IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...
33
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
4.1.1 Keadaan Fisik Daerah Penelitian
Kecamatan Ciater merupakan salah satu kecamatan yang berada di
Kabupaten Subang. Sebelumnya, Kecamatan Ciater merupakan daerah usaha
perkebunan teh dan beberapa kelompok kecil peternak sapi perah. Namun,
dalam lima tahun terakhir usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Ciater
telah berkembang. Kecamatan Ciater terdiri dari 7 desa yaitu Desa Ciater,
Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari dan
Desa Sanca. Batas wilayah Kecamatan Ciater sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Jalancagak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten
Bandung Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kasomalang dan
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sagalaherang. Kecamatan Ciater
memiliki suhu udara antara 22°C sampai 32°C dengan jumlah curah hujan
tahunan berfluktuasi rata-rata 2.275 mm/tahun yang diiringi pola iklim basah
sepanjang tahun dan kelembaban 60 sampai 70%. Kecamatan Ciater berada
pada ketinggian 800 m diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 7.819,87
Hektar.
Berdasarkan kondisi klimatologis, Kecamatan Ciater cocok untuk
dijadikan daerah pengembangan peternakan sapi perah bangsa Fries Holland.
Hal ini sesuai dengan pendapat Dasuki (1983), yang menyatakan bahwa
kondisi lingkungan yang sesuai bagi sapi perah bangsa FH yang dikembangkan
34
di Indonesia yaitu dengan suhu udara berkisar 13°C sampai 23°C dan
kelembaban udara berkisar antara 50 sampai 70%.
Penduduk Kecamatan Ciater pada Tahun 2013 berjumlah 28.824 jiwa
terdiri dari 14.622 jiwa (50,7%) laki-laki, dan 14.202 jiwa (49,3%) perempuan.
Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Ciater masih tergolong rendah
karena sebagian besar penduduk hanya berpendidikan sampai tamat
SD/sederajat. Pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh penduduk adalah
pendidikan strata 3, namun dengan jumlah yang sedikit. Tingkat pendidikan
penduduk di Kecamatan Ciater Tahun 2013 ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Ciater Tahun 2013
Pendidikan Laki-laki Perempuan
Usia 3-6 tahun belum masuk TK 178 139
Usia 3-6 tahun sedang TK 209 187
Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah 27 18
Usia 7-18 tahun sedang sekolah 1.515 1.539
Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 71 93
Usia 18-56 tahun pernah SD tapi tidak tamat 87 90
Tamat SD 3.873 3.879
Usia 12-56 tahun tidak tamat SMP 213 857
Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 1.355 843
Tamat SMP 1.854 1.221
Tamat SMA 1.005 854
Tamat D1 62 49
Tamat D2 35 31
Tamat D3 57 30
Tamat S1 83 55
Tamat S2 15 2
Tamat S3 6 1
Jumlah 10.645 11.963
Sumber: Kecamatan Ciater 2013
35
Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu
daerah, karena tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dan tingkat
penerimaan masyarakat terhadap inovasi baru. Pendidikan yang masih rendah
ini disebabkan karena masyarakat masih beranggapan bahwa pendidikan tidak
begitu penting dan keterbatasan ekonomi menjadi salah satu penyebab tingkat
pendidikan masyarakat di Kecamatan Ciater masih rendah.
Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ciater sebagian besar adalah
petani. Mata pencaharian lainnya adalah buruh tani, PNS, karyawan swasta,
peternak dan pedagang keliling. Penggolongan penduduk berdasarkan mata
pencaharian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Ciater
Mata Pencaharian Jumlah
Orang %
Petani 3.274 37,04
Buruh Tani 1.972 22,31
PNS 175 1,98
Pengrajin 125 1,41
Pedagang Keliling 683 7,73
Peternak 257 2,91
Perikanan 16 0,18
Bidan dan Perawat 30 0,34
Dokter 1 0,01
TNI/POLRI 26 0,29
Pensiunan 334 3,78
Pengusaha 133 1,50
Karyawan Swasta/Pemerintah 1.615 18,27
Jasa Lain 197 2,23
Jumlah 8.838 100
Sumber: Kecamatan Ciater 2013
36
Sebagian besar wilayah di Kecamatan Ciater merupakan tanah
perkebunan dan tanah sawah, sehingga berbanding lurus dengan mata
pencaharian warganya yang mayoritas bekerja sebagai petani (37,04%) dan
buruh tani (22,31%). Masyarakat Kecamatan Ciater yang bekerja sebagai
peternak masih sedikit (2,91%), karena masyarakat menganggap bahwa
pendapatan yang dihasilkan dari usaha beternak masih rendah.
4.1.2 Keadaan Peternak Sapi Perah di Daerah Penelitian
Peternak sapi perah di wilayah Kecamatan Ciater pada umumnya
merupakan peternakan rakyat dan menengah. Peternak rakyat yang skala
kepemilikan yang masih rendah mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan
rendah. Usaha ternak yang dilakukan di peternak sapi perah Kecamatan Ciater
sebagian besar merupakan pekerjaan tetap. Pendapatan yang didapat dari
usahaternak sapi perah masih belum mencukupi kebutuhan hidup peternak,
sehingga sebagian besar peternak melakukan pekerjaan lain sebagai pekerjaan
sambilan seperti berdagang, bertani dan menjadi buruh perkebunan teh.
Jumlah peternak sapi perah yang ada di wilayah Kecamatan Ciater pada Bulan
Maret 2015 mengalami penambahan yaitu menjadi 153 orang peternak dengan
jumlah total sapi 785 ekor. Menurut Sudono (1985), peternakan sapi perah
dibedakan menjadi tiga macam yaitu peternakan sapi perah rakyat, peternakan
sapi perah menengah dan peternakan sapi perah besar. Adapun penggolongan
peternakan sapi perah di Kecamatan Ciater dapat dilihat pada Tabel 3.
37
Tabel 3. Skala Usaha Peternak Sapi Perah di Kecamatan Ciater
Skala Usaha Jumlah
...Orang... ...%...
2-3 65 42,5
< 25 88 57,5
> 75 0 0
Jumlah 153 100
Berdasarkan Tabel 3, peternakan yang ada merupakan peternakan sapi
perah menengah (57,5%) dan peternakan sapi perah rakyat (42,5%). Pada
peternakan rakyat menengah, walaupun jumlah sapi yang dimiliki lebih dari
3ekor dan mencapai 25 ekor namun perbandingan antara sapi produktif dan sapi
non produktif masih belum efisien. Sebagian besar jumlah sapi non produktif
lebih besar dibandingkan dengan jumlah sapi produktifnya. Sehingga biaya
produksi akan lebih besar dibandingkan dengan penerimaan yang didapatkan.
