JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

120

Transcript of JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Page 1: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013
Page 2: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

JURNAL FISIKA DAN TERAPANNYA VOLUME 1, NOMOR 1, JANUARI 2013 Penanggung Jawab Prof.,Drs., Win Darmanto, M.Si,Ph.D. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Indonesia Dewan Redaksi (Editorial Board): Ketua : Drs. Siswanto, M.Si. Wakil Ketua: Dr. Retna Apsari, M.Si. Anggota : Dr. Suryani Dyah Astuti, M.Si.

Mohammad Faried, ST.

Page 3: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahNya

semata jurnal online edisi pertama ini dapat diterbitkan.

E-jurnal “Fisika dan Terapannya” ini merupakan media publikasi bagi sivitas di

lingkungan departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Selain

itu melalui media ini diharapkan dapat mencegah terjadinya praktek plagiasi dalam penelitian.

Pada edisi pertama ini, diterbitkan sepuluh makalah hasil penelitian mahasiswa dari program

studi S1 Fisika dan program studi Teknobiomedik, masing-masing memberikan sumbangan

lima makalah. Topik makalah dari prodi S1 Fisika meliputi bidang biofisika, fisika material,

fotonik dan komputasi, sedangkan topik makalah dari prodi teknobiomedik meliputi bidang

biomaterial dan instrumentasi medis . Hal ini sesuai dengan kelompok bidang keahlian (KBK)

yang dikembangkan pada kedua program studi tersebut.

Semoga jurnal ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua.

Ketua Departemen Fisika

FST Universitas Airlangga

Drs. S i s w a n t o, M.Si.

Page 4: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya (Journal of Physics and Application)

DAFTAR ISI

Fina Nurul Aini Deteksi Kadar Glukosa dalam Air Destilasi 1 Samian Berbasis Sensor Pergeseran Menggunakan Moh. Yasin Fiber Coupler Riesca Ayu Kusuma W. Sintesis dan Karakterisasi Bioselulosa- 8 Djony Izak Rudyardjo Kitosan Dengan Penambahan Gliserol Adri Supardi Sebagai Plasticizer Dessy Mayasari Pengaruh Variasi Waktu Miling Terhadap 23 Siswanto Sifat Fisis Seng Fosfat Dan Nano Zinc Oxide Dyah Hikmawati

Ersti Ulfa A. Optimasi Interferometer Michelson 35 Retna Apsari Real Time Untuk Deteksi Koefisien Yhosep Gita Y.Y. Muai Termal Composite Nanofiller

Sefria Anggarani Studi Teori dan Eksperimen Sensor 48 Samian Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler AdriSupardi Dengan Target Cermin Cekung

Tri Deviasari Wulan Deteksi Kanker Paru-Paru Dari Citra 58 Endah Purwanti Foto Rontgen Menggunakan Moh Yasin Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation Guruh Hariyanto Rancang Bangun Oksimeter Digital Berbasis 65 Welina Ratnayanti K. Mikrokontroler ATMega16

Franky Chandra S.A.

Kurniastuti Desain Sistem Deteksi Kerusakan 76 Y. G. Y. Yhuwana Jaringan Dermis dari Citra Mikroskop Digital S. Soelistiono Menggunakan Metode Ekstraksi Fitur R. Apsari

Miranda Zawazi Ichsan Sintesis Komposit Kolagen-Hidroksiapatit 89 Siswanto Sebagai Kandidat Bone Graft Dyah Hikmawati

Nurul Istiqomah Pembuatan Hidrogel Kitosan – Glutaraldejid 104 Djony Izak R . Untuk Aplikasi Penutup Luka Secara In Vivo Sri Sumarsih

Volume 1, Nomor 1, Januari 2013

Page 5: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 1

Deteksi Kadar Glukosa dalam Air Destilasi Berbasis Sensor

Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler

Fina Nurul Aini, Samian, dan Moh. Yasin.

Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, FST Universitas Airlangga, Surabaya 60115.

Email : [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan deteksi kadar glukosa dalam air destilasi berbasis prinsip sensor

pergeseran menggunakan fiber coupler dan cermin datar. Penelitian ini dilakukan dengan

memanfaatkan larutan glukosa sebagai medium rambatan cahaya antara fiber coupler dan

cermin. Mekanisme kerja deteksi kadar glukosa dalam air destilasi adalah perubahan slope

secara linier terhadap perubahan konsentrasi larutan glukosa pada rentang tertentu. Deteksi

dilakukan dengan variasi konsentrasi larutan glukosa 0%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% dalam

pelarut air destilasi. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laser He-Ne

panjang gelombang 632,5 nm sebagai sumber cahaya, detektor silikon SL-818, fiber coupler dan

cermin datar. Hasil pendeteksian menunjukkan bahwa nilai slope pergeseran pada rentang

2300-3000 µm meningkat secara linier terhadap peningkatan konsentrasi larutan glukosa dengan

resolusi pendeteksian 3,5 %.

Kata kunci : fiber optic, fiber coupler probe dan larutan glukosa.

Page 6: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

2 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

PENDAHULUAN Serat optik merupakan pandu gelombang cahaya (light wave guide) dari bahan

transparan. Perkembangan serat optik yang pesat menyebabkan aplikasi serat optik saat

ini tidak hanya dimanfaatkan sebagai media transmisi cahaya namun juga sebagai

sensor. Keunggulan serat optik sebagai sensor dibandingkan sensor lainnya antara lain

adalah tidak kontak langsung dengan obyek pengukuran, tidak menggunakan listrik

sebagai isyarat, akurasi pengukuran tinggi, relatif kebal terhadap induksi listrik maupun

magnetik, dapat dimonitor dari jarak jauh, dapat dihubungkan dengan sistem komunikasi

data melalui perangkat antar muka (interface) serta lebih kecil dan ringan (Krohn, 2000).

Berbagai sensor serat optik telah banyak dikembangkan untuk mendeteksi antara

lain pergeseran (Samian, dkk, 2009), ketinggian zat cair (Samian, dkk, 2011), vibrasi (S.

Binu, 2007) serta parameter fisis lainnya. Sensor pergeseran menggunakan fiber coupler

telah dikembangkan untuk aplikasi yang lebih luas, antara lain untuk mengukur koefisien

muai termal logam (Sholikan, 2009) dan sensor temperatur (Samian, dkk, 2010).

Glukosa merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Namun penggunaan glukosa

secara berlebihan pun akan memberikan dampak negatif bagi tubuh, seperti kebutaan,

gagal ginjal, kerusakan saraf periferal serta diabetes. Oleh karena itu, pengontrolan

penggunaan glukosa sangat penting dilakukan terutama bagi penderita diabetes.

Pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi menggunakan serat optik berbasis

sensor pergeseran telah dikembangkan oleh Yasin, dkk, 2010 dengan menggunakan

probe bundel. Analisis hasil didasarkan tegangan puncak serta pergeseran posisi puncak

grafik hubungan antara tegangan luaran detektor terhadap pergeseran cermin datar

akibat perubahan konsentrasi larutan glukosa sebagai medium.

Pada makalah ini akan disajikan pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi

berbasis sensor pergeseran serat optik menggunakan fiber coupler. Perubahan indeks

bias larutan seiring dengan perubahan konsentrasinya diharapkan dapat menyajikan

parameter sensor pergeseran yang berbeda untuk masing-masing konsentrasi larutan

glukosa.

METODE PENELITIAN Perangkat penelitian terdiri dari laser He-Ne (Thorlabs, 632,5 nm, 5 mW),

fiber coupler 2×2 (50:50), detektor optik 818-SL (Newport), chopper dan chopper

controler (SR540, Stanford Research System, Inc.), Lock-in amplifier (SR510 Stanford

Research System, Inc.), cermin panjang gelombang cahaya tampak (5101-Vis, New

Focus), mikrometer posisi (Newport), PC, serta perangkat pendukung lain.

Page 7: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 3

Langkah awal adalah melakukan karakterisasi sensor pergeseran untuk

mengetahui karakteristik pergeseran kanal sensing fiber coupler terhadap cermin

datar. Set-up karakterisasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran ditunjukkan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Set-up eksperimen karakterisasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran.

Langkah selanjutnya adalah melakukan deteksi kadar glukosa dalam air destilasi dengan

membuat set- up seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Set-up eksperimen pengukuran kadar glukosa dalam air destilasi

menggunakan Metode I.

Pendeteksian dimulai saat fiber coupler berhimpit dengan cermin, yakni pada

pergeseran z=0. Fiber coupler yang ditempatkan pada mikrometer posisi digeser tiap 50

µm. Pada tiap posisi pergeseran, tegangan keluaran detektor diukur sehingga diperoleh

data berupa tegangan luaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber coupler.

Pendeteksian dilakukan terhadap beberapa variasi konsentrasi larutan glukosa,

antara lain 0, 5, 10,15, 20 dan 25 %.

Page 8: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

4 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Data penelitian yang diperoleh berupa tegangan luaran detektor sebagai fungsi

pergeseran fiber coupler.

a) Karakterisasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran

Gambar 3. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber coupler

dengan target cermin datar.

Karakterisasi fiber coupler dilakukan untuk mengetahui karakteristik pergeseran

kanal sensing fiber coupler terhadap cermin datar. Daerah linier yang menunjukkan

daerah kerja sensor pergeseran diberikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik daerah linier karakterisasi fiber coupler sebagai sensor pergeseran.

Page 9: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 5

b) Pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi

Gambar 5. Grafik tegangan keluaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber

coupler.

Data berupa tegangan luaran detektor sebagai fungsi pergeseran fiber coupler untuk

masing-masing konsentrasi diplot dalam grafik pada Gambar 5. Grafik pada Gambar 5.

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa yang digunakan semakin

tinggi pula tegangan luaran detektor yang terukur. Hal ini dapat dipahami dari nilai

Numerical Aperture (NA) serat optik yang digunakan. Jika medium antara serat optik dan

cermin adalah udara, maka nilai NA hanya dipengaruhi oleh nilai indeks bias core (n1)

dan cladding (n2) seperti diberikan pada persamaan 1.

Namun jika medium antara serat optik dan cermin diganti dengan larutan glukosa,

maka nilai NA akan dipengaruhi pula oleh indeks bias larutan glukosa yang digunakan

(n).

Semakin tinggi konsentrasi larutan glukosa yang digunakan, semakin tinggi pula

indeks biasnya. Sehingga, nilai NA akan semakin kecil. Nilai NA yang semakin kecil

Page 10: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

6 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

memberikan berkas laser yang tertangkap kembali oleh serat optik semakin banyak

sehingga tegangan luaran detektor semakin tinggi pula.

Karena tegangan luaran detektor berubah terhadap perubahan konsentrasi larutan

glukosa, maka slope grafik pada Gambar 5. akan berubah pula. Nilai slope grafik pada

Gambar 5. pada rentang pergeseran 2300-3000 μm sebagai fungsi konsentrasi larutan

glukosa disajikan pada Gambar 6. Selain itu, diperoleh pula resolusi pendeteksian kadar

glukosa dalam air destilasi menggunakan fiber coupler sebesar 3,5%.

Gambar 6. Grafik nilai slope masing-masing konsentrasi pada rentang 2300-3000 μm.

KESIMPULAN

Sensor pergeseran fiber coupler dapat digunakan untuk melakukan

pendeteksian kadar glukosa dalam air destilasi dengan resolusi pendeteksian 3,5

%. Nilai slope pergeseran merupakan fungsi konsentrasi larutan glukosa. Semakin

tinggi konsentrasi larutan glukosa, nilai slope pada rentang 2300-3000 μm akan

semakin tinggi pula.

DAFTAR PUSTAKA Binu, S., V. P. Mahadevan Pillai, V. Pradeepkumar, B. B. Padhy, C. S. Joseph, N.

Chandrasekaran, 2009, Fibre Optic Glucose Sensor, Materials Science and

Engineering C.

Binu, S. V.P. Mahadevan Pillai, N. Chandrasekaran, 2007, Fiber Optik Displacement

Sensor for Measurement Amplitude and Frequency of Vibration, Optic & Laser

Technology, Vol. 39, 1537 – 1543.

Page 11: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 7

Crisp, John dan Elliot, Barry, 2008, Serat Optik: Sebuah Pengantar, Erlangga, Jakarta.

Fraden, Jacob, 2004, Handbook of modern sensors : physics, designs, and applications,

Sringer- Verlag Inc., New York.

Guenther, Robert D., 1990, Modern Optics, John Wiley and Sons, USA.

Krohn , DA, 2000, Fiber Optik Sensor, Fundamental and Application, Third Edition,

ISA, USA.

Pramono, Yono Hadi, Ali Yunus Rohedi dan Samian, 2008, Aplikasi Directional Coupler

Serat Optik sebagai Sensor Pergeseran, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 4,

No. 2.

Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad, 2011, Non-Contact Refractive Index

Measurement Based on Fiber Optic Beam- Through Technique, Optoelectronics

and Advanced Materials – Rapid Communications, Vol. 5, No. 10, page: 1035 -

1038.

Rahman, H. A., S. W. Harun, M. Yasin, H. Ahmad, 2012, Fiber Optic Salinity Sensor

Using Beam- Through Technique, Optik.

Samian, Gatut Yudoyono, 2010, Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor

Temperatur, Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 6, No. 1.

Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multimode Fiber

Coupler, Fisika dan Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal. 110203-1 - 110203-4.

Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi dan A. H. Zaidan,

2009, Theoretical and Experimental Study of Fiber- Optic Displacement

Sensor Using Multimode Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics and

Biomedical Materials, Vol. 1, Issue 3 (page: 303-308).

Sholikhan, Muhammad, 2009, Pemanfaatan Directional Coupler Serat Optik dalam

Penentuan Koefisien Ekspansi Termal Logam Aluminium, Skripsi S-1,

Universitas Airlangga, Surabaya.

Yasin M., Harun S. W., Yang H. Z. dan Ahmad H., 2010, Fiber Optic Displacement

Sensor for Measurement of Glucose Concentration in Distilled Water,

Optoelectronics and Advanced Materials – Rapid Communications, Vol. 4, No. 8

(page: 1063-1065).

Yasin M., S. W. Harun, Pujiyanto, Z. A. Ghani, and H. Ahmad, 2010, Performance

Comparison between Plastic-Based Fiber Bundle and Multimode Fused Coupler

as Probes in Displacement Sensors, Laser Physics, Vol. 20, No. 10 (page: 1890-

1893).

Page 12: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

8 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Sintesis dan Karakterisasi Bioselulosa–Kitosan Dengan

Penambahan Gliserol Sebagai Plasticizer

Riesca Ayu Kusuma Wardhani, Djony Izak Rudyardjo, Adri Supardi

Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan penelitian sintesis dan karakterisasi bioselulosa-kitosan dengan

penambahan gliserol sebagai plasticizer. Penambahan gliserol sebagai plasticizer berfungsi untuk

memperlemah kekakuan supaya bioselulosa kitosan terhindar dari keretakan dan bersifat lebih

fleksibel. Sukrosa yang ditambahkan merupakan sumber glukosa, sedangkan urea yang

ditambahkan merupakan sumber karbon. Penambahan kitosan berfungsi untuk memperaktif dari

kinerja bioselulosa serta memperbaiki struktur permukaan. Hasil uji sifat mekanik (Tensile

strength dan Elongation at break) pada bioselulosa-kitosan yang berbahan dasar bioselulosa dan

kitosan dengan variasi penambahan gliserol 1 ml – 4 ml menunjukkan bahwa bioselulosa-

kitosan-gliserol memiliki karakteristik yang memenuhi standar sifat mekanik kulit manusia.

Bioselulosa-kitosan-gliserol terbaik ditunjukkan dengan penambahan komposisi gliserol sebesar

2 ml yang memiliki nilai ketebalan sebesar 126,6 ±

6,7 µ m, kuat tarik sebesar 27,62 ± 11 MPa, elongasi sebesar 37,08 ± 0,99 %, struktur

permukaannya yang rata, tidak terdapat gelembung, bersifat non toksik serta memiliki nilai

ketahanan terhadap air sebesar 55,3 ± 0,6 %. Penelitian tersebut menunjukkan penambahan

komposisi gliserol yang paling efektif adalah 2 ml gliserol dalam 100 ml media nira siwalan.

Kata kunci : bioselulosa, kitosan, gliserol, plasticizer.

Page 13: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 9

PENDAHULUAN Setiap makhluk hidup secara biologis memiliki fungsi perlindungan

tubuh terhadap infeksi penyakit luka, apabila terdapat luka salah satu metode untuk

mengobatinya dapat ditutupi atau dirawat dengan menggunakan penutup luka yang telah

dilapisi dengan bahan antimikroba. Penutup luka yang baik adalah kulit dari pasien

tersebut yang bersifat permeabel terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian

dalam terhadap cedera mekanis dan infeksi. Bioselulosa merupakan polimer alam yang

bersifat sama seperti hidrogel yang tidak dijumpai pada selulosa alam. Sifat hidrogel dari

bioselulosa memberikan daya serap yang lebih baik dan memberikan karakteristik yang

mirip seperti kulit manusia. Kemiripan sifat dengan kulit manusia dari bioselulosa

penggunaannya dimanfaatkan serta terus dikembangkan dalam medis antara lain

digunakan sebagai pengganti kulit sementara untuk merawat luka bakar serius

(Ciechanska,D,2004). Pemanfaatan lainnya juga digunakan untuk menutup luka yang baik

untuk pasien yang cedera mekanis maupun akibat infeksi. Pembentukan bioselulosa

adalah dari hasil perubahan monosakarida pada media fermentasi menjadi bioselulosa

oleh Acetobacter-xylinum dengan menggunakan media nira kelapa atau nira siwalan

(Bergenia, 1982).

Dalam aplikasinya untuk keperluan medis penggunaan bioselulosa hanya dalam

waktu sementara, disebabkan kekuatan serta sifat bioaktif yang masih rendah. Untuk

memperbaiki serta meningkatkan sifat bioaktif dari bioselulosa perlu dilakukan perlakuan

dengan menggabungkan bersama polisakarida aktif seperti kitosan, yang mana kitosan

sendiri memiliki kegunaan yang cukup luas dalam medis (Goosen,M.F.A, 1997). Serat

kitosan digunakan sebagai benang jahit dalam pembedahan yang dapat diserap oleh

tubuh manusia, sebagai perban penutup luka dan sebagai carrier obat-obatan. Kitosan juga

mempengaruhi proses pembekuan darah sehingga dapat digunakan sebagai haemostatik.

Kitosan juga bersifat dapat didegradasi secara biologis, tidak beracun, nonimmunogenik

dan cocok secara biologis dengan jaringan tubuh hewan (Phillips,and

Williams,2000).

Untuk menghasilkan kualitas material bioselulosa kitosan yang baik tidak terlepas

dari penggunaan zat pemlastis yang ditambahkan. Zat pemlastis adalah bahan organik

yang ditambahkan ke dalam material bioselulosa kitosan dengan maksud untuk

memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas polimer. Di

mana salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai zat pemlastis adalah gliserol. Baik

bioselulosa bakteri maupun kitosan memiliki gugus hidroksil sehingga bahan pemlastis

yang mempunyai gugus hidroksil seperti gliserol yang diharapkan dapat berinteraksi

Page 14: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

10 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

dengan kedua bahan tersebut dapat menghasilkan suatu material yang lunak, ulet dan

fleksibel.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian yang akan dilakukan adalah membuat

material bioselulosa kitosan dengan bahan dasar bioselulosa dan kitosan dengan

plasticizer gliserol. Bioselulosa dalam penelitian ini dapat dihasilkan dalam medium

nira siwalan dengan penambahan sukrosa menggunakan Acetobacter Xylinum dengan

penambahan urea. Kitosan yang digunakan berasal dari kepiting karena prosentase

kitinnya yang tinggi daripada organisme yang lain. Sedangkan plasticizer yang

digunakan adalah gliserol karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya

mudah diperoleh, dapat diperbaharui, ramah lingkungan karena mudah terdegradasi

dalam alam dan juga pada konsentrasi 25% gliserol bekerja sebagai antiseptik. Sedangkan

aplikasi sebagai material bioselulosa-kitosan-gliserol sangat ditentukan oleh karakterisasi

yang meliputi ketebalan, kekuatan tarik (Tensile strength dan Elongation at break),

struktur permukaan, spektroskopi IR dan ketahanan terhadap air.

METODE PENELITIAN Tahap Isolasi Kitin dari Cangkang Kepiting

a. Tahap Deproteinasi

Cangkang kepiting yang sudah dihaluskan

dimasukkan ke dalam gelas beker dengan ditambahkan natrium hidroksida 3,5% dengan

perbandingan 1:10 (w/v). Proses deproteinasi dilakukan selama ± 2 jam pada suhu 75 oC

dengan pengadukan magnetik stirer. Kulit udang dicuci dengan menggunakan aquades

hingga pH air cucian netral. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC

sampai kering. Dalam proses ini didapatkan crude kitin.

b. Tahap Demineralisasi

Crude kitin dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian ditambahkan larutan

HCl 2N dengan perbandingan antara crude kitin dengan larutan HCl 1:15% (w/v). Pada

proses ini dilakukan dengan pengadukan menggunakan magnetik stirer selama 30 menit

pada suhu kamar. Setelah itu crude kitin dicuci dengan aquades hingga pH air cucia netral,

kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC sampai kering. Dalam proses

ini akan menghasilkan kitin.

Tahap Transformasi Kitin menjadi Kitosan

Page 15: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 11

Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan kitin ke dalam gelas beker,

kemudian ditambahkan larutan NaOH 60% dengan perbandingan kitin dan larutan NaOH

1 : 10 (w/v). Campuran direbus dengan suhu 110°C selama 2 jam dengan pengadukan

dengan magnetik stirer. Setelah itu menyaring campuran, kemudian mencucinya dengan

aquades hingga didapatkan pH air cucian netral. Langkah selanjutnya adalah dengan

mengeringkan di dalam oven dengan pada suhu 80°C sampai kering, sehingga diperoleh

kitosan. Kitosan yang diperoleh, kemudian ditimbang dan dicatat.

Pembuatan Bioselulosa

Sebanyak 100 ml air nira siwalan hasil penyaringan dituangkan ke

dalam gelas beaker yang telah dilengkapi dengan pengaduk magnet, ditambah 10 gram

gula pasir dan 0,5 gram urea, selanjutnya diaduk hingga larut. Campuran diasamkan

dengan penambahan CH3COOH 25% hingga pH = 4 dan ditambahkan 3 gram kitosan

diaduk hingga larut kemudian ditambahkan 1 ml gliserol 25 % diaduk sambil dipanaskan

hingga mendidih selama 15 menit. Selanjutnya dituangkan dalam keadaan panas ke

dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan ditutup. Dibiarkan hingga suhu kamar,

lalu ditambahkan 20 ml media starter Acetobacter xylium. Difermentasi selama 8-14 hari

pada suhu kamar sambil dilakukan pengamatan pembentukan pelikel, selanjutnya lapisan

yang terbentuk dicuci dengan aquades kemudian dikeringkan dalam oven pada

suhu 70 – 80 °C. Selanjutnya diulangi perlakuan yang sama dengan penambahan

gliserol 25 %, masing-masing sebanyak 2 ml, 3 ml, dan 4 ml. Produk yang diperoleh

dikarakterisasi secara spektroskopi FT- IR, uji ketebalan, uji morfologi, uji ketahanan

terhadap air, lalu dilakukan uji tarik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Pembuatan Kitosan

Dalam penelitian ini produk yang diperoleh dari 74,6753 gram cangkang

kepiting didapatkan 19,6393 gram kitosan. Untuk mengetahui bahwa produk yang

dihasilkan dari proses deasetilasi kitin tersebut adalah kitosan, maka dilakukan Uji

Spektrokopi IR. Hasil IR diperoleh dalam bentuk spektrum yang menggambarkan

besarnya nilai % transmitan dan bilangan gelombang untuk kitosan, seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 1. di bawah ini.

Page 16: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

12 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 1. Spektrum kitosan

Dari spektrum IR di atas terlihat tajam yang khas pada gugus karboksil

amida pada daerah 1653,48 cm-1. Selain itu juga terdapat puncak pita serapan gugus

hidroksil (-O-H) pada daerah 3445,98 cm-1. Perhitungan derajat deasetilasi

menggunakan spektra IR ditentukan dengan absorbansi dari gugus amida dan

OH.

Dari hasil penelitian berdasarkan analisis spektra IR dengan menggunakan metoda

base-line, maka didapatkan nilai perhitungan untuk derajar deasetilasi dari kitosan

dari cangkang sebesar 82,272%. Standar nilai untuk derajat deasetilasi kitosan adalah

DD>70%. Derajat deasetilasi menentukan banyaknya gugus asetil yang telah dihilangkan

selama proses transformasi dari kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat deasetilasi,

maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina yang

menggantikan gugus asetil, dimana gugus amina lebih reaktif bila dibandingkan dengan

gugus asetil karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur

kitosan.

b. Pembuatan Bioselulosa

Selama fermentasi, kitosan yang ditambahkan ke dalam media akan membentuk

bioselulosa- kitosan dimana terjadi interaksi antara bioselulosa dengan kitosan. Gugus

NH2 dari kitosan melalui ikatan hidrogen dan dipol-dipol berinteraksi dengan gugus –

OH pada molekul bioselulosa-kitosan. Pada proses pembuatan bioselulosa-kitosan

Page 17: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 13

dilakukan variasi komposisi 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml gliserol 25%. Selama fermentasi,

penambahan gliserol ini juga mengakibatkan terjadi interaksi antara gliserol dengan

bioselulosa-kitosan melalui ikatan hidrogen dan ikatan dipol-dipol. Interaksi ini secara

hipotesis digambarkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 2. Interaksi bioselulosa-kitosan dengan gliserol

c. Karakterisitik Bioselulosa-Kitosan-Gliserol

Hasil Pengukuran Tebal Bioselulosa- Kitosan-Gliserol

Tabel 1. Data pengukuran tebal bioselulosa-kitosan- gliserol

Komposisi

Gliserol (ml)

Ketebalan

Bioselulosa-Kitosan

Gliserol ( µm)

1 127,7 5

2 126,6 6

3 127,2 5

4 121,3

Page 18: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

14 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 3. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap ketebalan rata-rata bioselulosa-

kitosan-gliserol

Pada bioselulosa-kitosan gliserol dengan variasi penambahan gliserol 1 ml, 2 ml, 3

ml, dan 4 ml memberikan nilai ketebalan 127,7; 126,6; 127,2; dan 121,3 m.

