JAS MERAH Perumahan Rakyat.manda.mei2015
-
Upload
mandamachyus -
Category
Documents
-
view
219 -
download
1
description
Transcript of JAS MERAH Perumahan Rakyat.manda.mei2015
JAS MERAH1: KEBERSAMAAN DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN RUMAH
UNTUK RAKYAT (MBR) !!
catatan singkat sebagai bahan kajian
Manda Machyus, ST, M.Si
A.Latar Belakang: Uraian Sejarah Singkat
Penyelenggaraan Perumahan Rakyat
1. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (diterima
dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10
Desember 1948 melalui Resolusi 217 A. Pasal 25 ayat (1)
yang menyatakan bahwa: ” Setiap orang berhak atas
tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas
pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan
serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas
jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat,
menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan
lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang
berada di luar kekuasaannya”.
2. Kongres Perumahan Rakyat Pertama di Bandung pada
tanggal 25–30 bulan Agustus Tahun 1950 telah meminta
Negara (harus) ikut campur dalam masalah perumahan
1 Adopsi Pidato Presiden RI (Bung Karno) dalam Peringatan HUT RI Tahun 1966: JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH!!
rakyat secara sungguh-sungguh. Negara tidak lagi hanya
mengurus perumahan pegawai pemerintah dan tidak
hanya menyerahkan pada mekanisme pasar saja, tetapi
mengurus perumahan bagi rakyat secara keseluruhannya.
Pidato Wapres RI H. Moh.Hatta “Satu Rumah Sehat
Untuk Satu Keluarga”. Beliau telah mengamanatkan
kepada kita sebagai pewaris bangsa, untuk secara
bersama-sama menyelenggarakan pembangunan
perumahan yang layak bagi rakyat yang telah hidup
merdeka, beradab dan bermartabat (memiliki harga
diri). Kongres Perumahan Rakyat tahun 1950 telah
menghasilkan 3 keputusan sebagai berikut: 1) Setiap
provinsi mengusahakan berdirinya perusahaan
pembangunan perumahan rakyat; 2) dirumuskan
norma dan syarat minimum perumahan rakyat dan
segera ditetapkan dalam Undang-Undang; dan 3)
membentuk badan yang menangani pembangunan dan
pembiayaan perumahan. Sebagai tindak lanjut, di
tingkat pusat dibentuk Djawatan Perumahan Rakyat
sebagai bagian dari Departemen Pekerjaan Umum, di
tingkat provinsi didirikan Yayasan Kas Pembangunan
Perumahan Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga
pembiayaan yang bersifat koperatif.
3. Sebagai tindak lanjut dari keputusan Kongres Perumahan
Rakyat Sehat di bulan Agustus 1950, maka pada 1 Januari
1951 dibentuk secara efektif Djawatan Perumahan
Rakyat. Pernah diusulkan agar jawatan ini berada di
Kementerian Sosial tetapi karena pertimbangan fungsi
teknisnya maka jawatan ini berada di bawah Kementerian
Pekerjaan Umum dan Tenaga, yang diresmikan
berdasarkan KepPres No.65/1952.
4. Pada tahun 1962 terbit Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-
pokok Perumahan yang dikeluarkan pada tanggal 3
Agustus Tahun 1962. Perpu ini ditetapkan oleh Presiden
Soekarno atas dasar pertimbangan Menteri Pertama
(Djuanda) yang dalam konsideran menimbang disebutkan
bahwa untuk mencukupi kebutuhan pokok akan
perumahan perlu diadakan pembangunan perumahan
secara meluas, dan karena keadaan yang mendesak soal
tersebut perlu segera diatur dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang. Disebutkan
dalam Pasal 3 Perpu tersebut bahwa urusan perumahan
diatur oleh Menteri Sosial yang pada saat itu dijabat oleh
Ny. Rusiah Sardjono, SH pada Kabinet Kerja III, IV, hingga
Kabinet Dwikora I masa periode 1962 hingga 1966 pada
era demokrasi terpimpin Presiden Soekarno.
5. Baru kemudian pada periode tahun 1964, tepatnya pada
tanggal 20 Januari 1964 diterbitkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan menjadi Undang-
Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong yang ditandatangani oleh Dr. J. Leimena
(atas nama Presiden Republik Indonesia). Dalam UU
tersebut (Pasal 3) disebutkan bahwa Pemerintah
memberikan bimbingan, berbagai fasilitas, bantuan
dan perangsang lainnya, baik dalam pembangunan
maupun pembiayaannya, tanpa meninggalkan
semangat gotong royong yang hidup di dalam masyarakat.
