JSM Edisi Lingkungan_Lama

download JSM Edisi Lingkungan_Lama

of 217

description

jurnal sosiologi masyarakat

Transcript of JSM Edisi Lingkungan_Lama

  • DAFTAR ISI

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 1

    Jurnal MASYARAKAT berisi tulisan ilmiah sosiologi yang mencakup perkembangan teori dan metodologi, evaluasi kebijakan sosial dan hasil penelitian.

    TAJUK TOPIK Ricardi S. Adnan Dualistik Lingkungan Hidup dan 3 Lingkungan Sosial

    Francisia SSE. SedaLingkungan Hidup

    di dalam Konteks Dinamika Relasi antara5 Masyarakat, Negara, dan Pasar

    TEORIShanty Novriaty

    Pemetaan Pemikiran dalam 7 Sosiologi Lingkungan

    TOPIKFrancisia SSE. Seda

    25 Lingkungan Hidup dan Pembangunan

    Dody PrayogoDinamika, Sebab dan Peran Negara dalam

    Kon ik antara Korporasi dengan Komunitas Lokal, Studi Kasus pada Industri Geotermal

    34 di Kec. Pangalengan, Kab. Bandung, Jabar

    AdriRepresi Negara dalam Penanganan

    Illegal Logging dan Reposisi Masyarakat 70 Perbatasan Indonesia Malaysia

    Edy SiswoyoPraktik Ramah Lingkungan

    89 Industri Kecil di Jakarta

    TESISAloen Samodro, Involusi Sumberdaya

    136 Pesisir dan Laut

    KOLOM MAHASISWAGeger Riyanto

    Orde Politik dan Kebijakan Pengelolaan 185 Hutan di Indonesia

    RESENSI BUKUAdri

    Collapse: How Societies Choose 204 to Fail or Survive

    Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006

    Keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup telah lama diyakini oleh segenap pihak sebagai hal penting dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan. Perhatian dan kepedulian terhadap konsep ini juga sudah diimplementasikan pada tatanan kebijakan negara baik di tingkat pusat maupun daerah, ranah akti tas bisnis dan kegiatan individual serta komunal sehari-hari. Pada level yang lebih abstrak ilmuwan sosial selayaknya terlibat dalam mengembangkan wacana dan solusi secara konseptual sebagaimana tulisan Shanti Novriaty tentang Pemetaan Pemikiran dalam Sosiologi Lingkungan. Pada tataran kebijakan publik dapat dilihat pada artikel yang ditulis oleh Francisia Seda, Geger Riyanto dan Adri. Sedangkan pada ranah praxis dapat ditemui pada uraian dari Edy Siswoyo dan Aloen Samodro. Meski, pada edisi ini kami tidak menawarkan solusi konkrit terhadap persoalan lingkungan hidup, melalui keaneka-ragaman fokus dengan pemaparan fakta dan teori dari para penulis kami berharap isi jurnal edisi ini layak untuk didiskursuskan lebih lanjut.

    Salam, Redaksi

    Pembangunan Sosial dan Lingkungan Hidup

  • JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 20062

    MASYARAKATJ u r n a l S o s i o l o g i

    PenerbitLABSOSIO FISIP-UIISSN: 0852-8489

    PenasihatDekan FISIP-UI

    Penanggung JawabKetua Departemen Sosiologi FISIP-UI

    Pemimpin UmumKetua Laboratorium Sosiologi

    FISIP-UI

    Ketua Dewan RedaksiIwan Gardono Sujatmiko

    Dewan RedaksiGumilar Rusliwa Somantri

    Francisia SSE. SedaPaulus WirutomoRochman Achwan

    Soelaeman SoemardiThamrin Amal Tomagola

    Redaktur EdisiFrancisia SSE. Seda

    Pemimpin Redaksi/Redaktur PelaksanaRicardi S. Adnan

    Wakil Redaktur PelaksanaSulastri

    Pemasaran/SirkulasiLabSosio Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI

    Alamat RedaksiLabSosio-Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI

    Gedung C, Lantai 3, Kampus FISIP-UI, Depok 16424 Tel. (62-21) 786-3427, 727-0006ext.225

    Fax.(62-21)787-0612. Email:[email protected]

    Homepage:http://www.labsosio.org

    Jurnal MASYARAKAT diterbitkan oleh Laboratorium Sosiologi (LabSosio), Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, sebagai media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia dengan kriteria : merupakan karya sendiri sebanyak 4.000 5.000 kata, belum pernah dipublikasikan, dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan memiliki relevansi untuk diterbitkan.

    LABSOSIO

  • TAJUK TOPIK

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 3

    Pertama kali manusia dilahirkan secara otomatis ia menjadi bagian dari lingkungan hidup sekaligus lingkungan sosial. Sebagai seorang anak, seorang adik, seorang laki-laki atau perempuan, anggota dari suatu kelompok. Sebagai mahkluk hidup yang bersaing dalam menikmati udara segar, air yang sehat, makanan yang bergizi, dan tentu nya juga akan turut mengotori lingkungan dengan berbagai limbah yang dihasilkannya. Pada fase tertentu, pertumbuhan dan perjalanan hidupnya akan banyak ditentukan oleh kondisi lingkungan hidup di sekitarnya. Menjadi anak yang sehat dan tidak sakit-sakitan tentunya dapat dipenuhi jika yang bersangkutan dibesarkan dalam lingkungan yang bersih dan sehat. Sebaliknya, hasil penelitian menyebutkan bahwa di daerah pertambangan, banyak sekali ditemukan anak-anak yang berperilaku hiper-aktif ataupun menderita autis.

    Kondisi lingkungan hidup memiliki pengaruh pada perilaku manusia. Di daerah pemukiman kumuh anak-anak berkem-bang secara lebih merdeka: kurang peduli terhadap kebersihan saluran air, membuang sampah/ kotoran tidak pada tempatnya dan merasa tidak terganggu dengan

    ketidak bersihan lingkungan. Sebaliknya jika seseorang dibesarkan pada lingkungan yang tertata rapi, kepeduliannya terhadap keasrian lingungan relatif lebih tinggi. Ia akan alergi dan merasa tidak nyaman jika berada dalam lingkungan yang tidak sehat.

    Setelah seseorang memiliki jati dirinya dan memiliki kewenangan untuk mengubah lingkungan maka tidak dapat dipungkiri bahwa ia adalah aktor penting dalam menjaga, merawat, meningkatkan kelestarian, dan bahkan merusak hingga menghancurkan lingkungan. Sebagai indi-vidu, perilakunya memiliki keterbatasan dalam mengolah, menjaga atau memelihara lingkungan. Keacuhan terhadap kelestarian memiliki dampak berskala kecil; kotoran yang bertebaran di sana sini. Tatkala orang tersebut berkumpul dengan sesama yang tidak peduli terhadap lingkungan maka tingkat kerusakan lingkungan akan lebih besar lagi. Misalnya dengan perilaku membuang sampah ke got mengakibatkan daerah sekitar rumah akan mengalami banjir terutama pada musim hujan. Ketika kumpulan orang-orang tadi bergabung dalam suatu wadah yang terstruktur seperti perusahaan atau yayasan maka lingkungan bukan saja rusak melainkan bisa hancur.

    DUALISTIK LINGKUNGAN HIDUP DAN LINGKUNGAN SOSIAL

    Ricardi S. Adnan

  • TAJUK TOPIK

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 20064

    Kita bisa saksikan betapa memilukan kondisi ekosistem di pulau Bangka, Belitung, Kalimantan dan kawasan lain di tanah air. Lebih lanjut, berbagai penyakit dan kerugian diderita oleh manusia akibat perilaku orang-orang yang terorganisir tersebut, seperti sejumlah orang menderita penyakit kulit di Minahasa.

    Sebagai makhluk sosial, manusia tidak saja melakukan kegiatan berdasarkan organisasi berupa perusahaan, yayasan atau perkumpulan belaka, melainkan membentuk sesuatu yang lebih besar lagi: negara. Hubungan negara dengan lingkungan hidup memiliki magnitude yang jauh lebih dahsyat dibandingkan sebelumnya. Kerusakan lingkungan hidup akan jauh lebih besar jika negara tidak peduli. Banjir besar di Jakarta, kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, tenggelamnya beberapa desa di Sidoarjo merupakan contoh bagaimana ketidak-

    waspadaan negara terhadap perilaku abai oknum-oknum pada lingkungan. Bencana nasional !

    Di dalam jurnal Masyarakat edisi ini, topik yang diketengahkan oleh beberapa penulis berkenaan dengan lingkungan hidup diharapkan mampu membangunkan kembali kewaspadaan kita bahwa kelestarian dan kerusakan lingkungan merupakan suatu persoalan yang tidak putus-putusnya antara individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Para agen yang berperan sebagai agency tersebut selayaknya memperhatikan resource, power dan idealisme terhadap lingkungan. Dengan beberapa nukilan pemaparan mulai dari taraf konseptual hingga praksis, diharapkan akan menjadikan pengetahuan, pemahaman, kepedulian dan keberpihakan kita terhadap lingkungan hidup semakin meningkat. Semoga!

    Pusat semburan lumpur Lapindo, yang banyak merusak ekosistem di sekitarnya.

  • TAJUK TOPIK

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 5

    Lingkungan hidup merupakan fokus kajian yang bersifat multidisipliner dan langsung berdampak secara nyata pada kehidupan keseharian baik secara individual maupun kolektif di dalam masyarakat. Sosiologi sejak beberapa puluh tahun terakhir telah berusaha untuk membahas lingkungan hidup dengan menggunakan analisa dan perspektif sosiologis. Tulisan Shanty Novriaty yang dilengkapi dengan sumbangan pemikiran Kusharianingsih C. Budiono membahas mengenai pemetaan konseptual dari kajian sosiologi lingkungan dengan secara spesi k dan mendalam berusaha mengulas perdebatan konseptual di antara dua perspektif sosiologi lingkungan di dalam usaha untuk memahami dan mencari pemecahan masalah dalam persoalan lingkungan hidup.

    Selain pemetaan konseptual pada tataran teoretis, lingkungan hidup perlu juga dikaji pada tataran praksis. Tulisan Dody Prayogo berusaha memetakan sebuah studi kasus pada industri geothermal di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa-Barat di dalam konteks dinamika, sebab, dan peran negara dalam kon ik antara

    LINGKUNGAN HIDUPDI DALAM KONTEKS DINAMIKA RELASI ANTARAMASYARAKAT, NEGARA, DAN PASAR

    Francisia SSE. Seda*

    korporasi dengan komunitas local. Selain kasus pada industri pertambangan, tulisan Geger Riyanto dan Adri berusaha melaku-kan kajian yang mengkaji peran negara di dalam sektor kehutanan. Bagaimana orde politik dan kebijakan pengelolaan hutan dan bagaimana relasi antara negara dengan masyarakat perbatasan Indonesia-Malaysia di dalam kaitannya dengan pembalakan liar (illegal logging) menjadi fokus utama kedua artikel mereka. Sedangkan Edy Siswoyo di dalam studinya mengenai fenomena usaha kecil ramah lingkungan di perkotaan membahas sebagai studi kasus industri kecil ramah lingkungan di Jakarta. Tesis Aloen Samudro yang dirangkum oleh Seto Hardjono membahas mengenai studi kasus pola eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut masyarakat Kepulauan Seribu Utara dengan melakukan tinjauan analisa konseptual terhadap Teori Involusi Pertanian Cli ord Geertz pada sektor perikanan. Berbagai studi kasus yang merupakan hasil penelitian lapangan tersebut kemudian dilengkapi dengan tulisan Francisia SSE Seda yang melakukan analisa komparatif antara relasi lingkungan hidup dengan pembangunan pada sektor kehutanan khususnya analisa Nancy Lee Peluso pada daerah hutan kayu jati di Jawa dengan sector pertambangan * Redaktur edisi lingkungan

  • TAJUK TOPIK

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 20066

    khususnya industri minyak bumi dan gas cair alam (LNG) di Bontang, Kalimantan Timur. Perbedaan antar sektor, khususnya industri kehutanan dengan industri pertambangan migas memberikan dampak lingkungan hidup yang berbeda pula di dalam konteks relasi dinamika masyarakat, negara, dan pasar di Indonesia sekarang ini.

