IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...

32
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Keadaan Fisik Daerah Penelitian Kecamatan Ciater merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Subang. Sebelumnya, Kecamatan Ciater merupakan daerah usaha perkebunan teh dan beberapa kelompok kecil peternak sapi perah. Namun, dalam lima tahun terakhir usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Ciater telah berkembang. Kecamatan Ciater terdiri dari 7 desa yaitu Desa Ciater, Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari dan Desa Sanca. Batas wilayah Kecamatan Ciater sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Jalancagak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kasomalang dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sagalaherang. Kecamatan Ciater memiliki suhu udara antara 22°C sampai 32°C dengan jumlah curah hujan tahunan berfluktuasi rata-rata 2.275 mm/tahun yang diiringi pola iklim basah sepanjang tahun dan kelembaban 60 sampai 70%. Kecamatan Ciater berada pada ketinggian 800 m diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 7.819,87 Hektar. Berdasarkan kondisi klimatologis, Kecamatan Ciater cocok untuk dijadikan daerah pengembangan peternakan sapi perah bangsa Fries Holland. Hal ini sesuai dengan pendapat Dasuki (1983), yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang sesuai bagi sapi perah bangsa FH yang dikembangkan

Transcript of IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah...

Page 1: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

33

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian

4.1.1 Keadaan Fisik Daerah Penelitian

Kecamatan Ciater merupakan salah satu kecamatan yang berada di

Kabupaten Subang. Sebelumnya, Kecamatan Ciater merupakan daerah usaha

perkebunan teh dan beberapa kelompok kecil peternak sapi perah. Namun,

dalam lima tahun terakhir usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Ciater

telah berkembang. Kecamatan Ciater terdiri dari 7 desa yaitu Desa Ciater,

Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari dan

Desa Sanca. Batas wilayah Kecamatan Ciater sebelah Utara berbatasan

dengan Kecamatan Jalancagak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten

Bandung Barat, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kasomalang dan

sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sagalaherang. Kecamatan Ciater

memiliki suhu udara antara 22°C sampai 32°C dengan jumlah curah hujan

tahunan berfluktuasi rata-rata 2.275 mm/tahun yang diiringi pola iklim basah

sepanjang tahun dan kelembaban 60 sampai 70%. Kecamatan Ciater berada

pada ketinggian 800 m diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 7.819,87

Hektar.

Berdasarkan kondisi klimatologis, Kecamatan Ciater cocok untuk

dijadikan daerah pengembangan peternakan sapi perah bangsa Fries Holland.

Hal ini sesuai dengan pendapat Dasuki (1983), yang menyatakan bahwa

kondisi lingkungan yang sesuai bagi sapi perah bangsa FH yang dikembangkan

Page 2: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

34

di Indonesia yaitu dengan suhu udara berkisar 13°C sampai 23°C dan

kelembaban udara berkisar antara 50 sampai 70%.

Penduduk Kecamatan Ciater pada Tahun 2013 berjumlah 28.824 jiwa

terdiri dari 14.622 jiwa (50,7%) laki-laki, dan 14.202 jiwa (49,3%) perempuan.

Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Ciater masih tergolong rendah

karena sebagian besar penduduk hanya berpendidikan sampai tamat

SD/sederajat. Pendidikan tertinggi yang ditempuh oleh penduduk adalah

pendidikan strata 3, namun dengan jumlah yang sedikit. Tingkat pendidikan

penduduk di Kecamatan Ciater Tahun 2013 ditunjukkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Ciater Tahun 2013

Pendidikan Laki-laki Perempuan

Usia 3-6 tahun belum masuk TK 178 139

Usia 3-6 tahun sedang TK 209 187

Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah 27 18

Usia 7-18 tahun sedang sekolah 1.515 1.539

Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 71 93

Usia 18-56 tahun pernah SD tapi tidak tamat 87 90

Tamat SD 3.873 3.879

Usia 12-56 tahun tidak tamat SMP 213 857

Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 1.355 843

Tamat SMP 1.854 1.221

Tamat SMA 1.005 854

Tamat D1 62 49

Tamat D2 35 31

Tamat D3 57 30

Tamat S1 83 55

Tamat S2 15 2

Tamat S3 6 1

Jumlah 10.645 11.963

Sumber: Kecamatan Ciater 2013

Page 3: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

35

Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

daerah, karena tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dan tingkat

penerimaan masyarakat terhadap inovasi baru. Pendidikan yang masih rendah

ini disebabkan karena masyarakat masih beranggapan bahwa pendidikan tidak

begitu penting dan keterbatasan ekonomi menjadi salah satu penyebab tingkat

pendidikan masyarakat di Kecamatan Ciater masih rendah.

Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ciater sebagian besar adalah

petani. Mata pencaharian lainnya adalah buruh tani, PNS, karyawan swasta,

peternak dan pedagang keliling. Penggolongan penduduk berdasarkan mata

pencaharian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Ciater

Mata Pencaharian Jumlah

Orang %

Petani 3.274 37,04

Buruh Tani 1.972 22,31

PNS 175 1,98

Pengrajin 125 1,41

Pedagang Keliling 683 7,73

Peternak 257 2,91

Perikanan 16 0,18

Bidan dan Perawat 30 0,34

Dokter 1 0,01

TNI/POLRI 26 0,29

Pensiunan 334 3,78

Pengusaha 133 1,50

Karyawan Swasta/Pemerintah 1.615 18,27

Jasa Lain 197 2,23

Jumlah 8.838 100

Sumber: Kecamatan Ciater 2013

Page 4: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

36

Sebagian besar wilayah di Kecamatan Ciater merupakan tanah

perkebunan dan tanah sawah, sehingga berbanding lurus dengan mata

pencaharian warganya yang mayoritas bekerja sebagai petani (37,04%) dan

buruh tani (22,31%). Masyarakat Kecamatan Ciater yang bekerja sebagai

peternak masih sedikit (2,91%), karena masyarakat menganggap bahwa

pendapatan yang dihasilkan dari usaha beternak masih rendah.

4.1.2 Keadaan Peternak Sapi Perah di Daerah Penelitian

Peternak sapi perah di wilayah Kecamatan Ciater pada umumnya

merupakan peternakan rakyat dan menengah. Peternak rakyat yang skala

kepemilikan yang masih rendah mengakibatkan pendapatan yang dihasilkan

rendah. Usaha ternak yang dilakukan di peternak sapi perah Kecamatan Ciater

sebagian besar merupakan pekerjaan tetap. Pendapatan yang didapat dari

usahaternak sapi perah masih belum mencukupi kebutuhan hidup peternak,

sehingga sebagian besar peternak melakukan pekerjaan lain sebagai pekerjaan

sambilan seperti berdagang, bertani dan menjadi buruh perkebunan teh.

