jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc
Transcript of jbptunpaspp-gdl-anwarsanus-4736-2-babii.doc
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Assembly Line balancing
Proses perakitan (assembling) merupakan salah satu kegiatan
yang ada pada perusahaan manufaktur, dimana keberadaannya sangat
penting dalam memproduksi produk yang membutuhkan keseimbangan
dalam lintasannya. Menurut Vincent Gasperz (2001:217), lintasan
perakitan adalah masalah penentuan jumlah orang atau mesin beserta
tugas-tugasnya yang diberikan kepada masing-masing sumber. Setiap
work station yang ada pada lintasan produksi mempunyai kecepatan
produksi yang berbeda-beda. Jika tidak dilakukan penyesuaian maka
akan mengalami pemborosan waktu pada proses produksi.
Lintasan perakitan terdiri dari beberapa stasiun kerja yang saling
berhubungan yang didasarkan pada urutan elemen pekerjaan. Aktivitas
perakitan dapat dibagi menjadi elemen-elemen pekerjaan. Elemen
pekerjaan merupakan unit terkecil dari setiap pekerjaan, dimana
aktivitas tersebut memiliki nilai tambah. Dalam proses perakitan suatu
produk, maka produk tersebut harus melewati seluruh lintasan yang
dioperasikan secara berurutan. Ketika salah satu item dari produk
tersebut telah selesai pada stasiun kerja tertentu, maka item yang telah
terselesaikan tersebut dapat diteruskan kepada stasiun kerja berikutnya.
Hal tersebut dilakukan hingga produk tersebut selesai dirakit.
II-1
II-2
Menurut Bedworth and Bailey (1987:363), terdapat dua tipe
permasalahan yang terjadi dalam lintasan perakitan, yaitu:
1. Diketahui waktu siklus yang diharapkan dalam suatu lintasan
untuk menentukan jumlah stasiun kerja atau pekerja minimal dalam
melakukan pekerjaan perakitan berdasarkan urutan pengerjaan dan
waktu operasi.
2. Diketahui jumlah pekerja atau stasiun kerja yang tersedia untuk
mencari waktu siklus minimum yang bisa didapatkan berdasarkan
urutan pengerjaan dan waktu operasi.
Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam industri untuk
menyelesaikan proses perakitan (assembly). Menurut Mikell P. Groover,
(1987:139), metode tersebut bisa menggunakan beberapa jenis work
station. Metode tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1. Manual single station assembly
Manual single station assembly terdiri dari satu tempat kerja yang
kegiatan perakitannya digunakan untuk menyelesaikan satu produk
atau beberapa sub-assembly utama. Metode ini umumnya digunakan
untuk produk yang kompleks dan diproduksi dalam jumlah yang
sedikit dan hanya memproduksi satu produk saja. Tempat kerja
tersebut biasanya terdiri dari satu atau dua orang pekerja tergantung
dari ukuran produk dan rata-rata permintaan produksi.
Contoh produk yang dalam produksinya menggunakan manual
single station assembly yaitu: mesin-mesin industri, komponen
pesawat terbang, kapal, prototype yang berukuran besar, produk
konsumsi (seperti mobil dan alat-alat rumah tangga yang berukuran
besar).
II-3
2. Manual assembly lines
Manual assembly lines terdiri dari beberapa work station yang
kegiatan perakitannya digunakan untuk menyelesaikan sebuah
produk atau sub-assembly dimana produk tersebut melewati work
station yang satu hingga work station yang terakhir di sepanjang lini
produksi, seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Manual assembly
lines biasa juga disebut manual flow lines. Metode ini biasanya
digunakan untuk memproduksi produk dalam jumlah yang banyak
dimana pada proses produksinya setiap pekerjaan dibagi ke dalam
elemen-elemen pekerjaan yang lebih kecil. Salah satu keuntungan
dari manual assembly lines yaitu adanya spesialisasi pekerjaan
dengan memberikan elemen-elemen pekerjaan yang diulang pada
setiap pekerjaannya. Sehingga seorang pekerja akan lebih ahli
dalam melakukan pekerjaannya sehingga setiap pekerjaan dapat
diselesaikan dengan baik, cepat, dan konsisten.
Gambar 2.1 Diagram manual assembly line
Sumber: Mikell P. Groover, 1987, Automation, Production System and Computer Integrated Manufacturing, Printice Hall International Inc., New Jersey, p. 141
3. Automated assembly lines
II-4
Istilah sistem perakitan otomatis (automed assembly) ditujukan
pada penggunaan alat mekanik dan alat perlengkapan dengan sistem
otomatis untuk memberikan berbagai kemudahan pada lintasan
perakitan (assembly line). Kemajuan teknologi telah memotivasi
dunia industri untuk menggunakan teknologi robot. Aplikasi robot
ini didalamnya terdapat proses perakitan yang otomatis. Pada
perkembangannya desain produk telah memberikan dampak yang
signifikan untuk mengurangi penggunaan perakitan manual menjadi
sistem perakitan otomatis.
Salah satu kesulitan automated assembly adalah banyaknya metode
perakitan manual yang menggunakan manusia yang memegang
peranan yang paling menentukan dalam perakitan produk. Beberapa
alat mekanik umumnya digunakan dalam industri saat ini hampir
membutuhkan anatomi khusus dari adanya manusia. Contohnya:
penggunaan sekrup, rivet untuk menyatukan kabinet. Perakitan
manual ini ciri-cirinya adalah menyelesaikan pekerjaan dengan cara
manual dan menggunakan satu stasiun kerja (single station) pada
lintasan perakitannya. Jenis operasi manual umumnya telah
digunakan pada industri selama beberapa tahun dalam perakitan
produk. Penggunaan pekerja ini mengeluarkan biaya yang besar
untuk mempengaruhi kecepatan produksi pada work station.
