Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan ... - Data...
Transcript of Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan ... - Data...
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
9
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan Pemanfaatannya
Bagi Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Aketajawe
Lolobata1
Lis Nurrani dan Supratman Tabba2
ABSTRAK
Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) merupakan kawasan dengan
potensi keragaman hayati yang tinggi baik jenis-jenis pohon komersial maupun
fauna yang eksotik dan endemik serta keberadaan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan dan kontribusinya terhadap
pendapatan masyarakat. Kajian ini juga mengidentifikasi kebijakan-kebijakan
dalam pemanfaatan HHBK. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu
pengamatan lapangan, wawancara dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan
terhadap tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN, Kepala Desa,
Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara purposive random
sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa HHBK yang berkontribusi secara
signifikan terhadap pendapatan masyarakat yaitu penyadapan getah Agathis
dammara dan budidaya Myristica fragrans. Jenis HHBK yang intensif
dimanfaatkan oleh masyarakat antara lain sagu (Metroxylon sagoo), daun woka
(Livistona rotundifolia), talas (Xanthosoma sp.), rotan (Calamus sp.), bambu
(Bambusa spp.), pandan (Pandanus sp.) dan tumbuhan obat. Kebijakan terkait
pemanfaatan HHBK antara lain TNAL mengizinkan masyarakat memanfaatkan
getah A. dammara karena dianggap tidak merusak lingkungan, melaksanakan
sosialisasi mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari. Selain ini melaksanakan
kursus pencegahan kebakaran dan membentuk masyarakat peduli api
mengingat habitat A. dammara sangat rentan terhadap kebakaran serta usulan
zona tradisional terhadap sebagian wilayah yang terdapat potensi dan
pemanfaatan HHBK.
1 Makalah ini disampaikan dalam Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan Hutan
Menyongsong 50 Tahun Sulawesi Utara, diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado, Manado 9 Oktober 2014
2 Balai Penelitian Kehutanan Manado, Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan
Mapanget Kota Manado; Telp (0431) 3666683 email : [email protected]
10 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Kata kunci: HHBK, kebijakan, Taman Nasional Aketajawe Lolobata
I. PENDAHULUAN
Kekayaan sumber daya alam hayati Taman Nasional Aketajawe
Lolobata (TNAL) tidak hanya terbatas pada potensi jenis-jenis pohon
kemersial dan keragaman faunanya saja. Kawasan ini juga menawarkan
wisata budaya dan pengetahuan tradisional, dimana TNAL merupakan
tempat bagi komunitas tradisional Suku Togutil dalam menjalani kehidupan.
Suku Togutil adalah komunitas masyarakat berkarakteristik unik namun
memiliki eksotisme budaya dan kearifan lokal dalam mempertahankan
kelestarian TNAL (Nurrani dan Tabba, 2011). Selain itu pada kawasan ini
juga terdapat potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat beragam
jenisnya. Umumnya sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar
TNAL memanfaatkan beragam jenis HHBK untuk berbagai keperluan.
Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNAL masih sangat
tinggi khususnya pada pemanfaatan hasil hutan kayu, perburuan satwa liar
dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (Nurrani dan Tabba, 2013).
Keberadaan TNAL sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat yang
ada disekitarnya, sebab kawasan ini menjadi peyangga kehidupan. Sebagian
besar masyarakat sangat mengantungkan hidupnya pada kekayaan hayati
TNAL berupa HHBK, umumnya sumber daya tersebut dikonsumsi sendiri
namun pada jenis-jenis tertentu ada yang dijual.
Potensi besar yang terkandung pada kawasan dan belum teridentifikasi
dengan baik menyebabkan pengelolaan HHBK cenderung masih terabaikan,
disisi lain karena banyaknya jenis sehingga sulit menentukan prioritas
pengelolaan. Hal ini penting dilakukan untuk kelestarian kawasan konservasi
mengingat pengalihan energi manusia dari pola merusak hutan ke
pengelolaan HHBK akan mereduksi tekanan dan hambatan pada pemulihan
hutan (Prayitno, 2009). Penelitian ini dilakukan pada kawasan TNAL dengan
tujuan untuk mengetahui jenis-jenis HHBK yang banyak dimanfaatkan untuk
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kontribusinya terhadap pendapatan.
Selain itu kajian ini untuk mengidentifikasi kebijakan-kebijakan dalam
pemanfaatan HHBK.
II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada TNAL yang keselurahan arealnya
merupakan wilayah kawasan Hutan Aketajawe di Provinsi Maluku Utara.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
11
Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada Hutan Akejawi di Desa
Akejawi Kecamatan Wasile Selatan Kabupaten Halmahera Timur yang
merupakan wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah III
Subaim. Dua Sampel lainnya yaitu Hutan Bukit Durian di Desa Gosale
Kecamatan Oba Utara dan Hutan Tayawi di Dusun Tayawi Desa Koli
Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan yang merupakan wilayah Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Weda. Penelitian ini dimulai
dengan kegiatan survei pada bulan April serta pelaksanaan pada Bulan Juni
dan Oktober 2013.
