IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil BMT...
Transcript of IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil BMT...
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil BMT L-Risma
Baitul Maal Wat Tamwil L-Risma (BMT L-Risma) adalah unit usaha (KSU) L-
Risma yang bergerak dalam simpan pinjam syariah yang mempunyai 2 (dua)
kegiatan utama yaitu menghimpun dan menyalurkan dana zakat, infaq, sedekah
dan wakaf tunaiyang bersifat social oriented (non profid) dan kegiatan
menghimpun dan menyalurkan dana dan masyarakat yang bersifat bisnis yang
berlandaskan syariat agama Islam. BMT L-Risma berdiri dan memulai
operasional pada tanggal 28 Juli 2009 dengan modal awal operasional Rp.
150.000,- berlokasi di jalan Pahiawang 37 C Gantimulyo Pekalongan Lampung
Timur dengan ijin operasional dan pemerintah desa setempat.
Visi BMT L-Risma yaitu “Menjadi lembaga keuangan syari’ah yang profesional,
terbesar dan terpercaya”. Sedangkan misi dari BMT L-Risma yaitu :
1. Memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan
menengah dan kecil.
2. Menjadikan BMT L-Risma sebagai lembaga keuangan alternatif bagi
masyarakat dalam melakukan transaksi yang bebas dari riba.
32
B. Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Pengawasan Aspek Syariah Di
(Baitul Maal Wa Tamwil) BMT L Risma Pekalongan Lampung Timur.
Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip
syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI
No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th.
2000-2005 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,
(2) Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada
pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN
(3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah
yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun
anggaran
(4) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki
kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu
ekonomi keuangan Islam modern. Kesalahan besar perbankan syari’ah saat
ini adalah mengangkat DPS karena kharisma dan kepopulerannya di tengah
masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan
syari’ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti tentang teknis
perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam seperti akuntansi,
akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak optimal.
DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah
seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak bunga terhadap investasi,
produksi, unemployment. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas
33
currency, Dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang
menyamakan margin jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya,
masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan
bunga, karena minimnya ilmu yang mereka miliki.
Pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa
dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan
dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.Harus
diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan
yang bersifat syar’ah. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik,
serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan
didasarkan atas kinerka keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi
yang oportunis untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin
rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang
rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya
pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan
syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit
usaha syariah.Yang juga mengherankan lagi adalah, sering kali kasus-kasus
yang menyimpang dari syar’ah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui
oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui
adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari Bank
Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah.
34
Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip
syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara
pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan
syari’ah.Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran
syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek
operasionalnya. (Bisnis Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank Indonesia
Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang
dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional bank
syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah. Hal
itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-
Fatwa MUI di Jakarta, 10 Pebruari 2004.
Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut, sampai-sampai Ketua
Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung
mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen
bank syariah terkait. Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim,
dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri.
Deputi Gubernur BI itu dalam orasinya ia menuliskan, Sejak dini Dewan
Pengawas Syari’ah (DPS) dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting agar
bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-
prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan
prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah
dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip
35
syari’ah.(28/5/05)Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS
sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah agar tetap memenuhi
prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan
terhadap bank syari’ah. Kelangkaan ulama integratif sebagaimana disebut di
atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya (ilmu
ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu
ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan
tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami
kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus.
Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood,
CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga mengakui terjadi
kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan ekonomi
keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya, harus mengetahui
konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan terminologi
bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga
bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang
fikih muamalahþ. þKarena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani
shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu
ekonomi keuangan.
Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka
bisa merumuskan menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah di
Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi
36
Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan
Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian
keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta
ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek
perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern,
sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar
pajangan kharisma.
