James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas...

95
Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara Oleh: James Abrahamsz Frederik W. Ayal 30 April 2015 Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura dengan WWF-Indonesia

Transcript of James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas...

Page 1: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Penilaian Indikator EAFMdi Kabupaten Maluku Tenggara

Oleh:

James AbrahamszFrederik W. Ayal

30 April 2015Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura

denganWWF-Indonesia

Page 2: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan
Page 3: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan perikanan dinyatakan sebagai sebuah kewajiban seperti diamanatkan oleh

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikannya, Undang-

Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kewajiban pengelolaan perikanan ini

didasarkan pada pengertian tentang perikanan yang dirumuskan dalam peraturan perundangan

itu, yaitu: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,

analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan

implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang

perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai

kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.

Hal ini membuktikan bahwa pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model

pengelolaan perikanan yang dikembangkan dalam suatu sistem yang dinamis. Oleh sebab itu,

pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan

satu sama lain yaitu (1) dimensi sumber daya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi

pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3)

dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan

ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak

dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumber daya ikan itu

sendiri.

Dalam konteks sistem, pengelolaan perikanan menurut Charles (2001), terkait dengan dua

skala pengelolaan yakni: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Kedua

skala pengelolaan ini memberikan jastifikasi tentang sangat dinamisnya pengelolaan perikanan.

Dinamika pengelolaan perikanan menyebabkan adanya kebutuhan model pengelolaan sesuai

dengan karakteristik kawasan dan sumber daya perikanan yang terdistribusi di setiap kawasan.

Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat

berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengelolaan

secara berkelanjutan.

Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan di dunia, FAO (2003) mengembangkan

konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/

EAF), yaitu:

Page 4: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

“An ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives,

by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and

human components of ecosystems and their interactions and applying an

integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”.

yang diterjemahkan sebagai:

“Suatu pendekatan yang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan sosial yang

beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang

terdapat pada sumber daya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen

ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang

terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti”.

Secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan

antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan

pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi

dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem

perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan

(KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2014). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengelolaan

perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan dimensi sumber daya

perikanan dan ekosistem, dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan

sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan perikanan. Kepentingan pemanfaatan untuk

kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya

kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum

terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumber daya ikan

sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan

ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management,

selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.

Implementasi EAFM di Indonesia menggunakan pendekatan indikator yang digunakan sebagai

alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan

prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Implementasi EAFM memerlukan perangkat

indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana

pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem.

Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah

indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung

ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh

Page 5: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

stakeholders (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view

dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan.

Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pertama kali diinisiasi di Indonesia pada

tahun 2010, dengan kerjasama antara Direktorat Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan

dan Perikanan; Pusat Kajian Perikanan dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), dan

WWF-Indonesia (WWF-ID). Dalam perkembangannya, EAFM diperkenalkan kepada beberapa

sekolah tinggi/ universitas yang memiliki jurusan kelautan dan perikanan, untuk kemudian

bersama-sama menjadi tim penilai performa perikanan di lokasi/ wilayah dimana institusi

mereka berada. Tim penilai ini kemudian bersama-sama dengan kelompok kecil penginisiasi

membangun kelompok kerja EAFM yang bertujuan selain melakukan penilaian EAFM di lokasi

mereka berada serta menjadi pusat pembelajaran terkait EAFM (learning center).

Pasca pelatihan penilaian Indikator EAFM pada Januari tahun 2012 di Bogor, WWF-ID

bekerjasama dengan Universitas Pattimura, untuk melakukan penilaian pengelolaan perikanan

menggunakan indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penilaian yang dilakukan

di Maluku Tengara ini juga menjadi salah satu komponen dalam penilaian Indikator EAFM di

WPP 714, saat itu. Setelah dua tahun hasil penilaian itu, WWF-ID berinisiatif melakukan

penilaian kembali terhadap indikator EAFM yang sebelumnya telah dinilai, dengan substansi

penilaian yang sesuai dengan Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan

Pendekatan Ekosistem, versi terbaru (NWG-EAFM, Direktor SDI-KKP, 2014).

Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama WWF-ID dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Pattimura. Kerjasama ini diarahkan untuk melihat seberapa besar

perubahan yang terjadi dalam komponen yang menjadi indikator, dan diharapkan kegiatan ini

juga dapat menjadi tolok ukur pengelolaan perikanan.

Dalam waktu dua tahun berbagai langkah telah dilakukan terkait dengan upaya-upaya yang

mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. Pertama pengembangan kawasan konservasi

di perairan Barat Kei Kecil (Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Maluku Tenggara) dengan

luas kawasan 150.000 ha merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi yang

cukup baik dalam perbaikan pengelolaan perikanan di wilayah ini.

Kedua pengembangan sistem zonasi pada kawasan konservasi perairan tersebut di atas

menjadi dasar untuk meningkatkan pemahaman di tingkat stakeholder maupun masyarakat di

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meningkatnya pemahaman di tingkat stakeholder

Page 6: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

maupun masyarakat ini sangat mungkin terjadi ketika proses-proses inisiasi sampai dengan

sosialisasi tentang eksistensi dan status kawasan konservasi perairan yang dimaksud.

Ketiga perubahan orientasi pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis

pada kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan juga

memberikan kontribusi cukup kuat dalam implementasi seluruh kebijakan perikanan di

wilayah ini. Sosialisasi tentang pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan

semakin meningkat, terutama dengan dukungan berbagai program pemerintah daerah

Kabupaten Maluku Tenggara maupun program-program yang diinsiasi oleh WWF-ID.

Keempat pengembangan mekanisme pengawasan di tingkat masyarakat lokal dan peningkatan

aktivitas pengawasan di wilayah pesisir dan laut, baik oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara

maupun yang didukung oleh PSDKP merupakan upaya-upaya untuk membangun partisipasi

masyarakat dalam mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. DKP Kabupaten Maluku

Tenggara juga memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat pengawas melalui program-

program bidang pengawasan, dimana langkah ini sangat dibutuhkan pada tingkat pengguna

kawasan yang paling dekat dengan lingkungan dan sumber daya di kawasan ini.

Kelima pelatihan-pelatihan bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan dan

peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, telah dilakukan

dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Perubahan pola pikir akan sangat berpengaruh terhadap

bentuk dan pola pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.

Keenam pelatihan-pelatihan bagi stakeholder terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan,

peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, serta

pendalaman proses zonasi kawasan konservasi perairan merupakan upaya-upaya dalam

peningkatan kapasitas stakeholder terkait perikanan dalam mencermati persoalan dan

kerangka strategis pengembangan perikanan secara berkelanjutan.

Ketujuh upaya-upaya pengembangan program mata pencaharian alternatif merupakan langkah

strategis untuk mengantisipasi tekanan yang diberikan oleh para pengguna kawasan, terkait

dengan pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan

pemahaman tentang kegiatan ekonomi produktif yang tidak bersifat ekstraktif dan mendukung

perikanan berkelanjutan termasuk dalam target utama setiap kegiatan yang terkait dengan

mata pencaharian alternatif.

Page 7: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil analisis terhadap perubahan yang diduga terjadi pada beberapa komponen dalam

indikator EAFM, sebagai akibat intervensi program dan kegiatan di atas, mesti diketahui oleh

seluruh stakeholder perikanan terkait di Kabupaten Maluku Tenggara. Langkah strategisnya

adalah melalui proses desiminasi yang diarahkan untuk melihat secara bersama tentang

kemajuan (atau kemunduran) pengelolaan perikanan di wilayah ini.

1.2 Tujuan dan Manfaat Studi

Kajian evaluatif terhadap indikator EAFM pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara

dilakukan untuk mengimplementasi Fungsi Kunci “Melakukan Evaluasi Pengelolaan Perikanan

Dengan Pendekatan Ekosistem”, dengan tujuan sesuai fungsi utamanya, meliputi:

(1) Fungsi utama “Melakukan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM”,

dengan tujuan:

a. Menyiapkan data untuk menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator EAFM;

b. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sumber daya

ikan;

c. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain habitat;

d. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain teknik

penangkapan;

e. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sosial;

f. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain ekonomi;

g. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain kelembagaan.

(2) Fungsi utama “Melakukan Desiminasi Laporan Evaluasi EAFM” dengan tujuan:

a. Melaporkan kesimpulan evaluasi agregat/ komposit semua domain EAFM;

b. Merekomendasikan saran tindak lanjut EAFM.

Manfaat pelaksanaan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM di Kabupaten

Maluku Tenggara adalah dapat diketahuinya perubahan status pengelolaan yang terjadi dalam

waktu dua tahun terkahir. Diseminasi hasil kajian ini diharapkan dapat memperkuat

pemahaman stakeholder tentang pentingnya melakukan penilaian untuk mendukung

pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di wilayah ini.

1.3 Keluaran

Sesuai dengan tujuan yang berbasis pada fungsi kunci dan fungsi utamanya, kajian evaluatif ini

dilakukan untuk menghasilkan beberapa luaran sebagai berikut:

Page 8: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(1) Laporan Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara;

(2) Laporan pelaksanaan workshop diseminasi hasil penilaian indikator EAFM;

(3) Adanya komitmen dari Kabupaten Maluku Tenggara untuk melanjutkan hasil penilaian

indikator EAFM

(4) Hasil penilaian EAFM menjadi dasar kajian kademik dalam mendukung pembuatan

peraturan daerah untuk pengelolaan perikanan.

Page 9: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

2 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara

Gambaran tentang perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara dalam

periode evaluasi ini tidak dapat diberikan seperti pada periode analisis sebelum dalam Tahun

2012. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem penanganan data perikanan tangkap. Jika

pada periode sebelum, perkembangan data perikanan tangkap dapat diekstraksi untuk setiap

wilayah kecamatan, maka pada periode evaluasi ini tidak dapat dilakukan karena beberapa

faktor sebagai berikut: (1) adanya perubahan sistem penanganan dan pengolahan data akibat

perubahan staf di tingkat dinas; (2) adanya perubahan jumlah kecamatan yang tidak dapat

diantisipasi dalam penanganan dan pengolahan data; serta (3) diduga peran tenaga lapangan

dalam penanganan data semakin menurun.

Kondisi tersebut di atas menyebabkan pendekatan deskripsi dan analisis dilakukan secara

agregat. Data yang digambarkan dan diolah seluruhnya pada bagian ini, menggunakan

pendekatan data total untuk Kabupaten Maluku Tenggara.

2.1 Perkembangan Nelayan

Dalam dokumen penilaian kinerja pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku

Tenggara pada tahun 2012 telah disebutkan bahwa dinamika pengelolaan perikanan sangat

ditentukan oleh eksistensi sumber daya manusia pengelola. Dalam konteks sistem perikanan

berkelanjutan, komponen sistem manusia yang paling dekat dengan pengelolaan perikanan

adalah nelayan (Abrahamsz dan Manuputty, 2012). Eksistensi nelayan dalam sistem ini sering

disebut sebagai aktor utama pengelolaan perikanan.

Perkembangan jumlah nelayan di wilayah ini

ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan

dari tahun 2007 sampai dengan 2014 sebesar

-1,84%. Hasil ini menunjukkan secara agregat,

terjadi penurunan jumlah nelayan sejak tahun

2007 sampai dengan 2014 sebanyak 1.570

orang. Pertumbuhan yang ditunjukkan secara

agregat ini terkait dengan perkembangan

jumlah nelayan pada tahun-tahun utama, dan

menjadi indikator dalam mencermati

perkembangannya di wilayah ini.

-2.88

-1.08

-9.11

0.12

0.04

0.02

0.01

-10.00

-8.00

-6.00

-4.00

-2.00

0.00

2.00

1 2 3 4 5 6 7

Pertumbuhan (%)

(2007-2008)

(2008-2009)

(2009-2010)

(2010-2011)

(2011-2012)

(2012-2013)

(2013-2014)

Gambar 2 Pertumbuhan nelayan di KabupatenMaluku Tenggara, Tahun 2007-2014

Page 10: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Pertama pada periode tahun 2009 sampai dengan 2010 terjadi penurunan yang cukup tajam,

yakni sebesar 9,11%. Pada periode ini perkembangan usaha budidaya rumput laut meningkat

cukup tajam, dan menyebabkan beralihnya usaha ekonomi produktif nelayan ke pembudidaya.

Kecenderungan ini dimulai sejak tahun 2006 dan 2007, sejak meningkatnya harga rumput laut

dan dukungan kebijakan budidaya rumput laut oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara

melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya.

Kedua pada periode tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi peningkatan jumlah nelayan yang

cukup lambat, berkisar antara 0,01% sampai dengan 0,12%. Pertumbuhan yang lambat ini

terjadi karena bertambahnya jumlah nelayan dari rumah tangga perikanan tangkap yang masih

mengembangkan usaha penangkapan ikan.

Jika evaluasi dilakukan untuk periode pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara

pada tahun 2011 sampai dengan 2014 (sesuai periode evaluasi EAFM), rata-rata pertumbuhan

nelayan sebesar 0,02% atau terjadi peningkatan jumlah nelayan sebanyak tujuh orang.

Perkembangan jumlah nelayan pada periode ini, sesuai dengan alasan kedua yang dikemukakan

di atas, dan beberapa penyebab sebagaimana ditemukan dalam hasil penelusuran data untuk

tahun 2013 dan 2014.

Pertama dinamika yang ditunjukkan melalui perkembangan jumlah nelayan juga disebabkan

karena adanya perekrutan tenaga kerja pada perikanan tangkap akibat kebijakan

pengembangan alat penangkapan ikan. Pada tahun 2013 dan 2014, dua jenis usaha perikanan

tangkap yang berkembang cukup cepat yakni perikanan bagan dan mini purse seine Kedua jenis

usaha perikanan ini memiliki kecenderungan perekrutan tenaga kerja yang cukup tinggi, untuk

usaha bagan antara empat sampai enam orang, sedangkan usaha mini purse seine antara 15 25

orang.

Kedua pada periode tahun 2013-2014, terjadi peningkatan jumlah nelayan ditunjukkan pada

usaha perikanan pancing, yang dikembangkan untuk mendukung perikanan usaha ekonomi

produktif berbasis perikanan kerapu. Sebagian nelayan pancing yang masih eksis pada

perikanan tangkap mulai meningkatkan pendapatan mereka berbasis pada perikanan kerapu.

Page 11: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

2.2 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan

Distribusi jumlah alat penangkapan ikan di

wilayah ini menunjukkan adanya perubahan

dari waktu ke waktu. Perubahan ditunjukkan

dengan penurunan jumlah unit alat

penangkapan ikan. Dalam periode

pembangunan kelautan dan perikanan tahun

2007 sampai dengan 2014, penurunan yang

ditunjukkan secara agregat sebesar 1,80%.

Laju penurunan ini disebabkan oleh

penurunan jumlah alat penangkapan ikan

yang bersifat tradisional, seperti alat

pengumpul kerang, alat pengumpul teripang,

jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap, serta bubu. Kelompok-kelompok alat

penangkapan ikan ini mulai ditinggal dengan alasan dikembangkannya alat penangkapan ikan

yang lebih produktif, peningkatan pendapatan dan adanya pilihan terhadap pengembangan

produk untuk komoditas-komoditas utama seperti kerapu hidup.

Dalam periode evaluasi (tahun 2012 2014) dengan menggunakan perkembangan data dari

tahun 2011-2014, terjadi peningkatan jumlah alat penangkapan ikan sebesar 0,01%. Kontribusi

pertumbuhan positif pada periode ini disebabkan meningkatnya jumlah alat tangkap pada

tahun 2012. Pada tahun 2013 dan 2014 jumlah alat tangkap cenderung menurun, namun laju

penurunan ini masih di bawah peningkatan jumlah pada tahun 2012.

Sejauhmana pengaruhnya terhadap produksi tergambar dalam perkembangan produksi yang

disampaikan berikut ini. Hal ini sesuai dengan penurunan dan atau peningkatan jenis alat

penangkapan ikan.

2.3 Perkembangan Produksi

Perkembangan produksi perikanan tangkap pada periode analisis (2007 2014) juga

menunjukkan adanya fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Laju penurunan yang sangat tajam

terjadi pada periode 2007 2008 dan periode 2009 2010, masing-masing sebesar 44,64% dan

52,03%.

16,719

13,500

14,171

13,559

14,371 14,913

14,781

14,359

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

1 2 3 4 5 6 7 8

Alat Tangkap (unit)

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 2 Perkembangan alat penangkapanikan di Kabupaten Maluku Tenggara,Tahun 2007-2014

Page 12: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Pada periode tahun 2010 2011, terjadi

peningkatan sebesar 68,70% dan termasuk

peningkatan produksi yang sangat tinggi

sepanjang periode analisis ini. Tahun 2011

kegiatan perikanan tangkap mulai

berkembang lagi setelah kurang lebih tiga

tahun sebelumnya menurun akibat peralihan

perhatian pada kegiatan ekonomi produktif

untuk kegiatan perikanan budidaya.

Pada periode tahun 2011 2014, kurang ada

fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan pada

periode ini sebesar 1,20%. Pertumbuhan

positif pada periode ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan produksi pada tahun 2014,

padahal sejak tahun 2011 terjadi penurunan produksi yang lambat sampai dengan tahun 2013.

159,

573.

00

88,3

41.9

0

79,9

41.9

0

38,3

50.0

0

64,6

96.1

0

63,5

46.9

0

61,9

95.1

0

66,8

35.7

1

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

180,000

1 2 3 4 5 6 7 8

Produksi (ton)

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 3 Perkembangan volume produksiikan di Kabupaten Maluku Tenggara,Tahun 2007-2014

Page 13: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3 Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem

3.1 Domain Sumber Daya Ikan

3.1.1 CPUE Baku

CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus

distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CPUE Baku

digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit

perikanan yang dikaji. Jika CPUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CPUE dominan.

Penentuan nilai CPUE baku dalam evaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku

Tenggara ini juga dilakukan melalui perhitungan nilai Fishing Power Index (FPI), sebagai

langkah awal. Perhitungan FPI berdasarkan nilai rata-rata CPUE dilakukan untuk juga dilakukan

10 jenis alat penangkapan ikan utama seperti analisis sebelumnya yang dilakukan pada tahun

2012. Sepuluh jenis alat tangkap utama yang dimaksudkan, masing-masing: sero tancap, pukat

cincin, jaring insang hanyut, bagan apung, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang

tetap, bubu, pancing ulur dan dan pancing tonda.

Perhitungan rata-rata nilai CPUE yang belum distandarisasi (bukan CPUE baku)

menggambarkan adanya variasi antar setiap jenis alat tangkap. Nilai rata-rata CPUE tertinggi

sebesar 0,7021 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,7218 ton/trip per

tahun) pada alat tangkap pukat cincin mini, dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar

0,0040 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,0058 ton/trip per tahun). Hasil

ini memberikan gambaran tentang adanya pergeseran nilai CPUE untuk setiap jenis alat

penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara.

Hasil perhitungan tersebut memberikan arahan bahwa pukat cincin mini merupakan alat

penangkapan ikan standar yang harus digunakan dalam perhitungan FPI. Sesuai dengan

distribusi rata-rata nilai CPUE tersebut, maka nilai FPI tertinggi pada pukat cincin sebesar

1,0000 dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0057. Rincian perhitungan rata-rata

nilai CPUE dan FPI dinyatakan dalam Lampiran 1.

Hasil perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI menjadi referensi untuk melakukan standarisasi

upaya tangkap. Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai upaya tangkap standar yang

beragam (Lampiran 2).

Page 14: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

-0,0008x 1,2413

0.0000

0.2000

0.4000

0.6000

0.8000

1.0000

1.2000

0 500 1000

CPUE

Upaya Standar

-0.0006x 1.1287

0.0000

0.2000

0.4000

0.6000

0.8000

1.0000

1.2000

0 500 1000

CPUE

Upaya Standar

Sesuai dengan hasil standarisasi untuk upaya tangkap, terjadi perubahan pada nilai CPUE yang

disebut sebagai CPUE Baku. Hasil perhitungan CPUE Baku dinyatakan dalam Tabel 14 dan

memberikan gambaran tentang adanya tendensi perubahan yang berkonsekuensi terjadi pada

hubungan CPUE Baku dengan upaya standar sesuai hasil perhitungan.

Hasil analisis regresi menunjukkan nilai

koefisien sebesar 1,1287 (tahun 2012:

1,2413) dan sebesar -0,8E-03

(tahun 2014: -0,6E-03). Hubungan

CPUE dan upaya standar dalam analisis

ini membentuk persamaan regresi yang

ht 1,1278 0,0006Et (tahun 21012: ht 1,2413 0,0008Et). Hubungan tersebut dapat

dinyatakan secara grafis seperti pada Gambar 9, yang menunjukkan terjadi sedikit perubahan

pada periode analisis tahun 2001 2011 (gambar “a”) ke periode analisis tahun 2001 2014

(gambar “b”).

Perubahan tersebut ditunjukkan dengan pergeseran garis ke arah atas. Artinya, laju

pertumbuhan mengarah ke arah semakin mendatar. Walaupun demikian, pola yang ditunjukkan

masih memberikan gambaran tentang adanya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya

penangkapan. Jika pada periode tahun 2001-2011 terjadi penurunan dengan laju sebesar

3,08%, maka pada periode analisis tahun 2001-2014 juga terjadi penurunan dengan laju

Gambar Hasil OLS Hubungan Upaya dan CPUEStandar (a) penilaian tahun 2012; dan(b) penilaian tahun 2014

Tabel 14 Upaya dan CPUE Standar

Tahun CatchiUpaya

StandarCPUE

Standar2001 321,30 357 0,90032002 345,03 344 1,00292003 365,36 413 0,88412004 387,76 379 1,02432005 402,70 517 0,77882006 417,63 656 0,63702007 432,56 794 0,54472008 454,96 759 0,59912009 473,29 829 0,57112010 495,00 816 0,60672011 500,82 797 0,62812012 518,76 842 0,61632013 578,27 871 0,66412014 601,31 885 0,6798

(a)

(b)

Page 15: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

sebesar 1,38%. Walaupun terjadi peningkatan pada periode tahun 2012 sampai dengan 2014,

namun secara agregat CPUE baku masih menunjukkan laju penurunan yang lambat

3.1.2 Ukuran ikan

Dalam evaluasi ini, tren ukuran yang dimaksudkan adalah perubahan ukuran panjang ikan yang

tertangkap dalam dua tahun terkahir (tahun 2013 dan 2014). Perubahan ukuran panjang ikan

ini dibandingkan dengan panjang ukuran ikan pada tahun-tahun sebelum waktu evaluasi ini.

Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan dengan asumsi adanya data poor fisheries Dengan

demikian pengkuran dilakukan berdasarkan pada hasil interview kepada responden yang

berpengalaman dalam kegiatan perikanan, terutama untuk spesies dominan yang secara total

memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan. Empat pilihan pertanyaan yang diberikan

kepada responden meliputi: (a) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; (b)

tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap relatif tetap; (c) tren ukuran rata-rata ikan yang

ditangkap semakin besar; serta (d) tidak tahu atau tidak memperhatikan tren ukuran rata-rata

ikan yang ditangkap.

Sesuai dengan empat pilihan pertanyaan yang

diberikan, terdapat pernyataan berbeda sesuai pilihan-

pilihan yang diberikan. Pertama pilihan responden

terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap

semakin kecil sebanyak 27,50%. Alasan yang diberikan

sesuai pilihan tersebut antara lain: (1) semakin

meningkatnya jumlah alat tangkap yang beroperasi,

khususnya untuk penangkapan ikan kerapu hidup

menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap semakin

kecil; (2) adanya dugaan perubahan ukuran alat penangkapan ikan seperti pada ukuran mata

jaring untuk alat tangkap bagan; dan (3) hadirnya alat penangkapan ikan seperti mini purse

seine menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap, baik pada jaring isang maupun bagan

semakin kecil.

Kedua pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama sebanyak

62,50%. Alasan yang sama pada kajian kinerja pengelolaan perikanan tahun 2012 masih

diberikan terkait dengan pola ini, yakni: penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang sama

sekali tidak berubah sejak mereka beraktivitas sebagai nelayan, nelayan bagan perahu, pancing

tonda, pancing tegak merupakan penyebab utama tidak berubahnya ukuran ikan. Walaupun

demikian, ada juga responden yang memberikan alasan lain, yakni: sesuai dengan target ukuran

Semakinbesar7.50%

Relatifsama

62.50%

Semakinkecil

27.50%

Tidaktahu

2.50%

Page 16: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

ikan yang diperdagangkan, seperti pada perikanan kerapu hidup. Syarat ini menyebabkan

nelayan harus melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh untuk

menemukan ukuran ikan yang sesuai dengan permintaan perusahaan yang menampung ikan

kerapu hidup. Batasan ukuran ikan yang layak dibeli adalah yang berukuran berat lebih dari

atau sama dengan 0,5 dan/atau 0,6 ons.