Gambar 1. Lokasi penelitian
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan TNAL,
peta indikatif usulan zonasi. Alat yang digunakan antara lain, GPS, tally
sheet, kamera, plaging tab, kuesioner, papan data, baterai A2, baterai A3,
spidol permanen, dan alat tulis menulis.
C. Rancangan Penelitian
Jenis-jenis data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu
kombinasi teknik observasi (pengamatan lapangan), wawancara secara
mendalam (indepth interview), dan teknik kuesioner. Wawancara dilakukan
terhadap beberapa tokoh kunci, antara lain Kepala Balai TNAL, Kepala SPTN,
12 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan responden yang ditentukan secara
purposive random sampling. Data primer yang diperlukan antara lain Potensi
HHBK yang terdiri dari jenis dan manfaat. Serta mengidentifikasi kebijakan
terkait HHBK dari institusi pemangku kawasan maupun pemerintah desa.
Studi literatur digunakan untuk mendapatkan data sekunder yang
mendukung data primer dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya.
Dokumentasi data dilakukan dengan tally sheet untuk mengarahkan proses
kerja di lapangan serta memudahkan pengendalian data.
D. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dimana data potensi
dan nilai jual ditabulasi serta interaksi masyarakat dianalisis secara
deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemanfaatan HHBK Oleh Masyarakat
1. Pengolahan Sagu
Sagu (Metroxylon sagoo) merupakan potensi HHBK yang menjadi
primadona masyarakat Maluku sejak dahulu kala. Olahan makanan yang
umum dikonsumsi oleh masyarakat dari bahan dasar sagu antara lain
popeda, roti sagu (sagu lempeng) dan berbagai jenis penganan tradisional
Maluku Utara. Sagu menjadi bahan makanan pokok masyarakat Maluku
Utara terutama bagi mereka yang bermukim di wilayah pedesaan. Menurut
masyarakat bahwa meski mengkonsumsi banyak nasi namun hal tersebut
tidak akan mengeyangkan seperti halnya ketika mengkonsumsi makanan
dari olahan sagu. Jika tidak mengkonsumsi sagu masyarakat merasa tidak
memiliki energi cukup untuk beraktivitas dan terasa lebih cepat lelah serta
lemas ketika sedang bekerja. Dengan kata lain energi yang dihasilkan dari
mengkonsumsi sagu lebih tinggi dibandingkan dengan bahan karbohidrat
lainnya.
Selain dikonsumsi sendiri sagu dan produk olahannya juga dijual oleh
masyarakat, 1 kg sagu tumang dijual dengan harga Rp. 24.000 dan untuk 5
buah sagu lempeng dijual seharga Rp. 7.500 – Rp. 10.000. Sagu umum
ditemukan pada wilayah Maluku Utara khususnya pada Pulau Halmahera,
sagu merupakan jenis penghuni habitat hutan rawa. Pada kawasan TNAL
jenis ini biasanya ditemukan di sepanjang aliran sungai atau wilayah yang
memiliki kandungan air berlebih. Sagu merupakan salah satu jenis HHBK
yang intensif dipanen pada wilayah Tayawi, sebab sagu adalah makanan
pokok bagi Suku Togutil dan masyarakat asli Pulau Halmahera lainnya.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
13
Umumnya jenis ini tumbuh berumpun dengan stratum yang jelas dari
anakan hingga tingkat yang lebih besar dan telah siap panen. Sagu
termasuk jenis famili palem yang mudah untuk dibudidayakan dan
dikembangbiakkan. Menurut Miftahorrachman et al. (1996) terdapat
sedikitnya lima jenis sagu yang diketahui tumbuh di Kepulauan Maluku yaitu
tuni, ihur, makanora, duri rotan dan molat.
Gambar 2. Sagu dan makanan tradisional olahannya
Sagu merupakan sumber karbohidrat dan bahan makanan tradisional
suku asli Pulau Halmahera. Tanaman khas asal Maluku ini potensial untuk
dikembangkan bukan hanya sebagai komoditi nasional tapi juga
internasional. Menurut Rostiwati et al. (2008) sebaran terluas hutan alam
sagu di Indonesia berada di Provinsi Papua dan Maluku, yang merupakan
pusat keragaman tertinggi di dunia. Selain sebagai bahan pangan
tradisional, sagu juga berpotensi sebagai bahan baku energi biomassa,
dimana teknologi pengolahan bioethanol sagu telah banyak dan berhasil
dikembangkan oleh berbagai pihak.
2. Pemanfaatan Daun Woka
Woka adalah sebutan lokal masyarakat Maluku Utara untuk jenis Palem
Serdang (Livistona rotundifolia Mart). Woka merupakan salah satu jenis
palem dari famili Arecaceae dan masuk ke dalam ordo Arecales. Beberapa
sinonim nama daerah Woka antara lain dalam bahasa Jawa dikenal dengan
sebutan Serdang dan pada komunitas masyarakat Ambon disebut Salbu.
