jbptitbpp-gdl-tonnylesma-30965-4-2008ts-3.pdf

34
3-1 BAB 3 LATAR BELAKANG TEORI 3.1. Kestabilan Lereng Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan penggalian maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini menyangkut masalah keselamatan manusia, peralatan dan bangunan yang berada di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjaan penambangan dengan cara tambang terbuka, lereng yang tidak mantap akan dapat mengganggu kelancaran produksi. Di alam, tanah maupun batuan umumnya berada dalam keadaan setimbang (equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut dalam keadaan mantap. Apabila terhadap tanah atau batuan tersebut dikenakan suatu kegiatan seperti pengangkutan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau aktivitas lain yang menyebabkan terganggunya kesetimbangan, tanah atau batuan tersebut akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan baru dengan cara pengurangan beban terutama dalam bentuk terjadinya longsoran. Untuk menganalisis kestabilan lereng perlu terlebih dahulu diketahui sistim tegangan yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekanik dari tanah atau batuan tersebut. Tegangan di dalam massa batuan dalam keadaan alamiahnya adalah tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori. Sedangkan sifat mekanik yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah kohesi, sudut geser dalam, dan bobot isi.

Transcript of jbptitbpp-gdl-tonnylesma-30965-4-2008ts-3.pdf

  • 3-1

    BAB 3

    LATAR BELAKANG TEORI

    3.1. Kestabilan Lereng

    Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan kegiatan

    penggalian maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini menyangkut

    masalah keselamatan manusia, peralatan dan bangunan yang berada di sekitar lereng

    tersebut. Dalam pekerjaan penambangan dengan cara tambang terbuka, lereng yang

    tidak mantap akan dapat mengganggu kelancaran produksi.

    Di alam, tanah maupun batuan umumnya berada dalam keadaan setimbang

    (equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut

    dalam keadaan mantap. Apabila terhadap tanah atau batuan tersebut dikenakan suatu

    kegiatan seperti pengangkutan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi atau

    aktivitas lain yang menyebabkan terganggunya kesetimbangan, tanah atau batuan

    tersebut akan berusaha untuk mencapai kesetimbangan baru dengan cara

    pengurangan beban terutama dalam bentuk terjadinya longsoran.

    Untuk menganalisis kestabilan lereng perlu terlebih dahulu diketahui sistim tegangan

    yang bekerja pada tanah atau batuan serta sifat fisik dan mekanik dari tanah atau

    batuan tersebut. Tegangan di dalam massa batuan dalam keadaan alamiahnya adalah

    tegangan vertikal, tegangan horizontal, dan tekanan air pori. Sedangkan sifat

    mekanik yang mempengaruhi kestabilan suatu lereng adalah kohesi, sudut geser

    dalam, dan bobot isi.

  • 3-2

    Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlaku dua macam gaya, yaitu: Gaya yang

    membuat massa batuan bergerak (gaya penggerak) dan Gaya yang menahan massa

    batuan tersebut (gaya penahan). Suatu lereng akan longsor jika gaya penggeraknya

    lebih besar dari gaya penahannya. Secara matematis, kestabilan suatu lereng dapat

    dinyatakan dalam bentuk faktor keamanan (Fk), dimana:

    penggerak Gayapenahan Gaya=Fk ..................................................................................(3.1)

    Fk > 1, lereng dianggap stabil Fk = 1, lereng dalam keadaan setimbang tetapi akan segera longsor jika mendapat

    sedikit gangguan. Fk < 1, lereng dianggap tidak stabil.

    Berikut adalah faktor kemanan yang direkomendasikan oleh Direktorat Jendral

    Pertambangan Umum Indonesia yang dijadikan acuan dalam keputusan dalam

    penentuan geometri lereng

    Tabel. III.1.Faktor Keamanan yang Direkomendasikan oleh DirJen Pertambangan Umum Indonesia

    Resiko Kondisi Beban Parameter

    Maksimum Minimum Teliti Kurang teliti Teliti Kurang Teliti

    Tinggi Dengan gempa 1.50 1.75 1.35 1.50 Tanpa gempa 1.80 2.00 1.60 1.80

    Menengah Dengan gempa 1.30 1.60 1.20 1.40 Tanpa gempa 1.50 1.80 1.35 1.50

    Rendah Dengan gempa 1.10 1.25 1.00 1.10 Tanpa gempa 1.25 1.40 1.10 1.20

    Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk menganalisis kestabilan suatu lereng

    adalah:

    1. Penyebaran Batuan

    Hal ini disebabkan karena sifat fisik dan mekanik suatu jenis batuan akan berbeda

    dengan jenis batuan yang lainnya sehingga kekuatannyapun akan berbeda pula.

  • 3-3

    2. Relief Permukaan Bumi

    Daerah yang curam mengakibatkan pengikisan yang lebih intensif dibandingkan

    daerah yang landai. Karena erosi yang intensif, banyak dijumpai singkapan yang

    menyebabkan pelapukan yang lebih cepat. Batuan yang lapuk mempunyai kekuatan

    yang lebih rendah sehingga kestabilan lereng menjadi berkurang.

    3. Struktur Geologi

    Struktur geologi adalah merupakan bidang lemah yang berkembang di dalam massa

    batuan dan dapat menurunkan kestabilan suatu lereng.

    4. Iklim

    Berpengaruh terhadap kestabilan lereng karena mempengaruhi perubahan

    temperatur. Perubahan temperatur yang cepat sekali berubah dalam waktu yang

    singkat akan mempercepat proses pelapukan batuan.

