judul

42
TUGAS REFERAT PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS HEMATEMESIS DAN MELENA Diajukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Program Pendidikan Profesi Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kebumen Diajukan kepada Yth: dr. Imbar Sudarsono, Sp.PD Disusun oleh: Citra Kusuma Putri, S. Ked NIM: 07711061 FAKUTAS KEDOKTERAN

description

jurnal reading

Transcript of judul

Page 1: judul

TUGAS REFERAT

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS

HEMATEMESIS DAN MELENA

Diajukan untuk memenuhi syarat dalam mengikuti Program Pendidikan

Profesi Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kebumen

Diajukan kepada Yth:

dr. Imbar Sudarsono, Sp.PD

Disusun oleh:

Citra Kusuma Putri, S. Ked

NIM: 07711061

FAKUTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2012

Page 2: judul

BAB I. PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Perdarahan SCBA didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah

proksimal ligamentum Treitz, pada duodenum distal. Perdarahan ini dapat berupa

hematemesis, melena, hematokezia ataupun perdarahan yang tidak nampak

(perdarahan terselubung/occult bleeding) (Astera, 2008). Perdarahan saluran

cerna dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, atau ulkus

peptikum. Dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit dalam RSU dr.

Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esofagus, 19,2% gastritis

erosif, 1,0% ulkus peptikum, 0,6% kanker lambung, dan 2,6% karena sebab-sebab

lain. Laporan dari RS Pemerintah di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta urutan

penyebab terbanyak perdarahan SCBA sama dengan di RSU dr. Sutomo

Surabaya. Sedangkan laporan dari RS Pemerintah di Ujung Pandang

menyebutkan ulkus peptikum menempati urutan pertama penyebab perdarahan

SCBA. Laporan kasus di rumah sakit swasta yakni RS Darmo Surabaya

perdarahan karena uklus peptikum 51,2%, gastritis erosif 11,7%, varises esofagus

10,9%, keganasan 9,8%, esofagitis 5,3%, sindrom Mallory-Weiss 1,4%, tidak

diketahui 7%, dan penyebab-penyebab lain 2,7% (Adi, 2006).

Di negara barat insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000

penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita. Insidensi ini meningkat

sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di

populasi tidak diketahui. Dari catatan medik pasien yang dirawat di bagian

penyakit dalam RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1996-1998, pasien yang

dirawat karena perdarahan SCBA sebesar 2,5% - 3,5% dari seluruh pasien yang

dirawat di bagian penyakit dalam. Berbeda dengan di negara barat, dimana

perdarahan karena ulkus peptikum menempati urutan terbanyak. Di Indonesia,

perdarahan karena ruptur varises gastroesofagus merupakan penyebab tersering

yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragik sekitar 25-30%, ulkus peptikum

sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya <5%. Kecenderungan saat ini

menunjukkan bahwa perdarahan yang terjadi karena pemakaian jamu rematik

menempati urutan terbanyak sebagai penyebab perdarahan SCBA yang datang ke

2

Page 3: judul

UGD RS Hasan Sadikin. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar

25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan

kematian pada perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebagian besar penderita

perdarahan SCBA meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan

karena penyakit lain yang ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal,

stroke, penyakit jantung, penyakit hati kronis, pneumonia, dan sepsis (Djumhana

et.al., 1998).

Pendarahan SCBA dapat bermanifestasi sebagai hematemesis, malena, atau

keduanya. Walaupun perdarahan akan berhenti dengan sendirinya, tetapi

sebaiknya setiap pendarahan saluran cerna dianggap sebagi suatu keadaan serius

yang setiap saat dapat membahayakan pasien. Setiap pasien dengan pendarahan

harus dirawat di rumah sakit tanpa kecuali, walaupun pendarahan dapat berhenti

secara spontan. Hal ini harus ditanggulangi secara seksama dan optimal untuk

mencegah pendarahan lebih banyak, syok hemoragik, dan akibat lain yang

berhubungan dengan pendarahan tersebut, termasuk kematian pasien (Adi, 2006).

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pembuatan referat ini memiliki tujuan antara lain sebagai berikut:

1. Mengetahui anatomi dan fisiologi saluran cerna manusia.

2. Mengetahui etiologi dan faktor resiko terjadinya perdarahan SCBA.

3. Mengetahui manifestasi yang menunjukan adanya perdarahan SCBA.

4. Mengetahui penegakan diagnosis penyebab perdarahan SCBA yang

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

5. Mengetahui penatalaksanaan terhadap kasus kedaruratan medis berupa

perdarahan SCBA.

3

Page 4: judul

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Hematemesis didefinisikan sebagai muntah darah. Melena diartikan sebagai

tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas (Abdullah, 2006). Perdarahan

SCBA, warna darah yang dimuntahkan tergantung dari konsentrasi asam

lambung. Kalau muntahnya segera setelah perdarahan maka terlihat kemerahan,

jika sudah agak lama bisa berupa merah tua, abu-abu, atau hitam. Endapan

bekuan darah pada muntahan bisa terlihat sebagai “ampas kopi” (Astera, 2008).

Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau

hemokhrom lainnya oleh bakteri setelah 14 jam (Abdullah, 2006). Pada melena

umumnya perdarahan berasal dari esofagus, lambung, atau duodenum, tetapi

karena perjalanan isi usus lama, perdarahan dari jejunum, ileum, dan bahkan di

kolon asenden. Tinja akan berbentuk seperti ter, agak lengket dan berbau yang

khas. Untuk terjadinya melena, minimal diperlukan perdarahan sekitar 60 ml dan

berada dalam usus sekitar 8 jam. Perdarahan yang lebih dari ini dapat memberikan

melena sampai sekitar 7 hari (Astera, 2008).

Sebagian besar perdarahan SCBA terjadi sebagai akibat ulkus peptikum

(PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh infeksi H. pylori, penggunaan

obat-obatan anti-inflamasi non steroid (OAINS), dan alkohol. Robekan Mallory-

Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab perdarahan SCBA

yang jarang (Dubey, 2008).

II. ANATOMI SALURAN CERNA

a. Mulut

Mulut tebentang dari bibir sampai isthmus faucium, yaitu peralihan dari

mulut dengan pharynx. Mulut dibagian dalam vestibulum oris, yaitu bagian antara

bibir dan pipi di sebelah luar dengan gusi dan gigi-geligi disebelah dalam dan

cavitas oris propria yang terletak di dalam arcus alveolaris, gusi, dan gigi-geligi

(Snell, 2006).

Atap mulut dipersarafi oleh n. palatina major dan n. nasopalatinus.

Serabut-serabut pengecapan berjalan di dalam n. maxillaris. Dasar mulut

4

Page 5: judul

dipersarafi oleh n. lingualis, sebuah cabang n. mandibularis. Serabut-serabut

pengecap berjalan chorda tympani, cabang dari n. facialis. Sedangkan pipi

dipersarafi oleh n. buccalis, cabang dari n. Mandibularis (Snell, 2006).

Gambar 1. Cavitas oris

b. Pharynx

Pharynx terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya

mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan

bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagai esofagus setinggi vertebra

cervicalis enam. Pharynx memiliki dinding muskulomembranosa yang tidak

sempurna di bagian depan. Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang a.

pharyngea asscendens, a. palatina ascendens, a. facialis, a. maxillaris, dan a.

lingualis. Vena bermuara ke plexus venosus pharyngeus yang kemudian

bermuara ke v. jugularis interna (Snell, 2006).

Pharynx dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasopharynx, oropharynx, dan

laringopharynx. Nasopharynx, terletak di belakang rongga hidung di atas palatum

molle. Oropharynx, terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari pallatum

molle sampai ke tepi pinggir atas epiglottis. Laringopharynx, terletak dibelakang

aditus larynges dan permukaan posterior laring, dan terbentang dari pinggir bawah

cartilago cricoidea (Snell, 2006).

5

Page 6: judul

Suplai arteri pharynx berasal dari cabang-cabang a. pharyngea

ascendens, a. facialis, a. maxillaris, dan a. lingualis. Sedangkan vena bermuara

ke plexus venosus pharyngeus, yang kemudian bermuara ke v. jugularis interna

(Snell, 2006).

c. Esofagus

Esofagus merupakan struktur berbentuk tabung yang panjangnya sekitar

10 inci (25 cm), ke atas melanjutkan diri sebagai pars laryngea pharyngis yang

terletak setinggi vertebra cervicalis VI. Esofagus berjalan melalui diaphragma

setinggi vertebra thoracica X untuk bersatu dengan lambung. Sepertiga bagian

atas esofagus diperdarahi oleh arteria thyroidea inferior, sepertiga bagian tengah

oleh cabang-cabang aorta thoracica, dan sepertiga bagian bawah oleh cabang-

cabang arteria gastrica sinistra. Vena-vena dari sepertiga bagian atas mengalir

ke vena thyroidea inferior, dari sepertiga bagian tengah ke vena azygos, dan

sepertiga bagian bawah ke vena gastrica sinistra, sebuah cabang vena porta

(Snell, 2006).

d. Lambung

Lambung atau gaster merupakan bagian saluran pencernaan yang

berdilatasi diantara esofagus dan intestinum tenue (usus halus). Lambung terletak

di daerah kuadran kiri atas, epigastrium, dan regio umbilicalis dan sebagian besar

ditutupi oleh costae. Lambung memiliki tiga fungsi yaitu menyimpan makanan,

mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk chymus yang

setengah cair, dan mengatur kecepatan pengiriman chymus ke usus halus sehingga

pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung. Lambung dibagi

menjadi beberapa bagian yaitu fundus gastricum, berbentuk kubah menonjol ke

atas dan terletak disebelah ostium cardiacum dan biasanya berisi penuh udara;

corpus gastricum, terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis;

anthrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus; pylorus

merupakan bagian lambung yang berbentuk tubular yang terdapat dinding otot

polos tebal membentuk musculus sphincter pyloricum (Snell, 2006).