    Semoga kajian sosiologis yang merupa-kan pemetaan konseptual dan dilengkapi

    dengan berbagai studi kasus pada beberapa sektor yang berbeda dapat memberikan konstribusi pada perluasan pengetahuan dan pemecahan masalah yang dihadapi di dalam lingkungan hidup kita bersama sekarang dan di masa depan. Seperti yang diungkapkan oleh ungkapan bijak, Masa sekarang adalah titipan generasi masa depan pada generasi sekarang,.

    Penebangan hutan secara liar dan bebas, dapat merusak tatanan hutan yang mengakibatkan kerusakan.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 7

    PENDAHULUANDalam usianya yang masih terbilang

    sangat muda, sosiologi lingkungan yang mulai berkembang di akhir 70 an dan awal 80 an ini menurut Huber (2001) still in search of pro le. Meskipun ditandai dengan institusionalisasi sosiologi lingkungan dalam berbagai asosiasi sosiologi, sub disiplin ini masih diwarnai oleh berbagai perdebatan. Perdebatan yang paling umum adalah mengenai konsep alam itu sendiri. Di satu pihak, terdapat pendekatan yang

    PEMETAAN PEMIKIRAN DALAM SOSIOLOGI LINGKUNGAN*

    AbstractTh e tradition in sociology which trying to distinguish natural sciences from social sciences have made the discussion of nature are excluded from the subject of sociology. Afterward this trend is criticized by most of sociologists. Th ese sociologists believe that the tradition has hampered sociologists from understanding environmental problems. Th is group of sociologists believes that it is extremely important to include non-social (natural) factors as variables in sociological analysis in order to allow the discipline to solve environmental problems. However, some of sociologists are against this attempt and explain that even though sociology does not include non-social factors in the analysis; sociology, as a discipline, has given its attention to the awareness on environmental problems and emphasized numerous studies that give su cient contribution to the environment. Th us, in its e ort to solve the environmental problems, sociology gives 2 (two) di erent answers which are represented in 2 (two) di erent perspectives. Th e two perspectives have made sociology capable of giving important contribution in both understanding and solving existing environmental problems faced by di erent societies in the world. Th ese two perspectives, with its own capability, has given a meaningful contribution. Kata Kunci: Sosiologi lingkungan, realisme, constructivisme.

    Shanty Novriaty

    * Naskah tulisan ini dikembangkan dari ide-ide hasil diskusi dengan Dra. Kusharianingsih, C. Boediono, MS.

    Shanty Novriaty, Lahir di Jakarta tanggal 21 November 1964. Menamatkan program sarjana di

    Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Gelas Magister di peroleh dari Program

    Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia dengan tesis berjudul Bentuk

    Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan Multinasional. Sekarang mengajar di mata kuliah

    sosiologi lingkungan di program sarjana sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 20068

    mengatakan bahwa alam harus dimasukkan dalam analisis sosiologi, karena mempunyai kemampuan memberi pengaruh pada masyarakat (pendekatan/perspektif realism). Di lain pihak, pendekatan lain menyatakan bahwa alam itu tidak ada, yang ada adalah alam-alam, karena alam dikonstruksikan secara sosial sehingga secara obyektif, alam itu sendiri tidak mempunyai kekuatan pengaruh, akan tetapi sangat tergantung pada bagaimana alam itu diterima da-lam masyarakat (pendekatan/perspektif constructivism).

    Penulisan artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai sosiologi lingkungan. Untuk itu, tulisan ini akan diawali dengan pembahasan mengenai awal perkembangan sosiologi lingkungan, serta berbagai perdebatan yang muncul kemudian. Selanjutnya akan diuraikan pula masing-masing pendekatan yang berbeda tersebut, serta fokus kajian sosiologi lingkungan, utamanya yang disampaikan oleh tokoh-tokoh sosiologi lingkungan pada masa awal perkembangannya.

    SEJARAH SOSIOLOGI LINGKUNGANSejarah sosiologi lingkungan hampir

    selalu dikaitkan dengan munculnya tulisan Dunlap dan Catton dalam Annual Review of Sociology tahun 1979 dengan judul Environmental Sociology1. Tulisan ini membuat Dunlap dan Catton dianggap sebagai pioneer dalam sosiologi lingkungan karena keduanya secara tegas memberikan de nisi sosiologi lingkungan dan karakteristik utamanya sehingga sub disiplin ini dapat dianggap sebagai a distinct area of inquiry. Buttel menyatakan bahwa sejak tulisan tersebut, relatively

    few Western Sociologists had a clear idea of environmental sociology as a subdiscipline (Buttel, 1987:465).2

    Menilik bagaimana perhatian sosiologi terhadap masalah lingkungan itu berkembang, di dalam tulisan tersebut Dunlap dan Catton melihat munculnya perhatian sosiologi terhadap lingkungan tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa yang terkait dengan masalah lingkungan yang terjadi di Amerika. Peristiwa-peristiwa tersebut menimbulkan kesadaran yang meluas yang diekspresikan dalam Undang-undang (National Environmental Policy Act, 1969) dan Hari Bumi (Earth Day) 1970 serta Konferensi Dunia (United Nations Conference on the Human Environment, 1972) (Dunlap dan Catton, 1979: 243). Di Eropa, menurut Dunlap dan Catton 1992 yang dikutip oleh Hanigan, sosiologi lingkungan dipicu oleh munculnya Hijau sebagai kekuatan politik, yang membuat kebanyakan topik awal mengenai lingkungan adalah environmentalism dan gerakan lingkungan. Menurut Joseph Huber, environmentalism muncul pada akhir tahun 1960 an dan awal 1970 an. Bagi Huber, wacana mengenai lingkungan yang paling banyak menimbulkan debat dimulai dari laporan Club of Rome dalam Th esis Limits to Growth (Huber 2001:2)3. Menambahkan apa yang disampaikan oleh Dunlap dan Catton, Hanigan

    1 Hampir semua tulisan mengenai sejarah sosiologi lingkungan terutama di Amerika menyebutkan bahwa tonggak munculnya sosiologi lingkungan dimulai dari tulisan Dunlap dan Catton ini (Burningham 1998, Goldman dan Schurman 2000, Hanigan 1995, Martell 1994, Buttel, 1987)

    2 Uraian lebih jauh tentang pemikiran Dunlap dan Catton ada dijabarkan pada bagian Perspektif dalam Sosiologi Lingkungan.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 9

    mengemukakan bahwa Netherlands merupakan pengecualian dari apa yang disebutkan oleh Dunlap dan Catton tentang munculnya sosiologi lingkungan di Eropa. Seperti dikemukakan oleh Hanigan

    One exception to this was in the Netherlands where nodes of activity in environmental sociology formed early on around questions pertaining to agriculture and risk assessment. In Britain, past interest in the environment has been explicitly theoretical, weighing the relationship between society and nature against classical sociological perspectives on social class and industrialism. (Hanigan, 1995: 11)

    Selain tulisan Dunlap dan Catton yang cukup fenomenal mengenai Sosiologi Lingkungan tersebut, Hannigan (1995), juga menandai kemunculan Sosiologi Lingkungan melalui tulisan-tulisan lain yang terkait dengan masalah lingkungan pada jurnal-jurnal sosiologi yaitu Sociological Inquiry (1983), Journal of Social Issues (1992), Qualitative Sociology

    (1993), Social Problems (1993), Canadian Review of Sociology and Anthropology (1994), (Hannigan, 1995:11).

    Namun menurut Huber diantara ilmu-ilmu sosial, perhatian Sosiologi terhadap masalah lingkungan merupakan latecomer. Ekonomi dan hukumlah yang mengupas masalah lingkungan sejak awal (Huber, 2001: 2). Sebenarnya, bila merujuk tulisan Dunlap dan Catton, Sosiologi tidak dapat dikatakan sebagai Latecomer, sebab sejak tahun 1913 telah terdapat tulisan awal dari Sosiologi yang membahas mengenai lingkungan. Hanya saja, menurut Dunlap dan Catton, karya-karya awal dari perintis sosiologi lingkungan ini diabaikan dan dianggap rendah atau tidak diperhitungkan (Dunlap dan Catton, 1979:245). Dunlap dan Catton memberikan beberapa contoh karya seperti Landis (1949) yang memberikan chapter mengenai Th e Natural Environment dalam textbooknya. Kemudian ada pula Mukerjee dari India yang dua artikelnya (1930 dan 1932) secara jelas melihat bahwa Homo sapiens dapat dijamin stabil dan tetap mendominasi jaring kehidupan hanya bila memahami dan bekerja dalam kekuatan ekosistem. Analisa Sorokin (1942) mengenai reaksi sosial dari kelaparan, juga dipandang rendah. Selain itu, essay sumner or summer mengenai Earth Hunger (Keller 1931) juga tidak dinilai. Tulisan ini melihat bahwa daya dukung lingkungan dapat tidak mencukupi dan hal ini dapat secara fundamental merusak demokrasi dan institusi egalitarian. Lebih jauh lagi, menurut Dunlap dan Catton, tulisan Cottrell (1955) mengenai Energy and Society yang melihat bahwa teknologi yang memerlukan energi tinggi tidak diperlukan

    3 Th esis Limits to Growth yang ditulis oleh Meadow dan kawan-kawan dengan mendapat pendanaan/sponsor dari Club of Rome. Th esis ini merupakan hasil computer modelling yang dikembangkan oleh Jay Forrester dan kawan-kawan dari MIT (Massachusetts Institute of Technology) USA. Teknologi computer modelling ini memungkinkan menganalisis saling ketergantungan yang sangat kompleks dari variabel-variabel. Dengan mengadopsi teknik tersebut, Meadow dan kawan-kawan memprediksi kelangsungan pertumbuhan dari industrialisasi, penipisan sumber alam, polusi, produksi makanan dan pertumbuhan penduduk. Mereka menemukan bahwa faktor-faktor yang dianalisis tersebut sangatlah saling tergantung sehingga perubahan pada salah satu faktor menimbulkan masalah pada faktor lainnya. Kesimpulan akhir yang diperoleh adalah tidak mungkin melakukan pertumbuhan pada bumi yang terbatas (Martell, 1994: 24-33).

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200610

    untuk memaksimalkan daya dukung manusia. Namun dampak tulisan Cottrell ini ditepiskan oleh ilmuwan sosiologi tradisional yang enggan memberikan recognisi kecuali pada tulisan-tulisan yang secara tegas memberikan sebab-sebab sosial dari fakta sosial. (Dunlap dan Catton, 1979: 243).4

    Diabaikannya karya-karya perintis sosiologi lingkungan seperti yang dikemukakan oleh Dunlap dan Catton, tidak lepas dari sejarah tradisi yang ada dalam sosiologi. Sejak awal, sosiologi berusaha memberikan eksistensinya dengan membuat perbedaan yang jelas dengan ilmu-ilmu eksakta. Sebagai konsekuensinya, maka alam dikeluarkan dari pembahasan sosiologi seperti dinyatakan oleh Goldman dan Schurman

    Because early theorists were trying to establish the need for a separate science of society, nature was not a major concern or concept for exploration in classical sociological theory. Th ese classical sociologists sought to emphasize that which was outside the domain of the dominant physical and natural sciences to legitimate themselves and their discipline (Goldman dan Schurman, 2000:564).