Secara morfologi woka dewasa nampak kokoh dengan batang lurus dan
besar, berwarna coklat, serta memiliki pelepah yang jatuh seperti pada
pelepah kelapa. Tinggi total bisa mencapai hingga 25-30 m, bentuk daun
membulat dengan pelepah daun bagian tepi berduri kasar dan berada pada
sisi-sisi pelepah tangkai daun. Woka umum ditemukan pada Kawasan TNAL,
14 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
jenis ini hidup diberbagai habitat dan tipe ekosistem dari hutan dataran
tinggi hingga hutan dataran rendah.
Daun woka adalah HHBK yang sangat intensif dimanfaatkan dan lazim
digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Maluku Utara. Daun
ini banyak dipergunakan untuk membungkus makanan, bahan dasar atap
rumah ataupun untuk keperluan lainnya. Untuk membungkus makanan
biasanya menggunakan daun muda karena pada kondisi tersebut daun
masih sangat elastis dan anti lengket. Selain itu, daun woka juga dapat
dibuat sebagai media tempat makan atau piring tradisional yang
dipergunakan oleh petani pada saat berkebun ataupun pada saat masuk
hutan.
Berdasarkan informasi dari Masyarakat Akejawi bahwa daun woka
dipergunakan sebagai media tempat makan ketika pelaksanaan ritual adat
budaya masyarakat di Maluku Utara. Selain itu daun woka yang telah
dibentuk seperti mangkuk tersebut juga digunakan sebagai wadah untuk
menyajikan berbagai hidangan makanan saat prosesi ritual adat
berlangsung. Kondisi yang sama juga dapat dilihat ketika pelaksanaan
hajatan besar seperti syukuran dan pesta resepsi pernikahan. Sedangkan
pada masyarakat Desa Gosale daun woka biasanya dipergunakan sebagai
media untuk mengangkut potongan daging satwa hasil buruan dari dalam
hutan.
Gambar 3. Morfologi woka dan pemanfaatannya
Bagi Suku Togutil Tayawi daun woka memiliki peran vital dalam
kehidupan sehari-hari, daun ini diperuntukkan sebagai atap rumah
tradisional. Daun ini juga digunakan sebagai bahan dasar dinding, media
untuk memasak, media makan, media minum dan sebagai media untuk
mengangkut hasil buruan. Selain itu daun ini juga dapat digunakan sebagai
payung tradisional untuk berlindung dari hujan ketika berada didalam hutan.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
15
Daun Woka merupakan HHBK multiguna yang umum digunakan oleh
masyarakat Sulawesi Utara sebagai pembungkus makanan khususnya
jajanan nasi kuning dan kue dodol (Tabba dan Nurrani, 2012).
3. Talas
Talas termasuk kategori tumbuhan bawah yang umum ditemukan pada
Desa-desa di sekitar zona peyangga TNAL. Tumbuhan ini bahkan dapat
ditemukan tumbuh di sekitar pemukiman Masyarakat Akejawi dan
Masyarakat Suku Togutil Tayawi. Terdapat dua jenis talas yang umum
ditemukan pada wilayah TNAL yaitu Colocasia esculenta dan Xanthosoma
sp. Talas digunakan sebagai bahan makanan tradisional pengganti
karbohidrat seperti halnya sagu oleh masyarakat Pulau Halmahera. Biasa
talas direbus dan disajikan sebagai makanan saat sarapan dan cemilan di
sore hari, sedangkan bagi masyarakat Suku Togutil talas termasuk salah
satu makanan pokok. Olahan lain dari talas yang menjadi kegemaran serta
kebiasaan masyarakat yaitu dibuat kolak dan kripik.
Batang Talas Colocasia esculenta dimanfaatkan oleh masyarakat Suku
Duri di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan sebagai sayur, namun
pengolahannya memiliki teknik khusus sebab jika salah mengolah maka
sayur tersebut akan terasa gatal. Colocasia esculenta memiliki potensi besar
untuk digunakan sebagai bahan pangan alternatif, seperti di Wamena Papua
digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan mie (Yulifianti dan
Ginting, 2013).
4. Tumbuhan Obat Tradisional
Berdasarkan hasil penelitian teridentifikasi sebanyak 81 jenis tumbuhan
hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat dalam pengobatan
tradisional. Sebanyak 15 jenis ditemukan pada Desa Gosale, 20 jenis pada
Desa Akejawi dan 46 jenis pada Dusun Tayawi (Nurrani et al., 2013).
Umumnya tumbuhan tersebut digunakan untuk pengobatan alergi dan luka
ringan (29 jenis); penyakit dalam dan peningkatan stamina tubuh (47 jenis);
penyakit kronis (12 jenis); serta penyakit akibat kekuatan mistik (3 jenis).
