau, menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman serta terdapat Taman Wisata Air dan cagar dan hutan cagar alam di lokasi tertentu. Aspek utama alih fungsi lahan ini dipicu oleh proses anthropogenic (eksploitasi terhadap sumberdaya alam wilayah pesisir) dan proses alamiah (proses abrasi dan sedimentasi).

Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Bontoharu Kabupaten Salayar yaitu pembangunan pemukiman di kawasan sempadan pantai dan tidak beraturan. Padahal, sempadan dalam UU No 26 Tahun 2007 masuk zona konservasi telah diberi luasan kurang lebih 100 meter dari garis pantai saat pasang tertinggi. Zona berikutnya yaitu hutan bakau untuk mencegah abrasi dan melindungi ekosistem

Page 213: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

201Burhanuddin Mukhamad Faturahman

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

ikan dan tanaman pesisir. Setelah zona hutan bakau yaitu zona hutan lindung untuk pemenuhan ruang terbuka hijau (Manaf, 2015).

Zona konservasi kawasan pesisir tersebut dapat meminimalisir dampak tsunami sebagaimana yang dikemukakan Pramana (2015) bahwa di Kecamatan Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi memiliki kerawanan yang cukup tinggi terhadap bencana tsunami. Kecamatan Pelabuhan Ratu tidak memiliki ekosistem mangrove atau terumbu karang yang berfungsi sebagai greenbelt atau buffer zona area untuk meredam gelombang tsunami. Edyanto (2011) juga mengemukakan bahwa tata ruang harus memperhitungkan aspek mitigasi bencana alam gempa dan tsunami terutama di kawasan pesisir. Informasi dan petunjuk mengenai patahan, banjir, longsor, dan bencana lainnya menyebabkan masyarakat membangun pemukiman tanpa adanya pertimbangan kebencanaan. Pembuatan sempadan pantai, hutan bakau juga masih terkendala implementasi terkait pengelolaan perikanan tambak serta aktivitas perekonomian lainnya. Oleh karena itu konsep perlindungan bencana tsunami di kawasan pesisir menurut Edyanto (2011) sepanjang garis pantai perlu dibangun struktur penahan gelombang, kemudian diberlakukan zonasi hutan bakau di wilayah pesisir, setelahnya disediakan lahan kosong diperuntukkan tanggul pelindung, terakhir setelah tanggul pelindung dapat diperuntukkan kawasan terbangun.

Konsep penguatan legislasi penanggulangan bencana dapat ditelaah melalui peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan saling memiliki keterkaitan. Dengan memperhatikan content penanggulangan bencana maka upaya perbaikan kebijakan kebencanaan turut menyertakan berbagai sektor meliputi sektor ekonomi, pendidikan, ketahanan dan sebagainya; perbaikan infrastruktur (struktural); kelembagaan baik tingkat pusat dan daerah. Content ini sebagai tindak lanjut atas context kebijakan penanggulangan bencana sebagai payung hukum (UU 24/2007; UU 26/2007; UU 25/2004). Mengingat context tidak berdiri sendiri maka kebijakan penanggulangan bencana saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Tiga pilar penguatan legislasi sebagai context dimana terdapat content sebagai objek dimaksudkan untuk memperkuat sistim penanggulangan bencana nasional.

Page 214: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

202 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

IV. PENUTUPPenyelenggaraan penanggulangan secara kelembagaan,

Indonesia telah memiliki BNPB sebagai pihak yang memiliki wewenang penuh dalam menangani berbagai kejadian bencana alam. Tidak hanya itu, dalam penanggulangan bencana di daerah telah dibentuk BPBD yang secara khusus mengurusi penyelenggaraan penanggulangan bencana tingkat daerah . Aspek lain untuk memperkuat penanggulangan bencana alam yaitu keserasian antara UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU 26/2007 tentang Penataan Ruang berperan dalam mengendalikan proses pembangunan baik tingkat pusat dan daerah.

Adapun saran yang diberikan yaitu perlu diperkuat sistem penanggulangan bencana melalui aspek kelembagaan untuk merespon setiap tahap manajemen bencana baik pra-bencana, tanggap darurat dan pasca-bencana dengan BNPB sebagai lembaga yang berwenang menjaga konsistensi kebijakan penanggulangan bencana alam berbasis pengurangan risiko bencana. BNPB juga turut mengawasi tata ruang dikawasan rawan bencana agar pemukiman dan aktivitas perekonomian tidak dibangun di atas daerah rawan bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Sriharini. (2010). Membangun Masyarakat Sadar Bencana. Jurnal Dakwah, Vol 11(2), hal. 157-171.

United Nations University. (2016). World Risk Report 2016. United Nations University.

Badan Penanggulangan Bencana Nasional. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. Jakarta: Badan Penanggulangan Bencana Nasional.

Page 215: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

203Burhanuddin Mukhamad Faturahman

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

Siagian, S.P. (2009) Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi dan Strateginya. Jakarta: Bumi Aksara.

Hidayah, K. (2015). Kebijakan Penanggulangan Bencana di Era Otonomi Daerah (Kajian terhadap Penanganan Kasus Luapan Lumpur Lapindo Brantas). Jurnal Borneo Administrator, Vol 11 (3), hal. 298-315.

National Disaster Management Division, (2007). Disaster Management: The Development Perspective. New Delhi: Ministry of Home Affairs.

Kusumasari, B. 2014. Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal. Yogyakarta: Gava Media.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2017. Sejarah dan Visi Misi BNPB, (online). (https://bnpb.go.id/home/sejarah), diakses 30 Oktober 2019).

Artiningsih, Setyono, J.,S & Yuniartanti, R.,K. (2016). The Challenges of Disaster Governance in an Indonesian Multihazards City: A Case of Semarang, Central Java. CITIES 2015 International Conference, Intelligent Planning Towards Smart Cities. Procedia - Social and Behavioral Sciences 227, hal. 347–353.

Gunawan,I. (2009). Pengendalian Ruang dan Investasi Pembangunan Di Tingkat Lokal Untuk Pengurangan Resiko Bencana Dan Adaptasi Perubahan Iklim: Peran Informasi Geospasial. Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.

Zamdial, Hartono, D., Bakhtiar,B., Nofridiansyah,E. (2017). Studi Identifikasi Kerusakan Wilayah Pesisir di Kabupaten Mukomuko Provinsi Bengkulu. Jurnal Enggano, Vol. 2(2), hal. 196-207.

Manaf, M. (2015). Analisis Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Salayar. Plano Madani: Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 4(2), hal. 10-21.

Pramana,B.,S. (2015). Pemetaan Kerawanan Tsunami di Kecamatan Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 2 (1) 76-91.

Page 216: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Pembangunan dan Penguatan Legislasi Penanggulangan Bencana Alam

204 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Edyanto, H. (2011). Analisa Kebijakan Penataan Ruang untuk Kawasan Rawan Tsunami di Wilayah Pesisir. J. Tek. Ling, Vol 12(3), hal. 309-318.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Page 217: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

205Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

KEBIJAKAN PENEGERIAN RAUDHATUL ATHFAL(ANTARA KEBIJAKAN PEMERATAAN PENDIDIKAN PRA SEKOLAH DAN KEBIJAKAN YANG TIMPANG)

Ibnu Salman

Mahasiswa S3 PEP UNJ,[email protected]

ABSTRAKArtikel ini menyajikan tentang kebijakan Raudhatul Athfal (RA) yang merupakan bagian satuan pendidikan anak usia dini setara dengan Taman Kanak-kanak. RA diselenggarakan pada jalur pendidikan formal bagi anak usia 4-6 tahun dengan ciri khusus keislaman yang dikembangkan oleh Kementerian Agama. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua RA tidak ada yang berstatus negeri. Ketiadaan status negeri pada lembaga RA di satu sisi merupakan kebijakan yang tidak adil dan tidak merata bagi pendidikan prasekolah. Dalam implementasinya, konteks penegerian lembaga RA bisa mengacu pada Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 14/2014 tentang Penegerian Madrasah Terutama RA. Tetapi pada praktiknya belum ada satupun yang dinegerikan kelembagaannya oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Temuan lainnya adalah proses penegerian lembaga RA merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan RA yang sangat diharapkan oleh masyarakat umum.

Kata kunci: kebijakan; raudhatul athfal; penegerian

I. PENDAHULUANKebijakan pemerintah terhadap pendidikan usia dini yang

mendukung pendidikan sepanjang hayat adalah diakuinya pendidikan anak usia dini (PAUD). Hal ini tertuang dalam Pasal 28 Ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa secara yuridis formal, PAUD merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan sistem pendidikan nasional. PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal atau informal. PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK) dan RA. PAUD pada jalur pendidikan non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB)

Page 218: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

206 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dan Taman Penitipan Anak (TPA). PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga dan yang diselenggarakan oleh lingkungan masyarakat.

Pentingnya PAUD (yang didalamnya terdapat RA) telah menjadi perhatian internasional. Dalam pertemuan forum pendidikan tahun 2000 di Dakar Sinegal, salah satu butir kesepakatannya adalah memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan PAUD, terutama bagi mereka yang sangat rawan dan kurang beruntung (Noorlaila, 2010:14).

RA merupakan satuan pendidikan anak usia dini yang berada dalam pembinaan Kementerian Agama (Kemenag). Sesuai dengan peraturan tentang otonomi daerah, agama merupakan salah satu urusan yang tidak diotonomikan. Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2016 disebutkan bahwa jumlah RA sebanyak 27.999 lembaga dengan 1.231.101 siswa (Kementerian Agama, 2017: 107-114). Bila akreditasi sebagai ukuran minimal mutu pelayanan pendidikan, maka kondisi mutu RA adalah sebagai berikut: 1.658 (5,93%) terakreditasi A, 5.755 (20,57%) terakreditasi B, 2.399 (8,57%) terakreditasi C, dan 18.166 (64,93%) belum terakreditasi. Sementara guru RA berjumlah 118.196 orang, dengan kualifikasi pendidikan, yakni belum sarjana berjumlah 55.026 orang, sarjana (S1) berjumlah 63.350 orang, dan magister (S2) berjumlah 191 orang. Dari sekian jumlah guru RA, yang berstatus PNS berjumlah 3.579 orang dan nonPNS sebanyak 114.617 orang. Guru RA yang memiliki sertifikat baru 23 orang.

Jumlah RA setiap tahunnya cenderung bertambah, yakni 23.007 orang (2009/2010), 24.318 orang (2010/2011), 25.435 orang (2011/2012), 27.334 orang (2012/2013), 27.978 orang (2013/2014), 27.875 orang (2014/2015), dan 27.999 orang (2015/2016). Namun demikian, jika dibandingkan dengan RA, TK di bawah pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, NonFormal dan Informal (PAUDNI) memiliki satuan pendidikan anak usia dini tingkat TK sebanyak 89.680 lembaga dengan 3.273 yang berstatus negeri.

