Jakarta Makin Tidak Beradab

4
 www.bktrn.org 1 Jakarta Makin "Tidak Beradab" SEANDAINYA Center of Housing Rights and Eviction (COHRE), mendapat informasi bahwa di Jakarta terjadi penggusuran paksa pada malam takbiran tahun 2003, barangkali LSM internasional yang bergerak di bidang hak atas perumahan itu akan menjuluki Republik ini menjadi "negara paling tidak beradab". Tahun lalu LSM in i menempa tkan I ndonesi a, Gua tema la, dan Se rbia Mont eneg ro dalam peringkat pertama negara yang sanga t t i dak mengharga i h ak ata s peruma han. Unt uk peringka t ini, COHR E mengg unaka n kasus penggusuran tahun 2001 yang ti dak seda hsyat penggusura n sel am a 2003 di Ibu Kota. PENERTIBAN yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI itu di dasa ri arg umen bahw a permukiman li ar dan lapa k peda ga ng ka ki li ma (P KL) merupa kan penyebab banji r, kema cetan, dan m eningka tnya krimin alit as. Penya kit ko ta ya ng wujudnya banji r, kemace tan, dan kriminal it as it u diangg ap be rsumber da ri kian banya knya orang miskin di kot a. Terapinya, pengg usuranpaksa. Me ma ng lang ka h pintas Gubern ur DKI Sutiyoso  i tu j uga dilakuka n dalam rang ka me ri as wa j ah Jakarta a ga r menjadi canti k berseri deng an lenyapnya pe rmu kiman " liar". S aya ngnya , do sis "obat" it u terlalu tinggi sehin gg a m enimbul kan efek sampin g berupa " j eraw at" di ma ta ma syara kat internasional. Permukiman li ar dan PKL merupaka n dua di antara sera ngka ian perso alan yang mem beli t Jaka rta hi ngg a ulang tahunnya  y an g k e- 4 77 t a h un 200 4 in i . M a k i n l ama persoalan itu ma kin kompleks dan menjengkelkan s ehin gg a reaksi yang dil akuka n pemprov pun t idak lag i mem perhati kanmartabat kema nusi aa n.  J alan p i nt a s y a n g di l a k u k a n i t u k emud i an meni mbul kan ga mbar yang buruk b etapa makin "kejamnya" Ibu Kota. Se l ain p engg usuran dan keraw ana n so si al  y an g t e r u s me n i n g k a t , di e t a l a se n e g eri ini ti ada ha ri tanpa kema cetan. Ti ada ruang publi k yang me madai, serta peruba han dan penyi mpanga n pemanf aa tan ruang perkotaa n sudah sem akin t idak terkenda li . Kondisi ini me njadika n kota ini se ma kin  j au h d a r i r asa a man d a n n y a m an un t u k di ni kmati sebag ai sebuah ibu ko ta neg ara . Me ma suki era ba ru me l alui sl ogan " J akarta Better City, Better Life", ibu kota Republi k i ni ma lah ma kin "me nyera mka n" terutama bag i or ang kecil dan pendata ng. Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI  Ja k a r ta N u r fa k i h W i r a w an, d i d a m p i n g i Kepala S ubdi nas Pengkaji an S trukt ur Rua ng Kota Dinas Ta ta Kota DKI Jaka rta M Fau sal Kaha r meng akui, ma si h banyak " PR" ya ng ha rus diselesaikan. Misa lnya, penyed iaan rua ng terbuka hijau . Hal i ni  j u g a k e m b ali te r k a i t den g an p e m b e basan l aha n, penert ib an hunian penduduk. Sa at i ni , pert am bahan penduduk Jakarta da ri urbanisasi menca pai seki tar 200.000 orang per ta hun. Diakuinya, t indakan teg as berupa pener ti ban itu sering disebut kej am ,

Transcript of Jakarta Makin Tidak Beradab

  • www.bktrn.org 1

    Jakarta Makin "Tidak Beradab"

    SEANDAINYA Center of Housing Rights and Eviction (COHRE), mendapat informasi bahwa di Jakarta terjadi penggusuran paksa pada malam takbiran tahun 2003, barangkali LSM internasional yang bergerak di bidang hak atas perumahan itu akan menjuluki Republik ini menjadi "negara paling tidak beradab".