Pengeluaran biaya yang besar untuk membayar pekerja ini telah
menghasilkan pemeriksaan ulang pada teknologi perakitan dengan
fokus kajian teknologi otomatik.
Dalam menentukan suatu lintasan perakitan yang hanya
menggunakan sigle station, terdapat batasan-batasan yang harus
II-5
terpenuhi, seperti halnya yang diungkapkan oleh Bedworth and James E.
Bailey (1987:364). Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. 1≤M≤N
Jumlah stasiun kerja tidak boleh lebih besar dari pada jumlah
operasi yang ada. Selain itu, jumlah minimal stasiun kerja adalah
satu (1).
2. ti≤C
Tidak boleh ada waktu operasi maupun waktu siklus suatu stasiun
kerja yang lebih besar dari waktu siklus yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Perhitungan assembly line balancing baru dapat dilakukan jika
telah diperoleh beberapa informasi mengenai operasi-operasi yang ada
dan waktu siklus yang diharapkan. Informasi yang dibutuhkan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Precedence constraint
Precedence constraint dapat digambarkan dengan precedence
diagram. Precedence diagram merupakan suatu diagram yang
menggambarkan elemen-elemen pekerjaan yang dikehendaki untuk
terbentuk.yang terdiri dari rangkaian node dan anak panah. Node
menggambarkan suatu operasi yang dilakukan, sedangkan anak
panah menunjukkan aliran operasi.
2. Waktu proses setiap operasi (ti)
Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakan elemen
pekerjaan pada suatu stasiun kerja.
3. Waktu silus (C)
II-6
Waktu siklus menunjukkan kecepatan suatu produksi. Dalam suatu
lintasan perakitan single station, waktu siklus menjadi suatu
constraint karena tidak boleh ada waktu siklus operasi maupun
waktu siklus dari suatu stasiun kerja yang yang lebih besar dari
pada waktu siklus yang diharapkan. Hal tersebut berbeda dengan
lintasan perakitan yang memiliki stasiun kerja paralel yang
menjadikan waktu siklus bukan sebagai constraint tetapi menjadi
suatu tolak ukur untuk menentukan stasiun kerja mana yang
memerlukan stasiun kerja tambahan.
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam pembentukan
suatu lintasan perakitan adalah untuk mencapai efisiensi lintasan yang
tinggi yang dapat dicapai dengan meminimasi waktu delay pada stasiun
kerja yang terbentuk. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai adalah
tercapainya target produksi yang diharapkan. Tujuan tersebut dapat
dicapai dengan membuat waktu siklus setiap stasiun kerja yang ada
tidak melebihi waktu siklus yang sudah ditetapkan. Untuk dapat
menyelesaikan masalah penyeimbangan lintasan (line balancing) maka
harus diketahui terlebih dahulu metode kerja, mesin atau peralatan yang
digunakan, serta informasi waktu yang dibutuhkan untuk setiap lintasan
kerja.
Prinsip dasar dari suatu lintasan produksi adalah pergerakan atau
aliran dari suatu benda kerja dari seorang pekerja kepada pekerja
lainnya. Atau dengan kata lain, merupakan rangkaian dari urutan proses
pengerjaan yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk. Dengan
demikian, beberapa pekerjaan yang harus dilakukan untuk
menyelesaikan satu unit produk yang dibagi menjadi beberapa stasiun
II-7
kerja di sepanjang lintasan produksi. Artinya, seorang pekerja
melakukan pekerjaan yang sama pada setiap benda kerja yang
melewatinya.
Menurut Mikell P. Groover, (1987:144), terdapat beberapa
definisi atau istilah yang digunakan pada lintasan produksi, yaitu:
1. Work element, adalah suatu bagian dari pekerjaan keseluruhan
pada proses perakitan. Work element ini merupakan bagian terkecil
dari pekerjaan dan tidak dapat dibagi atau diuraikan lagi menjadi
bagian yang lebih kecil. Contohnya seperti proses drilling untuk
membuat lubang pada suatu material.
2. Assembly product, adalah suatu produk yang melewati urutan
stasiun kerja, dimana produk dibuat hingga menjadi produk jadi
pada stasiun kerja yang terakhir.
3. Work station, adalah suatu lokasi pada lintasan perakitan yang
terdiri dari elemen-elemen pekerjaan untuk mengerjakan suatu
produk.
4. Cycle time, adalah waktu penyelesaian antara dua perakitan
yang berurutan.
5. Station time, adalah sejumlah waktu dari elemen-elemen
pekerjaan pada stasiun kerja yang sama.
6. Delay time of station, adalah perbedaan antara waktu siklus
dengan jumlah waktu pada suatu stasiun kerja.
7. Precedence diagram, adalah suatu diagram yang
menggambarkan elemen-elemen pekerjaan yang dikehendaki untuk
terbentuk.
II-8
Gambar 2.1 (a) dan (b) menunjukkan suatu bentuk tata ruangan
dalam lintasan perakitan. Suatu conveyor mengirimkan dan
memindahkan material yang dibutuhkan pada stasiun kerja. Alat angkut
ditempatkan pada masing-masing stasiun kerja untuk menyimpan,
membongkar dan mengembalikan produk.
Stasiun Kerja
(a) Lintasan perakitan bentuk sejajar/lurus
(b) Lintasan perakitan berbentuk U
Gambar 2.2 Bentuk lintasan perakitan
Sumber: Richard B. Chase and Nicholas J. Aquilano, 1989, Production and Operation Management, University of Shouthern, California USA, p. 374
II-9
Dengan lintasan yang berbentuk U perlu dikembangkan
pengintegrasian aliran material ke dalam fasilitas, pekerja, pengawas,
dan efisiensi ruangan. Jika pengangkut harus bergerak dari awal hinggga
akhir lintasan, maka jarak antar stasiun kerja dapat dikurangi.
