JIHAD DALAM ALQURAN;e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4676/1/skripsi.pdf · Kitab suci Alquran...
Transcript of JIHAD DALAM ALQURAN;e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4676/1/skripsi.pdf · Kitab suci Alquran...
i
JIHAD DALAM ALQURAN;
APLIKASI TEORI PENAFSIRAN „DOUBLE MOVEMENT‟
FAZLUR RAHMAN SEBAGAI UPAYA KONTEKSTUALISASI
AYAT-AYAT QITAL DALAM ALQURAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh :
Mukhamad Saifunnuha
NIM 21514014
JURUSAN ILMU AL-QUR‟AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2018
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mukhamad Saifunnuha
NIM : 215-14-014
Fakultas : Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi : Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir
Menyatakan bahwa naskah skripsi saya yang berjudul ”Jihad Dalam
Alquran; Aplikasi Teori Penafsiran „Double Movement‟ Fazlur Rahman
Sebagai Upaya Kontekstualisasi Ayat-Ayat Qitāl Dalam Alquran” adalah
benar-benar hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian
yang dirujuk sumbernya berdasarkan kode etik ilmiah, dan bebas dari
plagiarisme. Jika kemudian hari terbukti ditemukan plagiarisme, maka saya
siap ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Salatiga, Mei 2018
Yang menyatakan,
Mukhamad Saifunnuha
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoresi dan diperbaiki, maka skripsi Saudara:
Nama : Mukhamad Saifunnuha
NIM : 21514014
Fakultas : Ushuluddin Adab Dan Humaniora
Program Studi : Ilmu Al-Qur‟an Dan Tafsir
Judul : Jihad Dalam Alquran; Aplikasi Teori Penafsiran
„Double Move ment‟ Fazlur Rahman Sebagai Upaya
Kontekstualisasi Ayat-Ayat Qitāl Dalam Alquran
Telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan.
Salatiga, Mei 2018
Pembimbing,
Prof. Dr. Budihardjo, M. Ag.
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
Jalan Nakula Sadewa VA/No. 09 Salatiga 50721. Telp (0298) 323706 Fax. 323433
iv
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi Saudara Mukhamad Saifunnuha dengan Nomor Induk Mahasiswa
215-14-014 yang berjudul “Jihad Dalam Alquran: Aplikasi Teori
Penafsiran Double Movement Fazlur Rahman sebagai Upaya
Kontekstualisasi Ayat-ayat Qitāl dalam Alquran” telah dimunaqosyahkan
dalam Sidang Panitia Ujian Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora,
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga pada Senin, 10 September
2018 dan telah diterima sebagai bagian dari syarat-syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.
Salatiga, September 2018
Panitia Ujian
Ketua Sidang
Dr. Mubasirun, M. Ag.
NIP. 19590202 199003 1001
Sekretaris Sidang
Prof. Dr. Budihardjo, M. Ag.
NIP.19541002 198403 1001
Penguji I
Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.
NIP. 19720531 199803 1002
Penguji II
Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
NIP. 19741123 200003 2002
Pembimbing
Prof. Dr. Budihardjo, M. Ag.
NIP. 19541002 198403 1001
v
MOTTO
Waktu adalah sesuatu yang kita punya dari-Nya, berpacu dengan waktu
adalah tugas kita, mengabaikan waktu adalah celaka bagi kita.
شضي زي صح خز سبء زظش ا إرا أصجحذ كال ر جبح زظش اص ذ كال ر س ... إرا أ
ري حبري
“... Apabila kamu berada di sore hari janganlah kamu menunggu (melakukan
sesuatu) hingga pagi hari datang. Apabila kamu berada di pagi hari
janganlah menunggu hingga sore datang. Gunakan waktu sehatmu untuk
menghadapi sakitmu, dan waktu hidupmu untuk menghadapi matimu.”
(HR. Bukhari)
vi
PERSEMBAHAN
Teruntuk Bapak dan Ibu Tercinta
Teruntuk juga Kakak dan Adik Terkasih
Teruntuk pula Mbah Kakung dan Mbah Putri Tersayang
Keluarga dan sahabat-sahabat yang selalu terpanjat dalam do’a,
Juga seseorang yang mengingatkan penulis akan singkatnya waktu,
yang sebenarnya penulis ingin sebutkan namanya dalam persembahan
ini, namun tidak perlu kiranya,
Dengan segala kekurangan, dan dengan segala upaya dan usaha yang
ada, penulis persembahkan tulisan ini untuk semuanya.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan berbagai
nikmat dan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “JIHAD DALAM ALQURAN;
APLIKASI TEORI PENAFSIRAN „DOUBLE MOVEMENT’ FAZLUR
RAHMAN SEBAGAI UPAYA KONTEKSTUALISASI AYAT-AYAT
QITAL DALAM ALQURAN”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Strata I (S1) pada Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Shalawat serta salam tidak lupa selalu penulis curahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan ummatnya yang selalu setia
pada syafaatnya hingga akhir zaman. Terima kasih penulis haturkan kepada
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini. Atas
bantuan baik itu berupa dukungan, tenaga, maupun waktu dan materi. Tiada
kata-kata yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih penulis selain
“Jazakumullah Khairan Katsiran” semoga kebaikan dari semua pihak
dibalas Allah SWT dengan berlipat ganda. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
yang telah memberikan kesempatan penulis untuk kuliah di
IAIN Salatiga dan mengadakan penelitian ini.
2. Bapak Dr. Benny Ridwan, M. Hum., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora (FUADAH).
3. Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Ibu Tri Wahyu
Hidayati, M. Ag., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan pengarahan dan masukan serta motivasi
kepada penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M.Ag, selaku dosen pembimbing
skripsi yang selalu sabar dan teliti dalam mengoreksi dan
membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.
viii
5. Bapak dan Ibu dosen yang telah membimbing penulis dalam
memahami ilmu selama duduk di bangku kuliah.
6. Bapak dan Ibu tercinta yang tiada henti-hentinya memberikan
sumbangan baik secara moril maupun materil. Mudah-mudahan
cucuran keringat yang telah tertumpah dijadikan saksi oleh Allah
SWT sebagai bukti dari bagian perjuangan untuk mendapatkan
amal jariyah di hadapan-Nya.
7. Mbah kakung, Mbah put ri, juga Kakak dan Adik tercinta,
terimakasih atas segenap do‟anya. Semoga penulis benar-benar
bisa menjadi qudwah untuk keluarga besar.
8. Segenap keluarga dan teman-teman yang selalu memberikan
motivasi serta dukungannya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam penulisan skripsi ini.
Jazakumullah bi ahsanil jaza‟ atas semuanya. Semoga Allah SWT
meridhai dan memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala jasa-
jasanya.
Demikianlah ucapan terima kasih ini penulis sampaikan, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan bagi semua
pembaca pada umumnya.
Salatiga, September 2018
Penulis,
Mukhamad Saifunnuha
ix
ABSTRAK
Penelitian ini adalah Penelitian Pustaka (Library Research), yang
mengkaji ayat-ayat qitāl dengan menggunakan metode Double Movement
Fazlur Rahman. Tulisan ini berawal dengan adanya pemahaman yang keliru
dari beberapa golongan (seperti Islam Fundamentalis) mengenai perintah
perang (qitāl) yang ada dalam Alquran. Begitu juga untuk meluruskan
anggapan Barat yang menyatakan bahwa Islam adalah Agama pedang dan
kekerasan. Sehingga tujuan penelitian ini adalah; pertama, untuk
mengetahui makna kata qitāl yang terdapat dalam Alquran. Kedua, untuk
mengetahui konteks peristiwa ayat-ayat qitāl. Ketiga, untuk
mengkontekstualisasikan ayat-ayat qitāl dengan menggunakan metode
Double Movement. Sehingga ayat-ayat qitāl tersebut dapat kita ambil nilai
moral dan tujuan umumnya untuk dapat diterapkan dalam problematika
sekarang ini.
Terlebih dahulu penelitian ini memfokuskan pada pemaknaan kata
qitāl dalam Alquran. Setelah didapatkan makna dari qitāl beserta semua
derivasinya dalam Alquran; yaitu berarti perang atau memerangi, kemudian
penulis paparkan ayat-ayat qitāl. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui
asbāb an-nuzūl serta munāsabah (ketersambungan) diantara ayat-ayat yang
ada. Selanjutnya adalah menerapkan metode Double Movement untuk
memahami ayat-ayat qitāl dengan berbekal pemahaman historis yang ada.
Sehingga, dengan langkah-langkah pemahaman yang penulis terapkan,
penulis dapat membuktikan bahwasanya kehujjahan Alquran itu tidak
terbatas waktu dan tempat, dan akan selamanya menjadi pedoman hidup
umat manusia.
Kata kunci: Jihad, Qital, Teori Double Movement
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil
keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan Tunggal
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan huruf, dalam pedoman ini sebagian
dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan
tanda, dan sebagian lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda
sekaligus.
Huruf
Arab
Nama Huruf Latin Keterangan
Alif - tidak dilambangkan ا
- bā‟ b ة
- tā‟ t د
ṡā‟ ṡ s dengan satu titik di س
atas
- Jīm j ط
حḥā‟ ḥ
h dengan satu titik di
bawa
- khā‟ kh خ
- Dāl d د
رŻāl ż
z dengan satu titik di
atas
- rā‟ r س
- Zāi z ص
- Sīn s ط
- Syīn sy ش
صṣād ṣ
s dengan satu titik di
bawah
xi
ضḍād ḍ
d dengan satu titik di
bawah
طṭā‟ ṭ
t dengan satu titik di
bawah
ظẓā‟ ẓ
z dengan satu titik di
bawah
ʿain ʿ koma terbalik ع
- Gain g ؽ
- fā‟ f ف
- Qāf q م
- Kāf k ى
Lām l -
Mīm m -
Nūn n -
Wāwu w -
hā‟ h -
ء
Hamzah
tidak
dilambangkan
atau ‟
apostrof, tetapi lambang
ini tidak dipergunakan
untuk hamzah di awal
kata
- yā‟ y ي
2. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap,
Contoh: ب ditulis rabbanā سث
ة ditulis qarraba هش
ditulis al-ḥaddu احذ
3. Tā‟ marbūṭah di akhir kata
Transliterasinya menggunakan :
xii
a. Tā‟ marbūṭah yang mati atau mendapat harakat sukun,
transliterasinya h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah
terserap menjadi bahasa Indonesia, seperti salat, zakat, dan
sebagainya.
Contoh: حخ ditulis ṭalhah ط
ثخ ditulis at-taubah از
خ ditulis Fātimah كبط
b. Pada kata yang terakhir dengan tā‟ marbūṭah diikuti oleh
kata yang
menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka tā‟ marbūṭah itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh : ضخ االطلب ditulis rauḍah al-aṭfāl س
c. Bila dihidupkan ditulis t.
Contoh: ضخ االطلب ditulis rauḍatul aṭfāl س
Huruf ta marbuthah di akhir kata dapat dialihaksarakan sebagai t atau
dialihbunyikan sebagai h (pada pembacaan waqaf/berhenti).
xiii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Pernyataan Keaslian Tulisan ....................................................................... ii
Persetujuan Pembimbing ............................................................................. iii
Pengesahan Kelulusan ................................................................................. iv
Motto .......................................................................................................... v
Persembahan ............................................................................................... vi
Kata Pengantar ........................................................................................... vii
Abstrak ....................................................................................................... ix
Pedoman Transliterasi ................................................................................. x
Daftar isi ...................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................... 12
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan ..................................... 12
D. Kajian Pustaka ................................................................. 13
E. Metodologi Penelitian ..................................................... 16
F. Sistematika Pembahasan ................................................. 18
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sejarah Perang (qitāl) ...................................................... 19
B. Pengertian Jihad dan Perang (qitāl) ................................ 26
C. Fazlur Rahman dan Teori „Double Movement‟ ............... 31
BAB III KAJIAN AYAT-AYAT QITAL
A. Ayat-ayat Perang (qitāl) dalam Alquran dan
Asbāb an-Nuzūlnya ......................................................... 47
B. Penggunaan dan Pemaknaan kata qitāl dalam
Alquran ............................................................................ 57
xiv
BAB IV APLIKASI TEORI DOUBLE MOVEMENT TERHADAP
AYAT-AYAT PERANG (QITAL)
A. Aplikasi Teori Double Movement terhadap Ayat-ayat
qitāl ................................................................................. 62
B. Kontekstualisasi Ayat-ayat qitāl terhadap Problematika
Masa Kini ........................................................................ 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 76
B. Saran ................................................................................ 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kitab suci Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia yang
haqiqi senantiasa memberikan kontribusi monumental dalam setiap lini
kehidupan, selain itu juga Alquran tidak menjadikan dirinya sebagai
pengganti usaha manusia, akan tetapi sebagai pendorong dan pemandu demi
berperannya manusia secara positif dalam berbagai bidang kehidupan.
Alquran akan mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran (lurus), agar
manusia tidak keliru dalam menjalankan aktifitas kehidupannya. Alquran
adalah kitab yang memberikan penjelasan secara komprehensif baik masalah
besar dan kecil termasuk juga bagaimana sebuah sistem dalam bertatanegara
hingga bagaimana berperang yang benar yang sesuai dengan petunjuk
Alquran dan rasul-Nya. Oleh sebab itu, segala upaya pemahaman dan
pengaplikasian Alquran seyogyanya harus dipertimbangkan melalui
berbagai faktor yang sulit dalam sejarah kehidupan manusia. Alquran harus
diracik dan ditafsirkan melalui penelusuran-penelusuran dengan melihat
kondisinya baik dari segi sosiologis, kultural, psikologis, etika, politik, dan
berbagai keilmuan lainnya.1 Ajaran Alquran meliputi segala bidang aspek
kehidupan manusia dan saling menjaga antara bangsa dan agama.
Kehadiran Islam dengan segala idealitasnya diatas ternyata belum
dapat memberikan pemahaman yang komprehensif bagi sebagian kelompok.
Salah satunya adalah kelompok fundamentalis khususnya fundamentalis
agama.2 Fundamentalis ini yang kemudian diidentikkan dengan terorisme.
1 Emha Ainun Nadjib, Surat Kepada Kanjeng Nabi (Bandung: Mizan, 1997), 335.
2 Beberapa sarjana menggunakan istilah “Islamisme” sebagai padanan kata Islam
radikal/fundamental. Fazlur Rahman menggunakan istilah “revivalisme” sementara Hasan
Hanafi menggunakan istilah “Ushuliyyah”. Sementara banyak yang menilai bahwa
fenomena akan fundamentalisme Islam sebenarnya adalah gerakan politik, sehingga mereka
menyebutnyya sebagai “Islam Politik”. Lihat; Prabowo Adi Hidayat, Argumentasi Makna
Jihad dalam Alquran ditinjau dari Perspektif Masyarakat Kosmopolitan, STAIN Jurai Siwo
Metro, t.th., 2.
2
Artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa yang ajaran-ajarannya
membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk perjuangan.
Dengan beberapa kasus terorisme yang muncul ke permukaan, Islam
semakin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan
fundamentalis dan ekstrimis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama
atau jihad atas nama Tuhan.
Banyaknya kasus kekerasan dan terorisme berdampak pada citra
agama, dimana seringkali kasus tersebut dikaitkan dengan Islam. Hal ini
menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana pemahaman
keislaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama yang
memiliki penganut mayoritas mempunyai andil besar dalam pembentukan
lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang dianut
oleh mayoritas umat dunia mempunyai implikasi yang kuat terhadap cara
berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam memegang
teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.
Hasyim Muzadi berpendapat bahwa jika mengikuti asumsi atau
tuduhan diatas, tentu saja jika benar bahwa pelaku terorisme adalah gerakan
fundamentaslisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman
keagamaan yang eksklusif, skriptualis, dan miskinnya pemahaman realitas
historis dalam menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga
mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam
menyikapi realitas perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya,
dan ekonomi. Bahkan termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam
mengimplementasikan prinsip amar ma‟rūf nahī mungkar.3
Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis
dalam menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya
maupun dengan makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk
3 Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk, Kejahatan
Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004), v.
3
tentu saja lahir dengan sendirinya membutuhkan berbagai penafsiran.
Mengenai hal itu, objek kajian terhadap teks ini tidak mengacu pada realitas
yang berada diluar teks, melainkan kepada realitas yang digambarkan oleh
teks itu sendiri.
Mengacu pada teks yang multi-tafsir itu, Alquran bukan hanya
sebagai pedoman hidup, namun disatu sisi juga menimbulkan polemik
kebahasaan dan berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman,
contohnya adalah pada kasus ayat-ayat Jihad (dan ayat-ayat qitāl
khususunya), yang menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan aksi-aksi
kekerasan maupun terorisme.4
Kata perang (qitāl) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat diseluruh
penjuru dunia. Kata qitāl seringkali diidentikkan dengan kata jihad. Dalam
konteks perkembangan zaman istilah jihad mengalami fluktuasi pemahaman
dikalangan masyarakat, bahkan telah menjadi trend ideologi bagi sebagian
umat Islam tersendiri, dengan artian kadangkala istilah ini menjadi makna
peyorasi yakni penyempitan makna yang berakibat pada hal yang negatif
dan juga makna ameliorasi yakni perluasan makna yang berdampak pada
kenaikan nilai-nilai positif dalam kandungan makna tersebut, sehingga perlu
adanya kontribusi keilmuan lainya untuk memahamkan makna tersebut
sesuai dengan tingkat perkembangan manusia dalam berbagai jenjang.
Disini yang terjadi bukan sekedar permasalahan sosial keagamaan
melainkan munculnya distorsi pemahaman ajaran Islam mengenai jihad
yang termaktub dalam Alquran dan as-sunah. Selain itu juga, bahwa
fenomena jihad yang menyeruak kepermukaan seperti yang disaksikan
dewasa ini, tidak hanya muncul dari pencitraan barat atau eropa melainkan
umat Islam tertentu (radikal) juga mempunyai kontribusi dalam hal ini.
Artinya Islam radikal (fundamentalis) dengan manifestasi gerakan yang
4 Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-ayat Jihad dalam Alquran; Terjemahan Kementerian
Agama RI (Analisis Wacana)”, Skripsi (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2014), 4.
4
diciptakan sebagaimana yang sering dijumpai pada banyak kasus,
meniscayakan sebuah citra Islam yang serat dengan ideologi fundamentalis.
Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan kelompok fundamentalis di Mesir
dengan berbagai variasi gerakannya, mulai dari yang sangat ekstrim hingga
yang lebih moderat.5
Jihad bukanlah sesuatu yang baru bagi kalangan umat Islam, sebab
pada masa Nabi Muhammad saw fenomena ini sudah menjadi bagian dari
ajaran Islam yang sangat penting. Seruan jihad pun bukan sekedar perintah
Nabi melainkan sebuah perintah yang haq termaktub dalam Alquran. Tentu
saja fenomena jihad pada masa lalu berbeda dengan konsep jihad yang
selazimnya diimplementasikan pada zaman sekarang ini. Pada masa lalu
jihad bukanlah untuk mengalahkan dan menghancurkan musuh melainkan
untuk membela diri (self-defence) dan tidak satupun dimaksudkan untuk
menyerang secara agresif dan memenangkan pertempuran dengan
mengorbankan nyawa seminimal mungkin. Terma jihad yang diusung oleh
Alquran telah mengalami beberapa kamuflase pemahaman oleh sebagian
kalangan umat Islam. Adakalanya pemahaman ini menjadi paham atau
ideologi yang berbaju perang dalam mewujudkan keinginan sebuah
kemenangan dari suatu kelompok tertentu, hal ini disebabkan adanya
pendangkalan pemahaman dari kalangan internal sebagian umat Islam.
Sedangkan, konsep jihad yang sesungguhnya dalam era modern ini
merupakan sebagai upaya kesungguhan untuk perubahan, perbaikan, dan
peningkatan mutu dalam berbagai lini kehidupan seperti agama, sosial, ilmu
pengetahuan, budaya, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan yang baik
dan benar.6
Sejarah kekerasan dan radikalisme seringkali membawa nama
agama. Hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan yang sangat
5 Muhammad Fakhruddin, “Konsep Jihad Menurut Muhammad Syahrur”, Skripsi
(Yogyakarta: UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2004), 3. 6 Prabowo Adi Hidayat, Argumentasi Makna Jihad dalam Alquran..., 3-4.
5
dahsyat, yang melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya. Agama bahkan
bisa diangkat sampai pada tingkat supranatural. Atas nama agama, kemudian
radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari mengkafirkan
orang-orang yang tak sepaham (takfīr) sampai melakukan pembunuhan
terhadap musuh yang tidak seideologi dengannya.
Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya
gerakan radikal yang mengatasnamakan agama. Salah satunya menurut
Yusuf Qardhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama
adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran
agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama.7
Karena pada kenyatannya, sebagian Muslim melakukan tindakan kekerasan
seringkali merujuk pada ayat Alquran dan hadis Nabi saw. Yang dijadikan
legitimasi dan dasar tindakannya. Padahal, Islam adalah agama universal
dan moderat (wasaṭiyah) yang mengajarkan nilai-nilai tolereansi (tasāmuh)
yang menjadi salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain,
seperti keadilan („adl), kasih sayang (rahmat), dan kebijaksanaan (hikmah).
Sebagai rahmat bagi semesta alam, Alquran mengakui kemajemukan
keyakinan dan keberagamaan. Tetapi sayang aksi dan tindakan kekerasan
masih juga seringkali terjadi. Dan sekali lagi, itu diabsahkan dengan dalil
ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi saw.
Beragam makna jihad dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam. Imam
Syafi‟i mendefinisikan makna jihad dengan memerangi kaum kafir untuk
menegakkan Islam. Pengertian jihad inilah yang secara luas dibicarakan
dalam kitab-kitab fikih yang senantiasa dikaitkan dengan pertempuran,
peperangan, dan ekspedisi militer.8
7 Yusuf Qardhawi, As-Ṣahwah al-Islāmiyyah bayna al-Juhūd wa at-Taṭarruf (Kairo:
Dār asy-Syurūq, 2001), 51-57. 8 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2001), 315.
6
Sedangkan Ibn Taimiyah berkata di dalam kitab Mathālib Uli al-
nuha, yaitu jihad yang diperintahkan ada yang digunakan dengan hati
(seperti istiqamah untuk berjihad dan mengajak kepada syariat Islam),
argumentasi (memberi argumentasi kepada yang batil), penjelasan
(penjelasan kebenaran, menghilangkan ketidakjelasan, dan memberikan
pemikiran yang bermanfaat untuk umat Islam), tubuh (seperti berperang).
Jihad wajib dilakukan jika seluruh hal tersebut bisa dilakukan.9
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, sedikit wajar apabila
sebagian orang memaknai jihad berupa perang fisik, terlebih apabila
mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh Imam Syafi‟i bahwa jihad
adalah memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Maka kiranya perlu
untuk mendefinisikan kembali makna jihad dalam konteks sekarang dengan
tetap menjadikan Alquran sebagai acuan dan batasan pengertiannya.
Para ulama terdahulu telah memiliki suatu metodologi sebagai upaya
mendialogkan Alquran dan hadis dalam konteks mereka. Akan tetapi ketika
suatu metode itu dibawa kepada konteks yang berbeda, metode itu bisa jadi
tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks
yang baru. Bahkan langkah mundur jika problem-problem kontemporer
dewasa ini dipecahkan dengan metode orang-orang dulu yang jelas berbeda
dengan problem saat ini. Hal tersebut sudah tentu, menuntut adanya metode
penafsiran baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya,
ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.10 Dan ini menurut Amin
Abdullah merupakan solusi untuk menjembatani kebuntuan dan krisis ilmu
9 Hasan Asy-Syathi, Mathālib Uli al-Nuhā, Jil. 2 (Damaskus: Al-Maktab Al-Islāmi,
1961), 501. 10
Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press,
2014), 139.
7
Alquran dan tafsir yang kurang relevan dengan konteks dan semangat zaman
sekarang ini.11
Salah satu metode penafsiran baru yang penulis ingin sampaikan
dalam tulisan ini adalah sebuah metode yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman, seorang pemikir Islam asal Pakistan yang lahir pada tahun 1919 M.
Awal karirnya dalam mengusung pemikiran-pemikiran yang progresif
adalah ketika Rahman diminta kembali ke Pakistan oleh Ayyub Khan
(Presiden Pakistan, 1958 – 1969) untuk membangun Negeri asalnya
sekaligus untuk merumuskan ideology Islam bagi Negara Pakistan. Pada
tahun 1962, Fazlur Rahman diminta untuk memimpin Lembaga Riset Islam
(Islam Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi
Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology) pemerintah Pakistan tahun
1964.12 Lembaga riset Islam yang dikelola Rahman bertugas menafsirkan
Islam dalam terma-terma rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif, sementara dewan
Penasihat Ideologi Islam yang dibentuk tahun 1962 betugas untuk meninjau
seluruh hukum, baik yang telah ada ataupun yang akan dibuat dengan tujuan
menyelaraskan dengan Alquran dan sunnah, serta mengajukan rekomendasi-
rekomendasi kepada pemerintah pusat dan propinsi tentang cara menjadi
seorang Muslim yang baik.13
Rahman terlibat secara intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan
kembali Islam guna menjawab tantangan dan kebutuhan masa kini.14 Fazlur
Rahman berpendapat, bahwa kesenjangan antara Islam yang terdapat dalam
Alquran dan Islam dalam realitas sejarah telah melebur terlalu jauh sehingga
11
Amin Abdullah dalam kata pengantar buku Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir:
Peta Metodologi Penafsiran Alquran Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta:
Nun Pustaka, 2003), xii. 12
Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie (Bandung: Penerbit Mizan, 2017),
X. 13
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam (Bandung: Mizan,
1987), 14. 14
Ibid.
8
perlu digabung kembali dan dijalin dengan erat melalui suatu usaha yang
sistematis dan menyeluruh. Dengan orientasi dan visi itu, Rahman mencoba
mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Alquran kedalam
kehidupan konkrit. Pesan-pesan moral Alquran yang tidak mentolerir adanya
pembedaan yang didasarkan pada etnis, warna kulit, dan semacamnya oleh
Fazlur Rahman dikontekstualisasikan kedalam persoalan-persoalan yang
sedang dihadapi Pakistan saat itu.15
Kehadiran Rahman dalam daftar nama–nama pemikir Islam
membawa sesuatu yang baru terhadap pemikiran Islam, meskipun
sebenarnya pembaharuan dalam Islam telah dilakukan oleh beberapa
pemikir sebelum Islam.16
Menurut Rahman, Alquran adalah moral yang memancarkan titik
beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat
diubah, Alquran merupakan perintah Tuhan dan manusia tidak dapat
membuat hukum moral. Manusia diharuskan tunduk pada Alquran,
ketundukan itulah yang disebut “Islam”, perwujudan dalam kehidupan
adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah. Hal ini disebabkan karena titik
utama Alquran terletak pada moral.17
Pasca Nabi wafat, para sahabat enggan menafsirkan Alquran,
menurut Rahman hal ini membuka peluang lebar bagi umat Muslim untuk
mengembangkan catatan terhadap pengertian teks yang terang dan memiliki
watak bebas dengan pendapat bebas (tafsir bi al-ra‟yi). Perkembangan
beberapa perangkat ilmu pengetahuan untuk kemajuan ilmu tafsir Alquran
merupakan kebutuhan yang urgensinya harus dilaksanakan. Syarat pertama
yang harus dipenuhi untuk kemajuan ilmu tafsir Alquran adalah
15
Abd. A‟la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat,
2009), 14. 16
Mawardi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, Dalam Hermeneutika Alquran
dan Hadis, ed. Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: Elsaq press, 2010), 65. 17
Fazlur Rahman, Islam ..., 35.
9
pengetahuan yang menyangkut bukan saja bahasa Arab, melainkan juga
kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pada masa Nabi, yang diperukan untuk
memahami Alquran secara layak. Latar belakang turunnya wahyu Alquran
dianggap Rahman sebagai suatu penunjang yang penting untuk mengerti
firman Tuhan secara benar merupakan syarat kedua yang harus dipenuhi.
Syarat yang ketiga adalah hadis kesejarahan yang memuat laporan-laporan
mengenai cara orang-orang memahami perintah-perintah dan pernyataan
Alquran ketika pertama kali diturunkan, ketika persyaratan-persyaratan itu
terpenuhi, maka proses selanjutnya adalah memainkan peranan bebas
berdasarkan pemikiran manusia.18
Dengan semangat menggencarkan kembali terbukanya pintu ijtihad,
Rahman kemudian mengajukan rumusan metodologi untuk memahami
Alquran dan hadis pada cakupan luasnya. Yang kemudian dinamai dengan
teori Double Movement (teori gerakan ganda).
Langkah pertama dari gerakan tersebut adalah seorang harus
memahami arti atau makna dari suatu pernyataan tertentu dengan
mempelajari situasi atau problem historis yang selanjutnya akan mengkaji
secara umum mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat,
agama, adat istiadat, pranata-pranata, bahkan tentang kehidupan secara
menyeluruh di Arabia.19 Dengan kata lain langkah pertama dari gerakan
ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro dan makro
saat Alquran diturunkan, setelah itu mufassir berusaha menangkap makna
asli dari ayat Alquran dalam konteks sosio-historis kenabian, dari hal itulah
maka ditemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah
normatif Alquran.20
18
Fazlur Rahman, Islam ..., 48-49. 19
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition
(Chicago & London: The University of Cicago Press, 1982), 7. 20
Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LkiS, 2010), 180.
10
Langkah kedua dari gerakan ini adalah melakukan generalisasi
jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai pernyataan-
pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial yang disaring dari
ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes
legis yang sering dinyatakan.21 Gerakan kedua ini berusaha menemukan
ideal moral setelah adanya kajian sosio-historis kemudian ideal moral
tersebut menemukan eksistensinya dan menjadi sebuah teks yang hidup
dalam pranata umat Islam. Selama proses ini, perhatian harus diberikan
kepada arah ajaran Alquran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti
tentu dipahami serta setiap hukum dan tujuan yang dirumuskan harus
koheren dengan lainnya.
Begitu pula ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad. Dalam hal ini
adalah ayat yang secara khusus membahas mengenai qitāl. Apabila ayat
qitāl hanya dipahami secara tekstual, maka hasil akhir pemahaman tersebut
adalah tidak lain berimbas pada munculnya kekerasan dan terorisme. Salah
satu contoh ayat qitāl adalah terdapat dalam surah At-Taubah ayat 123
berikut ini,
أ ا أ ٱػ ظخ ؿ جذا ك لبس ٱ زا ٱز
ا ه ءا ب ٱز زو غ ٱ ٱل
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir
yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan
daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang
bertakwa.”
Ayat diatas ketika dipahami secara sekilas, mengandung perintah
bahwa seorang Muslim diharuskan memerangi orang kafir ketika bertemu
dengan mereka. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan citra dan hakikat
Islam yang rahmatan lil ālamīn. Maka seharusnya ayat tersebut dipahami
secara utuh dengan melihat konteks pada saat ayat tersebut turun. Karena
pada hakikatnya ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang
21
Fazlur Rahman, Islam and Modernity..., 7.
11
Tabuk pada bulan Rajab tahun kesembilan. Maka penting mengetahui sebab
turunnya ayat, atau yang kita sebut asbāb an-nuzūl. Selain itu juga, satu ayat
Alquran kebanyakan tidak berdiri sendiri. Artinya terdapat beberapa atau
banyak ayat lain yang masih terkait dengan satu ayat tersebut. Yang
kemudian kita kenal dengan munāsabah Alquran. Apabila hanya dengan
melihat satu ayat kemudian menghasilkan satu kesimpulan, maka sungguh
itu termasuk pandangan yang sempit dan keliru.
Dengan metode penafsiran yang ditawarkan Fazlur Rahman yaitu
metode „Double Movement‟, penulis berkeyakinan bahwa ayat-ayat qitāl
dapat dipahami lebih elastis dan fleksibel. Karena dalam teorinya tersebut,
Rahman menjadikan Alquran sebagai landasan moral-teologis bagi umat
manusia dalam mengemban amanah Tuhan, dan juga ingin senantiasa
mendialogkan teks Alquran dan hadis yang terbatas degan konteks
perkembagan zaman yang selalu dinamis dan tidak terbatas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka permasalahan pokok penting
yang sangat mendasar dan yang menjadi fokus kajian utama penelitian ini
adalah bagaimanakah jihad dalam perspektif Alquran, yang akan dipahami
melalui kajian ayat-ayat qitāl?. Untuk mengetahui jawaban yang
komprehensif dan detail maka pokok permasalahan tersebut dapat dirincikan
sebagai berikut:
1. Apa sajakah makna qitāl dan derivasinya dalam Alquran?
2. Bagaimanakah konteks peristiwa pada ayat-ayat qitāl dalam
Alquran?
3. Bagaimanakah penafsiran kontekstual tentang qitāl berdasarkan teori
penafsiran Double Movement Fazlur Rahman?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
12
a. Untuk mengetahui makna qitāl dan derivasinya di dalam
Alquran.
b. Untuk mengetahui konteks peristiwa pada ayat-ayat qitāl
dalam Alquran.
c. Untuk mengetahui hasil penafsiran kontekstual
menggunakan teori Double Movement Fazlur Rahman dalam
memahami ayat-ayat qitāl dalam Alquran.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
1) Untuk menambah khazanah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya tentang
Perang dalam perspektif Alquran.
2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi
dalam ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa
Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Salatiga.
3) Penelitian ini diharapakan bisa menjadi bahan
rujukan bagi peneliti selanjutnya.
4) Sebagai bahan komparatif bagi para peneliti lainnya
untuk melakukan penelitian yang lebih
komperehensif, dan mendetail pada waktu
berikutnya.
b. Secara Praktis
1) Bagi kaum Muslimin menjadi bahan rujukan dan
dalil untuk menjawab permasalahan yang ada.
2) Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi
seluruh Muslimin untuk dijadikan sebagai bahan
acuan dalam menghadapi permasalahan yang ada
ditengah tengah masyarakat masa kini.
D. Kajian Pustaka
Ayat-ayat tentang jihad dan perang telah menjadi topik bahasan
tersendri dikalangan mufassir dan pemikir Islam. Sehingga banyak ditemui
13
buku-buku dan tulisan-tulisan yang khusus membahas mengenai tema
tersebut. Diantara beberapa buku dan tulisan yang senada dengan penelitian
yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:
Sebuah Tesis karya Saddam Husein Harahap yang berjudul “Perang
dalam Perspektif Alquran (Kajian terhadap Ayat-ayat Qitāl)”. Tesis tersebut
membahas mengenai makna jihad dan qitāl yang terdapat dalam Alquran.
Dengan mencari derivasi makna dari kedua kata kunci tersebut, yaitu jihād
dan qitāl pada akhirnya ditemukan perbedaan signifikan antara keduanya.
Jihad bukan berarti sepenuhnya qitāl. Bahkan kata qitāl pun dalam Alquran
tidak selamanya menunjukkan peperangan dan kekerasan. Maka setelah
diketahui makna dari masing-masing kata tersebut tampaklah bahwa jihad
tidak selalu berkaitan dengan fisik dan kekerasan. Jihad mempunyai
cakupan makna dan interpretasi yang luas. Adapun jihad dalam bentuk fisik
dan perang hanya merupakan sebuah langkah terakhir saja.
Tulisan lain yang membahas mengenai jihad terdapat dalam sebuah
jurnal. Yaitu tulisan karya Ali Trigiyatno yang berjudul “Penyelesaian Aya-
ayat „Damai‟ dan ayat „Pedang‟ dalam Alquran menurut Syeikh Yusuf Al-
Qardawi dan Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz”. Pembahasan dalam
tulisan ini adalah seputar hubungan ayat-ayat damai dan ayat pedang (saīf).
Dengan berasumsi bahwa ayat-ayat pedang sebenarnya telah di naskh oleh
ayat-ayat damai menunjukkan minat penulis untuk membuktkan bahwa ayat-
ayat pedang tidaklah berdiri sendiri, melainkan terdapat ayat lain yang
menyertainya, yaitu tidak lain adalah ayat-aat damai. Tulisan tersebut
menggunakan komparasi tokoh dalam membahas arti jihad. Dengan
mengungkapkan pendapat masing-masing tokoh mengenai makna jihad dan
cakupan pembahasanya kemudian ditemukan persamaan maupun perbedaan
antara kedua tokoh tersebut dalam memaknai kata jihad dalam Alquran.
Sebuah buku yang membahas mengenai jihad salah satunya adalah
karya Azyumardi Azra, CBE, dkk. Yang berjudul Reformasi Ajaran Islam
Jihad, Khilafah, dan Terorisme. Pemahaman sempit tentang jihad yang
kemudian memunculkan tindak kekerasan dan terorisme dalam Islam oleh
beberapa kelompok menjadi semangat awal terbitnya buku ini. Buku ini
14
menghadirkan interpretasi baru terhadap berbagai doktrin kunci yang sering
disalahpahami tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kontekstual yang
lebih menekankan pada dinamika sejarah dan konteks sosial-budaya, buku
ini berupaya menjawab persoalan ekstremisme-terorisme baik dalam
konteks global maupun dalam konteks nasional ke-Indonesiaan. Buku
tersebut menghadirkan pembacaan yang lebih segar dan kritis atas berbagai
konsep ajaran Islam yang selama ini seringkali disalahpahami dan
disalahgunakan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan semangat Islam
sebagai agama kemanusiaan dan Islam sebagai ajaran kasih sayang bagi
semesta alam.
Selanjutnya adalah buku yang berjudul Al-Qur‟an wa Al-Qitāl, karya
Mahmud Syaltut. Dengan terlebih dahulu memaparkan metode dan langkah-
langkah penafsiran, Syaltut dalam bukunya tersebut secara khusus
membahas mengenai ayat-ayat qitāl dalam Alquran. Dimulai dari ayat qitāl
yang pertama kali turun, sampai pada akhirnya menyimpulkan bahwa ayat-
ayat qitāl tidaklah berdiri sendiri. Melainkan terdapat ayat-ayat lain yang
menyertai ayat-ayat qitāl. Yaitu tidak lain adalah ayat-ayat „afwu atau ayat-
ayat damai. Bahwasanya ayat qitāl telah dinasakh oleh ayat-ayat damai
tersebut. Sehingga tidalah benar apabila dikatakan bahwa Islam adalah
agama perang hanya karena terdapat beberapa ayat dalam Alquran yang
membahas mengenai hal tersebut, tanpa melihat konteks dan
ketersambungan ayat satu dengan ayat lainnya.
Adapun tulisan yang membahas tentang Fazlur Rahman dan Teori
Double Movementnya diantaranya adalah Skripsi karya Sama‟un yang
berjudul, Teori Double Movement Fazlur Rahman Dalam Perspektif Ulum
Al-Qur‟an. Dengan terlebih dahulu memaparkan gambaran umum tentang
metode-metode tafsir kontemporer, kemudian baru masuk kepada biografi
Fazlur Rahman dan pembahasan mengenai Teori Double Movement nya.
Kemudian teakhir adalah analisisnya mengenai Teori tersebut, yang
meliputi; unsur-unsur Teori Double Movement, Penerapannya, serta
kajiannya dalam perspektif Ulumul Qur‟an.
15
Selanjutnya adalah sebuah tulisan berjudul Hermeneutika Al-Qur‟an
Fazlur Rahman; Metode Tafsir Double Movement, yang terdapat dalam
Jurnal Komunika, Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Tulisan karya Rifki
Ahda Sumantri ini menjelaskan sebuah metode pengkajian Alquran yaitu
metode Double Movement karya Fazlur Rahman. Dengan dimulai dari latar
belakang munculnya metode tersebut, sampai dengan menguraikan dan
menjelaskan konsep teori tersebut, dimana teori Double Movement tersebut
merupakan sebuah pendekatan baru yang menekankan pada kesadaran pada
teks (text), kontes (context), dan kontekstualisasi. Yang dengannya dapat
digunakan sebagai alat dalam memahami isi Alquran sehingga nantinya
bagian-bagian teologis dan etika legalnya dapat ditempatkan dalam
keseluruhan (totalitas) yang padu.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian sangatlah penting untuk menentukan hasil dari
suatu penelitian tersebut. Maka untuk memperoleh informasi yang akurat
dalam penelitian ini digunakan metode dan langkah-langkah berikut ini:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu penelitian
dengan mengumpulkan data-data dan menelaah buku-buku dan literatur
yang berkaitan dengan topik penelitian. Adapun sifat penelitiannya
adalah deskriptif analisis, yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk
mengkaji deskripsi yaitu mengambarkan secara jelas, sistematis, faktual
dan akurat serta mengemukakan fenomena atau hubungan antara
fenomena yang diteliti.
Penelitian merupakan terjemahan dari kata Inggris research,
sebagian ahli yang menerjemahkan research dengan riset. Research itu
sendiri berasal dari kata re, yang berarti kembali dan to research yang
berarti mencari kembali.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
a. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, yaitu
prosedur pemecahan masalah yang sedang diteliti dengan
16
menggambarkan dan melukiskan keadaan obyektif pada saat-
saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan
sebagaimana adanya.
b. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara
lengkap ciri-ciri suatu keadaan, perilaku pribadi dan perilaku
kelompok, serta untuk menentukan frekuensi suatu gejala.