RA merupakan satuan pendidikan anak usia dini pada jalur formal yang setara dengan TK dan memiliki ciri khusus keislaman yang dikembangkan oleh Kementerian Agama. Hal ini sejalan dengan PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 17 Tahun

Page 219: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

207Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang menyatakan bahwa RA menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4-6 tahun. Permasalahannya adalah semua RA tidak ada yang berstatus negeri. Sementara pendidikan anak usia dini menjadi penting mengingat potensi kecerdasan dan dasar-dasar perilaku seseorang terbentuk pada rentang usia ini (golden age). Selain itu, beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam mendirikan program studi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal (PGRA) yang kemudian diubah menjadi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) untuk menyediakan tenaga pendidik RA yang profesional. Ketiadaan RA yang berstatus negeri dapat menghambat peningkatan mutu penyelenggaraan satuan pendidikan anak usia dini di bawah Kementerian Agama, baik untuk penganggaran pembinaan maupun pengangkatan pendidik yang berstatus PNS.

Perbedaan status lembaga pendidikan RA dan TK dapat memunculkan kesenjangan mutu. Qian Tang (Asisten Direktur Jenderal untuk Pendidikan dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), dalam peluncuran Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 di Jakarta bulan September 2019 lalu menyatakan bahwa kesenjangan mutu pendidikan masih menjadi kendala banyak negara, khususnya Indonesia (ccnindonesia.com, 6 September 2019). Sedangkan dalam konteks upaya peningkatan kualitas madrasah (termasuk RA), peran Kementerian Agama tidak hanya sebatas memberikan bantuan dan bimbingan kepada madrasah, namun juga melakukan pengembangan status kelembagaan melalui program penegerian madrasah, baik madrasah swasta yang dikelola oleh pribadi maupun madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi keislaman (Hanum, 2015: 236). Tetapi upaya penegerian untuk RA sampai saat ini belum ada satupun. Idealnya dengan penegerian status kelembagaan RA, maka bentuk kehadiran dan partisipasi negara sesungguhnya bisa lebih maksimal. Selain itu secara struktural organisasi, keberadaan pemangku kebijakan untuk jenjang RA masih berada di bawah subdit/eselon 3. Berbeda dengan yang ada di Kemdikbud sudah menjadi eselon 1. Dengan demikian kurang bargaining dalam perumusan kebijakannya.

Page 220: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

208 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Implikasi RA menjadi negeri maka asumsinya akan memudahkan kontrol dari pemerintah (Kemenag). Selain itu secara tidak langsung peran negara dalam peningkatan mutu RA seharusnya hadir bukan sebatas pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi dari RA, tetapi juga memperhatikan semua lembaga pendidikan tanpa kecuali. Kesan yang muncul selama ini justru partisipasi masyarakat sudah bagus, tetapi peran negara masih sangat minimalis dalam menjaga dan menjamin tujuan umum pendidikan, khususnya peningkatan mutu dan kualitas RA yang menjadi bagian dari pendidikan prasekolah.

Dari uraian di atas, menjadi penting untuk dilihat sejauh mana pemerintah bersikap adil dalam hal pemerataan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan prasekolah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang sudah dikeluarkan dalam berbagai program yang digulirkan. Sayangnya kebijakan terkait pendidikan prasekolah kurang direspon maksimal. Hal ini berbeda dengan kebijakan pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. Atas dasar tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Mengkaji respon lembaga RA terhadap wacana penegerian RA. 2. Mengetahui kebutuhan masyarakat terhadap penegerian

lembaga jenjang pendidikan usia dini.3. Mengetahui kebijakan pemerintah terhadap upaya penegerian

RA.

Pada tahun 2014, Balai Litbang Agama Jakarta pernah melakukan penelitian berjudul Mutu RA dalam Perspektif Standar PAUD. Dalam rangka peningkatan mutu RA, penelitian tersebut memberikan beberapa rekomendasi perlunya Kementerian Agama untuk menggagas berdirinya RA Negeri sebagai model RA percontohan yang unggul dan bisa dijadikan sebagai RA pembina. Karena dari sekian banyak RA yang tersebar di berbagai wilayah belum ada satuan RA yang berstatus negeri yang bisa dijadikan rujukan bagi RA di sekitarnya. Selanjutnya bulan November 2017 Balai Litbang Agama Jakarta juga mengadakan kegiatan workshop terkait pembahasan draft penegerian raudhatul athfal. Hasilnya rencana pembentukan RA negeri bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni pertama, alih status dari RA yang sudah ada; kedua,

Page 221: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

209Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

penetapan status RA yang selama ini telah dikelola oleh Kemenag, dan ketiga, pendirian RA Negeri yang baru.

II. TINJAUAN PUSTAKAAkses pendidikan yang bermutu merupakan hak fundamental

bagi setiap warga negara yang tidak dibatasi oleh status sosial, ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 dan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan merupakan salah satu sasaran program dan kebijakan prioritas pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) tahun 2017-2030.

Pasal 28 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa RA adalah satuan pendidikan anak usia dini yang berada di jalur formal sederajat dengan TK. Sebagai sebuah lembaga pendidikan pada jalur formal, RA dituntut memenuhi standar pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang selanjutnya disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Selain itu, berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, secara tidak langsung sistem pendidikan nasional menghendaki peningkatan mutu pendidikan dilaksanakan terencana dan berkala. Peningkatan mutu pendidikan tersebut didasarkan atas standar nasional yang digunakan sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan serta pembiayaan.

Pasal 1 Ayat (14) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan

Page 222: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

210 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan aturan tersebut kemudian lahir Keputusan Menteri Agama No. 792 Tahun 2018 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Raudhatul Athfal. Keputusan Menteri Agama tersebut menyatakan bahwa satuan pendidikan anak usia dini bercirikan keislaman merupakan upaya pengenalan dan penanaman keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia sejak usia dini.

Keberhasilan proses pendidikan anak pada usia dini menjadi dasar untuk proses pendidikan selanjutnya. Pada masa ini, stimulasi pendidikan yang positif sangat penting bagi perkembangan anak, karena stimulasi yang tidak tepat akan berdampak negatif di kehidupan selanjutnya dan tidak dapat diperbaiki. Pada usia dini juga anak mengalami masapeka/sensitif dalam menerima berbagai rangsangan. Masa peka pada masing-masing anak berbeda, seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan anak secara individual. Masa peka adalah masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini juga merupakan masa peletak dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif, motorik, bahasa, sosio emosional, agama, dan moral.

Mengingat pentingnya pendidikan anak usia dini, maka penegerian lembaga RA menjadi hal yang penting untuk dilakukan apabila pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas RA. Melalui upaya penegerian, maka peran pemerintah akan lebih maksimal dalam upaya mendukung pemerataan kualitas antarlembaga sejenis seperti TK.

III. METODE PENELITIAN Penelitian tentang penegerian RA bersifat deskriptif dengan

pendekatan kualitatif. Data kualitatif digunakan untuk memperdalam perspektif wacana penegerian RA dari beberapa stakeholder terkait seperti Kemenag, RA, dan pengawas. Sementara data kuantitatif digunakan sebagai data pendukung untuk mengetahui analisis kebutuhan terkait wacana penegerian RA. Teknik pengumpulan data dalam penelitian dilakukan melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Wawancara ditujukan kepada penyelenggara atau kepala RA dan guru atau pengasuh, Kepala Kemenag, Kabid PenMad,

Page 223: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

211Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Kasie PenMad, Subdit Kelembagaan, PTK, SarPras, dan komite ataupun yayasan di mana RA berada. Dokumentasi dilakukan untuk melihat dasar yuridis formal didirikannya lembaga RA, tujuan, visi dan misi, kondisi siswa atau guru, serta proses pembelajaran kelompok usia 4-6 tahun. Dalam wawancara beberapa informan kunci merupakan representasi masyarakat yang mewakili keberadaan RA sasaran penelitian diantaranya pemerintah, tokoh pendidikan, guru, orang tua atau komite, dan lembaga IGRA.

IV. PEMBAHASANData Kementerian Agama (2018) menunjukkan bahwa

persentase jumlah madrasah negeri di Indonesia hanya kurang dari 5% dari total populasi madrasah di Indonesia. Salah satu alasan utama menegerikan madrasah adalah adanya kesepakatan dalam menaati peraturan pemerintah secara langsung, dalam hal ini kebijakan Kementerian Agama. Dengan demikian, kebijakan pendirian dan penegerian madrasah merupakan salah satu instrumen kebijakan strategis dalam upaya menjamin percepatan layanan pendidikan yang bermutu di madrasah, di samping opsi kebijakan penguatan dan pemberdayaan mutu pada madrasah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat.

Keberadaan RA telah berkembang seiring kebutuhan masyarakat, meskipun sampai saat ini Kementerian Agama belum menyelenggarakan RA percontohan atau pembina seperti TK di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelayanan yang dilakukan oleh Kementerian Agama baru terbatas pada regulasi, kurikulum, bantuan guru, dan sarana yang masih terbatas. Hasil penelitian dari Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2018 menunjukkan bahwa penegerian lembaga RA merupakan hal yang sangat mendesak berdasarkan permintaan dari berbagai lapisan masyarakat. Apabila hal tersebut tidak segera direspon oleh pemerintah, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat semakin menurun. Selain itu, upaya penegerian RA dalam konteks pemerataan mutu pendidikan merupakan salah satu jawaban pemerintah terhadap upaya mencetak sumber daya manusia yang berkualitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut menyatakan dengan jelas bahwa sistem pendidikan nasional menghendaki peningkatan mutu

Page 224: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

212 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

pendidikan dilaksanakan secara terencana dan berkala. Dengan demikian, penegerian status kelembagaan RA merupakan salah satu bentuk kehadiran dan partisipasi negara yang sesungguhnya.

Terkait hal tersebut, respon lembaga RA terhadap penegerian lembaga juga merupakan kebutuhan yang mendesak dalam perspektif pemerataan pendidikan pada semua jenjang. Karena itu kesiapan atau kelayakan terhadap penegerian RA akan berdampak bagi masyarakat sekitar menjadi suatu jawaban yang dapat terpecahkan oleh pemerintah.

Penegerian madrasah dalam hal ini RA merupakan sebuah proses peralihan status madrasah dari status swasta yang diselenggarakan oIeh masyarakat atau badan hukum lainnya menjadi status negeri yang dikelola oleh Kementerian Agama melalui mekanisme dan persyaratan yang telah ditetapkan (Kementerian Agama, 2009). Terkait hal ini, peran Kementerian Agama tidak hanya sebatas memberikan bantuan dan bimbingan kepada madrasah termasuk RA, namun juga melakukan pengembangan status kelembagaan melalui program penegerian madrasah, baik madrasah swasta yang dikelola oleh pribadi maupun madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi keislaman.

Peluang Kementerian Agama sebagai salah satu satuan kerja terbanyak untuk menata kembali organisasi kelembagaannya melalui penegerian RA sebenarnya terbuka lebar. Penegerian lembaga RA sebagai bagian dari pemerataan mutu sistem pendidikan nasional, secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas guru RA menjadi lebih profesional. Kementerian Agama dalam hal ini mempunyai otoritas penuh untuk mewujudkannya sebagai bagian dari upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan tanpa diskriminasi khususnya pemerataan kualitas pendidikan anak usia dini.