    5. Geometri Lereng

    Geometri lereng meliputi tinggi lereng dan sudut kemiringan lereng. Lereng dengan

    ketinggian yang lebih tinggi mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan

    lereng yang lebih rendah. Demikian juga untuk lereng dengan sudut lereng yang

    lebih besar mempunyai kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan

    sudut lereng lebih kecil. Kandungan air tanah juga akan mempengaruhi kestabilan

    suatu lereng. Lereng dengan muka air tanah yang lebih tinggi akan mempunyai

    kestabilan yang lebih kecil dibandingkan lereng dengan muka air tanah yang lebih

    rendah.

  • 3-4

    6. Gaya Luar

    Gaya luar seperti getaran yang ditimbulkan oleh peledakan ataupun kendaraan akan

    dapat mempengaruhi kestabilan suatu lereng.

    3.2. Jenis-Jenis Longsoran

    Terzaghi dan Peck (1967) menyatakan bahwa longsoran dapat terjadi pada hampir

    setiap kemungkinan, perlahan-lahan ataupun secara tiba-tiba dan dengan atau tanpa

    adanya suatu peringatan yang nyata

    Berdasarkan kedudukan bidang lemah pada batuan, longsoran yang sering terjadi

    adalah longsoran busur (circular failure) yaitu longsoran yang berbentuk busur

    biasanya terbentuk pada material yang umumnya homogen sedangkan pada material

    dengan heterogenitas kompleks sering terjadi longsoran bidang(plane failure),

    longsoran baji (wedge failure) dan juga longsoran toppling. (lihat Gambar 3.1)

    Longsoran pada tanah diasumsikan terjadi pada suatu massa tanah yang homogen

    dan kontinu, sehingga bentuk/geometri dari longsoran tersebut berupa busur

    lingkaran atau paling tidak mendekati/dapat dianggap sebagai busur lingkaran.

    Dalam hal ini parameter-parameter sifat fisik maupun sifat mekanik tanah dianggap

    sama dan merata di semua bagian tubuh tanah tersebut. Sedangkan pada batuan

    keras, untuk batuan yang utuh (intact) sifatnya juga homogen dan kontinyu seperti

    pada tanah, tetapi karena batuan utuh tersebut sangat kuat maka umumnya tidak ada

    masalah mengenai kemantapan lerengnya. Masalah kemantapan lereng akan muncul

    apabila batuan keras tersebut mempunyai bidang-bidang lemah (discontinuities).

  • 3-5

    Gambar 3.1. Hubungan Bidang Diskontinuitas dan Jenis Longsoran (Hoek dan Bray, 1980)

    3.2.1. Longsoran Busur

    3.2.1.1. Kondisi Umum Longsoran Busur

    Beberapa metode yang dikembangkan dalam menganalisis suatu kestabilan lereng

    diantaranya adalah metode grafis, metode kesetimbangan batas dan juga metode

    finite element.

  • 3-6

    Salah satu metode yang kini banyak diterapkan pada suatu analisis kestabilan lereng

    adalah metode kesetimbangan batas yang secara umum mensyaratkan pembagian

    massa tanah menjadi beberapa irisan. Arah-arah gaya yang bekerja pada setiap irisan

    selanjutnya diasumsikan. Asumsi inilah yang membedakan satu metode dengan

    metode lainnya. Selain itu, metode ini memerlukan pendefinisian permukaan longsor

    yang digunakan untuk perhitungan faktor keamanan minimum.

    3.2.1.2. Analisis Longsoran Busur (Bishop Simplified)

    Metode Bishop Simplified menggunakan prinsip metode irisan dalam menguraikan

    massa tanah untuk menentukan faktor keamanan. Metode ini mengabaikan gaya

    geser antar irisan dan kemudian mengasumsikan bahwa gaya normal atau horizontal

    cukup untuk mendefinisikan gaya- gaya antar irisan. Gaya normal di dasar tiap irisan

    ditentukan dengan menjumlahkan gaya- gaya dalam arah vertikal. Dengan

    mensubtitusikan kriteria longsoran, maka gaya-gaya yang bekerja pada irisan dapat

    dilihat pada Gambar 3.2.

    Pada metode Bishop, besarnya P (gaya normal pada dasar irisan) diperoleh dengan

    menguraikan gaya-gaya yang bekerja pada irisan dalam arah gaya berat (W) atau

    semua resultan gaya pada batas vertikal irisan bekerja dalam arah horizontal, untuk

    menghitung besarnya faktor keamanan dapat dilihat pada Gambar 3.2.

  • 3-7

    Gambar 3.2. Gaya-gaya yang bekerja pada irisisan dengan Bishop Simplified Keterangan:

    S : kekuatan geser efektif

    s : kekuatan geser yang ada

    c : kohesi efektif

    P : gaya normal efektif pada dasar irisan

    ' : sudut geser dalam efektif : tegangan air pori

    F : Faktor keamanan

    l : panjang dasar irisan

    w : berat irisan

    b : lebar irisan

    R : radius lingkaran bidang gelincir

    Xn,Xn+1 : gaya-gaya vertikal pada batas irisan

    En,En+1 : gaya-gaya horisontal pada batas irisan

    x

    b R

    w

    l s

    B A

    P

    C

    S= C+P tan S = sl P

    Xn+1 xn

    En+1 P

    En

    s

    w

    i X=Xn+1

    w

    Ptan F

    Cl f

    S

    P

    E=En+1

    u

  • 3-8

    Faktor keamanan dihitung dengan perhitungan di bawah ini:

