jbptunikompp-gdl-s1-2005-fitrianysu-1426-bab-2

68
Bab 2 Tinjauan Pustaka Untuk menyelesaikan suatu masalah, diperlukan tinjauan pustaka yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Pemilihan tinjauan pustaka ini sangat penting agar pemecahan masalah dapat dilakukan. Dalam masalah ini tinjauan pustaka yang digunakan pada intinya adalah pengertian dari Jadwal Induk Produksi (JIP), perencanaan produksi dengan metoda- metoda yang digunakan yang kesemuanya itu terpaut dalam satu lingkungan yang dinamakan Sistem Produksi. 2.1. Konsep Dasar Sistem Produksi Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen struktural dan fungsional. Dalam sistem produksi modern terjadi suatu proses transformasi nilai tambah yang mengubah input menjadi output yang dapat dijual dengan harga kompetitif dipasar.

description

sisma

Transcript of jbptunikompp-gdl-s1-2005-fitrianysu-1426-bab-2

Bab 2

Bab 2

Tinjauan Pustaka

Untuk menyelesaikan suatu masalah, diperlukan tinjauan pustaka yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Pemilihan tinjauan pustaka ini sangat penting agar pemecahan masalah dapat dilakukan. Dalam masalah ini tinjauan pustaka yang digunakan pada intinya adalah pengertian dari Jadwal Induk Produksi (JIP), perencanaan produksi dengan metoda-metoda yang digunakan yang kesemuanya itu terpaut dalam satu lingkungan yang dinamakan Sistem Produksi.

2.1. Konsep Dasar Sistem Produksi

Sistem produksi merupakan sistem integral yang mempunyai komponen struktural dan fungsional. Dalam sistem produksi modern terjadi suatu proses transformasi nilai tambah yang mengubah input menjadi output yang dapat dijual dengan harga kompetitif dipasar.

Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik berikut:

1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berkaitan satu sama lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Hal ini berkaitan dengan komponen struktural yang membangun sistem produksi itu.

2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, yaitu menghasilkan produk (barang atau jasa) berkualitas yang dapat dijual dengan harga kompetitif dipasar.

3. Mempunyai aktivitas berupa proses transformasi nilai tambah input menjadi output secara efektif dan efisien.

4. Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya, berupa optimalisasi pengalokasian sumber-sumber daya.

Sistem produksi memiliki komponen atau elemen struktural dan fungsional yang berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional sistem produksi itu. Komponen atau elemen struktural yang membentuk sistem produksi terdiri dari: bahan (material), mesin dan peralatan, tenaga kerja, modal, energi, informasi, tanah dan lain-lain. Sedangkan komponen atau elemen fungsional terdiri dari: supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, dan kepemimpinan, yang kesemuanya berkaitan dengan manajemen dan organisasi. Suatu sistem produksi selalu berada dalam lingkungan sehingga aspek-aspek lingkungan seperti perkembangan teknologi, sosial dan ekonomi serta kebijakan pemerintah akan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi itu.

2.2. Perencanaan dan Pengendalian Produksi

Pada dasarnya perencanaan produksi yang baik adalah kesanggupan menyediakan jumlah produk yang diinginkan pada waktu yang tepat dan pada jumlah ongkos yang minimum dengan kualitas yang memenuhi syarat. Perencanaan produksi tersebut akan menjadi dasar bagi pembentukan anggaran operasional dan membuat keperluan tenaga kerja serta keperluan jam kerja (jam kerja biasa maupun lembur). Selanjutnya rencana produksi tersebut digunakan untuk menetapkan keperluan peralatan dan tingkat persediaan yang diharapkan.

Dalam mempersiapkan perencanaan produksi, kita harus memikirkan bahwa jika ada permintaan yang harus dipenuhi, terdapat tiga sumber yang dapat digunakan:

a. Produksi yang ada atau yang sedang dilakukan

b. Persediaan yang ada atau yang masih ada digudang

c. Produksi dan persediaan yang masih ada

Satu faktor yang sering menjadi pertimbangan dalam perencanaan produksi adalah kestabilan kemampuan produksi, para pekerja yang mempunyai keahlian yang lebih tinggi dapat menjadikan suatu kemampuan kerja yang stabil. Bagaimanapun bila telah menyangkut keahlian, akan terdapat pengaruh yang serius dari variasi yang tidak normal dalam kekuatan atau kemempuan kerja. Pengaruh-pengaruh ini menunjukkan tidak tersedianya pekerja yang lebih baik, kepentingan gaji yang lebih tinggi, hubungan kerja sesama pekerja yang tidak baik, dan ongkos yang tinggi untuk operasional departemen personalia dalam menyelesaikan keperluan penyewaan, pemberhentian sementara, latihan dan lainnya.

Fungsi utama dari manajemen adalah membuat keputusan-keputusan didalam menetapkan tujuan suatu organisasi yang berkenaan dengan tindakan masa depan yaitu tindakan rencana jangka pendek dan jangka panjang. Aktifitas-aktifitas atau tindakan-tindakan manajerial didalam organisasi berfungsi untuk mencapai tujuan dari keputusan-keputusan tersebut, manajer membuat rencana untuk membantu manajemen dalam membuat keputusan yang baik.

Membuat keputusan adalah suatu masalah yang komplek karena sistem yang kita hadapi demikian kompleksnya dan dalam kenyataannya suatu keputusan biasanya menyangkut banyak kriteria. Kriteria untuk menentukan solusi yang baik misalkan suatu solusi untuk meminimumkan ongkos atau memaksimumkan keuntungan, tetapi kita harus menyadari akan kerumitan didalam membuat keputusan dan mempertimbangkan semua faktor yang terlibat yang berkenaan dengan masalah keputusan.

2.2.1. Sifat dari Keputusan

Proses pengambilan keputusan didahului dengan mengetahui persoalannya, alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif yang memberikan keuntungan yang paling besar dan resiko paling kecil serta paling efektif. Jadi masalah yang akan mempersulit didalam pengambilan keputusan adalah adanya alternatif-alternatif yang harus dipilih sebagai landasan utama tindakan yang harus dilaksanakan.

Proses keputusan akan menjadi lebih sulit bila realisasi yang kita ingin selalu berkenaan dengan nilai-nilai masa depan. Biasanya nilai-nilai seringkali bertentangan dengan yang kita harapkan. Setiap alternatif dapat mempunyai aspek yang diinginkan dan aspek yang tidak diinginkan, sehingga nilai-nilai yang bertentangan ini harus dapat dipadukan, masalahnya bagaimana kita dapat memastikan untuk memperoleh harapan tersebut. Lebih jauh lagi akan timbul suatu pertanyaan, berapa kemungkinan kita memperoleh hasil dari keputusan? Atau sebaliknya? Berapa resiko tidak mencapai hasil keputusan yang diharapkan.