Berdasarkan data statistik Kementerian Agama tahun 2016 disebutkan bahwa jumlah RA sebanyak 27.999 lembaga dengan jumlah peserta didik 1.231.101 siswa. Jumlah RA setiap tahunnya cenderung bertambah, yakni 23.007 RA tahun 2010; 24.318 RA pada tahun 2011; 25.435 RA pada tahun 2012; 27.334 RA pada tahun 2013, 27.978 RA pada tahun 2014, 27.875 RA pada tahun 2015, dan 27.999 RA pada tahun 2016. Berikut bagan tentang data statistik peningkatan jumlah RA di Indonesia antara tahun 2010-2016.

Page 225: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

213Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Sumber: data Emis Kementerian Agama, 2017Gambar 1. Jumlah RA di Indonesia Tahun 2010-2016

Gambar 1 menunjukkan peningkatan jumlah RA signifikan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016. Hal ini dapat dimaknai dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga RA dalam mendidik anak usia dini yang berciri khas Islam. Sejalan dengan hal ini, maka seharusnya pemerintah tidak memandang sebelah mata dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di RA. Apabila akreditasi sebagai penjamin mutu pelayanan pendidikan RA, maka kondisi penyebaran mutu RA adalah sebagai berikut: sebanyak 1.596 RA terakreditasi A, 5.641 RA terakreditasi B, 2.219 RA terakreditasi C, dan 18.543 RA belum terakreditasi.

Sebaran akreditasi tersebut menunjukkan masih perlu banyak usaha untuk meningkatkan mutu RA di Indonesia. Satuan pendidikan RA yang mampu mencapai akreditasi A hanya 6% dari total jumlah RA di Indonesia. Sementara satuan pendidikan RA yang belum terakreditasi mencapai 66%. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan bersama. Seharusnya kepercayaan masyarakat harus diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan di RA.

Dilihat dari segi guru RA, data Emis tahun 2016 menunjukkan jumlah guru RA sebanyak 118.196 orang, dengan kualifikasi pendidikan, yaitu belum sarjana berjumlah 55.026 orang, sarjana berjumlah 63.350 orang, dan S2 berjumlah 191 orang. Dari jumlah tersebut, guru dengan status PNS yang berjumlah 3.579 orang dan guru nonPNS sebanyak 114.617 orang. Sementara guru RA yang memiliki sertifikat baru 23 orang.

Page 226: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

214 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Berdasarkan fakta-fakta di lapangan tersebut, maka kebutuhan pelembagaan atau manajemen yang profesional terhadap keberadaan pendidikan anak usia dini mutlak diperlukan. Kebijakan pemerintah diperlukan dengan upaya penegerian RA sebagai salah satu alternatif solusi dalam mengentas kesenjangan mutu pendidikan RA. Penegerian RA dapat dijadikan sebagai instrumen ataupun barometer bagi pendidikan anak usia dini yang tersebar pada setiap provinsi. Keberadaan RA negeri nantinya diharapkan mampu membina RA-RA yang ada di sekitarnya. Keberadaan RA negeri dapat diselenggarakan dengan model satu provinsi satu RA negeri. Model lainnya adalah berdasarkan jumlah RA terbanyak yang ada pada suatu provinsi di Indonesia, semakin banyak jumlah RA di provinsi tersebut maka prioritas penegerian RA semakin besar, begitu seterusnya sehingga keberadaan RA negerinya dapat ditambah sesuai kebutuhan.

Kementerian Agama sebagai bagian dari pemerintah diharapkan dapat melaksanakan kebijakan terkait penegerian lembaga RA dalam rangka perluasan akses, pembinaan dan peningkatan mutu yang terarah dan terpadu khususnya terhadap RA sebagai pendidikan anak usia dini yang berciri khas Islam. Kebijakan penegerian RA dalam konteks peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah strategis Kementerian Agama untuk menaikan mutu pendidikan anak usia dini sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan umat Islam di Indonesia.

Munculnya peluang penegerian lembaga RA selain karena adanya dukungan pemerintah, juga karena masyarakat ingin role model keberadan RA yang berstatus negeri. Dengan demikian akan mampu memberikan stimulus positif terhadap keberadaan RA lainnya yang ada di sekitar RA negeri tersebut. Selain itu, dengan adanya RA berstatus negeri, maka pemahaman keagamaan yang radikal bisa diminimalisir sedini mungkin.

Selanjutnya berdasarkan penelitian Balai Litbang Agama Jakarta tahun 2018 pada dua RA di bawah binaan Kementerian Agama, yaitu RA Dharma Wanita ataupun RA Perwanida yang siap untuk dinegerikan, keberadaan kedua RA tersebut berada di bawah Binaan Kementerian Agama merupakan beberapa RA Unggulan yang sudah bagus dalam aspek manajemen dan pengelolaannya, bahkan mayoritas sudah sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Anak

Page 227: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

215Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Usia Dini. Secara tidak langsung representatif untuk dinegerikan. Meski terdapat beberapa RA yang telah layak tetapi tidak setuju untuk dinegerikan, sebenarnya bisa dihadapi, dan jika ada RA yang belum siap untuk dinegerikan maka dapat dimulai dengan menginventarisir kebutuhan sesuai standar PAUD (akreditasi). Berikut tabel usulan penegerian RA berdasarkan kesiapannya secara administratif pada 10 provinsi di wilayah kerja Balai Litbang Agama Jakarta.

Tabel 1. Usulan Penegerian RA Berdasarkan Temuan PenelitianWilayah Nama RA

DKI Jakarta RA Perwanida Cilandak Jak-SelJambi • RA Keluarga Sakinah Tanjabtim

• RA Dharma Wanita Kota JambiSumatera Utara • RA Dharma Wanita Kab Deli Serdang

• RA Bunayya IV Kota MedanSumatera Barat • RA Dharma Wanita Ar-Rahmah Kota Bukittinggi

• RA Dharma Wanita Ikhas Kota PadangBandarlampung RA Tunas Harapan Lampung UtaraSumatera Selatan RA Perwanida 2 Kota PalembangBanten RA Al-Wardah Kab PandeglangRiau • RA Perwanida Al-Hidayah Kab Rokan Hulu

• RA Azkiya Kab Kuantan Singingi• RA Al-Kautsar Kab Siak

Aceh • RA Perwanida Kota Banda Aceh• RA Miftakhul Jannah Pidie Jaya

Jawa Barat • RA Uswatun Khasanah Subang• RA Fitriyah Kab Majalengka

Sumber: Balitbang Agama Jakarta, 2018

Dalam rangka memudahkan proses penegerian RA diperlukan adanya strategi penegerian yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat. Bagi RA yang memenuhi persyaratan di atas, dapat memenuhi tahapan prosedur penegerian sebagai berikut:1. Langkah pertama adalah pengajuan usulan penegerian RA

yang dilakukan oleh perwakilan lembaga (milik individu ataupun yayasan) berdasarkan kebutuhan masyarakat kepada Kementerian Agama kota/kabupaten sebagai pintu pertama.

2. Langkah kedua, usulan penegerian RA dari Kementerian Agama kota/kabupaten dilanjutkan pada Kementerian Agama provinsi.

Page 228: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

216 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

3. Langkah ketiga, usulan penegerian RA kemudian diteruskan pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam untuk verifikasi persyaratan.

Sumber: Balitbang Agama Jakarta, 2018Gambar 2. Alur Proses Penegerian RA

Dalam mengusulkan penegerian RA biasanya muncul atas inisiatif lembaga ataupun individu masyarakat. Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam pengusulan penegerian RA ini adalah:1. Proposal pengajuan RA negeri diajukan oleh lembaga atau

individu masyarakat.2. Menyusun model RA negeri yang terdiri dari: visi, misi, standar

penyelenggaraan (kesiswaan, kurikulum, pembelajaran, ketenagaan, sarana prasarana, penganggaran, dan pengorganisasian).

3. Pemenuhan standar nasional pendidikan anak usia dini oleh RA pengusul dengan dibuktikan lampiran akreditasi minimal B.

4. Perjanjian tidak akan melakukan tuntutan terhadap pemerintah khususnya terkait menjadikan tenaga pendidik RA sebagai pegawai negeri sipil dan tetap mempertahankan tenaga pendidik yang ada sesuai standar tenaga pendidik dan kependidikan terkait aturan jabatan fungsional guru.

V. PENUTUP Respon lembaga RA terhadap penegerian lembaga merupakan

kebutuhan yang mendesak dalam perspektif pemerataan pendidikan pada semua jenjang, sehingga kesiapan atau kelayakan terhadap penegerian RA akan berdampak terhadap masyarakat sekitar menjadi suatu jawaban yang dapat terpecahkan oleh pemerintah.

Page 229: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

217Ibnu Salman

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

Proses penegerian lembaga RA sangat diharapkan oleh masyarakat. Penegerian lembaga RA dapat dijadikan alat kontrol pemerintah untuk lebih meningkatkan pendidikan pada jenjang prasekolah yang selama ini kurang diperhatikan secara maksimal. Lebih lanjut, kebijakan pemerintah terhadap upaya penegerian RA bisa menjadi role model terhadap keberadan RA dan sebagai bentuk partisipasi langsung pemerintah terhadap pendidikan prasekolah yang berkeadilan.

Kesiapan penegerian RA diantaranya direspon baik oleh RA Dharma Wanita ataupun RA Perwanida pada 10 provinsi di wilayah kerja Balai Litbang Agama Jakarta, dan beberapa RA lainnya, yang siap dinegerikan tanpa syarat. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama melalui Dirjen Pendis segera melakukan penegerian bagi lembaga RA sebagai salah satu kontrol managemen dan dalam rangka pemerataan mutu/kualitas pendidikan jenjang usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (Eds). (1994). Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.

Direktorat Pendidikan Madrasah. (2007). Kurikulum Raudlatul Athfal. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. emispendis.kemenag.go.id/emis2016v1/index.php?

Hanun, Farida. (2015). Evaluasi Penegerian Madrasah, Jurnal Al-Qalam, Volume 21 Nomor 2 Desember 2015.

Hermino, Agustinus. (2013). Asesmen Kebutuhan Organisasi Persekolahan. Jakarta: Gramedia.

http://referensi.data.kemdikbud.go.id/index21_tkra.php.

Pendidikan Anak Usia Dini Masih Rendah, (online), (http://www.sumutprov.go.id/berita-lainnya/402-pendidikan-anak-usia-dini-masih-rendah).

Page 230: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Kebijakan Penegerian Raudhatul Athfal

218 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Kementerian Agama. (2016). Educational Management Information System (EMIS) Tahun 2015/2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama.

Kementerian Agama. (2017). Kementerian Agama RI dalam Angka 2016. Jakarta: Biro Hubungan Masyarakat, Data dan Informasi.

Kementerian Agama. (2018). Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan RA di Sumatera Utara. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama.

Mahfud, Choirul. (2013). Politik Pendidikan Islam di Indonesia (Studi Analisis Kebijakan PendidikanIslam Pasca Orde Baru), disertasi, UIN Sunan Ampel, Surabaya.