5. Buah-Buahan dan Sayuran
Kawasan TNAL juga menjadi sumber penghasil buah-buahan dan
sayuran bagi masyarakat. Sebagai tumbuhan penghasil protein nabati,
sayuran digunakan untuk konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun
tidak jarang beberapa jenis sayuran seperti rebung bambu (Bambusa sp.),
16 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
kangkung (Ipomoea reptans), daun kasbi (Mannihot utilisima), daun batatas
(Ipomoea batatas) dan daun paku (Pterophyta sp.) diperjualbelikan oleh
masyarakat. Beberapa pasar tempat memperjualbelikan sayuran tersebut
yaitu pasar tradisional binagara di sekitar pemukiman Desa Akejawi dan
pasar woda di sekitar pemukiman Masyarakat Tayawi.
Tumbuhan paku merupakan herba yang banyak tumbuh dalam
kawasan hutan dan sangat sering dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
menu sayuran. Saat ini kebutuhan akan sayuran dari tumbuhan paku hanya
dapat diperoleh dari habitat alaminya di hutan. Tingginya minat masyarakat
terhadap sayuran tumbuhan paku sangat memungkinkan untuk segera
mengkaji mengenai prilaku jenis ini di alam,. Sehingga nantinya tumbuhan
paku dapat didomestikasi dan dikembangkan melalui teknik budidaya pada
lahan-lahan masyarakat agar dalam pemanfaatannya tidak perlu lagi
mengambil dari hutan (Oka dan Suhartono, 2014).
Masyarakat juga seringkali memanfaatkan buah-buahan seperti langsat
(Lansium domesticum), rambutan (Nephelum lappaceum) dan matoa
(Pometia pinnata) yang tumbuh pada daerah peyangga dan Kawasan
Tayawi. Selain untuk dikonsumsi sendiri dalam skala rumah tangga,
umumnya buah-buahan juga diperdagangkan pada pasar tradisional.
Gambar 4. Tumbuhan paku dan menu olahannya
6. Jenis HHBK Potensial Lainnya
Beberapa jenis HHBK yang sering kali dimanfaatkan oleh masyarakat
yaitu rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa spp.) dan pandan (Pandanus
sp.). Rotan banyak dicari oleh masyarakat di tiga lokasi penelitian untuk
digunakan sebagai tali pengikat rumah dan perabot rumah tangga lainnya.
Selain digunakan sebagai tali masyarakat juga biasa memanfaatkan batang
rotan sebagai alat pemikul, karena jenis ini termasuk kategori keras namun
cukup lentur serta dibuat keranjang pengangkut (bika). Bambu
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
17
dimanfaatkan untuk membuat kerajinan alat rumah tangga seperti penapis
beras (susiru), ayakan untuk proses pembuatan sagu dan alat pengikat atap
rumbia. Sedangkan daun pandan umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
baku kerajinan, peyadan dan pembungkus makanan serta dianyam untuk
keperluan atap rumah.
B. Nilai Ekonomi HHBK Bagi Masyarakat
1. Penyadapan Getah Kopal
TNAL merupakan wilayah di Provinsi Maluku Utara yang menjadi habitat
alamiah dan penyebaran Agathis dammara (Lambert) L.Rich, potensi
tersebut berada pada wilayah Hutan Bukit Durian dan Hutan Tayawi.
Menurut Nurrani et al. (2014) Potensi A. dammara pada hutan bukit durian
sangat besar dengan kerapatan pohon berdiameter ≥ 20 cm dbh mencapai
± 86 pohon/ha di Hutan Bukit Durian, sedangkan kerapatan pohon di Hutan
Tayawi mencapai ± 37 pohon/ha. Hasil perhitungan INP pohon A. dammara
di Hutan Bukit Durian sebesar 56,47 %, kondisi ini didukung dengan
dominasi jenis sebesar 33,96 %, Frekuensi relatif 9,52 % dan Kerapatan
relatif 12,99 %. Sedangkan untuk hutan tayawi Dominasi A. dammara
sebesar 24,28 %, frekuensi relatif 12,50 %, kerapatan relatif 12,23 % dan
nilai INP sebesar 49,01 %.
Tingginya potensi A. dammara dimanfaatkan oleh dua komunitas
masyarakat berbeda sebagai sumber mata pencaharian yaitu Masyarakat
Desa Gosale di wilayah Hutan Bukit Durian dan masyarakat tradisional Suku
Togutil di wilayah Hutan Tayawi. Penyadapan dan pemanfaatan getah kopal
telah dilakukan dari sejak dahulu kala bahkan teknologi yang saat ini
masyarakat lakukan merupakan warisan dari para leluhur mereka. Kopal
merupakan sebutan untuk produk akhir dari getah yang disadap dari batang
tegakan A. dammara. Atas dasar itulah sebagian Masyarakat Gosale
mengklaim bahwa A. dammara yang berada di Hutan Bukit Durian
merupakan tempat leluhur mereka mencari nafkah dan saat ini secara
otomatis menjadi warisan terun temurun terhadap mereka.