    P cos + S sin = W + Xn - Xn+1

    Bila P = P-1, maka :

    (P-ul) cos + ul cos + (P-ul) )(sin'sintan 1++=+ nn XXWFlc

    F

    (P-ul) cos + (P-ul) += + Fsinl'c)XXW(sin

    Ftan

    nn 1 u l cos

    (P-ul) (cos + )cossin'()()sintan 1 uFclXXW

    F nn+= +

    Jika Xn-Xn-1 dianggap sama dengan nol, maka :

    ]sin'tancos

    )cos]sin'([)(

    F

    uF

    clWulP

    ++

    = . ............................................................... (3.2)

    Nilai Faktor Keamanan (F) dapat dicari dengan rumus sebagai berikut :

    +

    +=]tan'.tan1[cos

    'tan]sin1'cos1[1'

    sin.1

    F

    FcW

    cW

    F

    ...................................... (3.3)

    Jika 1 = cosb maka :

    ++=F

    SecbWbCWSin

    F tan.tan1)'tan)('

    1 .. ........................... (3.4)

    Nilai F pada persamaan 3.4 terdapat pada sisi kiri dan kanan, karena itu untuk

    menghitung besarnya nilai F harus digunakan cara yaitu diambil nilai F sembarang

  • 3-9

    sebagai percobaan, kemudian nilai F yang diperoleh dimasukkan lagi pada ruas

    kanan dan seterusnya sampai didapat F ruas kanan sama dengan ruas kiri (iterasi).

    3.2.2. Longsoran Bidang

    3.2.2.1. Kondisi Umum Longsoran Bidang

    Longsoran bidang bila dibandingkan dengan jenis longsoran yang lain merupakan

    longsoran yang relatif jarang terjadi. Namun bila kondisi yang menunjang terjadinya

    longsoran bidang ada, maka longsoran yang terjadi mungkin akan lebih besar secara

    volume daripada longsoran lainnya.

    Longsoran bidang akan terjadi bila seluruh kondisi di bawah ini terpenuhi:

    1. Bidang gelincir mempunyai arah jurus (strike) sejajar atau hampir sejajar

    dengan arah jurus muka lereng dengan perbedaan maksimal 20o.

    2. Kemiringan bidang gelincir harus lebih kecil daripada kemiringan muka

    lereng (p < f) 3. Kemiringan bidang gelincir harus lebih besar daripada sudut geser dalam (p

    > ). 4. Harus terdapat bidang bebas (release) yang menjadi pembatas di kiri dan

    kanan blok yang menggelincir.

    Pada analisis kestabilan lereng, dipakai analisis 2 dimensi dimana dipertimbangkan

    unit ketebalan yang arahnya tegak lurus dengan garis muka lereng. Bidang gelincir

    direpresentasikan sebagai garis dengan kemiringan tertentu dan blok yang

  • 3-10

    menggelincir dapat direpresentasikan dengan suatu luasan pada penampang vertikal

    yang tegak lurus dengan arah jurus lereng (Gambar 3.3).

    Gambar 3.3. Kondisi umum longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1980)

    3.2.2.2. Analisis Longsoran Bidang

    Dalam analisis longsoran bidang perlu diperhatikan posisi rekahan tarik, apakah di

    belakang crest lereng atau di muka lereng (Gambar 3.4). Sedangkan asumsi-asumsi

    yang digunakan dalam analisis ini adalah:

  • 3-11

    1. Bidang gelincir dan rekahan tarik mempunyai arah jurus sejajar dengan arah

    jurus lereng.

    2. Rekahan tarik adalah bidang vertikal dan terisi air sedalam zw.

    3. Air membasahi bidang gelincir melewati bagian bawah bidang rekahan tarik

    dan merembes sampai di jejaknya pada muka lereng.

    4. Gaya W (berat blok yang menggelincir), U (gaya angkat air), dan V (gaya

    tekan air di dalam rekahan tarik) bekerja di titik pusat blok, sehingga

    diasumsikan tidak ada momen penyebab rotasi.

    5. Kuat geser () dari bidang gelincir adalah = c + tan, dimana c=kohesi, =sudut geser dalam, dan =tegangan normal.

    6. Terdapat bidang release di kiri dan kanan blok sehingga tidak ada hambatan

    pada blok yang menggelincir.

    Persamaan untuk menghitung faktor keamanan pada longsoran bidang:

    ( )pp

    pp

    VWVUWcA

    Fk

    cossintansincos

    ++= ..............................................(3.5)

    keterangan:

    ( )( ) ( ) lerengmukaditarikrekahanHzHW

    lerengcrestdibelakangtarikrekahanHzHW

    zV

    eczHzU

    eczHA

    fpp

    fp

    ww

    pww

    p

    ______1tancotcot1

    ______cotcot1

    cos)(

    cos)(

    222

    1

    222

    1

    22

    1

    21

    =

    =

    ==

    =

  • 3-12

    Gambar 3.4. Posisi rekahan tarik pada lereng batuan (Hoek dan Bray, 1980)

    Bila lereng tersebut berada di daerah rawan gempa dan percepatan yang ditimbulkan

    oleh gempa dapat dimodelkan menjadi gaya statis W, maka perhitungan faktor keamanan dapat dilakukan dengan memasukan pengaruh gempa sehingga persamaan

    3.5. menjadi:

    ( )ppp

    ppp

    VWVUWcA

    Fk

    cos)cos(sintansin)sin(cos

    +++= ...(3.6)

    3.2.3. Longsoran Baji

    3.2.3.1. Kondisi Umum Longsoran Baji

    Longsoran baji terjadi jika terdapat 2 bidang lemah atau lebih berpotongan

    sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng (Gambar 3.5).

