Jbptitbpp Gdl Angguningd 30994 3 2008ta 2

download Jbptitbpp Gdl Angguningd 30994 3 2008ta 2

of 12

description

das

Transcript of Jbptitbpp Gdl Angguningd 30994 3 2008ta 2

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    9

    BAB II

    DASAR TEORI

    2.1 Kestabilan Lereng Batuan

    Kestabilan lereng batuan banyak dikaitkan dengan tingkat pelapukan dan struktur

    geologi yang hadir pada massa batuan tersebut, seperti sesar, kekar, lipatan dan

    bidang perlapisan (Sulistianto, 2001). Struktur-struktur tersebut, selain lipatan,

    selanjutnya disebut sebagai bidang lemah. Disamping struktur geologi, kehadiran air

    dan karakteristik fisik-mekanik juga dapat mempengaruhi kestabilan lereng.

    Untuk mengetahui adanya potensi tipe keruntuhan pada suatu aktivitas pemotongan

    lereng batuan, perlu dilakukan pemetaan orientasi diskontinuitas yang dilakukan baik

    sebelum maupun sesudah lereng batuan tersebut tersingkap. Sementara itu, metode

    analitik untuk memprediksi potensi keruntuhan batuan dan cara penanggulangannya

    seringkali tidak efektif (Maerz, 2000). Oleh karena itu, penggunaan desain empiris

    berdasarkan klasifikasi massa batuan menjadi penting (Franklin dan Maerz, 1996).

    2.1.1 Diskontinuitas

    Diskontinuitas adalah suatu istilah untuk gabungan semua struktur pada material-

    material geologi yang biasanya memiliki kekuatan tarik dari 0 rendah, yang juga

    dapat ditanggulangi (Glossary of Geology, 1997 op cit. Hendarsin, 2003).

    Keberadaan diskontinuitas akan mempengaruhi kestabilan lereng oleh sifat-sifat

    diskontinuitas yang dimilikinya. Sifat-sifat geometri yang dimiliki diskontinuitas

    (Gambar 2.1), antara lain :

    Kemiringan (dip/dip direction) Jarak antar diskontinuitas (spacing) Deskripsi permukaan (roughness) Bukaan (aperture)

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    10

    Kemenerusan (persistence) Set diskontinuitas

    Gambar 2.1 Sketsa karakteristik geometri dari diskontinuitas batuan (Priest, 1993)

    Beberapa parameter dari suatu diskontinuitas yang digunakan dalam analisis

    kestabilan lereng antara lain :

    Joint Roughness Coefficient (JRC)

    JRC merupakan suatu nilai yang diperkirakan dari perbandingan antara

    kenampakan permukaan diskontinuitas dengan profil standar yang dipublikasikan

    oleh Barton dan Choubey (1977) (Gambar 2.2). Cara lain untuk menentukan nilai

    JRC adalah dengan pengeplotan panjang profil dan lebar bukaan dari

    diskontinuitas (Gambar 2.3).

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    11

    Joint Compressive Strength (JCS) JCS dapat ditentukan dari pengeplotan schmidt rebound hammer dan densitas

    batuan, seperti yang dikemukakan oleh Deere dan Miller (1966) (Gambar 2.4).

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    12

    Gambar 2.4 Penentuan nilai JCS dari Schmidt hardness (Deere dan Miller, 1966)

    Sudut Geser Dalam Sudut geser dalam suatu batuan merupakan sudut dimana batuan dapat

    menggelincir dengan bebas karena gaya beratnya sendiri. Sudut geser dalam

    berbanding lurus dengan kuat geser batuan. Sudut geser dalam dapat ditentukan

    dari rumus :

    +

    +

    +=

    1logtanln180

    logtan 102

    1010 b

    nb

    nn

    JCSJRCJRCJCSJRC

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    13

    =

    ni

    arctan

    dengan : i = Sudut geser dalam efektif

    JRC = Joint Roughness Coefficient

    JCS = Joint Compressive Strength

    b = Sudut geser dalam basic

    n = Normal stress

    Kohesi Kohesi merupakan kekuatan tarik-menarik antar material sejenis. Semakin besar

    nilai kohesi batuan, kuat geser batuan tersebut juga akan semakin besar. Kohesi

    dapat ditentukan dari rumus :

    +=

    nbn

    JCSJRC 10logtan

    inic tan= dengan : ci = kohesi efektif

    = kuat geser

    2.1.2 Metode Kinematik

    Dalam penelitian ini, metode kinematik yang digunakan untuk mengetahui potensi

    keruntuhan lereng batuan adalah dengan teknik stereografis. Teknik stereografis

    merupakan metode grafis yang digunakan untuk menunjukkan jurus dan kemiringan

    dari suatu bidang. Teknik stereografis banyak digunakan untuk membantu

    mengidentifikasi jenis keruntuhan yang mungkin terjadi. Pengeplotan secara

    bersamaan antara jurus dan kemiringan, baik muka lereng maupun bidang lemah

    pada suatu stereonet akan segera dapat diketahui jenis dan arah keruntuhannya

    (Gambar 2.5).