Jumlah peternak sapi perah yang ada di wilayah Kecamatan Ciater pada Bulan

Maret 2015 mengalami penambahan yaitu menjadi 153 orang peternak dengan

jumlah total sapi 785 ekor. Menurut Sudono (1985), peternakan sapi perah

dibedakan menjadi tiga macam yaitu peternakan sapi perah rakyat, peternakan

sapi perah menengah dan peternakan sapi perah besar. Adapun penggolongan

peternakan sapi perah di Kecamatan Ciater dapat dilihat pada Tabel 3.

Page 5: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

37

Tabel 3. Skala Usaha Peternak Sapi Perah di Kecamatan Ciater

Skala Usaha Jumlah

...Orang... ...%...

2-3 65 42,5

< 25 88 57,5

> 75 0 0

Jumlah 153 100

Berdasarkan Tabel 3, peternakan yang ada merupakan peternakan sapi

perah menengah (57,5%) dan peternakan sapi perah rakyat (42,5%). Pada

peternakan rakyat menengah, walaupun jumlah sapi yang dimiliki lebih dari

3ekor dan mencapai 25 ekor namun perbandingan antara sapi produktif dan sapi

non produktif masih belum efisien. Sebagian besar jumlah sapi non produktif

lebih besar dibandingkan dengan jumlah sapi produktifnya. Sehingga biaya

produksi akan lebih besar dibandingkan dengan penerimaan yang didapatkan.

Pada Tahun 2011 masuklah program dari PT. Danone Dairy Indonesia

ke wilayah Kecamatan Ciater. Program tersebut diberi nama Dairy

Development in Ciater Programs, dengan dibantu Yayasan Sahabat Cipta

sebagai pelaksana program. Program DDCP yang dilaksanakan di peternak

sapi perah Kecamatan Ciater diantaranya penerapan teknologi pakan, kandang

dan bibit. Tujuan dari DDCP yaitu untuk meningkatkan keterampilan teknis

peternak didalam beternak sapi perah, meningkatkan konsumsi makan dan

kesehatan ternak, dan meningkatkan produktivitas ternak.

Teknologi kandang merupakan program perubahan kandang, dimana

layout kandang dan fasilitas kandang diubah dengan model rancangan dari

Page 6: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

38

DDCP. Model layout kandang dari DDCP yaitu terdiri dari adanya kandang

pedet (portable), kandang dara, tempat penyimpanan hijauan, dan tie strap.

Fasilitas kandang yang diubah yaitu diantaranya tempat pakan, tempat minum,

pemberian karpet dan instalasi biogas. Tempat pakan diubah letaknya

sehingga menjadi di bawah dengan berbahan baku semen. Tempat minum

diubah menjadi tempat minum ad-libitum, sehingga dapat memudahkan

peternak dalam pemberian minum. Tidak semua peternak mendapatkan

program perubahan kandang, peternak yang mendapatkan program perubahan

kandang secara keseluruhan hanya 11 orang. Peternak lain hanya mendapatkan

perubahan kandang pada bagian tempat makan dan tempat minum. Teknologi

kandang bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan ternak, memudahkan

dalam pembersihan kandang sehingga kandang akan selalu bersih.

Teknologi bibit merupakan pemberian penyuluhan tentang bibit yang

unggul dan pemberian kredit bibit bergulir, dimana bibit yang diberikan

merupakan bibit yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Adapun dalam

pemilihan penerima program ini terdapat berbagai pertimbangan, diantaranya

yaitu peternak yang tidak memiliki kredit sebelumnya, kandang peternak

mampu menampung sapi kredit tersebut, dan kejujuran dari peternak.

Pemberian bibit bergulir ini terus bergulir dari peternak satu ke peternak lain,

jika uang pembayaran kredit dari peternak sudah bisa untuk membeli bibit lagi

maka bibit tersebut akan digulirkan lagi ke peternak yang belum mendapatkan.

Adanya program teknologi bibit ini selain bertujuan untuk meningkatkan

genetik ternak, juga bertujuan untuk membantu peternak yang tidak

mempunyai modal untuk menambah jumlah ternak yang dimilikinya.

Page 7: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

39

Keadaan peternak sapi perah di Kecamatan Ciater sudah lebih

mengenal berbagai teknologi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan

produksi ternak. Namun dari berbagai teknologi yang sudah diperkenalkan

oleh pihak DDCP dan KPSBU, tidak semua teknologi dapat diterapkan oleh

peternak. Salah satunya yaitu pemberian silase, peternak menganggap bahwa

pembuatan silase terlalu sulit untuk dilakukan. Pemberian hijauan seperti biasa

tanpa adanya pengolahan dianggap sudah cukup oleh peternak. Selain itu,

pemberian hijauan langsung tanpa pengolahan lebih praktis dibandingkan

dengan pemberian silase yang harus diproses terlebih dahulu.

Umumnya pakan yang diberikan oleh peternak untuk ternak yaitu

terdiri dari hijauan, konsentrat, dan pakan tambahan. Hijauan yang diberikan

berupa rumput lapangan, rumput gajah, dan silase. Rumput lapangan yang

diberikan didapat dengan cara mencari di daerah sekitar rumah atau

perkebunan teh, sedangkan untuk rumput gajah didapat dari kebun rumput

milik peternak. Pemberian hijauan biasanya dengan cara dilayukan terlebih

dahulu sehari atau dua hari. Banyaknya hijauan yang diberikan bervariasi,

tergantung pada menajemen masing-masing peternak yaitu dari 30 sampai 50

kg.

Konsentrat yang diberikan oleh peternak untuk ternak didapat dengan

cara membeli di KPSBU. Pemberian konsentrat biasanya ditambah dengan

pakan tambahan seperti ampas tahu, ampas singkong, dan dedak. Namun,

tidak semua peternak menggunakan pakan tambahan dalam manajemen

usahanya. Peternak yang tidak menggunakan pakan tambahan menganggap

bahwa pemberian hijauan dan konsentrat sudah cukup untuk memenuhi

kebutuhan pakan ternaknya.

Page 8: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

40

4.2 Identitas Responden

Identitas responden merupakan hal yang dapat menggambarkan keadaan

peternak. Identitas responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, pengalaman

beternak, pendidikan formal dan non-formal, dan skala kepemilikan ternak.

4.2.1 Umur Responden

Umur merupakan salah satu aspek yang berhubungan dengan

kemampuan seseorang dalam menerima sesuatu yang baru. Umur juga dapat

menggambarkan pengalaman diri seseorang, sehingga terdapat keragaman

prilaku. Berdasarkan komposisi penduduk, umur penduduk dikelompokan

menjadi 3 yaitu umur <15 tahun termasuk golongan umur belum produktif atau

muda, umur 15-64 tahun termasuk golongan umur produktif, dan umur >64

tahun termasuk golongan umur tidak produktif atau tua (Badan Pusat Statistika,

2009). Umur yang lebih muda biasanya akan jauh lebih responsive dalam

menerima suatu stimulus dibandingkan dengan umur yang lebih tua. Adapun

umur responden dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Identitas Responden Berdasarkan Umur

No Umur Jumlah

...Tahun... ...Orang... ...%...