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 3 bahwa
Pemberian bimbingan, fasilitas, bantuan-bantuan dan jasa-
jasa untuk memperoleh tanah, bahan-bahan bangunan
dengan mudah dan semurah-murahnya merupakan
dorongan dan perangsang yang dapat memperlancar
usaha-usaha pembangunan. Aktivitas Pemerintah di
bidang perumahan meliputi berbagai lapangan usaha yang
luas walaupun hasil-hasilnya masih sangat terbatas dan
belum dapat mengimbangi keperluan, maka oleh karena
itu perlu diusahakan pengerahan funds and forces yang
progressif yang ada di dalam masyarakat dan
menyalurkannya melalui dana-dana pembangunan baik
yang berbentuk bank-bank perumahan, kooperasi-
kooperasi ataupun usaha-usaha lainnya kedalam kegiatan
pembangunan perumahan. Untuk itu Pemerintah perlu
mengusahakan adanya iklim yang menarik/kondusif
bagi penanaman modal swasta nasional kedalam
pembangunan perumahan ini serta memberikan tambahan
fasilitas, bimbingan dan bantuan lainnya disamping usaha
lain di bidang keuangan, perdagangan dan industri.
Kebijaksanaan umum Pemerintah dalam urusan
perumahan pada saat UU ini diterbitkan juga dijalankan
oleh Menteri Sosial.
6. Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman I
(1972). Kebijaksanaan Perumahan dan Pembiayaan
Pembangunannya dihasilkan tiga keputusan Pokok yang
tidak jauh berbeda dengan Kongres terdahulu yaitu: 1)
sistem pembiayaan bidang perumahan, 2) sistem
kelembagaan bidang perumahan, dan 3) sistem
penunjang bidang perumahan. Lokakarya Nasional tahun
1972 tentang Kebijaksanaan Perumahan dan Pembiayaan
melahirkan Badan Usaha Milik Negara bidang
perumahan & permukiman yaitu PERUM PERUMNAS.
Berdiri sendiri pada tanggal 18 Juli 1974 dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1974. Ketika didirikan tahun
1974, Perumnas diarahkan untuk berperan: 1) Melayani
kebutuhan perumahan rakyat sebagai kebutuhan publik;
2) Mengembangkan aset publik untuk menunjang peran di
atas; 3) Menyelengarakan kegiatan-kegiatan produktif
dengan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi dan prinsip
menjamin keamanan dan pemanfaatan aset-aset negara;
4) Menerapkan kebijakan perumahan sesuai arahan
kebijakan dan program pemerintah.
7. Sebelumnya persatuan Perusahaan Realestate
Indonesia (REI) didirikan pada hari Jumat bersejarah 11
Februari 1972 di Jakarta. REI lahir dalam kondisi serba
kekurangan. Saat itu, REI belum punya pengurus, dan baru
sepekan kemudain - 18 Februari 1972 - dibentuk Pengurus
Sementra yang dipimpin Ir. Ciputra dari PT. Pembangunan
Jaya. Bahu membahu dengan Drs. JP Darussalam (Yayasan
Perumahan Pulo Mas) sebagai Wakil Ketua, Eric FH
Samola, SH. (Otorita Pembangunan Proyek Senen) dan Ir.
Shafrin Manti (Badan Pelaksana Otorita Pluit) sebagai
Sekretaris dan Wakil Bendahara David Solaiman, SH. (PT.
Multi Land), ditambah para anggota: Abubakar Bahfen (Fa
Harco), Ir. Aditomo (Proyek Cempaka Putih), Soekardjo
Hardjosoewirjo, SH (Proyek Ancol), dan T. Sudjati (PT
Jakarta Housing). Pada 25 Februari 1972 pengurus REI
mengajukan permohonan pengukuhan kepada Gubernur
DKI Jakarta Letjen. TNI. Ali Sadikin. Surat permohonan No.
02/SK/REI/72 itu dikabulkan. Tanggal 18 Maret 1972
Gubernur Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan No.
