jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

52
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Assembly Line balancing Proses perakitan (assembling) merupakan salah satu kegiatan yang ada pada perusahaan manufaktur, dimana keberadaannya sangat penting dalam memproduksi produk yang membutuhkan keseimbangan dalam lintasannya. Menurut Vincent Gasperz (2001:217), lintasan perakitan adalah masalah penentuan jumlah orang atau mesin beserta tugas-tugasnya yang diberikan kepada masing-masing sumber. Setiap work station yang ada pada lintasan produksi mempunyai kecepatan produksi yang berbeda-beda. Jika tidak dilakukan penyesuaian maka akan mengalami pemborosan waktu pada proses produksi. Lintasan perakitan terdiri dari beberapa stasiun kerja yang saling berhubungan yang didasarkan pada urutan elemen pekerjaan. Aktivitas perakitan dapat dibagi menjadi elemen- II-1

Transcript of jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

Page 1: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Assembly Line balancing

Proses perakitan (assembling) merupakan salah satu kegiatan

yang ada pada perusahaan manufaktur, dimana keberadaannya sangat

penting dalam memproduksi produk yang membutuhkan keseimbangan

dalam lintasannya. Menurut Vincent Gasperz (2001:217), lintasan

perakitan adalah masalah penentuan jumlah orang atau mesin beserta

tugas-tugasnya yang diberikan kepada masing-masing sumber. Setiap

work station yang ada pada lintasan produksi mempunyai kecepatan

produksi yang berbeda-beda. Jika tidak dilakukan penyesuaian maka

akan mengalami pemborosan waktu pada proses produksi.

Lintasan perakitan terdiri dari beberapa stasiun kerja yang saling

berhubungan yang didasarkan pada urutan elemen pekerjaan. Aktivitas

perakitan dapat dibagi menjadi elemen-elemen pekerjaan. Elemen

pekerjaan merupakan unit terkecil dari setiap pekerjaan, dimana

aktivitas tersebut memiliki nilai tambah. Dalam proses perakitan suatu

produk, maka produk tersebut harus melewati seluruh lintasan yang

dioperasikan secara berurutan. Ketika salah satu item dari produk

tersebut telah selesai pada stasiun kerja tertentu, maka item yang telah

terselesaikan tersebut dapat diteruskan kepada stasiun kerja berikutnya.

Hal tersebut dilakukan hingga produk tersebut selesai dirakit.

II-1

Page 2: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-2

Menurut Bedworth and Bailey (1987:363), terdapat dua tipe

permasalahan yang terjadi dalam lintasan perakitan, yaitu:

1. Diketahui waktu siklus yang diharapkan dalam suatu lintasan

untuk menentukan jumlah stasiun kerja atau pekerja minimal dalam

melakukan pekerjaan perakitan berdasarkan urutan pengerjaan dan

waktu operasi.

2. Diketahui jumlah pekerja atau stasiun kerja yang tersedia untuk

mencari waktu siklus minimum yang bisa didapatkan berdasarkan

urutan pengerjaan dan waktu operasi.

Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam industri untuk

menyelesaikan proses perakitan (assembly). Menurut Mikell P. Groover,

(1987:139), metode tersebut bisa menggunakan beberapa jenis work

station. Metode tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

1. Manual single station assembly

Manual single station assembly terdiri dari satu tempat kerja yang

kegiatan perakitannya digunakan untuk menyelesaikan satu produk

atau beberapa sub-assembly utama. Metode ini umumnya digunakan

untuk produk yang kompleks dan diproduksi dalam jumlah yang

sedikit dan hanya memproduksi satu produk saja. Tempat kerja

tersebut biasanya terdiri dari satu atau dua orang pekerja tergantung

dari ukuran produk dan rata-rata permintaan produksi.

Contoh produk yang dalam produksinya menggunakan manual

single station assembly yaitu: mesin-mesin industri, komponen

pesawat terbang, kapal, prototype yang berukuran besar, produk

konsumsi (seperti mobil dan alat-alat rumah tangga yang berukuran

besar).

Page 3: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-3

2. Manual assembly lines

Manual assembly lines terdiri dari beberapa work station yang

kegiatan perakitannya digunakan untuk menyelesaikan sebuah

produk atau sub-assembly dimana produk tersebut melewati work

station yang satu hingga work station yang terakhir di sepanjang lini

produksi, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Manual assembly

lines biasa juga disebut manual flow lines. Metode ini biasanya

digunakan untuk memproduksi produk dalam jumlah yang banyak

dimana pada proses produksinya setiap pekerjaan dibagi ke dalam

elemen-elemen pekerjaan yang lebih kecil. Salah satu keuntungan

dari manual assembly lines yaitu adanya spesialisasi pekerjaan

dengan memberikan elemen-elemen pekerjaan yang diulang pada

setiap pekerjaannya. Sehingga seorang pekerja akan lebih ahli

dalam melakukan pekerjaannya sehingga setiap pekerjaan dapat

diselesaikan dengan baik, cepat, dan konsisten.

Gambar 2.1 Diagram manual assembly line

Sumber: Mikell P. Groover, 1987, Automation, Production System and Computer Integrated Manufacturing, Printice Hall International Inc., New Jersey, p. 141

3. Automated assembly lines

Page 4: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-4

Istilah sistem perakitan otomatis (automed assembly) ditujukan

pada penggunaan alat mekanik dan alat perlengkapan dengan sistem

otomatis untuk memberikan berbagai kemudahan pada lintasan

perakitan (assembly line). Kemajuan teknologi telah memotivasi

dunia industri untuk menggunakan teknologi robot. Aplikasi robot

ini didalamnya terdapat proses perakitan yang otomatis. Pada

perkembangannya desain produk telah memberikan dampak yang

signifikan untuk mengurangi penggunaan perakitan manual menjadi

sistem perakitan otomatis.