Penelitian dilakukan tanpa didahului hipotesis.
c. Penelitian kualitatif merupakan penelitian bersifat atau
mempunyai karakteristik, bahwa datanya ditanyakan dalam
keadaan sewajarnya atau sebagaimana mestinya, dengan
tidak dirubah dalam bentuk simbol atau bilangan. Penelitian
deskriptif kualitatif memusatkan analisa pada data yang
dikumpulkan, berupa kata-kata atau kalimat dan gambar
yang memiliki arti lebih dari data yang berupa angka-angka.
2. Sumber Data
Adapun sumber peneliatian ini mencakup pada dua sumber,
karena pada hakikatnya penelitian ini adalah merupakan studi
kewahyuan, maka yang menjadi sumber penelitiannya adalah sebagai
berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah merupakan sumber utama dalam
penelitian. Adapun sumber primer yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu dengan meneliti pada satu sumber pokok yaitu
Alquran al-Karim. Selain itu adalah buku Alquran wa Al-Qitāl
karya Mahmud Syaltut dan buku-buku karya Fazlur Rahman
seperti, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, Mayor Themes of the Qur‟an, Islam, dan beberapa
bukunya yang lain.
b. Sumber Sekunder
17
Sumber sekunder adalah merupakan sumber yang
mendukung dalam penelitian ini yaitu buku-buku dan literartur
yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Seperti, kitab-kitab
tafsir yang mengkaji tentang ayat-ayat perang (qitāl). Diantaranya
adalah kitab Tafsir Ibn Asyūr at-Tahrīr Wa at-Tanwīr, Tafsir Al-
Qur‟an al-Adzīm Ibn Kasīr, Tafsir Al-Misbāh Quraish Shihab, dan
beberapa kitab tafsir lainnya.
Selain data-data sekunder di atas penulis juga menghimpun dari
beberapa buku dan literatur lainnya yang mendukung dengan tema
penelitian ini. Adapun alasan penulis memilih data-data sekunder di atas
adalah ingin mengetahui lebih banyak tentang makna perang atau
perbedaan tentang penafsiran ayat-ayat qitāl dari berbagai buku-buku
tersebut.
3. Pengumpulan Data
Adapun pengumpulan data pada penelitian ini adalah dilakukan
dengan menghimpun buku-buku atau kitab-kitab, artikel dan literatur
lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Selanjutnya akan
diklasifikasikan berdasarkan bahasan tema dan akan dibahas sesuai
dengan sistematika pembahasan.
4. Metode Analisis Data
Adapun metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan tematik (maudhūi), yaitu dengan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema pembahasan perang
(qitāl). Kemudian ayat-ayat tersebut diklasifikasikan berdasarkan judul
sub bab yang tercakup pada tema.
5. Pendekatan dalam Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan bahasa atau lughāwi. Dengan menggunakan pendekatan
bahasa dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan perang
(qitāl), selanjutnya penafsiran-penafsiran tersebut akan dianalisa
keterkaitannya dalam melahirkan optimisme. Selain pendekatan bahasa,
18
penelitian ini juga menggunakan pendekatan historis. Dengan
menggunakan teori Double Movement Fazlur Rahman, dengan melihat
perbedaan konteks dulu dan sekarang nantinya akan didapatkan hasil
akhir penafsiran yang sesuai dengan problematika dalam konteks masa
kini. Di akhir pembahasan akan diambil simpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah.
F. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini, secara garis
besar penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang tersusun secara
sistematis, sebagai berikut:
Bab pertama, adalah pendahuluan yang meliputi dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian terdahulu, metodologi
penelitian dan sitematika pembahasan.
Bab kedua, Sejarah perang (qitāl), pengertian jihad, pengertian
perang (qitāl), perbedaan jihad dengan qitāl, dan dilanjutkan dengan
paparan sejarah hidup Fazlur Rahman dan teori Double Movementnya.
Bab ketiga, Kajian Terhadap ayat-ayat perang (qitāl), yang meliputi
perintah berperang dalam Alquran, larangan berperang dalam Alquran, dan
asbāb an-nuzūlnya.
Bab keempat, adalah meliputi analisis terhadap kajian ayat-ayat
perang (qitāl). Tujuan perang, faktor-faktor yang membolehkan perang, dan
legitimasi Alquran terhadap perang. Kemudian dianalisa dengan
menggunakan teori Double Movement Fazlur Rahman sehingga akan
didapatkan hasil akhir pemahaman kontekstual mengenai ayat-ayat qitāl.
Bab kelima, merupakan bab penutup dari penelitian ini yang
meliputi dari dua sub, yaitu, simpulan dan saran-saran.
19
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Sejarah Perang (qitāl)
Masyarakat Arab dulu, seperti yang kita kenal adalah
masyarakat yang menjadikan suku atau kabilahnya sebagai tempat
bergantung, sekaligus sebagai simbol kehormatan. Dengan terbatasnya
sumber kehidupan, juga dengan kondisi alam padang pasir yang keras
dan tak bersahabat, menuntut masing-masing kabilah suku untuk saling
berebut satu sama lain, baik sumber makanan maupun tempat tinggal.
Sehingga yang terjadi adalah permusuhan antar suku, dengan saling
menindas dan memerangi satu sama lain guna bertahan hidup dan
mengangkat kehormatan sukunya. Hal tersebut menandakan betapa
rentannya relasi sosial Arab, sehingga sejumlah persoalan bisa
menimbulkan peperangan seperti; balas dendam, penghinaan terhadap
tamu, dan memenuhi panggilan permintaan pertolongan dari kerabat
dan saudara meski sebetulnya dia bersalah. 22
Rasulullah saw mengikuti langsung perjalanan perang sebanyak
dua puluh tujuh kali (al-ghazwah), sembilan di antaranya benar-benar
terjadi peperangan sementara sisanya tidak sampai terjadi kontak fisik.23
Selain dalam bentuk ghazwa, ada pula istilah lain dalam sejarah Islam
yaitu disebut sariyyah24 (perang yang tidak dipimpin oleh rasulullah
22
Muhammad Khair Haikal, al-Jihād wa al-Qitāl fi Siyāsah ash-Syar‟iyyah ( t.t.: Dār
Ibn Hazm, t.th.), 15. 23
Sembilan perang yang menumpahkan darah tersebut adalah; perang badar, perang
uhud, marisa‟, khandaq, qaridhah, khibar, fathu makah, hinan, dan tha‟if. Lihat: Ibn Sa‟d,
Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu (t.t.: Dār Beirūt, 1981), 1. 24
Sariyyah adalah perang kecil yang dipimpin oleh para sahabat atas petunjuk Nabi
saw. Sariyyah pertama kali terjadi pada tahun 1 H, yaitu sariyyah Hamzah bin Abdul
Muthalib. Nabi mengutus 30 sahabat Muhajirin bersama dengan Hamzah. Dan dipihak
musuh adalah Abu Jahal dengan 300 orang yang menyertainya. Kemudian disusul dengan
sariyyah Ubaidah bin Haris (1 H), sariyyah Sa‟d bin Abi Waqash (1 H), sariyyah Abdullah
bin Jashy (2 H), sariyyah Zaid bi Harisah (3 H), dan beberapa sariyyah lainnya, sampai pada
sariyyah terakhir yaitu sariyyah Usamah bin Zaid bin Haritsah (11 H).
20
saw) yang terjadi 47 kali.25 Dalam memahami ayat-ayat qitāl dan
bagaimana implikasinya pada zaman sekarang, tidak akan mungkin
dengan tanpa memahami kondisi dan sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Ayat yang turun di
Makkah dan Madinah sudah jelas berbeda konteks nya karena masing-
masing memiliki sifat dan karakter serta ciri tersendiri yang berbeda
satu sama lain.
Sejak mulai dari Makkah, kemudian hijrah ke Madinah, tidak
sedikit perlawanan yang dilancarkan kepada Nabi Muhammad, baik
dari kaum musyrik, kaum yahudi, orang-orang munafik dan sebagainya.
Mereka tidak tinggal diam dengan datangnya Islam. Kaum Yahudi
berkehendak bahwa utusan Allah adalah berasal dari kaumnya sendiri
yaitu Bani Israil, keturunan Ismail as. Sebagian orang badui dan
pengikut Abdullah bin Ubay yang disebut dalam Alquran sebagai kaum
„munafik‟ juga tidak rela membiarkan Islam aman dan damai dalam
eksistensinya di Makkah maupun Madinah.
Ada beberapa perang (qitāl) besar yang pernah terjadi di masa
Rasulullah saw., di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Perang Badar
Perang Badar adalah perang pertama yang dilakukan
oleh kaum Muslimin. Sekaligus peristiwa paling penting bagi
sejarah perkembangan dakwah Islam. Kendatipun dengan
kekuatan yang jauh lebih kecil dibanding kekuatan musuh,
dengan pertolongan Allah SWT, kaum Muslimin berhasil
menaklukkan pasukan kafir. Rasulullah saw berangkat
bersama tiga ratusan orang sahabat dalam perang Badar. Ada
yang mengatakan mereka berjumlah 300, 313, dan 315 orang
sahabat. Mereka kira-kira terdiri dari 74 sahabat Muhajirin,
dan sisanya dari sahabat Anshar dan seluruh umat Islam.
Kaum Muslimin memang tidak berkumpul dalam jumlah besar
25
Ibid.
21
dan tidak melakukan persiapan sempurna. Mereka hanya
memiliki dua ekor kuda, memiliki Zubair bin Awwam dan
Miqdad bin Aswad al-Kindi. Di samping itu mereka hanya
membawa tujuh puluh onta yang dikendarai secara bergantian,
setiap onta untuk dua atau tiga orang. Rasulullah saw sendiri
bergantian mengendarai onta dengan Ali dan Mursid bin Abi
Mursid Al-Ghanawi.26
Sementara jumlah pasukan kafir Quraisy sekitar seribu
orang, dengan seratus kuda, serta onta yang jumlahnya tidak
diketahui secara pasti, dan dipimpin langsung oleh Abu Jahal
bin Hisyam. Sedangkan pendanaan perang ditanggung
langsung oleh sembilan pemimpin Quraisy.27
Dengan pasukan yang kecil dan lebih sedikit, namun
pasukan Islam mampu memenangkan pertempuran tersebut.28
Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan
Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy
yang kemudian mundur dalam kekacauan. Dan berhasil
menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain
adalah Abu Jahal atau Amr bin Hisyam.29
b. Perang Uhud
Kekalahan diperang Badar menanamkan dendam
mendalam di hati kaum kafir Quraisy. Mereka pun keluar ke
bukit Uhud hendak menyerang kaum Muslimin. Pasukan Islam
berangkat dengan kekuatan sekitar seribu orang prajurit,
26
Ibid., 4 27
Ibid., 6. 28
Dengan pasukan kecil dan sedikit, namun tekad dan keyakinan kaum Muslimin
tidak surut sama sekali. Kegigihan pasukan Islam tercermin dalam surat Al-Baqarah ayat
249, yang artinya: “... mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata,
„betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah‟. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar”. 29
Randi Catono, Perang Badar: Kemenangan Pertama Pasukan Muslim
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), 31.
22
seratus orang diantaranya menggunakan baju besi, dan lima
puluh orang lainnya dengan menunggang kuda.
Di sebuah tempat bernama Asy-Syauth, kaum
Muslimin melakukan salat subuh. Tempat tersebut sangat
dekat dengan musuh sehingga mereka bisa dengan mudah
saling melihat. Ternyata pasukan kafir Quraisy berjumlah
sangat banyak. Mereka berjumlah tiga ribu tentara, terdiri dari
orang-orang Quraisy dan sekutunya. Mereka juga memiliki
tiga ribu onta, dua ratus ekor kuda dan tujuh ratus baju besi.30
Pada kondisi sulit tersebut, Abdullah bin Ubay, sang
munafik, berkhianat dengan membujuk kaum Muslimin untuk
kembali ke Madinah. Sepertiga pasukan (sekitar tiga ratus
prajurit) mundur bersama dengan Abdullah bin Ubay karena
merasa tidak akan menang jika bertempur disana.31
Namun setelah kemundurun tiga ratus prajurit tersebut,
Rasulullah melakukan konsolidasi dengan sisa pasukan yang
jumlahnya sekitar tujuh ratus prajurit untuk melanjutkan
perang.32 Awalnya pasukan Nabi saw sempat akan
memenangkan pertempuran ini. Abu Dujanah ra yang saat itu
memegang pedang rasulullah saw berhasil menembus ke
jantung pertahanan kaum musyrikin hingga membuat mereka
kocar-kacir. Kemenagan mulai tampak bagi kaum Muslimin,
perlahan tapi pasti pasukan musyrikin mulai kepayahan.
Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan gelanggang
pertempuran.
Melihat kaum musyrikin mundur, para pemanah yang
ditempatkan dibukit lalai dengan melupakan pesan Nabi untuk
tetap disana apapun yang terjadi. Mereka hendak mengambil
30
Ibn Sa‟d, Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu, 18. 31
Nizar Abazhah, Perang Muhammad; Kisah Perjuangan dan Pertempuran
Rasulullah (Jakarta: Zaman, 2014), 72. 32
Ibn Sa‟d, Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu, 19.
23
ghanimah yang berada dimedan pertempuran. dan akhirnya
banyak dari mereka pun turun dan meninggalkan pos mereka.
Melihat hal tersebut, kaum musyrikin yang sempat mundur
mengambil kesempatan untuk menyerang kembali kaum
Muslimin. Karena diserang dan dikepung depan dan belakang
akhirnya kaum Muslimin mengalami kekalahan.33
c. Perang Mu‟tah
Perang Mu‟tah adalah merupakan pendahuluan dan
jalan pembuka untuk menaklukkan negeri-negeri Nasrani.
Pemicu perang Mu‟tah adalah pembunuhan utusan Rasulullah
yang bernama al-Haris bin Umair yang diperintahkan
menyampaikan surat kepada pemimpin Bashra. Al-Haris
dicegat oleh Syurahbil bin Amr, seorang gubernur di wilayah
Balqa di Syam, ditangkap dan dipenggal lehernya. Untuk
perang ini Rasulullah mempersiapkan pasukan berkekuatan
tiga ribu prajurit. Inilah pasukan Islam terbesar pada saat itu.
Mereka bergerak ke arah utara dan beristirahat di
Mu‟an. Saat itulah mereka memperoleh informasi bahwa
Heraklius telah berada di salah satu bagian wilayah Balqa
dengan kekuatan sekitar seratus ribu prajurit Romawi. Mereka
bahkan mendapat bantuan dari pasukan Lakhm, Judzam,
Balqin dan Bahra kurang lebih seratus ribu prajurit. Jadi total
kekuatan mereka adalah dua ratus ribu prajurit.34
Walaupun kaum Muslimin kalah jumlah, namun para
sahabat Nabi bertempur berani dengan semangat yang tak
surut. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan
strategi sahabat Khalid bin Walid ra, akhirnya kaum Muslimin
berhasil memukul mundur tentara Romawi hingga mengalami
kerugian yang banyak.35
33
Nizar Abazhah, Perang Muhammad..., 81-86. 34
Ibn Sa‟d, Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu, 64-65. 35
Nizar Abazhah, Perang Muhammad..., 169-170.
24
d. Perang Ahzab
Perang Ahzab atau nama lainnya perang Khandaq, terjadi
pada tahun ke-5 hijriah. Perang Ahzab adalah perang yang
dipimpin oleh dua puluh pimpinan Yahudi Bani Nadhir datang
ke Mekah, untuk melakukan provokasi agar kaum kafir mau
bersatu untuk menumpas kaum Muslimin. Pimpinan Yahudi
Bani Nadhir juga mendatangi Bani Ghathafan dan mengajak
mereka untuk melakukan apa yang mereka serukan kepada
orang-orang Quraisy. Selanjutnya mereka mendatangi kabilah-
kabilah Arab di sekitar Mekah untuk melakukan hal yang sama.
Semua kelompok itu akhirnya sepakat untuk bergabung dan
menghabisi kaum Muslimin di Madinah sampai ke akar-
akarnya. Jumlah keseluruhan pasukan Ahzab (sekutu) adalah
sekitar sepuluh ribu prajurit. Sedangkan pasukan kaum
Muslimin hanya sekitar tiga ribu pasukan.
Jumlah tersebut disebutkan dalam kitab sirah adalah
lebih banyak dari pada jumlah orang-orang yang tinggal di
Madinah secara keseluruhan, termasuk wanita, anak-anak,
pemuda dan orang tua. Mengahdapi kekuatan yang sangat besar
tersebut, atas ide Salman al-Farisi, kaum Muslimin
menggunakan strategi penggalian parit untuk menghalangi
sampainya pasukan masuk ke wilayah Madinah.36
Pasukan gabungan tentara Ahzab atau pasukan musuh
tersebut mengepung selama satu bulan penuh dengan membuat
kemah di bagian utara Madinah. Namun Nu‟aim bin Mas‟ud al-
Asyja‟i yang telah memeluk Islam tanpa sepengetahuan pasukan
gabungan dengan keahliannya memecah belah pasukan
gabungan. Lalu Allah swt mengirimkan angin yang memporak-
porandakan kemah pasukan gabungan, memecahkan periuk-
periuk mereka, dan memadamkan api mereka. Hingga akhirnya
36
Ibn Sa‟d, Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu, 33.
25
pasukan gabungan kembali kerumah mereka dengan kegagalan
menaklukan kota Madinah.37
e. Perang Tabuk
Perang Tabuk merupakan kelanjutan dari perang Mu‟tah.
Pada bulan Rajab tahun 9 hijriyah, Rasul mendengar bahwa
Bizantium sedang melakukan persiapan untuk menyerang
Madinah. Karena itu beliau bersiap menghadapinya, bahkan siap
untuk berangkat menemui mereka di wilayah kekuasaan
mereka. 38
Mendengar persiapan besar pasukan Romawi tersebut,
kaum Muslimin melakukan persiapan perang. Para tokoh
sahabat memberi infāq fī sabīlillāh dalam suasana yang sangat
mengagumkan. Utsman menyedekahkan dua ratus onta lengkap
dengan pelana dan barang-barang yang diangkutnya. Kemudian
ia menambahkan lagi sekitar seratus onta lengkap dengan pelana
dan perlengkapannya. Lalu ia datang lagi dengan membawa
seribu dinar diletakkan di pangkuan Rasulullah saw. Usman
terus berinfak hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus onta
dan seratus kuda, dan uang dalam jumlah besar. Abdurrahman
bin „Auf membawa dua ratus uqiyah perak. Dan Abu Bakar
membawa seluruh hartanya dan tidak menyisakan untuk
keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Umar
datang menyerahkan setengah hartanya. Abbas datang
menyerahkan harta yang cukup banyak. Thalhah, Sa‟ad bin
Ubadah dan Muhammad bin Maslamah, semuanya datang
memberikan infaknya. Ashim bin Adi datang dengan
menyerahkan sembilan puluh wasāq kurma dan diikuti oleh para
sahabat yang lainnya.39
37
Ibid., 34-35. 38
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw; Dalam Sorotan Al-
Qur‟an dan Hadits-hadits Shahih, (Jakarta: Lentera Hati, 2014), 971. 39
Nizar Abazhah, Perang Muhammad..., 222.
26
Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup
besar, tiga puluh ribu personil. Akan tetapi, mereka minim
perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada
masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah pasukan. Setiap
delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang mereka
kendarai secara bergantian. Mereka terpaksa menyembelih onta,
meski jumlahnya sedikit, agar dapat meminum air yang terdapat
dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu, perang tersebut
dinamakan Perang sulit (Ghazwah al-„Usrah).40
Akan tetapi dalam perang ini tidak terjadi kontak fisik
dikarenakan ketika Nabi dan pasukan kaum Muslimin sampai di
Tabuk, mereka tidak menemukan tanda-tanda kehadiran
pasukan Byzantium, atau pasukan suku-suku Arab penganut
agama Nasrani yang berada di bawah pengaruh Byzantium.
Meskipun demikian, bukan berarti dengan perjalanan panjang
dan sulit yang ditempuh Rasul beserta pasukan Muslimin tidak
menghasilkan apapun. Karena di Tabuk sejumlah penguasa dan
kepala suku, bukan saja yang disekitar Tabuk, tetapi ju8ga dari
daerah-daerah yang cukup jauh, datang memohon perjanjian
damai dan kesediaan membayar jizyah kepada Nabi saw sbagai
imbalan biaya jaminan keamanan buat wilayah dan jalur
perdagangan mereka. Dan akhirnya setelah 20 hari berada di
Tabuk, Nabi saw dan pasukan kaum Muslimin memutuskan
untuk kembali ke Madinah. 41
B. Pengertian Jihad dan Perang (qitāl), serta perbedaannya
1. Pengertian Jihad
Istilah jihad berasal dari kata jāhada (kata benda abstrak,
juhd: kekuatan, upaya, kemampuan) yang bermakna berusaha sekuat
tenaga. Secara yuridis-teologis jihad berarti berusaha dengan sekuat
tenaga di jalan Allah, menyebarkan keimanan dan firman-firman
40
Ibid., 227. 41
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw..., 987.