638/A/K/BKD/72 yang isinya mengukuhkan pendirian REI
yang berkedudukan di Jakarta. Ali Sadikin juga berpesan,
agar pengurus REI harus mampu membimbing anggotanya
menjadi perusahaan yang bonafid. Ditegaskannya,
“Jangan menjadi anggota REI karena ingin
mendapatkan fasilitas, dan jangan pula menjadi
anggota REI untuk menjadi calo tanah atau
manipulator tanah”. Ucapan Ciputra (dan juga Ali
Sadikin) yang disampaikan pada Munas REI I ini memang
diuji dalam perjalanan sejarah REI. Selama seperempat
abad, dari 1972 sampai 1997, sejak pertama kali dipimpin
Ir. Ciputra, kemudian secara berurutan diteruskan dalam
estafe kepemimpinan oleh Eric F.H. Samola, SH., Soekardjo
Hardjosoewirjo, SH, Ir. Siswono Yudohusodo, Drs. Ferry
Sonneville, Moh. S. Hidayat, Drs. Enggartiasto Lukita dan
Ir. A. Edwin Kawilarang
8. Penegasan status Bank Tabungan Negara sebagai
bank milik negara ditetapkan dengan UU No. 20 tahun
1968 tanggal 19 Desember 1968 yang sebelumnya (sejak
tahun 1964) Bank Tabungan Negara menjadi BNI unit V.
Jika tugas utama saat pendirian postspaarbank (1897)
sampai dengan Bank Tabungan Negara (1968) adalah
bergerak dalam lingkup penghimpunan dana masyarakat
melalui tabungan. Pada tanggal 29 Januari 1974,
pemerintah melalui Surat Menteri Keuangan No. B-
49/MK/IV/I/1974 memberikan tambahan tugas kepada
Bank BTN sebagai wadah pembiayaan proyek
pembangunan perumahan rakyat. Menindaklanjuti
tugas tersebut, sejak tahun 1976 Bank BTN menyalurkan
pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan untuk
pertama kalinya penyaluran KPR terjadi pada tanggal 10
Desember 1976, karena itulah tanggal 10 Desember
diperingati sebagai hari KPR bagi BTN. Adapun jenis
produknya yakni KPR subsidi. Dalam perjalanannya
peranan Bank BTN terhadap pembangunan perumahan
bertambah luas dengan diluncurkannya KPR Non Subsidi
dalam bentuk KPR Komersiil, KP Ruko, Kredit Swagriya,
Kredit Griya Multi dan Kredit Griya Sembada.
9. Pada 29 Maret 1978 ditunjuk Bapak Drs. Cosmas
Batubara sebagai Menteri Muda Urusan Perumahan
Rakyat (masa bakti 1978-1983) dalam Kabinet
Pembangunan III, yang kemudian dilanjutkan pada Kabinet
Pembangunan IV pada tanggal 19 Maret 1983 hingga 21
Maret 1988 yang berubah namanya menjadi Menteri
Negara Perumahan Rakyat. Pada periode ini, tepatnya
pada tanggal 31 Desember Tahun 1985 lahir Undang-
undang No. 16 tentang Rumah Susun. Selain itu pada
periode ini juga untuk pertama kalinya diperkenalkan
konsep pengembangan perumahan melalui pembangunan
Rumah Inti Tumbuh (RIT).
10. Estafet kepemimpinan lembaga Kementerian Perumahan
Rakyat pada Kabinet Pembangunan V dijabat oleh Bapak
Siswono Yudo Husodo dengan masa jabatan tahun 1988
hingga tahun 1993. Pada periode ini lahir Instruksi
Presiden No. 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan
Permukiman Kumuh yang Berada Di Atas Tanah
Negara dengan pertimbangan untuk mempercepat
peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama MBR
yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh.
Instruksi Presiden ini juga mendorong keikutsertaan
BUMN, BUMD, koperasi, yayasan dan perusahaan
swasta untuk melaksanakan peremajaan kawasan
permukiman kumuh (kemitraan/P3).
11. Pada tanggal 10 Maret 1992 lahir Undang-undang No. 4
tentang Perumahan dan Permukiman, yang juga
kemudian diikuti dengan Undang-undang No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang. Keterkaitan antara
perumahan dan tata ruang muncul dalam dokumen
Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan
1990 yang kemudian diperkenalkan konsep perumahan
dengan pendekatan lingkungan hunian berimbang (1:3:6)
sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan
Menteri Perumahan Rakyat No. 648-384 Tahun 1992,
No. 739/KPTS/1992 dan No. 09/KPTS/1992 tentang
Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman
dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang.
12. Pada Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman II
(1992), potensi-potensi masyarakat lebih banyak dibahas
dan salah satu rekomendasinya adalah dikembangkan
Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok
(P2BPK). Sebagai tindak lanjutnya dikembangkan Lembaga
Keswadayaan Masyarakat (LSM) bidang pembangunan
perumahan sebagai mitra pemerintah dalam pemenuhan
kebutuhan rumah bagi masyarakat yang tidak
mempunyai akses kepada kredit perbankan. Pada
Tahun 1992, Kantor Menpera (Jl. Kebon Sirih) kerjasama
dengan UNDP mengembangkan P2BPK (Pembangunan
Perumahan Bertumpu Pada Kelompok) melalui proyek
INS/89/006 (Community Based Low-Cost Housing Project).