Pada Tahun 2011 masuklah program dari PT. Danone Dairy Indonesia
ke wilayah Kecamatan Ciater. Program tersebut diberi nama Dairy
Development in Ciater Programs, dengan dibantu Yayasan Sahabat Cipta
sebagai pelaksana program. Program DDCP yang dilaksanakan di peternak
sapi perah Kecamatan Ciater diantaranya penerapan teknologi pakan, kandang
dan bibit. Tujuan dari DDCP yaitu untuk meningkatkan keterampilan teknis
peternak didalam beternak sapi perah, meningkatkan konsumsi makan dan
kesehatan ternak, dan meningkatkan produktivitas ternak.
Teknologi kandang merupakan program perubahan kandang, dimana
layout kandang dan fasilitas kandang diubah dengan model rancangan dari
38
DDCP. Model layout kandang dari DDCP yaitu terdiri dari adanya kandang
pedet (portable), kandang dara, tempat penyimpanan hijauan, dan tie strap.
Fasilitas kandang yang diubah yaitu diantaranya tempat pakan, tempat minum,
pemberian karpet dan instalasi biogas. Tempat pakan diubah letaknya
sehingga menjadi di bawah dengan berbahan baku semen. Tempat minum
diubah menjadi tempat minum ad-libitum, sehingga dapat memudahkan
peternak dalam pemberian minum. Tidak semua peternak mendapatkan
program perubahan kandang, peternak yang mendapatkan program perubahan
kandang secara keseluruhan hanya 11 orang. Peternak lain hanya mendapatkan
perubahan kandang pada bagian tempat makan dan tempat minum. Teknologi
kandang bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan ternak, memudahkan
dalam pembersihan kandang sehingga kandang akan selalu bersih.
Teknologi bibit merupakan pemberian penyuluhan tentang bibit yang
unggul dan pemberian kredit bibit bergulir, dimana bibit yang diberikan
merupakan bibit yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Adapun dalam
pemilihan penerima program ini terdapat berbagai pertimbangan, diantaranya
yaitu peternak yang tidak memiliki kredit sebelumnya, kandang peternak
mampu menampung sapi kredit tersebut, dan kejujuran dari peternak.
Pemberian bibit bergulir ini terus bergulir dari peternak satu ke peternak lain,
jika uang pembayaran kredit dari peternak sudah bisa untuk membeli bibit lagi
maka bibit tersebut akan digulirkan lagi ke peternak yang belum mendapatkan.
Adanya program teknologi bibit ini selain bertujuan untuk meningkatkan
genetik ternak, juga bertujuan untuk membantu peternak yang tidak
mempunyai modal untuk menambah jumlah ternak yang dimilikinya.
39
Keadaan peternak sapi perah di Kecamatan Ciater sudah lebih
mengenal berbagai teknologi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan
produksi ternak. Namun dari berbagai teknologi yang sudah diperkenalkan
oleh pihak DDCP dan KPSBU, tidak semua teknologi dapat diterapkan oleh
peternak. Salah satunya yaitu pemberian silase, peternak menganggap bahwa
pembuatan silase terlalu sulit untuk dilakukan. Pemberian hijauan seperti biasa
tanpa adanya pengolahan dianggap sudah cukup oleh peternak. Selain itu,
pemberian hijauan langsung tanpa pengolahan lebih praktis dibandingkan
dengan pemberian silase yang harus diproses terlebih dahulu.
Umumnya pakan yang diberikan oleh peternak untuk ternak yaitu
terdiri dari hijauan, konsentrat, dan pakan tambahan. Hijauan yang diberikan
berupa rumput lapangan, rumput gajah, dan silase. Rumput lapangan yang
diberikan didapat dengan cara mencari di daerah sekitar rumah atau
perkebunan teh, sedangkan untuk rumput gajah didapat dari kebun rumput
milik peternak. Pemberian hijauan biasanya dengan cara dilayukan terlebih
dahulu sehari atau dua hari. Banyaknya hijauan yang diberikan bervariasi,
tergantung pada menajemen masing-masing peternak yaitu dari 30 sampai 50
kg.
Konsentrat yang diberikan oleh peternak untuk ternak didapat dengan
cara membeli di KPSBU. Pemberian konsentrat biasanya ditambah dengan
pakan tambahan seperti ampas tahu, ampas singkong, dan dedak. Namun,
tidak semua peternak menggunakan pakan tambahan dalam manajemen
usahanya. Peternak yang tidak menggunakan pakan tambahan menganggap
bahwa pemberian hijauan dan konsentrat sudah cukup untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternaknya.
40
4.2 Identitas Responden
Identitas responden merupakan hal yang dapat menggambarkan keadaan
peternak. Identitas responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, pengalaman
beternak, pendidikan formal dan non-formal, dan skala kepemilikan ternak.
4.2.1 Umur Responden
Umur merupakan salah satu aspek yang berhubungan dengan
kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Umur juga dapat
menggambarkan pengalaman diri seseorang, sehingga terdapat keragaman
prilaku. Berdasarkan komposisi penduduk, umur penduduk dikelompokan
menjadi 3 yaitu umur <15 tahun termasuk golongan umur belum produktif atau
muda, umur 15-64 tahun termasuk golongan umur produktif, dan umur >64
tahun termasuk golongan umur tidak produktif atau tua (Badan Pusat Statistika,
2009). Umur yang lebih muda biasanya akan jauh lebih responsive dalam
menerima suatu stimulus dibandingkan dengan umur yang lebih tua. Adapun
umur responden dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Identitas Responden Berdasarkan Umur
No Umur Jumlah
...Tahun... ...Orang... ...%...
1 < 15 0 0
2 15-64 32 100
3 > 64 0 0
Jumlah Total Responden 32 100
41
Berdasarkan Tabel 4, keadaan umur responden termasuk usia produktif
dengan kisaran antara usia 15-64 tahun yaitu sebesar 100 %. Umur merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas kerja seseorang terutama dalam
kegiatan usahaternak dan juga mempengaruhi seseorang dalam merespon
sesuatu yang baru walaupun belum banyak mempunyai pengalaman.
Seseorang dengan umur yang produktif biasanya memiliki semangat untuk
mengetahui sesuatu yang baru.