Moleong, Lexi J., (2008). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhammedi. (2017). Peran Raudhatul Athfal (RA) Dalam Membina Generasi Islam yang Berkarakter. Raudhah, Vol. V, No. 1: Januari-Juni 2017.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Saepudin, Juju. (2017). Mutu Raudhatul Athfal di Kota Jambi dalam Perspektif Standar PAUD, Jurnal PENAMAS, Volume 30, Nomor 2, Juli-September 2017.

Salman, Ibnu. (2018). Term of Refference Need Asessmen Penegerian Raudhatul Athfal. Jakarta: Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Balai Litbang Agama.

Satori, Djam’an dan Aan Komariah. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 231: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

219Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

DAYA SAING PENINGKATAN KUALITAS PEKERJA MIGRAN INDONESIA (PMI) DI DUNIA INTERNASIONAL MELALUI KINERJA LEGISLASI

KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI

Yunita Maya Putri

Universitas Lampung,[email protected]

Shintya Gugah Asih

Asisten Ombudsman RI

ABSTRAKPekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga negara untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 UUD 1945. Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Pekerja Migran 1990 sebagai upaya perlindungan bagi Tenaga kerja Indonesia dan keluarganya di luar negeri. Namun dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dinamika yang sering terjadi antara peneliti dan pembuat kebijakan. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan guna memberi masukan kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasi terkait Pekerja Migran Indonesia. Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pengambilan kebijakan, tahapan yang dilakukan meliputi perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Dari tahapan tersebut ditemukan bukti bahwa permasalahan umum yang masih menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah TKI illegal, PMI yang terkena masalah hukum, dan PMI yang tidak memiliki kompetensi. Dari beberapa permasalahan tersebut, kualitas sumber daya PMI baik jenjang pendidikan maupun keterampilan yang memadai menjadi hal utama yang perlu disikapi. Terkait hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai hal baik perlindungan kepada PMI dan keluarganya maupun peningkatan pendidikan dan keterampilan PMI sehingga memudahkan pemerintah untuk menempatkan PMI berdasarkan profesi keterampilannya. Selanjutnya pemerintah dan DPR-RI bisa melakukan kunjungan kerja ke negara lain seperti Australia yang sudah lebih dulu menerapkan kebijakan berbasis bukti untuk memperoleh berbagai alternatif kebijakan guna

Page 232: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

220 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

memecahkan masalah yang terjadi di Indonesia khususnya peningkatan kualitas sumber daya PMI demi daya saing bangsa.

Kata kunci: kebijakan; pekerja migran Indonesia; Dewan Perwakilan Rakyat

I. PENDAHULUANPekerjaan menjadi hal yang sangat penting bagi setiap warga

negara untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Sebagaimana tertuang di dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDN RI 1945) menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Ketentuan ini diperkuat pada Pasal 28 D Ayat (2) BAB X A UUDN RI 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia dituntut untuk melakukan perencanaan bukan hanya penyediaan lapangan pekerjaan, termasuk kualitas sumber daya manusianya sendiri yang dapat bersaing dengan para pekerja lain. Hal ini juga berkaitan dengan Konvensi Pekerja Migran 1990 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya). Komitmen tersebut merupakan kewajiban suatu negara, sehingga hak setiap warga negara dalam memperoleh pekerjaan disertai dengan kemampuan bersaing tinggi dapat terpenuhi.

Tenaga kerja di Indonesia dibagi 2, yaitu tenaga kerja dalam negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan tenaga kerja luar negeri yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

Page 233: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

221Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Tabel 1. Jumlah TKI Tahun 2014-2019 (Triwulan I)Tahun Jumlah TKI2014 429.874 2015 275.7372016 234.451 2017 262.899 2018 283.640

Januari-Maret 2019 (Triwulan I) 64.062 Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI)

Dari tabel 1 diketahui bahwa penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tertinggi di tahun 2014 yang mencapai 429.874 pekerja. Meskipun tahun 2015 sempat menurun di angka 275.737 pekerja, dan tahun 2016 juga menurun menjadi 234.451 pekerja, namun menginjak tahun 2017 jumlah PMI kembali meningkat setiap tahunnya sebesar 7,89% dan mencapai angka 283.640 ribu pekerja pada tahun 2018. Jumlah ini masih didominasi pekerja perempuan yaitu sebanyak 198.975 (70%) dan pekerja laki-laki sebanyak 84.665 (30%). Penurunan jumlah PMI dari tahun ke tahun menurut Nurson Wahid (Kepala BN2PTKI) disebabkan karena penghentian penempatan PMI pada pengguna perseorangan ke Kawasan Timur Tengah yang diberlakukan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan (BNP2TKI.go.id., 29 Oktober 2019).

Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia juga terus mengalami peningkatan, dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres ini bertujuan untuk meningkatkan aliran investasi asing ke Indonesia dan mempermudah izin TKA di Indonesia. Berikut data kenaikan jumlah TKA dari tahun 2014 sampai tahun 2018 di Indonesia.

Tabel 2. Jumlah TKA Tahun 2014-2018Tahun Jumlah TKA2014 68.782 Pekerja2015 69.025 Pekerja2016 74.183 Pekerja2017 85.974 Pekerja2018 95.335 Pekerja

Sumber: Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia

Page 234: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

222 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan RI, rasio TKA di Indonesia lebih kecil dari negara sekitar seperti Malaysia atau Singapura. Hingga akhir tahun 2018, jumlah TKA sebanyak 95.335 pekerja atau hanya 0,04% dari total penduduk di Indonesia (268,829 juta jiwa). Namun demikian, dari jumlah TKA tahun 2018 tersebut, TKA yang bekerja sebagai profesional hampir 24.000 pekerja, manajer sebanyak 20.000 pekerja, dan direksi di suatu perusahaan sekitar 15.000 pekerja. Sisanya bekerja sebagai komisaris, supervisor, konsultan, dan teknisi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan PMI yang didominasi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Tidak kurang dari 93.000 pekerja atau hampir sepertiga PMI yang bekerja di luar negeri berprofesi sebagai PLRT. Profesi terbanyak kedua PMI adalah caregiver (pemberi perhatian untuk orang sakit/lanjut usia) yang mencapai 51.000 pekerja atau sekitar 18% dari total PMI. Pada urutan ketiga adalah operator sebanyak 36.000 pekerja.

Indonesia akan memiliki bonus demografi yang luar biasa pada tahun 2030 mendatang. Oleh sebab itu sudah sepatutnya pemerintah memiliki formulasi kebijakan yang tepat dalam hal pengelolaan sumber daya manusia khususnya wajah PMI. Persepsi PMI yang hanya dikenal sebagai PLRT harus diubah menjadi pekerja profesional. Namun demikian, dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dinamika yang sering terjadi antara peneliti dan pengambil kebijakan. Banyak peneliti tidak dapat memahami mengapa pengambil kebijakan mengabaikan rekomendasi mereka walaupun didasarkan pada bukti yang kuat. Di sisi lain pengambil kebijakan mengeluhkan sulitnya mengakses dan memahami hasil penelitian pada saat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Oleh sebab itu penelitian ini dimaksudkan guna memberi masukan kepada DPR RI dalam menjalankan fungsi legislasi terkait PMI.

II. TINJAUAN PUSTAKAA. Kebijakan publik

Menurut James A. Anderson, dkk (Nugroho, 2008) proses kebijakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.

Page 235: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

223Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

PolicyFormulation

PolicyAdoption

PolicyAgenda

Policy Evaluation

Policy Implementation

Sumber: Nugroho, 2008Gambar 1. Tahapan Dalam Proses Kebijakan

Pertama, policy agenda di mana masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk diseleksi dan dimasukkan ke dalam agenda untuk dipilih. Kedua, policy formulation. Dari berbagai masalah yang ada, ditentukan masalah mana yang merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan. Ketiga, policy adoption, yaitu adopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi atas permasalahan tersebut. Keempat, policy implementation. Pada tahap ini alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut kemudian dilaksanakan. Kelima, policy evaluation atau evaluasi kebijakan yang telah dilaksanakan untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah atau tidak.

Penelitian ini memfokuskan pada tahap formulasi kebijakan, sebagaimana diharapkan dapat memberikan masukan terkait formulasi kebijakan berbasis bukti di DPR RI. Lebih lanjut perumusan masalah menurut (Dunn, 2003) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis pembagian masalah publik, memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang berseberangan atau bertentangan dan merancang peluang kebijakan yang baru.

B. Kebijakan Berbasis BuktiBukti memiliki pemaknaan beragam (Chalmers, 2003)

menyatakan secara sederhana kebijakan berbasis bukti adalah

Page 236: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

224 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

kebijakan yang didasarkan pada bukti kemanjurannya. (Sherman, 2003) menyatakan bukti adalah bukti ilmiah, di mana bukti membedakan data dari teori. Menurut Kantor Kabinet Pemerintah Inggris yang dikutip dalam Marston dan Wats (2003) bukti mencakup pengetahuan pakar, hasil penelitian yang dipublikasikan, statistik yang ada, konsultasi dengan pemangku kepentingan, evaluasi-evaluasi kebijakan sebelumnya, internet, hasil-hasil dari konsultasi, hitungan biaya opsi-opsi kebijakan, dan keluaran dari pemodelan ekonomi dan statistic. Sedangkan (Sumner et al, 2009) membedakan antara pendekatan berbasis informasi dan pendekatan berbasis bukti, di mana yang pertama membahas kuantitas pengetahuan dan yang kedua membahas kualitas pengetahuan dan relevansi kontekstualnya.

Staley (2008) mengonstruksi bukti bukan hanya pengetahuan berbasis penelitian. Pengetahuan terbaik saat ini tentang suatu masalah mungkin pengetahuan praktisi atau ahli. Mungkin aplikasi dari model untuk data yang ada atau hasil dari konsultasi pemangku kepentingan. Kunci penerapan kebijakan berbasis bukti adalah penilaian kritis terhadap semua bukti yang tersedia secara menyeluruh dan reflektif. Di sisi lain, Davies (2005) menyoroti bahwa kebijakan berbasis bukti membantu orang membuat keputusan yang terinformasi dengan baik tentang kebijakan, program, dan proyek dengan menempatkan bukti terbaik yang tersedia dari penelitian di jantung pengembangan dan implementasi kebijakan. Lebih lanjut kebijakan berbasis bukti memiliki alasan sebagai berikut:a. Efektifitas guna memastikan kita melakukan lebih banyak hal

baik daripada merugikan.b. Efisiensi gunakan sumber daya publik untuk efek maksimal.c. Orientasi layanan guna memenuhi kebutuhan atau harapan

warga.d. Akuntabilitas sebagai transparansi atas apa yang dilakukan dan

mengapa.e. Demokrasi guna meningkatkan proses demokrasi.f. Kepercayaan membantu memastikan atau mengembalikan

kepercayaan pada pemerintah dan layanan publik.

Berikut adalah bukti bagi pembuat kebijakan dan bagi peneliti.