Dengan demikian keputusan sebenarnya adalah suatu alat untuk menyeimbangkan nilai-nilai atau tujuan-tujuan yang paling bertentangan, dapat memulai dan menaksir resiko dan akhirnya memilih suatu jalan atau solusi tindakan. Sehingga pada umumnya proses pengmbilan keputusan adalah suatu usaha untuk mencoba memilih jalan atau tindakan yang mempunyai sifat-sifat yang paling disukai dan menguntungkan.

2.2.2. Fungsi produksi

Produksi dapat didefinisikan sebagai proses mengubah bahan baku menjadi produk jadi, sehingga manajemen yang efektif harus dapat menyediakan produk jadi tersebut dalam jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat (sesuai dengan yang diharapkan), kualitas sesuai dengan kebutuhan, serta biaya atau ongkos yang minimum. Didalam mencapai tujuan-tujuan tersebut biasanya manajemen produksi selalu dilibatkan kepada tiga tahap aktifitas keperluan yaitu keperluan strategis, taktis dan operasional.

2.3. Sistem Perencanaan Produksi Bertingkat

Perencanaan produksi adalah proses penentuan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan suatu operasi manufakturing, serta mengalokasikan sumber-sumber tersebut guna menghasilkan produk dalam jumlah dan kualitas yang diharapkan dengan mengeluarkan ongkos sekecil mungkin, dengan kata lain perencanaan produksi dalam usaha untuk memenuhi demand (permintaan konsumen) selama kurun perencanaan dengan meminimumkan ongkos.

Didalam ruang lingkup produksi, yang dimaksud dengan sumber diantaranya adalah sarana-sarana produksi, tenaga kerja, dan bahan baku. Sedangkan keterbatasan yang dimiliki oleh perusahaan meliputi keterbatasan sumber yang tersedia, batas waktu penyerahan produk jadi ke pemesan, serta kebijaksanaan manajemen seperti penggunaan tenaga kerja seoptimal mungkin, menggunakan bahan baku dalam negeri sebanyak mungkin dan sebagainya.

Dalam penyusunan rencana produksi, manajemen harus mengambil keputusan yang penting diantaranya; kebutuhan tenaga kerja, penentuan kapasitas produk, penentuan tingkat kualitas produk dan sebagainya. Melalui perencanaan produksi akan ditetapkan kerangka kerja mencakup penjadwalan produksi dan mekanisme pengendalian persediaan yang harus dilaksanakan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan dari segi perencanaan produksi adalah untuk mendapatkan pernyataan-pernyataan tentang karakteristik dasar atau kerangka kerja dari operasi manufakturing selama periode perencanaan, kerangka kerja ini dirancang agar tujuan perusahaan dapat tercapai dan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi, meningkatkan produktifitas tenaga kerja, meningkatkan kebutuhan masyarakat serta meminimasi ongkos produksi.

2.3.1. Perencanaan Produksi Agregat

Perencanaan agregat merupakan salah satu metoda dalam perencanaan produksi. Dengan menggunakan perencanaan agregat maka perencanaan produksi dilakukan dengan menggunakan suatu produksi pengganti sehingga keluaran (output) dari perencanaan produksi tersebut tidak dinyatakan dalam tiap jenis produk, tapi merupakan tingkat tipe produk secara keseluruhan.

Tujuan dari perencanaan agregat adalah untuk mengoptimalkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia yang dimiliki oleh perusahaan. Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya konsep perencanaan agregat yang tercakup didalam sistem perencanaan produksi bertingkat yaitu:

1. Seandainya perusahaan menghasilkan produk dengan jenis yang sangat banyak, maka selain diperlukan usaha yang cukup berat untuk mengumpulkan data, juga dibutuhkan perhitungan-perhitungan atau pengolahan data yang menuntut waktu dan ongkos yang tinggi. Dengan memiliki produksi agregat, maka ongkos serta usaha yang perlu disediakan menjadi lebih sedikit sesuai dengan berkurangnya jumlah data yang harus diolah.

2. Berkenaan dengan ketelitian data, taksiran yang dibuat untuk produk agregat akan mengurangi kesalahan seandainya peramalan dilakukan untuk setiap jenis produk kecuali jika jenis-jenis produk tersebut saling berkorelasi dengan sempurna, berkurangnya perhitungan peramalan yang perlu dilakukan membuat kita dapat menerapkan teknik-teknik peramalan yang lebih canggih. Selain itu manajemen akan mempunyai lebih banyak waktu luang untuk melakukan analisa-analisa serta membangun model perencanaan produksi yang lebih realistis, hal-hal tersebut akan memperbaiki kualitas keputusan yang akan diambil.

3. Dilihat dari segi penerapannya, perencanaan dalam tingkat agregat menimbulkan kemudahan dalam upaya untuk dapat memahami mekanisme sistem produksi yang terjadi. Jika ada seribu item yang direncanakan satu persatu secara serentak, maka sensitifitas dari hasil yang akan diperoleh akibat perubahan nilai pada suatu item sangat sulit untuk dijajaki, hal ini dapat terjadi karena kombinasi perubahan yang harus diperhatikan. Walaupun kadang-kadang manajemen perlu diperhatikan secara terperinci, namun pimpinan seringkali merasa lebih suka dan lebih mudah untuk melihatnya secara menyeluruh (agregat).

Beberapa alasan dalam memilih perencanaan agregat:

a. Mudah dalam pengolahan data, dalam artian bahwa dengan menggunakan satuan agregat maka pengolahan data tidak dilakukan untuk setiap produk individu. Keuntungan ini akan semakin terasa jika perusahaan yang bersangkutan memproduksi banyak jenis produk.

b. Ketelitian hal yang didapat, artinya dengan hanya mengolah satu jenis data maka semakin besar kemungkinan ketelitian yang didapat semakin tinggi karena variabel yang digunakan sedikit.

2.3.1.1. Metoda-metoda Perencanaan Produksi AgregatAda beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada perencanaan produksi agregat.

