JATI - dishutbun.jogjaprov.go.iddishutbun.jogjaprov.go.id/assets/artikel/Tanaman_Jati.pdf · daun...

13
JATI (Tectona grandis) OLEH SUROSO.SP PENYULUH KEHUTANAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UROSO.SP Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari kata thekku (തേക്ക് ) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa. Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras. Beberapa alternatif telah

Transcript of JATI - dishutbun.jogjaprov.go.iddishutbun.jogjaprov.go.id/assets/artikel/Tanaman_Jati.pdf · daun...

JATI (Tectona grandis)

OLEH SUROSO.SP

PENYULUH KEHUTANAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

UROSO.SP

Jati adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar,

berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar,

yang luruh di musim kemarau.

Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini berasal dari

kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bagian

Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f.

Jati dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun

dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tempat

yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5 – 7

dan tidak dibanjiri dengan air. Jati memiliki daun berbentuk elips yang lebar

dan dapat mencapai 30 – 60 cm saat dewasa.

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya

kurang dari 50%) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit

sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati. Jati

biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji. Akan

tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi

terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras. Beberapa alternatif telah

dilakukan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam air,

memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan

asam, basa, atau bakteri. Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal

untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.

Umumnya, Jati yang sedang dalam proses pembibitan rentan terhadap

beberapa penyakit antara lain leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis

sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang

disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh

Uncinula tectonae. Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak,

tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994. Infeksi tersebut

terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini

adalah adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang

kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar

ke bagian atas daun, petiol, dan ujung batang yang mengakibatkan bagian

daun dari batang tersebut mengalami kekeringan. Jika tidak disadari dan

tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke

seluruh bibit sehingga proses penanaman jati tidak bisa dilakukan.

Habitus

Pohon besar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m.

Batang bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan

alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-

bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau

beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku

seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah

dangkal dalam alur memanjang batang.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) dapat tumbuh meraksasa selama ratusan

tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun,

pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-

1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar,

berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal

dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang

sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm

× 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20

cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan

bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah

berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang

segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar,

berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan

terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7

buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan

inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah

tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai

balon kecil.

Sifat ekologis dan penyebaran

Tectona grandis

Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand,

Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang

menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah ahli

botani, jati merupakan

spesies asli di Burma, yang

kemudian menyebar ke

Semenanjung India,

Muangthai, Filipina, dan

Jawa. Sebagian ahli botani

lain menganggap jati adalah

spesies asli di Burma,

India, Muangthai, dan

Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada saat ini dipasok oleh Burma. Sisa

kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam.

Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari

Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan

Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka (sejak

1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad

ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun

tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun

dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian

tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh

hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-

akan hanya terdiri dari satu jenis pohon.

Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran

lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu.

Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan

kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit

tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar,

lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru

memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk

secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran

itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran —yang dapat

dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah,

kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses

pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat

jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai adalah yang agak basa, dengan pH antara 6-8, sarang

(memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium)

dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang air.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan

(diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang

lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara

(1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan

hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran

alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, New Zealand, Pasifik

dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di

Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di

Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang

menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya,

tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang

membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu,

jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di

beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau

Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di

Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat jika hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung

Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur

di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali,

dan Sumbawa. Perbukitan di bagian timur laut Bima di Sumbawa penuh

tertutup oleh jati pada saat itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di

beberapa titik di bagian timur. Ada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan

1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga

jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan

Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan

bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan

1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan

Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya

saat ini tidak kalah dengan yang ada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya

dapat melebihi 30 cm.

Penyebaran jati ke Jawa

Walaupun menyebar luas di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil,

mayoritas ahli sepakat bahwa jati bukan tumbuhan asli di Indonesia. Ada

beberapa dugaan tentang asal mula budidaya jati di Indonesia. Raffles

menunjukkan bahwa, pada abad ke-15 dan ke-16, hutan jati yang terdekat

dengan Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil berada di Siam dan Pegu. Kedua

negeri itu tercatat pernah mengekspor barang ke Jawa melalui kapal-kapal

besar. Ia lantas menduga bahwa orang laut dulu mengimpor jati, entah dari

Pegu, entah dari Malabar.

Oleh karena jarak antarpohon cenderung beraturan, Altma (1922)

memperkirakan bahwa hutan jati di Jawa mungkin merupakan hasil

penanaman di akhir era Hindu (abad ke-14 hingga ke-16). Ia menduga jika

penguasa Jawa masa itu telah menganggap jati sebagai suatu pohon suci.

Mereka lantas mengimpor jenis pohon itu dari Kelinga di pantai timur India

Selatan sejak abad kedua. Jati memang banyak ditemukan di sekitar candi-

candi untuk menghormati Dewa Syiwa. Namun, Simatupang (2000) melihat

jika jati telah menyebar jauh lebih luas. Ia menduga penyebaran yang lebih

luas ini berkat keterlibatan para petani sekitar candi. Para petani itu sudah

melihat kegunaan jati dan budidayanya yang mudah.

Simatupang menduga bahwa, di tempat-tempat tertentu di Jawa yang tidak

cocok untuk persawahan, perladangan berpindah dipraktikkan. Perladangan

berpindah adalah cara bertani yang biasa dilakukan semasa itu di banyak

daerah lain di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebelum berpindah ladang,

petani-petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur mungkin telah menanam

pohon jati. Oleh karena sesuai dengan iklim kering setempat yang kerap

menimbulkan kebakaran, jati kemudian menjadi spesies dominan.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari

Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak

menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian

650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak

lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim

muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang

cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora,

Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di

daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Saat ini, sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani,

sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003,

luas lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat luas Pulau Jawa.