1 < 15 0 0

2 15-64 32 100

3 > 64 0 0

Jumlah Total Responden 32 100

Page 9: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

41

Berdasarkan Tabel 4, keadaan umur responden termasuk usia produktif

dengan kisaran antara usia 15-64 tahun yaitu sebesar 100 %. Umur merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas kerja seseorang terutama dalam

kegiatan usahaternak dan juga mempengaruhi seseorang dalam merespon

sesuatu yang baru walaupun belum banyak mempunyai pengalaman.

Seseorang dengan umur yang produktif biasanya memiliki semangat untuk

mengetahui sesuatu yang baru.

Ibrahim et al (2003) menggolongkan adopter berdasarkan kecepatan

adopsi menjadi 5 golongan, yaitu innovator (golongan perintis), early adopter

(golongan pengetrap dini), early majority (golongan pengetrap awal), late

majority (golongan pengetrap akhir) dan laggard (golongan penolak).

Golongan inovator jumlahnya tidak banyak dalam masyarakat, pendidikannya

lebih tinggi dari rata-rata, berani mengambil resiko dan gemar mencoba inovasi.

Umurnya setengah baya dan memiliki status sosial yang tinggi. Early adopter

dapat dijadikan mitra penyuluh pertanian dalam menyebarkan inovasi,

memiliki status sosial sedang karena berumur 25-40 tahun. Early majority

dapat menerima inovasi selama inovasi tersebut memberikan keuntungan, pada

umumnya memiliki umur lebih dari 40 tahun dan berpengalaman. Late

majority pada umumnya berusia lanjut, memiliki perndidikan rendah dan

lambat menerapkan inovasi. Laggard pada umumnya berusia lanjut, tingkat

pendidikannya sangat rendah, dan tidak suka perubahan.

Page 10: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

42

Tabel 5. Identitas Responden Berdasarkan Kecepatan Adopsi

Golongan Jumlah

...Orang... ...%...

Golongan Perintis 0 0

Golongan Pengetrap Dini 10 31,25

Golongan Pengetrap Awal 14 43,75

Golongan Pengetrap Akhir 8 25

Golongan Penolak 0 0

Jumlah 11 100

Berdasarkan Tabel 5, 43,75% responden merupakan golongan

pengetrap awal dimana responden tersebut akan menerima inovasi jika inovasi

tersebut memberikan keuntungan. Golongan pengetrap dini yaitu sebanyak

31,25% dan golongan pengetrap akhir yaitu sebanyak 25%.

4.2.2 Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak menunjukkan lamanya seseorang dalam

mengusahakan ternak. Pengalaman beternak responden dapat mempengaruhi

keterampilan responden dalam mengelola usahaternak sapi perah, sehingga

responden yang mempunyai pengalaman lebih lama, relatif akan lebih mampu

dalam mengelola usaha sapi perah dibandingkan dengan responden yang

memiliki pengalaman kurang. Pengalaman beternak responden di Kecamatan

Ciater dapat dilihat pada Tabel 6.

Page 11: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

43

Tabel 6. Pengalaman Beternak Responden

No Lama Beternak Jumlah

...Tahun... ...Orang... ...%...

1 < 5 3 9

2 5-10 16 53

3 > 10 12 38

Jumlah Total Responden 32 100

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa sebagian besar pengalaman

beternak responden berada pada 5-10 tahun (kategori sedang), yaitu sebesar

53%. Pengalaman beternak responden yang lebih dari 10 tahun (kategori

tinggi) juga lumayan besar yaitu sebesar 38%, sedangkan responden yang

pengalaman beternaknya kurang dari 5 tahun (kategori rendah) yaitu sebesar

9%.

Responden yang memiliki pengalaman beternak yang lebih lama

cenderung lebih baik dalam menerima sebuah inovasi, karena semakin banyak

pula pengalaman yang diperoleh. Pengalaman yang tinggi merupakan

indikator dari tingginya kematangan peternak dalam mengelola usahaternak

sapi perahnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeharjo dan Patong (1973)

(dalam Nurcahyo, 2009), yang mengatakan bahwa pengalaman beternak yang

lebih lama membuat seseorang lebih terampil dalam mengambil keputusan

terhadap datangnya inovasi.

Responden yang memiliki pengalaman beternak yang lebih lama akan

membuat keterampilan responden menjadi lebih meningkat. Responden yang

Page 12: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

44

memiliki pengalaman beternak lebih lama cenderung akan berpikir untuk

meningkatkan produktivitas usahanya dengan sumber daya yang dimilikinya.

4.2.3 Pendidikan

4.2.3.1 Pendidikan Formal

Peternak yang berpendidikan tinggi relatif akan lebih cepat dalam

menerima dan melaksanakan inovasi. Sebaliknya, peternak yang

berpendidikan rendah akan lebih lamban dalam penerimaan dan

pelaksanaan inovasi. Keadaan tingkat pendidikan responden rata-rata di

tingkat SD dan SMP, seperti nampak pada tabel 7.

Tabel 7. Pendidikan Formal Responden

Tingkat Pendidikan Jumlah

(Orang) (%)

SD 19 59

SMP 12 38

SMA 1 3

Total 32 100

Berdasarkan Tabel 7, tingkat pendidikan formal responden SD

sebesar 59% dan SMP sebesar 38%. Tingkat pendidikan formal responden

tergolong masih rendah, karena sebagian besar peternak hanya

berpendidikan SD. Responden yang tingkat pendidikannya tinggi

cenderung lebih mudah dalam mengadopsi dan memahami inovasi. Hal ini

Page 13: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

45

sesuai dengan pendapat Rogers (1983), bahwa pendidikan berpengaruh

terhadap adopsi teknologi, dimana pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi

akan lebih memudahkan seseorang dalam mengadopsi inovasi serta

memahami sifat dan fungsi inovasi tersebut.

Masih rendahnya tingkat pendidikan peternak dikarenakan masih

minimnya kesadaran responden peternak tentang pentingnya tingkat

pendidikan. Faktor ekonomi peternak juga mempengaruhi masih rendahnya

tingkat pendidikan peternak.

4.2.3.2 Pendidikan Non-Formal

Untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peternak

dalam melakukan usahaternak diperlukan pendidikan yang khusus yakni

berupa pendidikan non formal. Pendidikan non formal tersebut diantaranya

pelatihan dan penyuluhan pertanian. Penyuluhan adalah pendidikan untuk

meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu

masalah.

