Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

18
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20 dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting yang mendorong ”perubahan dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu. Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan Hadist, yang keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola keagamaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari kecendrungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al- Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang meluas di masyarakat. Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk

Transcript of Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Page 1: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Munculnya gerakan Modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20

dipengaruhi oleh berbagai variabel penting yang melatar belakanginya. Menurut

Steenbrink, setidaknya terdapat empat faktor penting yang mendorong ”perubahan

dan pembaharuan Islam di Indonesia” pada saat itu.

Pertama, adanya tekanan kuat untuk kembali kepada ajaran Al-quran dan

Hadist, yang keduanya dijadikan sebagai landasan berfikir untuk menilai pola

keagamaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Tema sentral dari

kecendrungan ini adalah menolak setiap pengaruh budaya lokal yang dianggap

mengontaminasi kemurnian ajaran Islam. Sehingga upaya kembali pada ajaran Al-

Qur`an dan Hadist dipilih sebagai jawaban solutif atas problem keberagaman yang

meluas di masyarakat.

Kedua, kuatnya semangat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Gerakan

perlawanan ini banyak direalisasikan oleh kelompok nasionalis yang terus berusaha

menentang kebijakan penjajah belanda, tetapi mereka juga enggan menerima gerakan

Pan-Islamisme. Ketiga, kuatnya motivasi dari komunitas muslim untuk mendirikan

organisasi dibidang sosial–ekonomi yang diharapkan bermanfaat demi kepentingan

mereka sendiri, maupun kepentingan publik. Keempat, gencarnya upaya memperbaiki

pendidikan Islam.

Page 2: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

BAB II

PEMBAHASAN

1. Al-Irsyad

Jika ditelusuri awal mulanya, munculnya Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh

terjadinya pertentangan dalam Jami’at Al-Khair, terkait persoalan konsep kafa’ah

dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah

dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab modernis, perkawinan

semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu dianggap

tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya kafa’ah antara

kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah ini tidak terpenuhi maka perkawinan dianggap

batal atau tidak sah.

Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul pertama kali ketika Ahmad Surkati

berkunjung ke Solo, tepatnya dalam suatu pertemuan di kediaman Al-Hamid dari

keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib

seorang syarifah, yang karena tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama seorang

China di Solo. Surkati menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk

memisahkan kedua orang yang tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan

Surkati adalah hendaknya dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah

si Syarifah tersebut, agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.

Salah seorang yang hadir, Umar bin Said Sungkar bertanya pada Surkati: ”apakah

yang demikian itu diperbolehkan menurut hukum ajaran agama Islam, sementara

ada hukum yang mengharamkan karena tidak memenuhi syarat kafa’ah, meskipun

syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi”.

Setelah Surkati mengeluarkan fatwa tentang sahnya pernikahan yang tidak

sekutu tersebut, kemudian terjadi pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”.

Fatwa tersebut telah ”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini

dianggap sebagai penghinaan besar terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut

kepada Surkati agar bersedia mencabut fatwanya, namun Surkati tetap

Page 3: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

mempertahankan fatwanya dan berusaha menghormati pendapat publik baik yang

setuju maupun yang menolak.

Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan

dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu

oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan

madrasah Al-Irsyah Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H.

Bertepatan dengan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya.

Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para

guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang

datang atas jasa Surkati. Sebagian mereka kembali ke Makkah dan sebagian tetap

tinggal di Indonesia dan bergabung dengan Al-Irsyad sampai akhir hayat mereka di

Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad Khair Al-Anshori yang

tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur Muhammad

Khair Al-Anshori, dan lain sebagainya.

Izin untuk pembukaan dan pengelolaan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah

berada ditangan dan atas nama Surkati. Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang

mengatur pendidikan Islam, beban tanggung jawab Surkati akan ringan apabila

Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi yang teratur dan memiliki status

badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-

Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian diganti dengan nama Jami’iyyah Al-

Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.

Permohonan pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral AWF. I Den Burg,

sementara pengurusan Madrasah dilaksanakan oleh suatu badan yang diberi nama:

Hai’ah Madaris Jami’iyyah Al-Irsyad yang diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu

Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh

Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa gedung bekas hotel ORT yang tidak

berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta, guna memenuhi kebutuhan yang agak

mendesak karena perhatian dan peminat yang luar biasa.

Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga yang memiliki hukum) akhirnya

memperoleh pengakuan dari Gubernur Jendral pada tanggal 11 Agustus 1915.

Page 4: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Dengan keputusan no 47, yang disiarkan dalam Javache Courant nomor 67 tanggal 20

Agustus 1915. Sejak itu Al-Irsyad, meminjam ungkapan Badjerei; ”meluncur laksana

meteor; enerjik dan penuh vitalitas; kian hari kian besar dan meningglkan Jami’at Al-

Khoir jauh dibelakangnya.

Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan

organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagaimana

diungkapkan oleh Badjerei berikut ini:

”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian

dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah

menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula

diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-

Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu

tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar

Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyyah persatuan Islam dan Al-

Irsyad merupakan ”tiga serangkai” yang tak terpisahkan sehingga saat ini”.

