Jakarta

3
[JAKARTA] Bagi sebagian rumah sakit (RS), khususnya swasta, penerapan tarif Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs) ternyata tidak menimbulkan defisit. RS Al Islam Bandung (Jawa Barat) dan Al Nisa Tangerang (Banten), misalnya, bahkan mengalami surplus dengan sistem paket dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini. Direktur RS AL Nisa, Ediansyah Mars, memaparkan, dibanding sistem fee for service (membayar sebelum layanan), penerapan tarif Ina CBGs memberikan pendapatan tambahan bagi RS. Ia mencontohkan, dengan menggunakan tarif Jamsostek klaim yang dibayarkan sebesar Rp 2,6 miliar, maka dengan tarif Ina CBGs menjadi Rp 2,9 miliar. Artinya ada kenaikan pendapatan yang diperoleh RS sebesar 10,55%. Bahkan, dia mengungkapkan, terhadap beberapa tindakan yang minus atau terlalu rendah dalam tarif Ina CBGs dilakukan pengontrolan, sehingga paling tidak biayanya impas atau bahkan surplus mencapai 50%. Misalnya, untuk proses persalinan Section Caesar (SC) yang tadinya dengan tarif Jamsostek seharga Rp 6 juta, tetapi di paket Ina CBGs hanya Rp 4 juta. Kenaikan pendapatan ini hasil dari kebijakan pengendalian, kontrol, dan efisiensi atau penghematan yang dilakukan RS Al Nisa. Menurut Ediansyah, sebelum menerapkan tarif Ina CBGs, dilakukan inventarisasi kasus dan anggaran yang terserap pada pasien JPK Jamsostek. Kemudian melakukan simulasi pada 1.208 pasien yang diagnosisnya sudah memiliki kode Ina CBGs. Selain itu, katanya, pihaknya juga melakukan sosialisasi dan mengubah perilaku karyawan, termasuk tenaga medis, dari layanan dengan fee for service kepada Ina CBGs. Setelah itu, melakukan pelatihan kepada staf medis soal sistem software penagihan, misalnya dokter dilatih menulis diagnosis utama dari seluruh diagnosis. Diagnosis ini menentukan kode Ina CBGs yang jumlahnya sebanyak 1.077. Dokter juga menuliskan prosedur tindakan. Pihaknya juga mencatat diagnosis sekunder yang berpengaruh terhadap peningkatan severity level (tingkat keparahan), mengingat memiliki kemahalan yang bebeda. Lalu, menyusun clinical pathway untuk kasus-kasus berbiaya mahal, tetapi terlalu rendah

description

tes

Transcript of Jakarta

Page 1: Jakarta

[JAKARTA] Bagi sebagian rumah sakit (RS), khususnya swasta, penerapan tarif Indonesia Case Based Groups (Ina CBGs) ternyata tidak menimbulkan defisit. RS Al Islam Bandung (Jawa Barat) dan Al Nisa Tangerang (Banten), misalnya, bahkan mengalami surplus dengan sistem paket dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini.

Direktur RS AL Nisa, Ediansyah Mars, memaparkan, dibanding sistem fee for service (membayar sebelum layanan), penerapan tarif Ina CBGs memberikan pendapatan tambahan bagi RS. Ia mencontohkan, dengan menggunakan tarif Jamsostek klaim yang dibayarkan sebesar Rp 2,6 miliar, maka dengan tarif Ina CBGs menjadi Rp 2,9 miliar.

Artinya ada kenaikan pendapatan yang diperoleh RS sebesar 10,55%. Bahkan, dia mengungkapkan, terhadap beberapa tindakan yang minus atau terlalu rendah dalam tarif Ina CBGs dilakukan pengontrolan, sehingga paling tidak biayanya impas atau bahkan surplus mencapai 50%. Misalnya, untuk proses persalinan Section Caesar (SC) yang tadinya dengan tarif Jamsostek seharga Rp 6 juta, tetapi di paket Ina CBGs hanya Rp 4 juta.

Kenaikan pendapatan ini hasil dari kebijakan pengendalian, kontrol, dan efisiensi atau penghematan yang dilakukan RS Al Nisa. Menurut Ediansyah, sebelum menerapkan tarif Ina CBGs, dilakukan inventarisasi kasus dan anggaran yang terserap pada pasien JPK Jamsostek. Kemudian melakukan simulasi pada 1.208 pasien yang diagnosisnya sudah memiliki kode Ina CBGs.

