Judicial Review uu ky

115
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan Dalam kehidupan ketatanegaraan, undang-undang dasar sebagai hukum dasar tertulis adalah merupakan norma yang sangat fundamental bagi negara, karena mengatur hal-hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, meliputi bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapaan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain, serta jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara. 1 Atas dasar hal tersebut, maka undang-undang dasar pada hakikatnya merupakan puncak konseptualisasi pemikiran, cita-cita dan tujuan 1 Marzuki, Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi, dalam makalah Seminar Sehari tentang “Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi” yang diselenggarakaan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) pada Sabtu, 4 September 2004 di Balai Rasa Sayang 2, Hotel Polonia, Medan, hal.1. 1

Transcript of Judicial Review uu ky

Page 1: Judicial Review uu ky

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Dalam kehidupan ketatanegaraan, undang-undang dasar sebagai hukum

dasar tertulis adalah merupakan norma yang sangat fundamental bagi negara,

karena mengatur hal-hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan

negara dan pemerintahan, meliputi bentuk dan susunan negara, alat-alat

perlengkapaan negara yang satu dengan alat perlengkapan negara yang lain,

serta jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan warga negara.1

Atas dasar hal tersebut, maka undang-undang dasar pada hakikatnya

merupakan puncak konseptualisasi pemikiran, cita-cita dan tujuan bangsa-

bangsa yang bersangkutan dilengkapi dengan landasan-landasan ideal,

struktural, dan landasan opersional pengelolaan kehidupan bangsa itu secara

garis besar (broedlines).2

Dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, Undang-undang Dasar 1945

yang merupakan sumber hukum tertinggi seolah-olah dianggap sakral dan

tidak dapat diganggu gugat. Demikian sebuah pemikiran yang terjadi dikala

rezim orde baru masih berkuasa, nilai sebuah demokrasi seakan terabaikan

dengan adanya kekuasaan mutlak dari penguasa orde baru.

1 Marzuki, Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi, dalam makalah Seminar Sehari tentang “Reformasi Sistem Pemerintahan dan Ketatanegaraan antara Perubahan Undang- Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Usul Komisi Konstitusi” yang diselenggarakaan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) pada Sabtu, 4 September 2004 di Balai Rasa Sayang 2, Hotel Polonia, Medan, hal.1.

2 Ibid.

1

Page 2: Judicial Review uu ky

Berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru yang ditandai dengan

runtuhnya rezim Soeharto, telah membuka tabir demokrasi di Indonesia, yang

terpasung selama lebih kurang 32 tahun. Selama masa 32 tahun itu rakyat

tidak diberi kesempatan untuk berekspresi dalam menyampaikan pendapat,

hal ini disebabkan karena kuatnya tekanan dari penguasa yang berimplikasi

pada tidak berjalannya demokrasi di Indonesia.3 Tetapi setelah berakhirnya

rezim orde baru, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah

ketatanegaraannya, yakni dengan adanya orde reformasi.

Orde reformasi ini telah memberikan dampak yang sangat besar bagi

masyarakat, dengan adanya kebebasan masyarakat dalam menyampaikan

aspirasinya, salah satu dari sekian banyak aspirasi yang berkembang dalam

masyarakat adalah amandemen (perubahan) terhadap konstitusi.4 Dengan

adanya amandemen terhadap konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945

maka praktek ketatanegaraan dalam konsep negara hukum terus berkembang

dan berubah. Hal ini dapat dimengerti karena dalam praktek ketatanegaraan

faktor-faktor yang ada dalam masyarakat terus berubah menurut waktu dan

tempat dimana konsep ketatanegaraan itu diterapkan.

Struktur ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan secara

signifikan setelah perubahan Undang-undang Dasar 1945 yang pertama,

kedua, ketiga, dan keempat.5 Perubahan ini meliputi cabang kekuasaan, baik

3 Mexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS, Pekanbaru: 2007, hal. 1.

4 Ibid.5 Amandemen atau perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 berlangsung selama

empat kali. Perubahan pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001, dan perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

2

Page 3: Judicial Review uu ky

kekuasaan legislatif (legislatif power/ pembuat Undang-undang), kekuasaan

eksekutif (executive power / pelaksana Undang-undang), maupun kekuasaan

yudikatif (yudicial power/ kekuasaan kehakiman).

Perubahan Undang-undang Dasar 1945 pada cabang kekuasaan

kehakiman khusunya, meliputi 4 (empat) macam perubahan, yaitu:6 Pertama,

apabila sebelum perubahan Undang-undang Dasar 1945 jaminan kekuasaan

kehakiman yang merdeka hanya terdapat dalam penjelasannya,7 maka setelah

perubahan jaminan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam batang tubuh.8

Kedua, Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya kekuasaan

kehakiman (yudicial power), karena disampingnya ada Mahkamah Konstitusi

yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya

lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman,

yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim

Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keempat,

adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga-lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan sengketa hasil pemilu,9

6 A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta: 2004, hal.2.

7 Setelah amandemen atau perubahan, Undang-Undang Dasar 1945 hanya terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal, tanpa penjelasan.

8 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945.9 Lihat lebih lanjut dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

3

Page 4: Judicial Review uu ky

serta tugas khusus lain yaitu forum previlegiatum atau peradilan yang khusus

untuk memutus pendapat DPR bahwa presiden tidak lagi memenuhi syarat

serta memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar hal-hal

tertentu di dalam Undang-undang dasar sehingga dapat diproses untuk

diberhentikan.10

Perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah sistem

kekuasaan kehakiman dan menempatkan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi sebagai puncak sistem kekuasaan kehakiman dalam rangka

penyelenggaraan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Perubahan Undang-

undang Dasar 1945 melahirkan sebuah lembaga baru, yaitu Mahkamah

Konstitusi.

Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan:

Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan

konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah

Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan

dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung

jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah

Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan

mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.11

10 Moh. Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta: 2007, hal. 115-116.

11 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2006, hal 163-164

4

Page 5: Judicial Review uu ky

Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah

institusi baru di bidang kekuasaan kehakiman adalah untuk menjaga dan

melindungi konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan

secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi, sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara

yang stabil, dan merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan

ketatanegaraan pada masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap

konstitusi.12

Maka kelahiran lembaga ini seolah sebagai sebuah jawaban atas

keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian atas undang-

undang terhadap undang-undang dasar yang sebelumnya sama sekali tidak

dapat dilakukan. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, lembaga legislatif

tidak bisa lagi membuat undang-undang secara sembarangan, baik karena

kepentingan politik para anggotanya maupun karena kelemahan pemahaman

atas substansi dan prosedur-prosedurnya. Sebab kalau itu terjadi dan ternyata

isinya bertentangan dengan undang-undang dasar atau ternyata prosedur

pembentukannya salah, maka Mahkamah Konstitusi dapat menguji untuk

kemudian membatalkannya.13

Dalam kenyataanya, kehadiran Mahkamah Konstitusi ini terbukti baik,

sebab hanya dalam waktu beberapa tahun sejak kehadirannya sudah tercatat

12 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. Vii.

13 Moh. Mahfud, MD, op.cit., hal.73. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang yang dimaksud (materi muatan pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang dimohonkan pengujian) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).

5

Page 6: Judicial Review uu ky

banyak kasus permintaan pengujian isi undang-undang terhadap undang-

undang dasar dan banyak diantaranya yang dibatalkan oleh Mahkamah

Konstitusi. Harus diakui bahwa kenyataan ini merupakan kemajuan dalam

pembangunan hukum, terutama tertib tata hukum di Indonesia.14

B. Tinjauan Umum Konsep Negara Hukum

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah,

sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti

sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami

secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui

gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang

mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum.15 Selain itu

Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua

dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri16 dan

pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-

perspektif dan selalu aktual17. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan

pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum

sudah berkembang semenjak 1800 S.M18. Akar terjauh mengenai

perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani

14 Ibid.15 S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia

Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 916 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII

Press, Yogyakarta, 2001, hlm.25.17 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm. 48.18 Lihat J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta,

1988, hlm. 7.

6

Page 7: Judicial Review uu ky

kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan

berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi

sumber dari gagasan kedaulatan hukum19.

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan

oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato20 (429-347 S.M) dan

Aristoteles21 (384-322 S.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam

penghujung hidupnya, Plato (429-347 S.M) menguraikan bentuk-bentuk

pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam

pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk

melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan

hukum22. Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 S. M) adalah

negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga

negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup

untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu

diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara

yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara

19 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.

20 Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur adalah Politea (tentang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).

21 Aristoteles (384-322 s.M) berasal dari Stageira. Ia adalah murid Plato (429-347 s.M). Aristoteles banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Logika, Polik, dan Hukum. Karyanya yang termasur dalam bidang Filsafat Hukum adalah Ethica dan Politica.

22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988, hlm. 153.

7

Page 8: Judicial Review uu ky

bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan

penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja23.

Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir

sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul

Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383,

dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal

dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa

sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan

merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu

timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam

piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi

hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di

Inggris24.

Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau

the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII

sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme

raja25. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat

23 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm.36-37.

24 Terpetik dalam O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat Di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, 1970, hlm. 21.

25 Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989, hlm. 30. bandingkan dengan Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972.

8

Page 9: Judicial Review uu ky

Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl26.

Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey

pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of

The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo

Saxon atau Common law system.27 Konsepsi Negara Hukum menurut

Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der

Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal.

Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang

menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-

hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas

sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel

Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau

nachtwachterstaats.28 Friedrich Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya ;

Staat and Rechtslehre II, 1878 hlm. 137, mengkalimatkan pengertian Negara

Hukum sebagai berikut :

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya

juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman baru ini.

Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-

batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa

dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan

26 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 57.

27 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972, hlm. 72.

28 M. Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta, Bulan Bintang, 1992, hlm. 73-74.

9

Page 10: Judicial Review uu ky

akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada

seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum,

bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum

saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari

perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi

daripada Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya.29

Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats

dalam arti klasik, yaitu:30

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di

negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);

3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar dalam abad

ke dua puluh di Nederland, menulis karangan tentang Negara Hukum (Over

den Rechtsstaats, 1935, lihat Verzamelde Gessriften deel I, hlm.382-394).

Paul Scholten menyebut dua ciri daripada Negara Hukum, yang kemudian

diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada Negara Hukum

ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai

hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini

sebenarnya meliputi dua segi :

29 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 24.

30 Miriam Budiarjo, Op,cit., hlm. 57-58.

10

Page 11: Judicial Review uu ky

1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak

diluar wewenang negara;

2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan

undang-undang, dengan peraturan umum.

Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ;

er is scheiding van machten, artinya dalam negara hukum ada pemisahan

kekuasaan.31 Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur

negara berdasarkan atas hukum ialah adanya :32

1. Hak-hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan

keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum;

4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);

5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-

penetapan) kekuasaan umum;

6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;

7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Dalam bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution,

Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of

law : pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk

menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-

31 O. Notohamidjojo, Op.cit., hlm. 25.32 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.312.

11

Page 12: Judicial Review uu ky

wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah;

kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua

golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary

court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik

pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang

sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil

dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber

tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan

dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat

melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga

membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya.33

C. Tinjauan Umum Tentang Supremasi Parlemen.

Lembaga perwakilan rakyat pada mulanya dipandang sebagai

representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan

jalannya pemerintahan.34Apa yang diputuskan parlemen, itulah yang dianggap

sebagai putusan rakyat yang berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi

parlemen (the principle of supremacy of parliament). Dalam perspektif yang

demikian, undang-undang sebagai produk parlemen tidak dapat diganggu

33 A.V. Dicey, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition, Macmillan And Co, Limited ST. Martin’s Street, London, 1952, hlm. 202-203.

34 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu  Populer, Jakarta, 2007. hlm. 153.

12

Page 13: Judicial Review uu ky

gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim hanya berwenang menerapkannya

bukan menilai apalagi membatalkannya.35

Di beberapa Negara, doktrin supremasi parlemen ini bahkan diwujudkan

dalam pelembagaan Majelis Rakyat Tertinggi, seperti yang diterapkan di

lingkungan negara-negara komunis. Sebelum bubarnya Uni Soviet, RCC, dan

negara-negara Eropa Timur pada umumnya memiliki struktur parlemen yang

memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi dalam sistem struktur

ketatanegaraan yang dianut. Sebaliknya di berbagai negara demokrasi liberal

seperti Perancis, Inggris, dan Belanda, walaupun tidak dicerminkan dalam

struktur kelembagaan parlemennya, prinsip supremasi parlemen itu dianut

sangat kuat. Bahkan, sampai sekarang, Inggris dan Belanda masih menganut

prinsip bahwa undang-undang buatan parlemen tidak dapat diganggu gugat

oleh hakim, karena undang-undang itu adalah produk lembaga parlemen yang

mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat.36

Di atas sudah dijelaskan bahwa secara umum, ada 3 (tiga) prinsip

perwakilan yang dikenal di dunia, sebagai berikut:37

1. Representasi politik (political representation)

2. Representasi teritorial (territorial representation)

3. Representasion fungsional (functional representation).

35 Ibid36 Ibid. hlm. 154.

37 Ibid. hlm. 154.

13

Page 14: Judicial Review uu ky

Pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah

satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak

sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-checks” sehingga

aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan

baik. Oleh karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah

(regional representation) atau perwakilan teritorial (territorial

representation). Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-

negara berbentuk feodal, sistem “double-cecks” ini dianggap lebih ideal,

karena itu, banyak di antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk

struktur parlemen bikameral atau dua kamar.

Pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu,

sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak

didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas

pertimbangan fungsional. Misalnya, di Inggris majelis tinggi yang disebut

House of Lords dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of

Commons bukan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi

teritorial, melainkan berdasarkan prinsip representasi fungsional. House of

Lords mencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan

tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya berkuasa mutlak, yang

selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House of Lords.

Sementara itu, House of Commons mencerminkan keterwakilan rakyat secara

politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi.38

38 Ibid. hlm. 155.

14

Page 15: Judicial Review uu ky

Tidak ada negara di dunia yang memiki tiga lembaga yang terpisah seperti

DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas.

Legislatif dalam arti sempit, MPR memang tidak terlibat dalam pembentukan

undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimilikinya

tidak termasuk ke dalam pengertian cabang kekuasaan legislative.39 Di

Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke

dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:

1. Fungsi legislasi (legislatif);

2. Fungsi pengawasan (control); dan

3. Fungsi anggaran (budget).

Cabang legislatif adalah cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan

asas kedaulatan rakyat.40 Kegiatan bernegara, adalah pertama-tama untuk

mengatur kehidupan bersama, karena itu, kewenangan untuk menetapkan

peraturan harus diberikan kepada DPR. Fungsi pengaturan (regelende functie)

ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang

mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan

membatasi. Kewenangan ini pada pokoknya hanya dapat dilakukan sepanjang

rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum tersebut.41

Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur hal-hal tersebut di atas

pada dasarnya adalah DPR, maka undang-undang harus dibuat dan ditetapkan

39 Ibid. hlm. 159.40 Ibid. hlm. 160.

41 Ibid. hlm. 161.

15

Page 16: Judicial Review uu ky

oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan

bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-

undang”.

Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) ditentukan:

“Setiap undang-undang dibahas bersama oleh DPR dan Presiden untuk

mendapat persetujuan bersama”.

Pada pokoknya, fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan

sebagai berikut:42

1. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

2. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

3. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment

approval);

4. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau

persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat

lainnya (binding decision making on international agreement and treaties

or other legal binding documents).

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini

biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, DPR biasa 42 Jimly Asshiddiqie. Op. Cit. hlm. 161-162.

16

Page 17: Judicial Review uu ky

dibedakan menjadi dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi

pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Perbedaan ini, dapat dilihat dalam

Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD,

dan DPRD.43 Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap

utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi kedua

dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang dasar.

Hal ini berdasarkan pada Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun

1945, bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi

anggaran dan fungsi pengawasan”. Fungsi legislasi mempunyai peran yang

utama sebagai fungsi dalam membentuk undang-undang.

Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang positif terhadap peran DPR

dalam membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan ini

dimaksudkan untuk memberdayakan DPR sebagai lembaga legislatif yang

mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, karena peranan DPR

sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap

rancangan undang-undang yang dibuat oleh Presiden (eksekutif).  Perubahan

UUD 1945 juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan

rancangan undang-undang.

Pergeseran kewenangan dalam membentuk undang-undang yang

sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah

konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai

43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. LN-RI Tahun 2003 Nomor 92, TLN RI Nomor 4310.

17

Page 18: Judicial Review uu ky

dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga

pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) dan Presiden sebagai

lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif).44 Namun demikian,

UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain

ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh

DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden.

Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu,

sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of

power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan

(separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling

mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal ini juga merupakan penjabaran

untuk memperkuat sistem presidensial.

D. Tinjauan Umum Mengenai Supremasi Hukum.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku

dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan

hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan

44 Sekretariat Jenderal MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sesuai dengan urutan bab, pasal, dan ayat), Jakarta, Setjen MPR RI, 2007. hlm. 85-86.

18

Page 19: Judicial Review uu ky

sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam

setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri

pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu,

penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan

hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila

diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan

daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya,

yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna

yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada

nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun

nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit,

penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal

dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke

dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum”

dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti

sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan

cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam

bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau

dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by

law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law”

19

Page 20: Judicial Review uu ky

terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang

formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di

dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah

“the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada

hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh

hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang

dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum

sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan

penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk

menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti

materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum,

baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur

penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-

undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu,

pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-

batasnya Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi

penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya maupun obyeknya atau kita

batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-

aspek subyektif saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan

gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema

penegakan hukum itu.

20

Page 21: Judicial Review uu ky

Penegakan Hukum Objektif

Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak

ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum

formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang

tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri,

kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum

dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan

pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan

penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan

keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi

“court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau

pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah

Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang

harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan

nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang

membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara

pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup

menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah

hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang

menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan

pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya

21

Page 22: Judicial Review uu ky

mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan

materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun

perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan

penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan

keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan

tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu

lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi

rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar.

Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi

manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam

keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum

terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan

bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi

dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,

issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan

yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.

Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui

organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan

ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan

perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan

perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke

dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal

22

Page 23: Judicial Review uu ky

dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang

memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara

hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak

asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara

hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi

yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat

dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu,

sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan

hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat

ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan

konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi

manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah

salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi

manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan

kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun

memang belum berkembang secara sehat.