Ketiga pilihan terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap semakin besar, dinyatakan oleh

7,50% responden. Pernyataan seperti ini masih ditemukan pada nelayan yang menjalankan

usaha perikanan pancing tonda dan pancing tegak. Dengan bantuan motorisasi, kelompok-

kelompok nelayan dari jenis perikanan tersebut dapat mengakses darerah penangkapan ikan

yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan semakin jauhnya daerah penangkapan ikan dengan

ukuran yang lebih besar. Pandangan bahwa ukuran ikan semakin besar, diikuti dengan adanya

jarak daerah penangkapan ikan yang jauh menunjukkan adanya suatu range collaps yang

semakin meningkat. Kondisi ini belum disadari sebagai dampak dari tekanan terhadap

eksistensi sumber daya ikan.

Keempat masih ada responden yang memberikan pernyataan bahwa tidak tahu bahkan belum

memahami secara baik tentang adanya perubahan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini

dinyatakan oleh sekitar 2,50% responden yang umumnya menjalankan usaha perikanan

pancing tegak dan jaring insang. Alasan yang diberikan terkait dengan pilihan tersebut adalah

adanya keraguan nelayan terhadap adanya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Hasil

penelusuran data menunjukkan kelompok nelayan yang memberikan pernyataan ini juga

termasuk dalam kelompok nelayan baru saja menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan, rata-

rata usaha baru dijalankan dalam waktu tiga sampai dengan lima tahun.

Penentuan nilai pada kriteria yang diberikan sesuai dengan pilihan-pilihan responden tersebut

di atas, mengacu pada distribusi nilai tertinggi. Dalam periode evaluasi ini, pilihan terbanyak

adalah pada ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama. Hal ini tergambar dari

tingginya pilihan responden, yakni sebesar 62,50%. Hasil tersebut memberikan dasar

penetapan kriteria yang terpilih adalah tren ukuran relatif sama

Jika hasil penilaian ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012, sebanyak 57,14%

responden, maka ada indikasi peningkatan jumlah responden yang memiliki kriteria itu.

Perubahan ini diduga terjadi karena adanya pergeseran jumlah pilihan akibat distribusi jumlah

responden yang berbeda, dimana pada penilaian tahun 2012 jumlah responden yang

diwawancarai sebanyak 28 responden, sedangkan dalam periode evaluasi ini, jumlah

Page 17: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

responden sebanyak 40 orang. Perubahan jumlah responden inilah yang turut memberikan

pergeeseran jumlah pilihan responden. Walaupun demikian, kisaran penilaiannya masih berada

dalam konteks pilihan terhadap kriteria tren ukuran relatif sama

3.1.3 Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile yang Ditangkap

Penilaian terkait dengan indikator ini, dilakukan untuk mengetahui persentase ikan yang

ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Penilaian ini dilakukan dengan dua

pendekatan, yakni pendekatan wawancara dengan pertimbangan masih adanya data poor

fisheries pada perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara, dan pengukuran spesimen

ikan yang dominan tertangkap.

Hasil interview terhadap 40 responden menunjukkan

hanya 55,00% responden yang tahu tentang adanya

penangkapan ikan yuwana. Berdasarkan hasil ini, maka

penilaian tertangkapnya ikan yuwana dilakukan pada

22 responden yang tahu. Pertama sebanyak 22,73%

responden menyatakan tertangkapnya ikan yuwana

kurang dari 30%. Pilihan ini umumnya dinyatakan oleh

nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan

spesies target ikan kerapu dan ikan tenggiri.

Kedua proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak yang dinyatakan dengan kriteria kisaran

hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%, dinyatakan oleh 72,73% responden. Ketiga sebanyak

22,73% menyatakan proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak sekali yang dinyatakan

dengan kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 60%.

Untuk membuktikan hasil wawancara yang

disampaikan itu, dilakukan juga pengukuran

terhadap spesimen ikan dari lima kelompok

jenis ikan yang dominan tertangkap, masing-

masing: layang, tembang, teri, kerapu dan

tenggiri (Tabel 15). Hasil penilaian ini

merupakan hasil perbandingan dengan ukuran

ikan yang pertama kali matang gonad atau

disebut sebagai Length of Maturity (Lm) dari

setiap kelompok jenis ikan.

30%22.73%

30 -60%

72.73%

60%4,54%

Tabel 15 Distribusi proporsi ikan yuwana

KelompokJenis Ikan

Jumlahspesimen

yang diukur(ekor)

Jumlahikan

yuwana(ekor)

Proporsiikan

yuwana(%)

Layang 100 51 51,00

Tembang 200 117 58,50

Teri 200 93 46,50

Kerapu 30 23 76,67

Tenggiri 30 0 0,00

Rata-rata proporsi ikan yuwana (%) 46,53

Page 18: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil pengukuran menunjukkan untuk setiap jenis ikan yang

dominan tertangkap, masing-masing: (1) ikan layang sebanyak

51,0% dari 100 spesimen yang diukur, kurang dari umur

dewasa atau kurang dari 16,21 cm; (2) ikan tembang sebanyak

58,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur

dewasa atau kurang dari 11,95 cm; (3) ikan tenggiri sebanyak

0% dari 30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa

atau kurang dari 40-45 cm; (4) ikan teri sebanyak 46,5% dari

200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau

kurang dari cm; serta (5) ikan kerapu sebanyak 76,7% dari

30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau

kurang dari 39 cm.

Agregasi pengukuran panjang ikan yang dominan tertangkap

menghasilkan nilai rata-rata sebanyak 46,53% kurang dari

umur dewasa. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai rata-rata

yang masih masuk dalam kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%. Artinya jumlah

ikan yuwana yang tertangkap, khususnya pada jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap

termasuk dalam kriteria banyak

3.1.4 Komposisi Spesies

Komposisi spesies yang dimaksudkan dalam penilaian kinerja pengelolaan perikanan adalah

spesies target yang dimanfaatkan, serta spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak

dimanfaatkan. Penilaian ini didasarkan pada hasil wawancara terhadap responden yang

berpengalaman dalam kegiatan penangkapan ikan, dan didukung dengan hasil observasi.

Untuk membantu penilaian pada indikator ini, dipetakan distribusi spesies target dan non

target per jenis alat tangkap. Penilaian dilakukan terhadap sembilan jenis alat penangkapan

ikan utama yang digunakan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, meliputi: pukat cincin mini,

jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap,

bubu, pancing ulur dan pancing tonda (Tabel 16).

Penilaian ini merupakan lanjutan dari proses yang dilakukan pada tahun 2012, dan ditemukan

adanya perubahan untuk beberapa jenis alat tangkap pada tahun 2014. Perubahan yang terjadi

terutama pada jumlah jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan

ikan yang dominan digunakan oleh nelayan.

Page 19: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Tabel 16 Distribusi jenis dan jumlah jenis ikan target dan non target yang tertangkap

Alat tangkap Jenis ikan target JumlahJenis ikannon target

2012

Jenis ikannon target

2014

Jumlah2012

Jumlah2014

Nontarget2012

Nontarget2014

Pukat cincin cakalang, tongkol,layang, selar,kembung,tembang, lemuru,sunglir

--- --- 100,00 100,00

Jaring insanghanyut

kembung, julung-julung, terbang,tembang, belanak

buntaldurian --- 0 83,33 100,00

Baganperahu

layang, selar,kembung,tembang, lemuru,sunglir, teri, japuh

--- --- 0 100,00 100,00

Pancingtegak

layang, selar,kembung, kerapu,lencam, kakap,lemuru, sunglir

--- --- 0 100,00 100,00

Jaring insanglingkar

layang, selar,tembang, lemuru,japuh, belanak,sunglir

buntaldurian --- 0 87,50 100,00

Jaring insangtetap

layang, selar, ekorkuning, lencam,lemuru, sunglir

buntaldurian, --- 0 85,71 100,00

Bubu kerapu, lencam,kakap, kurisi, kepe-kepe --- 0 80,00 100,00

Pancing ulur kerapu, lencam,kakap, kuwe --- --- 100,00 100,00

Pancingtonda

tuna, cakalang,tongkol --- --- 100,00 100,00

Rata-rata 92,95 100,00

Sumber: Hasil Lapangan (2012, 2014), diolah

Jika pada penilaian tahun 2012, lima alat tangkap tidak menunjukkan adanya tangkapan spesies

non target, maka pada penilaian tahun 2014 sesuai hasil wawancara sama sekali tidak terdapat

jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan. Dua jenis ikan

non target yang tidak muncul lagi dalam evaluasi ini.

Faktor-faktor yang diduga menyebabkan tidak adanya kedua ikan non target antara lain: (1)

khusus untuk ikan buntal durian, observasi lapangan pada saat evaluasi ini bukan merupakan

waktu atau musim dimana ikan jenis ini hadir dalam jumlah banyak dan umumnya sudah sulit

ditemukan dalam setiap operasi penangkapan ikan; (2) ikan kepe-kepe mulai jarang ditemukan

pada alat tangkap bubu, karena jumlah bubu yang dioperasikan mulai berkurang disamping

perubahan daerah penangkapan pada perairan tubir yang lebih dalam dari biasanya juga diduga

menjadi penyebab tidak hadirnya ikan jenis ini dalam operasi penangkapan ikan.

Page 20: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Seluruh jenis ikan dikelompokkan sebagai

ikan target oleh nelayan didasarkan pada

pertimbangan bahwa jenis-jenis tersebut

termasuk dalam jenis-jenis ikan ekonomis

penting, dan memiliki harga jual di pasar dan

dikonsumsi oleh masyarakat, baik keluarga

nelayan maupun konsumen yang membeli di pasar.

Hasil observasi lapangan yang dilakukan untuk beberapa

jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti mini purse

seine pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut

dan bagan, juga menunjukkan tidak hadirnya ikan non

target pada hasil tangkapan. Seluruh hasil tangkapan dapat

dimanfaatkan, baik untuk konsumsi maupun dijual

sehingga

Hasil tersebut menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata

proporsi ikan target yang tertangkap sebanyak 92,95% pada

penilaian tahun 2012 menjadi 100,00% pada evaluasi tahun

2014. Sesuai dengan kriteria penilaian pada indikator ini maka,

hasil evaluasi ini termasuk dalam kriteria proporsi ikan

target lebih banyak

3.1.5 Range Collapse

Range collapse yang dimaksudkan range collapse sumber daya ikan yang dinyatakan dengan

pergeseran daerah penangkapan ikan yang semakin jauh. Penilaian terhadap indikator ini

masih menggunakan eksistensi data poor fisheries sehingga proses pengumpulan dilakukan

melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman. Untuk memberikan gambaran yang

lebih baik, digunakan pendekatan pemetaan partisipatif untuk beberapa jenis usaha perikanan

tangkap, seperti bagan, mini purse seine dan pancing kerapu hidup.

Penilaian awal untuk menemukenali range collaps sumber

daya ikan adalah melalui penilaian tingkat kesulitan untuk

mendapatkan hasil tangkapan sesuai target spesies yang

menjadi target penangkapkan. Hasil evaluasi menunjukkan

adanya pergeseran pada penilaian perkembangan hasilSemakinsulit

82.50%

Relatiftetap

17.50%

Semakinmudah0.00%

Page 21: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

tangkapan. Pertama responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil

tangkapan yang menjadi target penangkapan sebanyak 82,50%. Hasil ini menunjukkan

peningkatan dari penilaian pada tahun 2012 sebesar 71,43%.

Kedua responden yang menyatakan relatif tetap untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi

target penangkapan, sebanyak 17,50%. Hasil ini menunjukkan adanya penurunan dari penilaian

pada tahun 2012, sebesar 21,43%. Ketiga responden yang menyatakan semakin sulit untuk

mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan, sebanyak 00,00%. Artinya dalam

mencapai hasil tangkapan yang diharapkan, sesuai dengan target spesies, tidak semudah yang

didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh tahun lalu.

Jika pada hasil penilaian tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa ada indikasi gejala tekanan

terhadap sumber daya ikan di wilayah ini, maka pada hasil evaluasi ini (tahun 2014) dapat

diberikan gambaran bahwa upaya pencapaian target spesies yang menjadi tujuan penangkapan

terdapat kesulitan. Hal ini disebabkan karena dua faktor: (1) adanya dugaan semakin

berkurangnya ikan pada daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi target operasi

penangkapan; dan (2) semakin jauhnya daerah penangkapan ikan untuk menghasilkan target

spesies yang menjadi tujuan penangkapan. Kedua faktor ini jugalah yang diduga menjadi

indikator adanya tekanan terhadap target spesies yang menjadi tujuan tangkap.

Evaluasi terhadap range collaps sumber daya ikan juga dilakukan melalui penilaian indikator

aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hasil evaluasi ini juga

memberikan gambaran tentang adanya perubahan dibanding penilaian tahun 2012. Perubahan

pola pikir nelayan, diduga memberikan pengaruh terhadap penilaian dalam evaluasi ini.

Beberapa pendapat dari nelayan yang sebelumnya dinilai pada tahun 2012, memberikan

penilaian yang berbeda sehingga menunjukkan adanya pergeseran pemahaman secara makro

tentang adanya range collaps sumber daya ikan.

Evaluasi range collaps sumber daya ikan pada indikator

aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing

ground menghasilkan beberapa hasil penilaian sesuai degan

kategori yang telah ditentukan. Pertama daerah penangkapan

ikan sangat jauh dinyatakan oleh 37,50% responden. Hal ini

dibuktikan dengan adanya pergeseran daerah penangkapan

ikan yang harus dijangkau dari periode sebelum tahun 2012 ke

tahun 2013 dan 2014.

Sangatjauh

37.50%

Jauh57.50%

Tetap5.00%

Page 22: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Kedua sebanyak 57,50% responden menyatakan bahwa daerah penangkapan ikan sangat jauh.

Hal ini dibuktikan dengan jarak tempuh yang dapat dijangkau dalam waktu antara satu

setengah sampai dengan empat jam, sebagaimana dikemukakan dalam hasil pemetaan

partisipatif.

Pernyataan pertama dan kedua lebih banyak diekspresikan oleh nelayan yang menjalankan

usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap mini purse seine bagan, pancing tonda dan usaha

pancing ikan kerapu hidup. Ketiga jenis usaha perikanan ini merupakan kegiatan perikanan

tangkap yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap produksi perikanan di wilayah

Kabupaten Maluku Tenggara. Kontribusi yang tinggi ini memberikan konsekuensi adanya

peningkatan produksi dari waktu ke waktu, sehingga tekanan pada daerah-daerah

penangkapan ikan tertentu akan semakin meningkat, dan menyebabkan semakin bertambahnya

range collaps

Ketiga responden yang menyatakan daerah penangkapan ikan tetap atau tidak berubah

sebanyak 5,00%. Pernyataan ini umumnya diberikan oleh nelayan-nelayan yang menjalankan

usaha penangkapan ikan dengan bantuan alat tangkap jaring insang, pancing tegak dan pancing

ulur, dengan kondisi armada penangkapan ikan yang hanya menggunakan mesin ketinting,

bahkan menggunakan dayung.

Ketiga hasil penilaian perspektif terhadap range collaps di atas membutuhkan justifikasi yang

kuat, sehingga pendekatan pemetaan partisipatif menjadi dasar untuk memberikan gambaran

tentang kondisi yang dinyatakan dan dipersepsikan oleh nelayan di wilayah kajian ini.

Pemetaan partisipatif dilakukan untuk tiga kelompok usaha perikanan, masing-masing:

perikanan bagan, mini purse seine dan usaha pancing kerapu hidup (Gambar 17).

Pertama daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan pada periode sebelum tahun 2012

terkonsentrasi di kawasan perairan Timur Kei Kecil, khususnya di perairan Selat pada wilayah

petuanan desa Sathean sampai dengan Ibra dan perairan sekitarnya. Daerah penangkapan ikan

untuk perikanan bagan bergeser sesudah tahun 2012, dengan distribusinya yang bervariasi

mulai dari bagian Tengah perairan Selat Nerong, antara Kei Kecil dan Kei Besar, sampai dengan

perairan Barat Kecamatan Kei Besar dan Kei Besar Selatan. Di sisi lain, pada musim Timur,

teridentifikasi dua pemilik bagan menempatkan alat tangkap bagan pada perairan antara Pulau

Er dan Pulau Ngodan, di bagian Barat Laut Pulau Kei Kecil.

Page 23: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gam

bar1

7Pe

taPa

rtis

ipat

ifRa

nge

Colla

psSu

mbe

rDay

aIk

anKa

bupa

ten

Mal

uku

Teng

gara

,Tah

un20

14

Page 24: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil ini membuktikan bahwa range collaps pada perikanan bagan ditunjukkan dengan

pergeseran waktu pencapaian atau aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan antara satu

sampai dengan empat jam. Dalam konteks jarak secara fisik, range collaps yang digambarkan ini

mencapai jarak yang lebih jauh dengan kisaran pergeseran antara .... sampai dengan .... mil laut.

Kedua untuk perikanan mini purse seine daerah penangkapan ikan pada periode sebelum tahun

2012 tersebar di kawasan perairan Timur Pulau Dullah serta perairan Timur Kei Kecil dan Kei

Kecil Timur. Hasil evaluasi untuk periode sesudah tahun 2012 menunjukkan adanya pergeseran

daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan ini. Pergeseran daerah penangkapan ikan

cenderung mengelompok ke arah Selatan Selat Nerong, pada bagian Barat perairan Kecamatan

Kei Kecil Selatan Barat. Daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan mini purse seine tidak

terbatas pada perairan ini saja, namun meluas dan mengelompok pada perairan bagian Timur

Kecamatan Kei Besar Selatan.

Hasil pemetaan partisipatif memberikan gambaran range collaps untuk perikanan mini purse

seine bergeser cukup cepat. Dalam waktu dua sampai dengan tiga tahun, range collaps

mencapai jarak fisik antara .... sampai dengan .... mil laut Pergeseran range collaps ini

menyebabkan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan mencapai waktu tiga sampai dengan

lima jam.

Ketiga pergeseran daerah penangkapan ikan pada perikanan kerapu hidup juga menunjukkan

adanya pergeseran range collaps Kawasan Barat perairan pulau-pulau kecil, sebelum tahun

2012 merupakan daerah penangkapan ikan kerapu yang cukup potensial. Pada periode sebelum

tahun 2012, Daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat perairan pulau Er merupakan

lokasi paling Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan kerapu yang sering

dikunjungi. Daerah penangkapan ikan kerapu lainnya yang teridentifikasi dalam periode

penangkapan ikan sebelum tahun 2012, meliputi: daerah tubir dan terumbu karang di bagian

Barat Pulau Nai, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Tangwain dan Labulin, Pulau Warbal, Pulau Ur

dan Witir, Pulau Nuhuta dan Far, serta daerah tubir dan terumbu karang di perairan Barat Laut

dan Selatan Pulau Tanimbar Kei.

Dalam tahun 2012 sampai dengan 2014, daerah penangkapan ikan kerapu mulai bergeser ke

daerah tubir dan terumbu karang di perairan pulau-pulau kecil yang termasuk dalam wilayah

adinistrasi Kota Tual. Kawasan pulau-pulau kecil yang sering disebut sebagai kepulauan Tam

Tayando ini, sekarang menjadi lokasi alternatif penangkapan ikan kerapu hidup bagi

masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya nelayan di pesisir Barat pulau

Page 25: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Kei Kecil. Konsentrasi daerah penangkapan ikan tidak hanya terbatas pada satu sisi perairan

kepulauan Pulau Tam Tayando, namun menyebar pada seluruh bagian perairan, khususnya di

daerah tubir dan terumbu karang.

Pergeseran yang ditunjukkan pada hasil pemetaan tentang daerah penangkapan ikan kerapu

pada periode sebelum tahun 2012 dan setelahnya, memberikan justifikasi adanya perubahan

range collaps pada perikanan kerapu. Pergeseran ini ditunjukkan melalui perubahan akses

secara fisik oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecil antara .... sampai dengan .... mil laut Hal ini

memberikan konsekuensi terhadap adanya perubahan waktu tempuh dalam satu trip

penangkapan, yakni mencapai waktu satu setengah sampai dengan empat jam.

Hasil penilaian melalui perspektif nelayan dan hasil pemetaan partisipatif terhadap pergeseran

daerah penangkapan ikan dalam tiga tahun terakhir memberikan gambaran tentang range

collaps rata-rata untuk kegiatan penangkapan ikan di wilayah Maluku Tenggara. Sesuai dengan

hasil penilaian ini, kisaran pergeseran daerah penangkapan ikan termasuk dalam kategori

daerah penangkapan ikan jauh, tergantung pada spesies target

3.1.6 Spesies ETP

Penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada eksistensi spesies ETP yang tertangkap dalam

suatu kegiatan penangkapan ikan. Spesies ETP adalah kelompok-kelompok spesies ikan yang

termasuk dalam kategori Endangered, Threatened dan Protected Hal ini disesuaikan dengan

kriteria yang dibangun oleh CITES.

Pengembangan penilaian untuk indikator ini masih menggunakan pendekatan asumsi data poor

fisheries Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, maka penilaian dilakukan berdasarkan perspektif

nelayan terhadap eksistensi spesies ETP. Hal inilah yang menyebabkan proses penilaian harus

dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman dalam menjalankan usaha

mereka.

Hasil wawancara menunjukkan hanya dua kelompok sumber daya ikan yang meliputi empat

spesies merupakan spesies ETP. Dua kelompok sumber daya ikan yang dimaksudkan adalah:

ikan napoleon dan penyu. Jika pada kelompok ikan napoleon yang teridentifikasi hanya satu

jenis, maka pada kelompok penyu teridentifikasi tiga spesies ETP, masing-masing: penyu hijau

(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys

coriacea).

Page 26: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil identifikasi memberikan gambaran tentang adanya spesies ETP yang tertangkap melalui

kegiatan penangkapan ikan, namun frekuensi kehadirannya semakin kecil dibanding lima

sampai sepuluh tahun lalu. Pertama hasil tangkapan ikan, khususnya ikan napoleon sangat

sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar nelayan pada perikanan kerapu mulai

menerapkan proses rilis untuk hasil tangkapan napoleon. Proses ini mulai diterapkan oleh

nelayan di pesisir Barat Kei Kecil, dalam tiga tahun terakhir. Diduga, pemahaman nelayan

tentang status ikan napoleon sebagai ikan yang dilindungi menjadi pemicu dilakukanya proses

tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya pengembangan kawasan konservasi di bagian

Barat Kei Kecil, sehingga proses-proses sosialisasi tentang pentingnya konservasi kawasan

maupun konservasi sumber daya ikan.

Kedua sebagian besar upaya pelepasan penyu hijau dan sisik yang tertangkap telah dilakukan

oleh nelayan di pesisir Barat Pulau Kei Kecil. Hasil tangkapan untuk kedua jenis penyu dengan

menggunakan jaring insang dasar maupun pancing dasar atau pancing tegak. Pengetahuan

tentang perlindungan kedua spesies penyu ini, semakin meningkat di kalangan nelayan karena

adanya berbagai aktivitas yang memberikan penguatan terhadap konservasi jenis sumber daya

ikan tertentu. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud, antara lain: adanya pelatihan dan penguatan

kapasitas masyarakat yang dilakukan oleh WWF Indonesia selama empat tahun terakhir, serta

kegiatan atau aksi konservasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara

melalui perlindungan daerah-daerah peteluran penyu dan perlindungan terhadap tukik penyu.

Ketiga penyu belimbing masih digunakan untuk kebutuhan upacara adat, namun

pemanfaatannya sangat terbatas. Untuk kepentingan upacara adat, dibutuhkan satu ekor penyu

belimbing per tahun. Di sisi lain, penangkapan penyu belimbing tidak pernah lagi dilakukan oleh

masyarakat atau nelayan di Maluku Tenggara. Hal ini ini disebabkan semakin sulitnya

menemukan spesimen penyu belimbing karena kehadirannya semakin sedikit di perairan ini,

disamping semakin sedikitnya aktivitas penangkapan ikan pada kawasan-kawasan potensial

yang menjadi feeding ground dari penyu belimbing. Bulan Oktober merupakan waktu di mana

potensi hadirnya penyu belimbing di perairan Maluku Tenggara sebagai akibat tingginya

populasi atau blooming-nya ubur-ubur. Waktu-waktu ini telah dipahami sebagai waktu-waktu

dimana kegiatan penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut harus dikurangi.

Hasil penilaian melalui pendekatan perspektif masyarakat atau nelayan di wilayah Kabupaten

Maluku Tenggara memberikan justifikasi tentang status domain ini. Dengan perilaku yang

sering melepaskan spesies-spesies ETP tersebut di atas pada saat kegiatan penangkapan ikan,

dan meningkat pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap spesies-spesies ETP,

Page 27: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

maka dalam konteks penilaian pada indikator ini, kriteria yang terpenuhi adalah terdapat

individu ETP yang tertangkap tetapi dilepas

3.2 Domain Habitat Ekosistem

3.2.1 Kualitas Perairan

Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan melalui penilaian pada tiga parameter, masing-

masing: (1) eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3); (2) tingkat

kekeruhan dan padatan suspensi total; serta (3) eutrofikasi. Ketiga parameter yang dinilai ini

menjadi dasar dalam penentuan status domain kualitas perairan.

a. Limbah yang teridentifikasi

Komponen pertama dalam penilaian indikator ini adalah limbah yang teridentifikasi, baik

secara secara klinis, audio dan atau visual, contohnya limbah B3 (bahan berbahaya dan

beracun). Pendekatan untuk melakukan perbandingan kondisi perairan melalui kualitas

perairan ini, menggunakan parameter dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51 Tahun

2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran 3.