Selain itu, katanya, pihaknya juga melakukan sosialisasi dan mengubah perilaku karyawan, termasuk tenaga medis, dari layanan dengan fee for service kepada Ina CBGs. Setelah itu, melakukan pelatihan kepada staf medis soal sistem software penagihan, misalnya dokter dilatih menulis diagnosis utama dari seluruh diagnosis. Diagnosis ini menentukan kode Ina CBGs yang jumlahnya sebanyak 1.077. Dokter juga menuliskan prosedur tindakan.

Pihaknya juga mencatat diagnosis sekunder yang berpengaruh terhadap peningkatan severity level (tingkat keparahan), mengingat memiliki kemahalan yang bebeda. Lalu, menyusun clinical pathway untuk kasus-kasus berbiaya mahal, tetapi terlalu rendah di paket Ina CBGs. Tujuannya untuk mengontrol dan mengurangi variasi pengeluaran medis, agar tidak rugi.

“Misalnya, dalam penanganan persalinan SC, RS Al Nisa memiliki enam dokter kandungan, dengan biaya tindakan yang berbeda-beda. Clinical pathway bisa mengontrol kasus ini agar mutunya tetap stabil tetapi harganya tidak bervariasi,” tutur Ediansyah, kepada SP, beberapa waktu lalu. Dia juga menjelaskan, pihaknya membangun sistem persediaan, baik itu barang medis habis pakai maupun obat terapi yang efisien.

Hal ini sangat penting, mengingat dengan sistem paket, mendapatkan barang berkualitas dengan harga yang murah sangat membantu untuk menghitung unit cost tidak terlalu tinggi. Dari efisiensi itu, menurut Ediansyah, kunjungan pasien di RS Al Nisa membeludak, dan tagihannya menambah pendapatan.

Misalnya, selama Januari-Februari 2014 tercatat jumlah pasien rawat jalan sebanyak 2.978. Hasilnya, berdasarkan tarif RS, rawat jalan tadi menyerap anggaran Rp 410 juta, tetapi dengan

Page 2: Jakarta

Ina CBGs menjadi Rp 505 juta. Itu berarti ada selisih surplus sebesar 19% atau sekitar Rp 95 juta. Dengan kata lain, RS Al Nisa melayani pasien BPJS Kesehatan untuk rawat jalan hanya rata-rata menghabiskan 81% dari tarif Ina CBGs.

Sedangkan rawat inap lebih bagus lagi, yaitu jumlah pasien 569 dengan tarif RS sebesar Rp 1,4 miliar, tetapi klaimnya kepada BPJS Kesehatan dibayarkan Rp 2,1 miliar. “Ada tambahan pendapatan Rp 670 juta atau 32%. Artinya, RS dalam melayani pasien rawat inap BPJS hanya menghabiskan 68% dari tarif.

Dari total pendapatan di RS, porsi 20% diberikan kepada tenaga medis. Namun, evaluasi jasa pelayanan dokter ini akan terus dilakukan setiap 3 bulan sekali,” ucapnya. Lakukan Pengendalian Sementara itu, Direktur RS Al Islam Bandung, Sigit Gunarto, menejlaskan, pihaknya melakukan pengendalian biaya, sehingga paket hemat dari tarif Ina CBGs bisa memenuhi harapan dan kepentingan semua pihak, baik pasien, dokter, maupun RS.

“Karena tidak boleh adacost sharing dengan pasien, maka kami melakukan pengendalian,” ujarnya. Selain simulasi, RS Al Islam juga mengubah mind set semua komponen RS bahwa penerapan tarif Ina CBGs adalah peluang. Setelah pelaksanaan, melakukan evaluasi setiap hari, lalu seminggu sekali. Kemudian hasil evaluasi didiskusikan bersama, baru membuat kebijakan perbaikan.

RS Al Islam juga membentuk tim verifikator khusus dengan mengangkat 3 dokter umum yang bekerja mengkaji khusus klaim pasien, sehingga tidak mengganggu dokter layanan di RS. Ini ternyata efektif untuk membentuk margin. Efisiensi juga dilakukan dengan menstandardisasi bahan-bahan habis pakai.

“Hasil pengendalian itu menunjukkan, dari rawat inap selama Januari 2014 sebanyak 30% tindakan melebihi tarif, sedangkan 70% sisanya tidak. Dari jumlah ini, 70% lagi merupakan cost sharing pasien karena naik kelas perawatan. Ini diperbolehkan BPJS Kesehatan,” katanya.

- See more at: http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_externallink/7888/#sthash.zxDb5vK7.dpuf