6

Page 7: judul

Gambar 2. Lambung

Lambung diperdarahi oleh arteria yang berasal dari truncus coeliacus

yaitu:

1. Arteria gastrica sinistra yang berjalan ke atas dan kiri untuk mencapai

esofagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor gaster

serta memperdarahi sepertiga bawah esofagus dan bagian kanan atas gaster.

2. Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir

atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor serta

memperdarahi bagian kanan bawah lambung.

3. Arteria gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan

berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk

memperdarahi fundus.

4. Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum

lienale dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk

memperdarahi gaster sepanjang bagian atas curvatura major.

5. Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang

merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri

dan memperdarahi gaster sepanjang bagian bawah curvatura major (Snell,

2006).

e. Usus halus

Usus halus atau intestinum tenue merupakan bagian terpanjang dari

saluran pencernaan yang terbentang dari pylorus pada gaster sampai junctura

7

Page 8: judul

ileocaecalis. Sebagian besar pencernaan dan absorbsi makanan terjadi

berlangsung di usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian yaitu

duodenum, jejunum, dan ileum (Snell, 2006).

Gambar 3. Usus halus

1. Duodenum

Merupakan saluran berbentuk huruf C dengan panjang sekitar 10

inci (25 cm) yang merupakan organ yang menghubungkan gaster dengan jejunum.

Duodenum merupakam organ penting karena muara dari ductus choledochus dan

ductus pancreaticus. Setengah bagian atas duodenum diperdarahi oelah arteria

pancreaticoduodenalis superior, cabang arteria gastroduodenalis. Setengah

bagian bawah diperdarahi oleh arteria pancreaticoduodenalis inferior, cabang

arteria mesenterica superior. Vena pancreaticoduodenalis superior bermuara ke

vena porta hepatis, sedangkan vena pancreaticoduodenalis inferior bermuara ke

vena mesenterica superior (Snell, 2006).

2. Jejunum dan Ileum

Jejunum dan ileum memiliki panjang 20 kaki (6 meter), dua per

lima bagian atas merupakan jejunum. Lengkung-lengkung jejunum dan ileum

dapat bergerak dengan bebas dan melekat pada dinding posterior abdomen dengan

perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yaitu mesentrium. Arteri

yang memperdarahi jejunum dan ileum berasal dari cabang-cabang arteria

8

Page 9: judul

mesenterica superior. Bagian paling bawah ileum diperdarahi juga oleh arteria

ileocolica. Vena sesuai dengan cabang-cabang arteria mesenterica superior dan

mengalirkan darahnya ke dalam vena mesenterica superior (Snell, 2006).

f. Hepar

Hepar merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh dan mempunyai

banyak fungsi. Tiga fungsi dasar hepar yaitu membentuk dan mensekresikan

empedu ke dalam tractus intestinalis, berperan pada banyak proses metabolisme

yang berhubungan dengan karbohidrat, lemak, dan protein, menyaring darah

untuk membuang bakteri dan benda asing lain yang masuk ke dalam darah dari

lumen intestinum (Snell, 2006).

Hepar berbentuk lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas

abdominalis tepat dibawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda

arcus costalis dextra, dan hemidiaphragma dextra yang memisahkan hepar dari

pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk

mencapai hemidiaphragma sinistra. Permukaan atas hepar yang cembung

melengkung dibawah kubah diaphragma.

Gambar 4. Hepar

Hepar dapat dibagi menjadi lobus hepatis dexter yang besar dan lobus

hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan ligamentum peritoneale, ligamentum

falciforme. Lobus hepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus qaudratus dan lobus

caudatus oleh adanya vesica beliaris, fisura ligamenti teretis, vena cava inferior,

dan fissura ligamenti venosi (Snell, 2006).

Hepar diperdarahi oleh arteria hepatica propria, cabang truncus

coeliacus, berakhir dengan bercabang menjadi ramus dexter dan sinister yang

9

Page 10: judul

masuk kedalam porta hepatis. Vena portae hepatis bercabang dua menjadi dua

cabang terminal yaitu ramus dexter dan ramus sinister yang masuk ke porta

hepatis belakang arteri. Vena hepatis muncul dari pars posterior hepatis dan

bermuara ke dalam vena cava inferior (Snell, 2006).

Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah

arteria hepatica propria (30%) dan vena portae hepatis (70%). Arteria hepatica

propria membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, dan vena porta membawa

darah yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang diabsorbsi dari tractus

gastrointestinalis. Darah arteria dan vena dialirkan ke vena centralis masing-

masing lobuli hepatis melalui sinusoid hepar. Venae centrales mengalirkan darah

ke vena hepatica dextra dan sinistra, dan vena-vena ini meninggalkan pars

posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior (Snell, 2006).

g. Pankreas

Pankreas merupakan kelenjar eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin

kelenjar menghasilkan sekret yang mengandung enzim-enzim yang dapat

menghidrolisis protein, lemak, dan karbohidrat. Bagian endokrin kelenjar yaitu

pulau-pulau Langerhans menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang

mempunyai peranan penting dalam metabolisme karbohidrat. Pankreas

diperdarahi oleh arteria lienalis serta arteria pancreaticoduodenalis superior dan

inferior. Vena yang sesuai dengan arterianya mengalirkan darah ke sistem porta

(Snell, 2006).