Krisis ekonomi Indonesia sampai saat ini masih berlangsung dan belum
menunjukkan tanda-tanda untuk segera pulih. APBN kita masih dikuras dalam
jumlah besar untuk pengeluaran membayar bunga hutang baik hutang luar negeri
maupun bunga hutang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi rekap bank
konvensional. Seharusnya dana APBN ratusan triliun digunakan untuk
pemberdayaan rakyat miskin, tetapi justru untuk mensubsisi bank-bank ribawi
melalui bunga rekap BLBI dan SBI. Ini terjadi karena pemerintah telah
terperangkap kepada sistem riba yang merusak perekonomian bangsa. Menaiknya
harga BBM semakin memperparah penderitaan rakyat Indonesia dan semakin
membengkakkan angka kemiskinan. Inflasi meningkat secara tajam. Semua para
ekonom hebat di negeri ini meprediski infasi hanya 8,7 %, tetapi kenyataannya
melejit di luar dugaan, lebih dari 18 %. Ekonom hebat tersebut keliru besar dalam
memprediksi. Angka inflasi 18 % merupakan yang tertinggi dalam empat tahun
terakhir. Sebagai indikator penting bagi perekonomian negara, maka inflasi wajib
dipandang secara kritis. Sebab, inflasi yang melonjak tinggi bermakna gong
marabahaya bagi ekonomi rakyat.
37
Pada saat ini, tercatat jika sejak Maret 2005, jumlah utang Indonesia mencapai
Rp1,282 triliun. Angka fantastis nan bombastis tersebut, setara dengan 52 % dari
produk domestik bruto. Komposisi utang itu ialah 49% persen utang luar negeri.
Sementara 51 persen utang dalam negeri.Selain problem hutang Indonesia yang
amat besar, ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan
pembangunan juga menjadi problem besar. Demikian pula buruknya infrastruktur,
rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi, terpuruknya sektor riel,
menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya angka pengangguran
akibat kenaikan BBM yang lalu.APBN kita masih berada pada titik yang kritis,
sebab faktor eksternal seperti naiknya harga minyak, bisa membuat beban APBN
membengkak dan memperbesar defisit APBN. akibat ikut membengkaknya
subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah yang terkait
dengan luar negeri. Belum lagi ancaman depresiasi nilai rupiah yanag selalu
membayang-bayangi.
Keterpurukan ekonomi Indoiensia juga ditandai oleh masih belum bergairahnya
sektor riil akibat lumpuhnya fungsi intermediasi perbankan konvensional. LDR
Bank konvensional masih belum optimal bahkan masih jauh, yaitu berkisar di
angka 50an %. Lain lagi NPL 2 bank konvensional raksasa yang semakin
meningkat . Peningkatan NPL (kredirt macet) tersebut telah berada pada titik yang
membahayakan, yaitu 24 & dan 20 %. Inilah kondisi bank-bank ribawi, LDR
rendah sementara NPL tinggi. Realitas ini berbeda dengan bank syariah, FDR
38
tingi, NPF rendah. Sehingga mendorong pertumbuhan sektor riil. Sementara bank
konvensional sebaliknya.
Kesimpulannya, ekonomi Indonesia benar-benar terpuruk dan terburuk di bawah
sistem ekonomi kapitalisme. Indonesia hanya unggul atas negara-negara Afrika
seperti Malawi, Uganda, Kenya, Zambia, Mozambik, Zimbabwe,Mali, Angola
dan Chad. Peringkat daya saing pertumbuhan (growth competitiveness index)
Indonesia, nyaris sama dengan Ethiopia yang pernah hancur-lebur oleh perang
serta wabah kelaparan.
Peran Dewan Pengawas Syariah dalam menerapkan prinsip syariah di koperasi
simpan pinjam dan pembiayaan syariahmempunyai tujuan, yaitu:
1. Syari’ah Sebagai Solusi
Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam
merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi
syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan
keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata
uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian.
Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul
dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini
telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global, seperti Rodney Shakespeare
(United Kingdom), Volker Nienhaus (Jerman), dan sebagainya.