Ibrahim et al (2003) menggolongkan adopter berdasarkan kecepatan
adopsi menjadi 5 golongan, yaitu innovator (golongan perintis), early adopter
(golongan pengetrap dini), early majority (golongan pengetrap awal), late
majority (golongan pengetrap akhir) dan laggard (golongan penolak).
Golongan inovator jumlahnya tidak banyak dalam masyarakat, pendidikannya
lebih tinggi dari rata-rata, berani mengambil resiko dan gemar mencoba inovasi.
Umurnya setengah baya dan memiliki status sosial yang tinggi. Early adopter
dapat dijadikan mitra penyuluh pertanian dalam menyebarkan inovasi,
memiliki status sosial sedang karena berumur 25-40 tahun. Early majority
dapat menerima inovasi selama inovasi tersebut memberikan keuntungan, pada
umumnya memiliki umur lebih dari 40 tahun dan berpengalaman. Late
majority pada umumnya berusia lanjut, memiliki perndidikan rendah dan
lambat menerapkan inovasi. Laggard pada umumnya berusia lanjut, tingkat
pendidikannya sangat rendah, dan tidak suka perubahan.
42
Tabel 5. Identitas Responden Berdasarkan Kecepatan Adopsi
Golongan Jumlah
...Orang... ...%...
Golongan Perintis 0 0
Golongan Pengetrap Dini 10 31,25
Golongan Pengetrap Awal 14 43,75
Golongan Pengetrap Akhir 8 25
Golongan Penolak 0 0
Jumlah 11 100
Berdasarkan Tabel 5, 43,75% responden merupakan golongan
pengetrap awal dimana responden tersebut akan menerima inovasi jika inovasi
tersebut memberikan keuntungan. Golongan pengetrap dini yaitu sebanyak
31,25% dan golongan pengetrap akhir yaitu sebanyak 25%.
4.2.2 Pengalaman Beternak
Pengalaman beternak menunjukkan lamanya seseorang dalam
mengusahakan ternak. Pengalaman beternak responden dapat mempengaruhi
keterampilan responden dalam mengelola usahaternak sapi perah, sehingga
responden yang mempunyai pengalaman lebih lama, relatif akan lebih mampu
dalam mengelola usaha sapi perah dibandingkan dengan responden yang
memiliki pengalaman kurang. Pengalaman beternak responden di Kecamatan
Ciater dapat dilihat pada Tabel 6.
43
Tabel 6. Pengalaman Beternak Responden
No Lama Beternak Jumlah
...Tahun... ...Orang... ...%...
1 < 5 3 9
2 5-10 16 53
3 > 10 12 38
Jumlah Total Responden 32 100
Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar pengalaman
beternak responden berada pada 5-10 tahun (kategori sedang), yaitu sebesar
53%. Pengalaman beternak responden yang lebih dari 10 tahun (kategori
tinggi) juga lumayan besar yaitu sebesar 38%, sedangkan responden yang
pengalaman beternaknya kurang dari 5 tahun (kategori rendah) yaitu sebesar
9%.
Responden yang memiliki pengalaman beternak yang lebih lama
cenderung lebih baik dalam menerima sebuah inovasi, karena semakin banyak
pula pengalaman yang diperoleh. Pengalaman yang tinggi merupakan
indikator dari tingginya kematangan peternak dalam mengelola usahaternak
sapi perahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeharjo dan Patong (1973)
(dalam Nurcahyo, 2009), yang mengatakan bahwa pengalaman beternak yang
lebih lama membuat seseorang lebih terampil dalam mengambil keputusan
terhadap datangnya inovasi.
Responden yang memiliki pengalaman beternak yang lebih lama akan
membuat keterampilan responden menjadi lebih meningkat. Responden yang
44
memiliki pengalaman beternak lebih lama cenderung akan berpikir untuk
meningkatkan produktivitas usahanya dengan sumber daya yang dimilikinya.
4.2.3 Pendidikan
4.2.3.1 Pendidikan Formal
Peternak yang berpendidikan tinggi relatif akan lebih cepat dalam
menerima dan melaksanakan inovasi. Sebaliknya, peternak yang
berpendidikan rendah akan lebih lamban dalam penerimaan dan
pelaksanaan inovasi. Keadaan tingkat pendidikan responden rata-rata di
tingkat SD dan SMP, seperti nampak pada tabel 7.
Tabel 7. Pendidikan Formal Responden
Tingkat Pendidikan Jumlah
(Orang) (%)
SD 19 59
SMP 12 38
SMA 1 3
Total 32 100
Berdasarkan Tabel 7, tingkat pendidikan formal responden SD
sebesar 59% dan SMP sebesar 38%. Tingkat pendidikan formal responden
tergolong masih rendah, karena sebagian besar peternak hanya
berpendidikan SD. Responden yang tingkat pendidikannya tinggi
cenderung lebih mudah dalam mengadopsi dan memahami inovasi. Hal ini
45
sesuai dengan pendapat Rogers (1983), bahwa pendidikan berpengaruh
terhadap adopsi teknologi, dimana pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi
akan lebih memudahkan seseorang dalam mengadopsi inovasi serta
memahami sifat dan fungsi inovasi tersebut.
Masih rendahnya tingkat pendidikan peternak dikarenakan masih
minimnya kesadaran responden peternak tentang pentingnya tingkat
pendidikan. Faktor ekonomi peternak juga mempengaruhi masih rendahnya
tingkat pendidikan peternak.
4.2.3.2 Pendidikan Non-Formal
Untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peternak
dalam melakukan usahaternak diperlukan pendidikan yang khusus yakni
berupa pendidikan non formal. Pendidikan non formal tersebut diantaranya
pelatihan dan penyuluhan pertanian. Penyuluhan adalah pendidikan untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu
masalah.
Walaupun pendidikan formal peternak rendah, dengan peternak
mengikuti pendidikan non formal seperti pelatihan dan penyuluhan,
pengetahuan dan keterampilan peternak dapat bertambah. Semua responden
dalam penelitian ini mengikuti penyuluhan yang diadakan baik oleh pihak
KPSBU maupun dari Yayasan Sahabat Cipta. Penyuluhan yang diadakan di
peternak sapi perah Kecamatan Ciater diantaranya yaitu tentang kesehatan
ternak dan pemenuhan pakan yang baik dan cukup untuk ternak. Walaupun
tingkat pendidikan formal responden tidak terlalu tinggi, dengan mengikuti
penyuluhan peternakan maka pengetahuan peternak akan bertambah.
46
Pendidikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan cepat atau
lambatnya seorang peternak mengadopsi ide atau inovasi baru, selain umur
dan pendidikan, pengalaman beternak juga turut menentukan keberhasilan
usaha.