Walaupun pendidikan formal peternak rendah, dengan peternak

mengikuti pendidikan non formal seperti pelatihan dan penyuluhan,

pengetahuan dan keterampilan peternak dapat bertambah. Semua responden

dalam penelitian ini mengikuti penyuluhan yang diadakan baik oleh pihak

KPSBU maupun dari Yayasan Sahabat Cipta. Penyuluhan yang diadakan di

peternak sapi perah Kecamatan Ciater diantaranya yaitu tentang kesehatan

ternak dan pemenuhan pakan yang baik dan cukup untuk ternak. Walaupun

tingkat pendidikan formal responden tidak terlalu tinggi, dengan mengikuti

penyuluhan peternakan maka pengetahuan peternak akan bertambah.

Page 14: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

46

Pendidikan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan cepat atau

lambatnya seorang peternak mengadopsi ide atau inovasi baru, selain umur

dan pendidikan, pengalaman beternak juga turut menentukan keberhasilan

usaha.

4.3 Keadaan Usaha Responden

Ternak sapi perah yang dipelihara oleh responden adalah sapi perah jenis

Friesian Holstein (FH). Adapun ternak yang dipelihara yaitu sapi laktasi, dara,

pedet jantan dan betina, dan pejantan. Kepemilikan ternak responden sebagian

besar masih rendah < 10 ekor. Banyaknya jumlah sapi produktif yang dimiliki

oleh responden dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Kepemilikan Ternak Produktif Responden

Jumlah Ternak Jumlah

...Peternak... ...%...

1-3 22 68,75

4-6 8 25

>7 2 6,25

Jumlah 32 100

Tabel 8, menunjukkan bahwa 68,75% usaha responden merupakan usaha

kecil yang memiliki ternak produktif 1-3 ekor sapi. Responden yang memiliki

ternak produktif 4-6 ekor atau skala usaha menengah sebanyak 8 orang (25%),

sedangkan responden yang memiliki ternak produktif lebih dari 7 ekor hanya

terdapat 2 orang. Kepemilikan ternak produktif yang masih rendah menyebabkan

Page 15: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

47

penerimaan usaha responden rendah. Masih kecilnya skala usaha disebabkan oleh

keterbatasan modal responden. Adapun rata-rata produksi susu yang dihasilkam

responden yaitu berkisar antara 7,02 - 20,96 liter/ekor/hari.

Tipe kandang yang digunakan oleh responden bervariasi sesuai dengan

kemampuan peternak dan jumlah ternak yang dimiliki. Tata letak kandang pada

umumnya berada disamping atau dibelakang rumah dengan alasan agar mudah

diawasi dan memudahkan dalam perawatan dan pemeliharaan. Lantai kandang

terbuat dari semen, namun semua responden melapisi lantai kandang dengan karet

yang tahan lama.

Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua sampai tiga kali dalam satu

hari, yaitu pada pagi hari setelah pemerahan, siang hari dan setelah pemerahan.

Pada pagi hari pakan penguat diberikan setelah pemerahan, sedangkan pada sore

hari pakan penguat diberikan sebelum pemerahan. Sapi yang sedang kering

kandang biasanya tidak diberikan pakan penguat, dengan alasan mengurangi biaya

untuk pembelian pakan konsentrat. Sapi kering kandang pada umur 7 bulan, jadi

sampai umur 9 bulan sapi tidak diperah. Adapun pemberian susu untuk pedet

yang baru lahir dilakukan selama 3 bulan, pemberian susu dilakukan 2 kali sehari

dengan jumlah 6 liter/hari/ekor.

Tenaga kerja yang digunakan oleh responden yaitu tenaga kerja dalam

keluarga, biasanya responden dibantu oleh istri atau anaknya. Biasanya istri atau

anak responden membantu dalam pemberian pakan atau membersihkan kandang,

sedangkan responden bertugas mencari rumput, memerah dan menyetor susu ke

TPS.

Guna menjaga agar ternak yang dipelihara selalu dalam keadaan sehat,

peternak responden selalu menjaga kebersihan kandang dan peralatan yang

Page 16: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

48

digunakan. Sebelum melakukan pemerahan, peternak selalu memandikan

ternaknya terlebih dahulu. Tempat untuk menampung susu awalnya dengan

menggunakan ember, ketika satu sapi sudah selesai diperah maka susu tersebut

akan dimasukkan kedalam milkcan dengan dilapisi kain saringan. Jika ternak

yang dipelihara terlihat sakit, responden akan menghubungi dokter hewan dari

KPSBU untuk melakukan pemeriksaan. Apabila ternak terluka parah atau

berpenyakit, maka biasanya peternak menjual sapi tersebut ke KPSBU untuk di

potong.

4.4 Produksi Susu dan Penerimaan Usaha Sapi Perah

Produksi susu pada usaha peternakan sapi perah merupakan sumber

utama penerimaan. Oleh karena itu, besar kecilnya produksi susu yang dihasilkan

akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan usaha peternak. Struktur

penerimaan terbesar pada usaha sapi perah yaitu diperoleh dari penjualan susu,

sedangkan penerimaan dari penjualan sapi dan pupuk kandang proporsinya tidak

terlalu besar. Produksi susu peternak pada Tahun 2011 rata-rata hanya sebanyak

8,03 liter/ekor/hari dengan penerimaan rata-rata sebesar Rp. 1.877.807,00/bulan.

Setelah adanya penerapan teknologi di peternak, rata-rata produksi susu yang

dihasilkan mengalami peningkatan menjadi 12,1 liter/ekor/hari dengan harga susu

yang semakin meningkat. Dengan produksi susu yang semakin bertambah dan

harga susu yang semakin tinggi mengakibatkan penerimaan yang didapat oleh

peternak semakin meningkat. Penerimaan rata-rata peternak setelah terjadinya

peningkatan produksi susu yakni sebesar Rp. 4.226.071,00/bulan, untuk lebih

rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Adapun rata-rata produksi susu pada Tahun

2011 dan Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 9.

Page 17: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

49

Tabel 9. Rata-rata Produksi Susu (Liter) Perekor Perhari Tahun 2011 dan 2014

Responden 2011 2014

A. Rohman 10,02 9,73

Endang Subarna 10,02 17,34

Anang Bin Ondi 5,64 12,72

Dedi Mulyadi 5,64 20,96

Ita R 5,64 8,16

Maman 5,64 7,02

Alan Cahya 5,64 10,47

Ade Aang 9,07 11,97

Asep Kurnaedi 9,07 10,27

Nandang 9,07 11,66

Rusman Bin Suher 9,07 11,72

Ade Sapji 10,74 17,81

Carman 10,74 9,03

Ateng bin Dayat 10,74 18,04

Juju Bin Ato 8,3 15,85

Mamat Sutialarang 4,21 11,73

Ujang Ruhendi 4,21 8,28

Abas Bin Suhli 5,44 8,80

Mimin Mulyami 5,44 8,85

Yaya 5,44 7,82

Yaman 5,44 10,35

Erom 12,43 16,19

Yana Heri 12,43 12,15

Agus Bin Saltum 7,03 18,82

Juhana 7,03 10,48

Sajidin 7,03 10,83

Yunan 7,71 13,37

Endang Haris 8,19 13,86

Enos Supriatna 8,19 12,44

Nano Bin Rasid 6,85 12,17

Sumarna bin Suhandi 6,85 10,65

Ai Sumartini 6,27 12,23

Page 18: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

50

Peningkatan produksi susu disebabkan oleh adanya penerapan teknologi

yang diterapkan oleh peternak. Penerapan teknologi pakan yaitu berupa

pemberian hijauan, konsentrat, pakan tambahan dan silase. Pakan hijauan yang

diberikan responden yaitu rumput lapangan dan rumput gajah. Rumput gajah

merupakan kategori rumput berkualitas menengah yaitu memiliki kandungan

protein tercerna 10-15%, sedangkan rumput lapangan merupakan kategori rumput

berkualitas rendah menengah dengan kandungan protein tercerna 4-10%.