Hal diatas dapat dijelaskan bahwa nata pada dasarnya dapat dihasilkan dari cairan

fermentasi yang mengandung gula sebagai sumber karbon, dimana gula ini disintesis

oleh bakteri Acetobacter Xylinum menjadi nata. Dengan penambahan gliserol maka

semakin banyak komposisi gliserol yang ditambahkan larutan akan semakin kental

atau pekat. Media yang pekat akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme

bakteri, akibatnya kerja bakteri tidak optimal dan kegiatan dari bakteri Acetobacter

Xylinum dalam proses pembentukan bioselulosa-kitosan akan terhambat (Arviyanti &

Yulimartani, 2008). Massa kitosan juga menyebabkan penghambatan kegiatan dari

bakteri Acetobacter Xylinum dalam proses isomerisasi dari bioselulosa karena adanya

reaksi pengikatan dari kitosan yang bereaksi dengan bioselulosa (Setiawan, 2011).

Gliserol memiliki sifat hidrofilik yaitu mampu mengikat air, sehingga kandungan air

dalam bahan meningkat dan kadar air yang dihasilkan menjadi tinggi. Menurut Dewi

(2009) nilai kadar air yang tinggi disebabkan oleh kepekatan medium fermentasi yang

ada sehingga pembentukan selulosa oleh bakteri terjadi secara lambat yang pada

akhirnya menghasilkan nata dengan susunan selulosa yang lebih longgar karena banyak

air yang terperangkap di dalamnya.

Berdasarkan penelitian ini ketebalan bioselulosa-kitosan gliserol menurun seiring

dengan peningkatan penambahan komposisi gliserol. Pengukuran ketebalan bioselulosa-

kitosan gliserol dapat digunakan sebagai indikator keseragaman dan kontrol kualitas

bioselulosa-kitosan gliserol yaitu yang mempunyai ketebalan yang tipis tetapi tidak

mudah sobek.

Page 19: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 15

Hasil Uji Tarik dan Elongasi Bioselulosa- Kitosan-Gliserol

Tabel 2. Data pengukuran kuat tarik dan elongasi bioselulosa- kitosan-gliserol

Komposis

i li l

(Mpa) (%)

1 31,05 ± 12 34,58 ± 0,98 2 27,62 ± 11 37,08 ± 0,99 3 30,94 ± 12 35,25 ± 0,96 4 29,92 ± 12 35,80 ± 0,97

Gambar 4. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap elongasi bioselulosa-

kitosan

Gambar 5. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap kuat tarik

bioselulosa-kitosan-gliserol

Peningkatan elongasi bioselulosa-kitosan gliserol terjadi karena molekul pemlastis

yaitu gliserol mempunyai gaya interaksi yang cukup kuat dengan polimer dalam

bioselulosa-kitosan gliserol sehingga molekul pemlastis berdifusi kedalam rantai

Page 20: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

16 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

polimer. Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer (antara

polimer bioselulosa dan kitosan) dan mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat

meningkatkan plastisasi sampai batas kompatibilitas (sifat yang menguntungan ketika

terjadi pencampuran polimer) rantai. Plastisasi adalah proses penambahan suatu zat cair

atau padat agar meningkatkan sifat plastisitas suatu bahan, sedangkan zat yang

ditambahkan disebut plasticizer atau pemlastis. Jika jumlah pemlastis melebihi batas ini,

maka akan terjadi plastisasi berlebihan sehingga plastisasi tidak efisien lagi (Kurnia,

2010). Penambahan plasticizer gliserol lebih dari 2 ml menunjukkan hasil elongasi

cenderung menurun. Hal ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati batas

sehingga molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase

bioselulosa dan kitosan. Keadaan tersebut menyebabkan penurunan gaya intermolekul

antar rantai menurun. Dari analisa tersebut dapat diketahui bahwa penambahan

gliserol yang paling efektif untuk meningkatkan elongasi adalah tidak lebih dari 2 ml.

Pada penambahan gliserol 2 ml terlihat bahwa nilai kuat tariknya sebesar 27,62

MPa lebih kecil dibandingkan dengan penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml. Hal

ini disebabkan karena pada penambahan gliserol 2 ml sampel berada pada batas

kompatibilitas. Selain itu hal tersebut terjadi karena sifat gliserol sebagai plasticizer

adalah menurunkan kekakuan supaya lebih fleksibel sehingga kekuatan bioselulosa-

kitosan gliserol juga menurun.

Tabel 3. Perbandingan standar karakteristik sifat mekanik kulit manusia

Bioselulosa-kitosan gliserol dapat digunakan sebagai material medis jika

memenuhi standar sifat mekanik tertentu. Berdasarkan pada tabel 3 pada penelitian

Vogel (1987) material medis yang dihasilkan yaitu dengan nilai kuat tarik antara 5

MPa – 32 MPa, sedangkan elongasi antara 30 % -

115 %. Hasil uji sifat mebataskanik (Tensile strength dan Elongation at break)

pada bioselulosa- kitosan yang berbahan dasar bioselulosa dan kitosan dengan

Page 21: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 17

variasi penambahan gliserol 1 ml – 4 ml pada tabel II menunjukkan sifat mekanik

yang baik. Hal tersebut terbukti karena bioselulosa- kitosan gliserol yang dihasilkan

memenuhi standar sifat mekanik yang ada pada kulit manusia.

Hasil Uji Morfologi Bioselulosa-Kitosan- Gliserol

Gambar 6. Hasil uji mikroskop optik permukaan atas bioselulosa-kitosan dengan

variasi komposisi gliserol (a) 1 ml, (b) 2 ml, (c) 3 ml, (d) 4 ml.

Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa pada penampang atas

bioselulosa-kitosan gliserol yang terdiri dari campuran bioselulosa dan kitosan dengan

penambahan variasi komposisi gliserol 1 ml sampai 4 ml menunjukkan struktur

permukaan yang tidak terlihat adanya sedikit gelembung dan tidak berongga.

Bioselulosa-kitosan gliserol dengan penambahan gliserol 2 ml menunjukkan struktur

permukaan yang halus, rata, dan tidak adanya kerutan bila dibandingkan dengan

penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml.

Page 22: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

18 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa plasticizer bekerja dengan

cara melekatkan dirinya sendiri di antara rantai-rantai polimer. Terjadi hal lain ketika

penambahan gliserol 1 ml, 3 ml, dan 4 ml yang menunjukkan pada penampang atas

bioselulosa-kitosan gliserol terdapat gliserol yang kurang merata yang ditunjukkan

dengan adanya kerutan-kerutan, padahal seharusnya gliserol berada di antara

bioselulosa dan kitosan. Hal ini terjadi karena penambahan gliserol telah melewati

batas sehingga molekul pemlastis yang berlebih berada pada fase tersendiri di luar fase

pati dan kitosan sehingga mengakibatkan gliserol pada bioselulosa-kitosan gliserol

semakin terlihat kurang merata.

Hasil Uji Spektroskopi Bioselulosa-Kitosan- Gliserol

Gambar 7. Spektrum IR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 1 ml

Gambar 8. Spektrum IR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 2 ml

Page 23: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 19

Gambar 9. Spektrum IR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 3 ml

Gambar 10. Spektrum IR Bioselulosa-Kitosan dengan Gliserol 4 ml

Analisis spektroskopi IR yang di dapat dari berbagai variasi komposisi gliserol

dapat dilihat adanya interaksi antara bioselulosa-kitosan dengan gliserol. Hal ini terbukti

adanya perubahan serapan yang terjadi pada numberwave 3500 cm-1 sampai 1580

cm-1 dengan serapan yang berbeda-beda. Dari gambar diatas, dapat dilihat adanya

serapan terletak pada bilangan gelombang 3500 cm-1, walaupun serapan itu kecil. Pada

gambar menunjukkan bahwa bioselulosa-kitosan gliserol memiliki banyak gugus OH.

Pada bilangan gelombang 1730 cm-1 - 1580 cm-1 terdapat gugus fungsi

NH2, hal ini menunjukkan adanya interaksi antara bioselulosa gliserol bertujuan

untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk akibat dari pencampuran antara

bioselulosa-kitosan dengan gliserol. Namun jika dilihat dari panjang gelombang yang

Page 24: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

20 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

terbaca belum ada gugus fungsi baru yang terbentuk. Hal tersebut berarti bioselulosa-

kitosan gliserol yang dihasilkan merupakan proses blending secara fisika karena tidak

ditemukannya gugus fungsi baru sehingga film memiliki sifat seperti komponen-

komponen penyusunnya.

Hasil Uji Ketahanan Terhadap Air Bioselulosa-Kitosan-Gliserol

Tabel 4. Data pengukuran ketahanan terhadap air bioselulosa- kitosan-gliserol

Variasi

gliserol

Massa

awal

Massa

akhir

Penyerapan

(%)

53,2 ± 0,6

2 0,0438 0,0680 55,3 ± 0,6 3 0,0437 0,0720 64,8 ± 0,6

70,7 ± 0,8

Gambar 11. Pengaruh variasi komposisi gliserol terhadap % air yang diserap

bioselulosa-kitosan-gliserol

Dari data gambar di atas dapat dilihat bahwa semakin banyak penambahan

komposisi gliserol semakin besar penyerapan yang terjadi. Hal ini disebabkan karena

gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik sehingga mempunyai kemampuan

mengikat air. Peningkatan konsentrasi gliserol mengakibatkan air yang tertahan dalam

matriks bioselulosa-kitosan gliserol semakin meningkat.

Menurut Ciechanska (2004) bioselulosa menunjukkan kandungan air yang tinggi

(98– 99%) dan daya serap cairan yang baik. Karena sifat bioselulosa memiliki daya serap

yang baik terhadap cairan dan keberadaan gugus-gugus hidrofilik dalam matriks

Page 25: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 21

bioselulosa-kitosan gliserol menyebabkan air terikat, film jadi mudah

mengembang dan banyak menyerap air sehingga penyerapan air pada bioselulosa-kitosan

gliserol akan cenderung tinggi. Hal ini sesuai sifat yang dapat bekerja efisien dan

kompatibel. Hal tersebut didukung dengan hasil uji morfologi yang menunjukkan bahwa

semakin banyak penambahan gliserol pada komposisi lebih dari 2 ml maka semakin

banyak gliserol yang tidak merata berada di atas bioselulosa dan kitosan karena tidak

berada diantara bioselulosa dan kitosan sehingga memudahkan bioselulosa-kitosan

gliserol untuk menyerap air.

KESIMPULAN

Dari hasil pengujian, pengamatan, serta hasil dan pembahasan yang telah

dilakukan dalam penelitian ini, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Penambahan gliserol mempengaruhi karakteritik sifat mekanik dan sifat fisis

bioselulosa-kitosan- gliserol, dimana struktur penampangnya semakin halus,

tipis, dan fleksibel. Selain itu penambahan gliserol membuat kekuatan

bioselulosa-kitosan-gliserol cenderung menurun, elongasinya cenderung naik

dan ketahanan terhadap air semakin menurun.

2. Komposit bioselulosa-kitosan-gliserol dapat dimanfaatkan sebagai salah

satu keperluan pengobatan dalam bidang medis karena memenuhi standar sifat

mekanik tertentu. Karakteristik bioselulosa-kitosan-gliserol yang terbaik

diberikan pada penambahan gliserol 2 ml, dimana nilai ketebalannya

adalah 126,6 ± 6,7 µ m, kuat tarik sebesar 28 ± 11 MPa, elongasinya

sebesar 37,08 ± 0,99 %, air yang diserap 55,3 ± 0,6 %, struktur

permukaannya halus, rata, tidak adanya kerutan dan tidak terdapat gelembung.

DAFTAR PUSTAKA Annaidh, A.N, et al, 2011, Characterization of The

Anisotropic Mechanichal Properties of Excised Human Skin, Journal of The

Mechanical Behavior of Biomedical Materials, University College Dublind,

Ireland: Elsevier Science Ltd.

Arviyanti, E., & Yulimartani, N., 2008, Pengaruh Penambahan Air Limbah Tapioka

Pada Proses Pembuatan Nata, Program Studi Teknik Kimia FT, UNDIP,

Semarang.

Page 26: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

22 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Bergenia H.A., 1982, Reserve osmosis of coconut water through cellulose acetat

membrane, Proceedings of the second ASEAN workshop Membrane

Technology.

Ciechanska, D., 2004, Multifunctional Bacterial Cellulose/Chitosan Composite

Materials for Medical Application, Fiber & Textiles in Eastern Europe volume

12 No.4(48):p. 69- 72, Institute of Chemical Fiber, Poland.

Dewi, Saraswati, 2009, Pengaruh Jenis Gula

dan Milko Ditinjau dari Serat Kasar, Rendemen dan Kadar air, Skripsi, Program

Studi Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, UNIBRAW, Malang.

Goosen, M.FA, 1997, application of Chitin and Chitosan,Technology Publishing Co.

Inc, Lancaster.

Kurnia, W.A., 2010, Sintesis dan Karakterisasi Edible Film Komposit dari Bahan Dasar

Kitosan, Pati dan Asam Laurat, Skripsi, Program Studi Fisika Fakultas Sains

dan Teknologi, UNAIR, Surabaya.

Phillips, G.O. and Williams, P.A., 2000, Handbook of Hydrocolloid, Woodhead

Publishing Limited, Cambridge.

Setiawan, Agus, 2011, Sintesis dan Karakterisasi Bioselulosa-Kitosan Serta

Pemanfaatannya Dalam Bidang Medis, Skripsi, Program Studi Fisika

Fakultas Sains dan Teknologi, UNAIR, Surabaya.

Page 27: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya | Vol.1, No.1, Januari 2013 23

PENGARUH VARIASI WAKTU MILLING TERHADAP SIFAT

FISIS SENG FOSFAT DAN NANO ZINC OXIDE

Dessy Mayasari, Drs. Siswanto, M.Si, Dyah Hikmawati, S.Si, M.Si

Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang variasi waktu milling terhadap semen gigi seng fosfat

dan nanopartikel ZnO, dengan variasi waktu milling 0, 5, 10, 15 dan 25 menit. Semua sampel diuji

dengan menggunakan XRD (X-ray Diffraction), kekerasan (Vickers) dan kekuatan tekan

(Autograph). Hasil uji XRD menunjukkan fraksi volume hopiete ( Zn3(PO4) + 4H2O) meningkat

seiring bertambahnya waktu milling 25 menit dan fraksi volume ZnO menurun seiring

bertambahnya waktu milling dengan nilai terendah sebesar 43,54% pada waktu milling 25 menit.

Hal ini terjadi karena nano ZnO bereaksi dengan semen seng fosfat membentuk hopiete. Hasil uji

kekerasan didapatkan nilai tertinggi sebesar 148,0 Mpa dan nilai tertinggi uji kekuatan tekan

sebesar 401,8 Mpa meningkat seiring bertambahnya waktu milling 25 menit. Hal ini menunjukkan

pertambahan kandungan hopiete meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tekan. Nilai ini cukup

baik sebagai bahan penambal gigi, karena kekuatan tekan enamel gigi sekitar 250 – 550 Mpa.

Kata kunci : waktu milling , semen seng fosfat, nanopartikel Zinc oxide

Page 28: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

24 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

PENDAHULUAN Semen gigi merupakan bahan penambal gigi pada mahkota gigi yang hilang.

Bahan tersebut berisi partikel dari keramik berbahan dasar seng oksida dan magnesium

oksida. Bubuk semen gigi dicampur dengan cairan yang berisi asam fosfat dan air. Semen

gigi yang digunakan sebagai bahan tambal mempunyai kekuatan yang rendah

dibandingkan resin komposit dan amalgam, tetapi dapat digunakan untuk daerah yang

mendapat sedikit tekanan. Terlepas dari kekuatannya yang rendah, semen ini memiliki

sifat khusus yang diinginkan yaitu sebagai alas penahan panas dibawah tambalan logam

serta pelindung saraf dan pembuluh darah pada ruang pulpa sehingga digunakan pada

hampir 60% restorasi. (Anusavice, 2003).

Semen gigi yang digunakan pada penelitian ini adalah semen seng fosfat (zinc

phosphate cement) yang merupakan bahan semen tertua sehingga mempunyai catatan

terpanjang dan tolok ukur bagi sistem-sistem yang baru (Anusavice, 2003). Seng fosfat

memiliki sifat daya larut yang relatif rendah di dalam air dan keasamanan semen yang

cukup tinggi, sehingga diperlukan tambahan partikel yang dalam penelitian ini berupa

nanopartikel ZnO. Penambahan nanopartikel ZnO memungkinkan terbentuknya hopeite

Zn3(PO4)2+4H2O yang lebih banyak sehingga sifat mekaniknya meningkat dan

menambah kekuatan semen sesuai dengan teori Holepack, sehingga diharapkan dapat

meningkatkan kekuatan tekan yang lebih baik. Nilai kekuatan tekan yang diperoleh dari

penelitian tersebut 9,917 MPa, ini jauh dari penelitian yang telah ada (Erick, 2011). Oleh

karena itu diperlukan proses pencampuran dengan menggunakan HEM, sehingga

diharapkan memiliki nilai yang sama. HEM membantu homogenisasi karena ukuran

partikel yang semakin kecil dengan waktu pencampuran dan perubahan suhu yang

diakibatkan tumbukan antar partikel.

Ukuran partikel dari semen seng fosfat maupun ZnO yang dibuat berukuran kecil

(nano) akan mempermudah proses pencampuran. Kedua partikel tersebut jika

dicampurkan akan menghasilkan campuran yang lebih keras dan memiliki daya tekan

yang lebih besar. Semakin kecil ukuran suatu partikel maka semakin cepat proses

pencampuran. Hasil sintesis dikarakterisasi dengan melakukan uji XRD (X-Ray

Diffraction) untuk mengetahui fasa yang terbentuk, uji kekerasan dan uji kekuatan tekan.

Page 29: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 25

METODE PENELITIAN

Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pipette, cetakan sampel dari

teflon, kaca, stainless steel spatula, neraca analitik, Vickers Hardness, Compressive

Strength, High Energy Milling dan X-ray Diffraction.

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Semen seng fosfat

dalam bentuk serbuk, Nanopartikel Zinc Oxide serbuk (ZnO powder) dan Cairan semen

seng fosfat.

Cara Kerja

Persiapan bahan yang harus dilakukan sebelum melakukan penelitian adalah

menyediakan serbuk semen seng fosfat murni dan cairan semen seng fosfat serta zinc

oxide serbuk yang berukuran nano.

Komposisi bahan yang dipilih berupa semen seng fosfat dan nano ZnO dalam

bentuk serbuk dengan perbandingan kadar semen seng fosfat (8,5) dan nano ZnO (1,5)

serta cairan semen seng fosfat (Erick, 2011). Sebelum di beri cairan seng fosfat, terlebih

dahulu semen seng fosfat di campur dengan ZnO yang berukuran nano dengan berat total

kedua sampel 15 gram. Perbandingan kedua sampel tersebut sebesar 85% semen seng

fosfat dan 15% ZnO yang akan menghasilkan nilai massa masing-masing sampel sebesar

12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25 gram ZnO. Selanjutnya dilakukan pencampuran

dengan menggunakan HEM dengan variasi waktu milling 0, 5, 10, 15 dan 25 menit.

Hasil dari pencampuran semen seng fosfat dan nano ZnO, akan dicampur dengan

cairan semen seng fosfat beberapa mililiter dan diaduk secara merata dengan

menggunakan spatula semen yang diletakkan di atas kaca slab. Setelah adonan tercampur

secara merata (homogen) lalu diletakkan ke dalam cetakan dan di cetak sehingga

terbentuk pellet dengan spesifikasi cetakan terbuat dari bahan teflon yang memiliki

panjang 6 cm, lebar 4 cm, tebal 5 mm dan diameter 0,8 cm. Sampel yang telah di buat

kemudian dilakukan uji kekerasan dan kekuatan tekan serta karakterisasi XRD.

Page 30: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

26 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji XRD

Grafik pola hasil XRD ditentukan fasa-fasanya dengan melakukan search match

Gambar 1 (a) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 0 menit

Gambar 1 (b) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 5 menit

Gambar 1 (c) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 10 menit

Gambar 1 (d) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 15 menit

Page 31: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 27

Gambar 1 (e) Grafik hasil search match XRD sampel dengan waktu milling 25 menit

Hasil search match dapat di identifikasi fasa puncak XRD yang digunakan untuk

menghitung nilai fraksi volume sehingga dapat diketahui presentase fasa dari masing-

masing fasa yang ada. Hasil perhitungan ditampilkan pada Tabel 1 dan digambarkan

dengan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 1. Fraksi Volume

Sampel

Waktu Milling

(Menit)

Fraksi Volume

Hopiete

(Zn3(PO4)24H2O)

ZnO

A 0 28,78 % 67,83 %

B 5 44,72 % 55,27 %

C 10 47,14 % 51,96 %

D 15 53,64 % 46,35 %

E 25 56,45 % 43,54 %

Gambar 2. Kurva Nilai Fraksi Volume Hopiete

0204060

Frak

si V

olum

e (%

)

Lama Waktu Milling

Grafik Fraksi Volume Hopiete terhadap Lama

Waktu Milling

Hopiete

Page 32: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

28 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 3. Kurva Nilai Fraksi Volume ZnO

Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan nilai fraksi volume antara ZnO dan

Zn3(PO4)24H2O (hopiete). Nilai fraksi volume yang dihasilkan untuk Zn3(PO4)24H2O

(hopiete) terjadi peningkatan seiring dengan lamanya waktu milling, sedangkan pada ZnO

semakin lama waktu milling nilai fraksi volume yang dihasilkan semakin menurun.

Hasil Uji Kekerasan

Nilai kekerasan masing-masing sampel diperoleh dari rata-rata nilai HVN

tersebut. Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 2 dan di grafikkan pada Gambar 4.

Tabel 2. Hasil Uji Kekerasan

020406080

A (0 Menit)

B (5 Menit)

C (10 Menit)

D (15 Menit)

E (25 Menit)

Frak

si V

olum

e (%

)

Lama Waktu Milling

Grafik Fraksi Volume ZnO terhadap Lama Waktu

Milling

ZnO

No. Sampel Waktu

Milling

(Menit)

Test

Load

(kgf)

Dwell

Time

(detik)

D1

(mikro)

D2

(mikro)

HVN

(MPa)

1. A 0 204 10 92,00 89,98 44,76

2. B 5 201 10 56,70 59,31 108,5

3. C 10 202 10 63,52 54,91 104,6

4. D 15 203 10 59,27 55,32 112,3

5. E 25 200 10 46,34 52,75 148,0

Page 33: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 29

Gambar 4. Kurva Hasil Uji Kekerasan

Tampak hasil uji kekerasan diperoleh nilai yang ditunjukkan pada Gambar 4,

yang nilai dari hasil uji kekerasan yang dinyatakan dalam satuan MPa (Megapascal).

Sampel A merupakan sampel semen gigi seng fosfat tanpa proses milling, nilai kekerasan

sebesar 44,76 MPa. Sampel B sampai dengan Sampel E merupakan sampel semen gigi

seng fosfat dengan proses milling masing-masing 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 25

menit. Besarnya kekerasan sampel B, C, D dan E masing-masing adalah sebesar 108,54

MPa, 104,67 MPa, 112,35 MPa dan 148,03 MPa. Berdasarkan nilai kekerasan dari

masing-masing sampel menunjukkan peningkatan nilai kekerasan seiring dengan lamanya

waktu milling yang dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai kekerasan yang dihasilkan

mengalami penurunan, hal ini terjadi karena ukuran pellet yang dihasilkan berubah pada

saat pengambilan dari cetakan, sehingga mempengaruhi kekerasan bahan semen gigi.

Hasil Uji Kekuatan Tekan

Pengukuran kekuatan tekan pada sampel, yang dibuat dengan massa 0,6 gram dan

8 tetes cairan seng fosfat. Proses pengujian dilakukan dengan menekan sampel hingga

patah dengan beban yang diberikan sebesar 100 kN.

Hasil dari pengujian kekuatan tekan dapat dilihat pada Tabel 3 dan kemudian

hasilnya akan di grafikkan pada Gambar 5. antara nilai kekuatan tekan bahan terhadap

variasi waktu milling.

0

200

400

600

A ( 0 menit )B ( 5 menit )C ( 10 menit )D ( 15 menit )E ( 25 menit )HV

N (M

Pa)

Lama Waktu Milling

Hasil Uji Kekerasan Vickers

Kekerasan (MPa)

Page 34: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

30 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Tabel 3. Hasil Uji Kekuatan Tekan

No. Sampel Waktu Milling

(Menit)

F(N) Luas Permukaan

(m2)

Kuat Tekan

(MPa)

1. A 0 5390 42,98 x 10-6 125,407

2. B 5 16856 47,75 x 10-6 353,005

3. C 10 10976 45,34 x 10-6 242,082

4. D 15 17836 48,99 x 10-6 364,074

5. E 25 20188 50,24 x 10-6 401,831

Gambar 5. Kurva Hasil Uji Kekuatan Tekan

Gambar 5. menunjukkan nilai hasil uji kekuatan tekan yang dinyatakan dalam

satuan MPa (Megapascal). Sampel A merupakan sampel semen gigi seng fosfat tanpa

proses milling, nilai kekuatan tekan sebesar 125,407 MPa. Sampel B sampai dengan

Sampel E merupakan sampel semen gigi seng fosfat dengan proses milling masing-

masing 5 menit, 10 menit, 15 menit dan 25 menit. Besarnya kekuatan tekan Sampel B, C,

D dan E masing-masing adalah sebesar 353,005 MPa, 242,082 MPa, 364,074 MPa dan

401,831 MPa. Berdasarkan nilai kekuatan tekan dari masing-masing sampel

menunjukkan peningkatan kekuatan tekan seiring dengan lama waktu milling yang

dilakukan, sedangkan pada sampel C nilai kekuatan tekan yang dihasilkan mengalami

penurunan, hal ini terjadi karena ukuran pellet yang dihasilkan berubah pada saat

pengambilan dari cetakan, sehingga mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi.

Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh dengan proses milling menunjukkan

bahwa lama waktu milling mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi, sehingga

membantu proses homogenisasi dari campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.

Selain sampel dengan massa 0,6 gram dan 8 tetes cairan seng fosfat, dilakukan

pula pengujian sampel dengan massa dan jumlah tetes yang berbeda. Tabel 4.

0

500

A ( 0 menit )B ( 5 menit )C ( 10 menit )D ( 15 menit )E ( 25 menit )

kuat

an T

ekan

(MPa

)

Lama Waktu Milling

Hasil Uji Kekuatan Tekan

Kekuatan Tekan (MPa)

Page 35: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 31

menunjukkan nilai hasil uji kekuatan tekan tanpa proses milling dengan variasi massa

semen seng fosfat dengan nano ZnO dan cairan semen seng fosfat. Nilai kekuatan tekan

semakin meningkat seiring dengan penambahan massa semen seng fosfat dengan nano

ZnO dari 0,5 gram menjadi 0,6 gram dan penambahan jumlah cairan seng fosfat yang

diberikan sama banyaknya, Penambahan massa meningkatkan nilai kekuatan tekan dari

66,322 MPa dan 107,285 MPa. Sedangkan untuk massa 0,5 gram dan 0,7 gram dengan

penambahan jumlah cairan seng fosfat yang diberikan dari 8 tetes menjadi 12 tetes

meningkatkan nilai kekuatan tekan dari 66,322 MPa menjadi 403,782 MPa.

Nilai hasil kekuatan tekan yang diperoleh tanpa proses milling dengan variasi

massa dan cairan semen seng fosfat menunjukkan bahwa selain massa, cairan semen seng

fosfat mempengaruhi kekuatan tekan bahan semen gigi, semakin banyak cairan seng

fosfat semakin besar nilai kekuatan tekan yang dihasilkan, sehingga membantu proses

homogenisasi dari campuran semen seng fosfat dan nano ZnO.

Tabel 4. Hasil Uji Kekuatan Tekan Sampel Tanpa Milling

No. Sampel F (N) Luas

Permukaan

(m2)

Kuat

Tekan

(MPa) Jumlah

Gram

Jumlah

Tetes

1. 0,5 8 3332 50,24 x 10-

6

66,322

2. 0,6 8 5390 50,24 x 10-

6

107,285

3. 0,7 12 20286 50,24 x 10-

6

403,782

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah campuran semen seng

fosfat, nano ZnO dan cairan seng fosfat dengan perbandingan 85% semen seng

fosfat dan 15% nano ZnO dari massa total 15 gram, sehingga didapatkan nilai

massa masing-masing bahan sebesar 12,75 gram semen seng fosfat dan 2,25 gram

nano ZnO. Sebelum dicampur dan dicetak, dilakukan proses milling pada semen

Page 36: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

32 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

seng fosfat dan nano ZnO dengan variasi waktu 0, 5, 10, 15 dan 25 menit.

Kemudian kedua bahan campuran tersebut masing-masing diambil 0,6 gram

dengan penambahan 8 tetes cairan seng fosfat, setelah itu bahan dicampur dengan

menggunakan pengaduk hingga bahan tercampur rata, pada saat proses

pencampuran menggunakan pengaduk, waktu yang diperlukan masing-masing

sampel berbeda, semakin lama waktu milling yang diberikan, maka semakin cepat

kedua campuran mengeras. Hal ini dikarenakan proses milling mempengaruhi

sifat homogen campuran bahan tersebut. Setelah bahan tercampur rata, kemudian

bahan dicetak dan dibentuk sehingga membentuk pellet dengan diameter 8 mm

dengan spesimen waktu 12 menit setiap sampel.

Pellet yang sudah jadi, kemudian dilakukan beberapa pengujian untuk

mengetahui nilai fraksi volume hopiete pada uji XRD, kekerasan dan kekuatan

tekan. Hasil Uji XRD yang dilakukan, digunakan untuk mengidentifikasi fasa-fasa

yang terkandung dalam campuran, dari uji tersebut ditemukan nilai kandungan

hopiete dan ZnO, kemudian dilakukan perhitungan fraksi volume untuk

mendapatkan persentase nilai kedua campuran tersebut. Dari perhitungan fraksi

volume didapatkan persentase nilai tertinggi untuk hopiete sebesar 56,45% pada

variasi waktu milling 25 menit dan persentase nilai terendah sebesar 28,78% pada

variasi waktu milling 0 menit (tanpa proses milling), sedangkan pada nano ZnO

persentase nilai tertinggi sebesar 67,83% pada variasi waktu milling 0 menit

(tanpa proses milling) dan persentase nilai terendah sebesar 43,54% pada variasi

waktu milling 25 menit.

Hasil uji kekerasan menunjukkan nilai kekerasan yang cenderung

meningkat dengan bertambahnya waktu milling. Nilai tertinggi yang didapatkan

pada uji kekerasan sebesar 148,03 MPa dengan waktu milling 25 menit,

sedangkan nilai terendah yang didapatkan sebesar 44,76 MPa dengan waktu

milling 0 menit (tanpa proses milling). Hal ini dikarenakan proses milling

mempengaruhi sifat homogen campuran bahan.

Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan nilai kekuatan tekan yang

cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu milling. Nilai tertinggi yang

didapatkan pada uji kekuatan tekan sebesar 401,831 MPa dengan waktu milling

25 menit, sedangkan nilai terendah yang didapatkan sebesar 125,407 MPa dengan

Page 37: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 33

waktu milling 0 menit (tanpa proses milling), sedangkan nilai lapisan email

(enamel) sekitar 250-550 MPa. Hal ini dikarenakan proses milling mempengaruhi

sifat homogen campuran bahan.

Hasil dari beberapa pengujian tersebut dapat dilihat bahwa proses milling

mempengaruhi nilai kekerasan, kekuatan tekan dan fraksi volume pada uji XRD.

Nilai yang diperoleh menyatakan bahwa semakin lama waktu milling, maka nilai

yang dihasilkan semakin besar. Hal ini dikarenakan pada saat proses milling,

kedua campuran bahan tersebut tercampur secara merata (homogen).

KESIMPULAN

Dari serangkaian penelitian dan analisis tentang pemberian nanopartikel

ZnO ke dalam semen gigi seng fosfat (zinc phosphate cement) tanpa dan dengan

variasi waktu milling diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Hasil Uji XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan fraksi volume hopiete

meningkat seiring dengan bertambahnya waktu milling, dengan nilai tertinggi

dicapai pada waktu milling yaitu sebesar 25 menit dengan nilai yang dihasilkan

sebesar 56,45 %, diikuti dengan menurunnya nilai fraksi volume nano ZnO

dengan nilai terendah dicapai pada waktu milling 25 menit sebesar 43,54 %. Hal

ini terjadi karena nano ZnO bereaksi dengan semen seng fosfat membentuk

hopiete.

Nilai kekerasan dan kekuatan tekan dari semen gigi seng fosfat (zinc

phosphate cement) meningkat seiring dengan lamanya waktu milling 25 menit

dengan nilai uji kekerasan tertinggi sebesar 148,03 MPa dan nilai uji kekuatan

tekan tertinggi sebesar 401,831 MPa. Hal ini menunjukkan pertambahan

kandungan hopiete meningkatkan nilai kekerasan dan kekuatan tekan.

DAFTAR PUSTAKA Afif,K.M., 2011, Pengaruh Penambahan Nanopartikel Seng Oksida Terhadap Struktur

Kristal Semen Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek UNAIR, Surabaya

Anusavice,J.K., 2003, Philips : Buku Ajar Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, alih bahasa :

Johan Arif Budiman dan Susi Purwoko, E.GC, Jakarta

Page 38: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

34 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Combe,E.C,, 1992, Sari Dental Material, alih bahasa : drg. Slamet Terigan, MS, PhD,

Balai Pustaka, Jakarta

Greenwood, Norman N. And A. Earnshaw., 1997, Chemistry of the Elements 2nd Edition.

Oxford : Butterworth - Heinemann

Hera, 2009, Konsep Laju Reaksi

Noort,R.V., 1994, Introduction to Dental Material, Mosley, London

Nikisami, 2011, Sintesis Nanopartikel dengan High Energy Milling

Park C.K., Silsbee M.R., Roy D.M., 1998, Setting Reaction and Resultant Structure of

Zinc Phosphate Cement in Various Orthophosphoric Acid Cement-Forming

Liquids. Cement and Concrete Research 28 (1): 141-150. doi: 10.1016/S0008-

8846(97)00223-8

Rohman.N.T., 2009, HKI Media/Vol.IV/No.3. Tangerang : PUSPIPTEK, Serpong,

Tangerang

Servais.G.E. And L.Cartz., 1971, Structure of Zinc Phosphate Dental Cement. Wisconsin

: College of Engineering, Marquette University, Milwaukee, Wisconsin, USA

Van Vlack.L.H., 1985, Ilmu dan Teknologi Bahan ( Ilmu Logam dan Bukan Logam )

Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga

Widodo,R.W.E., 2011, Pengaruh Pemberian Nanopartikel ZnO Terhadap Mikrostruktur

Semen Gigi Seng Fosfat, Skripsi Fsaintek UNAIR, Surabaya

Page 39: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 35

Optimasi Interferometer Michelson Real Time Untuk Deteksi

Koefisien Muai Termal Composite Nanofiller

Ersti Ulfa A1, Retna Apsari1, Yhosep Gita Y.Y1.

1Program Studi S1 Fisika, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Airlangga,

Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mendeteksi koefisien muai termal composite nanofiller

menggunakan metode interferometer Michelson real time. Penelitian ini menggunakan sumber

laser He-Ne dengan panjang gelombang 632,8 nm, alat bantu rangkaian sensor suhu,

mikrokontroler AT Mega 8535, program Delphi dan bahan yang digunakan adalah composite

nanofiller Filtek Z350. Bahan composite nanofiller yang telah ditipiskan diletakkan pada salah

satu lengan interferometer Michelson kemudian dipanasi mengunakan solder pada suhu 30oC-

60oC. Sensor suhu LM 35 diletakkan pada bahan composite nanofiller untuk mengetahui suhu

pada bahan akibat pemanasan. Output sensor suhu LM 35 yang berupa analog harus diubah

menjadi digital menggunakan ADC mikrokontroler AT Mega 8535. Mikrokontroler AT Mega

8535 juga berfungsi untuk komunikasi serial agar suhu bahan dapat ditampilkan ke Laptop pada

software Delphi. Software pada Delphi memiliki 4 fungsi yaitu merekam frinji pada saat suhu

300 sampai dengan 600 C dengan menggunakan webcam, menampilkan suhu, menghitung jumlah

cacahan frinji yang berdenyut, dan untuk menghitung koefisien muai termal suatu bahan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa kinerja sensor suhu adalah 99,6% dan kinerja software sebesar

98,17%. Waktu tunda (delay) yang dihasilkan sistem adalah (1,1±0,1) detik. Koefisien muai termal

bahan composite nanofiller sebesar (70±4)x10-6 /oC.Delay yang dihasilkan lebih kecil 38.9 %

dibanding literatur, sedangkan nilai koefisien muai termal memiliki beda 31,1% dibanding

literatur.

Kata kunci : interferometer Michelson, real time, Koefisien muai termal

Page 40: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

36 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

PENDAHULUAN Survey kesehatan yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menunjukkan bahwa

angka kerusakan gigi di Indonesia tinggi. Kerusakan gigi yang sering adalah gigi

berlubang. Upaya untuk meminimalisir gigi berlubang adalah dengan menambal gigi.

Cara ini termasuk paling banyak digemari karena efektif mengurangi rasa sakit akibat

gigi berlubang. Oleh karena itu penting untuk mengetahui jenis material tambal gigi yang

cocok. Teknik fabrikasi material tambal gigi baru terus dikembangkan. Untuk pemilihan

bahan tambal gigi ada beberapa sifat yang harus dipertimbangkan, antara lain

biokompatibilitas, sifat fisik kimia, karakteristik penanganan, estetika, dan ekonomis

(Philips, 2003).

Material tambal gigi memiliki ketahanan tertentu terhadap berbagai perlakuan

salah satunya dengan termal. Gigi biasanya digunakan untuk makan atau minum yang

panas. Penyakit yang ditimbulkan terkait panas adalah infeksi syaraf gigi karena adanya

pemuaian pada material gigi. Pemuaian ini menyebabkan terlepasnya ikatan antar atom

antara material dengan gigi .Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui koefisien

muai termal bahan.

Mahalnya pengukuran koefisien muai termal menggunakan DTA mendorong

perlunya dilakukan penelitian untuk mencari metode alternatif. Salah satu metode

alternatif diantaranya menggunakan metode optik dengan interferometer Michelson.

Dengan keunggulannya yaitu ketelitian tinggi, bersifat non invasif, menggunakan sumber

non destructive sehingga minim efek samping, dan dapat diamati secara visual (Apsari,

2007). Berdasarkan penelitian Wolff et. al (1993) menyatakan bahwa interferometer

Michelson telah banyak dan berhasil digunakan dalam pengukuran koefisien muai termal

dari silica, material composite, dan keramik.

Penelitian School dan Liby (2009) menggunakan interferometer Michelson untuk

mengukur koefisien muai termal tembaga. Metode interferometri juga dapat digunakan

untuk mengukur koefisien muai termal bahan tipis kristal ZnSe (Hua Shu et. all, 2009).

Penelitian juga dilakukan oleh Ariyanti (2008) yaitu menggunakan interferometer

Michelson real time untuk mendeteksi deformasi gigi akibat suhu, dengan kelemahan

penelitian ini adalah terdapat delay (waktu tunda) sebesar (1,8 ± 0,7 ) detik dan

pengamatan frinji secara visual. Kekurangan yang terdapat pada interferometer

Michelson dioptimasi dengan menggunakan sensor suhu LM 35 dan AT Mega 8535 serta

penggunaan image processing deteksi gerak pada Delphi dalam pengolahan frinji.

Page 41: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 37

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan seperangkat interferometer Michelson, Laser

He-Ne, Laptop, Webcam, rangkaian sensor suhu LM 35 dan mikrokontroler AT

Mega 8535. Bahan tambal gigi yang digunakan dalam penelitian adalah composite

nanofiller Filtek Z350 dari 3M ESPE. Keseluruhan alat dan bahan penelitian

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Keseluruhan alat dan bahan penelitian

Tahapan penelitian disajikan pada diagram blok Gambar 2.

Page 42: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

38 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 2. Diagram blok penelitian

Dalam penelitian terlebih dahulu dirancang hardware yang meliputi rangkaian

sensor suhu LM 35, minimum sistem AT Mega 8535 dan power supply. Sedangkan

software Delphi memiliki 4 fungsi yaitu:merekam frinji, menghitung cacahan frinji,

penampil suhu dan menghitung koefisien muai termal. Kemudian hardware dan software

yang telah dirancang digabung dengan interferometer Michelson. Sistem interferometer

Michelson real time inilah yang digunakan untuk mengambil jumlah cacahan denyut

frinji pada suhu 30oC-60oC. Dengan mengetahui jumlah cacahan frinji dan rentang suhu

maka koefisien muai bahan dapat ditentukan.

Page 43: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil perancangan hardware disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil Perancangan Hardware

Keterangan:

A : Sensor suhu LM 35

B : Rangkaian penguat sensor suhu

C : Minimum sistem AT Mega 8535

D : Power Supply

Untuk hasil perancangan software pada Delphi disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil Perancangan Software

A

B

C

D

A

B

C

D

Page 44: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

40 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Keterangan:

A : Program merekam frinji

B : Program mencacah denyut frinji

C : Program penampil suhu

D : Program menghitung koefisien muai termal

Setelah tahap perancangan selesai selanjutnya adalah kalibrasi. Kalibrasi ini

dilakukan untuk mengetahui kinerja dari hardware dan software. Kalibrasi hardware

dilakukan pada rangkaian sensor suhu, kalibrasi ini dilakukan untuk mengetahui

hubungan suhu terhadap tegangan keluaran sensor. Pada kalibrasi ini juga dapat diketahui

nilai konversi suhu. Hasil kalibrasi hardware disajikan Gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Grafik tegangan terhadap suhu

Hasil kalibrasi pada Gambar 5 menunjukkan hubungan yang linier antara

tegangan dan suhu dengan koefisien regresi sebesar 0,997. Hal ini sesuai dengan

datasheet LM 35 dimana suhu memiliki hubungan yang linier terhadap tegangan.

Nilai konversi suhu diperoleh dari persamaan regresi antara data digital dari ADC

mikrokontroler dan suhu yang tertampil pada termometer digital. Nilai konversi suhu ini

dimasukkan ke sintaks pada Delphi. Hal ini agar nilai suhu dapat langsung tertampil pada

program Delphi sehingga mudah diamati kenaikan suhunya. Grafik disajikan pada

Gambar 6.

Page 45: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 41

Gambar 6. Konversi suhu

Untuk selanjutnya adalah kalibrasi software, kalibrasi ini dilakukan dengan

mengukur panjang gelombang Laser He-Ne dengan penghitungan cacahan frinji

menggunakan software yang telah dirancang. Frinji direkam dengan Webcam kemudian

dengan prinsip deteksi gerak maka program akan mencacah frinji yang berdenyut.

Pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan menghitung cacahan frinji yang

berdenyut setiap pergeseran 10 µm. Grafik kalibrasi software disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kalibrasi software

Rumus untuk menghitung cacahan frinji:

𝑍𝑍 =2Δ𝑑𝑑𝜆𝜆

… … … … … … … … … … … … … . (1)

Page 46: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

42 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Keterangan:

z = cacahan frnji

Δd = pergeseran

λ = panjang gelombang

sehingga,

𝑚𝑚 = 𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡𝑡 𝛼𝛼 =𝑍𝑍Δ𝑑𝑑

… … … … … … … … … . . (2)

𝑍𝑍Δ𝑑𝑑

=2𝜆𝜆

… … … … … … … … … … … … … . . . (3)

m = tan𝛼𝛼 =2𝜆𝜆

… … … … … … … … … … . . (4)

Laser He-Ne yang digunakan memiliki panjang gelombang 632,8 nm, sedangkan

berdasarkan rumus (4) diperoleh nilai panjang gelombang laser He-Ne adalah 621,2 nm.

Hasil pengukuran panjang gelombang memiliki beda 1,83%, sehingga kinerja software

adalah sebesar 98,17%.

Tahap kalibrasi untuk hardware dan software selesai dilakukan kemudian

digabungkan ke dalam satu sistem menjadi interferometer Michelson real time. Sistem

perlu diuji untuk mengetahui kinerja sensor dan waktu tunda (delay) sistem. Kinerja

sensor disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik perbandingan termometer digital dan sensor suhu

Berdasarkan grafik pada Gambar 8 diperoleh kinerja sensor sebesar 99,6%. Pengujian

sistem selanjutnya adalah pengukuran waktu tunda (delay) sistem. Delay merupakan beda

waktu suhu yang tertampil pada termometer digital dan yang tertampil pada program

Page 47: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 43

Delphi. Diperoleh nilai delay sebesar (1,1±0,1) detik. Delay yang dihasilkan sistem lebih

baik 38,9% dibandingkan penelitian Ariyanti (2008) yang memiliki delay sebesar

(1,8±0,7) detik. Penurunan delay dikarenakan dalam penelitian digunakan sensor suhu

LM 35 dan mikrokontroler AT Mega 8535.

Tahap selanjutnya adalah pengambilan data, Sistem yang telah diuji dapat

digunakan untuk menghitung koefisein muai termal. Set Up interferferometer Michelson

real time disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Set Up interferometer Michelson real time

Dalam penelitian diperoleh data jumlah cacahan denyut frinji pada suhu

30oC-60oC. Data dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk menghitung koefisien muai

termal maka dibuat grafik seperti pada Gambar 10.

Tabel 1. Data interferometer Michelson real time

No ΔT (Rentang suhu) n (Jumlah denyut

frinji)

1 30 1

2 35 3

3 40 4

4 45 5

5 50 6

6 55 7

7 60 8

Page 48: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

44 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 10. Koefisien muai termal

Rumus koefisien muai termal:

𝛼𝛼 =𝑡𝑡𝜆𝜆

2𝐿𝐿𝑜𝑜Δ𝑇𝑇… … … … … … … … … … … … . (5)

Dapat dituliskan,

𝑡𝑡 = 𝛼𝛼2𝐿𝐿0

𝜆𝜆… … … … … … … … … … … … . . (6)

𝑡𝑡Δ𝑇𝑇

=2𝐿𝐿0

𝜆𝜆𝛼𝛼… … … … … … … … … … … … . (7)

Sehingga,

𝑚𝑚 = 2𝐿𝐿0𝜆𝜆𝛼𝛼.................................................(8)

𝛼𝛼 =𝑚𝑚𝜆𝜆2𝐿𝐿0

… … … … … … … … … … … … … … (9)

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai koefisein muai bahan composite

nanofiller adalah sebesar (70±4)x10-6 /oC. Nilai koefisien muai termal ini memilki

beda 31,1 % dibandingkan literatur. Hal ini diduga karena pemanas yang

digunakan untuk memberikan kalor memiliki daya terlalu besar 30-40 watt, dan

juga karena interferometer Michelson sensitif terhadap goncangan. Untuk

Page 49: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 45

mengetahui hasil perbandingan koefisien muai termal yang tepat perlu dilakukan

pengujian TMA (Thermomechanical Analysis).

KESIMPULAN

Sistem interferometer Michelson real time dapat dioptimalkan dengan

menggunakan sensor suhu LM 35, rangkaian penguat non inverting mengunakan

LM 358 dan minimum sistem AT Mega 8535 menggunakan fitur ADC dan

komunikasi serial dengan penterjemah frinji adalah menggunakan deteksi gerak.

Sistem interferometer Michelson real time dapat digunakan untuk deteksi

koefisien muai termal dengan hasil yang diperoleh adalah (70 ± 4)x10-6 /oC.

Kinerja rangkaian sensor suhu sebesar 99,6%, kinerja software adalah 98,17% dan

delay sistem adalah (1,1±0,1) detik. Koefisien muai termal yang dihasilkan

memiliki beda sebesar 31,1% dibandingkan penelitian Park et,al (2011) dan delay

penelitian lebih baik 38,9% dari penelitian Ariyanti (2008).

DAFTAR PUSTAKA Andi W, 2009, Panduan Praktis Delphi 2009, Wahana Komputer:Jakarta

Apsari, R. 1998, Penentuan Koefisien Difusi Larutan Dengan Teknik Interferometer

Holografi. Tesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.

Apsari, R. 2007, Pengembangan Interferometer Berbasis Electronic Speckle Pattern

Interferometry (ESPI) untuk analisis deformasi suhu pada gigi secara

Invitro. Materi Kualifikasi Program Doktor Program Pasca Sarjana

UNAIR, 2007. Surabaya.

Ariyanti, R, 2008, Pengembangan Interferometer Michelson Real Time Untuk Deteksi

Deformasi Suhu Pada Gigi, Skripsi, Jurusan Fisika Universitas Airlangga.

Surabaya.

Fadlisyah, Fauzan, Taufiq, Zulfikar,2008, Pengolahan Citra Menggunakan Delphi, Graha

Ilmu,Yogyakarta

Fuhaid N, 2004, Pemanfaatan Perangkat Komputer Untuk Menentukan Koefisien Muai

Panjang Benda Menggunakan Interferometer Michelson. Skripsi, Jurusan

Fisika Universitas Airlangga, Surabaya.

Page 50: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

46 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Firdausy K, Hana M,K, 2010, Purwarupa Sistem Deteksi Objek Waktu Nyata Berbasis

Layanan Pesan Singkat, Indonesian Journal of Electrical Engineering

volume (1693-6930).

Firdausy, K, Daryono, Anton Y, 2008, Webcam Untuk Sistem Pemantauan Menggunakan

Metode Deteksi Gerakan, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi

2008 (SNATI 2008).

Gerdolle, D.A, Eric M, Dominique D, 2008, Microleakage and Polymerization Shrinkage

of Various Polymer Restorative Materials. Journal of dentistry,vol 75 (125-

33).

Guenther R.D. 1990, Modern Optics. United State,Canada.

Heryanto, 2008, Pemrograman Bahasa C untuk Mikrokontroler AT Mega 8535.

Andi:Yogyakarta.

Hestiningsih, I ,2008 .Pengolahan citra digital, Gava Media:Yogyakarta.

Hua Shu C, Shari Feth, S,L Lehoczky, 2009, Thermal Expansion Coefficient Crystal

Between 17 o-1080o by interferometry. vol 63.

Iswanto, 2008, Antarmuka Port Paralel dan Port Serial, Gava media:Yogyakarta.

Jenkins and White, 1965, Fundamentals of Optics, McGraw Hill, United State of

America.

Kamal,Z,2008, Microleakage In Class Ii Composite Restorations Bonded With Different

Adhesive System Thesis Universiti Sains Malaysia

Kawuryan U, 2010, Hubungan Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi Dan

Mulut Dengan Kejadian Karies Gigi Anak. Skripsi ilmu keperawatan

Universitas muhammadiyah,Surakarta.

Kishen, Murukeshan, Krishnakumar, Asundi, 2001, Analysis On The Nature Of

Thermally Induced Deformation In Human Dentine By Electronic Speckle

Pattern Interferometry (ESPI), journal of dentistry 29. Biomedical

Engineering Research Center, Nanyang Technological University,

Singapore.

Kurniawan D, 2011, Mahir Pemrograman Webcam dengan Delphi, eBook, Bandung.