27
Allah keseluruh dunia. Pengertian jihad dalam arti yang luas tidak
hanya bermakna perang atau mengorbankan pertempuran. Sebab
melangkah di jalan Allah niscaya akan selalu dilakukan, baik dalam
suasana perang maupun damai.42
Menurut Ibnu Manzur, bahwa jahd bisa berarti kesulitan dan
juhūd bermakna kemampuan.43 Sebagaimana kata juhd tersebut
dalam sebuah ayat berikut,
ذ إال ج ال جذ ٱز ذ ذه ك ٱص ؤ ٱ ػ ط ٱ ض ٱز
سخش ٱل كسخش ػزاة أ
“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela
orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang
munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan
mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.”
Kata jihād dan derivasinya tersebut 41 kali dalam Alquran.44
Ayat-ayat jihad dalam konteks “perjuangan” berjumlah 28 ayat
sebagai berikut: QS. Al-Baqarah/2: 218, QS. Ali Imran/3: 142, QS.
An-Nisa‟/4: 95, QS. Al-Maidah/5: 35 dan 54, QS. Al-Anfal/8: 72,
74, dan 75, QS. At-Taubah/9: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, dan
88, QS. An-Nahl/16: 110, QS. Al-Hajj/22: 78, QS. Al-Furqan/25: 52,
QS. Al-Ankabut/29: 6 dan 69, Muhammad/47: 31, QS. Al-
Hujurat/49: 15, QS. Al-Mumtahanah/60: 1, QS. Ash-Shaff/61: 11,
QS. At-Tahrim/66: 9.45 Ayat-ayat jihad tersebut sebagian turun pada
42
Din Syamsuddin, Reaktualisasi Jihad Masa Kini, dalam kata pengantar
Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis Vs Fundamentalis
(Yogyakarta: Pilar Media, 2006), xiii. 43
Ibn Mandzur, Lisān al-Arab, Jil. III (Qahirah: Dār al-Ma‟arif, t.th.), 708. 44
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‟jamul Mufahras li Alfāzhil-Qur‟anil-Karīm
(Kairo: Dārul-Hadīs, 1991), 232-233. 45
Dari sekian ayat diatas, beberapa ayat yang memerintahkan untuk berjihad
diantaranya adalah:
QS. Al-Maidah/5: 35
ذا ك سجۦ ؼ ج سخ ٱ ا إ ـ ٱثز ا ٱروا ٱل ءا ب ٱز أ رلح
28
periode Makkah dan sebagian besar lainnya turun pada periode
Madinah.46
Banyak tokoh telah mengemukakan argumentasinya
mengenai makna jihad dengan pengertiannya. Ar-Raghib Al-
Asfahani menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan kemampuan
dalam menahan musuh. Jihad itu tiga macam: berjuang melawan
musuh yang tampak, berjuang menghadapi setan, dan berjuang
menghadapi hawa nafsu. Perjuangan itu dilakukan dengan tangan
dan lisan.47
Murtadho Muthahari menitikberatkan arti jihad sebagai
perang yang sah bagi individu, suatu suku atau bangsa, untuk
membela diri dan harta benda, sebagai salah satu tuntunan hidup
manusia. Bentuk peperangan apapun yang bermotivasi agresi, karena
keserakahan untuk memperoleh harta kekayaan serta sumber-sumber
lain, untuk merampok sumber-sumber ekonomi dan kemanusiaan,
sama sekali tidak dibenarkan Islam. Jihad adalah perlawanan
terhadap setiap jenis agresi.48
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan”
QS. Al-Hajj/22: 78
ٱجزجى ۦ حن جبد ذا ك ٱل ج هج س ٱ ى س إثش خ أث حشط ك ٱذ ػ ب جؼ
ءار ح ا ٱص ا شذاء ػى ٱبط كأه ر ذا ػ ش س ٱش زا ك ا ثٱل ٱػزص ح ا ٱض
ٱصش ؼ ى ٱ ؼ ك ى
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.
Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah
menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat
dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah
sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” 46
Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia..., 47. 47
Ar-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradati Alfāzhil Qur‟an (Beirut: Dārul Fikr,
t.th.), 100. 48
Murtadha Muthahari, Jihad, terj. M. Hasyem (Lampung: YAPI, 1987), 27-51.
29
Menurut Quraish Shihab, Jihad adalah sebagai sebuah
perjuangan secara sungguh-sungguh dengan mengerahkan
kemampuan dan kekuatan yang dimiliki seseorang untuk mencapai
tujuan, khususnya dalam melawan musuh, atau mempertahankan
kebenaran, kebaikan, dan keluhuran.49
Dari beberapa pendapat mengenai jihad diatas dapat
disimpulkan bahwa jihad secara kebahasaan ialah perjuangan;
pencurahan kemampuan, daya upaya dan tenaga sepenuh kekuatan
dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan menurut istilah, jihad
adalah perjuangan orang beriman dengan mencurahkan segala
kemampuan moril maupun materil, baik berupa tenaga, pikiran,
maupun harta benda dalam rangka menegakkan agama Allah dan
meninggikan kalimāt-Nya. Jihad dapat berupa perjuangan secara
individual maupun komunal ke arah yang lebih baik yang ditentukan
oleh struktur dan kerangka nilai Islam. Jihad adalah seruan kepada
agama yang haq. Kegiatan jihad dilakukan untuk menghadapi
musuh-musuh Allah yang nampak, yaitu para pelaku kejahatan,
maupun musuh yang tak tampak (setan dan hawa nafsu).50 Ia
merupakan kewajiban Muslim yang berkelajutan hingga hari kiamat.
Tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas kemungkaran dan
tingkat tertingginya ialah perang di jalan Allah. Jihad dapat
dilakukan dengan perkataan maupun perbuatan, baik melalui lisan,
tulisan, kekuatan fisik, maupun harta benda dengan tujuan
menumpas fitnah agar manusia mengabdi kepada Allah;
menghilangkan kekerasan; menundukkan dunia kepada kebenaran
dan menciptakan keadilan. Tujuannya mewujudkan ideal-ideal Islam
dalam Alquran dan sunnah Nabi saw. Dimensi lahiriahnya
49
M. Quraish Shihab (ed.), Ensikolpedia Alquran, Kajian Kosa Kata, Jil. I (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), 396. 50
Hal tersebut senada dengan apa yang dikemukakan Budihardjo, bahwa macam-
macam Jihad ada tiga. Yaitu: Berjuang di medan perang, berjuang melawan setan, dan
berjuang melawan hawa nafsu. Lihat: Budihardjo, “Jihad dalam Perspektif Islam”, dalam
“Dinamika Politik Islam”, Jurnal Asy-Syir‟ah (Vol. 40, No. II, 2006), 351-356.
30
perjuangan melawan kejahatan dan mendukung kebenaran,
sedangkan dimensi bathiniahnya disiplin diri mengikuti ajaran
Islam.51
2. Pengertian Qitāl
Term al-qitāl adalah bentuk masdar dari kata qātala -
yuqātilu tepatnya adalah tsulasi mazid satu huruf dari kata qatala
yang memiliki tiga pengertian: pertama, artinya adalah berkelahi
melawan seseorang. Kedua, memusuhi (adāhu) dan ketiga,
memerangi musuh (haraba hual- ada‟).52
Selain kata qatala, dalam Alquran ditemukan juga bentuk
kata kerja yang lain, qattala dan iqtatala beserta kata jadiannya.
Adapun makna yang sepadan dengan makna jihad adalah kata kerja
qatala, yang berarti perang atau bertempur.
Dalam Alquran, pengungkapan term al-qitāl dan kata
jadiannya pada umumnya diikuti dengan ungkapan fī sabīlillah.
Kenyataan ini sama dengan pengungkapan term al-jihād.
Sebagaimana diketahui, kebanyakan ayat yang menerangkan tentang
jihad diikuti juga dengan ungkapan fī sabīlillah. Jadi, baik jihad
dalam pengertian umum (al-jihād) maupun jihad dalam pengertian
perang (al-qitāl) harus dalam ruang lingkup penegakan agama Allah
swt.53
Kata yang serupa dengan al-qitāl yaitu al-harb, al-ghazw,
dan an-nafr, dimana masing-masing kata tersebut walaupun pada
dasarnya memiliki makna perang, tetapi mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda dalam penggunaannya.
3. Perbedaan jihad dan qitāl
Adapun perbedaan jihad dengan qitāl adalah sebagai berikut:
No Jihad Qitāl
1 Dari segi bahasa, Jihad Sedangkan qitāl berarti
51
Muhammad Chirzin, Kontroversi Jihad di Indonesia..., 46-67. 52
Ibn Manzur, Lisān al-Arab..., 3531. 53
Rohimin, Jihad: Makna dan Hikmah (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), 23.
31
berarti bersungguh-
sungguh
perang atau bertempur
2
Ruang lingkupnya lebih
luas; jihad melawan hawa
nafsu, jihad dengan harta,
jiwa, dsb.
Ruang lingkupnya lebih
sempit; identik dengan
pertempuran dengan
menggunakan pedang
3 Penggunaan kata jihad
dalam Alquran hanya
ditujukan bagi kaum
Muslimin
Penggunaan kata qital
dalam Alquran tidak
terkhusus hanya pada kaum
Muslimin
Demikian perbedaan anatara jihad dengan qitāl. Perang atau
qital merupakan salah satu cara berjihad pada zaman Nabi dulu.
Terbukti dengan terjadinya perang Islam di masa lampau.
Diantaranya perang badar, perang uhud, dan sebagainya. Itu
menandakan bahwa memang qitāl atau perang merupakan salah satu
cara untuk berjihad, atau bersungguh-sungguh berjalan di jalan
Allah. Namun keliru apabila kemudian dinyatakan bahwa jihad
hanyalah qitāl (perang). Cakupan makna jihad lebih luas
dibandingkan dengan makna qitāl. Jihad meliputi berjuang dengan
menggunakan harta, dengan jiwa, dan bahkan melawan hawa nafsu
pun merupakan sebuah jihad yang agung. Oleh karena itu, kurang
tepat jika memaknai jihad dan qitāl dengan sebuah makna yang
sama, melainkan dengan konteks cakupan makna masing-masing.
Sehingga jelas tampak perbedaan diantara keduanya, bahwa jihad itu
bukan hanya sekedar qitāl, walaupun qitāl merupakan bagian
daripada jihad.
C. Fazlur Rahman dan teori Double Movement
1. Riwayat Hidup dan Karya-karya Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir di India Britania, di satu daerah yang
kini menjadi bagian dari Pakistan, pada 21 September 1919 dan
32
meninggal di Chicago, pada 26 Juni 1988.54 Rahman berasal dari
keluarga yang dikenal sebagai keluarga yang alim atau tergolong taat
beragama, dengan menganut Madzhab Hanafi. Keluarganya
mempraktikan ibadah sehari-hari secara teratur. Tergolong sebagai
orang yang cerdas, pada usia yang masih tergolong muda yaitu
sepuluh tahun, Ia telah khatam menghafal Alquran. Ayahnya
bernama Mawlana Syihab ad-Din, adalah seorang alumnus Dār al-
Ulūm¸sekolah menengah terkemuka di Deoband, India.
Di sekolah ini, Syihab ad-Din belajar dari tokoh-tokoh
terkemuka seperti Mawlana Mahmud Hasan (w. 1920), yang lebih
populer dengan Syeikh al-Hind, dan seorang faqih ternama,
Mawlana Rasyid Ahmad Bangohi (w. 1905).55 Meskipun Rahman
tidak belajar di Dār al-Ulūm, ia menguasai kurikulum Darse Nizami
yang ditawarkan lembaga tersebut dalam kajian privat dengan
ayahnya. Hal ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami
Islam tradisional, dengan perhatian khusus pada fikih, teologi,
dialektis, ilmu kalam, hadis, tafsir, logika (manthīq) dan filsafat.
Semenjak anak benua Indo-pakistan masih belum pecah ke
dalam dua Negara mereka, di sebuah daerah yang kini tersebar di
Barat Pakistan, anak benua ini terkenal dengan sederet pemikiran
liberalnya. Diantaranya seperti Syah Waliyullah, Sir Sayid Amir Ali
dan Muhammad Iqbal. Latar belakang pola pemikiran ini
mempengaruhi Fazlur Rahman menjadi pemikir radikal dan liberal
dalam peta pembaharuan Islam.56 Pada tahun 1933, rahman dibawa
ke India untuk memasuki sekolah modern. Kemudian ia melanjutkan
ke Punjab University, dan lulus menyandang gelar B.A.
Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan
akademisnya di universitas yang sama dan memperoleh gelar M.A.
54
Fazlur Rahman, Islam, IX. 55
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Studi Komparatif
Epistimologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), 49. 56
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas Pemikiran
Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1990), 79.
33
dalam sastra Arab. Ketika telah meraih gelar tersebut dan tengah
belajar untuk program Doktoral di Lahore, Rahman pernah diajak
oleh Abu A‟la al-Maududi bergabung dengan Jamaat Islami dengan
syarat harus meninggalkan studinya; sebab menurut Maududi,
semakin banyak Rahman belajar, kemampuan-kemampuan
praktisnya akan semakin beku. Namun saat itu Rahman menolak
ajakan tersebut dan memilih untuk tetap melanjutkan studinya.57
Menyadari bahwa mutu pendidikan tinggi Islam di India
ketika itu amat rendah, Fazlur Rahman akhirnya memutuskan untuk
melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan ini termasuk keputusan
yang amat berani, sebab pada waktu itu terdapat anggapan yang
umum bahwa merupakan suatu hal yang sangat aneh jika seorang
Muslim pergi belajar tentang Islam ke Barat; dan kalaupun ada yang
terlanjur kesana, maka ia akan amat susah untuk diterima kembali di
negara asalnya. Inilah sebabnya kebanyakan pelajar Muslim merasa
cemas bahwa apabila mereka belajar Islam di Barat, dan secara
otomatis mempelajari serta menerapkan metode kritis dan analitis
modern terhadap materi-materi keislaman, mereka akan dikucilkan
dalam masyarakatnya sendiri atau bahkan akan mengalami
penindasan.58
Namun keputusan telah diambil, dan Rahman tampaknya
telah siap menghadapi segala konsekwensinya. Keputusan untuk
melanjutkan studi ke Barat, yaitu ke Oxford University, memang
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan rahman terhadap mutu
pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim. Ketika bertemu
dengan seorang pendeta Hindu, Sir S. Radhakrishnan, di Inggris,
Rahman pernah ditanya oleh sang pendea: “Mengapa Anda tidak ke
Mesir saja, tetapi malahan ke Oxford?” ketika itu Rahman
menjawab: “Studi-studi Islam di sana sama tidak kritisnya dengan di
57
Fazlur Rahman, Islam and Modernity..., 117. 58
Ibid., 119-120.
34
India ...”.59 Ketidakpuasan rahman terhadap pendidikan tinggi Islam
di negeri-negeri Muslim ini belakangan terjelma dalam kritisismenya
yang pedas terhadap lembaga-lembaga tersebut. Tentang Al-Azhar
di Mesir, misalnya ia mengemukakan bahwa lembaga pendidikan itu
dalam kenyataannya “mewakili sosok akhir pemikiran Islam abad
pertengahan dengan beberapa modifikasi baru dan kecil-kecilan”,
serta posisi intelektual-spiritualnya tetap statis.60
Pada tahun 1949, ia berhasil mencapai gelar Ph.D nya di
bidang Filsafat Islam. Disertasinya tentang Filsafat Ibnu Sina yang
kemudian dua tahun setelahnya diterbitkan oleh Oxford University
Pess dengan judul Avecinna‟s Psichology. setelah lulus, Rahman
tidak kembali ke Pakistan, akan tetapi Rahman masih mengajar
beberapa tahun di Durham University Inggris dan kemudian di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada.61
Sekembalinya ke tanah airnya yaitu Pakistan, pada tahun
1962, ia diangkat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam (Institute of
Islamic Research), setelah sebelumnya menjabat sebagai staf di
lembaga tersebut selama beberapa saat. Tetapi penunjukan ini tidak
mendapat restu dari kalangan ulama karena menurut mereka, jabatan
direktur lembaga tersebut seharusnya merupakan hak previlese
ekslusif seorang „alim yang terdidik secara tradisional, sedangkan
Rahman memperoleh pendidikan keislaman di Barat. Lagipula
pandangan Rahman yang negatif terhadap kalangan tradisionalis dan
fundamentalis Pakistan yang tertuang dalam tulisan-tulisannya di
Barat serta dalam dua artikel tentang sunnah dan hadis yang
ditulisnya beberapa bulan menjelang pengangkatannya selaku
Direktur, telah mengecewakan para ulama. Maka tidak
mengherenkan apabila selama kepemimpinan Rahman, lembaga riset
59
Ibid., 120. 60
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., 81. 61
Surisno, Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistimologi, dan Sistem
Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 62.
35
selalu mendapat tantangan keras dari kalangan tradisionalis dan
fundamentalis, sebagaimana halnya gagasan-gagasan pembaharuan
Rahman sendiri.62
Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada
tahun 1964, Rahman juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat
Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Rahman terlibat secara intens
dalam upaya untuk menafsirkan kembali Islam dalam istilah-istilah
yang rasional dan ilmiah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang progresif.
Pada saat itu, posisi penting ini memberinya kesempatan
untuk meninjau berlangsungnya pemerintahan dan kekuasaan dari
dekat. Bahkan saat-saat itu juga menjadi pengalaman paling berharga
dalam sejarah hidup Rahman. Dan pada sisi lain, dengan posisi
sebagai Direktur Lembaga Riset, Rahman memprakarsai penerbitan
Journal of Islamic Studies, yang hingga kini masih eksis terbit secara
berkala dan sekaligus merupakan jurnal ilmiah keagamaan yang
bertaraf internasional.63
Ketika menafsirkan kembali Islam untuk menjawab
tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini, gagasan-
gagasan dan pembaharuan yang dikemukakan Rahman selaku
Direktur Lembaga Riset Islam, ataupun sebagai Dewan Penasehat
Ideologi Islam yang pada waktunya mewakili sudut pandang
kalangan modernis, selalu mendapat tantangan keras dari kaum
tradisionalis dan fundamentalis. Ide-ide tentang sunnah dan hadis,
riba dan bunga bank, zakat, fatwa mengenai kehalalan binatang
sembelihan secara mekanis, serta lainnya telah menimbulkan
kontroversi-kontroversi yang berkepanjangan secara berkala nasional
di Pakistan. Puncak dari tantangan ini adalah ketika dua bab pertama
dari karya pertamanya Islam, diterjemahkan kedalam bahasa Urdu
dan dipublikasikan pada jurnal Fikr an-Nazr. Ketegangan ini
62
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., 85. 63
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif neo Modernisme Islam, 13.
36
berlanjut ditambah dengan ketegangan politik antara ulama
tradisional dengan pemerintah di bawah pimpinan Ayyub Khan yang
dapat digolongkan modernis. Pada saat-saat inilah Rahman merasa
terpaksa hengkang dari Pakistan. Ia memutuskan untuk hijrah ke
Chicago dan sejak 190700 menjabat sebagai Guru Besar Kajian
Islam dalam berbagai aspek pada Department of Near Eastern and
Civilization, University of Chicago.64
Universitas ini merupakan tempat terakhirnya bekerja,
hingga ia wafat. Selama menjadi pengajar di Universitas Chicago,
dengan posisi sebagai Muslim modern, Rahman telah memberikan
banyak kontribusi pada ilmuan Muslim generasinya untuk memberi
kepercayaan diri, baik melalui publikasi, konsultasi, dakwah,
pengkaderan ilmuan muda yang datang dari berbagai negara untuk
belajar dibawah asuhannya, Ahmad Syafi‟i Maarif yang pernah
menjadi murid Fazlur Rahman selama empat tahun di Chicago
memberi komentar sehubungan dengan kepindahan gurunya ke
Barat. Bila bumi Muslim belum peka terhadap himbauan-himbauan,
maka bumi lain yang juga bumi Allah telah menampungnya dan dari
sanalah ia menyusun dan merumuskan pikiran-pikirannya tentang
Islam sejak 1970, dan kesanalah beberapa mahasiswa dari negeri
Muslim belajar Islam dengannya.65
2. Karya-karya Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah sarjana dan penulis yang sangat
produktif, menulis sepuluh monografi dan hampir seratus artikel
tentang berbagai aspek kehidupan politik, agama dan intelektual di
dunia Islam. Beliau dikenal sebagai pakar gerakan filsafat Paripatetik
dalam Islam dan khususnya sebagai pakar pemikiran Ibn Sina berkat
karyanya, Avicenna‟s Psichology (1952). Karya yang merupakan
64
Ibid., 16. 65
Fitriadi HI. Yusub, “Pemikiran Fazlur Rahman tentang Aksiologi dan Implikasinya
Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam”, Tesis (Malang: Pascasarjana Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2015), 59.