    Tahun lalu LSM ini menempatkan Indonesia, Guatemala, dan Serbia Montenegro dalam peringkat pertama negara yang sangat tidak menghargai hak atas perumahan. Untuk peringkat ini, COHRE menggunakan kasus penggusuran tahun 2001 yang tidak sedahsyat penggusuran selama 2003 di Ibu Kota.

    PENERTIBAN yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI itu didasari argumen bahwa permukiman liar dan lapak pedagang kaki lima (PKL) merupakan penyebab banjir, kemacetan, dan meningkatnya kriminalitas. Penyakit kota yang wujudnya banjir, kemacetan, dan kriminalitas itu dianggap bersumber dari kian banyaknya orang miskin di kota. Terapinya, penggusuran paksa. Memang langkah pintas Gubernur DKI Sutiyoso itu juga dilakukan dalam rangka merias wajah Jakarta agar menjadi cantik berseri dengan lenyapnya permukiman "liar". Sayangnya, dosis "obat" itu terlalu tinggi sehingga menimbulkan efek samping

    berupa "jerawat" di mata masyarakat internasional.

    Permukiman liar dan PKL merupakan dua di antara serangkaian persoalan yang membelit Jakarta hingga ulang tahunnya yang ke-477 tahun 2004 ini. Makin lama persoalan itu makin kompleks dan menjengkelkan sehingga reaksi yang dilakukan pemprov pun tidak lagi memperhatikan martabat kemanusiaan. Jalan pintas yang dilakukan itu kemudian menimbulkan gambar yang buruk betapa makin "kejamnya" Ibu Kota.

    Selain penggusuran dan kerawanan sosial yang terus meningkat, di etalase negeri ini tiada hari tanpa kemacetan. Tiada ruang publik yang memadai, serta perubahan dan penyimpangan pemanfaatan ruang perkotaan sudah semakin tidak terkendali. Kondisi ini menjadikan kota ini semakin jauh dari rasa aman dan nyaman untuk dinikmati sebagai sebuah ibu kota negara. Memasuki era baru melalui slogan "Jakarta Better City, Better Life", ibu kota Republik ini malah makin "menyeramkan" terutama bagi orang kecil dan pendatang.

    Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta Nurfakih Wirawan, didampingi Kepala Subdinas Pengkajian Struktur Ruang Kota Dinas Tata Kota DKI Jakarta M Fausal Kahar mengakui, masih banyak "PR" yang harus diselesaikan. Misalnya, penyediaan ruang terbuka hijau. Hal ini juga kembali terkait dengan pembebasan lahan, penertiban hunian penduduk. Saat ini, pertambahan penduduk Jakarta dari urbanisasi mencapai sekitar 200.000 orang per tahun.

    Diakuinya, tindakan tegas berupa penertiban itu sering disebut kejam,

  • www.bktrn.org 2

    padahal sosialisasi sudah dilakukan. Orang yang mematuhi peraturan saja sering mengalami kesulitan, masak pelanggaran peraturan justru diberi insentif dalam bentuk toleransi. "Sanksi yang keras terhadap pelanggaran itu seperti pil pahit yang mesti ditelan untuk tidak membuat penyakit berkepanjangan," tegasnya.

    Fausal menambahkan, jika penertiban dilakukan di suatu lokasi, lantas penghuni ilegal itu pindah, ditertibkan lagi, pindah lagi, kena penertiban terus, diharapkan dari situ mereka bisa belajar untuk tidak terus melanggar aturan. Limitasi hunian seharusnya sudah dilakukan dari dulu. Artinya, disesuaikan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungannya.

    PENGGUSURAN merupakan bagian dari manajemen kota yang serba spontan, reaktif, dan parsial. Manajemen jenis ini biasanya sering mengabaikan tata ruang kota. Tidak heran kalau perkembangan Kota Jakarta telah begitu menyimpang dari Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTR) 19852005. Jakarta menjadi kota inefisien dan tidak nyaman. Banjir tahunan menghanyutkan miliaran rupiah, selain korban jiwa dan orang sakit. Daerah rawan banjir meluas.

    Visi Jakarta seperti tertuang dalam Peraruran Daerah (Perda) DKI Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 memang up to date. Visi itu adalah terwujudnya Jakarta sebagai ibu kota negara RI yang manusiawi, efisien, dan berdaya saing global. "Dalam pengembangan tata ruang lebih kita fokuskan sebagai pengembangan service city. Pada dasarnya Jakarta memberi pelayanan pada kota-kota lain di Indonesia sekaligus pintu masuk dari luar negeri," tambah Nurfakih.

