japanese encephalitis.docx

27
BAB I PENDAHULUAN Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit infeksi virus pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh flavivirus dan disebarkan atau ditularkan oleh nyamuk dengan perantaraan hewan lain, seperti babi. [1] Di Jepang, Japanese Encephalitis Virus (JEV) pertama kali diisolasi dari jaringan otak kasus JE yang meninggal tahun 1935, kemudian tahun 1938 JEV dapat diisolasi dari nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang bertindak sebagai vektor utama dalam penularan JE. Dari Jepang penyakit ini menyebar ke Semenanjung Korea, Cina dan terus ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. [1] Di Indonesia baru tahun 1971 JEV dapat diisolasi dari nyamuk Culex, kemudian dari nyamuk Anopheles, sedangkan diagnosis JE baru dapat ditegakkan tahun 1981 berdasarkan kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA (immune adherence hemaglutination). [1] Nyamuk Culex bersifat zoofilik yaitu lebih menyukai binatang sebagai mangsanya daripada manusia sehingga JEV pada umumnya menyerang binatang, hanya secara kebetulan saja dapat menyerang manusia terutama bila dalam keadaan densitas Culex yang sangat padat. Tidak semua manusia yang digigit oleh nyamuk Culex yang infektif menunjukkan gejala klinis ensefalitis. [1] Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerja sama antara Ditjen PPM & PL DepKes, FK Universitas Udayana dan

Transcript of japanese encephalitis.docx

Page 1: japanese encephalitis.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit infeksi virus pada susunan saraf

pusat yang disebabkan oleh flavivirus dan disebarkan atau ditularkan oleh nyamuk dengan

perantaraan hewan lain, seperti babi.[1]

Di Jepang, Japanese Encephalitis Virus (JEV) pertama kali diisolasi dari jaringan

otak kasus JE yang meninggal tahun 1935, kemudian tahun 1938 JEV dapat diisolasi dari

nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang bertindak sebagai vektor utama dalam penularan JE.

Dari Jepang penyakit ini menyebar ke Semenanjung Korea, Cina dan terus ke negara Asia

lainnya termasuk Indonesia. [1]

Di Indonesia baru tahun 1971 JEV dapat diisolasi dari nyamuk Culex, kemudian dari

nyamuk Anopheles, sedangkan diagnosis JE baru dapat ditegakkan tahun 1981 berdasarkan

kriteria WHO dan pemeriksaan IAHA (immune adherence hemaglutination). [1]

Nyamuk Culex bersifat zoofilik yaitu lebih menyukai binatang sebagai mangsanya

daripada manusia sehingga JEV pada umumnya menyerang binatang, hanya secara kebetulan

saja dapat menyerang manusia terutama bila dalam keadaan densitas Culex yang sangat

padat. Tidak semua manusia yang digigit oleh nyamuk Culex yang infektif menunjukkan

gejala klinis ensefalitis. [1]

Dari hasil surveilans di Bali, yang dilakukan atas kerja sama antara Ditjen PPM & PL

DepKes, FK Universitas Udayana dan Internationa Vaccine Institut (IVI) Korea dalam kurun

waktu 2001-2002, ditemukan 74 kasus JE yang 16 (21,6%) diantaranya terjadi pada anak usia

13-24 bulan, dengan angka kematian secara keseluruhan 9,46%. Sedangkan 47,30% sembuh

dengan gejala sisa mulai dari depresi emosi sampai kelainan saraf kranial, deserebrasi,

dekortikasi dan paresis. [1]

Page 2: japanese encephalitis.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf

pusat (otak, medula spinalis dan meningen), yang disebabkan oleh JEV yang ditularkan dari

binatang melalui gigitan nyamuk. [1]

Penyakit JE termasuk Arbovirosis yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan

ditularkan artropoda. Untuk berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya

reservoir (sumber infeksi) dan vektor. Pada penyakit JE, reservoir utama adalah babi dan

vektornya adalah nyamuk Culex. Manusia tidak merupakan reservoir yang penting (hanya

secara insidental saja dapat menimbulkan infeksi pada manusia). [1]

2.2 Epidemiologi

JE adalah penyakit infeksi virus yang penyebarannya sangat berkaitan dengan

keadaan lingkungan. Penyakit ini ditemukan di hampir seluruh wilayah Asia, mulai dari Asia

Timur yaitu Jepang dan Korea, sampai ke Asia Selatan, seperti di India dan Sri Langka, serta

Asia Tenggara, termasuk kepulauan Indonesia. [1]

Di Jepang JE pertama kali diketahui secara klinis tahu 1871, kemudian pada tahun

1924 terjadi epidemi hebat sehingga angka kematian mencapai 65% dari 6.125 kasus.