    Lidskog mengemukakan bahwa meski-pun pemikir awal sosiologi melihat alam (nature) sebagai prakondisi bagi kehidupan sosial, namun ketergantungan ini tidak dinilai sebagai hal penting bagi analisis sosiologi mengenai masyarakat. Alam, dide nisikan sebagai faktor non sosial, berada di luar masyarakat. Dengan demikian bukan menjadi objek bagi penelitian sosiologi. Dikotomi antara fakta

    sosial dan fakta natural ini membuat alam (nature) menjadi blind spot dalam teori sosiologi (Lidskog 2001:114). Mengenai hal ini, Murphy, 2001, menyebutnya sebagai pre-ecological sociology, dimana sosiologi menganggap alam tidak menjadi masalah. Salah satu contoh/gambaran yang diberikan Murphy tentang bagaimana alam diabaikan dalam teori sosiologi adalah dalam buku text sosiologi (Spector dan Kitsuse 1977:43). Di dalam buku ini diberikan kasus mengenai marijuana. Pada tahun 1930, di Amerika, marijuana dimasukkan dalam kategori berbahaya dan adiktif. Namun pada tahun 1960 an marijuana ini tidak lagi dikategorikan sebagai adiktif. Menurut buku text tersebut, hal ini tidak dapat dijelaskan oleh zat kimia yang terkandung di dalam marijuana tersebut karena memang zat kimia yang terkandung tidak berubah. Hal ini hanya dapat dijelaskan melalui pemahaman apa yang dimaksud dengan adiktif dan strategi serta taktik politik (Murphy, 2001:28).4 Namun sejak tahun 1964, Dunlap dan Catton melihat

    recognisi dari organisasi asosiasi Sosiologi terhadap Sosiologi Lingkungan. Mereka mencatat adanya tiga pengembangan organisasional yang mencerminkan munculnya Sociologi Lingkungan (Dunlap dan Catton, 1979: 245). Organisasi pertama yaitu Sociological Aspects of Forestry Research Committee yang dibentuk pada tahun 1964 oleh anggota dari Rural Sociological Society yang tertarik pada masalah-masalah yang terkait dengan penggunaan hutan, air dan sumberdaya alam lainnya. Organisasi ini kemudian berubah nama menjadi Research Committee on Sociological Aspects of Natural Resourse Development dan tahun berikutnya berkembang menjadi Natural Resources Research Group. Recognisi kedua yaitu ditambahkannya divisi Environmental Problems Division pada organisasi the Society for the Study of Social Problems (SSSP) di tahun 1972. Ketiga, pada akhir tahun 1973, the Council of the American Sociological Association membentuk komite pengembangan pedoman bagi kontribusi sosiologi pada penilaian dampak lingkungan. Ini mendorong munculnya Section on Environmental Sociology pada ASA yang diorganisasikan pada tahun 1975 (Dunlap dan Catton, 1979: 246).

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 11

    Namun kemudian beberapa ilmuwan sosiologi mengkritik tradisi sosiologi ini. Mereka yang mengkritik mengatakan bahwa tradisi yang mengeluarkan alam dari pembahasan sosiologi inilah yang menyulitkan sosiologi untuk memahami persoalan-persoalan lingkungan. Huber mengemukakan bahwa jawaban atas pertanyaan mengapa sosiologi mengalami kesulitan dalam mengadopsi pertanyaan ekologis adalah karena environmental problems were not considered to be a genuine subject of sociology (Huber 2001:3). Dunlap dan Catton menyatakan hal yang kurang lebih sama yaitu tradisions that made it di cult for sociology to recognize the importance of environmental problems and ecological constraints. (Dunlap dan Catton, 1979:243). Untuk bisa memecahkan persoalan lingkungan ini kemudian banyak ilmuwan sosiologi yang menganggap penting untuk memasukkan alam sebagai bagian dari analisa sosiologi. Lidskog melihat bahwa sejak tahun 1970 an banyak ilmuwan sosiologi mengemukakan bahwa dalam menghadapi masalah ekologi tidaklah cukup untuk mendiskusikan environmentalism sebagai fenomena sosial, tetapi ilmuwan sosial harus memasukkan variabel non sosial (biologi dan faktor ekologi lainnya) dalam analisis mereka. Untuk itu, Lidkog mencontohkan Benton 1991; Catton dan Dunlap 1980; Dickens 1992; Freudenburg dan Gramling 1989; Martell 1994; Redclift dan Woodgate 1994). (Lidskog, 2001:115). Seperti dikemukakan oleh Goldman dan Schurman.

    Dunlap and Catton asked sociology to retool with a lens that brings nature into the center of sociological inquiry and

    recognizes the inseparability of nature and society (Goldman dan Schurman, 2000: 564).

    Dengan demikian, Dunlap dan Catton secara tegas menyatakan bahwa sub disiplin sosiologi lingkungan mempelajari interaksi antara alam/lingkungan dan masyarakat:

    Environmental sociology involves recognition of the fact that physical invironments can in uence (and in turn be in uenced by) human societies and behavior. Th us environmental sociologists depart from the traditional sociological insistence that social facts can be explained only by other social facts. Indeed, its acceptance of environmentalvariables as meaningful for sociological investigation is what sets environmental sociology apart as a distinguishable eld of inquiry (Dunlap dan Catton, 1979: 244).

    Dunlap dan Catton melihat bahwa pada tahun 1960 an dan awal 1970 an terdapat usaha-usaha menerapkan perspektif sosiologi tradisional untuk meneliti mengenai rekreasi alam liar, manajemen sumberdaya alam dan environmentalism termasuk gerakan lingkungan dan sikap publik terhadap lingkungan. Untuk hal ini, mereka menyebutnya sebagai sociology of environmental issue (Dunlap dan Catton, 1979: 244). Walaupun mengakui bahwa penelitian dalam sociology of environmental issue ini merupakan langkah awal yang baik, namun keduanya menegaskan pentingnya memasukkan faktor non sosial atau lingkungan sik sebagai variabel dalam analisa. Hal inilah yang membedakan antara environmental sociology dan sociology of environmental issue.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200612

    Ajakan Dunlap dan Catton untuk me-masukkan faktor sik dalam analisa sosio-logi menurut Goldmann dan Schurman merupakan tantangan yang sulit. Hal ini terkait dengan 2 alasan yang diberikan yaitu: pertama, berkaitan dengan sejarah disiplin sosiologi itu sendiri dan alasan kedua, mengapa alam tidak pernah benar-benar terintegrasi dalam teori sosiologi adalah berkaitan dengan pengaruh yang sangat kuat that Enlightenment thought has had on the structure and production of sociological knowledge (Goldman dan Schurman 2000:564).

    Selain itu, ilmuwan seperti Grundmann dan Stehr mengemukakan bahwa pen-dekatan integratif seperti ditawarkan Dunlap dan Catton tersebut mungkin akan membawa pada naturalistic fallacies dan hal ini telah diserang oleh ilmuwan sosiologi sejak sosiologi menjadi mapan sebagai sebuah disiplin akademik. Mereka mencontohkan hal ini seperti dikemukakan Durkheim 1951, 1964; Simmel 1992; Weber 1911; juga Grundmann dan Stehr 1997; Turner dan Factor 1994 (Grundmann dan Stehr, 2000: 156). Seperti yang dike-mukakannya, Grundmann dan Stehr khawatir bahwa memasukkan faktor alam dalam analisa sosiologi akan menyebabkan risiko kembali jatuh pada posisi lama yaitu determinisme biologi dan lingkungan, yaitu suatu dominasi kewenangan intelektual pada abad 19, padahal sosiologi telah sangat berhasil melepaskan diri dari deteminisme tersebut. (Grundmann dan Stehr, 2000: 159).

    Selain itu, terdapat alasan yang kuat mengapa sosiologi mengabaikan faktor lingkungan sik/alam dalam analisisnya. Seperti dikemukakan Grundmann dan

    Stehr, bahwa telah banyak penulis yang menyatakan setiap masyarakat memiliki perspektif yang berbeda mengenai alam dan di erent ideas of what may be considered natural. Contohnya Mary Douglas (1982), Hitzler (1991) dan Macnaghten dan Urry (1995, 1998) (Grundmann dan Stehr, 2000: 160).

    Kedua posisi yang bertentangan ini membawa pada perdebatan mengenai realism dan constructivim. Perdebatan ini bahkan sampai pada bagaimana masing-masing dapat memberikan sumbangan dalam mengatasi masalah lingkungan. Mereka yang termasuk dalam posisi realism mengatakan bahwa sosiologi tidak dapat memberikan sumbangan pada masalah lingkungan apabila tidak memasukkan faktor sik, biologi dan alam itu sebagai variabel dalam analisanya. Hal ini tentu saja disanggah oleh mereka yang masuk dalam posisi constructivism. Berbagai argumentasi diberikan bahwa tanpa memasukkan faktor alam sekalipun, sosiologi dapat memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam permasalahan lingkungan. Lidskog misalnya mengemukakan bahwa meskipun dunia bio sik diabaikan, namun dalam dua dekade terakhir sosiologi telah memberikan perhatiannya pada kesadaran lingkungan sebagai fenomena sosial dan dalam banyak kasus terhitung sebagai sesuatu yang sangat penting (Lidskog 2001:114).

    Hal yang sama dikemukakan oleh Burningham bahwa cukup banyak studi yang menggunakan perspektif social constructionist untuk membahas muncul-nya masalah lingkungan yang spesi k seperti Yearly 1991; Capek 1993; Hart dan Victor 1993; Hannigan 1995; Herrick dan Jamieson 1995. Lebih lanjut, dinyatakan

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 13

    bahwa kritik yang diberikan kepada social constructionism jarang yang merujuk pada studi empiris secara detail (Burningham, 1998:537). Dengan demikian claim yang dibuat oleh Dunlap dan kawan-kawan yang menyatakan bahwa hanya bila sosiologi memasukkan faktor lingkungan dalam analisisnya maka ia dapat memberikan sumbangan pada permasalahan lingkungan menjadi sangat tidak beralasan. Apalagi bila merujuk pada apa yang ditulis oleh Hanigan. Ia percaya ilmuwan sosiologi dapat memainkan peranan penting dalam mengembangkan proyek constructionist melalui dua cara, pertama

    by drawing on a critical mass of theory from Berger dan Luckmann, Blumer, Gamson, Gus eld, Kitsuse and others, sociological analysts are well placed to conceptualise the process of environmental claims-making within a wider framework of reality construction, frame analysis and symbolic interactionism (Hanigan, 1995:4)

    kedua, dibangun dari tradisi Weberian, sociologists should weld the concept of power to that of social construction to chart how and why same claims are accorded legitimacy and others ar rebu ed. Th e recent out pouring of sociological attention to the linked phenomena of environmental racism and environmental justice (Bryant and Mohai 1992; Bullard 1990; Capek 1993; Hofricher 1993) is one healthy example of how it is possible for this approach to yield important insights (Hanigan, 1995:4)

    Dengan mengutip Soper 2000, Lidskog menyatakan bahwa Today, its meaning the nature of nature- is increasingly contested,

    and the two main parties in this debate are the realists and the constructivists (Lidskog, 2001:115). Seperti juga dikemukakan oleh Dunlap yang dikutip Burningham bahwa debat about the relative merits of realist versus social constructionist approaches for studying environmental issues is receiving increasing attention (Burningham, 1998:537).Hal yang sama juga dikemukakan oleh Grundmann dan Stehr (2000); Franklin (2002).

    PERSPEKTIF DALAM SOSIOLOGI LINGKUNGAN: REALISM VS CONSTRUCTIVISM

    Paparan di atas menggambarkan bahwa dalam melihat dan memberikan sum-bangan terhadap permasalahan lingkungan (environmental problem), sosiologi mem-berikan 2 jawaban yang tercermin dalam 2 perspektif yang berbeda. Kedua perspektif tersebut membuat sosiologi mampu memberikan sumbangan yang cukup penting dalam persoalan lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat dunia saat ini. Baik Realist maupun Constructivist, dalam kapasitasnya masing-masing menghasilkan penelitian dan tulisan yang berarti.