Kerjasama antara Al-Irsyad dengan organisasi Modernis Islam lainnya terus

Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam

ke-2 tahun 1923 di Garud, kongres ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam

ke-4 di Yogyakarta tahun 1925, kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun

1926(Hussein Banjerei, 1996:114). Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan

gerakan-gerakan Islam lain dalam majelis Islam A’la Indonesia MIAL.

Menurut Hussein Badjerei, salah seorang tokoh pemikir dari Al-Irsyad,

organisasi Al-Irsyad didirikan bukan untuk melawan atau menandingi Jami’at Al-

Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan kebencian kepada segolongan

masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin. Semasa Surkati masih hidup, Al-

Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah kepada masyarakat Arab Hadrami;

tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut. Risalahnya cukup luas, Surkati

tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan dikalangan masyarakat Arab

hadrawi.

Page 5: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan,

para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus

sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok

organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman

penjajahan Belanda sampai sekarang ini.

Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan langkah organisasi serta berperan

aktif dalam pemberdayaan masyarakat,dalam kepengurusannya Al-Irsyad membentuk

majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda,antara lain; 1) majelis

pendidikan dan pengajaran; 2) majelis dakwah; 3) majelis sosial dan ekonomi; 4)

Majelis wakaf dan yayasan; 5) majelis wanita dan putri: 6) majelis pemuda dan

pelajar: 7) majelis organisasi dan kelembagaan ; 8) Majelis hubungan luar negri.

Patut garis bawahi bahwa dalam penyebaran gagasan atau pemikirannya,Al-

Irsyad lebih memfokuskan pada upaya perbaikan dan pelayanan pendidikan. Ini biasa

dilihat dari pembukaan sekolah Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.

Terutama Syaikh Umar Manggus, yang saat itu menjabat sebagai Kapten Arab.Tokoh

ini yang memberi saran agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah

yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu,berdirilah

sekolah”Jam’iyyah Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.Agar kehadirannya tidak

terkesan hanya diperuntukkan bagi orang arab,maka beberapa waktu kemudian

namanya di ubah menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya

dikenal dengan nama Al- Irsyad, Al- Irsyad beranggotakan semua orang Islam yang

berumur 18 tahun atau yang telah beristri dan tingggal diwilayah Indonesia.

Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan,

di antaranya:

Pertama,Taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya

memiliki kemampuan untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Namun mereka

menjadikan pendapat seseorang sebagai dalil agama, Sukarti menyatakan adapun

taklid buta dan menjadikan pendapat orang sebagai dalil agama tidak diperbolehkan

oleh Allah dan Rosull-Nya, para sahabat maupun para ulama terdahulu,dan

merupakan bid’ah yang sesat.

Page 6: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Kedua, meminta syafa”at. Ia mengatakan kepada orang yang sudah minta dan

bertawasul dengan Mereka, Surkati menyatakan sebagai perbuatan yang munkar dan

bid”ah, :”meminta syafa”at kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka

adalah perbuatan munkar, sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh Rasulullah

saw,al Khulafa”al Rasyidan ataupun oleh para Mujtahid, baik bertawasul dengan

Rasul sendiri atau dengan yang lain. Selain itu,hal tersebut merupakan sesuatu yang

diada-adakan dalam ruang lingkup al Din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid

”ah,setiap bid ah adalah sesat ,dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.

Ketiga,dalam kasus pembayaran fidyah membayar sejumlah tebusan kepada

orang lain untuk mengganti shalat dan puasa yang di tinggalkan oleh salah seorang

anggota keluarganya, ketika menyampaikan fidyah seseorang berkata ;’’terimalah

uang ini sebagai penebus shalat dan puasa si fulan’’. Kemudian si penerima

menjawab ,’’saya terima pemberian ini ’’.Bagi Surkarti, perbuatan ini dilarang karena

tidak di dasarkan atas dasar dalil agama, dan merupakan perbuatan bid’ah.

Keempat, dalam kasus pembacaan talqin untuk mayat yang baru di kubur

Surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak berdasarkan tuntunan al Qur’an

dan Hadits juga tidak ada petunjuk dari para sahabat.

Kelima, perbuatan berdiri pada saat melakukan pembacaan kisah maulid Nabi

Muhammad saw,bagi Surkarti bukan perbuatan agama, namun demikian apa bila

perbuatan tersebut di pandang sebagai perbuatan agama,atau termasuk dalam ruang

lingkup agama,maka pembuatan tersebut tetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.

Keenam, pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan

bid’dah.Alasannya,melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam

melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati.Menurut Sukarti

pula,ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah

dirawihkan orang dari Nabi Muhammad,atau dari para sahabat,walaupun diajarkan

oleh salah satu imam yang keempat.Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan

bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat

tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut.Itu berarti ”mewajibkan

apa yang sebenarnya tidak wajib”.