Epidemi yang hebat terjadi kembali pada tahun 1935 dan 1948. Setelah itu dari tahun 1968

tidak pernah timbul lagi epidemi meskipun kasus sporadis masih tetap sepanjang tahun. [1]

Penyakit ini menyerang semua umur, namun di India lebih banyak menyerang anak.

Di Thailand, Taiwan, demikian pula di Denpasar, proporsi umur terbanyak menderita JE

masing-masing 5-9 tahun, 2-5 tahun dan 2-3 tahun. Di Jepang semula JE menyerang anak

tetapi kemudian orang dewasa lebih banyak diserang sebab saat ini anak telah mendapat

vaksinasi JE di sekolah. [1]

Pada JE, sebagai vektor penyebar virus adalah nyamuk yang biasa ditemukan di

sekitar rumah. Nyamuk ini biasanya menggigit pada sore dan malam hari. Daerah

persawahan, yang terutama pada musim tanam selalu digenangi air, diduga berhubungan

Page 3: japanese encephalitis.docx

dengan dengan timbulnya daerah endemis JE. Selain itu pada musim hujan populasi nyamuk

akan meningkat sehingga memudahkan transmisi penyakit. [1]

Angka endemisitas yang tinggi ditemukan di hampir seluruh provinsi di Indonesia,

dimana umumnya masyarakat hidup berdekatan dengan hewan ternak mereka. Dari data yang

berhasil dikumpulkan oleh Subdit Zoonosis Ditjen PPM-PL, DepKes RI dalam kurun waktu

tahun 1993-2000 terlihat bahwa spesimen positif pada manusia ditemukan di 14 propinsi

yang tersebar di seluruh Indonesia (Bali, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Nusa

Tenggara Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa

Tenggara Timur dan Papua). [1]

2.3 Etiologi

Japanese Encephalitis Virus termasuk dalam Arbovirus grup B, genus Flavivirus,

famili Flaviviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan diameter 40-60 nm, inti viirion terdiri

dari asam ribonukleat (RNA) berupa rantai tunggal yang sering bergabung dengan protein

disebut nukleoprotein. Sebagai pelindung inti virion terdapat kapsid yang terdiri dari

polipeptida tersusun simetri ikosahedral. Di luar kapsid tersebut terdapat selubung. Virus

relatif labil terhadap demam, rentan terhadap berbagai pengaruh desinfektan, deterjen, pelarut

lemak dan enzim proteolitik. Infektivitasnya paling stabil pada pH 7-9, namun dapat

diinaktifkan oleh radiasi elektromagnetik, eter dan natrium deoksikolat. [1]

Seperti halnya virus lainnya JEV berkembang biak dalam sel hidup yaitu di dalam

nukleus dan sitoplasma. Setelah adanya infeksi alamiah pada babi dan kuda biasanya akan

menimbulkan viremia tetapi tanpa gejala klinis, diikuti dengan pembentukan neutralizing

antibody dan complement fixing antibody, tetapi hanya sedikit kuda yang mati akibat

ensefalitis. [1]

Sebagai penyakit zoonosis kehidupan JEV sangat memerlukan hewan vertebrata

sebagai reservoir dan nyamuk sebagai vektornya. Infeksi pada manusia timbul secara

kebetulan terutama pada orang yang tinggal dekat dengan reservoir dan vektornya cukup

banyak misalnya di pedesaan, di daerah pertanian yang memakai irigasi pengairan. [1]

Hewan vertebrata yang bertindak sebagai reservoir pada JE terutama babi dan yang

lainnya adalah sapi, kuda, kerbau, kambing, tikus, burung, kera, ayam dan kucing. Artropoda

yang bertindak sebagai vektor adalah nyamuk Culex, Anopheles, Aedes. Vektor yang sangat

efisien menularkan penyakit adalah Cx.tritaeniorhynchus, Cx.gelidus, Cx. Fuscophalas. Virus