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    14

    Gambar 2.5 Tipe keruntuhan batuan (Hoek dan Bray, 1981)

    Secara umum perpaduan orientasi diskontinuitas batuan akan membentuk empat tipe

    keruntuhan utama pada batuan (lihat Gambar 2.5), yaitu :

    Keruntuhan geser melengkung (circular sliding failure) Keruntuhan geser planar (planar sliding failure) Keruntuhan geser baji (wedge sliding failure) Keruntuhan jungkiran (toppling failure)

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    15

    2.1.3 Tipe Keruntuhan

    Berikut akan dibahas syarat-syarat umum terjadinya keruntuhan utama pada batuan.

    Keruntuhan geser melengkung (circular sliding failure) Keruntuhan jenis ini akan banyak terjadi pada lereng batuan lapuk atau sangat

    terkekarkan dan di lereng-lereng timbunan.

    Keruntuhan geser planar (planar sliding failure)

    Untuk kasus keruntuhan geser planar dengan bidang gelincir tunggal, syarat

    umum terjadinya keruntuhan :

    Bidang gelincir memiliki jurus sejajar atau hampir sejajar (maksimal 200) dengan jurus lereng

    Kemiringan bidang gelincir lebih kecil dari kemiringan lereng Kemiringan bidang gelincir lebih besar daripada sudut geser dalamnya

    Keruntuhan geser baji (wedge sliding failure)

    Syarat umum terjadinya keruntuhan geser baji adalah

    Terdapat dua bidang lemah atau lebih yang berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng

    Sudut lereng lebih besar daripada sudut garis potong kedua bidang lemah Sudut garis potong kedua bidang lemah lebih besar daripada sudut geser

    dalamnya

    Keruntuhan jungkiran (toppling failure)

    Keruntuhan jungkiran dapat terjadi apabila bidang-bidang lemah yang hadir di

    lereng memiliki kemiringan yang berlawanan dengan kemiringan lereng.

    Namun demikian, seringkali tipe keruntuhan yang ada merupakan gabungan dari

    beberapa keruntuhan utama sehingga seakan-akan membentuk suatu tipe keruntuhan

    yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe

    keruntuhan kompleks. Tipe keruntuhan tak beraturan antara lain overhanging failure,

    undercutting failure, rolling block failure,dan bouncing rock failure.

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    16

    2.2 Klasifikasi Massa Batuan

    Massa batuan (rock mass) merupakan tubuh atau massa batuan yang dipisahkan

    oleh diskontinuitas. Massa batuan ini terdiri dari material geologi seperti tekstur,

    komposisi mineral dan diskontinuitas.

    Sementara itu dalam kaitannya dengan rekayasa batuan, klasifikasi massa batuan

    (rock mass classification) berarti mengumpulkan data dan mengklasifikasikan

    singkapan batuan berdasarkan parameter-parameter yang telah diyakini dapat

    mencerminkan perilaku massa batuan tersebut. Kegunaan utama dari sistem

    klasifikasi massa batuan adalah untuk menilai berbagai properti teknik dari atau

    yang berhubungan dengan massa batuan (rock mass).

    Metode klasifikasi massa batuan terus berkembang dari waktu ke waktu.

    Klasifikasi massa batuan dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan tipe dari

    massa batuan tersebut. Metode klasifikasi yang umum dipakai untuk mengevaluasi

    kestabilan lereng akan dibahas dalam sub-subbab berikut ini.

    2.2.1 Rock Mass Rating (RMR)

    Metode ini sudah diakui dan sering digunakan dalam kegiatan geologi teknik.

    Metode RMR diperkenalkan oleh Bieniawski (1989). Metode RMR ini

    memasukkan 5 parameter utama (Tabel 2.1), yaitu :

    Kekuatan batuan utuh (intact rock)

    Kekuatan batuan utuh (intact rock) dalam RMR dinyatakan dengan Uniaxial

    Compressive Strength (UCS). UCS merupakan kekuatan dari batuan utuh yang

    diperoleh dari hasil uji kuat tekan uniaksial. Pengujian ini dilakukan dengan

    menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan pada permukaan

    sampel dari satu arah. Menurut Deere dan Miller (1966), nilai UCS juga dapat

    ditentukan dari JCS dapat ditentukan dari pengeplotan schmidt rebound hammer

    dan densitas batuan (lihat Gambar 2.4).

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    17

    RQD (rock quality designation) Deere dan Miller (1966) menganjurkan untuk menggunakan kualitas batuan

    berdasarkan % inti bor pada pemboran dengan diameter 57,15 mm atau lebih.

    Dipilih diameter 57,15 mm (NX core) karena ukuran ini merupakan ukuran

    standar dalam suatu pemboran. Bila pemboran dalam kondisi standar (normal)

    maka inti yang didapat tergantung pada kekuatan batuan serta frekuensi bidang

    diskontinu yang terdapat pada batuan tersebut. Parameter RQD diperoleh

    melalui pengamatan inti bor yang terambil, dengan mengabaikan inti bor yang

    memiliki panjang kurang dari 10 cm dan menunjukkan sisanya sebagai

    persentase terhadap panjang pemboran (Gambar 2.6).