Sedangkan tata ruang lintasan perakitan yang bentuk sejajar dapat
digunakan untuk lintasan yang panjang. Tetapi tata ruang tersebut
mempunyai kekurangan yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan
yang tersedia untuk suatu lintasan perakitan.
Memiliki lintasan sejajar dapat mengakibatkan kerugian karena
diperlukan tambahan peralatan, dapat menaikan biaya tenaga kerja, dan
perlu adanya perubahan teknologi. Jika suatu mesin tidak dapat
mempercepat suatu pekerjaan maka diperlukan penambahan lintasan.
Dalam menghadapi permasalahan tersebut diperlukan berbagai
pertimbangan dari berbagai sudut pandang. Meminimasi investasi mesin
dan peralatan, meminimasi pengangkatan maksimum, memperkecil
pergerakan peralatan, dan target produksi harus terpenuhi. Semua
pertimbangan tersebut harus diperhatikan.
Menurut Mikell P. Groover (1987:142), ada tiga jenis lintasan
perakitan (assembly lines) menurut variasi produk, yaitu:
1. Single Model Lines
Dalam model ini semua komponen atau produk dibuat sama oleh
sistem manufaktur.
2. Mix model Lines
Perbedaan komponen atau produk yang dibuat oleh sistem. Tetapi
perbedaan ini dapat ditangani oleh sistem tanpa dibutuhkan
II-10
pergantian persiapan secara fisik secara total atau pergantian
peralatan dibutuhkan untuk setiap model.
3. Multi Model Lines
Perbedaan komponen atau produk yang dibuat oleh sistem. Tetapi
komponen dibuat dalam batch karena pergantian persiapan secara
fisik atau pergantian peralatan dibutuhkan untuk setiap model.
Kelebihan dari penyeimbangan lintasan perakitan tunggal yaitu
pekerja dapat merasakan telah melakukan sesuatu yang berguna dan
membuat pekerja merasa bangga dengan hasil pekerjaannya. Kualitas
produk harus dapat ditingkatkan seperti halnya peningkatan kemampuan
kerja. Hal ini memudahkan dalam latihan kerja atau tindakan perbaikan.
Jika suatu stasiun kerja mengalami penurunan maka hanya lintasan
tersebut yang dilakukan perbaikan.
Tabel 2.1 Kelebihan dan kekurangan dari penggunaan lintasan perakitan tunggal
Kelebihan Kekurangan Mudah menyeimbangkan
beban kerja untuk setiap stasiun kerja,
Meningkatkan fleksibilitas penjadwalan,
Ada nilai tambah untuk setiap pekerjaan,
Meningkatkan kemampuan lintasan,
Meningkatkan kemampuan pekerja.
Ongkos setup yang tinggi,
Ongkos peralatan (mesin) yang tinggi,
Tingginya kebutuhan kemampuan pekerja,
Membutuhkan pandangan yang kompleks.
Sumber: Ronald G. Askin and Charles R., 1993, Modeling and Analysis of Manufacturing Systems, John Wiley & Sons Inc., Canada, p. 34
II-11
Produk (output) yang dihasilkan dalam lintasan produksi
merupakan hasil penggabungan dari berbagai komponen pendukung.
Gambar 2.2 merupakan gambaran umum dari suatu perakitan komponen
untuk menghasilkan suatu output. Untuk meningkatkan fleksibilitas dan
produktivitas dalam menghasilkan output maka diperlukan buffer.
Penempatan buffer mempunyai peranan yang penting dalam peningkatan
efektivitas sistem dan invetarisasi biaya. Jika total sistem perakitan
dihentikan pada bagian yang tidak memiliki persediaan komponen maka
lintasan perakitan akan menjadi tidak berfungsi. Dengan adanya buffer
maka stasiun kerja akan bebas beroperasi dan dapat menurunkan
kegagalan mesin, kekurangan sumber atau pekerja, dan perbedaan
kecepatan produksi.
Gambar 2.3 Sistem perakitan yang menggunakan buffer
Sumber: Askin, Ronald G. and Charles R., 1993, Modeling and Analysis of Manufacturing Systems, John Wiley & Sons Inc., Canada, p. 35
II-12
Menurut Gasperz (2001:217), terdapat sejumlah langkah
pemecahan dalam line balancing, yaitu:
1. Mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan individual yang
dilakukan;
2. Menentukan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan
setiap pekerjaan;
3. Menentukan precedence diagam, jika ada keterkaitan antar
setiap pekerjaan, seperti terlihat pada Gambar 2.3;
4. Menentukan output dari assembly lines;
5. Menentukan waktu total yang tersedia untuk memproduksi
output;
6. Menghitung cycle time;
7. Memberikan pekerjaan kepada pekerja dengan mesin;
8. Menetapkan work station;
9. Menilai efektivitas dan efisiensi dari solusi;
10. Mencari terobosan alternatif untuk memperbaiki proses.
Gambar 2.4 Precedence diagram yang menggambarkanurutan perakitan
Sumber: Vincent Gaspersz, 2002, Production Planning and Inventory Control, PT. Gramedia, Jakarta, h. 217
II-13
2.2 Metode Assembly Line balancing
2.2.1 Metode Heuristik
Yang termasuk ke dalam metode heuristik ini adalah:
1. Metode Bobot Posisi (Ranked Positional Weight)
Mikell P. Groover (1987:154) menjelaskan bahwa metode ini
dikemukakan oleh W.B. Hegelson dan D.P. Birnie pada tahun 1961,
sehingga metode pengurutan bobot posisi ini biasa juga disebut
dengan metode Hegelson-Birnie. Dalam metode ini dijelaskan
bahwa proses perakitan terdiri dari beberapa elemen pekerjaan
dengan urutan ketergantungan terhadap elemen pekerjaan
sebelumnya. Untuk setiap elemen pekerjaan tersebut diberi bobot.