4.3 Keadaan Usaha Responden
Ternak sapi perah yang dipelihara oleh responden adalah sapi perah jenis
Friesian Holstein (FH). Adapun ternak yang dipelihara yaitu sapi laktasi, dara,
pedet jantan dan betina, dan pejantan. Kepemilikan ternak responden sebagian
besar masih rendah < 10 ekor. Banyaknya jumlah sapi produktif yang dimiliki
oleh responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kepemilikan Ternak Produktif Responden
Jumlah Ternak Jumlah
...Peternak... ...%...
1-3 22 68,75
4-6 8 25
>7 2 6,25
Jumlah 32 100
Tabel 8, menunjukkan bahwa 68,75% usaha responden merupakan usaha
kecil yang memiliki ternak produktif 1-3 ekor sapi. Responden yang memiliki
ternak produktif 4-6 ekor atau skala usaha menengah sebanyak 8 orang (25%),
sedangkan responden yang memiliki ternak produktif lebih dari 7 ekor hanya
terdapat 2 orang. Kepemilikan ternak produktif yang masih rendah menyebabkan
47
penerimaan usaha responden rendah. Masih kecilnya skala usaha disebabkan oleh
keterbatasan modal responden. Adapun rata-rata produksi susu yang dihasilkam
responden yaitu berkisar antara 7,02 - 20,96 liter/ekor/hari.
Tipe kandang yang digunakan oleh responden bervariasi sesuai dengan
kemampuan peternak dan jumlah ternak yang dimiliki. Tata letak kandang pada
umumnya berada disamping atau dibelakang rumah dengan alasan agar mudah
diawasi dan memudahkan dalam perawatan dan pemeliharaan. Lantai kandang
terbuat dari semen, namun semua responden melapisi lantai kandang dengan karet
yang tahan lama.
Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali dalam satu
hari, yaitu pada pagi hari setelah pemerahan, siang hari dan setelah pemerahan.
Pada pagi hari pakan penguat diberikan setelah pemerahan, sedangkan pada sore
hari pakan penguat diberikan sebelum pemerahan. Sapi yang sedang kering
kandang biasanya tidak diberikan pakan penguat, dengan alasan mengurangi biaya
untuk pembelian pakan konsentrat. Sapi kering kandang pada umur 7 bulan, jadi
sampai umur 9 bulan sapi tidak diperah. Adapun pemberian susu untuk pedet
yang baru lahir dilakukan selama 3 bulan, pemberian susu dilakukan 2 kali sehari
dengan jumlah 6 liter/hari/ekor.
Tenaga kerja yang digunakan oleh responden yaitu tenaga kerja dalam
keluarga, biasanya responden dibantu oleh istri atau anaknya. Biasanya istri atau
anak responden membantu dalam pemberian pakan atau membersihkan kandang,
sedangkan responden bertugas mencari rumput, memerah dan menyetor susu ke
TPS.
Guna menjaga agar ternak yang dipelihara selalu dalam keadaan sehat,
peternak responden selalu menjaga kebersihan kandang dan peralatan yang
48
digunakan. Sebelum melakukan pemerahan, peternak selalu memandikan
ternaknya terlebih dahulu. Tempat untuk menampung susu awalnya dengan
menggunakan ember, ketika satu sapi sudah selesai diperah maka susu tersebut
akan dimasukkan kedalam milkcan dengan dilapisi kain saringan. Jika ternak
yang dipelihara terlihat sakit, responden akan menghubungi dokter hewan dari
KPSBU untuk melakukan pemeriksaan. Apabila ternak terluka parah atau
berpenyakit, maka biasanya peternak menjual sapi tersebut ke KPSBU untuk di
potong.
4.4 Produksi Susu dan Penerimaan Usaha Sapi Perah
Produksi susu pada usaha peternakan sapi perah merupakan sumber
utama penerimaan. Oleh karena itu, besar kecilnya produksi susu yang dihasilkan
akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan usaha peternak. Struktur
penerimaan terbesar pada usaha sapi perah yaitu diperoleh dari penjualan susu,
sedangkan penerimaan dari penjualan sapi dan pupuk kandang proporsinya tidak
terlalu besar. Produksi susu peternak pada Tahun 2011 rata-rata hanya sebanyak
8,03 liter/ekor/hari dengan penerimaan rata-rata sebesar Rp. 1.877.807,00/bulan.
Setelah adanya penerapan teknologi di peternak, rata-rata produksi susu yang
dihasilkan mengalami peningkatan menjadi 12,1 liter/ekor/hari dengan harga susu
yang semakin meningkat. Dengan produksi susu yang semakin bertambah dan
harga susu yang semakin tinggi mengakibatkan penerimaan yang didapat oleh
peternak semakin meningkat. Penerimaan rata-rata peternak setelah terjadinya
peningkatan produksi susu yakni sebesar Rp. 4.226.071,00/bulan, untuk lebih
rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun rata-rata produksi susu pada Tahun
2011 dan Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 9.
49
Tabel 9. Rata-rata Produksi Susu (Liter) Perekor Perhari Tahun 2011 dan 2014
Responden 2011 2014
A. Rohman 10,02 9,73
Endang Subarna 10,02 17,34
Anang Bin Ondi 5,64 12,72
Dedi Mulyadi 5,64 20,96
Ita R 5,64 8,16
Maman 5,64 7,02
Alan Cahya 5,64 10,47
Ade Aang 9,07 11,97
Asep Kurnaedi 9,07 10,27
Nandang 9,07 11,66
Rusman Bin Suher 9,07 11,72
Ade Sapji 10,74 17,81
Carman 10,74 9,03
Ateng bin Dayat 10,74 18,04
Juju Bin Ato 8,3 15,85
Mamat Sutialarang 4,21 11,73
Ujang Ruhendi 4,21 8,28
Abas Bin Suhli 5,44 8,80
Mimin Mulyami 5,44 8,85
Yaya 5,44 7,82
Yaman 5,44 10,35
Erom 12,43 16,19
Yana Heri 12,43 12,15
Agus Bin Saltum 7,03 18,82
Juhana 7,03 10,48
Sajidin 7,03 10,83
Yunan 7,71 13,37
Endang Haris 8,19 13,86
Enos Supriatna 8,19 12,44
Nano Bin Rasid 6,85 12,17
Sumarna bin Suhandi 6,85 10,65
Ai Sumartini 6,27 12,23
50
Peningkatan produksi susu disebabkan oleh adanya penerapan teknologi
yang diterapkan oleh peternak. Penerapan teknologi pakan yaitu berupa
pemberian hijauan, konsentrat, pakan tambahan dan silase. Pakan hijauan yang
diberikan responden yaitu rumput lapangan dan rumput gajah. Rumput gajah
merupakan kategori rumput berkualitas menengah yaitu memiliki kandungan
protein tercerna 10-15%, sedangkan rumput lapangan merupakan kategori rumput
berkualitas rendah menengah dengan kandungan protein tercerna 4-10%.