Gambar 5. Aliran darah pankreas

10

Page 11: judul

h. Usus besar

Usus besar atau intestinum crassum terbentang dari ileum sampai anus.

Fungsi utama usus besar adalah mengabsorbsi air dan elektrolit dan menympan

bahan yang tidak dicerna sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. Usus

besar dibagi menjadi menjadi caecum, appendix vermiformis, colon ascendens,

colon transversum, colon descendens, dan colon colon sigmoideum.

Caecum diperdarahi oleh arteria caecalis anterior dan arteria caecalis

posterior membentuk arteria ileocolica, sebuah cabang arteria mesenterica

superior. Vena mengikuti arteria yang sesuai dan mengalirkan darahnya ke vena

mesenterica superior. Appendix vermiformis melekat pada permukaan

posteromedial caecum, diperdarahi oleh arteria appenducilaris dan aliran venanya

menuju vena caecalis posterior. Colon ascendens diperdarahi oleh arteria

ileocolica dan arteria colica dextra yang merupakan cabang dari arteria

mesenterica superior dan bermuara ke vena mesenterica superior. Colon

transversum dua per tiga bagian proksimalnya diperdarahi oleh arteria colica

media dan sepertiga bagian distal diperdarahi oleh arteria colica sinistra. Colon

descendens diperdarahi oleh arteria colica sinistra dan arteria sigmoideae. Colon

sigmoideum mendapatkan pasokan darah dari arteri sigmoideae (Snell, 2006).

Gambar 6. Usus besar

11

Page 12: judul

i. Rectum

Panjang rectum sekitar 5 inci (13 cm) dan berawal di depan vertebra

sacralis III sebagai lanjutan colon sigmoideum dan berjalan mengikuti lengkung

os sacrum dan os coccygis. Rectum mendapatkan pasokan darah dari arteri

rectalis superior, media, dan inferior. Arteri rectalis superior merupakan lanjutan

arteria mesenterica inferior dan merupakan arteria utama yang memperdarahi

tunika mucosa rectum. Arteria rectalis superior masuk ke pelvis dengan berjalan

turun pada radix mesocolon sigmoideum dan bercabang dua menjadi ramus dexter

dan sinister. Kedua cabang ini mula-mula berada di belakang rectum dan

kemudian menembus tunica muscularis dan memperdarahi tunica mucosa.

Arteria ini kemudian beranastomosis satu dengan yang lain serta dengan arteria

rectalis media dan arteria rectalis inferior. Arteri rectalis media merupakan

cabang kecil arteri iliaca interna yang juga memperdarahi tunica mucosa rectum.

Arteria rectalis inferior beranastomosis dengan arteria rectalis media pada

junctio anorectalis. Sedangkan vena rectalis superior merupakan cabang

sirkulasi portal dan mengalirkan darahnya ke vena mesenterica inferior. Vena

rectalis media bermuara ke vena iliaca interna dan vena rectalis inferior bermuara

ke vena pudenda interna. Gabungan antara venae rectales membentuk

anastomosis portal-sistemik yang penting (Snell, 2006).

Gambar 7. Rectum

12

Page 13: judul

III. ETIOLOGI

Anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik dari oro-pharynx dan rongga

hidung dapat menyingkirkan kemungkinan tertelannya darah sebagai penyebab

terjadinya hematemesis melena. Yang paling sering menyebabkan perdarahan

SCBA adalah pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, ulkus peptikum,

robeknya mukosaperalihan esofagus dengan lambung (robekan Mallory-Weiss),

sedangkan etiologi lainnya sangat jarang.

Varises dan gastropati hipertensi portal, perdarahan dari pecahnya

varises umumnya mendadak dan masif. Perdarahan karena pecahnya varises

esofagus atau lambung umumnya akibat hipertensi portal sekunder dari sirosis

hati. Selain sirosis hati, hal lain dapat pula menyebabkan terjadinya varises

esofagus atau lambung adalah hepatitis akut dan perlemakan hati berat, yang

menghilang bila fungsi hati membaik. Meskipun perdarahan SCBA dari penderita

sirosis hepatis umumnya diduga karena pecahnya varises esofagus, pada

penelitian di Amerika ditemukan sebagai perdarahan SCBA karena ulkus

peptikum dan gastropati hipertensi portal (Astera, 2008).

Ulkus peptikum, merupakan sebab utama perdarahan SCBA di luar negeri.

Kemungkinan pula perdarahan ini merupakan gejala pertama dari ulkus peptikum

sebelum muncul gejala yang lain (Astera, 2008).