    Persyaratan lainnya yang harus dipenuhi untuk terjadinya longsoran baji adalah bila

    sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang lemah tersebut (fi > i), dan sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser dalamnya.

  • 3-13

    3.2.3.2. Analisis Longsoran Baji

    Apabila ketahanan geser bidang gelincir dipengaruhi oleh kohesi dan dijumpai pula

    adanya rembesan air di bidang-bidang lemah tersebut, maka penentuan faktor

    keamanan harus mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Dengan asumsi bahwa air

    hanya masuk di sepanjang garis potong bidang lemah dengan muka atas lereng (garis

    3 dan 4 pada Gambar 3.6) dan merembes keluar di sepanjang garis potong bidang

    lemah dengan muka lereng (garis 1 dan 2 pada Gambar 3.6), serta baji berisifat

    impermeable, maka persamaan yang digunakan untuk menentukan faktor keamanan

    adalah:

    Bw

    Aw

    BA YBXAYcXcHFk

    tan)2(tan)2()(3 +++= ...(3.7)

    keterangan:

    cA dan cB = kohesi bidang lemah A dan B

    A dan B = sudut geser dalam bidang lemah A dan B = Bobot isi batuan w = Bobot isi air H = Tinggi keseluruhan baji yang terbentuk (Gambar 3.5)

    X = sin24/(sin45cos2.na) Y = sin13/(sin35cos1.nb) A = (cosa-cosbcosna.nb)/(sin5sin2na.nb) B = (cosb-cosacosna.nb)/(sin5sin2na.nb) a dan b = Dip bidang lemah A dan B 5 = plunge dari garis potong kedua bidang lemah (garis nomor 5) 24 dll = Sudut-sudut yang diperoleh dengan menggunakan streonet seperti telihat pada Gambar 3.7.

  • 3-14

    Gambar 3.5. Geometri longsoran baji (Hoek dan Bray, 1980)

    Gambar 3.6. Geometri baji untuk kemantapan lereng dengan memperhitungkan

    kohesi dan air (Hoek dan Bray, 1980)

  • 3-15

    Gambar 3.7. Stereoplot geometri baji untuk analisis kestabilan lereng (Hoek dan

    Bray, 1980)

    3.2.4. Longsoran Guling

    3.2.4.1. Kondisi Umum Longsoran Guling

    Longsoran guling terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir di lereng

    mempunyai kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng dimana struktur

    bidang lemahnya berbentuk kolom.

    3.2.4.2. Analisis Longsoran Guling

    Analisis longsoran guling ini mengambil asumsi bahwa longsoran yang terjadi

    mempunyai n buah blok yang berbentuk teratur dengan lebar x dan tinggi yn (Gambar 3.8). Untuk keperluan analisis, penomoran blok dimulai dari bawah (toe) ke

    atas. Sudut kemiringan lereng adalah dan kemiringan muka lereng adalah u, sedangkan dip dari bidang-bidang lemah adalah 90-. Undak-undakan yang terjadi akibat longsoran berbentuk teratur dan mempunyai kemiringan . Konstanta a1, a2,

    dan b selanjutnya dihitung dengan persamaan 3.8.

  • 3-16

    a1 = x tan(-) a2 = x tan(-u) b1 = x tan(-) .(3.8)

    Tinggi blok ke-n (yn) dihitung dengan persamaan 3.9.

    yn = n(a1 b), (untuk blok dari crest ke bawah)

    yn = yn-1 -a2 b, (untuk blok di atas crest) ....(3.9)

    Berdasarkan model pada Gambar 3.8, terdapat 3 kelompok blok dengan tingkat

    kemantapan yang berbeda. yaitu:

    - satu set blok yang akan tergelincir (di daerah toe),

    - satu set blok yang mantap (di bagian atas),

    - satu set blok yang akan terguling (di bagian tengah).

    Dengan geometri yang berbeda, mungkin saja blok yang mantap dan yang akan

    tergelincir berubah menjadi terguling semua.

    Gambar 3.8. Model longsoran guling untuk analisis kesetimbangan batas (Hoek dan

    Bray, 1980)

  • 3-17

    Kondisi kesetimbangan gaya-gaya yang bekerja disetiap blok digambarkan pada

    Gambar 3.9. Dari gambar tersebut terlihat bahwa gaya-gaya yang bekerja di dasar

    blok ke-n adalah Rn dan Sn, sedangkan gaya-gaya yang bekerja interface dengan blok

    terdekat adalah Pn, Qn, Pn-1, dan Qn-1. Konstanta Mn, Ln, dan Kn yang terdapat pada

    Gambar 3.9. dihitung dengan persamaan 3.10.

    - Untuk blok di bawah crest lereng : Mn = yn; Ln = yn-a1; Kn = 0 - Untuk blok tepat di crest lereng : Mn = yn a2; Ln = yn-a1; Kn = 0 - Untuk blok di atas crest lereng : Mn = yn a2; Ln = yn; Kn = 0 ..(3.10)

    Sementara untuk gaya-gaya Qn, Qn-1, Rn, dan Sn dihitung dengan persamaan 3.11.