Aparatur Penegak Hukum

Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi

penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,

aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi,

polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir

pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak

23

Page 24: Judicial Review uu ky

yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan

pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian,

penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali

(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum

itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:

1. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

2. budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai

kesejahteraan aparatnya, dan

3. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja

kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang

dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum

acaranya.

Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan

ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan

keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.

Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja

penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan

analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu

elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang

mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu

sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup

24

Page 25: Judicial Review uu ky

dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika

materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai

dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja

berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum

atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang

memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:

a. pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule

making),

b. sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum

( socialization and promulgation of law) dan

c. penegakan hukum (the enforcement of law).

Ketiganya membutuhkan dukungan

d. administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan

efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang

bertanggungjawab (accountable).

Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat

disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap

ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The administration of law itu

mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata

administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat

dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk

hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka

pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan

25

Page 26: Judicial Review uu ky

administrasi negara(beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius)

hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke

daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin

akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat

terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat

dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie”

yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu

difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social

reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh

dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan

bersengaja.

E. Sejarah Lahirnya Pengujian Terhadap Undang-Undang(Judicial Review)

Judicial review yang dapat juga disebut sebagai constitutional review yang

memberikan wewenang kepada Supreme Court atau Mahkamah Agung

untuk membatalkan sebuah UU karena isinya yang berlawanan dengan

konstitusi pertama kalinya terjadi di Amerika Serikat, yakni dilakukan oleh

Chief Justice John Marshall pada tahun 1803. Sebelum itu, memang ada

kebiasaan tradisional yang memungkinkan hakim menyimpang atau tidak

memberlakukan isi suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Kebiasaan ini bukan dalam konteks membatalkan suatu UU melainkan

sekedar menyimpang atau tidak menerapkan isinya dalam memutus kasus

konkrit. Chief Justice John Marshall adalah orang pertama dalam sepanjang

26

Page 27: Judicial Review uu ky

sejarah konstitusi dan ketatanegaraan yang melakukan pengujian dan

pembatalan suatu UU dalam bentuk judicial review.

Kisahnya dimulai dari kekalahan Presiden Juohn Adams dari Thomas

Jefferson pada pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1800. Sebelum

secara resmi menyerahkan jabatannya kepada presiden baru, John Adams

mengangkat pejabat-pejabat penting yang oleh lawan-lawan politiknya

dianggap sebagai upaya menyelamatkan kedudukan teman-temannya agar

mereka tetap menduduki jabatan penting. John Marshall adalah secretary of

state dari Presiden John Adams yang segera diangkat menjadi Ketua

Mahkamah Agung atau Chief Justice. Bahkan, sampai tengah malam di hari

terakhir sebelum meninggalkan jabatannya ( 3 maret 1801), John Adams

masih mengangkat sahabat-sahabatnya dalam jabatan penting seperti menjadi

duta besar dan hakim. Termasuk dalam rombongan yang diangkat pada detik-

detik terakhir masa jabatan John Adams itu adalah beberapa sahabatnya untuk

jabatan hakim perdamaian, yakni William Harper. Karena mendesaknya

waktu, maka surat-surat pengangkatan untuk pejabat-pejabat yang disebut

sebagai “the midnight judges” itu tak sempat diserahkan kepada yang

bersangkutan sampai Adams melepaskan jabatannya secara resmi.

Begitu memegang jabatannya secara efektif, Presiden Thomas Jefferson

memerintahkan Secretary of State yang baru, James Madison, untuk menahan

atau tidak menyerahkan surat pengangkatan Marbury dan kawan-kawan

sebagai hakim perdamaian yang telah dikeluarkan oleh John Adams itu. Oleh

sebab itu, melalui mantan Jaksa Agung yang kemudian menjadi kuasa hukum,

27

Page 28: Judicial Review uu ky

yakni Charles Lee, diajukanlah tuntutan oleh Marbury kepada Mahkamah

Agung yang dipimpin oleh John Marshall, agar MA menggunakan

kewenangannya yang disebut sebagai writ of mandamus, sebagaimana diatur

di dalam Section 13 Judiaciary Act 1789, yakni memerintahkan kepada

pemerintah untuk segera menyerahkan surat-surat pengangkatan oleh John

Adams yang telah disetujui oleh Kongres itu.

Namun, pemerintah baru di bawah Jefferson menolak untuk menyerahkan

surat-surat pengangkatan itu, bahkan mengatakan bahwa writ of mandamus itu

tak dapat dikeluarkan. Namun, pemerintah Jefferson juga menolak untuk

menjelaskan dan memberikan bukti-bukti mengapa pihaknya menyatakan writ

of mandamus tak dapat dikeluarkan. Bahkan, Kongres baru yang kemudian

dikuasai oleh kubu Jefferson dari kaum Republik (Lawan John Adams yang

dari kaum Federalis) mengesahkan undang-undang yang menunda semua

persidangan MA selama lebih dari setahun sehingga persidangan MA tentang

itu baru bisa dilangsungkan kembali pada bulan Februari 1803.

Apa yang dilakukan Marshall untuk memutus kasus itu adalah luar biasa

karena keputusannya itu merupakan produk pertama tentang judicial review

atas sebuah UU terhadap konstitusi di sepanjang sejarah ketatanegaran dan

konstitusi dunia.

Marshall membuat putusan yang menyatakan bahwa surat-surat keputusan

John Adams adalah benar dan William Marbury dan kawan-kawan berhak

untuk menerima surat keputusan pengangkatan itu. Tetapi putusan Marshall

juga menyatakan bahwa Supreme Court tak berwenang memerintahkan

28

Page 29: Judicial Review uu ky

kepada pemerintah untuk menyerahkan surat-surat tersebut. Menurut

Marshall, wewenang untuk mengeluarkan writ of mandamus atau

memerintahkan untuk menyerahkan surat-surat itu tak bisa dilakukan oleh MA

karena Judiciary Act 1789 itu sendiri isinya bertentangan dengan Article III

Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Itu berarti bahwa putusan chief Justice John Marshall yang membatalkan

Judiciary Act 1789, karena isinya bertentangan dengan konstitusi Amerika

Serikat, adalah judicial review. Padahal, didalam konstitusi Amerika Serikat

tidak tercantum ketentuan tentang judicial review. Dan itu adalah judicial

review pertama didunia sehingga mendapat sebutan brilian, seperti a landmark

decision, the most brilliant innovation, dan the single most important decision

in American Constitutional Law (R. Kent Newmyer, 2001).

F. Sejarah Pengujian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Di

Indonesia

Pada awal bergulirnya era reformasi pada tahun 1998, dimulailah babak

baru dalam sistem ketatanegaraan kita Indonesia, salah satunya ditandai

dengan lahirnya lembaga baru dalam sistem kehakiman sebagai lembaga

yudisial, yaitu lembaga Mahkamah Konstitusi atau “Constitutional Court”.

Fenomena baru lembaga ini diatur sepenuhnya dalam UUD 1945 amandemen.

Keberadaan lembaga MK ini diharapkan tidak hanya sekedar merubah

paradigma struktur ketatanegaraan Indonesia atau sistem pemerintahan,

29

Page 30: Judicial Review uu ky

melainkan diharapkan mampu menjadi lembaga penyeimbang atau lembaga

pengawas yang meampu melaksanakan prinsip checks and balances, dan

disamping itu bahwa lembaga MK mempunyai kewenangan mengawasi

terhadap penyelenggaraan Negara atau pemerintahan. Di Indonesia, pengujian

konstitusional ini kemudian dikenal dengan “Judicial Review”.

Peristilahan “judicial review” dapat dibedakan dengan istilah

“constitutional review” atau pengujian konstitusional. Pembedaan dilakukan

sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, “constitutional review”

selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim

atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan

kewenangan untuk melakukannya. Kedua, dalam konsep “judicial review”

terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal

legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,

sedangkan “constitutional review” hanya menyangkut pengujian

konstitusionalitasnya, yaitu terhadap UUD.

Konsep “constitutional review” itu dapat dilihat sebagai hasil

perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang

didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan

kekuasaan (separation of powers), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi

manusia (the protection of fundamental rights). Dalam sistem ‘constitutional

review’ itu tercakup 2 (dua) tugas pokok. Pertama, menjamin berfungsinya

sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antara

cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan (judiciary).

30

Page 31: Judicial Review uu ky

Dengan kata lain, “constitutional review” dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan sedemikian

rupa sehingga cabang kekuasaan lainnya; Kedua, melindungi setiap individu

warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang

merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.

Di dunia saat ini, sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan

“constitutional review” berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman

yang beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian

konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah

Konstitusi. Ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga

yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Ada pula yang memberikan tugas

untuk menjalankan fungsi pengujian itu kepada badan-badan khusus dalam

kerangka lembaga-lembaga lain seperti badan-badan pengadilan yang sudah

ada; dan ada pula yang tidak menerima adanya fungsi pengujian semacam itu

sama sekali. Pengalaman di berbagai negara di dunia memperlihatkan bahwa

tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu negara ke negara yang lain.

Bagi Indonesia kehadiran lembaga MK ini dimulai dan muncul pada saat

adanya perdebatan tentang impeachment yang mengiringi perdebatan

pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid, oleh karena itu maka Pasal 7A

dan Pasal 7B UUD 1945 tentang pemberhentian Presiden terpisah dengan

rumusan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 mengenai kewenangan MK45.