Metoda-metoda dalam perencanaan produksi agregat dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu :

1. Metoda Optimasi

a. Linier Decision Rule

b. Search Decision Rule

c. Transportasi

2. Metoda Heuristik

a. Metoda Tabel

b. Metoda Parametrik

c. Metoda Koefisien Manajemen

Dibawah ini akan dibahas bagaimana kegunaan masing-masing metoda dalam penerapannya dengan kasus ini :.

a. Metoda Linier Decision Rule

Sering digunakan dalam perencanaan produksi, hanya saja dalam metoda ini kurva ongkos dipaksa membentuk kurva kuadratis, metoda ini juga memerlukan rumus yang panjang untuk mendapatkan persamaan yang diinginkan dari banyaknya perhitungan yang harus dilakukan jika jumlah variable dan persamaan pembatasnya banyak.

b. Metoda Search Decision Rule (SDR)

Mampu untuk mendapatkan suatu solusi optimal, tetapi pemakaiannya sangat rumit karena bentuk ongkos pada model ini akan terbentuk keputusan multi tahap dimana setiap tahap menyatakan keadaan system pada setiap perioda perencanaan.

c. Metoda Transportasi

Metode transportasi adalah suatu metode yang digunakan untuk mengatur distribusi dari sumber-sumber yang menyediakan produk yang sama ke tempat-tempat tujuan secara optimal. Dengan menggunakan metode transportasi, dapat diperoleh suatu alokasi distribusi barang yang dapat meminimalkan total biaya transportasi.

Selain untuk mengatur distribusi pengiriman barang, metode transportasi juga dapat digunakan untuk masalah lain, seperti penjadwalan dalam proses produksi agar memperoleh total waktu proses pengerjaan yang terendah.

Ada beberapa cara dalam model transportasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan , antara lain:

Metode pojok kiri atas-pojok kanan bawah (northwest corner).

Metode ongkos terkecil (least cost).

Metode pendekatan Vogel (Vogels approximation method,VAM).

Metoda ini berusaha meminimumkan biaya yang dikeluarkan dengan cara memproduksi sebanyak mungkin pada keadaan normal, baru kemudian dengan cara lembur. Ongkos yang terlibat dari metoda ini adalah ongkos lembur, regular atau ongkos overtime.

d. Metoda Tabel

Metoda ini adalah metoda yang paling populer karena mudah dimengerti dan digunakan. Pendekatannya dilakukan dengan cara uji coba (trial and error), selain itu metode ini hanya memerlukan sedikit perhitungan dan dapat dilaksanakan oleh para ahli staff.

e. Metoda Parametrik

Metoda ini tidak dapat menjamin pemecahan dengan ongkos terendah karena perhitungan kombinasi parameter tidak dilakukan dengan kontinu, karena tidak dapat mendeteksi perbedaan antara hasil yang didapat dengan keadaan optimal yang sebenarnya.

f. Metoda Koefisien Manajemen

Metoda ini lebih cocok digunakan sebagai input bagi manajemen untuk pengembangan keputusan secara intuitif, karena tujuan metoda ini lebih diarahkan untuk menjaga konsistensi dalam pengmbilan keputusan.Pada perencanaan produksi bertingkat, perencanaan untuk tingkat agregat dibuat terlebih dahulu, kemudian dilakukan disagragasi pada family atau item untuk setiap tipe produk, hasil perencanaan agregat digunakan sebagai pembatas. Hasil dari disagregasi merupakan Jadwal Induk Produksi (JIP), yang menjadi masukan untuk membuat rencana kebutuhan material.

2.3.2. Proses Disagregasi

Setelah perencanaan produksi dilakukan selanjutnya adalah melakukan proses disagregasi pada tingkat produk individu. Tujuan dari proses disagregasi adalah proses menguraikan hasil yang didapat pada perencanaan agar menjadi jadwal produk tingkat item (produk individu).

2.3.2.1. Disagregasi Metoda Britain dan HaxSecara konseptual, Britain dan Hax menyarankan pendekatan disagregasi famili sebagai berikut:

1. Memilih family (keluarga) produk yang akan diproduksi pada perioda yang bersangkutan.Katakanlah bahwa suatu family i produk akan diproduksi apabila salah satu item j dari family i tersebut memiliki syarat sebagai berikut:Iijt-1 Dijt SsijDimana :

Iijt-1 = tingkat persediaan pada akhir periode I-1 dari item j family i.

Dijt = permintaan item j family I pada periode t.

Ssij = cadangan pengamanan item j dalam family i2.Menentukan jumlah yang harus diproduksi tiap item dalam satu family setiap bulannya.

Y =

Dimana :

Y = total jumlah item dalam family yang harus dibuat.

Sc = Setup cost mesin

Kij = Faktor konversi item

Dijt = permintaan item j family I pada periode t.

2.3.2.2. Metoda Equalization of Run Out Time (EROT)Suatu alternatif yang jelas dari metode disagregasi adalah mengalokasikan jumlah produksi yang ditetapkan pada tingkat perencanaan agregat untuk tipe produk dengan metode yang disebut Equalization of Run Out Time dari semua item tipe produk i. Metode ini ternyata melampaui tingkat famili sebagai tahapan disagregasi. Metode Equalization of Run Out Time (EROT) adalah metode disagregasi yang diterapkan pada tingkat item. Metode ini identik dengan metode EROT untuk disagregasi item, dimana teknik-teknik yang terperinci akan diuraikan pada sub bab berikutnya, yaitu pada disagregasi item.Metode EROT secara langsung diterapkan pada tingkat item, disini tidak mempertimbangkan ongkos set up yang berkaitan dengan jumlah produksi famili, yang mengharapkan bahwa prosedur disagregasi akan menghasilkan ongkos set up yang lebih baik. Keuntungan yang mungkin terjadi pada metode EROT dengan disagregasi langsung tipe produk kepada item-itemnya adalah terjadinya sinkronisasi (keserempakan) yang tinggi dari sistem perencanaan produksi, serta kesederhanaan di dalam melaksanakan sistem perencanaan bertingkat.

Adapun perumusan modelnya adalah sebagai berikut :

dimana :

Zk,t = jumlah unit item k yang diproduksi

Al k = persediaan yang ada dari item k

SSk = persediaan pengaman item k

Dk = ramalan permintaan item k

K = kumpulan semua item dari tipe yang bersangkutan

Xt = jumlah produksi tipe hasil perencanaan agregasi yang dialokasikan pada item-itemnya.

2.4. Jadwal Induk Produksi

2.4.1. Definisi Jadwal Induk Produksi

Jadwal Induk Produksi (MPS) adalah suatu set perencanaan yang mengidentifikasi kuantitas dari item tertentu yang dapat dan akan dibuat oleh suatu perusahaan manufaktur (dalam satuan waktu).

2.4.2. Konsep Dasar JIP

Pada dasarnya jadwal induk produksi merupakan suatu perencanaan tentang produk akhir dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. MPS mendisagregasikan dan mengimplementasikan rencana produksi. Apabila rencana produksi yang merupakan hasil dari proses perencanaan produksi dinyatakan dalam bentuk agregat.