    Qn = Pn tan Qn-1 = Pn-1 tan Rn = Wn cos +(Pn Pn-1) tan Sn = Wn sin +(Pn Pn-1) tan .............................................................................(3.11) dimana Wn = yn x

    Gambar 3.9. Kondisi keseimbangan batas blok ke-n yang akan terguling dan

    tergelincir (Hoek dan Bray, 1980)

  • 3-18

    Sedangkan untuk gaya-gaya Pn dan Pn-1, perhitungannya dibedakan untuk blok yang

    terguling dan blok yang tergelincir.

    Untuk blok ke-n yang terguling, dicirikan dengan yn/x > cot bila > , maka :

    Pn-1,t = {Pn(Mn-x tan) + (Wn/2) (yn sin - x cos)}/Ln .............................(3.12)

    Pn = 0 (untuk blok teratas dari set blok yang terguling)

    Pn = Pn-1,t (untuk blok terguling di bawahnya)

    Untuk kontrol lebih lanjut bisa dilihat bahwa pada blok ini harga Rn > 0 dan |Sn| < Rn tan.

    Untuk blok ke-n yang tergelincir dicirikan dengan Sn = Rn tan, maka:

    Pn-1,s = Pn {Wn (tan cos - sin)}/(1 tan2) (3.13)

    Pn = Pn-1,t (untuk blok teratas dari set blok yang tergelincir)

    Pn = Pn-1,s (untuk blok tergelincir di bawahnya, disini akan terlihat Pn,t > Pn,s)

    Perhitungan di atas dilakukan dengan mengambil > , namun dengan memperhatikan blok no. 1 (toe):

  • 3-19

    - Jika Po > 0, maka lereng berada dalam kondisi tidak mantap untuk nilai yang diasumsikan. Disarankan untuk mengulang perhitungan dengan

    meningkatkan nilai . - Jika Po < 0, maka disarankan untuk mengulang perhitungan dengan

    menurunkan nilai karena hal ini tidak mungkin. - Jika Po > 0 tetapi cukup kecil, maka lereng berada dalam kondisi seimbang

    untuk nilai yang diasumsikan. Nilai dipakai sebagai sudut geser dalam pada keadaan kemantapan batas.

    Faktor keamanan lereng terhadap longsoran guling kemudian dihitung dengan

    persamaan:

    2

    1

    tantan

    =Fk .......................................................................................................(3.14)

    keterangan:

    1 = sudut geser dalam sebenarnya di lapangan 2 = sudut geser dalam pada kemantapan batas

    3.3. Klasifikasi Massa Batuan (Geomechanics Classification - RMR)

    Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut

    Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR).

    Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini telah mengalami penyesuaian

    dikarenakan adanya penambahan data masukan sehingga Bieniawski membuat

    perubahan nilai rating pada parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi

    massa batuan tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan

  • 3-20

    adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). 5 Parameter

    utama dan 1 parameter kondisi yang digunakan dalam klasifikasi RMR yaitu:

    1. Kuat tekan uniaxial batuan utuh.

    2. Rock Quality Designatian (RQD).

    3. Spasi bidang dikontinyu.

    4. Kondisi bidang diskontinyu.

    5. Kondisi air tanah.

    6. Orientasi/arah bidang diskontinyu.

    Pada penggunaan sistim klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah

    struktural yang memiliki kesamaan sifat berdasarkan 6 parameter di atas dan

    klasifikasi massa batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari

    daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan

    struktur geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis

    batuan.

    Dalam klasifikasi massa batuan dengan Rock Mass Rating (RMR) system seperti

    disajikan pada Tabel III.2., setiap parameter yang ditinjau mempunyai nilai rating

    tersendiri. Nilai-nilai dari setiap parameter tersebut kemudian dijumlahkan untuk

    memperoleh nilai RMR. Yang perlu mendapat perhatian pada penggunaan klasifikasi

    massa batuan dengan sistim RMR ini adalah pada Bagian B yaitu pengaturan nilai

    untuk orientasi bidang diskontinyu. Pada bagian tersebut penilaian rating dibagi ke

    dalam 3 bagian yaitu: penilaian untuk terowongan, pondasi, dan lereng. Pada

    penelitian ini, nilai rating yang digunakan adalah nilai rating untuk lereng.

  • 3-21

    Tabel III.2. Rock Mass Rating System (After Bieniawski, 1989)

    3.4. Aplikasi RMR untuk Kemantapan Lereng (SMR, Romana 1985)

    Rock Mass Rating (RMR) diperkenalkan dan dikembangkan oleh Bieniawski (1973,

    1984, 1989). RMR pertamakali dikembangkan untuk aplikasi pada terowongan dan

    sangat baik untuk menggambarkan sifat massa batuan.

  • 3-22

    Romana (1985) memperkenalkan suatu penyesuaian pada konsep RMR khusus untuk

    lereng yang dikenal dengan Slope Mass Rating (SMR).

    Slope Mass Rating (SMR) diperoleh dari nilai RMR yang dikoreksi oleh faktor-

    faktor penyesuai yang tergantung kepada arah relative kekar dan lereng, dan metode

    penggalian, yang diekpresikan dengan persamaan 3.15

    4321 )( FxFxFFRMRSMR ++= ...(3.15)

    RMR berdasarkan proposal Bieniawski 1989 yang merupakan hasil penjumlahan 5

    parameter yaitu: (i) kekuatan batuan utuh, (ii) RQD, (iii) spasi kekar, (iv) kondisi

    kekar, dan (v) aliran air melalui bidang lemah.

    Penyesuaian nilai kekar terdiri dari 4 faktor yaitu:

    F1 tergantung kepada kesejajaran antara arah jurus (strike) kekar dan muka lereng. Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15. Nilai tersebut dapat pula

    diekpresikan ke dalam rumus: F1 = (1 - sin A)2, dimana A adalah sudut antara

    arah jurus kekar dan muka lereng.