Penyadapan getah damar memberikan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penjualan getah damar,
masyarakat Gosale memperoleh keuntungan antara Rp.18.900.000-
Rp.37.800.000 per tahun. Artinya bahwa keuntungan tersebut memberikan
kontribusi sebesar 57,80 % - 86,22 % terhadap pendapatan total
masyarakat. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil hasil penjualan getah
18 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
damar berkontribusi sebesar 11,77 % - 30,17 % dari pendapatan total
masyarakat. Artinya bahwa masyarakat memperoleh keuntungan rata-rata
Rp. 7.200.000-Rp. 43.200.000 pertahun dari hasil penjualan getah kopal
(Tabba dan Nurrani, 2014).
Gambar 5. Getah kopal hasil sadapan
2. Budidaya Pala (Myristica fragrans)
Pala adalah salah satu komoditi pertanian unggulan yang
dibudidayakan oleh masyarakat pada lahan-lahan perkebunan di wilayah
Desa Gosale. Jenis ini menjadi primadona dan sumber pendapatan
penopang kebutuhan ekonomi masyarakat Gosale karena penguasaan
terhadap teknologi pembudidayaannya. Pala adalah tumbuhan asli
Kepulauan Maluku (Pulau Banda) yang tumbuh dengan baik di daerah tropis
pada ketinggian di bawah 700 m dpl, beriklim lembab dan panas, curah
hujan 2.000-3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata
(Nurdjannah, 2007). Pala termasuk salah satu jenis potensial yang
dikembangkan oleh sekitar 88,89 % masyarakat Desa Woda dengan sistem
penggunaan lahan kebun campuran (Nurrani et al., 2012). Dimana wilayah
tersebut merupakan daerah peyangga kawasan TNAL dan masyarakatnya
adalah suku asli Pulau Halmahera.
Gambar 6. Buah dan fuli pala
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
19
Saat ini harga pala berdasarkan satuan harga pasar di Kota Ternate
mencapai harga Rp 140.000/kg untuk buah pala kering sedangkan fulinya
mencapai kisaran harga Rp. 170.000-180.000/kg. Lahan masyarakat dengan
luas 1 ha mampu menghasilkan buah pala sebanyak 150-200 kg dengan
rata-rata umur pala antara 30-35 tahun. Sedangkan dalam 100 kg buah pala
kering akan menghasilkan 25-30 kg fuli, dengan demikian pemanfaatan
HHBK pala memberikan kontribusi signifikan bagi pendapatan masyarakat.
Tabel 1. Harga Jual Pala
No Produk Pala Berat (kg) Harga Pasar (Rp)
1 Buah Mentah 1 30.000
2 Buah Kering 1 140.000
3 Fuli 1 170.000-180.000
Sumber : Analisis Data Primer 2014
C. Potensi dan Prospek Pengembangan Gaharu
Gaharu merupakan HHBK yang telah dikenal secara luas dikalangan
masyarakat Indonesia bahkan komoditi ini menjadi salah satu produk
berkelas dunia. Potensi tegakan penghasil Gaharu pada TNAL banyak
ditemukan pada wilayah Hutan Akejawi, adapun jenis yang teridentifikasi
yaitu Aquilaria filarial Oken. Menurut Sumarna (2002) terdapat sekitar 16
jenis pohon yang dapat menghasilkan gaharu di Indonesia, enam jenis
tumbuh di wilayah Maluku dan tiga jenis diantaranya yang berkualitas baik
yaitu Aquilaria malaccensis, Aquilaria filarial dan Aetoxylon sympethallum
Berdasarkan analisis potensi diketahui bahwa pada tingkatan pohon,
tegakan penghasil gaharu telah langka bahkan sudah sulit ditemukan.
Namun potensi tersebut sangat dominan pada tingkatan tiang, pancang, dan
semai. Meski pada tingkatan tiang telah dapat memproduksi gaharu, namun
menurut masyarakat hasil produksinya tidak maksimal. Secara umum
karakteristik pemanfaatan komoditas HHBK oleh masyarakat di Desa Akejawi
dapat dilihat pada Tabel 2.
Ketika gaharu masih intensif dipanen biasanya masyarakat masuk
hutan satu bulan sekali untuk mencari gaharu kemudian memasarkannya
pada pengepul di Kota Ternate. Berdasarkan informasi masyarakat hingga
kini masih ada kelompok masyarakat tertentu yang masuk hutan untuk
mencari gaharu. Kelompok tersebut berasal dari luar Desa Akejawi dan akan
masuk hutan apabila ada pesanan khusus, sehingga intensitas masyarakat
pemanen gaharu tersebut sangat sulit untuk ditemukan. Lokasi pencaharian
20 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
gaharu pun sangat jauh kedalam kawasan, karena untuk memperoleh hasil
sesuai target pesanan harus memasuki kawasan primer selama berhari-hari.