Salah satu kesulitan automated assembly adalah banyaknya metode

perakitan manual yang menggunakan manusia yang memegang

peranan yang paling menentukan dalam perakitan produk. Beberapa

alat mekanik umumnya digunakan dalam industri saat ini hampir

membutuhkan anatomi khusus dari adanya manusia. Contohnya:

penggunaan sekrup, rivet untuk menyatukan kabinet. Perakitan

manual ini ciri-cirinya adalah menyelesaikan pekerjaan dengan cara

manual dan menggunakan satu stasiun kerja (single station) pada

lintasan perakitannya. Jenis operasi manual umumnya telah

digunakan pada industri selama beberapa tahun dalam perakitan

produk. Penggunaan pekerja ini mengeluarkan biaya yang besar

untuk mempengaruhi kecepatan produksi pada work station.

Pengeluaran biaya yang besar untuk membayar pekerja ini telah

menghasilkan pemeriksaan ulang pada teknologi perakitan dengan

fokus kajian teknologi otomatik.

Dalam menentukan suatu lintasan perakitan yang hanya

menggunakan sigle station, terdapat batasan-batasan yang harus

Page 5: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-5

terpenuhi, seperti halnya yang diungkapkan oleh Bedworth and James E.

Bailey (1987:364). Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. 1≤M≤N

Jumlah stasiun kerja tidak boleh lebih besar dari pada jumlah

operasi yang ada. Selain itu, jumlah minimal stasiun kerja adalah

satu (1).

2. ti≤C

Tidak boleh ada waktu operasi maupun waktu siklus suatu stasiun

kerja yang lebih besar dari waktu siklus yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Perhitungan assembly line balancing baru dapat dilakukan jika

telah diperoleh beberapa informasi mengenai operasi-operasi yang ada

dan waktu siklus yang diharapkan. Informasi yang dibutuhkan tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Precedence constraint

Precedence constraint dapat digambarkan dengan precedence

diagram. Precedence diagram merupakan suatu diagram yang

menggambarkan elemen-elemen pekerjaan yang dikehendaki untuk

terbentuk.yang terdiri dari rangkaian node dan anak panah. Node

menggambarkan suatu operasi yang dilakukan, sedangkan anak

panah menunjukkan aliran operasi.

2. Waktu proses setiap operasi (ti)

Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan elemen

pekerjaan pada suatu stasiun kerja.

3. Waktu silus (C)

Page 6: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-6

Waktu siklus menunjukkan kecepatan suatu produksi. Dalam suatu

lintasan perakitan single station, waktu siklus menjadi suatu

constraint karena tidak boleh ada waktu siklus operasi maupun

waktu siklus dari suatu stasiun kerja yang yang lebih besar dari

pada waktu siklus yang diharapkan. Hal tersebut berbeda dengan

lintasan perakitan yang memiliki stasiun kerja paralel yang

menjadikan waktu siklus bukan sebagai constraint tetapi menjadi

suatu tolak ukur untuk menentukan stasiun kerja mana yang

memerlukan stasiun kerja tambahan.

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam pembentukan

suatu lintasan perakitan adalah untuk mencapai efisiensi lintasan yang

tinggi yang dapat dicapai dengan meminimasi waktu delay pada stasiun

kerja yang terbentuk. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai adalah

tercapainya target produksi yang diharapkan. Tujuan tersebut dapat

dicapai dengan membuat waktu siklus setiap stasiun kerja yang ada

tidak melebihi waktu siklus yang sudah ditetapkan. Untuk dapat

menyelesaikan masalah penyeimbangan lintasan (line balancing) maka

harus diketahui terlebih dahulu metode kerja, mesin atau peralatan yang

digunakan, serta informasi waktu yang dibutuhkan untuk setiap lintasan

kerja.

Prinsip dasar dari suatu lintasan produksi adalah pergerakan atau

aliran dari suatu benda kerja dari seorang pekerja kepada pekerja

lainnya. Atau dengan kata lain, merupakan rangkaian dari urutan proses

pengerjaan yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk. Dengan

demikian, beberapa pekerjaan yang harus dilakukan untuk

menyelesaikan satu unit produk yang dibagi menjadi beberapa stasiun

Page 7: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-7

kerja di sepanjang lintasan produksi. Artinya, seorang pekerja

melakukan pekerjaan yang sama pada setiap benda kerja yang

melewatinya.

Menurut Mikell P. Groover, (1987:144), terdapat beberapa

definisi atau istilah yang digunakan pada lintasan produksi, yaitu:

1. Work element, adalah suatu bagian dari pekerjaan keseluruhan

pada proses perakitan. Work element ini merupakan bagian terkecil

dari pekerjaan dan tidak dapat dibagi atau diuraikan lagi menjadi

bagian yang lebih kecil. Contohnya seperti proses drilling untuk

membuat lubang pada suatu material.

2. Assembly product, adalah suatu produk yang melewati urutan

stasiun kerja, dimana produk dibuat hingga menjadi produk jadi

pada stasiun kerja yang terakhir.

3. Work station, adalah suatu lokasi pada lintasan perakitan yang

terdiri dari elemen-elemen pekerjaan untuk mengerjakan suatu

produk.

4. Cycle time, adalah waktu penyelesaian antara dua perakitan

yang berurutan.

5. Station time, adalah sejumlah waktu dari elemen-elemen

pekerjaan pada stasiun kerja yang sama.

6. Delay time of station, adalah perbedaan antara waktu siklus

dengan jumlah waktu pada suatu stasiun kerja.

7. Precedence diagram, adalah suatu diagram yang

menggambarkan elemen-elemen pekerjaan yang dikehendaki untuk

terbentuk.