Page 7: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan ritual tahlil dirumah orang yang

baru ditimpah musibah kematian menurut Sukarti,merupakan perbuatan Bid’ah dan

bertentangan dengan sunnah Rasul. Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai

perbuatan yang membebeni keluarga yang terkena musibah. Dan perbuatan terpuji

yang berkenan dengan keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,

sebagaimana Sabda nabi Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia.”Buatlah makanan

bagi keluarga Jafar, sebab mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa

makan”.

Kedelapan ,adat berdzikir bersama dan berdoaa bersama setelah shalat wajib

lima waktu menurut Surkarti, merupakan perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan

sunnah Rasul. Surkati menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-

ada dan menambah-nambah karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu,

langsung mengerjakan sholat sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia

sampaikan maka dia berdiri lalu menyampaikannya ke umat Muslim.

Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad Surkati datang dengan membawa

”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian memberi kontribusi besar bagi

lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan pembaharuan untuk memperbaiki

pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noor menyatakan, seperti halnya

seperti Modernis muslim Indonesia yang lain. Pemikiran-pemikiran yang berkembang

di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh pemikiran Puritanisme yang berkembang di

Timur Tengah, yang diplopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan

Wahabinya), pemikiran tersebut secara intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-

20, melalui kontak personal antara masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka

yang berada di Timur Tengah, juga melaui penerbitan-penerbitan majalah, seperti

majalah Al-Manar dan lain-lainnya.

Page 8: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

2. Jami’atul Khair

Organisasi sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau

lembaga pendidikan Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah.

Merupakan organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901

dengan peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin,

seperti Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad

Al-Fakir Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad

Shahab, Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab,

Abubakar bin Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan

ulama-ulama inilah Jamiatul Khair tumbuh pesat.

Sebenarnya pada tahun 1901 Jamiatul Khair belum mendapat izin dari

pemerintah Belanda. Tujuan organisasi adalah mengembangkan pendidikan agama

Islam dan bahasa Arab. Oleh karena perhimpunan tersebut kekurangan tenaga guru,

maka pada konggresnya tahun 1911, diantara satu keputusannya adalah memasukkan

guru-guru agama dan Bahasa Arab dari luar negeri. Kemajuan Jamiatul Khair

tersebut menambah kepercayaan masyarakat Islam di Jakarta (dan Jawa umumnya)

serta daerah sekitarnya.

Organisasi Pembaharuan Islam ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung

Priok (Jakarta). Oleh karena perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat,

maka pusat organisasi ini dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang.

Organisasi ini dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh

gerakan pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri

Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi

(tokoh Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis

kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat

dengan Jamiatul Khair.

Awalnya memusatkan usahanya pada pendidikan, namun kemudian

memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan surat kabar harian Utusan Hindia di

bawah pimpinan Haji Umar Said Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi

juga meluas dengan mendirikan Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang,

Page 9: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

Habib Abubakar bersama sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra

(aulad) di Jl. Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair

di Tanah Tinggi Senen.

Pemimpin-pemimpin Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan

luar negeri, terutama negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka

mendatangkan majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan

nasionalisme Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun

1903 Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi

atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah

Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar di

Batavia.

Page 10: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

BAB III

PENUTUP

Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada masyarakat yang Statis, semua

pasti mengalami perubahan dan perkembangan.salah stu faktor penting yang

mendorong perubahan dan perkembangan itu adalah adanya kontak pergaulan dengan

masyarakat yang lebih maju sehingga terangsang untuk mengejar ketertigalannya atau

bisa sejajar dengan mitra pergaulannya. Pada permulaan abad ke-20 banyak orang

Islam di Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyaingi

kekuatan kolonialisme penjajahan Belanda dan mengejar ketertinggalan dari Barat,

apabila mereka melanjutkan cara-cara yang bersifat trdisional dalam menegakkan

ajaran Islam golongan ini merintis cara-cara baru dalam memahami dan

mengembangkan ajaran-ajaran Islam ditengah-tengah masyarakat oleh sebab itu,

mereka disebut kaum pembaharu.

Para pembaharu di Indonesia mengikuti jejak kaum pembaharu di Timur

Tengah, terutama yang berpusat di Mesir. Mereka berkenalam dengan gagasan tajdid

melalui bacaan dan pertemuan langsung dengan tokoh-tokohnya sewaktu mereka

menuntut ilmu di Timur Tengah. Terutama di Al-Haramain atau dua tanah suci yaitu

Mekkah dan Madinah.

Menurut kami disimpulkan pembaharuan yang dilakukan Jami’atul Khoir dan

Al-Irsyad secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)      Menyegarkan pemahaman ajaran Islam dengan membuka kembali pintu Ijtihad.

2)      Mengembangkan pemikiran rasional.

3)      Memurnikan Aqidah umat Islam.

Page 11: Jamiatul Khoir Dan Al-irsyad

DAFTAR PUSTAKA

http://yandisangdebu.blogspot.com/2012/05/al-irsyad-dan-jamiatul-khair-sejarah.html

http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/pembaharuan-di-indonesia.html