Gastritis, dapat dipertimbangkan sebagai perdarahan SCBA pada penderita

dengan anamnesis adanya dispepsia, kebiasaan makan yang tidak teratur, atau

kebiasaan minum alkohol ataupun obat-obatan OAINS. Erosi mukosa lambung

sering pula terjadi pada penderita dengan trauma berat, setelah pembedahan,

penyakit sistemik yang berat, luka bakar dan penderita dengan peningkatan

tekanan intrakranial (stress ulcer) (Astera, 2008).

Robeknya Mallory-Weiss, hal ini terjadi sering terjadi pada penderita yang

muntah terus menerus yang semula tidak berdarah, kemudian terjadi erosi mukosa

oesophago-gastric juction, sehinggan dapat terjadi hematemesis (misalnya

hiperemesis gravidarum) (Astera, 2008).

Sebab lain, yang menyebabkan perdarahan SCBA adalah esofagitis dan

karsinoma. Hal ini sering menjadikan perdarahan yang kronik dan jarang

memberikan perdarahan yang masif. Kanker ataupun tumor lain dari lambung

13

Page 14: judul

maupun duodenum dan limfoma sangat jarang dan kadang pula dapat

menyebabkan perdarahan. Leiomioma dan leiomiosarkoma meskipun sangat

jarang dapat pula menyebabkan perdarahan yang hebat. Divertikula dari

duodenum sangat jarang, demikian pula insufisiensi pembuluh darah mesentrika,

termasuk occlusive dan non-occlusive disease dapat pula menyebabkan

perdarahan. Perdarahan dapat pula terjadi setelah trauma laserasi hati, kelainan

darah (blood dyscrasis), vaskulitis, dan uremia, meskipun perdarahanya tidak

begitu berarti. Perdarahan akibat uremia umumnya kronik dan tersembunyi

(occult bleeding) (Astera, 2008).

IV. GEJALA KLINIS

Perdarahan masif dapat menimbulkan syok hipovolemik yang merupakan

keadaan gawat darurat yang memerlukan tindakan segera. Massa eritrosit

menurun sehingga mengurangi daya angkut oksigen dari darah. Disamping itu

akan terjadi penurunan volume darah yang dapat menimbulkan penurunan perfusi

jaringan sampai syok sehingga dapat menimbulkan kematian. Pengaruh

penurunan volume darah lebih penting dibandingkan dengan penurunan daya

angkut oksigen pada perdarahan akut (Bakta, 2008).

Gejala klinis dari perdarahan SCBA tergantung dari banyaknya perdarahan

dan cepatnya perdarahan, juga adanya penyakit lain yang kebetulan diderita oleh

pasien yang bersangkutan. Perdarahan SCBA dapat menyebabkan anemia.

Perdarahan kurang dari 500 ml jarang memberikan gejala sistemik, kecuali

penderita manula atau anemia, dimana kehilangan sedikit saja darah akan

menggangu keseimbangan hemodinamik. Perdarahan yang lebih banyak dan

cepat akan menyebabkan penurunan venous return ke jantung, penurunan cardiac

output dan meningkatnya tahanan perifer yang merangsang refleks vasokonstriksi

(Astera, 2008).

Gejala klinis yang dapat dijumpai pada anemia akibat perdarahan akut jika

dihubungkan dengan perdarahan adalah sebagai berikut:

14

Page 15: judul

Tabel 1. Gejala Klinis Akibat Perdarahan Akut

JUMLAH

PERDARAHAN

GEJALA

<10% BB 500 cc Biasanya asimptomatik, kadang-kadang dengan sinkop

vasovagal

>20% BB 1000 cc Takikardia dengan hipotensi postural

>30% BB 1500 cc Vena leher kosong, takikardia, dan hipotensi postural

>40% BB 2000 cc Hipotensis sampai syok dengan nadi cepat dan kecil serta

akral dingin, curah jantung dan tekanan vena sentralis

menurun

>50% BB 2500 cc Syok berat, asidosis laktat dan akhirnya kematian

V. ANAMNESIS

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan adalah sejak kapan terjadinya

perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar, ada tidaknya riwayat

perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya

perdarahan dibagian tubuh lainnya, riwayat penggunaan obat-obatan anti-

inflamasi non steroid (OAINS) dan anti-koagulan, kebiasaan mengkonsumsi

alkohol, mencari kemungkinan penyakit hati kronik, demam berdarah, demam

tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi, alergi obat-obatan, dan

riwayat transfusi sebelumnya (Adi, 2006).