    Namun, dalam sistem ekonomi global dengan pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan, satu-satunya perkara penting bagi penguasa kota adalah

    bagaimana mengintensifkan dan memperluas pasar demi keuntungan tinggi. "Dalam sistem macam itu, kota dipahami dan dikelola sebagai badan usaha sekaligus pasar, yang di dalamnya segala sesuatu bisa dijual (tak terkecuali ruang)," ungkap Sri Palupi, mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Ketua Institute for Ecosoc Rights di harian ini beberapa waktu lalu.

    Warga kota dipandang tak lebih sebagai konsumen. Sebagai pasar, kota dikembangkan dengan membangun pusat bisnis dan perdagangan skala besar, termasuk perkantoran, apartemen, dan rumah mewah. Pembangunan supermarket, mal, plaza, dan pusat-pusat perbelanjaan dijadikan jalan tunggal pertumbuhan kota sekaligus solusi kemacetan ekonomi kota.

    Meski Jakarta dan sekitarnya sudah dikepung puluhan mal dan pusat perbelanjaan, kini tengah dan masih akan dibangun puluhan mal dan pusat perbelanjaan. Persoalannya, pembangunan ruang-ruang komersial itu dijalankan dengan mengorbankan fungsi ruang-ruang lain, seperti ruang publik dan ruang terbuka hijau, yang sentral bagi berlangsungnya kehidupan kota.

    Terkait dengan aktivitas itu, laju rata-rata (commuting time) sudah mencapai 79 menit (tahun 2000). Artinya, kemacetan kian menjadi-jadi akibat kesemrawutan kota dan tingginya populasi mobil pribadi.

    Menurut pakar transportasi sekaligus Direktur Pusat Penelitian dan Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB) Dr Harun Al Rasyid Lubis, kemacetan terjadi hampir di semua ruas jalan arteri, terutama pada pagi dan sore hari.

  • www.bktrn.org 3

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Lubis bersama M Isnaeni dan Dimas B Dharmowijoyo, dampak sosial dari kemacetan itu menyebabkan kerugian sosial bagi masyarakat berupa pemborosan waktu dan biaya operasi kendaraan senilai Rp 17,2 triliun per tahun. Selain itu, jumlah emisi gas buang yang ditimbulkannya diperkirakan mencapai 25.000 ton per tahun. "Dampak ikutan lain adalah produktivitas ekonomi kota dan kualitas hidup warganya sangat rendah," kata Lubis.

    Kemacetan ini, menurut ahli transportasi ITB yang juga dosen Departemen Teknik Planologi Prof BS Kusbiantoro, disebabkan oleh tidak seimbangnya antara supply dan demand yang ada. Pertambahan jumlah kendaraan yang tinggi tidak terkejar oleh pertambahan jumlah jalan. Misalnya, kemacetan yang ada di Jalan MH Thamrin dan Jenderal Sudirman, Jakarta.

    Ketika jalan itu dibangun di masa Presiden Soekarno, sepanjang jalan belum berkembang sebagai daerah bisnis. Sekarang, jumlah gedung-gedung pencakar langit terus bertambah dan aktivitas warga masyarakat di kawasan ini sangat tinggi, namun lebar kedua ruas jalan tersebut tetap.

    Dari sisi supply, total alokasi lahan untuk jalan di Jakarta hanya sekitar 6,28 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan kota-kota megapolitan dunia seperti London yang mencapai 22 persen dan New York sebesar 24 persen. Walaupun demikian, angka kepemilikan mobil di Jakarta sangat kecil sekitar satu mobil untuk delapan orang, sedangkan angka kepemilikian mobil rata-rata kota-kota di Amerika Serikat dan Eropa mencapai satu mobil untuk dua orang.

    Tidak seimbangnya supply dan demand tersebut, kata Kusbiantoro, juga disebabkan oleh tidak jelasnya sistem

    hierarki jalan yang ada. Seharusnya ada pola jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan lokal dengan jumlah berimbang. Jumlah jalan arteri harus lebih sedikit daripada jalan kolektor, sedangkan jumlah jalan kolektor harus lebih sedikit daripada jalan lokal.