Berdasarkan urutan bobotnya, pekerjaan-pekerjaan dikelompokkan
ke dalam sejumlah stasiun kerja dengan memperhatikan waktu
siklus yang ditetapkan. Bobot dihitung dengan positional weight.
Bobot posisi (positional weight) adalah jumlah dari waktu pekerjaan
tersebut dengan waktu pekerjaan yang mengikutinya. Yang
dimaksud dengan posisi dari suatu pekerjaan adalah jumlah waktu
pelaksanaan pekerjaan tersebut dengan semua waktu pelaksanaan
semua pekerjaan yang mengikutinya.
Metode bobot posisi mempunyai kelebihan dalam kecepatan
pemecahan masalah keseimbangan lintasan perakitan karena
metode ini mudah dan sederhana. Tetapi jika dibandingkan dengan
metode heuristik lainnya, hasil keseimbangan lintasan perakitan dari
metode ini kurang optimal. Metode ini cocok untuk pengambilan
II-14
keputusan dalam pemecahan masalah keseimbangan lintasan
perakitan secara cepat dengan usaha yang relatif kecil.
Menurut Hendra Kusuma (2002:97), metode bobot posisi ini dapat
dijelaskan dengan langkah-langkah berikut ini:
a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.
b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang
diinginkan atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu
operasi paling lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan
yang diinginkan.
c. Membuat matriks keterdahuluan (precedence matrix)
berdasarkan precedence diagram.
d. Menghitung bobot posisi setiap operasi yang yang
dihitung berdasarkan jumlah waktu operasi dan operasi- operasi
yang mengikutinya.
e. Mengurutkan operasi yang dimulai dari bobot posisi
terbesar sampai dengan bobot posisi paling kecil.
f. Lakukan pembebanan operasi pada stasiun kerja yang
dimulai dari operasi dengan bobot posisi terbesar sampai
dengan bobot posisi terkecil, dengan kriteria total waku operasi
lebih kecil dari pada kecepatan lintasan yang ditentukan.
g. Menghitung efisiensi rata-rata dari stasiun kerja yang
terbentuk.
h. Gunakan prosedur trial and error untuk mencari
pembebanan yang akan menghasilkan efisiensi rata-rata lebih
besar dari efisiensi rata-rata pada langkah (f) di atas.
II-15
i. Ulangi langkah (f) dan (g) sampai tidak ditemukan
lagi stasiun kerja yang memiliki efisiensi rata-rata yang lebih
tinggi.
2. Metode Pembebanan Berurut (Largest-Candidate Rule)
Hendra Kusuma (2002:104) menjelaskan bahwa kelemahan metode
bobot posisi dapat diatasi dengan menggunakan metode Largest-
Candidate Rule. Metode ini dapat dijelaskan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.
b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang diinginkan
atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu operasi paling
lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan yang diinginkan.
c. Membuat matriks operasi pendahulu (P) dan operasi yang
mengikuti (F) untuk setiap operasi berdasarkan precedence
diagram.
d. Perhatikan baris pada matriks kegiatan pendahulu (P) yang
semuanya terdiri dari angka nol (0), dan dibebankan elemen
pekerjaan yang paling besar yang mungkin terjadi jika ada
lebih dari satu baris yang memiliki elemen nol (0).
e. Perhatikan nomor elemen pada baris matriks kegiatan yang
mengikuti (F) yang sesuai dengan elemen yang ditugaskan.
Setelah itu, kembali perhatikan baris pada matriks (P) yang
ditunjukkan. Kemudian, nomor identifikasi elemen yang telah
dibebankan pada stasiun kerja diganti dengan nol (0).
II-16
f. Lanjutkan penugasan elemen-elemen pekerjaan itu pada setiap
stasiun kerja dengan ketentuan bahwa waku total operasi tidak
melebihi kecepatan lintasan yang ditetapkan. Proses ini
dikerjakan hingga semua baris pada matriks (P) bernilai nol (0).
g. Menghitung efisiensi rata-rata dari stasiun kerja yang
terbentuk.
h. Gunakan prosedur trial and error untuk mencari pembebanan
yang akan mengahsilkan efisiensi rata-rata lebih besar dari
efisiensi rata-rata pada langkah (f) di atas.
i. Ulangi langkah (f) dan (g) sampai tidak ditemukan lagi stasiun
kerja yang memiliki efisiensi rata-rata yang lebih tinggi.
Dalam metode Largest-Candidate Rule, elemen-elemen pekerjaan
diatur dalam waktu yang semakin menurun menurut data yang ada
dimulai dari waktu terbesar sampai dengan waktu paling kecil,
seperti yang terlihat pada Tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2 Daftar elemen pekerjaan untuk Largest-Candidate Rule
II-17
Sumber: Bukchin, J. Rubinovitz, 2001, Mixed-Model Assembly Line Design In Make To Order Environment, Computer and Industrial Engineering, p. 535
3. Metode Pembagian Wilayah (Region Approach)
Hendra Kusuma (2002:106) mengemukakan bahwa metode ini
dikembangkan oleh Bedworth yang bertujuan untuk mengatasi
kekurangan pada metode bobot posisi. Metode ini biasa juga disebut
metode Kilbridge-Wester. Sejak diperkenalkan pada tahun 1961,
metode ini banyak menerima perhatian untuk dipertimbangkan dan
telah berhasil diterapkan pada lintasan beberapa manufaktur.