Page 8: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-8

Gambar 2.1 (a) dan (b) menunjukkan suatu bentuk tata ruangan

dalam lintasan perakitan. Suatu conveyor mengirimkan dan

memindahkan material yang dibutuhkan pada stasiun kerja. Alat angkut

ditempatkan pada masing-masing stasiun kerja untuk menyimpan,

membongkar dan mengembalikan produk.

Stasiun Kerja

(a) Lintasan perakitan bentuk sejajar/lurus

(b) Lintasan perakitan berbentuk U

Gambar 2.2 Bentuk lintasan perakitan

Sumber: Richard B. Chase and Nicholas J. Aquilano, 1989, Production and Operation Management, University of Shouthern, California USA, p. 374

Page 9: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-9

Dengan lintasan yang berbentuk U perlu dikembangkan

pengintegrasian aliran material ke dalam fasilitas, pekerja, pengawas,

dan efisiensi ruangan. Jika pengangkut harus bergerak dari awal hinggga

akhir lintasan, maka jarak antar stasiun kerja dapat dikurangi.

Sedangkan tata ruang lintasan perakitan yang bentuk sejajar dapat

digunakan untuk lintasan yang panjang. Tetapi tata ruang tersebut

mempunyai kekurangan yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan

yang tersedia untuk suatu lintasan perakitan.

Memiliki lintasan sejajar dapat mengakibatkan kerugian karena

diperlukan tambahan peralatan, dapat menaikan biaya tenaga kerja, dan

perlu adanya perubahan teknologi. Jika suatu mesin tidak dapat

mempercepat suatu pekerjaan maka diperlukan penambahan lintasan.

Dalam menghadapi permasalahan tersebut diperlukan berbagai

pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Meminimasi investasi mesin

dan peralatan, meminimasi pengangkatan maksimum, memperkecil

pergerakan peralatan, dan target produksi harus terpenuhi. Semua

pertimbangan tersebut harus diperhatikan.

Menurut Mikell P. Groover (1987:142), ada tiga jenis lintasan

perakitan (assembly lines) menurut variasi produk, yaitu:

1. Single Model Lines

Dalam model ini semua komponen atau produk dibuat sama oleh

sistem manufaktur.

2. Mix model Lines

Perbedaan komponen atau produk yang dibuat oleh sistem. Tetapi

perbedaan ini dapat ditangani oleh sistem tanpa dibutuhkan

Page 10: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-10

pergantian persiapan secara fisik secara total atau pergantian

peralatan dibutuhkan untuk setiap model.

3. Multi Model Lines

Perbedaan komponen atau produk yang dibuat oleh sistem. Tetapi

komponen dibuat dalam batch karena pergantian persiapan secara

fisik atau pergantian peralatan dibutuhkan untuk setiap model.

Kelebihan dari penyeimbangan lintasan perakitan tunggal yaitu

pekerja dapat merasakan telah melakukan sesuatu yang berguna dan

membuat pekerja merasa bangga dengan hasil pekerjaannya. Kualitas

produk harus dapat ditingkatkan seperti halnya peningkatan kemampuan

kerja. Hal ini memudahkan dalam latihan kerja atau tindakan perbaikan.

Jika suatu stasiun kerja mengalami penurunan maka hanya lintasan

tersebut yang dilakukan perbaikan.

Tabel 2.1 Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan lintasan perakitan tunggal

Kelebihan Kekurangan Mudah menyeimbangkan

beban kerja untuk setiap stasiun kerja,

Meningkatkan fleksibilitas penjadwalan,

Ada nilai tambah untuk setiap pekerjaan,

Meningkatkan kemampuan lintasan,

Meningkatkan kemampuan pekerja.

Ongkos setup yang tinggi,

Ongkos peralatan (mesin) yang tinggi,

Tingginya kebutuhan kemampuan pekerja,

Membutuhkan pandangan yang kompleks.

 

Sumber: Ronald G. Askin and Charles R., 1993, Modeling and Analysis of Manufacturing Systems, John Wiley & Sons Inc., Canada, p. 34

Page 11: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-11

Produk (output) yang dihasilkan dalam lintasan produksi

merupakan hasil penggabungan dari berbagai komponen pendukung.

Gambar 2.2 merupakan gambaran umum dari suatu perakitan komponen

untuk menghasilkan suatu output. Untuk meningkatkan fleksibilitas dan

produktivitas dalam menghasilkan output maka diperlukan buffer.

Penempatan buffer mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan

efektivitas sistem dan invetarisasi biaya. Jika total sistem perakitan

dihentikan pada bagian yang tidak memiliki persediaan komponen maka

lintasan perakitan akan menjadi tidak berfungsi. Dengan adanya buffer

maka stasiun kerja akan bebas beroperasi dan dapat menurunkan

kegagalan mesin, kekurangan sumber atau pekerja, dan perbedaan

kecepatan produksi.

Gambar 2.3 Sistem perakitan yang menggunakan buffer

Sumber: Askin, Ronald G. and Charles R., 1993, Modeling and Analysis of Manufacturing Systems, John Wiley & Sons Inc., Canada, p. 35

Page 12: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-12

Menurut Gasperz (2001:217), terdapat sejumlah langkah

pemecahan dalam line balancing, yaitu:

1. Mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan individual yang

dilakukan;

2. Menentukan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan

setiap pekerjaan;

3. Menentukan precedence diagam, jika ada keterkaitan antar

setiap pekerjaan, seperti terlihat pada Gambar 2.3;

4. Menentukan output dari assembly lines;

5. Menentukan waktu total yang tersedia untuk memproduksi

output;

6. Menghitung cycle time;

7. Memberikan pekerjaan kepada pekerja dengan mesin;

8. Menetapkan work station;

9. Menilai efektivitas dan efisiensi dari solusi;

10. Mencari terobosan alternatif untuk memperbaiki proses.

Gambar 2.4 Precedence diagram yang menggambarkanurutan perakitan

Sumber: Vincent Gaspersz, 2002, Production Planning and Inventory Control, PT. Gramedia, Jakarta, h. 217

