jtptunimus-gdl-kusmantog2-5260-3-bab2.pdf
-
Upload
iqbal-adifatiyan-syach -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
description
Transcript of jtptunimus-gdl-kusmantog2-5260-3-bab2.pdf
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Minuman Sari Tempe (Misape)
Misape adalah suatu produk minuman yang diolah dari bahan baku
tempe kedelai, kemudian ditambahkan bumbu antara lain gula, garam, jahe
dan kayu manis. Sedangkan bahan tambahan pangan yang digunakan adalah
asam benzoat sebagai bahan pengawet, dan CMC sebagai stabilisator. Proses
pembuatannya yaitu dengan mengekstrak tempe, kemudian direbus hingga
mendidih sambil ditambahkan bumbu dan bahan tambahan pangan. Setelah
proses perebusan kemudian dilanjutkan dengan penyaringan dan pengemasan.
Misape adalah bentuk inovasi pengolahan tempe. Masyarakat Indonesia
sebelumnya mengolah tempe dengan cara digoreng (tempe mendoan, tempe
keripik), disayur, ataupun dikukus. Tempe yang dikonsumsi dalam bentuk ini
disebut tempe generasi pertama, karena wujud dan rasanya masih dapat
dikenali oleh masyarakat umum. Sedangkan tempe generasi kedua adalah
produk yang dihasilkan tidak memiliki bentuk dan rasa khas tempe (Astawan,
2008). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
misape termasuk dalam tempe generasi kedua.
a. Bahan Baku
1) Tempe kedelai
Hidayat (2006) menjelaskan bahwa Tempe adalah produk
fermentasi yang sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Tempe dapat
dibuat dari berbagai bahan, diantaranya adalah kedelai. Tempe kedelai
merupakan jenis tempe yang paling dikenal dan paling disukai
masyarakat dibanding jenis-jenis tempe yang lain, misalnya tempe
benguk, tempe gembus, tempe lamtoro atau tempe bongkrek. Suprapti
(2003) menyatakan bahwa kualitas tempe kedelai ditentukan oleh cita
rasa, kelunakan/tingkat kelapukan kedelai, kebersihan, kemurnian, daya
4
tahan, dan kesuburan kapang. Bagan proses pembuatan tempe dapat
dilihat dalam Gambar 1.
KEDELAI
PENCUCIAN
PERENDAMAN
PENGUPASAN
PEREBUSAN
PENIRISAN RAGI TEMPE
PENGEMASAN
PEMERAMAN
TEMPE
Gambar 1. Proses pembuatan tempe kedelai
Sumber : Pembuatan tempe (Suprapti, 2003)
Untuk dapat menghasilkan tempe yang baik, Astawan (2008)
menjelaskan ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a) Faktor sanitasi lingkungan (ruang dan peralatan) yang baik
dan bersih untuk mencegah terjadinya kontaminasi.
5
b) Penambahan ragi dilakukan setelah biji kedelai yang telah
direbus mengalami proses penirisan secara sempurna. Hal ini
penting dilakukan untuk mencegah tertumbuhan bakteri
pembusuk.
c) Pemeraman dilakukan dengan suhu dan waktu terkrontrol.
Enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein kedelai menjadi
asam amino, sehingga nitrogen terlarut meningkat dari 0,5 menjadi 2,5
%. Degradasi protein ini juga menyebabkan peningkatan pH. Nilai pH
tempe yang baik berkisar antara 6,3 – 6,5. Kedelai yang telah
terfermentasi menjadi tempe akan mudah dicerna karena banyak bahan
yang mudah larut. Selain itu, bau langu yang biasa ada dalam kedelai
juga hilang setelah menjadi tempe (Hidayat, 2006). Perbandingan
kandungan gizi kedelai, susu kedelai, dan tempe kedelai, dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi kedelai, susu kedelai, dan tempe kedelai
No Unsur Gizi Kedelai Susu Kedelai Tempe
1. Energi (kal) 331 41 149
2. Air (g) 7,5 87 64
3. Protein(g) 34,9 3,50 18,3
4. Lemak(g) 18,1 2,50 4
5. Karbohidrat (g) 34,8 5 12,7
6. Kalsium (mg) 227 50 129
7. Fosfor (mg) 585 45 154
8. Zat Besi (mg) 8 0,70 10
9. Vitamin A (SI) 110 200 50
10. Vitamin B1 (mg) 1,07 0,08 0,17
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI
6
2) Air
Suprapti (2005) menjelaskan bahwa air yang dipergunakan dalam
proses pengolahan makanan serta minuman, baik yang digunakan secara
langsung (ditambahkan ke dalam produk), maupun tidak langsung
(digunakan dalam proses pencucian dan perendaman), harus memenuhi
persyaratan sebagai air minum. Persyaratan air sebagai air minum antara
lain:
a) Tidak berasa, tidak berwarna, dan tidak berbau.
b) Bersih dan jernih
c) Tidak mengandung logam atau bahan kimia berbahaya
d) Derajat kesadahan nol
3) Gula
Hidayat (2005) mengungkapkan bahwa gula merupakan bahan
tambahan pada pengolahan makanan yang berfungsi untuk memperbaiki
cita rasa sekaligus sebagai bahan pengawet alami dengan tujuan
menghambat bakteri. Gula dalam industri pangan biasanya
menggunakan sukrosa, yaitu gula yang diperoleh dari bit atau gula tebu.
Aspek terpenting dalam penggunaan bahan pemanis dalam minuman
ringan adalah untuk memberikan rasa manis dan memberikan nilai
kalori terhadap minuman tersebut.
4) Garam (NaCl)
Garam khususnya garam dapur (NaCl) akan menghasilkan
pengaruh terhadap bahan pangan, misalnya untuk memperbaiki cita rasa
dan menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk. Mikroba pembusuk,
khususnya jenis proteolitik sangat peka dengan kadar garam rendah,
yaitu kurang dari 6 %. Garam dapat mempengaruhi Aw dari bahan
makanan sehingga mampu menghambat pertumbuhan bakteri (Winarno,
1983).
5) Kayu manis
Kulit manis atau lebih dikenal dengan nama yang kurang tepat
kayu manis (Cinnamomum verum, synonym C. zeylanicum) ialah sejenis
pohon penghasil rempah-rempah. Termasuk ke dalam jenis rempah-
7
rempah yang amat beraroma, manis, dan pedas. Orang biasa
menggunakan rempah-rempah ke dalam makanan yang dibakar manis,
anggur panas.
Kayu manis adalah salah satu bumbu makanan tertua yang
digunakan manusia. Bumbu ini digunakan di Mesir Kuno sekitar 5000
tahun yang lalu, dan disebutkan beberapa kali di dalam kitab-kitab
Perjanjian Lama (http://www.jamitra.com/Kayumanis.htm).
6) Jahe (Zingiber officinale Roxb)
Muhtadi (1992) menerangkan bahwa jahe termasuk ke dalam
family zingiberaceae. Rimpang jahe bercabang-cabang, berwarna putih
kekuningan, dan memiliki serat. Bentuk jahe pada umumnya gemuk
agak pipih dan kulitnya mudah di kelupas. Rimpang jahe berbau harum
dan memiliki rasa pedas. Rimpang jahe dapat dimanfaatkan sebagai
bumbu masak, manisan, minuman, dan obat-obatan tradisional.
b. Bahan Tambahan Pangan
1) Carboxy Methyl Cellulosa (CMC)
Hidayat (2005) menjelaskan bahwa CMC (Carboxymethyl
Cellulose) dalam bentuk murninya disebut gum selulosa, yang terdiri
dari garam-garam kalsium, natrium dan ammonium. CMC merupakan
polielektrolit anionik turunan dari selulosa yang digunakan luas dalam
industri pangan. CMC digunakan dalam bentuk garam natrium
carboxymethyl cellulose sebagai pemberi bentuk, konsistensi, dan
tekstur. CMC juga berperan sebagai pengikat air, pengental, dan
stabilisator emulsi.