Dilakukan uji coba P2BPK di Jakarta (Cengkareng) dan
Bandung (Rancaekek). Dalam uji coba ini dikembangkan
pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok
masyarakat dengan melakukan pergeseran orientasi dari
menyediakan (providing) kepada memampukan
(enabling). Melekat dengan P2BPK dikembangkan
mekaniseme pembiayaan Kredit Triguna (BTN) termasuk
didalamnya Kredit Pemilikan Kaveling Siap Bangun (KP-
KSB). Tindak lanjut keberhasilan uji coba P2BPK maka
Menpera mengeluarkan Kepmenpera No. 06/KPTS/1994
tentang Pedoman Umum P2BPK. Melalui Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 1994 maka dibentuk Badan
Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan
Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N) yang
tugasnya menyiapkan rumusan kebijaksanaan,
memecahkan berbagai permasalahan, dan melaksanakan
pengawasan dan pengendalian di bidang pembangunan
perumahan dan permukiman. Didaerah, BKP4N dibantu
oleh Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan
Permukiman Daerah Tingkat II (BP4D).
13. Pada era Kabinet Pembangunan VI, Menteri Perumahan
Rakyat dijabat oleh Bapak Ir. Akbar Tandjung masa bakti
1993-1998 dan pada akhir era orde baru tahun 1998 pada
Kabinet Pembangunan VII hanya 2 (dua) bulan sejak
dilantik 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 untuk menjadi
Menteri Perumahan Rakyat dan Permukiman. Dengan
keberhasilannya dalam program pembangunan 187.000
unit RS/RSH pada tahun 1997. Hal yang demikian menjadi
lebih tidak menguntungkan pada saat terjadi krisis
keuangan regional pada tahun 1997-1998 yang
berdampak terjadinya krisis multi dimensi di Indonesia.
Dengan adanya krisis tersebut kelembagaan yang sudah
berfungsi dengan baik pada tahun sebelumnya mengalami
kemunduran, seperti pada Perum Perumnas, anggota REI
menyusut dan likuiditas Bank Tabungan Negara (BTN) juga
menurun.
14. Pada Era Reformasi dalam Kabinet Reformasi
Pembangunan tahun 1998, Menteri Negara Perumahan
Rakyat dan Permukiman (Menperkim) dijabat oleh Bapak
Theo L. Sambuaga sejak 23 Mei 1998 hingga 26 Oktober
1999. Pada saat tersebut, Asosiasi Pengembang Rumah
Sederhana Seluruh Indonesia (APERSI) didirikan pada
tanggal 10 November 1998 di Jakarta atas dasar kesamaan
visi para pengembang yang bidang usahanya sejenis
dalam usaha pengembangan perumahan
sederhana/sangat sederhana, dan kemudian menjadikan
organisasi sebagai sarana untuk penyaluran aspirasi dan
memperjuangkan kepentingan para pengembang
menengah dan kecil agar mendapat perhatian yang
proposional dari Pemerintah. Pada tahun 2004 APERSI
kemudian berubah menjadi Asosiasi Pengembang
Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI).
15. Pada Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Bapak
Abdurrahman Wahid (1999-2001) kelembagaan
perumahan digabung dalam kementerian pekerjaan umum
sehingga menjadi Menteri Permukiman dan
Pengembangan Wilayah yang dijabat oleh Ibu Erna
Witoelar, dimana penanganan perumahan dan
permukiman dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pengembangan Permukiman dan Direktorat Jenderal
Perkotaan dan Perdesaan. Kemudian pada Kabinet
Gotong Royong di pemerintahan Presiden RI kelima
Megawati Sukarnoputri (2001-2004) kelembagaan
perumahan masuk menjadi bagian dari Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah yang dijabat
oleh Bapak Soenarno, dan Direktorat Jenderal
Pengembangan Permukiman dirubah menjadi
Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman.