Page 4: japanese encephalitis.docx

ini dapat berkembang biak dalam jaringan artropoda tanpa menimbulkan penyakit dan

artropoda tersebut akan menderita infeksi seumur hidup setelah menghisap darah vertebrata

yang menderita viremia. [1]

Siklus Kehidupan JE

2.4 Patogenesis

Segera setelah Culex yang infektif menggigit manusia yang rentan, virus menuju

sistem getah bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang-biak,

kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Viremia ini sangat

ringan dan berlangsung sebentar. Melalui aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti

susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Di dalam organ ekstraneural inilah virus

berkembang biak, hanya saja tidak diketahui dengan pasti organ ekstraneural tersebut. Pada

manusia telah dilaporkan adanya miositis pada kasus ensefalitis oleh JEV. Virus dilepaskan

dan masuk ke dalam peredaran darah menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan

penyebaran infeksi di jaringan dan menimbulkan gejala penyakit sistemik. [1]

Bagaimana cara virus dapat menembus sawar darah otak tidak diketahui dengan pasti,

namun diduga setelah terjadinya viremia, virus menembus dan berkembang biak pada sel

endotel vaskuler dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah otak.

Setelah mencapai jaringan susunan saraf pusat, virus berkembang-biak di dalam sel dengan

cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu

menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabilitas sel neuron, glia dan

endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam sel dan

timbullan edema sitotoksik. Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini

memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang terkena dapat pada

thalamus, ganglia basal, batang otak, serebelum, hipokampus dan korteks serebral. [1]

Di sisi lain JEV sebagai virus yang tergolong neurotropi mungkin dapat menimbulkan

kerusakan jaringan saraf dengan jalan seperti yang terjadi pada virus neurotropik lainnya,

yaitu virus masuk ke tubuh manusia terutama setelah viremia yang kedua, tubuh manusia

membentuk antibodi antivirus. Antibodi ini bereaksi dengan antigen membentuk kompleks

Page 5: japanese encephalitis.docx

antigen antibodi yang beredar dalam darah dan masuk ke susunan saraf pusat. Di dalam

susunan saraf pusat menimbulkan proses inflamasi dengan akibat timbulnya edema dan

selanjutnya terjadi anoksia, yang pada akhirnya terjadi kematian sel susunan saraf pusat yang

luas. [1]

Virus Javanaese encephalitis sebagai anggota dari Favivirus neurotropik, dengan

spektrum patogenesisnya berupa :

1. Ensefalitis fatal, yang biasanya didahului oleh viremia dan perkembangbiakan virus

ekstraneural yang hebat

2. Ensefalitis subklinis, yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak lambat dan

kerusakan otak ringan

3. Infeksi asimptomatik, yang ditandai oleh hampir tidak adanya viremia, sangat

terbatasnya replikasi ekstraneural serta tidak adanya neuroinvasi.

4. Infeksi persisten[1]

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis JE tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang disebabkan oleh

virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan susunan saraf pusat,

umur dan lain-lain. Spektrum penykit dapat berupa hanya demam disertai nyeri kepala,

meningitis aseptik, dan meningoensefalitis. Masa inkubasi 4-14 hari, setelah itu perjalanan

penyakit akn melalui 4 stadium klinis, yaitu: [1]

1. Stadium Prodormal

Stadium prodormal berlangsung 2-3 hari dimulai dari keluhan sampai

timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangat

dominan adalah demam, nyeri epala, dengan atau tanpa menggigil. Gejala lain

berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktur respiratorius seperti batuk,

pilek dan keluhan traktus gastrointestinal seperti mual, muntah dan nyeri di

daerah epigastrium. Nyeri kepala dirasakan di dahi atau seluruh kepala,

biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik.

Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik.

Page 6: japanese encephalitis.docx

Namun mungkin saja seorang pasien JE hanya mengalami demam ringan atau

gangguan pernafasan ringan.

2. Stadium Akut

Stadium akut dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam

tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik.. Pasien mulai merasakan

dampak dari pembengkakan jaringan otak dan peningkatan tekanan

intrakranial.