Dalam evaluasi ini, tidak dilakukan sampling terhadap tingkat ketercemaran lingkungan

perairan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sehingga tidak dilakukan pengukuran secara

klinis maupun audio. Untuk menjawab kebutuhan penilaian atau evaluasi pada komponen ini,

maka penilaian dilakukan dengan pendekatan visual.

Secara umum, seluruh perairan pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara tidak

menunjukkan adanya gejala tercemar ringan sampai dengan berat. Beberapa lokasi yang diduga

memiliki tingkat ketercemaran yang sangat rendah adalah pusat-pusat aktivitas perhubungan

laut. Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ini, lokasi-lokasi seperti pelabuhan laut

Ohoijang yang melayani bongkar muat dan distribusi orang antar pulau dikunjungi untuk

membuktikan tingkat ketercemaran secara visual. Hasil pemantauan lapangan menunjukkan

perairan sekitar pelabuhan ini tidak menunjukkan adanya indikasi tercemar minyak. Kondisi ini

sangat mungkin terjadi karena flushing di Selat Rosenberg cukup baik sehingga tidak terdapat

konsentrasi bahan cemar di kawasan ini. Hasil pantauan pada lokasi lain seperti pelabuhan laut

di desa Debut juga tidak memberikan gambaran ketercemaran perairan sekitarnya.

Hasil ini memberikan gambaran bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara secara umum

berada pada kondisi tidak tercemar Sedikitnya aktivitas industri di wilayah ini, tidak

memberikan kontribusi yang berarti terhadap ketercemaran perairan. Temuan pada kegiatan

Page 28: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

evaluasi tahun 2014 ini menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti jika dibandingkan

dengan hasil pada tahun 2012.

b. Tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total

Komponen penilaian kedua untuk kualitas perairan adalah tingkat kekeruhan dan padatan

tersuspensi total. Pengukuran dalam kegiatan evaluasi ini hanya dilakukan pada dua lokasi yang

diasumsikan mewakili dua Kecamatan, masing-masing: pada perairan Pulau Ngaf untuk

Kecamatan Kei Kecil dan perairan Dian Pulau untuk Kecamatan Kei Kecil Barat.

Hasil pengukuran tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total dalam kegiatan evaluasi ini

dibandingkan dengan baku mutu air laut yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dengan acuan penilaian sesuai

distribusi nilai Baku Mutu Air Laut pada Lampiran II untuk Wisata bahari dan pada Lampiran III

untuk Biota Laut (Tabel ..) Hasil pengukuran ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak

terlalu besar antara tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada kedua lokasi

pengamatan.

Tabel .. Distribusi tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada perairan Kei Kecil danKei Kecil Barat

Parameter Baku MutuAir Laut

Tahun 2014 KesesuaianKriteriaKei Kecil Kei Kecil Barat

Tingkat kekeruhan (ntu)

a. Wisata Bahari 50,8 1,02 Di Bawah

Baku Mutub. Biota Laut 5

Padatan Tersuspensi Total (mg/l)

a. Wisata Bahari 20

0,08 0,98 Di BawahBaku Mutu

b. Biota Laut di Terumbu Karang 20

c. Biota Laut di Mangrove 80

d. Biota Laut di Lamun 20

Hasil pengukuran pada tabel ini menunjukkan nilai kedua parameter di perairan Kei Kecil

masih di bawah perairan Kei Kecil Barat. Kondisi ini didukung dengan distribusi lokasi perairan

Dian Pulau pada Kecamatan Kei Kecil Barat sangat dipengaruhi perairan sekitar yang cukup

didominasi oleh ekosistem mangrove yang umumnya memiliki substrat dasar pasir berlumpur.

Walaupun lokasi ini masih agak jauh dari lokasi ekosistem mangrove, namun dinamika perairan

pantai yang cukup tinggi sangat mempengaruhi distribusi partikel tersuspensi. Di sisi lain,

lokasi perairan Pulau Ngaf termasuk perairan yang memiliki tingkat kekeruhan yang sangat

Page 29: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

rendah karena flushing di kawasan ini sangat cepat, sementara subtrat yang doniman di wilayah

ini adalah pasir dan patahan karang.

Distribusi nilai tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total seperti ini masih termasuk

dalam kisaran baku mutu air laut yang sesuai dengan kriteria baku mutu air laut untuk wisata

bahari maupun biota laut. Bahkan kisaran nilai ini jauh di bawah tetapan nilai maksimum yang

ada. Dengan demikian, untuk penilaiannya sesuai kriteria yang ditetapkan yakni Kurang dari

Baku Mutu Air Laut Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004

c. Eutrofikasi

Komponen penilaian lainnya yang terkait dengan indikator kualitas perairan adalah tingkat

eutrofikasi. Dalam penilaian ini, tingkat eutrofikasi dinilai dengan pendekatan distribusi

kandungan klorofil-a. Beberapa pendapat memberikan penjelasan bahwa tingginya distribusi

kandungan klorofil-a menunjukkan terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.

Dalam evaluasi ini, penilaian eutrofikasi dilakukan dengan pendekatan distribusi temporal dari

kandungan klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Distribusi temporal yang

dimaksudkan adalah distribusi klorofil-a secara musiman, dengan cuplikan data pada empat

bulan yang mewakili setiap musim.

Sesuai hasil ekstraksi dari Citra MODIS, ditemukan adanya variasi distribusi kandingan klorofil-

secara musiman (Gambar 5). Pertama untuk cuplikan bulan April 2014 yang mewakili musim

Peralihan Barat ke Timur, kisaran kandungan klorofil-a antara 0,05 g/l sampai dengan 2,34

g/l. Rata-rata kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,10 g/l, dengan standar deviasi

sebesar 0,06 (Tabel ..) Pada musim ini, konsentrasi kandungan klorofil-a tertinggi ditemukan

pada perairan pulau sepuluh di bagian Barat Kei Kecil. Distribusi nilai ini menunjukkan bahwa

pada musim Peralihan Barat ke Timur, perairan Maluku Tenggara memiliki kandungan klorofil-

yang cukup tinggi, dibandingkan musim-musim lainnya, kecuali pada Musim Timur yang

memiliki distribusi kandungan klorofil-a yang sangat tinggi. Kondisi demikian terjadi karena

masih ada pengaruh dinamika musim Barat yang terakumulasi pada bagian perairan yang agak

tertutup di kawasan ini. Di sisi lain, kandungan klorofil-a pada kawasan perairan ini juga berasal

dari kontribusi hutan mangrove yang terdistribusi di pesisir Barat Kei Kecil.

Kedua cuplikan bulan Agustus 2014 yang mewakili musim Timur menggambarkan distribusi

kandungan klorofil-a yang mencapai nilai maksimum dari seluruh musim. Nilai minimum

kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,26 g/l, sedangkan nilai maksimumnya sebesar

Page 30: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

4,00 g/l. Sesuai distribusi kandungan klorofil-a secara agregat yang dapat ditangkap melalui

cuplikan pada musim ini, nilai rata-rata kandungannya mencapai 0,80 g/l, dimana standar

deviasi untuk hasil cuplikan ini sebesar 0,41.

g/l)

Gambar 5. Distribusi kandungan klorofil-a di perairan Maluku Tenggara

Pemetaan hasil cuplikan kandungan

klorofil-a ini menunjukkan seluruh perairan

cenderung memiliki nilai yang tinggi.

Kisaran kandungan klorofil-a yang cukup

tinggi disebabkan adanya upwelling yang

selalu terjadi pada musim ini. Di samping

itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan

adanya sumbangan unsur hara terhadap peningkatan kandungan klorofil-a di perairan.

132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3

Bujur Timur

-6.1

-5.9

-5.7

-5.5

-5.3

Buju

r T

imur

April 2014

132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3

Bujur Timur

-6.1

-5.9

-5.7

-5.5

-5.3

Lint

ang

Sela

tan

Agustus 2014

132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3

Bujur Timur

-6.1

-5.9

-5.7

-5.5

-5.3

Lint

ang

Sela

tan

November 2014

132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3

Bujur Timur

-6.1

-5.9

-5.7

-5.5

-5.3

Lint

ang

Sela

tan

Pebruari 2015

Tabel .. Distribusi nilai klorofil- secara musiman diperairan Maluku Tenggara

IndikatorNilai

Distribusi nilai musiman g/l)Apr-14 Agust-14 Nop-14 Feb-15

Min 0,05 0,26 0,06 0,08Max 2,34 4,00 0,59 0,40Rerata 0,10 0,80 0,21 0,13Std 0,06 0,41 0,08 0,03

Page 31: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Ketiga distribusi kandungan klorofil-a pada musim Peralihan Timur ke Barat yang diwakili oleh

cuplikan data pada bulan Nopember 2014 memiliki variasi yang cukup kecil dibanding kedua

musim lainnya, Peralihan Barat ke Timur dan musim Timur. Nilai minimum kandungan

klorofil-a sebesar 0,06 g/l, sedangkan nilai maksimum sebesar 0,59 g/l dengan rata-rata

sebesar 0,21 g/l. Standar deviasi untuk seluruh hasil cuplikan pada musim sebesar 0,08.

Distribusi kandungan klorofil-a seperti ini tidak didukung dengan adanya peningkatan

kandungannya di perairan baik akibat upwelling maupun karena sumbangan hara yang tinggi ke

perairan.

Keempat pola yang mirip dengan musim Peralihan Timur ke Barat juga ditemukan pada musim

Barat yang diwakili oleh cuplikan data pada bulan Pebruari 2015. Walaupun terindikasi pola

distribusi yang mirip, namun musim ini menunjukkan distribusi kandungan klorofil-a dengan

variasi nilai yang sangat kecil. Hal ini terbukti dari kandungan klorofil-a minimum sebesar 0,08

g/l dan maksimum hanya sebesar 0,40 g/l. Sesuai dengan distribusi secara agregat, maka

nilai rata-rata kandungan klorofil-a pada musim ini hanya sebesar 0,13 g/l, dengan standar

deviasi 0,03. Pola distribusi dengan kandungan klorofil-a yang rendah tidak didukung dengan

proses upwelling maupun sumbangan unsur hara.

Hasil analisis distribusi kandungan klorofil-a untuk setiap musim secara agregat pada perairan

Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa tingkat eutrofikasi di wilayah ini termasuk

rendah Tingkat eutrofikasi dalam kategori sedang, berpeluang terjadi pada musim Peralihan

Barat ke Timur dan musim Timur.

3.2.2 Status Ekosistem Lamun

Status lamun juga menjadi salah satu indikator evaluasi EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara.

Evaluasi status lamun dilakukan melalui pendekatan dua parameter yaitu tingkat tutupan dan

keanekaragaman. Lokasi-lokasi awal yang menjadi titik penilaian EAFM Kabupaten Maluku

Tenggara pada tahun 2012, juga dijadikan sebagai lokasi sampel evaluasi status lamun di

kawasan ini. Hal ini dilakukan agar evaluasi yang dilakukan dapat menjawab kebutuhan

pengelolaan.

a. Tutupan

Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan adanya perbedaan tutupan lamun antar lokasi

pengamatan. Walaupun demikian, secara agregat distribusi lamun di Kabupaten Maluku

Tenggara menunjukkan pola tutupan yang hampir seragam, kecuali pada beberapa jenis

Page 32: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

tertentu. Distribusinya secara spasial pada keempat lokasi pengamatan dinyatakan dalam Tabel

9

Tabel 9. Jenis, kerapatan, frekuensi kehadiran dan persen tutupan lamun di Kecamatan Kei Kecil

No JenisJumlah Tegakan Kerapatan Frekuensi

Kehadiran Persen Tutupan

2012 2014 2012 2014 2012 2014 2012 2014

Lokasi 1: Desa Ohoililir1 Cymodocea rotundata 130 124 11,82 11,36 0,91 0,88 65 642 Thalassia hemprichii 113 115 10,27 10,45 0,91 0,93 65 653 Enhalus acoroides 72 69 6,55 6,54 0,91 0,91 75 754 Halodule pinifolia 43 41 3,91 3,63 0,09 0,06 55 545 Halophila ovalis 64 62 5,82 5,45 0,64 0,60 60 576 Halodule uninervis 107 105 9,72 9,54 0,64 0,60 65 657 Halophila minor 4 5 0,36 0,45 0,09 0,07 15 15

Rata-Rata 57,14 56,43Lokasi 2: Pulau Ngaf1. Cymodocea rotundata 468 462 18,72 18,4 0,88 0,80 65 632. Thalassia hemprichii 378 353 15,12 14 0,76 0,68 65 603. Halophila ovalis 83 81 3,32 3,2 0,28 0,28 60 584. Halodule uninervis 74 75 2,96 3 0,16 0,16 65 655. Thalassodendron ciliatum 297 281 11,88 11,2 0,4 0,37 70 66

Rata-Rata 65,00 62,4Lokasi 3: Tanjung Najun1 Halophila decipiens 43 41 4,3 4,1 0,2 0,2 45 442 Thalassia hemprichii 245 224 24,5 22,4 0,8 0,56 75 683 Enhalus acoroides 50 41 5,0 4,1 0,5 0,5 75 724 Halodule pinifolia 55 59 5,5 5,9 0,2 0,3 45 505 Halophila ovalis 77 81 7,7 8,1 0,3 0,3 55 556 Halodule uninervis 232 239 23,2 23,9 0,9 0,95 70 707 Syringodium isoetifolium 128 119 12,8 11,9 0,4 0,3 75 73

Rata-Rata 62,86 61,71Lokasi 4: Pulau Ohoiwa1. Cymodocea rotundata 344 340 20,24 34 0,88 0,86 75 742. Thalassia hemprichii 391 380 23,0 38 0,82 0,76 75 703. Enhalus acoroides 235 221 13,82 22,1 1 0,80 75 704. Halodule pinifolia 41 38 2,41 3,8 0,06 0,06 50 485. Halophila ovalis 103 101 6,06 10,1 0,47 0,47 65 656. Halodule uninervis 35 35 2,06 3,5 0,06 0,06 45 457. Syringodium isoetifolium 137 128 8,06 12,8 0,35 0,40 60 56

Rata-Rata 63,57 61,14Rata-Rata seluruh lokasi 62,14 60,42

Sumber: Laporan Penilaian EAFM 2012, Data Lapangan 2014, diolah

Pertama pengambilan sampel lamun tahun 2014 yang dilakukan pada perairan pantai Desa

Ohoililir masih menemukan sebanyak tujuh jenis lamun, meliputi E. acoroides, Halodule

uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, H. minor, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis-jenis yang hadir

dengan jumlah tegakan terbanyak (lebih dari 100 tegakan), masing-masing: C. rotundata

sebanyak 124 tegakan, T. hemprichii 115 tegakan dan H. uninervis 105 tegakan. Sesuai dengan

tingginya jumlah tegakan ketiga jenis itu, cukup berpengaruh terhadap tingginya tingkat

Page 33: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

kerapatan jenis, masing-masing: 11,36 tegakan/m2 untuk C. rotundata, 10,45 tegakan/m2 pada

T. hemprichii dan H. uninervis 9,54 tegakan/m2 Hasil ini juga menunjukkan bahwa H. minor

merupakan satu-satunya jenis yang tingkat kerapatan jenis yang terendah, yakni 0,45

tegakan/m2 Sesuai dengan hasil analisis itu, maka teridentifikasi juga frekuensi kehadiran jenis

lamun yang tertinggi pada jenis T. hemprichii sebesar 0,93, sedangkan frekuensi kehadiran

terendah pada jenis H. minor dengan nilai sebesar 0,07.

Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa

E. acoroides tetap memiliki nilai tutupan yang

sangat besar yakni 75 %, sedangkan tutupan

terendah pada jenis H. minor (15%). Keberadaan

jenis E. acoroides dengan persen tutupan tertinggi

disebabkan morfologinya yang memungkinkannya

untuk memiliki persen tutupan yang besar. Sementara jenis H. minor memiliki persen tutupan

terendah karena sifat penyebarannya yang biasanya bersifat individual atau tidak

mengelompok dan distribusinya tidak merata. Secara agregat, rata-rata nilai persen tutupan

lamun di perairan ini sebesar 56,43%, yang berarti bahwa nilai persen tutupan lamun pada

tahun 2014 telah menurun hampir 1% dibandingkan tahun 2012.

Kedua pengambilan data lamun pada perairan pulau Ngaf dalam tahun 2014 ini, juga

menemukan sebanyak lima jenis lamun pada habitat yaitu jenis H. uninervis, H. ovalis, T.

ciliatum, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata masih merupakan jenis dengan

jumlah tegakan paling tinggi yaitu 462 tegakan, sedangkan H. uninervis merupakan jenis lamun

dengan jumlah tegakan terendah (75 tegakan). Sebagaimana dikemukakan pada lokasi pertama,

distribusi jumlah tegakan diikuti oleh tingkat kerapatan lamun, dimana kerapatan tertinggi

pada jenis C. rotundata sebanyak 18,4 tegakan/m2

sedangkan H. uninervis dengan tingkat kerapatan

terendah, sebanyak tegakan/m2 Jenis C.

rotundata memiliki frekuensi kehadiran tertinggi

sebesar 0,80, diikuti jenis T. hemprichii sebesar

0,68, sedangkan frekuensi kehadiran terendah

pada jenis H. uninervis sebesar 0,16.

Persen tutupan lamun tertinggi pada lokasi pengamatan ini pada jenis T. ciliatum sebesar 66%.

Tipe substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang merupakan tipe substrat yang

disenangi oleh jenis lamun ini untuk tumbuh dan berkembang. Penyebarannya yang

Page 34: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

berkelompok dan ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lamun jenis ini

memiliki persen tutupan yang tinggi. Secara umum, nilai rata-rata persen tutupan lamun pada

lokasi pengamatan ini sebesar 62,4% yang berarti berkurang sekitar 2,6% dari tahun 2012.

Menurunnya tutupan lamun dalam kurun waktu evaluasi dua tahun ini belum dapat

dikemukakan sebagai adanya tekanan yang terjadi pada ekosistem ini karena hal ini bisa saja

terjadi akibat proses pengamatan lapangan pada titik yang sedikit berbeda.

Ketiga pengamatan potensi lamun di perairan pantai Tanjung Najun menunjukkan

distribusinya diwakili oleh tujuh jenis. Kondisi perairan yang agak terlindung menjadi penyebab

jenis lamun di lokasi ini lebih banyak daripada yang ditemukan di lokasi sebelumnya (Pulau

Ngaf). Padahal secara geografis, letak kedua lokasi ini cukup berdekatan. Ketujuh jenis lamun

tersebut yaitu E. acoroides, H. decipiens, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium dan T.

hemprichii Jumlah tegakan terbanyak ditemukan pada jenis H. uninervis yaitu sebanyak 239

tegakan, sedangkan jumlah tegakan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides yaitu

sebanyak 41 tegakan. Distribusi jumlah tegakan seperti ini turut memberikan pengaruh

terhadap tingkat kerapatan lamun dimana H. uninervis memiliki kerapatan tertinggi yaitu 23,9

tegakan/m2 sedangkan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides dengan kerapatan

jenis masing-masing 4,1 tegakan/m2

Frekuensi kehadiran tertinggi ternyata ditemukan

pada jenis H. uninervis dengan nilai 0,95. Hal ini

diduga masih dipengaruhi oleh kondisi substrat

perairan ini yang terdiri dari pasir dan patahan

karang yang memang merupakan preferensi dari

jenis lamun ini untuk hidup, berkembang dan

membentuk koloni tunggal. Di sisi lain, frekuensi

kehadiran lamun terendah ditemukan pada jenis H. decipiens Persen tutupan tertinggi pada

jenis S. isoetifolium sebanyak 73%, sedangkan dua jenis lainnya H. decipiens dan H. pinifolia

memiliki persen tutupan terendah. Hasil perhitungan nilai persen tutupan lamun rata-rata pada

perairan ini sebesar 61,71%.

Keempat Pulau Ohoiwa merupakan salah satu pulau yang agak unik dibandingkan lokasi-lokasi

lain yang dijadikan titik pengambilan sampel lamun. Hal ini dikarenakan pada pulau ini terjadi

tekanan antropogenik manusia cukup tinggi dan juga karena perairannya dimanfaatkan sebagai

lokasi budidaya mutiara. Sesuai hasil survey, ditemukan sebanyak tujuh jenis lamun pada lokasi

ini, masing-masing: E. acoroides, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata

Page 35: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

dan T. hemprichii Dua jenis lamun yang disebutkan terakhir merupakan jenis lamun dengan

jumlah tegakan tertinggi yaitu masing-masing 340 dan 380 tegakan. Sementara jenis H.

uninervis memiliki jumlah tegakan terendah yaitu 35 tegakan. Sesuai dengan distribusi jumlah

tegakan, nilai kerapatan lamun pada lokasi ini didominasi oleh jenis T. hemprichii dengan nilai

kerapatan 38 tegakan/m2 sementara yang terendah oleh jenis H. uninervis yaitu sebanyak 3,5

tegakan/m2

Jenis E. acoroides merupakan jenis lamun dengan

frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada

walaupun dilihat dari jumlah tegakan, jenis ini

bukan merupakan jenis dengan jumlah tegakan

yang dominan. Hal ini dikarenakan jenis ini hampir

selalu ditemukan pada setiap kotak pengamatan.

Jenis substrat yang agak berlumpur, memang

menjadi lokasi yang ideal bagi lamun jenis ini. Sementara jenis H. pinifolia sekalipun merupakan

jenis lamun pioner, merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran paling rendah.

Sementara untuk persen tutupan, yang paling tinggi tetap didominasi oleh E. acoroides

sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. uninervis

Hasil penilaian secara agregat pada tahun 2014 memberikan gambaran variasi yang rata-rata

persen penutupan lamun yang tidak terlalu berbeda jauh dari hasil penilaian pada tahun 2012.

Variasi secara spasial juga tidak memberikan perbedaan yang berarti antar lokasi pengamatan,

kecuali pada pesisir desa Ohoililir yang lebih rendah dibanding ketiga lokasi pengamatan

lainnya. Agregasi untuk seluruh persen penutupan menunjukkan bahwa perairan Kabupaten

Maluku Tenggara memiliki nilai tutupan lamun rata-rata sebesar 60,42%. Hasil penilaian ini

menunjukkan status lamun sesuai parameter tutupan lamun kriteria persen tutupan tinggi

karena atau 60%

b. Keanekaragaman

Penilaian keanekaragaman sebagai salah satu parameter status lamun yang dimaksudkan

adalah keanekaragaman spesies lamun yang didasarkan pada hasil perhitungan yang

menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Hasil perhitungan menunjukkan

distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun di perairan ini memiliki variasi yang tidak

terlalu besar. Distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun yang didapat dalam survey tahun

2014 ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan hasil survey tahun 2012.

Page 36: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil tersebut terbukti dari distribusi nilai keanekeragaman spesies lamun secara spasial untuk

keempat lokasi survey, masing-masing: Ohoilir sebesar 1,764, Pulau Ngaf 1,406, Tanjung Najun

1,726, dan Pulau Ohoiwa 1,669. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai keanekeragaman spesies

lamun antara 1,406 sampai dengan 1,764 (Tabel 10). Kisaran nilai ini termasuk dalam kategori

sedang karena nilai H’ berada di antara satu dan tiga

Tabel 10. Distribusi nilai keanekagaraman lamun pada empat lokasi di Kecamatan Kei Kecil

No. Jenis Jumlah Tegakan Pi ln pi pi ln pi

Lokasi 1: Desa OhoililirCymodocea rotundata 124 0,238 -1,435 0,342Thalassia hemprichii 115 0,221 -1,511 0,333Enhalus acoroides 69 0,132 -2,022 0,268Halodule pinifolia 41 0,079 -2,542 0,200Halophila ovalis 62 0,119 -2,129 0,253Halodule uninervis 105 0,202 -1,602 0,323Halophila minor 0,010 -4,646 0,045

521 H’ 1,764Lokasi 2: Pulau Ngaf

Cymodocea rotundata 462 0,369 -0,997 0,368Thalassia hemprichii 353 0,282 -1,266 0,357Halophila ovalis 81 0,065 -2,738 0,177Halodule uninervis 75 0,060 -2,815 0,169Thalassodendron ciliatum 281 0,224 -1,494 0,335

1252 H’ 1,406Lokasi 3: Tanjung Najun

Halophila decipiens 41 0,051 -2,976 0,152Thalassia hemprichii 224 0,279 -1,278 0,356Enhalus acoroides 41 0,051 -2,976 0,152Halodule pinifolia 59 0,073 -2,612 0,192Halophila ovalis 81 0,101 -2,295 0,231Halodule uninervis 239 0,297 -1,213 0,361Syringodium isoetifolium 119 0,148 -1,910 0,283

804 H’ 1,726Lokasi 4: Pulau Ohoiwa

Cymodocea rotundata 340 0,274 -1,296 0,355Thalassia hemprichii 380 0,306 -1,185 0,362Enhalus acoroides 221 0,178 -1,727 0,307Halodule pinifolia 38 0,031 -3,488 0,107Halophila ovalis 101 0,081 -2,510 0,204Halodule uninervis 35 0,028 -3,570 0,101Syringodium isoetifolium 128 0,103 -2,273 0,234

1243 H’ 1,669Sumber: Data lapangan (2014), diolah

Page 37: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Di sisi lain, hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan perpesktif lain dari masyarakat

yang biasanya memiliki akses ke kawasan ini. Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa

keberadaan ekosistem lamun di kawasan ini berada dalam kondisi yang baik dan relatif terjaga

atau terhindar dari berbagai aktivitas destruktif. Hal ini terbukti dari pernyataan 100%

responden yang diwawancarai dan berkeyakinan bahwa kondisi ekosistem lamun sangat baik.