    Perspektif RealismSeperti telah banyak diuraikan di

    atas, environmental realism menekankan pentingnya memasukkan faktor ling-kungan sik dalam analisa sosiologi. Pada perspektif ini, lingkungan sik dapat mempengaruhi perilaku sosial dan organisasi. Dengan demikian seperti dikemukakan oleh Lidskog, environmental realism menganjurkan re-naturalization

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200614

    of society dalam artian bahwa basis ekologis masyarakat perlu diperhitungkan oleh sosiologihal ini berarti, aspek bio sik harus dimasukkan dalam analisis sosiologi mengenai masyarakat (Lidskog, 2001:117).

    Penekanan realism akan pentingnya memasukkan alam/nature sebagai faktor penyebab dari suatu fenomena sosial disebabkan keyakinan yang kuat bahwa alam mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk memberi pengaruh. Seperti dikemukakan Franklin

    Reference to the powers of nature, by which is meant the causal powers of nature as they interact with the causal powers of social structures to produce anya one knowable/measurable ecological conjuncture, is a hallmark of realism (Franklin, 2002:41).

    Dunlap dan Catton memberikan label untuk membedakan sosiologi yang meniadakan aspek bio sik (Dunlap dan Catton serta beberapa ilmuwan sosiologi lain, menyebutnya sosiologi tradisional) dengan sosiologi yang memasukkan aspek bio sik dalam analisisnya. Label Human Exeptionalism Paradigm atau HEP diberikan untuk sosiologi tradisional. Sebagai kontras, label New Environmental Paradigm atau NEP diberikan pada sosiologi yang memasukkan aspek bio sik dalam analisis mengenai masyarakat. Namun kemudian dalam perbincangan selanjutnya terminologi Human Exep-tionalism Paradigm diubah menjadi Human Exemptionalism Paradigm. Untuk hal ini Dunlap dan Catton mengatakan alasannya adalah:

    for what environmental sociologists deny is not that Homo Sapiens is an exceptionalspecies but that the exceptional characteristics of our species (culture, technology, language, elaborate social organization) somehow exempt humans from ecological principles and from in uences and constraints (Dunlap dan Catton, 1979:250).

    Selanjutnya, New Environmental Paradigm juga diubah menjadi New Ecological Paradigm. Menurut Catton dan Dunlap yang dikutip oleh Tindall, Human Exeptionalism Paradigm didasarkan pada asumsi:1. Manusia adalah mahluk yang unik

    dibandingkan mahluk lainnya karena memiliki budaya.

    2. Budaya sangat bervariasi dan dapat berubah jauh lebih cepat dari sifat biologis.

    3. Dengan demikian, banyak perbedaan manusia lebih karena sosial dibanding-kan karena faktor kelahiran, dan lebih dapat diubah secara sosial serta perbedaan yang tidak menyenangkan dapat disingkirkan.

    4. Dengan demikian pula, akumulasi budaya berarti bahwa kemajuan dapat dilanjutkan tanpa batas, membuat semua masalah sosial dapat diatasi. (Tindall, 1995:35)

    Lebih lanjut, Catton dan Dunlap menyatakan bahwa disiplin yang setia pada HEP membawa ilmuwan sosiologi hanya terfokus pada lingkungan sosial dan mengabaikan lingkungan sik (Tindall, 1995:35). Secara lebih lengkap, perbedaan antara HEP dan NEP ini dibuat dalam tabel sebagai berikut:

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 15

    Dua hal yang merupakan argumentasi utama dari Realism adalah: pertama, material, natural atau fenomena non sosial harus dilihat sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan menjadi penyebab dan kedua, adalah mungkin untuk membuat klaim mengenai realitasnya (Burningham dan Cooper, 1999:299).

    Perspektif Social ConstructionismBerbeda dengan realism, social

    constructionism melihat bahwa tidak ada alam (nature) yang ada adalah alam-alam

    (natures), there is no pure nature as such, only natures. And such natures are historically, geographically and culturally constituted (Macnaghten dan Urry, 1995:207). Banyak penulis (ilmuwan sosiologi) berulang kali membuat penekanan bahwa masyarakat yang berbeda memiliki perspektif yang berbeda mengenai alam dan gagasan yang berbeda mengenai apa yang dikatakan sebagai natural. Mereka yang berada dalam posisi ini misalnya Mary Douglas (1982), Hitzler (1991) dan Macnagheten dan Urry (1995, 1998). Grundmann dan

    Tabel 1. Perbandingan Asumsi Utama dalam HEP dan NEP (sumber: Catton dan Dunlap 1980) *)

    Asumsi Human Exeptionalism Paradigm

    (HEP)

    New Ecological Paradigm (NEP)

    Asumsi mengenai hakekat

    manusia

    Manusia memiliki warisan budaya

    sebagai tambahan bagi (dan berbeda

    dari) warisan genetik dan sangat

    berbeda dengan spesies lainnya

    Sementara manusia memiliki karakteristik

    yang luar biasa (budaya, teknologi dan

    lain sebagainya), mereka tetap salah satu

    dari banyak spesies yang secara saling

    tergantung terlibat dalam ekosistem global

    Asumsi mengenai sebab

    sosial

    Faktor sosial dan budaya (termasuk

    teknologi) adalah penentu utama dari

    kehidupan manusia

    Kehidupan manusia tidak hanya

    dipengaruhi oleh faktor sosial budaya,

    tetapi juga oleh hubungan sebab akibat

    dan umpan balik dalam jaring alam; dengan

    demikian tindakan manusia yang purposive

    memiliki banyak konsekuensi yang tidak

    diinginkan

    Asumsi mengenai konteks

    masyarakat

    Lingkungan sosial dan budaya

    merupakan konteks penting dalam

    kehidupan manusia, dan lingkungan

    bio sik sangatlah tidak relevan

    Manusia hidup dan tergantung pada

    lingkungan bio sik yang terbatas yang

    menentukan hambatan sik dan biologis

    pada kehidupan manusia

    Asumsi mengenai

    hambatan masyarakat

    Budaya terakumulasi; dengan

    demikian kemajuan teknologi dan

    sosial dapat berlanjut tanpa batas,

    membuat semua masalah sosial dapat

    terpecahkan

    Meskipun penemuan manusia dan

    kekuasaan dapat membawa dan

    meningkatkan keterbatasan daya dukung,

    hukum-hukum ekologi tidak dapat dicabut.

    *) (Dikutip dari Buttel 1987:470) Telah dimodi kasi untuk kebutuhan penulisan (Dalam tabel asli terdapat perbandingan dengan Dominant Western Worldview (DWW) yang dipandang membawa pada nilai dan ideology yang mendominasi selama lebih dari 500 tahun ekspasi Barat akan bahan bakar dan bahan mentah non renewable. Menurut Dunlap dan Catton Dominant Western Worldview ini telah diterjemahkan dalam HEP dalam lingkaran akademik.(Dikutip Buttel, 1987:469)

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200616

    Stehr melihat bahwa mereka ini termasuk juga Norbert Elias (1986) tidak mengenal alam melainkan hanya multitude of natures, tidak ada batas-batas alamiah tetapi hanyalah batas yang ditetapkan secara historis, geogra s dan budaya. Dengan pemikiran ini, mereka mendukung posisi strong social constructivist. (Grundmann dan Stehr, 2000:160).

    Dengan demikian, menurut Lidskog, apa yang terlihat sebagai masalah lingkungan yang obyektif tidak lebih hanyalah merupakan sebuah risiko yang dide nisikan secara sosial (Lidskog, 2001:118). Dengan menjelaskan alam sebagai sesuatu yang ditetapkan secara simbolik daripada sesuatu yang ada secara objektif, perspektif social constructionist menekankan peranan budaya dan simbol-simbolnya dalam mengkonseptualisasikan alam. Makna dari alam tidak dijelaskan oleh karakteristik bio siknya, tidak juga oleh nilai intrinsiknya (Koppen, 2000:307). Oleh karenanya, perspektif ini menekankan adanya cara yang sangat beragam dimana

    alam/lingkungam dikonstruksikan. Sejalan dengan hal ini menurut Lidskog, dengan mengutip Hanigan, mengatakan bahwa tugas bagi sosiologi dengan demikian adalah menganalisa klaim-klaim pengetahuan mengenai lingkungan.

    Lidskog kemudian membuat ringkasan mengenai kedua pendekatan ini melalui table 2 di bawah ini.

    Realism dan Constructionism, dua perspektif yang kompetitif atau saling melengkapi?

    Menurut Dickens yang dikutip oleh Burningham dan Cooper, dikotomi antara contructionism versus realism merupakan sesuatu yang menyesatkan/ misleading karena realist menyatakan bahwa all knowledge must in some sense be a social construction. No knowledge has fallen out of the sky with a label attaced pronouncing absolute truth. (Burningham dan Cooper, 1999: 299)5

    Lebih lanjut Burningham dan Cooper menyatakan bahwa hampir semua penulis yang memberikan kritik kepada

    Tabel.2 Bagan Environmental Realism dan Environmental Constructivism

    Environmental Realism Environmental Constructivism

    Issu Lingkungan Masalah bio sik Masalah sosial

    Masalah/Problem Sosiologi tradisional adalah buta

    ekologis

    Realisme lingkungan (environmental realism)

    adalah buta sosiologis

    Solusi Memasukkan variabel bio sik dalam

    analisis sosiologi

    Ketat pada fokus sosiologi mengenai proses

    pende nisian

    Hasil Sebuah re-naturalization dari

    masyarakat

    Sebuah konstruksi sosial mengenai alam/

    nature

    Hal yang paling penting Selamatkan bumi! Menunjukkan relasi kuasa

    Catatan kritik Sebuah pandangan reduksi mengenai

    masalah lingkungan.

    Sebuah versi pembendaan terhadap

    alam

    Sebuah pemahaman yang terpusat pada

    kognitif mengenai masalah sosial

    Sebuah pandangan yang idealistik

    mengenai kehidupan sosial.

    Dikutip dan diterjemahkan secara bebas dari Lidskog, 2001:120.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 17

    penerapan social contructionism pada isu lingkungan, menekankan bahwa bukanlah social constructionism itu sendiri yang mereka tolak, sesungguhnya mereka menghargai pengetahuan dari social contructionism (Burningham dan Cooper, 1999:299). Dengan mengutip banyak pendapat dari realist, Burningham dan Cooper menyimpulkan bahwa yang menjadi keberatan dari realist ini adalah constructionist yang terlalu extreme atau strong social contructionism6.

    Dickens, seperti dikutip oleh Grundmann dan Stehr, membedakan antara strong dan weak social constructivist dan membandingkan keduanya dengan critical realistic. Keberatan Dickens terhadap variant strong constructivism adalah tidak ada hubungan antara penegasan bahwa semua pengetahuan dikonstruksikan secara sosial dengan klaim dengan demikian tidak ada yang objektif . Sementara itu ia melihat banyak kesamaan antara variant weak social constructivism dan critical realism daripada antara variant strong social constructivism. Hal ini karena critical realist juga mengemukakan bahwa keberadaan wacana dan interpretasi

    yang memberikan pengetahuan (insight) penting pada struktur dan proses dunia. (Grundmann dan Stehr, 2000:160). Sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Burningham dan Cooper, Grundman dan Stehr melihat bahwa bagi Dickens strong constructivism signi es much ado about nothing (Grundmann dan Stehr, 2000: 160).