Semakin berkualitas hijauan yang diberikan maka semakin baik kualitas dan

kuantitas susu yang dihasilkan. Pemberian silase semakin meningkatkan kualitas

susu yang dihasilkan, karena setelah dilakukan pemberian silase pada ternak

kualitas susu yang dihasilkan semakin bagus. Kualitas yang semakin bagus

membuat harga susu yang dihasilkan semakin meningkat jika dibandingkan

dengan harga susu sebelum menggunakan silase. Penggunaan silase sebagai

tambahan pakan ternak belum sepenuhnya diterapkan oleh peternak, hanya

beberapa responden yang menggunakan silase. Dapat dilihat lebih rinci pada

lampiran 6, responden yang menerapkan teknologi pakan berupa penambahan

silase untuk ternak hanya 11 orang.

Penerapan teknologi kandang telah banyak dilakukan oleh peternak sapi

perah di Kecamatan Ciater. Tempat pakan seluruh responden memiliki bentuk

yang sama yaitu terletak dibawah, sedangkan untuk tempat minum masih ada

responden yang tidak menggunakan tempat minum yang ad-libitum. Dapat dilihat

pada lampiran 7, responden yang tempat minumnya tidak ad-libitum yaitu

responden Maman dan Mimin Mulyami. Hal tersebut disebabkan karena pada

saat terdapat program perubahan kandang, kandang responden Maman masih

digabung dengan kandang milik anaknya. Sedangkan responden Mimin Mulyami

Page 19: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

51

pada saat adanya program perubahan kandang, kandangnya masih digabung

dengan kandang milik orangtuanya. Pemberian air minum secara ad-libitum

sangat bagus untuk ternak, hal ini sesuai pendapat Syarief dan Sumoprastowo

(1985) bahwa air minum sebaiknya diberikan secara ad-libitum, karena sapi rata-

rata membutuhkan 3-4 kali dari jumlah susu yang dihasilkan. Pentingnya

kebutuhan air juga karena susu yang dihasilkan 87 % berupa air dan sisanya

adalah bahan kering (Sudono, dkk. 2003).

Peternak sapi perah Kecamatan Ciater sudah seluruhnya memakai karpet

sebagai alas. Penggunaan karpet bertujuan untuk meminimalisir luka pada ternak

yang disebabkan jatuh akibat lantai kandang yang licin. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan oleh Santosa, dkk (2009), dan Aziz, dkk (2013)

bahwa penggunaan karpet pada lantai kandang sapi perah dapat memperkecil

kejadian luka kaki dan infeksi terhadap puting yang menyebabkan kejadian

mastitis. Penggunaan karpet juga mempermudah dalam pembersihan kotoran

karena bahannya rata, masif dan tidak menyerap air.

Adanya penerapan teknologi kandang oleh peternak membuat sapi perah

peternak makan lebih banyak dari sebelum penerapan teknologi kandang. Selain

itu, kebersihan kandang semakin terjaga karena peternak sudah mengerti bahwa

kebersihan kandang berpengaruh terhadap kualitas dan produksi susu yang

dihasilkan.

Produksi susu dari setiap sapi pasti akan berbeda bergantung pada

kemampuan genetik yang dimiliki. Bibit yang unggul akan mampu menghasilkan

susu yang tinggi. Responden peternak sapi perah dalam penelitian ini hampir

semuanya mendapatkan bibit dari program DDCP. Dalam pemilihan bibit oleh

DDCP terlebih dulu dilakukan penyeleksian. Adapun responden yang tidak

Page 20: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

52

menggunakan bibit dari DDCP yaitu ada 9 orang yaitu Dedi Mulyadi, Ita, Ujang

Ruhendi, Yaman, Ade Aang, Mimin Mulyami, Abas Bin Suhli, Juhana dan

Sumarna.

Responden yang tidak mendapatkan program bibit bergulir mendapatkan

bibit dari Lembang atau dari peternak lain di wilayah Ciater. Walaupun

responden tidak mendapatkan program bibit bergulir, responden sudah

mengetahui bagaimana ciri-ciri bibit yang baik sehingga dalam pemilihan sapi

untuk bibit dilakukan penyeleksian terlebih dahulu.

Produksi susu yang mengalami peningkatan mengakibatkan penerimaan

yang didapat semakin meningkat. Jumlah penerimaan usaha sapi perah responden

tidak hanya berasal dari produksi susu, penjualan ternak baik itu pedet atau sapi

culling dan penjualan hasil limbah ternak juga termasuk kedalam penerimaan

usaha sapi perah. Namun penerimaan dari produksi susulah yang menjadi sumber

utama penerimaan, karena penjualan ternak dilakukan hanya pada saat-saat

tertentu. Penjualan ternak dilakukan hanya pada saat responden memiliki pedet

yang baru dilahirkan, atau pada saat sapi laktasi yang dimiliki sudah saatnya di

culling. Penjualan ternak juga sering dilakukan responden ketika ternaknya sakit

dan pada saat responden membutuhkan uang untuk suatu keperluan.

Penerimaan responden dari hasil susu yang dihasilkan responden berkisar

dari Rp. 1.078.195,00 sampai Rp. 14.181.365,00/bulan. Hanya responden Yaya

dan Agus bin Saltum yang mendapatkan penerimaan dari penjualan ternak.

Penerimaan dari penjualan pupuk kandang responden tidak ada dikarenakan

responden tidak mengolah feses yang dihasilkan menjadi pupuk kandang.

