Judicial Review uu ky
-
Upload
afrinald-hart-rizhan -
Category
Documents
-
view
123 -
download
8
Transcript of Judicial Review uu ky
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Dalam kehidupan ketatanegaraan, undang-undang dasar sebagai hukum
dasar tertulis adalah merupakan norma yang sangat fundamental bagi negara,
karena mengatur hal-hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan, meliputi bentuk dan susunan negara, alat-alat
perlengkapaan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain,
serta jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara.1
Atas dasar hal tersebut, maka undang-undang dasar pada hakikatnya
merupakan puncak konseptualisasi pemikiran, cita-cita dan tujuan bangsa-
bangsa yang bersangkutan dilengkapi dengan landasan-landasan ideal,
struktural, dan landasan opersional pengelolaan kehidupan bangsa itu secara
garis besar (broedlines).2
Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945
yang merupakan sumber hukum tertinggi seolah-olah dianggap sakral dan
tidak dapat diganggu gugat. Demikian sebuah pemikiran yang terjadi dikala
rezim orde baru masih berkuasa, nilai sebuah demokrasi seakan terabaikan
dengan adanya kekuasaan mutlak dari penguasa orde baru.
1 Marzuki, Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi, dalam makalah Seminar Sehari tentang “Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi” yang diselenggarakaan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) pada Sabtu, 4 September 2004 di Balai Rasa Sayang 2, Hotel Polonia, Medan, hal.1.
2 Ibid.
1
Berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru yang ditandai dengan
runtuhnya rezim Soeharto, telah membuka tabir demokrasi di Indonesia, yang
terpasung selama lebih kurang 32 tahun. Selama masa 32 tahun itu rakyat
tidak diberi kesempatan untuk berekspresi dalam menyampaikan pendapat,
hal ini disebabkan karena kuatnya tekanan dari penguasa yang berimplikasi
pada tidak berjalannya demokrasi di Indonesia.3 Tetapi setelah berakhirnya
rezim orde baru, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah
ketatanegaraannya, yakni dengan adanya orde reformasi.
Orde reformasi ini telah memberikan dampak yang sangat besar bagi
masyarakat, dengan adanya kebebasan masyarakat dalam menyampaikan
aspirasinya, salah satu dari sekian banyak aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat adalah amandemen (perubahan) terhadap konstitusi.4 Dengan
adanya amandemen terhadap konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945
maka praktek ketatanegaraan dalam konsep negara hukum terus berkembang
dan berubah. Hal ini dapat dimengerti karena dalam praktek ketatanegaraan
faktor-faktor yang ada dalam masyarakat terus berubah menurut waktu dan
tempat dimana konsep ketatanegaraan itu diterapkan.
Struktur ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan secara
signifikan setelah perubahan Undang-undang Dasar 1945 yang pertama,
kedua, ketiga, dan keempat.5 Perubahan ini meliputi cabang kekuasaan, baik
3 Mexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS, Pekanbaru: 2007, hal. 1.
4 Ibid.5 Amandemen atau perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 berlangsung selama
empat kali. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
2
kekuasaan legislatif (legislatif power/ pembuat Undang-undang), kekuasaan
eksekutif (executive power / pelaksana Undang-undang), maupun kekuasaan
yudikatif (yudicial power/ kekuasaan kehakiman).
Perubahan Undang-undang Dasar 1945 pada cabang kekuasaan
kehakiman khusunya, meliputi 4 (empat) macam perubahan, yaitu:6 Pertama,
apabila sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan
kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam penjelasannya,7 maka setelah
perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh.8
Kedua, Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya kekuasaan
kehakiman (yudicial power), karena disampingnya ada Mahkamah Konstitusi
yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya
lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman,
yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keempat,
adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga-lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan sengketa hasil pemilu,9
6 A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta: 2004, hal.2.
7 Setelah amandemen atau perubahan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal, tanpa penjelasan.
8 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.9 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
3
serta tugas khusus lain yaitu forum previlegiatum atau peradilan yang khusus
untuk memutus pendapat DPR bahwa presiden tidak lagi memenuhi syarat
serta memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hal-hal
tertentu di dalam Undang-undang dasar sehingga dapat diproses untuk
diberhentikan.10
Perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah sistem
kekuasaan kehakiman dan menempatkan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sebagai puncak sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka
penyelenggaraan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perubahan Undang-
undang Dasar 1945 melahirkan sebuah lembaga baru, yaitu Mahkamah
Konstitusi.
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan:
Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah
Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung
jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan
mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.11
10 Moh. Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta: 2007, hal. 115-116.
11 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2006, hal 163-164
4
Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah
institusi baru di bidang kekuasaan kehakiman adalah untuk menjaga dan
melindungi konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan
secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi, sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara
yang stabil, dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan pada masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap
konstitusi.12
Maka kelahiran lembaga ini seolah sebagai sebuah jawaban atas
keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas undang-
undang terhadap undang-undang dasar yang sebelumnya sama sekali tidak
dapat dilakukan. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, lembaga legislatif
tidak bisa lagi membuat undang-undang secara sembarangan, baik karena
kepentingan politik para anggotanya maupun karena kelemahan pemahaman
atas substansi dan prosedur-prosedurnya. Sebab kalau itu terjadi dan ternyata
isinya bertentangan dengan undang-undang dasar atau ternyata prosedur
pembentukannya salah, maka Mahkamah Konstitusi dapat menguji untuk
kemudian membatalkannya.13
Dalam kenyataanya, kehadiran Mahkamah Konstitusi ini terbukti baik,
sebab hanya dalam waktu beberapa tahun sejak kehadirannya sudah tercatat
12 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. Vii.
13 Moh. Mahfud, MD, op.cit., hal.73. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang yang dimaksud (materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
5
banyak kasus permintaan pengujian isi undang-undang terhadap undang-
undang dasar dan banyak diantaranya yang dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi. Harus diakui bahwa kenyataan ini merupakan kemajuan dalam
pembangunan hukum, terutama tertib tata hukum di Indonesia.14
B. Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,
sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti
sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami
secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang
mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.15 Selain itu
Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua
dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri16 dan
pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-
perspektif dan selalu aktual17. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan
pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum
sudah berkembang semenjak 1800 S.M18. Akar terjauh mengenai
perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani
14 Ibid.15 S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 916 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII
Press, Yogyakarta, 2001, hlm.25.17 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm. 48.18 Lihat J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta,
1988, hlm. 7.
6
kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan
berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi
sumber dari gagasan kedaulatan hukum19.
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan
oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato20 (429-347 S.M) dan
Aristoteles21 (384-322 S.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam
penghujung hidupnya, Plato (429-347 S.M) menguraikan bentuk-bentuk
pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam
pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk
melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan
hukum22. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S. M) adalah
negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara
yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara
19 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.
20 Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur adalah Politea (tentang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).
21 Aristoteles (384-322 s.M) berasal dari Stageira. Ia adalah murid Plato (429-347 s.M). Aristoteles banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Logika, Polik, dan Hukum. Karyanya yang termasur dalam bidang Filsafat Hukum adalah Ethica dan Politica.
22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988, hlm. 153.
7
bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan
penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja23.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir
sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul
Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383,
dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal
dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa
sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan
merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu
timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam
piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi
hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di
Inggris24.
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau
the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII
sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme
raja25. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat
23 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm.36-37.
24 Terpetik dalam O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat Di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 21.
25 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, hlm. 30. bandingkan dengan Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972.
8
Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl26.
Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey
pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of
The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo
Saxon atau Common law system.27 Konsepsi Negara Hukum menurut
Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der
Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal.
Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang
menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-
hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas
sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel
Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau
nachtwachterstaats.28 Friedrich Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya ;
Staat and Rechtslehre II, 1878 hlm. 137, mengkalimatkan pengertian Negara
Hukum sebagai berikut :
Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya
juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman baru ini.
Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-
batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa
dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan
26 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 57.
27 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972, hlm. 72.
28 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 73-74.
9
akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada
seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum,
bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum
saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari
perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi
daripada Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.29
Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats
dalam arti klasik, yaitu:30
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di
negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar dalam abad
ke dua puluh di Nederland, menulis karangan tentang Negara Hukum (Over
den Rechtsstaats, 1935, lihat Verzamelde Gessriften deel I, hlm.382-394).
Paul Scholten menyebut dua ciri daripada Negara Hukum, yang kemudian
diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada Negara Hukum
ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai
hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini
sebenarnya meliputi dua segi :
29 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 24.
30 Miriam Budiarjo, Op,cit., hlm. 57-58.
10
1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak
diluar wewenang negara;
2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan
undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ;
er is scheiding van machten, artinya dalam negara hukum ada pemisahan
kekuasaan.31 Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur
negara berdasarkan atas hukum ialah adanya :32
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan
keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum;
4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);
5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-
penetapan) kekuasaan umum;
6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.
Dalam bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution,
Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of
law : pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk
menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-
31 O. Notohamidjojo, Op.cit., hlm. 25.32 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.312.
11
wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;
kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary
court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik
pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang
sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil
dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber
tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan
dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat
melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga
membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.33
C. Tinjauan Umum Tentang Supremasi Parlemen.
Lembaga perwakilan rakyat pada mulanya dipandang sebagai
representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan
jalannya pemerintahan.34Apa yang diputuskan parlemen, itulah yang dianggap
sebagai putusan rakyat yang berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi
parlemen (the principle of supremacy of parliament). Dalam perspektif yang
demikian, undang-undang sebagai produk parlemen tidak dapat diganggu
33 A.V. Dicey, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition, Macmillan And Co, Limited ST. Martin’s Street, London, 1952, hlm. 202-203.
34 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007. hlm. 153.
12
gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim hanya berwenang menerapkannya
bukan menilai apalagi membatalkannya.35
Di beberapa Negara, doktrin supremasi parlemen ini bahkan diwujudkan
dalam pelembagaan Majelis Rakyat Tertinggi, seperti yang diterapkan di
lingkungan negara-negara komunis. Sebelum bubarnya Uni Soviet, RCC, dan
negara-negara Eropa Timur pada umumnya memiliki struktur parlemen yang
memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi dalam sistem struktur
ketatanegaraan yang dianut. Sebaliknya di berbagai negara demokrasi liberal
seperti Perancis, Inggris, dan Belanda, walaupun tidak dicerminkan dalam
struktur kelembagaan parlemennya, prinsip supremasi parlemen itu dianut
sangat kuat. Bahkan, sampai sekarang, Inggris dan Belanda masih menganut
prinsip bahwa undang-undang buatan parlemen tidak dapat diganggu gugat
oleh hakim, karena undang-undang itu adalah produk lembaga parlemen yang
mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat.36
Di atas sudah dijelaskan bahwa secara umum, ada 3 (tiga) prinsip
perwakilan yang dikenal di dunia, sebagai berikut:37
1. Representasi politik (political representation)
2. Representasi teritorial (territorial representation)
3. Representasion fungsional (functional representation).
35 Ibid36 Ibid. hlm. 154.
37 Ibid. hlm. 154.
13
Pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah
satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak
sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-checks” sehingga
aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan
baik. Oleh karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah
(regional representation) atau perwakilan teritorial (territorial
representation). Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-
negara berbentuk feodal, sistem “double-cecks” ini dianggap lebih ideal,
karena itu, banyak di antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk
struktur parlemen bikameral atau dua kamar.
Pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu,
sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak
didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas
pertimbangan fungsional. Misalnya, di Inggris majelis tinggi yang disebut
House of Lords dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of
Commons bukan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi
teritorial, melainkan berdasarkan prinsip representasi fungsional. House of
Lords mencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan
tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya berkuasa mutlak, yang
selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House of Lords.
Sementara itu, House of Commons mencerminkan keterwakilan rakyat secara
politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi.38
38 Ibid. hlm. 155.
14
Tidak ada negara di dunia yang memiki tiga lembaga yang terpisah seperti
DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas.
Legislatif dalam arti sempit, MPR memang tidak terlibat dalam pembentukan
undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimilikinya
tidak termasuk ke dalam pengertian cabang kekuasaan legislative.39 Di
Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke
dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1. Fungsi legislasi (legislatif);
2. Fungsi pengawasan (control); dan
3. Fungsi anggaran (budget).
Cabang legislatif adalah cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan
asas kedaulatan rakyat.40 Kegiatan bernegara, adalah pertama-tama untuk
mengatur kehidupan bersama, karena itu, kewenangan untuk menetapkan
peraturan harus diberikan kepada DPR. Fungsi pengaturan (regelende functie)
ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang
mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan
membatasi. Kewenangan ini pada pokoknya hanya dapat dilakukan sepanjang
rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum tersebut.41
Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur hal-hal tersebut di atas
pada dasarnya adalah DPR, maka undang-undang harus dibuat dan ditetapkan
39 Ibid. hlm. 159.40 Ibid. hlm. 160.
41 Ibid. hlm. 161.
15
oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan
bahwa:
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang”.
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) ditentukan:
“Setiap undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama”.
Pada pokoknya, fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan
sebagai berikut:42
1. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment
approval);
4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau
persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat
lainnya (binding decision making on international agreement and treaties
or other legal binding documents).
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini
biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, DPR biasa 42 Jimly Asshiddiqie. Op. Cit. hlm. 161-162.
16
dibedakan menjadi dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi
pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Perbedaan ini, dapat dilihat dalam
Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD,
dan DPRD.43 Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap
utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi kedua
dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang dasar.
Hal ini berdasarkan pada Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945, bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran dan fungsi pengawasan”. Fungsi legislasi mempunyai peran yang
utama sebagai fungsi dalam membentuk undang-undang.
Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang positif terhadap peran DPR
dalam membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan ini
dimaksudkan untuk memberdayakan DPR sebagai lembaga legislatif yang
mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, karena peranan DPR
sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap
rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (eksekutif). Perubahan
UUD 1945 juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan
rancangan undang-undang.
Pergeseran kewenangan dalam membentuk undang-undang yang
sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah
konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai
43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. LN-RI Tahun 2003 Nomor 92, TLN RI Nomor 4310.
17
dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga
pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) dan Presiden sebagai
lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif).44 Namun demikian,
UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain
ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh
DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.
Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu,
sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of
power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan
(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling
mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal ini juga merupakan penjabaran
untuk memperkuat sistem presidensial.
D. Tinjauan Umum Mengenai Supremasi Hukum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku
dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan
hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan
44 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sesuai dengan urutan bab, pasal, dan ayat), Jakarta, Setjen MPR RI, 2007. hlm. 85-86.
18
sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam
setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri
pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau
menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu,
penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila
diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan
daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya,
yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna
yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada
nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit,
penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal
dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke
dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum”
dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti
sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan
cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam
bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau
dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by
law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law”
19
terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah
“the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang
dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum
sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan
penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti
materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum,
baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur
penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-
undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,
pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-
batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi
penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita
batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-
aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan
gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema
penegakan hukum itu.
20
Penegakan Hukum Objektif
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak
ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum
formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang
tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri,
kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum
dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan
penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan
keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi
“court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau
pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah
Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang
harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan
nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang
membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara
pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup
menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah
hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang
menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya
21
mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan
materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun
perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan
penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan
keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan
tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu
lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi
rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar.
Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi
manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam
keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum
terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan
bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi
dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,
issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan
yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.
Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui
organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan
ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan
perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke
dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal
22
dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang
memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara
hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak
asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara
hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi
yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat
dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu,
sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan
hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat
ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan
konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi
manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah
salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi
manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan
kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun
memang belum berkembang secara sehat.
Aparatur Penegak Hukum
Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi,
polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir
pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak
23
yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali
(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum
itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
1. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan
prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
2. budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya, dan
3. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya.
Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja
penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan
analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu
elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang
mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup
24
dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika
materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai
dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja
berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum
atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:
a. pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule
making),
b. sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum
( socialization and promulgation of law) dan
c. penegakan hukum (the enforcement of law).
Ketiganya membutuhkan dukungan
d. administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan
efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat
disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap
ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu
mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata
administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat
dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk
hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka
pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan
25
administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius)
hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke
daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin
akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat
terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat
dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie”
yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu
difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social
reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh
dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan
bersengaja.
E. Sejarah Lahirnya Pengujian Terhadap Undang-Undang(Judicial Review)
Judicial review yang dapat juga disebut sebagai constitutional review yang
memberikan wewenang kepada Supreme Court atau Mahkamah Agung
untuk membatalkan sebuah UU karena isinya yang berlawanan dengan
konstitusi pertama kalinya terjadi di Amerika Serikat, yakni dilakukan oleh
Chief Justice John Marshall pada tahun 1803. Sebelum itu, memang ada
kebiasaan tradisional yang memungkinkan hakim menyimpang atau tidak
memberlakukan isi suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Kebiasaan ini bukan dalam konteks membatalkan suatu UU melainkan
sekedar menyimpang atau tidak menerapkan isinya dalam memutus kasus
konkrit. Chief Justice John Marshall adalah orang pertama dalam sepanjang
26
sejarah konstitusi dan ketatanegaraan yang melakukan pengujian dan
pembatalan suatu UU dalam bentuk judicial review.
Kisahnya dimulai dari kekalahan Presiden Juohn Adams dari Thomas
Jefferson pada pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1800. Sebelum
secara resmi menyerahkan jabatannya kepada presiden baru, John Adams
mengangkat pejabat-pejabat penting yang oleh lawan-lawan politiknya
dianggap sebagai upaya menyelamatkan kedudukan teman-temannya agar
mereka tetap menduduki jabatan penting. John Marshall adalah secretary of
state dari Presiden John Adams yang segera diangkat menjadi Ketua
Mahkamah Agung atau Chief Justice. Bahkan, sampai tengah malam di hari
terakhir sebelum meninggalkan jabatannya ( 3 maret 1801), John Adams
masih mengangkat sahabat-sahabatnya dalam jabatan penting seperti menjadi
duta besar dan hakim. Termasuk dalam rombongan yang diangkat pada detik-
detik terakhir masa jabatan John Adams itu adalah beberapa sahabatnya untuk
jabatan hakim perdamaian, yakni William Harper. Karena mendesaknya
waktu, maka surat-surat pengangkatan untuk pejabat-pejabat yang disebut
sebagai “the midnight judges” itu tak sempat diserahkan kepada yang
bersangkutan sampai Adams melepaskan jabatannya secara resmi.
Begitu memegang jabatannya secara efektif, Presiden Thomas Jefferson
memerintahkan Secretary of State yang baru, James Madison, untuk menahan
atau tidak menyerahkan surat pengangkatan Marbury dan kawan-kawan
sebagai hakim perdamaian yang telah dikeluarkan oleh John Adams itu. Oleh
sebab itu, melalui mantan Jaksa Agung yang kemudian menjadi kuasa hukum,
27
yakni Charles Lee, diajukanlah tuntutan oleh Marbury kepada Mahkamah
Agung yang dipimpin oleh John Marshall, agar MA menggunakan
kewenangannya yang disebut sebagai writ of mandamus, sebagaimana diatur
di dalam Section 13 Judiaciary Act 1789, yakni memerintahkan kepada
pemerintah untuk segera menyerahkan surat-surat pengangkatan oleh John
Adams yang telah disetujui oleh Kongres itu.
Namun, pemerintah baru di bawah Jefferson menolak untuk menyerahkan
surat-surat pengangkatan itu, bahkan mengatakan bahwa writ of mandamus itu
tak dapat dikeluarkan. Namun, pemerintah Jefferson juga menolak untuk
menjelaskan dan memberikan bukti-bukti mengapa pihaknya menyatakan writ
of mandamus tak dapat dikeluarkan. Bahkan, Kongres baru yang kemudian
dikuasai oleh kubu Jefferson dari kaum Republik (Lawan John Adams yang
dari kaum Federalis) mengesahkan undang-undang yang menunda semua
persidangan MA selama lebih dari setahun sehingga persidangan MA tentang
itu baru bisa dilangsungkan kembali pada bulan Februari 1803.
Apa yang dilakukan Marshall untuk memutus kasus itu adalah luar biasa
karena keputusannya itu merupakan produk pertama tentang judicial review
atas sebuah UU terhadap konstitusi di sepanjang sejarah ketatanegaran dan
konstitusi dunia.
Marshall membuat putusan yang menyatakan bahwa surat-surat keputusan
John Adams adalah benar dan William Marbury dan kawan-kawan berhak
untuk menerima surat keputusan pengangkatan itu. Tetapi putusan Marshall
juga menyatakan bahwa Supreme Court tak berwenang memerintahkan
28
kepada pemerintah untuk menyerahkan surat-surat tersebut. Menurut
Marshall, wewenang untuk mengeluarkan writ of mandamus atau
memerintahkan untuk menyerahkan surat-surat itu tak bisa dilakukan oleh MA
karena Judiciary Act 1789 itu sendiri isinya bertentangan dengan Article III
Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.
Itu berarti bahwa putusan chief Justice John Marshall yang membatalkan
Judiciary Act 1789, karena isinya bertentangan dengan konstitusi Amerika
Serikat, adalah judicial review. Padahal, didalam konstitusi Amerika Serikat
tidak tercantum ketentuan tentang judicial review. Dan itu adalah judicial
review pertama didunia sehingga mendapat sebutan brilian, seperti a landmark
decision, the most brilliant innovation, dan the single most important decision
in American Constitutional Law (R. Kent Newmyer, 2001).
F. Sejarah Pengujian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia
Pada awal bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak
baru dalam sistem ketatanegaraan kita Indonesia, salah satunya ditandai
dengan lahirnya lembaga baru dalam sistem kehakiman sebagai lembaga
yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau “Constitutional Court”.
Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945 amandemen.
Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah
paradigma struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan,
29
melainkan diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga
pengawas yang meampu melaksanakan prinsip checks and balances, dan
disamping itu bahwa lembaga MK mempunyai kewenangan mengawasi
terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Di Indonesia, pengujian
konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.
Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah
“constitutional review” atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan
sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, “constitutional review”
selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim
atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan
kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review”
terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal
legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian
konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.
Konsep “constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil
perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang
didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan
kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi
manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem ‘constitutional
review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya
sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).
30
Dengan kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian
rupa sehingga cabang kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu
warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang
merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan
“constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman
yang beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian
konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah
Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga
yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas
untuk menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam
kerangka lembaga-lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah
ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu
sama sekali. Pengalaman di berbagai negara di dunia memperlihatkan bahwa
tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke negara yang lain.
Bagi Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat
adanya perdebatan tentang impeachment yang mengiringi perdebatan
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid, oleh karena itu maka Pasal 7A
dan Pasal 7B UUD 1945 tentang pemberhentian Presiden terpisah dengan
rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai kewenangan MK45.