2) Asam benzoat
Cahyadi (2008) menyebutkan bahwa asam benzoat (C7H6O2)
sebagai bahan pengawet memiliki bentuk hablur atau jarum putih,
sedikit berbau benzaldehid atau benzoin. Bahan pengawet ini agak
mudah menguap pada suhu hangat dan mudah menguap dalam uap air.
Asam benzoat sulit larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan eter.
Asam benzoat merupakan asam lemah yang mengalami disosiasi
8
tergantung pada pH mediumnya. Molekul yang tidak terdisosiasi
mempunyai efektifitas sebagai pengawet. Pengaruh pH pada disosiasi
asam benzoat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh pH pada disosiasi asam benzoat
pH Asam yang tidak terdisosiasi (%)
3 93,5
4 59,3
5 12,8
6 1,44
7 0,144
pKa 4,19
Sumber : Bahan tambahan pangan (Cahyadi, 2008)
c. Proses pembuatan misape
TEMPE
AIR, GULA, GARAM KAYU MANIS, JAHE CMC, ASAM BENZOAT
BLANCING
PENGGILINGAN
PEREBUSAN
PENYARINGAN
PENGEMASAN
PEMOTONGAN
MISAPE
Gambar 2. Alur proses pembuatan misape
9
2. Bakteri
Winarno (1983) menggolongkan jenis mikroba perusak menjadi tiga
kelompok, yaitu kapang, bakteri dan khamir. Hasil pertanian yang
mengandung pektin, misalnya biji-bijian dan buah-buahan sering dirusak oleh
kapang. Bahan pangan yang mengandung gula tinggi, misalnya anggur, apel
dan nenas mikroba perusaknya adalah khamir. Sedangkan bahan pangan
dengan kandungan protein tinggi, misalnya daging, susu dan telur mudah
dirusak oleh bakteri.
Dwijoseputra (1985) menjelaskan bahwa bakteri termasuk uniseluler,
secara umum tidak berkhlorofil, dan produksi aseksualnya dengan cara
pembelahan sel. Bakteri memiliki ukuran sel sekitar 0,5 - 1,0 um x 2,5 – 5,0
um, dan memiliki tiga bentuk, yaitu batang (bacil), bulat (coccus), dan spiral.
Fardiaz (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah dan jenis mikroorganisme pada makanan dapat dibedakan menjadi
empat, yaitu :
a) Faktor intrinsik
Faktor intrinsik adalah sifat-sifat fisik, kimia dan struktur
makanan yang mempengaruhi populasi dan pertumbuhan
mikroorganisme. Hal-hal yang termasuk dalam faktor intrinsik
adalah sebagai berikut :
1. pH
2. Aktifitas air (aw)
3. Potensi oksidasi-reduksi (O/R, Eh)
4. Kandungan nutrisi
5. Senyawa anti mikroba
6. Struktur biologi
b) Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik adalah kondisi lingkungan penyimpanan yang
mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme pada makanan,
antara lain suhu penuimpanan, kelembaban relatif lingkungan, dan
susunan gas dilingkungan tempat penyimpanan.
c) Faktor implisit
10
Faktor implisit adalah parameter biotik yang mempengaruhi
jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam makanan,
meliputi antagonisme, sinergisme dan sintrofisme. Sinergisme terjadi
setelah adanya senyawa perangsang, sedangkan antagonisme terjadi
setelah adanya senyawa penghambat oleh mikroorganisme lain.