Kemudian pada tahun 2002 diadakan Semi Lokakarya
Nasional untuk melakukan penyesuaian atas kondisi yang
berkembang saat itu. Perubahan politik didalam negeri
yang menuju kepada demokratisasi dan HAM dengan
memberikan otonomi daerah yang lebih besar pada
pemerintah daerah kabupaten/kota juga berpengaruh
kepada sistem kelembagaan di sektor perumahan dan
permukiman (pusat dan daerah). Tahun 2002
diperkenalkan Rumah Sederhana Sehat sebagai pengganti
Rumah Sangat Sederhana dan Rumah Sederhana (RS dan
RSS). Pada tahun ini juga Presiden Megawati Sukarnoputri
mencanangkan Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta
Rumah (GNPSR) di Denpasar Bali dalam rangka peringatan
Hari Habitat Dunia. Selain itu diperkenalkan program
Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman (Genta)
Kumuh 2015 oleh Wakil Presiden Bapak hamzah Haz di
Surabaya pada tahun 2001 sebagai tindak lanjut deklarasi
Milenium Development Goals dalam keputusan Sidang PBB
hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189
negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai
dijalankan pada September 2000, berupa delapan butir
tujuan untuk dicapai pada tahun 2015.
16. Tahun 2004 dibentuk Kementerian Negara Perumahan
Rakyat dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I yang
dipimpin oleh Menteri Negara Perumahan Rakyat Bapak
Yusuf Asy’ari masa bakti 2004-2009. pada tahun ini juga
diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2004
Tentang Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan
Nasional (Perum Perumnas). Tahun 2005 dibentuk PT.
Sarana Multigriya Finance (SMF). Dalam periode ini
dicantumkan target-target pembangunan perumahan
dengan rincian rumah sederhana sehat sebesar 1.350.000
unit, rumah susun sederhana sewa sebesar 60.000 unit
dan rumah susun sederhana milik dengan peran swasta
sebesar 25.000 unit. Dan pada Bulan Desember 2006
diterbitkan Keputusan presiden No. 22 Tahun 2006
Tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah
Susun di Kawasan Perkotaan yang ditindaklanjuti dengan
Program Pembangunan 1.000 Tower Rumah Susun
Sederhana bagi masyarakat menengah ke bawah. Selain
itu beberapa program perumahan dan permukiman pada
periode 2004-2009 antara lain terdiri dari: revisi PP No. 41
Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal
Atau Hunian Untuk Orang Asing, program perumahan
swadaya, bantuan stimulan PSU, program bantuan rumah
khusus, subsidi selisih bunga bagi KPR rusuna dan rsh,
dana dekonsentrasi, Dana Alokasi Khusus bidang
Perumahan dan Permukiman, Lokakarya dan Dialog
Regional Pra Kongres Perumahan dan Permukiman, serta
Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman II pada 18-
20 Mei 2009 dengan tema “Menyongsong Era Baru
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Indonesia”
dan peringatan Hari Perumahan Nasional pertama pada
tanggal 25 Agustus 2009.
17. Periode tahun 2009-2011 pada era Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II Kementerian Perumahan Rakyat dipimpin
oleh Bapak Suharso Monoarfa. Beberapa kebijakan dan
program yang lahir dalam periode ini antara lain: lahirnya
2 (dua) undang-undang yaitu UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No.
20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, lahirnya terminologi
Rumah Sejahtera (Hapernas tahun 2010), kebijakan
Fasilitas Likuditas Pembiayaan Perumahan (FLPP),
bantuan fisik pembangunan Rusunawa pondok pesantren,
PSU, Rumah Murah, dana Dekonsentrasi, dan dana DAK.
18. Pada Tahun 2011 - 2014 Kementerian Perumahan Rakyat
dipimpin oleh Bapak Djan Faridz, dalam program
beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan antara lain:
penataan kawasan permukiman kumuh Sungai Ciliwung,
penataan kembali dan pembaharuan perjanjian kerja sama
operasional (PKO) dengan Bank Pelaksana terkait program
KPR FLPP (7,25% - tenor maks. 15 th), Bantuan Stimulan
Perumahan Swadaya (BSPS), Bantuan Stimulan MCK, dll.
19. Kabinet Kerja Jokowi-JK pada periode ini 2014-2019
Kementerian Perumahan Rakyat digabung dengan
Kementerian Pekerjaan Umum menjadi Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan
Menteri PUPR Bapak Basuki Hadimuljono. Urusan
perumahan masuk dalam 2 (dua) pos struktur Eselon I
(Dirjen), yaitu Dirjen Penyediaan Perumahan dan Dirjen
Pembiayaan Perumahan. Program-program yang dilandasi
Nawacita Jokowi dijabarkan dalam program 100-0-100
(100% sanitasi – 0% kumuh – 100% air bersih) dan
Program Sejuta Rumah dengan revisi kebijakan
pembiayaan perumahan KPR FLPP (uang muka 1%, bunga
5%, tenor maks. 20 th).
B. Isu-Isu Strategis bidang Perumahan dalam Amanat
Konstitusi
1. Konsideran menimbang dalam Undang-undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. bahwa bangsa
Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk
menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen
internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang
telah diterima oleh negara Republik Indonesia; Pasal 40
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal
serta berkehidupan yang layak”.