Marquis,DM, Eric Guiilaume, Carine CV , 2010, Properties of Nanofiller in Polymer.

Intech ,France.

Nugroho, Sofyan F, Indras M, 2010, Penentuan Tebal Bahan Transparan (ZnO)

Menggunakan Interferometer Michelson. Skripsi FMIPA Undip.

Ong, J, 2010, Investigations of light with a Michelson Interferometer. Journal

Page 51: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 47

Engineering Physics. Cornell University.

Park, JK, Bock Hur, ching-chang, Franklin,Hyung Kim, Yong Hoon, 2011, Effect of

Light-curing Units on the Thermal Expansion of Resin Nanocomposites.

Journal Dental. Vol 23 issue 6 (331-334).

Philips, R.W, 2003, Ilmu Bahan Kedokteran Gigi, Edisi 10, WB Saunders Co,

Philadelphia, Pennsylvania.

Scholl and Bruce will, 2009, Using a Michelson Interferometer to Measure Coefficient of

Thermal Expansion of Copper. Journal The Physics Teacher.Vol 47.

Setyabudi, 2010, Analisis Termal. Bahan kuliah Universitas Padjajaran.

Stankovic, J, 1992, Real Time Computer, University of Masachusets

Tipler, Ralph, 2008, Modern Physics, W.H Freeman Company: New york.

Wardhana L, 2006, Mikrokontroler AVR Seri AT Mega 8535 Simulasi, Hardware dan

Aplikasi. Andi:Yogyakarta.

Winoto A, 2010, Mikrokontroler AVR Atmega8535 dan pemrogaramannya dengan

Bahasa C pada WinAvr.Informatika,Bandung.

Wolff E.G and Peng G.S, 1993, Processing of Interferometric Signal for a CTE

Measurement system. Journal elsevier.

Page 52: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

48 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Studi Teori dan Eksperimen Sensor Pergeseran

Menggunakan Fiber Coupler dengan Target Cermin Cekung

Sefria Anggarani, Samian, Adri Supardi

Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRAK

Studi sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target cermin cekung telah

dilakukan. Studi dilakukan baik secara teori maupun eksperimen untuk mengoptimalkan

kemamupan fiber coupler sebagai sensor pergeseran. Analisis teori dilakukan melalui pendekatan

bahwa cahaya keluaran dari fiber coupler merupakan berkas Gaussian. Prinsip pendektesian

pergeseran dilakukan melalui deteksi perubahan daya optis cahaya pantulan dari cermin cekung

yang diterima oleh port sensing fiber coupler. Perubahan daya optis cahaya tersebut terbaca

melalui perubahan tegangan keluaran detektor optis. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan

dua buah cermin cekung masing-masing denganpanjang fokus 4,5 mm dan 12 mm. Hasil

eksperimen berupa grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi pergeseran cermin

cekung menunjukkan nilai yang tidak sesuai dengan perhitungan secara teori. Walaupun demikian,

karakteristik kedua grafik menunjukkan kesamaan. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa sensor

pergeseran dengan target cermin cekung (4,5 mm dan 12 mm) menghasilkan jangkauan sebesar 25

mm dengan step pergeseran sebesar 50 µm. Kedua cermin cekung dalam rentang jangkauan

tersebut menghasilkan tiga buah daerah kerja sensor (daerah linier). Hasil yang sama juga

diperoleh melalui perhitungan secara teori tetapi dengan nilai yang berbeda. Sensitivitas sensor

terbaik secara eksperimen yaitu sebesar 25,31 mV/mm dihasilkan dengan menggunakan cermin

cekung fokus 4,5 mm pada rentang daerah kerja 9,9 – 13,85 mm.

Kata kunci : Sensor Pergeseran, Cermin Cekung, Fiber Coupler.

Page 53: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 49

PENDAHULUAN

Optimasi serat optik sebagai sensor banyak dikembangkan karena memiliki

keunggulan yang utama yaitu memiliki akurasi yang tinggi dan tidak kontak langsung

(Krohn, 2000). Serat optik telah dapat diaplikasikan sebagai sensor pergeseran berbasis

modulasi intensitas dengan berbagai desain dan konfigurasinya. Diantaranya adalah

menggunakan serat optik bundle multimode (M. Yasin et al, 2007), singlemode (A.

Rostami et al, 2007), multimode fiber coupler (Samian et al, 2008) dan singlemode fiber

coupler (Baruch M.C. et al, 2002). Kesemuanya menggunakan cermin datar sebagai

target pergeseran. Aplikasi sensor pergeseran serat optik berbasis modulasi fase dengan

metode dual fabry-perrot cavity menghasilkan akurasi dan resolusi tinggi tetapi

jangkauan kecil dan set up eksperimen kurang praktis dan harga alat-alat sangat mahal

(Bitou et al, 2009).

Dalam perkembangannya, berbasis pada sensor pergeseran serat optik, telah

dikembangkan sensor serat optik untuk mendeteksi suhu (Samian et al, 2010), strain

bahan (Inaudi et al. 2005), dan ketinggian zat cair (Samian et al, 2011). Artinya sensor

pergeseran serat optik dapat menjadi dasar bagi pengembangan sensor untuk mendeteksi

parameter-parameter fisis lainnya yang diperlukan dibidang industri maupun bidang

lainnya.

Untuk tujuan tersebut, sensor pergeseran serat optik telah dikembangkan melalui

penggunaan serat optik bundle multimode (H.Z. Yang, 2010) dengan target berupa

cermin cekung. Dengan tujuan yang sama, yaitu mengoptimalkan kinerja serat optik

khususnya fiber coupler sebagai sensor pergeseran, dalam makalah dipaparkan hasil

kajian secara teori dan eksperimen aplikasi fiber coupler jenis multimode sebagai sensor

pergeseran menggunakan cermin cekung sebagai target.

ANALISIS TEORI Desain sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan cermin cekung sebagai

target diperlihatkan pada Gambar 1. Perangkat sensor pergeseran terdiri dari laser,

detektor optis, fiber coupler, dan target cermin cekung. Prinsip kerja sensor adalah

pergeseran cermin cekung dideteksi melalui perubahan daya optis berkas cahaya pantulan

dari cermin cekung yang terkopel pada port sensing fiber coupler. Mekanismenya adalah

berkas laser dari sumber dilewatkan melalui port masukan fiber coupler dan sebagian

berkas cahaya tersebut keluar melalui port sensing menuju cermin cekung. Berkas cahaya

pantulan dari cermin cekung sebagian akan masuk kembali ke port sensing. Berkas

cahaya balik tersebut kemudian akan terkopel menuju port deteksi.

Page 54: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

50 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 1. Desain Sensor Pergeseran Menggunakan Fiber Coupler dengan Target Cermin

Cekung.

Besar daya optis cahaya yang sampai ke port deteksi ( dP ) ditunjukkan oleh

persamaan berikut.

−−=

)(2

22exp1

zW

aoPdP (1)

dan

inPDLe

crcroP2

)1,0

101,0

10)(1(156,1−

−−

−= (2)

dengan a dan W(z) adalah jari-jari core fiber coupler danjari-jari berkas hasil pantulan

cermin. Sedangkan cr, Le, dan D masing-masing adalah rasio kopling (coupling ratio),

excess loss, dan directivity (Samian 2009).

Secara geometris, berkas laser yang keluar dari port sensing menuju cermin cekung

dan kembali lagi ke port sensing dapat dilukiskan seperti pada Gambar 2. Divergensi

berkas mula-mula yang keluar dari port sensing sebesar θ yang berhubungan dengan

tingkap numerik serat optik (NA) dengan hubungan ( )θsin=NA . Sedangkan divergensi

berkas setelah terpantul dari cermin adalah sebesar 'θ .

Gambar 2. Struktur geometri port sensing sensor pergeseran serat optik terhadap cermin

cekung.

Page 55: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 51

Berkas cahaya yang keluar dari port sensing yang terpantul oleh cermin cekung

dapat ditunjukkan melalui persamaan :

( )fzaz

zazfv

−+

+= (3)

dengan v, f, z, za, dan v masing-masing merupakan jarak sumber hasil pantulan terhadap

cermin cekung, panjang fokus cermin cekung, jarak berkas laser yang keluar dari port

sensing, dan jarak port sensing dengan cermin cekung. Jarak sumber hasil pantulan

terhadap port sensing dapat dinyatakan melalui persamaan:

( )fzaz

zazfzu

−+

+−= (4)

Sudut θ yang dibentuk berkas cahaya yang keluar dari port sensing menuju cermin

membentuk dapat ditulis :

( )az

a

zaz

h=

+=θtan (5)

Sementara sudut θ’ dapat ditulis dalam bentuk persamaan :

( ) ( )v

h

u

zW=='tan θ (6)

Untuk jari-jari berkas cahaya yang terpantul kembali sebagi fungsi pergeseran dapat

dinyatakan dalam persamaan berikut.

( ) ( )azf

azfzazzazW

−+=

2 (7)

Substitusi persamaan (7) ke persamaan (1) maka akan diperoleh persamaan seperti

berikut.

( )( )

−+−−= 22

22

exp1

azfzazz

azfoPdP (8)

Persamaan (8) menyatakan besar daya optis laser pada port deteksi yang dapat berubah

terhadap pergeseran dan panjang fokus target yang berupa cermin cekung. Dengan

asumsi cVP = ; ocVoP = ; dan oV

V

oP

P= , maka persamaan (8) dapat ditulis menjadi

( )( )

−+−−= 22

22

exp1

azfzazz

azfoVdV (9)

Persamaan (10) merupakan hubungan tegangan keluaran sebagai fungsi pergeseran.

Page 56: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

52 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

SET UP EKSPERIMEN Set up eksperimen sensor pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target

cermin cekung diperlihatkan pada Gambar 3. Set up eksperimen terdiri dari laser He-Ne

(Mellesgriot, 632.8 nm, 30 mW), cermin cekung, fiber coupler 22 × , detektor 818-SL

(Newport), dan mikrovoltmeter (Leybold).

Gambar 3. Set Up Eksperimen Sensor Pergeseran menggunakan fiber coupler dengan

Target Cermin Cekung.

Eksperimen dilakukan dengan mencatat tegangan keluaran yang terbaca pada

mikrovoltmeter untuk setiap pergeseran cermin. Pergeseran cermin dilakukan dengan step

pergeseran sebesar 50 µm. Pencatatan tegangan keluaran dilakukan sampai tegangan

keluaran yang terbaca oleh detektor tidak menunjukkan perubahan yang berarti

(cenderung konstan). Langkah tersebut dilakukan pada masing-masing cermin cekung

fokus 4,5 mm dan 12 mm.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian baik secara teori maupun eksperimen berupa grafik tegangan

keluaran detektor optis sebagai fungsi pergeseran cermin cekung. Hasil penelitian dengan

menggunakan cermin cekung fokus 4,5 mm diperlihatkan pada Gambar 4 dan cermin

cekung fokus 12 mm diperlihatkan pada Gambar 5.

Page 57: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 53

Gambar 4. Hasil Teori dan Eksperimen Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan

Cermin Cekung dengan Fokus 4,5 mm.

Gambar 5. Hasil Teori dan Eksperimen Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan

Cermin Cekung dengan Fokus 12 mm.

Hasil eksperimen berupa grafik tegangan keluaran detektor optis sebagai fungsi

pergeseran cermin cekung pada masing-masing cermin menunjukkan nilai yang tidak

sesuai dengan perhitungan secara teori. Hal ini dapat disebabkan oleh fiber coupler yang

digunakan adalah buatan tangan sehingga diindikasikan bahwa potongan pada tiap ujung

fiber coupler memiliki kecembungan yang mengakibatkan nilai NA lebih besar. Nilai NA

yang besar menyebabkan besarnya berkas cahaya yang masuk ke fiber coupler.

Walaupun demikian, hasil perhitungan teori dan eksperimen pada masing-masing cermin

memiliki karakteristik yang sama. Kedua cermin cekung menghasilkan tiga buah daerah

kerja sensor (daerah linier) . Daerah kerja sensor secara eksperimen masing-masing

diperlihatkan pada Gambar 6 dan untuk cermin cekung fokus 4,5 mm dan Gambar 7

untuk cermin cekung fokus 12 mm.

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0 5 10 15 20 25

Teg

anga

n K

elua

ran

(mV

)

Pergeseran (mm)

Teori

0

20

40

60

80

100

120

140

160

0 5 10 15 20 25

Teg

anga

n K

elua

ran

(mV

)

Pergeseran (mm)

Teori

Page 58: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

54 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

(a)

(b)

(c)

Gambar 6. Grafik Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan Cermin Cekung dengan

Fokus 4,5 mm. (a) Daerah Kerja 1, (b) Daerah Kerja 2,

(c) Daerah Kerja 3.

Page 59: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 55

(a)

(b)

(c)

Gambar 7. Grafik Sensor Pergeseran Serat Optik Menggunakan Cermin Cekung dengan

Fokus 12 mm. (a) Daerah Kerja 1, (b) Daerah Kerja 2, (c) Daerah Kerja 3.

Page 60: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

56 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Dari hasil regresi linier yang ditunjukkan oleh Gambar 6 dan Gambar 7 dapat

diperoleh prameter-parameter sensor untuk masing-masing cermin yang disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Parameter sensor pergeseran fiber coupler dengan target cermin cekung.

Fokus Cermin Cekung Parameter

Daerah Kerja (mm) Sensitivitas (mV/mm)

4,5 mm

0,2 – 3,05 21,11

6 – 8,25 13,10

9,9 – 13,85 25,31

12 mm

0,9 – 5,05 21,38

20,25 – 22,65 13,85

22,65 – 25,00 11,39

Dengan dihasilkan daerah kerja yang lebih banyak, maka pemanfaatan sensor

pergeseran menggunakan fiber coupler dengan target cermin cekung untuk pengukuran

besaran-besaran fisis yang lain seperti suhu, strain bahan, dan ketinggian zat cair akan

lebih baik.

KESIMPULAN

Optimasi sensor pergeseran serat optik dapat dilakukan menggunakan fiber

coupler dengan target berupa cermin cekung. Secara teori dan eksperimen sensor

pergeseran menggunkan fiber coupler dengan target cermin cekung fokus 4,5 mm

dan 12 mm menghasilkan tiga buah daerah kerja sensor pada masing-masing

cermin dengan jangkauan 25 mm dengan step pergeseran 50 µm. Eksperimen

menunjukkan performa sensor yang baik dengan memberikan sensitivitas sebesar

25,31 mV/mm oleh cermin cekung fokus 4,5 mm pada rentang daerah kerja 9,9 –

13,85 mm.

DAFTAR PUSTAKA A. Rostami, M. Noshad, H. Hedayati, A. Ghanbari dan F. Janabi (2007), A Novel nad

High Precision Optical Displacement Sensor, IJCSNS 7, 311 – 316

Baruch M.C., Gerdt D.W., Adkins, (2002), Fiber Optic Couplers Displacement Sensor,

Procceding SPIE.

Page 61: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 57

Bitou, Youichi, 2009, High Accuracy displacement Metrology and Control Using Dual

Fabry-Perot Cavity with an Optcal Frequency Comb Generator, Precision

Engineering, Vol 33, hal 187-193.

Inaudi, D., Glisic, B., Field Aplication of of Fiber Optic and Temperature monitoring,

Proceeding International Conference Optoelectronic Sensor Based Monitoring In

Geo-Engineering, Nanjing, 1-6, 2005.

Krohn, D.A., 2000, Fiber Optic Sensor, Fundamental and Application, 3rd, ISA, New

York.

H.Z. Yang, K.S. Lim, S.W. Harun, K. Damayanti, H. Ahmad, 2010, Enhanced Bundle

Fiber Displacement Sensor Based on Concave Mirror, Sensors and Actuators A,

Vol 162, hal 8-12.

M. Yasin., Harun, W.S., Abdul Rasyid, H.A., Kusminarto, Karyono dan H.Ahmad, 2007,

The Performance of a Fiber Optic Displacement Sensor for Different Types of

Probe and Target, Laser Physics, Vol. 10, No. 1002, hal 1 – 4.

Samian, 2008, Directional Coupler sebagai Sensor Pergesran Mikro, Prosiding Seminar

Nasional Aplikasi Fotonika, Surabaya.

Samian dan Gatut Yudoyono, 2010, Aplikasi Multimode Fiber Coupler sebagai Sensor

Temperatur, Jurnal Fisika da Aplikasinya, Vol. 6, No.1, hal. 100104-1 - 100104-4.

Samian dan Supadi, 2011, Sensor Ketinggian Air Menggunakan Multimode Fiber

Coupler, Fisika dan Aplikasinya, Vol. 7, No.2, hal. 110203-1 - 110203-4.

Samian, Yono Hadi Pramono, Ali Yunus Rohedi, Febdian Rusydi, A.H. Zaidan (2009),

Theoretical and Experimental Study of Fiber-Optic Displacement Sensor Using

Multimode Fiber Coupler, Journal of Optoelectronics and Biomedical Materials,

Vol. 1, Issue 3, 303 – 308.

Page 62: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

58 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Deteksi Kanker Paru-Paru Dari Citra Foto Rontgen

Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation

Tri Deviasari Wulan1, Endah Purwanti 2, Moh Yasin3 1,2 Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

Abstrak

Pada penelitian ini dibangun suatu program aplikasi yang dapat mengelompokkan citra

foto rontgen paru-paru ke dalam kategori normal, kanker paru-paru atau penyakit paru lain. Proses

ini diawali dengan pengolahan citra yaitu cropping, resizing, median filter, BW labelling dan

ekstraksi fitur menggunakan transformasi wavelet haar. Ekstraksi fitur citra foto rontgen

menggunakan fitur energi dan koefisien setiap subband yang kemudian dijadikan masukan

jaringan saraf tiruan backpropagation. Parameter yang digunakan untuk proses pelatihan dan

pengujian menggunakan jaringan saraf tiruan backpropagation adalah hidden layer sebanyak 10,

learning rate 0,1 dan target eror 0,001. Hasil pengujian jaringan saraf tiruan backpropagation

dengan menggunakan data baru diperoleh tingkat akurasi sebesar 86,67 % dalam mendeteksi

keabnormalan dari citra foto rontgen paru.

Kata Kunci : Kanker Paru, Foto Rontgen, Backpropagation

Page 63: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 59

PENDAHULUAN

Kanker paru merupakan masalah kesehatan dunia. Dari tahun ke tahun, data

statistik di berbagai negara menunjukkan angka kejadian kanker paru cenderung

meningkat. Merokok merupakan penyebab utama dari sekitar 90% kasus kanker paru-

paru pada pria dan sekitar 70% pada wanita. Semakin banyak rokok yang dihisap,

semakin besar resiko untuk menderita kanker paru-paru

Salah satu pemeriksaan kanker paru-paru adalah dengan menggunakan

pemeriksaan radiologi atau lebih dikenal dengan Sinar-X (foto Rontgen). Prinsip kerja

dari alat ini adalah berdasarkan difraksi sinar-x. Pengenalan dengan sinar-X sederhana

merupakan teknik yang paling sering digunakan. Citra dari Sinar -X akan memberikan

hasil yang berbeda antara paru-paru yang sehat dan yang tidak sehat, seperti kanker paru-

paru sekaligus stadium dari kanker paru-paru tersebut.

Namun, pemeriksaaan kanker paru-paru dari citra hasil foto Rontgen masih

memiliki kekurangan yaitu beberapa praktisi medis seperti dokter-dokter spesialis paru-

paru masih mengandalkan pengamatan visual dalam pembacaan hasil foto rontgen

sehingga hasilnya sangat subjektif. Dokter spesialis paru-paru harus melakukan

pengamatan citra foto Rontgen secara teliti dan diagnosis yang benar-benar akurat dalam

deteksi kanker paru-paru pada pasien. Oleh karena itu diperlukan perangkat lunak yang

mampu mendeteksi kanker paru-paru sebagai pembanding dari kerja para praktisi medis,

sehingga perangkat lunak ini dapat membantu keakuratan penentuan deteksi kanker paru-

paru.

Jaringan saraf tiruan merupakan salah satu sistem pemrosesan informasi yang

didesain dengan menirukan cara kerja otak manusia dalam menyelesaikan suatu masalah

dengan melakukan proses belajar melalui perubahan bobot sinapsisnya. Metode

pembelajaran jaringan syaraf tiruan yang digunakan adalah backpropagation karena

metode ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang untuk melakukan pengenalan pola

(pattern recognition), klasifikasi citra, dan penerapannya di bidang diagnosa medik.

Jaringan saraf terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan masukan/input terdiri atas variabel

masukan unit sel saraf, lapisan tersembunyi terdiri atas 10 unit sel saraf, dan lapisan

keluaran/output terdiri atas 2 sel saraf. (kusumadewi, 2004)

Page 64: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

60 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar. 1 Arsitektur Backpropagation

Pada pengoperasian jaringan syaraf tiruan terdapat dua tahap operasi yang terpisah

yaitu tahap belajar (learning) dan tahap pemakaian (mapping). Tahap belajar merupakan

proses untuk mendapatkan bobot koneksi yang sesuai. Penyesuaian bobot dimaksudkan

agar setiap pemberian input ke neural menghasilkan output yang dinginkan.

METODE PENELITIAN

Dalam Penelitian ini digunakan data citra paru dari foto rontgen berupa softcopy.

Peralatan yang digunakan yaitu seperangkat komputer dengan software Matlab R2008a.

Data citra paru yang diperoleh terdiri dari 20 data normal, 20 data kanker paru-paru, 20

data penyakit paru lain yang digunakan untuk pelatihan data. Sedangkan untuk keperluan

pengujian data digunakan 5 data normal , 5 data kanker paru-paru dan 5 data penyakit

paru lain.

Gambar 2. Data Citra Paru (a) Normal, (b) Kanker Paru-Paru, (c) Penyakit Paru lain

Prosedur penelitian antara lain mengolah citra hasil foto rontgen terlebih dahulu

yang meliputi cropping untuk memotong citra paru pada bagian daerah paru-paru.

Kemudian resizing untuk mengubah dimensi citra sehingga memudahkan pada

Page 65: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 61

pengolahan selanjutnya. Tahap thresholding digunakan untuk mengubah citra menjadi

biner. Langkah selanjutnya adalah filter median untuk menghilangkan noise-noise pada

citra hasil thresholding. Selanjutnya dilakukan BW Labelling untuk menandai objek-

objek pada citra hitam putih yang memiliki nilai intensitas yang hampir sama. Setelah itu

ekstraksi fitur menggunakan transformasi wavelet untuk mendapatkan fitur citra yang

berupa energi dan koefisien wavelet citra. Hasil ekstrasi fitur citra tersebut digunakan

menjadi masukan jaringan saraf tiruan backpropagation.

HASIL UJICOBA DAN PEMBAHASAN

Pada proses pelatihan digunakan 60 data citra paru yang berukuran 2010x2010

pixel, terdiri dari data normal, data kanker paru-paru dan data penyakit paru lain.

Sebelum dilakukan pelatihan data terlebih dahulu dilakukan proses pengolahan citra pada

citra paru. proses pengolahan citra yang dilakukan antara lain yaitu cropping untuk

memotong citra pada bagian daerah paru dan resizing untuk mengubah dimensi citra

menjadi 320x320 pixel. Langkah selajutnya adalah thresholding untuk mengubah citra

menjadi citra biner sehingga dari proses ini backgroud dari citra dapat dihilangkan.

Setelah itu dilakukan proses filter median untuk menghilangkan noise-noise kecil dari

hasil thresholding. Langkah terakhir dari preprosessing ini adalah BW Labelling untuk

menandai objek-objek yang ada pada citra yang memiliki Hasil dari preprosessing ini

ditunjukkan pada gambar 3. Ekstraksi fitur citra menggunakan transformasi wavelet haar

tujuh level untuk mendapatkan fitur energi dan koefisien wavelet setiap subband pada

masing-masing level sehingga didapatkan matriks 1x66 pixel sebagai masukan

backpropagation.

Gambar 3. Hasil Preprosessing Citra Paru

Page 66: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

62 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Pelatihan data dilakukan dengan memvariasi hidden layer dan jumlah epoh

untuk mendapatkan arsitektur jaringan yang hasil performance (MSE) paling mendekati

target eror 0,001. Dari hasil variasi ini di peroleh parameter-parameter yang digunakan

pada proses training yaitu hidden layer = 10, epoh = 3000, learning rate=0,1 dan target

eror = 0,001. Tingkat akurasi yang diperoleh sebesar 100 %

Gambar 4 Grafik antara Performance (MSE) dan Variasi Jumlah Epoh dengan Seluruh

Variasi Hidden Layer

Gambar 4. Grafik antara MSE dan 3000 epoh pada hidden layer

Data yang digunakan untuk proses pengujian ini sebanyak 15 data yang terdiri dari

5 data normal, 5 data kanker paru-paru dan 5 data penyakit paru lain. Parameter-

parameter dari hasil pelatihan digunakan untuk pengujian data baru yaitu 10 hidden layer,

3000 epoh, learning rate 0,1. Dari pengujian data menggunakan parameter-parameter

tersebut tingkat akurasi yang dihasilkan adalah sebesar 86,67 %. Tabel 1 menunjukkan

Page 67: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 63

akurasi data pengujian dengan nilai 1 untuk kondisi normal, nilai 0 untuk kondisi kanker

paru-paru dan nilai -1 untuk kondisi penyakit paru lain.

Tabel 1. Tingkat Akurasi Data Pengujian

Pada penelitian ini juga telah dibuat suatu tampilan apliksi interface seperti pada

Gambar 5. Layar tersebut berguna untuk pengguna mendeteksi hasil foto rontgen thorak

paru-paru dan hasil dari pengolahan citra serta hasil ekstraksi fitur yang dijadikan

masukan pada jaringan saraf tiruan metode backpropagation. Dari hasil pengujian ini

dapat diketahui hasil citra tersebut masuk kedalam kelompok normal, kanker paru-paru

atau penyakit paru lain.