Luas lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini

nyaris setara dengan setengah luas lahan hutan Perhutani atau sekitar 11%

luas Pulau Jawa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan

keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas kekuatan I dan kelas

keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah

tua. Kayu gubal, di bagian luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan,

sehingga disukai untuk membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang

diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-

pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan

gambaran yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan

sebagai kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah menjadi mebel

taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak

mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas alasan itulah, kayu jati

digunakan juga sebagai bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal

niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada abad ke-19 konon

meminta upah tambahan jika harus mengolah jati. Ini karena kayu jati

sedemikian keras hingga mampu menumpulkan perkakas dan menyita

tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk

menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena dapat

merusak baja kapal marinir Inggris jika berbenturan.

Pada abad ke-17, tercatat jika masyarakat Sulawesi Selatan menggunakan

akar jati sebagai penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk

barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean

menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami.

Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara

itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam

jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk

meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sebagai penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia

sendiri, jati jawa menjadi primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan

kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-

produk ekspor yang disebut berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari

Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor

di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa jenis jati

(Mahfudz dkk., t.t.):

1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa

halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak;

malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.

2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).

3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.

4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng

hitam menyala, sangat indah.

5. Jati kembang.

6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung

banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Kegunaan kayu jati

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel

kayunya, sehingga dapat awet digunakan di tempat terbuka meski tanpa

divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut,

termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di abad ke-17. Juga

dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture, kayu jati

digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa,

seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua

bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk

melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket

(parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam

bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel,

dimanfaatkan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas

yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap.

Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan

Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai

ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati

terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai

dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya

mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut

‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-

kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai

utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana,

Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada

di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires

pada awal abad ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur

Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras

mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada

1651. VOC juga memperjuangkan izin berdagang jati melalui Semarang,

Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka menganggap perdagangan jati akan

jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia

yang saat itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan abad ke-18, VOC telah mampu menebang jati secara lebih

modern. Dan, sebagai imbalan bantuan militer mereka kepada Kerajaan

Mataram di awal abad ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang

lahan hutan jati yang luas.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu

jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang besar. Melalui sistem

blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada

rakyat di sekitar hutan. Sebagai imbalannya, rakyat dibebaskan dari

kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk

kerja paksa.

VOC kemudian memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam

dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang

menjadi pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang

tetap sibuk hingga pertengahan abad ke-19. Mereka gulung tikar hanya

setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal

di Surabaya. Lagipula, saat itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan

tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat

menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai

800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai

46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena

kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun

demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari

penjualan semua jenis kayu pada 1999 berasal dari penjualan gelondongan

jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan

Perhutani dari ekspor produk kayu berasal dari produk-produk jati, terutama

yang berbentuk garden furniture (mebel taman).

Manfaat yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus,

termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati

terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari

daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa

Timur sebagai pembungkus tempe.

Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan

makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu),

yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan

kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan

menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan

turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw.

ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Jika berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa

kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping

menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan

kulit pohon jati sebagai bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar

berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sebagai

pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati menjadi bahan

bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan

jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri,

mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah

sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya adalah gadung

(Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan

jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada saat paceklik.

Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit

(Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa)

tumbuh di kawasan hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang

merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik

terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu

hari. Penyerbukan bunga dilakukan oleh banyak serangga, tetapi terutama

oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering dapat

memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti

kerbau, sapi, dan kambing. Jenis ternak tersebut memerlukan rumput-

rumputan sebagai pakan. Walaupun para petani kadang akan mudah

mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak

memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber penghasil makanan ternak.

Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan

mendapatkan beragam jenis pakan yang diperlukan. Waktu yang tidak

dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan

sebagai hutan produksi, yaitu kawasan hutan dengan fungsi pokok

memproduksi hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan

jati Perhutani dikukuhkan sebagai hutan lindung, suaka alam, hutan wisata,

dan cagar alam.

Mengingat lahannya yang relatif cukup luas, hutan jati dipandang memiliki

fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis

tersebut adalah sebagai berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat

pencemar (polutan) dan cahaya yang berlebihan. Tajuk hutan itu pun

melakukan proses fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara

dan melepaskan kembali oksigen dan uap air ke udara. Semua ini membantu

menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut

mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati

tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu

menggemburkan tanah, sehingga memudahkan air dan udara masuk ke

dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam

hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga

dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah menjadi

bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme

hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya,

mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah menjadi

humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan air hujan sehingga

melindungi tanah dari erosi oleh air.

Fungsi biologis

Jika hutan jati berbentuk hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’

jati— erosi tanah justru akan lebih besar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya

matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan.

Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain.

Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak

tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih mudah

terbawa oleh aliran air dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih

beragam. Di dalam hutan jati, kita dapat menemukan bungur (Lagerstroemia

speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata),

katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), kepuh

(Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens),

ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula),

winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lain. Lamtoro (Leucenia

leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sebagai tanaman sela

untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum

1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati

dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60%

lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk

setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena

melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual

kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan

pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia

villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih

sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan

lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama

burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan.

Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk

masa depan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan

produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat

penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan

pariwisata, serta sumber pengembangan budaya.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug

Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup

dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas

39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan

menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum

Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di

seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit

jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh

membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian

akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung

bersangkutan.

Jenis yang berkerabat

Seluruhnya, ada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang

diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di

Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.

Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik

dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, ada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai

jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)

Jati putih (Gmelina arborea)

Jati pasir (Guettarda speciosa)