Metode ini merupakan suatu prosedur heuristik yang memasukkan
elemen-elemen pekerjaan dengan memilih elemen-elemen
pekerjaan yang memiliki keterkaitan. Pendekatan ini
memungkinkan untuk mendapat solusi optimal dengan cara
mengganti pekerjaan antar stasiun kerja untuk mencapai
keseimbangan. Operasi-operasi yang mempunyai tanggung jawab
II-18
berat dan berada pada awal harus dijadwalkan terlebih dahulu.
Sehubungan dengan hal tersebut, suatu operasi dengan waktu yang
lebih besar dapat melewati operasi lain yang mempunyai tanggung
jawab ketergantungan jika beberapa operasi dependent lainnya
mempunyai waktu yang lebih kecil. Tanggung jawab
ketergantungan ini maksudnya adalah jika suatu operasi A diikuti
oleh rangkaian operasi lain maka operasi A tersebut mempunyai
tangggung jawab terhadap operasi-operasi lainnya. Jika operasi A
terhambat maka operasi-operasi lainnya akan terhambat.
Pada metode ini, elemen-elemen pekerjaan dalam precedence
diagram diatur ke dalam kolom, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.4. Elemen-elemen pekerjaan tersebut kemudian bisa
diorganisir ke dalam suatu daftar menurut kolom dengan elemen-
elemen pekerjaan dalam kolom yang pertama dibuat terlebih
dahulu.
Langkah dasar metode Region Approach adalah sebagai berikut:
a. Menghitung kecepatan lintasan yang diinginkan.
b. Kecepatan lintasan adalah kecepatan produksi yang diinginkan
atau kecepatan operasi paling lambat jika waktu operasi paling
lambat itu lebih kecil dari kecepatan lintasan yang diinginkan.
c. Membagi precedence diagram ke dalam wilayah dari kiri ke
kanan.
II-19
d. Urutkan pekerjaan mulai dari waktu operasi paling besar
sampai dengan waktu operasi paling kecil pada setiap wilayah.
e. Perhatikan pula untuk menyesuaikan diri tehadap batas
wilayah. Bebankan pekerjaan dengan urutan sebagai berikut:
1) Daerah paling kiri terlebih dahulu,
2) Kemudian pada setiap wilayah dibebankan pekerjaan
dengan waktu operasi yang terbesar pertama kali.
Gambar 2.5 Precedence Diagram untuk metodeRegion Approach
Sumber: Hendra Kusuma, 2002, Perencanaan dan Pengendalian Produksi, ANDI, Yogyakarta, h. 107
Proses dari pembebanan pekerjaan pada setiap wilayah tersebut
dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Daftar elemen pekerjaan menurut wilayah untuk metode Region Approach
II-20
Sumber: Bukchin, J. Rubinovitz, 2001, Mixed-Model Assembly Line Design In Make To Order Environment, Computer and Industrial Engineering, p. 537
2.2.2 Metode Analitis atau Matematis
Metode analitis atau matematis adalah model pemecahan masalah
dengan menggunakan persamaan-persamaan atau model-model
matematis agar diperoleh hasil yang optimal. Model matematis ini
digunakan bila persamaan dapat dimodelkan ke dalam model matematis
dan permasalahannya tidak terlalu kompleks. Namun penggunaan model
ini dinilai kurang ekonomis karena menggunakan perhitungan matematis
yang cukup rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
memperoleh hasilnya.
Pada umumnya, metode matematis dapat memecahkan masalah
keseimbangan lintasan dengan menggunakan operation research.
Program linier adalah salah satu metode dari operation research yang
dapat digunakan untuk memecahkan keseimbangan lintasan. Program
linier dikemukakan oleh M.E. Salveson. Program linier ini memecahkan
persoalan dengan cara mengoptimalkan lintasan perakitan ke dalam
sejumlah kombinasi dan menganalisis kemungkinan untuk menetapkan
II-21
kombinasi tersebut menjadi tugas untuk stasiun kerja. Langkah
selanjutnya yaitu berusaha mendapatkan alternatif yang terbaik untuk
menyusun kombinasi menjadi urutan tugas di sepanjang lintasan
perakitan. Napitupulu, Juanda (1998:6) menjelaskan bahwa metode
analitis atau matematis dapat dibagi menjadi:
1. Metode Linier Programming
Metode ini merupakan suatu cara untuk menyelesaikan persoalan
pengalokasian sumber-sumber yang terbatas diantara beberapa
aktivitas yang bersaing dengan cara yang terbaik yang mungkin
dilakukan. Programa linier ini menggunakan model matematis
untuk menjelaskan persoalan yang ada. Persoalan pengalokasian
akan timbul bila seseorang harus memilih tingkat aktivitas tertentu
yang bersaing dalam hal penggunaan sumber daya yang langka
yang dibutuhklan untuk menyelesaikan aktivitas-aktivitas tersebut.
Beberapa contoh situasi dari uraian di atas antara lain adalah
persoalan keseimbangan lintasan perakitan. Sifat linier ini
memberikan arti bahwa seluruh fungsi matematis dalam model ini
merupakan fungsi yang linier, sedangkan kata programa adalah
sinonim untuk perencanaan.