Page 237: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

225Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

BuktiBagi Peneliti

Pembuat Kebijakan

• Mudah dipahami (kontekstual) • Apa pun yang tampak masuk akal • Relevan dengan kebijakan • Terikat waktu • Pesan yang jelas

• Ilmiah (bebas konteks)• Terbukti secara empiris• Berdasarkan suatu teori• Tidak terikat waktu • Kehati-hatian • Pembatasan/kualifikasi

Sumber: Davies (2005)Gambar 2. Bukti Bagi Pembuat Kebijakan dan Peneliti

Adapun berbagai jenis bukti untuk kebijakan adalah bukti implementasi, bukti analisis depkristif, bukti sikap, bukti etis, analisis statistik, bukti ekonomi, keseluruhan bukti menghasilkan bukti dampak (Davies, 2005). Berdasarkan uraian tersebut, fokus penelitian ini adalah proses kebijakan berupa agenda kebijakan, formulasi kebijakan, dan adopsi kebijakan dengan menitikberatkan pada berbagai jenis bukti bagi pembuat kebijakan. Hal ini dikarenakan sebagaimana tujuan penelitian yaitu memberikan masukan dalam rangka kebijakan berbasis bukti untuk kinerja legislasi DPR RI dalam hal meningkatkan daya saing bangsa dengan lokus studi pada studi PMI. Maka diperoleh kerangka pemikiran sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.

Bukti Bagi Pembuat Kebijakan• Mudah dipahami (kontekstual) • Apa pun yang tampak masuk akal • Relevan dengan kebijakan • Terikat waktu • Pesan yang jelas

FORMULASI KEBIJAKAN

1. Perumusan Masalah;2. Agenda Kebijakan;3. Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk

Pemecahan Masalah;4. Tahap Penetapan Kebijakan.

1. Bukti Implementasi;2. Bukti Analisis Depkristif;3. Bukti Sikap;4. Bukti Etis;5. Analisis Statistik;6. Bukti Ekonomi;7. Keseluruhan bukti menghasilkan

Bukti Dampak.

Sumber: Olahan peneliti.Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Page 238: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

226 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

III. METODOLOGIPenelitian ini menggunakan jenis atau pendekatan penelitian

studi kepustakaan. Menurut Mardalis (1999) studi kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan dalam mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dan sebagainya. Menurut Sarwono (2006) studi kepustakaan juga dapat mempelajari beberbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan dokumentasi. Studi kepustakaan berupa pengumpulan data bermacam-macam material yang terdapat di ruang kepustakaan seperti koran, buku-buku, majalah, naskah, dokumen dan sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1983). Sementara dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012). Tahap selanjutnya adalah analisis data, yaitu memilih, membandingkan, menggabungkan, dan memilah berbagai pengertian hingga ditemukan yang relevan (Sutanto, 2007).

IV. PEMBAHASANA. Perumusan Masalah Kebijakan

Mengenali dan merumuskan masalah kebijakan merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik pula. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat, dalam penelitian ini difokuskan terkait kebijakan mengenai Pekerja Migran Indonesia (PMI). Berdasarkan bukti analisis statistik, diketahui bahwa rendahnya pendidikan PMI berpengaruh pada profesi yang dijalankan, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

Page 239: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

227Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Tabel 3. PMI Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Tabel 4. PMI Berdasarkan Profesi

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Dari tabel 4 diketahui bahwa pentingnya kualitas PMI menentukan profesi pekerja migrasi tersebut. Terlebih hal ini menunjukkan kompetensi sumber daya PMI untuk bersaing di dunia

Page 240: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

228 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

internasional. Hal ini diperkuat dengan bukti dampak dan bukti analisis deskriptif, di mana diketahui bahwa belum maksimalnya tingkat pendidikan para PMI berpengaruh pada banyaknya laporan baik PMI itu sendiri maupun dari pihak keluarga. Untuk lebih jelasnya akan ditunjukkan dalam tabel 5 berikut.

Tabel 5. Jumlah Pengaduan PMI Berdasarkan Negara Penempatan

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BN2PTKI), hingga akhir 2018, terdapat 171 PMI terjerat kasus pidana berat dan masih dalam proses penyelesaian. Sebanyak 443 PMI berhasil dibebaskan dari ancaman hukuman mati. Sementara penyelesaian kasus terberat terjadi di Arab Saudi karena Pemerintah Arab Saudi meminta ada klausul pemaaf dari keluarga yang menjadi korban di Arab Saudi. Sedangkan untuk PMI yang terkena kasus hukum dan penganiayaan, BNP2TKI dan Kementerian Luar Negeri melakukan pendampingan dan menelusuri kronologisnya.

BNP2TKI juga mencatat, TKI ilegal berjumlah 1,92 juta orang. Mereka disebut TKI ilegal karena dokumen kerjanya tidak lengkap. Rata-rata mereka masuk lewat jalur tikus atau visa umroh dan haji. Ada juga yang nekat masuk secara resmi tetapi memakai visa palsu.

Page 241: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

229Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Banyak calon TKI yang belum memahami cara menjadi TKI secara resmi. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Sebagian besar calon TKI hanya tamatan SD atau tidak tamat SD.

Selanjutnya berdasarkan bukti ekonomi, penyebab utama besarnya jumlah PMI adalah sebagai berikut: a. Minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di lingkungan

sekitar mereka. Inilah alasan terbesar mengapa orang-orang memilih menjadi TKI di luar negeri.

b. Tuntutan biaya hidup yang semakin besar seperti menyekolahkan anak, menyejahterakan hidup keluarga, dan membeli kebutuhan hidup lainnya.

c. Jumlah gaji yang diterima ketika menjadi TKI cukup besar dibandingkan dengan gaji di Indonesia. Sebut saja gaji menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Gaji di Indonesia berkisar Rp500 ribu-Rp750 ribu. Sementara di Arab Saudi, gaji PRT 700 riyal atau setara dengan Rp1.610.000.

d. Ajakan anggota keluarga yang telah menjadi TKI terlebih dahulu. Keluarga bisa menjadi link sekaligus orang yang bisa dipercaya untuk bisa menjaga anggota keluarga lain yang berniat pergi merantau.

e. Lingkungan tempat tinggal yang masyarakatnya sudah menjadi TKI turun temurun.

B. Agenda KebijakanPada dasarnya tidak semua masalah publik akan masuk ke

dalam agenda kebijakan. Adapun masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan yang lain. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya masuk ke dalam agenda kebijakan. Salah satu syarat agar suatu masalah masuk ke dalam agenda kebijakan adalah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat dan membutuhkan penanganan yang harus segera dilakukan. Agenda yang disusun pemerintah menyangkut beberapa masalah pokok, yaitu masalah rutinitas pemerintah, masalah dari masyarakat, dan masalah baru dari masyarakat. Masalah publik yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan akan dibahas oleh para perumus kebijakan. Untuk perumusan kebijakan berbasis bukti, permasalahan PMI merupakan masalah dari masyarakat dan menjadi masalah rutinitas pemerintah. Untuk itu kalangan legislatif

Page 242: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

230 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

(DPR) mebutuhkan adopsi kebijakan dengan menitikberatkan pada berbagai jenis bukti yang dibutuhkan DPR selaku pembuat kebijakan.

Berdasarkan bukti penempatan PMI terbanyak di luar negeri, pemerintah dapat memfokuskan pada bukti ekonomi di mana negara yang paling banyak menjadi tujuan para PMI. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Penempatan PMI Berdasarkan Negara

Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia

Dari tabel 6 diketahui bahwa Malaysia masih menjadi negara tujuan utama PMI. Berdasarkan bukti sikap dan bukti etis, pemerintah sebenernya telah mengupayakan yang terbaik dengan memiliki beberapa Memory of Understanding (MoU) dengan berbagai negara untuk memfasilitasi keberadaan PMI di luar negeri. MoU yang sudah dimiliki Pemerintah RI antara lain dengan Singapura, Malaysia, Jepang, Arab Saudi, dan Kuwait. Selain itu, berdasarkan bukti implementasi Pasal 3 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyatakan bahwa:a. menjamin pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia

sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia; danb. menjamin pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja

Migran Indonesia dan keluarganya.

Page 243: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

231Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

Pasal tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan bukan hanya kepada para PMI, melainkan juga kepada keluarga PMI. Selain itu berdasarkan bukti implementasi, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan, diantaranya program jaminan sosial bagi calon pekerja migran Indonesia (CPMI)/PMI yang terdiri dari:a. Program yang wajib untuk diikuti yaitu Jaminan Kecelakaan

Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm).b. Program yang dianjurkan (sukarela) untuk diikuti yaitu Jaminan

Hari Tua (JHT).

Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan, diketahui bahwa dalam upaya penyelesaian masalah terkait PMI, tidak bisa hanya menyelesaikan suatu bagian dari masalah, melainkan harus saling terintegrasi dan bersifat makro. Dalam hal ini, pemerintah dapat memfokuskan bukan hanya pada perlindungan PMI ataupun keluarga PMI, tetapi lebih spesifik pada kualitas PMI itu sendiri agar memiliki kompetensi yang menunjang PMI sebagai pekerja yang memiliki daya saing tinggi. Maka agenda kebijakan yang relevan dan mudah dipahami berkaitan pada pengembangan kualitas sumber daya baik masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan (skill) yang memadai.

C. Pemilihan Alternatif Kebijakan Untuk Pemecahan MasalahPada agenda kebijakan, para perumus kebijakan akan

berhadapan dengan alternatif-alternatif kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan suatu masalah. Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Dalam kondisi tersebut, maka pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang terjadi antaraktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Terkait PMI, berdasakan bukti-bukti yang dipaparkan, maka perlu adanya koordinasi antarpihak terkait agar tercipta aternatif kebijakan untuk memecahkan masalah kualitas sumber daya PMI baik masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan yang memadai.

Untuk dapat menyeimbangkan antara kebutuhan (demand) dan persediaan (supply), maka upaya peningkatan sumber daya PMI harus

Page 244: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

232 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

dilakukan secara berkelanjutan. Namun demikian, berdasarkan hasil penelitian kepustakaan, diketahui bahwa studi berbasis bukti masih sulit ditemukan di Indonesia. Karena itu diperlukan kunjungan kerja para perumus kebijakan ke negara-negara yang telah menerapkan banyak kebijakan berbasis bukti seperti Australia. Hal tersebut diperlukan untuk memperoleh berbagai alternatif kebijakan guna memecahkan masalah kualitas sumber daya PMI, baik masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan yang memadai. Apalagi data Kementerian Ketenagakerjaan RI menunjukkan bahwa tahun 2018 TKA yang bekerja sebagai profesional hampir 24.000 pekerja. Angka itu terdiri dari 20.000 pekerja bekerja sebagai manajer, dan 15.000 sebagai direksi di suatu perusahaan. Data ini berbanding terbalik dengan masih minimnya jumlah tenaga profesional PMI.