2. Pasal 28 H amandemen ke-4 Undang-Undang Dasar
Negara RI tahun 1945 dalam yang menyatakan bahwa
"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan". Hal tersebut mengharuskan negara
memperhatikan ketersediaan perumahan dan
permukiman. Lebih dari itu, dalam Pembukaan UUD 1945
pada alinea 4, jelas menyebutkan bahwa “Pemerintah
Negara Indonesia dibentuk untuk memajukan
kesejahteraan umum,..”. Yang termasuk dalam
kesejahteraan umum ini adalah tercukupinya pangan,
sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan (saat ini
termasuk transportasi umum dan energi). Rumah juga
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
pembentukan watak serta kepribadian bangsa sehingga
perlu dibina dan dikembangkan demi kelangsungan dan
peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat.
3. Di samping itu, sebagai bagian dari masyarakat
internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio
de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-
kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for
Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang
dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II (Deklarasi
Vancouver 1976) adalah bahwa rumah merupakan
kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi
semua orang untuk menempati hunian yang layak
dan terjangkau (adequate and affordable shelter for
all). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah
sebagai hak asasi manusia. Menurut hukum hak asasi
manusia internasional (Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember
1966 telah mengesahkan International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights), setiap orang
memiliki hak untuk mendapatkan perumahan yang
layak sebagai suatu komponen hak atas standar hidup
yang layak UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya
4. Lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-
undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
sebagai momentum era baru penyelenggaraan
perumahan rakyat. Konsideran menimbang UU PKP
menyebutkan bahwa bahwa pemerintah perlu lebih
berperan dalam menyediakan dan memberikan
kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan
permukiman bagi masyarakat menengah kebawah
khususnya MBR. Salah satu hal khusus yang diatur dalam
kedua undang-undang ini adalah keberpihakan negara
terhadap Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Dalam kaitan ini, Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah wajib memenuhi kebutuhan perumahan (Rumah
Tapak/Rumah Sejahtera dan/atau Rumah Susun) bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dengan memberikan
kemudahan pembangunan dan perolehan rumah
tapak/rusun melalui program perencanaan pembangunan
perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.
5. Pasal 22 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa luas
minimum lantai rumah adalah sebesar 36 m² yang perlu
dipertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan rumah
sebagai hak dasar bagi rakyat, khususnya MBR.
6. Kepemilikan (kepenghunian) property oleh Orang Asing
yang berkedudukan di Indonesia sebagai bagian dari
pemenuhan hak untuk bertempat tinggal bagi seluruh
penduduk Indonesia.
C.Rumah Sebagai Hak Dasar Bagi Rakyat Khususnya
Untuk MBR!
1. Perumahan adalah hak dasar (hak asasi) manusia
dan menjadi instrumen untuk pembangunan manusia
seutuhnya.
2. Paradigma pembangunan perumahan peningkatan
peran dan inisiatif pemerintah (pusat dan daerah).
3. Perumahan dan kawasan permukiman belum diurus
secara sungguh-sungguh (profesional dan proporsional)
dan berkelanjutan (baik aspek kelembagaan, pembiayaan
dan lingkungan) oleh pemerintah (apabila dibanding 5
hak dasar lainnya: sandang, pangan, papan, kesehatan
dan pendidikan).
4. Masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) terutama
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) perlu
difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam mengakses
sumberdaya perumahan dan kawasan permukiman
seluas-luasnya, antara lain pertanahan, tata ruang
wilayah, teknik, teknologi dan bahan bangunan strategis,
serta lingkungan hidup yang berkualitas, pembiayaan
maupun infrastruktur pendukung perumahan dan
permukiman dan sebagainya. Politik perumahan adalah
untuk semua golongan dan lapisan masyarakat, namun
harus lebih tegas keberpihakannya, terutama kepada
masyarakat yang lemah dan tidak mampu (baik untuk
yang mempunyai pendapatan tetap maupun tidak tetap)
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
5. Pengembangan perumahan dan kawasan permukiman
melibatkan berbagai pihak, antara lain Pemerintah, Dunia
Usaha/pengembang, masyarakat dan lembaga
pembiayaan (perbankan atau non-perbankan),
dimana masing-masing memiliki kontribusi yang
spesifik dan bila disinergikan dapat menghasilkan
output yang optimal. Khususnya sektor perbankan
peranannya tidak dapat ditinggalkan karena adanya
keterbatasan pembiayaan oleh dunia usaha/pengembang
dan masyarakat dan dapat mendorong akselerasi
pembangunan perumahan sehingga pembangunan
wilayah dan kota juga menjadi lebih cepat. Perbankan
sebagai lembaga intermediasi yang menyerap
dana masyarakat dan menyalurkannya kembali
dalam bentuk pinjaman secara langsung dapat
berperan menyediakan fasilitas Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) dan Kredit Konstruksi untuk
pembangunannya, serta secara tidak langsung dapat
membiayai industri yang terkait dengan perumahan
“housing related” seperti industri genteng, batu-bata,
penambangan pasir dll. Dengan demikian peranan
perbankan dari aspek finansial dapat mempercepat
pelaksanaan pengadaan perumahan sehingga pada
akhirnya pembangunan wilayah dan kota juga dapat
berjalan lebih cepat.