Page 21: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

53

4.5 Analisis Fungsi Produksi

Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah fungsi

produksi Cobb Douglas dengan empat variabel bebas. Variabel bebas yang

diamati yaitu aplikasi pakan (X1), aplikasi kandang (X2), aplikasi bibit (X3) dan

dummy teknologi (D1). Berdasarkan keempat faktor tersebut akan dilihat berapa

besar pengaruhnya terhadap variabel Y. Dalam pendugaan parameter pada fungsi

persamaan Cobb Douglas data akan diubah terlebih dahulu kedalam bentuk

double logaritme natural (ln), secara rinci dapat dilihat pada lampiran X. Untuk

menguji ketepatan model untuk penelitian ini maka digunakan uji statistik yaitu

uji t, uji F dan R2. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan SPSS,

diperoleh hasil pendugaan fungsi seperti pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi

Variabel Koefisien

Regresi

T

hitung

R2

Tolerance VIF Fhit Ttab

Konstanta 1,849 0,325 0,841 - - 35,913 2,048

β1 0,991 8,918 0,821 1,218

β2 0,663 2,973 0,601 1,663

β3 0,190 0,530 0,924 1,082

D1 0,040 0,292 0,591 1,693

Berdasarkan hasil pengolahan yang diperoleh maka model produksi akan

menjadi sebagai berikut:

Y = 1,849 X10,991

X20,663

X30,190

D10,040

Model fungsi tersebut bila dilinearkan menjadi:

Ln Y = 1,849 + 0,991 Ln X1 + 0,663 Ln X2 + 0,190 Ln X3 + 0,040 Ln D1

Page 22: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

54

Berdasarkan Tabel 10, hasil nilai Fhitung pada model penduga fungsi

produksi mencapai 35,913 dan nilai tersebut lebih besar daripada Ftabel yaitu 2,95.

Kondisi ini menunjukan bahwa semua variabel bebas yang digunakan dalam

model fungsi produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel

terikat. Berdasarkan uji t diketahui bahwa variabel aplikasi teknologi pakan dan

aplikasi teknologi kandang, berpengaruh nyata pada taraf (α= 0,05) terhadap

penerimaan usaha. Sedangkan variabel aplikasi teknologi bibit dan dummy

teknologi tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan, dikarenakan uji t nya

lebih besar Ttabel sehingga Ho diterima.

Dari hasil output tersebut diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar

0,841, yang artinya variabel bebas yang digunakan dalam model fungsi

berpengaruh sebesar 84,1 persen terhadap variabel terikat. Sedangkan sisanya

yaitu 15,9 persen dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak terdapat dalam model.

Model penduga fungsi produksi yang telah dilakukan analisis dapat

menujukkan adanya tingkat kelayakan berdasarkan asumsi OLS (Ordinary Least

Square) yaitu dengan mencari koefisien model melalui pengepasan (fitting) antara

model dengan data sampel. Adapun asumsi OLS yang dimaksud adalah model

linier dalam koefisien (parameter), tidak terdapat multikolinier diantara variabel

independent, ragamnya homogen (homoskedastisitas) dan tidak terdapat

autokorelasi. Pengujian multikolinieritas dilakukan agar variabel independen

yang digunakan tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Analisis mengenai uji

multikolinieritas dapat dilihat dari nilai VIF (Variance Inflation Factors) dan nilai

tolerance, untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil pengujian antar

variabel pada Tabel 10 menyatakan bahwa model yang digunakan tidak terdapat

multikolinieritas pada setiap variabel. Hal itu dapat dilhat bahwa nilai VIF dari

Page 23: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

55

empat variabel tidak ada yang lebih dari 10, dan nilai tolerancenya lebih dari 0,1

sehingga model dikatakan baik dan dapat dilakukan analisis berikutnya.

Analisis selanjutnya yaitu melihat apakah pada model yang digunakan

normalitas dan tidak terdapat heteroskedistisitas dengan menggunakan

pendekatan grafik p-plot dan grafik scatterplot yang dapat dilihat pada Lampiran

9. Dapat dilihat bahwa pada grafik p-plot titik-titik menyebar mengikuti garis plot

normal dan titik-titik pada grafik scatterplot menyebar merata. Sehingga dapat

diambil kesimpulan bahwa model yang digunakan normal dan tidak terdapat

heteroskedistisitas. Uji selanjutnya yaitu uji autokorelasi, dimana nilai Durbin

Watson yang didapat yaitu 1,632, dengan nilai dU = 1,7323 dan nilai dL = 1,1769.

Nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan terletak diantara nilai dU dan dL yang

artinya model tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti ada tidaknya

autokorelasi. Karena dari uji Durbin Watson tidak dapat disimpulkan ada

tidaknya autokorelasi di dalam model, maka dilakukan uji autokorelasi lain yaitu

dengan menggunakan uji Run Test. Run test merupakan bagian dari statistik non-

parametrik yang berguna untuk menguji ada tidaknya korelasi antar residual. Jika

antar residual tidak terdapat hubungan korelasi maka dikatakan bahwa residual

adalah acak atau random. Sehingga didapat dua hipotesis yaitu jika Asymp. Sig.

(2-tailed) > 0,05 maka terima Ho (residual random), namun jika Asymp. Sig. (2-

tailed) < 0,05 maka tolak Ho (residual tidak random). Pada lampiran 9 dapat

dilihat hasil Run Testnya yaitu sebesar 0, 369 dimana nilai Asymp. Sig. (2-tailed)

> dari 0,05 yang artinya hipotesis Ho diterima. Dengan demikian, data yang

digunakan cukup random sehingga tidak terdapat masalah autokorelasi pada data

yang diuji.

Page 24: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

56

Berdasarkan Tabel 10, maka hipotesis yang dihasilkan yaitu sebagai

berikut:

1. Aplikasi pakan memiliki koefisien regresi sebesar 0,991, artinya dalam

setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan

mengakibatkan penambahan output sebesar 9,91 persen. Penerapan

teknologi pakan berpengaruh positif terhadap penerimaan usaha sesuai

dengan hipotesis awal. Aplikasi teknologi pakan memiliki 0< Ep<1,

menunjukkan bahwa faktor aplikasi teknologi pakan berada pada daerah

rasional. Berdasarkan uji t (α= 0,05), teknologi pakan mempunyai

pengaruh nyata terhadap penerimaan, sehingga apabila terjadi penurunan

ataupun peningkatan teknologi pakan maka akan berpengaruh signifikan

terhadap penerimaan.

Teknologi pakan yang dilakukan yaitu pemberian pakan hijauan,

konsentrat, pakan tambahan dan silase. Pemberian pakan tersebut

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ternak secara kualitas dan kuantitas,

sehingga produksi yang dihasilkan secara kualitas dan kuantitas akan

meningkat. Hal tersebut terbukti dari hasil koefisien regresi yang

dihasilkan yakni bernilai positif dan hampir mendekati 1. Hal ini sesuai

dengan pendapat Sudono, dkk. (2003), mengatakan bahwa pakan sapi

perah menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi produksi dan

kualitas susu.