Selanjutnya penulis melihat bahwa realitas yang terjadi di lapangan dengan apa yang dikemukakan oleh Dunn pada tahap pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah menjadi sangat relevan. Dunn mengatakan bahwa pada tahap pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah, para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Oleh sebab itu dalam memilih alternatif kebijakan terkait PMI, DPR RI dapat menepatkan diri sebagai wakil rakyat yang mampu mengakomidir semua kepentingan guna memperoleh alternatif kebijakan yang terbaik.

D. Tahap Penetapan KebijakanSetelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan,

maka tahap paling akhir dalam pembentukan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alternatif kebijakan yang diambil pada dasarnya merupakan kompromi dari berbagai kelompok kepentingan yang terlibat dalam pembentukan kebijakan tersebut. Tahap terakhir dalam proses formulasi kebijakan sesuai dengan teori formulasi kebijakan Dunn adalah mengenai penetapan ataupun pengesahan kebijakan. Tahap penetapan dan pengesahan kebijakan perlu dilakukan agar suatu kebijakan yang telah dipilih pada tahap pemilihan alternatif kebijakan, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak dapat diganggu gugat serta sesuai dengan

Page 245: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

233Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

proses peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurispudensi, dan sebagainya.

Berdasarkan studi kepustakaan misalnya, diketahui bahwa guna menunjang ketrampilan PMI, ketentuan menyatakan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi CPMI yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi. Dalam implementasi, pelatihan tersebut belum menunjukkan indikator keberhasilannya. Sementara terkait tingkat pendidikan, usia minimum bagi PMI telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun aturan tersebut tidak mengatur batas minimal pendidikan sehingga banyak persoalan yang muncul karena masih rendahnya kualitas PMI tersebut. Seperti kasus yang terjadi di Malaysia, masalah komunikasi menjadi salah satu laporan terbanyak akibat kurangnya kemampuan PMI, sedangkan Malaysia merupakan negara tujuan PMI yang terbanyak dibandingkan negara tujuan PMI lain.

IV. KESIMPULANBukti yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan bukti

yang mudah dipahami (kontekstual), masuk akal, relevan dengan kebijakan, terikat waktu, dan memiliki pesan yang jelas. Bukti-bukti tersebut terdiri dari bukti implementasi, bukti analisis depkristif, bukti sikap, bukti etis, bukti analisis statistik, bukti ekonomi, dan keseluruhan bukti yang menghasilkan dampak. Berdasarkan bukti-bukti tersebut diketahui bahwa permasalahan umum yang masih menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah TKI ilegal. Mereka lebih menyukai cara-cara belakang tanpa memikirkan dampaknya karena desakan ekonomi dan kemampuan berpikir analitis yang rendah. Selain itu, banyaknya PMI yang terkena masalah hukum, PMI yang dipulangkan karena kurangnya kompetensi, dan permasalahan komunikasi PMI di negara tujuan juga menjadi permasalahan sebagian besar PMI. Dari bukti-bukti tersebut, dapat ditarik permasalahan utama PMI adalah kualitas sumber daya PMI baik masalah jenjang pendidikan maupun keterampilan (skill) yang belum memadai. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai hal, termasuk perlindungan kepada PMI dan

Page 246: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

234 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

keluarga PMI. Selain perlindungan, perlu adanya upaya pencegahan terhadap berbagai kasus PMI, yakni peningkatan kualitas daya saing PMI. Rekomendasi yang peneliti ajukan adalah pertama ketentuan tidak hanya mengatur batas usia minimal keberangkatan PMI, tetapi juga jenjang pendidikan. Dengan demikian PMI akan berupaya mengubah pola pikir pentingnya pendidikan sebagai salah satu syarat memperoleh pekerjaan yang layak. Hal tersebut juga untuk menjawab persolan dasar pengaduan PMI, misalnya di Malaysia yang didominasi permasalahan komunikasi yang seharusnya selesai di bangku pendidikan. Kedua, PMI diwajibkan lulus pelatihan kompetensi dasar. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dasar bahasa ibu, pendidikan bela negara, dan kemampuan dasar seperti penggunaan komputer, memahami intruksi, dan pengetahuan umum lainnya. Ketiga, guna menunjang keterampilan (skill) agar tidak terasa sebagai formalitas belaka, maka perlu dilakukan ujian kelulusan dan perencanaan dari awal. Hal tersebut disebabkan tidak semua PMI memliki keterampilan yang sama seperti menjahit, otomotif, memasak, desain grafis, dan sebagainya. Klasifikasi keterampilan PMI dan kelulusan pelatihan tersebut akan memudahkan pemerintah beserta lembaga penyalur PMI dalam menempatkan PMI berdasarkan profesi keterampilannya. Hal ini juga memudahkan pengawasan pemerintah sehingga dapat memperkecil jumlah pengaduan yang berkonotasi negatif sebagai akibat lemahnya kualitas PMI. Keempat, adanya perbaikan internal dan sanksi tegas bagi lembaga penyalur PMI jika ditemukan tidak mengindahkan prosedur. Dalam hal ini tidak hanya membekukan izin tetapi mencabut izin dan sertifikasi lembaga dari awal lagi.

Page 247: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

235Yunita Maya Putri dan Shintya Gugah Asih

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

DAFTAR PUSTAKA

BNP2TKI. (2019). BNP2TKI Telah Menempatkan Sebanyak 1.598.522 PMI Sejak Tahun 2014, (online), (http://bnp2tki.go.id/berita-detail/bnp2tki-telah-menempatkan-sebanyak-1-598-522-pmi-sejak-tahun-2014, diakses 29 Oktober 2019).

Davies, Philip. (2005). Evidence-Based Policy at The Cabinet O ce: A Transcript of A Talk at ODI, Impact and Insight Meeting, 17th October 2005, (online), (https://www.odi.org.uk/rapid/events/impact_insight/presentation_1/davies.html, diakses 18 November 2019).

Dunn, William N. (2003). Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hastono, Sutanto Priyo. (2007). Modul Analisis Data. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

I Chalmers. (2003). ‘Trying To Do More Good Than Harm In Policy and Practice: The Role of Rigorous, Transparent, Up-To-Date Evaluations’, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 589, pp. 22-40.

Jonathan, Sarwono. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Koentjaraningrat. (1984). Kamus Istilah Anhtropologi. Jakarta: Depdikbud (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa).

Mardalis. (1999). Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Martson, Greg dan Rob Was. (2003). Tampering with Evidence: A Critical Appraisal of Evidence-Based Policy-Making, (online), (http://www.australianreview.net/journal/v3/n3/marston_watts.pdf, diakses 18 November 2019).

Nugroho, D. Riant. (2008). Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Page 248: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Daya Saing Peningkatan Kualitas Pekerja Migran Indonesia (PMI)

236 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Sherman. (2003). Preface: Misleading Evidence and Evidence-Led Policy: Making Social Science More Experimental, Annals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 589, pp. 6-19.

Staley, Louise. (2008). Evidence-based Policy and Public Sector Innovation, (online), (https://ipa.org.au/wpcontent/uploads/archive/1226382181_doc ment_staley_vic_gov_innovation.pdf, diakses 17 November 2019).

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sumner, Andy, Nick Ishmael Perkins, dan Johanna Lindstrom. (2009). Making Science of In uencing: Assessing the Impact of Development Research, (online), Institute of Development Studies, (https://www.researchgate.net/publication/227646660_Making_Science_of_Influencing_Assessing_the_Impact_of_Development_Research, diakses 17 November 2019).

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Page 249: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

237Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

SENSIBILITAS METODOLOGIS DALAMPERUMUSAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI:

STUDI KUALITATIF AKSES MASYARAKAT MISKIN PADA LAYANAN KESEHATAN

Retna Hanani

Departemen Administrasi Publik, FISIP Universitas Diponegoro, [email protected]

ABSTRAKProses perumusan kebijakan publik adalah tahap penting dalam menentukan kualitas kebijakan. Dalam tahap ini masukan kebijakan harus didukung oleh bukti kebijakan (policy evidence) yang dikumpulkan secara akurat dan menggambarkan kompleksitas masalah kebijakan secara menyeluruh. Sebagai bagian dari siklus kebijakan, pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) adalah pendekatan baru dalam studi kebijakan di Indonesia. Berbagai penelitian tentang siklus kebijakan di Indonesia menunjukkan bahwa proses kebijakan publik di Indonesia seringkali dibangun berdasarkan opini (opinion based) dan bukan bukti (evidence based). Artikel ini ingin mengajukan argumen bahwa untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan berbasis bukti, pembuat kebijakan perlu memiliki sensibilitas metodologis untuk memperkaya informasi dan bukti kebijakan. Sensibilitas metodologi dalam artikel ini diterjemahkan sebagai kemampuan pembuat kebijakan untuk memilih metode dan data sesuai dengan konteks masalah publik yang ingin diselesaikan. Dalam definisi sensibilitas metodologis, pembuat kebijakan (DPR salah satunya) terbuka terhadap pendekatan dan data secara variatif untuk menangkap penyebab (causes), dampak (impact) dan relasi antar faktor. Selain menggunakan pendekatan dan data kuantitatif untuk melihat cause and impact, peneliti berpendapat bahwa metode dan data kualitatif memberikan peluang kepada aktor-aktor pembuat kebijakan untuk memahami kompleksitas masalah kebijakan secara lebih komprehensif. Dengan menggunakan metode kualitatif, aktor kebijakan dapat melihat kesalingterhubungan antara berbagai faktor dan sejauhmana faktor-faktor kebijakan mempengaruhi peluang keberhasilan sebuah kebijakan. Dalam artikel ini, penulis menggabungkan metode pustaka dan studi kualitatif tentang akses

Page 250: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

238 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

masyarakat miskin pada fasilitas kesehatan sebagai ilustrasi pentingnya sensibilitas metodologis dalam pembuatan kebijakan berbasis bukti.

Kata kunci: bukti kebijakan; metodologi kualitatif; kebijakan kesehatan

I. PENDAHULUANReformasi politik dan amandemen Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia merupakan rangkaian peristiwa yang menandakan era baru dalam struktur kebijakan publik di Indonesia. Peran DPR sebagai lembaga legislatif tidak lagi sebatas memberikan legitimasi politik untuk kebijakan yang dihasilkan oleh eksekutif. Saat ini, DPR memiliki kewajiban politis dan otoritatif untuk terlibat aktif dalam penyusunan kebijakan. Secara politis, peran aktif DPR dalam perumusan kebijakan adalah implikasi dari posisi DPR sebagai institusi yang dipilih secara demokratis untuk mewakili “suara rakyat”.

Sayangnya, kewajiban politis dan otoritatif ini tidak didukung oleh kapasitas anggota DPR dalam merumuskan kebijakan. Berbagai penelitian tentang proses perumusan kebijakan menyebutkan bahwa walaupun DPR paska reformasi memiliki kewenangan yang lebih besar, kewenangan ini tidak dibarengi dengan kemampuan anggota DPR dalam proses pembuatan kebijakan. Penelitian Knowledge Sector Indonesia tahun 2011, menunjukkan bahwa kapasitas anggota DPR dalam perumusan kebijakan (terutama perumusan kebijakan berbasis bukti) relatif lebih lemah jika dibandingkan dengan kapasitas kebijakan pemerintah/eksekutif (Datta, Jones, Febriany, & Harris, 2011).