    Dickens seperti dikutip oleh Grund-mann dan Stehr (2000) menyarankan bahwa antara realitas sosial dan natural sebaiknya membentuk hybrid. Grundman dan Stehr sangat setuju dengan pendapat ini, namun menurutnya hal ini memerlukan pengembangan lebih lanjut. Mereka mencontohkan hurricane. Bencana alam ini mempunyai dampak yang berbeda pada Negara yang berbeda. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada kejadian alam diluar sana? Jawabannya adalah tentu ada. Lalu apakah bencana alam tersebut dihasilkan secara sosial? Grundman dan Stehr menyatakan bahwa jawabannya adalah Tentu saja! Ada dua alasan yang diberikan, yaitu pertama: bahwa manusia telah mengubah komposisi atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim dan kedua, akibat yang ditimbulkan berbeda antara Negara miskin dan negara kaya karena Negara kaya memiliki infrastruktur untuk menghadapi bencana alam secara efektif (seperti adanya early warning system, technical standard, kerangka institusional). Dengan demikian, kerusakan yang terjadi dapat diminimalkan. Jadi, sementara hurricane dialami oleh semua orang yang terkena bencana tersebut, terdapat dimensi scienti c dan teknologi yang membuatnya mempunyai dampak yang berbeda. (Grundmann dan Stehr, 2000: 161)

    5 Hal yang sama dilihat pula oleh Franklin; Grundmann dan Stehr, dengan mengutip Dickens 1996. Dapat dilihat dalam Franklin 2002; Grundman dan Stehr 2000.

    6 Burningham dan Cooper mengutip realist yang menolak strong social constructionism (Dickens 1996:4); a stauch social constructionist perspective (Dunlap dan Catton, 1994: 22); extreme relativism (Benton 1994:45) atau social constructionism goene overboard (Murphy 1994: 970). Social constructionism dengan versi seperti ini adalah yang menyangkal bahwa that there are features of the world which exist independent of discourse and social construction (Dickens 1996: 74) atau paling tidak mengancam independent presence of the non-human world in our lives (as) marginal to the point of disappearance (Benton, 1994: 45). (Burningham dan Cooper, 1999: 299-300).

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200618

    Apa yang disampaikan oleh Grundmann dan Stehr dari contoh yang diberikannya adalah bahwa kita mengetahui masalah lingkungan, baik dari pengalaman langsung (baik itu menyenangkan maupun menyakitkan) atau melalui pengetahuan ilmiah. Keduanya merupakan dasar dari cara mengetahui alam/knowing nature. (Grundmann dan Stehr, 2000:162). Hal ini menunjukkkan bahwa alam itu sendiri, dapat mempengaruhi kesadaran manusia (diargumentasikan oleh realism). Namun di lain pihak, tanpa ada fenomena alam itu pun kesadaran akan lingkungan dapat dicapai seperti yang diargumentasi oleh constructivism. Menurut Lidskog, dalam perspektif ini, tugas sosiologi adalah pada proses sosial yang membuat sebuah situasi atau fenomena muncul. Hal ini berarti bahwa kesadaran ekologis tidak harus/tidak selalu memerlukan/merujuk pada kondisinya dalam lingkungan alam (Lidskog, 2001:119). Melainkan tugas sosiologi untuk mengangkatnya menjadi masalah sosial.

    Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Lidskog, baik pendekatan yang melihat hubungan antara masyarakat dan alam (realism) maupun pendekatan yang menekankan pada proses pende nisian yang menghasilkan pengetahuan (constructivism) merupakan pendekatan yang sama validnya dan sangat diakui serta tidak perlu dipandang sebagai alternatif yang terpisah. Environmental realism is located close to the interdisciplinary subject human ecology, whereas environmental constructivism carries out research within the area of sociology of knowledge. (Lidskog, 2001:120).

    FOKUS KAJIAN DALAM SOSIOLOGI LINGKUNGAN

    Perdebatan mengenai perspektif yang ada dalam sosiologi lingkungan (Realism dan Social constructivism) membawa implikasi pada fokus kajian penelitian yang berbeda dalam sosiologi lingkungan. Tidak hanya masing-masing perspektif yang memberikan perbedaan mengenai apa yang menjadi fokus kajian, akan tetapi penulis dari perspektif yang sama pun mempunyai pendapat yang berbeda mengenai apa yang menjadi fokus kajian sosiologi lingkungan. Oleh sebab itu, pada bagian ini hanya akan diuraikan pandapat-pendapat dari masing-masing penulis mengenai fokus kajian/penelitian sosiologi lingkungan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa bagaimana pun semua penelitian yang telah dilakukan dalam masing-masing perspektif telah memberikan sumbangan yang penting bagi permasalahan lingkungan. Dengan demikian, mungkin tidak ada satu perspektif pun yang dapat menyatakan dirinya sebagai yang lebih mampu memecahkan atau memberikan kontribusi pada permasalahan lingkungan. Selain itu, tidak seperti Dunlap dan Catton yang memisahkan sosiologi lingkungan dan sosiologi mengenai isu-isu lingkungan, maka sebenarnya setiap penelitian yang berada dalam salah satu dari kedua perspektif ini berhak menyatakan dirinya sebagai sosiologi lingkungan. Dengan demikian tidaklah tepat jika mengatakan bahwa sosiologi lingkungan adalah bidang kajian yang hanya mempelajari interaksi antara alam dan masyarakat (nature dan society), dimana alam menjadi faktor yang mempengaruhi masyarakat.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 19

    Namun bidang kajian yang melihat alam dikonstruksikan secara sosial pun dapat dikatakan sebagai sosiologi lingkungan. Seperti halnya Hanigan (1995) dalam bukunya Environmental Sociology: A Social Constructionist Perspective.

    Bidang kajian sosiologi lingkungan da-lam kerangka yang dibuat oleh Dunlap dan Catton melihat interaksi antara lingkungan dan masyarakat. Menurut Dunlap dan Catton (1979), interaksi tersebut cukup kompleks dan bervariasi. Konsekuensinya, sosiologi lingkungan meneliti beragam fenomena. Untuk memperjelas lingkup kajian dan mengorganisasikan kategori fenomena yang dipelajari, Dunlap dan Catton menggunakan kerangka analitis yang dipergunakan oleh Duncan (1959). Kerangka Duncan tersebut menggunakan konsep kompleks ekologi (ecological complex) yang dibangun dari konsep ecosystem sebagai bagian dari upaya Duncan untuk menerapkan wawasan dari ekologi umum ke dalam sociological human ecology (Duncan 1961, dikutip oleh Dunlap dan Catton, 1979: 251).

    Kompleks ekologi dari Duncan ini memfokuskan pada saling ketergantungan antara Populasi (P), Organisasi (O), Lingkungan/Environment (E) dan Teknologi (T). Seperti terlihat dalam gambar 1.

    Namun kompleks ekologi ini tidak terlalu digunakan oleh ilmuwan ekologi manu-sia dalam sosiologi. Sebaliknya, mereka memberi perhatian hanya pada organisasi sosial dari pada peranan organisasi dan teknologi yang memungkinkan manusia beradaptasi dengan lingkungannya. Dengan demikian, ilmuwan ekologi manusia ini cenderung untuk mengabaikan lingkungan sik (Choldin 1978, dikutip oleh Dunlap dan Catton 1979:251). Menurut Dunlap dan Catton, Lingkungan/Environment (E) dalam kompleks ekologi ini dilihat sebagai lingkungan sosial. Ini berarti ilmuwan sosiologi ekologi manusia kehilangan hal yang paling dasar untuk memberik perhatian pada masalah-masalah lingkungan (Dunlap dan Catton, 1979:251). Ilmuwan sosiologi lingkungan melihat Environment/lingkungan (E) ini dalam konsteks lingkungan sik, sedangkan ketiga element lainnya yaitu P,T, O, disebut sebagai social complex). Dengan demikian, sosiologi lingkungan melihat hubungan antara lingkungan sik dengan kompleks sosial (social complex).

    Selanjutnya, kerangka yang diusulkan oleh Dunlap dan Catton mengelaborasi kembali kerangka yang dibuat oleh Duncan tersebut. Menurut Dunlap dan Catton, untuk memahami interaksi manusia dengan lingkungan sik membutuhkan pertimbangan lain, tidak hanya sekedar bentuk-bentuk organisasi dari kelompok-kelompok manusia, tetapi juga nilai budaya dan personal. Oleh sebab itu, Dunlap dan Catton mengganti terminologi social organization (O) dengan sistem budaya, sistem sosial dan sistem personal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar 2 berikut:

    Gambar 1: The Ecological complex: extended vesion

    Dikutip dari Martell 1994: 169 (Diadaptasi dari Dunlap dan Catton (1978a) oleh Martell 1994)

    0OPULATION

    %NVIRONMENT

    4ECHNOLOGY /RGANIZATION

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200620

    Dengan demikian, gambaran itu semua membawa Dunlap dan Catton pada pende nisian mengenai tugas dasar (basic task) dari sosiologi lingkungan adalah mencari jawaban atas dua pertanyaan yaitu:a. Bagaimana variasi saling ketergantungan

    antara Populasi, Teknologi, Budaya, Sistem sosial dan Sistem personal mempengaruhi lingkungan sik

    b. Bagaimana perubahan dalam ling-kungan sik memodi kasi Populasi, Teknologi, Budaya, Sistem Sosial dan Sistem personal atau hubungan-hubungan diantaranya. (Dunlap dan Catton 1979: 252)

    Sedangkan Buttel (1987), memberikan 5 wilayah penting dalam kajian sosiologi lingkungan yaitu:1. Inti dari sosiologi lingkungan yaitu the

    New Human Ecology.

    2. Sikap dan perilaku lingkungan3. Gerakan lingkungan4. Penilaian dampak teknologi dan5. Politik ekonomi dari lingkungan

    Dengan menggunakan kerangka Ritzer ketika membuat paradigma dalam sosiologi, Tindall (1995), memberikan 8 subdomain dari sosiologi lingkungan ini yaitu:1. Penilaian dampak sosial2. Penelitian desain lingkungan3. Pendekatan politik ekonomi4. Pendekatan organisasional/Pengambilan

    keputusan5. New Human Ecology/Perspektif yang

    sama6. Psikologi sosial dari masalah

    lingkungan7. Konstruksi sosial masalah lingkungan8. Teori mengenai tindakan kolektif dan

    gerakan sosial

    Gambar 2: The basic ecological complex: four factors

    Dikutip dari Martell 1994:167. (Diadaptasi dari Dunlap dan Catton (1978a) oleh Martell 1994)

    0OPULATION

    3OCIALENVIRONMENT

    -ODIFIEDENVIRONMENT

    "UILTENVIRONMENT

    .ATURALENVIRONMENT

    #ULTURE

    4ECHNOLOGY 0ERSONALITY

    3OCIALSTRUCTURE

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 21

    Subdomain ExemplarImej mengenai Pokok Bahasan

    MetodeTeori, Perspektif,

    Konsep

    1. Penilaian Dampak Sosial

    Pendekatan Penilaian Dampak Sosial Scienti c (Scienti c SIA Approach): Finterbusch, I. Lewellyn and Wolf 1983; Freudenburg 1981, 1985, 1988

    Pendekatan Penilaian Dampak Sosial Partisipatory (Participatory SIA Approach): Brown dan Mikkelson 1990

    Keadilan Lingkungan (Environmental Justice): Bullard 1990, 1993.

    Pendekatan Psikologi Sosial terhadap pemajanan Racun (Social Psychological Approach to Toxic Exposure): Levine 1982; Edelstein 1988.

    Dampak dari pembangunan dan teknologi terhadap komunitas, kelompok dan individual

    Metode utama: analisis data sekunder dari data yang tersedia .

    Metode tradisional lainnya seperti teknik survey-interview dan lainnya.

    Desain studi kasus (lihat 10 langkah Penilaian Dampak Sosial dari Wolf, 1983)

    Metode Unik: Teknik computer modelling (mis. Sistem modelling texas)

    Diadopsi dari wilayah lain: perbedaan utama atara pendekatan scienti c dan participatory; keadilan lingkungan; Tahap-tahap edesteins mengenai bencara racun

    2. Penelitian Desain Lingkungan (Environmental Design Research)

    Zeisel 1981; Moore 1984; Marcus dan Sarkissian 1986; Barker 1968

    Studi mengenai hubungan antara perilaku dan lingkungan dengan objektif desainperbaikan

    Metode utama: Observasi, penelitian survey, analisis dari sumber-sumber yang terarsip

    Metode Unik: Evolusi postoccupancy

    Diadopsi dari wilayah lain: misalnya defencile space, cognitive mapping. Ecological psychology.