45 Pasal 7 A berbunyi : “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum…………..”. dan Pasal 7 B berbunyi : “ bahwa usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada

31

Page 32: Judicial Review uu ky

Adanya perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dalam

perspektif UUD 1945 yang ditandai dengan lahirnya lembaga MK,

menunjukkan adanya keseriusan pemerintah dalam melembagakan MK

sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan pengujian konstitusional yang

sekaligus menjadi lembaga control atau pengawas terhadap penyelenggaraan

Negara atau pemerintahan atau sebagai lembaga yang mengemban prinsip

checks and balances. Asas atau prinsip checks and balances yang melahirkan

lembaga MK dimaksudkan berfungsi untuk menegakkan konstitusionalisme,

karena pada satu pihak hukum harus dapat membatasi kekuasaan (agar tidak

menjadi sewenang-wenang), dan pada pihak lain bahwa kekuasaan merupakan

suatu jaminan bagi berlakunya hukum, oleh karena hukum bukanlah

merupakan kaidah-kaidah yang dengan sendirinya mempunyai kekuatan

berlaku.

Disisi lain, bahwa dengan lahirnya lembaga MK menjadi titik balik

tumbuh dan berkembangnya negara hukum modern, yang mengusung prinsip

perlindungan segenap bangsa, mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa dan

ikut serta dalam perdamaian atau ketertiban dunia yang merdeka, bersatu

berdaulat adil dan makmur.

Berangkat dari gambaran tersebut diatas, maka dapat penulis simpulkan

bahwa kehadiran lembaga MK menurut UUD 1945 tidak hanya berfungsi

sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang,

tetapi juga berfungsi sebagai pengawal konstitusi, sebagai penafsir konstitusi,

MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan meutus pendapat DPR………………..”

32

Page 33: Judicial Review uu ky

sebagai penegak demokrasi, dan sebagai penjaga hak asasi manusia (HAM).

Untuk lebih jelasnya bagaimana dan seperti apa struktur, fungsi dan

kedudukan lembaga MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam

perspektif UUD 1945, penulis jelaskan pada sub bab pembahasan berikut ini.

Fungsi Mahkamah Konstitusi

Gagasan pembentukan lembaga MK adalah tidak lain merupakan

dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan system ketatanegaraan

Indonesia yang lebih baik. Menurut Fatkhurohman, et al. (2004) bahwa paling

tidak ada 4 (empat) hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam

pembentukan lembaga MK, yaitu :

a. Merupakan implikasi dari paham konstitusionalisme

b. Mekanisme check and balances

c. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan

d. Prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia46.

Dalam UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, tidak terdapat rumusan tentang fungsi MK, tetapi dalam

Penjelasan Umum UU MK tersebut dijelaskan bahwa fungsi MK adalah untuk

mewujudkan Negara hukum dan demokrasi.

Berdasarkan pada fungsi lembaga MK tersebut, ada beberapa unsur

tentang penegakan konstitusi atau konstitusionalisme yang sangat relevan

46 Fatkfurohman, et.al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditia Bhakti, Bandung, 2004, hal, 77.

33

Page 34: Judicial Review uu ky

kaitannya dengan fungsi MK yang dikemukakan oleh Andrews sebagaimana

dikutip oleh Abdul Latif (2007), yaitu :

a. The general goals of society or general acceptance of the same

philosophy of government (kesepakatan tentang tujuan atau cita-

cita bersama tentang pemerintahan) ;

b. The rule of law or the basis of government (kesepakatan tentang

Negara hukum sebagai landasan pemerintahan atau

penyelenggaraan negara) ;

c. The form of institutions and procedures (kesepakatan tentang

bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan)47.

Dari pemahaman tersebut, maka fungsi MK dalam system ketatanegaraan

Indonesia dalam perspektif UUD 1945, dapat dilakukan melalui penedekatan

dimaksud. Dan hal ini dapat terwujud manakala fungsi MK sejalan dengan

tujuan Negara sebagai cita hukum yang telah digariskan dalam Pembukaan dan

diaktualisasikan ke dalam UUD 1945, sebagai kesepakatan bersama

sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa fungsi

MK adalah untuk menegakkan konstitusi atau UUD 1945 sebagai supreme

dalam system ketatanegaraan Indonesia. Fungsi penegakan konstitusionalisme

adalah selain pembatasan kekuasaan juga untuk mengatur hubungan antara

warga Negara dan organ Negara, agar kekuasaan pemerintahan berjalan dengan

47 Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007, hal, 128.

34

Page 35: Judicial Review uu ky

tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian

dengan mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam masyarakat, salah

satunya melalui pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD

guna untuk menegakkan konstitusi (sebagaimana diamanahkan kepada

lembaga MK).

Disamping fungsi-fungsi sebagaimana tersebut diatas, dalam konteks

fungsi MK untuk mewujudkan Negara hukum demokratis, maka terdapat

beberapa fungsi lain sebagai berikut : Fungsi sebagai penafsir konstitusi,

Fungsi sebagai penjaga hak asasi manusia, Fungsi sebagai pengawal konstitusi,

Fungsi sebagai penegak demokrasi.

G. Mahkamah Konstitusi Sebagai The Guardian Of The Constitution.

Di zaman modern ini, hampir semua negara mengklaim dirinya sebagai

negara demokrasi. Meskipun pada kenyataannya, demokrasi dipraktikkan

secara tidak sama di masing-masing negara akibat persinggungan universalitas

demokrasi dengan nilai-nilai lokal. Dari segi praktik bisa saja berbeda, akan

tetapi ciri utama yang harus ditunjukkan untuk dapat disebut sebagai negara

demokrasi adalah sama yaitu dianutnya prinsip kedaulatan rakyat dalam sendi-

sendi pengaturan negara. Artinya, negara memosisikan rakyat pada posisi

esensial dalam pengelolaan negara, bahkan menyerahkan kepada rakyat untuk

mengambil keputusan-keputusan politik dalam hidup bernegara.

35

Page 36: Judicial Review uu ky

Namun demikian, model penyerahan kekuasaan negara kepada rakyat

dipandang menjadi salah satu kelemahan demokrasi. Akibatnya sering

disebutkan bahwa kelemahan inherent demokrasi ialah menyandarkan penuh

pada suara rakyat, melalui praktik suara “mayoritas rakyat” sebagai suatu

kebenaran. Padahal, suara mayoritas belum tentu merupakan suatu kebenaran,

dan bahkan di waktu tertentu, suara mayoritas menjadi titik balik demokrasi

karena menafikkan suara minoritas. Hal ini yang berpotensi menimbulkan

peluang terjadi tirani mayoritas, yang diiringi oleh terjadinya mobokrasi atau

anarki yang sangat bertentangan dengan hakikat dan tujuan demokrasi.

Untuk menutup kelemahan itu, maka agar demokrasi tak bergerak liar dan

anarkhis, diperlukan penyeimbang. Demokrasi yang mengedepankan prinsip

kedaulatan rakyat diberi imbangan nomokrasi yang mengedepankan

kedaulatan hukum. Dengan demikian, demokrasi dilaksanakan dalam koridor

hukum untuk memastikan bahwa praktiknya benar-benar mengarah pada

tujuan yang disepakati. Sebaliknya, agar hukum menjadi acuan, dasar, dan

kerangka demokrasi, maka hukum dibuat secara demokratis sebagai buah atas

kehendak rakyat. Itu sebabnya, negara demokrasi pada dasarnya adalah negara

hukum, tetapi sebaliknya, negara hukum belum tentu negara demokrasi.

Negara hukum dikonstruksi oleh jalinan bangunan-bangunan hukum yang

berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi negara. Kedudukan

Konstitusi sebagai hukum tertinggi diperoleh sebagai konsekuensi sifat

demokratis dari konstitusi itu sendiri. Konstitusi adalah kesepakatan luhur

yang dibuat dan diterima oleh warga bangsa sehingga di dalam konstitusi

36

Page 37: Judicial Review uu ky

itulah nilai-nilai demokrasi bersemayam. Dengan begitu, demokrasi adalah

gagasan dasar yang melandasi konstitusi, sementara, konstitusi merupakan

dasar legitimasi dari demokrasi.

Relasi demokrasi dan konstitusi di suatu negara diyakini akan dapat

melahirkan negara demokrasi konstitusional, yakni negara hukum yang

demokratis sekaligus negara demokrasi berdasar atas hukum. Guna

mewujudkan negara demokrasi konstitusional, maka diperlukan mekanisme

untuk menjaga dan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi. Di

Indonesia, kewenangan konstitusional menjaga dan mengawal konstitusi

diberikan oleh Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Tulisan ini

dimaksudkan untuk mengemukakan peran MK dalam menjaga dan mengawal

konstitusi dalam sistem demokrasi Indonesia.