6. Penyusunan kebijakan yang lebih adil, profesional,
proporsional, dan progresif dalam bidang perumahan dan
kawasan permukiman, melalui rumusan yang lebih tegas
dan jelas meningkatkan aksesibilitas atas tanah dan
pembiayaan khususnya untuk masyarakat lemah dan
tidak mampu.
7. Kelembagaan yang mengurus perumahan dan kawasan
permukiman (baik kelembagaan pemerintah maupun non
pemerintah) harus berkesinambungan dan lebih
diperkuat lagi fungsi dan perannya.
8. Selain itu terdapat 13 (tiga belas) komponen yang
mempengaruhi Penyediaan Perumahan Rakyat (terutama
Perumahan Formal dan Swadaya) antara lain: 1)
komponen penataan ruang; 2) komponen tanah/lahan; 3)
komponen infrastruktur (PSU & PSD-PU); 4) komponen
tata bangunan gedung; 5) komponen lingkungan
hidup/AMDAL/AMDALALIN; 6) komponen teknik, teknologi,
dan bahan bangunan strategis; 7) komponen pajak dan
retribusi (pusat dan daerah); 8) kualitas SDM pada setiap
stakeholder PKP; 9) konsistensi regulasi/pemerintah; 10)
kenaikan kurs Dollar terhadap Rupiah; 11) daya beli/cicil
konsumen; 12) kondisi SosBudEkPol setempat, dan; 13)
perilaku rent seekers. Semuanya akan bermuara pada
aspek pembiayaan (permoddalan dan KPR: bunga, masa
tenor, dan administrasi lainnya). Sesuai dengan amanah
konstitusi UUD 1945 dan UU No.1 Tahun 2011, khusus
untuk rumah umum, rumah negara, dan rumah khusus
Pemerintah wajib melakukan intervensi untuk
memudahkan dan membantu penyelenggaraannya.
Pemerintah dapat memberikan penugasan kepada Perum
Perumnas untuk menyelenggarakan pembangunan
rumah bagi MBR.
D.Usulan Rekomendasi
Mempertimbangkan hal tersebut di atas, perlu dirumuskan
beberapa Pokok-Pokok Pikiran Rekomendasi yang paling tidak
mencakup:
1. bahwa perumahan merupakan hak dasar rakyat!
Perumahan adalah untuk semua golongan dan lapisan
masyarakat, tetapi politik perumahan harus lebih tegas
dan berpihak kepada kaum lemah dan tidak mampu
MBR,
2. perlunya memperluas paradigma dalam pendanaan
perumahan, yang semula hanya bertumpu pada dana
pemerintah (APBN/APBD), menjadi konsep pendanaan
yang juga mengakomodasikan dukungan dari berbagai
sumberdaya pendanaan yang lebih luas dan beragam
(consolidated fund), termasuk memobilisasi skema
pendanaan rumah swadaya. Keterbatasan sumberdaya
pendanaan Pemerintah/pemerintah daerah dalam
penyediaan perumahan bagi masyarakat perlu disikapi
dengan upaya mendorong kemitraan antarpelaku (badan
usaha), misalnya Bapertarum PNS, PT. Asabri, Taspen,
dana pension BUMN, PT. Jamsostek, dan lain-lain secara
maksimal melalui konsep Kesepakatan Bersama (MoU),
Public-Private Partnership, termasuk memfasilitasi
pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR)
bagi pembangunan perumahan dan permukiman pada
akhirnya bertujuan pada Tabungan Perumahan
Rakyat
3. pembiayaan perumahan berbasis perbankan perlu
dilengkapi dengan pembiayaan khusus perumahan yang
dijalankan oleh lembaga keuangan bukan bank, dimana
consolidated fund dan multipurpose financing lebih bisa
dilayani Evaluasi Kebijakan FLPP. Disamping itu,
skema subsidi dan skema bantuan infrastruktur perlu
diperluas, mengingat proporsi MBR di Indonesia masih
cukup besar, sehingga urgensinya keberadaan tabungan
perumahan rakyat dapat segera direalisasikan dalam
Undang-Undang (sesuai amanat dalam Pasal 124 UU No.1
Tahun 2011 tentang PKP).