39
Ke depan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi
Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi
Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan
ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistemi hasil sehingga
tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan
perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut.
Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada
likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah
dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita dikuras lagi oleh
keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya
diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk
membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih
mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.
Selama ini, sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang
memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian
pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan,
Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi
dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat
lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-
pihak yang berkompeten, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan
Industri, BAPENAS, DPR dan Menteri yang terkait lainnya.
40
Keberhasilan Malaysia mengembangkan ekonomi Islam secara signifikan dan
menjadi teladan dunia internasional, adalah disebabkan karena kebijakan
Mahathir yang secara serius mengembangkan ekonomi Islam. Mereka tampil
sebagai pelopor kebangkitan ekonomi Islam, dengan kebijakan yang sungguh-
sungguh membangun kekuatan ekonomi berdasarkan prinsip syari’ah. Indonesia
yang jauh lebih dulu merdeka dan menentukan nasibnya sendiri, kini tertinggal
jauh dari Malaysia.
Kebijakan-kebijakan Mahathir dan juga Anwar Ibrahim ketika itu dengan sistem
syari’ah, telah mampu mengangkat ekonomi Malaysia setara dengan Singapura.
Tanpa kebijakan mereka, tentu tidak mungkin ekonomi Islam terangkat seperti
sekarang, tanpa kebijakan mereka tidak mungkin terjadi perubahan pendapatan
masyarakat Islam secara signifikan. Mereka bukan saja berhasil membangun
perbankan, asuransi, pasar modal, tabungan haji dan lembaga keuagan lainnya
secara sistem syari’ah, tetapi juga telah mampu membangun peradaban ekonomi
baik mikro maupun makro dengan didasari prinsip nilai-nilai Islami.Aplikasi
ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan ummat Islam saja. Penilaian
sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab
ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan dan membawa
rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat Islam saja, dan karena
itu ekonomi Islam bersifat inklusif.
41
2. Kegagalan Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah
Ekonomi konvensional di bawah dominasi kapitalisme saat ini sedang
menghadapi masa krisis dan re-evaluasi. Sebagaiman disebut sebelumnya,
kapitalisme menghadapi serangan kritikan dari berbagai penjuru. Mulai dari Karl
Max sampai pada era tahun 1940-an,1950-an, 1960an, bahkan di awal abad 21
kritikan tersebut semakin tajam dan meluas. seperti Joseph Schumpeter, Daniel
Bell, Irving Kristol, Gunnar Myrdal, Paul Omerod, Umar Ibrahim Vadillo,
Critovan Buarque, sampai kepada Joseph Stigliz.Banyak indikasi kegagalan
kapitalisme tersebut, antara lain;
1. Ekonomi konvensional yang berlandaskan pada sistem ribawi, ternyata
semakin menciptakan ketimpangan pendapatan yang hebat dan ketidak-adilan
ekonomi.
2. Ekonomi kapitalisme tersebut juga telah menciptakan krisis moneter dan
ekonomi di banyak negara. Di bawah sistem kapitalisme, krisis demi krisi
terjadi terus menerus, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1997
bahkan sampai sekarang. Banyak negara senantiasa terancam krisis susulan
di masa depan jika sistem kapitalisme terus dipertahankan.
3. Ekonomi kapitalisme banyak memiliki kekeliruan dan kesalahan dalam
sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan
moral dimensi moral.
42
C. Pelaksanaan Tugas Dewan Pengawas Syariah Dalam Pengawasan Aspek
Syariah Di (Baitul Maal Wa Tamwil) Bmt L Risma Pekalongan Lampung
Timur.
Jaminan pemenuhan atas ketentuan dan ketaatan pada prinsip syariah itulah yang
pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang dikenal dengan istilah Shariah
Compliance. Shariah Compliance dalam hal ini didefinisikan sebagai berikut:
A system of compliance having special emphasis on Shariah aspects with
relevant provisions of existing laws, rules, regulations, policies and
procedures related to Islamic Banking need to be embedded in the IBI’s
processes in such a manner that monitoring and reviewing of issues related
to Shariah compliance forms part of internal control structure. Maslihati
Nur Hidayati, (2008:64).