Aktivitas penjadwalan induk produksi pada dasarnya berkaitan dengan bagaimana menyusun dan memperbaharui MPS, memproses transaksi dari MPS, memelihara catatan-catatan MPS, mengevaluasi efektifitas dari MPS, dan memberikan laporan evaluasi dalam periode waktu yang teratur untuk keperluan umpan balik dan tinjauan ulang. Berdasarkan uraian diatas, kita mengetahui bahwa MPS berkaitan dengan pernyataan tentang produksi dan bukan pernyataan tentang permintaan pasar. MPS sering didefinisikan sebagai anticipated build schedule untuk item-item yang disusun oleh perencana jadwal induk produksi (MPS). MPS membentuk jalinan komunikasi antara bagian pemasaran dan bagian manufakturing, sehingga seyogyanya bagian pemasaran juga mengetahui informasi yang ada dalam MPS terutama berkaitan dengan ATP (Available To Promise) agar dapat memberikan janji yang akurat kepada pelanggan.

Penjadwalan Induk Produksi berkaitan dengan aktivitas untuk melakukan 4 fungsi utama yaitu :

1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas .

2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian untuk item-item MPS.

3. memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas.

4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk kepada pelanggan.Sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan induk produksi (MPS) membutuhkan 5 input utama seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Data Permintaan Total

Merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan induk produksi. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders). Status Inventori

Berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory,stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus dipesan.

Rencana Produksi

Memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventory dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu.

Data Perencanaan

Berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master Fil).

Informasi dari RCCP

Berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. RCCP menentukan kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS, menguji kelayakan dari MPS, dan memberikan umpan balik kepada perencana atau penyusun jadwal induk produksi (master scheduler) untuk mengambil tindakan perbaikan apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian antara penjadwalan induk produksi dan kapasitas yang tersedia.

Gambar 2.1. Proses Penjadwalan Induk ProduksiSumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,19982.4.3. Fungsi JIP

Menjadwalkan jumlah tiap item yang akan diproduksi.

Memberikan input bagi MRP (Material Requirement Planning).

Sebagai dasar bagi pembuatan perencanaan sumber daya (RCCP).

Merupakan dasar untuk menetapkan janji pengiriman pada konsumen.

2.4.4. Tujuan JIP

Mencapai target tingkat produksi tertentu.

Memenuhi target tingkat pelayanan terhadap konsumen.

Effisiensi penggunaan sumber daya produksi.

2.4.5. Informasi Yang Dibutuhkan Untuk Membuat JIP

Production Plan

Demand data

Inventory status

Ordering policy2.4.6. Item-item JIP

Kriteria dasar :

Jenis item tidak terlalu banyak

Kebutuhannya dapat diramalkan

Mempunyai BOM, sehingga kebutuhan komponen dapat dihitung.

Dapat diperhitungkan dalam penentuan kapasitas

Menyatakan konfigurasi produk yang dapat dikirim.

2.4.7. Beberapa Pertimbangan Dalam Desain JIP

Ketika akan mendesain MPS, ada beberapa faktor utama yang menentukan proses penjadwalan induk produksi (MPS). Beberapa faktor utama itu adalah :1. Lingkungan manufakturing.

Lingkungan manufakturing sangat menentukan proses penjadwalan induk produksi (MPS). Lingkungan manufakturing yang umum dipertimbangkan ketika akan mendesain MPS adalah :

Make-to-stock

Make to stock adalah tipe industri yang membuat produk akhir untuk disimpan.

Produk-produk dari lingkungan make to stock biasanya dikirim secara langsung dari gudang produk akhir, dan karena itu harus ada stok sebelum pesanan pelanggan (customer order) tiba. Hal ini berarti produk akhir harus dibuat atau diselesaikan terlebih dahulu sebelum menerima pesanan pelanggan.

Ciri-ciri Make to Stock:

Standard item, high volume

Terus menerus dibuat,lalu disimpan

Harga wajar

Pengiriman dapat dilakukan segera

Customer tidak mau menunggu

Perlu adanya safety stock untuk mengatasi fluktuasi

Contoh : Coca Cola,gula,semen,baut. Make-to-order

Make to order adalah tipe industri yang membuat produk hanya untuk memenuhi pesanan.

Produk-produk dari lingkungan make to order biasanya baru dikerjakan atau diselesaikan setelah menerima pesanan pelanggan. Seringkali komponen-komponen yang mempunyai waktu tunggu panjang (long lead time) direncanakan atau dibuat lebih awal guna mengurangi waktu tunggu penyerahan kepada pelanggan, apabila pelanggan memesan produk.

Ciri-ciri Make to Order :

Inputnya bahan baku

Biasanya untuk supply Item dengan banyak jenis

Harga cukup mahal

Lead time ditetapkan oleh konsumen/ pesaing.

Perlu keahlian khusus.

Komponen bisa dibeli untuk persediaan.

Contoh : Mobil balap, super komputer, alat berat,restoran.

Assemble-to-order

Assemble to order adalah tipe industri yang membuat produk dengan cara assembling hanya untuk memenuhi pesanan.

Pada dasarnya produk-produk dalam lingkungan assemble to order adalah make to order product, dimana semua komponen (semifinished, intermediate, subassembly, fabricated, purchased, packaging, dan lain-lain) yang digunakan dalam assembly, pengepakan, atau proses akhir, direncanakan atau dibuat lebih awal, kemudian disimpan dalam stok guna mengantisipasi pesanan pelanggan.

Ciri-ciri Assemble to Order:

Inputnya komponen

Untuk Supply item dengan banyak jenis

Harganya cukup mahal

Lead Time ditetapkan oleh konsumen

Contoh : KFC

2. Struktur Produk

Struktur produk atau bill of materials (BOM) didefinisikan sebagai cara komponen-komponen yang bergabung kedalam suatu produk selama proses manufakturing. Struktur produk typical akan menunjukkan bahan baku yang dikonversikan kedalam komponen-komponen yang fabrikasi, kemudian komponen-komponen itu bergabung secara bersama untuk membuat subassemblies, kemudian subassemblies bergabung bersama membuat assemblies, dan seterusnya sampai produk akhir. Struktur produk sering ditampilkan dalam bentuk gambar (chart format). Seringkali untuk keperluan peramalan dan perencanaan digunakan pendekatan Planning terhadap struktur produk atau BOM, sehingga dikenal adanya Planning BOM. Metode planning BOM ini akan mengijinkan perencana untuk memenuhi tujuan-tujuan operasi maupun nonoperasional yang lain. Biasanya pendekatan planning BOM akan efektif apabila terdapat perubahan proses yang meningkat dan lingkungan yang kompetitif serta dinamik. Planning BOM didefinisikan sebagai suatu pengelompokkan artificial dari item-item dan atau kejadian-kejadian dalam format BOM. Itu dipergunakan untuk memudahkan penjadwalan induk produksi (MPS) atau perencanaan kebutuhan material (MRP).