    Tabel 3. Subdomain di dalam Sosiologi Lingkungan

    Tidak seperti halnya Ritzer, Tindall tidak menggunakan kata subparadigma melainkan subdomain. Menurutnya subdomain lebih sempit dibandingkan subparadigma. Menurut Tindall, strategi klasi kasi dalam membuat 8 subdomain tersebut didasarkan pada perbedaan antara masing-masing pokok bahasan. Tindall tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa

    exemplar yang diberikan adalah merupakan hasil kerja yang telah pasti masuk dalam tiap-tiap subdomain, melainkan hanya memperkenalkan masing-masing exemplar karena memberikan ilustrasi yang baik untuk tiap subarea yang diberikan. Pada tabel 3 di bawah ini dijelaskan secara lebih lengkap mengenai pembagian subdomain sosiologi lingkungan menurut Tindall.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200622

    Subdomain ExemplarImej mengenai Pokok Bahasan

    MetodeTeori, Perspektif,

    Konsep

    3. Pendekatan Ekonomi Politik

    Schnaiberg 1980; Bunker 1985; Redcli 1984; Logan dan Molotch 1987; Marchak 1983; OConnor 1988

    Menekankan pada struktur kelas ekonomi dan konsekuensi sosial dan lingkungannya

    Metode utama: analisa sekunder, metode historical comparative

    The environmental-social dialectic and the treadmill of production, teori dependensi, pembedaan Bunker antara ekonomi produktif dan ekstraktif

    4. Pendekatan Organisasional/Pengambilan keputusan

    Perrow 1984; Nelkin 1979 Interface antara struktur organisasi, teknologi dan lingkungan

    Metode utama: analisa sekunder, desain studi kasus

    Teori mengenai normal accidents

    5. New Human Ecology /perspektif yang sama

    Michelson 1976, 1977; Popenoe 1985

    Studi kesesuaian antara lingkungan buatan dan perilaku sosial: fokus khusus adalah pada efek yang berbeda dari lingkungan buatan pada subpopulasi/kelompok

    Metode utama: analisa sekunder, desain survey

    Metode unik: time budget, postoccupancy evaluation

    The congruence perspective, privatisasi dari kehidupan kota

    6. Psikologi Sosial Masalah Lingkungan

    Dunlap dan Van Liere 1978; Cotgrove dan Du 1981; Heberlein dan Black 1981; Sammuelson dan Messick 1986; Sammuelson et.al 1984, Mathews 1993

    Fokus pada hubungan sikap dan perilaku; faktor yang mempengaruhi kecenderungan individu mengkonsumsi sumberdaya alam

    Metode utama: penelitian survey, experimentasi

    Metode unik: laboratory game simulations (mis. Riset pada commonds dilemma

    Penelitian pada human exemptionalist (dominant) vs new ecological paradigm, commands dilemma research

    7. Konstruksi sosial masalah lingkungan

    Mauss 1975; Bogard 1989; Yearly 1991; Benfor 1993a, 1993b; Gamson dan Modigliani 1989

    Fokus pada bagaimana dan mengapa issue sosiologi lingkungan tertentu diidenti kasi sebagai problem termasuk kontestasi sebuah claim sebagai problematic

    Metode utama: analisa dokumen yang telah ada mis. Analisis media, case histories juga metode lain. Menekankan discourse dari kon ik lingkungan

    social constructionism, social problems, social movement framing literature.

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 23

    Goldman dan Schurman (2000) melihat sosiolog lingkungan seperti Mohai 1992, Scott & Eillits 1994, Ozanne et al 1999. meneliti ..attitudinal, behavioral, and

    consumer shifs, nding that the haealth of the biophusical world really does matter to people, that may are willing to make changes consistent with this, and that some social groups are particularly sensitive to environmental stewardship concerns (Goldman dan Schurman: 2000: 564).

    Namun selain itu, Goldman dan Schurman juga melihat bahwa ahli sosiologi lingkungan juga menganalisa state regulatory regimens, industrial production practices and waste disposal regimes seperti halnya Schnaiberg & Gould 1994, Szasz 1994, Mol 1995, Sonnenfeld 1998, menunjukkan kelompok protes sosial, aktivitas pembuatan undang-

    undang pemerintah, peliputan media dan daya penerimaan industri atau ecological modernization seperti Spaargeren & Mol 1992, Freudenburg & Gramling 1994.

    Mereka juga memberi perhatian pada ketidaksetaraan sosial berkaitan dengan polusi lingkungan, degradasi dan bencana, membantu memantapkan bahwa environmental racism/injustice atau ketidakmeraatan penempatan limbah dan polusi pada komunitas kulit berwarna dan kelas pekerja- adalah hal yang lazim di Amerika Serikat dan sekitarnya. Mereka ini adalah Bullard 1990, 1993; Bryant & Mohai 1992. Sebagai tambahan mereka mengurai pertumbuhan yang cepat dari gerakan lingkungan dan perilaku kolektif seputar isu lingkungan, menemukan gerakan sosial baru yang sangat banyak, berbeda dan sangat strategis. Mereka ini adalah Gottlieb 1993, Bullard 1993, Hofrichter 1993, Gould et al 1996.

    Subdomain ExemplarImej mengenai Pokok Bahasan

    MetodeTeori, Perspektif,

    Konsep

    8. Teori Tindakan Kelompok dan Gerakan Sosial

    Mobilisasi sumber daya: McCarthy dan Zald 1977; Gamson 1975; Tilly 1978

    Teori gerakan sosial baru Melucci 1980, 1988; Cohen 1985; Touraine 1981; Boggs 1986

    Mobilisasi sumber daya: fokus pada struktur sosial dan mobilisasi sumber daya bagi tindakan kolektif

    Teori gerakan sosial baru: fokus pada makna simbolik dari tindakan kolektif. Fokus pada makrososial, structural dan historical yang mempercepat gerakan sosial. Fokus pada kualitas kehidupan. Fokus pada partisipasi akar rumput

    Metode utama: Variasi-termasuk analisa sekunder, analisa survey, pengamatan terlibat.

    Metode unik: Intervensi sosiologis mis. Touraine dkk 1983; popular epidemiology Feminist methodology

    Mobilisasi sumberdaya;

    Teori gerakan sosial baru

    Gerakan Not in My Backyard;

    Gerakan teknologi yang layak

    Profeminism

  • T E O R I

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200624

    Sedangkan Hannigan (1995) melihat 2 masalah yang utama dalam literatur yang telah ada dalam sosiologi lingkungan yaitu1. Penyebab kerusakan lingkungan2. Munculnya kesadaran dan gerakan

    lingkungan

    Dari gambaran gambaran yang diberikan oleh para penulis ini, terlihat bahwa apa yang menjadi perhatian atau bidang kajian dari sosiologi lingkungan masih sangat beragam.

    DAFTAR KEPUSTAKAANBurningham, Kate. 1998. A Noisy Road or Noisy

    Resident?: A Demonstration of the Utility of Social Constructionism for Analysing Environmental Problems. Th e Editorial Board of the Sociological Review, Oxford: Blackwell Publishers

    Burningham, Kate., Cooper, Geo . 1999. Being Constructive: Social Constructionism and the Environment. Sociology. Sosiology 33 (2): 297-316

    Buttel, Frederick H. New Directions in Environmental. Sociology. Annual Review of Sociology, 13: 465-488

    Dunlap, R.E., Catton, W.R. Jr. 1979. Environmental Sociology. Annual Review of Sociology, 5: 243-73

    Franklin, Adrian. 2002. Nature and Social Th eory. London: Sage Publications.

    Goldman, Michael., Schurman, Rachel. A. 2000. Closing the Great Divide: New Social Th eory on Society and Nature. Annual Review Sociology 26: 563-84

    Grundmann, Reiner., Stehr, Nico. 2000. Social Sciences and the Absence of Nature: Uncertainty and the Reality of Extremes. Social Science Information 39 (1): 155-179

    Hanigan, John. 1995. Environmental Sociology: A Social Constructionist Perspective. London: Routledge.

    Huber, Joseph. 2001. Environmental Sociology in Search of Pro le. Paper prepared for the Autum Meeting of the Section Sociology and Ecology of the German Society of Sociology. Bremen: Martin-Luther-Universitat

    Koppen, C.S.A. (Kris) van. 2000. Resource, Arcadia, Lifeworld. Nature Concepts in Environmental Sociology. Sociologia Ruralis 40 (3):300-318

    Lidskog, Rolf. 2001. Th e Re-Naturalization of Society? Environmental Challenges of Sociology. Current Sociology 49 (1): 113-136

    Macnaghten, P., Urry, J. 1995. Toward a Sociology of Nature. Sociology 29 (2): 203-20

    Martell, Luke. 1994. Ecology and Society: An Introduction. Cambridge: Polity Press.

    Tindall, David B. 1995. What is Environmental Sociology? An Inquiry into the Paradigmatic Status of Environmental Sociology. Dalam Mehta, M., Outlet, E. (eds) Environmental Sociology: Th eory and Practice. North York, Ontarion: Captus Press.

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 25

    LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN

    ABSTRACTTh e relationship between general environment and development is examined and analyzed by comparing the developmental implications of the Indonesian forestry sector with the Indonesian Oil and LNG sector. Speci cally the Indonesian teak forests based on the data provided by Nancy Lee Pelusos book Rich Forests, Poor People, (1992)on the island of Java and the Indonesian Oil and LNG industries in Bontang, East Kalimantan based on the writers research data (1997). Th e general environment and development relations of the energy and forestry sectors have both similarities and di erences and they are compared during the New Order period (1966-1997) with speci c emphasis on the role of the state within the Indonesian political economy.

    Key Concepts: Indonesian forestry sector; Indonesian Oil and LNG sector; Th e role of Th e State.

    Hubungan antara lingkungan hidup dan pembangunan dianalisis dalam perbandingan sektoral antara sektor minyak dan gas alam, dan sektor kehutanan Indonesia sebagaimana pembahasan dalam buku Peluso Rich Forests, Poor People (1992). Sebelum membandingkan hubungan lingkungan hidup dan pembangunan dalam sektor energi dan kehutanan, saya akan memberikan gambaran umum tentang argumen-argumen utama Peluso. Kemudian, saya akan membahas kemiripan dan perbedaan sektor-sektor ini dalam masa Orde Baru Suharto (1966-1997) dengan perhatian khusus pada peran negara dalam ekonomi politik Indonesia.

    Karya Peluso, Rich Forests, Poor People mengungkapkan akar-akar kon ik

    Francisia SSE. Seda

    Francisia Saveria Sika Ery Seda meraih gelar doctor in philosophy (Ph.D.) dalam bidang development studies dari University of Wisconsin at Madison

    pada tahun 2001 dengan disertasi Petroleum Paradox: The Political Economy of Indonesias

    Industrialization Strategy during the New Order (1967-1997). Sekarang menjadi Lektor pada Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan

    Ketua Program Studi Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia (sejak tahun 2005). Dosen pada Pusat Studi Kajian Wanita dan Pusat Studi

    Ilmu Lingkungan pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Dosen Luar Biasa pada

    Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Salah seorang penulis di dalam buku The Politics

    and Economics of Indonesias Natural Resources yang diterbitkan oleh ISEAS di Singapura, 2005.

    Salah seorang kontributor sebagai penulis di dalam buku Gender and Politics yang diterbitkan

    oleh Routledge di London, 2006.

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200626

    kehutanan kontemporer dalam sejarah panjang pertentangan klaim antara buruh tani dan negara, dan dalam gambaran-gambaran yang saling bertentangan tentang arti dan fungsi hutan. Dalam tinjauan yang dianalisis dengan baik dan mendetil mengenai politik kehutanan Jawa ini, Peluso menempatkan perubahan lingkungan dalam konteks sejarah, politik dan sosial. Peluso menampilkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang negara sebagai agen konservasi dan penggunaan ideologi konservasi untuk melegitimasi langkah-langkah koersif dalam mendapatkan kontrol negara atas sumber daya. Lingkungan hidup tampil sebagai medan pertikaian politik, ekonomi dan ideologi.