3.2.3 Status Ekosistem Mangrove

Sesuai dengan perubahan pada manual EAFM, telah terjadi pengurangan jumlah parameter

yang diukur terkait dengan penilaian status ekosistem mangrove. Jika pada tahun 2012

penilaian status ekosistem mangrove dilakukan melalui pengukuran pada empat parameter

(tingkat kerapatan, keanekaragaman, perkembangan luasan mangrove dan distribusi Indeks

Nilai Penting), maka dalam evaluasi di tahun 2014 ini hanya digunakan dua parameter,

persentase tutupan dan kerapatan.

a. Persentase Tutupan

Pendekatan analisis dengan sistem informasi geografis menunjukkan kawasan hutan mangrove

yang dicuplik dalam kajian ini, di Kecamatan Kei Kecil Barat, memiliki total luasan 1.576,58 ha.

Hasil analisis menunjukkan luas tutupan mangrove mencapai 935,35 ha, sehingga tingkat

tutupan mangrove hanya mencapai 59,33% (Gambar 17). Hasil pada Gambar 17 menunjukkan

bahwa kawasan mangrove yang dekat dengan pemukiman cenderung mendapat tekanan

pemanfaatan yang sangat kuat. Sebaliknya pada kawasan yang agak jauh dari pemukiman

kurang mendapat tekanan akibat pemanfaatan.

Hasil analisis menunjukkan adanya tujuh kelas

kepadatan mangrove yang terdistribusi di Kecamatan

Kei Kecil Barat (Tabel ..) Kelas tutupan yang paling

luas adalah Kelas Tutupan 7, yang menunjukkan

tingkatan tutupan paling rendah cukup mendominasi

distribusi tingkat tutupan mangrove di wilayah ini.

Sesuai dengan hasil analisis tersebut, maka tingkat

tutupan mangrove pada lokasi kajian yang dipilih ini

berada pada kisaran 50 75% Dengan demikian,

tingkatan tutupan mangrove pada Kecamatan Kei Kecil Barat termasuk dalam kategori

Tutupan Sedang Kondisi ini terjadi karena adanya tekanan akibat pemanfaatan kayu untuk

kepentingan bahan bangunan dan kayu bakar.

Tabel .. Distribusi kelas tutupanmengrove di Kecamatan KeiKecil Barat

Kelas tutupan Deskripsi HaKelas Tinggi 137,18Kelas 94,07Kelas 92,70Kelas 131,31Kelas 156,38Kelas 31,20Kelas Rendah 192,51

Luas Total 935,35

Page 38: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gam

bar1

7Pe

taDi

stri

busi

Tutu

pan

Man

grov

edi

Keca

mat

anKe

iKec

ilBa

rat,

Cupl

ikan

Citr

aLa

nsat

8,ta

ngga

l8Ok

tobe

r201

4

Page 39: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

b. Kerapatan

Pilihan lokasi survey untuk tingkat kerapatan

mangrove di wilayah kajian adalah pada

Kecamatan Kei Kecil Barat, yakni pada kawasan

hutan mangrove di Teluk Hoat-Sorbay dengan

contoh pengamatan difokuskan pada lokasi

sekitar desa Warwut. Hasil invetarisasi bebas

menemukan sebanyak tujuh jenis, masing-

masing: Sonneratia alba Rhizopora apiculata

Bruguiera gymnorrizha Rhizophora stylosa

Avicenia officinalis Exocaria agaloca dan

Aegiceras corniculatum (Tabel 12).

Hasil perhitungan terhadap tingkat kerapatan mangrove di lokasi ini menunjukkan adanya

perbedaan tingkat kerapatan antar jenis. Hasil ini memberikan gambaran jenis-jenis utama

dengan tingkat kerapatan yang tinggi adalah Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata

sedangkan jenis-jenis dengan tingkat kerapatan paling rendah antara lain: Bruguiera

gymnorrizha Rhizophora stylosa Avicennia officinalis dan Exocaria agaloca

Sesuai dengan distribusi tingkat kerapatan seluruh jenis yang teridentifikasi, kelompok

mangrove untuk kategori pohon memiliki tingkat kerapatan sebanyak 495 pohon/ha,

sedangkan kelompok mangrove untuk kategori sapihan sebanyak 282 pohon/ha. Perbandingan

kedua kelompok mangrove ini memberikan gambaran bahwa walaupun kelompok dengan

kategori sapihan memiliki tingkat kerapatan rata-rata per jenis mencapai 94 pohon/ha, lebih

banyak dibandingkan dengan kelompok dengan kategori pohon dengan rata-rata 83 pohon/ha.

Kondisi ini sesuai dengan distribusi jumlah individu kelompok sapihan lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok pohon.

Secara agregat, tingkat kerapatan pada lokasi contoh menunjukkan tingkat kerapatan yang

tidak terlalu tinggi. Hal ini terbukti dari tingkat kerapatan yang hanya mencapai 777

tegakan/ha. Jika hasil analisis tingkat kerapatan ini dibandingkan dengan kriteria penilaian

dalam keriteria EAFM, maka distribusi nilainya termasuk dalam kriteria tingkat Kerapatan

Rendah karena berada dalam kisaran <1000 pohon/ha

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tingkat kerapatan rendah pada lokasi contoh ini

sangat dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat di sekitar lokasi

Tabel 12 Tingkat Kerapatan Mangrove diKecamatan Kei Kecil Barat

No Jenis Mangrove Kerapatan(pohon/ha)

Kategori pohon:Sonneratia alba 235Rhizophora apiculata 161Bruguiera gymnorrizha 30Rhizophora stylosa 19Avicennia officinalis 21Exocaria agaloca 29

Kategori sapihan:Sonneratia alba 93Rhizophora apiculata 81Aegiceras corniculatum 108

Total 777

Page 40: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

ini. Rata-rata pemanfaatan kayu mangrove dilakukan

dengan tujuan untuk mengakomodasi kebutuhan bahan

bangunan dan memenuhi kebutuhan kayu bakar. Kondisi

demikian menunjukkan adanya kebutuhan untuk

pengendalian melalui pengembangan pola-pola

pengelolaan yang berkelanjutan, dan mengakomodasi

kepentingan ekonomi masyarakatnya.

Untuk mendukung peningkatan luasan dan tingkat

kerapatan mangrove sebagai langkah strategis penerapan

pengelolaan berkelanjutan di wilayah ini, telah dilakukan

upaya penanaman mangrove melalui pengembangan

Rehabilitasi Hutan Mangrove pada lokasi Ohoi Dian Darat,

Kecamatan Kei Kecil. Program ini dikembangkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan

Kabupaten Maluku Tenggara pada Tahun 2013.

Dalam program ini, dilakukan penanaman mangrove dari kelompok genus Rhizopora dengan

jarak tanam 1m 3m. Program ini dibiayai dengan anggaran Balai Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Batu Merah Tahun 2013.

Page 41: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.2.4 Status Terumbu Karang

Dalam penilaian status terumbu karang ditetapkan dua indikator, meliputi: persentase tutupan

karang keras hidup (live hard coral cover dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan

atas live form Penilaian ini dilakukan berdasarkan hasil survey kesehatan terumbu karang di

perairan Kei Kecil bagian Barat oleh WWF Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Syukur dkk

(2014).

a. Persentase Tutupan

Syukur dkk (2014) melaporkan kondisi

kesehatan terumbu karang di perairan Kei

Kecil bagian Barat relatif beragam antar

lokasi pengamatan. Sesuai hasil pengamatan

pada 15 lokasi, distribusi tutupan karang

keras terendah di perairan sekitar Madwear

dan Pulau Witir, dengan tingkat tutupan

0,67%. Lain halnya dengan lokasi perairan

sekitar Pulau Liek dengan tutupan tertinggi

74,00% (Tabel 13).

Jika dilakukan pengelompokkan secara

spasial, maka lokasi-lokasi dengan perairan

yang memiliki tingkat tutupan karang keras

terendah (<25%), meliputi: Madwear, Pulau

Warbal, Pulau Witir, dan Somlain. Kondisi

yang menyebabkan pola tutupan karang seperti ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hal.

Lokasi-lokasi dimana perairannya memiliki tingkat tutupan karang sedang 25 50%),

masing-masing: Ohoi Ngilngof, Pulau Ohoieu, dan Ur Pulau. Di sisi lain, lokasi-lokasi dengan

perairannya yang memiliki tingkat tutupan karang keras tinggi 50%), meliputi: Ohoi

Lairngangas, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Liek, Pulau Ngaf, Pulau Ohoitir, dan Pulau Ohoiwa.

Sesuai laporan Syukur dkk. (2014), persentase karang keras lebih tinggi dibandingkan dengan

kategori yang lainnya dan termasuk dalam kondisi sedang. Tingginya persentase karang keras

juga diimbangi dengan adanya karang mati sebesar 21,38%. Selain banyak ditemukan karang

keras dan karang mati, di beberapa stasiun juga ditemukan karang lunak yang cukup tinggi

bahkan hampir tidak ditemukan karang keras. Tingginya tutupan karang lunak pada beberapa

stasiun juga didukung dengan substrat dasar yang berupa batuan datar atau biasa masyarakat

Tabel 13 Distribusi tutupan karang keras pada15 stasiun pengamatan di perairanKei Kecil bagian Barat

StasiunPengamatan

Tutupan KarangKeras (%) Status

Madwear 0,67 rendahOhoi Lairngangas 55,33 tinggiOhoi Ngilngof 43,33 sedangPulau Hoat 56,00 tinggiPulau Lea 61,00 tinggiPulau Liek 74,00 tinggiPulau Manir 2,00 rendahPulau Ngaf 56,00 tinggiPulau Ohoieu 49,67 sedangPulau Ohoitir 64,67 tinggiPulau Ohoiwa 69,33 tinggiPulau Warbal 1,00 rendahPulau Witir 0,67 rendahSomlain 24,00 rendahUr Pulau 29,33 sedangMin 0,67 rendahMax 74,00 tinggiRata-Rata 39,13 SEDANG

Sumber Syukur dkk (2014), diolah

Page 42: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Kepulauan Kei menyebutnya sebagai batu papan, hal itu yang menyebabkan persentase abiotik

tidak berbeda jauh dari karang lunak. Hanya satu stasiun saja yang memiliki komposisi yang

lengkap dari kedelapan kategori tersebut yaitu di Pulau Manir. Kategori yang muncul di semua

stasiun hanya pada kategori karang keras dan spons, itu menandakan bahwa di semua stasiun

pengamatan masih dapat ditemukannya karang keras dan spons walaupun jumlahnya sedikit.

Bentuk pertumbuhan karang keras yang ditemukan saat pengambilan data cukup beragam

dengan jumlah bentuk pertumbuhan 10 jenis. Berdasarkan hasil rata-rata bentuk pertumbuhan

di Perairan Kei Kecil Bagian Barat yang paling dominan adalah pertumbuhan Acropora

branching atau Acropora bercabang dengan jumlah 28,95%. Pertumbuhan lainnya yang ditemui

yaitu Coral Encrusting (mengerak) Coral Branching (bercabang) Coral Massive (padat) Coral

Foliose (lembaran) Acropora Encrusting (Acropora merayap) Coral Mushroom (jamur)

Acropora Tabulate (Acropora meja) Coral Submassive (submasif) dan Coral Millepora (karang

api), dan kelompok yang paling sedikit ditemui adalah karang api yang hanya mencapai 0,27%.

Genera yang ditemui pada daerah ini sedikitnya mencapai 55 genera karang keras. Sembilan

genera tertinggi dapat dilihat pada gambar diagram batang di atas. Genus Acropora adalah

genus yang sangat mendominasi diantara genus yang lain, sebesar 36%. Kedua yaitu genus

Porites memiliki persentase sebesar 19,93%, sedangkan genera yang lainnya tersebar cukup

merata. Stasiun Ohoi Lairngangas merupakan stasiun dimana ditemukannya genus karang

terbanyak, yakni sebanyak 32 genera. Jumlah genera pada perairan Ohoi Ngilngof tidak beda

jauh, sebanyak 31 genera. Jumlah genera paling sedikit ditemukan pada stasiun Pulau Witir

yakni sebanyak dua genera karang keras.

Sesuai hasil survey itu, maka rata-rata tutupan karang keras hidup pada perairan Maluku

Tenggara yang diwakili oleh wilayah contoh yang disurvey, perairan Kei Kecil Bagian Barat,

hanya mencapai 39,13% Hasil ini menunjukkan distribusi tutupan terumbu karang yang

ditunjukkan dengan tutupan karang keras hidup termasuk dalam kriteria sedang

Hasil survey yang dilaporkan Syukur dkk (2014) juga memberikan gambaran tentang adanya

pembentukan variasi kondisi tutupan karang keras antar lokasi, antara lain: (1) dominannya

karang keras pada beberapa lokasi didukung oleh pola tumbuh Acropora bercabang dan

lembaran dengan tingkat tutupan yang cukup tinggi; (2) morfologi dasar yang turut

berkontribusi terhadap pola sebaran, dimana pada lokasi yang landai dengan tingkat tekanan

yang rendah memberikan kesempatan yang baik bagi pertumbuhan karang keras, demikian

juga lokasi-lokasi dengan kecenderungan distribusi tutupan karang keras yang tinggi di daerah

Page 43: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

tubir (slope yang kurang mendapat tekanan pemanfaatan yang merusak; (3) lokasi-lokasi yang

mendapat tekanan yang tinggi akibat pemanfaatan bahan peledak untuk pemanfaatan ikan

karang; serta (4) lokasi-lokasi yang menunjukkan adanya pemutihan karang walaupun

persentasenya kecil, namun ditemukan pada 10 lokasi survey.

b. Keanekaragaman

Penilaian status ekosistem terumbu karang dengan pendekatan keanekaragaman tidak dapat

dilakukan dalam evaluasi ini. Penelusuran data sekunder tentang nilai keanekaragaman

terumbu karang di wilayah ini, dalam periode tahun 2012 sampai dengan 2014 tidak ditemukan

untuk mendukung penilaian ini.

3.2.5 Habitat Unik/Khusus

Hal-hal yang terkait dengan habitat unik/khusus meliputi: luasan, waktu, siklus, distribusi, dan

kesuburan perairan, spawning ground nursery ground feeding ground upwelling dan nesting

beach Dua indikator yang dinilai dalam evaluasi ini meliputi spawning ground dan upwelling

Pertama penilaian terhadap habitat unit/khusus untuk indikator daerah pemijahan ikan

didasarkan pada hasil identifikasi terhadap spawning ground yang dilakukan melalui survey

SPAGs (Spawning Aggregations yang dilakukan WWF Indonesia di perairan Kei Kecil bagian

Barat. Hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak lima titik yang teridentifikasi sebagai lokasi

SPAGs, dan seluruhnya terkonsentrasi pada kawasan terumbu karang daerah tubir di bagian

Barat Pulau Lea dan Hoat (Gambar 18). Sesuai dengan hasil ini, diduga daerah tubir pada bagian

terluar terumbu karang di perairan Kei Kecil bagian Barat merupakan lokasi-lokasi potensial

SPAGs, namun demikian hal ini masih harus dibuktikan melalui survey secara reguler.

Kedua penilaian indikator upwelling yang dilakukan melalui kajian terhadap pola distribusi

suhu, memberikan gambaran tentang adanya lokasi-lokasi potensial upwelling yang umumnya

terkonsentrasi pada busur dalam Laut Banda, mulai dari perairan Selatan Sersam Timur sampai

dengan perairan Barat Kei Kecil. Bagian Timur Laut Banda yang terletak pada busur dalam

Banda seperti perairan Barat Kei Kecil merupakan lokasi efektif dimana terjadi upwelling

Kondisi topografi perairan yang relatif dangkal dengan pulau-pulau kecil yang berada pada

kawasan ini, saat bertiup angin Muson Tenggara, arus permukaan bergerak ke arah Barat dan

menyebabkan massa air permukaan berkurang. Kurangnya massa air permukaan menyebabkan

massa air laut dalam terangkat ke permukaan. Sebaran rerata mingguan suhu permukaan di

perairan sekitar busur Banda menunjukkan bahwa upwelling lebih intensif terjadi pada Minggu

III dan IV (Gambar 19).

Page 44: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gam

bar1

8Pe

taDi

stri

busi

Loka

siSP

AGsd

iPer

aira

nBa

ratK

eciK

ecil

(Sum

ber:

WW

F-ID

,Tah

un20

14)

Page 45: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gambar 19 Lokasi-lokasi upwelling (indikasi sebaran rerata suhu permukaan

laut mingguan periode 28 Juli September 2014

Penilaian terhadap kedua indikator habitat unit ini memberikan gambaran tentang posisi

strategis perairan Kabupaten Maluku Tenggara dalam mendukung kekayaan perairan, demikian

juga dapat berimplikasi pada upaya-upaya pengembangan kawasan konservasi. Informasi dan

pengetahuan tentang kedua habitat unik/khusus ini masih belum mendapat perhatian secara

khusus terkait pengelolaannya, walaupun sebenarnya telah dilakukan penetapan zona sesuai

sistem zonasi dalam dokumen Rencana Zonasi Kawasan Konservasi, terutama untuk lokasi-

22.18

24.18

26.18

28.18

30.18

32.18

130.5 131.0 131.5 132.0 132.5 133.0

Bujur Timur

-7.0

-6.5

-6.0

-5.5

-5.0

-4.5

-4.0

-3.5

13-20 Agustus 2014

Lint

ang

Sela

tan

Lint

ang

Sela

tan

Page 46: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

lokasi SPAGs. Demikian halnya dengan kawasan-kawasan yang berpotensi terjadi upwelling di

perairan ini juga belum terakomodasi dalam suatu sistem pengelolaan yang akomodatif.

Hasil penilaian untuk indikator ini secara menyeluruh menunjukkan beberapa habitat unik/

khusus telah diketahui dengan baik, namun belum mendapat perhatian melalui suatu sistem

pengelolaan yang komprehensif. Dengan demikian, hasil penilaiannya masih berada pada

kriteria diketahui adanya Habitat Unik/Khusus tapi tidak dikelola dengan baik

3.2.6 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Perairan dan Habitat

Kajian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap

kondisi perairan dan habitat. Dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian indikator ini

meliputi: (1) state of knowledge level yang menunjukkan kajian tentang dampak perubahan

iklim; dan (2) state of impact dengan key indicator menggunakan terumbu karang.

a. State of Knowledge Level

Penelusuran terhadap berbagai kajian terkait dengan kondisi perairan dan habitat sebagai

dampak dari perubahan iklim, khususnya dampak terhadap terumbu karang, menemukan

adanya satu kajian yang menjelaskan hal-hal terkait. Satu-satunya kajian yang didapat dalam

penelusuran itu adalah kajian yang dihasilkan melalui Survei Kesehatan Terumbu Karang di

Kawasan Konservasi Perairan Kei Kecil Barat oleh WWF Indonesia Tahun 2014 sebagaimana

dilaporkan oleh Syukur dkk (2014).

Sesuai hasil survei itu, telah diketahui adanya dampak perubahan iklim yang dinyatakan melalui

adanya suatu gejala coral bleaching Secara visual juga telah tergambar adanya gejala dampak

perubahan iklim terhadap naiknya muka air laut dan diduga berdampak pada semakin

sempitnya luasan pantai pada beberapa pulau kecil di kawasan Barat Kei Kecil. Walaupun

demikian, upaya-upaya dalam rangka menerapkan strategi adaptasi dan mitigasi secara

komprehensif belum dilakukan dengan baik.

Hasil inilah yang memberikan gambaran bahwa sudah ada kajian tahun 2014, namun belum ada

penerapan strategi adaptasi dan mitigasi secara komprehensif. Dengan demikian, hasil

penilaian ini memberikan gambaran bahwa dalam konteks state of knowledge level diketahui

adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

Page 47: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

b. State of Impact

State of impact yang dimaksudkan adalah status dampak perubahan iklim yang didasarkan pada

hasil penilaian dampak dengan indikator kunci terumbu karang. Dampak perubahan iklim

terhadap kondisi perairan dan habitat yang dinilai dengan indikator kunci terumbu karang

menggunakan kriteria tingkatan tutupan karang yang memutih atau coral bleaching

Hasil survey kesehatan terumbu karang yang

dilaporkan Syukur, dkk., (2014) menunjukkan

rata-rata coral bleaching untuk seluruh lokasi

pengamatan mencapai 0,91%. Distribusi nilai

rata-rata ini terbentuk karena distribusi coral

bleaching antara 0,00 4,33% (Tabel 14).

Lokasi-lokasi dengan tingkat coral bleaching

0,00% meliputi Madwear, Pulau Liek, Warbal,

Witir, dan Somlain. Hasil ini menggambarkan

habitat terumbu karang pada kelima lokasi

sama sekali belum mengalami dampak

perubahan iklim.

Habitat terumbu karang pada lokasi-lokasi

lainnya telah mengalami dampak perubahan

iklim, dengan tingkatan dampak yang masih

rendah. Walaupun demikian, lokasi habitat terumbu karang yang harus mendapat perhatian

yang serius berada perairan sekitar Pulau Hoat. Tingkatan coral belaching sebesar 4,33%

merupakan kondisi serius dimana pengelolaan terumbu karang di wilayah ini penting

dilakukan. Strategi adaptasi dan mitigasi menjadi perhatian semua pihak terkait pengelolaan

ekosistem terumbu karang khusus maupun pengelolaan kawasan konservasi secara umum.

Secara agregat, hasil survey itu menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi memang ditemukan

coral bleaching namun masih terjadi secara patchy dan masih sangat sedikit dengan kisaran

tingkatan coral bleaching 5% Hasil ini membuktikan bahwa habitat terumbu karang yang

terkena dampak perubahan iklim dengan indikator penilaian coral bleaching, masih termasuk

dalam kategori rendah

Tabel 14 Distribusi lokasi coral bleaching pada15 stasiun pengamatan di perairanKei Kecil bagian Barat

StasiunPengamatan

Coral Bleaching(%) Status

Madwear 0,00 rendahOhoi Lairngangas 0,67 rendah Ohoi Ngilngof 2,00 rendah Pulau Hoat 4,33 rendah Pulau Lea 0,33 rendah Pulau Liek 0,00 rendah Pulau Manir 0,67 rendah Pulau Ngaf 2,33 rendah Pulau Ohoieu 1,33 rendah Pulau Ohoitir 0,67 rendah Pulau Ohoiwa 0,67 rendah Pulau Warbal 0,00 rendah Pulau Witir 0,00 rendah Somlain 0,00 rendah Ur Pulau 0,67 rendah Min 0,00 rendahMax 4,33 rendahRata-Rata 0,91 RENDAH

Sumber Syukur dkk (2014), diolah

Page 48: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan

3.3.1 Metode Penangkapan Ikan yang Bersifat Destruktif

Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dikaji berdasarkan hasil identifikasi

terhadap penggunaan alat dan metode penangkapan merusak dan atau tidak sesuai dengan

peraturan yang berlaku. Identifikasi yang dilakukan untuk indikator ini mengacu pada data

yang dikumpulkan oleh Bidang Pengawasan dan Konservasi Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2012 sampai dengan 2014 (Tabel 14).

Tabel 14 Distribusi lokasi penangkapan ikan destruktif menurut metode penangkapan danproses penanganannya di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2012-2014

Tahun Lokasi Posisi Metode Proses Penanganan2012 Perairan Pulau Ngaf 5037'13"

132035'57"Bore Racun Ikandan Bom Ikan

Pembinaan dan Penyitaan BarangBukti

2012 Perairan Teluk SorbaiOhoililir

5038'06"132037'51"

Bom Ikan Terima Laporan dari Kepala Desa danmelakukan “Cross Check” di lapanganserta tindakan penertiban.