Gambar 5. Tampilan Aplikasi

Page 68: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

64 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

KESIMPULAN

1. Perancangan sistem perangkat lunak menggunakan jaringan saraf tiruan

backpropagation berdasarkan citra foto rontgen dilakukan dengan mengolah

citra menggunakan beberapa metode yaitu thresholding, median filter, BW

Labelling dan transformasi wavelet haar. Ekstraksi fitur citra paru

menggunakan fitur energi dak koefisien setiap subband yang kemudian

dijadikan masukan jaringan saraf tiruan backpropagation.

2. Parameter yang digunakan untuk proses pelatihan dan pengujian menggunakan

jaringan saraf tiruan backpropagation adalah hidden layer sebanyak 50,

learning rate 0,1 dan target eror 0,01.Hasil pengujian jaringan saraf tiruan

backpropagation dengan menggunakan data baru diperoleh tingkat akurasi

sebesar 86,67 % dalam mendeteksi keabnormalan dari citra foto rontgen paru.

DAFTAR PUSTAKA Kiki & Kusumadewi S. 2004. Jaringan Saraf Tiruan dengan Metode Backpropagation

untuk Mendeteksi Gangguan Psikologi. Jurusan Teknik Informatika. Universitas

Islam Indonesia : Yogyakarta

Muhtadan & Harsono Djiwo. 2008. Pengembangan Aplikasi Untuk Perbaikan Citra

Digital Film Radiologi.Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN: Yogyakarta.

Putra Darma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Prasetyo Eko. 2010. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya Menggunakan Matlab.

Penerbit Andi : Yogyakarta

Suyatno Ferry. 2008. Aplikasi Radiasi Sinar-X di Bidang Kedokteran untuk Menunjang

Kesehatan Masyarakat. Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir BATAN: Banten.

Saksono H.T, Rizal Ahmad & Usman Koredianto. 2010. Pendeteksian kanker Paru-Paru

Dengan Menggunakan Transformasi Wavelet dan Metode Linear Discriminant

Analysis. Teknologi Elektro. Institute Teknologi Telkom: Bandung

Page 69: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 65

Rancang Bangun Oksimeter Digital Berbasis Mikrokontroler

ATMega16 Guruh Hariyanto1, Welina Ratnayanti K. 2, Franky Chandra S.A 3 ,

1,3 Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga 2 Program Studi S1 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRAK

Oksimeter merupakan alat yang digunakan untuk memonitor keadaan saturasi oksigen

dalam darah (arteri) pasien, untuk membantu pengkajian fisik pasien, tanpa harus melalui analisa

tes darah. Kadar saturasi oksigen darah merupakan parameter vital untuk mengetahui adanya

disfungsi pernafasan dan mencegah lebih dini adanya kekurangan oksigen tingkat selular

metabolisme yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organ pada pasien kritis. Sensor

oksimeter bekerja menggunakan prinsip transmisi cahaya tampak dan infrared yang ditembakkan

pada jaringan organ jari tangan atau daun telinga. Intensitas cahaya yang diteruskan kemudian

ditangkap oleh sensor fototransistor. Pada penelitian ini menggunakan sensor fototransistor

TEMT6000 yang memiliki nilai kepekaan yang lebih akurat dibandingkan fotodioda. Selain itu,

harganya yang terjangkau, mampu menekan biaya pembuatan lebih murah. Penelitian ini juga

menggunakan tiga macam warna LED yaitu, merah, biru dan hijau sebagai sumber cahaya

transmisi. Berdasarkan hasil yang didapatkan, ternyata LED merah lebih baik untuk menerobos

jaringan organ jari tangan. Alat penelitian ini mampu membedakan hasil pengukuran antara pasien

satu dengan yang lain dengan nilai eror 5,7 % dan akurasi 97 %

Kata kunci : oksimeter, fototransistor, saturasi oksigen

Page 70: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

66 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi elektronika berkembang pesat hingga merambat ke

bidang elektronika medis. Elektronika medis dibuat untuk berbagai macam tujuan,

diantaranya monitoring instrument, diagnostic instrument, therapeutic instrument, dan

assistive devices. Monitoring instrument digunakan untuk memperoleh informasi rekam

medis pasien dan menampilkan data melalui media display. Salah satu contoh monitoring

instrument adalah oksimeter.

Oksimeter merupakan salah satu metode penggunaan alat untuk memonitor

keadaan saturasi oksigen dalam darah (arteri) pasien, untuk membantu pengkajian fisik

pasien, tanpa harus melalui analisa tes darah. Oksimeter merupakan salah satu alat yang

sering digunakan di rumah sakit saat dilakukan proses pembedahan untuk mengetahui

saturasi oksigen dalam darah. Saturasi adalah persentase dari pada hemoglobin yang

mengikat oksigen dibandingkan dengan jumlah total hemoglobin yang ada di dalam darah

(Andrey, 2005). Cara kerja oksimeter yaitu mengukur intensitas cahaya LED yang

dipaparkan di permukaan kulit jari setelah melewati kulit dan berinteraksi dengan sel

darah merah. Alat ini bertujuan untuk mengukur saturasi oksigen darah dengan

observasi absorpsi gelombang optik yang melewati kulit dan berinteraksi dengan sel

darah merah. Dengan membandingkan absorpsi cahaya, alat tersebut dapat menentukan

persentase Hb yang disaturasi (Srie, 2003).

Oksimeter termasuk alat kategori non-invasive, artinya oksimeter tidak

memerlukan sampel darah yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Hal ini sangat

penting pada situasi perubahan mendadak kadar oksigen darah, karena seperti yang kita

ketahui bahwa nilai normal saturasi oksigen hanya berkisar 85%-100%. Jika nilai

pengukuran dibawah nilai 85% menandakan bahwa jaringan tidak mendapatkan oksigen

mencukupi sehingga memerlukan tindakan lanjut. Aplikasi oksimeter sangat banyak

diantaranya pada lingkup perawatan di rumah sakit, lingkungan diagnostik dan di tempat

dimana dibutuhkan pengamatan saturasi oksigen.

Pada penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh Andrey (2011) tentang

oksimeter berbasis mikrokontroler, menjelaskan rancang bangun oksimeter digital dengan

sensor oxisensor. Ada beberapa hal yang perlu ditambah dalam alat tersebut yaitu sistem

alarm. Hal ini sangat penting karena berfungsi sebagai indikator untuk mengingatkan

petugas kesehatan jika terjadi penurunan saturasi oksigen dibawah kadar 80%.

Penambahan alarm akan menambah nilai kegunaan oksimeter yang lebih otomatis dan

cepat respon terhadap keselamatan pasien. Dengan menggunakan rangkaian buzzer yang

disambungkan ke mikrokontroler, parameter alarm dapat diatur dengan baik.

Page 71: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 67

Di Indonesia banyak sekali distributor yang menjual oksimeter dengan harga

yang relatif masih mahal. Hal ini dikarenakan ketersediaan oksimeter masih mengimpor

barang dari luar Indonesia. Berdasarkan uraian sebelumnya, oksimeter masih

memungkinkan untuk dibuat dengan komponen dalam negeri karena sediaan bahan

penyusun sensor fotodetektor seperti LED cahaya tampak dan LED inframerah terdapat

dalam jumlah besar. Berawal dari masalah itulah penulis melakukan penelitian untuk

membuat oksimeter dengan alarm dari komponen lokal sehingga biaya pembuatan

menunjang hasil cipta dengan harga yang lebih terjangkau. Harapan setelah terwujudnya

alat ini adalah mampu memicu kreasi bangsa untuk membuat alat elektronik medis

dengan berbagai macam modifikasinya. Selain itu melepas ketergantungan terhadap

kebutuhan alat medis buatan luar Indonesia.

METODE PENELITIAN 1. Pulse Oximetry

Pulse Oximetry berfungsi mengamati saturasi oksigen darah. Hal ini dilakukan

untuk menjamin kadar oksigen cukup pada pembuluh. Biasanya dipakai pada pasien yang

mengalami under anesthesia, neonates (bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari

(Stoll, 2007), pasien yang mengalami kondisi buruk (critically). Alat ini menampilkan

frekuensi denyut jantung dan saturasi oksigen, parameter yang menjadi andalan dan

sangat berguna untuk mengetahui kondisi pasien saat pemeriksaan. Oksimeter termasuk

alat medis non invasive dan portabel. Proses penggunaan probe sensor dengan menjepit

bagian ujung jari seperti pada Gambar 1

Gambar 1. Probe Pulse Oximetry

Sensor dibangun dengan menggunakan LED (Light Emitting Diode) berwarna

merah dan LED infrared. Perlu diketahui hemoglobin yang mengandung oksigen akan

menyerap panjang gelombang cahaya 910 nm dan hemoglobin yang tidak mengikat

Page 72: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

68 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

oksigen menyerap panjang gelombang cahaya 650 nm sehingga hal inilah yang mengapa

LED merah dan inframerah digunakan sebagai komponen utama pembangun sensor

karena kedua LED ini memiliki panjang gelombang yang sesuai kriteria.

2. Prinsip Dasar Oksimeter

Sensor pulse oximetry menggunakan cahaya dalam analisis spektral untuk

pengukuran saturasi oksigen, yaitu deteksi dan kuantifikasi komponen (hemoglobin)

dalam larutan. Saturasi oksigen adalah persentase total hemoglobin yang membawa atau

mengandung oksigen. Probe umumnya ditempatkan jari atau daun telinga. Sebuah

fotodetektor pada sisi lain mengukur intensitas cahaya yang berasal dari transmisi sumber

cahaya yang menembus jari. Transmisi cahaya melalui arteri adalah denyutan yang

diakibatkan pemompaan darah oleh jantung (Hill et al, 2006)

Alat oksimeter menggunakan LED merah dan inframerah bersama-sama dengan

fotodetektor untuk mengatur arus di dalam rangkaian relatif terintegrasi untuk penyerapan

cahaya yang melalui jari. Pengurangan cahaya dapat dilihat seperti Gambar 2 dan dapat

dibagi dalam tiga bagian besar : pengurangan cahaya akibat darah arteri, pengurangan

cahaya akibat darah vena, dan pengurangan darah akibat jaringan. Pengurangan cahaya

akibat darah vena dapat menyebabkan beberapa sinyal akibat perubahan di dalam aliran

darah dan juga perubahan akibat level oksigen darah. Pengurangan cahaya yang

disebabkan aliran darah vena dan jaringan menciptakan suatu sinyal yang relatif stabil

dan sinyal ini disebut dengan komponen DC.

Gambar 2 Transmisi Cahaya melalui Jari Tangan

Semakin relefan komponen pengurangan cahaya di dalam oksimeter adalah

sinyal AC yang ditimbulkan oleh aliran denyut dari darah arteri. Penyerapan lebih dari

spektrum cahaya inframerah relatif ke spektrum cahaya merah adalah indikasi dari

oksigen saturasi yang tinggi dan absorpsi lebih dari spektrum cahaya merah relatif ke

spektrum cahaya inframerah adalah indikasi dari oksigen saturasi yang rendah.

Page 73: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 69

3. Penyerapan Cahaya oleh Hemoglobin

Terdapat dua jenis Hb berdasarkan kandungan oksigen didalamnya, diantaranya

oxyhemoglobin yaitu hemoglobin yang mengikat okigen dan deoxyhemoglobin adalah

hemoglobin yang tidak mengandung okigen.

Gambar 3 Grafik Perbedaan Hemoglobin Menyerap Cahaya

(Prasanna, 2011)

. Dari Gambar 3 dapat dianalisis bahwa cahaya LED merah lebih banyak diserap

oleh deoxyhemoglobin dan cahaya LED Inframerah lebih banyak diserap oxyhemoglobin.

Rasio perbedaan penyerapan cahaya tersebut menjadi acuan untuk menentukan saturasi

oksigen. Rasio (R) adalah jumlah perbandingan penyerapan cahaya infrared dan cahaya

merah. Nilai rasio dapat dihitung dengan rumus 2.1 [1].

SpO2=[𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻2]

[𝐻𝐻𝐻𝐻 ]+[𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻𝐻2] ....................................2.1

𝑅𝑅 = 𝑡𝑡𝑎𝑎660/𝑑𝑑𝑎𝑎660𝑡𝑡𝑎𝑎940/𝑑𝑑𝑎𝑎940

....................................2.2

Nilai SpO2 dapat dihitung dengan memasukkan nilai R pada persamaan linier 2.3 [2].

SpO2 = 110-25 x R ....................................2.3

4. Perancangan

Dibutuhkan beberapa modul rangkaian untuk proses pengolahan sinyal.

Perancangan didasari pada Gambar 3.

Page 74: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

70 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 4. Diagram Blok Oksimeter

LED Merah dan IR perlu diberi setting timer agar LED menyala berkedip dengan

frekuensi 1000Hz. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kecepatan denyut aliran darah pada

arteri. Cahaya yang diteruskan akan ditangkap oleh fototransistor TEMT6000 yang nilai

keluaran berupa tegangan analog. Fototransistor TEMT6000 ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Sensor TEMT6000

Keluaran dari fototransitor kemudian dikuatkan dengan amplifier cascade.

Amplifier ini memiliki penguatan sebanyak tiga kali yang terdiri dari low pass filter7Hz,

high pass filter7Hz, kopling dioda germanium dan kopling kapasitor untuk memblok

sinyal AC dan DC pada karakter penguatan masing-masing.

Page 75: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 71

Gambar 6. Rangkaian Penguat Cascade

Keluaan tegangan dari amplifier akan diolah di rangkaian sample and hold.

Rangkaian menggunakan IC CD4066 (quad bilateral switch) yang memiliki empat

gerbang input dan empat gerbang output. Sinyal yang akan masuk disimpan terlebih

dahulu sebelum dikeluarkan selama periode tertentu, sesuai dengan input pada pin ctrl

masing-masing. Selain itu, IC CD4066 perlu ditambah Input buffer amplifier

yang mempunyai impedansi input yang tinggi. Hal ini berfungsi untuk mengurangi

pembebanan pada tahap sebelumnya dan mempunyai impedansi output yang rendah

untuk memungkinkan pengisian muatan dengan sangat cepat pada hold capacitor.

Gambar 7. Rangkaian Sample and Hold

Terdapat dua keluaran tegangan dari rangkaian sample adn hold yang kemudian

dihubungkan pada pin ADC pada mikrokontroler agar tegangan yang dihasilkan akan

dikonversi menjadi data digital dan dihitung dengan rumus ratio saturasi oksigen

Page 76: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

72 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian ini mengambil data perubahan hasil pengukuran selama interval

satu menit sebanyak tiga kali pengukuran di lima jari yang berbeda. Jari yang

dikuru yaitu jari telunjuk, jari jempol, jari tengah, jari manis, jari kelingking.

Adapun data yang didapatkan adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Nilai Pengukuran Spo2 Jari Tangan

No

Spo2

Telunjuk

(%)

Spo2 Jari

Tengah

(%)

Spo2 Jari

Manis

(%)

Spo2

Jempol

(%)

Spo2 Jari

Kelingking

(%)

1 94,16 95 92,2 92,4 90,5

2 92,5 92,94 91,6 91,89 95,25

3 93,7 90,8 92,6 91 89,86

Σ 93,45 92,91 92,2 91,76 91,87

SD 0,857 2,100 0,48 0,708 2,944

Eror 0,917 2,260 0,52 0,772 3,205

Dari data tersebut dapat dianalisa bahwa pengukuran spo2 pada jari telunjuk

menunjukkan angka pengukuran paling besar dengan pengukuran yang lain.

Tetapi secara keseluruhan, jari yang lain menunjukkan hasil pengukuran yang

memiliki selisih yang relatif kecil. Perbedaan ini bisa disebabkan panjang lintasan

tranmisi cahaya dari LED yang berbeda pada setiap jari. Semakin panjang lintasan

transmisi cahaya maka semakin banyak cahaya yang diserap sehingga sedikit saja

cahaya yang diteruskan. Jari jempol yang memiliki struktur lapisan jaringan yang

lebih tebal atau panjang menunjukkan hasil pengukuran yang paling kecil. Selain

itu ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa jari telunjuk menghasilkan

pengukuran yang lebih besar dibandingkan dengan jari kelingking. Hal ini bisa

disebabkan seperti ukuran jari yang terlalu besar, perubahan kadar Hb, aktivitas

berlebihan pada saat pengukuran dan desain probe sensor yang kurang sempurna.

Selain iu alat hasil penelitian dibandingkan dengan Mindrey PM50,

didapatkan hasil sebagai berikut :

Page 77: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 73

Tabel 2. Hasil Perbandingan Pengukuran Alat

Dari hasil tabel 2. Dapat dilihat bahwa alat masih kurang stabil dikarenakan

adanya nilai toleransi eror pada komponen yang digunakan sehingga proses

pembacaan ADC masih sering berubah-ubah. Selain itu bisa disebakan kondisi

pasien yang kurang tenang saat proses pengukuran. Oksimeter berbasis

mikrokontroler ATMega16 telah dibuat dan dapat bekerja dengan cukup baik.

Alat penelitian mampu membedakan hasil pengukuran antara pasien satu dengan

yang lain dengan nilai error 2,774 % dan akurasi 97 %

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam

penelitian ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. LED merah mampu diserap sebagian oleh jaringan jari dan sebagiannya

lainnya lagi ditransmisikan sehingga mampu ditangkap oleh detekor

TEMP6000. Sedangkan LED hijau dan biru tidak mampu ditransmisikan

sehingga tidak terdeteksi oleh detektor.

2. Oksimeter berbasis mikrokontroler ATMega16 telah dibuat dan dapat

bekerja dengan cukup baik. Setelah dilakukan peneletian, didapatkan data

dengan akurasi terbaik alat dalam mengukur SpO2 adalah 97 % dan eror

terbesarnya adalah 5,8 %.

3. Pengukuran SpO2 di lima jari yang berbeda ternyata terdapat perbedaan

yang relatif kecil. Hal ini bisa disebabkan panjang lintasan transmisi

cahaya dari LED yang berbeda pada setiap jari.

Page 78: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

74 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

DAFTAR PUSTAKA

Adil, Ratna dan M.Rochmad.2009. Design and Analyze Detector Stress Level Based

Oxihaemoglobin (HbO2) in Blood. ICICI-BME 2009 Proceedings.Surabaya: PENS.

Andrianto, Heri.2008. Pemrogaman Mikrokontroler AVR ATMEGA16. Bandung

:Informatika bandung.

Atmel Corporation.2010.ATMega16. Tersedia : www.atmel.com. [7 Juli 2010].

Hadi, Mokh. Sholihul.2008. Mengenal Mikrokontroler AVR

ATMega16.IlmuKomputer.com. Diakses[19 Juni 2012]

Huldani.2010.Pengaruh Kadar Hemoglobin dan Jenis Kelamin terhadap

Konsumsi Oksigen Maksimum Siswa-Siswi Pesantren Darul

Hijrah.Banjarmasin:Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat

Banjarbaru.

Khandpur, R.S.2005.Biomedical Instrumentation Technology and

Aplications.USA: The Mebraw-Hill Companies.[1]

Matviyenko, Serhiy.2010.Pulse Oximetry-Standard. San Jose: Cypress Semiconductor

Corporation.

Parumaanor, John Tinsy.2008. Visible Versus Near-Infrared Light Penetration Depth

Analysis In An Intralipid Suspension As It Relates To Clinical Hyperspectral

Images.Arlington : The University of Texas.

Putra, Andrey Aranta.2006.Rancang Bangun Pulse Oximetry Digital Bebasis

Mikrokontroller.Surabaya: PENS.

Putri, Tyan Resa.2010.Photodiode Dan LED [Online].Tersedia :

http://tyanretsa.blogspot.com. Diakses[20 Desember 2011 ]

Royn.2011.Fototransistor.[Online].Tersedia: http://Sinelectronicblogspot.com.

Diakses[21 Juli 2012]

Thai Li, Yun.2007. Pulse Oximetry. Guildford. Department of Electronic

Engineering : University of Surrey.

Page 79: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 75

Town, Neil.2001.Pulse Oximetry.Journal Medical Electronics.Michaelmas

Term.2001.

Webster, J.G.1997. Design of Pulse Oximeters, Intitute of Physics Publishing Bristol

and Philadelphia: Medical Science Series.[2]

Wongjan, Anan dan Amphawan Julseree, members.2009. Continuous Measurements

of ECG and SpO2 for Cardiology Information System . Proceedings of the International

MultiConference of Engineers and Computer Scientists 2009 Vol II: Hongkong

Yanda, Srie. 2003. Perbandingan Nilai Saturasi Oksigen Pulse oximetry dengan Analisa

Gas Darah Arteri pada Neonatus yang Dirawat di Unit Perawatan Intensif Anak

.Medan : USU Digital Library.

Yasmin, Nilu Gede dan Christantie Effendy. 2002. Keperawatan Medikal Bedah :

Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC.

Young, IvenH.2003.Oximetry.[Online].Tersedia:www.australianprescriber.com/ [11

Oktober 2011]

Supriyanto.2007.Perambatan Gelojgmbang Elektromagnetik.Jakarta:Departemen

Fisika Universitas Indonesia.

Syahrul.2006.LED, Light Emitting Diode: Teknologi Dan

Perkembangannya.Bandung : Universitas Komputer Indonesia.

Page 80: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

76 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Desain Sistem Deteksi Kerusakan Jaringan Dermis

dari Citra Mikroskop Digital Menggunakan Metode

Ekstraksi Fitur

Kurniastuti1, Y. G. Y. Yhuwana2, S. Soelistiono2, R. Apsar1,2

1Prodi S1 Teknobiomedik F.Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya 2Prodi S1 Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mendesain sistem deteksi kerusakan jaringan kulit mencit

(mus musculus) akibat paparan laser Nd:YAG dengan dosis energi 18,8 – 53,8 J/cm2 dari citra

mikroskop digital. Kerusakan jaringan kulit akibat paparan laser Nd:YAG berupa pendarahan

(bleeding) dan lubang. Sampel citra yang digunakan adalah citra jaringan normal dan citra jaringan

rusak. Desain sistem menggunakan pemograman Delphi dengan metode ekstraksi fitur warna dan

segmentasi warna. Ekstraksi fitur warna yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga buah yaitu

fitur warna jaringan normal, fitur warna pendarahan (bleeding), dan fitur warna lubang. Metode

ekstraksi fitur warna dilakukan dengan menggunakan histogram untuk mengetahui intensitas

dengan nilai frekuensi tertinggi secara teliti. Segmentasi warna menghasilkan daerah-daerah pada

citra yang termasuk dalam rentang intensitas fitur. Hasil uji program penentuan jaringan kulit

normal dan jaringan kulit rusak pada penelitian ini menunjukkan bahwa 25 citra dari 40 citra yang

digunakan berhasil diidentifikasi sehingga tingkat keakuratan program sebesar 62,5%. Sedangkan

pada hasil uji program pengukuran diameter, tingkat keakurasian sebesar 38,84% hingga 68,14%.

Kata kunci : Laser Nd:YAG, Ekstraksi Fitur, Segmentasi warna, Delphi

Page 81: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 77

PENDAHULUAN Kerusakan jaringan kulit akibat paparan laser Nd:YAG secara berlebih akan

menyebabkan kulit tidak berfungsi dengan baik, sehingga perlindungan tubuh terhadap

gangguan dari luar akan melemah. Kerusakan jaringan kulit yang terjadi akibat paparan

laser Nd:YAG berupa pendarahan (bleeding) dan lubang (Pribadi, 2011). Hal itu

disebabkan karena adanya fenomena interaksi yang timbul saat pemaparan laser Nd:YAG

terhadap jaringan kulit. Fenomena interaksi tersebut adalah fotokimia (photochemical),

fototermal (phototermal), fotoablasi (photoablastion), plasma-induced ablation dan

fotoakustik (photodisruption). Fenomena interaksi yang terjadi pertama kali adalah

fotokimia (photochemical) yang menyebabkan terjadinya efek kimia dan reaksi antara

makrokolekul dan jaringan saat energi laser diserap oleh jaringan kulit. Setelah terjadi

efek kimia, temperatur pada jaringan akan meningkat (fototermal) yang menyebabkan

terjadinya penguapan molekul air pada jaringan kulit dan letupan jaringan kulit yang

ditandai dengan penyemburan pecahan-pecahan jaringan kulit serta proses ablasi

(fotoablasi). Proses ablasi tersebut akan diikuti dengan pembentukan plasma (plasma-

induced ablation) dan pembangkitan shock wave (photodistruption) yang menyebabkan

munculnya lubang pada jaringan kulit (Apsari, 2009).

Dalam penelitian Pribadi (2011) dilakukan pemaparan laser Nd:YAG terhadap

jaringan kulit mencit (mus musculus) dengan tegangan pumping sebesar 540-620 V dan

740 V dan dosis energi sebesar 18,8 J/cm2–53,8 J/cm2. Dengan perlakuan perbedaan

besar dosis energi menyebabkan dampak yang muncul pada jaringan kulit akan berbeda.

Hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa tegangan pumping yang menyebabkan

kerusakan pada jaringan kulit adalah 590–620 V dan 740 V serta dosis energi sebesar

29,5-53,8 J/cm2. Dalam penelitian ini, digunakan preparat jaringan kulit mencit (mus

musculus) baik jaringan normal maupun jaringan rusak yang merupakan hasil penelitian

Pribadi (2011) sebagai sampel image yang diteliti.

Penelitian ini diawali dengan mendapatkan citra digital dari preparat jaringan

kulit mencit (mus musculus). Pengambilan citra dilakukan dengan menggunakan

mikroskop digital. Mikroskop digital merupakan mikroskop cahaya yang telah

dimodifikasi dengan kamera digital dan telah terhubung dengan perangkat lunak

komputer (Fifin, 2010). Pada umumnya, mikroskop digital telah dilengkapi dengan

program yang men-capture video menjadi citra digital. Akan tetapi dalam penelitian ini,

program tersebut tidak digunakan sehingga diperlukan bantuan sebuah frame grabber.