    Tujuan utama Peluso adalah untuk menunjukkan bahwa metode-metode koersif dalam kontrol kehutanan menimbulkan lebih banyak, bukan semakin sedikit, kerusakan hutan, yang pada akhirnya mengganggu kepentingan ekonomi negara. Selain itu, meskipun terdapat klaim memajukan pembangunan desa, kebijakan negara gagal menyelesaikan masalah kemiskinan struktural di desa-desa yang memaksa warga desa melakukan tindak-tindak pidana terhadap hutan. Inti argumennya adalah tinjauan berganda terhadap kon ik antara budaya kontrol negara dan budaya perlawanan masyarakat, yang menimbulkan ketegangan sosial dan pembusukan lingkungan hidup.

    Analisis Peluso terhadap budaya kontrol diawali dengan peran negara, struktur akses yang diciptakannya dan mekanisme kontrol yang ada. Pertanyaan utamanya adalah Bagaimanakah kekuasaan negara

    mengelola sumber daya alam? Apa kepentingan material dan ideologi organisasi pemerintah dan agen-agennya yang berusaha mengontrol sumber daya tersebut? Bagaimana kekuasaan diejawantahkan? (Peluso, 1992). Negara mengklaim kontrol absolut terhadap lahan yang diklasi kasikan sebagai hutan negara dan semua pohon jati. Dua puluh tiga persen tanah di Jawa diklasi kasikan (secara politis) sebagai hutan negara; dua pertiganya adalah untuk hutan produksi (terutama kayu jati) dan dikelola oleh Perum Perhutani. Sepertiga penduduk pedesaan Jawa tinggal di desa-desa di sekitar tanah hutan. Sumber daya kehutanan utama bagi pemerintah adalah kayu jati, sementara bagi sebagian terbesar masyarakat pedesaan di wilayah-wilayah berhutan di Jawa, sumber daya utama bagi mereka adalah lahan pertanian. Perusakan lingkungan hidup yang terparah biasanya terjadi di daerah-daerah tempat pecahnya pertentangan antara kedua kepentingan ini.

    Reboisasi tanah negara dilakukan dengan memberikan akses sementara kepada para petani ke lahan-lahan untuk pertanian, dengan imbalan menanam dan melindungi bibit-bibit pohon. Dengan memperhatikan kurangnya lahan pertanian, dan status ekonomi marjinal di sebagian besar kalangan warga wilayah berhutan, mereka berkepentingan untuk selama mungkin menunda reboisasi, sehingga menjamin kesempatan bagi mereka untuk bercocok tanam. Dalam hal ini, Peluso menunjukkan bahwa istilah penggundulan hutan menjadi istilah yang tidak jelas dan bermuatan. Dalam pandangan Perhutani,

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 27

    tanah negara yang telah digunakan untuk pertanian, atau tanah tempat usaha reboisasi gagal, disebut gundul. Namun para petani tidak menganggap hal ini sebagai degradasi terhadap basis sumber daya mereka.

    Kebijakan kehutanan Indonesia menggunakan pendekatan dua jalur yang menggabungkan langkah-langkah represif dan preventif untuk keamanan hutan. Konsep keamanan hutan merupakan konstruksi negara yang melegitimasi dan memungkinkan kontrol monopolistik terhadap sumber daya hutan, yang berdasarkan pada rede nisi penggunaan-penggunaan kekayaan hutan secara tradisional sebagai tindak pidana. Menebang pohon jati dewasa, memotong kayu tanpa izin, menggembalakan ternak di wilayah-wilayah terbatas, membuat api dan melanggar tanah hutan adalah tindakan-tindakan yang dipidanakan. Hukum Indonesia mengkodi kasi kontrol negara terhadap semua kegiatan di tanah-tanah hutan dan menjusti kasi praktik keamanan dan pengawasan yang koersif.

    Pemerintah Indonesia mewarisi struktur institusional Perhutani dari kolonialis Belanda. Ideologi dan praktik Eropa untuk manajemen kehutanan ilmiah tetap bertahan sebagai kerangka normatif untuk melakukan manajemen berkelanjutan. Ilmu kehutanan bukan saja suatu ilmu pengetahuan, namun juga sistem kontrol ekonomi politik yang sejak kemerdekaan Indonesia dirasuki oleh ideologi nasionalis yang melegitimasi kebijakan dan pengawasan hutan oleh negara. Seperti dikatakan Anderson (1991), dengan memitologikan masa lalu hutan dijadikan

    sebagai simbol nasional, yang merupakan hak sah negara bangsa yang baru. Dalam pandangan Perhutani, tidak ada hubungan antara kekurangan tanah di masa kini dan tindak-tindak pidana kehutanan dan dampak sejarah kebijakan hutan yang tidak melibatkan masyarakat. Hubungan sejarah masyarakat dengan hutan dicoba dihapuskan, dan gagasan tentang produk hutan tradisional dide nisikan ulang sebagai produk-produk yang paling mungkin diproduksi dalam skala besar. Artinya, sejarah diimajinasikan kembali untuk kepentingan negara yang dominan.

    Di Jawa, negara telah memonopoli ideologi dan diskursus konservasi, meskipun memang didukung perhatian internasional tentang penggundulan hutan. Karena produksi kayu jati secara berkelanjutan mutlak terkait dengan pemeliharaan hutan, kebijakan negara bisa dengan mudah digariskan dalam terminologi konservasi lingkungan hidup. Agen-agen Perhutani percaya bahwa mereka sedang mendorong bentuk penggunaan sumber daya yang e sien dan rasional yang dilakukan untuk kemakmuran rakyat banyak. Kemakmuran ini dicoba untuk dicapai dengan produksi kayu jati. Sebaliknya, masyarakat secara historis memahami tanah dengan memperhatikan nilai kegunaannya, bukan nilai tukar pohon-pohon yang tumbuh di atasnya.

    Dalam menanggapi perlawanan masyarakat yang terkait dengan perubahan ekologis, Peluso menempatkan karyanya dalam tradisi intelektual sejarah sosial dan ekologi politis. Ia menekankan sejarah perubahan sosial dan ekologis yang saling

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200628

    terkait, dan pertikaian rakyat-negara untuk mendapatkan dan mengelola sumber daya. Karyanya menjelaskan seperangkat hubungan yang rumit dan kabur antara negara, agen-agennya dan kelas-kelas serta faksi-faksi di pedesaan.

    Perlawanan rakyat terhadap sasaran kehutanan negara timbul dari kriminalisasi hak-hak tradisional atas akses dan pengelolaan hutan. Sebelum adanya kontrol negara, tanah tidak dimiliki secara individual; hak untuk bercocok tanam didapatkan dengan membersihkan lahan dan memeliharanya. Klaim-klaim luar melanggar kepercayaan tradisional bahwa hutan merupakan milik masyarakat yang tinggal di sekitar batas-batasnya. Perlawanan rakyat mengambil berbagai bentuk, mulai dari ketidaktaatan terhadap hukum tentang hutan dan program reboisasi, hingga perusakan sengaja terhadap properti negara, dan apa yang disebut Peluso sebagai perampasan kembali (counterappropriation) kayu jati. Terdapat budaya perlawanan di kalangan warga desa. Warga desa melawan kontrol dari luar, namun perlawanan ini terganggu oleh para pelaku pasar gelap kayu jati, dan agen-agen kehutanan yang tindakannya seringkali memperkuat privilese akses berdasarkan kelas. Peluso, dalam mengakui pentingnya perlawanan sehari-hari tidak mereduksi tindakan warga desa menjadi perjuangan kelas implisit, dan ia tidak membantah ambiguitas posisi mereka. Tindakan-tindakan perlawanan timbul dari berbagai macam motif, bergantung pada keadaan-keadaan yang berbeda-beda dan ikatan-ikatan sosial

    individual. Peluso juga memperhatikan bahwa para petugas lapangan Perhutani mengalami pertentangan subjektif mereka dalam tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan: untuk menanam dan melindungi pohon-pohon, dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan.

    Dalam karyanya Rich Forest, Poor People (Peluso, 1992), ia menyatakan bahwa pengungkapan asal muasal kepentingan yang saling bertentangan, akar-akar sejarah, ideologi dan ekonomi dan tempat-tempat terjadinya kon ik merupakan syarat mutlak untuk usulan kebijakan. Maka, degradasi ekologis dan perampasan haruslah diteliti dengan memperhatikan proses sejarah, praktik sosial dan mediasi simbolis.

    Dalam karyanya, Peluso menekankan pentingnya peran negara dengan struktur akses yang dibentuknya dan mekanisme-mekanisme kontrol yang ada dalam konteks budaya kontrol yang sedemikian marak di Indonesia, terutama dalam masa Orde Baru (1967-1998). Dalam membandingkan sektor energi (terutama minyak) dan kehutanan (terutama kayu jati), ciri-ciri tertentu negara Indonesia dapat digeneralisasi dan dijadikan dasar perbandingan.

    Perkembangan industri minyak mau-pun kayu dipengaruhi oleh sejarah Indonesia, termasuk peninggalan kolonial, hubungan kelas dan hubungan negara-swasta. Juga, geopolitik pembangunan dan iklim investasi atau tingkat keterbukaan terhadap modal asing atau modal bergerak telah mempengaruhi kepentingan dan

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 29

    tindakan-tindakan perusahaan-perusahaan dan individu-individu di kedua sektor. Warisan Sukarno kepada Suharto dari masa pascakolonial awal yang nasionalis adalah untuk mencegah modal asing mendapatkan akses dan kontrol mudah untuk mengeksploitasi sumber daya alam, termasuk minyak bumi dan kayu. Namun otonomi potensial dan kapasitas nyata negara Orde Baru berbeda-beda antar sektor dan tergantung interaksi antara kedua sektor.

    Sebelum menunjukkan perbandingan lebih lanjut antara kedua sektor, ada satu hal utama yang perlu dijelaskan dalam konteks karya Peluso. Perlu ditekankan bahwa sektor kayu dalam konteks ini adalah kayu selain jati yang diekspor dari pulau-pulau luar (selain Jawa) terutama dari Kalimantan. Alasan mengapa sektor kayu selain jati dari pulau-pulau luar ini dipilih untuk dibandingkan dengan sektor minyak adalah kenyataan bahwa Indonesia mendapatkan sebagian terbesar penghasilan negara dari sektor-sektor ini di provinsi-provinsi luar. Alasan yang sama inilah yang menjadikan perbedaan dengan karya Peluso tentang hutan jati di Jawa begitu menarik dan penting. Perbedaan ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak terdapat perbedaan. Saya akan membahas lebih lanjut apa kemiripan dan perbedaan yang ada.

    Di sektor minyak, ciri-ciri komoditas ini memberikan kesempatan bagi regim pascakolonial yang nasionalis untuk mencapai sasaran pembangunan yang sebagiannya dilanjutkan oleh regim Orde Baru. Sifat padat modal dari industri

    minyak dan pentingnya bagi produksi industri di masa pertumbuhan pascaperang, dan sejarah perkembangan industri minyak, memiliki arti bahwa perusahaan-perusahaan internasional dan negara-negara inti amat tertarik untuk ekstraksi minyak secara tepat waktu dan ekonomis dari semua sumber yang tersedia. Meskipun pemerintah Indonesia memerlukan devisa dari sektor minyak, Sukarno mencegah perkembangan sektor ini di dasawarsa 1950-an. Penundaan dan tantangan terhadap hegemoni dunia oleh Amerika Serikat ini memberikan kesempatan lebih belakangan bagi Indonesia, terutama dengan memperhatikan biaya transpor yang lebih rendah ke pasar Jepang yang sedang bertumbuh, dan ranah pengaruh Jepang di Asia (Gellert, 1998).