Dalam pengertian di atas dapat dipahami bahwa shariah compliance dalam hal ini
merupakan suatu sistem kepatuhan yang memiliki penekanan khusus pada aspek
syariah yang didasarkan pada ketentuan perundang-undangan dalam hukum
positif, maupun peraturan dan kebijakan internal yang terdapat dalam suatu
instititusi perbankan syariah. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dipahami
bahwa sistem pengawasan bank yang berkaitan dengan kepatuhan terhadap
syariah merupakan bagian dari struktur pengendalian internal bank itu sendiri.
Sejalan dengan hal tersebut, secara lebih spesifik kewajiban membentuk DPS
dalam Bank Syariah juga diatur dalam ketentuan Pasal 32 Undang-undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, sebagai berikut:
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum
Konvensional yang memiliki Undang-Undang Syariah.
43
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh
Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank
agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bagi badan usaha, dalam hal ini adalah
bank secara khusus maupun perseroan terbatas (PT) secara umum yang
menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah wajib membentuk DPS
sebagai organ tambahan dalam struktur organisasi badan usahanya selain daripada
Direksi dan Dewan Komisaris yang lazim terdapat dalam bank atau perseroan
terbatas (PT) pada umumnya yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kedudukan dan Tugas DPS dalam Organisasi Bank Syariah adalah: Apabila
mengacu pada ketentuan mengenai DPS sebagaimana termaktub dalam Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 (Pasal 109 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang
Perseroan Terbatas) dan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 (Pasal 32 Undang-
undang Perbankan Syariah) disebutkan bahwa Dewan Penawas Syariah sebagai
organ dalam Bank Syariah berbentuk PT dalam hal ini penunjukannya diangkat
oleh RUPS sebagaimana yang terjadi pula pada pengangkatan Direksi dan Dewan
Komisaris. Perbedaannya adalah untuk DPS diperlukan adanya rekomendasi MUI
44
dalam hal pengangkatannya. Sedangkan untuk Direksi dan Dewan Komisaris
tidak diperlukan adanya rekomendasi dari MUI. Berdasarkan mekanisme
pengangkatan DPS sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami
bahwa DPS, dalam hal ini, memiliki kedudukan yang penting dalam struktur
kepengurusan Bank Syariah. Berikut ini adalah bagan/struktur yang lazim
digunakan dalam organisasi Bank Syariah: Model bagan/struktur organisasi ini
merujuk pada bagan struktur organisasi PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk. yang
terdapat dalam situs web http://www.syariahmandiri.co.id/category/info-
perusahaan/organisasi/struktur-organisasi/ dan Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
dalam situs web http://www.muamalatbank.com/home/about/organizatio, yaitu
sebagai berikut:
Sumber: Koperasi Syariah L Risma Pekalongan, Tahun 2017
RUPS
Dewan
Komisaris
Direktur
Utama
Dewan
Pengawas
Komite
Komite
Komite
Direktorat Direktorat
Direktorat
Direktorat
Direktorat
Divisi
Divisi
Divisi
Divisi
Divisi
Cabang Cabang
Cabang
Cabang
45
Dari struktur organisasi perbankan syariah di atas, maka dapat diketahui bahwa
kedudukan DPS dalam suatu organisai Bank Syariah diletakkan pada posisi sejajar
Dewan Komisaris dan Direksi (dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utama). Hal ini
dilakukan agar DPS dalam hal menjalankan fungsi pengawas dan sekaligus penasehat
direksi dalam hal penerapan prinsip-prinsip syariah pada industri perbankan syariah
lebih dirasa mandiri dan berwibawa.
