Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad
-
Upload
el-nina-liebt-u-vater -
Category
Documents
-
view
528 -
download
15
Transcript of Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20
dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut
Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting yang mendorong ”perubahan
dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.
Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan
Hadist, yang keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola
keagamaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari
kecendrungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap
mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-
Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang
meluas di masyarakat.
Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan
perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha
menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan
Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk mendirikan
organisasi dibidang sosial–ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi kepentingan
mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki
pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Irsyad
Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh
terjadinya pertentangan dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah
dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah
dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab modernis, perkawinan
semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu dianggap
tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara
kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap
batal atau tidak sah.
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati
berkunjung ke Solo, tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari
keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib
seorang syarifah, yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama seorang
China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk
memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan
Surkati adalah hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah
si Syarifah tersebut, agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.
Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah
yang demikian itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara
ada hukum yang mengharamkan karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun
syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi”.
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak
sekutu tersebut, kemudian terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”.
Fatwa tersebut telah ”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini
dianggap sebagai penghinaan besar terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut
kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya, namun Surkati tetap
mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik yang
setuju maupun yang menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan
dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu
oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan
madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H.
Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.
Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para
guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang
datang atas jasa Surkati. Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap
tinggal di Indonesia dan bergabung dengan Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di
Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad Khair Al-Anshori yang
tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur Muhammad
Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.
Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah
berada ditangan dan atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang
mengatur pendidikan Islam, beban tanggung jawab Surkati akan ringan apabila
Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi yang teratur dan memiliki status
badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-
Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jami’iyyah Al-
Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.
Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I Den Burg,
sementara pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama:
Hai’ah Madaris Jami’iyyah Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu
Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh
Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa gedung bekas hotel ORT yang tidak
berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna memenuhi kebutuhan yang agak
mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya
memperoleh pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915.
Dengan keputusan no 47, yang disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20
Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad, meminjam ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana
meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari kian besar dan meningglkan Jami’at Al-
Khoir jauh dibelakangnya.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan
organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana
diungkapkan oleh Badjerei berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian
dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah
menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula
diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-
Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu
tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar
Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-
Irsyad merupakan ”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus
Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam
ke-2 tahun 1923 di Garud, kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam
ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun
1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan
gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis Islam A’la Indonesia MIAL.
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad,
organisasi Al-Irsyad didirikan bukan untuk melawan atau menandingi Jami’at Al-
Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan kebencian kepada segolongan
masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin. Semasa Surkati masih hidup, Al-
Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada masyarakat Arab Hadrami;
tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup luas, Surkati
tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab
hadrawi.
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan,
para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus
sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok
organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman
penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan
aktif dalam pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk
majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain; 1) majelis
pendidikan dan pengajaran; 2) majelis dakwah; 3) majelis sosial dan ekonomi; 4)
Majelis wakaf dan yayasan; 5) majelis wanita dan putri: 6) majelis pemuda dan
pelajar: 7) majelis organisasi dan kelembagaan ; 8) Majelis hubungan luar negri.
Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al-
Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan. Ini biasa
dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.
Terutama Syaikh Umar Manggus, yang saat itu menjabat sebagai Kapten Arab.Tokoh
ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah
yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah
sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak
terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian
namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya
dikenal dengan nama Al- Irsyad, Al- Irsyad beranggotakan semua orang Islam yang
berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.
Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan,
di antaranya:
Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya
memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Namun mereka
menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Sukarti menyatakan adapun
taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak diperbolehkan
oleh Allah dan Rosull-Nya, para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan
merupakan bid’ah yang sesat.
Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah minta dan
bertawasul dengan Mereka, Surkati menyatakan sebagai perbuatan yang munkar dan
bid”ah, :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka
adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh Rasulullah
saw,al Khulafa”al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid, baik bertawasul dengan
Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu,hal tersebut merupakan sesuatu yang
diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid
”ah,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
Ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada
orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang
anggota keluarganya, ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah
uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan’’. Kemudian si penerima
menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’.Bagi Surkarti, perbuatan ini dilarang karena
tidak di dasarkan atas dasar dalil agama, dan merupakan perbuatan bid’ah.
Keempat, dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur
Surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak berdasarkan tuntunan al Qur’an
dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat.
Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid Nabi
Muhammad saw,bagi Surkarti bukan perbuatan agama, namun demikian apa bila
perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang
lingkup agama,maka pembuatan tersebut tetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam, pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan
bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam
melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti
pula,ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah
dirawihkan orang dari Nabi Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan
oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan
bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat
tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan
apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang
baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan
bertentangan dengan sunnah Rasul. Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai
perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah. Dan perbuatan terpuji
yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,
sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan
bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa
makan”.
Kedelapan ,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib
lima waktu menurut Surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan
sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-
ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu,
langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia
sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa
”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi
lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki
pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noor menyatakan, seperti halnya
seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang berkembang
di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di
Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan
Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-
20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka
yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti
majalah Al-Manar dan lain-lainnya.
2. Jami’atul Khair
Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau
lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah.
Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901
dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin,
seperti Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad
Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad
Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab,
Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan
ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.
Sebenarnya pada tahun 1901 Jamiatul Khair belum mendapat izin dari
pemerintah Belanda. Tujuan organisasi adalah mengembangkan pendidikan agama
Islam dan bahasa Arab. Oleh karena perhimpunan tersebut kekurangan tenaga guru,
maka pada konggresnya tahun 1911, diantara satu keputusannya adalah memasukkan
guru-guru agama dan Bahasa Arab dari luar negeri. Kemajuan Jamiatul Khair
tersebut menambah kepercayaan masyarakat Islam di Jakarta (dan Jawa umumnya)
serta daerah sekitarnya.
Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung
Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat,
maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang.
Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh
gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi
(tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis
kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat
dengan Jamiatul Khair.
Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian
memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di
bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi
juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang,
Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra
(aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair
di Tanah Tinggi Senen.
Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan
luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka
mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan
nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun
1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi
atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di
Batavia.
BAB III
PENUTUP
Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua
pasti mengalami perubahan dan perkembangan.salah stu faktor penting yang
mendorong perubahan dan perkembangan itu adalah adanya kontak pergaulan dengan
masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau
bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20 banyak orang
Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi
kekuatan kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat,
apabila mereka melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan
ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami dan
mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab itu,
mereka disebut kaum pembaharu.
Para pembaharu di Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur
Tengah, terutama yang berpusat di Mesir. Mereka berkenalam dengan gagasan tajdid
melalui bacaan dan pertemuan langsung dengan tokoh-tokohnya sewaktu mereka
menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain atau dua tanah suci yaitu
Mekkah dan Madinah.
Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khoir dan
Al-Irsyad secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.
2) Mengembangkan pemikiran rasional.
3) Memurnikan Aqidah umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
http://yandisangdebu.blogspot.com/2012/05/al-irsyad-dan-jamiatul-khair-sejarah.html
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/pembaharuan-di-indonesia.html