Tingginya potensi tegakan penghasil gaharu pada kawasan TNAL
sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan pengembangan jenis baik
dari sisi teknologi maupun budidaya. Pengembangan tersebut diperuntukkan
sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bermukim
disekitar kawasan nantinya. Selain itu mendorong masyarakat untuk
melakukan pembudidayaan gaharu pada lahan-lahan tidur dan areal tidak
produktif di wilayah-wilayah penyangga kawasan. Kegiatan ini diharapkan
akan menjadi media pengalihan bagi masyarakat agar tidak melakukan
aktivitas negatif ke dalam kawasan TNAL.
Peningkatan teknologi berkaitan dengan okulasi gaharu yang lebih
modern untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal perlu
disosialisasikan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat metode
pemanenan akhir gaharu dengan cara ditebang. Sosialisasi tersebut
dipandang penting sebab jika potensi gaharu tersebut nantinya telah siap
panen maka masyarakat telah memperoleh cara-cara pemanenan yang lebih
konservatif. Melalui metode tersebut produksi gaharu diharapkan lebih
meningkat dengan hasil yang lebih maksimal, selain itu kuantitas dan
kualitas gaharu yang dihasilkan akan lebih banyak serta sortimen-sortimen
pemanenan yang akan terbuang dapat diminimalkan.
Bagi masyarakat Akejawi tumbuhan berkhasiat obat adalah sisi lain dari
manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan. Masyarakat
melakukan pengambilan tumbuhan pada saat sakit saja dan sesuai dengan
kebutuhan hingga sembuh. Metode pengambilannya pun sangat selektif
yaitu dengan cara dipetik, dikikis dan dipotong sesuai bagian tumbuhan
yang berkhasiat sebagai obat.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
21
Tabel 2. Karakteristik pemanfaatan HHBK oleh Masyarakat Akejawi
No Lokasi Bagian
yang
diman-
faatkan
Lokasi
Pemanfaatan
Frekuensi
pengam-
bilan
Volume
produksi per
tahun
Harga
(Rp/kg)
Metode
pemanfaatan
(ekstraksi –
pengolahan)
Jenis
produk
akhir yang
dihasilkan
Biaya
ekstraksi,
budidaya,
pengolahan
Sistem
pema-
saran
Permasa-
lahan, isu
di sekitar
terkait
pelesta-
rian HHBK
1. Hutan
Akejawi
Gaharu Hutan sekitar
Akejawi
1 bulan
sekali
Pohon
gaharu
sudah sulit
ditemukan,
yang ada
tinggal
anakan
yang belum
menghasil-
kan
- Tebang dan
potong
Bagian
kayu yang
mengan-
dung
gaharu
- Penge-
pul dari
ternate
Potensi
pohon
gaharu
telah
langka
bahkan
sulit
ditemui
Tumbu-
han obat
Hutan sekitar
Akejawi
Jika
dibutuh-
kan
(sakit)
saja
Sesuai
kebutuhan
hingga
sembuh
- Petik, kikis
dan potong
Bagian
tumbuhan
yang
berkhasiat
sebagai
obat
- - -
Sumber : Analisis data primer tahun 2013
22 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
D. Kebijakan Pemanfaatan Dan Pengelolaan HHBK
Kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan HHBK sangat penting
dilakukan mengingat tingginya intensitas masyarakat dalam
memanfaatkannya. Hal ini dipandang penting agar potensi tersebut dapat
dikelola secara berkelanjutan dan mencegah terjadinya eksploitasi secara
berlebihan serta membatasi ruang gerak bagi oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab dalam mengelola HHBK di alam. Dengan demikian
diharapkan tercapainya tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara
lestari dan meningkatnya taraf hidup masyarakat yang bermukim
disekitarnya. Secara umum kebijakan terkait pengelolaan HHBK yang
teridentifikasi dilapangan berasal dari institusi pengelola TNAL dan
pemerintah Desa setempat.
1. Kebijakan Institusi TNAL
Terhadap pemanfaatan HHBK yang dilakukan oleh masyarakat, Balai
TNAL sebagai institusi yang diberi kewenangan terhadap pengelolaan
kawasan telah melakukan beberapa alternatif solusi agar masyarakat
mendapat manfaat tanpa melakukan pengrusakan kawasan. Pimpinan TNAL
mengeluarkan kebijakan untuk mengizinkan masyarakat memanfaatkan
getah damar karena diasumsikan bahwa kondisi tersebut tidak merusak
lingkungan kawasan (tidak menebang pohon). Selain itu Balai TNAL telah
menyusun zonasi kawasan dimana sebagian dari wilayah yang terdapat
potensi dan pemanfaatan HHBK diusulkan sebagai zona tradisional.
Dalam rangka meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai HHBK
Balai TNAL juga memfasilitasi masyarakat dengan melaksanakan sosialisasi
mengenai pemanfaatan HHBK secara lestari pada bulan September 2013.