Dengan demikian, programa linier merupakan suatu perencanaan
aktivitas-aktivitas untuk memperoleh hasil yang optimum yaitu
suatu hasil yang mencapai tujuan terbaik diatara seluruh alternatif
yang mungkin. Untuk memformulasikan persoalan tersebut terdapat
beberapa karakteristik yang bisa digunakan, diantaranya:
a. Variabel keputusan
II-22
Adalah variabel yang menguraikan secara lengkap keputusan-
keputusan yang akan dibuat, seperti berapa banyak produk
yang harus dibuat.
b. Fungsi tujuan
Adalah fungsi dari variabel keputusan yang dioptimalkan yaitu
mencari nilai manfaat atau keuntungan terbesar (maksimasi)
atau ongkos kerugian terkecil (minimasi). Fungsi tujuan
mendefinisikan ukuran aktivitas dari sistem sebagai fungsi
matematis dari variabel-variabel keputusan.
c. Pembatas
Merupakan batasan fisik dari sebuah sistem.
d. Parameter
Adalah variabel terkendali dari suatu sistem atau informasi
mengeai besaran atau nilai yang ada pada suatu sistem.
Misalnya koefisien-koefisien dari variabel-variabel keputusan
atau jumlah sumber daya yang tersedia.
2. Metode Dynamic Programming
Adalah suatu teknik matematis yang biasanya digunakan untuk
membuat suatu keputusan dari serangkaian keputusan yang saling
berkaitan. Tujuan utama dari model ini adalah untuk
mempermudah penyelesaian persoalan optimasi yang mempunyai
karakteristik tertentu. Ide dasar dari programa dinamis ini adalah
membagi persoalan menjadi lebih kecil sehingga memudahkan
II-23
dalam penyelesaiannya. Berbeda dengan programa linier, programa
dinamis ini tidak ada formulasi matematis yang standar. Oleh
karena itu, persamaan-persamaan yang dipilih untuk digunakan
harus dikembangkan agar dapat memenuhi masing-masing situasi
yang dihadapi. Dengan demikian, antara persoalan yang satu
dengan yang lainnya dapat mempunyai struktur penyelesaian
persoalan yang berbeda. Salah satu pendekatan yang dapat
dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini adalah dengan cara
coba-coba (trial and error).
3. Metode Integer Programming
Metode ini pada intinya berkaitan dengan program-program linier,
dimana beberapa atau semua variabel memiliki integer (bulat) atau
diskrit. Sebuah integer programming dikatakan bersifat campuran
atau murni tergantung pada terdapatnya beberapa atau semua
variabel-variabel terbatas dengan nilai-nilai integer. Kesulitan
perhitungan dengan integer programming adalah karena metode ini
mengarahkan pada penggunaannya untuk mencari alternatif lain
untuk memecahkan persoalan yang ada. Salah satu pendekatan ini
adalah memecahkan model permasalahan sebagai sebuah linier
programming yang kontinyu. Kemudian membulatkan pemecahan
yang optimum ke dalam nilai integer yang terdekat yang layak.
Tetapi tidak terdapat jaminan dalam kasus ini bahwa pemecahan
masalah yang dibulatkan itu akan memenuhi batasan-batasan.
II-24
2.2.3 Metode Probabilistik
Para ahli mengenal masalah keseimbangan lintasan perakitan
menggunakan metode probabilistik dengan menggunakan distribusi
yang merupakan data aktual dari waktu operasi. Asumsi dalam model
probabilistik yaitu waktu elemen pekerjaan adalah bervariasi. Dengan
demikian, perancangan kapasitas stasiun kerja didasarkan atas fluktuasi
waktu rata-rata elemen pekerjaan yang merupakan waktu aktual dari
setiap elemen pekerjaan.
Metode probabilistik digunakan untuk memecahkan persoalan
keseimbangan lintasan perakitan yang dikembangkan oleh para ahli
sering kali menemukan kesukaran dalam pemecahan masalahnya.
Kesukaran ini disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan kerja dari
pekerja. Karena kecepatan kerja seseorang tidak konstan, dan akan
berubah-ubah sesuai dengan siklus dan kondisi pekerja.
Dengan terjadinya pembebanan kerja ini akan menimbulkan
variasi waktu untuk menyelesaikan pekerjaan pada lintasan produksi
tersebut. Salah seorang ahli yang mengembangkan metode probabilistik
adalah Donald Brennecke. Elsayed, Thomas O. Boucher (1985:270)
mengungkapkan bahwa metode ini dikembangkan dengan cara
pendekatan variasi elemen kerja pada lintasan perakitan melalui dua
parameter dari distribusi waktu elemen kerja yang diasumsikan sebagai
distribusi normal. Distribusi merupakan suatu distribusi yang kontinyu
yang paling penting dalam mewakili kumpulan data observasi yang
terjadi. Metode ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Distribusi probabilistik normal (Probability distribution is
normal)
II-25
2. Distribusi bebas (Distribution free)
2.2.4 Metode Simulasi
Menurut Mikell P. Groover (1987:156), metode ini dibagi
menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. COMSOAL (Computer Method of Sequencing
Operation for Assembly Lines)
Merupakan metode yang dikembangkan oleh Perusahaan Chrysler
dan dilaporkan oleh L. Arcus pada tahun 1966. Walaupun program
komputer line balancing tersebut bukan yang pertama kali
dikembangkan, tetapi hal tersebut mempunyai ketertarikan dalam
pembahasan jika dibandingkan dengan pembahasan yang telah ada
sebelumnya. Metode ini digunakan untuk mengurutkan berbagai
solusi alternatif dan mencari solusi yang terbaik.
Prinsip dari metode ini adalah mengelompokkan tugas ke dalam
stasiun kerja dengan pemanfaatan maksimum dari tenaga kerja yang
ekivalen dengan waktu menganggur. Adapun langkah-langkah
dalam metode COMSOAL adalah sebagai berikut:
a. Membuat daftar urutan yang memperhatikan semua elemen
pekerjaan dalam satu kolom dan jumlah total elemen yang
mendahului pada kolom yang berdekatan.
b. Membuat daftar urutan yang memperhatikan elemen pekerjaan
dari daftar yang ada yang tidak memiliki operasi yang
mendahului.
c. Memilih satu elemen secara acak dari daftar yang ada pada
langkah (b).