Page 13: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-13

2.2 Metode Assembly Line balancing

2.2.1 Metode Heuristik

Yang termasuk ke dalam metode heuristik ini adalah:

1. Metode Bobot Posisi (Ranked Positional Weight)

Mikell P. Groover (1987:154) menjelaskan bahwa metode ini

dikemukakan oleh W.B. Hegelson dan D.P. Birnie pada tahun 1961,

sehingga metode pengurutan bobot posisi ini biasa juga disebut

dengan metode Hegelson-Birnie. Dalam metode ini dijelaskan

bahwa proses perakitan terdiri dari beberapa elemen pekerjaan

dengan urutan ketergantungan terhadap elemen pekerjaan

sebelumnya. Untuk setiap elemen pekerjaan tersebut diberi bobot.

Berdasarkan urutan bobotnya, pekerjaan-pekerjaan dikelompokkan

ke dalam sejumlah stasiun kerja dengan memperhatikan waktu

siklus yang ditetapkan. Bobot dihitung dengan positional weight.

Bobot posisi (positional weight) adalah jumlah dari waktu pekerjaan

tersebut dengan waktu pekerjaan yang mengikutinya. Yang

dimaksud dengan posisi dari suatu pekerjaan adalah jumlah waktu

pelaksanaan pekerjaan tersebut dengan semua waktu pelaksanaan

semua pekerjaan yang mengikutinya.

Metode bobot posisi mempunyai kelebihan dalam kecepatan

pemecahan masalah keseimbangan lintasan perakitan karena

metode ini mudah dan sederhana. Tetapi jika dibandingkan dengan

metode heuristik lainnya, hasil keseimbangan lintasan perakitan dari

metode ini kurang optimal. Metode ini cocok untuk pengambilan

Page 14: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-14

keputusan dalam pemecahan masalah keseimbangan lintasan

perakitan secara cepat dengan usaha yang relatif kecil.

Menurut Hendra Kusuma (2002:97), metode bobot posisi ini dapat

dijelaskan dengan langkah-langkah berikut ini:

a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.

b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang

diinginkan atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu

operasi paling lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan

yang diinginkan.

c. Membuat matriks keterdahuluan (precedence matrix)

berdasarkan precedence diagram.

d. Menghitung bobot posisi setiap operasi yang yang

dihitung berdasarkan jumlah waktu operasi dan operasi- operasi

yang mengikutinya.

e. Mengurutkan operasi yang dimulai dari bobot posisi

terbesar sampai dengan bobot posisi paling kecil.

f. Lakukan pembebanan operasi pada stasiun kerja yang

dimulai dari operasi dengan bobot posisi terbesar sampai

dengan bobot posisi terkecil, dengan kriteria total waku operasi

lebih kecil dari pada kecepatan lintasan yang ditentukan.

g. Menghitung efisiensi rata-rata dari stasiun kerja yang

terbentuk.

h. Gunakan prosedur trial and error untuk mencari

pembebanan yang akan menghasilkan efisiensi rata-rata lebih

besar dari efisiensi rata-rata pada langkah (f) di atas.

Page 15: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-15

i. Ulangi langkah (f) dan (g) sampai tidak ditemukan

lagi stasiun kerja yang memiliki efisiensi rata-rata yang lebih

tinggi.

2. Metode Pembebanan Berurut (Largest-Candidate Rule)

Hendra Kusuma (2002:104) menjelaskan bahwa kelemahan metode

bobot posisi dapat diatasi dengan menggunakan metode Largest-

Candidate Rule. Metode ini dapat dijelaskan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.

b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang diinginkan

atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu operasi paling

lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan yang diinginkan.

c. Membuat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi yang

mengikuti (F) untuk setiap operasi berdasarkan precedence

diagram.

d. Perhatikan baris pada matriks kegiatan pendahulu (P) yang

semuanya terdiri dari angka nol (0), dan dibebankan elemen

pekerjaan yang paling besar yang mungkin terjadi jika ada

lebih dari satu baris yang memiliki elemen nol (0).

e. Perhatikan nomor elemen pada baris matriks kegiatan yang

mengikuti (F) yang sesuai dengan elemen yang ditugaskan.

Setelah itu, kembali perhatikan baris pada matriks (P) yang

ditunjukkan. Kemudian, nomor identifikasi elemen yang telah

dibebankan pada stasiun kerja diganti dengan nol (0).

Page 16: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-16

f. Lanjutkan penugasan elemen-elemen pekerjaan itu pada setiap

stasiun kerja dengan ketentuan bahwa waku total operasi tidak

melebihi kecepatan lintasan yang ditetapkan. Proses ini

dikerjakan hingga semua baris pada matriks (P) bernilai nol (0).

g. Menghitung efisiensi rata-rata dari stasiun kerja yang

terbentuk.

h. Gunakan prosedur trial and error untuk mencari pembebanan

yang akan mengahsilkan efisiensi rata-rata lebih besar dari

efisiensi rata-rata pada langkah (f) di atas.

i. Ulangi langkah (f) dan (g) sampai tidak ditemukan lagi stasiun

kerja yang memiliki efisiensi rata-rata yang lebih tinggi.