2012 Perairan Pulau Nai 5042'29"132033'30"

PembantaianPenyu Hijau hasiltangkapan diPantai Berpasir

Terima Laporan dari PokmaswasVatleroa dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.

2013 Perairan Pulau Nai 5043'04"132032'44"

Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasNuhuvut dan melakukan “CrossCheck” di lapangan serta tindakanpenertiban.

2013 Perairan Pulau Hoat 5043'40"132033'49"

Pengambilan TukikPenyu Hijau

Terima Laporan dari PokmaswasNuhuvut dan melakukan “CrossCheck” di lapangan dan tindakanpenertiban, pembinaan diikuti prosespenebaran 200 tukik penyu hijau

2013 Perairan Ur Pulau 5050'10"132031'45"

Bom Ikan Terima Laporan dari Kepala Desa danmelakukan “Cross Check” di lapanganserta tindakan penertiban.

2013 Perairan PulauWarbal

5050'03"132034'33"

Bom Ikan Terima Laporan dari Pokmaswas BaulBal dan melakukan “Cross Check” dilapangan serta tindakan penertiban.

2014 Perairan PulauNuhuta

5053'08"132027'48"

Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasMasbait dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.

2014 Perairan PulauNuhuta

5053'11"132027'40"

Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasMasbait dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.

2014 Perairan PulauNuhuta

5053'20"132027'48"

Bom Ikan Penangkapan Pelaku Pemboman Ikanbeserta Alat Bukti oleh Masyarakatdan Pokmaswas Masbait selanjutdilakukan penindakan sesuaiperaturan yang berlaku.

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Hasil identifikasi sesuai Data Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara,

memberikan beberapa gambaran yang penting untuk diungkap terkait dengan pengelolaan

Page 49: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

perikanan dengan pendekatan ekosistem di Kabupaten Maluku Tenggara. Pertama lokasi-lokasi

yang umum ditemukan adanya pelanggaran penangkapan ikan yang destruktif, antara lain:

perairan Pulau Ngaf, Teluk Sorbai Ohoililir, pulau Nai, Pulau Hoat, Ur Pulau, Pulau Warbal, dan

Pulau Nuhuta. Sesuai data yang ada, perairan yang paling sering mendapat tekanan adalah

perairan Pulau Nai dan Pulau Nuhuta. Intensifnya pelanggaran pada kedua lokasi ini disebabkan

karena tidaknya adanya penduduk di pulau atau pilihan lokasi yang agak jauh dari lokasi

pemukiman, khususnya di Pulau Nai.

Kedua frekuensi pelanggaran secara tahunan ditunjukkan dengan intesitas pelanggaran yang

terjadi sebanyak tiga sampai empat kali dalam setahun. Dalam tahun 2012 teridentifikasi tiga

pelanggaran, pada tahun 2013 pelanggaran sebanyak empat kali, sedangkan dalam tahun 2014

pelanggaran sebanyak tiga kali.

Ketiga metode penangkapan ikan yang destruktif yang teridentifikasi terkonsentrasi pada

empat hal, masing-masing: penangkapan ikan dengan obat bius (bore), penangkapan ikan

menggunakan bahan peledak (bom ikan), pembantaian penyu khususnya penyu hijau, dan

pengambilan tukik penyu. Penggunaan bahan peledak atau bom ikan merupakan metode yang

paling sering ditemukan dalam operasi pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas penangkapan

ikan yang destruktif di Kabupaten Maluku Tenggara.

Keempat beberapa mekanisme penanganan

persoalan penangkapan ikan destruktif

teridentifikasi dengan baik sesuai proses

yang dilakukan selama tiga tahun (2012

2014). Seluruh proses penanganan

terkelompokkan dalam dua tingkatan

inisiatif, masing-masing: (1) inisiatif DKP

Kabupaten Maluku Tenggara yang

melakukan pengawasan secara reguler; dan

(2) inisiatif masyarakat ohoi melalui

pelaporan kepala ohoi dan kelompok

masyarakat pengawas kepada DKP Kabupaten Maluku Tenggara serta tindakan langsung yang

dilakukan melalui penerapan peraturan ohoi.

Pada tingkatan inisiatif DKP Kabupaten Maluku Tenggara, pengawasan dilakukan secara reguler

dan sangat tergantung pada ketersediaan biaya pengawasan. Pada tingkatan ini, dilakukan

Page 50: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

kunjungan lapangan, dan jika ditemukan adanya kegiatan penangkapan ikan yang destruktif,

akan dilakukan penyitaan barang bukti, yang diikuti dengan proses pembinaan. Tingkatan

inisiatif ini dianggap berbagai kalangan, kurang memiliki nilai efektivitas dalam suatu proses

pengawasan.

Di sisi lain, pada tingkatan inisiatif masyarakat ohoi, integrasi dengan DKP Kabupaten Maluku

Tenggara terjadi ketika adanya pelaporan Kepala ohoi atau Pokmaswas. Pasca pelaporan ini,

pengecekan lapangan dilakukan langsung oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara bersama

masyarakat ohoi, terutama dari pokmaswas. Pada proses pengawasan ini, umunya dilakukan

penertiban terhadap para pelaku. Tindakan langsung yang dilakukan oleh masyarakat ohoi

merupakan proses lain yang biasanya dilakukan oleh beberapa ohoi yang telah memiliki aturan

di tingkat ohoi. Tindakan langsung yang dimaksudkan adalah penangkapan pelaku perikanan

destruktif dan penyitaan barang bukti. Pada beberapa ohoi, tindakan hukum dilakukan dengan

menerapkan aturan-aturan yang dikembangkan di tingkat ohoi.

Salah satu tindakan pembinaan atau penertiban yang pernah dilakukan secara bersama antara

DKP Kabupaten Maluku Tenggara dengan masyarakat ohoi (pokmaswas) adalah dengan

pemberian pemahaman pentingnya perlindungan tukik penyu. Langkah strategis yang

dilakukan adalah penebaran tukik penyu ke perairan yang dilakukan juga oleh para pelaku

perikanan destruktif.

Hasil identifikasi secara keseluruhan menunjukkan frekuensi pelanggaran 3-4 kasus

penangkapan ikan destruktif per tahun Informasi dari masyarakat bahwa kegiatan

pemboman ikan yang dilakukan dewasa ini cenderung memiliki wakatu subuh dan/atau

menjelang malam. Pilihan waktu–waktu tersebut diarahkan untuk menghindari pemantauan

oleh pengawas atau masyarakat sekitar. Hal ini sangat efektif untuk menghindari penangkapan

oleh pengawas, dan berimplikasi pada penurunan kinerja pengawasan terhadap perikanan

destruktif.

3.3.2 Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan

Penilaian indikator ini dilakukan melalui pengukuran hasil tangkapan dengan menggunakan

alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Alat

tangkap yang menjadi sampel dalam penilaian ini adalah pukat cincin mini dan bagan. Pilihan

terhadap kedua alat penangkapan ini terkait dengan hasil survey lapangan yang menunjukkan

adanya perubahan pada ukuran mata jaring. Perubahan ukuran mata jaring pada kedua alat

penangkapan ikan ini, umumnya pada bagian kantong, khususnya untuk alat tangkap bagan.

Page 51: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Modifikasi yang terjadi pada kedua alat penangkapan ikan ini dilakukan oleh pemilik usaha

sebagai bagian dari antisipasi menurunnya hasil tangkapan. Umumnya tujuan hasil tangkapan

yang menjadi target utama adalah kelompok ikan dari jenis teri dan tembang. Sesuai dengan

jenis ikan target, maka upaya modifikasi yang dilakukan dengan pendekatan perubahan ukuran

mata jaring pada alat tangkap lebih diarahkan untuk menghindari lolosnya ikan yang berukuran

lebih kecil dari jeratan jaring.

Pengukuran yang dilakukan untuk tiga

kelompok jenis ikan yang menjadi tujuan

tangkap utama pukat cincin mini dan bagan,

meliputi ikan layang, tembang dan teri (Tabel

16). Kisaran proporsi jumlah ikan dengan

ukuran kurang dari Lm berkisar antara 51,00

sampai dengan 58,50%. Walaupun dalam

pengukuran di bulan Januari tahun 2015

menunjukkan kelompok jenis ikan teri masih

mencapai 46,50%, namun sesuai hasil wawancara dengan nelayan pukat cincin mini dan bagan,

dinyatakan bahwa untuk musim-musim tertentu seperti pasca musim Timur, ditemukan juga

proporsi hasil tangkapan ikan teri sangat dominan.

Secara menyeluruh, untuk indikator ini rata-rata proporsi ikan dengan ukuran kurang dari

Lm sebesar 52,00% Hasil ini membuktikan aktivitas penangkapan ikan, khususnya untuk

perikanan pukat cincin mini dan bagan di Kabupaten Maluku Tenggara telah mencapai

tingkatan dimana lebih dari 50% ukuran target spesies kurang dari Lm

3.3.3 Fishing Capacity and Effort

Penilaian terhadap inidikator ini diarahkan untuk mengetahui tingkat intensitas penangkapan

ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah

perairan. Penilaian terhadap fishing capacity (FC) and effort yang dimaksudkan adalah

perhitungan kapasitas perikanan dan upaya penangkapan sebagai representasi dari besarnya

kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan. Perhitungan ini menghendaki adanya

data tahun dasar dan tahun terakhir. Pilihan tahun dasar adalah tahun 2010 untuk tujuan

evaluasi terhadap perkembangan yang telah dilakukan pada tahun 2012, dimana data tahun

2010 merupakan data tahun akhir pada penilaian pada tahun itu. Data yang digunakan dalam

Tabel 16 Proporsi kelompok ikan Lm yangtertangkap akibat perubahan alatpenangkapan ikan

KelompokJenis Ikan

Lm(cm)

Jumlahsampel(ekor)

Jumlahikan Lm

(ekor)

Proporsiikan Lm

(%)

Layang 16,21 100 51 51,00

Tembang 11,95 200 117 58,50

Teri 6,00 200 93 46,50

Rata-rata proporsi ikan Lm 52,00

Page 52: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

evaluasi ini adalah data perikanan untuk tingkatan Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2010

dan 2014 (Tabel 18 dan 19).

Tabel 18 Nilai FC tahun terakhir (2014)

No Jenis API V E C VCEJumlah unit Trip Rata-rata Produksi1. Pukat Cincin 14 569 403,2 3.211.891,202. Bagan 149 606 154,5 13.950.423,003. Jaring Insang Hanyut 1080 497 4,9 2.630.124,004. Jaring Insang Lingkar 714 561 2,89 1.157.601,065. Jaring Insang Tetap 947 793 5,94 4.460.767,746. Bubu 323 581 2,07 388.462,417. Pancing Tegak 308 878 10 2.704.240,008. Pancing Ulur 2896 668 4,96 9.595.258,889. Pancing Tonda 2600 759 4,97 9.807.798,00

10 Sero Tancap 4 527 9,21 19.414,68FC Tahun Terakhir (2014) 47.925.980,97

Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2014), diolah

Tabel 19 Nilai FC tahun dasar (2010)

No Jenis API V E C VCEJumlah unit Trip Rata-rata Produksi1. Pukat Cincin 6 512 300 921.600,002. Bagan 57 576 150 4.924.800,003. Jaring Insang Hanyut 1005 512 5 2.572.800,004. Jaring Insang Lingkar 682 576 3 1.178.496,005. Jaring Insang Tetap 917 784 5 3.594.640,006. Bubu 308 576 2 354.816,007. Pancing Tegak 3708 320 10 11.865.600,008. Pancing Ulur 2757 672 5 9.263.520,009. Pancing Tonda 2491 768 5 9.565.440,00

10 Sero Tancap 4 560 10 22.400,00FC Tahun Dasar (2010) 44.264.112,00

Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2011), diolah

Perhitungan fishing capacity untuk tahun 2010 sebagai awal menunjukkan kapasitas

penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 44.264,11 ton. Pada tahun tahun 2014

sebagai tahun akhir dalam analisis, nilai kapasitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara

sebesar 47.925,98 ton. Distribusi nilai fishing capacity untuk kedua tahun analisis ini

menunjukkan adanya peningkatan kapasitas penangkapan sebesar 8,27% atau mengalami

peningkatan rata-rata tahunan sebesar 2,07%.

Page 53: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Distribusi distribusi kedua nilai FC, tahun 2010 dan 2014, memberikan konsekuensi adanya

perbandingan fishing capacity yang menghasilkan nilai nilai sebesar 0,92. Hasil ini menunjukkan

distribusi nilai 1 dalam periode pembangunan perikanan tahun 2010 sampai dengan 2014.

Bila hasil ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012 yang menunjukkan

distribusi nilai sebesar 0,28 (R 1), maka arah pengelolaan perikanan di wilayah ini

menunjukkan adanya perbaikan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Hasil yang dicapai

dalam tahun 2014 juga menunjukkan sudah mulai dilakukan pengendalian input perikanan.

Input perikanan seperti armada penangkapan ikan yang mulai dikendalikan akan berdampak

terhadap mulai tereduksinya degradasi sumber daya ikan di wilayah ini. Walaupun demikian,

fishing capacity dan effort masih menunjukkan adanya peningkatan, yang masih memberikan

konsekuensi terhadap masih adanya tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Sesuai

dengan perkembangan nilai ini, upaya-upaya untuk mewujudkan perikanan tangkap yang

berkelanjutan dan lestari atau bertanggungjawab (responsible fisheries mulai berkembang

dengan baik di Kabupaten Maluku Tenggara.

3.3.4 Selektivitas Penangkapan

Indikator selektivitas penangkapan menunjukkan aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan

dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan. Pemilihan indikator ini dilakukan

karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap

kelestarian sumber daya ikan. Selektivitas penangkapan dapat diidentikan dengan sifat

keramahan lingkungan, maksudnya adalah bahwa alat tangkap ikan memiliki selektivitas

penangkapan yang baik atau tinggi berarti pula alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap

ramah lingkungan.

Pengelolaan perikanan yang menyangkut aspek teknis umumnya juga akan mencakup

pengaturan tentang jenis alat penangkapan ikan, pembatasan daerah penangkapan ikan dan

musim penangkapannya. Ketiga hal ini tentunya sangat berkaitan dengan selektivitas

penangkapan. Hal ini terkait dengan spesifikasi jenis alat penangkapan ikan dalam hal

hubungannya terhadap keragaman hasil tangkapan dan bycatch (hasil tangkapan sampingan),

luasnya wilayah yang menjadi daerah penangkapan ikan, dan lamanya waktu aktivitas

penangkapan ikan dalam setahun.

Penilaian terhadap indikator ini pada Kabupaten Maluku Tenggara dimulai dengan menghitung

jumlah keseluruhan alat tangkap yang beroperasi di perairan ini (T). Total jumlah alat tangkap

Page 54: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

yang teridentifikasi sebanyak 9.599 unit yang terkelompokkan dalam 13 jenis alat tangkap

(Tabel 20). Identifikasi terhadap jenis alat tangkap yang tidak selektif (S’ menemukan jenis alat

tangkap sero tancap dibandingkan dengan 12 jenis alat tangkap lainnya.

Tabel 20 Perbandingan selektivitas penangkapan di Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2014

No. Alat Tangkap S' PS'1. Pukat Cincin (Purse Seine 142. Bagan (Lift Net 1493. Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net 10804. Jaring Insang Lingkar (Encircling Gill Net 7145. Jaring Insang Tetap (Bottom Gill Net 9476. Bubu (Traps Net 3237. Pancing Tegak (Vertical Line 3088. Pancing Ulur (Hand Line 28969. Pancing Tonda (Troll Line 2600

10. Pancing Lainnya 43111. Pengumpul Kerang 4812. Pengumpul Teripang 8513. Sero Tancap (Set Net

Total 9599 0,04Sumber: Hasil analisis (2012, 2014)

Sesuai dengan distribusi jumlah alat tangkap yang tidak selektif dan selektif seperti pada Tabel

20 maka perhitungan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau

kurang selektif (PS’ menghasilkan nilai sebesar 0,04%. Hasil ini membuktikan sangat

rendahnya komposisi jenis alat tangkap tidak selektif dibandingkan dengan alat tangkap yang

selektif.

Sesuai dengan kriteria penilaian untuk indikator ini, dimana nilai 0,04% termasuk dalam

kriteria kurang dari 50% penggunaan alat tangkap yang tidak selektif Hal ini

membuktikan bahwa selektivitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara termasuk dalam

kategori tinggi

Hasil ini berimplikasi pada penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam

pengelolaan perikanan yang diindikasikan dengan tingginya tingkat selektivitas penangkapan di

wilayah ini. Artinya, pengelolaan perikanan dianggap berhasil, bila tingkat selektivitas

penangkapan tinggi. Kondisi demikian dapat dicapai karena tingginya orientasi pengembangan

usaha perikanan tangkap dengan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan. Walaupun

demikian, kondisi ini masih harus mendapat pengawal secara serius di masa mendatang.

Page 55: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.3.5 Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Ikan Dengan Dokumen Legal

Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal yang

dimaksudkan adalah sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal.

Penilaian indikator ini dilakukan melalui perbandingan antara dokumen surat legal yang

dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi

penangkapan ikan.

Penilaian yang dilakukan untuk kegiatan perikanan yang dikembangkan nelayan lokal

menunjukkan bahwa eksistensi dokumen dan kesesuaiannya pada sejumlah armada

penangkapan yang ada di wilayah Kei Kecil menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi. Hal ini

sesuai dengan hasil lapangan yang menunjukkan tidak ditemukan penyimpangan, terutama

pada lokasi-lokasi basis perikanan tangkap seperti Selayar, Sathean dan Dian Pulau.

Dari ketiga lokasi ini, ditemukan hanya dua dokumen dari 24 sampel yang dipilih, menunjukkan

adanya ketidaksesuaian ukuran tidak sesuai dengan dokumen legal. Kedua temuan ini adalah

pada alat tangkap mini purse seine pada lokasi Sathean, dimana ukuran kapalnya ada yang tidak

sesuai dengan ukuran yang tertera dalam dokumen.

Hasil ini menunjukkan besaran kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan

dokumen legal sekitar 91,67% atau sekitar 8,33% yang tidak sesuai. Hasil ini termasuk dalam

kriteria penilaian dimana kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai

dengan dokumen legal

Walaupun tingkat kesesuainnya tinggi, namun pantauan terhadap armada juga menjadi penting

untuk dilakukan mengingat adakan adanya upaya-upaya peningkatan produksi oleh nelayan,

yang bisa saja menjalankan berbagai cara untuk untuk pencapaian targetnya. Hal ini sangat

penting dilakukan mengingat kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan

dokumen legal juga dapat menentukan kelestarian sumber daya ikan. Bila dokumen legal yang

dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan fakta lapangan tentang fungsi dan ukuran kapal

penangkapan ikan yang ada, maka dapat menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi bias

atau tidak tepat, yang diakibatkan oleh kesalahan data atau informasi yang diterima.

Bila ada masih terdapat ketidaksesuaian antara dokumen legal dengan faktanya, sudah dapat

dipastikan akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada.

Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan

tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).

Page 56: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.3.6 Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai Dengan Peraturan

Indikator ini merepresentasikan jumlah awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat

kecakapan tertentu untuk bekerja di atas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan

manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal

perikanan. Dengan demikian, penilaian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui

kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas).

Hasil survey lapangan terhadap 24 pelaku usaha perikanan tangkap menemukan hanya

sembilan nelayan yang memiliki sertifikat awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Jumlah ini umumnya ditemukan pada usaha perikanan mini purse seine, sedangkan awak kapal

untuk jenis usaha perikanan tangkap lainnya tidak memiliki sertifikat. Hal ini disebabkan

karena tidak adanya program yang kuat dalam meningkatkan pemahaman nelayan tentang

pentingnya pemilikan sertifikat dalam menjalankan usaha perikanan tangkap.

Sesuai dengan hasil survey tersebut, maka jumlah awak kapal perikanan yang memiliki

sertifikat sebanyak 37,50% dari total jumlah nelayan atau awak kapal yang disurvey. Jika

kepemilikan sertifikat pada tingkat awak kapal perikanan menjadi indikator kualifikasi

kecakapan awak kapal perikanan, maka hanya 37,50% awak kapal yang memiliki kualifikasi

yang baik dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Walaupun demikian, usaha-usaha

perikanan berskala sangat kecil, masih banyak yang belum disentuh dengan sistem sertifikasi.

Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya kepemilikan sertifikat pada awak kapal perikanan

adalah (1) kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemilikan sertifikat tersebut; dan (2)

tidak adanya program sertifikasi awak kapal perikanan (khususnya untuk skala sangat kecil)

yang dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara.

Hasil ini menunjukkan bahwa dengan proporsi jumlah awak kapal perikanan yang memiliki

sertifikat sebesar 37,50% termasuk dalam kriteria penilaian kepemilikan sertifikat <50%

atau termasuk dalam kategori sangat rendah. Hasil ini akan berimplikasi pada potensi

pemanfaatan sumber daya ikan belum sesuai dengan kaidah-kaidah kegiatan penangkapan ikan

yang bertanggung jawab. Kondisi ini, dinilai akan berdampak secara tidak langsung terhadap

kelestarian sumber daya ikan yang ada. Dengan demikian, kondisi ini akan menjadi kendala

dalam mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).

Page 57: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.4 Domain Sosial

3.4.1 Partisipasi Pemangku Kepentingan

Indikator partisipasi pemangku kepentingan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah

keterlibatan pemangku kepentingan atau frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan

dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Penilaian untuk indikator ini dilakukan untuk

contoh kasus pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku

Tenggara.

Penilaian dilakukan untuk delapan tahapan pengelolaan yang teridentifikasi melalui proses

yang dibangun dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan konservasi yang disebutkan di

atas. Delapan tahapan pengelolaan yang dimaksudkan meliputi: (1) kegiatan inisisasi; (2)

pertemuan untuk input kajian; (3) pelatihan zonasi; (4) pertemuan untuk input rencana zonasi;

(5) sosialisasi rencana zonasi; (6) penyusunan rencana pengelolaan; (7) pengalokasian program

dalam pengelolaan; dan (8) monitoring pada kawasan rencana (Tabel 21).

Tabel 21 Partisipasi pemangku kepentingan menurut tahapan pengelolaan untuk contoh kasuspengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten MalukuTenggara

TahapanKegiatan

Pengelolaan

Pemangku Kepentingan

Jum

lah

Rata

-Rat

a

Bapp

eda

DKP

DIS

PAR

INDA

GKOP

DIS

HUB

BAKO

RLUH

LIPI

PSD

KP

PT

Cam

at

Kepa

laAd

at

Kepa

laO

hoi

Inisiasi 11 91,67

Input kajian 12 100,00Pelatihanzonasi 1 1 75,00Input rencanazonasi 1 1 1 1 12 100,00Sosialisasirencana zonasi 66,67Perencanaanpengelolaan 10 83,33Alokasiprogram 1 1 1 1 10 83,33

Monitoring 66,67

Jumlah 80

100,0 100,0 75,0 62,5 75,0 87,5 75,0 62,5 75,0 87,5 100,0 100,0

Rata-Rata 83,33Sumber: Survey lapangan (2014)

Hasil identifikasi ini menggambarkan adanya partisipasi yang kuat pada beberapa tahapan,

sementara pada tahapan-tahapan tertentu partisipasi pemangku kepentingan masih lemah.

Proses inisiasi, pertemuan untuk input kajian dan pertemuan input rencana zonasi merupakan

Page 58: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling tinggi partisipasinya. Di sisi lain,

tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling rendah partisipasi dari pemangku

kepentingan adalah sosialisasi rencana zonasi yang dilakukan sampai pada tingkat ohoi. Tingkat

partisipasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan partisipasi antar pemangku

kepentingan pada tahapan-tahapan tertentu.

Partisipasi pemangku kepentingan pada delapan tahapan pengelolaan juga bervariasi.

Pemangku kepentingan yang menunjukkan partisipasi yang paling tinggi adalah Bappeda, Dinas

Kelautan dan Perikanan, Kepala adat dan kepala ohoi. Kondisi ini ditunjukkan dengan

partisipasi yang menyekuruh pada seluruh tahapan pengelolaan oleh keempat pemangku

kepentingan itu. Penyebab perbedaan partisipasi pemangku kepentingan adalah karena

persepsi tentang pentingnya seluruh tahapan pengelolaan relatif berbeda antar pemangku

kepentingan, disamping keterlibatan mereka pada setiap tahapan pengelolaan juga sangat

membutuhkan dorong ataupun inisiatif dari pemangku kepentingan yang menjadi koordinator

utama suatu tahapan pengelolaan.

Hasil penilaian secara menyeluruh menunjukkan rata-rata tingkat partisipasi pemangku

kepentingan dalam pengelolaan perikanan, dengan contoh kasus pengelolaan kawasan

konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 83,33% Nilai ini

termasuk dalam kriteria tingkat partisipasi antara 50-100%

Hasil pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini menunjukkan keaktifan pemangku

kepentingan pada seluruh tahapan kegiatan pengelolaan sumber daya ikan cukup baik.