Planning BOM tidak menggambarkan produk aktual yang akan dibuat, tetapi menggambarkan pseudo product atau composite product yang diciptakan untuk memudahkan dan meningkatkan akurasi peramalan penjualan, mengurangi jumlah end items, membuat proses perencanaan dan penjadwalan menjadi lebih akurat, menyederhanakan pemasukan pesanan pelanggan (customer order entry), menciptakan sistem pemeliharaan dan penyimpanan data yang efisien dan fleksibel, serta melakukan penjadwalan dua tingkat (two-level MPS). Jenis BOM yang dipakai untuk keperluan perencanaan ini sering disebut sebagai : planning bill of materials (planning BOM) atau sering disingkat sebagai planning bill, yang dapat dibagi kedalam dua jenis,yaitu :

Planning bills dengan item yang dijadwalkan merupakan komponen atau subassemblies untuk pembuatan produk akhir (end items), dimana item-item yang dijadwalkan itu secara fisik lebih kecil daripada produk akhir (end items). Termasuk kedalam kategori ini adalah modular bill of material dan inverted bill of material. Planning bills dengan item yang dapat dijadwalkan memiliki produk akhir sebagai komponennya (super bills), dimana item-item yang dijadwalkan secara fisik lebih besar daripada produk akhir. Termasuk dalam kategori ini adalah : super bill of material, super family bill of material, dan super modular bill of material.

3. Horizon Perencanaan, waktu tunggu produk (product lead time) dan production time fences.Di samping faktor lingkungan manufakturing dan struktur produk, ada faktor-faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain MPS, yaitu horizon perencanaan, waktu tunggu produk, dan production time fences.

Memperhatikan faktor horizon perencanaan, waktu tunggu produk dan production time fences dalam proses desain MPS mengharuskan kita untuk bekerja secara profesional terutama yang berkaitan dengan manajemen waktu. Ada tiga aspek yang berkaitan dengan manajemen waktu dalam proses desain MPS.

Panjang horizon perencanaan. Horizon perencanaan didefinisikan sebagai periode waktu mendatang terjauh dari jadwal produksi. Biasanya ditetapkan dengan memperhatikan waktu tunggu kumulatif (cumulative Lead Time) ditambah waktu untuk lot-sizing komponen-komponen level rendah dan perubahan kapasitas dari pusat-pusat kerja utama (primary work centers). Perlu diperhatikan bahwa dalam menetapkan horizon perencanaan harus dipertimbangkan aspek-aspek berikut: horizon perencanaan paling sedikit sepanjang waktu tunggu produk kumulatif, additional visibility lebih disukai, panjang dari horizon perencanaan harus sama dengan banyaknya periode dikalikan dengan panjang dari setiap periode (H = L*N , dimana H: = horizon, L: = Length of period, dan N = Number of Periods). Horizon perencanaan dari MPS ditunjukkan dalam bentuk yang lebih sederhana seperti tampak dalam Gambar 2.2

Gambar 2.2. MPS Planning Horizon

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998 Waktu Tunggu Produksi

Waktu tunggu didefinisikan sebagai lama waktu menunggu sejak penempatan pesanan (memesan) sampai memperoleh pesanan itu. Dalam sistem produksi, waktu tunggu berkaitan dengan waktu menunggu diproses, bergerak atau berpindah, antri, setup, dan run time untuk setiap komponen yang diproduksi. Pada dasarnya horizon perencanaan dibagi kedalam empat aktivitas operasi, yang masing-masing mempunyai waktu tunggu. Waktu tunggu dari keempat aktifitas operasi itu adalah : waktu tunggu proses pesanan dan pengiriman, waktu tunggu final assembly, untuk tunggu component assembly, dan waktu tunggu perolehan material dan rekayasa. Time Fences

Perubahan-perubahan dalam MPS akan menjadi sulit, kacau (disruptive), dan mahal (costly), apabila dibuat pada saat mendekati waktu penyelesaian produk.

Untuk menstabilkan jadwal dan memberikan keyakinan bahwa perubahan-perubahan telah dipertimbangkan secara tepat sebelum perubahan-perubahan itu disetujui, MPS dapat dibagi kedalam beberapa zona waktu dengan menetapkan prosedur berbeda dalam mengatur perubahan-perubahan jadwal dalam setiap zona waktu (Time Zone). Time Fences memisahkan zona waktu itu. Dengan demikian time fences dapat didefinisikan sebagai suatu kebijakan atau petunjuk yang ditetapkan untuk mencatat dimana (dalam zona waktu) terdapat dalam berbagai keterbatasan atau perubahan dalam prosedur operasi manufakturing. Batas-batas diantara periode horizon perencanaan akan membantu penyusun MPS dengan cara mengijinkan petunjuk yang berbeda guna mengatur modifikasi jadwal. Perubahan-perubahan terhadap MPS dapat dilakukan dengan relative lebih mudah apabila mereka terjadi melewati waktu tunggu cumulative. Bagaimanapun perubahan-perubahan akan menjadi sulit dan tidak efisien apabila terjadi dalam time fence. Time fence yang paling umum dikenal adalah Demand Time Fence (DTF) dan Planning Time Fence (PTF) , dimana DTF ditetapkan pada waktu final assembly sedangkan PTF ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif.

Demand time fence (DTF) didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS dimana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal. Sedangkan planning time fence (PTF) didefinisikan sebagai periode mendatang dari MPS dimana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPS biasanya dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF.

Berdasarkan dua jenis time fence di atas, didefinisikan tiga periode manajement waktu untuk MPS, yaitu firm (or frozen) period, slushy period, dan free ( or liquid period). Dalam firm (or frozen) period, yaitu periode didalam DTF, tidak boleh ada perubahan-perubahan terhadap MPS. Apabila dibutuhkan perubahan-perubahan yang bersifat sangat darurat (emergency changes) yang harus dibuat, penyusun MPS hanya boleh mengubah setelah memperoleh persetujuan dari manajemen puncak atau manajer manufakturing. Dalam slushy period, yaitu periode diantara DTF dan PTF, penyusun MPS dapat mengubah product mix, dengan tetap memperhatikan ketersediaan dari material dan kapasitas. Dalam periode ini penyusun MPS tidak dapat mengubah tingkat produksi tanpa menjamin bahwa material dan sumber-sumber daya lain dapat disesuaikan untuk mengakomodasi tingkat produksi baru. Dalam free (or liquid) period, yaitu periode diluar PTF, penyusun MPS dapat secara bebas mengubah tingkat produksi untuk memenuhi perubahan-perubahan yang diantisipasi dalam permintaan oleh bagian pemasaran.