Sintrofisme adalah pertumbuhan antara dua mikroorganisme
sehingga membentuk kondisi nutrisi yang memungkinkan mikroba
lainnya untuk tumbuh. Meskipun mikroba patogen atau pembusuk
terdapat di dalam makanan, bisa tidak terjadi keracunan atau
kebusukan makanan karena pertumbuhannya dihambat oleh reaksi
antagonistik mikroba lainnya (Fardiaz, 1992).
Menurut Gamar (1994) mikroorganisme dapat diklasifikasikan menjadi
tiga kelompok berdasarkan suhu pertumbuhan, yaitu :
a. Psikrofilik
Bakteri jenis psikrofilik dapat tumbuh baik pada suhu di
bawah 20oC, dengan kisaran suhu optimal adalah 10oC – 20oC.
b. Mesofilik
Bakteri mesofilik memiliki suhu pertumbuhan optimal antara
20oC – 45oC.
c. Termofilik
Bakteri termofilik dapat tumbuh baik pada suhu di atas 45oC,
dengan kisaran pertumbuhan optimal 50oC – 60oC.
Winarno (1983) menambahkan bahwa golongan bakteri perusak antara
lain family Pseudomonadaceae, Achromobactericeae, dan Lactobacillaceae.
Genus Pseudomonas dari family Pseudomonadaceae dapat tumbuh pada suhu
rendah (psychrophyllic), dan bersifat proteolitik sehingga dapat menghidrolisa
atau merusak protein. Bakteri genus Acetobacter dari family
Pseudomonadaceae dapat merubah etanol menjadi asam asetat. Selain dapat
membentuk asam, Acetobacter juga dapat memproduksi lendir. Bakteri
pembentuk lendir yang lain adalah Alcaligenes yang dapat hidup pada suhu
rendah dan sering merusak susu.
11
Fardiaz (1989) menjelaskan bahwa bakteri memiliki beberapa fase
pertumbuhan, yaitu :
a. Fase adaptasi
Fase adaptasi adalah fase dimana bakteri menyesuaikan dengan
substrat dan kondisi lingkungan di sekitarnya.
b. Fase pertumbuhan awal
Fase dimana sel bakteri mulai membelah dengan kecepatan
yang masih rendah.
c. Fase logaritmik
Fase dimana bakteri membelah dengan cepat dan konstan.
d. Fase pertumbuhan lambat
Fase dimana zat nutrisi di dalam medium sudah sangat
berkurang dan adanya hasil-hasil metabolisme yang mungkin beracun
atau dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
e. Fase pertumbuhan tetap (statis)
Fase dimana jumlah populasi sel bakteri cenderung stabil,
karena jumlah sel yang hidup hampir sama dengan sel yang mati.
f. Fase menuju kematian dan fase kematian
Fase dimana sebagian populasi bakteri mulai mengalami
kematian karena beberapa sebab, yaitu zat gizi di dalam medium
habis dan energi cadangan di dalam sel juga habis.
Rahayu (2001) menerangkan bahwa analisa total bakteri dalam
bahan pangan dapat menggunakan metode MPN. Berbeda dengan
metode cawan yang menggunakan medium padat (agar), dalam
metode MPN digunakan medium cair di dalam tabung reaksi, dimana
perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung yang positif, yaitu
yang ditumbuhi oleh mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu
tertentu.
Metode MPN biasanya dilakukan untuk menghitung jumlah
mikroba di dalam bahan pangan yang berbentuk cair. Cara melakukan
metode MPN dengan tabung durham dapat dilihat pada Gambar 3.
12
Minuman 10-1 10-2
1 ml 1 ml
9 ml 9 ml
10-1 10-1 10-1 10-2 10-2 10-2 10-3 10-3 10-3
inkubasi inkubasi inkubasi
keruh keruh keruh
Tabel MPN
Gambar 3. Metode MPN
Sumber : Penuntun praktikum mikrobiologi pangan II (Rahayu, 2001)
3. Sifat Organoleptik
Uji organoleptik adalah cara mengukur, menilai atau menguji mutu
komoditas dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia, yaitu mata,
hidung, mulut, dan ujung jari tangan. Uji organoleptik juga disebut pengukuran
subjektif karena didasarkan pada respon subjektif manusia sebagai alat ukur
(Soekarto, 1990).