Adapun mengenai tugas DPS dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas
syariah, dalam hal ini terdiri atas: (1) Mengawasi kegiatan Bank Syariah agar
sesuai dengan prinsip syariah, dalam hal pembuatan dan pelaksanaan pedoman
operasional bank; pengembangan produk; mekanisme pelaksanaan penghimpunan
dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank; serta meminta informasi terkait
dari tiap satuan kerja mengenai aspek kepatuhan syariah dalam setiap pelaksanaan
tugasnya; (2) Memberikan nasihat dan saran kepada Direksi terkait pengelolaan
Bank Syariah agar berkesusaian dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah.
(3) Menjadi wakil Bank Syariah dalam berkomunikasi dan meminta fatwa atas
produk kepada DSN-MUI dan menjadi wakil Bank Syariah dalam hal
menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan DPS per semester kepada Bank
Indonesia. (Disarikan dari ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) Peraturan Bank
Indonesia No 11/33/PBI/2009 tentang Penerapan Good Corporate Governance
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah).
Dalam teori hukum korporasi, dikenal suatu doktrin fiduciary duty yakni suatu
teori yang menekankan bahwa seseorang yang dalam hal menjalankan
kewajibannya bertindak untuk dan atas nama pihak lain didasarkan atas suatu
46
fiduciary atau hubungan kepercayaan. Hubungan kepercayaan tersebut meliputi
kepercayaan as a trustee dan kepercayaan as an agent.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tugas DPS pada suatu Bank
Syariah secara garis besar meliputi dua tugas utama yakni kewajiban dalam hal
pengurusan Bank Syariah (as a trustee) yakni melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan prinsip-prinsip syariah dalam Bank Syariah dan kewajiban dalam hal
melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan Bank Syariah (as an agent) dalam hal
komunikasi fatwa dengan DSN-MUI dan pelaporan kepada Bank Indonesia
terkait pengawasan atas pelaksanaan shariah compliance suatu Bank Syariah.
Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai sebagai pengurus atau wali Bank
Syariah (as a trustee) dalam hal pengawasan pelaksanaan prinsip-prinsip syariah
dalam suatu Bank Syariah harus menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip duty
of care and skill, dan duty of loyalty and good faith. Adapun dalam hal DPS
sebagai wakil Bank Syariah (as an agent) harus menjalankan tugasnya sesuai
prinsip-prinsip agen berikut: (1) consent to the relation; (2) the power to act on
another’s behalf; dan (3) element of control. Steven C. Peck, (2009:52).
Menjelaskan perkataan Steven C. Peck di atas, Freddy Harris dan Teddy Anggoro
menjelaskan bahwa hubungan kepercayaan tersebut mensyaratkan seseorang yang
diberikan kepercayaan memiliki loyalitas yang tinggi kepada orang yang berutang
kewajiban (trust) dan memiliki kapabilitas yang terdiri atas keilmuan, pengalaman
dan keahlian (confidence). Freddi Harris, (2010:50).
47
Oleh karena itu, DPS sebagai organ bank syariah yang memiliki tugas sebagai
pengawas kegiatan bank dan penasehat direksi terkait pengelolaan Bank Syariah
agar berkesusaian dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah (shariah
compliance), dalam hal keanggotaannya diharuskan memenuhi aspek kecakapan
minimal yakni: scholars of high repute with extensive experience in law,
economics and banking systems and specialising in law and finance.
Berdasarkan hal tersebut, Dewan Syariah Nasional MUI (DSN-MUI) pada tahun
2000 kemudian mengeluarkan surat keputusan yang mengatur mengenai syarat-
syarat keanggotaan DPS, sebagai berikut: (1) Memiliki akhlaq karimah; (2)
Memiliki kompetensi kepakaran di bidang syariah muamalah dan pengetahuan di
bidang perbankan dan/atau keuangan secara umum; (3) Memiliki komitmen untuk
mengembangkan keuangan berdasarkan syariah; dan (4) Memiliki kelayakan
sebagai pengawas syariah yang dibuktikan dengan surat/sertifikat dari DSN.