Dalam metode Largest-Candidate Rule, elemen-elemen pekerjaan

diatur dalam waktu yang semakin menurun menurut data yang ada

dimulai dari waktu terbesar sampai dengan waktu paling kecil,

seperti yang terlihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Daftar elemen pekerjaan untuk Largest-Candidate Rule

Page 17: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-17

Sumber: Bukchin, J. Rubinovitz, 2001, Mixed-Model Assembly Line Design In Make To Order Environment, Computer and Industrial Engineering, p. 535

3. Metode Pembagian Wilayah (Region Approach)

Hendra Kusuma (2002:106) mengemukakan bahwa metode ini

dikembangkan oleh Bedworth yang bertujuan untuk mengatasi

kekurangan pada metode bobot posisi. Metode ini biasa juga disebut

metode Kilbridge-Wester. Sejak diperkenalkan pada tahun 1961,

metode ini banyak menerima perhatian untuk dipertimbangkan dan

telah berhasil diterapkan pada lintasan beberapa manufaktur.

Metode ini merupakan suatu prosedur heuristik yang memasukkan

elemen-elemen pekerjaan dengan memilih elemen-elemen

pekerjaan yang memiliki keterkaitan. Pendekatan ini

memungkinkan untuk mendapat solusi optimal dengan cara

mengganti pekerjaan antar stasiun kerja untuk mencapai

keseimbangan. Operasi-operasi yang mempunyai tanggung jawab

Page 18: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-18

berat dan berada pada awal harus dijadwalkan terlebih dahulu.

Sehubungan dengan hal tersebut, suatu operasi dengan waktu yang

lebih besar dapat melewati operasi lain yang mempunyai tanggung

jawab ketergantungan jika beberapa operasi dependent lainnya

mempunyai waktu yang lebih kecil. Tanggung jawab

ketergantungan ini maksudnya adalah jika suatu operasi A diikuti

oleh rangkaian operasi lain maka operasi A tersebut mempunyai

tangggung jawab terhadap operasi-operasi lainnya. Jika operasi A

terhambat maka operasi-operasi lainnya akan terhambat.

Pada metode ini, elemen-elemen pekerjaan dalam precedence

diagram diatur ke dalam kolom, seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 2.4. Elemen-elemen pekerjaan tersebut kemudian bisa

diorganisir ke dalam suatu daftar menurut kolom dengan elemen-

elemen pekerjaan dalam kolom yang pertama dibuat terlebih

dahulu.

Langkah dasar metode Region Approach adalah sebagai berikut:

a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.

b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang diinginkan

atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu operasi paling

lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan yang diinginkan.

c. Membagi precedence diagram ke dalam wilayah dari kiri ke

kanan.

Page 19: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-19

d. Urutkan pekerjaan mulai dari waktu operasi paling besar

sampai dengan waktu operasi paling kecil pada setiap wilayah.

e. Perhatikan pula untuk menyesuaikan diri tehadap batas

wilayah. Bebankan pekerjaan dengan urutan sebagai berikut:

1) Daerah paling kiri terlebih dahulu,

2) Kemudian pada setiap wilayah dibebankan pekerjaan

dengan waktu operasi yang terbesar pertama kali.

Gambar 2.5 Precedence Diagram untuk metodeRegion Approach

Sumber: Hendra Kusuma, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, ANDI, Yogyakarta, h. 107

Proses dari pembebanan pekerjaan pada setiap wilayah tersebut

dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3 Daftar elemen pekerjaan menurut wilayah untuk metode Region Approach

Page 20: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-20

Sumber: Bukchin, J. Rubinovitz, 2001, Mixed-Model Assembly Line Design In Make To Order Environment, Computer and Industrial Engineering, p. 537

2.2.2 Metode Analitis atau Matematis

Metode analitis atau matematis adalah model pemecahan masalah

dengan menggunakan persamaan-persamaan atau model-model

matematis agar diperoleh hasil yang optimal. Model matematis ini

digunakan bila persamaan dapat dimodelkan ke dalam model matematis

dan permasalahannya tidak terlalu kompleks. Namun penggunaan model

ini dinilai kurang ekonomis karena menggunakan perhitungan matematis

yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

memperoleh hasilnya.

Pada umumnya, metode matematis dapat memecahkan masalah

keseimbangan lintasan dengan menggunakan operation research.

Program linier adalah salah satu metode dari operation research yang

dapat digunakan untuk memecahkan keseimbangan lintasan. Program

linier dikemukakan oleh M.E. Salveson. Program linier ini memecahkan

persoalan dengan cara mengoptimalkan lintasan perakitan ke dalam

sejumlah kombinasi dan menganalisis kemungkinan untuk menetapkan

Page 21: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-21

kombinasi tersebut menjadi tugas untuk stasiun kerja. Langkah

selanjutnya yaitu berusaha mendapatkan alternatif yang terbaik untuk

menyusun kombinasi menjadi urutan tugas di sepanjang lintasan

perakitan. Napitupulu, Juanda (1998:6) menjelaskan bahwa metode

analitis atau matematis dapat dibagi menjadi:

1. Metode Linier Programming

Metode ini merupakan suatu cara untuk menyelesaikan persoalan

pengalokasian sumber-sumber yang terbatas diantara beberapa

aktivitas yang bersaing dengan cara yang terbaik yang mungkin

dilakukan. Programa linier ini menggunakan model matematis

untuk menjelaskan persoalan yang ada. Persoalan pengalokasian

akan timbul bila seseorang harus memilih tingkat aktivitas tertentu

yang bersaing dalam hal penggunaan sumber daya yang langka

yang dibutuhklan untuk menyelesaikan aktivitas-aktivitas tersebut.

Beberapa contoh situasi dari uraian di atas antara lain adalah

persoalan keseimbangan lintasan perakitan. Sifat linier ini

memberikan arti bahwa seluruh fungsi matematis dalam model ini

merupakan fungsi yang linier, sedangkan kata programa adalah

sinonim untuk perencanaan.