Sedangkan untuk perlindungan kawasan dilaksanakan kursus pencegahan
kebakaran hutan dengan membentuk masyarakat peduli api pada bulan
Desember tahun 2013, mengingat habitat pohon damar sangat rentan
terhadap kebakaran. Merancang kesepakatan bersama atau Momerandum of
Understanding (MOU) antara Balai TNAL dengan Pemerintah Kota Tidore
Kepulauan dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Kesultanan Tidore mengenai
pemanfaatan HHBK. Diharapkan pada tahun 2014 telah tercapai
kesepahaman mengenai permasalahan tersebut sehingga pengelolaan
kawasan secara lestari, arif dan bijaksana dapat terealisasikan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku secara baik.
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
23
2. Kebijakan Pemerintah Desa
Pemerintah Desa sangat mendukung masyarakat untuk menyadap
getah damar, dukungan tersebut berupa ijin secara lisan. Beberapa asumsi
sebagai dasar dukungan pemerintah desa yaitu bahwa menyadap getah
damar dan teknologi penyadapannya merupakan warisan leluhur. Cara ini
juga dilakukan sebagai bagian dari program perangkat desa untuk
meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Selain itu Pemerintah Desa tidak
membebani atau memungut kontribusi pada masyarakat petani damar.
3. Kelembagaan
Secara umum belum ada kelembagaan khusus yang menangani terkait
hasil-hasil produksi panen masyarakat seperti badan usaha pemerintah
(koperasi), badan usaha daerah ataupun badan usaha yang dibentuk atas
prakarsa Pemda pada tingkat kecamatan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat. Pemasaran produk masih terpusat pada pengepul sehingga
masyarakat tidak memiliki nilai tawar terhadap produk yang dijualnya.
Dengan adanya badan usaha tersebut diharapkan masyarakat memiliki
alternatif lain untuk menjual produknya sehingga masyarakat turut andil
dalam menentukan harga. Badan usaha ini juga bertujuan sebagai media
untuk meningkatkan kualitas panen masyarakat dan sebagai alat kontrol
terhadap penentuan harga pasar.
E. Nilai Ekonomi dari Berburu
Selain mamanfaatkan HHBK masyarakat di lokasi penelitian khusunya
para petani damar juga sering berburu babi hutan (Sus scrofa) dan rusa
(Cervus timorensis) untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Daging rusa
biasanya diolah menjadi dendeng dan dijual dengan harga Rp. 20.000 – Rp.
25.000 per lembarnya (± 2 kg). Masyarakat juga seringkali
memperdagangkan Rusa yang masih hidup dengan harga jual berkisar
antara Rp. 500.000 - Rp. 1.200.000 per ekor. Sus Scrofa biasanya dijual
dalam kondisi hidup, harga babi remaja berkisar antara Rp. 200.000 - Rp.
500.000 sedangkan babi dewasa berkisar antara Rp. 750.000 - Rp
1.000.000.
Dalam sebulan terkadang masyarakat Desa Gosale dapat menangkap
sebanyak 3-5 ekor babi hutan, dari hasil buruan tersebut biasa sebanyak 2-3
ekor yang dijual dan selebihnya dikonsumsi sendiri. Biasanya masyarakat
mengkonsumsi daging babi tersebut ketika berada di dalam hutan saat
melakukan penyadapan getah damar dan selebihnya dibawah pulang
24 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
kerumah. Sedangkan pada masyarakat Suku Togutil dapat menangkap
sebanyak rata-rata 10-16 ekor per bulan, dimana lima ekor dijual dan
selebihnya dikonsumsi sendiri. Untuk jenis rusa masyarakat biasanya hanya
dapat menangkap rata-rata satu ekor perbulannya, hal ini disebabkan
karena prilaku rusa yang sangat liar dan pergerakan yang sangat cepat
berbeda dengan babi yang cenderung lambat. Rusa ditangkap dengan cara
membuat perangkap tradisional yang oleh masyarakat setempat
menyebutnya dengan nama dodeso.
Ketika pengambilan data dilapangan teramati kawanan babi hutan
sebanyak ± 10 ekor yang terdiri dari empat ekor babi dewasa dan
selebihnya masih kecil. Selain Babi juga teramati dua ekor rusa yang terdiri
dari induk dan anak. Kedua jenis mamalia tersebut termasuk kategori satwa
yang sangat sensitif, hal ini terbukti ketika tim peneliti melakukan
perjumpaan saat berjalan menuju kawasan A. dammara. Ketika tersadar
teramati oleh tim peneliti maka kawanan babi dan rusa tersebut kemudian
berlari dengan cepat, bahkan hanya dengan hitungan detik kawanan
tersebut telah hilang dari pandangan mata. Cervus timorensis dan Sus
scrofa umum ditemukan dalam kawasan hutan di maluku Utara, kedua
mamalia ini merupakan jenis introduksi (Poulsen et al., 1999).