Gejala tekanan intrakranial meninggi berupa gangguan keseimbangan

dan koordinasi, kelemahan otot-otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah

seperti topeng), nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari

apatis hingga koma.

Iritasi meningens barupa kaku kuduk, biasanya timbul 1-3 hari setelah

sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam dari permulaan

penyakit berlangsung 7-8 hari. Otot-otot kaku dan terdapat pula kelemahan

otot. Kelemahan otot yang menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau ke-3,

bila berlangsung hebat dan luas kadang memerlukan istirahat lama. Muka

seperti topeng, tanpa ekspresi muka, ataksia, tremor kasar, gerakan tidak

sadar, kelainan saraf sentral, paresis, refleks deep tendon meningkat atau

menurun dan refleks patologis Babinsky positif. Berat badan menurun disertai

dehidrasi.

Pada kasus ringan, mulai penyakitnya perlahan-lahan, demam tidak

tinggi, nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 tau ke-7

dan kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah

mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitan penyakit sangat akut, kejang

menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif,

penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke-7

dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu lama, kadang

terkena penyulit infeksi bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen.

Tanda yang agak khas pada JE adalah terjadinya perubahan gejala

susunan saraf pusat yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan

hiporefleksi. Status kesadaran pasien dapat bervariasi dari disorientasi,

Page 7: japanese encephalitis.docx

delirium, somnolen sampai koma. Dapat disertai oligouria, diare dan

bradikardia relatif. Pada stadium ini pemeriksaan pada cairan serebrospinal

menunjukkan leukositosis yang pada awalnya didominasi sel PMN tetapi

setelah beberapa hari menjadi limfositosis. Albuminuria sering ditemukan.

Apabila penderita dapat melalui stadium ini, maka demam akan turun pada

hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada hari ke-14. Apabila tidak,

demam akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang fatal,

perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami koma dan

meninggal dalam 10 hari.

3. Stadium Sub Akut

Pada stadium subakut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang

namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik, infeksi

saluran kemih dan dekubitus. Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti

paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai akibat perawatan lama dan

pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan

saraf ekstrapiramidal.

4. Stadium Konvalesens

Stadium konvalesen berlangsung lama dan ditandai dengan kelemahan,

letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan dapat sangat

menurun. Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi yaitu pada saat

suhu kembali normal. Gejala neurologik bisa menetap dan cenderung

membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka penyembuhan

lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Gejala

sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental berupa emosi tidak stabil,

paralisis upper atau lower motor neuron.

2.6 Sekuele atau Gejala Sisa

Sekuele atau gejala sisa ditemukan pada 5-70% kasus, umumnya pada anak usia

dibawah 10 tahun, dan pada bayi akan lebih berat. Kekerapan terjadinya sekuele berhubungan

langsung dengan beratnya penyakit. Sekuele tersebut dapat berupa gangguan pada: [1]

1. Sistem motorik : motorik halus (72%), kelumpuhan (44%), gerakan abnormal (8%)

Page 8: japanese encephalitis.docx

2. Perilaku : agresif (72%), emosi tidak terkontrol (72%), gangguan perhatian (55%),

depresi (38%)

3. Intelektual : abnormal (72%), retardasi (22%)

4. Fungsi neurologi lain : gangguan ingatan (46%), afasia (38%), epilepsi (20%),

paralisis saraf kranial (16%) dan kebutaan (2%).

2.7 Diagnosis

Seperti penyakit lain, diagnosis JE ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan

adanya infeksi oleh JEV misalnya: [1]

Anak tinggal di tempat yang memungkinkan siklus JEV berlangsung dengan baik

seperti kepadatan Culex yang tinggi, banyak babi peliharaan atau peternakan babi atau

di daerah yang sedang masa tanam padi. Atau memasuki musim penghujan.

Anak tinggal di daerah endemis JE.

Anak menderita demam tinggi, nyeri kepala yang hebat yang tidak bisa dihilangkan

dengan obat antipiretik analgesik, disertai kejang.

Gejala klinis yang mendukung adanya kecurigaan JE adalah : [1]

Keluhan dini berupa demam, nyeri kepala, kaku kuduk, kesadaran menurun, gerakan

abnormal (tremor kasar, kejang)

Keluhan dan gejala yang timbul kemudian sekitar hari ke-3-5 berupa kekakuan otot,

koma, pernafasan yang abnormal, dehidrasi, dan penurunan berat badan.