Pembentukan MK di Indonesia

Secara sporadis, gagasan pembentukan MK diakomodir dan dibentuk oleh

konstitusi-konstitusi modern di berbagai negara sebagai fenomena

ketatanegaraan baru. Di negara-negara yang menganut supremasi konstitusi,

MK menjadi keniscayaan untuk menjamin konstitusionalitas konstitusi itu

sendiri. Di negara-negara demokrasi belia di Amerika Tengah dan Amerika

Selatan serta negara-negara eks komunis di Eropa Timur, MK diadopsi secara

sadar bahkan dijadikan simbol untuk membebaskan dari ikatan lama

kekuasaan rezim otoritarian menuju rezim demokrasi. Dalam konteks tersebut,

MK diposisikan sebagai bagian dari paket reformasi konstitusi negara

37

Page 38: Judicial Review uu ky

bersangkutan. Indonesia adalah contoh terdekat, dimana MK dibentuk pasca

rezim Orde Baru yang adopsi gagasannya mengemuka di tengah-tengah proses

amandemen konstitusi. KArena itu pula, Indonesia menjadi negara ke-78 di

seluruh negara di dunia, yang konstitusinya mengakomodir keberadaan MK.

Di Indonesia, gagasan dan pemikiran mengenai pembentukan MK, telah

muncul sebelum Indonesia merdeka. Mohammad Yamin, dalam sidang

BPUPK mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (sebutan untuk

Mahkamah Agung) diberi wewenang "membanding" undang-undang. Namun

usulan Yamin didebat oleh Soepomo dengan dua alasan sekaligus, pertama,

secara prinsip ketatanegaraan, UUD yang sedang disusun saat itu tidak

menganut paham trias politika (pemisahan kekuasaan) melainkan konsep

pembagian kekuasaan. Selain itu tugas hakim adalah menerapkan undang-

undang bukan menguji undang-undang. Kewenangan hakim untuk melakukan

pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Kedua, secara teknis operasional, pada saat itu

jumlah sarjana hukum belum banyak dan belum memiliki pengalaman

mengenai hal ini. Perdebatan tidak berlanjut, dan Yamin meminta

pembicaraan tentang hak menguji materil undang-undang ditunda saja.

Argumen Soepomo tersebut mengakhiri perdebatan mengenai pembentukan

pengadilan konstitusi. Akhirnya ketika rancangan konstitusi itu disahkan

sebagai UUD 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

pada 18 Agustus 1945, ide pengujian UU terhadap UUD yang diusulkan

Yamin tidak diakomodir.

38

Page 39: Judicial Review uu ky

Pada awal-awal Orde Baru, pernah juga dipikirkan melalui MPRS untuk

membuka peluang bagi pengujian peraturan perundang-undangan. Tetapi

gagasan tersebut kandas ketika Pemerintah menolak usul MPRS itu. Setelah

itu, tepatnya setelah Orba jatuh, gagasan Mohammad Yamin meruak kembali

pada proses amandemen UUD 1945. Ide pembentukan MK mengemuka pada

masa sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP

MPR), pada Maret-April tahun 2000. Pada awalnya, gagasan yang

berkembang MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan

kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan

atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan

undang-undang. Usulan alternatif lainnya, agar MK diberi kewenangan

memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara,

antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah

daerah.

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya sejarah MK di Indonesia

dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam

Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001.

Persetujuan atas pembentukan MK dilandasi setidaknya oleh beberapa alasan

berikut. Pertama, kenyataan empiris menunjukkan bahwa suatu keputusan

sedemokratis apapun dibentuk, termasuk produk hukum yang dihasilkan

lembaga legislatif, berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi. Oleh

karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitasnya

terhadap UUD. Kedua, potensi sengketa antarlembaga negara diprediksi akan

39

Page 40: Judicial Review uu ky

meningkat karena bertambahnya jumlah lembaga negara pasca perubahan

UUD 1945. Sementara, perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada

supremasi konstitusi menyebabkan tidak adanya lagi lembaga tertinggi yang

berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karenanya,

diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Ketiga, pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR

pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001 merupakan preseden buruk yang tidak

boleh terulang. Oleh karenanya dianggap perlu mekanisme hukum proses

impeachment presiden (dan/atau wakil presiden) agar tidak didasarkan alasan

politis semata. Untuk itu, perlu lembaga negara yang berkewajiban menilai

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden (dan/atau wakil presiden)

yang dapat menyebabkan presiden (dan/atau wakil presiden) dapat

diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.

PUU dalam Sistem Demokrasi

Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi ikon penting hasil amandemen UUD

1945. Sebagaimana halnya pembentukan MK di berbagai negara, alasan

terbesar yang mendasari diakomodirnya MK dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia ialah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dihasilkan

oleh lembaga-lembaga politik meskipun dibentuk secara demokratis,

berpotensi menyimpan muatan kepentingan yang tidak sejalan dengan

ketentuan konstitusi. Alasannya sederhana. sebagai produk dari lembaga

politik boleh dipastikan di dalamnya bukan lain merupakan manifestasi dari

kepentingan-kepentingan politik. Hal demikian wajar, namun masalahnya

40

Page 41: Judicial Review uu ky

adalah ketika kepentingan-kepentingan dalam peraturan perundang-undangan

itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam konstitusi.

Untuk menentukan suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau

tidak dengan konstitusi, diperlukan lembaga yang berwenang mengujinya.

Ketiadaan akan lembaga ini mengakibatkan berlakunya produk-produk hukum

yang bertentangan dengan konstitusi tanpa ada yang mampu menjangkau.

Kondisi demikian secara langsung maupun tidak akan merenggut hak

konstitusional warga negara, padahal hak itu sudah sedemikain tegas dijamin

oleh konstitusi. Atas dasar itu dibentuklah MK, untuk ‘membatalkan’ produk

hukum yang keluar dari koridor UUD 1945, sehingga hak-hak konstitusional

warga negara terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Fungsi dan peran MK menjaga dan mengawal konstitusi terlembaga dalam

Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK memiliki empat

kewenangan konstitusional dan satu kewajiban konstitusional, yaitu:

a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945

b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara kewajiban konstitusional yang didasarkan pada Pasal 7 Ayat

(1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C Ayat (2) UUD 1945 ialah memberi

keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah

41

Page 42: Judicial Review uu ky

melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi

syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

UUD 1945.

Dari perspektif demokrasi, keempat kewenangan dan satu kewajiban

konstitusional tersebut memiliki peran strategis dalam pengembangan dan

penguatan demokrasi di Indonesia. Mekanisme pengujian undang-undang

terhadap UUD 1945 merupakan upaya paling absah untuk menjamin dan

memastikan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi

penuntun penyelenggaraan negara selaras dan tidak bertentangan dengan UUD

1945.48 Judicial review merupakan hak uji (toetsingrechts) baik secara materiil

maupun formil yang diberikan kepada hakim atau lembaga peradilan untuk

menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh

eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan peraturan perundangan yang

lebih tinggi derajat dan hierarkinya. Denganbegitu, judicial review bekerja

atas dasar adanya peraturan perundang-undangan yang tersusun hierarkis.

Pengujian biasanya dilakukan terhadap norma hukum secara a posteriori,

kalau dilakukan secara a priori disebut judicial preview sebagaimana misalnya

dipraktekkan oleh Counseil Constitusional (Dewan Konstitusi) di Prancis.

Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MK menguji undang-

undang terhadap UUD, artinya yang diuji bukan rancangan undang-undang

48 Selain pengujian UU terhadap UUD, amandemen UUD 1945 menguatkan juga pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan ini diberikan kepada MA seperti yang telah diatur sebelumnya di dalam TAP MPR/III/1978 dan UU No. 14 Tahun 1970.

42

Page 43: Judicial Review uu ky

melainkan undang-undang yang sudah berlaku karena secara formil sudah

diundangkan (promulgated).49

Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD dinilai telah

merobohkan doktrin supremasi parlemen yang sebelumnya menjadi

paradigma dasar UUD 1945 dan menggantikannya dengan ajaran supremasi

Konstitusi. Dengan begitu, undang-undang produk lembaga legislatif bisa

dipertanyakan konstitusionalitasnya oleh setiap warga negara yang merasa hak

konstitusionalnya dilanggar oleh keberlakukan undang-undang tersebut.

Artinya sekarang, undang-undang harus sejalan, selaras, dan tunduk pada

UUD, sehingga pembuat undang-undang tidak dapat sesuka hati dalam

membuat undang-undang.

Dalam pemahaman yang leboh sederhana, mekanisme judicial review

adalah bagaimana caranya memaksa pembentuk undang-undang agar taat

kepada konstitusi, agar mereka tidak membuat undang-undang yang

bertentangan dengan undang-undang dasar. Apalagi jika melihat perspektif

historis konstitusi yang merupakan perjuangan manusia untuk mendapatkan

jaminan dan perlindungan akan basic right-nya, maka jika ternyata terdapat

undang-undang (atau peraturan lain di bawahnya) melanggar hak-hak dasar

maka undang-undang itu harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.

49 Meskipun pada perkembangan praktiknya, MK dapat menguji Perppu. Hal ini ditegaskan MK melalui putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan Nomor 145/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

43

Page 44: Judicial Review uu ky

Pengujian undang-undang merupakan kewenangan MK, yang antara lain

untuk menyeimbangkan anutan negara hukum dan negara demokrasi.