Anamnesis sangat penting untuk mengarahkan asal perdarahan. Pada

penderita sirosis hati perdarahan kebanyakan terjadi oleh karena pecahnya varises

esofagus. Kebiasaan makan tidak teratur, peminum alkohol, konsumsi obat-

obatan OAINS mengarah pada gastritis erosif, sedangkan muntah terus menerus

kemudian diikuti muntah darah mengarah pada robekan Mallory-Weiss. Riwayat

keluarga mungkin juga menyingkap adanya suatu diatesis hemoragik. Adanya

penyakit sistemik yang berat, luka bakar luas, trauma, dapat pula mengarah

kepada suatu gastritis erosif atau stress ulcer. Sering pula muntah darah ini

disebabkan batuk darah, darahnya tertelan dan kemudian dimuntahkan (false

hematemesis). Dengan anamnesis yang teliti dan melihat kondisi muntahnya,

batuk darah akan dapat disingkirkan (Astera, 2008).

15

Page 16: judul

VI. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan keadaan umum sangat penting. Pemeriksaan awal pada semua

kasus perdarahan saluran cerna adalah menentukan beratnya perdarahan dengan

memfokuskan pada status hemodinamik. Evaluasi perubahan nadi dan tekanan

darah waktu berbaring dan duduk (Tilt test), penilaian tekanan vena sentral,

perkiraan banyakanya perdarahan merupakan tindakan yang pertama (Astera,

2008). Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan tekanan darah dan nadi pada posisi

berbaring, perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, ada tidaknya

vasokonstriksi perifer (akral dingin), frekuensi dan kualitas penapasan, tingkat

kesadaran, dan produksi urin (Adi, 2006).

Perdarahan di luar saluran cerna haruslah segera ditentukan dengan

pemeriksaan yang teliti dari rongga mulut maupun hidung. Stigmata penyakit hati

menahun seperti adanya spider navy, ginekomastia, atrofi testis, ikterus, asites,

splenomegali, mengarah pada pecahnya varises esofagus atau mukosa lambung

karena hipertensi portal. Kelainan kulit seperti purpura, ekimosis mungkin

berhubungan dengan kelainan darah. Pembesaran kelenjar limfe yang nyata atau

adanya massa di rongga abdomen mengarahkan adanya keganasan. Pemeriksaan

colok dubur dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan anus atau rektum,

sambil melihat warna tinja (Astera, 2008).

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Darah Rutin

Pemeriksaan pendahuluan termasuk pemeriksaan hemoglobin, hematokrit,

hapusan darah, penghitungan leukosit, hitung diferensial, serta penghitungan

trombosit merupakan pemeriksaan rutin dikerjakan. Pemeriksaan prothrombin

time, partial thromboplastin time, dan faal hemostasis lainnya diperlukan untuk

menyingkirkan adanya kelainan faktor pembekuan yang primer maupun sekunder

(Astera, 2008). Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti

dengan melakukan tes rumple leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu

pembekuan, retraksi bekuan darah, PPT, dan aPTT. Secepatnya kirim

16

Page 17: judul

pemeriksaan darah untuk menentukan golongan darah, kadar hemoglobin,

hematokrit, trombosit, dan leukosit (Adi, 2006).

b. Ultrasonografi

Pemeriksaan dengan ultrasonografi atau scanning hati dapat mendeteksi

penyakit hati kronik seperti sirosis hati yang mungkin sebagai penyebab

perdarahan saluran makan bagian atas (Astera, 2008).

c. Radiologi

Sarana diagnostik yang dapat digunakan pada kasus perdarahan saluran

cerna ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklida,

dan angiografi. Pada semua pasien dengan perdarah SCBA atau yang asal

perdarahannya masih meragukan pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan

prosedur pilihan. Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab

serta asal perdarahan, juga untuk menentukan aktifitas perdarahan. Dengan

pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bisa

ditegakkan. Selain itu dnegan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapetik.

Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi

perlu dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklida atau angiografi yang

sekaligus bisa digunakan untuk mennghentikan perdarahan. Adapun hasil

tindakan endoskopi atau angiografi sangat tergantung tingkat keahlian,

keterampilan, dan pengalaman pelaksana (Adi, 2006).

Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan adalah elektrokardigram

terutama pada pasien usia > 40 tahun; BUN, kreatinin serum (pada perdarahan

SCBA pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan peningkatan BUN,

sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit meningkat); elektrolit ( Na,

K, Cl) perubahan elektrolit bisa terjadi akibat perdarahan, transfusi, atau bilas

lambung; pemeriksaan lainnya tergantung macam kasus yang dihadapi (Adi,

2006).

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi pada kasus perdarahan SCBA adalah syok

hipovolemik, anemia akibat perdarahan, gagal ginjal akut, dan sindrom

hepatorenal.

17

Page 18: judul

Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume

darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Syok hipovolemik didiagnosis

ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan

adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan

dengan jelas atau berada dalam saluran cerna atau hanya terjadi penurunan jumlah

plasma darah (Wijaya, 2006).