4. mendorong kemitraan antarpelaku (badan usaha) secara
maksimal melalui konsep PPP (Public private partnership)
termasuk memfasilitasi pemanfaatan dana CSR bagi
pembangunan perumahan guna menyikapi keterbatasan
sumberdaya pendanaan Pemerintah/pemerintah daerah
dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat,
khususnya MBR. Penguatan 3 Pilar Pembangunan
(Kemenpera, Perum Perumnas, BTN) yang kemudian
ditambah dengan peningkatan kapasitas dan peran
dari PT. SMF, pasar modal, Puslitbangkim PU,
MAPPI, Asuransi, dan Asbanda.
5. perlu segera disusun terobosan kebijakan yang adil dan
progresif, utamanya dalam akses atas tanah (konsep land
banking) dan akses pembiayaan untuk masyarakat
berpenghasilan rendah, masyarakat non-formal, dan
masyarakat miskin/papa Housing Micro Finance (HMF)
yang memerlukan lembaga penjamin.
6. sudah saatnya dilakukan perkuatan kelembagaan
Perumahan dan Kawasan Permukiman yang
berkesinambungan baik di Pusat maupun Daerah
Agenda 2020: Kementerian Perumahan dan
Kawasan Permukiman Perkotaan (Ministry of
Housing and Urban Development) + Pembentukan
Badan Pelaksana Perumahan (sesuai amanat UU
1/2011 dan UU 20/2011): Housing Development
Board (HDB).
7. berbagai pengalaman pemerintah daerah dalam
penyediaan perkim terutama bagi MBM dan MBR, baik
pengalaman yang berhasil (best practice) maupun
kegagalan (bad practice) merupakan bahan pelajaran
yang sangat berharga bagi upaya peningkatan
pelayanan dan penyediaan perumahan bagi rakyat,
khususnya MBR.
8. pembenahan dengan segera terhadap permasalahan 6
(enam) K dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman, yang terdiri dari: Konsepsi,
Komunikasi, Koordinasi, Kerjasama, Komitmen, dan
Kontrol. Kelemahan 6 K tersebut perlu dipadukan dengan
elemen leadership (kepemimpinan), dengan karakter
pemimpin yang mampu menjalankan amanat konstitusi
demi kepentingan rakyat (masyarakat menengah ke
bawah, khususnya MBR).
9. dengan demikian, diharapkan agar institusi perumahan
rakyat (dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat) dapat memastikan atau
mewujudkan beberapa hal, antara lain: 1) backlog semakin
menurun; 2) perumahan dan kawasan permukiman (PKP)
kumuh semakin menurun; 3) kepedulian atau
keberpihakan pemda provinsi, kabupaten, maupun kota
terhadap penyediaan perumahan bagi masyarakat
menengah ke bawah, khususnya MBR semakin meningkat;
4) keswadayaan, kesetiakawanan, atau kegotong
royongan masyarakat semakin meningkat; 5) kemitraan
yang setara dan sinergis dengan para stakeholder PKP
semakin meningkat dan terarah; 6) pemupukan dana
murah, masa tenor yang panjang dan bunga murah dapat
terwujud; 7) stimulan fisik maupun non-fisik berupa
insentif dan disinsentif dapat tepat waktu, tepat mutu, dan
tepat sasaran; dan 8) daya beli atau daya cicil masyarakat
menengah ke bawah, khususnya MBR semakin meningkat.
Insya Allah !!!
Daftar Pustaka
Bambang Eryudharwan, dkk, Kilas Balik Perumahan Rakyat 1900-2000, Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 2010
Company Profile. Perum Perumnas Menuju NHUDC. Jakarta. 2009
Kiprah BTN dalam Pengembangan Perumahan. Jakarta. 2009
Hasil Kongres Nasional Perumahan dan Permukiman II. Jakarta 18-20 Mei 2009.
Zulfi Syarif Koto, Politik Pembangunan Perumahan Rakyat: Siapa Mendapat Apa?, The HUD Institute, Jakarta, 2011
http://www.realestatindonesia.org
http://www.apersi.or.id
www.wikipedia.com. Daftar Menteri Perumahan Rakyat. diakses pada Februari 2012