Dengan demikian, programa linier merupakan suatu perencanaan

aktivitas-aktivitas untuk memperoleh hasil yang optimum yaitu

suatu hasil yang mencapai tujuan terbaik diatara seluruh alternatif

yang mungkin. Untuk memformulasikan persoalan tersebut terdapat

beberapa karakteristik yang bisa digunakan, diantaranya:

a. Variabel keputusan

Page 22: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-22

Adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-

keputusan yang akan dibuat, seperti berapa banyak produk

yang harus dibuat.

b. Fungsi tujuan

Adalah fungsi dari variabel keputusan yang dioptimalkan yaitu

mencari nilai manfaat atau keuntungan terbesar (maksimasi)

atau ongkos kerugian terkecil (minimasi). Fungsi tujuan

mendefinisikan ukuran aktivitas dari sistem sebagai fungsi

matematis dari variabel-variabel keputusan.

c. Pembatas

Merupakan batasan fisik dari sebuah sistem.

d. Parameter

Adalah variabel terkendali dari suatu sistem atau informasi

mengeai besaran atau nilai yang ada pada suatu sistem.

Misalnya koefisien-koefisien dari variabel-variabel keputusan

atau jumlah sumber daya yang tersedia.

2. Metode Dynamic Programming

Adalah suatu teknik matematis yang biasanya digunakan untuk

membuat suatu keputusan dari serangkaian keputusan yang saling

berkaitan. Tujuan utama dari model ini adalah untuk

mempermudah penyelesaian persoalan optimasi yang mempunyai

karakteristik tertentu. Ide dasar dari programa dinamis ini adalah

membagi persoalan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan

Page 23: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-23

dalam penyelesaiannya. Berbeda dengan programa linier, programa

dinamis ini tidak ada formulasi matematis yang standar. Oleh

karena itu, persamaan-persamaan yang dipilih untuk digunakan

harus dikembangkan agar dapat memenuhi masing-masing situasi

yang dihadapi. Dengan demikian, antara persoalan yang satu

dengan yang lainnya dapat mempunyai struktur penyelesaian

persoalan yang berbeda. Salah satu pendekatan yang dapat

dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan cara

coba-coba (trial and error).

3. Metode Integer Programming

Metode ini pada intinya berkaitan dengan program-program linier,

dimana beberapa atau semua variabel memiliki integer (bulat) atau

diskrit. Sebuah integer programming dikatakan bersifat campuran

atau murni tergantung pada terdapatnya beberapa atau semua

variabel-variabel terbatas dengan nilai-nilai integer. Kesulitan

perhitungan dengan integer programming adalah karena metode ini

mengarahkan pada penggunaannya untuk mencari alternatif lain

untuk memecahkan persoalan yang ada. Salah satu pendekatan ini

adalah memecahkan model permasalahan sebagai sebuah linier

programming yang kontinyu. Kemudian membulatkan pemecahan

yang optimum ke dalam nilai integer yang terdekat yang layak.

Tetapi tidak terdapat jaminan dalam kasus ini bahwa pemecahan

masalah yang dibulatkan itu akan memenuhi batasan-batasan.

Page 24: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-24

2.2.3 Metode Probabilistik

Para ahli mengenal masalah keseimbangan lintasan perakitan

menggunakan metode probabilistik dengan menggunakan distribusi

yang merupakan data aktual dari waktu operasi. Asumsi dalam model

probabilistik yaitu waktu elemen pekerjaan adalah bervariasi. Dengan

demikian, perancangan kapasitas stasiun kerja didasarkan atas fluktuasi

waktu rata-rata elemen pekerjaan yang merupakan waktu aktual dari

setiap elemen pekerjaan.

Metode probabilistik digunakan untuk memecahkan persoalan

keseimbangan lintasan perakitan yang dikembangkan oleh para ahli

sering kali menemukan kesukaran dalam pemecahan masalahnya.

Kesukaran ini disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan kerja dari

pekerja. Karena kecepatan kerja seseorang tidak konstan, dan akan

berubah-ubah sesuai dengan siklus dan kondisi pekerja.

Dengan terjadinya pembebanan kerja ini akan menimbulkan

variasi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan pada lintasan produksi

tersebut. Salah seorang ahli yang mengembangkan metode probabilistik

adalah Donald Brennecke. Elsayed, Thomas O. Boucher (1985:270)

mengungkapkan bahwa metode ini dikembangkan dengan cara

pendekatan variasi elemen kerja pada lintasan perakitan melalui dua

parameter dari distribusi waktu elemen kerja yang diasumsikan sebagai

distribusi normal. Distribusi merupakan suatu distribusi yang kontinyu

yang paling penting dalam mewakili kumpulan data observasi yang

terjadi. Metode ini dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Distribusi probabilistik normal (Probability distribution is

normal)

Page 25: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-25

2. Distribusi bebas (Distribution free)

2.2.4 Metode Simulasi

Menurut Mikell P. Groover (1987:156), metode ini dibagi

menjadi beberapa bagian, yaitu:

1. COMSOAL (Computer Method of Sequencing

Operation for Assembly Lines)

Merupakan metode yang dikembangkan oleh Perusahaan Chrysler

dan dilaporkan oleh L. Arcus pada tahun 1966. Walaupun program

komputer line balancing tersebut bukan yang pertama kali

dikembangkan, tetapi hal tersebut mempunyai ketertarikan dalam

pembahasan jika dibandingkan dengan pembahasan yang telah ada

sebelumnya. Metode ini digunakan untuk mengurutkan berbagai

solusi alternatif dan mencari solusi yang terbaik.

Prinsip dari metode ini adalah mengelompokkan tugas ke dalam

stasiun kerja dengan pemanfaatan maksimum dari tenaga kerja yang

ekivalen dengan waktu menganggur. Adapun langkah-langkah

dalam metode COMSOAL adalah sebagai berikut:

a. Membuat daftar urutan yang memperhatikan semua elemen

pekerjaan dalam satu kolom dan jumlah total elemen yang

mendahului pada kolom yang berdekatan.

b. Membuat daftar urutan yang memperhatikan elemen pekerjaan

dari daftar yang ada yang tidak memiliki operasi yang

mendahului.

c. Memilih satu elemen secara acak dari daftar yang ada pada

langkah (b).