    Gambar 2.6 Cara menghitung nilai RQD

    Namun jika menggunakan sistem scanline, nilai RQD tidak dapat langsung

    ditentukan dari rumus di atas. Terlebih dahulu harus ditentukan frekuensi

    diskontinuitas. Frekunsi diskontinuitas merupakan perbandingan antara jumlah

    diskontinuitas dalam satu scanline dengan panjang scanline.

    scanlinePanjangitasdiskontinuJumlahFrekuensi =

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    18

    Setelah diketahui nilai frekuensi diskontinuitas, nilai tersebut langsung dapat

    diplot pada grafik di bawah ini (Gambar 2.7).

    Gambar 2.7 Grafik hubungan antara RQD dengan frekuensi (Hudson dan

    Harrison, 1997)

    Spasi diskontinuitas (spacing of discontinuities) Spasi diskontinuitas merupakan jarak antara dua diskontinuitas yang berdekatan

    dalam satu scanline.

    itasdiskontinuJumlahscanlinePanjangratarataitasdiskontinuSpasi =

    Kondisi diskontinuitas (condition of discontinuities)

    Kondisi diskontinuitas ditentukan dari deskripsi tiap bidang diskontinuitas,

    berupa tingkat pelapukan, kekasaran permukaan bidang diskontinuitas,

    kemenerusan bidang diskontinuitas, lebar bukaan, dan material pengisi bidang

    diskontinuitas.

    Kondisi airtanah (groundwater condition)

    Air biasanya mengisi rongga antara permukaan diskontinuitas. Keberadaan air ini

    akan mengurangi kuat geser antara kedua permukaan diskontinuitas. Bobot

    parameter airtanah dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu pengamatan

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    19

    langsung di lapangan dan menentukan kondisi umum air, melakukan pengukuran

    debit air atau mengukur tekanan air.

    Tabel 2.1 Parameter klasifikasi RMR dan nilai pembobotannya (Bieniawski, 1989)

    2.2.2 Slope Mass Rating (SMR)

    Slope mass rating (SMR) merupakan sistem klasifikasi massa batuan yang dirancang

    khusus untuk lereng. Metode ini dikemukakan oleh Romana (1985). Sistem ini

    mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyelarasan (Tabel

    2.2). Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi slope mass rating (SMR) :

    Arah kemiringan (dip direction) dari permukaan lereng (s) Arah kemiringan (dip direction) diskontinuitas (j), sudut kemiringan diskontinuitas (j).

    ( ) 4321 FFFFRMRSMR basic ++= dengan: F1 = (1-sin ( s - j ))2 F2 = tan j F3 adalah rating antara 0 dan -60 berdasarkan hubungan antara permukaan lereng

    dengan kemiringan diskontinuitas.

  • BAB II DASAR TEORI

    Analisis Kestabilan Lereng Batugamping dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan di Desa Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

    20

    F4 merupakan faktor penyelarasan yang berkaitan dengan metode ekskavasi (Tabel 2.3).

    Tabel 2.2 Nilai pembobotan untuk kekar (Romana, 1985)

    Very Very Case

    FavourableFavourable Fair Unfavourable

    Unfavourable P j - s T j - s - 1800

    > 300 300 - 200 200 - 100 100 - 50 < 50

    P / T F1=(1-sin j - s)2 0.15 0.4 0.7 0.85 1 P j < 200 200 - 300 300 - 350 350 - 450 > 450 P F2 = tan 2 j 0.15 0.4 0.7 0.85 1 T F2 1 1 1 1 1 P j - s > 100 100 - 00 00 00 -(-100) < -100 T j - s < 1100 1100 - 1200 > 1200 - -

    P / T F3 0 -6 -25 -50 -60 P = keruntuhan bidang (plane failure) j = joint dip direction j = joint dip T = keruntuhan jungkiran (toppling failure) s = slope dip direction s = slope dip

    Tabel 2.3 Nilai pembobotan untuk metode ekskavasi lereng (Romana, 1985)

    Smooth Blasting or Defficient Method Natural PresplittingBlasting Mechanical Blasting

    F4 15 10 8 0 -8

    Setelah niai SMR diperoleh, maka nilai tersebut akan berada dalam salah satu kelas

    dengan nilai bobot tertentu. Tabel 2.4 mendeskripsikan setiap kelas pada sistem

    klasifikasi SMR.

    Tabel 2.4 Deskripsi untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985)

    SMR 0 - 20 21 - 40 41 - 60 61 - 80 81 - 100 Class V IV III II I

    Description Very Bad Bad Normal Good Very Good Completely Partially Completely Stability Unstable

    Unstable Stable

    Stable Stable

    Big Planar Planar or Some Joints Failures

    or Soil Like Big

    Wedges or Many Wedges

    Some Blocks None

    Important Support ReexcavationCorrective

    Systematic Occasional None