Melewati PTF, terdapat 2 fungsi yang diberikan MPS, yaitu: (1) memberikan suatu input kepada Rough Cut Capacity Planning (RCCP) dan dengan demikian memberikan dasar bagi pembuatan keputusan tentang perolehan sumber daya jangka panjang yang membutuhkan waktu tunggu panjang, serta (2) memberikan visibility yang lebih besar atas bahan baku dan komponen yang mempunyai waktu tunggu panjang (long-lead-time component and raw material), sehingga memberikan kemampuan kepada fungsi pembelian untuk berhubungan lebih erat dengan pemasok (suppliers). Apabila manajemen industri ingin mengadopsi sistem Just-In-Time, disinilah peranan bagian pembelian untuk membina hubungan jangka panjang dengan pemasok-pemasok bahan baku atau komponen yang memiliki waktu tunggu panjang. Dalam bentuk yang lebih sederhana, MPS time fences dapat diilustrasikan dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.3. MPS Time FencesSumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,19984. Pemilihan item-item MPS

Faktor utama lain yang perlu diperhatikan dalam mendesain MPS adalah pemilihan item-item MPS. Pemilihan item-item yang dijadwalkan melalui MPS juga perlu mendapat perhatian khusus. Pemilihan item-item ini penting, karena tidak hanya mempengaruhi bagaimana MPS beroperasi, tetapi juga mempengaruhi bagaimana sistem perencanaan dan pengendalian manufakturing secara keseluruhan beroperasi. Terdapat beberapa kriteria dasar yang mengatur pemilihan item-item dalam MPS, yaitu:

Item-item yang dijadwalkan seharusnya merupakan produk akhir, kecuali ada pertimbangan yang jelas menguntungkan untuk menjadwalkan item-item yang lebih kecil daripada produk akhir seperti: super family, super modular, atau super planning bills lainnya. Penjadwalan produk-produk akhir dalam MPS menyebabkan itu menjadi sama seperti : final assembly schedule (FAS).

Jumlah item-item MPS seharusnya sedikit, karena manajemen tidak dapat membuat keputusan yang efektif terhadapa MPS apabila jumlah item MPS terlalu banyak.

Seharusnya memungkinkan untuk meramalkan permintaan dari item-item MPS (kecuali item itu adalah make-to-order). Item-item yang dijadwalkan harus berkaitan erat dengan item-item yang dijual.

Setiap item yang dibuat harus memiliki BOM, sehingga MPS dapat explode melalui BOM untuk menentukan kebutuhan komponen dan material.

Item-item yang dipilih harus dimasukkan dalam perhitungan kapasitas produksi yang dibutuhkan.

Item-item MPS harus memudahkan dalam penerjemahan pesanan-pesanan pelanggan ke dalam pembuatan produk yang akan dikirim.

2.4.8. Teknik Penyusunan JIP

Bentuk atau format umum dari MPS ditunjukkan dalam Gambar 2.4.

Berikut ini akan dikemukakan penjelasan singkat berkaitan dengan informasi yang ada dalam MPS seperti tampak dalam Gambar 2.4. Lead Time

Adalah waktu (banyaknya periode) yang dibutuhkan untuk memproduksi atau membeli suatu item. On Hand

Adalah posisi inventori awal yang secara fisik tersedia dalam stok, yang merupakan kuantitas dari item yang ada dalam stok.

Lot Size

Adalah kuantitas dari item yang biasanya dipesan dari pabrik atau pemasok. Sering disebut juga sebagai kuantitas pesanan (order quantity) atau ukuran batch (batch size).

Safety Stock

Adalah stok tambahan dari item yang direncanakan untuk berada dalam inventori yang dijadikan sebagai stok pengaman guna mengatasi fluktuasi dalam ramalan penjualan, pesanan-pesanan pelanggan dalam waktu singkat (short-term customer orders), penyerahan item untuk pengisian kembali inventori, dan lain-lain. Safety stock merupakan kebijaksanaan manajemen berkaitan dengan stabilisasi dari sistem manufakturing, dimana apabila sistem manufakturing semakin stabil kebijaksanaan stok pengaman ini dapat diminimumkan.

Demand Time Fence ( DTF )

Adalah periode mendatang dari MPS di mana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS tidak diijinkan atau tidak diterima karena akan menimbulkan kerugian biaya yang besar akibat ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal.

Planning Time Fence ( PTF )

Adalah periode mendatang dari MPS dimana dalam periode ini perubahan-perubahan terhadap MPS dievaluasi guna mencegah ketidaksesuaian atau kekacauan jadwal yang akan menimbulkan kerugian dalam biaya. MPS biasanya dinyatakan sebagai firm planned orders (FPO) dalam PTF. PTF sering ditetapkan pada waktu tunggu kumulatif (lihat gambar 1). Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time ) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi produk sejak awal, yang merupakan jalur waktu terpanjang dari puncak (end items) ke bawah (raw materials) daloam struktur produk. Perubahan-perubahan dalam MPS melewati waktu tunggu kumulatif (melewati PTF) dapat dibuat dengan cepat oleh penyusun MPS karena akan cukup waktu untuk membuat atau membeli perubahan dalam produk. Namun perubahan-perubahan dalam waktu tunggu kumulatif harus diselidiki sebelum disetujui, apakah cukup waktu untuk membuat atau membeli item itu, karena dapat mengganggu jadwal produksi yang telah ditetapkan. Kekacauan pada jadwal produksi akan berakibat pada keterlambatan produksi dan penyerahan kepada pelanggan, sehingga menurunkan daya saing dari perusahaan dalam aspek ketepatan waktu penyerahan.

Time Periods for Display

Adalah banyaknya periode waktu yang ditampilkan dalam format MPS. Dalam gambar 2 ditampilkan periode waktu 6 minggu (dengan asumsi PTF = 4 minggu). Banyaknya periode waktu dalam perencanaan MPS ini sering disebut sebagai horizon perencanaan MPS. Dalam Gambar 2.4. tampak bahwa apabila waktu tunggu kumulatif adalah 4 minggu, terdapat additional visibility sebesar 2 minggu. Additional visibility adalah periode waktu tambahan yang direncanakan melewati waktu tunggu kumulatif, biasanya berkisar antara 3 6 bulan. Additional visibility yang berkaitan dengan MPS planning horizon atau MPS time fences dapat dilihat dalam Gambar 2.2. dan Gambar 2.3.

Sales Plan (Sales Forecast)

Merupakan rencana penjualan atau peramalan penjualan untuk item yang dijadwalkan itu.