Dalam penilaian bahan pangan, faktor yang menentukan diterima atau
tidak suatu produk adalah sifat indrawinya. Penilaian indrawi ini ada enam
tahap yaitu pertama menerima bahan, mengenali bahan, mengadakan
klarifikasi sifat-sifat bahan, mengingat kembali bahan yang telah diamati, dan
menguraikan kembali sifat indrawi produk tersebut. Indra yang digunakan
dalam menilai sifat indrawi suatu produk adalah :
a. Penglihatan yang berhubungan dengan warna kilap, viskositas,
ukuran dan bentuk, volume kerapatan dan berat jenis, panjang
lebar dan diameter serta bentuk bahan.
b. Indra peraba yang berkaitan dengan struktur, tekstur dan
konsistensi. Struktur merupakan sifat dari komponen penyusun,
13
tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan
mulut atau perabaan dengan jari, dan konsistensi merupakan
tebal, tipis dan halus.
c. Indra pembau, pembauan juga dapat digunakan sebagai suatu
indikator terjadinya kerusakan pada produk, misalnya ada bau
busuk yang menandakan produk tersebut telah mengalami
kerusakan.
d. Indra pengecap, dalam hal kepekaan rasa , maka rasa manis dapat
dengan mudah dirasakan pada ujung lidah, rasa asin pada ujung
dan pinggir lidah, rasa asam pada pinggir lidah dan rasa pahit
pada bagian belakang lidah (www.petra.ac.id, 2009).
1. Panelis
Rahayu (1998) menjelaskan bahwa untuk melaksanakan
penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam penilaian suatu mutu
atau analis sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagai
instrument atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang
bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subjektif.
Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.
Menurut Soekarto (1985), ada 6 macam panel yang biasa
digunakan dalam penilaian organoleptik, yaitu sebagai berikut :
a. Panel pencicip perseorangan
Pencicip perseorangan juga disebut pencicip tradisional.
Keistimewaan pencicip ini adalah dalam waktu singkat dapat menilai
suatu hasil dengan tepat, bahkan mampu menilai pengaruh macam-
macam perlakuan, misalnya bahan baku dan cara pengolahan. Tetapi
kemampuan pencicip perseorangan hanya terbatas pada komoditas
tertentu, sehingga masing-masing komoditas memerlukan panelis yang
berbeda sesuai dengan keahlian masing-masing.
b. Panel pencicip terbatas
Panel pencicip terbatas terdiri dari 3 sampai 5 orang penilai yang
memiliki kepekaan tinggi. Syarat untuk bisa menjadi panelis terbatas
adalah sebagai berikut :
14
1. Mempunyai kepekaan tinggi terhadap komoditi tertentu
2. Mengetahui cara pengolahan, peranan bahan dan teknik
pengolahan, serta mengetahui pengaruhnya terhadap sifat-
sifat komoditas.
3. Mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-
cara penilaian organoleptik.
c. Panel terlatih
Anggota panel terlatih adalah 15 sampai 25 orang. Tingkat
kepekaan yang diharapkan tidak setinggi panel pencicip terbatas. Panel
terlatih berfungsi sebagai alat analisis, dan pengujian yang dilakukan
terbatas pada kemampuan membedakan. Untuk menjadi seorang
panelis terlatih, maka prosedur pengujian yang harus diikuti adalah :
a. Uji segitiga (triangel test)
b. Uji pembanding pasangan (paired comparison)
c. Uji penjenjangan (ranking)
d. Uji pasangan tunggal (single stimulus test)
d. Panel agak terlatih
Jumlah anggota panel agak terlatih adalah 15 sampai 25 orang.