Semakin berkualitas hijauan yang diberikan maka semakin baik kualitas dan
kuantitas susu yang dihasilkan. Pemberian silase semakin meningkatkan kualitas
susu yang dihasilkan, karena setelah dilakukan pemberian silase pada ternak
kualitas susu yang dihasilkan semakin bagus. Kualitas yang semakin bagus
membuat harga susu yang dihasilkan semakin meningkat jika dibandingkan
dengan harga susu sebelum menggunakan silase. Penggunaan silase sebagai
tambahan pakan ternak belum sepenuhnya diterapkan oleh peternak, hanya
beberapa responden yang menggunakan silase. Dapat dilihat lebih rinci pada
lampiran 6, responden yang menerapkan teknologi pakan berupa penambahan
silase untuk ternak hanya 11 orang.
Penerapan teknologi kandang telah banyak dilakukan oleh peternak sapi
perah di Kecamatan Ciater. Tempat pakan seluruh responden memiliki bentuk
yang sama yaitu terletak dibawah, sedangkan untuk tempat minum masih ada
responden yang tidak menggunakan tempat minum yang ad-libitum. Dapat dilihat
pada lampiran 7, responden yang tempat minumnya tidak ad-libitum yaitu
responden Maman dan Mimin Mulyami. Hal tersebut disebabkan karena pada
saat terdapat program perubahan kandang, kandang responden Maman masih
digabung dengan kandang milik anaknya. Sedangkan responden Mimin Mulyami
51
pada saat adanya program perubahan kandang, kandangnya masih digabung
dengan kandang milik orangtuanya. Pemberian air minum secara ad-libitum
sangat bagus untuk ternak, hal ini sesuai pendapat Syarief dan Sumoprastowo
(1985) bahwa air minum sebaiknya diberikan secara ad-libitum, karena sapi rata-
rata membutuhkan 3-4 kali dari jumlah susu yang dihasilkan. Pentingnya
kebutuhan air juga karena susu yang dihasilkan 87 % berupa air dan sisanya
adalah bahan kering (Sudono, dkk. 2003).
Peternak sapi perah Kecamatan Ciater sudah seluruhnya memakai karpet
sebagai alas. Penggunaan karpet bertujuan untuk meminimalisir luka pada ternak
yang disebabkan jatuh akibat lantai kandang yang licin. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa, dkk (2009), dan Aziz, dkk (2013)
bahwa penggunaan karpet pada lantai kandang sapi perah dapat memperkecil
kejadian luka kaki dan infeksi terhadap puting yang menyebabkan kejadian
mastitis. Penggunaan karpet juga mempermudah dalam pembersihan kotoran
karena bahannya rata, masif dan tidak menyerap air.
Adanya penerapan teknologi kandang oleh peternak membuat sapi perah
peternak makan lebih banyak dari sebelum penerapan teknologi kandang. Selain
itu, kebersihan kandang semakin terjaga karena peternak sudah mengerti bahwa
kebersihan kandang berpengaruh terhadap kualitas dan produksi susu yang
dihasilkan.
Produksi susu dari setiap sapi pasti akan berbeda bergantung pada
kemampuan genetik yang dimiliki. Bibit yang unggul akan mampu menghasilkan
susu yang tinggi. Responden peternak sapi perah dalam penelitian ini hampir
semuanya mendapatkan bibit dari program DDCP. Dalam pemilihan bibit oleh
DDCP terlebih dulu dilakukan penyeleksian. Adapun responden yang tidak
52
menggunakan bibit dari DDCP yaitu ada 9 orang yaitu Dedi Mulyadi, Ita, Ujang
Ruhendi, Yaman, Ade Aang, Mimin Mulyami, Abas Bin Suhli, Juhana dan
Sumarna.
Responden yang tidak mendapatkan program bibit bergulir mendapatkan
bibit dari Lembang atau dari peternak lain di wilayah Ciater. Walaupun
responden tidak mendapatkan program bibit bergulir, responden sudah
mengetahui bagaimana ciri-ciri bibit yang baik sehingga dalam pemilihan sapi
untuk bibit dilakukan penyeleksian terlebih dahulu.
Produksi susu yang mengalami peningkatan mengakibatkan penerimaan
yang didapat semakin meningkat. Jumlah penerimaan usaha sapi perah responden
tidak hanya berasal dari produksi susu, penjualan ternak baik itu pedet atau sapi
culling dan penjualan hasil limbah ternak juga termasuk kedalam penerimaan
usaha sapi perah. Namun penerimaan dari produksi susulah yang menjadi sumber
utama penerimaan, karena penjualan ternak dilakukan hanya pada saat-saat
tertentu. Penjualan ternak dilakukan hanya pada saat responden memiliki pedet
yang baru dilahirkan, atau pada saat sapi laktasi yang dimiliki sudah saatnya di
culling. Penjualan ternak juga sering dilakukan responden ketika ternaknya sakit
dan pada saat responden membutuhkan uang untuk suatu keperluan.
Penerimaan responden dari hasil susu yang dihasilkan responden berkisar
dari Rp. 1.078.195,00 sampai Rp. 14.181.365,00/bulan. Hanya responden Yaya
dan Agus bin Saltum yang mendapatkan penerimaan dari penjualan ternak.
Penerimaan dari penjualan pupuk kandang responden tidak ada dikarenakan
responden tidak mengolah feses yang dihasilkan menjadi pupuk kandang.