Keluhan dan gejala lainnya seperti refleks tendon meningkat, paresis, suara pelan dan

parau.

Page 9: japanese encephalitis.docx

Seleksi kasus JE berdasarkan kriteria WHO (1979), dikutip dari Lubis: [1]

Demam lebih dari 38ºC

Gejala rangang meningeal (kaku kuduk, opitotonus, Laseque, Kernique, Brudzinsky I

dan II)

Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)

Gangguan kesadaran (disorientasi, delirium, somnolen sampai koma)

Gangguan saraf otak (terutama N.IX dan N.X, berupa suara pelan dan parau)

Gejala piramidal (kelumpuhan) dan ekstrapiramidal (kekauan otot serta gerakan

involunter)

Cairan otak jernih, protein positif, glukosa <100mg/dL

2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah

Akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata-rata 13.000/mL,

polimorfonuklear lebih banyak daripada mononuklear, trombositopenia ringan

dan peningkatan laju endap darah. [1]

b. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Pada pemeriksaan, cairan serebrospinal tampak jernih sampai

opalesens, tergantung dari jumlah leukosit, pleositosis bervariasi antara 20-

5.000/mL. Pada beberapa hari pertama tampak neutrofil dan limfosit, tetapi

setelah itu tampak limfosit dominan, kadar glukosa normal atau menurun,

sedangkan kadar protein meningkat 50-100 mg/dL. Cairan serebrospinal

jarang mengandung virus, kecuali pada kasus-kasus berat dan fatal. [1]

c. Uji serologi

Uji diagnostik baku untuk JE adalah pemeriksaan IgM Capture dengan

cara ELISA (Enzyme linked imunnosorbent assay) dari serum atau cairan

serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%, bila kedua bahan tersebut

Page 10: japanese encephalitis.docx

diperiksa. Beberapa reaksi silang dapat timbul dari flavivirus lain misalnya

virus dengue, virus West Nile, pasca vaksinasi JE dan demam kuning. [1]

Immune adherence hemaglutination (IAHA)

Menggunakan spesimen serum akut dan konvalensens. Uji

IAHA dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer antibodi sebesar

4 kali atau lebih. [1]

Uji hemaglutinasi inhibisi (HI)

Menggunakan spesimen serum akut dan konvalesens. Uji HI

dikatakan positif bila titer antibodi serum akut 1/20 atau lebih

sedangkan pada spesimen konvalesens meningkat 4 kali atau lebih.

Keunggulan cara ini adalah dapat dilakukan dengan peralatan

laboratorium sederhana, reagennya mudah didapat, serta biayanya

relatif murah. Kelemahannya adalah tidak dapat membedakan JE dari

flavivirus yang lain seperti virus dengue dan virus West Nile. [1]

Teknik konvensional lainnya seperti immunofluorecent antibody (IFA),

complement fixation (CF) juga memakai penilaian seperti di atas. [1]

Semua uji serologi diatas dapat dipakai untuk membuat perkiraan

diagnosis JE di daerah endemis, tetapi harus dipakai dengan hati-hati karena

infeksi dengue atau Flavivirus lainnya dapat menimbulkan respons serologik

reaksi silang terhadap antigen JEV. [1]

Untuk membuat diagnosis JE di daerah endemis infeksi dengue, Innis

melaksanakan uji serologi terhadap serum dan CSS dengan ELISA. Spesimen

serum dan CSS baik yang akut maupun konvalesens diperiksa IgM anti-

dengue, IgG anti-dengue, IgM anti-JE dan IgG anti-JE. Hasil dinyatakan

positif bila lebih besar dari 40 unit. Hanya spesimen dengan anti-JE IgM yang

lebih besar atau sama dengan 0 unit dapat diklasifikasikan berasal dari pasien

JE. Hasil dari semua 4 uji serologik dibandingkan, hasil rata-rata anti-dengue

IgM dengan anti-JE IgM ≥ 1 adalah khas infeksi dengue, sedangkan bila

hasilnya < 1 adalah khas untuk infeksi JE. [1]