37
terjemahan dan edisi kritis dari Kitab al-Najāt ini didasarkan pada
disertasinya di Oxford, Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy
(1958), serta De Anima karya Avicenna, yang merupakan bagian
psikologi dari Kitab al-Syifa‟ (1959). Dalam tulisan-tulisan itu,
Rahman tidak saja menunjukkan pengaruh filsafat Islam terhadap
pemikiran Eropa, tetapi juga memperjelas interaksi filsafat dan
agama dalam peradaban Islam. Studinya tentang pemikir abad ke-17,
Syaikh Ahmad Sirhandi (Selected Letters of Ahmad Sirhindi, 1968)
dan Sadruddin Syirazi (The Philosophy of Mulla Sadra¸1975),
mengulang banyak tema di tulisan-tulisan awalnya yang
mengapresiasi Madzhab Iluminasionis dan Neo-Platonik dalam
filsafat Islam. Penekanan Rahman pada akal budi manusia di atas
dogmatisme dangkal dalam sosok-sosok yang ia pelajari juga
merupakan salah satu ciri khas kehidupan dan pemikirannya.
Karya Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (1982) dan Health and Medicine in the Islamic
Tradition: Change and Identity (1987) mencerminkan pendekatan
baru dalam beberapa tema serupa yang dibahas dalam bukunya
sebelumnya. Disini beliau terutama sangat peduli dengan penafsiran
dan artikulasi Islam dalam budaya dan masyarakat.66 Dalam Islam
and Modernity, misalnya, beliau mengemukakan bahwa Alquran
yang diyakini umat Muslim sebagai firman Tuhan, telah
disalahtafsirkan sejak masa yang disebut Masa Keemasan dalam
abad-abad awal Islam. Alih-alih membangun pandangan dunia
berdasarkan apa yang Rahman sebut sebagai “kitab ajaran”, mufasir
Muslim malah sibuk “membakukan” ajaran etis Alquran. Mereka
menafsirkan setiap penggalan atau ayat dari segi hukum seakan ayat
itu berdiri sendiri. Rahman memandang bahwa dengan menafsirkan
penggalan ayat tertentu secara terpisah dari konteks sosial dan
historisnya, dengan tidak mengakui prinsip universal dibalik suatu
66
Fazlur Rahman, Islam, XI.
38
pernyataan, dan karenanya tidak melihat Alquran sebagai suatu visi
etis dan moral yang terpadu, para mufasir abad pertengahan telah
mengembangkan sistem pemikiran yang kaku dan beku serta sistem
pendidikan yang mencerminkan sifat-sifat tersebut. Dihadapan
modernisasi Barat, kekakuan ini mengakibatkan pendidikan Islam
menjadi lebih sekuler atau berpaling sama sekali dari modernitas.
Satu-satunya cara mengakhiri kebingungan dan kekeliruan
penafsiran ini menurut Rahman adalah umat Muslim mesti
menafsirkan kembali hukum dan ulasan Alquran sebagai pernyataan
moral yang umum yang dapat disesuaikan seiring perubahan kondisi
sosial.
Pemikiran diatas dalam banyak hal mewarnai karya-karya
utamanya dikelompok ketiga: Islamic Methodology in History
(1965), Islam (edisi perdana 1966; edisi kedua 1979), Major Themes
of The Qur‟an (1980), dan Revival and Reform in Islam: A Study of
Islamic Fundamentalism (diterbitkan secara anumerta pada tahun
2000). 67
Buku-buku diatas merupakan karya utama Rahman sebelum
akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir pada tanggal 26 Juli
1988 dalam usianya yang ke-69, di Chicago, Illinois. Adapun karya-
karya nya dalam bentuk artikel ilmiah, tersebar di banyak jurnal baik
jurnal lokal (Pakistan) dan internasional, serta yang dimuat dalam
buku-buku bermutu dan terkenal. Artikel-artikel yang ditulisnya
antara lain:
a. Some Islamic Issues in the Ayyub Khan
b. Islam: Challenges and Oppotunities
c. Revival and Reform in Islam: a Study of Islamic
Fundamentalism
d. Islam: Legacy and Contemporary Challenges
e. Islam in the Contemporary World
67
Ibid., XII.
39
f. Roots of Islamic Neo-Fundamentalism
g. The Muslim World
h. The Impact of Modernity on Islam
i. Islamic Modernism its Scope, Methode an Alternatives
j. Divine Revelation and the Prophet
k. Interpreting the Quran
l. The Quranic Concept of God, the Universe and Man
m. Some Key Ethical Concept of the Quran.68
3. Kerangka Pemikiran Fazlur Rahman
Alquran adalah wahyu yang diberikan kepada Nabi
Muhammad saw (antara tahun 710 dan 732). Alquran mengandung
petunjuk bagi manusia, yang membenarkan dan mencakup wahyu-
wahyu yang terdahulu. Selanjutnya, wahyu Alquran dan karir
kerasulan Muhammad berlangsung dalam waktu lebih dari dua puluh
tahun, dimana semua keputusan mengenai kebijaksanaan dalam
perang dan damai, tentang isu-isu hukum dan moral dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat dibuat dalam situasi-situasi yang
aktual. Dengan demikian wahyu Alquran dari waktu kewaktu
mempunyai aplikasi praktis dan politis. Alquran bukan semata-mata
teks puji-pujian ataupun tuntunan kesalehan pribadi. Sama halnya,
karir kerasulan Muhammad juga diarahkan kepada perbaikan moral
manusia dalam artian yang konkrit dan komunal, bukan hanya
sekedar kepada hal-hal yang bersifat pribadi dan metafisik saja.
Dengan sendirinya ini mendorong para ahli hukum dan intelektual
Muslim untuk memandang Alquran (dan sunnah rasul) sebagai
sumber yang mampu menjawab semua persoalan. Keberhasilan
pendekatan ini semakin memperkuat keyakinan dasar kaum
Muslimin terhadap kemujaraban wahyu sebagai jawaban bagi semua
situasi.69
68
Sibawaihi, Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman..., 54. 69
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Mohammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), 2.
40
Tetapi diluar Alquran sebagai sumber jawaban akan
persoalan yang muncul, menurut Rahman masalah yang paling dasar
adalah mengenai metode dan cara penafsiran Alquran itu sendiri.
Rahman menganggap metode penafsiran pada zaman pertengahan
belum cukup memuaskan. Seperti contoh dalam masalah hukum
pidana yang dinamakan hudūd. Dengan menggunakan qiyas atau
penalaran analogis sebagai alat istinbath hukum dan pranata-pranata
sosial lainnya, menurutnya belum cukup memberikan suatu hasil
yang memuaskan. Lebih lanjut, qiyas bagi rahman sebuah alat yang
belum sempurna. Ketidak sempurnaan dan ketidaktepatan alat-alat
ini pada gilirannya disebabkan oleh tidak adanya metode yang
memadai untuk memahami Alquran itu sendiri.70
Seperti yang tersebut diatas, upaya Rahman untuk
merumuskan metodologi yang sistematis, atau gagasan-gagasan
pembaharuannya dilatarbelakangi oleh kesadarannya akan krisis
yang dihadapi Islam pada periode modern. Ia menilai bahwa krisis
ini memiliki implikasi serius terhadap masa depan agama. Akar
krisis ini terletak dalam sejarah keagamaan Islam.71 Sejak
penghujung abad pertama Hijriah, kaum Muslim telah
mengembangkan suatu sikap yang kaku dalam memandang kedua
sumber pemikiran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Nabi saw lewat
pendekatan-pendekatan ahistoris, literalistis, dan atomistis.
Pendekatan-pendekatan semacam ini telah menceraikan Alquran dan
as-sunnah dari akar kesejarahannya, serta mereduksi keduanya
70
Ibid., 2-3. 71
Pendapatnya ini merupakan pengaruh dari W.C. Smith. Dalam analisisnya tentang
gerakan pembaharuan pada periode modern Islam, Smith pernah mengemukakan bahwa
krisis fundamental yang dihadapi Islam pada masa tersebut adalah terdapatnya semacam
perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan sejarah Islam. Oleh karena itu,
lanjutnya “problem mendasar kaum Muslim modern adalah bagaimana merehabilitasi
sejarah tersebut; membuatnya berjalan lagi dengan kekuatan penuh, sehingga masyarakat
Islam sekali lagi dapat maju ke depan sebagaimana mestinya suatu masyarakat yang
terpimpin secara ilahiah”. Baca: Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (t.tp:
Princeton University Press, 1957), 41.
41
menjadi kompendia yang terdiri atas bagian-bagian yang terisolasi
dan terpilah-pilah.72
Dengan latar belakang pemikiran diatas, Rahman berupaya
untuk membangun sebuah metode penafsiran sebagai alat untuk
memahami dan menafsirkan Alquran, yang lebih sistematis dan
terstruktur. Proses penafsiran yang diusulkan disini terdiri dari suatu
gerakan ganda, dari situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan,
dan kembali lagi ke masa kini. Alquran adalah respon ilahi, melalui
ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada
masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang
Makkah pada masanya. Sejak dini, Alquran berbicara tentang “beban
yang mematahkan punggungmu” yang dilepaskan dengan turunnya
wahyu yaitu surat As-Sharh ayat 1-3. Tentu saja wahyu pada
gilirannya juga membawakan “seruan yang berat” (QS. Al-
Muzzammil ayat 5). Surah-surah awal Alquran membuat sangat jelas
bahwa masalah-masalah akut di masyarkat Arab dahulu itu adalah
politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin,
permainan kotor dalam perdagangan dan ketiadaan tanggung jawab
umum terhadap masyarakat (dimana terdapat alasan yang kuat untuk
meyakini bahwa Alquran memandang masalah-masalah tersebut
saling berhubungan). Alquran mengemukakan gagasan tentang
Tuhan yang Esa kepada siapa semua manusia bertangung jawab dan
tujuan menghilangkan ketimpangan sosial-ekonomi yang menyolok.
Teologi Alquran dan ajaran-ajaran moral serta hukum-hukumnya
kemudian secara gradual mengungkapkan diri dalam arena politik:
penolakan orang-orang Makkah terhadap risalah Muhammad
terhadap risalah Muhammad, debat berkepanjangan yang
menyusulnya, dan kemudian, dalam periode madinah, kontroversi
yang dilancarkan terhadap orang-orang Yahudi dan sejauh tertentu
72
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas..., 186.
42
juga terhadap orang-orang kristen membentuk latar belakang
turunnya wahyu-wahyu Alquran.73
Jadi, kita lihat bahwa Alquran dan asal-usul komunitas Islam
muncul dalam sinaran sejarah dan berhadapan dengan latarbelakang
sosio-historis. Alquran adalah respon kepada situasi tersebut, dan
untuk sebagian besar ia terdiri dari pernyataan-pernyataan moral,
religius dan sosial yang menanggapi problema-problema spesifik
yang dihadapkan kepadanya dalam situasi-situasi yang konkrit.
Kadang-kadang Alquran hanya memberikan suatu jawaban bagi
sebuah pernyataan atau suatu masalah, tetapi biasanya jawaban-
jawaban ini dinyatakan dalam batasan-batasan suatu ratio legis yang
eksplisit atau semi eksplisit. Tetapi bahkan dimana Alquran hanya
memberikan jawaban-jawaban yang sederhana saja, adalah mungkin
untuk memahami alasan-alasannya dan menyimpulkan hukum-
hukum umum dengan mengkaji materi-materi latarbelakangnya,
yang untuk sebagian besar telah disuguhkan secara cukup jelas oleh
para penafsir Alquran.74
Jadi, menurut Rahman, prosedur yang benar untuk
memahami Alquran setidaknya mufasir harus menempuh dua
pendekatan: pertama, mempelajari Alquran dalam Ordo Historis
untuk mengapresiasi tema-tema dan gagasan-gagasannya sehingga
diketahui makna yang tepat dari firman Allah. Kedua, mengkaji
Alquran dalam konteks latar belakang sosio-historisnya. Dengan
pendekatan ini akan diketahui laporan tentang bagaimana orang-
orang di lingkungan Nabi memahami perintah Alquran. Tanpa
memahami latar belakang mikro dan makro75 secara memadai,
menurut Rahman besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap
73
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas..., 6. 74
Ibid., 6-7. 75
Konteks mikro adalah sebab turun yang memiliki ketersinggungan dengan
turunnya suatu ayat. Sedangkan konteks makro adalah kondisi sosial budaya di sekitar Arab
meliputi situasi budaya, pola interaksi, geografis, politik, dan konteks lainnya yang mengitari
turunnya Alquran.
43
terhadap maksud atau tujuan Alquran, serta aktifitas Nabi baik ketika
berada di Makkah maupun di Madinah.76
Dua pendekatan ini mutlak dilakukan Rahman, karena
Alquran merupakan respon Ilahi yang disampaikan melalui Nabi
Muhammad saw terhadap situasi sosial masyarakat Arab ketika itu.
Pernyataan Alquran yang memperlihatkan bagaimana
kronisnya problem masyarakat seperti penyembahan berhala,
eksploitasi terhadap kaum miskin, memarginalkan kaum perempuan
dan lain-lain diatas, mengindikasikan bahwa memang pesan-pesan
dalam Alquran saling berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh
masyarakat Arab saat itu.
4. Konsep Teori Double Movement Fazlur Rahman
Dalam metodenya, Rahman menyatakan ada tiga pendekatan
dalam ijtihadnya. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan
makna teks; kedua, pendekatan kontekstual untuk menemukan
sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik;
dan ketiga, pendekatan latar belakang sosiologis untuk menemukan
sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapakan oleh pendekatan
kontekstual.
Ujung dari keseluruhan ide dan konsep metodologisnya, ia
rumuskan dalam dua gerakan metodis yang masing-masing terdiri
dari serangkaian kerja intelektual yang secara teknis dinamaknnya
“ijtihad” atau “jihad intelektual”. Sebagaimana definisi ijtihad yang
mengimplementasikan konsep-konsepnya mengenai dasar-dasar
metodologis; tentang Alquran, sunnah, maka demikian pula rumusan
metodis Rahman sehingga terlihat konsistensi dan koherensi
pemikirannya: sejak dari ide-ide pendekatan metodologis, konsep-
76
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam. terj. Aam Fahmia (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2001), 5.
44
konsep tentang dasar-dasar metodologis, konsep ijtihad, sampai
dengan rumusan metodologisnya.77
Berangkat dari pemikiran beliau tentang pendekatan yang
harus dilakukan dalam menafsirkan Alquran, dan tidak
representatifnya metode tafsir klasik dan metode tafsir modern saat
ini, maka Rahman menawarkan sebuah konsep metode tafsir yang
dinamakan dengan teori penafsiran Double Movement (gerakan
ganda).
Konsep teori Double Movement tersebut diungkapkan
Rahman dalam bukunya Islam and Modernity berikut;
“The process of interpretation proposed here consists of a Double
Movement, from the present situation to Quranic times, then back
to the present.“78
Rahman mengungkapkan bahwa proses dalam memahami
Alquran terdiri dari dua gerakan ganda (Double Movement), yaitu
dari situasi saat ini menuju pada masa Alquran, kemudian kembali
lagi pada situasi saat ini.
Gerakan pertama
Langkah pertama, orang harus memahami arti makna suatu
pernyataan (ayat) dengan mengkaji situasi atau problem historis
dimana pernyataan Alquran tersebut merupakan jawabannya. Tentu
saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam situai-situasi
spesifiknya, suatu kajian situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga bahkan keseluruhan
kehidupan masayarakat di Arab pada pada saat Islam datang
khususnya di Makkah dan sekitarnya, harus dilakukan terlebih
dahulu. Langkah kedua adalah menggeneralisasikan respon-respon
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan
yang memiliki tujuan moral sosial umum, yang dapat disaring dari
77
Husein Alyafie, “Fazlur Rahman dan Metode Ijtihadnya: Telaah Sekitar
Pembaruan Hukum Islam”, Jurnal Hunafa (Vol. 6, No.1, 2009), 29-52. 78
Fazlur Rahman, Islam and Modernity..., 5.
45
ungkapan ayat-ayat spesifik dalam sinar latarbelakang sosio-historis
dan dalam sinar ratio-legis („illat hukum) yang sering digunakan.
Benar bahwa langkah pertama yaitu memahami makna dari suatu
pernyataan spesifik, sudah memperlihatkan ke arah langkah kedua,
dan membawa kepadanya. Selama proses ini, perhatian harus
ditujukan kepada ajaran Alquran sebagai suatu keseluruhan,
sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang
dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan
yang lainnya. Alquran sebagai suatu keseluruhan memang
menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki
suatu pandangan dunia yang konkrit; ia juga mendakwakan bahwa
ajarannya “tidak mengandung kontradiksi-dalam”, tetapi koheren
secara keseluruhan.79
Gerakan kedua
Gerakan kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip
umum, nilai-nilai dan tujuan Alquran yang telah disistemasikan
melalui gerakan pertama terhadap situasi dan atau kasus aktual
sekarang. Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum ke
pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang.
Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan
(embodied) dalam konteks sosio-historis yang konkrit di masa
sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi
sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga
kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang
sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru
untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Alquran secara baru
pula.80
Seperti yang telah tersebut diatas, usaha ini oleh Rahman
diistilahkan sebagai sebuah jihad intelektual. Jihad atau usaha
intelektual, termasuk unsur-unsur intelektual dari kedua momen
79
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas..., 7. 80
Ibid., 8.
46
(yang lampau dan sekarang), secara teknis disebut ijtihad, yang
berarti “upaya untuk memahami makna dari suatu teks atau preseden
di masa lampau, yang mempunyai suatu aturan, dan untuk mengubah
aturan tersebut dengan memperluas atau membatasi ataupun
memodifikasinya dengan cara sedemikian rupa hingga suatu situasi
baru dapat dicakup di dalamnya dengan suatu solusi yang baru”.
Definisi ini sendiri mengimplikasikan bahwa suatu teks atau
preseden bisa digeneralisasikan sebagai suatu prinsip dan bahwa
prinsip tersebut lalu bisa dirumuskan sebagai suatu aturan baru. Ini
berimplikasi bahwa makna suatu teks atau preseden dari masa
lampau, situasi sekarang dan tradisi yang mengitarinya dapat
diketahui secara cukup objektif dan bahwa tradisi tersebut dapat
dengan cukup objektif dibawa ke dalam penilaian dari makna
(normatif) dari masa lampau dalam dampak mana tradisi tersebut
muncul.81
Dua gerakan tersebut akhirnya menghasilkan rumusan-
rumusan spesifik qurani mengenai berbagai aspek kehidupan aktual
sekarang ini. Rumusan-rumusan tersebut akan menjadi pertimbangan
bagi mujtahid yang bersangkutan dalam menetapkan pendapat-
pendapat hukumnya. Keduanya, yaitu rumusan-rumusan spesifik
qurani mengenai kehidupan aktual dan pendapat-pendapat hukum
hasil ijtihad akan mengalami proses interaksi dalam masyarakat.
Terlepas dari kenyataan apakah keduanya akan diterima atau ditolak
dalam masyarakat, namun secara teoritis keduanya merupakan visi
qurani yang dibangun dengan mempertimbangkan situasi dan
kondisi aktual masyarakat setempat, yaitu sebuah visi qurani yang
realistis.82
81
Ibid., 9. 82
Husein Alyafie, Fazlur Rahman dan Metode Ijtihadnya..., 29-52.
47
BAB III
KAJIAN AYAT-AYAT QITĀL
A. Ayat-ayat Perang (qitāl) dalam Alquran dan Asbāb an-Nuzūlnya
Qitāl (perang) memiliki pengertian yang tidak begitu luas.