Demokrasi secara mutlak membutuhkan hukum agar berjalan sesuai dengan

arah dan tujuannya, tidak liar dan anarkhis. Untuk itu, hukum hendaknya juga

harus dibuat secara demokratis, baik dari aspek prosedur maupun aspek

substansi. Melalui kewenangan menguji undang-undang, MK berperan

sebagai salah satu aktor penting bagi tegaknya negara hukum yang demokratis

dan nnegra demokrasi berdasarkan hukum. PEngujian undang-undang oleh

MK memungkinkan penguatan demokrasi, terutama dalam hal perlindungan

hak asasi manusia, mengingat di masa lalu, demokrasi kerap dikerangkeng

oleh legitimasi undang-undang, yang meskipun secara prosedur

pembentukannya boleh dikatakan demokratis tetapi secara substansial,

materinya merenggut hak konstitusional dan bertentangan dengan UUD. Atas

dasar itu pula, MK bertindak selaku pelindung hak konstitusional warga

negara dan penjaga norma-norma konstitusi dari ‘penelikungan’ pihak-pihak

tertentu, terutama dalam proses pembuatan undang-undang di DPR.

Putusan Meneguhkan Demokrasi

Beberapa putusan pengujian undang-undang yang diyakini lahir dari

progresifitas MK dalam mendukung upaya mendorong demokrasi telah

terlihat dalam beberapa putusan. Terkait dengan itu, MK membuktikan diri

berani mengetokkan palu keras-keras untuk turut memperbaiki pembangunan

politik dan penegakan hukum. Kalimat memperbaiki pembangunan politik

44

Page 45: Judicial Review uu ky

tentu sejalan pula dengan ikhtiar mengawal sistem demokrasi, dalam arti turut

mendorong penguatan demokrasi.

Apabila dirunut, MK telah beberapa kali membuat terobosan hukum

melalui putusan-putusannya untuk meneguhkan sistem demokrasi. Beberapa

tahun silam, MK telah menyatakan pasal-pasal penghinaan kepada presiden

dan pasal-pasal pidana ketertiban umum (hatzaai artikelen) dalam KUHP

bertentangan dengan UUD 1945. Pasal-pasal penghinaan presiden dibatalkan

karena dapat mengekang kebebasan, membungkam kekritisan dan

menghambat demokrasi. Menurut MK, Indonesia sebagai negara hukum yang

demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung

tinggi hak asasi manusia tidak relevan lagi jika KUHPidananya masih memuat

pasal-pasal yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi

kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi,

dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap

pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan

untuk menghambat proses demokrasi, khususnya akses bagi jabatan-jabatan

publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.50

Demikian juga dengan Putusan MK mengenai Pasal 60g UU Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang patut

diacungi jempol. Pasal ini melarang warga yang pernah menjadi anggota

50 Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

45

Page 46: Judicial Review uu ky

Partai Komunis Indonesia (PKI) dipilih sebagai calon anggota legislatif. MK

kemudian membatalkannya dengan pertimbangan pasal tersebut bersifat

diskriminatif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin

konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan bahwa UUD 1945

melarang adanya diskriminasi berdasarkan agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan

politik.51 Banyak kalangan dibuat terkejut terhadap putusan ini, namun itu

tidak mengurangi kualitas putrusan itu sebagai putusan progresif. Dikatakan

demikian karena, putusan itu menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia

dan menjadi titik terang bagi proses komprehensif bagi pencapaian proses

rekonsiliasi atas suatu periode penting dalam sejarah Indonesia. Putusan itu

menjadi spirit bahwa semua politik diskriminasi, yang menjadi musuh besar

demokrasi, harus diakhiri. Putusan ini bersejarah dan menjadi sebuah

landmark decision karena merehabilitasi hak pilih orang-orang eks PKI yang

bagaimanapun juga adalah salah satu elemen bangsa.

Putusan lain yang turut menunjukkan kontribusi bagi konsolidasi

demokrasi adalah adalah tentang diperbolehkannya calon independen dalam

pemilihan kepala daerah. MK membatalkan Pasal 56 ayat 1, 2 dan 3 UU

Nomor 32 Tahun 2004 karena bertentangan dengan UUD 1945 karena hanya

memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan

menutup hak konstitusional calon perseorangan.52 Ini membuka peluang baru

bagi calon non partai untuk dipilih. Selain menghargai hak semua warga untuk

51 Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003.52 Putusan Nomor 5/PUU-V/2007.

46

Page 47: Judicial Review uu ky

dipilih, putusan ini akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi terutama

demokratisasi lokal.

Begitu juga dengan putusan MK tentang calon terpilih adalah calon

dengan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Putusan MK menghapus

sistem nomor urut untuk menentukan anggota legislatif dalam pemilu dengan

menyatakan, Pasal 214 huruf a,b,c,d dan, e UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,53 merupakan

kontribusi penting dalam mendukung konsolidasi demokrasi. Maka penentuan

calon terpilih harus didasarkan pada calon legislatif yang mendapat suara

terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang

telah ditetapkan.

Putusan tersebut berimplikasi tidak saja bagi calon aggota legislatif tetapi

juga bagi rakyat. Bagi calon anggota legislatif, setiap calon anggota legislatif

mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum. Bagi

rakyat, pemberlakuan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih

berdasarkan nomor urut berarti memasung suara rakyat untuk menentukan

pilihan. Sistem ini membuat rakyat secara bebas memilih dan menentukan

calon anggota legislatif. Sesuai konstitusi negara ini, kedaulatan tertinggi

berada di tangan rakyat. Rakyat adalah subyek utama dalam prinsip

kedaulatan rakyat sehingga tidak boleh lagi hanya ditempatkan semata-mata

sebagai obyek.

53 Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008.

47

Page 48: Judicial Review uu ky

Putusan progresif lainnya adalah pada putusan MK mengenai perselisihan

hasil pilkada Jawa Timur.54 MK keluar dari belenggu undang-undang yang

tidak bisa mengantarkan pada keadilan saat MK mengadili. Menurut UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak ada pemilu kepala

daerah yang bisa diulang, kecuali disebabkan oleh bencana alam. Lagi pula,

tidak ada kewenangan bagi MK memerintahkan pemungutan suara ulang

maupun penghitungan ulang karena hal itu menjadi wewenang KPUD dan

Bawaslu. Tetapi ketika perkara itu masuk ke MK, dan MK tidak bisa

menghukum karena hanya menghitung dokumen, padahal jelas-jelas dokumen

itu merupakan produk dari pelanggaran, lantas apa gunanya ada MK? Pada

kasus ini MK berani melanggar undang-undang namun disertai sederet

argumentasi hukum yang kuat. Jangankan melanggar, membatalkanpun bisa

kalau memang hukum dirasa tidak memberikan keadilan. Artinya, MK tak

segan mencari jalan keadilan sendiri karena MK memang diharuskan untuk

kreatif menemukan keadilan meskipun harus melanggar undang-undang.

Hakim harus bisa menjadi penemu hukum, jadi, sangat baik jika MK hendak

mewujudkan fungsi pengadilan dalam tataran yang progresif.

Yang juga menarik adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009,

tentang Pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden yang diantaranya membolehkan kartu tanda

penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng dalam Pemilu presiden 2009.

Putusan ini mendapat apresiasi tersendiri dari Satjipto Rahardjo dengan

54 Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

48

Page 49: Judicial Review uu ky

kalimat: Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh

kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan

bangsa dari situasi yang gawat.55 Putusan ini diambil setelah mencuat isu

kemungkinan pemilu akan ditunda bahkan juga karena ada calon presiden siap

mengundurkan diri. Inilah usaha monumental MK dalam upaya

menyelamatkan bangsa.

Satjipto menyebut bahwa melalui putusan itu, MK telah memberi

pelajaran berharga tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim

tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual karena

tergugah nasionalismenya sehingga mempraktikkan cara berhukum yang

progresif. Sesuatu yang pasti, MK tidak hanya memutus berdasar teks undang-

undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi

dengan seluruh kapasitas nuraninya seperti empati, kejujuran, dan keberanian.

Dengan bekal itu, sudah tepat adanya sikap dan progresifitas MK selama ini,

dan ke depan MK harus terus melakukan rule breaking,56 manakala hukum

yang ada menghalangi tercapainya keadilan, termasuk yang menghalangi

demokrasi.

55 Satjipto Rahardjo, Tribut untuk Mahkamah Konstitusi, Kompas 14 Juli 2009.56 Ibid.

49

Page 50: Judicial Review uu ky

BAB II

PEMBAHASAN

KAJIAN KASUS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH

KONSTITUSI, PUTUSAN MK NO 005/PUU-IV/2006: Uji Materiil

Undangundang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).

A. Tentang Pemohon dan Legal Standing

Pemohon dalam uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004

tentang Komisi Yudisial (UU KY) ini adalah 31 orang Hakim Agung.

1) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon (Pasal 51 ayat (1) UU

MK).57

57 Ibid.

50

Page 51: Judicial Review uu ky

Pasal 51 ayat (1) UU MK telah menentukan tentang siapa subyek

hukum yang memiliki legal standing untuk dapat mengajukan

permohonan pengujian Undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu:

a) perorangan warga negara Indonesia (WNI) termasuk kelompok

orang yang mempunyai kepentingan sama; atau b) kesatuan

masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; c) badan

hukum publik atau privat; d) lembaga negara, yang menganggap hak

dan/atau kewenangan konstitusionalnya (menurut penjelasan, “hak

konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”)

dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon wajib

menguraikan dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan

konstitusional yang dianggap dirugikan tersebut dalam

permohonannya (Pasal 51 ayat (2) UU MK).

Berdasarkan ketentuan hukum mengenai Legal Standing pemohon yang

tercantum pada Pasal 51 ayat (1) UU MK maka pemohon memiliki legal

standing.