Actual Orders

Merupakan pesanan-pesanan yang diterima dan bersifat pasti (certain). Projected Available Balances ( PAB )

Merupakan proyeksi on-hand inventory dari waktu ke waktu selama horizon perencanaan MPS, yang menunjukkan status inventori yang diproyeksikan pada akhir dari setiap periode waktu dalam horizon perencanaan MPS. Dalam buku-buku teks yang lain, PAB juga disebut sebagai Projected On-Hand Balance. Berdasarkan informasi PAB, berbagai kebijaksanaan dan tindakan korektif dapat diambil untuk perbaikan terus-menerus dari proses manufakturing. PAB dinyatakan melewati PTF hanya sebagai informasi saja, sementara MPS dan ATP tidak direncanakan melewati PTF (planning time fences). Available-To-Promise ( ATP )

Merupakan informasi yang sangat berguna bagi departemen pemasaran untuk mampu memberikan jawaban yang tepat terhadap pertanyaan pelanggan tentang: Kapan Anda dapat mengirimkan item yang telah dipesan itu? . Nilai ATP memberikan informasi tentang berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat kepada pelanggan. ATP dapat juga dihitung secara kumulatif untuk memberikan informasi tentang cumulative ATP pada periode waktu tertentu. Master Production Schedule ( MPS )

Merupakan jadwal produksi atau manufakturing yang diantisipasi (anticipated manufacturing schedule) untuk item tertentu.

MASTER PRODUCTION SCHEDULE ( MPS )

Lot Size:Demand Time Fence :

Safety Stock:Planning Time Fence :

Lead Time:Time Periods (Weeks)

On Hand:123456

Sales Plan ( Sales Forecast )

Actual Orders

Projected Available Balances (PAB)

Available To Promise (ATP)

Cumulative ATP

MPS

Gambar 2. 4. Bentuk Umum dari Master Production Schedule

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998Berikut ini akan dikemukakan contoh sederhana dalam penyusunan MPS mengikuti format umum yang akan ditampilkan dalam Gambar 2.5.

Gambar 2.5. menunjukkan bahwa rencana produksi menggunakan chase strategy dengan lot size = 20 unit.

Informasi tentang sales forcast dihitung berdasarkan teknik-teknik peramalan, sedangkan actual orders merupakan pesanan aktual yang diterima dari pelanggan (eksternal maupun internal). Actual orders merupakan pesanan-pesanan yang telah dijanjikan untuk diselesaikan pada periode waktu itu. Nilai-nilai MPS diambil dari rencana produksi yang telah ditentukan dengan ukuran lot (lot size) sebesar 20 unit. Perhitungan yang perlu dilakukan untuk melengkapi Tabel 1 adalah Projected Available Balance (PAB) dan Available-To-Promise (ATP). Contoh perhitungan PAB dan ATP dikemukakan berikut ini.

MASTER PRODUCTION SCHEDULE ( MPS )

Lot Size: 20Demand Time Fence : 2

Safety Stock: 0Planning Time Fence : 4

Lead Time: 1Time Periods (Weeks)

On Hand: 10123456

Sales Plan ( Sales Forecast )101010101010

Actual Orders12520500

Projected Available Balances (PAB)1813133-7-17

Available To Promise (ATP)13-5

Cumulative ATP131388

MPS2020

Gambar 2.5. Chase Production MPS Response with Lot Size = 20

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998 Perhitungan PAB untuk Periode 1. :

PAB ( Prior to DTF) = Prior-period PAB or On-Hand Balance + MPS Actual Orders.

PAB1 = 10 + 20 12 = 18

PAB2 = 18 + 0 5 = 13

PAB ( After DTF ) = Prior-period PAB + MPS Greater Value of Sales Forecast or Actual Orders

PAB3 = 13 + 20 20 = 13

PAB4 = 13 + 0 10 = 3

PAB5 = 3 + 0 10 = -7

PAB4 = -7 + 0 10 = -17

Perhitungan ATP untuk Periode 1. :

ATP = (On-Hand Balance + MPS Safety Stock) Sum of

First Period Only

Actual Orders

Before Next MPSATP1 = ( 10 + 20 0 ) ( 12 + 5 ) = 30 7 = 13

ATP3 = ( 20 0 ) ( 20 + 5 ) = 20 25 = -5

Berdasarkan hasil perhitungan tampak bahwa nilai ATP pada minggu pertama adalah 13 unit. Hal ini berarti bahwa pada minggu pertama masih tersedia 13 unit produk untuk pesanan baru. Dengan demikian, apabila ada pelanggan baru yang memesan, katakanlah 10 unit, kita boleh menjamin bahwa pesanan itu akan dapat dikirim pada minggu pertama, karena nilai ATP = 13 unit lebih besar daripada pesanan baru sebesar 10 unit itu. Cumulative ATP menunjukkan ATP pada periode waktu tertentu sebagai misal cumulative ATP pada minggu ketiga adalah 8 unit, berarti apabila ada pesanan baru dari pelanggan yang meminta untuk dikirim pada minggu ketiga sebesar 10 unit, maka kita tidak boleh menjanjikannya, karena ATP pada periode ketiga hanya 8 unit (lebih rendah daripada pesanan baru yang masuk sebesar 10 unit). Berdasarkan kenyataan ini, informasi yang berasal dari nilai-nilai ATP akan memungkinkan bagian pemasaran untuk menjawab secara tepat setiap pertanyaan pelanggan yang berkaitan dengan kuantitas pemesanan produk dan waktu penyerahannya.

2.4.9. Rough Cut Capacity Planning (RCCP)

Rough Cut Capacity Planning (RCCP) merupakan urutan kedua dari hierarki perencanaan prioritas-kapasitas yang berperan dalam mengembangkan MPS. RCCP melakukan validasi terhadap MPS yang juga menempati urutan kedua dalam hierarki perencanaan prioritas produksi. Guna menetapkan sumber-sumber spesifik tertentu khususnya yang diperkirakan akan menjadi hambatan potensial (potential bottlenecks) adalah cukup untuk melaksanakan MPS. Dengan demikian kita dapat membantu manajemen untuk melaksanakan Rough Cut Capacity Planning (RCCP) dengan memberikan informasi tentang tingkat produksi dimasa mendatang yang akan memenuhi permintaan total itu.

Pada dasarnya RCCP didefinisikan sebagai proses konversi dari rencana produksi dan atau MPS ke dalam kebutuhan kapasitas yang berkaitan dengan sumber-sumber daya kritis seperti : tenaga kerja, mesin, peralatan, kapasitas gudang, kapabilitas pemasok material dan parts, dan sumber daya keuangan. RCCP adalah serupa dengan perencanaan kebutuhan sumber daya (Resource Requirements Planning = RRP), kecuali bahwa RCCP adalah lebih terperinci daripada RRP dalam beberapa hal, seperti : RCCP didisagregasikan berdasarkan periode waktu harian atau mingguan; dan RCCP mempertimbangkan lebih banyak sumber daya produksi.