Tabel 2. Gejala Klinis Syok Hipovolemik

Ringan

(<20% volume darah)

Sedang

(20-40% volume

darah)

Berat

(>40% volume darah)

Ekstremitas dingin

Waktu pengisian kapiler

meningkat

Diaporesis

Vena kolaps

Cemas

Sama, ditambah:

Takikardia

Takipnea

Oliguria

Hipotensi ortostatik

Sama, ditambah:

Hemodinamik tak stabil

Takikardia bergejala

Hipotensi

Perubahan kesadaran

IX. PENATALAKSANAAN

a. Managemen awal

Pengelolaan dasar pasien perdarahaan saluran cerna sama seperti perdarahan

pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan

terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik,

menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang. Konsensus Nasional

PGI-PEGI-PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan dan resusitasi pada kasus

perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan

masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Hal ini utnuk

mencegah terjadinya komplikasi syok hipovolemik. Adapun langkah-langkah

praktis pengelolaan perdarahan SCBA adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan awal berupa penekanan pada evaluasi status hemodinamik.

2. Resusitasi terutama untuk stabilisasi hemodinamik.

18

Page 19: judul

3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang

diperlukan.

4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.

5. Menegakkan diagnosis pasti penyebab perdarahan.

6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab

perdarahan, dan mencegah perdarahan berulang (Adi, 2006).

Tabel 3. Klasifikasi syok hipovolemik karena kehilangan darah pada pasien

dewasa

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4

Kehilangan darah (ml) < 750 750-1500 1500-2000 >2000

Kehilangan darah (%

dalam sirkulasi)

0-15 15-30 30-40 >40

Tekanan darah sistolik Tidak ada

perubahan

Normal Menurun Sangat

menurun

Tekanan darah

diastolik

Tidak ada

perubahan

Meningkat Menurun Sangat

menurun/tidak

teraba

Denyut nadi (x/menit) Takikardia

ringan

100-120 120 >120

Frekuensi napas

(x/menit)

Normal Normal Meningkat

>20

Meningkat >20

Status mental Sadar,

haus

Cemas,

agresif

Cemas,

agresif,

mengantuk

Mengantuk,

bingung, tidak

sadar

Sumber: Baskett, 1990

Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid

(misalnya NaCl) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum berdiameter besar

(minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous pressure) yang

tujuannya untuk memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.

Biasanya tidak memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada

kondisi hipoalbuminemia berat (Adi, 2006).

19

Page 20: judul

Terapi non-medikamentosa yang harus dilakukan pada pasien dengan

perdarahan SCBA:

1. Dipasang NGT (nasogatric tube) untuk perdarahan SCBA dan bilas

lambung sampai bersih dengan air suhu kamar. Penyedotan kemudian

dipertahankan terus. Terapi ini diharapkan dapat mengurangi distensi

lambung dan memperbaiki proses hemostatik. Terutama pada kasus

pasien tidak sadar dan perdarahan masif.

2. Penderita dipuasakan selama perdarahan masih berlangsung dan bila

perdarahan berhenti dapat diberikan makanan cair.

3. Resusitasi cairan IV dan penggantian darah diberikan jika terdapat

indikasi.

4. Pemberian obat H2 bloker mungkin dapat membantu untuk perdarahan

SCBA (misalnya, ranitidin 50 mg IV).

5. Kebanyakan perdarahan akan berhenti secara spontan, tetapi beberapa

kasus memerlukan tidakan pembedahan atau hemostasis embolisasi

intravaskular melalui kateterisasi (Bresler, 2006).

Transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung jumlah

darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya prdarahan

berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi darah

pada perdarahan saluran cerna perlu mempertimbangkan keadaan berikut ini:

a. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.

b. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter

atau lebih.

c. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g/dL atau

hematokrit <30%. Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk

memperkirakan jumlah perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau

baru berlangsung. Proses hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 24-72

jam setelah onset perdarahan. Target pencapaian hematokrit setelah transfusi

darah tergantung kasus yang dihadapi, untuk usia muda dengan kondisi sehat

cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan

melebihi 27-28%.

20

Page 21: judul

d. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun (Adi, 2006).

Tabel 4. Tata laksana perdarahan SCBA

TATA LAKSANA PERDARAHAN SCBA

A. TINDAKAN DARURAT

A1 Medik A2 Medik + mekanik intensif

Tindakan Umum Tindakan Khusus

1. Resusitasi

2. Bilas lambung

3. Hemostatik

4. Antasida + antagonis reseptor H2

1. Bilas lambung

2. Vasopresor/derivatnya intragastrik

3. Hanya pemberian vasopresor IV

4. Ballon tamponade/SB tube

5. STE

6. TIPS

7. Bedah darurat

B. TINDAKAN JANGKA PANJANG

B1 Tindakan medik

B2 Tindakan pembedahan

Sumber: Adi, 2006

b. Managemen perdarahan SCBA variseal

Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada

kasus varises, transfusi sampai dengan Hb 10 gr/dL. Terapi untuk penyebab

varises adalah somatostatin bolus 250 ug + drip 250 µg/jam intravena atau

okreotide (sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan

berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises

esofagus; propanolol dimulai dari dosis 2 x 10 mg dapat ditngkatkan hingga

tekanan diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan

stabil); ISDN/mononitrat 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum stabil; dan

metoklopramid 3 x 10 mg/hari; laktulosa 4 x 1 sendok makan; neomisin 4 x 500

mg diberikan sampai tinja normal (Rani, 2009).

c. Managemen perdarahan SCBA non-variseal

Pada kasus non varises tranfusi sampai dengan Hb 12 gr/dL.