Mengacu pada studi yang dilakukan Blondal, Hawkesworth, & Choi Hyon-Deok, (2009), laporan KSI juga menyebutkan beberapa faktor yang membuat proses perumusan kebijakan berbasis bukti DPR lemah. Faktor pertama berkaitan dengan tingkat turn-over (pergantian) anggota DPR yang cepat, Pada pemilu 2009, hampir 75% anggota parlemen hasil pemilu 2009 adalah mereka yang menjadi anggota parlemenn untuk pertama kalinya. Meskipun kondisi ini mencerminkan proses transisi ke demokrasi, tingkat pergantian yang cepat juga menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) anggota legislatif dari hasil pemilu 2009 kurang memiliki pengalaman legislasi. Blondal lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam kegiatan

Page 251: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

239Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

penting seperti peninjauan anggaran, mayoritas anggota legislatif baru tersebut secara tiba-tiba dihadapkan pada dokumen anggaran yang sangat teknis. Dengan latar belakang sebagai anggota legislatif, mereka tidak memiliki keahlian yang setara dengan keahlian yang dimiliki pejabat eksekutif seperti Badan Kebijakan Fiskal. Tingkat pergantian anggota ini juga terjadi pada tingginya rotasi anggota parlemen dari satu komisi ke komisi lainnya. Rotasi komisi yang cepat membatasi waktu mereka untuk mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman tentang suatu masalah.

Kedua, seperti yang telah disebutkan di awal artikel ini, meningkatnya tanggung jawab politik DPR tidak disertai dengan peningkatan sumber daya parlemen. Sumber daya parlemen tidak hanya diartikan sebagai kapasitas anggota legislatif tetapi juga kapasitas tim ahli dan tim sekretariat anggota DPR. Dalam studinya, Blondal menujukkan bahwa anggota parlemen kadang-kadang tidak memiliki sumber daya untuk mengumpulkan informasi dari daerah pemilihan karena luasnya wilayah konstituensi mereka. Keterbatasan untuk mendapatkan informasi dari daerah ini membuat anggota parlemen tidak dapat memainkan fungsi perwakilan mereka secara efektif.

Faktor ketiga, parlemen tidak memiliki dukungan analitik yang memadai. Blondal et al. (2009) mengemukakan bahwa ada 35 ahli yang bekerja untuk Pusat Penelitian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) di Sekretariat Jenderal DPR. Tiga puluh lima ahli ini bertanggung jawab untuk melayani 550 anggota parlemen dan staf ahli anggota DPR. Staf P3DI termasuk peneliti, pustakawan, arsiparis, spesialis komputer, dan penyusun undang-undang dan ditugaskan untuk mendukung anggota DPR di semua kegiatan (Sherlock, 2010). Blondal et al. (2009) menyatakan bahwa, dari 35 pakar, hanya 7 yang bertanggung jawab untuk memberikan dukungan dalam penganggaran. Selain itu, Staf Sekretariat Jenderal kurang berfokus pada pembuatan sintesis kebijakan (policy brief) yang sangat diperlukan untuk anggota parlemen. Pelatihan oleh lembaga keilmuan seperti SMERU untuk staf parlemen mengenai metode penelitian dikatakan hanya berdampak kecil pada kualitas pekerjaan mereka. Akibatnya, anggota parlemen dan staf ahli tidak mendapatkan bantuan pengetahuan yang mencukupi dari Sekretariat Jenderal.

Page 252: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

240 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

Dalam perkembangannya, kelemahan DPR terlihat dalam demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan beberapa Rancangan Undang-Undang terutama RUU KUHP yang merupakan bagian program legislasi nasional DPR 2014-2019. Salah satu kritik terhadap RUU KUHP tersebut adalah munculnya beberapa pasal yang dianggap berpotensi melanggar kebebasan sipil warga negara dan tidak menjawab permasalahan publik yang menjadi perhatian masyarakat (contoh: tentang penanganan korupsi). Peristiwa penolakan ini semakin membuktikan bahwa kualitas perumusan kebijakan di DPR perlu mendapatkan masukan kebijakan (policy input) yang berbasis pengetahuan (knowledge).

Dalam artikel ini, peneliti ingin berkontribusi dalam diskusi tentang bagaimana parlemen dapat meningkatkan kualitas proses perumusan kebijakan. Artikel ini ingin mengajukan pendapat (argument) bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas perumusan kebijakan adalah dengan bersikap terbuka terhadap berbagai pendekatan dan data. Keterbukaan terhadap berbagai metode penelitian dan data (kuantitatif dan kualitatif) akan membuka peluang bagi anggota parlemen untuk mendapatkan gambaran kompleksitas masalah publik secara komprehensif dan dapat menentukan faktor-faktor yang berpengaruh dalam sebuah intervensi kebijakan.

Artikel ini secara khusus akan mengaplikasikan pendekatan dan data kualitatif sebagai bagian dari evidence based policy (EBP). Pertanyaan yang ingin dijawab oleh artikel ini adalah model pendekatan dan data kualitatif apa yang dapat digunakan oleh parlemen untuk meningkatkan kualitas masukan kebijakan (policy input) yang dibutuhkan? Apa kelebihan dan kekurangan dari pendekatan dan data kualitatif sebagai basis EBP jika dibandingkan dengan pendekatan dan jenis data kuantitatif ?

II. TINJAUAN PUSTAKASecara umum konsep evidence based policy sering dikontraskan

dengan model “opinion based policy”. Di negara-negara Barat, ilmu-ilmu sosial berkembang pesat di era pasca perang tahun 1940-an dan 1950-an terutama dalam studi ilmu ekonomi seperti studi ekonmi Keynesian. Perkembangan ilmu ekonomu Keynesian menjadi pijakan kemunculan “policy science” yang diperjuangkan oleh Lasswell.

Page 253: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

241Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Policy science yang dicanangkan oleh Laswell mengasumsikan bahwa proses kebijakan publik adalah proses yang berlangsung secara rasional (Head, 2010). Perkembangan evidence based policy tidak bisa dipisahkan dari pandangan ini. Pada awal perkembangannya, EBP juga juga didasarkan pada praktik pembuatan kebijakan di sektor privat. Asumsi utama dari pandangan ini adalah strategi dan arahan bisnis yang didukung oleh basis informasi yang solid akan lebih unggul apabila didikung oleh sistem navigasi dan kompas yang andal. Navigasi dan kompas adalah ilustrasi yang digunakan para pemimpin bisnis untuk menggambarkan ketergantungan perumusan kebijakaan pada bukti akurat tentang kinerja, standar, dan kondisi pasar. Dalam pendekatan berbasis bukti, kebijakan publik yang sukses bergantung pada informasi dan keahlian yang andal. Proses kebijakan tidak dapat didasarkan pada preseden dan intuisi pribadi.

Oleh karena itu, bukti (evidence) dalam konteks EBP didefinisikan sebagai hasil dari aktivitas ilmiah yang dapat digunakan sebagai masukan kebijakan yang reliable (dapat diandalkan). Dalam proses pembuatan kebijakan, policy evidence harus dihasilkan melalui serangkaian penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah yang terarah dan terukur. Definisi policy evidence secara umum seringkali diterjemahkan sebagai pendekatan dan data kuantitatif. Pertanyaan seperti validitas data, keandalan, dan objektivitas adalah pertanyaan pokok untuk menguji kesahihan data. Disinilah pendekatan statistika memiliki posisi khusus dalam EBP. Pendekatan kuantitatif terutama statistik dianggap mampu mengukur kompleksitas masalah publik secara lengkap dan singkat. Pendekatan kuantitatif juga dianggap lebih menguntungkan karena dapat menghitung secara spesifik dampak dari sebuah kebijakan.

Namun demikian, bukti yang relevan dan diperlukan dalam perumusan kebijakan publik perlu diperluas. Perluasan metode ini penting untuk mencerminkan jenis pengetahuan dan informasi penting lainnya. Disinilah fungsi pendekatan dan data kualitatif menjadi penting. Pendekatan kualitatif penting untuk melihat masukan kebijakan tentang nilai-nilai, sikap dan persepsi pemangku kepentingan dan pembuat keputusan. Selain itu, pentingnya pendekatan dan data kualitatif sangat berbeda dengan pendekatan kuantitatif. Beberapa disiplin ilmu (seperti antropologi sosial,

Page 254: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

242 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

sejarah) umumnya berpusat pada ’pengalaman’ pelaku- makna, motif, konteks – dan tidak berusaha mencari generalisasi perilaku.

Dalam studi kebijakan, pentingnya pendekatan kualitatif juga digunakan untuk melengkapi kekurangan pendekatan kuantitatif. Dalam kebijakan kesehatan misalnya, intervensi kesehatan mungkin akan gagal jika penerima kebijakan tidak melihatnya sebagai hal yang dapat diterima. Penerima kebijakan perlu menerima intervensi kebijakan sebagai intervensi yang dapat diterima secara etis, dapat diakses, layak dan hemat biaya. Dalam memberikan gambaran kepada pembuat keputusan tentang dampak intervensi terhadap orang, bukti kualitatif sangat membantu dalam menilai apakah intervensi dapat diterima dan /atau layak untuk diimplementasikan.

Secara kongkrit, penelitian-penelitian dalam bidang kesehatan menunjukkan bahwa pendekatan dan data kualitatif sangat diperlukan oleh pembuat kebijakan agar pembuat kebijakan dapat memahami kompleksitas implementasi kebijakan. Pembuat keputusan juga membutuhkan informasi tentang kelayakan dan penerimaan intervensi, sehingga pembuat kebijakan lebih memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan yang mereka buat. Untuk mendapatkan sintesis data kualitatif yang dapat digunakan secara mudah oleh pembuat kebijakan, peneliti kualitatif sering menggunakan model Computerized Qualitative Analysis of Discourse (CQAD), untuk mengekstraksi dan mensintesis deskripsi pencarian, seleksi, penilaian kualitas, analisis dan metode sintesis (Martínez-García, Vallejo, Hernández-Lemus, & Álvarez-Díaz, 2019). Selain itu peneliti kesehatan menggunakan The Confidence in the Evidence from Reviews of Qualitative research (CERQual) model (Lewin et al., 2015). Model CERQual membantu menilai seberapa besar temuan dari sintesis bukti kualitatif dapat dipercaya. Penilaian kepercayaan CERQual untuk temuan review individu dari sintesis bukti kualitatif didasarkan pada empat komponen: keterbatasan metodologis dari studi kualitatif yang berkontribusi pada temuan review, relevansi dengan pertanyaan review dari studi yang berkontribusi pada temuan review, koherensi dari ulasan temuan, dan kecukupan data yang mendukung temuan ulasan. CERQual merupakan metode analisis data kualitatif yang secara transparan menilai kualitas bukti kualitatif.