Kebutuhan nutrien pada pakan yang diperlukan untuk sapi perah yaitu

energi, protein, karbohidrat, mineral dan vitamin. Energi dan protein

merupakan komponen penting yang sangat dibutuhkan oleh ternak. Pakan

tambahan yang digunakan responden yaitu ampas tahu, ampas singkong

Page 25: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

57

dan dedak. Pakan tambahan yang diberikan merupakan sumber energi dan

protein yang dapat melengkapi nutrien yang dibutuhkan oleh ternak dan

kurang pada konsentrat. Jika energi dan protein yang terdapat dalam

pakan cukup tinggi, maka produksi susu pada sapi perah akan semakin

bagus. Hijauan yang diberikan responden yaitu rumput gajah dan rumput

lapangan. Rumput gajah termasuk kedalam rumput berkualitas menengah

yang memiliki kandungan protein antara 10-15%, dan rumput lapangan

memiliki kandungan protein antara 4-10%.

Pakan yang diberikan responden memiliki kandungan energi dan protein

yang cukup tinggi, sehingga produksi yang dihasilkan terbukti mengalami

peningkatan. Produksi susu yang semakin meningkat akan berpengaruh

terhadap penerimaan yang dihasilkan peternak responden.

2. Aplikasi teknologi kandang memiliki koefisien regresi sebesar 0,663.

Penerapan teknologi kandang berpengaruh positif terhadap penerimaan

usaha sesuai dengan hipotesis awal. Penambahan satu persen aplikasi

teknologi kandang maka akan meningkatkan penerimaan sebesar 6,63

persen. Berdasarkan uji t, teknologi kandang berpengaruh nyata terhadap

penerimaan dengan nilai t hitung (2,973) > 2,048. Sehingga apabila terjadi

penurunan ataupun peningkatan teknologi pakan maka akan berpengaruh

signifikan terhadap penerimaan.

Teknologi kandang yang dilakukan yaitu perubahan pada konstruksi

kandang, baik itu secara keseluruhan maupun hanya beberapa bagian.

Kandang yang nyaman akan berpengaruh terhadap kondisi ternak, ternak

akan terhindar dari rasa stres yang akan mengakibatkan produksi menurun.

Kandang yang nyaman dan ditunjang oleh kebersihan kandang, akan

Page 26: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

58

membuat susu yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik karena

terhindar dari bakteri-bakteri yang berasal dari sekitar kandang. Bak

pakan yang dibuat dibawah menyebabkan pakan yang diberikan oleh

peternak responden lebih banyak dimakan oleh ternak karena tidak jatuh

tercecer seperti bak pakan yang dibuat sejajar dengan ternak. Bak minum

yang ad-libitum membuat kebutuhan air pada ternak dapat terpenuhi. Air

merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

ternak. Air berfungsi sebagai buffer (penyeimbang) dan sebagai

pengangkut nutrien ke seluruh tubuh. Selain itu, air merupakan salah satu

bahan dasar darah dan susu. Semakin besar ukuran ternak maka semakin

besar kebutuhan air yang diperlukan oleh ternak tersebut. Dengan bak

pakan yang ad-libitum, maka kebutuhan air untuk berbagai ukuran ternak

dapat terpenuhi.

Penelitian terdahulu oleh Muljadi dan Saleh (1995) mengenai faktor

produksi susu sapi perah, menyebutkan bahwa kandang berpengaruh nyata

terhadap penerimaan usaha.

3. Aplikasi teknologi bibit memiliki koefisien regresi sebesar 0,190.

Penerapan teknologi bibit berpengaruh positif terhadap penerimaan usaha,

maka hipotesis awal diterima. Terjadi penambahan satu persen aplikasi

teknologi bibit maka akan meningkatkan penerimaan usaha sebesar 1,90

persen.

Genetik ternak memiliki pengaruh terhadap produksi susu sebesar 30%,

sedangkan 70% nya faktor lingkungan. Nilai elastisitas produksi teknologi

bibit yang tidak terlalu besar dapat diakibatkan oleh hal tersebut.

Page 27: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

59

Pengaruh faktor bibit terhadap penerimaan lebih kecil jika dibandingkan

dengan faktor lingkungan seperti pakan dan kandang.

Bibit ternak akan berproduksi dengan optimal apabila didukung oleh

faktor lingkungan seperti pakan, baik itu bibit ternak yang unggul ataupun

bibit yang tidak unggul.

4. Teknologi memiliki koefisien regresi sebesar 0,040, ini menunjukan setiap

terjadi penambahan satu persen teknologi maka penerimaan usaha akan

bertambah sebesar 0,040 persen. Keadaan ini sesuai dengan hipotesis

awal bahwa semakin meningkat teknologi yang digunakan maka akan

semakin meningkat penerimaan usaha.

Koefisien regresi teknologi yang bernilai positif membuktikan bahwa

teknologi dapat meningkatkan penerimaan usaha, seperti pendapat

Soehadji (1992) yang menyatakan bahwa inovasi teknologi di bidang

peternakan merupakan alat untuk mengembangkan usaha peternakan.

Nilai koefisien regresi teknologi yang masih rendah disebabkan oleh

belum sepenuhnya responden melaksanakan teknologi pakan, kandang dan

bibit. Kebanyakan responden masih banyak yang hanya menerapkan satu

atau dua teknologi. Apabila peternak melaksanakan ketiga teknologi

tersebut maka koefisien regresi yang dihasilkan akan lebih besar.

4.6 Analisis Skala Usaha

Analisis skala usaha atau Return to Scale merupakan analisis produksi

untuk melihat kemungkinan perluasan usaha dalam suatu proses produksi. Dalam

suatu proses produksi, perluasan skala usaha pada hakekatnya merupakan suatu

upaya maksimisasi keuntungan dalam jangka panjang. Dengan perluasan skala

Page 28: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

60

usaha, rata-rata komponen biaya input tetap per unit output menurun sehingga

keuntungan produsen meningkat. Dalam hal ini tidak selamanya perluasan skala

usaha akan menurunkan biaya produksi, sampai suatu batas tertentu perluasan

skala usaha justru dapat meningkatkan biaya produksi

Nilai koefisien regresi yang terdapat pada model penduga fungsi

produksi juga menunjukkan besaran elastisitas dari faktor produksi. Besaran

elastisitas tersebut juga merupakan tingkat besaran return to scale. Ukuran

returns to scale dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai elastisitas pada model

fungsi produksi. Penjumlahan dari nilai elastisitas tersebut digunakan untuk

mengetahui keadaan skala usaha.

Adapun hasil analisis Cobb Douglas dalam penelitian ini sebagai berikut:

Y = 1,849 X10,991

X20,663

X30,190

D10,040

Model fungsi tersebut bila dilinearkan menjadi:

Ln Y = 1,849 + 0,991 Ln X1 + 0,663 Ln X2 + 0,190 Ln X3 + 0,040 Ln D1

Dari fungsi tersebut didapat jumlah nilai return to scale yaitu sebesar

1,884. Hal ini menggambarkan penerimaan usaha peternak sapi perah di

Kecamatan Ciater berada pada skala increasing return to scale, yang artinya

bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan

produksi yang proporsinya lebih besar. Setiap penambahan 1 persen faktor

produksi maka akan meningkatkan penerimaan sebesar 1,884 persen. Kenaikan

output yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa kondisi ini layak untuk

dikembangkan atau diteruskan. Dengan terus mempertahankan pakan, kandang,

bibit dan teknologi, peternak akan mampu memperluas skala usahanya.