53
4.5 Analisis Fungsi Produksi
Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi
produksi Cobb Douglas dengan empat variabel bebas. Variabel bebas yang
diamati yaitu aplikasi pakan (X1), aplikasi kandang (X2), aplikasi bibit (X3) dan
dummy teknologi (D1). Berdasarkan keempat faktor tersebut akan dilihat berapa
besar pengaruhnya terhadap variabel Y. Dalam pendugaan parameter pada fungsi
persamaan Cobb Douglas data akan diubah terlebih dahulu kedalam bentuk
double logaritme natural (ln), secara rinci dapat dilihat pada lampiran X. Untuk
menguji ketepatan model untuk penelitian ini maka digunakan uji statistik yaitu
uji t, uji F dan R2. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS,
diperoleh hasil pendugaan fungsi seperti pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi
Variabel Koefisien
Regresi
T
hitung
R2
Tolerance VIF Fhit Ttab
Konstanta 1,849 0,325 0,841 - - 35,913 2,048
β1 0,991 8,918 0,821 1,218
β2 0,663 2,973 0,601 1,663
β3 0,190 0,530 0,924 1,082
D1 0,040 0,292 0,591 1,693
Berdasarkan hasil pengolahan yang diperoleh maka model produksi akan
menjadi sebagai berikut:
Y = 1,849 X10,991
X20,663
X30,190
D10,040
Model fungsi tersebut bila dilinearkan menjadi:
Ln Y = 1,849 + 0,991 Ln X1 + 0,663 Ln X2 + 0,190 Ln X3 + 0,040 Ln D1
54
Berdasarkan Tabel 10, hasil nilai Fhitung pada model penduga fungsi
produksi mencapai 35,913 dan nilai tersebut lebih besar daripada Ftabel yaitu 2,95.
Kondisi ini menunjukan bahwa semua variabel bebas yang digunakan dalam
model fungsi produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel
terikat. Berdasarkan uji t diketahui bahwa variabel aplikasi teknologi pakan dan
aplikasi teknologi kandang, berpengaruh nyata pada taraf (α= 0,05) terhadap
penerimaan usaha. Sedangkan variabel aplikasi teknologi bibit dan dummy
teknologi tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan, dikarenakan uji t nya
lebih besar Ttabel sehingga Ho diterima.
Dari hasil output tersebut diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar
0,841, yang artinya variabel bebas yang digunakan dalam model fungsi
berpengaruh sebesar 84,1 persen terhadap variabel terikat. Sedangkan sisanya
yaitu 15,9 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
Model penduga fungsi produksi yang telah dilakukan analisis dapat
menujukkan adanya tingkat kelayakan berdasarkan asumsi OLS (Ordinary Least
Square) yaitu dengan mencari koefisien model melalui pengepasan (fitting) antara
model dengan data sampel. Adapun asumsi OLS yang dimaksud adalah model
linier dalam koefisien (parameter), tidak terdapat multikolinier diantara variabel
independent, ragamnya homogen (homoskedastisitas) dan tidak terdapat
autokorelasi. Pengujian multikolinieritas dilakukan agar variabel independen
yang digunakan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Analisis mengenai uji
multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai
tolerance, untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil pengujian antar
variabel pada Tabel 10 menyatakan bahwa model yang digunakan tidak terdapat
multikolinieritas pada setiap variabel. Hal itu dapat dilhat bahwa nilai VIF dari
55
empat variabel tidak ada yang lebih dari 10, dan nilai tolerancenya lebih dari 0,1
sehingga model dikatakan baik dan dapat dilakukan analisis berikutnya.
Analisis selanjutnya yaitu melihat apakah pada model yang digunakan
normalitas dan tidak terdapat heteroskedistisitas dengan menggunakan
pendekatan grafik p-plot dan grafik scatterplot yang dapat dilihat pada Lampiran
9. Dapat dilihat bahwa pada grafik p-plot titik-titik menyebar mengikuti garis plot
normal dan titik-titik pada grafik scatterplot menyebar merata. Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa model yang digunakan normal dan tidak terdapat
heteroskedistisitas. Uji selanjutnya yaitu uji autokorelasi, dimana nilai Durbin
Watson yang didapat yaitu 1,632, dengan nilai dU = 1,7323 dan nilai dL = 1,1769.
Nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan terletak diantara nilai dU dan dL yang
artinya model tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti ada tidaknya
autokorelasi. Karena dari uji Durbin Watson tidak dapat disimpulkan ada
tidaknya autokorelasi di dalam model, maka dilakukan uji autokorelasi lain yaitu
dengan menggunakan uji Run Test. Run test merupakan bagian dari statistik non-
parametrik yang berguna untuk menguji ada tidaknya korelasi antar residual. Jika
antar residual tidak terdapat hubungan korelasi maka dikatakan bahwa residual
adalah acak atau random. Sehingga didapat dua hipotesis yaitu jika Asymp. Sig.
(2-tailed) > 0,05 maka terima Ho (residual random), namun jika Asymp. Sig. (2-
tailed) < 0,05 maka tolak Ho (residual tidak random). Pada lampiran 9 dapat
dilihat hasil Run Testnya yaitu sebesar 0, 369 dimana nilai Asymp. Sig. (2-tailed)
> dari 0,05 yang artinya hipotesis Ho diterima. Dengan demikian, data yang
digunakan cukup random sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi pada data
yang diuji.
56
Berdasarkan Tabel 10, maka hipotesis yang dihasilkan yaitu sebagai
berikut:
1. Aplikasi pakan memiliki koefisien regresi sebesar 0,991, artinya dalam
setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan
mengakibatkan penambahan output sebesar 9,91 persen. Penerapan
teknologi pakan berpengaruh positif terhadap penerimaan usaha sesuai
dengan hipotesis awal. Aplikasi teknologi pakan memiliki 0< Ep<1,
menunjukkan bahwa faktor aplikasi teknologi pakan berada pada daerah
rasional. Berdasarkan uji t (α= 0,05), teknologi pakan mempunyai
pengaruh nyata terhadap penerimaan, sehingga apabila terjadi penurunan
ataupun peningkatan teknologi pakan maka akan berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan.
Teknologi pakan yang dilakukan yaitu pemberian pakan hijauan,
konsentrat, pakan tambahan dan silase. Pemberian pakan tersebut
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ternak secara kualitas dan kuantitas,
sehingga produksi yang dihasilkan secara kualitas dan kuantitas akan
meningkat. Hal tersebut terbukti dari hasil koefisien regresi yang
dihasilkan yakni bernilai positif dan hampir mendekati 1. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sudono, dkk. (2003), mengatakan bahwa pakan sapi
perah menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi produksi dan
kualitas susu.
Kebutuhan nutrien pada pakan yang diperlukan untuk sapi perah yaitu
energi, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Energi dan protein
merupakan komponen penting yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Pakan
tambahan yang digunakan responden yaitu ampas tahu, ampas singkong
57
dan dedak. Pakan tambahan yang diberikan merupakan sumber energi dan
protein yang dapat melengkapi nutrien yang dibutuhkan oleh ternak dan
kurang pada konsentrat. Jika energi dan protein yang terdapat dalam
pakan cukup tinggi, maka produksi susu pada sapi perah akan semakin
bagus. Hijauan yang diberikan responden yaitu rumput gajah dan rumput
lapangan. Rumput gajah termasuk kedalam rumput berkualitas menengah
yang memiliki kandungan protein antara 10-15%, dan rumput lapangan
memiliki kandungan protein antara 4-10%.