45 Pasal 7 A berbunyi : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “ bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada
31
Adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam
perspektif UUD 1945 yang ditandai dengan lahirnya lembaga MK,
menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam melembagakan MK
sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengujian konstitusional yang
sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap penyelenggaraan
Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban prinsip
checks and balances. Asas atau prinsip checks and balances yang melahirkan
lembaga MK dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan konstitusionalisme,
karena pada satu pihak hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak
menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak lain bahwa kekuasaan merupakan
suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum bukanlah
merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan
berlaku.
Disisi lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik
tumbuh dan berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip
perlindungan segenap bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan
ikut serta dalam perdamaian atau ketertiban dunia yang merdeka, bersatu
berdaulat adil dan makmur.
Berangkat dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan
bahwa kehadiran lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi
sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang,
tetapi juga berfungsi sebagai pengawal konstitusi, sebagai penafsir konstitusi,
MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”
32
sebagai penegak demokrasi, dan sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM).
Untuk lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa struktur, fungsi dan
kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam
perspektif UUD 1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan berikut ini.
Fungsi Mahkamah Konstitusi
Gagasan pembentukan lembaga MK adalah tidak lain merupakan
dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan system ketatanegaraan
Indonesia yang lebih baik. Menurut Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling
tidak ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam
pembentukan lembaga MK, yaitu :
a. Merupakan implikasi dari paham konstitusionalisme
b. Mekanisme check and balances
c. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan
d. Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia46.
Dalam UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, tidak terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam
Penjelasan Umum UU MK tersebut dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk
mewujudkan Negara hukum dan demokrasi.
Berdasarkan pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur
tentang penegakan konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan
46 Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004, hal, 77.
33
kaitannya dengan fungsi MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana
dikutip oleh Abdul Latif (2007), yaitu :
a. The general goals of society or general acceptance of the same
philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-
cita bersama tentang pemerintahan) ;
b. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang
Negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau
penyelenggaraan negara) ;
c. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang
bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)47.
Dari pemahaman tersebut, maka fungsi MK dalam system ketatanegaraan
Indonesia dalam perspektif UUD 1945, dapat dilakukan melalui penedekatan
dimaksud. Dan hal ini dapat terwujud manakala fungsi MK sejalan dengan
tujuan Negara sebagai cita hukum yang telah digariskan dalam Pembukaan dan
diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai kesepakatan bersama
sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi
MK adalah untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme
dalam system ketatanegaraan Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme
adalah selain pembatasan kekuasaan juga untuk mengatur hubungan antara
warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan pemerintahan berjalan dengan
47 Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.
34
tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian
dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah
satunya melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD
guna untuk menegakkan konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada
lembaga MK).
Disamping fungsi-fungsi sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks
fungsi MK untuk mewujudkan Negara hukum demokratis, maka terdapat
beberapa fungsi lain sebagai berikut : Fungsi sebagai penafsir konstitusi,
Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia, Fungsi sebagai pengawal konstitusi,
Fungsi sebagai penegak demokrasi.
G. Mahkamah Konstitusi Sebagai The Guardian Of The Constitution.
Di zaman modern ini, hampir semua negara mengklaim dirinya sebagai
negara demokrasi. Meskipun pada kenyataannya, demokrasi dipraktikkan
secara tidak sama di masing-masing negara akibat persinggungan universalitas
demokrasi dengan nilai-nilai lokal. Dari segi praktik bisa saja berbeda, akan
tetapi ciri utama yang harus ditunjukkan untuk dapat disebut sebagai negara
demokrasi adalah sama yaitu dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam sendi-
sendi pengaturan negara. Artinya, negara memosisikan rakyat pada posisi
esensial dalam pengelolaan negara, bahkan menyerahkan kepada rakyat untuk
mengambil keputusan-keputusan politik dalam hidup bernegara.
35
Namun demikian, model penyerahan kekuasaan negara kepada rakyat
dipandang menjadi salah satu kelemahan demokrasi. Akibatnya sering
disebutkan bahwa kelemahan inherent demokrasi ialah menyandarkan penuh
pada suara rakyat, melalui praktik suara “mayoritas rakyat” sebagai suatu
kebenaran. Padahal, suara mayoritas belum tentu merupakan suatu kebenaran,
dan bahkan di waktu tertentu, suara mayoritas menjadi titik balik demokrasi
karena menafikkan suara minoritas. Hal ini yang berpotensi menimbulkan
peluang terjadi tirani mayoritas, yang diiringi oleh terjadinya mobokrasi atau
anarki yang sangat bertentangan dengan hakikat dan tujuan demokrasi.
Untuk menutup kelemahan itu, maka agar demokrasi tak bergerak liar dan
anarkhis, diperlukan penyeimbang. Demokrasi yang mengedepankan prinsip
kedaulatan rakyat diberi imbangan nomokrasi yang mengedepankan
kedaulatan hukum. Dengan demikian, demokrasi dilaksanakan dalam koridor
hukum untuk memastikan bahwa praktiknya benar-benar mengarah pada
tujuan yang disepakati. Sebaliknya, agar hukum menjadi acuan, dasar, dan
kerangka demokrasi, maka hukum dibuat secara demokratis sebagai buah atas
kehendak rakyat. Itu sebabnya, negara demokrasi pada dasarnya adalah negara
hukum, tetapi sebaliknya, negara hukum belum tentu negara demokrasi.
Negara hukum dikonstruksi oleh jalinan bangunan-bangunan hukum yang
berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi negara. Kedudukan
Konstitusi sebagai hukum tertinggi diperoleh sebagai konsekuensi sifat
demokratis dari konstitusi itu sendiri. Konstitusi adalah kesepakatan luhur
yang dibuat dan diterima oleh warga bangsa sehingga di dalam konstitusi
36
itulah nilai-nilai demokrasi bersemayam. Dengan begitu, demokrasi adalah
gagasan dasar yang melandasi konstitusi, sementara, konstitusi merupakan
dasar legitimasi dari demokrasi.
Relasi demokrasi dan konstitusi di suatu negara diyakini akan dapat
melahirkan negara demokrasi konstitusional, yakni negara hukum yang
demokratis sekaligus negara demokrasi berdasar atas hukum. Guna
mewujudkan negara demokrasi konstitusional, maka diperlukan mekanisme
untuk menjaga dan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi. Di
Indonesia, kewenangan konstitusional menjaga dan mengawal konstitusi
diberikan oleh Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Tulisan ini
dimaksudkan untuk mengemukakan peran MK dalam menjaga dan mengawal
konstitusi dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pembentukan MK di Indonesia
Secara sporadis, gagasan pembentukan MK diakomodir dan dibentuk oleh
konstitusi-konstitusi modern di berbagai negara sebagai fenomena
ketatanegaraan baru. Di negara-negara yang menganut supremasi konstitusi,
MK menjadi keniscayaan untuk menjamin konstitusionalitas konstitusi itu
sendiri. Di negara-negara demokrasi belia di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan serta negara-negara eks komunis di Eropa Timur, MK diadopsi secara
sadar bahkan dijadikan simbol untuk membebaskan dari ikatan lama
kekuasaan rezim otoritarian menuju rezim demokrasi. Dalam konteks tersebut,
MK diposisikan sebagai bagian dari paket reformasi konstitusi negara
37
bersangkutan. Indonesia adalah contoh terdekat, dimana MK dibentuk pasca
rezim Orde Baru yang adopsi gagasannya mengemuka di tengah-tengah proses
amandemen konstitusi. KArena itu pula, Indonesia menjadi negara ke-78 di
seluruh negara di dunia, yang konstitusinya mengakomodir keberadaan MK.