II-26
d. Eliminasi elemen yang dipilih pada langkah (c) dari daftar pada
langkah (a) dan (b). Perubahan dilakukan karena elemen yang
dipilih mungkin menjadi operasi yang mendahuluinya untuk
beberapa stasiun kerja yang lain.
e. Lakukan sekali lagi, pilih elemen dari daftar pada langkah (b)
yang layak untuk waktu siklus.
f. Ulangi langkah (d) dan (e) hingga semua elemen telah
dialokasikan dalam batasan waktu siklus.
g. Pertahankan solusi ini dan ulangi langkah (a) hingga langkah
(f) untuk menentukan solusi yang telah diperbaiki. Jika solusi
yang telah diperbaiki sudah diperoleh maka solusi
permasalahan sudah diperoleh.
2. CALB (Computer Assembly Line balancing or
Computer Aide Line balancing)
Pada tahun 1970-an, sebuah lembaga penelitian Advanced
Manufacturing Methods Program (AMM) IIT yang merupakan
lembaga inti yang melakukan penelitian pada metode line balancing
memperkenalkan metode program komputer line balancing yang
disebut dengan CALB. Metode ini pada akhirnya menjadi standar
metode yang digunakan pada industri-industri. Aplikasi tersebut
meliputi jenis perakitan produk, seperti perakitan automobile dan
truk, peralatan elektronik, peralatan rumah tangga, peralatan militer,
dan lain lain. CALB dapat digunakan untuk single model lines dan
mixed model lines. Untuk kasus single model, data menyediakan
pengunaan program yang terdiri dari identifikasi dari setiap elemen
kerja (Te) untuk setiap elemen pekerjaan, predecessor (elemen
II-27
pekerjaan yang mendahului), dan pembatas yang diterapkan pada
lintasan. Hal tersebut dibutuhkan untuk menyeimbangkan lintasan
yang menginforamsikan waktu siklus yang diperbolehkan pada
setiap work station. Program CALB ini dimulai dengan
mengurutkan elemen pekerjaan (Te), dan elemen pekerjaan yang
mendahului. Pada dasarnya, elemen pekerjaan yang diberikan pada
work station merupakan batasan waktu minimum atau maximum
yang diperbolehkan pada work station. Solusi dengan line
balancing ini bisa mengurangi waktu sekitar 2% dari waktu yang
ada. Penggunaan CALB dalam mixed model lines membutuhkan
data tambahan seperti permintaan produksi per shift untuk setiap
model yang dikerjakan pada lintasan produksi. Solusi yang
diperoleh dari metode CALB ini dapat dikatakan optimum.
3. ALPACA (Assembly Line Planning And Control
Activity)
Metode ini dikembangkan oleh General Motor dan diterapkan pada
tahun 1967. ALPACA dapat mengurangi biaya pengemasan sampai
10% dari penggunaan biaya sebenarnya. ALPACA dapat diartikan
sebagai sistem interaktif line balancing yang digunakan untuk
memindahkan pekerjaan dengan cepat dan efisien dari satu stasiun
kerja ke stasiun kerja yang lainnya. Salah satu masalah yang biasa
dihadapi industri otomotif adalah pengembangan jenis mobil dan
pilihannya. Oleh karena itu, ALPACA didesain untuk mengatasi
masalah yang rumit dalam lintasan perakitan yang timbul. Metode
ini dapat mempercepat perubahan dalam penugasan elemen
II-28
pekerjaan yang harus dibuat dalam perawatan line balancing dalam
perbuhan aliran produk.
2.3 Mixed Model Assembly Lines
Menurut Bukchin (2001:540), mixed model assembly lines
merupakan lintasan produksi secara manual yang mampu memproduksi
jenis produk (model) yang berbeda-beda secara bersamaan dan
berkelanjutan. Masing-masing stasiun kerja melakukan penggabungan
terhadap elemen pekerjaan. Akan tetapi, stasiun kerja tersebut cukup
fleksibel dan dapat melakukan pekerjaan secara kontinyu terhadap
model yang berbeda. Metode ini termasuk ke dalam pendekatan
heuristik yang digunakan untuk memecahkan masalah
ketidakseimbangan lintasan produksi yang dalam proses produksinya
membuat produk yang lebih dari satu jenis pada waktu yang bersamaan.
Tujuan dari mixed model assembly lines adalah:
1. Memaksimumkan hasil produksi;
2. Meminimalkan waktu siklus;
3. Meminimalkan jumlah stasiun kerja;
4. Meminimalkan waktu delay;
5. Meningkatkan efisiensi lintasan.
Karakteristik dari mixed model assembly lines menurut Bukchin
(2001:407) adalah:
1. Precedence diagram dari semua tipe model dapat dikumpulkan
menjadi kombinasi tunggal precedence diagram.
2. Masing-masing pekerjaan dari kombinasi precedence diagram
dapat dilaksanakan paling sedikit satu model.
II-29
3. Waktu pekerjaan diketahui dan tergantung pada jenis model.
4. Memungkinkan adanya ketidaksamaan kecepatan lintasan.
5. Stasiun kerja pertama tidak pernah dimulai dan stasiun kerja
terakhir tidak pernah dihalangi.
6. Kebijakan produksi yang dijalankan adalah make to order atau
make to stock.
Bukchin (2001:540) mengemukakan bahwa perancangan mixed
model assembly lines dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Menggambarkan precedence diagram
Precedence diagram digambarkan dengan tiga langkah, yaitu:
a. Penentuan keterkaitan antar operasi yang satu dengan yang
sebelumnya;
b. Pembuatan precedence matrix, dengan menyatakan nol (0) jika
ada keterkaitan, dan (1) jika tidak ada keterkaitan;
c. Menggambarkan precedence diagram untuk setiap model.