Pakan yang diberikan responden memiliki kandungan energi dan protein
yang cukup tinggi, sehingga produksi yang dihasilkan terbukti mengalami
peningkatan. Produksi susu yang semakin meningkat akan berpengaruh
terhadap penerimaan yang dihasilkan peternak responden.
2. Aplikasi teknologi kandang memiliki koefisien regresi sebesar 0,663.
Penerapan teknologi kandang berpengaruh positif terhadap penerimaan
usaha sesuai dengan hipotesis awal. Penambahan satu persen aplikasi
teknologi kandang maka akan meningkatkan penerimaan sebesar 6,63
persen. Berdasarkan uji t, teknologi kandang berpengaruh nyata terhadap
penerimaan dengan nilai t hitung (2,973) > 2,048. Sehingga apabila terjadi
penurunan ataupun peningkatan teknologi pakan maka akan berpengaruh
signifikan terhadap penerimaan.
Teknologi kandang yang dilakukan yaitu perubahan pada konstruksi
kandang, baik itu secara keseluruhan maupun hanya beberapa bagian.
Kandang yang nyaman akan berpengaruh terhadap kondisi ternak, ternak
akan terhindar dari rasa stres yang akan mengakibatkan produksi menurun.
Kandang yang nyaman dan ditunjang oleh kebersihan kandang, akan
58
membuat susu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik karena
terhindar dari bakteri-bakteri yang berasal dari sekitar kandang. Bak
pakan yang dibuat dibawah menyebabkan pakan yang diberikan oleh
peternak responden lebih banyak dimakan oleh ternak karena tidak jatuh
tercecer seperti bak pakan yang dibuat sejajar dengan ternak. Bak minum
yang ad-libitum membuat kebutuhan air pada ternak dapat terpenuhi. Air
merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
ternak. Air berfungsi sebagai buffer (penyeimbang) dan sebagai
pengangkut nutrien ke seluruh tubuh. Selain itu, air merupakan salah satu
bahan dasar darah dan susu. Semakin besar ukuran ternak maka semakin
besar kebutuhan air yang diperlukan oleh ternak tersebut. Dengan bak
pakan yang ad-libitum, maka kebutuhan air untuk berbagai ukuran ternak
dapat terpenuhi.
Penelitian terdahulu oleh Muljadi dan Saleh (1995) mengenai faktor
produksi susu sapi perah, menyebutkan bahwa kandang berpengaruh nyata
terhadap penerimaan usaha.
3. Aplikasi teknologi bibit memiliki koefisien regresi sebesar 0,190.
Penerapan teknologi bibit berpengaruh positif terhadap penerimaan usaha,
maka hipotesis awal diterima. Terjadi penambahan satu persen aplikasi
teknologi bibit maka akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 1,90
persen.
Genetik ternak memiliki pengaruh terhadap produksi susu sebesar 30%,
sedangkan 70% nya faktor lingkungan. Nilai elastisitas produksi teknologi
bibit yang tidak terlalu besar dapat diakibatkan oleh hal tersebut.
59
Pengaruh faktor bibit terhadap penerimaan lebih kecil jika dibandingkan
dengan faktor lingkungan seperti pakan dan kandang.
Bibit ternak akan berproduksi dengan optimal apabila didukung oleh
faktor lingkungan seperti pakan, baik itu bibit ternak yang unggul ataupun
bibit yang tidak unggul.
4. Teknologi memiliki koefisien regresi sebesar 0,040, ini menunjukan setiap
terjadi penambahan satu persen teknologi maka penerimaan usaha akan
bertambah sebesar 0,040 persen. Keadaan ini sesuai dengan hipotesis
awal bahwa semakin meningkat teknologi yang digunakan maka akan
semakin meningkat penerimaan usaha.
Koefisien regresi teknologi yang bernilai positif membuktikan bahwa
teknologi dapat meningkatkan penerimaan usaha, seperti pendapat
Soehadji (1992) yang menyatakan bahwa inovasi teknologi di bidang
peternakan merupakan alat untuk mengembangkan usaha peternakan.
Nilai koefisien regresi teknologi yang masih rendah disebabkan oleh
belum sepenuhnya responden melaksanakan teknologi pakan, kandang dan
bibit. Kebanyakan responden masih banyak yang hanya menerapkan satu
atau dua teknologi. Apabila peternak melaksanakan ketiga teknologi
tersebut maka koefisien regresi yang dihasilkan akan lebih besar.
4.6 Analisis Skala Usaha
Analisis skala usaha atau Return to Scale merupakan analisis produksi
untuk melihat kemungkinan perluasan usaha dalam suatu proses produksi. Dalam
suatu proses produksi, perluasan skala usaha pada hakekatnya merupakan suatu
upaya maksimisasi keuntungan dalam jangka panjang. Dengan perluasan skala
60
usaha, rata-rata komponen biaya input tetap per unit output menurun sehingga
keuntungan produsen meningkat. Dalam hal ini tidak selamanya perluasan skala
usaha akan menurunkan biaya produksi, sampai suatu batas tertentu perluasan
skala usaha justru dapat meningkatkan biaya produksi
Nilai koefisien regresi yang terdapat pada model penduga fungsi
produksi juga menunjukkan besaran elastisitas dari faktor produksi. Besaran
elastisitas tersebut juga merupakan tingkat besaran return to scale. Ukuran
returns to scale dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai elastisitas pada model
fungsi produksi. Penjumlahan dari nilai elastisitas tersebut digunakan untuk
mengetahui keadaan skala usaha.
Adapun hasil analisis Cobb Douglas dalam penelitian ini sebagai berikut:
Y = 1,849 X10,991
X20,663
X30,190
D10,040
Model fungsi tersebut bila dilinearkan menjadi:
Ln Y = 1,849 + 0,991 Ln X1 + 0,663 Ln X2 + 0,190 Ln X3 + 0,040 Ln D1
Dari fungsi tersebut didapat jumlah nilai return to scale yaitu sebesar
1,884. Hal ini menggambarkan penerimaan usaha peternak sapi perah di
Kecamatan Ciater berada pada skala increasing return to scale, yang artinya
bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan
produksi yang proporsinya lebih besar. Setiap penambahan 1 persen faktor
produksi maka akan meningkatkan penerimaan sebesar 1,884 persen. Kenaikan
output yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa kondisi ini layak untuk
dikembangkan atau diteruskan. Dengan terus mempertahankan pakan, kandang,
bibit dan teknologi, peternak akan mampu memperluas skala usahanya.