Frame grabber merupakan program yang fungsinya mengubah video menjadi citra digital

(Gunadhi, 2002). Dalam penggunaannya, frame grabber dapat digunakan apabila driver

Page 82: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

78 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

kamera telah terinstall sebelumnya. Frame grabber dibuat menggunakan pemograman

Delphi. Hasil akhir dari frame grabber adalah citra digital yang merupakan citra kontiyu

f(x,y) yang sudah didiskritkan baik koordinasi spasial maupun tingkat kecerahannya.

Citra digital yang dihasilkan berupa citra berwarna. Pada citra berwarna, warna piksel

yang ditampilkan pada layar monitor merupakan campuran dari tiga warna dasar yaitu

merah, hijau dan biru dengan nomor warna dasar mulai dari 1 hingga 3. Setiap nomor

warna dasar menginformasikan intensitas dalam menyusun suatu warna yang nilainnya

berkisar dari 0 hingga 255 pada resolusi 8 bit (Sutoyo et. al, 2009).

Untuk mempermudah proses pengidentifikasian lubang, dilakukan metode

ekstraksi fitur, proses untuk mendapatkan fitur-fitur yang membedakan suatu objek dari

objek yang lain (Putra, 2010). Ekstraksi fitur sendiri terbagi menjadi tiga macam yaitu

ekstraksi fitur bentuk merupakan ekstraksi berdasarkan karakter konfigurasi permukaan

yang diwakili oleh garis dan kontur, ekstraksi fitur tekstur merupakan ekstraksi yang

didasarkan pada fitur tekstur sedangkan ekstraksi fitur warna merupakan ekstraksi yang

didasarkan pada fitur warna. Pada citra berwarna yang memiliki komposisi warna R, G,

dan B maka ekstraksi fitur warna dilakukan pada tiga warna (Nahari, 2010). Ekstraksi

fitur warna menggunakan histogram. Histogram citra adalah grafik yang menggambarkan

penyebaran nilai-nilai intensitas piksel dari sautu citra atau bagian tertentu di dalam citra.

Pada citra berwarna 24 bit, histogram terdiri dari 3 buah histogram warna dasar yaitu

histogram red (R), green (G), dan blue (B) dengan masing-masing histogram terdiri dari

nilai tingkat keabuan 0–255. Contoh sebuah histogram citra disajikan pada Gambar 2.9

dengan i adalah intensitas 0 – 255 dan hi adalah histogram dari intensitas i.

Gambar 2.9 Histogram citra (Putra, 2010)

Dalam penelitian ini, ekstraksi fitur yang digunakan adalah ekstraksi fitur warna

disebabkan dalam citra digital jaringan kulit terdapat tiga fitur yang digunakan yaitu fitur

Page 83: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 79

jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur lubang. Ketiga fitur tersebut

memiliki tingkat keabuan yang berbeda. Metode selanjutnya adalah segmentasi warna

yang merupakan proses membagi citra menjadi daerah-daerah (region) berdasarkan warna

(Gonzales, 2008). Daerah yang dimaksud adalah sekumpulan piksel yang berdekatan

yang memiliki sifat yang sama. Sedangkan warna merupakan sebuah fitur dalam ruang

warna (color-space) 3-dimensi RGB yang berisi informasi yang berkenaan dengan

distribusi spectral cahaya.

Pada citra berwarna, fitur yang paling umum digunakan dalam proses segmentasi

adalah fitur warna seperti yang dikemukakan oleh Saikumar et. al (2011). Phung et. al

(2003) melakukan penelitian mengenai segmentasi terhadap kulit manusia. Fitur yang

digunakan adalah fitur warna. Untuk mendapatkan daerah kulit, menggunakan rentang

warna kulit yang dihasilkan dari segmentasi warna. Presentase error dalam segmentasi

warna relatif kecil yaitu 15,3%. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan

segmentasi warna dengan menggunakan rentang intensitas fitur jaringan normal,

pendarahan (bleeding), dan lubang yang dihasilkan dari proses ekstraksi fitur.

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan mikroskop digital untuk mendapatkan citra

digital jaringan kulit yang berupa preparat. Komputer yang digunakan adalah Core 2 Duo

dengan sistem operasi Windows 7. Program dibuat dengan menggunakan bahasa

pemograman Borland Delphi 6 dan Matrox Inspector 2.1 sebagai software pendukung.

Data merupakan hasil penelitian Pribadi (2011) sejumlah 40 buah dengan jaringan kulit

normal sebanyak 20 buah dan jaringan kulit rusak sebanyak 20 buah.

Prosedur penelitian antara lain mengolah data yang berupa preparat menjadi citra

digital dengan menggunakan frame grabber, citra tersebut kemudian di ekstraksi fitur

warna pada intensitas R (red), G (green), dan B(blue) dengan menggunakan histogram

untuk mengetahui rentang intensitas tiap fitur yang ada dalam citra yang dilakukan

dengan penge-crop-an fitur sebelumnya. Fitur yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fitur jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur lubang.langkah selanjutnya

adalah segmentasi warna untuk mengetahui daerah fitur. Dari segmentasi warna dapat

diketahui citra yang termasuk citra jaringan kulit normal dan citra jaringan kulit rusak

dengan menggunakan ada atau tidaknya fitur pendarahan (bleeding) dan fitur lubang.

Citra yang termasuk jaringan kulit rusak kemudian dilakukan perhitungan diameter

lubang menggunakan fitur lubang.

Page 84: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

80 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

HASIL DAN PEMBAHASAN Frame grabber untuk mendapatkan citra digital dan tampilan desain disajikan

pada Gambar 1. Desain frame grabber diawali dengan pemilihan perangkat kamera yang

akan digunakan. Video akan muncul komponen VideoWindow1 yang secara real-time

terhubung secara otomatis. Video real-time dimanfaatkan untuk mengatur letak preparat

agar kamera fokus pada bagian preparat yang akan diamati sehingga terlihat jelas.

Capture video yang merupakan proses pemindahan file video menjadi file image dapat

dilakukan dan image hasil capture kemudian akan terlihat pada DBImage1. Pada

penyimpanan image, user dapat meng-klik tombol save image yang secara otomatis akan

menyimpan image dalam bentuk file bmp. Setelah didapatkan citra digital jaringan kulit,

dilakukan ekstraksi fitur warna dengan menggunakan histogram dengan tampilan

program seperti yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 1. Tampilan desain frame grabber

Gambar 2. Tampilan desain ekstraksi fitur warna dengan histogram

Page 85: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 81

Tujuan dari proses ekstraksi fitur adalah mengetahui rentang fitur citra dengan cara

karakterisasi citra menggunakan histogram. Proses untuk mendapatkan karakteristik citra

menggunakan fitur citra yaitu fitur jaringan normal, fitur pendarahan (bleeding), dan fitur

lubang. Fitur citra di-crop dan ditampilkan dalam bentuk histogram dengan menggunakan

program ekstraksi fitur warna dengan histogram. Pada penelitian ini dilakukan segmentasi

warna pada R, G, dan B sehingga histogram yang ditampilkan berjumlah 3 buah yaitu

histogram R, histogram G, dan histogram B. Dari histogram tersebut, akan diketahui

frekuensi kemunculan tiap intensitas pada fitur citra, dan data yang diambil adalah

intensitas dengan frekuensi kemunculan tertinggi. Untuk menghindari kesalahan dalam

penentuan intensitas dengan frekuensi kemunculan tertinggi, maka data histogram

dipindah ke dalam bentuk tabel. Hasil run program ekstraksi fitur warna dengan

histogram menghasilkan intensitas frekuensi tertinggi pada tiap fitur citra. Tabel 1, Tabel

2, Tabel 3 menunjukkan rata-rata intensitas frekuensi tertinggi pada fitur jaringan normal,

fitur pendarahan (bleeding) dan fitur lubang.

Tabel 1. Rata-rata intensitas frekuensi tertinggi fitur jaringan normal

Tegangan

Pumping (V)

Intensitas

R G B

540 153 115 98

550 175 125 111

560 185 143 122

570 180 85 109

580 181 138 116

Tabel 2. Rata-rata intensitas frekuensi tertinggi fitur jaringan pendarahan (bleeding)

Tegangan

Pumping (V)

Intensitas

R G B

590 255 75 85

600 192 76 99

610 202 86 92

620 180 100 102

740 175 65 64

Page 86: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

82 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Tabel 3. Rata-rata intensitas frekuensi tertinggi fitur lubang

Tegangan

Pumping (V)

Intensitas

R G B

590 240 255 213

600 195 158 138

610 228 207 198

620 191 156 111

740 183 146 129

Berdasarkan rata-rata intensitas frekuensi tertinggi tiap fitur yang ditunjukkan pada

Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 maka rentang intensitas pada tiap fitur citra diketahui.

Rentang intensitas fitur yang dihasilkan adalah

1. Fitur jaringan normal R = (153-181), G = (85-143), B = (98-122)

2. Fitur pendarahan R = (175-255), G = (65-100), B = (64-102)

3. Fitur lubang R = (183-240), G = (145-255), B = (111-213)

Rentang intensitas fitur yang didapatkan digunakan dalam proses selanjutnya yaitu

segmentasi warna yang akan membedakan antara jaringan kulit normal dan jaringan kulit

rusak. Pada jaringan kulit rusak akan dilakukan pengukuran diameter lubang dengan

menghitung jumlah piksel pada lubang pada tiap baris.

Pada desain program segmentasi warna digunakan pemograman Delphi. Proses

ini dilakukan dalam 4 tahap yaitu tahap pengidentifikasian pendarahan (bleeding), tahap

pengidentifikasian lubang, tahap penentuan posisi dan diameter lubang serta kalibrasi

diameter dengan menggunakan Matrox Inspector 2.1. Tahap pengidentifikasian

pendarahan (bleeding) dan lubang memanfaatkan rentang intensitas pendarahan

(bleeding) dan lubang yang dihasilkan dari ekstraksi fitur. Namun karena terjadi

overlapping pada rentang intensitas fitur jaringan normal dan pendarahan (bleeding),

maka rentang intensitas pendarahan (bleeding) adalah diluar rentang fitur jaringan

normal. Pada tahap pengidentifikasian pendarahan (bleeding), piksel yang intensitasnya

termasuk dalam rentang pendarahan (bleeding) akan berwarna biru. Hal itu sebagai

penanda letak pendarahan. Piksel yang intensitasnya termasuk dalam rentang lubang akan

berwarna hijau. Akan tetapi pengidentifikasian lubang tidak hanya berdasarkan rentang

fitur lubang melainkan juga berdasarkan definisi lubang yaitu daerah dengan intensitas

yang berbeda dengan daerah sekitarnya yang berada di antara daerah pendarahan

Page 87: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 83

(bleeding) (Pribadi, 2011). Tampilan segmentasi warna pada jaringan kulit normal

disajikan pada Gambar 3 dan pada jaringan kulit rusak pada Gambar 4.

Gambar 3. Tampilan segmentasi warna pada jaringan kulit normal

Gambar 4. Tampilan segmentasi warna pada jaringan kulit rusak

Pada jaringan kulit rusak dilakukan pengukuran diameter lubang. Tahap

penentuan diameter lubang, perlu dilakukan rotate pada citra. Tujuan rotate adalah

mengubah posisi lubang sejajar terhadap sumbu x. Hal itu disebabkan data citra dari

penelitian Pribadi (2011) memiliki posisi lubang tidak sama antara satu dengan yang lain.

Selain itu, sebelum dilakukan pengukuran diameter lubang, diperlukan kalibrasi piksel

menjadi mikrometer dengan menggunakan Matrox Inspector 2.1. Berdasarkan Matrox

Page 88: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

84 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Inspector 2.1 diketahui bahwa kalibrasi 1 piksel = 1,923 µm. Akan tetapi perlu diingat

bahwa data citra yang diproses ini telah mengalami proses resize 25% sehingga sebelum

dikalibrasi dari piksel ke mikrometer, panjang piksel dikalikan dengan 4 untuk

mendapatkan panjang piksel dalam ukuran sebenarnya (100%). Perhitungan kalibrasi

tersebut sudah terdapat dalam program penentuan diameter lubang sehingga diameter

lubang yang terlihat dalam program sudah bersatuan mikrometer. Tampilan kalibrasi

disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Tampilan Matrox Inspector 2.1 dalam kalibrasi piksel

Pada program penentuan jaringan kulit normal dan rusak, didapatkan bahwa dari

40 buah citra digital yang digunakan sebanyak 25 citra berhasil dideteksi dengan benar

sehingga tingkat akurasinya sebesar 62,5%. Sedangkan untuk pengukuran diameter

lubang tingkat keakurasiannya berkisar antara 38,84% hingga 68,14%. Tabel 4 dan Tabel

5 menunjukkan hasil run program penentuan citra jaringan normal dan citra jaringan

rusak dan hasil run program pengukuran diameter lubang.

Page 89: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 85

Tabel 4. Hasil run program penentuan citra jaringan normal dan citra jaringan rusak

Tegangan pumping (V) Dosis energi (J/cm2)

Hasil run program Benar (√) atau salah (x)

540 (1) 18,8 Jaringan normal √ 540 (2) 18,8 Jaringan normal √ 540 (3) 18,8 Jaringan normal √ 540 (4) 18,8 Jaringan normal √ 540 (5) 18,8 Jaringan normal √ 550 (1) 23,9 Jaringan normal √ 550 (2) 23,9 Jaringan normal √ 550 (3) 23,9 Jaringan normal √ 550 (4) 23,9 Jaringan normal √ 550 (5) 23,9 Jaringan normal √ 560 (1) 21,1 Jaringan normal √ 560 (2) 21,1 Jaringan normal √ 560 (3) 21,1 Jaringan normal √ 560 (4) 21,1 Jaringan normal √ 560 (5) 21,1 Jaringan normal √ 570 (1) 21,5 Jaringan normal √ 570 (2) 21,5 Jaringan normal √ 570 (3) 21,5 Jaringan normal √ 580 (1) 25,6 Jaringan normal √ 580 (2) 25,6 Jaringan normal √ 590(1) 31,3 Jaringan normal x 590(2) 31,3 Jaringan normal x 590(3) 31,3 Jaringan normal x 600(1) 29,5 Jaringan rusak √ 600(2) 29,5 Jaringan rusak √ 600(3) 29,5 Jaringan rusak √ 600(4) 29,5 Jaringan rusak √ 600(5) 29,5 Jaringan normal x 610(1) 32,0 Jaringan normal x 610(2) 32,0 Jaringan normal x 610(3) 32,0 Jaringan normal x 610(4) 32,0 Jaringan normal x 610(5) 32,0 Jaringan normal x 620(1) 35,7 Jaringan normal x 620(2) 35,7 Jaringan normal x 620(3) 35,7 Jaringan normal x 620(4) 35,7 Jaringan normal x 620(5) 35,7 Jaringan normal x 740(1) 53,8 Jaringan rusak √ 740(2) 53,8 Jaringan normal x

Page 90: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

86 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Tabel 2. Hasil run program pengukuran diameter lubang

No. Tegangan pumping (V)

Dosis energi (J/cm2)

Diameter lubang (µm)

1. 600(1) 29,5 138,456 2. 600(2) 29,5 169,224 3. 600(3) 29,5 169,224 4. 600(4) 29,5 169,224 5. 740(1) 53,8 153,84

Tingkat keakurasian pada penelitian ini tergolong rendah disebabkan karena pada

penelitian ini hanya menggunakan ekstraksi fitur warna sebagai fitur pembedanya. Pada

umumnya untuk melakukan segmentasi pada kulit setidaknya diperlukan minimal dua

fitur diantaranya adalah fitur warna dan tekstur seperti pada penelitian Nammalwar et. al

(2009) yang melakukan segmentasi pada image kanker kulit menggunakan fitur warna

dan tekstur. Kanker kulit menyebabkan adanya luka pada kulit. Untuk menganalisa luka

pada kulit yang harus dilakukan adalah mengetahui lokasi luka secara akurat dan

memisahkan daerah luka. Fitur warna dan tekstur digunakan untuk membedakan warna-

tekstur luka dari kulit normal. Penyebaran fitur tersebut didasarkan pada struktur tepi dan

warna image. Selain itu, pada penelitian Phung et. al (2003) melakukan segmentasi

terhadap kulit manusia dengan presentasi error sebesar 15,3%.

Jiang et. al (2005) mendeteksi kulit dengan menggunakan tiga fitur sekaligus

yaitu fitur warna, tekstur dan jarak. Deteksi kulit pada penelitian ini adalah memisahkan

daerah kulit dengan daerah bukan kulit misalnya mata, rambut dan bibir pada area wajah.

Proses segmentasi pada penelitian ini menunjukkan tingkat keakurasian tinggi yaitu

sebesar 94,8%.

Fitur tekstur itu sendiri adalah keteraturan pola-pola tertentu yang terbentuk dari

susunan piksel-piksel dalam citra digital. Sedangkan segmentasi tekstur merupakan

proses yang membagi suatu citra ke dalam beberapa daerah dimana tekstur dianggap

konstan. Oleh karena itu, segmentasi tekstur lebih ditekankan pada penentuan batas-batas

antar daerah-daerah di dalam citra dengan tekstur yang berbeda secara otomatis

(Nammalwar et. al, 2009). Untuk mengoptimalisasi hasil, penelitian deteksi kerusakan

jaringan dermis dan pengukuran diameter lubang dapat disarankan untuk menggunakan

fitur warna, fitur tekstur, struktur tepi dan jarak untuk mendapatkan batas daerah lubang

yang lebih akurat sehingga penentuan citra jaringan kulit normal dan citra jaringan kulit

rusak serta pengukuran diameter lubang dapat terdeteksi lebih akurat.

Page 91: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 87

SIMPULAN DAN SARAN Sistem deteksi kerusakan jaringan dermis dengan metode ekstraksi fitur dapat

digunakan sebagai alat bantu menentukan citra jaringan kulit normal dan citra jaringan

rusak dengan tingkat keakurasian 62,5 % dan tingkat keakurasian pengukuran diameter

lubang berkisar 38,84% sampai 68,14%.

Dengan mengetahui tingkat keakurasian program dalam penelitian ini, maka untuk

meningkatkan tingkat keakurasian program dapat menggunakan fitur lain dalam citra

misalnya fitur tekstur pada citra. Atau dapat juga dilakukan penggunaan dua fitur

sekaligus yaitu fitur warna dan tekstur dengan menggunakan metode segmentasi warna

dan tekstur serta struktur tepi dan jarak.

DAFTAR PUSTAKA Apsari, Retna. 2009. Sistem Fuzzy Berbasis Laser Speckle Imaging untuk Deteksi

Kualitas Enamel igi Akibat Paparan Laser Nd:YAG. Disertasi.Program

PascaSarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.

Apsari, R, Noriah Bidin, Suhariningsih. 2008. Karakteristik Output Laser Nd:YAG

Dengan Q-Switch dan tanpa Q-Switch Untuk Aplikasi Diagnosis Pada Bidang

edokteran Gigi. Prosiding Seminar Nasional IV. Universitas Teknologi

Yogyakarta. Yogyakarta.

Fifin, D.R. 2010. Pengenalan Pola Citra Leukosit Dengan Metode Ekstraksi Fitur

Citra. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 6 (2010) 133-137.

Gonzales. 2008. Digital Image Processing. 3rd edition. United State of America : Prentice

Hall.

Gunadhi, Albert. 2002. Sensor Warna Dengan Menggunakan Kamera Video Berbasis

Komputer Pribadi. Jurusan Teknik Elektro. Universitas Widya Mandala Surabaya.

Jiang, Zhiwei, Yao, Min, Jiang, Wei. 2005. Skin Detection Using Color, Texture and

Space Information. College of Computer Science. Zhejiang University. Hangzhou.

China.

Nahari, Anugrah. 2010. Implementasi Temu Kembali Citra Mammogram Dengan

Page 92: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

88 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Teknik Ekstraksi Fitur Tekstur dan Fitur Bentuk. Internetwork Indonesia

Jurnal.Vol.1. No.1.

Nammalwar, Padmapriya, Ghita, Ovidiu, Whelan, Paul F. 2009. Segmentation of Skin

Cancer Images. Vision Systems Group. Centre for Image Processing and Analysis.

School of Electronic Engineering. Dublin City University. Ireland.

Phung, Son Lam. Bouzerdoum, Abdesselam. Chai, Douglas. 2003. Skin Segmentation

Using Color and Edge Information. School of Engineering and Mathematics. Edith

Cowan University. Perth. Australia.

Putra, Dharma. 2010. Pengolahan Citra Digital. Penerbit ANDI.Yogyakarta.

Pribadi, Siswanto. 2011. Pengaruh Paparan Laser Nd:YAG Q-Switch Secara in-vivo

Terhadap Kerusakan Jaringan Kulit Mencit (Mus Musculus). Program Studi S1

Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.

Saikumar, Tara. Yugander, P. Murthy, P. Sreenivasa. Smitha, B. 2011. Colour Based

Image Segmentation Using Fuzzy C-Means Clustering. International Conference

on Computer and Software Modelling IPCSIT. Volume 14. Year 2011. LACSIT

Press. Singapore.

Sutoyo,T. Edy Mulyanto. Oky Dwi Nurhayati. Wijanarto. Vincent Suhartono. 2009. Teori

Pengolahan Citra Digital.Penerbit ANDI. Semarang.

Page 93: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 89

SINTESIS KOMPOSIT KOLAGEN-HIDROKSIAPATIT

SEBAGAI KANDIDAT BONE GRAFT

Miranda Zawazi Ichsan1, Siswanto2, Dyah Hikmawati3 1 Program Studi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

2,3 Staf Pengajar Departemen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRAK Telah dilakukan sintesis makroporus komposit kolagen-hidroksiapatit sebagai kandidat

bone graft. Kolagen disintesis dari cakar ayam. Metode yang dilakukan adalah dengan teknik

freeze dry dengan variasi lama pembekuan 2, 4, dan 6 jam pada suhu -80°C. Proses selanjutnya

dengan pengeringan dalam liyophilizer. Hasilnya dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR,

SEM, dan diuji kekuatan tekan dengan Autograf serta uji sitotoksisitas dengan MTT assay. Hasil

FTIR membuktikan serapan kolagen dan hidroksiapatit tergabung secara kimia ditunjukkan

dengan serapan gugus fungsi yang tidak berhimpit antara gugus fungsi kolagen dan hidroksiapatit

dengan komposit. Ukuran pori terbesar diperoleh pada waktu pembekuan selama 2 jam yaitu

sebesar 774 µm dan yang terkecil pada pembekuan selama 6 jam yaitu sebesar 640 µm Hasil uji

kekuatan tekan komposit untuk pembekuan selama 2, 4, dan 6 jam masing-masing 737 KPa, 842

KPa dan 707.7 KPa. Hasil uji sitotoksisitas dengan MTT assay menunjukkan komposit tidak

toksik dengan persentase sel hidup di atas 100%.

Kata kunci : Komposit Kolagen-Hidroksiapatit, Makroporus, Bone Graft

Page 94: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

90 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

PENDAHULUAN Setiap tahun kebutuhan bone graft terus bertambah. Hal ini disebabkan oleh

meningkatnya jumlah kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang, penyakit bawaan,

dan non bawaan. Berdasarkan data di Asia Indonesia adalah Negara dengan jumlah

penderita patah tulang tertinggi. Diantaranya, ada sebanyak 300-400 kasus operasi bedah

tulang per bulan di RS. Dr. Soetomo Surabaya (Gunawarman dkk, 2010).

Bagian tubuh yang paling sering terjadi patah tulang adalah bagian panggul,

pergelangan kaki, tibia, dan fibula (Ficai et al., 2011). Bone graft yang biasanya

digunakan adalah autograft dan allograft. Namun, autograft dan allograft tidak dapat

memenuhi keseluruhan kebutuhan bone graft yang terus meningkat. Upaya untuk

mengatasi masalah ini adalah penggunaan bone graft sintetis.

Syarat yang harus dipenuhi oleh bone graft sintetis adalah dapat diterima tubuh

atau biokompatibel dan menguntungkan bagi proses osteokonduksi, osteoinduksi, dan

osteogenesis tulang. Osteokonduktif dan osteoinduktif adalah hal terpenting untuk

biomaterial resorbable guna mengarahkan dan mendorong formasi pertumbuhan jaringan

(Wahl dan Czernuszka, 2006). Osteokonduktif dan osteointegrasi dari bone graft

berhubungan dengan tingkat porositas dan ukuran pori (Develioglu et al. 2005).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, persyaratan minimum untuk ukuran pori

dianggap ~100µm karena ukuran sel, persyaratan migrasi dan transport sel. Namun,

dianjurkan ukuran pori >300 µm karena meningkatkan pembentukan tulang baru dan

pembentukan kapiler (Karageorgiou, 2005). Makroporositas yang tinggi dapat

meningkatkan pembentukan tulang, akan tetapi nilai yang lebih tinggi dari 50% dapat

mengakibatkan hilangnya sifat mekanik biomaterial (Lu JX et al., 1999).

Bone graft sintetis yang baik adalah bone graft yang secara struktur dan

komposisi mirip dengan tulang alami. Komposit kolagen-hidroksiapatit adalah bone graft

sintetis yang sangat mirip dengan tulang dari banyak sudut pandang. Tulang terdiri dari

kolagen dan hidroksiapatit sebagai komponen utama dan beberapa persen dari komponen

lainnya (Vaccaro, 2002). Komposit kolagen-hidroksiapatit saat ditanamkan dalam tubuh

manusia menunjukkan sifat osteokonduktif yang lebih baik dibandingkan dengan

hidroksiapatit monolitik dan menghasilkan kalsifikasi matriks tulang yang persis sama

(Serre et al., 1993; Wang et al., 1995). Selain itu, komposit kolagen-hidroksiapatit

terbukti biokompatibel baik pada manusia maupun hewan (Serre et al., 1993; Scabbia dan

Trombelli., 2004).