Sebagaimana yang telah dibahas dimuka, makna qitāl tidak seluas
makna jihad. Dimana jihad mencakup segala bentuk usaha dan
upaya untuk menegakkan agama Allah swt, sedangkan qitāl adalah
terbatas hanya pada arti perang. Namun arti perang itu pun tidak bisa
kita persempit cakupan maknanya. Sebagai contoh, dalam Islam
terdapat perang sebagai jalan untuk mempertahankan diri, keluarga,
dan juga harta.83
Selain perang dalam rangka mempertahankan diri, ada juga
perang melawan kelompok pengacau yang mencoba menggulingkan
kekuasaan yang sah atau merusak ketertiban umum. Termasuk juga
perang melawan para pembegal yang merampas hak-hak rakyat.84
Mahmud Syaltut dalam kitabnya, al-Qur‟an wa al-Qitāl
membagi qitāl menjadi dua macam. Yaitu qitāl al-Muslimīn lil
Muslimīn dan qitāl al-Muslimīn li ghairil Muslimīn (perang antara
Muslim dengan Muslim dan perang antara Muslim dengan non-
Muslim).85 Maka dalam penelitian ini, penulis membatasi objek
kajian ayat-ayat qitāl, yaitu hanya pada qitāl (perang) atau
memerangi orang-orang non-Muslim. Sebagaimana tersebut dalam
ayat-ayat Alquran sebagai dasar legalitas nya, baik perintah untuk
berperang maupun larangannya. Adapun ayat-ayat yang membahas
mengenai qitāl melawan orang-orang non-Muslim akan diuraikan,
berdasarkan perintah dan larangan qitāl, sebagai berikut:
83
Turmudzi, Sunan At-Turmudzi, Jil. 3 (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmi, 1988), 88. 84
Abdul Ghofur Maimoen, “Peperangan Nabi Muhammad saw dan Ayat-ayat Qitāl”,
Jurnal Al-Itqan (Vol. 1, No. 1, 2015), 13. 85
Mahmud Syaltut, Al-Qur‟an wa Al-Qitāl (Kairo: Dār al-Kitab al-Arābi, 1951), 24.
48
Ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad berkaitan
dengan qitāl adalah tedapat dalam QS. Al-Hajj ayat 39,
و ز وذش أر ػى صش ٱل إ ا ظ ثأ ز
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan
sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
itu.” Ayat ini turun pada tahun pertama hijrah Nabi Muhammad
saw. Dalam kitab tafsirnya, Ibn „Asyur menyampaikan bahwa kaum
musyrikin Makkah menyiksa kaum mukminin dengan kejam.
Dengan bekas pukulan dan luka, mereka kemudian datang kepada
Rasul, melaporkan kedzaliman yang mereka alami. Nabi menjawab
“bersabarlah, sesungguhnya belum ada perintah untuk membalas
atau berperang”. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, yaitu setelah bai‟ah
aqabah barulah turun ayat ini, yaitu diizinkannya umat Islam untuk
membela diri ketika dianiaya dan didzalimi oleh kaum musyrik.86
Redaksi pertama dalam ayat tersebut menggunakan kata أر
(udzina) yang berarti perang bukan merupakan sebuah anjuran,
melainkan hanya sebuah izin. Izin berperang pun hanya dalam
konteks pembelaan diri dan menegakkan keadilan dan perang harus
berakhir dengan berakhirnya permusuhan terhadap kaum Muslim.87
Ayat tersebut turun pada waktu peralihan dari periode
Makkah ke periode Madinah. Dengan kata lain dapat kita pahami
bahwasanya, selama Nabi di Makkah, jihad Nabi tidak
menggunakan kekerasan sama sekali walaupun siksaan dan cobaan
Nabi di Makkah lebih berat dibandingkan di Madinah. Namun
karena memang pada saat itu belum ada izin berperang Nabi dan
para sahabat hanya bisa bersabar sembari tetap berjihad dijalan Allah
86
Abi Al-Hasan Ali Al-Wahidi, Asbābu Nuzūlil Qur‟an (Riyadh: Dār al-Maiman,
2005), 503. 87
Falahuddin, “Pendekatan Komprehensif-Integratif Dalam Kajian Fikih Terorisme,”
dalam Reformulasi Ajaran Agama Islam; Jihad, Khilafah, dan Terorisme, ed. Azyumardi
Azra, CBE, dkk. (Bandung: Penerbit Mizan, 2017), 74.
49
dengan cara berdakwah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun
secara terbuka.
Sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi turunnya ayat
diatas, maka tidak diperkenankan memerangi, membunuh non-
Muslim kecuali mereka yang terlebih dahulu memulai. Sebagaimana
juga diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 190-191,
ؼزذ ال حت ٱ ٱل إا ال رؼزذ ز
و ٱز ٱل زا ك سجه ش . ح ٱهز
ز ال رو وز ٱ لزخ أشذ ٱ ش أخشج ح أخشج سجذ صولز ػذ ٱ
لش ي جضاء ٱز كٱهز ز كئ ه ك ز حزى و حشا ٱ
190. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.”
191. “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai
mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir
kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil
Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.” Ayat diatas merupakan ayat yang pertama kali turun di
Madinah. Seperti dikatakan Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, ayat
tersebut turun ketika Rasulullah pada saat itu sedang memerangi
orang yang memeranginya.88
Redaksi wa lā ta‟tadū (jangan melampaui batas) diatas
merupakan penjelasan dari kata fī sabīlillah yang mengikuti kata
qatalū. Artinya perang yang dilakukan haruslah perang di jalan
Allah serta tidak boleh melampaui batas; seperti halnya memerangi
dan membunuh perempuan, anak kecil, orang tua, bahkan seperti
88
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur‟an al-Adzīm, Jil. 2 (Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyyah,
2000), 214.
50
diriwayatkan Ibn Abbas, tidak boleh membunuh hewan kecuali
untuk kemaslahatan.89
Sedangkan ayat 191 surat Al-Baqarah diwahyukan kepada
Nabi Muhammad pada tahun keenam saat beliau melaksanakan
umrah qadha pada tahun ketujuh. Umat Islam saat itu
mengkhawatirkan adanya pembatalan sepihak dari penduduk
Makkah terhadap perjanjian gencatan senjata antara mereka dengan
penduduk Madinah. Wahyu tersebut merupakan jawaban dari Allah
jika memang benar penduduk Makkah melanggar perjanjian. Dalam
sebuah hadis sahih diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad mengutus
Usman bin Affan lalu terdengar kabar bahwa ia terbunuh. Nabi
muhammad dan para sahabat berjanji akan memerangi musuh
hingga mati, tetapi kemudian teranglah kabar bahwa Usman tidaklah
meninggal. Maka dalam ayat-ayat tersebut dinyatakan, posisi Islam
jika benar-benar terjadi kontak fisik adalah pihak yang diperangi:
“dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi
Islam”.90
Dalam ayat lain juga diterangkan sebagian sebab
diperbolehkannya qitāl, yaitu terdapat dalam surat Surat al-Baqarah
ayat 193,
إال ػى ٱظ ا كال ػذ ٱز كئ ل ٱذ كزخ حزى ال ر ز
ه
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi
dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika
mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Ayat-ayat diatas secara langsung mengindikasikan bahwa
perintah untuk berperang/memerangi orang-orang musyrik bukanlah
tanpa sebab. Dalam ayat-ayat Nya Allah mensyaratkan bahwa hanya
89
Ibid. 90
Ibn Asyur, At-Tahrīr wa at-Tanwīr, Jil. 2, (Tunisia: Ad-Dār at-Tunisiyyah, 1984),
200.
51
ketika umat Muslim itu diperangi maka selama itu kita boleh
membalas untuk memerangi guna mempertahankan diri. Dan
kalaupun kita boleh membalas memerangi, itupun harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang Allah syaratkan, sebagaimana
tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang tua, dan ketentuan-
ketentuan lainnya, sebagaimana diterangkan dalam ayat-ayat diatas.
Kemudian ditekankan lagi dalam ayat 193 yang menyatakan,
“jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim”.
Yang menandakan bahwa tidak boleh ada peperangan lagi selama
musuh tidak lagi memusuhi dan dalam keadaan damai.
Selain ayat-ayat diatas, masih terdapat banyak ayat yang
menguatkan bahwasanya perang dalam Islam bukanlah perang untuk
menindas ataupun memaksa orang masuk agama Islam, melainkan
untuk mempertahankan diri dan membela yang terdzalimi. Seperti
terdapat dalam QS. An-Nisa/4: 89-91, QS. Al-Anfal/8: 39, QS. At-
Taubah/9: 12-13.
QS. An-Nisa‟/4: 84, 90, 91
ق ثأط ٱز أ ػسى ٱل ؤ ض ٱ حش ق إال لسي ال ر ٱل ك سج ز كو
لشا
ال أشذ ر أشذ ثأسب ٱل
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah
semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah
menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar
kekuatan dan amat keras siksaan(Nya)”. (QS. An-Nisa‟/4: 84)
... ٱػزض سجال كئ ػ ٱل ب جؼ ك ٱس ا إ و أ ز
و ك
“...tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak
memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka
Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh)
mereka”. (QS. An-nisa‟/4: 90)
52
ش ح ٱهز كخز ذ ا أ ل ٱس ا إ و ؼزض ... كئ صولز
ج ب ط س ػ ب جؼ ئ
أ ب
“... Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan
(tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak)
menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah
mereka dan bunuhlah mereka dan merekalah orang-orang yang
Kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan
membunuh) mereka”. (QS. An-nisa‟/4: 91).
Menurut Syaltut, ayat-ayat diatas, khususnya pada redaksi
merupakan alasan كئ ؼزض dan ػسى هللا أ ق ثأط از لشا
diperintahkannya umat Muslim untuk memerangi orang-orang kafir
karena fitnah yang mereka bawa terhadap umat Muslim. Ayat-ayat
dalam surat An-Nisa‟ tersebut juga berhubungan dengan ayat-ayat
dalam surat al-Baqarah yang telah tersebut diatas.91 Begitu juga
dalam surat Al-Anfal dan At-Taubah.
حز ز ه ثصش ب ؼ ث ٱل ا كئ ٱز كئ ۥ ل ٱذ كزخ ى ال ر
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan
supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti
(dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan”. (QS. Al-Anfal/8: 39)
ح أر ش أ ثذء س ا ثئخشاط ٱش ا أ ض ب ه ز أال رو كٱل خش
أحن أ رخش ؤ ز إ
Artinya: Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang
yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras
kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama
mulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka
padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-
benar orang yang beriman. (QS. At-Taubah/9: 13)
زو غ ٱ ٱل ا أ ٱػ بكخ زب و بكخ شش
زا ٱ ه ...
91
Mahmud Syaltut, Al-Qur‟an wa Al-Qitāl, 31.
53
“... perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah/9: 36) Redaksi dalam ayat-ayat diatas seperti; إ ضا أب ثؼذ
yang ,ب وبر بكخ dan , ثذسء أ شح , ػذ طؼا ك د
terdapat dalam surat Al-Anfal dan At-Taubah, turun berkaitan
dengan kembalinya fitnah92 dari kaum musyrik, kedzaliman-
kedzaliman yang mereka lakukan, serta janji-jani yang mereka
ingkari. Sehingga diperintahkannya umat Muslim tanpa ragu untuk
memerangi mereka sehingga akan tercipta kemaslahatan bagi umat
manusia.93
Dari beberapa ayat yang berkaitan dengan qitāl diatas, yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa‟, Al-Anfal dan At-
Taubah, menunjukkan bahwa perintah berperang dalam Islam adalah
karena sebab-sebab yang mendahuluinya, seperti fitnah kaum
musyrik, perjanjian-perjanjian yang mereka langgar, dan sebagainya.
sehingga dapat dipahami bahwa posisi Islam dalam perang adalah
karena bertahan (defensif). Baik bertahan dari serangan yang
dilakukan kaum musyrik, maupun bertahan dalam arti
mempertahankan kemaslahatan umat walaupun itu dilakukan dengan
cara memulai perang (offensif).
Kemudian dalam kitabnya, Syaltut memberikan
pengkhususan terhadap dua ayat qitāl yang terdapat dalam surat At-
Taubah. Dimana ayat-ayat tersebut yang biasanya seringkali
92
Kata „fitnah‟ dalam Alquran tersebut sebanyak 36 kali, dan beberapa muncul
berkaitan dengan qitāl. Menurut Rasyid Ridha dan Hamka, fitnah dalam hal ini berarti
„hasutan, hambatan, gangguan, dan siksaan yang ditimpakan oleh orng-orang kafir kepada
kaum Muslim. Ibn Katsir menyebutkan bahwa fitnah disini adalah kekufuran, kesyirikan,
dan tindakan menghalangi orang dari jalan Allah. Begitu juga Al-Thabathaba‟i berkata
demikian. sehingga fitnah dapat kita pahami sebagai penindasan kaum musyrik terhadap
kaum Muslim. Lihat: Izza Rohman, “Jihad dan Qital dalam Al-Quran,” dalam Reformulasi
Ajaran Islam; Jihad, Khilafah dan Terorisme, ed. Azyumardi Azra, CBE, dkk. (Bandung:
Mizan, 2017), 417. 93
Mahmud Syaltut, Al-Qur‟an wa Al-Qitāl, 32.
54
menimbulkan persepsi yang salah oleh sebagian kelompok dengan
memahami ayat-ayat tersebut sebagai dasar disyariatkannya qitāl
dalam Islam terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan dengan
Islam (non-Muslim).94
Apabila ayat-ayat qitāl sebelumnya berhubungan dengan
kaum kafir Makkah dan Arab secara umum, maka dua ayat dalam
surat At-Taubah ini lebih tertuju pada ahlul kitab.
1. QS. At-Taubah/9: 29
زا ٱز ه ال ذ سسۥ ٱل ب حش ال حش ٱلخش ال ثٱ ثٱل ال ؤ
ش ـ ص جضخ ػ ذ ت حزى ؼطا ٱ ز أرا ٱ ٱز حن ٱ د
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
keadaan tunduk”. Menurut Ibn Asyur dalam ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa setelah kaum kafir Makkah, musuh Islam selanjutnya adalah
ahlul kitab, dimana mereka bersama musyrik Arab mula-mula
bersikap damai dengan umat Islam akan tetapi setelah Islam
berkembang sedemikian rupa dengan pesat mereka mulai memusuhi.
Contohnya adalah bani Quraidhah dan bani Nadhir yang membantu
pasukan al-Ahzab memerangi Madinah dalam peristiwa Khandaq.
Termasuk dalam kelompok ahlul kitab ini adalah Arab Kristen yang
berada digaris perbatasan antara Arab dan Kristen Romawi di Syam.
Mereka adalah para raja Ghassanid (Ghassan) yang menjadi penerus
Kristen Romawi dalam upaya memusuhi Islam.
Setelah aman dari kaum musyrik Arab, kemudian Islam
mengatur siasat untuk menghalau Arab Kristen di perbatasan,
dimana mereka merupakan kaki tangan Kristen Romawi. Maka
94
Ibid.
55
kemudian turunlah ayat tersebut yang berisi perintah untuk
memerangi ahlul kitab.95
Hal tersebut ditegaskan Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya
dengan mengambil riwayat yang menceritakan bahwa, setelah
urusan kaum musyrikin mulai mencair, dan berbagai kelompok
masuk kedalam agama Islam, dan Jazirah Arabia mulai stabil, maka
Allah memerintahan Rasul-Nya untuk memerangi orang-orang Ahli
Kitab, Yahudi dan Nasrani. Ini terjadi pada tahun 9 Hijriyah. Untuk
itu Rasulullah saw mempersiapkan diri untuk memerangi bangsa
Romawi. Rasulullah menyeru para sahabatnya untuk bersiap-siap,
dan mengirim utusan ke daerah-daerah pinggiran kota untuk
mengajak mereka agar bersiap-siap dan seruan itu mendapat
sambutan yang sangat memuaskan, sehingga terkumpullah pasukan
sejumlah kurang lebih 30.000 personil. Sebagian orang penduduk
Mandinah dan kaum munafikin yang ada di sekitarnya serta manusia
lainnya tidak ikut berperang peristiwa ini terjadi pada saat sulitnya
pangan dan kemarau panjang serta panas yang sangat terik.
Rasulullah dengan pasukannya berangkat menuju Syam untuk
memerangi pasukan Romawi, ketika sampai di Tabuk, pasukan
Islam singgah selama 20 hari. Setelah itu Rasulullah beristikharah
untuk kembali ke Madinah. Karena kondisi pasukan sudah mulai
lemah, maka pada tahun itu juga Rasulullah kembali ke Madinah.96
Namun memerangi ahlul kitab disini bukan karena motif
beda keyakinan, tetapi lebih karena ahlul kitab tersebut bekerjasama
dengan Kristen Romawi untuk memusuhi dan menyerang Islam.
Sehingga, dapat kita pahami bahwa penyerangan yang dilakukan
Islam secara lebih dahulu kepada non-Muslim dalam konteks ini
adalah untuk mempertahankan Islam karena terlebih dahulu sudah
diketahui bahwasanya tentara Romawi yang di dalamnya termasuk
95
Ibn Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, Jil. 10, 163-164. 96
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq, Lubābut Tafsīr Min Ibni
Katsīr, terj. M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2003), 116.
56
ahlul kitab akan menyerang Islam. Oleh karena itu tidak ada perintah
dan tidak diperbolehkan sama sekali untuk memerangi ahlul kitab
atas dasar perbedaan keyakinan.
2. QS. At-Taubah/9: 123
ٱػ ظخ ؿ جذا ك لبس ٱ زا ٱزا ه ءا أ ب ٱز
غ ٱل ا أ
زو ٱ
“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang
kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui
kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama
orang-orang yang bertakwa”.
Sepintas ayat ini seperti memerintahkan kepada umat Islam
agar memerangi setiap non-Muslim yang berada di sekeliling
mereka. Akan tetapi jika diperhatikan seksama dengan melihat
seluruh kandungan ayat-ayat qitāl dalam Al-Qur`an maka yang
demikian ini tentu merupakan kejanggalan besar karena akan
bertubrukan dengan ayat-ayat muhkamat seperti telah dipaparkan
sebelumnya. Untuk itu diperlukan pembacaan yang lebih teliti
dengan cara mengaitkannya dengan peristiwa („alāqah khārijiyyah)
dan rangkaian ayat („alāqah dākhiliyyah). Dari sini kita ketahui
bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa perang Tabuk pada bulan
Rajab tahun kesembilan.
Perang ini bermula ketika tentara Romawi al-„Armarmiyyah
berkekuatan empat puluh ribu tentara, kolaborasi antara bangsa
Romawi dan Arab, bermaksud menghentikan laju Islam. Tentara
Islam berupaya menghalaunya akan tidak terjadi kontak fisik.
Peristiwa ini semakin menegaskan adanya musuh di luar Arab
sehingga membutuhkan ketegasan dan sikap taktis dari umat Islam.97
97
Abdul Ghofur Maimoen, Peperangan Nabi Muhammad saw..., 22-23.
57
Dengan melihat ayat-ayat qitāl yang tersebut diatas serta
memahaminya dengan melihat konteks ayat beserta asbāb an-nuzūl
nya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Tidak ditemukan satu ayat pun dalam Alquran yang
menunjukkan bahwa qitāl (perang) dalam Islam
dimaksudkan untuk memaksa manusia masuk agama
Islam.
b. Karena sebab-sebab qitāl, seperti yang tersebut
sebelumnya, yaitu tidak lain untuk mempertahankan diri
dari musuh, melindungi dan menjaga dakwah, serta
membebaskan agama (dari fitnah dan kedzaliman kaum
kafir).
c. Walaupun dalam sejarah Islam terdapat perang (qitāl),
namun perang dalam Islam tetaplah mempunyai etika
dan aturan seperti tidak memonopoli, tidak menyerang
kaum yang lemah (wanita, anak-anak, orang tua).
B. Penggunaan dan Pemaknaan kata qitāl dalam Alquran
Penggunaan kata qitāl dalam Alquran dengan berbagai
derivasinya (baik berupa fi‟il maupun isim) ditemukan dalam
berbagai surat dalam Alquran, yang secara keseluruhannya
digunakan sebanyak 170 kali.98 Untuk penjelasan lebih lanjut akan
penulis uraikan dalam tabel berikut ini:
Tabel
Pemaknaan kata Qitāl dan Derivasinya
Kosakata Terdapat pada
Surat
Terdapat
pada ayat
Makna
Al-Baqarah/2 72, 251 Membunuh (qatala)قتل
An-Nisa‟/4 92, 157
Al-Maidah/5 30, 32, 95
Al-Kahfi/18 74
98
Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu‟jamul Mufahras..., 533-536.