B. Tentang pasal-pasal suatu Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas pada: Pasal 1 Angka 5, Pasal 20, Pasal

21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3),

Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan Pasal

51

Page 52: Judicial Review uu ky

34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

(UU KK).

C. Tentang Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga yang diberi kekuasaan

menguji konstitusional atau tidaknya suatu undang-undang atau untuk

membatalkan keabsahan suatu undang-undang yang tidak konstitusional,

kewenangan mana diberikan sebagai fungsi eksklusif kepada Mahkamah

Konstitusi sebagai sebuah pengadilan konstitusi yang dilembagakan secara

khusus.58

Kewenangan lain Mahkamah Konstitusi, dimana sesuai dengan bunyi

pasal 24C Amandemen ke IV UUD 1945, yang menyatakan ada enam poin

yang berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi, yaitu :

1. Yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Memutus

Pembubaran Partai Politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan agar pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

3. Mahkamah Konstitusi wajib mempunyai sembilan orang anggota. Hakim

Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing

58Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara, Fakultas Hukum Universitas Satyagama, Jakarta: 2007, hal. 148-149.

52

Page 53: Judicial Review uu ky

tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan

Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim

Konstitusi.

5. Hakim Konstitusi harus memiliki Integritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,

serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

6. Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Konstitusi, hukum acara serta

ketentuan-ketentuan lainnya tentang Mahkamah Kontitusi diatur dengan

Undang-Undang.59

Dengan adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi ini bagaimana akibat

hukumnya terhadap struktur ketatanegaraan pasca amandemen Undang-

Undang Dasar 1945 menarik pula untuk dilakukan pengkajian. Dikatakan

demikian karena bila ditinjau dari aspek wewenang Mahkamah Konstitusi

untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya

diberikan oleh pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan

pranata baru dalam sistem Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian

kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi ini akan berpengaruh pula

terhadap kedudukan dan hubungan antara lembaga negara sehingga berakibat

pula kepada tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara.60

59Lihat lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi.

60 Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007, hal. 8.

53

Page 54: Judicial Review uu ky

Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan:

Pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan

konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, Mahkamah

Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan

dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung

jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah

Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan

mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.61

D. Tentang Alasan-alasan Pemohon: kerugian hak-hak konstitusional.

Alasan-alasan yang dikemukakan pemohon mengenai hak

konstitusionalnya yang dilanggar adalah sebagai berikut:62

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,

“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai

wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”

yang apabila dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain,

maka menurut para Pemohon, bermakna bahwa KY mempunyai

kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,

61 Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka, Jakarta: 2006, hal. 163-164.

62 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal 1 Angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 21, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 25 ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

54

Page 55: Judicial Review uu ky

keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka

melaksanakan kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan

hakim agung;

b. Menurut para Pemohon, kewenangan lain KY tidak menjangkau hakim

agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya para hakim

dari lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, karena untuk

menjadi hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak

seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding, bahkan

juga tidak menjangkau hakim ad hoc. Hal ini diperkuat oleh ketentuan

Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi: ”Syarat-syarat untuk menjadi dan

untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-

undang”.

c. Menurut para Pemohon, perluasan makna “hakim” dalam Pasal 24B

ayat (1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal UU KY

lainnya yang terkait, serta Pasal 34 ayat (3) UU KK bertentangan

dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal, yaitu lex certa,63

lex stricta,64 dan lex superiori derogat legi inferiori;65

d. Menurut para Pemohon, pengawasan oleh KY terhadap para hakim

agung, dengan memanggil mereka atas beberapa kasus yang telah

diadilinya, bertentangan dengan prinsip independensi peradilan dan

para hakim agung yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945; 63 lex certa: suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau

ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan.64 lex stricta: suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan

selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.65 lex superiori derogat legi inferiori: suatu peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

55

Page 56: Judicial Review uu ky

e. Secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau

hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap

para hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA,

sehingga menurut para Pemohon, Pasal 20 UU KY bertentangan

dengan UUD 1945;

f. Usul pemberhentian para hakim agung telah diatur dalam Undang-

Undang MA dan usul pemberhentian para hakim Mahkamah Konstitusi

telah diatur dalam UU MK yang tidak memerlukan campur tangan KY,

sehingga menurut para Pemohon, Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat

(3), serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)

UU KY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD

1945;

g. Para Pemohon dalam petitumnya mohon Mahkamah Konstitusi

menyatakan pasal-pasal UU KY dan undang-undang di atas

bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat.

E. Alasan-alasan Pemerintah/DPR RI dan Komisi Yudisial.

a. Pemerintah66

Dalam keterangannya Pemerintah menjelaskan bahwa KY adalah

lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku

kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman. KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan

hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan

66 Keterangan tertulis Pemerintah untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.

56

Page 57: Judicial Review uu ky

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal

ini merupakan kehendak kuat dari pembuat undang-undang agar dapat

terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan

independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan

lainnya. KY tidak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang dilakukan

pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

b. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia67

Dalam keterangannya DPR menjelaskan bahwa Pasal 1 angka 5

UU KY berkaitan dengan perluasan pengertian hakim, termasuk hakim

agung, awalnya diusulkan oleh Pemerintah dalam Daftar Inventaris

Masalah (DIM)-nya, sedang dalam RUU yang menjadi inisiatif dewan

sebenarnya tidak seperti itu, sehingga kemudian perubahannya

berbunyi, ”hakim adalah hakim agung pada Mahkamah Agung dan

hakim pada semua badan peradilan di bawahnya”.

Dalam rapat dengar pendapat umum antara lain dari LSM,

memberikan masukkan yang intinya adalah bahwa KY itu adalah

lembaga independen yang sifatnya pengawasan eksternal, sedangkan

pengawasan internal dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri, hal

mana berkaitan dengan semangat dan kehendak kita bersama untuk

menghadirkan dan menciptakan kehormatan, keluhuran martabat para

hakim.

67 Keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.

57

Page 58: Judicial Review uu ky

Kata menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim dalam

Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 diwujudkan dalam pengawasan,

sedangkan kata ”menegakkan” diwujudkan dalam tugas pendisiplinan

atau menjatuhkan sanksi disiplin. Hal itu didasarkan pada semangat

terjadinya checks and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol

di antara lembaga negara yang ada, termasuk terhadap MA.

c. Komisi Yudisial68

Dalam keterangannya Komisi Yudisial menerangkan bahwa para

Pemohon maupun sidang majelis tidak memiliki kewenangan untuk

menilai atau mengoreksi cara perubahan dan isi/ materi pasal-pasal

UUD 1945, sebab semuanya adalah kewenangan MPR dan para

Pemohon telah melangkah jauh melampaui batas kewenangan sidang

Majelis Mahkamah Konstitusi.

Dalam melakukan pengawasan terhadap hakim, Komisi Yudisial

haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B ayat

(1) UUD 1945 yang dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (1) UU KY. Jika

dalam melakukan pengawasan tersebut KY tidak berlandaskan kepada

kekuasaan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1), tentulah

pengawasan itu tidak sah dan sewenang-wenang. Apa yang dilakukan

KY menggunakan pendekatan kekuasaan atau berlandaskan kekuasaan

yang diberikan kepadanya adalah sesuai dengan konsep negara hukum

(rechtsstaat) yang dianut oleh UUD 1945.

68 Keterangan tertulis Komisi Yudisial Untuk Perkara Nomor 005/PUU-IV/2006.

58

Page 59: Judicial Review uu ky

KY juga menjelaskan bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan

KY didasarkan pada UU KY dan Peraturan yang dibuat dan dibentuk

KY berdasarkan delegasi atau atribusi kekuasaan. Jika dikatakan KY

memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan membaca dan

mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, itu hanyalah sebagai pintu

masuk (entry point). Sebab secara universal telah diterima oleh

masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang

hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja

mengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi

perilaku hakim dalam melaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi

korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi masalah nasional

yang perlu diberantas. KY berpendapat objek pengawasan meliputi

seluruh hakim. Tidak terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah

Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5

UU KY.

F. Pertimbangan Haim Konstitusi.

Mahkamah Kontitusi dalam pertimbangannya memberikan

kesimpulan:69

a. Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan

pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi

hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga

permohonan para Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk

selanjutnya, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim

69 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor. 005/PUU-IV/2006.

59

Page 60: Judicial Review uu ky

yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan

terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis

Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UU MK

sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945.

b. Permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian hakim

menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung,

terbukti tidak cukup beralasan. Persoalan yang berkaitan dengan

pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945

meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan

dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Oleh karena itu,

permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak

terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya.

c. Hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah

permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan

mengenai prosedur pengawasan. Mengenai hal ini, Mahkamah

Konstitusi berpendapat bahwa:

1) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai

wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD

1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga

menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU KY yang

menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid);

2) UU KY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur

pengawasan, tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang

60

Page 61: Judicial Review uu ky

mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang

digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan.

Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan mengenai

pengawasan dalam UU KY serta perbedaan dalam rumusan kalimat

seperti dimaksud pada butir (1) menyebabkan semua ketentuan UU

KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan

menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam

pelaksanaannya;

3) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU KY didasarkan

atas paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah

hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan “checks

and balances” antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran

pemisahan kekuasaan (separation of powers), sehingga

menimbulkan penafsiran yang juga tidak tepat, terutama dalam

pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian,

ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY dan

MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat

pencari keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga

dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat

menjadikannya semakin tidak dipercaya.