Page 95: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 91

Upaya untuk mendapatkan komposit dengan struktur dan komposisi yang sama

dengan tulang alami adalah mengolaborasikan beberapa metode sintesis. Kunci dalam

sintesis makroporus salah satunya adalah dengan variasi laju pembekuan (Wahl dan

Czernuszka, 2006). Metode sintesis yang paling berguna untuk fabrikasi material porous

adalah metode freeze-drying. Pada metode freeze-drying, pengendalian pertumbuhan

kristal es sangat penting untuk mendapatkan diameter dan bentuk pori yang sesuai, karena

struktur pori adalah replikasi dari jeratan dendrite kristal es. Pada prinsipnya metode

freeze-drying terdiri atas dua urutan proses, yaitu pembekuan yang dilanjutkan dengan

pengeringan. Diameter pori dapat dikontrol pada tahap pembekuan. Pada penelitian ini,

kontrol ukuran makroporus komposit dilakukan dengan beberapa variasi waktu

pembekuan.

BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan untuk membuat komposit kolagen-hidroksiapatit berporus

dengan teknik freeze-drying adalah hidroksiapatit bubuk dengan ukuran butir 150-355

µm, HCL, NaOH, Na2HPO4, CH3COOH, NH3, asam fosfat dan aquades. Hidroksiapatit

yang digunakan berasal dari tulang sapi dan kolagen diekstraksi dari cakar ayam.

Kolagen diekstraksi dari cakar ayam broiler. Ekstraksi kolagen dari cakar ayam

digunakan metode Prayitno (2007) dimodifikasi. Cakar ayam yang digunakan berasal dari

penjual daging ayam di pasar Manukan Kulon Surabaya.

Cakar ayam yang telah terkumpul dicuci bersih dan disimpan dalam freezer.

Penyimpanan dalam freezer dimaksudkan supaya cakar ayam tidak membusuk. Cakar

ayam dikeluarkan dari freezer kemudian dipisahkan dari tulangnya dengan dipotong-

potong menggunakan pisau untuk memudahkan proses penghancuran. Potongan cakar

selanjutnya dihancurkan dengan blender. Reduksi ukuran ini untuk mempermudah proses

peregangan kolagen oleh larutan asam. Cakar yang telah hancur ditimbang sebanyak 100

gram kemudian direndam selama 24 jam dengan larutan HCL 5% dengan volume 8 kali

berat sampel. Selama perendaman, sampel disimpan dalam kulkas.

Setelah mencapai waktu perendaman, cairan dipisahkan melalui penyaringan

dengan kain mori. Filtrat (cairan hasil penyaringan) ditambah larutan NaOH 1 N sampai

mencapai pH netral dan didiamkan sampai kolagen menggumpal. Saat mendekati pH

netral, terlihat gumpalan sedikit demi sedikit mulai teramati. Begitu mencapai pH netral,

serabut-serabut kolagen mulai terbentuk dan menyatu sehingga terlihat gumpalan yang

nyata. Gumpalan kolagen terbentuk sempurna pada pH netral (pH 7). Selanjutnya

Page 96: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

92 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

gumpalan kolagen disaring dengan kertas saring. Kolagen yang dihasilkan dikeringkan

dengan metode freeze- dry.

Sintesis Komposit Kolagen-Hidroksiapatit Sintesis komposit kolagen-hidroksiapatit dengan metode freeze-drying dimulai

dengan pencampuran kolagen dan hidroksiapatit dengan rasio 20:80. Sebelum dua bahan

dicampur, kolagen dan hidroksiapatit dilarutkan terlebih dahulu untuk mendapatkan

campuran yang homogen.

Kolagen dilarutkan dengan asam asetat dengan perbandingan 1:1. Selanjutnya

ditambahkan dengan Na2HPO4 .H2O dengan rasio 1:1. Campuran dinetralkan dengan

NaOH 1M. Adapun hidroksiapatit dilarutkan dengan asam fosfat. Perbandingan

hidroksiapatit asam fosfat yaitu 1:4. Larutan hidroksiapatit selanjutnya dinetralkan

dengan NH3 tetes demi tetes dengan pipet gelas. pH netral diukur dengan menggunakan

kertas lakmus asam basa. Larutan hidroksiapatit dan larutan kolagen yang telah netral

dicampur sambil diaduk perlahan-lahan. Campuran kolagen hidroksiapatit dimasukkan ke

dalam wadah tabung silinder setinggi 2 cm dan dilabeli. Selanjutnya dibekukan dengan

suhu -80 °C dengan waktu pembekuan 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Komposit kolagen-

hidroksiapatit yang telah kering dikeluarkan dari cetakan untuk dikarakterisasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis kolagen berbentuk serbuk berwarna putih kekuningan yang tampak

pada Gambar 1. Kolagen hasil sintesis diuji dengan FTIR diperoleh grafik transmisi (%)

terhadap bilangan gelombang (cm-1) pada Gambar 2.

Gambar 1 Kolagen hasil sintesis

Page 97: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 93

Gambar 2 Hasil Uji FTIR Serbuk Kolagen Cakar ayam

Grafik hasil uji FTIR pada Gambar 2 dianalisis dengan membandingkan pita

absorbs yang terbentuk pada spektrum inframerah menggunakan tabel korelasi dan

menggunakan spektrum senyawa pembanding yang sudah diketahui.. Hasil perbandingan

spektrum inframerah kolagen dengan tabel korelasi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik absorbsi kolagen hasil ekstraksi dari cakar ayam

No Rentang frekuensi (cm-1)

Peak (cm-1)

Ikatan

1 3500-3300 3409 N-H 2 3000-2500 2927 O-H 3 3000-2500 2857 O-H 4 1760-1670 1746 C=O 5 1640-1660 1651 N-H 6 1500-1600 1546 N-H 7 1470-1350 1458 C-H 8 1340-1020 1160 C-N 9 1340-1020 1100 C-N 10 1000-675 917 C-H 11 870-675 723 C-H 12 870-675 686 C-H 13 700-610 647 C-H

Spektrum utama dari kolagen adalah adanya amida I banding yang muncul dari

stretching vibration C=O (karbonil) grup amida dari protein. Amida I ditemukan pada

1651 cm-1, amida II ditemukan pada 1546 cm-1 dan amina C-N ditemukan pada 1100cm-1

dan 1159 cm-1. Amina N-H ditemukan pada 3409 cm-1. Hasil perbandingan grafik FTIR

Page 98: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

94 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

kolagen dari cakar ayam dengan kolagen murni pada Kirubanandan, 2010 menunjukkan

pita serapan yang mirip dan gugus yang sama. Hasil perbandingan pita absorbs dengan

tabel korelasi ataupun dengan senyawa pembanding yang telah diketahui menunjukkan

bahwa kolagen cocok sebagai bahan untuk sintesis komposit.

Komposit kolagen-hidroksiapatit hasil sintesis menggunakan metode freeze-dry

dengan variasi pembekuan 2, 4 dan 6 jam tampak pada Gambar.3. Komposit dengan 2

jam pembekuan diuji dengan FTIR. diperoleh grafik pada Gambar 4.

Grafik hasil uji FTIR dianalisis dengan membandingkan pita absorbs yang

terbentuk pada spektrum inframerah menggunakan tabel korelasi. Hasil perbandingan pita

absorbs disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik absorbsi komposit kolagen-hidroksiapatit

No Rentang frekuensi

(cm-1)

Peak (cm-1)

Ikatan

1 3640-3160 3232 O-H 2 3000-2500 3081 O-H 3 2960-2850 2873 C-H 4 2260-2100 2202 C≡C 5 1760-1670 1716 C=O 6 1600-1700 1672 N-H 7 1500-1600 1519 N-H 8 1470-1350 1460 C-H 9 1470-1350 1405 C-H

10 1340-1020 1200 C-N 11 1340-1020 1074 C-N 12 900-1200 1018 PO4

3- 13 900-1200 966 PO4

3- 14 500-600 553 C-X

Puncak karakteristik HA adalah pada panjang gelombang 500 cm-1-600 cm-1.

Pada hasil FTIR komposit kolagen-hidroksiapatit, ditemukan pada panjang gelombang

553 cm-1. Puncak karakteristik kolagen ditemukan pada 2873 untuk CH stretching, 1716

cm-1 untuk C=O grup, dan di atas 3000 cm-1 untuk N-H. Amida I banding antara panjang

gelombang 1600 cm-1-1700 cm-1 dan PO43- banding antara 900 cm-1-1200 cm-1.

Data serapan gugus fungsi pada spektrum FTIR digunakan untuk mengetahui

jenis reaksi yang terjadi. Jika data berimpit dengan data spektrum FTIR bahan yang

digunakan, maka proses yang terjadi merupakan proses fisika. Sedangkan jika data tidak

Page 99: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 95

berimpit maka proses yang terjadi adalah rekasi kimia. Berdasarkan perbandingan hasil

FTIR kolagen, hidroksiapatit, dan komposit diperoleh reaksi yang terjadi pada proses

sintesis komposit kolagen-hidroksiapatati adalah reaksi kimia.

(a)

(b)

(c)

Gambar 3 Komposit Kolagen-Hidroksiapatit dengan:

(a) 2 jam pembekuan, (b) 4 jam pembekuan dan (c) 6 jam pembekuan

Gambar 4 Hasil FTIR komposit kolagen-hidroksiapatit

Bentuk Makroporus

Makroporus yang terbentuk dengan metode freeze-drying pada penelitian ini

menghasilkan ukuran pori yang tidak merata. Pada metode freeze-drying, pengendalian

pertumbuhan kristal es sangat penting untuk mendapatkan diameter dan bentuk pori yang

sesuai. Diameter pori dikontrol pada tahap pembekuan. Pembekuan dilakukan pada

temperatur -80°C dengan tiga variasi waktu pembekuan yaitu 2,4, dan 6 jam. Hasil citra

SEM dengan perbesaran 1000x menunjukkan perbedaan yang signifikan. Perbedaan

Page 100: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

96 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

yang dapat diamati adalah bentuk makroporus, kekasaran permukaan, dan pola

penggabungan kolagen dengan hidroksiapatit pada komposit.

Pada Gambar 5 terlihat bentuk makroporus komposit tidak merata. Pembekuan

pada suhu -80°C selama dua jam membentuk dendrite kristal es yang tidak teratur

sehingga ukuran makroporus tidak seragam dan tidak ada cross link. Kolagen tampak

berbentuk jarum panjang yang menjulang. Serabut kolagen bergabung dalam ikatan

lapisan hidroksiapatit yang tipis. Serabut kolagen berperan sebagai serat komposit dan

hidroksiapatit berperan sebagai matriks komposit. Secara makro, permukaan komposit

terlihat kasar.

Komposit yang dibekukan selama empat jam pada gambar 6 tampak lebih padat

dibandingkan komposit yang dibekukan selama dua jam. Serabut kolagen tidak dapat

dibedakan dengan jelas seperti pada Gambar 4.5. Gabungan kolagen dan hidroksiapatit

pada komposit menyatu dengan baik sehingga tidak terlihat batas antara keduanya.

Secara makro, komposit terlihat lebih halus dibandingkan dengan komposit yang

dibekukan selama dua jam.

Gambar 5. Permukaan mikroskopis komposit dengan 2 jam pembekuan

Gambar 6. Permukaan mikroskopis komposit dengan 4 jam pembekuan

Page 101: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 97

Gambar 4.7 Permukaan mikroskopis komposit dengan 6 jam pembekuan

Komposit kolagen-hidroksiapatit dengan pembekuan selama enam jam tidak

sepadat komposit dengan pembekuan selam empat jam. Secara makro, permukaan

komposit terlihat kasar. Serabut kolagen tampak lebih pendek jika dibandingkan dengan

kolagen pada komposit yang dibekukan selama dua jam. Kolagen bergabung dengan

hidroksiapatit dan masih terlihat batas antara kolagen dengan hidroksiapatit.

Komposit yang diberi waktu pembekuan berbeda menghasilkan kekasaran yang

berbeda dan pola gabungan yang berbeda. Ditinjau dari batas antara kolagen dengan

hidroksiapatit dalam komposit, komposit yang dibekukan selama dua jam bergabung

dengan baik sehingga membentuk kerapatan yang besar. Kontrol lama waktu pembekuan

dengan variasi waktu pembekuan pada suhu -80°C dapat membentuk makroporus dengan

topografi permukaan yang berbeda-beda. Namun, metode ini tidak dapat membentuk

makroporus dengan bentuk dan ukuran yang seragam dan teratur sehingga tidak ada cross

link antar pori. Hal ini terjadi karena struktur pori adalah replikasi dari jeratan dendrit

kristal es. Kristal es yang terbentuk selain bergantung pada suhu pembekuan dan lama

pembekuan, juga bergantung pada konsentrasi zat terlarut dalam komposit.

Ukuran Makroporus

Hasil analisis topografi komposit menunjukkan perbedaan dalam bentuk dan

pola persenyawaan kolagen dengan hidroksiapatit. Selain bentuk dan model

persenyawaan, ukuran makroporus yang dihasilkan juga berbeda-beda dan tidak merata.

Gambar 8 menunjukkan rata-rata ukuran pori yang terbentuk pada komposit kolagen-

hidroksiapatit dengan beberapa variasi pembekuan.

Page 102: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

98 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 8 Rata-rata Ukuran makroporus yang terukur

Rata-rata ukuran pori terbesar yang terbentuk pada komposit kolagen-

hidroksiapatit adalah pada pembekuan selama dua jam yaitu sebesar 774 µm. Sedangkan

rata-rata ukuran pori yang terkecil yaitu 640 terbentuk pada waktu pembekuan selama

enam jam. Berdasarkan penelitian sebelumnya, persyaratan minimum untuk ukuran pori

dianggap ~100µm karena ukuran sel, persyaratan migrasi dan transport sel. Namun,

dianjurkan ukuran pori lebih besar dari 300 µm karena meningkatkan pembentukan

tulang baru dan pembentukan kapiler (Karageorgiou, 2005). Komposit kolagen-

hidroksiapatit yang disintesis dengan ketiga variasi waktu pembekuan dapat memenuhi

standar ukuran pori yang dianjurkan.

O’Brien et al. tahun 2004 telah melakukan sintesis scaffold kolagen-GAG dengan

variasi laju pembekuan 0.6°C , 0.7°C, 0,9°C, dan 4.1°C per menit. Hasilnya

menunjukkan bahwa ukuran pori scaffold kolagen-GAG terbesar yaitu ± 130 µm

didapatkan pada laju pembekuan 0.6°C per menit. Hal ini membuktikan bahwa laju

pembekuan yang semakin rendah menghasilkan ukuran pori yang semakin besar. Dalam

penelitian ini, diperoleh hasil bahwa dengan waktu pembekuan yang paling cepat yaitu 2

jam menghasilkan ukuran pori yang paling besar.

Yunoki et al. tahun 2006 yang telah melakukan sintesis komposit kolagen-

hidroksiapatit dengan suhu pembekuan -20°C dengan metode freeze-drying,

menghasilkan komposit dengan ukuran pori sebesar 200-500 µm. Jika dibandingkan

dengan hasil penelitian ini, maka pembekuan dengan suhu -80°C dapat menghasilkan

ukuran pori yang lebih besar. Hal ini terjadi karena semakin rendah suhu pembekuan,

semakin cepat komposit membeku, sehingga semakin cepat pula terbentuknya dendrite

kristal es.

774675 640

0200400600800

1000

Sampel 2 jam

Sampel 4 jam

Sampel 6 jamU

kura

n M

akro

poru

s (µ

m)

Page 103: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 99

Hasil Uji Kekuatan Tekan

Pengujian sifat mekanik kekuatan tekan pada Gambar 9 menunjukkan bahwa

komposit yang dibekukan selama 2 jam dengan porositas sebesar 52% memiliki kekuatan

tekan yang lebih rendah dibandingkan komposit yang dibekukan selama 4 jam. Komposit

dengan 4 jam pembekuan memiliki densitas yang paling tinggi sehingga mempengaruhi

sifat biomekanik.

Gambar 9Diagram pengaruh waktu pembekuan terhadap kekuatan tekan

Komposit yang dibekukan selama 4 jam memiliki kekuatan tekan yang paling

tinggi yaitu sebesar 842 KPa dibandingkan dengan sampel yang lain. Sedangkan yang

paling rendah adalah yang dibekukan selama 6 jam yaitu 708 KPa. Dibandingkan dengan

sifat biomekanik tulang sehat, nilai kekuatan tekan komposit yang dihasilkan masih

belum memenuhi standar yaitu 2-12 MPa,

Hasil Uji Sitotoksisitas

Selain bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan kolagen dengan

hidroksiapatit, biokompatibilitas adalah salah satu hal terpenting dalam aplikasi.

Sitotoksisitas suatu material adalah tahap awal dalam penentuan biokompatibilitas

material implant. Uji MTT adalah salah satu metode yang digunakan dalam uji sitotoksik.

Hasil Pengamatan sel hidup dengan mikroskop ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Sel Hidup Hasil Uji MTT

737

842

708

600

700

800

900

2 jam 4 jam 6 jam

Kek

uata

n Te

kan

(KPa

)

Sel hidup

Page 104: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

100 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 11. Hasil Uji Sitotoksisitas dengan Metode MTT

Persentase sel hidup yang di dapatkan dari uji MTT pada Gambar 11

membuktikan ketoksikan senyawa bahan dan komposit. Grafik hasil uji MTT

menunjukkan kolagen dan hidroksiapatit tidak toksik karena persentase sel hidup di atas

100%. Komposit kolagen–hidroksiapatit meningkatkan persentase sel hidup. Hal ini

membuktikan bahwa penggunaan kolagen dan hidroksiapatit secara bersama-sama

menguntungkan dalam hal pertumbuhan sel. Kolagen dan hidroksiapatit dibuktikan dapat

meningkatkan diferensiasi osteoblas (Xie et al., 2004), tapi dikombinasikan bersama-

sama terbukti mempercepat osteogenesis. Komposit kolagen-hidroksiapatit saat

ditanamkan dalam tubuh manusia menunjukkan sifat osteokonduktif yang lebih baik

dibandingkan dengan hidroksiapatit monolitik dan menghasilkan kalsifikasi matriks

tulang yang persis sama (Serre et al., 1993; Wang et al., 1995).

Potensi sebagai Kandidat Bone Graft

Bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan kolagen dengan hidroksiapatit

dalam komposit adalah dua hal penting yang berpengaruh pada proses regenerasi

tulang. Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatit bertanggung jawab atas

daya tekan dan daya regang tulang yang besar. Cara penyusunan tulang serupa dengan

pembuatan palang beton. Serat-serat kolagen seperti batang-batang baja pada beton dan

hidroksiapatit serta garam-garam tulang yang lain sama seperti semen, pasir dan batu

pada beton tersebut. Analisis topografi komposit dengan SEM menunjukkan pola

gabungan kolagen dengan hidroksiapatit yang sesuai dengan analogi beton di atas.

103,6

105,6

108,9

100101102103104105106107108109110

Pers

enta

se S

el H

idup

(%)

Page 105: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 101

Selain bentuk pori yang terbentuk dan struktur jalinan kolagen dengan

hidroksiapatit, biokompatibilitas adalah salah satu hal terpenting dalam aplikasi. Syarat

yang harus dipenuhi oleh bone graft sintetis adalah dapat diterima tubuh atau

biokompatibel dan menguntungkan bagi proses osteokonduksi, osteoinduksi, dan

osteogenesis tulang. Berdasarkan tinjauan sitotoksik, komposit kolagen-hidroksiapatit

terbukti tidak toksik bahkan meningkatkan persentase sel hidup dibandingkan dengan

kolagen atau hidroksiapatit monolitik. Secara fisik, bentuk permukaan komposit cocok

sebagai media perlekatan sel. Ukuran makroporus komposit yang besar dengan rata-rata

berukuran antara 640-774 µm mendorong proses osteokonduksi tulang. Ditinjau dari pola

persenyawaan kolagen dengan hidroksiapatit, kerapatan, ukuran makroporus, dan

kekuatan tekan, komposit yang dibekukan selama 4 jam lebih cocok sebagai kandidat

bone graft dibandingkan dengan komposit 2 dan 6 jam pembekuan.

KESIMPULAN

Kontrol waktu pembekuan mempengaruhi ukuran makroporus dan sifat

mekaniknya. Komposit dengan ukuran pori terbesar diperoleh dengan 2 jam

pembekuan yaitu 774 µm dan yang terkecil pada pembekuan selama 6 jam yaitu

640 µm. Komposit dengan pembekuan 4 jam memiliki rata-rata ukuran

makroporus 675 µm dengan kekuatan tekan paling besar yaitu 842

KPa. Komposit kolagen-hidroksiapatit terbukti non-toksik dengan persentase sel

hidup di atas 100%.

Ucapan Terimakasih

Terimakasih kepada Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes dan Dr.

Ferdiansyah, dr., SPOT atas saran dan kritik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anselme, K. 2000. Osteoblast adhesion on biomaterials. Biomaterials 21, 667.

Attaf, Brahim .2011..Advances in Composite Materials for Medicine and

Nanotechnology. Tech Janeza Trdine 9, 51000 Rijeka, Croatia

Chang, M. C. and Tanaka, J. 2002. FT-IR study for hydroxyapatite/collagen

nanocomposite cross-linked by glutaraldehyde. Biomaterials 23:4811–

818.

Page 106: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

102 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Develioglu, H., Koptagel, E., Gedik, R. and Dupoirieux, L. 2005. The effect of a

biphasic ceramic on calvarial bone regeneration in rats. Journal of Oral

Implantology 31(6):309-312.

Ficai, A., Andronescu, E., Voicu, G., Ficai, D. 2011. Advances in

Collagen/Hidroxyapatite Composite Material. InTech

Gunawarman, Malik, A., Mulyadi S., Riana, Hayani, A. 2010. Karakteristik Fisik

dan Mekanik Tulang Sapi Variasi Berat Hidup sebagai Referensi Desain

Material Implan. Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNMTTM)

ke-9

Karageorgiou V, Kaplan D .2005. Porosity of 3D biornaterial scaffolds and

osteogenesis. Biomaterials 26:5474-5491.

Kirubanandan, S dan Sehgal, P.K, 2010. Regeneration of Soft Tissue Using

Porous Bovine Collagen Scaffold. Journal of Optoelectronics and

Biomedical Materials. Vol. 2.

Laurencin C, Khan Y, El-Amin SF (2006) Bone graft substitutes. Expert Rev Med

Dev 3: 49-57.

Lu JX, Flautre B et al. 1999. Role of interconnections in porous bioceramics on

bone recolonization in vitro and vivo. J Mater Sci Mater Med 10:111–120.

Meiyanto, E., Sugiyanto, Murwanti, R., 2003, Efek Antikarsinogenesis Ekstrak

Etanolik Daun Gynura procumbens (Lourr) Merr pada Kanker Payudara

Tikus yang Diinduksi dengan DMBA, Laporan Penelitian Hibah Bersaing

XI/1 Perguruan Tinggi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Melannisa, R., 2004, Pengaruh PGV-1 Pada Sel Kanker Payudara T47D Yang

Diinduksi 17β-estradiol: Kajian Antiproliferasi, Pemacuan Apoptosis, dan

Antiangiogenesis, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Moran, Michael J. dan Shapiro, Howard N. 2004. Termodinamika Teknik. Jakarta:

Erlangga.

O’Brien FJ, Harley BA, Yannas IV, Gibson L. 2004. Influence of freezing rate on

pore structure in freeze-dried collagen-GAG scaffolds. Biomaterials 25:

1077-1086.

Page 107: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 103

Prayitno, 2007. Ekastraksi Kolagen Cakar Ayam dengan Berbagai Jenis Larutan

Asam dan Lama Perendamannya. Jurnal Animal Production Vol. 9. No. 2.

Ratner, Buddy D., dkk. 1996. Biomaterial Science, An Introduction to Materials

in Medicine. Academic Press.:1-8.

Scabbia A, Trombelli L (2004) A comparative study on the use of a

HA/collagen/chondroitin sulphate biomaterial (Biostite®) and a

bovine-derived HA xenograft (Bio-Oss®) in the treatment of deep

intra-osseous defects. J Clin Periodontol 31: 348-355.

Schoof H, Bruns L, Fischer A, Heschel I, Rau G. 2000. Dendritic ice morphology

in unidirectionally solidified collagen suspensions. J Crystal Growth 209:

122-129.

Serre CM, Papillard M, Chavassieux P, Boivin G. 1993. In vitro induction of a

calcifying matrix by biomaterials constituted of collagen and/or

hydroxyapatite: an ultrastructural comparison of three types of

biomaterials. Biomaterials 14: 97-106.

Sloane, Ethel. 1995. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. EGC: Jakarta.

Vaccaro, Alexander R. 2002. The Role of the Osteoconductive Scaffold in

Synthetic Bone Graft. Orthobluejournal vol 22 no 5/ Supplement

Wahl, DA dan Czernuszka .2006. Collagen-Hydroxiapatite Composites for Hard

Tissue Repair. Eropean Cells and Material Vol.11 pages 43-56

Wang RZ, Cui FZ, Lu HB, Wen HB, Ma CL, Li HD. 1995. Synthesis of

Nanophase Hydroxyapatite Collagen Composite. J Mater Sci Lett 14: 490-

492.

Wang, X., Nyman, J.S., Dong X., Leng,H., and Reyes, M. 2010. Fundamental

Biomechanics in Bone Tissue Engineering. Morgan and Claypool.