    F2 mengacu kepada kemiringan kekar (dip joint) pada keruntuhan bidang (planar). Nilainya berkisar antara 1.00 hingga 0.15, dan sesuai dengan rumus:

    F2 = tan2Bj, dimana Bj adalah sudut kemiringan kekar. Untuk keruntuhan

    guling (toppling) F2 = 1.

    F3 merupakan hubungan antara kemiringan lereng dan kemiringan kekar. Nilai ini merupakan juga rating RMR untuk arah kekar.

    F4 merupakan faktor metode penggalian yang ditentukan secara empirik.

  • 3-23

    Tabel III.3. Slope Mass Rating (Romana, 1985)

    50 - 25

    4

    50 - 25 < 258 3

    200 - 60 < 608 5

    SLICKENSIDED WALS OR GOUGE 5mm, OR SEPARATION >5mm

    CONTINUOUS

    10 0DRIPPING (25-125 L/M) FLOWING (>125 L/M)

    4 0

    VERY UNFAVOURABLE

    1.00

    > 45o

    1.00

    < (-10o)-

    -60

    DEFICIENT BLASTING-8

    CLASS VaDESCRIPTION VERY GOOD

    STABILITY COMPLETELY STABLE

    FAILURES NONE

    SUPPORT NONE

    PLANE FAILUREWEDGE FAILURE

    TOPPLINGMASS FAILURE

    RE-EXCAVATIONDRAINAGECONCRETE

    REINFORCEMENTPROTECTIONNO SUPPORT

    RE-EXCAVATION IMPORTANT/CORRECTIVE SYSTEMATIC OCCASIONAL

    BIG PLANAR OR SOIL-LIKE PLANAR OR BIG WEDGES SOME JOINTS OR MANY WEDGES

    SOME BLOCKES

    COMPLETELY UNSTABLE UNSTABLE PARTIALLY STABLE STABLE

    F3 VALUERELATIONSHIP

    F4 ADJUSTING FACTOR FOR EXCAVATION METHOD

    F4 VALUE

    TOPPLING FAILURE - F2 VALUE

    RELATIONSHIPPLANE FAILURE js=TOPPLING FAILURE j + s=

    F1 VALUERELATIONSHIP

    | j |=PLANE FAILURE - F2 VALUE

    Table b SMR = RMRb + (F1 x F2 x F3) + F4 (ROMANA, 1985)

    ADJUSTING FACTORS FOR JOINTS (F1, F2, F3, F4)PLANE FAILURE |js|=TOPPLING FAILURE |js-180|=

    > 30o 30o - 20o 20o - 10o 10o - 5o 120o -> 10o 10o - 0o 0o 0o - (-10o)

    < 20o 20o - 30o

    1.00F2 = TAN2j

    0.15 0.40 0.70 0.85

    0.40 0.70 0.85

    30o - 35o 35o - 45o

    15 10 7

    F1 = (1 - SIN |js|)2

    j = DIP DIRECTION OF JOINT, s = DIP DIRECTION OF SLOPE, j = DIP OF JOINT, s = DIP OF SLOPE

    VERY FAVOURABLE FAVOURABLE FAIR UNFAVOURABLE

    0.15

    30 25 20COMPLETELY DRY (NONE) DAMP (

  • 3-24

    3.5. Kekuatan Massa Batuan

    Dalam analisis desain suatu lereng, pondasi, dan terowongan, memperkirakan

    kekuatan dan karakteristik deformasi suatu massa batuan adalah merupakan hal yang

    sangat penting. Hal ini dikarenakan kekuatan batuan utuh yang didapatkan dari

    pengujian laboratorium belum mencerminkan kekuatan massa batuan. Gambar 3.10.

    memperlihatkan perbandingan kekuatan batuan utuh terhadap massa batuan. Untuk

    itu diperlukan adanya rumusan yang menghubungan kekuatan batuan utuh dengan

    kekuatan massa batuan. Hoek dan Brown (1980) memperkenalkan rumusan untuk

    memperkirakan kekuatan massa batuan berdasarkan kepada hubungan antara blok

    batuan dan kondisi permukaaan diantara blok batuan tersebut. Sejak diperkenalkan

    pertama kali, rumusan ini telah mengalami modifikasi dengan menambahkan

    beberapa parameter yang sebelumnya tidak dipertimbangkan pada rumusan tersebut.

    Rumusan Hoek-Brown yang dipakai pada penelitian ini adalah kriteria keruntuhan

    Hoek-Brown edisi 2002.

    Gambar 3.10. Diagram idealisasi transisi dari batuan utuh ke massa batuan yang terkekarkan

    (Hoek dan Brown, 1980)

  • 3-25

    3.5.1. Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown (Edisi 2002)

    Kriteria keruntuhan Hoek-Brown pertama kali dikembangkan untuk analisa

    terowongan pada massa batuan terkekarkan didefinisikan dengan persamaan 3.16.

    a

    cibci sm

    ++=

    331 ''' .................................................................................(3.16)

    1 dan 3 adalah tegangan efektif maksimum dan minimum pada saat runtuh, mb konstanta Hoek-Brown m untuk massa batuan, s dan a adalah konstanta yang

    tergantung kepada karakteristik massa batuan, dan ci adalah nilai kuat tekan batuan utuh. Untuk batuan utuh, nilai s dan a ditetapkan 1 dan 0.5 sehingga rumusan Hoek-

    Brown untuk batuan utuh dihitung dengan persamaan 3.17.