58
Taha/20 40
Al-Qashas/28 19, 33
Ali Imran/3 183
Al-Anfal/8 17
Al-An‟am/6 140
,Ghafir/40 25 Bunuh (yaqtulu)يقتل
Membunuh Al-Maidah/5 27, 28, 70, 95
Al-Qashas/28 9, 19, 20, 33
An-Nisa‟/4 29, 92, 93
Al-An‟am/6 151
Yusuf/12 10
Al-Isra‟/17 31, 33
Al-Baqarah/2 61, 85, 87, 91
Al-Ahzab/33 26
Al-Anfal/8 17, 30
Al-Mumtahanah/60 12
Ali Imran/3 21, 112
At- Taubah/9 111
Al-Furqan/25 68
As-Syu‟ara/26 14
Al-A‟raf/7 150
,Ali Imran/3 144, 154 (qutila)قتل
156, 157,
158, 168, 169
Dibunuh,
Dikalahkan,
Terbunuh,
Gugur
Al-Hajj/22 58
Muhammad/47 4
At-Takwir/81 9
Al-Isra‟/17 33
Ad-Dzariyat/51 10 Terkutuklah
Al-Muddatsir/74 19, 20 Celakalah
Abasa/80 17
59
Al-Buruj/85 4 Binasalah
,Al-Baqarah/2 154 Gugur (yuqtalu)يقتل
terbunuh An-Nisa‟/4 74
At-Taubah/9 111
Al-Ahzab/33 61 Dibunuh
Al-Maidah/5 33
Ali Imran/3 13, 111 Memerangi (qātala) قاتل
146, 195 Berperang
Al-Hadid/57 10
As-Shaf/61 4 Berperang
Al-Fath/48 16, 22 Memerangi
Al-Munafiqun/63 4 Membinasakan
At-Taubah/9
13 Memerangi
30 Melaknat
83 Berperang
Al-Ahzab/33 20
Al-Baqarah/2 191, 217 Memerangi
246 Berperang
An-Nisa/4 90 Memerangi
Al-Mumtahanah/60 9
يقاتل
(yuqātilu)
Al-Baqarah/2 190 Memerangi
Al-Hasyr/59 14
Al-Muzzammil/73 20
An-Nisa‟/4 76 Berperang
Al-Hajj/22 39
Al-Maidah/5 24 Berperanglah (qātil)قاتل
Al-Baqarah/2 193, 244, 253 Perangilah
At-Taubah/9 12, 14, 29,
123
Al-Hujurat/49 9
Al-Anfal/8 39
60
,Al-Baqarah/2 191 Membunuh (al-qatl)القتل
Pembunuhan 217
Ali Imran/3
154 Terbunuh
181 Membunuh
Al-Maidah/5 30
An-Nisa‟/4 155
Al-An‟am/6 137
Al-Isra‟/17 31
33 Pembunuhan
Al-Ahzab/33 16
Al-Baqarah/2 216, 217 Berperang (qitāl)قتال
An-Nisa‟/4 77
Ali Imran/3 121 Pertempuran,
Peperangan Al-Ahzab/33 25
Muhammad/47 20 Perang
Al-Anfal/8 16
65 Berperang
Berperang قتاال(qitālan) Ali Imran/3 167
إقتتل
(iqtatala)
Al-Baqarah/2 253 Berbunuh-
bunuhan
Al-Hujurat/49 9 Berperang
Al-Qashas/28 15 Berkelahi
Berdasarkan Tabel diatas, dapat kita simpulkan bahwasanya
kata qitāl dengan segala derivasinya (Isim maupun fiil) di dalam
Alquran adalah bermakna perang (Isim), membunuh, memerangi
(fiil). Terkecuali adalah yang terdapat dalam surat Adz-Dzariyat/51:
10 (Terkutuklah), Al-Muddatsir/74: 19 dan 20, Abasa/80: 17
(Celakalah), dan Al-Buruj/85: 4 (Binasalah). Dimana dalam ayat-
ayat tersebut menggunakan redaksi هز (qutila).
61
Namun perintah dan larangan perang dalam ayat-ayat
Alquran tersebut, tidak cukup dipahami secara literalis dan tekstual.
Akan tetapi perlu pemahaman kontekstual, dimana ayat-ayat
perintah perang tersebut tidak lah diturunkan dalam ruang hampa,
melainkan turun atas dasar sebab yang mendahului dan
melatarbelakangi nya, termasuk kondisi sosial bangsa Arab pada saat
itu (mikro maupun makro). oleh karena itu dalam Bab selanjutnya,
penulis akan mencoba memahami ayat-ayat qitāl (perang) tersebut
secara kontekstual dengan menggunakan teori nya Fazlur Rahman,
yaitu teori penafsiran Double Movement (Gerakan Ganda).
62
BAB IV
APLIKASI TEORI DOUBLE MOVEMENT TERHADAP
AYAT-AYAT PERANG (QITĀL)
Melihat dan mengetahui seluruh ayat-ayat qitāl yang ada dalam
Alquran, seperti yang penulis telah paparkan di dalam bab sebelumnya, akan
menuntun kepada kita sebuah pemahaman penting. Yaitu, sebuah gambaran
dan ciri-ciri perang yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Dengan dimulai
dari sebab mengapa Rasulullah, atau Islam pada umumnya melakukan
peperangan, etika berperang yang di praktekkan Rasul, dan juga sebenarnya,
apakah hukum berperang itu sendiri dalam Islam?.
A. Aplikasi Teori Double Movement terhadap ayat-ayat qitāl
Perang (qitāl) telah menjadi polemik persoalan tersendiri
dikalangan umat. hal tersebut salah satu pemicunya adalah terdapatnya
beberapa ayat Alquran yang apabila kita lihat secara tekstual
memerintahan kepada umat Muslim untuk memerangi non-Muslim.
Dilain sisi, dalam Alquran, ditegaskan pula bahwasanya Islam adalah
agama yang lembut, damai, dan rahmatan lil ālamīn.
Maka tentu dibutuhkan pemahaman yang utuh mengenai
perintah berperang yang ada dalam Alquran tersebut. Karena tidak
mungkin satu ayat Alquran bertentangan dengan ayat yang lainnya,
yaitu ayat-ayat perang bertentangan dengan ayat-ayat damai. Sehingga
penulis mencoba menggunakan teori penafsiran Double Movement
(gerak ganda) untuk memahami problem qitāl tersebut.
Prinsip dasar Teori Double Movement
1. Memahami arti atau makna ayat dengan melihat dan mengkaji
situasi dan problem historis dimana pernyataan Alquran atau
ayat tersebut merupakan jawabannya.
2. Menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik dan
menyatakannya sebagai sebuah pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral-sosial umum.
63
3. Membawa nilai-nilai dan tujuan-tujuan yang umum tersebut
kedalam konteks sosio-historis yang konkrit dimasa sekarang,
dengan melihat secara cermat kondisi dan situasi masa kini.99
Untuk lebih jelasnya, langkah-langkah diatas akan langsung
penulis terapkan dalam memahami ayat-ayat qitāl. Walaupun terdapat
perintah dan larangan berperang, dan keduanya tersebut saling
berkorelasi satu sama lain, sehingga tidak bertentangan, namun dalam
hal ini adalah lebih menitikberatkan kepada perintah berperang.
Melihat perang pada masa lampau, kondisi dimana ayat-
ayat perintah perang diturunkan (mikro), serta kondisi
sosial masyarakat pada saat itu (makro).
Sejarah peperangan dalam Islam merupakan sebuah fakta
sejarah yang kita ketahui tentang bagaimana Nabi saw beserta para
sahabat beliau memperjuangkan dan mempertahankan agama Islam,
sehingga Islam dapat sampai kepada kita saat ini dengan segala hukum
dan syari‟atnya.
Perang bagi bangsa Arab pada saat itu bukan merupakan sesuatu
yang mengerikan seperti anggapan kita saat sekarang ini. Melainkan
sudah menjadi kebiasaan mereka, karena memang banyak terdapat
faktor yang melatarbelakangi terjadinya perang kala itu. Seperti yang
telah disebutkan oleh Khoir Haikal dalam kitabnya yang berjudul Al-
Jihād wa Al-Qitāl fī as-Siyāsah as-Syariyyah. Dalam kitabnya bahkan
disebutkan terdapat 30 alasan atau faktor yang mendasari terjadinya
perang di jazirah Arab pada masa itu.100
Perang yang dilakukan oleh Rasulullah saw bukanlah perang
yang offensif (menyerang), akan tetapi bersifat defensif (bertahan,
membela diri), sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat yang ada, yang
menegaskan bahwasanya Islam tidak menghendaki peperangan. Namun
karena adanya ancaman dari kaum kafir quraisy maupun ahlul kitab,
penganiayaan atau kedzaliman, fitnah, dan sebagainya, sehingga Allah
99
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas..., 7-8. 100
Muhammad Khair Haikal, al-Jihād wa al-Qitāl..., 15-29.
64
swt memerintahkan untuk membela diri dengan cara menghalau segala
ancaman dan memerangi mereka (QS. Al-Hajj: 39, QS. Al-Baqarah/2:
190-191, QS. An-Nisa/4: 91, QS. Al-Anfal/8: 39, QS. At-Taubah/9: 13
dan 36, dan lain sebagainya). Konsistensi itu tersebut dalam ayat lain
juga yang melarang umat Muslim untuk memerangi mereka ketika
sudah dalam keadaan damai dan mereka tidak pula memerangi Islam
(QS. An-Nisa/4: 90, QS. Al-Baqarah/2: 193).
Maka dapat kita ketahui bahwa kondisi makro atau situasi dan
kondisi masyarakat Arab pada masa Nabi, peperangan memang masih
menjadi sebuah jalan bagi mereka untuk menyelesaikan masalah dan
urusan mereka.
Sedangkan kondisi mikro, atau asbāb an-nuzūl ayat-ayat
perintah perang diturunkan, tidak lain adalah karena adanya ancaman
dari kaum kafir maupun ahlul kitab. Sehingga ketika tidak ada ancaman
maupun gangguan dari mereka, umat Muslim dilarang untuk melakukan
dan memerangi mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip dakwah dalam
Islam berikut;
Pertama, asas iman dan kufur adalah kebebasan bagi manusia
untuk menentukan pilihannya. Iman tidak bisa dipaksakan dan
sebaliknya kekufuran juga tidak bisa dipaksakan. Seperti tersebut dalam
surat Al-Baqarah ayat 256,
كوذ ثٱل ؤ ـد لش ثٱط ك ـ
ٱ شذ ٱش هذ رج شا ك ٱذ ح ال إ ؼش سي ثٱ ٱسز
غ ػ س ٱل ب صوى ال ٱلصب ٱ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui”. Kedua, Nabi Muhammad dan juga penerus perjuangannya tidak
dimintai pertanggung jawaban mengenai hasil dakwahnya, yang
dimintai pertanggung-jawaban adalah dakwah itu sendiri yang berarti
menyampaikan pesan-pesan Alquran dengan hikmah dan tutur kata
65
yang baik (mauidzoh hasanah). Bahkan apabila diperlukan sebuah
perdebatan pun itu juga harus dilakukan dengan baik pula. Sebagaimana
firman Allah dalam surat An-Nur ayat 54,
كئ س أطؼا ٱش أطؼا ٱل إ رطؼ ه ز ب ح ػ ب ح ب ػ ا كئ ر
ج ؾ ٱج إال ٱ س ب ػى ٱش
زذا ر
“Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul;
dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu
adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian
adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu
taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain
kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan
terang".
Dan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125,
سثي إ أحس ثٱز
ذ ج حسخ ػظخ ٱ ٱ خ ح
سثي ثٱ ٱدع إى سج ث أػ
زذ ثٱ أػ ػ سجۦ ض
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk”.
Setelah kita mengetahui kondisi sosial bangsa Arab serta
mengetahui sebab diturunkannya ayat-ayat perintah berperang seperti
yang tersebut diatas, selanjutnya adalah mengambil nilai-nilai universal
yang ada dalam ayat-ayat tersebut. Artinya, ayat-ayat tersebut tidak
berlaku secara khusus hanya bagi masyarakat pada masa Alquran turun,
namun juga berlaku bagi umat manusia saat ini. Selaras dengan jargon
Alquran salihun li kulli zaman wa makan, maka pesan-pesan Alquran
dalam ayat-ayat tersebut harus bisa berlaku juga bagi masa sekarang.
Yaitu dengan mengambil nilai-nilai dan tujuan-tujuan umum dari ayat-
ayat tersebut.
66
Maka dengan melihat kembali ayat-ayat qitāl diatas, penulis
mendapatkan nilai-nilai universal dengan tujuan-tujuan umum sebagai
berikut:
1. Ayat-ayat tersebut secara umum menghimbau kepada umat
Muslim untuk senantiasa waspada terhadap ancaman musuh.
Bukan hanya ancaman fisik, namun juga ancaman tergerusnya
akidah karena fitnah-fitnah yang mereka sebarkan. Bukan pula
hanya musuh yang tampak, namun juga bisikan setan dan hawa
nafsu yang bahkan menjadi musuh utama kita.
2. Melawan dan mempertahankan Islam dengan sekuat tenaga, dan
mempertaruhkan jiwa raga kita untuk Islam. Dengan cara
berdakwah dan menginfakkan harta kita untuk kejayaan Islam.
3. Mengajarkan kepada umat Muslim, bahwasanya Islam adalah
agama yang lembut, bukan agama kekerasan. Yaitu dengan
tidak mengusik dan memerangi orang-orang non-Islam, kecuali
mereka memerangi kita terlebih dahulu dan kita harus
mempertahankan diri.
4. Memerintahkan kepada seluruh Umat Muslim untuk berjihad di
jalan Allah. Apabila dulu cara berjihad Nabi dan Sahabat
melalui peperangan, itu wajar karena kondisi dan situasi
memang menuntut demikian. Namun dalam hal ini jihad yang
penulis maksud adalah jihad secara global meliputi semua
aspeknya (materi, pikiran, tenaga, dan sebagainya), sesuai
dengan kemampuan masing-masing individu.
Nilai-nilai dan tujuan-tujuan umum diatas, yang penulis
simpulkan dari ayat-ayat qitāl, menandai hasil dari gerakan pertama
teori Double Movement. Yaitu gerakan kembali menuju masa Alquran
diturunkan dengan melihat latarbelakang situasional dan sektor
sosialnya. Kemudian menarik dan mengambil nilai-nilai umum, prinsip-
prinsip, dan tujuan-tujuan umum yang ada dalam sebuah ayat tersebut
secara sistematis. Hal tersebut sejalan dengan kaidah yang menyatakan
“al-Ibrah bi umūm al-lafdzi lā bi khusūs as-sababi”. Yaitu bahwasanya,
67
hukum yang terkadung dalam sebuah ayat atau lafadz itu dilihat dari
umumnya lafadz, bukan sebab khususnya. Artinya dengan begitu, ayat-
ayat qitāl tersebut bukan hanya berlaku bagi masyarakat Arab pada
masa Alquran diturunkan, namun juga berlaku bagi kita umat manusia
yang hidup dimasa sekarang ini, bahkan di masa yang akan datang
sekalipun.
Membawa Prinsip-prinsip atau nilai-nilai dan tujuan-tujuan
universal yang didapatkan dari ayat-ayat qitāl, kedalam
masa sekarang yang konkrit dengan segala kondisi, situasi
dan problematikanya.
Sebelum menerapkan ajaran-ajaran umum tersebut kedalam
konteks yang konkrit di masa sekarang, terlebih dahulu perlu dilakukan
kajian dengan cermat atas situasi sekarang dengan segala kondisinya.
Beberapa hal yang menjadi poin penting mengenai gambaran
kondisi dan situasi masa sekarang adalah: pertama, bahwa perang
(qitāl) tidak lagi menjadi alternatif dalam berdakwah dan berjihad saat
ini. Terlebih lagi, bukan hanya di Jazirah Arab. Islam sudah menyebar
luas di berbagai negara di dunia ini. Artinya, kultur dan karakteristik
umat Muslim sekarang sudah berbeda dengan kultur dan karakteristik
bangsa Arab pada zaman Nabi yang masih menggunakan perang
sebagai jalan hidup kabilah masing-masing.
Islam pada masa Nabi masih berbentuk sebuah kesatuan dalam
satu wilayah dan satu kepemimpinan, yaitu dipimpin langsung oleh
Nabi Muhammad saw sendiri, yang kemudian diteruskan oleh para
khalifah pengganti beliau. Namun berbeda dengan sekarang ini, dimana
Islam bukanlah menjadi sebuah sistem negara (Negara Islam),
melainkan merupakan bagian dari sebuah negara, dan terdapat pula
agama-agama lain di dalam negara-negara itu selain Islam.
Kedua, dunia saat ini adalah milik barat, dimana semua aktifitas
dan kegiatan umat manusia dikendalikan oleh Barat. Mulai dari segi
ekonomi, politik, teknologi, keilmuan dan bidang-bidang lainnya.
Dengan majunya teknologi yang dikembangkan; sebagai contoh
68
pesatnya kemajuan alat-alat elektronik, maraknya media sosial, dan
kemajuan-kemajuan lain, membuat dunia saat ini seakan sama sekali
beda dengan masa lampau ketika Alquran diturunkan.
Dunia maya sekarang ini lebih banyak diminati umat daripada
dunia nyata. Kejahatan pun tidak hanya terjadi didunia nyata, namun
juga marak di dunia maya, bahkan lebih kejam dan sadis. Alasanya
sederhana, karena umat sekarang ini lebih bebas berbicara dan bertindak
serta berinteraksi di Dunia tersebut. Hal tersebut pun akhirnya
dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam. Dengan banyaknya situs-situs
website yang menyesatkan, menggerus akidah umat, dan kita lihat
provokasi atau adu domba dimana-dimana. Dan itu semua mudah
dilakukan didunia yang sekarang ini dengan berbagai fasilitas dan
teknologi yang maju.
Dengan melihat dan memperhatikan fakta-fakta diatas, kita
dapat mengetahui bahwasanya tantangan dakwah saat ini sungguh
berbeda dengan tantangan dakwah pada masa Nabi saw. Tantangan
dakwah masa Nabi adalah menghalau pasukan-pasukan perang kaum
kafir dan kaum yahudi nasrani beserta tentara romawi. Sedangkan
tantangan dakwah saat ini adalah menghalau serangan-serangan musuh
Islam dalam rangka mempertahankan akidah Islam didunia yang penuh
fitnah ini. Berita-berita hoax (palsu) disebarkan dimana-mana,
penipuan-penipuan merajalela, bahkah penistaan sudah menjadi hal
biasa.
Setelah mengamati dan mengetahui kondisi konkrit masa
sekarang ini, maka langkah selanjutnya adalah menerapkan nilai-nilai
universal ayat-ayat qitāl yang penulis simpulkan sebelumnya kedalam
ruang dan waktu sekarang ini, dengan segala kondisi dan
problematikanya.
B. Kontekstualisasi Ayat-ayat qitāl terhadap Problematika masa
sekarang
Secara sederhana, prinsip-prinsip umum yang ada pada ayat-
ayat qitāl adalah: pertama, perintah untuk berjihad di jalan Allah swt.
69
Kedua, perintah untuk senantiasa waspada terhadap musuh-musuh
Islam. Ketiga, perintah untuk mempertahankan Islam dengan sekuat
jiwa raga dari segala ancaman musuh-musuh Islam yang datang.
Keempat, memberikan pemahaman kepada umat manusia bahwasanya
Islam bukanlah agama kekerasan, melainkan agama yang lembut dan
rahmatan lil alamīn.
Prinsip-prinsip diatas akan penulis coba untuk terapkan dalam
problematika sosial dewasa ini seperti korupsi, dan propaganda media.
Yang akan penulis uraikan sebagai berikut:
a. Korupsi
Merupakan sebuah masalah besar yang sedang dihadapi
umat saat ini, khususnya di Indonesia. Korupsi adalah tindakan
penjabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak
lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.101
Undang-undang Nomer 31 mengatakan bahwa korupsi
secara terminologis adalah melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.102
Dari perngertian-pengertian diatas, kita dapat lihat bahwa
terdapat dua unsur pokok di dalam korupsi, yaitu penyalagunaan
kekuasaan oleh para pejabat, apartur negara dan pihak yang terlibat,
dan pengutamaan kepentingan pribadi atau sepihak diatas
kepentingan publik oleh pelaku korupsi (pejabat, apartur negara dan
semua pihak yang terlibat).
Tindak korupsi dalam hukum Islam sangat jelas hukumnya.
Korupsi bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti; keadilan
(al-„adl), amanah (al-amānah), dan tanggung jawab.
101
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Korupsi, diakses pada tanggal 14 April 2018 102
Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
70
Dengan melihat definisi dan dua unsur pokok korupsi diatas,
Korupsi sangat dilarang dan dibenci oleh Allah. Karena pertama¸
Korupsi berarti memakan harta benda orang lain secara tidak benar
(bathīl) dan mengambil hak-hak orang lain. Larangan dan ancaman
bagi orang-orang yang memakan harta orang lain secara batil
tersebut dalam beberapa ayat Alquran telah disebutkan, seperti yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 188, An-Nisa/4 ayat 161,
dan At-Taubah/9 ayat 34.103
Korupsi merupakan sebuah kejahatan yang berdampak
sangat buruk bagi masyarakat maupun negara. Secara tidak
langsung, adanya praktek korupsi telah menimbulkan berbagai
distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat. Oleh karena itu
dalam Alquran korupsi dapat dikategorikan sebagai perbuatan fasad
dan sebuah kerusakan di muka bumi yang sangat tidak diridhai oleh
Allah swt.
103
QS. Al-Baqarah/2: 188
أ ا كشوب زأ ب ح رذا ثب إى ٱ ط ج ثٱ ث ا أ ال رأ رؼ أز ص ٱبط ثٱإ
“ Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”
QS. An-Nisa/4: 161
أخز ػزاث لش أػزذب ط ج ٱبط ثٱ أ أ هذ ا ػ ا ث ب أب ٱش
“ Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara
mereka itu siksa yang pedih”.