Yunoki, Shunji et al. 2006. Fabrication and Mechanical and Tissue Ingrowth

Properties of Unidirectionally Porous Hydroxyapatite/Collagen

Composite. Journal of Biomedical Materials Part B:166-173

Page 108: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

104 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Pembuatan Hidrogel Kitosan – Glutaraldejid

Untuk Aplikasi Penutup Luka Secara In Vivo

Nurul Istiqomah1, Djony Izak R2., dan Sri Sumarsih3. 1Program Studi S1 Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

2Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga 3Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga

Email : [email protected]

ABSTRAK Pembuatan hidrogel kitosan – glutaraldehid telah diteliti untuk aplikasi penutup luka

secara in vivo. Pembuatan hidrogel dilakukan dengan cara mencampurkan kitosan yang dilarutkan

dalam 1% asam asetat dengan 1% larutan glutaraldehid (dengan perbandingan kitosan :

glutaraldehid sebanyak 50ml:0ml, 50ml:2ml, 50ml:3ml dan 50ml:4ml). Penambahan glutaraldehid

berfungsi untuk memperbaiki sifat mekanik dari kitosan. Hidrogel kitosan – glutaraldehid

dikarakterisasi menggunakan FTIR, kemampuan absorbsi, dan uji in vivo. Hasil FTIR

menunjukkan terbentuknya ikatan silang antara kitosan dan glutaraldehid, yang dapat ditunjukkan

pada bilangan gelombang 1638,23 cm-1 dan 1550,49 cm-1, hasil uji kemampuan absorbsi

menunjukkan bahwa swelling ratio menurun dengan meningkatnya derajat ikat silang, hasil uji in

vivo menunjukkan bahwa semakin besar volume glutaraldehid, proses penyembuhan memerlukan

waktu yang lebih lama. Hidrogel terbaik ditunjukkan dengan penambahan glutaraldehid 3 ml yang

memiliki nilai kemampuan absorbsi rata-rata 560,7 % dan uji in vivo yang mana hewan coba

sembuh pada hari ke 5.

Kata kunci : Hidrogel, kitosan, glutaraldehid, penutup luka, in vivo, kemampuan absorbsi, FTIR

Page 109: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 105

PENDAHULUAN Kulit adalah salah satu organ terbesar dalam tubuh. Kulit mempunyai beberapa

fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu : sebagai pelindung, sensasi, komunikasi,

termoregulasi, sintesis metabolik dan kosmetik (Carville, 2007). Kulit memainkan peran

penting dalam homeostasis dan pencegahan invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu

kulit pada umumnya perlu ditutup segera setelah terjadi kerusakan (jayakumar et al.,

2011).

Penutup luka yang ideal harus dapat memelihara lingkungan yang lembab di

permukaan luka, memungkinkan pertukaran gas, bertindak sebagai penghalang bagi

mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan eksudat.

Saat ini, penelitian difokuskan pada percepatan perbaikan luka dengan

perancangan secara sistematis pada bahan penutup. Misalnya penggunaan bahan yang

berasal dari bahan biologis seperti kitin dan turunannya, yang mampu mempercepat

proses penyembuhan pada tingkat molekul, seluler, dan tingkat sistemik.

Kitin dan turunannya kitosan, mempunyai sifat yang biokompatibel,

biodegradabel, tidak beracun, antimikroba dan hydrating agent. Penelitian yang telah

dilakukan oleh David R. Rohindra dkk pada tahun 2004 menunjukkan bahwa

pencampuran kitosan dengan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai hidrogel. Jumlah

air bebas dalam hidrogel menurun dengan meningkatnya ikatan silang dalam hidrogel.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan hidrogel kitosan –

glutaraldehid untuk penyembuhan luka dan mengetahui karakteristik hidrogel yang

terbaik.

Kulit mempunyai beberapa fungsi utama yang penting untuk tubuh, yaitu :

sebagai pelindung, sensasi, komunikasi, termoregulasi, sintesis metabolik dan kosmetik

(Carville, 2007). Kulit memainkan peran penting dalam homeostasis dan pencegahan

invasi dari mikroorganisme oleh sebab itu kulit pada umumnya perlu ditutup segera

setelah terjadi kerusakan (jayakumar et al., 2011).

Penutup luka yang baik memiliki beberapa karakteristik seperti biokompatibilitas

yang baik, rendah toksisitas, aktivitas antibakteri dan kestabilan kimia sehingga akan

mempercepat penyembuhan, tidak menyebabkan alergi, mudah dihilangkan tanpa trauma,

dan harus terbuat dari bahan biomaterial yang sudah tersedia sehingga memerlukan

pengolahan yang minimal, memiliki sifat antimikroba dan dapat menyembuhkan luka

(Jayakumar et al., 2011).

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar kelompok penelitian yang

bertujuan untuk menghasilkan, baik yang baru maupun memperbaiki sifat-sifat penutup

Page 110: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

106 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

luka (Shitaba et al., 1997; Draye et al., 1998; Ulubayram et al., 2001). Saat ini, penelitian

difokuskan pada percepatan perbaikan luka dengan perancangan secara sistematis pada

bahan penutup. Misalnya penggunaan bahan yang berasal dari bahan biologis seperti kitin

dan turunannya, yang mampu mempercepat proses penyembuhan pada tingkat molekul,

seluler, dan tingkat sistemik. Kitin telah tersedia dan dapat diperoleh dari bahan biologis

yang murah dari kerangka invertebrate serta dinding sel jamur. Kitin adalah ikatan

polimer linier 1,4 yang terdiri dari residu N-acetyl-D-Glucosamine. Kitin dan turunannya

kitosan, mempunyai sifat yang biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, antimikroba

dan hydrating agent. Karena sifat ini, baik kitin maupun kitosan menunjukkan

biokompatibilitas yang baik dan efek positif pada penyembuhan luka. Penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa kitin yang digunakan berbasis penutup dapat

mempercepat perbaikan kontraksi jaringan luka dan mengatur sekresi dari mediator

inflamasi seperti interleukin 8, prostaglandin E, interleukin 1β, dan lain-lainya

(Bottomley et al, 1999.; Willoughby dan Tomlinson, 1999). Kitosan merupakan hemostat,

yang membantu dalam pembekuan darah secara alami. Kitosan secara bertahap

terdepolimerisasi untuk melepaskan N-acetyl-β-D-glukosamin, yang memulai poliferasi

fibroblast, membantu dalam memberikan perintah deposisi kolagen dan merangsang

peningkatan sintesis tingkat asam hyaluronic alami pada lokasi luka. Ini membantu

percepatan penyembuhan luka dan pencegahan bekas luka (Paul dan Sharma, 2004).

Kitin dan kitosan tampaknya akan menjadi bahan penutup luka yang dapat

diunggulkan. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Jayakumar dkk pada tahun 2011,

menunjukkan bahwa bahan berserat yang berasal dari kitin dan turunannya memiliki sifat-

sifat ketahanan yang tinggi, biokompatibilitas yang baik, rendah toksisitas, dapat

menyerap cairan dan aktivitas antibakteri sehingga akan mempercepat penyembuhan.

Untuk meningkatkan sifat penyembuhan luka, kitin dan kitosan berbasis membran telah

dikembangkan dengan mencampurkan ke dalam beberapa polimer.

Penelitian yang telah dilakukan oleh David R. Rohindra dkk pada tahun 2004

menunjukkan bahwa pencampuran kitosan dengan glutaraldehid dapat diaplikasikan

sebagai hidrogel. Jumlah air bebas dalam hidrogel menurun dengan meningkatnya ikatan

silang dalam hidrogel. Hidrogel berbasis kitosan menunjukkan biokompatibel yang baik,

degradasi rendah dan cara pengolahannya mudah. Kemampuan dari hidrogel untuk

mengembang dan dehidrasi tergantung pada komposisi dan lingkungan yang telah

dimanfaatkan untuk memfasilitasi berbagai aplikasi seperti pelepasan obat,

biodergradibilitas dan kemampuan untuk membentuk hidrogel (Li Q et al. 1997).

Pencampuran kitosan dengan polimer lain (Park dan Nho, 2001; Shin et al. 2002; Zhu et

Page 111: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 107

al.2002) dan ikatan silang mereka berdua adalah metode yang tepat dan efektif untuk

memperbaiki sifat fisik dan mekanik kitosan untuk aplikasi praktis. Studi dilakukan pada

tikus menggunakan ikatan silang antara kitosan dan glutaraldehid (Jameela et al. 1994)

menunjukkan toleransi yang menjanjikan pada jaringan hidup dari otot tikus.

METODE PENELITIAN

Prosedur pembuatan larutan kitosan adalah sebagai berikut : kitosan dilarutkan ke

dalam asam asetat 1% pada temperatur ruang dan dibiarkan semalam dengan pengadukan

mekanik terus menerus untuk mendapatkan larutan 1% (b/v). larutan kitosan kental

berwarna kuning pucat disaring untuk menghilangkan materi yang tidak larut.

Prosedur pembuatan hidrogel sebagai berikut : larutan glutaraldehid 1 % dengan

rasio mol berbeda ditambahkan ke dalam larutan kitosan. Larutan tersebut diaduk selama

30 menit dalam suhu ruang sampai viskositasnya meningkat. Hidrogel yang terbentuk,

dituang lalu diratakan pada plat kaca yang sudah dilapisi kasa steril sebelumnya. Dan

kemudian dikeringkan dalam suhu ruang selama 7 hari (proses dilakukan dengan keadaan

lingkungan steril).

Penelitian ini menggunakan uji FTIR, kemampuan absorbsi, dan uji in vivo untuk

mendapatkan karakteristik hidrogel yang terbaik. Diagram penelitian ini ditunjukkan pada

gambar dibawah ini.

Page 112: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

108 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian

Pada uji in vivo merupakan penelitian eksperimen murni (True Experimental).

Kriteria penelitian true experimental terdiri dari adanya perlakuan, kontrol, replikasi, dan

juga terdapat randomisasi. Desain penelitian ini menggunakan desain penelitian Post-Test

Control Group Design. Skema desain penelitian yang dipakai sebagai berikut:

Page 113: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 109

Gambar 2. Desain Penelitian Karakterisasi In Vivo Komposit Kitosan - Glutaraldehid

Sebagai Wound Dressing.

Populasi penelitian pada uji in vivo ini adalah mencit (Mus musculus) jantan dari

koloni yang sama, umur 2-3 bulan, berat 20-30 gram. Pembagian kelompok dilakukan

dengan cara sampling. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan

keseluruhan obyek penelitian. Pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan cara

simple random sampling. Simple random sampling merupakan pemilihan sampel dengan

cara menyeleksi setiap elemen secara acak. Penjabaran rumus besar sampel :

p (n-1) 15

5 (n-1) 15

5n – 5 15

5n 20

N 4

Untuk mengetahui apakah kitosan dan gluteraldehid telah bercampur (dengan

harapan kedua bahan telah berikatan silang) dilakukan pengujian dengan FT-IR untuk

mengetahui ada tidaknya gugus fungsi senyawa gluteraldehid dan kitosan. Sebelum

dilakukan uji, terlebih dahulu sampel dibentuk pelet dengan ketebalan 1 cm. Setelah itu

sampel dimasukkan tabung dalam perangkat FT-IR dan disinari.

Kemampuan absorbsi dari hidrogel ditentukan dengan menginkubasi hidrogel

pada pH 7,4 di phosphate buffer saline (PBS) pada suhu ruang. Berat basah hidrogel

dihitung selama beberapa kali dengan memberi sponge filter paper untuk

menghilangankan air yang diserap pada permukaan kemudian segera ditimbang dengan

timbangan digital.

Banyaknya air yang terserap pada hidrogel dapat dihitung menggunakan

persamaan

Page 114: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

110 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

E = 𝒎𝒎𝒆𝒆−𝒎𝒎𝒐𝒐𝒎𝒎𝒐𝒐

X 100 %

Dimana E adalah persentase absorb air pada hidrogel. We menunjukkan berat

hidrogel yang telah menyerap PBS dan Wo adalah berat mula-mula. Dilakukan

pengulangan sebanyak 3 kali dan rata-ratanya yang digunakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji kimia fisik menggunakan spektrofotometer FT-IR diketahui bahwa

untuk bahan kitosan dan glutaraldehid 2ml, sudah terjadi reaksi ikatan silang. Ikatan

silang ditunjukkan pada bilangan gelombang 1638,23 dan 1550,49 cm-1 yang mana

merupakan gugus C=O dan NH2.

Gambar 3. Spektrum FTIR hidrogel kitosan + glutaraldehid

Dari hasil uji kemampuan absorbsi semakin banyak jumlah glutaraldehid yang

ditambahkan, semakin menurun kemampuan absorbsinya. Hal tersebut dikarenakan,

rantai yang digunakan kitosan untuk mengikat H2O telah habis dipakai untuk mengikat

glutaraldehid.

Page 115: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 111

Gambar 4. Grafik kemampuan absorbsi berdasarkan penambahan glutaradehid

Dari hasil uji in vivo hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan sembuh pada

hari ke 3, hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan 2 ml sembuh pada hari ke-4,

hewan coba yang diberi kasa hidrogel kitosan 3 ml sembuh pada hari ke-5, hewan coba

yang diberi kasa hidrogel kitosan 4 ml sembuh pada hari ke-6.

Penelitian ini memerlukan sampel yang homogen agar variabel perancu dapat dikurangi

dan hasil yang diperoleh juga homogen, oleh karena itu hewan coba yang digunakan pada

penelitian ini memiliki kriteria yang sama agar dapat dikatakan homogen. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus Musculus) dimana semua hewan

berjenis kelamin sama, mempunyai berat yang sama yaitu sekitar 20-30 gram dan

memiliki umur yang sama yaitu sekitar 2-3 bulan. Pemilihan kriteria tersebut didasarkan

bahwa hewan jantan tidak mengalami siklus menstruasi. Jika menggunakan hewan

berjenis kelamin betina, maka akan mengalami menstruasi yang dapat memicu terjadinya

stress pada hewan. Peningkatan stress akan memicu hormone glukokortikoid yaitu

kortisol yang bersifat imunosupresif.

Jenis penelitian ini menggunakan post test only control group sehingga penilaian

luka hanya dilakukan pada hari ke-3, ke-5 dan ke-7 post insisi. Selain itu penelitian ini

bertujuan untuk membandingkan penggunaan kasa hidrogel paduan kitosan dan

glutaraldehid dengan masing-masing komposisi glutaraldehid sebanyak 2 ml, 3 ml, dan 4

ml terhadap penyembuhan luka insisi dimana hal itu dapat diobservasi ketika proses

penyembuhan luka masih berlangsung, sehingga penilaian hari ke-3, ke-5 dan ke-7 sudah

bisa menggambarkan perbedaan penyembuhan luka insisi pada kelima kelompok.

Penilaian luka dilakukan pada hari ke-3 dan ke-5 karena untuk melihat kondisi luka pada

fase inflamasi, penilaian pada hari ke-7 untuk melihat kondisi luka pada fase proliferasi.

893,39

732,14

560,77

353,97

0

200

400

600

800

1000

sampel A sampel B sampel C sampel D

Grafik Kemampuan Absorbsi

Page 116: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

112 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Penyembuhan luka melibatkan integritas proses fisiologis. Sifat penyembuhan

pada semua luka sama dengan variasinya bergantung pada lokasi, keparahan dan luasnya

cedera, kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau kembali ke struktur

normal melalui pertumbuhan sel juga mempengaruhi penyembuhan luka.

Berdasarkan data yang diperoleh dari uji invivo dengan pengamatan secara

makroskopis pada kelompok yang diberi perlakuan kasa hidrogel kitosan sembuh pada

hari ke-3, kemudian secara berturut-turut kasa hidrogel kitosan + glutaraldehid 2 ml

sembuh pada hari ke-4, kasa hidrogel kitosan + glutaraldehid 3 ml sembuh pada hari ke-5,

kasa hidrogel kitosan + glutaraldehid 4 ml sembuh pada hari ke-6. Sementara itu,

kelompok yang diberi perlakuan kontrol negatif sampai hari ke-7 tak kunjung sembuh,

karena target peneliti hanya mengobservasi hingga hari ke-7 maka tidak dapat dipastikan

kelompok kontrol negatif sembuh hingga hari ke berapa. Sementara mengacu pada

literatur, kelompok kontrol positif atau yang hanya diberi obat komersial berupa

betadine® sembuh pada hari ke-6. Sedangkan berdasarkan uji statistika, pada kemerahan

didapatkan nilai p pada uji ANOVA dua arah sebesar 0,000 pada hari dan 0,000 pada

perlakuan. Karena nilai p < 0,05 artinya ada pengaruh pada kedua variabel (hari dan

perlakuan). Pada cairan luka didapatkan nilai p pada uji ANOVA dua arah sebesar sebesar

0,000 pada hari dan 0,000 pada perlakuan. Karena nilai p < 0,05 artinya ada pengaruh

pada kedua variabel (hari dan perlakuan). Pada tepi luka menyatu didapatkan nilai p pada

uji ANOVA dua arah sebesar 0,000 pada hari dan 0,000 pada perlakuan. Karena nilai p <

0,05 artinya ada pengaruh pada kedua variabel (hari dan perlakuan).

Mengarah pada uji kemampuan absorbsi yang menggunakan larutan PBS dengan

pH 7,4 menghasilkan bahwa kemampuan absorbsi menurun dengan adanya penambahan

derajat ikat silang. Dalam kasus ini dapat dilihat pada perlakuan yang diberi kasa hidrogel

kitosan + glutaraldehid 4 ml, hewan coba sembuh pada hari ke-6. Diduga karena

kemampuan absorb kitosan + glutaraldehid 4 ml menurun maka tidak dapat menyerap

cairan luka secara optimal. Padahal syarat penutup luka yang ideal harus dapat

memelihara lingkungan yang lembab di permukaan luka, memungkinkan pertukaran gas,

bertindak sebagai penghalang bagi mikroorganisme dan menghilangkan kelebihan

eksudat.

Kasa hidrogel yang memiliki karakteristik terbaik dimiliki oleh kitosan

tanpa penambahan glutaraldehid yang dimana hewan coba sembuh pada hari ke-3, sesuai

dengan uji kemampuan absorbsi dan uji invivo. Kasa hidrogel yang terdiri dari kitosan

saja, sembuh lebih cepat dibanding dengan kelompok lain karena kitosan menyediakan

matrix non-protein dalam bentuk 3D pertumbuhan jaringan dan mengaktifkan makrofag

Page 117: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 113

untuk aktivitas tumoricidal (Jayakumar, 2011). Hal tersebut merangsang proliferasi sel.

Selain itu kitosan merupakan hemostat, yang membantu dalam pembekuan darah secara

alami karena kitosan diduga memilki kemampuan sebagai katalis pembekuan darah.

Kitosan juga memiliki sifat biokompatibel, biodegradabel, tidak beracun, antimikroba dan

hydrating agent (Jayakumar, 2011). Tetapi hal tersebut bertentangan dengan sifat

mekanik kitosan yang amorf, sehingga kasa hidrogel mudah robek. Jadi untuk penutup

luka yang ideal, selain dapat memelihara lingkungan yang lembab di permukaan luka,

memungkinkan pertukaran gas, bertindak sebagai penghalang bagi mikroorganisme dan

menghilangkan kelebihan eksudat, penutup luka juga harus mempunyai sifat mekanik

yang unggul. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji sifat mekanik dikarenakan sampel

hidrogel terlalu tipis dan gampang sobek. Penutup luka harus memiliki sifat mekanik

tertentu yang mendekati sifat mekanik kulit. Hal tersebut mengacu pada tabel 4.2.

Tabel 1. Sifat mekanik dari beberapa liteteratur

Tabel diatas menjelaskan tentang sifat mekanik yang telah dilakukan oleh Aisling

pada tahun 2011 dan beberapa peneliti untuk mengetahui sifat mekanik kulit. Sehingga

kedepannya dapat dijadikan acuan untuk pengujian sifat mekanik pada penutup luka

hidrogel ini

Dilihat dari uji FTIR, terlihat bahwa pada penambahan glutaraldehid sebanyak 2

ml, sudah ada reaksi ikat silang antara glutaraldehid dan kitosan yang tampak pada

puncak gelombang 1638,23 dan 1550,49 cm-1 yang mana merupakan gugus C=O dan

NH2.

Ikatan silang diduga dapat memperbaiki sifat mekanik, hal ini terbukti bahwa

semakin banyak glutaraldehid yang ditambahkan semakin menurun kemampuan

Page 118: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

114 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

absorbsinya dikarenakan rantai NH2 dipakai untuk mengikat gugus aldehid pada

glutaraldehid. Dapat dianalogikan, semakin banyak jumlah glutaraldehid yang

ditambahkan, struktur hidrogel semakin padat (pori-pori rongga mengecil), jika struktur

hidrogel semakin padat maka dapat dipastikan sifat mekanik semakin meningkat. Hasil

yang diinginkan dalam penelitian ini adalah mencari komposisi kitosan dan glutaraldehid

yang memenuhi uji kemampuan absorbsi tetapi juga memiliki sifat mekanik yang baik.

Maka dari itu, perbandingan kitosan 50 ml dan glutaraldehid 3 ml yang diperoleh hidrogel

dengan karakteristik yang terbaik. Selain itu pada uji in vivo, kasa hidrogel paduan

kitosan + glutaraldehid 3 ml, hewan coba sembuh pada hari ke 5. Menurut penelitian

yang dilakukan oleh Djamaludin pada tahun 2009, hewan coba yang hanya diberi obat

komersial sembuh pada hari ke-6. Jadi dapat disimpulkan bahwa kitosan + glutaraldehid 3

ml merupakan hidrogel dengan karakteristik yang terbaik, dibuktikan dengan uji

kemampuan absorbsi yang mempunyai nilai E rata-rata 560,7 % dimana hidrogel dengan

karakter yang baik jika hidrogel mampu menyerap air hingga 99 % kandungannya dan uji

invivo yang mana hewan coba sembuh pada hari ke-5.

Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan secara mikroskopis (pengamatan

histopatologi) dikarenakan terkendala biaya dan waktu. Parameter yang diamati pada

pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (neutrofil, makrofag dan

limfosit), jumlah neokapiler, presentasi re-epitalisasi dengan preparat yang digunakan

adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE dan kepadatan jaringan ikat

(fibroblas) dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan

pewarnaan MT.

Presentase re-epitalisasi menurut Low et al (2001) menggunakan rumus, yaitu :

% 𝑅𝑅𝑅𝑅 − 𝑅𝑅𝑒𝑒𝑒𝑒𝑡𝑡𝑡𝑡𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑒𝑡𝑡𝑒𝑒𝑒𝑒 = 𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃 𝑑𝑑𝑅𝑅𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡 𝑅𝑅𝑒𝑒𝑒𝑒𝑡𝑡𝑅𝑅𝑒𝑒 𝐻𝐻𝑡𝑡𝑏𝑏𝑏𝑏𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃𝑡𝑡𝑡𝑡𝑃𝑃 𝑒𝑒𝑏𝑏𝑙𝑙𝑡𝑡 𝑙𝑙𝑅𝑅𝑒𝑒𝑅𝑅𝑒𝑒𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏ℎ𝑡𝑡𝑡𝑡

𝑥𝑥 100%

Perhitungan kepadatan jaringan ikat dilihat dari intensitas jaringan ikat (fibroblas) pada

pewarnaan Masson Trichrome (MT) dengan metode skoring. Adapun kriteria skoring

histopatologi dilakukan dengan acuan sebagai berikut :

Page 119: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari-Juli 2012 115

Skor Keterangan

1 Jaringan ikat sedikit, jarang atau tidak kompak dan tersebar tidak

merata. Luka masih dalam keadaan terbuka

2 Jaringan ikat sedikit tetapi sudah mengumpul dibeberapa tempat. Luka

terbuka atau tertutup

3 Jaringan ikat sudah padat dan kompak. Luka sudah tertutup tetapi

masih terdapat rongga

4 Jaringan ikat padat dan kompak. Luka sudah menutup dan tidak

terdapat rongga

0 Hewan mati

KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa

Kasa hidrogel paduan kitosan dan glutaraldehid dapat diaplikasikan sebagai penutup luka,

dimana sesuai dengan hasil uji invivo yang menunjukkan bahwa pada hewan coba yang

diberi kasa hidrogel campuran kitosan dan glutaraldehid sembuh pada hari ke-4 (kitosan

dan glutaraldehid 2 ml), ke-5 (kitosan dan glutaraldehid 3 ml) dan ke-6 (kitosan dan

gltaraldehid 4 ml). Karakteristik kasa hidrogel campuran kitosan dan glutaraldehid yang

terbaik yaitu pada penambahan glutaraldehid sebanyak 3 ml, dimana rata-rata nilai

kemampuan absorbsinya adalah 560,77 % dan pada uji invivo, hewan coba sembuh pada

hari ke-5.

DAFTAR PUSTAKA

Bagas, 2009, Sintesis Hydrogel. http://www.wordpress.com , Diakses 12 Juli 2012

Basuki, Bagus Rahmat., I Gusti Made Sanjaya, 2009, Sintesis Ikat Silang Kitosan dengan

Glutaraldehid serta Identifikasi Gugus Fungsi dan Derajat Deasetilasinya. Jurnal

ILMU DASAR Vol. 10 No. 1, 93 – 101.

Djamaludin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Krustacea Untuk

Penyembuhan Luka Pada Mencit. Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Matematika

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 120: JFT Vol.1,No.1,Januari 2013

116 Jurnal Fisika dan Terapannya |Vol.1, No.1, Januari 2013

Jayakumar, R., Prabaharan, M., Sudheesh Kumar, P.T., Nair, S.V., Tamura, H. 2011.

Biomaterials Based on Chitin and Chitosan in Wound Dressing Applications. Doi:

10.1016/j.biotechadv.2011.01.005

Novriansyah, Robin, 2008, Perbedaan Kepadatan Kolagen di Sekitar Luka Insisi Tikus

Wistar yang Dibalut Kasa Konvensional dan Penutup Oklusif Hidrokoloid Selama

2 dan 14 Hari. Universitas Diponegoro, Semarang.

Nursalam, 2008, Konsep dan Penerapan Metodologi penelitian Ilmu keperawatan

Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian keperawatan, ed. 2. Jakarta :

Salemba Medika, hal: 77-115.

Rohindra, D.R., Ashveen V. Nand., Jagjit R. Khurma. 2004. Swelling Properties of

Chitosan Hydrogel. The South Pacific Journal of Natural Science 22(1), 32.35

Triyono, Bambang, 2005, Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus

Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan yang Tidak

Diberi Levobupivikain. Universitas Diponegoro Semarang.

Wakidah, Nur. 2009. Pengaruh Ekstrak Cacing Tanah (Lumbricus Rubellus)terhadap

Proses Penyembuhan Luka Terinfeksi Bakteri Staphylococcus Aureus pada Hewan

Coba Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Airlangga Surabaya.

.