(Ketentuan mengenai syarat keanggotaan DPS ini terdapat dalam Keputusan
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 03 Tahun 2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah Pada
Lembaga Keuangan Syari'ah).
Menurut MUI (SK MUI No. Kep.754/II/1999), ada 4 tugas pokok DSN, yaitu;
97
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan
perekonomian
2. Mengeluarkan fakta atas jenis-jenis kegiatan keuangan
48
3. Mengeluarkan fakta atas produk keuangan syariah
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Adrian Sutedi,
(2009:147).
DPS melihat secara garis besar dari aspek manajemen dan administrasi harus
sesuai dengan prinsip syariah, yang paling utama adaalah mengesahkan dan
mengawasi produk-produk yang dikeluarkan bank agar sesuai dengan ketentuan
syariah dan undang-undang yang berlaku. DPS dalam strukrur organisasi bank
syariah diletakkan pada posisis setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap
bank syariah. Posisi yang demikian ditujukan agar DPS lebih berwibawa dan
mempunyai kebebasan opini dalam memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada semua direksi di bank tersebut dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pengaplikasian produk perbankan syariah. Oleh sebab itu, penetapan DPS
dilakukan melalui RUPS setelah nama-nama anggota DPS tersebut mendapat
pengesahan dari DSN.
Pemberdayaan DPS pada masa yang akan datang sangat penting dilakukan,
diantaranya adalah melibatkan DPS dalam berbagai program marketing dan
sosialisasi perbankan syariah. Hal ini dimaksudkan untuk mensinergikan antara
DPS dengan pihak manajemen perbankan syariah dan masyarakat. Karena masih
banyak pelaksana perbankan syariah yang masih belum benar-benar menguasai
secara keseluruhan produk-produk perbankan syariah sehingga sangat sulit untuk
melakukan sosialisasi terhadap masyarakat. Oleh sebab itu, peran dan fungsi DPS
dalam hal ini sangat diharapkan. Adrian Sutedi, (2009:148).
49
DPS sebagai pengawas memiliki kesamaan dengan fungsi komisaris. Bedanya,
kepentingan komisaris dalam melakukan fungsinya adalah memastikan bank agar
bank tersebut selalu menghasilkan keuntungan. Namun kepentingan DPS adalah
menjaga kemurnian syariah (ajaran Islam) dalam kegiatan operasional perbankan.
Oleh karena itu, kedudukan komisaris dan DPS mempunyai potensi untuk
melahirkan konflik, sebab DPS harus berpihak pada kemurnian syariah sedangkan
komisaris harus berpihak pada keuntungan yang lebih condong mengarah pada
penyimpangan syariah.
Jadi DPS merupakan lembaga yang khas yang hanya dimiliki oleh lembaga
keuangan yang berbasis syariah. Tugasnya sangat berat yaitu sebagai pengawas
kegiatan usaha bank agar senantiasa sejalan dengan prinsip syariah. Dalam
menjalankan tugas tersebut maka DPS perlu dibekali dengan wewenang yang
cukup dan harus membuat aturan yang rinci mengenai kedudukannya. Hal
tersebut akan membuat prinsip GCG lebih mudah diterapkan dalam DPS.