    5.0

    331 1

    '''

    ++=

    ciici m ..(3.17)

    3.5.2. Geological Strength Index (GSI) dan Rock Mass Rating (RMR)

    Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan batuan utuh

    dan juga kepada bebas tidaknya blok-blok batuan yang menyusun massa batuan

    untuk meluncur dan berotasi dibawah kondisi tegangan yang berbeda. Hal tersebut

    dikontrol oleh bentuk geometri dari blok-blok batuan penyusun massa batuan

    maupun kondisi permukaan bidang pemisah antar blok-blok batuan tersebut. Suatu

    blok batuan yang menyudut dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai

  • 3-26

    kekuatan massa batuan yang lebih besar dibandingkan dengan dengan blok batuan

    yang membundar dan bidang permukaanya terlapukan.

    Geological Strength Index (GSI) diperkenalkan oleh Hoek (1995) dan Hoek, Kaiser,

    dan Bawden (1995) ditujukan untuk memperkirakan berkurangnya kekuatan suatu

    massa batuan yang disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Sistem GSI ini

    dapat dilihat pada Table III.4.

    Setelah nilai GSI diperoleh, parameter-parameter yang menggambarkan karakteritik

    kekuatan massa batuan dapat dihitung dengan persamaan 3.18 hingga 3.20.

    =

    DGSImm ib 1428

    100exp .....................................................................................(3.18)

    =D

    GSIs39100exp ............................................................................................(3.19)

    += 32015/61

    21 eea GSI ..................................................................................(3.20)

    D adalah faktor kerusakan (disturbance factor) yang tergantung kepada derajat

    kerusakan massa batuan yang disebabkan oleh peledakan maupun pelepasan

    tegangan. Untuk GSI>25, nilai GSI tersebut dapat diperkirakan dari nilai RMR89

    dengan rumus GSI = RMR89 5, dimana nilai RMR89 ditetapkan untuk rating muka

  • 3-27

    air tanah adalah 15 dan arah bidang diskontinyu adalah 0, sehingga rumusan di atas

    dapat ditulis pula sebagai:

    =D

    RMRmm ib 142895exp .....................................................................................(3.21)

    =D

    RMRs39

    95exp ............................................................................................(3.22)

    += 32015

    61

    21 eea

    RMR

    ..................................................................................(3.23)

    Tegangan normal dan tegangan geser dihitung dengan persamaan yang

    dipublikasikan oleh Balmer (2002):

    1''

    1''

    .2

    ''2

    '''

    3

    1

    3

    1

    3131

    +

    +=

    dddd

    n ......................................................................(3.24)

    ( )1'/'

    '/'''

    31

    3131 +=

    dd

    dd .................................................................................(3.25)

    dimana, ( ) 1331 /'1'/' ++= acibb smamdd .................................................(3.26)

    3.5.3. Parameter Mohr-Coulomb

    Parameter geoteknik yang banyak digunakan saat ini adalah berdasarkan kriteria

    keruntuhan Mohr-Coulomb, sehingga perlu ditentukan kesetaraan nilai kohesi (c)

    dan sudut geser dalam () untuk setiap massa batuan. Hal ini dilakukan dengan cara mencocokan kurva hasil perhitungan kriteria keruntuhan Hoek-Brown untuk

    berbagai nilai tegangan principal minimum seperti dapat dilihat pada Gambar 3.11.

  • 3-28

    Tabel III.4. Nilai GSI berdasarkan deskripsi kondisi geologi (Hoek,1995)

  • 3-29

    Gambar 3.11. Hubungan antara Hoek-Brown dan Mohr-Coulomb

    Nilai dan c dapat dihitung dengan persamaan 3.27 dan 3.28 berikut:

    ++++

    +=

    1

    3

    131

    )'(6)2)(1(2)'(6

    sin' anbb

    anbb

    msamaamsam

    ...(3.27)

    [ ]( )( )( ) ( ) ( )( ))21/()'(6121

    '')1()21('

    13

    133

    aamsamaa

    msmasac

    anbb

    anbnbci

    +++++++++=

    .......(3.28)

    keterangan: 3n=3max/ci

    3max dicari dengan persamaan 3.29 dan 3.30: 94.0

    max3 '47.0'

    '

    =Hcm

    cm

    , untuk terowongan dimana H=kedalaman ..................(3.29)

    91.0max3 '72.0'

    '

    =Hcm

    cm

    , untuk lereng dimana H=tinggi lereng .....(3.30)

  • 3-30

    cm adalah kekuatan massa batuan global (global strength) yang dicari dengan persamaan 3.31:

    'sin1'cos'2'

    =c

    cm atau ( )( )

    )2)(1(24/)8(4

    .'1

    aasmsmasm abbb

    cicm ++++=

    (3.31)

    Setelah semua parameter Mohr-Coulomb didapat, kriteria keruntuhan Mohr-

    Coulomb dapat ditulis dengan persamaan 3.32 dan 3.33:

    'tan' nc += ...(3.32) dan

    31 ''sin1'sin1

    'sin1'cos'2'

    ++=c ...(3.33)

    3.5.4. Faktor Kerusakan (Disturbance Factor, D)

    Mendesain suatu lereng pada suatu tambang terbuka dengan kriteria Hoek-Brown

    dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb in-situ rock masses)

    dimana D=0 adalah terlalu optimistic (Hoek 2002). Kerusakan massa batuan dapat

    disebabkan oleh peledakan dan pelepasan tegangan (stress relief) akibat lepasnya

    overburden. Oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya faktor untuk

    mempertimbangkan tingkat kerusakan massa batuan akibat proses tersebut di atas.