    Negara mengambil kesempatan untuk menegaskan kemerdekaannya dari modal internasional dan mengembangkan industri nasional minyak yang unik. Dengan memperhatikan kekuatan modal minyak internasional dan kesediaan negara-negara inti untuk terlibat dalam perundingan untuk akses ke bahan-bahan mentah yang penting, nasionalisasi dihindari, bahkan oleh Sukarno. Presiden Suharto, meskipun lebih terbuka bagi modal asing, menarik garis yang tipis antara menantang dan bermusuhan dari modal tersebut, dengan mempercayakan kepada Ibnu Sutowo untuk secara pribadi mengelola industri minyak.

    Di satu sisi, keuntungan yang didapatkan dari sektor minyak meningkat dengan signi kan, dan inovasi kontrak bagi produksi menciptakan cara baru

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200630

    berbagi keuntungan dan kontrol terhadap sektor minyak yang kemudian ditiru di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan keuntungan dari sektor minyak tersebut untuk melakukan ekspansi ekonomi, termasuk memberikan kesempatan kepada warga pribumi yang di bidang ekonomi kurang maju dan mencegah keresahan masyarakat dengan menanamkan modal untuk mencapai swasembada beras. Di sisi lainnya, kekuatan modal global masih tetap bertahan. (Gellert, 1998).

    Dalam sektor kayu, negara juga terlibat sejak awal, namun karena waktu dan ciri sektor tersebut, ia tidak terlalu banyak mengontrol langsung sektor tersebut. Setelah arus ekspor kayu hasil pembalakan dibuka, negara praktis mengontrol sumber daya tersebut secara terpusat, serupa dengan kontrolnya terhadap minyak. Seperti dalam sektor minyak, negara menekan modal asing untuk mengizinkan pemrosesan industri hilir yang memberikan nilai tambah. Meskipun larangan ekspor kayu gelondongan kemudian diberlakukan, ketika pasar internasional tidak lagi mendukung. Indonesia tetap berusaha. Pendapatan tinggi dari minyak pada dasawarsa 1970-an dan awal 1980-an memberikan ruang politik bagi pemerintah Indonesia untuk menggunakan sektor kehutanan untuk patronase lebih daripada sektor minyak.

    Sektor perkayuan memberikan kesempatan dan tantangan tidak seperti di sektor minyak, bagi sebuah negara yang kekuatannya sebagian besar berdasarkan pada patronase (Gellert, 1998). Ciri sumber daya kehutanan Indonesia

    yang lebih kabur dan dapat dibagi-bagi memungkinkan negara untuk membagi-bagikan patronasenya kepada sejumlah besar perusahaan, pada awalnya perusahaan-perusahaan asing yang bekerjasama dengan rekanan domestik, terutama dari militer. Ciri yang sama itu pula yang menyebabkan negara lebih sukar untuk mengontrol kegiatan di lapangan. Maka tidak mengherankan bahwa kontrol dialihkan kepada sekutu dan kroni kepercayaan Suharto, Bob Hasan. Klien-klien swasta dari negara, bukan aktor negara, seperti Bob Hasan dan Ibnu Sutowo di sektor minyak, merupakan orang-orang yang digunakan Suharto untuk memfokuskan energinya dalam sektor-sektor penting tersebut.

    Terdapat pula isu-isu subnasional yaitu otonomi daerah dan kemampuan daerah yang berbeda antara minyak dan kayu. Produksi minyak yang berupa enklaf, dan ketergantungan pada sumber modal dan teknologi asing dalam jumlah besar menjadikan sektor ini lebih mungkin dikontrol secara terpusat oleh negara. Hal ini terutama berlaku dengan meningkatnya produksi minyak lepas pantai. Sebaliknya, produksi kayu, haruslah diperluas ke dalam wilayah hutan-hutan rimba. Untuk bisa mengarahkan perkembangan industri pembalakan, negara Indonesia yang terpusat setidaknya harus mendapatkan kerjasama dari aktor-aktor subnasional yang mungkin menginginkan sebagian dari keuntungan. Di sisi lainnya, negara bisa dan memang mensyaratkan bahwa institusi-institusi subnasional tersebut bertanggung jawab untuk meredam dampak sosial dan ekologisnya.

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 31

    Dalam membandingkan sektor minyak dan kayu di Indonesia dalam masa regim Suharto dalam konteks peran negara, dan menggunakan analisis konseptual Evans tentang spektrum predatoris-developmentalis, pemerintah Indonesia bersifat kompleks (Gellert, 1998). Seperti di negara predatoris pada umumnya, sumber daya dimanfaatkan untuk kepentingan para pemimpin negara dan orang-orang yang terkait dengan para pemimpin. Orde Baru telah mengalokasikan sektor-sektor minyak dan kayu secara berbeda kepada individu-individu demikian. Seperti di negara developmentalis pada umumnya, di sisi lainnya, telah tercipta birokrasi profesional di beberapa bagian pemerintah Indonesia, dan telah ada investasi di usaha-usaha produksi dan juga pertanian untuk memenuhi keperluan penduduk yang besar dan menciptakan dasar legitimasi politik regim Suharto yang selalu berdasar pada pertumbuhan ekonomi. Pada titik-titik persimpangan yang penting, seperti krisis Pertamina, Suharto dapat bergantung kepada para teknokrat Bappenas untuk mengelola variabel-variabel makroekonomi ke arah rasionalitas ekonomi dan transparansi untuk menjaga arus masuk penanaman modal asing ke negara ini.

    Pemerintah Indonesia dalam masa ini menunjukkan bahwa ia memiliki elemen-elemen baik negara predatoris maupun developmentalis (Gellert, 1998). Negara terus menciptakan kondisi-kondisi yang mendukung bagi predator untuk kembali menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara memberikan kemurahan kepada beberapa pihak, termasuk hak untuk

    menguras kekayaan alam, kemurahan-kemurahan tersebut bukan tanpa muatan dari pemerintah, seperti untuk menciptakan industri lokal yang memiliki dampak pembangunan yang diakui secara global. Memang cara ini merupakan bentuk predasi, karena bergantung pada ekstraksi sumber daya alam dengan masa depan yang pada akhirnya terbatas, namun ia terus menciptakan penanaman modal kembali dan mendorong modal domestik maupun asing. Apakah industri-industri yang dikaitkan kepada minyak dan kayu (terutama kayu lapis) ini see sien yang diharapkan ataupun tidak, masih terdapat cukup akumulasi bagi para pemimpin Indonesia untuk kepentingan mereka sendiri ataupun kepentingan lainnya.

    Karya Peluso tentang kontrol sumber daya alam dan perlawanan di Jawa bukan saja suatu karya perintis, namun juga sumbangan yang unik pada diskursus sektor kehutanan di Indonesia pada masa Orde Baru. Tidak seperti karya-karya lainnya dalam analisis kehutanan Indonesia, ia membahas dan menganalisis hutan-hutan jati dan ekspornya, dan bukan kayu selain jati yang merupakan sumber devisa penting bagi sektor kehutanan Indonesia. Sebuah perbedaan utama dan penting lainnya adalah bahwa ia membahas pulau Jawa, yang kelebihan penduduk dan miskin sumber daya alam, bukan pulau-pulau lain yang kekurangan penduduk dan kaya sumber daya alam, yang merupakan wilayah-wilayah utama sektor kehutanan Indonesia. Jadi, perbedaan-perbedaan penting ini menempatkan karyanya pada konteks sejarah, politik dan sosial yang spesi k.

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 200632

    Dalam konteks kelebihan penduduk dan kurangnya sumber daya alam namun dengan anugerah tanah yang subur yang merupakan ciri Jawa, timbullah kon ik politik, sosial dan sejarah antara badan-badan pemerintah dan penduduk setempat. Pada saat yang sama Jawa juga merupakan pusat politik dan ekonomi negara ini. Maka, kontrol oleh badan negara dan perlawanan penduduk setempat dirasakan lebih kuat dibandingkan bila terjadi di daerah-daerah produksi utama lainnya dalam sektor kehutanan Indonesia. Penetrasi negara melalui badan-badannya dan metode-metode koersif digunakan dengan lebih mendalam di Jawa dibandingkan di pulau-pulau lainnya.

    Perbedaan mendasar tersebut tidak berarti bahwa tidak ada perbedaan antara Jawa dan pulau-pulau lainnya dalam sektor kehutanan. Hukum Indonesia yang mengkodi kasi kontrol negara terhadap semua kegiatan di tanah-tanah hutan dan menjusti kasi praktik keamanan dan pengawasan yang koersif juga berlaku di wilayah-wilayah yang sama. Ilmu kehutanan yang dirasuki ideologi nasional digunakan, tidak saja oleh badan-badan dan institusi-institusi negara, namun juga oleh perusahaan-perusahaan milik swasta dan militer di Kalimantan yang mengoperasikan sebagian besar hak penguasaan hutan. Berbagai suku Dayak di Kalimantan juga tidak diakui sejarah hubungannya dengan hutan-hutan, seperti pula warga-warga pedesaan di Jawa. Mereka juga mengalami kriminalisasi terhadap hak-hak tradisional mereka untuk memasuki dan memanfaatkan hutan. Negara menyalahgunakan ideologi

    pembangunan nasionalis untuk menyita tanah dan hutan dari penduduk desa Jawa maupun warga Dayak. Tingkat penetrasi negara mungkin memang berbeda, tetapi dominasi ini tetap dirasakan oleh warga setempat di manapun di seluruh negeri.

    Perbedaan antara produksi kayu jati di Jawa dan produksi minyak di pulau-pulau lain seperti Kalimantan bukan hanya geogra s. Perbedaan ciri antara kedua komoditas tersebut telah jelas. Sebagian terbesar wilayah produksi minyak ditemukan di pulau-pulau luar yang jarang penduduknya, dan juga merupakan enklaf-enklaf yang hampir terisolasi dari lingkungan sekitarnya dan tidak memberikan keuntungan apapun. Misalnya, di Kalimantan Timur, sebelum dimulainya eksplorasi dan eksploitasi minyak, tidak banyak penduduk hidup di wilayah pantai tempat hampir semua industri minyak lepas pantai dibangun. Suku-suku Dayak hidup jauh di pedalaman, di hutan rimba luas, tempat hampir semua HPH terletak.

    Dalam pengamatan saya, perbedaan ini tidak menegasikan kegunaan karya Peluso. Lebih penting lagi, analisisnya tentang budaya kontrol yang diawali dengan peran negara, struktur akses yang dibentuknya dan mekanisme kontrol akan tetap berguna. Pertanyaan intinya: bagaimanakah kekuasaan negara mengelola sumber daya alam; apa kepentingan material dan ideologi organisasi pemerintah dan agen-agennya yang berusaha mengontrol sumber daya tersebut; dan bagaimana kekuasaan diejawantahkan amatlah relevan bagi sektor energi, terutama industri

  • T O P I K

    JURNAL MASYARAKAT Vol XIII, Nomor 2 tahun 2006 33

    minyak dan gas. Relevansinya terletak dalam perhatiannya pada pentingnya kaitan antara tingkat analisis mikro dan makro yang kemudian akan menciptakan pemahaman yang lebih baik terhadap dinamika proses pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

    Peluso, Nancy Lee. Rich Forests, Poor People Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press, 1992.

    Peluso, Nancy Lee. Coercing Conservation? Th e Politics of State Resource Control,. Human and Policy Dimensions, 3 (2), 1993.

    Peluso, Nancy Lee, Craig R. Humphrey, and Louise P. Fortmann. Th e Rock, the Beach, and the Tidal Pool: People and Poverty in Natural Resource-Dependent Areas,. Society and Natural Resources, 7, 1994.

    Anderson, Benedict. Imagined Communities. New York: Verso, 1991.

    Gellert, Paul K. Th e Limits of Capacity: Th e Political Economy and Ecology of Th e Indonesian Timber Industry, 1967-1995. Ph.D. Dissertation. University of Wisconsin at Madison, 1998.

  • T O P I K