Page 11: japanese encephalitis.docx

2. Pemeriksaan Konfirmasi

a. Isolasi virus

Isolasi JEV sering didapat dari jaringan otak. Dari darah JEV dapat diisolasi

selama stadium akut, sedangkan dari CSS virus dapat diisolasi pada permulaan

ensefalitis. Isolasi JEV untuk kepentingan diagnostik kurang praktis, dan biasanya

dikerjakan untuk kepentingan penelitian. [1]

b. Pemeriksaan RT-PCR

Deteksi RNA virus JE dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse

Transcription PCR Amplification (RT-PCR). Pada metode ini terlebih dahulu

dilakukan transkripsi terbalik RNA sasaran menjadi DNA komplemen kemudian

dilakukan amplifikasi. Dengan menggunakan oligonukleotida yang spesifik JE cara

ini dapat mendeteksi RNA virus JE dalam jumlah yang sangat sedikit. Kelemahan

metode ini adalah sangat mahal serta memerlukan tenik dan peralatan yang rumit.

Deteksi RNA virus hanya bermanfaat bila dilakukan pada fase viremia, karena bila

viremia telah berakhir, maka RT-PCR akan memberikan hasil negatif. Spesimen

untuk pemeriksaan ini bisa dari darah atau cairan serebrospinal dan dilakukan pada

minggu pertama sakit. [1]

3. Pemeriksaan Lain-lain

a. Pencitraan

Pencitraan susunan saraf pusat dapat mendukung diagnosis. Pemeriksaan MRI

dan CT-Scan sering memperlihatkan adanya lesi bilateral pada thalamus yang disertai

perdarahan. Ganglia basalis, putamen, pons, medula spinalis dan serebelum juga

terlihat abnormal. [1]

b. Pemeriksaan histologi

Pada pemeriksaan histologi terdapat perubahan pada talamus, substansia nigra,

batang otak, hipokampus, serebelum dan medula spinalis, termasuk degenerasi fokal

saraf dengan proliferasi difus dan fokal mikroglia dan perivascular lymphocytic

cuffing. [1]

Page 12: japanese encephalitis.docx

c. Pemeriksaan Immunocytochemistry

Yang dimaksud dengan immunochemistry adalah pewarnaan jaringan untuk

melihat adanya protein spesifik, dalam hal ini adalah JE. Cara ini dapat mendiagnosa

kasus JE yang fatal bila uji serologi dan isolasi virus tidak dapat dilakukan. [1]

2.9 Diagnosis Banding

Manifestasi klinis JE dapat pula ditemukan pada penyakit lain terutama yang

berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat, yaitu malaria serebral, meningitis bakteri,

meningitis aseptik, kejang demam, ensefalitis oleh Flavivirus lain, rabies, sindrom Reye, dan

ensefalopati toksik. [1]

Beberapa diagnosis banding dapat disingkirkan dengan adanya tanda atau gejala yang

khas atau pemeriksaan khusus, misalnya: [1]

Meningitis TBC : uji mantoux positif, biakan BTA dari cairan serebropinal

positif

Meningitis bakterialis : cairan serebrospinal purulen

Herpes zoster : kelumpuhan saraf kranial satu sisi

Leptospirosis : ikterus, hepatosplenomegali

2.10 Pengobatan

2.10.1 Pengobatan Simtomatik

a. Menghentikan kejang

Pada saat terjadi kejang, secepatnya diatasi dengan pemberian diazepam

intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada anak yang

berumur kurang dari 5 tahun diberikan 5mg, anak 5-10 tahun diberikan 7,5mg dan

lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg dengan kecepatan pemberian 1mg/menit. Bila

anak tetap kejang dosis di atas dapat diulang sekali lagi setelah 15 menit. Bila tidak

tersedia diazepam intravena, bisa diganti dengan diazepam per-rektal dalam kemasan

5 mg dan 10 mg dengan ketentuan dosis seperti di atas. Bila kejang sudah berhenti

dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital oral 5 mg/kgBB/kali dibagi dalam 2 dosis.

