Jangan Datangi Pulau Sempu

download Jangan Datangi Pulau Sempu

of 3

description

Cagar alam Pulau Sempu dan salah penggunaannya

Transcript of Jangan Datangi Pulau Sempu

JANGAN DATANGI PULAU SEMPU Polemik Cagar Alam Pulau Sempu Oleh Ayu Sri Darmastuti*

Menjelang peringatan Hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5 Juni), pada umumnya para civitas akademika maupun para penggiat lingkungan hidup melakukan berbagai aksi yang berkaitan dengan bumi maupun berbagai program yang mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya melestarikan lingkungan. Bagaimana kalau kita juga menyempatkan diri untuk menilik sejenak keberlangsungan lingkungan hidup dan turut berpartisipasi dalam upaya konservasi. Mungkin kita tidak bisa memberikan program besar atau materi-materi fisik, tapi kita bisa menyumbangkan kepedulian dan pemikiran kita. Tidak perlu terlalu jauh, mari menilik permasalahan yang ada di wilayah Malang sendiri, Cagar Alam Pulau Sempu. Pulau Sempu ditetapkan sebagai cagar alam pada tahun 1928 oleh kolonial Belanda karena keunikan ekosistem dan flora-faunanya yang khas. Dengan luas 877 hektar berada di wilayah Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Pulau Sempu dihuni oleh 85 jenis spesies burung dan 15 jenis mamalia. Dua puluh enam spesies diantaranya merupakan spesies dilindungi, misalkan saja 3 spesies burung cikalang (Fregeta andrewsi), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), dan Cochoa azurea. Perairan di sekitar kawasan pulau tersebut juga dihuni oleh spesies hampir punah lainnya. Terekam jejak dari penyu hijau (chelonia mydas) dan Eretmochelys imbricata yang juga memanfaatkan beberapa kawasan batas perairan (pantai) sebagai tempat bersarang (bertelur). Sempat pada era mantan Presiden Soeharto, Pulau Sempu dijadikan tempat latihan oleh oknum milliter, namun karena laporan masyarakat yang mempertanyakan tentang kejanggalan tersebut dapat menarik perhatian media masa pada tahun 1999, akhirnya Cagar Alam Pulau Sempu mendapatkan kembali haknya dibawah pengawasan BKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam). Karena keberadaannya yang dibawah pengawasan BKSDA, maka untuk memasuki kawasan tersebut diperlukan SIMAKSI (surat izin masuk kawasan konservasi). Sebenarnya, sebagai bagian dari zona inti dalam strata konservasi, kawasan tersebut tidak boleh mendapat pengaruh campur tangan manusia. Hanya saja pada umumnya kita bisa mendapatkan SIMAKSI apabila kita memiliki program pelestarian alam atau penelitian lain dengan tujuan sebagai upaya konservasi. Hal tersebut juga sebagai upaya pengawasan dan pengendalian dari upaya perusakan yang dilakukan baik secara sengaja ataupun tidak oleh masyarakat yang mengunjunginya. Kendati sudah diberlakukan peraturan seperti itu, tetap dan akan selalu saja ada orang-orang yang penasaran pada keindahan Pulau Sempu. Masalahnya adalah rasa penasaran tersebut tidak didukung oleh rasa tanggungjawab.