Walaupun keaktifan ini belum mencapai tingkat partisipasi yang sempurna, namun tingkat

keaktifan pemangku kepentingan seperti ini cukup menentukan keberhasilan kegiatan

pengelolaan sumber daya ikan di masa mendatang. Untuk mencapai tingkat pengelolaan yang

sangat baik, maka upaya-upaya untuk peningkatan partisipasi pemangku kepentingan sangat

dibutuhkan untuk mencapai tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya ikan yang semakin

tinggi.

3.4.2 Konflik Perikanan

Indikator ini dimaksudkan untuk mengungkap pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat

perebutan fishing ground (resources conflict dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict).

Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict pada

kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor.

Page 59: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil identifikasi terhadap kejadian konflik di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara

menunjukkan adanya dua kejadian konflik dalam dalam dua tahun terakhir, taun 2013 dan

2014. Pertama pada tahun 2013 terjadi karena adanya tabrakan kapal terhadap alat tangkap

bagan yang sementara beroperasi di Teluk Nerong. Konflik ini menunjukkan adanya konflik

dalam pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan jalur transportasi dan aktivitas perikanan bagan.

Konflik ini termasuk dalam kategori konflik antar sektor.

Kedua pada tahun 2014, terjadi satu kali konflik antara aktivitas nelayan mini purse seine dalam

penempatan rumpon dengan nelayan yang mengembangkan usaha perikanan bagan. Kejadian

konflik ini juga terjadi pada kawasan perairan Selat Nerong, yang juga menunjukkan adanya

konflik pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan sumber daya ikan. Jenis konflik termasuk dalam

kategori konflik pemanfaatan sumber daya ikan (resources conflict maupun konflik alat

tangkap (fishing gear conflict). Kategori resources conflict terjadi akibat adanya pemanfaatan

sumber daya ikan yang sama dimana masing-masing alat tangkap memanfaatkan alat bantu

penangkapan ikan melalui bantuan cahaya. Kategori fishing gear conflict berkaitan dengan pola-

pola pemanfaatan ruang perairan sebagai daerah penangkapan ikan.

Sesuai dengan hasil identifikasi lapangan, maka rata-rata konflik yang terjadi terkait dengan

pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, setiap tahun sebanyak satu kali. Hasil

ini masuk dalam kriteria penilaian indikator kurang dari dua kali per tahun atau skala

konfliknya masih termasuk dalam tingkatan yang rendah. Walaupun demikian, konflik

perikanan yang teridentifikasi ini dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap pola-

pola pemanfaatan ruang lintas sektor, antar alat tangkap maupun pada konflik pemanfaatan

sumber daya ikan. Tingginya range collaps juga diduga dapat menjadi pemicu munculnya kedua

konflik yang disebutkan terakhir.

Walaupun tingkatan konflik di wilayah ini rendah, namun potensi kontra produktif dan

tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan

pengelolaan sumber daya ikan sangat mungkin terjadi bila tidak dikendalikan melalui

mekanisme pengelolaan yang baik. Jika potensi konflik ini tidak dikendalikan maka frekuensi

konflik perikanan berpeluang semakin tinggi, dan kondisi akan berdampak pada semakin

sulitnya pengelolaan sumber daya perikanan. Dengan demikian, upaya-upaya manajemen

konflik menjadi kebutuhan mendasar dalam mereduksi potensi konflik perikanan di wilayah ini.

Pengelolaan ruang pemanfaatan sumber daya perikanan melalui sistem zonasi yang akomodatif

Page 60: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

terhadap berbagai kepentingan. Tereduksinya konflik perikanan sangat membantu dalam

mengimplementasi pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.

3.4.3 Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan

Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah

indikator yang memberikan gambaran tentang ukuran-ukuran keberadaan dan keefektifan

pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Eksistensi pengetahuan lokal

dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti dengan penerapannya dengan baik

menjadi modal bagi keberlanjutan pengelolaan.

Dalam tiga tahun terakhir, penggunaan pengetahuan lokal terutama pengetahuan lokal tentang

aspek-aspek ekologis (tradisional ecological knowledge/TEK) telah dilakukan, dan berbasis pada

pengalaman masyarakat tentang kaidah-kaidah pengelolan yang telah berkembang sejak lama.

Beberapa fakta memberikan gambaran tentang pemanfaatan TEK dalam pengelolaan sumber

daya ikan. Pertama pengetahuan dalam implementasi sistem sasi baik kawasan tertentu

maupun untuk jenis tertentu seperti teripang, lola dan batulaga.

Kedua pengetahuan tentang lokasi potensial untuk penangkapan ikan seperti daerah tubir,

kawasan met dan daerah skaru (tubur), yang dipahami sebagai lokasi-lokasi potensial

penangkapan ikan demersal (Gambar 21, 22 dan 23). Sebagai contoh, Soselisa dkk (2013)

memberikan gambaran tentang pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan met meliputi

berbagai jenis kutya (bia/siput), seperti ngen (bia berjari), hanoat (kima), sav (bia mancadu),

ikan-ikan karang seperti fo (Lethrinus sp.), hatmor (Lutjanus sp.), nyis (ikan bibi dan samandar

(Siganus sp.). Selain itu juga mereka mengambil karit (gurita), yaran (belut), tir (Tripneustes

gratilla) dan ravravut (Diadema setosum), serta berbagai jenis sik (kepiting). Komoditi yang

dicari di kawasan met untuk tujuan pasar luar adalah eb (teripang), khususnya teripang gosok,

yang banyak ditemukan di daerah ubun (lamun).

Ketiga pengetahuan tentang lokasi-lokasi yang tidak boleh disentuh atau dilarang secara adat

ternyata mengandung makna ekologis yang cukup kuat, baik untuk pulau-pulau kecil tertentu

maupun untuk kawasan perairan tertentu. Keempat artikulasi lokal yang diungkap untuk

menunjukkan sistem zonasi berbasis (adat) lokal telah dikemas dalam dokumen Bat Batang Vit

Roa Vit Nangan (Jaga Pintu Laut dan Pintu Darat), dimana sebagiannya telah diungkap pada

Gambar 21, 22 dan 23.

Page 61: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gambar 21 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Somlain,Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)

Gambar 22 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Wab, KeiKecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)

Page 62: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Gambar 23 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Ohoira,Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)

Keempat TEK yang diungkap di atas juga turut memperkaya dan membantu proses yang

dibangun dalam pengembangan kawasan konservasi "Taman Wisata Pulau Kecil" pada perairan

Kei Kecil bagian Barat. Pengetahuan-pengetahuan lokal ini menjadi dasar dalam pengumpulan

data sampai dengan perencanaan zonasi kawasan konservasi ini. Dalam proses delineasi

kawasan konservasi ini, potensi TEK seperti itu merupakan salah satu pendukung utama

penentuan zona dan sub zona, dan dinilai cukup efektif dalam mendukung sistem zonasi

kawasan.

Hasil ini memberikan gambaran tentang posisi penting TEK dalam pengelolaan sumber daya

ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Sesuai gambaran tersebut di atas, maka kriteria yang

dinilai sesuai dengan kondisi tersebut adalah pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait

dengan pengelolaan perikanan, ada dan efektif digunakan

Hasil ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Maluku Tenggara, keberadaan dan keefektifan

penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan sangat baik.

Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal ini juga yang diharapkan dapat mendukung

pencapaian keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ini. Hal tersebut sesuai

dengan padangan bahwa semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan

Page 63: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya

ikan.

3.5 Domain Ekonomi

3.5.1 Kepemilikan Aset

Indikator ini merepresentasikan perubahan nilai/jumlah aset usaha rumah tangga perikanan

(RTP), yakni aset usaha perikanan atau aset rumah tangga yang didapatkan dari usaha

perikanan. Indikator kepemilikan aset mengekspresikan perbandingan jumlah aset produktif

yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif

dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produktif

merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya

ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti

pertanian.

Untuk mengakomodasi pandangan di atas, penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada

perspektif para pelaku usaha perikanan terhadap kepemilikan dan perkembangan aset mereka.

Variabel aset yang dinilai untuk indikator ini meliputi perahu (kapal), mesin dan alat tangkap

Tabel 22

Tabel 22 Perkembangan kepemilikan aset pada pelaku usaha perikanan tangkap di KabupatenMaluku Tenggara

Variabel AsetNilai Aset Berkurang Nilai Aset Tetap Nilai Aset Bertambah

Jumlah Jumlah Jumlah

Perahu (kapal) 22,50 25 62,50 15,0

Mesin 20,00 26 65,00 15,0

Alat tangkap 0,00 31 77,50 22,5

Rata-Rata 14,17 68,33 17,25

Wawancara dilakukan pada 40 sampel pelaku usaha perikanan tangkap, menunjukkan adanya

variasi antar pelaku usaha maupun variasi antar variabel aset. Pertama untuk variabel aset

perahu (kapal), proporsi tertinggi ditunjukkan pada tetapnya nilai aset (62,50%). Sekitar

22,50% responden menunjukkan nilai aset berkurang, sedangkan 15,0% lainnya menyatakan

nilai aset bertambah.

Kedua untuk variabel aset mesin, proporsi tertinggi pada tetapnya nilai aset sebesar 65,00%. Di

sisi lain, nilai aset berkurang dinyatakan oleh 20,00% responden, sedangkan pernyataan nilai

Page 64: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

aset bertambah dinyatakan 15,0% responden lainnya. Ketiga untuk variabel aset alat tangkap,

tetapnya nilai aset memiliki proporsi tertinggi sebagaimana dinyatakan oleh sekitar 77,50%.

Dalam wawancara ini, tidak satupun responden yang menyatakan tentang berkurangnya nilai,

sementara pernyataan tentang bertambah nilai aset alat tangkap disampaikan oleh 22,5%

responden lainnya.

Hasil tersebut membuktikan adanya kelompok pelaku usaha yang tersegregasi menurut

perkembangan kepemilikan aset. Hasil analisis untuk kondisi ini merupakan kondisi yang

belum cenderung berubah sejak tahun 2012, dimana ketiga kelompok pelaku usaha

terkelompokkan menurut kapasitas usaha mereka, disamping sistem pengelolaan usaha di

tingkat rumah tangga nelayan.

Pertama kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset berkurang merupakan kelompok

dengan kapasitas ekonomi usaha yang terbatas dan usaha yang dikembangkan hanya terbatas

pada perikanan pancing, kecuali untuk usaha pancing tonda. Namun pada hasil, nilai aset yang

cenderung berkurang pada kelompok ini adalah perahu (kapal) penangkap ikan dan mesin

penggerak yang dimiliki.

Kedua kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset tetap ditemukan pada nelayan jaring

insang. Kelompok nelayan yang mengembangkan usaha perikanan jaring insang hanya mampu

menghasilkan produksi dengan peruntukan pengeluaran lebih banyak diarahkan pada

pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, khususnya untuk pengeluaran yang cukup besar di

luar usaha perikanan, sementara hanya sebagian kecil saja yang mengalokasikan pengeluaran

untuk usaha perikanan. Hal ini menyebabkan upaya pengembangan perahu (kapal), mesin

maupun alat tangkap belum dapat dilakukan dengan baik. Kondisi demikian membuktikan

kapasitas mereka dalam mengalokasikan pengeluaran dalam rangka pengembangan aset

mereka masih rendah.

Ketiga kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset bertambah pelaku usaha perikanan mini

purse seine bagan apung dan pancing tonda. Kelompok ini memiliki tingkat pendapatan yang

tinggi dan melebihi nilai rata-rata pendapatan secara agregat. Tingginya pendapatan kelompok

nelayan ketiga ini berimplikasi pada adanya upaya-upaya peningkatan nilai aset, jika

dibutuhkan dalam pengembangan usaha mereka.

Sesuai dengan hasil penilaian ini, maka pilihan penilaian adalah pada nilai tertinggi yang

dinyatakan oleh nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap. Rata-rata nilai tertinggi sebesar

Page 65: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

68,33% yang menyatakan nilai aset tetap Hasil ini menunjukkan kemampuan rumah tangga

nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya, harus didorong dengan sistem pengelolaan

usaha yang lebih baik untuk mendukung keberkelanjutan usaha mereka.

3.5.2 Pendapatan Rumah Tangga Perikanan

Penilaian indikator pendapatan rumah tangga perikanan dilakukan untuk seluruh pendapatan

yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga

serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang

perikanan. Ukuran pendapatan adalah rupiah per kepala keluarga per bulan. Penilaian ini

indikator ini dilakukan dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan tetapan

upah minimum regional (UMR). Hal ini dibutuhkan untuk menggambarkan kapasitas ekonomi

pelaku usaha perikanan di wilayah ini.

Penilaian ini dilakukan untuk pelaku usaha dari empat jenis usaha yang cukup berkembang di

Kabupaten Maluku Tenggar, masing-masing: jaring insang hanyut (JIH), pancing kerapu, bagan,

dan mini purse seine Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi pendapatan RTP

(Tabel 23), masing-masing:

(1) perikanan JIH rata-rata sebesar Rp. 676.500,- dengan kisaran Rp. 495.000,- sampai dengan

870.000;

(2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar Rp. 3.407.000,- dengan kisaran Rp. 2.900.000,-

sampai dengan 3.600.000,-;

(3) perikanan bagan rata-rata sebesar Rp. 3.328.000,- dengan kisaran Rp. 2.280.000,- sampai

dengan 7.520.000,-; dan

(4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar Rp. 6.300.800,- dengan kisaran Rp. 4.240.000,-

sampai dengan 14.600.000.

Distribusi pendapatan yang variasinya cukup tajam adalah pada usaha perikanan bagan dan

mini purse seine Perbedaan yang tajam ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapatan

antara anak buah kapal dan pemilik. Walaupun demikian pelaku usaha pada kedua jenis

perikanan ini menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi berdasarkan tingkat pendapatan usaha

perikanan tangkap.

Sesuai dengan distribusi nilai pendapatan seperti ini, maka perhitungan rata-rata pendapatan

secara agregat untuk keempat jenis usaha perikanan tangkap mencapai Rp. 3.428,075,-. Jika

nilai rata-rata agregat ini dibandingkan dengan nilai UMR untuk daerah Maluku tahun 2014 (Rp.

1.415.000,-), maka secara umum, rata-rata pendapatan rumah tangga perikanan di

Kabupaten Maluku Tenggara lebih dari UMR

Page 66: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Tabel 23 Distribusi pendapatan rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancing kerapu,bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara

No. Resp. Usaha Perikanan Status Penerimaan Pengeluaran Pendapatan (I) Rata-Rata(Parsial)

Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.000

676.500

Jaring insang hanyut Pemilik 1.500.000 900.000 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.740.000 870.000 870.000

Jaring insang hanyut Pemilik 1.500.000 900.000 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.740.000 870.000 870.000

Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.00010 Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.000

11 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.000

3.407.000

12 Pancing Kerapu Pemilik 4.500.000 1.600.000 2.900.000

13 Pancing Kerapu Pemilik 4.750.000 1.750.000 3.000.00014 Pancing Kerapu Pemilik 4.725.000 1.350.000 3.375.00015 Pancing Kerapu Pemilik 4.815.000 1.350.000 3.465.00016 Pancing Kerapu Pemilik 4.905.000 1.350.000 3.555.000

17 Pancing Kerapu Pemilik 4.725.000 1.350.000 3.375.00018 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.00019 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.00020 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.000

21 Bagan Pemilik 18.000.000 9.000.000 6.000.000

3.328.000

22 Bagan Pemilik 21.000.000 9.720.000 7.520.00023 Bagan ABK 5.400.000 1.200.000 2.800.00024 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00025 Bagan ABK 4.860.000 1.260.000 2.400.00026 Bagan ABK 4.920.000 1.500.000 2.280.00027 Bagan ABK 5.400.000 1.200.000 2.800.00028 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00029 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00030 Bagan ABK 4.860.000 1.260.000 2.400.000

31 Mini purse seine Pemilik 30.000.000 9.000.000 14.000.000

6.300.800

32 Mini purse seine Pemilik 30.600.000 8.700.000 14.600.00033 Mini purse seine ABK 8.940.000 2.460.000 4.320.000

34 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.00035 Mini purse seine ABK 8.880.000 2.364.000 4.344.00036 Mini purse seine ABK 8.940.000 2.460.000 4.320.00037 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.000

38 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.00039 Mini purse seine ABK 9.060.000 2.520.000 4.360.00040 Mini purse seine ABK 8.880.000 2.364.000 4.344.000

Rata-Rata (Agregat) 3.428.075Sumber: Survey lapangan (2014)

Page 67: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Walaupun demikian, secara parsial, masih ada kelompok usaha yang memiliki tingkat

pendapatan yang kurang dari UMR. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok nelayan jaring

insang. Tingkatan produksi dan harga pasar untuk setiap produk perikanan karing insang

merupakan penentu tingkatan pendapatan, disampimg tingkat pengeluaran untuk kepentingan

usaha perikanan tangkap. Kondisi demikian memberikan gambaran bahwa masih ada kelompok

nelayan yang harus ditingkatkan kapasitas ekonominya.

Hasil penilaian ini juga memberikan gambaran bahwa ketergantungan rumah tangga terhadap

sumberdaya perikanan cukup tinggi. Namun demikian, kelompok RTP yang mengembangkan

usaha perikanan jaring insang masih membutuhkan strategi pengembangan kesejahteraan

nelayan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Di sisi lain, tingginya pendapatan

pada beberapa RTP lainnya juga masih harus dikendalikan pola konsumsi agar dapat

memberikan ruang bagi alokasi pendapatan untuk tujuan pengembangan usaha, atau sedikitnya

dapat mendukung peningkatan nilai aset usaha perikanan. Kondisi yang dikemukakan terakhir

ini dapat dibuktikan melalui rasio tabungan yang berpotensi mendukung pengembangan usaha

sebagaimana dijelaskan pada indikator berikut.

3.5.3 Rasio Tabungan (Saving Ratio

Indikator rasio tabungan atau saving ratio (SR) mengekspresikan perbandingan selisih

pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pendapatan rumah

tangga nelayan yang dimaksudkan adalah seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga

nelayan, dan bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga,

baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Di sisi lain,

pengeluaran rumah tangga nelayan merupakan seluruh pengeluaran rumah tangga, yang terdiri

dari pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan.

Survey lapangan membuktikan adanya variasi nilai saving ratio antar rumah tangga perikanan

dan antar jenis usaha perikanan tangkap. Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi

saving ratio (Tabel 24), masing-masing:

(1) perikanan JIH rata-rata sebesar 6,15% dengan kisaran 0% sampai dengan 12,82%;

(2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar 9,61% dengan kisaran 0% sampai dengan

14,81%;

(3) perikanan bagan rata-rata sebesar 11,39% dengan kisaran 0% sampai dengan 23,33%; dan

(4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar 12,97% dengan kisaran 11,47 sampai dengan

18,84%.

Page 68: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Tabel 24 Distribusi nilai saving ratio rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancingkerapu, bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara

No. Resp. Usaha Perikanan Status Pendapatan(I)

Rata-RataTabungan (S)

SavingRatio (S/I)

(S/I)Parsial

Jaring insang hanyut Pemilik 495.000

6,15

Jaring insang hanyut Pemilik 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 870.000 100.000 11,49Jaring insang hanyut Pemilik 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 870.000 100.000 11,49Jaring insang hanyut Pemilik 495.000

10 Jaring insang hanyut Pemilik 495.00011 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 400.000 11,11

9,61

12 Pancing Kerapu Pemilik 2.900.00013 Pancing Kerapu Pemilik 3.000.00014 Pancing Kerapu Pemilik 3.375.000 500.000 14,8115 Pancing Kerapu Pemilik 3.465.000 500.000 14,4316 Pancing Kerapu Pemilik 3.555.000 500.000 14,0617 Pancing Kerapu Pemilik 3.375.00018 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,8919 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,8920 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,89

21 Bagan Pemilik 6.000.000 1.400.000 23,33

11,39

22 Bagan Pemilik 7.520.000 1.500.000 19,9523 Bagan ABK 2.800.000 300.000 10,7124 Bagan ABK 2.360.00025 Bagan ABK 2.400.000 500.000 20,8326 Bagan ABK 2.280.00027 Bagan ABK 2.800.000 500.000 17,8628 Bagan ABK 2.360.00029 Bagan ABK 2.360.000 500.000 21,1930 Bagan ABK 2.400.00031 Mini purse seine Pemilik 14.000.000 2.500.000 17,86

12,97

32 Mini purse seine Pemilik 14.600.000 2.750.000 18,8433 Mini purse seine ABK 4.320.000 500.000 11,5734 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7935 Mini purse seine ABK 4.344.000 500.000 11,5136 Mini purse seine ABK 4.320.000 500.000 11,5737 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7938 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7939 Mini purse seine ABK 4.360.000 500.000 11,4740 Mini purse seine ABK 4.344.000 500.000 11,51

Rata-Rata atau (S/I) Agregat 10,03Sumber: Survey lapangan (2014)

Page 69: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Pola distribusi seperti ini memberikan gambaran adanya pengaruh sejumlah RTP pada setiap

jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki saving ratio yang rendah, sehingga secara parsial

tiga jenis usaha perikanan tangkap memiliki nilai saving ratio kurang dari bunga kredit

pinjaman di Maluku akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015 (11,52%). Hasil analisis

menunjukkan:

(1) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 50,00% tidak melakukan tabungan sehingga

saving ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 20,00% lainnya kurang dari bunga kredit

pinjaman;

(2) pada RTP pancing kerapu, sebanyak 30,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving

ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman;

(3) pada RTP bagan, sebanyak 40,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving ratio-nya

sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman;

(4) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 30,00% memiliki saving ratio kurang dari bunga

kredit pinjaman.

Kondisi demikian menunjukkan adanya dinamika ekonomi yang berkembang pada setiap RTP

pada masing-masing jenis usaha perikanan. Jika tingkat pendapatan rendah secara umum

menjadi penyebab rendahnya saving ratio pada sejumlah RTP, maka faktor lain yang diduga

memberikan pengaruh terhadap saving ratio, antara lain: rendahnya budaya menabung atau

masih tingginya budaya konsumtif yang berkembang di kalangan RTP.

Dinamika ekonomi antar RTP dan jenis usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan di atas, turut

memberikan pengaruh terhadap capaian nilai saving ratio secara agregat untuk wilayah

Kabupaten Maluku Tenggara. Jika penilaian untuk indikator ini menggunakan hasil penilaian

agregat, maka hasil yang ditemukan melalui agregasi nilai saving ratio sebesar 10,03%. Hasil

ini masih kurang dari bunga kredit pinjaman sebesar 11,52% untuk daerah Maluku pada

akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015.

Seluruh hasil penilaian indikator rasio tabungan (SR) menggambarkan kondisi dimana potensi

rumah tangga perikanan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya, masih sangat rendah di

Kabupaten Maluku Tenggara, walaupun sebenarnya sebagian RTP (52,50%) telah menunjukkan

potensi tabungan yang cukup baik. Untuk tujuan peningkatan kesejahteraan nelayan dan rumah

tangga perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, masih sangat dibutuhkan langkah-langkah

strategis untuk mengoptimalkan gerakan menabung sambil mereduksi budaya konsumtif

melalui penguatan kapasitas nelayan.

Page 70: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

3.6 Domain Kelembagaan

3.6.1 Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab

Indikator ini difokuskan pada tingkat kepatuhan (compliance seluruh pemangku kepentingan

terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal. Kepatuhan yang dimaksudkan adalah

kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan

perikanan yang telah ditetapkan. Penilaiannya dilakukan untuk mengetahui frekuensi

pelanggaran terhadap peraturan dan aturan dalam pengelolaan perikanan.

a. Formal

Penilaian ini diarahkan pada frekuensi terjadinya pelanggaran hukum dalam pengelolaan

perikanan. Pelanggaran hukum yang dimaksudkan adalah pelanggaran hukum formal yang

ditetapkan oleh pemerintah. Hasil identifikasi terhadap pelanggaran hukum formal

memberikan gambaran adanya dua pelanggaran utama yang selalu terjadi di wilayah

Kabupaten Maluku Tenggara, antara lain: (1) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak atau sering disebut dengan Bom Ikan; dan (2) pengambilan tukik penyu (Tabel 25).

Tabel 25 Jenis pelanggaran, bentuk penindakan dan kategorinya (formal), tahun 2013 dan 2014

Tahun Pelanggaran Jenis Pelanggaran Penindakan Kategori

2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

2013 PengambilanTukik Penyu Hijau

Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban danPembinaan

Berat

2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan

Penertiban Berat

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Seluruh pelanggaran termasuk dalam jenis pelanggaran operasional khususnya pada cara

penangkapan ikan. Seluruh pelanggaran tersebut ditindak dengan pendekatan Penertiban yang

sifatnya mengarah pada pembinaan. Khusus untuk pelanggaran melalui Pengambilan Tukik

Penyu penertiban dan pembinaan dilakukan dengan mengajak pelaku pelanggaran terlibat

dalam proses penebaran tukik penyu sekitar 200 ekor.