Gambar 7. Tengkorak babi hutan hasil buruan masyarakat Desa Gosale (kiri)
dan tengkorak babi hutan hasil buruan Masyarakat Dusun Tayawi
(kanan)
Phalanger ornatus atau yang oleh masyarakat Halmahera sebutan
dengan nama Kuso juga sering diburu untuk dikonsumsi. Telur Burung
Gosong (Megapodius freycinet) merupakan hasil ikutan satwa yang paling
banyak dicari oleh masyarakat karena memiliki harga jual yang cukup tinggi.
Selain itu telur ini banyak dikonsumsi pada tingkat rumah tangga untuk
Jasa Hasil Hutan Bukan Kayu dan Kebijakan……. Lis Nurrani dan S. Tabba
25
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ukuran telurnya yang lebih
besar.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kawasan TNAL mendukung potensi HHBK yang secara substansial
memiliki peranan penting bagi kehidupan masyakat yang bermukim
disekitarnya. Komoditi HHBK menjadi pilar utama dalam membangun
perekonomian masyarakat lokal dan menjadi salah satu media untuk
menjaga keutuhan dan kelestarian ekosistem kawasan. Sebab kelestarian
kawasan juga ditentukan dari tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang
senantiasa bergantung dan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan.
Dukungan institusi TNAL terkait pemanfaatan HHBK oleh masyarakat
merupakan bentuk sinergi dalam pengelolaan kawasan secara arif dan
bijaksana namun tetap berada dalam tatanan hukum dan ketentuan yang
berlaku.
B. Saran
Meski telah mendapatkan metode kesepahaman pengelolaan kawasan
dengan masyarakat namun kegiataan pemanfaatan HHBK harus senantiasa
mendapatkan kontroling dan pengawasan secara periodik. Sebab perubahan
pola prilaku masyarakat yang sulit diprediksi mengingat adanya cukong dan
oknum yang senantiasa ingin memperoleh keuntungan besar dari hasil
hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Miftahorrahman., H. Novarianto dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity on sago (Metroxylon
sp.) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium
Sago : The Future Source of food and feed. Pp 79-95. Pekanbaru
Nurdjannah, N. 2007. Teknologi Pengolahan Pala. Balai Besar Penelitian Dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Karawang.
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2011. Kearifan suku togutil dalam konservasi Taman
Nasional Aketajawe di wilayah Hutan Tayawi Provinsi Maluku Utara.
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Hal (227-244).
Nurrani, L. dan S. Tabba. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Aketajawe
26 | Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2014
Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 30(1):227-244.
Nurrani, L., Halidah, S. Tabba dan S. N. Patandi. 2012. Karakteristik kualitatif
tipe penggunaan lahan di zona peyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea 1(2):227-244.
Nurrani, L., S. Tabba, S. Shabri, Y. Kafiar, H.S. Mokodompit dan R. Mamonto.
2013. Kajian Daya Dukung Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Pengembangan Pemanfaatan Biodiversitas Secara Lestari di Taman
Nasional Aketajawe Lolobata. Balai Penelitian Kehutanan Manado.
Laporan Hasil Penelitian (Tidak Dipublikasikan). Manado.
Oka, N.P. dan Suhartono. 2014. Keanekaragaman jenis dan sebaran tumbuhan
paku (pteridophyta) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Makalah Presentasi pada Pertemuan Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Poulsen, Michael K., F.R. Lambert, dan Y. Cahyadin. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Aketajawe : dalam konteks
prioritas konservasi keanekaragaman hayati di Halmahera. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Bird Life International
Indonesian Programme dan Loro Parque Fundacion. Bogor.
Prayitno, T.A. 2009. Peningkatan Nilai Tambah Hasil Hutan Bukan Kayu Melalui Pendekatan Teknologi. Jurusan Teknologi Hasil Hutan Fakultas
Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rostiwati, T., Y. Lisnawati, S. Bustomi, B. Leksono, D. Wahyono, S. Pradjadinata, R. Bogidarmanti, D. Djaenudin, E. Sumadiwangsa, N. Haska. 2008. Sagu
(Metroxylon spp.) sebagai Sumber Energi Bioetanol Potensial. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Hutan
Tanaman. Bogor.
Sumarna, Yana. 2002. Budidaya Gaharu. PT. Niaga Swadaya. Jakarta.
Tabba, S. dan L. Nurrani. 2012. Jasa Hasil Hutan Non Kayu Daun Woka Bagi Masyarakat Sulawesi Utara. Majalah Silvika 71:227-244.
Tabba, S. dan L. Nurrani. 2014. Daya Dukung pemanfaatan getah Agathis dammara (lambert) L.rich terhadap masyarakat dan kelestarian Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Makalah Presentasi pada Pertemuan
Ilmiah Komunitas Manajemen Hutan Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Yulifianti, R dan E. Ginting. 2013. Talas Wamena sebagai Bahan Baku Mie Basah.
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang Dan Umbi. Disarikan dan Diedit oleh Eriyanto Yusnawan Ph.D. Malang.