QS. At-Taubah/9: 34
أ أ جب ٱش ٱلحجبس ضشا ا إ ءا ب ٱز أ ٱز ٱل ػ سج صذ ط ج ٱبط ثٱ
ش ثؼزاة أ كجش ٱل ال لوب ك سج خ لض ٱ ٱزت ض
“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang
alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-
orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah,
maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih”.
71
Indonesia termasuk kedalam negara paling korup sedunia,
dengan menempati deretan atas diantara negara-negara lainnya.
Ironisnya, Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas
Muslim. Begitu juga para pejabat negara yang melakukan tindak
korupsi mayoritas adalah Muslim. Hal ini lah yang perlu
dipertanyakan dan dicermati terkait apakah yang menyebabkan
suburnya praktek korupsi di Indonesia?.
Islam datang untuk membebasakan dan memerangi sistem
ketidakadilan, bukan untuk melegalisasi praktek-praktek yang
melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan.
Maka ayat-ayat qitāl (perang), seperti yang telah dibahas
dimuka, bahwa esensi dari ayat-ayat tersebut adalah jihad dan
mempertahankan Islam. Maka ayat-ayat qitāl tersebut menjadi satu
perintah, yang harus diperhatikan bagi umat Muslim saat ini, yaitu
perintah untuk dapat memberantas korupsi dan membersihkan nama
Islam dari hal-hal fasad yang semacam korupsi dan sebagainya
dalam rangka jihād fī sabīlillah.
Perintah yang terdapat dalam ayat-ayat qitāl bersifat umum
untuk seluruh Muslim dan mukmin. Artinya perintah untuk
memberantas korupsi, khususnya di Indonesia, adalah bukan hanya
perintah bagi pemerintah saja, melainkan juga bagi seluruh umat,
khususnya masyarakat Indonesia.
Mengenai bagaimana cara atau teknis pemberantasan korupsi
tersebut, penulis tidak membahas hal tersebut dalam tulisan ini.
Namun di Indonesia telah ada dan eksis sebuah lembaga yang
khusus menangani dan menyelidiki tindak pidana korupsi, yaitu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga tersebut
merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah dalam rangka
memberantas korupsi. Meskipun telah banyak mengungkap dan
menangkap para koruptor, namun sampai saat ini juga adanya
lembaga tersebut belum dapat mengurangi maraknya korupsi di
tanah air ini.
72
Para pelaku korupsi seakan tidak jera dan tidak takut dengan
konsekuensi dan hukuman yang nantinya akan mereka terima ketika
mereka tertangkap. Bagaimana tidak, hukuman bagi para koruptor di
Indonesia ini adalah sebatas penjara yang sama sekali tidak dapat
membuat efek jera bagi para pelakunya.
Maka menurut penulis, hal yang dapat mengurangi dan
memberantas maraknya tindakan korupsi di Indonesia ini adalah
dengan memberikan hukuman yang berat bagi para pelaku. Bukan
hanya sekadar dipenjara, namun lebih kepada hukuman yang dapat
membuat para pelaku jera dan berpikir dua kali ketika hendak
melakukan korupsi.
Apabila diatas adalah tanggung jawab dan peran pemerintah
dalam memberantas korupsi, maka peran rakyat adalah dengan cara
meningkatkan kualitas pribadi masing-masing pribadi masyarakat.
Dimulai dari orang tua dengan memberikan pendidikan yang baik
bagi anak-anak nya, serta perhatian yang cukup terhadap
pertumbuhan anak.
Memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri pribadi setiap
insan yang penulis maksud, bukan hanya terbatas pendidikan umum,
namun yang lebih penting adalah pengetahuan agama dan
spiritualitasnya. Karena faktanya, para pelaku korupsi umumnya
adalah mereka para pejabat yang mempunyai wewenang, dan
sebelumnya telah mengenyam pendidikan yang bisa dikatakan
tinggi. Namun nyatanya itu saja tidak cukup untuk menghentikan
niat mereka untuk korupsi, dengan terbukti banyak pejabat Muslim
yang tertangkap karena mereka korupsi. Maka spiritualitas dan
pendidikan moral menurut penulis adalah yang sangat dibutuhkan
setiap manusia, khususnya bagi masyarakat Indonesia saat ini dan
genarasi yang akan datang.
Menumbuhkan spiritualitas dan membentuk moral sosial
yang baik, serta meningkatkan kualitas diri itulah menurut penulis
yang menjadi tantangan jihad masa kini dalam rangka memberantas
73
korupsi. Begitu juga pemerintah yang harus lebih bisa bersikap
berani dalam hal menetapkan hukuman bagi para koruptor. Maka
menurut penulis itulah salah satu hal yang harus dilaksanakan umat
terkait dengan ayat-ayat perintah qitāl yang difirmankan Allah swt
dalam kitab-Nya.
b. Propaganda Media
Media massa, dengan segala fungsi dan bidang aktivitasnya,
mengambil peran besar dalam kaitannya dengan penyebarluasan
informasi-informasi atau berita-berita. Kecepatan dan cakupan luas
tersebarnya informasi tergantung pada kerja institusi media tersebut.
Dalam hubungannya dengan itu, masyarakat mengikuti
perkembangan peristiwa-peristiwa dengan bergantung pada media
juga. Segala pandangan dan tingkah laku masyarakat juga banyak
dipengaruhi oleh media. Tentang apa yang disajikan, apa yang
diberitakan, dan apa yang ditampilkan oleh madia itulah yang
menjadi persoalan utama.
Kekerasan sosial dan terorisme menjadi salah satu berita
yang menjadi sasaran utama media. Media massa menganggap “Bad
news is a good news” karena berita-berita seperti itu pasti akan
menarik perhatian masyarakat. Semakin ekstrim kekerasan yang
ditunjukkan dalam liputan, semakin tinggi nilai berita tersebut.
Media massa dengan vulgar menggambarkan tindakan kekerasan
yang dilakukan sehingga efek yang dirasakan penonton ketika
menyaksikan berita tersebut semakin merasuk.104
Media massa sekarang tidak hanya terbatas pada televisi dan
internet. Yang lebih besar pengaruhnya sekarang ini adalah media
yang lebih bersifat sosial (atau bisa disebut media sosial), seperti;
Facebook, Twitter, Whatsapp, dan media sosial lainnya. Media-
media tersebut mempunyai kekuatan persuasif untuk menyulut
kebencian antar umat.
104
Jessica Jane Tampubolon, Dampak Negatif Media Massa Terhadap Kekerasan
Sosial di Indonesia (Depok: Universitas Indonesia, 2013), 6.
74
Efek media terhadap konflik dapat ditilik dari akibat yang
ditimbulkan oleh seseorang yang secara tidak sengaja atau secara
terselubung menyebarkan propaganda atau bersifat memihak dalam
bentuk eskalasi ketegangan dan memprovokasi terjadinya konflik.105
Satu peristiwa atau berita, sekarang ini tidak butuh ber jam-
jam atau berhari-hari. Hanya hitungan menit, sebuah berita langsung
tersebar keseluruh negeri ini. Dengan bahasa yang bersifat
provokatif, sebuah berita atau kiriman dari seseorang dapat saja
menimbulkan salah paham antar umat yang berujung pada fitnah dan
saling benci.
Dengan begitu besarnya pengaruh media, dimanfaatkan oleh
orang-orang yang tidak suka dengan Islam; dengan menyebar berita-
berita provokasi sebagai jalan untuk menghancurkan Islam dengan
tujuan memecah belah umat. Umat Islam dimana saja berada harus
memahami bahwa pengusung kebathilan senantiasa berupaya untuk
mendangkalkan akidah dan memporak-porandakan tatanan
kehidupan khususnya dikalangan generasi muda; salah satunya
adalah melalui media. 106
Dengan riskannya penggunaan media sosial dewasa ini,
menurut penulis hal tersebut menjadi tanggung jawab setiap Muslim.
Maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah dengan klarifikasi
atau mencari tahu kebenaran berita yang beredar. Kedua adalah
mengurangi, bahkan menghentikan alur berita yang sedang tersebar
(tentu berita-berita yang tidak baik; fitnah, aib orang lain, perdebatan
aliran, dan sebagainya), dengan cara membiarkan berita-berita
tersebut berhenti ditangan kita, dan tidak lagi kita teruskan kepada
orang lain.
Hal tersebut sesuai dengan esensi perintah qitāl dalam
Alquran yang penulis bahas. Prinsip umum dari ayat-ayat qitāl itu
diantaranya adalah selalu waspada dan siaga terhadap serangan
105
Ibid., 11. 106
Budihardjo, Jihad dalam Perspektif Islam, 364.
75
musuh. Dan musuh Islam saat ini tidak menggunakan pedang dan
perisai untuk menghancurkan Islam, tetapi tidak lain salah satunya
adalah dengan memanfaatkan teknologi modern saat ini, yaitu
dengan menggunakan media sosial.
Maka perintah qitāl dalam Alquran tersebut pada hakikatnya
adalah Allah memerintahkan kepada kita yang hidup di era modern
sekarang ini untuk mempertahankan Islam dan berjihad di jalan
Allah dengan cara mengendalikan diri kita pribadi untuk dapat selalu
menggunakan media sosial dengan baik dan hati-hati demi utuhnya
Islam yang rahmatan lil ālamīn.
Tentang alasan mengapa dalam jihad pada masa sekarang ini
penulis lebih menekankan permasalah korupsi dan media
dibandingkan dengan problem-problem lain yang melanda negeri
ini, adalah tidak lain karena menurut penulis kedua problem diatas
merupakan yang paling urgen untuk segera diselesaikan setuntas-
tuntasnya demi terciptanya kedamaian dan kemakmuran negeri ini.
juga karena dalam bukunya, Mayor Thems of The Quran, Fazlur
Rahman berpendapat bahwa jihad hadir untuk kepentingan
melaksanakan agenda sosial dan politik Islam. Tidak diragukan
bahwa Alquran menghendaki Muslim agar membangun suatu
tatanan politik di muka bumi dengan tujuan untuk menciptakan
tatanan moral-sosial yang adil dan egaliter.107
107
Fazlur Rahman, The Major Themes of The Qur‟an, (Mineapolis: Bibliotheca
Islamica, 1980), 63-64.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan menggunakan teori Double Movement milik Fazlur
Rahman, penulis mencoba memahami ayat-ayat qitāl dalam Alquran
secara utuh dengan melihat konteks peristiwa dan situasi historis
dimana ayat-ayat tersebut diturunkan. Maka dengan mengikuti
langkah-langkah dari teori Double Movement, penulis mendapatkan
hasil dan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kata qitāl dan derivasinya di dalam Alquran terdapat 170
kata. Kesemuanya bermakna perang (isim) dan memerangi
(fi‟il), kecuali beberapa kata qitāl yang terdapat dalam surat
Adz-Dzariyat/51: 10 yang bermakna „Terkutuklah‟, Al-
Muddatsir/74: 19 dan 20, Abasa/80: 17 bermakna
„Celakalah‟, dan Al-Buruj/85: 4 bermakna „Binasalah‟.
2. Ayat-ayat perang (qitāl) dalam Alquran, mempunyai konteks
peristiwa (asbāb an-nuzūl) dan juga situasi historis pada
masa itu. Yang keduanya tidak bisa diabaikan begitu saja
ketika hendak memahami ayat-ayat tersebut.
Perintah berperang dalam Alquran berkaitan dengan kaum
kafir quraisy dan musuh-musuh Islam yang memerangi atau
menyerang Islam terlebih dahulu. Seperti yang terdapat
dalam beberapa ayat-ayat qitāl seperti dalam surat Al-Hajj
ayat 39, Al-Baqarah ayat 190-191, dan beberapa ayat
lainnya.
Larangan berperang berkaitan juga dengan sikap yang
dilancarkan oleh kaum kafir dan musuh-musuh Islam. Umat
Islam tidak diperbolehkan berperang selama dalam keadaan
damai dan musuh sudah tidak memerangi lagi. Hal itu
tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 193 dan beberapa ayat
lainnya.
77
Pensyariatan perang tersebut juga sesuai dengan situasi
historis pada masa Alquran turun, dimana peperangan masih
menyelimuti bangsa Arab pada saat itu. Setiap suku masih
sibuk mencari kehidupan dan tempat mempertahankan
sukunya dengan cara menindas dan memerangi satu sama
lain. Segala permasalahan antar suku kebanyakan
diselesaikan dengan cara perang. Maka tidak heran apabila
Allah memerintahkan kepada umatnya melaui Alquran,
untuk berjihad dan mempertahankan Islam dengan cara
berperang, sesuai dengan situasi historis pada masa itu.
3. Dengan menggunakan teori Double Movement, penulis
memperoleh prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam ayat-
ayat qitāl. Prinsip-prinsip tersebut adalah; pertama, Perintah
untuk berjihad di jalan Allah swt. Kedua, perintah untuk
senantiasa waspada terhadap musuh-musuh Islam. Ketiga,
perintah untuk mempertahankan Islam dengan sekuat jiwa
raga dari segala ancaman musuh-musuh Islam yang datang.
Keempat, memberikan pemahaman kepada kita umat
manusia bahwasanya Islam bukanlah agama kekerasan,
melainkan agama yang lembut dan rahmatan lil ālamīn.
Prinsip-prinsip tersebut dapat kita kontekstualisasikan sesuai
dengan problematika dan tantangan jihad masa kini.
Diantaranya adalah masalah korupsi yang merajalela dan
propaganda media yang bersifat provokatif. Maka kedua
masalah tersebut bagi penulis merupakan agenda utama umat
Islam masa kini sebagai tantangan jihād fī sabīlillah yang
perlu untuk dilaksanakan dan dituntaskan. Sehingga nantinya
kita benar-benar termasuk hamba Allah yang akan dicatat
oleh-Nya sebagai orang-orang yang berjihad di jalan Allah
swt.
78
B. Saran
Penulis dengan penuh kesadaran mengakui bahwa penelitian
yang dilakukan ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab masih
banyak lubang-lubang data atau ketidaktelitian yang belum sempat
penulis kerjakan. Tentu hal tersebut menjadi sebuah kekurangan.
Kekurangan ini bisa disebabkan pembacaan penulis yang masih
kurang terhadap literatur yang ada. Kekurangan lainnya bisa juga
timbul sebab penulis belum mampu menerapkan teori-teori yang
mendukung sehingga masih banyak persoalan yang belum
terungkap.
Untuk melengkapi kekurangan dan kelemahan dalam
penelitian ini, maka sangat dianjurkan bagi para akademisi untuk
mengembangkan telaah sejarah serta tafsir-tafsir yang kaya literatur
dari beragam sudut, terutama beradu pandang antara kelompok garis
keras dan kelompok toleran. Disamping itu, penerapan nilai etis
tersebut pada perkembangan dunia saat ini juga perlu digambarkan
supaya menjadi fokus kajian terkait ayat-ayat perang.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abazhah, Nizar. Perang Muhammad; Kisah Perjuangan dan Pertempuran
Rasulullah. Jakarta: Zaman, 2014.
„Asyur, Ibn. At-Tahrīr wa at-Tanwīr. Tunisia: Ad-Dār at-Tunisiyyah, 1984.
A‟la, Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat, 2009.
Al-Asfahani, Ar-Raghib. Mu‟jam Mufradati Alfāzhil Qur‟an. Beirūt: Dārul
Fikr, t.th.
Alyafie, Husein. “Fazlur Rahman dan Metode Ijtihadnya: Telaah Sekitar
Pembaruan Hukum Islam”. Jurnal Hunafa, Vol. 6, No. 1, 2009.
Al-Wahidi, Abi Al-Hasan Ali. Asbābu Nuzūlil Qur‟an. Riyadh: Dār al-
Maiman, 2005.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas, Studi atas
Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung: Penerbit Mizan, 1990.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Al-Mu‟jamul Mufahras li Alfāzhil-Qur‟anil-
Karīm. Kairo: Dārul-Hadīs, 1981.
Budihardjo. “Jihad dalam Perspektif Islam”, Jurnal Asy-Syir‟ah, Vol. 40,
No. 2, 2006.
Catono, Randi. Perang Badar: Kemenangan Pertama Pasukan Muslim.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007.
Chirzin, Muhammad. Kontroversi Jihad di Indonesia: Modernis Vs
Fundamentalis. Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001.
80
Fakhruddin, Muhammad. “Konsep Jihad Menurut Muhammad Syahrur”.
Skripsi. Yogyakarta: UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Falahuddin, “Pendekatan Komprehensif-Integratif Dalam Kajian Fikih
Terorisme,” dalam Reformulasi Ajaran Agama Islam; Jihad, Khilafah, dan
Terorisme, ed. Azyumardi Azra, CBE, dkk., 57-90. Bandung: Penerbit
Mizan, 2017.
Haikal, Muhammad Khair. Al-Jihād wa al-Qitāl fi Siyāsah ash-Syar‟iyyah.
t.t.: Dār Ibn Hazm, t.th.
Hidayat, Prabowo Adi. Argumentasi Makna Jihad dalam Alquran ditinjau
dari Perspektif Masyarakat Kosmopolitan, STAIN Jurai Siwo Metro. t.th.
Ibnuafan. “Penerjemahan Ayat-ayat Jihad dalam Alquran; Terjemahan
Kementerian Agama RI (Analisis Wacana)”. Skripsi. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014.
Ishaq, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin. Lubābut Tafsīr Min
Ibni Katsīr, terj. M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam asy-Syafi‟, 2003.
Katsir, Ibn. Tafsīr Al-Qur‟an al-Adzīm. Kairo: Dār al-Kutub al-Mishriyyah,
2000.
Maimoen, Abdul Ghofur. “Peperangan Nabi Muhammad saw dan Ayat-ayat
Qital”, Jurnal Al-Itqan, vol. 1, No. 1, 2015.
Mandzur, Ibn. Lisān al-Arab. Kairo: Dār al-Ma‟arif, t.th.
Mawardi. Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, Dalam Hermeneutika
Alquran dan Hadis, ed. Sahiron Syamsudin. Yogyakarta: Elsaq press, 2010.
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Alquran
Periode Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003.
Mustaqil. Epistimologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LkiS, 2010.
81
Mustaql. Metode Penelitian Alquran dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press,
2014.
Muthahari, Murtadha. Jihad. terj. M. Hasyem. Lampung: YAPI, 1987.
Nadjib, Emha Ainun. Surat Kepada Kanjeng Nabi. Bandung: Penerbit
Mizan, 1997.
Qardhawi, Yusuf. As-Ṣahwah al-Islāmiyyah bayna al-Juhūd wa at-Taṭarruf.
Kairo: Dār asy-Syurūq, 2001.
Rahman, Fazlur. Gelombang Perubahan Dalam Islam. terj. Aam Fahmia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1982.
Rahman,. Islam. terj. M. Irsyad Rafsadie. Bandung: Penerbit Miza, 2017.
Rahmanr. Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, terj.
Ahsin Mohammad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.
Rahmanr. Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition.
Chicago & London: The University of Cicago Press, 1982.
Rahmanr. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam. Bandung: Mizan,
1987.
. The Major Themes of The Qur‟an. Mineapolis:
Bibliotheca Islamica. 1980.
Rohimin. Jihad: Makna dan Hikmah. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.
Izza Rohman, “Jihad dan Qital dalam Al-Quran,” dalam Reformulasi Ajaran
Islam; Jihad, Khilafah dan Terorisme, ed. Azyumardi Azra, CBE, dkk., 403-
419. Bandung: Mizan, 2017.
Sa‟d, Ibn. Ghazawāt ar-Rasūl wa Sarayāhu. t.t.: Dār Beirūt, 1981.
Shihab, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw; Dalam Sorotan
Al-Qur‟an dan Hadits-hadits Shahih. Tangerang: Lentera Hati, 2014.
82
. Ensikolpedia Alquran, Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Sibawaihi. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman, Studi Komparatif
Epistimologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta: Islamika, 2004.
Surisno. Fazlur Rahman Kajian terhadap Metode, Epistimologi, dan Sistem
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Syaltut, Mahmud. Al-Qur‟an wa Al-Qitāl. Kairo: Dār al-Kitab al-Arābi,
1951.
Tampubolon, Jessica Jane. Dampak Negatif Media Massa Terhadap
Kekerasan Sosial di Indonesia. Depok: Universitas Indonesia, 2013.
Turmudzi. Sunan At-Turmudzi. Beirūt: Dar al-Gharb al-Islāmi, 1988.
Wahid, Abdul dkk. Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan
Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Yusub, Fitriadi HI. “Pemikiran Fazlur Rahman tentang Aksiologi dan
Implikasinya Terhadap Pengembangan Pendidikan Islam”. Tesis. Malang:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2015.