Page 26: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-26

d. Eliminasi elemen yang dipilih pada langkah (c) dari daftar pada

langkah (a) dan (b). Perubahan dilakukan karena elemen yang

dipilih mungkin menjadi operasi yang mendahuluinya untuk

beberapa stasiun kerja yang lain.

e. Lakukan sekali lagi, pilih elemen dari daftar pada langkah (b)

yang layak untuk waktu siklus.

f. Ulangi langkah (d) dan (e) hingga semua elemen telah

dialokasikan dalam batasan waktu siklus.

g. Pertahankan solusi ini dan ulangi langkah (a) hingga langkah

(f) untuk menentukan solusi yang telah diperbaiki. Jika solusi

yang telah diperbaiki sudah diperoleh maka solusi

permasalahan sudah diperoleh.

2. CALB (Computer Assembly Line balancing or

Computer Aide Line balancing)

Pada tahun 1970-an, sebuah lembaga penelitian Advanced

Manufacturing Methods Program (AMM) IIT yang merupakan

lembaga inti yang melakukan penelitian pada metode line balancing

memperkenalkan metode program komputer line balancing yang

disebut dengan CALB. Metode ini pada akhirnya menjadi standar

metode yang digunakan pada industri-industri. Aplikasi tersebut

meliputi jenis perakitan produk, seperti perakitan automobile dan

truk, peralatan elektronik, peralatan rumah tangga, peralatan militer,

dan lain lain. CALB dapat digunakan untuk single model lines dan

mixed model lines. Untuk kasus single model, data menyediakan

pengunaan program yang terdiri dari identifikasi dari setiap elemen

kerja (Te) untuk setiap elemen pekerjaan, predecessor (elemen

Page 27: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-27

pekerjaan yang mendahului), dan pembatas yang diterapkan pada

lintasan. Hal tersebut dibutuhkan untuk menyeimbangkan lintasan

yang menginforamsikan waktu siklus yang diperbolehkan pada

setiap work station. Program CALB ini dimulai dengan

mengurutkan elemen pekerjaan (Te), dan elemen pekerjaan yang

mendahului. Pada dasarnya, elemen pekerjaan yang diberikan pada

work station merupakan batasan waktu minimum atau maximum

yang diperbolehkan pada work station. Solusi dengan line

balancing ini bisa mengurangi waktu sekitar 2% dari waktu yang

ada. Penggunaan CALB dalam mixed model lines membutuhkan

data tambahan seperti permintaan produksi per shift untuk setiap

model yang dikerjakan pada lintasan produksi. Solusi yang

diperoleh dari metode CALB ini dapat dikatakan optimum.

3. ALPACA (Assembly Line Planning And Control

Activity)

Metode ini dikembangkan oleh General Motor dan diterapkan pada

tahun 1967. ALPACA dapat mengurangi biaya pengemasan sampai

10% dari penggunaan biaya sebenarnya. ALPACA dapat diartikan

sebagai sistem interaktif line balancing yang digunakan untuk

memindahkan pekerjaan dengan cepat dan efisien dari satu stasiun

kerja ke stasiun kerja yang lainnya. Salah satu masalah yang biasa

dihadapi industri otomotif adalah pengembangan jenis mobil dan

pilihannya. Oleh karena itu, ALPACA didesain untuk mengatasi

masalah yang rumit dalam lintasan perakitan yang timbul. Metode

ini dapat mempercepat perubahan dalam penugasan elemen

Page 28: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-28

pekerjaan yang harus dibuat dalam perawatan line balancing dalam

perbuhan aliran produk.

2.3 Mixed Model Assembly Lines

Menurut Bukchin (2001:540), mixed model assembly lines

merupakan lintasan produksi secara manual yang mampu memproduksi

jenis produk (model) yang berbeda-beda secara bersamaan dan

berkelanjutan. Masing-masing stasiun kerja melakukan penggabungan

terhadap elemen pekerjaan. Akan tetapi, stasiun kerja tersebut cukup

fleksibel dan dapat melakukan pekerjaan secara kontinyu terhadap

model yang berbeda. Metode ini termasuk ke dalam pendekatan

heuristik yang digunakan untuk memecahkan masalah

ketidakseimbangan lintasan produksi yang dalam proses produksinya

membuat produk yang lebih dari satu jenis pada waktu yang bersamaan.

Tujuan dari mixed model assembly lines adalah:

1. Memaksimumkan hasil produksi;

2. Meminimalkan waktu siklus;

3. Meminimalkan jumlah stasiun kerja;

4. Meminimalkan waktu delay;

5. Meningkatkan efisiensi lintasan.

Karakteristik dari mixed model assembly lines menurut Bukchin

(2001:407) adalah:

1. Precedence diagram dari semua tipe model dapat dikumpulkan

menjadi kombinasi tunggal precedence diagram.

2. Masing-masing pekerjaan dari kombinasi precedence diagram

dapat dilaksanakan paling sedikit satu model.

Page 29: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-29

3. Waktu pekerjaan diketahui dan tergantung pada jenis model.

4. Memungkinkan adanya ketidaksamaan kecepatan lintasan.

5. Stasiun kerja pertama tidak pernah dimulai dan stasiun kerja

terakhir tidak pernah dihalangi.

6. Kebijakan produksi yang dijalankan adalah make to order atau

make to stock.

Bukchin (2001:540) mengemukakan bahwa perancangan mixed

model assembly lines dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Menggambarkan precedence diagram

Precedence diagram digambarkan dengan tiga langkah, yaitu:

a. Penentuan keterkaitan antar operasi yang satu dengan yang

sebelumnya;

b. Pembuatan precedence matrix, dengan menyatakan nol (0) jika

ada keterkaitan, dan (1) jika tidak ada keterkaitan;

c. Menggambarkan precedence diagram untuk setiap model.