Sementara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnya

21

Page 22: judul

dekstran/hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL. Terapi lanjutan untuk penyebab non

varises yaitu injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton,

sitoprotektor contohnya sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3x 1 tablet,

antasida, injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis

hati. Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang

mengalami perdarahn SCBA diperbolehkan, dengan mempertimbangkan

pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah (Rani, 2009).

X. PROGNOSIS

Identifikasi letak perdarahan merupakan langkah awal yang paling penting

dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan

dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode diagnostik untuk

menentuan letak perdarahan dengan sangat tepat telah meningkat dalam tiga

dekade terakhir, tetapi 10-20% pasien dengan perdarahan saluran cerna bawah

tidak dapat dibuktikan sumber perdarahannya. Oleh karena itu diperlukan

evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi presentsi kasus perdarahan

saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan terobati (Astera, 2008).

22

Page 23: judul

Sumber: Purnawati, 1999

Gambar 8. Algoritma Perdarahan Akut Varises Esofagus

23

Page 24: judul

BAB III. KESIMPULAN

1. Perdarahan SCBA didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah

proksimal ligamentum Treitz, pada duodenum distal.

2. Perdarahan SCBA merupakan salah satu kasus kegawatan dalam penyakit

dalam walaupun perdarahan akan berhenti dengan sendirinya, tetapi

sebaiknya setiap pendarahan saluran cerna dianggap sebagi suatu keadaan

serius yang setiap saat dapat membahayakan pasien. Setiap pasien dengan

pendarahan harus dirawat di rumah sakit tanpa kecuali, walaupun

pendarahan dapat berhenti secara spontan.

3. Perdarahan saluran cerna dapat berupa hematemesis, melena, hematokezia

ataupun perdarahan yang tidak nampak (perdarahan terselubung/occult

bleeding).

4. Hematemesis didefinisikan sebagai muntah darah sedangkan melena

diartikan sebagai tinja yang berwarna hitam dengan bau yang khas.

5. Penegakan diagnosis kasus perdarahan SCBA sangat diperlukan anamnesis

teliti lengkap yang terarah dan didukung dengan hasil pemeriksaan fisik

serta penunjang.

6. Pengelolaan dasar pasien perdarahaan saluran cerna sama seperti perdarahan

pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan

terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik,

menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.

7. Identifikasi letak perdarahan merupakan langkah awal yang paling penting

dalam pengobatan. Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan pengobatan

dibuat secara langsung dan kuratif.

24

Page 25: judul

DAFTAR PUSTAKA

1990; 300: 1453-1457.

Abdullah, M., 2006. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah (Hematokezia)

Dan Perdarahan Samar (Occult) : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,

Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Adi, P., 2006. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Astera, I.W.M., Wibawa, I.D.N., 2008. Tatalaksana Perdarahan Saluran

Makanan Bagian Atas:Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, Bakta,

I.M. (Penyunting). EGC, Jakarta.

Bakta, I.M., 2008. Kedaruratan Dalam Bidang Hematologi (Hematologic

Emergencies): Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam, Bakta, I.M.

(Penyunting). EGC, Jakarta.

Baskett, PJF. ABC of major trauma. Management of Hypovolaemic Shock. BMJ

Bresler, M.J., Sternbach, G.L., 2006. Manual of Emergency Medicine, 6th ed.

Suyono Y.J. (Alih Bahasa). EGC, Jakarta.

Djumhana, A.H., Abdurachman, S.A., Wijojo, J., Saketi, R., 1998. Upper GI

bleeding in Hasan Sadikin Hospital during 1996 – 1998. Analysis of 605

cases. Workshop on Therapeuetic Endoscopy. Hong Kong.

Dubey, S. 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam Greenberg, M.I., et.al.,

Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan. Vol. 1. Erlangga, Jakarta.

Faiz, O., Moffat, D., 2002. Anatomy at a Glance. Rahmalia, A., 2004 (Alih

Bahasa). Erlangga, Jakarta.

Purnawati. Tatalaksana perdarahan saluran cerna pada hipertensi portal. Dalam:

Firmansyah A, Bisanto J, Nasar SS, et al, penyunting. Dari kehidupan intra

uterin sampai transplatasi organ, naskah lengkap PKB IKA XLII. Jakarta:

FKUI, 1999; 73-92.

Rani, A.A., Soegondo, S., Nasir, A.U.Z., Wijaya, I.P., Nafrialdi, Mansjoer, A.,

2009. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit

Dalam Indonesia. Interna Publishing, Jakarta Pusat.

25

Page 26: judul

Snell, R.S., 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed. 6,

Sugiharto, L. (Editor). EGC, Jakarta.

Wijaya, I.P., 2006. Syok Hipovolemik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,

Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

26