Penerapan teknologi pakan, kandang dan bibit dapat meningkatkan
produksi susu, dengan meningkatnya produksi susu maka penerimaan usaha akan
61
semakin besar. Penerimaan usaha yang semakin besar dapat membantu peternak
dalam mengembangkan skala usaha. Dengan kenaikan output sebesar 1,884
persen, maka peternak akan mampu mengembangkan skala usahanya menjadi
lebih besar.
4.7 Analisis Efisiensi Teknis Faktor Produksi
Menurut Farrel (dalam Soekartawi, 2003) yang dimaksud dengan
efisiensi teknis adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara produk
yang sebenarnya dengan produk maksimal. Efisiensi teknis mensyaratkan bahwa
penggunaan input sekecil mungkin namun menghasilkan output tertentu.
Efisiensi teknis dilihat melalui nilai elastisitas produksi (Ep) masing-
masing faktor produksi. Jika nilai efisiensi teknis sama dengan satu maka
penggunaan input atau faktor produksinya sudah efisien dan jika nilai efisiensi
teknis kurang dari satu maka penggunaan input atau faktor produksinya belum
efisien. Dalam fungsi produksi Cobb Douglas, koefisien regresi merupakan nilai
Ep masing-masing faktor produksi, berikut koefisien regresi masing-masing
variabel.
Tabel 11. Efisiensi Teknis
Variabel Koefisien Regresi Efisiensi Teknis
Konstanta 1,849
Pakan 0,991 Belum Efisien
Kandang 0,663 Belum Efisien
Bibit 0,190 Belum Efisien
Teknologi 0,040 Belum Efisien
62
Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa tidak ada faktor produksi yang
efisien secara teknis, hanya faktor pakan yang hampir mendekati efisien. Agar
faktor produksi efisien secara teknis maka perlu adanya penambahan masing-
masing faktor produksi. Aplikasi pakan masih belum efisien karena pemberian
pakan dari masing-masing responden berbeda. Pemberian hijauan pada ternak
seharusnya 10% dari bobot badan, namun masih ada responden yang hanya
memberikan hijauan sebanyak 30 kg. Hijauan merupakan pakan utama sapi perah,
sedangkan konsentrat merupakan penunjang. Seharusnya, pemberian hijauan
lebih diutamakan baik dalam segi kuantitas dan kualitasnya. Rata-rata responden
memberikan konsentrat sebanyak 6 kg/hari/ekor. Jika dilihat dari rata-rata
produksi susu per ekor ternak responden yaitu sebesar 12 liter, maka pakan
konsentrat yang telah diberikan responden sudah tepat. Hal ini sudah sesuai
dengan pendapat Sudono et al (2003) yang mengatakan bahwa pemberian
konsentrat pada sapi produksi adalah 50 persen dari susu yang dihasilkan (rasio
1:2). Namun dari hasil analisis, aplikasi pakan masih belum efisien. Apabila
konsentrat yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan ternak namun masih
belum efisien, maka kualitas konsentrat yang diberikan masih rendah. Dari hasil
wawancara diketahui bahwa konsentrat yang disediakan KPSBU terdapat tiga
macam yang dibedakan menurut harganya, yaitu harga Rp. 2.000,00/kg, Rp.
2.500,00/kg, dan harga Rp. 3.000,00/kg. Sebagian besar responden menggunakan
2 macam konsentrat, yang dimaksudkan untuk mengurangi biaya produksi.
Konsentrat yang sebagian besar peternak berikan yaitu kombinasi konsentrat
harga Rp. 2.000,00/kg dengan konsentrat harga Rp. 2.500,00/kg, dan kombinasi
konsentrat harga Rp. 3.000,00/kg dengan konsentrat harga Rp. 2.000,00/kg.
Kualitas pakan konsentrat yang diberikan responden ini dapat menjadi salah satu
63
faktor yang menyebabkan belum efisiennya variabel pakan secara efisien.
Responden perlu mengatur komposisi pemberian pakannya, sehingga dapat
tercapai efisiensi teknis untuk teknologi pakan.
Aplikasi kandang memiliki nilai 0< Ep < 1, yakni hanya sebesar 0,667.
Aplikasi kandang belum efisien secara teknis dapat disebabkan oleh pelaksanaan
teknologi kandang yang masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Sebagian besar
peternak hanya melakukan 3 perubahan kandang yaitu bak pakan, bak minum,
dan pemakain karpet sebagai alas. Apabila responden melaksanakan kelima
perubahan kandang, terdapat peluang 33,3% untuk mencapai efisiensi teknis.
Kandang yang nyaman dapat berepengaruh tetrhadap produksi yang dihasilkan.
Hal ini disebabkan oleh tingkat stres pada ternak rendah sehingga produksi yang
dihasilkan tidak akan berkurang. Penambahan perubahan kandang dapat
meningkatkan tingkat efisiensi faktor produksi kandang secara teknis. Semakin
baik dan nyaman kandang, maka ternak akan semakin nyaman dan berproduksi
dengan baik.
Aplikasi bibit memiliki koefisien regresi yang lebih kecil dibandingkan
dengan aplikasi kandang yaitu sebesar 0,279. Faktor produksi bibit belum
mencapai efisiensi teknis, hal tersebut dapat diakibatkan oleh rendahnya
persentase genetik ternak terhadap produksi. Penerapan inovasi teknologi
memiliki nilai koefisien regresi yang paling kecil yaitu 0,034, sehingga dapat
dikatakan bahwa inovasi teknologi yang dilakukan jauh dari efisien. Belum
efisiennya penerapan teknologi secara teknis dapat disebabkan oleh masih
rendahnya responden yang melaksanakan semua inovasi teknologi yang sudah
diperkenalkan. Rendahnya penerapan teknologi disebabkan oleh pemikiran
peternak yang lebih memilih pemeliharaan ternak seperti yang biasa dilakukan
64
lebih efisien dan mudah untuk dilaksanakan. Keterbatasan kemauan dan ekonomi
menyebabkan peternak memilih-milih dalam menerapkan teknologi. Penambahan
penerapan teknologi memiliki peluang sebesar 96,6% untuk mencapai efisiensi
teknis untuk penerapan teknologi.