Page 71: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Fakta yang menjadi bukti adanya pelanggaran adalah terdokumentasikannya lokasi-lokasi

pelanggaran, masing-masing:

(1) Lokasi pemboman ikan pada perairan sekitar Pulau Nai Kecamatan Kei Kecil dengan posisi

5043'04" dan 132032'44"

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

(2) Lokasi pengambilan tukik penyu pada pantai berpasir di Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil

dengan posisi 5043'40" dan 132033'49" E:

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Page 72: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(3) Lokasi pemboman ikan di sekitar perairan Ur Pulau Kecamatan Kei Kecil Barat dengan

posisi 5050'10" dan 132031'45" E:

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

(4) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Warbal Kecamatan Kei Kecil Barat dengan

posisi 5050'03" dan 132034'33"

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Page 73: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(5) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan

posisi 5053'08" dan 132027'48"

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

(6) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan

posisi 5053'11" dan 132027'40" E:

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Page 74: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(7) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan

posisi 5053'20" dan 132027'48" E:

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Hasil identifikasi sesuai data pelanggaran yang dikompilasi oleh Bidang Pengawasan dan

Konservasi DKP Maluku Tenggara tahun 2013 dan 2014 memberikan gambaran bahwa

pelanggaran masih terjadi pelanggaran dalam dua tahun terakhir, dimana dalam tahun 2013

tercatat empat kali pelanggaran, dan pada tahun 2014 pelanggaran sebanyak tiga kali. Hasil ini

termasuk dalam kriteria dua sampai dengan empat kali terjadi pelanggaran hukum dalam

satu tahun.

b. Non Formal

Indikator pelanggaran non-formal merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan lokal atau

kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun di kalangan masyarakat. Pelanggaran yang

bersifat non formal ini dibagi menjadi dua, masing-masing: aturan adat dan persepsi

masyarakat terhadap aturan formal yang ada. Namun demikian, pelanggaran non formal yang

dinilai ini lebih diarahkan pada keaktifan masyarakat dalam pelaporan atau pemberian

informasi tentang pelanggaran.

Mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang teridentifikasi terkait dengan

pelanggaran yang dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, dapat dibedakan atas

empat kelompok mekanisme, sesuai dengan hasil identifikasi seperti pada Tabel 26 Empat

Page 75: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

kelompok mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang dimaksudkan meliputi: (1)

pelaporan oleh Kelompok Masyarakat Pengawas; (2) pelaporan oleh kepala ohoi; (3) tindakan

langsung masyarakat yang diikuti dengan pelaporan kepala ohoi; dan (4) tindakan langsung

oleh masyarakat bersama Kelompok Masyarakat Pengawas yang diikuti dengan pelaporan

Kelompok Masyarakat Pengawas.

Tabel 26 Jenis pelanggaran dan mekanisme informasinya (informal), tahun 2013 dan 2014

Tahun Pelanggaran Mekanisme informasi pelanggaran

2013 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNai

Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara

2013 Pengambilan Tukik Penyu Hijau dipesisir Pulau Hoat

Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara

2013 Bom Ikan di perairan sekitar UrPulau

Pelaporan kepala ohoi Ur Pulau Bidang Pengawasan danKonservasi DKP Maluku Tenggara

2013 Bom Ikan di perairan sekitar PulauWarbal

Pelaporan oleh Pokmaswas Bau Bal kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara

2013 Bom Ikan di perairan sekitarTanimbar Kei

Penanganan langsung oleh pemerintah ohoi TanimbarKei dengan melakukan penyitaan kapal danmemberlakukan aturan ohoi tentang “DendaPelanggaran di wilayah petuanan Tanimbar Kei.Informasi kepada Bidang Pengawasan dan KonservasiDKP MalukuTenggara disampaikan setelah ada tindakandan pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran.

2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta

Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara

2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta

Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP MalukuTenggara

2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta

Penangkapan pelaku pelanggaran dan penyitaan barangbukti oleh masyarakat dan Pokmaswas Masbait,informasi disampaikan kepada oleh Bidang Pengawasandan Konservasi DKP MalukuTenggara

Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)

Hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup proaktif untuk melaporkan

pelanggaran yang terindikasi atau yang terjadi pada perairan sekitar, khusus oleh Pokmaswas.

Hasil ini menunjukkan pada tahun 2013 sebanyak lima informasi pelanggaran, dan dalam tahun

2014 sebanyak tiga informasi pelanggaran. Hasil memberikan gambaran intensitas informasi

pelanggaran termasuk dalam kategori sedang sesuai dengan kriteria penilaian lebih dari tiga

informasi pelanggaran

Hasil penilaian terhadap indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang

Bertanggung Jawab menunjukkan bahwa untuk pencapaian keberhasilan implementasi

pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara,

Page 76: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

masih harus dilakukan upaya-upaya peningkatan kepedulian dan kapasitas para pemangku

kepentingan perikanan. Peningkatan kepedulian dan kapasitas yang dimaksudkan adalah

dalam konteks mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dan mengakomodasinya dengan baik

dalam pengembangan dan pengelolaan usaha perikanan tangkap di wilayah ini.

Fakta lapangan membuktikan bahwa pelanggaran terhadap peraturan terkait dengan

pengelolaan perikanan, dan penggunaan alat tangkap terlarang masih ditemukan dalam praktek

perikanan di wilayah ini. Kondisi demikian dikuatirkan dapat berdampak pada semakin

meningkatnya ketidakpatuhan terhadap peraturan baik formal maupun informal yang

berlangsung di masyarakat, dan berimplikasi pada ancaman bagi perikanan berkelanjutan di

wilayah ini. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah aturan dan norma yang ada tidak akan

berlaku efektif. Dengan demikian, efektifitas kelembagaan di wilayah ini mesti ditingkatkan agar

dapat memberikan jaminan bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan dan kelestarian

sumberdaya ikan.

3.6.2 Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan

Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dinilai untuk mengetahui

tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan

perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam

pengelolaan perikanan. Secara teoritis, peraturan yang lengkap akan menjadi dasar dalam

pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Namun demikian, kelengkapan

peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik, karena harus diikuti

dengan penegakan aturan tersebut. Dengan demikian ketersediaan aturan saja tidak cukup dan

menjamin terlaksananya aturan dengan baik, namun harus diikuti dengan penegakan hukum

yang nyata, agar aturan yang ditetapkan itu bisa bersifat fungsional.

Pada setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan, dibutuhkan kesiapan regulasi yang

mencukupi terkait dengan penggunaan alat, operasi penangkapan, kewenangan wilayah

pengelolaan, perijinan, jalur-jalur penangkapan dan kewenangan pengelolaan. Meskipun

faktanya masih seringkali terlihat banyak pelanggarannya, sebagaimana dianalisis dan dibahas

pada indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab di atas.

Penilaian terhadap indikator dari kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dibagi

menjadi dua bagian, meliputi: kelengkapan regulasi serta penegakan aturan dan efektivitasnya

Page 77: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(a) Kelengkapan regulasi

Pada bagian ini, penilaian dilakukan pada sejauhmana kelengkapan aturan main yang dinilai

berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan aturan main. Hal ini dapat dibuktikan dari

sejauhmana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur

praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait

keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial,

ekonomi dan kelembagaan.

Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara,

belum ada regulasi daerah yang secara khusus mengatur tentang seluruh domain secara

holistik. Dua regulasi daerah yang ditetapkan, dan dipandang memiliki keterkaitan kuat dengan

pengelolaan perikanan, terutama setiap domain EAFM, meliputi:

(1) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara; dan

(2) Surat Keputusan Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 162 Tahun 2013 tentang

Pencadangan Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara.

Kedua regulasi di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara ini, tidak menunjukkan dan

mengatur secara khusus tentang domain-domain dalam EAFM, namun demikian keterkaitannya

sangat kuat dengan domain kelembagaan. Hasil ini memberikan gambaran tentang kondisi

dimana eksistensi regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan masih harus dikembangkan.

Sesuai dengan kriteria penilaian, maka kondisi yang ditemukan di Maluku Tenggara termasuk

dalam kriteria penilaian dimana tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan

perikanan yang mencakup dua domain

Kondisi yang dinilai tersebut, jika dibandingkan dengan penilaian pada tahun 2012, yang

memanfaatkan kondisi eksisting sebelum tahun 2012, maka telah ada dua regulasi daerah yang

ditetapkan dan bertambah. Kondisi ini termasuk dalam kriteria penilaian regulasi daerah ada

dan jumlahnya bertambah

Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kelengkapan aturan main dalam pengelolaan

perikanan belum lengkap, namun telah ada upaya-upaya untuk memperhatikan pengelolaan

perikanan di tingkat daerah. Walaupun demikian, regulasi yang ada ini belum menjawab

kebutuhan pengelolaan perikanan secara holistik, karena belum seluruh domain EFM yang

terakomodasi dalam pengaturan di tingkat daerah. Kebutuhan utama pengembangan regulasi di

Page 78: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

daerah ini adalah bagaimana mengakomodasi seluruh domain EAFM dalam berbagai peraturan

daerah atau regulasi lainnya setingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara.

(b) Penegakan aturan dan efektivitasnya

Bagian ini dikembangkan untuk menilai sejauhmana tingkat penegakan aturan mainnya, yang

dibuktikan dengan ada atau tidaknya penegakan aturan main dan efektivitasnya. Untuk

mengetahui ada dan tidaknya penegakan aturan main dapat dilihat dari dua hal yaitu

ketersediaan alat dan orang serta keberadaan bentuk dan intensitas penindakan. Di sisi lain,

untuk melihat bentuk dan intensitas penindakan maka unit yang digunakan adalah ada atau

tidaknya teguran dan hukuman.

Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa penegakan aturan main masih menggunakan

regulasi nasional. Sesuai dengan laporan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku

Tenggara (2014), dua regulasi nasional yang dimanfaatkan sebagai dasar dalam penegakan

aturan main antara lain:

(1) UU No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

dengan acuan pasal 21 ayat (2) dan pasal 40 ayat (2). Pemberlakuan aturan main ini pernah

digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus Pengambilan Tukik Penyu Hijau

pada perairan sekitar Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil, dalam tahun 2013;

(2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU No. 45 Tahun

2009, dengan acuan pasal ayat (1) dan (2) serta pasal 84 ayat (1) dan (2). Pemberlakuan

aturan main ini digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus penangkapan

ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dalam tahun 2013 dan 2014.

Acuan-acuan penegakan aturan main yang dikemukakan di atas merupakan fakta tentang masih

digunakannya regulasi nasional di tingkat lokal, dan berjalan cukup efektif. Namun demikian,

aturan turunan di tingkat daerah masih belum dikembangkan sesuai kebutuhan dan kearifan

lokal di daerah. Hal ini menjadi kebutuhan di tingkat Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya

dalam pengembangan regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan, yang

dapat mengakomodasi domain-domain EAFM.

Di sisi lain, pada tingkat ohoi (desa) telah berkembang aturan ohoi seperti yang ditemukan pada

ohoi Tanimbar Kei yang menerapkan penegakan aturan main di tingkat lokal ohoi. Hal ini

terbukti dengan adanya penegakan aturan main untuk pelaku penangkapan ikan dengan

menggunakan bahwan peledak (bom ikan). Pemberlakuan aturan tingkat ohoi ini merupakan

manifestasi kepedulian masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan berbasis kearifan

Page 79: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

lokal. Penegakan aturan yang menjadi inisiatif masyarakat lokal ini sangat membutuhkan

dukungan stakeholder pengelolaan perikanan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan perikanan, sekaligus menghindari adanya penegakan hukum yang

berlawanan dengan aturan formal di tingkat nasional maupun daerah.

Walaupun demikian, penegakan aturan di wilayah ini dinilai cukup efektif. Catatan Bidang

Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara menunjukkan adanya: (1) tindakan

penertiban; dan (2) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang

berlaku. Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana ada penegakan aturan main dan

efektif

Penilaian terhadap ketersediaan alat pengawasan dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah

pengawas perikanan dan kelompok masyarakat pengawas perikanan. Hasil identifikasi

menemukan beberapa hasil terkait ketersediaan dalat pengawasan, antara lain:

(1) Pada tingkat DKP Kabupaten Maluku Tenggara, terdapat tiga orang yang bersertifikasi

Pengawas Perikanan.

(2) Untuk mendukung pekerjaan pengawasan perikanan, DKP Kabupaten Maluku Tenggara

membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) pada enam ohoi dalam tahun

2014. Keanggotaan Pokmaswas pada setiap ohoi berjumlah 10 orang, dengan demikian total

jumlah tenaga pengawas perikanan di tingkat ohoi sebanyak 60 orang.

(3) Eksistensi Stasiun Pengawasan PSDKP Tual juga berpotensi mendukung proses pengawasan

perikanan di wilayah ini.

(4) Masyarakat ohoi yang telah mengembangkan aturan ohoi seperti pada ohoi Tanimbar Kei

telah memberikan perhatian yang baik dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya

perikaan di wilayah mereka.

Beberapa tindakan teridentifikasi dengan baik melalui peran alat-alat pengawasan ini, antara

lain:

(1) tindakan penertiban;

(2) tindakan penetiban diikuti dengan proses pembinaan;

(3) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku oleh pengawas

DKP Maluku Tenggara;

(4) penangkapan pelaku dan alat bukti diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku di

tingkat ohoi oleh masyarakat dan pemerintah ohoi.

Page 80: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil penilaian ini menggambarkan adanya kelengkapan alat pengawasan dan selalu diikuti

dengan tindakan-tindakan. Sesuai krietria penilaian, hasil penilaian menunjukkan kondisi

dimana ada alat dan orang serta ada tindakan Sejalan dengan ketersediaan alat pengawasan

dan efektfitasnya, maka ada proses teguran dan hukuman yang diberkakukan, walaupun

sebenarnya teguran dan hukuman yang diberikan belum dapat memberikan efek jera terhadap

para pelaku pelanggaran.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, eksistensi aturan tidak cukup jika tidak ada penegakan

hukum. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa perlu juga dilihat sejauhmana tingkat

penegakan hukumnya dilaksanakan dengan baik, terutama jika diharapkan adanya efek jera

pada diri setiap pelaku pelanggaran. Hasl ini sesuai dengan hasil lapangan yang membuktikan

bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tertentu yang umumnya menjadi pelaku

pelanggaran adalah mereka yang juga pernah melakukan pelanggaran yang sama.

Keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan terkait dengan

indikator kelengkapan aturan main yang dapat diindikasikan dengan keberadaan aturan dan

perkembangannya, mesti ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam proses penerapan aturan

dan pemberian hukum. Tindakan tegas masih sangat dibutuhkan untuk menimbulkan efek jera

di tingkat pelaku pelanggaran.

3.6.3 Mekanisme Pengambilan Keputusan

Indikator mekanisme pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah mekanisme yang

menunjukkan adanya metode/prosedur kelembagaan dalam masyarakat, baik yang diatur

dalam peraturan formal maupun informal, dimana pengaturannya mempengaruhi perilaku

masyarakat. Mekanisme kelembagaan juga berkenan dengan sistem tata kelakuan dan

hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. Kelembagaan

memiliki aspek kultural dan struktural, dimana aspek kulturalnya mencakup norma-norma dan

nilai-nilai, sedangkan aspek struktural mencakup pelbagai peranan sosial.

Pandangan-pandangan tersebut di atas memberikan pentingnya jastifikasi tentang suatu

mekanisme kelembagaan yang terkait dengan bagaimana prosedur peraturan/norma/aturan

main dibangun/dibuat khususnya dalam pengelolaan perikanan. Beberapa komponen penting

yang terkait penilaian indikator ini, antara lain:

(1) mekanisme kelembagaan sebagai metode/tehnik organisasi sosial dalam pengelolaan

perikanan terbentuk;

Page 81: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(2) prosedur dan tata cara yang jelas dalam membangun aturan main, yang secara ideal sudah

terbangun menjadi sebuah sistem dan tata nilai yang terimplementasi dalam aspek

pengelolaan perikanan dan dikawal dengan sanksi bagi yang melanggaranya;

(3) mekanisme kelembagaan sebagai hasil negosiasi antara berbagai pihak/pemangku

kepentingan dalam pengelolaan perikanan.

Secara teoritis, ukuran keberhasilan suatu mekanisme kelembagaan adalah mana kala dapat

terimplementasi menjadi sebuah sistem dan berjalan efektif, dimana ukurannya adalah

pengelolaan perikanan berjalan dengan prinsip-prinsip yang bertanggungjawab. Hal inilah yang

menyebabakan pentingnya unit analisis dalam indikator ini yang meliputi ada tidaknya

keputusan dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, pengukuran terhadap indikator ini

dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP)

dalam pengelolaan perikanan.

Hasil identifikasi pada beberapa stakeholder memberikan gambaran tentang pengambilan

keputusan terkait pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara bersifat kolaboratif.

Makna kolaboratif ini tergambar dari partisipasi berbagai lembaga antara lain:

(1) Untuk perijinan usaha perikanan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI

dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme kelembagaan telah terumuskan

dengan baik dan dikelola oleh lembaga daerah yang menurus khusus tentang perijinan

melalui sistem Perjinan Satu Pintu.

(2) Untuk operasionalisasi penangkapan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD, HNSI

dan Perguruan Tinggi dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme

kelembagaan hanya terbatas pada kesepakatan antar lembaga, dan belum terumuskan

secara tertulis melalui suatu SOP dengan baik.

(3) Untuk konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir dan Pulau-Pula Kecil, dilakukan DKP

bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI dan LSM dengan koordinasi BAPPEDA.

Mekanisme kelembagaan ini dijalankan secara reguler sesuai dengan substansi yang

membutuhkan keputusan secara bersama, namun masih harus didukung dengan

pembuatan dan penetapan SOP-nya

Walaupun sebagian besar mekanisme kelembagaan yang bersifat kolaboratif ini belum

terakomodasi melalui SOP yang baik, namun sampai dengan identifikasi lapangan,

mekanismenya masih berjalan dengan baik. Hal ini tergambar dari adanya proses yang berjalan

secara reguler sesuai dengan kebutuhan setiap lembaga.

Page 82: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Hasil penilaian ini memberikan gambaran tingkat efektivitas pengambilan keputusan dalam

pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tengara cukup baik. Hal ini sesuai dengan kriteria

penilaian dimana ada mekanisme dan berjalan efektif

Walaupun belum ada SOP yang holistik dan menjawab tahapan proses secara menyeluruh,

namun eksistensi mekanisme kelembagaan yang terbangun di Kabupaten Maluku Tenggara

telah memberikan gambaran pengelolaan telah tersedia. Demikian halnya dengan prosedur

baku yang belum ditetapkan, hanya kesepakatan-kesepakatan antar lembaga yang memberikan

dukungan terhadap pencapaian efektifitas pengambilan keputusan.

Kondisi tersebut di atas, juga masih harus didukung dengan sistem tata kelola perikanan yang

benar dan menganut prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab. Sesuai dengan kriteria

penilaian yang ada, keputusan selalu diambil dengan pendekatan regulasi yang ada, dan

dijalankan sepenuhnya, sesuai mekanisme yang disepakati. Dengan demikian kriteria penilaian

yang sesuai dengan kondisi ini adalah ada keputusan dijalankan sepenuhnya

3.6.4 Rencana Pengelolaan Perikanan

Penilaian indikator ini mengarah pada ada atau tidaknya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)

untuk wilayah pengelolaan perikanan. Penilaian ini berkenaan dengan pentingnya pengelolaan

perikanan yang memperhatikan kaidah-kaidah perikanan yang bertanggungjawab, agar tidak

memberikan dampak dan mengancam keberlanjutan pasokan pangan nasional dan

internasional serta keberlanjutan stok sumberdaya ikan.

UU No.31/2004 tentang perikanan sebagaimana diubah dalam UU No,45/2009 tentang

perikanan pasal ayat huruf memberikan penjelasan dukungan kebijakan pengelolaan

sumberdaya ikan berbasis rencana pengelolaan perikanan (RPP). RPP merupakan pedoman

dan acuan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dalam merencanakan,

memanfaatkan dan mengawasi kegiatan perikanan, serta dapat dibangun berbasis kawasan

perairan atau berbasis komoditas perikanan.

Hasil identifikasi tentang eksistensi RPP untuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, belum

dikembangkan dan ditetapkan di tingkat daerah. Kondisi ini memberikan bukti tentang

peluang-peluang berkembangnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak

berkelanjutan. Berbagai kondisi yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa tidak adanya

RPP berimplikasi kuat terhadap meningkatnya ancaman terhadap semakin menipisnya potensi

sumber daya ikan di beberapa daerah.

Page 83: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Mengacu pada fakta itu, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara masih dibutuhkan petunjuk

pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan, seperti RPP, yang diharapkan dapat menjamin

keberlanjutan kegiatan perikanan. Dengan demikian, kondisi yang ada sesuai dengan kriteria

penilaian dimana pada Kabupaten Maluku Tenggara belum ada RPP

3.6.5 Tingkat Sinergitas Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan

Indikator ini mengandung maksud adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan

antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik

kepentingan dan benturan kebijakan. Keberhasilan pengelolaan perikanan ditentukan oleh

sejauh mana terjadi sinergisitas antara lembaga pengelola perikanan. Semakin tinggi tingkat

sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan

perikanan akan semakin baik. Demikian halnya, semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan

maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik.

Hasil identifikasi lapangan memberikan gambaran bahwa sinergitas kebijakan dan

kelembagaan pengelolaan perikanan terakomodasi melalui koordinasi yang berjalan dengan

baik, dan banyak mendapat dukungan di bawah koordinasi BAPPEDA. BAPPEDA sebagai

lembaga koordinasi memberikan peran yang cukup dinamis dalam mengakomodasi berbagai

kebijakan dan kelembagaan terkait pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara.

Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana sinergi antar lembaga berjalan baik

Walaupun demikian, perhatian khusus tentang pemahaman tingkat sinergitas kebijakan dan

lembaga terkait perijinan, operasional pengelolaan perikanan, serta konservasi dan pemulihan.

Dua unsur penting yang berjalan dengan baik di Maluku Tenggara meliputi: sistem perijinan

serta konservasi dan pemulihan. Sistem perijinan yang dikembangkan di wilayah ini adalah

melalui “Sistem Pelayanan Satu Pintu”. Di sisi lain, sinergitas pada unsur konservasi dan

pemulihan masih berjalan dengan baik, sebagaimana tergambar dari perkembangannya selama

tiga tahun terakhir untuk kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Maluku Tenggara

seluas 150.000 ha di kawasan Barat Kei Kecil

Pendekatan koordinasi yang diinisiasi oleh BAPPEDA Maluku Tenggara memberikan penguatan

pada alokasi kebijakan yang tidak tumpang tindih antar lembaga di daerah. Hal inilah yang

memberikan dukungan kuat dalam memberikan pernyataan strategis dimana tidak ada

kebijakan yang bertentangan karena adanya kebijakan pengelolaan berbasis integrasi

kelembagaan dan sistem perijinan satu pintu.

Page 84: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Sesuai dengan kondisi yang berkembang di wilayah ini, hasil penilaian memiliki kesesuaian

dengan kriteria penilaian yang menyatakan kebijakan saling mendukung Walaupun

demikian, upaya-upaya untuk mendukung penguatan alokasi dan implementasi kebijakan

pengelolaan perikanan yang sinergis harus dirumuskan dan dikembangkan sesuai kebutuhan

lokal.

Terkait dengan implementasi kebijakan pada seluruh lembaga di Kabupaten Maluku Tenggara,

maka inisiator dan komando sinergitas kebijakan pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara

masih dikendalikan secara baik oleh BAPPEDA Provinsi Maluku. Kondisi ini tidak serta merta

memberikan jaminan tentang tingginya kinerja pengelolaan perikanan. Hal ini disebabkan

pencapaian sinergitas yang tinggi juga harus dicermati dengan baik, agar langkah-langkah

strategis untuk meningkatkan integrasi kelembagaan dapat diposisikan sebagai substansi

penting dalam mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Langkah strategis yang dimaksudkan ini sangat dibutuhkan untuk menhindari tumpang tindih

kebijakan, baik lintas bidang maupun lintas sektor. Kondisi ideal yang diharapkan dalam

pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara adalah semakin tinggi tingkat sinergi

antar lembaga, maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik.

3.6.6 Kapasitas Pemangku Kepentingan

Kapasitas pemangku kepentingan termasuk dalam salah satu indikator yang sangat

menentukan. Penilaian indikator ini diarahkan pada eksistensi kapasitas pemangku

kepentingan yang sesuai dengan upaya-upaya konstruktif peningkatan kapasitas yang

dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pemangku

perikanan (stakeholder merpresentasikan pada pihak yang nmemiliki keterkaitan langsung

dengan pengelolaan perikanan. Pemangku perikanan dapat berasal dari birokrasi pemerintah

(pusat dan daerah), swasta, masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan organisasi masyarakat

pesisir.