    "Kondisi yang ada justru berbeda. Jalan arteri dan tol terus dibangun, tetapi jumlah jalan kolektor dan lokal pertambahannya kurang. Akibatnya, di pintu jalan arteri selalu terjadi kemacetan," kata Kusbiantoro. Kondisi ini diperparah dengan difungsikannya jalan arteri untuk berbagai jenis kendaraan sehingga lalu lintas menjadi semrawut.

    Nurfakih mengakui, jaringan jalan yang belum beres membuat jalan-jalan di Jakarta yang sebenarnya tidak berfungsi sebagai jalan arteri "dipaksa" seperti jalan arteri. Truk-truk, misalnya, masuk ke jalan tol di Gatot Subroto. Jalan-jalan arteri pun seharusnya tidak sebidang. Campur aduknya jalur jalan ini dikarenakan banyaknya sistem jaringan yang belum terbangun sesuai struktur yang sebenarnya sudah dipunyai.

    RUWETNYA transportasi di Jakarta disebabkan oleh kurangnya komitmen Pemerintah DKI menerapkan masterplan transportasi. Untuk melaksanakan konsep penataan transportasi, memang diperlukan waktu yang lama. Karena itu, diperlukan pengorbanan dari pejabat pemerintah serta anggota DPRD untuk mau menyiapkan prasarana pendukung sistem transportasi Jakarta.

    "Butuh pemimpin yang punya visi dan mau berkorban demi kebutuhan masyarakat jangka panjang," ujar Kusbiantoro. Ia mencontohkan, salah satu penyebab kerusakan jalan yang cepat di Jakarta adalah tidak adanya sistem drainase yang baik. Setiap kali turun hujan, jalan-jalan mudah sekali tergenang. Hal ini

  • www.bktrn.org 4

    timbul akibat tidak adanya gorong-gorong besar seperti di kota-kota besar lainnya.

    Tidak terbangunnya gorong-gorong itu karena tidak adanya kemauan pemerintah untuk membangun sistem drainase yang memadai karena hasil pembangunannya tidak tampak. Keengganan pemimpin daerah untuk membangun sistem drainase adalah jika ia yang membangun maka penggantinya yang akan menikmati hasilnya karena untuk membangun prasarana tersebut dibutuhkan waktu lama.

    "Transportasi merupakan sebuah sistem yang akan berfungsi jika dipenuhi secara total. Jika tidak, maka sistem tersebut tidak akan jalan," kata Kusbiantoro menambahkan.

    "Akar masalah sebenarnya (yang tidak kasatmata) justru sering dilupakan, yaitu kerangka besar pengelolaan infrastruktur transportasi dan tata ruang Jakarta yang belum jelas arah penanganannya, belum komprehensif cara pandangnya, belum kompak antarinstansi pelaksananya, serta belum ada sinergi antara pemerintah daerah dan departemen teknis pusat yang mengurusi jalan dan perhubungan," kata Lubis.

    Meskipun Pemerintah DKI Jakarta telah memperkenalkan Kebijakan Makro Transportasi DKI Jakarta, usaha pengembangan jaringan belum terprogram

    secara padu. Berbagai upaya mengatasi masalah transportasi di Jakarta seperti pembangunan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/JORR), pengoperasian busway, perpanjangan dan perluasan jalur 3 in 1, dan pembangunan monorel dilakukan tanpa melalui kajian transportasi yang komprehensif.

    Karena itu untuk jangka pendek, penggunaan kendaraan pribadi perlu dibatasi dengan mengampanyekan dan menyediakan angkutan umum. Dampaknya, pembangunan jalan dapat ditekan dan dana yang tersedia dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan angkutan umum dan penerapan manajemen perjalanan. Hal ini juga dilakukan kota-kota besar dunia, seperti Bangkok, Singapura, dan Manila.

    Dalam jangka menengah, perlu ada pengendalian ruang untuk menjaga kecukupan ruang bagi lingkungan kota. Misalnya, dengan pengembangan kawasan secara mixed land use yang dapat mengurangi jarak dan jumlah perjalanan.

    Sedangkan dalam jangka panjang, kebijakan tarif (urban pricing policy), seperti pajak tanah dan properti, harus dikembangkan untuk mendukung dan mengontrol tata guna lahan yang memenuhi prinsip pembangunan berkelanjutan. (K11/day/dmu)

    Sumber: Kompas Sabtu, 19 Juni 2004