    Untuk mengakomodasi hal tersebut, Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan

    massa batuan (disturbance factor) D yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa

    batuan yang diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman

    untuk menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel III.5.

  • 3-31

    Tabel III.5. Pedoman untuk memperkirakan faktor kerusakan D (Hoek, 2002) Appearance of rock m ass Description of rock m ass Suggested value of D

    Excellent quality controlled blasting or excavation by Tunnel Boring Machine results in m inim al disturbance to the confined rock m ass surrounding a tunnel.

    D = 0

    Mechanical or hand excavation in poor quality rock m asses (no blasting) results in m inim al disturbance to the surrounding rock m ass. W here squeezing problem s result in significant floor heave, disturbance can be severe unless a tem porary invert, as shown in the photograph, is placed.

    D = 0 D = 0.5

    No invert

    Very poor quality blasting in a hard rock tunnel results in severe local dam age, extending 2 or 3 m , in the surrounding rock m ass.

    D = 0.8

    Sm all scale blasting in civil engineering slopes results in m odest rock m ass dam age, particularly if controlled blasting is used as shown on the left hand side of the photograph. However, stress relief results in som e disturbance.

    D = 0.7 Good blasting

    D = 1.0 Poor blasting

    Very large open pit m ine slopes suffer significant disturbance due to heavy production blasting and also due to stress relief from overburden rem oval. In som e softer rocks excavation can be carried out by ripping and dozing and the degree of dam age to the slopes is less.

    D = 1.0 Production

    blasting D = 0.7

    Mechanical excavation

    3.6. Karakteristik Geser Lapisan Pembawa Batubara

    Seperti telah dikemukakan di atas bahwa kestabilan lereng dapat berubah terhadap

    waktu. Perubahan kestabilan lereng terhadap waktu tersebut terutama disebabkan

    oleh proses pelapukan yang terjadi secara intensif di daerah tropis seperti di

    Indonesia.

  • 3-32

    Untuk mengetahui perubahan besaran parameter pembentuk lereng yang

    mempengaruhi berubahnya kestabilan suatu lereng, studi karakteristik geser terhadap

    lapisan pembawa batuabara seperti batulempung dan batulanau perlu dilakukan. Pada

    studi tersebut, termasuk juga penentuan kekuatan jangka panjang dari lapisan

    pembawa batubara tersebut.

    3.6.1. Perilaku Terhadap Waktu (Time Dependent Behaviour)

    Perilaku terhadap waktu dari suatu material dapat didekati dengan kombinasi dua

    model rheologi, yaitu Hooke dan Newton. Melihat persamaan dasar perilaku

    terhadap waktu, terlihat bahwa tidak ada persamaan umum yang cukup untuk

    mendefinisikan sifat rheologi suatu material.

    Sejauh ini, uji rayapan uniaksial di laboratorium merupakan metode yang banyak

    digunakan untuk menentukan perilaku terhadap waktu dari suatu material. Goodman

    (1989) mengklasifikasikan rayapan uniaksial menjadi 4 tahap, yaitu: regangan elastik

    seketika (o), rayapan primer (I), rayapan sekunder (II), dan rayapan tertier (III) seperti dapat dilihat pada Gambar 3.12.

    Gambar 3.12. Kurva Rayapan Uniaksial (Goodman, 1989)

  • 3-33

    Regangan elastik seketika terjadi segera setelah tegangan diberikan pada contoh

    batuan dan diikuti oleh rayapan primer. Pada tahap ini contoh akan kembali ke

    keadaan semula jika tegangan yang bekerja dihilangkan (OQR). Rayapan sekunder

    diindikasikan oleh regangan dengan kecepatan konstan dan ketika tegangan

    dihentikan telah terjadi regangan permanen (TUV). Pada rayapan tersier, kecepatan

    regangan elastik akan meningkat hingga contoh mengalami keruntuhan.

    3.6.2. Model Rheologi

    Rheologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari penomena aliran atau

    perpindahan suatu material. Terdapat beberapa model rheologi yang dapat digunakan

    untuk menggambarkan perilaku mekanik suatu material, dari model yang sederhana

    hingga yang komplek. Tabel III.6. memperlihatkan model rheologi dan simbolnya

    yang umumnya digunakan untuk analisis mekanik dan diasumsikan diterapkan untuk

    penentuan kekuatan geser.

    Tabel III.6. Model Rheologi

  • 3-34

    3.6.3. Kekuatan Jangka Panjang

    Tegangan yang dikenakan pada contoh batuan dalam uji rayapan biasanya lebih kecil

    daripada tegangan yang dikenakan pada uji standar seperti uji tekan uniaksial, dan uji

    geser langsung. Dengan memplot besarnya tegangan terhadap waktu keruntuhan,

    kekuatan jangka panjang dari contoh batuan dapat diperkirakan seperti dapat dilihat

    pada Gambar 3.13.

    Uji rayapan dapat dilakukan berdasarkan pada beban tetap menerus (continuous

    constant) ataupun beban banyak tahap (multistage loads). Pada beban tetap menerus

    memerlukan banyak contoh batuan, sedangkan pada beban banyak tahap

    memerlukan lebih sedikit contoh batuan walaupun beban yang diberikan telah

    terpengaruh oleh beban sebelumnya.

    Gambar 3.13. Penentuan Kekuatan Jangka Panjang