Bila sebelumnya pasien menunjukkan kejang lama atau status konvulsi, setelah

Page 13: japanese encephalitis.docx

berhasil menghentikan kejang secepatnya diberikan bolus fenobarbital IM sebagai

dosis awal 50 mg untuk anak berumur 1 bulan-1 tahun, 75 mg untuk anak lebih dari 1

tahun. Kemudian setelah lebih dari 4 jam disusul pemberian fenobarbital oral sebagai

dosis rumatan 8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari dan untuk

selanjutnya 4-5 mg/kgBB/hari. [1]

b. Menurunkan demam

Pemberian obat antipiretik seperti parasetamol dan asetosal. Suportif dengan

istirahat dan kompres. Aktivitas otot akan meningkatkan metabolisme dan

metabolisme yang meningkat akan menambah tinggi suhu tubuh, sehingga tinggi

rendahnya suhu tubuh antara lain sangat ditentukan oleh aktivitas otot. Dengan

demikian perlu istirahat untuk mengurangi peningkatan suhu. [1]

2. 10.2 Mencegah dan Mengobati Tekanan Intrakranial Meninggi

a. Mengurangi edema otak

Pemberian deksametason IV dengan dosis tinggi 1mg/kgBB/hari dalam 4

dosis diberikan beberapa hari dan diturunkan secara perlahan bila tekanan intrakranial

menurun. Di samping itu deksametason dapat memperbaiki integritas membran sel.

Obat lain yang dapat menurunkan tekanan intrakranial adalah manitol hipertonik 20%

dengan dosis 0,25-1 gr/kgBB melalui infus intravena selama 10-30 menit dapat

diulangi tiap 4-6 jam. Obat ini dapat menarik cairan ekstravaskulr ke dalam pembuluh

darah otak. Untuk meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah balik, anak

ditidurkan setengah duduk dalam posisi netral dengan kepala lebih tinggi 20-30º

sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial. [1]

b.Mempertahankan fungsi metabolisme otak

Mempertahankan fungsi metabolisme otak dengan cara pemberian cairan yang

mengandung glukosa 10%, sehingga kadar gula darah menjadi normal, 100-150

mg/dL. Hindari peningkatan metabolisme otak dengan jalan mencegah sehingga

jangan sampai terjadi hipertermia dan serangan kejang. [1]

Page 14: japanese encephalitis.docx

2.10.3 Pengobatan Penunjang

a. Perawatan jalan nafas

Perawatan jalan nafas terutama pada saat serangan kejang, anak diletakkan

dalam posisi miring ke arah kanan dengan kepala yang lebih rendah 20º dari badan

untuk menghindari terjadinya aspirasi lendir atau muntahan. Bebaskan jalan nafas,

pakaian dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Lilitan kain di leher dilepaskan, isap

lendir atau bersihkan mulut dari lendir. Perawatan pernapasan dapat dilakukan dengan

memperhatikan pernafasan supaya tetap teratur. Bila terdapat kegagalan pernafasan

minimal kita dapat melakukan pernafasan buatan dan kalau memungkinkan dilakukan

intubasi endotrakeal dan pernafasan dibantu dengan ventilator mekanik. Selama

melakukan perawatan jalan nafas dan perawatan pernafasan, pemberian oksigen

sangat mutlak diperlukan. [1]

b. Perawatan sistem kardiovaskular

Perawatan kardiovaskular ditujukan untuk mengetahui adanya kegagalan

kardiovaskular. Secara rutin dan seksama diperiksa frekuensi nadi, pengisian nadi,

tekanan darah dan keadaan kulit terutama ekstremitas atas dan bawah. Bila terdapat

tanda-tanda syok perlu secepatnya diatasi. [1]

c. Pemberian cairan intravena

Pemberian cairan intravena bertujuan untuk mengatur keseimbangan cairan dan

elektrolit. Pemberian jumlah cairan harus ketat mengingat adanya tekanan intrakranial

meninggi. Dicegah jangan sampai terjadi hipokalsemia dan gangguan elektrolit

lainnya. [1]

d. Pemberian antibiotik

Antibiotik tetap diberikan selama belum bisa menyingkirkan kemungkinan

meningitis bakterialis. Dalam keadaan kesadaran menurun dan dalam keadaan koma,

ampisilin tetap diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Sampai sekarang belum

ada obat anti virus JE. [1]