2. Pengelompokan operasi pada wilayah

Operasi dikelompokkan menurut wilayah berdasarkan precedence

diagram dengan mempertimbangkan elemen pekerjaan yang

mendahuluinya. Pengelompokan ini dilakukan dengan cara yang

sama seperti pada model Region approach.

3. Perhitungan waktu siklus

Perhitungan waktu siklus yang didasarkan pada kecepatan produksi

(Rp) yang sesuai dengan permintaan (D). Jika dalam satu tahun

terdapat sebanyak A minggu, jumlah shift per minggu adalah H, dan

Page 30: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-30

jumlah jam per shift adalah S. Maka Rp dihitung dengan persamaan

sebagai berikut:

Rp= ............ 2.1

Waktu Siklus (Tc) diperoleh dari persamaan:

Tc= ............ 2.2

4. Menentukan jumlah stasiun kerja

Jumlah stasiun kerja ( ) diperoleh dengan membagi beban kerja

dalam satuan waktu dengan waktu siklus.

= ............ 2.3

5. Pengelompokan operasi ke dalam stasiun kerja

Pengelompokan operasi ke dalam stasium kerja dilakukan dengan

cara yang sama seperti yang dilakukan pada metode Region

approach.

6. Perhitungan efisiensi lintasan, balance delay, dan panjang

lintasan

Jika Wi adalah waktu pengerjaan elemen ke-i dan TT adalah waktu

siklus stasiun ke-I, maka efisiensi lintasan (Eb) diperoleh melalui

persamaan berikut:

Eb = ............ 2.4

Eb = Efisiensi keseimbangan lintasan;

Page 31: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-31

WL = Beban kerja dari Eq;

= Angka dari pekerja (stasiun kerja);

Max (TTsi) = Nilai maksimum dari total waktu penyelesaian dari

keseluruhan stasiun kerja.

Sedangkan perhitungan balance delay diperoleh melalui persamaan:

Balance Delay = ............ 2.5

Jika (L) adalah panjang lintasan, (Lsi) adalah panjang stasiun kerja

ke-i dan kecepatan conveyor adalah (Vc) dengan jarak stasiun (Sp),

maka L dapat dihitung dengan persamaan:

Ls = Vc*Tc ............ 2.6

L = n*Ls ............ 2.7

7. Peluncuran produksi (Launching)

Peluncuran model dalam lintasan perakitan mixed model sangat

kompleks karena waktu kerja untuk masing-masing model berbeda.

Artinya, waktu pada setiap stasiun kerja berbeda. Hal tersebut

menunjukkan bahwa waktu interval antara peluncuran dan

pemilihan model peluncuran adalah tidak interdependent. Sebagai

contoh: jika urutan rangkaian dari model dengan waktu kerja yang

tinggi diluncurkan pada interval waktu yang singkat maka lintasan

assembly akan cepat dan peluncurannya menjadi padat. Dengan

kata lain, jika urutan rangkaian dari model dengan waktu yang

Page 32: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-32

singkat diluncurkan pada waktu interval yang lama, maka stasiun

kerja akan terpaksa untuk bekerja dan peluncuran tidak padat.

Dalam suatu lintasan, model launching dan masalah line balancing

adalah saling berhubungan. Solusi dari masalah peluncuran model

tergantung dari solusi masalah line balancing. Pengurutan model

(model sequence) dalam peluncuran harus konsisten pada mixed

model yang sama yang digunakan untuk memecahkan masalah line

balancing. Kebijakan lain, beberapa stasiun kerja memungkinkan

adanya idle time yang lebih pada saat stasiun kerja yang lain sibuk.

Model launching ini sangat berpengaruh dalam bentuk mixed

model. Solusi model dari masalah yang diluncurkan tergantung

pada solusi dalam masalah menjaga keseimbangan lintasan. Urutan

model dalam peluncuran terdiri dari model yang sama dan

digunakan untuk memecahkan masalah dalam menjaga

keseimbangan lintasan.

Ada dua alternatif disiplin peluncuran (launching discipline), yaitu:

a. Variable Rate Launching

Peluncuran dengan variable rate launching terjadi jika interval

siklusnya berubah (variabel). Interval ditunjukkan dengan

persamaan:

TCY (j) = ............ 2.8

TCY(j) = Waktu interval variable rate launching;

Twcj = Waktu total pekerjaan;

Er = Efisiensi setup.

Page 33: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-33

b. Fixed Rate Launching

Fixed rate launching adalah menetapkan interval waktu antara

dua peluncuran yang tetap. Interval (TCF) dihitung berdasarkan

efisiensi setup (Er) dengan persamaan sebagai berikut:

Er = ............ 2.9

TCF = ............ 2.10

Rpj = Kecepatan produksi model j;

Twcj = Waktu total pekerjaan.

Karena interval waktu peluncuran tetap, maka waktu siklus

model ke-j dalam posisi peluncuran ke-h (Tcjh) ditunjukan

pada persamaan:

Tcjh (j) = ............ 2.11

Urutan peluncuran (sequence) ditetapkan dengan

memperhatikan persamaan berikut:

Sequence = ............ 2.12

m = Urutan peluncuran pada lintasan.

Persaman tersebut digunakan untuk peluncuran dua model. Jika

model yang diluncurkan ada tiga model atau lebih maka

Page 34: jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc

II-34

persamaan perhitungan peluncuran ditambahkan dengan rumus

berikut:

Sequence = + ............ 2.13

Rpj = Jumlah model ke-j;

Qjm = Jumlah unit model ke-j yang diluncurkan dalam periode

m.