Panel ini tidak dipilih menurut prosedur pemilihan panel terlatih, tetapi
juga tidak diambil dari orang awam yang tidak mengenal sifat sensorik
dan penilaian organoleptik. Termasuk di dalam panel agak terlatih
adalah sekelompok mahasiswa atau staf peneliti yang dijadikan panelis
secara musiman.
e. Panel tak terlatih
Anggota panel tak terlatih tidak tetap. Pemilihan anggotanya
lebih mengutamakan segi sosial, misalnya latar belakang pendidikan,
asal daerah, dan kelas ekonomi dalam masyarakat. Panel tak terlatih
digunakan untuk menguji kesukaan (preference test).
f. Panel konsumen
Anggota panel konsumen antara 30 sampai 1000 orang.
Pengujiannya mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan
15
sebelum pengujian pasar. Dengan pengujian ini dapat diketahui tingkat
penerimaan konsumen (Soekarto,1985).
2. Jenis Pengujian Ornanoleptik
Rahayu (1998) menerangkan bahwa pengujian organoleptik
memiliki berbagai macam cara yang digolongkan dalam beberapa
kelompok. Berikut adalah jenis pengelompokan untuk menguji sifat
organoleptik :
a. Uji pembedaan
Pengujian organoleptik yang termasuk di dalam uji pembedaan
antara lain sebagai berikut :
1. Uji pembedaan pasangan (paired comparation)
Pengujian ini berfungsi untuk menilai ada atau tidaknya
perbedaan antara dua macam produk. Digunakan untuk
menguji produk baru yang dibandingkan dengan produk
terdahulu yang sudah diterima oleh konsumen.
2. Uji Perbedaan segitiga (triangel test)
Uji perbedaan segitiga digunakan untuk mengetahui
perbedaan yang kecil.
b. Uji hedonik atau uji kesukaan
Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan
pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan, sekaligus
tingkatannya. Tingkat kesukaan itu disebut skala hedonik, misalnya
amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak
suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat tidak suka.
c. Uji mutu hedonik
Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih spesifik untuk
suatu jenis mutu tertentu. Contoh penggunaan uji mutu hedonik
adalah untuk mengetahui rasa buah dalam permen, sifat pera atau
pulen pada nasi, sifat gurih pada kerupuk, dan kelezatan pada daging
panggang (Rahayu, 1998).
3. Syarat pengujian organoleptik
16
Untuk mendukung pelaksanaan uji organoleptik, maka perlu
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Lokasi Laboratorium harus tenang dan bebas polusi
b. Ruang pengujian terbagi 2 : bilik pencicip dan dapur
c. Dinding dicat warna netral
d. Wastafel dilengkapi lap dan sabun
e. Tissue polos non parfum
f. Panelis tidak sedang lapar (www.coolnetters.com, 2009)
4. Penyimpanan Suhu Rendah
Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa suhu rendah di atas suhu
pembekuan dan di bawah 15 0 C efektif dalam mengurangi laju metabolisme.
Kisaran suhu tersebut sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap
penurunan suhu 8 0 C laju metabolisme akan berkurang setengahnya.
Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -2 0 C sampai 10 0 C dapat
memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan karena suhu
rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme, menghambat pertumbuhan
mikroba, mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia, dan hilangnya kadar air
dari bahan pangan (Muchtadi, 1989).
B. Kerangka Konsep
Variabel terkendali : 1. Bahan baku 2. Bahan Tambahan Pangan 3. Waktu pemanasan 4. Suhu pemanasan 5. Suhu penyimpanan
Variabel pengaruh : Waktu penyimpanan 0, 3, 6, 9 dan 12 hari.
Variabel terpengaruh : 1. Total bakteri 2. Organoleptik
Misape
17
C. Hipotesis
Ada pengaruh variasi waktu penyimpanan selama 0, 3, 6, 9, dan 12 hari
terhadap total bakteri dan sifat organoleptik misape.
18