Penerapan teknologi pakan, kandang dan bibit dapat meningkatkan

produksi susu, dengan meningkatnya produksi susu maka penerimaan usaha akan

Page 29: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

61

semakin besar. Penerimaan usaha yang semakin besar dapat membantu peternak

dalam mengembangkan skala usaha. Dengan kenaikan output sebesar 1,884

persen, maka peternak akan mampu mengembangkan skala usahanya menjadi

lebih besar.

4.7 Analisis Efisiensi Teknis Faktor Produksi

Menurut Farrel (dalam Soekartawi, 2003) yang dimaksud dengan

efisiensi teknis adalah besaran yang menunjukkan perbandingan antara produk

yang sebenarnya dengan produk maksimal. Efisiensi teknis mensyaratkan bahwa

penggunaan input sekecil mungkin namun menghasilkan output tertentu.

Efisiensi teknis dilihat melalui nilai elastisitas produksi (Ep) masing-

masing faktor produksi. Jika nilai efisiensi teknis sama dengan satu maka

penggunaan input atau faktor produksinya sudah efisien dan jika nilai efisiensi

teknis kurang dari satu maka penggunaan input atau faktor produksinya belum

efisien. Dalam fungsi produksi Cobb Douglas, koefisien regresi merupakan nilai

Ep masing-masing faktor produksi, berikut koefisien regresi masing-masing

variabel.

Tabel 11. Efisiensi Teknis

Variabel Koefisien Regresi Efisiensi Teknis

Konstanta 1,849

Pakan 0,991 Belum Efisien

Kandang 0,663 Belum Efisien

Bibit 0,190 Belum Efisien

Teknologi 0,040 Belum Efisien

Page 30: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

62

Dari hasil analisis regresi diketahui bahwa tidak ada faktor produksi yang

efisien secara teknis, hanya faktor pakan yang hampir mendekati efisien. Agar

faktor produksi efisien secara teknis maka perlu adanya penambahan masing-

masing faktor produksi. Aplikasi pakan masih belum efisien karena pemberian

pakan dari masing-masing responden berbeda. Pemberian hijauan pada ternak

seharusnya 10% dari bobot badan, namun masih ada responden yang hanya

memberikan hijauan sebanyak 30 kg. Hijauan merupakan pakan utama sapi perah,

sedangkan konsentrat merupakan penunjang. Seharusnya, pemberian hijauan

lebih diutamakan baik dalam segi kuantitas dan kualitasnya. Rata-rata responden

memberikan konsentrat sebanyak 6 kg/hari/ekor. Jika dilihat dari rata-rata

produksi susu per ekor ternak responden yaitu sebesar 12 liter, maka pakan

konsentrat yang telah diberikan responden sudah tepat. Hal ini sudah sesuai

dengan pendapat Sudono et al (2003) yang mengatakan bahwa pemberian

konsentrat pada sapi produksi adalah 50 persen dari susu yang dihasilkan (rasio

1:2). Namun dari hasil analisis, aplikasi pakan masih belum efisien. Apabila

konsentrat yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan ternak namun masih

belum efisien, maka kualitas konsentrat yang diberikan masih rendah. Dari hasil

wawancara diketahui bahwa konsentrat yang disediakan KPSBU terdapat tiga

macam yang dibedakan menurut harganya, yaitu harga Rp. 2.000,00/kg, Rp.

2.500,00/kg, dan harga Rp. 3.000,00/kg. Sebagian besar responden menggunakan

2 macam konsentrat, yang dimaksudkan untuk mengurangi biaya produksi.

Konsentrat yang sebagian besar peternak berikan yaitu kombinasi konsentrat

harga Rp. 2.000,00/kg dengan konsentrat harga Rp. 2.500,00/kg, dan kombinasi

konsentrat harga Rp. 3.000,00/kg dengan konsentrat harga Rp. 2.000,00/kg.

Kualitas pakan konsentrat yang diberikan responden ini dapat menjadi salah satu

Page 31: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

63

faktor yang menyebabkan belum efisiennya variabel pakan secara efisien.

Responden perlu mengatur komposisi pemberian pakannya, sehingga dapat

tercapai efisiensi teknis untuk teknologi pakan.

Aplikasi kandang memiliki nilai 0< Ep < 1, yakni hanya sebesar 0,667.

Aplikasi kandang belum efisien secara teknis dapat disebabkan oleh pelaksanaan

teknologi kandang yang masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Sebagian besar

peternak hanya melakukan 3 perubahan kandang yaitu bak pakan, bak minum,

dan pemakain karpet sebagai alas. Apabila responden melaksanakan kelima

perubahan kandang, terdapat peluang 33,3% untuk mencapai efisiensi teknis.

Kandang yang nyaman dapat berepengaruh tetrhadap produksi yang dihasilkan.

Hal ini disebabkan oleh tingkat stres pada ternak rendah sehingga produksi yang

dihasilkan tidak akan berkurang. Penambahan perubahan kandang dapat

meningkatkan tingkat efisiensi faktor produksi kandang secara teknis. Semakin

baik dan nyaman kandang, maka ternak akan semakin nyaman dan berproduksi

dengan baik.

Aplikasi bibit memiliki koefisien regresi yang lebih kecil dibandingkan

dengan aplikasi kandang yaitu sebesar 0,279. Faktor produksi bibit belum

mencapai efisiensi teknis, hal tersebut dapat diakibatkan oleh rendahnya

persentase genetik ternak terhadap produksi. Penerapan inovasi teknologi

memiliki nilai koefisien regresi yang paling kecil yaitu 0,034, sehingga dapat

dikatakan bahwa inovasi teknologi yang dilakukan jauh dari efisien. Belum

efisiennya penerapan teknologi secara teknis dapat disebabkan oleh masih

rendahnya responden yang melaksanakan semua inovasi teknologi yang sudah

diperkenalkan. Rendahnya penerapan teknologi disebabkan oleh pemikiran

peternak yang lebih memilih pemeliharaan ternak seperti yang biasa dilakukan

Page 32: IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah …media.unpad.ac.id/thesis/200110/2011/200110110039_4_8515.pdf · Desa Cibeusi, Desa Cibitung, Desa Cisaat, Desa Nagrak, Desa Palasari

64

lebih efisien dan mudah untuk dilaksanakan. Keterbatasan kemauan dan ekonomi

menyebabkan peternak memilih-milih dalam menerapkan teknologi. Penambahan

penerapan teknologi memiliki peluang sebesar 96,6% untuk mencapai efisiensi

teknis untuk penerapan teknologi.