Menurut Dubai Islamic Banking, tugas penting seorang DPS (terjemahan secara
bebas) adalah:
1. DPS adalah seorang ahli (pakar) yang menjadi sumber dan rujukan dalam
menerapkan prinsip-prinsip syariah termasuk sumber rujukannya
2. DPS mengawasi pengembangan semua produk untuk memastikan tidak adanya
fitur yang melanggar syariah
50
3. DPS menganalisa segala situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang
tidak didasari fatwa di transaksi perbankan untuk memastikan kepatuhan dan
kesesuaiannya kepada syariah
4. DPS menganalisis segala kontrak dan perjanjian mengenai transaksi-transkasi
di bank syariah untuk memastikan kepatuhan kepada syariah
5. DPS memastikan koreksi pelanggaran dengan segera (jika ada) untuk mematuhi
syariah. Jika ada pelanggaran, anggota DPS harus mengoreksi penyimpangan
itu dengan segera agar disesuaikan dengan prinsip syariah
6. DPS memberikan supervise untuk program pelatihan syariah
7. DPS menyusun sebuah laporan tahunan tentang neraca bank syariah tentang
kepatuhannya kepada syariah. Dengan pernyataan ini, seorang DPS
memastikan kesyariahan laporan keuangan perbankan syariah
8. DPS melakukan supervisi dalam pengembangan dan penciptaan investasi yang
sesuai syariah dan produk pembiayaan yang inovatif.
Dalam PBI No. 11/33/PBI/2009 dinyatakan bahwa tugas dan tanggung jawab
DPS adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mangawasi
kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. PBI No.11/33/PBI/2009, Pasal
47 ayat (1).
Tugas dan tanggung jawab DPS dalam pengawasan terhadap pemenuhan prinsip
syariah dalam mendukung pelaksaan GCG pada perbankan syariah adalah sebagai
berikut:
51
a) Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional
dan produk yang dikeluarkan bank
b) Mengawasi proses pengembangan produk baru bank agar sesuai dengan fatwa
DSN-MUI
c) Meminta fatwa kepada DSN-MUI untuk produk baru bank yang belum ada
faktanya.
d) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap
mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa
bank
e) Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuak nerja bank
dalam rangka pelaksanaan tugasnya. PBI No.11/33/PBI/2009, Pasal 47 ayat
(2).
Selain itu, DPS wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan DPS secara
berkala dalam waktu 6 (enam) bulan sekali kepada Bank Indonesia. DPS dalam
menjalankan tugasnya dalam melakukan pengawasan terhadap operasional
perbankan syariah juga mempunyai kewajiban sebagai berikut:
1) Mengikuti fatwa-fatwa DSN
2) Mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syariah agar tidak menyimpang
dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan DSN
3) Melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan syariah yang
diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam
setahun. (Keputusan DSN MUI No.03 Tahun 2000 tentang Petunjuk
52
Pelaksanaan Penetapan Anggota Dewan Pengawas Syariah, dikutip dari
Adrian Sutedi :143).
Aktivitas DPS dalam melaksanakan pengawasan syariah, menurut Briston dan
Ashker, ada tiga macam, yaitu:
a) Ex ante auditing
Aktivitas pengawasan syariah dengan melakukan pemeriksaan terhadap
berbagai kebijakan moral yang diambil dengan cara melakukan review terhadap
keputusan-keputusan manajemen dan melakukan review terhadap semua jenis
kontrak yang dibuat manajemen bank syariah dengan semua pihak. Tujuannya
adalah untuk mencegah bank syariah melakukan kontrak yang melanggar
psinsip-prinsip syariah.
b) Ex post auditing
Aktivitas pengawasan syariah dengan melakukan pemeriksaan terhadap laporan
kegiatan (aktivitas) dan laporan keuangan bank syariah. Tujuannya adalah
untuk menelusuri kegiatan dan sumber-sumber keuangan bank syariah yang
tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
c) Perhitungan dan pembayaran zakat
Aktivitas pengawasan syariah dengan memeriksa kebenaran bank syariah
dalam menghitung zakat yang harus dikeluarkan dan memeriksa kebenaran
dalam pembayaran zakat sesuai dengan ketentuan syariah. Tujuannya adalah
untuk memastikan agar zakat atas segala usaha yang berkaitan dengan hasil
usaha bank syariah telah dihitung dan dibayar secara benar oleh manajemen
bank syariah. (Keputusan DSN MUI No.03 Tahun 2000 tentang Petunjuk