G. Tentang Putusan MK.

Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan para

pemohon dikabulkan. Akan tetapi untuk pasal 1 angka 5, hanya sepanjang

61

Page 62: Judicial Review uu ky

mengenai kata-kata “hakim konstitusi”, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3),

Pasal 25 ayat (4) sepanjang mengenai kata-kata dan/atau Mahkamah

Konstitusi.

. Segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan harus

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum

(rechtsonzekerheid).

Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi ini pada pokoknya ada

tiga macam. Pertama, menyatakan bahwa pencakupan hakim agung dalam

arti hakim di dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sudah benar dan tidak

bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, pencakupan hakim konstitusi dalam

arti hakim yang dapat diawasi oleh Komisi Yudisial adalah tidak benar dan

bertentangan dengan UUD 1945. Ketiga, beberapa pasal yang terkait dengan

materi dan cara pengawasan hampir seluruhnya dinyatakan batal oleh

Mahkamah Konstitusi sehingga secara praktik sejak saat itu Komisi Yudisial

tidak biasa melakukan kegiatan pengawasan sebagaimana digariskan oleh

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004.70

H. Tentang Disenting Opinion.

Dalam Putusan MK NO 005/PUU-IV/2006: Uji Materiil Undang-undang

Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) ini diputus tanpa

adanya disenting opinion.

70 Mahfud, supra (lihat catatan kaki nomor 14), hal. 103.

62

Page 63: Judicial Review uu ky

BAB III

ANALISA DAN KESIMPULAN

A. Analisa singkat dari penyusun paper

Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dimengerti, karena hal

ini terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa

kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

undang Dasar. Jika hakim Mahkamah Konstitusi temasuk dalam pengertian

hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial, maka kredibilitas

dan legitimasi Mahkamah Konstitusi sendiri dalam memeriksa, mengadili dan

memutus perkara yang melibatkan lembaga Komisi Yudisial dapat

dipertanyakan. Kedua, terlepas dari alasan tersebut, di sini putusan Mahkamah

Konstitusi mengenai status diri para hakim sendiri mencerminkan conflict of

interest dan melanggar ketentuan dalam Pasal 29 ayat (5) dan (6) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang

menyatakan:

Ayat (5): Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak

langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya

sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Ayat (6): Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat

(5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang

bersangkutan dikenakan sanksi administrati atau dipidana berdasarkan

peraturan perundang-undangan.

63

Page 64: Judicial Review uu ky

Hal ini bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua atau nemo

judex indoneus in propia causa yang menyatakan bahwa hakim tidak

memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait

dengan dirinya. Dari putusan ini terkesan Mahkamah Konstitusi enggan untuk

diawasi oleh lembaga eksternal.71 Hal ini juga akan menimbulkan kurangnya

kepercayaan publik terhadap fungsi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi di

sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejauh pandangan penulis Hakim

Mahkamah Konstitusi tidak lagi objektif dalam mengambil putusannya,

karena dalam putusan tersebut Hakim Mahkamah Konstitusi akan lebih

cenderung untuk memihak kepada Lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai

pihak yang terkait dalam pekara tersebut.

Ketiga, fungsi pengawasan hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial

dinilai Mahkamah Konstitusi menimbulkan ketidakpastian hukum dan

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Namun dalam kesimpulan

pertimbangannya Mahkamah Konstitusi tidak menyatakan secara konkrit

bertentangan dengan pasal berapa dari UUD 1945, selain itu ketidakpastian

hukum ini menurut Trisna Yunita dikarenakan ketentuan mengenai

pengawasan perilaku hakim terdapat dalam tiga Undang-undang, yaitu

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman [Pasal 34 ayat (3)], Undang-Undang

Mahkamah Agung [Pasal 32 ayat (2)] dan Undang-Undang Komisi Yudisial

[Pasal 20]. Dalam salah satu pertimbangannya Mahkamah Konstitusi sempat

71 Trisna Yunita, Tinjauan Yuridis terhadap beberapa putusan ultra petita oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Universitas Riau, Pekanbaru : 2009, hal. 103-105.

64

Page 65: Judicial Review uu ky

menyatakan bahwa substansi permohonan yang dimaksud oleh Pemohon

mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara,

yaitu antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Maka, dalam putusannya

Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung menyatakan bahwa fungsi

pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan undang-

undang lainnya yang mengatur masalah pengawasan hakim, bukan

bertentangan dengan undang-undang dasar, dengan demikian menurut penulis,

Mahkamah Konstitusi telah masuk dalam ranah legislative review.72

Dari analasis putusan tersebut, maka penulis menyimpulkan bahwa latar

belakang Mahkamah Konstitusi melanggar asas nemo judex in causa sua

adalah, Pertama, Pemohon dalam uji materiil ini adalah 31 orang Hakim

Agung yang menganggap hak dan kewenangan konstitusional pemohon

dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial. Kedua, Hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi

konstitusi, sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan

konstitusi maka hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan

tersebut. Ketiga, konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus

ada peluang pengujian terhadap peraturan yang di bawahnya agar isi konstitusi

itu tidak dilanggar. Keempat, hakim tidak boleh menolak perkara sehingga

kalau ada yang mengajukan permintaan judicial review, permintaan itu

haruslah dipenuhi.73 Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 Ayat 1, yaitu“Pengadilan tidak

72 Ibid, hal. 106.73 Mahfud, supra (lihat catatan kaki nomor 14), hal. 96-97.

65

Page 66: Judicial Review uu ky

boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang

diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Kelima, asas adalah suatu alam

pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum,

yang konkret dan bersifat umum atau abstrak. Keenam, asas nemo judex in

causa sua adalah asas hukum yang belum konkret dirumuskan dalam

ketentuan hukum maka ia belum dapat dipergunakan secara langsung dalam

peristiwanya.

B. Kesimpulan.

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan yang telah

dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Dalam KAJIAN KASUS PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI, PUTUSAN MK NO

005/PUU-IV/2006: Uji Materiil Undang-undang Nomor 22 Tahun

2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) Mahkamah Konstitusi

melanggar asas nemo judex in causa sua.

2. Istilah asas nemo judex in causa sua adalah Hakim (dalam hal

Hakim Mahkamah Konstitusi) tidak boleh menjadi Hakim dalam

memeriksa dan memutus setiap perkara yang terkait dengan dirinya

sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi. Sejauh ini, belum ada aturan

tertulis mengenai asas nemo judex in causa sua, tetapi asas nemo

judex in causa sua ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 29 Ayat 5.

66

Page 67: Judicial Review uu ky

3. Mahkamah Konstitusi tidak boleh melanggar asas nemo judex in

causa sua dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya

untuk menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Karena asas nemo judex in causa sua adalah merupakan salah satu

asas yang mana merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal

yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkret

dan bersifat umum atau abstrak. Karena itu, harus disadari pula

bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-

nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal

ini dapat dijadikan sebagai pedoman, landasan, dasar, atau asas

bagi Hakim.

4. Latar belakang Mahkamah Konstitusi melanggar asas nemo judex

in causa sua dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor.

005/PUU-IV/2006 : uji materiil Undang-Undang Nomor. 22 Tahun

2004 tentang Komisi Yudisial adalah Pertama, adanya hak dan

kewenangan konstitusional pemohon. Kedua, Hakim bersumpah untuk

menjunjung tinggi konstitusi. Ketiga, konstitusi adalah the

supreme law of the land. Keempat, hakim tidak boleh menolak

perkara yang diajukan kepadanya. Kelima, asas adalah suatu alam

pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi pembentukan

norma hukum, yang konkret dan bersifat umum atau abstrak.

Keenam, asas nemo judex in causa sua adalah asas hukum yang

belum konkret dirumuskan dalam ketentuan hukum maka asas

67

Page 68: Judicial Review uu ky

tersebut belum dapat dipergunakan secara langsung dalam

peristiwanya.

68

Page 69: Judicial Review uu ky

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Latief, Mahkamah Konstitusi dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum

Demokratis, Kreasi Total Media Yogyakarta, 2007.

Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta:

2004.

A.V. Dicey, Introduction to Study of The Law of The Constitution, Ninth Edition,

Macmillan And Co, Limited ST. Martin’s Street, London, 1952.

Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil,

Grasindo, Jakarta, 2004

Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkmah

Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004.

Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai

Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita

I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

69

Page 70: Judicial Review uu ky

-----------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, PT. Bhuana Ilmu  Populer, Jakarta, 2007.

J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta,

1988.

Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur

Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007.

Mexsasai Indra, Komisi Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan

Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS, Pekanbaru: 2007.

Moh. Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, LP3ES, Jakarta: 2007.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1998.

O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan

Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan

Penerbit Kristen, Jakarta, 1970.

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1989.

70

Page 71: Judicial Review uu ky

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia; Sebuah

Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya oleh Pengadilan Dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi

Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1972.

Rahimullah, Hubungan Antar Lembaga Negara, Fakultas Hukum Universitas

Satyagama, Jakarta: 2007.

S.F. Marbun, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia

Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997.

Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII

Press, Yogyakarta, 2001.

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Prestasi Pustaka,

Jakarta: 2006.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

71

Page 72: Judicial Review uu ky

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4359.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4415.

Putusan Mahkamah Konstitusi:

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006.

72