Page 255: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

243Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Selain dua metode tersebut, terdapat satu metode kualitatif yang penting untuk diketahui oleh pembuat kebijakan, yaitu metode etnografi. Metode ‘Etnografi’ merujuk pada cara pengumpulan data (seperangkat metode penelitian); prinsip-prinsip yang memandu produksi data (metodologi); dan /atau produk tertulis dari aktivitas etnografi (Savage, 2006). Ahli etnografi mencoba untuk mendapatkan pandangan orang dalam (insider view) tentang suatu kelompok atau komunitas tertentu. Kontribusi dari pendekatan etnografi terhadap kesehatan terletak pada potensinya untuk mengeksplorasi isu-isu kompleks, seperti konteks di mana perawatan diberikan, atau sifat perawatan yang disediakan.

III. METODOLOGI Dalam artikel ini penulis menggunakan studi pustaka untuk

menjelaskan kemunculan pendekatan evidence based policy dalam studi kebijakan publik. Selain itu, studi pustakan juga dilakukan untuk menunjukkan kemunculan pendekatan kualitatif dalam perumusan kebijakan. Pendekatan kualitatif dalam bentuk etnografi dilakukan untuk melihat bagaimana orang miskin mengakses layanan kesehatan. Studi etnografi dilakukan di kampung kelas menengah bawah di Jakarta Timur dan telah dilaksanakan pada bulan September 2016.

IV. PEMBAHASAN Konsep EBP telah banyak diadopsi di sektor kesehatan. Sebagai

bidang ilmu yang tergantung pada keberhasilan menerjemahkan temuan dan melakukan sintesis dari percobaan pengobatan yang efektif, maka ilmu kesehatan merupakan pioneer pendekatan EBP dibandingkan bidang kebijakan lainnya. Namun demikian, riset kesehatan tidak hanya berorientasi pada pendekatan klinis. Studi-studi kesehatan juga menggunakan pendekatan etnografi untuk menyelidiki konteks sosial, nilai, norma dan perilaku masyarakat. Pada bagian ini, peneliti akan menunjukkan bagaimana metode penelitian etnografi dapat digunakan untuk menangkap kompleksitas akses pada layanan kesehatan.

Secara umum, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan akses pada kesehatan sebagai peluang atau kemampuan untuk

Page 256: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

244 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

mendapatkan layanan kesehatan yang mereka butuhkan dan mendapat manfaat dari perlindungan risiko keuangan karena kondisi kesehatan (Evans, Hsu, & Boerma, 2013). Akses pada layanan kesehatan memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama adalah aksesibilitas fisik (physical accessibility). Dimensi ini dipahami sebagai ketersediaan layanan kesehatan yang baik dalam jangkauan wajar dari mereka yang membutuhkannya antara lain memiliki jam buka, sistem penunjukan dan aspek lain dari organisasi layanan dan pengiriman yang memungkinkan orang untuk mendapatkan layanan ketika mereka membutuhkannya. Dimensi kedua adalah keterjangkauan finansial (financial accessibility). Dimensi ini adalah ukuran kemampuan orang untuk membayar layanan tanpa kesulitan keuangan. Dimensi ini memperhitungkan tidak hanya harga layanan kesehatan tetapi juga biaya tidak langsung dan peluang (seperti biaya transportasi ke dan dari fasilitas dan meluangkan waktu dari pekerjaan). Keterjangkauan dipengaruhi oleh sistem pembiayaan kesehatan yang lebih luas dan oleh pendapatan rumah tangga. Dimensi ketiga adalah dimensi penerimaan (acceptability). Dimensi ini menyangkut kesediaan orang untuk mencari layanan. Penerimaan rendah ketika pasien menganggap layanan tidak efektif atau ketika faktor sosial dan budaya seperti bahasa atau usia, jenis kelamin, etnis atau agama penyedia layanan kesehatan menghalangi mereka untuk mencari layanan.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa masyarakat miskin sering mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan (Brooks et al., 2017; Erlyana, Damrongplasit, & Melnick, 2010; Srivastava & McGuire, 2015). Dalam penelitian kami, metode etnografi yang kami gunakan menunjukkan bahwa selain karena status sosial ekonomi kelompok miskin, akses kesehatan bagi masyarakat miskin di Jakarta juga dipengaruhi oleh peran mediator (broker atau calo dalam bahasa Indonesia).

Ketergantungan masyarakat miskin terhadap mediator dalam mengakses layanan kesehatan menunjukkan kompleksitas pelaksanaan BPJS Kesehatan. Bagi orang miskin, prosedur untuk mengakses fasilitas kesehatan adalah proses yang asing dan rumit. Mereka tidak terbiasa berurusan dengan pelayanan publik dan pemerintah karena kehidupan mereka yang marjinal. Oleh karenanya, akses pada layanan kesehatan tidak hanya terdiri

Page 257: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

245Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

dari tiga dimensi seperti yang disampaikan oleh WHO. Bagi orang miksin akses pada layanan kesehatan adalah urusan yang rumit dan harus dinegosiasikan. Warga miskin bergantung pada perantara/mediator seperti ketua komunitas (Ketua RT, Tokoh Masyarakat yang berpengaruh) untuk menjamin agar mereka dapat menerima layanan di rumah sakit.

Dengan menggunakan periode field work selama setahun di kota Jakarta, kami mengamati bahwa akses kepada layanan kesehatan bagi orang miskin tidak serta merta menghilangkan ketergantungan orang miskin terhadap perantara (mediator). Saat kami mempelajari interaksi sehari-hari antara warga negara, perantara dan pemberi layanan (Rumah Sakit atau Puskesmas), kami fokus pada bagaimana interaksi yang dimediasi broker ini berdampak pada pemenuhan hak layanan kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh warga negara. Kami berpendapat bahwa broker tidak hanya membantu warga mendapatakan hak layanan publik; mediator juga membentuk pengalaman dan interpretasi hak kesehatan yang berbeda dengan tujan kebijakan. Hak kesehatan dialami dan ditafsirkan tidak hanya dalam hal hubungan formal dengan fasilitas kesehatan; tetapi juga dipengaruhi oleh karakter hubungan pribadi antara pasien, mediator (calo), dan pemberi layanan.

Dalam penelitian kami, kami menunjukkan bahwa walaupun mediator membantu warga dalam mengakses layanan kesehatan, ketergantungan pada broker juga berdampak pada semakin marjinalnya posisi orang miskin dalam akses terhadap kesehatan. Kebutuhan untuk memupuk dan memelihara hubungan dengan perantara membuat warga tidak mampu mengakses layanan kesehatan secara independen dan dapat menambah beban finansial bagi pasien. Tanpa menggunakan pendekatan etnografi, dimensi akses kesehatan yang ditetapkan oleh WHO tidak akan dapat membidik tindakan mediasi yang banyak terjadi di kalangan masyarakat miskin.

Dalam penelitian kami, pendekatan etnografi dapat melengkapi studi kuantitatif dalam akses kesehatan. Merujuk pada Herzog & Zacka, (2019) kami melihat ada empat keutungan dari pendekatan etnografi. Keuntungan tersebut kami sebut sebagai keuntungan sensibilitas metodologis. Dengan menggunakan metode etnografi maka kami dapat menemukan tuntutan yang harus dihadapi

Page 258: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

246 Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-based Policy)

individu dalam situasi atau peran sosial tertentu. Kedua, dengan menggunakan metode etnografi kami dapat mendiagnosis hambatan yang dihadapi individu ketika mencoba menanggapi tuntutan ini (diagnostik). Ketiga, dengan menggunakan metode etnografi kami dapat mengevaluasi apakah praktik-praktik yang dilakukan oleh individu dan pengaturan kelembagaan di mana mereka berada, kondusif untuk meningkatkan akses pada layanan kesehatan (evaluatif). Keempat, dengan metode etnografi kami menyelidiki, mempertanyakan dan memperbaiki pemahaman kita tentang apa nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat miskin.

V. PENUTUP Keputusan kebijakan di dunia nyata tidak dapat direduksi dari

model analitik empiris, tetapi dari politik dan praktis pertimbangan. Ada saling pengaruh antara fakta, norma, dan tindakan yang disukai. Secara factual, dalam proses pembuatan kebijakan, apa yang dianggap sebagai ‘bukti’ beragam dan dapat diperdebatkan. Dalam penelitian kami, kami menunjukkan bahwa metode dan data kualitatif dapat digunakan sebagai cara untuk menggali masukan kebijakan (policy input) yang sama pentingnya dengan hasil pendekatan dan data kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA

Blondal, J., Hawkesworth, I., & Choi Hyon-Deok. (2009). Budgeting in Indonesia. OECD Journal on Budgeting, Volume 9 Nomor 2, Agustus.

Brooks, M. I., Thabrany, H., Fox, M. P., Wirtz, V. J., Feeley, F. G., & Sabin, L. L. (2017). Health facility and skilled birth deliveries among poor women with Jamkesmas health insurance in Indonesia: a mixed-methods study. BMC Health Services Research, Volume 17 Nomor 1, Februari.

Page 259: berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-public... · Judul Prosiding Seminar Nasional Bagian II Pusat Penelitian Sekretariat Jenderal dan Badan

247Retna Hanani

Sensibilitas Metodologis dalam Perumusan Kebijakan Berbasis Bukti

Datta, A., Jones, H., Febriany, V., & Harris, D. (2011). The political economy of policy-making in Indonesia: Opportunities for imporoving the demand for and use of knowledge (No. 340). London.

Erlyana, E., Damrongplasit, K. K., & Melnick, G. (2011). Expanding health insurance to increase health care utilization: Will it have different effects in rural vs. urban areas? Health Policy, Volume 100 Nomor 2, Mei.

Evans, D. B., Hsu, J., & Boerma, T. (2013). Universal health coverage and universal access. Bulletin of the World Health Organization, Volume 91 Nomor 8.

Head, B. W. (2010). Reconsidering evidence-based policy: Key issues and challenges. Policy and Society, Volume 29 Nomor 2, Mei.

Herzog, L., & Zacka, B. (2019). Fieldwork in Political Theory: Five Arguments for an Ethnographic Sensibility. British Journal of Political Science, Volume 49 Nomor 2, Mei.

Lewin, S., Glenton, C., Munthe-Kaas, H., Carlsen, B., Colvin, C. J., Gülmezoglu, M., … Rashidian, A. (2015). Using Qualitative Evidence in Decision Making for Health and Social Interventions: An Approach to Assess Confidence in Findings from Qualitative Evidence Syntheses (GRADE-CERQual). PLoS Medicine, Volume 12 Nomor 10, Oktober.

Martínez-García, M., Vallejo, M., Hernández-Lemus, E., & Álvarez-Díaz, J. A. (2019). Novel methods of qualitative analysis for health policy research. Health Research Policy and Systems, Volume 17 Nomor 1, Januari.

Savage, J. (2006). Ethnographic evidence: The value of applied ethnography in healthcare. Journal of Research in Nursing, Volume 7 Nomor 5, September.

Sherlock, S. (2010). Knowledge for Policy: Regulatory Obstacles to the Growth of a Knowledge Market in Indonesia. Australia: AusAID

Srivastava, D., & McGuire, A. (2015). Patient access to health care and medicines across low-income countries. Social Science and Medicine, Volume 133, Mei.