Sudah umum apabila pendapat orang awam mengatakan Pulau Sempu adalah tempat wisata, bukan sebagai cagar alam. Hal tersebut didukung pula oleh sikap perhutani yang memanfaatkan satu-satunya jalan masuk ke Pulau Sempu, yakni Sendang Biru, sebagai tempat wisata. Memang wilayah Sendang Biru merupakan tempat wisata dengan objek wisata utamanya adalah TPI (tempat pelelangan ikan). Padahal kenyataannya TPI sendiri sering tutup saat para nelayan tidak melaut karena ombak pantai selatan yang terlampau besar. Kesalahpahaman tersebut sering menimbulkan banyak masalah. Misalkan saja permasalahan yang sempat saya dan rekan-rekan saya alami saat akan memasuki kawasan Pulau Sempu dengan tujuan melakukan pendidikan konservasi dan aksi bersih Pulau Sempu pada Januari 2011. Kami telah mendapatkan SIMAKSI dari pihak BKSDA, namun karena memasuki wilayah Sendang Biru kami terpaksa mendapat pajak oleh loket yang berjarak tidak lebih 100 m dari pelabuhan. Pihak perhutani menganggap kami sebagai wisatawan Sendang Biru, padahal hanya lewat. Saat kami menjelaskan maksud kegiatan kami, pihak tersebut tidak mau tahu. Kami sendiri akhirnya harus maklum, karena penduduk sekitar juga mengandalkan pendapatan mereka dari penyebrangan perahu ke Pulau Sempu dan pariwisata daripada hasil tangkapan ikan sebagai nelayan. Masalah lain bagi para pendatang yang hanya berwisata di Pulau Sempu, mereka tidak akan mendapatkan hak asuransi. Karena status saat ini, Pulau Sempu bukan wilayah wisata. Asuransi loket wisata pihak perhutani hanya berlaku di wilayah Sendang Biru. Jadi apabila terjadi suatu masalah, misalkan perahu terbalik, tersesat di hutan, digigit binatang, maupun cacat karena jatuh dari tebing di Pulau Sempu tidak akan mendapat ganti rugi dari asuransi, karena Pulau Sempu adalah wilayah BKSDA. Sebagai suatu cagar alam, sepertinya Pulau Sempu sudah tidak layak. Misalkan pada beberapa wilayah terdapat sampah-sampah bekas camp para pendatang, sebut saja Segara Anakan, Telaga Lele, ataupun Pantai Pasir Panjang. Bahkan di sepanjang jalur hutan telah banyak penanda-penanda jalan tidak resmi berupa tali-tali raffia, yang sempat dibersihkan pula oleh rekan-rekan, terikat pada pohon. Seolah memang Sempu adalah wilayah wisata resmi. Jangan ditanya berapa pengunjung pada saat liburan, namun tanyakan jumlah pengunjung ke Pulau Sempu dalam satu minggu. Saat-saat paling ramai adalah hari Jumat hingga Sabtu yang mencapai 10 sampai 15 perahu dengan kapasitas masing-masing minimal sepuluh orang. Maka dalam satu minggu minimal seratus orang datang ke Sempu. Permasalahan-permasalahan tersebut sempat memancing diskusi diantara kami. Ada pendapat yang mengatakan cepat atau lambat Pulau Sempu akan menjadi tempat wisata, namun ada juga yang mengatakan bahwa sebagai zona inti, Pulau Sempu tetap tidak boleh disentuh. Untuk menyelamatkan habitat asli Pulau Sempu, memang sebaiknya Sempu tidak boleh dikunjungi. Namun, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa untuk menyokong zona inti, dibutuhkan zona penyangga, yaitu penduduk sekitar. Jika penduduk sekitar tidak mendapatkan manfaat timbal balik dari zona konservasi tersebut, otomatis mereka akan acuh. Karena

kebutuhan akan kesejahteraan, masyarakat sekitar pasti juga akan memanfaatkan wilayah tersebut bagaimanapun caranya. Dan wisata terselubung yang tak terkontrol akan justru memperparah keadaan Pulau Sempu. Berbeda halnya apabila diadakan penerapan wisata terarah dengan penyisipan tujuan pelestarian lingkungan hidup, seperti program ekowisata. Karena ekowisata adalah tentang menyatukan konservasi, masyarakat, dan perjalanan yang berkelanjutan. Tapi, tetap saja konsekuensi sebagai tempat wisata adalah terganggunya spesies-spesies endemik yang bernaung di pulau tersebut. Mungkin kita, mahasiswa, yang disebut-sebut sebagai agent of change mampu memberikan sumbangsih berupa pemikiran ataupun dukungan-dukungan bagaimana baiknya menyikapi polemik Pulau Sempu. Apakah dipertahankan statusnya sebagai cagar alam atau memang sudah saatnya jujur pada kenyataan yang ada apabila kita sendiri telah tidak mampu mengelolanya sebagai cagar alam. Tapi apapun yang terjadi, sebaiknya jangan mendatangi pulau sempu apabila hanya bertujuan untuk rekreasi.

Penulis adalah mahasiswa jurusan Biologi 2008 Fakultas MIPA dan juga aktif dalam UKM MPA Jonggring Salaka