Di Indonesia, gagasan dan pemikiran mengenai pembentukan MK, telah
muncul sebelum Indonesia merdeka. Mohammad Yamin, dalam sidang
BPUPK mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (sebutan untuk
Mahkamah Agung) diberi wewenang "membanding" undang-undang. Namun
usulan Yamin didebat oleh Soepomo dengan dua alasan sekaligus, pertama,
secara prinsip ketatanegaraan, UUD yang sedang disusun saat itu tidak
menganut paham trias politika (pemisahan kekuasaan) melainkan konsep
pembagian kekuasaan. Selain itu tugas hakim adalah menerapkan undang-
undang bukan menguji undang-undang. Kewenangan hakim untuk melakukan
pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Kedua, secara teknis operasional, pada saat itu
jumlah sarjana hukum belum banyak dan belum memiliki pengalaman
mengenai hal ini. Perdebatan tidak berlanjut, dan Yamin meminta
pembicaraan tentang hak menguji materil undang-undang ditunda saja.
Argumen Soepomo tersebut mengakhiri perdebatan mengenai pembentukan
pengadilan konstitusi. Akhirnya ketika rancangan konstitusi itu disahkan
sebagai UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada 18 Agustus 1945, ide pengujian UU terhadap UUD yang diusulkan
Yamin tidak diakomodir.
38
Pada awal-awal Orde Baru, pernah juga dipikirkan melalui MPRS untuk
membuka peluang bagi pengujian peraturan perundang-undangan. Tetapi
gagasan tersebut kandas ketika Pemerintah menolak usul MPRS itu. Setelah
itu, tepatnya setelah Orba jatuh, gagasan Mohammad Yamin meruak kembali
pada proses amandemen UUD 1945. Ide pembentukan MK mengemuka pada
masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP
MPR), pada Maret-April tahun 2000. Pada awalnya, gagasan yang
berkembang MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan
kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan
atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan
undang-undang. Usulan alternatif lainnya, agar MK diberi kewenangan
memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara,
antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah.
Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya sejarah MK di Indonesia
dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam
Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.
Persetujuan atas pembentukan MK dilandasi setidaknya oleh beberapa alasan
berikut. Pertama, kenyataan empiris menunjukkan bahwa suatu keputusan
sedemokratis apapun dibentuk, termasuk produk hukum yang dihasilkan
lembaga legislatif, berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi. Oleh
karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitasnya
terhadap UUD. Kedua, potensi sengketa antarlembaga negara diprediksi akan
39
meningkat karena bertambahnya jumlah lembaga negara pasca perubahan
UUD 1945. Sementara, perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada
supremasi konstitusi menyebabkan tidak adanya lagi lembaga tertinggi yang
berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karenanya,
diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Ketiga, pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR
pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 merupakan preseden buruk yang tidak
boleh terulang. Oleh karenanya dianggap perlu mekanisme hukum proses
impeachment presiden (dan/atau wakil presiden) agar tidak didasarkan alasan
politis semata. Untuk itu, perlu lembaga negara yang berkewajiban menilai
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden (dan/atau wakil presiden)
yang dapat menyebabkan presiden (dan/atau wakil presiden) dapat
diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.
PUU dalam Sistem Demokrasi
Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ikon penting hasil amandemen UUD
1945. Sebagaimana halnya pembentukan MK di berbagai negara, alasan
terbesar yang mendasari diakomodirnya MK dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia ialah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dihasilkan
oleh lembaga-lembaga politik meskipun dibentuk secara demokratis,
berpotensi menyimpan muatan kepentingan yang tidak sejalan dengan
ketentuan konstitusi. Alasannya sederhana. sebagai produk dari lembaga
politik boleh dipastikan di dalamnya bukan lain merupakan manifestasi dari
kepentingan-kepentingan politik. Hal demikian wajar, namun masalahnya
40
adalah ketika kepentingan-kepentingan dalam peraturan perundang-undangan
itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi.
Untuk menentukan suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau
tidak dengan konstitusi, diperlukan lembaga yang berwenang mengujinya.
Ketiadaan akan lembaga ini mengakibatkan berlakunya produk-produk hukum
yang bertentangan dengan konstitusi tanpa ada yang mampu menjangkau.
Kondisi demikian secara langsung maupun tidak akan merenggut hak
konstitusional warga negara, padahal hak itu sudah sedemikain tegas dijamin
oleh konstitusi. Atas dasar itu dibentuklah MK, untuk ‘membatalkan’ produk
hukum yang keluar dari koridor UUD 1945, sehingga hak-hak konstitusional
warga negara terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Fungsi dan peran MK menjaga dan mengawal konstitusi terlembaga dalam
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK memiliki empat
kewenangan konstitusional dan satu kewajiban konstitusional, yaitu:
a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945
b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
c. Memutus pembubaran partai politik.
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara kewajiban konstitusional yang didasarkan pada Pasal 7 Ayat
(1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C Ayat (2) UUD 1945 ialah memberi
keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah
41
melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi
syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
UUD 1945.
Dari perspektif demokrasi, keempat kewenangan dan satu kewajiban
konstitusional tersebut memiliki peran strategis dalam pengembangan dan
penguatan demokrasi di Indonesia. Mekanisme pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 merupakan upaya paling absah untuk menjamin dan
memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi
penuntun penyelenggaraan negara selaras dan tidak bertentangan dengan UUD
1945.48 Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik secara materiil
maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk
menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang
lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Denganbegitu, judicial review bekerja
atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.
Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori,
kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya
dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undang-
undang terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang
48 Selain pengujian UU terhadap UUD, amandemen UUD 1945 menguatkan juga pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan kepada MA seperti yang telah diatur sebelumnya di dalam TAP MPR/III/1978 dan UU No. 14 Tahun 1970.
42
melainkan undang-undang yang sudah berlaku karena secara formil sudah
diundangkan (promulgated).49
Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD dinilai telah
merobohkan doktrin supremasi parlemen yang sebelumnya menjadi
paradigma dasar UUD 1945 dan menggantikannya dengan ajaran supremasi
Konstitusi. Dengan begitu, undang-undang produk lembaga legislatif bisa
dipertanyakan konstitusionalitasnya oleh setiap warga negara yang merasa hak
konstitusionalnya dilanggar oleh keberlakukan undang-undang tersebut.
Artinya sekarang, undang-undang harus sejalan, selaras, dan tunduk pada
UUD, sehingga pembuat undang-undang tidak dapat sesuka hati dalam
membuat undang-undang.
Dalam pemahaman yang leboh sederhana, mekanisme judicial review
adalah bagaimana caranya memaksa pembentuk undang-undang agar taat
kepada konstitusi, agar mereka tidak membuat undang-undang yang
bertentangan dengan undang-undang dasar. Apalagi jika melihat perspektif
historis konstitusi yang merupakan perjuangan manusia untuk mendapatkan
jaminan dan perlindungan akan basic right-nya, maka jika ternyata terdapat
undang-undang (atau peraturan lain di bawahnya) melanggar hak-hak dasar
maka undang-undang itu harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
49 Meskipun pada perkembangan praktiknya, MK dapat menguji Perppu. Hal ini ditegaskan MK melalui putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
43
Pengujian undang-undang merupakan kewenangan MK, yang antara lain
untuk menyeimbangkan anutan negara hukum dan negara demokrasi.