Penilaian terhadap indikator ini juga sangat penting dalam rangka mengetahui upaya

peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam kerangka EAF. Upaya-upaya tersebut

merupakan langkah untuk meminimalisir kesalahan dalam mengimplementasikan pengelolaan

perikanan.

Page 85: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

Penilaian terhadap indikator memberikan hasil dimana upaya peningkatan kapasitas yang

diikuti terkait dengan pengelolaan perikanan dalam tahun 2013 dan 2014 meliputi: (1)

workshop/ pelatihan konservasi; (2) studi banding transplantasi karang; (3) studi banding

pengelolaan kawasan konservasi; (4) workshop/ pelatihan terkait zonasi WP3K secara umum

dan pengelolaan kawasan konervasi secara khusus. Hasil ini diimplementasikan dalam bentuk

pengembangan berbagai program dan kegiatan pengelolaan. Namun demikian, alokasi peran

belum banyak diperhatikan terkait kapasitas masing-masing. Sesuai kriteria penilaiannya, maka

indikator ini termasuk dalam kategori kapasitas pemangku kepentingan ada tapi tidak

difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya)

Hasil ini membuktikan bahwa pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara masih

harus didukung dengan upaya-upaya yang sistematis dalam peningkatan kapasitas pemangku

kepentingan dalam mengelola perikanan. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa kapasitas

pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam

pengelolaan perikanan.

Pemangku kepentingan yang diharapkan dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan

perikanan di wilayah ini tidak hanya terbatas pada instansi pemerintah, namun juga

lembaga/organisasi masyarakat dan perorangan. Jika seluruh komponen pengelola perikanan

memiliki kapasitas yang baik sesuai kompetensinya, maka sistem pengelolaan perikanan yang

baik dapat dicapai pada seluruh tahapan pengelolaan, mulai dari aspek perencanaa,

pemanfaatan dan pengawasan.

Page 86: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

4 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan

4.1 Analisa menggunakan sistem Flag

Analisis dengan menggunakan sistem Flag menunjukkan adanya distribusi nilai yang bervariasi

untuk setiap indikator pada seluruh domain yang dianalisis. Hasil analisis secara parsial untuk

setiap domain dieksrepsikan secara tabular sebagai berikut:

(1) Domain Habitat:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. Kualitas perairan 1= tercemar; Tidak dilakukan sampling,identifikasi visual secara umumpada perairan ini tidakmenunjukkan gejala-gejalatercemar, seperti minyak dan B3.

3

2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

1= Melebihi baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004;

Hasil pengukuran di perairan KeiKecil, rata-rata nilai kekeruhan 0,8NTU dan nilai padatan tersuspensitotal 0,08 mg/l. Sementara diperairan Kei Kecil Barat, rata-ratanilai kekeruhan 1,02 NTU dan nilaipadatan tersuspensi total mencapai0,98 mg/l. Nilai-nilai tersebut masihberada di bawah nilai kisarantoleransi Baku Mutu Air Laut untukWisata Bahari dan untuk Biota Laut

3

2= Sama dengan baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004;

3= Dibawah baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004

1= konsentrasi klorofil < µg/l; Hasil cuplikan citra MODISmenunjukkan rata-rata musim: (1)musim Peralihan Barat ke Timur0,10 g/l; (2) musim Timur 0,80

g/l; (3) musim Peralihan Timur keBarat 0,21 g/l; dan (4) musimBarat 0,40 g/l.

1

2= konsentrasi klorofil 2- µg/l;

3= konsentrasi klorofil µg/l

2. Status ekosistemlamun

1=tutupan rendah, 30%; Hasil pengamatan pada lokasiOholilir sebesar 56,43%, Pulau Ngaf62,40%, Tanjung Najun 61,71%,dan Pulau Ohoiwa 61,14%, rata-rata persen tutupan 60,42 %.

3

2=tutupan sedang, 30 - 60%;

3=tutupan tinggi, 60%1=keanekaragaman rendah (H'3,2 atau H' 1), jumlah spesies

Distribusi nilai keanekaragamanlamun di Oholilir 1,764 (7 spesies),Pulau Ngaf 1,406 (5 spesies),Tanjung Najun 1,726 (7 spesies),dan Pulau Ohoiwa 1,669 (7spesies). Rata-rata nilaikeanekaragaman lamun beradapada kriteria 1<H'<3.

2

kanekaragaman sedang(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3),jumlah spesies

keanekaragaman tinggi(H’>9,97 atau H’>3), jumlahspesies

Page 87: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

3. Status ekosistemmangrove

1=tutupan rendah, 50%; Total luasan mangrove diKecamatan Kei Kecil Barat 1.576,58ha, tutupan mangrove mencapai935,35 ha, sehingga tingkat tutupanmangrove 59,33%

2

2=tutupan sedang, 50 - 75%;

3=tutupan tinggi, 75 %

1=kerapatan rendah (<1000pohon/ha);

Pada lokasi contoh Desa Warwut,Kecamatan Kei Kecil Barat tingkatkerapatan mangrove sebanyak 777pohon/ha

1

kerapatan sedang (1000-1500pohon/ha);

kerapatan tinggi (> 1500pohon/ha)

4. Status ekosistemterumbu karang

1=tutupan rendah, <25%; Di Kei Kecil dengan wilayah contohyang disurvey perairan Kecil Barat,rata-rata tutupan karang mencapai39,13%.

2

2=tutupan sedang, 25 - 50%;

3=tutupan tinggi, 50%1=keanekaragaman rendah (H'3,2 atau H' 1);

Tidak dilakukan Pengukuran 1

kanekaragaman sedang(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

keanekaragaman tinggi(H’>9,97 atau H’>3)

5. Habitat unik/khusus 1=tidak diketahui adanya habitatunik/khusus;

Hasil survey WWF-ID tahun 2014menemukan adanya lokasi SPAGs.Lokasi upwelling ditemukan padabusur dalam Banda yang dekatdengan perairan terluar terumbukarang di bagian Barat Kei Kecil.Habitat unik/khusus ini belumdikelola dengan baik melalui suatusistem tata kelola yangkomprehensif.

2

2=diketahui adanya habitatunik/khusus tapi tidak dikeloladengan baik;

diketahui adanya habitatunik/khusus dan dikelola denganbaik

6. Perubahan iklimterhadap kondisiperairan dan habitat

State of knowledge level : Sudah ada kajian tahun 2014,namun belum ada strategi adaptasidan mitigasi secara komprehensif.

21= belum adanya kajian tentangdampak perubahan iklim;2= diketahui adanya dampakperubahan iklim tapi tidak diikutidengan strategi adaptasi danmitigasi;

diketahui adanya dampakperubahan iklim dan diikutidengan strategi adaptasi danmitigasi

state of impact (key indicatormenggunakan terumbu karang):

Hasil survei Kesehatan Karang yangdilakukan oleh WWF, padabeberapa spot memang ditemukanpemutihan karang namun masihterjadi secara patchy dan masihsangat sedikit atau 5%

3

1= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching >25%);2= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching 5-25%);3= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching <5%)

RERATA

Page 88: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(2) Domain Sumber Daya Ikan:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. CpUE Baku menurun tajam (rerata turun25% per tahun)

Hasil analisis CPUE Bakumenunjukkan rata-rata lajupenurunan CPUE Baku sebesar -1,38%. Persamaan regresi yangdihasilkan adalah: -0,0006X1,1287. Penurunan lebih lambat darihasil analisis tahun 2012 (-3,08%)

2

menurun sedikit (rerata turun25% per tahun)

stabil atau meningkat2. Tren ukuran ikan trend ukuran rata-rata ikan

yang ditangkap semakin kecil;Hasil interview menunjukkan: (1)7,50% menyatakan semakin besar; (2)62,50% menyatakan relatif sama; (3)27,50% menyatakan semakin kecil;dan (4) 2,50% menyatakan tidak tahu.Pernyataan ini diikuti denganpendapat bahwa ukuran ikan yangmenjadi target semakin jauh untukditangkap (range collaps)

2

trend ukuran relatif tetap;

trend ukuran semakin besar

3. Proporsi ikanyuwana (juvenile)yang ditangkap

banyak sekali (> 60%) Hasil interview terhadap 55%responden yang tahu tentang adanyapenangkapan ikan yuwana, 22,73%menyatakan sedikit (<30%), 72,73%menyatakan banyak (30 60%) dan4,55% lainnya menyatakan banyaksekali (> 60%). Sebagai pembanding,pengukuran sampel untuk: (1) layang,51,0% umur dewasa (16,21 cm); (2)tembang, 58,5% umur dewasa(11,95 cm); (3) tenggiri, 0% umurdewasa (40-45 cm); (4) teri, 46,5%umur dewasa (6 cm); serta (5) kerapu76,7% umur dewasa (39 cm),dengan rata-rata 46,53% umurdewasa

2

banyak (30 - 60%)

sedikit (<30%)

4. Komposisi spesieshasil tangkapan

proporsi target lebih sedikit (<15% dari total volume)

Pengamatan pada seluruh alattangkap yang umum digunakan (minipurse seine, pancing tonda, pancingdasar, jaring insang hanyut dan bagan,tidak ada ikan non target yangtertangkap karena seluruh hasiltangkapan dimanfaatkan untukkonsumsi dan/atau dijual.

3

proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)

proporsi target lebih banyak (>31 dari total volume)

Page 89: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

5. "Range Collapse"sumberdaya ikan

semakin sulit, tergantungspesies target

Hasil interview: (1) 82,50% semakinsulit; (2) 17,50% relatif tetap; (3)0,00% semakin mudah.

1

relatif tetap, tergantungspesies target

semakin mudah, tergantungspesies target

fishing ground menjadi sangatjauh, tergantung spesies target

Hasil interview: (1) 37,50% sangatjauh; (2) 57,50% jauh; (3) 5,00%tetap. Sebagai pembanding: (1)perikanan bagan di pesisir Timur KeiKecil bergeser ke tengah TelukNerong, saat musim Timur sampaiperairan Pulau Er dan Pulau Ngodan(2-4 jam); (2) perikanan mini purseseine bergeser ke Selatan Selat Nerongsampai perairan Timur Kei Besar (3-5jam); (3) perikanan kerapu bergeserke perairan terluar pulau-pulau 10sampai di perairan Tam-Tayando (1,5

jam)

2

2= fishing ground jauh, tergantungspesies target

3= fishing ground relatif tetapjaraknya, tergantung spesies target

6. Spesies ETP 1= terdapat individu ETP yangtertangkap tetapi tidak dilepas;

ETP yang tertangkap meliputi ikannapoleon dan penyu: (1) hasiltangkapan Napoleon sangat sedikitdan jarang ditemukan. Sebagian besarnelayan pada perikanan kerapu mulaimenerapkan "release" untuk hasiltangkapan napoleon; (2) sebagianbesar upaya pelepasan penyu hijaudan sisik yang tertangkap telahdilakukan; (3) penyu belimbing masihdigunakan untuk kebutuhan upacaraadat (1 ekor per tahun).

2

tertangkap tetapi dilepas

tidak ada individu ETP yangtertangkap

RERATA

Page 90: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(3) Domain Teknik Penangkapan Ikan:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. Penangkapan ikan yangbersifat destruktif

1=frekuensi pelanggaran 10kasus per tahun

Data Bidang Pengawasan danKonservasi DKP Maluku Tenggara:

(1) terjadi pelanggaran kalidalam setahun; (2) pelanggaran

umumnya pada kegiatanpenangkapan ikan dengan

bius/racun dan bahanpeledak/bom; (3) penangkapanhampir tidak ditemukan, kecuali

satu kali temuan padapengambilan tukik penyu; (4)

lokasi-lokasi pelanggaran meliputi:perairan P. Ngaf, Teluk Sobai(Ohoililir), P. Nai, P. Hoat, Ur

Pulau, P. Warbal dan P. Nuhuta.Info tambahan: kegiatan

pemboman ikan dilakukan padasaat subuh dan menjelang malamuntuk menghindari pemantauanoleh pengawas atau masyarakat

sekitar. Hal ini melemahkan prosespengawasan.

3

frekuensi pelanggaran 5-10kasus per tahun

frekuensi pelanggaran <5kasus per tahun

2. Modifikasi alatpenangkapan ikan dan alatbantu penangkapan

lebih dari 50% ukuran targetspesies Lm

Hasil pengukuran sampel ikan: (1)layang, 51,0% Lm (16,21 cm);(2) tembang, 58,5% Lm (11,95cm); (3) tenggiri, 0% Lm (11,95cm); (4) teri, 46,5% Lm (6 cm);serta (5) kerapu 76,7% Lm (39

cm). Rata-rata 46,53% Lm

2

25-50% ukuran target spesiesLm

<25% ukuran target spesiesLm

3. Kapasitas Perikanan danUpaya Penangkapan(Fishing Capacity andEffort)

Rasio kapasitas penangkapan1;

Hasil perhitungan total untukMaluku Tenggara: (1) FC-2010

(tahun dasar) sebesar 45.248,78ton; (2) FC-2014 sebesar

44.264,11 ton; (3) nilai sebesar0,98 (R 1)

2

Rasio kapasitas penangkapan1;

Rasio kapasitas penangkapan

4. Selektivitas penangkapan rendah (> 75%) Hasil perhitungan nilai selektivitasdengan pendekatan alat tangkapsero tancap yang memiliki nilai

selektivitas yang rendah, sebesar0.04%

3

sedang (50-75%)

tinggi (kurang dari 50%)penggunaan alat tangkap yangtidak selektif)

5. Kesesuaian fungsi danukuran kapal penangkapanikan dengan dokumen legal

kesesuaiannya rendah (lebihdari 50% sampel tidak sesuaidengan dokumen legal);

Hasil survey: dari 24 pelaku usahaperikanan, 22 di antaranya

menunjukkan adanya kesesuaiandokumen legal dengan fungsi danukuran kapal, atau sekitar 91,67%

yang sesuai, atau 8,33% tidaksesuai

3

kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengandokumen legal);

kesesuaiannya tinggi (kurangdari 30%) sampel tidak sesuaidengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak kapalperikanan sesuai denganperaturan.

Kepemilikan sertifikat <50%; Hasil survey: dari 24 pelaku usahaperikanan, hanya orang yangmemiliki sertifikat awak kapal

perikanan sesuai denganperaturan, atau sekitar 37,50%

yang memiliki sertifikat kecakapanawak kapal perikanan

1

Kepemilikan sertifikat 50-75%;

Kepemilikan sertifikat >75%

Page 91: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(4) Domain Sosial:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. Partisipasipemangkukepentingan

50%; Dalam tiga tahun terakhir,partisipasi pemangku kepentingan

meningkat sangat tajam. Kondisiini didukung dengan

berkembangnya perspektif.Contoh kasus: pengembangankawasan konservasi "TamanWisata Perairan Pulau Kecil",

mulai dari inisiasi, identifikasi,pencadangan, penetapan kawasan,

dan perencanaan zonasi.Keberlibatan pemangku

kepentingan di tingkat lokal jugasemakin kuat, baik Kepada AdatKawasan maupun Kepala Ohoi

2

50-100%;

100 %

2. Konflik perikanan lebih dari kali/tahun; Hasil identifikasi: (1) tahun 2013,satu kali konflik antara

pemanfaatan jalur transportasidan perikanan bagan di Teluk

Nerong; (2) Tahun 2014, satu kalikonflik antara nelayan mini purseseine dalam penempatan rumpon

dengan perikanan bagan.

3

2- kali/tahun;

kurang dari kali/tahun

3. Pemanfaatanpengetahuan lokaldalam pengelolaansumberdaya ikan(termasuk didalamnya TEK,traditional ecologicalknowledge)

tidak ada; Dalam tiga tahun terakhir, telahdigunakan TEK dalam pengelolaan

perikanan. Beberapa faktapemanfaatan TEK dalam

pengelolaan sumber daya ikan: (1)pengetahuan dalam implementasisistem sasi kawasan tertentu dan

jenis tertentu seperti teripang, loladan batulaga; (2) pengetahuan

lokasi potensial penangkapan ikan(daerah tubir, kawasan met dan

daerah skaru/tubur untuk tujuantangkap ikan demersal; (3)

pengetahuan tentang lokasi-lokasiyang tidak boleh disentuh atau

dilarang secara adat yangmengandung makna ekologis;serta (4) artikulasi lokal yangdiungkap untuk mendukung

sistem zonasi berbasis (adat) lokal.Keempat TEK ini cukup efektif

penggunaannya.

3

ada tapi tidak efektif;

ada dan efektif digunakan

RERATA

Page 92: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

(5) Domain Ekonomi:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. Kepemilikan Aset nilai aset berkurang (berkurangnyalebih dari 50%);

Hasil survey Nilai aset: (1) perahu, 22,50%berkurang, 62,50% tetap, dan 15,00%

bertambah; (2) mesin, 20,00% berkurang,65,00% tetap, dan 15,00% bertambah; (3)

alat tangkap, 0,00% berkurang, 77,50%tetap, dan 22,50% bertambah; (4) Rata-rata

tertinggi, 68,33% nilai aset tetapnilai aset tetap (berkurangnya

50%);

nilai aset bertambah (meningkat50%)

2. Pendapatan rumahtangga perikanan (RTP)

1= kurang dari rata-rata UMR, Secara parsial, hasil survey menunjukkanrata-rata pendapatan RTP: (1) JIH

676.500; (2) pancing kerapu 3.407.000;(3) bagan 3.328.000; dan (4) mini purse

seine 6.300.800. Rata-Rata agregat3.428,075, dan UMR (1.415.000)

2= sama dengan rata-rata UMR,

rata-rata UMR

3. Rasio Tabungan (Savingratio)

kurang dari bunga kredit pinjaman; Hasil perhitungan saving ratio rata-rata diRTP: (1) JIH 6,15%; (2) pancing kerapu

9,61%; (3) bagan 11,39%; dan (4) minipurse seine 12,97%. Rata-rata agregat

10,03% suku bunga kredit pinjaman akhirtahun 2014 sampai awal tahun 2015

(11,52%)

sama dengan bunga kreditpinjaman;

lebih dari bunga kredit pinjaman

RERATA 2

(6) Domain Kelembagaan:

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

1. Kepatuhan terhadapprinsip-prinsipperikanan yangbertanggung jawabdalam pengelolaanperikanan yang telahditetapkan baik secaraformal maupun non-formal

1= lebih dari kali terjadipelanggaran hukum dalampengelolaan perikanan;

Pelanggaran masih terjadi dalam duatahun terakhir: (1) Tahun 2013, kalipelanggaran; (2) Tahun 2014, kalipelanggaran

2

2- kali terjadi pelanggaranhukum;

kurang dari kali pelanggaranhukumNon formal Masyarakat cukup proaktif untuk

melaporkan pelanggaran yangterindikasi/terjadi pada perairansekitar, khususnya oleh Pokmaswas.Hasil identifikasi lapangan: tahun 2013sebanyak informasi pelanggaran, dandalam tahun 2014 sebanyak tigainformasi pelanggaran.

2

1= lebih dari informasipelanggaran,

2= lebih dari informasipelanggaran,

3= tidak ada informasipelanggaran

Page 93: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

2. Kelengkapan aturanmain dalampengelolaan perikanan

tidak ada regulasi hinggatersedianya regulasi pengelolaanperikanan yang mencakup duadomain;

Dua regulasi daerah yang ditetapkansesudah penilaian tahun 2012 yangmemanfaatkan kondisi eksistingsebelum tahun 2012, masing-masing:(1)PERDA No. 12/2012 tentang RTRWKabupaten Maluku Tenggara; dan (2)SK Bupati No. 162/2013 tentangPencadangan Kawasan KonservasiKabupaten Maluku Tenggara. Hanyadomain yang terkait dengan eksistensiregulasi daerah ini, yaitu: domainkelembagaan.

1

tersedianya regulasi yangmencakup pengaturan perikananuntuk domain;

tersedia regulasi lengkap untukmendukung pengelolaanperikanan dari domainElaborasi untuk poin 2 Mengacu pada penilaian tahun 2012,

telah ada dua regulasi daerah yangditetapkan dan bertambahsebagaimana dijelaskan pada kriteria diatas.

3

1= ada tapi jumlahnya berkurang;

2= ada tapi jumlahnya tetap;

3= ada dan jumlahnya bertambah

1=tidak ada penegakan aturanmain;

Walaupun menggunakan regulasinasional, namun penegakan aturancukup efektif.

3

2=ada penegakan aturan mainnamun tidak efektif;3=ada penegakan aturan main danefektif

1= tidak ada alat dan orang; Alat pengawasan: (1) pengawas diDKP Maluku Tenggara; (2)Pokmaswas dengan 60 tenagapengawas; (3) eksistensi StasiunPengawasan PSDKP Tual; dan (4)masyarakat ohoi dengan aturan ohoi.Beberapa tindakan: (1) penertiban; (2)penetiban diikuti pembinaan; (3)penangkapan dan hukuman olehpengawas DKP Maluku Tenggara; serta(4) penangkapan pelaku dan alat buktioleh masyarakat dan pemerintah ohoi.

3

2=ada alat dan orang tapi tidak adatindakan;

3= ada alat dan orang serta adatindakan

1= tidak ada teguran maupunhukuman;

Teguran dan hukuman dijalankantergantung pada tingkatan dan pelakupelanggaran

3

2= ada teguran atau hukuman;

3=ada teguran dan hukuman

Page 94: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

3. Mekanismepengambilankeputusan

1=tidak ada mekanismepengambilan keputusan;

Pengambilan keputusan bersifatkolaboratif dengan melibatkan lembagalain: (1) untuk perijinan usaha,dilakukan DKP bersamaKesyahbadaran, BPMD dan HNSIdengan koordinasi BAPPEDA; (2) untukoperasionalisasi penangkapan,dilakukan DKP bersamaKesyahbadaran, BPMD, HNSI danPerguruan Tinggi dengan koordinasiBAPPEDA; (3) untuk konservasi danpemulihan ekosistem pesisir PP.kecil, dilakukan bersama KSDA,Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI danLSM dengan koordinasi BAPPEDA.Mekanisme ini dijalankan secarareguler sesuai dengan substansi yangmembutuhkan keputusan secarabersama, namun masih harus didukungdengan pembuatan dan penetapan SOP-nya

3

2=ada mekanisme tapi tidakberjalan efektif;

3=ada mekanisme dan berjalanefektif

1= ada keputusan tapi tidakdijalankan;

Keputusan selalu diambil denganpendekatan regulasi yang ada, dandijalankan sepenuhnya (sesuai denganmekanisme).

3

2= ada keputusan tidaksepenuhnya dijalankan;3= ada keputusan dijalankansepenuhnya

4. Rencanapengelolaan perikanan

1=belum ada RPP; Belum ada Rencana PengelolaanPerikanan di Tingkat Kabupaten

1

2=ada RPP namun belumsepenuhnya dijalankan;3=ada RPP dan telah dijalankansepenuhnya

5. Tingkat sinergisitaskebijakan dankelembagaanpengelolaan perikanan

1=konflik antar lembaga(kebijakan antar lembaga berbedakepentingan);

Adanya koordinasi yang berjalandengan baik, dan banyak mendapatdukungan di bawah koordinasiBAPPEDA

3

komunikasi antar lembagatidak efektif;

sinergi antar lembaga berjalanbaik1= terdapat kebijakan yang salingbertentangan;

Tidak ada kebijakan yang bertentangankarena adanya kebijakan pengelolaanberbasis integrasi kelembagaan dansistem perijinan satu pintu.

3

kebijakan tidak salingmendukung;

kebijakan saling mendukung

Page 95: James Abrahamsz Frederik Ayal - eafm-indonesia.net - EAFM KAB. MALUKU... · Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu ... sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan ... perubahan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR

6. Kapasitas pemangkukepentingan

1=tidak ada peningkatan; Upaya peningkatan kapasitas yangdiikuti dalam tahun 2013 dan 2014: (1)workshop/ pelatihan konservasi; (2)studi banding transplantasi karang; (3)studi banding pengelolaan kawasankonservasi; (4) workshop/ pelatihanterkait zonasi WP3K secara umum danpengelolaan kawasan konervasi secarakhusus. Hasil ini diimplementasikandalam bentuk pengembangan berbagaiprogram dan kegiatan pengelolaan.Namun demikian, alokasi peran belumbanyak diperhatikan terkait kapasitasmasing-masing.

2

ada tapi tidak difungsikan(keahlian yang didapat tidaksesuai dengan fungsipekerjaannya)

ada dan difungsikan (keahlianyang didapat sesuai dengan fungsipekerjaannya)

(7) Nilai Komposit/Agregat:

Domain Nilai Komposit DeskripsiSumber daya Ikan 65,00 BaikHabitat ekosistem 61,11 BaikTeknik Penangkapan Ikan 61,67 BaikSosial 46,67 SedangEkonomi 100,00 Baik SekaliKelembagaan 65,27 Baik

Aggregat 209,36 Baik