Page 15: japanese encephalitis.docx

2.11 Pencegahan

2.11.1 Pemberian Imunisasi

Terdapat 2 jenis vaksin JE, yaitu :

a. Vaksin hidup yang dilemahkan (a live attenuated vaccine)

Vaksin dibuat antara lain dari biakan sel ginjal hamster. Dari hasil uji

coba klinis pada manusia vaksin ini cukup aman dan efektif. Pemberian

vaksin pada anak umur kurang dari 1 tahun, pertama kali diberikan 2 dosis

vaksin yang diinaktifkan, 1 tahun kemudian diberikan vaksin hidup yang

dilemahkan dan 1 tahun berikutnya diberi imunisasi ulangan dengan

vaksin hidup yang dilemahkan, selanjutnya tiap 3 tahun diberikan vaksin

hidup yang dilemahkan. Vaksin JE telah dipergunakan secara rutin di

Jepang dan Cina. [1]

b. Vaksin dari virus mati (inactivated vaccine)

Inactivated mouse brain vaccine

Suspensi virus dibuat dari jaringan otak tikus yang diinokulasi

dengan JE galur Nikayama. Vaksin ini secara luas telah dipakai di

Jepang, Thailand, Taiwan dan India. Imunisasi dasar, dosis dan

cara pemberiannya sebagai berikut: anak umur kurang dari 3 tahun

imunisasi pertama diberikan 0,5 ml secara subkutan, imunisasi ke-2

diberikan dosis dan cara yang sama dengan imunisasi pertama

dengan interval 1 tahun dari imunisasi pertama. Anak berumur

lebih dari 3 tahun cara dan interval oemberiannya sama dengan

anak yang berumur kurang dari 3 tahun, hanya dosisnya berbeda

yaitu 1 ml untuk masing-masing imunisasi. Imunisasi ulangan

diberikan pada anak yang berumur kurang dari 3 tahun dengan

dosis 0,5 ml secara subkutan, sedangkan anak yang berumur lebih

dari 3 tahun dosisnya 1 ml subkutan. Imunisasi booster diberikan

tiap 3-4 tahun. [1]

Vaksin dibut dari kultur sel ginjal hamster. Produksi vaksin ini

terbatas karena jumlah hamster yang terbatas. [1]

Page 16: japanese encephalitis.docx

2.11.2 Menghindarkan Manusia dari Gigitan Nyamuk Culex

Nyamuk Culex menggigit manusia mulai menjelang malam hari sampai besok

paginya, oleh karena itu perlu tidur memakai kelambu atau mempergunakan repelan

dalam bentuk cairan atau krim yang dipakai pada bagian tubuh manusia yang terbuka

atau memakai obat pembasmi nyamuk. [1]

2.12 Prognosis

Prognosis JE tergantung dari beberapa faktor antara lain : [1]

1. Usia. Pada anak kecil akan didapatkan gejala sisa yang lebih sering dan lebih banyak

ragamnya daripada anak yang lebih besar.

2. Gejala klinis. Gejala sisa yang timbul sangat erat kaitannya dengan berat ringannya

gejala pada stadium akut. Demam tinggi yang berlangsung lama, kejang yang hebat

dan sering, depresi pernafasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis buruk.

3. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi prognosisnya

kurang baik.

2.13 Mortalitas & Morbiditas

Rasio laki-laki : perempuan yang terinfeksi adalah 1,5 : 1 untuk gejala simtomatik,

dan hanya 1 dari setiap 250 infeksi akan memberikan gejala simtomatik. Dalam 1 tahun

terdapat 33-50% pasien dengan gejala simtomatik meninggalkan gejala sisa neurologis

berupa kejang, parese saraf kranial atau motorik, atau kelainan gerakan. Riwayat infeksi

terhadap infeksi dengue menurunkan morbiditas dan mortalitas karena terbentuknya proteksi

parsial hasil reaksi silang antibodi antiflavivirus. [1]

Mortalitas dengan penanganan intensif sebesar 5-10%, bahkan di negara berkembang

tingkat mortalitas dapat mencapai 35%. Di seluruh dunia dilaporkan 10.000 kematian setiap

tahunnya. [1]

Page 17: japanese encephalitis.docx

BAB III

KESIMPULAN

Page 18: japanese encephalitis.docx

DAFTAR PUSTAKA