2. Pengelompokan operasi pada wilayah
Operasi dikelompokkan menurut wilayah berdasarkan precedence
diagram dengan mempertimbangkan elemen pekerjaan yang
mendahuluinya. Pengelompokan ini dilakukan dengan cara yang
sama seperti pada model Region approach.
3. Perhitungan waktu siklus
Perhitungan waktu siklus yang didasarkan pada kecepatan produksi
(Rp) yang sesuai dengan permintaan (D). Jika dalam satu tahun
terdapat sebanyak A minggu, jumlah shift per minggu adalah H, dan
II-30
jumlah jam per shift adalah S. Maka Rp dihitung dengan persamaan
sebagai berikut:
Rp= ............ 2.1
Waktu Siklus (Tc) diperoleh dari persamaan:
Tc= ............ 2.2
4. Menentukan jumlah stasiun kerja
Jumlah stasiun kerja ( ) diperoleh dengan membagi beban kerja
dalam satuan waktu dengan waktu siklus.
= ............ 2.3
5. Pengelompokan operasi ke dalam stasiun kerja
Pengelompokan operasi ke dalam stasium kerja dilakukan dengan
cara yang sama seperti yang dilakukan pada metode Region
approach.
6. Perhitungan efisiensi lintasan, balance delay, dan panjang
lintasan
Jika Wi adalah waktu pengerjaan elemen ke-i dan TT adalah waktu
siklus stasiun ke-I, maka efisiensi lintasan (Eb) diperoleh melalui
persamaan berikut:
Eb = ............ 2.4
Eb = Efisiensi keseimbangan lintasan;
II-31
WL = Beban kerja dari Eq;
= Angka dari pekerja (stasiun kerja);
Max (TTsi) = Nilai maksimum dari total waktu penyelesaian dari
keseluruhan stasiun kerja.
Sedangkan perhitungan balance delay diperoleh melalui persamaan:
Balance Delay = ............ 2.5
Jika (L) adalah panjang lintasan, (Lsi) adalah panjang stasiun kerja
ke-i dan kecepatan conveyor adalah (Vc) dengan jarak stasiun (Sp),
maka L dapat dihitung dengan persamaan:
Ls = Vc*Tc ............ 2.6
L = n*Ls ............ 2.7
7. Peluncuran produksi (Launching)
Peluncuran model dalam lintasan perakitan mixed model sangat
kompleks karena waktu kerja untuk masing-masing model berbeda.
Artinya, waktu pada setiap stasiun kerja berbeda. Hal tersebut
menunjukkan bahwa waktu interval antara peluncuran dan
pemilihan model peluncuran adalah tidak interdependent. Sebagai
contoh: jika urutan rangkaian dari model dengan waktu kerja yang
tinggi diluncurkan pada interval waktu yang singkat maka lintasan
assembly akan cepat dan peluncurannya menjadi padat. Dengan
kata lain, jika urutan rangkaian dari model dengan waktu yang
II-32
singkat diluncurkan pada waktu interval yang lama, maka stasiun
kerja akan terpaksa untuk bekerja dan peluncuran tidak padat.
Dalam suatu lintasan, model launching dan masalah line balancing
adalah saling berhubungan. Solusi dari masalah peluncuran model
tergantung dari solusi masalah line balancing. Pengurutan model
(model sequence) dalam peluncuran harus konsisten pada mixed
model yang sama yang digunakan untuk memecahkan masalah line
balancing. Kebijakan lain, beberapa stasiun kerja memungkinkan
adanya idle time yang lebih pada saat stasiun kerja yang lain sibuk.
Model launching ini sangat berpengaruh dalam bentuk mixed
model. Solusi model dari masalah yang diluncurkan tergantung
pada solusi dalam masalah menjaga keseimbangan lintasan. Urutan
model dalam peluncuran terdiri dari model yang sama dan
digunakan untuk memecahkan masalah dalam menjaga
keseimbangan lintasan.
Ada dua alternatif disiplin peluncuran (launching discipline), yaitu:
a. Variable Rate Launching
Peluncuran dengan variable rate launching terjadi jika interval
siklusnya berubah (variabel). Interval ditunjukkan dengan
persamaan:
TCY (j) = ............ 2.8
TCY(j) = Waktu interval variable rate launching;
Twcj = Waktu total pekerjaan;
Er = Efisiensi setup.
II-33
b. Fixed Rate Launching
Fixed rate launching adalah menetapkan interval waktu antara
dua peluncuran yang tetap. Interval (TCF) dihitung berdasarkan
efisiensi setup (Er) dengan persamaan sebagai berikut:
Er = ............ 2.9
TCF = ............ 2.10
Rpj = Kecepatan produksi model j;
Twcj = Waktu total pekerjaan.
Karena interval waktu peluncuran tetap, maka waktu siklus
model ke-j dalam posisi peluncuran ke-h (Tcjh) ditunjukan
pada persamaan:
Tcjh (j) = ............ 2.11
Urutan peluncuran (sequence) ditetapkan dengan
memperhatikan persamaan berikut:
Sequence = ............ 2.12
m = Urutan peluncuran pada lintasan.
Persaman tersebut digunakan untuk peluncuran dua model. Jika
model yang diluncurkan ada tiga model atau lebih maka
II-34
persamaan perhitungan peluncuran ditambahkan dengan rumus
berikut:
Sequence = + ............ 2.13
Rpj = Jumlah model ke-j;
Qjm = Jumlah unit model ke-j yang diluncurkan dalam periode
m.