Pada dasarnya terdapat empat langkah yang diperlukan untuk melaksanakan RCCP, yaitu:

1. Memperoleh informasi tentang rencana produksi dari MPS.

2. Memperoleh informasitentang struktur produk dan waktu tunggu (lead times).

3. Menentukan bill of resources.

4. Menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan RCCP.

Berikut ini akan dibahas secara singkat tentang keempat langkah tersebut di atas.

Langkah 1: memperoleh informasi tentang rencana produksi yang telah disusun dalam MPS.

Misalkan bahwa informasi yang berkaitan dengan rencana produksi untuk satu bulan tertentu (katakanlah dalam minggu-minggu: 32,33,34, dan 35) adalah kelompok produk A= 720 unit, kelompok produk B=240 unit, dan kelompok produk C=160 unit.Tabel 2.1. Jadwal Produksi dari kelompok Produk A (Informasi dari MPS).Produk AMinggu 32Minggu 33Minggu 34Minggu 35TotalPersentase

Produk 118018036050%

Produk 21803621630%

Produk 314414420%

Total180180180180720100%

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998Selanjutnya kita akan memfokuskan perhatian pada kelompok produk A. katakanlah bahwa kelompok produk A terdiri dari tiga produk assembly (produk 1, produk 2, dan produk 3) serta berdasarkan informasi dari MPS diketahui bahwa produk 1, 2, dan 3 itu telah dijadwalkan seperti tampak dalam Tabel 2.1.Langkah 2 : memperoleh informasi tentang struktur produk dan waktu tunggu (lead time).

Informasi tentang struktur produk biasanya telah ditetapkan pada perencanaan kebutuhan sumber daya (RRP), yang berada pada level lebih tinggi (level 1) dalam hierarki perencanaan kapasitas. Misalkan bahwa informasi yang berkaitan dengan struktur produk untuk product family beserta waktu tunggu telah ditetapkan seperti tampak dalam Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Struktur Produk dan Waktu Tunggu untuk Product FamilySumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998Langkah 3 : Menentukan bill of resources.

Perhitungan terhadap waktu assembly rata-rata untuk setiap produk dalam kelompok produk A menggunakan formula berikut:

Waktu Assembly rata-rata = Unit produk yang diproduksi x (Jam standar Assembly / unit )

Hasil perhitungan bill of resources yang berkaitan dengan sumber daya mesin (penggunaan jam mesin) ditunjukkan dalam Tabel 2.2.Tabel 2.2. Perhitungan jam standar penggunaan mesin berdasarkan unit produksi.

Produk AJam Standar /Minggu 32Minggu 33Minggu 34Minggu 35

Unit (Jam)

Produk 10,342180 x 0,342 = 61,56180 x 0,342 = 61,56

Produk 20,294180 x 0,294 = 52,9236 x 0,294 = 10,58

Produk 30,210144 x 0,210 = 30,24

Total Jam 61,5661,5652,9210,58 + 30,24 = 40,82

Standar (Jam)

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998Langkah 4 : menghitung kebutuhan sumber daya spesifik dan membuat laporan RCCP.

Perhitungan kebutuhan sumber daya spesifik, dalam kasus di atas adalah penggunaan jam mesin, perlu mempertimbangkan kondisi aktual dari perusahaan seperti : tingkat efisiensi yang ada, dan lain-lain. Contoh laporan kebutuhan kapasitas mesin berdasarkan analisis RCCP ditunjukkan dalam Tabel 2.3.Tabel 2.3. Laporan RCCP tentang Kebutuhan Kapasitas Mesin

DeskripsiMinggu 32Minggu 33Minggu 34Minggu 35Total

(1) Jam Standar Mesin61,5661,57216,86

(2) Tingkat Efisiensi (kondisi aktual)0,950,950,950,95

(3) Kebutuhan Aktual = (1) / (2) 64,8064,8055,7142,97228,28

(4) Kapasitas Tersedia (Demonstrated)58,2558,2558,2558,25233,00

(5) Kekurangan / Kelebihan Kapasitas = (4) - (3)6,556,552,5415,284,72

Sumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998Selanjutnya hasil-hasil dari RCCP ditampilkan dalam suatu diagram yang dikenal sebagai load profile. Load profile merupakan metode yang umum dipergunakan untuk menggambarkan kapasitas yang dibutuhkan versus kapasitas yang tersedia. Dengan demikian load profile didefinisikan sebagai tampilan dari kebutuhan kapasitas di waktu mendatang berdasarkan pesanan-pesanan yang direncanakan dan dikeluarkan sepanjang suatu periode waktu tertentu. Load profile untuk kasus yang dikemukakan di atas ditunjukkan dalam Gambar 2.7. Dari Tabel 2.3. maupun Gambar 2.7.,kita mengetahui bahwa terjadi kekurangan kapasitas pada minggu ke-32 dan ke-33. Hal ini harus diselesaikan sebelum melaksanakan produksi. Bagaimanapun sebelum melaksanakan produksi, harus diusahakan agar kapasitas yang dibutuhkan kira-kira sama dengan kapasitas yang tersedia. Apabila terjadi kekurangan kapasitas, berbagai tindakan korektif harus diambil.

Gambar 2.7. Capacity Load ProfileSumber : Production Planning and Inventory Control (PPIC), Vincent Gaspersz,1998

_1182060813.unknown

_1184107386.vsdProcurement

Fabrikasi

Assembly

Visibility(3-6 bulan)

Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)

MPS Planning Horizon

Today

Future

_1184107527.vsdEmergencychanges

Procurement

Mix Changesonly

Fabrikasi

Assembly

Visibility(3-6 bulan)

Rates and Any Changes

Waktu tunggu kumulatif (cumulative lead time)

MPS Planning Horizon

Today

Future

PTF

DTF

_1184099287.unknown

_1184003889.vsd

C

E

D

F

A

B

Mechanical Assembly

Electrical Assembly

Product 2 Assembly

Product 3 Assembly

Product 1 Assembly

Product Group B

Product Group C

Product Group A

Minggu

Sekarang

3

2

1

_1167458652.vsdNameTitle

NameTitle

NameTitle

NameTitle

NameTitle

NameTitle

Team Title

Name

Company Name

Company NameDepartment Name

Rough Cut Capacity Planning ( RCCP )

PROSES :Penjadwalan Induk Produksi ( MPS )

OUTPUT:Jadwal Induk Produksi ( MPS )

INPUT:

1.Data Permintaan Total2. Status Inventori3. Rencana Produksi4. Data Perencanaan5. Informasi dari RCCP

Umpan-Balik