Demokrasi secara mutlak membutuhkan hukum agar berjalan sesuai dengan
arah dan tujuannya, tidak liar dan anarkhis. Untuk itu, hukum hendaknya juga
harus dibuat secara demokratis, baik dari aspek prosedur maupun aspek
substansi. Melalui kewenangan menguji undang-undang, MK berperan
sebagai salah satu aktor penting bagi tegaknya negara hukum yang demokratis
dan nnegra demokrasi berdasarkan hukum. PEngujian undang-undang oleh
MK memungkinkan penguatan demokrasi, terutama dalam hal perlindungan
hak asasi manusia, mengingat di masa lalu, demokrasi kerap dikerangkeng
oleh legitimasi undang-undang, yang meskipun secara prosedur
pembentukannya boleh dikatakan demokratis tetapi secara substansial,
materinya merenggut hak konstitusional dan bertentangan dengan UUD. Atas
dasar itu pula, MK bertindak selaku pelindung hak konstitusional warga
negara dan penjaga norma-norma konstitusi dari ‘penelikungan’ pihak-pihak
tertentu, terutama dalam proses pembuatan undang-undang di DPR.
Putusan Meneguhkan Demokrasi
Beberapa putusan pengujian undang-undang yang diyakini lahir dari
progresifitas MK dalam mendukung upaya mendorong demokrasi telah
terlihat dalam beberapa putusan. Terkait dengan itu, MK membuktikan diri
berani mengetokkan palu keras-keras untuk turut memperbaiki pembangunan
politik dan penegakan hukum. Kalimat memperbaiki pembangunan politik
44
tentu sejalan pula dengan ikhtiar mengawal sistem demokrasi, dalam arti turut
mendorong penguatan demokrasi.
Apabila dirunut, MK telah beberapa kali membuat terobosan hukum
melalui putusan-putusannya untuk meneguhkan sistem demokrasi. Beberapa
tahun silam, MK telah menyatakan pasal-pasal penghinaan kepada presiden
dan pasal-pasal pidana ketertiban umum (hatzaai artikelen) dalam KUHP
bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal penghinaan presiden dibatalkan
karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan dan
menghambat demokrasi. Menurut MK, Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung
tinggi hak asasi manusia tidak relevan lagi jika KUHPidananya masih memuat
pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi
kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi,
dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap
pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan
untuk menghambat proses demokrasi, khususnya akses bagi jabatan-jabatan
publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.50
Demikian juga dengan Putusan MK mengenai Pasal 60g UU Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang patut
diacungi jempol. Pasal ini melarang warga yang pernah menjadi anggota
50 Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
45
Partai Komunis Indonesia (PKI) dipilih sebagai calon anggota legislatif. MK
kemudian membatalkannya dengan pertimbangan pasal tersebut bersifat
diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin
konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa UUD 1945
melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan
politik.51 Banyak kalangan dibuat terkejut terhadap putusan ini, namun itu
tidak mengurangi kualitas putrusan itu sebagai putusan progresif. Dikatakan
demikian karena, putusan itu menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia
dan menjadi titik terang bagi proses komprehensif bagi pencapaian proses
rekonsiliasi atas suatu periode penting dalam sejarah Indonesia. Putusan itu
menjadi spirit bahwa semua politik diskriminasi, yang menjadi musuh besar
demokrasi, harus diakhiri. Putusan ini bersejarah dan menjadi sebuah
landmark decision karena merehabilitasi hak pilih orang-orang eks PKI yang
bagaimanapun juga adalah salah satu elemen bangsa.
Putusan lain yang turut menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi
demokrasi adalah adalah tentang diperbolehkannya calon independen dalam
pemilihan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 56 ayat 1, 2 dan 3 UU
Nomor 32 Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya
memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan
menutup hak konstitusional calon perseorangan.52 Ini membuka peluang baru
bagi calon non partai untuk dipilih. Selain menghargai hak semua warga untuk
51 Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003.52 Putusan Nomor 5/PUU-V/2007.
46
dipilih, putusan ini akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi terutama
demokratisasi lokal.
Begitu juga dengan putusan MK tentang calon terpilih adalah calon
dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Putusan MK menghapus
sistem nomor urut untuk menentukan anggota legislatif dalam pemilu dengan
menyatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,53 merupakan
kontribusi penting dalam mendukung konsolidasi demokrasi. Maka penentuan
calon terpilih harus didasarkan pada calon legislatif yang mendapat suara
terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang
telah ditetapkan.
Putusan tersebut berimplikasi tidak saja bagi calon aggota legislatif tetapi
juga bagi rakyat. Bagi calon anggota legislatif, setiap calon anggota legislatif
mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Bagi
rakyat, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih
berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan
pilihan. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan
calon anggota legislatif. Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi
berada di tangan rakyat. Rakyat adalah subyek utama dalam prinsip
kedaulatan rakyat sehingga tidak boleh lagi hanya ditempatkan semata-mata
sebagai obyek.
53 Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
47
Putusan progresif lainnya adalah pada putusan MK mengenai perselisihan
hasil pilkada Jawa Timur.54 MK keluar dari belenggu undang-undang yang
tidak bisa mengantarkan pada keadilan saat MK mengadili. Menurut UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada pemilu kepala
daerah yang bisa diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula,
tidak ada kewenangan bagi MK memerintahkan pemungutan suara ulang
maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD dan
Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, dan MK tidak bisa
menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen
itu merupakan produk dari pelanggaran, lantas apa gunanya ada MK? Pada
kasus ini MK berani melanggar undang-undang namun disertai sederet
argumentasi hukum yang kuat. Jangankan melanggar, membatalkanpun bisa
kalau memang hukum dirasa tidak memberikan keadilan. Artinya, MK tak
segan mencari jalan keadilan sendiri karena MK memang diharuskan untuk
kreatif menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-undang.
Hakim harus bisa menjadi penemu hukum, jadi, sangat baik jika MK hendak
mewujudkan fungsi pengadilan dalam tataran yang progresif.
Yang juga menarik adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009,
tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden yang diantaranya membolehkan kartu tanda
penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu presiden 2009.
Putusan ini mendapat apresiasi tersendiri dari Satjipto Rahardjo dengan
54 Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.
48
kalimat: Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh
kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan
bangsa dari situasi yang gawat.55 Putusan ini diambil setelah mencuat isu
kemungkinan pemilu akan ditunda bahkan juga karena ada calon presiden siap
mengundurkan diri. Inilah usaha monumental MK dalam upaya
menyelamatkan bangsa.
Satjipto menyebut bahwa melalui putusan itu, MK telah memberi
pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim
tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual karena
tergugah nasionalismenya sehingga mempraktikkan cara berhukum yang
progresif. Sesuatu yang pasti, MK tidak hanya memutus berdasar teks undang-
undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi
dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati, kejujuran, dan keberanian.
Dengan bekal itu, sudah tepat adanya sikap dan progresifitas MK selama ini,
dan ke depan MK harus terus melakukan rule breaking,56 manakala hukum
yang ada menghalangi tercapainya keadilan, termasuk yang menghalangi
demokrasi.
55 Satjipto Rahardjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi, Kompas 14 Juli 2009.56 Ibid.
49
BAB II
PEMBAHASAN
KAJIAN KASUS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI, PUTUSAN MK NO 005/PUU-IV/2006: Uji Materiil
Undangundang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).
A. Tentang Pemohon dan Legal Standing
Pemohon dalam uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial (UU KY) ini adalah 31 orang Hakim Agung.
1) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon (Pasal 51 ayat (1) UU
MK).57
57 Ibid.
50
Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menentukan tentang siapa subyek
hukum yang memiliki legal standing untuk dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu:
a) perorangan warga negara Indonesia (WNI) termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama; atau b) kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; c) badan
hukum publik atau privat; d) lembaga negara, yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya (menurut penjelasan, “hak
konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”)
dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon wajib
menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang dianggap dirugikan tersebut dalam
permohonannya (Pasal 51 ayat (2) UU MK).
Berdasarkan ketentuan hukum mengenai Legal Standing pemohon yang
tercantum pada Pasal 51 ayat (1) UU MK maka pemohon memiliki legal
standing.
B. Tentang pasal-pasal suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas pada: Pasal 1 Angka 5, Pasal 20, Pasal
21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3),
Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan Pasal
51
34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU KK).
C. Tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga yang diberi kekuasaan
menguji konstitusional atau tidaknya suatu undang-undang atau untuk
membatalkan keabsahan suatu undang-undang yang tidak konstitusional,
kewenangan mana diberikan sebagai fungsi eksklusif kepada Mahkamah
Konstitusi sebagai sebuah pengadilan konstitusi yang dilembagakan secara
khusus.58
Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi, dimana sesuai dengan bunyi
pasal 24C Amandemen ke IV UUD 1945, yang menyatakan ada enam poin
yang berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi, yaitu :
1. Yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus
Pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan agar pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
3. Mahkamah Konstitusi wajib mempunyai sembilan orang anggota. Hakim
Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing
58Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara, Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta: 2007, hal. 148-149.
52
tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim
Konstitusi.
5. Hakim Konstitusi harus memiliki Integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6. Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta
ketentuan-ketentuan lainnya tentang Mahkamah Kontitusi diatur dengan
Undang-Undang.59
Dengan adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi ini bagaimana akibat
hukumnya terhadap struktur ketatanegaraan pasca amandemen Undang-
Undang Dasar 1945 menarik pula untuk dilakukan pengkajian. Dikatakan
demikian karena bila ditinjau dari aspek wewenang Mahkamah Konstitusi
untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan
pranata baru dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian
kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi ini akan berpengaruh pula
terhadap kedudukan dan hubungan antara lembaga negara sehingga berakibat
pula kepada tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara.60
59Lihat lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi.
60 Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007, hal. 8.
53
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan:
Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah
Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan
dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung
jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan
mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.61
D. Tentang Alasan-alasan Pemohon: kerugian hak-hak konstitusional.
Alasan-alasan yang dikemukakan pemohon mengenai hak
konstitusionalnya yang dilanggar adalah sebagai berikut:62
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”
yang apabila dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain,
maka menurut para Pemohon, bermakna bahwa KY mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
61 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2006, hal. 163-164.
62 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal 1 Angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 21, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
54
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka
melaksanakan kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan
hakim agung;
b. Menurut para Pemohon, kewenangan lain KY tidak menjangkau hakim
agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya para hakim
dari lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, karena untuk
menjadi hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak
seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding, bahkan
juga tidak menjangkau hakim ad hoc. Hal ini diperkuat oleh ketentuan
Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi: ”Syarat-syarat untuk menjadi dan
untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-
undang”.
c. Menurut para Pemohon, perluasan makna “hakim” dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal UU KY
lainnya yang terkait, serta Pasal 34 ayat (3) UU KK bertentangan
dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal, yaitu lex certa,63
lex stricta,64 dan lex superiori derogat legi inferiori;65
d. Menurut para Pemohon, pengawasan oleh KY terhadap para hakim
agung, dengan memanggil mereka atas beberapa kasus yang telah
diadilinya, bertentangan dengan prinsip independensi peradilan dan
para hakim agung yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945; 63 lex certa: suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau
ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan.64 lex stricta: suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan
selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.65 lex superiori derogat legi inferiori: suatu peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
55
e. Secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau
hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap
para hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA,
sehingga menurut para Pemohon, Pasal 20 UU KY bertentangan
dengan UUD 1945;
f. Usul pemberhentian para hakim agung telah diatur dalam Undang-
Undang MA dan usul pemberhentian para hakim Mahkamah Konstitusi
telah diatur dalam UU MK yang tidak memerlukan campur tangan KY,
sehingga menurut para Pemohon, Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat
(3), serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)
UU KY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD
1945;
g. Para Pemohon dalam petitumnya mohon Mahkamah Konstitusi
menyatakan pasal-pasal UU KY dan undang-undang di atas
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
E. Alasan-alasan Pemerintah/DPR RI dan Komisi Yudisial.
a. Pemerintah66
Dalam keterangannya Pemerintah menjelaskan bahwa KY adalah
lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan
66 Keterangan tertulis Pemerintah untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.
56
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal
ini merupakan kehendak kuat dari pembuat undang-undang agar dapat
terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan
independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan
lainnya. KY tidak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang dilakukan
pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
b. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia67
Dalam keterangannya DPR menjelaskan bahwa Pasal 1 angka 5
UU KY berkaitan dengan perluasan pengertian hakim, termasuk hakim
agung, awalnya diusulkan oleh Pemerintah dalam Daftar Inventaris
Masalah (DIM)-nya, sedang dalam RUU yang menjadi inisiatif dewan
sebenarnya tidak seperti itu, sehingga kemudian perubahannya
berbunyi, ”hakim adalah hakim agung pada Mahkamah Agung dan
hakim pada semua badan peradilan di bawahnya”.
Dalam rapat dengar pendapat umum antara lain dari LSM,
memberikan masukkan yang intinya adalah bahwa KY itu adalah
lembaga independen yang sifatnya pengawasan eksternal, sedangkan
pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri, hal
mana berkaitan dengan semangat dan kehendak kita bersama untuk
menghadirkan dan menciptakan kehormatan, keluhuran martabat para
hakim.
67 Keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.
57
Kata menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 diwujudkan dalam pengawasan,
sedangkan kata ”menegakkan” diwujudkan dalam tugas pendisiplinan
atau menjatuhkan sanksi disiplin. Hal itu didasarkan pada semangat
terjadinya checks and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol
di antara lembaga negara yang ada, termasuk terhadap MA.
c. Komisi Yudisial68
Dalam keterangannya Komisi Yudisial menerangkan bahwa para
Pemohon maupun sidang majelis tidak memiliki kewenangan untuk
menilai atau mengoreksi cara perubahan dan isi/ materi pasal-pasal
UUD 1945, sebab semuanya adalah kewenangan MPR dan para
Pemohon telah melangkah jauh melampaui batas kewenangan sidang
Majelis Mahkamah Konstitusi.
Dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, Komisi Yudisial
haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 yang dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (1) UU KY. Jika
dalam melakukan pengawasan tersebut KY tidak berlandaskan kepada
kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1), tentulah
pengawasan itu tidak sah dan sewenang-wenang. Apa yang dilakukan
KY menggunakan pendekatan kekuasaan atau berlandaskan kekuasaan
yang diberikan kepadanya adalah sesuai dengan konsep negara hukum
(rechtsstaat) yang dianut oleh UUD 1945.
68 Keterangan tertulis Komisi Yudisial Untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.
58
KY juga menjelaskan bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan
KY didasarkan pada UU KY dan Peraturan yang dibuat dan dibentuk
KY berdasarkan delegasi atau atribusi kekuasaan. Jika dikatakan KY
memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan membaca dan
mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, itu hanyalah sebagai pintu
masuk (entry point). Sebab secara universal telah diterima oleh
masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang
hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja
mengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi
perilaku hakim dalam melaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi
korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi masalah nasional
yang perlu diberantas. KY berpendapat objek pengawasan meliputi
seluruh hakim. Tidak terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah
Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5
UU KY.
F. Pertimbangan Haim Konstitusi.
Mahkamah Kontitusi dalam pertimbangannya memberikan
kesimpulan:69
a. Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan
pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi
hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga
permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk
selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim
69 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 005/PUU-IV/2006.
59
yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan
terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis
Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK
sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.
b. Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian hakim
menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung,
terbukti tidak cukup beralasan. Persoalan yang berkaitan dengan
pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan
dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Oleh karena itu,
permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak
terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya.
c. Hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah
permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan
mengenai prosedur pengawasan. Mengenai hal ini, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa:
1) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai
wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga
menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU KY yang
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);
2) UU KY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur
pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang
60
mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang
digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan.
Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai
pengawasan dalam UU KY serta perbedaan dalam rumusan kalimat
seperti dimaksud pada butir (1) menyebabkan semua ketentuan UU
KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan
menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam
pelaksanaannya;
3) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU KY didasarkan
atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah
hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan “checks
and balances” antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran
pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga
menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam
pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian,
ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY dan
MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat
pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga
dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat
menjadikannya semakin tidak dipercaya.
G. Tentang Putusan MK.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para
pemohon dikabulkan. Akan tetapi untuk pasal 1 angka 5, hanya sepanjang
61
mengenai kata-kata “hakim konstitusi”, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3),
Pasal 25 ayat (4) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah
Konstitusi.
. Segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid).
Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi ini pada pokoknya ada
tiga macam. Pertama, menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam
arti hakim di dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencakupan hakim konstitusi dalam
arti hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial adalah tidak benar dan
bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang terkait dengan
materi dan cara pengawasan hampir seluruhnya dinyatakan batal oleh
Mahkamah Konstitusi sehingga secara praktik sejak saat itu Komisi Yudisial
tidak biasa melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana digariskan oleh
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.70
H. Tentang Disenting Opinion.
Dalam Putusan MK NO 005/PUU-IV/2006: Uji Materiil Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) ini diputus tanpa
adanya disenting opinion.
70 Mahfud, supra (lihat catatan kaki nomor 14), hal. 103.
62
BAB III
ANALISA DAN KESIMPULAN
A. Analisa singkat dari penyusun paper
Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dimengerti, karena hal
ini terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
undang Dasar. Jika hakim Mahkamah Konstitusi temasuk dalam pengertian
hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial, maka kredibilitas
dan legitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara yang melibatkan lembaga Komisi Yudisial dapat
dipertanyakan. Kedua, terlepas dari alasan tersebut, di sini putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai status diri para hakim sendiri mencerminkan conflict of
interest dan melanggar ketentuan dalam Pasal 29 ayat (5) dan (6) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang
menyatakan:
Ayat (5): Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak
langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya
sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
Ayat (6): Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat
(5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administrati atau dipidana berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
63
Hal ini bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua atau nemo
judex indoneus in propia causa yang menyatakan bahwa hakim tidak
memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait
dengan dirinya. Dari putusan ini terkesan Mahkamah Konstitusi enggan untuk
diawasi oleh lembaga eksternal.71 Hal ini juga akan menimbulkan kurangnya
kepercayaan publik terhadap fungsi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi di
sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejauh pandangan penulis Hakim
Mahkamah Konstitusi tidak lagi objektif dalam mengambil putusannya,
karena dalam putusan tersebut Hakim Mahkamah Konstitusi akan lebih
cenderung untuk memihak kepada Lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai
pihak yang terkait dalam pekara tersebut.
Ketiga, fungsi pengawasan hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial
dinilai Mahkamah Konstitusi menimbulkan ketidakpastian hukum dan
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun dalam kesimpulan
pertimbangannya Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan secara konkrit
bertentangan dengan pasal berapa dari UUD 1945, selain itu ketidakpastian
hukum ini menurut Trisna Yunita dikarenakan ketentuan mengenai
pengawasan perilaku hakim terdapat dalam tiga Undang-undang, yaitu
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman [Pasal 34 ayat (3)], Undang-Undang
Mahkamah Agung [Pasal 32 ayat (2)] dan Undang-Undang Komisi Yudisial
[Pasal 20]. Dalam salah satu pertimbangannya Mahkamah Konstitusi sempat
71 Trisna Yunita, Tinjauan Yuridis terhadap beberapa putusan ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Universitas Riau, Pekanbaru : 2009, hal. 103-105.
64
menyatakan bahwa substansi permohonan yang dimaksud oleh Pemohon
mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,
yaitu antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Maka, dalam putusannya
Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung menyatakan bahwa fungsi
pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan undang-
undang lainnya yang mengatur masalah pengawasan hakim, bukan
bertentangan dengan undang-undang dasar, dengan demikian menurut penulis,
Mahkamah Konstitusi telah masuk dalam ranah legislative review.72
Dari analasis putusan tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa latar
belakang Mahkamah Konstitusi melanggar asas nemo judex in causa sua
adalah, Pertama, Pemohon dalam uji materiil ini adalah 31 orang Hakim
Agung yang menganggap hak dan kewenangan konstitusional pemohon
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial. Kedua, Hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi
konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan
konstitusi maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan
tersebut. Ketiga, konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus
ada peluang pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar isi konstitusi
itu tidak dilanggar. Keempat, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga
kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review, permintaan itu
haruslah dipenuhi.73 Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 Ayat 1, yaitu“Pengadilan tidak
72 Ibid, hal. 106.73 Mahfud, supra (lihat catatan kaki nomor 14), hal. 96-97.
65
boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Kelima, asas adalah suatu alam
pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum,
yang konkret dan bersifat umum atau abstrak. Keenam, asas nemo judex in
causa sua adalah asas hukum yang belum konkret dirumuskan dalam
ketentuan hukum maka ia belum dapat dipergunakan secara langsung dalam
peristiwanya.
B. Kesimpulan.
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan yang telah
dilakukan oleh penulis antara lain:
1. Dalam KAJIAN KASUS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI, PUTUSAN MK NO
005/PUU-IV/2006: Uji Materiil Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) Mahkamah Konstitusi
melanggar asas nemo judex in causa sua.
2. Istilah asas nemo judex in causa sua adalah Hakim (dalam hal
Hakim Mahkamah Konstitusi) tidak boleh menjadi Hakim dalam
memeriksa dan memutus setiap perkara yang terkait dengan dirinya
sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Sejauh ini, belum ada aturan
tertulis mengenai asas nemo judex in causa sua, tetapi asas nemo
judex in causa sua ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 29 Ayat 5.
66
3. Mahkamah Konstitusi tidak boleh melanggar asas nemo judex in
causa sua dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya
untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Karena asas nemo judex in causa sua adalah merupakan salah satu
asas yang mana merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal
yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkret
dan bersifat umum atau abstrak. Karena itu, harus disadari pula
bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal
ini dapat dijadikan sebagai pedoman, landasan, dasar, atau asas
bagi Hakim.
4. Latar belakang Mahkamah Konstitusi melanggar asas nemo judex
in causa sua dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.
005/PUU-IV/2006 : uji materiil Undang-Undang Nomor. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial adalah Pertama, adanya hak dan
kewenangan konstitusional pemohon. Kedua, Hakim bersumpah untuk
menjunjung tinggi konstitusi. Ketiga, konstitusi adalah the
supreme law of the land. Keempat, hakim tidak boleh menolak
perkara yang diajukan kepadanya. Kelima, asas adalah suatu alam
pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan
norma hukum, yang konkret dan bersifat umum atau abstrak.
Keenam, asas nemo judex in causa sua adalah asas hukum yang
belum konkret dirumuskan dalam ketentuan hukum maka asas
67
tersebut belum dapat dipergunakan secara langsung dalam
peristiwanya.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007.
Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta:
2004.
A.V. Dicey, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition,
Macmillan And Co, Limited ST. Martin’s Street, London, 1952.
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil,
Grasindo, Jakarta, 2004
Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkmah
Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004.
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.
69
-----------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta,
1988.
Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur
Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007.
Mexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan
Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS, Pekanbaru: 2007.
Moh. Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, LP3ES, Jakarta: 2007.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998.
O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan
Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan
Penerbit Kristen, Jakarta, 1970.
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989.
70
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah
Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi
Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972.
Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara, Fakultas Hukum Universitas
Satyagama, Jakarta: 2007.
S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997.
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII
Press, Yogyakarta, 2001.
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka,
Jakarta: 2006.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4316.
71
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4359.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415.
Putusan Mahkamah Konstitusi:
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006.
72